PEMETAAN KARAKTERISTIK DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR
OLEH WAHYUDI ROMDHANI A14304040
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN WAHYUDI ROMDHANI. Pemetaan Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS. Salah satu peristiwa ekonomi yang menyebabkan jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat adalah krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 sampai akhir tahun 1998. Tahun 1996, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan 34,5 juta jiwa atau sekitar 17,7 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Kemudian pada tahun 1998 meningkat menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Fluktuasi tersebut juga terjadi di Jawa Barat. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat relatif menurun dari tahun 2003 hingga 2004, kemudian meningkat kembali hingga tahun 2006. Pada tahun 2003, persentase jumlah penduduk miskin sebesar 12,90 persen dari total jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat dan menurun menjadi 12,10 persen pada tahun 2004, kemudian meningkat menjadi 13,06 tahun 2005 dan 14,49 tahun 2006. Besarnya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor ternyata tidak menurun dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat. Pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor sebesar 12,54 persen, kemudian meningkat menjadi 12,56 persen tahun 2003. Jumlah tersebut turun menjadi 11,94 persen pada tahun 2004 dan meningkat kembali menjadi 12,50 persen pada tahun 2005. Padahal laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berdampak pada makin menurunnya tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis penyebaran indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor ; memetakan penyebaran karakteristik kemiskinan di tiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor, yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur ; dan menganalisis faktor–faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor dengan pertimbangan bahwa kabupaten tersebut merupakan penyangga dari Ibu Kota Jakarta dan ketersediaan data Suseda Tahun 2006. Analisis yang digunakan adalah analisis keragaman, analisis biplot, dan analisis regresi linier berganda. Berdasarkan hasil analisis koefisien keragaman terlihat bahwa indikator yang menyebar secara merata di Kabupaten Bogor antara lain : akses terhadap sumber air minum, penggunaan selain gas dalam masak sehari-hari, daya beli terhadap daging/ayam/susu, dan pendidikan kepala rumahtangga yang rendah. Nilai koefisien keragaman untuk indikator-indikator tersebut di bawah 0,3. Indikator-indikator tersebut dapat menjadi indikator utama dalam mengukur kemiskinan di Kabupaten Bogor. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat miskin di Kabupaten Bogor menggunakan sumber mata air yang tidak terlindungi untuk mencari air minum, menggunakan selain gas untuk masak sehari-hari, tidak pernah membeli daging/ayam/susu dalam seminggu, dan berpendidikan rendah Jika dilihat dari ketiga gambar analisis biplot, ternyata tidak terdapat perbedaan pola penyebaran indikator kemiskinan antar wilayah. Keragaman indikator menyebar mengarah kepada beberapa kecamatan. Indikator yang 2
memiliki keragaman paling besar di ketiga wilayah tersebut hampir sama, yaitu X14 (pekerjaan utama kepala rumah tangga petani) dan X6 (penggunaan kayu bakar untuk masak sehari-hari). Keragaman ini pada umumnya didominasi oleh kecamatan-kecamatan yang termasuk daerah pertanian dan jauh dari perkotaan. Perbedaan justru terlihat dari posisi relatif masing-masing kecamatan. Kecamatankecamatan di Wilayah Bogor Tengah memiliki kemiripan atau kesamaan dalam karakteristik kemiskinan yang hampir sama. Berdasarkan hasil proses pengolahan, dari 6 variabel independen yang dimasukkan ke dalam model, tiga variabel yang signifikan pada selang kepercayaan 95 persen, yaitu produksi padi sawah per kapita, jumlah sarana pasar, dan jumlah penduduk yang bermigasi. Tidak berpengaruhnya sebagian dari variabel yang diduga juga disebabkan oleh pengaruh yang tidak langsung dari variabel-variabel tersebut. Pada umumnya variabel-variabel yang digunakan bukan merupakan variabel-variabel akar permasalahan dari kemiskinan di suatu wilayah. Kesulitan dalam pencarian data yang menjadi penyebab tidak digunakannya variabel-variabel yang menjadi akar permasalahan kemiskinan. Implikasi kebijakan berdasarkan hasil ketiga analisis tersebut antara lain : 1) Peningkatan pembangunan perdesaan. Hal ini terkait dengan kemudahan masyarakat dalam menjual hasil produksinya. 2) Pemberdayaan masyarakat dengan program transmigrasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pelibatan masyarakat terutama dalam mengelola sumberdaya di masing-masing daerah dengan perjanjian bagi hasil. Hal ini diharapkan mengurangi aktifitas penebangan hutan atau pembukaan lahan baru secara berlebihan. Kesimpulan dari hasil pembahasan tersebut antara lain: 1) Kemiskinan lebih tinggi di perdesaan dibandingkan perkotaan. 2) Indikator-indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor ternyata tidak semua menyebar merata. Hanya empat indikator yang menyebar merata, yaitu akses terhadap sumber air minum, penggunaan selain gas dalam masak sehari-hari, daya beli terhadap daging/ayam/susu, dan pendidikan kepala rumahtangga yang rendah. 3) Penyebaran indikator kemiskinan di tiga wilayah pengembangan memiliki pola yang sama. Hal tersebut terlihat dari indikator-indikator yang memiliki keragaman tinggi, yaitu penggunaan kayu bakar untuk masak sehari-hari, ketidakmampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, dan pekerjaan utama kepala keluarga di bidang pertanian. 4) Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bogor adalah produksi padi sawah per kapita, jumlah sarana pasar dan migrasi penduduk. Saran untuk penelitian ini adalah dalam upaya pengurangan sekaligus penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor, pemerintah perlu melakukan pengembangan komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, selain padi sawah. Hal tersebut juga perlu didukung dengan perbaikan semua infrastruktur yang mendukung, misalnya sarana pasar. Pemerintah juga perlu melakukan surveisurvei dan penanggulangan kemiskinan di kabupaten Bogor dengan melihat indikator-indikator yang menyebar merata di setiap kecamatan. Pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan, bukan hanya sekedar memberikan bantuan, misalnya saja dengan pembentukan usaha ekonomi tertentu dengan melibatkan ibu-ibu rumahtangga.
3
PEMETAAN KARAKTERISTIK DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR
Oleh: WAHYUDI ROMDHANI A14304040
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
4
Judul Skripsi :
Nama NRP
: :
PEMETAAN KARAKTERISTIK DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR Wahyudi Romdhani A14304040
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
5
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI BERJUDUL “PEMETAAN
KARAKTERISTIK
DAN
FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMPENGARUHI KEMISKINAN DI KABUPATEN BOGOR” INI BELUM PERNAH
DIAJUKAN
PADA
PERGURUAN
TINGGI
LAIN
ATAU
LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN, KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Mei 2008
Wahyudi Romdhani A14304040
6
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Wahyudi Romdhani, dilahirkan pada 5 Juni 1986 di Bekasi sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Muhammad Yasin dan Sumarni (Alm). Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Patriot I. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 2 Bekasi pada tahun 2001 dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 2 Bekasi pada tahun 2004. Penulis aktif di beberapa organisasi seperti OSIS serta kegiatan ekstra kurikuler. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program studi Ekonomi Pertanian Sumberdaya (EPS), jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA) pada tahun 2004/2005, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian pada tahun 2006/2007, serta aktif dalam beberapa kegiatan kepanitian. Selain itu, penulis juga menjadi asisten dosen dalam mata kuliah ekonomi umum selama tiga semester pada tahun 2007-2008.
7
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang menciptakan segala keajaiban di muka bumi. Diantaranya terdapat kekayaan alam yang sangat potensial, sehingga mampu membantu keberlanjutan hidup manusia dalam berkreasi dan berkarya di alam semesta. Shalawat serta salam kepada Muhammad SAW semoga selalu mengalir sehingga keberkahan selalu disisi beliau. Sebuah kebanggaan bagi penulis ketika membuat skripsi yang berjudul “Pemetaan Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten Bogor”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis senantiasa menerima setiap saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2008
Wahyudi Romdhani
8
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan serta kerjasama dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada : 1. Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi atas saran, kritik, dan perhatiannya selama proses perkuliahan dan penyusunan skripsi. 2. Bapak Dr. Ir. Harianto, MS selaku dosen penguji utama atas masukan dan sarannya. 3. Bapak A. Faroby Falatehan, SP, ME sebagai dosen penguji dari departemen atas masukan dan sarannya. 4. Ibu Ir. Yetti Lis Purnamadewi, Msc selaku dosen pembimbing akademik. 5. Umi (Alm), Abi, Anis, dan Aa Amak serta semua keluarga besar yang selalu mendoakan, menyemangati, mendukung, serta membantu secara moral dan materil. ”Yudi janji bakal nyenengin semua!!” 6. Keluarga Om Yatiman, Tante Ani, Neng Dian, Mas Deni, dan Mas Anton terima kasih atas dukungannya dan kasih sayang yang diberikan sebagai keluarga baru. 7. Teman-teman rumahku : Unan, Ipul, Bowo, Setro, Ugi, Khoir, Diki, Imin, Suud, Mba Dian, Bartom, Sigit, anak-anak tongkrongan Bu Ming, Tante Suud, Ibu Ruli, Dini + Gank, dan semua teman-teman SMAku. 8. Teman-teman yang banyak membantu, mendukung dan peduli: Nana, Deli, Pipih, Kevin, Aji, Maya, Risti, Ade, Mail, Galih, Mayang, Zae, Ella, Tita, Ngkong, Evie, Toto, Sari, Teh Fitri, Erfan, Deasy, Ricky, Kevin, Asti, Wulan, Ucie, Irna, Ida, Uci, Ave, Kostan ACC, Kostan Maharani, serta rekan-rekan EPS 41 seluruhnya. 9. Segenap Dosen dan staf pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya dan Bappeda Kabupaten Bogor. 10. Semua pihak yang sulit untuk disebutkan satu persatu. Terima Kasih.
9
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI............................................................................................. vii DAFTAR TABEL..................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................ x DAFTAR LAMPIRAN............................................................................. xi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ...................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian .....................................................................
1 4 7 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Mengenai Kemiskinan ................................ 8 2.2 Penelitian Terdahulu Mengenai Analisis Biplot ........................... 13 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................ 3.1.1 Konsep Kemiskinan ............................................................. 3.1.2 Sebab-Sebab Kemiskinan.................................................... 3.1.3 Pendekatan Teoritis Dalam Identifikasi Kemiskinan.......... 3.1.4 Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kesenjangan Pendapatan.............................................. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ................................................. 3.3 Hipotesis........................................................................................
16 16 18 21 22 23 26
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 4.2 Jenis dan Sumber Data .................................................................. 4.3 Penentuan Rumahtangga Miskin di Kabupaten Bogor ................. 4.4 Metode Analisis dan Pengolahan Data ......................................... 4.4.1.Analisis Keragaman ............................................................. 4.4.2.Metode Biplot ...................................................................... 4.4.3 Metode Regresi Linear Berganda......................................... 4.5 Definisi Operasional......................................................................
28 28 29 29 30 31 34 38
V. GAMBARAN UMUM KEMISKINAN KABUPATEN BOGOR 5.1 Penduduk Miskin Kabupaten Bogor ............................................. 5.2 Karakteristik Penduduk Miskin di Kabupetan Bogor .................. 5.3 Kependudukan .............................................................................. 5.4 Sosial ............................................................................................. 5.5 Pertanian........................................................................................
41 42 46 48 49
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Penyebaran Indikator Kemiskinan di Kabupaten Bogor............... 50 10
6.2 Pemetaan Penyebaran Kemiskinan di Kabupaten Bogor.............. 6.2.1 Pemetaan Penyebaran Kemiskinan di Wilayah Bogor Barat ..................................................... 6.2.2 Pemetaan Penyebaran Kemiskinan di Wilayah Bogor Tengah ................................................... 6.2.3 Pemetaan Penyebaran Kemiskinan di Wilayah Bogor Timur ..................................................... 6.3 Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten Bogor .................................................. 6.4 Implikasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor ..................................................
50 52 57 61 64 71
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ................................................................................... 74 7.2 Saran.............................................................................................. 75 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 76 LAMPIRAN.............................................................................................. 79
11
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun 1996-2005.................. 2 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Barat, Tahun 1996-2006 ................................................................................. 3 3. Laju Pertumbuhan Ekonomi per Wilayah Pembangunan Kabupaten Bogor, Tahun 2002-2005................................................... 5 4. Angka Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor dan Komponennya, Tahun 2002-2005................................................. 5 5. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 29 6. Penyajian Data Analisis Biplot ............................................................ 33 7. Nilai Penyebaran Indikator Kayu Bakar dan Pertanian di Wilayah Bogor Barat ....................................................................... 55 8. Nilai Penyebaran Indikator Kayu Bakar dan Kemampuan Berobat di Wilayah Bogor tengah .................................. 58 9. Nilai Penyebaran Indikator Kayu Bakar dan Pertanian di Wilayah Bogor Timur ...................................................................... 63 10.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten Bogor ............................................................................. 66
12
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1. Lingkaran Kemiskinan ........................................................................ 19 2. Hipotesis Kuznets ............................................................................... 23 3. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ............................................ 27 4. Proses Pengolahan Data Suseda Tahun 2006..................................... 34 5. Analisis Biplot Wilayah Bogor Barat Berdasarkan 14 Indikator Kemiskinan ......................................................................................... 54 6. Analisis Biplot Wilayah Bogor Tengah Berdasarkan 14 Indikator Kemiskinan ......................................................................................... 60 7. Analisis Biplot Wilayah Bogor Timur Berdasarkan 14 Indikator Kemiskinan ......................................................................................... 62
13
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Teks
Halaman
1. Indikator Kemiskinan BPS.................................................................. 79 2. Jumlah Data Hasil Pemilihan .............................................................. 80 3. Persentase Indikator Kemiskinan di Tiap kecamatan di Kabupaten Bogor ............................................................................ 81 4. Koefisien Keragaman Tiap-Tiap Indikator Kemiskinan Per Kecamatan ................................................................................... 88 5.Input Data Olahan Analisis Biplot ....................................................... 89 6. Input Data Olahan Regresi Linier Berganda....................................... 91 7. Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan..................... 92
14
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan
menyebabkan efek yang hampir sama di setiap negara. Akibat dari gejala sosial tersebut antara lain : (1) hilangnya kesejahteraan bagi kalangan miskin (sandang, pangan, dan papan), (2) tersingkir dari pekerjaan yang layak secara kemanusiaan, (3) kehilangan hak atas perlindungan hukum, hak atas rasa aman, hak atas kesehatan, hak atas partisipasi terhadap pemerintahan dan keputusan publik, hak atas spiritualitas, hak untuk berinovasi, dan hak atas kebebasan hidup ( Muttaqien, 2006). Permasalahan tersebut dipengaruhi oleh dua aspek antara lain aspek makro (produksi domestik bruto dan jumlah penduduk) dan aspek mikro (pendapatan rumah tangga, ukuran keluarga, dan jumlah anggota rumah tangga yang berpenghasilan). Salah satu peristiwa ekonomi yang menyebabkan jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat adalah krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 sampai akhir tahun 1998. Hal tersebut terlihat pada Tabel 1 dimana pada tahun 1996 jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan 34,5 juta jiwa atau sekitar 17,7 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Pada tahun 1998 kemiskinan meningkat menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
15
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun 1996-2005 Tahun
Jumlah penduduk miskin (juta jiwa) Kota Desa Kota+Desa 1996 9,6 24,9 34,5 1998 17,6 31,9 49,5 1999 15,7 32,7 48,4 2000 12,3 26,4 38,7 2001 8,6 29,3 37,9 2002 13,3 25,1 38,4 2003 12,2 25,1 37,3 2004 11,3 24,8 36,1 2005 12,4 22,7 35,1 Sumber : BPS, 2005-2006
Persentase penduduk miskin Kota Desa Kota+Desa 13,6 19,9 17,7 21,9 25,7 24,2 19,5 26,1 23,5 14,6 22,4 19,1 9,8 24,8 18,4 14,5 21,1 18,2 13,6 20,2 17,4 12,1 20,1 16,7 11,4 19,5 16,0
Peningkatan jumlah penduduk miskin tersebut terus terjadi hingga tahun 2006 dan menurun pada tahun 2007. Pada tahun 2005, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia adalah sebesar 35,1 juta (16,0 persen), kemudian meningkat pada bulan Maret 2006 menjadi 39,3 juta (17,75 persen). Pada bulan Maret 2007 jumlah tersebut menurun menjadi 37,2 juta jiwa (16,6 persen) dari total penduduk Indonesia. 1 Fluktuasi tersebut juga terjadi di Jawa Barat. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat relatif menurun dari tahun 2003 hingga 2004, kemudian meningkat kembali hingga tahun 2006. Pada tahun 2003, persentase jumlah penduduk miskin sebesar 12,90 persen dari total jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat dan menurun menjadi 12,10 persen pada tahun 2004, kemudian meningkat menjadi 13,06 tahun 2005 dan 14,49 tahun 2006. Hal tersebut dapat terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Barat, Tahun 1996-2006 1
Disampaikan oleh Ir. Bambang Prijambodo, MA (Direktur Perencanaan dan Pengembangan Makro Bappenas) dalam seminar “Indonesian Economic Outlook 2008” tanggal 12 Desember 2007 (tidak dipublikasikan).
16
Tahun Jumlah penduduk miskin (ribu jiwa) 1996 3962,1 1997 5675,1 1998 14853,2 1999 8393,4 2000 6658,4 2001 6513,6 2002 4938,2 2003 4889,0 2004 4654,2 2005 5137,6 2006 5712,5 Sumber : BPS, 2005-2006
Persentase penduduk miskin 9,88 13,90 35,72 19,78 15,40 15,34 13,38 12,90 12,10 13,06 14,49
Sementara itu, berdasarkan data Susenas Kor 2005-2006, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor pada tahun 2005 sebesar 0,48 juta jiwa dan meningkat menjadi 0,54 juta jiwa pada tahun 2006. Jumlah tersebut merupakan yang paling besar di antara kabupaten lain di Jawa Barat. Namun jika dilihat secara persentase, ternyata tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor sangat kecil karena jumlah penduduknya besar. Data kemiskinan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) seperti contoh data sebelumnya, merupakan data kemiskinan yang bersifat makro. Data ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa si miskin dan di mana alamat mereka, sehingga kurang operasional di lapangan. Pada tahun 2005, pemerintah melakukan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk (PSE). Pendataan tersebut terkait dengan penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam rangka kompensasi BBM. Penyaluran bantuan ini harus tepat sasaran, baik pada rumahtangga sangat miskin, miskin, maupun yang mendekati miskin.
17
Berbeda dengan metode Susenas yang mengukur kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (setara 2100 kalori per kapita per hari) dan bukan makanan, penentuan rumahtangga penerima BLT didasarkan pada pendekatan karakteristik rumahtangga dengan menggunakan 14 variabel kualitas penjelas. Variabel-variabel tersebut antara lain luas lantai per kapitaa, jenis lantai, jenis dinding, dan lainnya.
1.2. Perumusan Masalah Besarnya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor ternyata tidak menurun dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat. Pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor sebesar 12,54 persen, kemudian meningkat menjadi 12,56 persen tahun 2003. Jumlah tersebut turun menjadi 11,94 persen pada tahun 2004 dan meningkat kembali menjadi 12,50 persen pada tahun 2005. Padahal laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berdampak pada makin menurunnya tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Korelasi tersebut berkaitan dengan Hipotesis Kuznets. Hipotesis Kuznets menyatakan pada tahap awal dari proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan pada saat mendekati tahap akhir dari pembangunan jumlah penduduk miskin menurun secara perlahan. Banyak faktor lain selain pertumbuhan ekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan, seperti tingkat pendidikan tenaga kerja dan struktur ekonomi. Kedua contoh tersebut merupakan dampak dari peningkatan laju pertumbuhan ekonomi.
18
Dari data pada Tabel 3 terlihat laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi di Wilayah Pembangunan Bogor Tengah dengan rata-rata sebesar 5,92 persen. Laju pertumbuhan yang tinggi tersebut didukung oleh tumbuhnya industri besar dan kecil di wilayah timur dan tengah serta industri kecil dan mikro di hampir semua wilayah. Tabel 3. Laju Pertumbuhan Ekonomi per Wilayah Pembangunan Kabupaten Bogor, Tahun 2002-2005 (persen) Tahun
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Barat Tengah
2002 4,48 2,56 2003 4,81 1,43 2004 5,56 0,34 2005 5,85 0,25 Rata-rata 5,18 1,15 Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2006
5,05 5,52 6,50 6,62 5,92
Timur 4,43 4,84 5,87 6,25 5,35
Peningkatan juga terjadi pada angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bogor. Salah satu indikator dari kualitas masyarakat tersebut relatif terus membaik. Berdasarkan Tabel 4, pada tahun 2003 angka IPM Kabupaten Bogor mencapai 67,81 dan kemudian naik 0,29 poin pada tahun 2004 menjadi 68,10. Pada tahun 2005, IPM tersebut sebesar 68,99 atau naik 0,89 poin dibandingkan tahun 2004. Tabel 4. Angka Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor dan Komponennya, Tahun 2002-2005 Komponen 2002 1. Angka Harapan Hidup 66,80 2. Angka Melek Huruf 92,80 3. Rata-rata Lama Sekolah 6,10 4. PPP 550,40 IPM 67,70 Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2006
2003 66,82 92,80 6,18 551,52 67,81
2004 66,94 93,22 6,26 552,45 68,10
2005 67,10 93,91 6,69 556,75 68,99
19
Tidak adanya korelasi tersebut yang menjadi dorongan dilakukannya penelitian ini. Penelitian mengenai kemiskinan yang telah dilakukan, lebih banyak terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi peluang suatu rumah tangga termasuk ke dalam kategori miskin. Penelitian kemiskinan di wilayah yang diketahui hanya sampai tingkat Provinsi, seperti yang dilakukan oleh Nurhayati (2007) mengenai tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Pemetaan penyebaran indikator kemiskinan di suatu wilayah pun jarang dijadikan topik dalam penelitian, apalagi dengan menggunakan Analisis Biplot karena faktor ketersediaan data, seperti data Sensus Daerah (SUSDA) Tahun 2006. Analisis tersebut banyak digunakan dalam penelitian mengenai pemasaran suatu
produk,
bagaimana
positioning
dan
keunggulan-kelemahannya
dibandingkan dengan produk lain. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana sebaran indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor ? 2. Bagaimana sebaran karakteristik kemiskinan di tiga wilayah pengembangan Kabupaten Bogor, yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur ? 3. Apa saja yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bogor ?
