ETIKA KEUTAMAAN DALAM NILAI-NILAI PANCASILA*
[email protected]
Pengantar Pembahasan mengenai nilai-nilai Pancasila memang tidak ada habisnya. Sebagai dasar negara dan dasar falsafah hidup berbangsa dan bernegara, nilai-nilai Pancasila merupakan sesuatu hal yang sudah baku, tidak dapat diubah-ubah. Namun demikian, sebagai sebuah nilai, interpretasi terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah hal yang mutlak selalu dibutuhkan, seiring dengan perkembangan jaman. Menurut Soekarno, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, merupakan nilai-nilai yang digali dari kekayaan budaya bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah mempunyai nilai-nilai Ketuhana, Kemanusia, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan sejak ribuan ratusan tahun yang lampau, ketika negara Indonesia belum berdiri. Nemun demikian setelah 62 tahun merdeka keraguan terhadap Pancasila mulai bermunculan. Keraguan ini terkait dengan kenyataan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila tersebut. Banyak kalangan yang menyatakan bahwa nilai-nilai dalam Pancasila dianggap terlalu ideal sehingga sangat sulit untuk dapat dipraktekkan pada kehidupan sehari-hari. Pada masa Orde Baru nilai-nilai Pancasila sudah pernah untuk dicoba diterjemahkan menjadi norma yang lebih operasional seperti termaktub dalam Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4). Namun demikian pemberlakuan standart operasional dan teknis seperti yang tercantum dalam P4, tidak juga dapat menjadikan manusia Indonesia lebih berPancasila. Korupsi, kolusi dan nepotisme justru merajalela bahkan mendarah daging dalam benak manusia Indonesia. Hal ini tentu saja memberikan dampak pada rusaknya moralitas sebagian manusia Indonesia. *
Hastanti Widy Nugroho, Dosen Fakultas Filsafat UGM
Dengan latar belakang pemikiran tersebut, maka pembahasan Pancasila berdasar perspektif filsafat moral merupakan satu hal yang dapat dilakukan, untuk mengkaji kembali kembali pentingnya nilai-nilai moral yang ada dalam Pancasila. Apakah pembicaraan ini masih menarik, mengingat banyak ahli sudah pernah melakukan pengkajian tersebut. Tentu saja, mengingat, tulisan ini akan membahas nilai-nilai Pancasila dari sudut tinjauan yang mengkhususkan diri pada Etika Keutamaan. Mengenal Fenomena Moral Sebelum membahas lebih jauh mengenai etika keutamaan serta hubungannya dengan nilai-nilai Pancasila, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai fenomena moral. Hal ini penting untuk memberikan gambaran, bagaimanakah sesungguhnya landasan pertimbangan moral yang harus dilakukan bagi seseorang sebelum melakukan suatu tindakan moral. Fenomena moral merupakan sebuah gambaran yang berhubungan dengan pertimbangan dan putusan moral yang dilakukan seseorang. Maksudnya, ketika seseorang melakukan pertimbangan dan putusan moral, dapat dilihat berdasar fenomena moral tersebut yang antara lain terdiri atas, esensi, forma dan ekspresi. Ketiga lembaga ini saling berhubungan satu sama lain, sehingga tidak dapat dipisahkan. Pertama adalah esensi yaitu menyangkut nilai-nilai yang menjadi motivasi tindakan setiap orang. Ditinjau secara esensial nilai-nilai moral ini ada dalam hati nurani setiap manusia sebagai sesuatu yang inheren. Nilai-nilai moral tersebut pada akhirnya mengambil bentuk (manifestasi) pada lembaga yang kedua, yaitu forma. Forma diartikan sebagai bentuk, yaitu bentuk yang diambil oleh nilai-nilai tersebut, sehingga nilai-nilai tersebut lebih mudah untuk dikenali untuk dimengerti dan kemudian dipraktekkan. Bentuk (form) dari nilai-nilai moral tersebut antara lain berupa ukuranukuran norma moral, sistem norma moral yang kesemuanya mengejawantah dalam norma masyarakat, agama, adat dan norma hukum. Lembaga ketiga yaitu ekspresi.
