FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN UNTUK MENGURANGINYA
ANNE FLORITA AFRIYANTI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan di Provinsi Bengkulu dan Alternatif Kebijakan untuk Menguranginya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Anne Florita Afriyanti NIM H14110032
ABSTRAK ANNE FLORITA AFRIYANTI. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan di Provinsi Bengkulu dan Alternatif Kebijakan untuk Menguranginya. Dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL. Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang berlimpah, namun masih berkutat menghadapi masalah kemiskinan. Provinsi Bengkulu menjadi salah satu provinsi di Indonesia dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sumatera pada tahun 2015, sehingga diperlukan adanya analisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Bengkulu, agar diketahui kebijakan yang sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Bengkulu dengan periode penelitian tahun 2010 sampai 2014. Cakupan penelitian meliputi 10 kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu. Hasil estimasi menunjukkan variabel penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja lulusan SD, penduduk 15 tahun keatas yang bekerja lulusan SLTA, persentase tenaga kerja sektor pertanian, persentase tenaga kerja sektor non pertanian dan fasilitas kesehatan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Kebijakan yang harus dilakukan adalah memperbaiki struktur penyerapan tenaga kerja industri di Provinsi Bengkulu. Kata kunci: kesehatan, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran terbuka.
ABSTRACT ANNE FLORITA AFRIYANTI. The Factors of Affecting Poverty Level in Bengkulu Province and Alternative Policies to Reduce it. Supervised by MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL. Indonesia is a country with rich in natural resources, but still struggling to face of poverty. Bengkulu Province becomes one of the provinces in Indonesia with the highest percentage of poor people in the island of Sumatra in 2015, so it is necessary to analyze the factors that affect poverty in Bengkulu province, in order to know the appropriate policy for the province of Bengkulu. This study aims to analyze the factors affecting poverty level in Bengkulu to the research period 2010-2014. The study area includes 10 districts/cities in the Province of Bengkulu. The result indicates a variable number of the population, population aged 15 years and worked categories elementary school graduates, and high school graduates, the percentage of agricultural non-agricultural sector laborers and health facilities negatively affect to poverty levels. Policies that should be done is to improve the structure of industrial employment in the province of Bengkulu. Keywords: healthy, economic growth, poverty, unemployment rate.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN UNTUK MENGURANGINYA
ANNE FLORITA AFRIYANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian yang berjudul Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan di Provinsi Bengkulu dan Alternatif Kebijakan untuk Menguranginya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa dukungan, motivasi, bantuan dan doa dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi, maka pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS selaku dosen pembimbing atas segala kesabarannya telah banyak membimbing, memberi ilmu dan saran yang bermanfaat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu Tita Nursyamsiah, S.E, Mec selaku dosen penguji komisi pendidikan atas ilmu, saran, dan masukannya yang sangat bermanfaat bagi penulis. 3. Bapak Suindra dan Ibu Juriah, S.IP selaku orang tua penulis, Dion dan Vito selaku adik penulis serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan dukungan moril maupun materil kepada penulis. 4. Deny Nugraha, A.Md yang telah memberikan banyak masukan, saran dan motivasi kepada penulis. 5. Seluruh dosen dan staf Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Departemen Ilmu Ekonomi, dan Tingkat Persiapan Bersama atas segala bantuan, dukungan, dan ilmu-ilmu yang diberikan selama penulis menyelesaikan pendidikannya di kampus IPB. 6. Sahabat seperjuangan Ririn Indah Safitri, S.E, Nur Ariyani, S.E, Dian Asti Wulandari, S.E, Iswahyuni, S.E, Carla Sheila W, S.E, Marshella P, S.E M.Ulin Nuha, Ans Shinta P, S.E, Ginawati D, S.E, Vidi, yang telah banyak membantu, memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. 7. Seluruh teman-teman Ilmu Ekonomi 48 dan seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2016 Anne Florita Afriyanti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
5
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan
6 6
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan
10
Penelitian Terdahulu
16
Kerangka Pemikiran
18
METODE PENELITIAN
20
Jenis dan Sumber Data
20
Metode Analisis dan Pengolahan Data
20
Pengujian Kesesuaian Model
22
Uji Asumsi Klasik
23
Perumusan Model Penelitian
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
24
Gambaran Umum Provinsi Bengkulu
24
Pemilihan Kesesuaian Model
35
Uji Asumsi Klasik
36
Faktor -Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan di Provinsi Bengkulu
37
Alternatif Kebijakan Mengurangi Kemiskinan
43
SIMPULAN DAN SARAN
47
Simpulan
47
Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
49
LAMPIRAN
53
RIWAYAT HIDUP
55
DAFTAR TABEL 1 Produk domestik regional bruto menurut kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu atas dasar harga konstan 2010, tahun 2011-2014 2 Variabel, sumber dan simbol data yang digunakan 3 Selang nilai statistik Durbin Watson serta keputusannya 4 Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota Provinsi Bengkulu tahun 2010 – 2014 5 Jumlah penduduk Provinsi Bengkulu tahun 2010-2014 6 Tingkat pengangguran terbuka menurut kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu tahun 2010-2014 7 Persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha pertanian di Provinsi Bengkulu tahun 2010-2014 8 Persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja di sektor non pertanian tahun 2010-2014 9 Penduduk berumur 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan dan pendidikan yang ditamatkan di Provinsi Bengkulu tahun 2014 10 Hasil estimasi model menggunakan faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Bengkulu 11 Banyaknya fasilitas kesehatan menurut jenis di Provinsi Bengkulu tahun 2013-2014
4 20 24 28 28 30 32 33 34 36 39
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 2010-2014 Persentase penduduk miskin Indonesia tahun 2015 menurut provinsi Persentase penduduk miskin di Pulau Sumatera tahun 2014-2015 Lingkaran setan kemiskinan Kerangka pemikiran penelitian Garis kemiskinan di Provinsi Bengkulu tahun 2012-2015 Perbandingan pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu dan Indonesia tahun 2011-2014 Distribusi jumlah penduduk Provinsi Bengkulu tahun 2014 Laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan Bengkulu periode 19711980, 1980-1990, 1990-2000, dan 2000-2010 Tingkat pengangguran terbuka Provinsi Bengkulu tahun 2010-2014 Distribusi TPT menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Provinsi Bengkulu tahun 2014 Persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha pertanian di Provinsi Bengkulu tahun 2010-2014 Persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha non pertanian di Provinsi Bengkulu tahun 2010-2014 Angka harapan hidup Provinsi Bengkulu Tahun 2012-2014 Rasio Gini Provinsi Bengkulu Tahun 2010-2015
2 3 4 9 19 26 27 29 29 30 31 31 33 35 38
16 Penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut pendidikan yang ditamatkan 17 Penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha tahun 2014
40 42
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Hasil Estimasi Fixed Effect Model Hasil Chow Test Hasil Hausman Test Hasil Uji Multikolinearitas Hasil Uji Normalitas
53 53 54 54 54
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara dengan potensi sumber daya alam yang melimpah. Potensi sumber daya alam yang terkandung dalam hutan, laut, dan tambang adalah kekayaan yang sangat besar nilainya. Kekayaan alam yang dimiliki sejatinya dipergunakan sebaik-baiknya dan diperuntukkan bagi kehidupan rakyat. Undang - Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 Ayat 3 menjelaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam di Indonesia harus dimanfaatkan dan dinikmati hanya untuk rakyat, sehingga mampu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun pada kenyataannya kapitalisasi menyebabkan sumber daya alam Indonesia dieksploitasi dan jatuh ke tangan para pemilik modal. Akibatnya hasil sumber daya alam yang seharusnya bisa dikelola dan dinikmati seluruh rakyat justru dikuasai oleh kaum kapitalis. Sehingga sumber daya alam yang ada saat ini belum mampu memakmurkan rakyat Indonesia, terbukti dengan masih tingginya angka kemiskinan sejak dahulu hingga sekarang. Kemiskinan merupakan permasalahan klasik yang dihadapi negara manapun di dunia, baik itu negara maju maupun negara berkembang. Namun negara berkembang cenderung mengalami kemiskinan lebih dominan dibandingkan negara maju. Hal ini disebabkan perbedaan yang sangat jauh antara negara maju dan berkembang dari sisi sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Indonesia yang notabene adalah negara berkembang masih berkutat dengan masalah kemiskinan. Pemerintah selalu berjuang untuk dapat mengurangi angka kemiskinan. Triliunan rupiah dana telah digelontorkan oleh pemerintah untuk mengadakan berbagai kebijakan demi menurunkan angka kemiskinan. Berbagai skenario kebijakan pemerintah dalam rangka usaha mengurangi dan menekan angka kemiskinan di Indonesia selalu dicanangkan pada program pembangunan setiap tahunnya, namun hasilnya tetap tidak maksimal. Perlunya kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan upaya pengentasan kemiskinan secara komprehensif, mencakup seluruh aspek kehidupan. Kemiskinan dapat dilihat sebagai masalah multidimensi karena berkaitan dengan ketidakmampuan akses secara ekonomi, sosial, budaya, politik dan partisipasi dalam masyarakat. Kemiskinan seringkali ditandai dengan tingginya tingkat pengangguran dan keterbelakangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya terhadap kegiatan ekonomi sehingga akan tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Menurut Kartasasmita (1996) ukuran kemiskinan dilihat dari tingkat pendapatan dapat dikelompokkan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila pendapatannya lebih rendah dari garis kemiskinan absolut atau dengan istilah lain jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum.
2 25 19.9
Persen
20 15
11.1
18.94 10.95
18.08 10.51
17.92 10.63
17.37 10.36
10 5 0
2010
2011
2012 Tahun
2013
2014
Kota Desa
Sumber : BPS (2016)
Gambar 1 Persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 2010-2014 (persen) Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa secara umum persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2014 trendnya cenderung menurun. Persentase penduduk miskin tercatat lebih banyak berada di perkotaan daripada di pedesaan. Hal ini disebabkan karena biaya hidup di perkotaan cenderung lebih mahal, sehingga garis kemiskinannya lebih tinggi daripada di pedesaan. Sementara itu, penyebab menurunnya trend penduduk miskin di desa dan kota diduga karena program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan sudah tepat sasaran. Menurunnya angka kemiskinan secara umum di kota dan desa adalah indikasi telah terjadi keberhasilan pada program-program penanggulangan kemiskinan yang diadakan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Walaupun belum efektif dan tepat sasaran, setidaknya bantuan pemerintah sudah dapat menurunkan angka penduduk miskin pada umumnya. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya untuk menurunkan angka kemiskinan dengan terus mengadakan program kemiskinan yang dirasa efektif dan tepat sasaran, serta mengevaluasi program yang telah diluncurkan agar semakin lebih baik. Dalam rangka menanggulangi kemiskinan baik secara lokal maupun nasional, pemerintah melaksanakan kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2001. Kebijakan ini dibuat agar kabupaten/kota dapat mengelola pendapatannya sendiri sehingga mampu mengangkat perekonomian daerah. Diharapkan dengan otonomi daerah maka upaya percepatan pembangunan ekonomi atas dasar inisiatif lokal dapat diwujudkan guna mengatasi masalah pembangunan di daerah. Instrumen otonomi daerah yakni dikeluarkannya kebijakan desentralisasi fiskal yang memberikan lebih banyak sumber daya keuangan pada kabupaten/kota. Menurut Sidik (2005), salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam kebijakan desentralisasi fiskal adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, diharapkan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan percepatan pembangunan di daerah dengan mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan.
3 30 25
Persen
20 15 10 0
Aceh Sumatera Utara sumatera barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep.Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
5
Provinsi Sumber : BPS (2016)
Gambar 2 Persentase penduduk miskin Indonesia tahun 2015 menurut provinsi (persen) Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa Provinsi Papua memiliki persentase penduduk miskin tertinggi di Indonesia hingga 28.40%, sementara yang terendah adalah Provinsi DKI Jakarta sebanyak 3.61%. Hal ini membuktikan bahwa program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dijalankan masih belum merata, karena sebagian besar penduduk miskin di wilayah Indonesia bagian timur masih tinggi. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa tujuan otonomi daerah untuk mensejahterakan masyarakat belum sepenuhnya berhasil, terlihat bahwa wilayah timur masih tinggi angka kemiskinannya dibanding wilayah barat. Perhatian pemerintah belum sepenuhnya merata antara Indonesia bagian timur dan barat. Pulau Sumatera merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia yang notabene mempunyai sumber daya alam yang melimpah seperti hasil tambang dan perkebunan, namun ternyata tidak sebanding dengan kesejahteraan masyarakatnya. Kemiskinan masih menjadi permasalahan utama di Pulau Sumatera. Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa Pulau Sumatera memiliki persentase penduduk miskin diatas 10% di beberapa provinsi yakni antara lain di Provinsi Aceh, Bengkulu, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Masih tingginya angka kemiskinan di Pulau Sumatera menjadi „pekerjaan rumah‟ bagi pemerintah untuk terus berupaya meluncurkan berbagai kebijakan penanggulangan yang sesuai dan tepat sasaran bagi masyarakat di Pulau Sumatera. Menurut Sukirno (2004), salah satu unsur yang menentukan kemakmuran suatu masyarakat adalah tingkat pendapatan. Pendapatan masyarakat mencapai maksimum apabila kondisi tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) dapat terwujud. Pengangguran akan menimbulkan efek mengurangi pendapatan masyarakat, dan itu akan mengurangi tingkat kemakmuran yang telah tercapai. Semakin turunnya tingkat kemakmuran akan menimbulkan masalah lain yaitu kemiskinan. Faktor lain yang turut berperan dalam kemiskinan adalah inflasi dan pengeluaran pemerintah. Inflasi yang tinggi dapat menyebabkan masyarakat berpendapatan tetap akan tergerus daya belinya, sehingga bagi masyarakat miskin akan semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Sementara pengeluaran pemerintah merupakan kebijakan fiskal yang dapat
4
Persen
digunakan untuk mengalokasikan anggaran belanjanya pada kepentingan publik, khususnya masyarakat miskin, sehingga kebijakan anggaran yang tepat akan mampu mengurangi angka kemiskinan. Tahun 2014 dan 2015 Provinsi Bengkulu menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sumatera berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2016). Seperti yang tertera pada Gambar 3, terlihat bahwa persentase kemiskinan Provinsi Bengkulu pada tahun 2014 mencapai 17.09% kemudian tahun 2015 naik menjadi 17.16%. Hal ini berarti pemerintah setempat masih gagal dalam menurunkan angka kemiskinan dan belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Provinsi Bengkulu. Program pemerintah dalam rangka mengentaskan kemiskinan masih belum tepat sasaran atau mungkin tidak sesuai dengan kondisi demografi masyarakat Bengkulu. 20 18 16.98 17.11 17.09 17.16 16 14.21 13.62 13.77 13.53 14 10.79 12 9.85 10 9.12 8.82 8.39 7.99 8 6.89 6.4 6.71 5.78 6 4.97 4.83 4 2 0 Aceh
Sumatera Sumatera Utara Barat
Riau
Jambi Sumatera Bengkulu Lampung Kep. Kep. Riau Selatan Bangka Belitung 2014
Provinsi
2015
Sumber : BPS (2016)
Gambar 3 Persentase penduduk miskin di Pulau Sumatera tahun 2014-2015 Tabel 1 Produk domestik regional bruto menurut kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu atas dasar harga konstan 2010 (juta rupiah), 2011-2014 Kabupaten/kota Bengkuu Selatan Rejang Lebong Bengkulu Utara Kaur Seluma Mukomuko Lebong Kepahiang Bengkulu Tengah Kota Bengkulu
2011 2 366 414.02 3 998 379.45 3 456 408.49 1 507 502.54 1 919 541.17 2 146 561.74 1 414 328.20 1 814 120.29 1 916 027.10 9 657 223.11
2012 2 518 785.31 4 261 234.65 3 677 271.37 1 589 692.75 2 042 443.13 2 280 577.76 1 492 920.30 1 929 215.51 2 033 315.36 10 327 320.51
2013 2 673 172.10 4 515 100.97 3 872 559.74 1 670 005.98 2 161 165.24 2 433 241.29 1 573 907.30 2 051 268.52 2 143 922.80 10 954 293.58
2014 2 821 800.85 4 751 393.49 4 095 117.08 1 753 237.94 2 279 804.76 2 590 267.88 1 661 627.20 2 174 461.27 2 267 647.73 11 616 774.99
Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2015)
Tabel 1 menunjukkan bahwa PDRB kabupaten dan kota di Provinsi Bengkulu dari tahun 2011 hingga 2014 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Artinya perekonomian di Provinsi Bengkulu terus mengalami perkembangan,
5 nilai tambah yang dihasilkan dari sektor-sektor yang ada di Provinsi Bengkulu terus meningkat. Meningkatnya nilai PDRB Provinsi Bengkulu seharusnya diikuti pula dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Perumusan Masalah Masalah kemiskinan bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sebab, meskipun telah berjuang puluhan tahun untuk membebaskan diri dari kemiskinan, kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia belum bisa melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Berbagai kebijakan telah ditempuh pemerintah baik pusat maupun daerah untuk dapat mengurangi angka kemiskinan, namun kemiskinan masih terus menjadi masalah utama pembangunan. Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan di Indonesia, setiap wilayah memiliki faktor penyebab kemiskinan yang berbeda-beda. Demikian dengan Provinsi Bengkulu yang menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sumatera pada tahun 2015 (BPS 2015). Padahal nilai PDRB kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu selalu meningkat dari tahun 2011 hingga tahun 2014. Selain itu Provinsi Bengkulu merupakan Provinsi penghasil batubara dan sawit di Indonesia dengan nilai ekspornya yang mencapai US$ 94 Juta pada tahun 2014. Namun meningkatnya nilai PDRB dan besarnya nilai ekspor komoditi batubara dan sawit yang cukup besar belum mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk di Provinsi Bengkulu. Oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan di Provinsi Bengkulu sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang sesuai untuk menanggulangi faktor-faktor kemiskinan tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Bengkulu ? 2. Kebijakan apa yang perlu dilakukan pemerintah dalam upaya mengurangi kemiskinan di Provinsi Bengkulu ? Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitin ini adalah : 1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Bengkulu. 2. Merumuskan kebijakan dalam upaya mengurangi kemiskinan di Provinsi Bengkulu Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin diberikan pada penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah setempat dalam menentukan kebijakan yang tepat dan efektif untuk mengurangi tingkat kemiskinan
6 2. Bagi para akademisi penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi penelitian selanjutnya. 3. Bagi masyarakat umum diharapkan penelitian ini menjadi informasi tambahan mengenai perkembangan kemiskinan di Provinsi Bengkulu. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Bengkulu dengan menggunakan metode regresi data panel. Penelitian ini menggunakan variabel terikat jumlah penduduk miskin, sedangkan variabel bebasnya yaitu jumlah penduduk, persentase tenaga kerja di sektor pertanian, persentase tenaga kerja di sektor non pertanian, fasilitas kesehatan, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran terbuka, persentase penduduk yang berusia 15 tahun keatas yang bekerja menurut pendidikan yang ditamatkan SLTA dan persentase penduduk yang berusia 15 tahun yang bekerja menurut pendidikan yang ditamatkan SD. Data yang digunakan adalah data cross section berupa data 10 kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu dan data time series selama 5 tahun dari tahun 2010-2014.
TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan Secara umum definisi kemiskinan adalah ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti papan, sandang dan pangan. Fenomena kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Menurut Chambers (1998) kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. World Bank mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan dalam kesejahteraan yang terdiri dari banyak dimensi diantaranya rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan, akses masyarakat miskin terhadap air bersih dan sanitasi, keamanan fisik yang tidak memadai, kurangnya suara dan kapasitas memadai serta kesempatan untuk hidup yang lebih baik. Menurut Kuncoro (2003) kemiskinan secara sederhana dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu: 1. Kemiskinan absolut Kemiskinan absolut yaitu orang yang memiliki pendapatan perkapita berada dibawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan dasar hidupnya sehari-hari, seperti makanan, pakaian, dan perumahan. Kesulitan dalam menentukan kemiskinan absolut terletak pada menentukan kebutuhan minimum tersebut, karena kebutuhan minimum selain ditentukan oleh faktor ekonomi tetapi juga dipengaruhi oleh adat-istiadat.
7 2. Kemiskinan relatif Kemiskinan relatif yaitu seseorang yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi relatif lebih rendah dibandingkan masyarakat disekitarnya. Berdasarkan konsep ini, garis kemiskinan akan berubah sepanjang perubahan standar hidup masyarakat berubah. 3. Kemiskinan kultural Kemiskinan kultural yaitu kemiskinan yang disebabkan sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki kehidupannya meskipun ada pihak lain yang berusaha untuk memperbaiki taraf hidupnya. Penyebab kemiskinan Menurut Sharp et al (2000), kemiskinan terjadi dikarenakan beberapa hal yaitu : 1. Rendahnya kualitas angkatan kerja. Penyebab terjadinya kemiskinan adalah rendahnya kualitas angkatan kerja (SDM) yang dimiliki oleh suatu Negara. Biasanya yang sering menjadi acuan tolak ukur adalah dari pendidikan (buta huruf). Semakin tinggi angkatan kerja yang buta huruf semakin tinggi juga tingkat kemiskinan yang terjadi. 2. Akses yang sulit terhadap kepemilikan modal. Terbatasnya modal dan tenaga kerja menyebabkan terbatasnya tingkat produksi yang dihasilkan sehingga akan menyebabkan kemiskinan. 3. Rendahnya masyarakat terhadap penguasaan teknologi. Pada era globalisasi seperti sekarang menuntut seseorang untuk dapat menguasai alat teknologi. Semakin banyak seseorang tidak mampu menguasai dan beradaptasi dengan teknologi maka akan menyebabkan pengangguran. Dari hal ini awal mula kemiskinan terjadi. Semakin banyak jumlah pengangguran maka semakin tinggi potensi terjadi kemiskinan. 4. Penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Penduduk yang tinggal di negara berkembang terkadang masih jarang memanfaatkan secara maksimal sumber daya yang ada. Sebagai contoh masyarakat di desa untuk memasak lebih cenderung menggunakan kayu bakar daripada menggunakan gas yang lebih banyak digunakan pada masyarakat perkotaan. 5. Tingginya pertumbuhan penduduk. Menurut teori Malthus, pertumbuhan penduduk sesuai dengan deret ukur sedangkan untuk bahan pangan sesuai dengan deret hitung. Berdasarkan hal ini maka terjadi ketimpangan antara besarnya jumlah penduduk dengan minimnya bahan pangan yang tersedia. Hal ini merupakan salah satu indikator penyebab terjadinya kemiskinan. Indikator kemiskinan Bank Dunia menggunakan dua kriteria dalam menentukan garis kemiskinan. Pertama, menggunakan garis kemiskinan nasional yang didasarkan pada pola konsumsi 2100 kalori per hari. Kedua, garis kemiskinan internasional berdasarkan PPP (Purchasing Power Parity) US$1 dan US$2. Nilai tukar PPP US$1 mempunyai pengertian berapa rupiah yang bisa dibeli dengan satu dollar Amerika Serikat. Nilai tukar ini dihitung secara berkala dari data harga dan kuantitas konsumsi sejumlah barang dan jasa untuk setiap negara.
8 Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori perkapita perhari. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak). Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakkin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Teori Lingkaran Setan Kemiskinan Penyebab kemiskinan menurut Kuncoro (2003) sebagai berikut : 1. Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. 2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumberdaya manusia karena kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya juga akan rendah, upahnya pun rendah. 3. Kemiskinan muncul karena adanya akses modal. Ketiga penyebab kemiskinan itu bermuara pada lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty).
9 Produktivitas Rendah
Produktivitas rendah
Pembentukan Modal Rendah
Inv estasi Rendah
DEMAND Sumber : Nurkse (1953)
Pendapatan Rendah
Permintaan Barang Rendah
Pembentukan Modal Rendah
Inv estasi Rendah
Pendapatan Rendah
Tabungan Rendah
SUPPLY
Gambar 4 Lingkaran setan kemiskinan Pada Gambar 4 logika berpikir yang dikemukakan Nurkse (1953) yang mengemukakan bahwa negara miskin itu karena dia miskin (a poor country is poor because it is poor). Dalam mengemukakan teorinya tentang lingkaran setan kemiskinan, pada hakikatnya Nurkse berpendapat bahwa kemiskinan bukan saja disebabkan oleh ketiadaan pembangunan masa lalu tetapi juga disebabkan oleh hambatan pembangunan di masa yang akan datang. Menurut pendapatnya inti dari lingkaran setan kemiskinan adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan terhadap terciptanya pembentukan modal yang tinggi. Di satu pihak pembentukan modal ditentukan oleh tingkat tabungan dan di lain pihak oleh perangsang untuk menanam modal. Di negara berkembang kedua faktor itu tidak memungkinkan dilaksanakannya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Jadi, menurut pandangan Nurkse, terdapat dua jenis lingkaran setan kemiskinan yang menghalangi negara berkembang mencapai pembangunan yang pesat yaitu dari segi penawaran dan permintaan modal. Dari segi penawaran modal, tingkat pendapatan masyarakat rendah yang diakibatkan oleh tingkat produktivitas yang rendah, menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung juga rendah. Ini akan menyebabkan suatu negara menghadapi kekurangan barang modal dan dengan demikian tingkat produktivitasnya akan tetap rendah yang akan mempengaruhi kemiskinan. Dari segi permintaan modal, corak lingkaran setan kemiskinan mempunyai bentuk yang berbeda di setiap negara. Negara-negara miskin perangsang untuk melaksanakan penanaman modal rendah karena luas pasar untuk berbagai jenis barang terbatas, dan hal ini disebabkan oleh pendapatan masyarakat rendah. Di lain pihak, pendapatan masyarakat yang rendah disebabkan oleh produktivitasnya rendah ditunjukan oleh pembentukan modal yang terbatas pada masa lalu dan mengakibatkan pada masa yang akan datang. Pembentukan modal yang terbatas ini disebabkan oleh kekurangan perangsang untuk menanam modal, sehingga kemiskinan tidak berujung pada pangkalnya.
10 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan Pertumbuhan Ekonomi Jhingan (2004) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya. Definisi ini memiliki tiga komponen : pertama, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terusmenerus persediaan barang. Kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk. Ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara tepat. Menurut pandangan ekonom klasik, Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus dan John Straurt Mill, maupun ekonom neo klasik, Robert Solow dan Trevor Swan, mengemukakan bahwa pada dasarnya ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu (1) jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkat teknologi yang digunakan. Menurut Kuncoro (2003) suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Pengangguran Permasalahan kemiskinan tidak akan pernah lepas dari permasalahan pengangguran, karena pengangguran adalah salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya kemiskinan di negara berkembang khususnya di Indonesia. Pengangguran adalah seseorang yang tergolong dalam kelompok angkatan kerja namun tidak bekerja ataupun sedang mencari pekerjaan. Menurut Kuncoro (2013), pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, atau mereka yang mempersiapkan usaha, atau mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan mereka yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Pengangguran dibedakan menjadi tiga jenis yaitu : 1. Pengangguran Terselubung (disguissed unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu. 2. Menganggur (under unemployment) adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada lapangan pekerjaan, biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu. 3. Pengangguran Terbuka (open unemployment) adalah tenaga kerja yang sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengganguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal Sementara pengangguran berdasarkan penyebabnya dibedakan menjadi empat macam yaitu :
11 1. Pengangguran konjungtural (cycle unemployment) adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan gelombang (naik-turunnya) kehidupan perekonomian/siklus ekonomi. 2. Pengangguran struktural (struktural unemployment) adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahan struktur ekonomi dan corak ekonomi dalam jangka panjang. Pengangguran struktural bisa diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, seperti : akibat permintaan berkurang, akibat kemajuan dan teknologi, dan akibat kebijakan pemerintah. 3. Pengangguran friksional (frictional unemployment) adalah pengangguran yang muncul akibat adanya ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja. Pengangguran ini sering disebut pengangguran sukarela. 4. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang muncul akibat pergantian musim misalnya pergantian musim tanam ke musim panen. 5. Pengangguran teknologi adalah pengangguran yang terjadi akibat perubahan atau penggantian tenaga manusia menjadi tenaga mesin-mesin. 6. Pengangguran siklus adalah pengangguran yang diakibatkan oleh menurunnya kegiatan perekonomian (karena terjadi resesi). Pengangguran siklus disebabkan oleh kurangnya permintaan masyarakat (agregat demand). Arsyad (2004) membagi pengangguran dalam beberapa bentuk pengangguran. 1. Pengangguran terbuka, adalah mereka yang mampu dan sangat ingin bekerja tetapi tidak tersedia pekerjaan yang cocok. 2. Setengah pengangguran adalah pekerja yang secara nominal bekerja penuh namun produktivitas mereka rendah sehingga tidak sebanding dengan hasil yang didapat jika dibandingkan dengan jam kerja. Menurut Sukirno (2004), efek buruk dari pengangguran adalah mengurangi pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran yang telah dapat dicapai seseorang. Semakin turunnya kesejahteraan masyarakat karena menganggur tentunya akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Cara untuk mengetahui proporsi jumlah pengangguran di suatu wilayah dapat diukur dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Kegunaan mengetahui persentase tingkat pengangguran terbuka ini tentunya sangat bermanfaat sekali sebagai gambaran kesejahteraan penduduk di suatu wilayah, sebagai acuan pemerintah dalam menurunkan angka pengangguran dengan membuka lapangan pekerjaan baru. Tingkat pengangguran terbuka diukur sebagai persentase jumlah penganggur terhadap jumlah angkatan kerja, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: TPT =
x 100%........................................(1)
Jumlah Penduduk Penduduk adalah salah satu komponen penting dalam pembangunan suatu wilayah, tetapi tentunya penduduk yang mempunyai daya saing dan yang berkualitas akan meningkatkan produktivitas perekonomian dari wilayah tersebut. Kuantitas penduduk juga penting karena akan memengaruhi kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Indonesia yang notabene adalah negara berkembang
12 merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk tertinggi di dunia, masalah negara berkembang salah satunya adalah tingkat kelahiran yang tinggi. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi akan meningkatkan kepadatan penduduk (jumlah orang perkilometer persegi) di suatu wilayah, sehingga semakin padat lahan akan semakin menurunkan kesejahteraan penduduk di sekitar wilayah tersebut. Tingginya laju pertumbuhan penduduk juga berarti tinggi angka kelahiran bayi, dengan begitu orang dewasa ataupun penduduk yang termasuk angkatan kerja akan menanggung beban bayi ataupun penduduk usia dibawah 15 tahun. Akibatnya angka beban ketergantungan akan meningkat, karena menurut Todaro (2006) penduduk yang berusia lanjut dan anak-anak atau anggota masyarakat yang tidak produktif menjadi beban anggota masyarakat yang termasuk angkatan kerja yang produktif. Menurut Sukirno (1997) perkembangan jumlah penduduk bisa menjadi faktor pendorong dan penghambat pembangunan. Faktor pendorong : 1. Memungkinkan semakin banyaknya tenaga kerja. 2. Perluasan pasar, karena luas pasar barang dan jasa ditentukan oleh dua faktor penting, yaitu pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk. Faktor penghambat : 1. Menurunkan produktivitas, 2. Meningkatkan angka pengangguran. Masalah kependudukan yang dihadapi yaitu tingginya tingkat kelahiran dan tinggi pula angka kematiannya, akan tetapi masih besar angka kelahirannya. Kelahiran yang tinggi salah satunya disebabkan oleh pernikahan di usia dini, dan kurangnya pengetahuan akan program Keluarga Berencana (KB). Sementara itu angka kematian yang tinggi disebabkan oleh masih rendahnya kualitas kesehatan yang dimiliki penduduk negara berkembang. Selain itu untuk melihat gambaran dinamika penduduk suatu wilayah juga dapat dilihat dari laju pertumbuhan penduduknya. Laju pertumbuhan penduduk dilihat dari tiga komponen yaitu : kelahiran, kematian, dan migrasi. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menjadi sumber permasalahan kependudukan. Apabila laju pertumbuhan penduduk tinggi dengan jumlah pendudu yang besar maka beban untuk mencukupi kebutuhan pangan, sandang, dan papan akan menjadi sangat berat. Pendidikan Menurut Todaro (2010), pendidikan merupakan cara untuk menyelamatkan diri dari kemiskinan dan pendidikan juga merupakan tujuan pembangunan yang mendasar yaitu memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara dalam menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Wijanarko (2013) orang dengan pendidikan yang lebih tinggi maka akan memberikan peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan gaji yang tinggi. Permasalahan pendidikan di Indonesia terletak pada ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan antara keluarga yang mampu dan yang tidak mampu, sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk pendidikan bagi keduanya relatif sama tanpa melihat latar belakang ekonomi keluarganya. Akibatnya banyak
13 keluarga yang tidak mampu untuk tidak melanjutkan pendidikannya karena keterbatasan ekonomi. Pendidikan merupakan modal dasar pembangunan sumber daya manusia (SDM). Angka melek huruf merupakan salah satu indikator bagaimana kesejahteraan masyarakat terukur, minimal masyarakat sudah bisa membaca dan menulis sudah bisa meningkatkan kesejahteraan. Pendidikan yang memadai, maka pembangunan nasional akan mudah dicapai sesuai dengan yang telah direncanakan. Diharapkan dengan pendidikan akan mampu menjawab persoalan kemiskinan, rendahnya produktivitas dan juga lambatnya pertumbuhan ekonomi. Pendidikan tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan kerja yang selanjutnya akan meningkatkan produktivitas kerja. Menurut Heidjrahman (2000) pengertian pendidikan adalah untuk meningkatkan pengetahuan umum seseorang termasuk didalamnya meningkatkan penguasaan teori keterampilan memutuskan persoalan yang menyangkut kegiatan mencapai tujuan. Cara memutus mata rantai penyebab kemiskinan maka pendidikan merupakan salah satu solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah. Todaro (2006) menyatakan bahwa selama bertahun-tahun, penelitian bidang ekonomi menitikberatkan penelitiannya dibidang pendidikan, dan melihat keterkaitan antara pendidikan dengan produktivitas kerja serta output yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan karena titik berat persoalan perekonomian adalah tingkat pertumbuhan output total yang dihasilkan oleh suatu negara. Todaro (2006) menyatakan bahwa pendidikan merupakan tujuan pembangunan yang sangat mendasar. Pendidikan memegang peranan kunci dalam membangun ekonomi dan memajukan sebuah bangsa, membantu menyerap teknologi, menciptakan pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan. Pendidikan adalah salah satu cara untuk memutuskan rantai kemiskinan, sehingga pendidikan harus dimiliki oleh seluruh masyarakat tanpa melihat status, suku, agama, dan ras demi meningkatkan kesejahteraan di masa depan. Kesehatan Sumber daya manusia yang tinggi salah satunya ditandai dengan kualitas kesehatannya. Juanita (2002) menyatakan salah satu modal dasar dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi adalah kondisi kesehatan masyarakat yang baik. Kondisi kesehatan masyarakat yang sehat tentu akan meningkatkan produktivitas produksi dan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Negara berkembang seperti Indonesia masih tertinggal dari sisi kualitas kesehatan dibanding negara maju. Salah satu yang memengaruhinya adalah fasilitas kesehatan, karena jumlah fasilitas kesehatan di Indonesia belum sepenuhnya menjangkau masyarakat terutama di wilayah yang tertinggal dan infrastruktur yang tidak memadai. Sehingga masalah kesehatan di Indonesia masih membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah. Kemiskinan erat kaitannya dengan kesehatan, karena orang miskin berpendapatan rendah sehingga kebutuhan akan gizinya tidak terpenuhi. Akibatnya kesehatannya menjadi terganggu sehingga menurunkan produktivitasnya. Selain itu masyarakat miskin juga akan kesulitan mendapat akses kesehatan karena ketidakcukupan biaya.
