EVALUASI METODE PENETAPAN INDEK KERAWANAN PANGAN
RATNA DILA
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Metode Penetapan Indek Kerawanan pangan adalah benar karya saya dari arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2015
Ratna Dila NIM G24080060
ABSTRAK RATNA DILA. Evaluasi Metode Penetapan Indek Kerawanan Pangan. Dibimbing oleh RIZALDI BOER. Indek kerawanan pangan menggambarkan ketidakmampuan masyarakat, rumah tangga atau individu untuk mencukupi kebutuhan pangan minimum yang terjadi secara terus menerus (cronic) atau sementara (transient). Banyak metode yang digunakan dalam menetapkan indek kerawanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dua metode penetapan indek kerawanan pangan yang digunakan di Indonesia. Indek kerawanan pangan disusun dengan menggunakan beberapa indikator yang merepresentasikan kerawanan pangan kronis yaitu ketersedian pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan dan kerawanan pangan sementara yaitu kejadian banjir, kekeringan dan kerugian produksi padi dan palawija. Penyusunan indek dilakukan dengan menggunakan metode principal component analysis (PCA) dan persentil. Untuk metode persentil, setiap indikator memiliki nilai bobot. Nilai bobot ditetapkan dengan dua pendekatan, yaitu berdasarkan persentase sumbangan keragaman nilai komponen utama yang dihasilkan dari analisis PCA dan penilaian subjektif tingkat keeratan hubungan antara indikator dengan expert judgement. Selanjutnya tingkat kerawanan pangan ditentukan berdasarkan nilai indek. Indek yang dihitung dengan metode PCA, penetapan tingkat kerawanan berdasarkan analisis gerombol sedangkan yang dihitung dengan metode persentil menggunakan sistem kuadran. Tingkat kerentanan ditetapkan sebanyak enam kelas. Kelas 1 menunjukkan tingkat kerawanan paling rendah sedangkan kelas 6 menunjukkan tingkat kerawanan paling tinggi. Hasil analisis menunjukkan, pengelompokkan kabupaten di NTT menurut tingkat kerawanannya yang menggunakan metode PCA relatif berbeda dengan yang menggunakan persentil. Namun demikian, pengelompokkan kabupaten yang menggunakan metode persentil dengan teknik pembobotan PCA hasilnya relatif sama dengan yang menggunakan teknik pembobotan penilaian pakar. Berdasarkan kriteria simpangan baku terkecil, metode persentil dengan teknik pembobotan PCA memberikan hasil paling baik yaitu dengan simpangan baku 0.12, diikuti metode persentil dengan pembobotan menurut penilaian pakar yaitu 0.15 dan metode PCA 1.54.
Kata kunci : Kerawanan Pangan, PCA, Persentil.
ABSTRACT RATNA DILA. Evaluation of Methods for Determining Food Insecurity Index. Supervised by RIZALDI BOER. Food Insecurity index indicates the inability of the community, household or individual to meet their sufficient food that occur continously (chronic) or temporary (transient). Many methods are used in determining the food insecurity index. This study aims to evaluate three methods for determination of food insecurity index being used in Indonesia. Food insecurity index were defined using several indicators representing chronic food insecurity, namely food availability, food access and food utilization. While the ones representing transient food insecurity are incidence of flood, drought and lossess of rice and palawija production. The methods used for developing the index are principal component analysis (PCA) and percentile. For the percentile method, the calculation of the index based on indicators that use weight. The weight values were defined using two approaches, namely based on contribution of the variance of the principle component values generated from PCA analysis and subjective assessment on relationship between indicators and food insecurity. Furthermore, the level of food insecurity is determined based on the value of index. Determination of the level of food insecurity based on index calculated using PCA method was performed using cluster analysis, and the one with percentile method using the quadrant method. The level of vulnerability divided into six classes. Class 1 indicates the lowest level of food insecurity while class 6 indicates the highest level of food insecurity. The analysis shows that the grouping of districts in the province according to the level of food insecurity that used PCA method is relatively different from those using the percentile method. However, the grouping of districts using the percentile method with weighting techniques of PCA was relatively similar to that using weighting techniques of the expert judgement. Using criteria of the smallest standard deviation, percentile method with PCA weighting techniques gives best results with a standard deviation of 0.12, followed by the percentile method with expert judgment weighting techniques (0.15) and the PCA method (1.54).
Keywords : Food Insecurity, PCA, Percentile.
EVALUASI METODE PENETAPAN INDEK KERAWANAN PANGAN
RATNA DILA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Sarjana Sains Pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karuniaNya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada program studi Meteorologi Terapan dengan judul : Evaluasi Metode Penetapan Tingkat Kerawanan Pangan Kabupaten di Nusa Tenggara Timur. Terima kasih juga tidak lupa penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, antara lain : 1. Ayahanda Syofyan dan Ibunda Emi Sofia serta kakak dan adik yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. 2. Prof Rizaldi Boer selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu dan arahan kepada penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini. 3. Ibu Rini Hidayati, Bapak Perdinan, Bapak Bregas Budianto dan Bapak Ahmad Faqih yang telah memberikan arahan dan semangat kepada penulis. 4. Seluruh tim CCROM-SEAP, Ibu Puspita Damayanti, Kak Fitriyani, Kak Adi Rahman, Kak Syamsu Dwi Djatmiko, Kak Andria, Kak Gito Immanuel, Bang Anter Parulian, Kak Gladys Siti H, Kak Beti, Kak Prima Yustitia N, Kak Wari Kartika, Kak Sisi Febriyanti, Mirnawati Zulaikha dan Mas Nandang. 5. Staf dan pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah banyak membantu penulis. 6. Taufik Yuliawan, Ferdy Aprihatmoko, Dody Setiawan, Akfia Rizka Kumala, Citra Pratiwi, Ernawati Apriani, Sarah Purnamawari, Fennyka Pratami Puteri, Nunu Syam, Nurul Mujdalifah, Zahrifa Annisa, Nia Trikusuma, Ranityasari serta teman-teman GFM 45 yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 7. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Mei 2015
Ratna Dila
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Kondisi Umum Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT)
2
Kerawanan Pangan
2
Principal Component Analysis (PCA) dan Cluster Analysis
4
Persentil
5
METODE
6
Bahan
6
Alat
7
Prosedur Analisis Data
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
11
Kerawanan Pangan Kronis (CFI)
11
Ketersediaan Pangan
11
Akses Pangan
12
Pemanfaatan Pangan
15
Kerawanan Pangan Sementara (TFI)
19
Pemetaan Kerawanan Pangan
21
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
25 25
Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
37
DAFTAR TABEL 1 Proporsi rumah tangga (RT) rawan pangan tertinggi dan terendah 2 Indikator kerawanan pangan 3 Rasio konsumsi normatif per kapita 4 Pembagian Cluster CFI 5 Pembagian Cluster TFI 6 Nilai cluster centroid CFI dan TFI 7 Pembobotan indikator CFI dan TFI dari metode PCA 8 Pembobotan indikator CFI dan TFI 9 Perbandingan nilai indek kerawanan
4 6 12 21 22 22 24 25 27
DAFTAR GAMBAR 1 Diagram analisis data 7 2 Sistem kuadran kerawanan pangan 9 3 Persentase penduduk miskin 13 4 Persentase jalan yang tidak dilalui kendaraan roda 4 14 5 Persentase RT tanpa akses listrik 15 6 Persentase wanita buta huruf 16 7 Angka harapan hidup 17 8 Persentase RT tanpa akses sumber air minum 18 19 9 Persentase bayi lahir berat badan rendah 10 Peluang kejadian kekeringan dan banjir 20 11 Kerugian tanaman padi dan palawija 20 12 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan NTT dengan cluster centroid 23 PCA 13 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan di NTT dengan pembobotan 25 dari metode PCA 14 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan NTT dengan metode Persentil 26
DAFTAR LAMPIRAN 1 Produksi pangan NTT 2011 2 Indikator-indikator kerawanan pangan 3 Rasio konsumsi normatif per kapita 4. Peluang kejadian banjir 5 Peluang kejadian kekeringan
31 32 33 34 35
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan World Food Programme (WFP) pada tahun 2005 melakukan pemetaan wilayah rawan pangan dan gizi kronis sampai tingkat kabupaten. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa 100 dari 265 kabupaten di Indonesia tergolong rawan pangan. Salim et al (2001) menyebutkan bahwa di beberapa propinsi masih terdapat rumah tangga rawan pangan dengan proporsi tinggi. Rawan pangan terjadi akibat ketidakmampuan dalam mencukupi kebutuhan pangan (Ariani et al 2008). Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kerawanan pangan paling tinggi. Beberapa indikator yang digunakan untuk menunjukkan tingkat kerawanan pangan ialah ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan pada tingkat provinsi cukup memadai akan tetapi masih terdapat beberapa wilayah yang mengalami kekurangan pangan. Akses pangan berhubungan dengan tingkat kemiskinan. Tingginya tingkat kemiskinan menentukan kemampuan akses terhadap pangan. Pada saat ini terdapat 12 kabupaten yang memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dari rata-rata provinsi. Kemiskinan yang tinggi juga membuat hampir sebanyak 60% rumah tangga di NTT tidak memiliki akses listrik. Akses jalan yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat juga tinggi sehingga pendistribusian pangan tidak dapat mencapai sasaran. Indikator pemanfaatan pangan menggambarkan pola konsumsi pangan dan status kesehatan gizi. Angka perempuan buta huruf di NTT pada tahun 2008 berada diatas rata-rata provinsi, dimana terdapat 5 kabupaten yang memiliki jumlah perempuan buta huruf diatas 20%. Oleh sebab itu, status pendidikan perempuan dirumah tangga menjadi penentu salah satu kerawanan pangan. DKP dan WFP telah menyusun indek kerawanan pangan tingkat kabupaten di Indonesia berdasarkan data indikator ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Metode yang digunakan ialah PCA (principal component analysis). Nilai PC yang dihasilkan digunakan sebagai indek yang menggambarkan tingkat kerawanan. Metode lain juga banyak tersedia diantaranya metode persentil, yaitu metode yang menggunakan data persentil dari indikator yang digunakan dan kemudian dibuat nilai indeknya dengan memberikan nilai bobot terhadap indikator sesuai dengan derajat kepentingannya dalam menjelaskan kerawana pangan (Boer dan Rakhman 2015). Penggunaan metode yang berbeda bisa saja memberikan hasil indek kerawanan pangan yang berbeda. Hal ini akan mempengaruhi interpretasi. Oleh karena itu, evaluasi terhadap metode penetapan indek kerawanan pangan sangat diperlukan untuk mengetahui efektivitas metode. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi metode PCA dan Persentil untuk menentukan tingkat kerawanan pangan di NTT.
TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Wilayah Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak antara 8°-12° LS dan 118°-125° BT dan berbatasan dengan Laut Flores di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah Timur dengan negara Timor Leste dan Nusa Tenggara Barat di sebalah barat. NTT memiliki iklim semi arid dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 24°C - 34°C, dengan musim kemarau yang panjang antara 7-8 bulan (AprilOktober), dan musim hujan yang pendek antara 4-5 bulan (Nopember-Maret) sehingga menjadikan NTT sebagai propinsi terkering se-Nusantara, kecuali wilayah Flores bagian barat dan Sumba bagian barat, yang memiliki curah hujan yang tinggi. Wilayah NTT umumnya memiliki curah hujan yang sangat variatif antara 800 mm per tahun (terendah) dan 3000 mm per tahun (tertinggi) dengan rata-rata curah hujan 1000 mm per tahun. Topografi wilayah NTT sebagian besar (70%) berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Kondisi fisik tanah yang sangat sensitif, tandus dan kering serta mudah longsor dengan kedalaman top-soil yang relatif tipis menempatkan NTT pada posisi yang tidak menguntungkan. Apalagi diperparah oleh El Nino dan La Nina serta serangan hama penyakit dan bencana alam lainnya yang terjadi hampir setiap tahun (Ofond 2007). Setiap kabupaten di NTT memiliki perbedaan kondisi fisik lahan yang bervariasi dalam topografi, kelerengan, kesuburan tanah dan pasang surut air sungai sehingga pemanfaatan lahan di masing-masing kabupaten berlainan. Sebagian besar wilayah NTT adalah kawasan hutan dan sisanya berupa lahan pertanian, perkebunan, kebun, dll. Lahan sawah sebagian besar terdapat di daerah pesisir pantai utara dan pesisir sungai yang merupakan sawah tadah hujan dan sawah pasang surut. Sementara itu, pertanian lahan kering meliputi dataran rendah dan daerah lereng di kaki gunung. Luas wilayah daratan berpotensi tanah kering seluas 1.528.258 ha dengan lahan fungsional seluas 689.112 ha (45%). NTT digolongkan sebagai sebagai propinsi termiskin di Indonesia, dengan salah satu indikator adalah tingkat kemampuan konsumsi pangan. Ketahanan pangan NTT dari tahun ke tahun menunjukkan kondisi tidak aman, dilihat dari perubahan pola konsumsi dari jagung sebagai makanan pokok ke beras sebagai makanan idola yang bergengsi. Selain itu, 89% penduduk NTT yang bermatapencaharian sebagai petani dimana 79% diantaranya adalah petani lahan kering menggantungkan hidupnya terutama pada kondisi alam dengan tanah dan iklim sebagai penentu utama. Kondisi alam NTT yang tidak menguntungkan telah menempatkan NTT pada kondisi rentan terhadap kekurangan pangan Nurfitriani 2012). Kerawanan Pangan Kerawanan pangan merupakan kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang pada waktu-waktu
3
tertentu (kronis) dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat (transien) (DKP 2006). Kerawanan pangan kronis/chronic food insecurity (CFI) adalah ketidakmampuan jangka panjang atau terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Biasanya dipengaruhi oleh faktor struktural, yang tidak dapat berubah dengan cepat seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintahan daerah, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat pendidikan, dll. Kerawanan pangan kronis terdiri dari indikator ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik disuatu wilayah yang berasal dari semua sumber, baik produksi pangan domestik, perdagangan maupun bantuan pangan. Produksi pangan bergantung pada faktor ikli, jenis tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanuan yang digunakan, dll. Akses pangan Akses pangan adalah cara atau kemampuan rumah tangga atau individu untu memperoleh pangan. Perolehan pangan bisa berasal dari produksi sendiri, barter, pembelian, pinjaman maupun bantuan pangan. Akses tergantung pada pendapatan individu dan pendistribusiannya dalam rumah tangga. Pemanfaatan pangan Pemanfaatan pangan merupakan cara menggunakan atau memanfaatkan pangan yang tergantung pada faktor seperti kualitas pangan dan cara persiapannya, fasilitas penyimpanan dan pengetahuan gizi serta status kesehatan individu dalam mengkonsumsi pangan (International Federation of Red Cross 2007). Sedangkan Kerawanan pangan sementara/transient food insecurity (TFI) adalah ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum yang dipengaruhi oleh faktor dinamis yang berubah dengan cepat seperti penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya fungsi pasar, tingkat besarnya hutang, perpindahan penduduk (migrasi) dll. Kerawanan pangan sementara yang terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan menurunnya kualitas penghidupan rumah tangga, menurunnya daya tahan, dan bahkan bisa berubah menjadi kerawanan pangan kronis (WFP dan DKP 2010). Kerawanan merujuk pada risiko di level rumah tangga atau masyarakat yang dapat mengancam kehidupan dan mata pencaharian. Kerawanan rumah tangga ditentukan oleh kemampuan mengatasi risiko dan kejadian seperti kekeringan, banjir, kebijakan pemerintah, konflik, dll. Kerawanan pangan di level rumah tangga terjadi pada waktu tertentu dan berkaitan secara langsung dengan komposisi, aset dan komunitas yang termasuk ke dalamnya. UNDP (2001) dalam Ariningsih dan Rachman (2008) menyebutkan bahwa penyebab terjadinya rawan pangan pada rumah tangga pertanian sangat kompleks, antara lain karena situasi sosial politik pertanian dan petaninya, rendahnya luas lahan pertanian produktif per kapita, rendahnya produktivitas dan kesuburan lahan, anomali iklim, rendahnya teknik pertanian modern yang berdampak pada rendahnya produksi pangan, serta rendahnya daya beli rumah tangga sebagai