Ekspresi ini menyangkut keputusan tindakan dan hasil tindakan nyata yang dilakukan seseorang dengan didasarkan pada pertimbangan hati nurani (esensi) serta kaidah, hukum serta norma dalam masyarakat (form). Berdasarkan keberadaan tiga lembaga yang menjadi faktor penting dalam fenomena moral tersebut, maka untuk melakukan penilaian terhadap suatu tindakan moral tertentu, harus didasarkan pada pertimbangan ketiga instansi fenomena moral tersebut di atas. Suatu tindakan moral dapat dikatakan baik atau penilaian moral dinyatakan baik, jika ketiga aspek tersebut ada dan tidak terpisah-pisah. Jika suatu tindakan moral hanya mempertimbangkan salah satu aspek tanpa memperhatikan aspek yang lain, maka tindakan moral tersebut tidak dapat dikatakan benar. Sebagai contoh ketika seseorang melakukan perbuatan menyantuni anak yatim piatu. Berdasar fenomena moral tindakan tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut : berdasar ekspresi tindakan yang dilakukan yaitu menyantuni anak yatim, maka tindakan ini dapat dikatakan baik. Tindakan ini sesuai dengan norma yang ada dalam masyarakat (forma). Namun demikian perlu pengkajian lebih lanjut, motivasi tindakan yang dilakukan, apakah sesuai dengan nilai-nilai yang baik, misalnya didasarkan pada nilai kemanusiaan,
ataukah
didasarkan
pada
motivasi
adanya
keinginan
untuk
mendapatkan pujian dan penghargaan dari manusia lain?. Demikianlah ekspresi tindakan seseorang dapat saja dilakukan sesuai dengan esensi (nilai-nilai kebaikan) dan dapat pula tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kebaikan yang ada dalam hati nurani, karena sekedar memenuhi kewajiban norma agama (forma). Berdasar fenomena moral tersebut penilaian terhadap sebuah tindakan yang dilakukan oleh seseorang tidak hanya berdasar apa yang nampak saja, tetapi lebih komprehensif yaitu mencakup aspek lahiriah (ekspresi), aspek kesesuaian dengan norma masyarakat (forma) serta aspek batiniah yaitu motivasi terdalam (esensi).
Aliran dalam Filsafat Moral Dalam filafat moral terdapat beberapa aliran yang memberikan kriteria dan ukuran, sebuah tindakan dapat dikatakan baik atau buruk. Berikut ini merupakan pemaparan beberapa aliran tersebut. Aliran yang pertama adalah hedonisme. Aliran ini merupakan aliran yang paling populer, mengingat konsep mendasar yang ditawarkan paling mudah
oleh orang
awam sehingga mudah untuk dianut. Hedonisme berasal dari kata dalam bahasa Yunani, hedone yang berarti kenikmatan atau kesenangan. Dalam pengertian ini , maka hedonisme dapat diartikan pertama, berhubungan dengan konsep moral yang menyamakan kebaikan dengan kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan
tindakan
manusia
(Lorens
Bagus,
1996:282).
