KISAH PAHIT SEORANG TAHANAN G30S V
BULEMBANGBU Oleh N. Syam. H
NUSA KAMBANGAN Emakku pernah bilang, “Pakdemu dibuang ke Nusa Kambangan karena ulahnya menghajar saksi dalam sidang pengadilan.” Nusa Kambangan adalah tempat terakhir bagi nara pidana kelas berat. Menurut cerita orangorang yang pernah ke sana dan bahkan pernah tinggal di sana Nusa Kambangan adalah tempat yang sangat mengerikan. Banyak kejadian-kejadian misteri yang dapat terjadi di sana, hal-hal yang tidak masuk akal pun banyak mewarnai pulau ini. Nusa Kambangan adalah salah satu dari 17.000 untaian jambrut katulistiwa kata Multatuli. Tapi kenapa orang tidak pernah menyebut Nusa Kambangan dengan kata “Pulau Nusa Kambangan” seperti halnya Pulau Bali, Pulau Seribu, Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya, tapi orang-orang cukup menyebutnya dengan “Nusa Kambangan” saja. Karena keindahan pulau Bali maka terciptalah lagu “Pulau Bali”, untuk pulau Jawa pun ada lagu keroncongnya, Lalu apakah di Nusa Kambangan tidak ada keindahannya, tidak ada kelebihannya?. Boleh jadi memang begitu, seandainya , ya seandainya saja Nusa Kambangan itu satu pulau yang memiliki keindahan dan kelebihan, mungkin pemerintah kolonial dulu sudah menjadikan Nusa Kambangan sebagai tempat peristirahatan dengan membangun villa, bungalow serta hotel seperti halnya dengan pulau Bali atau Puncak-Cipanas dan tempat-tempat lainnya untuk ber-week end bagi para pejabat. Celaka memang, Nusa Kambangan ini namanya terlanjur dicemari dengan keseraman dan kemisteriusannya. Namanya lengket dan tak terlepas dari kisah penguasa Laut Kidul. Menurut kepercayaan orang Jawa, penguasa laut kidul atau laut selatan adalah seorang putri yang teramat cantik, yang disebut dengan “Nyi” atau “Nyai Roro Kidul”. Yang kalau diartikan, kata “Nyi” atau “Nyai” itu sebutan bagi seorang wanita, sedang ‘Roro’ berarti gadis atau perawan dan Kidul yang berarti selatan adalah tempat kediamannya atau tempatnya bersemayam. Lalu siapa “Nyi Roro Kidul” itu?, siapa nama aslinya dan dari mana asal-usul sosok tokoh yang melegenda ini?. Beberapa versi cerita telah mewarnai tokoh ini. Di Jawa sendiri juga terdapat beberapa versi cerita mengenai asal-usul tokoh “Nyi Roro Kidul”. Di kampungku, di Jawa Timur sana, Nyai Roro Kidul diyakini sebagai sosok makhluk halus yang jahat, jika di kampungku atau di desa sekitarnya sedang diserang oleh suatu wabah penyakit maka masyarakat meyakini bahwa saat itu Nyi Roro Kidul sedang punya hajat mantu dan untuk mengadakan perhelatannya itu sang Nyai memerlukan banyak sayuran kacang lanjaran. Para pembantu dan bala tentara pun dikerahkan untuk mencari sayuran itu, sayang sekali ternyata para pembantunya itu agak budeg, tak pernah jelas menerima perintah. Kacang lanjaran diartikannya sebagai anak-anak yang masih muda atau lanjar dalam bahasa Jawa, maka disebarkanlah wabah penyakit bagi anak-anak lanjar. Nah kalau sudah begitu datanglah wangsit yang diterima oleh para sesepuh desa yang melakukan tapa tirakat untuk menghentikan wabah penyakit yang disebarkan oleh para pembantu Nyi Roro Kidul itu tadi.
