EVALUASI EKONOMI DAN SOSIAL UNIT PENGOLAHAN SAMPAH (UPS) KOTA DEPOK
Oleh : RAHMI SARI DEWI A14304054
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN RAHMI SARI DEWI. Evaluasi Ekonomi dan Sosial Unit Pengolahan Sampah (UPS) Kota Depok. (dibawah bimbingan YUSMAN SYAUKAT) Kebutuhan akan sistem pengelolaan sampah perkotaan membuat dalam beberapa tahun terakhir Pemerintah Daerah (Pemda) kota-kota besar di Indonesia mulai mencanangkan program pengelolaan sampah terpadu. Pemkot Depok menggulirkan program Sistem Pengolahan dan Pengelolaan Sampah Terpadu (SIPESAT) pada tahun 2006. Salah satu pendekatan program SIPESAT dalam mereduksi volume sampah adalah dengan membangun Unit Pengolahan Sampah (UPS) yang merupakan upaya mengubah paradigma pengelolaan sampah yang lama, yaitu kumpul-angkut-buang menjadi kumpul-olah-manfaat. SIPESAT diubah namanya menjadi UPS pada awal tahun 2008. Tujuan umum penelitian adalah untuk mengestimasi nilai manfaat ekonomisosial yang ditimbulkan oleh adanya UPS. Tujuan umum tersebut dicapai melalui tujuan-tujuan khusus, yaitu : 1) mengestimasi nilai ekonomi sampah yang dapat dihasilkan per-UPS dan Kota Depok jika sampah-sampah tersebut mendapat penanganan lebih lanjut yaitu melalui pemilahan sampah dan pengomposan sampah organik, 2) membandingkan antara manfaat dan biaya sistem pengelolaan sampah Kota Depok sistem UPS juga membandingkan dengan sistem pengelolaan sampah tanpa UPS, dan 3) mengevaluasi manfaat sosial keberadaan UPS berdasarkan persepsi warga sekitar, jumlah tenaga kerja yang dapat terserap, dan perubahan perilaku masyarakat dalam menangani sampah. Penelitian mengambil lokasi di pilot project UPS RW 11 Griya Tugu Asri (GTA), Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Lokasi tersebut ditentukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan keberadaan sistem baru yang terpadu dalam penanganan sampah untuk skala kota besar. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni-Juli 2008. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari survei pada responden di sekitar UPS RW 11. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber yang relevan, diantaranya buku referensi, laporan kegiatan, internet, serta informasi dari instansi terkait, seperti Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Kota Depok, Pengelola UPS, dan lain-lain. Data primer yang diambil dengan teknik panduan wawancara dan responden yang dipilih berdasarkan metode judgement/purposive sampling. Sampel penelitian berjumlah 32 orang. Potensi nilai ekonomi pengelolaan sampah dengan UPS yang sebenarnya ditunjukkan oleh nilai manfaat bersih yang dihasilkan per UPS dan Kota Depok. Total manfaat bersih (total net benefit) merupakan penjumlahan dari manfaat bersih kegiatan operasional UPS (operasional net benefit) ditambah biaya pengangkutan sampah yang dapat dihindarkan (avoided transportation cost). Analisis biaya-manfaat menggunakan parameter kelayakan suatu investasi dari aspek finansial (Gittinger, 1986), yaitu : 1) NPV; 2) Net B/C ratio; 3) IRR; dan 4) Payback Period. Persepsi responden dianalisis secara deskriptif berdasarkan hasil wawancara dan tabulasi deskriptif. Uji perubahan perilaku tersebut dilakukan dengan Uji nonparametrik dua sampel berhubungan McNemar. Perubahan perilaku responden dalam menangani sampah rumah tangganya dilihat dari perubahan perilaku responden antara sebelum dan sesudah adanya UPS di wilayah tempat tinggal
responden. Perilaku yang dinilai perubahannya adalah perilaku membuang sampah pada tempatnya, memilah sampah rumah tangga, menyediakan wadah atau tempat sampah khusus di rumah untuk memudahkan pemilahan, menggunakan kembali barang-barang yang masih bisa digunakan (reuse), meminimalkan penggunaan kantong plastik pada saat berbelanja misalnya dengan membawa tas belanja tersendiri (reduce), dan terdorong atau melakukan pengomposan sampah organik dari sampah rumah tangganya. UPS dengan volume sampah yang diolah sebesar 7,56 m3/hari mampu menghasilkan potensi nilai olahan sampah Rp 51.634.264 per tahun dan Rp 81.059.694.857 jika seluruh sampah domestik Kota Depok diolah lebih lanjut. Manfaat bersih pengolahan sampah Kota Depok, terdiri dari manfaat bersih operasional dan avoided transportation cost, yang dihasilkan mampu mencapai Rp 105.101.317.536 per tahun walaupun manfaat bersih dalam skala UPS bernilai negatif. Hal tersebut disebabkan tidak semua sampah domestik masyarakat Kota Depok dapat terlayani untuk diolah di UPS. Jika volume sampah yang diolah di UPS RW 11 tetap sebesar 7,56 m3/hari selama lima tahun umur proyek, maka sistem UPS tidak layak untuk dilanjutkan. Oleh karenanya, dibutuhkan peningkatan volume sampah yang diolah pada tahun ketiga sebesar 120 persen. Skenario pengembangan UPS dibuat berdasarkan dua tujuan yaitu pencapaian skala ekonomi dan maksimisasi kapasitas olah (30 m3/hari). Pemkot Depok berencana membangun 60 UPS, yang artinya mampu menyerap 840 orang tenaga kerja. Manfaat langsung yang paling banyak dirasakan oleh 50 persen responden adalah tidak terjadi penumpukan sampah. Dampak negatif yang dirasakan amat menganggu bagi 62,5 persen responden adalah timbulnya bau yang tidak sedap. Berdasarkan uji McNemar, maka perubahan perilaku yang nyata/signifikan adalah memilah sampah rumah tangga dan menyediakan wadah atau tempat sampah khusus di rumah untuk memudahkan pemilahan. Volume sampah yang diolah di UPS atau persentase hasil olahan sampah ditingkatkan agar program UPS dapat mencapai skala ekonomi. Pembangunan 60 UPS di seluruh wilayah Kota Depok hendaknya diteruskan oleh Pemkot Depok agar manfaat bersih pengolahan sampah sistem UPS dan peningkatan cakupan pelayanan sampah untuk wilayah Kota Depok dapat tercapai. Hasil olahan sampah harus memiliki pasar dan permintaan yang jelas sehingga UPS dapat membiayai kegiatan operasionalnya secara berkelanjutan. Sosialisasi keberadaan produk olahan sampah harus digalakkan. Pemkot dapat bermitra dengan lembaga keuangan yang juga peduli dengan isu lingkungan dan koperasi agar mendapat kemudahan akses pendanaan dan pemasaran. Pemkot perlu melakukan evaluasi pada UPS-UPS yang telah berjalan khususnya pada aspek dampak lingkungan agar penolakan masyarakat sekitar UPS dapat diminimalkan.
EVALUASI EKONOMI DAN SOSIAL UNIT PENGOLAHAN SAMPAH (UPS) KOTA DEPOK
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Rahmi Sari Dewi A14304054
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Evaluasi Ekonomi dan Sosial Unit Pengolahan Sampah (UPS) Kota Depok
Nama
: Rahmi Sari Dewi
NRP
: A14304054
Program Studi
: Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya (EPS)
Fakultas
: Pertanian
Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec NIP. 131 804 162
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI BERJUDUL EVALUASI EKONOMI DAN SOSIAL UNIT PENGOLAHAN SAMPAH (UPS) KOTA DEPOK ADALAH BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. SEMUA SUMBER DATA DAN INFORMASI YANG BERASAL ATAU DIKUTIP
DARI
KARYA
YANG DITERBITKAN
MAUPUN
TIDAK
DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DIBAGIAN AKHIR SKRIPSI.
Bogor, September 2008
Rahmi Sari Dewi A14304054
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada hari Minggu tanggal 9 November 1986 sebagai putri pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak H. Tukul Widyanto, M.Pi dan Ibu Hj. Gusni Lafita. Penulis mempunyai seorang adik laki-laki bernama Andi Yudho. Pada tahun 1992, penulis memulai pendidikan dasar di SDN Beji Timur 2 Depok kemudian dilanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 2 Depok dan lulus pada tahun 2001. Pendidikan menengah atas ditempuh Penulis di SMU Negeri 1 Depok dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, Penulis menerima Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Ekonomi Pertanian Dan Sumberdaya (EPS), Fakultas Pertanian. Semasa kuliah Penulis aktif pada berbagai kegiatan dan organisasi kampus. Penulis pernah menjadi Sekretaris Departemen Informasi dan Komunikasi (Infokom) Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) tahun 2004-2005, Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (DPM KM) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (MPM KM)
tahun 2005-2006, dan Wakil Bendahara I (Kabiro
Keuangan Kementerian Administrasi dan Keuangan) Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) tahun 2006-2007. Penulis juga mengikuti dua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yaitu Perguruan Silat (PS) Merpati Putih 20042006 dan Association of Students In Agriculture and Related Sciences Local Commitee IPB (IAAS LC IPB) tahun 2007 sebagai Anggota Muda. Pada bidang akademik, Penulis pernah menjadi Finalis Program Presentasi Pemikiran Kritis Mahasiswa (PPKM) tingkat Nasional Bidang Polkam tahun 2006 dan lolos pendanaan pada Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) tahun 2006 serta mengikuti Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) bidang lingkungan hidup dan sosial. Penulis juga mendapat pengalaman berharga dengan menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Ekonomi Umum selama 3 semester (20062007).
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillahi Rabbil alamin, segala puja dan puji syukur hanya pantas Penulis panjatkan kepada ALLAH SWT, Tuhan semesta alam, Yang Memasukkan malam ke siang dan Memasukkan siang ke malam, Yang Mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan Mengeluarkan yang mati dari yang hidup, atas segala rahmat dan nikmat yang tidak sanggup Penulis hitung, ternasuknya rampung pengerjaan skripsi ini dengan segala kemudahan diberikanNya. Shalawat serta Salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, Suri tauladan dan Pembawa risalah Islam. Selesainya skripsi ini tentunya tidak lepas dari dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, dalam lembaran ini, Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Keluargaku, Mama dan Ayah tersayang, segala kasih sayang, pengertian, dan pembelajaran yang kalian berikan tidak akan pernah sanggup Sari balas,,Ya ALLAH jadikanlah hamba-Mu ini seorang anak yang sholihah, anak yang menjadi amal orangtuaku di akhirat nanti, juga untuk de Andi, atas kesabaran dan layanan antar-jemputnya..(^_^). 2. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec atas semua masukan, bimbingan, dan ilmu yang telah diberikan selama kuliah dan terutama selama pengerjaan skripsi. 3. Dr. Ahyar Ismail, M.Agr dan A. Faroby Falatehan, SP. ME yang telah bersedia menjadi dosen penguji utama dan wakil departemen. 4. Seluruh guru-guruku di TK, SDN Beji Timur 2, SLTPN 2 Depok, dan SMUN 1 Depok, serta dosen-dosen Departemen Sosial Ekonomi (Sosek) Pertanian khususnya dosen PS EPS atas didikan dan ilmu pengetahuan yang tak ternilai. 5. Aparat Pemerintah Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Kota Depok : Pak Indra, Mbak Harsy, Mbak Diah, Mbak Eva, Mbak Eka, Pak Mulyo atas data, informasi, dan penerimaan yang sangat hangat, serta Kesbanglinmas Kota Depok atas kemudahan perizinan penelitian. 6. Pak Singgih, Pak Hendra, Pengelola (Pak Arif dan Pak Rohkip) serta seluruh karyawan UPS RW 11 atas informasi dan keramahtamahan yang diberikan selama pengambilan data.
7. Ibu Eka Intan Kumala Putri, Ibu Yetty Lis, Mbak Pini, Mbak Sofi, Pak Husein, Pak Basir, dan Mbak Santi atas perhatian dan bantuan yang diberikan. 8. Warga Perumahan Griya Tugu Asri (GTA), Cimanggis khususnya Ketua RW Bapak Azwin Marlin dan para responden atas kesediaan waktu, masukan, dan keterbukaan informasi yang diberikan selama wawancara. 9. Sahabat-sahabatku yang selama empat tahun amat sabar menghadapi diriku : Aghiez, Teteh, dan teman-teman seperguruan . You show me the true meaning of friendship and also ukhuwah . Sahabat-sahabat Depok (I miss u guys..) 10. My memorable and unforgetable friends in EPS 41 for the amazing four years. Teman sebimbingan, Wulan dan Zae, terima kasih untuk rasa seperjuangan dan bantuan yang diberikan. 11. My 2 best team-work ever : BEM TPB 41 (Nanien, Fitri, Novera, Bena, Mbak Annis, Ibnu, Rudy, Aries, dan Gema) dan KKP Desa Pasanggrahan (Efie, Ratih, Desie, Dede, dan Yudhi), Working with all of you nothing but joys. 12. Kakak-kakak BEM KM 2006-2007 (Mbak Pipiet, Ka Erick, Ka Andi, Ka Jayadin, Mbak Iiq, dkk), DPM/MPM KM 2005-2006 (Mbak Dee, Mbak Ina, Ka Cher, Ka Upik, dkk), EPS 40 (Mbak Tunjung, Ka Eka, Mas Iwan, Ka Ok, Mbak Ima, Mbak Hanum, Mas Kris, dkk) untuk semua pengalaman organisasi, bimbingan, dan perhatiannya. 13. The Windies : Lesta, Ika, Dewi, Endang, Ivon, mbak-mbakku : Mbak Beti, Mbak Lina, Mbak Prima, Mbak Eka, semuanya,,, it feels like home. 14. Semua pihak yang telah membantu, yang pernah hadir, dan tidak bisa disebutkan satu persatu. Thank you for helping me. Semoga ALLAH SWT membalas semua kebaikan Bapak, Ibu, Kakak, dan rekan-rekan semua dengan balasan kebaikan yang jauh lebih baik. Amin.
Bogor, September 2008
Rahmi Sari Dewi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur atas segala nikmat dan rahmat yang telah diberikan Allah SWT kepada seluruh makhluk-Nya khususnya seluruh umat manusia sebagai Khalifah di bumi. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan ajaran tauhid dan membawa umat manusia dari zaman kegelapan menjadi zaman yang terang-benderang. Skripsi yang berjudul “Evaluasi Ekonomi dan Sosial Unit Pengolahan Sampah (UPS) Kota Depok” dibuat dalam rangka memenuhi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Penulis berterima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, ilmu, dan wawasan yang diberikan selama proses pembuatan skripsi. Dalam pembahasan skripsi, penulis meneliti mengenai manfaat dari adanya sistem pengelolaan dan pengolahan sampah yang baru di Kota Depok dari segi ekonomi dan sosial. Dari penelitian tersebut dapat diketahui seberapa besar manfaat ekonomi yang timbul dari sistem pengolahan baru tersebut dan dampak terhadap masyarakat disekitarnya. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, saran amat penulis harapkan demi perbaikan kedepan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
Bogor, September 2008
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................................................... i Daftar Isi.............................................................................................................. ii Daftar Tabel........................................................................................................ iv Daftar Gambar .................................................................................................... vi Daftar Lampiran................................................................................................. vii Bab I
Pendahuluan .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 5 1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 11 1.4 Manfaat Penelitian......................................................................... 11 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 11
Bab II
Tinjauan Pustaka .................................................................................. 12 2.1 Tinjauan Teoritis ............................................................................ 12 2.1.1 Economy of Waste Management ........................................... 12 2.1.2 Definisi, Penggolongan, dan Komponen Sampah .................. 14 2.1.3 Pengolahan Sampah .............................................................. 16 2.1.4 Pengelolaan Sampah ............................................................. 19 2.2 Pengelolaan Sampah : Kasus Pengelolaan Sampah di DKI Jakarta .. 23 2.3 Penelitian Terdahulu ....................................................................... 25
Bab III Kerangka Pemikiran ............................................................................. 30 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .......................................................... 30 3.1.1 Interaksi Antara Ekonomi dan Lingkungan ........................... 30 3.1.2 Economy of Waste Management ........................................... 32 3.1.3 Analisis Biaya Manfaat (Benefit Cost Analysis/BCA) ........... 35 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .................................................... 38 3.3 Hipotesis Operasional ..................................................................... 39 Bab IV Metode Penelitian................................................................................. 41 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 41 4.2 Jenis dan Sumber Data ................................................................... 41 4.3 Teknik Pengambilan dan Pengumpulan Data .................................. 43 4.4 Teknik Analisis Data ...................................................................... 44 4.4.1 Potensi Nilai Ekonomi Sampah Kota Depok ......................... 44 4.4.2 Perbandingan Biaya-Manfaat Proyek UPS dan Perbandingan Biaya Pengelolaan Sampah Tanpa UPS .......... 46 4.4.3 Analisis Deskriptif Manfaat Sosial Proyek UPS .................... 49 4.5 Batasan Penelitian .......................................................................... 51
ii
Bab V Gambaran Umum Penelitian................................................................. 52 5.1 Kondisi Geografis Kota Depok ....................................................... 52 5.2 Potensi Ekonomi Daerah ................................................................ 54 5.3 Sistem Pengelolaan Persampahan Kota Depok................................ 56 5.4 Unit Pengolahan Sampah (UPS) ..................................................... 60 5.5 Karakteristik Demografi Responden ............................................... 64 Bab VI Evaluasi Ekonomi dan Sosial Keberadaan Unit Pengolahan Sampah (UPS) Kota Depok .................................................................. 66 6.1 Potensi Nilai Ekonomi Sampah Kota Depok ................................... 66 6.2 Perbandingan Manfaat dan Biaya Sistem Pengelolaan Sampah Kota Depok dengan dan tanpa Unit Pengelolaan Sampah (UPS) .... 74 6.2.1 Analisis Biaya-Manfaat UPS RW 11 Kelurahan Tugu .......... 74 6.2.2 Analisis Biaya-Manfaat UPS ................................................ 76 6.2.3 Proyeksi Pengembangan Proyek UPS ................................... 80 6.2.4 Perbandingan Sistem UPS dan Sistem Pengolahan Sampah Tanpa UPS ........................................................................... 84 6.3 Tinjauan Sosial Keberadaan Unit Pengelolaan Sampah (UPS) ........ 85 6.3.1 Persepsi Masyarakat Sekitar UPS RW 11.............................. 85 6.3.2 Perubahan Perilaku Responden Dalam Menangani Sampah .. 90 Bab VII Penutup ................................................................................................ 93 7.1 Kesimpulan .................................................................................... 93 7.2 Saran ............................................................................................. 94 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 95 LAMPIRAN
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia Tahun 2001 ........................ 2
2.
Komponen Pencemar Daratan ................................................................... 16
3.
Limbah Padat dan Pemanfaatannya Kembali............................................. 18
4.
Jenis dan Sumber Data Penelitian ............................................................. 43
5 . Tabel 5. Konsep Alat Analisis Penelitian .................................................. 45 6.
Skenario Analisis Biaya-Manfaat UPS ...................................................... 49
7.
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2007 ..................................................... 53
8.
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Depok dan Propinsi Jawa Barat Tahun 2001-2006 ............................................................................ 54
9.
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Depok Berdasarkan Kontribusi Sektor Ekonomi Tahun 2001-2006 ............................................................ 55
10. PDRB Per Kapita Kota Depok Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2001-2006 .................................................... 56 11. Tingkat pelayanan kebersihan kota Depok ................................................ 56 12. Jumlah Anggaran Total dan Anggaran Kebersihan Kota Depok ................ 57 13. Timbulan dan Jumlah Sampah yang Terangkut Pada Tahun 2006/2007 .... 57 14. Karakteristik Sampah Kota Depok ............................................................ 58 15. Penanganan Sampah Kota Depok.............................................................. 58 16. TPA dan Fasilitas Pengelolaan Persampahan Lainnya yang Digunakan Di Kota Depok.......................................................................................... 60 17. Persebaran Karakteristik Demografi Responden........................................ 65 18. Potensi Nilai Ekonomi Olahan Sampah UPS RW 11 Kelurahan Tugu....... 67 19. Potensi Nilai Ekonomi Olahan Sampah Kota Depok ................................. 72 20. Manfaat Bersih (Net Benefit) Proses Pengolahan Sampah dengan UPS per Tahun (Kondisi Riil UPS RW 11 7,56 m3/hari) ................................... 73 21. Manfaat Bersih (Net Benefit) UPS Berdasarkan Empat Skenario Pencapaian Skala Ekonomi dan Maksimisasi Kapasitas Olah .................... 73 22. Inventaris Satu Unit UPS .......................................................................... 74
iv
23. Analisis Manfaat-Biaya UPS RW 11 Kelurahan Tugu (Skenario 1) .......... 75 24. Hasil Analisis Biaya-Manfaat Pada Lima Skenario Pengembangan UPS ... 77 25. Analisis Manfaat-Biaya UPS Skenario Pencapaian Skala Ekonomi ........... 78 26. Analisis Manfaat-Biaya UPS Skenario Maksimisasi Volume Olah ............ 79 27. Proyeksi Pengembangan UPS Kondisi Riil UPS RW 11 (Skenario 1) ....... 82 28. Proyeksi Pengembangan UPS Skenario 2a (Volume sampah olah 28,5 m3/hari, 15 persen kompos, dan 1persen plastik pilahan) ........................... 82 29. Proyeksi Pengembangan UPS Skenario 2b (Volume sampah olah 16,5 m3/hari, 31,7 persen kompos, dan 2,5 persen plastik pilahan) .................... 82 30. Proyeksi Pengembangan UPS Skenario 3a (Volume sampah olah 30 m3/hari, 15 persen kompos, dan 1persen plastik pilahan) ........................... 83 31. Proyeksi Pengembangan UPS Skenario 3b (Volume sampah olah 30 m3/hari, 31,7 persen kompos, dan 2,5 persen plastik pilahan) .................... 83 32. Perbandingan Manfaat dan Biaya Antara Sistem UPS dan Sistem Pengolahan Sampah Tanpa UPS ............................................................... 84 33. Pengetahuan Responden tentang Keberadaan UPS .................................... 86 34. Persepsi Manfaat UPS............................................................................... 87 35. Pengetahuan Responden tentang Kegiatan Operasional UPS ...................... 88 36. Hasil Analisis Data Perubahan Perilaku Responden ................................... 91
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.
Halaman
Diagram Penerapan Teknologi Pengolahan Sampah Perkotaan dan Pemanfaatannya ........................................................................................ 21
2.
Sistem Ekonomi dan Lingkungan.............................................................. 31
3.
Tingkat Pencemaran yang Efisien ............................................................. 33
4.
Diagram Alir Kerja Operasional................................................................ 40
5.
Pendapat Responden Tentang Manfaat Positif UPS................................... 87
6.
Pendapat Responden Tentang Dampak Negatif UPS ................................. 89
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Hasil Uji McNemar ................................................................................... 98
2.
Cash Flow Pengelolaan Sampah Unit Pengolahan Sampah (UPS) RW 11 Kondisi Riil (Volume Sampah yang Diolah 7,56 m3/hari dengan Persentase Hasil Olahan 15 Persen Kompos – 1 Persen Plastik Pilahan).. 100
3.
Cash Flow Pengelolaan Sampah Unit Pengolahan Sampah (UPS) RW 11 dengan Skenario Kenaikan Produksi 120 persen (16,63 m3/hari) pada tahun ketiga dan Persentase Hasil Olahan 15 Persen Kompos – 1 Persen Plastik Pilahan) ....................................................................................... 102
4.
Cash Flow Pengelolaan Sampah Unit Pengolahan Sampah (UPS) Skenario 2a (Volume sampah olah 28,5 m3/hari, 15 persen kompos, dan 1persen plastik pilahan) .......................................................................... 104
5.
Cash Flow Pengelolaan Sampah Unit Pengolahan Sampah (UPS) Skenario 2b (Volume sampah olah 16,5 m3/hari, 31,7 persen kompos, dan 2,5 persen plastik pilahan) ................................................................ 106
6.
Cash Flow Pengelolaan Sampah Unit Pengolahan Sampah (UPS) Skenario 3a (Volume sampah olah 30 m3/hari, 15 persen kompos, dan 1persen plastik pilahan) .......................................................................... 108
7.
Cash Flow Pengelolaan Sampah Unit Pengolahan Sampah (UPS) Skenario 3b (Volume sampah olah 30 m3/hari, 31,7 persen kompos, dan 2,5 persen plastik pilahan)....................................................................... 110
8.
Alur Pengolahan Sampah UPS RW 11 .................................................... 112
9.