14 Masyarakat yang sehat datang dari pembangunan bidang kesehatan yang baik, maka dibutuhkan perhatian dari pemerintah untuk peningkatan akses kesehatan terutama bagi warga miskin, memberikan fasilitas kesehatan yang merata tidak hanya di perkotaan tetapi juga di wilayah wiayah yang tertinggal maupun sulit dijangkau, sarana dan prasarana kesehatan yang memadai, peningkatan jumlah tenaga kesehatan yang berkompeten, obat-obatan yang terjangkau, serta sosialisasi hidup sehat. Upaya upaya tersebut juga sekaligus bagian dari penanggulangan kemiskinan. Arsyad (1999) menjelaskan intervensi untuk memperbaiki kesehatan dari pemerintah juga merupakan suatu alat kebijakan penting untuk mengurangi kemiskinan. Infrastruktur Infrastrukur merupakan salah satu faktor penentu pembangunan ekonomi yang sangat vital untuk menghubungkan berbagai macam kegiatan ekonomi. Infrastruktur yang baik akan meningkatkan mobilitas perekonomian dan memperlancar arus perdagangan antar daerah. Menurut Maryaningsih et al (2014), infrastruktur dibagi menjadi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi merupakan aset fisik yang menyediakan jasa dan digunakan dalam produksi dan konsumsi final meliputi public utilities (telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas), public works (bendungan, saluran irigasi dan drainase) serta sektor transportasi (jalan, kereta api, angkutan pelabuhan dan lapangan terbang). 2. Infrastruktur sosial merupakan aset yang mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah sakit, pusat kesehatan) serta untuk rekreasi (taman, museum dan lain-lain). 3. Infrastruktur administrasi/institusi meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi serta kebudayaan. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur menjelaskan bahwa penyediaan infrastruktur berikut ini diatur oleh pemerintah karena sifatnya yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, yaitu : infrastruktur transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, dan infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi. Permasalahan infrastruktur di Indonesia menurut Tambunan (2006) adalah : (1) menurunnya belanja untuk infrastruktur karena salah satunya akibat keterbatasan dana; (2) rendahnya kinerja infrastruktur; (3) rendahnya tingkat recovery infrastruktur; (4) kesenjangan infrastruktur antar wilayah; (5). kesenjangan aksesibilitas infrastruktur; dan (6) inefisiensi penyediaan infrastruktur. Permasalahan tersebut saling berkaitan satu sama lain sehingga membentuk suatu vicious cycle. Salah satu subsektor infrastruktur yang sangat penting adalah jalan. Jalan dapat meningkatkan efisiensi. Jalan raya merupakan infrastruktur yang digunakan unuk memperlancar distribusi dan faktor produksi antar wilayah. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang jalan, jalan dikelompokan berdasarkan administrasi pemerintahan yaitu : 1. Jalan nasional, merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.
15 2. Jalan provinsi, merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi. 3. Jalan kabupaten, merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten. 4. Jalan kota, adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta menghubungkan antar pusat permukiman yang berada di dalam kota. 5. Jalan desa, merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan. Infrastruktur yang baik khususnya jalan raya seharusnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena dengan semakin baiknya infrastruktur arus distribusi barang dan jasa semakin meningkat sehingga biaya yang dikeluarkan oleh produsen akan lebih rendah. Pembangunan infrastruktur dalam jangka pendek akan menciptakan lapangan kerja di sektor konstruksi, sementara dalam jangka panjang akan meningkatkan efisiensi dan produktifitas sektor ekonomi lainnya. Dengan demikian peningkatan pembangunan infrastruktur menjadi strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas hidup, peningkatan mobilitas barang dan jasa, serta dapat mengurangi biaya investor dalam dan luar negeri. Oleh karena itu pemerintah harus konsisten dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur di Indonesia terutama di wilayah yang tertinggal sehingga biaya transportasi menjadi lebih murah dan mengurangi disparitas harga antar daerah (Basri 2002). Tenaga Kerja Sektor Pertanian dan Non Pertanian Kemiskinan berkaitan dengan jenis pekerjaan atau lapangan usaha tertentu. Umumnya kemiskinan di Indonesia selalu terkait dengan sektor usaha di bidang pertanian untuk daerah pedesaan dan sektor informal di daerah perkotaan. Hal ini diperkuat dengan hasil studi yang dilakukan oleh Suryahadi et.al (2006) menemukan bahwa selama periode 1984 dan 2002, sektor pertanian memiliki daya serap yang cukup tinggi terhadap tenaga kerja yang ada sehingga sektor pertanian juga sebagai penyedia tenaga kerja bagi sektor industri dan jasa. Dalam studi tersebut juga ditemukan bahwa sektor pertanian menyumbang lebih dari 50% terhadap total kemiskinan di Indonesia dan ini sangat kontras jika dibandingkan dengan sektor jasa dan industri. Oleh karena tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian menyebabkan kemiskinan diantara kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor lainnya. Sektor pertanian di Indonesia menyumbang pangsa penyerapan tenaga kerja terbesar dibandingkan sektor lainnya, namun penyerapan tersebut cenderung menurun. Menurunnya pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian disebabkan karena bergesernya pembangunan ekonomi dari pertanian ke sektor
16 industri. Pertumbuhan ekonomi suatu negara ditandai dengan terjadinya perubahan struktur ekonomi, adanya peningkatan produktivitas dan partisipasi tenaga kerja. Untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian dapat dipercepat dengan cara memberikan kesempatan kerja bagi sektor pertanian dengan memberikan kesempatan saling menunjang antar sektor. Perkembangan ekonomi di suatu pedesaan telah ikut andil dalam merubah struktur ketenagakerjaan di pedesaan, berkembangnya kegiatan non pertanian telah mengakibatkan peralihan tenaga buruh pertanian ke non pertanian yang sudah barang tentu akan menimbulkan masalah dalam penyediaan tenaga kerja usahatani (Tambunan 1996). Akibatnya tenaga kerja banyak yang bergeser dari sektor pertanian karena semakin banyaknya lapangan kerja baru. Meningkatnya pangsa tenaga kerja di sektor pertanian juga harus di waspadai karena apabila kesempatan kerja di sektor pertanian justru lebih kecil daripada peningkatan pangsa tenaga kerja pertanian maka akan menciptakan pengangguran dan penurunan produktivitas sektor pertanian. Bergesernya struktur ekonomi diharapkan mampu menyerap tenaga kerja ke sektor industri yang memiliki efek multiplier terhadap sektor lainnya, sehingga lapangan pekerjaan akan tercipta di sektor lain tidak hanya di sektor industri. Menurut Sawit (1986) faktor yang mendorong dan mengatur permintaan tenaga kerja diakibatkan oleh adanya jadwal tanam yang mengatur pergiliran waktu tanam sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi permintaan tenaga kerja di daerah tersebut. Menurut Sigit (1986) faktor penyebab terjadinya terjadinya transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian dapat dikategorikan menjadi dua yaitu : (1) faktor pendorong dan (2) faktor penarik. Faktor pendorong yang berasal dari sektor pertanian sedangkan faktor penarik berasal dari sektor non pertanian. Secara umum penyebab transformasi tenaga kerja terjadi akibat adanya perubahan pada tingkat pendidikan, penduduk usia muda yang makin meningkat, perubahan norma-norma yang berhubungan dengan jenis dan situasi pekerjaan dikalangan pencari kerja dan masyarakat umumnya, adanya peluang untuk berkerja di luar sektor pertanian, sempitnya pemilikan lahan pertanian (sawah) dan meningkatnya penggunaan teknologi serta tingkat upah yang relatif lebih tinggi disektor non pertanian. Ciri pembangunan ekonomi adalah makin meningkatnya peran sektor non pertanian namun peran sektor pertanian justru menurun, sehingga pembangunan ekonomi secara tidak langsung akan sejalan dengan perkembangan sektor non pertanian atau industri, akibatnya terjadi transformasi tenaga kerja sektor pertanian ke sektor non pertanian. Penelitian Terdahulu Amelia (2012) melakukan penelitiannya yang berjudul “Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan kondisi kemiskinan di NTT dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di NTT. Metode yang digunakan adalah analisis data panel dengan pendekatan Pooled Least Square. Hasil analisis menyebutkan bahwa variabel jumlah penduduk memiliki pengaruh positif dan siginifikan terhadap tingkat kemiskinan di NTT. Variabel angka harapan hidup memiliki pengaruh negatif secara signifikan
17 terhadap tingkat kemiskinan. Selanjutnya, variabel penduduk yang lulus pendidikan SMP memiliki pengaruh negatif secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan, variabel tingkat pengangguran terbuka berpengaruh positif tidak signifikan terhadap kemiskinan. Penelitian Wijanarko (2013) yang berjudul “Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kecamatan Jelbuk Kabupaten Jember”. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh curahan jam kerja terhadap penghasilan keluarga miskin, pengaruh pendidikan terhadap penghasilan keluarga miskin, pengaruh usia terhadap penghasilan keluarga miskin di Kecamatan Jelbuk Kabupaten Jember. Penelitian ini menggunakan prosedur Simple Random Sampling dengan metode analisis regresi linier berganda. Hasil penelitiannya adalah variabel curahan jam kerja dan pendidikan mempunyai pengaruh positif secara signifikan terhadap kemiskinan sedangkan usia berpengaruh positif tidak signifikan terhadap kemiskinan. Penelitian Kuncoro (2014) yang berjudul “Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran dan Pendidikan terhadap Tingkat Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 – 2011”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan pendidikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Timur tahun 20092011. Penelitian ini menggunakan analisis data panel. Hasil analisis terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Timur, tingkat pengangguran berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Timur dan pendidikan yang diproksi dengan angka melek huruf (AMH) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Timur. Penelitian Prastyo (2010) yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan (Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah Tahun 2003-2007)”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan, dan tingkat pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah dari tahun 2003 hingga tahun 2007. Metode analisis yang digunakan dalam penelitiannya adalah panel data dengan pendekatan efek tetap (fixed effect model). Hasil dari penelitian ini adalah bahwa variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif signifikan terhadap kemiskinan, upah minimum berpengaruh negatif signifikan terhadap kemiskinan, pendidikan berpengaruh negatif signifikan terhadap kemiskinan, dan tingkat pengangguran berpengaruh positif signifikan terhadap variabel tingkat kemiskinan. Penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2013) yang berjudul “Pengaruh Tingkat Pendidikan, Kesehatan terhadap Produktivitas dan Jumlah Penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Barat.” Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh tingkat pendidikan terhadap produktivitas tenaga kerja, tingkat kesehatan terhadap produktivitas tenaga kerja, tingkat pendidikan terhadap kemiskinan, tingkat kesehatan terhadap kemiskinan, produktivitas tenaga kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kalimantan Barat. Metode analisis yang digunakan dalam penelitiannya adalah yang digunakan adalah regresi berganda dengan metode penghitungan Least Square Dummy Variabel (LSDV). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan berpegaruh positif tidak signifikan terhadap produktivitas tenaga kerja, kesehatan berpengaruh positif secara
18 signifikan terhadap produktivitas tenaga kerja, pendidikan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap kemiskinan, kesehatan berpengaruh negatif secara tidak signifikan terhadap kemiskinan, dan produktivitas berpengaruh positif secara signifikan terhadap kemiskinan. Penelitian yang dilakukan Safitri (2015) yang berjudul “Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan : Analisis Data Provinsi di Indonesia 2010-2013”. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan kondisi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di Indonesia, dan menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah dengan metode panel data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif secara signifikan terhadap kemiskinan di Indonesia, ketimpangan pendapatan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap kemiskinan di Indonesia dan tingkat penganguran berpengaruh positif secara signifikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Rangkuti (2009) yang berjudul “Pengaruh Investasi dan Pertumbuhan di Sektor Pertanian Terhadap Jumlah Tenaga Kerja di Sektor Pertanian”. Tujuan penelitiannya adalah untuk menganalisis pengaruh investasi dan tenaga kerja di sektor pertanian terhadap pertumbuhan sektor pertanian. Menganalisis pengaruh investasi dan pertumbuhan di sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Metode yang digunakan adalah analisis kuntitatif menggunakan pendekatan model ekonometrika persamaan simultan (simultaneous-equation) dengan metode Two Stages Least Square (2SLS). Dapat disimpulkan investasi dan pertumbuhan sebelumnya di sektor pertanian berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan pertanian, sedangkan tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan sektor pertanian. Pengaruh pertumbuhan dan investasi terhadap tenaga kerja di sektor pertanian memiliki hubungan yang positif, sehingga secara implikasi dapat dikatakan untuk menaikkan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian mutlak diperlukan investasi dan pertumbuhan di sektor pertanian. Kerangka Pemikiran Kemiskinan merupakan permasalahan besar bagi Indonesia khususnya di Provinsi Bengkulu. Pemerintah Indonesia telah membuat berbagai kebijakan dalam rangka mengentaskan angka kemiskinan, namun kenyataannya angka kemiskinan masih terus bertambah. Kemiskinan yang terjadi tidak lepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini akan menjelaskan gambaran kondisi kemiskinan di Provinsi Bengkulu, dan juga mencari faktorfaktor yang memengaruhi kemiskinan tersebut. Variabel bebas yang akan diteliti pengaruhnya yaitu jumlah penduduk, fasilitas kesehatan, pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja sektor pertanian, tenaga kerja sektor non pertanian, penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja lulusan SD, penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja lulusan SLTA, dan tingkat pengangguran terbuka. Setelah menemukan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di provinsi Bengkulu menggunakan metode data panel, maka dapat dirumuskan kebijakan yang direkomendasikan kepada pemerintah setempat sesuai dengan
19 hasil penelitian. Untuk lebih memudahkan alur penelitian penulis maka dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian
Hipotesis Penelitian Dari permasalahan dan alur kerangka pemikiran, maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Jumlah penduduk diduga berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu. 2. Fasilitas kesehatan diduga berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu. 3. Pertumbuhan ekonomi diduga berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu. 4. Tenaga kerja sektor pertanian diduga berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu. 5. Tenaga kerja sektor non pertanian diduga berpangaruh negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu. 6. Penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja lulusan SD diduga berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu. 7. Penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja lulusan SLTA diduga berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu. 8. Tingkat pengangguran terbuka diduga berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu.
20
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder. Data sekunder yang digunakan adalah penggabungan dari deret waktu (time series) dari tahun 2010-2014 dan deret lintang (cross section) sebanyak 10 kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu menghasilkan 50 observasi yaitu : Bengkulu Selatan, Rejang Lebong, Bengkulu Utara, Kaur, Seluma, Mukomuko, Lebong, Kepahiang, Bengkulu Tengah, dan Kota Bengkulu. Data yang digunakan yaitu berupa data jumlah penduduk, data jumlah penduduk miskin, data persentase tenaga kerja di sektor pertanian, data persentase tenaga kerja di sektor non pertanian, data pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota, data fasilitas kesehatan, data tingkat pengangguran terbuka, data penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja lulusan SD, data penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja lulusan SLTA. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu, Badan Pusat Statistik kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu, Pusat Data Informasi Ketenagakerjaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan perpustakaan IPB. Informasi lain bersumber dari studi kepustakaan lain berupa jurnal ilmiah dan buku-buku teks. Tabel 2 Variabel, sumber, dan simbol data Variabel Sumber Data Simbol Jumlah Penduduk Miskin BPS LNPOVERTY Jumlah Penduduk BPS LNPOP Persentase Tenaga Kerja Sektor PUSDATINAKER TKPERTANIAN Pertanian Persentase Tenaga Kerja Sektor PUSDATINAKER TKNONTANI Non Pertanian Fasilitas Kesehatan BPS LNKES Pertumbuhan Ekonomi BPS GROWTH Tingkat Pengangguran Terbuka BPS TPT Penduduk 15 Tahun Keatas yang BPS SLTA Bekerja Lulusan SLTA Penduduk 15 Tahun Keatas yang BPS SDKEBAWAH Bekerja Lulusan SD kebawah Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dan analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis kondisi kemiskinan dan implikasi kebijakan yang lebih efektif dalam upaya mengurangi kemiskinan di Provinsi Bengkulu. Untuk melihat faktorfaktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Bengkulu digunakan analisis data panel. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program Eviews 8 dan Microsoft Excel.
