FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA
OLEH DADAN HUDAYA H14103O74
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
DADAN HUDAYA. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Indonesia (dibimbing oleh ALLA ASMARA). Kemiskinan sering dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup, dan merupakan masalah klasik yang dihadapi oleh sebagian besar negara sedang berkembang serta merupakan salah satu indikator ekonomi untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Jumlah penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 penduduk miskin sekitar 54,2 juta jiwa. Angka ini pada tahun 1980 berkurang hingga menjadi sekitar 42,3 juta jiwa (sekitar 32,8 juta jiwa di perkotaan, dan sekitar 9,5 juta jiwa di pedesaan), atau berkurang sekitar 21,95 persen dari tahun 1976. Pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin berkurang hingga menjadi sekitar 27,2 juta jiwa, atau berkurang sekitar 35,69 persen dari tahun 1980. Namun, pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin kembali meningkat hingga menjadi sekitar 38,4 juta jiwa dan pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin menurun hingga menjadi sekitar 37.17 juta jiwa. Fluktuasi jumlah penduduk miskin di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, seperti terjadinya krisis ekonomi, pertambahan jumlah penduduk tiap tahun, pengaruh kebijakan pemerintah dan sebagainya. Penelitian ini betujuan (1) Mendeskripsikan keadaan kemiskinan di Indonesia dan (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia. Sedangkan sumber data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Perpustakaan LSI IPB. Metode analisis yang digunakan untuk menganalisa data-data kemiskinan yang telah diperoleh adalah analisis panel data dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2000 dan E-Views 5.1. Hasil analisa menunjukkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) memiliki nilai koefisien 773.3819, artinya apabila tingkat pengangguran meningkat sebesar 1 persen, maka jumlah penduduk miskin akan meningkat sebesar 773.3819 jiwa. Ini berarti terjadi korelasi yang positif antara TPT dan tingkat kemiskinan. hal tersebut sesuai dengan hipotesis, bahwa tingkat pengangguran memiliki korelasi yang positif dengan tingkat kemiskinan. Variabel Pendapatan Perkapita (PP) berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan dan memiliki hubungan yang negatif. Nilai probabilitas (pvalue) sebesar 0.0000 dan koefisien yang diperoleh sebesar -0.044023, artinya apabila PP meningkat sebesar 100 rupiah maka jumlah penduduk miskin menurun sebesar 4,4023 jiwa. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa pendapatan memiliki korelasi yang negatif terhadap tingkat kemiskinan. Dengan meningkatnya pendapatan perkapita maka angka kemiskinan akan menurun. Variabel Angka Melek Huruf (AMH) sebagai indikator tingkat pendidikan berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang negatif terhadap tingkat kemiskinan dengan nilai probabilitas (p-value) 0.0000. Koefisien AMH yang
diperoleh sebesar -23495.01, artinya apabila AMH meningkat sebesar 1 persen, maka jumlah penduduk miskin akan menurun sebesar 23495.01 jiwa. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa AMH berkorelasi negatif terhadap tingkat kemiskinan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa indikator jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan serta Indeks Keparahan Kemiskinan menunjukan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia untuk periode 2002-2004 semakin membaik. Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia salah satunya tergantung dari pendapatan yang diterima oleh masyarakat, pengeluaran penduduk terhadap pendidikan serta tergantung pada kebijakan pemerintah dalam menurunkan tingkat pengangguran. Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian adalah provinsi-provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi perlu diberi perhatian lebih besar oleh pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan melalui peningkata kualitas pendidikan seperti penambahan anggaran Dana BOS tanpa mengabaikan provinsi-provinsi lainya. Pemerintah harus memaksimalkan kinerjanya yang terfokus kepada penduduk miskin melalui penambahan tingkat kesempatan kerja melalui proyek-proyek padat karya, atau dengan peningkatan kemampuan tenaga.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA
Oleh DADAN HUDAYA H14103074
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Dadan Hudaya
Nomor Pokok
: H14103074
Departemen
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Alla Asmara, SPt, M.Si. NIP : 197301131997021001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP : 196410231989032002
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2009
Dadan Hudaya H14103074
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Dadan Hudaya, lahir pada tanggal 20 Juli 1984 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Engkus Kusnadi dan Ibu Nonah Normawati. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Al-Irsyad, kemudian melanjutkan ke SLTP N 9 Bogor. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMU Rimba Madya dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM). Selama menjadi mahasiswa, penulis telah aktif sebagai wiraswasta.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji serta syukur pertama-tama penulis ucapkan kepada Allah SWT yang menggenggam semua jiwa makhluk-Nya dan yang selalu memberi rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis diberi kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Muhammad SAW sebagai pemimpin besar revolusi umat manusia menuju zaman yang penuh dengan rahmat dan hidayah-Nya. Skripsi yang berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Indonesia ini disusun untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk itu, ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: 1.
Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Engkus Kusnadi dan Ibunda Nonah Normawati atas doa dan dukungannya serta kakanda Milah Carmilah.
2.
Alla Asmara, SPt, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
3.
Tanti Novianti, S.P, M.Si dan Widyastutik, SE, M.Si selaku dosen penguji utama dan komisi pendidikan, yang telah memberi saran-saran dan ilmu yang bermanfaat.
4.
Spesial thanks to Eriza Kusumadewi yang terus memberikan semangat dan dorongan.
5.
Teman-teman seperjuangan selama kuliah, Yusuf, Angga Oktapriono, Nova Harry, Rifky, Hendra, Agung, Zainul, Ryan dan Erik serta seluruh temanteman Ilmu Ekonomi A’40 & A’41.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih banyak kekurangan. Dengan kerendahan hati, penulis meminta maaf dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi perbaikan penulis. Semoga hasil dari skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bogor, Juli 2009
Dadan Hudaya H14103074
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL.......................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
vii
I. PENDAHULUAN..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang................................................................................
1
1.2. Permasalahan ..................................................................................
3
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................
5
1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 9 2.1. Kemiskinan....................................................................................
6
2.1.1. Definisi Kemiskinan.............................................................
6
2.1.2. Ukuran-ukuran kemiskinan................................................... 10 2.1.3. Ciri-ciri Kemiskinan............................................................. 11 2.1.4. Faktor Penyebab Kemiskinan ............................................... 13 2.2. Penelitian Terdahulu ...................................................................... 17 2.3. Kerangka Pemikiran....................................................................... 19 2.4. Hipotesis Penelitian ....................................................................... 21 III. METODE PENELITIAN .................................................................... 22 3.1. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 22 3.2. Metode Analisis ............................................................................. 22 3.2.1. Analisis deskriftif ................................................................. 22 3.2.2. Analisis Panel Data .............................................................. 23 3.2.3. Pemilihan Model Data .......................................................... 30 3.2.3.1. Chow Test.............................................................. 31 3.2.3.2. Hausman Test ........................................................ 32 3.2.3.3. LM Test ................................................................. 33
ii
3.2.4. Evaluasi Model..................................................................... 34 3.2.4.1. Multikolinearitas.................................................... 34 3.2.4.2. Autokorelasi .......................................................... 35 3.2.4.3. Heteroskedastisitas................................................. 35 3.3. Model Umum Penelitian ................................................................ 36 IV. GAMBARAN UMUM......................................................................... 38 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan ......................................... 38 4.2. Keadaan Perekonomian................................................................. 39 4.3. Perkembangan Tingkat Kemiskinan .............................................. 40 4.4. Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka dan Angka Melek huruf ................................................................................ 41 4.5. Perkembangan Pembangunan Manusia dan Laju Inflasi ................ 42 4.6. Program Pengentasan Kemiskinan ................................................ 44 4.6.1. Program Beras Miskin .......................................................... 45 4.6.2. PNPM .................................................................................. 48 4.6.3. Program Bantuan Operasional Sekolah................................. 49 V. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 50 5.1. Gambaran Kemiskinan di Indonesia.................................................. 50 5.1.1. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin.............................. 50 5.1.2. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin ........................ 52 5.1.3. Indek Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan...................... 54 5.2. Hasil estimasi Model....................................................................... 61 5.3. Interpretasi Model........................................................................... 64 5.3.1. Tingkat Pengangguran Terbuka ............................................. 64 5.5.2. Pendapatan Perkapita ............................................................ 64 5.5.3. Angka Melek Huruf............................................................... 65 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 67 6.1. Kesimpulan..................................................................................... 67 6.2. Saran............................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 69 LAMPIRAN................................................................................................ 70
iii
iv
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1.
Produk Domestik Regional atas dasar harga konstan .........................
4
3.1.
Kerangka Identifikasi Autokorelasi ................................................... 35
4.1.
Indikator Perekonomian Indonesia .................................................... 40
4.2.
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin .......................................... 41
4.3.
Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka dan Angka Melek Huruf ..................................................................................... 42
4.4.
Perkembangan Pembangunan Manusia ............................................. 43
4.5.
Laju Inflasi Tahunan ......................................................................... 44
4.6.
Jumlah Rumah Tangga dan Pagu Alokasi raskin Nasional ................ 47
5.1.
Indek Kedalaman Kemiskinan .......................................................... 56
5.2.
Indek Keparahan Kemiskinan ........................................................... 60
5.3.
Hasil Estimasi Panel Data ................................................................. 62
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1.
Perkembangan Penduduk Miskin Nasional........................................ 3
2.1.
Kerangka Pemikiran.......................................................................... 20
3.1.
Pengujian Pemilihan Model .............................................................. 31
4.1.
Jumlah Penerima Raskin ................................................................... 46
5.1.
Jumlah Penduduk Miskin .................................................................. 52
5.2.
Persentase Penduduk Miskin............................................................. 54
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Tabel PDRB atas Dasar Harga Konstan ............................................ 68
2.
Tabel Jumlah Penduduk .................................................................... 69
3.
Tabel Angka Melek Huruf ................................................................ 70
4.
Tabel Hasil Estimasi Panel Data ....................................................... 71
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kemiskinan sering menjadi topik yang dibahas dan diperdebatkan dalam berbagai forum baik nasional maupun internasional, walaupun kemiskinan itu sendiri telah muncul ratusan tahun yang lalu. Kemiskinan merupakan suatu keadaan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan dalam berbagai keadaan hidup. Perkembangan kondisi kemiskinan di suatu negara secara ekonomis merupakan salah satu indikator untuk melihat perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, dengan semakin menurunnya tingkat
kemiskinan
yang
ada
maka
dapat
disimpulkan
meningkatnya
kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Kemiskinan, disamping pengangguran dan ketimpangan merupakan masalah klasik yang besar dan mendasar bagi sebagian besar negara sedang berkembang termasuk di Indonesia. Berbagai indikator dan parameter untuk mengukur tingkat kemiskinan dan menghitung jumlah penduduk miskin telah lama diformulasikan dan dikembangkan para pakar dalam bidang ilmu ekonomi dan sosial lainnya. Dalam mewujudkan tujuan negara, pemerintah secara terus menerus telah melakukan program pembangunan nasional. Dua sasaran utama yang selalu mendapat perhatian dalam program pembangunan nasional adalah pengentasan kemiskinan dan penurunan angka pengangguran. Pada masa pemerintahan orde baru, upaya pemerintah untuk menurunkan kemiskinan dan pengangguran dapat dikatakan cukup berhasil, namun setelah terjadinya krisis moneter pada tahun
2
1996 angka kemiskinan dan pengangguran meningkat kembali sehingga hasil kinerja
terhadap
dua
sasaran
pembangunan
tersebut,
hasilnya
belum
menggembirakan. Kemiskinan di Indonesia sampai saat ini masih terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan, bahkan sekarang ini dapat dikatakan semakin memprihatinkan bila dibandingkan dengan tahun–tahun sebelumnya. Berdasarkan Gambar 1.1 menunjukan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode 1976-2007 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 penduduk miskin sekitar 54,2 juta jiwa (sekitar 44,2 juta jiwa di perdesaan, dan sekitar 10 juta jiwa di perkotaan). Angka ini pada tahun 1980 berkurang hingga menjadi sekitar 42,3 juta jiwa (sekitar 32,8 juta jiwa di perkotaan, dan sekitar 9,5 juta jiwa di perdesaan), atau berkurang sekitar 21,95 persen dari tahun 1976. Pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin berkurang hingga menjadi sekitar 27,2 juta jiwa (sekitar 17,8 juta jiwa di perkotaan, dan sekitar 9,4 juta jiwa di perdesaan), atau berkurang sekitar 35,69 persen dari tahun 1980. Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan hingga mencapai sekitar 34,5 juta jiwa (sekitar 24,9 juta jiwa di perkotaan, dan sekitar 9,6 juta jiwa di perdesaan). Dibandingkan dengan tahun 1990, angka ini menurun sekitar 20,87 persen. Namun, pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin kembali meningkat hingga menjadi sekitar 38,4 juta jiwa. Sementara, pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin menurun hingga menjadi sekitar 37.17 juta jiwa. Fluktuasi jumlah penduduk miskin di Indonesia disebabkan karena terjadinya krisis ekonomi, pertambahan jumlah penduduk tiap tahun, pengaruh kebijakan pemerintah dan sebagainya.