Foto-foto Kegiatan UPS RW 11 Kelurahan Tugu Kota Depok ................ 114
vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sampah perkotaan merupakan salah satu permasalahan kompleks yang dihadapi negara-negara berkembang. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas pembangunan dan pertumbuhan penduduk, hampir setiap ibukota dan kota besar mengalami masalah pengelolaan sampah. Kecenderungan komposisi sampah yang bersifat organik dan meningkatnya produksi sampah pada negara berkembang karena jumlah limbah (sampah) hasil kegiatan manusia selalu bertambah dari hari ke hari, termasuk Indonesia, akan menimbulkan dampak pada peningkatan kebutuhan lahan untuk mengolah sampah seperti untuk Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Hal tersebut akan sulit dipenuhi karena kebutuhan lahan untuk keperluan lainnya seperti pemukiman juga akan meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang kian mendesak kota-kota di Indonesia, sebab apabila tidak dilakukan penanganan yang baik akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan yang merugikan sehingga mencemari lingkungan baik terhadap tanah, air, dan udara. Keterbatasan lainnya dalam hal kurangnya alat angkut sampah dan saranasarana pendukung akan berdampak pada pelayanan pengolahan sampah. Persentase penduduk yang pengolahan sampahnya dapat dilayani masih minim seperti yang tertera pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa rata-rata pelayanan sampah di Indonesia baru mampu melayani 32,1 persen penduduk Indonesia. Pada wilayah Jawa Barat, tingkat pelayanan sampah sangat rendah
1
yaitu sebesar 18,9 persen sedangkan untuk wilayah Depok, tingkat pelayanan persampahan tahun 2006 baru mencapai 34,03 persen (Ringkasan Eksekutif Kajian Pengelolaan Persampahan Kota Depok 2006). Tabel 1. Cakupan Pelayanan Persampahan di Indonesia Tahun 2001 No. A 1 2 3 4 5 6 7 8 B 1 2 3 4 5 6 C 1 2 3 4 D 1 2 3 4 E 1 2 3 4 5 I II
Propinsi Sumatera NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa-Bali DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Sulawesi Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Lainnya Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Wilayah Barat Wilayah Timur INDONESIA
Penduduk Kota (Jiwa) 17.884.336 1.636.288 6.940.581 1.810.884 1.432.729 1.214.291 2.380.358 394.367 2.074.838 75.049.732 12.506.352 32.902.780 12.221.214 856.319 14.597.730 1.965.337 5.259.688 1.016.552 1.012.156 1.883.453 1.347.527 6.103.336 1.548.496 635.055 3.544.560 375.225 5.115.469 2.721.435 1.074.866 506.772 176.298 636.098 92.934.068 16.478.493 109.412.561
Jumlah Cakupan Pelayanan Kota Jumlah (jiwa) Proporsi (%) 100 8.218.197 46,0 13 877.443 53,6 26 2.208.142 31,8 13 1.330.360 73,5 11 1.043.214 72,8 11 463.028 38,1 13 835.891 35,1 4 275.418 69,8 9 1.184.701 57,1 148 21.294.350 28,4 1 7.567.450 60,5 48 6.208.875 18,9 37 2.468.305 20,2 6 386.248 45,1 45 4.020.317 27,5 11 643.155 32,7 45 1.806.718 34,4 12 517.094 50,9 14 183.124 18,1 8 556.483 29,5 11 550.017 40,8 62 2.228.856 36,5 11 739.880 47,8 15 167.592 26,4 28 1.128.703 31,8 8 192.681 51,4 29 1.582.065 30,9 6 193.850 7,1 6 593.116 55,2 5 326.158 64,4 2 40.293 22,9 10 428.648 67,4 248 29.512.547 31,8 136 5.617.639 34,1 384 35.130.186 32,1
Sumber: Wibowo dan Djajawinata (2004)
2
Penanganan dan pengendalian akan menjadi semakin kompleks dan rumit dengan semakin kompleksnya jenis maupun komposisi dari sampah sejalan dengan semakin majunya kebudayaan. Oleh karena itu, penanganan sampah di perkotaan relatif lebih sulit dibanding sampah di desa-desa, maka perlu pemikiran lebih lanjut bagaimana mengurangi jumlah limbah padat dengan memanfaatkan kembali limbah padat untuk kepentingan manusia melalui proses daur-ulang, sekaligus sebagai usaha untuk mengurangi pencemaran daratan. Limbah padat yang semula tidak berharga, setelah dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang menjadi bernilai ekonomis. Berdasarkan kebutuhan akan sistem pengelolaan sampah perkotaan tersebut, maka beberapa tahun terakhir Pemerintah Daerah (Pemda) kota-kota besar di Indonesia mulai mencanangkan program pengelolaan sampah terpadu yang dinilai dapat mengatasi permasalahan sampah yang semakin kompleks. Keberadaan program pengelolaan sampah yang terpadu tidak hanya menyangkut masalah kebersihan dan lingkungan saja, namun juga menyimpan potensi manfaat ekonomi dan sosial. Masuknya unsur teknologi, SDM, sistem, hukum, sosial, dan dana dalam suatu program pengelolaan sampah, akan menjadikan sampah tidak lagi diletakkan sebagai sumber masalah, tetapi sebaliknya, dipandang sebagai sumber daya yang dapat diolah dan dikelola untuk memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Manfaat tersebut antara lain adalah menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan produk bernilai jual. Menurut penelitian Oswari et al. (2006), potensi sampah khususnya sampah rumah tangga di Kota Depok sangat besar yaitu berjumlah 69,34 ton sampah organik dan 144,15 ton sampah anorganik per sehari. Nilai ekonomis
3
sampah dengan perkiraan harga lapak adalah Rp 187.951.800 setiap hari. Perkiraan nilai sampah tersebut didapat dengan melakukan survei terhadap sepuluh keluarga yang dipilih secara acak dan mewakili enam kecamatan Kota Depok, kemudian sampah yang ada ditimbang jumlah dan komposisi sampah. Potensi nilai ekonomis tersebut merupakan potensi penerimaan yang tidak dapat dikesampingkan dalam upaya menciptakan keberlanjutan program pengelolaan sampah yang terpadu. Selain itu, untuk mengolah sampah tersebut dibutuhkan sejumlah tenaga kerja sehingga nantinya keberadaan program pengolahan sampah akan membuka lapangan kerja khususnya bagi warga di sekitar lokasi pengolahan. Oleh karenanya, dengan melihat potensi tersebut, Pemkot Depok telah menetapkan pengelolaan persampahan menjadi salah satu program utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang diajukan pada tahun 2006.3 Predikat sebagai salah satu kota metropolitan terkotor dalam Penilaian Adipura tahun 2005, menjadikan Pemkot Depok berupaya serius untuk segera menangani masalah pengelolaan sampah di wilayah Depok. Pertimbangan lainnya adalah kondisi pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Kota Depok yaitu TPA Cipayung yang mulai mendapat protes warga sekitarnya sehingga perlu diambil tindakan agar volume sampah yang dibuang ke TPA tidak terus menumpuk dan pengelolaannya lebih ramah lingkungan. Implementasi pengelolaan dan pengolahan sampah yang dicanangkan Pemkot Depok dilakukan dengan menggulirkan program Sistem Pengolahan dan Pengelolaan Sampah Terpadu (SIPESAT). Program alternatif ini dilaksanakan untuk mengatasi masalah persampahan yang ada di wilayah Depok dengan kerja 3
Oktamanjaya Wiguna. ’Depok, Tangerang dan Palembang, Kota Terkotor”. 17 Desember 2005. http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/12/17/brk,20051217-70764,id.html
4
sama antara pemerintah kota, swasta, dan masyarakat yang sistem pengolahannya dilakukan di setiap lingkungan. Salah satu pendekatan program SIPESAT dalam mereduksi volume sampah adalah dengan membangun Unit Pengolahan Sampah (UPS) yang merupakan upaya mengubah paradigma pengelolaan sampah yang lama, yaitu kumpul-angkut-buang menjadi kumpul-olah-manfaat. Pilot Project UPS yang berada di RW 11 Kelurahan Tugu kini sudah beroperasi selama hampir dua tahun dan telah mempekerjakan sekitar 14 orang. Oleh karena itu, manfaat dari pelaksanaan program UPS, baik dari segi ekonomi maupun sosial, menjadi hal yang menarik untuk diteliti.
1.2 Perumusan Masalah Menurut Soemarwoto (2004), di dalam alam, sering juga dengan bantuan manusia, terdapat mekanisme untuk membersihkan sampah. Apabila kepadatan penduduk tinggi, kemampuan alam untuk mengolah sampah dan membersihkan lingkungan tidak lagi seimbang dengan jumlah sampah yang terproduksi sehingga terjadilah penumpukan sampah. Pencemaran paling utama di Indonesia adalah pencemaran oleh limbah domestik oleh karena luasnya daerah pencemaran dan besarnya jumlah korban. Oleh karenanya penanggulangannya harus diberi prioritas utama. Berkurangnya kemampuan alam dalam mengolah sampah akibatnya besarnya jumlah sampah yang dihasilkan warga tersebutlah yang menjadi pokok permasalahan pengelolaan sampah dewasa ini. Proses pembangunan yang cepat telah mengakibatkan beban Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah menjadi semakin berat. Beban TPA semakin berat dengan keterbatasan sarana dan
5
prasarana pengolahan mengakibatkan munculnya konflik antara TPA dan masyarakat sekitar seperti kasus Pemprov Jakarta (TPA Bantar Gebang), Surabaya (TPA Seputih), dan Bandung (TPA Leuwigajah). Sistem pengumpulan sampah yang tidak tuntas, kurangnya alat angkut sampah dan fasilitas pendukung lainnya serta terbatasnya kapasitas TPA menjadi masalah yang umum dijumpai (Pramono, n.d.). Permasalahan sampah bukan hanya masalah yang bersifat teknis namun juga menyangkut aspek lainnya seperti aspek sosial-budaya. Pandangan masyarakat di negara-negara berkembang khususnya masih menganggap sampah sebagai barang yang tidak bernilai sama sekali (Pramono, n.d.). Pandangan tersebut mempengaruhi masyarakat dalam cara membuang sampah sehingga tidak ada upaya masyarakat untuk memisahkan antara sampah organik dan non-organik. Berdasarkan penelitian BPPT, komponen sampah yang mempunyai nilai tinggi untuk dimanfaatkan kembali adalah sampah kertas, logam dan gelas (Oswari et al., 2006). Selanjutnya dinyatakan, program daur ulang di Indonesia yang telah dilaksanakan sejak tahun 1986, pelaksanaannya baru mencapai 1,8 persen. Fakta tersebut menunjukkan ketidakpedulian masyarakat pada masalah sampah akan menyulitkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan proses daur-ulang sehingga potensi ekonomi sampah daur-ulang banyak yang terabaikan dan hanya menambah volume timbunan sampah di TPA. Kerugian-kerugian akibat mengabaikan masalah pengelolaan sampah tersebut telah dirasakan secara langsung oleh Pemkot maupun masyarakat Depok khususnya masyarakat yang berada di sekitar TPA Cipayung, Depok. Berdasarkan Ringkasan Eksekutif Kajian Pengelolaan Persampahan Kota Depok tahun 2006,
6
jika timbulan sampah yang dihasilkan warga Depok sebesar 0,00265 ltr/org/hari, maka total timbulan sampah yang dihasilkan 3.764 m3/hari dengan jumlah penduduk 1.420.480 jiwa, sedangkan sampah yang terangkut sebanyak 1281 m3/hari dan sampah yang tidak terangkut sebanyak 2.483 m3/hari. Hingga awal tahun 2008, Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) hanya memiliki truk pengangkut sampah sebanyak 52 kendaraan,4 sehingga pelayanan pengangkutan sampah belum optimal dan volume sampah di TPA akan terus bertambah apabila tidak dilakukan tindakan. Selain itu, predikat Depok sebagai Kota terkotor juga menimbulkan citra buruk bagi Pemkot Depok dan memacu aparat pemerintah untuk lebih serius dalam menangani masalah kebersihan kota. Bagi masyarakat sekitar TPA Cipayung, dampak langsung yang dirasakan adalah masalah timbunan sampah yang terus meningkat akibat sistem pengolahan sampah yang buruk hingga menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan. Oleh karena itu, Pemkot Depok mencanangkan program Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu (SIPESAT) yang dimulai dengan pelaksanaan pilot project-nya di RW 11 Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis Depok. Inti dari SIPESAT adalah pendekatan pengelolaan sampah dengan skala kawasan melalui pembangunan dan pengoperasian Unit Pengolahan Sampah (UPS) yang menerapkan prinsip 4R-P yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur-ulang), replace (mengganti), participation (pelibatan masyarakat). Pada awal tahun 2008, nama SIPESAT diganti menjadi Unit
4
Monitor Depok. ’Sampah Masalah Besar Depok’. http://www.monitordepok.com/news/berita-utama/17902.html.’
28
Februari
2008.
7
Pengolahan Sampah (UPS) karena pertimbangan spesifikasi ruang lingkup pelaksanaan program dan pertimbangan lainnya. Rangkaian pengolahan sampah UPS diawali dari pengumpulan sampah tiap rumah secara individual (door to door) maupun komunal oleh warga masyarakat, pemulung, dan petugas UPS. Bagi pemulung, apabila bersedia menjadi tenaga kerja di UPS maka akan direkrut dan diupah secara rutin, sedangkan apabila tidak bersedia, maka masih tetap bisa menjadi pemulung, tetapi tidak diperkenankan untuk mengambil bahan daur ulang atau hasil pilahan sampah di dalam UPS. Sebagaimana yang disampaikan Walikota Depok, untuk manfaat ekonomi, selain manfaat langsung berupa produk olahan sampah bernilai ekonomi, SIPESAT juga diharapkan memberikan manfaat secara tidak langsung, antara lain mengurangi ketergantungan pada TPA secara bertahap karena sampah diolah langsung pada sumbernya, mampu melibatkan masyarakat menjadi tenaga kerja UPS, mengurangi biaya pengolahan dan pengelolaan sampah kota, meningkatnya peran aktif masyarakat dalam mengolah sampah, serta meningkatnya kesadaran masyarakat tentang manfaat daur ulang.5 Sejalan dengan konsep pengelolaan sampah terpadu Kota Depok yang terdiri dari tiga pendekatan yaitu pendekatan skala TPA, skala kawasan (UPS), dan skala rumah tangga, maka peran masyarakat juga amat penting dalam implementasi program di lapangan. Peran serta masyarakat dibutuhkan dalam mengolah sampah rumah tangga secara mandiri serta melaksanakan pengelolaan UPS di wilayah masing-masing. Dorongan untuk melakukan kegiatan pengolahan 5
Nur Mahmudi Isma’il. “Sipesat, Cara Depok Menuju Bersih”. Rabu, 14 Juni 2006. Kompas.http://www.pks-anz.org/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid= =0&thold=0
8
dan pengelolaan sampah pada masyarakat didasarkan pada incentive mechanism principle yaitu masyarakat yang terlibat akan mendapatkan insentif dari aktivitas tersebut. Apakah keberadaan UPS menimbulkan insentif kepada masyarakat untuk menangani sampah dengan cara berbeda dan mendapatkan respons positif dari masyarakat merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Masalah teknis lain yang sering muncul dalam penanganan sampah kota selain terbatasnya fasilitas adalah masalah biaya operasional yang tinggi dan semakin sulitnya ruang yang pantas untuk pembuangan. Sebagai akibat biaya operasional yang tinggi, kebanyakan kota-kota di Indonesia hanya mampu mengumpulkan dan membuang sekitar 60 persen dari seluruh produksi sampahnya (Daniel et al. dalam Tiwow et al., 2003). Masalah biaya tersebut juga terjadi pada pengelolaan SIPESAT. Harga satu unit UPS Rp 600 juta, sedangkan biaya operasional per tahun Rp 290 juta sehingga dibutuhkan dana Rp 890 juta dengan kapasitas satu unit UPS 30 m3 per hari. Pembiayaan SIPESAT berasal dari APBD Depok dengan melibatkan swadaya masyarakat. Sebelum tahun 2009, ditargetkan pembiayaan SIPESAT dari pendanaan APBD dapat membiayai 55 unit. UPS RW 11 sebagai objek penelitian merupakan pilot project program SIPESAT yang mulai dipersiapkan sejak tahun 2006 dan berhasil beroperasi hingga saat ini (Juni 2008). Sejak beberapa bulan terakhir (Februari/Maret 2008), timbul pro dan kontra di masyarakat sekitar UPS RW 11 tentang dampak yang ditimbulkan UPS. Hal tersebut terutama disebabkan timbulnya bau yang tidak sedap dari lokasi UPS. Selain permasalahan tersebut, kompos olahan UPS dan plastik hasil pilahan belum mempunyai saluran
9
pemasaran yang jelas sehingga hasil penjualannya belum mampu memberikan dana yang siginifikan bagi pelaksanaan operasional UPS. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah : 1. Seberapa besar manfaat ekonomi sampah domestik Kota Depok yang dapat dihasilkan UPS jika mendapat penanganan lebih lanjut? 2. Bagaimana perbandingan manfaat dan biaya pengelolaan sampah Kota Depok sistem UPS, serta bagaimana perbandingan biayanya dengan biaya sistem pengelolaan sampah tanpa UPS? 3. Bagaimana dampak sosial yang dirasakan masyarakat atas keberadaan UPS?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengestimasi nilai manfaat ekonomi-sosial yang ditimbulkan oleh adanya UPS. Tujuan umum tersebut dicapai melalui tujuan-tujuan khusus, yaitu sebagai berikut : 1. Mengestimasi nilai ekonomi sampah domestik Kota Depok yang dapat dihasilkan UPS jika sampah-sampah tersebut mendapat penanganan lebih lanjut yaitu melalui pemilahan sampah dan pengomposan sampah organik. 2. Membandingkan manfaat dan biaya pengelolaan sampah Kota Depok sistem UPS, serta memperbandingkan biayanya dengan biaya sistem pengelolaan sampah tanpa UPS. 3. Mengevaluasi dampak sosial keberadaan UPS, yang bersifat positif maupun negatif, berdasarkan persepsi warga sekitar, jumlah tenaga kerja yang dapat terserap, dan perubahan perilaku masyarakat dalam menangani sampah.
10
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dan sumber rujukan studi mengenai sistem pengolahan dan pengelolaan sampah perkotaan khususnya dari sudut pandang ekonomi. Di samping itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana dan rekomendasi mengenai pentingnya masalah pengolahan sampah yang terkait erat dengan kelestarian kesehatan dan lingkungan serta pembangunan berwawasan lingkungan kepada para pelaku industri, pemerintah daerah, serta masyarakat luas. Permasalahan sampah harus ditangani dengan pendekatan yang terpadu karena tidak hanya menyangkut masalah teknis namun juga sosial-budaya. Terakhir, dapat berguna bagi peneliti sebagai media pembelajaran dan penerapan ilmu yang didapat selama masa perkuliahan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Sistem UPS dilakukan dengan pendekatan skala kawasan yang merupakan upaya mengubah paradigma pengelolaan sampah yang lama, yaitu kumpulangkut-buang menjadi kumpul-olah-manfaat. Penelitian ini tidak meneliti kelayakan dan manfaat dari seluruh pendekatan pengelolaan sampah Kota Depok (pendekatan TPA dan masyarakat), namun fokus pada pendekatan skala UPS. Segi ekonomi yang diteliti tidak termasuk dampak ekonomi pencemaran lingkungan, kerusakan lingkungan, dan estimasi harga sampah olahan (valuasi harga barang lingkungan). Efek multiplier keberadaan UPS juga tidak diteliti dalam penelitian ini.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Economy Of Waste Management Proses produksi dan konsumsi tidak hanya menghasilkan keuntungan dan kepuasan kepada pengguna, namun juga menghasilkan menghasilkan residual atau limbah yang menyebabkan terjadinya
eksternalitas negatif. Salah satu
eksternalitas negatif tersebut berasal dari sampah domestik. Municipal Solid Waste (MSW) atau juga dikenal dengan limbah domestik atau limbah rumah tangga merupakan limbah yang dihasilkan dalam sebuah komunitas (wilayah) yang berasal dari berbagai sumber, bukan hanya dihasilkan oleh konsumen individu ataupun satu rumah tangga saja. Sampah domestik berasal dari kawasan pemukiman, kawasan komersial, institusi, industri, dan proyek pemerintah (Pitchel, 2005). Pengelolaan limbah padatan (sampah) domestik/rumah tangga atau yang dikenal dengan istilah Municipal Solid Waste Management (MSWM) merupakan tanggung jawab utama pemerintah daerah. MSWM meliputi fungsi pengumpulan, pemindahan, pemeliharaan, daur-ulang, pemulihan sumber daya, dan pembuangan sampah rumah tangga (Pagiola et al., 2002). Beban biaya yang ditanggung oleh pemerintah daerah dalam mengelola sampah domestik cukup berat. Pemerintah daerah di negara berkembang mengalokasikan anggaran pengelolaan sampahnya terutama pada proses layanan pengumpulan dan pengangkutan (Pagiola et al., 2002). Biaya operasional yang tinggi dan semakin sulitnya ruang yang pantas untuk pembuangan juga menjadi masalah dalam penanganan sampah perkotaan. Oleh karenanya, efisiensi ekonomi
12
menjadi hal yang penting dalam suatu pengelolaan sampah domestik. Efisiensi ekonomi adalah suatu kriteria yang dapat diterapkan pada beberapa tingkatan input untuk mencerminkan suatu tingkatan output tertentu. Dalam kajian ekonomi kesejahteraan, terdapat konsep tentang bagaimana suatu aktivitas ekonomi (distribusi, konsumsi dan produksi) mampu memberikan kesejahteraan secara komprehensif bagi setiap entitas yang terlibat dalam aktivitas tersebut. Konsep yang dimaksud adalah kondisi Pareto Optimal, suatu kondisi yang menunjukkan keadaan di mana satu aktivitas ekonomi tidak mampu lagi memberikan kenaikan kesejahteraan (better off ) bagi satu pelaku ekonomi tanpa menyebabkan penurunan kesejahteraan (worse off) pelaku ekonomi lain. Tingkat kesejahteraan tertinggi tercapai jika tidak terjadi kondisi suatu kegiatan ekonomi yang bersifat better off bagi satu pelaku ekonomi tetapi berimplikasi worse off bagi pelaku ekonomi lain. Fenomena better off dan worse off bisa terjadi karena aktivitas ekonomi menghasilkan dua eksternalitas. Eksternalitas yang bermanfaat seperti output, lapangan kerja, pendapatan tetapi juga eksternalitas yang merugikan seperti limbah. Oleh karena itu, dalam perspektif ekonomi lingkungan, suatu aktivitas ekonomi agar tetap bisa mendekati kondisi pareto optimal haruslah : 1) eksternalitas yang memberikan manfaat (positif) lebih tinggi dibandingkan eksternalitas yang merugikan (negatif), dan 2) Jika eksternalitas negatif lebih tinggi dibanding eksternalitas positifnya, maka pelaku ekonomi penghasil eksternalitas negatif tersebut harus memberikan kompensasi terhadap kelebihan eksternalitas negatif. Kompensasi dapat berbentuk, antara lain pajak pencemaran dan ganti rugi terhadap pihak yang terkena eksternalitas negatif.
13
2.1.2 Definisi, Penggolongan, dan Komponen Sampah Hadiwiyoto (1983) menjelaskan ciri-ciri sampah sebagai berikut : 1. Sampah adalah bahan sisa, baik bahan-bahan yang sudah tidak digunakan lagi (barang bekas) maupun bahan yang sudah diambil bagian utamanya. 2. Dari segi sosial ekonomi, sampah adalah bahan yang sudah tidak ada harganya. 3. Dari segi lingkungan, sampah adalah bahan buangan yang tidak berguna dan banyak menimbulkan masalah pencemaran dan gangguan pada kelestarian lingkungan. Sedangkan menurut Anwar (1990) dalam Djuwendah (1998), sampah ialah sebagian dari sesuatu yang tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan manusia dan bersifat padat. Penggolongan sampah menurut Hadiwiyoto (1983) dapat didasarkan atas beberapa kriteria. Penggolongan sampah tersebut adalah : (1) Penggolongan sampah berdasarkan asalnya, yaitu sampah hasil kegiatan rumah tangga, sampah hasil kegiatan industri/pabrik, sampah hasil kegiatan pertanian, sampah hasil kegiatan perdagangan (misalnya sampah pasar), sampah hasil kegiatan pembangunan, serta sampah jalan raya. (2) Penggolongan sampah berdasarkan komposisinya - Sampah yang seragam, misalnya sampah dari kegiatan industri ataupun perkantoran yang terdiri atas kertas, karton, dan kertas karbon. - Sampah yang tidak seragam (campuran), misalnya sampah yang berasal dari pasar atau sampah dari tempat-tempat umum. (3) Penggolongan sampah berdasarkan bentuknya - Sampah berbentuk padatan (solid), misalnya daun, kertas, kaleng, plastik,
14
- Sampah berbentuk cairan (termasuk bubur), misalnya bekas air pencuci, bahan cairan yang tumpah, dan limbah industri, - Sampah berbentuk gas, misalnya karbondioksida, amonia, dan gas lainnya. (4) Penggolongan sampah berdasarkan lokasinya - Sampah kota (urban), yaitu sampah yang terkumpul di kota-kota besar, - Sampah daerah, yaitu sampah yang terkumpul di daerah-daerah di luar perkotaan, misalnya di desa, di pantai, dan lain-lain. (5) Penggolongan sampah berdasarkan proses terjadinya - Sampah alami, ialah sampah yang terjadinya karena proses alami, misalnya rontoknya dedaunan di pekarangan rumah, - Sampah non-alami, ialah sampah yang terjadi karena kegiatan manusia. (6) Penggolongan sampah berdasarkan sifatnya - Sampah organik, yaitu terdiri atas daun-daunan, kayu, kertas, karton, tulang, sisa-sisa makanan ternak, sayur, buah. Sampah organik adalah sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik dan karenanya bahan-bahan ini mudah terdegradasi oleh mikroba, - Sampah anorganik, yang terdiri dari kaleng, plastik, besi, dan logam-logam lainnya, gelas, mika, atau bahan-bahan yang tidak tersusun oleh senyawasenyawa organik. Sampah ini tidak dapat terdegradasi oleh mikrobia. (7) Penggolongan sampah berdasarkan jenisnya yaitu sampah makanan (sisa-sisa makanan termasuk makanan ternak), sampah kebun/pekarangan, sampah kertas, sampah plastik, karet, dan kulit, sampah kain, sampah kayu, sampah logam, sampah gelas dan keramik, serta sampah berupa abu dan debu.
15
Bahan buangan padat terdiri dari berbagai macam komponen baik yang bersifat organik maupun yang anorganik (Wardhana, 2001). Susunan komponen pencemar daratan yang berasal dari bahan buangan atau limbah kota besar di negara industri dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komponen Pencemar Daratan Komponen Kertas Limbah bahan makanan Gelas Logam (besi) Plastik Kayu Karet dan kulit Kain (serat tekstil) Logam lainnya (alumunium)
Prosentase (%) 41 21 12 10 5 5 3 2 1
Sumber : Wardhana (2001).
2.1.3 Pengolahan Sampah Menurut Hadiwiyoto (1983), penanganan sampah ialah perlakuan terhadap sampah untuk memperkecil atau menghilangkan masalah-masalah yang dalam kaitannya dengan lingkungan dapat ditimbulkan. Oleh karena itu, penanganan sampah dapat berbentuk semata-mata membuang sampah atau mengembalikan (recycling) sampah menjadi bahan-bahan yang bermanfaat. Penanganan sampah meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : Pengumpulan Sampah Sampah yang akan dibuang atau dimanfaatkan harus dikumpulkan terlebih dahulu dari berbagai tempat asalnya dengan menggunakan kendaraan-kendaraan pengangkut, misalnya truk, gerobak sampah, kereta dorong, sampah-sampah tersebut diangkut ke lokasi pembuangan atau pemanfaatan sampah.
16
Pemisahan Maksud pemisahan ialah memisahkan jenis-jenis sampah antara sampah organik dengan sampah anorganik. Apabila sampah akan dibuang dengan ditimbun (urug), maka pemisahan ini tidak begitu perlu dikerjakan. Apabila akan dilakukan pembakaran, maka pemisahan tersebut sangat perlu dikerjakan, terlebih bila pembakaran dikerjakan pada suatu instalasi. Pemisahan sampah hendaknya dikerjakan dalam dua tahap. Pada tahap pertama terlebih dahulu dipisahkan antara sampah organik dan sampah anorganik. Kemudian pada tahap kedua sampahsampah tersebut dipisahkan lagi berdasarkan jenisnya menurut keperluan. Pembakaran (Insinerasi) Pembakaran sampah dapat dikerjakan pada suatu tempat, misalnya ladang atau tanah lapang yang jauh dari segala kegiatan agar tidak mengganggu. Namun demikian pembakaran tersebut sukar dikendalikan. Pembakaran yang paling baik dikerjakan pada suatu instalasi pembakaran karena dapat diatur prosesnya sehingga tidak mengganggu lingkungan, namun memerlukan biaya operasi yang mahal. Instalasi pembakaran sampah disebut insinerator, sedangkan proses pembakarannya disebut insinerasi. Pemanfaatan sampah sangat membantu untuk mengurangi jumlah sampah yang berada di lingkungan, dengan memanfaatkan sampah berarti memberikan nilai tambah pada sampah yang semula tidak mempunyai nilai ekonomi menjadi bahan yang mempunyai nilai ekonomi. Penanganan dalam bentuk lainnya dapat mengembalikan (recycling) sampah (limbah padat) menjadi bahan-bahan yang bermanfaat atau yang disebut daur ulang (recycle). Contoh cara memanfaatkan sampah, baik bahan organik maupun anorganik, dapat dilihat pada Tabel 3.
17
Tabel 3. Limbah Padat dan Pemanfaatannya Kembali Limbah Kertas
Pemanfaatannya Kembali (Daur ulang) 1. Dibuat bubur pulp untuk bahan kertas, cardboard, dan produk-produk kertas lainnya, 2. Dihancurkan untuk dipakai sebagai bahan pengisi, bahan isolasi, 3. Diinsenerasi sebagai penghasil panas. Bahan 1. Dibuat kompos untuk pupuk tanaman, organik 2. Diinsenerasi sebagai penghasil panas. Tekstil/pakai 1. Dihancurkan untuk dipakai sebagai bahan pengisi, bahan isolasi, an (bekas) 2. Diinsenerasi sebagai penghasil panas, 3. Disumbangkan kepada yang memerlukan. Gelas 1. Dibersihkan dan dipakai lagi (botol), 2. Dihancurkan untuk digunakan lagi sebagai bahan pembuat gelas baru, 3. Dihancurkan dan dicampur aspal untuk pengerasan jalan, 4. Dihancurkan dan dicampur pasir dan batu untuk pembuatan bata semen. Logam 1. Dicor untuk pembuatan logam baru yang digunakan untuk berbagai macam keperluan, 2. Langsung digunakan lagi bila keadaannya masih baik dan memungkinkan. Karet, Kulit, 1. Dihancurkan untuk dipakai sebagai bahan pengisi, isolasi, dan Plastik 2. Diinsenerasi sebagai penghasil panas. Sumber : Wardhana (2001)
Setelah
sampah mengalami proses
penanganan
khususnya
ketika
dimanfaatkan kembali, maka yang tersisa kemudian adalah limbah (residu) yang sudah tidak dapat dimanfaatkan kembali. Limbah tersebut kemudian dibuang ke suatu tempat penampungan sampah akhir. Menurut Suryanto dalam Yudiyanto (1988), pembuangan akhir sampah adalah suatu upaya untuk memusnahkan sampah di tempat tertentu yang disebut Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Beberapa metode pengolahan sampah dalam pembuangan akhir di TPA, yaitu : a) Open Dumping Metode ini merupakan cara pembuangan akhir yang sederhana karena sampah hanya ditumpuk di lokasi tertentu tanpa perlakuan khusus.