20
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukankan, maka tujuan dari rencana penelitian ini adalah : 1. menganalisis penyebaran indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor ; 2. memetakan
penyebaran
karakteristik
kemiskinan
di
tiga
wilayah
pengembangan Kabupaten Bogor, yaitu Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur, dan 3. menganalisis faktor–faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bogor. 1.4.
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini antara lain :
1. bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan masukan dalam pembuatan kebijakan mengenai kemiskinan yang lebih tepat, dan 2. sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi kalangan akademisi dalam melakukan penelitian selanjutnya.
21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Penelitian Terdahulu Mengenai Kemiskinan Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kemiskinan, baik tingkat individu rumah tangga maupun wilayah. Seperti yang dilakukan oleh Nurhayati (2007) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan seberapa besar faktor pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Penelitian tersebut menggunakan model ekonometrika persamaan simultan 2SLS karena variabel-variabel yang terdapat dalam persamaan tersebut saling terkait satu sama lain. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan pada taraf nyata 10 persen adalah tenaga kerja dan investasi, sedangkan variabel lahan dan variabel dummy kota/kabupaten berpengaruh nyata pada taraf satu persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pada taraf nyata 10 persen adalah pendapatan dan pendidikan, sedangkan variabel jumlah pengangguran dan tingkat ketergantungan berpengaruh nyata satu persen. Rahmawati (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Faktorfaktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur, mendeskripsikan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan bagaimana pelaksanaannya di Kabupaten Pacitan. Penelitian tersebut juga bertujuan menganalisis karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Pacitan 22
dan mengidentifikasi serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi suatu rumah tangga berada pada kemiskinan dengan menggunakan Analisis Ekonometrik dan bantuan program komputer MINITAB 13 for windows. Karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Pacitan dapat dilihat dari beberapa variabel yang meliputi jenis kelamin kepala keluarga, usia kepala keluarga, pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh kepala keluarga, jenis pekerjaan, curahan kerja, tingkat pendapatan setiap bulan, jumlah anggota rumah tangga, dan jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja. Program BLT yang disalurkan pada rumah tangga miskin di Kabupaten Pacitan mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga sebesar 31,63 persen. Sementara itu, hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi peluang suatu rumah tangga berada dalam kemiskinan didapat bahwa peubah-peubah yang berpengaruh nyata pada model sampai selang kepercayaan 90 persen adalah peubah jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan, jenis kelamin dan pendapatan. Mugni (2006) melakukan penelitian mengenai strategi rumahtangga nelayan dalam mengatasi kemiskinan. Penelitian tersebut berlokasi di Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Adapun
tujuan dari
penelitian tersebut adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pada masyarakat nelayan dan bagaimana strategi rumahtangga nelayan dalam berusaha mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut. Berdasarkan hasil penelitiannya, faktor-faktor penyebab kemiskinan pada masyarakat nelayan di Desa Limbangan berupa perubahan cuaca dan fluktuasi musim ikan, sumberdaya manusia (SDM) nelayan yang masih rendah, adanya 23
eksploitasi pemodal, ketimpangan dalam system bagi hasil, motorisasi dan kebiasaan nelayan. Sementara itu, strategi yang diterapkan oleh rumahtangga nelayan dalam menghadapi situasi kemiskinan tersebut berupa pola nafkah ganda, peranan anggota keluarga (istri dan anak) nelayan, diversifikasi peralatan tangkap, pemanfaatan organisasi produksi, dan pemanfaatan jaringan sosial. Penerapan berbagai srategi tersebut telah membantu para nelayan dalam menghadapi situasi kemiskinan, sehingga mereka tetap bertahan hidup di tengah keadaan yang serba miskin. Wiraswara (2005) melakukan penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi dan pengurangan angka kemiskinan di Indonesia. Penelitian tersebut bertujuan : (1) melihat dampak pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi angka kemiskinan di Indonesia dalam tahun 2002, (2) memberikan gambaran mengenai pengaruh kebijakan pemerintah yang lain dalam mengurangi angka kemiskinan pada tahun 2002, dan (3) membandingkan kondisi kabupaten / kota di Jawa dengan Luar Jawa dilihat dari variabel-variabel yang ada dalam model dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2002, pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Indonesia. Kondisi ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi bukan variabel utama untuk menurunkan angka kemiskinan di Indonesia karena pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini masih bersifat sebagai dorongan investasi (investment driven) dan belum bersifat dorongan inovasi (innovasion driven). Variabelvariabel lain yang berpengaruh terhadap kemiskinan adalah angka melek huruf, keterjangkauan rumahtangga terhadap listrik dan dummy kabupaten / kota di Jawa. 24
Ketiga variabel ini menurut data tahun 2002 memiliki kemampuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Kabupaten / Kota di Jawa menurut hasil penelitian ini tidak lebih baik kondisinya dibanding kabupaten / kota di luar Jawa. Angka kemiskinannya lebih tinggi dari kabupaten / kota di luar jawa dan persentase penduduk yang melek huruf kabupaten / kota di Jawa lebih rendah dari Kabupaten / Kota di Luar Jawa. Kabupaten / Kota di Jawa hanya unggul dalam persentase rumahtangga yang terjangkau listrik. Joshi (2005) 2 melakukan studi mengenai Human Poverty Index (HPI) di India. Hasil studi menunjukkan bahwa secara keseluruhan HPI masyarakat perdesaan di Rajasthan (India) pada tahun 2001 adalah sebesar 55 persen dan terdapat variasi yang nyata terhadap 237 masyarakat panchayat. Indeks tersebut menyebar lebih dari 6 divisi dan 32 distrik. Jika dilihat secara umum, HPI lebih rendah di wilayah Timur Laut dan Rajasthan Pusat, kemudian lebih tinggi di wilayah selatan, barat, dan barat laut Rajasthan. Terdapat 126 (55 persen) masyarakat panchayat yang memiliki HPI di atas rata-rata Negara India. Usman, dkk (2005) dalam studi yang berjudul Analisis Determinan Kemiskinan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal.
Penelitian tersebut
menjelaskan mengenai karakteristik determinan kemiskinan, seperti karakteristik individu, karakteristik rumahtangga, komunitas, dan wilayah dan meregresikan terkait dengan faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan. Data yang digunakan dalam adalah data Survey Sosial Ekonomi Nasional modul kor (Susenas kor)
2
Hemlata Joshi. 2005. Human Poverty Index at panchayat samiti level : Rajasthan (2001) dalam Indian Journal of Regional Science (Vol.37) (No.1) Halaman 47-62. http://www.cababstractsplus.org/google/abstract.asp?AcNo=20053134910.
25
tahun 1999 dan tahun 2002, serta data Potensi Desa (Podes) tahun 2002. Metode analisis yang digunakan antara lain Model Regresi Logit untuk menganalisis tentang variabel-variabel yang berhubungan dengan kemiskinan. Hasil dari penelitian menyimpulkan bahwa variabel yang dapat menambah kemiskinan berturut-turut dari nilai marginal effect terbesar adalah jumlah anggota rumah tangga, kepala keluarga sebagai buruh tani, sumber air yang tidak terlindung, dan kepala keluarga bekerja di bidang pertanian. Variabel yang dapat mengurangi kemiskinan adalah kepala rumah tangga yang bekerja, kepemilikan aset lahan pertanian, dan jumlah tahun bersekolah seluruh anggota keluarga. Secara keseluruhan yang harus menjadi perhatian pemerintah pusat maupun daerah dalam penanggulangan kemiskinan adalah sektor-sektor yang berhubungan dengan sektor pertanian, pendidikan, kesehatan keluarga, kesejahteraan keluarga, dan infrastruktur. Fitrady dan Sukanto Reksohadiprodjo (2004) melakukan analisis yang berbeda. Keduanya melakukan analisis mengenai pola konsentrasi spasial kemiskinan di Jawa dan mengukur kesenjangan di Jawa, serta membandingkan antara kondisi kabupaten dan kota di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Adapun data-data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data utama yang dikeluarkan oleh Indonesia Human Development Report Tahun 2001. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hampir seluruh kabupaten dan kota di Jawa mengalami tingkat kemiskinan yang lebih tinggi pada tahun 1999 dibandingkan tahun 1996 akibat krisisi ekonomi, kecuali Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Blora, Kabupaten Magelang, Kabupaten 26
Sragen, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Rembang. Ada perbedaan ratarata tingkat kemiskinan yang signifikan secara statistik antara tahun 1996 dan tahun 1999, yaitu 17,4 persen pada tahun 1996 dan naik menjadi 24,2 persen pada tahun 1999. Tingkat kemiskinan di Jawa memiliki rentang yang semakin kecil dari tahun 1996 sebesar 60 persen menjadi 53,95 persen tahun 1999. Kesenjangan spasial yang terjadi di Jawa mengalami penurunan dari tahun 1996 ke tahun 1999. Kondisi tersebut terjadi karena banyak daerah yang memiliki tingkat kemiskinan relatif rendah mengalami kenaikan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah dengan tingkat kemiskinan relatif tinggi. Daerah dengan tingkat kemiskinan rendah lebih terpengaruh krisis dibandingkan daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi. 2.2.
Penelitian Terdahulu dengan Analisis Biplot Analisis Biplot merupakan salah satu analisis yang merangkum peubah-
peubah yang begitu banyak ke dalam gambar dua dimensi. Analisis ini sering digunakan dalam penelitian mengenai pemasaran suatu produk, terutama analisis perilaku konsumen terhadap produk tertentu. Bagaimana penilaian konsumen mengenai produk tersebut, sehingga dapat dibandingkan dengan penilaian terhadap produk lain. Perbandingan tersebut menghasilkan kesimpulan mengenai keunggulan dan kelemahan dari produk yang diteliti dibandingkan dengan produk lain. Hal tersebut tentu saja dapat menjadi strategi dalam melakukan pemasaran suatu produk. Tidak hanya itu, analisis Biplot juga dapat digunakan untuk penelitian lainnya, seperti yang dilakukan oleh Akbar (2004) mengenai Deskripsi dan Biplot Mutu Pendidikan SMU Negeri di DKI Jakarta. Penelitian tersebut menggunakan 27
Analisis Deskriptif dan Analisis Biplot untuk mengetahui karakteristik mutu pendidikan SMUN di DKI Jakarta serta hubungannya dengan kualitas lulusan yang dihasilkan. Data yang digunakan berupa data sekunder dari kuesioner nasional tahun 1998 yang dilaksanakan Depertemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Peubah yang digunakan antara lain : jumlah siswa, jumlah guru, jumlah laboratorium, jumlah perpustakaan, jumlah kelas, jumlah ulang, jumlah putus, jumlah lulus, ebtanem, rasio guru per siswa, rasio ulang per siswa, rasio putus per siswa, rasio lulus per siswa, rasio lab per siswa, dan rasio perpus per siswa. Secara umum hasil dari kedua analisis tersebut menyimpulkan bahwa pada SMUN yang berada di Wilayah Jakarta Timur, Selatan dan Barat rata-rata sudah memiliki klasifikasi ebtanem yang baik. Sedangkan SUMN di Wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Pusat masih memiliki klasifikasi sedang. Mutu pendidikan SMUN di Jakarta Utara merupakan yang terburuk dibandingkan wilayah DKI lainnya berdasarkan nilai ebtanem rata-rata. Dwi (2003) melakukan analisis mengenai Product Positioning Teh Poci Bubuk dan Implkasinya Terhadap Strategi Bauran Pemasaran PT Gunung Slamat yang mengambil studi kasus di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Analisis
tersebut bertujuan untuk menggambarkan keragaan pemilihan
teh
bubuk favorit dan proses keputusan pembelian konsumen teh bubuk berdasarkan karakteristik demografi dan positioning teh bubuk produksi PT Gunung Slamat dan beberapa merek pesaingnya.
28
Metode sampling yang digunakan adalah metode convenience sampling dengan jumlah responden sebanyak 100 orang. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan : (1) metode Biplot untuk mengukur positioning produk teh PT Gunung Slamat dan pesaingnya, (2) metode Thurstone untuk mengukur peringkat peringkat kepentingan atribut, dan (3) tabulasi deskriptif untuk melihat keragaman pemilihan teh bubuk berdasarkan demografi responden dan proses keputusan pembelian konsumen. Berdasarkan hasil Analisis Biplot, teh poci dan teh gopek memiliki kemiripan katakteristik sehingga dapat dikatakan bahwa teh gopek adalah pesaing terdekat teh poci. Atribut kesesuaian isi, kekentalan, warna, dan aroma seduhan mempunyai nilai keragaman kecil (homogen) yang artinya keempat atribut tersebut dipandang konsumen memiliki nilai yang hampir sama. Atribut kepopuleran merek berkorelasi tinggi dengan kesesuaian isi, atribut kekentalan berkorelasi tinggi dengan warna dan rasa seduhan, dan atribut desain kemasan berkorelasi negatif dengan kemudahan memperoleh. Atribut yang menjadi keunggulan teh 2 Tang adalah kepopuleran merek dan rasa seduhan yang baik. Teh Tong Tji diposisikan oleh konsumen sebagai teh yang harganya relatif mahal dan desain kemasannya bagus. Teh poci unggul dalam atribut kemudahan memperoleh. Sedangkan teh Gopek dicitrakan sebagai teh yang buruk untuk berbagai atribut.
29
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Kemiskinan Banyak pendapat mengenai konsep, definisi, dan indikator kemiskinan. Salah satu pendapat yang paling umum adalah kurangnya kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan material seperti sandang, pangan, dan papan. Orang miskin dalam pandangan ini adalah mereka yang tinggal dalam kawasan kumuh kota (slum) dan kawasan perdesaan yang terisolir. Pendapat yang lebih luas adalah bahwa kemiskinan bukan hanya faktor material saja, tapi menyangkut pula faktor sikap, budaya, dan lingkungan. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori
per
kapita
per
hari.
Kemiskinan
merupakan
suatu
ketidakcukupan/kekurangan (deprivation) akan aset-aset penting dan peluangpeluang dimana setiap manusia berhak memperolehnya. Jadi, jelasnya, seseorang dapat berfikir tentang kemiskinan dari sudut pendangan non-moneter. Kemiskinan juga berkaitan dengan ”outcome” yang kurang/tidak cukup dalam hubungannya dengan : 1) kesehatan, gizi dan literasi, 2) kurangnya hubungan sosial, 3) kerawanan, dan 4) kepercayaan diri yang rendah dan ketidakberdayaan. Menurut Bank Dunia, kemiskinan merupakan keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1,00 per hari, di negara kategori pendapatan rendah. Sementara di negara maju batas miskin USD 14,00 per hari dan negara pendapatan sedang USD 2,00 per hari. 30
Menurut
Sajogyo
(1986),
untuk
mengukur
kemajuan
atau
mengkategorikan penduduk miskin, tidak cukup hanya menggunakan satu garis kemiskinan saja. Tiga garis yang harus digunakan adalah : melarat (destitute), miskin sekali (very poor) dan miskin (poor). Di desa pada tingkat 180 Kg, 240 Kg dan 320 Kg setara beras per orang per tahun. Untuk di kota, setara 270 Kg, 360 Kg dan 480 Kg per orang per tahun. Kemudian Nasoetion (1996) menyatakan bahwa pada hakekatnya seseorang digolongkan miskin jika “keadaannya menyebabkan dia tidak mampu mentaati tata nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Pandangan tersebut menunjukkan luasnya rentang dimensi dari kemiskinan. Jika ditinjau dari sudut ekonomi, kemiskinan merupakan masalah dengan beberapa alasan, antara lain : 1) kemiskinan merupakan cerminan rendahnya permintaan agregat. Rendahnya permintaan agregat tersebut mengurangi insentif untuk berproduksi, 2) kemiskinan berkaitan dengan rasio kapital/tenaga kerja yang rendah yang selanjutnya menyebabkan produktivitas tenaga kerja rendah, dan 3) kemiskinan menyebabkan misalokasi sumberdaya terutama tenaga kerja. Jika dari sudut sosial, kemiskinan merupakan ciri lemahnya potensi suatu masyarakat untuk berkembang. Kemiskinan juga berhubungan dengan aspirasi yang sempit dan pendeknya horizon waktu wawasan ke depan suatu masyarakat. Kemiskinan pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural atau buatan manusia. Kemiskinan alamiah merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, sehingga peluang produksi relatif kecil. Ciri-ciri dari kemiskinan tersebut adalah teknologi pada umumnya tradisional dan merupakan 31
upaya untuk menyesuaikan dengan lingkungannya, jenis tanaman umumnya sedikit dan tidak didiversifikasikan, sarana transportasi dan komunikasi pada umumnya sangat terbatas, dan tingkat ekonomi pada umumnya rendah dan tidak beragam. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tatanan kelembagaan. 3.1.2. Sebab-Sebab Kemiskinan Persoalan kemiskinan memiliki beberapa akar permasalahan yang harus segera dituntaskan. Jika diilustrasikan, akar permasalahan tersebut sebagai berikut : karena miskin, seseorang memiliki pendapatan yang kecil. Karena pendapatan yang kecil, daya beli informasi dan pengetahuannya pastilah juga kecil. Daya beli informasi dan pengetahuan yang rendah tersebut menyebabkan produktivitas seseorang menjadi kecil. Karena produktivitas yang kecil inilah, seseorang akan kembali miskin. Karena miskin, seseorang pasti hanya
memiliki tabungan yang kecil.
Tabungan yang kecil akan membuat kepemilikan modal seseorang menjadi kecil pula. Kepemilikan modal yang kecil akan mengakibatkan produksinya rendah serta pendapatannya kecil. Karena pendapatannya kecil, ia akan jatuh miskin lagi. Karena miskin, seseorang pasti hanya akan memiliki kemampuan konsumsi yang rendah. Kemampuan konsumsi yang rendah ini akan membuat seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan papan, sandang, dan pangannya secara layak. Hal ini juga akan berdampak pada buruknya status gizi seseorang. Seseorang dengan status gizi yang buruk hanya akan memiliki produktivitas kerja yang buruk pula. Dari rendahnya produktivitas inilah, produksinya juga akan rendah, dan sekali lagi ia akan jatuh miskin. 32
Para ahli ekonomi mengasumsikan masyarakat berkeinginan untuk menghadapi masa depan dengan pendapatan. Masyarakat miskin adalah masyarakat yang tidak bisa merencanakan masa depan. Hal yang sama dapat diaplikasinan dalam bisnis dan pemerintahan. Di negara miskin di mana masyarakat menghabiskan uang mereka untuk konsumsi hari ini dan kebutuhan yang sangat penting yang mengakibatkan nilai tabungan nasional sangat rendah. Rendahnya tabungan tersebut mengakibatkan nilai investasi yang rendah, baik investasi fisik, seperti infrastruktur, maupun investasi sumberdaya manusia. Tanpa adanya investasi, produktifitas ekonomi dan tingkat pendapatan pun akan semakin menurun. Keterkaitan persoalan tersebut yang disebut dengan Lingkaran Kemiskinan. Pendapatan yang rendah
Konsumsi yang rendah Tabungan yang rendah
Produktifitas yang rendah
Investasi yang rendah Gambar 1. Lingkaran Kemiskinan Sumber : World Bank (2000) 3
3
World Bank. 2000. Beyond Economic Growth (Meeting The Challenges of Global Development). www.worldbank.org/depweb.
33
Beberapa faktor yang dinilai sebagai sebab-sebab kemiskinan antara lain : (1) kesempatan kerja di mana seseorang itu miskin karena menganggur, sehingga tidak memperoleh penghasilan atau kalau bekerja tidak penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan maupun tahun, (2) upah gaji di bawah minimum, (3) produktivitas kerja yang rendah, (4) ketiadaan asset, (5) diskriminasi, (6) tekanan harga, dan (7) penjualan tanah (Handayani, 2001). Menurut BPS, faktor-faktor penyebab kemiskinan dapat berupa karakteristik makro, sektor, komunitas, rumahtangga dan individu. Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan "buatan" terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Oleh sebab itu, para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang hanya terfokus pada pertumbuhan daripada pemerataan. Mooney, dkk (2002) menjelaskan keterkaitan antara kemiskinan dengan beberapa aspek, seperti : 1. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu kebijakan yang terbaik dalam menanggulangi kemiskinan. Jika seseorang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, maka peluang dia termasuk ke dalam kategori miskin sangat kecil. 34
2. Jenis Kelamin Perempuan lebih besar peluangnya untuk hidup dalam kemiskinan. Fenomena tersebut sering disebut ” Feminisasi Kemiskinan”. Walaupun memiliki tingkat pendidikan yang sama dengan laki-laki, tetapi tingkat pendapatan yang diterima lebih kecil. 3. Struktur Keluarga Hubungan antara struktur keluarga dan kemiskinan digunakan untuk menjelaskan mengapa perempuan dan anak-anak memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. 4. Etnik Diskriminasi bisa menjadi penyebab kemiskinan. Sebanyak 46 persen kemiskinan di Amerika bukan merupakan orang kulit hitam. Hal tersebut menyebabkan tingkat kemiskinannya sangat tinggi. 5. Partisipasi Angkatan Kerja Kemiskinan disebabkan oleh pengangguran dan ketidakmampuan dalam bekerja. 3.1.3. Pendekatan Teoritis Dalam Identifikasi Kemiskinan 1.
Penentuan Kemiskinan Absolut : Garis Kemiskinan Pengukuran kemiskinan secara absolut dapat dilakukan dengan berbagai
metode, antara lain dengan konsep garis kemiskinan Sayogyo dan konsep garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Pada konsep Sayogyo dinyatakan bahwa untuk perdesaan kelompok masyarakat dikatakan miskin bila pengeluarannya kurang dari 320 Kg per kapita per tahun setara beras : miskin sekali jika pengeluaran tersebut kurang dari 240 Kg per kapita per tahun; dan paling miskin 35
bila kurang dari 180 Kg per kapita per tahun. Sedangkan untuk perkotaan, masing-masing kriteria tersebut memiliki tolak ukur 480, 360, dan 270 Kg per kapita per tahun. 2.
