FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PETANI KAKAO DALAM ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI SISTEM USAHATANI INTENSIFIKASI DIVERSIFIKASI (Kasus pada Program Prima Tani di Desa Lambandia Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara)
NUR ALAM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani Kakao dalam Adopsi Inovasi Teknologi Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (Kasus pada Program Prima Tani di Desa Lambandia Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara)” merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor,
Juli 2010
Nur Alam NRP. I 351070111
ii
ABSTRACT NUR ALAM. The effect factors of cocoa farmers in adoption the farming system intensification diversification technology. Under direction.of MA’MUN SARMA, PUDJI MULJONO dan BAMBANG IRAWAN. This research focused on technology adopting of variety of adoption levels in the farming system intensification diversification (SUID) of cocoa. Research design was survey and the sample was 125 cooperator farmers of the Prima Tani program. The data analysis was descriptive and inferential analysis conductig multi linier regression statistics analysis. The results research showed that technology adoption levels of the farming system intensification diversification (SUID) of cocoa farmer in the medium category. Components of the technology which appled by farmers was medium category. The influecing factors availability, labor of family, cast about activity to the information technology source, risk taking and behavior of farmers toward technology. Keywords: adoption, cocoa farmer, farming system intensification diversification technology to farmers competencies business of beef cattle management, to analyze the farmer level competence and performance on the wet land and dry land, to analyze the relation internal and external factors affecting competencies business beef cattle and to analyze the relation competence with the performance of farmers in the two field bases. Design research was survey descriptive correlation technique. The results showed that the performance of farmers wet land bases was affected much significant by the competence and managerial skills, but in the dry land bases competency skills was affected significant. Internal characteristics that have affected much significant on competencies at the bases wet land are formal education and labor of family, but formal education showed negative significant effect, whereas motivation and cosmopolite of farmer much significant. Internal characteristics farmer much significant affected competencies in dry land were formal education and labor of family, but labor of family showed much significant negative effects. External characteristics that had significant effect on competencies business in the wet land base were tool production, whereas the much significant was the extension, farmers involvement in the groups and access of credit. External characteristics that had significant effect on competencies beef e
iii
RINGKASAN NUR ALAM. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani Kakao dalam Adopsi Inovasi Teknologi Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (Kasus pada Program Prima Tani di Desa Lambandia Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara). Dibimbing oleh MA’MUN SARMA, PUDJI MULJONO dan BAMBANG IRAWAN. Sektor pertanian merupakan salah satu prioritas pembangunan di Sulawesi Tenggara dan 43,37 persen sumbangannya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Salah satu komoditas unggulan yang memegang peran penting adalah tanaman kakao (Theobroma cacao L). Namun demikian produktivitasnya baru mencapai sekitar 0,6 ton/hektar atau sekitar 600 kg/hektar sementara potensi genetiknya bisa mencapai 2 – 4 ton/hektar. Mengatasi hal tersebut mulai tahun 2006 pemerintah Sulawesi Tenggara memanfaatkan peluang program Prima Tani dari Departemen Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian. Program Prima Tani sarat akan teknologi, salah satunya adalah teknologi Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID). Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi keragaman tingkat adopsi teknologi SUID kakao dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi. Lokasi penelitian di desa Lambandia, kabupaten Kolaka, provinsi Sulawesi Tenggara dan dimulai bulan April hingga Juni 2008. Penelitian ini bersifat survei dan menggunakan metode wawancara langsung pada 125 responden petani kooperator program Prima Tani yang tergabung dalam kelompok tani. Analisis data menggunakan analisis deskriptip dan analisis deferensial dengan analisis statistik regresi linear berganda. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa dukungan faktor internal petani terhadap adopsi inovasi teknologi SUID sebagian besar tergolong rendah, seperti pendidikan formal (82,80 %), pendidikan nonformal (62,40 %), pemupukan modal (72,00 %), aktivitas mencari sumber informasi teknologi (64,80 %) dan keberanian ambil resiko (49,60 %). Dukungan faktor eksternal petani terhadap adopsi inovasi teknologi SUID sebagian besar tergolong tinggi. Dukungan faktor eksternal tergolong rendah terjadi pada dukungan penyuluhan (42,40 %) dan dukungan pembiayaan (82,40 %). Tingkat adopsi teknologi SUID kakao petani secara kuantitatif sebagian besar (83,20 %) tergolong sedang atau cukup dan secara kualitatif adopsi teknologi SUID pada umumnya tergolong adopsi sedang, yaitu adopsi paket teknologi pemeliharaan kakao rata-rata skor 49.26, adopsi paket teknologi perbaikan tanaman rata-rata skor 45,78 dan adopsi paket teknologi panen dan pascapanen rata-rata skor 63.63. Analisis regresi berganda menunjukkan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.798 atau secara bersama-sama 79.80 persen variabilitas tingkat adopsi dipengaruhi variabel independen faktor internal dan faktor eksternal. Sedangkan secara parsial faktor-faktor yang berpengaruh adalah jumlah tenaga kerja keluarga, keberanian ambil resiko dan perilaku petani terhadap teknologi. Koefisien regresi peubah ketersediaan tenaga kerja sebesar 2.055 dan memiliki hubungan positif. Artinya setiap penambahan 1 satuan atau 1 orang tenaga kerja keluarga petani responen akan meningkatkan adopsi teknologi SUID sebesar 2.055 persen, atau dengan kata lain semakin tinggi jumlah tenaga kerja keluarga akan semakin tinggi pula mengadopsi teknologi SUID. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan, dimana analisis deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata tenaga kerja keluarga petani iv
responden yang produktif dalam usahatani kakao sekitar 3 orang atau tergolong cukup. Jika dibandingkan dengan rata-rata luas pemilikan lahan kebun kakao seluas 2,7 hektar, maka rata-rata rumah tangga petani responden memiliki 3 jiwa tenaga kerja keluarga yang produktif terlibat dalam usahatani kakao seluas 2,7 hektar. Kondisi ini masih dirasa berat oleh petani sehingga teknologi yang dianjurkan dengan membutuhkan tenaga kerja tambahan akan mempengaruhi tingkat penerapan teknologi yang dianjurkan. Koefisien regresi peubah keberanian mengambil resiko dalam menerapkan teknologi SUID sebesar 0,295 dan berpengaruh positif terhadap tingkat adopsi. Artinya setiap kenaikan 1 satuan atau 1 skor keberanian mengambil resiko petani responden terhadap teknologi SUID akan meningkatkan 0.295 persen adopsi teknologi. Jadi semakin tinggi keberanian mengambil resiko untuk menerapkan teknologi SUID maka semakin tinggi pula adopsi teknologi SUID yang diterapkan. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan. Analisis deskriptif menunjukkan bahwa rata–rata skor keberanian ambil resiko petani responden terhadap teknologi SUID termasuk kategori sedang atau rata-rata skor 2.68. Jadi umumnya keberanian petani untuk mengambil resiko menerapkan teknologi cukup berani. Koefisien regresi peubah perilaku petani terhadap teknologi SUID sebesar 0.158 dan berhubungan positif. Artinya setiap peningkatan perubahan perilaku petani sebesar 1 skor atau 1 persen akan meningkatkan adopsi teknologi petani sebesar 0.158 persen. Jadi semakin meningkat perilaku petani terhadap teknologi, maka semakin meningkat pula adopsinya terhadap teknologi. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa perilaku petani terhadap teknologi SUID pada ranah pengetahuan petani terhaap teknologi SUID termasuk kategori cukup atau atau rata-rata skor 3,24. Pada ranah keterampilan terhadap teknologi SUID termasuk katagori cukup atau rata-rata skor 2.98. Sedangkan untuk ranah sikap mental terhadap teknologi SUID termasuk kategori menerima atau rata–rata skor 4.01.
v
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Udang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vi
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PETANI KAKAO DALAM ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI SISTEM USAHATANI INTENSIFIKASI DIVERSIFIKASI (Kasus pada Program Prima Tani di Desa Lambandia Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara)
NUR ALAM
Tesis Sebagai salah satu sarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Richard W. E. Lumintang, MSEA
viii
Judul Tesis
: Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani Kakao dalam Adopsi Inovasi Teknologi Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (Kasus pada Program Prima Tani di Desa Lambandia Kecamatan Lambandia Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara)
Nama Mahasiswa
: Nur Alam
NIM
: I351070111
Program Studi
: Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Disetujui: Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, M.Ec Ketua
Dr. Ir. H. Pudji Muljono, M.Si Anggota
Dr. Ir. Bambang Irawan, MS Anggota Diketahui:
Ketua Program Mayor, Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 16 Juli 2010
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya serta kekuatan yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah adopsi inovasi teknologi, dengan judul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani Kakao dalam Adopsi Inovasi Teknologi Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID) (Kasus pada Program Prima Tani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara). Tesis ini dibuat sebagai prasarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan tesis ini berkat bimbingan dan dukungan berbagai pihak. Sehingga segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada: 1.
Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS., M.Ec, selaku ketua komisi pembimbing atas segala pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan kesabarannya yang tulus telah membimbing dan mendidik penulis.
2.
Bapak Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si dan Dr. Ir. Bambang Irawan, MS, selaku anggota komisi pembimbing yang telah bersusah payah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan kesabarannya telah memberi bimbingan dan dorongan serta saran dan koreksi untuk kesempurnaan penelitian.
3. Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc, selaku ketua Program Studi Penyuluhan Pembangunan, yang telah banyak memberikan nasehat dan arahan selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana. 4. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian di Jakarta, sebagai sponsor beasiswa yang telah membiayai dan memberikan kesempatan mengikuti pendidikan program pascasarjana. 5. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara di Kendari, sebagai unit kerja pengabdian atas usulan dan kepercayaan serta dukungan yang diberikan. 6. Segenap keluarga besar penulis di Sulawesi Selatan yakni, Ayahanda H. Abd. Hamid Musa dan Ibunda Hj. Siti Dahrah, kakanda Drg. Atik Kurnia Sabarati sekeluarga, adinda Nur Alim, ST sekeluarga, paman Drs. M. Natsir Jalal, MSi x
sekeluarga, mertua Muh. Said Palette dan Nurhayati, Aila dan Aisa, adik ipar Masudin dan keluarga serta keluarga lain yang belum tercantum disini, yang dengan tulus ikhlas memberikan dukungan materil dan nonmateril. Semoga semua ini menjadikan suatu nilai tambah yang tidak dapat diukur. 7. Kepada istriku Ida Nursanti Said, Asnawati beserta ananda Alda Padillah, Musdalifah, Khayatul Nufushye, Fitriah Ramadhani, dan Nur Fadjaroh Tri Utami yang telah memberikan dorongan dan semangat bagi penulis atas semua pengorbanan,
pengertian,
kesabaran
dan
do’anya
selama
penulis
menyelesaikan studi di IPB. 8. Kepada rekan sejawat dan seperjuangan, seiring dan sejalan Bapak Dr. Ir. Rubiyo, MSi, Bapak Drs. Empersi, Msi., Bapak Ir. Dahya MSi., Bapak Ir. Kardiono, MSi., Bapak Ir. Yusuf, MSi, semoga persahabatan ini tiada akhirnya. 9.
Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan angkatan 2007 yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu atas segala masukan, saran dan motivasi selama menempuh studi.
10. Segenap pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, namun tidak sempat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor,
Juli 2010
Nur Alam NRP. I 351070111
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Masewali, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan pada tanggal 20 Oktober 1967 dari pasangan yang mulia ayahanda H. Abd. Hamid Musa dan ibunda Hj. Siti Dahrah. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara. Pada Tahun 1986 penulis lulus dari SMA Negeri 200 Watan Soppeng (sekarang SMA negeri 1 Watan Soppeng) dan melanjutkan studi ke Universitas Halu Oleo (UNHALU) pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Pada tahun 1995 penulis mulai mengabdi sebagai tenaga honorer di Balai Informasi Pertanian (BIP) Kendari (sekarang Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara) dan kemudian diangkat sebagai CPNS di instansi yang sama pada bulan Maret Tahun 1999 sampai sekarang. Selanjutnya Departemen Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi Program Magister (S2) pada bulan Agustus 2007 di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
v
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang ..........................................................................................
1
Rumusan masalah ......................................................................................
6
Tujuan ........................................................................................................
8
Kegunaan ...................................................................................................
8
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS................................
9
Program Prima Tani ..................................................................................
9
Inovasi Teknologi Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID) .
11
Tahapan Adopsi Inovasi Teknologi ..........................................................
13
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Adopsi Inovasi Teknologi ...
16
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESA ..................................................
20
Kerangka Berfikir ......................................................................................
20
Hipotesis ...................................................................................................
22
METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................
23
Desain Penelitian .......................................................................................
23
Penentuan Lokasi ......................................................................................
23
Penentuan Responden ...............................................................................
23
Pengumpulan Data ....................................................................................
24
Validitas dan Reliabilitas Instrumen .........................................................
24
Asumsi-asumsi ..........................................................................................
28
Analisis Data ............................................................................................
28
Definisi Operasional ……………………………………………………
32
HASIL DAN PEMBAHASAN
38
Kondisi Umum Wilayah Penelitian ……………………………………...
38
Karakteristik Faktor Internal Petani Responden ..……………………….
41
Karakteristik Faktor Eksternal Petani Responden ………………………
50
Karakteristik Perilaku Petani ……………………………………………
56
xiii
Keragaman Tingkat Adopsi Teknologi SUID Petani Responden ……….
62
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani Kakao dalam Mengadopsi Inovasi Teknologi SUID …………………………………………….….
75
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………
77
Kesimpulan ………………………………………………………………
79
Saran …………………………………………………………………….
80
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
81
LAMPIRAN ...................................................................................................
86
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Faktor Pribadi dan Lingkungan yang Mempengaruhi Setiap Tahapan Adopsi ........................................................................................................ 17 2. Hasil Uji Validasi Item Instrumen …………………………..…………...
26
3. Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen ………………………..………...
27
4. Kriteria Analisa Deskripsi ………………………………………..……...
28
5. Penilaian Komponen Paket Teknologi ……………………………..……
36
6. Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ………………………………..…
38
7. Penduduk Berdasarkan Tingkatan Umur ………………………………...
39
8. Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan …………. …………………
39
9. Dukungan Kelembagaan Desa Lambandia ………………………………
40
10. Sarana Infrastruktur Desa Lambandia …………………………………....
40
11. Keadaan Karakteristik Faktor Internal Petani Responden …………...….
43
12. Keadaan Karakteristik Faktor Eksternal Petani Responden ...…………...
52
13. Keadaan Tingkat Penguasaan Pengetahuan Teknologi SUID ……..…….
56
14. Skor Penguasaan Pengetahuan Teknologi SUID ………………………..
58
15. Keadaan Sikap Mental Petani Responden Terhadap Teknologi SUID ….
59
16. Skor Sikap Mental Terhadap Teknologi SUID …………………..……...
59
17. Keadaan Tingkat Penguasaan Keterampilan Teknologi SUID ...……..….
61
18. Skor Penguasaan Keterampilan Teknologi SUID ………………………..
61
19. Keadaan Tingkat Adopsi Teknologi SUID Petani Responden ..………...
63
20. Skor Adopsi Komponen Teknologi SUID ………………………………
64
21. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi Teknologi Petani Responden ……………………………………
76
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Proses Adopsi Inovasi dalam Penyuluhan ............................................... 15 2. Kerangka Berpikir Penelitian Keterkaitan Faktor Internal dan Faktor 21 Eksternal dalam Adopsi Inovasi Teknologi SUID ...................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Variabel Operasional ………………………………….........................
91
2. Asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator)..................................
94
xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu prioritas utama pembangunan di Sulawesi Tenggara, dimana sekitar 70 persen penduduknya bergerak pada sektor tersebut, sehingga peranannya terhadap struktur perekonomian Sulawesi Tenggara cukup besar. Hal ini terbukt i sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai 42,37 persen menghampiri setengah dari seluruh peranan sektor lainnya yang berkisar antara 1,05 peren dan 14, 22 persen (BPS Provinsi Sultra, 2007). Kenyataan ini tidak terlepas akan peranan beberapa komoditas unggulan yang dikembangkan selama ini, salah satunya adalah tanaman kakao (Theobroma cacao L.). Perkebunan kakao di Sulawesi Tenggara sekitar 80 persen merupakan perkebunan rakyat. Pada tahun 2006 produksinya mencapai sekitar 124.921 ton dari luas pertanaman 196.884 hektar (BPS Provinsi Sultra, 2007). Pencapaian produktivitasnya hanya sekitar 0,6 ton atau 600 kg/hektar, sementara potensi genetiknya bisa mencapai 2 - 4 ton/hektar (Puslitkoka, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas pertanaman kakao di Sulawesi Tenggara tergolong masih rendah. Beberapa indikasi penyebab rendahnya produktivitas kakao tersebut adalah kurang intensifnya pemeliharaan tanaman oleh petani kakao yang mengakibatkan daya hasil rendah, kurang intensifnya penanganan pascapanen yang menyebabkan kualitas biji rendah sehingga nilai jualnya juga rendah. Selain itu pertanaman kakao relatif masih mengandalkan usaha secara monokultur yang hanya mengharapkan pada pertanaman kakao saja tanpa mengintensifkan usaha- usaha lainnya, yang memiliki nilai tambah terutama dalam mengantisipasi terjadinya perubahan produksi dan harga (produksi rendah atau harga rendah) yang berdampak pada pendapatan petani. Upaya pendekatan pengembangan pertanaman kakao melalui penerapan inovasi teknologi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat baik dari aspek teknis, sosial ekonomi, budaya dan kelembagaan. Inovasi teknologi yang diterapkan dapat mengatasi permasalahan dan kebutuhan petani kakao.
2 Departemen Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian, sejak tahun 2005 mengucurkan program yang dinamakan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Hingga tahun 2007 program ini terlaksana di 33 provinsi yang mencakup 200 kabupaten, tujuannya adalah mempercepat proses diseminasi dan adopsi teknologi inovatif dengan introduksi inovasi, selain itu memperoleh umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat guna spesifik pengguna dan lokasi, mempercepat pencapaian kesejahteraan petani, dan melestarikan sistem pertanian dan lingkungan (Tim Teknis Prima Tani Pusat, 2007). Langkah yang ditempuh Badan Litbang Pertanian ini sekaligus menjawab anggapan yang selama ini bahwa inovasi teknologi yang dihasilkan masih lambat dan kurang diadopsi di tingkat petani dan pengguna lainnya (stakeholder). Evaluasi eksternal dan internal menunjukkan bahwa kecepatan dan pemanfaatan inovasi yang dihasilkannya cenderung melambat, bahkan menurun. Hasil penelitian membuktikan bahwa diperlukan sekitar dua tahun sebelum teknologi baru yang dihasilkan badan Litbang Pertanian diketahui oleh 50 persen dari Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS), dan 80 persen PPS mendengar teknologi baru tersebut. sehingga tenggang waktu sampainya informasi dan adopsi teknologi oleh petani tentunya lebih lama lagi (Badan Litbang Pertanian, 2007). Faktor lain yang menghambat percepatan adopsi inovasi yakni faktor internal dan eksternal dari inovasi itu sendiri. Faktor internal inovasi, antara lain mahalnya biaya produksi yang dirasakan oleh petani. Sedangkan faktor eksternal inovasi, antara lain orientasi usaha, pasar, dan ketersediaan sarana pendukung atau saprodi (Musyafak et al, 2002). Hasil penelitian beberapa daerah mengungkapkan kendala adopsi, antara lain; a) inovasi teknologi dirasa mahal sehingga tidak terjangkau oleh kemampuan finansial petani (kasus teknologi pakan konsentrat untuk sapi di Sanggau Ledo), b) orientasi usaha masih sambilan bukan yang utama (kasus kandang babi di Ngarak), c) harga komoditas rendah (kasus budidaya kedelai di Air Putih), dan d) ketersediaan sarana produksi tidak terjamin (kasus jagung Bisma di Sanggau Ledo). Selanjutnya Subagiyo et al (2005) hasil kajiannya pada usaha perikanan laut di Bantul, menunjukkan bahwa faktor internal, eksternal, dan persepsi petani merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi.
3 Faktor internal meliputi motivasi, keterlibatan dalam organisasi, komunikasi interpersonal, tingkat kosmopolitan dan terpaan media massa. Faktor eksternal meliputi kebijakan pemerintah, peran tokoh informal dan tokoh agama, sistem sosial dan nilai-nilai atau norma. Sedangkan yang termasuk persepsi petani adalah hubungannya dengan pandangan petani terhadap sifat-sifat inovasi seperti keuntungan, kompatibilitas, trialibilitas, kompleksitas dan mudah tidaknya dampak inovasi itu diamati. Prima Tani merupakan upaya pemberdayaan masyarakat yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dan lembaga sosial yang ada sehingga kegiatan diseminasi, penyuluhan, penelitian dan pengembangan inovasi teknologi dilaksanakan secara partisipatif. Tujuannya agar inovasi teknologi yang ditawarkan lebih berorientasi kepada pengguna (User oriented) dan terjamin tepat-guna spesifik lokasi dan pemakai. Menurut Goenadi dan Wibawa (2007) bahwa pemberdayaan yang dilakukan hendaknya bertolak dari realita dimensi kesadaran dan dimensi kemampuan petani yang ada saat ini untuk menerapkan teknologi secara perlahan tetapi berkelanjutan menuju usahatani yang semakin efektif. Burhanuddin (2007) menambahkan bahwa sentuhan teknologi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka mutlak diperlukan, tetapi teknologi itu harus dikemas dengan budaya lokal yang sudah ada. Implementasi inovasi teknologi yang diterapkan di wilayah Prima Tani menggunakan empat strategi, yaitu 1) Menerapkan inovasi teknologi tepat guna secara partisipatif, 2) membangun model percontohan usaha agribisnis berbasis teknologi inovatif, 3) mendorong proses difusi dan replikasi model percontohan teknologi inovatif melalui ekspose dan demonstrasi lapang, diseminasi informasi, advokasi serta fasilitasi, dan 4) mengembangkan agro-industri pedesaan berdasarkan karakteristik wilayah agroekosistem dan kondisi sosial ekonomi setempat. Sedangkan implementasi keempat strategi tersebut diterapkan secara partisipatif, dengan menggunakan lima pendekatan, yaitu 1) agroekosistem, yakni memperhatikan
bio-fisik
(sumberdaya
lahan,
air,
komoditas
dominan),
2) Agribisnis, yakni memperhatikan sruktur dan keterkaitan sub-sistem penyediaan input, usahatani, pascapanen, pengolahan, pemasaran dan lainnya, 3) wilayah, yakni memperhatikan optimasi penggunaan lahan untuk pertanian dengan
4 komoditas utama dan komoditas pendukung (ekonomis dan pasar yang jelas), 4) kelembagaan, yakni memeperhatikan keberadaan dan fungsi organisasi sosial, ekonomi, modal sosial, norma dan aturan yang berlaku di wilayah tersebut, dan 5) pemberdayaan masyarakat, yakni memperhatikan penumbuhan
kemadirian
petani dalam memanfaatkan sumberdaya pedesaan (Tim Teknis Prima Tani Pusat, 2007). Di Sulawesi Tenggara, program Prima Tani telah berjalan sejak tahun 2006 yang dilaksanakan di empat kabupaten. Kabupaten Kolaka merupakan salah satu wilayah pengembangan Prima Tani berbasis tanaman kakao dan bermula di desa Lambandia, kecamatan Lambandia, yang berada pada agroekosistem lahan kering dataran rendah iklim kering (LKDRIK). Tidak berbeda jauh dengan daerah lainnya di Indonesia, bahwa inovasi teknologi yang dikembangkan adalah usahatani Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID) (Farming System Intensification Diversification) dan kelembagaan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP). Penerapan usahatani SUID diharapkan dapat bermanfaat untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal) maupun untuk mengurangi resiko usaha. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya melalui diversifikasi pada dasarnya juga intensifikasi pemanfaatan sumberdaya. Sedangkan penerapan kelembagaan AIP merupakan sistem inovasi teknologi yang padu-padan dan bersinergis antara inovasi aspek teknis dan inovasi aspek kelembagaan yang berbasis pada keunggulan sumberdaya lokal, yakni membangun dan mengembangkan jejaring pada segmen rantai hulu (usaha pengadaan dan penyaluran sarana dan prasarana produksi), segmen rantai hilir (usaha pengolahan dan pemasaran) dan segmen rantai sisi (jasa pembiayaan, tranportasi, komunikasi) serta segmen rantai penunjang (penyuluhan, informasi pasar). Tiga tujuan utama pengembangan AIP, yaitu;
a)
mempercepat
adopsi
inovasi
teknologi
pertanian,
b) mengimplementasikan konsep pengembangan kawasan berbasis keunggulan sumberdaya lokal, dan c) mewujudkan sistem usaha pertanian yang berorientasi pasar, bernilai tambah tinggi, berdaya saing tinggi dan menghasilkan pembagian nilai tambah secara proporsional diantara pelaku agribisnis (Irawan, 2004). Paket teknologi SUID yang telah diterapkan terdiri dari beberapa komponen teknologi, antara lain: a) Integrasi tanaman kakao dengan ternak
5 kambing,
b) pemeliharaan tanaman pisang
burung dan pisang kepok,
c) pemeliharaan tanaman kakao (peremajaan melalui sambung samping dan pembibitan, sanitasi dan pemangkasan pemeliharaan, pemeliharaan dan penerapan tanaman
naungan/pelindung
kakao,
pengendalian
hama
dan
penyakit),
d) pemeliharaan ternak kambing secara intensif (perkandangan), e) pascapanen dan pengolahan biji kakao berkualitas (fermentasi, penjemuran dengan menggunakan para-para dan penutup plastik bening), f) pengolahan buah pisang menjadi makanan jadi (kripik, minuman, selai dan kue), g) pengolahan pakan ternak dari cangkang kakao, b) pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk organik. Hasil kajian di daerah Donggala menunjukkan bahwa dengan mengintegrasikan budidaya kakao dengan ternak kambing dapat meningkatkan bobot hidup akhir 6,6 kg/ekor dan menghasilkan produksi kakao 1.3021,2 kg/ha/tahun (Muis et al, 2007). Sedangkan AIP yang biasa juga disebut satu rantai pasok terpadu (unified supply chain), dimana menerapkan sistem usahatani dan usaha agribisnis secara padu-padan dan bersinergis, yakni memberdayakan petani dan kelompok tani kakao, tokoh masyarakat, pengusaha (pedagang dan eksportir), koperasi tani, penyediaan Klinik Agribisnis, penyuluh dan lembaga lainnya. Abdurachman et al (2007) menekankan bahwa pendekatan kelembagaan berarti pelaksanaan Prima Tani tidak hanya memperhatikan keberadaan dan fungsi suatu organisasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan input dan output, tetapi juga mencakup modal sosial, norma dan aturan yang berlaku di lokasi Prima Tani. Agar inovasi teknologi yang didiseminasikan dapat diterapkan dengan baik maka dilibatkan kelompok tani. Menurut Samsudin (1994), ada tiga peranan penting dari keberadaan kelompok, yaitu seperti berikut: (1) Media sosial atau media penyuluhan yang hidup, wajar, dan dinamis, (2) alat untuk mencapai perubahan sesuai dengan tujuan penyuluhan, dan (3) tempat atau wadah untuk pernyataan aspirasi yang murni dan sehat sesuai keinginan mereka. Sementara Adjid (1994) mengatakan bahwa tumbuh kembangnya kelompok tani, sebagai kelompok kerja sama dalam pengelolaan usahatani akan meningkatkan efisiensi produktivitas sebagai akibat adanya kebersamaan dalam kelompok tani. Pentingnya peranan kelompok tani dalam diseminasi inovasi teknologi pada program Prima Tani sebagai wadah percepatan adopsi dan difusi inovasi
6 teknologi pertanian dalam hal ini teknologi SUID (Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi), maka sangatlah tergantung pada tingkat kedinamisan kelompok tani itu sendiri dalam merespon teknologi tersebut yang diwujudkan dalam bentuk adopsi hingga penerapannya oleh anggota kelompok. Informasi perubahan kelompok tani merespon teknologi tersebut dan sejauh mana anggota kelompok tani mengadopsi dan menerapkan pada usahataninya, menarik dan penting untuk dikaji melalui penelitian ini. Rumusan Masalah Departemen
Pertanian
melalui
Badan
Litbang
Pertanian
telah
mengeluarkan program nasional yang dinamakan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Sejak tahun 2005 hingga 2007 Prima Tani telah diaplikasikan di 33 provinsi dan 200 kabupaten di Indonesaia. Provinsi Sulawesi Tenggara melaksanakan program Prima Tani sejak tahun 2006 yang dilaksanakan di empat kabupaten, salah satunya adalah di kabupaten Kolaka kecamatan lambandia dengan program Prima Tani yang berbasis kakao. Prima Tani terkandung pesan yang kuat tentang usaha mempercepat dan memperluas proses adopsi dan difusi inovasi teknologi, yang hasil akhirnya adalah terbentuknya teknologi Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID) dan kelembagaan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP). Hal ini terwujud bila sistem penyampaian inovasi teknologi dari hulu hingga hilir berjalan dengan baik, dengan merajut simpul antara subsistem rantai pasok pengadaan inovasi (generating subsystem) dengan subsistem penyampaian (delivery subsystem) dan subsistem penerimaan (receiving subsystem). Inovasi teknologi pertanian yang ditawarkan merupakan inovasi tepat guna dan spesifik lokasi dan spesifik pengguna. Pelaksanaannya diterapkan konsep dengan paradigma pemberdayaan masyarakat, dimana kegiatan diseminasi, penyuluhan, penelitian dan pengembangan inovasi dilakukan secara partisipatif. Inovasi teknologi yang dibutuhkan lebih berorientasi kepada pengguna (user orieted). Diharapkan inovasi tersebut dapat dengan mudah dan cepat untuk diadopsi dan diterapkan yang akhirnya berdampak pada tingkat pendapatan dan kesejahteraannya.