18
b) Controlled Landfill Metode ini merupakan peralihan antara teknik Open Dumping dan Sanitary Landfill. Pada metode ini sampah ditimbun dan diratakan. Pipa-pipa ditanam pada dasar lahan untuk mengalirkan air lindi dan ditanam secara vertikal untuk mengeluarkan gas-gas metan ke udara. Setelah timbunan sampah penuh dilakukan penutupan terhadap hamparan sampah tersebut dengan tanah dan dipadatkan. c) Sanitary Landfill Teknik Sanitary Landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini, sampah dihamparkan hingga mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan, kemudian dilapisi tanah dan dipadatkan kembali. Di atas lapisan tanah penutup tadi dapat dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya berselang-seling antara lapisan tanah dan sampah.
2.1.4 Pengelolaan Sampah Limbah domestik, termasuk didalamnya barang-barang yang tahan lama (contohnya peralatan rumah tangga), barang-barang cepat rusak (contohnya koran dan kertas kantor), kemasan dan wadah benda, sisa-sisa makanan, sampah pekarangan, dan aneka sampah anorganik lainnya, memiliki kecenderungan heterogenitas yang tinggi (Pitchel, 2005). Pengelolaan limbah padatan (sampah) domestik/rumah tangga (MSWM) merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. MSWM meliputi fungsi pengumpulan, pemindahan, pemeliharaan, daur-ulang, pemulihan sumber daya, dan pembuangan sampah domestik (Pagiola, 2002).
19
Metode pengumpulan yang tidak efektif, minimnya jangkauan pelayanan sistem pengumpulan sampah, dan cara pembuangan sampah yang tidak layak merupakan masalah penting pada kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat di negara berkembang. Situasi tersebut terutama disebabkan oleh masalah pengelolaan keuangan. Pengelolaan sampah membutuhkan sumber dana yang kuat sementara tingkat pengembalian biaya (cost recovery) amat rendah. Konsekuensi utama dari kendala keuangan tersebut adalah minimnya jangkauan/cakupan sistem pengumpulan sampah, yang terutama akan berdampak pada masyarakat ataupun sektor kecil di wilayah tersebut. Sebagian besar sistem MSWM mempunyai tiga komponen dasar, yaitu : 1. Pengumpulan dan Pengangkutan yaitu proses mengumpulkan dan memindahkan sampah domestik ke tempat pembuangan yang sesuai dengan standar lingkungan, mencegah timbulnya bau yang tidak sedap dan berkurangnya keindahan lingkungan. 2. Pemrosesan/Pengolahan yaitu mengubah karakteristik fisik sampah domestik melalui proses daur-ulang, pengomposan, pembakaran, ataupun pemadatan untuk mengurangi gangguan terhadap lingkungan atau bahkan menangkap peluang ekonomi pemanfaatan sampah-sampah tersebut sehingga mempunyai nilai tambah. 3. Pembuangan yaitu proses memisahkan residu dari sampah yang tertinggal setelah perlakuanperlakuan sebelumnya. Secara umum penerapan teknologi pengolahan sampah perkotaan dan pemanfaatannya dapat dilihat gambar 1.
20
TEPUNG PROTEIN
GAS KOMPOS GAS ORGANIK
TPS
COMPOSTING
SISA
SANITARI SARANA REKREASI
Pengangkutan
Pengumpulan
DAUR SAMPAH KOTA
TPS
Pengangkutan
ANORGANIK Pengumpulan
INSTALASI PEMBAKA RAN LIMBAH SAMPAH
SISA YANG TIDAK DAPAT DIOLAH
BAHAN BAKU INDUSTRI
REKLAMASI
SISA YANG DAPAT DIOLAH
PENAMBA HAN LUAS DARATAN
SISA GAS
ATMOSFER
KUALITAS UDARA YANG TIDAK MELAMPAUI AMBANG
ENERGI
Sumber : www.geocities.com/persampahan/0-waste.doc. ”Penerapan Konsep Zero Waste dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan”. (diunduh 15 April 2008)
Gambar 1. Diagram Penerapan Teknologi Pengolahan Sampah Perkotaan dan Pemanfaatannya
21
Pengelolaan sampah domestik di negara berkembang menunjukkan tiga karakteristik penting. Pertama, cenderung bersifat padat karya (labour intensive), sebagian karena biaya tenaga kerja yang murah. Kedua, proses daur-ulang semakin dikenal luas sehingga di banyak negara berkembang tidak ditemui kesulitan dalam pengumpulan dan penjualan sampah yang masih dapat didaurulang. Ketiga, MSWM di negara berkembang cenderung inefisien. Inefisiensi tersebut terutama pada teknis pengumpulan sampah yang masih sering tercecer dan tidak dapat menjangkau seluruh permintaan pelayanan, sehingga mengganggu kebersihan dan keindahan lingkungan. Pemerintah daerah di negara berkembang mengalokasikan anggaran pengelolaan sampahnya khususnya pada proses layanan pengumpulan dan pengangkutan. Pengumpulan dan pengangkutan sampah dapat menghabiskan 70 persen dari keseluruhan biaya yang 80 persennya merupakan biaya tenaga kerja (Pagiola et al., 2002). Pembuangan akhir menghabiskan biaya yang lebih sedikit karena biasanya hanya dilakukan dengan teknik open dumping. Menurut Bartone et al. (1990), keuntungan dari pengelolaan sampah domestik yang efektif dan efisien adalah : 1. Perbaikan dalam kesehatan orang dewasa dan penurunan angka kematian anak. 2. Perbaikan kualitas air. 3. Perbaikan kualitas udara. Polusi udara secara luas timbul salah satunya melalui sistem tempat pembuangan dan pembakaran sampah terbuka yang tidak efektif. 4. Meningkatkan produktivitas masyarakat kota karena tingginya tingkat absen dan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh minimnya kondisi higienis.
22
5. Menunjang pembangunan ekonomi, karena minimnya sarana dan pelayanan pembuangan limbah publik ataupun privat dapat menghambat pembangunan industri.
2.2 Pengelolaan Sampah : Kasus Pengelolaan Sampah di DKI Jakarta Menurut Ismail, ed. (2001), untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan dari pengelolaan sampah yang tidak benar, maka sejak tahun 1971, Pemda DKI telah mengeluarkan berbagai peraturan yang dikaitkan dengan masalah perlimbahan, salah satunya adalah Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 1543 tahun 1996 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Kebersihan DKI Jakarta. Kegiatan pengelolaan sampah dapat diklasifikasikan mulai pada tingkat pengumpulan, pengangkutan ke stasiun antara (transfer station) dan pembuangan akhir/pemusnahan. Dalam pelaksanaan operasionalnya, pengelolaan sampah DKI Jakarta sebelum tahun 2000 ditangani oleh Dinas Kebersihan bekerjasama dengan tiga instansi, yaitu Dinas Pekerjaan Umum yang bertugas melaksanakan penanganan kebersihan di saluran-saluran/kali, Dinas Pertamanan yang menangani kebersihan di jalur hijau dan taman-taman, dan Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya melaksanakan penanganan kebersihan di pasar-pasar. Oleh karena kinerja pengelolaan sampah yang dilakukan oleh banyak instansi kurang efektif, maka sejak tahun 2000, Dinas Kebersihan telah mengusulkan kepada Gubernur DKI Jakarta agar pengelolaan sampah, baik sampah yang ada permukiman, di pasar, di kali, dan ditaman-taman hanya dilakukan satu instansi. Secara umum proses penanganan sampah dilakukan
23
melalui tiga tahap. Pertama, penyapuan sampah oleh Dinas Kebersihan dilakukan dengan dua cara yaitu cara konvensional dan cara mekanik, yaitu dengan street sweeper. Cara tersebut dilakukan hanya pada kawasan-kawasan tertentu seperti jalan protokol dan jalan lingkungan/ekonomi yang dilihat dari segi fungsinya memerlukan penyapuan. Kedua, pengumpulan sampah yang dimaksudkan agar sampah tidak berceceran kemana-mana dan pengumpulan sampah ini merupakan tanggung jawab setiap warga/individu masyarakat. Ketiga, pengangkutan sampah yang merupakan kegiatan lanjutan dari proses pemgumpulan sampah yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan. Pengangkutan sampah dilakukan dengan dua cara yaitu pengangkutan secara langsung (door to door) dan tidak langsung. Pengangkutan secara langsung yaitu pengangkutan yang dilayani secara langsung dari sumbernya yaitu dari rumah ke rumah, yang kemudian dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sementara itu, pengangkutan secara tidak langsung dari rumah ke rumah dilakukan dengan swadaya masyarakat untuk diangkut ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) kemudian petugas kebersihan akan membawanya ke TPA. Selanjutnya sampah tersebut diangkut dengan kendaraan truk sampah terbuka, compactor, hydraulic container, tipper, dan crane ke TPA. Untuk sampah yang berasal dari taman, pasar, dan kali atau saluran, pengangkutannya menjadi tanggung jawab Dinas Pertamanan, Dinas Pekerjaan Umum, dan PD Pasar Jaya. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) DKI Jakarta sejak tahun 1986 adalah TPA Bantargebang yang lokasinya berada di wilayah Bekasi Barat seluas 108 hektar (Ha). Sistem yang digunakan untuk memusnahkan sampah adalah sanitary landfill. Sementara itu, untuk pengelolaan sampah di wilayah Jakarta bagian barat,
24
Dinas Kebersihan telah membebaskan lahan seluas lebih kurang 95 Ha untuk TPA yang terletak di Ciangir, Tangerang, Jawa Barat. TPA tersebut dalam pengelolaannya masih menggunakan sistem sanitary landfill atau sistem lain yang efisien dan efektif. Pada tahun 2008, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Dinas Kebersihan DKI berencana antara lain membangun tempat pengolahan sampah dengan model Intermediate Treatment Facility (ITF). ITF akan dibangun di empat lokasi dan diperkirakan masing-masing ITF akan mampu menampung dan mengolah sampah sebanyak 1.000 ton per hari sehingga diharapkan akan mengurangi volume sampah di Bantar Gebang. Dinas Kebersihan DKI Jakarta juga merencanakan untuk mengubah Stasiun Pengolahan Antara (SPA) sampah di DKI menjadi Pusat Pengolahan Sampah Terpadu yang menggunakan teknologi tinggi sehingga sampah dapat dijadikan pupuk kompos sekaligus energi listrik. Pengolahan sampah yang dilakukan oleh swasta tersebut diharapkan dapat berkapasitas 1.500 ton per hari atau mengolah seperempat dari total sampah di Jakarta yakni 6.000 ton per hari.4
2.3 Penelitian Terdahulu Syafrizal (2005) model teknologi pengolahan sampah di wilayah perkotaan (studi kasus Kota Bandar Lampung) tujuan penelitian menganalisis besarnya nilai retribusi kebersihan yang bersedia dibayarkan masyarakat Kota Bandar Lampung, menganalisis kelayakan pengolahan sampah Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek lingkungan, aspek sosial ekonomi masyarakat, aspek kebutuhan lahan, dan
4
Kapanlagi.com. 2007. ’SPA Sampah DKI Akan Dijadikan Pengolahan Terpadu’. http://www.kapanlagi.com/h/0000169270.html.
25
aspek finansial. Aspek lingkungan dilihat dari potensi pencemaran air, tanah, udara, dan keslingmas. Aspek sosial ekonomi dilihat dari kondisi masyarakat, tingkat pendapatan, dan kesediaan membayar. Aspek kebutuhan lahan dihitung berdasarkan data kebutuhan lahan dengan teknologi pengomposan, insinerator, dan landfill, sedangkan aspek finansial dilihat berdasarkan manfaat usaha, invesatsi, dan biaya operasional. Alat analisis yang digunakan dalam penelitiannya diantaranya adalah Proses Hierarki Analitik (PHA) dan studi kelayakan proyek dengan perhitungan Net Present Value (NPV), Net B/C ratio, Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period. Analisis keragaan ekonomi dan kelembagaan penanganan sampah perkotaan Kotamadya Bandung yang dilakukan oleh Djuwendah (1998) dimaksudkan untuk mengetahui apakah alternatif pengelolaan sampah kota melalui usaha pengomposan dan daur ulang secara ekonomi menguntungkan atau tidak. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui besarnya perubahan volume sampah dan penurunan biaya pengelolaan sampah dari aktivitas pemanfaatan sampah. Penelitiannya menunjukkan bahwa biaya yang dapat dihemat karena adanya proses pengomposan dan daur ulang adalah biaya pemindahan, pengangkutan (transportasi), serta biaya pembuangan akhir sampah. Dewi (1997) melakukan analisis ekonomi dan sosial terhadap penanganan sampah kota (studi kasus di wilayah Kotamadya Bogor). Tujuan penelitiannya yang pertama adalah mengidentifikasi arus input-output sampah kota yang dihasilkan kotamadya Bogor, manfaat dari sampah kota, dan biaya penanganan sampah kota oleh Dinas Kebersihan Kota (DKP). Kedua, menilai perimbangan manfaat dan biaya antara sistem penanganan sampah kota saat ini dengan sistem
26
penanganan sampah yang direncanakan di masa datang. Alat analisis yang digunakan adalah Benefit-Cost Analysis (BCA). Variabel-variabel ekonomi yang mempengaruhi nilai manfaat adalah biaya pengumpulan sampah dari sumber ke TPS, biaya pengangkutan sampah dari TPS ke TPA, biaya pemusnahan sampah di TPA, biaya pengolahan sampah menjadi kompos, alokasi APBD Kodya Bogor untuk biaya penanganan sampah, penerimaan pemulung dari hasil penjualan bahan dauran, serta penerimaan Pemda dari hasil penjualan kompos. Usaha pemanfaatan sampah telah dilakukan oleh Aida (1996). Aida meneliti mengenai usaha pemanfaatan barang bekas dari sampah dan pengaruhnya terhadap pengelolaan sampah di Kotamadya Bogor (studi kasus TPA Gunung Galuga). Penelitian ini menggunakan metode obeservasi, yaitu penelitian untuk mengeksplorasi pengelolaan persampahan yang dikaitkan dengan usaha pemanfaatan barang bekas dari sampah. Data yang digunakan adalah kondisi sosial ekonomi perangkas (pemungut barang bekas) dan penampung, pengaruh aktivitas perangkas terhadap volume sampah dan kualitas sampah, nilai ekonomi atas usaha pemanfaatan barang bekas dari sampah, serta kemungkinan pengembangan atas usaha pemanfaatan barang bekas. Data tersebut dianalisis secara ekonomi (Analisis Break-Even Point) maupun secara fisik (Analisis Deskriptif). Analisis Break-Even Point atau yang disebut juga Cost-Profit-Volume Analysis adalah suatu analisis yang mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variable, keuntungan, dan volume kegiatan sehingga akan tampak posisi dari volume penjualan suatu usaha. Sementara itu, penelitian mengenai sampah di wilayah Depok pernah diteliti oleh Bakri (1992). Penelitian Bakri dilakukan saat Depok masih berstatus
27
sebagai Kota Administratif (Kotif) pada tahun 1992. Bakri meneliti pola pengelolaan sampah Kotif Depok, sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program kebersihan lingkungan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan program kebersihan. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa pengolahan sampah Kotif Depok pada tahun penelitian masih sederhana sekali yaitu sampah yang dibuang ke TPA dibiarkan di atas permukaan tanah tanpa dilakukan pengolahan lebih lanjut. Untuk faktor-faktor yang mempunyai keeratan hubungan secara nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat di Kotif Depok adalah tingkat pendidikan, keadaan lingkungan pemukiman, bimbingan, dan penyuluhan. Raharja (1988) melakukan studi sosial ekonomi pada pengelolaan limbah pemukiman (sampah) dengan sistem Jali-jali di Jakarta Pusat. Tujuan umum studinya adalah untuk mempelajari pengelolaan sampah sistem jali-jali sebagai salah satu bagian dari sistem pengelolaan lingkungan (masalah sampah) dilihat dari
aspek teknis,
ekonomi,
organisasi,
dan
lingkungan
sosial,
serta
membandingkannya dengan pengelolaan sampah sistem pool-gerobak. Untuk menilai efektifitas dan efisiensi pengelolaan sampah digunakan dua ukuran. Pertama, efisiensi teknis yang terdiri dari : a) kualitas pelayanan angkutan sampah yang parameternya adalah kendaraan yang digunakan, b) efektifitas alat angkut yang parameternya adalah volume sampah yang diangkut tiap rit (efisiensi kapasitas angkutan) dan rata-rata ritasi tiap hari untuk setiap jenis kendaraan angkut sampah, serta efisiensi pemakaian BBM. Kedua, efisiensi ekonomi dengan parameter biaya angkut sampah per meter kubik sampah yang terangkut.
28
Penelitian mengenai sampah dari segi teknik maupun sosial-ekonomi selama ini telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik akademisi maupun dinas-dinas terkait. Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang lain adalah lokasi dan sistem sampah yang diteliti. Dalam Sistem Pengolahan dan Pengelolaan Sampah Terpadu (SIPESAT) Kota Depok, terdapat tiga pendekatan dalam pelaksanaannya yaitu pendekatan skala TPA, skala kawasan, dan skala masyarakat. Penelitian ini berfokus pada pendekatan skala kawasan yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan Unit Pengolahan Sampah (UPS), dengan meneliti manfaat ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh keberadaan UPS tersebut. Manfaat ekonomi dilihat dari nilai sampah yang dapat diolah serta perbandingan biaya-manfaat antara sistem pengelolaan sampah dengan UPS dan tanpa UPS, sedangkan manfaat sosial dilihat dari peluang tenaga kerja yang dapat terserap dengan adanya UPS serta persepsi masyarakat sekitar proyek.
29
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Interaksi Antara Ekonomi dan Lingkungan Semakin tingginya tingkat konsumsi manusia menyebabkan makin banyak sumberdaya yang diperlukan untuk menopang pola hidup itu. Makin tinggi tingkat konsumsi manusia, makin banyak pula limbah yang terbentuk (Soemarwoto, 2004). Kenaikan pendapatan dan pengaruh pola hidup konsumtif mempunyai dua dampak terhadap lingkungan hidup. Pertama, pola hidup konsumtif membutuhkan dana yang makin besar. Untuk mendapatkan dana itu, eksploitasi sumberdaya dilakukan makin meningkat. Kedua, tingkat konsumsi meningkat. Limbah yang dihasilkan per orang makin besar. Jumlah penduduk juga makin bertambah. Sementara itu, pendapatan untuk menangani sampah masih terbatas. Akibatnya banyak sampah yang berserakan atau tertumpuk dimana-mana. Hanya sebagian sampah yang terangkut oleh dinas kebersihan kota (Soemarwoto, 2001). Dalam perspektif biofisik, pencemaran diartikan sebagai masuknya aliran residual (residual flow) yang diakibatkan oleh perilaku manusia ke dalam sistem lingkungan. Timbulnya kerusakan lingkungan tergantung pada kemampuan penyerapan (absorptive capacity) media lingkungan, seperti air, tanah, maupun udara (Perman et al. dalam Fauzi, 2004). Terdapat pembedaan antara pencemaran aliran (flow pollution) dan pencemaran stok (stock pollution). Pencemaran aliran merupakan pencemaran yang ditimbulkan oleh residual yang mengalir masuk ke dalam lingkungan. Pencemaran ini tergantung dari laju aliran yang masuk ke dalam lingkungan yang artinya jika aliran ini berhenti maka pencemaran juga
30
akan berhenti. Pencemaran yang bersifat stok terjadi jika kerusakan yang ditimbulkan merupakan fungsi dari stok residual dan bersifat kumulatif. Dalam perspektif ekonomi, pencemaran bukan saja dilihat dari hilangnya nilai ekonomi sumberdaya akibat berkurangnya kemampuan sumberdaya, secara kualitas dan kuantitas untuk menyuplai barang dan jasa, namun juga dari dampak pencemaran tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat (Fauzi, 2004). THE ENVIRONMENT Energy Air Pollution
Firms (Production)
Air Inputs
Water Amenities
THE ECONOMY Households (Consumption)
Outputs
Solid Waste Waste Heat Water Pollution
Raw Materials Sumber : Tietenberg (2000). Gambar 2. Sistem Ekonomi dan Lingkungan Tietenberg (2000) menyatakan bahwa dalam ekonomi, alam/lingkungan dipandang sebagai sebuah gabungan aset yang menyediakan berbagai kebutuhan. Lingkungan mendukung pembangunan ekonomi dengan bahan baku-bahan baku, yang kemudian berubah bentuk menjadi produk konsumen melalui proses produksi, dan energi, yang menjadi bahan bakar dalam proses transformasi tersebut. Pada akhirnya, bahan baku dan energi tersebut akan kembali ke alam sebagai limbah seperti yang tergambar pada Gambar 3. Dua tipe analisis ekonomi yang berbeda digunakan untuk mengetahui hubungan antara sistem ekonomi dan lingkungan. Pandangan ekonomi positif
31
berguna untuk menggambarkan tindakan yang diambil manusia dan konsekuensi dari tindakan tersebut pada aset lingkungan. Ekonomi normatif memberikan arahan bagaimana pemanfaatan aset lingkungan tersebut dapat secara optimal dicapai. Pandangan ekonomi normatif menggunakan analisis manfaat/biaya untuk menduga tingkat dan komposisi pemenuhan kebutuhan yang diinginkan.
3.1.2 Economy Of Waste Management Residu atau limbah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas ekonomi dan akan meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas tersebut. Oleh karenanya, pencemaran merupakan fenomena yang bersifat pervasive (akan tetap ada) sebagai akibat dari aktivitas ekonomi. Dalam sudut prinsip ekonomi sumberdaya, jalan terbaik dalam menangani pencemaran adalah bagaimana mengendalikan pencemaran tersebut ke tingkat yang paling efisien (Fauzi, 2004). Kelangkaan membuat manusia harus menentukan pilihan yang secara tidak langsung
menyiratkan
adanya
biaya.
Keputusan
atau
pilihan
tersebut
menimbulkan yang disebut dalam ilmu ekonomi sebagai biaya peluang (opportunity cost). Biaya peluang adalah biaya yang dikorbankan untuk menggunakan sumberdaya untuk tujuan tertentu, yang diukur dari manfaat yang dilepasnya karena tidak menggunakannya untuk tujuan lain, atau dengan kata lain, diukur dengan satuan komoditi lain yang seharusnya bisa diperoleh (Lipsey et al., 1993). Biaya peluang dalam penggunaan sumberdaya alam adalah higgest valued alternative use to which those resources might have been put and which society has to forgo when the resources are used in the specific fashion. Biaya untuk melakukan aktivitas pengurangan pencemaran disebut Abatement Cost. Untuk analisis ekonomi pencemaran, akan lebih mudah jika
32
menggunakan pengukuran marjinal, yakni Marjinal Abatement Cost (MAC) yang menggambarkan penambahan biaya akibat pengurangan satu unit pencemaran atau biaya yang dihemat jika pencemaran ditingkatkan sebesar satu unit (Fauzi, 2004). Biaya tersebut didasari konsep bahwa mengurangi emisi/pencemaran dapat mengurangi kerusakan yang diderita orang akibat polusi lingkungan, sedangkan di sisi lain, mengurangi emisi/pencemaran membutuhkan sumberdaya yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya (opportunity). Gambar 4 menunjukkan tingkat pencemaran yang efisien adalah tingkat pencemaran dimana MAC sama dengan MD (e*). Rp MAC
MD
w
e*
Pencemaran
Sumber : Fauzi (2004). Gambar 3. Tingkat Pencemaran yang Efisien Menurut Bernstein (1992), terdapat tiga macam pengenaan biaya yang dapat dikenakan dalam proses pengumpulan dan pembuangan sampah yaitu biaya pengguna, biaya pembuangan, dan biaya produk. Biaya pengguna pada umumnya dikenakan pada pelayanan pengumpulan dan pemeliharaan sarana pemerintah dalam mengelola sampah dan dianggap sebagai biaya pelayanan yang wajar. Biaya pengguna dikenakan untuk menutupi total biaya operasional dan tidak mencerminkan biaya marjinal sosial dampak lingkungan. Biaya pembuangan adalah biaya yang dikenakan dalam layanan pembuangan sampah, sedangkan
33
biaya produk dikenakan pada sampah yang sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Namun, pengalaman di beberapa negara Eropa, biaya produk mempunyai dampak insentif aktual yang kecil karena secara umum biaya produk tidak nyata berkontribusi pada perubahan dari kebijakan kuratif menjadi kebijakan preventif pada pola masyarakat dalam mengelola sampah. Bartone et al. (1990) menyatakan MSWM sebagian besar berupa pelayanan yang mensyaratkan adanya peralatan dan fasilitas khusus dan umumnya menghabiskan antara 20-50 persen anggaran dana operasional pemerintah. Pembiayaan MSWM dapat diperoleh dari penerimaan pemerintah seperti pajak lokal dan retribusi bagi pengguna jasa. Untuk memulihkan biaya (cost recovery), perancang suatu proyek MSWM harus memperhitungkan pelayanan persampahan sebagai suatu private good dan juga public good. Perhitungan tersebut dilakukan karena MSWM menyediakan pelayanan terhadap kebutuhan rumah tangga ataupun pengusaha (privat) serta memberikan dampak positif terhadap sektor kesehatan publik dan lingkungan hidup lokal. Oleh karenanya, dalam menentukan cara memulihkan biaya MSWM, perancang proyek harus merencanakan sebagian porsi pemulihan biaya dari manfaat dari sektor swasta/privat sedangkan untuk manfaat sosial/publik dapat dibayar oleh pemerintah. Menurut Bartone et al. (1990), ada dua instrumen finansial dasar dalam skema pemulihan biaya MSWM yaitu : 1) penerimaan pemerintah, yang termasuk pajak lokal dan transfer antar-pemerintah (Pemda), dan 2) retribusi/pungutan biaya pada pengguna jasa, yang termasuk pajak keuntungan dan biaya sukarela (tarif) yang dikenakan langsung pada objek yang menerima layanan persampahan. Untuk layanan pengangkutan dan pembuangan sampah, jika hanya memberikan
34
manfaat secara sosial maka biaya dapat dipulihkan melalui pendapatan pemerintah. Jika dilakukan oleh swasta, pemulihan biaya dilakukan melalui pemungutan retribusi (tipping fees) yaitu pungutan yang langsung dikenakan untuk mengoperasikan fasilitas pengangkutan dan pembuangan sampah. Tipping fees dikenakan berdasarkan volume, berat, dan terkadang jenis sampah yang diangkut. Efisiensi ekonomi menjadi hal yang penting dalam suatu pengelolaan pencemaran. Efisiensi ekonomi adalah suatu kriteria yang dapat diterapkan pada beberapa tingkatan input untuk mencerminkan suatu tingkatan output tertentu. Suatu perusahaan, dalam hal ini proyek pengelolaan sampah, dinyatakan efisien jika meminimumkan biaya dan memperoleh laba. Efisiensi ekonomi pengelolaan sampah salah satunya dapat dinilai dari manfaat bersih (net benefit) yang dihasilkan. Manfaat bersih dapat berupa selisih antara biaya pengelolaan sampah dan potensi penerimaan dari hasil olahan sampah ataupun biaya pengelolaan sampah yang dapat dihindarkan (avoided cost).