3
60000 50000 40000
Kota
30000
Desa
20000
total
10000 0 19
76
19
80
19
84
19
90
19
96
19
99
20
01
20
03
20
05
20
07
Sumber : BPS, 2007
Gambar 1.1. Perkembangan Penduduk Miskin Nasional
1.2. Perumusan Masalah Tiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Demikian diamanatkan oleh UUD 1945 pada pasal 27 ayat (2). Dalam hal ini, berarti dengan dukungan sumber kekayaan yang melimpah, pemerintah bertanggungjawab terhadap masalah kesejahteraan masyarakat, salah satunya adalah masalah kemiskinan yang dialami oleh setiap warga negaranya. Namun pada kenyataannya tingkat pendidikan yang rendah, terjadinya gizi buruk, pengangguran serta kriminalitas yang tinggi menunjukan sebagian rakyat Indonesia masih tergolong hidup miskin. Tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah dapat dilihat dari pendapatan dan pertumbuhan ekonomi didaerah tersebut. Jika pendapatan dan pertumbuhan ekonomi meningkat maka tingkat kesejahteraan penduduk juga meningkat. Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa PDRB per provinsi di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun pada periode 20012004, hal ini menunjukan pertumbuhan ekonomi di Indonesia terus mengalami
4
peningkatan, namun peningkatan tersebut tidak selalu diiringi oleh penurunan tingkat kemiskinan secara signifikan (BPS, 2004). Hal itu dikarenakan pelaksanaan dan pemahaman pengentasan kemiskinan belum dipahami secara menyeluruh terkait dengan masalah kemiskinan, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan (Triliun Rupiah) dan Penduduk Miskin (Persen) menurut Provinsi
NAD Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Sumber: BPS, 2004
Persentase Penduduk Miskin
PDRB
Provinsi 2002 42,34 75,19 24,84 96,87 10,80 43,64 5,31 25,43 6,90 250,33 211,40 123,04 14,69 218,45 49,45 18,42 13,54 8,62 20,74 11,90 18,61 87,85 11,29 9,60 33,64 6,47 1,65 2,85 1,96 25,36
2003 44,68 78,81 26,15 99,85 11,34 45,25 5,60 26,90 7,72 263,63 221,63 129,17 15,36 228,88 51,96 19,08 14,07 9,02 21,38 12,49 19,48 89,48 11,65 10,20 35,41 6,96 1,77 2,97 2,03 25,63
2004 40,38 83,33 27,58 103,73 11,95 47,34 5,90 28,26 7,97 278,52 233,06 135,79 16,15 242,23 54,88 19,96 14,95 9,44 22,40 13,18 20,49 91,05 12,15 10,93 37,29 7,48 1,90 3,10 2,13 21,24
2002 20,09 13,60 13,34 7,40 19,04 22,62 25,60 22,42 9,98 3,42 13,62 20,50 16,17 18,90 6,47 5,72 34,10 21,49 17,47 7,45 6,76 5,17 4,66 20,04 7,16 10,69 22,94 12,76 13,17 9,76
2003 29,76 15,89 11,24 13,52 12,74 21,54 22,69 22,63 10,06 3,42 12,90 21,78 19,86 20,93 9,56 7,34 26,34 28,63 14,49 11,37 8,16 12,15 9,01 23,04 15,85 22,84 29,25 32,85 13,92 39,03
2004 28,47 14,93 10,46 13,12 12,45 20,92 22,39 22,22 9,07 3,18 12,10 21,11 19,14 20,08 8,58 6,85 25,38 27,86 13,91 10,44 7,19 11,57 8,94 21,69 14,90 21,90 29,01 32,13 12,42 38,69
5
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan analisis kesejahteraan masyarakat, adapun perumusan masalah lebih rinci adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran kemiskinan di Indonesia? 2. Faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan keadaan kemiskinan di Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi penulis, penelitian ini berguna dalam mengaplikasikan ilmu yang telah diterima selama perkuliahan. 2. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan sebagai sarana pembelajaran dalam menambah wawasan dan sebagai salah satu sumber informasi dan bahan untuk penelitian selanjutnya. 3. Bagi pembuat kebijakan yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan, penelitian ini diharapkan berguna dalam memberikan informasi serta menjadi bahan masukan untuk merumuskan berbagai kebijakan di masa yang akan datang.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kemiskinan Kemiskinan sering dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Kemiskinan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan
untuk
memenuhi
berbagai
kebutuhan
seperti
pangan,
perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Kemiskinan adalah suatu kondisi yang dialami seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi (BAPPENAS dalam BPS, 2002).
2.1. 1. Definisi Kemiskinan Menurut Suparlan (1984) kemiskinan merupakan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang terolong sebagai orang miskin. Menurut Saldanha (1998) persoalan kemiskinan mengandung enam masalah pokok, yaitu : 1.
Masalah kemiskinan adalah kerentanan. Pembangunan infrastruktur ekonomi dan pertanian dapat saja meningkatkan pendapatan petani dalam jumlah besar
7
yang memadai, akan tetapi kekeringan musim dua tahun berturut- turut akan dapat menurunkan tingkat hidupnya sampai titik yang terendah. 2. Kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja karena hubungan produksi di dalam masyarakat tidak memberi peluang bagi mereka untuk berpartisipasi dalam proses produksi, atau mereka terperangkap dalam hubungan produksi yang eksploitatif yang menuntut kerja keras dalam jam kerja panjang dengan imbalan rendah. Hal ini disebabkan oleh posisi tawar menawar mereka dalam struktur hubungan produksi amat lemah. Kemiskinan dengan demikian juga berarti hubungan dependensi kepada pemilik tanah, pimpinan proyek, elit desa dan sebagainya. 3. Kemiskinan adalah masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial menghadapi elit desa dan para birokrat yang menentukan keputusan menyangkut dirinya tanpa memberi ksempatan untuk mengaktualisasikan diri, ketidakberdayaan menghadapi penyakit dan kematian, kekumuhan dan kekotoran. 4. Kemiskinan juga berarti menghabiskan semua atau sebagian terbesar penghasilannya
untuk
konsumsi,
gizi
mereka
amat
rendah
yang
mengakibatkan produktivitas mereka rendah. 5. Kemiskinan juga ditandai oleh tingginya rasio ketergantungan, karena besarnya keluarga dan beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan berpengaruh peda rendahnya konsumsi yang akan mengganggu tingkat kecerdasan mereka sehingga di dalam kompetisi merebut peluang dan sumber
8
dalam masyarakat, anak-anak kaum miskin akan berada pada pihak yang lemah. 6. Kemiskinan juga terefleksikan dalam budaya kemiskinan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Menurut Sumodiningrat (1999) klasifikasi kemiskinan ada lima kelas, yaitu : 1. Kemiskinan Absolut Kemiskinan absolut selain dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup layak, juga ditentukan oleh tingkat pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin atau sering disebut dengan istilah garis kemiskinan. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, seperti pangan, sandang, kesehatan, papan dan pendidikan. Kemiskinan absolut merupakan kemiskinan yang tidak mengacu atau tidak didasarkan pada garis kemiskinan. Kemiskinan absolut adalah derajat dari kemiskinan dibawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi (Tambunan, 2006). 2. Kemiskinan Relatif Sekelompok orang dalam masyarakat dikatakan mengalami kemiskinan relatif apabila pendapatannya lebih rendah dibandingkan kelompok lain tanpa memperhatikan apakah mereka masuk dalam kategori miskin absolut atau tidak.
9
Penekanan dalam kemiskinan relatif adalah adanya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat antara yang kaya dan yang miskin atau dikenal dengan istilah ketimpangan distribusi pendapatan. Kemiskinan relatif untuk menunjukkan ketimpangan pendapatan berguna untuk mengukur ketimpangan pada suatu wilayah. Kemiskinan relatif juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan antar wilayah yang dilakukan pada suatu wilayah tertentu. Pengukuran relatif diukur berdasarkan tingkat pendapatan, ketimpangan sumberdaya alam serta sumberdaya manusia berupa kualitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan. 3. Kemiskinan Struktural Kemiskinan struktural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Alfian (1980) mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya. Kemiskinan struktural juga dapat diukur dari kurangnya perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi atau peraturan resmi yang mencegah seseorang memanfaatkan kesempatan yang ada.
10
4. Kemiskinan Kronis a.
Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif.
b.
Keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (daerah-daerah yang kritis akan sumberdaya alam dan daerah terpencil).
c.
Rendahnya derajat pendidikan dan perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar.
5. Kemiskinan Sementara Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya: 1) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, 2) perubahan yang bersifat musiman, dan 3) bencana alam atau dampak dari suatu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.
2.1.2. Ukuran Kemiskinan Menurut Sajogyo (1977) cara mengukur kemiskinan dengan pendekatan kemiskinan absolut adalah dengan memperhitungkan standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi (kalori dan protein) dengan mengungkapkan masalah garis kemiskinan dan tingkat pendapatan petani. Ada tiga golongan orang miskin yaitu golongan lapisan miskin yang mempunyai pendapatan perkapita per tahun beras sebanyak lebih dari 360 kg tetapi kurang dari 480 kg, golongan miskin sekali yang memiliki pendapatan perkapita per
11
tahun beras sebanyak 240-360 kg, dan lapisan paling miskin yang memiliki pendapatan perkapita per tahun beras sebanyak kurang dari 240 kg. Bank Dunia dalam BPS (2000) menetapkan bahwa seseorang dikatakan miskin apabila pendapatannya dibawah US $ 2 per hari. Badan Pusat Statistik (BPS) juga memberikan pemikiran untuk mengukur garis kemiskinan dengan cara menentukan berapa besar kalori minimum yang harus dipenuhi oleh setiap orang dalam sehari. Badan ini mengusulkan bahwa setiap orang harus memenuhi 2100 kalori setiap harinya. Jadi, 2100 kalori ini merupakan batas garis kemiskinan yang ditentukan oleh BPS dengan memperhitungkan kebutuhan non pangan seperti kebutuhan perumahan, bahan bakar, penerangan listrik, pendapatan air bersih serta jasa-jasa. Kemudian kriteriakriteria ini diubah dalam angka Rupiah. Garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS sendiri akan selalu mengalami penyesuaian, karena harga kebutuhan itu berubah (BPS, 2004).
2.1.3. Ciri-Ciri Kemiskinan Menurut Hartomo dan Aziz (1997) mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan memiliki beberapa ciri, yaitu : 1.
Mereka umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup, modal maupun keterampilan. Faktor produksi yang dimiliki sendiri sedikit sekali sehingga kemampuan memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas.
12
2.
Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan maupun modal usaha, sedangkan syarat tidak terpenuhi untuk memperoleh kredit perbankan seperti adanya jaminan kredit dan lain-lain, sehingga mereka yang perlu kredit terpaksa berpaling kepada “lintah darat” yang biasanya meminta syarat yang berat dan memungut biaya yang tinggi.
3.
Tingkat pendidikan mereka yang rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar. Waktu mereka habis tersisa untuk mencari nafkah sehingga tidak tersisa lagi untuk belajar. Anak-anak mereka tidak dapat menyelesaikan sekolah, karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan atau menjaga adik-adik di rumah, sehingga secara turun-temurun mereka terjerat dalam keterbelakangan garis kemiskinan.
4.
Kebanyakan mereka tinggal di perdesaan. Banyak diantara mereka tidak memiliki tanah, walaupun ada kecil sekali. Umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar petani, karena pertanian bekerja dengan musiman maka kesinambungan kerja kurang terjamin. Banyak diantara mereka kemudian bekerja sebagai “pekerja bebas”, berusaha apa saja. Dalam keadaan penawaran tenaga kerja yang besar maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka dibawah garis kemiskinan, di dorong dengan kesulitan hidup di desa maka banyak diantara mereka mencoba berusaha di kota.
5.
Kebanyakan diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan, sedangkan kota dibanyak
13
negara sedang berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desa. Apabila di negara-negara maju pertumbuhan industri menyertai urbanisasi dan pertumbuhan kota sebagai penarik bagi masyarakat desa untuk bekerja di kota, maka urbanisasi di negara berkembang tidak disertai proses penyerapan tenaga dalam perkembangan industri. Bahkan, sebaliknya perkembangan teknologi di kota justru menarik pekerjaan lebih banyak tenaga kerja, sehingga penduduk miskin yang pindah ke kota dalam kantong-kantong kemelaratan. Menurut Sumedi dan Supadi (2004) masyarakat miskin mempunyai beberapa ciri sebagai berikut 1) tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka, 2) tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada, 3) rendahnya kualitas SDM termasuk kesehatan, pendidikan, keterampilan yang berdampak pada rendahnya penghasilan, 4) terperangkap dalam rendahnya budaya kualitas SDM seperti rendahnya etos kerja, berpikir pendek dan fatalisme, 5) rendahnya pemilikan aset fisik termasuk aset lingkungan hidup seperti air bersih dan penerangan.
