FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA LAHAN PEMUKIMAN DI KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN BOGOR.
Oleh: Rocky D F Silalahi A14304007
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
ROCKY D F SILALAHI. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Pemukiman di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Di bawah Bimbingan NINDYANTORO Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang multiguna, dapat digunakan sebagai faktor produksi maupun barang konsumsi langsung (untuk pemukiman, tempat parkir, taman, tempat rekreasi, dan untuk penggunaan lainnya). Permintaan terhadap lahan sangat tinggi karena kemultigunaan lahan tersebut. Semakin meningkatnya aktivitas perekonomian suatu daerah berakibat pada permintaan lahan yang tinggi khususnya untuk penggunaan pemukiman dan komersial, demikian halnya untuk suatu daerah perkotaan. Permintaan yang tinggi terhadap lahan khususnya untuk lahan pemukiman sementara jumlah lahan pemukiman tetap mengakibatkan harga lahan tersebut meningkat tinggi. Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor bertujuan untuk mengidentifikasi latar belakang penjual yang melakukan transaksi jual lahan, mengidentifikasi motivasi penjual lahan, proses transaksi dan peruntukan hasil penjualan lahan, dan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan pemukiman di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Penelitian ini melibatkan 40 responden yang pernah melakukan transaksi jual lahan. Data yang didapat akan dianalisis secara deskriktif dan inferensia. Berdasarkan hasil penelitian dengan melihat dari latar belakang penjual dalam melakukan transaksi jual lahan didapat bahwa responden yang menjual lahan adalah sudah berkeluarga dan mempunyai tanggungan keluarga yang cukup besar, umur relatif pada usia kerja mendekati usia kerja tidak produktif, pendidikan di bawah wajib belajar pemerintah, pekerjaan rata-rata adalah wiraswasta dan pendapatan di bawah UMR Kabupaten Bogor. Sedangkan dilihat dari motivasi penjual pada saat melakukan transaksi jual lahan, faktor pendorong yang lebih banyak adalah karena membutuhkan modal usaha dan faktor penariknya adalah ingin membuat tabungan untuk kelangsungan hidup dan perutukan hasil penjualan lahannya adalah untuk modal usaha juga. Proses trasaksi jual lahan lebih banyak melalui kelembagaan formal baik melalui PPAT Kecamatan maupun Notaris dibanding non-formal ataupun secara langsung. Lahan tersebut awalnya lebih banyak berasal dari lahan kosong yang dibangun menjadi pemukiman untuk selanjutnya dijual. Dua model yang digunakan dalam menduga faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan dan nilai lahan adalah model linear dan model doublelog. Variabel bebasnya memberikan pengaruh secara signifikan secara bersamaan baik terhadap nilai maupun harga lahan sebagai variabel terikatnya. Hal ini dapat diketahui dari besarnya nilai uji-F ataupun melalui p-value pada tabel 18 dan 19. Dilihat dari nilai R2 dan R2-adjust, model double-log memberikan model yang lebih baik. Model double-log menjadi kurang baik ketika digunakan nilai lahan sebagai response-nya, predictors variable yang mempunyai pengaruh nyata terhadap response variable-nya hanya 3, sedangkan dengan memakai model linear, response variable-nya ada sebanyak 6 variabel. Faktor yang berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya nilai lahan memakai model linear dan model
double-log adalah luas lahan, kepadatan penduduk, jarak lahan ke kantor pemerintah daerah Kabupaten Bogor, status lahan, sumber lahan, dan NJOP. Faktor yang berpengaruh nyata dengan variabel tak bebasnya harga lahan pada model linear dan model double-log adalah luas lahan, jarak lahan ke jalan yang sering dilalui kendaraan roda empat, kepadatan penduduk, fasilitas air, dan NJOP. Dalam kedua model juga tidak terdapat multikolinearitas, hal ini dapat diketahui dari nilai VIF setiap variabel tidak ada yang melebihi angka 10. Model juga tidak menghasilkan autokorelasi, dapat dilihat dari nilai Durbin Watson statistic-nya berada pada selang tidak ada kesimpulan.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA LAHAN PEMUKIMAN DI KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN BOGOR.
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: Rocky D F Silalahi A14304007
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul:
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA LAHAN PEMUKIMAN DI KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN BOGOR.
Nama:
Rocky D F Silalahi
NRP :
A14304007
Menyetujui Pembimbing
Ir. Nindyantoro, M. SP NIP: 131 879 329
Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP: 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI, SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ” FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA LAHAN PEMUKIMAN DI KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN BOGOR. BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN
TINGGI/LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, April 2008
Rocky D F Silalahi A14304007
RIWAYAT HIDUP
Rocky D F Silalahi dilahirkan di Balige, Kabupaten Toba Samosir, Prorinsi Sumatera Utara, pada tanggal 03 Febbruari 1986 dari pasangan Bapak S. Silalahi dan Ibu N. Simanjunta. Penulis merupakan anak ke enam dari delapan bersaudara. Penulis mengawali pendidikanya di SD HKBP 1 Balige dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP. Negeri 4 Balige dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Balige dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa program studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat pelimpahan kasih dan anugrahNya yang besar, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA
LAHAN
PEMUKIMAN
DI
KECAMATAN
CIBINONG,
KABUPATEN BOGOR merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ir. Nindyantoro M.SP selaku Dosen Pembimbing atas ilmu, arahan dan masukan yang diberikan selama penyusunan proposal penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga dan teman-teman yang memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis. Skripsi ini diharapkan berguna bagi masyarakat Kecamatan Cibinong dalam menjual lahannya, kepada pemerintahan setempat dalam mengambil kebijakan, dan pihak-pihak yang memerlukan serta kepada penulis dalam menambah wawasan.
Bogor, 29 April 2008
Rocky D F Silalahi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur atas segala berkat Tuhan yang senantiasa menyertai dan memberkati
proses
penulisan
tugas
akhir
ini
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikanya dengan baik. Terselesainya tugas akhir ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari pihak – pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Keluargaku tercinta: Papi, Oma dan juga Kakak– kakakku ; kak Inggrid, kak Anggraini, kak Marini ; Abang– abangku : Bernarth dan Andry, serta adik-adikku tercinta : Bastian dan Nova yang selalu mendoakan dan mendukung baik moral maupun material. 2. Bapak Ir. Nindyantoro, M.SP selaku dosen Pembimbing Skripsi yang telah sabar membantu, meluangkan waktu dan mengarahkan penulis sampai selesainya penulisan skripsi ini. 3. Bapak R. Kusmawan selaku aparatur pemerintah Kecamatan Cibinong yang telah meluangkan waktunya untuk memberi nasehat, dorongan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak/Ibu dosen dan staf penunjang di jurusan ESL terlebih kepada Bapak Basir yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Dina Friska ”sipalas roha jala naburju” atas doa, dorongan dan bantuannya yang tetap menemani dalam pencarian data dan penyusunan skripsi. 6. Bapak/Ibu yang bergabung pada Bogor Internasional Club sebagai donatur dalam penelitian saya ini. 7. Teman-teman perwira 10 terkasih : Obed yang menjadi teman begadang ngerjain skripsi, Lae Bernard, Bang Edo, Febrian, Bang Daud, Agus Kurtaji, David Kurtaji, Bang Sandi, Gea, Kak Morin, Bang Hansen, Bang Sandi, Bang Jaya, Riris, Jeremy Simmons, Kak Imel, Ester, Gokma, Laura, Melisa, Lisa, Patar, Sahat, dan Sihol Berito yang mendoakan dan memberikan dorongan serta masukan-masukan yang membangun. 8. EPSers : Rolas, Ismail (terimakasih bro atas motornya), Yanti, Merika, Lina, Lenny, Jimmy dan teman–teman EPS 41 yang tidak disebutin namanya satu-persatu.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR.............................................................................. iv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... v I
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
II
Latar Belakang ................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................. 6 Tujuan Penelitian ................................................................. 8 Kegunaan Penelitian ............................................................ 9 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ....................... 9
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sumberdaya Lahan............................................ 10 2.2 Aspek Ekonomi Sumberdaya Lahan 2.2.1 Teori Nilai Lahan ...................................................... 12 2.2.2 Teori Harga Lahan .................................................... 18 2.2.3 Nilai Jual Objek pajak............................................... 23 2.3 Pemukiman.......................................................................... 24 2.4 Penelitian Terdahulu ........................................................... 27
III
KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................. 32 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ...................................... 34
IV
METODOLOGI PENELITIAN 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6
V
Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................. 37 Jenis Data ............................................................................ 37 Metode Pengambilan Sampel.............................................. 38 Metode Analisis Data.......................................................... 38 Pengujian Hipotesis ............................................................ 43 Defenisi Operasional........................................................... 46
GAMBARAB UMUM WILAYAH 5.1 Kondisi Geografis .............................................................. 48 5.2 Kondisi Geografi................................................................ 49 5.3 Kondisi Ekonomi 5.3.1 Jaringan Trasportasi .................................................. 52 5.3.2 Jaringan Air Irigasi.................................................... 53
5.3.3 Jaringan Listrik ......................................................... 54 5.3.4 Jaringan Telekomunikasi .......................................... 54 5.3.5 Perekonomian Masyarakat ........................................ 55
VI
HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1
Latar Belakang Penjual Lahan 6.1.1 Jenis Kelamin ............................................................ 56 6.1.2 Status ......................................................................... 57 6.1.3 Umur ......................................................................... 57 6.1.4 Suku Bangsa.............................................................. 59 6.1.5 Jumlah Tangungan keluarga ..................................... 59 6.1.6 Pendidikan................................................................. 60 6.1.7 Pekerjaan ................................................................... 61 6.1.8 Pendapatan ................................................................ 63 6.2 Motivasi, Kondisi, Proses, Peruntukan Hasil Penjualan Lahan 6.2.1 Motivasi, Kondisi Penjual......................................... 64 6.2.2 Proses Transaksi Lahan............................................. 69 6.2.3 Peruntukan Hasil Penjualan Lahan ........................... 71 6.3 Pendugaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga 6.3.1 Hasil dengan Dua Model........................................... 72 6.3.2 Faktor yang Berpengaruh Nyata dan Tidak .............. 78
VII
KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 7.2
Kesimpulan ........................................................................ 87 Saran................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 89 LAMPIRAN........................................................................................... 92
ii
DAFTAR TABEL
No. 1
Halaman Luas Penggunaan Lahan untuk Pemukiman per Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bogor ............................................................ 2
2 Matrik Penggunaan Lahan untuk Pemukiman Berdasarkan Fungsi Kawasan ...................................................................................... 3 3 Penggunaan Lahan di Kecamatan Cibinong ........................................... 7 4 Metode Pengumpulan Data dan Analisis ............................................... 43 5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ................................. 50 6 Kondisi Jalan dan Jembatan .................................................................... 53 7 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur ............................. 58 8 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga ........ 59 9 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ...................................... 61 10 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ............................... 62 11 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan...................................... 63 12 Pemanfaatan Lahan Sebelum Proses Transaksi ...................................... 66 13 Faktor Pendorong Responden Melakukan Transaksi Jual Lahan ........... 67 14 Faktor Penarik Responden Melakukan Transaksi Jual Lahan ................ 68 15 Proses Transaksi Jual Lahan. .................................................................. 69 16 Peruntukan Hasil Penjualan lahan........................................................... 72 17 Hasil Analisis Regresi Model Regresi Linear......................................... 74 18 Hasil Analisis Regresi Model Regresi double-log .................................. 75 19 Hasil Kedua Model dengan Dua Variabel Terikat.................................. 77
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1
Pengaruh biaya transportasi terhadap land rent ................................. 16
2
Profil umum penggunaan lahan menunujukkan adanya tumpang tindih dimana beberapa penggunaan tertentu merupakan penggunaan tertinggi dan terbaik ..................................................... .. 17
3
Kurva Permintaan dan Penawaran Lahan ........................................ .. 22
4
Kerangka Pemikiran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Permukiman .................... ..................................................... .. 36
5
Statistik d Durbin-Watson.......... ..................................................... .. 45
6
Diagram Tabulasi Silang antara Jenis Kelamin dan Pendidikan ..... .. 56
7
Diagram Tabulasi Silang antara Jenis Kelamin dan Umur .............. .. 57
8
Diagram Tabulasi Silang antara Umur dan Jumlah Tanggungan .... .. 58
9 Diagram Tabulasi Silang antara Jumlah Tanggungan dan Jenis Pekerjaan .................................... ..................................................... .. 60 10 Diagram Tabulasi Silang antara Pendidikan dan Pendapatan.......... .. 61 11 Diagram Tabulasi Silang antara Pendapatan dan Jenis Pekerjaan ... .. 63 12 Diagram Tabulasi Silang antara Pendapatan dan Jenis Kelamin ..... .. 64 13 Diagram Tabulasi Silang antara Faktor Pendorong dan Pendapatan .. 67 14 Diagram Tabulasi Silang antara Faktor Penarik dan Pendapatan .... .. 68 15 Diagram Tabulasi Silang antara Pendidikan dan Proses Transaksi . .. 70 16 Diagram Tabulasi Silang antara Pekerjaan dan Proses Transaksi ... .. 70 17 Diagram Tabulasi Silang antara Umur dan Proses Transaksi.......... .. 71
DAFTAR LAMPIRAN
No. 1
Halaman Tipe Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor ....................................... 93
2 Sistem Penilaian Individual PBB ........................................................... 94 3
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang PBB ............................................ 96
4
Peta Wilayah Kecamatan Cibinong ....................................................... 97
5
Tabulasi Data Primer dan Sekunder....................................................... 98
6
Hasil Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Pemukiman............................................................................................. 99
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi seperti pertanian dan kehutanan, pemukiman penduduk, komersial, dan penggunaan untuk industri serta untuk eksplorasi mineral. Berdasarkan hasil eksplorasi terhadap penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Bogor ditemukan ada 32 tipe penggunaan lahan dan penutupan lahan. Untuk memudahkan melakukan sintesis tentang evaluasi lahan, dilakukan reklasifikasi sehingga menjadi hanya 12 kelas atau tipe penggunaan, dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari data Analisis spasial menurut wilayah kecamatan diketahui bahwa penggunaan lahan yang paling dominan dan tersebar secara merata di seluruh kecamatan adalah berupa kebun campuran. Penggunaan lahan untuk kebun campuran terluas terdapat di Kecamatan Cigudeg dengan luasan mencapai 10.288 Ha. Penggunaan lahan sebagai sawah irigasi juga tersebar hampir di seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor. Kecamatan yang mempunyai sawah irigasi terluas adalah Kecamatan Jonggol dengan luas sekitar 4.981 Ha, selanjutnya diikuti oleh Kecamatan Cariu, Pemijahan dan Sukamakmur dengan luasan masing-masing 4.180 Ha, 3522 Ha, dan 3.316 Ha. Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk serta pertumbuhan ekonomi di beberapa sentra-sentra pertumbuhan di wilayah Bogor serta desakan penduduk dari wilayah DKI Jakarta, ternyata ditemukan penggunaan lahan untuk pemukiman yang besar. Data dari BPN (2005) menunjukkan wilayah Kecamatan
2
Cibinong merupakan salah satu wilayah yang mempunyai pemukiman terluas sebesar 605 Ha. Tabel 1 No
Luas Penggunaan Lahan untuk Pemukiman per Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bogor Luas (hektar) Kecamatan Pemukiman Perkampungan
1
Gunung Putri
1039
825
2
Cibinong
605
793
3
Babakanmadang
420
741
4
Sukaraja
349
426
5
Cileungsi
264
1663
6
Tajurhalang
189
540
7
Citeureup
150
1156
8
Kemang
140
472
9
Parung
123
573
10
Gunung Sindur
86
544
11
Jonggol
72
1416
12
Ciseeng
60
723
13
Cigombong
51
255
14
Klapanunggal
34
685
15
Bojonggede
29
329
16
Ciampea
26
479
17
Tenjo
13
407
18
Rumpin
11
475
3661
12205
Jumlah Sumber : Data Dijital BPN (2005)
Kecamatan Cibinong menjadi daerah terluas kedua setelah Kecamatan Gunung Putri dengan luas 1039 Ha. Kemudian diikuti Kecamatan Babakan Madang, Sukaraja, Cileungsi, dan Tajurhalang dengan luasan masing-masing 420 Ha, 349 Ha, 264 Ha, dan 189 Ha. Sedangkan untuk perkampungan wilayah
3
terluas ada di Kecamatan Cileungsi diikuti Kecamatan Jonggol, dengan luas masing-masing adalah 1663 Ha, 1416 Ha. Penggunaan lahan untuk pemukiman dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 tersebut diketahui bahwa hanya empat kecamatan yang mempunyai jumlah yang cukup berimbang antara pemukiman dan perkampungan yaitu Kecamatan Gunung Putri, Cibinong, Babakanmadang, dan Sukaraja. Data tersebut juga dapat menunjukkan bahwa keempat kecamatan tersebut dapat dikatakan daerah perkotaan. Pemukiman yang merupakan kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang dilengkapi dengan sarana dan prasaran lingkungan dan identik dengan perkotaan (UU No. 2 tahun 1992). Sedangkan perkampungan merupakan kelompok rumah yang identik dengan pedesaan. Tabel 2 Matrik Penggunaan Lahan untuk Pemukiman berdasarkan Fungsi Kawasan (Perda 17/2000) No Fungsi Kawasan Luas Untuk Pemukiman (Ha) 1
Kawasan Pengembangan Perkotaan
1786
2
Kawasan Tanaman Tahunan
3
Kawasan Pertanian Lahan Kering
116
4
Kawasan Pertanian Lahan Basah
122
5
Kawasan Pemukiman Perkotaan
1176
6
Kawasan Perdesaan
37
7
Kawasan Pariwisata
324
8
Kawasan Industri
40
58 Jumlah
3659
Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Bogor (2006) Berdasarkan Perda No. 17 tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dihasilkan sebuah matrik transisi antara data penggunaan lahan dengan fungsi kawasan yang mana terdapat beberapa penyimpangan dalam
4
penggunaan lahan. Sebagai contoh, pada fungsi kawasan yang menurut Perda 17/2000 seharusnya adalah kawasan hutan lindung, kawasan pariwisata, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, dan kawasan tanaman tahunan digunakan menjadi kawasan pemukiman. Dapat dilihat pada Tabel 2. Penyimpangan penggunaan lahan tersebut hampir terjadi di semua kecamatan di Kabupaten Bogor termasuk Kecamatan Cibinong. Banyak faktor penyebab terjadinya penyimpangan tersebut. Harga lahan pemukiman yang dinilai cukup tinggi ditanggapi positif oleh masyarakat dengan mengalihkan lahannya untuk pemukiman kemudian dijual ke pihak lain. Wilayah Kecamatan Cibinong mempunyai posisi yang sangat strategis, disamping sebagai kawasan pusat permukiman, perdagangan dan jasa juga sebagai daerah perbatasan antara Kabupaten Bogor dengan Propinsi DKI Jakarta. Kondisi ini membuat tingginya permintaan lahan pemukiman, sedangkan lahan tidak berubah jumlahnya. Sesuai dengan hukum ekonomi, jika permintaan meningkat sementara penawaran tidak berubah maka harga lahan tersebut akan meningkat tajam. Pemilik lahan juga mempunyai alasan yang kuat untuk melakukan transaksi jual lahan. Berdasarkan penelitian sebelumnya ada banyak penyebab dalam diri penjual dalam melakukan transaksi tersebut. Dalam penelitian tersebut penyebabnya dapat dibagi dalam dua faktor yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong karena lahan tersebut yang semakin berkurang produktivitasnya (lahan pertanian). Lahan dipandang secara eksploitatif, petani tidak mengembalikan unsur hara yang diambil dari lahan tersebut sehingga petani mengalihkan fungsi lahan tersebut ke fungsi pemukiman dan untuk selanjutnya
5
apabila ada yang mau membeli dengan harga yang menarik maka akan dijual. Begitu halnya dengan lahan kosong karena biaya pengelolaan yang tinggi. Penjualan lahan ini juga didorong oleh faktor lainnya seperti untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, menjadi modal dalam berbisnis, rumah tidak layak huni. Faktor penariknya adalah lahan yang mempunyai harga pasar yang cukup tinggi apalagi untuk lahan yang ada di perkotaan yang kebutuhannya semakin meningkat untuk sektor non-pertanian. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk seperti penduduk yang tinggal di daerah Ibukota Jakarta, dan daerah tersebut berdekatan dengan daerah penelitian. Penduduk tersebut tidak mampu ditampung oleh wilayah Jakarta sehingga banyak yang memilih tinggal di daerah hinterland-nya seperti daerah Kecamatan Cibinong. Faktor penarik lainnya adalah karena adanya peluang bisnis dan tabungan. Dari sektor pertanian harga lahan (land rent) menurut Harwick (1986) adalah surplus yang merupakan perbedaan antara harga barang yang dihasilkan dari sumberdaya alam dengan besarnya biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan barang tersebut. Harga lahan menurut Ronny (1996) mencerminkan nilai pasar (market expressions) atas harga kontrak (contract rent), harga jual (sales prices), dan biaya kepemilikan (cost of ownership). Pada dasarnya harga lahan ditentukan berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran dengan menggunakan fungsi kelembagaan yang berada di belakang konsumen dan produsen. Kelembagaan tersebut berfungsi sebagai sistem organisasi dan kontrol terhadap penggunaan sumberdaya. Kelembagaan yang bekerja dalam proses
6
penentuan harga lahan tersebut dapat secara formal seperti Badan Pertanahan Nasional, Pejabat Pembuat Akta Tanah Kecamatan, dan Notaris maupun nonformal seperti agen/calo tanah seperti perantara, mediator, penghubung atau broker. Harga lahan bervariasi, pada wilayah padat penduduk dan tingkat kegiatan ekonomi yang tinggi, umumnya permintaan lahan yang tinggi sedangkan supply lahan kecil, harganya sangat mahal. Berbeda dengan wilayah yang jarang penduduk dan aktivitas ekonomi yang rendah harganya rendah.