3.1.3 Analisis Biaya Manfaat (Benefit Cost Analysis/BCA) Analisis Biaya Manfaat (Benefit Cost Analysis/BCA) dalam ekonomi lingkungan merupakan prinsip dasar yang dapat digunakan lebih lanjut untuk menilai atau mengukur barang lingkungan (environmental goods) yang tidak memiliki pasar. Kajian BCA dibedakan atas kajian manfaat (benefit) dan kajian biaya (cost). Manfaat suatu barang, khususnya barang lingkungan, adalah setara dengan kemampuan untuk membayar (willingness to pay/WTP) dari individu untuk barang lingkungan tersebut. Pada tingkat yang paling sederhana, biaya ditentukan dengan melihat biaya bagi sebuah komunitas/perusahaan atau sebuah
35
program lingkungan yang pada tingkat selanjutnya merupakan biaya sebuah industri atau sebuah kawasan dalam merumuskan pengaturan lingkungan atau mengadopsi teknologi-teknologi tertentu. Menurut Gittinger (1986), secara sederhana, biaya adalah segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan. Dalam kerangka analisis proyek, biaya adalah sesuatu yang mengurangi pendapatan netto produsen/perusahaan. Analisis Manfaat Biaya mencakup pengukuran dan perbandingan seluruh manfaat dan seluruh biaya dari suatu proyek/program untuk kepentingan publik. Dalam melakukan BCA, biasanya digunakan pendekatan “melibatkan atau menafikan” (with/without). BCA menjadi alat utama dalam evaluasi ekonomi dari program-program masyarakat yang berkaitan dengan manajemen sumberdaya alam. BCA pada sektor publik dapat dianalogikan seperti analisis untung rugi pada suatu perusahaan, hanya saja perbedaannya mencakup : a) BCA merupakan alat yang dapat membantu pembuatan keputusan publik berdasarkan pandangan masyarakat umum, b) BCA dilakukan untuk kebijakan dan program-program yang outputnya tidak dapat
dipasarkan
atau
diperjual-belikan,
misalnya
perbaikan
kualitas
lingkungan melalui konservasi dan penanaman hutan mangrove, hutan kota, dan lain sebagainya. Langkah paling awal yang dapat dilakukan untuk penghitungan BCA adealah memutuskan dari perspektif mana studi akan dilakukan. Secara umum terdapat empat langkah BCA yang dapat ditempuh, yaitu : 1. Spesifikasi secara jelas proyek/program yang akan dianalisis, 2. Deskripsi input dan output program secara kuantitatif,
36
3. Estimasi biaya dan manfaat sosial dari input-input dan output-output, 4. Membandingkan biaya-biaya dan manfaat-manfaat tersebut. Deskripsi dari langkah-langkah tersebut diuraikan berikut ini : Langkah 1 (Spesifikasi secara jelas proyek/program yang akan dianalisis) dimana melibatkan spesifikasi lengkap elemen-lemen utama proyek : lokasi, waktu, kelompok yang terlibat, hubungan-hubungan dengan program-program lainnya, dan lain-lain. Program-program lingkungan untuk masyarakat yang dianalisis dengan BCA dapat dibedakan menjadi a) Proyek fisik : proyek yang melibatkan produksi publik langsung, misalnya proyek pengolahan sampah, proyek restorasi pantai, dan sebagainya, b) Program penyusunan regulasi, yang bertujuan untuk penegakan peraturan dan perundangan di bidang lingkungan, misalnya penentuan standar polusi, pilihan-pilihan teknologi yang ramah lingkungan, dan lain-lain. Langkah 2 (Deskripsi input dan output program secara kuantitatif). Dalam hal ini, waktu harus diperhitungkan. Biasanya proyek-proyek lingkungan lingkungan tidak dapat selesai dalam waktu singkat sehingga spesifikasi input dan output juga harus memperhitungkan atau meramalkan kejadian-kejadian di masa datang, misalkan pola pertumbuhan ekonomi di masa depan, perubahan teknologi, perubahan preferensi konsumen, dan sebagainya. Langkah 3 (Estimasi biaya dan manfaat sosial dari input dan output program). Seluruh manfaat dan biaya dalam BCA harus dinyatakan dalam bentuk nilai uang/moneter agar bisa dibandingkan secara langsung. Seringkali penilai harus berhadapan dengan manfaat dan biaya yang tidak memiliki nilai pasar (intangible) sehingga harus dilakukan estimasi dengan teknik-teknik valuasi lingkungan.
37
Langkah 4 (Membandingkan biaya-biaya dan manfaat-manfaat). Perbandingan tersebut perlu dilakukan dalam penilaian untuk mencari kelayakan dari suatu kegiatan yang akan dilaksanakan.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Penanganan pengolahan dan pengelolaan sampah Kota Depok dilakukan oleh Pemkot Depok melalui Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH). Pada tahun 2006, digulirkan program Sistem Pengolahan dan Pengelolaan Sampah Terpadu (SIPESAT) oleh Pemkot Depok untuk mengatasi masalah persampahan yang di wilayah Depok melalui kerjasama antara Pemkot Depok, swasta, dan masyarakat. Sistem pengolahannya dilakukan di setiap lingkungan. Namun pada awal tahun 2008, nama SIPESAT diganti menjadi Unit Pengolahan Sampah (UPS) karena beberapa pertimbangan. Sistem pengelolaan sampah Kota Depok tersebut merupakan implementasi konsep bahwa masalah dapat diubah menjadi aset yang dapat diolah dan dikelola sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat. Sampah menyimpan potensi manfaat yang cukup besar jika mendapat penanganan lebih lanjut. Oleh karenanya, Pemkot Depok membangun UPS Percontohan di RW 11 Komplek Perumahan Griya Tugu Asri (GTA), Kelurahan Tugu, Cimanggis, seluas sekitar 220 meter persegi (m2). Secara umum, penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi manfaat ekonomi dan sosial yang ditimbulkan UPS serta membuktikan apakah sistem pengolahan dan pengelolaan sampah dengan UPS lebih menguntungkan dari metode penanganan sampah tanpa UPS. Pada metode pengelolaan sampah sebelumnya, tidak dilakukan penanganan lebih lanjut pada sampah di TPS 38
(kumpul-angkut-buang) seperti yang dilakukan UPS. Munculnya sistem pengelolaan sampah dengan UPS dilatarbelangi permasalahan klasik pengelolaan sampah kota. Untuk menilai manfaat ekonomi, dilakukan penilaian secara finansial terhadap kelayakan proyek UPS dan potensi penerimaan dari olahan sampah Kota Depok yang dihitung berdasarkan potensi penerimaan olahan sampah UPS. Alur berpikir dan kerangka kerja operasional dapat dilihat pada Gambar 4.
3.3 Hipotesis Operasional Secara umum diduga bahwa penyelenggaraan program UPS Kota Depok memberikan nilai tambah secara ekonomi maupun sosial sehingga program tersebut dapat dilanjutkan. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : 1. Sampah Kota Depok yang diolah di UPS menghasilkan nilai manfaat bersih (net benefit) positif. 2. Proyek UPS Kota Depok layak secara finansial/ekonomi dan lebih menguntungkan dari sistem pengelolaan sampah tanpa UPS. 3. Proyek UPS Kota Depok mampu memberikan manfaat sosial yaitu penyerapan tenaga kerja, persepsi positif masyarakat, dan perubahan perilaku masyarakat dalam menangani sampah rumah tangganya.
39
Permasalahan Sampah Perkotaan Kota Depok : 1. Terbatasnya lahan TPA/TPS 2. Meningkatnya jumlah produksi sampah
Kebutuhan akan Sistem Penanganan Sampah yang
Unit Pengolahan Sampah (UPS)
Sistem Pengelolaan Sampah Konvensional (tanpa UPS)
Pilot Project Unit Pengolahan Sampah (UPS)
Manfaat dan Biaya
Ekonomi
Sosial
ü Analisis Biaya Manfaat /BCA ü Potensi Nilai Tambah Ekonomi Sampah Olahan Kota Depok ü Net Benefit Pengelolaan Sampah
ü Penyerapan Tenaga Kerja ü Persepsi Masyarakat Sekitar UPS ü Perubahan perilaku masyarakat dalam menangani sampah
Sistem Pengelolaan Sampah Partisipatif dan Berkelanjutan
Keterangan :
= tidak diteliti secara menyeluruh, hanya dalam perbandingan biaya dengan UPS Gambar 4. Diagram Alir Kerja Operasional
40
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di pilot project Unit Pengolahan Sampah (UPS) RW 11 Griya Tugu Asri (GTA), Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Lokasi tersebut ditentukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan keberadaan sistem baru yang terpadu dalam penanganan sampah untuk skala kota besar. Pertimbangan yang kedua adalah keseriusan Pemerintah Kota untuk melaksanakan sistem baru tersebut terbukti dengan adanya pilot project dan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat untuk melanjutkan sistem SIPESAT. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni-Juli 2008.
4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari survei pada responden rumah tangga di sekitar UPS RW 11 Kelurahan Tugu Kota Depok. Data primer diperoleh dengan cara wawancara kepada responden dan observasi lapangan. Responden berjumlah 32 orang. Responden merupakan satu orang individu wakil dari rumah tangga yang berada di sekitar UPS RW 11 serta mengetahui keberadaan UPS di wilayah tempat tinggalnya. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber yang relevan, diantaranya buku referensi, laporan kegiatan, internet, serta informasi dari sumber dan instansi terkait, seperti Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Kota Depok, Pengelola UPS, Ketua RW setempat, Lembaga Pemberdayaan
41
Masyarakat (LPM), dan Badan Pusat Statistika (BPS) Kota Depok. Jenis, sumber data, dan alat analisis berdasarkan tujuan penelitian dirangkum dalam Tabel 4. Tabel 4. Jenis dan Sumber Data Penelitian No. Tujuan Jenis dan Sumber Data Produksi sampah per UPS, komposisi sampah, Mengestimasi nilai produksi kompos dan ekonomi sampah Kota pemilahan sampah 1. Depok yang dapat anorganik, serta harga dihasilkan UPS plastik dan kompos. Sumber : DKLH. Membandingkan Data Finansial Program manfaat dan biaya SIPESAT (Biaya pengelolaan sampah operasional, Data Kota Depok sistem penjualan dan pemasaran 2. UPS, serta kompos, Data penjualan memperbandingkan bahan daur ulang). biayanya dengan biaya Sumber : Pengelola UPS sistem pengelolaan dan DKLH. sampah tanpa UPS.
3.
Mengevaluasi dampak sosial keberadaan UPS berdasarkan persepsi warga sekitar, jumlah tenaga kerja yang dapat terserap, dan perubahan perilaku masyarakat dalam menangani sampah.
Persepsi warga mengenai keberadaan, manfaat, upaya, dan perubahan perilaku dengan adanya UPS di lingkungan tempat tinggal responden serta data kebutuhan tenaga kerja per UPS. Sumber : Data Primer.
Metode Analisis Total Economic Value (Use Value) hasil olahan sampah, net benefit, dan avoided transportation cost
Analisis Biaya Manfaat (Benefit Cost Analysis/BCA).
Korelasi perubahan perilaku responden dengan adanya UPS dianalisis dengan uji nonparametrik McNemar. Persepsi responden dianalisis secara deskriptif berdasarkan hasil wawancara dan tabulasi deskriptif.
Secara rinci, data yang dibutuhkan mengenai sistem penanganan sampah kota Depok dan program UPS adalah : 1. Data fisik sampah kota seperti laju pertumbuhan sampah kota, komposisi sampah kota, dan lain-lain. 2. Data teknis pengelolaan sampah a. Sistem
operasi,
meliputi
subsistem
pengumpulan,
pemindahan,
pengangkutan, dan pengolahan. b. Peralatan yang tersedia 42
c. Kapasitas peralatan d. Kendala-kendala dalam menjalankan sistem operasi e. Sumber biaya Meliputi retribusi/APBD, subsidi/swadaya, struktur pembiayaan, volume pembiayaan, satuan pembiayaan, serta total biaya yang dibutuhkan untuk pengumpulan sampah dari sumber ke TPS, pengangkutan dan pemusnahan sampah di TPA, serta pengolahan sampah menjadi kompos. 3. Data Finansial UPS - Biaya operasional, - Investasi bangunan dan peralatan, - Data penjualan dan pemasaran kompos, - Data penjualan bahan daur ulang dari sampah yang dipilah. 4. Data organisasi dan manajemen sistem penanganan sampah Kota Depok dan Program SIPESAT (Bentuk organisasi, struktur organisasi, sistem kerja organisasi, dan kendala-kendala dalam menjalankan sistem kerja).
4.3 Teknik Pengambilan dan Pengumpulan Data Data primer yang diambil dengan teknik panduan wawancara dan responden yang dipilih berdasarkan metode judgement/purposive sampling. Sampel penelitian berjumlah 32 orang. Responden yang dipilih adalah warga perumahan Griya Tugu Asri yang berada di sekitar lokasi UPS pilot project yang telah mengetahui adanya UPS di lokasi perumahan tempat tinggal mereka. Sampel dipilih mengunakan teknik judgement/purposive sampling dengan pertimbangan bahwa yang menjadi populasi penelitian merupakan warga yang rumahnya 43
berdekatan dengan lokasi UPS RW 11. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan responden dan informan.
4.4 Teknik Analisis Data Penelitian menggunakan metode avoided transportation cost, analisis biaya manfaat (Benefit-Cost Analysis, BCA), uji non-parametrik McNemar, dan analisis deskriptif dengan tabulasi. Pengolahan data dilakukan alat bantu software komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS 13.0. 4.4.1 Potensi Nilai Ekonomi Sampah Kota Depok Untuk mengestimasi potensi nilai ekonomi sampah Kota Depok, terlebih dahulu dilakukan estimasi nilai ekonomi pada skala UPS. Estimasi skala UPS dilakukan berdasarkan volume produksi dan harga jual kompos dan plastik hasil pilahan yang diolah di UPS RW 11. Setelah itu, volume sampah pemukiman Kota Depok dihitung berdasarkan hasil perbandingan volume sampah yang dihasilkan 237 Kepala Keluarga (KK) perumahan Griya Tugu Asri (GTA) -yang dikelola oleh UPS RW 11- dengan jumlah KK per kecamatan di Kota Depok. Total Economic Value (TEV)
Use Value
Direct Value
Indirect Value
Non-use Value
Bequest Option Existence Value Value Value
Sumber : Hanley and Spash (1993)
Gambar 5. Konsep Pendekatan Valuasi Total Economic Value (TEV) Estimasi potensi nilai ekonomi sampah didasari oleh konsep Total Economic Value (TEV) khususnya direct value seperti yang terangkum pada Gambar 4. Penelitian ini tidak mencakup analisis terhadap manfaat dan biaya 44
yang tidak memiliki nilai pasar (intangible) atas keberadaan UPS RW 11. Konsep penggunaan alat analisis dalam penelitian secara jelas dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Konsep Alat Analisis Penelitian
Tangible : - Benefit - Cost Intangible : - Benefit - Cost
Direct Value Indirect Value Avoided Transportation Potensi Nilai Ekonomi Cost Hasil Olahan Sampah dan (Konsep Opportunity Cost) Benefit-Cost Analysis (tidak diteliti dalam penelitian namun diidentifikasi dalam bahasan ketiga yaitu dampak sosial)
Potensi nilai ekonomi pengelolaan sampah sistem UPS yang sebenarnya ditunjukkan oleh nilai manfaat bersih yang dihasilkan UPS dan Kota Depok. Asumsi perbandingan yang digunakan untuk menduga nilai manfaat bersih sampah Kota Depok tetap didasarkan pada hasil perhitungan di UPS. Total manfaat bersih (total net benefit) merupakan penjumlahan dari manfaat bersih kegiatan operasional UPS (operasional net benefit) ditambah biaya pengangkutan sampah yang dapat dihindarkan (avoided transportation cost). Operasional net benefit didapatkan dari perhitungan biaya dan potensi penerimaan yang dihasilkan dari kegiatan operasional UPS. Avoided transportation cost didapatkan dari jumlah volume sampah yang dapat diolah di UPS, yang besar volumenya sama dengan jumlah volume sampah yang terhindar untuk diangkut ke TPA. Total net benefit = Operasional net benefit + Avoided transportation cost Dimana :
ONB = PR - BO
Keterangan : ONB = Operasional net benefit PR = Potensi penerimaan dari hasil olahan sampah BO = Biaya operasional pengolahan sampah ATC = TSO x TrC Keterangan : ATC = Avoided transportation cost TSO = persentase total sampah diolah TrC = transportation cost 45
4.4.2 Perbandingan Biaya-Manfaat Proyek UPS dan Perbandingan Biaya Metode Pengelolaan Sampah Tanpa UPS Pada dasarnya Analisis Biaya Manfaat (Benefit Cost Analysis/BCA) dilakukan untuk menentukan biaya-biaya dan manfaat-manfaat yang timbul selama proyek berlangsung dan membandingkannya dengan situasi tanpa proyek atau
dengan
pendekatan
“melibatkan
atau
menafikan”
(with/without).
Perbedaannya adalah tambahan manfaat netto yang akan muncul dalam investasi proyek. Ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan dari suatu investasi dari aspek finansial, yaitu : 1) NPV; 2) Net B/C ratio; 3) IRR; dan 4) Payback Period. NPV digunakan untuk mengetahui layak atau tidaknya dari pemasukan yang diperoleh dibandingkan investasi dan biaya operasional. Metode NPV menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dan biaya operasional sekarang dengan pemasukan (operasional maupun terminal cash flow) di masa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan terlebih dahulu tingkat bunga yang dianggap relevan. Menurut Gittinger (1986), rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
Dimana : NPV = Net Present Value (Rp) dari proyek Unit Pengelolaan Sampah (UPS) RW 11 Kelurahan Tugu Bt = Penerimaan (benefit) UPS pada tahun ke-t (Rp) Ct = Biaya (cost) UPS pada tahun ke-t (Rp) n = umur proyek UPS (tahun) t = 1, 2, …., n i = discount rate/tingkat suku bunga yang berlaku (%) Net B/C ratio merupakan angka perbandingan antara jumlah present value positif dengan jumlah present value yang negatif, dalam arti metode ini berguna
46
untuk menghitung antara nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa datang dengan nilai sekarang investasi. Net B/C ratio yaitu angka yang menunjukkan tingkat besarnya tambahan manfaat bersih pada setiap tambahan biaya sebesar satu tahun. Proyek dapat dikatakan layak apabila Net B/C ratio, rasionya lebih besar dari 1 (satu). Rumus yang digunakan dalam perhitungan Net B/C ratio adalah sebagai berikut :
Internal Rate of Return (IRR) adalah suatu tingkat bunga (discount rate) yang menunjukkan bahwa jumlah nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi proyek. Dengan kata lain, IRR didefinisikan sebagai tingkat hasil investasi yang menyamakan nilai sekarang manfaat dan biaya. IRR dipakai secara luas oleh lembaga-lembaga finansial. Dalam analisis IRR, akan dicari pada tingkat bunga berapa (discount rate) akan dihasilkan NPV = 0. Apabila IRR yang dihitung 15 persen dan biaya dana proyek 10 persen, maka proyek tersebut secara finansial menarik. Rumus menghitung IRR adalah sebagai berikut :
Perbandingan berikut menunjukkan hubungan antar kriteria : Kriteria Proyek layak Proyek tidak layak
NPV >0 <0
Rasio B/C >1 <1
IRR >i
Payback Period (PP) atau jangka waktu pengembalian biaya-biaya yang dikeluarkan dalam suatu proyek digunakan untuk menetukan berapa lama waktu yang diperlukan oleh benefit dan depresiasi untuk mengembalikan usaha. Menurut Gittinger (1986), jika proyek yang bersangkutan memerlukan investasi modal 47
dasar dalam jumlah yang cukup besar, maka saat yang tepat untuk memulai periode analisis adalah menyesuaikan dengan umur teknis dari jenis investasi utama. Semakin cepat pengembalian investasi, maka proyek itu semakin baik untuk diusahakan. Rumus menghitung PP adalah sebagai berikut :
Dimana : I = jumlah investasi (Rp) pada UPS RW 11 Griya Tugu Asri Ab = keuntungan bersih UPS per tahun (Rupiah). Untuk menganalisis perbandingan manfaat dan biaya proyek UPS, volume sampah yang diolah dibagi menjadi tiga kondisi. Pertama, kondisi volume sampah yang riil diolah pada saat pengambilan data (existing condition). Kedua, kondisi untuk mencapai skala ekonomi (kondisi yang memberikan keuntungan finansial), dan ketiga, kondisi untuk mencapai kapasitas olah maksimum. Volume riil sampah yang diolah di UPS RW 11 adalah sebesar 7,56 m3/hari. Kapasitas olah maksimum satu unit UPS dalam sehari adalah 30 m3/hari. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Sugianti (2008) pada pengolahan sampah Pura Besakih Bali, persentase kompos yang dihasilkan adalah sebesar 31,65 persen dari total sampah yang masuk sementara persentase sampah yang dapat didaur-ulang hanya 2,45 persen dari total sampah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka komposisi hasil olahan sampah yang dibandingkan dengan volume total sampah yang masuk (volume awal) dibagi menjadi dua kondisi. Komposisi riil sampah UPS RW 11 yaitu 15 persen kompos dan satu persen plastik dan komposisi yang sesuai dengan penelitian terdahulu yaitu 31,7 persen kompos dan 2,5 persen plastik. Analisis dilakukan dalam lima skenario seperti yang ditampilkan pada Tabel 6.
48
Tabel 6. Skenario Analisis Biaya-Manfaat UPS Kapasitas Olah (Volume Sampah yang Diolah)
Komposisi Hasil Olahan Kompos dan Plastik Komposisi Riil Komposisi Harapan (Sesuai Penelitian Terdahulu) (UPS RW 11)
Kondisi Kini (Existing Condition) Skala Ekonomi Maksimisasi Kapasitas
Skenario 1
-
Skenario 2a Skenario 3a
Skenario 2b Skenario 3b
4.4.3 Analisis Deskriptif Manfaat Sosial Proyek UPS Analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, taupun suatu peristiwa di masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual, dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Langkah awal dalam analisis deskriptif adalah membuat tabel frekuensi sederhana berdasarkan jawaban masyarakat. Data tentang identitas masyarakat dan persepsi masyarakat dikelompokkan berdasarkan jawaban yang sama, ditabulasikan, kemudian dipersentasekan. Persentase terbesar merupakan persepsi yang dominan dari masing-masing atribut yang diteliti. Manfaat sosial keberadaan UPS dilihat dari tiga parameter. Pertama, jumlah tenaga kerja yang mampu terserap per-UPS yang dihitung dari kebutuhan tenaga kerja per-UPS kemudian dikalikan dengan jumlah UPS yang direncanakan akan dibangun. Kedua, persepsi responden terhadap proyek UPS yang diidentifikasi melalui penyebaran kuisioner. Ketiga, ada tidaknya pengaruh keberadaan UPS untuk mendorong perubahan perilaku responden dalam menangani sampah rumah tangganya.
49
Persepsi dimaksudkan sebagai ungkapan perasaan terhadap sesuatu objek yang dalam kasus ini objeknya adalah UPS. Informasi yang digali menyangkut : (1) keberadaan, yaitu seberapa besar responden mengetahui adanya pengolahan sampah yang dilakukan di UPS yang lokasinya berada di sekitar lingkungan tempat tinggal responden, (2) manfaat, yaitu pengetahuan responden mengenai kegunaan dari pengolahan sampah tersebut, baik untuk kebersihan lingkungan Kota Depok secara umum maupun untuk lingkungan sekitar tempat tinggal responden, (3) upaya, yaitu pengetahuan responden mengenai aktivitas atau kegiatan yang dilakukan Pemkot Depok untuk mengolah sampah, Perubahan perilaku responden dalam menangani sampah rumah tangganya dilihat dari perubahan perilaku responden antara sebelum dan sesudah adanya UPS di wilayah tempat tinggal responden. Perilaku yang dinilai perubahannya adalah perilaku membuang sampah pada tempatnya, memilah sampah rumah tangga ketika mengumpulkannya, menyediakan wadah atau tempat sampah khusus di rumah untuk memudahkan pemilahan, menggunakan kembali barangbarang yang masih bisa digunakan (reuse), meminimalkan penggunaan kantong plastik pada saat berbelanja misalnya dengan membawa tas belanja tersendiri (reduce), dan terdorong atau melakukan pengomposan sampah organik dari sampah rumah tangganya. Uji perubahan perilaku tersebut dilakukan dengan uji non-parametrik. Menurut Simamora (2005), pengujian pada dua sampel berhubungan dilakukan dengan uji McNemar. Uji dilakukan dengan hipotesis : Ho : Tidak ada perubahan perilaku antara sebelum dan sesudah adanya UPS H1 : Ada perubahan perilaku antara sebelum dan sesudah adanya UPS
50
Jika nilai signature (2-tailed) lebih kecil dari taraf nyata ( ) 15 persen (0,15) maka tolak hipotesis Ho yang artinya ada perubahan perilaku antara sebelum dan sesudah adanya UPS.
4.5 Batasan Penelitian Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Wilayah Penelitian adalah pilot project Unit Pengolahan Sampah (UPS) RW 11 Kelurahan Tugu, perumahan tempat UPS tersebut berada (Kompleks Perumahan Griya Tugu Asri), dan Kota Depok. 2. Sampah yang akan diteliti/dikelola adalah sampah rumah tangga (pemukiman), 3. Objek penelitian adalah pilot project UPS. 4. Umur proyek adalah lima tahun didasarkan pada umur teknis mesin pengolahan sampah. 5. Responden adalah warga perumahan Griya Tugu Asri tempat UPS RW 11. 6. Harga ekonomi yang digunakan dalam perhitungan Benefit-Cost Analysis (BCA) (analisis kelayakan ekonomi) diasumsikan adalah harga yang berlaku dipasar (bukan harga bayangan/ekuilibrium pasar). 7. Tingkat diskonto (i) yang digunakan merupakan tingkat suku bunga deposito Bank-bank umum pada bulan Januari 2008 yaitu sebesar 13 persen/tahun. 8. Komposisi jenis sampah pasar dan sampah rumah tangga (domestik) Kota Depok diasumsikan sama mengingat bahwa pada UPS yang berlokasi di pasar juga menampung sampah rumah tangga warga sekitar. 9. Asumsi satu tahun untuk perhitungan volume sampah adalah sebesar 365 hari. 10. Asumsi biaya tetap pada biaya listrik adalah biaya yang tetap besarannya selama umur proyek. 51
BAB V GAMBARAN UMUM PENELITIAN
5.1 Kondisi Geografis dan Kependudukan Kota Depok Kota Depok sebagai salah satu wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar 20.029 Hektar (Ha) yang terdiri dari enam wilayah administrasi kecamatan dan 63 kelurahan. Wilayah Kota Depok berbatasan dengan tiga Kabupaten dan satu Propinsi, seperti yang tertera berikut : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang dan Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunungsindur Kabupaten Bogor. Letak Kota Depok sangat strategis, diapit oleh Kota Jakarta dan Kota Bogor. Hal ini menyebabkan Kota Depok semakin tumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya perkembangan jaringan transportasi yang tersinkronisasi secara regional dengan kota-kota lainnya. Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2007 mencapai 1.470.002 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 761.382 jiwa dan penduduk perempuan 708.620 jiwa. Jumlah penduduk Kota Depok berdasarkan usia produktif (15-59 tahun) sebanyak 979.659 jiwa atau sebesar 66,64 persen, sedangkan penduduk usia non-produktif (0-14 dan >60 tahun) sebanyak 490.343 jiwa atau sebesar 33,36 persen.