2.1.4. Faktor Penyebab Kemiskinan Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan menurut Hartomo dan Aziz (1997) yaitu : 1). Pendidikan yang Terlampau Rendah Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupannya. Keterbatasan
14
pendidikan atau keterampilan yang dimiliki seseorang menyebabkan keterbatasan kemampuan seseorang untuk masuk dalam dunia kerja. 2). Malas Bekerja Adanya sikap malas (bersikap pasif atau bersandar pada nasib) menyebabkan seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk bekerja. 3). Keterbatasan Sumber Alam Suatu masyarakat akan dilanda kemiskinan apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Hal ini sering dikatakan masyarakat itu miskin karena sumberdaya alamnya miskin. 4). Terbatasnya Lapangan Kerja Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal seseorang harus mampu menciptakan lapangan kerja baru sedangkan secara faktual hal tersebut sangat kecil kemungkinanya bagi masyarakat miskin karena keterbatasan modal dan keterampilan. 5). Keterbatasan Modal Seseorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat maupun bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh penghasilan. 6). Beban Keluarga Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha peningakatan pendapatan akan menimbulkan kemiskinan karena semakin banyak anggota keluarga akan semakin meningkat tuntutan atau beban untuk hidup yang harus dipenuhi.
15
Menurut Kartasasmita dalam Rahmawati (2006), kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, yaitu : 1.
Rendahnya Taraf Pendidikan Taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan meyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan seseorang untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
2.
Rendahnya Derajat Kesehatan Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa.
3.
Terbatasnya Lapangan Kerja Selain kondisi kemiskinan dan kesehatan yang rendah, kemiskinan juga diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan.
4.
Kondisi Keterisolasian Banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya. Menurut Suryadiningrat (2003), kemiskinan pada hakikatnya disebabkan
oleh kurangnya komitmen manusia terhadap norma dan nilai-nilai kebenaran
16
ajaran agama, kejujuran dan keadilan. Hal ini mengakibatkan terjadinya penganiayaan manusia terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain. Penganiayaan manusia terhadap diri sendiri tercermin dari adanya : 1) keengganan bekerja dan berusaha, 2) kebodohan, 3) motivasi rendah, 4) tidak memiliki rencana jangka panjang, 5) budaya kemiskinan, dan 6) pemahaman keliru terhadap kemiskinan. Sedangkan penganiayaan terhadap orang lain terlihat dari ketidakmampuan seseorang bekerja dan berusaha akibat : 1) ketidakpedulian orang mampu kepada orang yang memerlukan atau orang tidak mampu dan 2) kebijakan yang tidak memihak kepada orang miskin. Nasikun dalam Suryawati (2005) menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu : 1)
Pelestarian Proses Kemiskinan Proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan.
2)
Pola Produksi Kolonial Negara ekskoloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.
3)
Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan Adanya unsur manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
17
4)
Kemiskinan Terjadi Karena Siklus Alam. Misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.
5)
Peminggiran Kaum Perempuan Dalam hal ini perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
6)
Faktor Budaya dan Etnik Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan seperti, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.
2.2. Penelitian Terdahulu Dalam sub bab ini akan dibahas penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian mengenai kemiskinan. Penelitian Intania (2002) menunjukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan adalah 1) umur, 2) tingkat pendapatan, 3) jumlah beban keluarga, 4) pendapatan, 5) pengalaman, dan 6) pelayanan pengelolaan kegiatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pesanggem (orang yang menggarap lama) menurut Widyanti (2001) dalam penelitiannya tentang telaah terhadap partisipasi, pendapatan dan tingkat kemiskinan peserta program
18
perhutanan sosial, menunjukkan faktor-faktor tersebut adalah jenis mata pencaharian pesanggem, luas penguasaan lahan pesanggem, pola usaha tani pesanggem dan pendapatan rumah tangga pesanggem. Berdasarkan hasil penelitian Nur (2004) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi dalam proyek penanggulangan kemiskinan di perkotaan, didapatkan beberapa faktor-faktor yang berhubungan dengan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yaitu faktor internal, faktor eksternal, dukungan pemimpin formal, pendidikan formal, pengalaman berusaha dan motivasi anggota kelompok dengan tingkat pemecahan masalah yang dihadapinya, namun yang berhubungan nyata dengan pola komunikasi dalam kelompok P2KP adalah dukungan pemimpin formal. Penelitian Wiraswara (2005) menunjukan terdapat beberapa variabel yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Variabel-variabel tersebut antara lain angka melek huruf, keterjangkauan rumah tangga terhadap listrik, selain itu variabel dummy kabupaten/kota di Jawa juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Ketiga variabel ini menurut data tahun 2002 memiliki kemampuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinan lebih tinggi dari kabupaten/kota di luar Jawa dan persentase penduduk yang melek huruf kabupaten/kota di Jawa lebih rendah dari kabupaten/kota di luar Jawa. Kabupaten/kota di Jawa lebih unggul dalam persentase rumah tangga yang terjangkau listrik. Penelitian Nurhayati (2007) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat tahun 2004 dengan menggunakan model
19
ekonometrika persamaan simultan 2SLS menghasilkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pada taraf nyata 10 persen adalah pendapatan dan pendidikan. Penelitian
tentang
“Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Tingkat
Kemiskinan di Indonesia” memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya, perbedaan terletak pada daerah yang menjadi objek penelitian dimana dalam penelitian ini menggunakan data panel seluruh provinsi di Indonesia dan alat analisis yang digunakan, yaitu menggunakan analisis panel data.
2.3. Kerangka Pemikiran Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di Asia. Kemiskinan di Indonesia pada masa kini cukup meluas bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, alasan kemiskinan di Indonesia dapat dihubungkan dengan penduduknya yang terus bertambah dari tahun ke tahun, yaitu penduduk Indonesia mencapai 213,55 juta jiwa pada tahun 2003, meningkat menjadi 216,38 juta jiwa pada tahun 2004, dan semakin meningkat menjadi 219,85 juta jiwa pada tahun 2005. Pertumbuhan penduduk yang cepat menghendaki pemenuhan hidup yang meningkat pula, seiring dengan peningkatan pemenuhan kebutuhan hidup maka seharusnya tingkat pertumbuhan kesempatan kerja ditingkatkan juga. Dalam keadaan terbatasnya lapangan pekerjaan, maka akan sulit bagi sebagian angkatan kerja untuk memperoleh pekerjaan. Keadaan kesulitan memperoleh pekerjaan ini dengan sendirinya akan menyebabkan tingkat pengangguran meningkat yang pada
20
akhirnya dapat menyebabkan kemiskinan. Penelitian ini menduga bahwa tingkat prndapatan, pendidikan dan pengangguran mempengaruhi kemiskinan.
Keadaan masyarakat di Indonesia Laju pertumbuhan penduduk yang cepat Pemenuhan kebutuhan hidup
Tingkat kemiskinan
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan
Pendapatan
Pendidikan
Pengangguran
Analisis panel data Rekomendasi kebijakan dalam rangka program penanggulangan kemiskinan Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Pengangguran
21
2.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah : 1.
Tingkat pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan, semakin banyak masyarakat yang berpendidikan maka tingkat kemiskinan yang terjadi akan semakin rendah.
2.
Pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan, semakin besar jumlah pendapatan maka tingkat kemiskinan akan semakin rendah.
3.
Tingkat pengangguran berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan, semakin besar jumlah pengangguran maka tingkat kemiskinan akan semakin tinggi.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang diperlukan meliputi: 1) persentase dan jumlah penduduk miskin menurut provinsi, 2) angka melek huruf, 3) tingkat pengangguran serta berbagai macam data sekunder lainnya yang diambil dari berbagai sumber. Sumber data diperoleh dari: 1) Badan Pusat Statistik (BPS), dan 2) publikasi beberapa penelitian terdahulu. Periode analisis pada penelitian ini adalah tahun 2002 sampai dengan tahun 2006.
3.2. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis gambaran kemiskinan di Indonesia dilakukan dengan deskriptif, sedangkan untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia digunakan analisis panel data. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2003 dan E-Views 5.1.
3.2.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dalam penelitian ini meliputi keadaan penduduk miskin di Indonesia yang diukur dengan Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan. Indeks Kedalaman Kemiskinan adalah kesenjangan atau gap antara
23
pendapatan penduduk miskin dengan garis kemiskinan, yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
P
1 q z yi n i 1 z
Dimana :
= 0, 1, 2, Z = Garis Kemiskinan. yi = Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i = 1, 2,....q), yi < z. Q =
Banyaknya penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan
n =
Jumlah penduduk. Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan merupakan kesenjangan
diantara penduduk miskin, yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: n
GR 1 fpi * [ Fci Fci 1] i 1
dimana : GR = Gini Ratio fpi
= frekuensi penduduk di kelas pengeluaran ke-i
Fci
= frekuensi kumulatif jumlah pengeluaran di kelas pengeluaran ke-i
Fci-1 = frekuensi kumulatif jumlah pengeluaran di kelas pengeluaran ke-(i-1)
3.2.2. Analisis Panel Data Dalam melakukan sebuah penelitian, banyaknya data merupakan salah satu syarat agar penelitian tersebut dapat mewakili perilaku dari model yang
24
dikehendaki. Masalah keterbatasan data dalam sebuah penelitian merupakan hal yang sering dialami oleh para peneliti, terkadang dalam penelitian yang menggunakan data series, data yang tersedia terlalu pendek sehingga pengolahan data time series tidak dapat dilakukan. Begitu pula dengan pengolahan data cross section, terkadang jumlah unit data yang dibutuhkan terbatas. Persoalan keterbatasan data seperti itu, dalam ekonometrika dapat diatasi dengan menggunakan analisis panel data (pooled data). Analisis panel data secara umum dapat didefinisikan sebagai analisis satu kelompok variabel yang tidak saja mempunyai keragaan (dimensi) dalam time series tetapi juga dalam cross section. Analisis panel data adalah subyek dari salah satu bentuk yang cukup aktif dan inovatif dalam literatur ekonometrik. Hal ini dikarenakan metode analisis data panel menyediakan informasi yang cukup kaya untuk perkembangan teknik estimasi dan hasil teori. Dalam bentuk praktis, penggunaan data time series dan cross section untuk menganalisis masalah yang tidak bisa diatasi jika hanya menggunakan salah satu metode saja. Ada beberapa keuntungan dari penggunaan panel data. Menurut Baltagi (1995), penggunaan panel data telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Manfaat dari penggunaan data panel antara lain : 1. Memberikan data yang informatif, lebih bervariasi, menambah derajat bebas, lebih efisien dan mengurangi kolinieritas antar variabel.
25
2. Memungkinkan analisis terhadap sejumlah permasalahan ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab oleh analisis data runtun waktu atau kerat lintang saja. 3. Memperhitungkan derajat heterogenitas yang lebih besar yang menjadi karakteristik dari individual antar waktu. 4. Adanya fleksibilitas yang lebih tinggi dalam memodelkan perbedaan perilaku antar individu dibandingkan data kerat lintang. 5. Dapat menjelaskan dynamic adjustment secara lebih baik. Model umum analisis regresi panel data dapat diformulasikan sebagai berikut: y i ,t xi ,t u i ,t ............................................................................... (3.1)
Dimana u i ,t ~ IID(0, 2 ) dan i = 1,2,3,...,N adalah jumlah observasi antar individu sementara t = 1,2,3,...,T adalah observasi runtut waktu. Dalam persamaan (3.9), intersep () dan slope () diasumsikan homogenous diantara seluruh N individu dan T runtut waktu. Namun kondisi ini tidak selamanya sesuai dengan kerangka ekonomi yang akan dianalisis. Ketidaksesuaian ini dimungkinkan atas dua kemungkinan, yaitu: 1. Suatu kondisi dimana intersep dalam model bersifat heterogen ( i j ) sementara slopenya homogen ( i j ) . 2. Suatu kondisi dimana intersep dalam model bersifat heterogen ( i j ) demikian pula slopenya ( i j ) .