21 Metode Data Panel Data panel merupakan gabungan antara cross section dan time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu. Sedangkan data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Terdapat dua keuntungan penggunaan model data panel. Pertama, dengan mengkombinasikan data time series dan cross section dalam data panel membuat jumlah observasi menjadi lebih besar. Dengan menggunakan data panel marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari dua dimensi yaitu individu dan waktu sehingga parameter yang diestimasi akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain. Secara teknis data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi. Keuntungan kedua dari penggunaan model data panel adalah mengurangi masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek. Penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun teori ekonomi. Manfaat dari penggunaan data panel antara lain (Baltagi 2005): 1. Memberikan data yang informatif, menambah derajat bebas, lebih efisien dan mengurangi kolinearitas antar variabel. 2. Memungkinkan analisis terhadap sejumlah permasalahan ekonomi yang krusial yang tidak dapat dijawab oleh analisis data runtun waktu atau kerat lintang saja. 3. Memperhitungkan derajat heterogenitas yang lebih besar yang menjadi karakteristik dari individual antar waktu. 4. Adanya fleksibilitas yang lebih tinggi dalam memodelkan perbedaan perilaku antar individu dibandingkan data kerat lintang. 5. Dapat menjelaskan dynamic adjustment secara lebih baik. Dalam model data panel menggunakan data time series adalah : Yt= β0 + β1Xt+ µt ; t= 1,2,..,T……………………………(2) Dimana T adalah banyaknya data time series. Sedangkan model data panel menggunakan data cross section adalah : Yi= β0 + β1Xi+ µi ; i= 1,2,..,N……………………………(3) Dimana N adalah banyaknya data cross section Mengingat data panel merupakan gabungan dari data time series dan cross section, maka model dapat ditulis sebagai berikut : Yit= β0 + β1Xit+ µit.............................................................(4) Terdapat beberapa asumsi dasar yang melandasi penentuan model data panel. Asumsi dasar ini ditentukan oleh conditionality dari variabel bebas (xij) yang digunakan dalam model data panel itu sendiri. Berdasarkan pemilihan model, akan menentukan model estimasi dari model panel yang dipilih. Terdapat dua pendekatan yang umum diaplikasikan dalam data panel, yaitu :
22 1. Fixed Effects Model (FEM) Model ini menggunakan semacam peubah boneka untuk memungkinkan perubahan-perubahan dalam intersep kerat lintang dan runtut waktu akibatnya adanya peubah-peubah yang dihilangkan. Intersep hanya bervariasi terhadap individu namun konstan terhadap waktu sedangkan slopenya konstan baik terhadap individu maupun waktu. Kelemahan model efek tetap adalah penggunaan jumlah derajat kebebasan yang banyak serta penggunaan peubah boneka tidak secara langsung mengidentifikasikan apa yang menyebabkan garis regresi bergeser lintas waktu dan lintas individu. Modelnya ditulis sebagai : Υi = αi + βχi +εi........................................................(5) 2. Random Effects Model (REM) Intersepnya bervariasi terhadap individu dan waktu namun slopenya konstan terhadap individu maupun waktu. Metode ini juga dikenal sebagai variance components estimation. Model ini meningkatkan efisiensi proses pendugaan kuadrat terkecil dengan memperhitungkan pengganggu-pengganggu kerat lintang dan deret waktu. Model estimasinya yang digunakan adalah : Yit =αi + βχit +µi + εi..........................................(6) (µi) adalah nilai gangguan acak pada observasi (i) dan konstan sepanjang waktu. Dapat dikatakan bahwa FEM digunakan atas asumsi bahwa gangguan mempunyai pengaruh yang tetap. Sedangkan REM digunakan atas asumsi bahwa gangguan bersifat acak. Pengujian Kesesuaian Model Dalam pengolahan data panel harus dilakukan beberapa pengujian untuk memilih metode serta model mana yang paling tepat antara metode kuadrat terkecil (pooled least square model), metode tetap (fixed effect model), atau metode acak (random effect model). Pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Chow Test merupakan pengujian yang dilakukan untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square Model (PLS) atau Fixed Effect Model (FEM) dengan hipotesisnya adalah : H0 = Pooled Least Square Model (Restricted) H1 = Fixed Effect Model (Unrestricted) Apabila nilai Chow Statistics (F statistik) > FN-1, NT-N-K, maka cukup bukti untuk menolak H0, artinya model yang digunakan adalah Fixed Effect Model. 2. Hausman Test merupakan pengujian statistik yang dilakukan untuk memilih apakah model yang digunakan Fixed Effect Model atau Random Effect Model. Hipotesis dalam penelitian ini adalah : H0 = Random Effect Model (REM) H1 = Fixed Effect Model (FEM) Tolak H0 apabila nilai statistik Hausman lebih besar dari Chi Square atau bisa juga dengan menggunakan nilai probabilitas (p-value), yaitu jika p-value lebih kecil dari tingkat kritis α. Ketika hasilnya adalah tolak H0, maka model yang digunakan adalah Fixed Effect Model.
23 Uji Asumsi Klasik Uji Multikolinearitas Multikolinearitas muncul apabila terdapat dua atau lebih peubah (atau kombinasi peubah) bebas yang memiliki korelasi tinggi antara peubah yang satu dengan peubah yang lainnya. Apabila terdapat peubah bebas yang berkorelasi tinggi dengan peubah bebas lainnya, dugaan parameter koefisien regresi dengan metode Ordinary Least Square masih mungkin diperoleh tetapi interpretasinya akan menjadi sulit. Cara mendeteksi apakah terdapat multikolinearitas diantaranya adalah dengan melakukan uji koefisien korelasi sederhana (pearson correlation coefficient) antara peubah bebas dalam model. Jika korelasinya sangat tinggi dan nyata, maka terdapat multikolinearitas. Selain itu, apabila dalam uji-F menyimpulkan minimal ada peubah bebas yang signifikan dalam model atau R2 tinggi tapi dalam uji-t tidak ada koefisien yang signifikan karena simpangan baku koefisiennya besar atau bisa dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF), apabila nilai VIF lebih besar dari 10 maka dapat dipastikan terdapat multikolinearitas (Juanda 2009). Uji Normalitas Uji normalitas adalah salah satu asumsi statistik dimana error term terdistribusi normal. Cara mengetahui ada tidaknya normalitas digunakan uji Jarque-Bera. Apabila nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata (α) maka persamaan tersebut tidak memiliki masalah normalitas atau error term terdistribusi normal. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (εt) homogen. Apabila ragam sisaan tidak sama maka dapat dipastikan terdapat masalah heteroskedastisitas. Pada umumnya masalah heteroskedastisitas sering terjadi pada cross section. Suatu model yang terdapat heteroskedastisitas maka model tersebut menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Salah satu teknik pendugaan yang digunakan untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan metode Kuadrat Terkecil Terboboti (Weighted Least Square) yang merupakan kasus khusus dari teknik ekonometrika yang lebih umum yaitu Generalized Least Square (GLS) dimana model ditransformasi dengan memberikan bobot pada data asli (Juanda 2009). Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi serial antara sisaan (εt) atau korelasi antara serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu dalam data time series ataupun menurut ruang dalam data cross section. Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari estimatornya. Cara mendeteksi adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan melakukan uji Durbin Watson dengan hipotesis sebagai berikut : H0 : Tidak terdapat autokorelasi H1 : Terdapat autokorelasi
24 Tabel 3 Selang nilai statistik Durbin Watson serta keputusannya Nilai DW 4-dL < DW < 4 4-dU < DW < 4-dL dU < DW < 4-dU dL < DW < dU 0 < DW < dL
Keputusan Tolak H0, ada autokorelasi negatif Tidak tentu, tidak ada keputusan Terima H0 Tidak tentu, tidak ada keputusan Tolak H0, ada autokorlasi positif
Sumber : Juanda (2009)
Perumusan Model Penelitian Model penelitian yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Bengkulu adalah dengan menggunakan data time series selama 5 tahun yaitu 2010-2014 dan data cross section sebanyak 10 data di kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu. Berikut adalah model yang digunakan dalam penelitian ini: LNPOVERTYit
=
α0 +β1LNPOPit + β2TKTANIit + β3TKNONTANIit + β4LNKESit + β5GROWTHit + β6TPTit + β7SMA1it + β8SD1it + εit................................(7)
Keterangan α : Intersep β 1 - β9 : Koefisien variabel bebas LNPOVERTYit : Logaritma natural jumlah penduduk miskin Provinsi Bengkulu (jiwa) LNPOPit : Logaritma natural jumlah penduduk Provinsi Bengkulu (jiwa) TKTANIit : Persentase tenaga kerja sektor pertanian (%) NONTANIit : Persentase tenaga kerja sektor non pertanian (%) SD1it : Persentase penduduk 15 tahun keatas yang bekerja lulusan SD (%) LNKESit : Logaritma natural fasilitas kesehatan (unit) GROWTHit : Pertumbuhan ekonomi (%) TPTit : Tingkat pengangguran terbuka (%) SMA1it : Persentase penduduk 15 tahun keatas lulusan SLTA (%) εt : Error term i : Data cross section 10 kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu t : Data time series tahun 2010-2014
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Provinsi Bengkulu Kondisi Geografis Provinsi Bengkulu terletak di Pulau Sumatera tepatnya berbatasan langsung dengan Samudera Indonesial pada garis pantai sepanjang lebih kurang 525 km. Provinsi Bengkulu terletak di sebelah barat pegunungan Bukit Barisan. Luas
25 wilayah Provinsi Bengkulu mencapai lebih kurang 1 991 933 hektar atau 19 919.33 km2 berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2008. Wilayah Provinsi Bengkulu memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi Lampung dan jaraknya lebih kurang 567 km. Bagian timurnya berbukit-bukit dengan dataran tinggi yang subur, sedangkan bagian barat merupakan dataran rendah yang relatif sempit, memanjang dari utara ke selatan diselingi daerah yang bergelombang. Secara astronomis Provinsi Bengkulu terletak diantara 2°16ʹLU dan 3°31 LS dan antara 101°01ʹ - 103°41 BT. Sementara jika ditinjau dari posisi geografisnya, Provinsi Bengkulu di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan Provinsi Lampung, di sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia dan di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan topografinya luas wilayah provinsi ini dapat dibagi menjadi tiga jalur, yaitu jalur I, terletak pada ketinggian 0-100 meter diatas permukaan laut, jalur II, terletak pada ketinggian 100-1000 meter diatas permukaan laut, dan jalur III, terletak pada ketinggian diatas 1000 meter diatas permukaan laut dengan persentase luas masing-masing sebesar 35.8, 5.21, dan 12.1%. Secara administrasi Pemerintahan Provinsi Bengkulu terbagi menjadi 9 kabupaten dan 1 kota yaitu Bengkulu Selatan, Rejang Lebong, Bengkulu Utara, Kaur, Seluma, Mukomuko, Lebong, Kepahiang, Bengkulu Tengah, dan Kota Bengkulu sementara untuk kecamatan terdiri dari 124 kecamatan. Kemiskinan Kemiskinan merupakan permasalahan yang selalu dihadapi manusia. Kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks. Masalah kemiskinan memang sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan berbagai segi kehidupan manusia. Kemiskinan merupakan masalah sosial yang sifatnya mendunia, artinya masalah kemiskinan sudah menjadi perhatian dunia, dan masalah tersebut ada di semua negara. Walaupun dampak dari kemiskinan berbeda-beda bagi masing-masing negara. Kemiskinan juga masih menjadi persoalan utama di Indonesia pada umumnya, khususnya di Provinsi Bengkulu. Pada tahun 2015, Badan Pusat Statistik mencatat bahwa Provinsi Bengkulu menempati persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sumatera. Tahun 2010 sampai 2013 jumlah penduduk miskin di Provinsi Bengkulu secara keseluruhan mengalami peningkatan namun menurun di tahun 2014. Kabupaten Bengkulu Tengah adalah kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terendah di Provinsi Bengkulu selama tahun 2010-2014 dengan jumlah penduduk miskin kurang dari 10 000 jiwa, sedangkan Kota Bengkulu menjadi wilayah dengan penduduk miskin tertinggi selama tahun 2010-2014. Besarnya jumlah penduduk miskin di Kota Bengkulu sebagai ibukota provinsi disebabkan karena garis kemiskinan yang ada di perkotaan biasanya lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Banyak penduduk yang tadinya berasal dari desa pindah ke perkotaan untuk bekerja, sehingga ketika orang tersebut pindah ke perkotaan maka jumlah pengeluarannya akan lebih besar dibandingkan ketika di pedesaan. Akibatnya akan menggeser garis kemiskinan, sehingga ketika berada di kota, seseorang tersebut tergolong kedalam penduduk miskin.
26 Pada tahun 2014 indeks keparahan kemiskinan (P2) Provinsi Bengkulu meningkat dari 0.70 menjadi 0.97 di tahun 2015. Sedangkan untuk indeks kedalaman kemiskinan (P1) Provinsi Bengkulu pada tahun 2014 meningkat di tahun 2015 dari 2.78 menjadi 3.48. Garis kemiskinan di Provinsi Bengkulu juga meningkat dari tahun 2013 hingga tahun 2015, hal ini bisa dilihat pada gambar 6.
Rupiah
400
380.03
300 200
336.93
291.17
100 0 2013
2014
2015 Tahun
Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2015)
Gambar 6 Garis kemiskinan Provinsi Bengkulu tahun 2013-2014 Gambar 6 menunjukkan bahwa garis kemiskinan di Provinsi Bengkulu semakin meningkat setiap tahunnya. Dengan semakin meningkatnya garis kemiskinan, penduduk yang sebelumnya memiliki pendapatan mendekati garis kemiskinan apabila pendapatannya tidak bertambah, maka semakin lama akan sejajar dengan garis kemiskinan, sehingga menjadi golongan penduduk yang miskin. Hal inilah yang menyebabkan jumlah penduduk miskin di Provinsi Bengkulu semakin bertambah, sehingga kemiskinan di Provinsi Bengkulu membutuhkan perhatian dari pemerintah setempat. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Badan Pusat Statistik angka pertumbuhan ekonomi diperoleh dari perubahan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah yang dinilai atas dasar harga konstan. Semakin tinggi nilai PDRB maka kondisi perekonomian suatu daerah semakin baik. Laju pertumbuhan ekonomi menandakan keberhasilan suatu daerah dalam meningkatkan perekonomian dengan mengelola potensi sektor-sektor usaha di daerah tersebut. Pada tahun 2014s PDRB Provinsi Bengkulu atas dasar harga konstan 2010 sebesar 36 215 miliar rupiah. Bila dibandingkan dengan tahun 2013 mengalami pertumbuhan sebesar 5.49%. Peranan sektor pertanian dalam perekonomian Provinsi Bengkulu dari tahun 2010 hingga 2014 masih sangat dominan. Kedudukan sektor pertanian sebagai leading sector dalam perekonomian Provinsi Bengkulu masih sulit digeser oleh sektor-sektor lainnya. Nilai nominal PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 2014 sebesar 14 117.7 miliar rupiah dan peranannya dalam PDRB Provinsi Bengkulu sebesar 31.21%. Kemudian diikuti sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor dengan nominal atas dasar harga berlaku pada tahun 2014 sebesar 6 069.5 miliar rupiah dengan peran sebesar 13.42%. Pada tahun 2014 nilai PDRB per kapita Provinsi Bengkulu atas dasar harga konstan 2010 provinsi Bengkulu diperkirakan sebesar 19.6 juta rupiah.