7 Partisipasi aktif masyarakat dalam Prima Tani dianggap penting dalam percepatan adopsi inovasi teknologi, sehingga melibatkan semua elemen dan lembaga sosial yang ada pada setiap kegiatan mulai tahap perencanaan hingga pada implementasi. Salah satu sarana untuk itu adalah melalui kelompok tani, yang memang telah terbentuk sebelumnya maupun bentukan kelompok tani melalui Prima Tani. Wadah kelompok tani dianggap efektif sebagai titik masuknya inovasi teknologi karena beberapa kemudahan, antara lain; mudah diorganisir, dapat dikendalikan, mudah diukur, mudah dikomunikasikan, dan mudah bekerja sama. Keefektivan suatu kelompok tani sangat mendukung dalam mengadopsi suatu inovasi teknologi, sekaligus wadah tersebut dapat menjadi pioner bagi kelompok lain dan masyarakat sekitarnya. Selain dukungan kelembagaan kelompok tani, maka peran aspek pribadi (individu) petani juga memegang peran penting, karena keputusan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi teknologi membutuhkan proses dari tahap sadar, minat, menilai, mencoba, dan pada akhirnya menerapkan. Namun demikian keputusan menerapkan atau menolak suatu inovasi teknologi, banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor dari dalam petani (internal) seperti umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, penguasaan lahan, pendapatan, pengalaman berusahatani, aktivitas memperoleh informasi, persepsi terhadap sifat inovasi teknologi, pemupukan modal usahatani, ketersediaan tenaga kerja keluarga, dan keberanian mengambil resiko. Selanjutnya faktor dari luar petani (eksternal), antara lain; dukungan penyuluhan, dukungan kelompok tani, dukungan Pemerintah Daerah, dukungan sarana produksi, dukungan pembiayaan usahatani, dan dukungan pemasaran hasil. Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana keragaman tingkat adopsi petani kakao terhadap inovasi teknologi SUID ? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi adopsi inovasi teknologi SUID pada petani kakao ?
8 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini diarahkan untuk dapat mengetahui adopsi inovasi teknologi SUID pada petani kakao, yaitu: 1. Mengidentifikasi keragaman tingkat adopsi petani kakao terhadap inovasi teknologi SUID. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kakao mengadopsi inovasi teknologi SUID. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini diharapkan: a. Menjadi
bahan
masukan
yang
bermanfaat
bagi
akademisi
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang penyuluhan pembangunan, utamanya penelitian yang ingin meneliti lebih lanjut faktorfaktor lainnya yang berkaitan dengan adopsi inovasi teknologi SUID dalam program Prima Tani. b. Menjadi bahan informasi dan pertimbangan bagi praktisi utamanya perencana dan para pengambil kebijakan pengembangan pertanian khususnya pada program Prima Tani dalam melakukan percepatan adopsi inovasi teknologi SUID kepada petani dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.
9
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Program Prima Tani Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI) merupakan suatu model atau konsep baru diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru, selain itu digunakan sebagai wahana pengkajian partisipatif yang merupakan implementasi paradigma baru Badan Litbang Pertanian, yaitu mulanya “penelitian dan pengembangan” (research and development) menjadi “penelitian untuk pembangunan” (research for development) (Badan Litbang Pertanian, 2007). Secara normatif bahwa inovasi teknologi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian baru dapat dikatakan berhasil bila inovasi tersebut dapat diadopsi dan dimanfaatkan tepat guna secara luas dan berdampak besar dalam mewujutkan pembangunan nasional. Upaya yang dilakukan adalah berusaha menjamin terciptanya sistem inovasi pertanian nasional yang padupadan dengan sistem agribisnis, yang berarti pula merajut simpul antara subsistem rantai pasok pengadaan (general subsystem) dengan subsistem penyampaian (delivery subsystem) hingga pada penerimaan (recilving subsystem) inovasi pertanian nasional. Menjamin hal tersebut maka Prima Tani memposisikan diri sebagai jembatan penghubung antara Badan Litbang Pertanian sebagai produsen teknologi dasar dengan lembaga penyampaian maupun pelaku dan pengguna inovasi teknologi, selain itu sebagai wahana pengkajian dan pengembangan inovasi teknologi secara partisipatif guna memperoleh umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat guna spesifik pengguna dan spesifik lokasi (Badan Litbang Pertanian, 2007). Keluaran akhir dari Prima Tani adalah terbentuknya Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID) dan Unit Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) yang merupakan representasi industri pertanian dan usahatani berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) disuatu kawasan pengembangan. Kawasan ini mencerminkan pengembangan agribisnis lengkap dan sinergis antar subsistem yang berbasis agro-ekosistem dan mempunyai kandungan teknologi dan kelembagaan lokal yang diperlukan (Deptan, 2006). Sehingga dapat dikatakan
10 bahwa program Prima Tani pada dasarnya mengandung muatan inovasi pembangunan yang berisikan inovasi teknologi fisik dan inovasi kelembagaan. Menurut Tjitropranoto (1992) menyatakan bahwa, inovasi pembangunan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu inovasi rekayasa teknologi dan inovasi rekayasa sosial. Inovasi rekayasa teknologi menyangkut berbagai piranti keras yang mendukung pelaksanaan fisik inovasi. Sedangkan inovasi rekayasa sosial mengacu pada rekayasa kelembagaan, pemikiran ideologis dan nilai-nilai pendukung kualitas manusia pembangunan. Program Prima Tani terkandung pesan yang kuat tentang usaha mempercepat dan memperluas proses adopsi dan difusi inovasi teknologi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian kepada masyarakat secara luas, dalam hal ini inovasi teknologi SUID dan AIP di kawasan Prima Tani yang sesuai kebutuhan spesifik pengguna dan spesifik lokasi. Hal ini mengindikasikan adanya kegiatan alih teknologi dari sumber teknologi kepada pengguna (stakeholder). Alih teknologi (transfer of technology) merupakan suatu kegiatan yang disengaja, direncanakan dan mempunyai tujuan untuk memindahkan teknologi dari sumbernya ke para pengguna. Mengingat hal tersebut merupakan suatu proses yang disengaja. Maka perlu memperhatikan waktu (Harahap, 1985). Sedangkan Mardikanto (1993) mengatakan bahwa kemampuan untuk mengitegrasikan suatu teknologi baru tidaklah sama antara satu daerah dengan daerah lainnya, hal ini dikarenakan kondisi setempat, penerima teknologi dan faktor lain yang berbeda. Oleh karena itu teknologi yang akan dialihkan untuk diterapkan disuatu wilayah harus disesuaikan dengan kondisi setempat dan penerimanya. Menurut Bunch (2001) bahwa kalau diharapkan masyarakat (petani) akan menerima (mengadopsi) suatu inovasi, maka warga masyarakat harus yakin bahwa inovasi itu memenuhi suatu kebutuhan yang benar-benar dirasakan. Sedangkan Wahyuni (2000) mengatakan bahwa inovasi akan menjadi kebutuhan petani apabila inovasi tersebut dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi petani, sehingga identifikasi masalah secara benar menjadi sangat penting, paling tidak ada dua alasan, yaitu; a) sesuatu yang kita anggap sebagai masalah, belum tentu merupakan masalah yang dihadapi oleh petani, b) kalau masalah tersebut
11 merupakan masalah petani, belum tentu pemecahannya sesuai dengan kondisi petani. Untuk itu Prima Tani melakukan suatu perencanaan yang matang baik aspek diseminasi, penyuluhan, penelitian dan pengembangan secara partisipatif. Kegiatan diseminasi teknologi pertanian bertujuan meningkatkan adopsi dan inovasi pertanian hasil litkaji melalui berbagai kegiatan komunikasi, promosi dan komersialisasi serta penyebaran paket teknologi unggul yang dibutuhkan dan menghasilkan
nilai
tambah
bagi
berbagai
khalayak
pengguna
dan
menyelenggarakan kegiatan penyebarluasan materi penyuluhan baik secara tercetak maupun media elektronik (Sulaiman, 2003). Hasil kajian di lima lokasi Prima Tani tahun 2005 (Bali, Sulsel, Sumbar, Jabar, dan Kalbar) oleh Hendayana et al (2006), diketahui bahwa kegiatan Prima Tani telah memberikan mediasi lebih baik dalam kegiatan diseminasi teknologi dibanding sebelumnya. Sedangkan ditinjau dari segi partisipasi petani, proporsinya beragam dan kisarannya relatif besar yakni mulai 5 persen hingga 70 persen. Kegiatan diseminasi yang relatif paling rendah partisipasinya terjadi pada kegiatan teknologi dan visitor plot. Sedangkan yang relatif tinggi partisipasinya terjadi pada kegiatan pertemuan. Secara faktual digambarkan bahwa partisipasi petani terhadap diseminasi berhubungan dengan lokasi dan juga erat kaitannya dengan budaya setempat. Selajutnya dari segi aspirasi petani yang merefleksikan pendapatnya tentang kegiatan diseminasi keragamannya disetiap wilayah berkisar antara 61,79 persen hingga 81,00 persen Inovasi Teknologi Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID) Inovasi adalah suatu gagasan, metode atau objek dianggap sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasi penelitian mutakhir (van den Ban dan Hawkins, 1999). Sedangkan Rogers (1995) menyatakan bahwa inovasi merupakan ide, praktek atau obyek yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang baru oleh seseorang atau oleh unit adopsi yang lain. tidak berbeda dengan Hanafi (1987) inovasi merupakan gagasan, tindakan atau teknologi termasuk barang yang dianggap baru oleh seseorang. Sedangkan Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang baru tetapi lebih luas dari
12 itu yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu. Menurut Harper (1989) inovasi ada tiga yaitu: 1) Variasi, merupakan modifikasi bentuk sesuatu yang telah ada, 2) substitusi, merupakan di mana ide atau bahan baru digunakan untuk mengganti yang lama, dan 3) mutasi, merupakan kombinasi dan reorganisasi elemen-elemen yang telah ada atau lama dengan yang baru. Sedangkan untuk mengembangkan inovasi supaya berhasil diadopsi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: 1) Kemudahan untuk dikomunikasikan (communicability), 2) kesiapan adopter atau unit sosial untuk menerima resiko (percived risk) dari inovasi yang diadopsi, dan 3) terjadi proses perembesan (pervasiveness). Inovasi teknologi Sistem Usaha Intensifisi Diversifikasi (SUID) (Farming System Intensification Diversification) yang ditawarkan dalam program Prima Tani adalah jenis pola usaha yang dikembangkan seluas mungkin melalui diversifikasi yang berspektrum luas; horizontal, vertikal, temporal dan fungsional (Badan Litbang Pertanian, 2007), yakni: Diversifikasi horizontal, merujuk pada konfigurasi ragam usaha berdasarkan lokasi spasial. Pada tingkat usahatani, diversifikasi horizontal dapat berupa antar pola tanam secara spasial. Jika berupa usaha-usaha yang berkelompok homogen menjadi suatu klaster (cluster), maka diversifikasi horizontal dapat dipandang sebagai konfigurasi dari klaster-klaster elemen pembentukan sistem agribisnis tersebut. Diversifikasi vertikal, merujuk pada ragam usaha berdasarkan berdasarkan relasi input-ouput langsung. Pada usahatani primer, diversifikasi vertikal merujuk pada pola usahatani komoditas ganda (multiple cropping) yang saling berkaitan input-output masing-masing, contohnya adalah pola integrasi tanaman-ternak, usaha jasa alat dan mesin pertanian pra maupun pascapanen, usaha pasca panen dan penglohan hasil usahatani. Diversifikasi temporal, merujuk pada ragam usaha menurut waktu. Termasuk dalam hal ini adalah konfigurasi tanam dan panen menurut waktu pada usahatani primer maupun usaha pengolahan hasil pertanian.
13 Diversifikasi fungsional, merujuk pada ragam usaha menurut varietas atau tipe produk dalam komoditas yang sama. Contohnya adalah pola pertanaman padi dengan beragam varitas pada satu hamparan lahan usahatani. Pada tingkat usahatani, strategi diversifikasi usaha spektrum luas diharapkan dapat bermanfaat untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal) maupun untuk mengurangi resiko usaha. Oleh karena itu usahatani yang dikembangkan pada program Prima Tani ialah Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi pola usaha SUID-keluarga yang mengintegrasikan kegiatan rumah tangga, usahatani dan kegiatan non-usahatani. Inovasi sering dipersamakan dengan teknologi. Teknologi merupakan suatu rancangan atau pola tindakan tidak langsung (instrumental) yang mengurangi ketidak pastian hubungan sebab akibat yang terlibat dalam pencapaian hasil yang diinginkan. Menurut Rogers (1995) bahwa inovasi memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Keuntungan relatif (relative advantage) yaitu ketika suatu inovasi lebih menguntungkan dibandingkan dengan yang lama, 2) kesesuaian (compatibility) yaitu ketika suatu inovasi masih tetap konsisten dengan nilai-nilai budaya yang ada, 3) kerumitan (complexity) yaitu ketika suatu inovasi mempunyai sifat-sifat yang rumit, sulit dipahami dan diikuti, 4) keujicobaan (trialibility) yaitu ketika inovasi dapat diujicoba dengan mudah sesuai situasi kondisi setempat, dan 5) kekasatmataan (observability) yaitu ketika suatu inovasi segera dapat dilihat atau kasat mata dan dirasakan hasilnya. Selain kelima sifat inovasi tersebut, maka variabel-variabel lain seperti jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi yang menyebarkan inovasi, sifat sistem sosial, sejauh mana kegiatan promosi penyuluh, juga mempengaruhi kecepatan adopsi suatu inovasi. Tahapan Adopsi Inovasi Teknologi Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) ada pada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsinya setelah menerima inovasi. Sejalan dengan Soekartawi (1988) yang menyatakan bahwa adopsi merupakan proses mental dalam diri seseorang melalui pertama kali mendengar tentang suatu inovasi sampai akhirnya mengadopsi.
14 Selanjutnya Ray (1998) mengatakan bahwa adopsi merupakan keputusan untuk memanfaatkan sepenuhnya suatu inovasi dengan sebaik-baiknya. Tahapan adopsi dikemukakan oleh Soekartawi (1988) bahwa dalam banyak kenyataan petani biasanya tidak menerima begitu saja ide-ide baru pada saat pertama kali mendengarnya. Waktu pertama kali mereka mungkin hanya mengetahui saja tetapi untuk sampai tahapan mereka mau menerima ide-ide baru tersebut diperlukan waktu yang relatif lama. Suatu keputusan untuk melakukan perubahan dari yang semula hanya mengetahui sampai sadar dan mengubah sikapnya untuk melaksanakan ide baru tersebut, biasanya juga merupakan hasil dari urutan kejadian dari pengaruh-pengaruh tertentu berdasarkan dimensi waktu. Dalam proses adopsi untuk masing-masing petani akan berbeda, hal ini tergantung kondisi petani itu sendiri, kondisi lingkungannya dan karakteristik teknologinya. Biasanya ada empat tahap dalam proses adopsi inovasi tersebut, yaitu: a) Mengetahui untuk pertama kalinya (sadar dan menaruh minat), b) menerima ide baru tersebut setelah mereka mengevaluasi, c) menerima ide baru setelah mereka mencoba, dan d) adopsi dalam skala yang lebih besar. Ray (1998) dan Hanafi (1987), menyatakan bahwa adopsi merupakan proses yang terjadi sepanjang periode waktu tertentu yang terdiri atas serangkaian tindakan, yang dapat dibagi dalam lima tahap: 1) Tahap kesadaran (awareness), dimana seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informasi mengenai hal itu, 2) tahap menaruh minat (interest), dimana seseorang menaruh minat terhadap inovasi dan mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi itu, 3) tahap penilaian (evaluation), dimana seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru itu dihubungkan dengan situasi dirinya sendiri saat ini dan masa mendatang dan mencobanya atau tidak, 4) tahap percobaan (trial), di mana seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya, apakah sesuai dengan keadaan dirinya, 5) tahap penerimaan (adoption), dimana seseorang menggunakan ide baru itu secara tetap dalam skala luas.
15 Kartasapoetra (1988) menyatakan bahwa tahapan adopsi meliputi: a) Mengetahui dan menyadari, b) menaruh minat, e) penilaian, dan d) melakukan percobaan. Sedangkan Mardikanto (1993) menyatakan bahwa tahapan adopsi ada lima yang meliputi: a) Kesadaran, b) timbulnya minat, c) penilaian tentang baik dan buruknya, d) mencoba dalam skala kecil pada tahap awal dan mencoba pada skala besar pada tahap kemudian, dan e) menerima dan menerapkan dengan penuh keyakinan berdasarkan penilaian dan uji coba yang telah dilakukan dan diamatinya sendiri. Sementara Rogers (1995) menyatakan, proses keputusan inovasi adalah proses yang dilalui seseorang atau unit pengambilan keputusan lainnya: 1) Pertama kali memperoleh pengetahuan tentang suatu inovasi, 2) pembentukan sikap terhadap inovasi, 3) pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau menolak, 4) implementasi atau penerapan gagasan baru, dan 5) konfirmasi dari keputusan tersebut. Menurut Mardikanto (1993) bahwa karena adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan yang berupa inovasi, maka proses adopsi itu dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai dengan terjadinya perubahan perilaku, baik berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective) maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Proses adopsi inovasi dalam penyuluhan secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1: KOGNITIVE
Informatif
Pengetahuan
INOVASI
PSYCHOMOTOR
Pesan
Keterampilan Persuasif dan entertaiment
ADOPSI INOVASI
Perubahan perilaku
AFFECTIVE
Sikap
Gambar 1. Proses Adopsi Inovasi dalam Penyuluhan (Mardikanto, 1993) Perubahan pengetahuan tercermin dalam perilaku mengetahui (knowing behavior) sebagai perwujudan dari kemampuan berpikir (intellectual ability) dan keterampilan berpikir (intellectual skill). Perilaku mengetahui ini dapat diukur
16 dengan melihat tingkat penguasaan seseorang terhadap informasi/keterangan yang ia terima, yang dihasilkan oleh daya pikirnya. Penguasaan informasi yang dimaksudkan disini menunjukkan pada kesanggupan menyebut kembali secara tepat konsep yang telah ia terima sampai pada kesanggupan menilai. Menurut Ray (1998) bahwa pengetahuan terjadi pada saat seseorang atau unit pengambilan keputusan lainnya, kontak dengan inovasi dan mendapatkan suatu pengertian tentang fungsi inovasi tersebut. Fungsi pengetahuan pada intinya bersifat kognitif atau sekedar mengetahui. Perubahan sikap mental tercermin dalam perilaku menyikapi (feeling behavior) sebagai perwujudan sebagai rasa yakin/percaya (cognitive component), rasa tertarik/senang (affective component) dan kecenderungan bertindak (action tendency component) (Oppenheim, 1966). Oleh karena itu mengukur sikap mental pada dasarnya dapat dilakukan dengan melihat rasa yakin atau percaya, rasa ketertarikan atau senang, dan sikap penolakan atau penerimaan seseorang terhadap sesuatu hal atau obyek. Menurut Ahmadi (1985) bahwa terdapat empat fungsi sikap, yaitu: 1) Sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri, 2) sikap berfungsi sebagai alat pengukur tingkah laku, 3) sikap berfungsi sebagai alat pengukur pengalaman, dan 4) sikap berfungsi sebagai pernyataan pribadi. Perubahan keterampilan tercermin dalam perilaku berbuat (doing behavior) sebagai perwujudan dari keterampilan bergerak (motor-skill), fungsi fisik (physical-tasks) dan gerak terkendali (perceptual-motor) (Ely, 1972). Pada dasarnya perilaku berbuat diukur dari ketepatan tindakan-tindakan nyata yang sedang dilakukan seseorang, dengan kata lain kesesuaian antara perbuatan nyata dengan tujuan yang diharapkan. Keterampilan dalam hal ini adalah tindakan yang tampak (Fishbein dan Ajzen, 1975). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Adopsi Inovasi Teknologi Menurut Hendayana (1998), bahwa keputusan petani untuk mengadopsi suatu teknologi, terutama ditentukan oleh faktor internal, yang meliputi sikap dan tujuannya dalam melakukan usahatani. Sikap petani dalam hal ini sangat tergantung dari karakteristik petani itu sendiri, yaitu umur petani, pendidikan formal, jumlah anggota keluarga, dan penguasaan lahan usahatani. Sedangkan tujuan petani dalam melakukan usahatani pertimbangannya selain meningkatkan
17 pendapatan, ada juga yang hanya sekedar mencukupi kebutuhannya atau subsistem. Tujuan petani tersebut erat kaitannya dengan tanggapannya terhadap resiko. Selanjutnya Fliegel et al dalam Hendayana (1998) menyatakan bahwa disamping lingkungan fisik, ada lima faktor yang mempengaruhi sikap petani dalam mengadopsi teknologi baru, yakni: a) Keuntungan relatif bila teknologi itu diadopsi, b) kecocokan teknologi dengan sosial budaya setempat, e) hasil pengamatan petani terhadap petani lain yang sedang atau telah mencoba teknologi itu sebagai dasar peletakan kepercayaan, d) mencoba sendiri akan keberhasilan teknologi baru, dan e) kondisi ekonomi yang ada seperti ketersediaan modal, bagaimana konsekuensi kenaikan produksi terhadap harga produk. Menurut Slamet (1978) bahwa faktor pribadi dan lingkungan yang mempengaruhi setiap tahapan adopsi dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Faktor Pribadi dan Lingkungan yang Mempengaruhi Setiap Tahapan Adopsi Tahapan Adopsi Sadar
Minat
Menilai
Mencoba
Menerapkan
Faktor Pribadi
Faktor Lingkungan
- Kontak dengan sumber informasi di luar masyarakatnya - Kontak dengan individu dalam kelompok masyarakat
- Tersedianya media komunikasi - Adanya kelompok-kelompok masyarakat - Bahasa dan kebudayaan - Adanya sumber informasi secara rinci - Dorongan dari warga masyarakat setempat - Pengalaman dari petani lain - Tipe pertanian dan derajat komersialisasinya - Penerangan tentang cara-cara praktek yang spesifik - Faktor-faktor alam - Faktor harga input dan produk - Analisa keberhasilan/kegagalan - Tujuan dan minat keluarga
- Tingkat kebutuhan - Kontak dengan sumber informasi - Keaktifan mencari sumber informasi - Pengetahuan tentang keuntungan relatif dari praktek - Tujuan dari usahataninya - Keterampilan spesifik - Kepuasan pada cara-cara lama - Keberanian menanggung resiko - Kepuasan pengalaman pertama - Kemampuan mengelolah dengan cara baru
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) bahwa adopsi adalah proses pengambilan keputusan dimana dalam proses pengambilan keputusan ini dipengaruhi oleh: a) Umur, makin muda petani biasanya mempunyai semangat ingin tahu lebih besar dibanding petani yang lebih tua.
18 b) Pendidikan, mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi, begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah makin lambat mengadopsi. c) Keberanian mengambil resiko, biasanya petani kecil mempunyai sifat menolak resiko. Mereka berani mengambil resiko apabila adopsi inovasi tersebut benarbenar mereka telah yakini. d) Pola hubungan, yang dimaksud pola hubungan ini adalah apakah petani berada pada lingkup pola hubungan kosmopolitan atau lokalita. Pada hubungan kosmopolitan lebih cepat dibanding lokalita. e) Sikap terhadap perubahan, petani kecil agak lamban dalam mengubah sikapnya terhadap perubahan karena keterbatasan sumberdaya. f) Motivasi berkarya, motivasi memang penting untuk menumbuhkan motivasi berkarya sering tidak mudah, khususnya petani kecil. Hal ini disebabkan keterbatasan yang dimiliki oleh petani kecil tersebut. apakah itu sumberdaya lahan, pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sedangkan Soekartawi (1988) menyatakan bahwa faktor internal calon adopter yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi, yaitu umur, pendidikan, keberanian
mengambil resiko, pola hubungan (lokalit
atau
kosmopolit), sikap terhadap perubahan, motivasi berkarya aspirasi, fatalisme diagnotisme, dan karakteristik psikologi. Rogers (1995) menyatakan bahwa kecepatan adopsi merupakan kecepatan relatif diadopsinya suatu inovasi oleh anggota-anggota sistem sosial. Kecepatannya dipengaruhi oleh beberapa sifat inovasi, yaitu: 1) Keunggulan relatif, persepsi bahwa suatu inovasi dipandang lebih baik dibanding dari ide sebelumnya, 2) kompatibilitas, sejauh mana inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan penerima, 3) kompleksitas, persepsi tentang derajat kesulitan untuk memahami dan menggunakan suatu inovasi, kompleksitas inovasi tidak boleh menghambat adopsinya, 4) trialibilitas, tingkat dimana suatu inovasi dapat dicoba dengan skal kecil, dan
19 5) observabilitas,
tingkat
dimana
hasil-hasil inovasi dapat
dilihat
dan
dikomunikasikan oleh orang lain. Selanjutnya dijelaskan, bahwa disamping kelima sifat inovasi maka variabel-variabel lain seperti jenis keputusan inovasi, sifat saluran komunikasi yang menyebarkan inovasi, sifat sistem sosial, sejauh mana kegiatan promosi oleh penyuluh, juga mempengaruhi kecepatan adopsi suatu inovasi. Selanjutnya Ray (1998) menegaskan bahwa keunggulan relatif, kompatibilitas, trialibilitas, observabilitas, dan prediktibilitas (derajat kepastian manfaat) dari suatu inovasi berhubungan positif dengan tingkat adopsinya. Sedangkan Lionberger dan Gwin (1982) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi yaitu: a) Luas usaha tani, semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik. b) Pendapatan, semakin tinggi tingkat pendapatan biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi. c) Umur, semakin tua (di atas 50 tahun) biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi. d) Keberanian
mengambil
resiko,
individu
yang
memiliki
keberanian
mengahadapi resiko biasanya inovatif. e) Partisipasinya dalam kelompok atau organisasi di luar lingkungannya. Seseorang yang suka bergabung dengan orang-orang di luar sistem sosialnya, umumnya lebih inovatif. f) Aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru. Mereka yang aktif biasanya lebih inovatif. g) Sumber informasi yang dimanfaatkan. Golongan yang inovatif biasanya banyak memanfaatkan beragam sumber informasi.
