ENKAPSULASI BIBIT ANGGREK Phalaeonopsis amboinensis DENGAN PENAMBAHAN PACLOBUTRAZOL SEBAGAI METODE PENYIMPANAN SECARA IN VITRO
Oleh Irwan Nirwana A34404019
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
IRWAN NIRWANA. Enkapsulasi Bibit Anggrek Phalaeonopsis amboinensis dengan Penambahan Paclobutrazol sebagai Metode Penyimpanan secara In Vitro. (Dibimbing oleh NI MADE ARMINI WIENDI). Percobaan ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh penambahan paclobutrazol pada beberapa taraf konsentrasi terhadap daya simpan bibit Phalaeonopsis amboinensis secara in vitro. Selain itu, untuk mendapatkan formulasi media enkapsulasi dengan penambahan paclobutrazol yang terbaik untuk penyimpanan bibit Phalaeonopsis amboinensis dengan menghambat pertumbuhannya
tanpa
menyebabkan
kematian
jaringan.
Percobaan
ini
dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dari bulan April 2008 sampai dengan Agustus 2008. Penelitian ini terdiri dari dua percobaan yang saling berhubungan. Percobaan pertama diadakan untuk mempelajari pengaruh paclobutrazol pada penyimpanan dengan enkapsulasi. Percobaan ke-2 dilakukan untuk mempelajari pengaruh paclobutrazol pada penyimpanan tanpa enkapsulasi. Kedua percobaan disusun dengan menggunakan rancangan acak kelompok. Pengelompokkannya dilakukan berdasarkan perbedaan waktu pemberian perlakuan. Kedua percobaan diberi perlakuan yang disusun secara faktorial yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah penambahan paclobutrazol yang terdiri atas empat taraf, yaitu 0 mg/l (P0), 1 mg/l (P1), 3 mg/l (P2), 5 mg/l (P3). Faktor ke-2 adalah lamanya waktu penyimpanan yang terdiri atas empat taraf, yaitu 0 MSE (Minggu Setelah Enkapsulasi) (S0), 4 MSE (S1), 8 MSE (S2), 12 MSE (S3) pada percobaan pertama, dan 0 MST (Minggu Setelah Tanam) (S0), 4 MST (S1), 8 MST (S2), 12 MST (S3) pada percobaan ke-2. Setiap percobaan ini terdiri dari 16 kombinasi perlakuan. Setiap kombinasi perlakuan terdiri atas tiga kelompok, dimana setiap kelompok sekaligus menjadi suatu ulangan. Jumlah satuan percobaan pada masing-masing percobaan adalah 48 satuan. Pada setiap satuan percobaan tersebut terdiri atas tiga bibit sebagai satuan amatan. Bahan tanamannya adalah bibit Phalaeonopsis amboinensis yang merupakan hasil kultur in vitro dari Pusat
Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor. Bibit berasal dari benih hasil selfing yang sudah berumur 10 bulan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada percobaan satu, BEP (Bibit Enkapsulasi Phalaeonopsis) tidak ada yang menembus sampai 12 MSE. Interaksi perlakuan paclobutrazol dengan lamanya waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh BEP sampai 2 dan 4 MSP (Minggu Setelah Penyimpanan), serta jumlah daun BEP sampai 2 MSP. Kombinasi perlakuan paclobutrazol 5 mg/l dengan lama penyimpanan 12 MSE menghasilkan persentase daya tumbuh BEP sebesar 100 % sampai 2 dan 4 MSP. Perlakuan tanpa paclobutrazol yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 MSE menghasilkan rata-rata terendah terhadap peubah jumlah daun dan daya tumbuh BEP. Daya tumbuh BEP yang diberi kombinasi perlakuan tersebut adalah 22.22 %. Pemberian paclobutrazol berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh BEP sampai 2 dan 4 MSP, serta jumlah daun BEP sampai 2 MSP. Perlakuan tanpa paclobutrazol menghasilkan daya tumbuh BEP yang rendah yaitu 77.78 %. Penambahan paclobutrazol dapat meningkatkan rata-rata jumlah daun BEP. Perlakuan lama penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap daya tumbuh dan diameter tajuk BEP pada 2 dan 4 MSP, serta berpengaruh nyata terhadap jumlah daun BEP pada 2 dan 4 MSP. Penyimpanan 12 MSE menghasilkan rata-rata jumlah daun dan diameter tajuk BEP yang terendah. Penyimpanan 12 MSE juga menghasilkan BEP dengan daya tumbuh terendah, yaitu 69.45 %. Warna daun BEP pada perlakuan tanpa paclobutrazol telah berubah dari hijau menjadi kuning. Berbeda pada BEP yang diberi paclobutrazol, warna daunnya tetap hijau. Perlakuan paclobutrazol 5 mg/l yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 minggu pada penyimpanan dengan enkapsulasi merupakan kombinasi perlakuan terbaik untuk menyimpan bibit dalam jangka pendek secara in vitro. Pada percobaan dua, perlakuan paclobutrazol, lama penyimpanan dan interaksinya tidak berpengaruh terhadap semua peubah. Kombinasi perlakuan tanpa paclobutrazol dengan lama penyimpanan 12 MST pada penyimpanan tanpa enkapsulasi dapat menghasilkan bibit dengan daya tumbuh 100 % dan perubahan pertumbuhan yang rendah sampai 2 dan 4 MSP. Hasil dari kedua percobaan menunjukkan bahwa penghambatan terhadap pertumbuhan bibit pada penyimpanan enkapsulasi lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan tanpa enkapsulasi.
ENKAPSULASI BIBIT ANGGREK Phalaeonopsis amboinensis DENGAN PENAMBAHAN PACLOBUTRAZOL SEBAGAI METODE PENYIMPANAN SECARA IN VITRO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Irwan Nirwana A34404019
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul :
ENKAPSULASI BIBIT ANGGREK Phalaeonopsis amboinensis DENGAN
PENAMBAHAN
PACLOBUTRAZOL
METODE PENYIMPANAN SECARA IN VITRO Nama
:
Irwan Nirwana
NRP
: A34404019
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ni Made Armini Wiendi NIP. 131 694 525
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
SEBAGAI
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 26 Juli 1986, sebagai putra ke tiga dari pasangan Bapak Iwa Soemantri dan Ibu Anah Juhanah. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri I Cibeber-Cianjur pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih , Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama kuliah penulis mendapatkan kesempatan magang dalam bidang kultur jaringan anggrek di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor selama kurang lebih 1 bulan pada tahun 2005. Pada tahun 2006 Penulis juga pernah melakukan magang di bidang yang sama di Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas, Cianjur selama kurang lebih 3 minggu. Penulis juga aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Profesi Departemen Agronomi dan Hortikultura periode 2006-2007. Selain itu penulis juga menjadi pembina II kegiatan ektstrakurikuler Botanical Garden di SMA N 1 Cibeber-Cianjur sejak tahun 2007 sampai sekarang. Pada tahun 2008 penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Bioteknologi untuk Pemuliaan Tanaman.
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang tak pernah berhenti memberikan nikmat kepada penulis, sehingga dengan petunjuk dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penelitian “Enkapsulasi Bibit Anggrek
Phalaeonopsis amboinensis dengan Penambahan Paclobutrazol
sebagai Metode Penyimpanan secara In Vitro”. Penelitian tentang enkapsulasi ini dilaksanakan sebagai suatu langkah meningkatkan kegiatan perbenihan dalam pembetukkan dan pengembangan benih sintetik, terutama diarahkan untuk kegiatan konservasi dengan penyimpanan secara in vitro pada tanaman anggrek spesies yang hampir punah. Pemilihan spesies anggrek ini juga terdorong oleh nilai ekonominya yang tinggi dan sekarang sudah banyak dikembangkan untuk tujuan komersial di beberapa negara, termasuk Indonesia. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1.
Prof. Didy Sopandie selaku Dekan Fakultas Pertanian IPB
2.
Dr. M. Syukur selaku Ketua Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih
3.
Dr. Ni Made Armini Wiendi, yang telah membimbing penulis selama pelaksanaan penelitian
4.
Willy Bayuwardi Suwarno, SP. MSi sebagai pembimbing akademik
5.
Tim dosen pengajar Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB
6.
Ibu dan Ayahanda tercinta yang senantiasa memberi dukungan penuh baik spiritual maupun material Besar harapan penulis agar hasil penelitian ini dapat mengefisiensikan
penyimpanan plasma nutfah dan memberikan keuntungan dalam kegiatan agribisnisnya. Semoga hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sesuai dengan harapannya. Bogor,
Januari 2009 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN ..................................................................................................1 Latar belakang .................................................................................................... 1 Tujuan ................................................................................................................ 3 Hipotesis ............................................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................5 Tanaman Anggrek .............................................................................................. 5 Preservasi Plasma Nutfah Secara In Vitro ......................................................... 5 Enkapsulasi ........................................................................................................ 7 Zat Penghambat Tumbuh ................................................................................... 8
BAHAN DAN METODE ....................................................................................11 Waktu dan Tempat ........................................................................................... 11 Bahan dan Alat ................................................................................................. 11 Metode Penelitian ............................................................................................ 12 Pelaksanaan ...................................................................................................... 13 Sterilisasi Botol Kultur dan Alat .................................................................. 13 Pembuatan Media Enkapsulasi dan Penambahan Retardan ......................... 13 Enkapsulasi .................................................................................................. 14 Penyimpanan ................................................................................................ 14 Aklimatisasi ................................................................................................. 15 Pengamatan .................................................................................................. 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................16 Kondisi Umum ................................................................................................. 16 Daya Kecambah ............................................................................................... 18 Daya Tumbuh ................................................................................................... 19 Jumlah Akar ..................................................................................................... 24 Jumlah Daun .................................................................................................... 29 Diameter Tajuk ................................................................................................ 35 Warna Daun ..................................................................................................... 41
KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................48 Kesimpulan ...................................................................................................... 48 Saran ................................................................................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................49
LAMPIRAN .........................................................................................................52
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman Teks
1. Rekapitulasi Hasil Uji F Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Daya Tumbuh, Jumlah Akar, Jumlah Daun, dan Diameter Tajuk Pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis .................................................................................................... 17
2. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Daya Tumbuh pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I ............... 19
3. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Daya Tumbuh pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II................... 20
4. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Daya Tumbuh pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I ..................................................................................................... 21
5. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Daya Tumbuh pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II .................................................................................................... 21
6. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Daya Tumbuh pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I........................................ 22
7. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Daya Tumbuh pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II .............................. 24
8. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Jumlah Akar pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I ............... 25
9. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Jumlah Akar Pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II................ 26
10.`Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Akar pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I ..................................................................................................... 27
11. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Akar pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II .................................................................................................... 27
12. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Akar pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I......................................... 28
13. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Akar pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II ............................. 29
14. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Jumlah Daun pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I ................ 30
15. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Jumlah Daun pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II................ 31
16. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Daun pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I ..................................................................................................... 32
17. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Daun pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II .................................................................................................... 32
18. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Daun pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I........................................ 33
19. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Daun pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II .............................. 34
20. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Diameter Tajuk pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I......................... 35
21. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Diameter Tajuk pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II .................................................................................................... 36
22. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Diameter Tajuk pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I ..................................................................................................... 37
23. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Diameter Tajuk pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II .................................................................................................... 38
24. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Diameter Tajuk pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I......................................... 39
25. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Diameter Tajuk pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II .............................. 40
26. Pengaruh Interaksi Perlakuan Paclobutrazol dengan Lama Penyimpanan terhadap Daya Tumbuh, Jumlah Akar, Jumlah Daun, dan Diameter Tajuk Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada 2 dan 4 MSP setelah Diaklimatisasi. .............................. 44
27. Pengaruh Interaksi Perlakuan Paclobutrazol dengan Lama Penyimpanan terhadap Daya Tumbuh, Jumlah Akar, Jumlah Daun, dan Diameter Tajuk Bibit phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada 2 dan 4 MSP setelah Diaklimatisasi ............................... 46 Lampiran
1. Komposisi media MS (Murashige and Skoog) .............................................. 53
2. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Daya Tumbuh Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP............. 54
3. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Jumlah Akar Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP ............ 54
4. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Jumlah Daun Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP............. 54
5. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Diameter Tajuk Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP............. 55
6. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Daya Tumbuh Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP............. 55
7. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Jumlah Akar Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP............. 55
8. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Jumlah Daun Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP............. 56
9. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Diameter Tajuk Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP............. 56
10. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Jumlah Akar Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP ............................................................................................................. 56
11. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Jumlah Daun Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP ............................................................................................................. 57
12. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Diameter Tajuk Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP ............................................................................................................. 57
13. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Jumlah Akar Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP ............................................................................................................. 57
14. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Jumlah Daun Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP ............................................................................................................. 58
15. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interakinya terhadap Diameter Tajuk Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP ............................................................................................................. 58
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman Teks
1.
Bibit Enkapsulasi Phalaeonopsis amboinensis yang Diberi Kombinasi Perlakuan Paclobutrazol 0 mg/l (P0) dengan Lama Penyimpanan 12 MSE (S3) pada Ulangan 1 (U1) dan Ulangan 2 (U 2 ). a = Bibit dalam kapsul b = Bibit sudah dilepas dari penyalut atau kapsulnya ………………………………………………...41
2.
Bibit Enkapsulasi Phalaeonopsis amboinensis yang Diberi Kombinasi Perlakuan Paclobutrazol 1 mg/l (P1), 3 mg/l (P2) dan 5 mg/l (P3) dengan Lama Penyimpanan 12 MSE (S3) pada Ulangan 1 (U1), Ulangan 2 (U2) dan Ulangan 3 (U3). a = Bibit dalam kapsul b = Bibit sudah dilepas dari penyalut atau kapsulnya ………………………………………………………………..42
3.
Bibit anggrek Phalaeonopsis amboinensis yang Disimpan tanpa Enkapsulasi dengan Perlakuan Paclobutrazol 0 mg/l (P0), 1 mg/l (P1), 3 mg/l (P2) dan 5 mg/l (P3) yang Dikombinasikan dengan Lama Penyimpanan 1 MST (S1), 4 MST (S2), 8 MST (S3) dan 12 MST (S4) p a d a U l a n g a n 1 ( U 1 ) , U l a n g a n 2 ( U 2 ) da n Ulangan 3 (U3).............................. ................……………………………43
PENDAHULUAN Latar belakang Phalaeonopsis amboinensis sebagai spesies endemik yang berasal dari Ambon merupakan salah satu genus tanaman dari famili Orchidaceae (Lembaga Biologi Nasional, 1979). Famili Orchidaceae merupakan satu keluarga terbesar di dunia dalam kerajaan tumbuhan yang diperkirakan terdiri atas 25.000 spesies (Dressler, 1993), ditambah dengan 110.000 hibrida yang telah resmi tercatat di Royal Horticultural Society. Anggrek adalah jenis tumbuhan yang paling banyak macamnya dan setiap tahunnya lebih dari 3.000 hibrida baru didaftarkan (Irawati, 2001). Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan jenis tumbuhan anggrek. Tidak kurang dari 5000 spesies hidup tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999). Menurut Dixon, Kell, Barrett, dan Cribb (2003) di Pulau Jawa saja terdapat 1327 jenis anggrek. Dari jumlah itu dilaporkan 642 jenis tumbuh di Jawa Barat (248 diantaranya endemik), 295 jenis tumbuh di Jawa Tengah (16 jenis diantaranya endemik), dan 390 jenis tumbuh di Jawa Timur (49 diantaranya endemik). Tanaman dari famili Orchidaceae ini merupakan salah satu tumbuhan yang harus dipelihara keberadaannya. Dari hasil penelitian World Conservation Union selama 20 tahun ternyata 20 % tumbuhan penghasil biji-bijian dan pakis-pakisan yang ada di dunia atau sekitar 34.000 spesies terancam punah (Pian, 1998). Menurut Irawati (2001) famili Orchidaceae ini merupakan kelompok tumbuhan yang paling terancam dari kepunahan. Menurut kelompok yang menangani anggrek (Orchid Specialist Group) dalam komisi penyelamatan spesies (Spesies Survival Commision) dari International Union For Conservation of Nature and Natural (IUCN), ancaman terhadap anggrek ini secara umum disebabkan oleh aktivitas manusia, yaitu 1) Kegiatan
penebangan,
pertanian,
pemukiman
dan
pertambangan
yang
menyebabkan kerusakan habitat anggrek baik secara keseluruhan maupun sebagian dan 2) Pengambilan anggrek dari habitatnya yang disengaja untuk diperdagangkan, dikoleksi dan untuk kegunaan lainnya (Dixon et al., 2003).
