FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK KEBIJAKAN LUAR NEGERI BELANDA TERHADAP PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA PADA TAHUN 2005 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.sos)
oleh MUHAMMAD BINTANG AGASSI 108083000041
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Skripsi yang berjudul: FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK KEBIJAKAN LUAR NEGERI BELANDA TERHADAP PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA PADA TAHUN 2005
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 Juli 2015
Muhammad Bintang Agassi
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan Ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa : Nama
: Muhammad Bintang Agassi
NIM
: 108083000041
Program Studi
: Ilmu Hubungan Internasional
Telah selesai penulisan skripsi dengan judul : Faktor-Faktor Domestik Kebijakan Luar Negeri Belanda Terhadap Proposal Keanggotaan Turki ke Uni Eropa Pada Tahun 2005 Telah memenuhi syarat untuk diuji.
Jakarta, 27 Juli 2015
Mengetahui,
Menyetujui,
Ketua Program Studi
Pembimbing
Badrus Sholeh, M.A NIP. 19710211 199903 1 002
M. Adian Firnas, M.Si
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK KEBIJAKAN LUAR NEGERI BELANDA TERHADAP PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA PADA TAHUN 2005 OLEH MUHAMMAD BINTANG AGASSI 108083000041 Telah dipertahankan dalam ujian sidang skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 Juli 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program studi Hubungan Internasional.
Ketua,
Eva Mushoffa, MHSPS
Penguji I,
Penguji II,
Andar Nubowo, DEA
Rahmi Fitriyanti, M.Si
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 30 Juli 2015. Ketua Program Studi Hubungan Internasional,
Badrus Sholeh, M.A NIP. 19710211 199903 1 002 iv
ABSTRAKSI Skripsi ini menganalisa mengenai faktor-faktor domestik kebijakan luar negeri Belanda terhadap proposal keanggotaan Turki ke Uni Eropa pada tahun 2005. Turki yang berkeinginan untuk bergabung ke Uni Eropa sejak beberapa dekade lalu mendapat berbagai halangan dan penolakan dari sebagian anggota Uni Eropa. Namun kemudian, pemerintah Belanda yang memiliki sejarah keterkaitan kerjasama dengan Turki dalam kurun waktu yang lama, menginginkan masuknya Turki ke Uni Eropa. Belanda beranggapan bahwa Turki mampu menjembatani beberapa permasalahan seperti permasalahan Transatlantic dan juga jembatan kepada Dunia Islam. Terjadi pro-kontra terhadap permasalahan masuknya Turki ke Uni Eropa di-internal negara Belanda. Selain partai dan kelompok kepentingan, sikap publik pun berubah terhadap masuknya Turki ke Uni Eropa, yang semula mengikuti keinginan pemerintah, sejak serangan 11 September dan serangkaian kejadian yang ada di Belanda, publik menjadi skeptis terhadap masuknya Turki ke Uni Eropa. Keyword: Belanda, Turki, Uni Eropa, Kebijakan Luar Negeri, Faktor Domestik
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya serta Nabi Muhammad SAW yang membawa kecerahan pada dunia, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “FaktorFaktor Domestik Kebijakan Luar Negeri Belanda Terhadap Proposal Keanggotaan Turki ke Uni Eropa Pada Tahun 2005”. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sosial Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini juga dikerjakan dengan tekun dan penuh keseriusan, dan dibantu pula oleh dosen pembimbing untuk mengkoreksi serta membimbing dalam pengerjaan skripsi ini. Untuk itu penulis berterima kasih kepada berbagai pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada : 1.
Orang tua penulis, Ibunda Hernita dan Ayah Djoko Sidharto (alm.), yang selalu memberikan dorongan moril serta materi, serta atas kasih sayang, do’a dan kesabaran terhadap penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa, Kakanda penulis, Muhammad Fajar Ramadhan yang penulis jadikan role model. Terima kasih atas dukungan dan do’a kalian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2.
Bapak M. Adian Firnas, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis, yang telah memberikan bimbingannya dalam bentuk arahan, saran,
vi
dan ilmunya serta kesabaran yang sangat membantu hingga penulisan skripsi ini selesai dengan baik.
3.
Nurul Putri Pratiwi yang senantiasa bersabar dan memberikan dukungan terhadap penulis, terima kasih atas semangat dan motivasi yang diberikan kepada penulis.
Terimakasih banyak, semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan yang ada. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia akademis sebagai tambahan ilmu pengetahuan dalam bidang studi Ilmu Hubungan Internasional.
Jakarta, 27 Juli 2015
Muhammad Bintang Agassi
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME………….………………………
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI………………………………... iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI……….………………………. iv ABSTRAKSI………………………………………………………………….... v KATA PENGANTAR………………………………...……………………….. vi DAFTAR ISI………………………………………...……………………....... viii DAFTAR TABEL………………………………...………………………….... x DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………..
xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Pernyataan Masalah……………………………………………… 1
1.2.
Pertanyaan Penelitian…………………………………………… 7
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………. 7
1.4.
Tinjauan Pustaka……………………………………………….. 8
1.5.
Kerangka Teoritis……………………………………………….. 9
1.6.
Metode Penelitian…………………………………………….... 14
1.7.
Sistematika penulisan………………………………………...... 15
BAB II SISTEM POLITIK SERTA SIKAP POLITIK BELANDA TERHADAP PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA 2.1.
Sistem Pemerintahan Belanda………………………………… 17 2.1.1. Sistem Pemerintahan…………………………………..... 17 2.1.2. Konstitusi……………………………………………….. 20
viii
2.1.3. Lembaga Pemerintahan…………………………………. 23 2.2.
Partai Politik di Belanda………………………………………. 27
2.3.
Prinsip Kebijakan Luar Negeri Belanda………………………. 29
2.4.
Posisi Belanda di Uni Eropa…………………………………... 30
2.5.
Sikap Belanda Terhadap Proposal Keanggotaan Turki……….. 32
BAB III PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA 3.1. Perluasan dan Keanggotaan Negara Anggota Uni Eropa pasca Maastricht Treaty………………………………………………………………. 33 3.2. Persyaratan untuk Menjadi Anggota Uni Eropa…………………… 37 3.3. Proposal Turki ke Uni Eropa………………………………………. 42 3.3.1. Sejarah Keanggotaan Turki ke Uni Eropa……………….. 42 3.3.2. Upaya Turki untuk Masuk ke Uni Eropa………………… 46 BAB IV ANALISA FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK KEBIJAKAN LUAR NEGERI BELANDA TERHADAP PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA 4.1. Pemerintahan yang Tengah Menjabat……………………………... 51 4.2. Partai Politik……………………………………………………….. 54 4.3. Kelompok Kepentingan…………………………………………..... 57 4.4. Opini Publik dalam Isu Integrasi…………………………………... 59 BAB V PENUTUP…………...………………………………………………... 64 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 66
ix
DAFTAR TABEL
Tabel III.1 Perjanjian Penting dalam Uni Eropa...................................................33 Tabel III.2 Daftar Nama-Nama Negara Anggota Uni Eropa……………….........36 Tabel III.3 Turkey-EU Membership Timeline….…………………………….......45
x
DAFTAR SINGKATAN
ARP
: Anti-Revolutionary Party
CDA : Christen Democratish Appèl CILC : The Center for International Legal Cooperation D66
: Democrat 66
ECSC : European Coal and Steel Community EEC
: European Economic Community
EU
: European Union
HAM : Hak Asasi Manusia KTT
: Konferensi Tingkat Tinggi
LN
: Luar Negeri
LPF
: List Pim Fortuyn
ODA : Official Development Assistance PKK : Kurdistan Worker’s Party PvdA : Partij van de Arbeid PvdD : Partij voor de Dieren PVV : Partij Voor de Vrijheid SP
: Socialist Party
UU
: Undang-Undang
VVD : Volkspartij voor Vrijheid en Democratie
xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Pernyataan Masalah Uni Eropa adalah suatu organisasi regional yang menghimpun negaranegara di benua Eropa dalam suatu kerangka kerjasama yang bertujuan untuk menghindari konflik (Christiansen, 2001:495). Organisasi ini terbentuk atas dasar ide dari seorang diplomat asal Perancis, Jean Monet. Monet berpandangan bahwa sebuah organisasi regional dapat mencegah berulangnya kehancuran Eropa seperti yang terjadi pasca Perang Dunia I dan II. Kerjasama dalam organisasi tersebut akan menciptakan sebuah ketergantungan antar negara sehingga potensi untuk saling menginvasi satu sama lain menjadi lebih kecil (Christiansen, 2001:495). Bermula dari pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC) pada tahun 1952, organisasi ini terus berkembang hingga menjadi Uni Eropa di tahun 1992 yang ditandai dengan ditandatanganinya Treaty of European Union di Maastricht atau dikenal juga dengan sebutan Maastricht Treaty. Hingga saat ini, Uni Eropa telah memiliki 27 negara anggota yang saling bekerjasama dalam bidang ekonomi, moneter, politik, transportasi dll (European, 2008:34). Untuk dapat menjadi anggota Uni Eropa, dalam Article 49 Treaty of European Union, disebutkan bahwa suatu negara dapat mengajukan proposal keanggotaan jika negara kandidat itu dapat memenuhi persyaratan yang berbunyi: “Membership requires that the candidate country has achieved stability of institutions guaranteeing democracy, the rule of law, human rights and respect for
1
2
and protection of minorities, the existence of a functioning market economy as well as the capacity to cope with competitive pressure and market forces within the Union. Membership presupposes the candidate's ability to take on the obligations of membership including adherence to the aims of political, economic and monetary union” (Article 49 and Article 6 (1)) Artinya: “Syarat keanggotaan mengharuskan negara kandidat untuk mencapai stabilitas institusi negara yang menjamin berjalannya demokrasi, aturan hukum, hak asasi manusia dan penghargaan serta penghormatan terhadap kaum minoritas. Keberadaan dari fungsi ekonomi dan juga kapasitasnya untuk bekerjasama dengan kompetitif serta berimbang dan calon negara anggota juga harus menunjukkan komitmennya dalam rangka pencapaian tujuan Uni Eropa di bidang politik, ekonomi, dan moneter” Dalam kebijakan perluasannya
(Enlargement
policy), Uni Eropa
melakukan penerimaan anggota dalam jumlah terbesar di tahun 2004 yaitu hingga 10 negara. Pada tahun 2007, Romania dan Bulgaria ikut bergabung hingga jumlah negara Uni Eropa mencapai 27 negara (Morelli, 2009:11). Adapun negara yang baru saja diberikan status keanggotaannya pada Juli 2013 adalah Kroasia, sedangkan negara yang tengah dalam proses negosiasi sebagai negara kandidat (country candidate) adalah Turki, Serbia, Montenegro, dan Islandia (European Union Enlargement, 2013).
3
Dari keempat negara di atas, Turki adalah negara dengan proses penerimaan terlama, yaitu sejak pengajuan proposal keanggotaan pertama di tahun 1959 (Khan & Yavuz, 2004:390). Pada tahun 1987 Turki kembali mengajukan proposal keanggotaan dan baru dibahas oleh Uni Eropa pada tahun 1989 dengan menyatakan bahwa Uni Eropa mendukung upaya Turki untuk berintegrasi, namun Uni Eropa masih belum menetapkan tanggal pasti, kapan Turki akan menjadi anggota penuh Uni Eropa. Dalam KTT Uni Eropa di Luxemburg di tahun 1997, Uni Eropa menyatakan belum bisa menerima proposal keanggotaan Turki dengan alasan Turki harus mereformasi sistem hukum dan politiknya seperti, hukuman mati, Undang-Undang mengenai perempuan, dan juga campur tangan militer di pemerintahan. Baru pada tahun 1999 dalam KTT di Helsinski Uni Eropa akhirnya menerima proposal keanggotaan Turki. Dengan diterimanya proposal keanggotaan ini, Turki resmi menjadi negara kandidat (country candidate) di Uni Eropa. Setelah status ini didapatkan, maka proses negosiasi dan diplomasi antara Turki dan Uni Eropa mulai dilakukan pada tahun 2005 dan diperkirakan baru akan berakhir dalam 10 sampai 15 tahun kemudian dengan tanpa kepastian kapan Turki bisa menjadi anggota penuh Uni Eropa (Turkey’s EU Entry Talks, 2006). Setelah proses penantian panjang oleh Turki, sekitar empat dekade, pada KTT Brussel, akhirnya Uni Eropa membuka jalan untuk bernegosiasi dengan Turki pada 3 Oktober 2005. Pengambilan keputusan ini menjadi proses yang begitu rumit, dikarenakan arah proses negosiasi ini menjadi tak menentu, apakah para Menteri Luar Negeri dari Uni Eropa yang notabene sebagai wakil masing-
4
masing negara bisa mencapai sebuah kesepakatan bersama dan akhirnya turut menetukan nasib keanggotaan Turki di Uni Eropa. Namun demikian, pada satu hari sebelum negosiasi Uni Eropa dengan Turki dibuka, hambatan masuknya Turki sudah dimulai dengan kerasnya sikap Mentri Luar Negeri Austria dan Jerman, yang secara konsisten menolak kemungkinan masuknya Turki ke Uni Eropa dengan memberikan pilihan atau opsi lain sebagai asosiasi atau rekanan yg lebih lepas dan tanpa kejelasan, secara halus dapat diartikan sebagai kerjasama istimewa (Privilage Partnership), daripada memberikan keanggotaan penuh Turki di Uni Eropa. Tetapi kemudian, Perdana Menteri Turki menolak opsi yang ditawarkan dengan menyatakan “Apapun selain keanggotaan penuh di Uni Eropa, tidak dapat diterima.” (Turkish Press Review, September 2005). Setelah negosiasi bilateral yang cukup intens antara Kepemimpinan Uni Eropa, yang saat itu diadakan di Inggris, dan Austria, serta 25 anggota Uni Eropa saat itu, berakhir pada kebuntuan yang tidak berkesudahan. Maka dari itu, sesuai mandat dari Dewan Uni Eropa pada saat diadakan pertemuan pada Desember 2004, anggota resmi Uni Eropa sepakat terhadap sebuah pernyataan tertulis yang berjudul “Negotiating Framework” yang berisi peraturan dasar mengenai proses negosiasi antara Uni Eropa dan Turki. Meskipun demikian, berbagai macam proses negosiasi biasanya menuju kepada sebuah solusi, yaitu, penawaran menjadi anggota penuh, tetapi dalam negotiating framework dinyatakan secara jelas dan dengan penuh rasa hormat kepada Turki, bahwa, negosiasi ini merupakan proses akhir yang terbuka, dengan
5