Penentuan Kemiskinan Relatif : Gini Rasio Gini Rasio merupakan salah satu metoda untuk melihat ketidakmerataan
pendapatan. Pengukuran ketidakmerataan pendapatan dapat dibagi atas dua pendekatan, yaitu (a) pengukuran yang dilakukan pada suatu waktu tertentu untuk mengetahui ketimpangan pendapatan antar wilayah dan (b) pengukuran yang bersifat intemporal atau antar waktu. Pengukuran ini bermanfaat untuk melihat ke arah mana terjadinya perubahan distribusi pendapatan pada wilayah tertentu. 3.1.4. Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kesenjangan Pendapatan Korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan tidak berbeda dengan hubungan pertumbuhan dan kesenjangan. Menurut Simon Kuznets (Hipotesis Kuznets), kurva hubungan antara kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita berbentuk U terbalik (Gambar 2). Demikian juga dengan hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari suatu ekonomi perdesaan (rural) ke suatu ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industri. Pada awal proses pembangunan, ketimpangan dalam distribusi pendapatan naik sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi dan pada akhir proses pembangunan ketimpangan menurun, yakni pada sektor industri di daerah perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang datang dari perdesaan atau pada saat pangsa pasar pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan. 36
Tingkat Kesenjangan
Periode Tingkat Pendapatan Per Kapita Gambar 2. Hipotesis Kuznets Sumber : Tambunan, 2003
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Kemiskinan seperti cerita klasik yang tetap ada hingga saat ini. Berbagai
upaya menanggulangi kemiskinan telah dilakukan baik oleh pemerintah, swasta, masyarakat bahkan keterlibatan negara (donor) asing, akan tetapi tetap saja kemiskinan ini terjadi. Walaupun kemiskinan dari sisi waktu berfluktuasi namun yang nyata adalah sangat rentan terhadap gejolak ekonomi makro, goncangan politik, dan sosial lainnya. Walaupun jumlah penduduk miskin di suatu waktu menurun dengan kata lain berhasil memutus lingkaran kemiskinan pada sebagian orang, tetapi bisa jadi itu hanya dalam beberapa saat saja dan akan kembali miskin bila goncangan terjadi. Hal itulah yang terjadi di beberapa daerah termasuk di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk yang cukup besar. Jika dilihat dari nilai indeksnya, pencapaian angka IPM Kabupaten Bogor relatif terus membaik. Pada tahun 2003 angka IPM Kabupaten Bogor mencapai 67,81 dan kemudian naik 0,29 poin pada 37
tahun 2004 menjadi 68,10. Pada tahun 2005, IPM tersebut sebesar 68,99 atau naik 0,89 poin dibandingkan tahun 2004. Menurut BPS Kabupaten Bogor, kenaikan tersebut kemungkinan disebabkan karena sudah semakin terwujudnya optimalisasi dan sinergitas pola dan sasaran pembangunan manusia yang dikembangkan pemerintah dan masyarakat di Kabupaten Bogor selama ini. Berdasarkan pembagian wilayah pembangunan, Bogor Tengah memiliki kualitas penduduk yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan dua wilayah lainnya. Hal tersebut dapat terlihat dari IPM sebesar 71,45 atau lebih besar dibandingkan dengan Wilayah Bogor Barat 67,41 dan Bogor Timur sebesar 67,29. Perbedaan tersebut terjadi karena pada umumnya Wilayah Bogor Tengah didominasi oleh kecamatan-kecamatan perkotaan, seperti Kecamatan Cibinong, Kecamatan Dramaga, Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojonggede, dan Kecamatan Citeureup, sedangkan Bogor Barat dan Bogor Timur termasuk wilayah perdesaan. Namun, IPM yang besar belum tentu menghilangkan rumahtangga yang termasuk ke dalam kategori miskin. Perlu adanya survei dalam melihat tingkat kemiskinan tersebut yang salah satunya dengan menggunakan SUSDA (Survei Sosial Ekonomi Daerah) Kabupaten Bogor Tahun 2006. Hal tersebutlah yang menjadi alasan mengapa penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Data SUSDA Tahun 2006 Kabupaten Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penyebaran karakteristik kemiskinan di Kabupaten Bogor dengan melihat besaran koefisien keragaman tiap indikator dan menganalisis perbandingan karakteristik kemiskinan wilayah kecamatan di Bogor Barat, Bogor Tengah dan Bogor Timur berdasarkan variabel38
variabel atau indikator-indikator kemiskinan menurut BPS dengan Analisis Biplot. Analisis tersebut juga melihat indikator apa yang paling dominan atau memiliki persentase terbesar di wilayah kecamatan tersebut. Tujuan ketiga yaitu menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor diukur dengan jumlah penduduk miskin. Variabel dependen tersebut diregresikan menggunakan Analisis Regresi Linier Berganda dengan variabel-variabel yang terkait dengan aspek alamiah, ekonomi, dan sosial. Variabel-variabel tersebut antara lain : jumlah penduduk yang termasuk ke dalam kategori miskin, jumlah pasar, produksi padi sawah per kapita, jumlah pengangguran, kepadatan penduduk, tingkat partisipasi SLTA, dan jumlah penduduk yang bermigrasi. Dari hasil analisis ketiganya didapat langkah-langkah sebagai implikasi kebijakan yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan kemiskinan, terutama di Kabupaten Bogor. Langkah-langkah tersebut diharapkan mampu menjadi masukan bagi pemerintah Kabupaten Bogor khususnya dalam pembuatan kebijakan
yang
terkait
dengan
tingkat
kemiskinan
terutama
dengan
memperhatikan perbaikan dalam indikator dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor .
39
3.3.
Hipotesis Hipotesis yang dapat diduga dalam penelitian ini antara lain :
1. Berdasarkan karakteristik wilayah, penyebaran indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor tidak merata. 2. Berdasarkan tingkat IPM, Wilayah Bogor Tengah memiliki karakteristik yang lebih maju sehingga keragaman dari variabel-variabel atau indikator kemiskinan tersebut sangat kecil dibandingkan Wilayah Bogor Barat dan Bogor Timur. 3. Faktor-faktor
yang
diduga
meningkatkan
jumlah
penduduk
miskin
(berpengaruh positif) di Kabupaten Bogor antara lain : kepadatan penduduk dan tingkat pengangguran. Tingkat partisipasi SLTA, jumlah sarana pasar, migrasi penduduk keluar dan produksi padi sawah per kapita diduga dapat menurunkan tingkat kemiskinan (berpengaruh negatif).
40
Tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor
Indikator kemiskinan (14 Variabel)
Aspek-aspek penyebab kemiskinan Ekonomi
Sosial
Alamiah
Tiga Wilayah Pengembangan Analisis Regresi Linier Berganda Analisis Biplot
Koefisien Keragaman
Penyebaran indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bogor Implikasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor Masukan bagi pemerintah dalam pembuatan kebijakan
Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
27
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bogor yang meliputi 37
kecamatan. Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) dengan beberapa pertimbangan. Pertimbangan pertama, bahwa Wilayah Kabupaten Bogor merupakan wilayah yang cukup maju jika dibandingkan wilayah kabupaten lain di Jawa Barat karena merupakan salah satu penyangga dari Ibu Kota Jakarta, namun masih memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Pertimbangan kedua adalah terkait dengan ketersediaan data untuk melakukan Analisis Biplot dalam penggambaran karakteristik kemiskinan di wilayah kecamatan. Penelitian ini dilakukan selama empat bulan mulai Januari-April 2008.
4.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data
sekunder tersebut adalah data Sensus Daerah (SUSDA) Tahun 2006 Kabupaten Bogor yaitu F2 yang berisi tentang indikator-indikator kemiskinan. Jumlah rumahtangga sebanyak 411.570 setelah dilakukan proses clearing data. Sebelumnya data awal yang didapat sebanyak 855.773 rumahtangga. Digunakan pula Kabupaten Bogor dalam angka tahun 2006, meliputi kepadatan penduduk per kecamatan, jumlah pasar, dan produksi padi sawah, serta data-data dari berbagai dinas terkait dengan data-data jumlah pengangguran, jumlah penduduk yang bermigrasi, dan tingkat partisipasi SLTA.
28
Dalam data SUSDA Tahun 2006 hanya tersedia 37 Kecamatan, padahal seharusnya jumlah kecamatan yang ada sebanyak 40. Kecamatan-kecamatan yang tidak ada antara lain : Kecamatan Ciawi, Kecamatan Klapanunggal, dan Kecamatan Tenjolaya. Hal tersebut disebabkan belum adanya kelengkapan dalam survei. Data tersebut diperkirakan lengkap pada akhir tahun 2008. Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Jenis Analisis Jenis Data Kemiskinan di Data Sekunder Indonesia
Variabel Sumber Data Batas Miskin, BPS Persentase, dan Jumlah Penduduk Miskin
Kemiskinan di Jawa Data Sekunder Barat
Persentase jumlah BPS penduduk miskin di Perkotaan dan Perdesaan
Gambaran Umum Data Sekunder Kabupaten Bogor
IPM (Indeks BPS dan Bappeda Pembangunan Kabupaten Bogor Manusia), SUSDA 2006 Kabupaten Bogor, jumlah Penduduk Miskin Per Kecamatan, Data-data Kecamatan, seperti kepadatan penduduk, jumlah pengangguran, dan lain-lain.
4.3.
Penentuan Rumahtangga Miskin di Kabupaten Bogor Proses penentuan rumahtangga miskin di Kabupaten Bogor dalam
penelitian ini dilakukan dengan mengkategorikan penduduk berdasarkan indikator-indikator kemiskinan dari BPS. Indikator-indikator tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Semua indikator menunjukkan kriteria rumahtangga miskin.
29
Proses awal yang dilakukan terhadap data SUSDA Tahun 2006 adalah pengkategorian rumahtangga mana yang termasuk miskin di masing-masing kecamatan. Menurut BPS, suatu rumahtangga dapat dikatakan miskin jika memenuhi minimal 9 dari 14 indikator yang ditetapkan. 4.4.
Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis
Keragaman, Analisis Biplot dan Analisis Regresi Linier Berganda. Adapun software yang digunakan dalam proses pengolahan data adalah SAS 6.12 dan Minitab 14. 4.4.1. Analisis Keragaman Koefisien keragaman atau Coefficient of Variance (CV)
sering juga
disebut keragaman relatif terhadap besaran data. Jadi, koefisien keragaman merupakan perbandingan antara standar deviasi dengan rataan datanya (Prayitno, 1996). Perbandingan tersebut dapat dilihat dari rumus di bawah ini :
CV =
σ −
Y keterangan : CV = coefficient of variance (koefisien keragaman)
σ −
Y
= standar deviasi dari indikator = nilai rata-rata dari indikator
Kriteria nilai CV = 0 sampai 1 dengan ketentuan sebagai berikut : CV = 0,5 - 1 : tidak merata sempurna CV = 0,3 - 0,5 : tidak merata CV = < 0,3 : merata CV = 0 : merata sempurna Koefisien keragaman digunakan untuk mendeteksi apakah data menyebar secara merata atau tidak. Dalam penelitian ini, koefisien tersebut digunakan untuk melihat apakah tiap indikator kemiskinan menyebar secara merata atau tidak. Jika 30
indikator menyebar secara merata, maka indikator tersebut dapat menjadi indikator utama dalam mengukur kemiskinan di Kabupaten Bogor. Keragaman tersebut dilihat pada tingkat rumahtangga di masing-masing kecamatan dan Kabupaten Bogor. Adapun indikator-indikator kemiskinan yang dianalisis keragamannya antara lain: X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14
= persentase RT yang memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal < 8 m2 per orang = persentase RT yang memiliki jenis lantai bangunan tempat tinggal berupa tanah = persentase RT yang memiliki jenis dinding bangunan tempat tinggal berupa bambu = persentase RT yang memiliki sumber air minum berasal dari sumur tidak terlindungi = persentase RT yang memiliki fasilitas buang air besar bersama-sama. = persentase RT yang menggunakan bahan bakar untuk memasak seharihari berupa kayu bakar = persentase RT yang memiliki sumber penerangan berasal dari petromak = persentase RT yang tidak memiliki aset senilai minimal Rp 500.000,= persentase RT yang makan dalam sehari sebanyak satu kali = persentase RT yang tidak pernah membeli pakaian baru dalam setahun = persentase RT yang tidak pernah membeli daging/ayam/susu dalam seminggu = persentase RT yang tidak mampu membayar untuk berobat ke Puskesmas /Poliklinik = persentase KK yang tidak pernah sekolah = persentase Kepala RT yang memiliki lapangan pekerjaan utama di bidang pertanian
4.4.2. Metode Biplot Metode Biplot digunakan untuk menganalisis posisi relatif dari kecamatan-kecamatan
di
Kabupaten
Bogor
menurut
indikator-indikator
kemiskinan. Kecamatan-kecamatan yang berada dalam Kabupaten Bogor berfungsi sebagai objek pengamatan, sedangkan 14 variabel indikator kemiskinan berfungsi sebagai peubah. Beberapa indikator kemiskinan yang dipilih dalam
31
analisis ini merupakan indikator yang paling buruk dari setiap variabel. Pemilihan tersebut melihat keseluruhan indikator yang dikeluarkan oleh BPS pada Lampiran 1. Jika semua indikator digunakan, maka hasil gambar biplot yang didapat akan sulit diinterpretasikan. Sebelum diplotkan dalam grafik dua dimensi, data SUSDA terlebih dahulu dipilih. Proses pemilihan dilakukan dengan menggunakan Excel. Data yang dipilih adalah data yang lengkap semua, artinya pertanyaan yang terkait dengan 14 indikator tersebut terisi. Jumlah rumahtangga per kecamatan sebagian besarnya berubah menjadi ± 50 persen dari data awal, seperti Kecamatan Nanggung. Pada data awal yang didapat, jumlah rumahtangganya sebanyak 1728, kemudian berubah setelah pemilihan data menjadi 817 rumahtangga. Hasil pemilihan dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah itu, dilakukan proses perhitungan untuk mendapatkan angka persentase dari masing-masing indikator yang dipilih, misalnya berapa persentase jumlah rumah tangga yang memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal < 8 m2. Data persentase tersebut disajikan dalam bentuk tabel dengan kolom-kolom yang berisi indikator - indikator kemiskinan. Baris diisi dengan objek pengamatan yaitu kecamatan-kecamatan yang berada di Kabupaten Bogor dengan membaginya menjadi tiga kelompok, yaitu Bogor Barat, Bogor Timur, dan Bogor Tengah. Hasil persentase tersebut kemudian diolah dengan menggunakan software SAS 6.12. Adapun tabel penyajiannya sebagai berikut :
32
Tabel 6. Penyajian Data Analisis Biplot KECAMATAN A
X1
X2
….
X14
B …. Dari tampilan Biplot yang didapat dapat terlihat : 1. Informasi
mengenai
kecamatan
mana
yang
memiliki
kemiripan
karakteristik dengan kecamatan lain. 2. Informasi mengenai variabel atau indikator kemiskinan yang nilainya hampir sama semuanya untuk setiap kecamatan, atau sebaliknya bahwa nilai dari setiap kecamatan ada yang sangat besar dan ada juga yang sangat kecil. Dengan adanya informasi tersebut, dapat diperkirakan pada variabel mana strategi tertentu dalam mengatasi kemiskinan dapat dilaksanakan. Hal tersebut terlihat dari panjang dan pendeknya vektor. 3. Hubungan antara variabel atau indikator-indikator kemiskinan artinya bagaimana indikator-indikator tersebut saling mempengaruhi. Korelasi tersebut dapat dilihat dari besar kecilnya sudut antara kedua indikator. 4. Informasi mengenai karakteristik kecamatan artinya kecamatan mana yang memiliki keunggulan dalam hal kemajuan daerahnya dengan melihat besar atau kecilnya indikator-indikator kemiskinan tersebut di kecamatan dibandingkan dengan kecamatan lain. Hal tersebut dapat terlihat pada vektor yang mengarah ke kecamatan.
33
Berikut merupakan proses pengolahan data : Pengumpulan data
Pemilihan data (Lampiran 2) Pengkategorian rumahtangga miskin Persentase data (Lampiran 3) Analisis Keragaman
Analisis Biplot
Gambar 4. Proses Pengolahan Data SUSDA Tahun 2006 4.4.3. Metode Regresi Linear Berganda Model Regresi Linier Berganda digunakan untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bogor. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah : PMi = α + β1PGRNi + β2KPDTi + β3MGRSi + β4PRDKSi + β5PSLTAi+ β6PSRi+εi Keterangan : PMi = jumlah penduduk miskin di kecamatan i (persen) = jumlah pengangguran di kecamatan i (persen) PGRNi PDKTi = kepadatan penduduk di kecamatan i (jiwa/km2) = jumlah penduduk yang bermigrasi keluar di kecamatan i (persen) MGRSi PRDKSi = jumlah produksi padi sawah per kapita di kecamatan i (ton/jiwa) PSLTAi = tingkat partisipasi SLTA di kecamatan i (persen) PSRi = jumlah sarana pasar di kecamatan i (unit) εi = residual β1 dan β2 > 0 ; β3, β4, β5, dan β6 < 0 Variabel-variabel tersebut dibagi ke dalam tiga aspek, yaitu : 1. Sosial : Pendidikan (tingkat partisipasi SLTA), Kependudukan (kepadatan penduduk,
34
migrasi, dan jumlah pengangguran), 2. Ekonomi (jumlah pasar), dan 3. Alamiah (produksi padi sawah per kapita). Variabel-variabel yang digunakan, dipilih berdasarkan literatur, teori yang didapat, dan ketersediaan data per kecamatan. Sumber Data diperoleh dari BPS Pusat, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Bogor, serta Bappeda Kabupaten Bogor. Hasil regresi yang didapat diuji dengan beberapa metode, antara lain : 1. Uji Ekonomi, 2. Uji Statistik (uji t, uji F, dan R2), dan 3. Uji Ekonometrika (normalitas, heteroskedastisitas, dan multikollinearitas). 1) Uji –t Uji-t digunakan untuk melihat keabsahan dari hipotesis yang telah disebutkan sebelumnya dan membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara statistik bersifat signifikan atau tidak. Melalui uji ini akan diuji apakah koefisien regresi satu persatu secara statistik signifikan atau tidak. Nilai t statistik adalah : Λ
tj =
β
j
Λ
S
...............................................................................................4.1
j
(
2⎤ ⎡ 1 ' = ∑ e j ⎢N −k ⎥ X X i ⎣ ⎦ N = jumlah observasi K = jumlah variabel bebas
dimana :
S
)
1 jj
Jika nilai t hitung lebih kecil dari nilai t tabel atau P-value lebih besar dari α tertentu, maka hipotesis nol bahwa βj = 0 diterima. Namun, jika nilai tj lebih besar dari nilai t tabel atau P-value lebih kecil dari α yang telah ditentukan, maka hipotesis nol ditolak.
35
2) Uji-F Uji-F digunakan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh koefisien regresi juga signifikan dalam menentukan nilai dari dependent variabel. Untuk uji F hipotesis yang diuji adalah : H0 : β1 = β2 = β3 = ...= βk = 0 H1 : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ ... ≠βk ≠ 0 Jika seluruh nilai sebenarnya dari parameter regresi sama dengan nol, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang linier antara variabel dependent dengan variabel-variabel bebas (independen). Untuk mengujinya dapat digunakan F statistik dengan formula sebagai berikut :
R2 F=
(k − 1)
1 − R2
...............................................................................................4.2
N −k
Jika nilai F statistik lebih kecil dari nilai F tabel, maka hipotesis nol diterima. Namun jika nilai F statistik lebih besar dari nilai F tabel, maka hipotesis nol ditolak. 3) Uji Koefisien Determinasi (R2) Uji keragaman digunakan untuk melihat sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Uji ini juga digunakan untuk melihat seberapa kuat variabel yang dimasukkan ke dalam model dapat menerangkan model. Secara verbal, R2 merupakan besaran yang paling sering digunakan untuk mengukur goodness of fit garis regresi. 4) Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Salah satu cara
36
untuk melakukan uji ini adalah dengan analisis grafik. Cara ini merupakan cara termudah dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi normal. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Namun jika data menyebar dari diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. Normalitas tersebut dapat dilihat juga dari nilai probability. Jika P-value > 0,05, maka residualnya menyebar normal. 5) Uji Multikollinieritas Multikolinieritas adalah situasi adanya korelasi variabel-variabel bebas di antara satu dengan yang lainnya. Jika terdapat korelasi sempurna di antara sesama variabel bebas ini sama dengan satu, maka konsekuensinya adalah koefisienkoefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir, nilai standar error setiap koefisien regresi menjadi tidak terhingga. Untuk mendeteksi multikolinieritas dapat dilihat dengan menghitung koefisien korelasi parsial,sedangkan untuk melihat variabel eksogen mana yang saling berkorelasi dilakukan dengan meregresi tiap variabel eksogen dengan sisa variabel eksogen yang lain dan menghitung nilai R2 yang cocok. Gejala ini juga dapat dideteksi dengan melihat nilai VIF-nya. Jika nilai VIF-nya di atas 10, maka terjadi multikolinieritas.