Etika
hedonisme
sudah
dikemukakan oleh filsuf Yunani kuno, Aristipos yang berpandangan bahwa kesenangan adalah satu hal yang diinginkan setiap orang. Kesenangan dalam pandangan Aristipos ini menyangkut beberapa hal, pertama bahwa kesenangan bukan berarti badaniah tetapi juga menyangkut spiritualitas, kedua bahwa kesenangan yang dicapai adalah kesenangan aktual, saat ini dan disini (Bertens, 1993:236). Aliran kedua, yaitu Eudemonisme. Aliran ini mempunyai tesis mendasar bahwa setiap perbuatan manusia pada dasarnya ditujukan untuk mencapai sesuatu. Suatu tujuan tertentu kadangkala hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain yang mempunyai nilai lebih tinggi. Tujuan terakhir yang berusaha dicapai manusia, dan bukan demi tujuan yang lain adalah
kebahagiaan (eudemonia), demikian menurut
pandangan beberapa filsuf penganut eudemonisme. Eudemonia berasal dari istilah Yunani yang berarti kebahagiaan. Pandangan
eudomonisme pertama kali
dikemukakan secara tertulis oleh Aristoteles dalam bukunya Ethika Nikomakheia (Magnis Suseno,1997: 30). Plato (guru Aristoteles) sebenarnya sudah mengemukakan pandangan tentang kebahagiaan sebagai tujuan akhir manusia, namun pemakaian istilah eudemonia baru dipopulerkan oleh Aristoteles dikemudian hari. Dalam pandangan etika Plato kebaikan diukur dari tujuan akhir yang hendak dicapai manusia.
Tujuan tersebut adalah kebahagiaan (eudemonia). Bagi Plato adanya kebaikan tertinggi merupakan puncak kebahagiaan manusia yang
disebutnya sebagai Idea
Tertinggi. Prinsip Eros (cinta) sangat ditekankan oleh Plato dalam rangka proses pencapaian manusia kebahagiaan. Menurut Plato, cintalah yang mendorong manusia untuk meraih Ide Tertinggi, mencarikan jalan kepada Sang Baik. Sang Baik adalah sumber sekligus tujuan hidup manusia, sebagai tujuan menarik manusia untuk mencapaiNya dan sebagai sumber mendorong manusia dengan cintaNya (Magnis Suseno,1997:19). Aliran yang ketiga adalah Utilitarianisme. Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis yang artinya berguna. Pandangan mendasar aliran etika ini adalah bahwa kaidah atau aturan tingkah laku secara moral disebut baik jika mempunyai konsekuensi lebih menguntungkan dan berguna bagi sebagian besar orang, oleh karena itu disebut juga The Greates Happiness Theory. Cikal bakal pandangan utilitarian sesungguhnya ada pada pandangan hedonisme, yang secara khusus menekankan pada pemahaman adanya keuntungan terbesar yaitu adanya kenikmatan
atau kesenangan. Menurut
Betham suatu kewajiban moral adalah apa yang dapat yang menimbulkan kebahagiaan terbesar bagi sejumlah besar orang, kebahagiaan tersebut ditentukan oleh adanya kebahagiaan dan tidak adanya rasa sakit atau kesedihan (Magnis Suseno,1997:180). Aliran keempat yaitu Deontologi. Aliran Deontologi ini juga dikenal dengan nama etika kewajiban. Peletak dasar teori kewajiban moral yaitu Samuel Pufendorf (1632-1694) yang dalam bukunya Law of Nature and of mengemukakan
tiga
komponen
dari
teori
kewajiban.
Nation (1672), Pertama,
adanya
hubungan/korelasi antara hak dan kewajiban, sebagai contoh jika aku mempunyai hak atas mobilku maka kamu mempunyai kewajiban untuk tidak mencuri mobilku. Kedua, adanya perbedaan
antara kewajiban sempurna dan kewajiban tidak sempurna.