hasil yang belum tentu bisa terjamin. “The Negotiating Framework, which is covering all relevant international organisations, cannot be interpreted as prejudicing the autonomy of decisionmaking and rights of any of those international organisations or of their members, or of the Member States of the European Union.” (Negotiating Framework for Turkey, 2005). Ketika proses tersebut berjalan, pemerintahan Belanda menjadi advokat atas permintaan Turki untuk masuk sebagai anggota Uni Eropa. Faktanya, Perdana Menteri Belanda ke-49, Jan Peter Balkenende, dan Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Rudolph Bot, memiliki peranan penting saat memediasi Dewan Uni Eropa dengan Turki pada tanggal 16 dan 17 Desember 2004. Dibawah kepemimpinan Belanda, kesepakatan tercapai dengan kondisi sebagai awal dari negosiasi dengan Turki pada 3 Oktober 2005. Dan pada kenyataannya hal tersebut merupakan sebuah kondisi yang sejalan dengan rekomendasi dari Dewan Uni Eropa, dan pemerintahan Belanda secara menyatakan bahwa, jika Turki mampu untuk memenuhi syarat sesuai dengan kriteria politik Copenhagen, maka, tidak ada lagi keberatan untuk memulai pembicaraan mengenai masuknya Turki ke Uni Eropa. (European Commission, 2004). Setelah kesepakatan Dewan pada Oktober 2005, delegasi pemerintahan Belanda menunjukan sikap optimis atas kesepakatan yang telah tercipta tersebut. Sikap optimis Belanda dilontarkan oleh Sekertaris Eropa dari Negara Belanda, Atzo Nicolaï, yang menyatakan bahwa, “Para pemimpin Uni Eropa seharusnya
6
jangan ragu tentang keanggotaan penuh Turki.” (Turkish Press Review, 2005). Pada saat kepemimpinan Belanda di Uni Eropa dibebani dengan kewajiban untuk membawa proses negosiasi atas Turki berhasil, pemerintahan Belanda menghadapi tantangan baru mengenai publiknya sendiri, masyarakat Belanda, yang skeptis terhadap masuknya Turki ke Uni Eropa. Peran sebagai kepemimpinan Uni Eropa membuat pemerintahan Belanda sedikit tertekan atas pendapat yang dikeluarkan oleh publiknya sendiri sebagai sebuah aspirasi yang harus ditanggapi secara serius. Publik Belanda menilai keputusan untuk membuka jalan Turki ke Uni Eropa bukan merupakan hal yang tepat. Pada tahun 2005, terjadi peroses pembaharuan dari konstitusi Uni Eropa, dan salah satu isinya mengenai perluasaan keanggotaan Uni Eropa. Belanda menanggapi pengambilan kebijakan ini dengan mengikuti tradisi serta kemauan publik Belanda, yaitu dengan referendum. Hasil dari referendum tersebut membuat Perdana Menteri Belanda, Balkenende, merasa kecewa karena publik Belanda memutuskan untuk menolak konstitusi Uni Eropa yang baru. Menurut Maurice de Hond, Direktur Peil.nl, salah satu lembaga polling Belanda, mengatakan bahwa keputusan menolak yang diajukan publik Belanda merupakan sebuah sindiran bahwa para politikus sebaiknya mendengar opini publik. (http//www.dw.de/dutch-reject-eu-constitution/a-1603076) Publik menilai bahwa Turki harus memenuhi kriteria politik Copenhagen terlebih dahulu sebelum memulai negosiasi atas masuknya Turki ke Uni Eropa. Publik Belanda menegaskan mengenai kurangnya Hak Asasi Manusia (HAM) yang ada pada Turki. Sebut saja permasalahan suku Kurdi dan konflik antara
7
Yunani, Cyprus dan Turki, dimana terjadi banyak kekerasan yang melanggar batasan HAM pada kriteria politik Copenhagen. Menurut Eurobarometer mengenai opini publik Belanda, hanya 39% dari masyarakat Belanda yang menyetujui masuknya Turki ke Uni Eropa, sedangkan 53% menolak, dan sisanya abstain atau skeptis perihal masuknya Turki. (European Comission, 2005). Dengan perbedaan yang mencolok ini dirasa menarik untuk diteliti mengenai faktor-faktor yang lebih mendalam tentang sikap pemerintahan Belanda dan sikap publik Belanda atas keinginan masuknya Turki ke Uni Eropa. Adapun tingkat analisisnya, menurut Patrick Morgan yang dikutip dalam buku Mohtar Masoed (1990), adalah individu, kelompok kepentingan, negara-bangsa, kelompok negara-negara dalam suatu region, dan sistem global, yang menjadi faktor penentu kebijakan Belanda terhadap Turki di Uni Eropa. 1.2. Pertanyaan Penelitian Faktor-faktor domestik apa saja yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda terhadap keanggotaan Turki ke Uni Eropa pada tahun 2005? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian skripsi ini untuk mengetahui Faktor-faktor domestik apa saja yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda terhadap keanggotaan Turki ke Uni Eropa dan juga sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana sosial di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Manfaat penelitian skripsi ini sebagai tambahan informasi dalam bentuk tulisan ilmiah mengenai Faktor-faktor domestik yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda terhadap keanggotaan Turki ke Uni Eropa
8
1.4. Tinjauan Pustaka Beberapa literatur mengenai keinginan masuknya Turki ke Uni Eropa lebih menekankan kepada sisi agama di negara tersebut, seperti literatur hasil karya E.J. Zürcher dan H. van der Linden (2004), The European Union, Turkey, and Islam. Didalam literatur tersebut membahas mengenai perbedaan agama diantara masyarakat Eropa dan Turki. Literatur ini juga menjelaskan mengenai Islam yang ada di Turki dan integrasinya terhadap Eropa. Dimana Turki yang menganut paham sekularisme serta tinjauan dalam penerapan di negaranya dibandingkan dengan kebiasaan dan integritas masyarakat Eropa. Kekerasaan yang muncul di Turki juga menjadi salah satu bahasan yang penting, dimana didalam literatur tersebut, Islam dikategorikan sebagai salah satu penyebab terjadinya kekerasaan di Turki. Dan kekerasaan atau apapun yang menyangkut dengan HAM, tidak sejalan dengan kriteria politik Copenhagen yang menjadi basis dasar dari syarat keanggotaan dari negara-negara yang ingin masuk kedalam Uni Eropa. Adapun literatur lain seperti jurnal yang ditulis oleh Talip Kucukcan dan Veyis Gungor, Image of Turkey and Perception of European Identity among EuroTurks in Holland (2009) lebih menekankan kepada gambaran mengenai imigran Turki. Pembentukan kelompok masyarakat Turki menjadi kelompok tersendiri tetapi tetap mengedepankan proses integrasi antara imigran Turki dengan masyarakat Belanda. Segala bentuk dukungan dan bantuan yang diberikan imigran Turki untuk pembangunan Belanda dilakukan atas dasar keinginan untuk tetap tinggal di Belanda.
9
Rusaknya penggambaran mengenai imigran Turki muncul ketika Belanda mulai kedatangan imigran Turki yang memiliki pendidikan rendah serta perbedaan mekanisme bentuk kehidupan antara di Belanda dengan di Turki. Kultur Belanda memiliki aturan norma tersendiri yang tidak sama dengan imigran Turki yang datang kemudian. Rusaknya gambaran mengenai imigran Turki bergeser menjadi keburukan dari Islam Turki. Pergeseran gambaran imigran Turki ini berdampak kepada kebijakan yang diambil pemerintahan Belanda terhadap imigran, khususnya imigran Turki. Dari uraian diatas, literatur tersebut membahas hanya dari segi perbedaan agama antara Turki dan masyarakat Eropa secara umum serta perbedaan kultur antara Turki dan Belanda. Skripsi ini ingin meneliti faktor lain yang lebih terpusat dan mendalam. Bukan hanya Uni-Eropa, tetapi juga salah satu negara anggotanya, Belanda, dimana Belanda bersikap kooperatif, tetapi dilain sisi mendapatkan pandangan berbeda dari dalam negerinya. 1.5. Kerangka Teoritis Dalam proses pembahasan mengenai faktor-faktor domestik yang mempengaruhi Kebijakan Luar Negeri Belanda terhadap Keanggotaan Turki di Uni Eropa, dalam skripsi ini menggunakan konsep kebijakan luar negeri, analisa tingkat negara dengan acuan sumber domestik kebijakan luar negeri, dan dengan prespektif konstruktivisme. Menurut Andrew Morovscik (1993:159), kebijakan luar negeri adalah upaya yang dilakukan suatu negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya berdasarkan pengaruh yang muncul dari dalam negeri seperti identitas nasional, kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam negeri.
10
Menurut Christopher Hill (2003:222) kebijakan luar negeri adalah "Foreign policy is the sum of official external relations conducted by independent actor (usually a state) in the international relations" Artinya: “Kebijakan luar negeri adalah hasil dari suatu hubungan luar negeri resmi yang dibuat oleh aktor independen (biasanya negara) dalam hubungan internasional” Selanjutnya disebutkan Morovscik bahwa negara akan membuat kebijakan luar negerinya berdasarkan kondisi dalam negeri. Sikap negara (state behavior) tergantung pada hubungan yang saling mempengaruhi antara berbagai faktor di dalam negara seperti institusi politik, konsepsi nasional dan kondisi sosial ekonomi. Menciptakan kebijakan luar negeri yang sejalan dengan masukan (input) yang didapat dari faktor-faktor tersebut sangat penting untuk menciptakan kondisi domestik yang stabil dan saling mendukung satu sama lain (Morovscik, 1993:199). Untuk membantu menganalisa faktor-faktor domestik apa sajakah yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, dalam skripsi ini juga menggunakan prespektif konstruktivisme yang dalam pendekatannya berfokus kepada interaksi sosial dari aktor atau agent didalam dunia politik (Griffiths, Martin, Steven C. Roach, & M. Scott Solomon, 2009:123). Interaksi sosial merupakan hal mendasar dalam hubungan antar manusia yang pada akhirnya akan membentuk sebuah identitas, kepentingan, dan nilai seiring berjalannya waktu. Identitas, kepentingan, dan nilai yang terbentuk atas interaksi sosial akan
11
menciptakan sebuah fakta sosial karena merupakan sebuah hasil kesepakatan dari interaksi sosial yang terjalin (Flockhart, 2012:83). Menurut Alexander Wendt (2003:1), struktur yang terbentuk di masyarakat merupakan hasil dari pemikiran atau ide secara bersama tanpa ada tekanan, dan identitas serta kepentingan yang menjadi tujuan aktor-aktor negara merupakan sebuah konstruksi dari hasil pemikiran bersama daripada sesuatu yang telah diberikan secara alami. Adanya sebuah kesepakatan antar manusia didalam masyarakat yang menciptakan gagasan mengenai jati diri masyarakat tersebut tanpa adanya unsur keterpaksaan melainkan konstruksi sosial yang dibentuk secara bersama. Triane Flockhart (2012:85) berpendapat bahwa, aksi dari agent atau aktor didalam politik internasional dipengaruhi oleh identitas dan juga mengakui adanya hal-hal penting seperti, sejarah, budaya, politik, dan konteks sosial. Pemerintahan sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan dan serta kebijakan politik baik dalam maupun luar negeri dalam proses pengambilan keputusannya berdasarkan kepada konstruksi sosial yang telah terbentuk. Struktur (pemerintahan, institusi, dll) saling berhubungan secara positif (mutually constituted) dengan aktor-aktor atau agent dalam politik (Flockhart, 2012:86). Dalam bukunya international conflict Three level of analysis, David Singer menjelaskan bahwa state level of analysis adalah upaya untuk menganalisa suatu kebijakan luar negeri yang dipengaruhi oleh struktur dalam negeri seperti kondisi politik domestik (Soltani, 2014:167). Ketika merumuskan kebijakan luar negeri, suatu negara harus mempertimbangkan tidak hanya posisinya di sistem yang lebih
12
besar seperti dunia internasional, namun juga mempertimbangkan aktor-aktor dalam negeri yang berbeda di masing-masing negara. Kebijakan luar negeri suatu negara tidak hanya merupakan sebuah pilihan atau keputusan satu individu, melainkan sebuah hasil secara keseluruhan dari interaksi yang terjadi (Wendt, 2003:149). Proses terbentuknya suatu kebijakan di negara Demokrasi adalah suatu proses yang kompleks, sulit dan tidak selalu berjalan mulus (Rourke, 2009:89). Hal ini disebabkan oleh karena banyaknya kepentingan yang muncul dari berbagai aktor politik domestik untuk menentukan kebijakan mana yang akhirnya dibuat. Namun, terciptanya sebuah kebijakan seharusnya merupakan sebuah kesepakatan terhadap kesamaan pandangan terkait identitas dan ide bersama karena adanya saling keterkaitan antara struktur dan aktor-aktor terkait (Wendt, 2003:156). Diantara aktor-aktor domestik yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri adalah pemerintahan yang tengah menjabat (political executives), lembaga legislatif, lawan politik (political opponent) kelompok kepentingan (interest groups) dan opini publik (the peoples) (Rourke, 2009:82). a.
Pemerintahan yang tengah menjabat Pemerintahan eksekutif (presiden, perdana menteri, dll) merupakan bagian
terpenting dalam proses pengambilan suatu keputusan atau kebijakan, terutama dalam kebijakan keamanan dan luar negeri. Selain pemimpin pemerintahan, eksekutif yang berpengaruh juga diantaranya adalah menteri luar negeri dan menteri pertahanan. Namun di negara Demokrasi, pemerintahan yang menjabat tidak bisa membuat kebijakannya sendiri melainkan harus mempertimbangkan
13
masukan dari aktor negara yang lain. b.
Legislatif Di negara demokratis, lembaga Legislatif memiliki peran yang besar
dalam pembuatan suatu kebijakan. Hal ini karena kewenangannya yang cukup luas seperti membuat Undang-Undang, mengawasi kinerja pemerintah eksekutif dan kewenangan lainnya. Dukungan dari lembaga legislatif sangat dibutuhkan oleh pemerintah eksekutif karena suatu kebijakan akan lebih mudah diimplementasikan jika kebijakan tersebut disetujui oleh Legislatif. c.
Kelompok kepentingan Adalah suatu kelompok yang memiliki pandangan tertentu terhadap suatu
isu dan menekan pemerintah untuk mengadopsi pandangan tersebut. Biasanya, kelompok kepentingan lebih banyak berperan aktif dalam pembuatan kebijakan dalam negeri dari pada luar negeri. Diantara kelompok kepentingan adalah cultural group seperti kelompok etnik, agama, ras dan kelompok kepentingan lain yang memiliki kepentingan atas suatu isu tertentu. Selain cultural group, kelompok kepentingan lain diantaranya adalah economic group, issue-oriented group dan transnational interest groups. d.
Opini publik (public opinion) Dalam negara Demokrasi opini publik memiliki pengaruh yang besar
dalam pembentukan suatu kebijakan (Everts & Isernia, 2001:65). Hal ini karena di semua negara Demokrasi, pemerintahan yang menjabat dipilih melalui suatu pemilihan umum yang secara langsung dipilih oleh rakyat. Karenanya, ada pengaruh tidak langsung dari opini publik terhadap kebijakan yang dibuat melalui
14
pemimpin yang dipilihnya. Meskipun tidak memiliki pengaruh langsung terhadap proses pembentukan kebijakan, warga negara akan memilih pemimpin yang memiliki kebijakan luar negeri yang sesuai dengan pandangannya. Di pihak lain, pemerintah juga membutuhkan masukan dari warga negara karena berbagai alasan. Pertama, public opinion adalah salah satu faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Kedua, para pembuat kebijakan percaya bahwa suatu kebijakan dapat lebih sukses diterapkan jika didukung oleh warga negaranya dan ketiga, para pembuat kebijakan ini harus berhati-hati dalam membuat kebijakannya karena dapat mempengaruhi suara yang di dapat dalam pemilu mendatang jika mereka mengabaikan public opinion yang mayoritas. e.