52
Tabel 7. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2007 No Kode Kecamatan Jumlah Luas Kepadatan Penduduk Wilayah penduduk (jiwa) (Km2) (jiwa/Km2) (1) (2) (3) (4) (5) 010 Sawangan 166.076 45,69 3.634,84 020 Pancoran Mas 269.144 29,83 9.022,59 030 Sukmajaya 342.447 34,13 10.033,61 040 Cimanggis 403.037 53,54 7.527,77 050 Beji 139.888 14,30 9.728,38 060 Limo 149.410 22,80 6.553,07 Kota Depok 1.470.002 200,29 7.339,37 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok (2007)
Selama kurun waktu 2000-2007, laju pertumbuhan penduduk Kota Depok per tahun rata- rata adalah 3,43 persen. Meningkatnya jumlah penduduk di Kota Depok ini terjadi akibat tingginya migrasi penduduk ke Kota Depok akibat pesatnya pengembangan kota dan meningkatnya pengembangan kawasan perumahan. Di tahun 2007, kepadatan penduduk Kota Depok mencapai 7.339,37 jiwa per kilometer persegi (Km2). Kecamatan Sukmajaya merupakan Kecamatan terpadat di Kota Depok dengan kepadatan 10.033,61 jiwa per Km2, sedangkan Kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah adalah Kecamatan Sawangan yaitu sebesar 3.634,84 jiwa per Km2. Kota Depok resmi terbentuk pada 29 April 1999 sejalan dengan kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Sebelumnya Depok merupakan wilayah bagian dari Kabupaten Bogor dengan status sebagai Kota Administratif (Kotif). Visi Kota Depok tentang Pola dasar Pembangunan adalah “Depok Kota Pendidikan, Pemukiman, Perdagangan dan Jasa, yang Religius dan Berwawasan Lingkungan” sedangkan Visi Walikota terpilih adalah “Menuju Kota Depok yang melayani dan mensejahterakan”.
53
5.2 Potensi Ekonomi Daerah Kota Depok merupakan daerah yang memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Potensi tersebut karena letaknya yang sangat strategis sebagai daerah penyangga (buffer) Ibukota Jakarta. Posisi wilayah yang strategis tersebut mampu menarik minat investor untuk menanamkan modal terutama yang berkaitan dengan pengembangan kawasan Depok sebagai kota perdagangan dan jasa. Indikator ekonomi yang digunakan untuk melihat perkembangan ekonomi suatu daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Melalui data PDRB, indikator-indikator ekonomi lain dari suatu wilayah dapat digambarkan, seperti
Laju
Pertumbuhan
Ekonomi
(LPE),
struktur
perekonomian,
PDRB/Pendapatan per kapita, dan laju inflasi. LPE Kota Depok memiliki kecenderungan meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2001, laju pertumbuhan PDRB atas harga konstan tahun 2000 sebesar 5,89 persen dan pada tahun 2004 laju pertumbuhan PDRB naik menjadi 6,50 persen. LPE Kota Depok selalu lebih besar dari wilayah atasnya yaitu Propinsi Jawa Barat, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 8. Tabel 8. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Depok dan Propinsi Jawa Barat Tahun 2001-2006 Tahun LPE Kota Depok LPE Jawa Barat 5,89 4,93 2001 6,10 4,14 2002 6,26 4,84 2003 6,50 4,77 2004 6,96 5,62 2005*) 6,65 6,01 2006**) Sumber : Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok
Keterangan : *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara Peningkatan perekonomian daerah pada tahun 2001-2006 seperti yang tergambar pada Tabel 9 tidak lepas dari peranan sektor-sektor perekonomian di
54
wilayah Depok. Kekuatan perekonomian Kota Depok tahun 2001-2006 bertumpu pada sektor industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan. Kontribusi sektorsektor perekonomian daerah Depok dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Depok Berdasarkan Kontribusi Sektor Ekonomi Tahun 2001-2006 Kelompok 2001 2002 2003 Sektor/Sektor Primer 3,04 3,58 2,23 1. Pertanian 3,04 3,58 2,23 2. Pertambangan dan Galian Sekunder 6,78 7,60 6,88 3. Industri Pengolahan 7,04 8,57 7,21 4. Listrik, Gas, dan Air 4,20 3,87 5,62 Minum 5. Bangunan/Konstruksi 6,64 3,84 5,54 Tersier 5,21 4,76 5,93 6. Perdagangan, Hotel, 5,59 2,67 5,87 dan Restoran 7. Pengangkutan dan 3,73 15,38 6,95 Komunikasi 8. Bank dan Lembaga 5,04 6,69 7,34 Keuangan Lainnya 9. Jasa-jasa 4,77 5,21 4,78 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok Keterangan : *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara
2004
2005*)
2006**)
4,24 4,24 -
4,70 4,70 -
4,27 4,27
6,94 7,27 5,66
8,03 9,00 7,86
6,44 7,15 3,03
5,58 6,21 5,91
2,00 5,98 6,07
3,49 7,73 9,39
6,83
7,95
2,23
10,32
6,64
2,80
4,83
3,94
8,04
-
Berdasarkan Tabel 9, terlihat bahwa perekonomian Depok bertumpu pada kelompok sektor sekunder seperti industri pengolahan dan konstruksi, serta kelompok sektor tersier seperti sektor perdagangan. Semakin baiknya LPE Kota Depok berdampak pula pada peningkatan pendapatan/PDRB per kapita Kota Depok seperti yang tertera pada Tabel 10. Perkembangan PDRB per kapita tahun 2001-2006 Kota Depok terus mengalami peningkatan yang berarti kondisi kesejahteraan masyarakat juga meningkat. Kesimpulan tersebut dikarenakan secara umum peningkatan pendapatan per kapita terutama peningkatan PDRB per kapita berdasarkan harga konstan menggambarkan peningkatan daya beli masyarakat. 55
Tabel 10. PDRB Per Kapita Kota Depok Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2001-2006 Tahun PDRB Per Kapita Atas PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Dasar Harga Konstan 3.470.917 3.113.485 2001 3.957.922 3.190.870 2002 4.382.014 3.283.308 2003 4.827.072 3.385.720 2004 5.569.813 3.508.084 2005*) 6.408.949 3.620.578 2006**) Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok
Keterangan : *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara 5.3 Sistem Pengelolaan Persampahan Kota Depok Lembaga pengelola kebersihan/sampah Kota Depok adalah Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) c.q Bidang Kebersihan sedangkan pengangkutan sampah khususnya dilakukan oleh Bidang kebersihan Seksi Operasional Pengangkutan. Visi DKLH Kota Depok adalah terwujudnya Kota Depok yang bersih dan berwawasan lingkungan. DKLH Kota Depok tidak melibatkan swasta dalam penanganan transportasi sampah. Khusus penanganan operasional pengangkutan sampah pasar, dilakukan tersendiri oleh dinas pengelola sampah. Dari tahun ke tahun, luas daerah pelayanan kebersihan dan penduduk yang harus dilayani oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Depok semakin meningkat (Tabel 11). Peningkatan tersebut membuat Pemkot Depok juga meningkatkan jumlah anggaran sektor kebersihan seperti yang ditampilkan pada Tabel 12. Tabel 11. Tingkat pelayanan kebersihan kota Depok No. 1. 2. 3.
Pelayanan
Tingkat Pelayanan 2005 2006 2007 86.125 9.123,34 10.214 588.868 644.000 724.444 43 46 51
Luas daerah pelayanan (Ha) Jumlah penduduk terlayani (jiwa) Jumlah penduduk terlayani terhadap jumlah penduduk perkotaan (%) Sumber : Laporan Adipura DKLH Kota Depok, 2007
56
Tabel 12. Jumlah Anggaran Total dan Anggaran Kebersihan Kota Depok No Jumlah Jumlah Anggaran Anggaran Tahun 2005 2006 2007 a. APBD Total 478.880.566.0 689.819.605.865 905.315.660.949 94 b. APBD sektor LH 18.054.345.83 81.177.045.689 103.717.749.897 6 c. Lembaga Pengelola 1.790.988.000 15.329.914.755 25.986.071.670 LH
d.
Lembaga Pengelola Sampah
Lembaga pengelola LH tergabung dengan lembaga pengelola sampah, yaitu Dinas Kebersihan dan Lingkungan Kota Depok
12.899.860.12 4
7.775.782.860
10.812.713.065
Lembaga pengelola sampah pasar (Dinas Pengelola Pasar) e.
Lembaga/Unit Pengelola RTH PAD (Pendapatan Asli Daerah)
12.734.060.12 63.878.455.884 4 f. 68.631.174.736 63.417.687.92 3 Sumber : Laporan Adipura DKLH Kota Depok, 2007
75.337.096.578 75.457.361.774
Semakin meningkatnya jumlah penduduk menimbulkan konsekuensi ikut meningkatnya jumlah sampah yang dihasilkan. Salah satu pola dasar pembangunannya sebagai kota pemukiman berdampak pada karakteristik dan asal timbulan sampah yang sebagian besar berasal dari perumahan penduduk (Tabel 13 dan 14), sedangkan dari Tabel 15 dapat disimpulkan bahwa pelayanan sampah Kota Depok baru mencakup 51 persen dari keseluruhan timbulan sampah yang dihasilkan. Dari 51 persen sampah yang dapat diangkut tersebut, baru 10,7 persen didalamnya yang dapat dijadikan kompos dan didaur ulang. Tabel 13. Timbulan dan Jumlah Sampah yang Terangkut Pada Tahun 2006/2007 No. Lokasi Timbulan (m3/hari) Sampah terangkut (m3/hari) 1. Perumahan 2258,40 1151,78 2. Sarana Kota 451,68 23,36 3. Perairan terbuka 677,52 345,50 4. Pantai Wisata 5. Lokasi lainnya 376,40 191,96 Total 3764 1919 Sumber : Laporan Adipura DKLH Kota Depok, 2007
57
Tabel 14. Karakteristik Sampah Kota Depok Komponen Persentase (%) Sampah Makanan 61,08 Plastik 13 Kertas 1,51 Karton 1,79 Kayu, bambu 7,10 Baju, tekstil 1,88 Logam 0,41 Gelas 0,58 Tulang dan Kulit Telur Karet, Kulit 1 Ranting dan Daun 6,37 Baterai Botol Plastik Lain-lain 4,96 Sumber : Laporan Adipura DKLH Kota Depok, 2007 Tabel 15 . Penanganan Sampah Kota Depok No. Penanganan Volume 1. Diangkut TPA 1919 2. Diolah : a. Kompos 178 b. Daur ulang kertas, botol, dll 30 c. Insinerator 3. Tidak terangkut 1844 Sumber : Laporan Adipura DKLH Kota Depok, 2007
Prosentase 51 % 9,2 % 1,5 % 49 %
Sistem pengangkutan sampah yang dilakukan di Kota Depok saat ini terbagi dalam berbagai macam sistem, antara lain : 1) Sistem Individual Langsung : dilakukan secara langsung door to door oleh petugas DKLH yang menaikkan sampah ke dalam truk untuk selanjutnya dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, 2) Sistem Individual tak langsung : sampah dari rumah tangga dibawa sendiri oleh warga ke suatu tempat pengumpulan (TPS/Container) untuk selanjutnya oleh petugas DKLH dibawa ke TPA, 3) Sistem Komunal Langsung : sampah dari rumah tangga diangkut oleh petugas DKLH dengan gerobak ke
58
TPS/Container, untuk dibawa ke TPA, 4) Sistem Komunal Tak Langsung : sampah dari rumah tangga diangkut oleh petugas kebersihan lingkungan setempat dengan menggunakan gerobak ke TPS/Container, dan selanjutnya oleh petugas DKLH dibawa ke TPA, 5) Sistem penyapuan jalan : sampah dari hasil sapuan yang dilakukan oleh para pesapon (tukang sapu) dikumpulkan di bak-bak sampah untuk selanjutnya dinaikkan ke dalam truk dan dibawa ke TPA. Pengumpulan sampah dari enam pasar di Kota Depok yaitu Pasar Agung, Kemiri, Musi, Cisalak, Pal, dan Depok Jaya, dilakukan olek truk dan arm roll yang dikelola oleh Dinas Pasar sendiri. Pengumpulan sampah domestik dari daerah industri dan rumah sakit dilakukan oleh DKLH Kota Depok menggunakan truk dan arm roll. Sampah sisa produksi yang berbahaya (B3) diangkut menggunakan kendaraan khusus ke PPLI Cileungsi. Untuk sampah yang berasal dari jalan, sungai, dan taman, pengumpulannya dilakukan
bersama-sama
dengan
sampah dari daerah
komersial,
yaitu
menggunakan truk dan arm roll. Peralatan pengumpulan sampah di kawasan perumahan dapat dilakukan dengan menggunakan motor sampah (kapasitas 1,2 m3), sedangkan untuk kawasan perumahan non kompleks dan perumahan kumuh/bantaran sungai cukup dilakukan dengan menggunakan gerobak (kapasitas 1 m3). Jumlah truk pengangkut sampah yang digunakan untuk operasional sebanyak 47 truk dengan kapasitas 6-8 m3. Jumlah pengangkutan (ritasi) rata-rata truk ke TPA adalah dua ritasi/hari. TPA yang dipakai untuk menampung sampah akhir wilayah Depok adalah TPA Cipayung yang beralamat di Jalan Bukit Kapur, Kelurahan Cipayung Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. TPA Cipayung beroperasi sejak tahun
59
1992 dengan luas 10,1 hektar (Ha) dan perbandingan zonasi/sel dengan lahan bangunan 60 : 40. Luas lahan TPA yang telah terpakai 6 Ha dari jumlah total luasan yang ada. Meskipun metode pengelolaan TPA Cipayung telah dirancang sebagai “sanitary landfill”, namun utamanya dioperasikan dengan prinsip “controlled landfill”. Pelapis dasar TPA yang digunakan adalah lempung dipadatkan. TPA Cipayung dilengkapi dengan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) untuk mengolah lindi/leachate serta pipa pembuangan gas metan dan sumur pantau. Pengujian kualitas air di inlet dan outlet IPAL TPA serta kualitas air badan air dilakukan secara berkala setiap enam bulan sekali oleh DKLH. Tabel 16 . TPA dan Fasilitas Pengelolaan Persampahan Lainnya yang Digunakan di Kota Depok Nama Lokasi Luas Luas yang sudah Akhir masa Wilayah Total beroperasi guna Kec. Pancoran 10,1 Ha 6 Ha Tahun 2010 TPA Cipayung Mas Depo Jln. Kec. Sukmajaya 200 m2 200 m2 Sadewa Depo Jln. Kec. Pancoran 200 m2 200 m2 Mawar Mas Depo Jln. Jawa Kec. Beji 200 m2 200 m2 (tersebar di TPS 113 unit seluruh wilayah bervariasi Kota Depok) Kantor DKLH Jln. Siliwangi 9 Sumber : Laporan Adipura DKLH Kota Depok, 2007
5.4 Unit Pengolahan Sampah (UPS) Pada awal pencanangan sistem pengelolaan sampah dengan menggunakan metode 3R (Reduce, Reuse dan Recycle/Mengurangi, Menggunakan kembali dan Mendaur Ulang) tahun 2006, Pemkot Depok mengenalkan sistem tersebut dengan nama SIPESAT. SIPESAT merupakan kependekan dari Sistem Pengolahan dan Pengelolaan Sampah Terpadu yang dimulai dengan pembangunan suatu tempat
60
percontohan pengolahan sampah di Kompleks Griya Tugu Asri, Kelurahan Tugu Kecamatan Cimanggis, Depok. Sampah yang ada di Kompleks perumahan tersebut diolah kedalam mesin pencacah sampah, kemudian sampah organiknya diolah menjadi pupuk kompos dan sampah anorganiknya dikumpulkan untuk dimanfaatkan kembali. Mesin tersebut berkapasitas produksi 30 m3 sampah/hari dan dapat menampung sampah di satu kawasan berpenduduk 3000 Kepala Keluarga (KK) atau setara dengan jumlah warga satu kelurahan. Namun pada awal tahun 2008, nama SIPESAT diganti menjadi Unit Pengolahan Sampah (UPS) karena pertimbangan spesifikasi ruang lingkup pelaksanaan program dan pertimbangan lainnya. UPS merupakan program yang melibatkan masyarakat, swasta, dan pemerintah daerah. Peran serta swasta dan masyarakat sangat penting terutama dalam penyediaan lahan untuk pengolahan skala kawasan, tenaga kerja, maupun dari sisi pendanaan. Ada tiga pendekatan yang dilakukan oleh Pemkot Depok khususnya DKLH dalam mengelola sampah, yaitu : 1. Skala TPA. Peranan TPA Cipayung sebagai tempat pembuangan akhir Kota Depok sementara masih diperlukan. Namun, beban sampah yang dibuang ke TPA akan terus direduksi sampai akhirnya fungsi TPA sebagai tempat pembuangan akhir berubah menjadi tempat composting terintegrasi atau fungsi-fungsi lain yang lebih ramah lingkungan. 2. Skala Kawasan. Program yang dilakukan dengan pendekatan skala kawasan merupakan upaya untuk mengubah paradigma pengelolaan sampah yang lama, yaitu kumpul-angkut-buang menjadi kumpul-olah-manfaat. Program yang dilakukan adalah membangun Unit Pengolahan Sampah (UPS) dalam skala
61
kawasan di berbagai kawasan perumahan, permukiman penduduk, kawasan industri, pasar, dan berbagai areal publik lainnya. Pemkot Depok telah merencanakan untuk membangun UPS-UPS mulai tahun 2007-2011 sebanyak 60 unit agar volume sampah yang dibuang ke TPA Cipayung dapat direduksi. 3. Skala Rumah Tangga. Program yang sangat penting dalam pengelolaan persampahan adalah menyadarkan dan melibatkan masyarakat terutama pada tingkat rumah tangga untuk melakukan pemilahan sampah, walaupun upayaupaya tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah karena berkaitan dengan perubahan kultur dan cara pandang. Mulai tahun 2008, DKLH Kota Depok memprogramkan kegiatan composting Rumah Tangga. Warga yang tinggal di satu Rukun Warga (RW) akan diajak berpartisipasi untuk mengubah kebiasaan “membuang sampah” menjadi “memilah sampah” dan di RW tersebut akan dibentuk Kelompok Kerja/Kader-Kader Kebersihan yang akan mengawasi kebersihan di lingkungan tempat tinggalnya. Pada tahun 2007, Pemkot Depok mulai melakukan sosialisasi tentang pentingnya mengolah dan memilah sampah. Sosialisasi dilakukan dimulai terhadap Eksekutif, Legislatif dan Masyarakat. Pemerintah juga menyiapkan sarana tempat sampah dan gerobak sampah yang sudah terpisah sebanyak 480 tong sampah dan 120 gerobak. Sosialisasi dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban pemerintah dalam menyediakan fasilitas pengolahan sampah dengan pola 3R. Pada tahun 2008, DKLH Kota Depok merencanakan akan membangun 20 UPS yang lokasinya antara lain : 7 UPS di Pancoranmas, 2 UPS di Sukmajaya, 4 UPS di Cimangis, 3 UPS di Beji, 2 UPS di Limo dan 2 UPS di Sawangan.
62
Sejak tahun 2006 hingga pertengahan tahun 2008, Pemkot Depok telah memiliki beberapa UPS, antara lain : 1. UPS TPA Cipayung (Bantuan dari KLH dikelola oleh DKLH), 2. UPS Griya Tugu Asri (Pada tahun 2006 -2007 dikelola oleh LPM Tugu dan sejak tahun 2008 dikelola oleh DKLH), 3. UPS Depan Perumahan Nuansa Permai (Bantuan dari Program Cap Dinas PU Kota Depok tahun 2007 dan pada tahun 2008 dikelola oleh DKLH), 4. UPS Stasiun Depok Baru (Bantuan dari Program Cap Dinas PU Kota Depok tahun 2007 dan pada tahun 2008 dikelola oleh DKLH), 5. UPS Komplek Kopassus Sukatani (Bantuan dari Satlak PPK IPM tahun 2007 dan pada tahun 2008 dikelola oleh DKLH), 6. UPS di lahan milik Yayasan Gunadarma, Tugu (Bantuan dari Satlak PPK IPM tahun 2007 dan pada tahun 2008 dikelola oleh DKLH yang diperkirakan baru berjalan pada bulan Agustus 2008), 7. UPS Pasar Cisalak (Bantuan dari Bank Jabar Kota Depok dan dikelola oleh Dinas Pasar), 8. UPS Pasar Kemiri (dikelola oleh Dinas Pasar), 9. UPS di Perumahan Mahogani Residence, Cibubur, (dibangun oleh developer sebagai bagian dari upaya swasta dalam mengurangi timbulan sampah). Manfaat UPS dapat berupa manfaat langsung, yang dapat dinikmati oleh masyarakat berupa produk olahan, dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung antara lain kompos, bahan daur ulang, dan abu. Hasil pencacahan sampah organik setelah melalui proses dekomposisi akan menghasilkan kompos. Kompos dapat dijual kepada petani dan menghasilkan pemasukan. Barang-barang yang
63
berpotensi sebagai produk daur ulang seperti besi, aluminium, karton, kertas, dan berbagai jenis plastik, dapat dikumpulkan dan dijual kepada para pengusaha yang bergerak di bidang daur ulang untuk menghasilkan uang. Berbagai jenis sampah yang tidak dapat didaur ulang dan diolah menjadi kompos, yang volume umumnya 3-8 persen dari total volume sampah, selanjutnya dibakar secara ramah lingkungan dan menghasilkan abu. Abu tersebut sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan batako, genting, atau dimanfaatkan untuk abu gosok. Pengolahan abu oleh para pengusaha akan menciptakan lapangan kerja baru dan produk yang bernilai jual. Sementara itu, manfaat UPS secara tidak langsung, antara lain, mengurangi ketergantungan pada TPA secara bertahap karena sampah diolah langsung pada sumbernya. Sampah dikumpul dan diolah pada hari yang sama sehingga tidak menimbulkan timbunan sampah yang berbau busuk. Selain itu, manfaat UPS yaitu mampu melibatkan masyarakat meskipun berpendidikan rendah untuk dilatih menjadi tenaga kerja UPS, mengurangi biaya pengolahan dan pengelolaan sampah kota, dan meningkatnya peran aktif masyarakat dalam mengolah sampah serta kesadaran masyarakat tentang manfaat daur ulang.
5.5 Karakteristik Demografi Responden Responden berjumlah 32 orang yang diambil berdasarkan judgement sampling (non-probability sampling). Responden dipilih dengan berdasarkan pertimbangan rumah tempat tinggalnya berdekatan dengan UPS RW 11 Kelurahan Tugu sehingga dianggap merasakan langsung dan dapat memberikan penilaian yang objektif terhadap keberadaan UPS tersebut. Karakteristik
64
demografi responden terdiri dari jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, dan pekerjaan. Berdasarkan jenis kelamin, responden didominasi oleh pria sebanyak 17 responden (53,13 persen). Berdasarkan umur, responden yang dominan adalah yang berumur antara 31-40 tahun sebanyak 10 responden (31,25 persen). Responden sebagian besar berpendidikan terakhir Strata 1 (S1) yaitu sebesar 46,88 persen atau 15 responden. Kecenderungan tersebut dikarenakan Perumahan Griya Tugu Asri merupakan perumahan yang sebagian besar penduduknya berstatus ekonomi menengah ke atas sehingga responden memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi. Responden juga didominasi oleh Ibu Rumah Tangga (IRT) sebanyak 11 responden (34,38 persen). Dominasi tersebut dikarenakan pada saat pengambilan data, responden yang banyak berada di rumah dan menangani masalah sampah domestik/rumah tangga adalah Ibu rumah tangga. Tabel 17. Persebaran Karakteristik Demografi Responden Karakteristik Demografi Kategori Jumlah Jenis Kelamin Pria 17 Wanita 15 < 20 4 Umur 21-30 4 31-40 10 41-50 9 >51 5 SMA 8 Pendidikan Terakhir D3/Akademi 5 S1 15 S2 4 Pekerjaan Ibu Rumah Tangga 11 Swasta/Dosen 7 Wiraswasta 5 PNS 2 Mahasiswa 5 Lain-lain 2 Sumber : diolah dari data primer, 2008
Persentase 53,13 46,88 12,50 12,50 31,25 28,13 15,63 25,00 15,63 46,88 12,50 34,38 21,88 15,63 6,25 15,63 6,25
65
BAB VI EVALUASI EKONOMI DAN SOSIAL KEBERADAAN UNIT PENGOLAHAN SAMPAH (UPS) KOTA DEPOK
6.1 Potensi Nilai Ekonomi Sampah Kota Depok Potensi nilai ekonomi sampah Kota Depok untuk diolah menjadi kompos dan bahan daur ulang dapat dari jumlah produksi (volume) sampah kota dan harga jual. Volume sampah pemukiman Kota Depok didapat dari hasil perbandingan volume sampah yang dihasilkan warga perumahan Griya Tugu Asri (GTA), yang dikelola oleh UPS RW 11, dengan jumlah Kepala Keluarga per kecamatan di Kota Depok. Nilai ekonomi yang berpotensi dihasilkan sampah pemukiman tersebut dihitung berdasarkan volume jenis sampah yang masih bernilai ekonomi dikalikan dengan
harga
hasil
olahan
sampah
tersebut
di
lapang
(lapak/tempat
penampungan). Sebagian besar volume sampah yang diolah di UPS RW 11 merupakan sampah rumah tangga warga perumahan GTA yang berjumlah 237 Kepala Keluarga (KK). Berdasarkan data dari UPS, jumlah sampah yang masuk untuk diolah dalam setahun terakhir (bulan Juli 2007-Juni 2008) berjumlah 2252,51 m3 atau 7,56 m3/hari. Setelah mengalami pemilahan dan pengolahan lebih lanjut maka dihasilkan kompos dan plastik yang masih dapat dikumpulkan untuk dijual. Berdasarkan harga yang berlaku secara umum di pedagang pengumpul plastik bekas, plastik bekas memiliki harga rata-rata sebesar Rp 600/kg (kilogram) sedangkan kompos hasil olahan sampah dihargai Rp 10.000/25 kg oleh masyarakat setempat. Potensi penjualan plastik bekas dan kompos yang dapat dihasilkan oleh satu UPS tertera pada Tabel 18.