1. 2 Perumusan Masalah Kabupaten Bogor mempunyai luas lahan sebesar 3.440,71 km2 dan mempunyai kecamatan sebanyak 35 kecamatan termasuk Cibinong. Berdasarkan Data Sensus 2006 Kabupaten Bogor termasuk daerah yang padat penduduk dengan jumlah penduduk sebanyak 4.215.436 jiwa dan kepadatannya sekitar 1.225,16 jiwa/km2. Jumlah rumah di Kabupaten Bogor sampai tahun 2005 sebanyak 661.098 unit rumah dari jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 712.004 KK, dengan kondisi rumah yang tidak layak huni sebanyak 175.047 unit (26,48 %) dan rumah layak huni sebanyak 486.051 unit (73,52 %). Kecamatan dengan persentase rumah layak huni tertinggi terdapat di Gunung Putri sebesar 99,04 persen sedangkan untuk persentase terendah terdapat di Kecamatan Sukajaya sebesar 2,11 persen. Untuk rumah tidak layak huni persentase tertinggi terdapat di Kecamatan Sukajaya (97,89 %) dan persentase terendah terdapat di Kecamatan Cisarua (0,47 %). Kecamatan Cibinong yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Bogor merupakan daerah yang strategis karena merupakan perbatasan antara
7
Kabupaten Bogor dengan Proponsi DKI Jakarta. Daerah tersebut juga memiliki potensi sebagai kawasan pemukiman, perdagangan dan jasa, industri serta penyedia fasilitas pelayanan. Penggunaan lahan tahun 2007 di Kecamatan Cibinong yang paling besar adalah untuk pemukiman sebesar 1.990,720 Ha. (46,4 %). Sedangkan penggunan yang lain adalah untuk fasilitas umum sebesar 789,37 Ha (18,4 %). Secara lebih lengkap penggunaan lahan di Kecamatan Cibinong dapat di lihat pada Tabel 3. Tabel 3 Penggunaan Lahan di Kecamatan Cibinong No Penggunaan lahan Luas (hektar) 1 Pemukiman 1.990,72 2 Fasilitas Umum 789,37 3 Pertanian sawah 199.02 4 Ladang/Tegalan 465,16 5 Perkebunan 433,40 6 Hutan 20,00 7 Perikanan Darat/Air tawar 142,82 8 Rawa/Situ 114,50 9 Lain-lain 135,35 Total 4.290,34 Sumber : Pemerintah Kecamatan Cibinong 2007
Persen (%) 46,4 18,4 4,6 10,8 10,1 0,5 3,3 2,7 3,2 100,0
Semakin meningkatnya jumlah penduduk yang tinggal di Kecamatan Cibinong berakibat pada permintaan lahan terhadap perumahan semakin tinggi. Berdasarkan data Program Kerja Kecamatan Cibinong 2007 jumlah penduduk Kecamatan Cibinong adalah 270.057 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 136.022 jiwa, dan perempuan sebanyak 134.035 jiwa, dengan kepadatan penduduk 3.849,65 jiwa/km2. Lahan yang diperuntukkan untuk pemukiman tersebut awalnya dari lahan yang diperuntukkan untuk penggunaan yang lain seperti untuk pertanian. Dengan semakin meningkatnya permintaan akan lahan maka harga lahan juga semakin mahal. Pada dasarnya harga lahan ditentukan berdasarkan
8
mekanisme permintaan dan penawaran dengan menggunakan fungsi kelembagaan yang berada di belakang konsumen dan produsen, dan kelembagaan tersebut berfungsi sebagai sistem organisasi dan kontrol terhadap penggunaan sumberdaya. Kelembagaan yang bekerja dalam proses penentuan harga lahan tersebut dapat secara formal seperti Badan Pertanahan Nasional, Pejabat Pembuat Akta Tanah Kecamatan, dan notaris maupun non-formal seperti agen/calo tanah seperti perantara, mediator, penghubung atau broker. Berdasarkan penjelasan di atas maka permasalahan yang dirumuskan adalah : 1. bagaimana latar belakang penjual lahan saat melakukan transaksi di Kecamatan Cibinong ? 2. bagaimana motivasi penjual lahan, proses transaksi jual lahan dan peruntukan hasil penjualan lahan ? 3. faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga lahan pemukiman di Kecamatan Cibinong ?
1. 3 Tujuan Penelitian Dari ketiga permasalahan yang dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini dilakukan adalah : 1. mengidentifikasi latar belakang penjual lahan saat melakukan transaksi jual lahan di Kecamatan Cibinong 2. mengidintifikasi motivasi penjual lahan, proses transaksi jual lahan dan peruntukan hasil penjualan lahan 3. menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan pemukiman di Kecamatan Cibinong.
9
1. 4 Kegunaan Penelitian Penelitian berguna untuk : 1. masukan dan pertimbangan bagi Bappeda Kabupaten Bogor dalam perencanaan pembangunan wilayah Cibinong 2. masukan bagi masyarakat yang mempunyai lahan dalam memperkirakan nilai ekonomi lahannya. 3. Peneliti agar dapat menambah pengetahuan dan dan mengaplikasikan ilmu-ilmu yang sudah diperoleh.
1. 5 Ruang Lingkup, Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini terdapat ruang lingkup dan keterbatasan dalam melakukan penelitian diantaranya : 1. penelitian ini dikhususkan pada lahan yang berlokasi hanya di Kecamatan Cibinong tidak mencakup seluruh kecamatan di Kabupaten Bogor 2. data primer berupa wawancara terhadap responden yang merupakan penjual lahan, sedangkan terhadap pembeli lahan tidak dilakukan.
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sumberdaya Lahan Sitorus (2004) mengungkapkan pengertian sumberdaya lahan/tanah (land resources) adalah 1. Gabungan antara sifat sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, yang tidak dapat diperbaharui serta sumberdaya biologis yang terdiri dari lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang berada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang (space) atau tempat. Komponen-komponen penyusun sumberdaya lahan terdiri dari : (1) iklim, (2) air, (3) bentuk lahan dan topografi, (4) tanah, (5) formasi geologis, (6) vegetasi, (7) organisme/hewan, (8) manusia dan (9) produk budaya manusia. 2. Dari sudut pandang sistematik, sumberdaya lahan dapat dianggap sebagai “suatu sistem” yang terdiri dari beberapa sub-sistem yaitu : (1) sub-sistem tanah, (2) sub-sistem klimatologi, (3) sub-sistem hidrologi, (4) sub-sistem vegetasi, (5) sub-sistem manusia dan budayanya dan (6) sub-sistem penunjang aktivitas manusia. 3. Sebagai faktor produksi yang secara bersamaan digunakan dengan tenaga kerja, modal dan pengelolaan sebagai faktor produksi yang mana lahan dapat
menghasilkan
makanan,
serat,
bahan
bangunan,
mineral,
sumberdaya energi, dan bahan mentah lainnya yang digunakan dalam masyarakat modern. Dimana lahan dapat digunakan dalam 10 tipe
11
penggunaan utama yaitu : (1) lahan perumahan, (2) lahan komersial dan industri, (3) lahan tanaman, (4) lahan padang rumput dan penggembalaan, (5) Lahan hutan, (6) lahan mineral, (7) lahan rekreasi, (8) lahan trasportasi, (9) area pelayanan (area militer, tahanan, kuburan, waduk, lokasi listrik tenaga air), (10) Lahan gundul. 4. Barang konsumsi yang mempunyai nilai (value), misalnya untuk perumahan, tempat rekreasi, taman (parks) sering diperlakukan sebagai barang konsumsi meskipun dapat juga dianggap sebagai faktor produksi.
Hardjowigeno (2003) juga memberikan defenisi lahan secara ilmiah yaitu kumpulan dari benda alam dipermukaan bumi yang meliputi tanah yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara, dan merupakan media untuk tumbuhnya tanaman beserta faktor-faktor fisik lingkungannya seperti lereng, hidrologi, iklim, dan sebagainya. Lahan merupakan input yang sangat dibutuhkan dalam banyak aktivitas ekonomi seperti pertanian dan kehutanan, permukiman, komersial, dan penggunaan untuk industri dan juga eksplorasi mineral yang terkandung di dalamnya. Lahan adalah sumberdaya alam yang sangat penting yang secara mudah dapat dipergunakan yang pada awalnya diperkenalkan oleh ilmu ekonomi modern pada akhir abad ke18 (Hartwick and Olewiler, 1986). Menurut Reksohadiprodjo (1985), apabila lahan digunakan bersamabersama dengan faktor-faktor produksi lain seperti tenaga kerja, modal, teknologi, dan lain-lain menjadi bahan pertimbangan untuk tempat tertentu bagi pemanfaatan tertentu pula. Pemanfaatan lahan sangat menentukan cara-cara masyarakat
12
berfungsi. Lahan yang merupakan sumber dasar atau asal makanan, permukiman, air serta zat asam harus dimanfaatkan secara baik sehingga menjamin ekosistem yang stabil, membatasi pencemaran udara, serta menciptakan struktur politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan nasional masyarakat dan tidak terbatas pada perkembangan kota-desa saja.
2. 2 Aspek Ekonomi Sumberdaya Lahan Penetapan harga lahan dapat diterapkan secara : 1. Land rent berdasarkan tingkat kesuburan lahan maupun besarnya surplus yang didapat dari surplus lahan tersebut 2. Ekonometrika berdasarkan karekteristik lingkungan yang mempengaruhi di sekitar lokasi 3.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkan harga lahan di pasaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan kategori letak lahan.
2. 2. 1 Teori Nilai Lahan (Land rent) Menurut Barlowe (1986) sewa lahan merupakan konsep penting dalam teori ekonomi sumberdaya lahan. Sewa lahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Sewa lahan (contract rent) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik, dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu. 2. Keuntungan usaha (economic rent atau land rent) yaitu merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input tanah yang memungkinkan faktor produksi tanah dapat dimanfaatkan dalam proses produksi.
13
Sewa tanah dan keuntungan usaha merupakan dua konsep sewa lahan penting yang digunakan dalam ekonomi sumberdaya lahan. Kedua konsep tersebut hanya berbeda dalam satu hal yaitu contract land merupakan pembayaran yang sebenarnya kepada pemilik lahan. Pembayaran ini dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari surplus pendapatan (land rent) yang seharusnya oleh pemilik lahan. Kekurangan maupun kelebihan dari surplus pendapatan merupakan hak dari penyewa. Sewa lahan secara sederhana dapat didefenisikan sebagai surplus ekonomi dari kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan dapat dilihat dari surplus ekonomi karena kesuburan tanahnya dan surplus ekonomi karena lokasi ekonomi. Perbedaan kesuburan tanah mengakibatkan perbedaan output dengan biaya produksi total yang sama. Lahan subur akan menghasilkan output yang paling banyak dibandingkan dengan lahan yang tidak subur, sehingga land rent pada tanah yang subur akan lebih tinggi dari tanah yang kurang subur. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam besarnya biaya produksi rata-rata per unit untuk lahan dengan berbagai tingkat kesuburan tersebut. Perbedaan kualitas lokasi mengakibatkan adanya perbedaan dalam land rent. Hal ini disebabkan dengan biaya produksi rata-rata per unit yang sama, harga output yang diterima produsen di daerah pasar proporsional dengan harga jual output, sedangkan pada lokasi yang lebih jauh, harga yang diterima produsen akan lebih rendah karena meningkatnya biaya trasportasi. Adanya perbedaan harga yang diterima produsen tersebut mengakibatkan land rent tertinggi adalah lokasi
14
yang dekat dengan pasar dan land rent semakin rendah atau menurun apabila semakin jauh dari pasar. Teori sewa lahan menurut model klasik yang banyak digunakan adalah konsep dari David Ricardian dan Von Thunen (Barlowe, 1986). David Ricardo memberikan konsep tentang sewa lahan atas dasar perbedaan alam kesuburan tanah terutama pada masalah sewa lahan di sektor pertanian, tetapi dalam analisisnya David Ricardo tidak terlepas dari asumsi yaitu pada daerah pemukiman baru terdapat sumberdaya lahan yang subur dan melimpah. Ricardo berpendapat hanya lahan yang subur yang digunakan untuk budidaya pertanian dan tidak ada pembayaran sewa lahan sehubungan dengan penggunaan lahan tersebut, karena penduduk masih jarang atau sedikit jumlahnya. Sewa lahan akan muncul apabila jumlah penduduk bertambah sehingga meningkat permintaan akan lahan yang mengakibatkan digunakannya lahan kurang subur oleh masyarakat. Teori sewa lahan dari David Ricardo secara ringkas dapat diuraikan dalam contoh berikut : Dengan suatu tingkat penggunaan input tenaga kerja dan kapital yang sama (misalnya dengan biaya Rp. 1 juta) pada suatu areal yang sama, dengan empat perbedaan tingkat kesuburan tanah. Kesuburan dibedakan dari yang tertinggi sampai yang terendah yaitu lahan A, B, C, D dengan kapasitas produksi masing-masing 100 unit, 80 unit, 60 unit, 50 unit. Dengan asumsi tersebut untuk menghasilkan tiap unit produksi pada lahan kualitas A diperlukan biaya Rp. 40.000,- untuk lahan B Rp. 50.000,- lahan C Rp. 66.600,- dan lahan D Rp. 80.000,-. Apabila lahan kualitas A cukup tersedia untuk menghasilkan seluruh kebutuhan produksi, maka harga pasar produk akan berkaitan dengan Rp. 40.000,- biaya produksi per unit. Tidak ada rent yang perlu
15
dibayar, karena setiap pengguna lahan dapat menggunakan lahan dengan kualitas/tingkat kesuburan yang sama. Situasi ini akan berubah apabila lahan kualitas B harus digunakan untuk menghasilkan produk karena pertumbuhan penduduk. Pada keadaan ini harga produk harus meningkat pada tingkat Rp. 50.000,- untuk menutupi biaya produksi pada lahan kualitas B tersebut. Harga produk yang lebih tinggi ini akan memberikan surplus ekonomi sebesar Rp. 10.000,- per unit produk kepada si pengguna lahan kualitas A. Surplus
ini sebenarnya tidak diperlukan untuk
menjamin produksi yang berkesinambungan dari lahan A, tetapi karena sudah demikian adanya, itu menjadi land rent kepada pemilik lahan A tersebut. Demikian seterusnya untuk lahan C dan D. Lahan A mempunyai nilai sewa karena pertumbuhan penduduk, lahan B mulai digunakan untuk perluasan tanam, dan selanjutnya lahan B mulai memiliki nilai sewa apabila lahan C mulai digunakan untuk perluasan tanam. Lahan C akan mulai memiliki nilai sewa lahan apabila lahan D mulai digunakan untuk perluasan tanam. Dengan demikian lahan A memiliki nilai sewa lahan yang tertinggi yang ditunjukkan oleh surplus ekonomi dari lahan D. Teori sewa lahan model Ricardo ditentukan berdasarkan perbedaan dalam kualitas lahan yang hanya melihat faktor kemapuan lahan untuk membayar sewa tanpa memperhatikan faktor lokasi lahan. Faktor lokasi lahan dalam menentukan nilai sewa lahan (land rent) dibahas dalam model Von Thunen. Model ini menunjukkan berbagai tanaman yang dihasilkan oleh daerah-daerah subur dekat pusat pasar dan menemukan bahwa sewa lahan di dekat pusat pasar lebih tinggi dari daerah-daerah yang lebih jauh dari pusat pasar.
16
Menurut Von Thunen sewa lahan berkaitan dengan biaya trasport dari daerah produksi ke pusat pasar. Semakin jauh jarak lokasi lahan dari pasar akan menyebabkan semakin tingginya biaya transportasi. Lahan yang lokasinya dekat ke pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dengan sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan. Sewa lahan mempunyai hubungan yang terbalik dengan jarak lokasi lahan ke pasar seperti terlihat dalam Gambar 1.
Land rent (Rp)
Land rent (Rp) P
Land rent Y
C
Biaya
K
X
Jarak ke pasar (km)
Keterangan : P = Harga produk C = Biaya produksi K, X = Jarak lahan ke pasar
Gambar 1. Pengaruh Biaya Transportasi dari Berbagai Lokasi ke Pasar terhadap Land Rent Sumber : Barlowe, Raleigh (1986) Barlowe (1986) mengajukan konsep penggunaan lahan tertinggi dan terbaik. Sebagian besar lahan dapat digunakan dalam berbagai penggunaan. Lahan yang mempunyai nilai tertinggi dijumpai di sebagian besar kawasan pusat perdagangan. Lahan dalam keadaan penggunaan tertinggi dan terbaik apabila digunakan dapat memberikan keuntungan optimum kepada pengguna atau kepada
17
masyarakat yang dapat diukur dengan istilah moneter, dalam nilai sosial dan intangible value atau kombinasi keduanya. Penggunaan lahan tertinggi dan terbaik dari sebidang lahan sering dapat diubah mengikuti perubahan dari kualitas lahan, perubahan teknologi dan perubahan kecenderungan permintaan. Dalam masyarakat modern, lahan pada umumnya memberikan keuntungan yang lebih tinggi apabila digunakan untuk keperluan komersial atau industri (A), dibandingkan dengan tipe penggunaan lainnya. Kemudian diikuti berikutnya oleh penggunaan untuk pemukiman (B) lalu diikuti dengan berbagai tipe lahan tanaman dan padang rumput (C), padang penggembalaan (D) seperti terlihat dalam Gambar 2. Penggunaan Komersial dan Industri (A) Perumahan (B)
P
Lahan Pertanian dan Padang Rumput (C)
Pusat Kota
Padang Penggembalaan (D)
R Zona transper dari C ke D
Zona transper dariB ke C
Zona transper dari A ke B
Q Nilai Lahan dan Sewa Ekonomi Lahan
Kapasitas Penggunaan Menurun
Gambar 2. Profil Umum Penggunaan Lahan Sumber : Barlowe, Raleigh (1986)
18
Margin antara penggunaan untuk komersialdan industri dengan perumahan terjadi di titik P. Pada titik ini lebih menguntungkan untuk menggeser ke penggunaan untuk perumahan daripada dilanjutkan untuk penggunaan komersial. Transfer margin yang lain yang juga nyata adalah di titik Q dimana lebih menguntungkan untuk menggeser ke penggunaan untuk lahan pertanian dan padang rumput daripada dilanjutkan untuk penggunaan pemukiman dan titik R dimana menjadi lebih mengguntungkan untuk menggeser ke penggunaan padang penggembalaan daripada dilanjutkan untuk penggunaan untuk pertanian dan padang rumput. Setiap orang pada tiap-tiap kasus ini dapat melanjutkan penggunaan transfer margin lahannya sebesar mungkin atau tidak ada margin lagi dan masih menghasilkan uang. Setiap orang yang menggunakan lahannya diantara adanya transfer margin dan tidak ada margin dikatakan peggunaan dengan prinsip zona transfer. Penjelasan di atas merupakan konsep nilai lahan dan prinsip highest and best uses yang dapat digunakan untuk menjelaskan kompetisi antara penggunaan lahan dan hasil dari pengalokasian sumberdaya lahan diantara penggunaanya. Kompetisi ini berlanjut seperti sebuah proses yang tidak berkesudahan dan berakibat pada kemampuan mengamati alokasi yang berkelanjutan dan berulang dalam penggunaan sumberdaya lahan diantara variasi penggunaan dan pemakai lahan tersebut. 2. 2. 2 Teori Harga Lahan Alonso (1970) menggunakan istilah harga lahan (land price) sebagai pengganti istilah nilai lahan (land value) dalam menganalisis masalah ekonomi lahan perkotaan. Istilah harga lebih dapat mencerminkan nilai pasar (market
19
expressions) atas harga kontrak (contract rent), harga jual (sales prices), dan biaya kepemilikan (cost of ownership). Harga jual adalah harga yang disanggupi pembeli (willingness to pay) setelah mempertimbangkan berbagai alternatif dan merupakan nilai diskonto dari total nilai sewa di masa mendatang sedangkan biaya pemilikan lahan ialah fungsi dari harga jual dan harga kontrak. Alonso (1970) juga mendefenisikan harga lahan sebagai sejumlah uang yang dibayar kepada pemilik lahan atas hak menggunakan suatu unit lahan pada periode waktu tertentu. Defenisi tersebut belum secara jelas membedakan antara harga lahan dengan nilai lahan. Akan tetapi harga lahan sudah mengkaitkan dengan dimensi pasar sebagai wahana transaksi dan merupakan kumulatif nilai dari beberapa jenis rente lahan seperti rente ricardian, rente lokasi atau rente sosial. McAuslan (1989) menyatakan bahwa semua lahan memiliki nilai. Nilai itu tergantung dari nilai barang dan jasa yang dapat dihasilkan di atas lahan tersebut tetapi sukar untuk menemukan dan kemudian menggunakan suatu cara untuk menilainya kecuali melalui pasar. Seperti halnya untuk barang ekonomi yang lainnya, pasarlah merupakan cara yang paling baik dengan melihat perpotongan antara penawaran dan permintaan lahan tersebut dalam menentukan harga lahan tersebut. Daniel (2002) menyatakan harga atas lahan ditentukan secara objektif ekonomis. Nilai ekonomis lahan komersial biasanya dianggap sebagai kapitalisasi atau pengejawatahan dari bunga. Semakin tinggi bunga maka akan semakin rendah harga lahan tersebut dengan asumsi penghasilan atau hasil bersih dari lahan tersebut tetap.