Kewajiban sempurna adalah kewajiban yang secara tepat memerintahkan tindakan kita yang pantas dan layak dimanapun dan kapanpun, sedangkan kewajiban tidak
sempurna sebagai contoh adalah kewajiban melakukan pengorbanan. Ketiga, Pufendorf membagi atas tiga bentuk kewajiban : kewajiban terhadap tuhan, kewajiban kepada diri sendiri dan kewajiban terhadap orang lain. Pemikiran terbesar tentang etika kewajiban dikemukakan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Mula-mula Kant menulis teori tentang kewajiban pada Lectures of Ethics (1780) dan juga pada karyanya yang lebih kemudian dan lebih sistematis antara lain : The Foundations of Metaphysics of Moral (1785), The Critique of practical Reason (1788), dan The Methaphysics of Moral (1798). Gagasan Kant tentang etika kewajiban tidak lepas dari pandangannya tentang akal budi praktis yang sifatnya murni a priori. Bahwa satu tindakan moral dilakukan berdasarkan kewajiban yang diperintahkan oleh hukum atau prinsip alam yang sudah ada. Kant menjelaskan bahwa perbuatanmoral pada akhirnya didasarkan pada sebuah "Supreme principle of morality" yang sifatnya objektif, rasional dan dapat dipilih bebas, yang disebut imperatif kategoris (Taylor,1975: 84-87). Imperatif kategoris adalah prinsip yang mengharuskan seseorang untuk melakukan suatu kewajiban secara mutlak
tanpa syarat apapun. Seseorang tidak
akan diberi hadiah jika menjalankan perintah serta tidak pula diberi hukuman jika melanggar perintah. Masih berkaitan dengan pemikirannya tentang pengetahuan a priori, maka kewajiban dalam pandangan Kant, merupakan fungsi yang sudah ada dalam diri manusia secara a priori. Dalam diri manusia imperatif kategoris
itu ada dan
mengharuskan manusia untuk bertindak secara moral. Perintah tersebut sifatnya mengharuskan dan memaksa manusia untuk melakukan sesuatu perbuatan moral. Jadi suatu perbuatan baik merupakan hasil dari pelaksanaan kewajiban yang tidak bersyarat, bukan paksaan tetapi pertimbangan yang mengharuskan kita berbuat sesuai kewajiban dalam diri. Bagi Kant suatu kebaikan moral adalah baik dalam dirinya sendiri, bukan disebabkan oleh suatu hal lain. Kebaikan moral adalah kebaikan yang sifatnya mutlak, baik begitu saja tanpa catatan apapun. Kenaikan moral mengandaikan
adanya kehendak yang baik juga tidak tergantung dengan apapun diluar kehendak itu sendiri. Aliran terakhir adalah etika keutamaan, yang akan menjadi sudut pandang dalam membahas nilai-nilai Pancasila pada tulisan ini. Etika Keutamaan Apakah yang dimaksud etika keutamaan ? Jika kedapatan seorang ibu mencuri susu di sebuah supermarket, maka penilaian pertama yang muncul adalah bahwa ibu tersebut berbuat buruk. Tidak peduli untuk tujuan apakah ibu tersebut mencuri, apakah ia mempunyai anak balita yang sedang kelaparan dan memerlukan susu ataukah susu itu hendak dijual untuk membeli mainan untuk anaknya? Yang jelas dan pasti, ibu tersebut bersalah dan berbuat kejahatan. Kesemua alasan tersebut tidak dapat dijadikan alasan, yang terpenting adalah bahwa orang tersebut berbuat salah karena telah melangar norma moral yang berlaku, dan harus dihukum. Penilaian tersebut sifatnya sangat formalistik, karena memandang suatu perbuatan sebatas penampakan yang nyata-nyata melanggar suatu norma moral tertentu. Penilaian tersebut di atas tentu akan berbeda jika terdapat seorang ibu yang mencuri karena pada dasarnya memang mempunyai watak buruk yaitu suka mencuri, penilaian yang dilakukan terhadap perbuatan ini lebih mendalam yaitu menyangkut sifat, niat, motivasi serta i'tikad yang dimiliki orang perorang. Perbedaan penilaian terhadap kasus tersebut diatas sangat terkait dengan perbedaan mendasar pada teori yang melatarbelakangi tindakan tersebut. Penilaian pertama lebih didasarkan pada teori etika kewajiban yang lebih menekankan mengharuskan seseorang untuk melakukan suatu kewajiban secara mutlak tanpa syarat apapun. Sedangkan penilai kedua terkait dengan etika keutamaan, bahwa penilaian suatu tindakan harus mempertimbangankan karakter, motivasi yang dimiliki oleh seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etika keutamaan mempunyai pandangan
mendasar
bahwa
landasan
moralitas
manusia
terletak
pada