akibat terbatasnya pendapatan dari off farm. Walaupun demikian, permasalahan yang sering muncul adalah karena terbatasnya pendapatan masyarakat. Tabel 1 Proporsi Rumah Tangga (RT) rawan Pangan Tertinggi dan Terendah Menurut Propinsi 2005 Proporsi RT Rawan Pangan Proporsi RT Rawan Pangan Tertinggi Terendah No Propinsi Proporsi (%) No Propinsi Proporsi (%) 1 Papua 21.3 1 Bali 1.83 2 Maluku 18.14 2 DKI Jakarta 2.58 3 Kalimantan Tengah 18.14 3 Kepulauan Riau 4.28 4 Nusa Tenggara Timur 17.88 4 Banten 6.64 5 Maluku Utara 17.58 5 Jawa Barat 7.21 Sumber : BPS, Susenas 2005 Karakteristik rumah tangga rawan pangan adalah : a. Umur kepala keluarga (KK) maupun istri pada rumah tangga rawan pangan maupun agregat merupakan umur produktif, dimana umur istri lebih rendah daripada umur KK b. Pendidikan kepala keluarga dan istri pada rumah tangga rawan pangan lebih rendah daripada agregat dan pendidikan istri lebih rendah daripada KK c. Jumlah angota rumah tangga rumah tangga rawan pangan lebih tinggi daripada agregat Principal Component Analysis (PCA) dan Cluster Analysis Analisis komponen utama (PCA) merupakan teknik statistik yang dapat digunakan untuk menjelaskan struktur variansi-kovariansi dari sekumpulan variabel melalui beberapa variabel baru dimana variabel baru ini dinamakan komponen utama. Menurut Joliffe (2002) dalam Azizah, Loekito dan Solimun, PCA dapat mengurangi dimensi dari suatu data namun tetap mempertahankan karakteristik dari kumpulan data tersebut. Misalkan dari p buah variabel awal terbentuk k buah faktor/komponen dimana k
5
Keterangan : Xi = variabel ke- i yang dibakukan (rata-rata = 0, standar deviasi = 0) Bi = koefisien regresi parsial yang dibakukan pada common factor ke j Fj = common factor ke j Vi = koefisien regresi yang dibakukan pada faktor yang unik ke i µi = faktor unil variabel ke i m = banyaknya common factor Common factor dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel-variabel yang diamati, yaitu : Fi = Wi1X1 + Wi2X2 + ... + WikXk Keterangan : Fi = estimasi faktor ke i Wi = bobot atau koefisien nilai faktor ke i k = jumlah variabel Analisis cluster merupakan suatu metodologi yang bertujuan untuk mengelompokkan objek ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kesamaan karakteristik tertentu (Sharma 1996 dalam Azizah, Loekito dan Solimun). Langkah pengelompokan dalam analisis cluster mencakup tiga hal yaitu mengukur kesamaan jarak, membentuk cluster secara hirarkis dan menentukan jumlah cluster. Ciri-ciri suatu cluster yang baik yaitu mempunyai : Homogenitas internal (within cluster), yaitu kesamaan antara anggota dalam satu cluster Heterogenitas (between cluster), yaitu perbedaan antara cluster yang satu dengan cluster yang lain. Analisis cluster terdiri dari : 1. Cluster hirarkis Cluster ini mengelompokkan dua atau lebih obyek yang mempunyai kesamaan yang paling dekat. Kemudian diteruskan pada obyek yang lain dan seterusnya hingga cluster akan membentuk semacam pohon dimana terdapat tingkatan (hirarki) yang jelas antar obyek, dari yang paling mirip hingga yang paling tidak mirip. Alat yang membantu untuk memperjelas proses hirarki ini disebut dendogram. Jarak yang digunakan dalam analisis ini adalah euclidien. Jarak euclidien merupakan salah satu konsep jarak yang sering dipilih dalam analisi cluster dengan rumusan sebagai berikut (Johnson dan Wichen 2007) : d(x,y) = [(x1-y1)2 + (x2-y2)2 + ... + (xp-yp)2]1/2 2. Cluster non-hirarkis Cluster ini menentukan terlebih dahulu jumlah cluster yang diinginkan (dua, tiga, atau yang lain). Setelah jumlah cluster ditentukan, maka proses cluster dilakukan dengan tanpa mengikuti proses hirarki. Metode ini biasa disebut K-Means Cluster. Persentil Persentil adalah suatu metode yang sangat potensial untuk dipergunakan pada masalah ketidakstabilan dan keakurasian, khususnya dalam menentukan interval. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan pendugaan yang
sebaik-baiknya yang berasal dari data yang minimal (Fauzy 2000). Persentil membagi data menjadi 100 bagian yang sama besar. Melalui persenti, seseorang dapat membagi distribusi data yang dimilikinya ke dalam jumlah-jumlah kategori yang dikehendakinya. Hal ini akan berfungsi sebagai kelipatan yang digunakan untuk menentukan dasar pembuatan kategori.
METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) kabupaten NTT, Dinas Kesehatan kabupaten NTT, dan situs data dan bencana Indonesia (DIBI) (http://dibi.bnpb.go.id) untuk tahun 2011. Data tersebut dijadikan sebagai indikator-indikator yang menggambarkan kondisi tersedianya pasokan pangan, akses masyarakat terhadap pangan dan pemanfaatan pangan. Tabel 2 Indikator Kerawanan Pangan Kerawanan Pangan Kronis/Chronic Kerawanan Pangan Sementara/ Food Insecurity (CFI) Transient Food Insecurity (TFI) Ketersediaan Pangan Peluang kejadian banjir Rasio konsumsi normatif per Peluang kejadian kekeringan kapita terhadap ketersediaan Kerugian produksi tanaman padi pangan dari beras, jagung, ubi dan palawija kayu dan ubi jalar Akses Terhadap Pangan dan Penghidupan Persentase penduduk miskin Persentase desa yang tidak dilalui kendaraan roda empat Persentase rumah tangga tanpa akses listrik Pemanfaatan Pangan Angka harapan hidup Persentase perempuan buta huruf Persentase bayi lahir berat badan rendah Persentase rumah tangga tanpa akses ke sumber minum
7
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu seperangkat komputer, Ms Office dan Excel, Arc View 3.3 GIS, dan Minitab. Prosedur Analisis Data
Indikator CFI
Indikator TFI
PCA dan Cluster Analysis
Persentil
Keragaman PC
Menentukan skor masing-masing indikator
Indeks CFI dan TFI
Indeks CFI dan TFI (indikator dikalikan dengan bobot)
Indeks kerawanan (6 tingkatan) Gambar 1 Diagram analisis data
Penilaian pakar
Principal Component Analysis (PCA) dan Cluster Analysis Principal Component Analysis (PCA) dapat menyederhanakan dimensi data yang mempunyai keterkaitan antar variabel (inter-korelasi) menjadi data baru. Data baru ini mewakili keragaman data yang sebelumnya dan tidak saling berkorelasi. Kemampuan masing-masing komponen utama (PC) dalam menjelaskan pengaruh keragaman data ditunjukkan oleh rasio nilai eigenvalue masing-masing indikator terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC merupakan kombinasi linear dari variabel X1,X2,X3,...Xp (variabel ini adalah 8 indikator dari CFI dan 5 indikator dari TFI). Persamaan PCA yaitu sebagai berikut : PC1 = a(1)1X1 + a(1)2X2 + ... + a(1)pXp .......