20
Menurut Randall (1987) perbedaan harga lahan dengan nilai lahan adalah harga lahan cenderung bernilai lebih tinggi dari nilai lahan baik pada wilayah pertanian maupun di wilayah perkotaan. Menurut teori lokasi, hal ini disebabkan karena tidak terdapat ekonomi aglomerasi. Rente lokasi (urban rent) memiliki gradien kurva yang lebih tajam dibandingkan dengan rente Ricardian (agriculture rent) sehingga terjadi spesialisasi penggunaan lahan antara wilayah kota dan wilayah desa. Pada kenyataannya, kadang-kadang untuk wilayah-wilayah yang terpencil harga lahan dapat lebih rendah dibandingkan nilai lahan. Harga lahan juga tidak terlepas dari faktor lingkungan, perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau harga lahan yang bersangkutan atau secara konkrit harga lahan akan semakin meningkat jika kualitas lingkungan bertambah baik. Meningkatnya harga lahan sesungguhnya banyak berkaitan dengan banyaknya fasilitas yang diciptakan, terutama oleh investasi pemerintah yang bersifat pekerjaan umum seperti pembangunan jalan, fasilitas listrik, lapangan terbang, saluran irigasi, pengolahan limbah, dan sebagainya. Semua fasilitas umum tersebut menimbulkan kemudahan dan meningkatkan kepuasan (utility) dan tentunya kepuasan ini akan menambah kesediaan bagi orang untuk membayar. Menurut Suparmoko (1989) harga lahan yang berlokasi dekat fasilitas umum tersebut akan meningkat pula. Dengan perkataan lain, adanya kegiatan pembangunan, khususnya pembangunan prasarana umum, akan meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh satuan luasan lahan, yang dibarengi pula dengan meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga harga lahan akan meningkat. Lahan yang dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk
21
daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan harga sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan, seperti untuk industri atau penggunaan lain yang menguntungkan. Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harga lahan tidak terlepas dari nilai lahan dan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti lingkungan, fasilitas-fasilitas yang tersedia di sekitar lahan ditentukan dalam kekuatan permintaan dan penawaran di pasar lahan. Menurut Daniel (2002) ada 2 faktor dalam menentukan harga lahan yaitu dilihat dari faktor penawaran lahannya dan faktor permintaan lahan tersebut. Dari faktor penawarannya yaitu kualitas dan lokasi lahan tersebut. Kualitas lahan dilihat dari segi kualitas air atau fasilitas air, kesuburan, dan kandungan mineral dalam lahan tersebut. Dari lokasi lahan, dapat dilihat dari aksesibilitas lahan tersebut seperti tersedianya sarana angkutan umum, lembaga perkreditan, pasar, kondisi jalan, dan keamanan dari bahaya banjir. King (2000) juga memberikan defenisi harga lahan dilihat dari kualitasnya. Ada empat faktor yang menentukan harga lahan tersebut yaitu : (1) lokasi, (2) karakteristik propertinya : luas, jumlah dan luas kamar, dan jumlah kamar mandi, (3) karakteistik lingkungan sekitar : pajak properti, angka kejahatan, (4) karakteristik aksesibilitas : jarak ke tempat krja, pusat perbelanjaan, dan adanya transportasi umum. Sutarjo (1992) memberikan penjelasan tentang pengaruh kualitas dan lokasi lahan terhadap harga lahan. Kenaikan nilai dan harga lahan merupakan suatu konsekuensi dari suatu perubahan penggunaan dan pemanfaatan lahan. Lahan yang semula penggunaannya tidak pasti dijadikan suatu kawasan yang
22
produktif akan menaikkan nilai dan harga lahan Pembangunan kota memerlukan lahan yang luas dan memerlukan komponen-komponen kegiatan fungsional yang mendukung dan bersifat produktif seperti sarana transporasi, pasar, bank, dan kondisi jalan akan merupakan suatu hal yang sangat peka terhadap kemungkinan kenaikan harga lahan. Permintaan lahan juga mempengaruhi harga lahan. Penentu permintaan lahan tersebut adalah selera dan preferensi konsumen, jumlah penduduk, pendapatan, dan ekspektasi konsumsi terhadap harga dan pendapatan di masa yang akan datang. Keempat penentu permintaan lahan tersebut berhubungan positif dengan harga lahan. Semakin meningkat penentu permintaan lahan tersebut maka harga lahan juga akan semikin mahal (Menurut Halcrow dan Mazzota, 1992).
Harga Lahan (Rp / m2)
S2 S1
P2
D2 P1 D1
Q1
Unit Kepemilikan Lahan (Q)
Gambar 3. Kurva Permintaan dan Penawaran Lahan Sumber : Barlowe, Raleigh (1986)
23
Pada harga keseimbangan bersifat fleksibel, selalu berubah-ubah dan cenderung meningkat karena penawaran lahan yang semakin terbatas yang disertai permintaan lahan yang semakin bertambah. Dengan mengasumsikan bahwa kurva supply lahan bersifat hampir tidak elastik dan kurva permintaan bersifat sangat elastik dan berubah sesuai dengan perkembangan ekonomi, sehingga terjadi pergeseran kurva permintaan lahan dari D1 meningkat ke D2. Pergeseran permintaan lahan tersebut mendorong peningkatan harga dari P1 meningkat ke P2 dengan penurunan tingkat penawaran lahan, dapat ditunjukkan pada Gambar 3 di atas (Barlowe, 1986). 2.2.3 Nilai Jual Objek Pajak Lahan Nilai jual objek pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli, yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual-beli. NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. NJOP meliputi nilai jual permukaan bumi (lahan, perairan, pedalaman, serta laut wilayah Indonesia) beserta kekayaan alam yang berada di atas maupun di bawahnya, dan/atau bangunan yang melekat di atasnya. Pengelompokan nilai jual rata-rata atas permukaan bumi berupa lahan dan/atau bangunan digunakan sebagai pedoman untuk memudahkan perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang. Klasifikasi lahan dan bangunan adalah untuk dapat menghitung besarnya pajak PBB terutang, maka objek bumi dan atau bangunan tersebut harus diketahui dahulu besarnya harga atau NJOP per meter perseginya berdasarkan letak, lingkungan, dan strategis objek, menurut klasifikasi objek yang bersangkutan.
24
Tata cara penilaian objek PBB secara teknis penilaian terdiri dari 2 cara, yaitu penilaian massal dan penilaian individual (Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan). Penilaian individual adalah suatu sistem penilaian terhadap objek pajak secara manual dengan memperhitungkan seluruh karakteristik dari objek pajak yang dimaksud. Teknik penilaian individual diterapkan untuk jenis objek pajak kontruksi khusus atau umum yang telah dinilai secara CAV (Computer Assisted Valuation). Dalam penilain individual, meskipun pendataan dilakukan tidak tepat pada tanggal 1 Januari, tetapi analisis penilaian harus disesuaikan dengan keadaan tanggal 1 Januari tahun pajak berjalan. Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB) disusun atas dasar model bangunan yang dianggap dapat melewati tipikal kelompok bangunan tertentu. Kemudian dilakukan perhitungan untuk menetukan nilai bangunan. Secara lebih jelas dapat dilihat pada lampiran 2.
2. 3 Pemukiman Menurut UU No. 2 thn 1992 pemukiman adalah suatu perumahan atau kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung baik kota atau desa berfungsi sebagai tempat kegiatan yang mendukung kehidupan. Sedangkan pemukiman kumuh adalah pemukiman yang tidak layak huni karena tidak memenuhi persyaratan untuk hunian baik secara teknis maupun non teknis. Suatu pemukiman kumuh dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari kemiskinan, karena pada umumnya di
25
pemukiman kumuhlah masyarakat miskin tinggal dan banyak dijumpai di kawasan perkotaan. Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya. Pemukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungannya. Perumahan menitiberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses dan land settlement. Sedangkan pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakekatnya saling melengkapi. Masalah pemukiman manusia di Indonesia, sebagaimana di negara-negara berkembang lainnya, mencerminkan akibat keterbelakangan pembangunan dan sekaligus juga merupakan masalah yang menyertai proses pembangunan sendiri. Keterbelakangan pembangunan menimbulkan akibat-akibat terhadap pemukiman manusia cenderung untuk memburuk karena pertambahan penduduk yang lebih cepat dibandingkan dengan penambahan fasilitas-fasilitas pelayanan umum. Masalah-masalah ini dihadapi dalam situasi dan skala yang berlain-lainan di daerah-daerah perkotaan dan di daerah-daerah perdesaan. Urbanisasi di Indonesia tidaklah sepesat di negara-negara lain tetapi tekanan penduduk berpusat di beberapa kota besar saja.
26
Sebagai akibat konsentrasi-konsentrasi penduduk yang meningkat di kotakota besar terutama di Pulau Jawa adalah penggunaan lahan yang tidak terkendalikan dan sangat kurangnya tanah yang cocok bagi pembangunan lingkungan, perumahan, dan prasarna. Spekulasi tanah dan meningkatnya harga tanah, merupakan hambatan-hambatan utama bagi pembangunan perumahan dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan bagi pembangunan pemukiman sehat. Sebagai akibat urbanisasi yang pesat, daerah-daerah perkotaan telah meluas yang mengakibatkan berkurangnya tanah-tanah pertanian yang subur di daaerah sekelilingnya. Survei-survei
keadaan
perumahan
sekarang
menunjukkan
bahwa
kebanyakan rumah-rumah tidak memenuhi syarat-syarat perumahan yang sehat dan layak. Banyak daerah-daerah tempat tinggal yang sedang tumbuh tidak mendapatkan penyediaan air minum dan tanpa sistem pembuanagn sampah. Daerah-daaerah perkampungan buruk (slums) tumbuh dengan pesat di kota-kota besar karena urbanisasi yang tidak terkendalikan. Daerah-daerah tersebut menyebabkan
lingkungan-lingkungan
pemukiman
merosot
keadaannya.
Kekurangan akan perumahan menyebabkan kepadatan baik dalam rumah-rumah maupun jumlah penghuni dalam rumah yang telah ada. Hal-hal tersebut akan mempunyai akibat terhadap keadaan kesehatan. Di banyak daerah di Pulau Jawa kepadatan penduduk yang makin meningkat telah melampaui daya dukung sistem ekologi perdesaan. Penduduk yang berkelebihan di desa-desa terdesak ke lereng-lereng pegunungan atau ke kota-kota dan menyebabkan eksploitasi SDA secara tidak terkendalikan dan irasional dengan akibat kerusakan pada sistem ekologi. Tekanan penduduk yang
27
makin mendesak di daerah-daerah perdesaan mengakibatkan kebutuhan akan tanah yang lebih besar yang memaksa orang-orang untuk menduduki tanah yang tadinya tidak diperuntukkan bagi pemukiman dan pertanian, atau banyak orang yang menempati tanah yang peka terhadap bencana alam seperti tanah longsor, banjir, letusan gunung. Sebagai akibatnya, sering terjadi banjir dengan akibatakibat malapetaka. Sumber-sumber air yang tadinya berada di daerah-daerah hutan pegunungan telah berkurang bersamaan dengan pembukaan hutan-hutan yang menyebabkan pula cepatnya erosi daerah-daerah tertentu, merobah sungai menjadi arus-arus yang belumpur dalam musim hujan, bahkan menjadi lembah-lembah yang kering sama sekali di musim kemarau. Pada saat ini mayoritas penduduk pedesaan masih sangat tergantung dari air yang berasal dari sumber-sumber yang tidak terlindungi, dari sungai-sungai atau kolam-kolam yang biasanya sudah tercemar. Jelaslah bahwa penyakit yang berhubungan dengan kurang tersedianya air dan kurang tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan merupakan sebab utama bagi kematian di daerah-daerah perdesaan. Dengan demikian masalah kesehatan dan program pembangunan kesehatan merupakan unsur yang utama dalam pembangunan pemukiman.
2. 4 Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelitian Rony (1996) yang melakukan penelitian tentang “Penemuan Harga Lahan dan Kelembagaan yang Mempengaruhinya” diperoleh : Harga lahan di Kotamadya Bogor, baik di wilayah “lama” maupun di wilayah “perluasan” terutama dipengaruhi oleh keberadaan jalan primer, jalan
28
sekunder, status administrasi (kelurahan atau desa), jarak terhadap pusat ekonomi, dan jangkauan terhadap sarana angkutan umum. Di samping itu dipengaruhi juga oleh status kepemilikan lahan, kepadatan penduduk kelurahan/desa, keberadaan kompleks pemukiman, dan kebijakan detil tata ruang. Kelembagaan jual beli lahan formal dapat mendukung keberlangsungan transaksi di kota Bogor tetapi berlangsung secara tidak efisien karena membutuhkan biaya transaksi yang lebih besar dibandingkan ketentuan perundangan. Biaya kontrak yang diperlukan untuk membuat akta berbeda menurut status kepemilikan lahan, wilayah administrasi, dan jenis PPAT. Lahan dengan status kepemilikan bersertifikat (SHM) membutuhkan biaya yang lebih rendah dibandingkan lahan konversi (HMA) yaitu 0,5 – 12,5 persen. Biaya kontrak di wilayah perluasan lebih tinggi dibandingkan di wilayah kotamadya yaitu 0,5 – 12,5 persen berbanding 0,5 – 6 persen. Kelembagaan jual beli lahan non-formal (calo tanah) meningkakan biaya informasi sehingga menurunkan efisiensi transaksi, tetapi masih dibutuhkan untuk menigkatkan efektivitas pelaksanaan jual beli. Biaya informasi yang dibutuhkan berbeda menurut tipe calo tanah. Jual beli lahan status hak milik bersetifikat dan hak guna bangunan banyak dilakukan jasa notaris, sebaliknya untuk lahan konversi (HMA) banyak menggunakan jasa camat. Pemanfaatan lahan di dekat bantaran sungai dan sudut kota banyak dihuni para pemukim “tidak sah”, karena tuntutan yang bersifat ekonomi, serta karena informasi asimetrik tentang peruntukan kawasan di lokasi bantaran sungai dan sudut kota. Perkembangan lahan publik di kotamadya Bogor telah mengalami penurunan luas yang drastis yaitu -14,68 ha atau -7,3 persen (1990 - 1993), yang
29
paling besar berkurangnya adalah lapangan olahraga dan taman kota yaitu -13,57 ha atau (-66,83 persen), dan dikonversi untuk permukiman dan industri. Penelitian yang dilakukan oleh Hasanah (2004) tentang ”Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Pemukiman di Kecamatan Tanah Sareal” menghasilkan : karakteristik penjual lahan di kecamatan Tanah Sareal serara keseluruhan telah mengikuti pendidikan formal, minimal SD/derajat. Memilki mata pencaharian sebagai wiraswasta, buruh tani, pegawai negeri, dan pegawai swasta. Penjual lahan rata-rata merupakan kepala keluarga yang berumur berkisar 55 tahun. Penjual lahan sebagian besar memiliki tanggungan keluarga, yaitu berkisar 4-5 orang. Motivasi yang mendorong penjual untuk melakukan penjualan lahan merupakan motivasi berdasarkan pertimbangan pribadi penjual sehingga perlu dilakukannya transaksi lahan. Penjual lahan tersebut merupakan salah satu alternatif penjual untuk memperoleh tambahan dana untuk modal usaha, membayar hutang, dan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Faktor penarik bagi penjual dalam melakukan dikarenakan adanya beberapa faktor yang menjadi daya tarik tersendiri bagi penjual sehingga dilakukannnya transaksi jual beli lahan, diantaranya tingkat harga lahan yang tinggi, peluang bisnis lahan yang menjanjikan, dan tingkat suku bunga bank yang tinggi. Harga dan nilai lahan di Kecamatan Tanah Sareal diduga dipengaruhi oleh luas lahan, status lahan, kepadatan penduduk, sarana angkutan umum, keamanan lingkungan, fasilitas air, dan fasilitas telepon pada tarif kepercayaan 85 persen. Secara umum faktor-faktor yang diduga tidak berpengaruh nyata terhadap harga
30
lahan dan nilai lahan pada taraf 85 persen adalah prasarana jalan, jarak pasar, dan kompleks pemukiman. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nuryanti (2006) di Kecamatan Telukjambe Timur didapat : luas total lahan yang dijual oleh sebanyak 40 responden sebesar 158.629 meter persegi. Ditinjau dari status lahannya, lahan yang dijual sebagian besar sudah memiliki sertifikat hak milik (SHM) yaitu 24 orang, sedangkan lahan yang dijual dengan status hak milik adat (HMA) yaitu sebanyak 16 orang dimana sebagian besar tanahnya adalah tanah warisan. Karakteristik penjual lahan di Kecamatan Telukjambe Timur secara keseluruhan telah mengikuti pendidikan formal, minimal SD/sederajat. Memiliki mata pencaharian sebagai wiraswata dan rata-rata merupakan kepala keluarga yang berumur berkisar antara 46-55 tahun. Alasan yang mendorong penjual untuk melakukan penjualan lahan adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, memperoleh tambahan dana untuk modal usaha dan membayar hutang. Secara umum faktor-faktor yang diduga tidak berpengaruh nyata terhadap harga lahan dan nilai lahan adalah kepadatan penduduk, prasarana jalan, jarak pasar, kompleks pemukiman, keamanan lingkungan dan fasilitas air. Penelitian-penelitian terdahulu di atas dilakukan tanpa melihat pemerataan lokasi lahan tersebut, penelitian tersebut dilakukan pada 40 responden hanya yang telah terdaftar di PPAT Kecamatan dan Notaris sedangkan penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cibinong pada semua kelurahan yaitu 12 kelurahan sehingga penelitian ini lebih dapat merepresentasikan harga lahan secara lebih baik dibanding dengan penelitian sebelumnya. Variabel-variabel yang digunakan merupakan variabel berdasarkan teori dan fakta yang relevan. Penelitian
31
sebelumnya menggunakan model regresi liniear berganda dan model double-log namun tidak memeberikan penjelasan secara mendalam model yang terbaik dalam menjelaskan harga lahan sedangkan penelitian ini memberikan model terbaik dalam menjelaskan harga dan nilai lahan.