2
Pemanfaatan hutan yang cenderung tidak mengindahkan ketentuan yang berlaku disertai dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati, terutama terhadap keberadaan spesies tertentu termasuk dari kelompok anggrek. Menurut Pian (1998) hilangnya spesies tertentu akan menyebabkan punahnya banyak spesies lain yang saling berhubungan dengan spesies tersebut melalui jaring-jaring makanan dan rantai makanan. Adanya erosi keanekaragaman hayati menyebabkan spesies Phalaeonopsis amboinensis sebagai bagian dari plasma nutfah tumbuhan perlu diselamatkan sebelum spesies tersebut benar-benar punah. Pentingnya melakukan penyelamatan plasma nutfah ini adalah sebagai salah satu bentuk pelestariannya untuk memelihara potensi sumber genetik. Menurut Sadjad (1993) potensi sumber genetik menjadi landasan lahirnya mutu benih yang unggul melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Salah satu bentuk penyelamatan plasma nutfah tumbuhan yang dapat dilakukan adalah melalui teknik penyimpanan secara in vitro. Pada teknik tersebut metode yang biasa digunakan adalah penyimpanan dengan pertumbuhan minimal/ lambat dan kriopreservasi (Lloyd and Jackson, 1986). Menurut Lestari, Harran, Mariska, dan Megia (2000) pada penyimpanan pertumbuhan minimal atau lambat tersebut terdapat sejumlah metode yang dapat digunakan yaitu menurunkan suhu penyimpanan, mengurangi atau menghilangkan beberapa faktor penting untuk pertumbuhan normal, memberikan tekanan osmotik dengan manitol atau sukrosa, dan menambahkan zat penghambat tumbuh seperti asam absisik, ancymidol atau paclobutrazol. Lestari et al. (2000) penyimpanan secara in vitro dapat dilakukan dengan enkapsulasi. Enkapsulasi merupakan pembungkusan bibit tanaman oleh suatu bahan penyalut yang dapat mempertahankan sifat dari bibit tanaman tersebut selama waktu yang diinginkan, sehingga bibit dapat disimpan tetapi tidak rusak dan dapat tumbuh dengan baik. Teknik enkapsulasi ini dapat menjaga viabilitas bibit tanaman yang dibungkus karena ke dalam bahan penyalutnya dapat disertakan nutrisi, zat pengatur tumbuh, dan bahan anti mikroba. Bahan yang biasanya digunakan pada teknik enkapsulasi adalah sodium alginat.
3
Dalam metode enkapsulasi untuk penyimpanan plasma nutfah tumbuhan ditambahkan zat penghambat tumbuh atau antigiberelin seperti paclobutrazol. Zat itu merupakan bahan kimia sintetik yang mempunyai pengaruh fisiologi antara lain menghambat perpanjangan sel pada meristem sub apikal, menghasilkan tanaman beruas pendek, menyebabkan tebalnya dinding sel dan menurunkan metabolisme jaringan serta menghambat pertumbuhan vegetatif.
Daya kerja
antigiberelin itu menghambat aktivitas enzim yang diperlukan dalam sintesis giberelin (Gaba, 2005), sehingga dapat memaksimalkan penyimpanan plasma nutfah tumbuhan. Penyimpanan dengan teknik enkapsulasi dapat menekan pertumbuhan eksplan semaksimal mungkin tanpa ada resiko perubahan genetik (Lestari et al., 2000). Teknik enkapsulasi ini sudah banyak diterapkan pada beberapa tanaman, seperti embryo tanaman Elaeis guinennsis (Hor and Chok., 1997), tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth) oleh Lestari et al. (2000), embryo somatik tanaman Acca sellowiana (Guerra, Vesco, Ducroquet, Nodari, dan Reis, 2001), enkapsulasi protocorm like bodies (plbs) pada genus anggrek Dendrobium, Onchidium, dan Cattelya (Saiprasad, 2002) dan spesies anggrek Ipsea malabarica (Martin, 2002), dan tanaman Zea mays var. saccharata (Thobunluepop, Pawelzik, dan Vearasilp, 2005) Teknik enkapsulasi ini juga diharapkan dapat menjadi metode alternatif untuk
penyimpanan
Phalaeonopsis
jangka
amboinensis.
menengah Dengan
dan
demikian
panjang species
terhadap tersebut
spesies dapat
diselamatkan dari kepunahan dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber genetik yang diperlukan dalam pemuliaan tanaman anggrek.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Mempelajari pengaruh penambahan paclobutrazol pada beberapa taraf konsentrasi terhadap daya simpan bibit anggrek Phalaeonopsis amboinensis secara in vitro.
2.
Mendapatkan formulasi media enkapsulasi (penambahan paclobutrazol pada beberapa taraf konsentrasinya) yang terbaik untuk penyimpanan bibit anggrek
4
Phalaeonopsis amboinensis dengan menghambat petumbuhannya tanpa menyebabkan kematian jaringan.
Hipotesis Hipotesis yang dapat diajukan dalam percobaan ini yaitu : 1) Diduga adanya pengaruh interaksi pemberian paclobutrazol dengan lamanya waktu penyimpanan terhadap pertumbuhan Bibit Enkapsulasi Phalaeonopsis amboinensis (BEP) selama diaklimatisasi 2) Diduga adanya pengaruh pemberian paclobutrazol terhadap pertumbuhan BEP selama diaklimatisasi 3) Diduga adanya pengaruh lamanya waktu penyimpanan terhadap pertumbuhan BEP selama diaklimatisasi 4) Diduga adanya pengaruh interaksi pemberian paclobutrazol dengan lamanya waktu penyimpanan terhadap pertumbuhan bibit Phalaeonopsis amboinensis selama diaklimatisasi 5) Diduga adanya pengaruh pemberian paclobutrazol terhadap pertumbuhan bibit Phalaeonopsis amboinensis selama diaklimatisasi 6) Diduga adanya pengaruh lamanya waktu penyimpanan terdapat pertumbuhan bibit Phalaeonopsis amboinensis selama diaklimatisasi
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Anggrek Anggrek
dari
famili
Orchidaceae
merupakan
salah
satu
suku
Spermatophyta dari kelas Monokotiledonae. Keragaman dan spesialisasi dalam morfologi bunganya menjadi ciri khas utama yang dapat dijadikan pembeda dengan jenis tanaman lainnya. Dalam kelompok tumbuhan beberapa ahli memasukkan anggrek dalam superordo Liliflorae yaitu kelompok tumbuhan yang mempunyai perhiasan luar (daun kelopak/ sepal) dan dalam (daun mahkota/ petal) sangat mirip. Bersama anggrek, dalam kelompok ini juga terdapat Lili, Iris dan Amaryllis. Di dunia terdapat sekitar 20.000 jenis anggrek dan tumbuhan ini merupakan satu suku terbesar dalam Spermatophyta (Destri dan Jodi, 2006). Genus Phalaeonopsis, Dendrobium, Cymbidium, Cattelya, Oncidium, Coelogyne, Vanda merupakan jenis-jenis anggrek yang sekarang sudah banyak dikembangkan dan dihasilkan berbagai hibrida dari hasil pemuliannya untuk tujuan komersial (Dixon et al., 2003). Beberapa spesies dari genus Phalaeonopis antara lain Phal. amboinensis, Phal. violacea, Phal. gigantea, Phal. bellina, dan Phal. sumatrana. Secara umum, anggrek dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu anggrek spesies dan anggrek hibrida. Anggrek spesies adalah tanaman anggrek yang diperoleh secara langsung dari habitatnya di hutan. Anggrek spesies yang terus diambil tanpa ada pengembangan atau pengembangbiakkan dapat menyebabkan punahnya tanaman tersebut. Anggrek hibrida merupakan hasil silangan dari dua atau lebih varietas/ spesies/ genus yang berbeda. Anggrek hibrida yang merupakan keturunan pertama masih memiliki sifat spesies yang kuat. Anggrek ini disebut primary hybrid. Adapun hasil silangan dari cara penyilangan yang berulang-ulang biasanya berbeda jauh dari induk spesiesnya. Hasil silangan yang berulang-ulang tersebut disebut multiple hybrid (Setiawan, 2004).
Preservasi Plasma Nutfah secara In Vitro Kegiatan perbenihan yang dituntut untuk menghasilkan benih yang bermutu pada berbagai komoditas tanaman memerlukan varietas unggul hasil
6
kegiatan pemuliaan. Menurut Sadjad (1993) untuk membuat varietas unggul, kegiatan pemuliaan membutuhkan plasma nutfah sebagai sumber potensi genetiknya. Dengan demikian plasma nutfah merupakan sumber potensi genetik yang menjadi landasan lahirnya mutu benih yang unggul. Guna menjamin ketersediaan plasma nutfah suatu spesies diperlukan pengelolaan dan pemeliharaan plasma nutfah yang baik. Konservasi merupakan salah satu bentuk pengelolaan dan pemeliharaan plasma nutfah. Menurut Withers (1991) konservasi dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti in situ, ex situ dalam bank gen ataupun secara in vitro. Menurut Mandal, Tyagi, Pandey, Sharma, dan Agrawal (2000) konservasi dilakukan pada tanaman hasil pemuliaan sebelumnya, tanaman yang mempunyai nilai ekonomi penting, tumbuhan yang langka/ spesies dan tumbuhan yang hampir punah. Llyod and Jackson (1986) melaporkan bahwa konservasi dengan metode penyimpanan secara in vitro dapat menanggulangi masalah pada penyimpanan tanaman yang menghasilkan benih rekalsitran atau tanaman yang diperbanyak secara vegetatif.
Menurut Withers (1991) konservasi secara in vitro dapat
menggunakan dua cara, yaitu dengan pertumbuhan lambat atau minimum untuk penyimpanan jangka pendek sampai menengah, serta dengan teknik kriopreservasi untuk penyimpanan jangka panjang. Lestari et al. (2000) menggunakan teknik enkapsulasi sebagai teknologi alternatif untuk penyimpanan dengan pertumbuhan lambat. Penyimpanan plasma nutfah secara in vitro melalui penyimpanan dengan pertumbuhan minimal atau lambat sudah diaplikasikan pada beberapa tanaman, misalnya pada tanaman kentang, tanaman Zingiberaceae dan tanaman buahbuahan di India dengan cara kriopreservasi (Mandal et al., 2000), tanaman Akasia (Acacia mangium willd) dan pucuk Sengon (Paraserianthes falcataria L) oleh Priadi, Sudarmonowati, Arifari, dan Farisy (2000). Penyimpanan secara in vitro dengan metode enkapsulasi juga sudah dilakukan seperti pada tanaman Nilam (Pogostemon cablin. Benth) oleh Lestari et al. (2000).
7
Enkapsulasi Enkapsulasi diartikan sebagai suatu teknik pembungkusan bibit in vitro baik dalam bentuk embrio somatik ataupun tunas pucuk dengan suatu bahan penyalut. Penyalutan tersebut dapat mempertahankan sifat dari bibit tanaman selama waktu yang diinginkan, sehingga dapat disimpan tanpa menyebabkan kerusakan pada bibitnya, dan bila diinginkan dapat tumbuh dengan baik. Dengan perlakuan ini bibit tanaman Phalaeonopsis amboinensis akan dilindungi secara fisik oleh kapsul atau penyalutnya. Selain itu, dalam pembuatan kapsulnya dapat ditambahkan bahan, seperti beberapa nutrisi, zat pengatur tumbuh, dan bahan anti mikroba, sehingga viabilitas bibitnya dapat terjaga (Fathonah, 2000). Metode enkapsulasi selain digunakan untuk kepentingan penyimpanan plasma nutfah dalam kegiatan konservasi, juga sudah banyak dikembangkan untuk memproduksi benih sintetik (Saiprasad dan Polisetty, 2003). Teknik enkapsulasi diharapkan menjadi salah satu penanganan bibit kultur jaringan agar dapat mempertahankan viabilitas bibit tetap tinggi selama aklimatisasi (Fathonah, 2000). Keuntungan penyimpanan dengan enkapsulasi adalah bahwa eksplan berupa embrio somatik atau tunas pucuk dapat dihambat pertumbuhannya dan lebih efisien dalam transportasi karena dalam satu wadah dapat memuat banyak eksplan. Ke dalam bahan penyalut disamping dapat disertakan nutrisi, juga dapat ditambahkan senyawa penghambat pertumbuhan (Lestari et al., 2000). Bahan yang biasanya digunakan untuk enkapsulasi adalah sodium alginat. Menurut Lestari et al. (2000) alginat tersebut dapat bereaksi dengan kation-kation logam polivalen, khususnya ion-ion kalium untuk menghasilkan gel atau polimer-polimer yang tidak larut. Perbanyakan dan enkapsulasi telah diaplikasikan pada plb tanaman anggrek Ipsea malabarica. Media yang digunakan adalah MS ½ (Murashige dan Skoog dengan komposisi ½ konsentrasi untuk hara makro dan mikronya) tanpa CaCl2 dengan 3 % (w/v) natrium alginat dan 3 % sukrosa. Media yang ditambahkan 2 mg/l kinetin maupun tidak menjadi media enkapsulasi terbaik yang dapat membuat plb anggrek Ipsea malabarica berkembang menjadi planlet dengan persentase keberhasilan 100 % (Martin, 2003).
