KEBIJAKAN TIDAK MENAHAN TERSANGKA YANG MENGEMBALIKAN UANG NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SELAMA PROSES PENYIDIKAN DI KEJAKSAAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh : Nama : Muhammad Jeffry Kurniawan NPM : 041000380 Prog. Kekhususan : Penegakan Hukum Pidana
Di bawah bimbingan: Melani, S.H., M.H. NIPY : 15110300
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG 2010
KEBIJAKAN TIDAK MENAHAN TERSANGKA YANG MENGEMBALIKAN UANG NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SELAMA PROSES PENYIDIKAN DI KEJAKSAAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Skripsi
Disusun oleh : Muhammad Jeffry Kurniawan 041000380 Telah disetujui untuk Dipertahankan dalam Ujian Sidang Kesarjanaan Pada tanggal______________________
Pembimbing
Melani, S.H., M.H. NIPY : 15110300
Penguji I
Dr. Wahyu Wiriadinata, S.H., M.H. NIP : 230017561
Penguji II
Prof. Dr. H. Rd. Otje Salman, S.H. NIP : 130.442.437
LEMBAR PENGESAHAN DEKAN
Skripsi ini telah diterima Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum tanggal ______________________
DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum. NIPY : 151.101.32
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Muhammad Jeffry Kurniawan
NPM
: 041000380
Program Kekhususan
: Penegakan Hukum Pidana
Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah ; a.
Asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar akademik baik di Universitas Pasundan Bandung maupun perguruan tinggi lainnya;
b.
Murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen pembimbing;
c.
Didalamnya tidak terdapat karya-karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang atau dicantumkan dalam daftar pustaka.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya, apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Hukum UNPAS.
Bandung, Nopember 2010 Pembuat Pernyataan
Muhammad Jeffry Kurniawan
ABSTRAK Dalam penanganan tindak pidana korupsi, akhir-akhir ini Kejaksaan Agung melakukan kebijakan baru, yaitu tidak menahan tersangka yang mengembalikan uang kerugian negara. Kebijakan tersebut jelas merupakan langkah kompromi terhadap tersangka korupsi dan kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Dengan adanya kebijakan tersebut, timbul permasalahan yang menarik untuk dianalisis, yaitu tentang peran Jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi, akibat hukum kebijakan tidak menahan tersangka yang mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan oleh Kejaksaan dikaitkan dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diterapkan dalam praktikdan kebijakan penghapusan penahanan dengan mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan di tingkat Kejaksaan. Permasalahan tersebut di atas dianalitis dengan menggunakan metode penelitian melalui spesifikasi penelitian deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai kebijakan tidak menahan tersangka yang mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi. Selain itu, permasalahan tersebut dianalisis dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu metode dengan menggunakan sumber-sumber data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum dan pendapat-pendapat para sarjana, yang kemudian dianalisis serta menarik kesimpulan dari masalah yang akan digunakan untuk menguji dan mengkaji data sekunder tersebut. Berdasarkan hasil analitis data, diperoleh kesimpulan bahwa peran Jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi, yaitu berkaitan dengan kewenangan penyidikan, penahanan, penyitaan dan penuntutan, yaitu berpedoman pada Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991 tentang KUHAP. Akibat hukum kebijakan penghapusan penahanan dengan mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan oleh Kejaksaan sering menimbulkan persepsi di masyarakat, bahwa Kejaksaan menghentikan penyidikan perkara korupsi tersebut. Kebijakan penghapusan penahanan dengan mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan di tingkat Kejaksaan selayaknya tidak dipertahankan, dikarenakan kebijakan tersebut berpotensi memunculkan kesepakatan antara tersangka dan Jaksa, yaitu tersangka mengembalikan uang negara saat proses hukum sudah berlangsung, sehingga tidak menimbulkan efek jera dan mencegah kemungkinan tersangka/terdakwa melarikan diri.
Kata Kunci : Kebijakan, Kejaksaan, Mengembalikan, Uang, Negara
ABSTRACT
In handling of corruption criminal act, the Supreme Court currently applies a new policy, namely, not to detain the suspected who return state losing money back. This policy is clearly a compromise step toward corruption suspected and it is contradictive with elimination of corruption spirit. With this policy existence, it exist an interesting issue for analysis, namely, concerned with the role of public prosecutor in handling of corruption criminal act, as consequence from the law of policy does not detain the suspected who return state losing money back in corruption criminal act during investigation process by the Judiciary in relation with the act number 20 the year 2001 about Modification on the number 3l the year 1999 about Elimination of Corruption Criminal Acts applied in practice and the policy for detaining abolition by returning state losing money back in corruption criminal act during investigation process in the Judiciary level. The problem said above would be analyzed by using a research method through specification of analysis descriptive research, namely, a method aiming to get complete and systematic illustration concerning on the suspected nondetaining policy for someone who return state losing money back in his or her corruption criminal act. Otherwise, such problem is analyzed by a normative judicial approach method, namely, a method using secondary data sources, including regulations, legal theories and scholars opinion, and then it will also analyzed to test and examine such secondary data. Based on analytical findings, it is drawn a conclusion that roles of public prosecutor in handling of corruption criminal act in relation to investigative, detaining, and prosecuting authorities, with guiding to 1999 relation To the 20 At of 200 d Article 14 of the 8 Act 1991 about the Criminal Code. The legal consequence of detaining abolition policy returning state losing money back in corruption criminal act during investigation process by Judiciary result in a specific perception in community that Judiciary stops investigation for related corruption case. The detaining abolition policy by returning state losing money back in corruption criminal act during investigation process in Judiciary level may not appropriately be maintained, because such policy has potential to produce a specific agreement between the suspected and Public Prosecutor, namely, the suspected returns state money when legal process has taking place, thus it will not result in wary effects and allow the suspected/defendant for going abroad. Keywords : Policy, Judiciary, Corruption, Return, Money, State.
KATA PENGANTAR
Bissmillahirrahmanirrahiim. Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan Rakhmat-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul: “KEBIJAKAN TIDAK MENAHAN TERSANGKA YANG MENGEMBALIKAN UANG NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SELAMA PROSES PENYIDIKAN DI KEJAKSAAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI” Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung. Mengingat keterbatasan dan kemampuan Penulis, maka Penulis sepenuhnya menyadari dan mengakui, bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu Penulis sangat berterima kasih dan menghargai saran-saran dan kritik-kritik yang bersifat membangun dari semua pihak. Dalam menyelesaikan skripsi ini, secara khusus Penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga kepada Ibunda tercinta dan Ayahanda tercinta yang telah memberikan kasih sayang, perhatian dan do`a yang tulus kepada Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya, dan rasa terima kasih, terutama kepada yang terhormat Ibu Melani, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang telah membantu memberikan bimbingan dan pengarahan
dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini secara tulus Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada yang terhormat : 1. Bapak DR. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M. Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung; 2. Bapak DR. Anthon Freddy Susanto, S.H., M.Hum., Selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung; 3. Bapak Dedi Hernawan, S.H., M.Hum, Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung; 4. Ibu R. Dewi Asri Yustia. S.H., M.H., Selaku Kepala Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung; 5. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung. 6. Segenap teman-teman yang telah membantu dalam penulisan hukum ini dan buat seseorang yang menjadi inspirasi Penulis. Akhir kata, harapan penulis semoga Allah S.W.T. selalu memberikan rahmat dan hidayah kepada semuanya. Amien. Wassalamu`alaikum Wr. Wb.
Bandung, Nopember 2010 Penulis
Muhammad Jeffry Kurniawan
DAFTAR ISI
Lembar Sampul Lembar Pengesahan .............................................................................................. i Lembar Pernyataan ............................................................................................. ii ABSTRAK ............................................................................................................ iii ABSTRACT .......................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ............................................................................................v DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii BAB
I
PENDAHULUAN ................................................................................1 A. Latar Belakang Penelitian ..............................................................1 B. Identifikasi Masalah .......................................................................6 C. Tujuan Penelitian ...........................................................................7 D. Kegunaan Penelitian.......................................................................8 E. Kerangka Pemikiran .......................................................................8 F. Metode Penelitian .......................................................................14 1.
Spesifikasi Penelitian ...........................................................14
2.
Metode Pendekatan ...............................................................15
3.
Tahap Penelitian ....................................................................15
4.
Teknik Pengumpulan Data ....................................................16
5.
Alat Pengumpul Data ............................................................16
6.
Analisis Data .........................................................................17
7.
Lokasi Penelitian ...................................................................17
8.
Jadwal Penelitian...................................................................18
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI, TUGAS DAN WEWENANG KEJAKSAAN DAN PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI .........................................19 A. Ketentuan Umum Tindak Pidana .................................................19 B. Jenis-Jenis Tindak Pidana ............................................................24 C. Tindak Pidana Korupsi .................................................................34 D. Alasan Penahanan ........................................................................45 E. Ketentuan Umum Tentang Kejaksaan .........................................48 F. Tugas dan Wewenang Kejaksaan.................................................50
BAB III KEBIJAKAN
PENGHAPUSAN
PENAHANAN
DENGAN
MENGEMBALIKAN UANG KERUGIAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SELAMA PROSES PENYIDIKAN OLEH KEJAKSAAN ........................................................................60 A. Kebijaksanaan dan Kebijakan ......................................................60 B. Penangguhan atau Pengalihan Jenis Tahanan ..............................64 C. Beberapa Kasus Kebijakan Kejaksaan Tidak Menahan Tersangka yang Mengembalikan Uang Kerugian Negara .............................70 BAB IV
ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN TIDAK MENAHAN TERSANGKA YANG MENGEMBALIKAN UANG NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KEJAKSAAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN
TINDAK
PIDANA
KORUPSI ...........................................................................................79 A. Peran Jaksa Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi .............79 B. Akibat Hukum Kebijakan Tidak Menahan Tersangka Yang Mengembalikan Uang Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana
Korupsi Selama Proses Penyidikan Oleh Kejaksaan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .............................................................................84 C. Kebijakan Penghapusan Penahanan Dengan Mengembalikan Uang Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Selama Proses Penyidikan Di Tingkat Kejaksaan ....................................92 BAB
V PENUTUP ...........................................................................................95 A. Kesimpulan ..................................................................................95 B. Saran ............................................................................................96
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Salah satu aspek pembangunan nasional yang menjadi sorotan penting, yaitu pembangunan di bidang hukum, karena dalam pelaksanaannya terdapat berbagai permasalahan yang harus dibenahi. Pembangunan di bidang hukum sudah selayaknya memberikan motivasi untuk mengefektifkan fungsi hukum dengan baik, dengan upaya penegakan hukum di semua lapisan masyarakat, sehingga dapat menciptakan suatu masyarakat yang sadar hukum serta menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan. Pembangunan di bidang hukum didukung pula oleh peranan dan tugas lembaga peradilan dalam menyelesaikan berbagai sengketa yang terjadi di masyarakat, sehingga peranan dan tugas lembaga peradilan dapat menjadi tolok ukur upaya penegakan hukum, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu yang berbunyi sebagai berikut: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Ketentuan di atas merupakan dasar bagi setiap lembaga peradilan untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan penuh dedikasi dan intelektualitas yang tinggi, sehingga setiap pemeriksaan dan penyelesaian perkara memenuhi rasa keadilan dan memperoleh kepastian hukum.
Pembangunan di bidang hukum, meliputi pula penataan dan pembenahan dalam ruang lingkup pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi di Indonesia perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Dengan demikian upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut dengan cara yang luar biasa. Korupsi di Indonesia dapat menimbulkan bahaya terhadap kehidupan umat manusia, karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan rakyat, keagamaan, dan fungsi-fungsi pelayanan sosial lain. Pemberantasan korupsi adalah dengan mengandalkan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Aparat negara yang berwenang dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan Peraturan PerundangUndangan yang berlaku. Dalam penjelasan resmi KUHAP, pembangunan hukum nasional di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan setiap para
pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing. Menurut Suharto RM:1) KUHAP sebagai hukum formil yang menegakkan hukum materiil memuat norma-norma proses penegakan hukum materiil, termasuk wewenang Jaksa sebagai Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan pada perkara pidana. Dalam penanganan tindak pidana korupsi Jaksa dapat berperan sebagai penyidik dan juga sebagai penuntut umum. Maka peranannya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara penal sangat dominan, artinya secara penal adalah pemberantasan tindak pidana yang menggunakan sarana hukum pidana dalam penanganannya. Dalam sistem peradilan, peranan kejaksaan sangat sentral karena kejaksaan merupakan lembaga yang menentukan apakah seorang harus diperiksa oleh pengadilan atau tidak. Jaksa ikut pula menentukan apakah seorang tesangka akan dijatuhi hukuman atau tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan yang dibuat. Sedemikian penting posisi jaksa bagi proses penegakan hukum, sehingga lembaga ini harus diisi oleh orang-orang yang profesional dan memiliki integritas tinggi. Keberadaan lembaga kejaksaan di Indoensia diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Menurut Widodo :2) Secara normatif, kejaksaan telah meresposisi jati dirinya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyebutkan dengan tegas, bahwa dalam melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan dan tugas lainnya dalam undang-undang, maka seorang jaksa harus bersifat merdeka dan 1)
Suharto RM, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm.
15. 2)
Widodo, Pengintegrasian Kebijakan Kriminal Terhadap Korupsi Di Indonesia Tahun 2008, Artikel Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang 5 Juli 2009.
lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 16 tersebut, telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI untuk mengawasi tingkah laku para jaksa serta memikirkan kesejahteraan dan pembangunan kejaksaan pada umumnya. Kejaksaan perlu meningkatkan kerjasamanya dengan Kepolisian termasuk dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan institusi negara terkait dengan penegakan hukum guna mengembalikan keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Menurut Emerson:3) Akhir-akhir ini Kejaksaan Agung melakukan kebijakan baru. Tersangka korupsi yang mengembalikan kerugian negara tidak akan ditahan sepanjang proses penyidikan. Sementara upaya penegakan hukum terhadap kasusnya jalan terus, pengembalian itu bisa meringankan hukuman dalam proses persidangan. Kebijakan baru yang berlaku di bagian tindak pidana khusus tersebut ditempuh sebagai upaya untuk mengoptimalkan pengembalian uang Negara. Banyaknya kasus korupsi yang ditangani aparat ternyata tidak serta merta berbanding lurus dengan jumlah uang negara yang bisa diselamatkan. Pada banyak kasus terdakwa koruptor lebih memilih manjalani pidana subsider dari pada mengembalikan uang yang mereka salahgunakan. Menghukum pelaku dan memulihkan keuangan negara sama pentingnya dalam penanganan kasus korupsi. Tetapi seberapa tepatkah kebijakan baru dibagian tindak pidana khusus Kejaksaan Agung tersebut? keraguan muncul ketika merujuk pada realitas kecenderungan korupsi yang terjadi di kalangan birokrat, termasuk mental aparat penegak hukum. Masih
kentalnya
kecenderungan
mencari-cari
celah
untuk
dapat
meringankan tuntutan hukum tersangka, membuat kebijakan baru itu berpotensi 3)
Emerson Yuntho, Melemahnya Efek Jera Pemberantasan Korupsi, Opini, Jawa Pos, Jum'at, 27 Februari 2009.
memunculkan deal-deal yang bersifat negatif bagi penegakan hukum. Kejaksaan menentukan nilai kerugian kemudian tersangka koruptor harus membayar, selanjutnya kelanjutan penyidikan jadi urusan kedua pihak. Menurut Arry Anggadha dan Yudho Rahardjo:4) Kejaksaan Agung dipenuhi oleh jaksa-jaksa semacam Urip Tri Gunawan yang mendapat peluang karena kebijakan ini. Demi efek jera bagi koruptor lain atau mereka yang berpotensi korup, setiap tersangka korupsi justru harus ditahan. Terlepas apakah dalam proses penyidikan dia sudah mengembalikan kerugian negara atau belum karena menunggu keputusan pengadilan. KPK, institusi yang jauh berwibawa ketimbang kejaksaan agung dan kepolisian dalam memerangi korupsi, punya kebijakan seperti ini. Terkait belum optimalnya pengembalian keuangan negara selama ini, pertanyaan justru berpulang kepada kejaksaan sebagai eksekutor. Seberapa jauh mereka mampu melaksanakan putusan pengadilan. Di sisi lain, perlu juga digagas agar terhadap mereka yang terbukti korupsi dijatuhi pidana mengembalikan kerugian negara dengan subsider hukuman yang berat. Kalau perlu, pidana subsider mendekati pidana pokok, tidak hanya dalam hitungan bulan. Kebijakan Kejaksaan Agung tersebut merupakan langkah kompromi terhadap tersangka korupsi dan kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi sebagaiamana yang terjadi dalam beberapa kasus, antara lain kasus korupsi terkait dengan dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI), kasus Chandra Wijaya dalam kasus kredit macet PT. Oso Bali Cemerlang pada Bank Mandiri, dan kasus dugaan korupsi di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Thailand.
4)
Arry Anggadha dan Yudho Rahardjo, Tersangka Korupsi Tak Ditahan Kejaksaan Kontra Pemberantasan Korupsi, Jum'at, vivanews.com. 20 Februari 2009.
Kebijakan Kejaksaan Agung dengan tidak menahan tersangka kasus dugaan korupsi yang mengembalikan uang kerugian negara saat penyidikan dinilai tidak memberikan efek jera pada koruptor. Kebijakan tersebut jelas merupakan langkah kompromi terhadap tersangka korupsi dan kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi, sehingga harus ditolak. Kebijaksanaan tersebut dapat membuat tindakan melarikan diri dan tidak memberikan efek jera yang seharusnya merupakan tujuan dari pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka Penulis membahasnya dalam sebuah skripsi dengan judul: “KEBIJAKAN
TIDAK
MENAHAN
TERSANGKA
YANG
MENGEMBALIKAN UANG KERUGIAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SELAMA PROSES PENYIDIKAN DI KEJAKSAAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI”
B. Identifikasi Masalah 1.
Bagaimanakah peran Jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?