Menurut wangsit itu untuk menghentikan wabah penyakit para penduduk desa dianjurkan untuk melakukan cegah lek (jangan tidur sore-sore), jangan tidur di atas dipan atau tempat tidur lainnya melainkan tidur di lantai, di atas tanah dengan beralas tikar, agar tidak tersandung kaki para bekasakán. Diyakini oleh mereka para bekasakán kalau berjalan kakinya tidak ngambah lemah (tidak menempel tanah). Atau dikatakan pantat para badan halus ini berbentuk kerucut, jadi mereka tidak bisa kerja dengan duduk untuk ngerjain orang-orang yang sedang tidur di atas lantai. Lain lagi dengan masyarakat Sunda, mereka mempunyai versi lain tentang cerita Nyi Roro Kidul ini. Menurut versi Sunda Nyai Roro Kidul adalah penjelmaan dari Putri Kandita, anak Prabu Siliwangi. Menurut ceritanya suatu hari Putri Kandita dan sang ibunda terkena gunaguna yang menyebabkan wajah keduanya menjadi buruk penuh dengan koreng, sehingga mereka pun lalu diusir, keluar dari keraton. Dalam perjalanan sang ibunda wafat, tinggalah sang putri seorang diri. Sang putri berjalan seorang diri menyusuri pantai selatan. Karena kelelahan sang putri pun tertidur, dalam tidurnya ini sang putri bermimpi, mendapat petunjuk dari Dewata, jika sang putri ingin wajahnya kembali cantik, sang putri harus menceburkan dirinya ke Laut Kidul. Maka saat ia terbangun, tanpa berpikir panjang lagi sang putri pun segera menerjunkan dirinya ke dalam laut, Putri Kandita pun akhirnya hilang tanpa bekas di dalam Laut Kidul. Sejak kejadian itu ketentraman penduduk di sekitar pantai Laut Selatan mulai terganggu, mereka selalu diganggu oleh sesosok wanita berwajah cantik yang setiap hendak ditangkap selalu hilang lenyap begitu saja. Nah sejak saat itu lah sebutan Nyai Roro Kidul menjadi populer di kalangan masyarakat. Menurut versi Jawa Tengah pun agak berbeda. Kepercayaan keluarga Keraton Solo dan Yogyakarta pada Nyai Roro Kidul cukup beralasan, karena tanpa Nyi Roro Kidul agaknya keberadaan kerajaan Mataram, yang kini diwariskan pada Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta tidak akan ada, begitu menurut kepercayaan Jawa. Cerita tentang Nyai Roro Kidul itu sendiri muncul di kalangan keraton pada jaman ketika Jaka Tingkir alias Panji Mas bergelar Sultan Hadiwijaya bertahta di Pajang (1500-1582). Awal ceritanya begini : Suatu hari terjadilah perebutan kekuasaan antara Jaka Tingkir dengan Ariyo Penangsang. Jaka Tingkir yang saat itu menjadi Adipati Pajang memiliki penasehat ulung di bidang strategi perang bernama Kyai Gede Pemanahan, atas nasehatnya Hadiwijaya memperoleh kemenangan dalam peperangan itu. Ariyo Penangsang pun mati terbunuh. Kemudian pusat kerajaan Demak dipindahkan ke Pajang. Sebagai tanda terima kasih, Kyai Gede Pemanahan mendapat hadiah sebidang tanah yang terletak di kota Gede atau Mataram. Kyai Gede Pemanahan pun lalu pindah ke Kota Gede dan sebagai penggantinya diangkatlah anak Kyai Gede Pemanahan, bernama Sutawijaya yang kemudian diberi gelar ‘Senopati Ing Alaga Sayidin Panotogomo’ (Panglima Perang dan pengatur Agama). Sampai pada akhirnya Sutawijaya pun berambisi untuk menjadi raja dan untuk mencapai maksudnya itu, sang Senopati itu lalu menjalani tapa brata di sebuah batu karang di tengah laut selatan. Dalam tapanya itu Sutawijaya mendapat gangguan dari seorang wanita cantik yang mengaku bernama Nyi Roro Kidul, tapi gangguan itu tak berhasil menggagalkan semedi sang Senopati, yang terjadi Nyai Roro Kidul malah jatuh cinta pada Sutawijaya. Usai melakukan semedi keduanya sepakat untuk menikah dan Nyi Roro Kidul sebagai istri Sutawijaya siap membantu perjuangan suaminya. Sutawijaya adalah mahkluk kasar (kasat mata) sedang Nyi Roro Kidul adalah mahkluk halus, kedatangan mereka berdua di kerajaan Pajang tidak menimbulkan pergunjingan. Singkat cerita hajat Sutawijaya pun akhirnya kesampaian, kudeta terjadi dan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir mati terbunuh. Kerajaan Pajang di pindah ke Kota Gede, inilah