III
KERANGKA PEMIKIRAN
3. 1 Kerangka Pemikiran Teoritis Harga lahan merupakan nilai lahan di pasar yang merupakan pertemuan antara permintaan dan penawaran baik melalui lembaga yang formal maupun nonformal. Proses penentuan harga lahan tidak terlepas dari karakteristik lahan tersebut baik dari sifat fisik lahan yaitu kandungan yang ada di lahan tersebut, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air, dan udara dan media untuk tumbuhnya tanaman maupun dari sifat lokasi, sosial, dan kependudukan.. Harga lahan merupakan fungsi dari nilai lahan. Penentuan harga lahan juga tidak terlepas dari faktor lingkungan. Dowall dan Leaf (1990) menyatakan bahwa pendugaan atas gradien nilai lahan paling tepat jika menggunakan model non linier yaitu dengan cara menggunakan fungsi logaritma 1 : Vx
= Vo . e
-hx
dengan : Vx
= nilai lahan pada x km dari pusat kota
Vo
= nilai lahan pada pusat kota
e
= logaritme napier
h
= gradien nilai lahan yang akan diduga
Bentuk fungsi logaritma dari model di atas adalah sebagai berikut : Log Vx
= log Vo – hx log e = log Vo – hx Vx’
= Vo’ – hx
33
Fungsi tersebut serupa dengan model regresi linier sederhana, dan fungsi tersebut menunjukkan bahwa dengan asumsi variabel lain cateris paribus maka harga lahan akan menurun semakin jauhnya jarak x dari pusat kota. Fungsi di atas hanya menjelaskan hubungan harga lahan dengan faktor jarak terhadap kota atau pusat bisnis Jika hubungan di atas diperluas yaitu hubungan antara harga lahan dengan faktor jarak, kondisi infrastruktur, dan status kepemilikan lahan maka modelnya adalah seperti yang ditunjukkan oleh Dowall dan Leaf 2 : Vx
c
d1
= e . e
d2
d3
. e .e
. ehx
Dengan : c
= konstanta
d1
= variabel dummy untuk infrastruktur baik
d2
= variabel dummy untuk lahan yang bersetifikat
d3
= variabel dummy untuk hak lahan yang terdaftar
Bentuk logaritme dari bentuk di atas : log Vx = c + d1 + d2 + d3 + hx ; c + d1 + d2 + d3 = c’ = c’ + hx Vx’ = c’ + hx Moses dan Williamson mencoba memasukkan pertimbangan kemungkinan pergeseran dalam lokasi (location shift) dan kemungkinan adanya desentralisasi pola jarak (Reksohadiprodjo dan Karseno, 1985), sehingga model yang dikembangkannya adalah seperti berikut3 : D
2 3
= a + b1L1 + b2T + b3H + b4V + b5M + b6C + u
Ibid. Hal 32. Rekso hadiprodjo dan Karseno, Ekonomi Perkotaan. (1985)
34
dengan : D
= Kepadatan atau jarak setiap unit daerah
a
= konstanta
L
= proxy untuk sewa lahan
T
= persen tanah untuk sarana angkutan non jalan raya
H
= jalan raya, 1 bila ada, dan 0 bila tidak ada
V
= tanah kosong
C
= 0 bila di dalam batas kota, 1 bila di luar
u
= faktor kesalahan
3. 2 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan pemukiman di Kecamatan Cibinong seperti faktor luas lahan, jarak lahan relatif ke jalan, kepadatan penduduk, jarak lahan relatif ke pasar Cibinong, jarak relatif ke kantor Pemerintahan Daerah Bogor, fasilitas air, status kepemilikan lahan, keadaan jalan ke lokasi lahan, sumber lahan, ancaman banjir, dan Nilai Jual Objek Pajaknya. Berdasarkan pada penjelasan di atas bahwa harga lahan sangat ditentukan oleh banyak faktor. Lahan yang cukup luas akan semakin mahal dibandingkan dengan lahan yang sempit. Dengan demikian dapat dikatakan harga lahan mempunyai korelasi positif dengan luas lahan. Sama halnya untuk faktor lain yang dijelaskan di atas diduga mempunyai korelasi yang positif terhadap harga lahan. Proses transaksi lahan melibatkan kelembagaan baik yang bersifat formal maupun nonformal. Kelembagaan yang bekerja dalam proses penentuan harga lahan secara formal seperti Badan
35
Pertanahan Nasional, Pejabat Pembuat Akta Tanah Kecamatan, dan Notaris. Sedangkan kelembagaan non-formal seperti agen/calo tanah seperti perantara, mediator, penghubung atau broker. Secara lebih jelas dapat dilihat diagram alur pemikirandari penelitian ini pada Gambar 4 di bawah :
36
Karakteristik Fisik Lahan
Karakteristik Asesibilitas
Luas Kesuburan Kandungan Mineral
Pasar Pusat Pemerintahan Jalan Kondisi Jalan
Karakteristik Lingkungan Lahan Ancaman Bajir Kepadatan Penduduk Proverty taxes Dan lain-lain
Kelangkaan lahan tinggi
Permintaan lahan tinggi
Prinsip highest and best use Kelembagaan
Diolah : Minitab for windows release 14
Formal Non-Formal Pasar lahan Harga/Nilai lahan
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Pemukiman
IV
METODE PENELITIAN
4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Cibinong merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Bogor sebagai daerah yang strategis sebagai pusat pemukiman, jasa dan perdagangan, pusat aktivitas perekonomian Kabupaten Bogor dan perindustrian. Lokasi Cibinong yang diteliti terdiri dari 12 kelurahan yaitu : Kelurahan Cibinong, Kelurahan Cirimekar, Kelurahan Ciriung, Kelurahan Harapan Jaya, Kelurahan Karadenan, Kelurahan Nanggewer mekar, Kelurahan Nanggewer, Kelurahan Pabuaran, Kelurahan Pakansari, Kelurahan Pondok Rajeg, Kelurahan Sukahati, Kelurahan Tengah.
4. 2 Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari hasil wawancara berupa kuesioner pada responden. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang harga lahan hipotetik yang akan digunakan dalam memperkirakan harga lahan di lokasi kelurahan dengan karakteristik lahan pada masing-masing daerah kelurahan. Data sekunder meliputi data yang relevan meliputi peta-peta dan data administrasi kecamatan, penggunaan lahan, status lahan, Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), data statistik Kabupaten Bogor, perundang-undangan yang berkaitan dengan harga lahan, dan data relevan lain yang mendukung penelitian
38
ini. Data sekunder didapat dari berbagai instansi pemerintah maupun swasta seperti kantor Bappeda Kabupaten Bogor, Kantor Agraria/BPN, Kantor Pajak Bumi dan Bangunan, Badan Pusat Statistik (BPS), Kantor Kecamatan, Kelurahan dan Notaris.
4. 3 Metode Pengambilan Data Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu pada sebanyak 40 responden yang pernah melakukan transaksi penjualan lahan yang berlokasi di Kecamatan Cibinong. Sampel diambil secara sengaja karena adanya kendala yaitu responden seharusnya adalah penjual dan pembeli namun untuk mempertemukan antara penjual dan pembeli dalam satu waktu sangat sulit. Letak lahan yang dijual berlokasi di wilayah Kecamatan Cibinong, tetapi pembeli lahan berasal dari luar Kecamatan Cibinong sehingga agak sulit melakukan koordinasi dengan penjual.
4. 4 Metode Analisis Data Hedonic Pricing Method adalah metode yang sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini. Metode hedonic pricing (nilai properti) merupakan pendekatan untuk mendapatkan harga barang-barang properti yang dipengaruhi oleh tingkat kualitas lingkungannya. Suatu model ekonometrika hedonic adalah model dimana variabel independen berhubungan dengan kualitas, misal kualitas dari suatu produk yang ingin dibeli. Metode hedonic price banyak diterapkan dalam studi ekonomi lingkungan, karena dalam ekonomi lingkungan (dalam penelitian ini adalah lahan) banyak barang yang harganya tidak ‘nyata’ (implisit)
39
namun melekat pada barang tersebut. Metode ini pada awalnya digunakan untuk menilai harga lahan dengan semakin berkurangnya tingkat polusi danau yang ada di sekitar lahan tersebut. Semakin kecil tingkat polusi yang bisa dicapai maka akan berpengaruh positif terhadap harga lahan. Metode hedonic bertujuan untuk: (a) mengidentifikasi perbedaan lingkungan antar properti, (b) menentukan berapa besar kesediaan membayar seseorang untuk perbaikan kualitas lingkungan dan nilai sosial yang mengalami perubahan. Penentukan metode hedonic menggunakan variabel-variabel nonlingkungan, variabel tersebut digunakan sebagai kontrol untuk mengetahui perbedaan nilai properti sebagai karakteristik variabel lingkungan. Untuk mendapatkan efek dari berbagai variabel tersebut terhadap nilai properti, maka variabel-variabel tersebut harus dimasukkan dalam analisa. Variabel tersebut seperti variabel properti, variabel neighbourhood, variabel aksesibilitas, dan variabel lingkungan yang menjadi perhatian. Penggunaan nilai properti hanya digunakan dalam kondisi pasar persaingan, informasi yang sempurna, dan seluruh suplus ekonomi berada dalam kontrol pemilik lahan jika terjadi perubahan manfaat bersih. Dengan demikian, analisis tidak saja mencakup sewa lahan dan rumah tetapi juga kualitas lingkungan. Ada beberapa asumsi yang mendasari penggunaan teknik nilai properti (property valuation), yaitu: (1) sewa lahan relatif menggambarkan nilai marginal lingkungan; (2) penggunaan data historis bagi kualitas lingkungan untuk menentukan harga lahan saat ini dan di masa mendatang; (3) masyarakat dapat melihat perbedaan dalam kualitas lingkungan; (4) masyarakat berkeinginan untuk membayar terhadap perbaikan kualitas lingkungan hanya dalam komunitas
40
dimana mereka bertempat tinggal sekarang; (5) informasi terhadap harga real estate dapat diperoleh secara sempurna; (6) rumah tangga secara kontinu mengevaluasi kembali keputusan mereka terhadap lokasi; dan (7) masyarakat berkelompok di dalam suatu lokasi bukan untuk alasan sosial atau geografik lainnya. Data primer dan data sekunder yang didapat dalam penelitian digabungkan dan dianalisis. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan penjelasan dan interpretasi atas data dan informasi pada tabulasi data. Data yang digabungkan tersebut dianalisis menjadi beberapa metode analisis yaitu metode secara tabulasi data, dan metode ekonometrika. Tabulasi data digunakan untuk menelaah data sekunder dan untuk melihat hubungan spasial serta hubungan keterkaitan antar masing-masing karakteristik lahan. Sedangkan metode ekonometrika mengunakan model Regresi linier Berganda dan Model Double Log sebagai penduga parameter yang berguna untuk melihat hubungan antara harga lahan dan nilai lahan dengan karakteristik lahan yang mempengaruhinya. Parameter regresi diduga dengan menggunakan metode pendugaan kuadrat terkecil biasa (Ordinary Last Square). OLS digunakan karena beberapa pertimbangan yaitu mempunyai sifat-sifat yang optimal, sederhana dalam perhitungan, dan umum digunakan. OLS juga menggunakan beberapa asumsi (Frederick Gauss), yaitu 1.
Nilai harapan rata-rata penggangu sama dengan nol, yaitu E (εI) = 0, untuk setiap I, dimana I = 1,2,3,…..,n, artinya nilai yang diharapkan bersyarat dari εI tergantung pada XI tertentu adalah 0.
2.
Varian (εI) = E (εI2 ) = σ2, sama untuk semua kesalahan penggangu (asumsi homoskedastisitas), artinya varian εI untuk
41
setiap I yaitu varian bersyarat untuk εI adalah suatu angka konstan positif yang sama dengan σ2 3.
Tidak terjadi autokorelasi antara kesalahan pengganggu, berarti Cov (εI, εj) = 0, untuk I ≠ j.
4.
Variabel bebas X1, X2, ….., Xk konstan dalam sampling yang terulang dan bebas dari kesalahan penggangu εI, E (X1 εI) = 0.
5.
Tidak ada multikolinearitas, yang berarti tidak ada hubungan liner yang nyata antara variable-variabel bebas.
Apabila asumsi-asumsi tersebut dipenuhi, maka koefisien regresi yang diperoleh merupakan pendugaan linier terbaik yang tidak bias. Model Double Log dengan metode pendugaan OLS, dimaksudkan untuk melihat perbandingan secara statistik dengan hasil dari model Linier Berganda. Persamaan Regresi Linier Berganda secara ekonometrika adalah sebagai berikut 4 : Y = b0 + b1X1 + b2 X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6D6 + b7D7 + b8D8 + b9D9 + b10D10 + X11 + ei………………………………………..................................(4. 1) sedangkan persamaan double Log secara ekonometrika adalah sebagai berikut : ln Y = b0 + b1 lnX1 + b2 lnX2 + b3 lnX3 + b4 lnX4 + b5 lnX5 + b6D6 + b7D7 + b8D8 + b9D9 + b10D10 + b11lnX11 + ei…….…………….…………………….....(4. 2) Sumber : Buku, Basic Econometrics, 2003. Dimana : Y
= Nilai lahan (Rp/persil) dan harga lahan (Rp/m2)
ln Y
= logaritma natural nilai lahan (Rp/persil) dan harga lahan (Rp/m2)
X1
= Luas lahan (m2)
4
Gujarati, Basic Econometrics. (2003)
42
X2
= Jarak ke jalan yang dilalui roda empat (meter)
X3
= Kepadatan penduduk (jiwa/hektar)
X4
= Jarak ke pasar (meter)
X5
= Jarak lahan ke kantor pemerintah kabupaten/pusat perekonomian (meter)
D6
= Fasilitas air PDAM = 1 ; jika lainnya = 0
D7
= Status lahan Warisan = 1 ; jika lainnya = 0
D8
= Kondisi Jalan Aspal = 1 ; jika lainnya = 0
D9
= Sumber lahan SHM = 1 ; jika lainnya = 0
D10
= Ancaman banjir Ada = 1 ; jika lainnya = 0
X11
= NJOP (Rp/m2) Salah satu ciri dari model Double Log ini adalah koefisien kemiringan
nilai koefisien dugaan mengukur elastisitas dependent variable terhadap independent variable, yaitu persentase perubahan tertentu dalam bentuk logaritma. Pada Linier Berganda koefisien merupakan nilai riil dependent variable terhadap independent variable, dimana nilai perubahan pada dependent variable dipengaruhi oleh independent variable. Penjelasan dalam penggunaan analisis data dapat dilihat pada Tabel 4.
43
Tabel 4 Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data Tujuan Jenis Sumber Data Mengidentifikasi Jenis Kelamin, Wawancara latar belakang penjual status, umur, suku, melalui lahan saat melakukan jumlah tanggungan, kuesioner yang transaksi jual lahan di pendidikan, disediakan Kecamatan Cibinong pekerjaan, pendapatan Mengidintifikasi Motivasi responden Wawancara motivasi penjual yang terdiri dari melalui lahan, proses faktor pendorong kuesioner yang transaksi jual lahan dan faktor penarik disediakan dan peruntukan hasil penjualan lahan Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi harga lahan pemukiman di Kecamatan Cibinong.
Nilai, harga, luas 1. Wawancara lahan, jarak ke melalui jalan, kepadatan kuesioner penduduk, jarak ke yang pasar, jarak ke disediakan kantor 2. Kantor pemerintahan Kecamatan, kabupaten, Kelurahan, fasilitaas air, status BPS, Kantor lahan, keadaan Pajak Bumi dan jalan, sumber lahan, ancaman bajir, Bangunan, NJOP dan Notaris
Metode Analisis Analisis deskriptif
Analisis deskriptif
Analisis inferensia dengan regresi linear berganda dan regresi double-log
4. 5 Pengujian Hipotesis Model akan diuji berdasarkan hipotesis yang diajukan. Pengujian hipotesis berdasarkan statistik bertujuan untuk melihat nyata tidaknya variabel-variabel bebas yang dipilih terhadap variabel tidak bebas, dapat dilihat pada nilai-P (pvalue). Penelitian ini menggunakan α = 0,15 artinya independent variable tersebut berpengaruh nyata secara statistik tehadap dependent variable jika p-value lebih kecil dari α = 0,15. Demikian sebaliknya, jika lebih besar dari α = 0,15 maka
44
independent variable tersebut tidak berpengaruh nyata secara statistik tehadap dependent variable. Untuk mengetahui apakah secara statistik independent variable yang dipilih secara bersama-sama atau tidak mempengaruhi dependent variable dapat dilihat dari p-value pada uji-F. Penelitian ini menggunakan α = 0,15 artinya independent variable secara bersamaan berpengaruh nyata secara statistik terhadap dependent variable jika p-value yang didapat lebih kecil dari α = 0,15. Demikian sebaliknya, jika lebih besar dari α = 0,15 maka independent variable tersebut tidak berpengaruh nyata secara statistik tehadap dependent variable.
Secara matematik, uji-F yang digunakan adalah 5 : Fstatistik =
JKR / (k-1) JKG / (n-k)
dengan : JKR
= Jumlah Kuadrat Regresi
JKG
= Jumlah Kuadrat Galat/Sisa
n
= Jumlah pengamatan
k
= Jumlah parameter Pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan adalah :
Ho
: b1 = b2 = b3 = …… = bi = 0
H1
: b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠…….. ≠ bi ≠ 0
Pada model digunakan uji-F. Uji statistiknya adalah : jika Fstatistik > Ftabel (k-1 ; n-k) maka Ho ditolak artinya model dapat menjelaskan dependent variable. Dan jika
5
Ibid. Hal. 41.
45
Fstatistik < Ftabel (k-1 ; n-k) maka Ho diterima artinya model tidak dapat menjelaskan dependent variable pada tingkat kepercayaan tertentu. Untuk melihat kebaikan suatu model yang digunakan dipakai R2 (goodness of fit) dan R2-adjust. Jika R2 dan R2-adjust tinggi berarti model yang digunakan baik. Terjadi atau tidak multikolinearitas pada suatu model yang digunakan dapat dideteksi dengan uji Marquat. Uji ini menduga dari nilai VIF (Variance Inflation Factor). Jika nilai VIF-nya tidak lebih besar dari 10 (VIF<10) maka diduga tidak terjadi multikolinearitas. Menduga terjadi atau tidak autokorelsi juga dapat dilihat dari Durbin Watson statistic-nya. Jika nilainya berada pada daerah menerima H0 atau H0* pada gambar statistik d Durbin Watson, maka disimpulkan tidak ada autokorelasi.
f (d)
Autokorela Daerah si positif Keraguraguan Daerah H0
Daerah Autokorelasi keraguan negatif Tidak ada autokorelasi
Daerah H0*
H0 atau H0*
d 0
dL
dU
4-dU
4-dL
Gambar 5. Statistik d Durbin-Watson Sumber : Gujarati (2003)
4
46
4. 6 Defenisi Operasional Untuk menghindari ketidaksamaan pandangan dalam pengertian, maka ada beberapa hal yang dibatasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu : 1. Harga lahan adalah harga transaksi riil yang berlangsung di pasaran dimana ada pertemuan antara permintaan dan penawaran lahan dengan satuan rupiah per meter persegi. 2. Nilai lahan adalah Harga lahan per meter persegi dikalikan luas lahan, dengan satuan rupiah per persil. 3. Luas lahan adalah luas lahan dalam transaksi dalam meter persegi 4. Sarana angkutan umum adalah kemudahan dalam menjangkau lokasi jalan yang dilalui kendaraan umum roda empat dengan satuan meter 5. Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk berbanding luas wilayah kelurahan (jiwa/hektar) 6. Jarak ke pasar adalah jarak yang diukur dari kelurahan/desa dengan lokasi pasar, dengan satuan meter 7. Jarak ke kantor layanan pemerintahan adalah jarak yang diukur dari kantor pemerintahan Kabupaten Bogor ke lokasi lahan pemukiman, dengan satuan meter 8. Fasilitas air adalah ketersediaan air dari berbagai sumber (PDAM, sungai, sumur) dalam suatu pemukiman 9. Sumber lahan adalah lahan yang dijual dalam transaksi lahan berasal dari mana apakah berasal dari lahan warisan atau sumber lainnya.
