FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KINERJA BALAI PENYULUHAN PERTANIAN (BPP) DAN DAMPAKNYA PADA PERILAKU PETANI PADI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
MUH. HATTA JAMIL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Balai Penyuluhan Pertanian dan Dampaknya pada Perilaku Petani Padi di Sulawesi Selatan” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Muh. Hatta Jamil NIM. I362060011
ii
ABSTRACT MUH. HATTA JAMIL. Factors Influencing to the Performances of Rural Extension Center (BPP) and Their Impacts to the Behaviors of Ricefield Farmers in South Sulawesi. Advisors : AMRI JAHI, DARWIS S. GANI, MA’MUN SARMA and I GUSTI PUTU PURNABA.
Good performances of Rural Extension Center (Balai Penyuluhan Pertanian-BPP) are indicated through action programs that have both direct and indirect impacts to the farmer behavior in terms of increased competencies and participation, so that their agricultural business productivity is increase and sustain. It is expected in longer period that there is an increasing incomes and prosperity of the farmers and their families. This research was aimed to know factors related to the action programs as a representation of BPP performance and relationship between factors that potentially increase BPP performance and their impacts to the behavioral changes of ricefield farmers in South Sulawesi. Population of this research were all BPP located in 15 districts (regencies) in South Sulawesi (176 sub-districts/150 BPP). Determination of samples used Slovin method, number of samples was 109 BPP located within 109 sub-districts. Research design was done based on the ex post facto with method design of survey and interviews using questionnaires. Design of data analysis used approach of Structural Equation Modeling (SEM) model applying LISREL program. Results of the research showed that variables of BPP development, BPP management, human resources, guided farmers, BPP resources, and BPP adaptation were significantly influencing the action programs as BPP representative performances with correlation coefficient (R2) was 0.72, the remaining 28 percent was affected by other factors outside of the study. Those factors directly influenced each others both insignificant and significant at α = 0.05. Besides that, they also indirectly influenced farmer behavior as much as 0.78 unit. The influence of action program as representation of BPP performances to the farmer behavior was indicated by correlation coefficient (R2) of 0.61, the remaining 39 percent was influenced by other variables outside of the study. Strategic implication of this research become important to the farmer behaviors, and to the development of BPP performances through action programs to a better direction by considering BPP development, BPP management, human resources, guided farmers, BPP resources and BPP adaptation. Keywords : Performances, development, management, resources, adaptation, action program, farmer behavior, BPP.
iii
RINGKASAN MUH. HATTA JAMIL. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dan Dampaknya pada Perilaku Petani Padi di Sulawesi Selatan. Di bawah bimbingan Amri Jahi, Darwis S. Gani, Ma’mun Sarma dan I Gusti Putu Purnaba. Organisasi penyuluhan pertanian telah mengalami “disorganisasi” saat Indonesia memasuki era otonomi daerah. Kebijakan desentralisasi diterapkan pada beberapa bidang, termasuk bidang pertanian dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian dari pemerintahan pusat ke daerah. Pelimpahan tersebut, berimplikasi terhadap struktur dan nomenklatur organisasi penyuluhan. Implikasi lainnya, sumberdaya yang dibutuhkan seperti sarana prasarana dan pembiayaan untuk melaksanakan tugas organisasi BPP secara khusus dan organisasi penyuluhan pertanian secara umum semakin minim dan bahkan tidak jelas. Kinerja organisasi turut menentukan efektivitas dan efisiensi kinerja organisasi dalam menjabarkan dan melaksanakan program aksi Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Hal tersebut diperlihatkan pada minimnya dukungan sumberdaya dan pembiayaan terhadap operasionalisasi BPP, sehingga kinerja organisasi BPP menjadi tidak memadai untuk mendukung tujuan organisasi BPP yang pada akhirnya akan membuat pengejawantahan tugas pokok dan fungsi anggota organisasi dan fungsi BPP tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kedudukan BPP ditingkat kecamatan sesungguhnya merupakan titik sentral dalam struktur organisasi penyuluhan. Dapat dikatakan sebagai organisasi penyelenggaraan perubahan, karena BPP menerima pelimpahan tugas dari atas atau menerjemahkan kebijakan yang dirumuskan dari struktur atas, tetapi disisi lain juga dituntut memahami permasalahan dan menyelami aspirasi dari bawah (petani), kemudian menyelenggarakan penyuluhan pada wilayahnya. Karena itu, perumusan program aksi BPP harus terus dibangun dan dilengkapi untuk mendorong kinerja BPP. Kinerja BPP tercermin dari rumusan dan penjabaran serta pelaksanaan program aksi hubungannya dengan pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia BPP, petani binaan, sumberdaya BPP, adaptasi BPP, dan program yang berhubungan dengan perilaku petani. Kinerja organisasi BPP yang baik, harapannya akan berdampak pada kinerja anggota organisasi yang baik dan pada saat yang bersamaan diharapkan turut memengaruhi perilaku kliennya (petani) yang mendorong ke arah kompetensi dan partisipasi klien yang semakin tinggi dan pada akhirnya akan membantu klien meningkatkan produktivitas usahatani mereka dan dalam jangka panjang akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan keluarganya. Tujuan penelitian: (1) mengidentifikasi faktor-faktor internal yang dapat meningkatkan kinerja BPP dalam bentuk program aksi pada perilaku petani dalam berusahatani padi di Sulawesi Selatan, (2) mengkaji pengaruh faktor-faktor internal, program aksi BPP pada perilaku petani dalam berusahatani padi di Sulawesi Selatan, (3) mengkaji derajat hubungan faktor-faktor internal yang berpengaruh pada program aksi BPP pada perilaku petani dalam mengembangkan iv
usahatani padi di Sulawesi Selatan, (4) mengkaji dampak program aksi BPP terhadap perubahan perilaku petani padi di Sulawesi Selatan. Populasi penelitian adalah seluruh BPP yang terdapat di 15 kabupaten pada setiap kecamatan di Sulawesi Selatan (176 Kecamatan/150 BPP). Penentuan sampel menggunakan metode Slovin, sehingga jumlah sampel sebanyak 109 BPP yang berkedudukan di 109 Kecamatan pada 15 Kabupaten di Sulawesi Selatan. Desain penelitian menggunakan metode survei dan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Sedangkan desain analisis data dilakukan dengan pendekatan model Structural Equation Modeling (SEM) yang menggunakan program LISREL. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP berpengaruh nyata pada program aksi BPP. Koefisien pengaruh masing-masing peubah, yaitu : 0,21; 0,53; 0,23; 0,17; 0,54 dan 0,15 yang nyata pada α = 0,05, koefisian determinasi pengaruh secara bersama keenam peubah tersebut pada program aksi sebesar 72 persen, yang nyata pada α = 0,05. Dampak pengaruh program aksi pada perubahan perilaku petani padi sebesar 61 persen dengan koefisien pengaruh 0,78 yang nyata pada α = 0,05. Hal tersebut berarti, bahwa setiap peningkatan satu satuan program aksi berdampak pada perubahan perilaku petani ke arah kompetensi dan partisipasi yang meningkat sebesar 0,78 satuan. Kesimpulan penelitian: pengembangan BPP, pengelolaan BPP, SDM, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP berpengaruh nyata pada program aksi BPP. Sedangkan faktor-faktor internal yang berpengaruh pada program aksi BPP adalah : tujuan, strategi, tata kelola, kepemimpinan, pelatihan teknis, rasio antara penyuluh dengan petani, jumlah tenaga administrasi dan keuangan, jumlah kelompok binaan, luas WKBPP, pembiayaan, sarana dan prasarana, sistem informasi, uji coba teknologi pertanian, pengembangan masyarakat dan kerjasama dengan lembaga lain. Pengembangan BPP, pengelolaan BPP, SDM, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP berpengaruh tidak langsung dan nyata pada perubahan perilaku petani, sedangkan program aksi melalui penciri pembentuknya, yaitu: programa, RDK, RDKK dan biaya operasional berpengaruh langsung dan nyata pada perilaku petani. Derajat hubungan antar peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, SDM, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP tergolong lemah dan tidak berbeda nyata. Derajat hubungan yang tergolong kuat adalah pada peubah pengembangan BPP dan sumberdaya BPP, pengembangan BPP dan SDM, pengelolaan BPP dan SDM, sumberdaya BPP dan SDM serta petani binaan dan sumberdaya BPP, sedangkan derajat hubungan antar peubah pengembangan BPP dan adaptasi BPP, pengembangan BPP dan petani binaan, pengembangan BPP dan pengelolaan BPP, pengelolaan BPP dan adaptasi BPP, pengelolaan BPP dan sumberdaya BPP, pengelolaan BPP dan petani binaan, SDM dan adaptasi, SDM dan petani binaan, petani binaan dan adaptasi serta sumberdaya BPP dan adaptasi BPP tergolong lemah. Program aksi BPP berdampak pada perubahan perilaku petani melalui dimensi programa penyuluhan, RDK, RDKK dan biaya operasional. Kata Kunci : kinerja, pengembangan, pengelolaan, sumberdaya, adaptasi, program aksi, perilaku petani. v
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KINERJA BALAI PENYULUHAN PERTANIAN (BPP) DAN DAMPAKNYA PADA PERILAKU PETANI PADI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
MUH. HATTA JAMIL
Disertasi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 vii
Judul Disertasi
Nama NIM Program Mayor
: Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dan Dampaknya pada Perilaku Petani Padi di Provinsi Sulawesi Selatan. : Muh. Hatta Jamil : I362060011 : Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, MA Anggota
Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS., M.Ec Anggota
Dr. Ir. I Gusti Putu Purnaba, DEA Anggota
Mengetahui
Koordinator Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 29 Desember 2011
Tanggal Lulus : viii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia, rahmat dan ridho-Nya, sehingga disertasi ini dapat dirampungkan dengan baik. Disertasi ini berjudul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dan Dampaknya pada Perilaku Petani Padi di Provinsi Sulawesi Selatan” merupakan disertasi yang dianggap berguna dan bermanfaat bagi pengembangan penyuluhan di Indonesia, terutama dari segi organisasi BPP sebagai ujung tombak penyelenggaraan penyuluhan di Indonesia. Selesainya disertasi ini tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak, utamanya kepada ketua komisi pembimbing Bapak Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc, dan anggota komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, MA, Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS., M.Ec. dan Dr. Ir. I Gusti Putu Purnaba, DEA., penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga atas segala budi baik BapakBapak membimbing saya, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran. Semoga kebaikan yang diberikan kepada saya menjadi berkah bagi saya dan bagi BapakBapak beserta keluarga. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS dan Dr. Ir. Lukman Effendy, M.Si selaku penguji luar komisi, Bapak Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, MS dan Dr. Ir. Teddy R. Muliady, MM selaku pakar untuk uji kuesioner, Bapak Dr. Arif Satria, M.Si selaku Dekan Fak. Ekologi Manusia IPB dan Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc selaku koord. Prog. Mayor PPN IPB yang telah memberikan arahan dan bimbingan pada proses perkuliahan serta pelayanan akademik. Juga terima kasih kepada Bapak Rektor Unhas, Dekan Faperta Unhas, dan Kajur Sosek Faperta Unhas Prof. Dr. Ir. Bulkis, MS atas kesempatan yang diberikan melanjutkan studi S3 dan bantuan moril maupun materil dan kepada Bapak Dr. Djunaidi M. Dachlan, MS (Kepala Puslitbang Kebijakan dan Manajemen Unhas) dan Prof. Dr. Ir. Rahmawaty Nadja, MS atas bantuan moril dan materil selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih kepada Pemprov SulSel dan Pemkot Makassar atas ijin penelitian dan bantuan materilnya serta penyuluh, khususnya kepala BPP dan stafnya serta petani di SulSel yang telah memberikan informasi, saya sampaikan terima kasih. Kepada Dr. M. Iqbal Bahua, Yohanis Kamagi dan seluruh teman-teman di PPN, PISPI dan pengurus Forum Wacana IPB 2009/2010 yang tidak dapat disebut namanya satu persatu, saya juga mengucapkan terima kasih. Terkhusus terima kasih saya sampaikan kepada orang tua, isteri dan anak-anakku dengan segenap pengorbanan dan kesabaran menemani selama penulis kuliah sampai saat penyelesaian studi serta saudara-saudaraku dan keluarga penulis atas segala dukungan dan doa serta kasih sayangnya selama ini. Saya berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Januari 2012. Muh. Hatta Jamil ix
RIWAYAT HIDUP Penulis di lahirkan di Makasar pada tanggal 23 Desember 1967 sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara, pasangan Bapak M. Jamil dan Ibu Sitti Nahra. Tahun 1996 penulis menikah dengan Ir. Debia Arida, MP dan telah dikaruniai lima anak, bernama Muhammad Rifqi Zulfahmi, Muhammad Mihraj Arib, Muhammad Aqil Atthatari, Muhammad Irsyad Muthahadar dan Dzakirah Taliyah Farizah. Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah atas di selesaikan di Makassar. Pendidikan Sarjana ditempuh pada tahun 1987 di Program Studi Sosek Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar, lulus tahun 1992. Pendidikan Magister Sains ditempuh pada tahun 1999 di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP) Pascasarjana IPB Bogor, lulus pada tahun 2001. Tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa S3 di Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan Pascasarjana IPB dengan beasiswa (BPPS) Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional RI. Tahun 1995 penulis diangkat sebagai PNS (tenaga edukatif) pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin sampai sekarang. Sejak menjadi Dosen penulis Pernah mengikuti Training On Course Agribusiness Management, The Institute for The Development Of Agricultural Cooperation In Asia (IDACA), Tokyo, Japan. Menghadiri Seminar International Enhancement of Extension System In Agriculture, Faisalabad, Pakistan, (Laison APO Pakistan). Editor Prosiding Sarasehan Nasional “Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat.” terbit tahun 2008 yang diterbitkan PPN-IPB. Penulis buku Perencanaan Partisipatif dan Paradigma Pembangunan Masyarakat (ISBN, 2010), Menjadi salah seorang penulis dalam buku “Enhancement of Extension Systems in Agriculture” (ISBN, 2006). Pernah Menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Wilayah Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indoensia (POPMASEPI) 1991-1992, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat POPMASEPI 1992-1994. Ketua Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana (Forum Wacana) IPB 2009/2010. Deklator dan Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Pertanian Indoensia (PISPI). Peserta dan Pemakalah pada International Roundtable Discussion di Universiti Putra Malaysia (2009), terakhir penulis mendapat kesempatan mengikuti Sandwich Program di Bremen University, Jerman, 2009/2010. Penulis pernah aktif di Pusat Studi Lingkungan Unhas (19891993), sekarang selain sebagai staf pengajar di Sosek Pertanian Unhas, juga aktif pada Pusat Studi kebijakan dan Manajemen Pembangunan (PSKMP) Unhas yang berganti nama menjadi Puslitbang Kebijakan dan Manajemen Unhas dari 1995 – Sekarang. .
x
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ……………………………………………………. DAFTAR GAMBAR …………………………………………………. DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………. PENDAHULUAN ……………………………………………………. Latar Belakang ……………………………………………………. Masalah Penelitian ………………………………………………... Tujuan Penelitian …………………………………………………. Kegunaan Penelitian ……………………………………………… Definisi Istilah …………………………………………………..... TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… Pengertian Kinerja ………………………………………………… Penilaian Kinerja ………………………………………………….. Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja ……………………………. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Organisasi ……………. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Program Aksi BPP …………… Pengembangan BPP …………………………………………… Keunggulan Mutu BPP………………………………………… Sumberdaya Manusia …………………………………………. Sarana dan Pembiayaan ……………………………………….. Rencana Strategis ……………………………………………… Hubungan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Organisasi BPP …………………………………………… Masa Operasional ……………………………………………... Luas Kebun Percontohan ……………………………………… Luas Wilayah Kerja …………………………………………… Jumlah Kelompok Binaan …………………………………….. Jumlah Petani Binaan …………………………………………. Masa Kerja Staf ……………………………………………….. Keunggulan Mutu BPP ……………………………………………. Tata Kelola ……………………………………………………. Kepemimpinan ………………………………………………… Sistem Pengelolaan ……………………………………………. Sumberdaya Manusia ………………………………........................ Jumlah Staf ……………………………………………………. Pendidikan Formal ……………………………………………. Pelatihan Teknis ………………………………………………. Penempatan Staf ……………………………………………….. Pengembangan Staf ……………………………………………. xi
Halaman xvi xv xvi 1 1 5 7 8 9 12 12 16 20 24 27 27 32 38 41 45 49 49 53 56 57 60 62 65 65 67 69 70 70 71 73 75 77
Sarana dan Pembiayaan ………………………………………….... Ketersediaan Kendaraan ……………………………………….. Anggaran ……………………………………………………….. Rencana Strategis ………………………………………………...... Visi ……………………………………………………………... Misi …………………………………………………………….. Tujuan dan Sasaran ……………………………………………. Arah Kebijakan ………………………………………………… Program – Program …………………………………………….. Kegiatan ………….…………………………………………….. Program Aksi …………………………………………………... Rencana Pembelajaran …………………………………………. Materi Pembelajaran ………………………………………….... Media Pembelajaran ………………………………………….... Metoda Pembelajaran ………………………………………….. Biaya Operasional ……………………………………………… Evaluasi ………………………………………………………… Peran BPP pada Kegiatan Usahatani ……………………………… Perilaku Petani …………………………………………………. Hubungan Kinerja BPP dengan Perilaku Petani ………………..
80 83 84 86 87 89 91 92 93 96 97 101 103 104 108 111 114 116 119 121
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ………………………..
123
Kerangka Berpikir ………………………………………………… Hipotesis Penelitian ………………………………………………..
123 130
METODE PENELITIAN ……………………………………………..
131
Desain Penelitian ………………………………………………….. Populasi dan Sampel ……………………………………………… Populasi …………………………………………………………… Sampel …………………………………………………………….. Data dan Instrumentasi ……………………………………………. Data ……………………………………………………………….. Instrumentasi ……………………………………………………… Validitas dan Reliabilitas Instrumen ….…………………………... Validitas Instrumen ………………………………………………. Reliabilitas Instrumen ……………….……………………………. Pengumpulan Data ………………………………………………... Analisis Data ………………………………………………………
131 137 137 138 140 140 149 150 152 152 153 154
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………….
156
Hasil penelitian …………………………………………………… 156 Analisis Parameter Model Struktural Kinerja BPP …………………………………………………… 156
xii
Pengaruh pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP pada program aksi BPP ……………….. Pengaruh pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP pada perilaku petani ………………….. Hubungan antar peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP …………………… Pengaruh program aksi BPP pada perubahan perilaku petani padi ……………………………….. Pembahasan ……………………………………………………… Pengaruh pengembangan BPP pada program aksi ……………………………………………... Pengaruh pengelolaan BPP pada program aksi ……………………………………………. Pengaruh SDM pada program aksi BPP …………………………………………….. Pengaruh petani binaan pada program aksi BPP ………………………………………. Pengaruh sumberdaya BPP pada program aksi BPP………………………………………. Pengaruh Adaptasi BPP pada program aksi BPP………………………………………. Pengaruh Pengembangan BPP, Pengelolaan BPP, SDM, Petani Binaan, Sumberdaya BPP dan Adaptasi BPP pada Program Aksi BPP ………………………………………. Pengaruh Pengembangan BPP, Pengelolaan BPP, SDM, Petani Binaan, Sumberdaya BPP dan Adaptasi BPP pada Perubahan Perilaku Petani ………………………………. Hubungan antar Peubah yang Berpengaruh pada Program Aksi BPP ……………………………………….
163
165
166 169 170
170 173 176 178 180 182
184
187
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………
188 190
Kesimpulan ………………………………………………………...... Saran ………………………………………………………………….
190 191
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 193 LAMPIRAN ………………………………………………………….. 206
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Rancangan pengujian model penelitian studi kinerja Organisasi BPP …………………………………………… 2. Peubah dan sub peubah model persamaan struktural ……………. 3. Ukuran populasi BPP di Sulawesi Selatan ……………………….. 4. Ukuran sampel pada setiap kabupaten …………………………… 5. Dekomposisi pengaruh antar peubah/sub peubah model kinerja BPP………………………………………………… 6. Koefisien dan t-hitung pengaruh peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP berpengaruh pada program aksi BPP…………………………….. 7. Koefisien dan t-hitung pengaruh peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, adaptasi BPP dan program aksi pada perilaku petani ……………………………….. 8. Arah, koefisien dan t-hitung hubungan antar peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP ……………………………... 9. Koefisien dan t-hitung pengaruh peubah kinerja penyuluh pertanian pada perubahan perilaku petani …………………………………………
xiv
134 135 137 138 161
162
164
166
168
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Organisasi ……….…
24
2. Model logika pengembangan program ……………………………
125
3. Pengembangan BPP dengan pendekatan model logika ………….
126
4. Sistem organisasi terbuka …………………………………………
127
5. Alur hubungan antar peubah penelitian ………………………….
128
6. Kerangka hipotetik model struktural peubah penelitian …………
133
7. Estimasi seluruh parameter model struktural kinerja BPP………..
155
8. Estimasi parameter model struktural kinerja BPP…………………
157
9. Statistik t-hitung parameter model struktural kinerja BPP……….
158
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Output Lisrel parameter model struktural kinerja penyuluh pertanian ……………………………………………. 2.
Kuesioner Penelitian ………………………………………………….
xvi
206 217
Penguji Luar Komisi
:
Penguji Ujian Tertutup
: Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS Pengajar Program Studi Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Lukman Effendy, M.Si Dosen STPP Bogor.
Penguji Ujian Terbuka
: Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Pengajar Program Studi Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Teddy R. Muliady, MM Kepala Balai Pelatihan Pertanian Jambi Kementerian Pertanian RI
xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang Organisasi penyuluhan pertanian telah mengalami “disorganisasi” saat Indonesia memasuki era otonomi daerah. Kebijaksanaan desentralisasi diterapkan pada beberapa bidang, termasuk bidang pertanian dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian dari pemerintahan pusat ke daerah. Pelimpahan tersebut, berimplikasi terhadap struktur dan nomenklatur organisasi penyuluhan. Misalnya, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) diubah dengan nama Badan Informasi Pertanian, Kantor Cabang Dinas Pertanian, Unit Pelaksana Teknis Daerah, Balai Penyuluhan Kecamatan (BPK), Balai Penyuluhan Pertanian Kehutanan (BPPK), Sub – Dinas, Kantor Informasi Penyuluhan, Bagian Unit Kerja dalam Dinas atau Kantor bahkan ada yang dibubarkan (penyuluh ditarik ke dinas masing-masing), dan terakhir berbentuk Badan Pelaksanan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K). Implikasi lainnya, sumberdaya yang dibutuhkan seperti sarana prasarana dan pembiayaan untuk melaksanakan tugas organisasi BPP secara khusus dan organisasi penyuluhan pertanian secara umum semakin minim dan bahkan tidak jelas. Perubahan kebijakan tersebut, berpengaruh pada kinerja organisasi penyuluhan pertanian. Padahal kinerja organisasi turut menentukan efektivitas dan efisien kinerja organisasi dalam menjabarkan dan melaksanakan program aksi aksi Balai Penyuluh Pertanian (BPP). Hal tersebut diperlihatkan pada minimnya dukungan sumberdaya dan pembiayaan terhadap operasionalisasi BPP, sehingga kinerja organisasi BPP menjadi tidak memadai untuk mendukung tujuan organisasi BPP yang pada akhirnya akan membuat pengejawantahan tugas pokok dan fungsi anggota organisasi BPP tidak sesuai dengan yang diharapkan. BPP yang kedudukannya ditingkat kecamatan sesungguhnya merupakan titik sentral dalam struktur organisasi penyuluhan. Dapat dikatakan sebagai organisasi penyelenggaraan perubahan, karena BPP menerima pelimpahan tugas dari atas atau menerjemahkan kebijakan yang dirumuskan dari struktur atas, tetapi disisi lain juga dituntut memahami permasalahan dan mengakomodir aspirasi dari bawah (petani), kemudian menyelenggarakan penyuluhan pada wilayahnya.
2
BPP dalam proses di atas, berdasarkan biaya operasional yang di atur oleh peraturan pemerintah dapat dipahami cakupan fungsinya, yaitu meliputi: (1) penyusunan programa penyuluhan pada tingkat kecamatan; (2) pelaksanaan penyuluhan berdasarkan programa penyuluhan; (3) penyediaan dan penyebaran informasi teknologi; (4) memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha; (5) memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh; dan (6) pelaksanaan proses pembelajaran. Fungsi BPP tersebut, sangat tergantung pada kemampuan organisasi mengaktualisasikan kinerjanya yang digambarkan melalui program aksi yang terdiri dari pengembangan program dan implementasinya yang menjadi pedoman dan arah dalam menyediakan sumberdaya dan mendukung anggota organisasi dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Karena itu, perumusan program aksi BPP harus terus dibangun dan dilengkapi untuk mendorong kinerja BPP. Kinerja BPP dapat direpresentasikan dengan pendekatan proses sebagai sistem organisasi terbuka (open organization system). Pendekatan tersebut, menunjukkan proses pelaksanaan fungsi BPP dengan pemanfaatan sumberdaya (hardware and software, technoware, humanware, infoware, dan Manageware). Sehingga proses tersebut, dapat ditelaah dengan memahami unsur-unsur sistem organisasi terbuka sebagai berikut: (i) masukan (inputs), (ii) proses transformasi (transformation process), (iii) keluaran (outputs), (iv) umpan balik (feedback), dan (v) lingkungan (environment). Telaahan kinerja BPP dengan pendekatan sistem organisasi terbuka dapat bermanfaat dalam hal cakupan kajian yang komprehensif dalam proses alur hubungan
faktor-faktor
yang
berpengaruh
terhadap
kinerja
organisasi
(performance organization) dan perilaku petani. Selain cakupan tersebut, kinerja organisasi BPP penting untuk dilihat dari sudut organisasi sebagai sistem terbuka. Karena dari sudut pandang unsur-unsur dan manfaatnya memiliki kejelasan ruang lingkup dan prosesnya, juga sumberdaya manusia yang ada dalam proses sebagai sistem terbuka, terutama pimpinan atau kepala kantor dapat melihat organisasi BPP dari perspektif yang lebih luas. Sehingga mereka dapat menafsir pola dan peristiwa dalam organisasi BPP dimana mereka melaksanakan tugas dan bekerja
3
bersama mencapai tujuan organisasi yang telah dirumuskan dan disepakati bersama yang tertuang dalam perencanaan program aksi. Kinerja BPP dari perspektif organisasi sistem terbuka diharapkan dapat berkontribusi dalam hal manfaat untuk mendorong kinerja BPP pada dua hal, yaitu; tingkat pencapaian dalam hal merumuskan dan menjabarkan program aksi sebagai bentuk pencapaian kinerja BPP. Bila kinerja BPP tercapai dengan parameter unsur-unsur yang ada dalam program aksi dan variable-variabel yang berhubungan dengan kerangka model yang dikembangkan dalam penelitian ini, manfaat lebih lanjut dapat dirasakan BPP adalah kemampuannya mendorong peningkatan kompetensi dan partisipasi petani dalam proses penyuluhan. Kinerja BPP yang mampu merumuskan dan menjabarkan program aksi sebagai upaya mendorong perilaku petani ke arah kompetensi dan partisipasi petani yang semakin kompeten dan partisipatif dalam penyuluhan sangat berarti untuk mendorong peran anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi, dalam hal fungsi BPP adalah untuk mambantu petani dalam usahataninya sesuai dengan perkembangan teknologi budidaya pertanian yang titik beratnya diarahkan pada teknologi budidaya berbasis pengetahuan, disesuaikan dengan kemampuan dan sikap petani secara lokal dalam mengadopsi teknologi pertanian. Kinerja BPP tercermin dari rumusan, penjabaran, dan pelaksanaan program aksi
hubungannya dengan pengembangan BPP, pengelolaan BPP,
sumberdaya manusia BPP, petani binaan, sumberdaya BPP, Adaptasi BPP, dan program aksi yang berhubungan dengan perilaku petani. Menelusuri dan memahami variabel kinerja BPP akan menggambarkan sejauh mana organisasi tersebut memiliki kinerja yang dapat menopang peran para anggotanya dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi secara profesional. Kinerja organisasi BPP yang baik harapannya akan berdampak pada kinerja anggota organisasi yang baik dan pada saat yang bersamaan diharapkan turut memengaruhi perilaku klienya (pelaku utama dan pelaku usaha). Kinerja BPP yang diperlihatkan pada rumusan dan penjabaran program aksi secara memadai barulah pencapaian kinerja organisasi secara internal dan belum menghasilkan kinerja sesuai dengan yang diharapkan. Kinerja BPP dapat juga diperlihatkan dan ditunjang oleh perilaku petani yang semakin kompeten dan partisipatif dalam penyuluhan.
4
Kinerja BPP yang tinggi dan diharapkan tidak lain merupakan upaya untuk mengembangkan kinerja dari perumusan program aksi BPP yang mencerminkan pelaksanakan tugas pokok dan fungsi anggota organisasi BPP yang sebagian dari tugas pokok dan fungsi anggotanya dapat berupa: persiapan penyuluhan, pelaksanaan penyuluhan, pengembangan penyuluhan, pengembangan profesi penyuluhan, evaluasi dan pelaporan penyuluhan serta penunjang penyuluhan. Disamping itu, kinerja yang tinggi juga diperlihatkan pada meningkatnya kompetensi klien (petani) dalam usahatani mereka dan tingkat partisipasinya semakin tinggi pula dalam penyuluhan. Kinerja BPP yang berkembang dan meningkat dari sisi di atas, maka tentunya kemampuan dan keterampilan pada diri anggotanya dapat membentuk kinerja yang baik yang pada akhirnya mendorong kinerja BPP yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Selain itu, juga dapat mendorong ke arah kompetensi dan partisipasi klien yang semakin tinggi dan pada akhirnya akan membantu klien meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan keluarganya. Kinerja BPP melalui pencerminan perwujudan kinerja program aksi harus ditopang
oleh
organisasi
yang
memiliki
keinginan
untuk
melakukan
pengembangan dan pengelaolaan BPP, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP yang memungkinkan anggota organisasi dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan baik. Semakin berkembang penopang kinerja BPP, maka secara teknis tidak ada halangan bagi seorang penyuluh untuk melakukan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan kinerja BPP yang diharapkan. Jadi dapat dikatakan, bahwa kinerja BPP merupakan sarana dan prasarana dalam aktivitas operasional organisasi untuk mencapai tujuannya. Oleh karena itu, pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia BPP, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP yang berkembang dan semakin kondusif akan menghasilkan kinerja BPP yang baik. Uraian di atas memberi pemahaman bahwa kinerja organisasi BPP sebagai suatu sistem terbuka dipengaruhi oleh pengembangan dan pengelaolaan BPP, sumberdaya manusia BPP, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP
5
serta faktor-faktor internal dalam menjalankan fungsi-fungsi organisasi BPP yaitu program aksi dalam hal ini adalah pengembangan program aksi dan implementasinya. Sejauhmana faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap kinerja BPP dan dampaknya terhadap perilaku petani memiliki dimensi dan urgensi untuk dikaji secara mendalam melalui penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kinerja BPP dan dampaknya terhadap perilaku petani padi di Sulawesi Selatan. Kajian ini diharapkan berkontribusi bagi peningkatan kinerja BPP pada masa yang akan datang serta peningkatan perilaku petani yang semakin kompeten dan partisipatif dalam penyuluhan. Oleh karena itu, peningkatan kinerja BPP akan menopang tugas pokok dan fungsi penyuluh serta pencapaian tujuan organisasi yang ditandai dengan kinerja organisasi yang semakin baik, sehingga kinerja organisasi dapat dirasakan oleh anggota organisasi itu sendiri dan khususnya yang menjadi klien BPP di Sulawesi Selatan yaitu petani sebagai pelaku utama dan juga pelaku usaha. Masalah Penelitian BPP
merupakan
ujung
tombak
penyuluhan
pertanian
dan
organisasi
penyelenggara perubahan yang diperankan oleh para penyuluh yang terorganisir. Peran
penyuluhan
tersebut
dapat
digambarkan
sebagai
pengembangan
kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap petani sebagai proses pembelajaran (learning process) agar para petani mau dan mampu mengorganisir dirinya dalam mengakses kebutuhan yang terkait dengan usahatani mereka. Proses peran penyuluhan tersebut dilaksanakan oleh para penyuluh yang ada dalam lingkungan BPP sebagai wadah dimana para penyuluh berinteraksi dan memanfaatkan segala sumberdaya untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Wadah BPP sebagai organisasi memerlukan input yang selanjutnya ditransformasi sebagai proses, kemudian menjadi keluaran yang dimanfaatkan untuk penyelenggaraan penyuluhan yang selanjutnya mendapat umpan balik dan terakhir berinteraksi dengan lingkungan kerjanya. Proses tersebut dapat berjalan dengan baik apabila kapasitas BPP dapat memfasilitasi dan menyediakan sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan
6
proses penyuluhan secara memadai sesuai dengan dinamika penyelenggaraan penyuluhan pada wilayah kerja masing-masing. Faktor internal BPP yang kurang memadai dan tidak mampu memfasilitasi dan menyediakan sarana dan pembiayaan akan menimbulkan persoalan yang dapat menyebabkan terjadinya pengaruh perumusan program aksi BPP dan pada akhirnya memengaruhi kinerja BPP. Apabila program aksi perumusannya kurang komprehensif menjabarkan dan menjembatani antara tujuan organisasi dengan kebutuhan klien, maka dapat dikatakan bahwa kinerja organisasi dan perilaku petani pada taraf yang rendah dan dapat mengakibatkan tujuan organisasi tidak tercapai dan perilaku petani tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Padahal BPP merupakan wadah bernaungnya para penyuluh pertanian dalam melakukan koordinasi, perencanaan dan pengelolaan programa penyuluhan, akan menimbulkan persoalan apabila tidak dalam kinerja yang memadai menunjang penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Kinerja BPP yang rendah, selain tujuan organisasi tidak tercapai juga berdampak pada pelaksanaan penyuluhan di lapangan. Dampak tersebut diantaranya; perencanaan penyuluhan tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan petani, sehingga proses pembelajaran tidak berjalan optimal, petani hanya melakukan usahataninya apa adanya, sehingga petani hanya menjadi bagian yang melaksanakan usahatani sesuai dengan kemauan penyuluh dan penyuluh sendiri menjadi tidak mandiri dalam proses tersebut. Dampak lainnya adalah perilaku petani yang rendah, ditandai dengan kompetensi dalam mengelola usahatani yang tidak sesuai anjuran dengan diikuti tingkat partisipasi yang rendah dalam pelaksanaan penyuluhan. Sehingga, dampak lebih jauh adalah produksi dan luas panen akan berpengaruh dalam usahatani petani. Deskripsi di atas, secara umum menimbulkan suatu pertanyaan, seperti apakah program aksi
BPP sebagai bentuk kinerja BPP di Sulawesi Selatan dan
adakah dampak program aksi sebagai bentuk kinerja BPP pada perilaku petani padi di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara khusus, masalah yang ditelaah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
7
(1) Faktor-faktor internal apa yang berpengaruh pada program aksi BPP pada perilaku petani dalam berusahatani padi di Sulawesi Selatan? (2) Berapa besar pengaruh faktor-faktor internal, program aksi pada perilaku petani dalam berusahatani padi di Sulawesi Selatan? (3) Bagimana derajat hubungan faktor-faktor internal yang berpengaruh pada program aksi BPP pada perilaku petani dalam pengembangan usahatani padi di Sulawesi Selatan? (4) Berapa besar dampak program aksi BPP pada perubahan perilaku petani padi di Sulawesi Selatan?
Tujuan Penelitian Faktor internal yang memadai, program aksi yang terumuskan dan terjabarkan sesuai kaidah yang benar dapat memberi kontribusi yang sangat berarti dalam meningkatkan kinerja BPP. Selanjutnya, program aksi dalam bentuknya sebagai kinerja BPP yang terus meningkat akan memberi pengaruh dalam membentuk perilaku petani yang kompeten dan partisipatif sebagai pencapaian tujuan penyuluhan yang diselenggarakan. Perilaku petani yang semakin kompeten dalam berusahatani padi dan tingkat partisipasi mereka yang semakin tinggi dalam penyuluhan yang diselenggarakan BPP diyakini dapat membantu meningkatkan produksi dan luas panen usahatani klien, pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan keluarganya. Selain klien yang memperoleh keuntungan dari meningkatnya kinerja BPP, sebagai organisasi BPP juga memperoleh manfaat yaitu tercapainya tujuan organisasi yang antara lain dapat dilihat dari pencapaian visi, misi dan tujuan yang mereka rumuskan dan dijabarkan. Selain itu, bila kinerja BPP semakin baik maka dapat pula dikatakan kinerja anggotanya (staf/pegawai) akan semakin meningkat dan motivasi organisasi (organizational motivation) semakin tinggi dan dinamis. Kemampuan BPP mencapai program aksi (kinerja) yang lebih baik, akan mampu memfasilitasi dan berperan dalam mendorong meningkatnya perilaku petani yaitu kompetensi dan partisipasinya semakin tinggi yang memiliki hubugan dengan pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, adaptasi BPP serta pengembangan program dan
8
implementasi program aksi. Faktor-faktor yang disebutkan enam terakhir di atas memiliki hubungan yang dapat berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kinerja BPP dan perilaku petani di Sulawesi Selatan. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : (1) Mengidentifikasi faktor-faktor internal yang dapat meningkatkan kinerja BPP dalam bentuk program aksi pada perilaku petani dalam berusahatani padi di Sulawesi Selatan. (2) Mengkaji pengaruh faktor-faktor internal, program aksi BPP pada perilaku petani dalam berusahatani padi di Sulawesi Selatan. (3) Mengkaji derajat hubungan faktor-faktor internal yang berpengaruh pada program aksi BPP pada perilaku petani dalam berusahatani padi di Sulawesi Selatan. (4) Mengkaji dampak program aksi BPP terhadap perubahan perilaku petani padi di Sulawesi Selatan.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmiah yang berarti terhadap pengembangan ilmu pengetahuan penyuluhan pertanian terutama dalam hal pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, adaptasi BPP serta pengembangan program dan implementasi program aksi dan perilaku petani sebagai upaya untuk mendorong penguatan BPP sebagai organisasi penyuluhan yang berada pada lini terdepan guna mengembangkan BPP lebih lanjut sebagai organisasi penyelenggara perubahan, sehingga penyelenggaraan penyuluhan dapat berlangsung secara dinamis dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan zaman, yang pada akhirnya akan memotivasi penyuluh pertanian untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara efektif dan efisien dalam rangka mewujudkan pembangunan pertanian
yang
berkelanjutan dan
memberi
manfaat
bagi
peningkatan
kesejahteraan petani dan keluarganya serta kemakmuran bagi rakyat Indonesia sebesar-besarnya.
9
Dari kegunaan yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa butir kegunaan penelitian ini, antara lain : 1. Penelitian ini diharapkan berguna dan bermanfaat bagi organisasi Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dalam merumuskan kebijakan pengembangan kinerja organisasi penyuluhan pertanian. 2. Dapat berkontribusi terhadap pembaruan organisasi penyuluhan pertanian (BPP) sebagai ujung tombak organisasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian di lapangan. 3. Dapat
dijadikan
dasar
perumusan
dan
implementasi
kebijakan
pengembangan organisasi penyuluhan pertanian serta menjadi bahan penilaian dan pengembangan kinerja organisasi penyuluhan pertanian. 4. Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan pada bidang ilmu penyuluhan pembangunan “khususnya organisasi penyuluhan pertanian” untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. 5. Berkontribusi bagi peneliti dan calon peneliti untuk megembangkan model program aksi serta kinerja organisasi penyuluhan pertanian sebagai upaya penyelenggaraan penyuluhan yang efektif dan efisien dalam rangka mendorong pembangunan pertanian berkelanjutan.
Definisi Istilah Definisi istilah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu konsep yang dimaksudkan untuk membatasi peubah penelitian yang digunakan. Oleh karena itu, penelitian ini hanya diarahkan untuk menggambarkan faktor-faktor yang dianggap berhubungan dengan kinerja Balai Penyuluh Pertanian (BPP) dan dampaknya terhadap perilaku petani di Sulawesi Selatan. Faktor-faktor dimaksud dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut :
10
X1 =
Pengembangan BPP adalah merupakan acuan keunggulan BPP dalam penyelenggaraan penyuluhan dan strategi BPP untuk lebih baik ke depan dalam mencapai tujuannya. Pengembangan BPP dapat dilakukan melalui perumusan visi dan misi yang futuristik, menantang dan memotivasi serta realistik. Disamping itu, harus dirumuskan tujuan, sasaran dan strategi yang tepat agar visi dan misi dapat dicapai dalam kurung waktu tertentu. Pengembangan BPP terdiri dari : visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi.
X2 =
Pengelolaan BPP adalah merupakan satu kesatuan yang terintegrasi sebagai salah satu faktor penting penentu bagi keberhasilan BPP dalam menjalankan misi pokok BPP, yaitu : tata kelola, kepemimpinan, sistem pengelolaan, penetapan keputusan, dan suasana kerja.
X3 =
Sumberdaya manusia adalah potensi staf yang dapat dikembangkan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya bagi proses peningkatan kinerja BPP yang terdiri dari: jumlah staf, pendidikan formal, pelatihan teknis, rasio penyuluh dengan petani, jumlah staf administrasi dan keuangan, penempatan staf, dan pengembangan staf.
X4 =
Petani binaan adalah orang yang terlibat langsung dalam proses pertumbuhan tanaman padi yang menjadi binaan BPP dalam wilayah kerja BPP yang terdiri dari:
jumlah kelompok binaan, jumlah petani
binaan, luas WKBPP, dan kemandirian petani. X5 =
Sumberdaya BPP adalah potensi yang dimiliki BPP untuk dapat digunakan melaksanakan tugas pokok dan fungsi BPP dalam rangka mencapai tujuan yang dinginkan, baik berupa fisik, bahan dan alat maupun keuangan yang terdiri dari: pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sistem informasi.
X6 =
Adaptasi BPP adalah proses respon terhadap perubahan dan akibatnya terhadap BPP, sehingga BPP dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan baik bahkan lebih mengembangkannya sehingga kehidupan organisasi BPP akan lebih baik dalam lingkungannya yang terdiri dari : uji coba teknologi pertanian, pengembangan masyarakat, dan kerjasama dengan lembaga lain.
11
Y1 =
Program Aksi adalah sebuah proses menentukan langkah-langkah yang diperlukan atau tindakan spesifik untuk mencapai tujuan organisasi yang terdiri dari: pengembangan program berupa penyususunan programa, RDK, dan RDKK. Implementasi program aksi berupa rencana pembelajaran, materi informasi dan teknologi, media pembelajaran, metode pembelajaran, biaya operasional, dan evaluasi pembelajaran.
Y2 =
Perilaku petani adalah kompetensi petani dalam usahataninya dan partisipasi mereka dalam kegiatan kelompok tani.
12
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kinerja Pemahaman tentang kinerja (performance) memperlihatkan sampai sejauh mana sebuah organisasi; baik pemerintah, swasta, organisasi laba ataupun nirlaba, menafsirkan tentang kinerja sebagai suatu pencapaian yang relevan dengan tujuan organisasi. Sehingga, terdapat dua asumsi umum tentang titik berangkat pemahaman pengertian kinerja. Asumsi pertama, pengertian kinerja yang dititikberatkan pada kinerja individu, dalam pengertian sebagai bentuk prestasi yang dicapai individu berdasarkan target kerja yang diembangnya atau tingkat pencapaian dari beban kerja yang telah ditargetkan oleh organisasi kepadanya. Asumsi kedua, yaitu; pengertian kinerja yang dinilai dari pencapaian secara totalitas tujuan sebuah organisasi dari penetapan tujuan secara umum dan terperinci organisasi tersebut. Misalnya; pencapaian visi dan misi serta tujuan organisasi dari penjabaran visi dan misi organisasi tersebut. Tetapi ada asumsi lain yang tidak terlalu umum digunakan sebagai titik berangkat dalam pemahaman kinerja, yaitu penilaian kinerja proses. Terkait dengan ketiga asumsi tersebut di atas, Rummler dan Brache (1995) dalam Sudarmanto (2009) mengemukakan ada 3 (tiga) level kinerja, yaitu : 1. Kinerja organisasi; merupakan pencapaian hasil (outcome) pada level atau unit analisis organisasi. Kinerja pada level organisasi ini terkait dengan tujuan organisasi, rancangan organisasi, dan manajemen organisasi. 2. Kinerja proses;
merupakan kinerja pada
proses tahapan dalam
menghasilkan produk atau pelayanan. Kinerja pada level proses ini dipengaruhi oleh tujuan proses, rancangan proses, dan manajemen proses. 3. Kinerja individu; merupakan pencapaian atau efektivitas pada tingkat pegawai atau pekerjaan. Kinerja pada level ini dipengaruhi oleh tujuan pekerjaan, rancangan pekerjaan, dan manajemen pekerjaan serta karakteristik individu. Sedangkan Lusthaus et al., (2002) menyatakan bahwa secara umum, literature pengembangan organisasi membahas kinerja pada empat tingkatan:
13
(1) individu karyawan (performance appraisal), (2) tim atau kelompok kecil (team performance), (3) program (program performance), dan (4) organisasi (organizational performance). Pengertian kinerja sangat beragam, tetapi dari berbagai perbedaan pengertian tersebut dapat dikategorikan dalam dua garis besar pengertian (Sudarmanto, 2009), sebagai berikut : 1. Kinerja merujuk pengertian sebagai hasil sebagaimana dikutip dari tulisan Ricard (2003), Benardin (2001), dan Miner (1998). Pada konteks ini, hasil di nyatakan bahwa kinerja merupakan catatan hasil yang diproduksi (dihasilkan) atas fungsi pekerjaan tertentu atau aktivitas-aktivitas selama periode waktu tertentu. Dari definisi tersebut, Benardin mengemukakan pengertian kinerja sebagai hasil, bukan karakter sifat (trait) dan perilaku. Pengertian kinerja juga terkait dengan produktivitas dan efektivitas. Produktivitas merupakan hubungan antara jumlah barang dan jasa yang dihasilkan dengan jumlah tenaga kerja, modal, dan sumberdaya yang digunakan dalam produksi itu. 2. Kinerja merujuk pengertian sebagai perilaku sebagaimana dikutip dari tulisan Ricard (2003), Ricard (2002), Cardy dan Dobbins (1994), Waldman (1994), Campbell (1993), dan Mohrman (1989). Terkait dengan kinerja sebagai perilaku, bahwa kinerja merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi, unit organisasi tempat orang bekerja. Kinerja merupakan sinonim dengan perilaku. Kinerja adalah sesuatu yang secara aktual orang kerjakan dan dapat diobservasi. Dalam pengertian ini, kinerja mencakup tindakan-tindakan dan perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi. Kinerja bukan konsekuensi atau hasil tindakan, tetapi tindakan itu sendiri. Pandangan tentang kinerja yang didasarkan pada ketiga asumsi tersebut oleh para ahli masing-masing memberi pengertian yang berbeda, baik kinerja secara individu maupun organisasi. Seperti pandangan kinerja individu yang dikemukakan oleh Cardy et al., (1995) bahwa kinerja dipandang sebagai bagian dari fungsi sistem kerja dari karakteristik seorang pekerja, karena karakteristik pekerja diasumsikan memiliki pengaruh besar terhadap kinerja. Hal ini didasari pada perbedaan-perbedaan individu dalam melaksanakan pekerjaan sehingga memengaruhi kinerja.
14
Pengertian kinerja dari asumsi individu juga dikemukakan oleh Gruneberg (1979) bahwa kinerja selain merupakan respon individu pada pekerjaan, juga merupakan perilaku yang diperagakan secara aktual oleh individu sebagai respons pada pekerjaan yang diberikan kepadanya yang dilihat atas dasar hasil kerja, derajat kerja dan kualitas kerja. Sejalan dengan pengertian di atas, Yuchtman dan Seashore (1967) mengemukakan pengertian kinerja sebagai suatu kemampuan atau keberhasilan kerja individu dalam suatu organisasi sesuai dengan pekerjaan yang diberikan kepadanya untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan Bernardin dan Russel (1993) mendefinisikan kinerja sebagai catatan hasil kerja individu yang diperoleh melalui fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan individu selama periode waktu tertentu. Bahua (2010) mengemukakan pengertian kinerja (performance) sebagai aksi atau perilaku individu yang berupa bagian dari fungsi kerja aktualnya dalam suatu organisasi, yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam periode waktu tertentu untuk mencapai tujuan organisasi yang mempekerjakannya. Pengertian kinerja yang digambarkan oleh Hofer (1983) dalam Carton dan Hofer (2006) dapat mewakili pengertian kinerja dari asumsi proses. Bahwa kinerja adalah sebuah konsep kontekstual yang terkait dengan fenomena yang sedang dipelajari. Pada konteks kinerja keuangan organisasi, kinerja adalah ukuran dari perubahan keadaan keuangan organisasi, atau hasil keuangan yang dihasilkan dari keputusan manajemen dan pelaksanaan keputusan-keputusan oleh anggota organisasi. Karena persepsi hasil ini adalah kontekstual, langkah-langkah yang digunakan untuk mewakili kinerja yang dipilih didasarkan pada kondisi organisasi yang diamati. Langkah-langkah yang dipilih merupakan hasil yang dicapai, baik atau buruk. Pemahaman kinerja dari asumsi organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Yuchtman dan Seashore (1967) bahwa kinerja sebagai kemampuan suatu organisasi yang memanfaatkan lingkungannya untuk mengakses sumber-sumber daya yang terbatas. Selanjutnya dikemukakan bahwa kinerja adalah sebuah pengukuran yang mencakup persepsi dari berbagai stakeholder dalam organisasi. Gibson, Ivancevich, dan Donnely (1984) sendiri, belum begitu tegas membedakan pengertian yang dikemukakanya tentang kinerja apakah dari asumsi
15
individu atau asumsi organisasi ataukah asumsi proses, tetapi tersirat pengertian bahwa kinerja organisasi didasari oleh kinerja individu, sebagaimana yang ditulisnya bahwa kinerja adalah hasil kerja yang diinginkan dari perilaku dan kinerja individu yang merupakan dasar dari kinerja organisasi. Secara umum, konsep kinerja organisasi didasarkan pada gagasan bahwa organisasi adalah asosiasi sukarela dari asset produktif, termasuk manusia, sumber daya fisik dan modal, untuk tujuan mencapai tujuan bersama (Alchian dan Demsetz, 1972; Jensen dan Meckling , 1976; Simon, 1976; Barney, 2002 dalam Carton dan Hofer 2006). Mereka menyediakan aset hanya untuk menjalankan organisasi mereka asalkan mereka puas dengan nilai yang mereka terima di bursa, relatif terhadap penggunaan alternatif aset. Sebagai konsekwensinya, esensi dari kinerja adalah penciptaan nilai. Selama nilai yang diciptakan dengan menggunakan aset, kontribusinya sama atau lebih besar dari nilai yang diharapkan oleh mereka, aset akan terus tersedia untuk organisasi dan organisasi akan terus eksis. Oleh karena itu, penciptaan nilai, seperti yang didefinisikan oleh penyedia sumberdaya, adalah kriteria kinerja utama secara keseluruhan untuk setiap organisasi (Carton dan Hofer, 2006). Lusthaus et al., (2002) mengemukakan bahwa setiap organisasi harus berusaha memenuhi tujuannya dengan pengeluaran yang diterima dari sumberdaya sambil menjamin keberlanjutan jangka panjang. Berarti tugas atau pekerjaan dilakukan secara efektif dan efisien dan tetap relevan dengan stakeholder (pemangku kepentingan). Itulah kinerja organisasi yang harus menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut : (a) bagaimana organisasi efektif dalam bergerak kearah pemenuhan misinya (misalnya : efektivitas program utama, efektivitas harapan klien, efektivitas tanggungjawab fungsional, dan efektivitas memberikan layanan yang bermanfaat); (b) bagaimana organisasi efektif dalam memenuhi misinya (misalnya : presepsi efisiensi prosedur kerja/layanan, mengacu kepada perbandingan biaya produk dan layanan, dan perenggangan alokasi keuangan); (c) apakah organisasi masih terus relevansinya dari waktu ke waktu (misalnya : Adaptasi visi dan misi, pertemuan stakeholder, kebutuhan beradaptasi dengan lingkungan, dan keberlanjutan dari waktu ke waktu); (d) apakah organisasi secara finansial layak (misalnya : organisasi
16
memiliki beberapa sumber dana, sumber pendanaan yang dapat dipercaya dari waktu ke waktu, dan bantuan dana dikaitkan dengan pertumbuhan atau perubahan yang dicapai); dan (e) seberapa baik kinerja organisasi. Pengertian yang dikemukakan oleh Lusthaus et al., di atas menggambarkan pemahaman kinerja dari asumsi organisasi dan asumsi proses, karena selain menekankan hasil kerja yang diukur dari organisasi sebagai kinerja, juga mempertanyakan bagian-bagian dari proses yang dilaksanakan dalam sebuah organisasi dan memberi penilaian hasil terhadap bagian-bagian proses organisasi bila pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab. Berbagai pandangan atau pengertian yang dikemukakan beberapa penulis di atas, maka dapat dikemukakan pengertian kinerja dalam tulisan ini yaitu kinerja adalah pencapaian hasil dari suatu fungsi sistem kerja akibat respon individu dan menjadi catatan hasil kerja serta menjadi kemampuan organisasi mencapai atau memenuhi tujuannya dengan memanfaatkan sumberdaya lingkungan yang berkelanjutan. Penilaian Kinerja Tolok ukur penilaian
kinerja pada setiap kasus analisis kinerja bagi
sebuah organisasi atau lembaga memperlihatkan perbedaan, sebab aktivitas setiap organisasi atau lembaga memiliki ciri spesifiknya masing-masing. Perkembangan awal penilaian
kinerja lebih dititikberatkan pada profitibilitas organisasi,
sehingga penilaian organisasi difokuskan pada
identifikasi cara-cara untuk
meningkatkan efisiensi pekerja dengan rekayasa optimal agar orang-orang berperilaku tertentu sesuai sistem produksi organisasi, pimpinan atau manajer berorientasi memperoduksi barang dan jasa untuk tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, hal itu sejalan dengan praktek manajemen yang berlaku pada saat itu. Pada tahun 1940-an konsep-konsep umum kinerja mulai muncul dalam wacana kinerja organisasi (likert, 1957 dalam Lusthaus et al., 2002). Secara bertahap, konsep-konsep seperti efektivitas, efisiensi dan semangat atau motivasi karyawan memperoleh tempat dalam literature manajemen. Pada tahun 1960-an oleh Campbell (1970) dalam Lusthaus, et al., (2002), mengemukakan komponen utama kinerja adalah memahami dengan baik kinerja
organisasi melalui
17
pemahaman pencapaian tujuan dengan kesesuaian tujuannya (efektivitas) dan menggunakan sumberdaya yang relatif sedikit dalam melakukannya (efisiensi). Dalam konteks tersebut laba hanya salah satu dari berbagai indikator kinerja sebagai penilaian kinerja. Secara bertahap, semakin jelas bahwa penilaian dan diagnosis organisasi diperlukan untuk melampaui pengukuran ilmiah kinerja dan metode kerjanya (Levinson, 1972 dalam Lusthaus et al., 2002) yaitu konseptualisasi orang sebagai sumberdaya organisasi yang memperoleh tempat yang penting dalam organisasi, akibatnya muncul pendekatan yang bertujuan mencurahkan perhatian pada dampak potensi sumberdaya manusia terhadap kinerja organisasi. Selanjutnya Lusthaus, et al., (2002) mengidentifikasi beberapa hal dalam organisasi yang berhubungan dengan kinerja, meliputi : (a) kinerja dalam kaitannya dengan efektivitas; (b) kinerja dalam kaitannya dengan efisiensi; (c) kinerja dalam kaitannya dengan relevansi yang sedang berlangsung; dan (d) kinerja dalam kaitannya dengan viabilitas keuangan. Penilaian kinerja setelah era 60-an semakin mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan dinamika dan tantangan organisasi pada masa itu dan masa sekarang. Konsep kinerja pada dasarnya merupakan perubahan atau pergeseran paradigma dari konsep produktivitas. Pada awalnya, orang sering kali menggunakan istilah produktivitas untuk menyatakan kemampuan seseorang atau organisasi dalam mencapai tujuan atas sasaran tertentu. Menurut Andersen (1995) dalam Sudarmanto (2009), paradigma produktivitas yang baru adalah kinerja secara aktual yang menuntut pengukuran secara aktual
keseluruhan
kinerja
organisasi, tidak hanya efisiensi atau dimensi fisik, tetapi juga dimensi non fisik (intangible). Pergeseran penilaian kinerja terkait dengan kedudukan kinerja dalam organisasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Semler, (1997) dalam Way dan Johnson (2005) bahwa kedudukan kinerja berhubungan dengan cakupan dimana hasil aktual organisasi sesuai dengan hasil yang penting bagi organisasi untuk menemukan tujuan dan sasarannya. Penilaian kinerja yang didasarkan pada proses manajemen dikemukakan oleh Barry (1997) sebagai bentuk tanggungjawab manajemen untuk memastikan
18
karyawan memahami misi dan tujuan organisasi atas usaha menanamkan kepercayaan diri dan menunjukkan harapan karyawan yang didasarkan pada proses manajemen kinerja berhubungan dengan hasil kerja karyawan, meliputi: kreativitas, kepercayaan, moral dan motivasi yang dapat memperkuat hubungan komunikasi antara karyawan dengan manajer. Penilaian kinerja sebagai alat evaluasi untuk melihat efektivitas karyawan dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam pencapaian tujuan organisasi dikemukan oleh Blanchard dan Spencer (1982), bahwa penilaian kinerja ialah proses kegiatan organisasi mengevaluasi seorang karyawan. Muchinsky (1993) mendefinisikan penilaian kinerja adalah suatu peninjauan yang sistematis prestasi kerja individu untuk menetapkan efektivitas kerja. Bittel dan Newsroom (1996) menyatakan bahwa, penilaian kinerja adalah suatu evaluasi formal dan sistematis tentang seberapa baik seseorang melakukan tugasnya dan menjalankan perannya sesuai dengan tujuan organisasi. Menurut Armstrong (1998), penilaian kinerja merupakan kegiatan yang difokuskan pada usaha mengungkapkan kekurangan dalam bekerja untuk diperbaiki dan kelebihan bekerja untuk dikembangkan, agar setiap karyawan mengetahui tingkat efisiensi dan efektivitas pekerjaannya guna mencapai tujuan organisasi. Pengertian penilaian didasarkan pada penilaian
kinerja yang dikemukakan di atas tidak semata buruk tidaknya karyawan melaksanakan tugasnya
untuk kemudian diambil tindakan organisasi. Tetapi penilaian
kinerja dapat
menjadi proses pembelajaran bagi organisasi dan pihak manajemen agar dapat menentukan langkah-langkah strategis untuk mengarahkan aktivitas organisasi, memperbaiki tindakan-tindakan manajemen, dan terus melakukan penilaian untuk melakukan adaptasi terhadap proses manajemen dan mengarahkannya kepada tujuan penting organisasi. Penilaian kinerja yang didasarkan pada standar atau ukuran tertentu dengan parameter yang dimensinya terlebih dahulu ditetapkan oleh organisasi dan dijadikan acuan oleh organisasi dalam penilaian dan
pengukuran kinerja.
Penilaian kinerja berdasarkan standar kinerja seperti yang dikutif Sudarmanto (2009) dari Martin dan Bartol dalam Bohlander, dkk., (2001) mengemukakan standar kinerja seharusnya didasarkan pada pekerjaan, dikaitkan dengan
19
persyaratan yang dijabarkan dari analisis pekerjaan dan tercermin dalam deskripsi pekerjaan dan spesifikasi pekerjaan. Menurut Gomes (2001) dalam Sudarmanto (2009) mengukur kinerja pegawai terkait dengan alat pengukuran kinerja, secara garis besar diklasifikasikan dalam dua, yaitu : pertama, tipe penilaian yang dipersyaratkan dengan penilaian relatif dan penilaian absolute. Penilaian relatif merupakan model penilaian dengan membandingkan kinerja seseorang dengan orang lain dalam jabatan yang sama. Model penilaian absolute merupakan penilaian dengan menggunakan standar penilaian kinerja tertentu. Kedua, fokus pengukuran kinerja dengan tiga model, yaitu : penilaian kinerja berfokus sifat (trait), berfokus perilaku dan fokus hasil. Terkait penilaian
kinerja dengan pendekatan standar penilaian yang
dirangkum dari tulisan Devries dkk., (1981) dan Dick Grote (1996) dalam Sudarmanto (2009) bahwa penilaian atau pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan pendekatan, yaitu : (a) pendekatan atau penilaian kinerja berbasis pelaku; (b) pendekatan atau penilaian kinerja berbasis personality trait ; (c) pendekatan atau penilaian kinerja berbasis perilaku; dan (d) pendekatan atau penilaian kinerja berbasis hasil. Selanjutnya Parmenter (2010), mengemukakan tiga tipe ukuran kinerja, yaitu : (1) indikator hasil utama (key result indicators), menggambarkan bagaimana keberhasilan anda secara perspektif, (2) indikator kinerja (performance indicators), menjelaskan apa yang harus anda lakukan, dan (3) indikator kinerja utama (key performance indicators), menjelaskan apa yang harus anda lakukan untuk meningkatkan kinerja secara dramatis. Berbagai pengertian penilaian
kinerja telah dikemukakan para ahli
tersebut di atas, maka dalam tulisan ini dapat dikemukakan bahwa penilaian kinerja secara komprehensif mencakup penilaian secara formal dan sistematis dengan dimensi hasil, perilaku, pelaku, dan sifat personalitas yang didasarkan pada deskripsi pekerjaan dan spesifikasi pekerjaan serta visi, misi, dan tujuan organisasi yang bertujuan memperbaiki kinerja individu, kinerja organisasi dan kinerja proses.