cikal bakal kerajaan Mataram. Setelah Sutawijaya mangkat ia pun digantikan oleh Sultan Anyokrowati atau Pangeran Sedo Krapyak. Begitu seterusnya, Nyi Roro Kidul tetap mendampingi raja-raja Mataram sampai dengan Hamengku Buwono VIII. Menurut pengakuan Sultan Hamengku Buwono IX, Nyi Roro Kidul itu adalah eyangnya. Nenek beliau pun mengaku pernah bertemu dengan eyangnya itu setelah menjalani semedi dan puasa. Pada malam-malam tertentu Nyi Roro Kidul datang ke keraton dengan mengendarai kereta kencana. Tanda-tanda kedatangannya bisa berupa seberkas sinar atau berupa pelangi yang masuk ke dalam keraton, atau bisa juga berupa angin kecil yang berputar-putar di bagian keraton disertai dengan bau wangi yang sangat semerbak, demikian kata Sri Sultan. Ketika Amangkurat II masih bertahta di Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau ketika Sultan Hamengku Buwono VII di singgasana Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Konon Nyi Roro Kidul sering datang ke keraton cuma untuk melihat cucu-cucu dan cicit-cicitnya. Menurut cerita kedua kerajaan Jawa Tengah itu, Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat akan tetap tegak keberadaannya selama cerita tentang Nyi Roro Kidul belum sirna dari kalangan masyarakat Jawa. Nyi Roro Kidul sering digambarkan sebagai perempuan berparas sangat ayu. Bertubuh langsing, berambut panjang ikal mayang, kulit putih, hidung mancung, pipi lesung pipit, bibir tipis, mata jeli dan bersuara merdu. Pendek cerita sempurna tanpa cacat. Tetapi menurut Sri Sultan Hamengku Buwono IX wajah Nyi Roro Kidul dapat berubah-ubah. Pada bulan purnama wajah Kanjeng Ratu Kidul ini sangat cantik sekali, tapi ketika bulan mengecil wajah Kanjeng Ratu Kidul tampak keriput. Kira-kira kecantikan Nyi Roro Kidul itu sama dengan cantiknya Dewi Banowati atau Dewi Banuwati (istri raja Astina). Kata Ki dalang, Dewi Banowati itu dari ujung rambut sampai telapak kaki sempurna tanpa cacat, setiap hari kecantikannya bertambah menurut irama bulan. Jika tanggal muda jadi muda, kalau tanggal tua jadi perawan sunti. Pelukis Basuki Abdullah pun mereka-reka kecantikan Kanjeng Ratu Kidul, lewat lukisan cat minyaknya yang banyak disukai oleh para kolektor lukisan. Dan lukisan itu kini terpajang di Samudra Beach Hotel kamar 308, Pelabuhan Ratu - Jawa Barat. Tidak keliru kalau Nyi Roro Kidul itu memang ayu. Versi komik Joko Tarub pun mengatakan Nyi Roro Kidul itu adalah jelmaan Dewi Nawang Wulan yang setelah menemukan pakaiannya kembali, dia pulang ke khayangan. Tetapi kedatangannya ke khayangan itu ditolak, karena dia sudah dicemari noda hitam. Dia tidak lagi murni sebagai dewi karena telah bercampur dengan manusia yang bernama Joko Tarub. (Warnasari, No.118 Nov 1988). Nah itulah Nusa Kambangan yang termasuk wilayah kekuasaan Kanjeng Ratu Kidul. Ngomong tentang Nusa Kambangan tidak bisa lepas dari keberadaannya sebagai penjara, dan bicara tentang penjara tentu tidak terlepas dari derita dan nista, kekerasan dan cemohan pun jadi hal biasa, tinju lepas, tendangan bebas tak perlu diulas lagi, setiap hidung pun telah memaklumi. Bukan kebetulan kalau tokoh jahat si Lowo Ijo dalam serial Mahesa Jenar, diceritakan juga bersarang di Nusa Kambangan. Dari pantai Cilacap dengan ponton kami menyeberangi segara anakan, nggak lama hanya