Lawan politik (political opponents) Sesuai dengan penjelasan dalam bagian public opinion, lawan politik juga
dapat mempengaruhi kebijakan yang dibuat karena mempunyai kepentingan politiknya sendiri.Pemerintahan harus berhati-hati dalam menghadapi lawan politik ini karena mereka berusaha mencari kesempatan untuk mengambil suara dari pemerintahan yang tengah menjabat untuk pemilu selanjutnya. Teori dan konsep diatas diharapkan mampu membantu dalam menganalisa faktor domestik apa saja yang mempegaruhi kebijakan luar negeri yang dibuat oleh pemerintah Belanda tarhadap isu upaya masuknya Turki ke Uni Eropa. 1.6. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis yang mengandung pengertian bahwa dalam melakukan penelitian dalam Hubungan Internasional,
15
seorang peneliti harus melihat permasalahan yang ada dan mengkaitkan permasalahan itu dengan teori dalam Hubungan Internasional (Mas’oed, 1990:223). Sedangkan metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan studi pustaka. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui teknik penelitian kepustakaan (Library Resarch) yang berkaitan dengan penggunaan data seperti buku, koran, jurnal, artikel dan bahan bacaan lainnya. Untuk mendapatkan berbagai sumber dalam skripsi ini dilakukan melalui pencarian data dengan kunjungan ke berbagai perpustakaan yang ada di Jakarta seperti perpustakaan Universitas Indonesia dan perpustakaan nasional RI serta melalui media teknologi. Selanjutnya data yang telah dikumpulkan akan dibahas dengan menggunakan teknik Pengumpulan data, yaitu penelitian kepustakaan yang dilakukan guna mencari data dari berbagai referensi untuk kemudian data itu dianalisis untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian (Nazir, 1998:54). Teknik analisa data tersebut diharapkan dapat membantu penulisan skripsi ini mengenai faktor-faktor domestik kebijakan luar negeri Belanda terhadap proposal keanggotaan Turki ke Uni Eropa pada tahun 2005. 1.7. Sistematika Penulisan Bab pertama skripsi ini membahas mengenai pernyataan masalah yang berisikan perbedaan pandangan antara pemerintah Belanda dengan publik Belanda terkait proposal Turki ke Uni Eropa, pertanyaan penelitian mengenai faktor-faktor domestik apa saja yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda terhadap
16
proposal Turki ke Uni Eropa pada tahun 2005, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran yang berdasarkan kepada konsep kebijakan luar negeri dengan prespektif konstruktivis serta menggunakan analisa berdsarkan sumber domestik kebijakan luar negeri di level negara, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Pada bab berikutnya dibahas mengenai sistem politik Belanda dan sikap politiknya terhadap proposal Turki ke Uni Eropa yang mengacu kepada poin-poin seperti, sistem pemerintahan Belanda, partai politik di Belanda, prinsip kebijakan luar negeri Belanda, posisi Belanda di Uni Eropa, dan sikap Belanda terhadap proposal keanggotaan Turki. Bab ketiga dalam skripsi ini membahas proposal keanggotaan Turki ke Uni Eropa dengan membahas mengenai perluasaan dan keanggotaan negara anggota Uni Eropa pasca Maastricht Treaty, persyaratan untuk menjadi anggota Uni Eropa, dan proposal Turki ke Uni Eropa yang membahas mengenai sejarah proposal keanggotaan Turki serta upaya Turki untuk masuk ke Uni Eropa. Bab keempat menganalisa faktor-faktor domestik yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda terhadap proposal keanggotaan Turki ke Uni Eropa pada tahun 2005 dengan melihat dari pemerintahan yang tengah menjabat, pandangan partai politik, kelompok kepentingan, serta opini publik dalam isu integrasi Turki. Dan pada bab terakhir sebagai penutup yang berupa kesimpulan.
BAB II SISTEM POLITIK DAN SIKAP POLITIK BELANDA TERHADAP PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA
2.1. Sistem Pemerintahan Belanda 2.1.1. Sistem Pemerintahan Secara geografis, Belanda merupakan negara yang relatif kecil dengan tingkat kependudukan yang cukup padat. Di Barat dan Utara Belanda berbatasan dengan samudera Atlantik, North Sea, di Timur berbatasan dengan negara industri, Jerman, dan dibagian Selatan berbatasan dengan Belgia (Local Government in The Netherlands, 2008:7). Sejak abad ke-17, Belanda merupakan salah satu dari kekuatan ekonomi di dunia. Hal tersebut dikarenakan lokasi strategis yang dimiliki Belanda, sehingga bukan sebuah kebetulan jika pasca Perang Dunia 2, Belanda memiliki peranan aktif dalam pembentukan serta pendirian yang sekarang dikenal dengan Uni Eropa (Local Government in The Netherlands, 2008:10). Banyaknya industri dan agrikultur yang baik, membuat Belanda memiliki tingkat produktivitas ekonomi yang tinggi. Belanda juga memiliki pendapatan per kapita senilai USD 45.000, sehingga Belanda menjadi salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia (http://amsterdam.info/netherlands). Dengan pendapatan per kapita yang cukup besar tersebut, Belanda secara konstan berhasil dalam membangun sistem kesejahteraan menyeluruh, baik pendidikan, kesehatan, dan bahkan dana pensiun, dengan cara membuat efisiensi dalam
17
18
pemerintahan (Ministry of Foreign Affairs of The Netherlands, 2013). Sejak tahun 1815 saat kerajaan Belanda secara resmi dibentuk melalui perkumpulan kekuatan besar Eropa melalui kongres yang dilaksanakan di Wina, Belanda menggunakan sistem pemerintahan Monarki Konstitusional (Politics in Netherlands, 2013:11). Kepemimpinan tertinggi pemerintahan Belanda berada pada kekuasaan Raja atau Ratu Belanda, dengan peraturan yang diatur melalui konstitusi. Kekuasaan Raja atau Ratu Belanda mengalami perubahan melalui amandemen pada konstitusi. Proses amandemen terbesar yang terjadi pada konstitusi Belanda terjadi pada tahun 1848, dan amandemen terhadap konstitusi Belanda pada saat itu menjadi penanda awal terciptanya Demokrasi Parlementer yang ada di Belanda (Politics in Netherlands, 2013:11). Amandemen tersebut dimaksudkan untuk menyeimbangkan kekuasaan eksekutif dengan parlemen serta lembaga-lembaga hukum dan pemerintahan lainnya. Gagasan mengenai penyeimbangan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan parlemen dikenal dengan istilah konstitusionalisme (Constitutionalism). Menurut Carl J. Fredrich dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik (Budiardjo, 2008:112), Konstitusionalisme adalah: “A set of activities organized and operated on behalf of the people but subject to a series of restraints which attempt to ensure that the power which is needed for such governance is not abused by those who are called upon to do the govering”
19
Artinya: “Suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah”. Pembatasan kekuasaan tersebut dimaksudkan agar sistem pemerintahan yg berjalan tidak bertindak sewenang-wenang. Monarki Belanda tetap merupakan anggota resmi dari pemerintahan hal tersebut tertulis dalam Konstitusi Belanda tetapi tidak memiliki kewajiban politik. Pada artikel 42 dalam Konstitusi Belanda disebutkan bahwa, 1. Pemerintahan terdiri dari Raja dan para Menteri. 2. Para Menteri, dan bukan Raja, bertanggung jawab atas berjalannya pemerintahan (Politics in Netherlands, 2013:12). Hal ini menjadikan Parlemen sebagai badan tertinggi di Belanda, yang bahkan Raja atau Ratu Belanda, menjadi subordinate parlemen. Pada dasarnya, sebuah kekuasaan merupakan tugas yang diberikan atas unsur kepercayaan oleh satu orang atau kelompok, kepada orang tertentu yang diberikan kewenangan untuk membawa kelompok tersebut menjadi lebih baik. Monarki Konstitusional yang ada di Belanda, sebelumnya disebutkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan, seperti pemikiran Lord Acton, seorang ahli sejarah Inggris menyatakan, “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”, yang artinya “kekuasaan cenderung disalahgunakan, tetapi, kekuasaan tak terbatas pasti akan disalahgunakan secara tak terbatas” (Budiardjo, 2008:107).
20
Dengan Demokrasi Parlementer atau Konstitusional, hal tersebut bisa diminimalisir, karena amandemen yang terjadi di Belanda pada tahun 1848 bertujuan
untuk
mencegah
hal
tersebut,
dan
lebih
bertujuan
untuk
mensejahterakan masyarakat. Menurut Talcott Parson, kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif (Budiardjo, 2008:63). Dengan kekuasaan yang lebih mengarah kepada kepentingan masyarakat atau Demokrasi, Belanda berusaha menjamin adanya hak-hak yang tetap dimiliki masyarakat tanpa campur tangan dari pemerintah dan meminimalisir terjadinya perusakan kekuasaan oleh penguasa. Dengan menggunakan sistem Rules of Law yang menjamin supremasi hukum atas hak-hak warga negaranya. 2.1.2. Konstitusi Pada tahun 1815 ketika Kerajaan Belanda berdiri untuk pertama kalinya dan juga munculnya konstitusi serta adanya Parlemen Belanda (States General), dengan adanya permintaan dari bagian selatan Belanda (pada era modern, kebanyakan pada akhirnya menjadi Belgia), didirikan dua lembaga perwakilan, yang pertama adalah Senat, yang dipilih oleh Raja Belanda, dan yang kedua adalah Dewan Perwakilan yang dipilih oleh orang-orang kaya di Belanda (The Binnenhof, 2013:14). Meskipun sudah ada Dewan Perwakilan Rakyat, proses pemilihan untuk perwakilan rakyat tersebut dinilai kurang mewakili karena hanya dipilih oleh kalangan atas, di Kerajaan Belanda. Namun kemudian, pada 1848, dengan melihat
21
fenomena yang terjadi di masyarakat, Menteri Kerajaan Belanda, Johan Rudolph Thorbecke, merancang kembali konstitusi Belanda dengan amandemen sehingga mengurangi pengaruh politik Raja Belanda (Michels, 2007:8). Langkah yang diambil oleh Thorbecke menjadi sebuah langkah penting dalam sistem perpolitikan serta sistem parlemen Belanda. Dengan melakukan hal tersebut, Thorbecke membuat sebuah gebrakan baru dalam perkembangan sistem demokrasi di Belanda yang bertahan sampai sekarang. Prinsip konstitusi yang digunakan oleh parlemen Belanda berdasarkan kepada Konstitusi Belanda. Konstitusi tersebut berisikan mengenai aturan-aturan kewarganegaraan, aturan dalam hak memilih, aturan Kotamadya, dan aturan untuk Provinsi yang ada di Belanda. Politik fundamental dan hak sosial masyarakat Belanda tertuang pada bagian pertama dari Konstitusi Belanda. Pada Artikel 1 disebutkan bahwa: “All persons in the Netherlands shall be treated equally in equal cases. Discrimination on the grounds of religion, philosophy of life, political persuasion, race, sex or any other ground is not permitted” (The Dutch Political System in Nutshell, 2008:10). Artinya: “Setiap orang di negara Belanda harus diperlakukan setara dalam segala bentuk. Diskriminasi terhadap hal yang berkaitan dengan agama, tata cara pandangan hidup, pandangan politik, ras, perbedaan gender atau yang lainnya tidak diperkenankan”.
22
Dengan demikian pemerintahan Belanda memberikan kebebasan dalam menjalankan kehidupan masyarakatnya. Kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, hak untuk memilih dan dipilih, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berserikat, hak atas kebebasan pribadi, hak atas kepemilikan dan yang terpenting hak untuk merdeka, meskipun kedua hak terakhir bisa dicabut melalui pengadilan (The Dutch Political System in Nutshell, 2008:11). Kebebasan yang didapat oleh warga negara Belanda tersebut merupakan hak-hak perorangan yang tidak dapat diganggu gugat. Hal tersebut adalah Rules of Law yang dijlankan oleh pemerintahan Belanda. Dikemukakan bahwa syaratsyarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah Rules of Law (Budiardjo, 2008:116) adalah: a. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa, konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin. b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals). c. Pemilihan umum yang bebas. d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat. e. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi. f. Pendidikan kewarganegaraan (civil education).
23
2.1.3. Lembaga pemerintahan Sejak tahun 1918, setiap warga negara Belanda berhak memilih dan dipilih dalam lingkup Parlemen (Lower House), Dewan Provinsi, Dewan Kotamadya, dan sejak tahun 1979, berhak atas Parlmen Eropa (European Parliament) (Local Government in The Netherlands, 2008:16). Dewan perwakilan yang dipilih oleh warga negara Belanda berdasarkan kepada sistem representasi yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Sebagai wakil dari masyarakat, diharapkan Dewan Perwakilan mewakili suara rakyat Belanda. Tercantum dalam UU Belanda artikel 50 (Grondwet, 2008) bahwa Parlemen harus mewakili seluruh masyarakat Belanda. Parlemen (States General) yang ada di Belanda dibagi menjadi dua, Upper House (Eerste Kamer) dan Lower House (Tweede Kamer). Lower House memiliki total 150 anggota di parlemen, sedangkan Upper House hanya memiliki 75 anggota (Summary of Statutory Regulations, 2008:9). Lower House (Tweede Kamer) “Lower House shall consist of one hundred and fifty members” (Grondwet, 2008). Lower House dipilih langsung oleh publik Belanda yang memiliki hak pilih yang sah. Artikel 54 UU Belanda menyatakan mengenai pemilih yang sah adalah, 1. “The member of Lower House shall be elected directly by Dutch nationals who attained the age of eighteen, with the exception of any Dutch nationals who may be excluded by act of Parliement by virtue of the fact they are not resident in the Netherlands”
24
2. “Anyone who has commited an offence designated by Act of Parliement and has been sentenced as a result by a final and conclusive judgement of a court of law to a custodial sentence of not less than one year and simultaneously disqualified from voting, shall not be entitled to vote” (Grondwet, 2008). Lower House memiliki 150 anggota yang dipilih langsung oleh masyarakat Belanda yang memiliki hak pilih yang sah, dan memiliki masa jabatan selama empat tahun, terkecuali jika parlemen mengalami kejatuhan yang kemudian diharuskan melakukan pemilihan ulang (The Dutch Political System in Nutshell, 2008:31). Lower House atau House of Representatives memiliki peranan yang lebih besar dibandingkan dengan Upper House atau Senat. Tugas utama dari Lower House adalah membantu dalam pembuatan undang-undang dan memastikan pemerintah menjalankan tugasnya dengan tepat (Tweede Kamer, 2013:4). dengan demikian rancanan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah hanya bisa di setujui oleh Lower House, dan Lower House berhak untuk melakukan amandemen terhadap RUU ataupun UU yang berlaku (The Dutch Political System in Nutshell, 2008:33). Upper House (Eerste Kamer) Anggota dari Senat atau Upper House dipilih oleh anggota Dewan Provonsi tak lebih dari tiga bulan setelah pemilihan Dewan Provinsi (Politics in The Netherlands, 2013:34). Pemilihan terhadap Senat pada awalnya dilakukan oleh Raja Belanda, tetapi setelah amandemen yang dilakukan Thorbecke pada tahun 1848, merubah cara pemilihan Senat menjadi berada ditangan Dewan
25
Provinsi. Dewan Provinsi dipilih dalam waktu empat tahun sekali, berbarengan dengan pemilihan Lower House. Upper House atau Senat, dipilih secara tidak langsung oleh anggota Dewan Provinsi (Tweede Kamer, 2013:5). Meskipun Upper House tidak memiliki tugas sebesar Lower House, Upper House memiliki kontribusi penting dalam pengesahan UU yang di ajukan pemerintah atau pengesahan dalam amandemen yang diajukan oleh Lower House. Upper House juga memiliki tempat khusus dalam pemerintahan Belanda dan memiliki fungsi prinsip dalam memberikan opini secara menyeluruh terhadap RUU pada akhir proses yang dilakukan legislatif (Eerste Kamer der StatenGeneraal, 2009:6). Meskipun tidak dapat melakukan amandemen terhadap UU, Upper House memiliki hak yang cukup vital dalam UU, yaitu mengesahkan atau membatalkan. Namun demikian, sebelum Upper House melakukan pengesahan atau penolakan terhadap UU, ada proses yang harus dicapai, yaitu “nouvelle”. Meski Upper House tidak memiliki hak amandemen seperti Lower House, Upper House masih bisa memberikan tekanan kepada perintah dengan mengkritisi secara beralasan mengenai UU yang diajukan, dan proses ini dinamakan “nouvelle” (Eerste Kamer der Staten-Generaal, 2009:8). Pemerintah yang mengajukan UU atau Lower House yang ingin mengamandemen UU diharuskan memberikan alasan yang konkrit kepada Upper House, sehingga permintaan dalam UU yang diajukan menjadi pertimbangan bagi Upper House untuk mengesahkan atau tidak.