37
Konsekuensi yang terjadi jika suatu model terdapat gejala multikollinier adalah : 1. Kesalahan standar akan semakin besar dengan meningkatnya tingkat korelasi antar variabel, akibatnya selang kepercayaan untuk parameter populasi cenderung lebih besar pula. 2. Data sampel mungkin sesuai dengan sekelompok hipotesis yang berbeda, jadi probabilitas untuk menerima hipotesis yang salah meningkat. 3. Penaksiran koefisien regresi akan sangat sensitif terhadap sedikit perubahan dalam data. 4. Jika multikolinier tinggi, R2 yang didapat mungkin tinggi, tetapi tidak satupun koefisien yang diduga berpengaruh nyata. 6) Heteroskedastisitas Gejala heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan melihat dari plot grafik hubungan antara residual dengan fits-nya. Jika pada gambar ternyata residual menyebar atau tidak membentuk pola tertentu, maka dapat dikatakan bahwa dalam model tersebut tidak terdapat gejala heteroskedastisitas atau ragam error sama. 4.5. Definisi Operasional - Penduduk miskin adalah penduduk yang memenuhi kriteria kemiskinan minimal 9 dari 14 kriteria. - Indikator kemiskinan adalah petunjuk yang memberikan indikasi tentang suatu keadaan kemiskinan atau suatu alat pengukur perubahan dari kemiskinan. - Luas lantai bangunan tempat tinggal < 8m2 adalah rumahtangga yang memiliki luas lantai bangunan < 8 m2 per orang. Misalnya, suatu rumahtangga memiliki
38
anggota rumahtangga sebanyak 3 orang. Rumahtangga tersebut dapat dikatakan miskin jika memiliki luas lantai < 24 m2. - Jenis lantai bangunan tempat tinggal adalah rumahtangga dikatakan miskin jika memiliki jenis lantai dari tanah, bambu, atau kayu murahan. - Jenis dinding bangunan tempat tinggal adalah runahtangga dikatakan miskin jika memiliki dinding bangunan dari bambu, rumbia, kayu berkualitas rendah, atau tembok tanpa diplester. - Fasilitas tempat buang air besar adalah rumahtangga dikatakan miskin jika tidak punya atau menggunakan fasilitas tersebut bersama-sama dengan rumahtangga lain. - Sumber penerangan rumahtangga adalah rumahtangga dikatakan miskin jika memiliki sumber penerangan bukan listrik, seperti petromak. - Sumber air minum adalah rumahtangga dikatakan miskin jika memiliki sumber air minum dari sumur atau mata air tidak terlindungi, sungai, serta air hujan. - Bahan bakar untuk masak sehari-hari adalah rumahtangga dikatakan miskin jika menggunakan kayu bakar, arang, atau minyak tanah untuk masak seharihari. - Konsumsi daging/ayam/susu adalah rumahtangga dikatakan miskin jika tidak pernah mengkonsumsi atau hanya satu kali dalam seminggu. - Pembelian pakaian baru dalam setahun adalah rumahtangga dikatakan miskin jika tidak pernah atau hanya membeli satu stel dalam setahun. - Frekuensi makan dalam sehari adalah rumahtangga dikatakan miskin jika hanya satu kali atau dua kali makan dalam sehari.
39
- Kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik adalah rumahtangga dikatakan miskin jika tidak mampu membayar untuk berobat. - Lapangan pekerjaan utama kepala rumahtangga adalah rumahtangga dikatakan miskin jika kepala rumahtangga bekerja di bidang pertanian, bekerja sebagai petani dengan luas lahan 0,5 h, sebagai buruh tani, nelayan, buruhbangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan. - Pendidikan tertinggi kepala rumahtangga adalah rumahtangga dikatakan miskin jika kepala rumahtangga tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, atau hanya SD. - Kepemilikan aset atau tabungan adalah rumahtangga dikatakan miskin jika tidak punya tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000, seperti sepeda motor, televisi, emas, dan kulkas. - Angka kapadatan penduduk adalah perbandingan antara jumlah penduduk dan luas wilayah dalam Km2. - Angka partisipasi murni SLTA adalah proporsi penduduk usia 16-18 tahun yang sedang bersekolah di SLTA. - Angka pengangguran terbuka adalah perbandingan penduduk yang mencari kerja terhadap angkatan kerja. - Produksi padi sawah per kapita adalah perbandingan antara produksi padi sawah dengan jumlah penduduk. - Migrasi Penduduk adalah jumlah penduduk yang bermigrasi keluar daerah. - Sarana Pasar adalah jumlah pasar tradisional di daerah tertentu.
40
BAB V GAMBARAN UMUM KEMISKINAN KABUPATEN BOGOR Informasi mengenai jumlah dan karakteristik penduduk miskin sangat diperlukan dalam upaya penanggulangan kemiskinan di suatu wilayah. Karakteristik tersebut dapat menjadi sumber informasi terkait dengan kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah. Kondisi kemiskinan pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Bogor dapat dilihat dari perhitungan dan penyebaran 14 indikator kemiskinan, yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber air minum, penggunaan fasilitas buang air besar, jenis bahan bakar untuk masak sehari-hari, sumber penerangan rumah tangga, kepemilikan aset minimal senilai Rp 500.000,-, frekuensi makan dalam sehari, pembelian pakaian baru dalam setahun, pembelian daging/ayam/susu dalam seminggu, kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, dan bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga. 5.1.
Penduduk Miskin di Kabupaten Bogor Berdasarkan hasil pengolahan data SUSDA Tahun 2006, jumlah rumah
tangga miskin (RTM) di Kabupaten Bogor sebanyak 54575 Kepala Keluarga (KK). Jumlah terbesar berada pada Kecamatan Jonggol sebanyak 3955 KK dan terkecil sebanyak 120 KK di Kecamatan Gunungputri. Jika dilihat menurut komposisinya per kecamatan, persentase jumlah rumah tangga miskin terbesar terdapat pada Kecamatan Sukamakmur dengan 69,9 persen dan terkecil pada Kecamatan Bojonggede dengan 1,3 persen. Penyebaran tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.
41
Hasil yang hampir sama didapat pada jumlah penduduk miskin. Jumlah terbesar terdapat pada Kecamatan Pamijahan sebesar 15742 jiwa dan terkecil pada Kecamatan Gunungputri 455 jiwa. Berdasarkan persentase, jumlah terbesar terdapat pada Kecamatan Sukamakmur sebesar 71,54 persen dan terkecil pada Kecamatan Bojonggede sebesar 1,28 persen. 5.2.
Karakteristik Penduduk Miskin di Kabupaten Bogor Jika dilihat pada Lampiran 3, karakteristik penduduk miskin dapat dilihat
dari beberapa aspek, antara lain : aspek sosial, kondisi tempat tinggal, ekonomi, kesejahteraan, dan ketenagakerjaan. Aspek-aspek tersebut antara lain : 1.
Karakteristik Sosial
Pendidikan Tertinggi Kepala Rumah Tangga Rata-rata kepala rumah tangga di Kabupaten Bogor berpendidikan tertinggi Sekoleh Dasar. Rata-rata persentasenya sebesar 55,43 persen. Sementara itu, rata-rata persentase kepala rumah tangga yang tidak pernah sekolah adalah 6,62 persen. 2. Karakteristik Tempat Tinggal Luas Lantai Tempat Tinggal < 8 m2 per orang Jumlah rumahtangga terbesar yang memiliki luas lantai tempat tinggal < 8m2 terdapat pada Kecamatan Leuwisadeng dengan persentase sebesar 31,4 persen. Sedangkan terendah adalah pada Kecamatan Cariu sebesar 9,1 persen.
Jenis lantai bangunan Rata-rata penduduk di Kabupaten Bogor menggunakan keramik untuk lantai tempat tinggal. Penggunaan kayu/papan terbesar adalah pada Kecamatan Sukamakmur sebesar 36,5 persen dari total jumlah penduduknya dan terendah
42
pada Kecamatan Bojonggede dan Kecamatan Ciampea sebesar 0,2 persen. Untuk penggunaan tanah, terbesar pada Kecamatan Cariu yaitu 14,2 persen dan terendah Kecamatan Megamendung sebesar satu persen. Jenis Dinding Bangunan Kebanyakan rumahtangga di Kabupaten Bogor sudah menggunakan tembok sebagai dinding tempat tinggal. Untuk karakteristik kemiskinan pada masing-masing kecamatan dapat ditunjukkan dengan penggunaan bambu sebagai dinding
tempat
tinggal.
Persentase
terbesar
terdapat
pada
Kecamatan
Sukamakmur sebesar 54,1 persen dan terendah pada Kecamatan Cibinong sebesar 1,6 persen. Sumber Air Minum Sumber air minum terbesar di Kabupaten Bogor berasal dari sumur terlindungi dengan rata-rata sebesar 53,43 persen. Sementara itu, karakteristik kemiskinan dalam indikator ini dapat ditunjukkan melalui mata air tidak terlindungi. Penyebaran untuk indikator tersebut terbesar adalah pada Kecamatan Nanggung sebesar 33,9 persen dan terendah pada Kecamatan Parung dan Cileungsi sebesar 0,1 persen. Berdasarkan hasil sensus Bappeda, besarnya proporsi penduduk miskin yang mengkonsumsi air minum kurang sehat diakibatkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat dan rendahnya kemampuan ekonomi untuk mengakses air minum sehat. Fasilitas Buang Air Besar Rata-rata masyarakat di Kabupaten Bogor menggunakan fasilitas buang air bersih miliki sendiri dengan rata-rata persetase tiap kecamatan sebesar 53,95
43
persen. Penggunaan sungai memiliki rata-rata terbesar kedua sebesar 16,77 persen. Bahan Bakar Masak Sehari-hari Jika dilihat dari rata-rata persentase terbesar, kebanyakan rumah tangga di Kabupaten Bogor menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk masak sehari-hari. Persentase terbesar untuk penggunaan bahan bakar ini terdapat pada Kecamatan Ciampea sebesar 80,3 persen dan terendah pada Kecamatan Sukamakmur sebesar 11,1 persen. Sementara itu, untuk penggunaan kayu bakar terbesar adalah pada Kecamatan Sukamakmur dengan persentase sebesar 86,9 persen dari total penduduk di kecamatan tersebut. Hal tersebut sangat sesuai dengan jumlah penduduk miskin terbesar adalah pada Kecamatan tersebut. Sumber Penerangan Sumber penerangan terbesar di tiap kecamatan di Kabupaten Bogor adalah berasal dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sementara itu, penggunaan petromak masih ada di tiap kecamatan walaupun dengan jumlah yang sangat kecil. Persentase tertinggi untuk penggunaan petromak adalah pada Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Tanjungsari masing-masing sebesar 0,9 persen.
3.
Karakteristik Ekonomi
Kepemilikan Aset
44
Kepemilikan aset terbesar di Kabupaten Bogor adalah aset berupa TV berwarna. Hal tersebut karena saat ini TV sudah tidak menjadi barang mewah lagi bagi masyarakat. Adapun rata-rata kepemilikan aset tersebut adalah 65,71 persen. Persentase tertinggi adalah pada Kecamatan Gunungputri sebesar 90,5 persen dan terendah pada Kecamatan Sukamakmur. Pembelian Pakaian Pada umumnya masyarakat di Kabupaten Bogor hanya mampu membeli satu stel pakaian dalam setahun dengan rata-rata persentase sebesar 50,96 persen. 4.
Karakteristik Kesejahteraan Karakteristik ini dapat dilihat dari frekwensi makan dalam sehari,
pembelian daging/ayam/susu dalam satu minggu, dan kemampuan berobat. Frekuensi Makan (kali/hari) Pada umumnya masyarakat di Kabupaten Bogor memiliki frekwensi makan lebih dari dua kali dalam satu hari. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan makan masyarakat sudah terpenuhi. Kemudahan akses bahan pangan menjadi salah satu penyebabnya. Pembelian daging/ayam/susu Untuk indikator ini, pada umumnya masyarakat di Kabupaten Bogor tidak mampu untuk membeli daging/ayam/susu dalam satu minggu. Persentase tertinggi adalah pada Kecamatan Nanggung, yaitu 71,7 persen dan terendah pada Kecamatan Gunungputri sebesar 22,3 persen
Kemampuan Berobat
45
Jika dilihat dari persentase, ternyata masyarakat di Kabupaten Bogor mampu berobat ke puskesmas atau poliklinik. Hal ini tentu saja tidak menjadi kekhawatiran bagi pemerintah karena pembangunan sarana kesehatan sudah dilakukan hingga ke daerah-daerah yang terpencil dan didukung dengan biaya berobat yang murah. 5.
Karakteristik Ketenagakerjaan Bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga terbesar di Kabupaten Bogor
adalah pertanian dengan rata-rata persentase sebesar 19,72 persen. Kemudian perdagangan, hotel, dan restoran dengan rata-rata persentase sebesar 19,28 persen. 5.3.
Kependudukan Besarnya jumlah penduduk tersebut akan membawa implikasi tertentu,
terutama terhadap persebaran dan kepadatannya. Pada tahun 2006 kecamatan yang mempunyai kepadatan penduduk berkisar di atas 2.000 jiwa/km2 sebanyak 20 kecamatan, yaitu : Kecamatan Leuwisadeng, Cibungbulang, Ciampea, Tenjolaya,
Dramaga,
Ciomas,
Tamansari,
Cijeruk,
Cigombong,
Ciawi,
Megamendung, Sukaraja, Cileungsi, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong, Bojonggede, Tajurhalang, Rancabungur, dan Ciseeng. Salah satu upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengurangi tingginya kepadatan penduduk dan tingkat persebarannya adalah melalui program transmigrasi, baik transmigrasi umum, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), dan Non PIR. Pada tahun 2006 telah diberangkatkan ± 45 Kepala Keluarga atau kira-kira 134 jiwa. Jika dilihat dari struktur penduduk, Kabupaten Bogor mempunyai struktur penduduk umur muda. Struktur tersebut akan berdampak terhadap semakin
46
besarnya jumlah angkatan kerja. Tahun 2005 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Bogor yang merupakan perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan penduduk berumur 10 tahun lebih, sebesar 54,85 persen. Adapun jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 1.012.906 orang untuk laki-laki, 376.724 orang untuk perempuan dan 1.389.630 orang untuk total Kabupaten Bogor. Tahun 2006, angkatan kerja di Kabupaten Bogor terdiri atas 916.679 orang bekerja dan 320.932 orang sisanya merupakan penganggur. Berdasarkan data SUSDA Tahun 2006, kecamatan yang jumlah penduduknya menganggur paling banyak adalah Kecamatan Cibinong yaitu sejumlah 16.699 jiwa, kemudian Kecamatan Bojong Gede sebanyak 14.573 jiwa, dan Kecamatan
Sukaraja 13.385 jiwa. Sementara kecamatan Tanjungsari
merupakan kecamatan dengan jumlah penganggur terendah yaitu sebesar 3071 jiwa, kemudian Kecamatan Sukamakmur sejumlah 3.239 jiwa, dan Kecamatan Cariu sejumlah 3553 penganggur. Meskipun demikian apabila ditinjau dari segi persentase, Kecamatan Jasinga memiliki persentase jumlah penganggur terbesar yaitu 32,4 persen (9889 jiwa), diikuti Kecamatan Cisarua (31,5 persen atau 10992 jiwa), Megamendung (31,2 persen atau 9348 jiwa), dan Nanggung (31 persen atau 5374 jiwa). Sedangkan Kecamatan Gunung Putri memiliki persentase jumlah penganggur terkecil yaitu 15,6 persen (4287 jiwa), diikuti Kecamatan Cileungsi (19,2 persen atau 10025 jiwa), dan Kecamatan Tanjungsari (19,5 persen atau 3071 jiwa). Keberhasilan setiap kecamatan dalam penanganan pengangguran dapat dilihat dari besarnya persentase pengangguran di kecamatan masing-masing. 5.4.
Sosial
47
Peningkatan sumberdaya manusia sangat perlu untuk meningkatkan kualitas manusia dalam menghadapi tantangan kehidupan di masa yang akan datang. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Bogor merupakan salah satu wujud nyata dalam bidang pendidikan. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2006 jumlah SD Negeri sebanyak 1.558 dengan jumlah guru 10.940 orang, dan SD Swasta berjumlah 80 dengan jumlah guru 1.031 orang. Sementara itu, SLTP Negeri berjumlah 59 dengan jumlah guru 2.552 orang dan SLTP Swasta ada 234 dengan jumlah guru 3.464 orang. Untuk jenjang SLTA ada 32 SLTA Negeri dengan jumlah guru 823 orang dan SLTA Swasta berjumlah 99 dengan jumlah guru 1.276 orang. Struktur penduduk menurut pendidikan berdasarkan hasil Sensus Daerah Tahun 2006 adalah sebagai berikut : 1. Jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta aksara di Kabupaten Bogor adalah sebanyak 100.194 jiwa. 2. Angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS) mencapai 6,9 tahun, berarti secara rata-rata penduduk Kabupaten Bogor telah tamat SD dan baru memasuki jenjang SMP, tetapi belum mencapai Wajib Pendidikan Dasar 9 tahun. Rendahnya RLS tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat partisipasi sekolah masyarakat setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hal ini ditunjukkan dengan Angka Partisipasi Murni (APM). 3. Angka Patisipasi Murni (APM) belum merata di setiap kecamatan. SD/MI rata-rata baru mencapai 98,31 persen, SMP/MTS 69,78 persen, dan SMA/SMK/MA 29,82 persen, sehingga belum semua penduduk usia wajib sekolah dapat mengikuti pendidikan formal sebagaimana ketentuan yang
48
berlaku. APM terendah untuk SD/MI terdapat pada Kecamatan Tanjungsari, Tenjolaya, dan Rumpin. APM SMP/MTS terendah terdapat pada
Kecamatan
SMA/sederajat
Sukamakmur,
terendah
terdapat
Sukaraja, pada
dan
Cigudeg.
Kecamatan
APM
Leuwisadeng,
Sukamakmur, dan Tenjolaya. 5.5.
Pertanian Sektor pertanian mencakup tanaman pangan, perikanan, perkebunan,
peternakan, dan kehutanan. Luas lahan yang digunakan untuk sawah tahun 2006 seluas 48.425 ha dan lahan kering seluas 251.565 ha. Produksi padi sawah tahun 2006 sebanyak 401.066 ton dan padi gogo/ladang 9.742 ton.
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1.
Penyebaran Indikator Kemiskinan di Kabupaten Bogor Penyebaran indikator kemiskinan sangat penting untuk dianalisis karena
dengan penyebaran tersebut dapat diketahui indikator mana yang dapat dijadikan indikator utama dalam mengukur kemiskinan. Indikator yang tidak menyebar secara merata dapat menunjukkan adanya kesenjangan pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Bogor.
49
Berdasarkan hasil analisis koefisien keragaman terlihat bahwa indikator yang menyebar secara merata di tiap kecamatan di Kabupaten Bogor antara lain : akses terhadap sumber air minum, penggunaan selain gas dalam masak seharihari, daya beli terhadap daging/ayam/susu, dan pendidikan kepala rumahtangga yang rendah. Nilai koefisien keragaman untuk indikator-indikator tersebut di bawah 0,3. Indikator-indikator tersebut dapat menjadi indikator utama dalam mengukur kemiskinan di Kabupaten Bogor. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat miskin di Kabupaten Bogor menggunakan sumber mata air yang tidak terlindungi untuk mencari air minum, menggunakan selain gas untuk masak sehari-hari, tidak pernah membeli daging/ayam/susu dalam seminggu, dan berpendidikan rendah. Hasil perhitungan koefisien keragaman tiap indikator kemiskinan dapat dilihat pada Lampiran 4. 6.2.
Pemetaan Penyebaran Kemiskinan di Kabupaten Bogor Pemetaan penyebaran karakteristik suatu wilayah berdasarkan indikator
kemiskinan sangat penting untuk keefektifan dalam pembuatan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Melalui pemetaan, pemerintah dapat melakukan identifikasi terhadap daerah miskin dengan mengetahui karakteristik wilayah berdasarkan indikator-indikator yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik. Pemetaan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan Analisis Biplot. Dalam analisis tersebut diperoleh gambaran tentang objek antara lain kedekatan antar objek, gambaran tentang peubah, keragaman maupun korelasi dan keterkaitan antara objek dengan beberapa atribut indikator kemiskinan. Matrik rataan data merupakan matrik yang berisi rataan dari setiap peubah pada setiap objek. Namun dalam analisis kemiskinan ini digunakan persentase
50
dari setiap indikator di tiap objek kecamatan. Sebagai objek adalah kecamatan – kecamatan di Wilayah Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur dengan 14 peubah yaitu indikator-indikator kemiskinan. Besarnya informasi yang terkandung dalam Biplot dapat dilihat dari nilai keragamannya. Dua nilai singular pertama pada output Biplot menunjukkan keragaman yang diterangkan oleh sumbu utama X (dimension 1) serta sumbu utama Y (dimension 2). Angka-angka yang tertera pada sumbu dua dimensi merupakan angka skala koordinat indikator dan kecamatan-kecamatan yang menjadi obyek penelitian. Berdasarkan hasil Analisis Biplot, untuk Wilayah Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur mampu memberikan informasi yang cukup karena nilai dimension yang diperoleh lebih dari 70 persen yaitu 89,2 persen untuk Bogor Barat, 88,7 persen untuk Bogor Tengah, dan 96,1 persen untuk Bogor Timur (terlihat pada Gambar 5, 6, dan 7).
Hal ini berarti keragaman data dapat
dijelaskan oleh indikator-indikator tersebut.
6.2.1. Pemetaan Penyebaran Kemiskinan di Wilayah Bogor Barat Penyebaran indikator kemiskinan di Wilayah Bogor Barat memiliki pola yang tidak merata hampir di setiap kecamatan. Tidak semua indikator kemiskinan tersebut mengarah pada satu kecamatan. Hal tersebut terlihat pada Gambar 5. Pada gambar tersebut beberapa hal yang dapat diinformasikan antara lain : 1.
Kedekatan antar kecamatan Informasi ini bisa dijadikan panduan kecamatan mana yang memiliki
kemiripan karakteristik rumahtangga miskin dengan kecamatan tertentu. Dua
51
objek atau lebih dengan karakteristik yang sama digambarkan dengan dua titik atau lebih yang posisinya berdekatan. Hasil analisis tersebut menunjukkan terdapat dua kelompok kecamatan yang memiliki karakteristik yang sama, yaitu kelompok 1 : Kecamatan Leuwisadeng (C) dengan Kecamatan Rumpin (G) dalam indikator X2 (jenis lantai tanah) dan kelompok 2, yaitu Kecamatan Jasinga (J) dengan Kecamatan Tenjo (K) dalam indikator X3 (jenis dinding bambu). Kecamatan-kecamatan
lain
menyebar,
yaitu
Kecamatan
Nanggung
(A),
Kecamatan Leuwiliang (B), Kecamatan Pamijahan (D), Kecamatan Cibungbulang (E), Kecamatan Ciampea (F), Kecamatan Cigudeg (H), Kecamatan Sukajaya (I), dan Kecamatan Parungpanjang (L). Hasil tersebut sesuai dengan kenyataan. Jika dilihat dari keadaan geografis dan dominasi pemanfaatan lahan, misalnya Kecamatan Leuwisadeng dan Kecamatan Rumpin memiliki kemiripan sebagai daerah pertanian. Kemiripan geografis dapat menjadi penyebab kemiripan antar kecamatan berdasarkan indikator kemiskinan.