perkembangan sifat, karakter baik yang disebut keutamaan (virtue) yang dimiliki oleh manusia. Setiap manusia yang melakukan suatu perbuatan atau tindakan tertentu, selalu dilatarbelakangi oleh watak, karakter yang dimiliki manusia tersebut. Jika seseorang tertangkap melakukan pembunuhan, penilaian yang dilakukan akan mempertimbangkan aspek lebih mendalam yaitu menyangkut motivasi, sifat dasar yang dimiliki si pembunuh. Apakah dia membunuh untuk mempertahankan diri ataukah memang si pembunuh mempunyai sifat buruk, tega dan suka menyakiti orang lain. Virtue is a trait of character, manifested in habitual actions, that is good for person to have (James Rachel,1978:14). Keutamaan moral bukanlah sekedar pilihan antara kebaikan dan keburukan tetapi menyangkut kemampuan untuk mengarahkan diri di antara sifat-sifat buruk dan menghidupkan keutamaan-keutamaan yang sesungguhnya ada dalam diri setiap manusia. Etika keutamaan mengarahkan pada being manusia, what should I be?. Hal ini berbeda dengan etika kewajiban yang menekankan doing manusia, what should I do?. Keutamaan yang dimaksud dalam moralitas antara lain keteguhan hati, kemampuan untuk menahan amarah , kesetiakawanan,
kerendahan hati dan
kemarahan pada tempatnya. Adalah satu hal yang sulit untuk menghidupkan keutamaan-keutamaan tersebut karena tidak mudah menemukan jalan tengah antara dua kecenderungan, kebaikan dan keburukan. Terdapat beberapa catatan penting berkaitan dengan keutamaan :
Keutamaan adalah suatu disposisi, artinya suatu kecenderungan tetap. Bukan berarti keutamaan tidak bisa hilang, tetapi hal ini tidak mudah terjadi. Keutamaan adalah sifat yang ditandai oleh stabilitas, yang mendarah daging pada diri seseorang.
Keutamaan berkaitan dengan kehendak. Keutamaan adalah disposisi yang membuat kehendak tetap cenderung pada arah tertentu, oleh karena itu motivasi sangatlah penting karena motivasilah yang mengarahkan kehendak.
Keutamaan diperoleh dengan jalan membiasakan diri dan merupakan hasil latihan. Keutamaan tidak dimiliki manusia sejak lahir, tetapi melalui proses latihan diiringi usaha korektif (Bertens, 1993:213) Etika keutamaan sesungguhnya merupakan pemikiran tentang etika tertua
pada filsafat barat, yang mencapai puncaknya pada masa Yunani Kuno. Beberapa epos, puisi, karya drama seperti Homerus dan Sophocles, banyak berisi pandangan moral tentang kebajikan serta kejahatan. Sokrates sendiri menyebut keutamaan atau kebajikan sebagai arete, walaupun pandangannya tentang keutamaan
ini belum
mengarah pada teori moral tertentu, tetapi lebih kepada pandangan tentang sifat yang melekat pada manusia secara umum. Misalnya arete yang dimiliki seorang tukang sepatu yang menjadikan dia sebagai tukang sepatu yang baik. Sementara itu Plato berpendapat bahwa bagian integral dari pencarian kebenaran adalah mengetahui sifatsifat ideal kebajikan seperti keadilan, kesalehan, dan keberanian. Teori keutamaan yang kemudian banyak dibicarakan dan berpengaruh tampak pada pemikiran Aristoteles yang ditulis pada buku Nichomchean Ethics, khususnya pada bagian dua. Menurut Aristoteles keutamaan moral adalah kemauan yang dimiliki manusia untuk mengatur sifat-sifat yang ekstrim seperti kejahatan. Sebagai contoh munculnya respon terhadap sifat takut yaitu timbulnya sifat keberanian. Menurut James Rachel relativitas sifat keutamaan sangat dimungkinkan, karena manusia berbeda satu dengan yang lain, baik dalam hal kepribadian, lingkungan tempat tingal serta aturan sosial yang akan menyebabkan sifat dan karakter yang dimiliki menjadi berbeda. Namun demikian terdapat beberapa keutamaan yang dibutuhkan dan diinginkan semua orang di semua tempat dan waktu. Seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles bahwa kita semua mempunyai gagasan besar secara umum, tentang apa yang disebut baik. Secara umum semua manusia akan menemui masalah-masalah mendasar dan mempunyai keinginan-keinginan mendasar yang sama. Setiap orang akan menginginkan keberanian, karena tidak ada seorangpun yang
aman tanpa bahaya sedikitpun, sehingga semua orang
butuh
keberanian untuk mengatasi setiap bahaya yang muncul. Kejujuran dalam perkataan juga satu hal yang dibutuhkan oleh semua manusia, karena tidak ada sosialitas yang eksis
tanpa
adanya
komunikasi
yang
jujur
antar
anggotanya.