66
Tabel 18. Potensi Nilai Ekonomi Olahan Sampah UPS RW 11 Kelurahan Tugu per Tahun (Volume Sampah yang Diolah 7,56 m3/hari) Bulan
Volume total (m3 ) (a)
Jul-07
181,30
Volume Sampah Setelah dipilah
Hasil Olahan Sampah
Organik (m3)
Plastik (m3)
Sisa Sampah (m3)
Hasil Kompos (per karung)*
Volume sampah plastik (kg)
Sisa Kompos (kg)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
41,66
Potensi Penjualan Kompos
Potensi Penjualan Plastik
0,55
21,25
347
192,43
3843
(e) x Rp 10.000/karung Rp 3.473.120
(f) x Rp 600/kg Rp
115.458
Agust-07
180,61
38,99
4,34
19,89
370
1517,70
4096
Rp
3.702.440
Rp
910.619
Sep-07
174,05
37,75
3,91
19,25
331
1369,44
3667
Rp
3.314.640
Rp
821.663
Okt-07
183,95
39,67
4,48
20,23
341
1566,98
3777
Rp
3.413.480
Rp
940.187
Nop-07
197,36
45,67
0,12
23,29
362
42,12
4002
Rp
3.616.760
Rp
25.271
Des-07
188,87
42,06
2,59
21,45
369
906,00
4084
Rp
3.691.520
Rp
543.598
Jan-08
172,40
40,12
2,08
20,41
217
728,84
1900
Rp
2.170.000
Rp
437.304
Feb-08
154,86
37,31
0,14
18,80
317
48,86
3710
Rp
3.170.000
Rp
29.316
Mar-08
151,47
37,70
0,15
17,17
424
52,68
4240
Rp
4.240.000
Rp
31.605
Apr-08
191,63
48,49
0,18
20,93
535
63,21
5350
Rp
5.350.000
Rp
37.926
Mei-08
249,48
65,30
0,23
25,08
696
81,38
6960
Rp
6.960.000
Rp
48.825
Jun-08
226,52
55,10
3,91
23,27
377
1367,56
3770
Rp
3.770.000
Rp
820.533
TOTAL
2252,51
529,82
22,68
251,02
4687
7937,17
49399
Rp
46.871.960
Potensi Total Penerimaan
Rp
Rp 4.762.304
51.634.264
Keterangan : *) = karung dengan ukuran 25 kg total volume sampah setelah dipilah (b + c + d) = 35,67 % volume total sampah yang masuk (a) total volume hasil olahan sampah (e + f + g) = 62,05 % total volume sampah setelah dipilah (b + c + d) total volume hasil olahan sampah (e + f + g) = 22,14 % volume total sampah yang masuk (a) volume residu (sampah yang dibuang ke TPA) = 17,41 % volume total sampah yang masuk (a)
Sumber : diolah dari data sekunder, 2008
67
Sampah yang masuk untuk diolah di UPS mengalami penyusutan volume selama proses pengolahan sehingga terdapat perbedaan volume antara volume sampah yang masuk (total awal), volume sampah setelah dilakukan pemilahan, dan volume sampah setelah diolah (hasil olahan sampah). Pada sampah organik, penyusutan kadar air dan volume terjadi karena mengalami proses pencacahan sampah pada saat pemilahan serta proses fermentasi, pengayakan, dan pematangan pada saat pembuatan kompos. Pada sampah non-organik (plastik), penyusutan terjadi karena proses pemadatan (pressing) plastik ketika dikemas. Alur proses pengolahan sampah di UPS RW 11 dapat dilihat pada Lampiran 3. Guna memperoleh volume sampah yang dihasilkan pemukiman pada setiap kecamatan di Kota Depok berdasarkan jenisnya yaitu sampah organik dan plastik, maka dilakukan perbandingan volume sampah yang dihasilkan sekitar 237 KK perumahan GTA, sebesar 2.552,51 m3/tahun atau rata-rata sebesar 7,56 m3/hari, dengan jumlah KK masing-masing kecamatan. Hasil perhitungan tersebut diharapkan dapat memberikan perkiraan jumlah volume sampah yang masuk, diolah, dan hasil olahannya untuk seluruh wilayah Depok. Hasil perhitungan potensi nilai ekonomi olahan sampah Kota Depok dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 menunjukkan bahwa sampah pemukiman Kota Depok memiliki potensi nilai ekonomi yang sangat besar apabila hasil olahan sampahnya dapat diproses, dikemas, dan dipasarkan dengan baik. Kecamatan Cimanggis menghasilkan potensi nilai ekonomi olahan sampah yang paling besar. Menurut data DKLH, sampah domestik merupakan jenis sampah dominan di Kota Depok yaitu sebesar 62 persen. Namun, dalam kenyataannya, potensi nilai ekonomi sebesar total Rp 81.059.694.857 tersebut belum dapat dicapai secara optimal
68
karena belum adanya pasar yang jelas terhadap produk olahan sampah. Permintaan terhadap kompos dan plastik bekas pun masih bersifat fluktuatif sehingga penerimaan selama penelitian dilakukan masih belum maksimal. Potensi nilai ekonomi pengelolaan sampah UPS yang sebenarnya ditunjukkan oleh nilai manfaat bersih yang dihasilkan per UPS dan Kota Depok. Asumsi perbandingan yang digunakan dalam perhitungan untuk menduga nilai manfaat bersih sampah Kota Depok tetap didasarkan pada hasil perhitungan di UPS. Total manfaat bersih (total net benefit) merupakan penjumlahan dari manfaat bersih kegiatan operasional UPS (operasional net benefit) ditambah biaya pengangkutan sampah yang dapat dihindarkan (avoided transportation cost). Operasional net benefit didapatkan dari perhitungan biaya dan potensi penerimaan yang dihasilkan dari kegiatan operasional UPS. Avoided transportation cost didapatkan dari jumlah volume sampah yang dapat diolah di UPS, yang besar volumenya sama dengan jumlah volume sampah yang terhindar untuk diangkut ke TPA. Perhitungan manfaat bersih tersebut dapat dilihat lebih lanjut pada Tabel 20. Hasil perhitungan pada Tabel 20 memperlihatkan bahwa dalam skala UPS, manfaat bersih pengelolaan sampah sistem UPS yang dihasilkan bernilai negatif yaitu sebesar Rp 146.879.736 Manfaat bersih negatif tersebut disebabkan volume sampah yang masuk untuk diolah di UPS RW 11 sebesar 7,56 m3/hari belum memenuhi kapasitas maksimum pengolahan sampah per UPS yang sebesar 30 m3/hari. Penyebab lainnya adalah rasio/persentase hasil olahan sampah dibandingkan volume sampah yang diolah masih sangat kecil. Belum terpenuhinya kapasitas maksimum dan persentase hasil olahan tersebut tersebut
69
menyebabkan potensi penerimaan yang berasal dari hasil olahan sampah juga menjadi tidak optimal. Hasil yang berbeda diperlihatkan pada perhitungan dalam skala Kota Depok. Adanya rencana pembangunan 60 UPS (merujuk pada jumlah kelurahan di Kota Depok sebanyak 63 Kelurahan) sampai tahun 2011, membuat estimasi manfaat bersih pengolahan sampah sistem UPS secara keseluruhan (sewilayah Depok) bernilai positif Rp 105.101.317.536 Perbedaan estimasi manfaat bersih antara skala UPS dan skala Kota Depok (walaupun dibandingkan dengan volume sampah domestik per KK yang sama besarnya) disebabkan karena tidak semua sampah domestik masyarakat Kota Depok dapat terlayani untuk diolah di UPS sehingga nilai tambah ekonomi sampah olahan untuk seluruh Kota Depok belum dapat diberdayakan sesuai dengan potensinya. Rencana pembangunan UPS oleh Pemkot Depok sampai tahun 2011 hanya sebanyak 60 unit sehingga diasumsikan biaya operasional UPS se-Kota Depok hanya sebatas 60 unit tersebut. Manfaat bersih yang bernilai negatif pada skala UPS dapat dihindari dengan dua cara yaitu menambah volume sampah yang diolah sampai taraf kapasitas maksimum atau meningkatkan persentase hasil olahan sampah terhadap volume sampah yang diolah (sampah masuk). Estimasi besar volume sampah diolah sebesar 30 m3/hari dan peningkatan persentase hasil sebesar 31,7 persen kompos dan 2,5 persen plastik pilahan dihasilkan dari hasil analisis biaya-manfaat yang dibahas lebih lanjut pada bahasan 6.2. Berdasarkan perhitungan manfaat bersih yang sama seperti pada Tabel 20, manfaat bersih dari empat skenario alternatif yang bertujuan mengubah manfaat bersih skala UPS menjadi bernilai positif, terangkum pada Tabel 21. Peningkatan
70
volume sampah yang masuk (diolah) ke UPS dari 7,56 m3/hari menjadi 30 m3/hari dan peningkatan persentase hasil olahan sampah akan mampu membuat potensi penerimaan bertambah dan juga mengubah status kelayakan proyek UPS RW 11 menjadi layak dioperasikan. Berdasarkan analisis tersebut, maka pengelola UPS hendaknya memilih salah satu dari empat skenario alternatif pengembangan UPS tersebut. Rencana pembangunan 60 UPS di seluruh wilayah Kota Depok hendaknya diteruskan oleh Pemkot Depok agar manfaat bersih pengolahan sampah sistem UPS, efisiensi teknis pengolahan sampah, dan peningkatan cakupan pelayanan sampah untuk wilayah Kota Depok dapat tercapai.
71
Tabel 19. Potensi Nilai Ekonomi Olahan Sampah Kota Depok per Tahun (Volume Sampah yang Diolah 7,56 m3/hari) Volume Sampah yang Hasil Olahan Sampah diolah Jumlah Potensi Penjualan Kecamatan No. Kompos KK Kompos Organik 3 Plastik (m ) (per Plastik (kg) (m3) karung)** (a)
1 Sawangan Pancoran 2 Mas*) 3 Sukmajaya*) 4 Cimanggis*) 5 Beji 6 Limo TOTAL
(b)
(c)
(d)
(e)
(d) x Rp 10.000/karung
Potensi Penjualan Plastik (e) x Rp 600/kg
69.745
155.918,04
6.673,64
1.379.361
2.335.773,00
Rp
13.793.606.963
Rp
1.401.463.799
80.077
179.015,68
7.662,27
1.583.699
2.681.793,60
Rp
15.836.987.092
Rp
1.609.076.158
55.602
124.300,73
5.320,35
1.099.652
1.862.121,30
Rp
10.996.517.806
Rp
1.117.272.782
96.815
216.434,22
9.263,86
1.914.729
3.242.352,32
Rp
19.147.294.546
Rp
1.945.411.394
32.558
72.784,85
3.115,35
643.906
1.090.373,46
Rp
6.439.060.226
Rp
654.224.079
37.265
83.307,56
3.565,75
736.997
1.248.011,77
Rp
7.369.972.951
Rp
748.807.061
372.062
831.761,08
35.601,22
7.358.344
12.460.425,45
Rp
73.583.439.584
Rp
7.476.255.273
Total Potensi Penerimaan
Rp 81.059.694.857
Keterangan : *) Data tahun 2006 **) karung dengan ukuran 25 kg Asumsi perbandingan yang digunakan : (b) = ( ) × ( ) (c) = × ( ) (d) = × =
( )×63 % ×350 ( )
25
× = (c) x 350 kg
(e) =
Sumber : diolah dari data sekunder, 2007 72
Tabel 20. Manfaat Bersih (Net Benefit) Proses Pengolahan Sampah dengan UPS per Tahun (Kondisi Riil UPS RW 11 7,56 m3/hari) Operasional net Avoided transportation Potensi Biaya operasional Transportation cost penerimaan benefit cost Skala (a) (b) (c) = (a) – (b) (d) (e) = 82,59 % x (d) Rp Rp Rp Rp Rp 51.634.264 198.994.000 (147.359.736)* 27.729.000 22.901.381 UPS Rp Rp Rp Rp Rp 11.939.640.000 69.120.054.857 43.531.254.000 35.952.462.679 Depok 81.059.694.857 UPS Rp (124.458.355)* Total net benefit = (c) + (e) Depok Rp 105.072.517.536 Keterangan : *) = nilai negatif 82,59 % merupakan persentase sampah yang terolah di UPS (setelah dikurang volume residu) = (100-17,41)% (b) dihitung berdasarkan analisis biaya-manfaat pada bahasan 6.2 Perhitungan untuk skala Kota Depok = Biaya operasional 1 UPS x 60 UPS (jumlah UPS yang direncanakan Pemkot untuk dibangun) (d) UPS = 237 KK x Rp 9.750 x 12 bulan Kota Depok = 372.062 KK x Rp 9.750 x 12 bulan Sumber : diolah dari data sekunder, 2008
Tabel 21. Manfaat Bersih (Net Benefit) UPS Berdasarkan Empat Skenario Pencapaian Skala Ekonomi dan Maksimisasi Kapasitas Olah Skenario Skenario 2a (Volume sampah olah 28,5 m3/hari, 15 % kompos, dan 1% plastik pilahan) Skenario 2b (Volume sampah olah 16,5 m3/hari, 31,7 % kompos, dan 2,5 % plastik pilahan) skenario 3a (Volume sampah olah 30 m3/hari, 15 % kompos, dan 1% plastik pilahan) Skenario 3b (Volume sampah olah 30 m3/hari, 31,7 % kompos, dan 2,5 % plastik pilahan) Sumber : diolah dari data sekunder, 2008
Skala UPS Kota Depok UPS Kota Depok UPS Kota Depok UPS Kota Depok
Manfaat Bersih (Net Benefit) Rp 91.643.759 Rp 512.507.993.040 Rp 156.800.434 Rp 636.298.567.633 Rp 117.003.962 Rp 556.988.229.821 Rp 368.927.462 Rp 1.010.728.504.815
73
6.2 Perbandingan manfaat dan biaya sistem pengelolaan sampah Kota Depok dengan dan tanpa Unit Pengelolaan Sampah (UPS) 6.2.1 Analisis Biaya-Manfaat UPS RW 11 Kelurahan Tugu Pada sistem pengolahan dan pengelolaan sampah dengan UPS, sumber penerimaan berasal dari anggaran dana APBD Kota Depok, penjualan kompos, penjualan hasil pilahan plastik, tipping fee (retribusi), dan nilai sisa mesin. Biaya yang dibutuhkan dibagi menjadi dua bagian yaitu biaya operasional dan biaya investasi. Biaya operasional UPS yang bersifat biaya tetap (fixed cost) terdiri dari biaya listrik, biaya tenaga kerja, dan biaya pemeliharaan mesin, sedangkan biaya tidak tetap (variable cost) terdiri dari biaya bahan bakar, biaya penyediaan karung plastik dan biaya pembelian bahan kimia. Investasi yang dibutuhkan per satu unit UPS tercantum pada Tabel 18. Tabel 22. Inventaris Satu Unit UPS No. Inventaris 1. Paket Mesin Pengolah Sampah
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Bangunan Gerobak sampah Sekop Sapu Lidi Masker Sepatu Bot Cangkrang (Garu) Sarung Tangan
Jumlah Satu paket terdiri dari mesin pengolah sampah, mesin kompos, bed conveyor, dan mesin penyaring (screener). 1 hanggar 8 unit 4 buah 4 buah 14 buah 14 pasang 4 buah 1 lusin
Sumber : Wawancara dengan pengelola dan petugas UPS, 2008
Investasi UPS RW 11 lebih kecil (hanya setengah) dari standar UPS yang berlaku karena tujuan pembangunannya sebagai pilot project. Hanggar yang dibangun hanya menghabiskan dana 100 juta rupiah, lebih kecil dibandingkan hanggar UPS lain yang sebesar 550 juta rupiah. Penerimaan yang dimasukkan selain hasil penjualan olahan sampah dan anggaran dari Pemkot adalah tipping
74
fee. Pengenaan tipping fee (tarif retribusi) persampahan di kota Depok telah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Depok nomor 22 tahun 2004 tentang retribusi pelayanan persampahan. Perhitungan tipping fee yang dikenakan pada warga diasumsikan sebesar Rp 9.750, yang diambil dari nilai tengah pengenaan tarif (a) dan (b). Besar tarif retribusi sampah sebagai berikut : (a). Pengambilan, pengangkutan, pengelolaan dan pemusnahan sampah rumah non real estate berdasarkan luas bangunan :Rp. 2.000 s.d Rp. 8.500/bulan. (b). Pengambilan, pengangkutan, pengelolaan dan pemusnahan sampah rumah Real Estate berdasarkan luas bangunan : Rp. 7000 s.d Rp. 17.500/bulan. Tabel 23. Analisis Manfaat-Biaya UPS RW 11 Kelurahan Tugu (Skenario 1) Volume Sampah diolah 7,56 m3 /hari No. Kriteria Kelayakan Peningkatan volume Riil sampah di tahun ketiga 1. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) 0,94 1,30 2. Net Present Value (NPV) Rp (22.653.051) Rp 110.408.641 3. Internal Rate of Return (IRR) 11% 22% 4. Payback Period (PP) 13 tahun 6 bulan 5 tahun Keterangan : angka dalam kurung ( ) bernilai negatif Sumber : diolah dari data sekunder, 2008
Berdasarkan hasil analisis yang ditampilkan pada Tabel 23, jika volume sampah yang masuk dan diolah di UPS RW 11 tetap selama 7,56 m3/hari selama lima tahun umur proyek, maka semua kriteria kelayakan menunjukkan bahwa pengolahan sampah dengan sistem UPS tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai Net B/C hanya sebesar 0,94 yang artinya setiap Rp 1.000.000 biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan dan operasional UPS hanya mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 940.000 yang artinya UPS RW 11 merugi. Nilai Sekarang Netto (NPV) proyek UPS juga masih bernilai negatif Rp 22.653.051. Tingkat pengembalian internal (IRR) proyek UPS hanya sebesar 11 persen yang lebih kecil dari tingkat suku bunga yang berlaku sebesar 13 persen. Periode
75
pengembalian biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pembangunan dan operasional UPS melebihi umur proyek lima tahun yaitu selama 13 tahun enam bulan. Oleh karenanya, dibutuhkan peningkatan volume sampah yang diolah pada tahun ketiga dengan pertimbangan bahwa UPS RW 11 telah berjalan selama dua tahun sejak tahun 2006. Berdasarkan hasil analisis, peningkatan volume sampah diolah yang disarankan sebesar 120 persen atau menjadi 4.955,52 m3/tahun (16,63 m3/hari) dari volume sampah selama dua tahun pertama pengolahan yang sebesar 2.252,51 m3/tahun. Melalui peningkatan kapasitas volume sampah masuk tersebut, proyek UPS RW 11 akan menjadi layak untuk dilanjutkan. Jika peningkatan volume sampah yang diolah hanya sebesar 110 persen atau menjadi sebesar 4.730,27 m3/tahun, proyek UPS belum dapat dikatakan layak beroperasi secara finansial. Ketidaklayakan tersebut disebabkan karena jangka waktu pengembalian biaya-biaya (Payback Period) pada estimasi peningkatan volume sampah yang diolah 110 persen melebihi lima tahun yaitu sebesar 5 tahun 3 bulan, walaupun kriteria lainnya memenuhi syarat kelayakan (Net B/C ratio = 1,27 ; NPV = Rp 98.993.554; dan IRR = 21 persen).
6.2.2 Analisis Biaya-Manfaat UPS Pada perhitungan analisis biaya-manfaat UPS standar umum (non UPS RW 11), investasi untuk satu unit hangar (bangunan) yang digunakan dalam perhitungan sesuai standar bangunan UPS yaitu sebesar 550 juta rupiah. Berbeda dengan investasi satu unit hanggar UPS RW 11 sebagai pilot project sebesar 100 juta rupiah, Analisis biaya-manfaat UPS dilakukan berdasarkan dua tujuan utama yaitu pencapaian skala ekonomi proyek UPS dan maksimisasi volume olah. Dua
76
tujuan utama tersebut dibuat dalam empat skenario pengembangan UPS yang hasilnya terangkum dalam Tabel 24. Tabel 24. Hasil Analisis Biaya-Manfaat Pada Lima Skenario Pengembangan UPS Komposisi Hasil Olahan Kompos dan Plastik Komposisi Riil Komposisi Harapan (UPS RW 11) (Sesuai Penelitian Terdahulu) Skenario 1 Kondisi Kini (Volume sampah olah 7,56 (Existing Condition) m3 /hari, 15 % kompos, dan 1% plastik pilahan) Skenario 2a Skenario 2b (Volume sampah olah 28,5 (Volume sampah olah 16,5 Skala Ekonomi m3 /hari, 15 % kompos, dan m3/hari, 31,7 % kompos, dan 1% plastik pilahan) 2,5 % plastik pilahan) Skenario 3b Skenario 3a (Volume sampah olah 30 (Volume sampah olah 30 Maksimisasi Volume Olah m3 /hari, 15 % kompos, dan m3/hari, 31,7 % kompos, dan 1% plastik pilahan) 2,5 % plastik pilahan) Sumber : diolah dari data sekunder, 2008 Kapasitas Olah (Volume Sampah yang Diolah)
Pencapaian skala ekonomi dapat dilakukan berdasarkan dua persentase komposisi olahan sampah yaitu 15 persen kompos-1 persen plastik pilahan atau 31,7 persen kompos-2,5 persen plastik pilahan. Persentase hasil olahan sampah tersebut merupakan perbandingan antara hasil olahan sampah per jenis (kompos atau plastik pilahan) dengan volume sampah yang diolah (sampah masuk). Pada skenario 2a, pengelola UPS minimal harus meningkatkan volume sampah yang diolah menjadi sebesar 28,5 m3/hari namun persentase hasil olahan sampah tidak perlu ditingkatkan (sama dengan persentase riil olahan sampah UPS RW 11). Pada skenario 2b, pengelola harus meningkatkan persentase olahan sampah menjadi minimal 31,7 persen kompos-2,5 persen plastik pilahan namun volume sampah yang diolah hanya perlu ditingkatkan menjasi 16,5 m3/hari (tidak perlu sebesar pada skenario 2a). Kriteria kelayakan skenario 2 (pencapaian skala ekonomi) dapat dilihat pada Tabel 25.
77
Tabel 25. Analisis Manfaat-Biaya UPS Skenario Pencapaian Skala Ekonomi
No.
Kriteria Kelayakan
1. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) 2. Net Present Value (NPV) 3. Internal Rate of Return (IRR) 4. Payback Period (PP) Sumber : diolah dari data sekunder, 2008
Skenario Pencapaian Skala Ekonomi Skenario 2a Skenario 2b (Volume sampah olah (Volume sampah olah 28,5 m3/hari, 15 % 16,5 m3/hari, 31,7 % kompos, dan 1% kompos, dan 2,5 % plastik pilahan) plastik pilahan) 1,40 1,40 Rp 305.457.574 Rp 307.163.603 28% 28% 4 tahun 11 bulan 4 tahun 10 bulan
Nilai Net B/C skenario 2a bernilai 1,40 yang artinya setiap Rp 1.000.000 biaya yang dikeluarkan mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 1.400.000 sehingga UPS dapat memberi keuntungan. Nilai Sekarang Netto (NPV) proyek UPS skenario tersebut bernilai positif Rp 305.457.574. Tingkat pengembalian internal (IRR) sebesar 28 persen yang lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku sebesar 13 persen. Periode pengembalian biaya-biaya yang dikeluarkan dalam skenario pembangunan dan operasional UPS tersebut juga kurang dari umur proyek lima tahun yaitu selama empat tahun sebelas bulan. Jika pengembangan UPS dilakukan dengan skenario 2b, Net B/C bernilai 1,40 yang artinya setiap Rp 1.000.000 biaya yang dikeluarkan mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 1.400.000 sehingga UPS dapat memberi keuntungan. NPV proyek UPS tersebut bernilai positif Rp 307.163.603. IRR sebesar 28 persen yang artinya layak karena lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku sebesar 13 persen. Periode pengembalian biaya-biaya yang dikeluarkan (Payback Period) juga layak karena kurang dari umur proyek lima tahun yaitu selama empat tahun sepuluh bulan. Skenario dengan tujuan maksimisasi volume olah UPS juga dilakukan berdasarkan dua persentase komposisi olahan sampah yaitu 15 persen kompos-1
78
persen plastik pilahan atau 31,7 persen kompos-2,5 persen plastik pilahan. Pada skenario 3, pengelola UPS minimal harus meningkatkan volume sampah sampai pada taraf kapasitas maksimum yaitu sebesar 30 m3/hari namun perbedaannya terletak pada persentase hasil olahan sampah. Pada skenario 3a, pengelola hanya perlu mengolah sampah pada tingkat persentase olahan sampah riil saat ini yaitu 15 persen kompos-1 persen plastik pilahan namun Net B/C dan payback periodnya lebih kecil dari skenario 3b. Skenario 3b mengharuskan pengelola meningkatkan persentase olahan sampah menjadi minimal 31,7 persen kompos2,5 persen plastik pilahan dan memaksimumkan volume olah namun Net B/C dan payback period-nya lebih besar dari skenario 3a. Kriteria kelayakan skenario 3 (maksimisasi volume olah) dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Analisis Manfaat-Biaya UPS Skenario Maksimisasi Volume Olah
No.
Kriteria Kelayakan
1. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) 2. Net Present Value (NPV) 3. Internal Rate of Return (IRR) 4. Payback Period (PP) Sumber : diolah dari data sekunder, 2008
Skenario Maksimisasi Volume Olah (30 m3/hari) Skenario 3b Skenario 3a (Volume sampah olah (Volume sampah olah 30 m3/hari, 15 % 30 m3/hari, 31,7 % kompos, dan 1% kompos, dan 2,5 % plastik pilahan) plastik pilahan) 1,47 2,49 Rp 355.362.448 Rp 1.140.058.299 30% 64% 4 tahun 6 bulan 2 tahun
Bila dalam skenario 3b, penerimaan UPS tidak lagi memperhitungkan anggaran dari APBD (UPS diasumsikan telah dapat membiayai operasionalnya sendiri), maka Net B/C bernilai 1,68; NPV bernilai Rp 517.539.491; IRR benilai 37 persen, dan PP selama 3 tahun 6 bulan yang artinya pengelolaan UPS pada skenario 3b dapat membiayai operasionalnya dari hasil penjualan hasil olahan sampah (mandiri). Masing skenario pengembangan UPS memiliki kelebihan dan
79
kekurangan. Oleh karenanya, keputusan antara kedua skenario tersebut tergantung pada pertimbangan Pemkot dan investor. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa Pemkot dapat membangun dan mengoperasikan UPS dengan perbaikan kualitas dan kuantitas kinerja operasional. Perbaikan tersebut mencakup peningkatan volume sampah yang dapat diolah dan peningkatan efisiensi teknis pengolahan sampah di UPS. Peningkatan volume sampah yang diolah dicapai dengan meningkatkan cakupan pelayanan pengambilan sampah rumah tangga sehingga volume maksimun sampah yang diolah dapat tercapai. Selain itu, pengelola juga harus dapat meningkatkan kualitas pengolahan sampah misalnya dengan perawatan intensif terhadap mesin, penggunaan mesin yang lebih canggih, atau pelatihan terhadap pekerja UPS agar proses pengolahan sampah yang berjalan lebih efisien. Pemkot harus dapat mengoptimalkan sumberdaya yang telah tersedia di UPS agar tingkat pelayanan, jumlah warga yang terlayani, dan jumlah hasil olahan sampah dapat dimaksimalkan. Fasilitas operasional lainnya, seperti truk sampah dan tempat sampah khusus setiap jenis sampah, juga ditingkatkan kuantitasnya agar dapat menunjang pencapaian peningkatan kapasitas dan kualitas pengolahan.
6.2.3 Proyeksi Pengembangan Proyek UPS Berdasarkan kondisi riil operasional dan skenario yang diasumsikan, maka dibuat proyeksi pengembangan UPS per tahun berdasarkan persentase harapan sampah yang diolah UPS per harinya. Tabel 27 menunjukkan hasil proyeksi pengembangan UPS selama lima tahun bila UPS dijalankan seperti kondisi riil UPS RW 11. Proyeksi pengembangan UPS yang dijalankan sesuai dengan empat skenario alternatif pengembangan UPS ditampilkan pada Tabel 28, 29, 30, dan 31. 80
Proyeksi tersebut dimaksudkan agar pengelola UPS dapat menargetkan peningkatan volume sampah yang harus diolah tiap tahunnya. Proyeksi juga dilakukan agar UPS menjadi sistem pengolahan dan pengelolaan sampah yang selain mampu menghasilkan produk olahan sampah, juga mampu membiayai kegiatan operasionalnya dari hasil penjualan produk olahan sampah tersebut, sehingga UPS mampu menjadi sistem pengolahan dan pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Untuk mencapai keberlanjutan tersebut, pengelola UPS dan Pemkot Depok sebaiknya memiliki pasar yang jelas terhadap produk hasil olahan sampah UPS. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mendirikan atau bekerjasama dengan koperasi penyalur produk-produk input pertanian. Pangsa pasar lainnya adalah pabrik-pabrik yang membutuhkan bahan baku plastik untuk produknya. Pada segi manajemen sumberdaya manusia, agar proyeksi pengembangan UPS dapat berjalan sesuai dengan target, maka Pemkot dapat memberikan pelatihan ketrampilan kerja kepada para pekerja UPS agar pengetahuan pekerja dalam mengolah sampah dapat meningkat. Peningkatan pengetahuan pekerja akan berdampak pada efisiensi kerja yang dapat membantu peningkatan persentase hasil olahan sampah. Untuk meningkatkan volume sampah yang diolah, pengelola UPS harus dapat memperluas daerah/cakupan pelayanan pengambilan sampah. Dalam merealisasikan hal ini dibutuhkan koordinasi Pemkot, pengelola UPS, dan pejabat pemerintahan setempat seperti Ketua RT, RW, dan Lurah.