PCi = a(i)1X1 + a(i)2X2 + ... + a(i)pXp Setelah komponen utama (PC) diperoleh, kemudian dilakukan pengelompokkan kabupaten-kabupaten berdasarkan cluster analysis. Cluster analysis dilakukan dengan memilih PC yang dapat menerangkan keragaman data 80% yang ditunjukkan oleh cumulative dalam eigen analysis of the covarian matrix. Penelitian ini menggunakan 5 PC untuk CFI dan 2 PC untuk TFI. Selanjutnya dilakukan penentuan indek CFI dan TFI, dilihat dari nilai cluster centroid pada PC1. Nilai cluster centroid yang paling tinggi menunjukkan cluster/kelompok yang paling rawan pangan, dan sebaliknya (WFP dan DKP 2010). Indek CFI dan TFI kemudian dikurangi dengan nilai anomalinya, yang merupakan nilai rata-rata dari indek tersebut. Metode Persentil Metode persentil ditentukan dari nilai bobot yang dianggap paling berpengaruh terhadap kerawanan pangan. Terlebih dahulu tentukan nilai persentil 0.1 sampai persentil 0.9. Kemudian dihitung skor dari tiap indikator tersebut. Perhitungan nilai skor sebagai berikut (Boer et al., 2014) : Skor 0.1 = data < 10thP Skor 0.2 = 10thP ≤ data < 20thP Skor 0.3 = 20thP ≤ data < 30thP Skor 0.4 = 30thP ≤ data < 40thP Skor 0.5 = 40thP ≤ data < 50thP Skor 0.6 = 50thP ≤ data < 60thP Skor 0.7 = 60thP ≤ data < 70thP Skor 0.8 = 70thP ≤ data < 80thP Skor 0.9 = 80thP ≤ data < 90thP Skor 1 = data ≥ 90thP Keterangan : P = nilai persentil Skor hasil perhitungan tersebut kemudian dikalikan dengan masingmasing bobot indikator sehingga diperoleh nilai total skor yang disebut dengan
9
indeks CFI dan TFI. Bobot ditentukan dengan dua pendekatan, yaitu berdasarkan keragaman nilai komponen utama yang dihasilkan dari analisis PCA dan penilaian pakar (expert judgement). Penilaian pakar didasarkan pada pengetahuan tentang besar pengaruh indikator terhadap kerawanan pangan. semakin besar pengaruhnya terhadap kerawanan pangan, maka bobot yang diberikan juga semakin besar, dan sebaliknya (GAP CC-Asean 2012). Pada pendekatan yang menggunakan nilai sumbangan keragaman PCA, nilai bobot untuk setiap indikator ditetapkan setelah dilakukan terlebih dahulu analisis korelasi antara nilai PC1-Pci dengan peubah asal indikator. Selanjtnya matrik korelasi ini dirotasi dengan metode Varimax. Dari analisis akan diperoleh indikator yang paling dominan dalam menjelaskan keragaman nilai PC. Apabilai nilai PC1 memiliki korelasi paling tinggi dengan indikator X2 misalnya, maka dikatakan indikator X2 merupakan indikator yang paling dominan dalam menjelaskan keragaman PC1, dengan demikian bobot dari indikator X2 ialah persen kontribusi PC1 terhadap total keragaman dari semua PC. Persamaan untuk menghitung indeks CFI dan TFI berdasarkan formula berikut : Y = aX1 + bX2 + cX3 + ... + zXn Keterangan : Y = Total skor (indeks CFI dan TFI) X = Skor indikator ke 1, 2, ...n a, b, c,...z = bobot dari masing-masing indikator Penentuan Indeks Kerawanan Pangan Penentuan indeks kerawanan pangan berdasarkan sistem kuadaran, yang terdiri dari 6 kuadaran. Kuadran pertama menunjukkan tingkat kerawanan yang paling rendah sedangkan kuadran 6 menunjukkan daerah yang paling rawan pangan. Kuadran penentuan tingkat kerawanan adalah sebagai berikut (Boer et al., 2013) : CFI
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
5 6 4 TFI
3
1 2 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Gambar 2 Sistem Kuadran untuk Pengelompokan Kabupaten menurut Indek Kerawanan Pangan
Keterangan : Kuadran 1 : Indek CFI rendah dan indek TFI rendah (CFI≤0, TFI≤0) Kuadran 2 : Indek CFI dan TFI rendah, tetapi indek CFI lebih kecil dari indek TFI (CFI≤0, TFI≤0, CFI≤TFI) Kuadran 3 : Indek CFI dan TFI rendah, tetapi indek CFI lebih besar dari TFI (CFI≤0, TFI≤0, CFI>TFI) Kuadran 4 : Indek CFI dan TFI tinggi, akan tetapi indek CFI lebih kecil dari indek TFI (CFI>0, TFI>0, CFI≤TFI) Kuadran 5 : Indek CFI dan TFI tinggi, akan tetapi indek CFI lebih besar dari TFI (CFI>0, TFI>0, CFI>TFI) Kuadran 6 : Indek CFI dan TFI tinggi (CFI>0, TFI>0) Penilaian efektifitas metode diatas dalam mengelompokkan tingkat kerawanan pangan kabupaten NTT dilakukan dengan menggunakan analisis simpangan baku terhadap nilai indikator dari setiap kelompok kabupaten yang dihasilkan (kelompok 1, 2, ..., 6). Metode yang memberikan rata-rata simpangan baku terkecil merupakan metode yang paling efektif. Rasio Konsumsi Normatif Per kapita Rasio konsumsi normatif menunjukkan kecukupan pangan suatu wilayah. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan data produksi bersih rata-rata produksi padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Produksi padi dikonversi menjadi beras yaitu dikalikan dengan 0.63 (WFP dan DKP 2010). Untuk produksi ubi kayu dan ubi jalar agar setara dengan beras maka dikalikan dengan 1/3. Ketersediaan pangan per kapita dihitung dengan :
Dimana, F = ketersediaan pangan per kapita Berdasarkan profil konsumsi Indonesia, konsumsi normatif pangan/kapita/hari adalah 0.3 kg (300 gram) sehingga rasio konsumsi normatif per kapita dapat dihitung sebagai berikut :
Dimana, Z = rasio konsumsi normatif per kapita per hari Keterangan nilai kisaran Z dan kriterianya : > 1.5 1.25 - 1.5 1.00 – 1.25
= defisit tinggi = defisit sedang = defisit rendah
11
0.75 – 1.00 0.50 – 0.75 < 0.50
= surplus rendah = surplus sedang = surplus tinggi
Konsumsi normatif merupakan ∑ pangan serealia yang harus dikonsumsi oleh seseorang untuk memperoleh 50% keperluan energi harinya dari serealia (Suhartono 2010). Jika nilai ‘Z’ lebih dari 1, maka daerah tersebut defisit pangan atau kebutuhan konsumsi normatif tidak bisa dipenuhi dari produksi bersih serealia (beras dan jagung) dan umbi-umbian. Dan jika nilai ‘Z’ kurang dari 1, maka menunjukkan kondisi surplus pangan serealia di daerah tersebut. Kerugian tanaman padi dan palawija Perhitungan kerugian tanaman padi dan palawija menggunakan data tahun 2009, 2010 dan 2011 dengan rumus : Kerugian = luas kerusakan (ha) x hasil rata-rata (ton/ha) x harga komoditas (Rp/kg)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kerawanan Pangan Kronis (CFI) Kerawanan pangan kronis (CFI) terdiri dari indikator ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan Pangan Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita Terhadap Produksi Pangan Rasio ini menunjukkan suatu wilayah mengalami surplus produksi pangan atau defisit pangan. Rasio konsumsi normatif perkapita terhadap produksi pangan di NTT ditunjukkan oleh tabel 3. Kota Kupang mengalami defisit produksi pangan terbesar, dengan rasio konsumsi normatif per kapita sebesar 24.273. Sabu Raijua sebesar 2.566 dan Ende sebesar 1.123. Sedangkan wilayah yang mengalami surplus produksi pangan adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan yaitu sebesar 0.228. Hal tersebut dapat dilihat dari data produksi pangan dimana Kota Kupang memiliki produksi padi dan jagung paling rendah namun dengan jumlah penduduk yang banyak, sementara Sabu Raijua memiliki produksi ubi kayu dan ubi jalar paling rendah. Timor Tengah Selatan merupakan kabupaten yang memiliki produksi jagung dan ubi kayu paling tinggi diantara kabupatenkabupaten lain dan merupakan kabupaten sentra produksi jagung dan ubi kayu. Meskipun jumlah penduduk di Timor Tengah Selatan sangat banyak, namun produksi pangan juga sangat banyak sehingga tidak terjadi defisit pangan dan konsumsi pangan masih bisa terpenuhi. Kabupaten-kabupaten yang mengalami surplus pangan tidak bisa menjamin kabupaten tersebut tahan pangan. Aspek akses dan pemanfaatan pangan juga menentukan suatu wilayah tahan pangan atau tidak. Defisitnya ketersediaan pangan disebabkan oleh beberapa hal berikut, yaitu : 1) ketersediaan lahan untuk
bercocok tanam kurang dibandingkan dengan kepadatan penduduk, khususnya kecamatan kota, 2) produktivitas lahan yang rendah karena kondisi lahan umumnya lahan kering dan kritis, 3) terjadinya kekeringan berkepanjangan, 4) peralihan dari tanaman pangan dan perkebunan, 5) sistem usaha tani yang berpindah-pindah (tebas dan bakar) dan subsisten (WFP dan DKP 2010). Tabel 3 Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita
Kabupaten Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
Ketersediaan Pangan Per Kapita (kg) 0.566 0.679 0.864 1.316 0.962 0.346 0.384 0.663 0.671 0.501 0.267 0.410 0.401 0.777 0.761 0.872 1.244 0.407 0.399 0.117 0.012
Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita 0.530 0.442 0.347 0.228 0.312 0.866 0.780 0.452 0.447 0.598 1.123 0.731 0.748 0.386 0.394 0.344 0.241 0.736 0.751 2.566 24.237
Keterangan surplus sedang surplus tinggi surplus tinggi surplus tinggi surplus tinggi surplus rendah surplus rendah surplus tinggi surplus tinggi surplus sedang defisit rendah surplus sedang surplus sedang surplus tinggi surplus tinggi surplus tinggi surplus tinggi surplus sedang surplus rendah defisit tinggi defisit tinggi
Akses Terhadap Pangan dan Penghidupan Penduduk Dibawah Garis Kemiskinan Terdapat 5 kabupaten yang memiliki persentase kemiskinan diatas 30%, yaitu Sumba Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, Sumba Tengah, dan Sabu Raijua. Sementara Flores Timur hanya memiliki persentase kemiskinan sebesar 9.12%. Semakin besar jumlah penduduk miskin disuatu provinsi atau kabupaten maka akses terhadap pangan akan semakin rendah dan angka kerawanan pangan akan semakin tinggi . Kemisikinan berkaitan erat dengan sumber pendapatan. Di NTT, sumber pendapatan di dominasi oleh sektor pertanian, peternakan dan perkebunan.