27
Persen
8
6.85
6 4
6.16
6.83
6.08
6.16
5.49
5.74
5.21
2013
2014
2 0 2011
2012
Tahun
Bengkulu Indonesia
Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2015)
Gambar 7 Perbandingan pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu dan Indonesia tahun 2011- 2014 Laju pertumbuhan PDRB Provinsi Bengkulu atas dasar harga konstan pada tahun 2011 hingga 2014 cenderung menurun. Sektor pertanian memiliki peranan besar dalam perekonomian Bengkulu, namun kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi, yang diukur dengan analisis sumber pertumbuhan (sources of growth), menunjukkan penurunan kontribusi. Pada tahun 2013, kontribusi sektor pertanian mencapai 1.28%, namun pada tahun 2014 sebagai dampak dari melesunya kinerja subsektor pertanian tanaman bahan makanan menyebabkan kontribusi sektor pertanian ini merosot 1.03%. Begitu pula dengan Indonesia yang pertumbuhan ekonominya cenderung menurun selama empat tahun berturut-turut. Bila dibandingkan dengan Indonesia, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu masih diatas rata-rata Indonesia, artinya laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bengkulu termasuk tinggi. Tingginya laju pertumbuhan ekonomi seharusnya diimbangi pula dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Bila dilihat dari sisi pengeluaran, pada tahun 2014 PDRB Provinsi Bengkulu sebagian besar masih digunakan untuk pengeluaran konsumsi yakni sebesar 87.48%, dimana 65.16 % diantaranya merupakan pengeluaran konsumsi rumah tangga 2.67%, 19.65% merupakan pengeluaran konsumsi pemerintah. Hal ini menandakan masyarakat Provinsi Bengkulu masih mengutamakan konsumsi daripada investasi maupun tabungan terbukti pada pembentukan modal tetap bruto peranannya dalam PDRB hanya sebesar 42.10%. Sedangkan perubahan inventori sebesar 2.99%, ekspor luar negeri memiliki peran 6.83%, impor luar negeri memiliki peran 1.35% dan net ekspor antar daerah memiliki peran sebesar 38.04% dari total PDRB. Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tahun 2010-2012 pertumbuhan ekonomi tertinggi pada Kota Bengkulu, namun pada tahun 2013 posisinya digeser oleh Kabupaten Bengkulu Selatan, dan pada tahun 2014 Kabupaten Mukomuko menjadi yang tertinggi. Melambatnya pertumbuhan ekonomi Kota Bengkulu disebabkan oleh adanya perlambatan dari beberapa sektor ekonomi yang memiliki peranan penting diantaranya perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor, serta sektor pertanian, kehutanan dan perikanan.
28 Tabel 4 Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota Provinsi Bengkulu tahun 20102014 (%) Kabupaten/Kota Bengkulu Selatan Rejang Lebong Bengkulu Utara Kaur Seluma Mukomuko Lebong Kepahiang Bengkulu Tengah Kota Bengkulu
2010 5.71 6.14 5.03 4.19 5.3 5.27 5.26 5.93 5.64 6.41
2011 6.51 6.24 5.22 5.4 5.36 5.86 5.66 6.35 6.63 7.25
2012 6.42 6.32 5.8 5.55 5.72 5.98 5.86 6.34 6.04 6.94
2013 6.52 6.12 5.58 5.98 5.29 6.05 5.62 6.33 5.37 6.07
2014 5.56 5.23 5.75 4.98 5.49 6.45 5.59 6.01 5.89 6.05
Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2010-2014)
Jumlah Penduduk Jumlah penduduk dapat mempengaruhi kondisi perekonomian dalam suatu wilayah. Jumlah penduduk yang semakin banyak akan meningkatkan angka kemiskinan di wilayah tersebut karena semakin banyaknya persaingan dalam mencari lapangan pekerjaan. Namun disisi lain banyaknya jumlah penduduk dapat berdampak positif yakni dengan meningkatnya jumlah konsumsi, sehingga penduduk yang banyak berpotensi menjadi pasar bagi produsen untuk memasarkan barang dan jasa. Tabel 5 Jumlah penduduk Provinsi Bengkulu tahun 2010-2014 (jiwa) Kabupaten/Kota Bengkulu Selatan Rejang Lebong Bengkulu Utara Kaur Seluma Mukomuko Lebong Kepahiang Bengkulu Tengah Kota Bengkulu
2010 142 940 246 787 257 675 107 899 173 507 155 753 99 215 124 865 98 333 308 544
2011 145 267 249 411 264 483 109 806 176 486 160 514 101 601 126 786 100 609 317 993
2012 147 106 251 201 270 216 111 405 178 888 164 603 103 505 128 179 102 403 326 219
2013 148 854 253 020 278 858 112 894 181 242 168 654 105 421 129 706 104 179 334 529
2014 150 601 254 583 281 699 114 398 183 420 172 882 107 296 131 016 106 017 342 876
Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2010-2014)
Tabel 5 menunjukkan bahwa Kota bengkulu merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak. Hal ini dikarenakan Kota Bengkulu adalah ibu kota Provinsi Bengkulu, sebagai pusat pemerintahan provinsi sehingga banyak penduduk yang migrasi dan mencari pekerjaan di Kota Bengkulu. Selain itu kepadatan penduduk di Kota Bengkulu juga sangat tinggi karena luas wilayah Kota Bengkulu adalah 146.8 km2, kepadatannya mencapai 2 135 jiwa per km2 pada tahun 2010, sedangkan pada tahun 2014 mencapai 2 334 per km2. Distribusi penyebaran penduduk Provinsi Bengkulu dapat dilihat pada Gambar 8.
29
Kepahiang 7%
Bengkulu Tengah 6% Kota Bengkulu 19%
Lebong 6%
Bengkulu Selatan 8%
Mukomuko 9%
Seluma 10%
Rejang Lebong 14% Bengkulu Utara 15%
Kaur 6% Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2014)
Gambar 8 Distribusi jumlah penduduk Provinsi Bengkulu tahun 2014
Persen
Selain itu untuk melihat dinamika penduduk suatu wilayah dapat dilihat dari laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Bengkulu pada periode 2000 hingga 2010 sebesar 1.67% sementara laju pertumbuhan penduduk Indonesia pada periode yang sama hanya 1.49% artinya laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bengkulu termasuk yang sangat tinggi, hal ini dapat dilihat pada Gambar 9. 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
4.39
4.38 2.97 1.67
2.31
1.98 1.49
1971-1980
1980-1990
1990-2000 Periode
1.49 2000-2010 Prov. Bengkulu Indonesia
Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2014)
Gambar 9 Laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan Bengkulu periode 19711980, 1980-1990, 1990-2000, dan 2000-2010 Tingkat Pengangguran Terbuka Tingkat pengangguran terbuka merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menilai kesejahteraan suatu wilayah terutama dalam menentukan kebijakan di bidang ketenagakerjaan. Penduduk usia kerja, yaitu penduduk berusia 15 tahun ke atas pada tahun 2014 tercatat sebanyak 1 331.6 ribu jiwa dari jumlah ini 73.24% merupakan angkatan kerja atau sebesar 975.2 ribu jiwa. Jumlah angkatan kerja mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah angkatan kerja tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah penduduk yang bekerja, sehingga berdampak pada menurunnya kesempatan kerja
30 dari 98,38 % menjadi 96.79 %. Akibat lainnya adalah terjadi peningkatan tingkat pengangguran terbuka sebanyak 15 600 jiwa. 5 Persen
4
4.74
4.59 3.61
3
3.47
2.37
2 1 0 2010
2011
2012
2013
2014
Tahun Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2015)
Gambar 10 Tingkat pengangguran terbuka Provinsi Bengkulu tahun 2010-2014 Berdasarkan Gambar 10 terlihat bahwa tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Bengkulu jumlahnya fluktuatif. Pada tahun 2010 TPT mencapai 4.59 % kemudian di tahun 2014 mencapai 3.47%. Terjadinya fluktuatif tingkat pengangguran disebabkan jumlah angkatan kerja yang semakin bertambah dan menurun setiap tahunnya karena berbagai factor, salah satunya adalah ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada di Provinsi Bengkulu. Tabel 6 menunjukkan bahwa TPT tertinggi berada pada Kota Bengkulu pada tahun 2012, tingginya angka TPT ini disebabkan oleh semakin padatnya jumlah penduduk di Kota Bengkulu, sehingga peluang untuk mendapatkan lapangan pekerjaan semakin kecil. Selain itu SDM yang rendah membuat angkatan kerja yang tidak memiliki pendidikan tinggi tidak dapat bersaing. Selama pencari kerja masih mengharapkan bekerja di perusahaan, maka penggangguran akan terus menjadi permasalahan, sehingga cara untuk menguranginya adalah dengan menciptakan lapangan pekerjaan ataupun berwirausaha. Tabel 6 Tingkat pengangguran terbuka menurut kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu tahun 2010-2014 (%) Kabupaten/Kota Bengkulu Selatan Rejang Lebong Bengkulu Utara Kaur Seluma Mukomuko Lebong Kepahiang Bengkulu Tengah Kota Bengkulu
2010 3.32 2.55 2.85 2.42 3.66 4.21 2.94 3.9 4.14 3.11
Sumber : BPS Bengkulu (2010-2014)
2011 2.11 2.07 1.84 2.43 1.78 2.68 2.49 2.76 2.67 3.11
2012 3.93 2.02 2.28 5.14 1.14 2.28 2.85 2.3 3.83 8.73
2013 2.25 4.18 2.81 7.79 2.71 3.33 6.86 3.49 6.69 5.55
2014 3.3 1.32 3.64 3.8 3.5 3.28 3.7 1.95 3.47 3.43
31 SD Kebawah 14%
SLTA Keatas 58%
SLTP 28%
Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2014)
Gambar 11 Distribusi TPT menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Provinsi Bengkulu tahun 2014 Pada Gambar 11 terlihat bahwa tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Bengkulu justru didominasi oleh lulusan SLTA. Bahkan lulusan SD Kebawah yang menganggur hanya 14%, lulusan SLTP 28%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tingginya angka TPT lulusan SLTA dikarenakan penyerapan tenaga kerja bagi lulusan SLTA di Provinsi Bengkulu masih rendah. Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tenaga kerja di Indonesia pada umumnya, khususnya di Provinsi Bengkulu masih didominasi oleh tenaga kerja di sektor primer atau pertanian. Dikarenakan tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh tenaga kerja yang berpendidikan rendah, tidak memiliki skill, terutama di pedesaan dimana lapangan pekerjaan yang tersedia sebagian besar hanyalah sektor pertanian. Rendahnya upah di sektor pertanian dan tingginya resiko pada komoditi pertanian, membuat tenaga kerja di sektor pertanian tidak bisa terlepas dari masalah kemiskinan. Hal inilah yang menjadi dasar masyarakat mulai meninggalkan pekerjaan di sektor pertanian.
Persen
60 55 50 45 2010
2011
2012
2013
2014
Tahun Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2015)
Gambar 12 Persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha pertanian di Provinsi Bengkulu tahun 2010-2014 Pada Gambar 12 menunjukkan bahwa tenaga kerja yang bekerja pada sektor pertanian setiap tahunnya berada diatas 50%. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mendominasi penyerapan tenaga kerja terbesar di Provinsi Bengkulu,
32 namun ada kecenderungan trendnya semakin menurun. Bahkan di tahun 2014 jumlahnya mencapai 50.62%, lebih rendah dari 4 tahun sebelumnya. Menurunnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian disebabkan karena berbagai faktor, salah satunya adalah lahan pertanian yang semakin lama semakin berkurang, sektor non pertanian seperti sektor industri manufaktur dan jasa mulai menjadi alternatif pilihan lapangan kerja masyarakat karena pendapatan yang diterima lebih menjanjikan dibandingkan di sektor pertanian. Tabel 7 Persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha pertanian di Provinsi Bengkulu tahun 2010-2014 (%) Kabupaten/Kota Bengkulu Selatan Rejang Lebong Bengkulu Utara Kaur Seluma Mukomuko Lebong Kepahiang Bengkulu Tengah Kota Bengkulu
2010 65.5 58.04 70.88 80.82 71.41 62.9 66.44 72.47 63.49 6.64
2011 60.97 51.33 53.22 64.42 68.63 68.06 67.06 63.24 61.54 9.71
2012 58.9 55.88 56.52 58.13 66.76 66.16 65.39 62.69 58.83 10.46
2013 63.25 58.67 55.07 54.42 70.6 65.69 62.09 59.94 60.41 10.32
2014 59.54 62.51 51.51 57.71 66.84 59 61.07 59.22 57.72 9.45
Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2010-2014)
Pada Tabel 7 menunjukkan persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian dari tahun 2010-2014 cenderung berkurang tiap tahunnya, namun masih tetap berada diatas 50%. Hal berbeda terjadi di Kota Bengkulu dimana persentasenya sangat kecil hanya 10.46% yang tertinggi selama lima tahun terakhir. Rendahnya persentase dikarenakan Kota Bengkulu merupakan ibukota provinsi, sektor pertanian bukanlah sektor utama bagi lapangan usaha penduduknya. Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian Berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian pada Gambar 12 menunjukkan bahwa sektor pertanian sudah tidak dapat menampung tenaga kerja karena berbagai faktor, salah satunya adalah lahan pertanian yang jumlahnya semakin berkurang setiap tahunnya. Berkurangnya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi tanda bahwa struktur perekonomian di Indonesia mulai berubah dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Akibatnya banyak masyarakat di desa yang awalnya bekerja di sektor pertanian misalnya sebagai buruh tani, kemudian bekerja di sektor non pertanian. Pada Gambar 13 terlihat bahwa trend tenaga kerja di sektor non pertanian di Provinsi Bengkulu mengalami kenaikan, namun jumlahnya masih dibawah tenaga kerja di sektor pertanian. Hal ini menjadi tanda bahwa perkembangan pasar tenaga kerja di sektor non pertanian mulai meningkat.
Persen
33 50 48 46 44 42 40 38
49.38 47.76
47.38
47.84
41.94 2010
2011
2012
2013
2014
Tahun Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2015)
Gambar 13 Persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha non pertanian di Provinsi Bengkulu tahun 2010-2014 Tabel 8 Persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja di sektor non pertanian tahun 2010-2014 (%) Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 2014 Bengkulu Selatan 34.5 39.03 41.1 36.75 40.46 Rejang Lebong 41.96 48.67 44.12 41.3 37.49 Bengkulu Utara 29.12 46.78 43.48 44.93 19.18 Kaur 35.58 35.58 41.87 45.59 42.29 Seluma 28.59 31.37 33.24 29.4 33.16 Mukomuko 37.1 31.94 33.84 34.31 41 Lebong 33.56 32.94 34.61 37.91 38.93 Kepahiang 27.53 36.76 37.31 40.06 40.78 Bengkulu Tengah 36.51 36.46 41.17 39.59 42.28 Kota Bengkulu 93.36 90.29 89.54 89.68 90.55 Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2010-2015)
Tabel 8 menunjukkan bahwa tenaga kerja sektor non pertanian di Provinsi Bengkulu fluktuatif namun cenderung meningkat dari tahun ke tahun di seluruh kabupaten/kota. Kota Bengkulu yang notabene adalah ibukota provinsi, memiliki jumlah tenaga kerja tertinggi di sektor non pertanian hingga mencapai 93.36% pada tahun 2010. Hal ini dimaklumi karena di perkotaan memiliki berbagai macam lapangan usaha di sektor non pertanian, terutama di sektor industri, perdagangan dan jasa. Penduduk Usia 15 Tahun Keatas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (SD kebawah dan SLTA) Pendidikan adalah salah satu indikator untuk mengukur kualitas sumber daya manusia. Pendidikan juga merupakan cara yang paling efektif dalam memutus mata rantai kemiskinan. Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi maka berpeluang lebih besar memiliki kehidupan yang lebih layak daripada yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Seseorang yang berpendidikan tinggi akan memiliki kesempatan kerja yang lebih tinggi pula.
34 Tabel 9
Penduduk berumur 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan dan pendidikan yang ditamatkan di Provinsi Bengkulu tahun 2014 (jiwa)
Jenis kegiatan utama Angkatan kerja Bekerja Mencari pekerjaan Bukan angkatan kerja Sekolah Mengurus rumah tangga Jumlah
SD Kebawah 374 501 369 077 5 424 159 866 21 874 137 992 534 367
SLTP 170 985 166 058 4 927 142 390 88 805 53 585 313 375
SLTA Keatas 354 568 333 659 20 909 115 693 37 027 78 666 470 261
Jumlah 900 054 868 794 31 260 417 949 147 706 270 243 1 318 003
Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2015)
Berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa penduduk Provinsi Bengkulu yang berumur 15 tahun keatas lebih banyak yang menamatkan pendidikan hanya sampai sekolah dasar kebawah hingga 534 367 jiwa. Pendidikan terakhir tenaga kerja juga didominasi lulusan SD kebawah, sementara penduduk yang menamatkan pendidikan hingga SLTA keatas mencapai 470 261 jiwa dan tenaga kerja lulusan SLTA sebanyak 333 659 jiwa. Tabel 9 juga menunjukkan bahwa tenaga kerja di Provinsi Bengkulu masih didominasi oleh tenaga kerja yang berpendidikan rendah, maka hal ini berhubungan dengan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang masih berada diatas 50%. Karena sektor pertanian tidak memerlukan tenaga kerja yang berpendidikan formal, sehingga tenaga kerja berpendidikan rendah lebih memilih untuk bekerja di sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara penduduk lulusan SLTA lebih banyak yang menganggur dikarenakan lapangan pekerjaan yang tersedia di Provinsi Bengkulu yang menyerap lulusan SLTA masih minim. Kesehatan Kesehatan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kesejahteraan hidup seseorang. Kualitas kesehatan yang baik tercermin dari fasilitas kesehatannya yang baik. Dengan meningkatnya kesehatan meningkatkan produktivitas seseorang, karena meningkatkan daya kerja, mengurangi hari tidak bekerja dan menaikkan outpout. Fasilitas kesehatan di Provinsi Bengkulu terus meningkat, berdasarkan BPS Provinsi Bengkulu tahun 2015, fasilitas kesehatan per 100 000 penduduk mengalami peningkatan dari 159 pada tahun 2013 menjadi 163 pada tahun 2014. Namun pembangunan di bidang kesehatan di Provinsi Bengkulu masih dibawah standar badan kesehatan dunia (WHO). Pada tahun 2014 jumlah dokter spesialis per 100 000 penduduk di Bengkulu baru mencapai 3 dokter, sementara dokter umum dan gigi masing-masing baru mencapai 15 dan 4 orang. Padahal menurut standar WHO minimal dokter yang harus tersedia adalah 40 dokter umum, 6 dokter spesialis dan 1 dokter gigi per 100 000 penduduk.