47
10. Kondisi jalan adalah melihat apakah jalan menuju ke daerah lahan tersebut terbuat dari bahan aspal atau lainnya. 11. Status lahan adalah status kepemilikan lahan yang dibuktikan oleh Sertifikat Hak Milik (SHM) lahan 12. Ancaman banjir menunjukkan lokasi lahan tidak terancam dari suatu kebanjiran akibat hujan atau luapan sungai. 13. NJOP merupakan besarnya nilai pajak yang harus dibayar pemilik properti lahan.
V
GAMBARAN UMUM WILAYAH
5.1 Kondisi Geografis Penelitian ini difokuskan hanya pada daerah Kecamatan Cibinong yang berada di Kabupaten Bogor. Kecamatan Cibinong adalah salah satu perangkat daerah di Kabupaten Bogor yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Bogor dengan kondisi bentangan lahan dataran, terletak pada ketinggian 120 m – 140 m dpl dengan curah hujan rata-rata 2.150 – 2.650 mm/ tahun dan suhu udaara 220 C 310 C. Luas wilayah Kecamatan Cibinong adalah 4.243,023 Ha dengan batas wilayah kerja : - Sebelah Utara
: Kota Depok
- Sebelah Selatan
: Kecamatan Sukaraja dan Babakanmadang
- Sebelah Barat
: Kecamatan Bojonggede
- Sebelah timur
: Kecamatan Citereup
Dalam program pembangunan daerah Kabupaten Bogor, dengan mempertimbangkan perkembangan wilayah, karakteristik wilayah dan pola interaksi internal dan eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun regional, Kecamatan Cibinong termasuk ke dalam wilayah pembangunan tengah yang merupakan simpul-simpul distribusi barang dan jasa serta pendorong pengembangan wilayah. Sebagai wilayah pengembangan pertanian perkotaan, selain padi produksi pertanian tanaman pangan lain yang menonjol adalah palawija (jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang panjang, ubi jalar, mentimun). Sedang produksi buahbuahan yang menonjol yaitu pepaya, rambutan, mangga, belimbing, alpukat, dan
49
jeruk. Sebagai wilayah pengembangan perumahan, industri, perdagangan, perkantoran dan jasa di Kabupaten Bogor, potensi pengembangan banyak didukung oleh letak geografis Kecamatan Cibinong yang berdekatan dengan akses ke jalan tol menuju Kota Bogor dan propinsi DKI Jakarta.
5.2 Kondisi Demografi Secara administrasi pemerintahan, Kecamatan Cibinong terdiri dari 12 kelurahan, 148 RW, 812RT dan 71.226 KK. Jumlah penduduk pada akhir November 2006 adalah 270.057 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 136.022 jiwa, dan perempuan sebanyak 134.035 jiwa, dengan kepadatan penduduk rata-rata 3.849,65 jiwa/km2. Sektor usaha masyarakat Kecamatan Cibinong, tidaklah berbeda dengan sektor lapangan yang ada di wilayah kecamatan lainnya di Kabupaten Bogor. Tiap sektor lapangan usaha senantiasa membawa pengaruh bagi peningkatan dan penurunan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) masyarakat, yang secara tidak langsung akan berpengaruh pula bagi peningkatan kesejahteraaan masyarakat. Keadaan penduduk berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
50
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Jenis Pekerjaan No Kelurahan PNS TNI/POL Pegawai Dagang Petani
Burh
Lain
1
Pabuaran
981
529
7.614
3.415
239
1.661
572
2
Harapanjaya
355
50
1.745
890
30
998
118
3
Cibinong
308
586
2.183
732
68
609
604
4
Pakansari
301
231
2.086
1.492
421
887
396
5
Tengah
175
36
826
693
97
492
87
6
Pondokrajeg
325
162
614
388
60
258
57
7
Sukahati
909
112
2.190
1.535
129
400
139
8
Karadenan
262
121
1.213
1.138
156
772
119
9
Nanggewer
302
120
3.101
1.357
162
1.319
224
10
Na. Mekar
171
62
1.770
758
49
520
81
11
Cirimekar
155
111
1.136
737
8
358
167
12
Ciriung
484
31
2.967
864
95
1.432
658
Jumlah
6.125
5.213
55.322
15.624
2.564
7.052
64.266
Sumber : hasil Pendataan penduduk Tahun 2006 Apabila jenis pekerjaan tersebut di atas, dikelompokkan ke dalam kategori sektor primer (pertanian, peternakan, da perkebunan), sektor sekunder (industri, pengolahan, pengrajin) dan sektor tersier (bangunan, perdagangan, hotel/restoran, jasa dan jasa preusan), maka struktur perekonomian masyarkat Cibinong didominasi kelompok sektor sekunder dan tersier yang didukung oleh sektor primer. Oleh karena itu dalam upaya pengembangan wilayah, perencanaan yang ditetapkan harus pada struktur sosial yang ada sehingga program yang ditetapkan akan sejalan dengan aspirasi serta kebutuhan masyarakat dengan ciri masyarakat perkotaan.
51
Struktur perekomonomian penduduk Kecamatan Cibinong mayoritas termasuk ke dalam golongan menengah. Berdasarkan hasil pendataan keluarga tahun 2006, diketahui bahwa penduduk usia kerja sebanyak 119.074 jiwa, dengan kualitas angkatan kerja berdasarkan tingkat pendidikan adalah : - Tidak Tamat SD
: 3.927 jiwa
- Tamat SD
: 31.177 jiwa
- Tamat SLTP Sederajat
: 32.880 jiwa
- Tamat SMU Sederajat
: 41.498 jiwa
- Tamat Akademi (D1, D2, D3)
: 7.624 jiwa
- Sarjana S1-S3
: 1.968 jiwa
5. 3. Kondisi Ekonomi Denyut nadi perekonomian Kecamatan Cibinong didukung oleh sarana dan prasarana wilayah yang ada, yang merupakan aspek pendukung utama dalam pembangunan perkotaan yang secara tidak langsung akan berpengaruh kepada tingkat perekonomian masyarakat. Sarana dan prasarana dalam pengembangan pembangunan berperan sebagai pengarah pembentukan tata ruang kota, pemenuhan kebutuhan infrastruktur, pemacu pertumbuhan wilayah dan pemikat wilayah. Sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan perkotaan, diantaranya adalah ketersediaan transportasi, pengairan, jaringan listrik, telekomunikasi dan pemukiman.
52
5. 3. 1 Jaringan Transportasi Sarana transportasi merupakan sarana yang memegang peranan penting dalam pembangunan di suatu daerah. Pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan merupakan faktor penunjang perekonomian masyarakat sebagai sarana penghubung mereka ke tempat pemasaranan dan tempat lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, jaringan transportasi yang ada di Kecamatan Cibinong cukup baik, kondisi jalan relatif baik, sebagian besar telah beraspal dan seluruh wilayah dapat dilalui oleh kendaraan beroda empat sepanjang tahun. Salah satu permasalahan terkait dengan Kecamatan Cibinong sebagai ibukota Kabupaten Bogor yang notabene merupakan pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa adalah kemacetan lalulintas. Kondisi lalullintas di Kecamatan Cibinog cukup padat terutama pada saat menjelang jam masuk kantor dan sekolah serta pada saat usai kantor dan sekolah. Titik kemacetan tersebar terutama pada lingkungan sekolah, lokasi industri dan pasar. Kesemrawutan tersebut ditambah dengan adanya ketidakdisiplinan para pengguna jalan umum yang sering berhenti pada tempat rawan macet dan rambu-rambu lalulintas yang berupa larangan. Angkutan umum yang menghubungkan Kota Cibinong dengan daerahdaerah lainnya baik dalam maupun di luar Kabupaten Bogor terdiri dari berbagai jenis kendaraan meliputi Bus, Metromini Dan Angkutan Kota. Trayek angkutan kota yang melewati Cibinong, yaitu : trayek Pasar Anyar – Citereup, Bogor – Depok, Bubulak – Cibinong, Cibinong – Kampungrambutan, Jonggol – Cibinong, dan Cibinong – Kalideres.
53
Tabel 6. Kondisi Jalan dan Jembatan No.
Jenis
Kondisi Baik
1
2
Jalan Setapak
Rusak Ringan
Rusak Berat
59
34,2
7
a.
Tanah
3.473
47,2
9
b.
Beton
86,36
74,61
805,5
45,3
28,5
2
55,25
9,3
-
70,4
61,9
-
1.027
651,5
1.000
6,87
-
-
2
-
-
Jalan Desa a.
Tanah
b.
Beton/aspal
3
Jalan Kabupaten
4
Jalan Propinsi
5
Jalan Negara
6
Jembatan Jalan Setapak (Beton)
88,29
54,20
1
7
Jembatan (Beton)
Desa
37,64
1,05
38,69
8
Jembatan Jalan Kabupaten (Beton)
109,6
-
12
9
Jembatan Jalan Propinsi (Beton)
2
-
-
Jalan
Sumber : Dinas Pengairan dan pekerjaan Umum Kab. Bogor (2006) 5. 3. 2 Jaringan Air Bersih Fasilitas air besih merupakan kebutuhan yang mendasar bagi masyarakat perkotaan. Cibinong merupakan pusat kota Kabupaten Bogor dalam pemenuhan kebutuhan air bersih disediakan oleh PDAM Kabupaten Bogor. Sedangkan masyarakat memanfaatkan air bawah tanah berupa sumur gali, pembuatan jet pump dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Sedangkan untuk Mandi Cuci
54
Kakus (MCK) sebagian besar mengggunakan air bawah tanah. Prasaran air bersih yang ada di Kecamatan Cibonong adalah : - PDAM
: 4.051 unit
- Sumur Gali
: 5.540 unit
- Sumur Pompa
: 17.904 unit
- Situ/Empang
: 5 unit
- Sungai
: 55 unit
- Sumur Artesis
: 1 unit
- Mata air langsung
: 10 unit
5. 3. 3 Jaringan Listrik Pelayanan jaringan listrik PLN telah menjangkau seluruh wilayah yang dimanfaatkan untuk kebutuhan pemukiman, perkantoran, industri, perdagangan, perkantoran, dan jasa. Khusus untuk penerangan jalan umum sebagian besar wilayah Kecamatan Cibinong telah dilengkapi dengan PJU yang setiap tahun selalu diadakan penambahan untuk peningkatan saran umum perlistrikan. Sedangkan untuk mengimbangi tingginya penggunaan daya listrik PLN oleh masyarakat, maka di beberapa lokasi pemukiman dan perindustrian memanfaatkan listrik di genset. 5. 3. 4 Jaringan Telekomunikasi Prasaran telekomunikasi masyarakat masyarakat mayoritas dilayani oleh PT. Telkom dan sebagian dengan sarana handphone yang dimiliki oleh warga masyarakat. Sedangkan untuk keperluan pos dan giro dilayani oleh Kantor Pos dan Giro Cibinong.
55
5. 3. 5 Perekonomian Masyarakat Krisis ekonomi telah membawa dampak yang cukup serius bagi Laju pertumbuhan Ekonomi (LPE) masyarakat. Kondisi ini berpengaruh terhadap perubahan tingkat kesehjahteraan masyarakat. Dari menurunnya kemampuan menyekolahkan anak usia sekolah, menurunnya derajat kesehatan masyarakat dan jumlah penduduk miskin meningkat dengan tajam, daya beli masyarakat menurun dan pengangguran meningkat mewarnai pelaksanaan penyelenggaraan tugas pemerintahan. Berbagai kebijakan dari pemerintah untuk memberdayakan masyarakat di segala bidang telah dilaksanakan. Pada tahun 2006 program yang sudah dilaksanakan adalah di bidang pendidikan (program BOS, KBBS dari Propinsi Jawa Barat, pemberdayaan PLS, pemberian beasiswa dan lain-lain), di bidang kesehatan (pemberian Akses Gakin, Raksa Desa Kesehatan, pemberdayaan Kesehatan, pemberdayaan Posyandu, Penanganan KLB, dan lain-lain), dan di bidang peningkatan kemampuan daya beli (penciptaan lapangan kerja baru, pemberian Bantuan Langsung Tunai, dan lain-lain). Seluruh program yang dilaksanakan oleh pemerintah tersebut sampai saat ini masih ada yang berlangsung dan ada yang telah sampai pada saat tereliminasi.
:
VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
6. 1 Latar Belakang Penjual Lahan yang Melakukan Transaksi Lahan 6. 1. 1 Jenis Kelamin Responden berdasarkan jenis kelamin lebih didominasi oleh laki-laki sebanyak 25 orang (62,5 persen) dibandingkan dengan perempuan sebanyak 15 orang (37,5 persen). Hal ini terjadi karena laki-laki adalah kepala keluarga yang bertindak sebagai pengambil keputusan. Responden perempuan yang melakukan transaksi jual lahan disebabkan karena lahan yang dijual atas nama perempuan dan juga yang bertindak sebagai kepala keluarga karena suami yang sudah meninggal atau sudah cerai. Hasil perhitungan tabulasi silang antara jenis kelamin dan pendidikan responden adalah sebanyak 25 persen yang berpendidikan tamat SD dengan jenis kelamin laki-laki. Sebanyak 17,5 persen tamat SD dengan jenis kelamin perempuan. Selanjutnya tamat SLTA sebanyak 17,5 persen dengan jenis kelamin laki-laki. Hasil tabulasi silangnya dapat dilihat pada Gambar 6.
persentase (%)
25 20
Tidak tamat SD
15
Tamat SD
10
Tamat SLTP
5
Tamat SLTA
0
Sarjana Laki-laki
Perempuan
Jenis Kelamin
Gambar 6
Diagram Tabulasi Silang antara Jenis Kelamin dan Pendidikan Responden
57
6. 1. 2 Status Penjual Transaksi jual lahan di 12 kelurahan di Kecamatan Cibinong dilakukan oleh penjual lahan yang sudah menikah. Dari 40 responden yang diwawancarai, 39 orang berstatus sudah menikah sedangkan yang belum menikah hanya 1 orang. Hal ini terjadi karena pada umumnya responden mempunyai alasan tanggungan yang lebih besar dari yang belum menikah. Dari hasil tabulasi silang antara status dengan umur responden, maka diketahui bahwa sebesar 30 persen responden yang sudah menikah dengan umur 50-59 tahun. Responden yang belum menikah sebesar 2,5 persen dengan umur
≤29 tahun. Gambar 7 di bawah menunjukkan hasil tabulasi silang antara jenis kelamin dengan umur responden.
Persentase (%)
30 25
≤29 tahun
20
30-39 tahun
15
40-49 tahun
10
50-59 tahun
5
60-69 tahun
0
≥70 tahun Menikah
Belum
Status Responden
Gambar 7. Diagram Tabulasi Silang antara Jenis Kelamin dan Umur Responden
6. 1. 3 Umur Umur penjual lahan yang menjadi responden yang telah melakukan transaksi jual lahan adalah antara 21-88 tahun. Responden terbanyak dari kelompok umur 50-59 tahun sebanyak 12 orang (30 persen) sedangkan kelompok umur yang paling sedikit melakukan transaksi jual lahan adalah dari kelompok
58
umur ≤29 tahun sebanyak 4 orang (10 persen). Dilihat dari kelompok usia kerja, kelompok umur mendekati tidak produktif kerja yang paling banyak melakukan transaksi jual lahan. Data responden yang melakukan transaksi jual lahan berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur Selang Umur Jumlah (orang) Persentase (%) 4 ≤29 30-39 5 40-49 8 50-59 12 60-69 6 5 40
≥70 Jumlah
10 12,5 20 30 15 12,5 100
Tabulasi silang antara umur dengan jumlah tanggungan responden dapat dilihat pada Gambar 8. Dari gambar tersebut diketahui bahwa responden yang berumur 40-49 tahun dan 50-59 tahun dengan jumlah tanggungan keluarga 3-5 orang sebesar 17,5 persen. Responden yang berumur ≤29 tahun dan ≥70 tahun dengan jumlah tanggungan masing-masing pada selang 0-2 orang sebanyak 10
Persentase (%)
persen. 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
0-2 orang
3-5 orang
≥6 orang ≤29
30-39 40-49 50-59 60-69
≥70
Selang Umur (tahun)
Gambar 8 Diagram Tabulasi Silang antara Umur Dan Jumlah Tanggungan Keluarga Responden
59
6. 1. 4 Suku Bangsa Responden yang melakukan penjualan lahan pada umumnya adalah masyarakat yang berasal dari suku bangsa asli di daerah tersebut yaitu suku sunda sebanyak 36 orang (90 persen) sehingga masyarakat asli menjadi terpinggirkan. Kebanyakan masyarakat asli sekarang tinggal di daerah yang jauh dari pusat keramaian Kecamatan Cibonong. Masyarakat yang tinggal di pusatnya adalah suku bangsa lain seperti Jawa, Batak dan lainnya.
6. 1. 5 Jumlah Tanggungan Keluarga Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah Tanggungan Jumlah (orang) Persentase (%) 0-2 16 40 3-5 20 50 4 10 ≥6 Jumlah 40 100
Pada umumnya responden yang melakukan transaksi jual lahan adalah yang sudah menikah seperti penjelasan sebelumnya. Responden yang menjual lahan paling banyak berasal dari keluarga yang mempunyai jumlah tanggungan 35 orang sebesar 20 orang (50 persen). Jumlah responden yang paling rendah berasal dari keluarga yang mempunyai tanggungan sebanyak ≥6 orang (10 persen). Tanggungan keluarga yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah jumlah anggota keluarga baik anak kandung maupun saudara yang menjadi tanggungan rumah tangga reponden. Jumlah responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga dapat dilihat pada Tabel 7. Jumlah tanggungan keluarga yang ditabulasisilangkan dengan jenis pekerjaan responden menghasilkan Gambar 9. Jenis pekerjaan wiraswasta dengan
60
jumlah tanggungan sebesar 3-5 orang merupakan yang paling banyak sebesar 15 persen. Jenis pekerjaan IRT menyusul dengan jumlah tanggungan 0-2 orang dan
Persentase (%)
3-5 orang mendapat persentase yang sama yaitu 10 persen. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Petani P. Negeri P.Swasta Pensiunan IRT Wiraswasta Buruh 0-2
3-5
≥6
Jumlah Tanggungan Keluarga (orang)
Gambar 9 Diagram Tabulasi Silang antara Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Jenis Pekerjaan Responden
6. 1. 6 Pendidikan Ditinjau dari segi latar belakang pendidikan responden sebanyak 40 orang, responden dengan latar belakang pendidikan tamat SD yang paling banyak melakukan transaksi jual lahan. Responden yang paling banyak dengan latar belakang SD tidak dapat bekerja sebagai PNS maupun pegawai swasta, responden ini hanya sebagai petani, buruh, dan wiraswasta yang gajinya relatif rendah. Hal ini juga didukung oleh jumlah penduduk yang tamat SD di Kecamatan Cibinong sebanyak 31.177 jiwa yang merupakan angka terbanyak kedua setelah tamat SLTP sebanyak 32.880 jiwa (BPD Kabupaten Bogor, 2006) Responden yang menjual lahan paling sedikit adalah responden dengan latar belakang pendidikan tidak tamat SD. Hal ini bisa diterima karena jumlah
61
penduduk Kecamatan Cibinong yang tidak tamat SD relatif sedikit yaitu hanya sebanyak 3.927 jiwa (BPD Kabupaten Bogor, 2006). Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTP Sarjana/Akademi Jumlah
2 17 9 9 3 40
5 42,5 22,5 22,5 7,5 100
Dari hasil tabulasi silang antara pendidikan dengan pendapatan responden, maka diketahui bahwa responden berpendidikan tamat SD dengan pendapatan 300.001-500.000 per bulan adalah yang paling besar yaitu 17,5 persen. Responden dengan pendidikan yang sama yang berpendapatan ≤300.000 per bulan menyusul
Persentase (%)
sebesar 10 persen. Hasil tabulasi silangnya dapat dilihat pada Gambar 10.