26
Dari kedua hal tersebut di atas, model estimasi data panel dapat diekspresikan dalam sejumlah bentuk. Jadi terdapat empat macam model estimasi data panel yang dapat digunakan: 1. Apabila diasumsikan bahwa intersep bervariasi antar individu sementara slope bersifat konstan, maka persamaan (3.1) akan menjadi: yi ,t i xi ,t ui ,t ................................................................(3.2)
2. Apabila diasumsikan bahwa intersep bervariasi antar individu dan antar waktu sementara slope bersifat konstan, maka persamaan (3.1) akan menjadi: yi ,t i ,t xi ,t ui ,t ...............................................................(3.3)
3. Apabila diasumsikan bahwa intersep dan slope bervariasi antar individu tetapi konstan antar waktu, maka persamaan (3.1) akan menjadi: yi ,t i i xi ,t ui ,t ...............................................................(3.4)
4. Apabila diasumsikan bahwa intersep dan bervariasi antar individu dan antar waktu, maka persamaan (3.1) akan menjadi: yi ,t i ,t i ,t xi ,t ui ,t ............................................................(3.5)
Berdasarkan keempat model tersebut koefisien () dan () diasumsikan tertentu (fixed). Klasifikasi lainnya adalah ketika diasumsikan bahwa parameterparameter ini diasumsikan random generating dan disebut sebagai random coefficient models. Selain itu dari keempat model di atas, jika asumsi homogenitas baik pada intersep maupun slope ditolak, maka heterogenitas antar individu akan tercermin pada salah satu atau lebih persamaan (3.2) hingga persamaan (3.5).
27
Tujuan dari penentuan model yang sesuai adalah untuk menghilangkan bias dari variabel-variabel yang digunakan dalam model. Bias yang diakibatkan pengabaian heterogenitas dari koefisien-koefisien estimasi disebut juga sebagai heterogenity bias.
Mengabaikan
heterogenitas
baik
intersep
maupun
slope
dapat
mengakibatkan hasil estimasi yang tidak konsisten dan meaningless. Penentuan model analisis data panel dalam rangka menghilangkan heterogenity bias dapat dilakukan dengan plotting variabel dependen terhadap variabel independen. Analisis plotting ini berfungsi sebagai mekanisme identifikasi model yang sesuai dalam analisis data panel. Sementara itu untuk menguji terjadi atau tidaknya heterogenity bias dapat dilakukan uji hipotesis heterogenitas. Uji dilakukan dengan mengestimasi persamaan (3.4) dimana diasumsikan slope bersifat homogen antar individu. Kemudian uji hipotesis dilakukan terhadap: H 0 : 1 2 ... N H a : i j untuk i j
dimana : i = 1, ..., N j = 1, ..., N Uji hipotesis di atas dapat dilakukan dengan mekanisme Wald-test. Jika pengujian tidak menolak hipotesis nol, maka koefisien indifidual bersifat random dan identik dengan rata-ratanya. Dalam hal ini, estimasi dilakukan pada model yang mengasumsikan slope bersifat homogen seperti pada persamaan (3.1) sampai (3.2).
28
Terdapat beberapa asumsi dasar yang melandasi penentuan model data panel. Asumsi dasar ini ditentukan oleh conditionality dari variabel bebas (xi,t) yang digunakan dalam model data panel itu sendiri. Asumsi dasar dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Individual-varying time-invariant, dimana nilai variabel (baik kuantitatif maupun kualitatif) yang sama untuk sebuah unit kerat lintang sepanjang waktu namun berbeda antar unit kerat lintang. Contohnya adalah jenis kelamin, latar belakang sosioekonomi dan sebagainya. 2. Period-varying individual-invariant, dimana nilai variabel (baik kuantitatif maupun kualitatif) sama untuk semua unit kerat lintang namun berubah menurut runtun waktu. Contohnya adalah tingkat bunga. 3. Individual time-varying variables, dimana nilai variabel (baik kuantitatif maupun kualitatif) bervariasi antar unit kerat lintang dan waktu. Contohnya adalah keuntungan perusahaan, tingkat penjualan. Berdasarkan pemilihan model tersebut di atas kemudian akan menentukan metode estimasi dari model panel panel yang dipilih. Terdapat tiga metode dalam mengestimasi data panel, yaitu: 1.
Pooled Least Square (PLS) Dalam metode ini terdapat (K) regressor dalam ( xit ) , kecuali konstanta.
Metode ini juga dikenal sebagai Common Effect Model (CEM). Jika efek individual ( i ) konstan sepanjang waktu (t) dan spesifik terhadap setiap unit (i) maka modelnya akan sama dengan model regresi biasa. Jika nilai ( i ) sama untuk
29
setiap unitnya, maka OLS akan menghasilkan estimasi yang konsisten dan efisien untuk () dan (). Oleh karena itu, metode ini dapat digunakan dalam mengestimasi persamaan (3.2). Metode ini sederhana namun hasilnya tidak memadai karena setiap observasi diperlakukan seperti observasi yang berdiri sendiri. 2.
Fixed Effects Model (FEM) Model ini menggunakan semacam peubah boneka untuk memungkinkan
perubahan-perubahan dalam intersep-intersep kerat lintang dan runtut waktu akibat adanya peubah-peubah yang dihilangkan. Intersep hanya bervariasi terhadap individu namun konstan terhadap waktu sedangkan slopenya konstan baik terhadap individu maupun waktu. Jadi i adalah sebuah grup dari spesifik nilai konstan pada model regresi. Formulasi umum model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar unit dapat diketahui dari perbedaan nilai konstantanya. Kelemahan model efek tetap adalah penggunaan jumlah derajat kebebasan yang banyak
serta
penggunaan
peubah
boneka
tidak
secara
langsung
mengidentifikasikan apa yang menyebabkan garis regresi bergeser lintas waktu dan lintas individu. Modelnya ditulis sebagai y i i xi i . 3.
Random Effects Models (REM) Intersepnya bervariasi terhadap individu dan waktu namun slopnya
konstan terhadap individu maupun waktu. Jadi ( i ) adalah sebuah grup dari gangguan khusus, mirip seperti ( it ) kecuali untuk setiap grup ada nilai khusus yang masuk dalam regresi secara identik untuk setiap periode. Nilai ( i )
30
terdistribusi secara acak pada unit-unit kerat lintang. Metode ini juga dikenal sebagai variance components estimation. Model ini meningkatkan efisiensi proses pendugaan kuadrat terkecil dengan memperhitungkan pengganggu-pengganggu kerat lintang dan deret waktu. Model estimasinya yang digunakan adalah y it i ' xit i it dengan ( i ) adalah nilai gangguan acak pada observasi
(i) dan konstan sepanjang waktu. Berdasarkan penjabaran metode estimasi di atas dapat dikatakan bahwa FEM digunakan atas asumsi bahwa dampak dari gangguan mempunyai pengaruh yang tetap (dianggap sebagai bagian dari intersep). Sedangkan REM digunakan atas asumsi bahwa gangguan diasumsikan bersifat acak. Penentuan model atas pertimbangan perilaku dari gangguan yang bersifat tetap atau acak pada individu (i) akan berpengaruh terhadap bias dari hasil estimasi. Bias yang terjadi akibat kesalahan menentukan model berdasarkan perilaku gangguannya disebut dengan selectivity bias.
3.2.3. Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Diagram pengujian statistik untuk memilih model yang digunakan dapat diperlihatkan pada Gambar 3.1. berikut ini:
31
Pooled Least Square
Chow Test
LM Test
Fixed Effects Model
Hausman Tast
Random Effects Models
TESTTest
Sumber: Baltagi, 1995
Gambar 3.1. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel 3.2.3.1. Chow Test Chow Test (uji F-statistik) adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect. Sebagaimana yang diketahui bahwa terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0 : Model Pooled Least Square H1 : Model Fixed Effect
32
Dasar penolakan terhadap Hipotesa Nol (H0) adalah dengan menggunakan Fstatistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:
ESS1 ESS 2 CHOW =
ESS 2
N 1
NT N K
....................................................(3.6)
Dimana:
ESS1 = Residual Sum Square hasil pendugaan model pooled least square ESS 2 = Residual Sum Square hasil pendugaan model fixed effect N
= Jumlah data cross section
T
= Jumlah data time series
K
= Jumlah variabel penjelas Statistik Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas
N 1, NT N K
jika nilai CHOW statistics (F-stat) hasil pengujian lebih
besar dari F-Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penerimaan terhadap Hipotesa Nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu juga sebaliknya. Pengujian ini disebut sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan Chow Test yang digunakan untuk menguji stabilitas parameter (stability test).
3.2.3.2. Hausman Test Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect. Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model fixed effect mengandung suatu unsur trade-off yaitu hilangnya derajat bebas dengan memasukan variabel dummy.
33
Namun, penggunaan metode random effect juga harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Hausman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0 : Model Fixed Effect H1 : Model Random Effect Sebagai dasar penolakan Hipotesa Nol maka digunakan Statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: m = b M 0 M 1
1
b
~ 2 K ......................................(3.7)
Dimana adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, M 0 adalah matriks kovarians untuk dugaan fixed effect model dan M 1 adalah matriks kovarians untuk dugaan random effect model. Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari 2 - Tabel, atau nilai hausman test lebih besar dari taraf nyata maka cukup bukti untuk melakukan penerimaan terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu pula sebaliknya.
3.2.3.3. LM Test LM Test atau lengkapnya The Breusch-Pagan LM Test digunakan sebagai pertimbangan statistik dalam memilih model Random Effect atau Pooled Least Square. LM Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0 : Model Pooled Least Square
34
H1 : Model Random Effect Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan statistik LM yang mengikuti distribusi dari Chi-Square. Statistik LM dihitung dengan menggunakan residual OLS yang diperoleh dari hasil estimasi model Pooled, dimana: 2
2 2 NT T i ~2 LM 1 2 2T 1 it
(3.8)
Jika nilai LM hasil perhitungan lebih besar dari 2 - Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol, sehingga model yang digunakan adalah model random effect, dan begitu pula sebaliknya.
3.2.4. Evaluasi Model 3.2.4.1. Multikolinearitas Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil t dan F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t-statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil F-hitung signifikan, maka patut diduga adanya multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan menghilangkan variabel yang tidak signifikan.
35
3.2.4.2. Autokorelasi Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin-Watson (DW) dalam Eviews. Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistik dengan DW-tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi Nilai DW DW < dl dl < DW < du du < DW < 4-du 4-du < DW < 4-dl DW < 4-dl
Hasil Tolak H0, korelasi serial positif Hasil tidak dapat ditentukan Terima H0, tidak ada korelasi positif atau negatif Hasil tidak dapat ditentukan Tolak H0, korelasi serial negatif
Sumber : Nachrowi (2006)
Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi. Pada analisis seperti yang dilakukan dalam model, jika ditemukan korelasi serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Perlakuan untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR (1) atau AR (2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model regresi yang di gunakan.
3.2.4.3. Heteroskedastisitas Dalam regresi linear ganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut BLUE adalah Var (ui) = 2 (konstan),
36
semua varian mempunyai variasi yang sama. Pada umumnya, heteroskedastisitas diperolah pada data cross section. Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka pada hasil regresi akan terjadi “misleading” (Gujarati, 1995). Untuk menguji adanya pelanggaran asumsi Heteroskedastisitas, digunakan uji White-heteroskedasticity yang diperoleh dalam program Eviews. Dengan uji white, membandingkan Obs* R-Squared dengan 2 (Chi-Squared) tabel, jika
2 -tabel maka tidak ada
nilai Obs* R-Squared lebih kecil daripada
heteroskedastisitas pada model. Dalam pengolahan data panel dalam Eviews 4.1 yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights), maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Squared Resid Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistics < Sum Squared Resid Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Perlakuan untuk pelanggaran tersebut adalah dengan mengestimasi GLS dengan
White
Heteroscedasticity.
3.3. Model Umum Penelitian Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
tkm
i ,t
1 amh
it
2
pp
it
3 tpt
it
...........................(3.9)
37
Dimana : tkm
= Tingkat kemiskinan (Jiwa)
tpt
= Tingkat pengangguran terbuka (Persen)
pp
= Pendapatan perkapita (Rupiah)
amh
= Angka melek huruf (Persen)
α
= Intersep
β
= Slope
i
= Individu ke-i
t
= Periode waktu ke-t
ε
= Error/simpangan
Tingkat kemiskinan merupakan jumlah penduduk yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan sesuai dengan standar yang ditetapkan BPS. Tingkat pengangguran terbuka meliputi penduduk yang mecari pekerjaan, penduduk yang mempersiapkan usaha, penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan dan penduduk yang sudah memiliki pekerjaan tapi belum mulai bekerja. Pendapatan perkapita merupakan upah/gaji atau jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut didalam produksi disuatu wilayah pada jangka waktu tertentu dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Angka melek huruf Penduduk yang memiliki kemampuan baca tulis.
IV. GAMBARAN UMUM
4.1.