81
Tabel 27. Proyeksi Pengembangan UPS Kondisi Riil UPS RW 11 (Skenario 1) Tahun ke- Persentase m3/hari Kompos (m3) Plastik (m3) Nilai kompos 1 10 3 133,92 9,07 Rp 18.748.800 2 25 7,5 334,80 22,68 Rp 46.872.000 3 40 12 535,68 36,29 Rp 74.995.200 4 70 21 937,44 63,50 Rp 131.241.600 5 100 30 1339,20 90,72 Rp 187.488.000 Sumber : diolah dari data sekunder, 2008
Nilai plastik Rp 1.905.120 Rp 4.762.800 Rp 7.620.480 Rp 13.335.840 Rp 19.051.200
Rp Rp Rp Rp Rp
Total 20.653.920 51.634.800 82.615.680 144.577.440 206.539.200
Tabel 28. Proyeksi Pengembangan UPS Skenario 2a (Volume sampah olah 28,5 m3/hari, 15 % kompos, dan 1% plastik pilahan) Tahun ke- Persentase m3/hari Kompos (m3) Plastik (m3) Nilai kompos Nilai plastik Total 1 10 2,9 156,04 10,40 Rp 21.845.320 Rp 2.184.630 Rp 24.029.950 2 25 7,1 390,10 26,01 Rp 54.613.300 Rp 5.461.575 Rp 60.074.875 3 40 11,4 624,15 41,61 Rp 87.381.280 Rp 8.738.520 Rp 96.119.800 4 70 20,0 1092,27 72,82 Rp 152.917.240 Rp 15.292.410 Rp 168.209.650 5 100 28,5 1560,38 104,03 Rp 218.453.200 Rp 21.846.300 Rp 240.299.500 Sumber : diolah dari data sekunder, 2008 Tabel 29. Proyeksi Pengembangan UPS Skenario 2b (Volume sampah olah 16,5 m3/hari, 31,7 % kompos, dan 2,5 % plastik pilahan) Tahun ke- Persentase m3/hari Kompos (m3) Plastik (m3) Nilai kompos Nilai plastik Total 1 10 1,7 190,91 15,06 Rp 26.727.820 Rp 3.161.760 Rp 29.889.580 2 25 4,1 477,28 37,64 Rp 66.819.550 Rp 7.904.400 Rp 74.723.950 3 40 6,6 763,65 60,22 Rp 106.911.280 Rp 12.647.040 Rp 119.558.320 4 70 11,6 1336,39 105,39 Rp 187.094.740 Rp 22.132.320 Rp 209.227.060 5 100 16,5 1909,13 150,56 Rp 267.278.200 Rp 31.617.600 Rp 298.895.800 Sumber : diolah dari data sekunder, 2008 Tabel 30. Proyeksi Pengembangan UPS Skenario 3a (Volume sampah olah 30 m3/hari, 15 % kompos, dan 1% plastik pilahan)
82
Tahun ke- Persentase m3/hari Kompos (m3) Plastik (m3) Nilai kompos Nilai plastik Total 1 10 3,0 164,25 10,95 Rp 22.995.000 Rp 2.299.500 Rp 25.294.500 2 25 7,5 410,63 27,38 Rp 57.487.500 Rp 5.748.750 Rp 63.236.250 3 40 12,0 657,00 43,80 Rp 91.980.000 Rp 9.198.000 Rp 101.178.000 4 70 21,0 1149,75 76,65 Rp 160.965.000 Rp 16.096.500 Rp 177.061.500 5 100 30,0 1642,50 109,50 Rp 229.950.000 Rp 22.995.000 Rp 252.945.000 Sumber : diolah dari data sekunder, 2008 Tabel 31. Proyeksi Pengembangan UPS Skenario 3b (Volume sampah olah 30 m3/hari, 31,7 % kompos, dan 2,5 % plastik pilahan) Tahun ke- Persentase m3/hari Kompos (m3) Plastik (m3) Nilai kompos Nilai plastik Total 1 10 3,0 347,12 27,38 Rp 48.596.100 Rp 5.748.750 Rp 54.344.850 2 25 7,5 867,79 68,44 Rp 121.490.250 Rp 14.371.875 Rp 135.862.125 3 40 12,0 1388,46 109,50 Rp 194.384.400 Rp 22.995.000 Rp 217.379.400 4 70 21,0 2429,81 191,63 Rp 340.172.700 Rp 40.241.250 Rp 380.413.950 5 100 30,0 3471,15 273,75 Rp 485.961.000 Rp 57.487.500 Rp 543.448.500 Sumber : diolah dari data sekunder, 2008
83
6.2.4
Perbandingan Konvensional
Sistem
UPS
dan
Sistem
Pengolahan
Sampah
Biaya pengelolaan sampah konvensional (tanpa UPS) Kota Depok tahun 2006 adalah sebesar Rp. 7.232.329.000. Jika dilakukan perbandingan dengan sistem UPS, maka pengelolaan sampah konvensional tidak menghasilkan nilai tambah ekonomi sampah yang dibuang karena tidak ada aktivitas pengolahan sampah lebih lanjut. Seperti tertera pada Tabel 26, jika UPS dijalankan dengan volume sampah diolah sebesar 7,56 m3/hari sekalipun, sistem pengelolaan dan pengolahan sampah dengan UPS masih mampu menghasilkan selisih berupa surplus sebesar Rp 69.120.054.857 (skala Kota Depok). Tabel 32. Perbandingan Manfaat dan Biaya Antara Sistem UPS dan Sistem Pengolahan Sampah Tanpa UPS Volume sampah yang diolah di UPS RW 11 (7,56 m3/hari) Skenario 2a (Volume sampah olah 28,5 m3/hari, 15 % kompos, dan 1% plastik pilahan) Skenario 2b (Volume sampah olah 16,5 m3/hari, 31,7 % kompos, dan 2,5 % plastik pilahan) Skenario 3a (Volume sampah olah 30 m3/hari, 15 % kompos, dan 1% plastik pilahan) Skenario 3b (Volume sampah olah 30 m3/hari, 31,7 % kompos, dan 2,5 % plastik pilahan)
Operasional Net Benefit Rp
Biaya total pengelolaan sampah Kota Depok tahun 2006
Surplus (dengan sistem UPS)
69.120.054.857
Rp. 7.232.329.000
Rp
61.887.725.857
Rp 362.586.223.670
Rp. 7.232.329.000
Rp 375.026.932.203
Rp 486.376.798.263
Rp. 7.232.329.000
Rp 828.767.207.197
Rp 382.259.261.203
Rp. 7.232.329.000
Rp 355.353.894.670
Rp 835.999.536.197
Rp. 7.232.329.000
Rp 479.144.469.263
Sumber : diolah dari data sekunder, 2008
Surplus tersebut diperoleh dengan asumsi hasil olahan sampah telah memiliki pasar dan permintaan yang jelas sehingga keseluruhan hasil olahan
98
sampah dapat dijual dan hasilnya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional UPS. Oleh karena itu, selain sosialisasi keberadaan sistem UPS dan kesadaran perilaku masyarakat dalam menangani sampah, sosialisasi tentang adanya produk olahan sampah juga harus digalakkan oleh Pemkot. Sosialisasi ini akan membuka pengetahuan masyarakat tentang produk hasil olahan sampah, seperti kompos yang dapat digunakan oleh para pedagang tanaman hias atau pemilik perkebunan, serta plastik yang dapat didaur ulang atau dibuat menjadi suatu bentuk kerajinan tangan (kreatifitas). Selain itu, Pemkot juga dapat mencari mitra lembaga keuangan yang juga peduli dengan isu lingkungan agar dapat terjalin kerjasama yang baik terutama dalam hal kemudahan akses dan pendanaan.
6.3 Tinjauan Sosial Keberadaan Unit Pengelolaan Sampah (UPS) 6.3.1 Persepsi Masyarakat Sekitar UPS RW 11 Tinjauan sosial atas keberadaan UPS bertujuan untuk mengevaluasi manfaat sosial keberadaan UPS, yang bersifat positif maupun negatif, berdasarkan persepsi warga sekitar, ada tidaknya perubahan perilaku dalam penanganan sampah rumah tangga, dan jumlah tenaga kerja yang dapat terserap. Persepsi masyarakat di sekitar UPS RW 11 Kelurahan Tugu tentang pengolahan sampah yang dilakukan di UPS diketahui dari empat bahasan yaitu mengenai pengetahuan tentang keberadaan UPS, manfaat yang dirasakan, upaya pengolahan sampah melalui UPS, dan hasil keberadaan UPS. Dampak keberadaan UPS secara sosial salah satunya dapat dilihat dari ada tidaknya pengaruh dan dorongan terhadap warga sekitar (pada tingkat rumah tangga) untuk melakukan pemilahan sampah dan upaya penanganan sampah lainnya, walaupun perubahan pola perilaku tersebut tidaklah mudah karena
99
berkaitan dengan perubahan kultur dan cara pandang. Perubahan perilaku responden dalam menangani sampah rumah tangganya dilihat dari perubahan perilaku responden antara sebelum dan sesudah adanya UPS di wilayah tempat tinggal responden. Salah satu manfaat tidak langsung UPS, seperti yang diutarakan oleh Walikota Depok, adalah mampu melibatkan masyarakat meskipun berpendidikan rendah untuk dilatih menjadi tenaga kerja UPS. Pemkot Depok berencana membangun 60 UPS dalam kurun waktu tahun 2007-2011. Jika satu UPS memperkerjakan 14 orang pegawai yang terdiri dari 1 orang koordinator, 1 orang teknisi mesin, 10 orang tenaga pengolah dan pemilah, 1 orang administrasi, dan 1 orang keamanan, berarti adanya UPS mampu menyerap 840 orang tenaga kerja baik yang terlatih maupun yang terdidik. Tabel 33. Pengetahuan Responden tentang Keberadaan UPS Pertanyaan Pilihan Jumlah Persentase 3,125 Media Massa 1 Tetangga/Teman 15 46,875 Pejabat Pmerintah 15 46,875 Sumber Informasi Petugas UPS 5 15,625 Lain-lain (observasi langsung, 4 12,5 sosialisasi pengelola perumahan) 6 bulan lalu (2008) 1 3,125 Lama mengetahui 1 tahun lalu (2007) 7 21,875 adanya UPS Sejak Awal (2006) 24 75 Tahu 31 96,875 UPS sebagai Tidak 1 3,125 program Pemkot Sumber : diolah dari data primer, 2008
Untuk mengidentifikasi persepsi masyarakat sekitar UPS RW 11 Kelurahan Tugu, diambil sejumlah 32 responden yang telah mengetahui keberadaan UPS RW 11. Responden mengetahui keberadaan UPS di sekitar kompleks perumahannya terutama dari tetangga atau teman sebanyak 15 orang (46,875 persen) dan pejabat pemerintah setempat seperti Ketua RT, Ketua RW,
100
dan Walikota Depok, juga sebanyak 15 orang (46,875 persen). Keberadaan UPS sendiri sudah diketahui sebagian besar responden yaitu sebanyak 24 orang atau sebesar 75 persen sejak awal UPS RW 11 berdiri yaitu pada tahun 2006. Walikota Depok, Nur Mahmudi Ismail, yang juga bertempat tinggal di kompleks perumahan yang sama dengan responden, telah meminta izin sekaligus memperkenalkan program UPS di lingkungan perumahan GTA sehingga sebagian responden telah mengetahui UPS RW 11 sejak awal. Sebanyak 31 orang responden (96,875 persen) juga yang telah mengetahui bahwa UPS merupakan program Pemkot Depok untuk mengatasi masalah sampah perkotaan di Kota Depok, hanya satu orang yang tidak mengetahui hal tersebut.
Ada/tidaknya Manfaat Positif UPS 28%
Ada 72%
Tidak
Gambar 4. Pendapat Responden Tentang Manfaat Positif UPS Sumber : diolah dari data primer, 2008
Tabel 34. Persepsi Manfaat UPS Manfaat UPS Perbaikan pelayanan sampah Perbaikan kebersihan lingkungan Manfaat langsung
Jawaban Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak
Jumlah 21 11 22 10 23 9
Persentase 65,625 34,375 68,75 31,25 71,875 28,125
Sumber : diolah dari data primer, 2008
Adanya UPS diakui sebagian responden telah memberikan perbaikan dalam pelayanan sampah yaitu sebanyak 21 responden (65,625 persen) dan
101
kebersihan lingkungan yaitu sebanyak 22 responden (68,75 persen). Responden yang menjawab tidak ada perubahan atau perbaikan dalam pelayanan sampah dan kebersihan lingkungan beranggapan bahwa sejak awal atau sebelum adanya UPS di lingkungan tempat tinggal mereka, pelayanan sampah dan kebersihan lingkungan juga sudah baik karena dikelola oleh pengelola perumahan GTA. UPS dirasakan telah memberikan manfaat positif bagi 23 responden atau sebanyak 71,875 persen. Manfaat langsung yang paling banyak dirasakan oleh responden sebanyak 16 orang (50 persen) adalah tidak terjadi penumpukan sampah. Sebanyak 21 orang (65,625 persen) memilih manfaat tidak langsung atau manfaat secara makro yang paling berpotensi dirasakan dengan adanya UPS adalah memberikan edukasi kepada masyarakat tentang manfaat pengolahan sampah. Upaya-upaya pengolahan sampah berupa kegiatan-kegiatan operasional yang dilakukan di UPS sebagian besar telah diketahui oleh responden, seperti tercantum pada Tabel 25. Penyebab pengetahuan tersebut tidak didominasi oleh faktor sosialisasi dari pengelola UPS atau Pemkot seperti dibagikannya pupuk kompos hasil pengolahan sampah pada awal berdirinya UPS RW 11, namun juga dikarenakan adanya rasa keingintahuan dari para responden sendiri sehingga sebagian dari mereka melihat langsung ke lokasi UPS. Tabel 35. Pengetahuan Responden tentang Kegiatan Operasional UPS Jumlah responden Kegiatan Operasional UPS Persentase yang mengetahui Pemilahan sampah 25 78,125 Pembuatan kompos dan pemisahan Bahan daur-ulang 30 93,75 Penggunaan mesin-mesin pengolah sampah 27 84,375 Sumber : diolah dari data primer, 2008
102
Ada/tidaknya Dampak Negatif UPS 31% Ada 69%
Tidak
Gambar 5. Pendapat Responden Tentang Dampak Negatif UPS Sumber : diolah dari data primer, 2008 Selain dampak positif yang dirasakan responden, juga terdapat dampak negatif yang dirasakan sebanyak 22 responden (68,75 persen). Dampak negatif yang dirasakan amat menganggu bagi 20 orang responden (62,5 persen) adalah timbulnya bau yang tidak sedap. Dampak negatif lainnya yang dirasakan adalah asap hasil pembakaran sisa sampah dan suara mesin yang terkadang cukup terdengar keras ketika sedang beroperasi. Bau tidak sedap yang menyengat tersebut diduga berasal dari proses pengolahan sampah yang tidak sempurna. Ketidaknyamanan tersebut tidak muncul sejak awal dibangunnya UPS namun baru dirasakan beberapa bulan sebelum wawancara responden dilakukan (sekitar bulan Maret 2008). Dampak negatif berupa bau yang tidak sedap tersebut cukup membuat penilaian keberhasilan program UPS dimata responden menurun. Pemkot harus segera melakukan evaluasi terhadap UPS-UPS yang telah berjalan khususnya pada aspek dampak lingkungan agar penolakan masyarakat sekitar UPS dapat diminimalkan, lalu dilanjutkan dengan tindakan penanganan terhadap efek negatif yang ditimbulkan tersebut. Hal pertama yang harus diidentifikasi adalah penyebab timbulnya bau tak sedap tersebut. Apakah karena jumlah sampah masuk yang tidak dapat tertangani, karena teknik pengolahan sampah yang tidak sempurna,
103
atau penyebab lainnya. Kemudian langkah penanganan segera diambil agar tidak terjadi penolakan masyarakat terhadap keberadaan dan aktivitas pengolahan sampah dengan sistem UPS.
6.3.2 Perubahan Perilaku Responden Dalam Menangani Sampah Uji perubahan perilaku tersebut dilakukan dengan uji non-parametrik dua sampel berhubungan McNemar. Uji dilakukan dengan hipotesis : Ho : Tidak ada perubahan perilaku antara sebelum dan sesudah adanya UPS H1 : Ada perubahan perilaku antara sebelum dan sesudah adanya UPS Jika nilai signature (2-tailed) lebih kecil dari taraf nyata ( ) 15 persen maka tolak Ho yang artinya ada perubahan perilaku antara sebelum dan sesudah adanya UPS. Hasil tolak hipotesis Ho menunjukkan bahwa keberadaan UPS mampu menimbulkan dorongan perubahan perilaku pada jenis perilaku yang diuji. Hasil pengujian terhadap perilaku penanganan sampah rumah tangga pada 32 responden yang bertempat tinggal di sekitar UPS RW 11 tertera pada Tabel 33. Untuk mengidentifikasi apakah ada dorongan dan perubahan perilaku responden dalam menangani sampah rumah tangga sebelum dan sesudah adanya UPS, maka dilakukan uji McNemar. Berdasarkan uji tersebut, maka perubahan perilaku yang nyata/signifikan adalah memilah sampah rumah tangga dan menyediakan wadah atau tempat sampah khusus di rumah untuk memudahkan pemilahan. Hal ini dikarenakan sistem UPS yang bersifat top-down (merupakan kebijakan dari Pemerintah Daerah) mendorong masyarakat untuk menangani sampah hanya pada kegiatan yang langsung terkait dengan kegiatan UPS yaitu pengumpulan sampah. Perubahan perilaku tersebut sebagian besar bukan berasal
104
dari diri masyarakat sendiri sehingga pada pelaksanaannya, perilaku yang dipengaruhi oleh keberadaan UPS hanya bersifat parsial (tidak menyeluruh). Tabel 36. Hasil Analisis Data Perubahan Perilaku Responden Taraf Korelasi/perubahan Exact nyata perilaku antara sebelum No. Perilaku yang dinilai Sig. (2tailed) ) dan sesudah adanya UPS Membuang sampah pada 1. 1,000 0,15 Tidak tempatnya memilah sampah rumah 2. tangga ketika 0,001 0,15 Ada mengumpulkannya menyediakan wadah atau tempat sampah khusus di 3. 0,001 0,15 Ada rumah untuk memudahkan pemilahan menggunakan kembali 4. barang-barang yang masih 0,500 0,15 Tidak bisa digunakan (reuse), meminimalkan penggunaan kantong plastik pada saat 0,500 0,15 Tidak 5. berbelanja misalnya dengan membawa tas belanja tersendiri (reduce), terdorong melakukan atau melakukan pengomposan 6. 0,250 0,15 Tidak sampah organik dari sampah rumah tangganya Sumber : diolah dari data primer, 2008
Perilaku menyediakan wadah khusus atau tempat sampah yang terpisah untuk sampah organik dan non-organik dipengaruhi perilaku memilah sampah rumah tangga pada saat pengumpulan, karena untuk memudahkan pemilahan sampah di rumah, sebagian besar responden menyediakan tempat sampah yang terpisah. Tidak adanya korelasi/hubungan pada perilaku membuang sampah pada tempatnya antara sebelum dan sesudah adanya dikarenakan perilaku tersebut merupakan perilaku yang sudah menjadi kebiasaan para responden sejak dulu. Jadi, ada atau tidaknya UPS tidak mempengaruhi perilaku tersebut.
105
Menurut responden, tidak adanya korelasi pada perilaku lainnya (reuse, reduce, dan melakukan pengomposan sampah organik sendiri) disebabkan ketiadaan waktu dan kurangnya sosialisasi program lebih lanjut. Perilaku tersebut berbeda dengan Kelompok Masyarakat di Sawangan dan Kampung Banjaran Pucung, Kelurahan Cilangkap Kecamatan Cimanggis, yang telah memproduksi kompos dari sampah pertanian dan sudah mengirim ke berbagai daerah dalam jumlah besar. Kedua wilayah tersebut telah dibina secara intensif dan memiliki kader penggerak sehingga masyarakat berpartisipasi aktif dalam upaya mengurangi jumlah sampah dan membuat kompos (bersifat bottom-up). Kurangnya sosialisasi yang berlanjut pada minimnya sarana dan prasarana penunjang menimbulkan perubahan sikap yang tidak terus-menerus (kontinyu) dalam menangani sampah. Sarana penunjang memang menjadi salah satu faktor penentu karena pola perilaku masyarakat terhadap sampah masih memerlukan insentif atau penggerak agar perubahan positif yang diharapkan dapat bersifat kontinyu. Misalnya, agar masyarakat mau menggunakan tas belanja yang tidak berbahan plastik guna mengurangi pemakaian plastik, Pemkot dapat bekerjasama dengan pihak pasar swalayan untuk membagikan tas belanja berbahan kain secara cuma-cuma. Menindaklanjuti masalah sosialisasi, Pemkot sebaiknya bekerjasama dengan Lembaga Perberdayaan Masyarakat (LPM), komunitas-komunitas lingkungan, perkumpulan warga. dan pejabat-pejabat setempat sperti Ketua RT, RW, dan Lurah agar membentuk atau menunjuk kelompok kader penggerak sehingga masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menangani sampah rumah tangganya dan juga memudahkan proses sosialisasi.
106
BAB VII PENUTUP
7.1 Kesimpulan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok mencanangkan program pengelolaan sampah untuk mengatasi permasalahan sampah yang semakin kompleks yaitu dengan proyek Unit Pengolahan Sampah (UPS). Berdasarkan penelitian tentang evaluasi ekonomi dan sosial UPS tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut : 1. UPS dengan volume sampah yang diolah sebesar 7,56 m3/hari mampu menghasilkan potensi nilai olahan sampah Rp 51.634.264 per tahun dan Rp 81.059.694.857 dalam skala Kota Depok. Manfaat bersih pengolahan sampah Kota Depok yang dihasilkan mencapai Rp 105.101.317.536 per tahun walaupun dalam skala UPS bernilai negatif. Hal tersebut disebabkan tidak semua sampah domestik Kota Depok dapat terlayani untuk diolah di UPS. 2. Jika volume sampah yang diolah di UPS RW 11 tetap sebesar 7,56 m3/hari selama lima tahun umur proyek, maka sistem UPS tidak layak untuk dilanjutkan. Oleh karenanya, dibutuhkan peningkatan volume sampah yang diolah pada tahun ketiga sebesar 120 persen. Skenario pengembangan UPS dibuat berdasarkan dua tujuan yaitu pencapaian skala ekonomi dan maksimisasi kapasitas olah (30 m3/hari). 3. Pemkot Depok berencana membangun 60 UPS, yang artinya mampu menyerap 840 orang tenaga kerja. Manfaat langsung yang paling banyak dirasakan oleh 50 persen responden adalah tidak terjadi penumpukan sampah. Dampak negatif yang dirasakan amat menganggu bagi 62,5 persen responden adalah timbulnya bau yang tidak sedap. Berdasarkan uji McNemar, maka perubahan perilaku
107
yang nyata/signifikan adalah memilah sampah rumah tangga dan menyediakan wadah atau tempat sampah khusus di rumah untuk memudahkan pemilahan.
7.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka saran penelitian adalah : 1. Volume sampah yang diolah di UPS atau persentase hasil olahan sampah ditingkatkan agar program UPS dapat mencapai skala ekonomi. Pembangunan 60 UPS di seluruh wilayah Kota Depok hendaknya diteruskan oleh Pemkot Depok agar manfaat bersih pengolahan sampah sistem UPS dan peningkatan cakupan pelayanan sampah untuk wilayah Kota Depok dapat tercapai. 2. Hasil olahan sampah harus memiliki pasar dan permintaan yang jelas sehingga UPS dapat membiayai kegiatan operasionalnya secara berkelanjutan. Sosialisasi keberadaan produk olahan sampah harus digalakkan. Pemkot dapat bermitra dengan lembaga keuangan yang juga peduli dengan isu lingkungan dan koperasi agar mendapat kemudahan akses pendanaan dan pemasaran. 3. Pemkot perlu melakukan evaluasi pada UPS-UPS yang telah berjalan khususnya pada aspek dampak lingkungan agar penolakan masyarakat sekitar UPS dapat diminimalkan. Pemkot sebaiknya meningkatkan kerjasama dengan berbagai kelompok masyarakat untuk membentuk atau menunjuk kelompok kader penggerak sehingga memudahkan proses sosialisasi. 4. Penelitian selanjutnya dapat meneliti kebijakan pengelolaan sampah yang bersifat bottom-up untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat berperan aktif didalamnya. Selain itu, dapat dilakukan valuasi ekonomi lingkungan terhadap produk olahan sampah sehingga dapat diduga nilai ekonomi produk yang sesuai dengan nilai lingkungan. 108
DAFTAR PUSTAKA Aida, Neli. 1996. Usaha Pemanfaatan Barang Bekas dari Sampah dan Pengaruhnya terhadap Pengelolaan Sampah di Kotamadya Bogor (Studi Kasus TPA Gunung Galuga). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bakri, Achmad Rukbi. 1992. Pengelolaan Sampah Pemukiman dan Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaannya di Kota Administratif Depok. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bartone, Carl, Janis Bernstein, and Frederick Wright. 1990. Investment in Solid Waste Management : Opportunities for Environmental Improvement. World Bank Working Paper WPS 405, (Washington D.C, USA). Bernstein, Janis D. 1992. Alternative Approaches to Pollution Control and Waste Management. UNDP/UNCHS/World Bank Publication. Washington D.C, USA. BPS. 2007. Depok Dalam Angka (DDA) 2007. Depok : Badan Pusat Statistik Dewi, Retno. 1997. Analisis Ekonomi dan Sosial Penanganan Sampah Kota (Studi Kasus di Wilayah Kotamadya Bogor). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH). 2007. Laporan Adipura Kota Depok. Djuwendah, Endah. 1998. Analisis Keragaan Ekonomi dan Kelembagaan Penanganan Sampah Perkotaan (Kasus di Kotamadya DT II Bandung Propinsi Jawa Barat). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Gittinger, James Price. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Penerjemah : Komet Mangiri dan Slamet Sutomo. Jakarta : UI Press. Hadiwiyoto, Soewedo. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Jakarta : Yayasan Idayu. Hanley, Nick and Clive L. Spash. 1993. CBA And The Environmental. USA : Edward Elgar Publishing Company. Ismail, Zarmawis. (Penyunting) 2001. Pembangunan Daerah dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berwawasan Lingkungan. Jakarta : Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI).