20
Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja Penilaian kinerja selalu menekankan pada tujuan tertentu dan manfaat yang dirasakan untuk keberlanjutan organisasi serta dorongan bagi karyawan untuk lebih meningkatkan kapasitasnya. Dari sudut pandang organisasi tujuan dan manfaat penilaian kinerja, telah ditunjukkan oleh studi Saveral (Burton et al., 2004; Burton& Obel, 2004) dalam Burton, DeSanctis, dan Obel (2006) yang menemukan kesesuaian kedudukan dari suatu desain organisasi yang tentu saja diakibatkan oleh kinerja yang unggul. Selanjutnya dikemukakan bahwa kapasitas pengelolaan informasi adalah seimbang dengan permintaan untuk meningkatkan kinerja. Pandangan di atas menunjukkan bahwa kedudukan penilaian kinerja dapat dimanfaatkan untuk melakukan desain organisasi dan tujuan salah satunya meningkatkan kinerja seimbang dengan permintaan pengelolaan informasi pada organisasi. Kinerja perusahaan tergantung pada bagaimana suatu organisasi perusahaan menciptakan kecocokan dengan hal kecil dilingkungannya. Scott (1998) dalam Richard (2006) menyebutnya sebagai mengorganisir pandangan yang masuk akal. Tujuan dan manfaat penilaian kinerja dapat disimak pada pendapat yang dikemukan oleh Benowitz (2001) bahwa kinerja karyawan merupakan evaluasi secara reguler. Karyawan ingin umpan balik, mereka ingin mengetahui apa yang supervisi mereka pikirkan tentang pekerjaan mereka. Evaluasi kinerja regular tidak
hanya
menginginkan umpan balik untuk karyawan, tetapi juga
menginginkan koreksi defisiensi terhadap kemampuan karyawan. Evaluasi atau reviuw juga membantu sebagai kunci membuat keputusan personal, seperti hal-hal berikut ini: (1) pembenaran promosi, perpindahan, dan pemberhentian, 2. mengidentifikasi kebutuhan pelatihan, (3) menyediakan umpan balik untuk pekerja dengan kinerja mereka, dan (4) menentukan keperluan penyesuaian upah. Kebanyakan organisasi memanfaatkan sistem evaluasi; salah satu sistem yang dikenal adalah penilaian kinerja. Suatu penilaian kinerja adalah sebuah sistem formal terstruktur yang dirancang untuk mengukur kinerja pekerjaan secara aktual sari seorang karyawan terhadap desain standar kinerja. Walaupun sistem penilaian kinerja sangat organisatoris, semua karyawan yang dievaluasi
21
mempunyai tiga komponen sebagai berikut : (1) spesifikasi pekerjaan berhubungan
kriteria
terhadap
ukuran-ukuran
yang
dapat
dijadikan
pembandingnya, (2) suatu skala peringkat yang membiarkan karyawan mengetahui sampai seberapa baik mereka terhadap kriteria, dan (3) metode objektif, prosedur dan bentuk untuk menentukan penilaian (Benowitz, 2001). Secara tersirat dari formula kinerja yang dibangun oleh Ainsworth, Smith, dan Millership (2002) dengan rumus formula : Kinerja (P) adalah fungsi dari kejelasan Peran (Rc) dan kompetensi (C), dan lingkungan (E) dan nilai (V) dan preferensi (Pf) dan Penghargaan (Rw). Jadi P = Rc x C x E x V x Pf x Rw Plus umpan balik. Digambarkan bahwa tujuan dan manfaat penilaian kinerja yang diistilahkan sebagai faktor-faktor dalam model yang dapat dijadikan kerangka acuan untuk membantu mengelola luasnya situasi kinerja sebagai berikut : (1) memodifikasi dan memperkaya pekerjaan, (2) menciptakan keterampilan baru dan lebih baik, (3) meningkatkan komunikasi, (4) pengembangan karier, (5) manajemen perubahan, dan (7) struktur penghargaan baru. Pentingnya pengukuran kinerja seperti yang dikemukakan oleh Armstrong (2003) bahwa pengukuran kinerja sangat penting untuk dapat memperbaiki pelaksanaan pekerjaan yang dapat dicapai. Berbagai pandangan yang dikemukakan oleh pakar tentang tujuan dan manfaat penilaian kinerja. Misalnya dari sisi pengambilan keputusan seperti yang dikemukakan oleh Ivancevich et al., (1987) bahwa bagi pihak manajemen kinerja karyawan sangat membantu dalam mengambil keputusan seperti: promosi jabatan, pengembangan karier, mutasi, PHK, penyesuaian kompensasi dan kebutuhan pelatihan. Sedangkan tujuan dan manfaat penilaian kinerja dari sisi identifikasi kebutuhan dan umpan balik, masing-masing digambarkan oleh Cherrington (1995) yang menggambarkan bahwa tujuan penilaian kinerja antara lain mengidentifikasi kebutuhan latihan (training) untuk kepentingan karyawan, agar tingkat kemampuan dan keahliannya pada suatu pekerjaan dapat ditingkatkan dan diintegrasikan
pada
perencanaan
sumberdaya
manusia.
Haidee
(1995)
menggambarkan bahwa tujuan penilaian kinerja adalah memberikan umpan balik pada karyawan secara regular untuk menggali prestasi kerja dan memperkuat perilaku karyawan yang dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah pada
22
masa yang akan datang berdasarkan prestasi dan wawasan karyawan tentang tujuan organisasi. Lain halnya menurut George dan Jones (1996), yang lebih melihat sisi pengembangan karyawan terutama dalam hal kompensasi dan pengembangan karir, seperti yang diekamukan bahwa; manfaat penilaian kinerja adalah untuk penyesuaian kompensasi, keputusan penempatan dan pengembangan karir dan memberikan kesempatan kerja yang adil, sehingga karyawan dapat memperbaiki kinerjanya. Hal ini akan berdampak pada perbaikan perencanaan dan pengembangan organisasi untuk menghadapi tantangan masa depan. Berbagai uraian tujuan dan manfaat penilaian kinerja di atas, maka dapat dirumuskan bahwa tujuan dan manfaat penilaian kinerja terangkum pada detail faktor-faktor atau unsur-unsur yang dijadikan acuan menilai kinerja itu sendiri. Bila acuannya adalah faktor-faktor atau unsur-unsur penilaian kinerja individu maka tujuannya dapat dirumuskan pada sekitar faktor-faktor atau unsur-unsur tersebut. Sedangkan manfaatnya tentu saja pada obyek dan subyek penilaian kinerja dan sistem atau wadah dimana obyek dan subyek tersebut melekat. Demikian halnya, bila penilaian kinerja ditekankan pada kinerja organisasai atau kinerja proses, maka tujuannya dapat dirumuskan dari faktor-faktor atau unsurunsur apa yang menjadi obyek penilaian-kriteria penilaian. Sedangkan manfaat nya untuk obyek dan subyek yang melekat pada penilaian kinerja yang dilakukan. Kesimpulan di atas diperkuat dengan apa yang ditulis oleh Carter (1991) dan Otley (1999) dalam Lye (2006) yang digambarkan sebagai berikut : “Performance is an ambiguous concept that has different meanings for different audiences, determined organizationally and contextually” kinerja adalah suatu konsep ambigu yang memiliki arti yang berbeda untuk audiens yang berbeda, ditentukan oleh organisasi dan kontekstualnya. Penilaian kinerja pada sektor publik sebagaimana dikutip oleh Lye (2006) bahwa, di sektor publik kadang-kadang penekanan pada pencapaian hasil program yang luas yang membentang lebih dari satu lembaga, seperti pencegahan yang efektif terhadap penyalahgunaan zat (Buckmaster 1999); pada waktu lain fokusnya adalah pada pencapaian tujuan lembaga dan individu (Walker 2002) atau sesuai dengan peraturan yang relevan. Namun, sebagian besar penggunaan
23
konsep setuju bahwa tujuan sistem pengukuran kinerja adalah untuk meningkatkan kinerja. Beberapa penelitian teoritis berpendapat bahwa ukuran kinerja melayani lebih dari satu tujuan manajerial dan bahwa tujuan ini tumpang tindih (Behn 2003, Kouzmin et al 1999 dalam Lye, 2006).
Kebingungan menentukan penilaian kinerja setidaknya dapat dijelaskan dalam tiga
hal (Lye, 2006), yaitu : Pertama. para sarjana telah mencatat
perkembangan ukuran kinerja di sektor publik (Atkinson dan McCrindell 1997, Behn 2003, Carter 1991, Modell 2004, Walker 2002) dan ketidakmampuan manajer untuk membedakan antara tindakan yang berguna dan orang-orang yang tidak begitu berguna (Behn 2003). Positor dan Streib (1999) menyebutnya sebagai sindrom tetesan - kaya data tetapi miskin informasi. Kedua, ada "noise" dalam informasi kinerja serta dalam reaksi manajemen terhadap informasi (Kravchuk dan Schack 1996, Behn 2003). Pada berkontribusi terhadap kebingungan
badan pemerintah, faktor-faktor yang meliputi tingkat perubahan lingkungan,
tingkat kerumitan internal dan eksternal, dan ketidakpastian oleh para pembuat keputusan menerima informasi yang tak terduga (Kravchuk dan Schack 1996). Ketiga, Hofstede (1981) dan Coplin et al., (2002) menemukan bukti inersia dan perlawanan terhadap penggunaan ukuran kinerja, sebagian besar disebabkan oleh ukuran dan kompleksitas organisasi pemerintah. Akhirnya, para pendukung teori kelembagaan (lihat Scott 1987, Brignall dan Modell, 2000) telah mencatat bahwa ukuran kinerja yang telah diamanatkan pada pemerintah hanya secara simbolis diperkenalkan dalam rangka untuk mendapatkan legitimasi tetapi sedikit yang digunakan untuk keperluan internal. Hal ini menunjukkan bahwa kesempatan untuk belajar efektif dari penggunaan ukuran kinerja semakin berkurang. Walaupun kinerja organisasi merupakan sebuah langkah penting dalam proses organisasi, namun memperkuat pandangan Lye (2006) di atas, Lusthaus, et al., (2002) menekankan bahwa pengukuran kinerja adalah salah satu isu yang paling bermasalah di bidang teori organisasi (Steers, 1975, Zammuto, 1982, Handa dan Adas, 1996 dalam Lusthaus, et al., (2002). Walaupun ada beberapa pendekatan untuk menilai kinerja organisasi, ada sedikit yang merupakan kesepakatan untuk apa seperangkat kriteria yang valid. Pandangan yang sama dikemukan oleh Davis dan Verma (1993) bahwa penilaian kinerja dalam
24
pelayanan penyuluhan menimbulkan keprihatinan seluruh karyawan. hal itu memengaruhi motivasi karyawan, kinerja, dan efektifitas program pendidikan, keberhasilan program bergantung sebagian besar pada kinerja agen di lapangan. Oleh karena itu, penilaian kinerja merupakan fungsi manajemen kritis. Pemaparan di atas merumuskan rangkaian cara menyusun tujuan dan manfaat penilaian kinerja. Perlu ditegaskan penilaian kinerja tujuannya bukan hanya sekedar mengungkap kelemahan atau kekurangan dari kinerja individu, kinerja organisasi, dan kinerja proses, tetapi jauh lebih penting adalah penilaian kinerja tujuan dan mafaatnya adalah untuk meningkatkan kapasitas individu, kapasitas organisasi, dan kapasitas proses yang berkelanjutan agar efektivitas dan efisiensi atau kinerja organisasi semakin baik dari waktu ke waktu. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Organisasi Kinerja organisasi secara umum dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal organisasi, namun demikian kinerja organisasi tidak bisa terlepas atas kinerja individu. Spektrum faktor-faktor yang memengaruhi kinerja organisasi sangat beragam cakupannya, tergantung pada organisasi dan lingkungannya. Studi tentang faktor-faktor yang memengaruhi kinerja organisasi sangat ditentukan oleh jenis dan profil organisasi serta tujuan penelitian dilakukan. Seabagai contoh studi yang diterbitkan oleh sebuah lembaga yang bernama Goliath Business Knowladge on Demand, dimana temuan penelitian yang dilakukan sebelumnya dalam kewirausahaan, manajemen, dan daerah pemasaran telah menunjukkan bahwa orientasi pasar, orientasi pembelajaran, gaya manajemen kewirausahaan, dan fleksibilitas organisasi sangat berkorelasi dengan kinerja organisasi. (Goliath Business Knowledge on Demand, 2005) dan penelitian tersebut diperkuat dengan hasil studi yang diterbitkan baru-baru ini (Barrett, Balloun, dan Weinstein, 2004 dalam Goliath Business Knowledge on Demand, 2005) menunjukkan bahwa organisasi nirlaba dan bisnis tidak menganggap diri mereka berbeda pada empat faktor keberhasilan atau korelasi tersebut, meskipun tingkat usaha mandiri melaporkan kinerjanya lebih tinggi dari organisasi nirlaba. Sebuah langkah logis berikutnya adalah untuk membandingkan
25
layanan bisnis untuk perawatan kesehatan dan pendidikan, layanan utama dari sektor nirlaba. Studi yang dikembangkan oleh
Lusthaus, et al., (2002) yang terus
menerus menelaah dan mengembangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi dibahas pada tulisannya tentang “organizational Assessment: A Framework for Improving Performance”, menunjukkan bahwa kinerja organisasi dipengaruhi oleh tiga faktor utama yang dapat diuraikan elemen-elemennya. Ketiga faktor tersebut adalah : (a) kapasitas organisasi (organizational capacity); (b) motivasi organisasi (organizational motivation); dan (c) lingkungan eksternal (External environment). Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. di bawah ini.
Environment
Organizational Performance
Organizational Motivation
Organizational Capacity
Gambar 1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Organisasi. Sumber : Lusthaus, et al., (2002) : Organizational Assessment: A Framework for Improving Performance. Pengertian ketiga faktor yang memengaruhi kinerja organisai adalah : (1) kapasitas organisasi adalah kemampuan organisasi untuk memanfaatkan sumberdaya yang tersedia, (2) motivasi organisasi adalah merupakan kepribadian dasar organisasi, dan (3) lingkungan adalah faktor kunci dalam menentukan tingkat sumberdaya yang tersedia dan kemudahan bagi organisasi untuk dapat menjalankan kegiatan-kegiatannya.
26
Ainsworth dan Millership (2002) sesuai dengan formulasi yang telah dijelaskan pada bagian tujuan dan manfaat penilaian kinerja, maka dapat dikatakan bahwa faktor yang memengaruhi
penilaian kinerja adalah :
(1) kejelasan peran, (2) kompetensi, (3) lingkungan, (4) nilai, (5) preferensi, dan (6) penghargaan. Keenam faktor tersebut merupakan faktor penting dan harus dikelola dengan baik, karena akan sangat memengaruhi penilaian kinerja. Behn (2003) dalam Lye (2006), mengidentifikasi tujuan manajerial kunci untuk pengukuran kinerja, salah satunya adalah untuk belajar. Selain itu, ia berpendapat data kinerja yang telah terpilah adalah untuk mengungkapkan penyimpangan yang mungkin menandakan kebutuhan untuk belajar. Jadi elemen yang penting dalam belajar dari ukuran kinerja adalah umpan balik, khususnya untuk pembelajaran organisasi pada tingkat strategis (Kaplan dan Norton 1996b dalam Lye 2006). Carter (1991) dalam Lye (2006), menyimpulkan bahwa penerapan indikator kinerja spesifik terkait dengan karakteristik dari entitas sektor publik, individu dan lingkungannya. Studi pengukuran kinerja di sektor publik telah menghubungkan desain pengukuran kinerja dengan berbagai variabel kontekstual yang menyoroti kompleksitas untuk mencoba mengukur kinerja pemerintah. Secara khusus, lingkungan eksternal organisasi diyakini menjadi penting dalam menentukan desain dan penggunaan informasi kinerja (Cavalluzzo dan Ittner 2004, Behn 2003 dalam Lye, 2006). Sedangkan dari sisi kompensasi sebagai faktor yang memengaruhi kinerja organisasi telah dikemukakan bahwa indikator kinerja menghubungkan dengan skema kompensasi, dibahas oleh Kaplan dan Norton (Kaplan dan Norton, 1996 dalam Greilin, 2007). Bourne dan Neely (2002) dalam Lye (2006) dalam hal ini, indikator kinerja memengaruhi dan dipengaruhi oleh tindakan manajer dan karyawan pada tingkat
yang berbeda dari hirarki organisasi. Bahwa kinerja tindakan
memengaruhi dan dipengaruhi oleh tindakan manajer adalah apa yang disebut (Hines, 1989 dalam Lye, 2006) sebagai hubungan "mutually constitutive" antara peserta dan realitas sosial, diciptakan dan ditopang oleh refleksi interaksi sosial oleh individu satu sama lain dan berkesinambungan. Sehubungan dengan berbagai
27
faktor yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi seperti yang telah diuraikan di atas, dikemukakan pula oleh pengaruh kepercayaan (trust)
Greiling (2007) dari hasil studinya tentang
terhadap kinerja organisasi sebagaimana yang
diekmukakan bahwa kepercayaan dianggap oleh beberapa penulis sebagai sebuah elemen yang dapat memiliki dampak signifikan terhadap produktivitas dan kinerja di daerah non-komersial dari organisasi (Wintrobe, 1997: 448; Boukaert, 2002; Karkatsoulis, Michalopoulous dan Moustakou, 2005 dalam Greiling, 2007). Analisis terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi seperti yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan terhadap beberapa pandangan tersebut. Analisis terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi secara umum dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal organisasi serta individu dalam organisasi. Faktor internal menyangkut hal-hal sebagai berikut: (a) kapasitas organisasi; (b) motivasi organisasi; (c) fleksibilitas organisasi; (d) manajemen organisasi; (e) orientasi organisasi; (f) karakteristik organisasi; dan (g) tindakan manajer dan karyawan. Sebaliknya faktor eksternal, mencakup: (a) lingkungan; (b) pembelajar; (c) umpan balik; (d) interaksi sosial; dan (e) entitas. Sedangkan faktor individu yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi, meliputi hal-hal sebagai berikut: (a) kejelasan peran; (b) kompetensi; (c) nilai; (d) freperensi; (e) penghargaan; (f) karakteristik individu; (g) kompensasi; dan (h) kepercayaan.
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Program Aksi BPP Pengembangan BPP Pengembangan BPP dapat diawali dengan pemahaman pada karakteristik BPP sebagai organisasi, akan dapat dipahami dengan mudah melalui pendekatan dari sudut pandang organisasi pula. Sudut pandang yang dimaksudkan dalam tulisan ini, meliputi : peran dan fungsi, struktur dan administrasi serta sumberdaya penunjang (sarana dan prasarana) BPP. Kemudian dari titik berangkat tersebut BPP dapat mulai dikembangkan dengan upaya merumuskan visi, misi, tujuan, sasaran, dan strategi. Perumusan tersebut selain sebagai titik awal pengembangan
28
BPP, juga dapat menjadi titik tolak atau landasan bertindak dalam menjalankan roda organisasi BPP untuk meraih masa depan BPP yang diinginkan. Penyuluhan mulai diintensifkan sejak awal tahun 1970-an, dengan pendekatan terpadu penyediaan sarana pendukung, pengolahan dan pemasaran hasil, serta dukungan finansial di satu sisi, dan menarik dukungan struktur pedesaan progresif di sisi lainnya. Pandekatan ini lazim disebut dengan Bimbingan Massal (Bimas). Perkembangan tersebut mendorong pihak pemerintah untuk lebih mengembangkan perangkat kelembagaanya, kemudian lebih disempurnakan dengan lahirnya dan berperannya organisasi dan kelembagaan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) pada tahun 1977 (efektif tahun 1978) yang berbasis
secara
lokal/kecamatan pada setiap kabupaten/kota. Karena itu, saatnya perhatian dan upaya penyediaan perangkat teknologi informasi diarahkan kepada pengguna inovasi teknologi secara lokal kabupaten/kota dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), yang bersentuhan langsung dengan berjuta petani yang membutuhkan inovasi teknologi dan rekayasa kelembagaan pedesaan progresif, melengkapi sistem, media dan metode penyuluhan konvensional kita saat ini yang sedang bergelut dengan peningkatan kinerjanya. (Kamaruddin AS dan Mansur A, 2006). Pada struktur kelembagaan Kementerian Pertanian RI, kelembagaan BPP termasuk unit pelaksana teknis yang kedudukannya berada pada tingkat kecamatan. Kedudukan BPP tersebut dinyatakan dalam UU No. 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Kedudukan tersebut tercantum pada pasal 8 ayat (2) huruf d. Tugas BPP menurut pasal 8 UU No. 16 Tahun 2006, mencakup : (1) menyusun programa penyuluhan pada tingkat kecamatan sejalan dengan programa penyuluhan kabupaten/kota, (2) melaksanakan penyuluhan berdasarkan programa penyuluhan, (3) menyediakan dan menyebarkan informasi teknologi, sarana produksi, pembiayaan, dan pasar, (4) memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha, (5) memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swadaya, dan penyuluh swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan, dan (6) melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan model usahatani bagi
29
pelaku utama dan pelaku usaha. Sedangkan fungsi BPP adalah sebagai tempat pertemuan para penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha. BPP bertanggung jawab kepada Badan Pelaksana Penyuluhan kabupaten/kota. (UU No. 16 Tahun 2006). Penjabaran lebih lanjut dari karakteristik BPP adalah uraian pada peran dan fungsinya yang juga dijabarkan dari UU No. 16 Tahun 2006, mencakup tiga hal umum; yaitu : (1) penumbuhan dan pengembangan kelompok tani dan gabungan kelompok tani, BPP berperan dan berfungsi : (a) sebagai penanggungjawab operasional dengan kegiatan sebagai berikut : -
Penyusunan programa penyuluhan pertanian kecamatan yang disesuaikan dengan programa penyuluhan pertanian desa dan atau unit kerja lapangan;
-
Memfasilitasi terselenggaranya programa penyuluhan pertanian desa atau unit kerja lapangan di wilayah kerja BPP;
-
Memfasilitasi proses pembelajaran petani dan pelaku agribisnis lainnya sesuai dengan kebutuhannya;
-
Menyediakan dan menyebarkan inforamasi dan teknologi usahatani;
-
Melaksanakan kaji terap dan percontohan usahatani yang menguntungkan;
-
Mensosialisasikan rekomendasi dan mengihktiarkan akses kepada sumbersumber informasi yang dibutuhkan petani;
-
Melaksanakan forum penyuluhan tingkat kecamatan (musyawarah/ rembug kontak tani, temu wicara serta koordinasi penyuluhan pertanian;
-
Memfasilitasi kerjasama antara petani, penyuluh dan peneliti serta pihak lain dalam pengembangan dan penerapan teknologi usahatani yang menguntungkan serta akrab lingkungan;
-
Menumbuhkembangkan kemampuan manajerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan kelembagaan tani serta pelaku agribisnis lainnya;
-
Menyediakan fasilitas pelayanan konsultasi bagi para petani dan atau masyarakat lainnya yang membutuhkan;
-
Memfasilitasi terbentuknya gabungan kelompok tani serta pembinaannya;
-
Menginventarisir kelompok tani dan kelembagaan tani lainnya yang berada diwilayah kecamatan/BPP.
30
(b) melakukan monitoring, secara khusus kegiatan monitoring mencakup hal-hal sebagai berikut : -
aspek perencanaan;
-
keadaan dan ketersediaan fasilitas-fasilitas kerja penyuluh pertanian;
-
penilaian proses pelaksanaan kerja atau pelaksanaan program;
-
kinerja petugas dan pembimbingan;
-
peningkatan sumberdaya manusia; dan
-
pengembangan aspek statika (organisasi, administrasi) dan aspek dinamika (kegiatan dan kepengurusan) serta aspek kepemimpinan (kaderisasi anggota organisasi).
(c) BPP menyusun catatan rekapitulasi dan perkembangan kelompok tani di wilayahnya sebagai laporan, yang mencakup : jumlah kelompok tani dan Gapoktan, jumlah anggota kelompok tani dan Gapoktan, jumlah kelompok tani dan Gapoktan yang telah melakukan mitra usaha, dan lain-lain yang berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan organisasi petani. Selanjutnya
kepala
BPP/koordinator
penyuluh
pertanian
di
BPP
menyampaikan laporan kepada kepala badan pelaksana penyuluh pertanian kabupaten/kota dan ditembuskan ke instansi terkait di tingkat kabupaten/kota (Permentan RI-Lamp.1, 2007) (2) Penyusunan Rencana Definitif Kelompok Tani (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK), BPP berfungsi sebagai sekretariat posko IV dan meneruskan RDKK yang telah diverifikasi kesekretariat posko III.
(Permentan RI-Lamp.2, 2007) (3) Sistem Kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU), BPP berperan dan berfungsi sebagai : (a) penyelenggara latihan. Pada sistem LAKU, latihan bagi penyuluh pertanian diselenggarakan di BPP; (b) penyelenggara LAKU; (c) membahas masalah yang tidak bisa dipecahkan pada saat kunjungan penyuluh ke lapangan.
(Permentan RI-Lamp.3, 2007). Pengorganisasian pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian di tingkat pedesaan terpusat pada Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), yang bertugas menyelenggarakan penyusunan programa dan kegiatan penyuluhan pertanian bagi keluarga tani menuju bertani yang lebih produktif, berusahatani yang lebih menguntungkan dan hidup yang lebih sejahtera. Hubungan kerja antara BPP
31
dengan pemerintah daerah tingkat II diatur oleh Kepala Daerah yang bersangkutan (Adjid, 2001). Kelembagaan BPP menempati kedudukan sentral. BPP dipimpin oleh seorang kepala BPP dengan dibantu oleh empat orang staf, yaitu : (1) seorang Penyuluh Pertanian Urusan Programa (PPUP) untuk pengembangan programa tani dewasa, (2) seorang PPUP untuk pengembangan programa tani wanita, (3) seorang PPUP untuk pengembangan programa tani taruna, dan (4) seorang petugas pengelola kompleks BPP dan administrasi. Secara teknis administrasi, wilayah kerja BPP didasarkan atas jumlah luas areal, jumlah keluarga tani, jenis dan macam usahatani dan keadaan geografis daerah (potensi daerah). Sebagai patokan, wilayah kerja satu BPP meliputi 10-15 wilayah unit desa (atau lebih kurang satu kawedanan) dengan lebih kurang 15.000 – 35.000 kepala keluarga tani di dalamnya (Adjid, 2001). Pemahaman administrasi penyuluhan, akan lebih diperjelas dalam hal tugas-tugas dan fungsi penyuluhan. Adapun beberapa fungsi administrasi penyuluhan yang perlu diperhatikan adalah :
(1) Administrasi personalia,
(2) kemudahan dan perlengkapan bagi penyuluhan, (3) administrasi keuangan, (4) pelaporan dan evaluasi, (5) hubungan dengan lembaga-lembaga terkait lainnya (Departemen Kehutanan, 1996). Sedangkan fungsi BPP sebagaimana yang dikemukakan oleh Samsuddin (1987) adalah : (1) tempat penyusunan programa penyuluhan pertanian, (2) penyebarluasan informasi pertanian, (3) tempat melatih PPL secara berkala, (4) memberikan rekomendasi usahatani yang lebih menguntungkan, (5) tempat mengajarkan keterampilan pertanian kepada petani, pamong desa dan tokoh masyarakat setempat, (6) menyelenggarakan petak-petak percontohan, dan (7) tempat musyawarah petani. Uraian karakteristik di atas, menjadi bahan penelusuran peran dan fungsi, struktur dan administrasi serta sumberdaya penunjang (sarana dan prasarana) BPP yang dapat menjadi pertimbangan dalam pengembangan BPP lebih lanjut. Berdasarkan uraian di atas, maka karakteristik BPP mencakup aspek organisasi dan manajemen, fungsi dan perannya serta administrasi dan lingkungannya dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
32
Keunggulan Mutu BPP Keunggulan mutu merupakan standar bagi BPP sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi sebagai kunci penting bagi keberhasilan dalam menjalankan visi dan misi BPP dalam melayani klienya. Kesatuan yang terintegrasi tersebut meliputi: tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu. Tata pamomg BPP harus mencerminkan pelaksanaan “good governance” dan mengakomodasi nilai, struktur, perang, fungsi dan aspirasi klienya sebagai pemangku kepentingan BPP. Kepemimpinan BPP harus secara efektif memberi arah, motivasi dan inspirasi untuk mewujudkan visi, melaksanakan misi, mencapai tujuan dan sasran melalui strategi yang dikembangkan. Sistem pengelolaan harus secara efektif dan efisien melaksanakan fungsi perancanaan, pengorganisasian, pengembangan staf, pengarahan, dan pengawasan. Sistem penjaminan
mutu
harus
mencerminkan
pelaksanaan
continuous
quality
improvement pada semua rangkaian sistem manajemen mutu (quality management system) dalam rangka pemuasan klien (clien satisfication) (BAN-PT, 2008). Bila keunggulan
mutu BPP dipandang dari sudut teori Total Quality
Manajemen (TQM), maka pemahaman tentang definisi kualitas penting untuk dibahas. Karena tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu tidak bisa terlepas dari proses manajemen itu sendiri, dimana BPP adalah sebuah organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya tidak terlepas dari proses manajemen. Keunggulan mutu yang tidak lain adalah kualitas, dapat ditinjau dari sudut pandang pendapat Corby dalam Tenner dan DeToro (1992) yang mengemukakan empat pandangan tentang kualitas, sebagai berikut : 1. Crosby mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian dengan persyaratan, tidak
elegan. Ini berbeda dari definisi konvensional kualitas yang tidak ada dalam referensi, cara di mana item tersebut dibangun atau metode layanan yang disediakan. Sebaliknya, definisi ini strategis, dalam hal ini berfokus pada mencoba memahami sepenuhnya arahan, harapan memiliki pelanggan dan perjalanan organisasi untuk memenuhi harapan tersebut. Jelas, pandangan eksternal ini tentang kualitas adalah membutuhkan energi, karena menetapkan
33
target yang jauh dari realitas dan menuntut terlalu jauh dari pada yang ditetapkan secara internal. 2. Sistem kualitas untuk pemasok mencoba untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan pertama kali untuk melakukan pencegahan dengan benar, bukan inspeksi. Gagasan ini mencoba untuk memperbaiki masalah yang diciptakan dengan memastikan bahwa pekerja pembuatan produk bekerja menyediakan layanan cacat atau tidak lulus. Akan ada pandangan, jika ada, inspektur dalam organisasi kualitas, karena setiap orang memiliki tanggungjawabnya atau bekerja sendiri di sini. 3. Standar kinerja adalah tidak ada cacat. Crosby telah menganjurkan negara
agar target yang harus dicapai adalah tidak ada kesalahan. Tentu saja, ia akan mengutip fakta bahwa kami akan mungkin selalu memilih jalur udara yang berusaha me-nol-kan kecelakaan atau ahli bedah yang berusaha untuk menol-kan kematian sebagai contoh di mana tidak ada toleransi untuk menerima kegagalan. Crosby menyuarakan tidak mengharapkan apapun yang lebih sedikit pada kinerja pekerja yang keluar sendiri dari pekerjaanya. 4. Pengukuran kualitas adalah biaya kualitas. Biaya ketidaksempurnaan, jika
diperbaiki, memiliki efek yang menguntungkan sepanjang langsung pada garis dasar kinerja hubungan dengan pelanggan. Sejauh itu, investasi harus dilakukan dalam pelatihan dan kegiatan pendukung
lainnya untuk
menghilangkan kesalahan dan memulihkan biaya yang terbuang sia-sia. Crosby dan penulis lainnya mengutip biaya kualitas sepadan 20 persen sampai 40 persen dari pendapatan perusahaan. Selanjutnya Tenner dan DeToro (1992) mengemukakan terdapat tiga prinsip kualitas, yaitu : (1) pokus pada pelanggang (customer focus), (2) peningkatan proses (process improvement), dan (3) keterlibatan total (total involvement). Ketiga prinsip kualitas tersebut memiliki enam elemen penunjang, meliputi : (1) kepemimpinan (leadership), (2) pendidikan dan pelatihan (education and training) , (3) struktur yang mendukung (supporting structure), (4) komunikasi (communications), (5) penghargaan dan pengakuan (reward and recognition), dan (6) pengukuran (measurement).
34
Secara konseptual Tenner dan De Toro (1992), telah mengemukakan prinsip dan penunjang tentang kualitas. Namun, kualitas dari sudut pandang manajemen mutu belum mendapat kesepahaman tentang kualitas. Dimana manajemen mutu tidak universial atau bahkan banyak diterima (Binney, 1992; Brown, 1993 dalam Foley, 2007), tidak memiliki definisi yang berlaku umum atau disetujui kontennya (Little, 1994 dalam Foley, 2007), belum menemukan tempat di literatur manajemen mainstream Barat (Waldman, 1995; Aune, 1998; Foley, dkk,. 1997; Donaldson, 1995 dalam Foley, 2007) . Selanjutnya Foley (2007) mengutip beberapa tulisan untuk menguraikan persoalan definisi kualitas dengan kutipan-kutipan yang diuraikan sebagaimana beberpa pernyataan sebagai berikut. : Mengatasi masalah definisi kualitas, Reeves dan Bednar (1994, pp.419-20) menawarkan pengamatan berikut: pencarian untuk definisi kualitas telah menghasilkan hasil yang tidak konsisten. Kualitas telah banyak didefinisikan sebagai nilai (Abbott, 1955; Feigenbaum, 1951), kesesuaian dengan spesifikasi (Gilmore, 1974; Levitt, 1972), kesesuaian dengan persyaratan (Crosby, 1979) kesesuaian untuk digunakan (Juran, 1974, 1988), kehilangan penghindaran (Taguchi, dikutip dalam Ross, 1989) dan pertemuan dan harapan pelanggan (Gröenross, 1983; Parasuraman, Zeithaml dan Berry, 1985). Terlepas dari jangka waktu atau konteks di mana kualitas diteliti, konsep kualitas telah memiliki beberapa definisi dan sering dikacaukan dan telah digunakan untuk menggambarkan berbagai fenomena. Lanjutan penyelidikan dan penelitian tentang isu-isu terkait mutu dan atau kualitas harus dibangun di atas pemahaman yang menyeluruh tentang definisi yang berbeda dari yang membangun. proposisi universal menggambarkan hubungan antara berbagai variabel dan kualitas tidak bisa dibuat ketika arti dari variabel dependen terus menerus melakukan perubahan (Cameron dan Whetton, 1983), kualitas yang menghubungkan ke hasil seperti pangsa pasar, biaya dan keuntungan telah menghasilkan hasil yang bertentangan yang terutama disebabkan kesulitan definisi. Teori manajemen mutu disimpulkan dari tuntutan yang dibuat oleh para pemangku kepentingan perusahaan bisnis dan bukti empiris bahwa bisnis multi stakeholder yang telah "menempatkan pelanggan pertama" (dan menggunakan prinsip-prinsip, prosedur dan teknik manajemen mutu untuk mencapai tujuan itu),
35
sementara pada saat yang sama memastikan bahwa kebutuhan dan harapan para stakeholder lain juga terpenuhi) lebih sukses (menguntungkan/berkelanjutan) dibandingkan yang tidak mengadopsi manajemen mutu (Hausner, 1999a, b dan c dalam Foley, 2007 ). Asumsi itu memiliki validitas empiris, yang dapat diuji dan juga telah dibenarkan, walaupun belum sampai tingkat yang diperlukan. Meskipun teori manajemen mutu, setidaknya seperti yang dijelaskan di sini, tidak memberi komentar pada sejumlah isu penting (misalnya, bagaimana manajemen menemukan keseimbangan antara kepentingan stakeholder yang bersaing, bagaimana menetapkan apa yang menjadi kepentingannya atau bagaimana rencana laporannya dan tindakan untuk stakeholder) itu tidak penting menekankan gagasan bahwa semua tindakan manajemen terjadi melalui proses dan membawa serta seperangkat prosedur, teknik dan alat untuk mengurangi variasi proses. Teori manajemen mutu juga menetapkan, dengan sedikit ruang untuk keraguan, bahwa mengejar kualitas produk dan pelayanan merupakan fokus strategis (Foley, 2007). Tulisan Foley di atas memberi pelajaran penting dalam menyusun tulisan dalam rencana penelitian ini, bahwa keunggulan mutu BPP yang ingin diamati tidaklah jauh berbeda dengan kualitas menajemen mutu yang dimaksud dan selama ini telah dibahas dalam berbagai penelitian dan literatur,
sekaligus
menegaskan bahwa keunggulan mutu dengan peubah-peubahnya masih dalam kerangka konsep manajemen mutu. Selanjutnya, dalam kaitan dengan keunggulan mutu dan kaitannya dengan perbaikan organisasi BPP ke depan kosep organisasi pembelajar (learning organization) menjadi salah satu bagian yang diharapkan akan memberi kontribusi kerangka konsep mencapai tujuan dan memberi manfaat penelitian ini. Disamping itu, akan digambarkan juga tentang perspektif organisasi sebagi sistem terbuka (open system organization) dengan harapan kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian akan memperlihatkan konstruk yang tepat dalam merangkai peubah-peubahnya. Kerangka konseptual untuk studi yang dilaporkan di sini adalah model pembelajaran organisasi yang dikembangkan oleh Watkins dan Marsick (1993, 1996) dalam Rowe (2010) mengidentifikasi pembelajaran yang terjadi di tim, individu atau kelompok, dan tingkat organisasi. Dimensi organisasi belajar adalah tindakan imperatif yang memfasilitasi pembentukan organisasi pembelajaran.
36
Kegiatan ini berlangsung di individu, tim, organisasi, dan tingkat pembelajaran masyarakat. Tindakan imperatif (Marsick & Watkins, 1999, dalam Rowe, 2010) adalah sebagai berikut: (1) membuat kesempatan belajar terus-menerus, (2) mempromosikan penyelidikan dan dialog, (3) mendorong kolaborasi dan tim belajar, (4) membangun sistem untuk berbagi dan memahami pembelajaran, (5) memberdayakan masyarakat terhadap visi kolektif, (6) menghubungkan organisasi terhadap lingkungannya, dan (7) memberikan kepemimpinan strategis untuk belajar. Pembelajaran organisasi adalah pembelajaran transformasional dan membantu organisasi memahami dan mengatasi perubahan yang memengaruhi mereka. Jika sebuah organisasi untuk menjadi organisasi belajar, tujuh dimensi di atas harus terwakili dalam budaya organisasi. Organisasi belajar, sebagaimana didefinisikan oleh Bennis dan Nanus (1985) dalam Rowe (2010), adalah proses dimana organisasi memperoleh dan menggunakan pengetahuan baru, peralatan, perilaku, dan nilai-nilai. Ini terjadi pada semua tingkat organisasi. Individu belajar sebagai bagian dari kegiatan sehari-hari mereka, terutama saat mereka berinteraksi satu sama lain dan dunia luar. Kelompok belajar sebagai anggota mereka bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Seluruh sistem belajar karena memperoleh umpan balik dari lingkungan dan mengantisipasi perubahan selanjutnya. Pada semua tingkatan, pengetahuan baru dipelajari diterjemahkan juga tujuan baru, prosedur, harapan, struktur peran, dan ukuran keberhasilan. Sebagai organisai belajar, maka harus dipahami juga konsep tentang peranan proses organisasi, yaitu proses organisasi memiliki tiga peran: koordinasi /integrasi (coordination/integration ) - (a static concept ), belajar (learning) - (a dynamic concept) dan rekonfigurasi (reconfiguration) - (a transformational concept) (Teece, Pisano, Shuen. 1997). Keunggulan mutu BPP diharapkan menjadikannya sebagai organisasi pembelajar. Disampin itu, BPP juga dapat menjadi organisasi yang memahami dan menjadi organisasi terbuka. Apabila BPP dapat menjadikan dirinya menjadi organisasi pembelajar dan mendesain dirinya sebagai organisasi sistem terbuka maka dinamika dan tantangan serta perubahan yang terus terjadi pada hampir
37
semua level kehidupan, minimal BPP dapat bertahan dan terus mengembangkan organisasinya ditengah-tengah perubahan dalam menjalankan visi dan misi yang ingin dicapai. Pandangan tentang organisasi sebagai sistem terbuka dikemukan oleh Lunenburg (2010) dimana sekolah sebagai obyek pembahasan untuk menggambar kan sebuah organisasi sistem terbuka yang sebenarnya jika dicermati dan ditelaah secara mendalam hampir sama dengan BPP sebagai organisasi. Menurut pandangan sistem terbuka, sekolah selalu berinteraksi dengan lingkungan mereka. Bahkan, struktur diri mereka diperlukan untuk menghadapi kekuatan di dunia sekitar mereka (Scott, 2008 dalam Lunenburg, 2010). Sebaliknya, teori sistem tertutup melihat sekolah sebagai cukup independen untuk memecahkan kebanyakan masalah mereka melalui kekuatan internalnya, tanpa memperhitungkan sejumlah kekuatan di lingkungan eksternal. Mempertimbangkan menutup sekolah atau penataan kembali batas-batas sekolah, misalnya. Hal ini memengaruhi orang-orang di sekolah dan orang-orang di luar itu. Teori sistem bekerja pada proses dalam dan luar organisasi, sebagai pemahaman dan mengantisipasi konsekuensi dari keputusan apapun (Ahrweiler, 2010 dalam Lunenburg, 2010 ). Sebuah sistem dapat didefinisikan sebagai seperangkat unsur yang saling terkait yang berfungsi sebagai unit operasi (Senge, 2006 dalam Lunenburg, 2010). Sistem terbuka terdiri dari lima elemen dasar (Scott, 2008 dalam Lunenburg, 2010): masukan, proses transformasi, output, umpan balik, dan lingkungan. Sistem seperti sekolah menggunakan empat jenis input atau sumberdaya dari lingkungan: sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan, sumberdaya fisik, dan sumberdaya informasi dan teknologi. Sumberdaya manusia termasuk tenaga kerja staf administrasi dan bakat, dan sejenisnya. Sumberdaya keuangan merupakan modal sekolah/distrik sekolah yang digunakan untuk membiayai baik yang sedang berlangsung dan operasi jangka panjang. sumberdaya fisik meliputi persediaan, material, fasilitas, dan peralatan. sumberdaya informasi adalah pengetahuan, kurikulum, data, dan jenis informasi lainnya yang digunakan oleh sekolah/distrik sekolah. Sumberdaya teknologi adalah metoda baru, cara baru, dan peralatan baru.
38
Keunggulan mutu BPP dapat dibangun melalui kerangka konsep bahwa BPP sebagai organisasi pembelajar dan organisasi sistem terbuka. Sebagai organisasi pembelajar, maka BPP dalam prosesnya baik organisasi maupun individu dalam organisasi dalam sistem operasional dan aktivitas menjalankan tugas pokok dan fungsinya serta interaksinya baik di dalam lingkungan organisasi maupun di luar lingkungan organisasi terus mengembangkan proses pembelajaran pada semua tingkatan atau level organisasi. Karena, pada semua tingkatan belajar ada umpan balik dari interaksi dengan lingkungannya. Sebagai organisasi terbuka BPP harus dapat menyadari dalam aktivitas organisasi dan interaksi staf atau karyawanya sebagai suatu sistem, maka terdapat lima elemen dasar, yaitu : input, proses transformasi, output, umpan balik, dan lingkungan. Sedangkan BPP menggunakan lima jenis sumberdaya dari lingkungannya, yaitu : manusia, keuangan, fisik, dan sumber informasi serta teknologi. Melalui kelima elemen dasar dan kelima sumberdaya yang dimanfaatkan dari lingkungannya, BPP dapat merumuskan keputusan-keputusan yang tepat sesuai dengan arah perubahan dan tantangan yang sedang terjadi. Guna mendifinisikan keunggulan mutu BPP dengan kerangka konsep BPP sebagi organisasi pembelajar dan organisasi sistem terbuka, maka tata kelola, kepemimpinan, sistim pengelolaan, pengambilan keputusan, dan suasana kerja dalam proses implementasinya harus terus belajar mengenai keadaan yang dialaminya dan memahami bahwa ada lima elemen dasar dan lima sumberdaya yang digunakan dalam proses organisasi BPP, sehingga BPP dapat terus mengembangkan dirinya ke arah kemajuan dan adaptif terhadap perubahan serta senantiasa menjawab persoalan yang dihadapi dan memberi solusi yang terbaik, terutama untuk klienya. Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia sebagai salah potensi sumberdaya yang vital dalam organisasi termasuk pada BPP. Sumberdaya manusia dalam organisasi harus dapat direncanakan dengan baik. Perencanaan sumberdaya manusia dalam organisasi baru dapat diimplementasikan dengan baik apabila terdapat menejemen sumberdaya manusia yang baik pula. Sebaliknya, manajemen sumberdaya
39
manusia hanya dapat berjalan baik bila diikuti dengan perencanaan yang dapat memahami kebutuhan organisasi, shareholder, stakeholder, dan lingkungan organisasi. Pendayagunaan sumberdaya manusia menjadi salah satu penentu keberhasilan organisasi, bila dikelola dengan tepat. Hal tersebut mengingatkan kepada pimpinan organisasi bahwa hal itu menjadi tanggungjawabnya, selama ia memandang dengan seksama bahwa sumberdaya manusia adalah staf/karyawan yang harus dilihat dan diatur sebagai manusia seutuhnya dan pinpinan organisasi juga bertanggungjawab terhadap manajemen personalia. Pendayagunaan sumberdaya manusia menjadi sangat penting dalan sebuah organisasi publik, termasuk BPP. Karena ada upaya untuk terus menerus menggali pemahaman tentang sumberdaya manusia karena posisinya yang strategis, sebagaimana kutipan dalam tulisan ini bahwa, baru-baru ini, ada panggilan untuk mendefinisikan kembali peran sumberdaya manusia tentang bagimana cara meningkatkan dampak strategis dan daya saing pada organisasi untuk suatu keberhasilan (Griego, Geroy, & Wright, 2000; Ulrich, 1997a, 1997b, 1999 dalam Kontoghiorghes, Awbrey, Feurig 2005).
Pengembangan sumberdaya manusia
(SDM) profesional diminta untuk mengambil kepemimpinan peran dalam mengubah organisasi dengan cara mendorong dan meningkatkan pembelajaran (Kontoghiorghes, Awbrey, Feurig 2005). Menurut Aris Ananta (1990) suatu rencana yang diformulasikan dengan baik akan merupakan dasar dalam pengorganisasian dan koordinasi aktivitas staf atau karyawan. Disamping itu, rencana tersebut memberikan kesadaran pada karyawan mengenai apa yang diinginkan oleh pimpinanya dan apa yang diharapkan oleh karyawan. Rencana yang efektif dapat menciptakan pula suatu suasana hubungan antar karyawan yang serasi. Perencanaan sumberdaya karyawan yang baik, maka kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya akan tinggi, demikian pula kontribusinya. Hal ini terjadi karena karyawan menduduki jabatan yang sesuai dengan kemampuannya. Perencanaan sumberdaya manusia suatu organisasi perlu melihat berbagai faktor, yaitu; proses perencanaan itu sendiri, sarana yang menunjang serta proses staffing.
40
Pentingnya pengelolaan sumberdaya manusia dalam organisasi juga dikemukakan oleh William B. Wether Jr. dan Keith Davis dalam Human Resources and Personnel Management, istilah sumberdaya manusia/SDM (human resources/HR) menunjukkan berbagai orang (people) yang ada dalam organisasi. Menurut Amstrong (2005) dalam A Handbook of Human resources management Practice, fungsi HR/SDM mengkhususkan diri pada persoalan yang terkait dengan pengelolaan serta pengembangan orang (people) di dalam organisasi. Menurut Dale dalam Chatab (2007), Pengembangan adalah proses pertumbuhan serta peningkatan menjadi lebih besar dan lebih penuh, lebih terelaborasi, atau lebih sistematis, atau menjadi matang. Kedudukan SDM yang seperti digambarkan di atas adalah merupakan suatu bentuk kegiatan atau tindakan terhadap SDM yang ada dalam organisasi. Karena itu, menurut Chatab (2007) kegiatan SDM merupakan tindakan yang diambil untuk memberi dan memelihara anggota/pegawai yang memadai bagi kepentingan organisasi. pengelolaan SDM adalah aktivitas yang dirancang untuk memberi dan mengkoordinasikan SDM organisasi. Secara keseluruhan, tujuan pengelolaan SDM adalah untuk memastikan bahwa organisasi mampu mencapai keberhasilan melalui orang. Aktivitas utama fungsi SDM adalah perencanaan SDM, Pengembangan SDM, sistem imbalan, dan lainnya. SDM dapat dibedakan menjadi SDM generalis dan SDM spesialis. Tuntutan masa depan adalah keduanya. Sistem pengelolaan SDM dapat menjadi sumber kapabilitas organisasi yang memungkinkan organisasi belajar dan menggunakan kesempatan untuk peluang baru. Pandangan lain tentang SDM adalah pembicaraan tentang kedudukannya sebagai staf/karyawan yang memiliki kebutuhan dan keperluan pengembangan sebagaimana yang diungkapkan bahwa isu strategis pada sumberdaya manusia meliputi penetapan tingkat keterampilan dan derajat otonomi yang diperlukan untuk bekerjanya sistem produksi, menguraikan ukuran-ukuran pemilihan kebutuhan pelatihan, dan menentukan kebijakan atas evaluasi kinerja, ganti-rugi, dan insentif. (Russel dan Taylor III, 2003). Kedudukan dan fungsi SDM dalam organisasi sangat strategis, karena SDM merupakan motor penggerak sumberdaya lainnya agar organisasi tetap
41
berjalan sesuai misi dan tujuan yang ingin dicapai. Diperlukan perencanaan terpadu dalam sebuah organisasi untuk pendayagunaan SDM, agar organisasi dapat memberi dan memelihara serta mengembangkan SDM yang dimilikinya agar keberhasilan organisasi dapat dicapai melalui SDM berkualitas. Sarana dan Pembiayaan Sarana
merupakan sumberdaya organisasi
yang
berbentuk
fisik.
Sedangkan pembiayaan adalah anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan organisasi. sarana dan pembiayaaan dibutuhkan untuk berlangsungnya aktivitas organisasi termasuk BPP. Sarana dan prasarana dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluhan dan kinerja penyuluh yang memadai agar penyuluhan dapat diselenggarakan dengan efektif dan efisien. Sedangkan pembiayaan dimaksudkan untuk menyelenggarakan penyuluh yang efektif dan efisien, maka diperlukan tersedianya pembiayaan yang memadai untuk memenuhi biaya penyuluhan. Sumber pembiayaan untuk penyuluhan disediakan melalui APBN, APBD baik provinsi maupun kabupaten/kota, baik secara sektoral maupun lintas sektoral, maupun sumber-sumber lain yang tidak mengikat. Pembiayaan penyuluhan yang berkaitan dengan tunjangan jabatan fungsional dan professi, biaya operasional penyuluh PNS, serta sarana dan prasarana bersumber dari APBN, sedangkan pembiayaan penyelenggaraan penyuluhan di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa bersumber dari APBD yang jumlah dan alokasinya disesuaikan dengan programa penyuluhan (UU No.16 Tahun 2006). Manajemen fasilitas didefinisikan sebagai "koordinasi tempat kerja fisik dengan orang-orang dan kerja organisasi. Hal ini mengintegrasikan prinsip-prinsip bisnis, arsitektur administrasi, dan ilmu-ilmu perilaku dan rekayasa." Istilah yang paling dasar, manajemen fasilitas mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan menjaga operasi yang kompleks. Fasilitas termasuk toko kelontong, toko mobil, kompleks olahraga, penjara, gedung perkantoran, rumah sakit, hotel, perusahaan ritel, dan semua menghasilkan pendapatan lain atau lembaga pemerintah. Tanggung jawab yang terkait dengan manajemen fasilitas biasanya meliputi berbagai fungsi layanan dan dukungan, termasuk jasa kebersihan,
42
keamanan, properti atau manajemen bangunan, jasa rekayasa, perencanaan ruang dan akuntansi, mail dan messenger service; manajemen arsip, komputasi, telekomunikasi dan sistem informasi, keamanan, dan tugas dukungan lainnya. Ini adalah tugas dari manajer fasilitas untuk menciptakan lingkungan yang mendorong produktivitas, aman, yang berkenan kepada klien dan pelanggan, memenuhi mandat pemerintah, dan efisien. (Reference for Business, tanpa tahun). Menurut Alan M. Levitt, 1997 dalam Reference for Business, (tanpa tahun) bahwa fasilitas digunakan untuk merujuk kepada spektrum luas bangunan, kompleks, dan entitas fisik lainnya. Pada kenyataannya fasilitas adalah semua tempat. Alan M. Levitt, (1997) dalam bukunya “Disaster Planning and Recovery: A Guide for Facility Professionals.” Menulis bahwa fasilitas “A” mungkin menjadi ruang atau kantor atau suite kantor, lantai atau sekelompok lantai dalam bangunan. Sebuah gedung tunggal atau sekelompok bangunan atau struktur ini mungkin berada di perkotaan atau berdiri bebas di pinggiran kota atau pedesaan. Mendefinisikan fasilitas sebagai tempat fisik dimana kegiatan usaha dilakukan, dan membuat rencana fasilitas manajemen sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dari aktivitas organisasi. Seperti
fasilitas kebutuhan organisasi perbankan,
perusahaan berbagai bidang, kantor pemerintah, dan termasuk kantor BPP cenderung berbeda, dan ada kemungkinan akan kebutuhan dasar tertentu bahwa semua akan berbagi dalam sebuah kantor (alat tulis, kearsipan, meja, kursi, computer, kendaraan, perabot, ruang kantor, sistem AC, lampu, dll). Perubahan manajemen fasilitas telah mengalami perkembangan, banyak faktor pengendali dalam manajemen fasilitas. Pertama, sarana organisasi telah menjadi besar dan lebih rumit. Kedua, memerlukan keahlian dalam mengoperasi kan dan meperbaikinya. Ketiga, penekanan biaya untuk efisiensi operasional. Keempat, perubahan filosofis, seperti ketergantungan meningkat pada kerjasama tim. Kelima, tuntutan perawatan fasilitas. Manajemen fasilitas bertanggung jawab untuk mengarahkan staf pemeliharaan dan fasilitas, selain mengawasi tugas-tugas penting yang terkait dengan standar perawatan, ruang surat, dan kegiatan keamanan, ia mungkin juga bertanggung jawab untuk menyediakan jasa rekayasa dan arsitektur, menyewa subkontraktor, memelihara sistem komputer dan telekomunikasi, dan bahkan membeli, menjual, atau menyewa ruang kantor.
43
Aktivitas BPP memerlukan pembiayaan untuk menjalankan program yang telah disusun dalam bentuk program aksi. Pembiayaan harus dapat dikelola dengan baik dan benar sehingga memungkinkan terlaksananya program dengan baik sesuai dengan tujuan kegiatan, visi dan misi BPP. Pembiayaan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah anggaran yang digunakan oleh BPP dalam rangka membiayai aktivitas dan kegiatan BPP dalam rangka menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Anggaran dalam perspektif APBN
dan
APBD
adalah
pengeluaran
rutin
yang
disediakan
untuk
menyelenggarakan tugas umum pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Pengeluaran rutin ini digunakan untuk : (1) belanja pegawai, (2) belanja barang, (3) subsidi daerah otonomi, (4) bunga dan cicilan hutang, dan (5) pengeluaran rutin lainnya (Kunarjo, 1993). Pembiayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penegluaran rutin berupa anggaran yang dialokasikan untuk belanja barang dan jasa, yaitu pengeluaran untuk belanja barang dan jasa maupun pengeluaran untuk keperluan sehari-hari perkantoran, seperti pembelian alat-alat tulis, barang cetak, alat-alat rumahtangga, dan pengiriman surat, biaya sewa gedung, biaya pengepakan, pengiriman dan penyimpanan barang, biaya langganan surat kabar dan majalah, biaya rapat, biaya pengamanan kantor, biaya pindah kantor, biaya cetak, biaya penerimaan tamu, biaya teleks, biaya bahan-bahan komputer, fotokopi, biaya sewa rumah, dan biaya keanggotaan organisasi internasional (Kunarjo, 1993). Kerangka konsep yang dikembangkan dalam terminologi pembiayaan, harus dapat memahami prinsip dan prosedur serta fungsi dan manfaat pembiayaan sebagai mana yang digambarkan Reference for Business, (tanpa tahun). Prinsip dan prosedur penganggaran yang sukses, harus disusun dengan prinsip-prinsip (Reference for Business (tanpa tahun)) sebagai berikut : (1) realistik dan dapat
dikuantifikasi (terukur), (2) sejarah anggaran,
mencerminkan pemahaman anggaran masa lalu dan harapan masa depan (benchmarking), (3) periode spesifik, memperhatikan periode kegiatan (waktu), (4) standarisasi, proses anggaran menggunakan formulir standar, formula, dan teknik penelitian, (5) inclusive, efisiensi proses anggaran yang logis dan dapat dipertanggung jawabkan, melalui desentralisasi sampai ketingkat atau level
44
terkecil organisasi, (6) tinjauan secara seksama, penelaahan menyeluruh proposal anggaran pada tingkat manajemen secara seksama dan tinjauan kecocokan yang tepat dalam keseluruhan "master anggaran," (7) secara
resmi,
manajemen
secara
resmi
adopsi dan penyerbarluasan mengadopsi
anggaran
dan
mengkomunikasikan kepada personil yang bertanggung jawab selanjutnya mendistribusikannya secara tepat waktu, (8) peninjauan berkala, meninjau secara berkala, sesuai jadwal dan dengan cara yang standar, mereka membandingkan hasil aktual dengan anggaran yang menjadi tanggungjawabnya. Penganggaran dalam konteks pembiayaan memiliki dua fungsi utama: perencanaan dan pengendalian. Proses perencanaan mengungkapkan semua ide dan rencana dalam hal kuantitas. Perencanaan yang cermat pada tahap awal menciptakan kerangka untuk kontrol atau pengendalian. Pengendalian bermanfaat dalam hal : (1) peningkatan manajemen perspektif, (2) melihat potensi masalah, (3) koordinasi kegiatan, dan (4) evaluasi anggaran kinerja (Reference for Business, (tanpa tahun). Sarana dan pembiayaan dalam perspektif BPP sebagai organisasi penyuluhan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, baik secara internal maupun eksternal. Sarana dalam konteks BPP adalah sarana yang tidak lain adalah sumberdaya fisik, misalnya : alat tulis kantor, ketersediaan meja dan kursi, komputer dan kendaraan. Semua sarana tersebut sangat berguna untuk mendukung kelancaran pengembangan dan penyusunan program aksi BPP dan selanjutnya hasil dari itu dapat dilihat pada kinerja BPP. Perkembangan lingkungan
organisasi,
menyebabkan
munculnya
tuntutan
perkembangan
menejemen fasilitas, hal tersebut tidak terkecuali sarana BPP yang berupa fasilitas sumberdaya fisik harus dikelola oleh BPP dengan baik seiring dengan perkembangan dan dinamika sarana yang dimiliki BPP. Perhatian BPP terhadap sarana yang dimilikinya (manajemen pemeliharaan fasilitas) terus dikembangkan akan
sangat
membantu
dalam
menopang
kelancaran
penysunan
dan
pengembangan rencana starategis dan rencana aksi yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan kinerja BPP. Pembiayaan
adalah
alokasi
anggaran
yang
diperuntukkan
untuk
membiayai operasionalisasi BPP berupa belanja barang dan jasa. Alokasi belanja
45
barang dan jasa tersebut sedapat mungkin mengacu pada prinsip-prinsip, fungsi dan manfaat pembiayaan agar dapat terus meningkatkan kinerja BPP . Rencana Strategis Rencana strategis memiliki kedudukan penting dalam sebuah organisasi. karena strategi sebagai alat atau cara menuju output akhir. Menurut Gani (2004) strategi merupakan salah salah satu penentu struktur, yang dikacaukan pengertiannya dengan tujuan, sebab biarpun tujuan dan strategi saling berhubungan, akan tetapi tidak sama. Tujuan merujuk pada hasil akhir, sedangkan strategi merujuk pada cara maupun hasil akhir. Pentingnya kedudukan strategi juga dikemukan oleh Ward dan Peppard (2009) bahwa perumusan strategi merupakan langkah pertama pada jalan menuju keberhasilan. Strategi ini harus diterapkan, menghantarkan
hasilnya dan
memperbaharui strategi untuk mencerminkan perubahan yang terjadi pada lingkungan bisnis atau organisasi, pada akhirnya strategi jelas penting bagi keberhasilan. Strategi adalah penentuan dari tujuan dasar jangka panjang dan sasaran perushaan/organisasi, penerimaan dari serangkaian tindakan serta alokasi sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan (Gani, 2004). Strategi dapat didefinisikan sebagai penentuan dari tujuan dasar jangka panjang dan sasaran sebuah perusahaan/organisasi, dan penerimaan dari serangkaian tindakan serta alokasi sumber-sumber yang dibutuhkan untuk melaksanakan tujuan tersebut (Robbins, 1994). Selanjutnya Robbins (1994) menguraikan dua pandangan tentang strategi, yaitu : (1) model perencanaan (planning model). Pandangan ini menjelaskan strategi sebagai sebuah model perencanaan atau kumpulan pedoman eksplisit yang dikembangkan sebelumnya. Para manajer mengidentifikasikan arah tujuan mereka kemudian mereka mengembangkan rencana yang sistematis dan terstruktur untuk mencapai hal itu, (2) model evolusi (evulitionary model), strategi tidak selalu harus merupakan rencana yang dipikirkan secara matang dan sistematis. Strategi bahkan berkembang dari waktu ke waktu sebagai pola dari arus keputusan yang bermakna.
46
Kata perencanaan menggabungkan kedua ide, yaitu; menentukan tujuan organisasi dan
mendefinisikan sarana untuk
mencapainya.
Perencanaan
memungkinkan manajer memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, bukan hanya bereaksi terhadap itu. Perencanaan meningkatkan kemungkinan survival di bisnis atau organisasi dengan aktif mengantisipasi dan mengelola risiko yang mungkin terjadi di masa depan (Benowitz, 2001). Robbins dan Coulter (2002) dalam Sule dan Saefullah (2005) mendifiniskan perencaan sebagai berikut : “ Planning is a process that involves defining the organization’s goals, establishing an overall strategy for achieving those goals, and developing a comprehensive set of plans to integrate and coordinate organizational work.”