2.
Bagaimanakah akibat hukum kebijakan tidak menahan tersangka yang mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan oleh Kejaksaan dikaitkan dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diterapkan dalam praktik ? 3.
Apakah kebijakan tidak menahan tersangka yang mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan di tingkat Kejaksaan perlu dipertahankan ?
C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui dan mengkaji peran Jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2.
Untuk mengetahui dan mengkaji penerapan dalam praktik tentang akibat hukum kebijakan tidak menahan tersangka yang mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan oleh Kejaksaan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3.
Untuk mengetahui apakah kebijakan tidak menahan tersangka yang mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan di tingkat Kejaksaan perlu dipertahankan.
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut : 1.
Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum,
khususnya hukum pidana
yang kebijaksanaan
penghapusan penahanan dengan mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan di tingkat Kejaksaan. 2.
Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai pegangan dan sumbangan pemikiran bagi : 1) Badan Legislatif 2) Aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Penasehat Hukum) 3) Pembaharuan dan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum.
E. Kerangka Pemikiran Permasalahan mengenai kebijakan tidak menahan tersangka yang mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan di tingkat kejaksaan, pada dasarnya salah satu bagian dari upaya pembangunan di bidang hukum sebagai salah satu aspek pembangunan nasional yang merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Undang-undang Dasar 1945 dalam pembukaannya, bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan korupsi adalah sebagai berikut: Pasal 2: (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 4 : Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Berdasarkan ketentuan di atas diketahui bahwa unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: setiap orang (manusia maupun korporasi), melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Menurut Widodo:5) Dalam Pasal 3 ditentukan bahwa tindak pidana korupsi mempunyai unsur-unsur: setiap orang, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan wewenang, dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Unsur-unsur dalam tindak pidana korupsi, dapat ditinjau berdasarkan pengertian perbuatan pidana, sebagaimana pendapat Moeljatno, yaitu sebagai berikut:6) “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Permasalahan tentang kebijaksanaan penghapusan penahanan dengan mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan di tingkat Kejaksaan, merupakan permasalahan yang berkaitan dengan penahanan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang disebut juga sebagai alasan subjektif, yang berbunyi: “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan 5)
Widodo, Pengintegrasian Kebijakan Kriminal Terhadap Korupsi Di Indonesia Tahun 2008, Loc Cit. hlm. 21. 6) Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987. hlm. 54.
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Adapun alasan objektif tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yang berbunyi : “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086)” Pasal tersebut di atas, hingga saat ini masih menimbulkan argumentasi dari berbagai kalangan, yaitu dijadikan alasan oleh aparat penegak hukum untuk melakukan penahanan dengan alasan seperti di atas yaitu dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran, bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang dasar 1945. Untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Maka dari itulah pembaharuan Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia perlu dilakukan dengan membentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 disebutkan : Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan,dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentan Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidan, sebagai peraturan pelaksana dari KUHAP, menyatakan bahwa : “Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”
Menurut Andi Hamzah:7) Secara umum KUHAP tidak memberikan kewenangan bagi kejaksaan untuk melakukan penyidikan, dengan demikian mungkin satu-satunya negeri di dunia ini, dimana jaksa atau penuntut umum tidak berwenang menyelidik walaupun dalam bentuk insidental. Peran penting yang dimainkan oleh lembaga kejaksaan tidak lepas dari perwujudan representasi Negara dalam melindungi warganya. Untuk itulah, aspek penghormatan dan ketaatan pada prinsip-prinsip hukum yang bersifat universal dalam menjalankan tugas menjadi unsur yang amat menentukan. Menurut Harkristuti Harkrisnowo: 8) Dalam menjalankan fungsinya, jaksa bekerja atas nama rakyat dalam melakukan tugasnya menuntut seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Untuk itu jaksa diberi kewenangan ang tidak dimiliki oleh setiap penegak hukum. Tetapi dalam menjalankan kewenangan tersebut kerap kali kejaksaan melanggar hak asasi manusia, misalnya dengan melakukan penahanan pada mereka yang diduga melakukan tindak pidana. Ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa jaksa adalah suatu profesi dengan kualifikasi keahlian teknis hukum yang harus dilaksanakan secara professional, oleh karena itu tidaklah berlebihan apabila kejaksaan di Negara kita ini seharusnya dapat menampilkan performa sebagai professional legal organization (PLO) sebagaimana mestinya. Menurut Suhadibroto: 9) Terdapat tiga komponen yang berpengaruh pada suatu PLO, yaitu SDM, institusi dan sub sistem lain dalam system peradilan 7)
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 70. 8) Harkristuti Harkrisnowo, Membangun Strategi Kinerja Kejaksaan Bagi Peningkatan Produktivitas, Profesionalisme dan Akuntabilitas Publik, Suatu Usulan Pemikiran, Makalah pada Seminar Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan Dalam Rangka Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung, Jakarta 22 Agustus 2001, hlm. 2-3. 9) Suhadibroto, Kualitas Aparat Kejaksaan Dalam Upaya Melaksanakan Penegakan Hukum, Makalah disampaikan pada Lokakarya Pemantauan Kejaksaan Dielenggarakan oleh MaPPI FHUI dan Yayasan TIFA di Jakarta, 28-30 Juni, 2004. hlm 2-3.
(penyidik, hakim, pembela). Dari komponen tersebut, SDM merupakan komponen yang sangat dominan. Komponen jaksa dan lembaga kejaksaan menentukan performance kejaksaan sebagai PLO, yaitu jaksa yang mempunyai profesionalitas, integritas pribadi yang baik dan bekerja efisien.
F. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian merupakan unsur yang sangat penting oleh karena itu langkah-langkah penelitiannya sebagai berikut: 1. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam skripsi ini adalah termasuk penelitian yang bersifat Deskriptif Analitis, yaitu:10) suatu metode dalam hal ini yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh dan sistematis. Dalam hal ini untuk menggambarkan secara menyeluruh dan sistematis kebijaksanaan tidak menahan tersangka yang mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi yang kemudian dianalisis secara yuridis berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Metode Pendekatan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, dikarenakan sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah yang meliputi: 10)
Panduan Penyusunan Penulisan Hukum (Tugas Akhir) SI, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, hlm. 15.
-
Asas hukum;
-
Kaedah dalam arti sempit (value);
-
Peraturan hukum konkret;
-
Sistem hukum
-
Taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. Metode pendekatan ini digunakan mengingat permasalahan yang diteliti
berkisar pada peraturan perundang-undangan serta kaitannya dengan kebijakan penghapusan penahanan dengan mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan di tingkat Kejaksaan.11)
3. Tahap Penelitian Tahap penelitian terdiri dari penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian kepustakaan dilakukan dengan meneliti data sekunder yang berupa bahan hukum primer (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), bahan hukum sekunder (karya ilmiah para sarjana), dan bahan hukum tertier (surat kabar dan majalah).
11)
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 17.
4
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui. 1) Studi kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian kepustakaan dilakukan dengan meneliti data sekunder yang berupa bahan hukum primer
Studi
kepustakaan
(Library
Research),
yaitu
penelitian
kepustakaan dilakukan dengan meneliti data sekunder yang berupa bahan hukum primer (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), karya ilmiah para sarjana, dan bahan hukum tertier (surat kabar dan majalah). 2) Penelitian Lapangan, yaitu tahap penelitian yang bersifat penunjang terhadap data kepustakaan tersebut di atas, yang diperoleh dari melalui wawancara dengan jaksa.
5.
Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam dalam penelitian, yaitu
Non Directive Interview atau pedoman wawancara bebas dengan menggunakan Tape Recorder. Data yang dikumpulkan diperoleh dari : 1) Media Cetak: (a) Varia Peradilan Edisi Februari 2007, Jl. Gajah Mada No. 17 Jakarta Pusat;
(b) Koran Tempo, Kebayoran Center Blok A11-A15, Jl. Kebayoran Baru, Mayestik, Jakarta Selatan; (c) Jurnal Hukum, Gedung D lantai 4 FHUI, Kampus Baru UI Depok. 2) Media Elektronik (a) Warung Internet Fakultas Hukum Unpas Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung; (b) Acara KPK (Kumpulan Perkara Korupsi) TV One, Jl. Cimandiri No. 30 Cikini Menteng Jakarta Pusat.
6. Analisis Data Data baik yang berupa data primer maupun data sekunder dianalisa secara yuridis kualitatif, artinya mengukur data dengan konsep atau teori tanpa menggunakan data statistik atau rumus matematika, kemudian dari data yang diperoleh tersebut akan diterapkan terhadap permasalahan kebijakan penghapusan penahanan dengan mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan di tingkat Kejaksaan yang kemudian dibuat suatu kesimpulan.
7.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam skripsi ini, yaitu : 1) Perpustakaan : (1) Perpustakaan Fakultas Hukum Unpas Jl. Lengkong Dalam No. 17 Bandung;
(2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Jl. Tamansari No. 1 Bandung; 2) Instansi : Kejaksaan Negeri Bandung Jl. Jakarta No. 44 Bandung. Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Jl. Martadinata No. 54 Bandung.
8. Jadwal Penelitian No.
1 2 3 4
5 6 7
Tahap-tahap kegiatan Persiapan usulan Penelitian Seminar UP Persiapan Penelitian Pengumpulan data kepustakaan dan lapangan Pengolahan data Penyusunan hasil penelitian Sidang komprehensif
Desember 2009
Januari 2010
Februari 2010
Maret 2010
April 2010
Mei 2010
BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI, TUGAS DAN WEWENANG KEJAKSAAN DAN PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Ketentuan Umum Tindak Pidana Hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : a)
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
b) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancam; c)
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Dari rumusan di atas, maka diperoleh konsekuensi dari pengertian
hukum pidana, menurut Moeljatno, yang terdiri dari dua bagian yaitu sebagai berikut:12) Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Bagian lain-lain adalah: hukum perdata, hukum tata negara dan tata pemerintahan, hukum agraria, hukum perburuhan, hukum intergentil dan sebagainya. Biasanya bagian hukum tersebut dibagi dalam dua jenis yaitu hukum 12)
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakata, 1987, hlm. 1.
publik dan hukum privat, dan hukum pidana ini digolongkan dalam golongan hukum publik, yaitu mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum. Sebaliknya hukum privat mengatur hubungan antara perseorangan atau mengatur kepentingan perseorangan. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barang siapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya kita namakan perbuatan pidana atau delik. Adapun hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah dikodifisir, yaitu sebagian besar dari aturan-aturannya telah disusun dalam satu kitab undang-undang (wetboek) yang dinamakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut suatu sistem yang tertentu. Selain hukum pidana telah dikodifisir, maka bagian dari hukum ini juga telah dianufisir, yaitu berlaku bagi semua golongan-golongan rakyat, sehingga tidak ada dualisme lagi dalam hukum pidanaa, dimana bagi golongan rakyat Bumiputera berlaku hukum yang lain daripada yang berlaku bagi golongan Eropa. Salah satu materi yang akan diuraikan dalam ruang lingkup hukum pidana di bawah ini, yaitu mengenai “tindak pidana”. Dalam menguraikan mengenai tindak pidana, tinjauan akan dimulai dari istilah atau pengertian tindak pidana, selain istilah tindak pidana, terdapat pula istilah lain yaitu “perbuatan pidana”. Untuk itu perlu pemahaman yang teliti dari dua perbedaan istilah di atas. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.13) Ketentuan di atas memberi konsekwensi bahwa antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula, di mana yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit: pertama adanya kejadian yang tertentu dan kedua adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. Adapun istilah lain yang dipergunakan dalam hukum pidana yaitu “tindak pidana”. Alasan dipergunakannya istilah tindak pidana yaitu karena istilah tersebut tumbuh dari pihak kementrian kehakiman, serta sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari pada kata “perbuatan”, tapi kata tindak tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerakgerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dengan tindak-tanduk, tindakan, yang bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Dikarenakan kata “tindak” tidak begitu dikenal, maka dalam perundangundangan yang menggunakan istilah “tindak pidana” baik dalam pasal-pasalnya
13)
Ibid. hlm. 54.
sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata “perbuatan”. Istilah perbuatan pidana maupun tindak pidana pada dasarnya dapat ditinjau dari istilah dalam bahasa Belanda yaitu “strafbaar feit”. Menurut Simon : “istilah starfbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”. Sedangkan Van Hamel dalam buku Moeljatno, merumuskan sebagai berikut: 14) “strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straf waardig) dan dilakukan dengan kesalahan”. Dari pengertian-pengertian mengenai strafbaar feit di atas, maka diperoleh dua penafsiran yaitu: 1) Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku; 2) Bahwa pengertian strafbar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi. Point yang pertama berbeda dengan pengertian “perbuatan” dalam perbuatan pidana. Perbuatan adalah kelakuan ditambah kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau dengan kata lain kelakuan ditambah/dibarengi akibat dan bukan kelakuan saja, sehingga strafbaar tersebut bukan untuk kelakuan saja. Adapun mengenai point yang kedua, bahwa strafbaar feit berbeda dengan perbuatan pidana, sebab disini tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada perbuatannya saja, yaitu sifat 14)
Ibid.hlm. 57.
dilarang dengan acaman dengan pidana kalau dilanggar. Jadi perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana dan dipisahkan dengan kesalahan. Sedangkan kalau merujuk kepada perkembangan formulasi konsep Rancangan KUHP 2004-2005 aturan umum mengenai bentuk-bentuk tindak pidana dalam Bab ini terdiri:15) a. Persiapan; b. Permufakatan jahat; c. Percobaan; d. Penyertaan; e. Pengulangan. Sejak konsep Rancangan KUHP 2004, pengertian istilah “tindak pidana” belum mengalami perubahan substansial dan masih bersumber atau berasal dari istilah “kejahatan” di dalam Pasal 86 KUHP lama (WVS), yang menyatakan:16) “Apabila disebut kejahatan, baik dalam arti kejahatan tertentu, maka disitu termasuk pembantuan dan percobaan melakukan kejahatan kecuali jika dinyatakan sebaliknya oleh suatu aturan” Di dalam konsep rancangan KUHP 2004 pengertiannya dirumuskan dalam Pasal 189 yang menyatakan : “Tindak pidana mencakup pengertian membuat atau mencoba melakukan tindak pidana, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan”. Bertolak dari alur pemikiran mengenai dasar patut dipidananya perbuatan seperti diuraikan di atas yaitu dengan menggunakan kriteria atau patokan formal dan materiil, maka konsep berpendirian pula bahwa tindak pidana pada 15)
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditia Bakti, Bandung, 2005, hlm. 349-351. 16) Ibid.
hakekatnya adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun secara materiil. Pemberian pidana secara umum merupakan bidang dari pembentuk undang-undang berdasarkan asas legilitas yang berbunyi „nullum delictum nulla poena sine preavia lege poenali” jadi untuk mengatakan poena atau pidana diperlukan undang-undang terlebih dahulu. Peraturan tentang sanksi yang diterapkan oleh pembuat undang-undang itu memerlukan perwujudan lebih lanjut, dengan dibentuknya badan atau instansi dengan alat-alat yang secara nyata dapat merealisasikan aturan pidana itu.
B. Jenis-Jenis Tindak Pidana Tindak pidana atau perbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini tidak ditentukan secara nyata dalam suatu pasal dalam KUHP, tetapi sudah dianggap demikian adanya, dan ternyata antara lain dari Pasal 4, 5, 39, 45 dan 53 buku ke I. Sedangkan buku ke II dan buku ke III hanya mengenai kejahatan dan pelanggaran. Menurut M.v.T., pembagian atas jenis di atas didasarkan atas perbedaan prinsipil. Dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran adalah “wetsdeliktern” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.17)
17)
Moeljatno, Op Cit, hlm. 71.
