FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI FORGIVENESS DALAM PERNIKAHAN DI KECAMATAN MAKASAR, JAKARTA TIMUR
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Disusun Oleh: AJENG LINTANG CEMPAKA NIM : 1110070000021
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2015 M i
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
A happy marriage is the union of two good forgivers.—Robert Quillen
The weak can never forgive. Forgiveness is an attribute of the strong. —Mahatma Gandhi
Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua, keluarga besar, dan kakak-kakak tercinta yang tiada henti memberikan dukungan dan kasih sayang, pengukir senyum dalam hari-hariku John, dan para sahabat atas semangat dan perjuangan bersama selama ini, SALAM SUKSES!
vi
ABSTRAK A.) Fakultas Psikologi B.) Februari 2015 C.) Ajeng Lintang Cempaka D.) Faktor-Faktor yang Memengaruhi Forgiveness dalam Pernikahan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur E.) xv + 115 Halaman (belum termasuk lampiran) F.) Merosotnya nilai pernikahan, membuat perceraian seringkali dipilih sebagai jalan keluar bagi pasangan yang menghadapi konflik. Sebenarnya masih ada jalan lain untuk menemukan resolusi konflik. Salah satu alternatif untuk menemukan resolusi konflik adalah forgiveness. Forgiveness dalam pernikahan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor psikologis yang sangat berperan yaitu kualitas hubungan, apology dan kepribadian. Selain itu, faktor demografi seperti usia dan gender juga turut memberikan pengaruh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kualitas hubungan (yaitu trust, commitment, intimacy dan satisfaction), apology, tipe kepribadian HEXACO (yaitu honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience) dan faktor demografi (usia dan gender) terhadap forgiveness dalam pernikahan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 200 orang yang telah menikah di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur yang terdiri dari 81 perempuan dan 119 laki-laki. Teknik pengambilan sampelnya menggunakan teknik non-probability sampling. Hasil penelitian membuktikan bahwa secara bersamaan trust, commitment, intimacy & satisfaction, apology, honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, & openness to experience serta usia & gender memengaruhi forgiveness dalam pernikahan secara signifikan sebesar 41,8%. Dalam penjabarannya terdapat tiga variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan, yaitu variabel satisfaction dalam kualitas hubungan, apology, dan kepribadian extraversion. Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dikaji dan dikembangkan kembali. Penelitian selanjutnya disarankan untuk memakai sampel yang lebih spesifik dan lebih banyak lagi dengan variabel lain seperti constraints, social-cognitive determinant dan lain-lain. A.) Daftar Bacaan : 57; buku: 12 + jurnal: 30 + artikel: 10 + skripsi: 2 + thesis: 1 + dokumen: 2
vii
ABSTRACT A.) Faculty of Psychology B.) February 2015 C.) Ajeng Lintang Cempaka D.) Factors Affecting Marital Forgiveness at Makassar District of East Jakarta E.) xv + 115 pages (excluding attachments) F.) The decline of marriage value has made divorce alternatively chosen as a solution for couples with conflicts. Whilst actually there is another way to find a conflict resolution, such as forgiveness . Forgiveness in a marriage is influenced by several factors. There are three psychological factors play important role, there are relationship quality, apology and personality. In addition, demographic factors such as age and gender are also influencing. This study is conducted to determine the effect of relationship quality (the level of trust, commitment, intimacy and satisfaction), apology, HEXACO personality type (honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, and openness to experience) and demographic factors (age and gender) toward marital forgiveness. This study is using quantitative approach with multiple regression analysis. Samples were taken from 200 people who are married; consisting of 81 women and 119 men. This study is using a nonprobability sampling technique with accidental sampling method. Research result proves that simultaneously relationships quality, apology, HEXACO personality type and age & gender have influencing marital forgiveness significantly up to 41.8%. The result also shows there are three variables that significantly affect marital forgiveness: satisfaction (relationships quality), apology, and extraversion personality. Researcher is hoping that this research is to be reviewed and developed deeper and further research is recommended by using more specific samples and other variables, such as constraints, social-cognitive determinant etc. G.) References: 57; books: 12 + journals: 30+ articles: 10 + thesis: 3 + documents: 2
viii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb. Bismillahirahmanirrahiim Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan kekuatan yang diberikan-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-Faktor
yang Memengaruhi
Forgiveness dalam Pernikahan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, kepada keluarga, sahabat, dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Selama pengerjaan skripsi ini peneliti dihadapkan dengan beragam cobaan, kesulitan, rintangan dan penuh perjuangan serta kesabaran yang telah memberikan banyak pelajaran hidup yang berarti bagi peneliti. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi, Wadek I Dr. Abdul Rahman Shaleh M.Si, beserta jajarannya yang telah
ix
memberikan kesempatan kepada peneliti untuk belajar dan mengembangkan potensi sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 2.
Ibu S. Evangeline I. Suaidy, M. Si, Psi selaku Dosen Pembimbing skripsi dan Ibu Luh Putu Sutha Haryanthi, M. Psi sebagai Pembimbing Seminar Proposal. Terima kasih atas segala bimbingan, arahan, kritik yang membangun, dan waktu yang diberikan serta segala ilmu yang telah peneliti dapatkan.
3.
Kepada seluruh pihak dan responden yang telah membantu peniliti dalam mengumpulkan data.
4.
Kepada Ibu Neneng Tati Sumiati M. Si, Psi sebagai dosen Pembimbing Akademik yang telah meluangkan waktu, menguatkan dan mencarikan solusi terbaik bagi setiap masalah sejak awal perkuliahan hingga menjelang kelulusan.
5.
Seluruh dosen Fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan sumbangsih ilmunya & segenap staff Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu peneliti dalam mengurus berkas perlengkapan skripsi.
6.
Dua sosok penyemangat hidup yang sangat peneliti hormati dan sayangi, Papa dan Mama. Serta seluruh kakak-kakak ku Mbak Tiwuk, Mbak Dhita dan Mas Galeh. Saya tidak akan dapat melukiskan rasa syukur dan terima kasih saya atas segala dukungan dan doa yang diberikan oleh keluarga.
7.
Kepada John, terima kasih untuk dukungan, nasihat, senyuman, semangat, kehadiran dan doa yang selalu diberikan.
x
8.
Untuk sahabat-sahabat peneliti, yaitu Rava, Aul, dan Emmeletus atas perjalanan suka dan duka selama 4 tahun kebersamaan ini, "cerita kita masih panjang, maka jangan sudahi sampai disini”. Terima kasih atas tawa, tangis, cerita, dukungan, semangat, dan segala kebersamaan ini.
9.
Untuk teman-teman angkatan 2010, khususnya kelas A, walaupun kurang kompak namun perjalanan kita penuh cerita, terimah kasih untuk segala kebersamaan ini.
10. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu, terima kasih untuk segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya peneliti memohon kepada Allah SWT agar seluruh dukungan, bantuan, bimbingan dari semua pihak dibalas dengan sebaik-baiknya balasan. Selain itu mengingat kekurangan dan keterbatasan peneliti, maka segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan peneliti sebagai bahan penyempurnaan.
Jakarta, 2 Februari 2015
Ajeng Lintang Cempaka
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ ii LEMBAR ORISINALITAS ...........................................................................iii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iv LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. v MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi ABSTRAK ...................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix DAFTAR ISI ................................................................................................... xii DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 9 1.2.1. Pembatasan masalah .......................................................... 9 1.2.2. Perumusan masalah .......................................................... 10 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 11 1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 12 1.5. Sistematika Penulisan Penelitian ................................................. 12 BAB 2. LANDASAN TEORI ........................................................................ 14 2.1. Forgiveness .................................................................................. 14 2.1.1. Definisi Forgiveness .......................................................... 14 2.1.2. Dimensi Forgiveness ......................................................... 16 2.1.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Forgiveness ................ 20 2.1.4. Tahapan Forgiveness ......................................................... 22 2.2. Pernikahan.................................................................................... 26 2.2.1. Definisi Pernikahan............................................................ 26 2.2.2. Motivasi Menikah .............................................................. 27 2.3. Forgiveness dalam Pernikahan ......................................................... 29 2.3.1. Pengukuran Forgiveness dalam Pernikahan ...................... 30 2.4. Kualitas Hubungan....................................................................... 32 2.1.1. Definisi Kualitas Hubungan............................................... 32 2.1.2. Dimensi Kualitas Hubungan .............................................. 32 2.1.3. Pengukuran Kualitas Hubungan ........................................ 34 2.5. Apology ........................................................................................ 34 2.5.1. Definisi Apology ................................................................ 34 2.5.2. Dimensi Apology................................................................ 35 2.5.3. Pengukuran Apology .......................................................... 37 2.6. Kepribadian ................................................................................. 37 2.6.1. Definisi Kepribadian .......................................................... 37 2.6.2. Definisi Kepribadian Model HEXACO ............................. 38 2.6.3. Dimensi Kepribadian HEXACO ....................................... 39 xii
2.6.4. Pengukuran Kepribadian HEXACO .................................. 42 2.7. Gender ......................................................................................... 42 2.8. Usia ............................................................................................. 44 2.9. Kerangka Berpikir ....................................................................... 46 2.10. Hipotesis Penelitian ................................................................. 51 BAB 3. METODE PENELITIAN .................................................................. 53 3.1. Populasi dan Sampel .................................................................... 53 3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ............... 54 3.3. Instrumen Penelitian ................................................................... 57 3.4. Uji Validitas Konstruk ................................................................ 62 3.4.1. Uji Validitas Konstruk Forgiveness .................................. 64 3.4.2. Uji Validitas Konstruk Kualitas Hubungan ....................... 66 3.4.3. Uji Validitas Konstruk Apology ......................................... 70 3.4.4. Uji Validitas Konstruk Kepribadian ................................. 72 3.5. Teknik Analisis Data ................................................................... 79 3.6. Prosedur Penelitian...................................................................... 82 BAB 4. HASIL PENELITIAN ....................................................................... 85 4.1. Kriteria Responden Penelitian ..................................................... 85 4.2. Hasil Analisis Deskriptif ............................................................ 86 4.3. Kategorisasi Hasil Penelitian ....................................................... 87 4.4. Uji Hipotesis Penelitian ............................................................... 90 4.4.1. Uji Regresi Berganda ......................................................... 90 4.4.2. Proporsi Varians Masing-masing Variabel Independen .... 96 BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN .................................... 100 5.1. Kesimpulan ................................................................................ 100 5.2. Diskusi ...................................................................................... 101 5.3. Saran .......................................................................................... 108 5.3.1. Saran Metodologis ........................................................... 108 5.3.2. Saran Praktis ................................................................... 109 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 111 LAMPIRAN .................................................................................................. 116
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Dimensi Kepribadian HEXACO .................................................... 41 Tabel 2.2 Tahapan Perkembangan Psikososial .............................................. 44 Tabel 3.1 Blueprint Skala Forgiveness ........................................................... 58 Tabel 3.2 Blueprint Skala Kualitas Hubungan ................................................ 59 Tabel 3.3 Blueprint Skala Apology ................................................................. 60 Tabel 3.4 Blueprint Skala Kepribadian ........................................................... 61 Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Forgiveness .................................................... 66 Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Trust ............................................................... 67 Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Intimacy .......................................................... 68 Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Commitment ................................................... 69 Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Satisfaction ..................................................... 70 Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Apology .......................................................... 71 Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Honesty-Humility ........................................... 72 Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Emotionality ................................................... 74 Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Extraversion ................................................... 75 Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Agreebleness .................................................. 76 Tabel 3.15 Muatan faktor Item Conscientiousness ........................................... 77 Tabel 3.16 Muatan faktor Item Openness to Experience .................................. 78 Tabel 4.1 Kriteria Responden ......................................................................... 85 Tabel 4.2 Deskriptive statistics ....................................................................... 87 Tabel 4.3 Norma Skor Kategorisasi ................................................................ 88 Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ............................................ 88 Tabel 4.5 Model Summary .............................................................................. 91 Tabel 4.6 Tabel Anova .................................................................................... 91 Tabel 4.7 Koefisien Regresi ........................................................................... 92 Tabel 4.8 Proporsi varians masing-masing variabel independen ................... 97
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 The pyramid model to REACH forgiveness .................................. 24 Gambar 2.2 Kerangka Berfikir.......................................................................... 50 Gambar 3.1 Hasil Analisis Faktor Konfirmatorik Forgiveness ........................ 65
xv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A Lampiran B Lampiran C Lampiran D
Angket dan Leaflet Contoh Syntax Analisis Faktor Konfimatorik Variabel Forgiveness Contoh Output Analisis Faktor Konfirmatorik Variabel Forgiveness Path Diagram Analisis Faktor Konfirmatorik
xvi
BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas beberapa hal yaitu, latar belakang dilakukannya penelitian, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
1.1. Latar Belakang Individu yang telah mencapai usia dewasa memiliki tugas perkebangan untuk menjalin hubungan dekat dengan individu lain, salah satunya dengan menikah. Menikah merupakan tindakan institusional yang sah secara hukum untuk menyatukan pria dan wanita dalam hubungan yang abadi sebagai suami istri (Turner, 1996). Pasangan yang menikah akan saling membentuk intimasi, memberikan afeksi dan dukungan satu sama lainnya, serta adanya rasa saling menghargai dan menyayangi (Sari, 2004) yang akan membuat pasangan menikah menjadi bahagia. Jika sebuah pernikahan dianalogikan sebagai sebuah bangunan, maka sebuah pernikahan hendaknya memiliki pilar-pilar penyangga agar kedudukannya tetap kokoh dan kuat sehingga tujuan untuk memiliki pernikahan yang kekal dan bahagia dapat tercapai. Menurut Sadarjoen (2009), terdapat empat pilar utama dalam pernikahan, yaitu: cinta kasih tulus dan rasa hormat antar pasangan; keterbukaan dalam pengelolaan penghasilan keluarga; penyesuaian dalam kehidupan seksual; dan kebersamaan dalam aktivitas spiritual. Jika keempat pilar tersebut dapat dibangun, dimiliki dan dirawat dengan baik, maka tujuan
1
2
pernikahan dapat tercapai. Namun pada perjalanannya, pilar-pilar tersebut sering menjumpai permasalahan. Permasalahan yang seringkali merusak bahkan merobohkan pilar-pilar pernikahan diatas sangat beragam, diantaranya adalah perselingkuhan, perdebatan mengenai keuangan, ketidakbahagiaan seksual dan pernikahan beda agama. Di Indonesia, satu dari sepuluh perceraian disebabkan karena gangguan pihak ketiga (Badilag, 2012). Kemudian menurut studi pada tahun 2009, 30% pasangan pasti bertengkar karena uang, paling tidak seminggu sekali dan berujung di perceraian (Sondang, 2009). Selanjutnya, ketika 80% suami merasa bahagia dengan kehidupan seksualnya, hanya 61% perempuan merasakan hal yang sama (Fazriyati, 2013). Selain itu, ada kurang lebih 2,5 % pasangan beda agama yang menikah di beberapa KUA Wonosari (Wahyuni, 2004). Penjelasan di atas mengenai empat pilar pernikahan beserta berbagai masalahnya menyadarkan kita bahwa kehidupan pernikahan sangat rentan dengan beragam permasalahan. Selain permasalahan-permasalah besar pada empat pilar utama, sering juga dijumpai konflik harian akibat komunikasi yang tidak lancar. Permasalahan atau konflik itu sendiri bukanlah sesuatu yang buruk. Respons terhadap konfliklah yang akan menentukan apakah konflik itu akan bermanfaat atau berbahaya. Konflik pernikahan bisa bermanfaat untuk membantu pasangan menikah untuk menjadi orang yang lebih dewasa dan memiliki hubungan yang lebih dewasa, namun konflik juga dapat mengakibatkan kehancuran dalam pernikahan.
3
Konflik yang tidak dapat diatasi bersama dengan baik, dapat mengancam hubungan pernikahan dan dapat menyebabkan kerusakan permanen atau perceraian. Seperti yang telah terjadi dewasa ini, Indonesia tercatat sebagai negara dengan perceraian tertinggi di Asia-Pasifik. Rata-rata satu dari sepuluh pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan (BKKBN, 2013). Angka perceraian di Indonesia meningkat setiap tahunnya, terdapat 158.119 pasangan bercerai pada tahun 2011, selanjutnya meningkat menjadi 297.841 pasangan bercerai di tahun 2012 dan data terakhir yaitu 324.527 pasangan bercerai di tahun 2013 (Badilag, 2014). Data tersebut menunjukan bahwa perceraian akibat konflik dalam pernikahan semakin sulit dihindari. Untuk menyelesaikan konflik dan menjaga keharmonisan dalam pernikahan, ada berbagai pilihan yang menawarkan solusi lebih baik, salah satunya adalah dengan memaafkan. Thoresen (dalam Fincham, Hall & Beach, 2006) menjelaskan forgiveness melibatkan suatu perubahan prososial, selanjutnya Worthington (dalam Fincham et al., 2006) menambahkan maksudnya adalah ketika seseorang memaafkan, maka perilaku memaafkan akan muncul baik dalam pikiran, perasaan dan tingkah laku. Proses ini menurunkan motivasi untuk membalas dendam dan menjauhkan diri dari pelaku, dan meningkatnya motivasi untuk membina hubungan kembali (McCullough, Rachal & Worthington, 1997). Hal ini menyatakan bahwa forgiveness terjadi melalui serangkaian proses panjang dan seharusnya terlaksana secara keseluruhan. Dalam pernikahan, forgiveness sangat diperlukan karena memiliki banyak sekali manfaat, diantaranya adalah dapat meningkatkan kepuasan pernikahan
4
(Mirzadeh & Fallahchai, 2012) dan erat kaitannya dengan resolusi konflik (Fincham et al., 2006). Forgiveness membantu individu untuk memulihkan hubungan, melepaskan rasa sakit dan marah kemudian menyembuhkan luka emosional pasca terjadinya konflik. Kemudian forgiveness juga merupakan salah satu kunci kelanggengan dalam pernikahan (Fincham, Paleari & Regalia, 2002). Forgiveness membantu meningkatkan emotional well-being, kesehatan fisik dan kualitas intimate relationship seseorang (Fincham et al., 2006). Namun forgiveness dalam pernikahan adalah hal yang rumit. Terdapat paradoks bahwa individu yang paling sering disakiti seseorang adalah individu yang dicintai (Fincham, Beach & Davila, 2004). Kemudian menurut William Blake (dalam Fincham, 2009) lebih mudah memaafkan seorang musuh daripada seorang teman. Sama halnya seperti memaafkan seorang teman, akan sulit bagi seseorang untuk memaafkan pasangannya. Kesalahan yang dilakukan pasangan akan dinilai sebagai perlakuan yang disengaja dan bentuk dari tidak menghargai pasangannya, sehingga luka yang ditorehkan oleh pasangan akan terasa lebih sakit. Oleh karena itu, tidak semua orang mau dan mampu secara tulus memaafkan dan melupakan kesalahan pasangannya. Proses memaafkan memerlukan kerja keras, kemauan kuat dan latihan mental karena terkait dengan emosi individu yang fluktuatif, dinamis dan sangat reaktif terhadap stimulus dari luar (Wardhati & Faturochman, 2008). Proses memaafkan ini sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada beberapa faktor yang memengaruhi forgiveness. Faktor pertama yang dapat mempermudah seseorang memaafkan pasangan yaitu kualitas hubungan.
5
Menurut Guldner dan Swensen (1995) kualitas hubungan terdiri dari empat dimensi, yaitu trust, intimacy, commitment dan satisfaction. Masing-masing dimensi ini memiliki pengaruh positif terhadap forgiveness. Begitu penting untuk menjaga kualitas hubungan dalam kehidupan pernikahan. Berkaitan dengan dimensi pertama, trust memengaruhi sikap individu untuk mau terbuka tentang perasaan dan keinginannya kepada pasangannya. Keterbukaan akan memudahkan kepercayaan kembali lagi sehingga konflik serupa tidak akan terulang (Fincham, 2009). Trust in partner secara umum signifikan berhubungan dengan dimensi positif pada forgiveness (Paleari, Regalia & Fincham, 2009). Penelitian lain oleh Cairns, Tam, Hewstone & Niens (2005) juga menemukan hubungan positif antara trust dengan forgiveness. Kemudian intimacy, Fincham (2009) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kedekatan yang baik dengan pasangannya menunjukan forgiveness yang lebih baik, karena mereka dapat berkomunikasi secara lebih baik. Begitu juga dengan komitmen, pasangan yang memiliki komitmen yang kuat dalam perkawinannya akan memiliki orientasi jangka panjang yang jelas dan ingin dicapai, sehingga kesalahan pasangan akan dinilai sebagai sesuatu yang harus dimaafkan (McCullough, Fincham, & Tsang, 2003). Penelitian Paleari et al. (2009) menemukan relationship intimacy dan relationship commitment memiliki pengaruh positif terhadap forgiveness dalam pernikahan. Finkel et al. (dalam Fincham et al., 2006) juga membuktikan komitmen yang lebih baik akan memfasilitasi interpersonal forgiveness.