(Perencanaan sebagai sebuah proses yang
dimulai dari penetapan tujuan organisasi, menentukan strategi untuk pencapaian tujuan organisasi secara menyeluruh, serta mengembangkan perencanaan secara menyeluruh
untuk
mengintegrasikan
dan
mengkoordinasikan
pekerjaan
organisasi). Perencanaan adalah fungsi manajemen kunci dari setiap organisasi, termasuk BPP. Ini adalah proses penentuan terlebih dahulu apa yang harus dicapai, kapan, oleh siapa, bagaimana, dan berapa biayanya. Terlepas dari apakah itu prioritas program perencanaan jangka panjang atau perencanaan pertemuan dua jam, aspek perencanaan manajemen adalah penyumbang utama terhadap keberhasilan dan produktivitas (Waldron et al., 1997 dalam Swanson et al., 1997). Ward dan Peppard (2009) memandang kedudukan strategi penting dalam proses manajemen dalam organisasi. perencanaan juga memiliki kedudukan yang penting, bahwa berdasarkan penelitian para pakar secara umum, disimpulkan bahwa perencana mengalahkan non-perencana, pemikirannya adalah bahwa perusahaan yang memiliki rencana formal lebih unggul dibandingkan dengan rencana informal, karena proses penulisan rencana mengharuskan untuk menuangkan ide-ide dan tujuan-tujuan untuk dipikirkan secara matang (Hopkins and Hopkins,1997) Berbagai pengertian perencanaan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa perencanaan sesungguhnya adalah suatu proses penentuan/penetapan tujuan,
47
mengembangkan strategi, dan menguraikan tugas dan jadwal untuk mencapai tujuan. Pengertian tentang perencanaan strategik merujuk pada apa yang ditulis oleh Summer (2009) dalam bukunya “Quality Mangement : Creating and Sustaining Organizational Effectiviness” bahwa : “strategic planning is a process of involving everyone in matching the vision, mision and core values of an organization with the current situation to focus tactical activities now and the future. strategic plan set the and pace for the entire organization.” (perencanaan strategis adalah proses yang melibatkan semua orang dalam pencocokan visi, misi dan nilai-nilai inti dari sebuah organisasi dengan situasi saat ini untuk memfokuskan kegiatan taktis sekarang dan dimasa depan. rencana strategis menetapkan arah dan langkah untuk seluruh organisasi). Frederick Taylor mengungkapkan bahwa perencanaan strategik merupakan cara yang melibatkan pemikiran melalui sebuah karya, penciptaan dari fungsi manajemen staf baru yaitu munculnya ahli perencanaan. Dimana sistem perencanaan ini merupakan strategi yang bagus sebagai suatu tahapan strategi yang akan diterapkan para pelaku bisnis atau organisasi, manajer perusahaan dan mengarahkan agar tidak membuat kekeliruan (Mintzberg, 1994). Menurut Hopkins and Hopkins (1997) perencanaan strategi adalah sebagai proses penggunaan kriteria sistematis dan investigasi yang sangat teliti untuk merumuskan, menetapkan dan mengendalikan strategi serta mendokumentasikan harapan-harapan organisasi secara formal. Pengertian lain perencanaan strategis adalah menurut Berry (1997) dalam Taiwo dan Idunnu (2007) bahwa perencanaan strategis adalah suatu alat untuk menemukan masa depan yang terbaik untuk organisasi anda dan alur yang terbaik untuk menjangkau tujuan itu. Sungguh sering, seorang perencana organisasi strategis telah mengetahui banyak apa yang akan dimasukkan pada sebuah perencanaan strategis. Bagaimanapun, pengembangan perencanaan strategis sangat membantu ke arah memperjelas rencana organisasi. Berdasarkan asumsi bahwa perencanaan strategis memiliki efek positif pada kinerja, para peneliti telah mempelajari karakteristik sistem perencanaan
48
untuk menentukan karakteristik yang dimasukkan dalam rencana strategis untuk mengoptimalkan kinerja strategis. Meskipun banyak sistem perencanaan strategis yang telah disajikan dalam literature, namun karakteristik yang pasti, tidak ada konsensus (Kargar 1996). Sebagai contoh, Ramanujam dan Venkatraman (1987) mengusulkan enam dimensi sistem perencanaan strategis: penggunaan teknik, perhatian terhadap aspek internal, perhatian terhadap sisi eksternal, cakupan fungsional, sumberdaya yang disediakan untuk perencanaan, dan daya tahan terhadap perencanaan. Veliyath dan Shortell (1993) mengidentifikasi lima dimensi: perencanaan, pelaksanaan, kompetensi pasar penelitian, keterlibatan personel kunci, bantuan staf perencanaan, dan inovasi strategi. Baru-baru ini, berdasarkan literatur, Kargar (1996) meliputi lima dimensi: derajat orientasi internal sistem, tingkat orientasi eksternal, tingkat integrasi dicapai dalam departemen fungsional, keterlibatan personil kunci dalam proses perencanaan, dan sejauh mana penggunaan teknik analisis dalam menangani isu-isu strategis (Lussier, at al., 2001). Strategi adalah pernyataan tentang cara di mana tujuan harus dicapai. Strategi harus tunduk pada tujuan. Artinya, mereka hanya relevan sejauh mereka membantu untuk memenuhi tujuan. Saran ini jelas tetapi sering diabaikan. Proses perencanaan tidak lengkap sampai perusahaan setidaknya memiliki satu (dan sebaiknya lebih dari satu) strategi operasional. Sebuah strategi operasional menjelaskan: (1) apa tugas yang harus dilakukan, (2) siapa yang bertanggung jawab untuk setiap tugas, (3) ketika setiap tugas harus dimulai dan diselesaikan, (4) sumberdaya (waktu dan uang) yang tersedia untuk setiap tugas, dan (5) bagaimana tugas-tugas berhubungan satu sama lain. Strategi operasional merupakan dasar bagi tindakan berbagai fungsi dalam organisasi. Alternatif strategi dapat meningkatkan adaptasi organisasi dalam dua cara. Pertama, dengan secara eksplisit memeriksa alternatif, kemungkinan bahwa organisasi akan menemukan beberapa yang lebih unggul dari strategi mereka saat ini. Kedua, lingkungan bisa berubah, jika alternatif (contingency) rencana telah disusun, organisasi berada dalam posisi yang lebih baik untuk menjawab dengan sukses, atau mereka dapat memilih strategi yang baik bahkan melakukan perubahan jika terjadi perubahan lingkungan. (Armstrong, 1983).
49
Rencana adalah penetapan tindakan lebih awal untuk melakukan tindakan kemudian. Sedangkan strategi adalah detail-detail yang dipolakan berupa konsep untuk ditindaklanjuti dalam bentuk kegiatan yang terencana. Sedangkan perencanaan strategis merupakan proses pengikhtiaran arah dan langkah organisasi yang melibatkan shareholder dan stakeholder yang menghasilkan rencana strategis yang berisi visi, misi, tujuan dan sasaran, arah kebijakan, program dan kegiatan indikatif. Perencanaan strategis harus berfokus pada pengelolaan rencana strategis yang berarti menerapkan cara berpikir strategis pada pimpinan dan anggota organisasi atau perusahaan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Hubungan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Organisasi BPP Masa Operasional Upaya memahami masa operasional BPP dapat ditinjau dari sudut perkembangan organisasi penyuluhan pertanian
di Indonesia dengan jalan
menelusuri perkembangan tersebut yang tidak lain adalah dengan menelusuri proses pembentukannya. Perkembangan organisasi penyuluhan pertanian atau dapat dikatakan bahwa metamorposis organisasi penyuluhan itu sendiri tidak terlepas dari responnya terhadap perubahan dan perkembangan lingkungan strategisnya. Hal tersebut dapat dimengerti sebagai bentuk adaptasi organisasi penyuluhan terhadap tuntutan perubahan dan perkembangan lingkungan strategisnya. Perkembangan organisasi penyuluhan pertanian di Indonesia tentu saja diawali dengan awal pembentukan dan perkembangan sistem penyuluhan pertanian itu sendiri. Sistem penyuluhan pertanian telah diterapkan di Indonesia selama 93 tahun terakhir, sejak itu sistem penyuluhan pertanian terus berkembang. Kronologis perkembangan sistem penyuluhan tersebut dapat dikategorikan ke dalam era kolonisasi 1817-1945, era kemerdekaan 1945-1999, dan era transisi dari tahun 1999 sampai sekarang dan selanjutnya,
periode ini disebut sistem
penyuluhan pertanian era desentralisasi. Era tersebut, pada dasarnya juga telah diubah baik konsep, operasional dan kelembagaan penyuluhan. Polarisasi
50
terhadap pelaksanaan peran informasi dan teknologi
penyuluhan pada era
desentralisasi berlawanan dengan pendekatan top down pada sistem penyuluhan pertanian tradisional, pendekatan era desentralisasi adalah sistem bottom up. Akibatnya operasional kerja sistem penyulahan pertanian, seperti latihan dan kunjungan (laku)
telah bergeser dari sistem top down, dengan sistem yang
memenuhi kebutuhan masyarakat. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan pelaku bisnis di sektor agribisnis. sistem penyuluhan pada era transisi cukup kompleks, karena dibutuhkan penyesuaian yang ideal dan cocok untuk masing-masing kondisi daerah dengan karakteristik lokalnya masing-masing (Jamil, 2006). Khusus BPP, perkembangan organisasinya diawali pembentukan Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) melalui
konferensi dinas Jawatan
Pertanian Rakyat pada tanggal 1 - 2 Juli 1948 di Madiun. Pembangunan BPMD tersebut dimasukkan dalam rencana produksi 3 tahunan dari Kementerian Kemakmuran RI di Yogyakarta (Plan Kasimo). Realisasi rencana tersebut baru dapat dirnulai tahun 1950 dari Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI), yakni gabungan Rencana Kasimo dan Rencana Wisaksono. Diharapkan tiap kecamatan ada sebuah BPMD. Namun karena keterbatasan dana, maka realisasinva hanya 372 buah BPMD. Pembentukan daerah otonom baik tingkat I maupun tingkat II penyuluhan pertanian menjadi kewenangan pangkal daerah otonom tersebut. Jadi BPMD sebagai salah satu lembaga penyuluhan harus diatur bersama antara Depertemen Pertanian dengan Departemen Dalam Negeri. Sesuai dengan tuntutan pembangunan, maka BPMD diubah
menjadi Balai
Penyuluhan Pertanian (BPP) pada tahun 1976 melalui SKB Menteri PertanianMenteri Dalam Negeri. 223/Kpts/Um/IV/76 SKB Menteri Pertanian-Menteri Dalam Negeri No. ---------------------------76 tahun 1976 Adapun tugas BPP adalah menyelenggarakan programa dan melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian dengan keluarga tani, usahatani yang lebih menguntungkan dan hidup sejahtera. Agar lebih memperkuat peranan BPP, maka SKB-tahun 1976 disempurnakan menjadi SKB Menteri Pertanian-Menteri Dalam Negeri.
51
95/Kpts/LP 120/11/86 SKB Menteri Pertanian-Menteri Dalam Negeri No. ------------------------------59 Tahun 1986 Dimana fungsi BPP lebih dirinci. BPP bertugas melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian dalam melayani kepentingan petani-nelayan beserta keluarganya, kepentingan daerah dan kepentingan nasional. Alasan untuk mendukung terwujudnya daerah-otonom yang riil dan bertanggung jawab, maka pada SKB tahun 1986 dilakukan
lagi penyempurnaan dengan
mengubah tugas BPP. Kalau dalam SKB tahun 1976 dan tahun 1986 disebutkan tugas BPP sebagai lembaga pelaksana penyuluhan pertanian, maka dalam SKB Menteri Pertanian - Menteri Dalam Negeri. 39/Kpts/LP. 120/7/91 SKB Menteri Pertanian - Menteri Dalam Negeri No. ----------------------------65 Tahun 1991 SKB tersebut menyebutkan bahwa fungsi BPP hanya penunjang kegiatan pertanian dalam penyuluhan pertanian. (Abbas, 1995). Masa operasional BPP yang ditandai dengan eksistensi awal lahirnya sampai sekarang juga dikemukakan oleh Kamaruddin AS dan Mansur Azis (2006), bahwa penyuluhan mulai diintensifkan sejak awal tahun 1970-an, dengan pendekatan terpadu penyediaan sarana pendukung, pengolahan dan pemasaran hasil, serta dukungan finansial di satu sisi, dan menarik dukungan struktur pedesaan progresif di sisi lainnya. Pandekatan ini lazim disebut dengan Bimbingan Massal (Bimas) yang disempurnakan dengan Wilayah Unit Desa (Wilud),
mengacu
kepada
perangkat
kelembagaanya
kemudian
lebih
disempurnakan dengan lahirnya dan berperannya organisasi dan kelembagaan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) pada tahun 1977 (efektif tahun 1978) yang berbasis secara lokal/kecamatan pada setiap Kabupaten/Kota, dan Balai Informasi Pertanian (BIP) yang keberadaannya melayani informasi inovasi teknologi pertanian pada wilayah propinsi. BPP sebagai home base nya Penyuluh Pertanian, petani sebagai konsumen informasi, dan BIP sebagai produsen dan pelayan informasi. Peran optimal Penyuluhan Petanian dan perangkat pendukungnya diyakini banyak pakar
52
pertanian telah menyumbang 60% pencapaian swasembada beras kita pada tahun 1984 yang lalu. Kini di era komunikasi global dimana perangkat teknologi informasi berupa internet yang semarak dengan penyelenggara komersial berupa Warung Internet (Warnet), bukan lagi barang asing. Terlebih lagi, perangkat teknologi informasi pada tingkat Kementerian Pertanian RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai-Balai Penelitian dan Pengembangan Komoditas Pertanian sebagai penghasil inovasi teknologi pertanian, juga telah memadai. Di tingkat wilayah saat ini terdapat 30 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), perangkat organisasi Badan Litabang Pertanian yang mengakuisisi peran Balai Informasi Pertanian tempo dulu, berperan sebagai penghasil teknologi tepat guna spesifik lokasi, sekaligus memberikan contoh diseminasinya, kini juga dilengkapi dengan perangkat teknologi informasi. Oleh karena itu, perangkat pemerintah pusat dan sumber-sumber inovasi teknologi, termasuk perangkatnya di wilayah pengembangan pertanian nampaknya siap berperan tanpa hambatan (contoh terbaru lahirnya Website Prima Tani). Karena itu, saatnya perhatian dan upaya penyediaan perangkat teknologi informasi diarahkan kepada pengguna inovasi teknologi secara lokal kabupaten dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), yang bersentuhan langsung dengan berjuta petani yang butuh akan inovasi teknologi dan rekayasa kelembagaan pedesaan progresif, melengkapi sistem, media dan metode penyuluhan konvensional kita saat ini yang sedang bergelut dengan peningkatan kinerjanya. Apa yang dijelaskan di atas sesuai dengan temuan Sumardjo (1999) tentang ketarkaitan kelembagaan pendukung “lembaga penyuluhan” bagian unsurunsur kelembagaan yaitu fasilitas bahwa lembaga penyuluhan yang berorientasi kemandirian petani (kesiapan petani di era pertanian berkelanjutan) informasinya aktual, pusat informasi yang menyebar dan terjangkau petani, penghasil inovasi, sarana komunikasi agribisnis dan dukungan swasta/bisnis. Melihat latar belakang perkembangan dan awal terbentuknya BPP, maka masa operasional BPP dapat dihitung dari pangkal; yaitu : (1) apabila dihitung dari awal pembentukan BPMD sejak 1948, maka masa operasional BPP sampai tahun 2011 sudah 63 tahun melaksanakan tugas dan perannya sebagai organisasi
53
penyuluhan, (2) apabila dihitung sejak diterbitkannya SKB Menteri Pertanian – Menteri Dalam Negeri pada tahun 1976 yang mengganti nama BPMD menjadi BPP, maka masa operasional BPP sampai tahun 2011 sudah 43 tahun. Sebagai organisasi, BPP yang telah menjalankan masa operasionalnya kurang lebih 53 tahunan jika diambil rata-rata kedua pangkal perhitungan, sebenarnya tidak lagi dapat dikatakan sebagai organisasi mudah tetapi telah memiliki banyak pengalaman sepanjang sejarahnya, sehingga banyaknya pengalaman dengan dinamika masing-masing kurung waktu yang dihadapinya, sebanarnya BPP dapat lebih baik kinerjanya dalam menjalankan tugas dan perannya sesuai dengan amanah yang diberikan padanya. Sudah seharusnya BPP dapat menjadi sebuah organisasi yang mampu dan terampil merumuskan, menetapkan, menjabarkan, menyusun dan menerapkan program aksi serta evaluasi yang dapat dijadikan
indikator kinerja BPP. Sebagai upaya sampai
kepada kemampuan dan keterampilan tersebut maka keunggulan mutu, sumberdaya manusia, sarana dan pembiayaan perlu terus ditingkatkan dan dilakukan penyesuaian sesuai dengan perubahan dan tantangan lingkungan strategisnya.
Luas Kebun Percontohan Luas kebun percontohan memiliki hubungan yang erat dengan metoda penyuluhan demonstrasi dengan pendekatan penyuluhan kelompok dan sebagai wadah atau tempat menerapkan metoda tersebut. Luas kebun percontohan tersebut akan menentukan jenis atau macam demonstrasi yang akan dilakukan. Pentingnya kedudukan kebun percontohan dalam proses penyuluhan dan bagi BPP sejak awal perkembangan penyuluhan pertanian di Indonesia ditandai dengan telah diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 240/Kpts/Um /4/79, pada setiap WKBPP didirikan satu buah Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang dilengkapi seperangkat peralatan dan perlengkapan, lahan atau kebun seluas kurang-lebih 2 Ha dan petugas (tukang kebun dan tenaga administrasi) serta dua orang PPM (programmer dan supervisor) (Deptan RI, 1986). Pada saat sekarang kedudukan kebun percontohan secara tersirat juga diamanahkan pada pasal 15 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2006 tentang
54
Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, dikatakan bahwa salah satu tugas BPP adalah melaksanakan proses pembelajaran melalu i percontohan dan pengembangan model usaha tani bagi pelaku utama dan pelaku usaha. Sedangkan BPP berfungsi sebagai tempat penyebarluasan informasi, latihan bagi PPL, pemberian rekomendasi dan mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik dan menguntungkan (Kartasapoetra, 1991). Bila dicermati fungsi dan tugas BPP tersebut, maka sesungguhnya tidak hanya menjalankan tugas dan fungsi administrasi saja, melainkan terdapat berbagai jenis dan bentuk kegiatan lapangan yang harus diselenggaran di BPP dalam hal ini pada cakupan wilayah kerja BPP. Kegiatan lapangan tersebut dalam berbagai segi pendidikan baik bagi para PPL maupun bagi para petani salah satunya adalah dengan melaksanakan demonstrasi pada kebun percontohan. Luas kebun percontohan terkait dengan pilihan jenis atau macam demonstrasi yang akan dipilih. Semakin luas kebun percontohan, maka semakin beragam jenis demonstrasi yang dapat dilakukan di BPP. Pada penyuluhan dikenal tiga macam demonstrasi : (1) demonstrasi cara : menunjukkan bagaimana melaksanakan suatu cara, misalnya bagaimana cara menanam padi yang baik, cara memupuk, cara pengolahan tanah yang baik , dan bagaimana cara menggunakan sprayer; (2) demonstrasi hasil : demonstrasi untuk memperlihatka hasil yang diperoleeh dari penerapan tekni-teknik baru atau penyempurnaan dari cara-cara lama, misalnya demonstrasi pemupukan dengan dosis pupuk tertentu; dan (3) demonstrasi usahatani secara keseluruhan : demonstrasi yang menyangkut didalamnya demonstrasi cara dan demonstrasi hasil dalam satu kegiatan usahatani. Disini dilengkapi dengan penjelasan bagaimana perhitungan input-output yang sebetulnya dari suatu usahatani yang baik. Sedangkan berdasarkan luas petak demonstrasi dan jumlah demonstrasi, dikenal empat macam demosntrasi, yaitu : (a) demonstrasi plot, luas 0,1 – 1 Ha sebagai demonstrator adalah petani perorangan; (b) demonstrasi farm, luas 3 – 5 Ha sebagai demonstrator adalah beberapa orang petani (dalam satu kelompok tani); (c) demonstrasi area, luas 25 – 100 Ha dilaksanakan oleh satu atau beberapa kelompok tani; dan (d) Demonstrasi unit, luas 500 – 1000 Ha dilaksanakan oleh
55
beberapa kelompok tani (gabungan dari beberapa kelompok tani) (Deptan RI, 1986). Metode demonstrasi adalah kegiatan dimana penyuluh memperlihatkan dengan jelas kepada kelompok tani tentang penggunaan teknologi baru dan cara kerja yang lebih baik (demonstrasi cara) atau memperlihatkan hasil suatu cara kerja baru agar para petani mengetahui apakah cocok untuk diterapkan atau tidak (demonstrasi hasil). Demonstrasi melalui pemanfaatan kebun percontohan ini dinilai sebagai cara yang baik untuk mengajak para petani secara langsung menilai cara yang nyata dari teknologi baru, apakah segara dapat diterapkan atau tidak. Cara ini lebih banyak menolong petani (Kartasapoetra, 1991). Luas kebun percontohan tidak lain pemanfaatan lahan yang dimiliki BPP harus ada pada setiap BPP untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pusat penyuluhan di WKBPP. Fungsi dan tugas tersebut diharapkan dapat mencakup seluruh kegiatan penyuluhan dari seluruh sub sektor yang disesuaikan dengan kondisi agroklimat di WKBPP. Komoditi yang diusahakan hendaknya mencerminkan komoditi yang diusahakan para petani setempat dan sesuai dengan kondisi lingkungan atau potensi wilayah. Jenis komoditi yang dikelola dalam bentuk percontohan atau lahan kebun percontohan BPP disesuaikan dengan kondisi lahan yang dimiliki BPP, misalnya apakah lahan kering, lahan pengairan atau lahan pasang surut. Apabila lahan kebun percontohan tidak dapat diusahakan di lahan BPP, maka perlu diusahakan pelaksanaanya ditempat lain yang masih berada di WKBPP yang merupakan cabang dari kebun percontohan BPP. Manfaat kebun percontohan tidak hanya bagi para penyuluh pertanian di WKBPP sebagai media belajar dan sekaligus untuk mengasah kemampuan dan keterampilannya, tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh para petani terutama sebagai contoh aktual yang diharapkan dapat mendorong semangat mereka. Menurut Deptan RI (1986), bahwa lahan BPP yang luasnya 1 – 2 Ha itu perlu dirancang sedemikian rupa sehingga dapat disediakan untuk : (1) pekarangan, (2) lapangan (lahan) untuk latihan, (3) lahan untuk koleksi tanaman, peternakan dan perikanan, (4) lahan untuk mengintroduksikan varietas-varietas baru, dan lain-lain sebagainya.
56
Menelaah hubungan luas kebun percontohan dengan metoda yang harus diperankan dalam penyuluhan dan kedudukan BPP serta peran BPP atau tugas dan fungsinya, maka dapat dikatakan luas kebun percontohan dapat memiliki pengaruh terhadap kinerja BPP. Semakin luas lahan kebun percobaan semakin luwes BPP memilih metoda, jenis dan jumlah tanaman yang akan diujicobakan pada kebun percontohan dengan asumsi faktor lingkungan strategisnya sama. Pada kondisi demikian, akan terkait secara langsung dengan penyusunan rencana strategis dan program aksi yang dirumuskan dan selanjutnya akan memengaruhi kinerja BPP.
Luas Wilayah Kerja Setiap wilayah pengembangan pertanian (WPP) dibagi menjadi Wilayah Kerja Balai Penyuluhan Pertanian (WKBPP) terdiri dari satu atau lebih kecamatan, dengan ketentuan tidak boleh membelah batas wilayah administrasi kecamatan. Pada setiap WKBPP didirikan satu buah Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang dilengkapi seperangkat peralatan dan perlengkapan, lahan atau kebun seluas kurang-lebih 2 Ha dan petugas (tukang kebun dan tenaga administrasi) serta dua orang PPM (programmer dan supervisor). WKBPP meliputi kurang lebih 10 Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP) dengan memperhitungkan faktor-faktor berikut ini : (a) kepadatan penduduk/jumlah KK petani; (b) sarana perhubungan; (c) potensi wilayah; (d) jangkauan pembinaan (Deptan RI, 1986). Sedangkan menurut Adjid ( 2001), secara administrasi, wilayah kerja BPP didasarkan atas jumlah luas areal, jumlah keluarga tani, jenis dan macam usahatani dan keadaan geografis daerah (potensi daerah). Sebagai patokan, wilayah kerja satu BPP meliputi 10 – 15 Wilayah Unit Desa (atau lebih kurang satu kewedanan) dengan lebih kurang 15.000 – 35.000 kepala keluarga tani di dalamnya. Melihat cakupan wilayah BPP yang kurang kelbih 10 -15 Wilayah Unit Desa (Wilud) dan kurang lebih 15.000 – 35.000 kepala keluarga yang menjadi tanggungjawab BPP untuk memberi pelayanan penyuluhan dalam rangka menjalankan tugas pokok dan fungsinya, khususnya dalam menjalankam tugas pembinaan kepada para petani melalui kelompok taninya. Cakupan luas wilayah
57
kerja BPP melalui para penyuluhnya akan berdampak pada tingkat kesulitan melaksanaan penyelenggaraan penyuluhan, mengingat bahwa luas wilayah terkait dengan masalah daya tempuh yang lama dan biaya operasional yang besar. Sebaliknya apabila petani membutuhkan informasi tantang usahatani mereka atau penyuluh diharapkan hadir untuk memberikan penyuluhan sekaitan dengan masalah usahatani yang dihadapi para petani tidak akan dapat segera terwujud, karena diperlukan waktu dan biaya yang besar, petani harus menunggu padahal masalah usahatani mereka harus segera mendapatkan solusi pada saat itu, menyebabkan petani dapat kehilangan kepercayaan terhadap BPP, begitu pula penyuluh dapat kehilangan motivasi sehingga kepeloporannya juga semakin menurun. Pada situasi dan kondisi demikian, maka dapat dikatakan bahwa luas wilayah kerja BPP akan berpengaruh terhadap kinerja BPP. Jumlah Kelompok Binaan Jumlah kelompok binaan yang dimaksud adalah jumlah kelompok tani yang menjadi kelompok binaan BPP. Analisis jumlah kelompok binaan sebagai salah satu faktor yang memengaruhi
kinerja BPP sebagai organisasi adalah
dengan menelaah pengertian, peran dan fungsi serta kedudukan, pendekatan dan kelas kelompok tani. Selanjutnya tugas dan fungsi BPP dalam pengembangan kelompok tani di WKBPP juga dianalisis untuk melihat sampai sejauh mana jumlah kelompok binaan memengaruhi kenerja BPP. Kelompok tani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota (Deptan RI, 2007). Kelompok tani ialah kumpulan petani yang bersifat nonformal, memiliki pandangan dan kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan bersama di mana hubungan satu sama lain sesama anggota bersifat luwes, wajar dan kekeluargaan. Kelompok tani pada dasarnya merupakan sistem sosial, yaitu suatu kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat oleh kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.
58
Dalam kelompok tani ini akan terjadi suatu situasi kelompok, di mana setiap petani anggota telah melakukan interaksi untuk mencapai tujuan bersama dan sudah saling mengenal satu sama lain. Interaksi antar kelompok tani dengan BPP sebagai wadah belajar bersama dan fasilitasi serta pendampingan oleh penyuluh yang diorganisir dan dikelola BPP dalam mendorong dan menumbuh kembangkan kelompok tani sebagai akibat dari faktor – faktor : (1) adanya kepentingan bersama, (2) adanya kesamaan kondisi sumberdaya alam dalam berusahatani, (3) adanya kondisi masyarakat dan kehidupan sosial yang sama, dan
(4)
adanya
saling
percaya
mempercayai
antara
sesama
anggota
(Samsuddin, 1987). Sejak tahun 1976 penyuluhan pertanian lebih dititikberatkan pada pendekatan kelompok, melalui pengembangan dan pembinaan kelompok tani hamparan. Pembentukan dan pengembangan kelompok tani hamparan ini sejalan dengan mulai diterapkannya sistem latihan dan kunjungan (sistem kerja laku). Sejak itu berdasarkan lokasi kegiatannya, dikenal adanya kelompok tani hamparan dan kelompok tani domisili. Kelompok tani hamparan dengan wilayah kerjanya meliputi satu wilayah kelompok, dibentuk atas dasar hamparan usahatani. Sedangkan kelompok tani domisili dibentuk atas dasar kesatuan lokasi tempat tinggal petani, seperti halnya kelompok pendengar siaran pedesaan. Kelompok tani hamparan dengan Wilayah kelompoknya, dibatasi oleh batas alam satu sama lain sebagai batas dominan. Petani anggota tidak terbatas berasal dari satu lokasi tempat tinggal yang sama atau sehamparan tempat tinggal. Sedangkan kelompok tani domisili, batas pemerintahan seperti RT, RW atau batas desa merupakan batas dominan, di mana anggotanya tidak dibatasi oleh petani yang usaha taninya sehamparan (Samsuddin, 1987). Selanjutnya dikemukakan bahwa berdasarkan kemampuan yang menentukan tingkat kemampuan kelompok tani, maka dikenal empat kelas kemampuan kelompok, yaitu: (1) kelompok tani pemula; yaitu kelompok tani yang tingkat kemampuannya paling rendah; (2) kelompok tani lanjut; yaitu kelompok tani yang tingkat kemampuannya di atas kelompok tani pemula; (3) Kelompok tani madya yang tingkat kemampuannya diatas kelompok tani
59
pemula dan lanjut; dan (4) kelompok tani utama; yaitu kelompok tani yang sudah memiliki kemampuan paling tinggi. Peranan kelompok tani dapat diamati, bahwa perubahan perilaku petani melalui aktivitas individu, biasanya lebih lambat dibandingkan jika petani bersangkutan aktif dalam kegiatan kelompok. Demikian pula penyebaran dan penerapan inovasi baru, melalui aktivitas kelompok akan lebih cepat dan lebih meluas dibandingkan jika disampaikan melalui pendekatan individu ataupun missal, sifatnya lebih efektif dan efisien. Persaingan penerapan teknologi dan produktivitas usaha tani di antara sesama petani akan lebih sehat, karena memiliki pandangan yang sama yaitu mencapai tujuan bersama. Ada tiga peranan penting dari kelompok tani, yaitu: (1) media sosial atau media penyuluhan yang hidup, wajar dan dinamis, (2) alat untuk mencapai perubahan sesuai dengan tujuan penyuluhan pertanian, dan (3) tempat atau wadah pernyataan aspirasi yang murni dan sehat sesuai dengan keinginan petani sendiri (Samsuddin, 1987). Sedangkan fungsi kelompok tani adalah sebagai berikut: (a) kelas belajar; kelompok tani merupakan wadah belajar mengajar bagi anggotanya guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap (PKS) serta tumbuh dan berkembangnya kemandirian dalam berusaha tani sehingga produktivitasnya meningkat, pendapatannya bertambah serta kehidupan yang lebih sejahtera; (b) wahana kerjasama; kelompok tani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama petani dalam kelompok tani dan antar kelompok tani serta dengan pihak lain. Melalui kerjasama ini diharapkan usahataninya akan lebih efisien serta lebih mampu menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan; dan (c) unit produksi; usahatani yang dilaksanakan oleh masing masing anggota kelompok tani secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinuitas (Deptan RI, 2007). Pandangan tersebut di atas yang menunjukkan peranan panting dan fungsi kelompok tani dalam perubahan pengetahuan, ketarampilan, dan sikap melalui penyuluhan. Padangan yang sama tentang peran peting kelompok tani dikemukakan oleh Williams, (1996) dalam Oladele, (2008) bahwa melaksanakan penyuluhan melalui kelompok tani merupakan salah satu pendekatan inovatif
60
yang paling awal digunakan oleh agen penyuluhan. Banyak peneliti, berusaha untuk meningkatkan partisipasi petani dan juga mengurangi biaya, telah berpaling untuk bekerja sama dengan kelompok petani daripada dengan individu (MerillSands dan Kaimowitz, 1990 dalam Oladele, 2008). Bekerja dengan kelompok menawarkan manfaat yang luar biasa bagi para petani. Sering merangsang diskusi yang lebih baik dan meningkatkan komitmen petani untuk penelitian. Williams (1996) dalam Oladele, (2008) mencatat bahwa kelompok memfasilitasi adopsi teknik baru, membina rekan belajar, memungkinkan anggota mampu mengumpulkan sumberdaya untuk produksi dan mencapai sebuah kelompok tani yang besar, menggunakan sumberdaya yang terbatas, dan sejumlah bahan/alat lainnya. Penyelenggaraan pengembangan kelompok tani pada tingkat kecamatan secara operasional dilaksanakan oleh BPP atau koordinator penyuluh pertanian yang berada di wilayah kecamatan diantaranya adalah memfasilitasi terbentuknya gabungan kelompok tani serta pembinaanya dan menginventarisir kelompok tani dan kelembagaan tani lainnya yang berada di wilayah BPP (Deptan RI, 2007). Kelompok tani sebagai wadah berkumpulnya para petani yang masih dalam WKBPP mengorganisir aktivitasnya dengan didampingi penyuluh, terutama kegiatan penyusunan Rencana Definitif Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Sedangkan BPP sebagai penyelenggara secara operasioanal pengembangan kelompok tani pada tingkat kecamatan. Kedudukan antara BPP sebagai organisasi yang mewadahi penyuluh pada WKBPP dan sebagai penyelenggara operasional pengembangan kelompok tani serta fungsi dan peran BPP itu sendiri dengan kegiatan utama dalam perspektif penyuluhan bagi kelompok tani adalah penyusunan RDK dan RDKK disamping peran, fungsi, dan kedudukan kelompok tani serta keberagaman kelompok tani, terutama jumlah kelompok tani binaan dapat berpengaruh terhadap kinerja BPP.
Jumlah Petani Binaan. Berdasarkan tugas BPP menurut pasal 8 UU No. 16 Tahun 2006 dan fungsinya sebagai tempat pertemuan para penyuluh, pelaku utama “petani” dan pelaku usaha. Menjalankan peran dan fungsi tersebut bagi BPP harus dengan cermat memperhitungkan jumlah petani binaannya, karena dalam proses
61
penyuluhan ada alokasi sumberdaya sebagai energi penggerak untuk sampai kepada petani binaan dan mencapai tujuan pembelajaran. Implikasi lainnya adalah pada penyelenggaraan kunjungan penyuluh pertanian kepada kelompok tani dilakukan selama 4 (empat) hari kerja dalam seminggu, setiap penyuluh membina 8 - 16 kelompok tani dan dijadwalkan mengunjungi setiap kelompok sekali 2 minggu. kunjungan kerja ini diharapkan seorang penyuluh pertanian dapat memengaruhi 100 orang petani per kelompok. Pada setiap wilayah kerja terdiri dari 8 -16 kontak tani sebagai ketua kelompok tani. Setiap 1 (satu) kontak tani mempunyai 5 (lima) orang petani maju, setiap petani maju memengaruhi
sampai dengan 19 orang anggota kelompok tani
(Deptan RI-Lamp.3, 2007). Menurut Adjid (2001), WKBPP yang didasarkan pada luas areal, jumlah keluarga tani, jenis dan macam usahatani dan keadaan geografisnya atau potensi wilayah, maka patokannya wilayah kerja satu BPP meliputi 10 – 15 wilayah unit desa dengan kurang lebih 15.000 – 35.000 kepala keluarga tani di dalamnya. Telah dibahas di atas tentang peran dan fungsi BPP yang terkait dengan jumlah petani binaan, maka selanjutnya akan dianalisis dari sudut padang definisi petani sebagai pelaku utama.
Mosher (1966) mendefinisikan petani sebagai
orang yang terlibat langsung dalam proses pertumbuhan hewan maupun tanaman. Maka dengan difinisi tersebut setidaknya petani mempunyai 2 peran utama yang sekaligus melekat pada dirinya; yaitu petani sebagai jurutani (melaksanakan fungsi-fungsi teknis pengelolaan usahataninya dan petani sebagai manajer (sebagai pengambil keputusan dalam melancarkan usahataninya). Disisi lain, petani sebagai manusia, tentunya memiliki harapan-harapan, keinginan hidup lebih baik,
memiliki kebutuhan, sebagai mahluk sosial dalam lingkungannya
perlu berinteraksi, memiliki harga diri sehingga menyimpan banyak potensi yang dapat dikembangkan. Sedangkan apa yang tertulis pada UU No. 16 Tahun 2006, bahwa petani adalah perorangan warga Negara Indonesia beserta keluarganya atau korporasi yang mengelola usaha di bidang pertanian, wanatani, minatani, agropasture, penangkaran satwa dan tumbuhan, di dalam dan sekitar hutan, yang meliputi usaha hulu, usahatani, agroindustri, pemasaran dan jasa penunjang.
62
Keragaan petani sebagai petani binaan yang merupakan petani yang eksistensinya berada pada WKP dan sebagai anggota kelompok tani, tentunya BPP harus menjalankan fungsinya sesuai dengan program aksi BPP, sehingga kegiatan penyuluhan yang dituangkan dalam rencana kerjanya harus dapat mengunjugi petani binaannya yang ada pada kelompok tani masing-masing sesuai jadwal, begitu juga pertemuan di BPP, serta penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan. Keragaan petani sebagai anggota kelompok tani dan secara otomatis menjadi petani binaan yang memiliki jumlah yang besar dengan karakter dan perannya sebagai petani membutuhkan kepalayanan BPP sebagai penyelenggara penyuluhan dengan potensi dan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk menjalankan tugas dan fungsinya akan sangat dipengaruhi oleh jumlah petani binaan pada WKBPP. Semakin besar jumlah petani binaan, maka akan berpengaruh terhadap kinerja BPP.
Masa Kerja Staf Masa kerja staf BPP adalah sampai berapa lama seorang staf BPP mengalami pengalaman dan interaksi dengan staf lainnya dan lingkungan dalam BPP yang memiliki latar belakang pendidikan, kemampuan dan keterampilan, budaya, suku dan agama yang berbeda-beda, sehingga masa kerja staf memiliki hubungan dengan kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan konflik yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kinerja BPP. Pembahasan dari sudut pengalaman karyawan dan tingkat kepuasan kerja dikemukakan oleh Robbins, Luthans (1995) dalam Almigo (2004), mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah ungkapan kepuasan karyawan tentang bagaimana pekerjaan mereka dapat memberikan manfaat bagi organisasi, yang berarti bahwa apa yang diperoleh dalam bekerja sudah memenuhi apa yang dianggap penting. Kepuasan kerja itu dianggap sebagai hasil dari pengalaman karyawan dalam hubungannya dengan nilai sendiri seperti apa yang dikehendaki dan diharapkan dari pekerjaannya. Pandangan tersebut dapat disederhanakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap dari individu dan merupakan umpan balik terhadap pekerjaannya. Dari sudut pandang komitmen organisasi, Steers
63
(1977) dalam
Chairy (2002), mengembangkan model anteseden komitmen
organisasi yang meliputi: (1) karakteristik personal, (2) karakteristik yang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, dan (3) pengalaman kerja. Masa kerja termasuk dalam karakteristik personal. Hasil penelitian yang dilakukan di luar negeri menunjukkan bahwa, karakteristik personal yang terdiri dari usia, masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, suku bangsa dan kepribadian berkolerasi dengan komitmen organisasi (Mathieu & Zajac, 1990; Mowday dkk, 1982 dalam Chairy, 2002). Chairy (2002) mengutip beberapa pendapat yang terkait masa kerja dan pengalaman kerja yang terkait dan memiliki pengaruh terhadap komitmen organisasi. beberapa kutipan tersebut adalah sebagai berikut : lama kerja sebagai salah satu anteseden karakteristik personal juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap komitmen organisasi. Pengalaman kerja ini meliputi keterandalan organisasi (Buchanan, 1974; Hrebeniak, 1974; Steers, 1977), perasaan dipentingkan (Buchanan, 1974; Steers, 1977), realisasi harapan (Grusky, 1966; Steers, 1977), sikap rekan kerja yang positif terhadap organisasi (Buchanan, 1974; Steers, 1977), persepsi terhadap gaji, serta norma kelompok yang berkaitan dengan kerja keras (Buchanan, 1974). Mathieu dan Zajac (1990) dalam Meyer et al,. (2002) melakukan meta analisis dan berhasil mengungkapkan adanya korelasi yang positif rendah antara masa kerja dengan komitmen organisasi. Pengalaman kerja memberikan kontribusi yang paling besar terhadap komitmen organisasi. Pada sebuah Journal of occupational psychology, Allen & Meyer (1990) menulis anteseden komitmen organisasi dengan tiga unsur komitmen organisasi, yaitu : (a) anteseden komitmen afektif terdiri dari: pengalaman kerja, karakteristik pribadi, karakteristik jabatan, serta karakteristik struktural; (b) anteseden komitmen continue terdiri dari besarnya dan/atau jumlah investasi atau taruhan sampingan individu, dan persepsi atas kurangnya alternatif pekerjaan lain; dan (c) anteseden komitmen normatif terdiri dari pengalaman individu sebelum masuk ke dalam organisasi (pengalaman dalam keluarga atau sosialisasi budaya) serta pengalaman sosialisasi selama berada dalam organisasi.
64
Ketiga unsur komitmen organisasi yang dituliskan di atas, maka yang terkait dengan masa kerja adalah anteseden komitmen afektif. Menurut Allen & Meyer (1990), keempat anteseden pada antesenden afektif, anteseden yang paling berpengaruh adalah pengalaman kerja, terutama pengalaman atas kebutuhan psikologis untuk merasa nyaman dalam organisasi dan kompeten dalam menjalankan peran kerja dalam organisasi. Masa kerja staf dapat juga diamati dari sudut pandang lain, seperti yang dikemukakan oleh Robbins (1994), yang mengemukakan bahwa makin heterogen anggota (staf), makin kecil kemungkinan mereka bekerja dengan tenang dan bersama-sama. Telah ditemukan bahwa ketaksamaan para individu, seperti latar belakang, nilai-nilai, pendidikan, umur, dan pola-pola sosial akan lebih mengurangi kemungkinan hubungan antara peribadi antara wakil-wakil unit dan pada gilirannya akan mengurangi jumlah kerjasama antara masing-masing unit. Konsisten dengan gagasan tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa masa kerja seorang staf atau kelompok akan berhubungan secara terbalik dengan konflik. Artinya, makin lama para anggota menjalin kerjasama, maka makin besar pula kemungkinannya bahwa mereka akan bergaul dengan baik pula. Penelitian memastikan hipotesis tersebut. Misalnya, disebuah sekolah, ditemukan bahwa konflik yang paling tinggi diantara para dosen yang masih muda dan yang masa kerjanya paling pendek, dan terendah diantara anggota yang lebih tua. Masa kerja staf dapat mencakup pengalaman kerja dan kepuasan kerja sebagai sikap individu dalam memberi umpan balik terhadap pekerjaanya. Masa kerja staf, juga adalah salah satu karakteristik personal yang berkorelasi terhadap komitmen organisasi disamping
merupakan antesenden komitmen afektif.
Disamping itu, masa kerja staf juga berhubungan terbalik dengan konflik. Jadi dapat dikatakan bahwa masa kerja staf akan berpengaruh terhadap komitmen organisasi, kepuasan kerja, dan konflik yang pada akhirnya dapat memengaruhi kinerja organisasi.
65
Keunggulan Mutu BPP Keunggulan mutu BPP tercermin dari kemampuannya mencerminkan tata kelola yang terselenggara dengan baik, kepemimpinan yang memiliki kekuatan untuk memajukan BPP dengan sistem pengelolaan yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai aturan yang berlaku, serta ada proses berkelanjutan melalui penjaminan mutu. Bila keempat hal tersebut dapat berjalan dengan baik maka kinerja BPP akan sangat baik. Keunggulan dapat diartikan sebagai sesatu keadaan lebih unggul. Unggul berarti lebih tinggi, lebih pandai atau lebih cakap (Tim Prima Pena, 2003), unggul bisa juga berarti yang terbaik atau yang terutama. Menurut Simandjuntak (2007) dalam Moeljono (2007) memberi pengertian bahwa
excellence pada intinya
adalah upaya membangun atau menciptakan keunggulan dalam rangka memenangkan persaingan. Sedangkan menurut Mangkusasono (2007)
dalam
Moeljono (2007) mengungkapkan bahwa watak unggul adalah sifat yang selalu mengedepankan kesempurnaan dan peningkatan dalam kualitas hasil kerja, serta berkeinginan dan bergairah untuk menjadi yang terbaik. Bila definisi tersebut ditelaah, maka dapat dikatakan bahwa BPP yang memiliki keunggulan mutu, dapat mempegaruhi kinerja BPP. Semakin unggul mutu BPP maka akan besar pengaruhnya terhadap kinerja BPP. Tata Kelola Tata kelola (governance) merupakan sistem untuk memelihara efektivitas peran para konstituen dalam pengembangan kebijakan, pengambilan keputusan, dan penyelenggaraan Balai Penyuluhan Pertanian. Tata kelola yang baik jelas terlihat dari lima kriteria yaitu kredibilitas, transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab dan adil. Struktur tata kelola mencakup badan pengatur yang aktif dengan otonomi yang cukup untuk menjamin integritas lembaga dan memenuhi pertanggungjawaban dalam pengembangan kebijakan dan sumberdaya yang konsisten dengan visi dan misinya. Tata kelola didukung dengan penetapan dan penegakan sistem nilai dan norma, serta dukungan organisasi, penyuluh, petani/kelompok binaan, staf BPP dan stakeholders. Pelaksanaan dan penegakan
66
nilai
dan norma institusi staf BPP dan
penyuluh didukung dengan adanya
mekanisme pemberian penghargaan dan sanksi yang diberlakukan secara konsisten dan konsekuen. Elemen penilaian organisasi dan sistem tata kelola yang baik mencerminkan kredibilitas, transparansi, akuntabilitas, tanggungjawab, dan keterbukaan BPP. Sistem tata kelola berjalan secara efektif melalui mekanisme yang disepakati bersama serta dapat memlihara dan mengakomodasi semua unsur, fungsi, dan peran dalam BPP. Tata kelola didukung dengan budaya organisasi yang dicerminkan dengan tegaknya aturan, etika penyuluh, etika staf, serta sistem penghargaan dan sanksi serta pedoman dan prosedur pelayanan yang jelas (BANPT, 2008). Elemen tata kelola (governance) juga dikemukakan oleh lembaga ADB (Asian Development Bank) dengan istilah unsur-unsur tata pemerintahan (elements of governance), menurut ADB tata pemerintahan bergantung pada empat elemen kunci atau kondisi : (1) akuntabilitas, adalah penting untuk membuat pejabat publik bertanggung jawab atas perilaku pemerintah atau tindakan mereka dan responsif terhadap entitas dari mana mereka mendapatkan otoritas. Akuntabilitas juga berarti menetapkan kriteria untuk mengukur kinerja pejabat publik, serta mekanisme pengawasan untuk memastikan bahwa standar dipenuhi. Akuntabilitas juga berkaitan dengan efektivitas perumusan kebijakan dan pelaksanaan, dan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya, (2) partisipasi, mengacu pada keterlibatan warga dalam proses pembangunan. Penerima dan kelompok-kelompok yang terkena dampak proyek atau intervensi pembangunan lainnya perlu berpartisipasi sehingga pemerintah dapat membuat pilihan informasi sehubungan dengan kebutuhan mereka, dan kelompok sosial dapat melindungi hak-hak mereka. Manfaat partisipasi: meningkatkan kinerja dan keberlanjutan kebijakan, program, dan proyek, serta peningkatan kapasitas dan keterampilan para pemangku kepentingan, partisipasi menunjukkan bahwa struktur pemerintah cukup fleksibel untuk menawarkan manfaat, dan lain-lain yang terkena dampak, kesempatan untuk memperbaiki desain dan pelaksanaan program publik dan proyek, dan pada
67
tingkat
yang
berbeda,
efektivitas kebijakan
dan
institusi menimpa
perekonomian secara keseluruhan mungkin memerlukan dukungan luas dan kerjasama pelaku utama ekonomi yang bersangkutan, (3) prediktabilitas, lingkungan hukum suatu negara harus kondusif untuk pembangunan. Pemerintah harus mampu mengatur dirinya sendiri melalui hukum, peraturan dan kebijakan, yang mencakup hak-hak yang jelas dan tugas, mekanisme untuk penegakan hukum mereka, dan penyelesaian sengketa tidak memihak. Prediktabilitas adalah tentang aplikasi adil dan konsisten dari pelaksanaan hukum dan kebijakan pemerintah. Pentingnya prediktabilitas tidak dapat diabaikan karena, tanpa itu, keberadaan tertib warga dan lembaga tidak mungkin. Prediktabilitas dapat ditingkatkan melalui pengaturan kelembagaan yang tepat, dan (4) transparansi, merujuk ketersediaan informasi kepada masyarakat umum dan kejelasan tentang peraturan dan keputusan pemerintah, Hal ini dapat diperkuat melalui hak warga negara terhadap informasi dengan tingkat keberlakuan hukum. Transparansi dan pengungkapan dalam pengambilan keputusan pemerintahan dan pelaksanaan kebijakan publik mengurangi ketidakpastian dan dapat membantu menghambat korupsi di antara pejabat publik. Terkait dengan tata kelola dalam BPP, maka baik unsur-unsur yang dikembangkan oleh BAN-PT dan ADB substansi dan semangatnya adalah sama, yaitu membangun pemerintahan bersih dan kepalayanan yang baik bagi seluruh masyarakat dan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Tetapi dalam aplikasinya, BAN-PT memang terlihat lebih fokus pada akreditasi untuk lembaga-lembaga pendidikan dengan indikator seperti di atas, sedangkan ADB lebih banyak fasilitasi dan mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik dengan pendekatan keempat indikatornya. Kepemimpinan Kepemimpinan yang kuat (strong leadership) yang dapat memengaruhi seluruh perilaku individu dan kelompok dalam pencapaian tujuan organisasi. Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang visioner, yang mampu merumuskan dan mengartikulasi visi yang realistik, kredibel, dan menarik tentang masa depan.
68
Kepemimpinan pada dasarnya mengacu pada apa yang dikenal dengan Hasta Brata, trilogy kepemimpinan dari Tri Dharma dengan gaya paternalistik dan otoritatif. Pemimpin di Indonesia memiliki peran sebagi bapak yang bersifat bijaksana dan jujur. Karakteristik kepemimpinan Hasta Brata disebut juga sebagai delapan perilaku pemimpin, yaitu : (1) bintang: memberika inspirasi; (2) matahari: jujur, memotivasi dan memiliki daya atau spirit; (3) bulan: memiliki ambisi, memberi arah dan tuntunan; (4) angin: lincah, akurat, menyukai kerja bersama dan menciptakan nuansa yang menyenangkan; (5) api : kuat dan menentukan; (6) awan : jujur, adil dan terbuka; (7) lautan : lapang dan berpandangan luas; dan (8) bumi: bersifat keras dan dapat diandalkan (Gani, 2004) Elemen yang dinilai dalam kepemimpinan untuk keunggulan mutu BPP adalah kepemimpinan yang mampu mengarahkan dan memengaruhi perilaku semua unsur dalam BPP, mengikuti norma, nilai, etika dan budaya organisasi BPP yang disepakati bersama, serta mampu membuat keputusan yang tepat dan cepat. Kepemimpinan
mampu
memprediksi
masa
depan,
merumuskan
dan
mengartikulasi visi yang realistik, kredibel, serta mengkomunikasikan visi ke depan, yang menekankan pada keharmonisan hubungan manusia dan mampu menstimulasi secara intelektual dan arif bagi anggota untuk mewujudkan visi organisasi, serta mampu memberikan arahan, tujuan, peran, dan tugas kepada seluruh unsur di BPP. (BAN-PT, 2008). Faktor-faktor yang memengaruhi
manajer atau pemimpin mencakup
tingkat manajemen, ukuran unit organisasi, fungsi unit, saling ketergantungan lateral, kondisi krisis, dan tahap dalam siklus hidup organisasi. Terlepas dari semua tuntutan dan hambatan, manajer punya beberapa alternatif. Mereka memiliki pilihan dalam aspek apa dari pekerjaan untuk menekankan dan bagaimana mengalokasikan waktu mereka. Umumnya manajer atau pemimpin terlibat dalam empat jenis kegiatan: 1) membangun dan memelihara hubungan, (2) mendapatkan dan memberikan informasi, (3) orang yang memengaruhi , dan (4) pengambilan keputusan (Waldron et al., 1997 dalam Swanson et al., 1997). Mendefinisikan kepemimpinan seperti yang disunting oleh Bernard Bass dalam Terry (2002),
pada
Stogdill’s Handbook of Leadership, bahwa
kepemimpinan merupakan suatu interaksi antar anggota suatu kelompok. Para
69
pemimpin adalah agen perubahan, orang yang tindakannya memengaruhi orang lain lebih dari pada tindakan orang lain memengaruhi mereka. Kepemimpinan terjadi ketika anggota suatu kelompok memodifikasi motivasi atau kompetensi anggota-anggota lain dalam kelompok tersebut. Pada sisi lain, pemahaman kepimimpinan dalam perspektif budaya organisasi Bennis, Mason, Mitroff (1992) menggambarkan kepemimpinan sebagai berikut : peran khusus dimana pemimpin bermain adalah mengusulkan jawaban awal terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana untuk mengoperasikan grup muda secara internal dan eksternal. Setelah pemimpin sudah mengaktifkan grup tersebut, dapat menentukan apakah tindakan tersebut menyelesaikan masalah, bekerja secara efektif dalam lingkungan dan menciptakan sistem internal yang stabil. solusi lain kemudian dapat diusulkan oleh anggota kelompok yang kuat, dan proses pembelajaran budaya yang akan datang diperluas. Namun demikian, kita tidak bisa mengabaikan pentingnya kepemimpinan yang luar biasa di awal dari setiap proses kelompok. Salah satu mekanisme yang paling kuat bahwa pemimpin telah bersedia untuk mengkomunikasikan apa yang mereka percaya atau yang
tidak dipeduli adalah apa yang mereka perhatikan secara
sistematis. Hal ini dapat berarti bahwa apa yang mereka perhatikan dan komentari pada apa yang mereka ukur, kendalikan, penghargaan, dan dengan cara lain menangani secara sistematis, bahkan komentar santai dan pertanyaan yang secara konsisten diarahkan untuk daerah tertentu dapat sebagai mekanisme kontrol formal dan pengukuran yang ampuh. Kepemimpinan adalah kemampuan memengaruhi anggota organisasi ke arah tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek yang telah disepakati dan tertuang dalam visi, misi, dan tujuan organisasi, serta kemampuan mengambil keputusan-keputusan yang terukur dan bijaksana untuk tindakan-tindakan dalam upaya mencapai tujuan organisasi serta kemampuan menciptakan proses pembelajaran budaya organisasi yang dinamis dan berkelanjutan. Sistem Pengelolaan Sistem pengelolaan yang berorientasi pada perinsip pengelolaan BPP sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sistem pengelolaan memungkinkan
70
terbentuknya sistem administrasi yang berfungsi untuk memelihara efektifitas, efisiensi, dan produktivitas dalam upaya perwujudan visi, pelaksanaan misi, dan pencapaian tujuan serta memelihara integritas BPP. Implementasi
sistem
pengelolaan yang baik dicerminkan dari baiknya sistem pengelolaan fungsional BPP, yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengembangan staf, pengarahan, pengawasan, monitoring dan evaluasi, terutama dalam penggunaan sumberdaya BPP, agar tercapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan programa penyuluhan pertanian dalam WKBPP masing-masing. Sistem pengelolaan yang dikembangkan dapat menjamin berkembangnya kebebasan dan otonomi staf dan penyuluh BPP, serta mendorong kemandirian dalam penyelenggaraan programa penyuluhan pertanian, personalia, keuangan dan seluruh sumberdaya yang diperlukan untuk meraih keunggulan mutu yang diharapkan. Untuk itu, BPP harus memiliki perencanaan yang matang, struktur organisasi yang tugas pokok dan fungsinya serta personil yang sesuai, program pengembangan staf yang operasional, dilengkapai dengan berbagai pedoman dan manual yang dapat mengarahkan dan mengatur BPP serta sistem pengawasan, monitoring dan evaluasi yang kuat dan transparan. Elemen yang dinilai pada sistem pengelolaan fungsional dan operasional BPP efektif (planning, organizing, staffing, leading, controlling, serta operasi internal dan eksternal) (BAN-PT, 2008). Pada dasarnya sistem pengelolaan ini adalah melaksanakan fungsi-fungsi manajemen agar dicapai keselarasan dan koordinasi diantara struktur dan fungsi atau proses dan perilaku dalam organisasi untuk mewujudkan tujuan organisasi yang tercermin dalam visi, misi, dan tujuan organsiasi. Sumberdaya Manusia Jumlah Staf Jumlah staf dalam pembahasan ini dimaksudkan untuk melihat tingkat kemamadaian jumlah staf di BPP dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Bagi organisasi seperti BPP jumlah staf yang dibutuhkan sangat terkait dengan jabatan yang akan diisi dan kemampuan yang dibutuhkan jabatan tersebut atau dengan kata lain jumlah staf harus sesuai dengan jumlah beban kerja, dalam hal
71
ini bahwa beban dan jenis pekerjaan harus proporsional dengan jumlah staf yang melaksanakan pekerjaan tersebut. Keseimbangan antara jumlah staf dengan kebutuhan dan tuntutan pekerjaan akan memengaruhi
kinerja staf dalam
menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Idealnya untuk memperoleh jumlah staf yang sesuai dengan kebutuhan organisasi sangat tergantung pada perencanaan sumberdaya manusia organisasi tersebut. Dari lima langkah perencanaan sumberdaya manusia, langkah analisis dari kualifikasi tugas yang akan diemban oleh tenaga kerja menjadi penting (Sule dan Saefullah, 2008). Langkah ini merupakan upaya pemahaman atas kualifikasi kerja yang diperlukan untuk pencapaian rencana srategis organisasi. Pada tahap ini, ada tiga hal yang biasanya dilakukan, yaitu analisis kerja atau lebih dikenal dengan analisis jabatan (job analysis), deksripsi kerja (job description) dan spesifikasi kerja atau lebih dikenal dengan spesifikasi jabatan (job specification). Analisis jabatan merupakan persyaratan detail tentang jenis pekerjaan yang diperlukan serta kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan untuk mampu menjalankannya. Deskripsi jabatan meliputi rincian pekerjaan yang akan menjadi tugas tenaga kerja tersebut. Spesifikasi jabatan merupakan rincian karakteristik atau kualifikasi yang diperlukan bagi tenaga kerja yang dipersyaratkan. Jumlah staf pada sebuah organisasi sangat tergantung pada hasil kualifikasi yang dibutuhkan untuk pekerjaan tersebut. Bahwa staf yang direkrut atau staf yang ditugaskan pada jabatan tertentu atau pekerjaan tertentu harus sesuai dengan persyaratan jenis pekerjaan, kualifikasi staf yang dibutuhkan dan kualifikasi rincian staf yang memenuhi syarat. Ketidaksesuaian ketiga kualifikasi dengan jenis staf dan jumlah staf yang ada pada organisasi akan berpengaruh terhadap kinerja organisasi, termasuk jika BPP menempatkan jumlah staf yang tidak sesuai (lebih atau kurang) sesuai yang dipersyaratkan kulaifikasi pekerjaan atau jabatan tersebut maka akan berpengaruh terhadap kinerja BPP. Pendidikan Formal Pendidikan formal adalah jenjang pendidikan secara formal yang ditempuh seseorang melalui sekolah sampai perguruan tinggi sesuai jenjangnya. Pendidikan formal yang ditempuh seseorang adalah upaya meningkatkan kemampuan pengetahuan dan keterampilannya sebagai modal kecakapan hidup.
72
Tingkat pendidikan menurut Schram dalam Amri Jahi (1988), menyatakan bahwa pendidikan merupakan faktor yang menentukan untuk mendapatkan pengetahuan. Pendidikan juga melengkapi segmen-segmen tertentu dengan keterampilan berkomunikasi yang diperlukan. Sejalan dengan hal tersebut, Tichenor dalam Rogers (1976) mengemukakan bahwa kenaikan tingkat pendidikan formal memberikan keanekaragaman dan perluasan ruang kehidupan. Atau dapat dikatakan pendidikan menggambarkan kemampuan kognitif seseorang serta pengetahuan yang mereka miliki. Pendapat lain yang mengemukakan bahwa pendidikan sebagai upaya proses memperoleh pengetahuan untuk merubah taraf hidup seseorang yaitu apa yang dinyatakan oleh Houle (1975), yaitu pendidikan merupakan proses pengembangan pengetahuan, keterampilan maupun sikap individu yang dilakukan secara terencana, sehingga diperoleh perubahan-perubahan dalam meningkatkan taraf hidupnya. Sedangkan Wiraatmadja (1977), mengemukakan bahwa pendidikan adalah usaha untuk mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang sudah diakui dan direstui oleh masyarakat. Selanjutnya
Gilley
dan
Enggland
(1989)
menjelaskan
bahwa,
konsep
behavioristik dari kinerja manusia dan konsep pendidikan menjadi dasar bagi pengembangan sumberdaya manusia, orientasi ini menekankan pada pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk tujuan meningkatkan produktivitas dan efisiensi organisasi. Pendidikan formal sumberdaya manusia BPP adalah gambaran jenjang atau tingkat pendidikan yang telah ditempuh staf BPP secara resmi atau formal mulai dari SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi, yang dibuktikan dengan surat tanda kelulusan berupa ijazah. Pendidikan formal yang semakin tinggi diharapkan memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang lebih memadai untuk menjalankan tugas pokok dan fugsinya sebagai staf BPP dan begitulah seharusnya dan tentu bukan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Slamet (1992) bahwa, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, ada kecenderungan semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan keterampilan, efisien bekerja dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik dan lebih menguntungkan.