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
≤300.000 300,001-500,000 500,001-700,000 700,001-900,000 Tidak tamat SD
Tamat SLTP
Sarjana
900,001-
Pendidikan Responden
Gambar 10 Diagram Tabulasi Silang antara Pendidikan dan Pendapatan Responden 6. 1. 7 Pekerjaan Responden yang dilihat dari jenis pekerjaan lebih banyak bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 9 orang (22,5 persen) sedangkan yang rendah adalah
62
responden yang bekerja sebagai petani, pegawai negeri, pegawai swasta sebanyak masing-masing 4 orang (10 persen). Responden lebih banyak yang bekerja sebagai wiraswasta karena hasil penjualan lahan mereka diperuntukkan mendukung usaha mereka baik sebagai bengkel, pedagang, pebunga uang. Mata pencaharian responden di wilayah ini lebih cenderung berwiraswasta karena wilayah Kecamatan Cibinong selain sebagai daerah pusat pemerintahan juga sebagai perdagangan dan jasa. Hal ini sesuai dengan visi organisasi Kecamatan Cibinong. Secara lebih rinci untuk distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%) Petani Pegawai Negeri Pegawai Swasta Pensiunan IRT Wiraswasta Buruh Jumlah
4 4 4 6 8 9 5 40
10 10 10 15 20 22,5 12,5 100
Hasil tabulasi silang antara pekerjaan dengan pendapatan menghasilkan responden yang bekerja sebagai pegawai negeri dengan pendapatan ≥1.100.001 per bulan sebesar 10 persen. Besar tersebut sama dengan responden yang sudah pensiun dengan pendapatan 700.001-900.000 per bulan. Secara lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 11.
63
Persentase (%)
10 Petani P. Negeri P.Swasta Pensiunan IRT Wiraswasta Buruh
8 6 4 2 0
A
B
C
D
E
F
Pendapatan Responden A = ≤300.000
B= 300.001-500.000
E= 900.001-1.100.000
C = 500.001-700.000
D= 700.001-900.000,
F = ≥1.100.001
Gambar 11 Diagram Tabulasi Silang antara Pendapatan dan Jenis Pekerjaan Responden
6. 1. 8 Pendapatan Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Selang Pendapatan/bulan (Rp) Jumlah (orang)
≤300.000 300.001-500.000 500.001-700.000 700.001-900.000 900.001-1.100.000 ≥1.100.001 Jumlah
5 8 7 7 7 6 40
Persentase (%) 12,5 25 17,5 17,5 17,5 15 100
Responden yang dilihat dari pendapatan tidak terlalu berbeda jauh perbedaannya antara satu selang pendapatan dengan selang pendapatan yang lain, selang pendapatan mulai dari ≤ Rp. 300.000,00 sampai dengan ≥ Rp. 1.100.001,00 menyebar secara merata berkisar pada 5, 6 , 7, dan 8 orang dengan persentase 12,5, 15, 17,5, dan 25 persen. Hal ini menunjukkan dengan latar belakang pendapatan tidak mempengaruhi keputusan mereka untuk menjual lahan.
64
Jumlah dan persentase responden dengan latar belakang pendapatan dapat dilihat pada tabel 10. Dari hasil tabulasi silang antara pendapatan dengan jenis kelamin didapat bahwa responden dengan berbagai pendapatan yang berjenis kelamin laki-laki menyebar secara merata yaitu 12,5 persen. Reponden berjenis kelamin perempuan yang berpendapatan ≤ Rp. 300.000 per bulan sebesar 10 persen. Hasil tabulasi silang secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 12.
Persentase (%)
14 12 10
Laki-laki
8
Perempuan
6 4 2 0
A
B
C
D
E
F
Pendapatan Responden
A = ≤300.000
B= 300.001-500.000
E= 900.001-1.100.000
C = 500.001-700.000
D= 700.001-900.000,
F = ≥1.100.001
Gambar 12 Diagram Tabulasi Silang antara Pendapatan dan Jenis Kelamin
6. 2 Motivasi Penjual Lahan, Proses Transaksi Jual Lahan dan Peruntukan Hasil Penjualan Lahan 6. 2. 1 Motivasi Sebagai organisasi perangkat daerah di Kabupaten Bogor, Kecamatan Cibinong dituntut untuk dapat menjabasrkan kebijakan pembangunan daerah sebagaimana tertuang dalam Perda Kabupaten Bogor No. 6 tahun 2002 tentang program pembangunan daerah sesuai dengan potensi wilayah pendukung pembangunannya. Dalam Rencana Strategis Kecamatan Cibinong disebutkan
65
tentang visi dan misi kecamatan yaitu tercapainya pelayanan prima demi terwujudnya
Kecamatan
Cibinong
sebagai
daerah
pusat
pemerintahan,
perdagangan dan jasa Visi dan misi tersebut mempengaruhi permintaan lahan baik dari masyarakat Cibinong maupun non-Cibinong yang mengadu nasib di Kecamatan Cibinong. Jumlah permintaan lahan yang tinggi ini juga ditanggapi penduduk setempat yang memiliki lahan baik lahan sawah, kebun, kosong dan pemukiman. Dalam wawancara yang dilakukan terhadap penduduk yang melakukan transaksi jual lahan, ada responden yang lebih dulu mendirikan bangunan, hal ini terjadi karena adanya permintaan yang mau membeli lahan yang di atasnya ada bangunan. Penjual lahan meyakini, lahan sudah ada bangunan harga lahannya akan meningkat. Lahan yang dijual oleh responden tidak semua awalnya berasal dari perumahan jadi, responden awalnya membeli lahan untuk penggunaan yang lain tetapi responden mendirikan bangunan perumahan di atas lahan tersebut kemudian dijual. Dari 40 responden yang menjadi sumber informasi didapat 17 responden (42,5 persen) yang menjawab perumahan awalnya adalah lahan kosong, 10 responden (25 persen) yang menjawab lahannya memang sudah perumahan jadi, 8 responden (20 persen) yang menjawab lahannya berasal dari lahan kebun, dan 5 responden (12,5 persen) yang menjawab lahannya berasal dari sawah. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 11.
66
Tabel 11. Pemanfaatan Lahan Sebelum Proses Transaksi Pemanfaatan Lahan Sebelum Jumlah(Orang) Transaksi Perumahan 10 Kosong 17 Kebun 8 Sawah 5 Jumlah 40
Persentase (%) 25 42,5 20 12,5 100
Bermacam-macam motivasi penjual melakukan transaksi jual lahan baik karena adanya faktor pendorong maupun faktor penarik. Setiap responden mempunyai alasan yang berbeda melakukan transaksi jual lahan. Dilihat dari faktor pendorong, sebanyak 16 responden (40 persen) menjual lahannya karena faktor ketidakmampuan secara ekonomis. Kemudian karena faktor ingin berwiraswasta dan tentu saja untuk berwiraswasta diperlukan modal usaha. Dari 40 responden tersebut, alasan inilah yang paling banyak timbul yaitu sebanyak 18 responden (45 persen). Responden yang menjual lahan karena alasan faktor pendorong rumah tidak layak dihuni sebanyak 6 responden (15 persen). Faktor pendorong responden melakukan transaksi jual lahan dapat dilihat secara lebih jelas pada Tabel 12. Responden yang memilih untuk mejual lahannya juga karena kondisi responden pada saat melakukan transaksi jual lahan. Sebanyak 25 responden (62,5 persen) mejual lahannya karena keadaan yang mendesak dan sebanyak 15 responden (37,5 persen) dalam kondisi tidak mendesak. Kondisi mendesak tersebut karena hasil penjualan lahannya untuk biaya berobat, naik haji, dan memperbaiki rumah.
67
Tabel 12 Faktor Pendorong Responden Melakukan Transaksi Jual Lahan Faktor Pendorong Jumlah (orang) Persentase (%) Memenuhi kebutuhan ekonomi Modal Usaha Rumah Tidak Layak Huni Jumlah
16 18 6 40
40 45 15 100
Hasil tabulasi silang antara faktor pendorong dengan pendapatan menunjukkan responden yang berpendapatan Rp. 300.001-500.000 per bulan dengan faktor pendorong ingin memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebesar 17,5 persen. Responden berpendapatan Rp. 700.001-900.000 per bulan kemudian menyusul dengan faktor pendorongnya karena memerlukan modal usaha sebesar
Pesentase (%)
15 persen. Lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 13. 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
≤300.000 300,001-500,000 500,001-700,000 700,001-900,000
Memenuhi Kebutuhan Ekonomi
Modal Usaha Rumah Tidak Layak
900,001-1,100,000 ≥1.100.001
Faktor Pendorong Bertransaksi
Gambar 13 Diagram Tabulasi Silang antara Faktor Pendorong Bertransaksi dan Pendapatan Responden Jika dilihat dari faktor penarik, responden melakukan transaksi jual lahan karena 3 alasan, dengan alasan untuk tabungan yang paling besar yaitu 20 responden (50 persen), dan alasan peluang bisnis yang tinggi sebanyak 7 responden (17,5 persen). Faktor penarik lainnya dapat dilihat pada Tabel 13. Jika dihubungkan dengan Tabel 12, responden yang memilih karena faktor ekonomi
68
sebagai faktor pendorongnya tetapi pada Tabel 13 faktor penariknya yang paling banyak karena ingin menabung. Hal ini terjadi karena responden tidak menggunakan hasil penjualan semuanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi sebagian hasil penjualan lahan untuk ditabung. Responden sudah memikirkan untuk jangka panjang bukan hanya jangka pendek yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tabel 13 Faktor Penarik Responden Melakukan Transaksi Jual Lahan Faktor Penarik Jumlah (orang) Persentase (%) Tabungan 20 50 Peluang Bisnis Tinggi 7 17,5 Harga Tinggi 13 32,5 Jumlah 40 100 Dengan mentabulasisilangkan data antara faktor penarik dengan pendapatan responden didapatkan hasil bahwa responden yang berpendapatan Rp. 900.001-1.100.000 per bulan dengan faktor penarik menjual lahan ingin menabung sebesar 15 persen. Responden yang berpendapatan Rp. 500.001700.000 per bulan dengan faktor penariknya peluang bisnis tinggi adalah sebesar 12,5 persen. Hasil tabulasi silang secara lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar
Persentase (%)
14. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
≤300000 300,001-500,000 500,001-700,000 700,001-900,000 900,001-1,100,000 ≥1.100.001
Tabungan
Peluang Bisnis Harga Tinggi Tinggi
Faktor Penarik Bertransaksi
Gambar 14 Diagram Tabulasi Silang antara Faktor Penarik Bertransaksi dan Pendapatan
69
6. 2. 2 Proses Transaksi Lahan Kecamatan Cibinong yang berbatasan langsung dengan Kota Depok sudah cukup maju dilihat dari kondisi sosial budaya (keagamaan, kesehatan, pendidikan) dan kondisi ekonomi (jaringan trasportasi, jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, utilitas umum lainnya, perekonomian masyarakat). Kemajuan daerah ini juga ditunjukkan dalam proses penjualan lahan. Penjualan lahan pada umumnya melalui kelembagaan formal yaitu sebanyak 22 transaksi (55 persen) melalui PPAT Kecamatan dan 10 transaksi (25 persen) melalui Notaris. Proses penjualan lahan melalui kelembagaan non-formal sebanyak 8 transaksi dengan 6 transaksi (15 persen) melalui calo dan 2 transaksi (5 persen) secara langsung. Dua transaksi secara langsung karena adanya pembuatan kompleks perumahan, jadi developer bertransaksi langsung ke penjual lahan tersebut. Sedangkan transaksi penjualan lahan melalui calo disebabkan oleh penjual lahan tersebut kurang pengetahuan tentang transaksi penjualan lahan tersebut. Lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Proses Transaksi Jual Lahan. Kelembagaan Jumlah (orang) PPAT Kecamatan 22 Notaris 10 Calo 6 Langsung 2 Jumlah 40
Persentase (%) 55 25 15 5 100
Dari hasil tabulasi silang antara pendidikan dan proses bertransaksi, maka diketahui bahwa 30 persen responden adalah tamat SD dengan melakukan transaksi melalui PPAT Kecamatan. Sebanyak 15 persen responden tamat SLTA dengan melakukan transaksi melalui PPAT Kecamatan juga. Hasil perhitungan tabulasi silang dapat dilihat pada Gambar 15.
70
Persentase (%)
30 25 20
TIDAK TAMAT SD
15
TAMAT SD
10
TAMAT SLTP
5
TAMAT SLTA SARJANA
0
PPAT Kec
Notaris
Calo
Langsung
Proses Transaksi
Gambar 15 Diagram Tabulasi Data Antara Pendidikan Responden dan Proses Transaksi Tabulasi silang antara pekerjaan responden dan proses transaksi jual lahan didapatkan responden yang bekerja sebagai wiraswasta melakukan transaksi melalui PPAT Kecamatan sebesar 15 persen. Responden yang melalui Notaris sebesar 7,5 persen. Responden yang bekerja sebagai pegawai swasta dan melakukan transaksi melalui 10 persen. Lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar
Persentase (%)
16. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Petani P. Negeri P. Swasta Pensiunan IRT PPAT Kec.
Notaris
Calo
Langsung
Wiraswasta Buruh
Proses Transaksi
Gambar 16 Diagram Tabulasi Data Antara Pekerjaan dan Proses Transaksi Tabulasi silang yang lain yaitu antara umur dan proses transaksi jual lahan dihasilkan responden yang berumur 50-59 tahun melakukan transaksi melalui
71
PPAT Kecamatan sebesar 20 persen. Umur 40-49 tahun melalui Notaris sebesar 10 persen. Lebih jelas dapat dilihat melalui Gambar 17.
persentase (%)
20 15
≤ 29 tahun 30-39 tahun
10
40-49 tahun 50-59 tahun
5
60-69 tahun 0
PPAT Kec.
Notaris
Calo
Langsung
≥ 70 tahun
Proses Transaksi
Gambar 17 Diagram Tabulasi Data Antara Umur dengan Proses Transaksi
6. 2. 3 Peruntukan Hasil Penjualan Lahan Sebanyak tujuh jenis peruntukan hasil penjualan lahan. Peruntukan hasil penjualan lahan untuk modal usaha adalah yang paling banyak sebesar 17 responden (42,5 persen). Biaya berobat dan untuk membangun rumah di lokasi yang berbeda yang paling rendah dengan masing-masing 2 responden (5 persen). Peruntukan berupa modal usaha karena peluang usaha yang tinggi karena wilayah Kecamatan Cibinong sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelumnya sebagai daerah diperuntukkan untuk perdagangan dan jasa. Jika dihunbungkan peruntukan hasil dengan faktor pendorong responden melakukan transaksi jual lahan dimana yang paling tinggi adalah karena kebutuhan sehari-hari, responden menjual lahan awalnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi tidak semua hasil penjualan tersebut itu. Sisa hasil penjualan lahan diperuntukkan untuk modal usaha karena kebanyakan responden yang menjual lahan tersebut tidak mempunyai pekerjaan menetap. Responden memilih untuk berwiraswata.
72
Responden ternyata juga melihat hal tersebut dan menganggapnya sebagai peluang berusaha baik usaha fotokopi, bengkel, maupun berdagang eceran. Sedangkan responden yang menjual lahan yang hasilnya diperuntukan bangun rumah karena responden berpindah tempat tinggal di daerah yang lain dan juga karena daerah lahan yang dimilikinya terlalu jauh dari tempat kerja. Responden yang menjual lahan yang hasilnya diperuntukkan biaya berobat karena kondisi responden pada saat sebelum melakukan transaksi jual lahan dalam kondisi sakit parah. Ketujuh peruntukan hasil penjualan lahan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Peruntukan Hasil Penjualan Lahan Peruntukan Hasil Penjualan Lahan Jumlah (orang) Bangun Rumah di Lokasi Lain 2 Biaya Sekolah 7 Naik Haji 4 Modal Usaha 17 Biaya Berobat 2 Beli Tanah 3 Biaya Hidup Sehari-hari 5 Jumlah 40
Persentase (%) 5 17,5 10 42,5 5 7,5 12,5 100
6. 3. Pendugaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan. 6. 3. 1 Hasil dengan Model Liniear dan Model Double-log Model yang digunakan dalam menduga faktor-faktor yang mempengaruhi harga lahan pemukiman dan nilai lahan pemukiman adalah regresi persamaan Linear dan double-log dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Model ini menggunakan model double-log karena adanya ketimpangan data yang terlalu besar antara dependent variable dengan enam independent variable lain. Data dengan nilai-nilai besar pada variabel nilai lahan dan harga lahan (Y) sebagai dependent variable dan pada variabel luas lahan (X1), jarak lahan ke jalan (X2),
73
kepadatan penduduk (X3), jarak lahan ke pasar (X4), jarak lahan ke kantor pemerintah kabupaten (X5) dan NJOP (X11). Lima variabel independent yang lain angkanya kecil hanya berkisar antara angka 1 dan 0. Terlihat pada variabel fasilitas air (D6), status lahan (D7), jalan bersapal (D8), sumber lahan (D9) dan variabel ancaman bajir (D10). Dipilihnya model double-log untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Hasil pengolahan data dengan menggunakan model Regresi Linear dan model double-log dengan bantuan software Minitab for Windows Release 14, hasil olahannya dapat dilihat pada Tabel 16 dan 17.