8
Zat Penghambat Tumbuh Zat penghambat tumbuh atau retardan merupakan senyawa kimia organik yang menghambat perpanjangan batang, meningkatkan warna hijau daun, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap pembungaan tanpa menyebabkan perubahan bentuk pada bagian tersebut. Menurut Krishnamoorthy (1981) zat penghambat tumbuh atau retardan adalah kelompok senyawa kimia yang mempunyai sifat memperlambat pertumbuhan batang dengan menghambat bagian sel dari sub apikal meristem. Daya kerja retardan yang menghambat biosintesis giberelin menyebabkan terhambatnya perpanjangan sel pada meristem sub apikal, menghasilkan tanaman beruas pendek, menyebabkan tebalnya dinding sel, dan menurunkan metabolisme jaringan serta menghambat pertumbuhan vegetatif. Giberelin dan senyawa retardan mempunyai mekanisme yang berlawanan dalam hal pembungaan, ekspresi seksual, dan penuaan (Khrisnamoorthy, 1981). Retardan mempunyai kemampuan menghambat biosentesis giberelin, oleh sebab itu senyawa retardan dikenal dengan nama antigiberelin. Menurut Wattimena (1988) retardan menghambat proses sintesis giberelin dalam hal siklisasi GGPP (GeranylGeranyl-PryroPhospat) menjadi ent-kaurene (contohnya phospon, Amo 1618, limonene dan jonone) dan dalam proses oksidasi ent-kaurene menjadi ent-kaurene acid. Antigiberelin seperti paclobutrazol dan ancymidol biasanya digunakan dalam pertanian sebagai bahan untuk membuat tanaman mini/ kerdil, yang mencegah pemanjangan tunas tanaman, pemeliharaan rumput lapangan golf agar tetap pendek, dan untuk pembentukan tanaman hias pot yang mini/ kerdil (Arteca, 1996). Retardan juga dapat digunakan untuk pematangan buah. Menurut Gaba (1996) dalam kultur jaringan tanaman, antigiberelin digunakan sebagai stimulan embryogenesis pada Citrus, pembentukan tunas pada melon, umbi mikro pada kentang, kormel pada gladiol, regenerasi tunas pada Albizzia, dan multiplikasi tunas pada Philodendron. Menurut Wattimena (1988) zat penghambat tumbuh mempunyai beberapa pengaruh fisiologi, antara lain menghambat elongasi sel pada sub apikal meristem, menghasilkan tanaman beruas pendek, mempertebal batang, mencegah kerebahan,
9
menghambat etiolasi, mempertinggi masa simpan, meningkatkan pembetukkan buah, serta membentuk perkecambahan dan pertunasan. Menurut Sponsel (1995) retardan dapat digunakan dalam konservasi tanaman secara in vitro, karena dapat menghambat pertumbuhan tunas, dan memacu perakaran. Paclobutrazol, Ancymidol, dan Cycocel (yang dikenal dengan chlomeqate chloride atau CCC) merupakan retardan yang sudah beredar di pasar. Dalam preservasi secara in vitro penambahan retardan ditujukan untuk memperpanjang masa simpan serta menekan frekuensi subkultur. Retardan ini juga dapat dimasukkan ke dalam media enkapsulasi. Adanya zat penghambat tumbuh dalam media enkapsulasi dan hambatan fisik dapat lebih menekan pertumbuhan organ tanaman yang disimpan. Tekanan fisik berupa lingkungan anaerob di dalam kapsul, membuat bibit tidak dapat langsung berhubungan dengan lingkungan luar untuk memperoleh oksigen. Dengan demikian perlakuan enkapsulasi yang ditambahkan retardan dapat memaksimalkan penyimpanan. Paclobutrazol ((2RS,3RS)-1-(4-chlorophenyl)-4,-dimethyl-2-(1H-1,2,triazol-1-yl) pentan-3-ol) adalah salah satu zat penghambat tumbuh yang berasal dari derivat triazol (Arteca, 1996) yang telah banyak digunakan dan lebih efektif dari pada CCC. Dalam aplikasinya konsentrasi pemakaian paclobutrazol lebih rendah dari pada konsentrasi pemakaian CCC (Chesworth, Stuchbury, dan Scaife, 1998). Selain itu Sunarlim, Kosmiatin, Mariska, Hadiatmi, Tambunan, dan Rahayu (2001) melaporkan bahwa kultur tunas ubi jalar yang disimpan dengan paclobutrazol mempunyai ruas yang pendek dan daun-daun yang berukuran kecil menyerupai roset. Semakin tingggi konsentrasi paclobutrazol maka semakin pendek ruas yang dihasilkan dan semakin kecil ukuran daun-daunnya. Lestari et al. (2000) melakukan penyimpanan plasma nutfah/ galur dengan metode enkapsulasi terhadap tanaman Nilam (Pogostemn cabli. Benth). Media yang digunakan adalah MS (Murashige dan Skoog) dan MS½ (Murashige dan Skoog dengan komposisi ½ konsentrasi untuk hara makro dan mikronya). Ke dalam media tersebut ditambahkan paclobutrazol dan ancymidol dengan konsentrasi masing-masing adalah 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 mg/l. Hasil menunjukkan bahwa eksplan dengan penambahan ancymidol sebanyak 4 dan 5 mg/l yang dikombinasikan dengan MS½ belum tumbuh menembus kapsul sampai masa
10
simpan 6 bulan. Eksplan tersebut kemudian diregenerasikan pada media yang mengandung BA 0.1 mg/l. Hasil pengamatan menunujukkan bahwa multiplikasi tunas dan tinggi tunas tetap normal (sama dengan kontrolnya).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2008 sampai dengan Agustus 2008 di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Bahan tanaman yang dipakai dalam penelitian ini adalah bibit Phalaeonopsis amboinensis yang merupakan hasil kultur in vitro dari PKT (Pusat Konservasi Tumbuhan) Kebun Raya Bogor. Bibit berasal dari benih hasil selfing tanggal 22 November 2006 yang kemudian disemai secara in vitro pada tanggal 30 Mei 2007. Bibit ini adalah hasil subkultur yang pertama sejak penyemaian dan telah berumur 10 bulan. Bibit sebelumnya ditanam pada media subkultur yang dibuat dari campuran antara pupuk daun (hyponex) dengan komposisi N : P : K sebesar 25 : 5 : 20 dan ekstraksi bahan organik yang berasal dari umbi kentang sebagai sumber karbohidratnya. Bahan utama yang digunakan untuk membuat kapsul adalah natrium alginat dengan viskositas 250 cps (low viscocity), dengan konsentrasi 3 g/100 ml bahan pelarut. Bahan pelarut pada media enkapsulasi adalah media MS ½ (Murashige and Skoog dengan ½ konsentrasi hara makro dan mikro) tanpa CaCl2, yang ditambahkan 3 % gula, 2 mg/l kinetin, dan paclobutrazol dengan konsentrasi 1, 3, 5 mg/l. Bahan pemadat kapsul yaitu 0.7 % CaCl22H2O. Bahan untuk sterilisasi alat tanam yaitu alkohol 96 %. Bahan untuk sterilisasi kapsul bibit terdiri atas air steril, kertas tisu steril, fungisida yaitu dithane dengan konsentrasi 0.01 g/100 ml air, bakterisida yaitu agrept dengan konsentrasi 0.01 g/100 ml air, dan antibiotik yaitu cefotaxime dengan konsentrasi 1000 mg/l air. Bahan untuk mengatur pH terdiri atas HCl 1 N dan KOH 1 N. Bahan pengemasan untuk penyimpanan terdiri atas plastik, karet gelang, dan kertas label. Bahan untuk aklimatisasi yaitu media tanam arang sekam steril. Bahan lainnya yang diperlukan antara lain korek api dan spirtus.
12
Alat yang digunakan untuk sterilisasi alat maupun bahan meliputi autoclave, hand sprayer dan oven. Alat untuk membuat media enkapsulasi terdiri atas gelas ukur ukuran 100 ml, labu takar ukuran 500 ml, pipet volumetric, stirer, pengaduk kaca, botol kultur, corong, timbangan analitik, dan pH meter. Alat untuk pembuatan kapsul meliputi tabung reaksi berdiameter ± 1.5 cm, pipet tetes, Laminar Air Flow Cabinet, petridhis, lampu bunsen, pinset, dan gunting. Alat untuk penyimpanan terdiri dari botol kultur dan rak kultur yang dilengkapi dengan lampu fluorensence dengan intensitas 1000-2000 lux. Alat untuk mengukur suhu di ruang penyimpanan yaitu termometer. Alat untuk aklimatisasi yang terdiri dari pinset, pot, hand sprayer, dan ruang aklimatisasi. Alat bantu pengamatan seperti alat tulis, alat ukur panjang dan kamera.
Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua percobaan. Percobaan pertama diadakan untuk
mempelajari
pengaruh
paclobutrazol
pada
penyimpanan
dengan
enkapsulasi. Percobaan ke-2 dilakukan untuk mempelajari pengaruh paclobutrazol pada penyimpanan tanpa enkapsulasi. Pada percobaan pertama, bibit disimpan dalam bentuk kapsul, sedangkan pada percobaan ke-2 bibit disimpan dengan cara dikulturkan kembali pada medianya yang ditambahkan agar-agar sebanyak 8 gr/l. Rancangan lingkungan kedua percobaan tersebut adalah rancangan acak kelompok.
Pengelompokkannya
dilakukan
berdasarkan
perbedaan
waktu
pemberian perlakuan. Kedua percobaan diberi perlakuan yang disusun secara faktorial yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah penambahan paclobutrazol yang terdiri atas empat taraf, yaitu 0 mg/l (P0), 1 mg/l (P1), 3 mg/l (P2), 5 mg/l (P3). Faktor ke-2 adalah lamanya waktu penyimpanan yang terdiri atas empat taraf, yaitu 0 MSE (Minggu Setelah Enkapsulasi) (S0), 4 MSE (S1), 8 MSE (S2), 12 MSE (S3) pada percobaan pertama dan 0 MST (Minggu Setelah Tanam) (S0), 4 MST (S1), 8 MST (S2), 12 MST (S3) pada percobaan ke-2. Setiap percobaan ini terdiri dari 16 kombinasi perlakuan. Setiap perlakuan terdiri atas tiga kelompok, dimana setiap kelompok sekaligus menjadi suatu ulangan. Jumlah satuan percobaan pada masing-masing percobaan adalah 48 satuan. Pada setiap satuan
13
percobaan tersebut terdiri atas tiga bibit Phalaeonopsis amboinensis sebagai satuan amatan. Total satuan amatan pada percobaan sebanyak 288 satuan. Adapun model statistik dari rancangan pada kedua percobaan, yaitu : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + τk+ εijk Yijk = Nilai pengamatan pengaruh perlakuan penambahan paclobutrazol ke-i, lamanya waktu penyimpanan ke-j dan kelompok ke-k µ
= Nilai tengah umum
αi
= Pengaruh penambahan paclobutrazol ke-i (i = 0, 1, 2 ... 3)
βj
= Pengaruh lamanya waktu penyimpanan ke-j (j = 0, 1, 2, ...3)
(αβ)ij = Pengaruh interaksi penambahan paclobutrazol ke-i dengan lamanya waktu penyimpanan ke-j τk
= Pengaruh kelompok ke-k (l = 1, 2, 3)
εijk
= Pengaruh galat percobaan Pengujian data peubah yang diperoleh dilakukan melalui uji F dan jika
hasilnya berpengaruh nyata, maka akan dilakukan analisis uji lanjut untuk nilai tengah dengan metode Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %.
Pelaksanaan Sterilisasi Botol Kultur dan Alat Sterilisasi pada botol kultur, cawan petri, tabung reaksi, dan semua alat yang diperlukan dalam pembuatan media enkapsulasi dilakukan dengan menggunakan autoclave pada tekanan 17.5 psi, suhu 121 0C selama 1 jam. Laminar Air Flow Cabinet disterilisasi dengan menyemprotkan alkohol 96 % pada semua dinding dan permukaannya, kemudian lampu dan blower dinyalakan selama 1 jam sebelum digunakan.
Pembuatan Media Enkapsulasi dan Penambahan Retardan Larutan stok dibuat untuk mempermudah pembuatan media. Media dibuat dengan memipet larutan stok sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan untuk membuat MS½ cair sebagai bahan pelarut pada media enkapsulasi. MS½ dibuat tanpa CaCl2, kemudian ditambahkan larutan 3 % gula, 2 mg/l kinetin, paclobutrazol sesuai dengan konsentrasi dan aquades sampai volume larutan
14
mencapai volume yang diinginkan. Kemasaman larutan diatur hingga sebesar 5.9 dengan menambahkan beberapa tetes KOH 1 N atau HCl 1 N. Alginat yang digunakan adalah alginat dengan viskositas 250 cps (low viscocity). Pada percobaan ke-2, media MS½ yang dibutuhkan untuk menanam bibitnya dibuat dengan menambahkan agar-agar sebanyak 8 g/l.
Enkapsulasi Pembuatan kapsul alginat dilakukan dengan cara memasukkan bibit satu persatu ke dalam media cair enkapsulasi pada tabung reaksi berdiameter ± 1.5 cm. Selanjutnya eksplan yang terdapat di dalam larutan tersebut ditetesi larutan 0.7 % CaCl2.2H2O sebanyak 5 tetes untuk memadatkan media alginat sampai terbentuk kapsul setengah jadi yang berisi bibit. Kapsul-kapsul setengah jadi tersebut kemudian dituangkan ke dalam botol steril yang berisi larutan 0.7 % CaCl2.2H2O untuk lebih mengeraskan kapsul yang terbentuk. Kemudian kapsul dibilas dengan aquades steril dan dikemas dalam bobot kultur yang ditutup plastik. Bibit yang tidak beri perlakuan enkapsulasi, bibit dikulturkan kembali pada media MS½ yang telah dibuat. Pembuatan kapsul maupun penanaman dilakukan secara aseptik di Laminar Air Flow Cabinet.
Penyimpanan Bibit phalaeonopsis yang telah diberi perlakuan baik yang dikapsul maupun tidak, disimpan dalam ruang kultur selama 0, 4, 8, dan 12 MSE (Minggu Setelah Enkapsulasi) pada percobaan pertama dan 0, 4, 8, dan 12 MST (Minggu Setelah Tanam) pada percobaan ke-2. Bibit disimpan pada suhu 25 ± 2 0C dengan intensitas penyinaran 1000-2000 lux selama 16 jam/hari. Sebelum disimpan untuk kapsul-kapsul bibit direndam terlebih dahulu dalam larutan fungisida (0.01 g/100 ml dithane) dan bakterisida (0.01 g/100 ml agrept) selama 15 menit. Kemudian kapsul juga direndam dalam larutan antibiotik (1000 mg/l cefotaxime) selama 15 menit. Kapsul dikemas dalam botol kultur steril ukuran 200 ml dan ditutup dengan plastik, setiap botol diisi tiga kapsul. Untuk bibit yang tidak diberi perlakuan enkapsulasi ditanam di media sesuai perlakuan sebanyak tiga bibit per botol.
15
Aklimatisasi Aklimatisasi bibit dilakukan selama 4 minggu setelah penyimpanan (MSP). Bibit yang dienkapsulasi dilepaskan dari kapsulnya dengan merendamnya terlebih dahulu dalam air steril selama 20 menit. Penyalut dibuka dengan alat bantu berupa pisau scalpel dan pinset. Bibit diaklimatisasi pada media arang sekam steril dalam pot plastik. Selama aklimatisasi bibit dikondisikan pada kelembaban mendekati 100%. Penyemprotan dengan air matang pada bibit dilakukan sebagai pemeliharaan selama aklimatisasi.