Sedangkan KUHP sendiri, bahwa pembagian tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran itu didasarkan atas berat atau ringannya pidana saja, sehingga ancaman pidana bagi tindak pidana kejahatan ancaman pidananya lebih berat daripada tindak pidana pelanggaran. Tindak pidana atau perbuatan pidana, selain dibedakan atas pelanggaran dan kejahatan, dalam teori maupun praktek dibedakan lagi menjadi delik dolus atau kesengajaan, delik culpa, delik commissionis, delikta commissionis, delik biasa dan delik yang dikualifisir, serta delik menerus dan tidak menerus. Masingmasing delik-delik tersebut akan diuraikan satu persatu dibawah ini: 1) Delik dolus atau kesengajaan dan Delik Culpa Kata sengaja sama dengan Opstal (Dolus), berarti sengaja dan dimaksud (Wilen en Wettens) dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak terdapat keterangan mengenai arti kesengajaan. Mengenai hal ini, dalam Memorie van Toelicting (memori penjelasan), menyatakan: Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui. Arti dikehendaki dan diketahui, terdapat dua aliran, yaitu:18) a. Teori kehendak (wilstheorie), yaitu yang paling tua dan pada masa timbulnya teori yang lain mendapat pembelaan kuat dari von Hippel seorang guru besar di Gottingen Jerman di negeri Belanda yang menyatakan bahwa sengaja adalah kehendak membuat sesuatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dan tindakan itu dengan lain perkataan sengaja adalah apabila akibat dari suatu tindakan itu dikehendaki oleh si pembuat, dan bila akibat itu menjadi maksud benar-benar dari tindakan yang dilakukannya. Contoh, A mengarahkan pistolnya kepada B dan ia menembak mati B, tindakan itu adalah sengaja bila A benar-benar menghendaki kematian atau tertembak 18)
Schaffmeister, et. al. Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 171.
matinya B. Vos mengemukakan bahwa teori kehendak ini mutlak dianut oleh Memorie van Toelicting (memori penjelasan), karena terbukti dengan adanya istilah (Wilen en Wettens); b. Teori pengetahuan atau teori membayangkan (voorstellingstheorie) yang kirakira tahun 1910 diajarkan oleh Frank, seorang guru besar di Tubingen Jerman dan mendapat sokongan kuat dari von Listiz di Nederland, penganutnya antara lain adalah von Hammel. Teori membayangkan ini dikemukakan oleh Frank yang mengatakan, bahwa jika akibat dari suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud dari tindakan itu dan oleh karenanya tindakan tersebut dilakukan dengan apa yang dibayangkannya terlebih dahulu, maka dalam hal ini ada unsur sengaja. Contoh, si A membayangkan kematian musuhnya, yaitu si B supaya dapat mengakhiri bayanganya itu, maka si A membawa pistol kemudian mewujudkannya kepada si B sehingga si B tertembak mati. Kemudian si B waktu si A merencanakan tindakannya baru suatu bayangan saja. Teori Farnk ini paling banyak dianut. von Hammel mengemukakan bahwa baik dengan menggunakan teori kehendak maupun teori membayangkan, keduanya tidak berbeda. Hubungan antara kedua teori ini hanya terletak pada segi mutlaknya dan tidak terletak dalam lapangan yuridis akan tetapi dalam lapangan psykologis. Pengertian kesengajaan sebagai berbuat dengan terarah ketujuan dan sadar akan tujuan, meliputi beraneka ragam kejadian dalam mana bercampur bagian dan tingkatan mengetahui dan menghendaki. Baru pada kodifikasi hukum pidana, kesengajaan menduduki tempat pusat. Pengertianya diambil dari berbagai delik dengan kesengajaan sebagai bagian esensial. Sama seperti bagian-bagian lain, dalam tiap rumusan
delik kesengajaan
mendapat
arti
dalam
konteks
penggunaanya. Teori memilih dan mengelompokkan sampai tersisa beberapa kategori kesengajaan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dijumpai berencana, dengan maksud untuk dengan sengaja bersifat melawan hukum. Dalam sejumlah delik tekanan diletakkan pada salah satu dari dua komponen klasik, yaitu : mengetahui. Tetapi dengan ini pembuat undang-undang lebih bermaksud memperkuat dari memperlemah perbuatan terarah ke tujuan. Dalam hal ini perbuatan yang terarah
ke tujuan itu harus dilakukan dengan pengetahuan akan keadaan tertentu yang disebutkan dalam rumusan delik. Pada dasarnya, kesengajaan harus sudah ada pada saat perbuatan pidana dilakukan. Hal yang sama berlaku untuk bagian-bagian delik yang dimulai dengan mengetahui. Tetapi termasuk juga dalam bentuk-bentuk yang beraneka ragam dari kesengajaan adalah bentuk yang mengharuskan adanya kesengajaan lebih dahulu dari pada perbuatan. Dalam kesengajaan terdapat tiga corak, yaitu:19) a. Kesengajaan Sebagai Maksud. Adalah kesengajaan sebagai maksud. Vos memberikan definisi sebagai berikut, bahwa sengaja sebagai maksud, apabila si pembuat (dader) menghendaki akibat dari perbuatannya. Contoh, orang hendak membunuh musuhnya tujuannya akan memperdaya ialah membunuh musuhnya itu bukan orang lain. Apabila ia jika membunuh, maka pembunuhan itu telah ia lakukan dengan sengaja sebagai maksud. Menurut teori kehendak, sengaja sebagai maksud, karena apa yang dimaksud telah dikehendakinya. Menurut teori membayangkan sengaja sebagai maksud karena bayangan tentang akibat yang dimaksud itu tidak mendorong si pembuat untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan. b. Kesengajaan Sebagai Kepastian, Keharusan Sengaja dilakukan dalam keadaan sangat perlu atau sengaja dilakukan dengan kesadaran dan kepastian. Contoh, si A bermaksud membunuh si B tetapi karena si B mempunyai pengawal, yaitu si C, maka untuk mencapai tujuannya si A harus membunuh dulu si C. si A yakin bahwa tanpa membunuh lebih dulu si C, ia tidak dapat membunuh si B oleh karenanya perlu dibunuh si C lebih dahulu walaupun pembunuhan terhadap si C itu pada mulanya tidak dimaksudkan oleh si A. c. Dolus Eventualis. Sengaja sebagai kesadaran mungkin akan terjadi apabila hanya penginsyafan akan kepastian saja yang merupakan kesengajaan, kiranya tidak sering ada kesengajaan karena lebih-lebih mengenai akibat, syarat yang demikian itu sangat berat. Sebab bukankah mengenai hal yang terjadi tidak banyak ada kepastian. Oleh karena itu disamping corak kesengajaan sebagai kepastian dikenal pula kesengajaan sebagai kemungkinan yang dinamakan dolus eventualis.
19)
Ibid, hlm. 177.
Pengertian Dolus Eventualis menurut P.A.F. Lamintang adalah : “Dolus Eventualis itu merupakan kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan seperti yang dilarang atau diharuskan dalam undang-undang terhadap mana akibat yang memungkinkan timbulnya itu hanya dapat diduga oleh seorang pelaku.”20) Dalam corak kesengajaan sebagai kemungkinan, masalah pokoknya adalah berapa banyak kemungkinan yang diperlukan untuk adanya kesengajaan. Untuk menentukan kemungkinan yang mana yang diperlukan guna kesengajaan, tidak dipilih jalan yang kuantitatif, tapi yang kualitatif, yaitu bukan kemungkinan belaka, bahkan kemungkinan yang bersifat tertentu, yaitu yang disertai dengan tambahan, bahwa juga apabila diketahui dengan pasti akan adanya akibat atau keadaan yang menyertai, hal itu tidak merupakan perintang untuk berbuat. Mengenai dolus eventualis sesungguhnya akibat atau keadaan yang diketahui kemungkinan akan adanya, tidak disetujui. Tapi meskipun demikian, untuk mencapai apa yang dimaksud, resiko akan timbulnya akibat atau keadaan di samping maksudnya itupun diterima, teori ini dinamakan in kauf nehmen, yang diterjemahkan dengan teori apa boleh buat, sebab apabila resiko yang diketahui kemungkinan akan adanya itu sungguh-sungguh timbul (di samping hal yang dimaksud), apa boleh buat, dia juga berani pikul resikonya. Jadi menurut teori ini untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat:21) 1) Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat atau keadaan yang merupakan delik;
20)
P.A.F. Lumintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1984, hlm. 267 – 268. 21) Moeljatno, Op Cit, hlm. 177.
2) Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul ialah apa boleh buat dapat disetujui dan berani pikul resikonya. Kesengajaan bersyarat (Dolus Eventualis) diartikan bahwa orang melakukan perbuatan tertentu dan dengan menghendaki dan mengetahui menempatkan diri dalam keadaan yang mungkin sekali mendatangkan akibat tertentu. Kesengajaan bersyarat atau kesengajaan kesempatan (Dolus Eventualis) memberikan instrumen untuk menempatkan sejauh mana kesengajaan itu, khususnya untuk menetapkan apakah kesengajaan, misalnya juga telah diarahkan ke “berasal dari kejahatan”, apabila terdakwa menyangkal telah mengetahui itu. Jadi kesengajaan bersyarat selalu menetapkan kesengajaan, bukan kealpaan. Dari keadaan ternyata bahwa terdakwa dengan mengetahui dan menghendaki menerima akibat dari perbuatannya yang sadar akan tujuan. Namun tidak dikatakan apa-apa tentang apakah yang sesungguhnya dipikirkan dan dikehendaki oleh pembuat dan bagaimana seharusnya dia berfikir dan berbuat. Karena kesengajaan bersyarat atau kesengajaan kesempatan bukan bentuk khusus dari kesengajaan, tetapi suatu alat untuk membatasi dan membuktikan kesengajaan, maka tidak perlu dimasukkan dalam dakwaan, karena undang-undang tidak mengenalnya.22) Selain tindak pidana dolus, tindak pidana lainnya yang akan diuraikan yaitu tindak pidana culpa. Adapun yang dimaksud Culpa, artinya kurang hati-hati, alpa atau lalai. Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya
22)
Schaffmeister et. al. , Op Cit, hlm. 94.
kesengajaan, tetapi terhadap sebagian daripadanya ditentukan bahwa di samping kesengajaan itu orang sudah dapat dipidana apabila kesalahannya berbentuk kealpaan. Kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis daripada kealpaan. Dasarnya adalah sama, yaitu:23) a. Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana; b. Adanya kemampuan bertanggung jawab; c. Tidak adanya alasan pemaaf. Dalam kesengajaan sikap batin menentang larangan. Sedangkan dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang obyektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Apabila kealpaan adalah suatu bentuk kesalahan, maka dikatakan pula bahwa sikap batin yang demikian itu adalah berwarna. Artinya selalu kita hubungkan dengan sikap batin terhadap perbuatan yang dipandang dari sudut hukum adalah keliru. Sama saja dengan kesengajaan, bahkan lebih dari itu, lebih berwarna daripada kesengajaan, apabila masih mungkin mengatakan dengan sengaja berbuat baik atau dengan sengaja berbuat jahat. Bentuk kealpaan (culpa), yaitu:24) a. Conscious. Adalah kealpaan yang disadari sembrono (roekeloos), lalai (tidak acuh). Artinya orang sadar akan resiko tetapi berharap akibat buruk tidak akan terjadi;
23) 24)
Moeljatno, Op Cit, hlm. 198. Schaffmeister, et. al., Op Cit, hlm. 110.
b. Unconscious. Adalah kealpaan yang tidak disadari, kurang berfikir, lengah. Artinya orang seyogyanya harus sadar akan resiko tetapi tidak demikian. Perbedaan di atas ini penting untuk perumusan dakwaan. Dua bentuk kealpaan (culpa) yang paling sering tampak sebagai bahan adalah culpa-akibat dan dapat dan harus mengetahui, mengerti, menduga. Culpa-akibat tampak apanila rumusan delik menentukan dapat dipidana menyebabkan akibat (lukaluka, mati, kerugian benda) yang dapat dicelakan karena kealpaan. Pembuat adalah orang yang dapat dicela karena timbulnya akibat. Tindak pidana culpa ini terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang Lalu Lintas sebagai kejahatan. Bentuk-bentuk lain dari kealpaan terdapat baik pada kejahatan maupun pelanggaran. Dalam hal ini bukan menyebabkan akibat yang ditentukan dapat dipidana, tetapi perbuatan tidak hati-hati sendiri. Perbedaan besar antara tindak pidana culpa, dimana menimbulkan akibat ditentukan dapat dipidana dan tindak pidana culpa dimana berbuat tidak berhatihati merupakan inti dari ketentuan pidana adalah bahwa timbulnya akibat merupakan titik tolak dari kategori yang tersebut pertama. Baru apabila ada akibat yang dilarang dapat dikatakan telah dilakukan tindak pidana culpa-akibat.25) Inti dari tindak pidana culpa-akibat adalah menyebabkan akibat.kesalahan ini mungkin berupa kesengajaan, tetapi juga tidak acuh, kurang berfikir atau sembrono. Dalam hal terakhir ini terdapatlah tindak pidana culpa. Pada tindak pidana culpa, pembuatnya selalu dibandingkan dengan orang normal. Ini
25)
Ibid.,hlm. 111.
dijadikan ukuran baginya. Dia tidak perlu demikian berhati-hati seperti yang paling berhati-hati, tetapi dia harus bersikap hati-hati, sebagaimana orang bersikap pada umumnya, setidak-tidaknya seharusnya bersikap demikian. Maka kealpaan adalah suatu pengertian yang normatif. Pada rumusan Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah cara yang khas untuk redaksi akibat culpa, yang menyatakan bahwa “Barangsiapa karena kealpaanya, menyebabkan kematian orang lain, dapat dipidana.” Dalam ketentuan di atas ditegaskan dengan dua cara bahwa kematian orang lain adalah akibat dari kelalaian pembuat, yaitu dengan tidak menyebutkan perbuatan pembuat tetapi kesalahannya (kealpaannya). Dan dengan tidak menyebutkan kematian yang disebabkan oleh pembuat tetapi kematian yang dapat dicelakan kepadanya.
2) Tindak pidana Commissionis dan delikta commissionis Yang pertama adalah tindak pidana yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362), menggelapkan (Pasal 372), menipu (Pasal 378). Yang kedua adalah tindak pidana yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat. Misalnya tindak pidana dirumuskan dalam pasal 164; mengetahui suatu permufakatan jahat (samenspanning) untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu, pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak segera melaporkan pada instansi yang berwajib aatu
orang yang terkena. Pasal 224 tidak mengindahkan kewajiban menurut undangundang sebagai saksi atau ahli. Adapula yang dinamakan delikta commisionis perimsionem commisa, yaitu tindak pidana yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu yang merampasa nyawa anaknya dengan jalan tidak memberi makan pada anak itu.26)
3) Tindak pidana biasa dan tindak pidana yang dikualifisir (dikhususkan) Tindak pidana yang belakangan adalah tindak pidana biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Adakalanya unsur-unsur lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan tindak pidana biasa, adakalanya objek yang khas, adakalanya pula mengenai akibat yang khas dari perbuatan yang merupakan tindak pidana biasa tadi. Contoh: Pasal 362 adalah pencurian biasa, dan Pasal 363 adalah pencurian yang dikualifisir, yaitu karena cara melakukannya di waktu ada kebakaran atau dengan beberapa orang, maupun karena objeknya adalah hewan. Pasal 351 KUHP adalah penganiayaan biasa sedangkan Pasal 353, 354 dan 355 dan 356 adalah penganiayaan yang dikualifisir, karena mungkin caranya, objeknya maupun akibatnya adalah lebih khusus daripada dalam penganiayaan biasa.
4) Tindak Pidana Menerus dan Tidak Menerus Dalam tindak pidana menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus. Misalnya Pasal 333 KUHP, yaitu orang yang 26)
Moeljatno, Op Cit, hlm. 76.
merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah (wederrechtelijk vrijheidberoving). Keadaan yang dilarang itu berjalan terus sampai korban dilepas atau mati. Jadi perbuatan yang dilarang tidak habis ketika kelakuannya selesai seperti dalam pencurian misalnya, tapi masih menerus. Sesungguhnya setelah kelakuan selesai yaitu dibawanya korban ke tempat penahanan, akibat dari kelakuan itu berjalan terus selama waktu tahanan. Begitu pula Pasal 221 KUHP. Di sini kelakuannya menyembunyikan orang yang dicari karena melakukan kejahatan. Selama dalam waktu penyembunyian, keadaan yang dilarang berjalan terus.27)
C. Tindak Pidana Korupsi Kata korupsi berasal dari bahasa lain corruptio atau corruptus dan corriptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata lain yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun dalam bahasa eropa seperti Inggris: Corruption, corrupt; Prancis: corruption; dan Belanda corruptie. Dapat kita beranikan diri bahwa dari bahasa belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia: “korupsi”. Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah dan lain sebagainya. Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, dapat disimpulkan bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
27)
Ibid.
Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas artinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat pengertia korupsi sebagai berikut:28) “Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan), dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain”. Berdasarkan latar belakang sejarahnya, pengertian korupsi itu nampaknya sangat berkaitan erat dengan sistem kekuasaan dan pemerintahan di zaman dahulu maupun di zaman modern ini. Adapun pengertian korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan, pertama kali telah dipopulerkan oleh E. John Emerich Edward Dalberg Alton (Lord Alten). Ia adalah seorang pakar sejarah Inggris yang mmperkenalkan kata-kata berupa dalil korupsi yang termasyur: The Power Tends To Corrupt, But Absolute Power Corrupts Absolutely (kekuasaan cenderung Korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan mengakibatkan korupsi berlebihan pula).29) Dalam negara sedang berkembang banyak terdapat gejala-gejala korupsi di semua tingkat dan boleh dikatakan meliputi semua kegiatan birokrasi. Gejalagejala korupsi dengan sendirinya juga terdapat di negara-negara maju, baik negara kapitalis, sosialis, maupun komunis. Akan tetapi di sini bedanya menyolok dengan luasnya gejala itu di kebanyakan di negara-negara sedang berkembang. Kegiatan pemberantasan korupsi akan selalu tetap menjadi bahan yang aktual
untuk
disajikan
sebagai
persoalan
jenis
kejahatan
yang rumit
penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam 29)
John Emerich Edward Dalberg Alton dalam Ilham Gunawan, Postur Korupsi di Indonesia Tinjauan Yuridis, Sosiologis, Budaya dan Politik, Angkasa, Bandung, 1990, hlm. 8.
kaitannya dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Perbuatan korupsi membentuk aneka ragam pola perilaku dalam suatu siklus pertumbuhan negara, perkembangan sistem sosial dan keserasian struktur pemerintahan. Bentuk perbuata korupsi yang beraneka ragam dan berbagai faktor penyebab timbulnya korupsi itu dalam pertumbuhannya makin meluas, sehingga batasan dari ciri perbuatan korupsi dan ciri perbuatan yang tidak korupsi tetapi berciri sangat merugikan negara atau masyarakat menjadi sukar dibedakan, serta mengakibatkan ketidakpastian cara memformulasikan kelompok kejahatannya, korupsi dewasa ini selain menggerogoti keuangan (kekayaan negara), juga sekaligus dapat merusak sendi-sendi kepribadian bangsa. Tidak mengherankan kalau korupsi dimasa kini dapat menghancurkan negara, menjatuhkan pemerintah atau minimal menghambat pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Perbuatan korupsi dari segi bentuknya dapat dibagi sebagai berikut: pertama, yang lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi (uang) yang dikategorikan korupsi materi. Kedua, berupa perbuatan memanipulasikan pungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan, dan/atau campur tangan
yang
dapat
mempengaruhi
kebebasan
memilih.