20 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESA Kerangka Berpikir Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka dapat disusun kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini, yakni program Prima Tani terkandung makna yang kuat akan percepatan inovasi teknologi Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID) dan penguatan kelembagaan sistem Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP), yang merupakan suatu sistem mata rantai yang padu-padan dari hulu hingga hilir. Tujuannya adalah mempercepat adopsi inovasi teknologi kepada pengguna dalam hal ini petani kakao yang sesuai kebutuhan dan kondisi wilayah setempat (aspek teknis, sosial ekonomi, budaya, dan kelembagaan). Inovasi teknologi Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID) sarat akan teknologi teknis perbaikan maupun introduksi paket teknologi dengan beberapa komponen teknologi, antara lain; paket teknologi pemeliharaan tanaman kakao secara intensif, paket teknologi perbaikan tanaman kakao secara intensif, paket teknologi panen dan pascapanen kakao serta paket teknologi integrasi ternak kambing dan pemeliharaan tanaman kakao. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas hasil, pengembangan usaha, meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada secara intensif sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Penerapan teknologi SUID oleh petani kakao sangat tergantung pada kondisi petani itu sendiri (aspek internal), kondisi lingkungannya (aspek ekternal) dan karakteristik tektnologinya. Unsur-unsur yang terkandung dalam aspek internal maupun aspek eksternal petani serta karakteristik teknologi merupakan faktor yang mempengaruhi adopsi suatu teknologi. Namun demikian petani dalam memutuskan menerima atau menolak suatu teknologi merupakan proses mental dalam perubahan perilaku petani pada ranah pengetahuan, sikap maupun keterampilan pada dirinya, setelah terlebih dahulu mengetahui, mengevaluasinya, mencoba dan akhirnya kemudian menerapkan atau mengadopsinya. Penelitian ini menggunakan beberapa faktor saja diantara faktor lainnya yang menjadi peubah, mengingat keterbatasan waktu, biaya dan urgensi penelitian ini. Peubah yang dimaksud antara lain; faktor internal mencakup umur, pendidikan
21 formal, pendidikan nonformal, pengalaman berusahatani, penguasaan lahan, ketersediaan tenaga kerja keluarga, pendapatan usahtani kakao, aktivitas mencari sumber informasi teknologi, pemupukan modal usahatani kakao, persepsi terhadap sifat teknologi, keberanian mengambil resiko dan perilaku petani. Selanjutnya faktor ekternal, mencakup dukungan penyuluhan, dukungan kelompok tani, dukungan Pemerintah Daerah, dukungan sarana produksi, dukungan pembiayaan, dan dukungan pemasaran. Selain faktor-faktor tersebut di atas, faktor karakteristik inovasi teknologi SUID itu sendiri juga sangat menentukan untuk diterapkan oleh petani baik sifat maupun bentuknya. Sifat atau bentuk inovasi yang dipertimbangkan itu mencakup beberapa aspek, antara lain; tingkat keunggulan relatif, kesesuaian (compatibility), tingkat kerumitan (complexity), tingkat kemudahan untuk diujicoba (trialibility), dan tingkat ketampakkan atau kemudahan untuk dilihat hasilnya (observability). Berdasarkan pokok-pokok pikiran ini, maka digambarkan secara skematis penelitian ini pada Gambar 2 berikut:
-
Faktor internal (X1) Umur petani (X1.1) Pendidikan formal (X1.2) Pendidikan nonformal (X1.3) Pengalaman berusahatani kakao (X1.4) Penguasaan lahan usahatani kakao (X1.5) Tenaga kerja dalam keluarga (X1.6) Pemupukan modal usahatani kakao (X1.7) Pendapatan usahatani kakao (X1.8) Aktivitas mencari sumber informasi teknologi (X1.9) Persepsi terhadap sifat teknologi (X1.10) Keberanian mengambil resiko (X1.11) Perilaku petani (pengetahuan, sikap mental, keterampilan (X1.12)
-
Faktor eksternal (X2) Dukungan penyuluhan (X2.1) Dukungan kelompoktani (X2.2) Dukungan Pemda (X2.3) Dukungan sarana produksi (X2.4) Dukungan pembiayaan (X2.5) Dukungan pemasaran hasil (X2.6)
Tingkat Adopsi Teknologi SUID (Y1)
Gambar 2. Kerangka Berpikir Penelitian Keterkaitan Faktor Internal dan Faktor Eksternal dalam Adopsi Inovasi Teknologi SUID
22 Hipotesis Berdasarkan uraian permasalahan, tujuan dan kerangka berpikir, maka hipotesis penelitian ini adalah Tingkat adopsi teknologi SUID dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal petani responden berupa umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, penguasaan lahan, pengalaman usahatani kakao, ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga, pemupukan modal usahatani kakao, pendapatan usahatani kakao, aktivitas mencari informasi teknologi, persepsi terhadap teknologi, keberanian mengambil resiko, perilaku petani, dukungan penyuluhan, dukungan kelompok tani, dukungan Pemda, dukungan sarana produksi, dukungan pembiayaan, dan dukungan pemasaran.
23
METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian survei yang bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu metode penelitian yang memusatkan perhatian pada suatu permasalahan masa sekarang dengan jalan mengumpulkan data, menyusun dan menganalisanya. Penelitian survei menurut Singarimbun dan Effendi (1986) adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan) sebagai alat pengumpul data. Data dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan petani kemudian data ditabulasi, dianalisis secara secara kualitatif dan kuantitatif, kemudian diinterpretasi (Branner, 1997). Hasil akhirnya merupakan suatu gambaran permasalahan yang ditampilkan melalui tabel data dan peubah yang kemudian dianalisis dengan analisis statistik sebagai alat ujinya. Penentuan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di desa Lambandia, kecamatan Lambandia, kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan daerah tersebut merupakan wilayah sentra produksi kakao dan mengembangkan teknologi kakao melalui program Prima Tani. Penentuan Responden Pemilihan responden pada penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu keseluruhan petani yang tergabung dalam kelompok tani. Pertimbangannya adalah petani yang tergabung dalam kelompok merupakan petani pelaksana (kooperator) dalam program Prima Tani, yang jumlahnya sebanyak 5 kelompok tani, yaitu kelompok tani Sipatuo, Mamminasae, Makmur Jaya, Mujur Jaya, dan Mappasitujue. Masing-masing kelompok berjumlah 25 orang, sehingga jumlah keseluruhan responden sebanyak 125 orang. Dengan demikian penelitian ini mempergunakan sampel jenuh (Umar, 2005).
24 Pengumpulan Data Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara wawancara, pencatatan dan observasi yang berdasarkan sumbernya dijelaskan sebagai berikut: 1. Pengumpulan data primer, yaitu pengumpulan data secara langsung kepada petani dengan
teknik wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan
(kuesioner) yang telah disiapkan sebelumnya. Sifat pertanyaan dalam bentuk terbuka
maupun
tertutup
yang
dikemas
secara
terstruktur
maupun
semiterstruktur. Gunanya adalah untuk menggali informasi kepada responden berkenaan dengan penerapan teknologi SUID. Data yang dikumpul antara lain; karakteristik petani berupa umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pengalaman berusahatani, luas lahan usahatani kakao, ketersediaan tenaga kerja keluarga, pemupukan modal, pendapatan usahatani, aktivitas mencari sumber informasi teknologi, persepsi terhadap inovasi teknologi SUID, keberanian mengambil resiko dan perilaku petani. Karakteristik eksternal berupa dukungan penyuluhan, dukungan kelompok tani, dukungan Pemerintah Daerah, dukungan sarana produksi, dukungan pembiayaan usahatani, dan dukungan pemasaran. 2. Pengumpulan data sekunder, yakni pengumpulan informasi melalui pencatatan pada instansi terkait dan pencatatan pembukuan kelompok tani. 3. Observasi, yakni pengumpulan informasi melalui pengamatan langsung pada obyek penelitian yang menjadi pelengkap data primer dan data sekunder. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Data primer yang diperoleh dalam penelitian ini menggunakan instrumen daftar pertanyaan (kuesioner) yang dirancang sedemikian rupa untuk memperoleh informasi sesuai yang diharapkan dalam tujuan penelitian. Dengan menggunakan intrumen yang valid dan reliabel dalam pengumpulan data, maka diharapkan hasil penelitan menjadi valid dan reliabel. Menurut Sugiyono (2007) bahwa instrumen yang valid dan reliabel merupakan sarat untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel, namun masih dipengaruhi kondisi obyek yang diteliti dan kemampuan orang yang menggunakan instrumen. Diperjelas oleh Singarimbun dan Effendi (1986); Black dan Champion (1992) bahwa alat ukur dikatakan sah (valid) apabila alat ukur tersebut dapat mengukur data yang sebenarnya ingin diukur.
25 Sementara Muhidin dan Abdurrahman (2007) mengatakan bahwa validitas dan reliabilitas adalah tempat kedudukan untuk menilai kualitas semua alat dan prosedur pengukuran. Sebelum melakukan penelitian, maka instrumen yang dirancang atau disusun sedemikian rupa diujicobakan kepada 30 responden. Kemudian data dikumpulkan dan selanjutnya dianalisis untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Keperluan tersebut, maka digunakan komputasi pengujian melalui aplikasi Exel 2007. Validitas Instrumen Instrumen alat ukur dikatakan valid jika instrumen dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Mengetahui validitas instrumen penelitian ini, maka digunakan pendekatan validitas empiris, yakni validitas yang dinyatakan pembuktiannya berdasarkan hasil pengalaman yaitu melalui suatu uji coba (Suharsimi, 1993 dengan Muhidin dan Abdurrahman 2007). Validitas item instrumen diketahui dengan menggunakan analisis faktor, yaitu mengkorelasikan antar skor item instrumen dengan menggunakan koefisien korelasi Product Moment dari Karl Person yang dilambangkan r. Nilai r-hitung selanjutnya dibandingkan dengan nilai tabel Critical Value Product Moment (r) pada taraf kepercayaan 95 persen. Kriteria penilaian adalah jika nilai hitung r lebih besar (>) dari tabel r, maka item instrumen dinyatakan valid. jika nilai hitung r lebih kecil (<) dari tabel r, maka item instrumen dinyatakan tidak reliabel. Uji validasi instrumen pada Tabel 2, menunjukkan bahwa besaran koofisien korelasi pada nilai hitung r untuk 12 peubah yang diujicobakan, maka koefisien korelasi terkecil adalah 0,467 pada pertanyaan peubah tingkat penerapan teknologi dan terbesar adalah 0,927 pada pertanyaan peubah aktivitas dalam kelompok tani. Jika dibandingkan dengan nilai tabel r Product Moment sebesar 0,361 pada taraf kepercayaan 95 persen, maka nilai hitung r lebih besar ( > ) dari pada nilai tabel r.
26 Tabel 2. Hasil Uji Validasi Item Instrumen No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Peubah Independen Internal Persepsi terhadap teknologi Keberanian mengambil resiko Independen Eksternal Dukungan penyuluhan Dukungan kelompok tani Dukungan pemda Dukungan saprodi Dukungan Pembiayaan Dukungan pemasaran Dependen antara (Y1) Pengetahuan Sikap mental Keterampilan Dependen akhir (Y2) Tingkat adopsi Teknologi
Nilai Hitung r1)
Nilai Tabel r2)
Keterangan
0.652
0,361
Valid
0.755
0,361
Valid
0.836
0,361
Valid
0.818
0,361
Valid
0.767
0,361
Valid
0.725
0,361
Valid
0.714
0,361
Valid
0.737
0,361
Valid
0.804
0,361
Valid
0.614
0,361
Valid
0.741
0,361
Valid
12. 0.467 0,361 Valid Keterangan: 1) Nilai r -hitung menggunakan formulasi teknik koefisien korelasi Product Moment ( r ) (Suharsimi, 1993). 2) Nilai tabel critical value Product Moment ( r ) pada taraf kepercayaan 95 % .
Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil pengujian item instrumen dinyatakan valid dan dapat dipergunakan. Sedangkan besaran nilai koefisien yang dihasilkan menunjukkan tingkat tinggi rendahnya validitas item pertanyaan. Menurut Djaali dan Muljono (2004) bahwa koefisien korelasi yang tinggi antara skor butir dengan skor total mencerminkan tingginya konsistensi antara hasil ukur keseluruhan instrumen dengan hasil ukur butir instrumen, atau dapat dikatakan bahwa butir istrumen tersebut konvergen dengan butir-butir lain dalam mengukur suatu konsep atau konstruk yang hendak diukur. Reliabilitas Instrumen Pengujian reliabilitas instrumen bertujuan mengetahui konsistensi dari instrumen sebagai alat ukur sehingga diharapkan hasil pengukuran dapat dipercaya. Reliabilitas instrumen penelitian diuji dengan menggunakan teknik konsistensi internal, yakni mengkonsentrasikan pada unsusr-unsur internal instrumen dalam hal ini pada butir-butir pertanyaan soal. Teknik pengujian reliabilitas konsistensi internal dalam mengukur instrumen penelitian ini yaitu
27 menggunakan formula koefisien Alpha (α) dari Cronbach (1951) dalam Suharsimi (1993). Kriteria penilaian adalah jika nilai hitung α lebih besar (>) dari r-tabel, maka instrumen dinyatakan reliabel. jika nilai hitung α lebih kecil (<) dari r-tabel, maka instrumen dinyatakan tidak reliabel. Hasil uji item instrumen diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Peubah Independen internal Persepsi terhadap teknologi Keberanian mengambil resiko Independen eksternal Dukungan penyuluhan Dukungan kelompok tani Dukungan pemda Dukungan saprodi Dukungan Pembiayaan Dukungan pemasaran Dependen antara (Y1) Pengetahuan Sikap mental Keterampilan Dependen akhir (Y2) Tingkat Adopsi Teknologi
Nilai hitung α1)
Nilai Tabel r2)
Keterangan
0.881
0,361
Reliabel
0.867
0,361
Reliabel
0.775
0,361
0.673
0,361
Reliabel Reliabel
0.622
0,361
Reliabel
0.544
0,361
Reliabel
0.522
0,361
Reliabel
0.580
0,361
Reliabel Reliabel
0.940
0,361
Reliabel
0.885
0,361
Reliabel
0,875
0,361
Reliabel Reliabel
Reliabel 0.743 0,361 12. Keterangan: 1) Nilai hitung (α) dengan formulasi teknik koefisien Alfa Cronbach (1951) dalam (Suharsimi, 1993). 2) Nilai tabel r pada taraf kepercayaan 95 %.
Tabel 3 memperlihatkan bahwa koefiien α yang terkecil adalah 0,743 pada peubah tingkat penerapan teknologi dan terbesar adalah 0,981 pada peubah kemudahan pemasaran. Jika dibandingkan nilai r-tabel pada taraf kepercayaan 95 persen dan derajat bebas (n-2) = 28, maka nilainya sebesar 0,361. Jadi nilai hitung α lebih besar (>) dari pada nilai r-tabel. Jadi konsistensi item instrumen dalam penilitian ini dapat dipercaya pada tarap kepercayaan 95 persen dan layak digunakan atau dioperasionalkan.
28 Asumsi-asumsi Penelitian ini memiliki keterbatasan dan kemampuan baik dari segi waktu, tenaga, dan biaya, maka beberapa asumsi yang digunakan, antara lain: 1. Adopsi inovasi teknologi kakao yang diamati terbatas pada paket teknologi pemeliharaan kakao, perbaikan tanaman kakao, panen dan pascapanen kakao, yang diperkenalkan program Prima Tani sejak tahun 2006. 2. Beberapa peubah sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi teknologi, namun terbatasnya waktu, tenaga dan biaya maka beberapa peubah saja yang terpilih. 3. Data yang dikumpulkan merupakan data satu tahun terakhir (tahun 2008). 4. Peubah pengamatan secara anilisis statistik antara lain: berdistribusi normal atau mendekati normal, antar peubah saling bebas, dan tidak ada multikoleniaritas. Analisis Data 1. Pengukuran data kualitatif dengan skoring Pemberian skoring diterapkan pada data peubah yang sifatnya kualitatif sehingga menjadi data kuantitatif dari hasil wawancara responden. Penentuan skoring menggunakan metode berjenjang skala Likert, dimana setiap jawaban pertanyaan mengandung alternatif jawaban yang positif (sangat diharapkan) sampai dengan yang negatif (sangat tidak diharapkan) yaitu memberikan nilai bulat, yaitu 5, 4, 3, 2, dan 1. Alternatif jawaban 5 (sangat diharapkan), 4 (diharapkan), 3 (cukup diharapkan/netral), 2 (kurang/tidak diharapkan), dan 1 (sangat tidak diharapkan) (Suryabrata, 2000). Selanjutnya dideskripsikan (interpretasi) berdasarkan rata-rata skor angket yang diperoleh dengan mengacu pada lima kategori skor yang dikembangkan dalam skala Likert, (lihat Tabel 4). Tabel 4. Kriteria Analisa Deskripsi Rentang Kategori Skor 1,00 – 1,79 1,80 – 2,59 2,60 – 3,39 3,40 – 4,19 4,20 – 5,00 Sumber: Muhidin dan Abdurrahman, 2007
Penafsiran Sangat tidak baik/sangat rendah Tidak baik/rendah Cukup/sedang Baik/tinggi Sangat baik/sangat tinggi
29 2. Pengukuran tingkat adopsi teknologi Inovasi teknologi kakao yang menjadi obyek pengukuran sebanyak 19 kegiatan teknologi, yaitu: (I). Paket teknologi pemeliharaan tanaman kakao, terdiri atas: 1) Pemupukan, terdiri dari penerapan dosis anjuran, penerapan cara anjuran dan penerapan jenis anjuran, 2) pengendalian hama dan penyakit, terdiri dari penerapan dosis anjuran, penerapan cara anjuran dan penerapan jenis obat anjuran, 3) sanitasi atau kebersihan kebun, terdiri dari penanganan kebersihan kebun, penanganan gulma (rumput-rumputan) dan penanganan cankang kakao. (II). Paket teknologi perbaikan tanaman kakao, terdiri atas: 1) Pemangkasan, 2) pemanfaatan tanaman pelindung (penaung), 3) rehabilitasi tanaman dengan metode sambung samping. (III). Paket teknologi panen dan pascapanen kakao, terdiri atas: 1) Panen sering, 2) fermentasi, 3) pembersihan biji kakao (sortasi), 4) kadar kering biji kakao, 5) wadah penjemuran biji kakao. Pengukuran kegiatan teknologi menggunakan skala 0 (tidak diterapkan), 1 (diterapkan kurang 50 %), 2 (diterapkan 50-75 %), 3 (diterapkan lebih 75 %). Untuk mengukur tingkat adopsi teknologi digunakan rumus:
Di mana: • Skor = frekwensi x bobot nilai • Jumlah skor = jumlah skor skala penilaian 0 sampai dengan 3 • Skor ideal = frekwensi x bobot nilai tertinggi
Perhitungan skor penilaian tingkat adopsi teknologi diukur berdasarkan skor ideal kuantitas adopsi dan kualitas adopsi. skor ideal kualitas adopsi, nilainya tergantung pada jumlah responden (125 responden) sedangkan skor ideal kualitas adopsi nilainya tegantung pada jumlah kegiatan teknologi (19 kegiatan teknologi). Skor ideal (skor tertinggi) kuantitas adopsi teknologi kakao
Skor terendah
= 125 x bobot nilai tertinggi atau = 125 x 3 = 375 (adopsi tertinggi) = 125 x bobot terendah = 125 x 0 = 0 (adopsi terendah)
30 Skor ideal (skor tertinggi) kualitas adopsi teknologi kakao
Skor terendah
= 19 x bobot nilai tertinggi atau = 19 x 3 = 57 (adopsi tertinggi) = 19 x bobot terendah = 19 x 0 = 0 (adopsi terendah)
Penggolongan tingkat adopsi teknologi dibagi dalam tiga kategori, yang menggunakan interval klas dengan rumus sebagai berikut (Dajan, 1976):
Di mana: I = interval klas J = jarak antara skor terendah dengan skor tertinggi K = banyaknya kelas yang digunakan
Berdasarkan ketentuan pada rumus, diperoleh kategori tingkat adopsi rendah, sedang dan tinggi, dimana skor terendah adalah 0.00 dan skor tertingi adalah 100,00. Selanjutnya dapat ditentukan tingkat adopsi rendah, sedang dan tinggi sebagai berikut: a. Adopsi rendah, apabila skor tingkat adopsi berada antara 0,00 – 33,00. b. Adopsi sedang, apabila skor tingkat adopsi berada antara 34,00 – 67,00. c. Adopsi tinggi, apabila skor tingkat adopsi berada antara 68,00 – 100,00. 3. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi Teknologi SUID Analisis pengaruh peubah faktor internal dan faktor eksternal petani kakao terhadap tingkat adopsi teknologi SUID menggunakan model regresi linear berganda dengan metode kuadrat terkecil atau OLS (Ordinary Least Squares), Analis regresi berganda digunakan karena pertimbangan banyaknya peubah pengamatan, yang dirumuskan sebagai berikut: Y = a + b1 X 1.1 + b2 X 1.2 + b3 X 1.3 + b4 X 1.4 + b5 X 1.5 + b6 X 1.6 + b7 X 1.7 + b8 X 1.8 + b9 X 1.9 + b10 X 1.10 + b11 X 1.11 + b12 X 1.12 + b13 X 2.1 + b 14 X 2.2 + b15 X 2.3 + b 16 X 2.4 + b17 X 2.5 + b 18 X 2.6 + e Di mana: Y = Tingkat adopsi teknologi (%) a = intersep (konstanta) b1 . . . 18 = koefisien regresi peubah independen X 1,1 = Umur (tahun) X 1 . 2 = Pendidikan formal (tahun) X 1.3 = Pendidikan nonformal (kali) X 1.4 = Pengalaman usahatani kakao (tahun) X 1.5 = Luas lahan kakao (hektar) X 1.6 = Tenaga kerja dalam keluarga (orang)
31 X 1.7 = Pemupukan modal usahatani kakao (Rp) X 1.8 = Pendapatan usahatani kakao (Rp) X 1.9 = Aktivitas mencari sumber informasi (kali/triwuan) X 1.10 = Persepsi terhadap teknologi (%) X 1.11 = Keberanian ambil resiko (%) X 1.12 = Perilaku petani terhadap teknologi (%) X 2.1 = Dukungan penyuluhan (%) X 2.2 = Dukungan kelompok tani (%) X 2.3 = Dukungan pemda (%) X 2.4 = Dukungan saprodi (%) X 2.5 = Dukungan pembiayaan (%) X 2.6 = Dukungan pemasaran (%) e = residual (pengaruh peubah luar)
Analisis uji statistik regresi linear berganda merupakan statistik parametrik yang digunakan untuk menganalisis data peubah interval atau rasio, yang diambil dari populasi yang berdistribusi normal (Sugiyono, 2007). Data penelitian yang tidak disaratkan dalam analisis regresi seperti data skoring, diantisipasi dengan metode transformasi data dengan mengkonversi menjadi persentase (%), seperti peubah persepsi terhadap teknologi, keberanian ambil resiko, perilaku petani, dukungan penyuluhan, dukungan kelompok tani, dukungan Pemda, dukungan saprodi, dukungan pembiayaan, dan dukungan pemasaran. Untuk menghasilkan estimasi model yang digunakan dan dapat memenuhi standar BLUE (Best Linear Unbiased Estimator), maka dilakukan pengujian asumsi klasik berupa uji normalitas, uji homokedastisitas, dan uji linearitas. •
Untuk mengetahui ketepatan model yang digunakan, maka digunakan uji determinasi yang ditunjukkan besarnya nilai koefisien determinasi ganda R square (R2). Nilai R2 menunjukkan besarnya kemampuan menerangkan peubah independen terhadap peubah dependen. Jika nilai R2 = 1 atau mendekati 1 maka peubah yang digunakan tersebut adalah baik, yang dirumuskan sebagai berikut:
Di mana: R2 = koefsien determinasi Y i = Y pengamatan = Y parameter = rata-rata pengamatan ESS = jumlah kuadrat terkecil TSS = jumlah kuadrat total
32 •
Untuk mengetahui pengaruh semua peubah secara bersamaan terhadap peubah dependen, maka dilakukan uji F (over all test), yang dirumuskan sebagai berikut:
Di mana: JKR = Jumlah kuadrat regresi JKE = Jumlah kuadrat error n = Jumlah sampel k = Jumlah peubah
Hipotesis uji: H 0 : bi = 0; tidak ada hubungan linear antara peubah independen X terhadap peubah dependen Y H 0 : bi ≠ 0; artinya ada hubungan linear antara peubah independen X terhadap peubah depenen Y Jika F -hit > F -tab , maka H 0 ditolak Jika F -hit < F -tab , maka H 0 diterima •
Untuk mengetahui pengaruh peubah independen secara sendiri-sendiri terhadap peubah dependen,
maka dilakukan uji t (t test) yang dirumuskan sebagai
berkut:
Di mana: bi = Koefisien regresi ke i dengan derajat bebas n-k-1 Se(b i ) = Akar varian b i
Hipotesa uji: H 0 : bi = 0; tidak ada pengaruh peubah independen X terhadap peubah dependen Y H 0 : bi ≠ 0; ada pengaruh peubah independen X terhadap peubah dependen Y Jika t -hit > t -tab, maka H 0 ditolak Jika t -hit < t -tab, maka H 0 diterima Definisi Operasional 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi teknologi adalah komponen-komponen atau unsur-unsur karakteristik yang melekat maupun yang tidak melekat pada petani, atau secara internal maupun eksternal yang mempengaruhi pengambilan keputusan (menerima atau menolak) teknologi usahatani kakao, yang meliputi:
33 a. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang pernah diikuti petani kakao pada lembaga pendidikan formal yang dinyatakan dengan tahun. b. Pendidikan nonformal, yaitu pendidikan yang pernah diikuti petani kakao secara nonformal khususnya bidang pertanian seperti: kursus atau pelatihan, magang atau studi banding, yang dinyatakan dengan kali. c. Pengalaman berusahatani kakao, yaitu lamanya responden menggeluti usahatani kakao hingga saat pengambilan data, yang dinyatakan tahun. d. Penguasaan lahan usaha tani kakao, yakni luas lahan yang dikuasai atau dimiliki untuk usaha tani kakao, yang dinyatakan dengan hektar (ha). e. Ketersediaan tenaga kerja keluarga, yaitu banyaknya tenaga kerja keluarga baik laki-laki maupun wanita dewasa, lanjut, dan anak-anak secara aktif dalam usahatani kakao, yang dinyatakan dengan orang (jiwa). f. Pemupukan modal usahatani, yaitu kemampuan modal atau biaya yang dicurahkan dalam menerapkan teknologi usahatani kakao, yang dinyatakan dengan rupiah (Rp). g. Pendapatan usahatani kakao, yaitu pendapatan bersih yang diperoleh dari usahatani kakao, di mana penerimaan yang diperoleh petani dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan, yang dinyatakan dengan rupiah (Rp). h. Aktivitas mencari sumber informasi inovasi teknologi usahatani kakao, yaitu aktivitas petani untuk mendapatkan informasi teknologi usahatani kakao baik di dalam maupun di luar wilayah tempat tinggalnya, yang dinyatakan dengan kali/triwulan. i. Persepsi petani terhadap sifat inovasi teknologi usahatani kakao, yaitu pendapat atau pandangan petani mengenai teknologi usahatani kakao dipandang dari segi sifat inovasi teknologi, yang terdiri dari: -
Tingkat keunggulan relatif yaitu perbandingan keunggulan relatif antara teknologi introduksi dengan teknologi petani yang dinyatakan dengan skor.