13
Penguasaan lahan yang kecil dan curah hujan yang tidak menentu, berdampak kurang menguntungkan pada masyarakat yang bergantung pada produksi tanaman pangan. Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan dua sisi mata uang, dimana karena miskin maka tidak dapat mencapai keadaan tahan pangan dan sebaliknya karena keadaan tidak tahan pangan maka menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks yang membutuhkan intervensi multi sektoral secara terintegrasi dan terkoordinasi. Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota keluarganya dalam jumlah dan kualitas yang baik sehingga beresiko rawan pangan dan gizi. 45 40
% Penduduk miskin
35 30 25 %
20 15 10 5 Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
0
Gambar 3 Persentase Penduduk Miskin NTT Akses Terhadap Jalan dan Listrik Salah satu penyebab adanya kemiskinan lokal adalah dimana masyarakat yang tinggal di daerah atau terpencil tidak mempunyai akses infrastruktur baik jalan maupun akses pasar. Masyarakat kesulitan dalam mengakses kebutuhan pangan yang terletak jauh dari tempat tinggal mereka. Di Sumba Tengah, sekitar 30,23% terdapat jalan yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, Manggarai Timur sebesar 27.14% dan Alor sebesar 26.62%.
Akses jalan yang baik mendukung pendistribusian pangan yang lancar ke setiap kabupaten yang ada di NTT. Kemudahan dalam akses jalan memudahkan pemerintah untuk mengurangi tingkat kerawanan pangan daerah yang disebabkan terisolirnya suatu daerah akibat kendala infrastruktur jalan. Akses jalan memberikan akses yang lebih baik ke pasar yang akan memudahkan produsen untuk memasarkan hasil produksi kepada penjual dan pembeli. Akses jalan juga merupakan salah satu sarana terpenting dalam menghubungkan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang berguna untuk memperbaiki standar kehidupan. 35 30
% Jalan yang tidak dilalui kendaraan roda 4
25 %
20 15 10
5 Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
0
Gambar 4 Persentase jalan yang tidak dilalui kendaraan roda 4
Akses listrik merupakan suatu indikator pendekatan yang baik untuk melihat tingkat kesejahteraan ekonomi dan peluang penghidupan pada suatu daerah. Kabupaten Manggarai Barat memiliki persentase rumah tangga tanpa listrik sebesar 31.54% dan kabupaten Manggarai sebesar 22.88% sedangkan Kota Kupang dengan persentase paling kecil yaitu 0.54%.
15
35 30 25
% RT tanpa akses listrik
20 %
15 10 5 Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
0
Gambar 5 Persentase RT tanpa akses listrik
Pemanfaatan Pangan Perempuan Buta Huruf Perempuan buta huruf masih banyak terdapat di NTT. Di Kabupaten Sumba Bara Daya masih terdapat sekitar 26.25% wanita yang masih buta huruf. Sumba Barat dan Timor Tengah Selatan sebesar 21.85% dan 21.29%. Sedangkan Kota Kupang hanya sekitar 5.62% yang masih buta huruf. Kemampuan membaca pada kaum perempuan sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan gizi, dan menjadi hal yang sangat penting dalam pemanfaatan pangan. Tingkat pendidikan ibu berkaitan erat dengan situasi gizi anak-anak. Peran perempuan sangat berpengaruh dalam ketahanan pangan, karena secara signifikan mempengaruhi proses produksi, konsumsi dan distribusi. Perempuan memiliki peran penting dalam komponen-komponen ketahanan pangan terutama di level mikro/rumah tangga. Peran perempuan tidak hanya terbatas di level rumah tangga pertanian tapi juga pertanian yang dikomersilkan. Menurut FAO (2011), rata-rata 20% pertanian dipimpin oleh perempuan. Tetapi di Asia hanya sekitar 6% perempuan yang memimpin pertanian. Nilai tersebut lebih kecil dibanding Afrika dan Amerika Latin. Jika laki-laki dan perempuan diberikan hak yang sama, maka bisa meningkatkan hasil pertanian sebesar 20 - 30%, produksi pertanian nasional bisa meningkat sebesar 2.5 - 4% dan jumlah penduduk yang mengalami malnutrisi bisa berkurang sebesar 12 - 17%.
Tingkat pendidikan yang relatif rendah pada rumah tangga rawan pangan terkait erat dengan kemiskinan yang mereka hadapi. Dalam kondisi kemiskinan, yang berarti terbatasnya pendapatan, sehingga pendidikan bukan merupakan prioritas mereka. 30 25
% perempuan buta huruf
20 %
15 10 5 Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
0
Gambar 6 Persentase Perempuan Buta Huruf
Angka Harapan Hidup dan Rumah Tangga Tanpa Akses Sumber Air Minum Angka harapan hidup menunjukkan dampak dari status kesehatan dan gizi. Rata-rata angka harapan hidup provinsi NTT adalah 66 tahun. Pada gambar 7 dapat dilihat bahwa Angka harapan hidup tertinggi terdapat di Kota Kupang yaitu 77.71 tahun dam terendah di kabupaten Sabu Raijua yaitu 56.12 tahun.
17
90 80
Angka harapan hidup
70
Usia
60 50 40 30 20
10 Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
0
Gambar 7 Angka Harapan Hidup Rumah Tangga Tanpa Akses Sumber Air Minum Sebanyak 21.55% RT di Timor Tengah Selatan tidak memiliki akses ke sumber air minum dan Sumba Barat Daya sebesar 11.88%. Sementara Flores Timur hanya memiliki 0.42% RT yang tidak mempuyai akses ke sumber air minum. Kurangnya akses ke sumber minum dapat menyebabkan kunci tingginya faktor yang berkontribusi pada diare dan kematian anak (Unicef 2014).
25
20
%
% RT tanpa akses ke sumber minum
15
10
5
Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
0
Gambar 8 Persentase RT tanpa akses ke sumber air minum Bayi Lahir Berat Badan rendah Kabupaten Sikka, Ngada dan Timor Tengah Utara termasuk kabupatenkabupaten yang memiliki angka bayi yang lahir dengan berat badan rendah paling besar. Sementara Kabupaten Kupang dan Alor adalah kabupaten dengan bayi lahir berat badan rendah sedikit. Bayi lahir dikatakan mempunyai berat badan rendah apabila mempunya berat badan >2.5 kg. Bayi lahir dengan berat badan rendah sangat berkaitan dengan kemiskinan dan pengetahuan calon ibu.
19
0.18 0.16
% bayi lahir berat badan rendah
0.14 0.12
0.10 %
0.08 0.06 0.04
0.00
Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah… Timor Tengah… Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
0.02
Gambar 9 Persentase Bayi lahir berat badan rendah
Kerawanan Pangan Sementara (TFI) Kerawanan pangan sementara (TFI) merupakan ketidakmampuan jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum yang disebabkan oleh faktor dinamis seperti penyakit, kejadian bencana alam, pengungsian, perubahan fungsi pasar. Penelitian ini menggunakan indikator kejadian bencana alam yang terjadi di NTT yaitu banjir dan kekeringan serta kehilangan produksi padi akibat kejadian bencana tersebut. Perhitungan peluang kejadian bencana banjir dan kekeringan dilakukan selama 7 tahun yaitu pada tahun 2005-2011, sehingga diketahui peluang kejadian suatu bencana untuk satu tahun. Di NTT, kekeringan dan banjir terjadi karena sedikitnya jumlah variasi curah hujan yang diterima. Kekeringan bahkan bisa mencapai 8 bulan dalam setahun. Curah hujan di NTT dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : Faktor global : El nino, La nina, Dipole mode Faktor regional : sirkulasi monsun, MJO dan suhu muka laut Faktor sinoptik : low pressure area Faktor lokal : ketinggian tempat, posisi bentangan suatu pulau, sirkulasi angin darat dan laut serta tutupan lahan suatu wilayah. Bencana kekeringan termasuk kedalam kategori bencana yang disebabkan oleh alam. Karakteristik bencana kekeringan adalah datangnya yang tidak tibatiba namun timbul secara perlahan dan mudah diabaikan. Dampaknya akan terasa ketika lahan-lahan produktif tiba-tiba mengalami kegagalan panen maupun
Peluang kejadian kekeringan
0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
Peluang kejadian banjir
Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
Peluang
penurunan kualitas. Akibat yang lebih ekstrim lagi adalah rusaknya sistem tanah yang berujung tidak termanfaatkannya guna lahan yang optimal, kelaparan dan rusaknya sistem sektor pertanian.