Ketiga,
yang
memanipulasikan ilmu pengetahuan.30) Memperhatikan materi dari pengertian korupsi di atas, dan selanjutnya membandingkan dengan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jelaslah bahwa Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 umumnya memuat ketentuan yang berkaitan dengan korupsi materi, 30)
hlm. 74.
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Kompas, Jakarta, 2001,
yaitu menyangkut penyuapan (termasuk pemberian/penerimaan komisi/hadiah), dan manipulasi lain yang merugikan kesejahteraan umum, serta yang semacamnya, dengan ancaman pidana paling berat dengan pidana mati juga denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.0000.0000,00 (satu milyar rupiah), disamping itu pula dapat dikenakan pidana tambahan berupa penyitaan harta kekayaan yang diperoleh melalui perbuatan korupsi itu. Mengingat di atas telah diuraikan mengenai pengertian korupsi, juga diyakini bahwa korupsi mempunyai dampak yang sangat kuat bagi perkembangan perekonomian negara dan dapat meruntuhkan nilai-nilai moral bangsa, maka dari itu kita harus mengetahui ciri-ciri dari kejahatan korupsi itu sendiri. Berikut ini ciri-ciri korupis menurut Syed Hussein Alatas yaitu:31) 1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. 2. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan atau bersikap tertutup. Jadi motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya. 3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan secara timbal balik. 4. Yang mempraktekan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum. 5. Yang terlibat korupsi ialah orang yang menginginkan keputusankeputusan secara tegas dan yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. 6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan dan biasanya pada badan publik atau yang melayani kepentingan umum. 7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. 8. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu. 9. Suatu perbuatan korupsi jelas melanggar norma-norma tugas dan tanggung jawab dalam tatanan masyarakat.
31)
Syed Hussein Alatas dalam Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 10.
Menurut
Martiman
Prodjohamidjodjo,
secara
kronologis
dapatlah
disebutkan ada sedikitnya 5 (fase) peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi, antara lain: 1. Peraturan Penguasa Militer No: Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957. Rumusan korupsi menurut perundang-undangan di atas, dikelompokan mejadi dua, yakni: a. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan
sendiri,
untuk
kepentingan
orang
lain,
atau
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. b. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya. 2. Peraturan
Penguasa
Perang
Pusat
Angkatan
Darat
Nomor
Prt/013/Peperpu/013/1958, tentang Pemgusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda. Rumusan korupsi dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat tersebut di atas, dikelompokan menjadi dua kelompok besar dan tiap kelompok dibagi lagi menjadi sub kelompok, sehingga menjadi lima kelompok jenis korupsi, yakni:
a. Pada kelompok besar pertama Yang disebut korupsi pidana, adalah: 1) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
atau
daerah
dan
badan
hukum
lain,
yang
mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat. 2) Perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan, serta yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. 3) Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP. b. Pada kelompok besar kedua Perbuatan korupsi lainnya Yang dimaksud dengan perbuatan korupsi lainnya adalah 1) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan
negara atau daerah, atau badan lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat. 2) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau
suatu
badan
dan
yang
dilakukan
dengan
menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. 3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Prp tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan delik korupsi menurut undang-undang ini, dibagi dalam dua kelompok besar, sebagai berikut: Kelompok besar pertama, terdiri dari: a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
c. Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP. d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat jabatan atau kedudukan itu. e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. Kelompok besar kedua, hanya ada satu ketentuan, yakni: “Barang siapa melakukan percobaan atau pemufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e, pasal ini”. 4. Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan delik korupsi pada Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 mengambil oper rumusan delik korupsi dari Undang-undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 baik redaksi mengenai perbuatan-perbuatan maupun sistematikanya. Sehingga karena itu ada dua kelompok delik korupsi,
yaitu delik korupsi yang selesai (voltooid) dan delik percobaan (poging) serta delik pemufakatan (convenant). Delik korupsi ini dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 ada enam kelompok, yaitu: a. Tindak pidana korupsi dirumuskan normatif (Pasal 1, sub (1) a dan sub (1) b). b. Tindak pidana korupsi dalam KUHP yang diangkat menjadi delik korupsi (sub (1) c). c. Tindak korupsi dilakukan subjek non-pegawai negeri (sub (1) d). d. Tindak pidana korupsi karena tidak melapor (sub (1) d). e. Tindak pidana korupsi percobaan (sub (2)). f. Tindak pidana korupsi pemufakatan (sub (2)). Pengelompokan tersebut diasumsikan demikian, berdasarkan sifat korupsinya saja, tidak berdasarkan ketentuan perundang-undangan. 5. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan delik korupsi dengan mengoper sebagian besar dari delik korupsi Undang-undang Nomor 3 tahun 1971, dengan perubahan sebagai hal yang menarik untuk diperhatikan sebagai berikut: Memperluas subjek delik korupsi, memperluas pengertian pegawai negeri, memperluas pengertian delik korupsi, memperluas jangkauan berbagai modus operandi keuangan negara. Delik korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil. Subjek korporasi dikenakan sanksi. Guna mencapai tujuan yang lebih
efektif untuk mencegah dan memberantas delik korupsi sanksi pidana berbeda dengan sanksi pidana undang-undang sebelumnya. Akan dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, agar dalam proses penanganan delik korupsi tersangka/terdakwa memperoleh perlindungan hak-hak asasi. Penyidik, penuntut,
dan
hakim
dapat
langsung
meminta
keterangan
keuangan
tersangka/terdakwa pada Gubernur Bank Indonesia diterapkan pembuktian terbalik terbatas partisipasi masyarakat berperan dalam pemberantasan delik korupsi. Akan dibentuk komisi Pemberantasan Delik Korupsi, dua tahun mendatang. Delik korupsi menurut undang-undang ini, dibagi dalam dua kelompok besar, yakni kelompok pertama, Bab II Tentang Tindak Pidana Korupsi terdiri dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 20, dan kelompok kedua, Bab III Tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan pidana korupsi, terdiri dari Pasal 21 sampai dengan Pasal 24. Definisi umum tentang korupsi tidak diberikan oleh undang-undang ini. Delik korupsi menurut undang-undang ini dapat dikelompokan sebagai berikut: a.
Delik korupsi dirumuskan normatif dalam Pasal 2 (1) dan Pasal 3.
b.
Delik dalam KUHP Pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435, yang diangkat menjadi delik korupsi masing-masing dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12.
c.
Delik penyuapan aktif, dalam Pasal 13.
d.
Delik korupsi karena pelanggaran undang-undang yang lain, yang memberikan kualifikasi sebagai delik korupsi dalam Pasal 14.
e.
Delik korupsi percobaan, pembantuan, pemufakatan, dalam Pasal 15.
f.
Delik korupsi dilakukan diluar teritori negara Republik Indonesia dalam Pasal 16.
g.
Delik korupsi dilakukan subjek badan hukum dalam Pasal 20. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 diubah menjadi Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 mengoper sebagian besar dari delik korupsi Undang-undang Nomor 31 tahun 1999, dengan perubahan sebagai hal yang sangat menarik untuk diperhatikan, sebagai berikut: Memperluas subjek delik korupsi, memperluas mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, dalam hal ini berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu atau tanpa bantuan suatu sarana. Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Adanya penambahan mengenai ketentuan pembuktian terbalik yang diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Selain itu juga diatur mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
D. Alasan Penahanan Dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP, diterangkan bahwa suatu penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal dan menurut carayang diatur dalam undang-undang ini. Dari pengertian tersebut diatas jelas dinyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh panyidik, penuntut umum, hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta dengan tata carayang diatur dalam pasal lain dalam KUHAP, oleh karena penahanan tersebut merupakan pembatasan terhadap suatu kebebasan yang dimiliki oleh seseorang khususnya kebebasan bergerak seseorang maka hendaknya penahanan tersebut dilakukan bilamana memang sangat diperlukan bagi kepentingan penegakan hukum. Selain itu penahanan juga menimbulkan dua pertentangan azas yaitu disatu pihak penahanan menyebabkan hilangnya kebebasan bergerak seseorang, dan di pihakyang lain penahanan dilakukan untuk menjaga ketertiban yang harus dipertahankan demi kepentingan umum atas perbuatan jahat yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa. Maka dari itu segala tindakan penahanan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang melakukan penahanan harus sesuai
dengan KUHAP, hal ini untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam pelaksanaan penahananyang nantinya dapat menyebabkan akibat hukum yang fatal bagi pejabat yang melakukan penahanan yang mana dapat berupa adanya tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 95 KUHAP dan bahkan bisa berupa ancaman pidana sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Penahanan merupakan salah satu tindakan yang dilakukan dalam hal membantu proses penyelidikan, penyidikan dan proses peradilan. Dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP, diterangkan bahwa suatu penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal dan menurut carayang diatur dalam undang-undang ini. Dari pengertian tersebut diatas jelas dinyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh panyidik, penuntut umum, hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta dengan tata cara yang diatur dalam Pasal lain dalam KUHAP. Secara garis besar KUHAP menyatakan bahwa penahanan tersebut harus didasarkan adanya syarat-syarat tertentu antara lain bahwa tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan suau tindak pidana berdasarkan buktiyang cukup, adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi perbuatannya kembali. Moelyatno membagi syarat penahanan tersebut menjadi dua yaitu:32)
32)
Moeljatno, Op cit, hlm.63.
a. Syarat Obyektif : 1.
Terhadap tindakan pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih ;
2.
Tindak pidana tetentu seperti tersebut dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun.
b. Syarat Subyektif : 1.
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan;
2.
Untuk mencegah tersangka atau terdakwa melarikan diri;
3.
Untuk mencegah tersangka atau terdakwa merusak atau menghilangkan barang bukti;
4.
Untuk mencegah tersangka atau terdakwa mengulangi tindak pidana. Mengingat pada dasarnya bahwa penahanan tersebut adalah perampasan
terhadap hak kebebasan bergerak seseorang sehingga harus dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian dan sesuai dengan ketentuan yang ada. Penahanan sebagai upaya paksa, tidak dengan sendirinya menghilangkan harkat dan martabat tersangka. tidak pula dapat melenyapkan hak–hak asasi yang melekat padadirinya secara keeluruhan. Namun demikian sepanjang yang berkenaan dengan beberapa hak asasi yang berhubungan dengan harkat dan martabatnya serta hak yang perlu untuk melindungi kepentingan pribadinya, tidak boleh dikurangi dan harus dijamin oleh hukum sekalipun dia berada dalam penahanan.
E. Ketentuan Umum Tentang Kejaksaan Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenanangan lain berdasarkan
Undang-Undang.
Dalam
melaksanakan
tugas,
fungsi
dan
wewenangnya, Kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan normanorma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, Kejaksaan dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, dan penegakan Hak Asasi Manusia. Selain itu, Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasakan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 merupakan peraturan perundangundangan mengenai Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dijelaskan mengenai susunan organisasi kejaksaan, yang terdiri dari Kejaksaan agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota propinsi, dan Kejaksaan Negeri
berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kotamadya. Kejaksaan agung dipimpin oleh seorang Jaksa agung yang mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan. 33) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung yang merupakan satu kesatuan unsur pimpinan dan beberapa orang Jaksa Agung Muda sebagai unsur pembantu pimpinan. Untuk ditingkat propinsi, dipimpin oleh seorang Jaksa Tinggi yang dibantu oleh seorang wakil Kepala Kejaksaan Tinggi sebagai kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur pimpinan, dan unsur pelaksana.34) Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Sedangkan berdasarkan pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, dan menunjuk juga pada pasal 6 a dan Pasal 6 b KUHAP.35) Dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian “Jaksa” adalah menyangkut jabatan, sedangkan Penuntut Umum menyangkut fungsi.
33)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Ibid. 35) Ibid. 34)
F. Tugas dan Wewenang Kejaksaan Bahwa lembaga kejaksaan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). Peran yang amat besar inilah seharusnya dibarengi dengan idenpedensi dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, karena tanpa indepedensi dari kajaksaan maka akan sangat sulit mengarapkan indepedensi kekuasaan peradilan pidana. Dalam praktek peradilan pidana, meskipun hakim bebas tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum.36) Lembaga Kejaksaan dalam perkembangannya telah beberapa kali memiliki payung hukum. Pada masa orde lama dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, pada masa orde baru dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan yang sekarang berlaku (masa reformasi) dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Dari ketiga undang-undang tersebut sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga kejaksaan. Kedudukan kejaksaan justru lebih mantap ketika masa orde lama bila dibanding dengan masa reformsi. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 Pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas 36)
Wahana Hukum, Peranan Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu www,google.com, Sabtu, 10 Januari 2009.
sebagai penuntut umum. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2994 justru kejaksaan menjadi lembaga pemerintahan artinya kejaksaan adalah lembaga eksekutif, padahal kalau dilihat kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan jelas kejaksaan melakukan kekuasaan dibidang yudikatif. Disinilah terjadi ambivalensi kedudukan kejaksaan dalam penegakan hukum di indonesia. Memang dalam Undang-Undang 16 Tahun 2004 Pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa kekuasaan kejaksaan dilakukan secara merdeka, namun bila dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan sebagai lembaga eksekutif maka suatu kemustahilan bila kejaksaan dapat menjaankan kekuasaan dan keweangan dialakukan secara merdeka.37) Dalam sistem peradilan peranan kejaksaan sangat sentral karena kejaksaan merupakan lembaga yang menentukan apakah seseorang harus diperiksa oleh pengadilan atau tidak. Jaksa pula yang menentukan apakah seorang tersangka akan dijatuhi hukuman atau tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan yang dibuat. Sedemikian penting posisi jaksa bagi proses penegakan hukum sehingga lembaga ini harus diisi oleh orang-orang yang profesional dan memiliki integritas tinggi. Keberadaan lembaga kejaksaan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dilakukan oleh kejaksaan. Selain berperan dalam peradilan pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam bidang Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili negara dan pemerintah dalam perkara
37)
Ibid.
perdata dan tata usaha negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan ini dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Ditinjau dari sisi tugas dan wewenang pada hakekatnya Kejaksaan melaksanakan fungsi yudikatif yang merupakan pelaksanaan kekuasaan badan kehakiman. Secara umum KUHAP tidak memberikan kewenangan bagi Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, dengan demikian mungkin satu-satunya negeri di dunia ini dimana jaksa atau penuntut umum tidak berwenang menyidik walaupun dalam bentuk insidental.38) Pasal 1 butir 1 KUHAP telah menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penuntutan hanya dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Huku.m Acara Pidana, sebagai peraturan pelaksanaan dari KUHAP, menyatakan bahwa:39) “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 Ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”
38)
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 70. 39) Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, PP No. 27 Tahun 1983, LN NO. 36 Tahun 1983, TLN 3258, Pasal 17.
Seiring perkembangan jaman, Undang-Undang Nomor 15 Tahun1961 tentang Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1961 tentang pembentukan Kejaksaan Tinggi, dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 tentang Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945. Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang dasar 1945. Untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Maka dari itulah pembaharuan Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia perlu dilakukan dengan membentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 disebutkan : 1.
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. melakukan penuntutan; b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan,dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Sedangkan dalam Pasal 14 KUHAP disebutkan bahwa Penuntut Umum mempunyai wewenang : a.
Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu,
b.
Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c.
Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d.
Membuat surat dakwaan;
e.
Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f.
Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan;
g.
Melakukan penuntutan;
h.
Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i.
Mengadakan tindakan lain dalamlingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j.
Melaksanakan penetapan hakim. Di samping tugas dan wewenang kejaksaan di bidang pidana yang tersebut
dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 di atas, pada Pasal 32 juga disebutkan bahwa kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara/instansi lainnya. Selain itu kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah laiinya, sesuai dengan bunyi Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Sebagaimana pendukung atas ketentuan di atas maka ditetapkan Keputusan Presiden yang mengatur perihal Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1999. Pasal 5 ayat (1) dari Keppres tersebut mengatur tugas dan kewenangan Jaksa agung yang antara lain berisikan : a. Memimpin dan mengendalikan Kejaksaan dalam melaksanakan tugas, wewenang dan fungsi serta membina aparatur Kejaksaan agar berdaya guna dan berhasil guna; b. Menetapkan dan mengendalikan kebijaksanaan pelaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dan tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan; d. Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait meliputi penyelidikan dan penyidikan serta melaksanakan tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden; e. Melakukan pencegahan dan pelarangan terhadap orang yang terlibat dalam suatu perkara pidana untuk masuk ke dalam atau ke luar meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia, peredaran barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban umum, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama serta pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan ketertiban masyarakat dan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan; f. Melakukan tindakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara, mewakili pemerintah dan negara di dalam dan di luar pengadilan sebagai usaha menyelamatkan kekayaan negara baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden; g. Menyampingkan perkara demi kepentingan umum, mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara, mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana, menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati berdasarkan peraturan perundang-undangan;
h. Memberikan izin tertulis dan menetapkan persyaratan dan tata cara bagi seorang tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di dalam maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundangundangan; i. Memberikan perizinan sesuai dengan bidang tugasnya dan melaksanakan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden; j. Membentuk Satuan Tugas di Pusat dan di Daerah yang terdiri dari instansi Sipil, TNI dan Polri untuk penanggulangan, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana khusus serta tindak pidana tertentu sesuai dengan kebutuhan; k. Membina dan melakukan kerja sama dengandepartemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga negara, instansi dan organisasi lain untuk memecahkan permasalahan yang timbul terutama yang menjadi tanggung jawabnya. Berdasarkan ketentuan di atas jelas bahwa kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung memiliki wewenang untuk,
melakukan
penyidikan
dan
mengkoordinasikannya dengan instansi terkait dalam hal penanganan perkara pidana tertentu. Kewenangan Jaksa Agung tersebut dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Pasal 17 dari Keppres tersebut menyatakan: Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh jaksa Agung.