Pengamatan Pengamatan pada kedua percobaan dilakukan setelah masa simpan habis yaitu saat aklimatisasi selama satu bulan. Peubah yang diamati yaitu persentase Daya Tumbuh (DT) dan kualitas atau kejaguran (penampilan fisik) bibit. Daya Tumbuh merupakan persentase bibit yang hidup sampai diaklimatisasi. Peubah kualitas atau kejaguran yang diamati terdiri atas 1) Jumlah daun 2) Jumlah akar 3) Warna daun dan 4) Diameter tajuk. Pada percobaan pertama, pengamatan juga dilakukan selama masa penyimpanan terhadap peubah 1) Saat bibit menembus kapsulnya dan 2) Daya Kecambah (DK) yaitu persentase bibit yang telah menembus kapsul yang diamati setiap 2 minggu sekali. DK dapat dihitung melalui formula di bawah ini :
% Daya Kecambah =
∑ BEP kecambah ∑ BEP awal
X 100 %
Bibit enkapsulasi Phalaeonopsis (BEP) yang berkecambah adalah bibit yang sudah menembus dinding kapsul selama masa penyimpanan. Setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan yang masing-masing terdiri atas tiga BEP. Dengan demikian jumlah yang diamati mulai dari awal sampai akhir penyimpanan adalah tiga BEP (jumlah BEP awal).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Dari percobaan penyimpanan bibit secara in vitro, hasil pengamatan menunjukkan bahwa bibit Phalaeonopsis amboinensis mempunyai laju pertumbuhan yang lambat. Hal tersebut terlihat secara visual pada pertumbuhan vegetatifnya yang lambat, baik pada media yang ditambahkan paclobutrazol maupun tidak. Selain itu dapat dilihat dari bibit yang disimpan dalam bentuk kapsul. Selama masa penyimpanan, bibit tersebut belum ada yang tumbuh menembus dinding kapsulnya. Kontaminasi pada bibit terjadi pada satu minggu setelah penyimpanan. Pada penyimpanan dengan enkapsulasi, bibit mengalami kontaminasi sebesar 18.75 %. Kontaminasi pada penyimpanan ini lebih banyak disebabkan oleh jamur. Meskipun mengalami kontaminasi, BEP (Bibit enkapsulasi Phalaeonopsis) masih dapat hidup dan berwarna hijau. Hal itu disebabkan bibit tidak terkena serangan langsung dari cendawan maupun bakteri, karena terlindungi oleh dinding kapsulnya. Pada bibit yang disimpan tanpa enkapsulasi lebih banyak mengalami kontaminasi yaitu sebesar 22.92 %. Kontaminasi pada penyimpanan tanpa enkapsulasi ini lebih banyak disebabkan oleh bakteri. Kontaminasi tersebut juga telah menyebabkan banyak kematian bibit yang disimpan. Hal itu disebabkan bibit sudah mengalami 3 kali sterillisasi dengan sodium hypoclorit 10 dan 5 %. Rekapitulasi sidik ragam pada Tabel 1 menunjukkan pengaruh perlakuan terhadap peubah kuantitatif pada 2 dan 4 MSP (Minggu Setelah Penyimpanan). Perlakuan paclobutrazol pada percobaan I berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh BEP pada 2 dan 4 MSP, serta jumlah daun BEP pada 2 MSP. Pada percobaan II, perlakuan paclobutrazol tidak berpengaruh terhadap semua peubah, yaitu daya tumbuh, jumlah akar, jumlah daun, dan diameter tajuk bibit. Perlakuan lamanya penyimpanan pada percobaan I memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap daya tumbuh dan diameter tajuk BEP pada 2 dan 4 MSP. Perlakuan lamanya penyimpanan juga berpengaruh nyata terhadap jumlah
17
daun BEP pada 4 MSP. Berbeda pada percobaan II, perlakuan lamanya penyimpanan tidak berpengaruh terhadap semua peubah. Interaksi perlakuan pada percobaan I berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh dan jumlah daun BEP pada 2 dan 4 MSP. Pada percobaan II interaksi perlakuan tidak berpengaruh terhadap semua peubah. Sidik ragam hasil uji F untuk semua peubah baik dari percobaan I dan II disajikan pada Tabel Lampiran 2 sampai 15. Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Uji F Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Daya Tumbuh, Jumlah Akar, Jumlah Daun, dan Diameter Tajuk Pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis Percobaan I. Bibit Enkapsulasi Phalaeonopsis (BEP) Umur Bibit Perlakuan Peubah MSP P S PxS 2 * ** * DT (Daya Tumbuh) 4 * ** * 2 tn tn tn JA (Jumlah Akar) 4 tn tn tn 2 * tn * JD (Jumlah Daun) 4 tn * * 2 tn ** tn DTj (Diameter Tajuk) 4 tn ** tn Percobaan II. Bibit yang tidak dienkapsulasi Umur Bibit Perlakuan Peubah MSP P S PxS 2 DT (Daya Tumbuh)*) 4 2 tn tn tn JA (Jumlah Akar) 4 tn tn tn 2 tn tn tn JD (Jumlah Daun) 4 tn tn tn 2 tn tn tn DTj (Diameter Tajuk) 4 tn tn tn
KK (%) 18.39 18.39 18.56 19.04 12.89 13.40 9.90 9.94 KK (%) 16.14 14.25 8.26 7.94 9.45 9.58
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 terhadap peubah jumlah akar, jumlah daun, dan diameter tajuk serta Arcsin % terhadap peubah daya tumbuh tn : Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % P : Paclobutrazol *Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % S : lama penyimpanan **Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 1 % P x S : Kombinasi perlakuan MSP : Minggu Setelah Penyimpanan paclobutazol dengan lama penyimpanan *) Data tidak di analisis melalui uji F, karena peubah daya tumbuh memiliki nilai rata-rata yang sama.
18
Daya Kecambah Daya Kecambah (DK) adalah peubah yang hanya diamati pada percobaan penyimpanan bibit dengan enkapsulasi. Daya kecambah merupakan persentase jumlah bibit yang telah menembus dinding kapsul. Pengamatannya dilakukan selama penyimpanan Bibit Enkapsulasi Phalaeonopsis (BEP) yaitu 12 Minggu Setelah Enkapsulasi (MSE). Berdasarkan pengamatan, BEP tidak ada yang tumbuh menembus dinding kapsul sampai pada 12 MSE. Daya kecambah BEP tergantung pada kecepatan tumbuhnya. Kecepatan tumbuh bibit yang lambat dipengaruhi oleh kondisi penyimpanannya. Selama penyimpanan, BEP tidak dapat langsung berhubungan dengan lingkungan luar untuk memperoleh oksigen. Oksigen diperlukan tanaman dalam kegiatan respirasinya. Pertumbuhan bibit dapat terhambat jika kegiatan respirasinya terganggu.
Selain
itu,
pertumbuhannya
juga
diduga
dipengaruhi
oleh
paclobutrazol yang telah ditambahkan ke dalam media enkapsulasi. Adanya paclobutrazol sebagai zat penghambat tumbuh juga mempengaruhi kecepatan BEP menembus dinding kapsul. Paclobutrazol dapat menghambat pertumbuhan bibit, sehingga secara tidak langsung paclobutrazol juga mempengaruhi kecepatan BEP menembus dinding kapsul. Menurut Wattimena (1988) zat penghambat tumbuh mempunyai pengaruh fisiologi, antara lain dapat menghambat perpanjangan sel pada meristem sub apikal, menghasilkan tanaman beruas pendek, menyebabkan tebalnya dinding sel, dan menurunkan metabolisme jaringan serta menghambat pertumbuhan vegetatif. Dengan demikian penambahan paclobutrazol diduga dapat menghambat perpanjangan sel pada meristem sub apikal bibit dan menyebabkan batang BEP lebih pendek. Pertumbuhan bibit yang terhambat menyebabkan BEP lambat untuk menembus dinding kapsul. Bibit tidak ada yang menembus dinding kapsulnya sampai pada 12 MSE, baik yang diberi paclobutrazol maupun tidak diberi paclobutrazol. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan enkapsulasi dengan media MS½ dapat digunakan untuk penyimpanan jangka pendek. Diharapkan dengan adanya penghambatan terhadap pertumbuhan BEP ini, bibit dapat lebih lama disimpan.
19
Daya Tumbuh Pada percobaan I, penambahan paclobutrazol berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh bibit. Bibit yang ditumbuhkan pada media alginat tanpa paclobutrazol, sudah ada yang mengalami kematian menjelang 8 MSE. Bibit yang diberi perlakuan tersebut awalnya menguning kemudian mati, sehingga daya tumbuhnya rendah yaitu 77.78 % sampai 2 dan 4 MSP. Berbeda pada perlakuan dengan penambahan paclobutrazol. Penambahan paclobutrazol 1, 3, dan 5 mg/l menghasilkan bibit dengan daya tumbuh yang lebih tinggi seperti tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Daya Tumbuh pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari percobaan I Konsentrasi Paclobutrazol Paclobutrazol 0 mg/l Paclobutrazol 1 mg/l Paclobutrazol 3 mg/l Paclobutrazol 5 mg/l Uji F KK (%)
Daya Tumbuh (%) 2 MSP 77.78 b 93.94 a 93.94 a 96.97 a * 18.39
4 MSP 77.78 b 93.94 a 93.94 a 96.97 a * 18.39
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan Arcsin % *Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Pada perlakuan dengan penambahan paclobutrazol tidak berbeda nyata, akan tetapi persentase daya tumbuh cenderung meningkat dengan bertambahnya paclobutrazol. Penambahan paclobutrazol 1 dan 3 mg/l menghasilkan bibit dengan daya tumbuh yang sama, yaitu 93.94 % sampai 2 dan 4 MSP. Daya tumbuh BEP yang terbaik diperoleh dari perlakuan paclobutrazol 5 mg/l, yaitu 96.97 % baik pada 2 dan 4 MSP. Daya tumbuh BEP dipengaruhi oleh lingkungannya yang bersifat anaerob. Bibit yang dikapsul mengalami stres karena tidak memperoleh oksigen yang cukup untuk melakukan respirasi, sehingga mengalami penuaan (senescence) dan mati. Adanya paclobutrazol pada media alginat, menyebabkan daya tumbuh BEP dapat dipertahankan. Hal ini diduga karena paclobutrazol dapat meningkatkan
20
ketahanan hidup bibit. Arteca (1996) melaporkan bahwa komponen triazole dapat menginduksi toleransi terhadap stres abiotik dengan meningkatkan kandungan atau aktivitas antibiotik pada tanaman yang diberi perlakuan. Hal itu didukung oleh
pendapat
Krishnamoorthy
(1981)
bahwa
aplikasi
retardan
dapat
meningkatkan resistensi terhadap stres air dan kekeringan. Pada percobaan II, penambahan paclobutrazol tidak berpengaruh terhadap daya tumbuh bibit. Daya tumbuh bibit yang ditumbuhkan pada media agar-agar baik yang ditambahkan paclobutrazol maupun tidak, tetap tinggi dan sama yaitu 100 %. Pengaruh perlakuan paclobutrazol terhadap daya tumbuh bibit dari pecobaan II disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Daya Tumbuh pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II Konsentrasi Paclobutrazol Paclobutrazol 0 mg/l Paclobutrazol 1 mg/l Paclobutrazol 3 mg/l Paclobutrazol 5 mg/l
Daya Tumbuh (%) 2 MSP 4 MSP 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Keterangan :MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Lamanya penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap daya tumbuh bibit dari percobaan I, seperti yang tercantum pada Tabel 4. Persentase daya tumbuh BEP cenderung menurun dengan bertambahnya lama penyimpanan. Penyimpanan BEP selama 4 MSE menghasilkan persentase daya tumbuh terbaik yaitu 100 % baik sampai 2 dan 4 MSP. Nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan persentase daya tumbuh dari bibit yang disimpan 0 dan 8 MSE yang besarnya berturut-turut yaitu 97.22 % dan 96.30 %. Persentase daya tumbuh yang terendah diperoleh dari BEP yang disimpan selama 12 MSE yaitu 69.45 %. Penurunan persentase daya tumbuh BEP ini disebabkan oleh adanya hambatan fisik terhadap bibit berupa lingkungan anaerob di dalam kapsul. Bibit mengalami stres karena melakukan respirasi tinggi pada lingkungan dengan kadar oksigen rendah. Menurut Gardner, Pearce, dan Mitchell (1991) etilen diproduksi dari jaringan yang mengalami tekanan fisik atau gangguan pertumbuhan. Bibit yang mengalami stres akan memproduksi etilen. Adanya etilen dapat
21
mempercepat penuaan. Semakin lama disimpan, maka semakin lama bibit mengalami stres dan mengalami penuaan hingga akhirnya mati. Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Daya Tumbuh pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I Lama Penyimpanan Penyimpanan 0 MSE Penyimpanan 4 MSE Penyimpanan 8 MSE Penyimpanan 12 MSE Uji F KK (%)
Daya Tumbuh (%) 2 MSP 4 MSP 97.22 a 97.22 a 100.00 a 100.00 a 96. 30 a 96. 30 a 69.45 b 69.45 b ** ** 18.39
18.39
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan Arcsin % **Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 1 % Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % MSE : Minggu Setelah Enkapsulasi MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Pada percobaan II, lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap daya tumbuh bibit. Persentase daya tumbuh bibit baik yang disimpan maupun tidak, tetap tinggi dan sama yaitu 100 %. Bibit tidak mengalami hambatan fisik seperti pada penyimpanan dengan enkapsulasi, sehingga persentase daya tumbuh tetap tinggi. Pengaruh perlakuan lama penyimpanan terhadap persentase daya tumbuh bibit dari pecobaan II disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Daya Tumbuh pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II Daya Tumbuh (%) Lama Penyimpanan 2 MSP 4 MSP Penyimpanan 0 MST 100.00 100.00 Penyimpanan 4 MST 100.00 100.00 Penyimpanan 8 MST 100.00 100.00 Penyimpanan 12 MST 100.00 100.00 Keterangan : MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
22
Interaksi
perlakuan
paclobutrazol
dengan
lamanya
penyimpanan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya tumbuh bibit yang dienkapsulasi, seperti tercantum pada Tabel 6. Tabel 6. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Daya Tumbuh pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I Daya Tumbuh (%)
Kombinasi Perlakuan Paclobutrazol (P) dengan Lama Penyimpanan (S)
2 MSP
4 MSP
P0S0
100.00 a
100.00 a
P0S1
100.00 a
100.00 a
P0S2
88.89 a
88.89 a
P0S3
22.22 b
22.22 b
P1S0
100.00 a
100.00 a
P1S1
100.00 a
100.00 a
P1S2
100.00 a
100.00 a
P1S3
77.78 a
77.78 a
P2S0
100.00 a
100.00 a
P2S1
100.00 a
100.00 a
P2S2
100.00 a
100.00 a
P2S3
77.78 a
77.78 a
P3S0
88.89 a
88.89 a
P3S1
100.00 a
100.00 a
P3S2
100.00 a
100.00 a
P3S3
100.00 a
100.00 a
Uji F
*
*
KK (%)
18.39
18.39
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan Arcsin % *Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % MSP : Minggu Setelah Penyimpanan P0 : Paclobutrazol 0 mg/l S0 : Lama Penyimpanan 0 Minngu Setelah Enkapsulasi P1 : Paclobutrazol 1 mg/l S1 : Lama Penyimpanan 4 Minggu Setelah Enkapsulasi P2 : Paclobutrazol 3 mg/l S2 : Lama Penyimpanan 8 Minggu Setelah Enkapsulasi P3 : Paclobutrazol 5 mg/l S3 : Lama Penyimpanan 12 Minggu Setelah Enkapsulasi
Perlakuan paclobutrazol 0 mg/l yang dikombinasikan dengan perlakuan lama penyimpanan 12 MSE menghasilkan bibit dengan daya tumbuh yang
23
terendah yaitu 22.22 % sampai 2 dan 4 MSP. Kombinasi perlakuan lainnya menghasilkan bibit dengan daya tumbuh yang lebih besar. Perlakuan paclobutrazol 1, 3 dan 5 mg/l yang dikombinasikan dengan semua perlakuan lama penyimpanan menghasilkan bibit dengan persentase daya tumbuh yang tidak berbeda nyata. Meskipun tidak berbeda nyata, perlakuan yang dapat menyimpan BEP lebih lama dan dapat mempertahankan daya tumbuhnya tetap tinggi adalah kombinasi perlakuan paclobutrazol 5 mg/l dengan lama penyimpanan 12 MSE. Kombinasi perlakuan tersebut dapat menghasilkan bibit dengan persentase daya tumbuh bibit yang tinggi yaitu 100 %, meskipun bibit disimpan selama 12 minggu. Perlakuan paclobutrazol 1 mg/l maupun 3 mg/l yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 MSE menghasilkan bibit dengan daya tumbuh yang masih rendah, yaitu 77.78 %. Oleh sebab itu kedua kombinasi perlakuan tersebut tidak bisa digunakan untuk penyimpanan bibit. Pada percobaan II, interaksi paclobutrazol dengan lamanya penyimpanan tidak berpengaruh terhadap daya tumbuh bibit. Semua kombinasi perlakuan menghasilkan bibit dengan persentase daya tumbuh yang tetap tinggi dan sama sampai 2 dan 4 MSP, yaitu 100 %. Pengaruh interaksi antara perlakuan paclobutrazol dan lama penyimpanan terhadap persentase daya tumbuh bibit dari pecobaan ke-2 disajikan pada Tabel 7. Tidak adanya pengaruh perlakuan paclobutrazol, lama penyimpanan dan interaksinya terhadap daya tumbuh bibit pada percobaan II, menunjukkan bahwa perlakuan enkapsulasi lebih memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan bibit. Menurut Lestari et al., (2000) dengan teknik enkapsulasi, eksplan dapat ditekan pertumbuhannya semaksimal mungkin tanpa ada resiko perubahan genetik.