beberapa menit, sampailah ke daratan yang berupa perbukitan dengan tanah tandus. Sepintas nampak tak ada kehidupan pedesaan. Tak aku lihat seorang pun berjalan membawa hasil ladangnya, tak kulihat juga adanya perumahan penduduk. Sebagai penjara yang tentunya mempunyai aparat dengan anak istrinya, perumahan tempat tinggalnya pun tak kuketahui, mestinya sih ada tapi di mana, itu yang nggak kuketahui. Yang nampak adalah bangunan yang akan kami huni, ya itu penjaranya. Konon ada beberapa penjara di pulau ini, ada penjara Karang Tengah, inilah yang jadi tempat hunianku dengan rombongan, ada Penjara Gliger, ada juga yang bernama Candi. Bukan Candi Semarang Kidul, perumahan rakyat yang berhias lampu, yang kalau malam terlihat keindahannya dari kejahuan. Tetapi Candi Nusa Kambangan adalah candi penjara. Rombonganku diketuai oleh pak Slamet, Drs.Sospol dan kalau nggak salah diwakili oleh Pak Pram (novelis kenamaan). Karena lamanya pemeriksaan di Cilacap, kami datang di Karang Tengah sudah tertinggal makan siang. Ampas makan malam di setasiun Beos rupanya telah meninggalkan kantong nasi. Tidak ada sarapan pagi tadi, yang ada kami sarapan pagi dengan pukulan kentes di setiap kepala, satu pukulan. Di pimpin oleh pak Slamet dan di wakili oleh pak Pram hati ini jadi mantep dan tenang. Mereka adalah orang-orang pintar dan pemberani, yang selalu bicara tentang perjuangan. Dalam setiap bukunya, penulis ini tak pernah lepas dari perjuangan. Novelnya yang pertama kali aku baca adalah “Perburuan”, novel ini memperoleh hadiah pertama dari Balai Pustaka. Den Hardo yang diburu pasis Jepang berlindung dan menyamar sebagai pengemis. Pak Pram, baik omong keseharian mau pun dalam novelnya selalu sakleg. Kalau bicara tahi ya tahi. Jalan ceritanya perburuan aku sudah lupa, lebih dari setengah abad yang lalu aku membaca buku itu, cuma dalam akhir cerita yang kuingat adalah tekad den Hardo untuk membalas dendam pada petinggi Jepang itu. Ketika pekik kemerdekaan bergelora, semangat kepemudaan den Hardo memuncak. Dicarinya para petinggi Jepang. Salah satu petinggi Jepang hendak di pancung batang lehernya. Dengan pedang samurai di pancungnya leher si petinggi Jepang, namun meleset yang kena cuma umbun-umbunnya, batok kepala terkelupas, benda putih yang namanya otak muntub-muntub, antara mau keluar dan tenggelam dari ubunubunnya. Walaupun hanya membaca tapi itu mengerikan. Dan novelnya Pram memang begitu, kalau memang harus ngomong jorok ya ditulis jorok. Di kemudian hari aku baca bukunya ‘Bumi Manusia’. Tuan Herman penguasa perkebunan tebu mati karena kebanyakan minum-minuman keras, gantinya seorang Belanda juga bernama Tuan Fleibeyer, rupanya tuan ini adalah seorang play boy, pemburu perempuan, terutama gadis-gadis. Barangkali sudah banyak gadis-gadis di sekitar perkebunan yang dinodainya. Oleh karena itu jika diketahui Tuan Fleibeyer masuk desa kebanyakan perempuan desa itu pada lari, terutama para gadis-gadisnya. Suatu ketika seorang gadis melihat Tuan Fleibeyer masuk desa, nggak pakai tempo lagi dia langsung lari sambil berteriak, “Ee ayo pada lari, Tuan Peligayer masuk kita mau dijarah!”, dan perempuan-perempuan desa itu terutama para gadis-gadisnya segera kabur, bersembunyi. Orang kampung itu lugu, buat mengucap kata yang beraksen Belanda itu susah, lidahnya kaku, ucapannya hanya disesuaikan dengan bunyi yang didengarnya, bunyi Peligayer mirip dengan Fleibeyer. Di Blok-Q, Salemba, tempo hari pernah aku tanyakan kepada pak Pram. “Pak, saya baca di koran Angkatan Bersenjata, ada berita tentang perlawanan bapak ketika hendak ditangkap, bener nggak pak?”