2.
Keragaman indikator Informasi ini untuk melihat apakah ada indikator tertentu yang nilainya
hampir sama untuk semua kecamatan, atau sebaliknya bahwa nilai dari setiap kecamatan ada yang sangat besar dan ada juga yang sangat kecil. Dalam Analisis Biplot, indikator dengan keragaman kecil digambarkan sebagai vektor yang pendek, sedangkan indikator yang ragamnya besar digambarkan sebagai vektor yang panjang.
52
Dalam Gambar 5 dapat terlihat
bahwa indikator X1 (luas lantai), X2
(tanah), X4 (sumur tidak terlindung), X5 (kepemilikan fasilitas buang air besar), X7 (petromak), X9 (frekuensi makan), dan X10 (pembelian pakaian) memiliki vektor yang pendek, artinya indikator-indikator tersebut memiliki ragam yang kecil dan memiliki nilai yang hampir sama untuk semua kecamatan di Wilayah Bogor Barat. Indikator X6 (kayu bakar) dan X14 (pertanian) memiliki keragaman yang sangat tinggi, artinya nilai untuk indikator-indikator tersebut ada yang sangat besar di beberapa kecamatan.
53
Gambar 5. Analisis Biplot Wilayah Bogor Barat Berdasarkan 14 Indikator Kemiskinan
54
Di Kecamatan Nanggung jumlah rumahtangga yang menggunakan kayu bakar untuk masak sehari-hari sebesar 81,4 persen, sedangkan di Kecamatan Ciampea sebesar 13,2 persen. Hal ini tentu saja menunjukkan keragaman yang tinggi juga. Begitu juga dengan bidang pekerjaan utama kepala rumahtangga. Di Kecamatan Nanggung, sebesar 53,7 persen kepala rumahtangga bekerja di bidang pertanian. Beda dengan Kecamatan Parungpanjang yang hanya 8 persen dari total kepala rumahtangganya. Nilai penyebaran tersebut dapat terlihat pada tabel di bawah ini : Tabel 7. Nilai Penyebaran Indikator Kayu Bakar dan Pertanian di Wilayah Bogor Barat (persen) Kecamatan Kayu bakar Pertanian Nanggung 81,4 53,7 Leuwiliang 48,1 21,3 Leuwisadeng 50,0 15,2 Pamijahan 52,0 26,0 Cibungbulang 22,1 16,0 Ciampea 13,2 9,3 Rumpin 51,2 23,1 Cigudeg 61,3 27,2 Sukajaya 86,3 43,6 Jasinga 68,3 25,3 Tenjo 61,9 20,3 Parungpanjang 33,0 8,0 Sumber : SUSDA, 2006 3.
Hubungan (korelasi) antar indikator kemiskinan Informasi ini dapat digunakan untuk menilai bagaimana indikator yang
satu mempengaruhi atau dipengaruhi oleh indikator yang lain. Dua indikator yang mempunyai korelasi positif akan digambarkan sebagai dua buah garis dengan arah yang sama dan membentuk sudut sempit (< 90o ). Sementara itu, dua peubah yang memiliki korelasi negatif tinggi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah yang berlawanan dan membentuk sudut tumpul (> 90o). 55
Dalam Gambar 5 terlihat indikator-indikator yang memiliki korelasi yang paling tinggi dilihat dari sudutnya adalah indikator X3 (bambu) dengan X10 (pembelian pakaian). Korelasi tersebut berarti rumah tangga yang memiliki tembok tempat tinggal dari bambu pada umumnya tidak pernah membeli pakaian baru dalam satu tahun. Pendapatan yang mereka dapat terlebih dahulu digunakan untuk keperluan sehari-hari. Sementara itu, untuk indikator-indikator yang memiliki korelasi negatif tidak terdapat pada Wilayah Bogor Barat. 4.
Nilai peubah pada suatu kecamatan Informasi ini digunakan untuk melihat karakteristik dari setiap kecamatan.
Suatu kecamatan yang terletak searah dengan arah vektor suatu indikator, berarti kecamatan tersebut memiliki nilai persentase yang tinggi untuk indikator tersebut. Sebaliknya, jika kecamatan tersebut berlawanan arah dengan arah vektor suatu indikator, maka kecamatan tersebut memiliki nilai yang rendah atau di bawah rata-rata persentase untuk indikator tersebut. Kecamatan yang hampir ada di tengah-tengah memiliki nilai dekat dengan rata-rata persentase. Indikator X6 (kayu bakar) memiliki arah yang sama dengan Kecamatan Sukajaya (I), artinya jika dibandingkan dengan kecamatan lain, kebanyakan rumahtangga di kecamatan tersebut masih menggunakan kayu bakar untuk masak sehari-hari. Hal ini terlihat pada Tabel 7. Di kecamatan ini sebanyak 86,3 persen rumahtangganya masih menggunakan kayu bakar untuk masak sehari-hari. Sementara itu, indikator X14 (pertanian) bernilai besar di Kecamatan Nangggung (A) yaitu 53,7 persen, artinya mayoritas kepala rumahtangga di kecamatan tersebut memiliki pekerjaan utama di bidang pertanian.
56
Nilai indikator tersebut juga dapat menunjukkan kecamatan-kecamatan yang memiliki tingkat kemiskinan yang paling rendah. Dari gambar terlihat Kecamatan Ciampea (F), Kecamatan Cibungbulang (E), dan Kecamatan Parungpanjang (L) memiliki tingkat kemiskinan yang paling rendah berdasarkan 14 indikator yang paling terburuk. Hal tersebut karena jarak ketiga kecamatan tersebut tidak jauh dari perkotaan, sehingga memudahkan masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap apapun. 6.2.2.Pemetaan Penyebaran Kemiskinan di Wilayah Bogor Tengah Seperti pada penjelasan sebelumnya, pada Gambar 6 di Wilayah Bogor Tengah kecamatan-kecamatan yang memiliki karakteristik rumahtangga miskin hampir sama terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu kelompok 1 : Kecamatan Ciomas (B), Kecamatan Cibinong (L), dan Kecamatan Bojonggede (M), kelompok 2 : Kecamatan Dramaga (A), Kecamatan Cisarua (G), dan Kecamatan Kemang (O), kelompok 3 : Kecamatan Cigombong (E), Kecamatan Caringin (F), dan Kecamatan Megamendung (H), dan kelompok 4 : Kecamatan Citeureup (K), Kecamatan Tajurhalang (N), dan Kecamatan Parung (Q). Kecamatan-kecamatan lain menyebar. Untuk Kecamatan Cigombong, Kecamatan Caringin, dan Kecamatan Megamendung memililiki kemiripan dalam indikator X8 (kepemilikan aset senilai minimal Rp 500.000), sedangkan kecamatan lain memiliki kemiripan di luar 14 indikator kemiskinan yang digunakan. Untuk keragaman, indikator X6 (kayu bakar) dan X12 (kemampuan berobat) memiliki keragaman yang tinggi. Keragaman tersebut dapat dilihat dari perbedaan nilai tiap kecamatan yang disajikan pada Tabel 9. Di Kecamatan Ciomas sebanyak 2,9 persen rumahtangganya masih menggunakan kayu bakar
57
untuk masak sehari-hari, sedangkan di Kecamatan Cijeruk sebanyak 38,8 persen. Perbedaan yang sangat besar inilah yang menunjukkan keragaman tinggi. Tabel 8. Nilai Penyebaran Indikator Kayu Bakar dan Kemampuan Berobat di Wilayah Bogor Tengah (persen) Kecamatan Dramaga Ciomas Taman Sari Cijeruk Cigombong Caringin Cisarua Megamendung Sukaraja Babakanmadang Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunung Sindur Sumber : SUSDA, 2006
Kayu Bakar 19,3 2,9 22,4 38,8 27,2 27,0 14,9 27,8 7,1 33,7 9,7 3,5 3,3 12,3 15,0 37,2 9,9 36,4 23,4
Kemampuan Berobat 5,8 4,5 6,7 11,0 9,8 11,9 10,0 12,9 6,2 14,6 6,9 4,1 4,2 5,7 9,2 78,0 6,7 9,5 6,7
Tingginya keragaman juga dapat terlihat pada Gambar 6. Keragaman yang tinggi ditunjukkan oleh panjangnya vektor atau indikator. Indikator X6 dan X12 memiliki vektor yang panjang. Ragam yang tinggi menunjukkan bahwa indikator kemiskinan yang paling menentukan besarnya tingkat kemiskinan di Wilayah Bogor Tengah adalah indikator-indikator tersebut. Indikator-indikator tersebut dapat dijadikan sasaran utama dalam penanggulangan kemiskinan. Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa hampir semua indikator memiliki korelasi yang positif terhadap indikator lain. Korelasi positif yang paling besar ditunjukkan oleh indikator X2 (tanah) dengan X4 (sumur tidak terlindung). Hal ini
58
berarti rumahtangga yang memiliki tempat tinggal dengan lantai dari tanah, pada umumnya menggunakan air dari sumur tidak terlindung untuk minum. Kondisi daerah tempat tinggal mereka yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan sumber air minum yang sehat. Korelasi yang negatif tidak ditunjukkan oleh indikator-indikator yang lain. Hal ini berarti perubahan satu indikator akan berdampak pada perubahan indikator lain dengan arah yang sama. Nilai peubah yang tinggi terlihat pada Kecamatan Cijeruk (D) dan Kecamatan Ciseeng dengan indikator X8 (kepemilikan aset), artinya di kedua kecamatan tersebut mayoritas rumahtangga tidak memiliki aset dengan nilai minimal Rp 500.000,-. Kecamatan Rancabungur (P) dengan indikator X12 (kemampuan berobat), artinya kebanyakan rumahtangga di kecamatan tersebut tidak mampu berobat ke puskesmas atau poliklinik jika sakit. Kecamatan Babakanmadang dengan indikator X11(pembelian daging/ayam/susu) dan X14 (pertanian). Pada kecamatan tersebut, kebanyakan rumahtangganya tidak pernah membeli daging/ayam/susu dalam satu minggu dan kepala rumahtangganya memiliki bidang pekerjaan utama di pertanian.
59
Gambar 6. Analisis Biplot Wilayah Bogor Tengah Berdasarkan 14 Indikator Kemiskinan
60
Berdasarkan nilai indikator tersebut, kecamatan-kecamatan yang memiliki tingkat kemiskinan terendah antara lain : Kecamatan Ciomas (B), Kecamatan Cibinong (L), dan Kecamatan Bojonggede. Hal ini disebabkan kecamatankecamatan tersebut termasuk ke dalam kecamatan yang bersifat perkotaan, sehingga kemajuan wilayahnya juga lebih tinggi. 6.2.3.Pemetaan Penyebaran Kemiskinan di Wilayah Bogor Timur Berbeda dengan wilayah lainnya, Wilayah Bogor Timur memiliki karakteristik yang berbeda hampir di semua kecamatan. Berdasarkan indikator kemiskinan, hanya terdapat satu kelompok kecamatan yang hampir mirip, yaitu Kecamatan Cileungsi (E) dan Kecamatan Gunung Putri (F), sedangkan kecamatan yang lain menyebar dengan karakteristik yang berbeda. Hal tersebut terlihat pada Gambar 7. Kemiripan tersebut di luar 14 indikator kemiskinan yang digunakan. Hasil penggambaran dengan Analisis Biplot menunjukkan indikator yang memiliki keragaman yang tertinggi adalah X6 (kayu bakar), yaitu penggunaan kayu bakar untuk masak sehari-hari dan X14, yaitu bidang pekerjaan utama di pertanian, sedangkan keragaman yang rendah ditunjukkan oleh indikator X9 (frekwensi makan) dan X10 (frekwensi pembelian pakaian baru) dengan vektor yang pendek. Vektor yang pendek menunjukkan persentase indikator tersebut yang sama di tiap kecamatan. Sementara itu, korelasi antar indikator menunjukkan korelasi yang positif, misalnya saja korelasi antara indikator X4 (sumur tidak terlindung) dengan X10 (pembelian pakaian) yang membentuk sudut lancip (<90o). Ini berarti kecamatan yang rumahtangganya meminum air dari sumur tidak terlindung, pada umumnya juga tidak mampu membeli pakaian baru dalam satu tahun.
61
Gambar 7. Analisis Biplot Wilayah Bogor Timur Berdasarkan 14 Indikator Kemiskinan
62
Nilai indikator yang tinggi dapat menunjukkan tingkat kemiskinan yang tinggi pula. Hal tersebut terlihat pada Kecamatan Sukamakmur (A) dan Kecamatan Cariu (B). Nilai indikator pada masing-masing kecamatan sangat tinggi. Terlihat dari vektor indikator
yang
mengarah
kepada
masing-masing
kecamatan.
Kecamatan
Sukamakmur (A) memiliki nilai indikator X14, yaitu pekerjaan utama di bidang pertanian yang tinggi, artinya mayoritas kepala keluarga di kecamatan tersebut memiliki pekerjaan utama di bidang pertanian. Kecamatan Cariu (B) memiliki indikator terbesar yaitu X11 (pembelian daging/ayam/susu), artinya mayoritas rumah penduduk di kecamatan tersebut tidak pernah membeli daging/ayam/susu dalam satu minggu. Sementara itu, tingkat kemiskinan yang rendah terdapat di Kecamatan Cileungsi (E) dan Kecamatan Gunung Putri (F). Tingginya keragaman indikator X6 dan X14 dan besarnya nilai indikator di suatu kecamatan juga dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 9. Nilai Penyebaran Indikator Kayu Bakar dan Pertanian di Wilayah Bogor Timur (persen) Kecamatan Kayu Bakar Pertanian Sukamakmur 86,9 69,2 Cariu 60,2 51,6 Tanjungsari 65,8 20,3 Jonggol 41,1 32,0 Cileungsi 10,8 7,1 Gunung Putri 3,7 4,6 Sumber : SUSDA, 2006 Di Kecamatan Gunung Putri sebanyak 3,7 persen rumahtangganya masih menggunakan kayu bakar untuk masak sehari-hari, sedangkan di Kecamatan Sukamakmur sebanyak 86,9 persen. Sementara itu, untuk pertanian, di Kecamatan Gunung Putri sebanyak 4,6 persen kepala rumahtangganya bekerja di bidang
63
pertanian, sedangkan jumlah yang besar ditunjukka oleh Kecamatan Sukamakmur dengan 69,2 persen. Perbedaan yang sangat tinggi inilah yang menunjukkan tingginya keragaman penyebaran indikator tersebut. Jika dilihat dari ketiga gambar di atas, ternyata tidak terdapat perbedaan pola penyebaran indikator kemiskinan antar wilayah. Keragaman indikator menyebar mengarah kepada beberapa kecamatan. Indikator yang memiliki keragaman paling besar di ketiga wilayah tersebut hampir sama, yaitu X14 (pekerjaan utama kepala rumah tangga petani) dan X6 (penggunaan kayu bakar untuk masak sehari-hari). Keragaman ini pada umumnya didominasi oleh kecamatan-kecamatan yang termasuk daerah pertanian dan jauh dari perkotaan. Perbedaan justru terlihat dari posisi relatif masing-masing kecamatan. Kecamatan-kecamatan di Wilayah Bogor Tengah memiliki kemiripan atau kesamaan dalam karakteristik kemiskinan yang hampir sama. Sedangkan kedua wilayah lainnya menyebar. 6.3.
Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten Bogor Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan, perlu
dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi dari metode pendugaan, yaitu uji normalitas, uji heteroskedastisitas dan multikollinearitas. Sebelum semua uji tersebut dilakukan, dipilih dulu model terbaik yang dapat menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bogor dengan ketersediaan data yang ada dan kesesuaian dengan teori. Model yang dipilih dalam analisis ini adalah model dengan 6 variabel sebagai variabel independen, yaitu tingkat pengangguran, kepadatan penduduk, partisipasi 64
SLTA, sarana pasar, produksi padi sawah per kapita, dan jumlah penduduk yang bermigrasi. Tingkat kemiskinan (jumlah penduduk miskin) sebagai variabel dependen. Model tersebut dipilih karena memiliki nilai R2 yang lebih baik dibandingkan dengan model dugaan yang lain (lampiran 6) dan jumlah variabel yang signifikan. R2 yang didapat sebesar 0,722 atau 72,2 persen, artinya sebanyak 72,2 persen variasi tingkat kemiskinan dapat dijelaskan dengan variabel-variabel tersebut dan sisanya 27,8 persen djelaskan dengan variabel lain. F-hitung yang didapat adalah sebesar 12,52 dengan probability sebesar 0,000 < 0,05, artinya secara bersama-sama variabel-variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan pada selang kepercayaan 95 persen. Untuk menguji asumsi normalitas error term dilakukan dengan menggunakan Normal Probability Plot. Hasilnya menunjukkan bahwa P-value sebesar >0,15 yang menunjukkan bahwa error term menyebar normal. Sementara itu, untuk menguji asumsi heteroskedastisitas dengan Grafik Pola. Dari hasil grafik menunjukkan bahwa variance error bersifat konstan, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam model tersebut tidak ada heteroskedastisitas. Uji multikollinearitas yang dilakukan terhadap model yang diduga dengan melihat variance inflation factor (VIF). Hasil VIF menunjukkan bahwa semua variabel memiliki nilai VIF < 10 dan tidak menunjukkan adanya gejala multikolinearitas. Sebelum melihat hasil dari uji statistik, dilakukan terlebih dahulu dilakukan uji apriori atau uji ekonomi yaitu bagaimana menganalisis suatu model menurut pemahaman dan teori yang ada tentang benar atau tidaknya suatu tanda yang didapat 65
dari proses pengolahan data regresi. Berdasarkan uji tersebut, produksi padi sawah per kapita memiliki tanda yang berbeda dengan pemahaman dan hipotesis yang ada. Hasil proses menunjukkan bahwa koefisien produksi padi sawah per kapita bertanda positif. Berdasarkan hasil proses pengolahan pada Tabel 11, dari enam variabel independen yang dimasukkan ke dalam model, tiga variabel yang signifikan pada selang kepercayaan 95 persen, yaitu produksi padi sawah per kapita, jumlah sarana pasar, dan jumlah penduduk yang bermigrasi keluar. Tabel 10. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten Bogor Variabel
Koefisien Probability(P-Value) Konstanta 26,730 0,019 Pengangguran -0,137 0,754 Kepadatan penduduk -0,004 0,103 Produksi padi sawah per kapita 16,256 0,000* Partisipasi SLTA 0,016 0,839 Sarana pasar -7,624 0,010* Migrasi keluar -9,640 0,007* 2 R 0,722 F-statistik 12,97 0,000 Keterangan : *) berpengaruh pada taraf nyata lima persen
Penjelasan masing-masing variabel adalah sebagai berikut : 1.
Tingkat Pengangguran Variabel ini tidak berpengaruh nyata pada taraf lima persen terhadap tingkat
kemiskinan di Kabupaten Bogor dengan nilai probability sebesar 0,754. Hal ini
66
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2007) mengenai tingkat kemiskinan di Jawa Barat dengan menggunakan jumlah pengangguran sebagai variabel independennya. Variabel ini tidak berpengaruh karena kebanyakan pengangguran di Kabupaten Bogor beralasan merasa tidak mungkin mendapatkan kerja dan merasa sudah cukup. Merasa cukup menunjukkan bahwa masyarakat sudah dapat memenuhi kebutuhan, terutama kebutuhan pangan, sehingga mereka tidak dapat dikatakan miskin. Jadi, selama masyarakat masih dapat memenuhi kebutuhannya walaupun menganggur, maka tingkat pengangguran tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Bogor. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan tentang pengangguran oleh Bappeda Kabupaten Bogor. 2.
Kepadatan Penduduk Variabel ini tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten
Bogor pada taraf nyata lima persen dengan nilai probability sebesar 0,103 atau lebih besar dari 0,05. Hasil tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2001) di Pulau Jawa mengenai adanya korelasi yang positif antara kepadatan penduduk dan tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Semakin tinggi jumlah penduduk per km2 atau per hektar, semakin sempit ladang untuk bertani atau lokasi untuk membangun pabrik atau melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya, semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan, yang berarti juga semakin besar persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Kepadatan penduduk sudah tidak menjadi permasalahan lagi di Kabupaten Bogor karena pemerintah telah melaksanakan program transmigrasi, baik transmigrasi umum, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), dan Non PIR. Pada Tahun 2005 67
diberangkatkan lebih dari 80 Kepala Keluarga atau 792 jiwa, sehingga pada Tahun 2006 tingkat kepadatannya tidak terlalu tinggi. 3.
Produksi Padi Sawah per Kapita Variabel ini berpengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan pada taraf nyata
lima persen dengan nilai probability sebesar 0,000 atau lebih kecil dari 0,05. Koefisien yang didapat bernilai 16,25 atau 16,3, artinya jika produksi padi sawah per kapita meningkat sebesar satu ton/jiwa, maka tingkat kemiskinan akan meningkat sebesar 16,3 persen. Hal tersebut berbeda dengan konsep kerawanan pangan. Jika produksi padi sawah meningkat, maka persediaan pangan di suatu wilayah akan meningkat pula, sehingga penduduk pun akan mudah dalam mengakses pangan, tanpa mencari ke daerah lain yang jaraknya jauh. Pengaruh positif tersebut disebabkan masalah penggunaan lahan untuk kegiatan ekonomi yang menguntungkan di daerah tersebut . Hal ini dapat menjadi penyebab adanya perbedaan tingkat kemiskinan dengan daerah yang memanfaatkan lahannya untuk kegiatan pertanian atau antara perkotaan dengan perdesaan. Komoditas yang bernilai ekonomi tinggi juga dapat menjadi penyebab lainnya. Jika masyarakat tidak menanam komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, sudah pasti pendapatan akan berkurang karena kesulitan dalam menjual hasil produksinya. 4.