Keadaan Geografis dan Kependudukan Indonesia terdiri dari beberapa pulau dan kepulauan dengan luas wilayah
daratan 1.860.359,67 kilometer persegi. Provinsi Papua mempunyai luas wilayah daratan paling besar ( 309.934,40 kilometer persegi) atau 26,66 persen dari luas Indonesia, sementara Provinsi DI Yogyakarta memiliki luas daratan paling kecil (3.133,15 kilometer persegi) atau 0,17 persen dari luas wilayah Indonesia. Daerah administrasi di Indonesia untuk periode 2002-2006 mengalami pemekaran, yaitu pada tahun 2002 Indonesia memiliki 30 provinsi, 268 kabupaten, 89 kota dan, 4.885 kecamatan serta 70.460 kelurahan. Pada tahun 2006 menjadi 33 provinsi, 349 kabupaten, 91 kota dan, 5.656 kecamatan serta, 71563 kelurahan. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Indonesia cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 penduduk Indonesia berjumlah 205.132.000 jiwa menjadi 222.192.000 jiwa pada tahun 2006 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,34 persen dan dengan kepadatan penduduk sebesar 18 jiwa per kilometer persegi. Jumlah penduduk terbesar berada
di
Provinsi Jawa Barat sebesar 39.649.000 jiwa, sementara Provinsi Maluku Utara memiliki jumlah penduduk terkecil yaitu 919 jiwa. Kepadatan terbesar berada di Provinsi DKI Jakarta 13.449 jiwa per kilometer persegi, sementara yang terjarang adalah Provinsi Papua dengan 8 jiwa per kilometer persegi.
39
4.2. Keadaan Perekonomian Pertumbuhan ekonomi di indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dengan memasukan sektor migas maupun non migas. Pada tahun 2006 persentase pertumbuhan ekonomi mencapai sebesar 5,5 persen dengan memasukan sektor migas dan 6.1 persen tanpa sektor migas, hal ini menunjukan persentase pertumbuhan ekonomi di indonesia mengalami peningkatan sebesar 1,9 persen dengan sektor migas, dan 1,2 persen tanpa memasukan sektor migas dari tahun 2002. Sedangkan untuk nilai tukar Rupiah Indonesia terhadap USD berfluktuasi dari tahu ke tahun. Pada tahun 2002 nilai tukar Rupiah sebesar 9318 Rp/USD menurun menjadi 8593 Rp/USD pada tahun 2003, kemudian meningkat kembali sebesar 347 menjadi 8940
Rp/USD pada tahun 2005 dan menurn kembali
menjadi 9050 Rp/USD pada tahun 2006. Selanjutnya, untuk cadangan devisa Indonesia mengalami peningkatan secara terus menerus dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2002 cadangan devisa hanya sebesar 32 (USD milyar) meningkat menjadi 36,6 pada tahun 2003 dan meningkat hingga mencapai 42,6 (USD Milyar) pada tahun 2006 (USD milyar). Persentase defisit anggaran terhadap PDB pada tahun 2002 sebesar 1,3 persen meningkat menjadi 1,7 persen pada tahun 2003 dan menurun menjadi 0,5 persen pada tahun 2005 kemudian meningkat kembali menjadi 0,9 persen pada tahun 2006.
40
Tabel 4.1 Indikator Perekonomian Indonesai Tahun 2002-2006 Tahun No Indikator Ekonomi 2002 2003 2004 2005 2006 1 Pertumbuhan Ekonomi migas(%) 4,5 4,8 5,0 5,7 5,5 2 Pertumbuhan Ekonomi non migas (%) 5,2 5,7 6,0 6,6 6,1 3 Nilai Tukar Rupiah (Rp/USD) 9318 8593 8940 9713 9050 4 Cadangan Devisa (USD Milyar) 32 36,6 36,3 34,7 4,.6 5 Defisit anggaran (%thd PDB) 1,3 1,7 1,3 0,5 0,9 Sumber : Bappenas, 2007
4.3.
Perkembangan Tingkat Kemiskinan Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 2002-2006 di
Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 sekitar 38,40 juta jiwa (sekitar 25,10 juta jiwa di perdesaan, dan sekitar 13,30 juta jiwa di perkotaan). Angka ini pada tahun 2003 berkurang hingga menjadi sekitar 37,30 juta jiwa, penurunan hanya terjadi di perkotaan
yaitu
menurun menjadi 12,20 juta jiwa, sedangkan di perdesaan tidak mengalami penurunan. Pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sekitar 1,2 juta jiwa yaitu berkurang hingga menjadi 36,10 juta jiwa (sekitar 11,40 juta jiwa di perkotaan, dan sekitar 24,80 juta jiwa di perdesaan), atau berkurang sekitar sekitar 1,54 persen dari tahun 2002. Pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan hingga menjadi 35,10 juta jiwa penurunan hanya terjadi di perdesaan yaitu menurun sebesat 2,1 juta jiwa sedangkan di perkotaan meningkat sekitar 1,0 juta jiwa dari tahun 2004. Pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan hingga mencapai 39,30 juta jiwa, peningkatan terjadi di perkotaan dan perdesasan (sekitar 14,49 juta jiwa di
41
perkotaan, dan sekitar 39,30 di perdesaan). Dibandingkan dengan tahun 2002, jumlah penduduk miskin meningkat sekitar 0.9 juta jiwa. Tabel 4.2 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2002-2006 Penduduk miskin (juta Jiwa) % Penduduk miskin Tahun Kota Desa Total Kota Desa Total 2002 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 35,56 2003 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 33,80 2004 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 32,24 2005 12,40 22,70 35,10 11,37 19,51 30,88 2006 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 35,28 Sumber : BPS, 2007
4.4.
Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka dan Angka Melek Huruf Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia cenderung mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. pada tahun 2002 tingkat pengangguran terbuka di Indonesia sebesar 9,1 persen. Angka ini meningkat sebesar 0,2 persen dari 9,7 persen pada tahun 2003 menjadi 9,9 persen pada tahun 2004, kemudian seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi tingkat pengangguran terbuka juga meningkat hingga mencapai 11,2 persen pada tahun 2005 dan menurun kembali menjadi 10,3 persen pada tahun 2006.
Selanjutnya, untuk angka melek huruf di Indonesia cenderung mengalami peningkatan secara terus menerus dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2002 angka melek huruf hanya sebesar 91,11 persen, meningkat menjadi 91,21 persen pada tahun 2003 dan meningkat hingga mencapai 92,45 persen pada tahun 2005 dan merun kembali pada tahun 2006 hingga menjadi 91,45. Angka melek huruf ini lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 2004.
42
Tabel 4.3 Perkembangan Angka Melek Huruf, dan Tingkat Pengangguran Terbuka 2002-2006 Tahun Angka Melek Huruf (%) Tingkat Pengangguran terbuka (%) 2002 91,11 9,1 2003 91,21 9,7 2004 91,79 9,9 2005 92,39 11,2 2006 91,45 10,3 Sumber : BPS, 2007
4.5.
Perkembangan Pembangunan Manusia dan Laju Inflasi Berdasarkan
data
IPM
(Indeks
Pembangunan
Manusia)
kualitas
sumberdaya manusia di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 Indek Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 65,8 meningkat menjadi 67,33 pada tahun 2003 (BPS, 2007). Pada tahun 2004 IPM di Indonesia meningkat sebesar 0,3 yaitu menjadi 68.7. Pada tahun 2005 meningkat menjadi 69,6 dan pada tahun 2006 meningkat menjadi sebesar 70,1. Indeks Pembangunan Manusia tertinggi pada periode 2002-2006 terjadi di propinsi DKI Jakarta. Sedangkan Indks Pembangunan Manusia terendah terjadi di propinsi NTB untuk tahun 2002 dan 2004, untuk tahun 2005 dan 2006 Indeks pembangunan manusia terendah terjadi di propinsi Papua.
43
Tabel 4.4 Perkembangan Indek Pembangunan Manusia Tahun IPM 2002 65,8 2003 67,3 2004 68,7 2005 69,6 2006 70,1 Sumber : BPS, 2007
Laju inflasi di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 tercatat laju inflasi tahunan Indonesia sebesar 5,33 persen, laju inflasi meningkat menjadi 6,18 persen pada tahun 2004. Pada tahun 2005 laju inflasi meningkat sebesar 12,2 persen yaitu menjadi 18,38 persen. Pada bulan Oktober 2006 terjadi inflasi 0,86 persen. Dari 45 kota tercatat 41 kota mengalami inflasi dan 4 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Ternate 2,98 persen dan inflasi terendah di Balikpapan srbesar 0,02 persen. Sedangkan deflasi terbesar di Kendari sebesar 0,66 persen, dan deflasi terkecil di Palu 0,06 persen, sedangkan laju inflasi tahunan di Indonesia tahun 2006 menurun sebesar 12,09 persen menjadi 6.29 persen. Pada bulan november 2007 terjadi inflasi sebesar 0.18 persen, dari 45 kota tercatat 32 kota mengalami inflasi dan 13 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Manado 2,01 persen dan inflasi terendah di Balikpapan 0,04 persen. Sedangkan deflasi terbesar terjadi di Makassar 1,74 persen dan terkecil di Jayapura 0,03 persen. Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks pada kelompok barang dan jasa sebagai berikut: kelompok bahan makanan 0,04 persen, kelompok makanan jadi, minuman, rokok & tembakau 0,43 persen, kelompok perumahan, air, listrik, gas & bahan bakar
44
0,12 persen, kelompok sandang 1,66 persen, kelompok kesehatan 0,26 persen, kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,11 persen. Sedangkan kelompok transpor, komunikasi & jasa keuangan mengalami deflasi 0,27 persen. Sedangkan laju infalasi tahunan di indonesia pada tahun 2007 menurun sebesar 0.42 persen yaitu menjadi menjadi 6,71 persen. Tabel 4.5 laju inflasi Tahunan Tahun 2003 2004 2005 2006
Laju Inflasi 5,33 6,18 18,38 6,29
Sumber : BPS, 2007
4.6. Program Pengentasan Kemiskinan
Sudah sejak lama kemiskinan dipercaya sebagai sumber utama kesusahan di masyarakat, seperti munculnya penyakit, keterbelakangan mental, kekurangan nutrisi, bahkan terjadinya konflik. Tak mengherankan jika dengan semakin berkembangnya peradaban manusia, dan semakin meningkatnya kesadaran manusia akan pentingnya kesamaan harkat dan martabat manusia, telah menjadikan fenomena kemiskinan sebagai suatu permasalahan yang banyak mendapatkan perhatian lebih. Berbagai telaah dalam ilmu sosial dan juga ekonomi banyak dilakukan, terutama untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep kemiskinan dan penyelesaian yang benar-benar efektif dalam mengatasi masalah tersebut.
45
Pemerintah
Indonesia
dalam
upayanya
mengentaskan
kemiskinan
melakukan beberapa langkah, diantaranya program Beras Miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Pemberdayaan Nasional Mandiri (PNPM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
4.6.1. Program Beras Miskin (Raskin) Program Beras Miskin (Raskin) pada dasarnya merupakan kelanjutan dari program Operasi Pasar Khusus (OPK) yang diluncurkan pada Juli 1998 di bawah program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Selama sembilan tahun pelaksanaan program, berbagai pihak telah melakukan evaluasi dan hasilnya telah memberikan input bagi perbaikan konsep dan pelaksanaan program. Beberapa penyesuaian yang telah dilakukan antara lain meliputi perubahan nama, jumlah beras per rumah tangga, frekuensi distribusi, sumber dan jenis data sasaran penerima manfaat, dan penyediaan lembaga pendamping.
Pada 2002, pemerintah mengganti nama OPK menjadi Raskin agar lebih mencerminkan sifat program, yakni sebagai bagian dari program perlindungan sosial bagi Rumah Tangga Miskin (RTM), tidak lagi sebagai program darurat penanggulangan dampak krisis ekonomi. Penetapan jumlah beras per bulan per RTM yang pada awalnya 10 kg, selama beberapa tahun berikutnya bervariasi dari 10 hingga 20 kg, dan pada 2007 kembali menjadi 10 kg. Frekuensi distribusi yang pada tahun-tahun sebelumnya 12 kali, pada 2006 berkurang menjadi 10 kali, dan pada 2007 kembali menjadi 12 kali per tahun. Sasaran penerima manfaat yang
46
sebelumnya menggunakan data keluarga prasejahtera (KPS) dan keluarga sejahtera 1 (KS-1) alasan ekonomi hasil pendataan BKKBN, sejak 2006 berubah menggunakan data RTM hasil pendataan BPS melalui PSE-05.2. Selain itu, dalam rangka meningkatkan kinerja pelaksanaan program, pada 2005 dan 2006 Bulog melakukan kerja sama dengan 10 perguruan tinggi negeri untuk memberikan pendampingan terhadap pelaksanaan Raskin di 12 provinsi. Menurut data Susenas 2002–2006, persentase penerima Raskin dari seluruh rumah tangga di Indonesia berfluktuasi pada kisaran 36 persen–45 persen. Di Sumatera Barat, persentase penerima Raskin berkisar antara 11 persen–24 persen, di Jawa Timur 41 persen–53 persen, dan di Sulawesi Tenggara 35 persen– 59persen (Gambar 4.1). Kondisi tersebut sesuai dengan proporsi RTM di wilayah bersangkutan.