6
Selanjutnya mengenai kepuasan, Fincham et al. (2006) dan Mirzadeh dan Fallahchai (2012) mengatakan kepuasan pernikahan berkorelasi positif terhadap forgiveness. Dengan adanya kualitas yang baik dalam keempat dimensi diatas, diprediksikan bahwa forgiveness akan lebih mudah dan cepat dalam prosesnya. Faktor kedua, faktor eksternal yang dapat memengaruhi forgiveness adalah apology. Apology dari pihak bersalah meningkatkan kemampuan memaafkan pada pihak yang tersakiti (McCullough et al., 1997). Sejalan dengan itu penelitian oleh Strang et al. (2014) menemukan partisipan dalam penelitiannya lebih mudah memutuskan untuk memaafkan setelah adanya apology. Para peneliti menemukan bahwa apology diartikan sebagai hal yang paling dapat dipercaya dan tulus, serta sebagai cara yang paling efektif dalam menyelesaikan konflik intrapersonal (dalam Takaku, Weiner & Ohbuchi, 2001). Hal ini menunjukan bahwa apology secara signifikan memiliki pengaruh positif pada forgiveness. Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap forgiveness adalah kepribadian. Secara keseluruhan kepribadian memiliki fungsi sebagai penentu sikap dan perilaku
seseorang,
termasuk
untuk
melakukan
forgiveness.
Dengan
menggunakan Five Factor Model of Personality, penelitian sejak tahun 1993 hingga 2008 secara keseluruhan menemukan adanya hubungan yang signifikan antara kepribadian agreeableness dan neurotism dengan forgiveness, namun tidak dengan ekstroversion, openness, dan conscientiousness (Caperton, 2008). Maltby et al. (2008) mengungkapkan bahwa individu dengan kecenderungan neurotism menunjukan kemungkinan menyimpan dendam dan keinginan menjauhi pelaku hingga dua tahun setelah konflik terjadi. Hafnidar (2013) mengungkapkan bahwa
7
agreeableness berkorelasi positif terhadap forgiveness pada diri sendiri maupun orang lain. Kemudian Five Factor Model of Personality telah dikembangkan oleh Ashton dan Lee (2002), dengan mengganti kepribadian neurotism dengan emotionality dan menambahkan kepribadian honesty-humility. Model kepribadian Ashton dan Lee (2007) dikenal dengan sebutan HEXACO yaitu honesty-humility (H), emotionality (E), extraversion (X), agreeableness (A), conscientiousness (C), dan openness to experience (O). Kepribadian honesty-humility mengacu pada kecenderungan pada perilaku alturistik prososial, sementara kepribadian agreeableness mengindikasi kecenderungan individu untuk memaafkan dan tolerasi sedangkan emotionality dimaksudkan untuk mengetahui tingkat empati dan attachment seseorang (Wikipedia, 2014). Ashton et al. tahun 1998 (dalam Neto & Mullet, 2004) menemukan bahwa tingginya score agreeableness dan emotional stability berkorelasi tinggi terhadap forgiveness. Berdasarkan sumbersumber tersebut maka dapat diketahui bahwa kepribadian honesty-humility, agreeableness dan emotionality adalah tipe kepribadian yang berkorelasi positif dengan forgiveness. Faktor lainnya yang dapat memengaruhi forgiveness adalah usia dan gender. Penelitian Girard dan Mullet (1997) menemukan perbedaan tingkat dan proses forgiveness berdasarkan usia, mereka mengklasifikasikan usia partisipan kedalam empat kategori yaitu remaja, muda, paruh baya dan tua. Hasilnya usia berpengaruh signifikan secara linier, artinya semakin tua usia seseorang maka semakin mudah ia memaafkan.
8
Lain halnya yang diteliti oleh Wade dan Goldman (2006), penelitian ini melakukan intervensi untuk meningkatkan forgiveness dalam kelompok dengan komposisi laki-laki dan perempuan yang berbeda tiap kelompoknya. Singkatnya ditemukan bahwa perempuan lebih mudah memaafkan. Akan tetapi yang terjadi di Indonesia, dari seluruh permohonan cerai yang diajukan ke pengadilan, 70% penggugatnya adalah perempuan (BKKBN, 2013). Mungkin ini disebabkan perempuan di Indonesia lebih sulit melakukan forgiveness. Perbedaan ini menambah nilai urgensi penelitian serupa dilakukan di Indonesia. Pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian di Jakarta Timur. Jakarta adalah salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki angka perceraian cukup tinggi yakni 8.067 putusan cerai sepanjang JanuariAgustus (Badilag, 2014). Kemudian wilayah yang memiliki perceraian tertinggi di Jakarta adalah Jakarta Timur yaitu sebanyak 2.389 putusan cerai sepanjang Januari-Agustus (Badilag, 2014). Perceraian yang tinggi di wilayah ini mungkin saja mencerminkan masyarakat yang mulai mengesampingkan nilai pernikahan. Berdasarkan fenomena dan beberapa penelitian yang telah dijabarkan, faktor yang menarik dijadikan sebagai prediktor forgiveness adalah kualitas hubungan, kepribadian, apology dan faktor demografi berupa gender dan usia. Untuk itu peneliti mengajukan judul “Faktor-faktor yang Memengaruhi Forgiveness dalam Pernikahan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur”.
9
1.2.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1. Pembatasan Masalah Agar Penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka perlu suatu pembatasan masalah. Adapun pokok yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini adalah forgiveness dalam pernikahan yang dipengaruhi variabel psikologi seperti kualitas hubungan, apology, kepribadian dan variabel demografi berupa gender dan usia. Adapun penjelasan mengenai variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Pada penelitian ini forgiveness dalam pernikahan yang dimaksud adalah peningkatan motivasi prososial setelah terjadi konflik dalam pernikahan. Forgiveness dalam pernikahan ditandai dengan rendahnya keinginan membalas dendam (retaliation) dan menjauhi pasangan (avoidance), serta tingginya keinginan untuk memperbaiki hubungan (benevolence).
2.
Kualitas hubungan dalam penelitian ini adalah persepsi individu mengenai seberapa baik interaksi suami istri dalam pernikahannya yang terlihat dari dimensi-dimensi yang menentukannya, yaitu trust, intimacy, commitment dan satisfaction.
3.
Apology dalam penelitian ini adalah permintaan maaf dari pasangan karena telah menyakiti individu yang dilihat dari respon individu dalam melaporkan permintaan maaf yang dilakukan oleh pasangannya saat atau sesudah berkonflik.
4.
Kepribadian adalah sebuah pola yang menetap / konsisten berkaitan dengan bagaimana individu mempresepsikan dan berpikir tentang dirinya
10
dan lingkungannya dalam berbagai konteks. Peneliti menggunakan teori kepribadian oleh Ashton dan Lee (2007) dengan enam dimensi kepribadian. Enam dimensi yang dimaksud adalaha honesty-humility (H), emotionality (E), extraversion (X), agreeableness (A), conscientiousness (C), dan openness to experience (O) karena kepribadian ini sesuai dengan konsep forgiveness. 5.
Faktor demografi dalam penelitian ini berupa informasi gender (laki-laki dan perempuan) dan usia (dewasa muda dan dewasa madya).
6.
Sampel dalam penelitian ini adalah perempuan dengan usia minimal 20 tahun dan laki-laki dengan usia minimal 25 tahun dengan status menikah di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
1.2.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, muncul beberapa masalah yang dapat di identifikasi yaitu: 1.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari kualitas hubungan, apology, kepribadian, gender dan usia terhadap forgiveness dalam pernikahan?
2.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi trust dalam variabel kualitas hubungan terhadap forgiveness dalam pernikahan?
3.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi intimacy dalam variabel kualitas hubungan terhadap forgiveness dalam pernikahan?
4.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi commitment dalam variabel kualitas hubungan terhadap forgiveness dalam pernikahan?
11
5.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi satisfaction dalam variabel kualitas hubungan terhadap forgiveness dalam pernikahan?
6.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari variabel apology terhadap forgiveness dalam pernikahan?
7.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi honesty-humility dalam variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
8.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi emotionality dalam variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
9.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi extraversion dalam variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
10.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi agreeableness dalam variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
11.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi conscientiousness dalam variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
12.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi opennes to experience dalam variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
13.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari gender terhadap forgiveness dalam pernikahan?
14.
Apakah ada pengaruh yang signifikan dari usia terhadap forgiveness dalam pernikahan?
1.3.
Tujuan Penelitian
Peneliti menentukan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh trust, intimacy, commitment dan satisfaction (dalam variabel kualitas hubungan),
12
variabel apology, honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, openness to experience (dalam variabel kepribadian) serta variasi gender dan usia sebagai variabel demografi terhadap forgiveness dalam pernikahan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. Kemudian untuk mengetahui pula besarnya sumbangan dari masing-masing variabel terhadap forgiveness dalam pernikahan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan dan bahan perbandingan bagi pengembangan teori-teori psikologi yang berkaitan dengan forgiveness dalam pernikahan.
2.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dan media pembelajaran bagi seluruh kalangan, khususnya bagi pasangan menikah mengenai pentingnya forgiveness dalam pernikahan dan memberikan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang memengaruhi forgiveness sehingga dapat dilakukan usaha meningkatkan forgiveness dalam pernikahan.
1.5.
Sistematika Penulisan Penelitian
Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan APA ( American Psychologycal Association)-style dan pedoman penyusunan dan penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan ini dibagi menjadi beberapa bahasan sebagai berikut:
13
BAB 1
PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas beberapa hal yaitu, latar belakang dilakukannya penelitian, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB 2
LANDASAN TEORI Bab ini berisi landasan teori yang mendiskripsikan definisi dan konsep dasar forgiveness dalam pernikahan, kualitas hubungan, apology, kepribadian, gender dan usia; kerangka berpikir serta hipotesis penelitian.
BAB 3
METODE PENELITIAN Bab ini berisi pemaparan tentang populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi operasional variabel, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, teknik analisis data, dan prosedur pengumpulan data.
BAB 4
HASIL PENELITIAN Pada bab
ini, akan diuraikan mengenai karakteristik
responden
penelitian, deskripsi data, analisis data dan hasilnya. BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan menyimpulkan hasil penelitian. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisis dan interpretasi data yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Dalam bab ini juga akan dimuat diskusi dan saran
BAB 2 LANDASAN TEORI
Bab ini berisi landasan teori yang mendiskripsikan definisi dan konsep dasar forgiveness dalam pernikahan, kualitas hubungan, apology, kepribadian, gender dan usia; kerangka berpikir serta hipotesis penelitian.
2.1.
Forgiveness
2.1.1. Definisi Forgiveness Para ahli telah berusaha meneliti dan merumuskan definisi forgiveness, seringkali mereka menggunakan bahasa dan gambaran yang berbeda namun saling melengkapi teori yang ada. Enright, Gassin, dan Wu (dalam McCullogh et al., 2003) mendefinisikan forgiveness sebagai tindakan untuk mengatasi perasaan negatif dan penghakiman terhadap pelaku, bukan dengan menolak hak untuk bersikap negatif dan menghakimi, namun dengan berusaha melihat pelaku dengan belas kasih, kemurahan hati dan cinta. Forgiveness adalah ketika seseorang mengalami serangkaian perubahan motivasional, yaitu a) menurunnya motivasi membalas dendam pada pelaku; b) menurunnya motivasi menghindari pelaku; c) meningkatnya motivasi beritikad baik dan berdamai dengan pelaku, meskipun pelaku sudah melakukan tindakan yang menyakitkan (McCullough et al., 1997). Worthington et al. (dalam Wade & Worthington, 2005) mengatakan bahwa forgiveness terjadi bila 1. individu menyadari bahwa ia telah disakiti, 2.
14
15
melawan rasa sakit hati kemudian melepaskan rasa sakit dan keinginan balas dendam, dan muncul kembali rasa nyaman untuk memulihkan hubungan dengan pelaku. Pada tahun 2002, Rye dan Pargament (dalam Wade & Worthington, 2005) mendefinisikan forgiveness sebagai tindakan untuk mengatasi perasaan negatif (misal: permusuhan), kognisi negatif (misal: pikiran untuk membalas dendam) dan perilaku negatif (misal: agresi verbal) saat terjadi ketidakadilan pada dirinya, dan mungkin juga melibatkan respon positif (misal: kasih sayang) pada pelaku. Philpot, C. (2006) dalam buku forgiveness: A Sampling as Research Results
(dikompilasi
oleh
American
Psychological
Association,
2006)
menyimpulkan definisi forgiveness dari beberapa ahli, forgiveness terjadi ketika seseorang menyadari dirinya telah disakiti dan merasa seharusnya ia memperoleh perlakuan yang lebih baik. Forgiveness adalah proses (atau hasil dari sebuah proses) yang melibatkan perubahan emosi dan sikap terhadap orang yang menyakiti. Sebagian ahli melihat ini sebagai proses mengambil keputusan untuk memaafkan adalah disengaja dan dilakukan secara sukarela oleh individi yang tersakiti. Proses ini menurunkan motivasi untuk membalas dendam atau menjauhkan diri dari pelaku, dan melepaskan emosi negatif terhadap pelaku. Para teoris berbeda pendapat mengenai seberapa jauh forgiveness juga menyiratkan pergantian emosi negatif menjadi sikap positif seperti kasih sayang dan itikad baik. Berdasarkan berbagai definisi di atas peneliti menggunakan definisi forgiveness yang dikemukakan oleh McCullough et al. (1997) yaitu a)
16
menurunnya motivasi membalas dendam pada pasangan yang bersalah; b) menurunnya motivasi menghindari pelaku; c) meningkatnya motivasi beritikad baik dan berdamai dengan pelaku, meskipun pelaku sudah melakukan tindakan yang menyakitkan. 2.1.2. Dimensi Forgiveness Baumeister, Exline dan Sommer (dalam Worthington, 1998) menjelaskan dua dimensi dari forgiveness yaitu dimensi intrapsikhis dan interpersonal. Dimensi intrapsikhis melibatkan aspek emosi dan kognisi dari forgiveness. sedangkan dimensi interpersonal melibatkan aspek sosial dari forgiveness. Berdasarkan kehadiran dua dimensi ini, terdapat empat jenis forgiveness yaitu: Tabel 2.1 Dimensi Forgiveness (Worthington, 1998) Kombinasi Kehadiran Dimensi Interpersonal Act + No Intrapsychic state Intrapsychic state state + No Interpersonal Act Intrapsychic state + Interpersonal Act No Intrapsychic state + No Interpersonal Act 1.
Jenis Forgiveness Hollow Forgiveness Silent Forgiveness Total Forgiveness No Forgiveness
Hollow forgiveness Kombinasi ini terjadi saat pihak yang tersakiti dapat mengekspresikan forgiveness secara konkret melalui perilaku, namun ia belum dapat merasakan dan menghayati adanya forgiveness didalam dirinya. Pihak yang tersakiti masih menyimpan rasa dendam dan kebencian meskipun ia telah mengatakan kepada pelaku “saya memafkan kamu”.
2.
Silent Forgiveness Kombinasi ini ke balikan dari kombinasi pertama. Dalam kombinasi ini intrapsychic forgiveness dirasakan, namun tidak diekspresikannya melalui
17
perbuatan dalam hubungan interpersonal, no interpersonal forgiveness. Pihak yang tersakiti tidak lagi menyimpan perasaan marah, dendam, benci kepada pelaku namun tidak mengekspresikannya. Pihak yang tersakiti membiarkan pelaku terus merasa bersalah dan terus bertindak seakan-akan pelaku tetap bersalah. 3.
Total Forgiveness Dalam kombinasi ini pihak yang tersakiti menghilangkan perasaan kecewa, benci atau marah terhadap pelaku tentang kesalahan yang terjadi. Kemudian, hubungan antara pihak yang tersakiti dengan pelaku pulih secara total seperti keadaan sebelum peristiwa yang menyakitkan terjadi.
4.
No Forgiveness Dalam kombinasi ini, intrapsychic dan interpersonal forgiveness tidak terjadi pada pihak yang tersakiti. Baumeister, Exline dan Sommer menyebut kondisi ini sebagai total grudge combination. Keadaan ini terjadi karena pihak yang tersakiti telah salah persepsi mengenai forgiveness, berikut adalah persepsi salah yang menjadi faktor terjadinya no forgiveness: a. Claims on Reward and Benefit Pihak yang tersakiti merasa bahwa dirinya berhak atas reward atau keuntungan sebelum ia harus memaafkan. Karena ia beranggapan bahwa pelaku telah memiliki ‘hutang’ yang harus dibayar karena telah menyakiti dirinya.
18
b. To Prevent Reccurence Forgiveness dianggap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya pelanggaran atau peristiwa menyakitkan yang dialami pihak yang tersakiti di masa mendatang. Dengan tidak diberikannya forgiveness kepada pelaku, pihak yang tersakiti dapat terus mengingatkan pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya. c. Continued Suffering Pihak tersakiti terus-menerus merasa menderita karena peristiwa menyakitkan yang dialami olehnya. Saat konsekuensi dari pengalaman menyakitkan yang dialami oleh pihak yang tersakiti di masa lalu memengaruhi hubungannya dengan pelaku di masa depan, maka forgiveness merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. d. Pride and Revenge Pihak yang tersakiti merasa bahwa dengan memberikan maaf kepada pelaku maka ia sudah melakukan perbuatan yang mempermalukan dirinya bahkan menunjukkan rendahnya harga diri pihak yang tersakiti. e. Principal Refusal Pihak yang tersakiti menilai forgiveness sebagai pembebasan terhadap pelaku dari pengadilan. Pihak yang tersakiti takut tidak mendapat perlindungan hukum jika ia sudah memaafkan pelaku. Selain dimensi dari Baumeister, Exline dan Sommer, terdapat pula dimensi forgiveness yang dirumuskan oleh McCulough et al. (1997). Dimensidimensi ini terus dipakai dalam berbagai penelitian, termasuk oleh Fincham et al.
19
(2004) untuk mengembangkan alat ukur forgiveness dalam setting pernikahan. Forgiveness memiliki tiga dimensi, yakni retaliation dan avoidance yang termasuk dalam aspek negatif dari forgiveness, dan benevolence yang termasuk dalam aspek positif dari forgiveness (Fincham et al., 2004). Adanya aspek positif tidak dapat menjadi kesimpulan ketidakberadaan aspek negatif dari forgiveness. Berikut penjelasan ketiga dimensi forgiveness tersebut yang berhasil dirangkum dari Fincham et al. (2004): 1.
Retaliation McCullough et al. (1997) menyebutnya revenge, ditandai dengan dorongan individu untuk membalas perbuatan pelaku. Dalam kondisi ini, individu dalam keadaan marah, benci dan penuh dengan emosi negatif lainnya sehingga muncul rasa dendam dan keinginan membalas. Dimensi ini adalah dimensi negatif dari forgiveness, artinya rendahnya motivasi membalas menggambarkan semakin dekat sesseorang pada keadaan memaafkan.
2.
Avoidance Ditandai dengan individu yang menghindar atau menarik diri (withdrawal) dari pelaku yang dinilai telah menyakiti atau menyinggung perasaannya. Avoidance juga merupakan dimensi negatif dari forgiveness, artinya rendahnya
motivasi
menghindar
sesseorang pada keadaan memaafkan.
menggambarkan
semakin
dekat
20
3.
Benevolence Ditandai dengan dorongan untuk berbuat baik terhadap pelaku yang telah menyakitinya. Dengan berempati dan berkomunikasi dengan baik, itikad baik ini dapat dicapai. Benevolence merupakan dimensi positif dari forgiveness,
artinya
tingginya
motivasi
berbuat
baik
semakin
menggambarkan bahwa seseorang telah memaafkan. Terdapat dua teori mengenai dimensi-dimensi forgiveness, namun penelitian ini cenderung menggunakan dimensi yang dirangkum dalam Ficham et al. (2004) karena sejalan dengan definisi forgiveness yang dipilih sebelumnya. 2.1.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Forgiveness Menurut McCullough et al. (1998), faktor penentu yang memengaruhi munculnya perilaku memaafkan pada individu, yaitu: 1.
Social Cognitive Determinant Sikap empati terhadap pelaku muncul sebagai bagian terpenting dari determinan sosial-konitif terhadap forgivenes. Variabel atribusi juga telah memfasilitasi
munculnya
pertanggungjawaban,
forgiveness,
menyalah-nyalahkan,
seperti luka
yang
meminta parah
dan
menghindari pelaku. Sehingga atribusi menjadi alasan utama terjadinya empati dan forgiveness. Determinan kognitif lainnya adalah rumination, image, dan afeksi yang terkait dengan konflik interpersonal yang dapat menyebabkan individu melakukan balas dendam maupun menghindari pelaku.
21
2.
Offense Related Determinant Determinan ini berkaitan dengan tingkat kelukaan dan sejauh mana pelaku meminta maaf (apology) dan mencari pengampunan. Tingkat kelukaan adalah sejauh mana individu mempersepsi bahwa konflik yang terjadi telah memberikan penderitaan bagi dirinya, semakin parah luka yang dirasakan maka akan lebih sulit baginya untuk dapat memaafkan.
3.