73
Berdasarkan pemikiran di atas maka dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Pendidikan formal yang diikuti seorang penyuluh dapat memengaruhi kinerja penyuluh, karena dengan pendidikan formal yang ada seorang penyuluh dapat meningkatkan kinerjanya sesuai dengan job description yang diberikan kepadanya. Tingkat pendidikan yang tinggi seorang penyuluh dapat menyusun strategi pekerjaan sebagai bagian dari penyelesaian tugas-tugasnya. Pelatihan Teknis Pelatihan teknis yang diperuntukkan bagi staf, baik yang diselenggarakan internal organisasi maupun diselenggarakan oleh pihak-pihak lain yang terkait selalu
dimaksudkan
untuk
meningkatkan
kapasitas
anggota
organisasi.
kesempatan untuk mengikuti pelatihan teknis bagi anggota organisasi tidak terbatas kepada anggota tertentu saja, tetapi bagi seluruh anggota organisasi, individu, kelompok dan tenaga bantu yang sudah lama menjadi anggota organisasi. kesempatan mengikuti atau mengikutkan anggota organisasi dalam pelatihan dimaksudkan untuk membangun karakteristik individu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Amri Jahi dan Newcomb (1981) bahwa, pelatihan dapat dilakukan pada individu, kelompok, organisasi volunteer yang telah mengemban tugas sejak lama, hal ini bertujuan untuk memperbaharui diri bagi individu maupun berkelompok. Aspek-aspek di dalam pelatihan diantaranya dapat membangun karakteristik dari seorang, yang terdiri dari: (1) mengerti akan posisi dan tanggung jawab pada tugas dan pekerjaaan, (2) mengerti terhadap prosesproses pekerjaan yang harus dijalani, (3) memahami bahwa peranan masyarakat terhadap kegiatan kerelawanan juga sangat penting, (4) memahami operasional tugas, (5) mampu membuat perencanaan yang dapat memulihkan atau menolong client, (6) memahami bagian dari perencanaan serta, bagaimana pengaruhnya terhadap tujuan yang akan dicapai, (7) berusaha untuk dapat membaur dengan masyarakat
yang
ditolong,
(8)
memahami
demografi
wilayah
kerja,
(9) memahami situasi sosial wilayah kerja, (10) memahami bagaimana proses berkomunikasi yang efektif pada masyarakat, (11) professional dalam bekerja, (12) berusaha mencapai tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat secara bersama dan (13) berpengalaman ketika berada di dalam wilayah kerja untuk pertama kali.
74
Pelatihan dari segi pandangan proses pembelajaran (learning process) dan pentingnya pelatihan tersebut dikemukan masing-masing oleh Senge et al., (1994) bahwa pelatihan memungkinkan orang-orang pada semua tingkatan untuk belajar menghasilkan perubahan positif bagi diri mereka, untuk
lingkungan mereka
sendiri dan bagi keseluruhan organisasi. pelatihan secara formal berhubungan dengan dua pengakuan penting, yaitu: Pertama. kita menggunakan pelatihan untuk mengkomunikasikan mengapa dan bagaimana perusahaan/organisasi sedang melakukan perubahan; hal itu menekankan pada tindakan yang penuh arti pada tindakan yang sudah berlangsung secara informal dalam perusahaan/ organisasi. Kedua. kebanyakan orang-orang masih peduli budaya perubahan pada perusahaan/organisasi. Chester I Barnard dalam Winardi, (2005), dalam karyanya berjudul The Functions of The Executive, sangat menganjurkan pelatihan bagi karyawan, proses-proses kelompok, dan hubungan menejemen yang memajukan kerjasama antara para karyawan dengan para superpisor mereka. Jacius (1968) mengemukakan “istilah pelatihan menunjukkan suatu proses peningkatan sikap, kemampuan dan kecakapan dari para pekerja untuk menyelenggarakan pekerjaan secara khusus”. Ungkapan ini menunjukkan kegiatan pelatihan
merupakan proses
membantu
peserta belajar
untuk
memperoleh keefektifan dalam melakukan pekerjaan mereka baik pada saat sekarang maupun masa yang akan datang melalui pengembangan kebiasaan pikiran dan tindakan-tindakan, kecakapan, pengetahuan serta sikap. Hickerson dan Middleton (1975) mendefinisikan pelatihan adalah suatu proses belajar, tujuannya untuk mengubah kompetensi kerja seseorang, sehingga berprestasi lebih baik dalam melaksanakan pekerjaannya. Pelatihan dilaksanakan sebagai usaha untuk memperlancar proses belajar seseorang, sehingga bertambah kompetensinya melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikapnya dalam bidang tertentu guna menunjang pelaksanaan tugasnya. Pelatihan teknis adalah usaha membangun karakteristik seseorang melalui proses belajar dalam bentuk pelatihan penjenjangan maupun pelatihan teknis yang berkaitan dengan pekerjaan dan tugas pokonya dan fungsinya agar dimiliki kemampuan mengkomunikasikan perubahan, meningkatkan kerjasama, efektif
75
dalam melaksanakan pekerjaan, kompetensinya meningkat dan kemampuan pengambilan keputusan. Bila karakteristik staf meningkat melalui pelatihan maka akan mengalami perbaikan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, seterusnya tujuan organisasi dapat dicapai dan pada akhirnya akan meningkatkan kinerja individu. Apabila kinerja para staf melalui pelatihan dapat ditingkatkan, maka dengan sendirinya pelatihan akan berpengaruh terhadap kinerja BPP. Penempatan Staf Penempatan staf terkait dengan kesesuaian antara keahlian atau kecakapan staf dengan pekerjaan atau tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan dengan baik. Karena itu, penempatan staf harus sesuai dengan tuntutan pekerjaan agar diperoleh hasil yang diinginkan organisasi. sebagai upaya mendekatkan kesesuaian antara pekerjaan yang akan dilakukan dengan staf yang cakap untuk tugas atau pekerjaan tersebut, maka menurut Memorial dalam Cahyono, (1996) bahwa penempatan staf merupakan pendekatan teori sumberadaya manusia yang mensyaratkan bahwa penempatan sesorang untuk menduduki posisi tertentu pekerjaan harus didasarkan pada Job Analysis dan Job Description, hal tersebut diperkuat dengan definisi singkat mengenai penempatan sumberdaya manusia, bahwa “Pleacement means macthing or fitting a persons qualifications and, job requirrements.” Penempatan staf tidak hanya sekedar mendudukkan orang pada pekerjaan tertentu sesuai dengan kualifikasinya, tetapi dibutuhkan telaahan yang sungguhsungguh terhadap kesiapan staf yang akan menduduki jabatan tersebut dan bekerja bersama dengan yang lainnya. Karena itu, Sule dan Saefullah, (2008) menekankan bahwa perlu digaris bawahi adaptasi merupakan hal yang alamiah untuk dilakukan oleh tenaga kerja manapun di perusahaan atau organisasi manapun. Oleh karena itu, perusahaan atau organisasi perlu benar-benar memastikan bahwa tenaga kerja yang baru direkrutnya benar-benar siap untuk bergabung dengan perusahaan atau organisasi, tidak saja dilihat dari sisi kualifikasinya, akan tetapi juga dari kesiapannya untuk bekerja secara tim. Menurut teori manajemen sumberdaya manusia yang dimaksud dengan penempatan
adalah
penugasan
seseorang
untuk
menduduki
jabatan,
76
menyelenggarakan fungsi, dan menjalankan aktivitas tertentu. Penempatan adalah alokasi sumberdaya manusia untuk melakukan pekerjaan tertentu. Definisi tersebut memperlihatkan bahwa penempatan berlaku bagi para karyawan baru yang menempuh maupun yang tidak menempuh program orientasi serta karyawan lama yang mengalami promosi, alih tugas, alih wilayah, atau demosi. Bagi karyawan baru, penempatan tugas yang sesuai dengan pengetahuan, keterampilan, pengalaman, minat, dan bakat penting mendapat perhatian karena membuat karyawan betah berkarya pada perusahaan dan terdorong menampilkan kinerja yang memuaskan. Promosi bagi karyawan lama yang telah menunjukkan kemampuan, dedikasi, loyalitas dan kinerja yang baik merupakan bagian dari perlakuan objektif dan rasional. Setiap karyawan mendambakan promosi sebagai wujud penghargaan perusahaan kepadanya sekaligus membuktikan keberhasilannya meniti karir. Oleh karena itu, makin banyak organisasi yang mempromosikan karyawannya berdasarkan kinerja masa lalu dan potensi di masa depan, bukan berdasarkan senioritas semata. Memang benar, promosi berdasarkan senioritas tidak mungkin dihilangkan sama sekali, terutama jika senioritas digabung dengan penampilan kinerja yang memuaskan. promosi berdasarkan senioritas semata berarti hanya menghargai masa kerja (Siagian, 2004). Dilihat dari sudut pandang manajemen sumberdaya manusia, Swanson, (1997) mengemukakan pentingnya kedudukan penempatan, bahwa sebuah aspek kunci dari mengelola perusahaan dewasa atau organisasi penyuluhan
adalah
untuk menemukan orang yang tepat pada pekerjaan yang tepat. Sebagian besar kesuksesan seseorang sebagai manajer terkait dengan perencanaan sumberdaya manusia yang tepat, terlepas dari apakah itu mempekerjakan sekretaris atau instruktur untuk pekerjaan tertentu. Penempatan staf adalah menempatkan orang yang telah dipilih melalui seleksi untuk menjadi staf dan menempatkannya pada pekerjaan tertentu sesuai dengan kualifikasi dirinya dan tuntutan pekerjaan atau jabatan yang tersedia dan siap untuk bekerjasama sebagai tim. Penempatan tidak hanya berlaku bagi orang baru yang direkrut, tatapi juga bagi staf yang telah lama bekerja dalam bentuk promosi dan demosi.
77
Kemampuan memilih staf yang mempunyai kualifikasi sesuai dengan job analysis dan job description dan menempatkannya ditempat yang tepat atau memilih staf yang telah ada dan mempromosikannya atau mengalihkan tugas baru kepadanya secara tepat, maka akan berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Pengembangan Staf Pengembangan staf dalam tulisan dimaksudkan adalah meningkatkan kapasitas staf baik melalui pendidikan, pelatihan dan penugasan dalam dan luar organsasi. Pengembangkan staf penting untuk membantu staf mengembangkan potensi yang dimilikinya dan membantu organisasi mencapai tujuannya. Selain itu, staf adalah sumberdaya penting dan strategis (sumberdaya manusia) karena merupakan roh yang menghidupkan organisasi dan menggerakkan sumberdaya lainnya dalam organisasi. Pengembangan staf menjadi penting sebagaimana
dikemukakan oleh
Siagian (2004) bahwa salah satu konsekuensi pandangan bahwa sumberdaya manusia merupakan resource yang paling strategis yang terdapat dalam perusahaan adalah investasi insani (human investment) merupakan investasi terpenting yang mungkin dilakukan oleh suatu perusahaan atau organisasi . Selanjutnya dikemukakan bahwa paling tidak terdapat tujuh alasan diselenggarakannya program pelatihan sebagai upaya pengembangan, yaitu: (1) terdapat gejala menurunnya produktivitas karyawan, (2) dalam penyelesaian tugas, karyawan sering berbuat kesalahan sehingga pekerjaannya harus ditolak karena tidak memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan, (3) timbulnya tantangan baru dalam pelaksanaan tugas pekerjaan karyawan, (4) karena berbagai pertimbangan, terutama untuk peningkatan produktivitas kerja karyawan/staf dan perusahaan/organisasi, karyawan/staf perlu mendapat tugas baru, misalnya promosi, alih tugas, atau alih wilayah, (5) sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, (6) kiranya relevan ditekankan bahwa pelatihan yang diselenggarakan perusahaan tidak selalu merupakan alasan teknis berupa peningkatan keterampilan dalam melaksanakan tugas, baik tugas sekarang maupun di masa depan. Adakalanya timbul masalah-masalah
78
keperilakuan, dan (7) bentuk keperilakuan lain yang mungkin timbul di kalangan para karyawan ialah motivasi yang rendah. Pengembangan staf merupakan langkah kelanjutan dari proses penyediaan tenaga kerja yang pada dasarnya bertujuan untuk memastikan dan memelihara tenaga kerja yang tersedia tetap memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan sehingga selaras dengan perencanaan strategi perusahaan/organisasi serta tujuan perusahaan/organisasi dapat tercapai sebagaimana yang direncanakan (Sule dan Saefullah, 2005). Pengembangan staf sesungguhnya bukan hanya ditujukan kepada staf baru, tetapi juga bagi staf atau tenaga kerja yang lama, sehingga pola pengembangan berbeda. Bagi tenaga kerja yang baru, program pengembangan ini biasanya diakomodasi melalui program orientasi perusahaan di mana dalam program ini tenaga kerja di perkenalkan pada lingkungan kerja perusahaan baik secara internal maupun eksternal perusahaan. Termasuk di dalamnya pengenalan tenaga kerja dengan tenaga kerja lainnya sehingga proses kerja secara tim bisa dibentuk sejak awal. Bagi tenaga kerja yang lama, upaya untuk tetap memelihara produktivitas, efektivitas dan efisiensi perlu terus dilakukan untuk memastikan tenaga kerja tetap terpelihara kualifikasinya. Pengembangan staf dapat dilakukan melalui program – program pelatihan dan pendidikan formal. Program pelatihan umumnya lebih banyak dipilih oleh perusahaan/organisasi karena lebih praktis dari sisi waktu dan pelaksanaan serta biaya yang tidak terlalu mahal. Sedangkan pengembangan staf melalui jalur pendidikan jarang sekali dilakukan karena biayanya terlalu mahal dan waktunya cukup lama. Selain program pelatihan motivasi, studi di dalam negeri maupun ke luar negeri. Secara garis besar program pengembangan tenaga kerja dapat dibagi dua, yaitu on the job dan off the job. (Sule dan saefullah, 2005). Metode On the job bisa berupa kegiatan-kegiatan, seperti: (1) coaching, yaitu program berupa bimbingan yang diberikan atasan kepada bawahan mengenai berbagai hal yang terkait dengan pekerjaan; (2) planned progression, yaitu program berupa pemindahan tenaga kerja kepada bagianbagian lain melalui tingkatan-tingkatan organisasi yang berbeda-beda; (3) job rotation, yaitu program pemindahan
79
tenaga kerja ke bagian yang berbeda-beda dan tugas yang berbeda-beda, agar tenaga kerja lebih dinamis dan tidak monoton; (4) temporary task, yaitu berupa pemberian tugas pada suatu.kegiatan atau proyek atau jabatan tertentu untuk periode waktu tertentu; serta (5) program penilaian prestasi atau performance appraisal. Adapun metode Off the job yang dapat dilakukan di antaranya, adalah: (1) executive development programme, yaitu berupa program pengiriman manajer atau tenaga kerja untuk berpartisipasi dalam berbagai program-program khusus di luar perusahaan yang terkait dengan analisis kasus, simulasi, maupun metode pembelajaran lainnya; (2) laboratory training, yaitu berupa program yang ditujukan kepada tenaga kerja untuk mengikuti program-program berupa simulasi atas dunia nyata yang terkait dengan kegiatan perusahaan di mana metode yang biasanya digunakan adalah berupa role playing, simulasi, dan lainlain; dan yang terakhir (3) organizational development, yaitu program yang ditujukan kepada tenaga kerja dengan mengajak mereka untuk berpikir mengenai bagaimana cara memajukan organisasi atau perusahaan mereka. Pengembangan staf selain untuk menjamin dan memelihara kualifikasi staf dengan tuntutan pekerjaan atau jabatan yang dipercayakan kepadanya juga merupakan salah satu cara pengembangan karir staf.
pengembangan karir
mengacu pada pengembangan karir individu dalam organisasi secara keseluruhan. Sebuah lembaga publik yang besar, sebagian staf tradisional telah direkrut pada awal karir mereka dan tetap sampai pensiun. Pada perjalanan karir mereka, cenderung melakukan sejumlah pekerjaan yang berbeda, terutama jika mereka berada dalam suatu posisi tertentu, administrasi profesional atau manajerial. Urutan kegiatan sumberdaya manusia menyiratkan bahwa hanya individu yang bergerak dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dengan membuat aplikasi pekerjaan, seolah-olah dia bergabung dalam organisasi untuk pertama kalinya. Banyak lembaga yang percaya bahwa mereka harus mengembangkan karir individu sehingga lembaga tersebut mendapatkan manfaat maksimal dari jasanya, dan harus menyediakan kesempatan untuk pengembangan karir individu (Kirkpatrick, Clarke, Polidano, 2002).
80
Pengembangan staf bagaimanapun juga memerlukan pembiayaan yang cukup besar, baik dalam bentuk on the job maupun off the job maupun dalam bentuk pendidikan. Namun, perlu juga diingat bahwa program pengembangan yang dilaksanakan dengan baik juga akan memberi dampak yang baik berupa meningkatnya kemampuan dan kualifikasi staf yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas staf dan peningkatan tersebut akan meningkatkan produktivitas perusahaan/organisasi. Pengembangan staf berlaku baik bagi staf baru maupun staf lama. Pengembangan staf baru dilakukan melalui orientasi membangun kerjasama tim dalam organisasi, pengembangan staf lama dilaksanakan melalui pelatihan dan studi atau pendidikan untuk menjaga kesesuaian kualifikasi dengan tanggung jawab jabatan atau pekerjaannya. Pengembangan staf dengan kedua polanya, yaitu melalui orientasi dan pendidikan atau pelatihan (on the job dan off the job), selain menjaga kesesuaian kualifikasi staf dengan jabatan atau pekerjaannya juga dapat mengembangkan karir staf. Pengembangan staf dapat mendorong kinerja individu dan dengan sendirinya mendorong pula kinerja organisasi. maka dapat dikatakan bahwa pengembangan staf memengaruhi kinerja organisasi. Sarana dan Pembiayaan Sarana yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sarana sebagai alat dan bahan untuk menunjang dan memperlancar kegiatan yang dilakukan kantor BPP. Ketersediaan, kelengkapan, dan kecukupan serta kemudahan penggunaan sarana yang dimasksud, seperti : alat tulis kantor, kearsipan, ketersediaan meja dan kursi, ketersediaan komputer, dan ketersediaan kendaraan akan sangat membantu serta menunjang terlaksananya pekerjaan dengan baik di kantor BPP. Apabila sarana tersedia cukup memadai dan dapat diakses oleh staf untuk digunakan dimana diperlukan pada waktu yang tepat, maka baik pekerjaan administrasi perkantoran maupun pekerjaan pelayanan publik (penyuluhan) dapat terlaksana dengan baik. Kalau pekerjaan tersebut dapat dekerjakan sesuai standar yang diinginkan maka tentu saja akan memperbaiki kinerja staf atas kriteria pekerjaanya. Sarana sebagai alat penunjang keberhasilan pada suatu pekerjaan yang dilakukan baik untuk kepentingan administrasi kantor maupun untuk pekerjaan
81
pelayanan publik. Sarana tersebut harus tersedia cukup memadai untuk mencapai hasil yang diharapkan dari pekerjaan sesuai yang direncanakan. Moenir (1992) dalam Laodesyamri (2011) mengemukakan bahwa sarana adalah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja dan fasilitas yang berfungsi sebagai alat utama/pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan, dan juga dalam rangka kepentingan yang sedang berhubungan dengan organisasi kerja. Berdasarkan pengertian di atas, maka sarana pada dasarnya memiliki fungsi utama sebagai berikut : (1) mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan sehingga dapat menghemat waktu, (2) meningkatkan produktivitas, baik barang dan jasa, (3) hasil kerja lebih berkualitas dan terjamin, (4) lebih memudahkan/ sederhana dalam gerak para pengguna/pelaku, (5) ketepatan susunan stabilitas pekerja lebih terjamin, (6) menimbulkan rasa kenyamanan bagi orang-orang yang berkepentingan, dan (7) menimbulkan rasa puas pada orang-orang yang berkepentingan yang mempergunakannya. Pengoperasian suatu organisasi bisnis hanya mungkin terjadi apabila perusahaan yang bersangkutan memiliki berbagai sarana dan prasarana kerja, yang dibutuhkannya. Teori klasik manajemen menekankan bahwa sarana dan prasarana yang dibutuhkan itu terdiri dari sumberdaya manusia (man), modal dan dana (money), bahan (materials), mesin-mesin (machines), metode dan prosedur kerja (methods) dan pasar (market). Meskipun teori klasik tetap diakui kebenarannya, dewasa ini dirasakan perlu ditambah dengan tiga sarana lain yaitu energi (energy), waktu (time), dan informasi (information) (Siagian, 2004). Hal-hal yang perlu mendapat penekanan dalam pemanfaatan berbagai sarana kerja tersebut di muka adalah sebagai berikut : (a) perhatian terhadap resource yang paling strategis harus semakin besar (sumberdaya manusia); (b) sebagai sarana kerja, uang mutlak perlu dikelola dan dimanfaatkan berdasarkan prinsip efisiensi; (c) Sebagai upaya menghasilkan produk, suatu perusahaan menggunakan mesin-mesin, mulai dari yang sederhana hingga yang sangat canggih; (d) bahan mentah atau bahan baku yang diperlukan; (e) metode dan prosedur kerja biasanya menyangkut dua hal utama, yaitu tata cara kerja yang perlu diikuti dalam menyelenggarakan kegiatan tertentu dan peraturan permainan yang berlaku bagi semua orang dalam satu organisasi; (f) mengenai pasar;
82
(g) energi listrik dan bahan bakar merupakan energi yang makin banyak diperlukan dan digunakan tetapi makin mahal dan makin langka; (h) waktu sebagai aset perusahaan; dan (i) Informasi sebagai sumberdaya penting (Siagian, 2004). Kearsipan merupakan aktivitas administrasi yang dilaksanakan oleh staf sebagai suatu proses penyimpanan, penempatan, dan pemeliharaan pada sebuah wadah tertentu, yang dapat dengan mudah untuk dilihat dan diambil apabila diperlukan. Kearsipan yang dimaksud dalam konteks BPP adalah pelaksanaan dan penataan administrasi atau arsip yang tertata dan tersimpan dengan baik sebagai hasil dari pekerjaan berupa dokumen perencanaan atau surat yang terkait dengan kantor BPP. Menurut The World of Library (2010), kearsipan adalah suatu proses mulai dari penciptaan, penerimaan, pengumpulan, pengaturan, pengendalian, pemeliharaan dan perawatan serta penyimpanan warkat menurut sistem tertentu. Saat dibutuhkan dapat dengan cepat dan tepat ditemukan. Bila arsip-arsip tersebut tidak bernilai guna lagi, maka harus dimusnahkan. Kearsipan memegang
peranan penting
bagi
kelancaran
jalannya
organisasi, yaitu sebagai sumber informasi dan sebagai pusat ingatan bagi organisasi. Adapun keunggulan dan fungsi yang dapat dilihat dari sistem penanganan kearsipan setiap organisasi, yaitu: (1) Aktifitas kantor/organisasi akan berjalan dengan lancar, (2) dapat dijadikan bukti-bukti tertulis apabila terjadi masalah, (3) dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi secara tertulis, (4) dapat dijadikan bahan dokumentasi, (5) dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya, (6) sebagai alat pengingat, (7) sebagai alat penyimpanan warkat, (8) sebagai alat bantu perpustakaan diorganisasi apabila memiliki perpustakaan, (9) merupakan alat bantuan yang berguna bagi pimpinan dalam menentukan kebijaksanaan organisasi, dan (10) Kearsipan berarti penyimpanan secara tetap dan teratur warkat-warkat penting mengenai kemajuan organisasi. Perkembangan manajemen pada saat ini sudah menuntut pemakaian teknologi dengan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) yang canggih, yaitu komputer. Peralatan ini tidak dapat dihindari lagi penggunaanya oleh setiap kantor atau instansi dan perusahaan, karena
83
kemampuannya mengerjakan fungsi manajemen dalam organisasi dalam hal menyimpan, mengolah, dan menganalisis data secara cepat dengan berbagai macam program sesuai kebutuhan. Setiap organisasi selalu melakukan aktivitas manejemen yaitu upaya manusia untuk menggerakkan dan mengkombinasikan berbagai sumberdaya untuk meraih hasil dalam lingkungan yang selalu berubah. Para staf dan pimpinan selalu membuat perencanaan, dalam membuat perencanaan tersebut informasi harus selalu dikumpulkan, diolah, dianalisis, dan ditindaklanjuti. Komputer dapat dimanfaatkan oleh staf dan pimpinan untuk memperoleh informasi secara cepat dalam pengambilan keputusan, menghemat waktu dalam melaksanakan tugas rutin perkantoran, dan membantu mengolah dan menganalisis data yang banyak dan rumit (adjid, 2001). Komputer dapat membantu manejemen organisasi yang dikendalikan oleh staf dan pimpinan untuk terus memperbaiki penyelenggaraan manajemen penyuluhan, mengembangkan program penyuluhan dan meningkatkan mutu evaluasi penyuluhan. Ketersediaan Kendaraan Ketersediaan kendaraan bagi kantor BPP sangat penting, karena kendaraan adalah alat transportasi yang dapat menunjang mobilitas staf dan penyuluh dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Ketersediaan kendaraan baik roda dua maupun roda empat hendaknya tersedia dengan memadai karena tugas pokok dan fungsi BPP yang lebih utama adalah kegiatan penyelenggaraan penyuluhan. Kegiatan tersebut memerlukan mobilitas yang tinggi, mengingat WKBPP cukup luas dengan medan yang beragam maka ketersediaan kendaraan harus disesuaikan jumlah dan jenisnya agar dapat menunjang aktivitas BPP dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sehigga BPP dapat mencapai tujuannya. Ketersediaan kendaraan sebagai alat transportasi bagi staf BPP dapat membantu dalam hal meringankan penggunaan tenaga dan tidak terlalu melelahkan bagi penyuluh dan dapat datang sesuai dengan jadwal kegiatan yang direncanakan bersama dengan petani. Ketersediaan kendaraan yang dapat membantu mempermudah staf BPP menjalankan aktivitas yang memerlukan mobilitas sesuai dengan rencana yang
84
telah disusun dapat dicapainya target penyelesaian tugas dan tanggungjawab secara tepat waktu dan baik, sehingga mendorong tigkat keberhasilan pekerjaan, terutama dari segi waktu dan fasilitasi mobilitas sumberdaya yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan baik dan tepat waktu. Demikian ketersediaan kendaraan yang dapat membantu keberhasilan pekerjaan yang telah direncanakan oleh BPP berhubungan dengan kinerja BPP. Anggaran Pembiayaan adalah anggaran yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang telah direncanakan oleh kantor BPP. Anggaran adalah sebuah rencana formal komprehensif memperkirakan kemungkinan pengeluaran dan pendapatan untuk organisasi selama periode tertentu. Anggaran menggambarkan keseluruhan proses persiapan dan penggunaan anggaran. Karena anggaran adalah alat berharga untuk perencanaan dan pengendalian keuangan, penganggaran memengaruhi hampir semua jenis organisasi pemerintahan dan perusahaan besar sampai usaha kecil serta keluarga dan individu. Penganggaran dapat membantu sebuah perusahaan atau organisasi menggunakan sumber keuangan yang terbatas dan sumberdaya manusia dengan cara menciptakan kreasi aktivitas yang memiliki peluang pemanfaatan secara efisien dan efektif. Pengelolaan penganggaran dapat bermanfaat dalam hal meningkatkan kesadaran biaya, koordinasi dari upaya mencapai tujuan perusahaan atau organisasi, meningkatkan komunikasi, dan kerangka kerja untuk evaluasi kinerja. Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2006. Bab IX tentang pembiayaan, pasal 32 ayat 2 menyebutkan bahwa pembiayaan untuk penyuluhan disediakan melalui APBN, APBD baik provinsi maupun kabupaten/kota, baik secara sektoral maupun lintas sektoral, maupun sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Selanjutnya pada pasal 3 disebutkan bahwa komponen yang dibiayai APBN adalah tunjangan jabatan fungsional dan profesi, biaya operasional penyuluh PNS, serta sarana dan prasarana. Sedangkan penyelenggaraan penyuluhan di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa dibiayai APBD yang jumlah dan alokasinya disesuaikan dengan programa penyuluhan. Penyuluhan swasta dapat dibantu oleh pemerintah dan pemerintah daerah (UU No. 16 Tahun 2006).
85
Anggaran yang dialokasikan untuk item kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi BPP harus memadai untuk menunjang keberhasilan kegiatan sesuai dengan apa yang tertuang dalam program aksi. Ketidakmemadaian jumlah anggaran bagi BPP, maka alokasi anggaran terpaksa harus disesuaikan dan diprioritaskan dengan aktivitas BPP yang memungkinkan untuk dianggarkan. Kedudukan anggaran bagi kantor penyuluhan sangat penting untuk memajukan penyuluhan. Sebuah contoh kasus penganggaran di China setelah dilakukan reformasi penyuluhan, hasil penelitian memperlihatkan semakin minimnya
alokasi anggaran untuk kantor penyuluhan. Penganggaran pada
reformasi sistem penyuluhan di China tidak hanya pemerintah daerah memotong dana pada Public Agricultural Extension System (PAES), tetapi juga pemerintah pusat dan pemerintah provinsi berinvestasi hanya sedikit di PAES, dan memotong pendanaan sebagai bagian dari reformasi komersial China. Survei yang telah dilakukan pada 7 provinsi, 28 kabupaten dan 363 kantor penyuluhan, ditemukan bahwa PAES pada tahun 2002, kecuali pada beberapa pusat penyuluhan nasional, pendanaan hanya berasal dari pemerintah daerah dan kota, dan seringkali sangat tidak memadai. Survei tersebut juga menemukan bahwa 77% dari kantor penyuluhan tidak memiliki proyek hibah, yang biasanya berasal dari provinsi. (Ruifa HU et al., 2009). Fungsi anggaran selain alokasi pembiayaan untuk kegiatan, juga merupakan alat perencanaan dan mekanisme kendali bagi organisasi. Perencanaan kegiatan dapat disusun sedemikian rupa, tetapi anggaran menentukan dapat atau tidaknya rencana kegiatan tersebut direalisasikan. Karena itu, dalam menyusun perencanaan sebaiknya disesuaikan antara rencana kegiatan dengan kemampuan anggaran yang tersedia. Begitu juga sebaliknya jika kegiatan tersebut telah dialokasikan anggarannya, maka anggaran harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan peruntukannya, agar kegiatan tersebut terkendali dan mencapai sasarannya. Terkait dengan Anggaran sebagai pembiayaan BPP dalam menyelenggara kan tugas pokok dan fungsinya, Sumardjo (1999) telah menguji konsep keterkaitan kelembagaan pendukung “salah satunya lembaga penyuluhan” dan temuannya memperlihatkan bahwa orientasi lembaga mempunyai kontribusi yang
86
nyata terhadap perkembangan tingkat kemandirian petani. Hasil temuan tersebut dikemukakan salah satu unsur-unsur kelembagaan penyuluhan yaitu “fasiltas” lembaga penyuluhan yang orientasinya pada kemandirian petani adalah biaya terdesentralisasi (cost shering) atau anggaran biaya tidak terpusat. Artinya agar pembiayaan BPP dapat efektif dan efisien dalam memanfaatkan anggaran untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi BPP, maka sebaiknya anggaran untuk membiayai BPP tidak lagi dilakukan secara terpusat, melainkan dapat dilaksanakan secara terdesentralisasi. Anggaran adalah nominal tertentu yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan yang terencana dalam kurung waktu tertentu untuk mencapai tujuan organisasi. apabila niminalnya sesuai dengan jumlah nominal kebutuhan kegiatan yang dibiayai, maka dengan sendirinya kegiatan tersebut dapat berjalan sesuai dengan tujuannya dan selanjutnya akan memberi dampak kinerja pada organisasi. jadi anggaran berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Rencana Strategis Rencana strategis adalah dokumen hasil perencanaan statergi yang dijadikan BPP sebagai titik pijak dalam menjabarkan program dan kegiatan sampai evaluasi pada saat ini sampai masa depan. Sebagai dokumen hasil perencanaan strategis, maka rencana strategis memiliki tahapan-tahapan dalam proses penyusunannya dan proses implementasinya. Beberapa definisi yang dekamukan untuk mendukung pernyataan tersebut, misalnya diawali dengan pengertian perencaanaan oleh Gibson, Ivancevich, Donnely (1984) yang menyatakan bahwa fungsi perencanaan mencakup kegiatan menentukan sasaran yang harus dicapai dan menetapkan alat yang sesuai untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Keharusan fungsi ini timbul dari sifat organisasi sebagai badan yang mempunyai tujuan. Perencanaan strategis adalah proses yang melibatkan semua orang dalam pencocokan nilai-nilai visi, misi dan inti dari sebuah organisasi dengan situasi saat ini untuk memfokuskan kegiatan taktis sekarang dan masa depan. rencana strategis menetapkan arah dan kecepatan untuk seluruh organisasi (Summers, 2009). Dari sisi manajemen, seperti yang dikemukakan oleh Ward dan Peppard,
87
(2009) bahwa Manajemen strategis adalah kombinasi dari perencanaan formal, kreativitas, inovasi, berpikir informal dan oportunisme, yang semuanya harus dimanfaatkan secara efektif dan terpadu. Perencanaan strategis mengacu pada pola tanggapan terhadap lingkungan, termasuk pengerahan sumbardaya, yang memungkinkan organisasi untuk mencapai tujuannya. Ini adalah proses disiplin dan kreatif untuk menentukan dimana organisasi harus berada pada masa depan dan bagaimana untuk mebawanya ke sana (Graf, Hemmasi dan Strong dalam Lusthaus et al., 2002). Selanjutnya dikemukakan bahwa perencanaan strategis memerlukan perumusan dan pelaksanaan kegiatan yang mengarah pada keberhasilan organisasi jangka panjang. Pada dasarnya adalah proses pengambilan keputusan yang melibatkan pencarian jawaban atas pertanyaan sederhana namun kritis dan mendasar : apakah yang dilakukan organisasi? bagaimana melakukan apa yang dilakukannya? Dimana sebaiknya hal itu terjadi di masa depan? Apa yang harus dilakukan sekarang untuk sampai ke sana?. Selanjutnya menurut Hopkins and Hopkins (1997) bahwa perencanaan strategi adalah sebagai proses penggunaan kriteria sistematis dan investigasi yang sangat teliti untuk merumuskan, menetapkan dan mengendalikan strategi serta mendokumentasikan harapan-harapan organisasi secara formal. Berdasarkan pengertian yang dirumuskan di atas maka rencana strategis yang dimaksud dalam hal ini adalah sebuah dokumen perencanaan yang berupa rencana strategis BPP yang berisi visi, misi, tujuan dan strategi, arah kebijakan, program-program, dan kegiatan indikatif. Analisis terhadap konsep perencanaan strategis dengan struktur isi seperti di atas menggambarkan bahwa rencana strategis berpengaruh terhadap kinerja organisasi.
Visi Visi adalah citra masa yang diinginkan. Visi adalah gambaran masa depan yang Anda cari untuk dibuat, dijelaskan dalam waktu sekarang, seolah-olah itu terjadi sekarang. Pernyataan dari "visi kami" menunjukkan di mana kita ingin pergi, dan apakah kita akan seperti ketika kita sampai di sana. Visi hanya salah satu komponen yang membimbing aspirasi sebuah organisasi. Inti dari prinsip
88
tersebut adalah rasa tujuan bersama dan termasuk tujuan semua komponen. visi memberikan arah dan bentuk untuk masa depan organisasi. Membantu orang menetapkan tujuan untuk membawa organisasi lebih dekat pada tujuannya (Sange, 1994). Pengertian visi lainnya dengan berpijak pada analogi arsitek bangunan digambarkan oleh Helgeson dalam Salusu (1998) bahwa visi adalah penjelasan bagaimana rupa yang seharusnya dari suatu organisasi kalau ia berjalan dengan baik, dapat juga diandaikan bagaimana seorang arsitek akan memberi tahu kepada pemilik bagunan, melalui desainnya, rupa dan penampilan dari bagunan itu kalau dikerjakan dengan baik. Pernyataan visi Anda adalah inspirasi Anda, kerangka untuk semua perencanaan strategis Anda. Baik untuk semua atau bagian dari sebuah organisasi, pernyataan visi menjawab pertanyaan, "dimana kita ingin pergi.?" Apa yang anda lakukan saat membuat pernyataan visi adalah mengartikulasikan impian anda dan harapan untuk organisasi anda. Hal ini mengingatkan anda tentang apa yang akan anda coba untuk dibangun, sementara pernyataan visi tidak memberitahu anda bagaimana anda akan ke sana, itu yang mengatur arah untuk perencanaan organisasi anda. pernyataan visi akan memiliki pengaruh besar pada pengambilan keputusan dan cara anda mengalokasikan sumberdaya (Ward, 2000). Merumuskan visi harus secara komprehensif
dan dilakukan secara
bersama-sama oleh anggota organisasi dan mungkin pada saat perumusan visi kadang kita harus berpikir diluar kebiasaan berpikir dan mungkin disitu akan ditemukan kata yang tepat untuk diformulasi menjadi kalimat atau pernyataan visi organisasi. tidak ada formulasi baku dalam perumusan visi, tetapi beberapa pedoman dapat dijadikan bahan rujukan untuk merumuskan visi, diantaranya adalah 3 (tiga) langkah merumuskan visi oleh Ward (2000) sebagai berikut : (a) periksa pernyataan misi anda. Pernyataan misi menjawab pertanyaan, "mengapa kita ada?." Apa Anda lakukan dengan baik? Bagaimana Anda melakukannya?; (b) berani untuk bermimpi. Sebelum anda dapat melakukan perjalanan ke bulan, anda harus melihat bintang-bintang. Untuk menulis sebuah pernyataan visi, fokus pada dasar-dasar
89
pernyataan misi anda dan ekstrapolasi; bagaimana organisasi anda lima tahun dari sekarang? apa yang akan dicapai organisasi anda?; dan (c) bentuk pernyataan visi anda; dengan menerapkan formula. Menulis sebuah pernyataan visi, kita perlu untuk menyaring visi anda ke dalam bentuk yang mudah digunakan. Five years from now,(my company name) will ___________________ by _______________. Visi organisasi adalah sebuah pernyataan yang menggambarkan apa yang organisasi ingin berada di masa depan sebuah ekspresi dari aspirasi organisasi, batu sentuhan terhadap mana semua tindakan, atau tindakan yang diusulkan, dapat dinilai, dan jangka panjang. Visi adalah pernyataan yang mencerminkan tentang apa yang akan diraih pada masa depan yang sifatnya menggugah dan memotivasi sehingga akan terinternalisasi dan menjadi kesadaran bermakna bagi segenap anggota organisasi dan menjadi cita-cita dan landasan utama dalam bertindak. Visi adalah pandangan jauh ke depan, kemana BPP harus dibawa dan bagaimana membawanya agar tetap eksis, antisipatif, inovatif serta produktif dalam menyelenggarakan penyuluhan. Misi Secara hirarkikal, misi dijabarkan dari visi. Kata lainnya, misi menguraikan visi dalam konteks pernyataan yang dapat dioperasionalkan. Sehingga totalitas item pernyataan misi akan menggambarkan visi yang dapat diwujudkan dalam kurung waktu tertentu. Misi berasal dari kata Latin “mittere”, yang berarti untuk melemparkan, melepaskan, atau mengirim. Juga berasal dari bahasa Latin, kata “purpose” (aslinya proponere) dimaksudkan untuk menyatakan. Apakah anda menyebutnya sebagai misi atau tujuan, itu merupakan alasan mendasar bagi keberadaan organisasi. Apa yang kita lakukan bersama di sini? (Senge, 1994). Pernyataan visi sangat beragam. Namun, semua pernyataan misi akan "secara luas menggambar kan kemampuan sebuah organisasi menyajikan, fokus kilien, kegiatan, dan memperbaiki citra organisasi". Perbedaan antara pernyataan misi dan pernyataan visi adalah bahwa pernyataan misi berfokus pada kondisi organisasi sekarang sedangkan pernyataan visi berfokus pada masa depan organisasi (Ward, 2000).
90
Misi haruslah masuk akal dan dipercaya oleh anggota organisasi dan pihak-pihak yang terkait bahwa itu bisa dicapai. Misi yang penuh inspirasi, maka pihak-pihak yang terkait akan dapat mendukungnya. Misi harus mengandung makna motivasi membukt ikan bahwa setiap orang yang bekerja dalam organisasi itu merasa mempunyai peran penting, merasa pekerjaanya berguna dan dihargai sehingga ia terangsang untuk terus memperlihatkan karyanya yang semakin baik (Salusu, 1998). Proses perumusan misi menurut pedoman yang ditawarkan Bryson dalam Salusu (1998) untuk menyusun perumusan misi organisasi secara serius, hendaknya misi disusun oleh suatu kelompok dan bukan satu orang. Sebelum kelompok mulai bekerja, sebuah formulir disiapkan yang memuat pernyataan pokok untuk dijawab. Butir pertanyaan tersebut adalah : siapakah kita? Secara umum, apakah kebutuhan-kebutuhan sosial dan politik yang perlu kita isi, atau apakah masalah-masalah sosial dan politik mendasar yang harus jadi perhatian? Secara umum, apakah yang akan kita perbuat dalam mengantisipasi dan meberi jawaban terhadap kebutuhan dan masalah-masalh tersebut? Apakah gagasan kita terhadap respon pihak-pihak yang berkepentingan dengan organisasi kita? Apakah falsafah dan nilai-nilai hakiki kita? Apakah yang membuat kita khas dan unik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat mendasar sehingga kelompok perumus misi haruslah terdiri atas para pemikir tingkat tinggi dalam organisasi. Adapun langkah-langkah perumusan misi secara sederhana, yaitu: (a) tunjuklah satu orang yang bertanggungjawab untuk mengumpulkan semua pesan, hasrat, keinginan, baik formal maupun informal yang dihadapi organisasi; (b) kelompok membuat analisis mengenai semua pihak yang terkait dengan organisasi tersebut; (c) sesudah analisis pihak-pihak yang terkait rampung, maka tiap anggota mengisi formulir misi dengan rumusan masing-masing; (d) apa yang dirumuskan kelompok tadi haruslah sudah berbentuk rencana misi; (e) kalau pernyataan misi sudah disepakati, pernyataan ini harus dipegang teguh dan dipergunakan sebagai acuan dan petunjuk dalam mengidentifikasi isu-isu strategis, merumuskan startegi efektif, dan dapat memecahkan konflik antara anggota kelompok; (f) segera setelah rumusan akhir dicapai dan dikukuhkan, misi itu harus diperkenalkan kepada semua anggota organisasi ditempatkan sebagai
91
bagian penting dalam berbagai dokumen organisasi, misalnya sebagai preambul, diperbanyak
untuk
bias
dibawa
kemana-mana,
ditempelkan
di
papan
pengemuman agar menjangkau setiap orang yang perlu mengetahuinya. Misi adalah formulasi pernyataan yang dielaborasi dari visi dan bemakna inpiratif serta dapat memotivasi anggota organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Sehingga seluruh anggota organsasi dan pihak terkait dapat mengetahui dan memahami kemana arah organisasi akan melangkah program-program apa dan kegiatan-kegiatan apa yang ditawarkan serta hasil apa yang akan didapat pada waktu yang akan datang. Tujuan dan Sasaran Setelah misi dirumuskan, maka berdasarkan misi yang ada selanjutnya dijabarkan dalam bentuk tujuan dan sasaran. Tujuan lebih kepada apa yang akan dihasilkan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan sasaran adalah rumusan pernyataan yang dijabarkan dari tujuan dan terukur. Tujuan dapat dilihat sebagai sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya dan yang memandu perilaku berikutnya atau sebagai penjelasan yang dikembangkan setelah perilaku tersebut ada untuk membenarkan atau merasionalisasikannya (Robbins, 1994). Tujuan adalah "proses memutuskan apa yang ingin Anda capai dan merancang rencana untuk mencapai hasil yang anda inginkan" (Ward, 2000). Tujuan (goals) merupakan penjabaran atau implementasi dari pernyataan misi. Tujuan adalah hasil akhir yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu satu sampai lima tahun. (LAN dan BPKP, 2000 dalam Nining, 2000). Tujuan biasanya berupa pernyataan umum bahwa proyek apa yang akan dicapai di masa depan. Tujuan adalah sebuah pernyataan yang menjelaskan tindakan tertentu. Kebijakan yang ditentukan untuk membuat panduan keputusan, mereka menetapkan batas atau batas dalam tindakan yang dapat diambil (Waldron et al., 1997 dalam Swanson et al., 1997). Sasaran adalah batasan masalah yang akan dirinci lebih lanjut dari tujuan. Pada sasaran harus tercermin bentuk kondisi stakeholder dan pelanggang seperti yang diinginkan melalui perencanaan starategis. Adapun definisi sasaran (objectives) adalah penjabaran dari tujuan, yaitu suatu yang akan dicapai atau dihasilkan oleh instansi pemerintah dalam
92
jangka
waktu
tahunan,
semesteran,
triwulanan
atau
bulanan.
Sasaran
diusahakan dalam bentuk kuantitatif sehingga dapat diukur (LAN dan BPKP, 2000 dalam Nining, 2000). Cara merumuskan tujuan dan sasaran : (1) sasaran harus dapat menjelaskan bagaimanakah kondisi stakeholder
yang
paling
diinginkan
(diberdayakan), apakah ingin sebagai pemimpin atau pengikut, (2) sasaran harus fokus secara menyeluruh dan tidak boleh lepas dari misi, (3) sasaran harus muncul dari kesepakatan tanggungjawab pegawai yang kemudiaan dibawa ke arah tujuan umum. Dalam hal ini, perlu diupayakan agar kita tidak terjebak rutinitas, (4) sasaran jangan mengarah ke tujuan lain, (5) sasaran harus mudah dijabarkan dalam strategi, (6) sasaran harus mudah diuraikan dalam standar kinerja organisasi yang terukur, (7) sasaran harus memperhitungkan kebijakan pemerintah yang lebih atas dan tidak boleh dari kemampuan organisasi, sikap pegawai, dan budaya organisasi, dan (8) sasaran utama tidak boleh diganggu oleh sasaran tidak resmi. Berbeda antara tujuan dan sasaran, tujuan atau goals adalah mencerminkan sesuatu yang potensil, sedangkan sasaran (objectives) adalah lebih rinci lagi sehingga meyakinkan (Nining, 2000). Serangkaian pengertian tujuan dan sasaran di atas, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan dan sasaran perbedaanya hanya pada apa yang ingin dicapai (tujuan) dan apa yang akan dihasilkan (sasaran). Tetapi, dalam tahapan perumusan, sasaran baru bisa dirumuskan setelah tujuan ada. Tujuan adalah pernyataan tentang apa sesuatu yang potensil ingin dicapai oleh organisasi melalui tindakan tertentu yang diturunkan dari misi organisasi. sedangkan sasaran adalah suatu pernyataan yang dirinci serta dijabarkan dari tujuan dan terukur dan mengarah kepada hasil yang dinginkan. Arah Kebijakan Arah kebijakan tidak lain dari pada pernyataan yang membatasi sekaligus mengarahkan tindakan-tindakan dari tujuan dan sasaran yang telah dirumuskan. Karena itu, kebijakan akan memandu para anggota organisasi untuk melaksanakan tindakan berdasarkan tujuan dan sasaran yang telah dirumuskan dan disepakati
93
bersama anggota organisasi. Pada konteks tersebut, maka diperlukan pemahaman tentang definisi kebijakan agar dalam perumusannya dapat mencerminkan fleksibilitas yang mengarahkan tindakan, sehingga tidak kaku dan membatasi ruang gerak tindakan untuk mencapai tujuan organisasi. Sebagaimana disampaikan dalam pengertian kebijakan dibawah ini bahwa kebijakan
adalah
suatu
ketetapan
yang
memuat
prinsip-prinsip
untuk
mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu (Jamil, 2009). Sedangkan Knutson, Ronald D, dkk. (2004), mengemukakan bahwa kebijakan adalah pedoman prinsip saja yang mengarah pada tindakan spesifik atau program yang dilakukan oleh pemerintah dan melaksanakan program kebijakan tersebut serta pengaruh kebijakan atau menentukan tindakan dan keputusan dari pemerintah tentang program. Jamil (2009) maupun Knutson, Ronald D, dkk., (2004) berpendapat bahwa kebijakan adalah prinsip untuk mengarahkan tindakan anggota organisasi atau pemerintah untuk mencapai tujuannya. Sedangkan menurut Ealau dan Prewitt dalam Suharto (1997), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Definisi ini menekankan tentang konsistensi perilaku atas kebijakan yang telah dirumuskan. Serangkaian definisi di atas memperlihatkan bahwa arah kebijakan adalah rumusan pernyataan sebagai suatu ketentuan yang disepakati bersama dan menjadi prinsip atau pedoman untuk melakukan tindakan secara konsisten dan pengambilan keputusan penyusunan program. Program-Program Setelah perumusan arah kebijakan, maka selanjutnya akan disusun program-program sebagai bagian dari rencana strategis. Program merupakan pernyataan-pernyataan yang berisi kumpulan kegiatan yang terpadu dan sistematik yang akan dilaksanakan oleh organisasi atau pemerintah dengan pemerintah, dapat juga dilaksankan dalam bentuk kerjasama dengan masyarakat atau merupakan partisipasi masyarkat dalam program yang rumuskan oleh organisasi. Jadi bisa saja bahwa satu program lebih dari satu kegiatan dan
94
melibatkan organisasi lain atau bersama masyarakat untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan. Program adalah produk yang dihasilkan dari semua aktivitas penyusunan program, dimana pendidik professional dan pelajar dilibatkan. Sedangkan pengembangan program digambarkan sebagai suatu rangkaian keputusan dan tindakan yang disengaja dimana wakil dari orang-orang yang potensial dipengaruhi oleh program dilibatkan dengan penyusun program. (Boyle, 1981). Menurut Boyle (1981) ada tiga jenis program yang berbeda dan telah dikenali, yaitu : Pertama. Program pengembangan (developmental program), yaitu : tipe program yang mengidentifikasi masalah-masalah utama klien, masyarakat, dan segmen-segmen masyarakat, setelah itu sukses baru dapat dikembangkan program pendidikan untuk menolong orang-orang memecahkan atau mengatasi permasalahan mereka. Kedua. Program kelembagaan (institutional program),
yaitu:
programming
kelembagaan
fokusnya
adalah
untuk
menyempurnakan pertumbuhan dan peningkatan kemampuan dasar seorang individu, seperti pemikiran dan cara berkomunikasi. tipe program ini fokusnya adalah untuk mengajarkan isi suatu disiplin atau bagian-bagian dari beberapa disiplin pengembangan lebih lanjut bagi seorang individu.
Pengembangan
kemampuan dasar disiplin mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap. Ketiga. Program informasional (Informational program), yaitu : bentuk program ini adalah sering ditemukan pada pendidikan orang dewasa atau pendidikan lanjutan. Esensinya adalah pada pertukaran informasi antara pendidik atau pembuat program dan siswa. Program jenis ini fokusnya pada mengidentifikasi informasi
baru
setelah
itu
mendiseminasikannya.
Kesuksesan
program
informasional ditentukan dengan mengevaluasi derajat informasi mana yang telah tersedia untuk orang-orang dan derajat informasi yang mereka sudah gunakan. Pengertian lain tentang program sebagaimana yang dikemukakan oleh Samsuddin (1987), bahwa program diartikan sebagai suatu pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang disusun dalam bentuk dan sistematika yang teratur. Selanjutnya diungkapkan bahwa terdapat empat unsur penting yang perlu diperhatikan dalam penyusunan program penyuluhan, yaitu mencakup : Pertama. Keadaan, yaitu fakta yang ditunjukkan
95
oleh data pada saat penyusunan program. Data disini meliputi data aktual (data nyata saat itu) dan data potensial (data keadaan yang mungkin dicapai). Kedua. Masalah yaitu faktor-faktor penyebab keadaan yang tidak memuaskan, atau belum sesuai dengan apa yang diinginkan. Masalah terjadi akibat adanya perbedaan antara data aktual dengan data potensial. Pada penyuluhan pertanian dibedakan antara masalah umum dan masalah khusus. Masalah umum merupakan dasar untuk merumuskan tujuan program-program, dan masalah khusus atau masalah spesifik dijadikan dasar untuk merumuskan tujuan kegiatan. Ketiga. Tujuan yaitu merupakan suatu pernyataan pemecahan masalah atau pernyataan yang ingin dicapai. Untuk kepentingan penyuluhan pertanian ada dua macam tujuan, yaitu tujuan program dan tujuan kegiatan. Tujuan program ialah pernyataan pemecahan masalah umum yang ingin dicapai. Sedangkan tujuan kegiatan merupakan pernyataan pemecahan masalah khusus, atau tujuan dari setiap kegiatan penyuluhan pertanian. Keempat.
Cara mencapai tujuan yaitu suatu rencana
kegiatan yang di dalamnya menyangkut masalah khusus, tujuan kegiatan, metoda, lokasi, unit, volume, frekuensi, sasaran, pelaksana, waktu, kelengkapan dan pembiayaan. Istilah lain cara mencapai tujuan ini ialah dituangkan secara terinci dalam rencana kegiatan. Penyusunan program dapat memilih jenis apa program yang akan dirumuskan, pilihan tersebut sangat tergantung kepada tujuan dan sasaran yang ingin dicapai terjadi setelah program tersebut diimplementasikan dalam bentuk kegiatan. Boyle (1981) membagi program dalam tiga jenis, yaitu developmental program, institutional program, dan informational program, sedangkan Samsudin, (1987) membagi jenis program berdasarkan pembuatannya, dibedakan ke dalam lima macam program penyuluhan, yaitu : 1. Pre-determined program; yaitu program yang sifatnya masih umum dan merupakan sumber atau dasar penyusunan program di tingkat lebih bawah. 2. Self-determined program; program yang dibuat oleh petani atau kelompok tani sesuai dengan bidang usaha taninya. 3. Joint-determined program; program yang dibuat bersama antara penyuluh dengan petani. Program ini dapat dibuat di tingkat Wilayah Kerja Balai
96
Penyuluhan Pertanian (WKBPP) atau di tingkat Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian (WKPP). 4. Fact-determined program; program yang khusus dibuat oleh pihak penyuluh sebagai dasar untuk membuat joint program. 5. Specialist-determined program; yaitu program yang dibuat secara khusus untuk menangani atau untuk melaksanakan suatu kegiatan tertentu. Kegiatan Kegiatan adalah aktivitas atau tindakan nyata dalam kurung waktu yang dilaksanakan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada dan didasarkan pada arah kebijakan serta program yang telah disepakati untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumberdaya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa (PP Nomor 20 Tahun 2004). Berdasarkan pengertian di atas, maka kegiatan adalah pernyataanpernyataan yang menjabarkan program berupa beberapa tindakan atau aktivitas dari setiap program yang mencerminkan penggunaan sumberdaya sebagai input dan hasil keluaran sebagai output dalam bentuk barang atau jasa dan dapat dilaksanakan oleh satu atau beberapa unit kerja yang ada dalam organisasi. Kegiatan yang dijabarkan dari program, dapat terdiri dari beberapa kegiatan yang dalam kegiatan tersebut sudah memperlihatkan komponenkomponen, sebagai berikut : (1) nama kegiatan, (2) tujuan dan sasaran kegiatan, (3) waktu pelaksanaan kegiatan, (4) tempat kegiatan, (5) penanggunjawab kegiatan, (6) pelaksana kegiatan, dan (7) Anggaran. Untuk mengukur apakah kegiatan dilakukan dengan efektif, maka kegiatan tersebut harus mengandung (Davies, 2005) ciri SMARTER, singkatan dari : Spesifik (Specific) : Hasil akhir yang tidak mengambang dan jelas. Orang harus
97
tahu persis apa yang harus dilakukan untuk mencapai sasarannya. Terukur (Measurable) : Hasilnya bisa dilihat (observable) secara nyata, misalnya dari segi kuantitas, kualitas, biaya, dan waktu. Meskipun kualitas sukar diukur, tetap bisa dinilai. Bisa dicapai (Achieveable) :
Meskipun harus menantang dan mendorong
pertumbuhan, sasaran tetap mempertimbangkan pengalaman, kapabilitas, dan jam kerja normal pemegang pekerjaan. Relevan (Relevant) : Sasaran merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan organisasi. sasaran harus esensial bagi perbaikan menyeluruh baik bagian maupun individu. Ada batasan waktu (Timebound) : Ada batasan waktu yang disepakati untuk mencapai sasaran yang ditetapkan. Batasan waktu ditetapkan sejak awal sampai akhir tahun penyelesaian. Menyenangkan (Exciting) : Pekerjaan yang ditetapkan mendorong untuk mengambil tindakan. Tugas-tugas rutin sulit untuk bisa memberi rasa menyenangkan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan tugas semacam apa yang bisa memotivasi orang untuk melaksanakan pekerjaanya. Tercatat (Recorded) :
Tuliskan sasaran tersebut agar sasaran menjadi jelas,
untuk berkomunikasi dan untuk dievaluasi. Baik anda maupun staf anda akan memperoleh manfaat dari sasaran yang tertulis. Program Aksi Program aksi yang dimaksudkan adalah sebuah rangkaian tindakan yang akan dilakukan dan didokumentasi dalam bentuk tertulis oleh BPP yang isinya memuat : rencana pembelajaran, materi informasi dan teknologi, media pembelajaran, metode pembelajaran, biaya operasional, dan evaluasi. Pola program aksi pada setiap organisasi bisa berbeda tetapi substansi yang ingin dicapai adalah untuk memecahkan masalah dan untuk suatu kemajuan bersama dalam lingkungan organisasi dan lingkungan klien. Karena itu, program aksi yang disusun dalam tulisan ini juga berangkat dari asumsi masalah yang dihadapi dan asumsi kebutuhan klien yang tentunya disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia.
98
Memiliki program aksi sangat berguna bagi BPP karena sangat membantu dalam hal : (1) penganggaran, (2) memilih dan memesan
material/jasa,
(3) menggorganisasi bahan, (4) komputerisasi, (5) menyediakan jasa dan informasi, (6) mempromosikan BPP, (7) mengembangkan jaringan dan kerjasama, (8) menyusun metoda pembalajaran, (9) menyusun materi, dan (10) memilih media yang akan digunakan. Gambaran tentang program aksi yang dapat berbeda urutan nomen klaturnya, tetapi subtansi pemecahan masalah dan kebutuhan kliennya tetap sama, diperlihatkan kasus yang dikutip sebagai berikut. Sebuah kasus program aksi yang dijabarkan lebih lanjut menjadi rencana aksi (action Plan), yang dikutif dan diringkas dari tulisan Sundermeier (2005) pada Journal of Extension yang berjudul “Exotic Pest Invasion--Plan of Action for Extension Educators,” yaitu sebuah agenda rencana aksi sebagai panduan bagi pendidik penyuluhan untuk mengatasi serangan hama exotic. Tahapan rencana aksi pada kasus ini adalah sebagai berikut : (a) tentukan ancaman tersebut. identifikasi sebab dan dampak; (b) identifikasi hama. identifikasi dan tentukan prosedur dan libatkan professional; (c) membuat program penyuluhan darurat. melancarkan komunikasi dan mencari bantuan serta tanggap terhadap kebutuhan lokal; (d) mengumpulkan data. inventarisasi sumberdaya yang tersedia dan mengumpulkan informasi untuk rencana respon; (e) diseminasi informasi. menyampaikan informasi yang akurat ke public dengan media yang tersedia dan melaporkan ke instansi yang terlibat; (f) memfasilitasi rapat komunitas. memperlihatkan kepada masyarakat sumberdaya yang terlibat dan membantu menenangkan masyarakat; (g) berkomunikasi dengan pejabat, jauhkan otoritas informasi, bantu dan berkolaborasi dengan otoritas pengawas;
(h) memahami
hukum. memahami otoritas yang berwenang dan lembaga pengendalian hama; (i) memulai penelitian lokal. melengkapi infirmasi, mengumpulkan data dan memandu untuk keputusan pengendalian hama; (j) rencana aksi dalam penyelesaian di Northwest Ohio. setelah identifikasi asal usul dan sebab musabab serangan hama tersebut, diambil tindakan berdasarkan sebab akibat timbulnya serangan hama tersebut; dan (k) ancaman masa depan serangan hama. Membangun kesadaran akan potensi ancaman pada komunitas, dengan mengikuti
99
rencana tindakan, penyuluhan dapat menjadi bagian penting dari perang melawan serangan hama tersebut. Titik berangkat program aksi dalam persiapan fase implementasi menjadi program aksi seharusnya dari rencana strategis yang telah dirumuskan yang dihasilkan dari perencanaan strategis, karena rencana strategis adalah perencanaan yang bersifat jangka panjang. Perencanaan strategis meliputi penentuan tujuan organisasi dan bagaimana untuk mencapainya. Ini biasanya terjadi di tingkat manajemen puncak. Program aksi adalah sebuah proses yang akan membantu organisasi untuk fokus pada ide-ide dan untuk memutuskan langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk mencapai tujuan tertentu yang mungkin dapat dilaksankan. Jadi hal tersebut merupakan pernyataan dari apa yang ingin dicapai selama jangka waktu tertentu. Sebuah program aksi adalah
pernyataan yang menggambarkan
serangkaian langkah-langkah spesifik yang dapat diambil untuk mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya program aksi tersebut menjadi sebuah rencana aksi umumnya mencakup langkah-langkah, tonggak, ukuran kemajuan, tanggung jawab, tugas dan kurung waktu tertentu (Martin, 2007). Pada beberapa hal, program aksi adalah "heroik" tindakan; hal ini membantu kita mengubah impian kita menjadi kenyataan. Sebuah program aksi adalah cara untuk memastikan visi organisasi
dibuat
kongkrit.
Ini
menggambarkan
cara
kelompok
akan
menggunakan strategi untuk memenuhi tujuan. (Jenette dan Stephen, 2011). Dari pemikiran yang diungkapkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa program aksi yang dibuat oleh organisasi memiliki tahapan dan strategi tertentu serta tindakan untuk memenuhi tujuan dan mengkongkritkan visi dan misi organisasi. Pada konteks tersebut, dibutuhkan kriteria program aksi yang dianggap baik, agar apa yang menjadi tujuan dirumuskannya program aksi dapat dilaksanakan dan diwujudkan. Kriteria sebuah program aksi yang baik, apabila pernyataan program tersebut :
(1) lengkap (Complete), apakah semua daftar langkah tindakan atau
perubahan yang akan dicari di semua bagian yang relevan dari masyarakat (misalnya, sekolah, bisnis, pemerintah, tokoh masyarakat) sudah lengkap? (2) jelas (clear),
apakah nyata siapa yang akan melakukan apa dan kapan?