-
Tingkat kesesuaian (compatibility,) yaitu sesuai atau tidaknya teknologi usahatani kakao dengan kebiasaan petani, yang dinyatakan dengan skor.
-
Tingkat kerumitan (complexity,) yaitu rumit atau tidaknya teknologi usahatani kakao untuk dilaksanakan, yang dinyatakan dengan skor.
34 -
Tingkat kemudahan untuk dicoba (trialibility), yaitu mudah tidaknya teknologi dicoba pada kondisi petani, yang dinyatakan dengan skor.
-
Tingkat ketampakan/amatan untuk dilihat hasilnya (observability), yaitu kemudahan mengamati hasilnya, yang dinyatakan dengan skor.
j. Keberanian mengambil resiko, yaitu tindakan keputusan yang diambil petani untuk menerapkan terknologi usahatani kakao dengan pertimbangan resiko yang mungkin terjadi, yang dinyatakan dengan skor. 2. Dukungan penyuluhan, yaitu keterlibatan penyuluh dalam menyampaikan informasi pertanian yang kaitannya dengan inovasi teknologi SUID berupa aktivitas kunjungan, materi yang disampaikan dan kemudahan untuk ditemui, yang dinyatakan dengan skor. 3. Dukungan kelompok tani, yaitu keterlibatan kelompok tani dalam mendukung kegiatan teknologi SUID anggota kelompok tani berupa aktivitas kelompok tani, dukungan program kelompok dan manfaat kelompok tani bagi anggota, yang dinyatakan dengan skor. 4. Dukungan Pemerintah Daerah (Pemda), yaitu keterlibatan Pemerintah Daerah dalam pengembangan usahatani kakao berupa bantuan material (fisik), bantuan non material (pembinaan dan penyuluhan), bantuan infrastruktur, yang dinyatakan dengan skor. 5. Kemudahan memperoleh sarana produksi, yaitu keterlibatan lembaga penyedia sarana produksi (pupuk, obat-obatan, bahan dan alat pertanian) secara lokal berupa ketersediaan jumlah, tersedia dalam jenis dan kemudahan perolehan saprodi, yang dinyatakan dengan skor. 6. Kemudahan pembiayaan usahatani, yaitu keterlibatan lembaga pembiayaan dalam menyediakan pembiayaan usahatani kakao secara lokal berupa ketersediaan jumlah yang dibutuhkan, ketepatan saat diperlukan dan kemudahan perolehan, yang dinyatakan dengan skor. 7. Kemudahan pemasaran hasil, yaitu kemudahan petani kakao dalam pemasaran hasil pertanian ke sumber pemasaran, baik aspek harga, kontinuitas, jumlah, maupun jarak ke sumber pemasaran, yang dinyatakan dalam skor. 8. Perilaku petani, yaitu segala bentuk tindak tanduk petani sehubungan dengan penerapan paket teknologi SUID, yang meliputi:
35 a. Pengetahuan petani terhadap teknologi SUID, yaitu tingkat pengetahuan teoritis yang dikuasai petani terhadap paket teknologi SUID, yang dinyatakan dalam skor. b. Sikap mental petani terhadap teknologi SUID, yaitu pernyataan atau pendapat tentang penerimaan atau penolakan petani terhadap paket teknologi SUID, yang dinyatakan dalam skor. c. Keterampilan petani terhadap teknologi SUID, yaitu tingkat pengetahuan praktek yang dikuasai petani terhadap paket teknologi SUID, yang dinyatakan dalam skor. 9. Tingkat adopsi teknologi SUID, yaitu tingkat kemampuan petani kakao dalam menerapkan paket teknologi SUID dalam usahataninya, terdiri atas: a) Paket teknologi pemeliharaan kakao terdiri dari pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, sanitasi kebun, b) paket teknologi perbaikan tanaman kakao terdiri dari pemangkasan, pemanfaatan tanaman pelindung (naungan) dan rehabilitasi dengan metode sambung samping, c) paket teknologi panen dan pasca panen kakao yang terdiri dari panen sering, fermentasi, pembersihan biji kakao (sortasi), pengeringan kakao dan wadah penjemuran biji kakao.yang dinyatakan dalam persentase. Selanjutnya penilaian paket teknologi SUID disajikan pada Tabel 5.
36 Tabel 5. Penilaian Komponen Paket Teknologi SUID No. I 1 1.1 a. b. c. d. a. b. c. d. a. b. c. d. 1.2 a. b. c. a. 1.3 a. b. c. d. 2 2.1 a. b. c. d. 2.2 a. b. c. d. 2.3 a. b. c. d. 3 3.1 a. b. c. d. 3.2 a. b. c. d.
Komponen Teknologi SUID Kakao Pemeliiharaan Tanaman Kakao Pemupukan anjuran Dosis pupuk : Urea (300 kg / ha / tahun) Tidak diterapkan Lebih dari anjuran Kurang dari anjuran Sesuai dengan anjuran SP 36 (150 kg / ha / tahun) Tidak diterapkan Lebih dari anjuran Kurang dari anjuran Sesuai dengan anjuran KCl ( 150 kg / ha / tahun) Tidak diterapkan Lebih dari anjuran Kurang dari anjuran Sesuai dengan anjuran Cara pemupukan anjuran : Tidak diterapkan Dihambur saja Ditabur disekeliling tanaman Dibenamkan disekeliling atau barisan antar pohon Jenis pupuk anjuran Tidak diterapkan (0 %) Sebagian kecil diterapkan (< 50 %) Sebagian diterapkan (50-75 %) Sebagian besar diterapkan (> 75 %) Pengendalian Hama Penyakit Penerapan dosis obat HP anjuran: Tidak sesuai anjuran Lebih dari anjuran Kurang dari anjuran Sesuai anjuran Penerapan cara pengendalian HP Anjuran Tidak diterapkan ( 0 %) Sebagian kecil diterapkan (< 50 %) Sebagian diterapkan (50-75 %) Sebagian besar diterapkan (> 75 %) Jenis obat hama dan penyakit Tidak diterapkan (0 %) Sebagian kecil diterapkan (< 50 %) Sebagian saja diterapkan (50-75 %) Sebagian besar diterapkan (> 75 %) Sanitasi kebun Pembersihan kebun Tidak diterapkan (0 %) Sebagian kecil diterapkan (< 50 %) Sebagian saja diterapkan (50-75 %) Sebagian besar diterapkan (> 75 %) Penanganan gulma/rumput Tidak diterapkan (0 %) Sebagian kecil ditangani (< 50 %) Sebagian ditangani (50-75 %) Sebagian besar ditangani (> 75 %)
skor
0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3
0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3
0 1 2 3 0 1 2 3
37 No. 3.3 a. b. c. d. II 1 a. b. c. d. 2 a. b. c. d. 3 a. b. c. d. III 1 a. b. c. d. 2 a. b. c. d. 3 a. b. c. d. 4 a. b. c. d. 5 a. b. c. d.
Komponen Teknologi SUID Kakao Penimbunan cangkang/kulit kakao Tidak diterapkan (0 %) Sebagian kecil dibenamkan (< 50 %) Sebagian dibenamkan (50-75 %) Sebagian besar dibenamkan (> 75 %) Perbaikan Tanaman Pemangkasan Tidak diterapkan (0 %) Sebagian kecil diterapkan (< 50 %) Sebagian diterapkan (50-75 %) Sebagian besar diterapkan (> 75 %) Tanaman penaung Tidak diterapkan (0 %) Sebagian kecil diterapkan (< 50 %) Sebagian diterapkan (50-75 %) Sebagian besar diterapkan (>75 %) Sambung samping Tida ada diterapkan (0 %) Sebagian kecil yang diterapkan (< 50 %) Sebagian yang diterapkan (50-75 %) Sebagian besar diterapkan (> 75 %) Panen dan Pasca Panen Panen sering (Berturut-turut 4-5 hari/periode) Tidak diterapkan Berturut-turut 1 - 2 hari perperiode panen Berturut-turut 3 - 4 hari perperiode panen Berturut-turut 5 - 6 hari perperiode panen Fermentasi kakao (5-6 hari) Tidak ada diterapkan Fermentasi 1 - 2 hari Fermantasi 3 - 4 hari Fermentasi 5 - 6 hari Standar kebersihan biji (0 % kadar kotoran) Tidak ada mencapai standar (0 %) Sebagian kecil mencapai standar (< 50 %) Sebagian mencapai standar (50-75 %) Sebagian besar mencapai standar (> 75 %) Standar kering biji (7.5 – 5 % kadar air) Tidak ada mencapai standar (0 %) Sebagian kecil mencapai standar (< 50 %) Sebagian mencapai standar (50-75 %) Sebagian besar mencapai standar (> 75 %) Standar wadah penjemuran (bangku para-para + plastik bening + paranet Tidak ada mencapai standar Kurang mencapai standar Cukup mencapai standar Mencapai standar
skor 0 1 2 3
0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3
0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 3
0 1 2 3
38
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Letak Geografis Desa Lambandia berjarak sekitar 90 km dari kabupaten Kolaka dan berjarak 120 Km dari kota provinsi. Wilayah desa Lambandia dilalui jalan poros provinsi yang menghubungkan kabupaten Kolaka dan kabupaten Konawe Selatan dengan batas wilayah desa sebagai berikut: Sebelah Utara
: Desa Wonuambuteo
Sebelah Selatan : Desa Mokupa Sebelah Barat
: Desa Penanggosi dan desa Aere
Sebelah Timur : Kelurahan Penanggo Jaya Luas wilayah desa Lambandia sekitar 20 km2 yang berada pada ketinggian 100 - 150 mdpl dan terdiri dari 6 dusun yaitu dusun Sipatuo, Sumber Jaya, Harta Indah, Tawe Koreo, Anggalowuta I dan Anggalowuta II, yang berada di atas lahan dengan topografi datar. Keadaan Penduduk Jumlah penduduk desa Lambandia sebanyak 1.197 jiwa termasuk Kepala Keluarga (KK) sebanyak 283 KK atau 23,64 persen dari jumlah penduduk (lihat Tabel 6). Penduduk menyebar di 6 dusun yaitu dusun Sipatuo, Sumber Jaya, Harta Indah, Tawe Koreo, Anggalowuta I dan Anggalowuta II. Penyebaran tersebut termasuk penyebaran jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Penduduk dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 592 (49,46 %) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 605 (50,54 %) jiwa. Tabel 6. Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Dusun
Jumlah Kepala Keluarga (KK)
Laki-laki (jiwa)
Perempuan (jiwa)
Jumlah Jiwa
47 54 34 46 38 64 283
95 100 80 102 74 141 592
108 111 74 106 67 139 605
203 211 154 208 141 280 1.197
Sipatuo Sumber Jaya Harta Indah Tawe Koreo Anggalowuta I Anggalowuta II Jumlah Jiwa Sumber : Profil Desa Lambadia, 2008
39 Berdasarkan usia kerja atau usia produktif penduduk desa Lambandia maka dapat digolongkan berdasarkan usia penduduk. Usia yang tergolong usia kerja atau usia produktif (21 – 50 tahun) sebanyak 572 jiwa atau 47,79 persen, usia yang belum produktif sebanyak 510 jiwa atau 42,61 persen. Sedangkan usia yang kurang atau tidak produktif berjumlah 115 jiwa atau 9,61 persen (lihat Tabel 7). Tabel 7. Penduduk Berdasarkan Tingkatan Umur Golongan Umur (tahun) 1–5 6 – 10 11 – 15 16 – 20 21 – 25 26 – 30 31 – 35 36 – 40 41 – 45 46 – 50 51 – 55 > 55 Jumlah
Jumlah (jiwa) 131 118 128 133 106 105 90 105 100 66 39 76 1.197
Persentase ( % ) 1,10 0,99 10,69 11,11 0,89 0,88 0,75 0,88 0,84 0,55 0,33 0,63 100,00
Sumber: Profil Desa Lambandia, 2008
Keadaan pendidikan Tingkat pendidikan penduduk desa Lambandia umumnya tergolong rendah (tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, tamat SD) sebanyak 795 jiwa atau 66,41 persen. Tingkat pendidikan dengan golongan sedang (SLTP dan SLTA) sebanyak 239 jiwa atau 19,97 persen. Tingkat pendidikan yang tergolong tinggi (diploma dan sarjana) sebanyak 5 jiwa atau 0,42 persen. Sedangkan yang belum sekolah sebanyak 148 jiwa atau 12,36 persen. Lihat Tabel 8. Tabel 8. Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan Jenjang pendidikan Belum sekolah Tidak pernah sekolah SD tidak tamat SD tamat SLTP dan sederarajay SLTA dan sederajat D2 dan D3 Sarjana Jumlah
Jumlah (jiwa) 148 49 351 395 169 70 11 4 1,197
Persentase ( % ) 12,36 4,09 29,32 32,99 14,12 5,85 0,92 0,35 100,00
Sumber: Profil Desa Lambandia, 2008
Tingkat pendidikan yang umumnya relatif rendah tersebut menjadi faktor pembatas dalam roda pembangunan wilayah, sehingga dibutuhkan pendekatan
40 pembangunan masyarakat yang sesuai kondisi tingkat pendidikan masyarakat, seperti penyampaian program penyuluhan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat. Dukungan Kelembagaan Kelembagaan yang terdapat di desa Lambandia dalam mendukung roda pembangunan desa antara lain: kelompok tani, koperasi tani, Gapoktan, kios saprodi, sekolah dasar, dasa wisma, majelis ta’lim dan pedagang lokal. Lebih jelasnya lihat Tabel 9. Tabel 9. Dukungan Kelembagaan Desa Lambandia Jenis kelembagaan Perangkat desa Gapoktan Kelompok tani Koperasi tani Kios saprodi Dasa wisma Majelis ta’lim Pedagang lokal
unit 1 1 5 1 3 5 3 6
Sumber: Profil Desa Lambandia, 2008
Sarana Infrastruktur Sarana infrastruktur yang menunjang aktivitas roda pemerinhahan dan kemasyarakatan desa Lambandia terdiri dari sarana ibadah, sarana pendidikan, sarana jalan, sarana gedung pertemuan masyarakat dan sarana kesehatan. Lebih jelasnya diperlihatkan pada Tabel 10. Tabel 10. Sarana Infrastruktur Desa Lambandia Jenis kelembagaan Masjid Sekolah dasar Sekolah TK Jalan usahatani Gedung pertemuan masyarakat Posyandu Sumber: Profil Desa Lambandia, 2008
unit 2 1 1 12 1 1
41
Karakteristik Faktor Internal Petani Responden Karakteristik internal petani responden terdiri dari umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pengalaman berusahatani kakao, penguasaan lahan kakao, ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga, pemupukan modal usahatani kakao, pendapatan usahatani kakao, aktivitas mencari sumber informasi teknologi, persepsi terhadap inovasi teknologi SUID, keberanian mengambil resiko dan perilaku petani, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 11. Umur Umur petani dapat mempengaruhi kemampuan fisik petani dalam melakukan kegiatan usahataninya dan kemudian akan mempengaruhi adopsi teknologi. Umur seseorang bertambah dan kemampuan untuk bekerja secara fisik meningkat. Namun pada batas umur tertentu, maka kemampuan fisik akan cenderung menurun dan produktivitas bekerja juga semakin menurun. Tabel 11 menjelaskan bahwa sekitar 95 persen petani responden tergolong produktif dan rata-rata umur produktif petani yaitu 42,94 tahun. Berarti petani responden dalam melakukan pekerjaan usahatani khususnya kebun kakao umumnya didukung dengan tenaga fisik yang baik, termasuk kematangan emosionalnya juga mendukung dalam pengambilan keputusan dalam berusahatani kakao. Menurut Soehardjo dan Patong (1978), umur seseorang petani akan mempengaruhi secara fisik bekerja dan cara berpikir. Kemampuan fisik yang dimaksud mencakup produktivitas tenaga kerja di bidang pertanian. Sependapat De Cecco (1989) bahwa umur seseorang berpengaruh pada kematangan fisik dan emosi. Pendidikan Formal Pendidikan formal merupakan sarana belajar untuk meningkatkan pengetahuan (cognitive), sikap (attitude) dan keterampilan (psychomotor) seseorang. Pendidikan mempengaruhi tingkat berpikir dan penalarannya dalam pengambilan keputusan maupun dalam bertindak. Fungsi pendidikan menurut Tilaar (1996) adalah menguak potensi individu dan cara manusia mampu mengontrol potensinya yang telah dikembangkan agar dapat bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidupnya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan
42 mempengaruhi cara berpikir, sikap dan perilakunya kearah yang lebih rasional dalam menerima atau memahami inovasi teknologi yang diperolehnya. Tabel 11 menjelaskan bahwa petani responden yang pernah mengenyam pendidikan formal mencapai 88,00 persen dan sisanya sebesar 12,0 persen adalah kategori yang tidak mengenyam pendidikan formal (tidak sekolah). Umumnya pendidikan formal petani responden tergolong rendah, yakni rata-rata 6,41 tahun atau setara Sekolah Dasar (SD). Rendahnya pendidikan formal petani disebabkan sebagian petani sebelumnya meninggalkan bangku sekolah dan bahkan tidak sempat mengenyam pendidikan karena ikut keluarga pindah ke daerah Sulawesi Tenggara untuk membuka lahan usahatani kakao yang lebih menguntungkan dibanding di daerah asal (Sulawesi Selatan), yang menggeluti usahatani sawah, usahatani kakao dan beternak sapi maupun beternak kambing dengan skala usaha kecil sehingga tidak mampu menopang perekonomian keluarga. Tingkat pendidikan formal petani yang demikian diduga mempengaruhi pertimbangan rasional petani dalam menerima informasi maupun pengambilan keputusan teknologi dalam usahatani kakao. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) bahwa mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi, begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah makin lambat mengadopsi. Pendidikan Nonformal Pendidikan nonformal petani merupakan pendidikan yang diperoleh di luar bangku sekolah seperti mengikuti pelatihan atau kursus, magang atau sekolah lapang. Semakin tinggi pendidikan nonformal petani, maka akan berpeluang untuk mempercepat diterapkannya teknologi yang ditawarkan. Tabel 11 menjelaskan bahwa pada umumnya pendidikan nonformal petani masih tergolong rendah, yakni rata-rata 2 kali dan sekitar 62 persen petani responden termasuk kategori tersebut. Bentuk pendidikan nonformal yang umumnya pernah diikuti petani adalah pelatihan dengan mtode sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SL-PHT) dan kegiatannya berupa pemupukan, pengendalian hama, sanitasi dan pemangkasan. Petani yang sering mengikuti pelatihan umumnya di tingkat pengurus kelompok, sementara anggota biasa kurang mengikuti pelatihan. Pelatihan diberikan di tingkat pengurus kelompok
43 dengan harapan dapat diteruskan kepada anggotanya, tetapi hal tersebut kurang dilakukan karena dinamika dalam kelompok tani utamanya kekompakan anggota masih rendah. Menurut Manulang (1996) pelatihan merupakan usaha untuk mengembangkan kecakapan atau menambah keahlian dan efisiensi kerja seseorang. Tabel 11. Keadaan Karakteristik Faktor Internal Petani Responden Karakteristik internal petani Kategori responden Umur Produktif (22 – 45 tahun) Cukup produktif (46 – 65 tahun) Kurang produktif (66 – 72 tahun) Pendidikan Tidak Sekolah Formal SD (6 tahun) SLTP (9 tahun) SLTA (12 tahun) Pendidikan Rendah (0 - 2 kali) nonformal Sedang (3 - 5 kali) Tinggi (6 - 8 kali) Pengalaman Cukup (4 – 13 tahun) berusahatani Tinggi (14 – 22 tahun) kakao Sangat tinggi (22 – 32 tahun) Penguasaan lahan Sempit (< 1,0 Ha) usahatani kakao Luas (1,0 – 2,0 Ha) Sangat luas ( > 2,0 Ha) Tenaga kerja Kurang (1 - 2 orang ) dalam keluarga Cukup (3 - 4 orang ) Tinggi (5 - 6 orang ) Pemupukan modal Rendah (300 – Rp 1.311) usahatani kakao. Sedang (1.312 – Rp 2.323) (000) Tinggi (2.324 – Rp 3.333) Pendapatan Rendah (1.440 – Rp 5.093) usahatani kakao. Sedang (5.094 – Rp 8.747) (000) Tinggi (8.748 – Rp 12.400) Aktivitas mencari Rendah (1 kali/ triwulan) sumber informasi Sedang (2 kali/ triwulan) teknologi Tinggi (3 kali/ triwulan) Persepsi terhadap Cukup setuju (skor 2,97 - 3,41) teknologi Setuju (skor 3,42 - 3,86) Sangat setuju (skor 3,87 - 4,31) Keberanian Rendah (skor 1,50 - 2,46 ) mengambil resiko Sedang (skor 2,47 - 3,43 ) Tinggi (skor 3,44 - 4,40 ) Keterangan: Jumlah Responden 125 orang
Jumlah (orang)
Persentase (%)
84 38 3 15 76 17 17 78 27 20 38 62 25 6 52 67 45 62 18 90 26 9 14 60 51 81 27 17 29 68 28 62 41 22
67,20 30,40 2,40 12,00 60,80 13,60 13,60 62,40 21,60 16.00 30,40 49,60 20.00 4,80 31,60 53,60 36,00 49,60 14,40 72,00 20,80 7,20 11,20 48,00 40,80 64,80 21,60 13,60 23,2 54,4 22,4 49,60 32,80 17,60
44 Pengalaman Usahatani Kakao Pengalaman
petani
berusahatani
berpengaruh
pada
cara
mereka
menerapkan atau mengadopsi suatu teknologi baru. Mereka yang telah lama menggeluti usahatani kakao akan banyak pula pengalaman yang diperolehnya, dan jika hal itu relatif berhasil selama mengusahakan suatu komoditas, biasanya memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang lebih baik dibanding dengan petani yang kurang berpengalaman. Tabel 11 menjelaskan bahwa pengalaman usahatani kakao petani responden pada umumnya tergolong tinggi, yakni rata-rata 17 tahun. Ini gambaran bahwa petani kakao dalam melaksanakan usahataninya umumnya telah mapan untuk berusahatani kakao. Pengalaman usahatani kakao yang dimiliki petani berpengaruh pada pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak inovasi teknologi. Walker (1993) mengartikan pengalaman adalah hasil akumulasi dari proses belajar seseorang, yang selanjutnya mempengaruhi stimulus yang diterimanya dan meresponnya guna memutuskan sesuatu yang baru baginya. Penguasaan Lahan Usahatani Kakao Lahan usahatani merupakan faktor produksi utama untuk berusahatani. Penguasaan lahan usahatani oleh petani harus jelas kepemilikannya, agar dalam menjalankan usahataninya dapat leluasa menentukan komoditi dan teknologi yang akan diterapkan. Birowo et al dalam Adjid (2001) mengatakan bahwa petani memiliki lahan yang luas sangat respon terhadap penerapan teknologi baru disektor pertanian, sebaliknya pada lahan yang sempit para petani menganggapnya tidak efektif. Sebagian besar (53,60 %) penguasaan lahan kakao petani responden berada pada luasan > 2,00 hektar (Tabel 11). Petani responden umumnya menguasai lahan kakao tergolong luas, yakni rata-rata 2,73 hektar. Luasan lahan yang terkecil adalah 0,50 hektar dan luasan lahan yang terbesar adalah 8,00 hektar. Petani cenderung memperluas lahan kakao karena alasan semakin luas lahan kakao yang dikuasainya maka penghasilan akan meningkat pula. Lahan yang dikuasai biasanya merupakan investasi (tabungan) yang akan diwariskan kepada keluarga atau anakanaknya kelak. Berdasarkan pengamatan dilapangan bahwa semakin luas
45 penguasaan lahan petani, maka semakin tinggi pula status sosial keluarga dalam masyarakat. Ketersediaan Tenaga Kerja Keluarga Tenaga kerja dalam keluarga merupakan asset modal tenaga kerja usahatani bagi suatu keluarga tani, yang juga menjadi beban tanggung jawab bagi kepala keluarga (tanggungan keluarga) dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Rumah tangga biasanya terdiri dari suami, istri, anak, orang tua, famili suami atau istri dan juga orang lain yang menjadi tanggungan kepala rumah tangga. Tabel 11 menjelaskan bahwa sekitar 64 persen petani responden memiliki ketersediaan tenaga kerja keluarga tergolong rendah. Tenaga kerja keluarga yang tersedia setiap keluarga sekitar 2 - 3 orang. Jika dibandingkan dengan rata-rata penguasaan lahan petani seluas 2,73 hektar, maka petani biasanya masih membutuhkan tenaga kerja tambahan dari luar keluarga. Kegiatan usahatani yang biasanya membutuhkan tambahan tenaga kerja luar keluarga adalah kegiatan pemangkasan dan kegiatan panen dan pascapanen. Ketersediaan tenaga kerja keluarga petani responden diduga mempengaruhi pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menerapkan teknologi dalam usahatani kakao. Apabila tenaga kerja dalam keluarga tidak mencukupi untuk menyelesikan pekerjaan usaha tani kakaonya, maka biasanya keluarga tani menambah tenaga kerja luar (tenaga kerja upahan). Pemupukan Modal Usahatani Kakao Faktor produksi permodalan pada kegiatan usahatani merupakan unsur penting dalam mencapai produksi dan produktivitas hasil yang memadai disamping ketersediaan tenaga kerja dan sumberdaya lahan yang tersedia. Pemupukan modal merupakan besarnya modal yang tersedia untuk usahatani kakao, yang digambarkan dengan besarnya modal yang dialokasikan dalam satu proses produksi. Tabel 11 menjelaskan bahwa sebagian besar petani responden (72,00 %) memiliki kemampuan pemupukan modal usahatani kakao tergolong rendah. Kemampuan modal usahatani kakao
petani responden rata-rata sebesar
Rp.1,1 juta/hektar/tahun. Modal usahatani biasanya diperuntukkan pembiayaan
46 sarana produksi (pupuk, racun hama dan obat penyakit tanaman) dan upah tenaga kerja. Rendahnya pemupukan modal usahatani kakao disebabkan pendapatan yang
diperoleh
petani
masih
tergolong
rendah
yaitu
rata-rata
Rp.5,1
juta/hektar/tahun. Jika dikaitkan penguasaan lahan kakao setiap petani rata-rata 2,75 hektar, maka pendapatan yang diperoleh rata-rata sebesar Rp.10,2 juta/hektar/tahun, sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga petani setiap bulannya sekitar Rp.850.000/bulan. Hal ini masih rendah jika dibandingkan dengan kebutuhan keluarga yang memiliki tangungan sekitar 4 – 5 orang/KK, Pendapatan petani yang tergolong rendah tersebut akan mempengaruhi besar kecilnya pemupukan modal pada usahatani kakaonya. Alternatf untuk mendapatkan modal tanbahan usahatani kakao, petani biasanya berhubungan dengan pihak pedagang atau pengusaha kakao untuk meminjam saprodi maupun dalam bentuk finansial. Transaksi peminjaman biasanya disertai agunan atau jaminan berupa sertifikat tanah atau lahan kebun dan pengembalian pinjaman tersebut biasanya setelah musim panen. Di duga keterbatasan modal pada usahatani kakao mempengaruhi petani kakao dalam mengadopsi teknologi yang dianjurkan. Pendapatan Usahatani Kakao Pendapatan merupakan hal yang diidamkan oleh seseorang dalam berusaha. Namun jika dalam berusaha tidak menguntungkan maka cenderung untuk ditinggalkan. Teknologi yang ditawarkan kepada petani sedapat mungkin menjamin memberikan keuntungan lebih dibanding teknologi yang sudah ada sebelumnya. Tabel 11 menjelaskan bahwa hampir 60 persen pendapatan petani masih tergolong sangat rendah hingga rendah dan besarnya pendapatan petani pada usahatani kakao rata-rata Rp. 5,1 juta per hektar/tahun. Rendahnya pendapatan petani disebabkan rendahnya produktivitas kakao, yaitu hanya mencapai sekitar 470 kg/hektar/tahun. Sementara potensi genetik tanaman kakao bisa mencapai 2 - 4 ton/hektar/tahun (Puslitkoka, 2005). Indikasi rendahnya produktivitas kakao karena masih rendahnya penerapan teknologi pemeliharaan tanaman kakao seperti pemupukan yang belum berimbang, penanganan hama dan penyakit belum
47 optimal, yang ditandai tingginya serangan hama PBK, penyakit kanker batang dan busuk buah. Selanjutnya penanganan sanitasi kebun masih rendah, seperti rendahnya penerapan pembersihan lahan dan rendahnya penanganan penimbunan cangkang kakao. Petani masih enggan untuk melakukan pembersihan secara maksimal karena jika dibersihkan akan berpotensi tumbuhnya rumput-rumputan atau gulma. Selain itu masih rendahnya penanganan tanaman yang kurang produktif yang berumur antara 20 – 30 tahun melalui rehabilitasi dengan metode sambung samping. Bunch (2001) mengatakan bahwa kalau suatu inovasi diharapkan meningkatkan produktivitas suatu sistem pertanian setempat, maka dengan satu atau cara lain, inovasi tersebut harus (dapat) mengatasi faktor-faktor pembatas yang ada dalam sistem itu. Standar kualitas biji kakao yang dijual petani rata-rata belum mencapai standar kualitas yang diinginkan oleh pedagang atau pengusaha kakao yaitu standar kering biji kakao sekitar 9 – 12 persen dan standar kadar kebersihan biji masih rendah yaitu sekitar 5 – 15 persen. Stardar baku biji kakao yang berlaku di tingkat pedagang atau pengusaha kakao dilokasi penelitian yaitu sekitar 7,5 persen untuk kadar kering biji kakao dan 0 persen untuk standar kadar kebersihan biji kakao. Rendahnya standar kualitas biji kakao yang dihasilkan petani menyebabkan harga jual yang diterima petani rata-rata rendah. Harga terendah sekitar Rp.15.000 - Rp.18.000/kg biji kering dan harga tertinggi yang berlaku saat penelitian yaitu sekitar Rp.20.000 - Rp.25.000/kg biji kering. Rendahnya penanganan produksi usahatani kakao dan penangan pascapanen menyebabkan produktivitasnya rendah dan pendapatan yang diperoleh petani juga akan rendah. Diduga pendapatan petani mempengaruhi keputusannya untuk mengadopsi suatu teknologi. Buch (2001) mengatakan bahwa faktor tunggal yang paling menentukan untuk menimbulkan semangat akan suatu program adalah peningkatan pendapatan perorangan yang dapat dicapai dengan teknologi anjuran program. Aktivitas Mencari Sumber Informasi Teknologi Petani responen dalam mencari sumber informasi teknologi sebagaian besar 64,00 %) tergolong rendah. Kualitas mencari sumber informasi teknologi tersebut tergolong kurang yakni intensitas keaktifan sekitar 1 - 2 kali/triwulan. Rendahnya
48 aktivitas petani mencari informasi teknologi karena petani belum membiasakan diri mengetahui maupun mencoba hal-hal baru yang bersumber dari luar tempat dia menetap. Petani umumnya memperoleh informasi yang sumbernya dari petani maju, tokoh masyarakat, pengurus kelompok tani maupun petugas penyuluh, sebagai anutan yang dianggap memiliki kelebihan atau kemampuan memecahkan masalah usahatani. Petani beranggapan sumber informasi tersebut selain memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih juga keseringan aktivitas di luar wilayah tinggi seperti pertemuan, pelatihan, atau magang. diindikasikan bahwa rendahnya tingkat aktivitas petani mencari sumber informasi karena tingkat pengetahuan dan pengalaman berhubungan dengan pihak luar tempat sumber informasi teknologi rendah. Menurut Lionberger (1960) bahwa golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif dibanding orang-orang yang pasif. Persepsi Terhadap Sifat Teknologi Persepsi petani responden dalam menilai atau menafsir sifat inovasi teknologi, bersumber dari dalam dirinya sendiri berdasarkan pengetahuan atau pengalaman yang diperolehnya. Penafsiran sifat teknologi yang dipandang dari segi keuntungan, kesesuaian kondisi setempat, kerumitan dan kemudahan untuk diujicobakan serta mudah tidaknya diamati. Rogers (1995) menyatakan bahwa kecepatan adopsi merupakan kecepatan relatif diadopsinya suatu inovasi oleh anggota-anggota sistem sosial, dan kecepatannya dipengaruhi oleh sifat inovasi itu sendiri.