Relational Determinant Faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku memaafkan adalah sejauhmana kualitas hubungan interpersonal yang dimiliki oleh seseorang terhadap pihak yang bertikai dengannya. Karena memaafkan dipahami sebagai serangkaian perubahan motivasional setelah terjadinya konflik, maka tingkat kedekatan, kepuasan, komitmen dan intimacy seharusnya akan berhubungan positif dengan forgiveness. Ada tujuh hal yang menjadi alasan kualitas hubungan sebagai faktor dari forgiveness, yaitu: a. Individu merasa harus melestarikan relasinya dengan pihak tempat ia saling bergantung dalam banyak hal. b. Individu memiliki orientasi jangka panjang yang memotivasinya untuk melupakan rasa sakit hatinya dan meningkatkan penerimaan akan hubungan tersebut. c. Dalam hubungan yang berkualitas, keduanya akan saling menggabungkan minat mereka.
22
d. Hubungan yang berkualitas akan memuculkan orientasi bersama yang meningkatkan kesediaan untuk melakukan hal yang menyenangkan pasangannya, meskipun harus mengorbankan diri sendiri. e. Individu memiliki sejarah yang banyak bersama pasangannya, sehingga ia memiliki akses berupa pikiran, perasaan dan motivasi keada pasangannya. f. Hubungan yang berkualitas akan membuat korban merasa konflik yang terjadi adalah untuk kebaikannya. g. Dalam hubungan yang berkualitas, pelaku cenderung meminta maaf dan mengungkapkan penyesalan serta memulihkan hubungan pasca konflik. 4.
Personality Determinant Determinan kepribadian dapat memengaruhi forgiveness dengan fasilitas dari relational styles atau kecenderungan seseorang dalam pengalaman berfikirnya atau sikapnya dalam menanggapi konflik atau pelaku. Dalam big five factors model of personality diketahui bahwa kepribadian agreeableness memengaruhi forgiveness secara signifikan. Penjabaran di atas, mengungkapkan bahwa forgiveness bukan hanya
ditentukan oleh diri individu saja. Faktor sosial-kognitif dan kepribadian merupakan faktor dari dalam diri individu, keduanya mendasari kemampuan seseorang untuk memaafkan. Namun faktor hubungan dan permintaan maaf dari orang yang bersalah juga bisa menentukan munculnya prilaku memaafkan. 2.1.4. Tahapan Forgiveness Ada beberapa teoris yang mengungkap mengenai tahapan forgiveness, dua diantaranya akan dibahas dalam sub bab ini.
23
A.
Enright dan Coyle (1998), mereka mengembangkan suatu model tahapan forgiveness. Model ini meliputi aspek kognitif, afektif dan perilaku yang terjadi dalam proses forgiveness. Tahapan tersebut dibagi kedalam empat fase yaitu: a. Uncovering phase Individu menyadari bahwa dirinya telah diperlakukan tidak adil dan merasakan emosi negatif serta perasaan terluka. Emosi negatif (unforgiveness) harus dikonfrontasikan dan dipahami secara mendalam sebelum proses penyembuhan dimulai. b. Decision phase Individu yang fokus dan merasa dirinya adalah korban akan terus merasakan sakit mengalamin penderitaan yang berlanjut. Forgiveness adalah cara untuk menyembuhkan dan memulihkan diri maka individu harus memiliki komitmen untuk memaafkan pelaku. Pada fase ini pikiran, perasaan dan dorongan untuk membalas dendam terhadap pelaku dilepaskan, sebagai tanda dimulainya pemaafan. c. Work phase Pada tahapan ini, individu mulai bisa memaafkan, salah satunya dengan berempati. Individu menempatkan dirinya pada posisi pelaku yang mungkin juga merasa tertekan karena perasaan bersalah. Individu sudah bisa menerima pelaku kembali menjadi bagian hidupnya. Lebih lanjut lagi individu memilih untuk menawarkan beberapa bentuk perbuatan baik pada pelaku.
24
d. Outcome/Deepening phase Pada tahapan terakhir ini, individu secara sadar merasa sembuh, pulih dan penuh dengan emosi positif karena telah melakukan forgiveness. Secara umum, individu menemukan makna dalam penyembuhan yang dialaminya sehingga pada fase terakhir ini individu mengalami paradox of forgiveness, sebagai salah satu sikap terhadap rasa sakit yang tidak adil dan memberikan kemurahan hati pada orang lain, sehingga ia merasa telah disembuhkan. B.
Worthington (1998), ia juga mencoba menjabarkan teori tahapan forgiveness. Teori ini dikenal sebagai the pyramid model to REACH forgiveness. Teori ini pada dasarnya hampir sama dengan tahapan oleh Enright dan Coyle (1998). Model REACH ini seringkali digunakan untuk intervensi saat terapi forgiveness. Ada lima tahapan menuju forgiveness menurut Worthington (1998), yaitu:
Gambar 2.1 The pyramid model to REACH forgiveness
25
1. Recall the hurt Dengan tenang individu memanggil kembali rasa sakit dan terluka akibat kejadian menyakitkan. Namun, tidak memposisikan diri sebagai korban dan tidak perlu merasa berhak untuk menyalah-nyalahkan. 2. Empathize Individu berusaha untuk mengetahui penyebab pelaku melakukan kesalahan padanya dan memposisikan dirinya sebagai pihak yang bersalah. Individu turut merasakan tekanan dan perasaan bersalah yang dirasakan pelaku. 3. Alturistic gift Individu membayangkan dan mengingat kembali bahwa dirinya juga pernah berbuat salah lalu seseorang memafkannya secara tulus, untuk itu ia merasa perlu dan layak memberikan maaf kepada orang lain juga. Pemberian maaf bisa dianggap sebagai sebuah hadiah kemanusiaan, selain untuk memulihkan diri sendiri forgiveness dalam prosesnya juga akan memulihkan sebuah hubungan. 4. Commit publicly to forgive Pada tahap ini individu telah menetapkan bahwa dirinya telah memaafkan. Individu tidak pernah lagi secara sengaja mengingat kejadian, rasa sakit dan membangkitkan emosi negatifnya. Pada perjalanannya, forgiveness akan memberikan hubungan yang sehat sehingga bisa jadi kejadian menyakitkan akan terlupakan.
26
5. Hold on to forgive Pada tahapan ini sebenarnya pemaafan sudah sempurna, namun individu harus mempertahankannya. Individu dapat merasakan dan memaknai keuntungan yang ia dapatkan setelah memaafkan. Kedua teori mengenai tahapan forgiveness di atas menerangkan bahwa memaafkan butuh proses. Pihak yang tersakiti harus melewati setiap fase yang memiliki tugas yang berbeda. Bukan tidak mungkin seseorang gagal saat melewati fase tertentu, dibutuhkan usaha, komitmen dan mungkin bantuan dari pihak yang bersalah atau pihak lain agar dapat tuntas dalam memaafkan. Pada akhirnya, individu yang mampu menyelesaikan tahap akhir dari memaafkan baru bisa merasakan manfaat dan kekuatan memaafkan.
2.2.
Pernikahan
2.2.1. Definisi Pernikahan Beberapa definisi mengenai pernikahan akan diuraikan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pernikahan. Strong, De Vault dan Cohen (1989) mengatakan bahwa sebuah pernikahan adalah persatuan yang sah antara dua orang, yang umumnya seorang pria dan seorang wanita, dimana mereka bersatu secara seksual, bekerjasama secara ekonomi, dan juga diperbolehkan untuk melahirkan, mengadopsi dan mengasuh anak. Persatuan ini diasumsikan dapat berlangsung selamanya. Selanjutnya definisi lain dijelaskan oleh Brehm (1997) mengenai pernikahan sebagai: ekspresi tertinggi dari hubungan intim yang ditandai dengan sumpah setia dihadapan publik sebagai itikad untuk hidup bersama selamanya.
27
Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974, pernikahan merujuk pada pengertian perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan ikatan atau perjanjian yang terjadi antara pria dan wanita berupa komitmen jangka panjang untuk sebisa mungkin menjadi suami istri untuk selamanya, kemudian menjadi keluarga yang bahagia dan kekal, dimana perjanjian tersebut dinyatakan secara terbuka dan tercatat secara hukum, sehingga pasangan tersebut beserta anak-anaknya memiliki hak yang sah atas hukum yang berlaku. 2.2.2. Motivasi Menikah Ada berbagai alasan yang menyebabkan pria dan wanita mengikatkan diri dalam suatu ikatan pernikahan. Turner dan Helms (1995) mengemukakan alasan-alasan yang biasanya digunakan pria dan wanita untuk menikah, yaitu: 1.
Persahabatan dan kebersamaan Pernikahan merupakan kesempatan untuk menghilangkan kesepian dan rasa terisolasi. Melalui persahabatan dan aktivitas yang dilakukan bersama kebutuhan individu akan kebersamaan dapat terpenuhi.
2.
Cinta Kehidupan seseorang akan lebih terpuaskan jika dirinya merasa berarti bagi orang lain. Seseorang pada umumnya ingin mendapatkan dan
28
memberi cinta. Pernikahan memberikan kesempatan bagi pemenuhan kebutuhan dasar akan cinta. 3.
Kebahagiaan Mendapatkan kebahagiaan adalah hal penting dalam kehidupan manusia. Banyak orang mengharapkan pernikahan menjadi sumber kebahagiaannya. Namun, harus disadari bahwa kebahagiaan tidak terletak pada institusi pernikahan, melainkan pada individunya sendiri dan tergantung pada bagaimana mereka berinteraksi dalam hubungan tersebut.
4.
Legitimasi seksual dan anak-anak Pernikahan memberikan persetujuan sosial bagi tingkah laku seksual dan melahirkan anak. Pernikahan mengesahkan hubungan seksual dan memberikan hak bagi pasangan menikah untuk memilik anak dengan perlindungan hukum. Berdasarkan penjabaran di atas, setiap individu yang akan menikah
mempunyai beberapa alasan mengapa mereka menikah, seperti persahabatan dan kebersamaan, cinta, kebahagiaan dan legitimasi seksual dan anak. Namun, pada dasarnya alasan mengapa setiap individu itu menikah berbeda-beda, termasuk pasangan yang telah menikah sekalipun. Motivasi individu dan pasangan mungkin awalnya berbeda, namun bukan berarti tidak dapat disesuaikan atau disatukan. Hal ini tentunya menjadi suatu kewajaran dalam lingkungan sosial masyarakat dikarenakan setiap individu mempunyai prinsip dan alasan hidup yang berbedabeda.
29
2.3.
Forgiveness dalam Pernikahan
Banyak peneliti percaya bahwa forgiveness merupakan hal terpenting dalam keberhasilan pernikahan. Berdasarkan survei pada pasangan yang telah menikah lebih dari 20 tahun, forgiveness merupakan salah satu faktor kunci kelanggengan pernikahan (dalam Fincham et al., 2002). Secara umum forgiveness diyakini dapat membantu pasangan untuk mengatasi kesulitan yang ada dan mencegah munculnya masalah di masa depan. Mengingat pentingnya dan besarnya kegunaan forgiveness dalam pernikahan, forgiveness telah dieksplorasi dan dikaitkan dengan beberapa aspek pernikahan, diantaranya adalah konflik, kepuasan, atribusi, komitmen dan empati (dalam Fincham et al., 2006). Dalam kaitannya dengan konflik, Gordon (dalam Fincham et al., 2006) berpendapat bahwa forgiveness penting dalam situasi dimana telah terjadi konflik dalam pernikahan. Sayangnya, konflik dalam pernikahan terjadi terlalu sering sehingga forgiveness mungkin menjadi komponen reguler pernikahan. Konflik merupakan syarat yang mutlak untuk terjadinya pemaafan. Tanpa adanya konflik tidak akan perlu ada pemaafan, sebab memang tidak ada yang perlu dimaafkan (Enright & Coyle, dalam Fincham et al., 2004). Ada bermacam-macam kejadian yang dapat menyulut ancaman bagi keberlangsungan hubungan interpersonal. Secara umum, terdapat lima jenis kejadian menyakitkan dalam hubungan interpersonal, yaitu diasosiasi aktif (misal: memutuskan hubungan), diasosiasi pasif (misal: mengacuhkan pasangan), kritik, ketidaksetiaan, dan penipuan (Feeney, dalam Feeney 2011). Forgiveness juga terkait dengan resolusi konflik pada pasangan yang sudah menikah. Fincham et al. (dalam Fincham et al., 2006 ) menemukan bahwa
30
tingginya retaliation dan avoidance pada kelompok para suami dan kurangnya benevolence pada kelompok para istri menggambarkan resolusi konflik yang tidak efektif. Konflik yang belum terselesaikan dapat meluas menjadi konflik masa depan dan pada gilirannya akan menghambat resolusi mereka, sehingga siklus interaksi negatif akan berkembang dan menjadi ciri khas pernikahan yang bermasalah. Kemudian forgiveness dapat membantu penyembuhan psikis individu melalui pengaruhnya dalam menghadirkan perubahan positif, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, mengembalikan sense of personal power dari orang yang tersakiti, dan membantu mewujudkan rekonsiliasi antara orang yang tersakiti dan orang yang menyakiti (Philpot, 2006). 2.3.1
Pengukuran Forgiveness dalam Pernikahan
Dari hasil membaca literatur tentang penelitian-penelitian mengenai forgiveness, peneliti
memperoleh
beberapa
instrument
untuk
mengukur
forgiveness,
diantaranya yaitu: 1.
Marital Offence-Specific Forgiveness Scale (MOFS) MOFS dikembangkan oleh Paleari, Regalia dan Fincham (2009) yang terdiri dari sepuluh item. Item-item dalam alat ukur ini sesuai dengan dua komponen forgiveness yaitu, resentment-avoidance dan benevolence. MOFS dibuat untuk mengukur respon seseorang yang telah menikah dan menerima kekerasan dalam enam bulan terakhir. MOFS memiliki realibilitas alpha cronbach sebesar 0,80.
31
2.
Transgression-Related Interpersonal Motivation (TRIM) TRIM-12 dikembangkan oleh McCullough et al. (1998) yang terdiri dari 12 item. Alat tes ini mengukur tingkat forgiveness yang terjadi dalam close relationship, berdasarkan dua sub skala yakni avoidance dan revenge. Kemudian alat ukur ini di revisi menjadi TRIM-18 oleh McCullough, Root dan Cohen (2006) dengan menambahkan enam item yang mengukur konsep benevolence. TRIM lebih tepat digunakan untuk mengukur respon terhadap hal menyakitkan yang ekstrim dan serius. TRIM memiliki realibilitas alpha cronbach sebesar 0,91.
3.
Marital Forgiveness Scale (MFS) MFS dikembangkan oleh Fincham, Beach dan Davila sejak tahun 2004, kemudian alat ukur ini telah di revisi pada tahun 2013. MFS terdiri dari sembilan item untuk mengukur tiga aspek pada forgiveness yaitu retaliation, avoidance dan benevolence. Alat tes ini berisi mengenai laporan diri / self report yang mengukur forgiveness dalam kehidupan pernikahan seseorang. MFS memiliki realibilitas alpha cronbach sebesar 0,80. Dari ketiga alat ukur forgiveness di atas, peneliti memilih menggunakan
alat ukur Marital Forgiveness Scale (MFS). Alat ukur ini mencakup pengukuran atas tiga sub dimensi yang dimiliki forgiveness sehingga sesuai dengan kajian teori, selain itu MFS biasa dipakai untuk mengukur forgiveness dalam pernikahan.
32
2.4.
Kualitas Hubungan
2.4.1. Definisi Kualitas Hubungan Menurut Pierce, Sarason dan Nagle (1997), kualitas hubungan adalah tingkat baik buruknya kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih yang mendalam bertujuan memudahkan proses dalam suatu hubungan antara satu dengan yang lain; kualitas hubungan ialah suatu hubungan intim antara satu individu dengan individu lain yang dibina untuk menuju ke arah hubungan yang lebih baik, merupakan salah satu kebutuhan pada usia dewasa muda. Dalam konteks pernikahan kualitas hubungan seringkali disebut kualitas pernikahan, menurut Hollist dan Miller (2005), kualitas pernikahan merupakan persepsi individu mengenai keadaan seberapa baik interaksi pada suatu hubungan. Kemudian menurut Helms dan Buehler (2007) kualitas pernikahan adalah cerminan dari dimensi utama yang terdiri dari kualitas kognisi, perilaku dan afeksi dalam pernikahan. Kedua definisi di atas hampir mirip, namun definisi kedua lebih sesuai untuk penelitian ini. 2.4.2. Dimensi Kualitas Hubungan Dimensi kualitas hubungan yang dipakai dalam penelitian ini adalah penjabaran dari Guldner dan Swensen (1995) yang terdiri dari empat dimensi, yaitu: 1.
Trust Trust adalah harapan individu bahwa pasangannya akan memperlakukan dirinya secara adil dan terhormat. Individu berharap pasangannya untuk menjadi responsif terhadap kebutuhan mereka dan peduli untuk kesejahteraan mereka. Ketika kepercayaan tersebut hilang, individu sering
33
menjadi
curiga
dan
mengurangi
keterbukaan
serta
rendahnya
interdependent atau tidak dapat lagi saling bergantung. Dengan trust yang tinggi individu dapat memprediksi perilaku pasangannya dan mengurangi usaha mencari tahu / menyelidiki pasangannya. 2.
Intimacy Secara umum intimacy mengacu pada perasaan pada hubungan dekat secara personal dan perasaan saling memiliki. Dengan adanya saling pengertian dan banyaknya pegalaman bersama maka hubungan mereka menjadi hubungan afeksi yang dekat. Intimacy memiliki ciri komunikasi, transparansi, vulnerability dan timbal balik.
3.
Committment Committment adalah sejauh mana pasangan menikah memiliki rasa kebersamaan, eklusivitas dan keberlangsungan hubungan / dedikasi dalam hubungan mereka. Pasangan menikah biasanya memiliki komitmen untuk hubungan mereka. Artinya, mereka mengharapkan pernikahan mereka untuk terus berlangsung selamanya, mereka menginvestasikan waktu, tenaga dan sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Tanpa komitmen, pasangan merasa kurangnya rasa saling membutuhkan dan kurangnya pengetahuan tentang pasangannya satu sama lain.
4.
Satisfaction Satifaction adalah sejauh mana individu merasa puas dengan hubungan mereka dengan pasangannya. Satifaction adalah kondisi mental yang
34
mencerminkan perasaan mengenai keuntungan dan pengorbanan dalam hubungan. Semakin banyak pengorbanan yang diberikan, umumnya menyebabkan pasangan kurang puas dengan pasangan mereka. Demikian pula, besarnya keuntungan yang dirasakan maka semakin puas seseorang terhadap hubungan mereka. Dari keempat dimensi kualitas hubungan, masing-masing mempunyai peranan penting dalam menciptakan suatu hubungan dengan kualitas yang baik antara satu individu dengan individu yang lain. Namun secara keselurahan, ketika keempat dimensi tersebut mempunyai nilai yang tinggi maka suatu hal yang mutlak kualitas hubungan yang baik akan tercipta. 2.4.3. Pengukuran Kualitas Hubungan Untuk mengetahui kualitas hubungan pada seseorang dapat digunakan alat sebagai pengukur kualitas hubungan individu dengan pasangannya. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa skala berisi item-item yang dibuat oleh peneliti berdasarkan dimensi yang ada. Kualitas hubungan menurut Guldner dan Swensen (1995) terdiri dari empat dimensi, yaitu: trust, intimacy, commitment dan satisfaction. Kemudian berdasarkan dimensi-dimensi tersebut peneliti membuat skala berdasarkan aspek-aspek yang ada, keseluruhannya berjumlah 20 item.
2.5.
Apology
2.5.1. Definisi Apology Individu yang tersakiti lebih mungkin untuk memaafkan ketika pelaku mengakui kesalahan mereka, menerima tanggung jawab atas tindakan mereka, menawarkan
35
penebusan yang tulus dengan mengekspresikan rasa malu, penyesalan, dan perbaikan atas perilaku mereka, dan berjanji melakukan yang lebih baik di masa depan (Hannon, 2010;. Tabak, 2011 dalam Miller, 2012). Selanjutnya ditambahkan oleh Luchies (dalam Miller, 2012) forgiveness yang diberikan tanpa adanya apology yang tulus dari pelaku adalah bagaikan memberikan izin bagi pelaku untuk mengulangi kesalahannya lagi. Weiner et al. (dalam Mercado et al., 2009) mengemukakan bahwa confession sangat penting untuk membantu proses forgiveness. Menurut Weiner forgiveness dapat berlangsung sangat baik apabila pelaku meminta maaf secara tulus dan sungguh-sungguh. Chapman dan Thomas (2006) mengemukakan bahwa ada lima cara utama individu meminta maaf yaitu pengungkapan penyesalan, mau tanggung jawab, melakukan perbaikan, berjanji tidak mengulangi lagi dan meminta maaf. 2.5.2. Dimensi Apology Apology dapat diungkapkan dengan berbagai cara. Chapman dan Thomas dalam bukunya The Five Languages of Apology (2006), mengatakan bahwa apology meliputi lima ungkapan berikut ini: 1.
Penyesalan Mengekspresikan penyesalan adalah ketika individu menyadari bahwa dirinya sudah melakukan kesalahan sehingga sesuatu yang buruk dan menyakitkan
telah
terjadi.