24
Tabel 7. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Daya Tumbuh pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II Kombinasi Perlakuan Paclobutrazol (P) dengan Lama Penyimpanan (S) P0S0 P0S1 P0S2 P0S3 P1S0 P1S1 P1S2 P1S3 P2S0 P2S1 P2S2 P2S3 P3S0 P3S1 P3S2 P3S3
Daya Tumbuh (%) *) 2 MSP 4 MSP 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Keterangan : *) Data tidak di analisis melalui uji F, karena peubah daya tumbuh memiliki nilai rata-rata yang sama. P0 : Paclobutrazol 0 mg/l S0 : Lama Penyimpanan 0 Minngu Setelah Tanam P1 : Paclobutrazol 1 mg/l S1 : Lama Penyimpanan 4 Minggu Setelah Tanam P2 : Paclobutrazol 3 mg/l S2 : Lama Penyimpanan 8 Minggu Setelah Tanam P3 : Paclobutrazol 5 mg/l S3 : Lama Penyimpanan 12 Minggu Setelah Tanam
Jumlah Akar Pada percobaan I dan II, semua perlakuan baik perlakuan tunggal maupun interaksinya tidak berpengaruh terhadap jumlah akar bibit. Menurut Krishnamoorthy (1981) efektivitas dan respon dari retardan berbeda antar spesies, pada umunya spesies tanaman dikotil lebih responsif dari pada monokotil. Phalaeonopsis amboinensis merupakan spesies anggrek yang berasal dari kelas monokotil. Faktor ini diduga menjadi penyebab perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh terhadap jumlah akar bibit. Pengaruh penambahan paclobutrazol tersebut dapat dilihat pada 2 dan 4 MSP (Tabel 8). Perlakuan tanpa paclobutrazol menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah akar 1.38/planlet pada 2 MSP dan 1.35/planlet pada 4 MSP.
25
Rata-rata jumlah akar bibit tersebut lebih rendah dibandingkan rata-rata jumlah akar bibit yang diberi paclobutrazol. Penambahan paclobutrazol 1, 3, dan 5 mg/l menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah akar berturut-turut 1.73, 1.55, 1.67/planlet pada 2 MSP dan 1.79, 1.61, 1.73/planlet pada 4 MSP. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Limarty (2000) yang melaporkan bahwa pemberian retardan cenderung mengakibatkan pertambahan akar, seperti pemberian paclobutrazol 0.001 mg/l sudah dapat meningkatkan jumlah akar pada perbanyakan stek mikro kentang. Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Jumlah Akar pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I Konsentrasi Paclobutrazol Paclobutrazol 0 mg/l Paclobutrazol 1 mg/l Paclobutrazol 3 mg/l Paclobutrazol 5 mg/l Uji F KK (%)
Jumlah Akar/planlet 2 MSP 4 MSP 1.38 1.35 1.73 1.79 1.55 1.61 1.67 1.73 tn tn 18.56 19.04
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0 .5 tn : Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Pengaruh penambahan paclobutrazol terhadap jumlah akar pada bibit yang disimpan tanpa dienkapsulasi disajikan pada Tabel 9. Meskipun perlakuan paclobutrazol tidak berbeda nyata, akan tetapi dengan penambahan paclobutrazol bibit cenderung mempunyai jumlah akar lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan tanpa paclobutrazol. Pengaruh penambahan paclobutrazol tersebut dapat dilihat pada 2 MSP. Perlakuan tanpa paclobutrazol menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah akar 0.62/planlet. Rata-rata jumlah akar bibit tersebut lebih rendah dibandingkan rata-rata jumlah akar bibit yang diberi paclobutrazol. Penambahan paclobutrazol 1, 3, dan 5 mg/l menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah akar berturut-turut 0.81, 0.78, dan 0.89/planlet. Pada 4 MSP diduga pengaruh penambahan paclobutrazol terhadap pertumbuhan akar sudah hilang.
26
Tabel 9. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Jumlah Akar Pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II Konsentrasi Paclobutrazol Paclobutrazol 0 mg/l Paclobutrazol 1 mg/l Paclobutrazol 3 mg/l Paclobutrazol 5 mg/l Uji F KK (%)
Jumlah Akar/planlet 2 MSP 4 MSP 0.62 1.67 0.81 1.56 0.78 1.43 0.89 1.58 tn tn 16.14 14.25
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0 .5 tn : Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Perlakuan lama penyimpanan pada percobaan I tidak berpengaruh terhadap jumlah akar bibit, seperti tercantum pada Tabel 10. Meskipun diantara perlakuan paclobutrazol tidak berbeda nyata, akan tetapi perlakuan lama penyimpanan 4 MSE menghasilkan bibit dengan jumlah akar yang lebih sedikit dibandingkan perlakuan lama penyimpanan lainnya. Perlakuan lama penyimpanan 4 MSE menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah akar 1.42/planlet pada 2 MSP dan 1.44/planlet pada 4 MSP. Rata-rata jumlah akar bibit tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata jumlah akar bibit yang diberi perlakuan lama penyimpanan lainnya. Penyimpanan 0, 8, dan 12 MSE menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah akar berturut-turut 1.64, 1.76, dan 1.53/planlet pada 2 MSP serta 1.61, 1.94, dan 1.53/planlet pada 4 MSP. Pada percobaan II, lama penyimpanan juga tidak berpengaruh terhadap jumlah akar bibit, seperti tercantum pada Tabel 11. Meskipun tidak berbeda nyata, akan tetapi perlakuan lama penyimpanan 12 MST menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah akar yang lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan lama penyimpanan lainnya. Bibit yang disimpan selama 12 MST menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah akar 0.57/planlet pada 2 MSP dan 1.46/planlet pada 4 MSP. Rata-rata jumlah akar bibit tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata jumlah akar dari bibit yang diberi perlakuan lama penyimpanan lainnya. Penyimpanan 0, 4, dan 8 MSE menghasilkan rata-rata jumlah akar bibit
27
berturut-turut 0.59, 0.99, dan 0.89/planlet pada 2 MSP serta 1.61, 1.52, dan 1.60/planlet pada 4 MSP. Tabel 10. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Akar pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I Lama Penyimpanan Penyimpanan 0 MSE Penyimpanan 4 MSE Penyimpanan 8 MSE Penyimpanan 12 MSE Uji F KK(%)
Jumlah Akar/planlet 2 MSP 4 MSP 1.64 1.61 1.42 1.44 1.76 1.94 1.53 1.53 tn tn 18.56 19.04
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 tn : Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % MSE : Minggu Setelah Enkapsulasi MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Tabel 11. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Akar pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II Lama Penyimpanan Penyimpanan 0 MSE Penyimpanan 4 MSE Penyimpanan 8 MSE Penyimpanan 12 MSE Uji F KK(%)
Jumlah Akar/planlet 2 MSP 4 MSP 0.59 1.61 0.99 1.52 0.89 1.60 0.57 1.46 tn tn 16.14 14.25
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 tn : Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % MST : Minggu Setelah Tanam MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Interaksi perlakuan paclobutrazol dengan lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap jumlah akar bibit yang dienkapsulasi (Tabel 12). Akan tetapi perlakuan tanpa paclobutrazol yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 MSE menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah akar terendah, yaitu 0.66/planlet pada 2 MSP beserta 0.44/planlet pada 4 MSP. Ketiadaan paclobutrazol dan penyimpanan dengan enkapsulasi selama 12 minggu
28
menyebabkan jumlah akar bibit yang disimpan lebih sedikit dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lainnya. Tabel 12. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Akar pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I Kombinasi Perlakuan Paclobutrazol (P) dengan Lama Penyimpanan (S) P0S0 P0S1 P0S2 P0S3 P1S0 P1S1 P1S2 P1S3 P2S0 P2S1 P2S2 P2S3 P3S0 P3S1 P3S2 P3S3 Uji F KK (%)
Jumlah Akar/planlet 2 MSP 4 MSP 1.78 1.67 1.45 1.56 1.61 1.72 0.66 0.44 1.56 1.55 1.78 1.78 1.83 1.83 1.78 2.00 1.78 1.78 1.11 1.11 1.84 2.17 1.56 1.56 1.44 1.45 1.33 1.33 1.83 2.17 2.11 2.11 tn tn 18.56 19.04
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0 .5 tn : Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % P0 : Paclobutrazol 0 mg/l S0 : Lama Penyimpanan 0 Minngu Setelah Enkapsulasi P1 : Paclobutrazol 1 mg/l S1 : Lama Penyimpanan 4 Minggu Setelah Enkapsulasi P2 : Paclobutrazol 3 mg/l S2 : Lama Penyimpanan 8 Minggu Setelah Enkapsulasi P3 : Paclobutrazol 5 mg/l S3 : Lama Penyimpanan 12 Minggu Setelah Enkapsulasi MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Pada percobaan II, interaksi antara perlakuan paclobutrazol dan lama penyimpanan juga tidak berpengaruh terhadap jumlah akar bibit (Tabel 13). Meskipun rata-rata jumlah akar bibit yang dihasilkan dari semua kombinasi perlakuan tidak berbeda nyata, akan tetapi pada 2 MSP rata-rata jumlah akar yang paling sedikit diperoleh dari bibit pada kombinasi perlakuan tanpa paclobutrazol dengan penyimpanan 12 MST yaitu 0.44/planlet. Pada 4 MSP, rata-rata jumlah
29
akar yang tertinggi diperoleh dari bibit pada kombinasi paclobutrazol 3 mg/l dengan penyimpanan 4 MST yaitu 1.17/planlet. Tabel 13. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Akar pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II Kombinasi Perlakuan Paclobutrazol (P) dengan Lama Penyimpanan (S) P0S0 P0S1 P0S2 P0S3 P1S0 P1S1 P1S2 P1S3 P2S0 P2S1 P2S2 P2S3 P3S0 P3S1 P3S2 P3S3
Uji F KK (%)
Jumlah Akar/planlet 2 MSP 4 MSP 0.56 1.67 0.85 1.89 0.44 1.33 0.62 1.84 0.51 1.56 1.22 1.67 0.92 1.44 0.56 1.67 0.55 1.67 0.94 1.17 1.00 1.67 0.63 1.22 0.74 1.56 1.02 1.39 1.20 1.94 0.45 1.34 tn tn 16.14
14.25
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 tn : Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % P0 : Paclobutrazol 0 mg/l S0 : Lama Penyimpanan 0 Minngu Setelah Tanam P1 : Paclobutrazol 1 mg/l S1 : Lama Penyimpanan 4 Minggu Setelah Tanam P2 : Paclobutrazol 3 mg/l S2 : Lama Penyimpanan 8 Minggu Setelah Tanam P3 : Paclobutrazol 5 mg/l S3 : Lama Penyimpanan 12 Minggu Setelah Tanam MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Jumlah Daun Pada percobaan I, penambahan paclobutrazol berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah daun pada 2 MSP (Tabel 14). Tabel 14 menunjukkan bahwa pada 2 MSP, rata-rata jumlah daun cenderung bertambah dengan adanya penambahan paclobutrazol. Rata-rata jumlah daun bibit yang terendah diperoleh dari perlakuan tanpa paclobutrazol, yaitu 1.50 helai/planlet. Penambahan paclobutrazol 1, 3 dan
30
5 mg/l menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah daun yang tidak berbeda nyata, yaitu berturut-turut 2.06, 2.05 dan 2.09 helai/planlet. Meskipun demikian, rata-rata jumlah daun bibit cenderung bertambah dengan bertambahnya paclobutrazol. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas dan respon dari penambahan paclobutrazol juga tergantung konsentrasinya. Pada 4 MSP pengaruh paclobutrazol tidak berpengaruh nyata. Meskipun tidak berbeda nyata, akan tetapi dapat dilihat bahwa perlakuan dengan penambahan paclobutrazol menghasilkan rata-rata jumlah daun yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa paclobutrazol. Pada 4 MSP, perlakuan tanpa paclobutrazol menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah daun 1.58 helai/planlet. Rata-rata jumlah daun bibit tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata jumlah daun bibit yang dihasilkan dari perlakuan paclobutrazol 1, 3, dan 5 mg/l, yaitu berturut-turut 2.09, 2.13, dan 2.18 helai/planlet. Tabel 14. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Jumlah Daun pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I Konsentrasi Paclobutrazol Paclobutrazol 0 mg/l Paclobutrazol 1 mg/l Paclobutrazol 3 mg/l Paclobutrazol 5 mg/l Uji F KK (%)
Jumlah Daun (helai)/planlet 2 MSP 4 MSP 1.50 b 1.58 2.06 a 2.09 2.05 a 2.13 2.09 a 2.18 * tn 12.89 13.40
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 *Berbeda nyata pada uji F dengan tartaf 5 % tn : tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Paclobutrazol merupakan retardan yang bersifat menurunkan aktivitas metabolisme jaringan sehingga dapat menghambat proses pertumbuhan vegetatif. Akan tetapi menurut Carlson dan Rowley (1980) respon tanaman terhadap retardan tergantung dari jenis tanaman dan konsentrasi yang tepat dalam aplikasinya. Seperti penambahan paclobutrazol pada konsentrasi 0.007 mg/l dapat
31
meningkatkan jumlah daun secara nyata pada perbanyakan stek mikro kentang (Limarty, 2000). Pada percobaan II, penambahan paclobutrazol tidak berpengaruh terhadap rata-rata jumlah daun bibit (Tabel 15). Penambahan paclobutrazol menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah daun yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan tanpa paclobutrazol. Rata-rata jumlah daun dari bibit yang disimpan dengan penambahan paclobutazol 1, 3 dan 5 mg/l berturut-turut adalah 1.96, 1.88, dan 2.00 helai/planlet pada 2 MSP serta 1.96, 2.08, dan 2.17 helai/planlet pada 4 MSP. Rata-rata jumlah daun bibit tersebut cenderung lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata jumlah daun dari bibit yang disimpan tanpa paclobutrazol, yaitu 2.30 helai/planlet pada 2 MSP dan 2.33 helai/planlet pada 4 MSP. Tabel 15. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Jumlah Daun pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II Konsentrasi Paclobutrazol Paclobutrazol 0 mg/l Paclobutrazol 1 mg/l Paclobutrazol 3 mg/l Paclobutrazol 5 mg/l Uji F KK (%)
Jumlah Daun (helai)/planlet 2 MSP 4 MSP 2.30 2.33 1.96 1.96 1.88 2.08 2.00 2.17 tn tn 8.26 7.94