26
The Government Berdasarkan
kepada
Konstitusi
Belanda,
The
Government
atau
pemerintahan Belanda terdiri dari Raja dan para Menteri. Ketika Raja berasal dari garis keturunan Raja William I, Pangeran Orange-Nassau, maka lain halnya dengan para menteri. Para menteri ditunjuk atau diberhentikan langsung oleh Raja. Hal tersebut tercantum dalam Konstitusi Belanda chapter 2 artikel 43, yang berisi, “The Prime Minister and the other Ministers shall be appointed and dismissed by Royal decree” (Grondwet, 2008). Artinya “Perdana Menteri dan para Menteri lainnya ditunjuk dan diberhentikan oleh keputusan (titah) kerajaan”. Tugas dan tanggung jawab para menteri ini tidak hanya tugas mengenai kementerian, tetapi juga mengenai tindakan dan perkataan yang dilakukan oleh Raja dan anggota kerajaan. Bisa dikatakan bahwa, menurut Konstitusi, Raja tidak memiliki kewenangan dalam masalah politik karena hal tersebut dijalankan oleh Perdana Menteri dan jajaran menteri lainnya. Perintah juga memiliki para sekertaris negara yang mendampingi para menteri. Sekertaris negara ini memiliki tugas yang lebih spesifik, biasanya berkaitan langsung dengan parlemen (Politics in The Netherlands, 2013:65). Perdana Menteri, jajaran menteri, dan jajaran sekertaris negara inilah yang disebut sebagai kabinet pemerintahan di Belanda yang bertugas menjalankan pemerintahan Belanda dan bertanggung jawab atas segala aksinya di dan dalam pemerintahan.
27
2.2. Partai Politik di Belanda Kemunculan partai politik pertama di Belanda terjadi pada pertengahan abad ke-19. Partai politik di Belanda muncul dengan tujuan untuk mewakili pandangan masyarakat terhadap skema politik yang ada di Belanda. 1.
Christian Democratic Appeal
Christian Democratic Appeal atau Christen Democratish Appèl (CDA) terbentuk dari penggabungan tiga partai pertama yang ada di Belanda. Pertama adalah Anti-Revolutinary Party (ARP), The Reformed Protestan Church, dan Roman Catholic Party. CDA memiliki empat prinsip utama yang menjadi pedoman dasar, yaitu, keadilan, saling berbagi tanggung jawab atas pemerintahan dan masyarakat, solidaritas, serta pelayanan (saling berbagi tanggung jawab atas lingkungan dan kultur) (Politics in The Netherlands, 2013:20). CDA merupakan partai besar yang ada di Belanda serta memiliki tujuan untuk saling berbagi dalam hal apapun. CDA berpedoman erat kepada Injil (Bible), sehingga dapat dengan mudah berintegrasi dengan masyarakat Belanda. 2.
The Labour Party
The Labour Party atau Partij van de Arbeid (PvdA) merupakan partai dengan pandangan mengenai solidaritas, yang lebih spesifik mengenai masyarakat yang tidak memiliki posisi menguntungkan di masyarakat, bertujuan untuk membela kelas pekerja yang ada di Belanda (Politics in The Netherlands, 2013:20). PvdA pada awalnya berusaha masuk ke segmen masyarakat secara menyeluruh, baik lapisan masyarakat yang memiliki pandangan sekuler maupun agamis. Namun demikian, hal tersebut gagal dilakukan, dan dengan kegagalan
28
tersebut, PvdA lebih memilih untuk berusaha memberikan gambaran mengenai partainya secara bertahap, sehingga asumsi mengenai partai buruh yang agak kekiri-an bisa memudar. 3.
People’s Party for Freedom and Democracy
People’s Party for Freedom and Democracy atau Volkspartij voor Vrijheid en Democratie (VVD) bergerak atas dasar pergerakan Dutch Liberal (Politics in The Netherlands, 2013:21). Awalnya para Liberal menolak mendirikan partai. Tetapi kemudian, karena mulai merebaknya berbagai kejadian yang ada di Belanda, para Liberal ini memutuskan untuk membuat partai agar dapat mengawal kebebasan yang ada di Belanda. Pandangan serta tujuan VVD adalah untuk membatasi intervensi pemerintah dalam hal yang berkaitan dengan sosial dan ekonomi. VVD juga senantiasa mengingatkan dan mengedepankan isu mengenai hak kebebasan tiap individu di Belanda menjadi tujuan utamanya yang mengacu kepada Konstitusi Belanda. Ketiga partai tersebut adalah partai terbesar yang ada di Belanda. Masih ada partai-partai lain yang muncul beriringan setelah itu. Sebut saja Socialist Party (SP) yang kemudian menjadi rival dari PvdA. SP memiliki pandangan yang berbeda dengan partai-partai lainnya dan mencanangkan isu tempat tinggal dan kesehatan sebagai isu penting. Ada pula partai lain seperti, The Party Green Left yang merupakan hasil peleburan partai-partai kecil di Belanda. Partai ini berisikan orang-orang berideologi Pacifist, Katolik radikal, Evangelist, dan Komunis. Kemudian partai Democrat 66 (D66) yang lebih mengarah kepada pandangan serta pemikiran sosial dan liberal. Muncul partai yang bertujuan untuk
29
menghentikan imigrasi dan melakukan penentangan terhadap Islam, yaitu Freedom Party (PVV), dipimpin oleh poitikus kontroversi, Geert Wilders, yang senantiasa melancarkan berbagai kritikan terhadap Islam. Dan yang terakhir adalah Party of the Animals (PvdD) yang bertujuan untuk mensejahterakan serta melindungi hak hewan atau binatang (The Dutch Political System in Nutshell, 2008:14). 2.3. Prinsip Kebijakan Luar Negeri Belanda Prinsip kebijakan luar negeri Belanda berasaskan kepada tiga hal, yaitu kebijakan mengenai keamanan dan HAM, unifikasi Uni Eropa atau integrasi Uni Eropa, serta bantuan untuk pembangunan kepada negara-negara berkembang (Baehr, 1980:223). Sudah dalam kurun waktu yang lama Belanda melakukan serangkaian aksi dalam mepromosikan sistem internasional yang stabil. Mempromosikan Hak Asasi Manusia keseluruh dunia juga merupakan hal yang telah dilakukan Belanda, seperti penentangan terhadap terorisme, diskriminasi dan lainnya. Proteksi atas kehidupan manusia serta memberikan jaminan secara utuh, adalah merupakan HAM yang relevan bagi setiap orang di dunia. Salah satu cara Belanda menjalankan prinsip kebijakan luar negerinya adalah dengan bantuan dari The Center for International Legal Cooperation (CILC). CILC merupakan organisasi non-profit yang membantu Belanda dalam memberikan perkembangan serta menjalankan prinsip kebijakan LN Belanda (Annual Report 2007:6). Selain itu Belanda juga memiliki agenda mengenai bantuan kepada negaranegara berkembang. Dalam hal ini pemerintahan Belanda membentuk sebuah
30
lembaga yang bertanggung jawab atas hal tersebut, yaitu Official Development Assistance (ODA). Fokus dari ODA adalah menjadi donatur bagi negara-negara miskin. Belanda akan selalu bersama negara termiskin (Considerations on ODA, 2013). Maksud dari perkataan tersebut menjurus kepada perhatian Belanda secara khusus terhadap negara-negara berkembang atau bahkan negara-negara miskin. Belanda akan terus berjuang melawan kemiskinan dan menciptakan kesetaraan menyeluruh bagi setiap masyarakat di dunia. Ketiga, mengenai unifikasi serta integrasi Uni Eropa, Belanda memiliki tanggung jawab terhadap kestabilan serta selalu memberikan dukungannya secara penuh terhadap Uni Eropa. Dukungan Belanda ini tercermin dari sikap serta aksi politiknya dengan cara melalui lembaga-lembaga yang ada dan atau bekerjasama dengan Uni Eropa. Sebut saja, NATO, Lembaga Ekonomi Eropa, dan bahkan sampai pengembangan terhadap Rules of Law bagi negara-negara yang sedang mengalami krisis internal atau eksternal serta negara-negara yang menginginkan masuk ke Uni Eropa, tetapi masih memiliki permasalahan pada sektor tersebut, yang dinamakan dengan Program Matra. 2.4. Posisi Belanda di Uni Eropa Secara historis, Belanda merupakan salah satu pendiri Uni Eropa bersama dengan Belgia, Perancis, Jerman, Italia, Luxemburg (http://europa.eu). Meskipun Belanda tidak sebesar Jerman atau Perancis, Belanda memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam hal ide dan pemikiran terhadap Uni Eropa, baik dari segi pembuat perundang-undangan Uni Eropa. Belanda juga merupakan salah satu kekuatan ekonomi besar di dunia. Belanda juga merupakan pemberi sumbangan
31
terbesar untuk Uni Eropa. Dasar dari pengaruh Belanda di Uni Eropa, ditunjukan dengan keseriusan Belanda terhadap Uni Eropa, dengan menjadikan Uni Eropa sebagai salah satu dasar prinsip dari kebijakan politik luar negeri Belanda. Berdasarkan hasil keputusan dari pertemuan Uni Eropa di Kopenhagen pada tahun 2002, bahwa proses masuknya Turki akan dilakukan kembali, dan jika pada Desember 2004 Turki memenuhi kriteria yang diajukan, Uni Eropa akan membuka accession negotiations terhadap Turki tanpa adanya penundaan (Council of European Union, 2003). Hasil tersebut sebenarnya sejalan dengan keinginan pemerintah Belanda yang menginginkan Turki menjadi anggota dari Uni Eropa. Ada sebuah keuntungan sekaligus hambatan bagi Belanda, yaitu, pada tahun 2004, kepresidenan Uni Eropa di jabat oleh Belanda. Terjadi sedikit keraguan atau bahkan ketidakjelasan atas apa yang akan dilakukan Belanda mengenai langkah dalam membawa Turki ke Uni Eropa (Hollander, 2007:17). Meskipun demikian, ada keinginan Belanda yang lain, yaitu mensuksekan proses kepemimpinan Belanda hingga akhir. Pada masa Belanda sebagai pemimpin Uni Eropa (pada tahun 2004), Belanda semaksimal mungkin menjadi mediator atas pre-accession Turki. Hal tersebut ditunjukan dari sikap yang dilakukan oleh Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, dan Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Bot meyakinkan negara-negara Uni Eropa lainnya untuk meloloskan Turki menjadi anggota tetap Uni Eropa. Bisa dikatakan bahwa, pemerintah Belanda sebagai “penyambung lidah” antara Uni Eropa dan Turki.
32
2.5. Sikap Belanda Terhadap Proposal Keanggotaan Turki Salah satu dari prinsip kebijakan luar negeri Belanda adalah mengenai Uni Eropa. Baik mengenai penyatuan hingga perluasaan (enlargment) adalah sebuah perhatian khusus yang diberikan Belanda terhadap Uni Eropa. Kerjasama antara Belanda dan Turki merupakan kerjasama yang sudah melalui waktu yang cukup panjang. Pada 2012, kerjasama Belanda dan Turki sudah memasuki tahun ke-400 (Netherlands Ministry of Foreign Affairs, 2012) dalam hal ini ditunjukan dengan kedekatan Belanda terhadap Turki. Keinginan Turki untuk masuk ke Uni Eropa dibantu oleh Belanda. Ketika Uni Eropa mempertanyakan mengenai HAM yang ada di Turki, Belanda pun berupaya dalam membantu prosesi penyelarasan Hak Asasi Manusia yang ada di Turki dengan bantuan yang diberikan pemerintah Belanda melalui program Matra (http://government.nl/issues/matra). Dengan bantuan yang diberikan Belanda terhadap Turki, bertujuan agar Turki dengan secepatnya menjadi anggota Uni Eropa. Penantian panjang Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa mulai tercerahkan dibawah kendali Belanda. Namun demikian, Belanda berusaha berupaya profesional. Meski memberikan perhatian lebih atas Turki, tetapi Belanda juga berusaha menjadi figur yang mencerminkan Uni Eropa secara keseluruhan dikarenakan tugas yang diembannya tersebut. Pemerintah Belanda selalu percaya mengenai besarnya Turki, mampu menjadi keuntungan tersendiri bagi Uni Eropa. Bisa dikatakan, menurut Belanda, Uni Eropa akan sempurna jika benar-benar mengabaikan perbedaan Uni Eropa dengan Turki.
BAB III PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI DI UNI EROPA
3.1. Perluasan dan Keanggotaan Negara Anggota Uni Eropa Pasca Maastricht Treaty Uni Eropa terbentuk resmi pada tahun 1992 ketika para negara anggota menyetujui Perjanjian Maastricht atau Maastricht Treaty yang menandakan perubahan European Community menjadi Uni Eropa. Perjanjian ini antara lain mengatur kebijakan mata uang tunggal, yaitu, Euro sebagai satu-satunya mata uang bagi negara-negara Uni Eropa. Perjanjian ini juga mengatur mengenai perjanjian kerjasama negara-negara Uni Eropa di bidang pendidikan seperti pembentukan Erasmus dan pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintahan Eropa seperti Parlemen Eropa, Mahkamah Eropa, Badan Pemeriksa Keuangan Eropa dan Komisi Ekonomi dan Sosial Eropa. Perjanjian kerjasama yang terbentuk selanjutnya seperti Amsterdam Treaty (1997), Nice Treaty (2000) dan Lisbon Treaty (2007) merupakan pengaturan teknis yang menyempurnakan perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya dalam Maastricht Treaty (Treaty of Maastricht, 2010). Tabel III.1 Perjanjian Penting dalam Sejarah Uni Eropa Tahun 1952
Perjanjian Perjanjian Paris (Paris treaty)
Pembahasan utama Mengatur tentang produksi batu bara dan besi antara masing-masing negara anggota.