Persen
35 68.4 68.3 68.2 68.1 68
68.37 68.33 68.16
2012
2013
2014 Tahun
Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2015)
Gambar 14 Angka harapan hidup Provinsi Bengkulu tahun 2012-2014 Gambar 14 menunjukkan bahwa angka harapan hidup di Provinsi Bengkulu menunjukkan trend yang semakin meningkat dari tahun 2012 sampai tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah Provinsi Bengkulu dalam rangka meningkatkan pembangunan manusia khususnya di bidang kesehatan telah berhasil, sehingga kualitas hidup masyarakat di Provinsi Bengkulu semakin lebih baik. Pemilihan Kesesuaian Model Metode analisis panel data memiliki tiga pemodelan yang dapat dipilih yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Untuk menentukan model yang terbaik, maka dilakukan pengujian statistik melalui chow test dan hausman test. Chow test digunakan untuk memilih model yang terbaik antara Pooled Least Square (PLS) atau Fixed Effect Model (FEM). Hasil Chow Test diperoleh nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0000, artinya model yang terbaik antara PLS dan FEM adalah FEM karena nilai probabilitas dari chi-square kurang dari taraf nyata 5%. Selanjutnya adalah pengujian untuk memilih model terbaik antara model Fixed Effect Model dan Random Effect Model dengan menggunakan Hausman Test. Hasil Hausman Test diperoleh nilai probabilitas chi-square sebesar 0.0000 artinya model yang dipilih antara FEM dan REM adalah FEM, karena nilai probabilitasnya kurang dari taraf nyata 5%. Pengolahan Fixed Effect Model (FEM) secara umum dilakukan dengan metode Panel Least Square (PLS) artinya tanpa pembobotan atau Generalized Least Squared (GLS) artinya dengan pembobotan. Model FEM GLS menghasilkan nilai probabilitas t-statistik yang lebih baik dibandingkan dengan model FEM PLS selain itu menghasilkan nilai R-squared (R2) yang lebih tinggi. Hasil estimasi model di atas didapat nilai R-Squared (R2) atau koefisien determinasi sebesar 0.996038 yang artinya bahwa 99.60% keragaman pada variabel terikat yaitu kemiskinan di Provinsi Bengkulu dapat dijelaskan oleh variabel bebas yang terdapat pada model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Uji F bernilai sebesar 0.0000 dan signifikan pada taraf nyata 5% yang artinya variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel terikat. Sedangkan Uji-T menunjukkan bahwa variabel LNPOP, SMA1 nilai probabilitas (p-value) kurang dari taraf nyata 5% sedangkan SD1, TKTANI, NONTANI nilai probabilitas kurang dari taraf nyata 10%. Hal ini menunjukkan
36 bahwa variabel bebas secara individu berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat (kemiskinan di Provinsi Bengkulu). Variabel lainnya yakni TPT, LNKES, dan GROWTH tidak signifikan memengaruhi variabel terikat kemiskinan di Provinsi Bengkulu. Tabel 10 Hasil estimasi model menggunakan faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Bengkulu Variabel Koefisien Probabilitas LNPOP 1.090375 0.0000* SD1 -0.003321 0.0252** TKTANI -0.016941 0.0309** NONTANI -0.016424 0.0497** SMA1 -0.004466 0.0001* TPT 0.002608 0.6016 LNKES -0.015228 0.5673 GROWTH 0.005841 0.2282 C -0.954267 0.6547 Weighted Statistics R-squared 0.996038 Sum squared resid 0.088561 Prob (F-stat) 0.000000 Durbin-Watson stat 1.912685 Unweighted Statistics R-squared 0.993188 Durbin-Watson stat 2.052581 Sum-square resid 0.130222 Keterangan : *signifikan pada taraf nyata 5% : **signifikan pada taraf nyata 10%
Uji Asumsi Klasik Uji Multikolinearitas Setelah mendapat model terbaik hal yang dilakukan selanjutnya adalah uji asumsi klasik. Uji asumsi klasik yang pertama adalah uji multikolinearitas. Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan linear sempurna antar variabel bebas dalam model tersebut. Adanya multikolinearitas dapat disebabkan oleh nilai R-squared yang tinggi tetapi variabel independennya banyak yang tidak signifikan. Hasil estimasi model yang berada pada lampiran 4 menunjukkan bahwa nilai korelasi parsial antar variabel tidak melebihi nilai Rsquared (0.996038) sehingga model tersebut terbebas dari multikolinearitas. Uji Autokorelasi Selanjutnya adalah uji autokorelasi dengan menggunakan uji durbin watson. Model tersebut memiliki jumlah cross section sebanyak 10 kota/kabupaten dan time series sebanyak 5 tahun sehingga jumlah observasi sebanyak 50, sedangkan jumlah variabel sebanyak 8 variabel dengan α sebesar 5% maka berdasarkan DW tabel nilai dL 1.20110 dan dU 1.92972, nilai DW stat adalah 1.912685, maka nilai DW stat berada dalam selang dL < DW < dU. Berdasarkan Tabel 3, hal ini berarti menunjukkaan keputusan yang tidak tentu. Namun karena model diestimasi oleh
37 metode pembobotan GLS (Generalized Least Square) maka masalah autokorelasi dianggap sudah teratasi atau diabaikan. Hal ini dilakukan dengan mentransformasi model sedemikian rupa sehingga memenuhi asumsi Gauss-Markov untuk mendapatkan komponen sisaan yang homogen (heterokedastisitas) dan tidak menunjukkan autokorelasi (Juanda 2009). Uji Heterokedastisitas Uji heterokedastisitas dapat dilihat melalui perbandingan sum square residual pada weighted statistics dengan sum square residual pada unweighted statistics. Pada Tabel 10 hasil sum square residual pada weighted statistics menunjukkan nilai 0.088561 lebih kecil dari sum square residual pada unweighted statistics dengan nilai 0.130222. Maka dapat dipastikan tidak terjadi heterokedastisitas dalam model tersebut. Selain itu model ini juga diberikan perlakuan cross section weights, coefficient covariance white cross section method sehingga asumsi adanya heterokedastisitas dapat diabaikan. Uji Normalitas Terakhir adalah uji normalitas, dilihat apabila nilai Jarque-Bera dan nilai probabilitas yang lebih besar dari α maka menyebar normal. Pada lampiran 5 nilai Jarque-Bera dari hasil pengujian model bernilai 1.679607 sementara nilai probabilitas adalah 0.431795, keduanya bernilai lebih besar daripada nilai α (0.05). Maka model kemiskinan di Provinsi Bengkulu memiliki error terms yang menyebar normal. Faktor -Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan di Provinsi Bengkulu Jumlah penduduk Hasil estimasi model dalam Tabel 10 menunjukan bahwa variabel jumlah penduduk (LNPOP) secara siginifikan berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu, ditunjukkan dengan nilai probabilitas sebesar 0.0000 lebih kecil dari taraf nyata 5% dengan koefisien 1.090375, artinya setiap peningkatan jumlah penduduk sebesar 1% maka akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 1.090375% ceteris paribus. Koefisien positif jumlah penduduk sesuai dengan hipotesis awal dan sesuai dengan penelitian Amelia (2012) bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap kemiskinan di NTT. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori malthus bahwa pertumbuhan penduduk sesuai dengan deret ukur sedangkan untuk bahan pangan sesuai dengan deret hitung, maka terjadi ketimpangan antara besarnya jumlah penduduk dengan minimnya bahan pangan yang tersedia sehingga pertumbuhan penduduk menjadi salah satu penyebab terjadinya kemiskinan. Selain itu laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bengkulu yang tinggi sebesar 1.67% lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk Indonesia yaitu 1.49% pada periode tahun 2000-2010, menyebabkan jumlah penduduk menjadi faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Provinsi Bengkulu. Pemerintah setempat harus bisa mengendalikan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi supaya angka kemiskinan di Provinsi Bengkulu dapat ditekan, salah satunya dengan meningkatkan program keluarga berencana (KB).
38 Pertumbuhan Ekonomi Hasil estimasi model pada Tabel 10 menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi (GROWTH) tidak signifikan berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu ditunjukkan dengan nilai probabilitas sebesar 0.2282 dengan koefisien sebesar 0.005841. Artinya setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1% maka akan meningkatkan kemiskinan sebesar 0.005841% ceteris paribus. Koefisien bernilai positif tidak sesuai dengan hipotesis awal dan teori, namun hal ini sesuai dengan penelitian Safitri (2015) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Indonesia. Hal yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap kemiskinan diduga karena pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh penduduk golongan kaya dan hanya sedikit dinikmati oleh penduduk golongan miskin sehingga pertumbuhan ekonomi tidak efektif mengurangi persentase kemiskinan (Jhingan 2004). 0.5
Rasio
0.4 0.3 0.2
0.37 0.3
0.35
0.39
0.38 0.36
0.1 0 2010
2011
2012
2013
2014
2015
Tahun Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2015)
Gambar 6 Rasio gini Provinsi Bengkulu tahun 2010-2015 Pada Gambar 15 terlihat bahwa trend nilai rasio gini Bengkulu mengalami peningkatan, meskipun masih berada dibawah angka nasional yaitu 0.41 pada tahun 2015. Namun hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena dengan meningkatnya trend rasio gini tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan antara penduduk yang kaya dengan yang miskin makin timpang, dan pemerataan pendapatan antar golongan semakin menurun. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu justru menyebabkan kemiskinan semakin meningkat. Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah biasanya akan diikuti dengan peningkatan arus urbanisasi (Safitri 2015). Menurut Safitri (2015) pertumbuhan ekonomi yang tinggi di suatu daerah menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk miskin terutama yang masih menganggur untuk berurbanisasi ke daerah tersebut dengan harapan memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik. Namun kegiatan ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut tidak otomatis mampu menyerap penambahan jumlah angkatan kerja dari luar daerah. Jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia belum tentu mampu menyerap semua angkatan kerja baru dari luar daerah dan belum tentu lapangan pekerjaan yang tersedia sesuai dengan keahlian atau keterampilan mereka. Sehingga yang terjadi di daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut justru meningkatnya jumlah pengangguran.
39 Fasilitas Kesehatan Hasil estimasi model dalam Tabel 10 menunjukan bahwa variabel fasilitas kesehatan (LNKES) signifikan berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu. Ditunjukkan dengan nilai probabilitas sebesar 0.5673 dengan koefisien -0.015228. Artinya setiap peningkatan fasilitas kesehatan sebesar 1% maka akan menurunkan kemiskinan sebesar 0.015228% ceteris paribus. Koefisien bernilai negatif sesuai dengan hipotesis awal dan teori. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Faisal (2013) bahwa kesehatan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di Kalimantan Barat. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa fasilitas kesehatan di Provinsi Bengkulu tahun 2013 sampai 2014 secara keseluruhan meningkat jumlahnya dari 2847 unit menjadi 3210 unit. Tabel 11 Banyaknya fasilitas kesehatan menurut jenis di Provinsi Bengkulu (unit), 2013-2014 Fasilitas Kesehatan 2013 2014 Rumah Sakit Umum 12 12 Rumah Sakit Swasta 3 3 Puskesmas 180 180 Puskesmas Pembantu 423 469 Puskesmas Keliling 166 162 Klinik 47 35 Posyandu 1997 2330 Rumah Bersalin 15 15 Rumah Sakit Jiwa 1 1 Rumah Sakit TNI/Polri 3 3 Jumlah 2847 3210 Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2015)
Keberhasilan pembangunan kesehatan di Provinsi Bengkulu terlihat dari meningkatnya fasilitas kesehatan dan angka harapan hidup di Provinsi Bengkulu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembangunan kesehatan di Provinsi Bengkulu harus terus ditingkatkan agar kemiskinan semakin menurun. Penduduk Usia 15 Tahun Keatas yang Bekerja menurut Pendidikan Tertinggi SD Hasil estimasi model dalam Tabel 10 menunjukan bahwa variabel penduduk usia 15 tahun keatas pendidikan tertinggi SD (SD1) secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu, ditunjukkan dengan nilai probabilitas sebesar 0.0252 lebih kecil dari taraf nyata 10% dengan koefisien -0.003321. Artinya setiap peningkatan penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja pendidikan tertinggi SD sebesar 1% maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0.003321% ceteris paribus. Koefisien negatif penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja pendidikan tertinggi SD tidak sesuai dengan hipotesis awal dan teori, karena seharusnya tenaga kerja yang berpendidikan rendah memiliki produktivitas rendah sehingga berpenghasilan rendah yang akhirnya meningkatkan kemiskinan. Hubungan negatif variabel SD1 dengan kemiskinan disebabkan karena pada dasarnya tenaga kerja lulusan SD sudah mempunyai kemampuan minimal bisa
40 membaca, menulis dan menghitung. Sehingga setidaknya tenaga kerja lulusan SD walaupun dengan kemampuan hanya membaca, menulis dan menghitung saja bisa membawa mereka memasuki pasar lapangan kerja, namun lapangan pekerjaan yang ditawarkan adalah lapangan pekerjaan di sektor pertanian dan informal. Pada tahun 2014 menurut BPS Bengkulu penduduk usia 15 tahun keatas di Provinsi Bengkulu yang berpendidikan rendah (SD, tidak tamat SD, dan tidak sekolah) yang bekerja sebanyak 369 077 jiwa sedangkan yang berpendidikan SLTP sebanyak 166 058 jiwa dan yang SLTA keatas sebanyak 333 659 jiwa. Dapat disimpulkan orang yang berpendidikan SD justru lebih banyak yang bekerja dan memiliki penghasilan daripada yang berpendidikan diatas SD. Seperti yang terlihat pada Gambar 15. Pendidikan yang rendah membuat masyarakat sulit untuk bersaing mencari lapangan pekerjaan di sektor formal sehingga mereka lebih banyak yang bekerja di sektor pertanian maupun di sektor informal seperti mendirikan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
SLTA 38%
SD Kebawah 43%
SLTP 19% Sumber : BPS Provinsi Bengkulu (2015)
Gambar 7 Penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut pendidikan yang ditamatkan Pemerintah setempat harus mencanangkan program wajib belajar 12 tahun agar penduduk yang belum pernah sekolah karena tidak memiliki biaya bisa bersekolah sampai jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga setidaknya masyarakat mempunyai kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan menghitung. Tenaga kerja lulus sekolah dasar ternyata mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan di Provinsi Bengkulu apalagi jika sampai lulus di jenjang yang lebih tinggi. Penduduk Usia 15 Tahun Keatas yang Bekerja menurut Pendidikan Tertinggi SLTA Hasil estimasi model dalam Tabel 10 menunjukan bahwa variabel penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja menurut pendidikan tertinggi SLTA (SMA1) signifikan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu, ditunjukkan dengan nilai probabilitas sebesar 0.0001 dengan koefisien -0.004466. Artinya peningkatan tenaga kerja lulusan SLTA sebesar 1% akan menurunkan kemiskinan sebesar 0.004466%. Koefisien bernilai negatif sesuai dengan hipotesis awal dan teori, karena semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesejahteraannya semakin meningkat. Hal ini dikarenakan semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan untuk memilih jenis pekerjaan semakin besar, terutama lapangan pekerjaan di sektor formal. Hal ini sesuai dengan
41 penelitian Prastyo (2010) bahwa pendidikan lulusan SLTA berpengaruh negatif secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Menurut Prastyo (2010) semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan meningkat, sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas kerjanya. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan memperkerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang tinggi, sehingga perusahaan juga akan bersedia memberikan upah yang lebih tinggi bagi yang bersangkutan. Tenaga kerja di Provinsi Bengkulu pada tahun 2015 menurut BPS Provinsi Bengkulu masih didominasi oleh lulusan SD dengan jumlah 43% sedangkan lulusan SMA sebanyak 38% sehingga masih terlihat bahwa kualitas tenaga kerja masih rendah. Pemerintah setempat perlu meningkatkan pembangunan modal manusia di bidang pendidikan terutama dengan memberikan bantuan bagi siswa yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTA. Selain itu pemerintah juga harus meningkatkan investasi dan memperbaiki struktur penyerapan tenaga kerja, agar lapangan pekerjaan yang menyerap tenaga kerja untuk lulusan SLTA bisa diperluas sehingga kesempatan kerja bagi lulusan SLTA lebih besar. Bila tenaga kerja lulusan SLTA meningkat maka produktivitas perusahaan meningkat dan output juga ikut meningkat. Sesuai dengan hasil estimasi bahwa meningkatnya jumlah tenaga kerja lulusan SLTA akan menurunkan kemiskinan di Provinsi Bengkulu. Persentase Tenaga Kerja Sektor Pertanian Hasil estimasi model dalam Tabel 10 menunjukan bahwa variabel persentase tenaga kerja sektor pertanian (TKTANI) secara siginifikan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu, ditunjukkan dengan nilai probabilitas sebesar 0.0309 dengan koefisien sebesar -0.016941. Artinya setiap peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 1% maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0.0309% ceteris paribus. Koefisien negatif persentase tenaga kerja sektor pertanian tidak sesuai dengan hipotesis awal dan tidak sesuai dengan teori. Pada dasarnya sektor pertanian adalah sektor yang memiliki resiko besar dan produktivitas yang rendah, sehingga tenaga kerja di sektor ini memiliki penghasilan yang rendah. Sektor pertanian adalah sektor yang tidak membutuhkan kemampuan yang tinggi dan tidak membutuhkan pendidikan formal. Tenaga kerja yang memiliki pendidikan rendah akan memilih sektor pertanian sebagai alternatif pekerjaan mereka untuk keluar dari status pengangguraan walaupun mereka memiliki penghasilan yang rendah. Menurut BPS Provinsi Bengkulu tahun 2015 penduduk yang bekerja di sektor pertanian mencapai 60% dibanding sektor lainnya. Dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian menyerap tenaga kerja lebih banyak daripada sektor yang lainnya, sehingga dengan meningkatnya tenaga kerja pertanian di Provinsi Bengkulu dapat mengurangi angka pengangguran dan menurunkan angka kemiskinan. Oleh karena itu pemerintah setempat harus meningkatkan investasi di sektor pertanian agar jumlah tenaga kerja yang berpendidikan rendah terserap di sektor pertanian juga terus meningkat.