Sementara
Ray (1998)
menegaskan
bahwa
keunggulan
relatif,
kompatibilitas, trialibilitas, observabilitas dan prediktibilitas dari suatu inovasi berhubungan positif dengan tingkat adopsinya. Tabel 11 menjelaskan bahwa 100,0 persen petani responden setuju teknologi SUID dikembangkan di wilayah tersebut. Diindikasikan bahwa sifat teknologi yang diperkenalkan petani sebagian besar mendapat tanggapan positif yakni relatif menguntungkan, tidak bertentangan dengan kebiasaan (budaya) setempat, mudah dilakukan atau diujicobakan dan dapat segera dilihat hasilnya. Kendati pada prinsipnya petani setuju atau menerima sifat teknologi yang dianjurkan tersebut, tetapi pertimbangan eksternal teknologi dan pemahaman
49 petani tentang teknologi yang dianjurkan masih rendah, sehingga beberapa komponen teknologi SUID kuarang direspon sebagian petani seperti teknologi sanitasi (pembersihan kebun dan penimbunan cangkang kakao), pemanfatan pohon penaung, fermentasi dan sambung samping. Teknologi sanitasi kurang direspon petani khususnya pembersihan lahan dari serasah (daunan kakao) dan cangkang kakao karena jika lahan dibersihkan dari daunan kakao akan berpotensi tumbuhnya rumput-rumputan (gulma) dan konsekuensinya adalah penambahan waktu dan tenaga kerja penyemprotan rumput. Teknologi
pemanfaatan
pohon
penaung
kurang
direspon
karena
pemahaman atau anggapan petani bahwa jika pohon penaung diterapkn akan berpotensi berkembangnya hama PBK, sebagaimana pernah terjadi tahun sebelumnya. Teknologi fermentasi kurang direspon karena pertimbangan nilai tambah yang tidak berbeda jauh dengan kakao nonfermentasi (asalan). Selisih harga kakao fermentasi dan nonfermentasi antar Rp.1500 – Rp.2000, berdasarkan pengalaman petani tidak menunjukkan peningkatan pendapatan yanag berarti. Teknologi sambung samping pada umumnya direspon petani, tetapi keterbatasan keterampilan teknik atau cara okulasi pada tanaman kakao sehingga kurang diterapkan. Petani menerapkan sambung samping biasanya menggunakan jasa okulator maupun penyuluh yang terlatih dan petani yang telah berhasil dengan imbalan jasa. Petani yang memiliki kemampuan modal lebih biasanya cenderung menerapkan teknologi tersebut. Menurut Liliweri (1997) bahwa seseorang mempersepsi sesuatu obyek biasanya didasarkan pada pengalamannya. Persepsi petani tentang sifat inovasi teknologi yang ditawarkan kepada petani akan berpengaruh pada perilaku petani (pengetahuan, sikap dan keterampilan) terhadap teknologi. Keberanian Mengambil Resiko Petani menerapkan suatu teknologi baru, mempertimbangkan berbagai resiko yang mungkin terjadi, baik bentuk resiko biaya yang dikorbankan maupun kegagalan produksi yang mungkin terjadi. Menurut Mardikanto (1993) bahwa kecepatan adopsi seseorang mengadopsi suatu teknologi dipengaruhi oleh
50 keberanian mengambil resiko, individu yang memiliki keberanian mengambil resiko biasanya inovatif. Keberanian petani untuk mengambil resiko dalam menerapkan suatu teknologi biasanya mempertimbangkan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki, selain itu erat kaitannya dengan tujuan mereka dalam berusahatani, yakni hanya sekedar untuk kebutuhan sehari-hari (subsistem) maupun tujuan meningkatkan pendapatannya yang bersifat komersil. Pertimbangan petani terhadap beberapa teknologi yang dianjurkan tersebut, maka kualitas keberanian petani mengambil resiko termasuk katagori sedang atau rata-rata skor 2,68. Keadaan petani dalam keberanian mengambil resiko menerapkan teknologi menunjukkan hampir 50 persen tergolong rendah (lihat Tabel 11). Keadaan ini disebabkan oleh beberapa pertimbangan, baik aspek teknis maupun aspek nonteknis teknologi yang dianjurkan. Aspek teknis berupa kurangnya penguasaan teknik atau cara menerapkan teknologi sambung samping dan pemangkasan pemeliharaan. Aspek nonteknis berupa harga yang berlaku sebagaimana pada teknologi fermentasi kakao yang tidak berbeda jauh dengan harga kakao nonfermentasi, kurangnya pemahaman tentang pemanfaatan pohon penaung yang anggapan petani dapat berpotensi timbulnya hama PBK. Penerapan panen sering konsekuensinya, akan menambah biaya, waktu dan tenaga kerja, dimana petani terbatas akan modal dan tenaga kerja, Karakteristik Faktor Eksternal Petani Responden Karakteristik eksternal petani responden terdiri atas; dukungan penyuluhan, dukungan kelompok tani, dukungan Pemerintah Daerah, dukungan sarana produksi, dukungan pembiayaan, dan dukungan pemasaran, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 12. Dukungan Penyuluhan Dukungan penyuluhan berupa kegiatan menyampaikan informasi maupun kegiatan diseminasi yang berkaitan dengan usahatani kakao. Indikatornya adalah aktivitas penyuluh menyampaikan informasi, kejelasan materi yang disampaikan dan kemudahan untuk menghubungi petugas penyuluh saat diperlukan. Tabel 12 menjelaskan bahwa penilaian petani responden terhadap dukungan penyuluhan umumnya tergolong tinggi atau rata-rata skor 3,05. Ini
51 menunjukkan bahwa kualitas kegiatan penyuluhan yang dirasakan petani tergolong tinggi sebab aktivitas kunjungan penyuluh yang tergolong aktif serta mudah untuk ditemui jika diperlukan. Penyuluh sering mengikuti kegiatan pertemuan kelompok, aktif memberikan informasi baik teknologi usahatani kakao maupun informasi harga, aktif menjadi mediator maupun fasilitator dalam mendinamisasikan kelompok tani. Metode penyuluhan yang disampaikan umumnya lebih bersifat pertemuan atau tatap muka yang titik masuknya pada kelompok tani dengan memanfaatkan jadwal pertemuan kelompok, yang biasanya dilakukan pada malam hari. Menurut Mardikanto (1993) bahwa kecepatan adopsi suatu inovasi salah satunya ditentukan oleh intensitas/aktivitas penyuluh pertanian mempromosikan inovasinya. Semakin rajin penyuluh menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula. Secara kuantitatif, sekitar 42 persen petani responden menilai dukungan penyuluhan tergolong sedang atau cukup dan sisanya sekitar 58 persen merasakan kegiatan penyuluhan tergolong tinggi hingga sangat tinggi. Jadi pada prinsipnya hampir semua petani responden merasakan manfaat kegiatan penyuluhan, tetapi kegiatan penyuluhan dalam mengubah perilaku petani untuk menerapkan tekonologi, sebagian baru merasakan sebab metode penyampaian materi teknologi sebagian belum dimengerti petani baik dari aspek materinya maupun aspek teknis pelaksanaannya. Petani menilai informasi yang disampaikan penyuluh dominan sifatnya menginformasikan materi saja dan jarang dalam bentuk nyata atau praktek. Harapan petani adalah materi teknologi yang disampaikan dapat segera dikuasai secara praktis cara atau teknik penerapannya. Harapan petani demikian dapat dipahami karena sebagian besar petani responden (48,80 %) tingkat pendidikan formalnya tergolong rendah yaitu tidak sekolah hingga sekolah dasar (SD) (lihat Tabel 11), sehingga diindikasikan tingkat penerimaan dan penalaran teknologi yang disampaikan juga masih rendah. Musyafak dan Ibrahim (2005) berpendapat bahwa untuk menjamin keberhasilan dalam diseminasi inovasi ke petani, maka penggunaan metode penyuluhan kelompok harus memenuhi sarat sebagai berikut: a) Menggunakan bahasa yang paling mudah dimengerti oleh petani, b) penyampaian harus praktis, tidak berteletele agar mudah dipahami, c) menggunakan alat bantu yang tepat sehingga
52 diperoleh ilustrasi yang lengkap dan d) harus diperbanyak peragaan/demonstrasi/ percontohan/pembuktian teknologi untuk meyakinkan petani. Tabel 12. Keadaan Karakteristik Faktor Eksternal Petani Responden Karakteristik internal petani Kategori responden Dukungan Sedang (skor 2.33 - 2.88) penyuluhan Tinggi (skor 2,89 - 3.44) Sangat tinggi (skor 3.45 - 4.00) Dukungan Sedang (skor 2.33 - 3.11) kelompok tani Tinggi (skor 3.12 - 3.90) Sangat tinggi (skor 3.91 - 4.67) Dukungan Sedang (skor 2.67 - 3.33) Pemerintah Daerah Tinggi (skor 3.34 - 4.00) Sangat tinggi (skor 4.01 - 4.67) Dukungan sarana Rendah (skor 2.00 - 2.55) produksi Sedang (skor 2.56 - 3.11) Tinggi (skor 3.12 - 3.67) Dukungan Sangat rendah (skor 1.00 - 1.66) pembiayaan Rendah (skor 1.67 - 2.33) Sedang (skor 2.34 - 3.00) Dukungan Sedang (skor 3.00 - 3.44) pemasaran Tinggi (skor 3.45 - 3.89) Sangat Tinggi (skor 3.90 - 4.33)
Jumlah
Persentase
53 42 30 42 36 47 42 38 45 25 62 38 41 62 22 23 32 70
42,40 33,60 24,00 33,60 28,80 37,60 33,60 30,40 36,00 20,00 49,60 30,40 32,80 49,60 17,60 18,40 25,60 56,00
Keterangan: Jumlah Responden 125 orang
Dukungan Kelompok Tani Kelompok tani merupakan wadah organisasi petani yang memiliki peran cukup penting dalam penyebaran inovasi teknologi baru. Keberhasilan usahatani sangat ditentukan oleh perilaku petani pada usahatani itu sendiri yang tergabung dalam kelompok tani. Dukungan kelompok tani berupa aktivitas kelompok tani dalam menunjang usahatani kakao anggota, kegiatan atau program kelompok yang berorientasi pada kepentingan usahatani kakao anggota dan manfaat kelompok terhadap kemajuan usahatani dan kesejahteraan anggota. Tabel 12 menjelaskan bahwa penilaian petani responden terhadap dukungan kelompok tani terhadap pengembangan usahatani kakao pada umumnya tergolong tinggi atau rata-rata skor 3,59. Ini menunjukkan kualitas kegiatan kelompok tani terhadap pengembangan usahatani kakao anggota tergolong mendukung. Diindikasikan bahwa sebagian petani telah merasakan manfaat positif dari kelompok tani terhadap pengembangan usahatani kakao, seperti dapat
53 memecahkan masalah anggota dalam pemasaran kakao, harga kakao mudah dan cepat diketahui, informasi teknologi usahatani kakao mudah diperoleh, mempererat hubungan silaturahmi sesama anggota, dan manfaat lainnya. Penilain petani responden terhadap kelompok tani dalam menunjang kegiatan usahatani kakao pada prinsipnya mendukung. Sekitar 37 persen petani yang merasakan dukungan kelompok adalah cukup dan sisanya sekitar 63 persen merasakan dukungan kelompok tani tergolong tinggi. ini menunjukkan manfaat keberadaan kelompok tani yang dirasakan petani hampir seragam. kondisi ini dimungkinkan karena umumnya program pemerintah daerah baik tingkat kabupaten maupun provinsi sering melibatkan kelompok tani dalam setiap kegiatan, seperti pembinaan dan pelatihan, mengambil bagian dalam pengambilan keputusan perencanaan usahatani di tingkat desa, pendistribusian bantuan pemerintah seperti bibit, pupuk, wadah
penjemuran kakao dan bahkan
dimanfaatkan oleh perangkat desa untuk kepentingan sosial kemasyarakatan desa. Penilaian dukungan kelompok tani cukup atau sedang karena beberapa anggota kelompok yang kelompok taninya yang secara internal belum berjalan baik. seperti kelompok tani Sipatuo, kelompok tani Mamminasae, dan kelompok tani Mappasitujue. Kendalanya adalah masih kurang kompaknya sebagian anggota dan pengurus kelompok terkesan belum mampu mengendalikan organisasi kelompok sehingga kedinamisan kelompok tani belum berjalan dengan optimal. Menurut Cartwright dan Zander (1960) bahwa semakin dinamis suatu kelompok tani, maka semakin tinggi tingkat adopsi inovasi. Dukungan Pemerintah Daerah Peran Pemerintah Daerah sangat penting dalam mendukung pembangunan pertanian disuatu Wilayah. Dukungan Pemda dapat berupa program, peraturan daerah (Perda), bantuan fisik maupun pembinaan yang memberikan manfaat bagi petani kakao khususnya percepatan adopsi suatu inovasi. Tabel 12 menjelaskan bahwa penilaian petani responden terhadap dukungan Pemerintah Daerah umumnya tinggi atau rata-rata skor 3,82, bahkan secara individu sebagian besar petani (36,00 %) menilai dukungan pemerintah terhadap percepatan adopsi teknologi adalah sangat tinggi. Hal ini dimungkinkan karena perhatian pemerintah sangat tinggi terhadap keberhasilan program Prima
54 Tani, baik pemerintah kabupaten Kolaka maupun dari pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara. Dukungan yang diberikan berupa bantuan fisik seperti alat/wadah standar penjemuran kakao, bibit kakao dan bibit durian, sarana pupuk NPK Ponska, kapur pertanian, perbaikan jalan usahatani dan jalan provinsi. Selanjutnya pembinaan mutu produk kakao serta memediasi kemitraan pemasaran dengan pengusaha eksportir. Dukungan Sarana Produksi Ketersedian sarana produksi merupakan faktor penting dalam kelancaran usahatani. Dukungan sarana produksi yang mejadi indikator dalam penelitian ini berupa tersedianya sarana produksi dalam jumlah, jenis dan waktu saat dibutuhkan. Tabel 12 menjelaskan bahwa penilaian petani responden terhadap dukungan sarana produksi secara umum tergolong cukup mendukung atau rata-rata skor 2,91 dan sebagian besar petani responden (49,60 %) menilai sarana produksi cukup mendukung. Dukungan sarana produksi yang paling dirasakan petani adalah ketersediaan pupuk Urea dan racun hama, tetapi jenis pupuk SP 36 maupun KCl dinilai kurang mendukung baik jumlah maupun saat diperlukan, karena kurang atau jarang tersedia secara lokal. Kelangkaan jenis pupuk tersebut menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya penerapan teknologi pemupukan anjuran. Menurut Mosher (1987) bahwa tersedianya sarana produksi secara lokal merupakan salah satu sarat pokok untuk berlangsungnya pembangunan pertanian, pada umumnya inovasi teknologi memerlukan input/sarana produksi berupa benih berkualitas, pupuk, pestisida dan lainnya yang dibutuhkan petani. Tersedianya sarana produksi secara lokal dan terjangkau harganya, diduga berpengaruh positif terhadap tingkat adopsi. Dukungan Pembiayaan Tersedianya biaya dalam usahatani mendorong petani untuk lebih leluasa untuk merencanakan, mengatur dan mengelolah usahataninya. Demikian juga halnya penerapan inovasi baru pada usahatani biasanya membutuhkan tambahan biaya.
Indikator
dukungan
pembiayaan
berupa
kemudahan
memperoleh
pembiayaan, tersedianya jumlah yang diperlukan dan ketersediaan saat dibutuhkan. Tabel 12 menjelaskan bahwa penilaian dukungan pembiayaan dalam usahatani kakao umumnya masih rendah atau rata-rata skor 1,63 dan hampir
55 50 persen petani responden yang menilai hal tersebut. Rendahnya dukungan pembiayaan terhadap usahatani kakao karena lembaga penyedia pembiayaan mensaratkan penjaminan, sementara petani umumnya kurang atau tidak memiliki penjaminan, misalnya bank BRI mensaratkan jaminan sertifikat tanah. Koperasi tani telah berdiri namun belum mampu memenuhi permintaan simpan pinjam anggota sesuai yang dibutuhkan karena keterbatasan dana koperasi. Kondisi ini biasanya dimanfaatkan oleh beberapa pelepas uang atau rentenir yang menawarkan jasa pinjaman dengan jaminan kebun kakao (gadai). Buch (2001) menyatakan bahwa petani enggan mengadopsi teknologi baru karena akan memerlukan tambahan biaya dibandingkan penggunaan teknologi terdahulu. Tambahan biaya tersebut
biasanya
untuk
membeli
tambahan
input
sehubungan
dengan
diterapkannya inovasi baru tersebut, yang dirasakan berat utamanya bagi petani kecil. Dukungan Pemasaran Lancarnya penyaluran dan penjualan produk usahatani akan menambah gairah petani untuk berusahatani. Pasar membutuhkan hasil produksi yang bermutu dan berkualitas, sehingga untuk memperoleh kualitas dan mutu produk yang bersaing, maka penerapan teknologi sangat diperlukan. Adanya pasar yang jelas dan terjangkau oleh petani diduga berhubungan positif dengan adopsi teknologi. Tabel 12 menjelaskan bahwa umumnya petani menilai dukungan pemasaran hasil kakao tinggi atau rata-rata skor 3,89 dan lebih 80 persen petani responden
menilai tingginya dukungan pemasaran.
Tingginya
dukungan
pemasaran kakao di wilayah tersebut karena mudah dijangkau oleh pedagang, jalanan transfortasi dapat ditembuh oleh kendaraan kecil maupun besar, pedagang lokal mudah ditemui, dan posisi tawar menawar petani baik jumlah maupun harga relatif tidak memberatkan. Adanya pasar yang jelas dan mudah dijangkau akan menambah gairah petani meningkatkan produksi kakaonya. Untuk meningkatkan produksi dan persaingan mutu produksi maka petani akan berusaha menerapkan teknologi. Mosher (1987) mengatakan bahwa adanya tempat pemasaran bagi output usahatani yang mudah dijangkau oleh petani merupakan salah satu sarat utama dalam modernisasi dan komersialisasi pertanian.
56 Karakteristik Perilaku Petani Tingkat Pengetahuan Terhadap Teknologi SUID Tingkat pengetahuan merupakan tingkat penguasaan materi pokok petani responden terhadap teknologi SUID, yakni kesanggupan untuk menyebut kembali hingga pada kesanggupan menilai teknologi SUID. Menurut Ray (1998) bahwa pengetahuan terjadi pada saat seseorang atau unit pengambilan keputusan lainnya, kontak dengan inovasi dan mendapatkan pengertian dan fungsi inovasi tersebut. Fungsi pengetahuan pada intinya bersifat kognitif atau sekedar mengetahui. Materi pokok teknologi SUID berupa paket teknologi pemeliharaan tanaman kakao, paket teknologi perbaikan tanaman, paket teknologi panen dan pasacapanen. Penguasaan mengetahui materi teknologi baik jumlah maupun mutunya oleh petani memegang peran penting untuk membentuk sikap dan keterampilan terhadap usahatani kakao. Petani responden sebagian besar menunjukkan hampir 50 persen penguasaan pengetahuan teknologi SUID tergolong rendah (lihat Tabel 13). Banyaknya petani yang tergolong rendah penguasaan pengetahuan teknologi SUID tersebut diindikasikan kurangnya informasi yang diperoleh petani, dimana sebagian besar petani responden (64,80 %) intensitas mencari sumber informasi teknologi masih rendah atau 1 – 2 kali/triwulan (lihat Tabel 11) dan rendahnya pemahaman atau pengertian tentang teknologi oleh petani. Tabel 13. Keadaan Tingkat Penguasaan Pengetahuan Teknologi SUID Skor pengetahuan teknologi SUID Rendah (skor 2,06 - 2,95) Sedang (skor 2,96 - 3,85) Tinggi (skor 3,86 - 4,75)
Jumlah (N = 125) 61 32 32
Persentase (%) 48,80 25,60 25,60
Rataan skor = 3,24
Rendahnya intensitas mencari sumber informasi teknologi oleh petani disebabkan petani umumnya belum terbiasa dengan teknologi yang dianggap baru dari luar. Petani biasanya menerapkan teknik atau cara baru setelah melihat petani sekitarnya menerapkan dan berhasil, sehingga petani kurang berhubungan atau berusaha mencari informasi di luar wilayahnya. Pengetahuan teknologi usahatani kakao biasanya diperoleh antara sesama petani sekitar sehingga terkesan kondisi hubungan sosialnya masih bersifat lokalitas. Pengelompokkan ciri masyarakat petani demikian oleh Rogers (1995) adalah termasuk golongan masyarakat Early
57 Majority, yaitu mengadopsi gagasan baru sebelum kebanyakan orang dalam masyarakat mengahadapinya, mereka perpikir dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengambil keputusan adopsi. Rendahnya pemahaman atau pengertian petani tentang teknologi SUID disebabkan masih kurangnya dukungan penyuluhan (42,40 %) kepada petani (lihat Tabel 12) khususnya metode penyampaian materi teknologi. Materi penyuluhan yang disampaikan biasanya menggunakan bahasa komunikasi yang tinggi dan menggunakan bahasa pengantar bahasa melayu (indonesia) yang umumnya kurang dikuasai petani. Bahasa pengantar yang digunakan dan dikuasai oleh umumnya petani setempat adalah bahasa bugis sesuai dengan daerah asalnya. Selain itu tingkat pendidikan formal maupun nonformal petani masih tergolong rendah, bahkan sebagian petani belum menguasai bahasa bacaan maupun tulisan (melek huruf) sehingga mempengaruhi cara berpikir, sikap dan perilakunya kearah yang lebih rasional dalam menerima atau memahami inovasi teknologi yang diperolehnya. Meningkatkan pengetahuan teknologi dengan kondisi sosial petani tersebut dalam penyuluhan, maka intensitas penyuluhan perlu ditingkatkan dengan memperbanyak metode diseminasi teknologi berupa demonstrasi atau percontohan yang merupakan pembuktian praktis bagi petani dan memperbanyak materi bacaan teknologi dalam bentuk gambar atau kalikatur yang mudah dipahami petani. Selain itu bahasa komunikasi yang digunakan diusahakan bahasa yang telah familiar dengan petani setempat. Tingkat pengetahuan petani responden tentang teknologi SUID pada umumnya tergolong sedang atau rata-rata skor 3,24. Tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi SUID secara kualitas sebagian belum dikuasai. Tingkat penguasaan pengetahuan ketiga paket teknologi SUID yakni pengetahuan pemeliharaan tanaman kakao dengan skor 3,43, pengetahuan perbaikan tanaman kakao dengan skor 3,26 dan pengetahuan panen dan pascapanen dengan skor 2,89. Namun secara spesifik, penguasaan pengetahuan komponen teknologi SUID masih beragam dari yang tergolong rendah (skor 1,94) hingga tergolong tinggi (skor 4,16), sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 14.