33
34
1957
Perjanjian Roma (Rome Treaty)
1985
Perjanjian Schangen (Schengen agreement) Single European Act
Merencanakan terbentuknya pasar bersama dan tercapainya perjanjian untuk menghilangkan tarif imasuk untuk barangbarang yang diproduksi oleh negara anggota.
Penghapusan kontrol di perbatasan antar negara dan kebijakan visa tunggal 1987 Penghapusan biaya perpindahan bagi orang, barang, servis maupun modal di antara negara anggota. 1992 Perjanjian Maastricht Tercapainya kesepakatan penyatuan (union) (Maastricht Treaty) dalam tiga hal Ekonomi berlakunya mata uang tunggal (Euro) Politik perubahan nama dari European Community menjadi European Union Keamanan dan kebijakan di dalam UE pembentukan pilar dan struktur Uni Eropa Sumber Christiansen, important events in the history of the EU. 2001 Secara geografis, negara-negara Uni Eropa terletak di benua Eropa. Namun tidak semua negara yang terletak di Benua Eropa merupakan anggota dari Uni Eropa. Beberapa negara di sebelah Timur Eropa seperti Rusia, Ukraina dan Belarusia bukan anggota Uni Eropa. Sedangkan 19 dari ke-27 negara anggota Uni Eropa yang terletak di Eropa Barat memiliki letak yang berdekatan sehingga hanya dibatasi oleh perbatasan darat. Negara-negara Uni Eropa meliputi 66.000 km garis pantai yang meliputi Laut Atlantik, Laut Meditterania, Laut Hitam dan laut Baltik. Sedangkan dataran tinggi yang terletak di Uni Eropa adalah Gunung Alpen, Gunung Carpathian, gunung Balkan dan Gunung Skandinavia dengan titik tertinggi adalah Mont Blanc di Swiss (let’s explore Europe!, 2008:5). Perluasan Uni Eropa di mulai dengan bergabungnya sembilan negara ke Uni Eropa yaitu Inggris, Denmark, Irlandia, Yunani, Portugal, Spanyol Austria,
35
Finlandia
dan
Swedia.
Peristiwa
diruntuhkannya
tembok
Berlin
yang
melambangkan penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur pada tahun 1990 juga menjadi peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Uni Eropa. Peristiwa ini menandakan berakhirnya kontrol Uni Soviet di Eropa sehingga memunculkan gelombang demokratisasi di negara-negara Eropa yang sebelumnya Komunis (Christiansen, 2001:496). Uni Eropa pun menerima banyak negara yang sebelumnya merupakan bekas Komunis untuk ikut bergabung dengan Uni Eropa seperti Bulgaria, Polandia, Rep. Ceko, Slovenia, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Slovakia dan Rumania, Cyprus dan Malta. Dengan perkembangan ini, maka Uni Eropa beranggotakan 27 negara yang terdiri dari bagian timur, tengah dan barat Eropa. Pada tahun 2013, Kroasia menjadi anggota terbaru Uni-Eropa, sekaligus menjadi negara ke-28, yang disetujui pada 1 Juli 2013 (European Commission, 2013). Kroasia pertama kali mengajukan proposal keanggotaan pada tahun 2003. Selama proses sejak pengajuan hingga diterimanya keanggotaan Kroasia secara resmi, pada tahun 2011 Uni Eropa melakukan penilaian tentang kondisi Kroasia. Hal ini diperlukan karena Kroasia harus memenuhi kriteria Kopenhagen yang menjadi syarat utama keanggotaan Uni Eropa. Dengan masuknya Kroasia pada 2013, maka negara ini menjadi negara bekas Yugoslavia kedua yang menjadi anggota Uni Eropa setelah Slovenia di tahun 2004 (Europa, 2013).
36
Tabel III.2 Daftar Nama Negara-Negara Anggota Uni Eropa No. Negara Tahun masuk 1 Netherlands 1953 2 Germany 1953 3 France 1953 4 Italy 1953 5 Belgium 1953 6 Luxembourg 1953 7 United Kingdom 1973 8 Denmark 1973 9 Ireland 1973 10 Greece 1981 11 Portugal 1986 12 Spain 1986 13 Swedan 1995 14 Austria 1995 15 Finland 1995 16 Cyprus 2004 17 Czech Republic 2004 18 Estonia 2004 19 Hungary 2004 20 Latvia 2004 21 Lithuania 2004 22 Malta 2004 23 Poland 2004 24 Slovakia 2004 25 Slovenia 2004 26 Bulgaria 2007 27 Romania 2007 28 Croatia 2013 Sumber Europa.eu, list of member countries. http//europa.eu/about-eu/countries/ Selain ke-28 negara yang sudah disebutkan diatas, Uni Eropa juga tengah memproses proposal keanggotaan yang diajukan oleh negara-negara exYugoslavia
seperti
Albania,
Bosnia
Herzegovina,
Macedonia,
Kosovo,
Montenegro, Serbia, serta dua negara non-Balkan yaitu Turki dan Islandia.
37
3.2. Persyaratan untuk Menjadi Anggota Uni Eropa Pada bulan Juni 1993 Uni Eropa mengadakan Sidang Dewan Eropa di Kopenhagen, pada sidang tersebut Dewan Eropa memutuskan bahwa negaranegara di Eropa Tengah maupun Eropa Timur yang ingin menjadi anggota Uni Eropa dapat diproses serta menjadi anggota Uni Eropa. Status keanggotaan Uni Eropa akan diberikan jika negara yang ingin bergabung menjadi anggota Uni Eropa mampu memenuhi beberapa kriteria baik Ekonomi maupun Politik. Kriteria tersebut dicantumkan dalam Kriteria Kopenhagen, yang dideklarasikan pada Sidang Dewan Eropa Juni 1993. Dalam Kriteria Kopenhagen, disebutkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi jika suatu negara ingin menjadi anggota Uni Eropa (European Comission, 1998). Adapun bunyi Kriteria Kopenhagen ini adalah “Membership requires that the candidate country” a. “Has achieved stability of institution guarenting Democracy, the rule of law, human rights and respects for and protection of minority” b. “The existence of a functioning market economy as well as the capacity to cope with competitive pressures and market forces within the Union” c. “Has the ability to take on the obligations of membership including adherence to the aim of political, economic and monetary union.” Negara calon anggota harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. “Telah mencapai stabilitas pemerintahan yang demokratis,
38
berjalannya aturan hukum dan penghormatan terhadap HAM serta perlindungan kepada kaum minoritas” b. “Ekonomi pasar yang berfungsi dengan baik serta kemampuan negara dalam menghadapi tekanan dan kekuatan pasar yang kompetitif di dalam Uni Eropa”. c. “Memiliki kemampuan dan komitmen dalam rangka pencapaian tujuan Uni Eropa di bidang politik, ekonomi dan moneter”. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa keanggotaan Uni Eropa diberikan ketika suatu negara telah memenuhi tiga kriteria, yaitu kriteria politik, ekonomi dan kriteria untuk memiliki visi yang sama dengan Uni Eropa dalam pencapaian cita-cita bersama. Kriteria-kriteria tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam penjabaran berikut ini (Communication from The Commission to The European Parliament and The Council, 2009-2010:3): a.
Kriteria Politik Dalam laporan yang diberikan oleh Komisi Eropa ke Parlemen dan dewan
Eropa (Communication from The Commission to The European Parliament and The Council, 2009-2010:6), di jelaskan bahwa kriteria politik bagi negara calon anggota Uni Eropa mengharuskan negara tersebut telah mencapai suatu tingkat institusi kenegaraan yang stabil serta dapat menjamin berjalannya pemerintahan secara demokratis dan terlaksananya aturan-aturan hukum dan menjaga kehormatan serta perlindungan terhadap kaum minoritas. Sejak pengajuan proposal keanggotaan Turki ke Uni Eropa pada tahun 1959, Turki mengalami berbagai macam instabilitas politik seperti kudeta yang
39
dilancarkan oleh elit militer (1960, 1971 dan 1980), invasi ke Cyprus Utara pada tahun 1974 dan peperangan dengan Kurdistan Worker’s Party (PKK), kelompok separatisme suku Kurdi yang ingin memisahkan diri dari Turki. Operasi militer yang dilancarkan oleh tentara Turki ini melibatkan hingga 45 ribu tentara dan menyebabkan 15 ribu suku Kurdi kehilangan tempat tinggalnya dan menjadi pengungsi di Irak (Turkey Timeline, 2012). Negara-negara yang menginginkan menjadi anggota Uni Eropa, terutama Turki, diharapkan tidak hanya mengakui prinsip Demokrasi dan aturan hukum yang berlaku, tetapi juga harus mempraktekkan prinsip-prinsip tersebut kedalam kehidupan sehari-hari baik dalam bernegara maupun dalam ranah sosial masyarakat. Negara calon anggota juga harus menjamin bahwa lembaga-lembaga negara yang ada bisa beroperasi dengan stabil. Dengan adanya stabilitas dalam lembaga-lembaga otoritas publik seperti kehakiman, keamanan dan pemerintahan lokal, maka nilai-nilai Demokrasi dapat diterapkan. Selain kehidupan yang demokratis, kriteria Kopenhagen juga menekankan terhadap penghormatan atas kaum minoritas. Penghormatan ini merupakan salah satu hal yang wajib dipenuhi dalam pemenuhan kriteria untuk menjadi anggota Uni Eropa karena merupakan salah satu unsur perlindungan HAM yang tercantum dalam Konvensi Dewan Eropa mengenai perlindungan HAM. Selain itu, adanya integrasi antara populasi minoritas dan mayoritas di suatu negara adalah syarat bagi terbentuknya negara yang Demokrasi (Communication from The Commission to The European Parliament and The Council, 2009-2010:13).
40
b.
Kriteria Ekonomi Kriteria
Ekonomi
yang
tercantum
dalam
Kriteria
Kopenhagen
mengharuskan negara calon anggota Uni Eropa untuk memastikan ekonomi pasarnya berfungsi dengan baik dan mampu bersaing dengan negara-negara Uni Eropa lainnya (Communication from The Commission to The European Parliament and The Council, 2009-2010:33). Untuk menjamin berfungsinya ekonomi pasar, maka beberapa kondisi berikut perlu dipenuhi oleh negara calon anggota. Yaitu: 1. Tercapainya keseimbangan antara penawaran dan permintaan yang muncul akibat adanya kebebasan bersaing dari kekuatan pasar. 2. Tidak adanya hambatan terhadap keluar masuknya barang atau jasa kedalam suatu negara (free trade area). 3. Berlakunya sistem hukum termasuk pengaturan atas hak cipta sehingga kontrak bisnis dapat dilakukan. 4. Tercapainya stabilitas makro ekonomi termasuk stabilitas keuangan publik. 5. Adanya konsensus bersama dari masyarakat terkait kebijakan ekonomi. Selain kelima kondisi diatas, negara calon anggota Uni Eropa juga harus memiliki daya saing ekonomi yang kuat, sehingga mampu bersaing saat menghadapi tekanan persaingan dengan negara-negara anggota di dalam Uni Eropa.
41
Untuk mencapai hal tersebut, suatu negara juga harus mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti, 1. Tingkat stabilitas ekonomi makro yang baik, sehingga pelaku ekonomi dapat mengambil keputusan dalam nuansa perekonomian yang stabil. 2. Jumlah modal finansial dan manusia yang cukup, termasuk juga tersedianya infrastruktur yang memadai untuk
menjamin
berlangsungnya
pendidikan
dan
penelitian dengan jumlah biaya yang sesuai. 3. Adanya batasan-batasan, sejauh mana pemerintah dapat mempengaruhi
daya
saing
perekonomian
melalui
kebijakan perdagangan, persaingan, bantuan negara, bahkan dukungan bagi usaha kecil menengah. 4. Banyaknya barang serta jenis barang yang telah diperdagangkan dengan negara anggota. 5. Proporsi perusahaan kecil dalam ekonomi. c.