42 Persentase Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian Hasil estimasi model dalam Tabel 10 menunjukan bahwa variabel persentase tenaga kerja sektor non pertanian (NONTANI) signifikan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu, ditunjukkan dengan nilai probabilitas sebesar 0.0497 dengan koefisien -0.016424. Artinya setiap peningkatan persentase tenaga kerja di sektor non pertanian sebesar 1% maka akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0.016424% ceteris paribus. Koefisien persentase tenaga kerja sektor non pertanian negatif sesuai dengan hipotesis awal dan sesuai dengan teori. Meningkatnya lapangan kerja baik itu di sektor pertanian dan non pertanian akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sehingga menurunkan angka pengangguran. Penyerapan tenaga kerja di sektor non pertanian masih rendah dikarenakan investasi di sektor ini masih rendah, selain itu kualitas tenaga kerja masih di dominasi oleh lulusan SD akibatnya lebih banyak tenaga kerja yang diserap oleh sektor pertanian. Berdasarkan Gambar 16 dapat dilihat bahwa tenaga kerja di sektor pertanian lebih mendominasi hingga 61% sisanya 39% adalah sektor non pertanian. Padahal apabila pemerintah setempat meningkatkan investasi di sektor non pertanian maka akan lebih banyak tenaga kerja yang terserap di sektor non pertanian khususnya pasar tenaga kerja untuk lulusan SMA. Sehingga tenaga kerja di sektor non pertanian jumlahnya akan seimbang dengan tenaga kerja di sektor pertanian Angkutan dan Komunikasi 4%
Jasa-Jasa 1%
Bank dan Lembaga Keuangan 2%
Perdagangan 21%
Konstruksi 6% Listrik dan Air Minum 0% Industri 4%
Pertanian 61%
Pertambangan 1%
Sumber : BPS Bengkulu (2015)
Gambar 8 Penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha di Provinsi Bengkulu tahun 2014 Tingkat Pengangguran Terbuka Hasil estimasi model dalam Tabel 10 menunjukan bahwa variabel tingkat pengangguran terbuka (TPT) tidak signifikan berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu, ditunjukkan dengan nilai probabilitas sebesar 0.6016 dengan koefisien 0.002608. Artinya setiap peningkatan tingkat pengangguran terbuka sebesar 1% maka akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 0.002608% ceteris paribus. Koefisien tingkat pengangguran terbuka bernilai positif sesuai dengan hipotesis awal dan teori, karena dengan bertambahnya jumlah pengangguran akan mengurangi pendapatan masyarakat
43 semakin turunnya kesejahteraan maka semakin lama akan terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan (Sukirno 2004). Tingkat pengangguran terbuka di Provinsi Bengkulu masih 3,21% pada tahun 2015 (BPS Provinsi Bengkulu 2015) tergolong masih rendah bila dibandingkan TPT Indonesia pada tahun yang sama yakni 6.18%. Namun walaupun nilainya rendah, TPT harus segera ditekan oleh pemerintah setempat karena berdasarkan estimasi TPT menjadi faktor pendorong adanya kemiskinan. Pemerintah harus membuka sebesar-besarnya kesempatan kerja bagi penduduk yang sudah siap masuk ke pasar kerja. Alternatif Kebijakan Mengurangi Kemiskinan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong kemiskinan di Provinsi Bengkulu antara lain jumlah penduduk, tingkat pengangguran terbuka, dan pertumbuhan ekonomi. Sementara faktorfaktor yang mengurangi kemiskinan antara lain penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja menurut pendidikan tertinggi SD, penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja menurut pendidikan tertinggi SLTA, tenaga kerja pertanian, tenaga kerja non pertanian dan fasilitas kesehatan. Pemerintah setempat harus melakukan intervensi dengan memberikan kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang tersedia di Provinsi Bengkulu. Faktor-Faktor yang Mendorong Kemiskinan 1. Pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu mencapai 5.49% lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi Indonesia yaitu 5.21% pada tahun 2014. Hasil estimasi menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab kemiskinan di Provinsi Bengkulu. Peningkatan 1% pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan kemiskinan di Provinsi Bengkulu sebesar 0.005841%. Tingginya pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu ternyata tidak berpengaruh terhadap angka kemiskinan, namun justru meningkatkan kemiskinan. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum cukup untuk mengurangi kesenjangan pendapatan perkapita Bengkulu dari angka rata-rata nasional. Pada tahun 2012 rasionya mencapai 40.54 %. Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah biasanya akan diikuti dengan peningkatan arus urbanisasi (Purnamasari 2013). Penduduk miskin terutama pengangguran akan bermigrasi dari desa ke kota yang biasanya memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan harapan memperoleh pekerjaan. Tetapi daerah yang tinggi pertumbuhan ekonominya belum tentu tinggi pula penyerapan tenaga kerjanya karena keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia. Lapangan pekerjaan yang tersedia belum tentu sesuai dengan keahlian yang dimiliki, sehingga pertumbuhan ekonomi justru meningkatkan jumlah pengangguran (Safitri 2015). Selain itu yang menjadikan pertumbuhan ekonomi justru meningkatkan kemiskinan diduga karena pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh penduduk golongan kaya dan hanya sedikit dinikmati oleh penduduk golongan miskin sehingga pertumbuhan ekonomi tidak efektif mengurangi persentase kemiskinan (Jhingan 2004).
44 Kesenjangan pendapatan di Provinsi Bengkulu harus dikurangi agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Provinsi Bengkulu dapat menurunkan angka kemiskinan. Kesenjangan ekonomi di Bengkulu dikarenakan masih terbatasnya jangkauan sarana dan prasarana bagi masyarakat. Kondisi di atas menghadapkan Provinsi Bengkulu pada tantangan untuk meningkatkan, memeratakan, dan memperluas jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial lainnya,serta jangkauan informasi sampai ke seluruh pelosok daerah. Pemerintah daerah harus bekerja keras untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi melalui peningkatan produkvititas sektor atau kegiatan ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja secara lebih besar dari golongan miskindengan prioritas sektor atau kegiatan ekonomi yang punya potensi berkembang seperti pertanian, perkebunan, kelautan dan perikanan, serta perdagangan dan jasa. Selain itu, pemerintah daerah juga dituntut untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi berbagai kebijakan dan program pengurangan kemiskinan. 2. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk di Provinsi Bengkulu pada tahun 2014 mencapai 1.84 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk Provinsi Bengkulu termasuk yang tinggi. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bengkulu pada periode 2000 hingga 2010 mencapai 1.67% lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk Indonesia pada periode yang sama yaitu 1.49%. Persebaran penduduk di Provinsi Bengkulu tidak merata antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Penduduk lebih terpusat pada wilayah ibukota yaitu Kota Bengkulu dengan distribusi penduduk yang mencapai 18.59%, sedangkan wilayah paling sedikit penduduknya adalah Kabupaten Bengkulu tengah dengan persentase 5.75%. Berdasarkan hasil estimasi jumlah penduduk sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan di Provinsi Bengkulu. Peningkatan 1% penduduk akan meningkatkan kemiskinan di Provinsi Bengkulu sebesar 1.090375%. Laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat menjadi sumber permasalahan. Beban untuk mencukupi kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan akan menjadi sangat berat. Sehingga diperlukan solusi agar pertumbuhan penduduk dapat ditekan. Salah satunya dengan program Keluarga Berencana. Program keluarga berencana dapat mengendalikan laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi di Provinsi Bengkulu. Pemerintah harus menghimbau masyarakat bahwa tujuan program Keluarga Berencana untuk membantu pemerintah dalam rangka menurunkan angka kemiskinan. Pada tahun 2014 jumlah keluarga yang mengikuti program KB sebanyak 316 095 pasangan dari 354 628 pasangan subur, sehingga masih ada 38 533 pasangan yang belum mengikuti program KB. Maka diperlukan usaha dari pemerintah untuk terus meningkatkan kesadaran penduduk untuk mengikuti program KB. Selain itu pemerintah juga harus menekan angka urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota, mengingat distribusi penduduk di Provinsi Bengkulu yang tidak merata. Pemerintah Kota Bengkulu harus membatasi pendatang yang akan menetap di Kota Bengkulu, karena jumlah penduduk di Kota Bengkulu sudah cukup padat. Solusi lainnya agar distribusi penduduk merata adalah dengan banyak membuka lapangan pekerjaan di wilayahwilayah yang masih sedikit jumlah penduduknya seperti di Bengkulu Tengah,
45 Lebong, Kaur, supaya perekonomian berkembang di wilayah tersebut. Sehingga masyarakat tidak perlu melakukan urbanisasi dalam mencari pekerjaan. 3. Tingkat Pengangguran Terbuka Pada tahun 2014 TPT di Provinsi Bengkulu mencapai 1.62%. Artinya dari seluruh penduduk yang merupakan angkatan kerja, sebanyak 1.62% adalah pengangguran (BPS Provinsi Bengkulu 2015). Berdasarkan estimasi, peningkatan 1% pengangguran terbuka maka akan meningkatkan kemiskinan sebesar 0.002608%. Permasalahan pengangguran harus segera ditangani agar tingkat kemiskinan di Provinsi Bengkulu tidak semakin parah. Kebijakan pemerintah diantaranya yaitu meningkatkan kesempatan kerja dengan membuka lapangan pekerjaan yang luas terutama di wilayah yang masih tinggi angka penganggurannya, seperti di Kabupaten Kaur, Lebong, Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu dengan TPT mencapai lebih dari 5% (BPS Provinsi Bengkulu 2015). Lapangan pekerjaan yang disediakan haruslah merupakan sektor tradable (dapat diperdagangkan antardaerah), sehingga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Pada tahun 2013 jumlah industri di Provinsi Bengkulu yang merupakan sektor tradable sebesar 2216 perusahaan dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 8791 orang. Kota Bengkulu memiliki industri terbanyak dengan jumlah 32 perusahaan, dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 1114 orang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa industri masih terpusat di Ibukota. Hal ini menunjukan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di wilayah tersebut, tetapi tidak dapat menurunkan jumlah pengangguran. Daerah tersebut termasuk daerah perkebunan, dan daerah perkotaan yang harus menampung migrasi penduduk dari daerah perdesaan Tugas pemerintah untuk mengembangkan lapangan pekerjaan di seluruh wilayah di Provinsi Bengkulu tidak hanya di Ibukota saja. Selain itu, industri yang dikembangkan juga harus industri yang mengolah sumber daya alam. Sehingga selain banyak menyerap tenaga kerja juga meningkatkan nilai ekspor Provinsi Bengkulu. Tantangan yang harus dihadapi adalah mendorong pengembangan sektor dan kegiatan ekonomi yang menyerap tenaga kerja relatif tinggi seperti pertanian, perkebunan dan komoditi unggulan dari Provinsi Bengkulu seperti sawit dan karet. Tantangan lainnya adalah mengembangkan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi yang mampu menyerap tenaga kerja di sektor informal. Faktor-Faktor yang Mengurangi Kemiskinan 1 Penduduk Usia 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Pendidikan Tertinggi SD dan SLTA Pendidikan adalah salah satu faktor yang penting dalam menurunkan angka kemiskinan. Pada tahun 2015 menurut BPS Provinsi Bengkulu tenaga kerja yang bekerja sebanyak 43% adalah penduduk lulusan SD, sementara 38% adalah lulusan SMA. Banyaknya penduduk lulusan SD yang bekerja dikarenakan kesempatan kerja bagi penduduk lulusan SD lebih tinggi dibandingkan lulusan SLTA. Hal ini dikarenakan jumlah lapangan pekerjaan di Provinsi Bengkulu yang membutuhkan tenaga kerja lulusan SLTA masih rendah, seperti di sektor industri. Sementara penduduk lulusan SD sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan sektor informal seperti UMKM. Pemerintah setempat harus meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan di sektor industri dan memperbaiki strukur penyerapan tenaga kerja, dengan cara
46 merekrut karyawan lulusan SLTA. Sehingga hal ini juga akan mengurangi angka pengangguran. Tahun 2013 industri di Provinsi Bengkulu seperti industri logam, mesin dan aneka masih rendah jumlahnya hanya sebanyak 729 perusahaan dibandingkan industri kimia, agro dan hasil hutan yang mencapai 1487 perusahaan. Industri logam, mesin, dan aneka bisa dikembangkan oleh pemerintah karena jumlahnya yang masih sedikit sehingga peluang untuk investasi di industri tersebut akan sangat besar. Dengan meningkatnya jumlah industri maka kesempatan kerja bagi penduduk lulusan SLTA akan semakin besar. Sementara untuk penduduk lulusan SD yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan informal harus terus dibantu oleh pemerintah dengan memberikan kemudahan peminjaman kredit usaha rakyat supaya jumlahnya terus berkembang sehingga meningkatkan upaya pengurangan kemiskinan. 2 Tenaga Kerja Sektor Pertanian dan Non Pertanian Sektor pertanian menjadi mata pencaharian utama bagi penduduk di Provinsi Bengkulu. Penyerapan tenaga kerja di sektor ini mencapai 50% dari seluruh sektor yang ada (BPS Provinsi Bengkulu 2015). Sehingga mampu menurunkan angka kemiskinan. Untuk terus meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian maka perlu dilakukan peningkatan lapangan pekerjaan di sektor pertanian. Berdasarkan penelitian Rangkuti (2009) dapat disimpulkan bahwa pengaruh pertumbuhan dan investasi terhadap tenaga kerja di sektor pertanian memiliki hubungan yang positif, sehingga secara implikasi dapat dikatakan untuk menaikkan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian mutlak diperlukan investasi dan pertumbuhan di sektor pertanian. Maka dari itu sektor pertanian dan perkebunan di Provinsi Bengkulu harus terus dikembangkan terutama hasil unggulan seperti sawit dan karet yang produksinya mencapai 270 054 ton pada tahun 2014. Selain itu pemerintah juga harus melakukan pembagian fokus produksi pertanian sesuai dengan keunggulan di masing-masing wilayah agar lebih efisien. Contohnya di subsektor tanaman pangan dikembangkan di Bengkulu Utara dengan potensi padi, Rejang lebong dengan potensi pertanian pangan seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai dan sayursayuran. Sedangkan untuk perkebunan di Mukomuko dengan kelapa sawit, Seluma dengan kelapa sawit dan karet, Bengkulu utara dengan karet, kayu bulat, dan kayu gergaji. Di subsektor peternakan Bengkulu Utara dengan ternak sapi dan kerbau, Seluma dengan kambing, domba, ayam ras dan ayam kampung, Lebong dengan itik. Di subsektor perikanan Kota Bengkulu dengan perikanan laut, Bengkulu Tengah dengan tambak air payau, Kepahiang dengan kolam dan jaring apung, Lebong dengan sawah, Bengkulu Utara dengan pembenihan, dan Mukomuko dengan karamba. Sektor Non Pertanian menjadi sektor sekunder di Provinsi Bengkulu terutama industri pengolahan dan perdagangan. Selama periode 2010-2014, meski pangsanya masih kecil sektor industri pengolahan mampu menciptakan lapangan kerja secara signifikan. Pentingnya pengembangan sektor industri pengolahan di Provinsi Bengkulu. Alasannya adalah pertama, sektor pertanian primer memiliki elastisitas permintaan yang rendah terhadap pendapatan. Hal ini ditunjukkan dengan relatif bertahannya kinerja pertumbuhan sektor pertanian di masa krisis, namun ketika situasi ekonomi membaik dan pendapatan masyarakat meningkat permintaan terhadap komoditas pertanian tidak meningkat dengan proporsi yang sama. Berbeda halnya dengan permintaan terhadap produk