Ketentuan di atas secara tegas menyatakan bahwa tugas dan wewenang yang diberikan Undang-undang terbatas pada tindak pidana khusus. Menurut Yahya Harahap, yang dimaksud dengan tindak pidana khusus ialah tindak pidana yang diatur di luar KUHP. Yahya Harahap membagi pemberlakuan hukum acara pidana pada tindak pidana khusus kedalam dua kategori yaitu : -
Merupakan gabungan antara hukum acara pidana umum (KUHAP) dengan hukum acara pidana khusus yang diatur sendiri dalam tindak pidana khusus tersebut.
-
Jika terjadi penggabungan yang seperti ini, biasanya hal itu ditegaskan dalam tindak pidana khusus, dengan jalan menyebutkan bahwa disamping ketentuan hukum acara pidana khusus yang terdapat di dalamnya, diperlukan juga hukum acara pidana umum dengan cara menggabungkan keduanya. Dengan demikian terjadilah dua kewenangan penyidikan antara instansi Kepolisian dengan Kejaksaan sebagai pengecualian terhadap.prinsip kewenangan tunggal penyidikan kepada instansi Kepolisian;
-
Di samping penggabungan hukurn acara pidana yang tersebut di atas, tindak pidana khusus mengatur sendiri hukum acara pidana dalam dngkat pemeriksaan penyidikan dan pembuktian. Hal seperti ini misalnya dijumpai dalam tindak pidana korupsi. Peran penting yang dimainkan oleh lembaga kejaksaan tak lepas dari
perwujudan representasi negara dalam melindungi warganya. Untuk itulah, aspek penghormatan dan ketaatan pada prinsip-prinsip hukum yang bersifat universal dalam menjalankan tugas menjadi unsur yang amat menentukan.
BAB III KEBIJAKAN PENGHAPUSAN PENAHANAN DENGAN MENGEMBALIKAN UANG KERUGIAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SELAMA PROSES PENYIDIKAN OLEH KEJAKSAAN
A. Kebijaksanaan dan Kebijakan Dalarn hubungannya dengan pengadilan, jaksa mempunyai hak-hak khusus dan tanggung jawab khusus yang lebih dari pada hak-hak dan tanggung jawab polisi. Dalam hal apapun jaksa itu adalah penyaring sistem peradilan pidana, karena dalam hal pengajuan perkara-perkara pidana ke persidangan, pengadilan itu tergantung kepada keputusan jaksa apakah ia akan menuntut perkara itu atau tidak. Bahkan dalam jurisdiksi-jurisdiksi di mana jaksa di dalam mengesampingkan perkara diharuskan mendapat persetujuan pengadilan, pada umumnya
pengadilan
akan
memberikan
jawaban
yang
menguntungkan
permintaan jaksa.40) Di negara-negara di mana polisi memiliki kekuasaan diskreksi yang sangat terbatas, kebijaksanaan (diskresi) penuntutan jaksa itu penting sekali, terutama apabila jaksa mempunyai kekuasaan menyidik dan kekuasaan mengarahkan aparat penegak hukum lain. Dalam hubungan ini jaksa di Jepang atau di Negeri Belanda merupakan contoh yang tepat tentang pejabat hukum publik yang demikian itu, artinya menduduki posisi utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana.
40)
R.M. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 5.
Karena begitu penting makna penggunaan kekuasaan diskresi tadi di banyak negara telah diusahakan beberapa cara, baik untuk mencegah adanya disparitas
diskresi
penuntutan
maupun
untuk
mencegah
terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan penuntutan. Standar tindakan penuntutan dapat diamankan dengan beberapa pedoman kerja. Di negara-negara yang kejaksaannya disentralisasikan, setiap jaksa berada di bawah bimbingan clan pengawasan jaksa atasannya. Di samping itu, latihan dan rapat-rapat kerja kejaksaan sudah barang tentu akan mengurangi disparitas penyelesaian penuntutan.41) Mengenai cara-cara pencegahan terhadap terjadinya penyalahgunaan kekuasaan penuntutan, dimungkinkan dengan bermacam-macam sistem pengujian dan pengujian kembali (cheek and recheck system), misalnya, pengawasan oleh kejaksaan yang lebih tinggi, tata cara pengajuan permohonan kepada badan peradilan untuk meninjau kembali penyelesaian penuntutan oleh jaksa dan untuk melakukan penuntutan baru, dan sistem penuntutan swasta (private prosecution) yang diizinkan oleh undang-undang di beberapa negara.42) Dalam Seminar Internasional UNAFEI Ke-59 mengenai Masalah-masalah Masa Kini tentang Menjamin Penyelenggaraan Peradilan Pidana yang Efektif, Efisien, dan Jujur serta Solusinya (Tokyo, Jepang, 1982), semua peserta berpendapat bahwa penuntutan "merupakan seni, keterampilan yang tidak hanya memerlukan kecakapan, tetapi juga penguasaan teknis dan ilmu yang harus dibentuk dan diperhalus dalam tungku pengalaman", oleh karena itu baik persyaratan maupun latihan bagi para jaksa sangat diperhatikan. 41) 42)
Ibid, hlm. 27. Ibid.
Harus diketahui pula, Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-8 mengenai Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku Tindak Pidana (Havana, Kuba, 1990) mengesahkan resolusi mengenai "Pedoman Tentang Peranan Para Jaksa". Ada relevansinya dengan pengawasan dan latihan, yang paling penting adalah diupayakan agar "tenaga yang tepat harus diterima terlebih dahulu. Tidak sulit untuk menguji fisik dan mengevaluasi hasil pendidikan para calon, tetapi lebih tinggi lagi nilainya daripada fisik dan pendidikan adalah watak. Untuk mencapai kualitas seperti itulah, di Indonesia para calon jaksa selalu
dipertimbangkan
integritas
moralnya
melalui
pengujian-pengujian
akademis, kecakapan, dan psikologis, karena Kejaksaan Indonesia bersemboyan "kesetiaan, kedewasaan, dan kebijaksanaan" sebagaimana yang tersirat dalam adagium yang berbunyi Satya, Adhy, Wicaksana.43) Dalam struktur organisasi Kejaksaan Agung Republik Indonesia terdapat perangkat Pengawasan Umum yang dilengkapi dengan instrumen hukum dan peraturan disiplin untuk mengawasi badan penuntut umum di Indonesia. Mutatis mutandis demikian juga di semua Kejaksaan Tinggi. Tidak dapat disangkal, standar etika adalah benteng terakhir untuk jaksa di dalam menjalankan kekuasaan diskresinya yang luas itu, oleh karena itu, di beberapa negara, penuntutan itu harus didasarkan atas pertimbangan bahwa hal itu akan diawasi oleh terdakwa dan oleh sejawat-sejawatnya, oleh pers dan khalayak ramai, oleh pengadilan, oleh badan penyelidik dan oleh sesama pakar hukum yang menjadi pengacara.
43)
Ibid, hlm. 28
Singkatnya, pedoman kebijaksanaan (diskresi) penuntutan dan kedudukan jaksa yang dominan harus berimbang. Bilamana pedoman atau pengawasan itu dituangkan, akan tetapi terlalu kaku, arti diskresi itu akan menjadi berkurang, karena "diskresi adalah kebebasan menerobos aturan," akan tetapi hal itu "dilakukan di dalam aturan bernalar dan aturan keadilan. Seperti para jaksa di Negeri Belanda dan Jepang, sebelum tahun 1961 setiap jaksa di Indonesia diberi wewenang tidak menuntut karena alasan kebijakan atau "mengesampingkan perkara". Dengan kata lain, jaksa diperbolehkan mengesampingkan perkara sekalipun bukti-buktinya cukup untuk menghasilkan penghukuman dari hakim. Wewenang tersebut dijalankan demi kepentingan umum, atau kepentingan individu dan didasarkan atas hukum tidak tertulis yang berasal dari hukum di Negeri Belanda, dan dikenal sebagai asas oportunitas.44) Guna mencegah penyalahgunaan kebijaksanaan (diskresi) penuntutan, maka wewenang tersebut ditiadakan dalam tahun 1961. Sejak itu hanya Jaksa Agunglah yang boleh mengesampingkan perkara karena alasan kebijakan (policy). Oleh karena itu, jaksa yang ingin menggunakan wewenang tersebut harus memohon agar Jaksa Agung mengesampingkan perkaranya, sayang sekali, Jaksa Agung RI sangat jarang menggunakan. Sekalipun wewenang mengesampingkan perkara karena alasan kebijakan (policy) jarang sekali digunakan oleh Jaksa Agung RI, asas oportunitas ini sudah lama diterapkan di Indonesia. Dalam KUHAP wewenang tersebut tidak dirumuskan secara eksplisit, namun dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP tersirat
44)
Ibid, hlm. 38.
bahwa wewenang Jaksa Agung itu diakui, yaitu untuk tidak menuntut perkara sekalipun cukup bukti-buktinya dan tidak seorang pun boleh melawannya. Lebih-lebih lagi wewenang dan asas tersebut baru dikukuhkan oleh Pasal 32 (c) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI. Namun begitu, penjelasan pasal tersebut mengisyaratkan bahwa asas oportunitas tersebut tidak akan banyak digunakan. Kiranya semua jaksa harus diberi wewenang mengesampingkan perkara, sehingga mereka itu boleh menghentikan proses perkara sekalipun bukti-buktinya cukup, terutama dalam hal tindak pidananya tidak berarti, pelakunya terlalu tua, sedang korbannya tidak rewel. Persetujuan Jaksa Agung tidak diperlukan, kecuali perkara yang akan dikesampingkan itu perkara yang berat atau yang menarik perhatian masyarakat.45)
B. Penangguhan atau Pengalihan Jenis Tahanan Sebagai salah satu sub sistem dari suatu sistem hukum, Kejaksaan memiliki kedudukan yang sentral dalam penegakan hukum di Indonesia. Untuk itu, Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi supremasi hukum sebagia prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan kehidupam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.46) Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakan supremapsi hukum, perlindungan kepentingan umum, 45)
Ibid, hlm. 39. Wijatobone to bone weblog Optimalisasi Peran Kejaksaan Dalam Penegakan Supremasi Hukum. blogdetik.com. 46)
penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan KKN, oleh karena itu, Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dalam mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan Negara serta melindungi kepentingan masyarakat. Di sinilah letak peran stratejik Kejaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa. Bahwa untuk mencapai maksud tersebut, aparat Kejaksaan perlu meningkatkan kinerja dengan optimal di segala bidang dengan berorientasi pada Visi dan Misi kejaksaan yang berpangkal pada upaya perlindungan dan penegakan kepentingan umum dan kepentingan hukum pada umumnya dengan senantiasa berpegang pada asas persamaan di depan hukum, supremasi hukum. Untuk menjaga dan agar tidak merugikan kepentingan tersangka atau terdakwa dikarenakan adanya penahanan yang kemungkinan dapat dilangsungkan dalam waktu yang cukup lama maka dalam hukum acara pidana kita diatur suatu ketentuan
mengenai
bahwa
tersangka
atau
terdakwa
dapat
memohon
penahanannya untuk ditangguhkan. Mengenai penangguhan penahanan tersebut diatur dalam Pasal 31 KUHAP, dimana penangguhan tersebut dapat dikabulkan oleh penyidik, penuntut umum, hakim sesuai dengan kewenangannya masingmasing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan syarat-syarat tertentu. Dengan adanya pengaturan mengenai dapat dimohonkannya penangguhan terhadap suatu penahanan, mungkin memberikan sedikit angin segar kepada para
tersangka atau terdakwa. Namun, mengenai penangguhan penahanan ini juga tidak luputdari kekurangan dan sudah barang tentu dapat menimbulkan suatu permasalahan yang baru bagi masyarakat yang mencari kepastian hukum. Dalam Pasal 31 KUHAP hanya menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa dapat memohon suatu penangguhan, penangguhan tersebut dapat dikabulkan oleh penyidik, penuntut umum, hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan syarat-syarat tertentu serta apabila syarat tersebut dilanggar maka penangguhan tersebut dapat dicabut kembali dan tersangka atau terdakwa tersebut dapat kembali ditahan. Pengaturan tersebut dirasa sangat kurang memberi kejelasan pelaksanaan penangguhan penahanan dalam praktek beracara pidana. Di atas telah diuraikan bahwa penangguhan dapat dilaksanakan dengan atau tidak adanya jaminan berupa uang atau jaminan orang, namun KUHAP tidak menjelaskan mengenai besarnya jumlah uang jaminan tersebut apabila penangguhan tersebut dilaksanakan dengan adanya jaminan uang dan apabila penangguhan dilaksanakan dengan jaminan orang KUHAP juga tidak memberikan penjelasan. Selain itu Pasal 31 KUHAP juga tidak menjelaskan mengenai akibat hukum dari si penjamin apabila tersangka atau terdakwa yang ia jamin tersebut melarikan diri. Mengenai masalah penangguhan penahanan yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP belum secara keseluruhan mengatur bagaimana tata cara pelaksanaannya, serta bagaimana syarat dan jaminan yang dapat dikenakan kepada tahanan atau kepada orang yang menjamin, sedangkan tentang alasan penangguhan penahanan tidak ada disinggung dalam Pasal 31 KUHAP
maupun dalam penjelasan pasal tersebut.47) Jika ditinjau dari segi yuridis, mengenai alasan penangguhan dianggap tidak relevan untuk dipersoalkan. Persoalan pokok bagi hukum dalam penangguhan berkisar pada masalah syarat dan jaminan penangguhan. Akan tetapi sekalipun undang-undang tidak menentukan alasan pengguhan dan memberi kebebasan serta kewenangan penuh kepada intansi yang menahan untuk menyetujui atau tidak menangguhkan, sepatutnya intansi yang bersangkutan mempertimbangkan dari sudut kepentingan dan ketertiban umum dengan jalan pendekatan sosiologis, psikologis, preventif, korektif dan edukatif. Pasal-pasal yang terkait dengan penangguhan penahanan diatur dalam KUHAP, yaitu sebagai berikut: Pasal 31: (1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masingmasing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. (2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 59 : Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
47)
Agus Heryanto, Materi Kuliah SMT 1 Fakultas Hukum, Ourblogtemplates.com.
Pasal 60 : Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum. Sedangkan pada aturan pendukung lainnya, telah terdapat Surat Edaran Kejaksaan Agung nomer 005/A/JA/09/2006 yang ditandatangani pada 7 September 2006. Dalam surat edaran tersebut memuat tiga poin penting. Pertama, setiap penangguhan penahanan terhadap tersangka (Pasal 31 ayat (1) KUHAP, wajib dilaporkan untuk mendapat persetujuan Jaksa Agung. Kedua, setiap pengalihan jenis penahanan satu ke jenis penahanan lain terhadap tersangka (Pasal 23 ayat (1) KUHAP) juga wajib dilaporkan untuk mendapatkan persetujuan jaksa agung, kecuali, pengalihan jenis penahanan kota atau rumah menjadi tahanan rutan (rumah tahanan). Ketentuan ini berlaku untuk semua kasus yang ditangani jaksa, baik sebagai penyidik maupun penuntut umum alias JPU. Kebijakan tersebut didasarkan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyebutkan bahwa kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan, sehingga yang dimaksud adalah ketentuan tersebut berlaku dan di terapkan oleh semua kejaksaan, baik di tingkat kejaksaan negeri maupun kejaksaan tinggi. Dasar hukum pengalihan penahanan itu sendiri diatur dalam Pasal 23 ayat (1) KUHAP, yaitu sebagai berikut :
“Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22” Pengalihan penahanan adalah wewenang instansi yang menahan dan mempnuyai kaitan dengan jenis-jenis penahanan yaitu:48) 1.
Penahanan pada Rumah Tahanan Negara dilaksanakan di tempat-tempat yang telah ditunjuk oleh SK Menteri Hukum dan HAM sebagai Rumah Tahanan Negara (RUTAN)
2.
Penahanan rumah dilaksanakan di rumah anda dengan diawasi kepolisian
3.
Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal anda dengan kewajiban melapor setiap minggu ke kantor polisi Karena itu tersangka/terdakwa atau kuasa hukumnya atas keluarganya
berhak untuk meminta agar status tahanannya dialihkan ke salah satu jenis penahanan tersebut. Untuk melakukan pengalihan penahanan, maka harus memenuhi tata cara meminta pengalihan penahanan, yaitu sebagai berikut : 1. Tersangka/terdakwa atau kuasa hukumnya atau keluarganya mengirimkan surat permohonan untuk mengalihkan jenis penahanannya ke instansi yang menahan; 2. Instansi yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan untuk mengalihkan jenis penahanan;
48)
Dunia Anggara, Tentang Pengalihan Penahanan,www.WordPress.com.
3. Tembusan surat perintah atau surat penetapan tersebut diberikan kepada tersangka/terdakwa serta kepada instansi lain yang berkepentingan untuk pengalihan penahanan kita bisa menghitung jumlah hukuman pidana yang dijatuhkan oleh hakim.