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 tn : tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Pada percobaan I, perlakuan lamanya penyimpanan berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, yang terlihat pada 4 MSP seperti tercantum pada Tabel 16. Rata-rata jumlah daun bibit tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Meskipun demikian rata-rata jumlah daun bibit, cenderung menurun dengan semakin lamanya bibit disimpan. Rata-rata jumlah daun BEP yang terendah diperoleh dari bibit yang disimpan selama 12 MSE yaitu 1.81 helai/planlet, yang terlihat pada 4 MSP. Semakin lama BEP disimpan, semakin rendah rata-rata jumlah daunnya. Rendahnya rata-rata jumlah daun bibit ini diduga karena pertumbuhan daun terhambat selama bibit disimpan dalam bentuk kapsul. Menurut Lestari et al
32
(2000) adanya hambatan fisik pada penyimpanan enkapsulasi dapat menekan pertumbuhan organ. Tabel 16. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Daun pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari percobaan I Lama Penyimpanan Penyimpanan 0 MSE Penyimpanan 4 MSE Penyimpanan 8 MSE Penyimpanan 12 MSE Uji F KK (%)
Jumlah Daun (helai)/planlet 2 MSP 4 MSP 2.11 2.05 a 1.83 1.89 ab 1.96 2.26 a 1.76 1.81 b tn * 12.89 13.40
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 *Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % tn : tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % MSE : Minggu Setelah Enkapsulasi MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Pada percobaan II perlakuan lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap jumlah daun bibit (Tabel 17). Rata-rata jumlah daun bibit terendah diperoleh dari perlakuan lama penyimpanan 8 MST yaitu 1.85 helai/planlet pada 2 MSP dan 2.06 helai/planlet pada 4 MSP. Tabel 17. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Daun pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II Lama Penyimpanan Penyimpanan 0 MSE Penyimpanan 4 MSE Penyimpanan 8 MSE Penyimpanan 12 MSE Uji F KK (%)
Jumlah Daun (helai)/planlet 2 MSP 4 MSP 2.14 2.06 2.03 2.09 2.21 1.85 2.17 2.25 tn tn 8.26 7.94
Keterangan : tn : tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % MST : Minggu Setelah Tanam MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
33
Interaksi perlakuan paclobutrazol dan lama penyimpanan pada percobaan I berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah daun bibit, sampai pada 2 MSP dan 4 MSP (Tabel 18). Pada percobaan II interaksi perlakuan tidak berpengaruh terhadap jumlah daun bibit. Tabel 18. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Daun pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I Kombinasi Perlakuan Paclobutrazol (P) dengan Lama Penyimpanan (S) P0S0 P0S1 P0S2 P0S3 P1S0 P1S1 P1S2 P1S3 P2S0 P2S1 P2S2 P2S3 P3S0 P3S1 P3S2 P3S3
Uji F KK (%)
Jumlah Daun (helai)/planlet 2 MSP 4 MSP 2.11 a 2.00 a 1.89 a 2.00 a 1.44 a 1.89 a 0.55 b 0.44 b 2.22 a 2.22 a 1.78 a 1.78 a 2.67 a 2.67 a 1.78 a 1.89 b 2.11 a 2.00 a 2.00 a 2.00 a 2.00 a 2.33 a 2.05 a 2.27 a 2.00 a 2.00 a 1.67 a 1.78 a 2.00 a 2.33 a 2.67 a 2.67 a * * 12.89
13.40
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 *Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % P0 : Paclobutrazol 0 mg/l S0 : Lama Penyimpanan 0 Minngu Setelah Enkapsulasi P1 : Paclobutrazol 1 mg/l S1 : Lama Penyimpanan 4 Minggu Setelah Enkapsulasi P2 : Paclobutrazol 3 mg/l S2 : Lama Penyimpanan 8 Minggu Setelah Enkapsulasi P3 : Paclobutrazol 5 mg/l S3 : Lama Penyimpanan 12 Minggu Setelah Enkapsulasi MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Perlakuan tanpa paclobutrazol yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 MSE menghasilkan bibit dengan rata-rata jumlah daun yang terendah. Pada 2 dan 4 MSP, kombinasi perlakuan tersebut menghasilkan bibit
34
dengan rata-rata jumlah daun berturut-turut 0.55 dan 0.44 helai/planlet. Kombinasi perlakuan tersebut dapat menghambat pertumbuhan jumlah daun, akan tetapi telah menghasilkan BEP dengan persentase daya tumbuh yang kurang baik yaitu 22.22 %. Oleh sebab itu perlakuan tanpa paclobutrazol yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 MSE tidak dapat digunakan untuk menyimpan bibit Phalaeonopsis amboinensis. Pada percobaan II interaksi perlakuan tidak berpengaruh terhadap jumlah daun bibit, seperti tercantum pada Tabel 19. Tabel 19. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Jumlah Daun pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II Kombinasi Perlakuan Paclobutrazol (P) dengan Lama Penyimpanan (S) P0S0 P0S1 P0S2 P0S3 P1S0 P1S1 P1S2 P1S3 P2S0 P2S1 P2S2 P2S3 P3S0 P3S1 P3S2 P3S3
Uji F KK (%)
Jumlah Daun (helai)/planlet 2 MSP 4 MSP 2.11 2.00 2.56 2.56 2.00 2.11 2.67 1.84 2.11 2.00 2.00 1.84 1.67 1.89 2.33 2.33 2.11 2.00 1.72 1.89 1.77 2.44 1.89 2.00 2.22 2.22 1.83 2.00 1.94 2.39 2.00 2.00 tn tn 8.26 7.94
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0 .5 tn : tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % P0 : Paclobutrazol 0 mg/l S0 : Lama Penyimpanan 0 Minngu Setelah Tanam P1 : Paclobutrazol 1 mg/l S1 : Lama Penyimpanan 4 Minggu Setelah Tanam P2 : Paclobutrazol 3 mg/l S2 : Lama Penyimpanan 8 Minggu Setelah Tanam P3 : Paclobutrazol 5 mg/l S3 : Lama Penyimpanan 12 Minggu Setelah Tanam MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
35
Pada 2 MSP rata-rata jumlah daun bibit terendah diperoleh dari kombinasi perlakuan paclobutrazol 1 mg/l dengan penyimpanan 8 MST, yaitu 1.67 helai/planlet. Berbeda pada 4 MSP, Rata-rata jumlah daun bibit terendah diperoleh dari perlakuan tanpa paclobutrazol yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 MST, yaitu 1.84 helai/planlet.
Diameter Tajuk Pengamatan diameter tajuk dilakukan dengan cara mengukur diameter lingkaran kanopi yang dibentuk oleh daun bibit. Pengukuran dilakukan dengan alat bantu berupa mistar. Penambahan paclobutrazol pada percobaan I tidak berpengaruh terhadap diameter tajuk (Tabel 20). Meskipun demikian, penambahan paclobutrazol menghasilkan BEP dengan rata-rata diameter tajuk yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa paclobutrazol. Bibit enkapsulasi yang disimpan tanpa paclobutrazol mempunyai rata-rata diameter tajuk sebesar 0.69 cm pada 2 MSP dan 0.68 cm pada 4 MSP. Rata-rata diameter tajuk tersebut cenderung lebih rendah dibandingkan dengan bibit yang diberi paclobutrazol 1, 3, dan 5 mg/l, yaitu berturut-turut 0.80, 0.81, dan 0.80 cm pada 2 MSP serta 0.83, 0.84, dan 0.85 cm pada 4 MSP. Tabel 20. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Diameter Tajuk pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I Konsentrasi Paclobutrazol Paclobutrazol 0 mg/l Paclobutrazol 1 mg/l Paclobutrazol 3 mg/l Paclobutrazol 5 mg/l Uji F KK (%)
Diameter Tajuk (cm) 2 MSP 4 MSP 0.69 0.68 0.80 0.83 0.81 0.84 0.80 0.85 tn tn 9.90 9.94
Keterangan : Data Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan tn Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
x + 0 .5
Penambahan paclobutrazol juga tidak berpengaruh terhadap diameter tajuk bibit yang disimpan tanpa enkapsulasi, seperti tercantum pada Tabel 21. Berbeda dengan percobaan I, pada percobaan II penambahan paclobutrazol menghasilkan
36
bibit dengan rata-rata diameter tajuk yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan tanpa paclobutrazol. Rata-rata diameter tajuk pada bibit yang disimpan tanpa pacloburazol yaitu sebesar 1.07 cm pada 2 MSP dan 1.12 cm pada 4 MSP. Rata-rata diameter tajuk bibit tersebut lebih besar dibandingkan dengan rata-rata diameter tajuk dari bibit yang disimpan dengan penambahan paclobutrazol. Penambahan paclobutrazol 1, 3, dan 5 mg/l menghasilkan bibit dengan rata-rata diameter tajuk berturut-turut sebesar 0.87, 0.87 dan 0.83 cm pada 2 MSP serta 0.89, 0.86 dan 0.86 cm pada 4 MSP. Tabel 21. Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol terhadap Diameter Tajuk pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II Konsentrasi Paclobutrazol Paclobutrazol 0 mg/l Paclobutrazol 1 mg/l Paclobutrazol 3 mg/l Paclobutrazol 5 mg/l Uji F KK (%)
Diameter Tajuk (cm) 2 MSP 4 MSP 1.07 1.12 0.87 0.89 0.87 0.86 0.83 0.86 tn tn 9.45 9.58
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan tn : Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
x + 0 .5
Perlakuan lamanya penyimpanan pada percobaan I berpengaruh sangat nyata terhadap diameter tajuk, seperti tercantum pada Tabel 22. Rata-rata diameter tajuk semakin rendah seiring dengan semakin lamanya BEP disimpan. Pada 2 dan 4 MSP, rata-rata diameter tajuk bibit dari perlakuan penyimpanan selama 4, 8 dan 12 MSE lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan 0 MSE. Perlakuan 4, 8 dan 12 MSE menghasilkan rata-rata diameter tajuk yang tidak berbeda nyata. Rata-ratanya yaitu berturut-turut 0.72, 0.72, dan 0.65 cm pada 2 MSP serta 0.74, 0.75, dan 0.66 cm pada 4 MSP. Rata-rata tersebut lebih rendah dibandingkan dengan BEP yang disimpan 0 MSE yaitu 0.99 cm pada 2 MSP dan 1.02 cm pada 4 MSP. Meskipun rata-rata diameter tajuk dari perlakuan penyimpanan selama 4, 8, dan 12 MSE tidak berbeda nyata, akan tetapi perlakuan lama penyimpanan 12 MSE cenderung menghasilkan rata-rata diameter tajuk yang lebih rendah.
37
Tabel 22. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Diameter Tajuk pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I Lama Penyimpanan Penyimpanan 0 MSE Penyimpanan 4 MSE Penyimpanan 8 MSE Penyimpanan 12 MSE Uji F KK (%)
Diameter Tajuk (cm) 2 MSP 4 MSP 0.99 a 1.02 a 0.72 b 0.74 b 0.72 b 0.75 b 0.65 b 0.66 b ** ** 9.90 9.94
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 **Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 1 % Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 % MSE : Minggu Setelah Enkapsulasi MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Rendahnya rata-rata diameter tajuk bibit ini diduga karena selama BEP disimpan pertumbuhannya terhambat. Hambatan fisik pada BEP berupa lingkungan dengan kadar oksigen rendah mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan daun yang membentuk tajuk bibit. Dengan demikian semakin lama penyimpanan BEP, semakin terhambat pertumbuhan daunnya, hingga akhirnya memperkecil diameter tajuknya. Perlakuan lamanya penyimpanan pada percobaan II tidak berpengaruh terhadap diameter tajuk bibit, seperti tercantum pada Tabel 23. Meskipun rata-rata diameter tajuk tidak berbeda nyata, akan tetapi rata-rata diameter tajuk cenderung berkurang dengan semakin lamanya bibit disimpan. Perlakuan lama penyimpanan 0, 4, 8 dan 12 MST menghasilkan bibit dengan rata-rata diameter tajuk berturut-turut sebesar 1.01, 0.93, 0.85 dan 0.84 cm pada 2 MSP serta 1.02, 0.92, 0.89 dan 0.88 cm pada 4 MSP. Berdasarkan pengamatan tesebut perlakuan lama penyimpanan 12 MST menghasilkan bibit dengan rata-rata diameter tajuk yang cenderung lebih rendah.
38
Tabel 23. Pengaruh Perlakuan Lamanya Penyimpanan terhadap Diameter Tajuk pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II Lama Penyimpanan Penyimpanan 0 MSE Penyimpanan 4 MSE Penyimpanan 8 MSE Penyimpanan 12 MSE Uji F KK (%)
Diameter Tajuk (cm) 2 MSP 4 MSP 1.01 1.02 0.93 0.92 0.85 0.89 0.84 0.88 tn tn 9.45 9.58
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 tn : tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % MST : Minggu Setelah Tanam MSP : Minggu Setelah Penyimpanan
Interaksi perlakuan paclobutrazol dan lama penyimpanan pada percobaan I tidak berpengaruh terhadap diameter tajuk bibit (Tabel 24). Meskipun rata-rata diameter tajuk tidak berbeda nyata, akan tetapi perlakuan tanpa paclobutrazol yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 MSE menghasilkan bibit dengan rata-rata diameter tajuk yang terendah. Pada 2 dan 4 MSP kombinasi perlakuan tersebut menghasilkan bibit dengan rata-rata diameter tajuk berturut-turut 0.26 dan 0.21 cm. Sama seperti peubah jumlah daun, kombinasi perlakuan tersebut juga dapat menghambat pertambahan diameter tajuk, akan tetapi telah menghasilkan BEP dengan persentase daya tumbuh yang kurang baik yaitu 22.22 %. Oleh sebab itu perlakuan tanpa paclobutrazol yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 MSE tidak dapat digunakan untuk menyimpan bibit enkapsulasi Phalaeonopsis amboinensis secara in vitro.
39
Tabel 24. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Diameter Tajuk pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi dari Percobaan I Kombinasi Perlakuan Paclobutrazol (P) dengan Lama Penyimpanan (S) P0S0 P0S1 P0S2 P0S3 P1S0 P1S1 P1S2 P1S3 P2S0 P2S1 P2S2 P2S3 P3S0 P3S1 P3S2 P3S3
Uji F KK (%)
Diameter Tajuk (cm) 2 MSP 4 MSP 1.10 1.10 0.86 0.89 0.53 0.52 0.26 0.21 0.95 1.00 0.67 0.68 0.92 0.94 0.70 0.71 1.11 1.10 0.63 0.68 0.74 0.78 0.75 0.78 0.82 0.88 0.72 0.72 0.78 0.86 0.87 0.92 tn tn 9.90 9.94
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 tn : tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % MSP : Minggu Setelah Penyimpanan P0 : Paclobutrazol 0 mg/l S0 : Lama Penyimpanan 0 Minngu Setelah Enkapsulasi P1 : Paclobutrazol 1 mg/l S1 : Lama Penyimpanan 4 Minggu Setelah Enkapsulasi P2 : Paclobutrazol 3 mg/l S2 : Lama Penyimpanan 8 Minggu Setelah Enkapsulasi P3 : Paclobutrazol 5 mg/l S3 : Lama Penyimpanan 12 Minggu Setelah Enkapsulasi
Interaksi perlakuan paclobutrazol dan lama penyimpanan pada percobaan II juga tidak berpengaruh terhadap diameter tajuk bibit (Tabel 25). Meskipun rata-rata diameter tajuk tidak berbeda nyata, akan tetapi perlakuan paclobutrazol 5 mg/l yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 2 MST menghasilkan bibit dengan rata-rata diameter tajuk yang terendah. Kombinasi perlakuan tersebut menghasilkan bibit dengan rata-rata dimaeter tajuk 0.68 cm pada 2 MSP dan 0.70 cm pada 4 MSP.