100
(3) Saat ini (current), apakah program aksi mencerminkan pekerjaan saat ini? apakah mengantisipasi peluang dan hambatan yang baru muncul. Agar upaya merumuskan sebuah program aksi yang baik setelah dipahami konsep-konsepnya berupa definisi dan kriteria program aksi yang baik, maka para anggota organisasi juga perlu memahami akan kedudukan dan pentingnya apa yang disebut program aksi, hal ini dimaksudkan untuk memberi pengertian dan motivasi kepada segenap anggota organisasi bahwa program aksi penting untuk dibuat dan diimplementasikan oleh seluruh anggota organisasi. Pentingnya program aksi dilakukan bagi organisasi, karena organisasi tidak ingin gagal dan perlu diambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk memastikan organisasi akan berhasil, termasuk diawali dengan keberhasilan membuat program aksi. Beberapa alasan mengapa penting menyusun program aksi, sebagai berikut :
(1) memberikan kredibilitas organisasi anda. Sebuah
program aksi menunjukkan kepada anggota masyarakat bahwa organisasi anda tertata dengan baik dan berdedikasi untuk menyelesaikan sesuatu, (2) memastikan anda tidak mengabaikan setiap detil, (3) memahami apa yang bisa dan tidak mungkin dilakukan organisasi anda, (4)
efisiensi;
untuk menghemat waktu,
energi, dan sumber daya dalam jangka panjang, dan (5) akuntabilitas; untuk meningkatkan kemungkinan bahwa orang akan melakukan apa yang perlu dilakukan. Mengembangkan program aksi berarti mengubah ide yang muncul selama perencanaan
strategis
atau
evaluasi
menjadi
kenyataan.
Ini
berarti
mengidentifikasi langkah-langkah yang perlu diambil untuk mencapai tujuan organisasi (International Information Support Centre, 2011). Telah dipaparkan beberapa definisi tentang program aksi yang satu sama lain secara kontekstual kelihatan berbeda, tetapi sesungguhnya secara harfiah memiliki makna dan tujuan yang sama. Program aksi adalah merupakan pernytaan tentang apa yang akan dilakukan oleh organisasi yang mencerminkan perumusan langkah-langkah spesifik sebagai upaya untuk melakukan tindakan kongkrit yang berpedoman pada rencana strategis yang telah dirumuskan dan disepakati organisasi dengan maksud untuk mengkongkritkan visi, misi, dan tujuan organisasi menjadi kenyataan.
101
Rencana Pembelajaran Rencana pembelajaran adalah penyusunan rencana aksi atau tindakan yang akan dilakukan oleh BPP dalam menjalangkan tugas pokok dan fungsinya melalui anggota organisasi atau staf BPP. Rencana pembelajaran ini adalah salah satu tugas pokok yang harus diperankan oleh BPP, sehingga para anggota organisasi harus menyadari akan pentingnya tugas penyusunan rencana pembelajaran tersebut. Hal tersebut sering disebut sebagai programa penyuluhan, yang berisi tentang rencana yang akan dilakukan oleh lembaga penyuluhan berdasarkan tingkatannya. Programa penyuluhan tingkat nasional disusun untuk memadukan aspirasi petani-nelayan dan masyarakat pertanian dengan potensi wilayah dan berpedoman pada program penyeleng garaan penyuluhan pertanian tingkat nasional. Programa penyuluhan ditingkat provinsi harus sejalan dengan kebijakan programa nasional, Programa penyuluhan kabupaten/kota harus sejalan kebijakan programa provinsi, prorgama penyuluhan kecamatan atau BPP harus sejalan kebijakan programa penyuluhan kabupaten/kota (UU No. 16 Tahun 2006). Programa penyuluhan adalah daftar acara kegiatan penyuluhan sebagai rencana
kegiatan
yang
tersusun
sistematik
atas
dasar
urutan
waktu
pelaksanaannya pada program penyuluhan. (Adjid, 2001). Programa penyuluhan yang intinya menyusun rencana kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh masing-masing lembaga penyuluhan mulai tingkat pusat sampai tingkat kecamatan (BPP). Jadi programa penyuluhan berisi tentang beberapa hal yang umumnya berisi hal-hal sebagai berikut : (1) nama kegiatan, (2) output yang diharapkan, (3) sasaran, (4) volume/frekwensi, (5) lokasi, (6) waktu, (7) biaya, (8) pelaksana, (9) penanggungjawab, (10) pihak terkait lainnya. Perumusan hal-hal tersebut di atas didahului dengan menggambarkan keadaan umum wilayah (karakteristik wilayah, sumberdaya pertanian, data produksi, data keragaan penerapan teknologi, analisis kebutuhan penyuluhan petanian) analisis masalah (aspek teknis, aspek sosial, dan aspek ekonomis). Berbeda dengan programa penyuluhan yang merupakan rencana kegiatan menyuluruh atau rekap kegiatan BPP, maka rencana pembelajaran adalah lebih ditekankan pada metode pembelajaran pada setiap kegiatan yang direncanakan dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang tersedia. Karena itu, untuk
102
memahami rencana pembelajaran ini diperlukan pemahaman tentang pengertian proses pembelajaran. Perencanaan adalah metode yang diorganisasikan dan diformulasikan untuk mencapai sesuatu. Suatu tabel yang menunjukkan waktu, tempat dan sebagainya dari suatu pelaksanaan tindakan yang diinginkan (Concise Oxford Dictionary dalam Devis, 2005). Sedangkan, pembelajaran adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil dari praktik dan pengalaman yang terus menerus diperkuat (Huchzynski dan Buchanan dalam Devis, 2005). Pengertian perencanaan dan pembelajaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa rencana pembelajaran adalah metode yang diorganisir dan dibuat sedemikian rupa untuk merubah perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) melalui kegiatan pembelajaran yang disusun berdasarkan kebutuhan pembelajaran dan implementasinya. Guna menyusun rencana pembelajaran yang baik, pada tulisan ini dielaborasi pemikiran Devis (2005) tentang sepuluh langkah menuju pelatihan (dalam tulisan ini palatihan diartikan sebagi proses pembelajaran). Kesepuluh langkah tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan : mengidentifikasi kesenjangan, melakukan penelitian, menentukan prioritas;
2.
Mengklarifikasi sasaran pembelajaran : kriteria, perilaku yang diharapkan, dan peningkatan nyata;
3.
Mempertimbangkan peserta pembelajar : level keterampilan dan pengetahuan saat ini, motovasi, dan gaya belajar;
4.
Mengembangkan garis besar sesi pembelajaran : hirarki, sekuensial, sasaran untuk memampukan;
5.
Memilih metode dan media : pengaruh, metode, dan pertimbangan;
6.
Menyiapkan panduan bagi pemimpin : rencana kelas, handouts, storyboard;
7.
Uji coba : uji coba, tinjauan, dan revisi;
8.
Melaksanakan pembelajaran : luncurkan, terlibat, dan tinjau ulang;
9.
Tindak lanjut pembelajaran : rencana tindakan, proyek/kegiatan, dan lokakarya;
10. Mengevaluasi hasil : biaya, manfaat, dan hasil.
103
Materi Pembelajaran Materi pembelajaran dalam kerangka aturan formal telah di sebutkan bahwa materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan pelaku utama dan pelaku usaha dengan memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan, dn kehutanan. (UU No. 16 Tahun 2006 Pasal 27 ayat 1). Selanjutnya dikemukakan bahwa materi penyuluhan sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) berisi unsur pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan. (UU No. 16 Tahun 2006 Pasal 27 ayat 2). Materi pembelajaran yang disusun dalam program aksi harus diletakkan pada kepentingan yang paling dasar adalah memenuhi kebutuhan klien dan memberi manfaat bagi kelestarian sumberdaya pertanian. Pemenuhan kebutuhan klien tersebut harus mampu mengembangkan dan meningkatkan SDM, iptek, dan aspek sosial serta kelestarian lingkugan. Pengertian materi pembelajaran dalam hal ini yang dimaksud oleh Samsuddin (1987) sebagai materi penyuluhan pertanian ialah segala sesuatu yang disampaikan dalam proses komunikasi, yang menyangkut, ilmu dan teknologi pertanian atau isi yang terkandung dalam setiap kegiatan penyuluhan pertanian. Materi pembelajaran yang disusun dan disampaikan kepada klien sebenarnya tidak terlepas dari unsur ide (pengetahuan), cara (metode), dan alat (teknologi) dengan maksud untuk diketahui, dipraktekkan, dan dipergunakan sebagai upaya mencapai tujuan penyusunan dari pada
materi pembelajaran.
Walaupun kita yakin bahwa materi yang disampaikan sudah sesuai dengan kebutuhan klien dan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap klien, tetapi kandungan materi yang akan disampaikan harus tetap memperhatikan adat kebiasaan dan kepercayaan masyarakat setempat, tingkat kemampuan klien, jenis usahatani yang sudah biasa diusahakan klien dan turun temurun. Selain itu, materi pembelajaran harus mempertimbangkan penggunaan metoda dan ketersediaan sumberdaya setempat. Artinya, bila materi pemebelajaran itu akan disampaikan dengan metoda tertentu, dan jika dibutuhkan bahan dan peralatan cukup tersedia pada daerah setempat. Materi pembelajaran dengan pertimbangan penggunaan metoda, maka
104
materi yang disusun harus dapat bersifat : dapat dilihat, didengar, dapat dibaca, dan dapat dipraktekkan atau kombinasinya. Agar setiap materi penyuluhan pertanian dapat diterima, dimanfaatkan dan diaplikasikan oleh petani, sifat yang harus dipunyai oleh materi penyuluhan pertanian pada umumnya harus: 1. Diperlukan oleh masyarakat tani kebanyakan; artinya harus disesuaikan
dengan jenis kegiatan usaha tani masyarakat setempat, yang merupakan usaha perbaikan dari apa yang sudah dilakukan sebelumnya; 2. Dapat dilaksanakan, sesuai dengan tingkat kemampuan sasaran;
3 Mengena pada perasaan; artinya tidak bertentangan dengan adat
kebiasaan,
kepercayaan dan pola pertanian yang sudah biasa dikerjakan; 4. Memberi atau berakibat adanya keuntungan ekonomis; apa yang disampaikan
harus lebih baik dari apa yang pernah dikerjakan petani sebelumnya, ada pengaruh terhadap kenaikan taraf hidup keluarga tani; 5. Mengesankan;
artinya apa yang disampaikan berkesan di hati sehingga
merangsang untuk berbuat seperti yang dianjurkan; 6. Mendorong ke arah kegiatan; artinya harus diutamakan materi yang bersifat
praktis dan dapat dilaksanakan oleh sasaran; 7. Dapat membujuk sasaran; artinya materi tersebut harus sedemikian rupa
sehingga
sasaran
mau
memperhatikan,
mencoba
menerima
dan
melaksanakannya; dan 8. Menumbuhkan kesadaaran kelestarian lingkungan sumberdaya pertanian.
Media Pembelajaran Media pembelajaran terus mengalami perkembangan pesat, harapan kita penyelenggara penyuluhan terus mengikuti dan memanfaatkan media tersebut untuk kemajuan penyelenggaraan penyuluhan ke depan dan membantu para kliennya untuk turut melek teknologi dan ikut memanfaatkan media tersebut. Begitu pentingnya mengapresiasi perkembangan perkembangan media tersebut, ada ungkapan simpel yang ditulis oleh Kinsey (2010) dalam Journal of Extension yang berjudul “Simple steps to making a Web-based video.” Relevan untuk
105
disimak, yaitu : “Changing Times, Changing Tools.” Bahwa perjalanan waktu dan perubahan yang menyertainya menuntut perubahan peralatan-peralatan (teknologi) yang dimanfaatkan sebagai media untuk membantu mempermudah pekerjaan yang dilakukan atau mencapai tujuan kegiatan yang dilakukan. Menurut Leeuwis dan van den Ban (2004) bahwa media pembelajaran adalah bahan penting dari suatu kegiatan, dan seringkali yang paling terlihat. Bahkan, kegiatan biasanya diidentifikasi dari media yang digunakan. Yang Jelas, hati-hati menggunakan media harus sesuai dengan aspek kegiatan yang dibahas. Dalam memutuskan media yang digunakan perlu diperhitungkan dan dicocokkan dengan cakupan tujuan, aspek pembelajaran yang terlibat, stakeholder, khalayak sasaran dan isinya. Karena semua media memiliki potensi dan keterbatasan tertentu. bisa masuk akal untuk menggabungkan beberapa media kadang-kadang bahkan dalam suatu aktivitas tunggal, sehingga dari satu kelemahan dapat dikompensasikan oleh yang lain. Seiring waktu, tentu saja, adalah penting untuk menggunakan media yang berbeda, karena tujuan spesifik yang terikat pada perubahan yang terus menerus. Pada penyuluhan pertanian proses komunikasi tidak dapat dihindarkan, media menjadi penting dalam proses tersebut sebagai saluran yang dapat menghubungkan penyuluh dengan materi penyuluhannya dengan petani yang menjadi peserta penyuluh. Agar gagasan, idea, pendapat, dan fakta dapat diterima dan atau direspon oleh klien, maka pilihan media yang digunakan harus tepat disesuaikan dengan situasi lingkungan dan tujuan penyelenggaraan penyuluh. Sebelum terjadinya perubahan dan perkembangan seperti saat sekarang ini (era informasi dan teknologi), media penyuluhan yang digunakan juga mengikuti perkembangan zamannya. Menurut Kartasapoetra (1991) media penyuluhan dapat berupa media hidup dan media mati. Media hidup yaitu orang-orang tertentu yang telah menerapkan materi penyuluhan atau pengetahuannya di bidang pertanian dapat membantu memperlancar hubungan antara penyuluh dengan kliennya, seperti misalnya kontak tani. Sedangkan media mati yaitu sarana tertentu yang digunakan atau dapat digunakan untuk memperantarai hubungan tersebut, seperti: radio, televisi, majalah, surat kabar, selebaran, poster, dan lain-lain sebagainya. Setelah kita memasuki zaman modern dengan tingkat perkembangan
106
teknologi dan informasi yang begitu cepat perkembangannya terutama teknologi informasi dan digital, media yang tersedia relatif beragam dan murah serta dapat diakses dengan mudah “realtime” kapan saja, maka kalau penyuluhan di Indonesia diharapkan maju dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, maka tidak ada jalan kecuali memanfaatkan media seluas-luasnya agar penyelenggaraan penyuluhan dapat lebih efisien dan efektif dan dengan itu diharapkan pula kinerjanya akan meningkat. Perlunya merespon perubahan tersebut telah diungkapkan oleh Brain, et al., (2009) dengan mengutip beberapa pendapat tentang pentingnya pengembang an media pembelajaran yang diakibatkan oleh terjadi pergeseran kebutuhan klien, bahwa beberapa penulis telah menyarankan peluang untuk memenuhi perubahan kebutuhan masyarakat yang seharusnya untuk merangkul penyuluhan. Tema yang sering muncul di antara peluang yang direkomendasikan adalah adopsi teknologi. Sebagai contoh, Bull et al. (2004) membahas perlunya penyuluhan untuk terus berkomunikasi melalui proses evolusi dan banyak konteks belajar, termasuk teknologi, untuk memenuhi perubahan kebutuhan target pemirsa yang beragam. Raja dan Boehlje (2000) menganjurkan penggunaan teknologi dalam mendorong mereka untuk pengembangan layanan penyuluhan baru virtual (eCES). Komite penyuluhan
tentang Organisasi dan Kebijakan (ECOP)
memberikan rekomendasi yang sama untuk mengembangkan teknologi tersebut dalam Sistem penyuluhan: Sebuah Visi untuk Abad 21 (2002). Sejak laporan ECOP, beberapa pasal dalam JOE telah menganjurkan penggunaan produk penyuluhan berbasis Web, seperti ekstensi, tetapi penerimaan dan adopsi pendekatan berbasis web berlangsung lambat (Ray, 2007 dalam Brain, et al., 2009). Dari sudut perkembangan media, Kinsey (2010) mengemukakan bahwa media pembelajaran dengan tatap muka (face-to-face) bukan satu-satunya cara untuk mencapai peserta didik. Sebuah cara yang semakin populer adalah online, belajar secara serempak (asynchronous)
yang tersedia kapan saja. belajar secara serempak
memungkinkan pengguna untuk mengakses internet untuk
mendapatkan informasi di luar batasan waktu dan tempat, dan di antara jaringan orang. Belajar secara serempak melalui Online dapat mencakup alat jaringan
107
sosial seperti wiki, blog, podcast, Facebook, dan YouTube. media Sosial adalah alat yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berbagi informasi dan menjaga blog elektronik untuk penggunaan masa depan dan review dokumen, alat-alat media tersebut di atas tersedia secara online dan gratis. Deskripsi ringkas mengenai media sosial yang dapat dimanfaatkan dalam penyuluhan sebagai strategi penyebaran online adalah sebagai berikut : (1) Blogs, adalah metode berbagi keahlian dan informasi melalui komentar dan deskripsi peristiwa, (2) Wiki, adalah alat untuk bekerja bersama-sama pada proyek, baik yang bekerja di jarak jauh atau dekat. Pada Penyuluhan, wiki dapat digunakan untuk berbagi informasi, membuat agenda atau kurikulum, sumberdaya pasca kelas dan link Web, atau untuk merencanakan suatu acara atau kursus, (3) Podcast, adalah audio singkat atau pesan video yang dibuat oleh seorang individu atau kelompok dan tersedia di Internet. Pesan yang dibuat dengan audiohanya mencakup suara vokal agen penyuluh misalnya, untuk berbagi pesan pada peserta didiknya. Penyuluh dapat mempublikasikan demonstrasi, seminar, atau workshop melalui podcast (Xie & Gu, 2007 dalam Kinsey, 2010), (4) Facebook, adalah laman yang memberikan pengguna dengan format halaman Web interaktif seperti untuk berbagi informasi, foto, artikel, dan link Web. Bagi agen penyuluh mungkin berguna untuk mengkomunikasikan informasi mengenai acara mendatang, perayaan, potongan informasi, dan publikasi, dan (5) YouTube, adalah video-sharing populer tempat online yang menarik jutaan pengguna setiap hari. Bagi agen penyuluh dirasa berguna untuk menyebarluaskan pesan-pesan pendidikan, video, dan klip berita TV untuk khalayak global (Kinsey, 2010). popularitas YouTube membuat sebuah alat yang menarik untuk Extension karena bersifat virus (mudah menularkan), kemudahan penggunaan, dan aksesibilitas oleh penonton dari segala usia. Media pembelajaran terus mengalami perkembangan dari media hidup dan media mati yang dikenal selama ini dimanfaatkan atau digunakan pada penyelenggaraan penyuluhan. Media penyuluhan harus terus bergeser dan memanfaatkan media online (jaringan dunia maya – internet) dengan berbagai program dan fasilitanya yang dapat digunakan oleh agen penyuluh atau lembaga penyuluh seperti BPP. Memanfaatkan varian media yang begitu banyak tersedia
108
dan dapat dipilih sedemikian rupa untuk menyelenggarakan penyuluhan akan berpengaruh terhadap kinerja penyuluhan pertanian termasuk BPP sebagai organisasi penyuluhan di tingkat kecamatan. Metode Pembelajaran Metode pembelajaran dalam penyuluhan memiliki perspektif berbeda, tetapi pilihan terhadap metoda yang akan digunakan sangat tergantung pada tujuan yang diinginkan dan situasi dan kodisi lingkungan (lokasi, peralatan dan bahan, waktu pelaksanaan, dinamika sosial masyarakat, kesiapan agen penyuluh, materi, dan sumberdaya lainnya) dimana pembelajaran akan dilaksankan. Konteks kedudukan metode penyuluhan dengan tepat digambarkan oleh Leeuwis dan van den Ban (2004), sebagai berikut : metode dapat dilihat sebagai modus tertentu menggunakan media dan kombinasi media dalam konteks kegiatan terbatas. Metode A dapat menjadi unsur dalam sebuah metodologi. Contoh metode meliputi: (a) kunjungan usahatani; (b) workshop; (c) diskusi kelompok (sebagai unsur, atau contoh, Farmer Field School (FFS)); (d) prioritas peringkat (sebagai unsur, misalnya, PRA). Peralatan dan teknik: Peralatan dan teknik yang cara-cara tertentu metode operasi. Apakah ada sesuatu yang dianggap metode atau alat sering diperdebatkan: batas-batas yang tidak begitu tajam. Demikian pula, kunjungan pertanian di mana masalah petani dibahas dapat dilakukan dalam berbagai modus: (a) Diagnosis - resep; (b) persuasif; dan (c) konseling. Media. Massa, interpersonal dan media hibrida adalah alat dasar yang membantu untuk menggabungkan saluran komunikasi yang berbeda untuk 'transportasi' dan pertukaran sinyal tekstual, visual, auditive. Leeuwis dan van den Ban (2004) mengkalisifikasi metode pembelajaran penyuluhan dari sudut komunikasi menjadi empat bagian utama, yaitu : 1. metode komunikasi manajemen usahatani atau “penyuluhan,” yaitu : (1) penasehat komunikasi, (2) pendukung pertukaran pengetahuan horizontal, (3) perbandingan kelompok-kelompok usahatani, (4) permain an dan kompetisi, dan (5) komunikasi inovasi petani-ke-petani; 2. metode yang terkait untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu yang telah ditentukan, antara lain : (1) kampanye media massa, (2) hiburan
109
pendidikan, (3) visualisasi apa yang sulit untuk melihat, dan (4) hasil demonstrasi / percobaan demonstrasi; 3. metode yang terkait dengan eksplorasi pandangan dan isu-isu, antara lain : (1) analisis cara berbicara sehari-hari, (2) wawancara mendalam, (3) kartu metaplan, (4) teknologi ruang terbuka, (5) memetakan diagram visual, (6) teknik penentuan ranking dan skor, (7) analisis pohon masalah (sosialteknis), (8) penelitian bersama dan percobaan on-farm, (9) debat publik, dan (10) eksplorasi masa depan. Disamping itu, metode eksplorasi dapat berbentuk: (1) Akses fasilitas pencarian berbasis computer, dan (2) informasi-penilaian kebutuhan. 4. metode yang terkait dengan pelatihan, dibedakan menjadi : (1) metode demonstrasi. Metode demonstrasi pada dasarnya menunjukkan orangorang bagaimana untuk melakukan tugas tertentu dan praktek, sementara hasil demonstrasi lebih diarahkan untuk visualisasi. melalui percobaan, bahwa praktek-praktek tertentu mungkin layak dipertimbangkan. Ini mungkin melibatkan demonstrasi
ada yang secara fisik, tetapi juga
mungkin termasuk rekaman video atau animasi pada kaset atau CD-ROM, (2) praktek berdasarkan pengalaman (Experiential practicals). Dalam banyak kasus, sesuatu yang hanya menunjukkan tidak akan cukup untuk memastikan bahwa orang-orang menjadi nyaman dengan praktik baru dan /atau menyesuaikan mereka dengan situasi mereka. Dari titik pandang pengalaman belajar masuk akal untuk menciptakan situasi di mana orang bisa mendapatkan pengalaman dengan praktek-praktek baru, dengan mendapatkan umpan balik dari orang lain pada kinerja mereka. Klasifikasi metode penyuluhan yang dilakukan oleh Leeuwis dan van den Ban, telah memasukkan metode pemanfaatan teknologi canggih, yaitu komputer. Penggunaan komputer dapat dipraktekkan demonstrasi dengan visualisasi. Pentingnya mengadopsi teknologi tersebut juga dikemukakan oleh Brain (2009) dari hasil penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa untuk target audiens yang lebih luas
mungkin teknologi dapat digunakan sebagai metode untuk
meningkatkan konsistensi pesan pendidikan yang disampaikan kepada publik. Sebagai contoh, on-line
journal melalui papan diskusi internet
dapat
110
memungkinkan
penyuluh
profesional
untuk
berbagi
dan
merefleksikan
keberhasilan dalam usaha penyuluhan mereka dengan berbagai target audiens. Brain dan rekan penelitinya menemukan bahwa untuk membantu memperoleh informasi penilaian kebutuhan penyuluhan termasuk metode pembelajaran, maka mereka
mengusulkan bahwa kombinasi pendekatan
kuantitatif dan kualitatif dapat memberikan informasi berharga saat melakukan penilaian kebutuhan dan menilai penyuluhan langsung melalui metode campuran menghasilkan identifikasi beberapa hambatan tambahan yang bervariasi tergantung pada kelompok sasaran (Brain & Fuhrman, 2007; Haug, 1999; McDowell, 2004 dalam Brain, 2009). Berbeda dengan pendapat Brain, dkk. Kilpatrick (1997) dalam Fulton, et al,. (2003) menemukan bahwa penggunaan metode paling menarik bagi mereka adalah yang difasilitasi rekan interaksi yang sudah ada dalam dunia kerjanya. Pendapat tersebut menyarankan bahwa metoda yang baik salah satunya adalah menggunakan petani itu sendiri sebagai fasilitator diantara mereka, karena telah memahami dunia kerjanya dengan baik. Tetapi Fulton, et al,. (2003) menyimpulkan bahwa penyuluhan efektif diperlukan ketepatan memanfaatkan berbagai metode dan proses tergantung pada keadaan. Woods dkk. (1993) dalam Fulton, et al,. (2003) dalam penelitian metode penyuluhan dan penerapannya, menarik kesimpulan yang sama. Metode atau cara - cara yang dapat digunakan, harus bersifat mendidik, membimbing dan menerapkan, sehingga petani dapat menolong dirinya sendiri (self help), mengubah memperbaiki tingkat pemikiran, tingkat kerja dan tingkat kesejahteraan hidupnya (Kartasapoetra, 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam prakteknya selalu digunakan pendekatan-pendekatan : (1) metode pendekatan perorangan (personal approach method), (2) metode pendekatan kelompok (group approach method), dan (3) metode pendekatan massal/umum (mass approach method). van den Ban dan Hawkins (1999) mengemukan bahwa pilihan metode penyuluhan yang akan digunakan tergantung pada tujuan khusus dan situasi kerjanya. Ia mengkalsifikasi metoda penyuluhan menjadi 3 (tiga) metode, yaitu : (1) media massa, (2) kelompok, dan (3) individu atau tatap muka. Metoda media massa, media cetak dan elektronik seperti surat kabar, radio, dan televisi dapat
111
membantu penyuluh mencapai jumlah petani secara serentak. Walaupun demikian, hanya sedikit kesempatan bagi petani untuk saling berinteraksi atau memberikan umpan balik kepada penyuluh. Metode kelompok mencapai lebih sedikit petani, tetapi lebih banyak memberi banyak kesempatan untuk berinteraksi dan memperoleh umpan balik. Metode individu merupakan dialog antara penyuluh dan petani. van den Ban dan Hawkins (1999) selain mejelaskan ketiga metoda di atas, ia juga membahas penggunaan teknologi informasi modern dalam berkomunikasi dengan petani dalam buku “penyuluhan pertanian”. Walaupun belum diklasifikasi sebagai suatu metode, tetapi penting untuk dimasukkan sebagai salah satu metode, karena kemajuan teknologi informasi dan perubahan tidak bisa dihindari serta tingkat kemajuan masyarakat semakin tinggi, karena akses informasi melalui jaringan internet semakin terbuka untuk diakses pada berbagai lapisan masyarakat. Pada dasarnya tidak ada metoda yang dapat menjangkau sekaligus dapat mempegaruhi seluruh klien. Tetapi, penggunaan kombinasi metode atau pilihan salah satu metode yang baik bila dapat mencakupi seluruh pertimbangan lingkungan dan tujuan penyuluhan. Biaya Operasional Biaya operasional adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh isntansi atau kantor (BPP) dan digunakan untuk memperoleh barang, melakukan penyuluhan, dan melakukan pemeliharaan serta biaya untuk operasional pertemuan atau rapat. BPP sebagai sebuah kantor penyuluhan memerlukan biaya operasional untuk membiayai operasionalisasi gedung perkantoran dan peralatannya serta operasional iuran lainnya; misalnya bayar pemakaian listrik, telpon, air bersih, perawatan perangkat lunak dan perangkat keras, juga membiayai operasional penyelenggaraan penyuluhan. Mengacu kepada UU No. 16 Tahun 2006 Bab IX tentang pembiayaan, pasal (3) disebutkan bahwa pembiayaan penyuluhan yang berkaitan dengan tunjangan jabatan fungsional dan profesi, biaya operasional penyuluh PNS, serta sarana
dan
prasarana
bersumber
dari
APBN,
sedangkan
pembiayaan
penyelenggaraan penyuluhan di Provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa
112
bersumber dari APBD yang jumlah dan alokasinya disesuaikan dengan programa penyuluhan. Pasal (3) UU No. 16 Tahun 2006, memang disebutkan bahwa pemerintah pusat melalui APBN membiayai biaya operasional penyuluh PNS. Sedangkan pemerintah daerah melalui APBD membiayai penyelenggaraan penyuluhan di dearah yang besarnya sesuai dengan programa penyuluhan pertanian yang akan diselenggarakan oleb BPP. Operasionalisasi penyelenggaraan penyuluhan biaya operasionalnya dibebankan kepada APBD. Biaya operasional BPP juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2009 Tentang Pembiayaan, Pembinaan dan Pengawasan penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Pasal 6, ayat (4) biaya operasional balai penyuluhan diberikan untuk melaksanakan kegiatan: (1) penyusunan programa penyuluhan pada tingkat kecamatan, (2) pelaksanaan penyuluhan berdasarkan programa penyuluhan, (3) penyediaan dan penyebaran informasi teknologi, sarana produksi, pembiayaan, dan pasar, (4) memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha, (5) memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh, dan (6) pelaksanaan proses pembelajaran. Disamping itu, pada PP tersebut pasal 4 juga mengatur pembiayaan penyelenggaraan penyuluh yang meliputi : (1) biaya operasional kelembagaan penyuluhan, (2) biaya operasional penyuluh PNS, (3) biaya pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana, dan (4) biaya tunjangan profesi bagi penyuluh yang telah memnuhi syarat kompetensi dan melakukan penyuluhan (PP 43 Tahun 2009). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka biaya operasional penyelenggaraan penyuluhan oleh BPP sudah harus tercermin dan teranggarkan melalui pagu indikatif dalam setiap rencana kegiatan penyelenggaraan penyuluhaan
dalam
programa penyuluhan. Besarnya biaya operasional sangat ditentukan oleh jenis dan volume kegiatan disamping jangkauan kegiatan atau sasaran dan durasi kegiatan. Karena itu, diperlukan kecermatan dalam menyusun biaya operasional agar semua kegiatan yang direncanakan dapat diwujudkan dan dilaksanakan secara baik mencapai tujuan dan sasarannya yang akan menggambarkan kinerja yang baik pula. Sesungguhnya, baik biaya operasional yang dibebankan pada APBN maupun APBD sama penting dalam menunjang penyelenggaraan
113
kepelayanan BPP baik terhadap pegawainya (staf) maupun terhadap para penyuluh yang berada dibawah naungan BPP serta masyarakat yang ada WKBPP khususnya dan penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan berdasarkan program dan kegiatan yang telah disusun dalam programa penyuluhan. Besar dan kurangnya biaya serta tidak lancar atau terhambatnya biaya operasional akan memengaruhi
kenerja BPP, Sebab penyelenggaraan
kepalayanan BPP dan penyelenggaraan pelaksanaan program penyuluhan tidak dapat berjalan baik bila anggaran operasional kurang dan terhambat. Disamping itu, pemanfaatan anggaran untuk membiayai biaya operasional sangat terstruktur dan ketat serta tidak pleksibel, karena ada aturan-aturan penganggaran dan penggunaanya. Apa yang ada dalam nomenklatur anggaran dan jumlahnya sedemikian, maka hanya itu jugalah yang dapat digunakan, sehingga tidak memungkinkan untuk mencari dana lain untuk dipergunakan sebagai biaya operasional pada saat dibutuhkan dan akan diganti kemudian, hal tersebut tidak dapat dilakukan karena akan menyalahi aturan. Permasalahan anggaran tersebut, menjadi catatan tersendiri dalam kesimpulan tulisan Sarma (2008) tentang Pengorganisasian Penyuluhan Menurut Undang Undang No. 16/2006: Catatan Kritis dalam Pengimplementasiannya. Beberapa Catatan kritis pengorganisiasian dalam implementasi UU No. 16/2006 adalah sebagai berikut: 1. Untuk pelaksanaan penorganisasian penyuluhan perlu diterbitkan 8 (delapan) peraturan dari mulai Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota. Selain itu diperlukan pula tambahan 8 (delapan) peraturan dari mulai Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, dan Peraturan Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota. 2. Sosialisasi
UU
No.
16/2006
kepada
Pemerintah
Daerah
perlu
dilaksanakan, mengingat peran Pemerintah Daerah yang cukup besar, yaitu dalam alokasi APBD dan penerbitan peraturan-peraturan untuk melaksanakan UU tersebut.
114
3. Pembiayaan pelaksanaan UU No. 16/2006
perlu dicarikan jalan
keluarnya, khsususnya adalah pembiayaan yang bersumber dari APBD, di mana berdasarkan UU No, 32/2004, sektor pertanian adalah sektor pilihan. 4. Perlu dikawal terus agar peraturan-peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan UU No. 16/2006 relatif tidak terlalu lama.
dapat diterbitkan dalam waktu yang
Hal ini jangan sampai terjadi seperti pada
Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), meskipun sudah dicanangkan pada akhir bulan Mei 2005, namun hingga kini belum ada gaungnya karena ditengarai kurangnya political will dari Pemerintah. Penjelasan di atas, memperlihatkan bahwa anggaran operasional berpengaruh terhadap kinerja organisasi BPP. Evaluasi Evaluasi adalah alat manajemen yang berorientasi pada tindakan dan proses. Informasi yang dikumpulkan kemudian dianalisis sehingga relevansi dan efek serta konsekwensinya ditentukan sistematik dn seobjektif mungkin (van den Ban, 1999). Evaluasi mempunyai beberapa fungsi : (1) evaluasi sebagai pemberi informasi digunakan agen penyuluhan sebagai dasar pengambilan keputusan, walaupun biasanya keputusan juga didasarkan pada bayangan yang ditunjukkan oleh banyak sumber informasi dan tidak dari satu sumber saja, (2) evaluasi dapat melengkapi basis informasi sehingga menyebabkan terjadinya perubahan bertahap dalam rencana, (3) evaluasi dapat memberi informasi yang diperlukan sebagai pembuktian pengeluaran anggaran, dan (4) evaluasi dalam program penyuluhan merupakan umpan balik dalam proses komunikasi. Evaluasi dilakukan memiliki alasan tertentu, tetapi setidaknya hasil proses dan hasil evaluasi memberi masukan yang sangat berarti bagi lembaga dan program yang dievaluasi,
beberapa alasan tersebut adalah sebagai berikut :
(1) memandu melalui setiap langkah dari proses evaluasi, (2) membantu memutuskan apa jenis informasi memang benar-benar anda dan stakeholder anda membutuhkannya, (3) membuat anda membuang waktu pengumpulan informasi
115
yang tidak diperlukan, (4) membantu anda mengidentifikasi kemungkinan metode terbaik dan strategi untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, (5) membantu anda datang dengan waktu yang wajar dan realistis untuk melakukan evaluasi, dan (6) paling penting, ini akan membantu anda meningkatkan inisiatif anda (Hampton, 2011). Kepentingan evaluasi dalam kerangka penelitian ini, maka perlu dikemukakan langkah-langkah mengembangkan rencana evaluasi dan maetode yang dapat dilakukan untuk melakukan evalausi yang dikembangkan oleh Hampton (2011), langkah tersebut adalah sebagai berikut : mengembangkan rencana evaluasi, yang langkah-langkahnya : (1) memperjelas tujuan dan sasaran program, (2) mengembangkan pertanyaan evaluasi, (3) mengembangkan metode evaluasi, dan (4) mengatur jadwal untuk kegiatan evaluasi Setelah mengembangkan rencana evaluasi, maka langkah selanjutnya adalah mengembangkan metode evaluasi. Metode evaluasi memiliki tiga elemen utama: (1)
Proses tindakan: ini memberitahu Anda tentang apa yang Anda
lakukan untuk mengimplementasikan inisiatif Anda; (2) Hasil tindakan: ini memberitahu Anda tentang apa hasilnya, dan (3) sistem pengamatan: ini adalah apapun
yang
Anda
lakukan
untuk
melacak
inisiatif
yang
sementara
terjadi. sedangkang evaluasi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut : (1) survei tentang inisiatif : ada tiga jenis survei, kemungkinan besar perlu untuk menggunakan di beberapa titik: dimulai; (b)
(a) survei tujuan: dilakukan sebelum inisiatif
survei proses: dilakukan selama inisiatif ; dan (c) survei hasil:
dilakukan setelah inisiatif selesai. (2) laporan pencapaian tujuan,
(3) Survei
perilaku; dan (4) wawancara dengan peserta kunci. Dari sisi proses kegiatan yang dilaksanakan, maka jenis evaluasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : (1) evaluasi awal kegiatan, yaitu penilaian terhadap kesiapan proyek atau mendeteksi kelayakan proyek, (2) evaluasi formatif, yaitu penilaian terhadap hasil-hasil yang telah dicapai selama proses kegiatan proyek dilaksanakan. Waktu pelaksanaan dilaksanakan secara rutin (per bulan, triwulan, semester dan atau tahunan) sesuai dengan kebutuhan informasi
116
hasil penilaian, dan (3) evaluasi sumatif, yaitu penilaian hasil-hasil yang telah dicapai secara keseluruhan dari awal kegiatan sampai akhir kegiatan. Waktu pelaksanaan pada saat akhir proyek sesuai dengan jangka waktu proyek dilaksanakan. Untuk proyek yang memiliki jangka waktu enam bulan, maka evaluasi sumatif dilaksanakan menjelang akhir bulan keenam. Evaluasi yang menilai dampak proyek, dapat dilaksanakan setelah proyek berakhir dan diperhitungkan dampaknya sudah terlihat nyata. Pada kasus penyuluhan pertanian, dapat dikembangkan dan dipilah-pilah jenis evaluasi untuk memudahkan rangkaian tindakan melakukan evaluasi. Jenis evaluasi yang dimaksud adalah sebagai berikut : (1) evaluasi penyuluhan pertanian, (2) evaluasi program penyuluhan, (3) evaluasi hasil penyuluhan pertanian, (4) evaluasi metode penyuluhan, (5) evaluasi sarana prasarana penyuluhan, dan (6) evaluasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian dan evaluasi dampak penyuluhan. Evaluasi sesungguhnya memiliki tiga komponen utama sebagai dasar dalam mengembangkan evaluasi, yaitu ; (1) kriteria, (2) bukti, dan (3) penilaian. Ketiga komponen ini yang mendasari proses evaluasi mulai dari langkah menetapkan tujuan sampai penulisan laporan evaluasi. Peran BPP pada Kegiatan Usahatani Pada 1990-an, memfasilitasi partisipasi petani adalah kegiatan utama penyuluhan (Chambers, 1993 dikutip Waldron et.al,. 1997 dalam Swanson et. al,. 1997). Reorganisasi menyediakan kerangka kerja untuk komitmen jangka panjang untuk pembangunan pedesaan. Organisasi dan sub unit sedang didorong untuk menempatkan tim bekerja di tempat untuk memastikan bahwa setiap sektor mengintegrasikan staf dan layanan menjadi sebuah unit, bisnis kohesif terfokus. Konsultasi dan partisipasi yang dianggap penting bagi keberhasilan pengembangan dan pelaksanaan tujuan organisasi dan tujuan individu. Setiap tim kerja diminta untuk mengembangkan proses yang efektif untuk diskusi tentang tantangan utama dan peluang yang dihadapi organisasi, jika mungkin, pada dekade berikutnya. (Waldron et.al,. 1997 dalam Swanson et. al,. 1997).
117
Peran BPP pada kegiatan usahatani sebagai lembaga dapat dilihat dari peran dan fungsi BPP. Tugas BPP menurut pasal 8 UU No. 16 Tahun 2006, mencakup: (1) menyusun programa penyuluhan pada tingkat kecamatan. Penyusunan programa penyuluhan yang dilakukan BPP isinya untuk meningkatkan kapasitas BPP, penyuluh, juga untuk patani dan usahatani, (2) melaksanakan penyuluhan, proses pelaksanaan penyuluhan dikoordinir oleh BPP, sehingga apapun penyuluhan yang dilakukan selalu terkait dengan BPP,
(3) menyediakan
dan menyebarkan informasi teknologi, sarana produksi, pembiayaan, dan pasar. Tugas ini sangat jelas terkait dengan kegiatan usahatani para petani, (4) memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha. Hal ini terkait kerjasama antara petani dan pengusaha, baik kerjasama dalam pengelolaan usahatani maupun hasil usahatani, (5) tugas BPP secara langsung berperan terhadap pengembangan usahatani melalui percontohan dan pengembangan model usahatani bagi pelaku utama dan pelaku usaha. Pada sisi fungsi BPP, jelas memperlihatkan peran dan kontribusi dan peran nyata BPP terhadap kegiatan usahatani petani, dimana BPP adalah sebagai tempat pertemuan para penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha. Pertemuan tesebut akan menghasilkan pengetahuan, informasi, dan mungkin pemecahan masalah yang dialami oleh petani dalam dalam mengelola usahataninya, sehingga fungsi BPP memberi kontribusi peran bagi kegiatan usahatani. Pengembangan kelompok tani dan gabungan kelompok tani, dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan petani mengorganisir dirinya dan menigkatkan kemampuan serta kapasitasnya dalam mengelola usahataninya, sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan keluarganya, terutama darisi kemempuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan dalam mengelola usahatani meraka. BPP sebagai organisasi penyuluhan, dimana menjadi wadah atau tempat berhimpunya para penyuluh dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, maka melalui para penyuluh inilah BPP memberi kontribusi terhadap pengembangan usahatani para petani. Karena itu, peran penyuluh adalah bagian dari peran BPP sebagai lembaga penyuluhan yang berkedudukan di kecamatan.
118
Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraanya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (UU No. 16 Tahun 2006). Peran penyuluhan pertanian dalam pembangunan pertanian dituntut untuk mengembangkan dirinya, dari peran yang berorientasi terhadap peningkatan produksi melalu proses difusi dan adopsi inovasi oleh petani sebagai obyek pembangunan pertanian ke peran baru penyuluhan (new role for extension) yang berorientasi terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia petani sebagai subjek pembangunan pertanian. Peran baru penyuluhan pertanian tersebut dikemukakan oleh Chamala (1990) dalam Swanson, dkk. (1997), sebagai berikut: (1) peran pemberdayaan (empowernment role), (2) peran pengorganisasian komunitas (community – organization role), (3) peran mengembangkan sumberdaya manusia (Human resource development role), dan (4) peran memecahkan masalah dan pendidikan (problem – solving and education role). Peran penyuluh yang baru tersebut mengharuskan lembaga penyuluhan terus mengembangkan sumberdaya menusia penyuluh yang dimiliki disamping ditunjang oleh sarana dan prasarana yang terus ditingkatkan untuk mendukung kelancaran tugas staf BPP dan penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan kepada pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh memengaruhi
pertanian
adalah
pekerja
profesional
yang
berusaha
atau mengarahkan keputusan inovasi selaras dengan tujuan
lembaga penyuluhan. Penyuluh berfungsi sebagai mata rantai penghubung antara dua sistem sosial atau lebih. Penyuluh merupakan agen pembaruan dari badan, dinas atau organisasi yang bertujuan mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat ke arah kemajuan yang lebih baik dengan jalan menyebar luaskan inovasi yang mereka produksi dan mereka miliki yang telah disusun berdasarkan kebutuhan klien (Roger dan Shoemaker, 1995). Kartasapoetra (1991) menguraikan peran penyuluh dalam membangun pertanian modern, antara lain: (1) sebagai peneliti, yaitu mencari input teknologi
119
pertanian yang dapat digunakan petani untuk mengembangkan usahataninya, (2) sebagai pendidik, yaitu meningkatkan pengetahuan atau memberi informasi kepada petani, sehingga menimbulkan semangat dan kegairahan petani untuk mengelola usahataninya secara efektif dan efisien dan (3) mengembangkan sikap keterbukaan dan bekerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya. van den Ban dan Hawkins (1999), penyuluhan sebagai bentuk keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat, sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Pemaparan di atas dapat memberi gambaran peran BPP dalam pengembangan kegiatan usahatani petani dalam bentuk penjabaran tugas pokok dan fungsi BPP yang baik secara langsung maupun tidak langsung memberi andil yang cukup besar terhadap pengembangan usahatani petani di WKBPP. Baik dalam aktivitasnya menyusun programa penyuluhan, perencanaan kegiatan lainnya, mewadahi para penyuluh untuk melaksanakan tugas-tugas dan peran penyuluhan, BPP sebagai wadah melakukan pertemuan antara para pelaku utama, pelaku usaha dan penyuluh serta stakeholder lainnya adalah merupak kontribusi atau peran nyata dari BPP terhadap kegiatan usahatani para petani. Peran tersebut diharapkan dapat mendorong terjadinya perubahan dan peningkatan perilaku petani dalam meningkatkan produktivitas usahataninya.
Perilaku Petani Perilaku petani dicerminkan pada tindakan yang dieksperesikan seharihari baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pekerjaan. Perilaku yang diperlihatkan adalah merupakan akibat dari respon yang diterima, sehingga perilaku petani adalah merupakan respon yang diterima dari keluarga dan lingkungan disekitarnya secara berulang-ulang dan turun temurun. Perilaku petani tersebut akan menjadi kebiasaan dan tentu saja dapat memengaruhi cara berpikir dlam mengelola usahatani mereka yang dilakukan secara turun temurun. Skinner (1953) mengungkapkan bahwa, perilaku adalah respon atau reaksi seseorang pada stimulus atau rangsangan dari luar. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungan dapat
120
menimbulkan perubahan perilaku. Respon yang diterima seseorang, akibat adanya stimulus-stimulus yang saling berinteraksi. Interaksi antara stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan tersebut memiliki konsekuensi yang memengaruhi munculnya perilaku. Asngari (2001) mengemukakan bahwa bahwa perilaku seseorang ada yang terlihat secara jelas (overt behavior) dan kadangkala tidak terlihat secara nyata (covert behavior) tergantung dari kepekaan pengamatannya. Selanjutnya dikatakan bahwa ada tiga kawasan yang membentuk perilaku seseorang (Isaac dan Michael, 1979 dalam Asngari, 2001), yaitu; (1) kognitif, (2) afektif, dan (3) psikomotor. untuk mengubah perilaku seseorang, dapat dilakukan dengan mengubah salah satu unsur itu atau ketiga-tiganya. Dalam kaitan perilaku petani dengan usahataninya, Jarmie (1994) mengidentifikasi bahwa, hubungan antara perilaku dan produktivitas usahatani adalah hubungan perilaku petani dalam hal meningkatkan produksi dengan produktivitas usahatani pra panen. Mosher (1987) menyatakan bahwa, petani dalam menjalankan usahatani pada dasarnya mempunyai dua peran, yaitu: sebagai juru tani (cultivator) dan sekaligus sebagai pengelola (manager). Peran sebagai juru tani, lebih banyak didominasi oleh kerja otot. Sedangkan peran sebagai manajer lebih banyak didominasi oleh kerja otak terutama dalam mengambil keputusan dan melakukan pilihan-pilihan untuk mengelola usahataninya. Untuk menjalankan kedua peran tersebut, petani dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam membudidayakan tanaman. Makeham dan Malcolm (1991) menjelaskan bahwa, bidang utama pengetahuan yang harus dimiliki petani adalah: (1) produksi dan perlindungan tanaman, (2) aspek-aspek ekonomi usahatani, (3) pemilihan alat-alat dan perawatannya, (4) kredit dan keuangan, (5) pemasaran, (6) pengelolaan tenaga kerja dan komunikasi dan (7) pencarian informasi. Bukan hanya pengetahuan yang dibutuhkan oleh petani dalam mengelola usahataninya. Selain itu, petani juga membutuhkan keterampilan untuk menerapkan pengetahuan yang dimilikinya agar mampu menjalin hubungan yang sinergis dengan pelaku usaha lainnya. Petani harus dapat memiliki pengatahuan dan ketarampilan yang relevan untuk meningkatkan perilaku sesuai dengan
121
tuntutan perkembangan lingkungannya, terutama tuntutan cara-cara pengelolaan usahatani yang baik, sehingga dapat meningkatkan produktivitas usahataninya. Berdasarkan uraian di atas, maka petani dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan agar perilaku petani yang bersangkutan sesuai dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya yaitu pengetahuan dan keterampilan mengelola usahataninya dan keterampilan dalam mengambil keputusan untuk usahataninya, sehingga perilaku petani tercermin dari kemampuannya meningkatkan produktivitas usahatani yang dikelolanya, serta mencerminkan
keterampilan dalam hal pengolahan lahan, pemilihan bibit,
penanaman, pemupukan, penyemaian, pengendalian hama dan penyakit, pengairan, panen, pascapanen sampai pemasaran. Hubungan Kinerja BPP dengan Perilaku Petani Kinerja BPP dapat dinilai dari aspek yang berkaitan langsung dengan perilaku petani, yaitu kinerja dari pada individu yang ada dalam organisasi dan kinerja BPP sebagai organisasi penyuluhan. Kinerja individu dalam BPP yaitu kinerja staf BPP dan kinerja penyuluh, walaupun staf dan penyuluh merupakan satu kesatuan jika dilihat dari sudut proses manajemen, terutama dari sudut administrasi kepegawaian. Sedangkan kinerja organisasi dapat dilihat dari kemampuannya menyusun program aksi dan merumuskan, menjabarkan, menyusun, menerapkan, memanfaatkan dan melakukan komponen-komponen yang ada dalam program aksi. Tugas BPP dapat dicerminkan ke dalam program aksi baik yang berkaitan dengan (1) menyusun programa penyuluhan pada tingkat kecamatan sejalan dengan programa penyuluhan kabupaten/kota, (2) melaksanakan penyuluhan berdasarkan programa penyuluhan, (3) menyediakan dan menyebarkan informasi teknologi,
saran
produksi,
pembiayaan,
dan
pasar,
(4)
memfasilitasi
pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha, (5) memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swadaya, dan penyuluh swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan, dan
122
(6) melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan dan pengembangan model usahatani bagi pelaku utama dan pelaku usaha. Implementasi tugas BPP tersebut dapat terselenggara dengan baik dan menjadi ukuran kinerja yang baik, apabila semua komponen tugas tersebut berkaitan langsung dengan bagaimana cara melalui implementasi tugas-tugas BPP selalu
bersentuhan
langsung
dengan
petani,
terutama
dalam
kegiatan
usahataninya. Maka itu berarti, ada interaksi antara BPP melalui staf dan penyuluhnya dengan para petani, sehingga diharapkan ada perubahan perilaku bagi petani akibat program dan kegiatan yang dilaksanakan melalui penjabaran tugas pokok dan fungsi BPP. Menurut van den Ban (1999) bahwa ada tiga komponen utama dan dapat diurai dalam beberpa aspek untuk memengaruhi perilaku manusia, yaitu : (1) metode paksaan (kebijakan), (2) pemberian (pertukaran), dan pendidikan (pengetahuan). Definisi tersebut mengisyaratkan adanya kesesuaian tugas BPP untuk memengaruhi perilaku petani. Peran BPP dalam membantu pengembangan kelompok dan gabungan kelompok serta BPP sebagai wadah pertemuan petani atau kelompok tani dengan palaku usaha juga menunjukkan secara jelas bahwa terjadi interaksi langsung antara BPP dalam hal ini staf dan penyuluh dengan para petani dan pelaku usaha. Interaksi tersebut membawa muatan dan pertukaran, baik mengamati, merespon, maupun mencotoh akan berpengaruh terhadap perilaku petani. Apabila BPP dapat menjalankan tugas dan perannya dengan baik melalui pemenuhan semua unsur tugas dan peran yang harus dilaksanakan sebagai tugas pokok dan fungsinya, sehingga menghasilkan sebuah rencana yang baik dan terukur dan dijalankan dengan baik dan terbuka maka dampaknya adalah BPP akan dianggap memiliki kinerja yang baik. Kinerja yang baik tersebut, karena semua yang dilakukan BPP selain fungsi administrasi kepegawaian untuk mengurus para staf dan penyuluh itu adalah kesemuanya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia petani, maka dengan sendirinya kita dapat mengatakan bahwa kinerja BPP berhubungan dengan perilaku petani.
123
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Tantangan organisasi saat ini dan ke depan adalah situasi perubahan yang semakin terbuka dan kadang tak terduga terjadinya. Disamping itu, sistem informasi yang juga sangat terbuka untuk diakses, menyebabkan organisasi profit dan non profit harus terus mengembangkan diri, termasuk didalamnya BPP sebagai organisasi dimana para penyuluh bernaung dan bekerja sebagai ujung tombak penyuluhan pertanian di tanah air sehingga tidak tergerus oleh perubahan yang terjadi. Perubahan memang mengisyaratkan perlunya adaptasi terhadap fenomenafenomena perubahan itu sendiri, disamping kreatifitas dan inovasi guna mengimbangi dan merespon turbulensi akibat perubahan yang tak terduga tersebut. Adaptasi yang tidak relevan terhadap perubahan dapat mengurangi daya saing organisasi dalam menjalankan aktivitasnya, misalnya saja daya saing dalam hal pelayanan kepada kliennya, dan bahkan akan mengurangi daya efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya organisasi yang dapat mengakibatkan organisasi akan mengalami krisis yang selanjutnya akan mengalami stagnasi dan hanya sekedar eksis tanpa dapat menciptakan improvisasi dalam menjalankan aktivitasnya. Kreatifitas dan inovasi juga menjadi penting, karena secara internal memperlihatkan kemampuan organisasi “BPP” memberi respon yang positif terhadap perubahan, juga memperlihatkan SDM organisasi yang memiliki kapasitas dan kemampuan memberi tanggapan terhadap apa yang terjadi di luar organisasi mereka, terutama perubahan yang berkaitan langsung manajemen organisasi mereka dengan memanfaatkan secara efisien dan efektif sumberdaya yang dimiliki organisasi “BPP”. Sedangkan secara eksternal akan meningkatkan kemampuan kepelayanan terhadap klien (petani) sesuai dengan perkembangan perubahan dan tuntutan kebutuhan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian masa kini.
124
BPP hanya dapat menjalankan peran tersebut di atas, terutama jika mampu menciptakan kinerja organisasi “BPP” yang dinamis merespon perkembangan dan perubahan yang kadang tak terduga. Kinerja organisasi yang berkualitas, selain dapat membantu para anggota organisasi mampu menatap ke depan arah yang ingin dituju dan dicapai juga dapat memberi panduan dan tindakan pelayanan penyuluhan yang tepat dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya dalam melayani para klien (petani) yang ada pada wilayah kerja BPP. Kinerja organisasi tidak terlepas dari kemampuan organisasi membangun dan mengembangkan konsep (dokumen perencanaan) operasional organisasi yang mengharuskan para anggotanya mengartikulasi berbagai unsur konsep tersebut sebagai landasan dalam menjalankan tugas dan fungsi pokok di BPP. Konsep operasional organisasi tersebut adalah program aksi BPP. Kemampuan BPP merumuskan dan menyusun program aksi tidak terlepas dari keunggulan mutu BPP dan sumberdaya manusia. Keunggulan mutu sebagai bentuk kesatuan yang terintegrasi antara tata kelola, kepemimpinan sistem pengelolaan,
dan
penjaminan
mutu
yang
ditujukkan
untuk
menjamin
terselenggaranya fungsi BPP sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, sedangkan sumberdaya manusia selain menggambarkan potensi untuk dapat dikembangkan, juga merupakan kondisi riil kesesuaian antara deskripsi pekerjaan (job description)
dengan kemampuan dan keterampilan sumberdaya manusia
yang dimiliki BPP untuk menjamin dan mendayagunakan sumberdaya manusia yang memnuhi kualifikasi yang dipersyaratkan BPP, profesional serta mutu kinerja sesuai tuntutan pekerjaan. Keunggulan mutu dan sumberdaya manusia BPP harus ditopang dengan sarana dan pembiayaan yang memadai untuk membantu staf BPP merumuskan program aksi yang dapat memenuhi kepentingan organisasi dan menjangkau kebutuhan klien (petani)
serta kepentingan stakeholder
lainnya secara
berkelanjutan. Kinerja organisasi merupakan realisasi dari penjabaran, hasil perumusan atau penyusunan serta pemanfaatan dan penerapan dari rencana program yang dihasilkan BPP. Kualitas kinerja yang ditunjukkan dari realisasi program aksi sangat bermanfaat untuk mewujudkan organisasi yang dinamis dan berkelanjutan,
125
efektif dan efisien dalam memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang dimilikinya dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Tetapi jauh lebih penting dan bermanfaat adalah kemampuan BPP menjangkau secara adil dan merata pemenuhan kebutuhan dan membantu klien BPP yaitu petani agar dapat melancarkan usahatani mereka sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi budidaya pertanian modern serta tuntutan pasar, sehingga petani akan semakin meningkat pengetahuan, keterampilan dan sikap mereka yang selanjutnya akan memperbaiki tingkat kehidupan petani dan keluarganya agar semakin sejahtera. Keterkaitan antara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi BPP dan selanjutnya memengaruhi perilaku petani dapat digambarkan dengan pendekatan model logika oleh Powel dan Henert (2008). Model logika digunakan sebagai kerangka pikir dalam penelitian ini karena menurut Schacter (2002) seperti yang diuraikan berikut ini : “A logic model forces you to think through, in a systematic way, what your program is trying to accomplish and the steps by which you believe your program will achieve its objectives. Because measurement of program performance is tied to program objectives, and because the logic model articulates the series of steps by which a program is intended to achieve its objectives, the logic model is also the foundation for developing a set of performance measures. If a logic model is well done, a set of appropriate performance measures emerges from it almost automatically – a point that we will address in more detail below” Sebuah model logika memaksa anda untuk memikirkan, dengan cara sistematis, program apa yang anda coba selesaikan dan langkah-langkah mana yang anda percaya yang akan mencapai tujuan-tujuan program anda. Karena pengukuran kinerja program terkait dengan tujuan-tujuan program, dan karena model logika mengartikulasikan
serangkaian
langkah-langkah
dimana
sebuah
program
dimaksudkan untuk mencapai tujuannya, model logika adalah juga merupakan pondasi untuk mengembangkan seperangkat ukuran kinerja. Jika model logika dilakukan dengan baik, dari seperangkat ukuran kinerja hampir otomatis muncul secara tepat. Pendekatan
model
logika
tersebut
disusun
berdasarkan
situasi
perkembangan BPP yang memengaruhi faktor-faktor kinerja organisasi. Faktorfaktor tersebut dapat diartikulasi dan dianalisis sehingga menjadi empiris melalui
126
penelitian dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagai representatif dari model yang dikembangkan pada model logika organisasi BPP. Model logika dari Powel dan Henert (2008) diperlihatkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Model logika pengembangan program Sumber : Powel ET, Henert E. 2008. University Of Wisconsin-Extension Cooperative Extension Program Development And Evaluation. Pada
model
logika
tersebut
secara
umum
menggambarkan
perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Secara khusus menjelaskan proses analisis situasi dan analisis penetapan prioritas, selanjutnya ke proses program aksi yang terdiri dari : (1) masukan (input), (2) keluaran (output) yang terdiri dari aktivitas yang dilakukan dan partisipasi sebagai bentuk sasaran yang ingin dicapai, (3) hasil (outcome) dalam bentuk pencapaian jangka pendek dan jangka menengah. Sedangkan dampak (impact) sebagai bentuk pencapaian jangka panjang, berupa kondisi ekonomi, sosial, lingkungan dan kehidupan berbangsa semakin baik (4) evaluasi (evaluation), yaitu fokus pada proses aktivitas program aksi, koleksi data, analisis dan interpretasi data serta penyusunan laporan.
127
Model logika Gibson tersebut digunakan sebagai kerangka kerja (framework) guna membangun model logika pengembangan organisasi BPP seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.
Penetapan prioritas (Priority Setting) Situasi (Situation)
Pengembangan BPP
Keluaran (Output)
Masukan (Input)
Program Aksi : (1) SDM/Staf BPP terlibat yang menyusun program aksi
• Kinerja BPP rendah
Sumberdaya Manusia BPP Organisasi BPP • Pengem bangan program kurang memadai
(2) Waktu penyusunan program aksi (3) Materi/metode penyusun program aksi (4) Peralatan yang digunakan
Petani Binaan
Sumberdaya BPP
Adaptasi BPP
Jangka pendek
Pengembangan Program (1)
Pengelolaan BPP
Hasil (Outcomes)
Kompetensi petani berusahatani meningkat
Penyusunan programa
(2) RDK
Sasaran (Goal)
(3) RDKK Implementasi Program Aksi
BPP (penyuluh)
( 4) Rencana pembelajaran
(5) Bahan yang dimanfaatkan
(5)
(6) Sarana dan prasarana yang dimanfaatkan
(6) Media pembelajaran
Materi informasi dan teknologi
(7) Penelitian dasar/informasi
(7)
Metode pembelajaran
(8) Anggaran pelaksanaan
(8)
Biaya operasional
(9)
Evaluasi
Petani binaan (partisipasi)
Jangka menengah Produksi Usahatani dan pendapatan petani meningkat
Jangka panjang Kesejahteraan petani meningkat
Gambar 3. Pengembangan BPP dengan pendekatan model logika
Pada Gambar 3. menggambarkan pengembangan organisasi BPP yang didasarkan pada asumsi sistem organisasi terbuka, dimana suatu sistem terbuka terdiri dari lima elemen dasar (Scott, 2008 dalam Lunenburg, 2010), yaitu: masukan, proses transformasi, output, umpan balik, dan lingkungan. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.
128
Organization
Inputs
Transformations Process
Outputs
Feedback Environment Gambar 4. Sistem organisasi terbuka. Sumber : Fred C. Lunenburg, 2010.
Sejalan model logika yang digunakan dalam kerangka pikir untuk pengembangan BPP, maka kerangka model organisasi sistem terbuka digunakan untuk lebih memahami BPP sebagai sebuah sistem organisasi terbuka. Pada proses tersebut diawali dengan analisis situasi organisasi BPP dilokasi penelitian, dimana terdapat kesenjangan dalam sistem organisasi BPP, yaitu kinerja BPP rendah dan program aksi kurang memadai. Hal tersebut perlu dilakukan perbaikan melalui pengaturan dari beberapa faktor internal organisasi BPP, antara lain: pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP yang berdampak pada kemampuan merumuskan rencana program aksi dalam bentuk pengembangan program dan implementasi program aksi dan seterusnya akan memberi pengaruh pada kinerja
BPP yang pada
akhirnya berdampak pada perubahan perilaku petani dalam usahatani mereka. Menurut Sumardjo (2004), bahwa program penyuluhan perlu lebih mampu menjangkau hal-hal di luar pengembangan teknologi produksi, seperti yang selama
ini
terjadi.