74
Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Model Regresi Linear Model Regresi Linear No
Variabel
Notasi
Intersep Luas Lahan X1 Jarak Lahan ke 3 X2 Jalan Kepadatan 4 X3 Penduduk Jarak Lahan ke 5 X4 Pasar Jarak Lahan ke 6 X5 Pemda 7 Fasilitas Air D6 8 Status Lahan D7 9 Jalan Bersapal D8 10 Sumber Lahan D9 11 Ancaman Bajir D10 12 NJOP X11 Keterangan Nilai Lahan/persil R2 : 70,8 % R2 adjust : 59,3 % Uji-F : 6,17 p-value Durbin-Watson statistic = 1,72648 1 2
Nilai Lahan (Rp/persil) pKoefisien VIF value -6631146 0,751 * 32958 0,005 1,6
Harga Lahan (Rp/m2) Koefisien
p-value
VIF
196588 - 52,39
0,015* 0,501
1,3
- 44,53
0,282
3,2
12,62
0,334
1,5
-2354
0,828
1,9
9689
0,008*
2,6
1508
0,693
1,5
- 11,49
0,426
2,4
-8414
0,051*
2,6
- 14,74
0,340
3,8
13263730 0,324 3,3 71109 0,085* 1,4 * -20541852 0,054 1,3 - 9226 0,802 1,5 789774 0,947 1,5 - 25331 0,570 2,1 * 17440854 0,101 2,1 25971 0,517 1,3 -2828014 0,799 1,2 50301 0,231 1,6 * * 198 0,001 1,6 0,6014 0,002 2,0 2 Keterangan Harga Lahan/m 2 R : 71,9 % R2 adjust : 60,9 % : 0,000 Uji-F : 6,52 p-value : 0,000 Durbin-Watson statistic = 1,03739
Ket : * = berpengaruh nyata dengan taraf nyata 15 %
75
Tabel 17. Hasil Analisis Regresi Model Regresi double-log
No
Variabel
Notasi
Model Regresi double-log Nilai Lahan (Rp/persil) Harga Lahan (Rp/m2) ppKoefisien VIF Koefisien VIF value value 4,712 0,149* 6,038 0,018* 0,7130 0,000* 1,7 -0,26860 0,002* 1,7
Intersep Luas Lahan X1 Jarak Lahan ke 3 X2 -0,10956 Jalan Kepadatan 4 X3 0,5596 Penduduk Jarak Lahan ke 5 X4 0,0745 Pasar Jarak Lahan ke 6 X5 -0,1575 Pemda 7 Fasilitas Air D6 0,2705 8 Status Lahan D7 0,0385 9 Jalan Bersapal D8 -0,0067 10 Sumber Lahan D9 0,0384 11 Ancaman Bajir D10 0,1938 12 NJOP X11 0,4738 Keterangan ln Nilai Lahan/persil R2 : 85 % 2 R adjust : 79,1 % Uji-F : 14,41 p-value : 0,000 Durbin-Watson statistic = 1,86443 1 2
0,221
3,2
-0,10111
0,138*
3,2
0,017*
1,4
0,3172
0,069*
1,4
0,642
2,9
0,0522
0,667
2,9
0,287
3,0
-0,1584
0,160
0,227 1,4 0,2754 0,108* 0,843 2,0 -0,0137 0,925 0,974 2,3 -0,0353 0,822 0,835 1,4 0,0068 0,961 0,351 2,1 0,2076 0,190 * 0,008 2,8 0,5301 0,000* Keterangan ln Harga Lahan/m2 R2 : 82 % 2 R adjust : 75 % Uji-F : 11,63 p-value : 0,000 Durbin-Watson statistic = 1,43090
Ket : * = berpengaruh nyata dengan taraf nyata 15 % Hasil olahan data dengan dua model memberikan hasil yang berbeda, pada model linear memberikan hasil nilai koefisien determinasi (goodness of fit) atau sering disingkat dengan R2 yang lebih kecil dibanding dengan menggunakan model double-log baik dengan dependent variablenya adalah nilai lahan maupun harga lahan. Dengan model linear menggunakan dependent variablenya nilai lahan dihasilkan R2 sebesar 70,8 % dibanding pada model double-log dihasilkan R2 sebesar 85 % (dapat dilihat pada Tabel 16). Pada model linear dengan menggunakan variable terikatnya adalah harga lahan R2 yang dihasilkan adalah
3,0 1,4 2,0 2,3 1,4 2,1 2,8
76
sebesar 71,9 % dibanding pada model double-log R2 nya sebesar 82 %. Dilihat dari R2-adjustnya, model linear yang menggunakan variabel terikatnya harga lahan adalah model yang lebih baik dibanding dengan variabel terikatnya nilai lahan karena memberikan R2-adjust yang lebih tinggi yaitu sebesar 60,9 % sedangkan variabel terikatnya nilai lahan menghasilkan R2-adjust hanya sebesar 59,3 %. Dengan model double-log dengan variabel terikatnya nilai lahan, nilai R2adjust yang didapat adalah sebesar 79,1 %. Dilihat dari banyaknya variabel yang berpengaruh nyata dengan menggunakan dependent variabel-nya harga lahan, ada dua variabel yang berpengaruh nyata (= 0,15) dengan model regresi linear, yaitu variabel fasilitas air dan NJOP. Dengan menggunakan model double-log ada lima variabel yaitu luas lahan, jarak lahan ke jalan, kepadatan penduduk, fasilitas air, NJOP. Dengan dependent variabel nilai lahan ada enam variabel yaitu luas lahan, kepadatan penduduk, jarak lahan ke kantor pemerintahan Kabupaten Bogor, status lahan, sumber lahan, NJOP yang berpengaruh nyata padamodel regresi linear. Pada model double-log ada tiga variabel yang berpengaruh yaitu luas lahan, kepadatan penduduk, dan NJOP. Untuk menguji kelinearan model yang digunakan, dilakukan uji-F. Kedua model memberikan hasil F hitung yang lebih besar dari F tabelnya. Hal itu menunjukkan variabel-variabel bebas secara bersamaan mempunyai pengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya. Dalam tabel dapat dilihat bahwa besarnya F hitung yaitu 6,52 dengan variabel terikat harga lahan dengan menggunakan model regresi linear dan 11,63 untuk model double-log. Untuk variabel terikat nilai lahan, F hitungnya adalah 6,17 dengan model regresi linear dan 14,41 dengan
77
model double-log. P-value semuanya bernilai nol, lebih kecil dari taraf nyata 15 persen. Uji F yang dilakukan untuk melihat secara bersamaan variabel bebas mempunyai pengaruh nyata terhadap variabel terikatnya sebagai syarat untuk melakukan uji masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikatnya atau disebut dengan uji t. Berdasarkan uji Marquat dapat diduga terjadi atau tidak multikolinearitas. Uji Marquat menggunakan nilai VIF (Variance Inflation factor) sebagai penduga terjadi tidaknya multikolinearitas. Dari hasil data olahan tidak terdapat satupun nilai VIF > 10. Nilai VIF yang dihasilkan paling besar adalah 3,3. Artinya pada model tersebut tidak terjadi multikolinearitas. Sedangkan untuk melihat terjadi atau tidak autokorelasi pada model dilihat dari nilai Durbin-Watson statistic. Dari semua model tersebut didapat nilai Durbin-Watson statistic pada daerah tidak ada kesimpulan. Artinya tidak terjadi autokorelasi pada model tersebut. Penjelasan kedua model lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 18 Tabel 18. Hasil Kedua Model dengan Dua Variabel Terikat Pembanding R2 R2-adjust Uji-F Durbin Watson Signifikasi Intersep Signifikasi Variabel
Harga Lahan Regresi Linear Double-log 71,9% 82% 60,9% 75% 6,52 11,63 1,03739 1,43090
Nilai Lahan Regresi Linear Double-log 70,8% 85% 59,3% 79,1% 6,17 14,41 1,72648 1,86443
Ya
Ya
Tidak
Ya
2
5
6
3
78
6. 3. 2 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Nyata dan Tidak Berpengaruh Nyata Dengan Menggunakan Model Linear dan Duouble-Log Luas Lahan Luas lahan mempunyai pengaruh nyata terhadap nilai lahan baik pada model linear maupun model double-log dengan menggunakan variabel terikat nilai lahan. P-value pada model linear adalah 0,005 dibanding dengan taraf nyata yang digunakan sebesar 15 persen ( = 0,15). Sedangkan dengan model doublelog didapat p-value sebesar 0,000. Koefisien luas lahan yang dihasilkan oleh model linear adalah sebesar + 32.958. Nilai tersebut menunjukkan hubungan yang positif antara luas lahan dengan nilai lahan, yang artinya adalah bahwa setiap kenaikan luas lahan sebesar 1 meter persegi diduga akan meningkatkan nilai lahan sebesar Rp. 32.958,00 per meter perseginya. Koefisien yang didapat dengan menggunakan model double–log adalah sebesar + 0,7130. Nilai tersebut menunjukkan hubungan yang positif antara luas lahan dengan nilai lahan. Tetapi berbeda interpretasinya dengan menggunakan model linear. Koefisien yang dihasilkan oleh model double-log menunjukkan nilai elastisitas. Setiap kenaikan 1 persen luas lahan yang dijual maka diduga akan meningkatkan nilai lahan sebesar 0,7130 persen per meter perseginya. Berbeda hasilnya ketika menggunakan variabel yang dijelaskan adalah harga lahan. Pada model linear, tidak berpengaruh nyata dengan menghasilkan pvalue sebesar 0,501 dan koefisiennya sebesar – 52,39, sedangkan dengan menggunakan model double-log berpengaruh nyata yang dapat dilihat dari p-value yang lebih besar dari taraf nyatanya, p-value-nya sebesar 0,002 dengan koefisien – 0,26860. Pengitepretasian seperti pada penjelasan di atas tetapi peubah terikatnya diganti dengan harga lahan.
79
Jarak Lahan ke Jalan Dengan menggunakan variabel terikat nilai lahan, baik dengan menggunakan model linear maupun model double-log, variabel jarak lahan ke jalan tidak berpengaruh nyata. P-value pada model linear adalah 0,828 dan model double-log sebesar 0,221. Kedua p-value dibandingkan dengan taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebesar 15 %. Kemudian dengan variabel terikatnya harga lahan, variabel jarak lahan ke jalan yang sering dilalui kendaraan roda empat mempunyai pengaruh nyata pada model double-log dengan p-value 0,138. Sedangkan dengan menggunakan model linear tidak berpengaruh nyata, pvalue-nya 0,282. Koefisien yang didapat pada model double-log tersebut adalah -0,10111, koefisien menunjukkan hubungan yang negatif dengan harga lahan. Setiap kenaikan jarak lahan ke jalan yang sering dilalui kendaraan roda empat sebesar 1 persen maka akan terjadi penurunan harga lahan sebesar 0,10111 persen. Jarak lahan ke jalan yang sering dilalui kendaraan roda empat tidak berpengaruh nyata karena pada umumnya jaringan trasportasi yang ada di Kecamatan Cibinong cukup baik, kondisi jalan relatif baik dan seluruh wilayah dapat dilalui kendaraan roda empat sepanjang tahun. Cibinong mempunyai jalan dengan luas 223,04 hektar (sumber : Potensi Kecamatan Cibinong, 2007).
Kepadatan Penduduk Nilai p-value sebesar 0,008 dan 0,017 dengan menggunakan variable bebasnya nilai lahan pada masing-masing model linear dan model double-log menunjukkan pengaruh yang nyata kepadatan penduduk terhadap penentuan nilai
80
lahan per persilnya. Koefisien sebesar + 9869 menunjukkan hubungan yang positif antara nilai lahan dengan kepadatan penduduk dengan menggunakan model liniear. Setiap kenaikan kepadatan penduduk sebesar 1 jiwa/km2 menunjukkan nilai lahan yang diduga naik sebesar Rp. 9.869,00 per persilnya. Pada model double-log, koefisien yang didapat adalah sebesar + 0,5596 artinya setiap kenaikan kepadatan penduduk sebesar 1 persen diduga nilai lahan akan mengalami peningkatan sebesar 0,5596 persen. Dengan menggunakan variabel harga lahan sebagai variabel terikatnya didapat p-value sebesar 0,069 dan koefisen sebesar 0,3172 pada model double-log artinya kepadatan penduduk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga lahan dan hubungan kedua variabel berbanding lurus atau positif. Penjelasan mengenai besarnya pengaruh kepadatan penduduk terhadap harga lahan seperti pada penjelasan dengan model double-log di atas. Model linear dengan variabel terikatnya adalah harga lahan tidak mempunyai pengaruh nyata terhadap harga lahan dengan taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini15 %. Hal ini dapat dilihat dengan besarnya p-value pada data olahannya yaitu sebesar 0,334. Kepadatan penduduk diduga mempunyai pengaruh yang nyata dan positif terhadap nilai lahan karena penduduk yang padat akan lebih ramai dan mempunyai aktifitas perekonomian yang lebih besar jika dibandingkan dengan wilayah dengan kepadatan penduduk yang kecil. Aktifitas ekonomi yang besar akan memberikan dampak yang positif terhadap lahan karena semakin banyaknya orang yang ingin mendapatkan lahan tersebut dengan harga tawaran yang tinggi.
81
Jarak Lahan ke Pasar P-value yang cukup besar yang dihasilkan dari pengolahan data baik pada model linear maupun double-log menunjukkan tidak berpengaruhnya variabel bebasnya dalam penentuan nilai lahan dengan taraf kepercayaan sebesar 85 %. Masing-masing model menghasilkan nilai p-value sebesar 0,693 dan 0,642. Sebesar 0,426 dan 0,667 nilai p-value pada masing-masing model secara berurutan dengan variabel terikatnya harga lahan. Variabel tersebut akan berpengaruh nyata dengan menggunakan tingkat kepercayaan 30 %. Pasar Cibinong menjadi pasar kontrol dalam penelitian ini. Pemilihan Pasar Cibinong karena pasar yang layak dan cukup besar di kecamatan tersebut Ketidaknyataan pengaruh jarak lahan terhadap variabel tidak bebasnya disebabkan oleh banyaknya pasar yang dengan mudah dapat dijangkau oleh masyarakat. Jaringan transportasi yang ada di Kecamatan Cibinong juga cukup baik, kondisi jalan yang relatif baik, sebagian sudah beraspal dan seluruh wilayah dapat dijangkau. Angkutan umum yang menghubungkan Kecamatan Cibinong dengan daerah-daerah lain baik dalam maupun di luar Kabupaten Bogor banyak rutenya. Angkutan umum terdiri dari berbagai jenis kendaraan meliputi Bus, Metromoni, dan Angkutan Kota. Trayek angkutan umum yang melalui kecamatan tersebut juga banyak seperti trayek Pasar Citereup-Anyar, Bogor-Depok, BubulakCibinong,
Cibinong-kampung
Rambutan,
Jonggol-Cibinong,
Bojonggede, Cibinong-Senen, dan Cibinong-Kalideres.
Cibinong-
82
Jarak Lahan ke Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Bogor Variabel ini hanya berpengaruh nyata pada model linear dengan variabel terikatnya nilai lahan, p-value yang dihasilkan sebesar 0,051. Sedangkan dengan variabel terikat harga lahan memberikan p-value yang besar yaitu 0,340 yang artinya tidak mempunyai pengaruh nyata dengan tingkat kepercayaan 85 %. Pada model double-log, variabel bebas tersebut tidak memberikan hasil yang berpengaruh nyata baik terhadap nilai lahan maupun terhadap harga lahan. Pvalue adalah 0,287 pada nilai lahan dan 0,160 pada harga lahan. Variabel bebas tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap harga lahan karena bukan hanya di sekitar kantor pemerintahan daerah pusat perekonomian. Wilayah-wilayah
kecil
sudah
cukup
ramai
dan
mempunyai
aktivitas
perekonomian tersendiri. Walaupun secara nyata aktivitas perekonomian tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan di kabupatennya.
Fasilitas Air Hasil regresi dengan Minitab menunjukkan harga lahan dipengaruhi secara nyata pada taraf nyata 15 % dengan dua model yang berbeda. Nilai P-value sebesar 0,085 dan 0,108 secara berurutan pada masing-masing model. Koefisiennya sebesar + 71.109 pada model linear dan + 0,2754 pada model double-log menunjukkan pengaruh yang positif variabel bebas tersebut terhadap harga lahannya. PDAM yang merupakan kontrol yang digunakan dalam penelitian ini memberikan dampak yang positif terhadap harga lahan. Hal ini dapat diterima karena masih jarangnya penduduk menggunakan PDAM sebagai sumber airnya.
83
PDAM yang ada di Kecamatan Cibinong sebesar 4.051 unit merupakan sumber air terkecil yang ada di daerah tersebut. Sumur gali sebesar 5.540 unit dan sumur pompa sebesar 17.904 unit. Faktor tersebutlah yang membuat harga lahan turut dipengaruhi secara nyata oleh PDAM, dan pengaruhnya positif terhadap harga lahan. Besarnya pengaruh tersebut dapat dilihat melalui koefisiennya. Nilainya + 71.109 yang berarti apabila fasilitas air yang digunakan adalah PDAM maka harga lahan akan dihargai lebih tinggi dari penggunaan sumber air lain sebesar Rp. 71.109,00 dan nilai + 0,2574 berarti apabila fasilitas air yang digunakan adalah PDAM akan dihargai lebih tinggi sebesar 0,2574 persen dibanding dengan penggunaan sumber air lain yang digunakan.
Status Lahan Hanya dengan menggunakan variabel bebas nilai lahan variabel tersebut berpengaruh nyata pada model linear. P-value yang dihasilkan adalah sebesar 0,051 lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan dengan koefisien yang dihasilkan sebesar – 20.541.852, artinya mempunyai pengaruh yang negatif terhadap nilai lahan. Hubungan yang negatif antara status lahan dengan nilai lahan karena pada lahan yang bernilai tinggi pada umumnya belum memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dibanding dengan lahan yang memiliki SHM. Harga lahan tidak dipengaruhi secara nyata oleh variabel status lahan baik dengan
menggunakan
model
linear
maupun
dengan
model
doule-log.
Ketidaknyataan tersebut dapat dilihat pada nilai p-valuenya yaitu secara berturutturut sebesar 0,802 dan 0,925. Ketidaknyataan variabel ini dipengaruhi oleh
84
kemajuan daerah tersebut, penduduk rata-rata sudah tidak mau mengambil resiko dalam hal hak lahan, untuk menghindarkan diri dari sengketa mereka sudah mengurus SHM (Sertifikat Hak Milik).
Kondisi Jalan Variabel ini tidak mempunyai pengaruh nyata pada semua model yang dipakai baik dengan nilai lahan maupun harga lahan pada tingkat kepercayaan 15 %. Nilai p-value yang dihasilkan oleh model regresi sangat besar yaitu 0,974 dan 0,570 sedangkan dengan model double-log besarnya adalah 0974 dan 0,822. Variabel boneka kondisi jalan tersebut tidak berpengaruh nyata karena sebagian besar jalan yang ada di Kecamatan Cibinong
mulai dari perkotaan sampai
perdesaan sudah beraspal. Kondisi ini dipandang tidak mempengaruhi pembeli memberikan penilaian yang lebih tinggi.
Sumber Lahan Dependent variable nilai lahan pada model linear saja yang dipengaruhi secara nyata dengan tingkat kepercayaan 85 %. Koefisiennya adalah +17.440.854, artinya apabila lahannya bersumber dari lahan warisan yang merupakan dummy control-nya, maka nilainya lebih tinggi sebesar Rp. 17.440.854,00 per persilnya dibanding dengan sumber lahan lainnya. Tanah warisan yang dijual tersebut pada umumnya dalam skala yang besar. Berbeda dengan apa yang didapat dengan variabel terikatnya adalah harga lahan, model linear dan model double-log tidak membuat variabel boneka ini mempunyai pengaruh secara nyata terhadap harga lahan. Nilai p-value masing-
85
masing model adalah 0,517 dan 0,961. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar 15 persen. Variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap harga lahan karena lahan tersebut sama harganya baik untuk lahan warisan maupun dari sumber lahannya.
Ancaman Banjir Pada dua model dengan menggunakan variabel terikatnya harga lahan dan nilai lahan menunjukkan variabel ancaman banjir tidak mempengaruhi harga dan nilai lahan secara nyata dengan tingkat kepercayaan 15 %. Nilai p-value yang didapat dari hasil analisis lebih besar dari taraf nyata yang digunakan. P-value masing-masing model dengan variabel terikat harga lahan adalah 0,231dan 0,190 sedangkan dengan variabel terikat nilai lahan adalah 0,799 dan 0,351. Posisi Kecamatan Cibinong yang terletak pada 120 M-140 M di atas permukaan laut menunjukkan daerah ini tidak terancam banjir apabila hujan turun dalam jangka waktu yang cukup lama. Wilayah di kecamatan ini hanya mengalami penggenangan air, itupun dalam waktu tidak lama air akan teresap ke dalam tanah. Kondisi ini membuat ancaman banjir tidak terlalu berpengaruh dalam menentukan harga lahan di Kecamatan Cibinong.
NJOP Nilai Jual Objek Pajak merupakan variabel satu-satunya yang berpengaruh nyata dengan dua model yang berbeda dengan variabel terikatnya nilai dan harga lahan. P-valuenya, dengan variabel terikatnya nilai dan harga lahan, sangat kecil yaitu 0,001 dengan koefisien + 198 dan 0,008 dengan koefisien + 0,4738 pada
86
model linear. Pada model double-log menghasilkan nilai p-value sebesar 0,002 dengan koefisien + 0,601 dan 0,000 dengan koefisien + 0,5301.
Nilai
p-value
yang sangat kecil ini menunjukkan NJOP sangat berpengaruh nyata terhadap harga dan nilai lahan dengan taraf nyata 15 % bahkan sampai pada taraf nyata 0, 3 %. Koefisiennya menunjukkan hubungan yang positif antara NJOP dengan harga dan nilai lahan. Artinya jika NJOP naik maka harga dan nilai lahan juga diduga akan meningkat. NJOP yang merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jualbeli dan harus dibayar oleh pemilik lahan kepada pemerintah. NJOP yang dikenakan pemerintah mempunyai banyak kelas. Berdasarkan sumber informasi yang didapat dari kantor kecamatan dan data dari kuisioner, lahan di wilayah penelitian tersebut cenderung dibebankan ke dalam kelas menengah ke atas, paling rendah NJOP-nya adalah Rp. 48.000,00 dan paling tinggi adalah Rp. 394.000,00.
Dalam
bertransaksi
jual-beli
lahan
baik
pembeli
sangat
memperhatikan betul NJOP tersebut. Harga yang ditetapkan tidak jauh berbeda dari NJOP-nya. Ada yang berada di bawah NJOP tetapi hanya beberapa saja dan paling banyak di atas NJOP-nya. Hal tersebut yang membuat NJOP mempunyai pengaruh sangat nyata dan positif dengan variabel bebasnya.
VII
Kesimpulan dan Saran
7. 1 Kesimpulan Berdasarkan
analisis
yang
digunakan
yang
disesuaikan
dengan
permasalahan dan tujuan penelitian yang ada, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu : 1. Latar belakang penjual lahan di Kecamatan Cibinong mengindikasikan bahwa responden yang menjual lahan adalah sudah berkeluarga dan mempunyai tanggungan keluarga yang cukup besar, umur relatif pada usia kerja mendekati usia kerja tidak produktif, pendidikan di bawah wajib belajar pemerintah, pekerjaan rata-rata adalah wiraswasta dan pendapatan di bawah UMR Kabupaten Bogor. 2. Motivasi penjual lahan pada saat melakukan transaksi jual lahan mengindikasikan bahwa faktor pendorong disebabkan oleh kebutuhan modal usaha dan faktor penariknya disebabkan oleh keinginan untuk membuat tabungan demi kelangsungan hidup sedangkan perutukan hasil penjualan lahannya adalah untuk modal usaha. Proses transaksi jual lahan lebih banyak melalui kelembagaan formal baik melalui PPAT Kecamatan maupun Notaris dibanding non-formal ataupun secara langsung. Lahan tersebut awalnya lebih banyak berasal dari lahan kosong yang dibangun menjadi pemukiman untuk selanjutnya dijual. 3. Model double-log yang digunakan dengan nilai lahan sebagai responsenya, predictors variable yang mempunyai pengaruh nyata terhadap response variable-nya ada 3 yaitu luas lahan, kepadatan penduduk, NJOP.