47 manufaktur, yang sangat elastis terhadap peningkatan pendapatan. Kedua, sektor industri pengolahan sangat potensial dalam menciptakan nilai tambah, mendorong perkembangan sektor-sektor lain (multiplier effect), dan menciptakan lapangan kerja. Sektor industri pengolahan masih perlu dikembangkan lagi sehingga mampu menyerap angkatan kerja baru dan menyerap tenaga kerja yang menumpuk di sektor pertanian dan jasa-jasa yang kurang produktif. Kebijakan pembangunan sektor pertanian harus berjalan seiring dengan kebijakan pembangunan sektor industri. Pengembangan industri yang sesuai adalah industri berbasis pertanian dalam arti luas (agroindustri) seperti industri kimia, agro dan hasil hutan di Provinsi Bengkulu dimana jumlahnya mencapai 1487 unit dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 6513 orang. 3 Fasilitas Kesehatan Pembangunan kesehatan di Provinsi Bengkulu tergolong masih belum baik. Hal ini dilihat dari jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia. Padahal fasilitas kesehatan yang baik mampu menurunkan angka kemiskinan. Menurut WHO standar untuk tenaga medis dokter jumlahnya adalah 40 dokter umum, 6 dokter spesialis dan 11 dokter gigi per 100 000 penduduk, sementara di Provinsi Bengkulu baru ada 15 dokter umum, 3 dokter spesialis, dan 4 orang dokter gigi. pada tahun 2014. Sehingga hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah setempat untuk menambah jumlah tenaga medis agar dapat memenuhi kebutuhan. Selain itu jumlah rumah sakit swasta di Provinsi Bengkulu hanya tersedia di Kota Bengkulu dan Bengkulu Utara. Rumah bersalin yang merupakan fasilitas kesehatan yang penting keberadaannya dan hanya tersedia di Bengkulu Selatan dan Mukomuko. Pada intinya fasilitas kesehatan yang ada di Provinsi Bengkulu kuantitasnya masih rendah dan belum merata. Sehingga hal ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk memperbaiki pembangunan di bidang kesehatan dengan banyak membangun fasilitas kesehatan terutama di daerah pedesaan yang sulit dijangkau dan jauh dari rumah sakit. Selain itu dengan banyaknya fasilitas kesehatan akan banyak menciptakan lapangan kerja di bidang kesehatan sehingga mampu menyerap tenaga kesehatan lebih banyak. Tenaga kerja kesehatan yang diserap sebaiknya adalah penduduk Provinsi Bengkulu itu sendiri, agar angka pengangguran ikut menurun, namun jika kebutuhannya masih kurang baru menerima dari wilayah lain.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada penelitian yang berjudul faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Bengkulu maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Hasil estimasi pada model menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Bengkulu secara signifikan adalah jumlah penduduk, penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja pendidikan tertinggi SD, penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja
48 pendidikan tertinggi SLTA, tenaga kerja sektor pertanian, tenaga kerja sektor non pertanian, fasilitas kesehatan, dan tingkat pengangguran terbuka. Variabel jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran terbuka berpengaruh positif terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu, sedangkan variabel tenaga kerja sektor pertanian dan non pertanian, penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja pendidikan tertinggi SD, penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja pendidikan tertinggi SLTA berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Variabel pertumbuhan ekonomi, TPT, fasilitas kesehatan tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Bengkulu. 2. Perlu adanya kebijakan dan intervensi pemerintah setempat untuk mengurangi kemiskinan di Provinsi Bengkulu antara lain dengan menekan faktor pendorong kemiskinan dan meningkatkan faktor yang mengurangi kemiskinan.. Perlunya peningkatan lapangan pekerjaan terutama di sektor industri karena dapat menyerap tenaga kerja lebih besar. Struktur penyerapan tenaga kerja perlu diperbaiki agar lulusan SLTA lebih banyak bekerja terutama di sektor non pertanian terutama industri. Pemerintah setempat juga harus membantu tenaga kerja di sektor pertanian dengan memberikan bantuan pada pembudidayaan baik di subsektor tanaman pangan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Pemerintah daerah harus bekerja keras untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi melalui peningkatan produkvititas sektor atau kegiatan ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja secara lebih besar dari golongan miskin dengan prioritas sektor atau kegiatan ekonomi yang punya potensi berkembang seperti pertanian, perkebunan, kelautan dan perikanan, serta perdagangan dan jasa. Pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi khususnya dalam hal akses permodalan dan penguasaan teknologi tepat guna. Pemerintah juga perlu menurunkan kesenjangan pendapatan dengan membangun sektor perekonomian primer khusunya pertanian.. Peningkatan fasilitas kesehatan juga perlu menjadi tugas pemerintah untuk meningkakan ksejahteraan penduduk, karena jumlahnya yang masih rendah dan masih dibawah standar WHO. Saran 1. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa jumlah penduduk positif mempengaruhi kemiskinan di Provinsi Bengkulu. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi hingga mencapai 1.67% menyebabkan kemiskinan di Provinsi Bengkulu. Hendaknya pemerintah setempat harus mampu mengendalikan jumlah penduduk yang tinggi, agar laju pertumbuhannya semakin kecil sehingga dapat menekan angka kemiskinan, salah satu programnya adalah dengan terlaksananya program keluarga berencana (KB). 2. Pendidikan di Provinsi Bengkulu terbukti dapat berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Oleh sebab itu pemerintah setempat harus meningkatkan pembangunan di bidang pendidikan dengan program wajib belajar 12 tahun agar semua masyarakat mendapatkan pendidikan yang layak, selain itu pemerataan pendidikan dari segi fasilitas dan infrastrukutnya, sehingga di masa depan kualitas tenaga kerja akan semakin baik.
49 3. Perlu adanya peningkatan lapangan pekerjaan agar penyerapan tenaga kerja juga ikut meningkat. Dengan meningkatnya penyerapan tenaga kerja akan menurunkan angka pengangguran. Selain itu struktur penyerapan tenaga kerja juga perlu dibenahi agar tenaga kerja lulusan SLTA lebih banyak yang terserap di lapangan usaha sektor non pertanian. 4. Pemerintah setempat harus meningkatkan pembangunan di bidang kesehatan secara merata sampai ke wilayah yang sulit dijangkau jika ingin mengurangi angka kemiskinan. Standar pelayanan kesehatan di Provinsi Bengkulu masih dibawah standar WHO maka harus segera ada tindakan oleh pemerintah setempat untuk membenahi fasilitas kesehatannya. 5. Pemberdayaan sektor pertanian bagi petani dan nelayan khususnya dalam hal perbaikan akses input produksi (pupuk, benih, pestisida) termasuk peningkatan jaringan irigasi.
DAFTAR PUSTAKA Amelia, Risma. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. [internet]. [diunduh 2015 Oktober 24]. Tersedia pada [http://repository.ipb.ac.id/]. Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta (ID) : BPFE. Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta (ID) : Sekolah Tinggi Ekonomi YKPN. Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia. Jakarta (ID) : Erlangga. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 1970-2013. Jakarta (ID) : Badan Pusat Statistik [internet] [diunduh 2016 Januari 28]. Tersedia pada [http://bps.go.id/]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2011. Bengkulu (ID) : Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu [internet]. [diunduh 2016 Maret 29]. Tersedia pada [http://bengkulu.bps.go.id/]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2012. Bengkulu (ID) : Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu [internet]. [diunduh 2016 Maret 29]. Tersedia pada [http://bengkulu.bps.go.id/]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2013 Bengkulu (ID) : Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu [internet]. [diunduh 2016 Maret 29]. Tersedia pada [http://bengkulu.bps.go.id/]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2014 Bengkulu (ID) : Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu [internet]. [diunduh 2016 Maret 29]. Tersedia pada [http://bengkulu.bps.go.id/]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Provinsi Bengkulu Dalam Angka 2015. Bengkulu (ID) : Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu [internet]. [diunduh 2016 Maret 29]. Tersedia pada [http://bengkulu.bps.go.id/].
50 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Penduduk Miskin Menurut Provinsi di Kabupaten/Kota Tahun 2013-2015. Jakarta (ID) : Badan Pusat Statistik [internet]. [diunduh 2016 Januari 23]. Tersedia pada [http://bps.go.id/]. Baltagi, Bagi (2005). Econometric Analysis of Panel Data, Third Edition. John Wiley & Sons. Chambers, Robert. 1998. Pembangunan Desa : Mulai Dari Belakang. Jakarta (ID) : LP3ES. Faisal, Herry. 2013. Pengaruh Tingkat Pendidikan, Kesehatan Terhadap Produktivitas dan Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Kalimantan Barat. [Tesis]. Pontianak (ID) : Universitas Tanjung Pura. [internet]. [diunduh 2015 November 11]. Tersedia Pada [http://jurnal.untan.ac.id/]. Heidjrahman, Husnan. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta (ID) : BPFE-UGM. Jhingan, M. L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta (ID) : Raja Grafindo. Juanda, 2009. Ekonometrik : Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID) : IPB Press. Juanita, 2002. Kesehatan dan Pembangunan Nasional. [tesis]. Medan (ID) : AKK FKM USU. [internet]. [diunduh 2016 Agustus 8]. Tersedia pada [http://repository.usu.ac.id/]. Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta (ID) : PT. Pustaka Cidesindo. Kuncoro, Mudrajad. 2003. Ekonomi Pembangunan Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi ke-3. Yogyakarta (ID) : UPP AMP YKPN. Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi Dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta (ID): Erlangga. Kuncoro, Mudrajad. 2010. Ekonomika Pembangunan : Masalah, Kebijakan, dan Politik. Jakarta (ID) : Erlangga. Kuncoro, Mudrajad. 2013. Mudah Memahami dan Menganalisis Indikator Ekonomi. Yogyakarta (ID) : UPP STIM YKPN. Kuncoro, Sri. 2014. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,Tingkat Pengangguran dan Pendidikan Terhadap Tingkat Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 – 2011. [Skripsi]. Surakarta (ID) : Universitas Muhammadiyah Surakarta. [internet]. [diunduh 2015 November 11]. Tersedia pada [http://eprints.ums.ac.id/]. Maryaningsih, N, Oki H, Myrnawati S. 2014. Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. 17(1):62-98 [internet]. [diunduh 2015 Oktober 25]. Tersedia pada [http://www.bi.go.id/]. Nurkse, Ragnar. 1953. Problems of Capital Formation in Underdeveloped Countries. Oxford Basis Blackwell. Nurwati, Nunung. 2008. Kemiskinan : Model Pengukuran, Permasalahan dan Alternatif Kebijakan. Jurnal Kependudukan Padjajaran. 10(1):1-11 [internet]. [diunduh 2015 Oktober 24]. Tersedia pada [http://jurnal.unpad.ac.id/]. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2005 Tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan.
51 Prastyo, Adit A. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan (Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah Tahun 20032007). [Skripsi]. Semarang (ID) : Universitas Diponegoro. [internet]. [diunduh 2015 Oktober 24]. Tersedia pada [http://eprints.undip.ac.id/]. Purnamasari, P. 2013. Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Disparitas Pendapatan dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan Antar Provinsi di Indonesia Periode 2005-2009. [Skripsi]. Bandung (ID): Universitas Pasundan. [Pusdatin Kemnaker] Pusat Data dan Informasi Kementerian Ketenagakerjaan. 2016. Data Penduduk yang Bekerja di Provinsi Bengkulu Tahun 2010-2014 [internet]. [diunduh 2016 Juni 22]. Tersedia pada: [http://pusdatin.naker.go.id/]. Rangkuti, Muhammad I. M. 2009. Pengaruh Investasi dan Pertumbuhan di Sektor Pertanian Terhadap Jumlah Tenaga Kerja di Sektor Pertanian. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Safitri, Ririn I. 2015. Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan : Analisis Data Provinsi di Indonesia 2010-2013. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Sawit, M. H. 1986. Pembahasan Kesempatan Kerja dan Tingkat Upah di Pedesaan Jawa. Implikasi untuk Sektor Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 5(2): 50 - 56. Sigit, H. 1989. Transformasi Tenaga Kerja. Dalam Prisma. Jakarta (ID) : Lembaga Penelitian dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Suryahadi, A., Suryadarma, D., dan Sumarto, S. 2006. Economic Growth and Poverty Reduction in Indonesia: The Effects of Location and Sectoral Components of Growth. SMERU Working Paper. Jakarta (ID) : Lembaga Penelitian SMERU. Sharp, A.M., Register, C.A., Grimes , P.W. 2000. Economics of Social Issues 14th edition. New York (US) : Irwin/McGraw-Hill. [Simreg Bappenas] Sistem Informasi Data dan Manajemen Data Dasar Regional. 2016. Data Provinsi Bengkulu Tahun 2010-2014 [internet]. [diunduh 2016 April 14]. Tersedia pada : [http://simreg.bappenas.go.id]. Sukirno, Sadono. 1997. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta (ID) : PT. Rajawali Grafindo Persada. Sukirno, Sadono. 2004. Makro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta (ID) : PT Raja Grafindo Perkasa. Suryawati, Chrisarwardani. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 8(3): 121-129 [internet]. [diunduh 2016 Agustus 8]. Tersedia Pada [http://download.portalgaruda.org/]. Tambunan, Tulus. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta (ID) : PT. Ghalia Indonesia. Tambunan, Tulus. 2006. Iklim Investasi di Indonesia : Masalah, Tantangan Dan Potensi. Jakarta (ID) : Kadin Indonesia. [internet]. [diunduh 2015 Oktober 19]. Tersedia pada [http://www.kadin-indonesia.or.id/id/]. Todaro, M. P, Stephen .C. S. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Ke-9. Jakarta (ID) : Erlangga. Todaro, M. P, Stephen .C. S. 2010. Pembangunan Ekonomi. Edisi Ke-9. Jakarta: (ID) : Penerbit Erlangga.
52 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang - Undang Dasar 1945 Pasal 33 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Wijanarko, Vendi. 2013. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan Di Kecamatan Jelbuk Kabupaten Jember. [Skripsi]. Jember (ID) : Universitas Jember. [internet]. [diunduh 2015 Oktober 24]. Tersedia pada [http://repository.unej.ac.id/].
53
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil estimasi model terbaik Fixed Effect Model Dependent Variable: LNPOV Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 09/25/16 Time: 13:29 Sample: 2010 2014 Periods included: 5 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 50 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (no d.f. correction) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNPOP SD1 TKTANI NONTANI SMA1 TPT LNKES GROWTH C
1.090375 -0.003321 -0.016941 -0.016424 -0.004466 0.002608 -0.015228 0.005841 -0.954267
0.181401 0.001414 0.007504 0.008052 0.001001 0.004947 0.026346 0.004754 2.113684
6.010867 -2.347992 -2.257767 -2.039590 -4.461255 0.527276 -0.577982 1.228488 -0.451471
0.0000 0.0252 0.0309 0.0497 0.0001 0.6016 0.5673 0.2282 0.6547
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.996038 0.993933 0.052607 473.2353 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
14.05934 6.652800 0.088561 1.912685
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.993188 0.130222
Mean dependent var Durbin-Watson stat
10.16334 2.052581
Lampiran 2 Hasil Chow Test Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic 103.409419 170.199506
d.f.
Prob.
(9,32) 9
0.0000 0.0000
54 Lampiran 3 Hasil Hausman Test Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
183.726316
8
0.0000
Test Summary Cross-section random
Lampiran 4 Hasil Uji Multikolinearitas LNPOP LNPOP SD1 TKTANI NONTANI SMA1 TPT LNKES GROWTH
SD1
TKTANI NONTANI
SMA1
TPT
LNKES
GROWTH
1.000000 -0.520553 -0.619707 0.614572 0.387547 0.069511 0.592416 0.257157 -0.520553 1.000000 0.759760 -0.759632 -0.931779 -0.453694 -0.323399 -0.435121 -0.619707 0.759760 1.000000 -0.999795 -0.736758 -0.532765 -0.114619 -0.528261 0.614572 -0.759632 -0.999795 1.000000 0.737445 0.537010 0.109764 0.529602 0.387547 -0.931779 -0.736758 0.737445 1.000000 0.490629 0.196544 0.423655 0.069511 -0.453694 -0.532765 0.537010 0.490629 1.000000 -0.055063 0.186459 0.592416 -0.323399 -0.114619 0.109764 0.196544 -0.055063 1.000000 -0.077053 0.257157 -0.435121 -0.528261 0.529602 0.423655 0.186459 -0.077053 1.000000
Lampiran 5 Hasil Uji Normalitas 8
Series: Standardized Residuals Sample 2010 2014 Observations 50
7 6 5 4 3 2 1 0 -0.10
-0.05
0.00
0.05
0.10
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
2.05e-18 -0.000232 0.090155 -0.127419 0.042513 -0.367230 3.516508
Jarque-Bera Probability
1.679607 0.431795
55
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 18 April 1993. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Suindra dan Ibu Juriah, S.IP. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis mengawali pendidikan di SD Negeri Paoman IV Indramayu tahun 1999-2005. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Sindang Indramayu dan lulus tahun 2008. Pendidikan lanjutan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Sindang Indramayu dan lulus pada tahun 2011. Penulis kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) di tahun 2011 melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) Undangan. Penulis diterima di Departemen Ilmu Ekonomi jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan sebagai program mayor (S1), Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama perkuliahan penulis aktif dalam beberapa kegiatan. Misalnya, aktif pada kepengurusan Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi (HIPOTESA) sebagai sekretaris pada divisi DNA (Discussion and Analysist) periode 2012/2013. Organisasi mahasiswa daerah Indramayu (IKADA bogor). Penulis juga pernah menjadi peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke 27 mewakili IPB yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) tahun 2014 di Universitas Diponegoro.