109
Lipsey, Richard G., et al. 1993. Pengantar Mikroekonomi Edisi Kesepuluh Jilid 1. Jakarta : Binarupa Aksara. Oswari, Teddy, Doddy Ari Suryanto, & Diana Susilowati. 2006. ‘Potensi Nilai Ekonomis Pengelolaan Sampah di Kota Depok’. http://ejournal.gunadarma.ac.id/files/Teddy%20doddy%2059-69.pdf. Pagiola, Stefano et. al. 2002. Generating Public Sector Resources to Finance Sustainable Development (Revenue and Incentive Effects). World Bank Technical Paper No. 538 : 60-63. Environment series (Washington D.C, USA). Pemerintah Kota Depok. 2006. Ringkasan Eksekutif Kajian Pengelolaan Persampahan Kota Depok tahun 2006. Pitchel, John. 2005. Waste Management Practices : Municipal, Hazardous, and Industrial. USA : CRC Press Taylor&Francis Group. Pramono, Sigit Setiyo. n.d. ‘Studi Mengenai Komposisi Sampah Perkotaan di Negara-negara Berkembang. Jurnal. Universitas Gunadarma’. http://repository.gunadarma.ac.id:8000/555/1/Studi_Mengenai_Komposisi_ Sampah_Perkotaan.pdf. Raharja, Yanto Tatang. 1988. Studi Sosial Ekonomi Pada Pengelolaan Limbah Pemukiman (Sampah) dengan Sistem Jali-jali di Jakarta Pusat. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Simamora, Bilson. 2005. Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia. Soemarwoto, Otto. 2001. Atur-Diri-Sendiri : Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pembangunan Ramah Lingkungan ; Berpihak pada Rakyat, Ekonomis, Berkelanjutan). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. -----------------------. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan. Jakarta : Djambatan. Sugianti, I Gusti Ayu Nyoman dan Yulinah Trihadiningrum. 2008. ‘Pengelolaan Sampah Di Kawasan Pura Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem dengan Sistem TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu)’ dalam Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya, 2 Pebruari 2008. http://17-prosiding-i-gustiayu-nyoman-sugianti-ok-print.pdf. Syafrizal, Mohammad. 2005. Model Teknologi Pengolahan Sampah di Wilayah Perkotaan (Studi Kasus Kota Bandar Lampung). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
110
Tietenberg, Tom. 2000. Environmental and Natural Resources Economics (Fifth Edition). USA : Addison Wesley Longman, Inc. Tim Pengajar Mata Kuliah Ekonomi Lingkungan. 2007. Modul Kuliah Ekonomi Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Tiwow, Clara et al. 2003. Pengelolaan Sampah Terpadu Sebagai Salah Satu Upaya Mengatasi Problem Sampah Di Perkotaan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Wardhana, Wisnu Arya. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan (Edisi Revisi). Yogyakarta : Penerbit Andi. Wibowo, Arianto dan Darwin T. Djajawinata. 2006. ‘Penanganan Sampah Perkotaan Terpadu’. http://www.kkppi.go.id/papbook/Penanganan%20sampah%20perkotaan%20 terpadu.pdf. Yudiyanto. 2007. Analisis Sistem Pengelolaan Sampah Permukiman di Kota Bogor. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
111
Lampiran 1
McNemar Test Crosstabs Perilaku membuang sampah pada tempatnya Sebelum_UPS & Setelah_UPS Setelah_UPS Sebelum_UPS 0 1
0
1 4
0
1
27
Test Statistics(b)
N Exact Sig. (2-tailed)
Sebelum_UPS & Setelah_UPS 32 1,000(a)
a Binomial distribution used. b McNemar Test
Perilaku memilah sampah rumah tangga berdasarkan jenisnya Sebelum_UPS & Setelah_UPS Setelah_UPS Sebelum_UPS 0
0
1 14 1
1
14 3
Test Statistics(b)
N Exact Sig. (2-tailed)
Sebelum_UPS & Setelah_UPS 32 ,001(a)
a Binomial distribution used. b McNemar Test
Perilaku menyediakan wadah atau tempat sampah khusus untuk memilah Sebelum_UPS & Setelah_UPS Setelah_UPS Sebelum_UPS 0
0
1
1 15
11
0
6
Test Statistics(b)
N Exact Sig. (2-tailed)
Sebelum_UPS & Setelah_UPS 32 ,001(a)
a Binomial distribution used. b McNemar Test
112
Perilaku memanfaatkan kembali barang-barang yang masih dapat dipakai (reuse) Sebelum_UPS & Setelah_UPS Setelah_UPS Sebelum_UPS 0 1
0
1 22 0
2 8
Test Statistics(b)
N Exact Sig. (2-tailed)
Sebelum_UPS & Setelah_UPS 32 ,500(a)
a Binomial distribution used. b McNemar Test
Perilaku meminimalkan penggunaan kantong plastik Sebelum_UPS & Setelah_UPS Setelah_UPS Sebelum_UPS 0 1
0
1 26
3
0
3
Test Statistics(b)
N Exact Sig. (2-tailed)
Sebelum_UPS & Setelah_UPS 32 ,500(a)
a Binomial distribution used. b McNemar Test
Perilaku melakukan pengomposan sampah organik dari sampah rumah tangganya Sebelum_UPS & Setelah_UPS Setelah_UPS Sebelum_UPS 0
0
1
1 27
3
0
2
Test Statistics(b)
N
Sebelum_UPS & Setelah_UPS 32
Exact Sig. (2-tailed)
,250(a)
a Binomial distribution used. b McNemar Test
113
Lampiran 2 Cash Flow Pengelolaan Sampah Unit Pengolahan Sampah (UPS) RW 11 Kondisi Riil (Volume Sampah yang Diolah 7,56 m3/hari dengan Persentase Hasil Olahan 15 Persen Kompos – 1 Persen Plastik Pilahan) Uraian
Tahun ke0
1
2
3
4
5
INFLOW Kompos
Rp
46.872.000
Rp
46.872.000
Rp
46.872.000
Rp
46.872.000
Rp
46.872.000
Penjualan pilahan plastik
Rp
4.762.302
Rp
4.762.302
Rp
4.762.302
Rp
4.762.302
Rp
4.762.302
Anggaran Dana dari APBD
Rp
200.000.000
Tipping Fee (per KK, bulan)
Rp
34.839.000
TOTAL INFLOW
Rp
286.473.302
1. Biaya listrik
Rp
2. Biaya pemeliharaan mesin
Rp 200.000.000
Rp 200.000.000
Rp 200.000.000
Rp 200.000.000
Rp
Rp
Rp
Rp
Nilai sisa mesin
Rp 122.880.000 34.839.000
34.839.000
34.839.000
34.839.000
Rp 286.473.302
Rp 286.473.302
Rp 286.473.302
Rp 409.353.302
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
Rp
54.000.000
Rp
54.000.000
Rp
54.000.000
Rp
54.000.000
3. Sekop
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
4. Sapu Lidi
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
OUTFLOW Biaya investasi 1. Paket Mesin Pengolah Sampah
Rp 300.000.000
2. Bangunan
Rp 100.000.000
3. Gerobak sampah
Rp
Total Biaya Investasi
Rp 412.000.000
12.000.000
Biaya Operasional Biaya Tetap 2.400.000
Rp 54.000.000
100
5. Masker
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
6. Sepatu Bot
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
7. Cangkrang (Garu)
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
8. Sarung Tangan
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
9. Biaya tenaga kerja
Rp
126.000.000
1. Karung Plastik
Rp
2. Pembelian bakteri EM-4
Rp
3. Biaya bahan bakar
Rp
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
6.000.000
Rp
6.000.000
Rp
6.000.000
Rp
6.000.000
Rp
6.000.000
880.000
Rp
880.000
Rp
880.000
Rp
880.000
Rp
880.000
5.161.750
Rp
5.161.750
Rp
5.161.750
Rp
5.161.750
Rp
5.161.750
Biaya Variabel
Total Biaya Operasional
Rp
195.575.750
Rp 195.575.750
Rp 195.575.750
Rp 195.575.750
Rp 195.575.750
TOTAL OUTFLOW
Rp 412.000.000
Rp
195.575.750
Rp 195.575.750
Rp 195.575.750
Rp 195.575.750
Rp 195.575.750
Pendapatan Bersih
Rp (412.000.000)
Rp
90.897.552
Rp
90.897.552
Rp
90.897.552
Rp
90.897.552
Rp 213.777.552
0,613
0,543
Rp
80.440.312
Rp
71.186.116
Rp
62.996.563
Rp
55.749.171
Rp 116.029.890
DF (13%)
1,000
Present Value (PV)
Rp (412.000.000)
PV (+)
Rp 386.402.052
PV (-) Net B/C NPV IRR PP
Rp (412.000.000)
0,885
0,783
0,693
0,94 Rp (22.653.051) 11% 12 tahun 6 bulan
101
Lampiran 3
Cash Flow Pengelolaan Sampah Unit Pengolahan Sampah (UPS) RW 11 Skenario Kenaikan Produksi 120 persen (16,63 m3/hari) pada tahun ketiga dan Persentase Hasil Olahan 15 Persen Kompos – 1 Persen Plastik Pilahan Uraian
Tahun ke0
1
2
3
4
5
INFLOW Kompos
Rp
46.870.000
Rp
46.870.000
Penjualan pilahan plastik
Rp
4.762.302
Rp
4.762.302
Anggaran Dana dari APBD
Rp
200.000.000
Tipping Fee
Rp
34.839.000
TOTAL INFLOW
Rp 286.471.302
Rp 286.471.302
1. Biaya listrik
Rp
2.400.000
Rp
2. Biaya pemeliharaan mesin
Rp
54.000.000
3. Sekop
Rp
100.000
Rp 103.114.000
Rp 103.114.000
Rp 103.114.000
Rp
Rp
Rp
10.477.064
10.477.064
10.477.064
Rp 200.000.000
Rp 200.000.000
Rp 200.000.000
Rp 200.000.000
Rp
Rp
Rp
76.645.800
Rp 76.645.800
Rp 390.236.864
Rp 390.236.864
Rp 513.116.864
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
54.000.000
Rp
54.000.000
Rp
54.000.000
Rp
54.000.000
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
Nilai sisa mesin
Rp 122.880.000 34.839.000
76.645.800
OUTFLOW Biaya investasi 1. Paket Mesin Pengolah Sampah
Rp 300.000.000
2. Bangunan
Rp 100.000.000
3. Gerobak sampah
Rp
Total Biaya Investasi
Rp 412.000.000
12.000.000
Biaya Operasional Biaya Tetap
102
4. Sapu Lidi
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
5. Masker
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
6. Sepatu Bot
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
7. Cangkrang (Garu)
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
8. Sarung Tangan
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
9. Biaya tenaga kerja
Rp
126.000.000
1. Karung Plastik
Rp
2. Pembelian bakteri EM-4
Rp
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
6.000.000
Rp
6.000.000
Rp
15.600.000
Rp
15.600.000
Rp
15.600.000
880.000
Rp
880.000
Rp
1.943.000
Rp
1.943.000
Rp
1.943.000
Rp
11.357.500
Rp
11.357.500
Rp
11.357.500
Rp
11.357.500
Biaya Variabel
3. Biaya bahan bakar
Rp
11.357.500
Total Biaya Operasional
Rp
201.771.500
Rp 201.771.500
Rp 212.434.500
Rp 212.434.500
Rp 212.434.500
Rp 201.771.500
Rp 212.434.500
Rp 212.434.500
Rp 212.434.500
Rp
84.699.802
Rp 177.802.364
Rp 177.802.364
Rp 300.682.364
0,783
0,693
0,613
0,543
TOTAL OUTFLOW
Rp 412.000.000
Rp
201.771.500
Pendapatan Bersih
Rp(412.000.000)
Rp
84.699.802
DF (13%) Present Value (PV)
1,000 Rp (412.000.000)
PV (+)
Rp 536.761.764
PV (-)
Rp (412.000.000)
Net B/C NPV IRR PP
0,885 Rp
74.955.577
Rp 66.332.369
Rp 123.225.958
Rp 109.049.520
Rp 163.198.341
1,30 Rp
110.408.641 22% 5 tahun
103
Lampiran 4 Cash Flow Pengelolaan Sampah Unit Pengolahan Sampah (UPS) Skenario 2a (Volume sampah olah 28,5 m3/hari, 15 % kompos, dan 1% plastik pilahan) Uraian
Tahun ke0
1
2
3
4
5
Kompos
Rp 218.452.500
Rp 218.452.500
Rp 218.452.500
Rp
Penjualan pilahan plastik
Rp
Rp
21.845.250
Rp 21.845.250
Rp
21.845.250
Anggaran Dana dari APBD
Rp 200.000.000
Rp 200.000.000
Rp 200.000.000
Rp
200.000.000
Tipping Fee (per KK, bulan)
Rp
Rp
Rp 128.107.980
Rp
128.107.980
Rp 128.107.980
TOTAL INFLOW
Rp 568.405.730
Rp568.405.730
Rp 568.405.730
Rp 691.285.730
INFLOW 21.845.250
218.452.500
Nilai sisa mesin
Rp 218.452.500 Rp
21.845.250
Rp 200.000.000 Rp 122.880.000
128.107.980
128.107.980
Rp 568.405.730
OUTFLOW Biaya investasi 1. Paket Mesin Pengolah Sampah
Rp 300.000.000
2. Bangunan
Rp 550.000.000
3. Gerobak sampah
Rp
Total Biaya Investasi
Rp 862.000.000
12.000.000
Biaya Operasional Biaya Tetap 1. Biaya listrik
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
2. Biaya pemeliharaan mesin
Rp
54.000.000
Rp
54.000.000
3. Sekop
Rp
100.000
Rp
100.000
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp 54.000.000
Rp
Rp
54.000.000
Rp
54.000.000
Rp
Rp
100.000
Rp
100.000
100.000
104
4. Sapu Lidi
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
5. Masker
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
6. Sepatu Bot
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
7. Cangkrang (Garu)
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
8. Sarung Tangan
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
9. Biaya tenaga kerja
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
Rp
126.000.000
1. Karung Plastik
Rp
32.700.000
Rp
32.700.000
Rp 32.700.000
Rp
32.700.000
Rp
32.700.000
2. Pembelian bakteri EM-4
Rp
4.079.000
Rp
4.079.000
Rp
4.079.000
Rp
4.079.000
Rp
4.079.000
3. Biaya bahan bakar
Rp
23.839.750
Rp
23.839.750
Rp 23.839.750
Rp
23.839.750
Rp
23.839.750
Total Biaya Operasional
Rp 244.152.750
Rp 244.152.750
Rp244.152.750
Rp 244.152.750
Rp 244.152.750
TOTAL OUTFLOW
Rp 244.152.750
Rp 244.152.750
Rp244.152.750
Rp 244.152.750
Rp 244.152.750
Rp(862.000.000)
Rp 324.252.980
Rp 324.252.980
Rp324.252.980
Rp 324.252.980
Rp 447.132.980
1,000
0,885
0,783
0,693
0,613
Rp (862.000.000)
Rp 286.949.540
Rp 253.937.646
Rp 224.723.580
Rp 126.000.000
Biaya Variabel
Pendapatan Bersih DF (13%) Present Value (PV) PV (+)
Rp1.207.167.059
PV (-)
Rp (862.000.000)
Net B/C NPV IRR PP
Rp 198.870.425
0,543 Rp 242.685.868
1,40 Rp 305.457.574 28% 4 tahun 11 bulan
105
Lampiran 5 Cash Flow Pengelolaan Sampah Unit Pengolahan Sampah (UPS) Skenario 2b (Volume sampah olah 16,5 m3/hari, 31,7 % kompos, dan 2,5 % plastik pilahan) Uraian
Tahun ke0
1
2
3
4
5
INFLOW Kompos
Rp
267.278.550
Rp267.278.550
Rp 267.278.550
Rp 267.278.550
Rp 267.278.550
Penjualan pilahan plastik
Rp
31.618.125
Rp 31.618.125
Rp
Rp
31.618.125
Rp 31.618.125
Anggaran Dana dari APBD
Rp 200.000.000
Rp200.000.000
Rp 200.000.000
Rp 200.000.000
Rp 200.000.000
Tipping Fee (per KK, bulan)
Rp
63.499.410
Rp 63.499.410
Rp
Rp
63.499.410
Rp 63.499.410
TOTAL INFLOW
Rp 562.396.085
Rp562.396.085
Rp 562.396.085
Rp 562.396.085
Rp 685.276.085
1. Biaya listrik
Rp
2.400.000
Rp 2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2. Biaya pemeliharaan mesin
Rp
54.000.000
Rp 54.000.000
Rp 54.000.000
Rp
54.000.000
3. Sekop
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
4. Sapu Lidi
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
31.618.125
Nilai sisa mesin
Rp 122.880.000 63.499.410
OUTFLOW Biaya investasi 1. Paket Mesin Pengolah Sampah
Rp
300.000.000
2. Bangunan
Rp
550.000.000
3. Gerobak sampah
Rp
12.000.000
Total Biaya Investasi
Rp 862.000.000
Biaya Operasional Biaya Tetap 2.400.000
Rp 54.000.000
106
5. Masker
Rp
6. Sepatu Bot 7. Cangkrang (Garu)
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
154.000
Rp
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
8. Sarung Tangan
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
9. Biaya tenaga kerja
Rp
126.000.000
Rp126.000.000
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
1. Karung Plastik
Rp
40.200.000
Rp 40.200.000
Rp 40.200.000
Rp
40.200.000
Rp 40.200.000
2. Pembelian bakteri EM-4
Rp
2.025.000
Rp 2.025.000
Rp
2.025.000
Rp
2.025.000
3. Biaya bahan bakar
Rp
11.836.000
Rp 11.836.000
Rp 11.836.000
Rp
11.836.000
Rp 11.836.000
Total Biaya Operasional
Rp 237.595.000
Rp237.595.000
Rp 237.595.000
Rp 237.595.000
Rp 237.595.000
TOTAL OUTFLOW
Rp 237.595.000
Rp237.595.000
Rp 237.595.000
Rp 237.595.000
Rp 237.595.000
Rp 324.801.085
Rp324.801.085
Rp 324.801.085
Rp 324.801.085
Rp 447.681.085
Biaya Variabel
Pendapatan Bersih
Rp
(862.000.000)
Present Value (PV)
Rp
(862.000.000)
PV (+)
Rp 1.209.094.871
PV (-)
Rp
DF (13%)
1,000
Net B/C NPV IRR PP
0,885 Rp 287.434.588
Rp
2.025.000
0,783
0,693
0,613
0,543
Rp254.366.892
Rp 225.103.445
Rp 199.206.588
Rp 242.983.357
(862.000.000) 1,40
Rp
307.163.603 28%
4 tahun 10 bulan
107
Lampiran 6 Cash Flow Pengelolaan Sampah Unit Pengolahan Sampah (UPS) Skenario 3a (Volume sampah olah 30 m3/hari, 15 % kompos, dan 1% plastik pilahan) Uraian
Tahun ke0
1
2
3
4
5
INFLOW Kompos
Rp
229.950.000
Penjualan pilahan plastik
Rp
22.995.000
Rp 229.950.000
Rp
229.950.000
Rp
22.995.000
Rp
22.995.000
Anggaran Dana dari APBD
Rp
Tipping Fee (per KK, bulan) TOTAL INFLOW
Rp 229.950.000
Rp 229.950.000
Rp
Rp
200.000.000
Rp 200.000.000
Rp
200.000.000
Rp 200.000.000
Rp
134.762.940
Rp 134.762.940
Rp
134.762.940
Rp 134.762.940
Rp 134.762.940
Rp
587.707.940
Rp 587.707.940
Rp
587.707.940
Rp 587.707.940
Rp 710.587.940
1. Biaya listrik
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
2. Biaya pemeliharaan mesin
Rp
54.000.000
Rp 54.000.000
Rp
54.000.000
Rp
54.000.000
Rp
54.000.000
3. Sekop
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
4. Sapu Lidi
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
22.995.000
Nilai sisa mesin
22.995.000
Rp 200.000.000 Rp 122.880.000
OUTFLOW Biaya investasi 1. Paket Mesin Pengolah Sampah
Rp
300.000.000
2. Bangunan
Rp
550.000.000
3. Gerobak sampah
Rp
12.000.000
Total Biaya Investasi
Rp
862.000.000
Biaya Operasional Biaya Tetap
108
5. Masker
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
6. Sepatu Bot
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
7. Cangkrang (Garu)
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
8. Sarung Tangan
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
9. Biaya tenaga kerja
Rp
126.000.000
Rp
126.000.000
1. Karung Plastik
Rp
2. Pembelian bakteri EM-4
Rp
3. Biaya bahan bakar
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
34.500.000
Rp
34.500.000
Rp
34.500.000
Rp
34.500.000
Rp
34.500.000
4.294.000
Rp
4.294.000
Rp
4.294.000
Rp
4.294.000
Rp
4.294.000
Rp
25.093.750
Rp
25.093.750
Rp
25.093.750
Rp
25.093.750
Rp
25.093.750
Total Biaya Operasional
Rp
247.421.750
Rp 247.421.750
Rp
247.421.750
Rp 247.421.750
Rp 247.421.750
TOTAL OUTFLOW
Rp
247.421.750
Rp 247.421.750
Rp
247.421.750
Rp 247.421.750
Rp 247.421.750
Rp
340.286.190
Rp 340.286.190
Rp
340.286.190
Rp 340.286.190
Rp 463.166.190
0,885
0,783
0,693
0,613
0,543
Rp
301.138.221
Rp 266.494.001
Rp
235.835.399
Rp 208.703.893
Rp 251.388.052
Biaya Variabel
Pendapatan Bersih
Rp
(862.000.000)
Present Value (PV)
Rp
(862.000.000)
PV (+)
Rp
1.263.559.566
PV (-)
Rp
(862.000.000)
DF (13%)
1,000
Net B/C NPV IRR PP
1,47 Rp
355.362.448 30% 4 tahun 6 bulan
109
Lampiran 7 Cash Flow Pengelolaan Sampah Unit Pengolahan Sampah (UPS) Skenario 3b (Volume sampah olah 30 m3/hari, 31,7 % kompos, dan 2,5 % plastik pilahan) Uraian
Tahun ke0
1
2
3
4
5
INFLOW Kompos
Rp
485.961.000
Penjualan pilahan plastik
Rp
57.487.500
Rp 485.961.000
Rp
485.961.000
Rp 485.961.000
Rp 485.961.000
Rp
57.487.500
Rp
57.487.500
Rp 57.487.500
Rp
Anggaran Dana dari APBD
Rp
200.000.000
Rp 200.000.000
Rp
200.000.000
Rp 200.000.000
Rp 200.000.000
Tipping Fee (per KK, bulan)
Rp
122.880.000
Rp
134.762.940
Rp 134.762.940
Rp
134.762.940
Rp 134.762.940
Rp
134.762.940
TOTAL INFLOW
Rp
878.211.440
Rp 878.211.440
Rp 878.211.440
Rp 878.211.440
Rp 1.001.091.440
1. Biaya listrik
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
Rp
2.400.000
2. Biaya pemeliharaan mesin
Rp
54.000.000
Rp
54.000.000
Rp
54.000.000
Rp 54.000.000
Rp
54.000.000
3. Sekop
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
Rp
100.000
4. Sapu Lidi
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Rp
20.000
Nilai sisa mesin
57.487.500
OUTFLOW Biaya investasi 1. Paket Mesin Pengolah Sampah
Rp
300.000.000
2. Bangunan
Rp
550.000.000
3. Gerobak sampah
Rp
12.000.000
Total Biaya Investasi
Rp
862.000.000
Biaya Operasional Biaya Tetap
110
5. Masker
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
Rp
154.000
6. Sepatu Bot
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
7. Cangkrang (Garu)
Rp
120.000
Rp
120.000
Rp
630.000
Rp
630.000
Rp
630.000
120.000
Rp
120.000
Rp
120.000
8. Sarung Tangan
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
Rp
110.000
9. Biaya tenaga kerja
Rp
126.000.000
1. Karung Plastik
Rp
2. Pembelian bakteri EM-4
Rp
3. Biaya bahan bakar
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
Rp 126.000.000
Rp
126.000.000
72.900.000
Rp
72.900.000
Rp
72.900.000
Rp
72.900.000
Rp
72.900.000
4.294.000
Rp
4.294.000
Rp
4.294.000
Rp
4.294.000
Rp
4.294.000
Rp
25.093.750
Rp
25.093.750
Rp
25.093.750
Rp
25.093.750
Rp
25.093.750
Total Biaya Operasional
Rp
285.821.750
Rp 285.821.750
Rp 285.821.750
Rp 285.821.750
Rp 285.821.750
TOTAL OUTFLOW
Rp
285.821.750
Rp 285.821.750
Rp 285.821.750
Rp 285.821.750
Rp 285.821.750
Rp
592.389.690
Rp 592.389.690
Rp 592.389.690
Rp 592.389.690
Rp 715.269.690
0,885
0,783
Rp
524.238.664
Rp 463.928.021
Biaya Variabel
Pendapatan Bersih
Rp
(862.000.000)
Present Value (PV)
Rp
(862.000.000)
PV (+)
Rp
PV (-)
Rp
DF (13%)
1,000
Net B/C NPV IRR PP
Rp
0,693
0,613
410.555.771
Rp 363.323.691
0,543 Rp
388.219.731
2.150.265.878 (862.000.000) 2,49
Rp
1.140.058.299 64% 2 tahun
111
Lampiran 8 Alur Pengolahan Sampah UPS RW 11
Sampah masuk (m3)
Proses Pemilahan (m3)
Plastik (m3)
Organik (m3)
Sisa sampah I (m3)
Proses Penggilingan (m3)
Proses Pemilahan II (m3)
Plastik II (m3)
Proses Pemadatan (Pressing) I (m3)
Sisa sampah II (m3)
Proses Fermentasi (m3)
Proses Pemadatan (Pressing) II (m3)
Proses Pengayakan (m3)
Sisa Kompos (kg)
Hasil Kompos (karung)
Proses Pemadatan (Pressing) III
Proses Pengemasan
112
Keterangan : Sampah masuk Proses Pemilahan I
Plastik I
Organik Sisa sampah I
Proses Penggilingan Proses Pemilahan II Plastik II Sisa sampah II Proses Pemadatan (Pressing) I Proses Pemadatan (Pressing) II Proses Fermentasi
Proses Pengayakan Sisa kompos Hasil kompos Proses Pemadatan (Pressing) III Proses Pengemasan
: Sampah masuk ke UPS melalui sarana pengangkut sampah : Pemisahan antara sampah organik, plastik, dan sisa sampah pada saat sampah akan dimasukkan ke dalam mesin : Sampah jenis plastik hasil pemilahan I akan dikumpulkan bersama sampah jenis plastik hasil pemilahan II yang nantinya akan dipadatkan : Sampah jenis organik hasil dari pemilahan I yang nantinya akan diolah menjadi kompos : Sisa sampah pada pemilahan I akan dikumpulkan bersama sisa sampah hasil pemilahan II yang nantinya akan dipadatkan : Sampah organik yang telah dipilah, digiling dengan menggunakan mesin : Pemisahan antara sampah organik, plastik, dan sisa sampah setelah proses penggilingan : Kumpulan sampah jenis plastik hasil pemilahan I dan II yang nantinya akan dipadatkan : Kumpulan sisa sampah hasil pemilahan I dan II : Kumpulan sisa sampah jenis plastik hasil pemilahan I dan II dipadatkan : Kumpulan sisa sampah hasil pemilahan I dan II dipadatkan : terdiri dari : - pemberian obat pada sampah organik Proses dilakukan - fermentasi sampah organik selama kira-kira 5 - pengeringan sampah organik hari : Hasil fermentasi sampah organik yang telah kering diayak menggunakan mesin pengayak : Sampah sisa pengolahan kompos yang akan dipadatkan : Hasil dari proses pengolahan sampah organik yang akan dikemas : Sisa kompos dipadatkan : Hasil kompos dikemas ke dalam karung
113
Lampiran 9 FOTO-FOTO KEGIATAN UPS RW 11 KELURAHAN TUGU KOTA DEPOK
Gambar 1. Papan Nama UPS RW 11
Gambar 2. Mesin Penyaring Kompos
Gambar 3. Mesin Penghancur/Pencacah Sampah
Gambar 4. Aktivitas Pagi Hari : Memilah dan mencacah sampah
114
Gambar 5. Kompos yang telah matang dan dikemas dalam karung 25 kg
Gambar 6. Sampah Plastik yang telah dipilah dan dipadatkan (siap jual)
Gambar 7. Sampah organik hasil pencacahan yang tengah diproses menjadi kompos
Gambar 8. Hanggar UPS RW 11 (tampak dari depan)
115