Kriteria untuk memiliki visi yang sama dengan Uni Eropa dalam
pencapaian cita-cita bersama Dalam proses untuk dapat menjadi negara anggota Uni Eropa, negara calon anggota harus dapat menerima tujuan yang tercantum dalam Treaty on European Union termasuk juga tujuan Uni-Moneter, Uni-Ekonomi dan UniPolitik. Negara-negara calon anggota juga harus turut serta dalam berpartisipasi dan ikut mendukung upaya Uni Eropa untuk membentuk kebijakan keamanan
42
dalam dan luar negeri bersama yang merupakan cita-cita Uni Eropa (Communication from The Commission to The European Parliament and The Council, 2009-2010:39). 3.3. Proposal Turki ke Uni Eropa 3.3.1. Sejarah Proposal Keanggotaan Turki ke Uni Eropa Turki merupakan negara Islam dengan sistem pemerintahan khalifah, Pada tahun 1923, sejak menjadi Republik, Turki melakukan revolusi dibawah pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk (Aydinli & Waxman, 2001:381). Turki berubah menjadi negara sekuler dan lebih condong ke negara-negara barat. Attaturk bersama pengikutnya yang tergabung dalam partai Republik (Republican People’s Party) meyakini bahwa faktor utama yang harus dilakukan jika ingin menjadi negara yang maju seperti negara-negara barat adalah dengan memisahkan ajaran Islam (agama) dari kehidupan bernegara. Seiring dengan diberlakukannya prinsip ini, Turki akhirnya menginginkan untuk menjadi anggota Uni Eropa sebagai tujuan utama kebijakan luar negerinya. Proses Turki untuk menjadi negara anggota Uni Eropa dimulai ketika negara itu mengajukan proposal keanggotaan untuk pertama kalinya pada tahun 1959 ketika Uni Eropa masih berbentuk European Economic Communities (Europa, 2012). Sebagai respon, ditandatanganilah perjanjian Ankara (Ankara Agreement) antara Uni Eropa dan Turki pada tahun 1963 yang bertujuan untuk mempersiapkan Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa. Selanjutnya pada tahun 1987 Turki mengajukan proposal keanggotaan penuh saat di pimpin oleh Presiden Turgut Ozal. Presiden Ozal meyakini bahwa
43
keanggotaan Turki di Uni Eropa akan mampu mendorong pemodal asing untuk berinvestasi di Turki. Dua tahun kemudian, yaitu pada 1989, komisi Uni Eropa di Brussels memberi jawaban atas aplikasi keanggotaan yang diajukan Turki yang berisi dukungan atas usaha Turki untuk bisa berintegrasi dengan Eropa. Namun jawaban ini tidak menetapkan tanggal pasti kapan Turki akan diterima menjadi anggota Uni Eropa. Dalam jawabannya komisi Eropa menyebutkan beberapa alasan mengapa belum bisa menerima Turki ke Uni Eropa, diantaranya adalah Uni Eropa belum siap untuk memperluas keanggotaannya dan menilai bahwa Turki belum siap menjadi anggota Uni Eropa. Penolakan ini berkaitan dengan permasalahan HAM yang terjadi di Turki dimana terjadi pembantaian terhadap etnis minoritas Kurdi dan kondisi ekonomi Turki yang masih dibawah standar Uni Eropa (Aydinli & Waxman, 2001:382). Dengan adanya keputusan ini, maka Komisi Eropa meyarankan agar sebaiknya hubungan Turki dan Uni Eropa dikuatkan lagi dengan tetap menggunakan Ankara Association Agreement sebagai kerangka kerjasama untuk upaya integrasi Turki ke Uni Eropa di masa depan. Usul ini kemudian disetujui oleh Turki pada tahun 1990 di Dublin, Irlandia. Pada KTT Luxemburg di tahun 1997, Turki dikejutkan dengan tidak dimasukannya Turki ke dalam daftar negara kandidat anggota oleh Uni Eropa. Padahal kerjasama pemenuhan Ankara Association Agreement antara kedua belah pihak telah berlangsung cukup lama sejak perjanjian terakhir di tahun 1990. Hal ini memunculkan protes dari pihak Turki karena menilai negara-negara lain yang
44
masuk kedalam daftar negara kandidat seperti Slovakia, Bulgaria dan Rumania yang baru berubah dari sistem Komunis ke Demokrasi memiliki kondisi politik dan ekonomi yang lebih lemah dibandingkan Turki (Aydinli & Waxman, 2001:383). Baru pada tahun 1999 dalam KTT Helsinski Uni Eropa secara formal menerima proposal keanggotaan Turki dan memberikan status “negara kandidat” kepada Turki. Dengan diberikannya status ini, maka proses negosiasi dan diplomasi antara Turki dan Uni Eropa dilanjutkan kembali meskipun masih tanpa kepastian kapankah Turki akan bergabung dan menjadi anggota penuh Uni Eropa. Dengan diberikannya status ini, Turki berusaha mereformasi pemerintahannya agar sesuai dengan Kriteria Kopenhagen yang telah disyaratkan oleh Uni Eropa (Aydinli & Waxman, 2001:382). Pada tahun 2001, disetujuilah European Union Acession Partnership antara Turki dan Uni Eropa (Yavuz & Kahn, 2004:392). Dokumen ini berisi hasil penilaian atas proses pemenuhan Kriteria Kopenhagen yang telah dilakukan oleh Turki berdasarkan pada Ankara Agreement yang menjadi kerangka dasar penilaian atas kedua belah pihak. Dalam penilaian ini, Uni Eropa menegaskan mengenai pelaksanaan HAM dan demokratisasi yang dinilai belum memenuhi syarat untuk menjadi negara anggota Uni Eropa. Pada November 2002, Turki menggelar pemilu demokratis pertamanya dan hasilnya adalah kemenangan partai oposisi yang didirikan oleh Racep Tayyip Erdogan, dan ini dimaksudkan pula untuk merubah keadaan yang terus menghambat keanggotaan Turki. Sedangkan partai Republik yang diisi oleh elit
45
Militer dan Kemalist berada di posisi kedua. Hal ini kemudian mengantarkan Erdogan menjadi Perdana Menteri Turki (Yavuz & Kahn, 2004:392). Dalam menjalankan pemerintahannya, Erdogan melakukan reformasi politik dengan mengamandemen Undang-Undang terkait peran militer di pemerintahan dan membatasi campur tangan militer dalam Badan Keamanan Negara. Perdana Menteri Erdogan bahkan mengalihkan anggaran militer yang sebelumnya diatur oleh militer menjadi oleh sipil. Dalam hal etnis Kurdi, Erdogan juga membolehkan siaran radio dalam bahasa Turki yang sebelumnya dilarang. Sebulan setelah pemilu, Uni Eropa yang mengadakan pertemuan Copenhagen Summit di Denmark mendeklarasikan bahwa negosiasi keanggotaan Turki bisa dimulai pada tahun 2004 jika Turki berhasil memenuhi persyaratan hukum yang diminta. Pada tahun 2004, Uni Eropa menepati janjinya dengan menyetujui rencana negosiasi keanggotaan Turki agar dibuka kembali dan akan dimulai pada tahun 2005. Hal ini menjadi babak baru bagi pemerintahan Turki yang telah begitu lama mengharapkan keanggotaan Uni Eropa. Tabel III. 3 Turkey-EU Membership Timeline Tahun 1959
Peristiwa Turki mengajukan proposal keanggotaan EU untuk pertama kalinya, saat itu EU masih bernama EEC
1963
Disetujuinya perjanjian Ankara “Ankara agreement” sebagai kerangka dasar bagi hubungan Turki-EU Turki mengajukan keanggotaan penuh di EEC Disetujuinya perjanjian custom union antara Turki dan Uni Eropa UE menyatakan Turki memenuhi syarat untuk menjadi anggota Uni Eropa
1987 1995 1997
46
Turki mendapatkan status “country candidate” Uni Eropa setuju untuk membuka accession negotiations dengan Turki 2005 Acession Negotiations antara Turki dan EU resmi dimulai Sumber: http://ec.europa.eu/enlargement/countries/detailed\1999 2004
countryinformation/turkey/index.en 3.3.2. Upaya Turki Untuk Masuk ke Uni Eropa Sejak berubah menjadi negara sekuler Turki menjadikan keanggotaan Uni Eropa sebagai tujuan dari kebijakan luar negerinya. Sebagai dasar ideologi negara, Turki juga mengadopsi nilai-nilai dari Attaturkisme (Dinan, 2000:467) yang berisi prinsip-prinsip Republikanisme, Nasionalisme, Sekularisme, Demokrasi serta Reformasi. Namun sejak pengajuan proposal keanggotaan Turki ke Uni Eropa pada tahun 1959, Turki mengalami berbagai macam instabilitas politik (Turkey Timeline, 2012). Kondisi seperti ini tentu saja menghambat keanggotaan Turki di Uni Eropa. Pada tahun 1987, Komisi Eropa menyatakan bahwa Acession talks antara Turki dan Uni Eropa belum bisa dimulai karena ketidakstabilan kondisi ekonomi dan politik Turki serta hubungan buruk Turki dengan Yunani dan konflik dengan Cyprus (Turkey 2007 Progress Report, 2007:6). Sikap ini ditegaskan kembali dalam accession talks yang dibuka oleh Dewan Uni Eropa pada tahun 1997 yang hanya melibatkan Cyprus tetapi belum melibatkan Turki. Di tahun 2001, pengadilan HAM Uni Eropa menyatakan Turki bersalah karena telah melanggar HAM penduduk Cyprus-Yunani selama masa pendudukan Turki di Cyprus. Di tahun yang sama Uni Eropa juga menangguhkan penerimaan Turki karena Uni Eropa menilai Turki telah melanggar HAM atas suku minoritas
47
Kurdi (Turkey 2007 Progress Report, 2007:12) Seiring dengan masih belum diterimanya proposal keanggotaan Turki, Pemerintahan Turki yang baru dibawah pimpinan Presiden Abdullah Gul dan Perdana menteri Racep Tayyip Erdogan dari partai Justice and Development party (AKP) kemudian menyadari bahwa meskipun sekularisme budaya penting, namun nilai-nilai dasar demokratisasi seperti pemerintahan yang tidak otoriter dan penghargaan terhadap HAM juga merupakan aspek penting yang harus dipenuhi jika Turki ingin menjadi anggota Uni Eropa (Khan & Yavuz, 2003:122). Faktor tersebut yang belum mampu dipenuhi oleh pemerintahan Kemalist yang militeristik dan otoriter. Karenanya, partai AKP yang dipimpin oleh Abdullah Gul dan Recep Tayyip Erdogan yang berhasil menduduki pemerintahan lewat pemilu pada tahun 2002 memiliki visi yang lebih demokratis, toleran dan civilian-ruled demi memenuhi persyaratan demokrasi yang diberlakukan oleh Uni Eropa. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk memenuhi kriteria dalam Acession Partnership yang disetujui dengan Uni Eropa, namun juga untuk mendapatkan keanggotaan penuh yang juga menjadi tujuan kebijakan luar negeri pemerintahan Erdogan (Khan & Yavuz, 2003:122). Dalam upaya mereformasi pemerintahan baru dibawah Perdana Menteri Erdogan, dimulai dengan mengamandemen Undang-Undang yang membatasi peran militer di pemerintahan dan mengalihkan urusan keuangan yang sebelumnya diatur oleh militer menjadi diatur oleh sipil (Khan & Yavuz, 2004:392). Dalam hal suku Kurdi, Parlemen Turki juga mencabut larangan penggunaan bahasa Kurdi sejak tahun 2003 dan terus mengurangi personil militer
48
yang ditempatkan di wilayah Kurdi, yaitu di Turki selatan. Untuk membantu integrasi suku Kurdi dengan bangsa Turki, pemerintah juga meluncurkan program “Kurdish Initiative” yang memberikan hak bahasa dan kebudayaan kepada suku Kurdi (Turkey Profile, 2013). Pada tahun 2004 untuk pertama kalinya Turki membolehkan siaran televisi berbahasa Kurdi di Turki dan di tahun yang sama juga Turki mencabut praktek hukuman mati dimana hal ini kemudian mendapatkan sambutan positif dari Uni Eropa. Upaya perubahan ini memberikan hasil positif bagi Turki dimana dalam laporan accession pertamanya sejak proses acession dimulai pada tahun 2004, disebutkan bahwa Turki telah mengalami perubahan yang fundamental terutama dalam bidang HAM, hak-hak wanita, hak minoritas dan hak penduduk nonMuslim. Hubungan Turki dengan Yunani juga membaik, ditandai dengan semakin banyaknya perjanjian bilateral yang dibuat oleh kedua negara. Sedangkan dalam hal permasalahan dengan Cyprus, Turki juga telah menunjukkan kemajuan positif dengan ikut mendukung upaya PBB dalam mengakhiri konflik Cyprus (EU commission progress report on Turkey, 2005). Akhirnya pada 3 Oktober 2005 proses negosiasi (acession process) antara Turki dan Uni Eropa secara resmi dimulai. Pada tahun 2006, negosiasi antara Uni Eropa dan Turki menemui jalan buntu ketika Turki menolak mengakui kemerdekaan Cyprus (europa.eu, 2012). Akhirnya, negosiasi baru dimulai lagi pada tahun 2010 serta membahas mengenai keamanan pangan, veternitarian dan kebijakan kesehatan. Negosiasi-negosiasi lain mengenai seluruh persyaratan yang tercantum dalam accession partnership
49
document ini akan terus berlanjut dalam proses yang tidak terbatas pada waktu dan dapat berubah kapan saja (open-ended process). Dalam bidang politik, komisi Uni Eropa menilai Turki terus berupaya memenuhi kriteria politik Uni Eropa dengan terus melakukan perubahan. Perubahan ini diantaranya adalah pada September 2010, Turki mengamandemen undang-undangnya yang berhubungan dengan hak dasar dan yang berkaitan dengan administrasi publik. Undang-Undang ini juga merubah sistem militer Turki dengan membatasi campur tangan militer di pemerintahan dan merubah kembali struktur sistem pengadilan. Selain itu, Undang-Undang ini juga menjamin perlindungan hukum bagi anak-anak dan wanita, perlindungan data penduduk dan pendirian Ombudsman atau Advokat publik yang ditunjuk oleh pemerintah (EU Commission Progress Report on Turkey, 2010). Dalam bidang ekonomi, hasil evaluasi komisi Uni Eropa yang dilaporkan pada tahun 2010 itu menyebutkan bahwa Uni Eropa memiliki sistem pasar yang berfungsi (functioning market economy) dan pertumbuhan ekonomi terus meningkat setiap tahunnya. Turki juga memberikan kemudahan investasi hingga perkembangan ekonomi baik di sektor publik maupun swasta mengalami pertumbuhan. Laporan ini juga menyebutkan bahwa Turki telah berhasil membuat perubahan yang substansial dalam pemerintahannya dalam rangka finalisasi negosiasi antara Turki dan Uni Eropa (EU Commission Progress Report on Turkey, 2010). Sejak dibukanya negosiasi masuknya Turki ke Uni Eropa yang dimulai pada tahun 2005 hingga tahun 2012, Turki dan Uni Eropa sudah membuka 13 sesi
50
negosiasi dari 35 sesi yang harus dipenuhi Turki sebelum akhirnya keputusan akhir diambil. Dari ke-13 sesi itu, hanya satu yang sudah selesai pembahasannya yaitu dalam hal ilmu pengetahuan dan penelitian. Setelah pembahasan itu selesai pada tahun 2010, pembicaraan terkait accession Turki belum dilanjutkan kembali dan belum ada sesi baru yang dibuka. Sedangkan ada sekitar 18 sesi yang dibekukan oleh Uni Eropa karena sikap Turki yang menolak kapal laut dari Cyprus mendarat dipelabuhannya dan 10 sesi lainnya di-veto oleh pemerintah Perancis dan Cyprus (Head, 2012).
BAB IV ANALISA FAKTOR-FAKTOR DOMESTIK YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI BELANDA TERHADAP PROPOSAL KEANGGOTAAN TURKI KE UNI EROPA PADA TAHUN 2005
Bagian ini akan mencoba memberikan analisa mengenai faktor-faktor domestik yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Belanda pada tahun 2005 terkait proposal keanggotaan Turki di Uni Eropa. Telah dijelaskan di bagian sebelumnya, bahwa, faktor domestik yang mempengaruhi kebijakan luar negeri berasal dari pemerintah yang menjabat, partai politik, kelompok kepentingan, dan juga opini publik. 4.1. Pemerintahan yang Tengah Menjabat Belanda merupakan negara dengan sistem Monarki Konstitusional. Dengan kepala pemerintahan Perdana Menteri. Perdana Menteri Belanda pada tahun 2005 adalah Jan Peter Balkenende, anggota dari partai CDA yang memiliki cara pandangan objektif terhadap masalah di Uni Eropa, terutama masalah accession Turki ke Uni Eropa. Pemerintahan yang berjalan di Belanda pada tahun 2004-2005 merupakan pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan umum yang ada di Belanda pada tahun 2002, dimana pemilu ini merupakan pemilu yang berbeda dari pemilu Belanda yang terjadi pada masa sebelumnya (Jones, 2002:62). Perbedaan pemilu ini dengan pemilu sebelumnya adalah adanya partai List Pim Fortuyn (LPF) dengan pemimpinnya Pim Fortuyn yang memiliki sudut
51
52
pandang populis atau ekstrim-kanan serta membawa pemikiran mengenai antiimigran yang sudah terlalu merebak di Belanda dan juga kematian Fortuyn yang tewas dibunuh beberapa hari sebelum hasil pemilu keluar (Jones, 2002:67). Meskipun terjadi sedikit gejolak, dikarenakan terjadinya pembunuhan atas seorang politisi tidak pernah terjadi di Belanda sejak Kerajaan Belanda berdiri, hal tersebut tetap membuat pemerintahan terus berjalan. Ditunjuknya Jan Peter Balkenende sebagai Perdana Menteri oleh Ratu Beatrix, meyakinkan Balkenende sebagai penerus dari kebijakan luar negeri Belanda yang sudah ada dari masa lalu. Keinginan Belanda dari masa pemerintahan sebelumnya adalah menjaga kestabilan Uni Eropa dan membuka jalan bagi siapapun yang ingin masuk ke Uni Eropa melalui pertimbangan khusus, terutama posisi negara yang berada di Eropa dan sisanya mengikuti kriteria yang telah disepakati sebelumnya. Keinginan pemerintah terkait perluasan (enlargment) Uni Eropa, bersifat lebih leluasa. Pemerintah Belanda selalu mendukung enlargment Uni Eropa, dan menerima proposal negara-negara yang ingin masuk ke Uni Eropa. Salah satunya adalah Turki. Pemerintahan Belanda berpandangan bahwa masuknya Turki ke Uni Eropa akan membawa perubahan besar. Perubahan ini berkaitan dengan pengaruh yang dimiliki Turki terhadap kasus-kasus Transatlantic, Timur-Tengah, dan bahkan pemerintah Belanda percaya bahwa Turki mampu menjadi jembatan Uni Eropa kepada dunia Islam (Yackley, 2008:10). Pada masa kepresidenan Belanda pada tahun 2004, Belanda berhasil menyelesaikan tampuk kepemimpinannya dengan baik. Namun demikian, kepercayaan diri dari pemerintahan Belanda ini masih terkesan sepihak.