C. Beberapa Kasus Kebijakan Kejaksaan Tidak Menahan Tersangka yang Mengembalikan Uang Kerugian Negara Selama ini kejaksaan sudah bekerja maksimal, termasuk pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi. Saat ini kejaksaan sudah ada upaya untuk memperbaiki internalnya. Tapi itu harus ditingkatkan lagi agar pemberantasan korupsi bisa berjalan dengan maksimal, termasuk masalah penangguhan penahanan yang harus ditandatangani Jaksa Agung. Program reformasi birokrasi dengan 12 poin prioritas reformasi yang berjalan sejak Juli 2005 masih sebatas basa-basi. Kendala utama belum berhasilnya reformasi adalah faktor komitmen internal kejaksaan yang masih minim, pengawasan lemah, transparansi sulit diharapkan, dan bahkan pemahaman menyeluruh tentang reformasi disimplifikasi hanya menjadi kenaikan pendapatan. Kejaksaan Agung beberapa hari lalu mengeluarkan kebijakan terkait penanganan perkara korupsi. Yaitu, tidak ditahannya tersangka kasus dugaan korupsi
yang
mengembalikan
uang
kerugian
negara
saat
penyidikan.
Kebijakan
tersebut
dibuat
dengan
alasan
untuk
memaksimalkan
pengembalian uang Negara.49) Kebijakan tidak menahan tersangka bukan berarti menghapus pidana. Perbuatan pidana pelaku tetap ada. Pengembalian uang negara sebatas unsur yang meringankan. Jika tersangka mengembalikan uang pada saat proses penyidikan, Kejaksaan tidak akan menahan dia. Tetapi proses pengadilan jalan terus. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yaitu : “Pengembalian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3” Kejaksaan Agung tercatat telah menerapkan kebijakan tersebut pada kasus Asabri. Kasus ini melibatkan pengusaha Tan Kian dengan kerugian keuangan negara senilai AS$13 juta. Jumlah kerugian negara tersebut dikembalikan, dan sudah masuk pada rekening penampungan Kejaksaan Agung. Padahal Tan Kian berstatus tersangka, namun penahan tidak dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Kebijakan serupa diterapkan pada kasus dugaan korupsi dalam pungutan biaya kawat di Kedutaan Besar (Kedubes) RI di Cina tahun 2002 hingga 2004 yang merugikan keuangan negara senilai 10.275.684,85 Yuan dan AS$ 9.613.000. Dalam kasus ini, dua mantan Dubes, yaitu AA Kustia dan Kuntara telah ditetapkan sebagai tersangka. AA Kustia mengembalikan uang yang diterima,
49)
Kejaksaan Agung: Kembalikan Uang www.hukumonline.com, Jumat, 20 Februari 2009.
Negara,
Tersangka
Tidak
Ditahan,
sehingga Kejaksaan Agung tidak melakukan upaya penahanan. Cuma, selain karena sudah mengembalikan, faktor usia juga menentukan.50) Kasus lainnya yang berkaitan dengan kebijakan penghapusan penahanan karena mengembalikan uang Negara, yaitu Kasus dugaan korupsi di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Thailand. Meski sudah menetapkan tiga tersangka, kasus yang diduga merugikan negara Rp 2,5 miliar ini belum jelas. Para tersangka hingga kini masih bebas melenggang. Belum ada upaya Kejagung untuk melakukan penahanan. Perlu diketahui, tiga tersangka yang ditetapkan yakni Dubes Thailand M Hatta, Wakil Dubes Djumantoro Purbo dan Bendahara KBRI Thailand, Suhaeni. Dalam kasus ini, Dubes Thailand, M Hatta sudah mengembalikan uang yang diduga telah dikorupsi. Karena itu, Kejagung masih menelaah kasus ini, apakah kesalahan administratif atau ada upaya melawan hukum. Jum'at 8 Januari 2010 ICW melaporkan kasus dugaan korupsi dana taktis di KBRI Bangkok Thailand ke KPK. Perkara dugaan korupsi Penyimpangan Penggunaan Sisa Dana KBRI Bangkok saat ini masih dalam proses penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Hal ini dapat dilihat dari Surat Perintah Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-60/F.2/Fd.1/07/2009 tanggal 15 Juli 2009 dan Nomor: Print-77/F.2/Fd.1/10/2009 tanggal 2 Oktober 2009, Nomor : Print-78/F.2/Fd.1/10/2009 tanggal 2 Oktober 2009. Pihak Kejaksaan Agung telah melakukan sejumlah pemeriksaan terhadap sedikitnya 30 orang saksi yang terdiri dari pejabat dan pegawai dilingkungan
50)
Ibid.
Departemen Luar Negeri khususnya dilingkungan KBRI Bangkok Thailand. Kejaksaan juga telah menetapkan 3 (tiga) orang sebagai tersangka yaitu Muhammad Hatta (Duta Besar), Djumantoro Purbo (Wakil Duta Besar) dan Suhaeni (Bendahara KBRI). Selain itu, juga disita uang USD 35 ribu dan 3,22 juta Baht (Rp 1,5 miliar), serta beberapa dokumen, di antaranya, dokumen DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) tahun anggaran 2008-2009 dan tanda bukti pengeluaran tahun 2008-2009. Ketika proses penyidikan masih berlangsung, salah satu tersangka yaitu Muhammad Hatta telah mengembalilkan kerugian negara sebesar Rp 1,2 miliar. Namun dalam perkembangannya, muncul indikasi adanya upaya untuk Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan perkara korupsi tersebut. Perkara tersebut nantinya akan diarahkan pada persoalan administratif semata. Berikut adalah deskripsi kasus korupsi KBRI Thailand berdasarkan laporan yang disusun oleh ICW:51) 1.
Posisi Perkara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Bangkok Thailand pada tahun
2008 mendapatkan alokasi anggaran DIPA dari Departemen Luar Negeri sebesar Rp. 41.000.000.000,00. Alokasi tersebut akan digunakan untuk belanja pegawai, belanja barang dan pemeliharaan. Selama tahun berjalan, anggaran yang telah terealisasi hingga tanggal 30 November 2008 sebesar Rp. 32 milyar. Dengan demikian masih ada sekitar 9
51)
ICW, KPK Harus Ambil Alih Dugaan Korupsi ”Dana Taktis” di KBRI Bangkok Thailand, www.antikorupsi.org, 8 Januari 2010.
milliar anggaran yang belum terserap dengan rincian 2 milliar berasal dari belanja pegawai dan Rp. 7 milliar berasal dari belanja rutin. Kemudian berdasarkan catatan arus kas hingga bulan desember 2008 masih terdapat sisa anggaran yang belum digunakan sebesar Rp. 7 milliar. Sejatinya sisa anggaran tersebut seluruhnya harus dikembalikan kepada kas negara karena peraturan Dirjen Anggaran No Per 47/PB/2008 mengatur kewajiban pengembalian tersebut. Namun menurut hasil penelusuran Indonesia Corruption Watch, anggaran yang disetorkan kembali ke kas negara hanya sebesar US$ 520 atau Equivalen dengan Rp. 5,2 Milliar. Sehingga ada sisi anggaran DIPA ± Rp. 1,8 milliar yang tidak disetorkan KBRI Bangkok. Menurut kajian dan analisis ICW terhadap kronologis kasus tersebut, kami menemukan beberapa indikasi penyimpangan yang mengarah pada tindak pidana korupsi.
2. Dugaan Korupsi Berdasarkan kajian dan analisis terhadap dugaan korupsi Sisa Dana DIPA Sebesar ± Rp. 1,8 miliar dilakukan dengan dua modus diantaranya: a. Merekayasa Pemberian honor/tunjangan beberapa kegiatan Pasal 8 Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor: Per-47/PB/2008 tanggal 30 Oktober 2008 tentang langkah-langkah dalam menghadapi akhir tahun anggaran, dengan jelas menyatakan bahwa “Sisa dana UP tahun anggaran berkenaan yang masih berada pada Kas Bendahara (baik tunai maupun yang
masih ada di dalam rekening bank/pos) oleh Bendahara Pengeluaran yang bersangkutan harus disetorkan kembali ke Kas Negara pada Bank Persepsi/Pos Persepsi paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum akhir tahun anggaran”. Pada prakteknya peraturan tersebut tidak sepenuhnya dilakukan karena sisa anggaran sebesar Rp 7 milliar tidak juga sepenuhnya disetor kepada Kas Negara. Paling tidak sebesar ± Rp. 1,8 Milliar tetap dipertahankan di Kas KBRI. Upaya mempertahankan sisa anggaran tersebut dilakukan dengan rekayasa seolah-olah ada pembiayaan kegiatan/pemberian honor namun sebenarnya lebih banyak sisa dana digunakan untuk kepentingan membiayai dana taktis duta besar. Kemudian waktu penetapan pembiayaan dihitung mundur sehingga seolah-olah tidak melewati tenggat waktu pengembalian ke kas negara. Item Kegiatan yang dibiayai antara lain, Membiayai seperti Penanganan WNI Terlantar dan Indonesian Day, pembayaran Tunjangan Kemahalan untuk local staff dan Guru SIB, KTT ASEAN di Chiangmai, Hua Hin dan Pattaya.
b. Pemotongan Dana dan Sisa Anggaran untuk Dana Taktis Duta Besar Keputusan Duta Besar Thailand untuk membiayai kegiatan atau membayar honor panitia ternyata tidak sepenuhnya benar karena pada prakteknya dana untuk pembiayaan tersebut dipotong dengan alasan kepentingan dana taktis Duta Besar. Pemotongan biaya untuk kepentingan dana Taktis tersebut antara lain ; 1) Tunjangan Kemahalan untuk 6 (enam) bulan (75.000 baht untuk local staff), kenyataannya hanya dibayarkan 25.000 baht untuk staf local WNI dan 20.000 baht untuk Guru SIB untuk dua bulan pembayaran;
2) Pembayaran honor panitia Penyelenggara Indonesia Day sebesar baht tersebut,
78.000
yang direalisasikan/dibayarkan kepada penerima hanya
sebesar 20.000 baht; 3) Pembayaran honor panitia Satuan Tugas Penanggulangan Masalah WNI yang Tertahan/Terjebak di Bangkok – Thailand tanggal 25 November s/d 6 Desember
2008
sebesar
126.000
baht.
Ternayat
yang
direalisasikan/dibayarkan sebesar 20.000 baht; 4) Sisa mata anggaran Pemeliharaan Gedung, dan Pemeliharaan Mesin sebesar 2.002.500,00 Bath disetorkan untuk dana taktis Dubes; 5) Sisa anggaran pengadaan pakaian seragam yang berhasil dikumpul dari rekanan sebesar 160,418,- Baht untuk dana taktis dan saldo dalam US$ sejumlah 2.485 Dolar digunakan untuk membiayai kepergian dubes ke Jakarta; 6) Sisa anggaran pemeliharaan kendaraan yang diterima dari rekanan sejumlah 113.130.00 Bath untuk dana taktis Dubes; 7) Sisa anggaran KTT ASEAN di Chiang Mai, KTT ASEAN di Hua Hin dan KTT AEAN di Pattaya untuk dana taktis Dubes.
3. Potensi Kerugian Negara Berdasarkan analisis dan perhitungan terhadap seluruh anggaran KBRI Bangkok pada tahun 2008, maka terdapat indikasi potensi kerugian negara sebesar Rp. 1.800.000.000,00 (Satu Miliar Delapan Ratus Juta Rupiah). Dari total kerugian negara tersebut sebanyak Rp. 1.636.219.251,00 (Satu Miliar Enam Ratus
Tiga Puluh Enam Juta Dua Ratus Sembilan Belas Ribu Dua Ratus Lima Puluh Satu Rupiah) digunakan sebagai dana Taktis Dubes.
4. Perkembangan Perkara dugaan korupsi Penyimpangan Penggunaan Sisa Dana KBRI Bangkok saat ini masih dalam proses penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Hal ini dapat dilihat dari Surat Perintah Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor : Print-60/F.2/Fd.1/07/2009 tanggal 15 Juli 2009 dan Nomor : Print-77/F.2/Fd.1/10/2009
tanggal
2
Oktober
2009,
Nomor
:
Print-
78/F.2/Fd.1/10/2009 tanggal 2 Oktober 2009. Pihak Kejaksaan Agung telah melakukan sejumlah pemeriksaan terhadap sedikitnya 30 orang saksi yang terdiri dari pejabat dan pegawai dilingkungan Departemen Luar Negeri khususnya dilingkungan KBRI Bangkok Thailand. Kejaksaan juga telah menetapkan 3 (tiga) orang sebagai tersangka yaitu Muhammad Hatta (Duta Besar), Djumantoro Purbo (Wakil Duta Besar) dan Suhaeni (Bendahara KBRI). Selain itu, juga disita uang USD 35 ribu dan 3,22 juta Baht (Rp 1,5 miliar), serta beberapa dokumen. Di antaranya, dokumen DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) tahun anggaran 2008-2009 dan tanda bukti pengeluaran tahun 20082009. Ketika proses penyidikan masih berlangsung, salah satu tersangka yaitu Muhammad Hatta telah mengembalilkan kerugian negara sebesar Rp 1,2 miliar.
Namun dalam perkembangannya, muncul indikasi adanya upaya untuk Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan perkara korupsi tersebut. Perkara tersebut nantinya akan diarahkan pada persoalan administrative semata. Dari fakta-fakta yang ada, analisa hukum dan dokumen yang dapat dikumpulkan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Telah adanya bukti permulaan yang cukup keterlibatan beberapa pihak dalam perkara korupsi Penyimpangan Penggunaan Sisa Dana KBRI Bangkok Tahun Anggaran 2008 yang menyebabkan kerugian negara sedikitnya Rp 1,8 milar. 2) Penyimpangan yang terjadi di KBRI Bangkok merupakan bentuk tindak pidana korupsi dan bukan kesalahan administrasi belaka 3) Pengembalian kerugian negara yang dilakukan oleh tersangka dalam perkara ini tidak menghapuskan pidana yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana”.
BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN TIDAK MENAHAN TERSANGKA YANG MENGEMBALIKAN UANG NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KEJAKSAAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 JO. UNDANGUNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A.
Peran Jaksa Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Peran penting yang dimainkan oleh Lembaga Kejaksaan tidak terlepas dari
perwujudan representasi negara dalam melindungi warganya. Untuk itulah, aspek penghormatan dan ketaatan pada prinsip-prinsip hukum yang bersifat universal dalam menjalankan tugas menjadi unsur yang amat rnenentukan. Dalam menjalankan fungsinya jaksa bekerja atas nama rakyat dalam melakukan tugasnya menuntut seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Untuk itu, jaksa diberi kewenangan yang tidak dimiliki oleh setiap penegak hukum. Tetapi dalam menjalankan kewenangan tersebut kerap kali kejaksaan melanggar hak asasi manusia. Misalnya dengan melakukan penahanan pada mereka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Kalaulah ada sebuah lembaga negara yang paling rajin mengklaim keberhasilan dalam pemberantasan korupsi, itu adalah Kejaksaan. Hampir setiap tahun, selalu dikatakan Kejaksaan berhasil menyelamatkan keuangan negara yang begitu besar, melakukan penyitaan, menangani ribuan kasus korupsi, dan bahkan telah membersihkan institusinya dari jaksa-jaksa nakal. Akan tetapi, kenyataan sangat bertolak belakang dengan deretan klaim tersebut.
Sudah menjadi kesadaran kolektif, bahwa korupsi harus diberantas, karena dampak negatif yang ditimbulkan. Korupsi membebani masyarakat Indonesia terutama masyarakat miskin. Korupsi juga menciptakan risiko ekonomi-makro yang tinggi, membahayakan kestabilan keuangan, mengkompromikan keamanan dan hukum serta ketertiban umum, dan di atas segalanya, korupsi merendahkan legitimasi dan kredibilitas negara di mata rakyat. Padahal kekayaan negara yang dikorup jumlahnya sangat besar. Pada masa Orde Baru, kebocoran uang negara masih 30%, setelah reformasi bergulir tahun 1998 indikasi tindak pidana korupsi yang merusak perekonomian dan moral bangsa Indonesia ini justru semakin mencemaskan. Menurut laporan BPK, penyimpangan uang negara sudah mencapai Rp.166,53 triliun atau sekitar 50% pada periode Januari-Juni 2004. Predikat sebagai salah satu negara terkorup di dunia, seharusnya menjadi pelecut bagi kejaksaan untuk lebih meningkatkan upaya pemberantasan korupsi, karena dengan predikat tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kejaksaan belum berhasil, belum optimal bahkan dapat dinilai gagal. Namun demikian upaya untuk mengoptimalkan pemberantasan korupsi menjadi semakin sulit, karena dalam penanganan perkara korupsi diwarnai dengan cara-cara korup. UUD 1945 menentukan secara tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesejahtraan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut setidaknya tercermin dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Kejaksaan yang baru tersebut dimaksudkan untuk lebih menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Pelaksanaan kekuasaan negara dalam undang-undang tersebut harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka dalam arti bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini betujuan melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu, Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakan adil
dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat. Di sinilah letak peran strategis Kejaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa. Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI bahwa Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang di bidang pidana sebagai berikut. : 1) melakukan penuntutan; 2) melaksanakan penetapan putusan hakim dan putusan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU; 5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Jadi Kejaksaan dapat bertindak selaku penyidik, penuntut umum, dan eksekutor. Khusus berkaitan dengan kewenangan penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi, selain menjalankan tugas di atas Kejaksaan selalu berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991 tentang KUHAP dan Yurisprudensi yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi.