Gambar 10 Peluang kejadian kekeringan dan banjir 400000 350000 Rp (Juta)
300000 250000 200000
Kerugian tanaman padi dan palawija
150000 100000
0
Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah… Timor Tengah… Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat… Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
50000
Gambar 11 Kerugian produksi tanaman padi dan palawija Kabupaten Manggarai dan Sumba Timur merupakan kabupaten yang memiliki peluang kejadian kekeringan paling tinggi yaitu 0.43 dan 0.29 sementara
21
kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan memiliki peluang kejadian banjir paling tinggi yaitu 0.89. Dampak dari kekeringan dan banjir ini menyebabkan produksi tanaman turun/rendah/puso bahkan mati. Apabila terjadi secara luas, dapat menyebabkan kerugian secara material dan finansial bahkan dapat mengancam ketahanan pangan. Gambar 11 menunjukkan kerugian dari tanaman padi (padi sawah dan ladang) dan palawija (jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, kedelai). Kabupaten Belu mengalami kerugian paling besar yaitu. Rp 344.418 juta. Hal tersebut disebabkan luas kerusakan untuk setiap tanaman padi dan palawija di kabupaten Belu cukup besar namun hasil rata-ratanya sedikit. Kerugian di Kota Kupang merupakan yang paling sedikit yaitu hanya Rp 727 juta. Hasil komoditas dan luas tanam tanaman padi dan palawija yang sedikit dan ditambah dengan beberapa tanaman yang tidak mengalami luas kerusakan menyebabkan kerugian di Kota Kupang juga sedikit.
Pemetaan Kerawanan Pangan Penentuan tingkat kerawanan pangan ditentukan berdasarkan indikatorindikator kerawanan pangan kronis (CFI) dan kerawanan pangan transien/sementara (TFI). Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan dibuat melalui metode PCA dan persentil. Pemetaan ini dapat menjelaskan bahwa kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan suatu kabupaten disebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi kerawanan pangan. Penyebab kerawanan suatu kabupaten dengan kabupaten lainnya beragam antar kabupaten. Berdasarkan metode PCA, kabupaten-kabupaten NTT terbagi menjadi 6 cluster yang didasarkan pada tingkat kesamaan yang paling dekat (Tabel 4 dan 5). Penentuan tingkat kerentanan per cluster mengikuti prosedur yang digunakan oleh WFP dan DKP dilihat dari nilai cluster centroid PC1, dimana nilai cluster centroid paling tinggi memiliki tingkat kerentanan paling tinggi pula. Tingkat 1 merupakan kabupaten-kabupaten yang tahan pangan sedangkan tingkat 6 adalah kabupatenkabupaten yang rawan pangan (Tabel 6). Tabel 4 Pembagian cluster CFI Cluster 1 2 3 4 5 6
Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Lembata, Rote Ndao, Sabu Raijua Kupang, Belu, Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada, Nagekeo Timor Tengah Selatan, Sumba Barat Daya Timor Tengah Utara, Manggarai Alor, Manggarai Barat, Sumba Tengah, Manggarai Timur Kota Kupang
Tabel 5 Pembagian cluster TFI Cluster 1 2 3 4 5 6
Kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah, Manggarai Timur Sumba Timur, Manggarai Kupang, Timor Tengah Selatan, Sikka Timor Tengah Utara, Alor, Flores Timur, Ngada, Rote Ndao, Nagekeo, Kota Kupang Belu Lembata, Manggarai Barat, Sumba Barat Daya, Sabu Raijua
Tabel 6 Nilai cluster centroid CFI dan TFI
1 2 3 4 5 6
Cluster Centroid 30.804 19.857 32.0881 30.9097 41.1635 0.0354
Tingkat Kerentanan 3 2 5 4 6 1
1 2 3 4 5 6
-0.69376 1.38662 1.63082 -0.49542 3.60429 -1.30634
2 4 5 3 6 1
Cluster
CFI
TFI
Pengelompokkan kabupaten menurut tingkat kerawanan pangan dilakukan berdaasarkan nilai CFI dan TFI seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2. Untuk pendekatan ini kisaran nilai CFI dan TFI adalah 1 sampai 6. Nilai indek CFI dan TFI terlebih dahulu dikurangi dengan nilai rata-rata indeks yaitu 3.5. Dengan demikian nilai CFI dan TFI berubah dengan kisaran -2.5 sampai 2.5. Tingkat kerawanan pangan pada peta dibedakan berdasarkan warna-warna hijau dan merah, seperti dapat dilihat pada gambar dibawah. Kabupatenkabupaten yang berwarna merah memiliki tingkat resiko kerawanan yang lebih besar dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten yang berwarna hijau. Pemetaan ini menggambarkan tingkat kemungkinan terjadinya kerawanan pangan. Meskipun kabupaten yang berwarna merah menunjukkan tingkat kerawanan yang tinggi, tidak berarti semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan. Sebaliknya pada kabupaten yang berwarna hijau tidak berarti semua penduduknya tahan pangan.
23
Gambar 12 Peta kerawanan pangan kabupaten di Propinsi NTT dengan metode cluster centroid PCA Gambar 12 menunjukkan bahwa kabupaten Timor Tengah Selatan dan Manggarai berada di tingkat 6 yang merupakan kabupaten yang paling rawan pangan. Kabupaten Alor, Sumba Tengah dan Manggarai Timur di tingkat 5. Pada tingkat 4 kerawanan pangan terdapat kabupaten Timor Tengah Utara, Manggarai Barat dan Sumba Barat Daya. Di tingkat 3 terdapat hanya satu kabupaten, yaitu Belu. Kabupaten Sumba Timur, Kupang dan Sikka terdapat di tingkat 2. Kabupaten-kabupaten yang memiliki tingkat kerawanan rendah adalah kabupaten Sumba Barat, Lembata, Flores Timur, Ende, Ngada, Rote Ndao, Nagekeo, Sabu Raijua dan Kota Kupang. Berdasarkan metode persentil dengan nilai bobot yang ditentukan dari analisis PCA, diperoleh bahwa persentase jalan yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat mencirikan PC1 sehingga indikator ini memiliki bobot yang paling tinggi (Tabel 7), artinya indikator ini sangat mempengaruhi tingkat kerawanan pangan. Akses jalan yang baik dapat mendukung pendistribusian pangan yang lancar ke setiap kabupaten yang ada di NTT. Kemudahan akses jalan juga dapat memudahkan pemerintah untuk mengurangi tingkat kerawanan pangan yang disebabkan terisolirnya suatu daerah akibat infrastruktur jalan yang buruk. Akses jalan juga merupakan salah satu sarana penting dalam menghubungan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan untuk memperbaiki standar kehidupan. Sedangkan untuk TFI, indikator yang memiliki nilai bobot paling tinggi adalah peluang kejadian banjir.
Tabel 7 Pembobotan Indikator CFI dan TFI dari keragaman PC Kerawanan
CFI
TFI
Indikator 1. Rasio konsumsi normatif per kapita 2. % penduduk miskin 3. % desa yang tidak dilalui kendaraan roda 4 4. % RT tanpa akses listrik 5. Angka harapan hidup 6. % Perempuan buta huruf 7. % Bayi lahir berat badan rendah 8. % RT tanpa akses ke sumber air minum
Bobot 0.083 0.174 0.179 0.067 0.159 0.061 0.173 0.105
1. Peluang kejadian banjir 2. Peluang kejadian kekeringan 3. Kerugian tanaman padi dan palawija
0.372 0.291 0.337
Berdasarkan pengkategorisasian tingkat kerawanan pangan menurut nilai indek CFI dan TFI dengan metode kuadran, diperoleh kategorisasi kabupaten menurut tingkat kerawanan pangan seperti ditunjukkan oleh gambar 13. Kabupaten yang memiliki tingkat kerawanan paling tinggi adalah Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Sikka, Ngada, Manggarai, Rote Ndao, dan Sumba Tengah. Di tingkat 5 terdapat kabupaten Lembata, Ende dan Manggarai Timur. Kabupaten Sumba Barat, Manggarai Barat dan Sumba Barat Daya di tingkat 4. Di tingkat 3 terdapat kabupaten Kupang dan Flores Timur. Sedangkan kabupaten yang tingkat kerawanan pangan rendah ialah kabupaten Sabu Raijua dan Kota Kupang. Sama halnya dengan pembobotan menggunakan PCA, metode persentil juga digunakan untuk menentukan nilai bobot masing-masing indikator CFI dan TFI. Total nilai bobot adalah 1. Setiap indikator diberikan nilai bobot yang besarnya ditentukan berdasarkan pengetahuan besar pengaruhnya terhadap kerawanan pangan (Tabel 8). Semakin besar pengaruh indikator dalam menentukan tingkat kerawanan pangan semakin besar nilai bobot yang diberikan untuk indikator tersebut. Untuk CFI, Indikator ketersediaan pangan diberikan nilai bobot paling tinggi yaitu 0.4 karena dianggap paling berpengaruh dalam menentukan tingkat kerawanan pangan. Akses dan pemanfaatan pangan diberikan nilai bobot yang sama, yaitu 0.3 karena indikator-indikatornya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Untuk TFI, pelaung kejadian bencana banjir dan kekeringan diberikan nilai bobot yang sama yaitu 0.3 dan kerugian produksi tanaman padi dan palawija 0.4.