88
Harga lahan sebagai response-nya dihasilkan 5 predictors variable yang berpengaruh nyata yaitu luas lahan, jarak lahan ke jalan, kepadatan penduduk, fasilitas air, dan NJOP
7. 2 Saran 1.
Sebaiknya penjual menjual lahan dengan memperhatikan NJOP lahan tersebut karena pengaruh NJOP tinggi dalam penetuan Harga Lahan.
2. Sistem penilaian NJOP di beberapa kelurahan di Kecamatan Cibinong kurang relevan, hal ini dilihat dari NJOP yang sangat berbeda dalam satu lokasi yang sangat dekat. Sebaiknya pemerintah setempat melakukan peninjauan ulang dan memperbaiki sistem penilaian NJOP. 3. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan untuk lahan untuk penggunaan yang lain seperti lahan kosong, lahan kebun, lahan sawah.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, Sri. 1993. Statistik. Edisi pertama. BPFE~Yogyakarta. Yogyakarta Adiarto. 2003. Pemodelan Harga Lahan Kota Bandung dengan Metode Hedonic Price Model Berdasarkan Informasi Harga dari Assessors. Skripsi. Departemen Teknik Planologi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Alonso, William. 1970. Location and Land Use. Harvard University Press. Cambridge. Massachusetts. Badan Pertanahan Nasional. 2001. Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2001. Jawa Barat. Badan Pusat Statistika. 2006. Data dan Informasi Kemiskinan 2005-2006 : Buku 2 Kabupaten. BPS. Jakarta. Bakosurtanal. 2006. Peta Administrasi Jabodetabek 2006. Bogor. Barlowe, R. 1986. Land Resources Economics. The Economics of Real Estate. Fourth Edition. Englewood Cliffs. N. J. BPD Kabupaten Bogor. 2004. Laporan Rencana : Penyusunan Kawasan terpilih Pusat Pengembangan Desa (KTP2D) di Kabupaten Bogor. Cibinong. BPPD Kabupaten Bogor. 2004. Analisa Penggunaan Lahan. Wicaksana Megacipta, pt. Bogor. Daniel, Moehar. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Dowall, David E ., dan Michael Leaf. 1990. The Price of land for Housing in Jakarta. Kerjasama antara Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, PAU-EK UI dan Universitas of California. Jakarta. Gujarati, D. N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. Mc Graw Hill Book Company. Singapore. 2003. Basic Econometrics. Gunawan Hutauruk (editor). PT. Gelora Aksara Pratama. Jakarta. Harahap, B. Nauli 2007. Analisis Kesedian Membayar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Fasilitas Air Minum dan Sanitasi di Indonesia (Aplikasi Model Hedonic Price Dan Model Logistik). Tesis. Jurusan Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta. Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Halcrow, Harold G. 1992. Ekonomi Pertanian. Armand Sudiyono (Penerjemah). UMM Press. Malang.
90
Hasan, M. Iqbal. 2003. Pokok-Pokok Materi Statistik 2. PT. Bumi Aksara. Jakarta Hasanah, Florin. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Pemukiman di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hatrwick, J. M and Olewiler, N. D. 1986. The Economic of Nature Resource Use. Harper and Row, Publishers, Inc. New York. United State of America. Hermawan, Asep. 2004. Kiat Praktis Menulis Skripsi, Tesis. Ghalia Indonesia. Jakarta. Kasman. 1999. Dampak Pembangunan Kota-Kota Bau terhadap Tata Guna Lahan dan Pembentukan Harga Lahan di Kabupaten Tangerang. Tesis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kecamatan Cibinong. 2007. Program Keja Kecamatan Cibinong 2007. Bogor. King, Dennis M. dan Marissa, J. Mazzota. 2000. Environmental Valuation. US Department of Agriculture Natural Resources Conservation Services and Nasional Oceanografi and atmosphere Administration. USA. Kompas. 2007. Ekonomi Sumberdaya Tanah. Kajian dan Artikel. Jakarta. (www.kompas.com). 29-maret-2027 Kurniasih, Sri. 2007. Usaha Perbaikan Pemukiman Kumuh di Petukangan UtaraJakarta Selatan. Skripsi. Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Budi Luhur. Jakarta Selatan. Mather, A. S.1986. Land Use. Longman Inc. New York. United State of America McAuslan, Patrick. 1986. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. PT. Gramedia. Jakarta. Nuryanti, Wahyu. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Pemukiman Di Kecamatan Telukjambe, Kabupaten Karawang. Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Randall, Allan. 1987. Resouces Economics. Jhon Willey and Son., Toronto, Canada. Reksohadiprodjo, Sukanto dan A. R. Karseno. 1985. Ekonomi Perkotaan. BPFE. Yogyakarta. Rony, A. M. 1996. Analisis Penemuan Harga Lahan dan Kelembagaan yang Mempengaruhinya (studi kasus di Kotamadya Bogor.) Tesis. Fakultas Pertanian Bogor. Bogor.
91
Simorangkir, Natalia. 2006. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja Pemungut Hasil Pada Perusahaan Perkebunan Kelapa sawit (Studi Kasus : PTPN VII Cikasungka, Cigudeg, Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sitorus, Santun. 1998. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Edisi ketiga. Penerbit TARSITO Bandung. 185 hal. 2004. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi Ketiga. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Departemen tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. BPFE. Yogyakarta. Sutarjo, D. 1992. Pengembangan Kota Baru. Jurusan Perencanaan dan Kota. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. ITB. Bandung. Wahyuni, E. S. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Walpole, Ronan. E. 1995. Pengantar Statistik. Edisi ketiga. Bambang Sumantri (Penerjemah). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
LAMPIRAN Lampiran 1. Tipe Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Penggunaan lahan Tanah Kosong diperuntukkan Tanah rusak Tanah Tandus Tanah terbuka/Galian/Pasir Alang-alang Rumput Semak Sawah 1 x Padi/Tahun Sawah 2 x Padi/Tahun Kuburan Lapangan Golf Lapangan Olahraga Taman Perkampungan Perkampungan 15 Jarang/Villa/Bungalow 16 Perumahan 17 Perkebunan Besar 18 Perkebunan Rakyat 19 Buah-buahan 20 Kebun Campuran 21 Tegalan 22 Industri 23 Industri Pangan/Peternakan 24 Hutan Bambu 25 Hutan Belukar 26 Hutan Lebat 27 Hutan Sejenis Buatan 28 Emplasemen Tetap 29 Kolam Air Tawar 30 Rawa 31 Sungai/Danau/Setu/Waduk 32 Tailing Dam Sumber : Data Dijital BPN (2005)
No Reklasifikasi Penggunaan Lahan 1 Tanah kosong (Terlantar/Rusak/Galian)
2
Semak/Belukar/Alang-alang
3
Sawah Irigasi
4
Sarana Umum
5
Perkampungan/Villa/Bungalow
6 7
Permukiman/Perumahan Perkebunan
8
Kebun Campuran/Tegalan
9
Kawasan industri
10
Hutan/Vegetasi Lebat
11 12
Emplasemen Tetap Badan-badan Air (Waduk/Setu/Sungai/Danau)
93
Lampiran 2. Sistem Penilain Individual PBB Program CAV ZNT
DBKB
Memasukkan data ke Komputer
SPOP + LSPOP
Seleksi Objek Pajak
Objek Pajak Konstruksi Umum
Objek Pajak Konstruksi Khusus
Proses CAV
LKOK
Nilai Objek Penilaian Individual Pengecekan Nilai
Nilai tidak Dapat Diterima
Nilai Dapat Diterima Nilai CAV
Nilai Absolut
Nilai Jual Objek Pajak
94
Keterangan : ZNT DBKB SPOP LSPOP CAV LKOK
= Zona Nilai Tanah = Daftar Biaya Komponen Bangunan = Surat Pemberitahuan Objek Pajak = Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak = Computer Assisted Valuation = Lembar Kerja Objek Khusus
95
Lampiran 3. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan.
96
Lampiran 4. Peta Wilayah Kecamatan Cibinong
97
Lampiran 5. Tabulasi Data Primer dan Sekunder No. NJOP H 1 64.000 200.000 2 103.000 300.000 3 82.000 100.000 4 103.000 150.000 5 82.000 100.000 6 310.000 350.000 7 103.000 300.000 8 160.000 200.000 9 160.000 165.000 10 82.000 150.000 11 394.000 500.000 12 310.000 400.000 13 160.000 500.000 14 103.000 450.000 15 310.000 500.000 16 394.000 500.000 17 48.000 40.000 18 82.000 120.000 19 48.000 100.000 20 160.000 160.000 21 48.000 30.000 22 48.000 150.000 23 48.000 100.000 24 48.000 110.000 25 48.000 120.000 26 82.000 200.000 27 82.000 150.000 28 82.000 120.000 29 82.000 120.000 30 160.000 200.000 31 310.000 250.000 32 82.000 130.000 33 160.000 150.000 34 82.000 130.000 35 335.000 350.000 36 48.000 140.000 37 64.000 250.000 38 160.000 150.000 39 128.000 260.000 40 335.000 350.000 Keterangan : NJOP H NL L JJ SL B
NL L JJ KP JP JPP FA SL JB SuL 16.000.000 80 1000 2922 1000 3000 0 1 0 0 30.000.000 100 1000 2861 4000 1000 1 1 1 1 30.000.000 300 500 2861 2000 1000 0 0 0 0 36.000.000 150 1000 2861 2000 1000 0 1 0 0 8.000.000 80 1000 2861 2000 3000 0 1 0 0 144.000.000 400 500 2861 2000 1000 1 1 1 1 60.000.000 200 200 2325 3000 2000 0 0 0 1 20.400.000 102 500 2325 2000 3500 0 1 1 1 24.750.000 150 500 2325 2500 1000 0 1 0 1 22.500.000 150 500 2325 3000 1000 0 0 0 1 150.000.000 300 10 2369 1000 500 1 0 1 1 52.000.000 130 100 2369 500 500 0 1 1 1 75.000.000 150 20 2369 1000 500 0 0 1 1 67.500.00 150 50 2369 2000 500 1 1 0 1 50.000.000 100 100 2369 200 1500 0 1 0 0 175.000.000 350 10 2732 2000 500 0 0 1 1 100.320.000 2508 2000 2732 4000 3500 0 0 0 1 14.400.000 120 200 2732 2000 2000 0 1 0 1 11.700.000 117 100 2732 1000 2000 0 1 0 1 17.600.000 110 1000 2732 1000 2000 0 0 1 1 60.000.000 2000 1500 2732 3000 2000 0 1 0 1 5.400.000 38 500 1482 6000 4000 0 0 0 1 5.300.000 53 500 1482 7000 4000 0 0 0 1 4.400.000 40 1000 1482 7000 4500 0 0 0 1 9.880.000 74 1000 1482 7000 4000 0 0 1 0 39.600.000 198 2000 2529 2000 1000 0 1 1 1 15.000.000 150 500 2529 1500 1000 0 0 1 0 24.000.000 200 1000 2529 1500 2000 0 1 1 1 9.320.000 76 500 2529 2000 1000 0 1 1 1 12.000.000 60 1000 2152 4000 6000 1 0 1 1 20.300.000 92 2000 4066 2000 5500 0 1 1 1 23.400.000 180 2000 2152 4000 5000 0 0 0 1 13.950.000 93 1000 4066 3000 5000 0 1 1 1 10.400.000 80 1500 3130 5000 5000 0 1 0 1 17.150.000 49 1500 2922 2000 2500 1 1 1 0 17.500.000 125 500 8796 4500 5500 0 0 0 0 78.000.000 112 2000 8796 3000 6500 0 1 1 1 30.150.000 210 1500 2116 4000 5000 0 0 1 0 11.180.000 43 1500 2116 5000 5000 0 1 1 1 38.500.000 110 500 2861 3000 2000 0 1 1 1
: Nilai Jual Objek Pajak (Rp/m2) : Harga Jual Lahan (Rp/m2) : Nilai Lahan (Rp/persil) : Luas Lahan yang Dijual (m2) : Jarak Lahan ke Jalan yang sering dilalaui kendaraan roda empat(m) : Status Lahan : Ancaman Banjir
KP JP JPP FA JB SuL
B 1 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 1 1
: Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2) : Jarak Lahan ke Pasar Cibinong (m) : Jarak Lahan ke Pemerintahan Kabupaten Bogor (m) : Fasilitas Air : Jalan Beraspal : Sumber Lahan
98
Lampiran 6. Hasil Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Pemukiman 1. Regresi Linear Dengan Variable Dependen Harga Lahan
Regression Analysis: H versus L; JJ; ... The regression equation is H = 196588 - 52,4 L - 44,5 JJ + 12,6 KP - 11,5 JP - 14,7 JPP + 71109 FA - 9226 SL - 25331 JB + 25971 SuL + 50301 B + 0,601 NJOP
Predictor Constant L JJ KP JP JPP FA SL JB SuL B NJOP
Coef 196588 -52,39 -44,53 12,62 -11,49 -14,74 71109 -9226 -25331 25971 50301 0,6014
S = 42982431
SE Coef 75496 76,90 40,56 12,85 14,24 15,19 39881 36432 44059 39550 41087 0,1712
R-Sq = 71,9%
PRESS = 5,172983E+16
T 2,60 -0,68 -1,10 0,98 -0,81 -0,97 1,78 -0,25 -0,57 0,66 1,22 3,51
P 0,015 0,501 0,282 0,334 0,426 0,340 0,085 0,802 0,570 0,517 0,231 0,002
VIF 1,3 3,2 1,5 2,4 3,8 1,4 1,5 2,1 1,3 1,6 2,0
R-Sq(adj) = 60,9%
R-Sq(pred) = 71,93%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source L JJ KP JP JPP FA SL JB SuL B NJOP
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
DF 11 28 39
SS 1,32585E+17 5,17297E+16 1,84315E+17
MS 1,20532E+16 1,84749E+15
F 6,52
P 0,000
Seq SS 1,66738E+14 6,16075E+16 1,05417E+15 2,10521E+16 1,85272E+15 1,25617E+16 7,70551E+14 8,35145E+15 4,16362E+13 2,32045E+15 2,28061E+16
Unusual Observations Obs L H Fit 13 150 500000 346040 14 150 450000 335849 15 100 500000 419890
SE Fit 38835 45348 47463
Residual 153960 114151 80110
St Resid 3,29R 2,52R 2,11R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,03739
99
2. Regresi Linear Dengan Variable Dependen Nilai Lahan Regression Analysis: NL versus L; JJ; ... The regression equation is NL = - 6631146 + 32958 L - 2354 JJ + 9689 KP + 1508 JP - 8414 JPP + 13263730 FA - 20541852 SL + 789774 JB + 17440854 SuL - 2828014 B + 198 NJOP
Predictor Constant L JJ KP JP JPP FA SL JB SuL B NJOP
Coef -6631146 32958 -2354 9689 1508 -8414 13263730 -20541852 789774 17440854 -2828014 198,31
S = 26081048
SE Coef 20684274 10941 10707 3415 3787 4119 13213542 10198772 11841581 10280265 10993348 54,16
R-Sq = 70,8%
PRESS = 4,999516E+16
T -0,32 3,01 -0,22 2,84 0,40 -2,04 1,00 -2,01 0,07 1,70 -0,26 3,66
P 0,751 0,005 0,828 0,008 0,693 0,051 0,324 0,054 0,947 0,101 0,799 0,001
VIF 1,6 2,6 1,5 2,6 3,3 1,3 1,5 2,1 1,2 1,6 1,9
R-Sq(adj) = 59,3%
R-Sq(pred) = 23,37%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 11 28 39
SS 4,61974E+16 1,90462E+16 6,52436E+16
MS 4,19977E+15 6,80221E+14
F 6,17
P 0,000
No replicates. Cannot do pure error test.
Source L JJ KP JP JPP FA SL JB SuL B NJOP
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Seq SS 9,16294E+15 7,74362E+15 2,00296E+15 2,76470E+15 1,86056E+15 5,59340E+15 2,47102E+15 3,31216E+15 1,78893E+15 3,78702E+14 9,11845E+15
Unusual Observations Obs L NL Fit 16 350 175000000 123698812 35 49 17150000 61693352 36 125 17500000 48738767 37 112 78000000 34965024
SE Fit 15163055 16153950 20937342 18777775
Residual 51301188 -44543352 -31238767 43034976
St Resid 2,42R -2,18R -2,01R 2,38R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,72648
100
3. Regresi Double-log Dengan Variabel Dependen Harga
Regression Analysis: ln H versus ln L; ln JJ; ... The regression equation is ln H = 6,04 - 0,269 ln L - 0,101 ln JJ + 0,317 ln KP + 0,052 ln JP - 0,158 ln JPP + 0,275 FA - 0,014 SL - 0,035 JB + 0,007 SuL + 0,208 B + 0,530 ln NJOP
Predictor Constant ln L ln JJ ln KP ln JP ln JPP FA SL JB SuL B ln NJOP
Coef 6,038 -0,26860 -0,10111 0,3172 0,0522 -0,1584 0,2754 -0,0137 -0,0353 0,0068 0,2076 0,5301
S = 0,321802
SE Coef 2,402 0,07858 0,06630 0,1676 0,1200 0,1098 0,1657 0,1453 0,1557 0,1382 0,1546 0,1263
R-Sq = 82,0%
PRESS = 6,35602
T 2,51 -3,42 -1,53 1,89 0,43 -1,44 1,66 -0,09 -0,23 0,05 1,34 4,20
P 0,018 0,002 0,138 0,069 0,667 0,160 0,108 0,925 0,822 0,961 0,190 0,000
VIF 1,7 3,2 1,4 2,9 3,0 1,4 2,0 2,3 1,4 2,1 2,8
R-Sq(adj) = 75,0%
R-Sq(pred) = 60,63%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 11 28 39
SS 13,2454 2,8996 16,1450
MS 1,2041 0,1036
F 11,63
P 0,000
SE Fit 0,2106
Residual 0,4886
No replicates. Cannot do pure error test.
Source ln L ln JJ ln KP ln JP ln JPP FA SL JB SuL B ln NJOP
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Seq SS 1,5124 5,6522 0,6702 0,5004 0,5169 0,2152 0,0314 0,0417 0,0076 0,1867 3,9107
Unusual Observations Obs 37
ln L 4,72
ln H 12,4292
Fit 11,9406
St Resid 2,01R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,43090
101
4. Regresi Double-log Dengan Variabel Dependen Nilai Lahan Regression Analysis: ln NL versus ln L; ln JJ; ... The regression equation is ln NL = 4,71 + 0,713 ln L - 0,110 ln JJ + 0,560 ln KP + 0,074 ln JP - 0,158 ln JPP + 0,270 FA + 0,038 SL - 0,007 JB + 0,038 SuL + 0,194 B + 0,474 ln NJOP
Predictor Constant ln L ln JJ ln KP ln JP ln JPP FA SL JB SuL B ln NJOP
Coef 4,712 0,7130 -0,10956 0,5596 0,0745 -0,1575 0,2705 0,0385 -0,0067 0,0384 0,1938 0,4738
S = 0,425048
SE Coef 3,173 0,1038 0,08757 0,2213 0,1586 0,1451 0,2188 0,1920 0,2057 0,1825 0,2042 0,1669
R-Sq = 85,0%
PRESS = 12,6149
T 1,49 6,87 -1,25 2,53 0,47 -1,09 1,24 0,20 -0,03 0,21 0,95 2,84
P 0,149 0,000 0,221 0,017 0,642 0,287 0,227 0,843 0,974 0,835 0,351 0,008
VIF 1,7 3,2 1,4 2,9 3,0 1,4 2,0 2,3 1,4 2,1 2,8
R-Sq(adj) = 79,1%
R-Sq(pred) = 62,57%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 11 28 39
SS 28,6417 5,0586 33,7003
MS 2,6038 0,1807
F 14,41
P 0,000
SE Fit 0,2781
Residual 1,1259
No replicates. Cannot do pure error test.
Source ln L ln JJ ln KP ln JP ln JPP ln NJOP FA SL JB SuL B
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Seq SS 17,1676 4,8132 1,8232 0,3531 0,5677 3,4343 0,2210 0,0003 0,0741 0,0246 0,1626
Unusual Observations Obs 37
ln L 4,72
ln NL 18,1722
Fit 17,0463
St Resid 3,50R
R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,86443