53
Dikarenakan, dalam sejarahnya, opini publik selalu mengikuti arus pemerintah. Seiring berjalannya Uni Eropa yang sudah cukup lama, yaitu sekitar tujuh tahun (perhitungan berdirinya Uni Eropa tahun 1992 sampai 2004), Publik mulai mempertanyakan mengenai keputusan yang pemerintah ambil di Uni Eropa, dikarenakan setiap keputusan yang pemerintah Belanda ambil, akan diterapkan menjadi bagian dari publik. Hal ini sedikit demi sedikit membuat publik merasa terbebani dengan keputusan yang diambil oleh pemerintah Belanda di Uni Eropa dikarenakan ada beberapa keputusan yang diambil, seperti, pemberlakuan mata uang Euro yang disinyalir mempermudah dan menguntungkan, malah membuat publik kecewa karena segala sesuatunya (kebutuhan hidup) menjadi lebih mahal, sehingga publik Belanda tidak menginginkan kejadian yang sama terhadap apa yang akan terjadi di Uni Eropa yang akan merugikan publik Belanda (Dekker, van der Horst, Kok, van Noije, & Wennekers, 2008:39). Pada tahun 2005, Uni Eropa mengadakan ratifikasi terhadap Konstitusi Uni Eropa yang baru, dimana konstitusi tersebut berisi mengenai beberapa hal, dan salah satunya mengenai perluasaan Uni Eropa. Publik Belanda memiliki andil dalam proses ini, dikarenakan pemerintahan Belanda menggunakan skema referendum. Publik Belanda akan memilih, apakah akan menyetujui konstitusi Uni Eropa atau tidak, dikarenakan hal ini cukup penting, karena akan mempengaruhi kebijakan yang akan pemerintah Belanda ambil terutama mengenai Turki di Uni Eropa.
54
4.2. Partai Politik Atzo Nicolai menyatakan dalam pidatonya dalam simposium “Turkey and The EU: Looking Beyond Prejudice” pada 4 April 2004, bahwa, “Turkey can count on the Netherlands, during its Presidency, to do its utmost to ensure a fair and objective decision.” “Religion will not be an issue. Our motto will be, “a deal is a deal”” (Nicolai, 2004:16) Artinya: “Turki bisa mengandalkan Belanda, ketika masa Belanda sebagai pemimpin Uni Eropa, dan dengan sepenuhnya memastikan keputusan yang adil dan objektif.” “Agama tidak akan menjadi isu. Motto kami akan menjadi, “kesepakatan adalah kesepakatan””. Meskipun ada janji secara lisan yang disampaikan oleh anggota kabinet Belanda, para anggota di dalam kabinet Belanda yang lain, ada yang tidak meyakini dengan pesan yang disampaikan oleh Nikolai. Bahkan beberapa dari anggota kabinet tetap melakukan penolakan terhadap masuknya Turki ke Uni Eropa. Dua tokoh CDA, Cees Veerman, Menteri Pertanian, dan Aart Jan de Geus, Menteri Sosial, berpendapat bahwa accession dari sebuah negara Islam besar seperti Turki, tidak konsisten dengan warisan Kristen di Eropa (Hollander, 2007:18). Tak luput juga, dari anggota VVD pun demikian. Menteri Dalam Negeri, Johan Remkes, Menteri Kesehatan, Hans Hoogevorst, dan Menteri Keuangan, Gerrit
Zalm, menolak masuknya Turki karena faktor ekonomi,
yang
dikhawatirkan memungkinkan terjadinya imigrasi besar-besaran oleh Turki ke
55
negara anggota Uni Eropa dan menambah beban bagi negara anggota yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi (Hollander, 2007:18). The Christian Democratic Party (CDA) Partai pengusung dua orang terpenting di Belanda, Perdana Menteri Jan Peter Balkenende dan Menteri Luar Negeri Bernard Bot, memiliki kritik terhadap keanggotaan Turki di Uni Eropa. Meski Balkenende dan Bot, sama-sama mendukung accession negotiations Turki ke Uni Eropa secara konsisten mengenai keanggotaan resmi Turki. Namun demikian, tetap ada pandangan kontra, meski pandangan kontra yang dibawa anggota partai CDA lainnya berfokus kepada pandangan agama Turki yang merupakan Islam (ketakutan terhadap Islam ekstrim atau Islamophobia). Kekhawatiran yang ditakutkan oleh anggota CDA tersebut ditentang oleh Maxime Verhagen, ketua dari fraksi parlemen, menyatakan dengan jelas bahwa agama bukan sesuatu hal yang dijadikan perdebatan atas accession Turki ke Uni Eropa (Hollander, 2007:18). Hal tersebut serupa dengan yang dikatakan oleh senior CDA, Arie Oostlander, bahwasanya permasalahan antara Turki dan Uni Eropa semata-mata permasalahan politik dan sistem pemerintahan yang berlaku (Beyond Enlargement Fatigue, 2006:6). The Liberal Party (VVD) Partai besar lainnya yang terbagi dalam pro-kontra accession Turki adalah VVD. Atzo Nikolai yang merupakan sekertaris urusan Eropa, secara konsisten mendukung keanggotaan Turki, dan juga memainkan peranan penting dalam memediasi Turki, hal tersebut tidak hanya terlihat dari perkataannya yang telah
56
disebutkan sebeumnya, tetapi dari aksi nyata yang Nikolai lakukan dalam membawa misi penyuksesan accession Turki ke Uni Eropa. Meski pun Nikolai menjadi bagian yang mendukung, lain halnya dengan para koleganya di partai dimana Nikolai berada. Anggota VVD, para kolega Nikolai, baik yang berada di kabinet dan fraksi liberal parlemen tidak teryakini dengan perkataan Nikolai, dan menunjuk bahwa Turki hanya akan menambah beban keuangan di Belanda (Hollander, 2007:21). Namun akhirnya, VVD tetap menyepakati dan mengikuti kemauan pemerintah, yaitu mendukung accession Turki ke Uni Eropa. The Labour Party (PvdA) Ketika dua partai besar di Belanda masih memiliki sedikit keraguan terhadap Turki, lain halnya dengan PvdA yang justru mendukung accession Turki secara penuh. Pada tahun 2004, Frans Timmermans, anggota PvdA pernah menyatakan bahwa, “Jika kita menolak Turki atas dasar Islam, sama saja dengan mengatakan kepada jutaan penduduk Muslim yang tinggal disini, bahwa, 'kalian tidak diterima disini'” (Beyond Enlargement Fatigue, 2006:16). Pernyataan Timmermans tersebut cukup tegas dalam dukungannya terhadap masuknya Turki ke Uni Eropa. Hal serupa pun ditunjukan oleh koleganya yang merupakan pemimpin PvdA, Wouter Bos yang menyatakan dalam tulisannya dalam surat kabar Volkskrant bahwa, Turki merupakan milik Uni Eropa, dan Turki yang memiliki fokus terhadap Uni Eropa adalah pendukung dalam menjaga perdamaian dan keamanan di benua Eropa (Beyond Enlargement Fatigue, 2006:16).
57
Pernyataan secara langsung dari pimpinan partai biasanya merupakan pernyataan yang cukup krusial jika ada perbedaan diantara anggotanya, tapi tidak demikian dengan PvdA, yang mengikuti instruksi dari pimpinannya dalam mendukung accession Turki ke Uni Eropa. Dari ketiga partai besar tersebut, hampir mengatakan hal senada, yaitu, mendukung bergabungnya Turki ke Uni Eropa. Hal yang menjadi pertimbangan bahwa ketiga partai ini mendukung Turki ke Uni Eropa adalah mengenai multikultural yang ada di Belanda. Sejak awal berdirinya, Kerajaan Belanda merupakan sebuah melting pot atau tempat pertemuan berbagai perbedaan budaya yang saling berasimilasi dan berakulturasi dengan baik. Selain itu, Turki dinilai mampu untuk menanggulangi permasalahan transatlantic dan juga sebagai jembatan Uni Eropa terhadap dunia Islam. Berbeda pandangan dengan partai-partai minoritas di Belanda, yang menjadi oposisi dari tiga partai besar tersebut. SP, LPF, dan partai minoritas lain, menolak atas apa yang di ajukan oleh pemerintah dalam mendukung accession Turki ke Uni Eropa. Basis atau dasar yang diutarakan oleh partai-partai ini adalah mengenai perihal imigrasi besar-besaran yang akan menyerang Belanda, yang nantinya dapat menyebabkan krisis identitas Eropa khususnya Belanda. Ketakutan terhadap Islam juga menjadi pemikiran partai-partai ini dalam menolak Turki ke Uni Eropa. Partai-partai tersebut juga berpendapat bahwa Uni Eropa merupakan kebudayaan Kristen.
58
4.3. Kelompok Kepentingan Ketika partai-partai kecil menolak accession Turki ke Uni Eropa, begitu pula dengan Geert Wilders. Mantan anggota parlemen yang keluar dari partai VVD pada tahun 2004 karena ketidaksepahaman Wilders dengan VVD mengenai accession Turki ke Uni Eropa. Setelah keluarnya Wilders dari VVD, Wilders mendirikan Grup Wilders (Groep Wilders) yang berpandangan mengenai antiimigrasi, penolakan atas perluasaan Uni Eropa, dan masuknya Turki ke Uni Eropa (Harmsen, 2007). Groep Wilders merupakan cikal bakal berdirinya Freedom Party atau PVV pada tahun 2005. Grup Wilders pada mulanya mengkritisi pemerintah Belanda terhadap kontribusi pendanaan pemerintah yang terlalu besar. Namun, Grup Wilders melihat bahwa imigran yang ada di Belanda semakin banyak, dan mulai mendominasi Belanda. Grup Wilders dengan pemikirannya menjadi penerus dari pemikiran Fortuyn yang tewas pada 2002, sebuah pemikiran konservatif antiimigran. Wilders pernah mengatakan bahwa, "Turki terlalu besar, terlalu miskin, dan terlalu muslim. Bahkan secara geografis dan sejarah, Turki bukan bagian dari Uni Eropa" (Hollander, 2007:22). Sebuah pernyataan yang diberikan oleh Wilders tersebut cukup kontroversi. Pernyataan tersebut merupakan sindiran terhadap Turki. Sejak serangan 11 September di Amerika Serikat, pembunuhan Fortuyn (2002), dan bahkan pembunuhan atas sutradara Theo Van Gogh (2004), menjadi kebangkitan kembali atas ketakutan terhadap Islam di Belanda. Wilders menilai bahwa semakin banyaknya imigran yang hadir di Belanda, akan menciptakan krisis
59
identitas di Belanda. Pada tahun 2005 akan diadakannya ratifikasi terhadap konstitusi Uni Eropa, dan disini Wilders melihat bahwa, dari segi perluasaan Uni Eropa, harus mendapat perhatian khusus, karena perluasaan yang terjadi di Uni Eropa akan membawa dampak besar apalagi jika Turki dapat dengan mudah masuk ke Uni Eropa. Jika Turki masuk ke Uni Eropa, akan merubah skema Uni Eropa. Uni Eropa yang pengambilan keputusan kebijakannya melalui jajak pendapat serta dari banyaknya jumlah penduduk, akan dengan mudah di dominasi oleh Turki. Jumlah penduduk Turki bahkan lebih banyak dari negara-negara yang memiliki dominasi di Uni Eropa, yaitu Jerman, Perancis, dan Inggris. Dengan adanya hal tersebut, pada tahun 2005, Wilders mengkampanyekan untuk menolak konstitusi Uni Eropa yang dinilai lebih banyak merugikan publik Belanda. Dengan mengkampanyekan penolakan terhadap konstitusi Uni Eropa, Wilders berharap bahwa accession Turki bisa diredam dan dipikirkan ulang oleh pemerintah Belanda. Penjabaran yang dilakukan oleh Wilders dapat dikatakan sebagai pandangan eurosceptical atau keraguan terhadap Eropa terkait permasalahan Turki yang berkaitan dengan imigrasi dan Islam fundamental serta permasalahan etnik dan budaya. 4.4. Opini Publik Dalam Isu Integrasi Turki Sejak beberapa tahun terakhir, topik mengenai perluasaan Uni Eropa menjadi perhatian khusus, terutama sejak tahun 1999 dan seterusnya yang membahas mengenai accession Turki ke Uni Eropa (Hollander, 2007:25). Eurosceptism sudah menjangkit publik Belanda terhadap masuknya Turki ke Uni
60
Eropa. Awalnya, publik tidak memiliki permasalahan khusus mengenai masuknya Turki di Uni Eropa, bahkan menurut Eurobarometer, publik Belanda mendukung kebijakan pemerintah Belanda dalam membantu accession Turki ke Uni Eropa. Namun, Hasil dari referendum dalam pengesahan Konstitusi Uni Eropa yang baru, menunjukan bahwa publik menolak konstitusi tersebut dengan persentase 62% (http//www.dw.de/dutch-reject-eu-constitution/a-1603076). Penolakan tersebut berkaitan dengan permasalahan perluasan didalam Konstitusi Uni Eropa yang juga berkaitan dengan krisis identitas yang mungkin terjadi, serta kebijakan pemerintah Belanda yang akan diambil kedepan terutama mengenai sikap Belanda terhadap Turki. Publik menilai bahwa Uni Eropa bergerak terlalu cepat dan terburu-buru. Setelah dikejutkan atas pembunuhan Pim Fortuyn pada tahun 2002 dan pembunuhan Theo Van Gogh, seorang sutradara film kontroversi yang dibunuh oleh militan Islam pada tahun 2004 (Mohd Zin, Ahmad & Sakat, 2011:2966). Publik juga mengalami sebuah shock-theraphy, dimana ditemukannya jaringan militan Islam di Belanda (Leidschendam, 2002). Ketika berbicara mengenai Islam, publik Belanda akan mengacu kepada dua elemen imigran, Turki dan Maroko. Turki sebagai salah satu imigran terbesar di Belanda, mendapat perhatian khusus publik Belanda (McLaren, 2007:258). Imigran Turki yang menjadi newcomers menjadi perhatian yang dinilai perlu dipertimbangkan oleh pemerintah Belanda dikarenakan imigran Turki yang menjadi newcomers di Belanda merupakan sebuah krisis yang dialami publik Belanda. Perbedaan dari cara hidup, budaya, dan cara pandang Turki, bisa
61
dikategorikan sebagai perusakan dalam tatanan hidup yang telah ada di Belanda. Menurut Tajfel dan Turner, terkait dengan teori identitas sosial adalah bahwa, psikologi sosial terkait kebiasaan, yang memberikan pemikiran bahwa identitas dari satu anggota kelompok mewakili seluruh anggotanya (Alexander, Levin & Henry,
2005:33).