40
Tabel 25. Pengaruh Interaksi antara Perlakuan Paclobutrazol dan Lamanya Penyimpanan terhadap Diameter Tajuk pada Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi dari Percobaan II Kombinasi Perlakuan Paclobutrazol (P) dengan Lama Penyimpanan (S) P0S0 P0S1 P0S2 P0S3 P1S0 P1S1 P1S2 P1S3 P2S0 P2S1 P2S2 P2S3 P3S0 P3S1 P3S2 P3S3
Uji F KK (%)
Diameter Tajuk (cm) 2 MSP 4 MSP 1.10 1.10 1.22 1.23 0.79 0.94 1.20 1.25 0.87 0.88 1.03 1.05 0.80 0.83 0.75 0.75 1.10 1.10 0.79 0.74 0.82 0.86 0.74 0.75 0.95 1.00 0.68 0.70 0.92 0.93 0.73 0.77 tn tn 9.58 9.45
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 tn : tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % MST : Minggu Setelah Tanam MSP : Minggu Setelah Penyimpanan P0 : Paclobutrazol 0 mg/l S0 : Lama Penyimpanan 0 Minngu Setelah Tanam P1 : Paclobutrazol 1 mg/l S1 : Lama Penyimpanan 4 Minggu Setelah Tanam P2 : Paclobutrazol 3 mg/l S2 : Lama Penyimpanan 8 Minggu Setelah Tanam P3 : Paclobutrazol 5 mg/l S3 : Lama Penyimpanan 12 Minggu Setelah Tanam
41
Warna Daun Pengamatan terhadap warna daun dilakukan secara kualitatif. Pada percobaan I terdapat perbedaan yang berarti dalam hal warna. Perlakuan paclobutrazol berpengaruh terhadap warna daunnya. Warna daun BEP yang diberi perlakuan tanpa paclobutrazol telah berubah dari hijau menjadi kuning. Perubahan warna daun tersebut dimulai sejak 53 hari setelah penyimpanan atau menjelang 8 MSE. Perlakuan lamanya penyimpanan juga berpengaruh terhadap warna daun BEP. Semakin lama disimpan, semakin banyak daun bibitnya yang berwarna kuning dan akhirnya bibit menjadi mati. Bibit yang dienkapsulasi tanpa paclobutrazol dan disimpan selama 12 MSE telah menguning seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
P0 S3 U1
P0 S3 U1
b
a
P0 S3 U2 P0 S3 U2
a
b Gambar 1. Bibit Enkapsulasi Phalaeonopsis amboinensis yang Diberi Kombinasi Perlakuan Paclobutrazol 0 mg/l (P0) dengan Lama Penyimpanan 12 MSE (S3) pada Ulangan 1 (U1) dan Ulangan 2 (U2). a = Bibit dalam kapsul b = Bibit sudah dilepas dari penyalut atau kapsulnya
Warna daun BEP yang diberi perlakuan paclobutrazol 1, 3, dan 5 mg/l, masih tetap hijau sampai 12 SME (Gambar 2). Selama aklimatisasi sampai 4 MSP bibit tersebut juga masih berwarna hijau.
42
P0 S0 U1
P1 S0 U2
P1 S3 U1
P1 S3 U1
b
a
P2 S3 U3
a
P2 S3 U3
b
P3 S3 U2
a
P3 S3 U2
b Gambar 2. Bibit Enkapsulasi Phalaeonopsis amboinensis yang Diberi Kombinasi Perlakuan Paclobutrazol 1 mg/l (P1), 3 mg/l (P2) dan 5 mg/l (P3) dengan Lama Penyimpanan 12 MSE (S3) pada Ulangan 1 (U1), Ulangan 2 (U2) dan Ulangan 3 (U3). a = Bibit dalam kapsul b = Bibit sudah dilepas dari penyalut atau kapsulnya
43
1
Perubahan warna terjadi karena daun mengalami penuaan (senescence).
Penuaan terjadi pada daun bibit, karena BEP mengalami tekanan fisik atau stres abiotik selama penyimpanannya. Menurut Wattimena (1988) paclobutrazol dapat menghambat senescence, karena dapat memperlambat degradasi butir-butir klorofil. Peningkatan konsentrasi paclobutrazol tidak menunjukkan peningkatan warna hijau pada daun BEP. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Limarty (2000), peningkatan konsentrasi retardan dapat meningkatkan warna hijau daun pada tanaman kentang yang diperbanyak secara in vitro. Pada percobaan II, di antara semua kombinasi perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang berarti terhadap peubah warna daun bibit yang disimpan. Warna daun bibit yang disimpan tanpa enkapsulasi ditunjukkan pada Gambar 3.
P0 S1 U2
P3 S2 U1
P1 S2 U3
P0 S2 U2
P0 S3 U2
P2 S3 U3
P2 S2 U3
P0 S2 U3
P2 S3 U2
Gambar 3. Bibit anggrek Phalaeonopsis amboinensis yang Disimpan tanpa Enkapsulasi dengan Perlakuan Paclobutrazol 0 mg/l (P0), 1 mg/l (P1), 3 mg/l (P2) dan 5 mg/l (P3) yang Dikombinasikan dengan Lama Penyimpanan 1 MST (S1), 4 MST (S2), 8 MST (S3) dan 12 MST (S4) pada Ulangan 1 (U1), Ulangan 2 (U2) dan Ulangan 3 (U3).
44
Berdasarkan pengamatan pada pengaruh interaksi perlakuan terhadap semua peubah kuantitatif (Tabel 26), kombinasi perlakuan tanpa paclobutrazol dengan lama penyimpanan 12 MSE pada penyimpanan enkapsulasi tidak dapat digunakan
untuk
penyimpanan
jangka
pendek
terhadap
bibit
anggrek
Phalaeonopsis amboinensis secara in vitro. Tabel 26. Pengaruh Interaksi Perlakuan Paclobutrazol dengan Lama Penyimpanan terhadap Daya Tumbuh, Jumlah Akar, Jumlah Daun, dan Diameter Tajuk Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada 2 dan 4 MSP setelah Diaklimatisasi Kombinasi perlakuan P0S0 P0S1 P0S2 P0S3 P1S0 P1S1 P1S2 P1S3 P2S0 P2S1 P2S2 P2S3 P3S0 P3S1 P3S2 P3S3 Uji F KK(%)
Daya Tumbuh (%)
Jumlah Akar / planlet
Jumlah Daun (helai)/planlet
Diameter Tajuk (cm)
2 MSP 100.00 a 100.00 a 88.89 a
4 MSP 100.00 a 100.00 a 88.89 a
2 MSP 1.78 1.45 1.61
4 MSP 1.67 1.56 1.72
2 MSP 2.11 a 1.89 a 1.44 a
4 MSP 2.00 a 2.00 a 1.89 a
2 MSP 1.10 0.86 0.53
4 MSP 1.10 0.89 0.52
22.22 b 100.00 a 100.00 a 100.00 a 77.78 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 77.78 a 88.89 a 100.00 a 100.00 a
22.22 b 100.00 a 100.00 a 100.00 a 77.78 a 100.00 a 100.00 a 100.00 a 77.78 a 88.89 a 100.00 a 100.00 a
0.66 1.56 1.78 1.83 1.78 1.78 1.11 1.84 1.56 1.44 1.33 1.83
0.44 1.55 1.78 1.83 2.00 1.78 1.11 2.17 1.56 1.45 1.33 2.17
0.55 b 2.22 a 1.78 a 2.67 a 1.78 a 2.11 a 2.00 a 2.00 a 2.05 a 2.00 a 1.67 a 2.00 a
0.44 b 2.22 a 1.78 a 2.67 a 1.89 b 2.00 a 2.00 a 2.33 a 2.27 a 2.00 a 1.78 a 2.33 a
0.26 0.95 0.67 0.92 0.70 1.11 0.63 0.74 0.75 0.82 0.72 0.78
0.21 1.00 0.68 0.94 0.71 1.10 0.68 0.78 0.78 0.88 0.72 0.86
100.00 a
100.00 a
2.11
2.11
2.67 a
2.67 a
0.87
0.92
*
*
tn
tn
*
*
tn
tn
18.39
18.39
18.56
19.04
12.89
13.40
9.90
9.94
xdan + 0 .5Arcsin % terhadap peubah Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan daya tumbuh tn : Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % *Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % MSP : Minggu Setelah Penyimpanan P0 : Paclobutrazol 0 mg/l S0 : Lama Penyimpanan 0 Minngu Setelah Enkpasulasi P1 : Paclobutrazol 1 mg/l S1 : Lama Penyimpanan 4 Minggu Setelah Enkapsulasi P2 : Paclobutrazol 3 mg/l S2 : Lama Penyimpanan 8 Minggu Setelah Enkapsulasi P3 : Paclobutrazol 5 mg/l S3 : Lama Penyimpanan 12 Minggu Setelah Enkapsulasi
Kombinasi perlakuan tanpa paclobutrazol dengan lama penyimpanan 12 MSE tersebut menghasilkan rata-rata terendah terhadap semua peubah. Rata-rata jumlah akar, jumlah daun dan diameter tajuk pada BEP yang diberi
45
kombinasi perlakuan tersebut berturut-turut adalah 0.66/planlet, 0.55 helai/planlet, 0.26 cm pada 2 MSP dan 0.44/planlet, 0.44 helai/planlet, 0.21 cm pada 4 MSP. Akan tetapi kombinasi perlakuan tersebut menghasilkan bibit dengan daya tumbuh yang terendah yaitu 22.22 % sampai 4 MSP. Kombinasi paclobutrazol 5 mg/l dengan lama penyimpanan 12 MSE juga dapat menghambat pertumbuhan vegetatif BEP dan menghasilkan bibit dengan daya tumbuh sebesar 100 % sampai 4 MSP. Rata-rata jumlah akar, jumlah daun dan diameter tajuk pada BEP yang diberi kombinasi perlakuan tersebut adalah berturut-turut 2.11/planlet, 2.67 helai/planlet, 0.87 cm pada 2 MSP dan 2.11/planlet, 2.67 helai/planlet, 0.92 cm pada 4 MSP. Perlakuan paclobutrazol 1 atau 3 mg/l yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 MSE menghasilkan bibit dengan daya tumbuh yang tidak berbeda nyata, yaitu 77. 78 % sampai 4 MSP. Akan tetapi persentase daya tumbuh tersebut masih rendah, sehingga kombinasi perlakuan tersebut tidak dapat digunakan untuk penyimpanan bibit. Perlakuan yang terbaik untuk penyimpanan in vitro harus dapat menekan pertumbuhan eksplan semaksimal mungkin tanpa harus kehilangan viabilitasnya. Dengan demikian eksplan dapat disimpan lebih lama, memperpanjang interval subkultur dan menghemat biaya. Perlakuan yang terbaik untuk menyimpan bibit Phalaeonopsis amboinensis ini dapat diperoleh dari kombinasi perlakuan paclobutrazol 5 mg/l dengan lama penyimpanan 12 MSE. Kombinasi perlakuan tersebut dapat menghambat pertumbuhan bibit yang ditunjukkan dengan tidak adanya bibit yang tumbuh menembus dinding kapsul selama penyimpanan. Kombinasi perlakuan tersebut juga menghasilkan bibit dengan perubahan pertumbuhan yang rendah. Selain itu persentase daya tumbuh bibit yang disimpan dengan kombinasi perlakuan tersebut tetap tinggi yaitu 100 % meskipun disimpan sampai 12 MSE. Pengaruh interaksi perlakuan paclobutrazol dan lama penyimpanan pada percobaan II tidak berpengaruh terhadap semua peubah kuantitatif (Tabel 27). Semua kombinasi perlakuan menghasilkan bibit dengan daya tumbuh 100 %. Nilai rata-rata yang terendah maupun yang tertinggi dari setiap peubah dihasilkan dari kombinasi perlakuan yang berbeda, baik pada 2 dan 4 MSP.
46
Tabel 27. Pengaruh Interaksi Perlakuan Paclobutrazol dengan Lama Penyimpanan terhadap Daya Tumbuh, Jumlah Akar, Jumlah Daun, dan Diameter Tajuk Bibit phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada 2 dan 4 MSP setelah Diaklimatisasi Daya Jumlah Akar / Jumlah Daun Diameter Kombinasi planlet (helai)/planlet Tumbuh (%)*) Tajuk (cm) Perlakuan 2 MSP
P0S0 P0S1 P0S2 P0S3 P1S0 P1S1 P1S2 P1S3 P2S0 P2S1 P2S2 P2S3 P3S0 P3S1 P3S2 P3S3 Uji F
KK (%)
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 tb -
4 MSP
2 MSP
4 MSP
2 MSP
4 MSP
2 MSP
4 MSP
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 tb
0.56 0.85 0.44 0.62 0.51 1.22 0.92 0.56 0.55 0.94 1.00 0.63 0.74 1.02 1.20 0.45 tn 16.14
1.67 1.89 1.33 1.84 1.56 1.67 1.44 1.67 1.67 1.17 1.67 1.22 1.56 1.39 1.94 1.34 tn 14.25
2.11 2.56 2.00 2.67 2.11 2.00 1.67 2.33 2.11 1.72 1.77 1.89 2.22 1.83 1.94 2.00 tn 8.26
2.00 2.56 2.11 1.84 2.00 1.84 1.89 2.33 2.00 1.89 2.44 2.00 2.22 2.00 2.39 2.00 tn 7.94
1.10 1.22 0.79 1.20 0.87 1.03 0.80 0.75 1.10 0.79 0.82 0.74 0.95 0.68 0.92 0.73 tn 9.45
1.10 1.23 0.94 1.25 0.88 1.05 0.83 0.75 1.10 0.74 0.86 0.75 1.00 0.70 0.93 0.77 tn 9.58
-
Keterangan : Data yang diuji merupakan data hasil transformasi dengan x + 0.5 tn : Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % P0 : Paclobutrazol 0 mg/l *Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % P1 : Paclobutrazol 1 mg/l **Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 1 % P2 : Paclobutrazol 3 mg/l MSP : Minggu Setelah Penyimpanan P3 : Paclobutrazol 5 mg/l S0 : Lama Penyimpanan 0 Minngu Setelah Tanam S1 : Lama Penyimpanan 4 Minggu Setelah Tanam S2 : Lama Penyimpanan 8 Minggu Setelah Tanam S3 : Lama Penyimpanan 12 Minggu Setelah Tanam *) Data tidak di analisis melalui uji F, karena peubah daya tumbuh memiliki nilai rata-rata yang sama.
Rata-rata terendah terhadap peubah jumlah akar pada 2 MSP diperoleh dari bibit yang disimpan tanpa paclobutrazol yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 MST yaitu 0.44/planlet, sedangkan rata-rata tertingginya diperoleh dari perlakuan paclobutrazol 1 mg/l yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 4 MST yaitu 1.22/planlet. Berbeda dengan rata-rata jumlah daun bibit. Rata-rata jumlah daun terendah diperoleh dari bibit yang disimpan dengan paclobutrazol 1 mg/l yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 8 MST, yaitu 1.67 helai/planlet, sedangkan rata-rata tertingginya diperoleh dari perlakuan
47
tanpa paclobutrazol yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 MST yaitu 2.67 helai/planlet. Rata-rata terendah maupun tertinggi dari setiap peubah selengkapnya disajikan pada Tabel 27. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa penyimpanan tanpa enkapsulasi kurang dapat memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan bibit dibandingkan dengan penyimpanan dengan enkapsulasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Interaksi perlakuan paclobutrazol dengan lamanya waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh dan jumlah daun bibit Phalaeonopsis amboinensis yang dienkapsulasi selama diaklimatisasi. Perlakuan paclobutrazol berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh dan jumlah daun bibit Phalaeonopsis amboinensis
yang
dienkapsulasi
selama
diaklimatisasi.