Bentuk
yang
paling
umum
untuk
mengekspresikan penyesalan adalah ketika seseorang mengatakan kalimat
36
sederhana, "Aku menyesal". Mengekspresikan penyesalan juga termasuk pengungkapan rasa empati pelaku terhadap pihak yang tersakiti. 2.
Mau bertanggung jawab Mau bertanggung jawab adalah kemampuan bagi individu untuk mengakui kesalahannya dan kesediaan untuk menanggung akibat buruk yang ia timbulkan. Individu yang dapat bertanggung jawab menunjukan bahwa dirinya tulus untuk meminta maaf dan layak untuk dimaafkan.
3.
Melakukan perbaikan Melakukan perbaikan atau membuat restitusi adalah ketika pihak yang bersalah bertanya: "Apa yang bisa saya lakukan untuk membuat keadaan ini membaik?". Membuat restitusi membutuhkan komunikasi dua arah, pihak yang bersalah harus mendapat jawaban dan arahan dari pihak yang disakiti untuk melakukan perbaikan.
4.
Berjanji tidak mengulangi lagi Tidak mengulangi lagi / benar-benar bertobat adalah ketika individu yang melakukan pelanggaran tersebut melakukan
usaha terbaik untuk
mengubah perilaku mereka. Pertobatan meliputi rasa menyesal yang dapat mengubah pikiran seseorang yang kemudian menjadi itikad baik untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. 5.
Meminta maaf Yang terakhir adalah meminta maaf, yaitu setelah seseorang mampu untuk mengakui kesalahannya, menanggung akibat, melakukan perbaikan dan
37
berusaha tidak mengulangi lagi. Pihak yang bersalah memohon agar diberikan maaf oleh pihak yang tersakiti. Seperti halnya forgiveness, apology juga sangatlah penting. Memaafkan membutuhkan kelengkapan dalam pikiran, perasaan dan tingkah laku, demikian pula apology. Apology yang dilakukan oleh pihak yang bersalah akan dilihat dan dinilai oleh pihak yang tersakiti sebagai bentuk empati dan ketulusan yang dapat dipercaya sehingga pihak yang tersakiti merasa layak untuk memberikan maaf. 2.5.3. Pengukuran Apology Pengukuran apology dilakukan dengan menggunakan alat ukur berupa item-item yang dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek yang dijabarkan oleh Chapman dan Thomas (2006). Aspek yang ada sebanyak lima dimensi yaitu, penyesalan, kemauan bertanggung jawab, kemauan memperbaikai keadaan, tidak megulangi kesalahan yang sama dan meminta maaf. Kemudian berdasarkan aspek-aspek tersebut peneliti menyusun item sebanyak sepuluh butir. Alat ukur ini digunakan untuk merangkum penilaian atau laporan individu mengenai apology yang dilakukan pasangannya.
2.6.
Kepribadian
2.6.1. Definisi Kepribadian Eysenck (dalam Alwisol, 2009) mendefinisikan kepribadian sebagai keseluruhan dari pola perilaku yang aktual atau potensial pada mahluk hidup. Kepribadian ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan yang berasal dan berkembang melalui interaksi fungsional dari empat faktor utama yaitu faktor kognitif
38
(kecerdasan), faktor konatif (karakter), faktor afektif (temperamen) dan faktor somatik (konstitusi). Pervin (dalam Mischel, Shoda & Smith, 2003) menjelaskan kepribadian adalah organisasi yang kompleks dari kognisi, efek, dan perilaku yang memberikan arah dan pola (koheren) untuk kehidupan seseorang. Seperti tubuh, kepribadian terdiri dari kedua struktur dan proses dan mencerminkan sifat (gen) dan nature (pengalaman). Selain itu, kepribadian termasuk efek dari masa lalu, memori tentang masa lalu, serta konstruksi masa kini dan masa depan. Selanjutnya definisi kepribadian menurut Allport (dalam Mischel et al., 2003) adalah organisasi dinamis yang terdapat di dalam individu atas sistemsistem psikofisis yang menentukan penyesuaian dirinya yang khas terhadap lingkungannya. Berdasarkan berbagai definisi kepribadian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah pola yang menetap / konsisten berkaitan dengan bagaimana individu mempresepsikan dan berpikir tentang dirinya dan lingkungannya dalam berbagai konteks. 2.6.2. Definisi Kepribadian Model HEXACO Kepribadian model HEXACO merupakan alternatif dari Big-Five Factors. Model baru ini konsisten saat diujikan lintas budaya. klasifikasi kepribadian HEXACO dibagi menjadi enam dimensi yaitu honesty-humility (H), emotionality (E), extraversion (X), agreeableness (A), conscientiousness (C), dan openness to experience (O) (Ashton & Lee, 2007).
39
Kepribadian model HEXACO juga memprediksi beberapa fenomena kepribadian yang tidak dijelaskan dalam Big-Five Factors model, termasuk hubungan faktor kepribadian dengan konstruks biologi dan pola perbedaan jenis kelamin dalam ciri-ciri kepribadian. Selain itu, terdapat tiga dimensi yaitu kepribadian honesty-humility, emotionality dan agreeableness yang mengukur tingkat altursm dan empati individu, dimana sikap altursm dan empati berkorelasi dengan forgiveness. Sehingga tipologi kepribadian HEXACO sangat sesuai dengan konteks forgiveness. 2.6.3. Dimensi Kepribadian HEXACO Aston dan Lee (2007) mengungkapkan bahwa kepribadian itu dapat dikelompokan dalam enam kategori berikut ini: a.
Honesty-Humility
(kejujuran-kerendahan
hati)
yaitu
kecenderungan
individu untuk bersikap adil dan tulus dalam bekerja sama, dalam bekerjasama dengan orang lain ia bisa saja dimanfaatkan tetapi ia tidak terdorong untuk membalas dendam. Seseorang yang memilki level honesty-humility yang tinggi memiliki kelebihan yaitu menurunnya resiko dimanfaatkan oleh orang lain dan juga rendahnya resiko kehilangan karena pemutusan kerjasama. (Aston & Lee, 2007). b.
Emotionality (emosional) yaitu individu yang tidak hanya sebatas dapat berempati tetapi juga dapat membentuk kedekatan emosional dengan orang lain. Selain, itu juga menunjukan pribadi yang sering menolak dan senang ditolong (Aston & Lee, 2007).
40
c.
Extraversion adalah individu yang menyenangi hal-hal berbau sosial seperti bersosialisasi, kepemimpinan dan hiburan (Aston & Lee, 2007). Individu dengan skor tinggi pada trait Extraversion memiliki ciri pribadi yang ramah, hangat dan asertif (Friedman & Schustack, 2008) serta cenderung penuh kasih sayang, senang berbicara, dan menyenangkan (Feist & Feist, 2010).
d.
Agreeableness adalah individu yang mempunyai kecenderungan untuk memaafkan dan toleran terhadap orang lain, dapat bekerja sama dengan orang lain walau ia merasa telah dimanfaatkan. Individu dengan skor tinggi memiliki sikap bertahan lama bekerjasama pada orang lain dan resiko untuk dimanfaatkan orang lain (Aston & Lee, 2007). Individu dengan skor tinggi pada trait agreeableness memiliki ciri pribadi yang jujur, mudah percaya, suka menolong dan rendah hati (Friedman & Schustack, 2009). Mereka yang memiliki skor rendah biasanya pelit, mudah kesal, curiga dan penuh kritik terhadap orang lain (Feist & Feist, 2010).
e.
Conscientiousness adalah individu yang menyenangi hal-hal yang berhubungan dengan tugas seperti pekerjaan, perencanaan dan organisasi (Aston & Lee, 2007). Individu dengan skor tinggi pada trait conscientiousness memiliki ciri pribadi yang kompeten, hati-hati, tekun dan ambisius (Friedman & Schustack, 2009) serta cenderung lebih terkontrol, fokus pada pencapaian dan memiliki disiplin diri yang tinggi (Feist & Feist, 2010).
41
f.
Openness to Experience adalah individu yang suka dengan hal-hal berkaitan dengan ide seperti belajar, berfikir dan imajinasi (Aston & Lee, 2007). Individu dengan skor tinggi pada trait openness to experience memiliki ciri pribadi yang imajinatif, estetis, toleran, dan penuh keingintahuan intelektual (Friedman & Schustack, 2009). Sebaliknya, mereka dengan skor rendah biasanya konvensional, rendah hati, dan konservatif (Feist & Feist, 2010).
Tabel 2.2 Dimensi Kepribadian HEXACO (Aston dan Lee, 2007) Dimensi
Interpretasi
Contoh Sifat
Kelebihan Individu dengan Skor Tinggi
Kelebihan Individu dengan Skor Rendah Tidak memiliki tindakan untuk melawan ketika mendapatkan serangan dari orang lain
Saling tolongmenolong (Adil, jujur)
Jujur, tulus, rendah hati
Mudah diajak kerjasama (saling membantu dan tidak agresif)
Emotionality
Menolong sekitar
Empati/ kelekatan, menghindari bahaya, suka membantu
Kelangsungan hidup kerabat (terutama keturunan) dan kelangsungan hidup pribadi
Extraversion
Keterlibatan dalam usaha sosial
Kemampuan bersosialisasi, jiwa pemimpin
Manfaat terhadap sosial (teman, pasangan, musuh)
Agreeableness
Saling tolongmenolong (toleransi)
Toleransi, pemaaf, penonjolan diri
Mudah diajak berkerjasama (saling membantu dan tidak agresif)
Conscientiousness
Keterlibatan dalam usahanya dengan tugas
Rajin, terencana, terorganisasi
Keuntungan materi (peningkatan penggunaan sumber daya), mengurangi risiko
Energi dan waktu
Openness to Experience
Keterlibatan dalam usahanya dengan tugas
Ingin tahu, imajinatif
Keuntungan materi dan sosial
Energi dan waktu, resiko dari lingkungan sosial
Honesty-Humility
Kehilangan potensi yang berhubungan dengan diri dan kerabat. Energi dan waktu, resiko dari lingkungan sosial Mengalami kerugian karena sering di manfaatkan orang lain
42
2.6.4. Pengukuran Kepribadian HEXACO Personality Inventory Revised (HEXACO-PI-R) oleh Aston dan Lee (2007) terdiri dari 60 item. HEXACO-PI-R mengukur skor kepribadian yang diklasifikasikan dalam enam kategori yaitu honesty-humility (H), emotionality (E), extraversion (X), agreeableness (A), conscientiousness (C), dan openness to experience (O). Masing-masing kategori diukur dengan sepuluh item berupa pernyataan-pernyataan yang dihadirkan dalam skala likert.
2.7.
Gender
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) kata gender berarti jenis kelamin. Gender adalah kata homograf dalam bahasa Indonesia yang memiliki arti: hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia (Wikipedia, 2010). Dalam Webster’s New World, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku, sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakterisk emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (dalam Setiawan, 2012). Seperti yang telah disinggung di atas, gender dapat memengaruhi berbagai perilaku, termasuk perilaku memaafkan. Para peneliti telah banyak melakukan study dan menemukan pengaruh gender terhadap forgiveness. Berdasarkan penelitian Heavey, Layne, dan Christensen (dalam Fincham et al., 2004), perbedaanan gender yang lebih mendasar mencerminkan respon terhadap konflik
43
pernikahan bukan reaksi dasar dalam memaafkan. Perempuan memiliki kecenderungan lebih sering mengungkit kesalahan dan mendiskusikannya dibandingkan pria. Akibatnya, sering kali istri yang menaikan isu-isu permasalahan sebagai diskusi dan yang mengambil peran untuk memulai diskusi tentang masalah (demand), sedangkan suami lebih sering berada dalam peran untuk menghindari diskusi (withdraw). Dalam konteks ini, tingginya intesi suami untuk menghindari diskusi maka akan menjadi bahan bakar yang menyebabkan siklus destruktif dari demand-withdraw, kemudian mengarah pada perdebatan yang tidak efektif. Sejalan dengan temuan sebelumnya oleh Gonzales et al., (dalam Fincham et al., 2002) pria dan wanita cenderung berbeda dalam merespon konflik / bereaksi secara afektif maupun konitif lalu kemudian berefek secara langsung ataupun tidak langsung terhadap forgiveness. Wanita melaporkan lebih banyak perasaan marah, rusaknya hubungan dan kesulitan untuk memaafkan sedangkan pria menunjukan hanya sedikit perubahan saat intervensi dilakukan dalam penelitian mengenai forgiveness. Sebuah penelitian eksperimental oleh Wade dan Goldman (2006) membagi subjek penelitian dalam komposisi kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemudian masing-masing kelompok diberikan intervensi untuk memengaruhi kemampuan memaafkan. Penelitian ini membuktikan bahwa perempuan lebih dapat menurunkan rasa dendam dibanding laki-laki. Karena laki-laki lebih sulit untuk melakukan empati terhadap individu yang telah menyakitinya.
44
2.8.
Usia
Usia didasarkan pada teori perkembangan psikososial oleh Erikson (dalam Papalia et al., 2008) yang berkaitan dengan prinsip-prinsip perkembangan psikologi dan sosial. Teori ini merupakan bentuk pengembangan dari teori psikoseksual yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. Erikson membagi tahapan perkembangan psikososial menjadi delapan tahapan seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini. Tabel 2.3 Tahapan Perkembangan Psikososial Erikson Tahap
Perkiraan Usia
Krisis Psikososial
I
12 - 18 bulan
Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
II
12/18 bulan - 3 tahun
Autonomy vs Doubt (kemandirian vs keraguan)
III
3 tahun – 6 tahun
Initiative vs Guilt (inisiatif vs rasa bersalah)
IV
6 tahun – pubertas
V
Puber - dewasa muda
VI
VII
VIII
Dewasa muda (± 18 tahun – 40 tahun)
Industry vs Inferiority (ketekunan vs rasa rendah diri) Identity vs Role Confusion (identitas vs kekacauan identitas) Intimacy vs Isolation (keintiman vs isolasi)
Dewasa madya (± 40
Generativity vs Self Absorption (generativitas
tahun – 65 tahun)
vs stagnasi)
Dewasa akhir / tua (±
Integrity vs Despair (integritas vs
65 ke atas)
keputusasaan)
*sumber: Papalia, 2008
Karena penelitian akan dilakukan pada subjek dengan usia antara 21 tahun (untuk perempuan) / 23 tahun (untuk laki-laki) sampai 60 tahun saja, maka yang dipakai hanya tahap perkembangan ke VI dan VII saja, yaitu usia dewasa muda dan dewasa madya, dengan penjelasan sebagai berikut:
45
a.
Dewasa Muda Akhir usia belasan sampai usia dua puluhan, individu memasuki usia dewasa muda, dimana menurut Erik Erikson (dalam Miller, 2012), individu tersebut memasuki periode perkembangan "intimacy vs isolation". Pada usia ini, Erikson beranggapan, bahwa kita belajar bagaimana membentuk hubungan intim yang dilakukan menjadi abadi.
b.
Dewasa Madya Saat ini frekuensi bergaul dengan teman dan manambah jumlah teman akan berkurang, terutama pertemanan dengan lawan jenis, karena individu telah terlibat hubungan pernikahan dan berkeluarga, memiliki banyak teman dan menghabiskan banyak waktu bersama teman dinilai sebagai perilaku yang beresiko (dalam Miller, 2012). Variabel usia dalam konteks forgiveness sering diperhitungkan, salah
satunya dalam penelitian Enright dan Sobkoviak (dalam Girard & Mullet 1997) yang menemukan bahwa kecenderungan memaafkan akan membentuk fungsi menanjak saat disandingkan dengan variabel usia. Kemudian Helb dan Enright (dalam Girard & Mullet 1997) juga menyatakan bahwa kecenderungan memaafkan dipengaruhi oleh kematangan, semakin matang semakin mudah untuk memaafkan. Menurut Markman (2012) ada tiga hal yang dapat menjadi alasan mengapa usia dapat memengaruhi forgiveness, yaitu:
46
1.
Orang dewasa cenderung lebih religius ketika mereka semakin tua. Orangorang yang religius cenderung mengampuni orang lain lebih sering daripada mereka yang tidak religius.
2.
Studi menunjukkan bahwa orang dewasa yang lebih tua mengalami interaksi negatif yang lebih sedikit daripada orang dewasa muda. Selain itu, karena pengalaman hidup mereka, orang dewasa madya tidak seperti orang dewasa muda yang mudah marah dalam interaksi negatif.
3.
Orang dewasa yang lebih tua memiliki skor agreeableness yang lebih tinggi dan skor neurotisme yang lebih rendah daripada orang dewasa muda.
Faktor-faktor di atas menjadi kombinasi yang membuat individu dengan usia dewasa madya lebih mudah untuk memaafkan orang lain daripada individu dengan usia dewasa muda.
2.9.
Kerangka Berpikir
Secara umun harapan seseorang untuk menikah adalah mendapatkan kebahagiaan dengan pernikahan yang kekal dan harmonis. Namun kenyataannya harapanharapan dalam pernikahan tersebut tidak selalu mudah untuk diwujudkan. Hambatan dalam mewujudkan harapan muncul ketika permasalahan hadir ditengah kehidupan pernikahan. Masalah terjadi ketika
pasangan melakukan
kesalahan yang sangat mungkin menyebabkan seorang individu merasa sakit hati (Fincham et al., 2004), permasalahan semacam ini sering juga disebut konflik. Merosotnya nilai pernikahan, membuat perceraian seringkali dipilih sebagai jalan keluar bagi pasangan yang menghadapi konflik, khususnya pada masyarakat
47
Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan tercatatnya Indonesia sebagai negara dengan perceraian tertinggi se-Asia-Pasifik (BKKBN, 2013). Padahal masih ada jalan lain untuk menemukan resolusi konflik, forgiveness dapat menjadi salah satu alternatifnya. Forgiveness adalah rendahnya dorongan seseorang untuk menghindar dan membalas dendam, dan tingginya dorongan untuk berbuat positif pada pihak yang telah menyakitinya (McCullough et al., 1997). Pemaafan dalam pernikahan adalah bentuk perbaikan bagi sebuah hubungan, melepaskan rasa sakit dan marah serta menyembuhkan luka emosional (Dblasio & Proctor dalam Fincham et al., 2006). Setidaknya apabila pasangan hendak bercerai pun maka pemaafan akan membebaskan individu dari beban rasa sakit yang disebabkan oleh pasangannya. Selain manfaat forgiveness dalam meredam konflik, forgiveness juga memiliki manfaat lainnya. Agar pasangan menikah memperoleh kebahagiaan, pasangan perlu menghadirkan forgiveness karena forgiveness dapat meningkatkan kepuasan pernikahan (Fincham et al., 2006). Forgiveness sangat diperlukan dalam pernikahan karena dapat menghadirkan perubahan positif, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, mengembalikan sense of personal power dari orang yang tersakiti, membantu mewujudkan rekonsiliasi antara orang yang tersakiti dan orang yang menyakiti, dan meningkatkan harapan untuk menemukan solusi dari konflik dalam hubungan interpersonal (Philpot, 2006). Manfaat forgiveness begitu banyak sehingga membuatnya penting untuk selalu hadir dalam hubungan interpersonal apapun, khususnya dalam pernikahan.
48
Selain mengetahui manfaat dari forgiveness, penting untuk mengetahui berbagai faktor yang memengaruhi forgiveness dalam pernikahan. Banyak penelitian yang telah berusaha untuk menjelaskan bagaimana proses forgiveness itu terjadi dan hal apa saja yang dapat memengaruhinya. Faktor pertama yang dapat mempermudah seseorang memaafkan pasangan yaitu kualitas hubungan atau sering juga disebut relationship quality, relationdeterminant, marital quality, atau relationship-level. Menurut Guldner dan Swensen (1992) kualitas hubungan terdiri dari empat dimensi, yaitu trust, intimacy, commitment dan satisfaction. Kemudian McCullough et al. (1998) merangkum berbagai penelitian dengan hasil dimensi closeness, satisfaction dan commitment berpengaruh positif terhadap forgiveness. Masing-masing dimensi menunjukan hubungan sedang sampai kuat terhadap forgiveness. Faktor kedua, faktor eksternal yang dapat mempercepat proses forgiveness adalah apology. Rasa percaya pihak yang tersakiti sangat mungkin dikembalikan apabila dari pihak yang bersalah secara aktif melakukan tindakan apology. Apology adalah salah satu bentuk altruism untuk membantu menyembuhkan pihak yang tersakiti. Apology memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap forgiveness, seseorang lebih mudah memaafkan setelah ia mendengar pengakuan dari pasangannya (Strang et al., 2014). Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap forgiveness adalah kepribadian. Secara keseluruhan kepribadian memiliki fungsi sebagai penentu sikap dan perilaku seseorang, termasuk untuk melakukan forgiveness. Teori kepribadian oleh Ashton dan Lee (2007) dengan enam dimensi kepribadian yaitu honesty-
49
humility
(H),
emotionality
(E),
extraversion
(X),
agreeableness
(A),
conscientiousness (C), dan openness to experience (O) dipilih karena klasifikasi kepribadian HEXACO telah dilengkapi dengan dimensi-dimensi yang mengukur tingkat altursm dan empati seseorang, dimana kedua hal itu memiliki korelasi terhadap forgiveness. Ashton et al. tahun 1998 (dalam Neto & Mullet, 2004) menemukan bahwa kepribadian agreeableness berkorelasi positif dengan forgiveness, sedangkan emotionality berkorelasi negatif dengan forgiveness. Kemudian Caperton (2008) telah merangkum penelitian-penelitian yang memeriksa hubungan big five dengan forgiveness,
ditemukan
bahwa
kepribadian
extraversion,
openness,
dan
conscientiousness tidak memiliki korelasi dengan forgiveness. Kemudian dalam penelitian Hafnidar (2013) juga diketahui bahwa individu dengan skor extraversion dan agreeableness yang tinggi memiliki skor forgiveness yang tinggi pula. Selain ketiga faktor psikologis tersebut, terdapat pula faktor demografi yang turut menyumbangkan penjelasan mengenai forgiveness yaitu gender dan usia. Penelitian Girard dan Mullet (1997) menemukan perbedaan tingkat dan proses forgiveness berdasarkan usia, hasilnya semakin matang usia sesorang, forgiveness semakin meningkat sehingga terlihat lebih jelas. Lain halnya yang diteliti oleh Wade dan Goldman (2006), mereka meninjau forgiveness dengan gender sebagai prediktornya, kemudian membuktikan bahwa perempuan lebih dapat menurunkan rasa dendam dibanding laki-laki.