58 Tabel 14. Skor Penguasaan Pengetahuan Teknologi SUID Komponen teknologi Pemeliharaan kakao • Pemupukan • Pengendalian hama/penyakit • Sanitasi kebun Perbaikan tanaman • Pemangkasan • Pemanfaatan pohon penaung • Sambung samping Panen dan pascapanen • Panen sering • Fermentasi • Sortasi biji • Kadar kering biji • Wadah penjemuran
Skor
Rataan skor 3,43
2,96 3,35 3,99 3,26 3,57 4,16 2,05 2,89 1,94 3,05 3,15 3,27 3,05
Keterangan: Kategori skor kurang (1,00 – 2,33), cukup (2,34 – 3,67) dan tinggi (3,68 – 5,00)
Penguasaan pengetahuan teknologi sambung samping dan panen sering masih tergolong rendah, masing-masing skor 2,05 dan skor 1,94. Rendahnya penguasaan pengetahuan kedua komponen teknologi tersebut karena masih tergolong baru diketahui oleh umumnya petani dibanding dengan teknologi lainnya. Di mana Penguasaan teknologi SUID tertingi adalah teknologi sanitasi kebun dan pemanfaatan pohon penaung, masing-masing skor 3,99 dan 4,16. Kemudian yang termasuk katagori cukup adalah pengetahuan teknologi pemupukan (skor 2,96), pengendalian hama dan penyakit (skor 3,35), pemangkasan (skor 3,57), fermentasi (skor 3,05), sortasi biji (skor 3,15), kadar kering biji (skor 3,27) dan wadah penjemuran (skor 3,05). Sikap Mental Terhadap Teknologi SUID Sikap mental petani responden merupakan perilaku yang mencerminkan sikap dalam penerimaan dan atau penolakan petani responden melalui pandangan pribadi petani responden terhadap teknologi SUID, yang didasarkan pada rasa percaya, ketertarikan dan penasaran. dimana peranan sikap percaya cenderung dipengaruhi ranah pengetahuan (cognitive component), peranan sikap tertarik cenderung dipengaruhi ranah perasaan (affective component) dan peranan sikap penasaran cenderung dipengaruhi ranah melakukan (action tendency component). Thurstone (1928) dalam Mueller (1992) mendefenisikan sikap sebagai jumlah seluruh kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan prasangka, prapemahaman
59 yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal khusus. Keadaan sikap mental petani responden terhadap teknologi SUID dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Keadaan Sikap Mental Petani Responden Terhadap Teknologi SUID Skor sikap mental terhadap teknologi SUID Cukup menerima (skor 3,14 - 3,69 Menerima (skor 3,70 - 4,25) Sangat menerima (skor 4,26 - 4,81)
Jumlah (N = 125) 25 67 33
Persentase (%) 20,0 53,6 26,4
Rataan skor = 4,01
Tabel 15 menunjukkan bahwa umumnya sikap mental petani responden terhadap teknologi SUID termasuk kategori menerima atau rata-rata 4,01 dan sebagian besar petani responden (53,60 %) tarmasuk menerima teknologi SUID tersebut. Ini berarti petani responden umumnya merespon positif teknologi SUID yang dianjurkan. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999) bahwa sikap positif terhadap pertanian modern (inovasi teknologi) akan mendorong adopsi teknologi. Secara kulaitas sikap penerimaan petani terhadap teknologi SUID yang termasuk kategori tinggi yaitu pada paket taknologi pemeliharaan tanaman kakao dengan rata-rata skor 3,71 dan perbaikan tanaman kakao dengan rata-rata skor 4,19. Sedangkan paket teknologi panen dan pascapanen berada pada kategori cukup dengan rataan skor 2,97, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 16. Tabel 16. Skor Sikap Mental Terhadap Teknologi SUID Komponen teknologi Pemeliharaan kakao • Pemupukan • Pengendalian hama/penyakit • Sanitasi kebun Perbaikan tanaman • Pemangkasan • Pemanfaatan pohon penaung • Sambung samping Panen dan pascapanen • Panen sering • Fermentasi • Sortasi biji • Kadar kering biji • Wadah penjemuran
Skor
Rataan skor 3,71
3,60 3,97 3,57 4,19 4,07 4,08 4,43 2,97 1,52 2,23 3,59 3,36 4,15
Keterangan: Kategori skor kurang (1,00 – 2,33), cukup (2,34 – 3,67) dan tinggi (3,68 – 5,00)
60 Tabel 16 menjelaskan bahwa sikap mental petani terhadap teknologi panen dan pascapanen tergolong cukup diterima atau tergolong sedang. Keadaan ini disebabkan kurang tertariknya petani pada komponen teknologi panen sering dan teknologi fermentasi. Besarnya skor masing-masing komponen tersebut adalah skor 1,52 dan skor 2,23. Petani responden umumnya kurang tertarik untuk menerapkan teknologi panen sering karena pertimbangan waktu, tenaga dan biaya. Teknologi panen sering membutuhkan keseringan waktu panen sehingga konsekuensinya adalah menyediakan tenaga kerja, sedangkan ketersediaan tenaga kerja aktif dalam keluarga masih tergolong rendah atau sekitar 2 - 3 orang per rumah tangga, sehingga membutuhkan tenaga kerja luar keluarga (upahan) yang tentunya akan mengeluarkan biaya tenaga kerja dengan biaya tenaga kerja Rp.25.000 hingga Rp.30.000/orang/hari. Selain itu tenaga kerja upahan biasanya sulit didapatkan pada waktu musim panen karena panen hampir bersamaan dengan petani lain. Teknologi fermentasi biji kakao kurang tertarik bagi petani responden karena pertimbangan harga. Jika dibandingkan selisih harga kakao fermentasi dengan harga kakao nonfermentasi, yakni sekitar Rp.1.500 hingga Rp.2.000 dinilai oleh
sebagian
besar
petani
belum
menguntungkan
dari
aspek
proses
pengolahannya. Selanjutnya ketatnya pemberlakuan standarisasi pengolahan biji kakao fermentasi oleh pedagang atau eksportir dirasakan berat bagi petani. Petani
responden
umumnya
tertarik
pada
teknologi
pemupukan,
pengendalian hama dan penyakit, pemangkasan kakao, pemanfaatan pohon penaung, standar kadar kebersihan biji, standar kadar kering biji dan standar wadah penjemuran karena teknologi tersebut mudah diterapkan petani dan kurang membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Sedangkan teknologi rehabilitasi tanaman dengan metode sambung samping, umumnya petani tertarik untuk menerapkan. Hal ini terkait dengan tingkat produksi kakao yang umumnya masih tergolong rendah yakni sekitar 600 kg/ha. Sementara teknologi sambung samping dapat menghasilkan produksi kakao sekitar 1 - 2 ton/ha. Soekartawi (1988) mengatakan bahwa jika memang benar teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relatif besar dari nilai yang dihasilkan teknologi lama, maka kecepatan adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.
61 Keterampilan Terhadap Teknologi SUID Keterampilan petani responden merupakan tingkat penguasaan praktek atau kemampuan praktis terhadap teknologi SUID, yakni tingkat kemampuan praktis dalam teknologi pemeliharaan tanaman kakao, perbaikan tanaman kakao dan panen dan pascapanen. Tingkat penguasaan keterampilan petani responden terhadap teknologi SUID diperlihatkan pada Tabel 17. Tabel 17. Keadaan Tingkat Penguasaan Keterampilan Teknologi SUID Skor keterampilan terhadap SUID Rendah (skor 2,13 - 2,77) Cukup (skor 2,78 - 3,42) Tinggi (skor 3,43 - 4,07)
teknologi
Jumlah (N = 125) 54 43 28
Persentase (%) 43,20 34,40 22,40
Rataan skor = 2,98
Tabel 17 menjelaskan bahwa petani responden umumnya memiliki kualaitas penguasaan praktek terhadap teknologi SUID tergolong cukup trampil atau rata-rata skor 2,98, tetapi secara kuantitas sebagian besar petani (43,20 %) termasuk kategori rendah, berarti petani responden belum sepenuhnya menguasai secara praktis teknologi SUID. Penguasaan praktis paket teknologi SUID oleh petani responden pada komponen teknologi pemeliharaan tanaman kakao adalah skor 3,07, komponen perbaikan tanaman kakao skor 2,58 dan komponen panen dan pasca panen skor 3,03. Jadi secara kualaitas masing–masing termasuk kategori cukup terampil, seperti diperlihatkan pada Tabel 18. Tabel 18 Skor Penguasaan Keterampilan Teknologi SUID Komponen teknologi Pemeliharaan kakao • Pemupukan • Pengendalian hama/penyakit • Sanitasi kebun Perbaikan tanaman • Pemangkasan • Pemanfaatan pohon penaung • Sambung samping Panen dan pascapanen • Panen sering • Fermentasi • Sortasi biji • Kadar kering biji • Wadah penjemuran
Skor
Rataan skor 3,07
3,20 2,99 3,02 2,58 2,79 2,90 2,05 3,03 2,24 2,84 3,40 3,33 3,35
Keterangan: Kategori skor kurang (1,00 – 2,33), cukup (2,34 – 3,67) dan tinggi (3,68 – 5,00)
62 Tabel 18 menjelaskan bahwa penguasaan praktis petani responden terhadap teknologi SUID berkisar dari kurang terampil hingga cukup terampil. Tingkat penguasaan praktis petani tergolong kurang atau rendah terjadi pada komponen teknologi sambung samping (skor 2,05) dan panen sering (skor 2,24). Penguasaan praktis teknologi sambung samping pada tanaman kakao rendah karena petani umumnya belum menguasai teknik atau cara okulasi. Teknologi tersebut terbilang baru bagi petani sehingga belum terbiasa melakukannya. Petani umumnya kurang mendapat pelatihan praktis dari penyuluh atau petugas okulator sedangkan petani antusias untuk menerapkan teknologi tersebut, hal ini ditunjukkan dengan sikap mentalnya terhadap teknologi sambung samping yang tergolong tinggi atau skor 4,43 (lihat Tabel 16), artinya teknologi tersebut bagi petani sangat tertarik untuk diterapkan. Teknologi sambung samping sebagian telah diterapkan petani walaupun dalam skala yang tidak luas, yang umumnya menggunakan jasa bantuan petani yang telah berhasil atau petugas okulator yang telah terlatih dibidang tersebut dan diberikan imbalan jasa sesuai kesepakatan. Keragaman Tingkat Adopsi Teknologi SUID Petani Responden Komponen teknologi yang dianjurkan dalam program Prima Tani meliputi; a) paket pemeliharaan tanaman kakao, terdiri atas pemupukan, pengendalian hama penyakit, sanitasi kebun, b) paket teknologi perbaikan tnaman kakao, terdiri dari pemangkasan, pemanfaatan tanaman penaung, dan rehabiltasi tanaman dengan metode sambung samping, dan c) paket teknologi panen dan pascapanen kakao, terdiri dari panen sering, fermentasi biji, standar kebersihan biji (sortasi biji), standar kekeringan biji (penjemuran), standar wadah penjemuran. Sebagian besar (83,20 %) petani responden berada pada kategori tingkat adopsi sedang. Petani yang termasuk kategori tingkat adopsi tinggi sebesar 13,60 persen. Sedangkan banyaknya petani yang termasuk kategori adopsi rendah sebesar 3,20 persen, seperti yang disajikan pada Tabel 19.
63 Tabel 19. Keadaan Tingkat Adopsi Teknologi SUID Petani Responden Skor tingkat adopsi teknologi SUID Rendah (skor 00,00 - 33,00) Sedang (skor 34,00 - 67,00) Tinggi (skor 68,00 - 100,00)
Jumlah (N=125)
4 104 17
Persentase (%) 3,20 83,20 13,60
Rataan skor = 52,49
Tabel 19 menjelaskan bahwa umumnya tingkat adopsi teknologi SUID yang dianjurkan kepada petani berada pada kategori sedang yaitu rata-rata skor 52,49. Jadi secara kuantitas teknologi SUID yang dianjurkan umumnya cukup direspon oleh petani. Respon petani tersebut mengindikasikan bahwa sifat teknologi yang dianjurkan dalam program Prima Tani sebagian dapat diterima oleh petani, baik secara teknis teknis yakni pertimbangan kemudahan untuk dilakukan, secara ekonomi yakni pertimbangan dapat menguntungkan dan secara sosial yakni pertimbangan tidak bertentangan dengan budaya dan kebiasaan petani. Paket teknologi SUID yang diadopsi petani responden hampir semuanya termasuk kategori adopsi sedang. Paket teknologi yang tertinggi diadopsi adalah teknologi panen dan pascapanen dengan skor 63,63, kemudian adopsi teknologi pemeliharaan kakao (skor 49,26) dan adopsi terendah adalah teknologi perbaikan tanaman (skor 45,78) (lihat Tabel 20). Jadi secara umum kualitas adopsi paket teknologi SUID yang dianjurkankan tergolong cukup cukup. Kualitas komponen teknologi yang termasuk kategori adopsi tinggi yaitu penerapan teknologi standar wadah penjemuran kakao (skor 88,00), penerapan standar kadar kering biji (skor 77,87), penanganan gulma /rumput-rumputan (skor 74,93) dan penerapan jenis obat-obatan pengendalian hama dan penyakit (skor 73,07). Sedangkan komponen teknologi SUID yang termasuk kategori adopsi rendah adalah penanganan cangkang /kulit kakao (skor 16,00) dan penerapan rehabilitasi tanaman kakao dengan metode sambung samping (skor 32,00).
64 Tabel 20. Skor Adopsi Komponen Teknologi SUID Komponen teknologi Pemeliharaan tanaman kakao Pemupukan Dosis anjuran Jenis pupuk Cara pupuk Pengendalian hama dan penyakit Dosis anjuran Jenis anjuran Cara anjuran Sanitasi kebun Kebersihan Penanganan gulma penanganan cangkang kakao Perbaikan tanaman kakao Pemangkasan tanaman Pemanfaatan tanaman penaung Sambung samping Panen dan pascapanen Panen sering Fermentasi Sortasi biji Kadar kering biji Standar wadah penjemuran
Skor
Rataan skor 49.26 44.05
34.93 (sedang) 53.33 (sedang) 62.13 (sedang) 58.67 53.33 (sedang) 73.07 (tinggi) 49.60 (sedang) 48.53 54.67 (sedang) 74.93 (tinggi) 16.00 (rendah) 45.78 64.80 (sedang) 40.53 (sedang) 32.00 (rendah) 63.63 41.87 (sedang) 44.00 (sedang) 66.40 (sedang) 77.87 (tinggi) 88.00 (tinggi)
Keterangan: kategori rendah (0,00 - 33,00), sedang (34,00 - 67,00) dan tinggi (68,00 - 100,00)
Tabel 20 menJelaskan bahwa paket teknologi kategori adopsi sedang terjadi pada komponen teknologi pemupukan, yakni pada penerapan dosis anjuran (skor 34,93), penerapan jenis obat yang dianjurkan (skor 53,33) dan penerapan cara pemupukan anjuran (skor 62,13). Pada teknologi pengendalian hama penyakit, yakni terjadi pada penerapan dosis obat anjuran (skor 53,33) dan penerapan cara pengendalian (skor 49,60). Pada teknologi sanitasi kebun, yakni pada penerapan kebersihan kebun (skor 54,67). Pada teknologi perbaikan tanaman kakao, yakni terjadi pada penerapan pemangkasan tanaman kakao (skor 64,80) dan pemanfaatan tanaman penaung (skor 40,53). Pada teknologi panen dan pascapanen, yakni terjadi pada penerapan panen sering (skor 41,87), penerapan fermentasi biji kakao (skor 44,00) dan penerapan sortasi/kebersihan biji (skor 66,40).
65 Adopsi Teknologi Pemupukan Kakao Teknologi pemupukan termasuk kategori adopsi sedang atau rata-rata skor 44.05. Ini berarti terdapat 55,95 persen yang belum diadopsi oleh petani. Keadaan ini disebabkan penerapan dosis dan jenis pupuk sebagian besar belum diterapkan sesuai anjuran oleh petani. Pemupukan anjuran yang direkomendasikan pada program Prima Tani yaitu jenis Urea = 300 kg/ha/thn, SP-36 = 150 kg/ha/thn dan KCl = 150 kg/ha/thn. Untuk Penerapan dosis pupuk jenis Urea umumnya belum sesuai anjuran atau dosis pupuk yang diterapkan kurang dari anjuran yakni ratarata 200 kg/ha/thn. Sedangkan banyaknya petani yang menerapkan jenis pupuk tersebut adalah 100 persen. untuk penerapan dosis pupuk SP 36 juga masih kurang dari anjuran yakni rata-rata 115 kg/ha/thn dari 44.80 persen petani yang menerapkan. Sedangkan penerapan dosis jenis KCl juga masih kurang dari anjuran yakni rata-rata 83,50 kg/ha/thn dari 16,00 persen petani yang menerapkan. Beberapa indikasi yang menjadi kendala adopsi teknologi pemupukan anjuran petani, antara lain: a) Rendahnya kemampuan modal petani untuk menyediakan pupuk sesuai anjuran. Kemampuan modal petani secara kualitatif termasuk kategori rendah atau rata-rata Rp.1,1 juta/hektar. Jika dikomfermasikan dengan harga pupuk yang berlaku di lokasi penelitian maka harga pupuk jenis urea sebesar Rp 80.000 per sak, jenis SP 36 sebesar Rp 95.000 per sak dan jenis KCl sebesar Rp 130.000 per sak, sehingga biaya sarana pupuk yang harus disediakan petani berdasarkan anjuran teknologi sebesar Rp 1.115.000/ha/thn dan ini mendekati kemampuan modal petani yang hanya rata-rata Rp.1.147.000/ha/thn, belum termasuk biaya obat-obatan (racun hama dan racun rumput), tenaga kerja selama proses produksi, b) cara pemupukan sesuai anjuran teknologi sebagian belum sempurna diterapkan petani. Cara pemupukan yang dilakukan petani termasuk kategori sedang (skor 62,13) berarti cara pemupukan yamg dilakukan petani belum sempurna. Teknologi pemupukan menganjurkan untuk dibenamkan (ditimbun) dalam tanah tetapi umumnya petani masih menerapkan dengan cara menabur disekitar pohon dan menutup dengan daun. Pemupukan dengan cara membenamkan (timbun) pupuk konsekuensinya adalah penambahan tenaga kerja, sementara tenaga kerja keluarga yang produktif terbatas, yakni sekitar 2 hingga 3 orang per rumah tangga.
66 Menurut Bachrein dan Hasanuddin (1997) bahwa pada umumnya petani mengadopsi inovasi yang diintroduksikan tidak secara utuh namun hanya secara parsial, disesuaikan dengan kemampuan modal dan tenaga yang dimilikinya. Jadi ketersediaan modal dan tenaga kerja petani diduga mempengaruhi tingkat adopsi teknologi, dan c) Ketersediaan pupuk secara lokal masih dirasa kurang oleh petani responden utamanya jenis pupuk SP 36 dan KCl, tetapi untuk jenis urea selalu tersedia. Analisis deskriptif dukungan sarana produksi menunjukkan tergolong sedang atau rata-rata skor 2,91. Ini hanya berlaku pada jenis pupuk urea dan obatobatan (racun hama dan racun rumput). Untuk mendapatkan saran produksi tersebut biasanya diperoleh di pasar desa maupun pasar kecamatan atau melalui kios saprodi, pedagang maupun tengkulak (rentenir). Hasil pengamatan dilapangan bahwa petani yang kemampuan modal usahataninya tergolong rendah cenderung melakukan pinjaman modal, baik dalam bentuk sarana produksi (pupuk dan obatobatan) maupun dalam bentuk finansial (uang), dan tidak berlaku untuk tenaga kerja upahan. Peminjaman modal biasanya pada tengkulak maupun rentenir penyedia saprodi atau penyedia bentuk finansial (pelepas uang) dengan pengembalian pinjaman setelah panen kakao yang dikenal istilah “bayar musim”. Jika peminjaman modal dalam jumlah besar maka pihak penyedia pinjaman (tengkulak atau rentenir) mensaratkan adanya jaminan (agunan) yang biasanya berupa kebun kakao yang telah produksi dengan istilah “gadai kebun”. Menurut Manwan et al (1990) bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhdap adopsi inovasi adalah adanya faktor pendukung, seperti kebijakan ketersediaan input, pasar dan harga. Mosher (1997) menegaskan bahwa input/sarana produksi yang sesuai dengan keinginan petani adalah yang mempunyai sifat dari segi teknis efektif, mutunya dapat dipercaya, harga tidak mahal, tersedia saat petani butuhkan dan dijual dengan ukuran atau takaran yang sesuai. Adopsi Teknologi Pengendalian Hama dan Penyakit Adopsi pengendalian hama penyakit tanaman kakao termasuk kategori sedang atau rataan skor 58,67. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pengendalian hama dan penyakit baru sebagian diterapkan oleh petani responden. Indikator pengendalian hama dan penyakit yang diukur dalam penelitian ini berupa penggunaan dosis racun tanaman, jenis racun yang digunakan dan cara
67 pengendalian yang dilakukan. Penggunaan dosis racun tanaman sebagian petani belum memahaminya, mereka berpendapat bahwa semakin sering disemprot dengan racun tanaman semakin berkurang hama atau penyakit yang menyerang. Pemahaman
petani
tersebut
membuat
perilaku
petani
cenderung
menyemprot tanaman dengan intensitas yang tinggi. Penyemprotan biasanya dimulai pada awal pembuahan (buah pentil) pada akhir bulan 12 dan 2 dan intesitas penyemprotan biasanya 1 hingga 2 kali per bulan. Pada awal bulan 3 dan 4, penyemprotan biasanya berlangsung 3 hingga 4 kali per bulan. Pada bulan 5 hingga bulan 7, penyemprotan berlangsung 4 hingga 5 kali per bulan. Selanjutnya jenis racun yang digunakan beragam merk di tingkat petani seperti captur, supremax, clormide, unicide, supritos dan berbagai merk lainnya. Jenis obat yang umum digunakan adalah jenis dan merk captur. Diindikasikan bahwa terdapat keragaman pemahaman atau pengetahuan petani tentang jenis dan penggunaan racun. Petani cenderung mempertahankan jenis dan racun tanaman kakao jika hal tersebut dirasakan dapat menekan hama dan penyakit yang ada. Hama dan penyakit yang umum menyerang tanaman kakao petani adalah hama PBK (Penggerek Buah Kakao), penyakit busuk buah, penyakit kanker batang dan penggerek batang. Adopsi Teknologi Sanitasi Kebun Adopsi teknologi sanitasi kebun petani responden termasuk kategori sedang atau rata-rata skor 48,53. Jadi masih terdapat 51,47 persen yang belum diserap oleh petani. Jadi penerapan teknologi sanitasi kebun belum seutuhnya diterapkan oleh petani, disebabkan penanganan penimbunan cangkang (kulit) kakao di tingkat petani masih rendah atau skor 16.00. Hal ini terjadi karena selain kegiatan tersebut masih bersifat baru bagi petani, dampak kegiatan penimbunan cangkang kakao terhadap kurangnya hama dan penyakit pada tanaman kakao kurang dirasakan petani. Diindikasikan karena kurang kompaknya petani dalam hamparan untuk menerapkan teknologi penimbunan cangkang kakao. Jika sebagian kecil petani dalam sehamparan belum menerapkan kegiatan penimbunan cangkang kakao, maka hama dan penyakit belum dapat ditekan karena masih berdampak pada petani lain yang telah menerapkan teknologi tersebut.
68 Pendekatan penyuluhan yang diperlukan dalam rangka percepatan adopsi berupa massalisasi maupun pendekatan kelompok hamparan, sehingga keputusan adopsi yang diharapkan pada kegiatan tersebut adalah keputusan adopsi secara kolektif, yakni keputusan yang dibuat individu yang ada dalam sistem sosial melalui konsensus. Menurut Hanafi (1987) bahwa pengambilan keputusan inovasi merupakan proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolak. Ditambahkan bahwa salah satu tipe keputusan inovasi yaitu keputusan kolektif. Adopsi Teknologi Pemangkasan Tanaman Kakao Teknologi pemangkasan tanaman kakao yang dianjurkan adalah dengan metode pemangkasan pemeliharaan karena umumnya tanaman kakao telah mengahsilkan. Pemangkasan dianjurkan pada awal dan akhir musim hujan. Tujuannya adalah agar kelembaban optimal lingkungan kebun dapat terjaga, menekan berkembangnya hama PBK, menekan penyakit busuk buah dan penyakit lainnya yang rentang pada lingkungan lembab. Selain itu mendorong munculnya pembungaan pada batang tanaman sebagai cikal bakal buah sehingga buah diharapkan dapat berkembang pada batang tanaman. Teknologi ini dianjurkan mengingat jarak tanam tanaman kakao yang dipelihara petani umumnya tergolong rapat dan jarak tanam yang beragam yaitu sekitar 2 x 3 meter, 3 x 3 meter, 3 x 3.5 meter dan 3 x 4 meter. Adopsi teknologi pemangkasan kakao termasuk kategori sedang atau skor 64,80. Jadi terdapat 64,80 persen yang belum diadopsi oleh petani. Indikasi belum diterapkannya secara optimal teknologi pemangkasan tersebut karena pengetahuan dan keterampilan petani belum seutuhnya dikuasai, sehingga penerapannya sebagian petani terkesan seadanya saja tanpa pertimbangan maksud dan tujuan pemangkasan itu sendiri. Pengetahuan petani tentang teknologi termasuk kategori sedang atau rata-rata skor 3,57 dan keterampilan terhadap teknologi pemangkasan juga termasuk kategori sedang atau rata-rata skor 2,79. sikap mereka terhadap pemangkasan termasuk kategori tinggi atau rata-rata skor 4,07. Petani pada umumnya sangat menerima teknologi pemangkasan tersebut, tetapi keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sehingga penerapannya belum optimal.