Perlakuan
lama
penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap daya tumbuh dan diameter tajuk, serta berpengaruh nyata terhadap jumlah daun bibit Phalaeonopsis amboinensis yang dienkapsulasi selama diaklimatisasi. Perlakuan paclobutrazol, lamanya penyimpanan dan interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap daya kecambah dan berpengaruh terhadap warna daun bibit yang dienkapsulasi. Perlakuan paclobutrazol 5 mg/l yang dikombinasikan dengan lama penyimpanan 12 minggu pada bibit dengan enkapsulasi merupakan kombinasi perlakuan terbaik untuk menyimpan bibit anggrek Phalaeonopsis amboinensis dalam jangka pendek secara in vitro. Perlakuan paclobutrazol dan lamanya penyimpanan beserta interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap semua peubah yaitu daya tumbuh, jumlah akar, jumlah daun, diameter tajuk dan warna daun pada bibit Phalaeonopsis amboinensis yang disimpan tanpa enkapsulasi. Kombinasi perlakuan tanpa paclobutrazol dengan lama penyimpanan 12 minggu pada bibit tanpa enkapsulasi dapat menyimpan bibit lebih lama dengan daya tumbuh yang tetap tinggi dan perubahan pertumbuhan yang rendah.
Saran Penambahan paclobutrazol 5 mg/l disarankan untuk digunakan dalam penyimpanan enkapsulasi bibit Phalaeonopsis amboinensis secara in vitro selama 12 minggu, agar bibit dapat disimpan lebih lama dengan viabilitas yang tetap tinggi. Selain itu, pada penelitian sejenis disarankan untuk menambah masa penyimpanan yang lebih panjang untuk mendapatkan metode penyimpanan secara in vitro dalam jangka waktu lebih dari 12 minggu.
49
DAFTAR PUSTAKA Arteca, R. N. 1996. Plant Growth Substances, Prinsiples and Applications. Chapman and Hall. New york. 450 p. Aryati, D. R. 2007. Konservasi beberapa klon ubi jalar (Ipomoea batatas L.) secara in vitro dengan paclobutrazol. Skripsi. IPB. Bogor. 37 hal. Carlson, W. H. and E. M. Rowley. 1980. Bedding Plant. Introduction to Floriculture. Academic Press, New York. 234 p. Chesworth, J.M., T. Stuchbury dan J. R. Scaife. 1998. Agricultural Biochemistry. Chapman and Hall. London. 490p. Destri dan T. Jodi. 2006. Koleksi Anggrek Kebun Raya Cibodas. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Cianjur. 83 hal. Dixon, K. W., S.P. Kell, R.L. Barrett and P. J. Cribb. 2003. Orchid conservation : a global perspective, p. 1-24. In: K.W. Dixon, S.P. Kell, R.L. Barrett and P.J. Cribb (Eds). Orchid Conservation. Natural History Publications (Borneo), Kota Kinabalu, Sabah. Dressler, R. L. 1993. Phylogeny and Classification of the Orchid Family. Dioscorides Press. Oregon. 301 p. Fathonah, R. 2000. Pengaruh pemberian perak tiosulfat dan poliamin pada media enkapsulasi terhadap viabilitas bibit mikro enkapsulasi kentang (Solanum tuberosum L.). Skripsi. IPB. Bogor. 45 hal. Gaba, V. P. 2005. Plant growth regulators in plant tissue culture and development, p. 92-93. In: R. N. Trigiano and D. J. Gray (Eds). Plant Development and Biotechnology. CRC Press. Washington, D.C.225p. Gardner, F. P., R. B. Pearce, and R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. H. Susilo (Penerjemah). Universitas Indonesia. Jakarta. 428 hal. Terjemahan dari : Physiology of Crop Plants. Guerra, M. P., L.L. Dal Vesco, J.P.H.J. Ducroquet, R.O. Nodari dan M.S Dos Reis 2001. Somatic embryogenesis in Goiabeira serreana : genotype response, auxinic shock and synthetic seeds. Revista Brasileira Fisiologia Vegetal. 13(2):117-128. Hor, Y. L and Y. K. Chok 1997. Effect of sucrose and alginate encapsulation on survival of excised embryos of oil palm (Elaeis guinennsis jacq.) in liquid nitrogen, p.322-326. In: A. G. Taylor and X. L. Huang (Eds). Seed Research Conference proceedings of the Second International Conference on Seed Science and Technologi 2nd International Conference on Seed Science and Technologi. 1216 May. Malaysia.
50
Irawati. 2001. Konservasi anggrek di Indonesia. Seminar East Java Orchid Show - May 26th-31st, Purwodadi ; Kebun Raya Purwodadi. 53 hal. Krishnamoorthy, H. N. 1981. Plant Growth Subtances:Including Application in Agriculture. McGrew-Hill. New Delhi. 214 p. Lembaga Biologi Nasional.1979. Jenis-jenis Anggrek. Lembaga Ilmu Pengetahuan Alam Indonesia. Jakarta.129 hal. Lestari, E. G., S. Harran, I. Mariska dan R. Megia. 2000. Penyimpanan Tunas Nilam hasil Variasi Somaklonal dengan Enkapsulasi. Prosiding Seminar hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi III. Cibinong, 7-9 Maret. Hal. 391-397. Levitt, J. 1969. Introduction to Plant Physiologi. Mosby Company. Sant Louis. 304 p. Limarty, T. 2000. Penggunaan Cycocel, Paclobutrazol dan SADH dalam Perbanyakan Stek Mikro Kentang (Solanum tuberosum L.). Skripsi. IPB. Bogor. 37 hal. Lloyd, F. B. and M. Jackson. 1986. Plant Genetic Resources An Introduction to Their Conservation and Use. John Wiley and Suns. Chichester. 146p. Mandal, B.B., R.K. Tyagi, R. Pandey, N. Sharma and A. Agrawal. 2000. In vitro conservation of germplasm at agri-horticultural crops at NBPGR: an overview, p. 279-304. In: M.K. Razdan and E.C. Cocking (Eds). Conservation of Plant Genetic Resources. Science Publishers Inc. Ply mouth, UK.315p. Martin, K.P. 2002. Clonal propagation, encapsulation and reintroduction of Ipsea malabarica (reichb. f.) J. D. Hook., an endangered orchid. In vitro Cell Journal. 39:322-326. Priadi, D., E. Sudarmonowati, R. Arifani, dan S. Farisy. 2000. Kriopreservasi Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) dan Mangium (Acacia mangium wild.) dengan Metode Enkapsulasi-Dehidrasi. Prosiding Seminar Hasil Peneitian dan Pengembangan Bioteknologi III Cibinong, 7-9 Maret. Hal. 377-382. Pian, Z. A. 1998. Penyimpanan Benih dalam Konteks Pelestarian Keanekaragaman Hayati. Universitas Syiah Kuala-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Darussalam. 27 hal. Puspitaningtyas, D.M dan S. Mursidawati. 1999. Anggrek Kebun Raya Bogor. Pusat Konservasi Tumbuhan-KRB. Vol.1(2). Hal.17-18. Sadjad, S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. 86 hal. Saiprasad, C. V. S. and R. Polisetty. 2002. Propagation of three orchid genera using encapsulated protocorm like bodies. In vitro Cell Journal. 39:42-48.
51
Setiawan, Hadi. 2004. Anggrek Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta. 67 hal. Sponsel, V. M. 1995. The Biosynthesis and Metabolism of Gibberellins in Higher Plants. p.66-97. In : P. J. Davies (Eds). Plant Hormones, Physiology, Biochemistry and Molecular Biology. Kluwer Academic Publishers. London. 774p. Sunarlim, N., M. Kosmiatin, I. Mariska, Hadiatni, I. R. Tambunan, dan S. Rahayu. 2004. Penyimpanan Tanaman Ubi-ubian dengan Metode Pertumbuhan Minimal dan Kriopreservasi. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Hal. 89-100. Thobunluepop, P., E. Pawelzik and S. Vearasilp. 2005. Plant regeration via organnogenesis and embryogenesis in sweet corn. Conference on International Agricultual Research for Development, Oktober 11-13. Stuttgart-Hohenhim.p.1-7 Wattimena, G.A. et al., 1992. Bioteknolgi Tanaman-Laboratorium Kultur Jaringan. PAU. Bogor. 309 hal. Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. PAU. Bogor. 145 hal. Withers, L. A. 1991. Tissue culture in the conservation of plant genetic resoures, p.1-8. In: A. H. Zakri, M.N. Normah, M.T. Senawi and A.g. Abdul Karim (Eds). Conservation Forest Research Institut Malaysia, Kuala Lumpur. 270p.
LAMPIRAN
53
Tabel Lampiran 1. Komposisi media MS (Murashige and Skoog) 28 Larutan Stok
Bahan Kimia
Konsentrasi Larutan 82.5
Vol. Larutan Stok Media (ml/l) 20
Konsentrasi Senyawa dalam Media (mg/l)) 1650
20
1900
A
NH4NO3
B
KNO3
95
H3BO3
1.24
6.2
34
170
KH2PO4 C
D
E
F
G H
Na2MoO4.2H2O
0.025
KI
0.166
0.83
CoCl.6H2O
0.005
0.025
CaCl2.2H2O
88
MgSO4.7H2O
74
MgSO4.4H2O
4.46
ZnSO4.7H2O
1.72
CuSO4.5H2O
0.005
Na2 EDTA
7.45
FeSO4. 7H2O
5.57
Thiamine HCl
0.02
Nicotic Acid
0.1
Pyridoxin HCl
0.1
Myoinositol
20
5
5
0.25
440 370
5
22.3 8.6 0.025
5
37.25 27.85 0.1
1
0.5 0.5
5
100
54
Tabel Lampiran 2. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Daya Tumbuh Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP Sumber Keragaman Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 18.40 % 29
db 2 3 3 9
JK 48.921 2114.971 5975.380 5884.887
KT 24.4601 704.990 1979.001 653.876
27 44
6235.835 20194.159
230.957
F Hit 0.11 3.05 8.57 2.83
Pr>F 0.8999 0.0455 0.0004 0.0175
Tabel Lampiran 3. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Jumlah Akar Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP Sumber Keragaman Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 18.56 % 30
db 2 3 3 9
JK 0.101188 0.105717 0.12438 0.521129
KT F Hit Pr>F 0.050594 0.73 0.4903 0.035239 0.51 0.679 0.04146 0.6 0.6208 0.057903 0.84 0.5887
27 44
1.866696 2.6948
0.069137
Tabel Lampiran 4. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Jumlah Daun Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP Sumber Keragaman Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 12.89 % 31
db 2 3 3 9
JK 0.090766 0.389401 0.166734 0.809115
KT 0.045383 0.1298 0.055578 0.089902
27 44
1.056734 2.525098
0.039138
F Hit 1.16 3.32 1.42 2.3
Pr>F 0.3288 0.0348 0.2586 0.0459
55
Tabel Lampiran 5. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Diameter Tajuk Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP Sumber Keragaman Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 9.90 % 32
db 2 3 3 9
JK 0.010143 0.033975 0.172707 0.217456
KT 0.005071 0.011325 0.057569 0.024162
27 44
0.332374 0.765298
0.01231
F Hit 0.41 0.92 4.68 1.96
Pr>F 0.6664 0.4444 0.0093 0.0849
Tabel Lampiran 6. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Daya Tumbuh Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP Sumber Keragaman Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 18.40 % 33
db 2 3 3 9
JK 48.9210 2114.971 5975.380 5884.887
KT 24.4605 704.9902 1979.0008 653.8762
27 44
6235.835 20194.159
230.9568
F Hit 0.11 3.05 8.57 2.83
Pr>F 0.8999 0.0455 0.0004 0.0175
Tabel Lampiran 7. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Jumlah Akar Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP Sumber Keragaman Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 19.04 % 34
db 2 3 3 9
JK 0.138677 0.196934 0.241494 0.811718
KT 0.069339 0.065645 0.080498 0.090191
27 44
1.986973 3.326524
0.073592
F Hit 0.94 0.89 1.09 1.23
Pr>F 0.4022 0.4579 0.3687 0.3208
56
Tabel Lampiran 8. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Jumlah Daun Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP Sumber Keragaman Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 13.40 % 35
db
JK
KT
F Hit
Pr>F
2 3 3 9
0.08065 0.36224 0.52332 1.16328
0.040327 0.120749 0.174441 0.129254
0.96 2.87 4.14 3.07
0.3963 0.055 0.0154 0.0115
27 44
1.13654 3.32364
0.042094
Tabel Lampiran 9. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Diameter Tajuk Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP Sumber Keragaman
db
JK
KT
F Hit
Pr>F
Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 9.94 %
2 3 3 9
0.005465 0.063081 0.18575 0.253675
0.002733 0.021027 0.061917 0.028186
0.22 1.67 4.92 2.24
0.8062 0.1967 0.0074 0.051
27 44
0.339785 0.845964
0.012585
2.37
36
Tabel Lampiran 10. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Jumlah Akar Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP Sumber Keragaman
db
JK
KT
F Hit
Pr>F
Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 16.14 %
2 3 3 9
0.3550 0.0417 0.1709 0.1233
0.1775 0.0139 0.0569 0.0137
5.52 0.43 1.77 0.43
0.0103 0.7315 0.1780 0.9083
25 42
0.8034 1.5755
0.0321
37
57
Tabel Lampiran 11. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Jumlah Daun Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP Sumber Keragaman Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 8.26 % 38
db
JK
KT
F Hit
Pr>F
2 3 3 9
0.0064 0.1140 0.0864 0.1067
0.0032 0.0380 0.0288 0.0118
0.19 2.22 1.68 0.69
0.8299 0.1109 0.1965 0.7098
25 42
0.4285 0.7290
0.0171
Tabel Lampiran 12. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Diameter Tajuk Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada Umur 2 MSP Sumber Keragaman Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 9.45 % 39
db
JK
KT
F Hit
Pr>F
2 3 3 9
0.0475 0.0762 0.0462 0.1020
0.0237 0.0254 0.0154 0.0113
1.91 2.05 1.24 0.91
0.1684 0.1331 0.3161 0.5303
25 42
0.3106 0.5697
0.0124
Tabel Lampiran 13. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Jumlah Akar Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP Sumber Keragaman
db
JK
KT
F Hit
Pr>F
Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 14.25 %
2 3 3 9
0.0854 0.0467 0.0099 0.2091
0.0427 0.0155 0.0033 0.0232
1.04 0.38 0.08 0.57
0.3668 0.7680 0.9698 0.8099
25 42
1.0223 1.3820
0.0409
40
58
Tabel Lampiran 14. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Jumlah Daun Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP Sumber Keragaman Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 7.94 % 41
db
JK
KT
F Hit
Pr>F
2 3 3 9
0.0027 0.0680 0.0325 0.1740
0.0014 0.0227 0.0108 0.0193
0.08 1.37 0.66 1.17
0.9216 0.2745 0.5872 0.3559
25 42
0.4136 0.6863
0.0165
Tabel Lampiran 15. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Paclobutrazol, Lamanya Penyimpanan dan Interaksinya terhadap Diameter Tajuk Bibit Phalaeonopsis amboinensis yang tidak Dienkapsulasi pada Umur 4 MSP Sumber Keragaman
db
JK
KT
F Hit
Pr>F
Ulangan Paclobutrazol Lama Penyimpanan Paclobutrazol & Lama Penyimpanan Galat Total KK = 9.58 %
2 3 3 9
0.0275 0.095 0.0310 0.0872
0.0138 0.0320 0.0104 0.0097
1.06 2.46 0.80 0.75
0.3619 0.0862 0.5074 0.6653
25 42
0.3250 0.5551
0.0130
42