“Ya bener, bener banget. Apa sih dosanya orok saya kok popoknya dibuangi, apa pula dosanya itu pohon mangga pake dirusak?. Mau tangkep ya tangkep saja, masak begitu harus diam saja dan tak boleh melawan?” Kami masuki barak tahanan, seratus tahanan masuk dalam satu barak. Barak yang kuhuni berhadapan dengan pos penjagaan yang tak pernah melepaskan pengawasannya terhadap para tapol. Ada tiga buah kentongan besar-besar, seperti kentongan lurah di desa. Ketiga kentongan digantungkan di pojok aula, apa fungsinya kentongan itu?. Nggak tahu. Kalau kentongan di desa jelas untuk memanggil aparat desa, bunyi kentong satu misalnya, kentongan dipukul sekali dengan jarak baru dipukul sekali lagi dan seterusnya, itu tanda para aparat desa harus berkumpul di kelurahan, kalau kentongan di pukul tiga kali berturut-turut itu tanda ada kebakaran, kentong titir ada rajapati, tapi itu di kampung atau di desa. Nah, di Nusa Kambangan ini lain, ketiga kentongan itu dipukul bareng oleh tiga orang tahanan kriminal, layaknya seperti mengiramakan sebuah lagu, enak juga didengar, bahkan seorang teman suka joget di barak saat kentongan itu dipukul. Itulah tapol PKI dimana dan kapan saja bahkan dengan perut lapar pun masih sempat bercanda, ya mau apa lagi?, dipikir terus malah tiwas ngenes, lebih baik ketawa dan coba bergembira, hitung-hitung memupuk mental, menebalkan keberanian, siapa tahu suatu saat nanti bisa bebas dan kami tidak jadi orang sinting. Lalu apakah bunyi kentongan itu tanda waktunya shalat?, rasanya nggak juga, wong mesjid juga nggak ada, boro -boro mesjid, langgar dan musolah juga nggak ada. Jadi 40 hari kami di Nusa Kambangan kami tak pernah melakukan shalat, mungkin saja masih ada yang melakukan shalat walau pun dalam keadaan darurat. Memang shalat hukumnya wajib, tak boleh ditinggalkan kapan saja, dimana saja, dalam keadaan berperang pun shalat harus jalan terus, bahkan saat maut akan tiba shalat tetap wajib ditegakkan. Kalau di kampungku jika waktu senggang para ibu-ibu suka melakukan kotekan dengan menggunakan lesung (penumbuk gabah), emakku pinter memainkan kotekan, lagunya Celeng Mogok atau Asu Gancet. Lantas untuk apa bunyi kentongan itu di Nusa Kambangan?. Terkesan dalam telingaku, bunyi-bunyian tadi sepertinya mengundang bala tentara Nyai Roro Kidul, "Hai Nyai, datanglah ke Karang Tengah, di sini ada banyak mangsa, di sini ada manusia-manusia berjiwa binatang, manusia laknat. Datanglah Nyai, lahap dan habiskan saja manusia-manusia seperti ini!" Makan sore tiba, di manapun menu penjara ya tetap menu penjara, kalau di Salemba sekali sayur bayem selamanya tetap sayur bayem, kalau di Nusa Kambangan sekali daun singkong selamanya ya tetap daun singkong.. Tapi kali ini rupanya ada rasa kemanusiaan sedikit, jatah makan siang yang tak sempat kami makan pada waktunya karena kedatangan kami terlambat, disatukan dengan jatah makan sore, jadi jatah makan sore kelihatan banyak, ikan asinnya pun ada dua, ya untuk hari itu kami makan agak lumayan, tapi hari-hari selanjutnya ya kembali ke jatah aslinya. Apa sih masalah yang paling mendasar bagi para tahanan kalau bukan urusan perut yang lapar. Kalau di Salemba kurang makan masih mungkin di atasi dengan makanan kiriman dari keluarga, masih juga bisa membantu mereka yang sudah terputus dari keluarga. Lha kalau di Nusa Kambangan ini, mau mengharapkan kiriman dari siapa?. Di Nusa Kambangan, baik yang mampu maupun yang tidak mampu nasibnya sama saja, tidak bisa berharap memperoleh bantuan dari siapa pun. Sangat sulit membayangkan keluarga datang dengan membawa besukkan. Oleh karena itu hati kecilku berharap janganlah aku berlamalama di penjara yang satu ini, kalau memang aku akan dibuang ke Pulau Buru atau kemana saja, ayo cepatlah, jangan aku terlalu lama menderita kurang makan, mandi air tawarpun nyaris tak pernah apalagi nyuci pakaian ya lewat saja.