Melalui
kerjasama
dengan
pihak
terkait,
untuk
mengembangkan kemandirian petani (kesiapan petani di era pertanian berkelanjutan) lembaga penyuluhan dituntut untuk mampu menjangkau faktorfaktor yang menentukan perilaku modern, efisien, dan daya saing petani tersebut sehingga kondusif bagi perkembangan kemandirian petani.
129
Upaya untuk memperbaiki situasi yang ada pada BPP dibutuhkan input berupa sumberdaya manusia, sumberdaya bahan dan peralatan, sumberdaya waktu, sumberdaya informasi serta biaya dan metode yang tepat untuk menghasilkan output berupa program aksi yang akan diimplementasikan oleh staf BPP terutama penyuluh untuk proses pembelajaran usahatani, dimana sasarannya adalah petani binaan masing-masing yang ada di wilayah kerja BPP serta mendorong partisipasi petani dalam proses penyuluhan. Berdasarkan penjelasan konsep pada tinjauan pustaka dan model logika pengembangan BPP, maka dapat dirumuskan alur hubungan antar peubah pada penelitian ini, seperti pada Gambar 5. Pengembangan BPP (X1) 1. Visi 2. Misi 3. Tujuan 4. Sasaran 5. Strategi
Program aksi (Y1) Pengembangan Program 1. Programa 2. RDK 3. RDKK Implementasi Program Aksi 4. Rencana pembelajaran 5. Materi informasi dan teknologi 6. Media pembalajaran 7. Metode pembelajaran 8. Biaya operasional 9. Evaluasi pembelajaran
Pengelolaan BPP (X2) 1. Tata kelola 2. Kepemimpinan 3. Sistem pengelolaan 4. Penetapan keputusan 5. Suasana kerja
Sumberdaya Manusia (X3) 1. Jumlah penyuluh 2. Pendidikan formal penyuluh 3. Pelatihan fungsional 4. Pelatihan teknis penyuluh 5. Rasio penyuluh dengan petani 6. Jumlah staf administrasi dan keuangan 7. Penempatan staf 8. Pengembangan staf
Perilaku Petani (Y2) 1. Kompetensi petani padi 2. Partisipasi petani padi
Petani Binaan (X4) 1. Jumlah kelompok binaan 2. Jumlah petani binaan 3. Luas WKBPP 4. Kemandirian petani
Poduksi padi meningkat
Sumberdaya BPP (X5) 1. Pembiayaan 2. Sarana dan prasarana 3. Sistem informasi
Keterangan : Aadaptasi BPP (X6) 1. Uji coba teknologi pertanian 2. Pengembangan masyarakat 3. Kerjasama dengan lembaga lain
Gambar 5. Alur Hubungan antar peubah penelitian
= Hubungan langsung = Hubungan tidak langsung = Hubungan korelasi
130
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dijelaskan, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: (1) Pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP berpengaruh pada program aksi BPP. (2) Pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, adaptasi BPP, dan program aksi BPP berpengaruh pada perilaku petani. (3) Terdapat hubungan antara peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP. (4) Terdapat pengaruh program aksi BPP pada perubahan perilaku petani padi.
131
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah desain analitis yang dikerjakan berdasarkan data ex post facto, sebagai bentuk penelitian yang menganalisis dan menilai peristiwa faktual yang terjadi di lapangan (Babbie, 1992; Nazir, 2003). Sedangkan rancangan atau pendekatan metode penelitian adalah survei sebagai alternatif metode pengumpulan data survei atau pengumpulan informasi mengenai sejumlah besar orang dengan mewanwancarai segelintir orang dari mereka atau pengumpulan data dari responden yang banyak jumlahnya dengan menggunakan kuesioner atau meliputi suatu metode untuk mengumpulkan keterangan dari satu contoh individu (Babbie, 1992; Black dan Champion 1999; Singarimbun dan Effendi, 1991; Swanson dan Holton III, 2005). Pendekatan metode survei dengan desain kuesioner adalah dapat menjadi pilihan dalam menilai hubungan peubah kinerja organisasi atau penelitian yang ingin mengungkap hubungan sebab-akibat (cause-effect) antar beberapa peubah atau konsep atau beberapa strategi yang dikembangkan dalam manajemen, disamping itu metode survei sering digunakan untuk mengoleksi data pada penelitian organisasi untuk menkaji ciri-ciri dan gejala yang secara langsung tampak (Ferdinand, 2006; Brewerton dan Millward, 2006; Swanson dan Holton III, 2005). Berdasarkan desain dan pendekatan metode penelitian yang digunakan untuk penelitian ini, maka peubah-peubah penelitian yang dikaji meliputi peubah bebas (X) dan peubah tak bebas (Y). Peubah independent atau peubah bebas (X), terdiri dari : pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP. Sedangkan peubah dependent atau peubah terikat (Y), terdiri dari dua peubah, yaitu: program aksi dan perilaku petani. Desain penelitian yang dirancang untuk mengetahui pengaruh peubah independent pada peubah dependent dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan, maka dibuat kerangka hipotetik (Gambar 6). Kerangka hipotetik kemudian dioperasionalisasikan dengan terlebih dahulu merumuskan penyusunan model persamaan pengukuran dan model persamaan struktural sesuai dengan
132
kaidah SEM (Structural Equation Model) (Kusnandi, 2008; Wijanto, 2008; Solimun, 2002). Model persamaan dan kerangka hipotetik penelitian sebagai berikut: • Persamaan model pengukuran (1) Pengukuran peubah pengembangan BPP X 1.1 = λ 1
X1 + δ1
X 1.2 = λ 2
X1 + δ2
X 1.3 = λ 3
X1 + δ3
X 1.4 = λ 4
X1 + δ4
X 1.5 = λ 5 X 1 + δ 5 (2) Pengukuran peubah pengelolaan BPP X 2.1 = λ 6 X 2 + δ 6 X 2.2 = λ 7 X 2 + δ 7 X 2.3 = λ 8 X 2 + δ 8 X 2.4 = λ 9 X 2 + δ 9 X 2.5 = λ 10 X 2 + δ 10 (3) Pengukuran peubah sumberdaya manusia X 3.1 = λ 11 X 3 + δ 11 X 3.2 = λ 12 X 3 + δ 12 X 3.3 = λ 13 X 3 + δ 13 X 3.4 = λ 14 X 3 + δ 14 X 3.5 = λ 15 X 3 + δ 15 X 3.6 = λ 16 X 3 + δ 16 X 3.7 = λ 17 X 3 + δ 17 X 3.8 = λ 18 X 3 + δ 18 (4) Pengukuran peubah petani binaan X 4.1 = λ 19 X 4 + δ 19 X 4.2 = λ 20 X 4 + δ 20 X 4.3 = λ 21 X 4 + δ 21 X 4.4 = λ 22 X 4 + δ 22
133
(5) Pengukuran peubah sumberdaya BPP X 5.1 = λ 23 X 5 + δ 23 X 5.2 = λ 24 X 5 + δ 24 X 5.3 = λ 25 X 5 + δ 25 (6) Pengukuran peubah adaptasi BPP X 6.1 = λ 26 X 6 + δ 26 X 6.2 = λ 27 X 6 + δ 27 X 6.3 = λ 28 X 6 + δ 28 (7) Pengukuran peubah program aksi Y 1.1 = λ 29 Y 1 + ε 1 Y 1.2 = λ 30 Y 1 + є 2 Y 1.3 = λ 31 Y 1 + є 3 Y 1.4 = λ 32 Y 1 + є 4 Y 1.5 = λ 33 Y 1 + є 5 Y 1.6 = λ 34 Y 1 + є 6 Y 1.7 = λ 35 Y 1 + є 7 Y 1.8 = λ 36 Y 1 + є 8 Y 1.9 = λ 37 Y 1 + є 9 (8) Pengukuran peubah perilaku petani Y 2.1 = λ 38 Y 2 + є 10 Y 2.2 = λ 39 Y 2 + є 11 • Persamaan model struktural
(1) Model program aksi Y1 = γ1 X1 + γ2 X2 + γ3 X3 + γ4 X4 + γ5 X5 + γ6 X6 + ζ1 (2) Model perilaku petani Y2 = β Y1 + ζ2
134
δ6
X2.1
δ7
X2.2
λ7
δ8
X2.3
λ8
δ9
X2.4 λ9
δ10
X2.5 λ10
λ6
δ11
X3.1
δ12
X3.2
δ13
X3.3 λ13
δ14
X3.4
δ15
X3.5 λ15
δ16
X3.6
δ17
X3.7
δ18
X3.8
λ11
δ2
δ3
δ4
δ5
X1.1
X1.2
X1.3
X1.4
X1.5
λ1
λ2
λ3
λ14
λ16 λ17 λ18
δ20
X4.2 λ21
δ21
X4.3
δ22
X4.4
φ1
Pengelolaan BPP φ1(X2)
γ2
X5.1
δ24
X5.2
δ25
X5.3
ζ1
φ2 γ7
Program Aksi (Y1)
γ8 φ6
φ3
β
γ4 γ9
Petani Binaan (X4)
Perilaku Petani (Y2)
γ10
γ5
λ30
Y1.2
ε2
λ31
Y1.3
ε3
Y1.4
ε4
Y1.5
ε5
λ35
Y1.6
ε6
λ36
Y1.7
ε7
λ37
Y1.8
ε8
Y1.9
ε9
Y2.1
ε10
Y2.2
ε11
λ33 λ34
λ38
φ4
γ11 γ6
Sumberdaya BPP (X5)
ε1
λ32
γ3
Sumberdaya Manusia (X3)
Y1.1
λ29
γ1
λ22
λ23
λ5
Pengembangan BPP (X1)
X4.1 λ20
δ23
λ4
λ12
λ19
δ19
δ1
ζ2
λ39
γ12
λ24 λ25
φ5 Adaptasi BPP (X6) λ26
λ27
λ28
X6.1
X6.2
X6.3
δ26
δ27
δ28
Gambar 6. Kerangka hipotetik model struktural peubah penelitian
135
Untuk menguji model dirumuskan rancangan pengujian model seperti dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1. Rancangan pengujian model penelitian studi kinerja Organisasi BPP Model Overall Model Fit
Hipotesis H 0 : Matriks kovariansi data sampel tidak berbeda dengan matriks kovariansi populasi yang diestimasi. H 1 : Matriks kovariansi data sampel berbeda dengan matriks kovariansi populasi yang diestimasi.
Statistik Uji Nilai p, RMSEA, dan CFI
Kriteria Uji Diharapkan H 0 diterima, jika: p ≥ 0,05; RMSEA ≤ 0,08 dan atau CFI ≥ 0,90
Model program aksi
H0 : γ 1 = γ2 = γ3 = γ4 = γ5 = γ6 = 0 : pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, adaptasi BPP tidak memengaruhi program aksi. H 1 : γ 1 > 0: pengembangan BPP berpengaruh positif pada program aksi. H 1 : γ 2 > 0: pengelolaan BPP berpengaruh positif pada program aksi. H 1 : γ 3 > 0: sumberdaya manusia berpengaruh positif pada program aksi. H 1 : γ 4 > 0: petani binaan berpengaruh positif pada program aksi. H 1 : γ 5 > 0: sumberdaya BPP berpengaruh positif pada program aksi. H 1 : γ 6 > 0: adaptasi BPP berpengaruh positif pada program aksi. H 0 : γ 7 = γ 8 = γ 9 = γ 10 = γ 11 = γ 12 = β = 0: pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, adaptasi BPP tidak memengaruhi perilaku petani. H 1 : γ 7 > 0: pengembangan BPP berpengaruh positif pada perilaku petani. H 1 : γ 8 > 0: pengelolaan BPP berpengaruh positif pada perilaku petani. H 1 : γ 9 > 0: sumberdaya manusia berpengaruh positif pada perilaku petani. H 1 : γ 10 > 0: petani binaan berpengaruh positif pada perilaku petani. H 1 : γ 11 > 0: sumberdaya BPP berpengaruh positif pada perilaku petani. H 1 : γ 12 > 0: adaptasi BPP berpengaruh positif pada perilaku petani.
Nilai t
Diharapkan H 0 ditolak, jika: nilai t-hitung ≥ 1,96
Nilai t
Diharapkan H 0 ditolak, jika: nilai t-hitung ≥ 1,96
Model perilaku petani
Penjelasan peubah dan sub peubah dari model hipotetik pada Gambar 6 dijelaskan pada Tabel 2.
136
Tabel 2. Peubah dan sub peubah model persamaan struktural No
Peubah Laten Eksogen
1.
Pengembangan BPP
2.
Pengelolaan BPP
3.
Sumberdaya manusia
4
Petani binaan
5.
Sumberdaya BPP
6.
Adaptasi BPP
Sub peubah
Notasi
Visi Misi Tujuan Sasaran Strategi Tata kelola Kepemimpinan Sistem pengelolaan Penetapan keputusan Suasana kerja Jumlah penyuluh Pendidikan formal penyuluh Pendidikan fungsional Pelatihan teknis penyuluh Rasio penyuluh dengan petani Jumlah staf administrasi dan keuangan Penempatan staf Pengembangan staf Jumlah kelompok binaan Jumlah petani binaan Luas WKBPP Kemandirian petani Pembiayaan Sarana dan prasarana Sistem informasi Uji coba teknologi pertanian Pengembangan masyarakat Kerjasama dengan lembaga lain
X 1.1 X 1.2 X 1.3 X 1.4 X 1.5 X 2.1 X 2.2 X 2.3 X 2.4 X 2.5 X 3.1 X 3.2 X 3.3 X 3.4 X 3.5 X 3.6 X 3.7 X 3.8 X 4.1 X 4.2 X 4.3 X 4.4 X 5.1 X 5.2 X 5.3 X 6.1 X 6.2 X 6.3
Programa RDK RDKK Rencana pembelajaran Materi informasi dan teknologi Media pembelajaran Metode pembelajran Biaya operasional Evaluasi pembelajaran Kompetensi petani Partisipasi petani
Y 1.1 Y 1.2 Y 1.3 Y 1.4 Y 1.5 Y 1.6 Y 1.7 Y 1.8 Y 1.9 Y 2.1 Y 2.2
Laten Endogen
1.
Program aksi
2.
Perilaku petani
137
Populasi dan Sampel Populasi Populasi adalah keseluruhan unit-unit observasi yang dikaji, dimana unit analisis yang karakteristiknya atau ciri-cirinya akan diduga sebagai contoh atau wakil yang terpilih dari keseluruhan populasi sebagai langkah sampling (Babbie, 1992; Chadwick, Bahr, Albrecht, 1991; Prijana, 2005; Singarimbun dan Effendi, 1991). Populasi dalam penelitian adalah seluruh BPP yang terdapat pada 15 kabupaten dan 165 kecamatan di Sulawesi Selatan sebagai unit analisis yang ciriciri atau karakteristiknya akan diduga. Unit pengamatan terkecil pada penelitian ini adalah BPP sebagai organisasi penyuluhan pertanian yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. BPP sebagai unit organisasi bagi penyuluh, penyebaran populasi tidak merata pada setiap kabupaten dan pada setiap kecamatan, namun pada satu kabupaten ada BPP yang keberadaannya terdapat pada setiap kecamatan. Jumlah populasi BPP sebanyak 150 yang tersebar pada setiap kecamatan di 15 kabupaten di Sulawesi Selatan. Populasi pada 15 kabupaten yang dipilih sebagai lokasi penelitian ditetapkan dengan pertimbangan :
(1) Sulawesi Selatan
adalah salah satu
provinsi yang menjadi penyangga pangan nasional, (2) keseluruhan kabupaten yang ditetapkan telah mewakili letak wilayah dari utara sampai selatan dan wilayah tengah Sulawesi Selatan, (3) populasi tersebut mewakili karakteristik wilayah pantai, dataran rendah, dan dataran tinggi, (4) keseluruhan wilayah populasi dianggap telah mewakili keragaman budaya di Sulawesi Selatan, (5) keterwakilan beberapa aspek pertimbangan tersebut akan mencerminkan dinamika BPP di Sulawesi Selatan. Jumlah populasi BPP pada ke 15 kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan diperlihatkan pada pada Tabel 3.
138
Tabel 3. Ukuran populasi BPP di Sulawesi Selatan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kabupaten/Kota Gowa Takalar Jeneponto Bantaeng Bulukumba Sinjai Soppeng Wajo Palopo Enrekang Pinrang Sidrap Barru Pangkep Maros Jumlah
Jumlah Kecamatan 18 9 11 8 10 9 8 14 9 12 12 11 7 13 14 165
Jumlah BPP 18 9 11 5 10 9 8 10 4 12 12 11 7 10 14 150
Sampel Sampel adalah sebuah bagian kumpulan khusus atau seleksi bagian yang diambil dari target populasi induk yang diamati dengan maksud membuat kesimpulan, merefleksikan atau mencerminkan karakteristik sekitar sifat alami seluruh populasi itu sendiri (Babbie, 1992; Brewerton dan Millward, 2006). Pengertian tersebut di atas menggambarkan bahwa sampel adalah bagian dari populasi, maka diperlukan penegasan bahwa penelitian ini menelaah BPP sebagai unit analisisnya. Penarikan sampel pada unit populasinya dilakukan dengan cara “contoh acak proporsional,” dari daftar BPP setiap kecamatan pada kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang telah tersedia. Untuk kebutuhan data pendukung penelitian, maka pada setiap BPP yang terpilih menjadi sampel dibutuhkan sejumlah petani yang masih berada dalam wilayah kerja BPP yang terpilih menjadi sampel. Mengacu pada penggunaan cara penarikan sampel di atas, maka untuk menentukan ukuran atau besarnya sampel digunakan
rumus Slovin (Sevilla,
1993), ukuran sampel BPP ini ditetapkan dengan tingkat kesalahan 5% atau jumlah sampel dihitung berdasarkan pendugaan proporsi populasi dan tingkat
139
kepercayaan (presisi) yang dinginkan sebesar 95%, maka ukuran sampel berdasarkan rumus Slovin adalah:
n =
N -----------1 + N(e)²
ni =
Ni -------- x n N
n =
150 -------------------- = 109 BPP 1 + 150 (0,05)²
Keterangan: n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = standar error ni = ukuran sampel strata i Ni = ukuran populasi strata i
Setelah diketahui besarnya ukuran sampel sebagai penduga populasi, maka secara proporsional dapat ditentukan besarnya ukuran sampel pada setiap kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 4. Ukuran sampel pada setiap kabupaten. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kabupaten Gowa Takalar Jeneponto Bantaeng Bulukumba Sinjai Soppeng Wajo Palopo Enrekang Pinrang Sidrap Barru Pangkep Maros Jumlah
Ukuran Populasi (N) 18 9 11 5 10 9 8 10 4 12 12 11 7 10 14 150
Ukuran Sampel (n) 12 7 8 4 7 7 6 7 3 9 9 8 5 7 10 109
140
Data dan Instrumentasi Data Pada penelitian ini data yang dikumpulkan adalah berupa data primer dan data sekunder, baik data kuantitatif maupun kualitatif. Data primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya, yaitu yang memahami organisasi BPP; kepala atau sekretaris atau kepala tatausaha BPP sebagai responden. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Sedangkan data sekunder adalah data berupa dokumen dan informasi yang berhubungan dengan maksud penelitian (data yang dapat digunakan untuk melengkapi penelitian) yang diperoleh melalui isntansi atau kantor yang terkait. Data sebagai bukti empiris dari hasil pengamatan sistematis yang dikumpulkan dengan cermat sesuai ketentuan atau prosedur yang dapat berupa data kuantitatif ataupun kualitatif yang digunakan untuk membuat inferensi agar tercapai konklusi (Kerlinger, 2004; Neuman, 1994). Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari: (1) Pengembangan BPP adalah suatu bentuk pernyataan yang dijadikan sebagai acuan untuk pengembangan dan keunggulan penyelenggaraan BPP, dalam rangka meraih masa depan BPP, yang terdiri dari : (1.1) Visi, yaitu gambaran masa depan BPP yang diinginkan, yang menjadi cita-cita dan landasan utama dalam bertindak. Diukur berdasarkan: (1) skor pernyataan visi yang jelas dan tidak rancu, (2) skor pernyataan visi yang aspiratif, sesuai nilai budaya organisasi, dan (3) skor visi yang dijabarkan dari visi kepemimpinan daerah (bupati). (1.2) Misi, yaitu tugas-tugas yang perlu dilakukan untuk mencapai
visi.
Diukur berdasarkan : (1) skor misi yang menggambarkan penjabaran visi, (2) skor misi menggambarkan arah dan kinerja yang ingin dicapai BPP, dan (3) skor misi yang menggambarkan dapat dicapainya visi BPP.
141
(1.3) Tujuan, yaitu tindakan tertentu untuk mencapai setiap misi. Diukur berdasarkan : (1) skor perumusan tujuan untuk mencapai misi BPP, (2) skor perumusan tujuan sesuai kebutuhan petani dan sumberdaya BPP, dan (3) skor perumusan tujuan yang terukur kinerjanya dan dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu. (1.4) Sasaran, yaitu tindakan terukur yang mengarah kepada pencapaian tujuan yang diinginkan. Diukur berdasarkan: (1) skor sasaran yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai BPP, (2) skor sasaran untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap, dan (3) skor sasaran yang sesuai dengan karakteristik dan jumlah petani serta dapat terjangkau. (1.5) Strategi, yaitu langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang harus dicapai. Diukur berdasarkan : (1) skor strategi BPP yang mendukung pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran BPP, (2) skor strategi yang berpihak kepada kepentingan petani dan mendukung program pemda dan deptan, dan (3) skor strategi BPP member pedoman dan dapat dilaksanakan serta memudahkan pencapaian tujuan BPP. (2) Pengelolaan BPP adalah jumlah skor keadaan pengelolaan BPP yang lebih baik (keunggulan) BPP dalam melaksanakan fungsinya sebagai organisasi penyelenggara penyuluhan, yang terdiri dari lima aspek keadaan yang lebih baik (keunggulan), yaitu : (2.1) Tata kelola. Diukur berdasarkan : (1) skor keunggulan kredibilitas, (2) skor keunggulan transparansi, (3) skor keunggulan akuntabilitas, (4) skor keunggulan tanggungjawab, dan (5) skor keunggulan keadilan (2.2) Kepemimpinan, yaitu proses yang mampu memengaruhi
dengan
pendekatan kepelayanan. Diukur berdasarkan : (1) skor kemampuan menerapkan kepemimpinan yang mendorong semangat, kreativitas dan tanggungjawab anggota, (2) skor kemampuan menerapkan kepemimpin an yang membangun dan memelihara hubungan harmonis serta mendapatkan informasi
dan saling berbagi informasi tersebut, dan
(3) skor kepemimpinan yang mampu mengkomunikasikan visi dan misi serta memberikan arahan kepada anggota.
142
(2.3) Sistem pengelolaan, yaitu sebuah pelaksanaan sistem pengelolaan BPP dilaksanakan secara fungsional dan operasional. Diukur berdasarkan: (1) skor fungsi dan operasional perencanaan BPP, (2) skor fungsi dan operasional pengorganisasian BPP, (3) skor fungsi dan operasional pengembangan staf BPP, (4) skor fungsi dan operasional melaksanakan pengarahan kepada anggota organisasi, (5) skor fungsi dan operasional pengawasan BPP, dan (6) skor fungsi dan operasional monitoring dan aktivitas evaluasi BPP, dan (7) skor penyelenggaraan pengelolaan BPP yang dapat dipercaya dan transparan/terbuka (2.4) Penetapan keputusan, yaitu pengambilan keputusan yang dilakukan secara demokratis dan partisipatif. Diukur berdasarkan : (1) skor penetapan keputusan dilakukan secara partisipatif, dan (2) skor penetapan keputusan dilakukan secara demokratis. (2.5) Suasana kerja, yaitu cerminan suasana para anggota organisasi dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan perannya masing-masing dalam suasana yang kondusif dan kekeluargaan. Diukur berdasarkan : (1) skor yang mencerminkan hubungan antara sesama anggota BPP mencerminkan kekeluargaan, (2) skor yang mencerminkan saling mendukung dalam pencapaian tujuan BPP, dan (3) skor yang mencerminkan saling berbagi dan membantu dalam penyelesaian tugastugas BPP. (3) Sumberdaya manusia, yaitu potensi staf yang dapat dikembangkan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya bagi proses peningkatan kinerja BPP, yang terdiri dari : (3.1) Jumlah penyuluh, yaitu sejumlah sumberdaya manusia yang secara formal dapat dikategorikan sebagai penyuluh di BPP. Diukur berdasarkan banyaknya personil (jumlah) yang kedudukannya sebagai penyuluh di BPP pada saat penelitian dilakukan. (3.2) Pendidikan formal penyuluh, yaitu kurung waktu (tahun) para penyuluh BPP mengikuti pendidikan formal dari SD sampai perguruan tinggi. Diukur dari jumlah tahun menempuh pendidikan formal sampai saat penelitian dilaksanakan.
143
(3.3) Pelatihan fungsional, yaitu pelatihan yang berhubungan dengan metodologi
penyuluhan.
Diukur
berdasarkan
jumlah
pelatihan
fungsional yang pernah diikuti dalam kurun waktu satu tahun terakhir. (3.4) Pelatihan teknis, yaitu pelatihan teknis manajemen organisasi, manajemen perkantoran, ketatausahaan, kearsipan, pembukuan dan kepemimpinan yang pernah diikuti. Diukur berdasarkan berapa kali mengikuti pelatihan teknis dalam kurung waktu tiga tahun terakhir (frekwensi mengikuti pelatihan). (3.5) Rasio penyuluh dengan petani, yaitu perbandingan antara jumlah penyuluh BPP dengan jumlah petani yang dilayani. Diukur berdasarkan berapa jumlah penyuluh BPP dan jumlah petani yang dilayani dalam wilayah kerja BPP pada saat penelitian dilakukan. (3.6) Jumlah staf, yaitu sejumlah sumberdaya manusia yang secara formal dapat dikategorikan sebagai staf di BPP. Diukur berdasarkan banyaknya personil yang kedudukannya sebagai staf di BPP. (3.7) Penempatan staf, yaitu kesesuaian antara tugas dan fungsi dengan kemampuan dan keterampilan staf yang ditempatkan di BPP. Diukur berdasarkan : (1) skor kesesuaian jumlah staf yang ditempatkan dalam bidang pekerjaan tertentu, (2) skor
kesesuaian kemampuan dan
keterampilan staf dengan jenis pekerjaannya, dan (3) skor kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan bidang pekerjaan. (3.8) Pengembangan staf, yaitu kesempatan yang disediakan oleh kantor BPP bagi setiap staf untuk mendapatkan pengembangan diri (pengetahuan, keterampilan, sikap) melalui program pengembangan, seperti; pelatihan ditempat kerja (on the job training) atau pelatihan di luar tempat kerja (off the job training). Diukur berdasarkan (1) skor program pengembangan karir staf sesuai tuntutan kebutuhan pekerjaan, (2) skor program pengembangan staf
sesuai jumlahnya dengan bidang
pekerjaan, dan (3) skor program pengembangan staf berpeluang bagi seluruh staf BPP. (4) Petani binaan, yaitu jumlah petani padi yang dibina pada hamparan wilayah kerja penyuluh pertanian yang terdiri dari :
144
(4.1) Jumlah kelompok binaan, yaitu banyaknya jumlah kelompok tani yang dilayani BPP. Diukur berdasarkan banyaknya jumlah kelompok tani yang dibina BPP. (4.2) Jumlah petani binaan, yaitu banyaknya jumlah petani yang dilayani dalam hamparan wilayah kerja BPP. Diukur berdasarkan jumlah petani yang menjadi binaan BPP. (4.3) Luas wilayah kerja BPP, yaitu luas wilayah administrasi yang menjadi wilayah kerja penyuluh pertanian. Diukur berdasarkan jumlah desa yang menjadi wilayah kerja BPP. (4.4) Kemandirian petani, yaitu banyaknya jumlah petani yang dikategorikan oleh BPP sebagai petani yang dianggap mandiri. Diukur berdasarkan jumlah petani yang tergolong mandiri dalam wilayah kerja BPP. (5) Sumberdaya BPP, yaitu potensi yang dimiliki BPP yang dapat digunakan untuk mencapai hasil atau tujuan BPP yang terdiri dari : (5.1) Pembiayaan, yaitu total biaya yang dikelola dan dialokasikan oleh BPP dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Diukur berdasarkan : (1) jumlah dana (RP) yang dikelola pertahun, dan (2) jumlah alokasi dana (Rp) untuk kegiatan BPP pertahun. (5.2) Sarana dan prasarana, yaitu skor ketersediaan peralatan dan bangunan fisik yang digunakan untuk melakukan penyelenggaraan penyuluhan pertanian untuk mempermudah dan memperlancar pekerjaan BPP yang terdiri dari : (1) skor ketersediaan sarana keinformasian BPP, (2) skor ketersediaan sarana alat bantu penyuluh, (3) skor ketersediaan sarana peralatan administrasi, (4) skor ketersediaan sarana alat transportasi, (5) skor ketersediaan sarana perpustakaan, (6) skor ketersediaan sarana perlengkapan ruangan, (7) skor ketersediaan prasarana perkantoran, (8) skor ketersediaan prasarana lingkungan, dan (9) skor ketersediaan prasarana penunjang. (5.3) Sistem informasi, yaitu skor ketersediaan sistem informasi untuk mendukung pelaksanaan BPP yang terdiri dari : (1) skor ketersediaan peralatan sistem informasi yang memadai, (2) skor ketersediaan sumberdaya manusia yang memadai untuk mengelola sistem informasi,
145
(3) skor ketersediaan sistem informasi yang membantu pengambilan keputusan, (4) skor ketersediaan sistem informasi yang dapat membantu operasional BPP, dan (5) skor ketersediaan sistem informasi yang dapat membantu mencapai tujuan BPP. (6) Adaptasi BPP, yaitu skor kemampuan BPP menyelenggarakan aktivitas dalam hal uji coba teknologi pertanian, pengembangan program dan kerjasama dengan beberapa lembaga, sehingga memungkinkan BPP meningkatkan kinerjanya dengan baik yang terdiri dari : (6.1) Uji coba teknologi pertanian, yaitu skor kemampuan BPP melakukan uji coba teknologi pertanian. Diukur berdasarkan : (1) skor ketersediaan sarana dan prasarana uji coba teknologi pertanian, (2) skor kemampuan melakukan uji coba teknologi sebelum dilakukan difusi, dan (3) skor kemampuan melakukan percontohan hasil uji coba teknologi pertanian. (6.2) Pengembangan masyarakat, yaitu skor kemampuan BPP melaksanakan pengembangan program untuk kepentingan masyarakat di wilayah kerja BPP yang terdiri dari : (1) skor kemampuan mengembangkan program ekonomi, (2) skor kemampuan mengembangkan program sosial, (3) skor kemampuan mengembangkan program kelembagaan, dan (4) skor kemampuan mengembangkan program kemitraan. (6.3) Kerjasama dengan lembaga lain, yaitu skor kemampuan BPP mengembangkan dan melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang ada untuk meningkatkan kinerja dan membantu pencapaian tujuan BPP. Diukur berdasarkan (1) skor kemampuan melakukan kerjasama dengan lembaga pemerintah terkait, (2) skor kemampuan melakukan kerjasama dengan lembaga swasta, (3) skor kemampuan melakukan kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat, (4) skor kemampuan melakukan kerjasama dengan lembaga koperasi/KUD, dan (5) skor kemampuan melakukan kerjasama dengan kelompopk tani dan gabungan kelompok tani. (7) Program aksi BPP adalah suatu rencana dalam bentuk pernyataan yang menetapkan arah dan tindakan yang akan dilakukan bagi BPP dan landasan pengambilan keputusan, serta alokasi sumberdaya, dan hasil yang ingin
146
dicapai serta cara mencapainya yang dinyatakan dan dituangkan
dalam
bentuk pengembangan program aksi dan imlementasinya, yang terdiri dari : (7.1) Programa, yaitu skor kemampuan BPP menyusun rencana yang disusun secara sistematik untuk memberikan arah dan pedoman sebagai alat pengendali pencapaian tujuan penyuluhan. Diukur berdasarkan : (1) skor kemampuan membentuk tim perencana penyusunan programa secara kolaboratif, (2) skor kemampuan pengumpulan data sumberdaya dan potensi wilayah kerja, (3) skor kemampuan pengumpulan data lembaga pendukung, (4) skor kemampuan pengumpulan data sarana dan prasarana, (5) skor kemampuan pengumpulan data penerapan teknologi
usahatani
di
wilayah
kerja,
(6)
skor
kemampuan
mengidentifikasi kewenangan Deptan dan Pemda dalam penyuluhan pertanian, (7) skor kemampuan identifikasi masalah masyarakat tani, (8) skor kemampuan identifikasi akar masalah, (9) skor kemampuan pengembangan alternatif solusi pemecahan masalah, (10) skor kemampuan melakukan pilihan solusi terbaik, dan (11) skor kemampuan melakukan perumusan programa. (7.2) RDK, yaitu skor kemampuan BPP memfasilitasi rencana kerja usahatani dari kelompok untuk satu periode 1 (satu) tahun yang berisi rincian kegiatan dan kesepakatan bersama dalam pengelolaan usahtani. Diukur berdasarkan : (1) skor kemampuan fasilitasi diskusi penyusunan RDK, (2) skor kemampuan fasilitasi perumusan penyusunan RDK, dan (3) skor kemampuan fasilitasi penetapan keputusan Rencana Definitif Kelompok. (7.3) RDKK, yaitu skor kemampuan BPP memfasilitasi perumusan untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi dan alat mesin pertanian, baik berdasarkan kredit/permodalan usahatani bagi anggota kelompok tani yang memerlukan maupun dari swadana petani. Diukur berdasarkan : (1) skor kemampuan fasilitasi diskusi penyusunan RDKK, (2) skor kemampuan fasilitasi perumusan penyusunan RDKK, dan (3) skor kemampuan fasilitasi penetapan keputusan RDKK.
147
(7.4) Rencana pembelajaran, yaitu skor kemampuan BPP menyusun rencana pembelajaran secara kolaboratif untuk penyeleggaraan penyuluhan. Diukur berdasarkan : (1) skor kemampuan merumuskan nama kegiatan, (2) skor kemampuan menetapkan output yang diharapkan, (3) skor kemampuan menentukan sasaran, (4) skor kemampuan menetapkan volume/frekwensi kegiatan, (5) skor kemampuan menentukan lokasi kegiatan, (7) skor kemampuan menentukan jadwal kegiatan, (8) skor kemampuan merinci biaya yang dibutuhkan, (9) skor kemampuan menentukan pelaksana kegiatan, (10) skor kemampuan menetapkan penanggungjawab kegiatan, dan (11) skor kemampuan mencamtumkan pihak terkait dengan kegiatan. (7.5) Materi informasi dan teknologi, yaitu skor kemampuan menyampaikan materi informasi dan teknologi sesuai kebutuhan sasaran. Diukur berdasarkan : 1) skor kemampuan mengenal dan menyampaikan informasi dan teknologi benih, pupuk dan pestisida, (2) skor kemampuan menyampaikan informasi dan teknologi mengolah lahan, (3)
skor
kemampuan menyampaikan
informasi dan teknologi
penanaman, (4) skor tingkat kemampuan menyampaikan informasi dan teknologi pemeliharaan tanaman padi, (5) skor kemampuan mengenal dan menyampaikan informasi dan teknologi memanen padi, (6) skor kemampuan mengenal dan menyampaikan informasi dan teknologi menyimpan hasil panen padi, (7) skor kemampuan menyampaikan informasi dan teknologi memasarkan hasil dan (8) skor kemampuan menyampaikan informasi dan teknologi mengakses pada lembaga permodalan, pemasaran dan dinas pertanian, (9) skor kemampuan menyampian informasi tentang bekerjasama dengan petani lain, (10) skor kemampuan menyampaikan informasi menumbuhkembang kan kelompok tani dan gabungan kelompok tani, dan (11) skor kemampuan menyampaikan informasi penanaman jiwa kewirausahaan. (7.6) Media pembelajaran, yaitu skor kemampuan menggunakan media yang sesuai informasi dan teknologi serta metoda yang digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran. Diukur berdasarkan : (1) skor kemampuan
148
mengidentifikasi kebutuhan informasi, teknologi, dan bimbingan, (2) skor kemampuan membuat media brosur, leaflet, dan poster, (3) skor kemampuan menyusun script dan mengasuh siaran pedesaan, pers reales, video clip, mengisi kolom Koran, dan naskah seni budaya, (4) skor kemampuan mencari (Browsing), mengambil (Download) dan mengirim (Upload) dari internet, (5) skor kemampuan melakukan kegiatan pameran hasil usahatani dan pemutaran film, dan (6) skor kemampuan memakai media tatap muka. (7.7) Metode pembelajaran, yaitu skor kemampuan menggunakan metoda sesuai tujuan, jenis informasi dan teknologi, kemampuan penyuluh, situasi dan kondisi sasaran, melaksanakan pembelajaran pada lokasi yang telah ditentukan, dan melaksanakan pembelajaran sesuai jadwal yang
disepakati.
Diukur
berdasarkan :
(1) skor
kemampuan
menggunakan metode pendekatan perorangan, (2) skor kemampuan menggunakan metode pendekatan kelompok, (3) skor kemampuan menggunakan metode pendekatan massal/umum, (4) skor kemampuan melaksanakan pembelajaran pada lokasi yang telah disepakati, dan (5) skor kemampuan melaksanakan pembelajaran sesuai waktu yang disepakati. (7.8) Biaya operasional, yaitu jumlah biaya yang dialokasikan untuk membiayai operasionalisasi penyuluhan. Diukur berdasarkan besarnya jumlah biaya yang dialokasikan dalam satu tahun anggaran dalam bentuk jumlah rupiah pertahun. (7.9) Evaluasi pembelajaran, yaitu skor kemampuan melaksanakan evaluasi proses dan hasil, membuat laporan dan tindak lanjut serta penyampaian hasil kepada pihak-pihak terkait. Diukur berdasarkan : (1) skor kemampuan merumuskan tujuan evaluasi, (2) skor kemampuan melaksanakan evaluasi kegiatan, (3) skor kemampuan menyusun laporan hasil evaluasi, dan (4) skor kemampuan menyampaikan laporan hasil evaluasi kepada pihak-pihak terkait. (8) Perilaku petani adalah jumlah skor kemampuan petani berusahatani dan berpartisipasi dalam kelompok tani, yang terdiri dari :
149
(8.1) Kompetensi petani dalam berusahatani. Diukur berdasarkan tingkat kemampuan petani : (1) skor memilih benih yang baik (2) skor menggunakan pupuk, (3) skor menggunakan pestisida, (4) skor mengolah lahan, (5) skor menanam, (6) skor pemeliharaan, (7) skor pemanenan, (8) skor perlakuan pasca panen, (9) skor mengidentifikasi masalah usahatani, (10) skor mencari solusi penyelesaian masalah, (11) skor melaksanakan kegiatan pemecahan masalah, (12) skor mengembangkan kemitraan usaha. (8.2) Partisipasi petani dalam kelompok tani. Diukur berdasarkan : (1) skor aktif berpartisipasi membayar iuran anggota, (2) skor partisipasi hadir saat pertemuan, dan (3) skor partisipasi dalam meberikan sumbangan pemikiran.
Instrumentasi Instrumentasi sebagai proses penyusunan instrumen yang merupakan suatu alat yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, sehingga dapat digunakan untuk mengukur suatu peubah yang ingin diukur atau mengumpulkan data suatu peubah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan atau pernyataan-pernyataan yang terkait dengan peubah yang akan diukur dalam penelitian. Berkaitan pertanyaan atau pernyataan dalam kuesioner tersebut, Denzin, (1970) dalam Chadwick, Bahr, Albrecht, (1991) memberikan pedoman bahwa pertanyaan dan atau pernyataan harus : (1) menyampaikan arti setepat-tepatnya kepada responden, (2) mendorongnya merasa terlibat dan menyampaikan sikap dan pendapatnya dengan jelas, (3) cukup jelas sehingga pewawancara mudah menyampaikan
pesan
kepada
responden,
(4)
cukup
seksama
dalam
menyampaikan secara tepat apa yang diharapkan dari responden, (5) setiap pertanyaan tertentu menghasilkan pola tanggapan yang jelas sesuai dengan maksud penelitian. Pengembangan instrumen dilakukan dengan cara: (1) menetapkan peubahpeubah yang ada dalam penelitian, (2) mengembangkan sub-sub peubah dari tiap peubah dengan rujukan teori-teori, hasil penelitian sebelumnya dan rujukan lain
150
yang relevan, (3) menetapkan indikator-indikator dari tiap sub-peubah, (4) mengembangkan butir-butir pernyataan dari tiap indikator dan (5) menyusun kuesioner dari butir-butir pernyataan tersebut (Muliady, 2009) Pada penelitian ini, untuk mendapatkan data primer dilakukan wawancara menggunakan instrumen berupa kuesioner yang dirancang sedemikian rupa agar dapat memenuhi persyaratan akademis, seperti: dengan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti terutama responden, disusun secara jelas dengan katakata atau kalimat yang tidak bermakna ganda, tidak menyinggung responden, dan menghindari bias kepentingan peneliti. Instrumen tersebut sebelumnya telah disusun dan dipersiapkan sesuai atau yang berhubungan dengan peubah-peubah yang diamati dalam obyek penelitian. Instrumen tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu: instrumen untuk pengelola BPP dan untuk petani binaan pada wilayah kerja BPP. Instrumen untuk pengelola BPP berisi pernyataan dan atau pertanyaan yang mengukur : (1) pengembangan BPP, (2) pengelolaan BPP, (3) sumberdaya manusia BPP, (4) petani binaan, (5) sumberdaya BPP, (6) Adaptasi BPP, dan (7) program aksi. Instrumen untuk petani terdiri dari pernyataan dan atau pertanyaan yang mengukur perilaku petani yang terdiri dari : (1) tingkat kompetensi petani, dan (2) tingkat partisipasi petani. Instrumen yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada lampiran 2. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Validitas Instrumen Validitas memperlihatkan sejauh mana suatu alat pengukuran sungguhsungguh mengukur tentang apa yang memang ingin diukur (Kerlinger, 2004; Singarimbun dan effendi, 1991). Sedangkan DeVellis (2003) mengemukakan bahwa validitas adalah cara menarik kesimpulan dari mana suatu skala dibangun, kemampuannya untuk meramalkan peristiwa spisifik atau hubungannya untuk melakukan pengukuran lainnya. Secara umum, Kerlinger (2004) dan DeVellis (2003) Membagi validitas menjadi tiga jenis, yaitu : (1) validitas isi (content validity), (2), validitas konstruk (construct validity), dan (3) validitas relasi kriteria (criterion – related validity).
151
Pada penelitian ini instrumen utama yang digunakan adalah kuesioner untuk mengumpulkan dan mengungkapkan data dan fakta peubah penelitian. Dalam hal ini instrumen berupa kuesioner yang disusun harus dikembangkan sedimikian rupa sehingga benar-benar mengukur peubah apa yang ingin diukur dan mampu mengungkapkan peristiwa dan menarik kesimpulan sesuai skala yang dibangun. Validitas yang akan dikembangkan dalam penelitian adalah berupa validasi instrumen atau pengujian validitas instrumen yang meliputi : 1. Validitas isi (content validity), adalah sejauh mana suatu alat pengukur memiliki isi yang dapat mewakili semua unsur yang
dianggap sebagai
kerangka konsep. Kerlinger (2004) menyatakan bahwa validitas isi adalah kerepresentatifan yang terdapat dalam muatan suatu instrumen pengukur. Pencapaian validitas isi yang tinggi sesunguhnya menurut Kerlinger (2004), merupakan suatu penilaian atau keputusan seseorang atau bersama-sama dengan pihak lain. Karena itu, validitas isi insrtrumen dalam penelitian ini akan dilakukan berdasarkan pendapat (judgement) “penilaian-keputusan” para ahli dalam bidang yang dikaji dalam peneltian ini. Validitas isi yang akan dibangun dalam instrumen penelitian akan dilakukan dengan cara : (1) penyusunan indikator-indikator atau parameter peubah akan didiskusikan dengan tim pembimbing; (2) penyusunan indikator-indikator atau parameter peubah
utama akan dilakukan uji pakar melalui penilaian dan
pendapat 3 (tiga) orang pakar. 2. Validitas konstruk (construct validity), adalah kerangka dari suatu konsep. Crombach dalam Kerlinger (2004), mengatakan ada tiga bagian dalam validasi konstruk, yaitu : pengutaraan mengenai kemungkinan pengaruh konstruk pada hasil tes, membuat hipotesis berdasarkan teori yang melibatkan konstruk itu, dan menguji hipotesis tersebut secara empirik. Validitas konstruk titik perhatiannya pada teori, konstruk teoritis, dan telaah empiris ilmiah yang meliputi
pengujian relasi yang dihipotesiskan. Validasi konstruk melalui
sintesis teori yang terkait dengan peubah-peubah yang akan diukur. Kerangka konsep yang akan diteliti dilakukan melalui
telaahan teori dengan cara
mencari definisi konsep yang telah ditulis oleh para ahli
pada berbagai
literatur dan pustaka selanjutnya membuat difinisi operasional. Teori-teori
152
yang digunakan dalam penelitian ini digunakan untuk menyusun konsep, variabel dan hubungan antar variabel atau peubah. Validasi konstruk terhadap instrumen penelitian ini akan ditelaah dan dilakukan justafikasi oleh tim pembimbing melalui proses sidang komisi dan proses pembimbingan. Pengujian validatas instrument dengan teknik di atas dilakukan terhadap pengelola BPP dan petani binaan yang bukan sampel dalam penelitian, tetapi memiliki kemiripan karakteristik dengan pengelola BPP dan petani binaan yang akan terpilih sebagai sampel dalam penelitian ini.
Reliabilitas Instrumen Reliabilitas instrumen adalah indeks yang menunjukkan sejauhmana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Suatu alat ukur dinyatakan reliabel, jika alat ukur tersebut digunakan untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten (Ancok dalam Singarimbun dan effendi, 1991). Reliabilitas sebagai suatu ketepatan alat ukur. Menurut Karlinger (2004) untuk memudahkan pengertian reliabilitas, maka perlu didekati dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut : (1) jika kita mengukur obyek yang sama berulang kali, instrumen yang sama atau mirip, akankah kita mendapatkan hasil yang sama atau mirip, akankah kita mendapatkan hasil yang sama atau serupa pula. Pertanyaan tersebut menyiratkan suatu definisi keandalan dalam kaitan dengan stabilitas/kemantapan, keterpercayaan (dependability), dan keteramatan (predictability), (2) apakah ukuran-ukuran yang diperoleh dari suatu instrumen pengukur adalah ukuran yang “sebenarnya” untuk sifat yang diukur itu? inilah definisi yang berkaitan dengan ketepatan atau kejituan atau akurasi, dan
(3)
berapa banyak galat pengukuran yang terdapat dalam suatu instrumen pengukur? Validasi reliabilitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan koefisien Cronbach Alpha yang diukur dengan menggunakan skala 0 sampai 1. Uji reliabilitas
instrumen dimaksudkan untuk menelaah dan menentukan apakah
setiap instrumen memiliki keandalan (reliabel) atau tidak. Pada implementasi uji reliabilitas ini, dilakukan uji coba lapangan terhadap 20 BPP dan 20 petani binaan yang masih termasuk dalam wilayah kerja BPP yang tidak termasuk responden dalam penelitian ini.
153
Pengukuran koefisien Cronbach Alpha menggunakan rumus (Solimun, 2002; Azwar, 2010) sebagai berikut :
n C α = ----------
n- 1 n
∑Vi
2
1 - ---------
Vt
2
: besar sampel pada uji coba instrumen
Vi 2 : ragam kelompok indikator bagian ke i, Vt 2 : ragam skor total (perolehan) α : koefisien reliabilitas Ukuran skala reliabilitas dengan koefisien Cronbach Alpha untuk menilai reliabel atau tidaknya instrumen dapat diinterpretasikan dengan melihat lima kelas pada range yang sama sebagai berikut: (1) nilai Alpha Cronbach 0,00-0,20 kurang reliabel (2) nilai Alpha Cronbach 0,21-0,40 agak reliabel (3) nilai Alpha Cronbach 0,41-0,60, cukup reliabel (4) nilai Alpha Cronbach 0,61-0,81 reliabel (5) nilai Alpha Cronbach 0,81-1,00 sangat reliabel Tahapan yang dilakukan untuk menguji keterandalan instrumen sebelum penelitian sesungguhnya dilaksanakan, adalah melakukan uji coba pada BPP dan petani yang bukan responden, terdiri dari 20 BPP dan 20 orang petani binaan BPP di Provinsi Sulawesi Selatan, setelah data dikumpulkan seterusnya dilakukan uji reliabilitasnya dengan menggunakan koefisien Cronbach Alpha. Hasil analisis nilai koefisien reliabilitas Cronbach Alpha instrumen penelitian untuk BPP yang berisi 141 item pernyataan adalah 0,824 (sangat reliabel), sedangkan instrumen untuk petani binaan yang berisi 47 item pernyataan menunjukkan hasil 0,841 (sangat reliabel). Hasil uji reliabilitas tersebut menunjukkan bahwa instrumen dapat digunakan untuk pengumpulan data pada responden sesungguhnya.
Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan pada 15 wilayah kabupaten di Sulawesi Selatan yang telah dipilih ditetapkan sebagai wilayah penelitian dan pada masing-
154
masing kabupaten akan dipilih secara proporsional sejumlah BPP yang berkedudukan di setiap kecamatan. BPP yang terpilih akan diwakili oleh masingmasing pimpinan dan atau diwakili dua orang staf (sekretaris dan kepala tata usaha) sebagai sumber informasi. Data yang dikumpulkan dari informan yang mewakili setiap BPP dan responden petani binaan dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk memperoleh informasi atau data primer secara langsung. Selain itu, dikumpulkan data sekunder sebagai pendukung yang dibutuhkan terkait dengan kebutuhan tujuan penelitian yang diperoleh dari instansi-instansi terkait. Pengumpulan data dilaksanakan kurang lebih 3 (bulan) yaitu bulan Agustus - Oktober 2011. Mengingat cakupan penelitian yang relatif luas dan untuk mendukung kelancaran pengumpulan data di lapangan, maka dalam pelaksanaan pengumpulan data tersebut akan digunakan enumerator sesuai kebutuhan. Enumerator yang terpilih berdasarkan syarat-syarat yang telah digariskan oleh peneliti. Sebelum membantu mengumpulkan data terlebih dahulu dilakukan coaching
untuk
pemahaman terutama substansi (isi kuesioner), cara pengisian kuesioner dan teknis pengumpulan data di lapangan. Analisis Data Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam proses ini, seringkali digunakan statistik. Salah satu fungsi pokok statistik adalah menyederhanakan data penelitian yang amat besar jumlahnya menjadi informasi yang lebih sederhana dan lebih mudah untuk dipahami. Disamping itu, statistik membandingkan hasil yang diperoleh dengan hasil yang terjadi secara kebetulan (by chance), sehingga memungkinkan peneliti untuk menguji apakah hubungan yang diamati memang betul terjadi karena adanya hubungan sistematis antara variabel-variabel yang diteliti atau hanya terjadi secara kebetulan (Singarimbun dan effendi, 1991). Sedangkan Nazir (2003), mengemukakan bahwa analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Sebelum melakukan analisis data, maka data yang telah dikumpulkan
155
terlebih dahulu dilakukan beberpa hal : (1) editing data, (2) mengodekan data, (3) membuat tabulasi, dan (4) analisis data. Analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis hubungan kausal untuk melihat hubungan antar peubah. Agar dapat mengetahui hubungan antar peubah penelitian dan menemukan model empiris hubungan antar peubah dan faktor-faktor pendukungnya akan dilakukan dengan menggunakan alat analisis SEM (Structural Equation Model). Penggunaan alat analisis tersebut dapat dilakukan dengan bantuan program komputer (software) berupa program Excel, SPSS 16.0 dan program LISREL 8,30. Kesesuaian pengujian model sebagai bagian dari analisis data akan dilakukan dengan menggunakan ukuran kesesuaian model Goodness-of-Fit-Test (GFT). Kesesuaian atau fit-nya sebuah model struktural diindikasikan bila memenuhi tiga jenis GFT, yaitu: 1) p-value ≥ 0,05, Root Means Square Error of Approximation (RMSEA) ≤ 0,08, dan Comparative Fit Indeks (CFI) ≥ 0,90. (Joreskog & Sorbon dalam Kusnendi,2008).
156
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Analisis Parameter Model Struktural Kinerja BPP Kinerja Balai Penyuluh Pertanian dianalisis dengan parameter model persamaan struktural, seperti dijelaskan pada Gambar 7. Visi (X11) Misi (X12) Tujuan (X13) Sasaran (X14) Strategi (X15) Tata kelola (X21) Kepemimpinan (X22) Sistem pengel. (X23) Penetapan kepts. (X24) Suasana kerja (X25) Jumlah penyuluh (X31) Pend. formal peny. (X32) Pelat. fungsional (X33) Pelat. Teknis (X34) Rasio peny. petani (X35) Jml. staf adm.keu. (X36) Penempatan staf (X37)
0.49 0.49 0.21 0.21 0.78 0.78 0.52 0.52 0.72 0.72
0.82 0.82 0.76 0.76 0.56 0.56 0.02
Pengembangan BPP (X1) 0.11 0.11
0.32 0.32 0.11 0.11
0.76 0.76
Pengelolaan BPP (X2)
0.02 0.34 0.34
0.24 0.24 0.17 Sumberdaya 0.16 0.17 0.16 manusia 0.18 BPP 0.18 0.81 (X3) 0.81 0.82 0.10 -0.31 0.82 0.10 0.88 -0.31 0.19 0.88 0.27 0.57 0.19 0.27 0.57 0.04 0.01 0.04 0.02 0.01 0.59 0.02 0.59 Petani binaan
Jml. Klp. binaan (X41) Jml. Petani binaan (X42) Luas WKBPP (X43)
(X4) 0.84 0.84 0.54 0.54 0.75 0.75 0.57 0.57
Kemandirian pet. (X44) Pembiayaan (X51) Sarana prasarana (X52)
0.81 0.81 0.84 0.84 0.90 0.90
Sistem informasi (X53) Uji coba tekn. pert. (X61) Pengembg. masy. (X62) Kerjasama lembg. (X63)
0.70 0.70 0.84 0.84 0.70 0.70
0.02 0.02 -0.11 -0.11
0.91 0.91
0.21 0.21
0.08 0.55 0.22 0.08 0.55 0.22
Pengemb. staf (X38)
Penyus. programa (Y11)
0.08 0.08
Program aksi (Y1) (R2 = 0.47)
0.26 0.26
RDK (Y12)
0.77 RDKK (Y13) 0.77 0.75 0.75 0.54 Renc. pembelajar (Y14) 0.54 0.65 Materi info tekn. (Y15) 0.65 0.48 0.48 Media pembelajar (Y16) 0.32 0.32 0.65 Metode pembelajar (Y17) 0.65 0.54 0.54 Biaya operasional (Y18)
Evaluasi pembeljr (Y19) Perilaku petani (Y2) (R2 = 0.49)
0.75 Kompetensi petani (Y21) 0.75 0.81 0.81 Partisipasi petani (Y22)
0.85 0.85
0.78 0.78 0.17 0.17 0.13 0.13 Sumberdaya
0.53 0.53
BPP (X5) -0,13 -0,130.12 0.12
0.12 0.12
Adaptasi BPP (X6)
Chi-Square = 1324,88, df = 683, P-value = 0,0000, RMSEA = 0.097, CFI = 0,58
Gambar 7. Estimasi seluruh parameter model struktural kinerja BPP Uji kesesuaian pada model penelitian yang dinyatakan dengan hipotesisi uji bahwa H 0 : Matriks kovariansi data sampel tidak berbeda dengan matriks kovariansi populasi yang diestimasi dan H 1 : Matriks kovariansi data sampel
157
berbeda dengan matriks kovariansi populasi yang diestimasi. Dengan kriteria uji: H 0 diterima, jika nilai p-hitung ≥ 0,05; RMSEA ≤ 0,08 dan CFI ≥ 0,90. Hasil uji estemisasi secara keseluruhan parameter model struktural yang diperlihatkan pada Gambar 7. menunjukkan nilai p-hitung = 0,0000 < 0,05, nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0,097 > 0,08, dan nilai Comparative Fit Index (CFI) = 0,58 < 0,90. Melihat ketiga komponen kriteria uji, tidak satupun kriteria yang memenuhi syarat untuk menyatakan bahwa kovariansi data sampel berbeda dengan kovariansi populasi. Maka dapat dinyatakan bahwa H 1 diterima atau H 0 ditolak, artinya model yang diuji tidak mampu mengestimasi matriks kovariansi populasi atau hasil estimasi parameter model tidak dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Jika model tersebut tidak dapat mengestimasi kovarians populasi, maka hasil uji model struktural estimasi keseluruhan parameter (Gambar 7) memperlihatkan model pengukuran yang tidak fit dengan data, maka model yang tidak fit tersebut perlu diperbaiki. Perbaikan model dapat dilakukan dengan jalan menganalisis indikator yang dianggap tidak valid. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Hair et al. dalam Kusnendi (2008) yang mengemukakan apabila pada model ditemukan terdapat indikator yang tidak valid, maka indikator tersebut dikeluarkan dari model pengukuran. Artinya, model pengukuran diperbaiki dan koefisien bobot faktornya diestimasi ulang. Indikator dikatakan valid dan reliabel apabila dapat mengukur peubah latennya dengan pertimbangan : (1) secara statistik koefisien bobot faktor nyata pada tingkat kesalahan α = 0,05 dan (2) besarnya estimasi koefisien bobot faktor masing-masing indikator yang distandarkan (standardized) tidak kurang dari 0,40 atau 0,50. Mengacu pada kedua pertimbangan perbaikan model tersebut, maka dilakukan perbaikan model dengan melihat koefisien bobot faktor dan estimasi koefisien bobot faktor masing-masing indikator sampai ditemukan model yang fit. Setelah model estimasi seluruh parameter model struktural yang tidak fit dilakukan perbaikan model, maka ditemukan model yang fit berdasarkan estimasi parameter model struktural kinerja Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dan statistik t-hitung parameter model struktural kinerja penyuluh BPP seperti yang diperlihatkan pada pada Gambar 8 dan 9.
158
Gambar 8. memperlihatkan nilai p-hitung = 0,061 > 0,05, nilai Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0,053 < 0,08 dan nilai Comparative Fit Index (CFI) = 0,92 > 0,90. Berdasarkan uji kesesuaian model, maka H 0 diterima atau H 1 ditolak, artinya model yang diuji mampu mengestimasi matriks kovariansi popilasi atau hasil estimasi parameter model dapat diberlakukan pada populasi penelitian. Oleh karena itu, hasil pengujian kesesuaian model menunjukkan model pengukuran fit dengan data.
Tujuan (X13)
0.71 0.71
Strategi (X15)
0.59 0.59
Tata kelola (X21)
0.69 0.69
Kepemimpinan (X22)
Pengembangan BPP (X1) 0.24 0.21
0.77 0.77
Pelat. Teknis (X34)
Pengelolaan BPP (X2)
Programa (Y11) 0.53
0.79 0.79
0.88
0.66
Rasio peny. petani (X35)
0.89 0.89
Jml. staf adm.keu. (X36)
0.84 0.84
Jml. Klp. binaan (X41) Luas WKBPP (X43) Pembiayaan (X51)
Uji coba tekn. pert. (X61) Pengembg. masy. (X62) Kerjasama lembg. (X63)
Sumberdaya manusia BPP (X3)
0.07 0.41 0.55 0.15 0.85 0.44 0.85 0.13 0.63 0.66 0.66 0.09
0.91 0.91
Sarana prasarana (X52) Sistem informasi (X53)
0.81
0.86 0.86 0.88 0.88
0.11
Petani binaan (X4)
0.63
-0.16
0.23
Program aksi (Y1) (R2 = 0.72)
RDK (Y12) 0.67 0.75
RDKK (Y13) 0.76
0.17
BOPP (Y18)
0.78
0.54
Perilaku petani (Y2) (R2 = 0.61) 0.15
Kompetensi petani (Y21)
0.72 0.86
Partisipasi petani (Y22)
Sumberdaya BPP (X5) 0.22
0.72 0.72 0.56 0.56 0.92 0.92
Adaptasi BPP (X6)
Chi-Square = 189,57, df =161, P-value = 0.06135, RMSEA = 0.053, CFI = 0.92
Gambar 8. Estimasi parameter model struktural kinerja BPP
159
Hasil uji kesesuain model yang telah fit yang berarti matriks kovariansi sampel dapat mengestimasi matriks kovarians populasi dapat lebih diperjelas hasilnya dengan menggambarkan uji kebermaknaan. Joreskog dan Sorbom dalam Kusnendi (2008) menjelaskan bahwa, hasil uji kebermaknaan uji t-test pada parameter model dengan nilai statistik t-hitung ditetapkan sebesar 1,96. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9.