Partisipasi SLTA Persentase partisipasi ini tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan
di Kabupaten Bogor pada taraf nyata lima persen. Nilai Probability yang didapat adalah sebesar 0,84 atau lebih besar dari 0,05. Padahal pendidikan merupakan salah 68
satu upaya untuk mengatasi kemiskinan. Dengan pendidikan yang layak, seseorang diharapkan dapat memperoleh penghasilan tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya lebih baik, sehingga lingkaran setan kemiskinan pun akan terputus. Tidak berpengaruhnya faktor ini karena pendidikan yang tinggi saat ini tidak bisa dilihat dari persentase partisipasi masyarakat yang masuk ke SLTA, tapi ditunjukkan oleh faktor lain, seperti ketersediaan fasilitas sekolah. Kualitas pengajar juga dapat menjadi faktor lain yang dapat menyebabkan meningkatnya kualitas pendidikan. 5.
Sarana Pasar Variabel ini berpengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten
Bogor dengan nilai probability sebesar 0,01. Koefisien yang didapat sebesar -7,62, artinya jika jumlah sarana pasar meningkat sebanyak satu unit, maka tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar 7,62 persen. Jika jumlah sarana pasar meningkat, maka penduduk akan mudah dalam mengakses kebutuhan sehari-hari dan juga mudah dalam melakukan aktivitas penjualan lainnya, seperti menjual hasil produksi padi. Hal ini tentu saja akan meningkatkan pendapatan mereka. Peningkatan jumlah sarana pasar menunjukkan tingkat aglomerasi yang cukup tinggi. Aglomerasi yang tinggi akan mengakibatkan peningkatan aktivitas ekonomi di suatu daerah. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat berupa kegiatan penjualan dan pembelian barang atau jasa. Ketika aktivitas ekonomi di suatu daerah semakin meningkat, maka tingkat kemiskinan akan menurun. 69
6.
Migrasi Keluar Jumlah penduduk yang bermigrasi ternyata berpengaruh terhadap tingkat
kemiskinan di Kabupaten Bogor. Hal tersebut dapat dilihat pada nilai probability sebesar 0,007 atau lebih kecil dari 0,05 dengan nilai koefisien sebesar -9,64. Nilai koefisien tersebut berarti jika jumlah penduduk yang bermigasi meningkat sebanyak satu jiwa, maka tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar 9,64 persen. Semakin banyak penduduk yang bermigrasi keluar, mengakibatkan semakin rendah tingkat kepadatan penduduk di daerah asal. Hal ini tentu saja memberikan peluang bagi masyarakat yang masih tinggal untuk melakukan kegiatan yang menguntungkan. Tidak berpengaruhnya sebagian dari variabel yang diduga juga disebabkan oleh pengaruh yang tidak langsung dari variabel-variabel tersebut. Pada umumnya variabel-variabel
yang
digunakan
bukan merupakan
variabel-variabel
akar
permasalahan dari kemiskinan di suatu wilayah. Kesulitan dalam pencarian data yang menjadi penyebab tidak digunakannya variabel-variabel yang menjadi akar permasalahan kemiskinan. Adapun contoh faktor-faktor yang menjadi akar penyebab timbulnya antara lain : lunturnya nilai-nilai universal kemanusiaan atau aspek moral (jujur, adil, ikhlas/kerelawanan), pudarnya prinsip-prinsip kemasyarakatan atau aspek good governance (partisipasi, demokrasi, transparansi, akuntabilitas), dan lainnya. Faktorfaktor tersebut merupakan hasil dari penelitian Direktorat Jenderar Ciptakarya terkait dengan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).
70
6.3.
Implikasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bogor Berbagai program telah dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga-
lembaga lain untuk menanggulangi kemiskinan. Namun jumlah penduduk miskin di berbagai tempat masih banyak. Program-program tersebut dinilai kurang efektif dan efisien oleh masyarakat. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan pembangunan harus diupayakan agar setiap program dan kegiatan yang akan dilaksanakan saling terkait satu sama lain, serta harus mampu memanfaatkan dana secara efisien dengan mengutamakan secara orientasi setiap kegiatan kepada pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Beberapa kelemahan dalam pelaksanaan program yang diidentifikasi berdasarkan kajian oleh Bappeda Kabupaten Bogor antara lain : secara internal pemerintah daerah melalui instansi pelaksana masih memandang program penanggulangan kemiskinan sebagai sebuah proyek dan dilihat hanya dari sudut pandang ekonomi, masyarakat diposisikan sebagai obyek dan penerima pasif dari program, dan koordinasi antar instansi/dinas sektoral masih rendah dalam merencanakan, melaksanakan, dan memelihara program-program pembangunan. Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kebupaten/kota, maupun tingkat komunitas. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa indikator-indikator yang memiliki nilai koefisien keragaman kurang dari 0,3 dapat menunjukkan kondisi
71
kemiskinan di Kabupaten Bogor, yaitu ketidakmampuan membeli pakaian baru dalam setahun, ketidakmampuan membeli daging/ayam/susu dalam seminggu. Indikator penggunaan kayu bakar dan pekerjaan utama di bidang pertanian yang memiliki keragaman tinggi di ketiga wilayah pengembangan di Kabupaten Bogor. Sementara itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah jumlah sarana pasar, jumlah penduduk yang bermigrasi keluar, dan produksi padi sawah per kapita. Hasil tersebut dapat menjadi acuan mengenai program apa yang menjadi perhatian khusus dalam upaya mengurangi sekaligus menanggulangi kemiskinan. Dari ketiga hasil tersebut, langkah-langkah yang menjadi prioritas dan dapat dilakukan sebagai bentuk kebijakan dalam mengurangi kemiskinan di Kabupaten Bogor antara lain : 1. Peningkatan pembangunan perdesaan Hal ini terkait dengan kemudahan masyarakat dalam menjual hasil produksinya dan pengembangan komoditas unggulan. Aplikasi dari langkah ini antara lain penelitian untuk mendapatkan komoditas ungggulan, pembuatan atau perbaikan jembatan antar kampung / lingkungan, jalan desa dan infrastruktur lainnya, seperti sarana pasar, puskesmas atau poliklinik, dan sekolah terutama di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan. 2. Pemberdayaan masyarakat dengan program transmigrasi Hal ini terkait dengan hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bogor yaitu kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk dapat diatasi pada tahun 2005 dengan program transmigrasi. Program ini harus terus dilakukan selama kepadatan penduduk di Kabupaten 72
Bogor
dirasakan
terlalu
tinggi
yang
menimbulkan
permasalahan-
permasalahan baru, seperti berkurangnya lahan pertanian atau usaha lainnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pelibatan masyarakat terutama dalam mengelola sumberdaya di masing-masing daerah dengan perjanjian bagi hasil. Hal ini diharapkan mengurangi aktifitas penebangan hutan atau pembukaan lahan baru secara berlebihan.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1.
Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Kemiskinan ternyata lebih tinggi di perdesaan (contoh Kecamatan Sukamamur) dibandingkan di perkotaan (contoh Kecamatan Bojonggede, Kecamatan Cibinong, dan Kecamatan Ciomas)
73
2. Indikator-indikator kemiskinan di Kabupaten Bogor ternyata tidak semua menyebar merata. Indikator yang menyebar merata adalah akses terhadap sumber air minum, penggunaan selain gas untuk masak sehari-hari, daya beli daging/ayam/susu dalam seminggu, dan pendidikan kepala rumahtangga yang rendah. 3. Penyebaran indikator kemiskinan di tiga wilayah pengembangan memiliki pola yang sama. Hal tersebut terlihat dari indikator-indikator yang memiliki keragaman tinggi, yaitu penggunaan kayu bakar untuk masak sehari-hari, ketidakmampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, dan pekerjaan utama kepala keluarga di bidang pertanian. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Bogor adalah produksi padi sawah per kapita yang berpengaruh positif. Jumlah sarana pasar dan migrasi penduduk berpengaruh negatif dan nyata terhadap tingkat kemiskinan.
7.2.
Saran Berdasarkan hasil, pembahasan, dan kesimpulan yang didapat, maka saran
yang dapat diajukan oleh penelitian ini antara lain : 1. Dalam upaya pengurangan sekaligus penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor, pemerintah perlu melakukan pengembangan komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, selain padi sawah. Hal tersebut juga perlu didukung dengan perbaikan semua infrastruktur yang mendukung, misalnya sarana pasar.
74
2. Pelaksanaan program transmigrasi yang teratur disertai dengan program pemberdayaan masyarakat di daerah baru. 3. Pemerintah perlu melakukan survei-survei dan penanggulangan kemiskinan di kabupaten Bogor dengan melihat indikator-indikator yang menyebar merata di setiap kecamatan. Pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan, bukan hanya sekedar memberikan bantuan, misalnya saja dengan pembentukan usaha ekonomi tertentu dengan melibatkan ibu-ibu rumahtangga.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, G.N. 2004. Deskripsi dan Biplot Mutu Pendidikan SMU Negeri di DKI Jakarta. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2003. Data dan Informasi Kemiskinan 2002. BPS. Jakarta. _________________ . 2004. Data dan Informasi Kemiskinan 2003. BPS. Jakarta. _________________ . 2005. Data dan Informasi Kemiskinan 2004. BPS. Jakarta. _________________. 2005. Stastistik Indonesia. BPS. Jakarta. _________________. 2006. Data dan Informasi Kemiskinan 2005-2006 : Buku Kabupaten. BPS. Jakarta. Basri, F. 2002. Perekonomian Indonesia : Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Jakarta : Erlangga. Dabukke, F.B. 1995. Analisis Faktor Ekonomi Yang Mempengaruhi Kemiskinan Rumah Tangga di Perdesaan. Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 75
Departemen Statistika. 2003. Modul Teori dan Praktikum Analisis Peubah Ganda. IPB. Bogor. Du Toit, S.H. 1986. Graphical Exploratory Data Analysis. New York : SpringerVerlag. Dwi, B. 2003. Analisis Product Positioning Teh Poci Bubuk dan Implikasinya Terhadap Strategi Bauran Pemasaran PT Gunung Slamat (Studi Kasus : Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah). Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Fitrady, A dan Sukanto. R. 2004. Analisis Konsentrasi Spasial Kemiskinan di Jawa. Jurnal Sosiosains, 17(1), Januari 2004. Hanafy, E. 2007. Analisis Keputusan Pembelian dan Positioning Produk Ayam Panggang dan Steak di Restoran “MP” Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Jollife, I.T. 1986. Principal Component Analysis. New York : Springer-Verlag. Khaerani, R. 2005. Analisis Perilaku Konsumen dan Product Positioning Kecap Manis ABC di Kota Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Mattjik, A.A dan I Made. S. 2002. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan Minitab (jilid I, Edisi kedua). Bogor : IPB Press. Mooney, L. A. 2002. Understanding Social Problems. USA : Wadsworth/Thomson Learning. Mugni, A. 2006. Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten indramayu, Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Pertanian .IPB. Bogor. Muttaqien, A. 2006. Menuju Indonesia Sejahtera : Upaya Konkret Pengentasan Kemiskinan. Jakarta : Khanata, Pustaka LP3ES Indonesia. Nasoetion, L.I. 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia : Prof. Dr. Sajogyo 70 Tahun. Jakarta : PT. Grasindo. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Nurhayati, M. 2007. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen-IPB. Prayitno, H dan Budi. S. 1996. Ekonomi Pembangunan. Jakarta : Ghalia Indonesia.
76
Ramanathan, R. 1998. Introductory Econometric with Application (fourth edition). Fort Worth : The Dryden Press. Rahmawati, Y.I. 2006. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten Pacitan Propinsi Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Saidi, N. 2007. Strategi Peningkatan Efektivitas Penyaluran Dana Usaha Desa/Kelurahan untuk Penanggulangan Kemiskinan (kajian di Kota Pekanbaru – Provinsi Riau). Tesis. IPB-Bogor. Sajogyo. 1986. Garis Kemiskinan dan Ukuran Tingkat Kesejahteraan Penduduk. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Santoso, S. 2005. Menggunakan SPSS untuk Statistik Parametrik. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Simanjuntak, E.E. 2001. Aktivitas Ekonomi dan Peluang Kemiskinan Rumahtangga Pekerja Industri Kecil Tenun di Kecamatan Balige Toba Samosir. Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Susilowati, S. H. 2007. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri Terhadap Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Suyono, H. 2003. Memotong Rantai Kemiskinan. Jakarta : Damandiri. Tambunan, T.T. 2003. Perekonomian Indonesia (Beberapa Masalah Penting). Jakarta : Ghalia Indonesia. Todaro, M.P. dan Stephen C.S. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta : Erlangga. Usman, Bonar M.S, dan Hermato S . 2006. Analisis Determinan Kemiskinan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis Volume 6 No 3, November 2006. Wiraswara, A. 2005. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Angka Kemiskinan di Indonesia. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. IPB. Bogor.
77
Lampiran 1. Indikator Kemiskinan BPS No. Variabel 1 Luas lantai bangunan tempat tinggal 2 Jenis lantai bangunan tempat tinggal 3 Jenis dinding tempat tinggal 4 Fasilitas tempat buang air besar 5 Sumber penerangan rumah tangga 6 Sumber air minum Bahan bakar untuk memasak sehari7 hari Konsumsi daging / susu / ayam per 8 minggu 9 Pembelian pakaian baru setiap tahun 10 Makan dalam sehari untuk setiap hari Kemampuan membayar untuk berobat 11 ke Puskesmas / Poliklinik Lapangan pekerjaan utama kepala 12 rumahtangga
Kriteria Rumah Tangga Miskin BPS kurang dari 8 m2 per orang Tanah / bambu / kayu murahan bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah / tembok tanpa diplester Tidak punya / bersama-sama dengan rumah tangga lain bukan listrik sumur / mata air tidak terlindung / sungai / air hujan Kayu bakar / arang / minyak tanah Tidak pernah mengkonsumsi / hanya satu kali dalam seminggu Tidak pernah membeli / hanya membeli satu stel dalam setahun hanya satu kali makan / dua kali makan dalam sehari Tidak mampu membayar untuk berobat petani dengan luas lahan 0,5 ha / buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah
78
600.000 per bulan
Pendidikan tertinggi kepala 13 rumahtangga 14 Kepemilikan aset/tabungan
Tidak sekolah / tidak tamat SD / hanya SD Tidak punya tabungan / barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000, seperti : sepeda motor (kredit / non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
79
Lampiran 2. Jumlah Data Hasil Pemilihan (jiwa) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kecamatan Nanggung Pamijahan Parung Parungpanjang Tanjungsari Tamansari Tajurhalang Sukaraja Sukamakmur Sukajaya