50
Pembahasan di atas ialah berbagai faktor yang memengaruhi perilaku seseorang dalam melakukan forgiveness. Selanjutnya, peneliti ingin meneliti apakah faktor kulaitas hubungan, apology, tipe kepribadian HEXACO, beserta faktor demografi berupa gender dan usia memiliki pengaruh terhadap forgiveness dan faktor mana yang memiliki pengaruh paling besar yang memunculkan forgiveness dalam pernikahan. Kualitas Hubungan Trust Intimacy Commitment Satisfaction
Apology Kepribadian Honesty-Humility Emotionality Extraversion Agreeableness Conscientiousness Openness to experience
Faktor Demografi Gender Usia
Gambar 2.2 Kerangka Berfikir
Forgiveness dalam Pernikahan
51
2.10.
Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat apakah tinggi rendahnya forgiveness yang merupakan dependent variable bergantung pada tinggi rendahnya skor pada independent variable yang ditetapkan dalam penelitian ini yaitu kualitas hubungan, apology, kepribadian, dan faktor demografi. Bunyi hipotesis mayornya yaitu “ada pengaruh yang signifikan kualitas hubungan, apology, kepribadian, dan faktor demografi berupa usia dan gender terhadap forgiveness dalam pernikahan”. Selanjutnya hipotesis minor penelitian ini adalah: Ha1:
Ada pengaruh signifikan trust terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Ha2:
Ada pengaruh signifikan intimacy terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Ha3:
Ada pengaruh signifikan commitment terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Ha4:
Ada pengaruh signifikan satisfaction terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Ha5:
Ada pengaruh signifikan apology terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Ha6:
Ada pengaruh signifikan honesty-humility terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Ha7:
Ada pengaruh signifikan emotionality terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Ha8:
Ada pengaruh signifikan extraversion terhadap forgiveness dalam pernikahan.
52
Ha9:
Ada pengaruh signifikan agreeableness terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Ha10: Ada pengaruh signifikan conscientiousness terhadap forgiveness dalam pernikahan. Ha11: Ada pengaruh signifikan openness to experience terhadap forgiveness dalam pernikahan. Ha12: Ada pengaruh signifikan gender terhadap forgiveness pada dalam pernikahan. Ha13: Ada pengaruh signifikan usia terhadap forgiveness pada dalam pernikahan.
BAB 3 METODE PENELITIAN Bab ini berisi pemaparan tentang populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi operasional variabel, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, teknik analisis data, dan prosedur pengumpulan data. 3.1.
Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah orang yang telah terikat pernikahan heteroseksual dengan status ekonomi menengah ke atas (gaji di atas UMR). Dengan demikian setiap anggota popolasi diharapkan memiliki pendidikan dan penghasilan yang mencukupi sehingga meminimalisir bias. Dengan begitu, peneliti dapat melihat lebih jelas pengaruh IV terhadap DV tanpa adanya bias dari pengaruh sosial ekonomi terhadap DV. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 200 orang. Responden adalah perempuan dengan usia minimal 20 tahun dan laki-laki dengan usia minimal 25 tahun. Ini dimaksudkan untuk mendapat respon dari kalangan yang sudah siap menjalani pernikahan, sesuai dengan usia ideal menikah dari BKKBN. Pengambilan sampel dilakukan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. Pengambilan sampel pada penelitian ini bersifat non probability sampling yang berarti kemungkinan terpilihnya anggota populasi yang akan menjadi sampel tidak dapat ditentukan. Lebih spesifik lagi, peneliti menggunakan accidental sampling dengan cara memilih sampel yang mudah ditemui untuk menjadi responden, dengan alasan tidak adanya data yang diperoleh mengenai populasi dan orang yang dipilih betul-betul memiliki kriteria sebagai sampel.
53
54
3.2.
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel terbagi menjadi dua macam, yaitu variabel terikat (Dependent Variable) dan variabel bebas (Independent Variable). Dependent variabel dalam penelitian ini adalah forgiveness dalam pernikahan, dan independent variable penelitian ini adalah kualitas hubungan yang terdiri dari trust, intimacy, commitment dan satisfaction, apology, kepribadian yang terdiri dari enam dimensi yaitu honestyhumility
(H),
emotionality
(E),
extraversion
(X),
agreeableness
(A),
conscientiousness (C), dan openness to experience (O) yang biasa disingkat HEXACO. Selain itu faktor demografi yaitu usia dan gender akan ikut dianaliasis pengaruhnya terhadap forgiveness dalam pernikahan. Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan pada suatu variabel atau konstruk dengan cara memberikan arti, menspesifikasikan kegiatan, atau memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur konstruk atas variabel tersebut. Definisi operasional dari variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1.
Dependent Variabel : Forgiveness dalam pernikahan Definisi operasional :
Forgiveness
dalam
penelitian
ini
adalah
peningkatan motivasi prososial setelah terjadi konflik dalam pernikahan seseorang. Forgiveness ditandai dengan rendahnya keinginan membalas dendam (retaliation ) dan menjauhi pasangan (avoidance), serta tingginya keinginan untuk memperbaiki hubungan (benevolence).
55
2.
Independent Variabel : Kualitas hubungan Definisi operasional : Kualitas hubungan adalah persepsi individu mengenai seberapa baik interaksi suami istri dalam pernikahannya yang terlihat dari dimensi-dimensi yang menentukannya, yaitu: a. Trust adalah harapan dan keyakinan individu pada kebaikan pasangannya yang membuat komunikasi keduanya lancar sehingga jauh dari perasaan curiga. b. Intimacy adalah kedekatan emosional yang didapat dari pikiran dan perasaan yang saling dibagi sehingga timbul saling pengertian. c. Commitment
adalah
harapan
dan
usaha
untuk
menjaga
keberlangsungan hubungan untuk selamanya yang ditandai dengan kesetian. d. Satisfaction adalah sejauhmana terpenuhinya harapan pernikahan sehingga timbul perasaan puas terhadap pernikahan. 3.
Independent Variabel : Apology Definisi operasional : Apology yang dimaksud peneliti adalah permintaan maaf dari pasangan karena telah menyakiti individu. Pengukuran dilakukan dengan melihat respon individu dalam melaporkan apology yang dilakukan oleh pasangannya saat atau sesudah berkonflik. Skor diukur dengan melihat lima aspek dari apology yaitu pengungkapan penyesalan, mau bertanggung jawab, melakukan perbaikan, berjanji tidak mengulangi lagi dan meminta maaf.
56
4.
Independent Variabel : Tipe kepribadian HEXACO Definisi operasional : Tipe
kepribadian
HEXACO
merupakan
pengembangan dan pembaharuan dari Big Five Factor Model. Ashton dan Lee (2004) telah mengembangkan klasifikasi kepribadian dalam enam kategori berikut ini: a. Honesty-Humility adalah karakteristik yang cenderung untuk saling menolong, tulus, adil dan mudah bekerjasama. b. Emotionality adalah karakteristik yang cenderung merasa takut, cemas, ketergantungan dan sentimentil namun dapat berempati dan mudah dekat dengan orang lain. c. Extraversion adalah karakteristik yang cenderung mampu menyatakan apa yang dia rasakan, percaya diri, dan pandai bersosialisasi. d. Agreeableness adalah karakteristik yang cenderung untuk memaafkan, toleran terhadap orang lain, fleksibel dan tidak agresif dalam bekerjasama. e. Conscientiousness adalah karakteristik yang cenderung terorganisir, tekun, perfeksionis, dan memiliki orientasi terhadap tugas / pencapaian. f. Openness to Experience adalah karakteristik yang cenderung kreatif, inovatif, imajinatif serta menyukai seni dan hal-hal yang baru. 5.
Independent Variabel : Variabel demografi berupa Gender dan Usia Definisi operasional :
Gender yang dimaksud adalah jenis kelamin
individu yaitu laki-laki atau perempuan. Kemudian usia individu akan digolongkan pada dewasa muda atau dewasa madya.
57
3.3.
Instrumen Penelitian
Bagian pertama yang wajib dimiliki instrumen penelitian adalah pengantar dan inform concent. Pengantar berisi mengenai penjelasan identitas peneliti dan maksud dari penelitian, sedangkan inform conscent berisi mengenai data diri sampel dan tanda tangan sebagai tanda kesediaannya menjadi responden dalam penelitian ini. Selanjutnya, terdapat empat alat ukur untuk mengukur variabel forgiveness, kualitas hubungan, apology dan kepribadian. Peneliti menggunakan skala model likert. Model ini terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif (unfavorable). Dalam penelitian ini terdapat empat skala pengukuran yang terdiri dari beberapa item yang dilengkapi dengan empat pilihan jawaban, yaitu ‘Sangat Setuju’ (SS), ‘Setuju’ (S), ‘Tidak Setuju’ (TS), ‘Sangat Tidak Setuju’ (STS). Peneliti memilih untuk menghilangkan pilihan netral untuk menghindari terjadinya pemusatan (central tendency). Keempat skala pengukuran berikut terdiri dari dua kategori yaitu pernyataan/item favorable dan unfavorable. Seluruh respon dari item ini diskoring dengan bobot nilai SS = 4, S = 3, TS = 2, dan STS = 1 untuk pernyataan favorable dan sebaliknya untuk penyataan unfavorable. Intrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari empat alat ukur. Adapun empat skala yang peneliti maksud yaitu: 1.
Skala Pengukuran Forgiveness Dalam penelitian ini bentuk alat ukur yang digunakan peneliti mengadaptasi dari Marital Forgiveness Scale Revised yang dibuat oleh Fincham, Beach dan Davila (2013). Skala ini disajikan dalam bentuk item-
58
item berupa pernyataan yang dapat diisi sendiri tanpa bantuan wawancara. Dalam skala ini variabel forgiveness dibagi dalam tiga dimensi, masingmasing dimensi diukur dengan tiga item. Tabel 3.1 Blueprint Skala Forgiveness Item Dimensi Forgiveness
Indikator Favorable
Unfavorable
Retaliation
Penuh rasa dendam dan keinginan membalas
-
3,6,8
Avoidance
Menghindar atau menarik diri (withdrawal)
-
1,4,5
Benevolence
Bersikap positif
2,7,9
-
Jumlah
9
*Aturan pepenilpenilaian: karena forgiveness ditandai dengan tingginya skor benevolence dan rendahnya skor avoidance dan retaliation, maka item 1,3,4,5,6, dan 8 akan dinilai selayaknya item unfovorable. 2.
Skala Pengukuran Kualitas Hubungan Dalam penelitian ini peneliti membuat skala pengukuran berdasarkan definisi dan dimensi-dimensi kualitas hubungan oleh Guldner dan Swensen (1995). Dalam skala ini variabel kualitas hubungan dibagi dalam empat dimensi, masing-masing dimensi diukur dengan lima item.
59
Tabel 3.2 Blueprint Skala Kualitas Hubungan Item
Dimensi Kualitas Hubungan Trust
Indikator
- Berharap dan yakin akan kebaikan dan kejujuran pasangan
Favorable
Unfavorable
13, 19, 5
2, 9
3, 10, 18
7, 14
1, 12, 17, 20
6
4, 16
8, 11, 15
- Mau terbuka tentang perasaan dan keinginannya Intimacy
- Dekat secara emosional sehingga menimbulkan kenyamanan dan saling memahami - Memiliki waktu untuk berbagi pikiran dan perasaan
Commitment
- Usaha dan dedikasi untuk mempertahankan pernikahan - Setia dengan pasangan
Satisfaction
- Terwujudnya harapan - Merasa puas pada pasanganya Jumlah
3.
20
Skala Pengukuran Apology Dalam penelitian ini peneliti membuat skala pengukuran berdasarkan definisi dan dimensi-dimensi apology oleh Chapman dan Thomas (2006).
60
Dalam skala ini variabel apology memiliki lima aspek, masing-masing aspek diukur dengan dua item. Tabel 3.3 Blueprint Skala Apology Item Dimensi Apology
Indikator Favorable
Unfavorable
Pasangan mengekspresikan penyesalan
1
6
Pasangan melakukan tanggung jawab dengan sungguh-sungguh
2
7
Pasangan melakukan perbaikan
3
8
Berjanji tidak mengulangi
Tidak mengulangi lagi / benar-benar bertobat
4
9
Meminta maaf
Meminta maaf dan menampilkan kerendahan hati
5
10
Ungkapan penyesalan
Kemauan bertanggung jawab
Melakukan perbaikan
Jumlah
4.
10
Skala Pengukuran Kepribadian Dalam penelitian ini bentuk alat ukur yang digunakan peneliti mengadaptasi dari HEXACO-PI-R yang dibuat oleh Ashton dan Lee (2007). Terdapat enam dimensi yang masing-masing diukur dengan sepuluh item.
61
Tabel 3.4 Blueprint Skala Kepribadian Item Dimensi Honesty-Humility
Indikator Favorable
Unfavorable
Tulus
6, 54
30
Adil
36
12, 60
Greed-Avoidance
18
42
Sederhana Emotionality
Extraversion
Agreeableness
Conscientiousness
24, 48
Penakut
5, 29
53
Pencemas
11
35
Ketergantungan
17
41
Sentimentil
23, 47
59
Berjiwa Sosial
4
28, 52
Pandai Bergaul
34, 58
10
Aktif
16, 40
Berani
22
Pemaaf
3, 27
Lembut
33, 51
9
Fleksibel
39
15, 57
Sabar
45
21
Terorganisir
2
26
Rajin
8
32
Perfeksionis
38, 50
14
46
Bijaksana Openness to Experience
20, 44, 56
Mengapresiasi Seni
25
1
Ingin Tahu
7
31
Kreatif
13
37, 49
Tidak Kuno
43
19, 55
Jumlah
60
62
3.4.
Uji Validitas Konstruk
Untuk menguji validitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan CFA (Confirmatory Factor Analysis). Dalam CFA (Confirmatory Factor Analysis), peneliti harus memiliki gambaran yang spesifik mengenai (a) jumlah faktor, (b) variabel yang mencerminkan suatu faktor, dan (c) faktor-faktor yang saling berkorelasi. Tahapan dalam CFA diawali dengan merumuskan model teoritis (hipotesis) tentang pengukuran variabel laten, kemudian model tersebut diuji kebenarannya secara statistik menggunakan data. CFA lebih tepat digunakan pada pengujian teori karena (a) langsung menguji teori dan (b) tingkat fit pada model dapat diukur dalam berbagai cara. Adapun logika dasar dari CFA adalah sebagai berikut: 1.
Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun suatu pertanyaan atau pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon (jawaban atas item-itemnya).
2.
Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja atau memberi informasi tentang faktor tersebut saja atau dengan kata lain bersifat unidimensional. Sebagai contoh, suatu konstruk psikologis yang disebut kemampuan berpikir analogis.
3.
Berdasarkan model unidimensional. Pada butir diatas, dapat disusun untuk sehimpunan persamaan matematis. Persamaan tersebut dapat digunakan
63
untuk memprediksi (dengan menggunakan data yang tersedia) matriks korelasi antar item (yang seharusnya diperoleh), jika korelasi antar item tersebut (unidimensional) benar. Matriks korelasi ini dinamakan sigma (∑). Kemudian, matriks ini akan dibandingkan dengan matriks korelasi yang diperoleh secara empiris dari data (disebut matriks S). Jika teori tersebut benar (unidimensional), maka seharusnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara elemen matriks ∑ dengan elemen matriks S. secara matematis dapat dituliskan: S - ∑ = 0. 4.
Pernyataan matematis inilah yang dijadikan hipotesis nihil yang akan dianalisis menggunakan CFA. Dalam hal ini, dilakukan uji signifikansi dengan Chi-square. Jika Chi-square yang dihasilkan tidak signifikan (nilai p > 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nilai yang menyatakan: “tidak ada perbedaan antara matriks S dan ∑” adalah tidak ditolak (diterima). Artinya, teori yang menyatakan bahwa seluruh item mengukur hanya satu faktor, dapat diterima kebenarannya (didukung oleh data). Sebaliknya, jika nilai Chi-square yang diperoleh signifikan, maka hipotesis nihil S - ∑ = 0 ditolak. Artinya, teori tersebut tidak didukung oleh data (ditolak). Dengan kata lain, analisis faktor konfirmatori dalam hal ini adalah pengujian terhadap hipotesis nihil (Ho) : S - ∑ = 0. Artinya, tidak ada perbedaan antara matriks korelasi yang diperoleh dari hasil observasi.
5.
Jika teori diterima (model fit), langkah selanjutnya adalah menguji hipotesis tentang signifikan tidaknya masing-masing item dalam
64
mengukur apa yang hendak diukur. Uji hipotesis ini dilakukan dengan ttest. Jika nilai t signifikan, berarti item yang bersangkutan adalah signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur. Dengan cara seperti ini, dapat dinilai butir item mana yang valid dan yang tidak valid didalam konteks validitas konstruk. 6.
Kemudian akan ditentukan item yang di-drop. Item harus di-drop jika memiliki t-value -1,96 ≤ t ≤ 1,96, karena itu menandakan bahwa item tidak valid. Item yang memiliki koefisien muatan faktor negatif juga di-drop karena mengukur hal yang berlawanan dengan konsep yang didefinisikan. Item dapat juga di-drop jika residualnya (kesalahan pengukuran) berkorelasi dengan banyak residual item yang lainnya, karena item tersebut mengukur juga hal lain selain konstruk yang hendak diukur. Adapun
pengujian
analisis
CFA
seperti
ini
dilakukan
dengan
menggunakan software LISREL 8.70 (Joreskog & Sorbom, 1999). Uji validitas tiap alat ukur akan dipaparkan pada sub bab berikut. 3.4.1. Uji Validitas Konstruk Forgiveness Peneliti menguji apakah sembilan item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur forgiveness. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 228,02 ; df =27, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,193. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti pada gambar dibawah ini:
65
Gambar 3.1 Hasil Analisis Faktor Konfirmatorik Forgiveness
Berdasarkan gambar 3.1, terlihat Chi–Square = 26,52 ; df = 18 ; P-value = 0,08840 ; RMSEA = 0,049. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu forgiveness. Untuk variabel berikutnya path diagram dicantumkan pada lampiran. Peneliti selanjutnya akan melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Jika ada item yang harus di-drop artinya item tersebut tidak ikut serta dianalisis. Pengujiannya dilakukan dengan langkah-langkah berikut : 1.
Melihat hipotesis setiap item signifikian (t < -1,96 atau t > 1,96) atau tidak signifikan (-1,96 ≤ t ≤ 1,96). Jika tidak signifikan maka item tersebut akan di-drop karena secara statistik tidak memberikan informasi yang bermakna.
2.
Item harus memiliki muatan faktor yang positif. Jika negatif maka item tersebut akan di-drop karena mengukur hal yang berlawanan dengan konsep penelitian.
66
3.
Terakhir, untuk men-drop sebuah item dapat dilakukan dengan melihat jumlah korelasi kesalahannya. Jika korelasi kesalahan item lebih besar dari lima (>5), maka item tersebut akan di-drop. Hal ini dilakukan karena item tersebut juga mengukur hal lain selain konstruk yang hendak diukur.
Hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.5 berikut: Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Forgiveness No. Item Koefisien 1 0,84 2 0,39 3 0,17 4 0,67 5 0,74 6 0,88 7 0,33 8 0,41 9 0,25
Standar Error 0,08 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07
Nilai t 10,89 5,37 2,47 9,70 10,37 11,96 4,79 5,49 3,67
Signifikan V V V V V V V V V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.5 dapat kita lihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Dengan demikian tidak perlu ada item yang di-drop. 3.4.2. Uji Validitas Konstruk Kualitas Hubungan 1.