Tujuan (X13)
6.54 6.54
Strategi (X15)
5.54 5.54
Tata kelola (X21)
Kepemimpinan (X22)
Pelat. Teknis (X34)
Pengembangan BPP (X1)
5.52 5.52
2.42
2.27
5.89 5.89
Pengelolaan BPP (X2)
Programa (Y11) 2.64
9.02 9.02
3.43 3.46
Rasio peny. petani (X35)
Jml. staf adm.keu. (X36)
10.75 10.75
Sumberdaya manusia BPP (X3)
9.93 9.93 0.45 3.39 3.32
Jml. Klp. binaan (X41)
2.13 9.20 9.20
Luas WKBPP (X43)
6.89 6.89
RDK (Y12)
4.96 2.83
Program aksi (Y1) (R2 = 0.72)
4.21 6.65
RDKK (Y13) 6.70
BOPP (Y18) 2.29
2.97
2.89
3.95 1.97
Pembiayaan (X51)
Sarana prasarana (X52)
Sistem informasi (X53)
4.12
Petani binaan (X4)
3.37
Perilaku petani (Y2) (R2 = 0.61)
1.37
5.13 5.13
10.24 10.24 10.69 10.69
3.88
-1.24
2.15
4.52 3.12
Kompetensi petani (Y21) Partisipasi petani (Y22)
Sumberdaya BPP (X5)
2.21
Uji coba tekn. pert. (X61)
Pengembg. masy. (X62) Kerjasama lembg. (X63)
7.11 7.11 5.49 5.49
Adaptasi BPP (X6)
9.05 9.05
Chi-Square = 189,57, df =161, P-value = 0.06135, RMSEA = 0.053, CFI = 0.92
Gambar 9. Statistik t-hitung parameter model struktural kinerja BPP
160
Hasil uji kebermaknaan t-hitung yang diperlihatkan pada Gambar 9. menunjukkan hasil uji statistik t-hitung untuk semua hasil estimasi parameter model. Setiap indikator dikatakan nyata (signifikan) apabila nilai t-hitung lebih besar dari t-tabel pada taraf nyata 0,05 yaitu sebesar 1,96. Dengan demikian persamaan model pengukuran dan model persamaan struktural pada penelitian ini dijelaskan sebagai berikut: Persamaan model pengukuran: (1) Muatan (loading) pada peubah pengembangan BPP (X 1 ): X 1.3 = 0,71 X 1 X 1.5 = 0,59 X1 (2) Muatan (loading) pada peubah pengelolaan BPP (X 2 ): X 2.1 = 0,69 X 2 X 2.2 = 0,77 X 2 (3) Muatan (loading) pada peubah sumberdaya manusia (X 3 ): X 3.4 = 0,79 X 3 X 3.5 = 0,89 X 3 X 3.6 = 0,84 X 3 (4) Muatan (loading) pada peubah petani binaan (X 4 ): X 4.1 = 0,85 X 4 X 4.3 = 0,66 X 4 (5) Muatan (loading) pada peubah sumberdaya BPP (X 5 ): X 5.1 = 0,91 X 3 X 5.2 = 0,86 X 3 X 5.3 = 0,88 X 3 (6) Muatan (loading) pada peubah Adaptasi BPP (X 6 ): X 6.1 = 0,72 X 3 X 6.2 = 0,56 X 3 X 6.3 = 0,92 X 3
161
(7) Muatan (loading) pada peubah program aksi (kinerja BPP) ((Y 1 ): Y 1.1 = 0,88 Y 1 Y 1.2 = 0,67 Y 1 Y 1.3 = 0,75 Y 1 Y 1.8 = 0,76 Y 1 (8) Muatan (loading) pada peubah perilaku petani (Y 2 ): Y 2.1 = 0,72 Y 2 Y 2.2 = 0,86 Y 2 Persamaan model struktural: (1) Y 1 = 0,21 X 1 + 0,53 X 2 + 0,23 X 3 + 0,17 X 4 + 0,54X 5 + 0,15X 6 (2) Y 2 = 0,78 Y 1 Hasil keseluruhan model yang telah fit dengan data, yaitu model struktural kinerja BPP (program aksi) dapat dicermati melalui hubungan antara peubah, sub peubah, pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung, total pengaruh dan t- hitung peubah/sub peubah hasil penelitian seperti yang diperlihatkan pada Tabel 5.
162
Tabel 5. Dekomposisi pengaruh antar peubah/sub peubah model kinerja BPP bungan antar peubah/sub peubah Pengembangan BPP Pengembangan BPP Pengembangan BPP Pengembangan BPP Pengembangan BPP Pengelolaan BPP Pengelolaan BPP Pengelolaan BPP Pengelolaan BPP Pengelolaan BPP SDM SDM SDM SDM SDM Petani binaan Petani binaan Petani binaan Petani binaan Petani binaan Sumberdaya BPP Sumberdaya BPP Sumberdaya BPP Sumberdaya BPP Sumberdaya BPP Adaptasi BPP Adaptasi BPP Adaptasi BPP Adaptasi BPP Adaptasi BPP Pengembangan BPP Pengembangan BPP Pengembangan BPP Pengelolaan BPP Pengelolaan BPP Pengelolaan BPP SDM SDM SDM Petani binaan Petani binaan Petani binaan Sumberdaya BPP Sumberdaya BPP Sumberdaya BPP Adaptasi BPP Adaptasi BPP Adaptasi BPP Program aksi Program aksi Program aksi Keterangan: t 0,05 tabel = 1,96
Program aksi Programa RDK RDKK BOPP Program aksi Programa RDK RDKK BOPP Program aksi Programa RDK RDKK BOPP Program aksi Programa RDK RDKK BOPP Program aksi Programa RDK RDKK BOPP Program aksi Programa RDK RDKK BOPP Perilaku Petani Kompetensi petani Partisipasi petani Perilaku Petani Kompetensi petani Partisipasi petani Perilaku Petani Kompetensi petani Partisipasi petani Perilaku Petani Kompetensi petani Partisipasi petani Perilaku Petani Kompetensi petani Partisipasi petani Perilaku Petani Kompetensi petani Partisipasi petani Perilaku petani Kompetensi petani Partisipasi petani
Pengaruh Tidak Langsung langsung 0,21 0,18 0,14 0,16 0,16 0,53 0,47 0,36 0,40 0,40 0,23 0,20 0,15 0,17 0,17 0,17 0,15 0,11 0,13 0,13 0,54 0,48 0,36 0,41 0,41 0,15 0,13 0,12 0,11 0,11 0,14 0,11 0,12 0,16 0,12 0,14 0,43 0,31 0,37 0,37 0,27 0,32 0,49 0,35 0,42 0,17 0,12 0,15 0,78 0,56 0,67
Total 0,21 0,18 0,14 0,16 0,16 0,53 0,47 0,36 0,40 0,40 0,23 0,20 0,15 0,17 0,17 0,17 0,15 0,11 0,13 0,13 0,54 0,48 0,36 0,41 0,41 0,15 0,13 0,12 0,11 0,11 0,14 0,11 0,12 0,16 0,12 0,14 0,43 0,31 0,37 0,37 0,27 0,32 0,49 0,35 0,42 0,17 0,12 0,15 0,78 0,56 0,67
t-hitung 2,72 3,12 2,56 2,38 2,29 2,64 3,96 2,37 3,65 3,65 2,83 3,85 2,30 2,47 2,47 2,97 2,30 2,29 2,37 2,37 3,37 4,89 3,61 4,42 4,42 2,55 2,37 2,23 2,19 2,21 2,56 2,21 2,27 2,38 2,23 2,56 4,45 3,32 3,38 2,89 2,96 2,79 4,48 3,98 4,87 2,43 2,37 2,30 2,89 3,02 3,09
163
Pengaruh Pengembangan BPP, Pengelolaan BPP, Sumberdaya Manusia, Petani Binaan, Sumberdaya BPP dan Adaptasi BPP pada Program Aksi BPP Hipotesis 1: Pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP berpengaruh pada program aksi BPP. Cara menguji Hipotesis 1 dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dan t-tabel untuk masing-masing peubah. Jika nilai t-hitung pengaruh peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani
binaan,
sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP pada program aksi BPP lebih besar dari t-tabel (1,96) pada taraf nyata 0,05, maka Hipotesis 1 diterima. Hal ini dijelaskan pada Tabel 6 yang menampilkan koefisien dan t-hitung pengaruh peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani
binaan,
sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP berpengaruh pada program aksi BPP.
Tabel 6. Koefisien dan t-hitung pengaruh peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP berpengaruh pada program aksi BPP. Hubungan Antar Peubah Pengembangan BPP Pengelolaan BPP Sumberdaya manusia Petani binaan Sumberdaya BPP Adaptasi BPP
Program Aksi
Pengaruh t-hitung langsung 0,21 2,27
Program Aksi
0,53
2,64
Program Aksi
0,23
2,83
Program Aksi
0,17
2,97
Program Aksi
0,54
3,37
Program Aksi
0,15
0,15
R2
72%
Keterangan: t 0,05 tabel = 1,96
Tabel 6 menunjukkan adanya pengaruh langsung peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP pada program aksi masingmasing: 0,21; 0,53; 0,23; 0,17; 0,54 dan 0,15 yang berbeda nyata pada α = 0,05.
164
Secara matematik persamaan model struktural kinerja penyuluh pertanian adalah: Y 1 = 0,21 X 1 + 0,53 X 2 + 0,23 X 3 + 0,17 X 4 + 0,54 X 5 + 0,15 X 6 ; Y 1 merupakan program aksi; X 1 pengembangan BPP; X 2 pengelolaan BPP; X 3 sumberdaya manusia; X 4 petani binaan; X 5 sumberdaya BPP dan X 6 adaptasi BPP. Secara bersama pengaruh keenam peubah (X) tersebut pada program aksi sebesar 72 persen yang nyata pada α = 0,05. Jadi Hipotesis 1 diterima. Hal ini dapat dijelaskan bahwa: (1) Pengembangan BPP secara langsung berpengaruh nyata pada program aksi, berarti
setiap
peningkatan
satu
satuan
pengembangan
BPP,
akan
meningkatkan program aksi sebesar 0,21 satuan. (2) Pengelolaan BPP secara langsung berpengaruh nyata pada program aksi, berarti setiap peningkatan satu satuan pengelolaan BPP, akan meningkatkan program aksi sebesar 0,53 satuan. (3) Sumberdaya manusia BPP secara langsung berpengaruh nyata pada program aksi, berarti setiap peningkatan satu sumberdaya manusia, akan meningkat kan program aksi sebesar 0,23 satuan. (4) Petani binaan secara langsung berpengaruh nyata pada program aksi, berarti setiap peningkatan satu satuan petani binaan, akan meningkatkan program aksi sebesar 0,17 satuan. (5) Sumberdaya BPP secara langsung berpengaruh nyata pada program aksi, berarti setiap peningkatan satu satuan sumberdaya manusia, akan meningkat kan program aksi sebesar 0,54 satuan. (6) Adaptasi BPP secara langsung berpengaruh nyata pada program aksi, berarti setiap peningkatan satu satuan adaptasi BPP, akan meningkatkan program aksi sebesar 0,15 satuan. (7) Pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP secara bersama-sama berpengaruh nyata pada program aksi dengan koefisien determinasi sebesar 72 persen, sisanya 28 persen merupakan pengaruh peubah lain di luar penelitian ini.
165
Pengaruh Pengembangan BPP, Pengelolaan BPP, Sumberdaya Manusia, Petani Binaan, Sumberdaya BPP dan Adaptasi BPP Pada Perilaku Petani Hipotesis 2: Pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, adaptasi BPP, dan program aksi BPP berpengaruh pada pada perilaku petani. Cara menguji Hipotesis 2 dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dan t-tabel untuk masing-masing peubah, seperti diuraikan pada Tabel 7. Tabel 7. Koefisien dan t-hitung pengaruh peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, adaptasi BPP dan program aksi pada perilaku petani Hubungan Antar Peubah Pengembangan BPP Pengelolaan BPP Sumberdaya manusia Petani binaan Sumberdaya BPP Adaptasi BPP Program aksi
Total Koefisien Pengaruh Langsung Tdk langsung
t-hitung
Perilaku petani
-
0,14
2,56
Perilaku petani
-
0,16
2,38
Perilaku petani
-
0,43
4,45
Perilaku petani Perilaku petani Perilaku petani Perilaku petani
0,78
0,37 0,49 0,17 -
2,89 4,48 2,43 2,89
Keterangan: t 0,05 tabel = 1,96
Tabel 7 menunjukkan nilai t-hitung pengaruh peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, adaptasi BPP dan program aksi pada perilaku petani lebih besar dari t-tabel (1,96) pada taraf nyata 0,05. Pengaruh peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, adaptasi BPP dan program aksi pada perilaku petani secara berurutan, yaitu: 0,14; 0,16; 0,43; 0,37; 0,49; 0,17 dan 0,78 yang nyata pada α = 0,05. pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, adaptasi BPP dan program aksi berpengaruh secara tidak langsung pada perilaku petani, sedangkan program aksi berpengaruh langsung pada perilaku petani, sehingga secara matematik persamaan model struktural perilaku petani adalah: Y 2 = 0,78 Y 1 ; Y 2 merupakan
166
perilaku petani dan Y 1 merupakan program aksi. Jadi Hipotesis 2 diterima. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Pengembangan BPP secara tidak langsung berpengaruh nyata pada perilaku petani, berarti setiap peningkatan satu satuan pengembangan BPP, akan meningkatkan perilaku petani sebesar 0,14 satuan. (2) Pengelolaan BPP secara tidak langsung berpengaruh nyata pada perilaku petani, berarti setiap peningkatan satu satuan pengelolaan BPP, akan meningkatkan perilaku petani sebesar 0,16 satuan. (3) Sumberdaya manusia BPP secara tidak langsung berpengaruh nyata pada perilaku petani, berarti setiap peningkatan satu satuan sumberdaya manusia, akan meningkatkan program aksi sebesar 0,43 satuan. (4) Petani binaan secara tidak langsung berpengaruh nyata pada perilaku petani, berarti setiap peningkatan satu satuan petani binaan, akan meningkatkan perilaku petani sebesar 0,37 satuan. (5) Sumberdaya BPP secara tidak langsung berpengaruh nyata pada perilaku petani, berarti setiap peningkatan satu satuan sumberdaya manusia, akan meningkatkan perilaku petani sebesar 0,49 satuan. (6) Adaptasi BPP secara tidak langsung berpengaruh nyata pada perilaku petani, berarti setiap peningkatan satu satuan adaptasi BPP, akan meningkatkan perilaku petani sebesar 0,17 satuan. (7) Program aksi secara langsung berpengaruh nyata pada perilaku petani, maka setiap peningkatan satu satuan program aksi akan meningkatkan perilaku petani sebesar 0,78.
Hubungan antar Peubah Pengembangan BPP, Pengelolaan BPP, Sumberdaya Manusia, Petani Binaan, Sumberdaya BPP dan Adaptasi BPP Hipotesis 3: Terdapat hubungan antara peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP. Cara menguji Hipotesis 3 dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dan t-tabel untuk masing-masing hubungan antar peubah. Jika nilai t-hitung
167
hubungan antar peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP lebih besar dari t-tabel (1,96) pada taraf nyata 0,05, maka Hipotesis 3 diterima. Hal ini dijelaskan pada Tabel 8. Tabel 8. Arah, koefisien dan t-hitung hubungan antar peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, sumberdaya manusia, petani binaan, sumberdaya BPP, dan adaptasi BPP Hubungan Antar Peubah Pengembangan BPP Pengembangan BPP Pengembangan BPP Pengembangan BPP Pengembangan BPP Pengelolaan BPP Pengelolaan BPP Pengelolaan BPP Pengelolaan BPP SDM SDM SDM Petani binaan Petani binaan Sumberdaya BPP
Adaptasi BPP Sumberdaya BPP Petani binaan SDM Pengelolaan BPP Adaptasi BPP Sumberdaya BPP Petani binaan SDM Adaptasi Sumberdaya BPP Petani binaan Adaptasi Sumberdaya BPP Adaptasi BPP
Arah/Koefisien t-hitung Hubungan 0,15 2,13 0,55 3,32 0,07 0,45 0,81 4,96 0,24 2,42 0,13 1,97 0,44 3,95 0,41 3,39 0,66 3,46 0,09 1,37 0,63 4,12 0,11 2,29 -0,16 -1,24 0,63 3,88 0,22 2,21
Keterangan: t 0,05 tabel = 1,96
Tabel 8 memperlihatkan arah, koefisien dan t-hitung hubungan antar peubah, yaitu: pengembangan BPP dan petani binaan, SDM dan adaptasi, petani binaan dan adaptasi. Koefisien hubungan antar peubah tersebut: 0,07; 0,09; dan - 0,16 yang tidak berbeda nyata pada α = 0,05. Selanjutnya pada tabel yang sama terdapat hubungan antar peubah pengembangan BPP dan adaptasi BPP, pengembangan BPP dan sumberdaya BPP, pengembangan BPP dan SDM, pengembangan BPP
dan pengelolaan BPP, pengelolaan BPP dan adaptasi
BPP, pengelolaan BPP dan sumberdaya BPP, pengelolaan BPP dan petani binaan, pengelolaan BPP dan SDM, SDM dan sumberdaya BPP, SDM dan petani binaan, petani binaan dan adaptasi BPP serta sumberdaya BPP dan adaptasi BPP. Koefisien hubungan antar peubah tersebut: 0,15; 0,55; 0,81; 0,24; 0,13; 0,44; 0,41; 0,66; 0,63; 0,11; 0,63 dan 0,22 yang berbeda nyata pada α = 0,05. Jadi Hipotesis 3 diterima pada hubungan antar peubah
168
pengembangan BPP dan adaptasi BPP, pengembangan BPP dan sumberdaya BPP, pengembangan BPP dan SDM, pengembangan BPP dan pengelolaan BPP, pengelolaan BPP dan adaptasi BPP, pengelolaan BPP dan sumberdaya BPP, pengelolaan BPP dan petani binaan, pengelolaan BPP dan SDM, SDM dan sumberdaya BPP, SDM dan petani binaan, petani binaan dan adaptasi BPP serta sumberdaya BPP dan adaptasi BPP. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Derajat hubungan peubah pengembangan BPP dan petani binaan lemah dan bersifat positif. (2) Derajat hubungan peubah SDM dan adaptasi lemah dan bersifat positif. (3) Derajat hubungan peubah petani binaan dan adaptasi BPP lemah dan bersifat negatif. (4) Derajat hubungan peubah SDM dan petani binaan lemah dan bersifat positif. (5) Derajat hubungan peubah pengembangan BPP dan adaptasi BPP lemah dan bersifat positif. (6) Derajat hubungan peubah pengembangan BPP dan sumberdaya BPP kuat dan bersifat positif. (7) Derajat hubungan peubah pengembangan BPP dan SDM kuat dan bersifat positif. (8) Derajat hubungan peubah pengembangan BPP dan pengelolaan BPP lemah dan bersifat positif. (9) Derajat hubungan peubah pengelolaan BPP dan adaptasi BPP lemah dan bersifat positif. (10) Derajat hubungan peubah pengelolaan BPP dan sumberdaya BPP lemah dan bersifat positif. (11) Derajat hubungan peubah pengelolaan BPP dan petani binaan lemah dan bersifat positif. (12) Derajat hubungan peubah pengelolaan BPP dan SDM kuat dan bersifat positif. (13) Derajat hubungan peubah SDM dan sumberdaya BPP kuat dan bersifat positif. (14) Derajat hubungan peubah petani binaan dan sumberdaya BPP kuat dan bersifat positif.
169
(15) Derajat hubungan peubah sumberdaya BPP dan adaptasi BPP lemah dan bersifat positif. Pengaruh Program Aksi BPP pada Perubahan Perilaku Petani Padi Hipotesis 4: Terdapat pengaruh program aksi BPP pada perubahan perilaku petani padi. Cara menguji Hipotesis 4 dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dan t-tabel untuk masing-masing peubah. Jika nilai t-hitung pengaruh peubah program aksi BPP pada perubahan perilaku petani lebih besar dari t-tabel (1,96) pada taraf nyata 0,05, maka Hipotesis 4 diterima. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 9. yang menampilkan koefisien dan t-hitung pengaruh peubah program aksi BPP pada perubahan perilaku petani. Tabel 9.
Koefisien dan t-hitung pengaruh peubah program aksi pada perubahan perilaku petani
Hubungan Antar Peubah Program aksi Program aksi Program aksi
Perilaku petani Kompetensi petani Partisipasi petani
Total Koefisien Pengaruh Langsung Tdk langsung
t-hitung
0,78
-
2,89
-
0,56
3,02
-
0,67
3,09
R2
61%
Keterangan: t 0,05 tabel = 1,96
Tabel 9. menunjukkan pengaruh peubah program aksi pada perubahan perilaku petani secara berurutan, yaitu: 0,78; 0,56; dan 0,67. Peubah program aksi berpengaruh tidak langsung pada kompetensi dan partisipasi petani padi, sehingga secara matematik persamaan model struktural perilaku petani padi adalah: Y 2 = 0,78 Y 1 ; Y 2 merupakan perilaku petani padi dan Y 1 merupakan program aksi. Jadi Hipotesis 4 diterima. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Program aksi secara langsung berpengaruh nyata pada perilaku petani padi. Setiap peningkatan satu satuan program aksi, akan meningkatkan perilaku petani padi sebesar 0,78 satuan.
170
(2) Program aksi secara tidak langsung berpengaruh nyata pada kompetensi petani padi. Setiap peningkatan satu satuan program aksi, akan meningkatkan kompetensi petani padi sebesar 0,78 satuan. (3) Program aksi secara tidak langsung berpengaruh nyata pada partisipasi petani padi. Setiap peningkatan satu satuan program aksi, akan meningkatkan partisipasi petani padi sebesar 0,78 satuan. (4) Program aksi berpengaruh pada perubahan perilaku petani petani dengan koefisien determinasi sebesar 61 persen, sisanya 39 persen merupakan pengaruh peubah lain di luar penelitian ini.
Pembahasan Pengaruh Pengembangan BPP pada Program aksi Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa peubah pengembangan BPP
secara langsung berpengaruh nyata pada program aksi BPP. Hal tersebut memberi arti bahwa pengembangan BPP ikut menentukan tingkat kualitas program aksi BPP dengan koefisien pengaruh sebesar 0,21 yang nyata pada α = 0,05. Pengaruh pengembangan program dapat terlihat pada kualitas perumusan programa penyuluhan pertanian, kuantitas dan kualitas memfasilitasi pelaku utama menyusun RDK dan RDKK serta
kemampuan mengelola biaya operasional
sebagai energi menjalankan fungsi sebagai penyuluh dan staf BPP (lihat Tabel 5). Hal tersebut berarti, jika terjadi peningkatan satu satuan program aksi, akan meningkatkan kualitas programa sebesar 0,18 satuan, meningkatkan kemampuan fasilitasi RDK dan RDKK masing-masing sebesar 0,14 dan 0,16 satuan serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan BOPP dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dimensi pengaruh nyata pengembangan BPP pada program aksi adalah tujuan dan strategi BPP.
Tujuan sebagai indikator yang mengukur peubah
pengembangan BPP merupakan tindakan tertentu untuk mencapai setiap misi organisasi. Pengembangan BPP juga ditentukan oleh sampai sejauh mana BPP mampu merumuskan tujuannya sebagai organisasi, apakah tujuan yang
171
dirumuskan untuk menjabarkan misi BPP, dirumuskan sesuai dengan kebutuhan petani dan sumberdaya yang tersedia di BPP, ataukah tujuan tersebut dapat terukur kinerjanya dan yang penting tujuan tersebut dapat dicapai oleh BPP dalam jangka waktu tertentu. Bila perumusan tujuan dijabarkan sesuai dengan pernyataan-pernyataan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengembangan BPP diukur oleh indikator tujuan dan selanjutnya berpengaruh terhadap program aksi. Tujuan juga memiliki dimensi keterkaitan yang sangat erat dengan kinerja organisasi, sehingga tujuan BPP dapat menjadi faktor penting dalam pengembangan
BPP.
Relevansi
anatara
tujuan
dan
kinerja
organisasi
dikemukakan oleh Rummler dan Brache (1995) dalam Sudarmanto (2009) kinerja pada level organisasi ini terkait dengan tujuan organisasi, rancangan organisasi, dan manajemen organisasi. Ricard (2003), Ricard (2002), Cardy dan Dobbins (1994), Waldman (1994), Campbell (1993), dan Mohrman (1989), mengemukakan bahwa kinerja merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi, unit organisasi tempat orang bekerja. Strategi sebagai indikator yang mengukur pengembangan BPP memberi pengaruh terhadap program aksi melalui pengembangan BPP. Strategi BPP dalam menjalankan fungsinya sebagai organisasi menjadi relevan untuk pengembangan BPP, karena strategi adalah sebagai alat atau cara menuju output akhir. Menurut Gani (2004) strategi merupakan salah satu penentu struktur, yang dikacaukan pengertiannya dengan tujuan, sebab biarpun tujuan dan strategi saling berhubungan, akan tetapi tidak sama. Tujuan merujuk pada hasil akhir, sedangkan strategi merujuk pada cara maupun hasil akhir. Strategi ini harus diterapkan, menghantarkan hasilnya dan memperbaharui strategi untuk mencerminkan perubahan yang terjadi pada lingkungan bisnis atau organisasi, pada akhirnya strategi jelas penting bagi keberhasilan. Strategi adalah penentuan dari tujuan dasar jangka panjang dan sasaran perusahaan/organisasi, penerimaan dari serangkaian tindakan serta alokasi sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
Sebagai upaya Pengembangan BPP, maka strategi harus
menjadi
perhatian dimana kedudukan strategi ini menjadi sangat penting bagi BPP untuk pengembangannya ke depan, hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ward dan Peppard
(2009) tentang pentingnya kedudukan strategi, dimana
172
dikatakan perumusan strategi merupakan langkah pertama pada jalan menuju keberhasilan dan memandang kedudukan strategi penting dalam proses manajemen dalam organisasi. Pengembangan organisasi BPP dapat dilakukan dengan memahami bahwa setiap organisasi harus memiliki tujuan dan strategi yang jelas dan utuh untuk mendukung program aksi yang akan dijalan oleh BPP, hal itu sejalan dengan apa yang ditemukan dalam penelitian bahwa pengembangan BPP memiliki ciri dari tujuan dan strategi, yang berarti bahwa tujuan dan strategi memberi pengaruh terhadap pengembangan BPP. Secara teoritis penelitian ini sejalan dengan pendapat Robbins, Ward dan Peppard dan Amstrong. Dipahami bahwa strategi dan tujuan memiliki dimensi terhadap pengembangan BPP sebagai organisasi, hal tersebut dapat dijelaskan dengan apa yang dikemukakan oleh Robbins (1994) bahwa strategi sebagai penentuan dari tujuan dasar jangka panjang dan sasaran sebuah perusahaan/organisasi, dan penerimaan dari serangkaian tindakan serta alokasi sumber-sumber yang dibutuhkan untuk melaksanakan tujuan tersebut. Ward dan Peppard (2009) memandang kedudukan strategi penting dalam proses manajemen dalam organisasi. Strategi operasional merupakan dasar bagi tindakan berbagai fungsi dalam organisasi. Alternatif strategi dapat meningkatkan adaptasi organisasi dalam dua cara. Pertama, dengan secara eksplisit memeriksa alternatif, kemungkinan bahwa organisasi akan menemukan beberapa yang lebih unggul dari strategi mereka saat ini. Kedua, lingkungan bisa berubah, jika alternatif (contingency) rencana telah disusun, organisasi berada dalam posisi yang lebih baik untuk menjawab dengan sukses, atau mereka dapat memilih strategi yang baik bahkan melakukan perubahan jika terjadi perubahan lingkungan. (Armstrong, 1983). Berdasarkan uraian di atas, maka menurut Sarma (2007) yang penting dalam pengembangan BPP adalah sinkronisasi antara UU no. 16/2006 dengan PP No. 41/2007 dalam hal pengorganisasian. Pembatasan jumlah organisasi perangkat daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota tentunya merupakan hal penting, mengingat pengorganisasian merupakan elemen penting untuk mencapai tujuan penyuluhan sebagai mana termaktub dalam, 16/2006.
Pasal 3 UU No.
Perlu kita fahami bersama, sebagus apapun tujuan yang telah kita
173
tetapkan, sebagus apapun perencanaan yang telah kita susun, secermat apapun pengarahan/kepemimpinan
yang
telah
kita
bentuk,
sesempurna
apapun
pengawasan/pengendalian yang telah kita tetapkan, tanpa pengorganisasian yang rapih dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, maka tujuan yang telah ditetapkan akan sangat sulit untuk dicapai. Hasil penelitian ini memberi informasi bahwa tujuan dan strategi berpangaruh nyata pada pengembangan BPP sebagai organisasi. Semakin baik tujuan dan strategi yang dirumuskan oleh BPP, maka semakin baik organisasi BPP merespon perubahan yang terjadi dalam lingkungannya, semakin peka terhadap kebutuhan kliennya dan semakin tajam pandangannya kedepan untuk terus mengembangkan BPP. Selain itu, dengan tujuan dan strategi yang baik dapat memperbaiki manajemen internal organisasi dan memanfaatkan sumberdaya organisasi secara efisien dan efektif yang terkendali dan berkelanjutan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa tujuan dan strategi menunjukkan pengaruh nyata terhadap pengembangan BPP. Karena itu, penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk pengembangan BPP, bahwa untuk mengembangkan BPP perlu diperhatikan tujuan dan strategi terutama untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas BPP sebagai organisasi pelayan masyarakat, terutama bagi pelaku utama (petani) dan pelaku usaha bahkan untuk pengembangan BPP kedepan dengan pengembangan dan cakupan tugas kepalayanan yang semakin luas dan memiliki banyak tantangan. Pengaruh Pengelolaan BPP pada Program Aksi Hasil
penilitian
menunjukkan
bahwa
peubah
pengelolaan
BPP
berpengaruh nyata pada program aksi. Hal ini berarti Pengelolaan BPP turut menentukan terumuskan dan terimplementasikannya dengan baik program aksi BPP dengan koefisien pengaruh sebesar 0,53 yang nyata pada α = 0,05. Pengaruh pengelolaan BPP tersebut pada program aksi terlihat pada kemampuan BPP merumuskan programa penyuluhan, memfasilitasi RDK dan RDKK serta BPP mampu mengarahkan stafnya untuk memanfaatkan BOPP secara cermat dan bijak untuk menjalaskan tugas-tugas BPP dan menyelenggarakan proses belajar (lihat
174
Tabel 5). Indikasinya, apabila terjadi peningkatan satu satuan pengelolaan BPP, akan meningkatkan program aksi merumuskan dan mengimplementasikan programa penyuluhan sebesar 0,47 dan secara bersamaan juga akan meningkatkan RDK sebesar 0,36, RDKK sebesar 0,40 dan BOPP sebesar 0,40 satuan. Meningkatnya kemampuan BPP merumuskan programa penyuluhan dapat dilihat dari : programa yang disusun disesuaikan dengan perubahan dan kondisi lingkungan, pengorganisasian BPP dilakukan sesuai kebutuhan dan tuntutan kinerja BPP, pengembangan dan pengarahan staf dilakukan untuk meningkatkan kinerja dan koordinasi, serta pengawasan aktivitas BPP dan monitoring dan evaluasi dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja BPP. Meningkatnya fungsi BPP memfasilitasi pelaku utama dalam merumuskan dan menetapkan keputusan RDK dan RDKK terlihat dari pelaksanaan fasilitasi diskusi RDK dan RDKK secara terstruktur dan tuntas, melaksanakan perumusan penyusunan RDK dan RDKK secara terukur dan tuntas dan memfasilitasi penetapan keputusan RDK dan RDKK secara terukur dan tuntas. Meningkatnya pengelolaan BOPP pada masing-masing anggotanya dapat dilihat dari kemampuan setiap staf BPP mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya, terutama menjalankan proses belajar bersama pelaku utama dengan biaya operasional yang relatif terbatas. Indikator yang mengukur peubah pengelolaan BPP yang terkait erat dengan program aksi BPP adalah : tata kelola, mencakup penyelenggaraan pengelolaan BPP dilaksanakan secara transparan atau terbuka dan dapat dipercaya,
penyelenggaraan
pengelolaan
BPP
dilaksanakan
secara
bertanggungjawab dan penyelenggaraan pengelolaan BPP dilaksanakan dengan adil. Sedangkan indikator yang diukur oleh peubah kepemimpinan, mencakup : kepemimpinan pada BPP mendorong semangat, kreativitas dan tanggung jawab seluruh staf BPP, kemampuan kepemimpinan membangun dan memelihara hubungan harmonis serta saling berbagi informasi dan kemampuan kepemimpinan mengkomunikasikan visi dan misi, tujuan dan strategi BPP serta kemampuan memberikan arahan kepada seluruh staf BPP. Hasil penelitian ini searah dengan apa yang disusun oleh BAN-PT (2008) tentang pengtingnya tata kelola (governance) sebagai sistem untuk memelihara efektivitas peran para konstituen dalam pengembangan kebijakan, pengambilan
175
keputusan, dan penyelenggaraan BPP. Tata kelola yang baik jelas terlihat dari lima kriteria yaitu kredibilitas, transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab dan adil sekaligus menjadi elemen penilaian dan sistem tata kelola yang baik. Tata kelola didukung dengan penetapan dan penegakan sistem nilai dan norma, serta dukungan organisasi, penyuluh, petani/kelompok binaan, staf BPP dan stakeholders. Elemen tata kelola (governance) juga dikemukakan oleh lembaga ADB (Asian Development Bank) dengan istilah unsur-unsur tata pemerintahan (elements of governance), bergantung pada empat elemen kunci atau kondisi : (1) akuntabilitas, (2) partisipasi, (3) prediktabilitas, dan (4) transparansi. Sejalan dengan ADB, UNDP juga menyusun elemen-elemen tentang governance , yaitu : (1) participatory, (2) transparent, (3) accountable, (4) equitable, dan (5) promotes the rule of law. Sedangkan indikator yang mengukur peubah kepemimpinan yang ditemukan dalam penelitian ini searah dengan pandangan Waldron et.al,. dalam Swanson et. al,. (1997), yang mengemukakan bahwa pemimpin terlibat dalam empat jenis kegiatan: 1) membangun dan memelihara hubungan, (2) mendapatkan dan memberikan informasi, (3) orang yang memengaruhi , dan (4) pengambilan keputusan. Bernard Bass dalam Terry (2002), pada Stogdill’s Handbook of Leadership, bahwa kepemimpinan merupakan suatu interaksi antar anggota suatu kelompok. Para pemimpin adalah agen perubahan, orang yang tindakannya memengaruhi
orang lain lebih dari pada tindakan orang lain memengaruhi
mereka. Kepemimpinan terjadi ketika anggota suatu kelompok memodifikasi motivasi atau kompetensi anggota-anggota lain dalam kelompok tersebut. Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya pengaruh nyata pengelolaan BPP pada program aksi dari dimensi tata kelola dan kepemimpinan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dan pertimbangan bagi pihak terkait, terutama Kementerian Pertanian RI dan pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan untuk meningkatkan kinerja BPP dalam hal ini pengembangan program aksi yaitu dengan jalan “capacity building” BPP melalui pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan tata kelola dan kepemimpinan.
176
Pengaruh SDM pada Program Aksi BPP Penelitian ini memperlihatkan bahwa peubah sumberdaya manusia (SDM) berpengaruh nyata pada program aksi BPP. Hal tersebut memberi pengertian bahwa SDM turut menentukan baik atau tidak baiknya program aksi yang dirumuskan dan diimplemantasikan dengan koefisien pengaruh sebesar 0,23 yang nyata pada α = 0,05. Pengaruh SDM pada program aksi terlihat pada kemampuan BPP merumuskan programa, fasilitasi RDK dan RDKK serta efisiensi pemanfaatan BOPP dalam menjalankan tugas dan fungsi staf BPP pada proses belajar yang diselenggaran oleh BPP (lihat Tabel 5). Hal ini mengindikasikan, jika terjadi peningkatan satu satuan SDM, akan meningkatkan program aksi dalam merumuskan programa dan mengimplementasikannya sebesar 0,20 satuan, meningkatkan fasilitasi penyusunan dan perumusan RDK dan RDKK masing masing sebesar 0,15 dan 0,17 satuan, begitu juga BOPP akan semakin meningkatkan
efektivitas
penggunaanya
pembelajaran sebesar 0,17 satuan.
dalam
melaksanakan
proses
Semakin meningkatnya kemampuan
merumuskan dan mengimplementasikan program aksi pada yang mencirikan peubah programa dapat berupa kemampuan BPP merumuskan programa dengan proses yang baik dan benar, yaitu dengan kemampuan membentuk tim perencana penyusunan
programa
mengumpulkan data
secara
kolaboratif
terlebih
dahulu,
kemudian
sumberdaya dan potensi wilayah, lembaga pendukung,
sarana prasarana, dan data penerapan teknologi usahatani di WKBPP nya. Disamping itu melakukan identifikasi kewenangan Kementan RI dan Pemda dan selanjutnya mampu mengidentifikasi akar masalah, pengembangan alternatif masalah dan pemilihan solusi terbaik yang selanjutnya baru dilakukan perumusan programa. Pengembangan fasilitasi penyusunan dan perumusan RDK dan RDKK ditandai dengan semakin meningkatnya kualitas fasiliasi diskusi, perumusan penyusunan dan penetapan keputusan RDK dan RDKK yang dilakukan secara terstruktur dan tuntas. Peningkatan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan BOPP ditandai dengan semakin lancar dan berjalan dengan baik proses pembelajaran yang telah direncanakan dan disesuaikan dengan programa penyuluhan yang telah
177
dirumuskan. Hal ini ini juga memperlihatkan tingginya motivasi sumberdaya manusia BPP dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Sejalan dengan hasil penelitian ini, maka kedudukan dan fungsi SDM dalam organisasi sangat strategis, karena SDM merupakan motor penggerak sumberdaya lainnya agar organisasi tetap berjalan sesuai misi dan tujuan yang ingin dicapai. Hal itu dikemukakan oleh Griego, Geroy, & Wright, 2000; Ulrich, 1997a, 1997b, 1999 dalam Kontoghiorghes, Awbrey, Feurig (2005). Pandangan lain yang mendukung penelitian adalah apa yang ditulis oleh Kontoghiorghes, Awbrey, Feurig (2005) bahwa pendayagunaan sumberdaya manusia menjadi sangat penting dalan sebuah organisasi publik, termasuk BPP. Karena ada upaya untuk terus menerus menggali pemahaman tentang sumberdaya manusia karena posisinya yang strategis, sebagaimana kutipan dalam tulisan ini bahwa,
baru-baru ini, ada panggilan untuk mendefinisikan kembali peran
sumberdaya manusia tentang bagimana cara meningkatkan dampak strategis dan daya saing pada organisasi untuk suatu keberhasilan pengembangan sumberdaya manusia (SDM) profesional diminta untuk mengambil kepemimpinan peran dalam mengubah organisasi dengan cara mendorong dan meningkatkan pembelajaran Selanjutnya Russel dan Taylor III (2003) juga mengemukakan tentang SDM, dimana kedudukannya sebagai staf/karyawan yang memiliki kebutuhan dan keperluan untuk pengembangan sebagaimana yang diungkapkan bahwa isu strategis pada sumber daya manusia meliputi penetapan tingkat keterampilan dan derajat otonomi yang diperlukan untuk bekerjanya sistem produksi, menguraikan ukuran-ukuran pemilihan kebutuhan pelatihan, dan menentukan kebijakan atas evaluasi kinerja, ganti-rugi, dan insentif. Hasil penelitian telah memperlihatkan adanya pengaruh nyata SDM terhadap program aksi sebagai reprensentasi dari kinerja BPP pada yang mencirikan peubah yang membentuknya yaitu jumlah staf administrasi dan keuangan, rasio antara penyuluh dengan petani dan pelatihan teknis penyuluh telah didukung oleh beberapa teori seperti yang diuraikan di atas, maka hasil penelitian penelitian dapat membantu Kementan RI dan Pemda dalam mengembangkan potensi sumberdaya manusia BPP pada dimensi penataan staf
178
administrasi dan keuangan, memperhatikan jumlah penyuluh kaitannya dengan jumlah petani binaan di WKBPP masing-masing BPP serta terus mengembangkan dan meningkatkan pelatihan-pelatihan teknis sesuai dengan kebutuhan masingmasing staf BPP. Pengaruh Petani Binaan pada Program Aksi BPP
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa peubah petani binaan berpengaruh nyata pada program aksi. Hal tersebut memberi makna petani binaan turut menentukan seberapa baik perumusan dan implemenatasi program aksi BPP dengan koefisien pengaruh sebesar 0,17 nyata pada α = 0,05. Pengaruh peubah petani binaan pada program aksi tersebut dapat dilihat dari programa yang dirumuskan dan dijadikan dokumen perencanaan untuk diimplementasikan, kemampuan fasilitasi RDK dan RDKK secara terstruktur dan tuntas serta biaya operasional yang dikelola dengan baik pada saat menjalankan proses pembelajaran dan tugas-tugas fungsional lainnya (lihat Tabel 5). Hal tersebut menunjukkan; apabila terjadi peningkatan satu satuan peubahn petani binaan, maka akan meningkatkan program aksi dalam merumuskan programa penyuluhan sebesar 0,15 satuan, meningkatkan fasilitasi RDK dan RDKK masing-masing sebesar 0,11 dan 0,13 satuan serta meningkatkan kemampuan mengelola BOPP secara efisien dan efektif sebesar 0,13 satuan. Pengaruh petani binaan terhadap program aksi, dibentuk oleh penciri besarnya jumlah kelompok yang ditangani oleh BPP dan luasnya wilayah kerja BPP yang dilihat seberapa jumlah desa yang menjadi WKBPP. Penciri peubah tersebut turut menentukan peubah petani binaan memengaruhi program aksi. Secara konseptual tugas BPP menurut pasal 15 UU No. 16 Tahun 2006 dan fungsinya sebagai tempat pertemuan para penyuluh, pelaku utama “petani” dan pelaku usaha. Menjalankan peran dan fungsi tersebut bagi BPP harus dengan cermat memperhitungkan jumlah petani binaannya, karena dalam proses penyuluhan ada alokasi sumberdaya sebagai energi penggerak untuk sampai kepada petani binaan dan mencapai tujuan pembelajaran.
179
Implikasi lainnya adalah pada penyeleggaraan kunjungan penyuluh pertanian kepada kelompok tani dilakukan selama 4 (empat) hari kerja dalam seminggu, setiap penyuluh membina 8 - 16 kelompok tani dan dijadwalkan mengunjungi setiap kelompok sekali 2 minggu. kunjungan kerja ini diharapkan seorang penyuluh pertanian dapat memengaruhi 100 orang petani per kelompok. Pada setiap wilayah kerja terdiri dari 8 -16 kontak tani sebagai ketua kelompok tani. Setiap 1 (satu) kontak tani mempunyai 5 (lima) orang petani maju, setiap petani maju memengaruhi
sampai dengan 19 orang anggota kelompok tani
(Permentan RI-Lamp.3, 2007). Menurut Adjid (2001), wilayah kerja BPP yang didasarkan pada luas areal, jumlah keluarga tani, jenis dan macam usahatani dan keadaan geografisnya atau potensi wilayah, maka patokannya wilayah kerja satu BPP meliputi 10 – 15 wilayah unit desa dengan kurang lebih 15.000 – 35.000 kepala keluarga tani di dalamnya. Pada kelompok tani akan terjadi suatu situasi kelompok, di mana setiap petani anggota telah melakukan interaksi untuk mencapai tujuan bersama dan sudah saling mengenal satu sama lain. Interaksi antar kelompok tani dengan BPP sebagai wadah belajar bersama dan fasilitasi serta pendampingan oleh penyuluh
yang
diorganisir
menumbuhkembangkan
dan
dikelola
BPP
dalam
mendorong
dan
kelompok tani sebagai akibat dari faktor – faktor :
(1) adanya kepentingan bersama, (2) adanya kesamaan kondisi sumberdaya alam dalam berusahatani, (3) adanya kondisi masyarakat dan kehidupan sosial yang sama,
dan (4)
adanya saling percaya mempercayai antara sesama anggota
(Samsuddin, 1987).
Peranan kelompok tani dapat diamati, bahwa perubahan
perilaku petani melalui aktivitas individu, biasanya lebih lambat dibandingkan jika petani bersangkutan aktif dalam kegiatan kelompok. Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya pengaruh nyata petani binaan terhadap program akasi BPP dengan peubah yang mencirikannya adalah luas wilayah kerja dan jumlah kelompok binaan, yang dapat diartikan bahwa petani binaan dengan ciri tersebut berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPP, artinya semakin luas wilayah kerja dan semakin banyaknya jumlah kelompok yang menjadi binaan BPP, maka akan berimplikasi terhadap proses
180
pembelajaran. Dimana jumlah kelompok yang banyak dan cakupan wilayah kerja BPP yang luas membutuhkan sumberdaya dan waktu yang memadai serta tenaga yang cukup untuk menjalankan proses pembelajaran. Implikasi hasil penelitian ini menjadi dasar bagi Kementan RI dan Pemda untuk merumuskan kebijakan yang mengatur mengenai jumlah kelompok dan luas wilayah kerja BPP perlu dipertimbangkan untuk efektivitas pelaksanaan proses pembelajaran. Pengaruh Sumberdaya BPP pada Program Aksi BPP Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
peubah
sumberdaya
BPP
berpengaruh nyata pada program aksi BPP. Hal tersebut mengindikasikan sumberdaya BPP turut menentukan terumuskannya dengan baik program aksi BPP sebesar 0,54 yang nyata pada α = 0,05. Pengaruh sumberdaya BPP pada program aksi tersebut dapat dilihat dari terumuskannya dengan baik programa BPP, terfasilitasinya pelaku utama dalam merumuskan dan menyusun RDK dan RDKK, termanfaatkannya BOPP secara efektif dan efisien (lihat Tabel 5). Hal ini mengindikasikan, jika terjadi peningkatan satu satuan sumberdaya BPP, akan meningkatkan program aksi dalam perumusan dan penyusunan programa penyuluhan sebesar 0,48 satuan, meningkatkan kapasitas fasilitasi RDK dan RDK sebesar 0,36 dan 0,41 serta BOPP sebesar 0,41 satuan. Meningkatnya kemampuan BPP merumuskan programa penyuluhan meliputi kemampuan membentuk tim perencana penyusunan programa secara kolaboratif, pengumpulan adata potensi wilayah kerja, lembaga pendukung, sarana prasarana dan data penerapan teknologi usahatani, mengindentifikasi kewenangan Kementan RI dan Pemda, melakukan identifikasi masalah, pengembangan alternatif solusi pemecahan masalah dan memilih solusi terbaik untuk menyusun programa penyuluhan. Peningkatan fasilitasi RDK dan RDKK meliputi kemampuan dan keterampilan memfasilitasi diskusi secara terstruktur dan tuntas, melaksanakan fasilitasi perumusan penyusunan RDK dan RDKK secara tertsruktur dan tuntas serta melaksanakan fasilitasi penetapan keputusan. Sedangkan BOPP meliputi pemanfaatan biaya operasional secara efesien dan
181
efektif dalam mengembang tugas BPP dan melaksanakan proses pembelajaran, sehingga tugas pokok dan fungsinya dapat dijalankan dengan baik. Sejalan dengan penelitian ini, maka secara umum konsep kinerja organisasi didasarkan pada gagasan bahwa organisasi adalah asosiasi sukarela dari asset produktif, termasuk manusia, sumber daya fisik dan modal, untuk tujuan mencapai tujuan bersama (Alchian dan Demsetz, 1972; Jensen dan Meckling , 1976; Simon, 1976; Barney, 2002 dalam Carton dan Hofer 2006). Begitu juga dengan apa yang dikemukan oleh Carton dan Hofer (2006) bahwa mereka menyediakan aset hanya untuk menjalankan organisasi mereka asalkan mereka puas dengan nilai yang mereka terima di bursa, relatif terhadap penggunaan alternatif aset. Sebagai konsekwensinya, esensi dari kinerja adalah penciptaan nilai. Selama nilai yang diciptakan dengan menggunakan asset, kontribusinya sama atau lebih besar dari nilai yang diharapkan oleh mereka, aset akan terus tersedia untuk organisasi dan organisasi akan terus eksis. Oleh karena itu, penciptaan nilai, seperti yang didefinisikan oleh penyedia sumberdaya, adalah kriteria kinerja utama secara keseluruhan untuk setiap organisasi. Lusthaus et al., (2002) mengemukakan bahwa setiap organisasi harus berusaha memenuhi tujuannya dengan pengeluaran yang diterima dari sumberdaya sambil menjamin keberlanjutan jangka panjang. Berarti tugas atau pekerjaan dilakukan secara efektif dan efisien dan tetap relevan dengan stakeholder (pemangku kepentingan). Kreatifitas dan inovasi juga menjadi penting, karena secara internal memperlihatkan kemampuan organisasi “BPP” memberi respon yang positif terhadap perubahan, juga memperlihatkan SDM organisasi yang memiliki kapasitas dan kemampuan memberi tanggapan terhadap apa yang terjadi diluar organisasi mereka, terutama perubahan yang berkaitan langsung manajemen organisasi mereka dengan memanfaatkan secara efisien dan efektif sumberdaya yang dimiliki organisasi “BPP”. Sedangkan secara eksternal akan meningkatkan kemampuan kepelayanan terhadap klien (petani) sesuai dengan perkembangan perubahan dan tuntutan kebutuhan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian masa kini.
182
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh nyata sumberdaya BPP pada program aksi dari ciri peubah pembiayaan, sarana prasarana dan pembiayaan.
Sumberdaya
ini penting
karena
merupakan
energi untuk
menggerakkan organisasi BPP, sehingga penelitian dapat dijadikan referensi oleh Kementan RI dan Pemda dalam membuat kebijakan untuk meningkatkan program aksi yaitu dengan jalan meningkatkan sarana prasarana, informasi dan pembiayaan BPP. Pengaruh Adaptasi BPP pada Program Aksi BPP Penelitian ini memperlihatkan bahwa peubah adaptasi berpengaruh nyata pada program aksi BPP. Hal tersebut
berarti adaptasi turut menentukan
kemampuan terumuskannya program aksi yang baik dengan koefisien pengaruh sebesar 0,15 nyata pada α = 0,05. Pengaruh adaptasi terhadap program aksi tersebut diperlihatkan pada kemampuan BPP yang semakin meningkat kualitasnya dalam merumuskan programa, memfasilitasi perumusan dan penyusunan RDK dan RDKK serta kemampuannya memanfaatkan BOPP secara efektif dan efisien sehingga dapat diamanfatkan dengan baik dalam menjalankan proses belajar dan tugas-tugas lainnya yang diperintahkan noleh atasannya (lihat Tabel 5.). Hal tersebut memberi pengertian, jika terjadi peningkatan satu satuan adaptasi BPP, akan meningkatkan program aksi dalam perumusan dan penyusunan programa sebesar 0,13 satuan, RDK dan RDKK masing 0,12 dan 0,11 satuan serta BOPP 0,11. Meningkatnya program aksi melalui perumusan dan penyusunan programa, meliputi kemampuan dan keterampilan BPP menyusun programa penyuluhan dengan mengikuti kaidah perumusan dan penyusunan programa dengan benar dan mengadaptasi perubahan lingkungan strategisnya, akan nampak jelas bahwa programa yang dirumuskan dan disusun sudah merespon perubahan, sehingga programa yang dirumuskan dan disusun memiliki adaptasi dan antisipatif terhadap perubahan lingkungan. RDK dan RDKK meliputi kemampuan dan keterampilan memfasilitasi secara tertsruktur dan tuntas perumusan dan penyusunannya. Sedangkan BOPP dapat dilihat dari tetap berjalannya dengan baik proses pembelajaran walaupun biaya operasional yang
183
terbatas, bahwa kenyataan seperti itu mengindikasikan pengelolaan BOPP dengan baik oleh masing-masing staf BPP. Ada tiga peubah yang mencirikan peubah adaptasi, meliputi : uji teknologi pertanian, pengembangan masyrakat dan kerjasama dengan lembaga lain. Ketiga sub variabel tersebut membentuk ciri terhadap adaptasi BPP. Fungsi BPP dalam hal penerapan teknologi informasi atau fungsi difusi inovasi akan semakin mantap dan meyakinkan apabila didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana uji teknologi pertanian, sehingga dapat melakukan uji coba teknologi sebelum dilakukan difusi serta dapat melakukan percontohan hasil uji coba teknologi pertanian. Fungsi BPP dapat menjadi lebih berkembang seiring dengan perkembangan
dan
kematangan
BPP
sebagai
organisasi,
yaitu
dapat
mengembangkan program ekonomi (informasi harga dan pemasaran), sosial (gotong royong, adat istiadat, perayaan sosial), kelembagaan (pasar, koperasi, pembiayaan mikro) dan mengembangkan program kemitraan baik dengan swasta, pemerintah maupun dengan LSM. Selain itu BPP dapat juga melakukan kerjasama dengan lembaga pemerintah terkait, swasta, lembaga swadaya masyarakat, koperasi/KUD dan kelompok tani dan gabungan kelompok tani. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh nyata adaptasi pada program aksi dari dimensi uji coba teknologi, pengembangan masyarakat dan kerjasama dengan lembaga lain. Oleh karena itu, hasil penelitian dapat membantu Kementan RI dan Pemda dalam mencari solusi pengembangan BPP ke depan, yaitu dengan menyediakan sarana dan prasarana uji coba teknologi dan memberi keluwesan atau kelonggaran bagi BPP untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai organisasi yang mandiri dan modern sehingga BPP dapat mengembang kan kemampuannya untuk dapat melakukan pengembangan masyarakat dan melakukan kerjasama dengan lembaga lain. Pada kondisi tersebut diharapkan BPP dapat menjadi organisasi mandiri yang dapat menjadi motor penggerak dan wadah penopang perekonomian wilayah kecamatan.
184
Pengaruh Pengembangan BPP, Pengelolaan BPP, SDM, Petani Binaan, Sumberdaya BPP dan Adaptasi BPP pada Program Aksi BPP Hasil penelitian menunjukkan bahwa peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, SDM, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP berpengaruh nyata pada program aksi (Y 1 ) dengan koefisien determinasi sebesar 72 persen yang nyata pada α=0,05 (lihat Tabel 7). Hal tersebut menunjukkan bahwa peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, SDM, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP secara bersama-sama berpengaruh pada program aksi (Y 1 ) sebesar 72 persen dan sisanya 28 persen merupakan pengaruh peubah lain yang tidak termasuk dalam model penelitian. Besarnya pengaruh peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, SDM, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP pada program aksi merupakan konstribusi nyata dari beberapa penciri peubah lainnya. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Pengaruh nyata peubah pengembangan BPP pada program aksi dicirikan oleh dua peubah, yaitu : peubah tujuan dan strategi (lihat Gambar 8). Hal itu berarti semakin baik tujuan dirumuskan dan strategi yang tepat untuk mencapai tujuan BPP dengan langkah-langkah yang taktis dan tepat akan menyebabkan perumusan dan penerapan program aksi semakin baik. Sedangkan tiga peubah lainnya sebagai ciri pengembangan BPP, yaitu : visi, misi dan sasaran dalam penelitian setelah dilakukan pengolahan data tidak dapat memenuhi batas cut off di atas 0,60 yang dipersyaratkan, peubah-peubah tersebut hanya memiliki estimasi koefisien bobot faktor kurang dari 0,60 yang tidak nyata pada α = 0,05 itu berarti ketiga peubah sebagai ciri yang dibangun untuk pengembangan BPP tidak valid dalam mengukur kinerja penyuluh pertanian. Peubah pengelolaan BPP berpengaruh nyata pada program aksi yang ditentukan oleh dua peubah yang mencirikan dari lima peubah ciri pembentuk peubah pengelolaan BPP, yaitu peubah kepemimpinan dan tata kelola (lihat Gambar 8). Dapat dikatakan bahwa semakin meningkatnya tata kelola BPP yang dicerminkan oleh pelaksanaan tata kelola BPP yang transparan/terbuka dan dapat dipercaya, dilaksanakan secara bertanggungjawab dan adil, serta meningkatnya kepemimpinan yang mampu mendorong semangat, kreativitas dan tanggungjawab sseluruh staf, kepemimpinan yang membangun dan memelihara
hubungan
185
harmonis serta saling berbagi informasi dan kepemimpinan yang mampu mengkomunikasikan visi, misi serta memberikan arahan kepada seluruh staf dengan bijak akan meningkatkan program aksi BPP. Tiga peubah yang menjadi ciri pembentuk variabel pengelolaan BPP, yaitu : sistem pengelolaan, penetapan keputusan dan suasana kerja dalam penelitian ini memiliki estimasi koefisien bobot faktor kurang dari 0,60 yang tidak nyata pada α = 0,05. itu berarti ketiga ciri peubah pengelolaan BPP tersebut tidak valid dalam mengukur peubah program aksi BPP. Peubah sumberdaya manusia berpengaruh nyata pada program aksi BPP yang ditentukan tiga peubah yang mencirikannya, yaitu: jumlah staf administrasi dan keuangan, rasio penyuluh dengan petanin dan pelatihan teknis penyuluh (lihat Gambar 8). Hal tersebut memberi pengertian bahwa semakin tepat jumlah staf BPP yang ditempatkan dan semakin baik pengelolaan administrasi dan keuangan BPP serta rasio penyuluh dan petani ideal dan pelatihan teknis yang diperoleh staf BPP memadai, akan meningkatkan program aksi BPP. Lima peubah menjadi cirri pembentuk sumberdaya manusia, yaitu: jumlah penyuluh, pendidikan formal penyuluh, pelatihan fungsional, penempatan staf dan pengembangan staf dalam penelitian ini memiliki estimasi bobot faktor kurang dari 0,60 yang tidak nyata pada α = 0,05. Hal tersebut bermakna kelima peubah penciri yang tidak masuk sebagai variable penciri peubah sumberdaya manusia tidak valid dalam mengukur kinerja penyuluh pertanian. Peubah petani binaan nyata berpengaruh pada peubah program aksi BPP yang ditentukan oleh peubah penciri luas WKBPP dan jumlah kelompok binaan BPP (lihat Gambar 8). Dapat dikatakan bahwa semakin ideal luas WKBPP dan semakin proporsional jumlah kelompok yang dibina BPP akan meningkatkan kinerja program aksi BPP. Dua penciri peubah petani binaan tidak masuk dalam model penelitian ini, yaitu : jumlah petani binaan dan kemandirian petani karena memiliki estimasi bobot faktor kurang dari 0,60 yang tidak nyata pada α = 0,05. Berarti kedua peubah penciri petani binaan tidak valid dalam mengukur kinerja penyuluh pertanian. Peubah sumberdaya BPP berpengaruh nyata pada program aksi yang ditentukan oleh ketiga peubah penciri pembentuk peubah tersebut, yaitu :
186
pembiayaan, sarana dan prasarana dan sistem informasi (lihat Gambar 8). Dapat dikatakan bahwa semakin efektifnya pembiayaan BPP dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, semakin tersedia dan memadainya sarana prasarana BPP, berupa sarana keinformasian BPP, sarana alat bantu penyuluh, sarana peralatan administrasi, alat transfortasi, sarana perpustakaan, prasarana perkantoran, prasarana lingkungan dan prasarana penunjang serta tertata dan memadainya sistem informasi BPP, tersedianya SDM yang memadai untuk mengelola sistem informasi, tersedianya sistem informasi untuk membantu pengambilan keputusan dan sistem informasi dapat membantu operasional BPP, akan meningkatkan program aksi BPP. Semua peubah yang menjadi ciri sumberdaya memiliki estimasi koefisien bobot faktor lebih 0,60 nyata pada α = 0,05. itu berarti ketiga ciri peubah pengelolaan BPP tersebut valid dalam mengukur peubah program aksi BPP. Peubah adaptasi BPP berpengaruh nyata pada program aksi yang ditentukan oleh ketiga peubah yang mencirikan pembentuk peubah tersebut, yaitu: uji coba teknologi pertanian, pengembangan masyarakat dan kerjasama dengan lembaga lain (lihat Gambar 8).
Dapat dikatakan bahwa semakin tersedianya
sarana uji coba teknologi pertanian dengan dimensi sarana ujicoba teknologi, melakukan uji coba sebelum dilakukan difusi dan percontohan hasil uji, pengembangan masyarakat dengan dimensi pengembangan program BPP (program ekonomi, sosial, kelembagaan dan program kemitraan) serta mengembangkan kerjasama dengan lembanga lain, yaitu: lembaga pemerintah, swasta, LSM, koperasi/KUD dan kelompok tani akan meningkatkan program aksi BPP. Semua peubah yang mencirikan adaptasi memiliki estimasi koefisien bobot faktor lebih 0,60 nyata pada α = 0,05. itu berarti ketiga ciri peubah adaptasi BPP tersebut valid dalam mengukur peubah program aksi BPP. Secara bersama-sama peubah yang mencirikan peubah-peubah laten endogen, yaitu : pengembangan BPP, pengelolaan BPP, SDM, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP berpengaruh nyata pada program aksi BPP dengan koefisien determinasi sebesar 72 persen, sehingga terdapat pengaruh peubah diluar hasil penelitian, yaitu sebesar 28
persen.
Oleh karena itu,
pengembangan BPP, pengelolaan BPP, SDM, petani binaan, sumberdaya BPP dan
187
adaptasi BPP merupakan faktor internal yang dominan dalam mengembangkan program aksi yang dapat berefek pada perbaikan kinerja pengelolaan BPP. Pengaruh Pengembangan BPP, Pengelolaan BPP, SDM, Petani Binaan, Sumberdaya BPP dan Adaptasi BPP pada Perubahan Perilaku Petani Penelitian ini memperlihatkan hasil bahwa peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, SDM, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP berpengaruh nyata pada perilaku petani (lihat Tabel 7). Keenam peubah tersebut berpengaruh tidak langsung dan nyata pada perilaku petani. Dapat diakatakan bahwa pengaruh keenam peubah pada perilaku petani tersebut melalui program aksi, sedangkan peubah program aksi (Y 1 ) berpengaruh langsung dan nyata pada perilaku petani (lihat Tabel 5) dengan persamaan model struktural Y 2 = 0,78 Y 1. Persamaan tersebut menunjukkan bila terjadi peningkatan satu satuan program aksi, maka akan terjadi perubahan perilaku petani sebesar 0.78 satuan. Perubahan perilaku petani tersebut nampak pada peningkatan kompetensi petani sebesar 0,78 satuan dan sekaligus peningkatan partisipasi petani sebesar 0,78 satuan (lihat Tabel 9). Sedangkan koefisien determinasi program aksi pada perubahan perilaku petani sebesar 61 persen, sisanya 39 persen merupakan pengaruh lain di luar penelitian ini (lihat Gambar 9). Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Lionberger dan Gwin (1991) mengemukakan bahwa aktivitas penyelenggaraan penyuluhan pertanian adalah salah satu diantara sekian banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan perilaku petani. Selanjutnya va den Ban (1999) mengemukan dari sudut pandang penyuluhan untuk memengaruhi perilaku manusia (petani) disebutkan beberapa unsur, yaitu : kewajiban atau pemaksaan, pertukaran, saran, memengaruhi pengetahuan dan sikap petani secara terbuka, manipulasi, penyedia sarana, pemberian jasa dan mengubah struktur sosial ekonomi petani. Kedelapan unsur tersebut untuk mengubah perilaku manusia dapat diringkas menjadi tiga, yaitu upaya yang dilakukan untuk memengaruhi
perilaku manusia dengan jalan:
(1) melalui pendidikan; (2) memberi bantuan, dan (3) melakukan paksaan “kebijakan” (hukum/undang-undang).