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Rumpin Rancabungur Tenjo Cariu Ciampea Cibinong Cibungbulang Cigombong Cigudeg Cijeruk Cileungsi Ciomas Babakanmadang Bojonggede Caringin Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunungputri GunungSindur Jasinga Jonggol Kemang Leuwiliang Leuwisadeng Megamendung
Jumlah rumahtangga (awal) 1728 29987 16738 13964 12612 19823 19557 34875 4867 12364
Jumlah rumahtangga (proses clearing) 817 17869 9083 6901 4087 11320 10515 15909 2547 6183
24724 47567 10713 12768 31550 59152 27509 17621 23597 16340 45290 29758 19978 37641 19437 21035 16698 41193 18075 20214 19385 19134 27773 20063 26998 15795 19250
13908 1561 5285 6463 12075 29013 7809 9291 11895 9519 21003 15777 10616 18463 11138 12184 8380 25344 9696 8086 7283 10340 15448 11272 14290 9691 10509
Sumber : SUSDA, 2006
80
Lampiran 3. Indikator Kemiskinan di tiap kecamatan di Kabupaten Bogor ( persen) Kecamatan
Jenis lantai bangunan tempat tinggal
Luas lantai bangunan (< 8m2 per orang) Keramik
Nanggung Pamijahan Parung Parungpanjang Tanjungsari Tamansari Tajurhalang Sukaraja Sukamakmur Sukajaya Rumpin Rancabungur Tenjo Cariu Ciampea Cibinong Cibungbulang Cigombong Cigudeg Cijeruk Cileungsi Ciomas Babakanmadang Bojonggede Caringin Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunungputri GunungSindur Jasinga Jonggol Kemang Leuwiliang Leuwisadeng Megamendung Rata-rata
27,9 30 14,8 18,5 12,7 15,8 12,6 19,2 30,7 46 27,7 16 30,7 9,1 15,8 18,3 21,4 24,8 28,9 21,4 14,1 12 17 13,1 20,8 22 20 23,8 16,3 15,1 13 31,3 14,4 16,2 27,5 31,4 22,5 20,89
ubin 29,3 35,3 43,3 37,8 24,9 34,6 46,3 47,6 16,4 21,8 31,1 33,7 27,4 31,3 46,1 61,5 37,1 36 34,8 25,4 64 55,5 42,5 63,5 36,9 40,8 29,9 53 42,8 74,6 35,6 33,5 41,9 40,3 32,8 30,4 34,9 39,31
semen/bata merah 20,8 22,8 29,9 36,6 33,9 31 29,2 33,6 19,7 29 36,3 40,7 38,6 29 34,8 24,7 29,6 17,9 40,4 23,3 19,9 21,9 34,7 22,5 25,8 20,7 35,4 31,6 35,7 17,6 30,9 37,4 29,5 35,3 24,3 37,3 26,8 29,44
kayu/papan
12,6 35 18,8 17,4 6,6 29,1 16,5 16,1 9,6 17,4 12,5 13,5 12,4 6,3 16,2 12,1 28,4 41,8 15,7 40,9 7,5 21,4 8,8 11,9 31,5 34,8 14,4 9,8 16,1 5,1 20,8 8,8 5,7 12,7 34,8 18,8 31,8 18,21
Jenis dinding bangunan Bambu
25 1,3 0,5 0,3 9,2 1,4 0,3 0,6 36,5 14,3 1,9 1,5 1,3 1,7 0,2 0,3 0,4 0,7 1,1 1,2 1,8 0,3 9,2 0,2 1,1 2,2 1,3 2,8 0,5 0,7 0,3 2,7 2,6 1,8 1,5 2 2,8 3,61
Tanah 10,6 1 0,2 0,8 16,9 2,4 0,5 0,8 12,9 13,5 9,6 2 6,8 17,5 0,1 0,1 0,4 1,5 3,6 7,3 1,6 0,1 2,9 0,1 3,3 0,4 4,1 1,2 1,1 0,7 0,5 13,8 8,9 1,5 1,7 6,7 2,8 4,3
Tembok 1,7 4,6 7,2 7 8,4 1,5 7,1 1,4 4,9 4 8,5 8,5 13,5 14,2 2,6 1,3 4 2,1 3,9 1,8 5,2 0,7 1,9 1,7 1,4 0,8 15 1,7 3,9 1,3 11,9 3,9 11,4 8,3 4,9 4,9 1 5,1
kayu 41,1 89,7 87,1 77,1 57 92,3 90,6 95,6 29,3 41,6 68,4 83 62,4 56,9 93,8 97,3 91,6 93,4 74 84,2 87,8 96,5 79,1 97,2 91 91,7 70,7 91,1 92,9 93,3 79,1 62,4 68,8 83,4 79,1 69,8 90,2 79,2
bambu 31,9 1,5 2,3 2,7 6,8 1 1,4 0,9 13,9 16,6 2,8 1,5 5,2 2,7 1,9 0,8 0,9 0,7 3,4 1 1,7 0,8 3,9 0,6 0,9 2,1 4,2 1,9 0,7 1,1 4,3 3,2 3,1 3,4 2,6 4 1,9 3,79
lainnya 25,3 8,3 8,6 17,4 34,9 6,2 7,2 3,1 54,1 40,4 28 14,7 31,5 38,7 3,4 1,6 6,6 5,5 21,5 14,3 9,7 2,3 15,9 1,7 7,8 3,9 23,5 6,1 5,5 5,1 15,3 33,3 26,8 12,4 16,9 25,3 7,4 16
1,5 0,5 2,1 2,8 1,3 0,5 0,8 0,4 2,7 1,5 0,7 0,8 1 1,7 0,9 0,3 0,8 0,4 1,1 0,5 0,8 0,4 1,2 0,5 0,3 2,2 1,5 0,8 0,9 0,5 1,3 1,1 1,4 0,8 1,4 0,9 0,6 1,05
Sumber : SUSDA, 2006 Kecamatan
air dalam kemasan
Ledeng
sumur pompa
sumur terlindung
sumur tidak terlindung
Sumber Air Minum mata air mata air tidak terlindung terlindung
air sungai
air hujan
danau/situ/bendungan
81
Nanggung Pamijahan Parung Parungpanjang Tanjungsari Tamansari Tajurhalang Sukaraja Sukamakmur Sukajaya Rumpin Rancabungur Tenjo Cariu Ciampea Cibinong Cibungbulang Cigombong Cigudeg Cijeruk Cileungsi Ciomas Babakanmadang Bojonggede Caringin Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunungputri GunungSindur Jasinga Jonggol Kemang Leuwiliang Leuwisadeng Megamendung Rata-rata
1,1 1,1 3,6 2,2 3,4 1,5 5,9 4,3 0,9 0,4 2,7 2,2 1,9 3,2 3,9 5,4 1,4 4 1,6 1,3 9,5 3,9 3,9 5,8 2,5 2,1 2,9 6,6 3,1 12,6 2,5 2,2 5,9 3,7 1,7 2 2,9 3,4
0,4 2,6 1,2 21 0,8 6,6 4,8 5,3 0,5 0,8 0,9 0,8 1,2 0,2 2,2 6,5 3,6 1,6 2,1 3,9 5,8 35 1,6 2,6 1,7 8 0,7 0,6 6,7 13 1 1,2 4,2 6,3 9,2 2,7 0,6 4,45
1 11,6 25,5 3,1 0,9 11,1 28,9 26,4 2 2 9,2 15,1 3,4 4 18,6 31,6 16,7 18,1 4,5 7,1 29,1 12 19,4 54,6 18,2 11,1 12,8 28,3 12,7 32,4 16,9 3,5 5,3 15,6 6 3,7 16,2 14,6
29 46 66 55 56 39 55 58 45 35 69 63 72 67 58 54 61 46 53 38 49 37 55 35 53 36 67 55 52 41 70 71 64 65 48 63 53 53,4
4,8 6,7 3,2 12 14 2,9 3,7 2,1 12 8,5 3,8 8,2 12 17 3,8 1,5 5,2 4,4 5,5 2,2 5,9 2,2 5 0,5 3,5 2,2 13 2,6 3,2 0,9 3 7,2 12 6,1 5,2 8,7 2,1 5,8
26,7 19,3 0,5 2,9 14 23,3 0,9 2,5 14,6 24,9 8,4 7,6 0,4 1,1 7,9 1 8,6 19,9 17,5 31,7 0,8 7,7 6,6 1,2 13,1 27,9 2,7 4,5 16 0,9 3,8 4,7 4,3 1,9 21,8 10,4 17,3 10
33,9 10,9 0,1 1,8 7,1 11,2 0,4 1 23,3 18,7 4,2 3 0,8 2,1 4,2 -
2,8 2 1,7 4,2 4 0,3 1,6 8,7 1,4 0,4 2,4 5,1 1,8 -
3,1 5,1 10,5 11,5 0,1 1,4 6,6 0,2 5,7 10,4 0,2 1,6 5,9 -
0,3 1,1 4,8 3,3 0,3 1,8 0,1 2,3 1,9 0,1 0,3 0,4 -
2,3 1,9 4 1,2 6,9 7 6,2 6,1
0,1 8,6 0,9 0,1 0,9 2 1,1 2,09
-
0,2 0,1 0,2 0
-
0,2 0,9 0,2 0,1 -
0 -
1,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,5
0 -
0,1 0,2 0,3 0,1 0,1
0 0,1
0,5 0,2 0,1 0,28
Sumber : SUSDA, 2006
Penggunaan fasilitas tempat buang air besar
jenis bahan bakar tempat lainnya
Kecamatan Sendiri Nanggung Pamijahan
20,3 36,8
Umum 24,5 16,6
bersama 16 7,5
sungai 17,9 33,9
kebun 0,6 0,1
empang 17 2
3,4 2,8
minyak tanah 17 46
gas
kayu bakar/arang
Listrik 0,6 1,8
0,7 0,3
81 52
briket batu bara 0,2 0,1
lainnya 0,2 -
82
Parung Parungpanjang Tanjungsari Tamansari Tajurhalang Sukaraja Sukamakmur Sukajaya Rumpin Rancabungur Tenjo Cariu Ciampea Cibinong Cibungbulang Cigombong Cigudeg Cijeruk Cileungsi Ciomas Babakanmadang Bojonggede Caringin Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunungputri GunungSindur Jasinga Jonggol Kemang Leuwiliang Leuwisadeng Megamendung Rata-rata
71,8 46,1 32,2 61,7 76,5 77 19,3 18,1 49,9 50,2 32,6 27,1 60,6 82,5 46,5 63,2 27,8 45,9 75,7 75,7 57,6 90,6 67 76,2 45,3 74,9 59,9 84,5 49,3 31,6 48,5 61,8 45,6 38,5 67,5 53,95
2,6 5,4 5,4 10,2 1,7 3,5 3,6 19,8 7,6 9,4 5,8 3,3 12,6 2,1 9,1 12,7 10 22,5 3,8 7,4 5,6 0,9 13 11,9 4,7 5,1 9,6 2,8 3,4 9 5 5,1 15,5 13,7 20,2 8,79
13 7 6,6 8,9 12 8,7 12 4,9 10 8,1 7,5 3,8 10 13 6,7 11 5,6 11 15 4 10 5 9,1 7,5 14 14 6,4 11 9,3 4,6 9,6 12 7 6,5 7,1 9,06
0,3 7,2 38,5 17,4 0,9 9,8 35,3 41,9 14,9 12,4 8,9 38,2 15,2 1,9 33,9 9,3 50,1 15,8 0,4 11,4 23,5 0,9 8,8 3,7 2,8 5,3 21,4 0,4 2 45,7 22,4 3 24,9 35,8 4,4 16,77
0,1 12,3 7,5 0,1 0,1 3 0,4 3,2 0,3 20,4 17,8 0,2 0,3 0,1 0,7 0,1 0,5 0,4 0,1 0,1 0,7 0,1 0,1 0,1 0,3 3,4 9,2 0,1 0,3 0,4 0,2 2,52
12 16 5 1 8 1 17 11 10 19 20 1 1 1 3 3 3 4 4 1 1 2 1 0 32 0 2 2 35 1 2 17 5 4 0 7,19
0,1 6,4 4,5 0,8 0,5 0,2 9,8 4,2 3,8 0,8 4,7 8,4 0,7 0,1 0,7 0,3 2,7 0,8 0,8 0,8 1,2 0,1 0,6 0,1 0,9 0,3 0,6 0,5 4,3 2,8 0,6 1,7 1,4 0,5 2,025
79 60 31 72 69 79 11 12 45 58 36 36 80 75 75 65 35 58 69 74 61 75 68 78 60 79 75 56 68 29 49 73 47 47 67 57,105
11 5,1 1,6 4,8 19 13 0,4 0,7 2,8 4,4 1,6 2,2 5,7 21 2,3 7,3 2,1 2,4 19 23 5,1 22 4,4 6,4 3,2 11 5,4 39 8,3 2,1 8 12 4,3 2,1 4,3 7,76
0,2 0,5 1,6 0,3 0,2 0,4 1,1 0,6 0,8 0,4 0,6 0,8 0,5 0,3 0,2 0,3 0,8 0,6 0,5 0,2 0,4 0,2 0,3 0,2 0,5 0,4 0,2 1,2 0,2 0,6 1,2 0,6 0,5 0,6 0,3 0,52
10 33 66 22 12 7 87 86 51 37 62 60 13 4 22 27 61 39 11 3 34 3 27 15 36 10 19 4 23 68 41 15 48 50 28 34,3
0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,1 0,1 0,1 0,13
0,2 1,5 0,1 0,1 0,1 0,4 0,2 0,1 0,3 0,3 0,1 0,3 0,3 0,1 0,2 0,4 0,2 0,1 0,1 0,1 0,2 0,1 0,1 0,3 0,2 0,1 0,1 0,4 0,2 0,4 0,1 0,2 0,1 0,1 0,23
Sumber : SUSDA, 2006 Sumber penerangan
Kepemilikan aset
Kecamatan PLN Nanggung Pamijahan Parung
genset/diesel 62,5 94,6 96,7
0,2 0,4 0,7
listrik swasta 3,4 2,1 0,7
petromak 0,7 0,3 0,2
minyak tanah 28,4 2 0,6
Lainnya 4,7 0,7 1,1
Emas 16,5 15,8 24,5
tidak 83,5 84,2 75,5
TV 49,4 61,6 80,1
tidak 51 38 20
kulkas/mesin suci 5,5 12,1 36,9
tidak 94,5 87,9 63,1
sepeda motor 11 14 38
tidak 89 86 62
83
Parungpanjang Tanjungsari Tamansari Tajurhalang Sukaraja Sukamakmur Sukajaya Rumpin Rancabungur Tenjo Cariu Ciampea Cibinong Cibungbulang Cigombong Cigudeg Cijeruk Cileungsi Ciomas Babakanmadang Bojonggede Caringin Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunungputri GunungSindur Jasinga Jonggol Kemang Leuwiliang Leuwisadeng Megamendung Rata-rata
93,7 79,1 95,7 96,3 96,4 71,5 80,5 84,4 93,4 85,5 83,8 96 98,1 96,4 94,4 91 92 96,9 96,6 88,6 97,6 96,4 95,8 90,5 94,8 93,2 97 96,2 92,8 86,2 95,8 91,9 91,2 97 91,37
0,5 0,3 0,6 0,6 0,6 0,3 0,4 0,9 0,6 0,3 0,1 0,7 0,9 0,5 0,4 0,6 0,5 0,7 0,9 0,5 1,1 0,6 0,6 0,5 0,8 0,7 0,9 0,8 0,2 0,6 0,8 0,4 0,3 0,6 0,57
1,6 1,7 0,9 1,7 1,4 2 6 0,9 1,2 2,6 0,7 0,4 0,4 1 1,8 1,6 2 0,8 0,7 1,9 0,4 0,6 0,5 2,3 0,6 2,2 1,8 0,6 2,1 1,2 1,2 0,7 1,2 0,7 1,45
0,5 0,9 0,3 0,2 0,2 0,4 0,7 0,6 0,5 0,6 0,3 0,4 0,1 0,3 0,3 0,6 0,9 0,2 0,1 0,5 0,1 0,3 0,2 0,5 0,1 0,4 0,1 0,3 0,6 1,1 0,2 0,4 0,5 0,5 0,408
3 16,9 1,6 0,8 0,7 23,6 11 7 2 9,3 13,6 1,1 0,2 0,8 2,5 5,4 2,8 1,1 0,4 6,7 0,3 1,3 1,3 3,5 2,9 1,1 0,2 1,4 3,6 9,4 0,9 5,3 4,6 0,4 4,803
0,7 1,1 0,8 0,5 0,7 2,3 1,4 6,1 2,3 1,7 0,9 1,4 0,3 1 0,7 0,8 1,7 0,4 1,4 1,7 0,5 0,8 1,4 2,7 0,7 2,3
27,7 25,1 20,7 23,4 25,9 19,4 10,7 22,7 17,7 25,4 22,2 26,9 32,1 19,1 18 20,4 13,5 36,4 33,2 17,3 29,4 19,4 20,9 19,5 24,9 19,2 43,6 19,2 21,5 23,7 28,8 18 13,1 20,8 22,61
0,7 0,6 1,6 1,1 1,4 2,1 0,8 1,42
72,3 74,9 79,3 76,6 74,1 80,6 89,3 77,3 82,3 74,6 77,5 73,1 67,9 80,9 82 79,6 86,5 63,6 66,8 82,7 70,2 80,6 77,5 80,5 75,1 80,8 56,4 80,8 78,5 76,3 71,2 82 86,9 79,2 77,33
67,4 51,6 68,9 79,5 81,9 23,6 41,4 56,6 69,6 61,2 54,5 74,3 87,9 66,8 58,4 54,5 41,3 86,6 85,3 54,4 86 59,6 72,1 54,4 77,1 74,5 90,5 72,5 62,5 62,7 79,1 62,9 56,9 64 65,72
33 48 31 21 18 76 59 43 30 39 45 26 12 33 42 46 59 13 15 46 14 40 27 46 23 26 9,5 28 38 37 21 38 43 36 34,72
27,8 9,7 22,4 40,7 39,3 4 5,7 16,4 23,3 15,4 13,3 28,5 47,7 19,7 22 15,2 13,2 46,9 47,7 18,8 52,2 22,8 20,9 18 34,4 27,4 58,8 28,5 17,7 25,2 37 19,1 13,3 20,1 25,07
72,7 90,3 77,6 59,3 60,7 96 94,3 83,6 76,7 84,6 86,4 71,5 52,3 80,3 78 84,8 86,8 53,1 52,3 81,2 47,7 77,2 77,4 82 65,6 72,6 41,2 71,5 82,3 74,8 63 80,9 86,7 79,9 74,89
33 19 21 47 37 11 10 23 21 24 27 24 48 17 20 17 14 50 38 25 45 20 22 23 34 21 63 41 19 36 35 16 10 17 26,72
68 81 79 53 63 89 90 77 79 76 73 76 52 83 80 83 86 50 62 75 55 81 76 77 66 79 37 59 81 64 65 84 90 83 73,22
Sumber :SUSDA, 2006 Frekuensi makan
Pembelian pakaian
Pembelian daging/ayam/susu
Kecamatan 1 kali Nanggung Pamijahan Parung Parungpanjang Tanjungsari Tamansari Tajurhalang
2 kali 0,6 0,3 0,7 0,4 0,2 0,4 0,4
>2 kali 33,4 50,5 36,8 34 42,9 49,2 38,2
tidak pernah 66 49,2 62,5 65,6 56,8 50,4 61,5
1 stel 9,1 9,9 7,6 9,6 10,6 7,7 7
>1 stel 70 65,5 45,6 47,5 48,6 49,2 42,9
20,9 24,6 46,8 42,9 40,8 43 50,1
tidak pernah 71,7 63,7 49,1 62 60,3 46,2 42,6
1 kali
>1 kali 25,2
36,5 29,2 34,6 37,3 38,5
3,1 31,2 14,4 8,8 5,1 16,5 18,8
84
Sukaraja Sukamakmur Sukajaya Rumpin Rancabungur Tenjo Cariu Ciampea Cibinong Cibungbulang Cigombong Cigudeg Cijeruk Cileungsi Ciomas Babakanmadang Bojonggede Caringin Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunungputri GunungSindur Jasinga Jonggol Kemang Leuwiliang Leuwisadeng Megamendung Rata-rata
0,5 0,5 0,4 0,2 0,1 0,2 0,4 0,7 0,5 0,4 0,3 0,5 0,3 0,4 0,7 0,3 0,8 0,5 0,5 0,5 0,6 0,4 0,8 0,3 0,3 0,4 0,8 0,3 0,3 0,3 0,44
33,1 66 26,2 39,6 49,1 41,6 36 45,6 31,9 47,6 49,6 25,4 51,9 34,6 41,2 43,9 36,5 44,6 40,1 47,9 30,2 48,4 24,9 48,7 21,9 44,2 39,9 35,7 45,4 45,1 40,59
66,4 33,5 73,4 60,2 50,8 58,2 63,6 53,8 67,6 52 50 74,2 47,8 65 58,1 55,7 62,7 54,8 59,3 51,6 69,3 51,2 74,2 51 77,8 55,3 59,3 64,1 54,3 54,6 58,97
8 8,6 13,2 8,1 10,2 8 10,6 7,2 7,1 7,7 13 9,3 14,1 5,2 6,8 7,5 6,9 11,1 9,9 8,2 8,6 7,4 4,8 6,5 11 7,9 8 10,3 14,4 9,2 8,93
46,6 64,3 60,9 48,2 56,8 56,7 49,3 45,4 44,9 56,8 56,2 48,2 56,4 42 39,7 54,4 40,9 58,6 54,8 46,9 46,1 46,7 34,1 47,3 51,4 47,6 46,9 54,5 61 52,5 50,96
45,3 27,1 25,9 43,7 32,9 35,3 40 47,4 48 35,5 30,8 42,6 29,5 52,9 53,5 38,1 52,2 30,3 35,2 44,9 45,3 45,9 61,1 46,2 37,6 44,6 45,1 35,2 24,6 38,2 40,108
32,1 55,8 67,2 52,5 54,3 68,8 57 39 28,3 49,6 51,7 54,7 61,8 28,4 26,2 51,6 27,7 49,9 41,2 64,3 35,1 39,2 22,3 58,4 49,7 51,3 44,7 51,9 62,5 52,1 49,32
43,4 38,8 28,4 37 35,2 26,2 33 39,8 44,9 38,9 34,9 34,7 29,9 46,6 43,3 37,8 43,3 37,4 45,8 28,4 43,3 42,3 41,8 32,1 36,8 33 37,5 34,1 30,3 38,1 36,62
24,5 5,5 4,4 10,4 10,6 5 9,7 21,2 26,8 11,5 13,3 10,6 8,3 25 30,4 10,6 29 12,7 12,8 7,3 21,5 18,5 35,9 9,5 13,4 15,7 17,9 14 7,3 9,8 14,89
Sumber :SUSDA, 2006 Kemampuan berobat Kecamatan Ya Nanggung Pamijahan Parung Parungpanjang Tanjungsari Tamansari Tajurhalang Sukaraja
69,2 90,5 93,3 89 84,4 93,3 94,3 93,8
Tidak 30,8 9,5 6,7 11 15,6 6,7 5,7 6,2
Pendidikan tertinggi belum bersekolah
TK/RA 0,2 0,4 0,4 0,6 0,2 0,9 0,3 0,5
0,5 0,3 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0,2
SD/MI 78,9 69,6 41,5 60,2 71,7 60 35,8 32,9
SLTP/MTs 6,5 11,6 21 12,1 6,3 11,5 16,3 17,7
SLTA/MA 3,3 9,2 27,4 18,3 5,1 16,2 32,9 36,6
D I /II 0,5 0,6 1,1 0,7 0,8 0,7 1,4 1,1
D III 0,2 1,5 0,9 0,2 1 2,7 2,3
S1 -
S2 1 3,9 2,1 0,5 2,2 5,3 5
0,2 0,5 0,3 0,1 0,3 0,8 0,6
tidak pernah sekolah
S3 0,1 0,1 0,1
10 6,8 2,4 4,8 6,4 6,7 4,2 2,8
85
Sukamakmur Sukajaya Rumpin Rancabungur Tenjo Cariu Ciampea Cibinong Cibungbulang Cigombong Cigudeg Cijeruk Cileungsi Ciomas Babakanmadang Bojonggede Caringin Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunungputri GunungSindur Jasinga Jonggol Kemang Leuwiliang Leuwisadeng Megamendung Rata-rata
56,7 74,5 91,2 92,2 84,6 90 92,6 95,9 93,7 90,2 85,2 89 95 95,5 85,4 95,7 88 89,8 90,5 93,1 94,2 96,2 93,3 89,8 90,4 90,8 89,3 89,3 87,1 89,11
43,3 25,5 8,8 78 15,4 9,7 7,4 4,1 6,3 9,8 14,8 11 5 4,5 14,6 4,2 11,9 10 9,5 6,9 5,8 3,8 6,7 10,2 9,6 9,2 10,7 10,7 12,9 12,77
1 1,2 0,5 0,3 0,5 0,5 1,8 0,3 0,5 0,5 1,7 0,5 0,4 0,5 0,6 0,4 0,5 0,3 0,6 0,4 0,5 0,6 0,7 0,6 0,6 0,7 0,4 0,3 0,4 0,58
0,2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,2 0,6 0,2 0,1 0,2 1,7 0,3 0,2 0,2 0,2 0,1 0,3 0,4 0,1 1,9 0,3 0,2 0,2 0,2 0,3 0,2 0,3 0,3 0,2 0,33
65,1 79,3 65 59,4 66,9 64,5 53,6 25,2 61 56,7 71,6 68,3 36,1 37,5 59,4 21,7 58,5 54,3 62,9 39,2 55,6 24,9 46 69,7 54,7 47,6 63 69,4 60 55,34
2,9 3,4 11,9 14,9 13,1 9,6 15,5 17,4 15,4 14,4 9,3 11,3 14,4 11,6 14,3 16,2 14,2 15,3 14 18,1 15 13,4 18,6 10,9 10,7 15,6 13,2 12,3 12,9 13,05
1,9 2,1 10,7 15,8 10,3 6,8 18,5 40,4 15,2 18,7 7,2 8,6 34,4 28,6 13,8 42,9 16,3 18,5 11,5 33,2 18,8 29,6 22,2 10,5 15,8 23,1 15,3 10,9 15,6 18
0,4 0,5 0,6 1 0,8 1 1 1,2 0,9 1 0,6 0,6 0,8 1,6 0,7 1,6 0,8 0,7 0,6 0,6 0,7 1,2 1 1 0,7 1,1 1,1 0,6 0,6 0,86