Dengan demikian peran Kejaksaan terhadap tindak pidana korupsi tidak terlepas dari peran KPK. Dengan adanya KPKKorupsi merupakan pendorong bagi Kejaksaan untuk tetap komit dalam menangani kasus-kasus korupsi. Pada dasarnya peran Kejaksaan terhadap tindak pidana korupsi tidak ditemukan ada hambatan atau kesulitan internal dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai prosedur yang ada. Selain itu Kejaksaan selalu mengadakan rencana pembangunan dan rencana kinerja tahunan, guna memaksimalkan pelayanan dan penegakan hukum serta selalu independen dalam penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Selain itu, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya. Segenap tugas dan wewenang Kejaksaan tersebut dilaksanakan dalam kerangka negara hukum guna mewujudkan peran Kejaksaan dalam penegakan
supremasi hukum di negara Indeonesia, agar kesetabilan dan ketahanan bangsa dapat semakin kokoh.
B. Akibat
Hukum
Kebijakan
Tidak
Menahan
Tersangka
Yang
Mengembalikan Uang Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Selama Proses Penyidikan Oleh Kejaksaan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam proses peradilan pidana ada beberapa hal yang berkaitan dengan kinerja kejaksaan yang selama ini rawan terjadi penyimpangan bahkan terjadi abuse of power diantaranya proses penahanan. Dalam praktiknya, Tersangka yang ditahan dapat memanfaatkan jaksa atau sebaliknya, lewat keluarga atau pengacaranya terdakwa meminta jaksa untuk difasilitasi. Kolusi dibidang penahanan menyangkut penangguhan perrahanan dan perubahan status tahanan. Jaksa yang bisa diajak kolusi bisa melakukan itu asalkan memberikan jaminan baik bentuk jaminan seperti yang diatur dalam KUHAP maupu jaminan berupa "upeti" kepada jaksa sendiri. Adapun uang jaminan yang seharusnya masuk ke paniteraan Pengadilan Negeri malah masuk kantong sendiri. Permasalahan mengenai penahanan akan tetap menjadi suatu pembicaraan yang sangat menarik karena penahanan sangat erat kaitannya dengan perampasan hak kebebasan seseorang. Dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP, diterangkan bahwa suatu penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal dan menurut carayang diatur dalam undang-undang ini. Dari pengertian tersebut diatas jelas dinyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh panyidik, penuntut umum, hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta dengan tata carayang diatur dalam pasal lain dalam KUHAP, oleh karena penahanan tersebut merupakan pembatasan terhadap suatu kebebasan yang dimiliki oleh seseorang khususnya kebebasan bergerak seseorang maka hendaknya penahanan tersebut dilakukan bilamana memang sangat diperlukan bagi kepentingan penegakan hukum. Selain itu penahanan juga menimbulkan dua pertentangan asas yaitu disatu pihak penahanan menyebabkan hilangnya kebebasan bergerak seseorang, dan di pihakyang lain penahanan dilakukan untuk menjaga ketertiban yang harus dipertahankan demi kepentingan umum atas perbuatan jahat yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa. Maka dari itu segala tindakan penahanan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang melakukan penahanan harus sesuai dengan KUHAP, hal ini untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam pelaksanaan penahananyang nantinya dapat menyebabkan akibat hukum yang fatal bagi pejabat yang melakukan penahanan yang mana dapat berupa adanya tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 95 KUHAP dan bahkan bisa berupa ancaman pidana sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Untuk menjaga dan agar tidak merugikan kepentingan tersangka atau terdakwa dikarenakan adanya penahanan yang kemungkinan dapat dilangsungkan
dalam waktu yang cukup lama maka dalam hukum acara pidana kita diatur suatu ketentuan
mengenai
bahwa
tersangka
atau
terdakwa
dapat
memohon
penahanannya untuk ditangguhkan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP, dimana penangguhan tersebut dapat dikabulkan oleh penyidik, penuntut umum, hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan syarat-syarat tertentu. Dengan adanya pengaturan mengenai dapat dimohonkannya penangguhan terhadap suatu penahanan, mungkin memberikan sedikit angin segar kepada para tersangka atau terdakwa. Namun, mengenai penangguhan penahanan ini juga tidak luput dari kekurangan dan sudah barang tentu dapat menimbulkan suatu permasalahan yang baru bagi masyarakat yang mencari kepastian hukum. Penahanan merupakan salah satu tindakan yang dilakukan dalam hal membantu proses penyelidikan, penyidikan dan proses peradilan. Dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP, diterangkan bahwa suatu penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal dan menurut carayang diatur dalam undang-undang ini. Dari pengertian tersebut diatas jelas dinyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh panyidik, penuntut umum, hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta dengan tata cara yang diatur dalam Pasal lain dalam KUHAP.
Secara garis besar KUHAP menyatakan bahwa penahanan tersebut harus didasarkan adanya syarat-syarat tertentu antara lain bahwa tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan suau tindak pidana berdasarkan buktiyang cukup, adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi perbuatannya kembali. Moelyatno membagi syarat penahanan tersebut menjadi dua yaitu : a. Syarat Obyektif : 1.
Terhadap tindakan pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih ;
2.
Tindak pidana tetentu seperti tersebut dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun.
b. Syarat Subyektif : 1.
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan
2.
Untuk mencegah tersangka atau terdakwa melarikan diri.
3.
Untuk mencegah tersangka atau terdakwa merusaka atau menghilangkan barang bukti.
4.
Untuk mencegah tersangka atau terdakwa mengulangi tindak pidana. Mengingat pada dasarnya bahwa penahanan tersebut adalah perampasan
terhadap hak kebebasan bergerak seseorang sehingga harus dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian dan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Penahanan sebagai upaya paksa, tidak dengan sendirinya menghilangkan harkat dan martabat tersangka. tidak pula dapat melenyapkan hak–hak asasi yang melekat padadirinya secara keeluruhan. Namun demikian sepanjang yang berkenaan dengan beberapa hak asasi yang berhubungan dengan harkat dan martabatnya serta hak yang perlu untuk melindungi kepentingan pribadinya, tidak boleh dikurangi dan harus dijamin oleh hukum sekalipun dia berada dalam penahanan. Dalam KUHAP diatur suatu upaya yang mungkin cukup menggembirakan untuk para tersangka atau terdakwa agar kebebasan bergeraknya tidak dibatasi oleh adanya penahanan. Upaya tersebut ialah suatu penangguhan terhadap adanya suatu penahanan yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP yang isinya: 1.
Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
2.
Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Penangguhan penahanan tersebut ada dikarenakan agar dapat menjaga dan
tidak merugikan kepentingan tersangka atau terdakwa dikarenakan adanya penahanan yang kemungkinan dapat dilangsungkan dalam waktu yang cukup lama. Pemberian penangguhan penahanan oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim harus berdasarkan asas praduga tak bersalah atau Presumtion of innocence,
bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di depan pengadilan dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal penangguhan penahanan ini pejabat yang berwenang menahan tersangka atau terdakwa tersebut tidak diwajibkan untuk mengabulkan setiap adanya permohonan penangguhan penahanan dan dapat menolak permohonan penangguhan penahanan tersebut dengan suatu alasan tertentu dan tetap menempatkan tersangka atau terdakwa dalam tahanan. Bila suatu penangguhan penahanan tersebut dikabulkan oleh pejabat yang melakukan penahanan maka berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, pejabat tersebut dapat menetapkan suatu jaminan baik berupa jaminan uang atau jaminan orang. Penetapan ada atau tidaknya suatu jaminan dalam KUHAP bersifat fakultatif. Penetapan jaminan dalam penagguhan penahanan tidak mutlak. Tanpa jaminan tindakan pemberian penangguhan penahanan tetap sah menurut hukum. Agar syarat penangguhan penahanan benar-benar ditaati, ada baiknya penangguhan dibarengi dengan penetapan jaminan. Cara yang demikianlah yang lebih dapat dipertanggung jawabkan demi upaya memperkecil tahanan melarikan diri. Berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman No. 14–PW.07.03/1983 menyatakan bahwa dalam hal ada permintaan untuk menangguhkan penahanan yang dikabulkan, maka diadakan perjanjian antara pejabat yang berwenang sesuai
dengan tingkat pemeriksaan dengan tersangka atau penasihat hukumnya beserta syarat-syarat. Berdasarkan ketentuan tersebut maka penangguhan penahanan pada dasarnya dilaksanakan dengan sebuah perjanjian antara pejabat yang berwenang menahan dengan tersangka atau terdakwa atau penasihat hukumnya sudah mengembalikan uang yang diduga telah dikorupsi. Kebijakan penghapusan penahanan dengan
mengembalikan uang
kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan oleh kejaksaan merupakan usul yang terbilang melawan arus. Kejaksaan berjanji tidak akan menahan tersangka yang mengembalikan kerugian uang negara. Kebijakan itu diterapkan agar jumlah keuangan negara yang dikembalikan meningkat. Bahwa kebijakan tidak menahan tersangka bukan berarti menghapus pidana. Perbuatan pidana pelaku tetap ada. Pengembalian uang negara sebatas unsur yang meringankan. Jika tersangka mengembalikan uang pada saat proses penyidikan, Kejaksaan tidak akan menahan dia, tetapi proses pengadilan jalan terus, artinya Kejaksaan akan memberikan toleransi, agar tersangka untuk mengembalikan uangnya, supaya tidak dilakukan upaya penahanan. Dasar kebijakan tersebut, yaitu Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yaitu : Pengembalian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Namun di sisi lain kebijakan Kejaksaan Agung tersebut, justru berpotensi menumbuhkan pesimisme pemberantasan korupsi di tengah masyarakat, artinya
kebijaksanaan ini terkesan sebagai kompromi dengan tindak pidana korupsi. Dalam konteks efek jera, kebijakan tersebut malah meringankan koruptor ataupun tersangka dalam pemberantasan korupsi. Padahal, kewenangan untuk memberikan keringanan hukuman ada pada hakim. Itu kebijakan yang kontraproduktif dalam pemberantasan korupsi. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dijelaskan, bahwa Kejaksaan Agung harus tunduk dan patuh. Namun di satu pihak, Kejaksaan Agung akan berdalih tidak menghilangkan unsur pidananya. Alasan kebijakan Kejaksaan Agung tersebut tidak cukup kuat., karena yang diharapkan adalah melakukan efek jera dan meredam kemungkinan melarikan diri. Jika ditinjau berdasarkan pola dalam KUHAP, bahwa dalam hal penahanan harus berdasakan pada dua hal, yaitu alasan subjektif dan alasan objektif.
C. Kebijakan Penghapusan Penahanan Dengan Mengembalikan Uang Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Selama Proses Penyidikan Di Tingkat Kejaksaan Kebijakan Kejaksaan Agung yang mengeluarkan kebijakan terkait penanganan perkara korupsi, yaitu tidak ditahannya tersangka kasus dugaan korupsi yang mengembalikan uang kerugian negara saat penyidikan. Kebijakan dengan alasan untuk memaksimalkan pengembalian uang Negara telah menimbulkan kontroversi.
Kebijakan kontroversial itu jelas merupakan langkah kompromi terhadap tersangka
kasus
korupsi
dan
justru
kontraproduktif
dengan
semangat
pemberantasan korupsi sehingga sudah selayaknya harus ditolak. Kebijakan pengusutan dan penindakan dalam kasus korupsi, selain berorientasi mengembalikan uang negara, juga bertujuan menimbulkan efek jera. Salah satunya menahan seseorang sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Tidak ditahannya tersangka korupsi (meskipun telah membayar kerugian negara) justru berdampak pada pengurangan efek jera atau bahkan tidak memberikan efek jera sama sekali. Kebijakan baru kejaksaan itu juga berpotensi memunculkan kesepakatan antara tersangka dan jaksa karena tersangka mengembalikan uang negara saat proses hukum sudah berlangsung. Dengan demikian, pengembalian uang negara yang dikorupsi itu memiliki motif tertentu. Akibat lain, penanganan perkara korupsi jadi kehilangan efek menjerakan. Koruptor kaya akan dengan mudah mengembalikan uang hasil korupsi dan melanjutkan aktivitas bisnis seolah tidak memiliki persoalan hukum. Dalam setiap penanganan perkara korupsi proses penghitungan jumlah kerugian negara saat ini masih menimbulkan perbedaan penafsiran baik oleh Kejaksaan, badan pemeriksa keuangan (BPK), badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP), maupun pengadilan. Bukan tidak mungkin nilai yang dihitung kejaksaan jauh lebih kecil daripada penghitungan lembaga lain sehingga negara dirugikan jika putusan pengadilan memutus lebih besar. Menghitung kerugian negara lebih baik dilakukan di pengadilan.
Sejauh ini kebijakan pembayaran kerugian negara masih belum jelas apakah harus tunai atau aset atau dapat keduanya. Persoalan akan muncul apabila pengembalian kerugian negara ini dilakukan dalam bentuk aset. Bukan tidak mungkin aset yang diberikan oleh tersangka adalah aset bodong atau aset yang nilainya telah dinaikkan (markup). Praktik ini sering terjadi dalam beberapa penanganan kasus korupsi dana bantuan likuidasi Bank Indonesia (BLBI). Mayoritas aset yang dijaminkan debitur BLBI pada saat dijual, nilainya dapat merosot hingga 70 persen. Proses penegakan hukum menjadi sulit dilakukan karena pelaku telanjur mendapatkan pengampunan dan dihentikan kasusnya. Kebijakan mengembalikan
Kejaksaan uang
tentang
Negara,
tidak
dikhawatirkan
ditahannya berlanjut
tersangka pada
yang
kebijakan
penghentian atau suatu perkara korupsi atau mengalihkan pada kasus perdata. Kondisi ini bukan mustahil terjadi, meskipun Undang-Undang Antikorupsi menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana atau kesalahan seseorang. Dalam catatan ICW, terdapat beberapa kasus korupsi yang tersangkanya mengembalikan uang negara, namun kasusnya belum berujung ke pengadilan. Sebut saja kasus korupsi kredit macet Bank Mandiri dengan tersangka mantan menteri Abdul Latief. Sejak tersangka mengembalikan kerugian negara Rp 368 miliar pada Kejaksaan Agung pada 2007, namun hingga kini kasusnya belum juga dilimpahkan ke pengadilan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Peran Jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi, yaitu berkaitan dengan
kewenangan
penyidikan,
penahanan,
penggeledahan
dan
penuntutan yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991 tentang KUHAP yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi, sehingga peran Kejaksaan terhadap tindak pidana korupsi tidak terlepas dari peran KPK. Dengan adanya KPK, maka tindak pidana korupsi merupakan pendorong bagi Kejaksaan untuk tetap menjaga komitmen dalam menangani kasus-kasus korupsi. Sesuai dengan teori penjeraan (deterence theory), penahanan terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi, menjadikan terdakwa mengerti tentang regulasi dan hukum-hukum yang berlaku, baik itu secara positif maupun hukum yang berlaku secara norma di masyarakat. 2. Akibat hukum kebijakan penghapusan penahanan dengan mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan oleh Kejaksaan memang bukan merupakan suatu pelanggaran terhadap Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Namun
tersangka yang tidak ditahan, sering menimbulkan persepsi di masyarakat, bahwa Kejaksaan menghentikan penyidikan perkara korupsi tersebut, oleh karenanya kebijakan tersebut sering dianggap tidak sesuai dengan proses hukum yang baik (due process) dalam sistem peradilan pidana, serta telah melanggar asas kepastian hukum dan keadilan. 3. Kebijaksanaan penghapusan penahanan dengan mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan di tingkat Kejaksaan selayaknya tidak dipertahankan, dikarenakan kebijakan tersebut berpotensi memunculkan kesepakatan antara tersangka dan Jaksa, yaitu tersangka mengembalikan uang negara saat proses hukum sudah berlangsung, sehingga tidak menimbulkan efek jera dan meredam kemungkinan tersangka/terdakwa melarikan diri.
B. Saran 1. Berkaitan dengan peranan Jaksa dalam menangani tindak pidana korupsi, seharusnya Kejaksaan Agung dapat mencontoh langkah yang ditempuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada saat seseorang ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK langsung menahan tersangka, melakukan penelusuran aset (asset tracing), melakukan tindakan penyitaan aset milik tersangka, dan pencekalan pergi keluar negeri.
2. Kebijaksanaan penghapusan penahanan dengan mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan oleh Kejaksaan, sebaiknya dikaji ulang dengan memperhatikan aspek sosial yang cenderung memandang masih lemahnya peranan Kejaksaan terhadap para koruptor, sehingga kebijakan kebijakan pengembalian uang Negara diberlakukan, namun tersangka tetap ditahan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 KUHAP. 3. Kebijaksanaan penghapusan penahanan dengan mengembalikan uang kerugian negara dalam tindak pidana korupsi selama proses penyidikan oleh Kejaksaan, sebaiknya ditiadakan, dikarenakan tindak pidana korupsi sudah sangat jelas dan nyata merugikan rakyat, sehingga diharapkan adanya ketegasan dalam memberantas tindak pidana korupsi, agar tersangka tidak melarikan diri.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU : Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditia Bakti, Bandung, 2005. John Emerich Edward Dalberg Alton dalam Ilham Gunawan, Postur Korupsi di Indonesia Tinjauan Yuridis, Sosiologis, Budaya dan Politik, Angkasa, Bandung, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1996. Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Djambatan, Jakarta, 2007. Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dalam Perspektif Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005. Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987. P.A.F. Lumintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1984. Panduan Penyusunan Penulisan Hukum (Tugas Akhir) SI, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung. R.M. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi Indonesia, Binacipta, Bandung, 2005. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Schaffmeister, N. Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Liberty, Yogyakarta, 1995. Suharto RM, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
Syed Hussein Alatas dalam Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2001.