Gambar 4.1. Jumlah Penerima Raskin Penetapan pagu alokasi nasional didasarkan pada ketersediaan anggaran subsidi dan data sasaran penerima. Pagu alokasi nasional dialokasikan untuk masing-masing
provinsi
berdasarkan
data
sasaran
penerima
dengan
47
mempertimbangkan usulan pemda. Selanjutnya, pemda provinsi menetapkan alokasi untuk setiap kabupaten/kota dan pemda kabupaten/kota menetapkan alokasi untuk setiap kecamatan dan desa/kelurahan yang dibawahinya. Semua pembagian tersebut ditetapkan secara proporsional dengan data sasaran penerima di masing-masing wilayah. Sejak awal pelaksanaan OPK hingga 2005, sasaran penerima manfaat menggunakan data keluarga pra sejahtera (Pra-KS) dan keluarga sejahtera-1 (KS-1) alasan ekonomi hasil pendataan BKKBN, namun sejak 2006 menggunakan data rumah tangga miskin (RTM) hasil pendataan BPS. Tabel 4.6. Jumlah Rumah Tangga dan Pagu Alokasi Raskin Nasional Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
RTM Total 16.000.000 15.000.000 15.135.560 15.746.843 15.746.843 15.791.884 15.503.295 19.100.905
Jumlah Rumah Tangga % RTM Sasaran RTM terhadap RTM Sasaran Total 7.500.000 46,88 8.700.000 58,00 9.790.000 64,68 8.580.313 54,49 8.590.804 54,56 8.300.000 52,56 10.830.000 69,86 15.800.000 82,72
Pagu Alokasi (Ton) 1.350.000 1.501.274 1.349.600 2.059.276 2.061.793 1.991.897 1.624.500 1.896.000
Sumber: BPS, 2007
Pagu alokasi Raskin nasional mengalami peningkatan hingga 2002, namun kemudian mengalami penurunan dan pada 2007 sedikit meningkat. Sementara itu, RTM sasaran program cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun proporsinya mengalami peningkatan, jumlah RTM sasaran masih lebih rendah dari pada total RTM (Tabel 4). Sebagai contoh pada 2007, total RTM mencapai 19,1 juta, namun sasaran Raskin hanya 15,8 juta RTM sehingga terdapat 3,3 juta RTM yang tidak memperoleh Raskin. Hal tersebut berimplikasi pada munculnya
48
berbagai permasalahan pelaksanaan program seperti dalam penargetan, ketepatan jumlah beras yang diterima rumah tangga, dan frekuensi distribusi. Jika Raskin hanya dibagikan kepada rumah tangga paling miskin maka menurut data Bulog, Raskin akan mampu memenuhi 70 persen–95 persen. RTM yang ada, bahkan menurut BPS akan melebihi RTM (127 persen–152 persen). Selain itu, dengan jumlah rumah tangga 50–59 juta pada 2002–2006, maka realisasi Raskin tersebut seharusnya dapat memberi manfaat kepada sekitar 40 persen rumah tangga di Indonesia dan bisa menjangkau seluruh rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan terendah, meskipun dengan jumlah beras di bawah ketentuan.
4.6.2. Penanggulangan Pengangguran Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang diunggulkan sebagai program yang akan menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang sekaligus menanggulangi kemiskinan. Padahal, program itu adalah kompilasi dua program yang telah berjalan dengan biaya Bank Dunia, yakni Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Tahun 2006 PPK dilaksanakan di 1.145 kecamatan (18.007 desa). Dilaporkan, PPK telah dinikmati 18,1 juta orang miskin, 50 persen di antaranya wanita.
49
4.6.3. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Sebagai pengganti subsidi BBM, pelaksanaan pemberian Program BOS ditargetkan pada masyarakat yang diwajibkan mengikuti pendidikan dasar 9 tahun namun tidak memiliki kemampuan secara finansial untuk melanjutkan pendidikan. Oleh karena itu, sasaran program BOS adalah semua sekolah setingkat SD dan SMP, baik negeri maupun swasta di seluruh propinsi di Indonesia. BOS diberikan kepada sekolah untuk dikelola sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah pusat. Besarnya dana untuk tiap sekolah ditetapkan berdasarkan jumlah murid.
Pelaksanan penyaluran dan pengelolaan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dilakukan oleh organisasi pelaksana yang sebut Tim PKPSBBM serta Sekolah/Madrasah yang memperoleh alokasi dana BOS. Tim PKPS-BBM dibentuk di tingkat Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota.
V. PEMBAHASAN
5.1.
Gambaran Kemiskinan di Indonesia Untuk menganalisis gambaran kemiskinan di Indonesia akan dilakukan
dengan analisis deskriptif dengan menginterpretasikan data yang telah di peroleh dari BPS.
5.1.1
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Secara regional, pada tahun 2002 provinsi Jawa Timur memiliki jumlah
penduduk miskin terbesar, yaitu sekitar 7,7 juta jiwa. Empat provinsi lainnya yang memiliki jumlah penduduk terbesar pada tahun 2002 adalah Jawa Tengah (7,3 juta jiwa), Jawa Barat (4,9 juta jiwa), Sumatera Utara (1,8 juta jiwa), dan Lampung (1,6 juta jiwa). Sementara, lima provinsi yang memiliki jumlah penduduk terkecil adalah Bangka Belitung (106,2 ribu jiwa), Maluku Utara (110,1 ribu jiwa), Bali (221,8 ribu jiwa), Sulawesi Utara (229,3 ribu jiwa), dan Kalimantan Tengah (229,3 ribu jiwa). Pada tahun 2003, lima provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar adalah Jawa Timur (7,5 juta jiwa), Jawa Tengah (6,9 juta jiwa), Jawa Barat (4,8 juta jiwa), Sumatera Utara (1,8 juta jiwa), dan Lampung (1,5 juta jiwa). Sementara lima provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terkecil adalah Bangka Belitung (98,2 ribu jiwa), Maluku Utara (118,8 ribu jiwa), Sulawesi Utara (191,6 ribu jiwa), Kalimantan Tengah (207,7 ribu jiwa), dan Bali (246,1 ribu jiwa). lima provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar pada tahun 2004 adalah Jawa Timur (7,3 juta jiwa), Jawa Tengah (6,8 juta jiwa),
51
Jawa Barat (4,6 juta jiwa), Sumatera Utara (1,8 juta jiwa), dan Lampung (1,5 juta jiwa). Sementara, 5 (lima) provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terkecil adalah Bangka Belitung (91,8 ribu jiwa), Maluku Utara (107,8 ribu jiwa), Sulawesi Utara (192,2 ribu jiwa), Kalimantan Tengah (194,1 ribu jiwa), dan Bali (231 ribu jiwa). Pada tahun 2006 lima provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbesar yaitu provinsi Jawa Timur (7,6 juta jiwa), Jawa Tengah (7,1 juta jiwa), Jawa Barat (5,7 Juta Jiwa), Sumara Utara (1,8 juta jiwa), dan Lampung sebesar (1,6 juta jiwa). Secara nasional jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada tahun 2004 sebesar 36146,9 ribu jiwa. Dibandingkan dengan penduduk miskin pada tahun 2002 yang berjumlah 38394,0 ribu jiwa hal ini menujukan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode tahun 2002-2004 turun sebesar 2247,1 ribu jiwa. Berdasaekan daerah selama periode 2002-2004, jumlah penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Jumlah penduduk perkotaan berkurang 1949,7 ribu jiwa, dari 13318.70 ribu jiwa tahun 2002 menjadi 11369,00 ribu jiwa pada tahun 2004. Sementara jumlah penduduk miskin perdesaan berkurang sebesar 298,4 ribu jiwa menjadi 24777,90 ribu jiwa pada tahun 2004 dari 25076,30 ribu jiwa tahun 2002. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada tahun 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada tahun 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta.
52
8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
2002 2003 2004 2006 Lampung
Sumatra Utara
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sumber: BPS, 2007
Gambar 5.1. Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa)
5.1.2.
Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Secara regional, pada tahun 2002 provinsi Papua memiliki persentase
Penduduk miskin terbesar, yaitu sekitar 41,8 persen. Empat provinsi lainnya yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar adalah Maluku (34,78 persen), Gorontalo (32,12 persen), Nusa Tenggara Timur (30,74), dan NAD (29,83 persen). Sementara, lima provinsi yang memiliki persentase penduduk miskin terkecil adalah DKI Jakarta (3,42 persen), Bali (6,89 persen), Kalimantan Selatan (8,51 persen), Banten (9,22 persen), dan Sulawesi Utara (11,22 persen). Pada tahun 2003, lima provinsi yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar adalah Papua (39,03 persen), Maluku (32,85 persen), NAD (29,76 persen), Gorontalo (29,25 persen), dan Nusa Tenggara Timur (28,63 persen). Sementara, lima provinsi yang memiliki persentase penduduk miskin terkecil adalah DKI Jakarta (3,42 persen), Bali (7,43 persen), Kalimantan Selatan (8,16 persen), Sulawesi Utara (9,01 persen), dan Banten (9,56 persen). lima provinsi yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar pada tahun 2004 adalah Papua
53
(38,69 persen), Maluku (32,13 persen), Gorontalo (29,01 persen), NAD (28,47 persen), dan Nusa Tenggara Timur (27,86 persen). Sementara, lima provinsi yang memiliki persentase penduduk miskin terkecil adalah DKI Jakarta (3,18 persen), Bali (6,85 persen), Banten (8,58 persen), Sulawesi Utara (8,94 persen), dan Bangka Belitung (9,07 persen). Pada tahun 2005 provinsi Papua memiliki persentase Penduduk miskin terbesar, yaitu sekitar 40,83 persen. Empat provinsi lainnya yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar adalah Maluku (32,28 persen), Gorontalo (29,05 persen), NAD (28,68 persen) dan, Nusa Tenggara Timur (28,19). Pada tahun 2006 provinsi Papua tetap sebagai provinsi yang memiliki jumlah persentase Penduduk miskin terbesar, yaitu sekitar 41,46 persen. Empat provinsi lainnya yang memiliki persentase penduduk miskin terbesar adalah Maluku (33,03 persen), Nusa Tenggara Timur (29,34), Gorontalo (29,13 persen), dan NAD (28,28 persen). Hal yang sangat menarik perhatian disini adalah hampir semua peovinsi mengalami peningkatan persentase penduduk miskin terhadap penduduk totalnya, dan daerah yang memiliki tingkat PDRB perkapita yang tinggi seperti propinsi Papua berada pada peringkat pertama dalam persentase penduduk miskin terbanyak. Hal ini menunjukan bahwa selama ini penerimaan pendapatan propinsi Papua tidak cukup banyak digunakan untuk program pengentasan kemiskinan. Secara nasional berdasarkan jenis kelamin selama periode 2002-2004, persentase
penduduk
miskin
perempuan
berkurang
lebih
banyak
bila
dibandingkan dengan persentase penduduk laki-laki. Penduduk laki-laki berkurang 0,88 persen dari 17,49 persen tahun 2002 menjadi 16,61 persen pada
54
tahun 2004. Sementara persentase penduduk miskin perempuan berkurang sebesar 0,94 persen menjadi 16,72 persen pada tahun 2004 dari 17,66 persen tahun 2002. Pada tahun 2002-2004 sebagian besar penduduk miskin berada di daerah perdesaan. Persentase penduduk perdesaan berkurang 1 persen dari 21,11 persen tahun 2002 menjadi 20,11 persen pada tahun 2004. Sementara persentase penduduk miskin perkotaan berkurang sebesar 2,33 persen menjadi 12,13 persen pada tahun 2004 dari 14,46 persen tahun 2002. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada tahun 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan. 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Maluku
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Utara
Kalimantan Selatan
DKI Jakarta
2002 2003 2004 2006
Sumber: BPS, 2007
Gambar 5.2. Persentase Penduduk Miskin Terhadap Penduduk Total Provinsi
5.1.3
Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan Pada periode
tahun 2002-2004, secara regional Indeks Kedalaman
Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan terbesar terjadi di provisi Papua dan cenderung meningkat. Pada tahun 2002 Indek Kedalaman Kemiskinan di
55
Provinsi Papua sebesar 7,91 persen dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 10.56 persen. Sementara Indeks Keparahan Kemiskinan di Papua Pada tahun 2002 sebesar 2.25 persen meningkat menjadi 5.01 persen, sedangkan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan terkecil terjadi di provisi DKI Jakarta. Pada tahun 2002 Indeks Kedalaman Kemiskinan sebesar 0,39 persen dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 0,42. Sementara Indeks Keparahan provinsi DKI Jakarta pada tahun 2002 sebesar 0,07 persen meningkat menjadi 0,09 persen. Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa hampir sebagian besar provinsi mengalami peningkatan indeks kedalaman kemiskinan pada tahun 2003. Hal ini juga konsisten dengan peningkatan indeks kedalaman kemiskinan secara nasional. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2003 terjadi peningkatan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan sehingga berdasarkan indikator ini terlihat bahwa kondisi kemiskinan pada tahun 2003 semakin memburuk. Secara umum . Pada tahun 2002 Indeks Kedalaman Kemiskinan sebesar 3,01 persen dan menurun sebesar 0,12 persen menjadi 2,89 persen. Sementara Indeks Keparahan Kemiskinan menurun sebesar 0,1 persen menjadi 0,78 persen pada tahun 2004 dari 0,79 persen tahun 2002. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit. Berdasarkan penurunan indikator Indeks Keparahan Kemiskinan ini mengindikasikan telah terjadi perbaikan kondisi kemiskinan di indonesia.