Trust
Peneliti menguji apakah lima item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur trust. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 28,69 ; df = 5; P-value = 0,00003; RMSEA = 0,154. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
67
berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square = 6,94; df = 3; P-value = 0,07370; RMSEA = 0,081. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu trust. Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.6 berikut: Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Trust No. Item Koefisien
Standar Error
Nilai t
Signifikan
2
0,47
0,08
6,09
V
5
0,86
0,07
13,04
V
9
0,21
0,08
2,82
V
13
0,84
0,07
12,70
V
19
0,64
0,07
9,45
V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.6 dapat kita lihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Dengan demikian tidak perlu ada item yang di-drop. 2.
Intimacy
Peneliti menguji apakah lima item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur intimacy. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 38,17; df =3, P-value =
68
0,00000, RMSEA = 0,183. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model dengan Chi–Square = 4,48; df = 3; P-value = 0,21445; RMSEA = 0,50. Nilai Chi–Square menghasilkan Pvalue > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu intimacy. Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.7 berikut: Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Intimacy No. Item Koefisien 3 0,75 7 0,72 10 0,68 14 0,61 18 0,54
Standar Error 0,07 0,07 0,07 0,08 0,08
Nilai t 10,48 9,90 9,30 8,20 6,95
Signifikan V V V V V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.7 dapat kita lihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Dengan demikian tidak perlu ada item yang di-drop. 3.
Commitment
Peneliti menguji apakah lima item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur commitment. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan
69
dengan model satu faktor ternyata model langsung fit, dengan Chi–Square = 8,63 ; df =5, P-value = 0,12477, RMSEA = 0,060. Nilai Chi–Square menghasilkan Pvalue > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu commitment. Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.8 berikut: Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Commitment No. Item Koefisien Standar Error Nilai t 1 0,71 0,07 10,41 6 0,30 0,08 3,98 12 0,74 0,07 11,03 17 0,71 0,07 10,44 20 0,76 0,07 11,46 Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Signifikan V V V V V
Dari tabel 3.8 dapat kita lihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Dengan demikian tidak perlu ada item yang di-drop. 4.
Satisfaction
Peneliti menguji apakah lima item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur satisfaction. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 242,40 ; df =5; P-value = 0,00000; RMSEA = 0,488. Oleh karena itu, peneliti melakukan
70
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi– Square = 9,14 ; df = 4; P-value = 0,05763, RMSEA = 0,080. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu satisfaction. Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.9 berikut: Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Satisfaction No. Item Koefisien Standar Error 4 0,78 0,07 8 0,80 0,07 11 0,30 0,08 15 -0,30 0,08 16 0,69 0,07
Nilai t 11,43 11,65 3,97 -3,97 9,99
Signifikan V V V V V
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Dari tabel 3.9 dapat kita lihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan ada empat item dengan koefisien bermuatan positif. Namun untuk item 15 karena muatannya negatif maka dapat dikatakan item ini mengukur hal yang berlawanan dengan konsep yang didefinisikan. Dengan demikian item 15 perlu di-drop. 3.4.3. Uji Validitas Konstruk Apology Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur apology. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan
71
dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 432,82 ; df =35, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,239. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi– Square = 24,03 ; df = 6; P-value = 0,08889; RMSEA = 0,050. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu apology. Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.10 berikut: Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Apology No. Item Koefisien Standar Error Nilai t 1 0,11 0,07 1,51 2 0,63 0,08 7,68 3 0,56 0,07 7,87 4 0,57 0,07 8,39 5 0,45 0,07 6,46 6 0,70 0,07 10,59 7 0,79 0,07 11,86 8 0,77 0,07 11,50 9 0,66 0,07 9,48 10 0,69 0,07 10,13 Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Signifikan X V V V V V V V V V
Dari tabel 3.10 dapat kita lihat bahwa terdapat sembilan item yang signifikan (t >1,96) dan semua koefisien bermuatan positif. Namun pada item 1 nilai t < 1,96 sehingga item 1 perlu di-drop.
72
3.4.4. Uji Validitas Konstruk Kepribadian 1.
Honesty-humility
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur honesty-humility. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 137,62 ; df = 35, P-value = 0,00000, RMSEA = 0,121. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square = 40,81 ; df = 29 ; P-value = 0,07152 ; RMSEA = 0,045. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu honesty-humility. Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.11 berikut: Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Honesty-Humility No. Item 6 12 15 24 30 36 42 45 54 60
Koefisien 0,21 0,91 -0,05 0,56 0,54 0,39 0,48 0,61 0,41 0,78
Standar Error 0,07 0,06 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,06
Nilai t 3,11 14,59 -0,72 8,49 7,40 5,90 6,96 8,43 4,58 12,38
Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Signifikan V V X V V V V V V V
73
Dari tabel 3.11 dapat kita lihat bahwa terdapat sembilan item yang signifikan (t >1,96) dan sembilan item yang memiliki koefisien bermuatan positif. Namun pada item 15 nilai t < 1,96 dan muatan koefisiennya negatif sehingga item 15 perlu di-drop. 2.
Emotionality
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur emotionality. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 134,52 ; df =35; P-value = 0,00000; RMSEA = 0,120. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi– Square = 38,91 ; df = 31; P-value = 0,15561; RMSEA = 0,036. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu emotionality. Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.12 berikut:
74
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Emotionality No. Item Koefisien Standar Error Nilai t 5 0,45 0,08 5,40 11 0,23 0,09 2,68 17 0,38 0,08 4,55 23 0,18 0,09 2,06 29 0,71 0,09 8,23 35 -0,19 0,09 -2,22 41 -0,15 0,09 -1,73 47 0,60 0,08 7,11 53 0,12 0,09 1,43 59 -0,13 0,09 -1,48 Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Signifikan V V V V V V X V X X
Dari tabel 3.12 dapat kita lihat bahwa terdapat tujuh item yang signifikan (t >1,96) dan tujuh item yang memiliki koefisien bermuatan positif. Namun pada item 53 nilai t < 1,96; pada item 35 muatan koefisiennya negatif; pada item 41 dan 59 nilai t < 1,96 dan muatan koefisiennya negatif sehingga keempat item ini perlu di-drop. 3.
Extraversion
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur extraversion. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 208,54 ; df = 35 ; P-value = 0,00000 ; RMSEA = 0,158. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi– Square = 33,68 ; df = 22 ; P-value = 0,05294 ; RMSEA = 0,052. Nilai Chi– Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu extraversion.
75
Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.13 berikut: Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Extraversion No. Item Koefisien Standar Error Nilai t 4 0,45 0,08 5,64 10 -0,52 0,08 -6,73 16 0,23 0,08 2,93 22 0,72 0,07 9,91 28 0,45 0,08 5,65 34 0,30 0,08 3,56 40 0,22 0,08 2,65 46 0,20 0,09 2,25 52 0,47 0,08 5,71 58 0,53 0,08 6,68 Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Signifikan V V V V V V V V V V
Dari tabel 3.13 dapat kita lihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan ada sembilan item dengan koefisien bermuatan positif. Namun untuk item sepuluh karena muatannya negatif maka dapat dikatakan item ini mengukur hal yang berlawanan dengan konsep yang didefinisikan. Dengan demikian item sepuluh perlu di-drop. 4.
Agreeableness
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur agreeableness. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 141,12 ; df =35 ; P-value = 0,00000 ; RMSEA = 0,123. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada
76
beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square = 36,91 ; df = 28 ; P-value = 0,12093 ; RMSEA = 0,040. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu agreeableness. Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.14 berikut: Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Agreeableness No. Item Koefisien Standar Error Nilai t 3 0,46 0,08 5,80 9 0,13 0,07 1,92 15 0,20 0,07 2,79 21 0,15 0,07 2,19 27 0,83 0,11 7,78 33 0,39 0,08 5,09 39 0,19 0,07 2,68 45 0,30 0,07 4,13 51 0,78 0,12 6,27 57 0,33 0,08 4,05 Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Signifikan V X V V V V V V V V
Dari tabel 3.14 dapat kita lihat bahwa terdapat sembilan item yang signifikan (t >1,96) dan seluruh item yang memiliki koefisien bermuatan positif. Namun pada item 9 nilai t < 1,96 sehingga item 9 perlu di-drop. 5.
Conscientiousness
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur conscientiousness. Dari hasil awal analisis CFA yang
77
dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 114,66 ; df =35 ; P-value = 0,00000, RMSEA = 0,107. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square = 38,47 ; df = 26 ; P-value = 0,05477 ; RMSEA = 0,049. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu conscientiousness. Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.15 berikut: Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Conscientiousness No. Item
Koefisien
Standar Error
Nilai t
2 0,39 0,08 4,93 8 0,45 0,09 5,23 14 0,58 0,08 7,66 20 0,66 0,08 8,64 26 0,56 0,08 7,14 32 0,15 0,08 1,83 38 0,33 0,08 4,04 44 0,52 0,08 6,96 50 0,19 0,08 2,38 57 0,20 0,09 2,28 Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Signifikan V V V V V X V V V V
Dari tabel 3.15 dapat kita lihat bahwa terdapat sembilan item yang signifikan (t >1,96) dan seluruh item yang memiliki koefisien bermuatan positif. Namun pada item 32 nilai t < 1,96 sehingga item 32 perlu di-drop.
78
6.
Openness to Experience
Peneliti menguji apakah sepuluh item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur openness to experience. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor ternyata tidak fit, dengan Chi–Square = 98,07; df =35, P-value = 0,00000; RMSEA = 0,095. Oleh karena itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square = 39,91 ; df = 31 ; P-value = 0,13119 ; RMSEA = 0,038. Nilai Chi–Square menghasilkan P-value > 0,05 (tidak signifikan), yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima di mana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu openness to experience. Peneliti selanjutnya melihat apakah signifikansi item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur atau tidak, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di-drop atau tidak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian hipotesis tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai-t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.16 berikut: Tabel 3.16 Muatan Faktor Item Openness to Experience No. Item Koefisien Standar Error Nilai t 1 0,51 0,08 6,70 7 0,49 0,08 6,03 13 0,48 0,08 6,00 19 0,38 0,08 4,56 25 0,16 0,08 1,92 31 0,53 0,08 7,05 37 -0,42 0,08 -5,26 43 0,04 0,08 0,50 49 0,54 0,08 7,13 57 0,49 0,08 6,08 Keterangan: Tanda V = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Signifikan V V V V X V V X V V
79
Dari tabel 3.16 dapat kita lihat bahwa terdapat delapan item yang signifikan (t >1,96) dan sembilan item yang memiliki koefisien bermuatan positif. Namun pada item 25 dan 43 nilai t < 1,96; pada item 37 muatan koefisiennya negatif sehingga ketiga item ini perlu di-drop.
3.5. Teknik Analisis Data Untuk melihat pengaruh variabel-variabel independen terhadap forgiveness, peneliti menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression analysis). Pengolahan data dilakukan dengan analisa data secara statistik sebagai cara untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (independent variabel) yaitu: kualitas hubungan (trust, intimacy, commitment dan satisfaction), apology, kepribadian (honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience), gender dan usia terhadap variabel terikat (dependent variabel) yaitu forgiveness. Ada empat tahap yang akan dilakukan untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat (Pedhazur, 1997). Berikut ini adalah tahapannya: 1.
Peneliti menghintung konstan (a, Y = a +
+
+ … +
,
, …,
dari persamaan regresi
. Dengan begitu, peneliti dapat
menggunakan variabel-variabel untuk memprediksi Y partisipan. Dalam hal ini hipotesis yang akan diukur, peneliti menggunakan teknis analisis multiple regression atau analisis regresi berganda, dengan rumus: y = a + b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6+b7X7+b8X8+b9X9+ b10X10+ b11X11+b12X12+ b13X13+e
80
Keterangan: y = forgiveness a = konstan, intercept b = koefisien regresi X1 = trust X2 = intimacy X3 = commitment X4 = satisfaction X5 = apology X6 = honesty-humulity X7 = emotionality X8 = extraversion X9 = agreeableness X10 = conscientiousness X11 = opennes to experience X12 = gender X13 = usia e = residu (Hal yang memengaruhi DV diluar dari IV) 2.
Peneliti akan menghitung proporsi varians dari forgiveness yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen yang peneliti teliti, yaitu .
3.
peneliti akan menguji signifikansi dari hasil yang didapat. Jadi peneliti dapat mengetahui apakah regresi dari forgiveness atas 13 variabel signifikan secara statistik. Peneliti juga dapat mengetahui apakah koefisien regresi (b) dari persamaan regresi secara statistik berbeda dari nol. Terakhir, peneliti dapat menentukan relativitas pentingnya masingmasing variabel independen dalam menjelaskan forgiveness.
4.
Menilai apakah model regresi yang dihasilkan merupakan model yang paling sesuai (memiliki error terkecil), dibutuhkan beberapa pengujian dan analisis.
81
a. R² (RSquare, Koefisien Determinasi Berganda) Melalui regresi berganda ini akan diperoleh nilai R², yaitu nilai pengaruh kualitas hubungan (trust, intimacy, commitment, satisfaction), apology, kepribadian (honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience) serta gender dan usia terhadap forgiveness. R² digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh independent variable (X) terhadap dependent variable (Y) atau merupakan perkiraan proporsi varians dari IV. Untuk mendapatkan R², akan dilakukan perhitungan dengan sistem komputerisasi menggunakan SPSS 19.0. b. Uji F Untuk membuktikan signifikansi regresi Y pada X maka digunakan uji F. Berdasarkan hasil uji F, maka dapat dilihat pengaruh IV terhadap DV. Untuk membuktikan hal tersebut dilakukan uji F dengan sistem komputerisasi menggunakan SPSS 19.0. c. Uji T Uji t digunakan untuk melihat signifikansi pengaruh yang diberikan independent variable (X) terhadap dependent variable (Y) secara sendirisendiri atau parsial. Uji t ini digunakan untuk menguji kontribusi yang diberikan sebuah independent variable terhadap dependent variable. Penghitungan skor faktor pada tiap variabel tidak menjumlahkan item-item seperti pada umumnya, tetapi dihitung dengan menggunakan maximum likelihood, skor ini disebut true score. Item-item yang dianalisis oleh maximum likelihood adalah item yang bermuatan positif dan signifikan.
82
Adapun true score yang dihasilkan oleh maximum likelihood satuannya berbentuk Zscore. Untuk menghilangkan bilangan negatif dari Zscore, semua skor ditransformasi ke skala T yang semuanya positif dengan menetapkan harga mean = 50 dan standar deviasi = 15. Langkah selanjutnya adalah melakukan proses komputerisasi melalui formula Tscore = 50 + (15.z). Hasil uji t ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan SPSS 19.0.
3.6. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian ini meliputi tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data. Berikut penjelasannya: 1.
Tahap Persiapan a. Peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti. b. Peneliti menentukan variabel yang akan diteliti dan melakukan studi pustaka untuk mendapatkan landasan teori yang sesuai dengan variabel dalam penelitian. c. Peneliti menentukan subjek penelitian. d. Peneliti mempersiapkan alat pengumpulan data dengan menenetukan dan menyusun alat ukur atau instrument penelitian yang akan digunakan. Dalam penelitian ini terdapat empat skala yaitu skala kualitas hubungan, apology¸kepribadian dan forgiveness.
83
2.
Tahap Pelaksanaan a. Peneliti memperbanyak kuesioner penelitian untuk dibagikan kepada 250 orang yang sudah menikah dan memenuhi karakteristik populasi penelitian. b. Peneliti mempersiapan reward bagi responden yang berpartisipas. Reward dalam penelitian ini adalah leaflet (terlampir). c. Pengambilan data dilakukan pada 22 September 2014 hingga 10 Oktober 2014. Peneliti datang ke kantor-kantor kelurahan, ke sekolah dan perumahan untuk menemui langsung responden dan memberikan kuisioner. Ada juga instansi yang meminta agar kuesioner dan reward hanya diserahkan dan diambil pada beberapa hari kemudian.
3.
Tahap Pengolahan Data a. Peneliti menyebar kuesioner sebanyak 250 rangkap, dengan mengunakan teknik accidental sampling. Namun beberapa rangkap kuesioner tidak kembali pada peneliti, ada juga yang tidak lengkap pada bagian pengisian skala dan faktor demografi yang hendak dianalisis, sehingga hanya diperoleh 200 rangkap kuesioner yang dianggap sudah layak untuk tahap berikutnya. b. Peneliti melakukan skoring dengan membuat tabulasi terhadap hasil jawaban responden. c. Peneliti menganalisa jawaban responden dengan uji validitas konstruk (CFA) terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan analisis statistik multiple regression untuk menguji hipotesis.
84
4.
Tahap Penulisan Laporan a. Peneliti menjabarkan hasil uji validitas konstruk b. Peneliti menjabarkan hasil analisis data c. Peneliti membuat kesimpulan, diskusi dan saran.
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Pada bab ini, akan diuraikan mengenai karakteristik responden penelitian, deskripsi data, analisis data dan hasilnya.
4.1 Karakteristik Responden Penelitian Dalam sub bab ini dibahas mengenai karakteristik responden penelitian berdasarkan beberapa kriteria, yaitu usia, jenis kelamin, penghasilan, pekerjaan serta pendidikan responden. Responden dalam penelitian ini adalah 200 orang dengan status menikah yang berada di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. Berikut ini adalah tabel yang dapat menjelaskan karakteristik responden pada penelitian ini: Tabel 4.1 Tabel Karakteristik Responden Kriteria Gender Usia
Pekerjaan
Penghasilan
Pendidikan
Laki-laki Perempuan Dewasa Muda Dewasa Madya PNS Pegawai Swasta Wiraswasta Lain-lain 2,5 juta – 3,5 juta 3,5 juta – 7 juta Lebih dari 7 juta SMA S1 S2 S3
85
Jumlah
Persentase (%)
119 81 103 97 25 109 30 36 82 64 54 56 116 26 2
59.5 40.5 51.5 48.5 12.5 54.5 15.0 18.0 41.0 32.0 27.0 28.0 58.0 13.0 1.0
86
Tabel 4.1 menginformasikan banyak hal, berdasarkan kriteria gender dapat diketahui bahwa dari total 200 responden yang digunakan, ada 119 orang atau 59.5 % adalah laki-laki, sisanya yaitu 81 orang atau 40.5 % adalah perempuan. Kemudian berdasarkan kriteria usia dapat diketahui lebih banyak responden dengan kriteria usia dewasa muda yaitu 103 orang atau 51.5 %. Selanjutnya, berdasarkan pekerjaan diketahui mayoritas responden bekerja sebagai pegawai swasta yaitu sebanyak 109 orang atau 54.5%. Selain itu berdasarkan penghasilan, sebanyak 82 orang atau 41.0% responden yang berpenghasilan 2,5 juta-3,5 juta dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah S1 yaitu 116 orang atau 58.0%. Maka dapat disimpulkan bahwa responden dalam penelitian ini termasuk dalam golongan pendidikan dan penghasilan menengah ke atas. Dengan karakteristik seperti ini, diharapkan hasil yang didapat terhindar dari bias sosial ekonomi.
4.2 Hasil Analisis Deskriptif Hasil analisis deskriptif adalah hasil yang memberikan gambaran data penelitian. Dalam hasil analisis deskriptif ini akan disajikan minimum, maksimum, mean dan standar deviasi variabel serta kategorisasi tinggi dan rendahnya skor variabel penelitian. Berikut ini adalah tabel 4.2 yang berisi analisis deskriptif yang didapat dari output SPSS:
87
Tabel 4.2 Descriptive Statistics Variabel Trust Intimacy Commitment Satisfaction Apology Honesty Emotionality Extraversion Agreeableness Conscientiousness Openness Gender Usia Forgiveness Valid N (listwise)
N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200 200
17.55 11.29 8.27 13.66 14.48 1.48 25.11 16.03 -1.53 20.47 19.99 1.00 1.00 8.41
69.69 71.22 65.09 69.82 78.64 75.19 81.23 84.01 105.86 84.80 89.61 2.00 2.00 75.23
50.0000 50.0000 50.0000 50.0000 50.0000 50.0000 50.0000 50.0000 50.0000 50.0000 50.0000 1.6500 1.4850 50.0000
13.62555 13.04412 12.67067 12.76932 13.75950 13.23327 11.55018 12.34149 15.00000 12.41406 11.84384 .54680 .50103 13.67109
Berdasarkan penjelasan pada Bab 3, nilai mean dalam penelitian ini ditetapkan sebesar 50 dengan Standar Deviasi (SD) sebesar 15. Pada tabel 4.2 diketahui bahwa variabel trust memiliki nilai minimum 17.55; nilai maksimum 69.69; mean 50.0000 dan SD = 13.62555. Dan seterusnya untuk membaca informasi pada variabel lainnya. Kemudian dari informasi ini dapat dijabarkan mengenai katagorisasi variabel.