(James
Rachels,1978:159-179). Empat keutamaan pokok yang penting bagi manusia yaitu kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri dan keadilan. Pandangan ini sudah mengakar kuat sejak masa Plato dan Aristoteles dan akhirnya dikembangkan lebih lanjut pada abad Pertengahan, antara lain oleh Thomas Aquinas, yang menambahkan keutamaan tersebut dengan iman kepercayaan, pengharapan dan cinta kasih (Bertens,1993: 222). Etika Keutamaan dalam Nilai-Nilai Pancasila Berdasarkan uraian mengenai fenomena moralitas serta etika keutamaan tersebut di atas, dapatlah dilakukan analisis terkait dengan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. Sebagai sebuah rumusan nilai-nilai moral, nilai-nilai yang tercantum dalam Pancasila bukan hanya dapat diinterpretasikan berdasar etika kewajiban seperti yang sudah dilakukan selama ini. Misalnya pada masa Orde Baru, jika seseorang tidak mempunyai sertifikat lulus penataran P-4, maka akan mendapatkan predikat sebagai orang yang tidak Pancasilais, vonis terberat tidak akan diterima sebagai PNS. Namun demikian pemberlakukan hukum formal seperti tersebut, toh tidak menjadikan manusia menjadi lebih ber-Pancasila, yang ada hanyalah kepura-puraan, dan kepalsuan di sana sini. Interpretasi lain terkait dengan pengamalan nilai-nilai moral Pancasila dapat dilakukan juga berdasar etika keutamaan. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat Ir. Soekarno telah menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah memiliki nilai-nilai Pancasila sejak ratusan tahun yang lalu. Ini berarti bahwa karakter, watak bangsa Indonesia, sesungguhnya telah ber-Ketuhanan, ber-Kemanusiaan, ber-Persatuan, berKerakyatan dan ber-Keadilan.
Notonagoro telah mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada dalam Pancasila memuat hakikat kodrat yang dimiliki manusia. Dengan demikian, berdasar hakikat kodrat tersebut, dapatlah diturunkan karakter dan watak yang dimiliki manusia.
Susuanan Kodrat
Raga/ jasmani
An organik Vegetatif Animal
Jiwa/rohani
Akal Rasa Kehendak
Sifat kodrat
Individual Sosial
Kedudukan Kodrat
Pribadi Mandiri Makhluk Tuhan ( Notonagoro, 1995:96)
Berdasarkan kedudukan kodrat manusia, dapatlah dijelaskan bahwa di satu sisi, manusia merupakan pribadi mandiri yang mempunyai otonomi. Berdasar hal tersebut manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan diri, melakukan apapun sesuai dengan keinginan yang dimiliki. Namun demikian di sisi lain, manusia mempunyai ketergantungan, baik kepada benda lain, maupun pada manusia lain. Ketergantungan manusia pada akhirnya mempunyai arah paling puncak yaitu pengakuan adanya Tuhan. Sejauh mana dependensi manusia akan sampai pada nilai Ketuhanan, semua tergantung pada manusianya. Berdasar hal tersebut, maka karakter dan sifat manusia untuk percaya adanya Tuhan merupakan sesuatu yang sifatnya kodrati, namun pada akhirnya semua dikembalikan kepada manusia, apakah karakter tersebut masih ada, berkembang atau tidak, semua berpulang kepada manusia.