Dengan
kematian
Fortuyn,
Fortuyn
berhasil
dalam
“mengembalikan” ingatan publik Belanda terhadap banyaknya imigran yang datang ke Belanda. Hal ini memicu penurunan dukungan publik terhadap Turki. Publik menilai bahwa, jika memang Turki menginginkan masuk ke Uni Eropa, sebaiknya Turki melakukan perubahan terhadap HAM dan juga berkaitan pula dengan hakhak perempuan. Publik Belanda menilai dalam hal politik ataupun ekonomi, Turki dinilai masih belum mampu untuk memenuhinya. Sebanyak 96% publik Belanda menilai Turki harus memperbaiki sistem HAM dan sebanyak 86% merasa Turki harus mengembangkan ekonominya (Eurobarometer 63.4, 2005:4). Pada tahun 2005, ketika Uni Eropa memutuskan untuk memperbaharui konstitusi Uni Eropa, dan kepercayaan diri yang tinggi dari pemerintahan bahwa publik akan mendukung keputusan pemerintah, mendapat sambutan lain dari publik Belanda. Publik lebih menekankan terhadap penyelarasan sistem Turki dengan Kriteria Kopenhagen sedangkan pemerintah Belanda yang terlalu menginginkan Turki, seakan mengabaikan pandangan publik. Publik yang sudah merasa cukup atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah Belanda, merasa perlu mengambil tindakan agar pemerintah menyadari bahwa suara masyarakat atau publik Belanda harus di dengar (Best,
62
2007:181). Imigran yang semakin banyak di Belanda juga dinilai publik sebagai hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah, karena mulai menipisnya lapangan pekerjaan serta tidak memakmurkan publik Belanda sendiri. Islam, sejak terjadinya serangan 11 September, dikenal sebagai fundamental di Eropa. Hal ini yang dikhawatirkan pula oleh publik Belanda, dan membawa
terror
tersendiri
serta
mengembalikan
pandangan
mengenai
Islamophobia bagi publik Belanda (Saz, 2011:481). Walaupun Turki sebagai negara sekuler, publik masih beranggapan bahwa Islam merupakan hal utama di Turki. Pandangan tersebut menciptakan image tersendiri bagi publik Belanda. Image dari sebuah negara adalah kumpulan dari kepercayaan pemikiran masyarakat, ide, dan kesan terhadap sebuah negara (Jenes, 2012:4). Image Turki sebagai masyarakat yang masih memiliki kekurangan dalam hal ekonomi, politik, dan HAM, membuat publik berpandangan hal serupa terhadap Islam (Saz, 2011:482). Perbedaan mengenai kultur, budaya, serta sejarah Turki juga membuat pandangan publik bahwa, Turki bukan bagian Eropa dan hanya sebagian dari geografis Turki yang masuk ke Eropa. Sebayak 55% dari publik Belanda sepakat bahwa perbedaan budaya antara Turki dan Eropa terlalu besar (Eurobarometer 66, 2006:6). Publik juga beranggapan bahwa penolakan terhadap konstitusi Uni Eropa, bukan penolakan terhadap Uni Eropa, melainkan, penolakan terhadap kinerja Uni Eropa, terutama kinerja pemerintah Belanda dan penolakan terhadap accession Turki ke Uni Eropa (Grosskopf, 2007:6). Penolakan ini mengejutkan
63
pemerintahan Belanda, dimana pemerintah merasa optimis pada awalnya, tetapi mendapat hasil yang mengecewakan. Dengan penolakan ini pula, pemerintah melihat sikap publik sebagai sebuah perhatian khusus. Pemerintah Belanda pada akhirnya meredam keinginan untuk memaksakan masuknya Turki ke Uni Eropa. Terjadi kesepahaman antara publik dan perintah. Pemerintah Belanda, dalam menjaga integritas politiknya pun mengambil langkah yang pas. Langkah politik tersebut bisa dikategorikan sebagai win-win solution. Kedekatan pemerintah Belanda dengan Turki serta keinginan publik Belanda, menjadi perhatian khusus pemerintah Belanda, sehigga Belanda mengambil keputusan untuk mengembalikan proses masuknya Turki ke Uni Eropa kepada Kriteria Kopenhagen sesuai dengan keinginan publik Belanda.
BAB V PENUTUP Sejak pengajuan Turki menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 1959, Turki mengalami pasang surut dalam proses penerimaannya sebagai anggota Uni Eropa. Turki mengalami penolakan terhadap permasalahan yang diemban Turki terutama permasalahan Cyprus, HAM, serta perkembangan ekonomi Turki. Belanda yang notabene sebagai pendukung accession Turki ke Uni Eropa melakukan berbagai upaya dalam melancarkan proses Turki bergabung dengan Uni Eropa. Bantuan yang diberikan pun tidak hanya melalui program bantuan pemerintah, tetapi juga ikut berdiplomasi dengan negara-negara Uni Eropa lainnya dalam accession Turki ke Uni Eropa. Pemerintah pun berpandangan bahwa masuknya Turki menjadi sebuah keuntungan besar bagi Uni Eropa. Dengan gencarnya perlakuan pemerintah Belanda terhadap Turki, Publik melihat dari sudut pandangan yang berbeda, ketika terjadi pembunuhan terhadap politisi Belanda yang melakukan aksi anti-imigrasi, serta pembunuhan terhadap sutradara film kontroversi oleh militan Islam, publik akhirnya me-review ulang apakah accession Turki ke Uni Eropa merupakan hal yang bisa dilakukan. Publik menilai bahwa accession Turki ke Uni Eropa bukan hal yang tepat, dikarenakan publik melihat Turki belum mampu untuk memenuhi Kriteria Kopenhagen disamping permasalahan imigran dan Islam. Penolakan terhadap konstitusi Uni Eropa yang mengejutkan pemerintah Belanda terhadap sikap Publik, membuat pemerintah harus mengambil langkah yang tepat dalam dukungan penuh pemerintah Belanda terhadap accession Turki
64
65
ke Uni Eropa. Sehingga membuat pemerintah Belanda melakukan pengambilan kebijakan mengikuti kemauan publik Belanda, dengan memberikan dukungan penuh terhadap Turki, jika Turki mampu untuk memenuhi Kriteria Kopenhagen. Maka dapat disimpulkan bahwa opini publik merupakan sebuah pertimbangan penting dalam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah. Opini publik merupakan cerminan keinginan masyarakat dalam pengambilan keputusan pemerintah. Publik Belanda mengambil hal yang tepat, agar suara publik bisa di dengar. Arogansi dari pemerintah Belanda terhadap suara publik bisa teredam dengan penolakan yang terjadi, sehingga pemerintah Belanda mengambil langkah bijak untuk mengembalikan dukungan internasionalnya kepada publik Belanda, terutama karena Uni Eropa bergantung kepada masyarakat Eropa, khususnya publik Belanda.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Budiardjo, M. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi. Christiansen, Thomas. 2001. European and Regional Integration in John Baylis and Steve Smith,eds., The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations, 2nd edition. Oxford: Oxford University Press Considerations on ODA. 2013. Dutch Ministry of Foreign Affair Dinan, D. 2000. Encyclopedia of the European Union. London: McMillan Press Eerste Kamer der Staten-Generaal.2009. Den Haag: Communicatie en Protocol Eerste Kamer der Staten-Generaal Griffiths, Martin, Steven C. Roach, & M. Scott Solomon. 2009. Fifty Key Thinkers in International Relations. 2nd ed. New York: Routledge Hill, C. 2003. The Changing Politics of Foreign Policy. Palgrave McMillan Leidschendam. 2002. Recruitment for the Jihad in the Netherlands: From Incident to Trend. Den Haag: Algemene Inlichtingen en Veiligheidsdienst Lets Explore Europe!. 2008. Luxembourg: Office for Official Publication of the European Communities Local Government in The Netherlands. 2008. The Hague: VNG, Association of Netherlands Municipalities Mas’oed, M. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metedologi. Jakarta: LP3ES Michels, Ank. 2007. Theories and Core Principles of Dutch Democracy. Eurogov
66
67
Moravcsik, A. 1993. Preferences and Power in the European Community: A Liberal Intergovernmentalist Approach. Common Market Studies, 31st edition Morelli, V. 2009. European Union Enlargement: a status report on Turkey’s accession negotiation. Congressional Research Service Nazir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Press Political System in Nutshell. 2008. The Hague: Instituut voor Publiek en Politiek Politics in Netherlands. 2013. The Hague: ProDemos, Huis voor Democratie en Rechstaat Rourke, J. 2009. Level of Analysis and Foreign Policy on International politics on the world stages.10th ed. McGrawhill Education. Summary of Statutory Regulations: for Chief Officers and Chief Engineers. 2008. 2nd ed. Ministerie van Verkeer en Waterstaat. The Binnenhof. 2013. Netherlands Ministry Turkey Europe: More Than Promise?. 2004. Brussel: British Council & Open Society Institute Turkish Press Review. September 2005. “Anything besides full EU Membership is unacceptable” Tweede Kamer: House of Representative. 2013. Huis voor Democratie en Rechstaat Van Keulen, M. & Alfred Pijpers. 2005. Chairing the Enlarged Union: The Netherlands 2004 EU Council Presidency. The Hague: Netherlands Institute of Internaional Relations Clingendael.
68
Wendt, Alexander. 2003. Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge University Press.
JURNAL
Alexander, Michele G., Shana Levin & P. J. Henry. 2005. Image Theory, Social Identity, and Social Dominance: Structural Characteristics and Individual Motives Underlying International Images. Political Psychology 26(1):2745. Annual report 2007. 2007. Amsterdam: The Center For International Legal Cooperation Aydinli, E & D Waxman. 2001. A Dream Become Nightmare? Turkey's Entry into The European Union. Current History Journal 100(649):381-388. Baehr, Peter R 1980. Dutch Foreign Policy. International Studies Quarterly 24(2):223-261 Best, Edward. 2005. After the French and Dutch Referendums: What Is to Be Done?. Intereconomics Forum:180-200 Beyond Enlargment Fatigue: Part 1 - The Dutch Debate on Turkey Accession. 2006. ESI Communication from The Commission to The European Parliament and The Council: Enlargment Strategy and Main Challanges. 2009-2010. Brussel Communication from The Commission to The European Parliament and The Council: Eu Commission Progress Report On Turkey. 2004-2005. Brussel
69
Communication from The Commission to The European Parliament and The Council: Turkey 2007 Progress Report. 2007. Brussel Communication from The Commission to The European Parliament and The Council: Turkey 2009 Progress Report. 2009. Brussel Communication from The Commission to The European Parliament and The Council: Turkey 2010 Progress Report. 2010. Brussel Dekker, Paul, Albert van der Horst, Suzzane Kok, Lonneke van Noije, dan Charlotte
Wennekers.
2008.
Europe’s
Neighbour:
European
Neighbourhood Policy and Public Opinion on the European Union. The Hague: The Netherlands Institute for Social Research, SCP, CPB. Eurobarometer 66. 2006. National Report Executive Summary The Netherlands. TNS Opinion & Social. Eurobarometer 70. 2008. National Bericht Deutschland, Executive Report. European Unification in The Wake of Maastricht. Journal of Common Market Studies, Vol. 32, No. 4, 1994 Flockhart, Trine. 2012. Constructivism and Foreign Policy. Foreign Policy: Oxford University Press:78-93 Grosskopf, Anke. 2007. Why ‘non’ and ‘nee’ to the EU Constitution?: Reconsidering The Shock of the Dutch and French Referenda. Montreal: Long Island University, C.W. Post Campus Harmsen, Robert. 2007. Refarming a National Narrative of European Integration: The Shifting Contours of The Dutch European Debate. Presentation Paper. Montreal: Queen's University
70
Hollander, Ms. S. 2007. The Accession of Turkey in European Union: The Political Decision-Making Process on Turkey in Netherlands. The Hague: WRR Jenes, Barbara. 2012. Theoretical and Practical Issues in Measuring Country Image: Dimensions and Measurement Model of Country Image and Country Brand. Theses of Ph.D. Dissertation. Budapest: Doctoral School of Business Administration Jones, Erik. 2002. Politics Beyond Accomodation? The May 2002 Dutch Parliamentary Elections. Dutch Crossing: Journal of Low Countries Studies 26(1):61-78 McLaren, Lauren M. 2007. Explaining Opposition to Turkish Membership of the EU. Journal of European Union Politics 8 (2): 251–278. Mohd Zin, Mohammad Zaid, Anzaruddin Ahmad & Ahamad Asmadi Sakat. 2011. European Union’s Refusal on Turkey’s Membership: Another Episode of Western Religious Agenda. Australian Journal of Basic and Applied Sciences 5(12): 2965-2972. Nicolai, Atzo. 2004. Turkey and The European Union: Looking Beyond Prejudice. Keynote Speech. Maastricht: Maastricht School of Management Recommendation of the European Commission on Turkey’s. 2004. European Commission Saz, Gokhan. 2011. Turkophobia and Rising Islamophobia in Europe: A Quantification for the Negative Spillovers on the EU Membership Quest of Turkey. European Journal of Social Sciences 19(4): 479-491
71
Soltani, Fakhreddin, Saeid Naji, & Reza Ekhtiari Amiri. 2014. Level Analysis in International Relations and Regional Security Complex Theory. Journal of Public Administration and Governance 4(4):166-171 Standard Eurobarometer Report number 63. 2005. European Commission Who is Who? in the Debate on Turkey: The Netherlands. 2006. ESI Yackley, Joseph. 2008. Turkey, The EU and Democracy: How Public Opinion Divides Ankara and Brussel. Zurich: International Relations and Security Network, ETH. Yavuz, H & Mujeeb R. K. 2003. Bringing Turkey into Europe. Current History Journal 102(662):119-123. ------. 2004. Turkey and Europe: Will East meet west?. Current History Journal 103(676):389-393.
DOKUMEN Negotiating Framework for Turkey. 2005. Brussel: The Council of European Union. The Maastricht Treaty: Provisions Amending The Treaty Establishing The European Economic Community With a View To Establishing The European Community.. 1992. The Council of European Union Bookje Grondwet: The Constitution of Kingdom of the Netherlands. 2008. Ministry of the Interior and Kingdom Relations, Constitutional Affairs and Legislation Division in collaboration with the Translation Department of the Ministry of Foreign Affairs.
72
WEB Dutch Rejection Towards EU Constitution. 2005. diunduh pada 23 Januari 2015 (http//www.dw.de/dutch-reject-eu-constitution/a-1603076) Head, J. 2012: 28 Mei. Turkey Long Wait to Join Eu Club (www.bbc.co.uk) diunduh pada 12 Maret 2015 (http://www.bbc.co.uk/news/world-europe18108049) http://amsterdam.info/netherlands http://europa.eu Membership Criteria: Who Can Join?. 2008: 26 Februari. europa.eu (online) diunduh pada 5 Januari 2015 (http://ec.europa.eu/enlargement/policy/conditionsmembership/index_en.htm) Programme of Matra http://government.nl/issues/matra Q&A: Turkey’s EU Entry Talks. 2006: 11 Desember. bbc.co.uk. diunduh pada 18 November 2014 (http://news.bbc.co.uk/2/hi/4107919.stm). Turkey Timeline. 2012: 22 Maret. A Chronology of Key Events (www.bbc.co.uk) diunduh pada 21 Desember 2014 (http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/country_profiles/1023189.stm)