4.3 Kategorisasi Hasil Penelitian Kategorisasi variabel bertujuan untuk menempatkan individu ke dalam kelompokkelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang diukur. Kontinum jenjang ini contohnya adalah dari rendah ke tinggi yang akan peneliti gunakan dalam kategorisasi variabel penelitian. Sebelum mengkategorisasikan skor masing-masing variabel berdasarkan tingkat rendah dan tinggi, peneliti terlebih dahulu menetapkan norma dari skor dengan menggunakan
88
nilai mean dan standar deviasi pada tabel sebelumnya dan berlaku pada semua variabel. Adapun norma skor tersebut dapat digambarkan dalam tabel 4.3 di bawah ini : Tabel 4.3 Norma Skor Kategorisasi Kategori Rendah Tinggi
Rumus X<M X ≥M
Uraian mengenai gambaran kategorisasi skor masing-masing variabel penelitian disajikan pada tabel 4.4 sebagai berikut: Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian Variabel Trust Intimacy Commitment Satisfaction Apology Honesty-humility Emotionality Extraversion Agreeableness Conscientiousness Openness Forgiveness
* Total Frequency 200
Katagorisasi
Frequency
Precent
Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi
109 91 103 97 93 107 105 95 113 87 83 117 93 107 87 113 95 105 95 105 99 101 84 116
54.5 45.5 51.5 48.5 46.5 53.5 52.5 47.5 56.5 43.5 41.5 58.5 46.5 53.5 43.5 56.5 47.5 52.5 47.5 52.5 49.5 50.5 42.0 58.0
89
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa pada pada variabel pertama yaitu trust sebanyak 109 subjek (54.5%) termasuk pada kategori rendah dan 91 subjek (45.5%) termasuk pada kategori tinggi. Kedua, pada variabel intimacy sebanyak 103 subjek (51.5%) termasuk pada kategori rendah dan 97 subjek (48.5%) termasuk pada
kategori tinggi. Ketiga, pada variabel
commitment
sebanyak 93 subjek (46.5%) termasuk pada kategori rendah dan 107 subjek (53.5%) termasuk pada kategori tinggi. Keempat, pada variabel satisfaction sebanyak 105 subjek (52.5%) termasuk pada kategori rendah dan 95 subjek (47.5%) termasuk pada kategori tinggi. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa mayoritas subjek dalam penelitian ini memiliki skor trust, intimacy dan satisfaction yang rendah, serta commitment yang tinggi. Artinya lebih banyak subjek yang merasa hubungan mereka memiliki tingkat percaya, kedekatan dan kepuasan yang masih rendah, namun komitmen tetap terjaga. Selanjutnya kelima, pada variabel apology sebanyak 113 subjek (56.5%) termasuk pada kategori rendah dan 87 subjek (43.5%) termasuk pada kategori tinggi. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa mayoritas subjek dalam penelitian ini memiliki skor apology yang rendah. Artinya lebih banyak subjek yang merasa bahwa pasangannya tidak pernah / tidak lengkap dalam melakukan permintaan maaf. Keenam, pada variabel honesty-humility sebanyak 83 subjek (41.5%) termasuk pada kategori rendah dan 117 subjek (58.5%) termasuk pada kategori tinggi. Ketujuh, pada variabel emotionality sebanyak 93 subjek (46.5%) termasuk pada kategori rendah dan 107 subjek (53.5%) termasuk pada kategori tinggi.
90
Kedelapan, pada variabel extraversion sebanyak 87 subjek (43.4%) termasuk pada kategori rendah dan 113 subjek (56.5%) termasuk pada kategori tinggi. kesembilan, pada variabel agreeableness sebanyak 95 subjek (47.5%) termasuk pada kategori rendah dan 105 subjek (52.5%) termasuk pada kategori tinggi. Kesepuluh, pada variabel
conscientiousness sebanyak 95 subjek (47.5%)
termasuk pada kategori rendah dan 105 subjek (52.5%) termasuk pada kategori tinggi. Kesebelas, pada variabel
openness to experience sebanyak 99 subjek
(49.5%) termasuk pada kategori rendah dan 101 subjek (50.5%) termasuk pada kategori tinggi. Dengan demikian dapat terlihat bahwa mayoritas subjek dalam penelitian inii memiliki skor tinggi untuk keenam variabel kepribadian HEXACO. Terakhir diperoleh hasil persentase variabel forgiveness sebanyak 84 subjek (42%) pada kategori rendah dan 116 subjek (58%) pada kategori tinggi. Dengan demikian, dari hasil sebaran pada variabel forgiveness paling banyak berada pada kategori tinggi. Artinya subjek dalam penelitian ini termasuk dalam orang yang bisa melakukan pemaafan khususnya dalam pernikahan.
4.4 Uji Hipotesis Penelitian 4.4.1 Uji regresi berganda Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis penelitian dengan teknik analisis regresi berganda yang penghitungannya dibantu oleh software SPSS 19.0. Seperti yang sudah disebutkan pada BAB 3, dalam regresi ada tiga hal yang dilihat yaitu, melihat besaran R-square untuk mengetahui berapa persen (%) varians pada DV yang dijelaskan oleh IV, kedua apakah IV berpengaruh signifikan terhadap DV,
91
kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masingmasing IV. Langkah
pertama
peneliti
menganalisis
besaran
R-square
untuk
mengetahui berapa persen (%) varians pada DV yang dijelaskan oleh IV. Untuk tabel R-square, dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 4.5 Model Summary Model R 1 .647a
RSquare Adjusted Rsquare Std. Error Of The Estimate .418 .378 10.78420
Predictors: (Constant), Trust, intimacy, commitment, satisfaction, apology, honesty-humility, Emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience serta gender dan usia
Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa perolehan R-square sebesar 0.418. Artinya proporsi varians dari forgiveness yang dijelaskan oleh semua variabel independen adalah sebesar 41.8%, sedangkan 58.2% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Langkah kedua penguji menganalisis dampak dari seluruh IV terhadap forgiveness. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut : Tabel 4.6 Tabel Anova Model 1
Sum Of Squares
Df
Mean Square
Regression
15561.210
13
1197.016
Residual
21631.611
186
116.299
Total
37192.821
199
F 10.293
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Trust, intimacy, commitment, satisfaction, apology, honesty-humility, Emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience serta gender dan usia b. Dependent Variable: forgiveness
92
Jika melihat kolom signifikansi (p<0.05), maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan seluruh variabel independen terhadap forgiveness ditolak (H0 = ditolak). Artinya ada pengaruh yang signifikan trust, intimacy, commitment, satisfaction, apology, honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience serta gender dan usia terhadap forgiveness. Langkah ketiga adalah melihat koefisien regresi tiap independen variabel. Jika p<0.05 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti bahwa IV tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap forgiveness. Adapun penyajiannya ditampilkan pada tabel 4.7 berikut: Tabel 4.7 Koefisien Regresi Model 1 (Constant) Trust Intimacy Commitment Satisfaction* Apology* Honesty Emotionality Extraversion* Agreeableness Conscientiousness Opennestoexperience Gender Usia Dependent Variable: forgiveness Keterangan : * = signifikan
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta 6.001 6.778 -.085 .078 -.084 .113 .109 .108 .058 .093 .054 .322 .104 .301 .151 .072 .152 .130 .079 .126 -.097 .073 -.082 .154 .073 .139 -.006 .060 -.006 .000 .079 .000 .094 .074 .081 -1.763 1.473 -.070 2.312 1.582 .085
T
Sig.
.885 -1.085 1.037 .623 3.095 2.081 1.643 -1.333 2.118 -.095 -.006 1.268 -1.197 1.462
.377 .279 .301 .534 .002 .039 .102 .184 .035 .925 .995 .206 .233 .146
93
Dari tabel 4.7 dapat diketahui signifikansi pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap forgiveness dalam pernikahan. Berikut penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-masing variabel bebas: 1.
Variabel Trust Diperoleh nilai koefisien regresi negatif sebesar -0.084 dengan signifikansi 0.279 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa trust tidak berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan.
2.
Variabel Intimacy Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.108 dengan signifikansi 0.301 (p>0.05 hasil perhitungan ini menunjukan bahwa intimacy tidak berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan.
3.
Variabel Commitment Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.054 dengan signifikansi 0.534 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa commitment tidak
berpengaruh
secara
signifikan
terhadap
forgiveness
dalam
pernikahan. 4.
Variabel Satisfaction Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.301 dengan signifikansi 0.002 (p<0.05). Dari hasil tersebut menunjukan bahwa satisfaction berpengaruh positif signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan. Artinya, semakin tinggi satisfaction pada orang yang menikah maka forgiveness mereka semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.
94
5.
Variabel Apology Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.152 dengan signifikansi 0.039 (p<0.05). Dari hasil tersebut menunjukan bahwa apology berpengaruh positif signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan. Artinya, semakin tinggi apology pada orang yang menikah maka forgiveness mereka semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.
6.
Variabel Honesty-Humility Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.126 dengan signifikansi 0.102 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa honesty-humility tidak
berpengaruh
secara
signifikan
terhadap
forgiveness
dalam
pernikahan. 7.
Variabel Emotionality Diperoleh nilai koefisien regresi negatif sebesar -0.082 dengan signifikansi 0.184 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa emotionality tidak
berpengaruh
secara
signifikan
terhadap
forgiveness
dalam
pernikahan. 8.
Variabel Extraversion Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.139 dengan signifikansi 0.035 (p<0.05). Dari hasil tersebut menunjukan bahwa extraversion berpengaruh positif signifikan terhadap forgiveness. Artinya, semakin tinggi extraversion pada orang yang menikah maka forgiveness mereka semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.
95
9.
Variabel Agreeableness Diperoleh nilai koefisien regresi negatif sebesar -0.006
dengan
signifikansi 0.925 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa agreeableness tidak berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan. 10.
Variabel Conscientiousness Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.000 dengan signifikansi 0.995
(p>0.05),
conscientiousness
hasil tidak
perhitungan berpengaruh
ini
menunjukan
secara
signifikan
bahwa terhadap
forgiveness dalam pernikahan. 11.
Variabel Openness to Experience Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.081 dengan signifikansi 0.206 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa openness to experience tidak berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan.
12.
Variabel Gender Diperoleh nilai koefisien regresi negatif sebesar -0.070 dengan signifikansi 0.233 (p>0.05 hasil perhitungan ini menunjukan bahwa gender tidak berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan.
13.
Variabel Usia Diperoleh nilai koefisien regresi positif sebesar 0.085 dengan signifikansi 0.146 (p>0.05), hasil perhitungan ini menunjukan bahwa usia tidak berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan.
96
Persamaan Regresi Forgiveness Forgiveness = 9.610 – 0.084 Trust + 0.108 Intimacy + 0.054 Commitment + 0.301* Satisfaction + 0.152* Apology + 0.126 Honesty-Humility –
0.082
Emotionality
+
0.139*
Extraversion
–
0.006
Agreeableness + 0.000 Conscientiousness + 0.081 Openness to Experience – 0.070 Gender + 0.085 Usia Keterangan : * = signifikan Berdasarkan tabel koefisien regresi dan persamaan regresi di atas, terdapat tiga variabel yang signifikan pengaruhnya forgiveness dalam pernikahan, yaitu: 1. Satisfaction dengan nilai Beta 0.301 2. Apology dengan nilai Beta 0.152 3. Extraversion dengan nilai Beta 0.139 Kemudian langkah selanjutnya peneliti menguji penambahan proporsi varians dari tiap variabel bebas. Tujuannya adalah melihat signifikansi sumbangan dari tiap IV. Untuk analisis lengkapnya dibahas pada sub bab berikut.
4.4.2 Pengujian proporsi varians pada masing-masing variabel independen Pengujian pada tahapan ini bertujuan untuk melihat apakah signifikan tidaknya penambahan (incremented) proporsi varians dari tiap IV, yang mana IV tersebut dianalisis secara satu per satu. Pada tabel kolom pertama adalah IV yang dianalisis secara satu per satu, kolom ketiga merupakan total penambahan varians DV dari tiap IV yang dianalisis satu per satu tersebut, kolom keenam merupakan nilai murni varians DV dari tiap IV yang dimasukkan secara satu per satu, kolom ketujuh adalah harga f -hitung bagi IV yang bersangkutan, kolom df adalah derajat bebas bagi IV yang bersangkutan pula, yang terdiri dari numerator dan
97
denumerator, kolom terakhir adalah kolom Sig. F Change yang fungsinya untuk mengetahui signifikansinya. Apabila p <0.05 maka IV memiliki sumbangan yang signifikan. Jika signifikan artinya bahwa penambahan (incremented) proporsi varians dari IV yang bersangkutan, dampaknya signifikan. Besarnya proporsi varians pada forgiveness dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut : Tabel 4.8 Proporsi Varians Masing-Masing Variabel Independen R Square
Adjusted RSquare
Std. Error of the Estimate
Change Statistics
Model
R
1
.349a
.122
.118
12.84262
.122
2 3
b
.517 .518c
.267 .268
.260 .257
11.75983 11.78526
4
.559d
.313
.299
5
.595
e
.354
6 7
.611f .616g
.373 .379
8 9
.634h .634i
10 11
RSquare F Change Change
df1
df2
Sig. F Change
27.503
1
198
.000
.146 .001
39.141 .151
1 1
197 196
.000 .698
11.44773
.045
12.728
1
195
.000
.337
11.13248
.041
12.201
1
194
.001
.354 .357
10.98941 10.96464
.020 .006
6.084 1.873
1 1
193 192
.015 .173
.401 .402
.376 .373
10.79692 10.82343
.022 .001
7.011 .066
1 1
191 190
.009 .798
.634J .638k
.402 .407
.370 .373
10.85160 10.82780
.000 .005
12.684 1.832
1 1
189 188
.000 .178
12
.642l
.412
.374
10.81692
.005
1.379
1
187
.242
13
.647m
.418
.378
10.78420
.006
2.136
1
186
.146
A. Predictors: (Constant), Trust B. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy C. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment D. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction E. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology F. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty G. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality H. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality, Extraversion I. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality, Extraversion, Agreeableness J. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality, Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness K. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality, Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Opennestoexperience L. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality, Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness , Opennestoexperience, Gender M. Predictors: (Constant), Trust, Intimacy, Commitment, Satisfaction, Apology, Honesty, Emotionality, Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Opennestoexperience, Gender, Usia
98
Maka dapat disimpulkan : 1.
Variabel trust memberikan sumbangan varians sebesar 12.2% pada forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.000 (p<0.05).
2.
Variabel intimacy memberikan sumbangan varians sebesar 14.6% pada forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.000 (p<0.05).
3.
Variabel commitment memberikan sumbangan varians sebesar 0.1% pada forgiveness. Sumbangan ini tidak signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.698 (p>0.05).
4.
Variabel satisfaction memberikan sumbangan varians sebesar 4.5% pada forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.000 (p<0.05).
5.
Variabel apology memberikan sumbangan varians sebesar 4.1% pada forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.001 (p<0.05).
6.
Variabel honesty-humility memberikan sumbangan varians sebesar 2% pada forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.015 (p<0.05).
7.
Variabel emotionality memberikan sumbangan varians sebesar 0.6% pada forgiveness. Sumbangan ini tidak signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.173 (p>0.05).
99
8.
Variabel extraversion memberikan sumbangan varians sebesar 2.2% pada forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.009 (p<0.05).
9.
Variabel agreeablenesss memberikan sumbangan varians sebesar 0,1% pada forgiveness. Sumbangan ini tidak signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.798 (p>0.05).
10.
Variabel conscientiousness memberikan sumbangan varians sebesar 0% pada forgiveness. Sumbangan ini signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.000 (p<0.05).
11.
Variabel openness to experience memberikan sumbangan varians sebesar 0.5% pada forgiveness. Sumbangan ini tidak signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.178 (p>0.05).
12.
Variabel gender memberikan sumbangan varians sebesar 0.5% pada forgiveness. Sumbangan ini tidak signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.242 (p>0.05).
13.
Variabel usia memberikan sumbangan sebesar 0.6% pada forgiveness. Sumbangan ini tidak signifikan secara statistik dengan nilai sebesar 0.146 (p> 0.05). Jadi dapat disimpulkan bahwa ada 7 variabel yang signifikan berdasarkan
proporsi variansnya yaitu variabel trust, intimacy, satisfaction, apology, honestyhumility, extravertion, dan conscientiousness, dengan variabel intimacy yang memberikan sumbangan terbesar terhadap forgiveness dalam pernikahan.
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini, peneliti akan memaparkan secara lebih lanjut mengenai hasil penelitian yang dilakukan. Dalam bab ini akan dimuat kesimpulan, diskusi dan saran.
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil uji hipotesis penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis mayor dalam penelitian ini diterima. Artinya ada pengaruh yang signifikan
antara
kualitas
hubungan
(trust,
intimacy,
commitment
dan
satisfaction), apology, kepribadian (honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience), variabel demografis (gender dan usia) terhadap forgiveness dalam pernikahan. Besar kontribusi yang diberikan IV secara keseluruhan terhadap DV adalah 41,8%. Kemudian pada hipotesis minor, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 13 variabel bebas yang diuji pengaruhnya terhadap forgiveness dalam pernikahan, hanya ada tiga variabel yang pengaruhnya signifikan. Dimensi satisfaction dari kualitas hubungan, apology dan dimensi extraversion dari kepribadian HEXACO memiliki nilai koefisien regresi yang signifikan. Meskipun hanya tiga variabel yang dinyatakan signifikan pengaruhnya terhadap forgiveness dalam pernikahan, ada beberapa variabel lain yang memiliki sumbangan pengaruh yang signifikan berdasarkan proporsi varians yaitu trust, intimacy, honesty-humility, dan conscientiousness. Variabel-variabel tersebut
100
101
memiliki sumbangan varians yang berbeda-beda dalam pengaruhnya terhadap forgiveness dalam pernikahan, dimana sumbangan varians terbesar didapat dari dimensi intimacy pada variabel kualitas hubungan.
5.2 Diskusi Hasil dari penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara IV terhadap DV. Kemudian diketahui juga bahwa variabel satisfaction,
apology
dan
extraversion
berpengaruh
signifikan
terhadap
forgiveness dalam pernikahan. Pengaruh ketiga variabel tersebut adalah pengaruh dengan arah positif, artinya semakin tinggi skor satisfaction, apology dan extraversion seseorang maka semakin tinggi pula skor forgiveness yang dimiliki orang tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, dimensi dari kualitas hubungan yaitu satisfaction memiliki pengaruh yang signifikan terhadap forgiveness dengan arah yang positif. Jadi dapat disimpulkan, semakin tinggi tingkat kepuasan seseorang dalam hubungan pernikahannya maka semakin mudah seseorang melakukan pemaafan dalam pernikahannya. Sedangkan tiga dimensi lain dari kualitas hubungan, yaitu trust, intimacy dan commitment tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap forgiveness. Hasil tersebut sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Mirzadeh dan Fallahchai tahun 2012 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara kepuasan pernikahan dengan pemaafan. Seorang yang lebih puas dengan pernikahannya akan lebih jarang terlibat negative verbal behavior dengan pasangannya sehingga masalah lebih mudah diatasi. Hubungan antara kepuasan
102
dan pemaafan terletak pada kecenderungan individu untuk melakukan perbaikan, kedekatan individu dengan pasangan dan kerjasama yang baik antara mereka dengan pasangan. Kualitas hubungan khususnya kepuasan sangat berpengaruh terhadap forgiveness, setidakhnya terdapat tujuh alasan yang menyebabkan seseorang memaafkan karena pengaruh kualitas hubungan yang dimilikinya. Tujuh alasan itu adalah individu merasa harus mempertahankan hubungannya dengan orang yang berarti dalam hidup, memiliki orientasi jangka panjang yang memotivasi untuk melupakan rasa sakit hati, biasanya minat mereka dapat disatukan dan memudahkan mendapatkan solusi, orientasi bersama yang meningkatkan kesediaan untuk melakukan hal yang menyenangkan bagi pasangannya, memiliki kenangan indah bersama pasangannya, individu merasa konflik yang terjadi adalah untuk kebaikannya, kemudian dalam hubungan yang berkualitas orang yang bersalah akan cenderung meminta maaf dan mengungkapkan penyesalan serta memulihkan hubungan pasca konflik (McCullough et al., 1998). Selain
itu
Fincham
(2009)
juga
menyatakan
bahwa
kepuasan
memengaruhi bagaimana perspektif orang yang tersakiti terhadap kejadian menyakitkan. Mereka lebih mudah memaafkan karena tidak menghiraukan detail kejadian menyakitkan yang mereka alami dan cenderung lebih memiliki banyak kenangan indah bersama pasangan. Maka individu yang merasa puas dengan hubungan dalam pernikahannya akan cenderung lebih mudah memberikan maaf kepada pasangannya.