0,1 0,2 0,4 0,2 0,3 0,8 3,4 0,6 1,2 0,2 0,3 2,3 4 0,6 4 0,8 0,7 0,4 0,9 0,9 6 1,2 0,3 1 1,4 0,5 0,3 0,7 1,22
0,2 0,4 1,1 1,9 1,3 1,1 3 8,9 1,8 3,6 0,9 1 5,8 11,3 1,9 10 2,6 1,5 1,5 2,1 2,3 19,3 2,6 1,1 2,2 3,7 1,8 1 2 3,28
0,3 0,1 0,2 0,1 2 1,3 0,4 0,4 0,1 0,2 0,7 2,4 0,4 1,4 0,3 0,2 0,3 0,3 0,8 2,2 0,4 0,5 0,4 0,8 0,2 0,2 0,3 0,58
-
28,3 12,7 9,3 6 6,4 15,8 3,1 1,5 3,9 3,3 6,8 8,8 4,7 1,8 8,1 1,6 5,4 7,8 8 3,3 4,4 2,4 7,1 5,1 13,6 5,6 4,3 4,7 7,1 6,62
0,1 0,1 0,2 0,1 0,1 0,5 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,6 0,3 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,16
Sumber : SUSDA, 2006 Pekerjaan utama Kecamatan Nanggung Pamijahan Parung Parungpanjang Tanjungsari Tamansari Tajurhalang Sukaraja Sukamakmur Sukajaya Rumpin
Pertanian 53,7 26 7,4 8 20,3 14,9 7,4 6 69,2 43,6 23,1
Pertambangan
Keuangan 0,9 0,5 0,3 1,1 0,6 1,5 0,5 0,4 0,7 1,3 2,7
0,2 0,5 1,1 1,6 0,5 0,6 2 1,4 0,3 0,4
Listrik,gas,dan air bersih 0,1 0,8 1,1 0,8 0,8 0,8 1,2 1,2 0,3 0,1 0,5
industri pengolahan
bangunan 0,5 3,5 6,2 14,4 6,4 17 4 18,3 2,7 1,4 4,8
transportasi/komunikasi 1,7 9,4 8 9,5 9,5 5,7 8,8 7,2 4,2 3,9 8,7
perdagangan,hotel,resto 1,3 5 7,4 7,8 4,4 6,2 6,5 6,7 3 3,4 6,1
16,6 25,4 28,4 17,9 25,3 16,8 21,9 17 7,9 22,9 18,7
jasa-jasa 24,8 29 40,1 39 32,4 36,4 47,7 41,9 12,1 23,1 35
86
Rancabungur Tenjo Cariu Ciampea Cibinong Cibungbulang Cigombong Cigudeg Cijeruk Cileungsi Ciomas Babakanmadang Bojonggede Caringin Cisarua Ciseeng Citeureup Dramaga Gunungputri GunungSindur Jasinga Jonggol Kemang Leuwiliang Leuwisadeng Megamendung Rata-rata
18,8 20,3 51,6 9,3 3,8 16 16,6 27,2 26,8 7,1 8 22,4 4,7 19,4 12,5 20,5 8,3 12,2 4,6 11,2 25,3 32 15 21,3 15,2 20,1 19,72
0,8 0,6 1,8 1 1 0,4 0,8 4,7 0,6 1,1 1,2 1,2 0,7 0,5 0,3 0,5 2,8 0,4 1,4 1,6 0,7 1 0,6 2,2 1,1 0,5 1,08
0,9 0,5 0,4 0,8 1,9 0,8 0,8 2 0,4 1,1 4,1 0,6 3,7 0,5 0,6 0,7 0,5 0,7 4 1 0,9 0,6 1,3 0,7 0,3 1,1 1,097
0,8 0,8 0,4 1,1 1,8 0,7 1,1 0,8 0,7 1 3,5 0,9 2,2 0,9 0,6 0,8 0,9 1,1 1,5 0,5 1,9 0,7 1 1,1 0,5 1,2 0,98
4 6,4 3,8 6,7 23 4,8 8,9 4,4 6,8 34,4 16,9 9 3,7 7,6 2,7 4,7 33,5 7,4 27,8 7,3 4,4 7 7,1 4,4 6,3 3,8 9,08
9,4 9,5 5,2 5,3 6,1 7,4 11 5,4 12,2 6,7 4,7 11,3 7,6 11,2 17,7 7,4 6,5 7,5 7 9,3 5,4 6,9 8,2 8,4 8,4 16,4 8,07
9,5 4,4 5 7,1 6 6,4 7 5,8 5,4 4,8 7,6 6,6 8,2 8,2 6,2 7,1 5,9 10,4 7,2 6,6 6,8 5 7,5 6,3 9,7 7 6,37
17,2 25,3 13,1 26,1 16,2 33,7 16,8 16,3 18 16,1 14,5 14,7 18,8 20,6 22,1 19,7 17,8 19,6 13,2 16,8 16,7 14,6 20,4 22,4 24,8 19,1 19,28
38,6 32,4 17,2 42,5 40,2 29,7 36,9 33,3 29,2 27,6 39,5 33,3 50,4 31,1 37,2 38,5 23,8 40,6 33,5 45,5 37,9 32,1 38,9 33,2 33,7 30,7 34,30
Sumber : SUSDA, 2006
87
Lampiran 4. Koefisien Keragaman Tiap-Tiap Indikator Kemiskinan per Kecamatan Kecamatan X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 Gunungputri 0,97 0,84 0,62 0,16 0,49 0.00 0,87 0,64 Gunungsindur 0,93 0,73 0,52 0,15 0,25 0,09 0,84 0,57 Jasinga 0.87 0.83 0.42 0.14 0.17 0.08 0,76 0.55 Kemang 0,98 0.72 0.56 0.17 0.35 0.10 0,64 0.74 Leuwiliang 0.86 0,89 0.71 0.11 0.20 0.05 0,67 0.48 Leuwisadeng 0.90 0,77 0.52 0.10 0.21 0.08 0,74 0.43 Megamendung 0,92 0,78 0,78 0.18 0.45 0.10 0,99 0.46 Nanggung 0,92 0.72 0.37 0.11 0.12 0.14 0.79 0.57 Pamijahan 0.79 0,87 0,79 0.16 0.18 0.06 0,87 0.42 Parung 0,92 0.76 0.60 0.21 0.42 0.06 0,88 0.51 Parungpanjang 1.00 0,99 0,88 0,99 0,98 0,95 0,89 0,98 Rancabungur 0,92 0.89 0.70 0.13 0.28 0.08 0,78 0.56 Rumpin 0.95 0.74 0.52 0.38 0.33 0.21 0,76 0.62 Sukajaya 0.78 0.89 0.39 0.11 0.18 0.10 0,64 0.47 Sukamakmur 0,93 0.64 0.38 0.13 0.27 0.12 0,63 0.47 Sukaraja 0,94 0.90 0.77 0.73 0.29 0.17 0,65 0.88 Tahurhalang 0,93 0.69 0.66 0.20 0.47 0.06 0,88 0.49 Tamansari 0.97 0,77 0.98 0.22 0.31 0.06 0,78 0.40 Tanjungsari 0,98 0.54 0.40 0.11 0.18 0.11 0,54 0.57 Tenjo 1.00 0.75 0.45 0.10 0.21 0.09 0,56 0.58 Ciampea 0.96 0,78 0,89 0.21 0.33 0.08 0,67 0.48 Cibinong 0.82 0,87 0,77 0.18 0.50 0.05 0,78 0.46 Cibungbulang 0.84 0,88 0,88 0.13 0.22 0.09 0,55 0.45 Cigombong 0.83 0,98 0,89 0.17 0.35 0.09 0,64 0.27 Cigudeg 0.92 0,75 0.69 0.15 0.19 0.09 0,78 0.40 Cijeruk 0,92 0,87 0.97 0.16 0.31 0.10 0,57 0.31 Cileungsi 1.00 0.58 0.41 0.17 0.48 0.11 0,68 0.73 Ciomas 0.92 0,99 0,78 0.20 0.27 0.10 0,78 0.51 Cisarua 1.00 0,96 0.87 0.18 0.47 0.10 0,79 0.49
X9 0,41 0,50 0,78 0.49 0.88 0.67 0.50 0,76 0.54 0.54 0,99 0.43 0.62 0,98 0.56 0.35 0.39 0.37 0.85 0.78 0.35 0.36 0.44 0.42 0.85 0.43 0.45 0.33 0.64
X10 0,28 0,31 0.30 0.25 0.25 0.21 0.18 0.30 0.16 0.26 0,98 0.26 0.36 0.35 0.39 0.31 0.26 0.26 0.45 0.31 0.21 0.16 0.14 0.10 0.28 0.19 0.32 0.20 0.16
X11 0,09 0,06 0.09 0.06 0.08 0.06 0.04 0.07 0.06 0.09 0,87 0.06 0.16 0.07 0.09 0.11 0.11 0.00 0.06 0.03 0.06 0.10 0.03 0.05 0.07 0.06 0.09 0.05 0.04
X12 0,98 0,75 0,74 0,65 0,54 0,67 1.00 1.00 0,78 0,87 0,98 0,78 0,76 0,78 0.90 0.90 0,98 0,76 0,58 0,59 0,77 0,78 0,89 0,87 0,56 0,59 0,88 0,55 0,87
X13 0,24 0,33 0.21 0.25 0.18 0.18 0.17 0.17 0.18 0.32 0,98 0.23 0.25 0.11 0.14 0.26 0.28 0.18 0.15 0.20 0.23 0.37 0.25 0.18 0.15 0.18 0.19 0.25 0.20
X14 0,87 0,77 0.97 0,67 0.96 0,78 0.89 0.65 0,56 0,59 1.00 0,87 0,58 0.78 0.51 0,91 0,74 0,64 0.63 0,78 0,56 0,98 0,56 0,76 0.93 0.97 0,67 0,87 0,77 88
Ciseeng Citeureup Dramaga Jonggol Babakan madang Bojonggede Caringin Cariu
0,93 0,93 0.99 0,97 0.96 0.98 0.94 0,99
0.71 0.93 0,95 0.66 0.86 0.88 0.99 0.56
0.51 0.67 0,78 0.47 0.65 1.00 0.95 0.40
0.16 0.14 0.17 0.13 0.19 0.40 0.17 0.16
0.27 0.54 0.23 0.28 0.31 0.58 0.43 0.15
0.10 0.08 0.08 0.11 0.07 0.06 0.06 0.11
0,78 0,88 0,87 0,98 0.98 0.99 1.00 0,88
0.45 0.41 0.46 0.54 0.42 0.45 0.33 0.48
0.48 0.55 0.35 0.66 0.65 0.24 0.49 1.00
0.39 0.22 0.23 0.37 0.37 0.26 0.19 0.42
0.03 0.07 0.07 0.07 0.07 0.06 0.03 0.08
0,67 0,62 0,67 0,65 0.94 0.95 0.93 0,87
0.23 0.20 0.20 0.14 0.15 0.33 0.18 0.15
0,76 0.95 0,78 0.71 0.76 0.99 0.91 0.55
Lampiran 5. Input Data Olahan Analisis Biplot (persentase) Bogor Barat KECAMATAN X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 Nanggung (A) 27,9 1,7 25,3 4,8 16,4 81,4 0,7 47,6 0,6 9,1 71,7 30,8 10 53,7 Leuwiliang (B) 27,5 4,9 16,9 5,2 7 48,1 0,4 33,6 0,3 10,3 51,9 10,7 4,3 21,3 Leuwisadeng (C) 31,4 4,9 25,3 8,7 6,5 50 0,5 39,5 0,3 14,4 62,5 10,7 4,7 15,2 Pamijahan (D) 30 4,6 8,3 6,7 7,5 52 0,3 35 0,3 9,9 63,7 9,5 6,8 26 Cibungbulang (E) 21,4 4 6,6 5,2 6,7 22,1 0,3 29,7 0,4 7,7 49,6 6,3 3,9 16 Ciampea (F) 15,8 2,6 3,4 3,8 10,1 13,2 0,4 20,8 0,7 7,2 39 7,4 3,1 9,3 Rumpin (G) 27,7 8,5 28 3,8 10,3 51,2 0,6 34,5 0,2 8,1 52,5 8,8 9,3 23,1 Cigudeg (H) 28,9 3,9 21,5 5,5 5,6 61,3 0,6 38,4 0,5 9,3 54,7 14,8 6,8 27,2 Sukajaya (I) 46 4 40,4 8,5 4,9 86,3 0,7 53,7 0,4 13,2 67,2 25,5 12,7 43,6 Jasinga (J) 31,3 3,9 33,3 7,2 4,6 68,3 0,6 32,6 0,3 11 49,7 10,2 5,1 25,3 Tenjo (K) 30,7 13,5 31,5 12,4 7,5 61,9 0,6 29,8 0,2 8 68,8 15,4 6,4 20,3 Parungpanjang (L) 18,5 7 17,4 11,8 7 33 0,5 25,4 0,4 9,6 62 11 4,8 8
Bogor Tengah KECAMATAN Dramaga (A) Ciomas (B) Taman Sari (C)
X1 16,3 12 15,8
X2 3,9 0,7 1,5
X3 5,5 2,3 6,2
X4 3,2 2,2 2,9
X5 6,4 4 8,9
X6 19,3 2,9 22,4
X7 0,4 0,1 0,3
X8 22,2 12,3 27,1
X9 0,4 0,7 0,4
X10 7,4 6,8 7,7
X11 39,2 26,2 46,2
X12 5,8 4,5 6,7
X13 X14 4,4 12,2 1,8 8 6,7 14,9 89
Cijeruk (D) Cigombong (E) Caringin (F) Cisarua (G) Megamendung (H) Sukaraja (I) Babakanmadang (J) Citeureup (K) Cibinong (L) Bojonggede (M) Tajurhalang (N) Kemang (O) Rancabungur (P) Parung (Q) Ciseeng (R) Gunung Sindur (S)
10,6 11,1 9,1 7,5 7,1 8,7 10,2 13,9 12,7 5 12,1 12,2 8,1 13,1 13,5 9,3
38,8 27,2 27 14,9 27,8 7,1 33,7 9,7 3,5 3,3 12,3 15 37,2 9,9 36,4 23,4
0,9 0,3 0,3 0,2 0,5 0,2 0,5 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2 0,5 0,2 0,5 0,3
51,7 36,5 35,1 22,8 29,8 15 37,6 18,7 9 10,5 16 16,8 25,6 16,1 38,3 21,5
0,3 0,3 0,5 0,5 0,3 0,5 0,3 0,6 0,5 0,8 0,4 0,8 0,1 0,7 0,5 0,3
14,1 13 11,1 9,9 9,2 8 7,5 8,6 7,1 6,9 7 8 10,2 7,6 8,2 6,5
61,8 11 51,7 9,8 49,9 11,9 41,2 10 52,1 12,9 32,1 6,2 51,6 14,6 35,1 6,9 28,3 4,1 27,7 4,2 42,6 5,7 44,7 9,2 54,3 78 49,1 6,7 64,3 9,5 58,4 6,7
Bogor Timur KECAMATAN X1 X2 X3 X4 X5 Sukamakmur (A) 30,7 4,9 54,1 12,3 12,3 Cariu (B) 9,1 14,2 38,7 16,5 3,8 Tanjungsari (C) 12,7 8,4 34,9 13,7 6,6 Jonggol (D) 14,4 11,4 26,8 11,5 9,6 Cileungsi (E) 14,1 5,2 9,7 5,9 14,6 Gunung Putri (F) 15,1 1,3 5,1 0,9 10,6 Lampiran 6. Input Data Olahan Regresi Linier Berganda
X6 86,9 60,2 65,8 41,1 10,8 3,7
X7 0,4 0,3 0,9 1,1 0,2 0,1
X8 64,8 37,4 37,9 29,9 9,9 5,9
X9 0,5 0,4 0,2 0,4 0,4 0,8
X10 8,6 10,6 10,6 7,9 5,2 4,8
X11 X12 55,8 43,3 57 9,7 60,3 15,6 51,3 9,6 28,4 5 22,3 3,8
Kecamatan Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea
21,4 24,8 20,8 22 22,5 19,2 17 23,8 18,3 13,1 12,6 16,2 16 14,8 20 13
Penduduk miskin (persen) 51,78 19,20 26,38 19,12 11,84 6,38
1,8 2,1 1,4 0,8 1 1,4 1,9 1,7 1,3 1,7 7,1 8,3 8,5 7,2 15 11,9
Kepadatan penduduk (jiwa/Km2) 26 1017 1325 1018 1111 1033
14,3 5,5 7,8 3,9 7,4 3,1 15,9 6,1 1,6 1,7 7,2 12,4 14,7 8,6 23,5 15,3
2,2 4,4 3,5 2,2 2,1 2,1 5 2,6 1,5 0,5 3,7 6,1 8,2 3,2 12,8 3
Partisipasi SLTA (persen)
Pengangguran (persen) 26 25 29 24 28 30
Status gizi buruk (persen) 100 64 85 54 24 20
6,79 0,31 0,39 0,17 0,26 0,28
Produksi per kapita (ton/jiwa) 3,94 0,20 0,29 0,44 0,50 0,32
Koperasi (unit) 19 56 9 25 45 66
UKM (unit) 10 11 25 30 9 13
8,8 3,3 5,4 7,8 7,1 2,8 8,1 3,3 1,5 1,6 4,2 5,6 6 2,4 8 7,1
26,8 16,6 19,4 12,5 20,1 6 22,4 8,3 3,8 4,7 7,4 15 18,8 7,4 20,5 11,2
X13 X14 28,3 69,2 15,8 51,6 6,4 20,3 13,6 32 4,7 7,1 2,4 4,6
Pengolahan (unit) 826 513 502 536 336 1315
Pasar (unit) 1 1 0 1 0 1
Korban bencana alam (persen) 23,78 1,39 0,46 2,61 3,41 0,03
Migrasi (persen) 2,08 0,08 0,15 0,28 0,28 0,14
90
Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jonggol Cileungsi Gunung Putri Citeureup Cibinong Bojong Gede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunung Sindur Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjo Parung Panjang
8,77 2,77 9,95 23,86 13,96 13,81 6,44 13,01 4,28 19,80 71,54 30,67 35,89 24,03 5,16 1,41 8,06 1,60 1,28 6,09 11,06 15,36 7,43 23,66 11,26 23,12 21,60 52,50 2,67 28,37 11,99
1687 4088 2202 1356 1029 898 862 1189 1530 476 83 300 115 451 1088 574 1538 2660 2674 1466 731 304 519 1056 595 592 356 368 237 396 492
30 29 30 27 19 22 28 23 27 16 25 32 24 23 25 30 31 31 28 25 30 31 31 23 24 27 25 21 20 27 28
27 46 18 29 11 48 26 30 22 12 41 38 29 23 15 8,8 18 79 13 19 63 7,8 51 15 2,1 2,5 22 18 28 2,9 4
0,22 0,26 0,39 0,68 0,38 0,37 0,21 0,39 0,16 0,19 1,63 0,80 0,61 0,27 0,13 0,41 0,19 0,03 0,24 0,19 0,36 2,77 0,80 0,62 0,47 0,18 0,35 0,23 0,20 0,25 0,14
0,17 0,10 0,13 0,15 0,14 0,27 0,03 0,09 0,01 0,01 1,94 0,76 1,27 0,51 0,10 0,07 0,01 0,03 0,01 0,02 0,04 0,42 0,07 0,17 0,07 0,25 0,32 0,50 0,37 0,46 0,43
32 57 20 20 37 48 59 43 50 11 9 8 8 30 77 71 99 173 48 26 42 9 39 29 20 24 20 6 24 19 35
11 19 18 38 43 33 7 19 25 34 10 30 21 31 10 13 47 48 28 14 76 76 11 40 10 32 10 18 11 30 32
552 1660 1382 2183 270 728 129 259 529 386 450 470 393 553 903 510 1140 1030 234 216 397 122 682 531 313 2386 528 145 525 454 1027
0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 0 1 1 0 2 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1
0,31 0,36 0,57 0,13 1,23 0,02 0,02 0,33 0,4 2,93 5,05 0,29 0,08 2,61 0,01 0,49 0,03 0 0 0 0 0 0,11 0,08 0,39 0 0,34 3,84 0,39 0,08 0,57
0,6 1,11 0,38 0,18 0,46 0,46 0,49 0,38 0,17 0,03 0,25 0,22 0,39 0,07 0,72 1,13 0,67 0,97 0 0,85 0,73 2,42 0,33 0,03 0,22 0,02 0,09 0,06 0,02 0,02 0
Sumber : BPS dan Bappeda Kabupaten Bogor
91
Lampiran 7. Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Model 1 (model terpilih) The regression equation is PJM = 26,7 + 16,3 produksi per kapita - 9,64 permigrasi + 0,0156 PSLTA - 7,62 pasar - 0,00370 kepadatan - 0,137 pengangguran Predictor VIF Constant produksi per kapita 2,0 permigrasi 1,5 PSLTA 1,5 pasar 1,0 kepadatan 1,5 pengangguran 1,3 S = 8,95357
Coef
SE Coef
T
P
26,73 16,256
10,80 2,989
2,48 5,44
0,019 0,000
-9,640
3,325
-2,90
0,007
0,01564
0,07610
0,21
0,839
-7,624
2,758
-2,76
0,010
-0,003698
0,002198
-1,68
0,103
-0,1369
0,4324
-0,32
0,754
R-Sq = 72,2%
R-Sq(adj) = 66,6%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 6 30 36
SS 6236,6 2405,0 8641,6
MS 1039,4 80,2
F 12,97
P 0,000
Model 2 The regression equation is PJM = 21,6 - 6,49 persgb - 0,135 koperasi + 21,1 produksi per kapita - 0,043 pengangguran - 0,00153 kepadtan + 0,0403 PSLTA Predictor VIF Constant persgb 4,4 koperasi 1,7
Coef
SE Coef
T
P
21,58 -6,489
10,83 2,761
1,99 -2,35
0,055 0,026
-0,13487
0,06275
-2,15
0,040
92
produksi per kapita 5,0 pengangguran 1,3 kepadtan 1,7 PSLTA 1,5
S = 9,06753
21,064
4,782
4,40
0,000
-0,0428
0,4410
-0,10
0,923
-0,001528
0,001158
-1,32
0,197
0,04031
0,07737
0,52
0,606
R-Sq = 71,5%
R-Sq(adj) = 65,7%
Model 3 The regression equation is PJM = 18,6 - 8,30 persgb - 0,143 koperasi + 24,7 produksi per kapita - 0,123 pengangguran - 0,00118 kepadtan + 0,0328 PSLTA + 0,00034 pengolahan + 0,168 UKM
Predictor VIF Constant persgb 5,2 koperasi 1,7 produksi per kapita 6,2 pengangguran 1,4 kepadtan 1,8 PSLTA 1,5 pengolahan 1,1 UKM 1,3
S = 8,93150
Coef
SE Coef
T
P
18,59 -8,302
10,86 2,944
1,71 -2,82
0,098 0,009
-0,14336
0,06210
-2,31
0,029
24,732
5,243
4,72
0,000
-0,1234
0,4462
-0,28
0,784
-0,001177
0,001169
-1,01
0,323
0,03283
0,07658
0,43
0,671
0,000345
0,002982
0,12
0,909
0,16763
0,09885
1,70
0,101
R-Sq = 74,2%
R-Sq(adj) = 66,8%
Model 4
93
The regression equation is PJM = 32,5 - 0,115 koperasi + 21,8 produksi per kapita - 0,00140 kepadatan - 0,693 pengangguran + 0,00122 pengolahan - 1,64 Perskrbn + 0,0731 UKM
Predictor VIF Constant koperasi 1,5 produksi per kapita 6,9 kepadatan 1,8 pengangguran 1,4 pengolahan 1,2 Perskrbn 6,0 UKM 1,1 S = 9,71602
Coef
SE Coef
T
P
32,46 -0,11537
11,50 0,06278
2,82 -1,84
0,009 0,076
21,830
5,996
3,64
0,001
-0,001402
0,002575
-0,54
0,590
-0,6930
0,4864
-1,42
0,165
0,001223
0,003323
0,37
0,716
-1,6398
0,9952
-1,65
0,110
0,07309
0,09928
0,74
0,468
R-Sq = 68,3%
R-Sq(adj) = 60,7%
Model 5 The regression equation is PJM = 29,0 - 0,144 koperasi + 11,8 produksi per kapita - 0,00278 kepadatan + 0,0506 PSLTA - 0,471 pengangguran + 0,00178 pengolahan + 0,068 UKM Predictor VIF Constant koperasi 1,5 produksi per kapita 2,0
Coef
SE Coef
T
P
28,98 -0,14408
11,74 0,06604
2,47 -2,18
0,020 0,037
11,830
3,350
3,53
0,001
94
kepadatan 1,8 PSLTA 1,6 pengangguran 1,3 pengolahan 1,2 UKM 1,1
S = 10,1053
-0,002779
0,002702
-1,03
0,312
0,05063
0,08975
0,56
0,577
-0,4706
0,4832
-0,97
0,338
0,001783
0,003489
0,51
0,613
0,0680
0,1038
0,65
0,518
R-Sq = 65,7%
R-Sq(adj) = 57,5%
Uji Normalitas Model Terpilih Probability Plot of RESI1 Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
-9,26586E-15 8,173 37 0,105 >0,150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
-20
-10
0 RESI1
10
20
Uji Heteroskedastisitas
95
Residuals Versus the Fitted Values (response is PJM) 20
Residual
10
0
-10
-20 0
10
20
30 Fitted Value
40
50
60
96
97