25
Gambar 13 Peta kerawanan pangan kabupaten di Propinsi NTT dengan pembobotan dari PCA Tabel 8 Pembobotan Indikator CFI dan TFI Kerawanan
CFI
TFI
Indikator Ketersediaan Pangan (0.4) 1. Rasio konsumsi normatif per kapita Akses Pangan (0.3) 1. % penduduk miskin 2. % desa yang tidak dilalui kendaraan roda 4 3. % RT tanpa akses listrik Pemanfaat Pangan (0.3) 1. Angka harapan hidup 2. % Perempuan buta huruf 3. % Bayi lahir berat badan rendah 4. % RT tanpa akses ke sumber air minum
Bobot
1. Peluang kejadian banjir 2. Peluang kejadian kekeringan 3. Kerugian produksi tanaman padi dan palawija
0.3 0.3 0.4
0.4 0.05 0.05 0.2 0.1 0.05 0.05 0.1
Gambar 14 Peta kerawanan pangan kabupaten di Propinsi NTT dengan metode Persentil Peta diatas menunjukkan bahwa kabupaten Alor, Ngada dan Manggarai merupakan kabupaten yang paling rawan pangan. Di tingkat 5 terdapat kabupaten Sumba Timur, Belu dan Sikka. Kabupaten Lembata, Ende, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Sabu Raijua dan Kota Kupang terdapat di tingkat 4. Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Flores Timur, Rote Ndao, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya dan Nagekeo berada di tingkat 2. Sumba Barat merupakan kabupaten yang tahan pangan karena berada di tingkat 2. Berdasarkan hasil-hasil penentuan tingkat kerawanan pangan kabupaten NTT menggunakan metode PCA dan persentil menunjukkan hasil yang sangat berbeda satu sama lain (Tabel 9). Hal ini mungkin disebabkan pada metode PCA pengelompokkan kabupaten dengan teknik centroid hanya menggunakan satu nilai PC saja, yaitu PC1. Dalam kajian ini sumbangan keragaman PC1 terhadap keragaman totalnya hanya 0.40 sehingga hasil pengelompokkan tidak optimal. Oleh karena itu dalam penelitian selanjutnya perlu digunakan nilai PC lainnya sehingga secara total semua PC yang digunakan dalam analisis cluster minimal menyumbang 80% dari keragaman total. Selain itu, nilai bobot yang digunakan untuk setiap indikator juga ikut berpengaruh. Semakin besar pengaruh suatu indikator, maka bobot yang diberikan juga semakin besar.
27
Tabel 9 Perbandingan Nilai Indek Kerawanan
Kabupaten Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang Simpangan Baku
PCA Cluster Centroid Indek CFI TFI Kerawanan 3 2 1 3 4 2 2 5 2 5 5 6 4 3 4 2 6 3 6 3 5 3 1 1 2 3 1 2 5 2 2 3 1 2 3 1 4 4 6 3 3 1 6 1 4 6 2 5 5 1 4 2 3 1 6 2 5 3 1 1 1 3 1 1.63 1.45 1.54
CFI 0.52 0.64 0.48 0.62 0.64 0.60 0.64 0.63 0.48 0.62 0.57 0.53 0.59 0.52 0.56 0.57 0.51 0.42 0.66 0.48 0.43 0.07
Bobot PC Indek TFI Kerawanan 0.37 4 0.75 6 0.80 3 0.90 6 0.66 6 0.93 6 0.53 6 0.41 5 0.73 3 0.80 6 0.46 5 0.52 6 0.62 6 0.62 6 0.41 4 0.54 6 0.48 4 0.55 2 0.47 5 0.35 1 0.46 1 0.17 0.12
Bobot expert judgement Indek CFI TFI Kerawanan 0.47 0.37 2 0.57 0.79 5 0.48 0.81 3 0.47 0.91 3 0.44 0.67 3 0.74 0.94 5 0.80 0.51 6 0.57 0.43 4 0.42 0.75 3 0.60 0.79 5 0.75 0.43 4 0.57 0.53 6 0.68 0.60 6 0.37 0.65 3 0.56 0.43 4 0.48 0.57 3 0.37 0.51 3 0.48 0.57 3 0.77 0.49 4 0.64 0.35 4 0.59 0.43 4 0.13 0.18 0.15
Penentuan metode terbaik dilakukan dengan melihat nilai rataan simpangan baku metode-metode tersebut. metode PCA dengan cluster centroid memiliki nilai simpangan baku sebesar 1.54. Metode persentil yang menggunakan sistem pembobotan berdasarkan nilai keragaman PC memberikan nilai simpangan baku 0.12, sedangkan yang berdasarkan penilaian subjektif terhadap keeratan hubungan indikator dan kerawanan pangan memberikan nilai simpangan baku 0.15. Hasil ini menunjukkan bahwa pendekatan persentil dengan menggunakan pembobotan relatif lebih baik dibandingkan dengan pendekatan PCA. Penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi pendekatan PCA perlu dilakukan, khususnya dalam penentuan banyak PC yang akan digunakan dalam analisis cluster, demikian juga metode penentuan nilai bobot indikator yang bersifat kuantitatif lainnya yang dikombinasikan dengan kualitatif (penilaian pakar). Disamping itu, penggunaan indikator tambahan lainnya yang berkaitan dengan letersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan juga diperlukan agar pengelompokkan kabupaten menurut tingkat kerawanan pangan lebih optimal.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kabupaten-kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) secara umum dapat dikelompokan menjadi enam berdasarkan tingkat kerawanan pangan. pengelompokan kabupaten yang dihasilkan menurut tingkat kerawanan pangannya ditentukan oleh metode yang digunakan dan juga penilaian tingkat kepentingan atau keeratan indikator dengan kerawanan pangan. Penentuan metode yang terbaik dalam menentukan tingkat kerawanan pangan salah satunya dilihat dari nilai rata-rata simpangan baku indek kerawanan. pengelompokan kabupaten menurut tingkat kerawanan pangan dengan menggunakan metode cluster centroid PCA kurang efektif bila dibandingkan dengan metode persentil. Nilai rata-rata simpangan baku dengan metode PCA dan cluster centroid paling besar yaitu 1.54, sedangkan metode persentil dengan sistem pembobotan PCA paling kecil yaitu 0.12. Selain itu, pembobotan terhadap masing-masing indikator juga sangat mempengaruhi tingkat kerawanan. Saran Penelitian lebih lanjut yang disarankan untuk mengevaluasi metode yang paling efektif dalam mengelompokkan kabupaten menurut tingkat kerawanan pangan diantaranya metode penentuan bobot indikator, proses pengelompokkan kabupaten dan pemilihan indikator kerawanan pangan.
DAFTAR PUSTAKA Ariani et al. 2008. Analisis Wilayah Rawan Pangan dan Gizi Kronis Serta Alternatif Penanggulangannya. Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
29
Ariningsih et al. 2008. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Volume 6 No 3, September 2008 :239-255. Azizah et al. Tanpa tahun. Analisis Cluster Komponen Utama Nonlinier dan Analisis Two Step Cluster untuk Data Berskala Campuran. Malang (ID) : Universitas Brawijaya. Boer et al. 2014. Pengembangan Metode Analisis Kerentanan Sistem Ketahanan Pangan terhadap Dampak Keragaman dan Perubahan Iklim [catatan penelitian]. Bogor (ID) : Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacifik (CCROM-SEAP). Boer et al. 2014. Refinement of Food Security Vulnerability Atlas. Bogor : CCROM-SEAP IPB. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2012. NTT dalam Angka tahun 2012 [internet]. [diunduh 2014 Januari 16]. Tersedia pada http://ntt.bps.go.id/NTT%dalam%angka2012.pdf. Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 20062009. Jakarta. [DIBI-BNPB]. 2014. Data dan Informasi Bencana Indonesia – Badan Nasional Penanggulangan bencana [internet]. [diunduh 2014 Februari 2]. Tersedia pada http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana. [DINKES]. 2011. Profil Kesehatan NTT Tahun 2011 [Internet]. [diunduh 2014 Februari 18]. Tersedia pada http://depkes.go.id/resources/download%PROFIL_KES-PROVINSI2011%19_Profil_Kes.Prov.NTT_2012.pdf. Fauzy, A. 2000. Estimasi Interval Konfidensi Nilai Rata-rata pada Sampel Berdistribusi t dengan Metode Bootstrap Persentil. Bandung : Jurnal MIHMI ITB, Volume 6 No. 5 ISSN 0854-1380. GAP-CC ASEAN. 2013. Food Security in Asean and Climate Change : An Assessment of Vulnerabilities of Staple Food Crops in Asean Member States. Final report. Johnson et al. 2007. Applied Multivariate Statistical Analysis, 6th ed. New Jersey : Prentice Hall. Hardika et al. 2013. Penerapan Analisis Komponen Utama dalam Penentuan faktor Dominan yang Mempengaruhi Prestasi belajar Siswa. Saintia Matematika Vol 1, no 6, pp 507-516. International Federation of Red Cross and Crescent Societies. 2007. Global Food Security Assessment Guideliness. P.O Box 37d Geneva : Switzerland Nurfitriani, L. 2012. Analisis Kinerja Fiskal dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur [skripsi]. Bogor : IPB. Ofong, L. 2007. Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan di NTT. Institute of Indonesia Tenggara Studies. Suhartono. 2010. Indikator dan Pemetaan Daerah Rawan Pangan dalam Mendeteksi Kerawanan Pangan di Kecamatan Tanjung Bumi Kabupaten Bangkalan. Universitas Trunojoyo. Embryo vol. 7 no. 2. Supranto. 2010. Analisis Multivariat Arti dan Interpretasi. Jakarta : PT Rineka Cipta.