103
Kemudian penelitian ini juga menunjukan hasil bahwa variabel apology memiliki pengaruh yang signifikan terhadap forgiveness dengan arah positif. Jadi dapat disimpulkan, semakin sering / lengkap pasangan melakukan permintaan maaf maka semakin mudah seseorang memaafkan pasangannya. Hal yang sama pentingnya dengan memberikan maaf adalah kemauan meminta maaf. Seseorang akan sulit memaafkan jika orang yang bersalah tidak minta maaf dan berupaya memperbaiki kesalahannya. Beberapa penelitian (Darby, Schlenker & Ohbichi dalam Wardhati & Faturohcman, 2008) menemukan bahwa meminta maaf sangat efektif dalam mengatasi konflik interpersonal, karena permintaan maaf merupakan sebuah penyataan tanggung jawab tidak bersyarat atas kesalahan dan sebuah komitmen untuk memperbaikinya. Penelitian lain yang menguatkan bahwa apology berpengaruh terhadap forgiveness adalah penelitian oleh Takaku et al. (2001). Pelaku yang meminta maaf akan menunjukan sebuah ketulusan dan kemampuan untuk dipercaya sehingga konflik dengan pasangan lebih mudah terselesaikan. Kemudian McCullough et al. (1998) juga menjabarkan sebuah mekanisme dari pemaafan, proses memaafkan akan lebih cepat jika pelaku melakukan pengakuan dan permintaan maaf ditambah lagi apabila hubungan yang dijalani menemukan kepuasan. Selanjutnya, hasil penelitian ini menemukan variabel dari kepribadian yaitu extraversion memiliki pengaruh yang signifikan terhadap forgiveness dengan arah positif. Jadi dapat disimpulkan, semakin tinggi skor kepribadian terbuka pada seseorang maka semakin mudah seseorang melakukan pemaafan
104
dalam pernikahannya. Sedangkan lima dimensi lain dari variabel kepribadian HEXACO,
yaitu
honesty-humility,
emotionality,
agreeableness,
conscientiousness, dan opennes to experience tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap forgiveness. Pengaruh extraversion terhadap forgiveness ini sejalan dengan beberapa penelitian yang mengkorelasikan kepribadian dengan forgiveness. Pada penelitian McCullough, Bellah, Kilptrick dan Johnson (2001) diketahui bahwa kepribadian extrversion tidak memiliki kecenderungan untuk menyimpan rasa dendam. Kemudian dalam penelitian Hafnidar (2013) juga diketahui bahwa individu dengan skor extraversion tinggi memiliki skor forgiveness yang tinggi pula. Individu dengan skor extraversion tinggi berarti memiliki kepribadian yang hangat dan emosi yang positif. Extraversion memiliki ciri pribadi yang ramah, hangat dan asertif (Friedman & Schustack, 2008) serta cenderung penuh kasih sayang, senang berbicara, dan menyenangkan (Feist & Feist, 2010). Karakter-karakter yang dimiliki
oleh
seorang
extraversion
cenderung
mempermudahnya
untuk
memaafkan dan melepas rasa dendam. Hal itu juga dikarenakan dalam kepribadian extraversion terdapat sikap empati maka individu yang memiliki kepribadian extraversion dapat memahami dan melihat sudut pandang orang lain yang berbeda dari sudut pandang diri sendiri dan mencoba untuk mengerti faktor apa saja yang melatarbelakangi perilaku seseorang. Termasuk memahami dan memaklumi perbuatan yang
105
menyakitkan oleh pasangannya mungkin saja diakibatkan salah satunya oleh kesalahannya juga. Terakhir pengaruh variabel demografi yaitu gender dan usia, dari hasil penelitian ini, dapat diketahui perempuan lebih pemaaf daripada laki-laki kemudian responden yang termasuk kelompok dewasa madya memiliki skor forgiveness yang lebih tinggi daripada dewasa muda, namun pengaruh ini tidak signifikan. Berdasarkan yang telah dijelaskan pada Bab 1 mengenai latar belakang masalah penelitian ini bahwa dalam sebuah pernikahan sangat diperlukan forgiveness untuk melepas emosi negatif, menjaga dan mempertahankan hubungan serta memperbaiki keadaan. Meskipun forgiveness dalam pernikahan sangat diperlukan namun kenyataannya sulit untuk melakukannya. Penelitian ini membuktikan bahwa memaafkan bukanlah hal yang mudah karena hampir setengah responden masih memiliki skor forgiveness yang rendah. Namun kesulitan untuk memaafkan sebenarnya dapat diatasi dengan meningkatkan kualitas hubungan, menghargai permintaan maaf pasangan, dan menjadi pribadi yang lebih terbuka. Forgiveness dalam penikahan merupakan hasil interaksi yang kompleks. Beberapa penelitian menunjukkan memaafkan berhubungan dengan kebahagian psikologis (McCullough et al., 2001), empati (McCullough et al., 1997), permohonan maaf dan perspective taking (Takaku et al., 2001), atribusi dan penilaian kekejaman orang yang menyakiti (McCullough et al., 2003). Pada sisi lain, memaafkan merupakan terapi yang efektif dalam kesejahteraan psikologis,
106
kesehatan fisik dan intimate relationship yang baik (Fincham et al., 2006). Ketiga variabel yang signifikan yaitu satisfaction, apology dan extraversion sesuai dengan penelitian terdahulu, meskipun penelitian terdahulu menyatakan pengaruh yang signifikan juga ditemukan pada dimensi kualitas hubungan trust, intimacy dan commitment (McCullough, 1998), kepribadian humility dan emotionality (Neto & Mullet, 2004), dan pengaruh signifikan dari gender (Wade & Goldman, 2006) dan usia (Girard& Mullet, 1997). Meskipun tidak signifikan, ada beberapa variabel yang menarik untuk dibahas karena memiliki perbedaan hasil dengan penelitian terdahulu, yaitu trust serta kepribadian honesty-humility dan agreeableness. Trust secara positif signifikan memengaruhi forgiveness (Paleari et al., 2009; Cairns et al., 2005). Namun pada penelitian ini pengaruh trust justru negatif. Alasan berikut bisa jadi merupakan alasan yang tepat. Trust adalah keyakinan individu bahwa pasangannya akan memperlakukannya secara adil dan terhormat (Guldner & Swensen, 1995). Namun demikian, Leary (dalam Miller, 2012) mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang meningkatkan keterlukaan seseorang akibat tindakan yang dilakukan oleh pasangan adalah individu itu berharap mendapatkan perlakuan-perlakuan positif dari pasangannya. Maka bisa dikatakan bahwa individu yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi merasa sangat terluka ketika pasangannya berbuat kesalahan kemudian menjadi sulit melakukan pemaafan. Selanjutnya, variabel dengan hasil menarik yang perlu dikaji kembali adalah variabel honesty-humility. Secara umum, kejujuran merupakan komponen penting untuk menjalin komunikasi yang lancar sehingga mempermudah
107
forgiveness. Namun dalam penelitian ini variabel honesty-humility tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini mungkin dikarenakan tingkat kejujuran individu itu sendiri tidak begitu memengaruhi mereka untuk memaafkan pasangan mereka, yang lebih diperlukan adalah kejujuran pasangan pada diri individu itu. Bagaimana pasangan membuat pernyataan yang jujur dan terbuka, akan mempermudah individu memiliki perspektif yang berbeda, yaitu perspektif dari pasangannya. Kemudian
variabel
agreeableness,
individu
dengan
kepribadian
agreeableness lebih mudah melakukan pemaafan (Ashton dalam Neto & Mullet, 2004; Caperton, 2008; Hafnidar, 2013). Dalam konsepnya agreeableness menggambarkan pribadi yang pemaaf, lembut, fleksibel dan penyabar. Namun penelitian kali ini menunjukan hasil berbeda, agreeableness memberi pengaruh negatif terhadap forgiveness. Dalam penelitian ini, agreeableness mengukur sikap pemaaf pada individu secara umum, artinya dalam berbagai konteks dan setting, bukan hanya dalam pernikahan. Sedangkan forgiveness dalam pernikahan merupakan variable dengan konsep memaafkan khusus pada pasangannya. Individu mungkin menjadi pemaaf pada orang lain, namun tidak pada pasangannya. Hal ini disebabkan karena rasa sakit yang disebabkan oleh pasangan lebih sakit daripada luka yang disebabkan orang lain. Secara umum ketidaksesuaian/perbedaan yang dihasilkan dari penelitian ini baik dengan hasil penelitian terdahulu maupun dengan asumsi peneliti mungkin disebabkan oleh prosedur penelitian yang kurang baik, yaitu teknik pengambilan sampel yang menggunakan teknik accidental sampling dimana
108
metode pengambilan sampel dengan memilih orang yang mudah dijumpai. Sehingga, terdapat kemungkinan telah menyamaratakan pengalaman yang sudah dijalani oleh orang-orang yang telah menikah. Kemudian ketidaksempurnaan dalam mengadaptasi dan membuat alat ukur yang memungkinkan munculnya social desirability. Serta kemungkinan sampel yang telah menjawab dengan tidak serius dan tertutup dalam merespon beberapa pertanyaan. Oleh karena itu, dari kelemahan-kelemahan tersebut sangat memungkinkan sekali hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan peneliti.
5.3
Saran
Setelah melalui seluruh proses dan penyusunan laporan hasil penelitian, peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti membagi saran menjadi dua yaitu saran metodologis dan praktis. Agar dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya dan masukan bagi pembaca, pasangan menikah, dan masyarakat umum sehingga dapat mengambil manfaat dari penelitian ini. 5.3.1 Saran Metodologis 1.
Saran bagi penelitian selanjutnya adalah untuk menggunakan teknik probability sampling agar sampel lebih spesifik dan fokus pada tujuan penelitian, sehingga mampu mendapatkan gambaran lain yang lebih baik dari penelitian ini.
2.
Pada penelitian ini, sampel yang digunakan adalah 200 orang yang menikah,
untuk
penelitian
selanjutnya,
disarankan
untuk
lebih
109
memperbanyak jumlah sampel yang berpartisipasi, agar hasil penelitian yang dilakukan lebih representatif. 3.
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa IV signifikan berpengaruh terhadap forgiveness dalam pernikahan sebesar 41,8% dan 58,2% dipengaruhi oleh variabel lainnya di luar dari penelitian ini. Sehingga saran bagi penelitian selanjutnya, agar menambahkan variabel lain yang memiliki pengaruh terhadap forgiveness seperti emphaty, attachment, rumination, religiusitas, cognition, constraint, dan lain sebagainya.
4.
Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan melakukan pengkajian lebih dalam pada variabel yang tidak signifikan dalam penelitian ini, antara lain variabel trust, intimacy, commitment, honesty-humility, emotionality, agreeableness, consciontiousness, gender dan usia.
5.3.2
Saran Praktis
1.
Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa dimensi satisfaction dari kualitas hubungan berpengaruh signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan. Untuk itu, peneliti menyarankan pada suami maupun istri agar berusaha meningkatkan kualitas hubungan, terutama kepuasan dalam pernikahan. Kepuasan dalam pernikahan dapat dibentuk dengan sering meluangkan waktu bersama untuk saling berbagi cerita dan rekreasi keluarga, dengan begitu akan banyak memori kebersamaan dengan pasangan.
indah mengenai
110
2.
Selain itu ditemukan juga bahwa variabel apology berpengaruh signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan. Artinya, individu lebih mudah memaafkan pasangannya yang meminta maaf. Untuk itu, peneliti menyarankan pada pasangan menikah agar selalu meminta dan menerima maaf dari pasangan apabila terjadi konflik dalam rumah tangga. Hampir seluruh konflik rumah tangga disebabkan oleh kesalahan kedua belah pihak, namun yang paling penting bukanlah siapa yang paling bersalah, tapi siapa yang lebih dulu menyadari kesalahannya lalu kemudian meminta maaf dan memperbaiki keadaan.
3.
Terakhir, ditemukan bahwa dimensi extraversion dari kepribadian HEXACO berpengaruh signifikan terhadap forgiveness dalam pernikahan. Untuk itu, peneliti menyarankan pada pasangan menikah untuk menjadi pribadi yang lebih terbuka, sehingga masalah yang ada dalam kehidupan pernikahan dapat terselesaikan melalui komunikasi yang terjalin baik. Hal ini bisa dimulai dengan mengenali dan memahami perasaan diri sendiri kemudian mengungkapkan dan mengekspresikannya pada pasangan. Selanjutnya mencoba untuk berperilaku ramah dengan menanyakan perasaan dan aktivitas yang dijalani oleh pasangan.
111
DAFTAR PUSTAKA Agustin, A. (2013). Manajemen konflik antarpribadi pasangan suami istri beda agama. Tugas akhir. Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang. Alwisol. (2009). Psikologi kepribadian. Malang: UMM Press. Ashton, M. C., & Lee, K. (2002). Six independent factors of personality variation: a response to saucier. Europeans journals of personality, 16, 63-75. Ashton, M. C., & Lee, K. (2007). Empirical, theoretical, and practical advantages of the HEXACO model of personality structure. Society for Personality and Social Psychology, 11(2), 150-166. Badilag / Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. (2012). Rekapitulasi faktorfaktor penyebab terjadinya perceraian seluruh indonesia. Dokumen. Badilag / Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. (2014). Jumlah perceraian per tahun seluruh Indonesia. Dokumen. BKKBN online. (2013). Angka perceraian di Indonesia tertinggi di Asia-Pasifik. Diambil pada 15 Mei 2014 dalam http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx? BeritaID=967. Brehm, Sharon S. (1997). Intimate Relationships. (Second edition). New York : McGraw Hill Companies. Cairns, E., Tam, M., Hewstone, T. & Niens. (2005). Forgiveness in Northern Ireland. Dalam kompilasi jurnal American Psychological Association. (2006). Forgiveness: A sampling of research results. Washington, DC: Office of International Affairs. Caperton, D. (2008). An investigation of the reliability and validity of the caperton forgiveness styles inventory. Disertasi. Indiana State University. Chapman, G. & Thomas, J. (2006). The five languages of apology. Chicago: Northfield Pubishing. Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (4th edition). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fazriyati, W. (2013). 13 rahasia seks pasangan menikah. Diambil pada 30 Mei 2014
112
dalam http://female.kompas.com/read/2013/06/11/11010422/13.Rahasia.Seks. Pasangan.Menikah Feeney, J. A. (2011). Hurt feelings in couple relationships: Towards integrative models of the negative effects of hurtful events. Journal of Social and Personal Relationship, 21, 487-508. Feist, J. & Feist, G.J. (2010). Teori kepribadian (7th edition). Jakarta: Salemba Humanika. Fincham F.D., Hall, J.H., & Beach, S.R. (2006). Forgiveness in marriage: current status and future directions. Family Relations, 55, 415–427. Fincham, F. D. (2009). Forgiveness: integral to a science of close relationships?. Family Institute, Florida State University. Fincham, F. D., Beach, S. R., & Davila, J. (2004). Forgiveness and conflict resolution in marriage. Journal of Family Psychology, 18, 72-81. Fincham, F.D., Paleari, G., & Regalia, G. (2002). Forgiveness in marriage: the role of relationship quality, attributions, and empathy. Personal Relationships, 9, 27-37. Friedman, H. S. & Schustack, M. W. (2008). Kepribadian: Teori klasik dan riset model (3th edition, first book). Jakarta: Erlangga. Girard, M. & Mullet, E. (1997). Forgiveness in adolesent, young, middle age and older adult. Journal of Adult Development, 4, 209-220. Guldner, G. T., & Swensen, C. H. (1995). Time spent together and relationship quality: Long distance relationship as a test case. Journal of social & personal relationship, 12, 313-320. Hafnidar. (2013). The relationship among five factor model of personality, spirituality, and forgiveness. International Journal of Social Science and Humanity, 3 (2), 167-170. Hapsari, E. (2014). Mengapa sering terjadi perselingkuhan. Diambil pada 30 Mei 2014 dalam http://www.republika.co.id/berita/humaira/samara/14/01/22/ mzrv4d-mengapa-banyak-terjadi-perselingkuhan. Harrington, D. (2009). Confirmatory Factor Analysis. Oxford: University Press. Helms, H. M & Buehler, C. (2007). Marital quality and personal well-being: A meta-analysis. Columbia: Journal of Marriage and Family, 69, 576–593.
113
Hollist, C.S. & Miller, R.B. (2005). Perceptions of attachment style and marital quality in midlife marriage. Family Relations, 54, 46-57. Imelda, N. F. (2004). Hubungan antara komitmen perkawinan dengan pemaafan pada istri yang merasa disakiti. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Kompas.com. (2011). Jujurlah tentang jumlah penghasilan anda. Diambil pada 30 Mei 2014 dalam http://female.kompas.com/read/2011/05/28/23060890/ Jujurlah.tentang.Jumlah. Penghasilan.Anda Maltby, J., Wood, A.M., Day, L., Kon, T.W., Colley, A. & Linley, P.A. (2008). Personality predictors of levels of forgiveness two and a half years after the transgression. Journal of Research in Personality, 42, 1088–1094. Markman, A. (2012). Why are people more forgiving when they get older?. Diambil pada 15 Mei 2014 dalam http://www.psychologytoday.com/blog/ulterior-motives/201204/why-arepeople-more-forgiving-when-they-get-older McCullough, M. E., Fincham, F. D., & Tsang, J. (2003). Forgiveness, forbearance, and time: The temporal unfolding of transgression-related interpersonal motivation. Journal of personality and social psychology, 84, 540-557. McCullough, M.E., Bellah, C.G., Kilptrick, S.D., & Johnson, J.L. (2001). Vengefulness: Relationship with forgiveness, rumination, well-being and big five. Society for personality and social psychology, 27 (5), 601-610. McCulough, M. E., Rachal, K. C, & Worthington, E. L. (1997). Interpersonal forgiving in close relationships. Journal of personality and social psychology, 73, 321-336. McCulough, M. E., Rachal, K. C, Sandage, S. J., Worthington, E. L., Jr., Brown, S. W., & Hight, T. L. (1998). Interpersonal forgiving in close relationships II: Theoretical elaboration and measurement. Journal of Personality and Social Psychology, 75, 1586-1603. Mercado, J., Cameron, E., Shekarforoosh, C., & Stratton, L. (2009). Forgiveness in relation to marital satisfaction. Forgiveness & Marriage. Unpublished research paper, Weber State University. Miller, R. S. (2012). Intimate relationships (6th edition). New York : McGraw Hill Companies. Mirzadeh, M. & Fallahchai, R. (2012). The relationship between forgiveness and
114
marital satisfaction. Journal of Life Science and Biomedicine, 2(6), 278-282. Mischel, W. (2003). Introduction to personality (7th edition). United States of America: Lehigh Press. Neto, F. & Mullet, E. (2004). Personality, self-esteem, and self-construal as correlates of forgivingness. European Journal of Personality, 18, 15–30. Paleari, G., Regalia, C., & Fincham, F. D. (2009). Measuring offence-spesific forgiveness in marriage: The marital offence-specific forgiveness scale (MOFS). Psychological assessment, 21, 194-209. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2008). Human development. (10th edition, second book). New York: McGraw-Hill. Pedhazur, F.J. (1991). Multiple Regression in Behavioral Research: Explanation and Prediction. USA: Thompson Learning Inc. Philpot, C. (2006). Intergroup apologies and forgiveness. Thesis. University of Queensland, Brisbane, Australia. Dalam kompilasi jurnal American Psychological Association. (2006). Forgiveness: A sampling of research results. Washington, DC: Office of International Affairs. Pierce, G. D., Sarason, B., & Nagle. (1997). Assessing the quality of personal relationship. Journal of personal and social relationship. 14(3), 339-356. Sadarjoen, S. S. (2009). Empat pilar perkawinan. Diambil pada 30 Mei 2014 dalam http://female.kompas.com/read/2009/11/16/08330162/empat.pilar.perkawinan Sari, K. (2004). Forgiveness pada istri sebagai upaya untuk mengembalikan keutuhan rumah tangga akibat perselingkuhan suami. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Setiawan, D. (2012). Definisi gender. Diambil pada 30 Mei 2014 dalam http://definisimu.blogspot.com/2012/11/definisi-gender.html Sondang, E. (2009). Seiya sekata soal uang. Diambil pada 30 Mei 2014 dalam http://m.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Seiya-Sekata-Soal-Uang Strang, S., et al. (2014). Neural correlates of receiving an apology and active forgiveness: An fMRI Study. PLOS ONE 9(2): e87654. doi:10.1371 Strong, B., De Vault, & Cohen (1989). The Marriage and Family Experiences (4th edition). St Paul: West Publishing Co.
115
Takaku, S., Weiner. B., & Ohbuchi, K. (2001). A cross-cultural examination of the effects of apology and perspective taking on forgiveness. Journal of Language and Social Psychology, 20, 144-166. Turner, J. S. (1996). Encyclopedia of relationship across the lifespan. New York: Holt Richard & Winston. Turner, J.S. & Helms, D.B. (1995). Lifespan developmental (5th edition). New York : Holt Richard & Winston. Undang-undang Republik Indonesia. (1974). Undang -Undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan. Wade, N. G. & Goldman, D. B. (2006). Sex, group composition, and the efficacy of group interventions to promote forgiveness. Group Dynamics: Theory, Research, and Practice, 10 (4), 297-308. Wade, N. G. & Worthington, E. L. (2005). In search of a common core: a content analysis of interventions to promote forgiveness. Educational publishing foundation, 42, 160-177. Wahyuni, S. (2004). Kontroversi pernikahan beda agama di Indonesia. Artikel. Wardhati, L. T. & Faturochman.(2008). Psikologi pemaafan. Buletin Psikologi UGM. Wikipedia. (2014). HEXACO model of personality structure. Diambil pada 15 Mei 2014 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/HEXACOmodel_of_personality structure Worthington, E.L. (1997). Dimensions of forgiveness. Downers Grove, IL: InterVarsity Press.