Manusia berada di dunia bersama-sama dengan manusia lain, untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Eksistensi manusia baru dapat diakui ketika bersama dengan manusia lain. Inilah yang disebut dengan ungkapan sifat individual manusia barulah dapat eksis ketika manusia bersosialisasi dengan manusia yang lain. Oleh karena itu sifat hormat dan cinta kasih terhadap sesama merupakan sesuatu yang secara kodrati ada dalam diri manusia. Tarik menarik antara kebutuhan akan sifat individualitas dan sosialitas memerlukan kemampuan manusia untuk dapat mendamaikan keduanya. Secara ideal dapat dikemukakan bahwa sosialitas manusia yang seharusnya membimbing individualitas manusia. Manusia baru akan menemukan dirinya ketika bersama-sama dengan manusia lain. Kemampuan untuk mendamaikan antara individualitas dan sosialitas inilah yang akan melahirkan karakter, sifat keadilan. Adil artinya mampu menempatkan secara seimbang, harmonis, berbagai kepentingan individual, ditengahtengah kepentingan sosial. Bagaimanakah dengan bangsa Indonesia saat ini? Berbagai keluhan yang seringkali muncul berkaitan dengan Pancasila, misalnya adanya keluhan bahwa nilainilai Pancasila telah dimiliki bangsa Indonesia ratusan tahun yang lampau, tetapi mengapa sulit untuk melakukan sosialisasi nilai-nilai Pancasila dan menerapkan nilainilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Keluhan tersebut kiranya sangat masuk akal mengingat pelaksanaan nilai-nilai Pancasila selama Orde Baru, sangat formalistik, sehingga orang justru merasa asing dan tidak familiar dengan nilai-nilai yang selama telah menjadi karakter dan dimiliki sejak lama. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa sebuah penilaian moral terkait dengan nilai-nilai moral Pancasila, harus dilihat dari tiga lembaga yaitu esensi, forma dan ekspresi. Artinya, ketika seorang melakukan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya, hal tersebut jelas sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun penilaian tidak akan berhenti sampai di situ, perlu dilakukan pertimbangan lain, yaitu menyangkut esensi yaitu motivasi yang melatarbelakangi ibadah tersebut, apakah
memang karena didasarkan pada nilai penghormatan, cinta kasih terhadap Sang Pencipta, ataukah karena pamrih, imbalan akan mendapatkan sorga kelak di kemudian hari dan ketakutan akan adanya siksa api neraka. Hal inilah yang selama ini diabaikan oleh banyak kalangan. Keutamaan moral yang ada dalam nilai-nilai Pancasila, seperti cinta kasih terhadap Pencipta dan sesama, pengendalian diri, penghargaan terhadap orang lain serta keadilan merupakan sifat, karakter manusia yang harus dikembangkan. Berdasar sifat keutamaan inilah sebuah tindakan dilakukan, bukan hanya
karena formalitas
untuk menggugurkan kewajiban atau mengharapkan adanya imbalan. Tindakan baik bukan didasarkan atas apa yang ada di sana (norma hukum, agama, masyarakat) tetapi didasarkan pada apa yang ada di sini (sifat, karakter keutamaan dalam diri).
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, 1998, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta Bertens, 1993, Etika, Kanisius, Yogyakarta. James Rachel, 1978, The Elements of Moral Philosophy, McGraw-Hill Companies, New York. Notonagoro, 1995, Pancasila Secara Ilmiah, Populer, Bumi Aksara, Jakarta. Magnis-Suseno, F., 1997, 13 Tokoh Etika , Kanisius, Yogyakarta.