188
Hasil penelitian ini memperlihatkan, koefisien determinasi program aksi pada perubahan perilaku petani sebesar 61 persen, dapat dikatakan bahwa program aksi menyumbang pada perubahan perilaku petani melalui kompetensi petani berusahatani dan partisipasi petani mengikuti kegiatan penyuluhan cukup baik. Oleh karena itu, Kementan RI dan Pemda
dapat mengambil peran dalam
upaya mengembangkan kebijakan penguatan kelembagaan penyuluhan dengan memperhatikan keempat peubah utama yang memengaruhi
perilaku petani.
Seiring membaiknya kinerja BPP dalam perumusan program aksi, tentu dengan sendirinya akan berdampak positif bagi perubahan perilaku kearah yang lebih kompeten dan partisipatif, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas usahatani mereka. Hubungan antar Peubah yang Berpengaruh pada Program Aksi BPP Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antar peubah pengembangan BPP dan SDM, pengelolaan BPP dan SDM, SDM dan sumberdaya BPP, serta petani binaan dan sumberdaya BPP, tergolong kuat dengan koefisien hubungan di atas 0,50 satuan. Sedangkan pengembangan BPP dan adaptasi BPP, pengembangan BPP dan pengelolaan BPP, pengelolaan BPP dan sumberdaya BPP, petani binaan dan adaptasi, pengelolaan BPP dan petani binaan sumberdaya BPP memiliki hubungan yang nyata pada α = 0,05 tetapi bersifat lemah. Berbeda dengan kelompok peubah tersebut, pengembangan BPP dan petani binaan, SDM dan adaptasi, SDM dan petani binaan, koefisien hubungannya tidak nyata pada α = 0,05. Hubungan tersebut dapat dijelaskan bahwa apabila terjadi perubahan pengembangan BPP pada dimensi tujuan dan sasaran dan pengelolaan BPP pada dimensi tata kelola dan kepemimpinan dan kaulaitas SDM pada dimensi rasio penyuluh dan petani, pelatihan teknis dan jumlah staf administrasi dan keuangan yang baik serta sumberdaya yang memadai akan meningkatkan faktor-faktor internal BPP. Hubungan antar peubah pengembangan BPP dan petani binaan, SDM dan adaptasi, SDM dan petani binaan, petani binaan dan adaptasi koefisien hubungannya tidak nyata dan terbilang lemah dengan koefisien hubungan di bawah 0,50 satuan.
189
Hasil penelitian ini sejalan dengan pandangan Lusthaus et al., (2002) bahwa, kinerja organisasi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: kapasitas organisasi, motivasi organisasi dan lingkungan organisasi yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Kapasitas organisasi merupakan kemampuan dari suatu organisasi untuk menggunakan sumberdaya yang tersedia. Motivasi organisasi menunjukkan kepribadian dasar organisasi dan lingkungan eksternal merupakan faktor kunci dalam menentukan tingkat ketersediaan sumberdaya dan yang dapat menyelesaikan kegiatannya.
190
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1) Pengembangan BPP, Pengelolaan BPP, SDM, Petani Binaan, Sumberdaya BPP dan Adaptasi BPP berpengaruh nyata pada program aksi BPP. Faktorfaktor internal yang berpengaruh program aksi BPP adalah : tujuan, strategi, tata kelola, kepemimpinan, pelatihan teknis, rasio antara penyuluh dengan petani, jumlah tenaga administrasi dan keuangan, jumlah kelompok binaan, luas WKBPP, pembiayaan, sarana dan prasarana, sistem informasi, uji coba teknologi pertanian, pengembangan masyarakat dan kerjasama dengan lembaga lain. Semua faktor internal tersebut berpengaruh nyata pada kemampuan merumuskan program aksi BPP. (2) Pengembangan BPP, Pengelolaan BPP, SDM, Petani Binaan, Sumberdaya BPP dan Adaptasi BPP berpengaruh tidak langsung dan nyata pada perubahan perilaku petani, sedangkan program aksi melalui penciri pembentuknya, yaitu: programa, RDK, RDKK dan Biaya operasional berpengaruh langsung dan nyata pada perilaku petani. (3) Derajat hubungan antar peubah pengembangan BPP, pengelolaan BPP, SDM, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP tergolong lemah dan tidak berbeda nyata. Derajat hubungan yang tergolong kuat adalah pada peubah pengembangan BPP dan sumberdaya BPP, pengembangan BPP dan SDM, pengelolaan BPP dan SDM, Sumberdaya BPP dan SDM serta petani binaan dan
sumberdaya
BPP,
sedangkan
derajat
hubungan
antar
peubah
pengembangan BPP dan adaptasi BPP, pengembangan BPP dan petani binaan, pengembangan BPP dan pengelolaan BPP, pengelolaan BPP dan adaptasi BPP, pengelolaan BPP dan sumberdaya BPP, pengelolaan BPP dan petani binaan, SDM dan adaptasi, SDM dan petani binaan, petani binaan dan adaptasi serta sumberdaya BPP dan adaptasi BPP tergolong lemah. (4) Program aksi BPP berdampak pada perubahan perilaku petani melalui dimensi programa penyuluhan, RDK, RDKK dan biaya operasional.
191
Saran Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan, maka perlu disarankan kepada pengambil kebijakan dan para penyuluh pertanian dalam rangka meningkatan kinerja penyuluh pertanian yang tujuan akhirnya adalah perubahan perilaku petani ke arah yang lebih baik, sebagai berikut: (1) Kementerian Pertanian RI dan Badan Koordinasi Penyuluhan serta Badan Pelaksana Penyuluhan dibantu oleh Komisi Penyuluhan Provinsi dan Komisi Penyuluhan Kabupaten perlu merumuskan secara mendasar kebijakan untuk melakukan penguatan kelembagaan BPP dengan meletakkan fungsi dan peran BPP sesuai UU No. 16 Tahun 2006 dan PP Nomor 43 Tahun 2009 pada dimensi pengembangan BPP, pengelolaan BPP, SDM BPP, petani binaan, sumberdaya BPP dan adaptasi BPP melalui program pendidikan dan pelatihan secara berkala, terstruktur dan berkelanjutan. (2) Dibutuhkan kebijakan dari Kementerian Pertanian RI bersama Badan Koordinasi Penyuluhan di Provinsi serta Badan Pelaksana Penyuluhan di kabupaten dibantu oleh Komisi Penyuluhan Provinsi dan Komisi Penyuluhan Kabupaten untuk mengembangkan “capacity building” BPP dengan tetap mengacu pada UU No. 16 Tahun 2006 dan PP Nomor 43 Tahun 2009 untuk meningkatkan kemampuan staf BPP merumuskan, mengembangkan
dan
mengimplementasikan program aksi, terutama kemampuan merumuskan dan mengimplementasikan programa penyuluhan, fasilitasi secara terstruktur dan tuntas penyusunan RDK dan RDKK dan penyesuaian biaya oprasional untuk dapat menjalankan tugas pokok dan fungsi staf BPP secara optimal, hal tersebut dapat dilakukan melalui pelatihan dan pendidikan secara berkala, terstruktur dan berkelanjutan serta peninjauan kembali pertauran yang mengatur tentang BOP. (3) Perlunya kebijakan dari pihak-pihak terkait terutama Kementerian Pertanian RI, Badan Koordinasi Penyuluhan serta Badan Pelaksana Penyuluhan di bantu oleh Komisi Penyuluhan Provinsi dan Komisi Penyuluhan Kabupaten untuk
terus
mengembangkan
dan
meningkatkan
kemampuan
serta
keterampilan sumberdaya manusia BPP terutama pada dimensi kemampuan dan keterampilan pengembangan BPP, pengelolaan BPP dan adaptasi BPP
192
dengan berpedoman pada UU No. 16 Tahun 2006 dan PP Nomor 43 Tahun 2009 dan peraturan terkait lainnya melalui program pendidikan dan pelatihan secara berkala, terstruktur dan berkelanjutan serta program magang. (4) Kementerian Pertanian RI dan Badan Koordinasi Penyuluhan serta Badan Pelaksana Penyuluhan di bantu oleh Komisi Penyuluhan Provinsi dan Komisi Penyuluhan Kabupaten masing-masing perlu mengembangkan strategi yang terintegrasi untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan staf BPP sebagai organisasi pelayan publik (terutama bagi pelaku utama dan pelaku usaha) agar memiliki kemampuan menyusun programa, RDK dan RDKK yang memiliki keterkaitan antara kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha dengan tujuan BPP sebagai organisasi pelayan publik melalui program pendidikan dan pelatihan yang dirancang sesuai dengan kebutuhan spesifik lokal daerah pada WKBPP masing-masing berdasarkan UU No. 16 Tahun 2006 dan PP Nomor 43 Tahun 2009 dan peraturan terkait lainnya.
193
DAFTAR PUSTAKA Buku Abbas S. 1995. 90 Tahun Penyuluhan Pertanian Indonesia (1905-1995). Jakarta : Deptan RI. Adjid DA. 2001. Penyuluhan Pertanian. Jakarta : Yayasan Pengembangan Sinar Tani. Ainsworth M, S. Smith, A. Millership. 2002. Managing Performance Managing People. Terjemahan. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer. Amri Jahi (peny.). 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga : Suatu Pengantar. Jakarta : Gramedia. Amstrong M. 1998. A Hand Book of Personal Management Practice. London: Kogan Page. ___________ 2003. Managing People. Jakarta : Bhuana Populer. Aris Ananta (peny.) 1990. Ekonomi Sumberdaya Manusia. Jakarta : Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI. Asngari PS. 2001. Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agrobisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. 15 September 2001. Azwar S. 2010. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Edisi 2. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Babbie E. 1992. The Practice of Social Research. Sixth Edition, Balmont, California : Wadsworth Publishing Company. BAN-PT. 2008. Akreditasi Program Studi Sarjana : Standar dan Prosedur Akreditasi Program Studi Sarjana (Buku II). Jakarta : Badan Akreditasi Nasional Perguruna Tinggi. Bennis W, Mason RO, Mitroff II. 1992. Organizational Culture and Leadership. San Francisco, California : Jossey-Bass Inc. Publishers. Benowitz EA. 2001. Cliffs Quick ReviewTM: Principles of Management. New York : Wiley Publishing Inc. Bernardin JH, Russell J EA. 1993. Human resource management, International edition, Singapura: McGraw Hill,Inc.
194
Bittel R, Newsroom J. 1996, Pedoman Bagi Penyelia, (Penerjemah; Bambang Hartono) Cetakan II. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Black JA, Champion DJ. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung : PT Refika Aditama. Blanchard PK, Spencer. 1982. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Boyle PG. 1981. Planning Better Programs. New York : McGraw-Hill Book Company. Brewerton P, Millward L. 2006. Organizational Research Methods : A Guide For Students and Researchers. London : SAGE Publication Ltd. Bryson, John M., 1995, Strategic Planning for Public and Nonprofit Organization : A Guide to Strengthening and Sustaining Organizational Achievment. San Fransisco : Jossey-Bass Publishers. Burton, RM, DeSanctis, Obel B. 2006. Organizational Design : A Step-By-Step Approach. New York : Cambridge University Press. Cahyono BT (Peyt). 1996. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta : Badan Penerbit IPWI . Carton RB, Hofer CW. 2006. Measuring Organizational Performance : Metrics for Entrepreneurship and Strategic Management Research. Massachusetts 01060, USA : Edward Elgar Publishing, Inc. Chatab N. 2007. Diagnostic Management : Metode Teruji Meningkatkan Keunggulan Organisasi. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta. Davies E. 2005. The Training Manager’s A Handbook : Buku Wajib bagi Para Manajer Bagaimana Menyelenggarakan Training. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. Departemen Kehutanan. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Jakarta: Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan RI dan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Deptan RI. 1986. Vademekum Penyuluhan Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta : Dirjen Pertanian Tanaman Pangan, Direktorat Penyuluhan Tanaman Pangan. DeVellis RF. 2003. Scale Development : Theory and Applications, Second edition. Applied Social Research Methods Series Volume 26. California : SAGE Publications, Inc.
195
Ferdinand A. 2006. Metode Penelitian Manajemen : Pedoman Penelitian untuk Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi Ilmu Manajemen. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Fulton A, Fulton D, Tabart T, Ball P, Champion S, Weatherley J, And Heinjus D. 2003. Agricultural Extension, Learning And Change: A Report For The Rural Industries Research And Development Corporation. Camberra, Australia : Rural Industries Research And Development Corporation (RIRDC). Gani DS. 2003. Leadership in Indonesia: A Case for Managing Relationship Withing Organizations. Di dalam : Dean Tjosvold & Kwok Leung, editor. Leading in High Growth in Asia – Manging Relationship for Team Work and Change. Singapore : World Scientific. ______. 2004. Risalah Teori Organisasi : Kutipan Bacaan dan Pustaka. Bogor. (Bahan Kuliah, Tidak Dipublikasi). Gibson LG, Ivancevich JM, Donnely,Jr. JH. 1984. Organisasi dan Manajemen : Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta : Penerbit Erlangga. Gilley WJ, Enggland SA. 1989. Principles of Human Resources Development. Canada: Addison Wesley Publishing Company. Inc. Gruneberg MM. 1979. Understanding Job Satisfaction. Dissemination and Utilizing of Knowledge in Asia. Los Banos: PRRI. Hickerson JF, Middleton J. 1975. Helping People Learn: A Module for Training Trainer. Hawai: East-West Center. Houle OC. 1975. The Nature of Adult Education. Penyuluhan Pertanian. Edisi Ke-2. Bahan Bacaan dan Diskusi. Diedit oleh Margono Slamet. Bogor: IPB. Jacius JM 1968. Personal Management. Tokyo: Charles E.Tutle Company. Jamil MH. 2006. “Agricultural Extension System in Indonesian.” Dalam Enhancement of Extension Systems In Agriculture. (Penyunting, Dr. V.P. Sharma). Tokyo : APO. Kartasapoetra AG. 1991. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta : Bumu Aksara. Kerlinger FN. 2004. Azas-Azas Penelitian Behavior. Cetakan Kesepuluh, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kirkpatrick C, Clarke R, Polidano C. 2002. Handbook on Development Policy and Management. Massachusetts USA : Edward Elgar Publishing. Inc.
196
Knutson RD, Penn JB, Flinchbaugh BL, Outlaw, JL. 2004. Agricultural and Food Policy (sixth edition). New Jersey Columbus, Ohio : Pearson, Prentice Hall. Kunarjo, 1993. Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Kusnendi. 2008. Model-Model Persamaan Struktural. Satu dan Multigroup Sampel dengan LISREL. Bandung: Alfabeta. Leeuwis, van den Ban A. 2004. Communication for Rural Innovation : Rethinking Agricultural Extension. (third edition). Iowa USA : Blackwell Publishing Company. Lionberger H.F, Gwin P.H. 1991. From Researchers Technology Transfer to User. USA : Published by University of Missouri, University Extension. Moeljono D (ed.). 2007. Corporate Culture, Challenge to Excellence. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. Mosher AT. 1966. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Jakarta : CV Yasaguna. Muchinsky. 1993. Psychology Applied to Work. First Edition, Chicago: The Dorsey Press. Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Neuman W.L. 1994. Social Research Methods : Qualitative and Quantitative Approaches. Second Edition, Massachusetts : By Allyn & Bacon A Viacom Company. Parmenter D. 2010. Key Performance Indicators : Pengembangan, Implementasi, dan Penggunaan KPI Terpilih. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. Robbins SP. 1994. Teori Organisasi : Struktur, Desain, dan Aplikasi. Jakarta : Penerbit Arcan. Rogers EM. 1976. Communication and Development : Critical Perspectives. New York : Sage Publication. Rogers M, Shoemaker. 1995. Diffusion of Innovation Third Edition. A Division of Mac Millan Publishing Co. Inc. Russel RS, Taylor III BW. 2003 (fourth Edition). Operations Management. New Jersey : Prentice Hall.
197
Salusu J. 1998. Pengambilan Keputusan Stratejik : Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta : PT Gramedia. Samsuddin U. 1987. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Bandung : Bina Cipta. Sarma, M. 2008. Pengorgansasian Penyuluhan Menurut Undang Undang No. 16/2006: Catatan Kritis dalam Pengimplementasiannya dalam I. Yuhana dan A. Sudradjat (Eds), Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat: Didedikasikan Kepada Prof. Dr. Pang Asngari (Halaman 156-165). Sydex Plus. Bogor. Senge PM, Kleiner A, Roberts C, Ross RB, Smith BJ. 1994. The Fifth Discipline Fieldbook : Strategies and Tools for Building a Learning Organization. New York : Doubleday Dell Publishing Group Inc. Sevilla CG. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia. Press. Siagian SP. 2004. Manajemen Abad 21. Jakarta : PT Bumi Aksara. Singarimbun M, Effendi S. 1991. Metode Penelitian Survei. Jakarta : LP3ES. Skinner CE. 1952. Essentials of Educational Psychology. New York: PrenticeHall, Inc. Slamet M. 1992. Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas. Di Dalam Aida V, Prabowo T, Wahyudi R, editor. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Solimun. 2002. Structural Equation Modeling (SEM) Lisrel dan Amos. Malang : Penerbit Universitas Malang. Soesilo Nining J. 2000. Manajemen Strategik di Sektor Publik : Pendekatan Praktis. Jakarta : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sudarmanto, 2009. Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM : Teori, Dimensi Pengukuran, dan Implementasi dalam Organisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sule ET, Saefullah K. 2005. Pengantar Manajemen. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Summers D CS. 2009. Quality Management : Crearting and Sustaining Organizational Effectiveness. New Jersey Columbus, Ohio : Pearson Prentice Hall.
198
Sumardjo. 2004. Tantangan Komunikasi Pertanian di Era Global dalam Siswono Yudo Husodo. Pertanian Mandiri : Pandangan Strategis Para Pakar untuk Kemajuan Pertanian Indonesia : Jakarta. Penebar Swadaya. Swanson RA, Holton III EF. 2005. Research in Organizations : Foundations and Methods of Inquiry. San Francisco : Berret – Koehler Publishers, Inc. Swanson BE, Bentz RP, Sofranko AJ (ed.). 1997. Improving Agricultural Extension : A Reference Manual. Rome : Food and Agriculture Organization of the United Nation. Tim Prima Pena. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta : Gita Media Press. Tenner AR, DeToro IJ. 1992. Total Quality Management : Three Steps to Continuous Improvement. New York : Addison – Wesley Publishing Company. Terry RW. 2002. Kepemimpinan Autentik : Keberanian Untuk Bertindak. Batam Centre : Interaksara. van den Ban AW, Hawkins HS. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Ward J, Peppard J, 2009. Strategic Planning for Information System. England : John Wiley & Sons, Ltd. Wijanto SH. 2008. Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8 : Konsep dan Tutorial. Yogyakarta : Graha Ilmu. Winardi J. 2005. Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi dan Manajemen. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. Wiraatmadja S. 1977. Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. Cetakan ke-3.Jakarta: Yasaguna. Jurnal, Artikel, Laporan Hasil Penelitian yang Dipublikasikan Allen NJ, Meyer JP. 1990. “The Measurement and Antecedents of Affective, Continuance, and Normative Commitment to Organization.” Journal of occupational psychology, (1990) 63, 1–18. http://workandbabies.com/wpcontent/uploads/2009/11/allen-myer-1990.pdf (12 Nopember 2009) Almigo N. 2004. “Hubungan Antara Kepuasan Kerja Dengan Produktivitas Kerja Karyawan.” Jurnal PSYCHE. Vol. 1 No. 1, Desember 2004. http:// psikologi.binadarma.ac.id /jurnal /jurnal_nuzsep.pdf (13 Maret 2011) Amri Jahi, Newcomb LH. 1981. Orientation: Adjust For Agent Characteristic. Journal of Extension July/August. http://www.joe.org/joe/1981july/81-4a5.pdf. Hlm 25: 23-27 (18 April 2009).
199
Armstrong JS. 1983., Strategic Planning And Forecasting Fundamentals. From Kenneth Albert (ed.) The Strategic Management Handbook. New York: McGraw Hill, 1983, pp. 2-1 to 2-32. http://marketing.wharton.upenn.Edu/ ideas/pdf/armstrong2/strategicplanning.pdf (29 Juli 2010). Asian Development Bank. 2010. Elements of Governance : Understanding the conditions necessary for good governance. http://www.adb.org/ Governance/elements.asp (29 April 2011). Barry JM. 1997. “Performance Mangement : A Case Study.” Journal of Environmental Health. Denver : Nov 1997. Vol. 60, Edisi 4; pg. 35, 5 pgs. http://proquest.umi.com/pqdweb?did=22603684&sid=14&Fmt=4&clientI d=45625&RQT=309&VName=PQD. (03 Desember 2010). Brain RG, Irani TA, Hodges AW, Fuhrman NE. 2009. “Agricultural and Natural Resources Awareness Programming: Barriers and Benefits as Perceived by County Extension Agents.” Journal of Extension, April 2009 Volume 47 Number 2. http://www.joe.org/joe /2009april /a3.php (10 April 2010). Cardy, Robert L, Dobbins, Gregory H, Carson, Kenneth P. 1995. TQM and HRM: ”Improving Perpormance Appraisal Research, Theory, and Practice.” Revue Canadienne des Sciences de l’Administration. Montreal: Juny 1995. Vol. 12, Edisi 2; pg.106, 10 pgs. http://proquest.umi.com/pqdweb? Did = 6722636&sid=6&Fmt=3&clientId=45625&ROT=309&VName=POD. (18 Pebruari 2011). Chairy LS. 2002. Seputar Komitmen Organisasi. Psi.UI. Jakarta. http://staff. ui.ac.id/internal/131998622/material/Arisan86-KomitmenOrganisasiLiche.pdf (26 Maret 2010). Davis WL, Verma Satish. 1993. “Performance Appraisal. How Extension Agen View the System.” Journal of Extension, Number 4 Volume 31 Winter 1993. www.joe.org/joe/1993winter/a.3php.(19 Februari 2010) Foley KJ. 2007. From Quality Management To Organization Excellence: “Don’t Throw The Baby Out With The Bath Water.” Centre For Management Quality Research Royal Melbourne Institute of Technology, Sydney. http://www. cmqr.rmit.edu.au/publications/kfbabyba.pdf (16 Januari 2010) Goliath Business Knowledge on Demand. 2005. “Success factors for organizational performance: comparing business services, health care, and education.” Farmington Hills, Michigan. http://goliath.ecnext.com/ coms2 /gi0199-5432993/Success-factors-for-organizational-performance.html (13 Maret 2011). Greiling D. 2007. Trust and Performance Management in Non-Profit Organizations. The Innovation Journal: Public Sector Innovation Journal, Volume 12 (3), 2007, article 9.
200
Hampton C. 2011. Developing an Evaluation Plan. The Community Tool Box. http://ctb.ku.edu/en/tablecontents/subsectionmain1352.aspx (2 Pebruari 2010). Hopkins WE, Hopkins SA. 1997. “Strategic Planning – Financial Performance Relationship in Bank ; A Causal Examination” Strategic Management Journal, Vol. 18:8, 635–652 (1997). http://hsb.pku.edu.cn/bbs/images/ upfile/2010-9/201096112539.pdf (17 April 2011) International Information Support Centre. 2011. Developing an Action Plan. http://www.asksource.info/support/manual/plan13.htm. (30 Januari 2011). Jenette N dan Stephen F. 2011. Developing an Action Plan. The Community Tool Box. University of Kansas. http://ctb.ku.edu/en/tablecontents/ subsectionmain1089.aspx (16 Maret 2011). Kamaruddin AS, Mansyur A. 2006. Sistem Informasi Penyuluhan Pertanian di Jepang dan Indonesia. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/151/ pdf/Sistem%20Informasi%20Penyuluhan%20Pertanian%20di%20Jepang %20dan%20Indonesia.pdf (13 April 2011). Kinsey J. 2010. “Five Social Media Tools for the Extension Toolbox.” Journal of Extension, October 2010, Volume 48, Number 5. http://www.joe.org/joe/ 2010october/tt7.php (19 April 2011). Kontoghiorghes C, Awbrey SM, Feurig PL. 2005. “Examining the Relationship Between Learning Organization Characteristics and Change Adaptation, Innovation, and Organizational Performance.” Journal Human Resource Development Quarterly, vol. 16, no. 2, Summer 2005. Laodesyamri. 2011. Pengertian Sarana dan Prasarana. http://id.shvoong. com/writing-and-speaking/presenting/2106962-pengertian-sarana-danprasarana/ (15 April 2011). Lye JM. 2006. “Performance Measurement In The Public Sector: A Clarification And Agenda For Research.” Journal Australian Accounting Review. Melbourne: Jul 2006. Vol. 16, Iss. 2; pg. 25, 9 pgs. http://proquest.umi. com/pqdweb?did=1081551401&Fmt=4&clientId=45625&RQT=309& V Name=PQD (10 Januari 2011). Lusthaus C, Adrien MH, Anderson G, Carden F, Montalván GP. 2002. “Organizational Assessment: A framework for improving performance.” IDRC. http://www.idrc.ca/en/ev-30266-201-1-do. html (25 April 2008). Lunenburg FC. 2010. “Schools As Open Syatem”. Journal Schooling Number 1 Januari 2010 Volume 1. http://www.nationalforum.com/ Electronic%20
201
Journal20Volumes/Lununburg,%20Fred%20C.%20Schools%20as%20Op en%20Systems%20Schooling%20V1%20N1%202010.pdf (23 Pebruari). Lussier RN, Sonfield MC, Corman J, McKinney M. 2001. “Strategies Used by Small Business Entrepreneurs”. American Journal of Business. Spring 2001: Vol. 16 No. 1. http://www.bsu.edu/mcobwin/majb/?p=250 (29 Januari 2010). Martin S. 2007. Making Your Business Pay. http://www.askjim.biz/answers/ action-plan-definition_3359.php (14 Maret 2011) Miller CC, Cardinal LB. 1994. “Strategic Planning and Firm Performance : A Synthesis of More Than Decades of Research.“Academy of Management Journal, 1994, Vol. 37 No. 6 : pp.1649-1665. http://www.jstor.org/ stable /256804 (30 Maret 2011) Mintzberg H. 1994. “The Fall and Rise of Strategic Planning.” Harvard Business Review. January-February :pp.107-115. Prentice Hall International. http://fhict.fontys.nl/es/MScModules/IMAN/Shared%20Documents/Fall% 20and%20Rise%20of%20SP.pdf (10 Pebruari 2011). Meyer JP, Stanley DJ, Herscovitch L, and Topolnytsky L. 2002. “Affective, Continuance, And Normative Commitment ToThe Organization: A MetaAnalysis Of Antecedents, Correlates, And Consequences.” Journal of Vocational Behavior 61, 20-52 (2002). Elsevier Science (USA). http://202.110.216.164:81/cds/forum/201010/13/093242vr 55vhbmbmgtmtyt.pdf (20 Januari 2010) Oladele OI. 2008. Research-Extension-Farmers Linkage System on Banana and Plantain (Musa spp.) in Nigeria: the Diffusion of Innovations. Nigeria : Department of Agricultural Extension and Rural Development University of Ibadan. Proc. IC on Banana & Plantain in Africa. http://www. banana2008.com/cms/details/acta/879_92.pdf (14 Nopember 2009). Powel ET, Henert E. 2008. “Developing a logic model: Teaching and training guide.” Madison : University Of Wisconsin-Extension Cooperative Extension Program Development And Evaluation. http://www.uwex.edu /ces/pdande. (3 April 2011). Reference for Business. (tanpa tahun). Facility Management. Ads by Google. http://www.referenceforbusiness.com/small/Eq-Inc/Facility-Management. html (4 April 2011). Reference for Business. (tanpa tahun). Budgets And Budgeting. Ads by Google. http://www.referenceforbusiness.com/small/Bo-Co/Budgets-andbudgeting .html (14 April 2011).
202
Rowe E. 2010. “Looking at Extension as a Learning Organization” Journal of Extension. Number 4 Volume 48 August 2010. http://www.joe.org /joe /2010august/rb1.php (11 April 2011). Ruifa HU, Zhijian YANG, Peter KELLY, Jikun HUANG. 2009. Agricultural extension system reform and agent time allocation in China. Journal; China Economic Review 20 (2009) 303–315. Elsevier Inc. (12 Januari 2009). Sarma, M. 2007. Implementasi UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan: Perkembangannya Kini dan Sinkronisasi dengan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Jurnal Penyuluhan Edisi September 2007. Vol 3 No. 2. Schacter M. 2002. “Practitioner’s Guide to Measuring the Performance of Public Programs.”Ottawa, Ontario Canada: Institute On Governance. www.iog.ca (23 Maret 2011). Suharto, Edi, 1997, Analisis Kebijakan Sosial, http://www.policy.hu/suharto/ modul_a/ makindo_17.htm , (7 Juli 2009). Sundermeier A. 2005.“Exotic Pest Invasion--Plan of Action for Extension Educators.” Journal of Extension. October 2005, Volume 43 Number 5. http://www.joe.org/joe/ 2005october /tt5.php (17 April 2011). Taiwo AS, Idunnu FO. 2007. “Impact of Strategic Planning on Organizational Performance and Survival.” Research Journal of Business Management. 1 (1) 62 – 71, 2007. http://scialert.net/qredirect.php?doi=rjbm.2007.62.71 &linkid=pdf (14 Desember 2010). Teece DJ, Pisano G, Shue A. 1997. “Dynamic Capabilities And Strategic Management.” Strategic Management Journal, Vol. 18:7, 509–533 (1997) http://jpkc.zju.edu.cn/k/439/download /ktsj/02.pdf (11 April 2011). UNDP. (tanpa tahun). What Is Governance : http://www.undp.org.fj/gold Ward S. 2000. Vision Statemen. Canada : About.com Guide. http://sbinfocanada. about.com/od/ businessplanning/g/visionstatement.htm (2 April 2011). The World of Library. 2010. Pengertian Kearsipan dan Beberapa Peranan Penting dari Kearsipan. http://www.g-excess.com/id/pengertian-kearsipan-danbeberapa-peranan - penting-dari-kearsipan.html (9 April 2011).
203
Yuchtman, Seashore.1967. Performance. http://www.idrc.ca/en/ev-30226-201-1DO_TOPIC.html. (8 Maret 2008). Way TSA, Johnson DE. 2005. “Theorizing about the impact of strategic human resource management” Journal of Human Resource Management Review 15 (2005) 1–19. Elsevier Inc. All rights reserved (www. Sciencedirect. com) www.socscinet.com/bam/humres ( 9 Nopember 2009)
Disertasi, Makalah dan Laporan Penelitian yang Tidak Dipublikasi.
Bahua MI. 2010. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya pada Perilaku Petnai Jagung di Provinsi Gorongtalo. [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. BAN-PT, Dept.Matematika, FMIPA IPB. 2005. Studi Kebijakan Tentang Keterkaitan Lembaga-Lembaga Penyelenggara Akreditasi dan Evaluasi Mutu Perguruan Tinggi. [Laporan] Kerjasama BAN-PT Dept. Pendidikan Nasional dengan Dept. Matematika, FMIPA IPB. Muliady TR. 2009. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya pada Perilaku Petani Padi di Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Jermie, M.J. 1994. Sistem Penyuluhan Pembangunan Pertanian Indonesia. [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Jamil MH. 2009. Agricultural Policy : Challenging and Prospect. Makalah yang disampaikan pada International Roundtable Discussion (IRD) di Universitas Putra Malaysia (UPM), pada Tanggal, 27 Juli 2009. Di UPM Malaysia. Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Perundang-Undangan dan Peraturan-Peraturan
UU RI. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006. Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kelautan. Departemen Pertanian. 2007. Peraturan Menteri Pertanian : Nomor 273/Kpts.OT.160/4/2007 Tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan
204
Petani : Pedoman Sistem Kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU), Lampiran 3. Jakarta. Departemen Pertanian. 2007. Peraturan Menteri Pertanian : Nomor 273/Kpts.OT.160/4/2007 Tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani : Pedoman Penyusunan Rencana Definit Kelompok Tani (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK), Lampiran 2. Jakarta. Departemen Pertanian. 2007. Peraturan Menteri Pertanian : Nomor 273/Kpts.OT.160/4/2007 Tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembanga Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani : Pedoman Sistem Kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU), Lampiran 1. Jakarta. Presiden RI. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2004 Tentang Rencana Kerja Pemerintah. Jakarta : Sekretariat Negara RI. Presiden RI. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2009 Tentang Pembiayaan, Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, perikanan, dan Kehutanan. Jakarta : Sekretariat Negara RI.
205
LAMPIRAN
217
KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KINERJA BALAI PENYULUHAN PERTANIAN (BPP) DAN DAMPAKNYA PADA PERILAKU PETANI PADI DI SULAWESI SELATAN
Oleh: Muh. Hatta Jamil I362060011
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
218
IDENTITAS BPP Nama BPP
: ……………………………………………………………………………….
Alamat BPP
: Jl. …………………………………………, Desa/Kel…. …………………. Kec. ………………….……………………, Kab. ………………………….
No. Telepon
: ………………………………………………………………………………
Email
: ………………………………………………………………………………
Nama Responden
: ………………………………………………………………………………..
Jabatan
: ………………………………………………………………………………..
No. Telp/HP
: ………………………………………………………………………………..
Email
: ………………………………………………………………………………..
SUMBERDAYA MANUSIA
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan cara mengisi titik-titik yang tersedia. 1.
Jumlah penyuluh di BPP saat ini ?
: ……………. Orang
2.
Pendidikan formal penyuluh
: SD ………….Orang SMP ……….. Orang SMA ………. Orang S1 …………..Orang S2 …………..Orang
3. No
Pelatihan fungsional yang pernah diikuti dalam kurung waktu satu tahun terakhir : Jenis Pelatihan Fungsional
Lamanya Pelatihan Hari
1
…………………………………………………………
2
…………………………………………………………
3
…………………………………………………………
4
…………………………………………………………
5
…………………………………………………………
6
…………………………………………………………
Muh. Hatta Jamil (I362060011) “Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor” 2011.
Jam
Jlh Staf Yang Telah Ikut Pelatihan Orang
219
7
…………………………………………………………
8
…………………………………………………………
9
…………………………………………………………
10
…………………………………………………………
4. No
Pelatihan teknis penyuluh yang pernah diikuti dalam kurung waktu satu tahun terakhir : Jenis Pelatihan Teknis Penyuluh
Lamanya Pelatihan Hari
1
…………………………………………………………
2
…………………………………………………………
3
…………………………………………………………
4
…………………………………………………………
5
…………………………………………………………
6
…………………………………………………………
7
…………………………………………………………
8
…………………………………………………………
9
…………………………………………………………
10
…………………………………………………………
Jam
5.
Jumlah kelompok yang menjadi binaan BPP
: ……………………… Kelompok
6.
Jumlah petani yang menjadi binaan BPP
: ……………………… Orang
7.
Jumlah petani yang dikategorikan mandiri
: ……………………… Orang
8.
Jumlah staf administrasi dan keuangan BPP
: ……………………… Orang
9.
Jumlah desa yang menjadi wilayah kerja BPP : ………………………. Desa
10. Jumlah total dana yang dikelola BPP pertahun : Rp. ………………………. 11. Jumlah biaya operasional penyuluhan pertahun : Rp. ……………………….
Jlh Staf Yang Telah Ikut Pelatihan Orang
220
PENEMPATAN DAN PENGEMBANGAN STAF (SDM) Di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan yang menyangkut Penempatan dan Pengembangan Staf Balai Penyuluh Pertanian (BPP) sebagai upaya melihat kesesuaian antara kemampauan dan keterampilan staf dengan jenis pekerjaanya. Berikan jawaban Saudara pada setiap pernyataan dengan cara melingkari salah satu angka yang ada disebelah kanan sesuai dengan pendapat Saudara sebenarnya. Angka-angka tersebut berada pada kisaran skala 1 sangat tidak setuju sampai dengan 5 sangat setuju. Keterangan: 1 2 3 4 5
= = = = =
Sangat tidak setuju Tidak setuju Cukup setuju Setuju Sangat setuju
Contoh: Pernyataan: Kemampuan staf sesuai dengan kedudukan dalam pekerjaannya Jawaban: Bila Bapak/Ibu merasa sangat setuju, lingkarilah angka 5
1 2 3 4 5 Sangat tidak setuju
1. Jumlah staf yang ditempatkan sesuai dengan bidang pekerjaan tertentu 2. Kemampuan dan keterampilan staf sesuai dengan jenis pekerjaannya 3. Latar belakang pendidikan staf sesuai dengan bidang pekerjaan yang ditangani 4. Program pengembangan karir staf disusun untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pekerjaan 5. Program pengembangan staf direncanakan sesuai jumlah bidang pekerjaan yang ada di BPP 6. Program pengembangan staf berlaku bagi seluruh staf BPP
Sangat setuju
1 1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5 5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
PENGEMBANGAN BPP Di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan yang menyangkut Pengembangan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) sebagai upaya mengembangkan BPP ke depan yang menjadi cita-cita dan landasan utama dalam menjabarkan dan melaksanakan tugas dan fungsinya. Berikan jawaban Saudara pada setiap pernyataan dengan cara melingkari salah satu angka yang ada disebelah kanan sesuai dengan pendapat Saudara sebenarnya. Angka-angka tersebut berada pada kisaran skala 1 sangat tidak setuju sampai dengan 5 sangat setuju.
Muh. Hatta Jamil (I362060011) “Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor” 2011.
221
Keterangan: 1 2 2 3 4
= = = = =
Sangat tidak setuju Tidak setuju Cukup setuju Setuju Sangat setuju
Contoh: Pernyataan: Pengembangan BPP dimulai dari perumusan visi . Jawaban: Bila Bapak/Ibu merasa sangat setuju, lingkarilah angka 5
1 2 3 4 5 Sangat tidak setuju
Sangat setuju
1 1
2
3
4
5 5
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
4. Misi yang dirumuskan menggambarkan penjabaran visi BPP 5. Misi yang dirumuskan menggambarkan arah dan kinerja yang ingin dicapai BPP 6. Misi yang dirumuskan menggambarkan dapat tercapainya visi BPP
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
1
2
3
4
5
7. Tujuan BPP dirumuskan untuk mencapai misi BPP 8. Tujuan BPP dirumuskan sesuai kebutuhan petani dan sumberdaya BPP 9. Tujuan BPP terukur kinerjanya dan dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
10. Sasaran BPP dirumuskan dan disesuaikan dengan tujuan yang ingin 1 dicapai BPP 11. Sasaran BPP yang dirumuskan adalah untuk meningkatkan pengetahuan 1 (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) petani 12. Sasaran BPP yang dirumuskan sesuai karakteristik dan jumlah petani serta 1 dapat terjangkau
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
13. Strategi yang dirumuskan BPP untuk mendukung pencapaian sasaran BPP 1 1 14. Strategi yang dirumuskan BPP menunjukkan keberpihakan pada kepentingan petani dan mendukung program pemda dan deptan 15. Strategi yang dirumuskan BPP memberi pedoman dan dapat dilaksanakan 1 serta memudahkan pencapaian tujuan BPP
2 2
3 3
4 4
5 5
2
3
4
5
1. Visi dipahami sebagai pernyataan yang jelas dan tidak rancu serta mudah dimengerti 2. Visi merupakan pernyataan aspiratif sesuai nilai dan budaya organisasi 3. Visi dijabarkan dari visi kepemimpinan daerah (Bupati)
222
PENGELOLAAN BPP Di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan yang menyangkut Pengelolaan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) yang menggambarkan tata kelola, kepemimpinan, sistem pengelolaan dan penetapan keputusan yang akan menggabarkan keunggulan pengelolaan BPP. Berikan jawaban Saudara pada setiap pernyataan dengan cara melingkari salah satu angka yang ada disebelah kanan sesuai dengan pendapat Saudara sebenarnya. Angka-angka tersebut berada pada kisaran skala 1 sangat tidak setuju sampai dengan 5 sangat setuju. Keterangan: 1 2 3 4 5
= = = = =
Sangat tidak setuju Tidak setuju Cukup setuju Setuju Sangat setuju
Contoh: Pernyataan: BPP dikelola dengan manajemen modern . Jawaban: Bila Bapak/Ibu merasa sangat setuju, lingkarilah angka 5
1 2 3 4 5 Sangat tidak setuju
Sangat setuju
1 1
2
3
4
5 5
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
7. Penyelenggaraan pengelolaan BPP dilaksanakan secara transparan/ 1 terbuka dan dapat dipercaya 8. Penyelenggaraan pengelolaan BPP dilaksanakan secara bertanggungjawab 1 9. Penyelenggaraan pengelolaan BPP dilaksanakan secara adil 1
2
3
4
5
2 2
3 3
4 4
5 5
10. Kepemimpinan pada BPP mendorong semangat, kreativitas dan tanggungjawab seluruh staf BPP 11. Kepemimpinan pada BPP membangun dan memilihara hubungan harmonis serta saling berbagi informasi
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1. Perencanaan tahunan BPP dibuat dan disesuaikan dengan perubahan dan kondisi lingkungan untuk meningkatkan kinerja BPP 2. Pengorganisasian BPP dilakukan sesuai kebutuhan dan tuntutan kinerja 3. Pengembangan staf BPP dilakukan untuk meningkatkan kinerja 4. Pengarahan kepada anggota organisasi BPP dilaksankan untuk meningkatkan koordinasi dan kinerja BPP 5. Pengawasan aktivitas BPP dilakukan meningkatkan efiktivitas dan efisiensi serta kinerja BPP 6. Monitoring dan evaluasi BPP dilakukan untuk meningkatkan efiktivitas dan efisiensi serta kinerja BPP
Muh. Hatta Jamil (I362060011) “Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor” 2011.
223
12. Kepemimpinan pada BPP mampu mengkomunikasikan visi dan misi serta memberikan arahan kepada seluruh staf BPP
1
2
3
4
5
13. Penetapan keputusan di BPP selalu dilaksanakan secara partisipatif 14. Penetapan keputusan di BPP selalu dilaksanakan secara demokratis
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
15. Hubungan yang terjadi antara sesama anggota BPP mencerminkan hubungan kekeluargaan 16. Pencapaian tujuan BPP dapat terwujud karena terjadinya saling mendukung antara staf BPP 17. penyelesaian tugas-tugas BPP dapat terwujud karena adanya saling berbagi dan membantu antara staf BPP
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
SUMBERDAYA BPP Di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan yang menyangkut ketersediaan dan kelengkapan sarana dan prasarana serta sistem informasi sebagai bagian Sumberdaya Balai Penyuluh Pertanian (BPP) yang dimiliki. Berikan jawaban Saudara pada setiap pernyataan dengan cara melingkari … salah satu angka disebelah kanan sesuai dengan pendapat Saudara sebenarnya. Angka-angka tersebut berada pada kisaran skala 1 sangat tidak setuju sampai dengan 5 sangat setuju. Keterangan: 1 2 3 4 5
= = = = =
Sangat tidak setuju Tidak setuju Cukup setuju Setuju Sangat setuju
Contoh: Pernyataan: Ketersediaan sarana untuk melakukan demonstrasi plot Jawaban: Bila Bapak/Ibu merasa sangat setuju, lingkarilah angka 5
1 2 3 4 5 Sangat tidak setuju
1. Tersedianya sarana keinformasian BPP (komputer/LAN, internet, printer, kamera, handycam, papan display, telepon dan mesin fax) 2. Tersedianya sarana alat bantu penyuluh (overhead projector/LCD, pengeras suara, Tape recorder, TV, VCD/DVD, Whiteboard/panelboard) 3. Tersedianya sarana peralatan administrasi (komputer lengkap, mesin tik, kalkulator, berangkas, rak buku) 4. Tersedianya sarana alat transportasi (Kendaraan roda 2, alat transportasi
Sangat setuju
15 1 2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
224
lain sesuai kondisi wilayah Balai Penyuluhan) 5. Tersedianya sarana perpustakaan (buku, publikasi hasil penelitian, kliping 1 Koran dan majalah yang terkait pertanian, temuan-temuan petani) 6. Tersedianya sarana perlengkapan ruangan (meja dan kursi untuk : ruangan 1 tamu, ruangan administrasi, ruangan kerja, rak dan kursi serta meja ruangan perpustakaan, ruangan pertemuan, dan ruangan makan)
2
3
4
5
2
3
4
5
7. Tersedianya prasarana perkantoran (ruangan : pimpinan, administrasi, kelompok jabatan fungsional, pertemuan, perpustakaan, data dan informasi, pameran dan peraga, toilet dan kamar mandi, dapur dan gudang) 8. Tersedianya prasarana lingkungan (pagar halaman, jalan lingkungan) 9. Tersedianya prasarana penunjang ( rumah dinas, listrik PLN, air baku, lahan percontohan)
1
2
3
4
5
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
10. Tersedianya peralatan sistem informasi yang memadai 11. Tersedianya sumberdaya manusia yang memadai untuk mengelola sistem informasi 12. Tersedianya sistem informasi yang membantu pengambilan keputusan 13. Tersedianya sistem informasi yang dapat membantu operasional BPP
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
ADAPTASI BPP Di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan yang menyangkut kemampuan BPP melakukan adaptasi dalam hal uji coba teknologi, pengembangan program dan kerjasama dengan beberapa lembaga, sehingga memungkinkan BPP berkinerja baik. Berikan jawaban Saudara pada setiap pernyataan dengan cara melingkari salah satu angka yang ada disebelah kanan sesuai dengan pendapat Saudara sebenarnya. Angka-angka tersebut berada pada kisaran skala 1 sangat tidak setuju sampai dengan 5 sangat setuju. Keterangan: 1 2 3 4 5
= = = = =
Sangat tidak setuju Tidak setuju Cukup setuju Setuju Sangat setuju
Contoh: Pernyataan: BPP memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan Jawaban: Bila Bapak/Ibu merasa sangat setuju, lingkarilah angka 5
Muh. Hatta Jamil (I362060011) “Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor” 2011.
1 2 3 4 5
225
Sangat tidak setuju
Sangat setuju
1 1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5 5
4. BPP mampu mengembangkan program ekonomi (informasi harga, pemasaran) 5. BPP mampu mengembangkan program sosial (gotong royong, adat istiadat, perayaan sosial) 6. BPP mampu mengembangkan program kelembagaan (pasar, koperasi, pembiayaan mikro) 7. BPP mampu mengembangkan program kemitraan (dengan pemerintah, swasta, dan LSM)
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
8. BPP mampu melakukan kerjasama dengan lembaga pemerintah terkait 9. BPP mampu melakukan kerjasama dengan lembaga swasta 10. BPP mampu melakukan kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat 11. BPP mampu melakukan kerjasama dengan lembaga koperasi/KUD 12. BPP mampu melakukan kerjasama dengan kelompok tani dan gabungan kelompok tani
1 1 1 1 1
2 2 2 2 2
3 3 3 3 3
4 4 4 4 4
5 5 5 5 5
1. Tersedianya sarana dan prasarana uji coba teknologi pertanian 2. Melakukan uji coba teknologi sebelum dilakukan difusi 3. Melakukan percontohan hasil uji coba teknologi pertanian
PROGRAM AKSI Di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan yang menyangkut kemampuan BPP melaksanakan Program Aksi dalam bentuk pengembangan program dan implementasi program aksi berupa bagaimana membuat rencana pembelajaran, materi dan metode serta dan alat bantu yang digunakan dalam menjalankan tugas dan fungsi BPP. Berikan jawaban Saudara pada setiap pernyataan dengan cara melingkari salah satu angka yang ada disebelah kanan sesuai dengan pendapat Saudara sebenarnya. Angka-angka tersebut berada pada kisaran skala 1 Sangat tidak setuju sampai dengan 5 Sangat setuju. Keterangan: 1 = 2 = 3 = 4 = 5 = Contoh:
Sangat tidak setuju Tidak setuju Cukup setuju Setuju Sangat setuju
Pernyataan: program aksi disusun berdasarkan kebutuhan petani Jawaban: Bila Bapak/Ibu merasa sangat setuju, lingkarilah angka 5
1 2 3 4 5
226
Sangat tidak setuju
Sangat setuju
1 1 1
2 2
3 3
4 4
5 5 5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
12. BPP melaksanakan fasilitasi diskusi secara terstruktur dan tuntas untuk penyusunan Rencana Definitif Kelompok (RDK) 13. BPP melaksanakan fasilitasi perumusan penyusunan Rencana Definitif Kelompok (RDK) secara terstruktur dan tuntas 14. BPP melaksanakan fasilitasi penetapan keputusan Rencana Definitif Kelompok (RDK) secara terstruktur dan tuntas
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
15. BPP melaksanakan fasilitasi secara terstruktur dan tuntas diskusi penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) 16. BPP melaksanakan fasilitasi perumusan penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) secara terstruktur dan tuntas 17. BPP melaksanakan Fasilitasi penetapan keputusan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) secara terstruktur dan tuntas
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
18. Rencanan pembelajaran BPP terlebih dahulu merumuskan nama kegiatan secara jelas dan sesuai programa BPP yang telah dirumuskan 19. Rencanan pembelajaran BPP memuat output yang diharapkan dan sejalan dengan programa BPP yang telah dirumuskan 20. Rencanan pembelajaran BPP memperlihatkan sasaran yang tepat dan sejalan dengan programa BPP yang telah dirumuskan
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1. BPP membentuk tim perencana penyusunan programa secara kolaboratif 2. Melakukan pengumpulan data sumberdaya dan potensi wilayah kerja untuk menyusun programa 3. Melakukan pengumpulan data lembaga pendukung untuk menyusun programa 4. Melakukan pengumpulan data sarana dan prasarana untuk menyusun programa 5. Melakukan pengumpulan data penerapan teknologi usahatani di wilayah kerja untuk menyusun programa 6. Mengidentifikasi kewenangan Deptan dan Pemda dalam penyuluhan pertanian untuk menyusun programa 7. Melakukan identifikasi masalah masyarakat tani untuk menyusun programa 8. Melakukan identifikasi akar masalah untuk menyusun programa 9. Melakukan pengembangan alternatif solusi pemecahan masalah untuk menyusun programa 10. Melakukan pemilihan solusi terbaik untuk menyusun programa 11. Melakukan perumusan programa
Muh. Hatta Jamil (I362060011) “Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor” 2011.
227
21. Rencanan pembelajaran BPP menunjukkan volume/frekwensi kegiatan sesuai dengan programa BPP yang telah dirumuskan 22. Rencanan pembelajaran BPP menunjukkan lokasi kegiatan definitif sesuai programa BPP yang telah dirumuskan 23. Rencanan pembelajaran BPP memuat jadwal kegiatan pembelajaran dan sesuai dengan programa BPP yang telah dirumuskan 24. Rencanan pembelajaran BPP merinci biaya yang dibutuhkan dan sesuai kegiatan yang direncanakan dan programa BPP yang telah dirumuskan 25. Rencanan pembelajaran BPP memperlihatkan pelaksana kegiatan yang terlibat dan sesuai dengan programa BPP yang telah dirumuskan 26. Rencanan pembelajaran BPP memperlihatkan penanggungjawab kegiatan dan sesuai dengan programa BPP yang telah dirumuskan 27. Rencanan pembelajaran BPP mencamtumkan beberapa pihak terkait dalam kegiatan pembelajaran dan sesuai dengan programa BPP yang telah dirumuskan
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
28. Menyampaikan materi tentang benih padi dalam hal daya tumbuh dan kondisi fisik benih secara lengkap dan benar 29. Menyampaikan materi tentang bagaimana mengenal jenis pupuk, kegunaan pupuk dan perhitungan jumlah pupuk yang diperlukan untuk tanaman padi secara lengkap dan benar 30. Menyampaikan materi tentang jenis-jenis pestisida, kegunaan pestisida, dan dosis pestisida untuk tanaman padi secara lengkap dan benar 31. Menyampaikan materi tentang kesuburan tanah, tingkat kemasaman tanah (pH) dan pengolahan tanah untuk tanaman padi secara lengkap dan benar 32. Menyampaikan materi penyemaian benih padi, penanaman bibit padi dan pemupukan tanaman padi secara lengkap dan benar 33. Menyampaikan materi pengairan tanaman padi secara lengkap dan benar 34. Menyampaikan materi tentang penyiangan tanaman padi secara lengkap dan benar 35. Menyampaikan materi tentang pengendalian hama penyakit tanaman padi secara lengkap dan benar 36. Menyampaikan materi tentang pemanenan dan penggunaan alat panen padi secara lengkap dan benar 37. Menyampaikan materi tentang perontokan padi secara lengkap dan benar 38. Menyampaikan materi tentang pengeringan padi siap giling dan penyimpanan hasil panen secara lengkap dan benar 39. Menyampaikan materi tentang penggilingan padi menjadi beras secara lengkap dan benar 40. Menyampaikan materi tentang mekanisme pasar dan strategi pemasaran secara lengkap dan benar 41. Menyampaikan materi tentang tatacara membuat dan melaksanakan kontrak dengan mitra usaha secara lengkap dan benar
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
228
42. Menyampaikan materi tentang akses pada lembaga permodalan, lembaga pemasaran, akses terhadap dinas pertanian kabupaten secara lengkap dan benar
1
2
3
4
5
43. Menyampaikan materi tentang bekerjasama dengan petani lain secara lengkap dan benar 44. Menyampaikan materi tentang penumbuhkembangan kelompok tani dan gabungan kelompok tani secara lengkap dan benar 45. Menyampaikan materi tentang penanaman jiwa kewirausahaan secara lengkap dan benar
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
46. Pemilihan media pembelajaran diawali terlebih dahulu dengan identifikasi kebutuhan akan informasi pertanian 47. Pemilihan media pembelajaran diawali terlebih dahulu dengan identifikasi kebutuhan akan teknologi pertanian 48. Pemilihan media pembelajaran diawali terlebih dahulu dengan identifikasi kebutuhan akan bimbingan bagi petani sasaran 49. Membuat media brosur, leaflet, poster, dan script siaran pedesaan untuk menunjang kelancaran pembelajaran 50. Mengasuh media siaran pedesaan, pers reales dan video clip untuk menunjang kelancaran pembelajaran 51. Mengisi kolom koran lokal, dan naskah seni budaya untuk menunjang kelancaran pembelajaran 52. Mencari (Browsing), Mengambil (Download) dan Mengirim atau memberikan (Upload) informasi data dan bahan penyuluhan melalui internet untuk menunjang kelancaran pembelajaran 53. Melakukan kegiatan pameran hasil usahatani untuk menunjang kelancaran pembelajaran 54. Melakukan kegiatan pemutaran film untuk menunjang kelancaran pembelajaran 55. Memakai media tatap muka untuk menunjang kelancaran pembelajaran
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
56. Memilih dan menggunakan metode pendekatan perorangan disesuaikan dengan tujuan pembelajaran 57. Memilih dan menggunakan pendekatan kelompok disesuaikan dengan tujuan pembelajaran 58. Memilih dan menggunakan pendekatan massal/umum disesuaikan dengan tujuan pembelajaran 59. Lokasi pelaksanaan pembelajaran biasanya disepakati antara BPP dengan petani sasaran 60. Pelaksanakan pembelajaran biasanya terlaksana sesuai waktu yang disepakati
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Muh. Hatta Jamil (I362060011) “Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor” 2011.
229
61. Sebelum evaluasi pembelajaran dilakukan biasanya terlebih dahulu dilakukan perumusan tujuan evaluasi 62. Evaluasi kegiatan pembelajaran dilakukan berdasarkan komponenkomponen kriteria, bukti, dan penilaian
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
63. Menyusun laporan hasil evaluasi berdasarkan komponen-komponen kriteria, bukti, dan penilaian 64. Penyampaian laporan hasil evaluasi berdasarkan komponen-komponen kriteria, bukti, dan penilaian kepada pihak terkait
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Pembiayaan BPP No.
I
II
III IV
Uraian Pembiayaan A. Biaya penyelenggaraan penyuluhan. Biaya operasional Kelembagaan Penyluhan (BPP) : a. Penyusunan programa penyuluhan pada tingkat kecamatan b. Pelaksanaan penyuluhan berdasarkan programa penyuluhan c. Penyediaan dan penyebaran informasi teknologi , sarana produksi, pembiayaan dan pasar d. Memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha e. Memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh f. Pelaksanaan proses pembelajaran (penyuluhan) B. Biaya operasional penyuluh PNS. Melaksanakan kegiatan kunjungan, pendampingan, dan bimbingan kepada pelaku utama dan pelaku usaha berupa : a. Biaya perjalanan tetap b. Biaya perlengkapan penunjang Biaya pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana a. Pembangunan kantor penyuluhan b. Pembelian peralatan kantor c. Pembelian alat bantu penyuluhan d. Pembelian kendaraan dinas operasional penyuluh e. Pengadaan unit percontohan dan perlengkapan penunjang Tunjangan fungsional dan profesi a. Tunjangan jabatan fungsional b. Tunjangan profesi penyuluh Lain-lain* (biaya ……………………………………………… a. ………………………………………………………… b. ………………………………………………………… c. ………………………………………………………… Total
Jumlah Pembiayaan (RP/Tahun)
230
PERILAKU PETANI
A. Kompetensi dalam berusahatani Di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan yang menyangkut Tingkat Kompetensi yang Saudara miliki sebagai bekal dalam melaksanakan usahatani padi. Berikan jawaban Saudara pada setiap pernyataan dengan cara melingkari
salah satu angka yang ada disebelah kanan sesuai
dengan pendapat Saudara sebenarnya. Angka-angka tersebut berada pada kisaran skala 1 sangat tidak mampu sampai dengan 5 sangat mampu. Keterangan: 1 2 3 4 5 Contoh:
= = = = =
Sangat tidak mampu Tidak mampu Cukup mampu Mampu Sangat mampu
Pernyataan: Menentukan jenis pupuk Jawaban: Bila Bapak/Ibu merasa sangat mampu, lingkarilah angka 5
1. 2. 3. 4.
1 2 3 4 5
Sangat Tidak mampu 1 5 1 2 1 2 1 2 1 2
3 3 3 3
4 4 4 4
5 5 5 5
1
2
3
4
5
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5
Memiliki kemampuan mengidentifikasi kemurnian benih padi Memiliki kemampuan mengidentifikasi daya tumbuh benih padi Memiliki kemampuan mengidentifikasi kondisi fisik benih padi Memiliki kemampuan menentukan jenis pupuk yang tepat untuk pertumbuhan padi 5. Memiliki kemampuan menentukan jenis pestisida yang tepat untuk pengendalian hama dan penyakit 6. Memiliki kemampuan mengolah tanah berdasarkan lahan penanaman padi 7. Memiliki kemampuan menentukan pola tanam padi 8. Memiliki kemampuan menanam benih sesuai anjuran 9. Memiliki kemampuan menentukan jarak tanam yang tepat sesuai anjuran 10. Memiliki kemampuan mengairi lahan sesuai anjuran 11. Memiliki kemampuan menyulam tanaman sesuai anjuran
Muh. Hatta Jamil (I362060011) “Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor” 2011.
Sangat mampu
231
12. Memiliki kemampuan menyiangi tanaman sesuai anjuran 13. Memiliki kemampuan memupuk padi sesuai anjuran 14. Memiliki kemampuan mengendalikan hama dan penyakit sesuai anjuran 15. Memiliki kemampuan menentukan ciri-ciri umur panen padi 16. Memiliki kemampuan memanen padi sesuai anjuran 17. Memiliki kemampuan menentukan periode waktu panen sesuai anjuran 18. Memiliki kemampuan menentukan prakiraan produksi 19. Memiliki kemampuan melakukan perontokan padi dengan benar 20. Memiliki kemampuan melakukan penjemuran padi dengan benar 21. Memiliki kemampuan menyimpan hasil panen padi dengan benar 22. Memiliki kemampuan menentukan mekanisme pemasaran padi 23. Memiliki kemampuan memilih strategi pemasaran padi 24. Memiliki kemampuan mengakses modal dari lembaga keuangan 25. Memiliki kemampuan mencari saluran pemasaran padi yang menawarkan harga beli optimal 26. Memiliki kemampuan mengembangkan rasa saling ketergantungan dalam usaha dengan pelaku bisnis usahatani 27. Memiliki kemampuan menumbuhkembangkan kemandirian dalam berusahatani 28. Memiliki kemampuan membina hubungan kerja dengan masyarakat lainnya 29. Memiliki kemampuan mengembangkan jiwa kewirausahaan sesama petani 30. Memiliki kemampuan menumbuhkembangkan kegiatan kelompok tani 31. Memiliki kemampuan meningkatkan partisipasi sesama petani dalam mengikuti penyuluhan 32. Memiliki kemampuan membuat bio pestisida dari bahan baku MOL (Mikro Organisme Lokal) 33. Memiliki kemampuan membuat kompos sesuai anjuran 34. Memiliki kemampuan menggunakan kompos sesuai anjuran 35. Memiliki kemampuan menggunakan bio pestisida sesuai anjuran
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
1
2
3
4
5
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
232
B. Partisipasi dalam kelompok tani Di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan yang menyangkut partisipasi Saudara dalam kelompok tani. Berikan jawaban Saudara pada setiap pernyataan dengan cara melingkari
salah
satu angka yang ada disebelah kanan sesuai dengan pendapat Saudara sebenarnya. Angka-angka tersebut berada pada kisaran skala 1 sangat tidak sering sampai dengan 5 sangat sering. Keterangan: 1 = 2 = 3 = 4 = 5 = Contoh:
Sangat tidak sering Tidak sering Cukup sering Sering Sangat sering
Pernyataan: berpartisipasi dalam diskusi kelompok Jawaban: Bila Bapak/Ibu merasa sangat sering, lingkarilah angka 5
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Melakukan kerjasama merencanakan kegiatan kelompok tani Melakukan kontrol kegiatan usahatani Membayar iuran kelompok tani Menghadiri pertemuan kelompok tani Mengikuti penyulahan pertanian Memberikan pendapat dalam diskusi kelompok tani Mencoba teknologi pertanian yang disarankan penyuluh
Muh. Hatta Jamil (I362060011) “Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor” 2011.
1 2 3 4 5
Sangat tidak sering 1 1 1 1 1 1 1 1
Sangat sering
2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5 5 5