Di Nusa Kambangan ini kami pun pernah digiring seperti bebek untuk mandi di laut, mandi dengan air laut yang asin, badan terasa lengket, buat orang yang sakit rematik mungkin mandi di laut bisa jadi obat itu pun biasanya dilakukan pada malam hari atau pada waktu sesudah subuh. Di dalam penjara memang ada yang sakit tulang, aku pun merasa tulang-tulangku sakit semua tapi bukan karena rematik melainkan sakit akibat siksaan para petugas, tinju, jotosan dan bantingan adalah jatah setiap para tahanan. Suatu ketika kandang dibuka, ada perintah mandi dengan air tawar. Sebuah bak air besar ukuran kira-kira dua kali empat meter, penuh berisi air tawar. Saat peluit ditiup tanda mandi boleh dimulai, kami pun berebut, yang fisiknya kuat bisa bergerak cepat, lepas pakaian dan mandilah, itupun baru beberapa gayung saja peluit tanda berhenti mandi pun telah berbunyi. Mau coba melanggar, jangan tanya, si bandit-bandit kriminal siap menghajar. Begitu berulang kali. Tapi namanya juga orang banyak, watak pun beraneka corak, ada beberapa tapol yang nekat, mereka melepas pakaiannya, begitu peluit tanda mulai mandi berbunyi, tanpa ambil pusing mereka langsung saja menceburkan diri ke dalam bak. Apa jadinya?. Jago-jago kepruk pun segera mengayunkan bogem mentahnya yang sudah gatal, bahkan yang tidak berbuat pun terkena imbasnya. Lalu bagaimana denganku?. Aku tapol yang lemah secara fisik, berebut pun nggak mampu, pasti kalah dengan mereka yang berbadan kuat. Dengan usahaku yang apa adanya, alhamdulillah aku sempat juga kebagian mandi dengan air tawar walau hanya sebanyak dua gayung. Sesudah itu tak pernah lagi ada tontonan manusia berebut mandi di tanah airnya sendiri yang kaya akan segala macam sumber air yang melimpah. Memang itulah nasib para tahanan penuh dengan derita dan hinaan, kalau tidak begitu bukan penjara namanya. Selama 40 hari di Nusa Kambangan, aku lupa bulan apa waktu itu, para tapol ya kok sempat juga mengadakan pentas sandiwara dengan judul “Sekejap Mata”. Pentas sandiwara ini atas perintah para pejabat penjara ataukah prakarsa para tapol sendiri aku juga nggak ngerti. Kalau pentas itu permintaan para petinggi penjara bisa-bisa saja, tapi kalau itu kemauan para tapol sendiri rasanya kok nggak mungkin. Mana boleh jadi wong perut lapar kok mau macammacam, apakah mengharapkan imbalan, dapat makanan tambahan?. Sampai selesai pentas jatah makan ya tetap nasi seperes batok kelapa gading dengan lauk sepotong ikan asin serta sup daun singkong tanpa merica. Apapun keadaannya tapol tetap tapol, harus menuruti semua perintah. Pentas jalan terus. Rupanya ibu-ibu Dharma Wanita hadir menonton, buat para ibu-ibu ini yang barangkali tak pernah mendapat tontonan di wilayah penjara ini, pentas tersebut adalah hal yang luar biasa. Sangat sulit dibayangkan kalau selama ini isi penjara yang terdiri dari manusia-manusia kriminal atau bandit itu bisa diharapkan mampu menghibur para penggede beserta istrinya, maklum nggak di mana-mana yang namanya kelompok kriminal itu perkara rokok sebatang saja pun bisa adu tinju. Pak Muji turun tangan mensutradarai pentas ini. Orang yang satu ini memang cekatan dalam bidang seni pentas, aku kenal bener sama beliau, bahkan di tahun 1949 aku pernah berkumpul dengan beliau di daerah gerilya, desa Pejok, kecamatan Sumberejo, Bojonegoro. Ibu-ibu Dharma Wanita dibikin tercengang oleh adegan-adegan pentas, mereka juga dibikin terpingkal-pingkal oleh adegan di Pasar Baru, pasalnya seorang pedagang dari suku Padang bersaing dengan seorang pedagang dari suku Jawa. Orang Padang memang terampil dalam