56
Tabel.5.1. Indeks kedalaman Kemiskinan. Provinsi Indeks Kedalaman Kemiskinan (Persen) 2002 2003 2004 NAD 4,32 6,73 6,32 Sumatera Utara 2,63 2,63 2,32 Sumatera Barat 1,81 1,74 1,52 Riau 2,01 2,46 2,28 Jambi 2,38 2,09 2,04 Sumatera Selatan
3,60
4,16
3,98
Bengkulu Lampung
3,39 4,18
4,03 4,26
3,82 4,12
Bangk a Belitung
1,44
1,53
1,35
DK I Jakarta
0,39
0,49
0,42
Jawa Barat
2,21
2,20
1,91
Jawa Tengah DI Yogyakarta
4,00 3,81
3,93 3,91
3,58 3,52
Jawa Timur Banten Bali
3,88 1,27 0,95
3,80 1,49 1,05
3,42 1,26 0,92
Nusa Tenggara Barat
5,01
4,87
4,35
Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
6,48 2,39 2,04
5,61 2,62 2,15
5,12 2,28 1,98
Kalimantan Selatan
1,11
1,22
1,04
Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah
1,90 1,54 4,46
2,27 1,81 4,58
2,06 1,80 4,03
Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara
2,78 4,81
2,73 4,13
2,42 3,80
Gorontalo
6,20
7,02
6,95
Maluku
6,78
6,76
6,32
Maluku Utara Papua
2,63 7,91
2,08 10,69
2,06 10,56
Sumber : BPS, 2004
57
Berdasarkan Tabel 5.1 Pada tahun 2002, lima provinsi yang memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan terkecil adalah DKI Jakarta (0,39), Bali (0,95), Kalimantan Selatan (1,11), Banten (1,27), dan Bangka Belitung (1,44). Hal ini berarti bahwa kelima provinsi ini memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan terkecil. Sementara lima provinsi yang memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan terbesar adalah Papua (7,91), Maluku (6,78), Nusa Tenggara Timur (6,48), Gorontalo (6,20), dan Nusa Tenggara Timur (5,01). Hal ini berarti kelima provinsi tersebut memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan terbesar. Pada tahun 2003, lima provinsi yang memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan terkecil adalah DKI Jakarta (0,49), Bali (1,05), Kalimantan Selatan (1,22), Banten (1,49), dan Bangka Belitung (1,53). Hal ini berarti bahwa kelima provinsi ini memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan terkecil. Lima provinsi yang memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan terbesar pada tahun 2003 adalah Papua (10.69), Gorontalo (7,02), Maluku (6,76), NAD (6,73), dan Nusa Tenggara Timur (5,61). Hal ini berarti kelima provinsi tersebut memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan terbesar. Hal yang menarik untuk dicatat adalah bahwa hampir sebagian besar provinsi mengalami peningkatan Indeks Kedalaman Kemiskinan pada tahun 2003. Hal ini juga konsisten dengan peningkatan Indeks Kedalaman Kemiskinan secara nasional. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2003 terjadi peningkatan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis
58
kemiskinan sehingga berdasarkan indikator ini terlihat bahwa kondisi kemiskinan semakin memburuk. Sementara, pada tahun 2004, 5 lima provinsi yang memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan terkecil adalah DKI Jakarta (0,42), Bali (0,92), Kalimantan Selatan (1,04), Banten (1,26), dan Bangka Belitung (1,35). Hal ini berarti bahwa kelima provinsi ini memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan terkecil. Sementara lima provinsi yang memiliki Indeks Kedalaman Kemiskinan terbesar adalah Papua (10,56), Gorontalo (6,95), Maluku (6,32), NAD (6,32), dan Nusa Tenggara Timur (5,12). Berdasarkan hal ini berarti kelima provinsi tersebut memiliki rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan terbesar Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2002 memiliki indeks keparahan kemiskinan yang paling kecil, yaitu sekitar 0,07. Selanjutnya, empat provinsi lainnya yang memiliki Indeks Keparahan Kemiskinan terkecil adalah Bali (0,21), Kalimantan Selatan (0,23), Banten (0,29), dan Bangka Belitung (0,31). Hal ini berarti bahwa kelima provinsi ini memiliki intensitas kemiskinan yang relatif lebih kecil dibandingkan provinsi lainnya. Atau dengan kata lain, tingkat keparahan kemiskinan di lima provinsi relatif lebih kecil secara nasional. Sementara, lima provinsi yang memiliki indeks keparahan kemiskinan terbesar adalah Papua (2,25), Nusa Tenggara Timur (1,97), Maluku (1,96), Gorontalo (1,79), dan Sulawesi Tenggara (1,44). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelima provinsi ini memiliki intensitas kemiskinan yang lebih parah dibandingkan provinsi lainnya. Pada tahun 2004 indeks keparahan kemiskinan secara nasional mengalami kenaikan, hal ini menunjukan bahwa secara nasional kondisi
59
kemiskinan semakin memburuk. Secara regional, lima provinsi yang memiliki Indeks Keparahan Kemiskinan terkecil adalah DKI Jakarta (0,11), Bali (0,24), Kalimantan Selatan (0,28), Bangka Belitung (0,34), dan Banten (0,36). Sementara, lima provinsi yang memiliki Indeks Keparahan Kemiskinan terbesar adalah Papua (4,00), Gorontalo (2,43), NAD (2,12), Maluku (1,96), dan Nusa Tenggara Timur (1,64). Sementara, pada tahun 2004 secara nasional terjadi penurunan Indeks Keparahan Kemiskinan, bahkan lebih rendah dari kondisi pada tahun 2002. DKI Jakarta masih merupakan provinsi yang memiliki Indeks Keparahan Kemiskinan paling kecil di Indonesia, yaitu sekitar 0,09. Selanjutnya, empat provinsi lainnya yang memiliki Indeks Keparahan Kemiskinan terkecil adalah Bali (0,21), Kalimantan Selatan (0,24), Banten (0,30), dan Bangka Belitung (0,31). Sementara, lima provinsi yang memiliki Indeks Keparahan Kemiskinan terbesar adalah Papua (5,01), Gorontalo (2,32), NAD (1,98), Maluku (1,82), dan Nusa Tenggara Timur (1,48). Berdasarkan data, perkembangan kondisi intensitas kemiskinan sangat tergantung dari perkembangan ekonomi masing-masing daerah itu sendiri. Beberapa daerah yang secara konsisten memiliki indeks keparahan kemiskinan terkecil terbukti memiliki perkembangan ekonomi daerah yang cukup baik.
60
Tabel.5.2. Indeks Keparahan Kemiskinan
Provinsi
Indeks Keparahan Kemiskinan (Persen) 2002 1 0,65
2003 2,12 0,66
2004 1,98 0,59
0,43
0,43
0,37
Riau
0,48
0,66
0,7
Jambi
0,71
0,55
0,54
Sumatera Selatan
0,95
1,16
1,09
Bengkulu
0,83
1,03
0,98
Lampung
1,12
1,17
1,12
Bangk a Belitung
0,31
0,34
0,31
DK I Jakarta
0,07
0,11
0,09
Jawa Barat
0,56
0,56
0,48
Jawa Tengah
1,05
1,07
0,97
DI Yogyakarta
1,07
1,09
0,96
Jawa Timur
1,03
1,02
0,92
Banten
0,29
0,36
0,3
Bali
0,21
0,24
0,21
Nusa Tenggara Barat
1,28
1,32
1,16
Nusa Tenggara Timur
1,97
1,64
1,48
Kalimantan Barat
0,6
0,71
0,6
Kalimantan Tengah
0,57
0,7
0,68
Kalimantan Selatan
0,23
0,28
0,24
Kalimantan Timur
0,46
0,63
0,6
Sulawesi Utara
0,36
0,56
0,54
Sulawesi Tengah
1,21
1,32
1,14
Sulawesi Selatan
0,75
0,73
0,63
Sulawesi Tenggara
1,44
1,08
0,98
Gorontalo
1,79
2,43
2,32
Maluku
1,96
1,96
1,82
Maluku Utara
0,75 2,25
0,5 0,5
0,45 5,01
NAD Sumatera Utara Sumatera Barat
Papua Sumber : BPS, 2004
61
5.2. Hasil Estimasi Model Dalam panel data ada tiga pemodelan yang dapat dipilih, yaitu pooled, fixed effect, dan random effect, untuk menentukan model yang terbaik dilakukan beberapa pengujian, untuk memilih antara pooled atau fixed effect digunakan uji Chow. Hasil uji Chow diperoleh nilai statistik sebesar 0.370424403 dan nilai Ftabel sebesar 1.673573833 yang berarti menolak hipotesis untuk menggunakan pooled dan menerima hipotesis untuk menerima fixed effect, untuk memilih antara model fixed effect atau model random effect digunakan uji Hausman. Hasil Uji Hausman diperoleh nilai statistik Hausman sebesar 0.728. karena nilai hausman lebih besar dari nilai α (0.05) yang artinya
menerima hipotesis untuk
menggunakan fixed effect dan menolak hipotesis untuk menggunakan random efect. Pengolahan dengan model fixed effect secara umum dilakukan dengan metode Panel Least Square (PLS) tanpa pembobotan atau Generalized Least Square (GLS) dengan pembobotan. Setelah dibandingkan antara model fixed effect PLS dengan model fixed effect GLS, dapat disimpulkan bahwa model fixed effect GLS menghasilkan nilai probabilitas t-statistik yang lebih baik dan nilai RSquared (R2) yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil estimasi menggunakan fixed effect pada Tabel 5.3 semua variabel penjelas yaitu TPT, PP, dan AMH signifikan secara statistik pada tingkat α = 5 persen.
62
Tabel.5.3. Hasil Estimasi Panel Data dengan Menggunakan Model Fixed Effect. GLS dan White Cross Section Covariance. Variable Coefficient Standard t-Statistic Probability Error TPT 773.3819 141.3355 5.471959 0.0000 PP -0.044023 0.000155 -284.2659 0.0000 AMH -23495.01 1406.392 -16.70588 0.0000 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variabel) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistik Prob(F-statistik)
0.999587 Mean dependent var. 0.999355 S.D. dependent var. 63568.93 Sum squared resid 4310.128 Durbin-Watson stat. 0.000000 Unweighted Statistics
2445174. 2502993. 2.30E+11 2.403231
R-squared Sum squared resid
0.999140 Mean dependent var. 2.62E+11 Durbin-Watson stat.
1243113 1.991167
Keterangan : * signifikan pada taraf nyata 5 % Sumber : Lampiran
Berdasarkan hasil estimasi, diperoleh nilai R-Squared (R2) weighted atau koefisien determinasi sebesar 0.999140 yang menunjukkan keragaman TK pada provinsi-provinsi di Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel yang dimasukan kedalam model hanya sebesar 99.9140 persen. sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Sedangkan nilai R-Squared (R2) Unweighted yang dihasilkan sebesar 0.999587 yang menunjukkan bahwa
99.9587 persen
keragaman TK pada provinsi-provinsi di Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel bebas pada model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Hasil estimasi ini diperkuat dengan nilai probabilitas F-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen dan tingkat α = 5 persen yaitu sebesar 0.000000, yang berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata
63
terhadap variabel terikat sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi. Menurut Gujarati (1995), untuk memperoleh model yang baik harus memenuhi asumsi regresi klasik. Artinya, model harus terbebas dari masalahmasalah
dalam
regresi
yaitu
multikolinearitas,
heteroskedastisitas,
dan
autokorelasi. Untuk mengetahui ada atau tidaknya multikolinearitas, dapat dilihat dari nilai probabiltas t-statistik dan nilai probabilitas F-statistik. Dari hasil regresi, seluruh variabel bebas signifikan, dan nilai probabilitas F-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen dan tingkat α = 5 persen yaitu sebesar 0.000000 sehingga asumsi adanya multikolinearitas dapat diabaikan. Karena dalam mengestimasi model diatas diberi perlakuan cross section weights,
serta
white
cross
section
covariance
maka
asumsi
adanya
heteroskedastisitas dapat diabaikan. Untuk masalah autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin-Watson statistik yaitu sebesar 2.403231, dimana 4-du (2.35) < DW (2.760909) < 4-dl (2.786) Dengan demikian, model diatas tidak dapat ditentukan gejala autokorelasi. Dari hasil estimasi dan pengujian asumsi regresi klasik, terhadap model fixed effect dengan perlakuan cross section weights dan white cross section covariance, maka model tersebut layak untuk digunakan dalam penelitian ini.