[UNICEF]. 2014. Hari Air Sedunia 2014 : Akses terhadap Air Bersih di Indonesia Masih Tertinggal [internet]. [diunduh pada 2014 Mei 23]. United Nations International Children’s Emergency Fund. Tersedia pada http://unicef.org/indonesia/id/media_22273.html. WFP dan DKP. 2010. Peta Ketahanan dan Kerentanan Nusa Tenggara Timur (Food Security and Vulnerability Atlas of Nusa Tenggara Timur). Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dewan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian dan World Food Programme. Jakarta.
31
LAMPIRAN Lampiran 1 Produksi Pangan (Ton) NTT 2011 Kabupaten Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
Produksi Padi
Produksi Jagung
Produksi Ubi Kayu
Produksi Ubi Jalar
11515 24024 23398
10018 30009 53719
17674 31456 79441
698 5874 8884
4772 19603 11924 4764 4582 7276 12421 9695 8361 33905 25384 43410 10308 29900 8895 34282 478 615
136403 35048 21694 12661 20758 33285 22541 7436 12352 12256 16502 14719 10107 53431 9062 9249 2641 746
205658 98841 44613 31424 15064 59252 69109 32811 9844 19202 5992 50988 7340 155955 11507 14228 608 1122
24463 5901 3997 3174 1295 1513 7962 4271 2512 10880 572 11221 3706 22955 3696 5939 91 125
Lampiran 2 Indikator-Indikator Kerawanan Pangan
Kabupaten Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo Manggarai Timur
Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita 0.530 0.442 0.347
30.11 30.80 19.65
5.00 11.81 14.20
10.7 11.44 5.34
21.85 14.46 11.1
64.31 62.5 66.77
0.08 0.09 0.01
%Tanpa Akses ke sumber minum 3.63 8.50 6.58
0.228
27.19
15.63
2.86
21.29
66.29
0.06
21.55
0.312 0.866 0.780 0.452 0.447 0.598 1.123 0.731 0.748 0.386 0.394 0.344 0.241 0.736 0.751
21.54 14.70 20.08 25.39 9.12 12.70 20.53 11.44 21.72 31.26 19.39 32.27 28.28 12.08 24.65
8.98 17.84 26.62 9.72 7.00 8.61 19.50 9.57 11.11 2.78 25.42 30.23 8.33 8.00 27.14
19.38 3.47 15.75 12.97 11.03 7.75 4.57 1.76 22.88 8.76 31.54 12.08 5.05 4.87 21.8
14.75 16.43 9.7 11.3 12.49 11.96 7.39 4.11 8.55 11.43 7.23 17.12 26.25 5.62 9.02
67.93 64.75 68.92 68.07 68.71 68.22 67.58 70.13 67.81 66.61 66.09 61.22 61.42 66.59 66.55
0.13 0.10 0.01 0.10 0.11 0.16 0.05 0.15 0.04 0.08 0.05 0.04 0.04 0.10 0.02
3.73 5.40 3.00 1.74 0.42 4.73 1.53 0.77 4.53 1.80 5.29 2.33 11.88 0.67 6.20
%Tidak dilalui %Penduduk kendaraan Miskin roda 4
%RT tanpa Listrik
%Wanita Buta Huruf
Angka Harapan Hidup
%Bayi Lahir berat badan rendah
33
Sabu Raijua Kota Kupang
2.566 24.237
39.70 10.05
7.94 0.00
10.24 0.54
18.53 3.69
56.12 77.71
0.01 0.10
4.39 1.34
Lampiran 3 Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita NTT
Kabupaten
Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo
produksi Produksi Produksi Produksi Ketersediaan Jumlah ubi kayu Ubi Jalar Padi Produksi Produksi Ubi Produksi Pangan Per Penduduk setlah Setelah (Ton) Beras Jagung Kayu Ubi Kapita dikonversi dikonversi (Ton) (Ton) (Ton) Jalar 113189 11515 7254.45 10018 17674 5891.333 698 232.667 0.566 232237 24024 15135.12 30009 31456 10485.333 5874 1958.000 0.679 310573 23398 14740.74 53719 79441 26480.333 8884 2961.333 0.864 449881 4772 3006.36 136403 205658 68552.667 24463 8154.333 1.316 234349 19603 12349.89 35048 98841 32947.000 5901 1967.000 0.962 359266 11924 7512.12 21694 44613 14871.000 3997 1332.333 0.346 193785 4764 3001.32 12661 31424 10474.667 3174 1058.000 0.384 120160 4582 2886.66 20758 15064 5021.333 1295 431.667 0.663 237207 7276 4583.88 33285 59252 19750.667 1513 504.333 0.671 306269 12421 7825.23 22541 69109 23036.333 7962 2654.000 0.501 265761 9695 6107.85 7436 32811 10937.000 4271 1423.667 0.267 145210 8361 5267.43 12352 9844 3281.333 2512 837.333 0.410 298236 33905 21360.15 12256 19202 6400.667 10880 3626.667 0.401 122280 25384 15991.92 16502 5992 1997.333 572 190.667 0.777 226089 43410 27348.3 14719 50988 16996.000 11221 3740.333 0.761 63721 10308 6494.04 10107 7340 2446.667 3706 1235.333 0.872 290539 29900 18837 53431 155955 51985.000 22955 7651.667 1.244 132694 8895 5603.85 9062 11507 3835.667 3696 1232.000 0.407
Konsumsi Normatif Pangan Per Kapita 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
Rasio Konsumsi Normatif per Kapita 0.53 0.44 0.35 0.23 0.31 0.87 0.78 0.45 0.45 0.60 1.12 0.73 0.75 0.39 0.39 0.34 0.24 0.74
Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
257744 74403 342892
34282 478 615
21597.66 301.14 387.45
9249 2641 746
14228 608 1122
4742.667 202.667 374.000
5939 91 125
1979.667 30.333 41.667
0.399 0.117 0.012
0.3 0.3 0.3
Total
Peluang
0 2 6 6 3 6 3 1 3 4 3 2 3 2 1 1 0 2
0.00 0.29 0.86 0.86 0.43 0.86 0.43 0.14 0.43 0.57 0.43 0.29 0.43 0.29 0.14 0.14 0.00 0.29
Lampiran 4 Peluang Kejadian Banjir 2005-2011 Kabupaten Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo
2005 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2006 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0
2007 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
Tahun 2008 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1
2009 0 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0
2010 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1
2011 0 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0.75 2.57 24.24
35
Manggarai Timur Sabu Raijua Kota Kupang
0 0 0
0 0 0
0 0 0
1 0 1
0 0 1
0 0 0
0 0 1
2007 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
TAHUN 2008 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2009 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2010 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0
2011 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
1 0 3
0.14 0.00 0.43
Total
Peluang
1 2 0 1 0 2 0 0 0 1 0 0 3 0 0 1 0 0
0.14 0.29 0.00 0.14 0.00 0.29 0.00 0.00 0.00 0.14 0.00 0.00 0.43 0.00 0.00 0.14 0.00 0.00
Tabel 5 Peluang Kejadian Kekeringan 2005-2011 Kabupaten Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Tengah Sumba Barat Daya Nagekeo
2005 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2006 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Manggarai Timur Kota Kupang Sabu Raijua
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
1 0 0
1 0 0
0.14 0.00 0.00
37
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Lubuk Alung pada tanggal 28 Maret 1990 dari pasangan Syofyan dan Emi Sofia. Penulis merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN 46 Lubuk Alung dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Lubuk Alung dan melanjutkan di SMAN 1 Lubuk Alung. Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada program studi Meteorologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama menjalani masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himagreto pada tahun 2009 dan 2010. Pada tahun 2011, penulis diberi kesempatan magang di BMKG Tabing, Padang.