69 Adopsi Teknologi Pemanfaatan Tanaman Penaung (Pelindung) Pemanfaatan tanaman pelindung (penaung) bagi tanaman kakao sangat dianjurkan karena tanaman kakao banyak yang mengalami mati pucuk akibat terkena panas matahari langsung. Sebelum program Prima Tani masuk di wilayah Lambadia pada umumnya petani telah melakukan penebangan pohon pelindung secara besar-besaran dan sebagian dijadikan kayu arang, sehingga hampir seluruh lahan kakao tidak ditumbuhi tanaman penaung. Pohon penaung yang diusahakan sebelumnya adalah pohon gamal. Penebangan pohon penaung dilakukan karena pemahaman atau pengetahuan petani tentang tanaman penaung adalah sebagai pemicu berkembangnya hama PBK (Penggerek Buah Kakao), busuk buah dan kanker batang yang selama ini menjadi hama dan penyakit pada tanaman kakao petani. Tindakan tersebut ternyata memberi dampak positif bagi produksi kakao karena hama dan penyakit berkurang. tetapi dampak negatif baru dirasakan setelah banyak tanaman mengalami mati pucuk yang diakibatkan intensitas sinar matahari yang tinggi. Setelah program Prima Tani masuk, maka pemanfaatan tanaman penaung pada tanaman kakao kembali dianjurkan karena dapat mengancam pertumbuhan tanaman. Pohon penaung yang dianjurkan, berupa pohon gamal atau tanaman pisang dan ditanam diantara tanaman kakao pada jarak tanam tertentu guna menjaga kelembaban dan suhu lingkungan kebun yang dikehendaki tanaman kakao. hasil analisis menunjukkan ternyata tingkat adopsi petani terhadap pemanfaatan tanaman pelindung masih rendah atau skor 40,53. Jadi terdapat skor 59,47 yang belum diadopsi oleh petani atau sebagian besar petani belum mengadopsi tanaman penaung secara optimal. Diindikasikan bahwa petani masih enggan atau kurang berani untuk mengambil resiko timbulnya hama dan penyakit yang besar pada tanaman kakao mereka sebagaimana dialami tahun sebelumnya. Analisis
deskriptif
menunjukkan
bahwa
keberanian
ambil
resiko
menerapkan tanaman penaung termasuk kategori sedang atau rata-rata skor 3,07. ini berarti keberanian petani menambil resiko dalam menerapkan pohon penaung dalam kondisi ragu-ragu. Hal ini dimungkinkan akibat trauma yang dialami petani setelah terjadinya serangan hama dan penyakit khususnya hama PBK yang menyebabkan produksi kakao mereka rendah dan bahkan merugi. Jadi diperlukan
70 pendekatan penyuluhan yang dapat meningkatkan kadar keyakinan petani tentang manfaat tanaman penaung terhadap tanaman kakao melalui metode penyuluhan yang tepat sesuai kondisi karakteristik petani setempat, sehingga diharapkan dapat menambah keberanian petani untuk mengambil resiko dalam mengusahakan kembali tanaman penaung. Adopsi Teknologi Rehabilitasi Tanaman Metode Sambung Samping Teknologi rehabilitasi tanaman dengan metode sambung samping dianjurkan kepada petani, karena tanaman kakao yang ada di wilayah tersebut pada umumnya berumur kurang produktif atau berumur antara 15 hingga 25 tahun, tetapi penerapan dengan metode sambung samping tersebut belum banyak dilakukan petani. Banyaknya petani responden yang menerapkan teknologi sambung samping sebanyak 50 orang (40.00 %) dan hasil analisis menunjukkan bahwa adopsi rehabilitasi tanaman dengan metode sambung samping termasuk kategori rendah atau skor 32,00. Rendahnya penerapan teknologi tersebut disebabkan beberapa faktor, yakni: a) teknologi sambung samping masih dirasakan rumit untuk diterapkan oleh petani. Anlisis deskriptif menunjukkan bahwa persepsi petani tentang kerumitan teknologi sambung samping termasuk kategori rendah atau rata-rata skor 1,86. Jadi tingkat kerumitan atau kesulitan teknologi sambung samping sangat tinggi dirasakan petani, b) teknologi sambung samping merupakan hal yang baru bagi umumnya petani responden, sehingga pengetahuan dan keterampilan tentang teknologi sambung samping masih kurang. Hasil analisis deskriptif diketahui bahwa penguasaan pengetahuan tentang sambung samping termasuk kategori rendah atau skor 2,05 termasuk penguasaan keterampilan tentang sambung samping juga tergolong rendah atau skor 2,58. Sedangkan sikap menerima teknologi sambung samping termasuk kategori tinggi atau skor 4,61. Berarti petani sangat antusias menerapkan teknologi sambung samping karena telah mengetahui manfaat dan keberhasilan tanaman kakao jika diterapkan, tetapi keterbatasan dan keterampilan yang dimiliki sehingga adopsi teknologi sambung samping masih lambat diterapkan petani. Crouch dalam Mardikanto (1993) mengatakan semakin tinggi urutan jenjang kepentingan dari inovasi maka semakin cepat pengadopsiannya, sehingga sifat-sifat tersebut perlu diperhatikan dalam penyuluhan. Menurut Musyafak dan Ibrahim (2005) untuk
71 menemukan teknologi dengan kriteria tersebut, dilakukan dengan mengevaluasi apakah teknologi yang diintroduksikan sederhana (tidak rumit), jika memang rumit dilakukan peragaan percontohan, pelatihan secara partisipatif. Adapun petani yang telah menerapkan umumnya dibantu dikerjakan oleh petugas okulator atau petani yang telah trampil dan berhasil melakukan sendiri di kebunnya dengan imbalan jasa. Sekalipun petani terapkan teknologi sambung samping pada usahataninya namun awalnya diterapkan pada luasan yang terbatas, karena petani pertimbangkan bahwa hasil okulasi atau entris yang berhasil tumbuh dan mencapai umur tertentu (mengeluarkan 4 – 5 helai daun), maka pohon induknya berangsur-angsur ditebang. Jadi konsekuensinya tanaman tidak berproduksi untuk sementara selama kurang lebih 2 tahun yakni menunggu umur produktif tanaman entris. Hal ini tentunya akan berdampak pada pengurangan penghasilan petani untuk sementara sekitar dua tahun atau dua musim dari usahatani kakao. Petani yang memiliki keterbatasan luasan kebun kakao (sempit), maka akan merasakan kerugian yang besar jika terjadi resiko kegagalan. Berbeda dengan petani yang memiliki luasan lahan kebun kakao yang luas, kerugiannya kurang dirasakan akibat terjadi resiko kegagalan sambung samping. Fliegel dalam Muhadjir (1983) mengatakan bahwa terdapat atribut membuat keputusan mengadopsi suatu teknologi atau tidak, yaitu biaya memadai, manfaat besar, efisiensi tinggi, resiko kecil dan mudah dilaksanakan. Adopsi Teknologi Panen Sering Teknologi panen sering atau sering panen dianjurkan kepada petani guna memutuskan siklus berkembangnya hama PBK, tetapi kegiatan panen sering belum banyak dilakukan petani sehingga tingkat adopsinya tergolong sedang atau skor 41,80. Panen kakao yang biasanya dilakukan petani yaitu secara bertahap yakni pada awal msim panen (bulan 3 atau bulan 4) intensitasnya 1 hari perperide panen (1 kali/minggu) per hektar. Pada puncak musim buah (panen raya) intensitasnya 2 hingga 3 hari per periode (1 kali/minggu) per hektar dan setelah akhir musim buah intensitas panen kembali 1 hari per periode (1 kali/minggu) per hektar. Pertimbangan yang paling dirasakan petani sehingga enggan menerapkan panen sering, yakni kegiatan panen sering pada umumnya membutuhkan tambahan tenaga kerja, waktu dan biaya. Hasil analisis deskriptif menunjukkan tenaga kerja
72 produktif dalam keluarga sekitar 2 hingga 3 orang atau rata-rata skor 2,70 yang termasuk kategori rendah dibandingkan luas lahan kepemilikan kebun kakao ratarata 2,73 ha, maka tenaga kerja produktif dalam keluarga belum dianggap petani belum mencukupi untuk menyelesaikan semua kegiatan produksi usahatani kakao. Tenaga kerja kegiatan panen kakao, biasanya menggunakan tenaga kerja luar keluarga (tenaga upahan) sebanyak 10 – 15 orang/ha selama 2 – 3 hari/periode panen dengan upah kerja sebesar Rp 30.000 – Rp 35.000/orang/hari. Jika kegiatan panen sering dikerjakan selama 4 – 5 hari berturut-turut, maka konsekuensinya penambahan tenaga kerja dan biaya sementara tenaga kerja luar keluarga terbatas pada musim panen. Adopsi Teknologi Fermentasi Biji Kakao Teknologi fermentasi biji kakao
dianjurkan kepada petani guna
meningkatkan mutu biji kakao di tingkat petani. hasil analisis menunjukkan tingkat adopsi teknologi fermentasi biji kakao termasuk sedang atau skor 44,00. Jadi masih terdapat skor 56,00 yang belum teradopsi oleh petani. Artinya petani belum sepenuhnya
menerapkan
teknologi
fermentasi.
Berdasarkan
pengamatan
di lapangan, hampir semua petani tidak melakukan fermentasi secara sempurna. Namun yang dilakukan adalah melakukan fermentasi secara tidak sempurna, yakni biji kakao yang telah dipanen didiamkan Selama 1 hingga 2 hari sebelum dijemur, gunanya memudahkan pemisahan ari-ari pada biji kakao. Hal ini diperkuat oleh sikap petani terhadap teknologi fermentasi termasuk katagori rendah atau skor 2,33, berarti petani tidak menerima teknologi tersebut. Sedangkan pengetahuan dan keterampilan petani terhadap teknologi fermentasi kakao termasuk kategori sedang (skor 3,05 dan skor 2,84), artinya pengetahuan dan keterampilan tentang fermentasi belum seutuhnya dikuasai oleh petani. Sikap penolakan petani terhadap teknologi fermentasi biji kakao disebabkan antara lain: a) Penerimaan atau keuntungan dengan melakukan fermentasi belum memperoleh nilai tambah yang memadai dibanding dengan proses pengolahan biasa karena harga yang ditawarkan oleh pedagang atau pengusaha kakao tidak berbeda jauh dengan pembelian kakao nonfermentasi sehingga tidak mempengaruhi penambahan pendapatan petani, dengan selisih harga pembelian sekitar Rp 1.000 – Rp 2.000 per kilogram, b) pengolahan
73 fermentasi butuh waktu proses pekerjaan lebih lama dibanding dengan pengolahan biji biasa dengan selisih waktu tenggang 3 – 4 hari hingga penjualan atau pemasaran, sementara petani menginginkan biji kakao sedapat mungkin terjual cepat mengingat keterdesakan kebutuhan keluarga. Secara tegas Soekartawi (1988) mengatakan bawa jika memang benar teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dari nilai yang dihasilkan teknologi lama, maka kecepatan adopsi inovasi akan berjalan lancar. Adopsi Teknologi Sortasi Biji Kakao (Kadar Kebersihan Biji) Adopsi teknologi sortasi biji kakao termasuk kategori sedang atau sebesar 50.88 persen. Sortasi biji dilakukan untuk menjamin kebersihan kakao dari kotoran atau benda asing bercampur dengan biji kakao sehingga dapat mencapai standar yang diinginkan bagi pedagang atau pengusaha kakao yakni standar kebersihan biji 97,50 persen atau kadar kotoran biji kakao 2,50 persen. Hasil pengamatan di tingkat pedagang maupun di tingkat petani kadar kotoran biji kakao masih di bawah kadar standar yakni sekitar 8,50 persen hingga 12,50 persen. Jadi kegiatan sortasi biji belum sepenuhnya diterapkan dengan utuh sehingga biji kakao yang siap dijual kadar kebersihannya belum mencapai standar yang diinginkan pedagang atau pasar, perilaku petani terhadap penerapan teknologi sortasi biji diperlihatkan pada hasil analisis deskriptif yakni pada ranah pengetahuan, sikap dan keterampilan pada kegiatan sortasi biji masing-masing termasuk kategori sedang atau skor 3,15, 3,59 dan 3,40. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, biji kakao banyak yang telah rusak akibat hama penggerek buah sehingga biji banyak yang keras dan sulit dipisahkan atau dibersihkan, tenaga kerja dalam keluarga untuk membersihkan biji kakao kurang dan keterdesakan kebutuhan keluarga untuk segera ditawarkan ke pedagang. Adopsi Teknologi Pengeringan Biji Kakao Adopsi teknologi pengeringan biji kakao termasuk kategori tinggi atau skor 77,87. Ini berarti kualitas kadar kering biji kakao ditingkat petani sebagian besar memenuhi standar kering sehingga biji kakao yang dipasarkan petani sebagian besar mencapai standar kering yang diinginkan oleh pedagang atau pengusaha kakao yaitu 7,50 hingga 8,00 persen. Hasil pengamatan di tingkat pedagang maupun di tingkat petani, biji kakao yang ditawarkan atau dijual, sebagian besar
74 kadar kering biji kakao sebagian besar mencapai standar kadar kering yang diinginkan, namun demikian masih diperlukan pengeringan ulang mengingat biji kakao rata-rata disimpan sebelum dipasarkan. Selain itu kadar kebersihan biji masih perlu ditangani karena kadar kebersihannya belum mencapai standar. Analisis deskriptif perilaku petani terhadap teknologi pengeringan biji kakao termasuk kategori sedang. skor pada ranah pengetahuan sebesar 3,27, pada ranah sikap 3,36 dan pada ranah keterampilan 3,33. Perilaku petani demikian disebabkan oleh keterdesakan kebutuhan keluarga, kondisi cuaca yang kurang mendukung atau curah hujan tinggi pada saat penjemuran biji kakao. biasanya curah hujan tinggi pada bulan 5 dan 6, sementara pada bulan tersebut bertepatan puncak musim panen atau produksi kakao melimpah, tentunya menjadi ancaman kerusakan biji kakao (berjamur) sehingga petani cenderung secara dini menjual hasil produksinya. Adopsi Teknologi Wadah Penjemuran Kakao Adopsi teknologi wadah penjemuran kakao termasuk kategori tinggi atau skor 88,00. Wadah atau alat penjemuran kakao diadopsi tinggi disebabkan adanya interfensi bantuan fisik dari pemerindah daerah melalui dinas perkebunan provinsi dan dinas perkebunan kabupaten, berupa wadah atau alat penjemuran yang dimodifikasi menyamai standar penjemuran kakao. Bantuan tersebut titik masuknya melalui kelompok tani selanjutnya disalurkan keanggota kelompok. Pada mulanya batuan tersebut diperuntukan 1 unit per anggota kelompok, namun berkembang dibeberapa anggota menjadi 2 unit hingga 3 unit. Petani sebagian menduplikasi wadah tersebut, mengingat bahannya tersedia di lokasi dan kemudahan untuk buat sehingga mudah pula untuk berkembang. Sikap petani demikian diperlihatkan pada analisis deskriptif yang menunjukkan sikap terhadap teknologi penjemuran kakao termasuk kategori tinggi atau skor 4,15, sedangkan pengetahuan dan keterampilan terhadap teknologi wadah penjemuran tersebut masing-masing termasuk kategori sedang atau skor 3,05 dan skor 3,35.
75 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani Kakao dalam Mengadopsi Teknologi SUID Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi SUID pada penelitian ini meliputi faktor internal dan faktor ekternal. Faktor internal, berupa umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pengalaman berusahatani, luas lahan usahatani kakao, tenaga kerja dalam keluarga, pemupukan modal, pendapatan usahatani kakao, aktivitas mencari sumber informasi, persepsi terhadap teknologi, keberanian mengambil resiko dan perilaku petani. Faktor eksternal, berupa dukungan penyuluhan, dukungan kelompok tani, dukungan pemerintah daerah, dukungan sarana produksi, dukungan pembiayaan, dan dukungan pemasaran. Mengetahui faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap teknologi SUID kakao, maka analisis uji statistik menggunakan pendekatan regresi linear beganda dengan metode kuadrat terkecil ataua Ordinary Least Squares (OLS). Mendapatkan hasil uji stastistik sebagaimana diisaratkan dalam standar analisis regresi, maka diawali dengan uji normalitas dan uji heterokedastisitas varian, seperti dalam Lampiran 2. Uji autokorelasi tidak dilakukan dalam penelitian ini karena data yang diperoleh merupakan data cross section, yakni data primer yang diambil dari hasil wawancara petani. Hasil diagnosa ternyata tidak ditemukan adanya gejaja multikolenieritas dan gejala heterokedastisitas sehingga model persamaan regresi berganda yang diajukan dan estimasi yang dihasilkan terpenuhi dan memadai. Hasil analisis regresi berganda faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi SUID petani responden, menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.798 atau 79.80 persen variabilitas tingkat adopsi teknologi SUID dapat dijelaskan peubah independen. Sisanya 20.20 persen dijelaskan oleh peubah lain di luar model, seperti diperlihatkan pada Tabel 21. Besarnya pengaruh peubah independen secara bersamaan berupa umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pengalaman berusahatani, luas lahan usahatani kakao, tenaga kerja dalam keluarga, pemupukan modal, pendapatan uahatani kakao, aktivitas mencari sumber informasi, persepsi terhadap teknologi, keberanian mengambil resiko dan perilaku petani, dukungan penyuluhan, dukungan kelompok tani, dukungan
76 pemerintah daerah, dukungan sarana produksi, dukungan pembiayaan, dan dukungan pemasaran terhadap tingkat adopsi teknologi SUID adalah sebesar 79.80 persen. Nilai F-hitung sebesar 23.204, jika dikonsultasikan dengan F–tabel (2.19) pada taraf α 1 persen maka F–hit (23.204) > F–tab (2.19), artinya pengaruh umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pengalaman berusahatani, luas lahan usahatani kakao, tenaga kerja keluarga, pemupukan modal, pendapatan usaha tani kakao, aktivitas mencari sumber informasi, persepsi terhadap teknologi, keberanian mengambil resiko dan perilaku petani, dukungan penyuluhan, dukungan kelompok tani, dukungan pemerintah daerah, dukungan sarana produksi, dukungan pembiayaan, dan dukungan pemasaran, secara bersama-sama berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat adopsi teknologi SUID pada tingkat kepercayaan 1 persen. Tabel 21. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi Teknologi SUID Petani Responden Peubah Konstan Umur (X1.1) Pendidikan formal (X1.2) Pendidikan onformal (X1.3) Pengalaman usahatani (X1.4) Luas lahan (X1.5) Tenaga kerja keluarga (X1.6) Pemupukan modal (X1.7) Pendapatan (X1.8) Aktivitas mencariinformasi teknologi (X1.9) Persepsi terhaap teknologi (X1.10) Keberanian ambil resiko (X1.11) Dukungan penyuluhan (X2.1) Dukungan kelompok tani (X2.2) Dukungan pemerintah daerah (X2.3) Dukungan sarana produksi (X2.4) Dukungan pembiayan (X2.5) Dukungan pemasaran (X2.6) Perilaku petani (Y1) R2 F
Keterangan: *** = signifikan pada taraf α 1 % (2.878) ** = signifikan pada taraf α 5 % (2.101) * = signifikan pada taraf α 10 % (1.734)
Koefisien regresi -8.128 -0.052 -0.088 0.830 0.271 0.079 2.055 * 0.002 -7.75E-006 3.749 -0.062 0.295 *** 0.084 0.045 -0.048 -0.076 0.029 0.017 0.158 **
t-hit -1.231 -0.470 -0.244 1.492 1.655 0.113 2.020 1.562 -0.016 1.668 -0.632 3.130 1.588 0.779 -0.918 -1.424 0.657 0.463 2.659 0.798 23.204
77 Hipotesis uji F yang menyatakan terdapat pengaruh antara peubah independen faktor internal dan faktor eksternal secara bersama-sama terhadap peubah dependen tingkat adopsi teknologi SUID dapat diterima dan terbukti sehingga model regresi yang digunakan berarti dan bermakna untuk diberlakukan ke populasi. Pengaruh peubah independen secara sendiri-sendiri (parsial) terhadap peubah dependen tingkat adopsi teknologi SUID diketahui melalui uji t. Hasil uji t menunjukkan bahwa peubah tenaga kerja keluarga, keberanian ambil resiko dan perilaku petani berpengaruh terhadap tingkat adopsi teknologi SUID. Jika dikonsultasikan dengan t–tabel maka varibel tenaga kerja keluarga berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi teknologi pada tingkat kepercayaan 10 persen (α = 1 7, 34), keberanian ambil resiko berpengaruh sangat nyata pada tingkat kepercayaan 1 persen (α = 2,878) dan perilaku petani berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 5 persen (α = 2,101). Jadi rendah maupun tingginya tingkat adopsi teknologi SUID petani kakao ditentukan oleh pengaruh langsung peubah ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga, keberanian ambil resiko dan perilaku petani. Koefisien regresi ketersediaan tenaga kerja berhubungan positif dengan tingkat adopsi, menunjukkan bahwa semakin tersedia tenaga kerja keluarga maka adopsi inovasi teknologi juga akan meningkat, begitu pula sebaliknya apabila ketersediaan tenaga kerja keluarga semakin berkurang maka adopsi teknologi juga semakin rendah. Koefisien regresi sebesar 2.055. yakni setiap penambahan 1 satuan atau 1 orang tenaga kerja keluarga petani responen akan meningkatkan adopsi teknologi SUID sebesar 2.055 persen. Analisis tersebut sesuai dengan kondisi di lokasi penelitian, di mana ratarata tenaga kerja keluarga produktif dalam usahatani kakao sekitar 2 - 3 orang atau tergolong rendah. Dibandingkan penguasaan lahan kakao petani dengan luas ratarata 2,7 hektar, maka tenaga kerja keluarga yang tersedia belum mampu menyelesaikan pekerjaan usahatani secara maksimal pada luasan lahan yang dimiliki petani. Petani dengan tenaga kerja keluarga yang terbatas menyebabkan adopsi terhadap teknologi yang dianjurkan juga terbatas. Petani mempertimbangkan
78 tenaga kerja kerja keluarga yang tersedia, apabila membutuhkan tenaga kerja tambahan diluar keluarga (upahan) maka pertimbangannya pada kemampuan modal petani. Diketahui bahwa kemampuan permodalan petani masih rendah yakni rata-rata sebesar Rp.1.1 juta/hektar/tahun dan sekitar 72 persen petani yang tergolong rendah kemampuan modalnya (Tabel 11). Teknologi yang biasa membutuhkan tenaga kerja tambahan, seperti teknologi pemupukan, teknologi pemangkasan, teknologi panen sering dan pembersihan biji (sortasi). Adopsi teknologi yang dianjurkan umumnya tergolong sedang atau ratarata skor 52,49. Indikasi penyebab kualitas tingkat adopsi teknologi tersebut karena terdapat faktor pembatas petani salah satunya menjadi pertimbangan petani adalah tenaga kerja utamanya ketersediaan tenaga kerja keluarga terbatas. Skott (1989) menyatakan bahwa berbagai keterbatasan yang dihadapi petani, pada umumnya tenaga kerja dalam keluarga merupakan salah satu modal yang mereka miliki. Memperkenalkan teknologi kepada petani dalam penyuluhan perlu mempertimbangkan teknologi anjuran yang disesuaikan dengan keterbatasan tenaga kerja yang ada utamanya ketersediaan tenaga kerja keluarga petani, sehingga teknologi berpeluang cepat diadopsi oleh petani. Apabila teknologi anjuran tersebut memerlukan tenaga kerja yang tinggi, maka dapat dianjurkan alternatif pelaksanaannya secara kolektif atau berkelompok. Peubah keberanian mengambil resiko terhadap teknologi berhubungan positif terhadap tingkat adopsi petani, berarti semakin berani petani mengambil resiko terhadap teknologi maka semakin tinggi adopsi teknologi petani. Sebalikanya semakin rendah keberanian petani mengambil resiko terhadap teknologi maka semakin rendah tingkat adopsi teknologi petani. Besarnya nilai koefisien peubah keberanian petani mengambil resiko yaitu sebesar 0,295. Artinya setiap kenaikan 1 satuan atau 1 skor keberanian mengambil resiko petani responden terhadap teknologi SUID akan meningkatkan 0.295 persen adopsi teknologi. Hasil analisis tersebut sesuai dengan kondisi di lokasi penelitian. Di mana petani dalam mengambil keputusan mengadopsi teknologi mempertimbangkan sifat teknologi yang dianjurkan. keadaan keberanian petani mengambil resiko dalam menerapkan teknologi anjuran menunjukkan hampir 50 persen tergolong
79 rendah dan kualitas keberanian mengambil resiko petani umunya tergolong sedang atau rata-rata skor 2,68. Diindikasikan petani memiliki pertimbangan dan penilaian tersendiri terhadap teknologi sebelum diadopsi. Pertimbangan petani terhadap teknologi anjuran berupa pertimbangan teknis dan pertimbangan nonteknis. Pertimbangan teknis teknologi terjadi pada teknologi pemangkasan dan teknologi sambung samping. Pertimbangan aspek nonteknis terjadi pada teknologi sanitasi kebun, fermentasi kakao, pemanfaatan pohon penaung dan panen sering. Keberanian petani ambil resiko menerapkan teknologi sambung samping rendah karena pengetahuan maupun teknik atau cara melakukan sambung samping kurang dikuasai petani. Petani cenderung berani menerapkan jika menggunakan jasa orang lain atau petani yang telah berhasil melakukan sendiri, petugas okulator atau penyuluh yang terlatih dengan imbalan jasa (upah). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun petani rendah menguasai pengetahuan (skor 2,05) dan menguasai keterampilan (skor 2,05) sambung samping, tetapi sikap mental terhadap teknologi tersebut tinggi (skor 4,43), sehingga petani bertekat untuk menerapkan, karena persepsi petani tentang teknologi sambung samping memiliki sifat yang sangat menguntungkan. Menguntungkan karena tanaman kakao dapat pulih kembali, buah yang dihasilkan hampir seragam dan produksi dapat mencapai 2 - 3 kali lipat dari produksi sebelumnya. Keberanian mengambil resiko terhadap teknologi pemangkasan karena teknik atau cara melakukan pemangkasan pemeliharaan tanaman kakao oleh petani dinilai sedang atau skor 2,79. Jadi teknologi tersebut belum sepenuhnya dikuasai oleh petani. Hal ini merupakan akumulasi tingkat penguasaan pengetahuan yang dimiliki petani masih tergolong sedang (skor 3,57), tetapi sikapnya untuk menerapkan tinggi (skor 4,07) sehingga petani dalam melakukan pemangkasan umumnya belum mengacu pada teknik atau cara yang sesuai dianjurkan. Keberanian petani mengambil resiko terhadap teknologi fermentasi rendah karena persepsi petani terhadap teknologi fermentasi tidak menguntungkan. harga yang berlaku pada kakao fermentasi tidak berbeda jauh dengan harga kakao nonfermentasi, selisihnya sekitar Rp.1500–Rp.2000/kg. Agar teknologi fermentasi dapat diterapkan petani maka kebijakan harga yang berlaku perlu dikaji ulang oleh
80 para pengambil kebijakan, selain itu melakukan pembinaan dan kerjasama kemitraan pasar yang difasilitasi oleh penyuluh. Kebeanian petani mengambil resiko pada teknologi sanitasi kebun rendah karena persepsi petani tentang lahan yang bersih dari sisa-sisa daun akan berpotensi timbulnya rumput-rumputan (gulma). Konsekuensinya adalah intensitas penyemprotan rmput tinggi dan biaya penyedian racun rumput bertabah, sementara kemampuan modal petani terbatas untuk kebutuhan saprodi. Keberanian petani mengambil resiko pada teknologi panen sering rendah karena akan membutuhkan tenaga, biaya dan waktu. Intensitas panen yang tinggi tentunya membutuhkan tenaga kerja yang tinggi pula. Sedangkan ketersediaan tenaga kerja keluarga terbatas sekitar 2-3 orang per rumah tangga, sehingga membutuhkan tenaga kerja upahan. Biaya upah tenaga kerja petani terbatas karena kemampuan modal usahatani juga rendah. Keberanian petani untuk menerapkan teknologi dapat ditingkatkan dengan memperkenalkan teknologi perlu mempertimbangkan sifat teknologi itu sendiri, yakni teknologi tersebut secara ekonomi relatif menguntungkan, yakni dapat meningkatkan pendapatan petani dibandingkan sebelum menerapkan teknologi. Secara teknis dapat dikerjakan, yakni disesuaikan dengan kondisi sumberdaya yang dimiliki dan jika teknologi tersebut membutuhkan sarana fisik, sarana tersebut tersedia secara lokal. Secara sosial dapat diterima atau dapat dicontoh petani lain, yakni teknologi dapat diikuti oleh petani lain atau tidak menyimpang tradisi sosial yang telah ada. Berdasarkan sifat teknologi yang disampaikan tersebut maka dapat mendorong keberanian petani untuk menerapkannya karena resiko kegagalan teknologi dapat diperkecil. Menurut Fliegel et al dalam Hendayana (1998) menyatakan bahwa disamping lingkungan fisik, ada lima faktor yang mempengaruhi sikap petani dalam mengadopsi teknologi baru, yakni; a) Keuntungan relatif bila teknologi itu diadopsi, b) kecocokan teknologi dengan sosial budaya setempat, e) hasil pengamatan petani terhadap petani lain yang sedang atau telah mencoba teknologi itu sebagai dasar peletakan kepercayaan, d) mencoba sendiri akan keberhasilan teknologi baru, dan e) kondisi ekonomi yang ada seperti ketersediaan modal, bagaimana konsekuensi kenaikan produksi terhadap harga produk.