B. PERUNDANG-UNDANGAN : Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Ke Empat. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
C. SUMBER LAIN : Harian Umum Kompas, Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta, 2001. Jawa Pos, Emerson Yuntho, Melemahnya Efek Jera Pemberantasan Korupsi, Opini, Jum'at, 27 Februari 2009. Harkristuti Harkrisnowo, Membangun Strategi Kinerja Kejaksaan Bagi Peningkatan Produktivitas, Profesionalisme dan Akuntabilitas Publik, Suatu Usulan Pemikiran, Makalah pada Seminar Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan Dalam Rangka Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung, Jakarta 22 Agustus 2001. Suhadibroto, Kualitas Aparat Kejaksaan Dalam Upaya Melaksanakan Penegakan Hukum, Makalah disampaikan pada Lokakarya Pemantauan Kejaksaan Dielenggarakan oleh MaPPI FHUI dan Yayasan TIFA di Jakarta, 28-30 Juni, 2004.
Widodo, Pengintegrasian Kebijakan Kriminal Terhadap Korupsi Di Indonesia Tahun 2008, Artikel Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang 5 Juli 2009. Agus
Heryanto, Materi Kuliah Ourblogtemplates.com.
SMT
1
Fakultas
Hukum,
Arry Anggadha dan Yudho Rahardjo, Tersangka Korupsi Tak Ditahan Kejaksaan Kontra Pemberantasan Korupsi, Jum'at, vivanews.com. 20 Februari 2009. Dunia Anggara, Tentang Pengalihan Penahanan,www.WordPress.com. ICW, KPK Harus Ambil Alih Dugaan Korupsi ”Dana Taktis” di KBRI Bangkok Thailand, www.antikorupsi.org, 8 Januari 2010. Kejaksaan Agung: Kembalikan Uang Negara, Tersangka Tidak Ditahan, www.hukumonline.com. Wahana Hukum, Peranan Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu www,google.com. Wijatobone to bone weblog Optimalisasi Peran Kejaksaan Dalam Penegakan Supremasi Hukum. blogdetik.com.
LAMPIRAN
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA DI KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA
1.
Bagaimana bentuk dan isi dari pada kebijaksanaan untuk tidak ditahannya pelaku tindak pidana korupsi yang telah mengembalikan kerugian keuangan Negara ? Tertulis atau disampaikan secara lisan?
Jawaban : Sebenarnya kebijakan untuk tidak menahan seorang tersangka dalam tahap penyidikan yang telah mengembalikan seluruh kerugian keuangan Negara, tidak tertulis, tergantung pada pertimbangan subyetif dan obyektif dari penyidik. Dan perlu diketahui bahwa tidak semua perkara korupsi yang telah mengembalikan kerugian keuangan Negara tidak dilakukan penahanan.
2.
Apa yang menjadi tujuan dan pertimbangan Kejaksaan Agung dengan mengeluarkan kebijakan tersebut ? Terutama di bagian Tindak Pidana Khusus?
Jawaban : Ada beberapa pertimbangan, antara lain : - Secara nyata kerugian keuangan negara telah dikembalikan secara keseluruhan sesuai dengan perhitungan auditor BPK/BPKP; - Perkara itu sendiri tidak menarik perhatian masyarakat, sehingga kalau tersangka tidak ditahan maka tidak akan menimbulkan rekasi penolakan; - Ada Permohonm untuk tidak dilakukan penahanan dan tersangka/ Keluarga/Penasehat hukum berikut jaminannya. - Kondisi kesehatan Tersangka yang tidak memungkinkan dilakukan penahanan; - Umur Tersangka; - Berdasarkan penilaian penyidik, tersangka tidak akan melarikan diri, mengulangi perbuatannya, dan menghilangkan barang bukti;
3.
Bagaimana kebijakan tersebut, bila dikaitkan dengan tujuan daripada penahanan yaitu memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana, dan Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ?
Jawaban : Perlu saya jelaskan bahwa kebijakan untuk tidak melakukan penahanan terhadap tersangka yang telah mengembalikan seluruh kerugian keuangan Negara hanya dilakukan pada thap penyidikan, namun apabila ada putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, maka jaksa akan melakukan eksekusi. Sehingga menurut saya tujuan penahanan untuk memberikan efek jera tetap ada.
4.
Apa yang menjadi pertimbangan bagi seorang jaksa untuk melakukan penahanan terhadap tersangka yang terbukti telah melakukan tindak pidana tersebut ? maupun sebaliknya ?
Jawaban : Untuk rnernbuktikan apakah seseorang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana korupsi haruslah melalui proses persidangan di Pengadilan, jadi yang menyatakan seseorang terbukti melakukan perbuatan tindak pidana korupsi adalah berdasarkan putusan pengadilan, bukan jaksa. Pada tahap penyidikan, seorang tersangka masih diduga melakukan tindakan pidana korupsi. Jaksa melakukan penahanan pada tahap penyidikan dengan pertimbangan : -
Diduga tersangka akan rnelarikan diri
-
Diduga tersangka akan rnengulangi perbuatannya;
-
Diduga tersangka akan menghilangkan barang bukti
5.
Bagaimana pertanggungjawaban seorang jaksa apabila tersangka yang tidak ditahan melakukan perbuatan pidana yang sama, maupun melarikan diri, (berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP)?
Jawaban : selama ini saya belum pernah mengalami hal ini. Tetapi bila hal tersebut benar tetjadi, maka terhadap tersangka akan segera dilakukan penahanan dan terhadap tersangka yang melarikan diri tentunya akan meminta pertanggungjawaban kepada pihak yang telah menjamin. Kepada penyidik akan dilakukan pemeriksaan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan.
6.
Bagaimana kaitan antara kebijakan tersebut bila dikaitkan dengan unsur subjektif dan objektif yang menjadi syarat penahanan ? (Pasal 21 ayat (10 dan ayat (4))?
Jawaban : Sebagaimana jawaban saya tersebut di atas, kebijakan untuk dilakukan penahanan atau tidak dilakukan penahanan pada tahap penyidikan karena telah
mengembalikan
kerugian
keuangan
Negara,
tetap
akan
mempertimbangkau hal tersebut.
7.
Bagaimana penerapan dan pelaksanaan dari kebijakan tersebut di Kejaksaan Tinggi daerah maupun hejaksaaa di tiap kota ?
Jawaban : Tentunya para Kajati maupun Kajari menerapkan hal ini disesuaikan dengan kondisi dan kewenangan yang dimiliki.
8.
Bagaimana kaitannya dengan azas "Equality before law" dan rasa keadilan di kalangan masyarakat ?
Jawaban : Kebijakan ini dilakukan pada tahap penyidikan, dan tidak semua Perkara Korupsi diperlakukan kebijakan tersebut, kalaupun dilakukan tentunya sangat selektif. Dan apabila dalam persidangan yang bersangkutan terbukti telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dan putusan tersebut telah berkekuatan buku tetap, maka yang bersangkutan akan menjalani hukum sesuai dengan putusan dimaksud. Perlu saya tambahkan bahwa pengembalian kerugian keuangan Negara bukan satu-satunya pertimbangan untuk tidak ditahan, sehingga menurut saya kesetaraan di hadapan hukum tetap terjaga dan rasa keadilan dalam masyarakat tetap dijunjung tinggi.
9.
Dampak positif apa yang dirasakan oleh Kejaksaan dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, dan bagi perkembangan Hukum positif di Indonesia?
Jawaban Dampak yang paling penting adalah kerugian keuangan Negara dapat kita selamatkan.
10. Langkah-langkah apa yang ditempuh Kejaksaan dalam melakukan penanganan dann pencegahan maraknya tindak pidana korupsi ? Jawaban Berbagai tindakan dan program telah dilakukan antara lain: - Penyuluhan Hukum - Pendirian Kantin Kejujuran di beberapa sekolah, guna menanamkan rasa kejujuran sejak dini; - Tuntutan Pidana yang tinggi terhadap pelaku koruptor, sehingga orang takut berbuat korupsi dan lain-lain.
Pemeriksaan SHW dan S Terbentur Izin Presiden CIREBON - Sebanyak 13 orang tersangka APBD Gate 2004 tidak ditahan atau boleh pulang setelah kasus dugaan korupsi yang melilit mereka dilimpahkan dari Kejati Jabar ke Kejari Kota Cirebon, tadi malam. Permintaan ini dikabulkan Kejari Cirebon atas pengajuan dari kuasa hukum. Izin itu berlaku sampai dengan pelimpahan berkas pemeriksaan yang sudah lengkap dibawa ke pengadilan. "Atas pengajuan para kuasa hukum, kami mengabulkan permohonan untuk tidak ditahan bagi para anggota dewan. Dengan pertimbangan, satu diantaranya adalah kooperatif," ujar Kepala Kejaksaan Negeri Kota Cirebon, R Arie Arifin Bratakusumah SH MR. Selasa (2/2). Arie mengatakan, kini Kejari telah secara resmi menerima pelimpahan perkara dugaan tindak pidana korupsi biaya penunjang operasional DPRD Kota Cirebon tahun anggaran 2004. Berkas ini diterima dari Kejati Jawa Barat, sebanyak 2 berkas, 13 tersangka, dari yang semestinya 3 berkas, dengan jumlah seluruh tersangka 23 orang. Dan kemungkinan berikutnya masih ada berkas keempat. "Untuk berkas pertama terdiri dari 8 orang, dan berkas kedua terdiri dari 5 orang, sedangkan berkas ketiga sebanyak 10 orang tersangka, namun belum bisa dilimpahkan karena belum lengkap. Ada satu orang atas nama tersangka IK yang kondisinya sedang sakit." paparnya saat jumpa pers di ruang kerja Kasi Pidsus.
Tersangka Boleh Pulang Tidak dilakukannya penahanan, karena Arie, juga diterapkan saat proses penyidikan. Pria kelahiran Cirebon ini menegaskan komitmennya untuk tidak tebang pilih dalam proses hukum ini, menjalankan seluruh : proses sesuai dengan aturan yang berlaku. Pihak kejari juga telah menetapkan jaksa penuntut umum (JPU) sebanyak sebelas orang, lima dari kejari Cirebon dan sisanya dari kejati Jabar.”sekali lagi yang jelas secepatnya berkas akan kami serahkan ke pengadilan. Seluruhnya berkas pemeriksaan sudah lengkap," tandasnya.
Penyidik Polda Jabar, Kompol HM Kosasih SH secara khusus menjelaskan terkait batal dilimipahkannya berkas ketiga. Berdasarkan keterangan dari dan rekan-rekan tersangka lainnya, IK saat ini sedang berada di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Maka berdasarkan aturan yang ada; penyerahan berkas belum bisa dilakukan. "Untuk soal ini kita akan koordinasikan secepatnya dengan Kejati. Tunggu saja ya," ucapnya menambahi keterangan yang di sampaikan Arie. Kosasih juga mengungkap tentang kemungkinan adanya berkas keempat dari kasus ini. Adalah, SHW yang saat ini menjadi wakil walikota, dan S yang statusnya sebagai anggota DPR RI saat penyidikan dilakukan, sehingga untuk memeriksa keduanya memerlukan izin dari presiden. "Izin hresiden sudah diajukan, tinggal `gelar perkara Bareskrim, dan waktu gelar perkara ini bareng dengan Polda-Polda lainnya." terangnya. Ketigabelas tersangka tiba di Kejari Cirebon sekitar pukul 20.30 WIB, semuanya menggunakan kendaraan berplat merah. Tigabelas tersangka itu terbagi ke dalam dua berkas, nama-nama yang masuk dalam berkas pertama adalah HS, Stw, WW, CT, IS, AAS, TBA, DS. Sedangkan nama yang masuk dalam berkas kedua adalah JAS, EIG; AD, SAS, dan SW.
KENTAL KONFLIK POLITIS Sementara itu,Kuasa Hukum 23 tersangka, Wa Ode Nur Zaenab SH mengatakan meski menghormati langkah hukum yang diambil Kejati, namun sebenarnya sebelumnya telah dikirimkan surat kepada Polda dan Kejati Jabar untuk tidak memanggil para klien hukumnya dan menghentikan kasus ini, mengingat banyak pertimbangan yang sebenarnya tidak sesuai dengan pasal yang disangkakan. "Pasal yang dikenakan itu katanya pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi nomor 20 tahun 2001, tapi itu tidak terbukti. karena menurut kami tidak ada kerugian negara," tandasnya memberikan keterangan di ruangan lobi kejari. Menurutnya, memperhatikan audit investigasi Bawasda Kota Cirebon, hasil audit BPK RI, dan keterangan dari saksi-saksi serta saksi ahli tegas
mengutarakan tidak ditemukan adanya kerugian negara. Termasuk keterangan dari kepala daerah yang menyatakan hal senada. Terlebih Polresta Cirebon telah menyatakan perkara ini tidak mengindikasikan telah terjadi kerugian negara, atau dengan kata lain tidak ada unsur korupsi. 'Tapi ternyata perkara ini tetap dilanjutkan dan diambil alih pemeriksaanya oleh Polda Jabar. Dan berlanjut sappai sekarang,"ucapnya. Padahal, kata dia, menurut saksi ahli audit investigasi yang dilakukan. BKPP Jawa Barat itu tidak melalui tahapan klarifikasi. Maksudnya, tidak ada proses tanya jawab, bahkan kepada 23 anggota dewan sekalipun. Sama sekali tidak pernah diperiksa. Lagi pula, dasar hukum yang digunakan BPKP antara lain Kepres No 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah, tidak dapat diterapkan audit itu. “BPKP tidak pernah meminta klarifikasi atau konfirmasi kepada anggota dewan terkait dengan biaya-biaya yang diaudit. Soal dasar hukum itu tidak ada relevansinya, dan perlu diingat anggota dewan tidak pernah mengelola anggaran. pengelolanya adalah SKPD. dalam hal ini adalah setwan," beber wanita berkerudung kelahiran Buton itu. Wa Ode menyampaikan anggaran sebesar Rp 4.9 miliar, yang menurut keterangan BPKP adalah kerugian negara sebenarnya telah resmi disahkan dalam APBD.
Digunakan
untuk
masa
kerja
satu
tahun,
dan
laporan
pertanggungjawabannya telah disahkan dalam peraturan daerah. "Jika memang kasus ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi mengapa prosesnya lama sekali. Lima tahun," ucapnya. Sejak awal, kata Ode, adanya perkara itu senyatanya sangat sarat dengan muatan politis. Karena itu sejak awal berkeyakinan berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada, kliennya tidak melakukan tindak pidana korupsi seperti yang disahkakan. "Cara pandang penyidik dalam perkara ini sungguh berbeda dengan fakta hukumnya," pungkasnya didampingi kuasa hukum lainnya M Tohir. (hen)
Sumber : Radar Cirebon, Rabu 03 Februari, Hal 1 Kolom 2, Baris 2.
Tabel Penanganan Perkara Di Kejagung Terkait Pengembalian Kerugian Negara: No Dugaan Perkara Saksi/Tersangka Tahun Jumlah yang Instansi Keterangan Korupsi dkembalikan yang (nilai kerugian menangani negara) 1. LAPAN Nurdinsyah 2007 Rp 200 juta Kejagung Sudah Mokobombang dilimpahkan ke Pengadilan (namun meninggal dunia) 2. Kredit macet PT Abdul Latief 2007 Rp 368 miliar Kejagung Belum Lativi Media (komisaris utama), dilimpahkan ke Karya Usman Dja'far pengadilan (mantan dirut), dan Hasyim Sumiyana (mantan direktur keuangan) 3. Kredit macet PT 2007 USD 234 juta Kejagung Belum Kiani Kertas pada dilimpahkan ke Bank Mandiri pengadilan 4. Kredit macet PT Jarot Ramlan 2008 Rp 23,3 miliar Kejagung Belum Bahtera Cita Sakti Suseno, Retno dilimpahkan ke ke Bank BNI Salamoan dan pengadilan Hendrajanto Sudah setor ke Martasakti dana penitipan Kejagung di BRI Kebayoran Baru 5. Departemen Sumartho 2008 Rp 5,9 miliar Kejagung Belum ESDM Manansyah S, dilimpahkan ke Muhammad Nur pengadilan Hidayat dan Darwin Abbas Sudah setor ke Rekening dana titipan Kejari Jakarta Selatan di BNI Pasar Mayestik 6. Dana Prajurit di Tan Kian, Direktur 2008 USD 13 juta Kejagung Belum PT Asabri Utama PT Permata dilimpahkan ke Birama Sakti pengadilan
7.
8.
Pengadaan kapal roro fiktif di PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (USD 2,8 juta)
Sumiarso Sonny, Sonathan Halim Yusuf dan Lutfi Ismail
Kredit macet PT Chandra Wijaya Oso Bali Cemerlang pada Bank Mandiri
9.
Kredit Usaha Tani Yoki Kusuma Koperasi Kebun Permai
10.
Sisminbakum
2008
Rp 5 miliar
Kejagung
USD 1,5 juta
2008
Rp 161 miliar
Kejagung
2008
Rp 525 juta
Kejagung
Syamsuddin Manan 2009 Sinaga, mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Dephukham
Rp 66,9 juta
Kejagung
Sumber : Dok. ICW diolah dari berbagai sumber media
Sudah setor ke dana penitipan Kejagung di BRI Kebayoran Baru Belum dilimpahkan ke pengadilan Rp 5 miliar disetor dana penitipan Kejagung di BRI Kebayoran Baru dan US$ 1,5 juta diterima PT ASDP. Belum dilimpahkan ke pengadilan Uang dikembalikan ke PT Bank Mandiri Sudah disetor rekening dana penitipan Kejagung di BRI Kebayoran Baru. Belum dilimpahkan ke pengadilan