berdagang, kalau menawarkan barang dagangan nggak henti-hentinya, pakai pantun pula, “Hujan rintik-rintik angin lalu, barangnya baik-baik siap merayu, sayang anak sepuluh perak, pilih warna pilih model, cocok harga barang boleh dibawa. Ayo siapa lagi, banting harga buat keluarga!” Si pedagang dari Jawa yang nggak pandai berpantun, ngomongnya pun belekakbelekuk coba membalas, “Jangan percaya omongannya mana ada harga dibanting kalau nomor satu, harga dibanting karena tidak laku. Teliti sebelum membeli, kalau dasarnya barang jelek biar diapain juga tetap jelek!” Si pedagang dari Padang merasa barang dagangannya dicemooh nyaut lagi, “Orang berdagang di pasar bebas terserah saja bagaimana caranya bisa laku. Siapa yang terampil itu yang berhasil, siapa cepat itu yang dapat. Ayo siapa lagi, obral besar, laris manis tanjung kimpul, barang habis duit kumpul!” Dalam adegan itu memang si pedagang dari Padang ramai dikerumuni pembeli. Si pedagang Jawa jengkel, "Dasar Padang bengkok lo!”, si Padang pun membalas "Jawa kowek lo!” Bertengkar mulut pun terjadi, polisi yang sedang patroli melerainya. Surut tertawa salah seorang ibu ada yang bertanya pada tapol, “Mas, kenapa sih orang Padang kok disebut Padang bengkok?” “Gini bu, Padang itu kan ibu kota tanah Minangkabau. Lha kata Minangkabau ini menurut ceritanya berasal dari kata "Menang Kerbau". Dulu kerajaan Majapahit ditantang mengadu kerbau oleh tanah Minang. Lha Majapahit kok ditantang , ya nggak akan nolak. Dikirimlah seekor kerbau pilihan, kerbau yang gagah dengan tanduk runcing seperti belati. Sesampai di arena aduan, lawan tidak menampilkan kerbau jantan yang gagah melainkan mengeluarkan seekor gudel (anak kerbau) dengan pisau tajam yang diikatkan di kepalanya. Rupanya si gudel ini sudah seminggu nggak dikasih netek (nyusu) ke induknya, maka begitu dilepas di arena, melihat ada kerbau di sebelah sana ya dikira induknya, karuan saja tak pakai tempo lagi si gudel lari mencari tetek induknya, sundul sana sundul sini, ya nggak ketemu, wong kerbau jantan, si gudel makin bernafsu mencari tetek induknya, disundul-sundulkanlah kepalanya di perut si kerbau jantan, pisau tajam yang diikatkan di kepala si gudel pun merobek perut si jantan. Matilah si kerbau jantan, makanya tanah Minang disebut Minangkabau, asal kata dari menang kerbau tadi itu. Ternyata bu, okol (otot) kalah sama akal.” “Oh begitu, lha kalau orang Jawa dibilang Jawa kowek itu ceritanya bagaimana?” “Wah kalau itu saya nggak ngerti bu, cuma barangkali karena kowek itu dari kata kowe (engkau) yang dipelesetkan menjadi kowek. Dan karena kata kowek ini sudah biasa diucapkan oleh siapa saja yang sedang berolok-olok dengan orang Jawa, sepertinya sudah menjadi setempel bagi orang Jawa.” Adegan lain seorang tukang obat berpropaganda tentang kemanjuran obatnya, satu macam