81 Koefisien regresi perilaku petani terhadap teknologi SUID berhubungan positif dengan tingkat adopsi, menunjukkan bahwa semakin tinggi perilaku petani terhadap teknologi SUID maka adopsi teknologi juga akan meningkat, begitu pula sebaliknya apabila perilaku petani terhadap teknoogi berkurang maka adopsi teknologi juga rendah. Koefisien regresi sebesar 0.158. yaitu setiap penambahan 1 satuan atau 1 skor perilaku petani terhadap teknologi akan meningkatkan adopsi teknologi SUID sebesar 0.158 persen. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa perilaku petani terhadap teknologi SUID pada ranah pengetahuan petani terhadap teknologi SUID termasuk kategori cukup atau atau rata-rata skor 3,24. Pada ranah keterampilan terhadap teknologi SUID termasuk katagori cukup atau rata-rata skor 2.98. Sedangkan untuk ranah sikap mental terhadap teknologi SUID termasuk kategori menerima atau rata–rata skor 4.01. Terjadinya perubahan perilaku petani terhadap teknologi merupakan tujuan dari pelaksanaan penyuluhan. Diharapkan teknologi yang disampaikan perlu terlebih dahulu diberikan pemahaman teknologi kepada petani, sehingga persepsi mereka terhadap teknologi dapat disamakan. Pendekatan penyuluhan dapat secara individu, kelompok maupun massalisasi tergantung kondisi hubungan sosial setempat dan tuntutan sifat teknologi, sehingga kesadaran petani terhadap teknologi dapat tumbuh pada dirinya. Perilaku petani terhadap teknologi SUID pada aspek pengetahuan dan keterampilan petani perlu ditingkatkan dalam penyuluhan. Upaya perbaikan dapat dilakukan dengan pendekatan metode penyuluhan dalam bentuk pelatihan, magang, atau kursus yang direncanakan bersama-sama petani. Pelaksanaan penyuluhan
sendiri
dalam
memperkenalkan
teknologi
diharapkan
dapat
meyakinkan petani melalui perbanyakan cara demostrasi maupun demplot sehingga dapat dibuktikan sekaligus meyakinkan petani akan keunggulan teknologi tersebut. Melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani terhadap teknologi tersebut diharapkan akan menumbuhkan kepercayaan, ketertarikan dan tekat mereka terhadap teknologi sehingga timbul keinginan kuat untuk mengadopsi teknologi yang telah disampaikan.
82 Menurut Mardikanto (1993) bahwa karena adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan yang berupa inovasi, maka proses adopsi itu dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai dengan terjadinya perubahan perilaku, baik berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective) maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Perubahan pengetahuan tercermin dalam perilaku mengetahui (knowing behavior) sebagai perwujudan dari kemampuan berpikir (intellectual ability) dan keterampilan berpikir (intellectual skill). Perilaku mengetahui ini dapat diukur dengan melihat tingkat penguasaan seseorang terhadap informasi/ keterangan yang ia terima, yang dihasilkan oleh daya pikirnya.
83 KESIMPULAN DAN SARAN
1. a.
Kesimpulan Tingkat adopsi teknologi usahatani kakao pada usahatanai kakao di desa Lambandia kabupaten Kolaka sebagian besar termasuk kategori sedang (83.20 persen). Artinya paket teknologi usahatani kakao yang dianjurkan berupa paket teknologi pemeliharaan kakao, paket teknologi perbaikan tanaman kakao dan paket teknologi panen dan pascapanen belum diterapkan secara utuh. Untuk itu perlu upaya perbaikan pembinaan dan penyuluhan
dengan
menerapkan
metode
penyampaian
teknologi
(diseminasi) yang tepat kepada petani. b.
Adopsi teknologi usahatani kakao oleh petani di desa Lambandia beragam, dari adopsi rendah, sedang hingga adopsi tinggi. Tetapi secara umum teknologi yang dianjurkan rata-rata termasuk adopsi sedang. Adopsi rendah terjadi pada kegiatan penimbunan cangkang kakao (skor 16.00) dan rehabilitasi tanaman metode sambung samping (skor 32.00). Jadi kedua kegiatan teknologi tersebut perlu mendapat perhatian lebih besar dalam perbaikan produktivitas kakao.
2. a.
Analisis regresi berganda dengan menggunakan peubah independen berupa umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pengalaman usahatani kakao, Penguasaan lahan usahatani kakao, tenaga kerja dalam keluarga, pemupukan modal, pedapatan usahatani kakao, aktivitas mencari informasi teknologi, persepsi terhadap teknologi dan keberanian ambil resiko, perilaku petani, dukungan penyuluhan, dukungan kelompok tani, dukungan pemerintah daerah, dukungan sarana produksi, dukungan pembiayaan, dukungan pemasaran, menunjukkan hubungan yang linear dan berpengaruh nyata terhadap peubah tingkat adopsi, dengan nilai F-hitung (23.204) > Ftabel (2.19). Besarnya pengaruh peubah independen terhadap peubah tingkat adopsi ditandai dengan nilai R2 sebesar 0.798, atau sebesar 79.80 persen pengaruh variabel independen terhadap tingkat adopsi teknologi dapat dijelaskan. Sedangkan sisanya 20.20 persen dipengaruhi, atau dijelaskan oleh faktor lain di luar model.
84 b.
Hasil uji t pada peubah tenaga kerja keluarga, keberanian ambil resiko dan perilaku petani berpengaruh nyata (signifikan) terhadap tingkat adopsi teknologi usahatani kakao. Agar teknologi yang disampaikan dapat mudah diadopsi kepada petani maka faktor-faktor yang berpengaruh nyata tersebut menjadi pertimbangan utama.
Saran 1. Tingkat adopsi teknologi SUID pada petani kakao termasuk kategori sedang, sehingga perlu ditingkatkan menjadi kategori tinggi dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya yang masih rendah, yaitu melalui perbaikan pembinaan dan penyuluhan yang tepat sesuai dengan keterbatasan karakteristik internal maupun karakteristik eksternal pada petani. 2. Beberapa peubah faktor internal yang berbengaruh signifikan terhadap tingkat adopsi teknologi usahatani kakao, yang tidak dapat dilakukan suatu intervensi perubahan dalam rangka percepatan adopsi teknologi seperti ketersediaan tenaga kerja keluarga. Namun demikian paling tidak teknologi yang disampaikan kepada petani dalam penyuluhan adalah memiliki sifat teknologi yang tidak membutuhkan tenaga kerja yang besar.
85
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A, S. Mardiyanto, dan Erizal Jamal. 2007. “Menjadikan Prima Tani Sebagai Ujung Tombak Peningkatan Pendapatan Masyarakat Pedesaan”. Di dalam, Akselerasi Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Pembangunan Berawal dari Desa. Prosiding Lokakarya Nasional. Bogor, 27 Agustus 2007. Bogor: BBP2TP. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Adjid, Dudung, A. 2001. Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Pengembangan Sinar Tani Adjid, Dudung, A. 1994. Dasar-dasar Pembinaan Kelompok Tani dalam Intensifikasi Tanaman Pangan. Jakarta: Bimas Ahmadi, A. 1985. Psikologi Sosial. Surabaya: Bina Ilmu Bachrein, B dan Hasanuddin, A. 1997. Percepatan Adopsi Teknologi Melalui Partisipasi Petani dan Teknologi Sederhana. Prosiding Seminar Kinerja Penelitian Tanaman Pangan Buku 6. Bogor: Puslitbangtan, Departemen Pertanian (BPS) Badan Pusat Statistik Provinsi Sultra. 2007. Sulawesi Tenggara Dalam Angka, Kendari: Pemerintah Sulawesi Tenggara Badan Litbang Pertanian. 2007. Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Kumpulan Juklak dan Juknis. Jakarta: Departemen Pertanian Black, J. A dan D. J. Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Eresco Branner, Julia. 1997. Memandu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bunch, Roland. 2001. Dua Tongkol Jagung: Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal pada Rakyat. Edisi Ke dua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Burhanuddin, 2007. “Umpan Balik dan Kinerja Penerapan Teknologi di P4MI”. Di dalam, Pemasyarakatan Teknologi Tepat Guna dan Pemberdayaan Petani Mendukung Peningkatan Pendapatan di Lahan Marginal. Seminar Nasional Palu. 24-25 Juli 2007. Palu; BPTP Palu. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Cartwriht, D dan Zander A. 1960. Group Dinamic. Risearch and Theory. Harper and Row. Publisher N. Y. Evanston dan London Dajan, A. 1976. Pengantar Metode Statistik. Jilid II. Jakarta: LP3ES
86 De Cecco, J. P. 1989. Educational Psychology. Editor. New Jersey: Prantice Hall Inc. Englewood Cliffs (Deptan) Departemen Pertanian. 2006. Pedoman Umum Prima Tani. Jakarta: Departemen Pertanian Djaali dan Muljono, P. 2004. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Cetakan 2. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta Ely, Donald P. 1972. The Psycomotor Domian. University of Wisconsin Madison School of Education Instructional Material Center. Washington DC Fishbein, M dan Ajzen, L. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Research. Philippines: Addison-Wesley Publishing Company, INC Goenadi, D.H, U. Fajar, dan Wibawa A. 2007. “Pemberdayaan Petani Mendukung Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga di Lahan Marginal”. Di dalam, Pemasyarakatan Teknologi Tepat Guna dan Pemberdayaan Petani Mendukung Peningkatanan Pendapatan di Lahan Marginal. Seminar Nasional Palu, 24-25 Juli 2007. Palu; BPTP Palu. Badan Litbang Pertanian Hanafi, A. 1987. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional Harahap, F. 1985. Problematik Pemindahan Teknologi di Indonesia. Prisma Harper, C. L. 1989. Exploring Social Change. Prentice Hil. Engel Wood Cliffs. New Jersey Hendayana, R. 1998. “Percepatan Alih Teknologi Sistem Usahatani Berbasis Padi Berwawasan Agribisnis (SUTPA) dan Kendala Pengembangannya”. Di dalam, Dinamaika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian. Prosiding hal. 310 – 328. Bogor: Pusat Penelilitian Sosial Ekonomi, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Irawan, Bambang. 2004. Kelembagaan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Aspek Kelembagaan dan Aplikasinya dalam Pembangunan Pertanian. Monograph Seri 25. Bogor; Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian: Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Kartasapoetra, A. G. 1988. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Bina Aksara Liliweri, A. 1997. Sosiologi Organisasi. Bandung: Citra Aditya Bakti Lionberger, H. F. 1960. Adoption of New Ideas and Practices. Iowa USA: The Iowa State Iniversity Presss
87 Lionberger, H. F dan P. H. Gwin. 1982. Communication Strategies: A Guide For Agricultural Change Agent. Columbia: University of Missouri Manullang, M. 1996. Dasar-dasar manajemen. Jakarta: Galia Indonesia Manwan, I , Tjitromanoto P dan Syam, M. 1990. “Hubungan Penelitian dan Penyuluhan dalam Penelitian Sistem Usahatani”. Di dalam, Risalah Sistem Usahatani di Lima Agro-ekosistem. Risalah Lokakarya Penelitian Usahatani Tanggal 14-15 Desember 1988. Bogor: Puslibangtan, Departemen Pertanian Mardikanto, Totok. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press Mosher, A. T. 1987. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Jakarta: Jasa Guna Mueller, Daniel J. 1992. Mengukur Sikap Sosial. Pegangan untuk Peneliti dan Praktisi. Cetakan I. Penerjemah; Eddy Soewardi Kartawidjaja. Jakarta: Bumi Akasara Muhadjir, N. 1993. Kepemimpinan Adopsi Inovasi untuk Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Rake Press Muhidin, S. A dan Abdurrahman M. 2007. Analisis Korelasi, Regresi dan Jalur dalam Penelitian. Bandung: Pustaka Setia Muis, A, Y.P. Rahardjo dan C. Khairani 2007. “Implementasi Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) di Kabupaten Donggala 2003-2007”. Di dalam Pemasyarakatan Teknologi Tepat Guna dan Pemberdayaan Petani Mendukung Peningkatan Pendapatan di Lahan Marginal. Seminar Nasional. Palu. 24-25 Juli 2007. Palu; BPTP Palu. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Musyafak, A. Hasriani, Suyatno, A. Sahari, J dan Kalimanun, J. C. 2002. Studi Dampak Teknologi Pertanian di Kalimantan Barat. Pontianak: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Musyafak, A dan Ibrahim, T. M. 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 1. Jakarta: Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Oppenheim, A. M. 1966. Questionaire Design An Attitude Measurement. London: Heiman Educational Book Ltd
88 Puslitkoka. 2005. Pedoman Lengkap Budidaya Kakao, Jakarta: Agromedia Pustaka Ray, G. L. 1998. Extension Communication and Management. India: Naya Prokasih Rogers, E. M. 1995. Diffussion of Innovation. Firsth Edition. New York: The Free Press Rogers, E. M and Shoemaker, F. 1971. Communication of Innovation. New York: Free Press Samsudin, U. 1994. Dasar-dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Bandung: Bina Cipta Bandung Scott, J. C. 1989. Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsitensi di Asia Tengggara. Jakarta: LP3ES Singarimbun, M dan S. Effendi. 1986. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES Slamet, M. 1978. Bahan Bacaan Penyuluhan Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor Soehardjo dan Patong. 1978. Sendi-sendi Pokok Ilmu Usahatani. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin Soekartawi. 1996. Pengembangan Pertanian untuk Menuntaskan Kemiskinan. Jakarta: Universitas Indonesia Press Soekartawi. 1988. Prinsip dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI Press Subagiyo, Rusidi dan R. Sekarningsih. 2005. “Kajian Faktor-faktor Sosial yang Berpengaruh Terhadap Adopsi Inovasi Usaha Perikanan Laut di Desa Pantai Selatan Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta”. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 8. No 2. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Cetakan Duabelas (Revisi Terbaru). Bandung: Alfabeta Suharsimi, Arikanto. 1993. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta Sulaiman, F. 2003. Program Informasi, Komunikasi dan Diseminasi Teknologi Pertanian. Di dalam Sinkronisasi Program Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Lokakarya Bogor, 1-3 Mei 2003. Bogor: Badan Litbang Pertanian Suryabrata, S. 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yokyakarta: Andi
89 Tilaar, H. A. R. 1996. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi: Visi, Misi dan Program Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Jakarta: Grasindo Tim Teknis Prima Tani Pusat. 2007. Prima Tani. Perkembangan Implementasi 2005 - 2009. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Tjitropranoto. 1992. Bahan Renungan untuk Profesi Penyuluhan Pembangunan Indonesia Menyongsong Abad 21. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara Umar, Husein. 2005. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Buku Devisi Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajagrafindo Persada van den Ban, A. W dan H. S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Terjemahan A. D. Herdiasti. Yogyakarta: Karnisius Wahyuni, S. 2000. “Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat Tani mendukung Percepatan Adopsi dan Keberlanjutan Adopsi Teknologi Usahatani Lahan Rawa”. Di dalam, Workshop Sistemn Usahatani Lahan Pasang SurutISDP. Cipanas-26-29 Juni 2000. Bogor: Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Walker, E. L. 1993. Conditioning dan Proses Belajar Instrumental. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia
LAMPIRAN
91 Lampiran 1. VARIABEL OPERASIONAL Variabel Faktor Internal Petani (X1)
Dimensi
Indikator
Umur
Umur petani saat penelitian berdasarkan tahun kelahiran.
Pendidikan formal
Pendidikan yang diperoleh petani melalui jenjang bangku sekolah yang berdasarkan lamanya jenjang pendidikan yang dimpuh.
Pendidikan nonformal
Pendidikan yang diperoleh diluar pendidikan sekolah, berupa pelatihan, kursus maupn magang berdasarkan intessitas keikut sertaannya.
Pengalaman berusahatani kakao
Lamanya petani menggeluti usahatani kakao.
Luas lahan usahatani kakao
Luasnya lahan yang dikuasai petani baik status milik, sewa lahan, bagi hasil maupun pinjam.
Ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga
Banyaknya anggota keluarga yang menjadi tanggungan keluarga yang aktif (produktif) ikut bekerja dalam usahatani kakao.
Pemupukan modal usahatani kakao
Besarnya modal yang dikeluarkan petani selama periode produksi.
Pendapatan usahatani kakao
Pendapatan yang bersumber dari usahatani kakao yang merupakan selisih antara penerimaan dan biaya produksi.
Aktifitas mencari sumber informasi teknologi SUID
Aktifitas petani untuk mendapatkan sumber informasi teknologi SUID selama kurung waktu pertiga bulan.
Persepsi terhadap sifat teknologi SUID
Pandangan atau persepsi petani yang bersumber dalam diri petani bedasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam menilai sifat teknologi SUID dari aspek keuntungan (keunggulan ) bagi petani, kesesuaian tempat diterapkan, kerumitan untuk dilakukan, kemudahan untuk dicoba, dan segera dilihat atau dirasakan hasilnya
Keberanian mengambil resiko dalam
Keberanian petani untuk mengorbankan biaya saprodi, tenaga kerja, dan waktu
92 Variabel
Faktor Eksternal Petani (X2)
Dimensi
Indikator
menerapkan Teknologi SUID
akibat resiko menerapkan teknologi SUID
Dukungan penyuluhan
Keterlibatan penyuluh melaksanakan penyuluhan untuk memberikan informasi teknologi kepada petani yang berdasarkan: a) kebutuhan materi yang diberikan, b) kejelasan materi yang disampaikan dan c) kemudahan untuk ditemui.
Dukungan kelompok tani
Keterlibatan kelompok tani dalam rangka mendukung penerapan teknologi SUID yang berdasarkan: a) keaktifan kelompok tani dalam menunjang teknologi SUID, b) kegiatan kelompok yang mendukung teknologi SUID dan c) manfaat kelompok dalam menunjang teknologi SUID.
Dukungan Pemerintah Daerah
Keterlibatan Pemerintah Daerah dalam menunjang penerapan teknologi SUID yang berdasarkan: a) bantuan fisik, b) pembinaan kepada petani dan c) bantuan infrastruktur.
Dukungan saprodi
Keterlibatan penyedia sarana produksi seperti pupuk, obat-obatan dan peralatan usahatani dalam menunjang penerapan teknologi SUID yang berdasarkan: a) jumlah yang dibutuhkan, b) ketepatan saat dibutuhkan dan c) ketersediaan jenis yang dibutuhkan.
Dukungan pembiayaan
Keterlibatan lembaga pembiayaan berupa perbankan atau lembaga perkreditan lainnya dalam menunjang usahatani kakao yang berdasrkan: a) ketersediaan jumlah yang dibutuhkan, b) ketepatan saat dibutuhkan dan c) kemdahan untuk memperolehnya.
Dukungan pemasaran
Keterlibatan pedagang atau pengusaha kakao maupun tempat pemasaran kakao dalam menunjang pemasaran hasil produksi petani kakao yang berdasarkan: a) kemudahan menghubungi pedagang/pengusaha kakao, b) kemudahan tawar menawar dan c) Keleluasaan jumlah produksi yang ditawarkan.
93 Variabel Perilaku terhadap Teknologi SUID (penegetahuan, sikap dan keterampilan)
Dimensi Pengetahuan
(Y1)
Sikap mental
Keterampilan
Tingkat Adopsi teknologi SUID (Y2)
Adopsi paket teknologi pemeliharaan tanaman kakao
Indikator Penguasan teoritik petani terhadap teknologi SUID, berupa: a. Paket teknologi pemeliharaan tanaman kakao (pemupukan, pengendalian hama penyakit dan sanitasi kebun) b. Paket teknologi perbaikan tanaman kakao (pemangkasan, penanaman pohon pelindung dan rehabilitasi tanaman metode sambung samping) c. Paket teknologi panen dan pascapanen (pannen sering, teknik fermentasi, kadar kebersihan biji, kadar kering biji dan standarisasi wadah penjemuran). Pendirian petani secara pribadi dalam menyikapi teknologi SUID yang berdasarkan: a) keyakinan atau kepercayaannya untuk menerapkan teknologi SUID, b) ketertarikan untuk menerapkan teknologi SUID dan c) tekat atau penasaran untuk menerapkan teknologi SUID. Penguasan teknik praktis petani terhadap teknologi SUID, berupa: d. Paket teknologi pemeliharaan tanaman kakao (pemupukan, pengendalian hama penyakit dan sanitasi kebun) e. Paket teknologi perbaikan tanaman kakao (pemangkasan, penanaman pohon pelindung dan rehabilitasi tanaman metode sambung samping) f. Paket teknologi panen dan pascapanen (pannen sering, teknik fermentasi, sortasi biji, kebersihan biji dan penjemuran), Besarnya tingkat penerapan teknologi anjuran berupa: a) kegiatan pemupukan yang berdasarkan dosis anjuran, cara anjuran dan jenis anjuran, b) pengendalian hama dan penyakit yang berdasarkan dosiss obat anjuran, cara anjuran dan jenis anjuran, c) sanitasi kebun yang berdasarkan kebersihan kebun, penanganan gulma (rumput) dan penimbunan cankang kakao.
94 Variabel
Dimensi
Indikator
Adopsi paket teknologi perbaikan tanaman kakao
Besarnya tingkat penerapan teknologi anjuran berupa a) kegiatan pemangkasan tanaman kakao, b) pemanfaatan pohon pelindung dan rehabilitasi metode sambung samping.
Adopsi paket teknologi panen dan pascapanen
Besarnya tingkat penerapan teknologi anjuran berupa a) kegiatan panen sering, b) fermentasi biji kakao, kadar kebersihan biji, kadar kering biji dan standarisasi wadah penjemuran kakao.
95 Lampiran 2. X ke Y Asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator):
1. Normalitas: terpenuhi Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Dependent Variable: Y
Expected Cum Prob
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
Observed Cum Prob
Regression Standardized Residual -3
-2
-1
0
1
2
0
3
N = 125 Std. Dev. = 0.925 Mean = -1.24E-16
ycneuqerF
5
10
15
20
Dependent Variable: Y
Histogram
2. Homoskeditas/kesamaan varians: Terpenuhi Regression Standardized Predicted Value -2
-1
0
1
noissergeR laudiseR dezidradnatS
-3 -2 -1 0 1 2 3
Dependent Variable: Y Scatterplot
2
3
1.0
96 3. Linearitas: Terpenuhi Model Summary(b) Adjusted R Std. Error of R R Square Square the Estimate Durbin-Watson .893(a) .798 .763 10.48376 1.875 a Predictors: (Constant), X1.12, X1.1, X1.7, X1.8, X1.5, X2.6, X1.4, X1.2, X1.6, X1.3, X2.5, X2.4, X2.3, X1.9, X2.1, X2.2, X1.11, X1.10 b Dependent Variable: Y Model 1
ANOVA(b)
Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Regression
45905.585 18 2550.310 23.204 .000(a) Residual 11650.383 106 109.909 Total 57555.968 124 a Predictors: (Constant), X1.12, X1.1, X1.7, X1.8, X1.5, X2.6, X1.4, X1.2, X1.6, X1.3, X2.5, X2.4, X2.3, X1.9, X2.1, X2.2, X1.11, X1.10 b Dependent Variable: Y Coefficients(a)
Model 1
(Constant) X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X1.7 X1.8 X1.9 X1.10 X1.11 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5 X2.6 X1.12
a Dependent Variable: Y
Unstandardized Coefficients B Std. Error -8.128 6.603 -.052 .110 -.088 .362 .830 .556
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
-.025 -.013 .094
-1.231 -.470 -.244 1.492
.221 .639 .807 .139
.271 .079 2.055
.164 .699 1.017
.088 .006 .112
1.655 .113 2.020
.101 .910 .046
.002
.002
.072
1.562
.121
-7.75E-006 3.749 -.062
.000 2.247 .098
-.001 .126 -.063
-.016 1.668 -.632
.987 .098 .529
.295 .084 .045 -.048
.094 .053 .058 .053
.311 .131 .069 -.077
3.130 1.588 .779 -.918
.002 .115 .438 .361
-.076 .029 .017
.053 .044 .037
-.093 .043 .024
-1.424 .657 .463
.158 .512 .644
.158
.060
.375
2.659
.009