64
5.3.
Interpretasi Model Hasil estimasi model tingkat kemiskinan menunjukkan bahwa seluruh
variabel, yaitu TPT, PP, dan AMH berpengaruh signifikan terhadap TK (tingkat kemiskinan).
5.3.1. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Tingkat pengangguran terbuka menunjukkan jumlah penduduk yang sedang mencari pekerjaan, sedang mempersiapkan usaha, dan penduduk yang merasa tidak mungkin
untuk mendapatkan pekerjaan. Nilai koefisien yang
diperoleh sebesar 773.3819 artinya apabila tingkat pengangguran terbuka meningkat sebesar 1 persen, maka nilai tingkat kemiskinan akan meningkat sebesar 773.3819
jiwa. Ini berarti terjadi korelasi yang positif antara TPT
(Tingkat Pengangguran Terbuka) dan TK (Tingkat Kemeskinan). Nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0000 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan pada taraf nyata lima persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis, dengan peningkatan tingkat pengangguran terbuka yang tinggi, berarti kesejahteraan masyarakat yang tercermin dalam tingkat kemiskina tidak semakin baik.
5.3.2. Variabel Pendapatan Perkapita (PP) Variabel PP berpengaruh signifikan pada taraf nyata lima persen terhadap tingkat kemiskinan dengan nilai probabilitas (p-value) 0.00000 dan memiliki korelasi yang negatif. Koefisien PP yang diperoleh sebesar -0.044023, artinya
65
apabila pendapatan perkapita masyarakat meningkat sebesar 1 rupiah, maka nilai tingkat kemiskinan menurun sebesar 0.044023 jiwa. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa PP memiliki korelasi negatif terhadap tingkat kemiskinan. Dengan meningkatnya pendapatan perkapita berarti kemiskinan akan semakin berkurang, sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat dan menjadi lebih baik.
5.3.3. Variabel Angka Melek Huruf (AMH) Dalam penelitian ini pendidikan yang diwakili oleh angka melek huruf berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen dan berhubungan negatif dengan tingkat kemiskinan dengan nilai probabilitas (p-value) 0.00000. Nilai koefisien yang diperoleh sebesar -23495.01, artinya apabila angka melek huruf naik sebesar 1 persen, maka nilai tingkat kemiskinan akan turun sebesar 23495,01 jiwa. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa angka melek huruf dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Angka melek huruf berpengaruh terhadap besarnya tingkat kemiskinan. Hasil tersebut sesuai dengan teori lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty). Dalam the vicious circle of poverty, penduduk miskin memiliki pendapatan yang rendah, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk berinvestasi, termasuk berinvestasi dalam pendidikan dan kesehatan. Ketidakmampuan berinvestasi dalam pendidikan dan kesehatan akan berimplikasi kepada rendahnya kualitas sumber daya manusia, sehingga tingkat produktivitas akan rendah pula. Tingkat produktivitas yang rendah akan menyebabkan pendapatan yang rendah.
66
Penyediaan pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin merupakan salah satu solusi yang dapat dipilih untuk memotong lingkaran setan kemiskinan. Dengan tersedianya pendidikan dan kesehatan gratis bagi penduduk miskin maka kualitas sumber daya manusianya akan semakin lebih baik, sehingga produktifitas akan meningkat yang akan berimplikasi kepada peningkatan pendapatan, sehingga peningkatan pendapatan inilah yang akan meningkatkan daya beli dan investasi, yang mencerminkan kesejahteraan masyarakat yang tinggi.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
1. Secara umum berdasarkan indikator jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin, Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan menunjukan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia untuk periode 2002-2004 semakin membaik. Secara Absolut kemiskinan lebih besar terjadi di provinsi Jawa Timur. Sementara secara regional persentase kemiskinan paling besar terjadi di provinsi Papua dan terkecil terjadi di provinsi DKI Jakarta. Hal yang sangat menarik adalah bahwa provinsi yang memiliki tingkat pendapatan yang cukup tinggi belum menjamin suatu daerah akan memiliki tingkat kemiskinan yang rendah pula apabila sebagian pendapatannya tidak digunakan untuk program pengentasan kemiskinan. Beberapa daerah yang secara konsisten memiliki
indeks
keparahan
kemiskinan
terkecil
terbukti
memiliki
perkembangan ekonomi daerah yang cukup baik. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan adalah tingkat pengangguran, pendapatan, dan pendidikan. Ketiga faktor diatas merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan, ini mengindikasikan bahwa tinggi rendahnya tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia salah satunya tergantung dari pendapatan yang diterima oleh masyarakat dan tergantung dari pengeluaran penduduk terhadap pendidikan serta tergantung pada kebijakan pemerintah dalam menurunkan tingkat pengangguran. Pendapatan perkapita merupakan faktor yang
67
berpengaruhnya cukup besar terhadap tingkat kemiskinan dibandingkan dengan angka melek huruf dan tingkat pengangguran, ini menunjukan bahwa peran pemerintah dalam tingkat pengangguran belum maksimal untuk menurunkan angka kemiskinan.
6.2.
Saran
1.
Provinsi-provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi seperti Jawa Timur dan Papua perlu diberi perhatian lebih besar oleh pemerintah
tanpa mengabaikan provinsi-provinsi lain dalam program
pengentasan kemiskinan, yaitu pemerintah harus meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat melalui penambahan anggaran untuk program Dana BOS, sehingga fasilitas untuk pendidikan menjadi lebih baik. 2.
Kecilnya pengaruh tingkat pengangguran bukan berarti harus diabaikan, artinya pemerintah tetap harus lebih memaksimalkan kinerjanya yang terfokus kepada penduduk miskin melalui penambahan tingkat kesempatan kerja melalui proyek-proyek padat karya, dan penambahan anggaran untuk program penanggulangan pengangguran sehingga tingkat pengangguran akan semakin lebih kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 1980. Kemiskinan Struktural:Suatu Bunga Rampai. Penerbit Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan HIPIS, Jakarta Badan Pusat Statistik. 2004. Data dan Informasi kemiskinan tahun 2004.BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2007. Perkembangan Beberapa Indikator Utama SosialEkonomi Indonesia tahun 2007 . BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2008. Laporan Perekonomian Indonesia tahun 2005 . BPS, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistic Indonesia tahun 2005 . BPS, Jakarta. Baltagi, B.H. 1995. Econometrics Analysis of Panel Data. Third Edition. John Wiley and Sons, Chicester. Departemen Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. 2004. Kemiskinan Indonesia: Suatu Fenomena Ekonomi. Badan penelitian Pertanian, Bogor. Holis, A. 2006. Relevankah Merger Bank di Indonesia? (Pendekatan Efisiensi dan Skala Ekonomi) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. McGraw-Hill, New York. Hartomo dan, Aziz. 1997. Ilmu Sosial Dasar. Bumi Aksara, Jakarta Intania, O, I. 2003. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [skripsi]. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Nur, N. S. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi dalam Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan [tesis]. IPB, Bogor. Nurhayati, M. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Barat [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor.
Rahmawati, Y. I. 2006 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur [skripsi]. Program Studi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Sajogyo. 1977. Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan. IPB, Bogor. Saldanha, J.1998. Pertumbuhan Ekonomi, Survei Ekonomi Politik di Indonesia.Analisis CSIS Studi Pembangunan Politik, Pertumbuhan dan Kerja Intelektual, 02:pp 126-151. Sumodiningrat, G. 1999. Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan. IMPAC, Jakarta. Suparlan, P. 1984. Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan untuk Antropologi Perkotaan. Sinar Harapan, Jakarta. Suryadiningrat, B. 2003. Persepsi dan Tindakan Tokoh Masyarakat Desa terhadap Kemiskinan [skripsi]. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Suryawati, C.2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. [Tesis]. Universitas Diponegoro, Jawa Tengah. Tambunan, T. 2006. Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama Hingga Pasca Krisisi. Pustaka Quantum, Jakarta. Widyanti, R. 2001. Telaah terhadap Partisipasi, Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Peserta Program Perhutanan Sosial [skripsi]. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. IPB, Bogor. Wiraswara, A. 2005. Pertumbuhan Ekonomi dan Penggurangan Angka Kemiskinan di Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor.
Lampiran 1. PDRB per Propinsi dengan menyertakan Sektor Migas tahun 2001-2005 (dalam juta) Propinsi 2002 2003 2004 NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Maluku Malut Papua
42338751.33 75189140.89 24840187.76 96872503.01 10803423.29 43643276.17 5310017.09 25433275.29 6904686.93 250331156.6 211391702.7 123038541.1 14687284.33 218452389.1 49449321.34 18423860.69 13544495.89 8622490.95 20741896.8 11904502.01 18606511.92 87850398 11291462.78 9600363.96 33645402.74 6468061.84 1655327.91 2847739.01 1957715.68 25355899.56
44677163.2 78805608.56 26146781.63 99853745.5 11343279.54 45247400.63 5595028.74 26898051.9 7719713.28 263624241.9 221628173.7 129166462.5 15360408.85 228884458.5 51957457.73 19080895.84 14073340.01 9016717.28 21376951.43 12488475.1 19483168.54 89483542 11652793.37 10196749.88 35410566.05 6957662.46 1769187.99 2970465.69 2032571.71 25632583.48
40374282.3 83328948.58 27578136.58 103725782.4 11953885.47 47344395 5896255.33 28262288.53 7966849.48 278524822.2 233057690.9 135789872.3 16146423.44 242228892.2 54880406.5 19963243.81 14953219.73 9446769.83 22401190.28 13182799.17 20487442.09 91050494.61 12149501.26 10925465.1 37291394.11 7480180.34 1891763.26 3101995.93 2128108.25 21247338.44
Indonesia 49040059.56 Sumber : BPS (2005)
51284454.9
53491994.58
Lampiran 3. Jumlah Penduduk per Propinsi tahun 2001-2005 Propinsi 2002 2003 NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Maluku Malut Papua
2004
4166000 11891742 4289647 5307863 2479469 7170327 1640597 6862338 913868 8379069 36914933 31691866 3156229 35148579 8529749 3216881 4127519 3924871 4167293 1947263 3054129 2566125 2043742 2268046 8244890 1915326 855057 1261083 794024 2387427
4213281 11856907 4456816 5557880 2568598 6486015 1517181 6928822 976031 8603776 37980422 32052840 3207385 36499078 8956229 3351353 4005238 4073249 3947691 1826659 3174551 2704851 2127820 2210100 8213864 1875585 881057 1217472 853161 2349644
4075599 12068731 4528242 5679643 2619553 6596057 1541551 7028388 1012655 8725630 38472185 32397431 3220808 36396534 9083144 3393620 4076040 4139206 4010338 1867231 3219398 2761575 2154235 2245242 8342083 1911103 896004 1238812 869235 2502262
Indonesia 211315952 Sumber : BPS (2005)
214673556
217072535
Lampiran 6. Angka Melek Huruf per Propinsi tahun 2001-2005 Propinsi 2002 2003 2004 NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Babel DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Maluku Malut Papua
95.8 96.1 95.1 96.5 94.7 94.1 93.0 93.0 91.7 98.2 93.1 85.7 85.9 83.2 93.8 84.2 77.8 84.1 86.9 96.4 93.3 95.2 98.8 93.3 83.5 88.2 95.2 96.3 95.8 74.4
Indonesia Sumber ; BPS (2005)
96.2 96.8 95.6 96.1 95.1 95.1 93.5 91.6 91.4 98.4 93.8 85.7 85.7 83.3 93.7 84.4 75.1 84.9 87.5 96.1 93.5 94.8 98.9 93.6 83.4 90.4 94.7 97.0 95.5 74.4 91.11
95.7 96.6 95.7 96.4 95.8 95.7 94.2 93.1 93.5 98.3 94.0 86.7 85.8 84.5 94.0 85.5 78.3 85.2 88.2 96.2 94.8 95.0 99.1 94.4 84.5 90.7 94.7 97.8 95.2 74.2 91.21
91.79
Dependent Variable: TKM Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 02/03/09 Time: 09:48 Sample: 2002 2004 Cross-sections included: 30 Total panel (balanced) observations: 90 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C TPT PP AMH
3710295. 773.3819 -0.044023 -23495.01
129112.2 141.3355 0.000155 1406.392
28.73697 5.471959 -284.2659 -16.70588
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999587 0.999355 63568.93 4310.128 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
2445174. 2502993. 2.30E+11 2.403231
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.999140 2.62E+11
Mean dependent var Durbin-Watson stat
1243113. 1.991167