obat bisa meyembuhkan berbagai macam penyakit. Pilek, encok, meriang, panas dingin, ngilu dan lain sebagainya bisa sembuh dengan obat ini. Di samping mempromosikan obat dia juga mempromosikan kepandaian meramalnya. Seorang konsumen pun datang menanyakan nasibnya. “Pak, tolonglah pak, bagaimana caranya supaya saya mudah memperoleh rejeki yang halal?. Beri saya ilmunya, pak” “Wah itu permintaan susah mas, saya nggak mampu” “Lha tadi kan bapak ngomong siapa saja boleh tanya tentang nasib”
“Iya mas, tapi untuk memperoleh rejeki yang halal itu memang susah, lha wong yang haram saja sudah habis!” Gerr, penontonpun tertawa kepingkel-pingkel. Pentas selesai, tak ada imbalan apa-apa. Tapi para tapol telah membuat para penonton kagum atas kemampuan para tapol. Mungkin juga ada di antara mereka, para penonton yang merasa iba dan tidak percaya kalau tapol-tapol itu adalah benar para pembunuh karena tapol itu juga banyak orang-orang pinternya, sikap dan tingkah lakunya santun, bicaranya juga lembut. Akhirnya para pemain hanya ngomong, “Apa sih dosanya membuat orang lain senang dan tertawa!”. Yang lainpun ikut ngomong, “Jangan dihitung ruginya saja bung!, kita bisa keluar kandang beberapa jam saja seperti ini juga sudah satu keuntungan, ditambah lagi kita bisa cuci mata” “Cuci mata apa!”, sahut yang lain “Eh, bagaimana sih kau ini penonton pentas tadi kan banyak perempuannya, banyak ibuibunya, jangan perhatikan yang tua bung, yang muda-muda tadi juga banyak, mungkin yang masih perawan juga ada, lumayanlah mata ini sempat melihat perempuan yang cakep-cakep. Kecantikan perempuan-perempuan yang jauh dari pengaruh moderen kota-kota besar itu adalah kecantikan alami, bukan kecantikan yang dibuat-buat, kecantikan dasar bung!, dasarnya memang sudah cantik, lha kalau dasarnya sudah cantik kemudian dilengkapi dengan sarana yang memadai apakah nggak mungkin membuat lelaki jadi tergila-gila?. Sangat mungkin kan ?, sampai-sampai mereka siap berbuat apa saja, ya berbuat yang harampun menjadi halal demi untuk si cantik. Ngaku sajalah bung, kita ini laki-laki jangan sok suci, belagak alim. Alim karena pura-pura itu namanya munafik!” Kalau aku pikir-pikir omongan teman ini benar juga. Batinku pun membenarkan omongan teman tadi. Memang sempat juga aku perhatikan di antara para ibu-ibu tadi ada yang kecantikan dan model berpakaiannya agak lain dari yang lainnya, mungkin dia sudah sering jalan -jalan ke kota besar. Sepertinya pengaruh kota besar sudah menjadi bagian hidupnya. Berpakaian dengan celana ketat hingga pantat kelihatan sangat menonjol. Kaosnya ngepres di badan, bagian dada agak terbuka lebar, sehingga barang yang mestinya terlindung nampak mau loncat keluar, melihat hal seperti itu nggak kusadari mataku menjadi melotot liar. Lha kalau tahu ada pemandangan kaya begitu nggak dilihat kan mubazir. Saat itu aku masih terbilang muda, belum berumur empat puluh tahun, nggak aku pungkiri, aku seorang lelaki yang masih hidup, syarafku pun masih hidup dan bekerja dengan normal, kelengkapanku sebagai lelaki pun masih bekerja dengan baik. Jadi terus terang saja, melihat pemandangan yang seperti itu sifat kejantananku pun bangkit. Terpisah dari keluarga yang sudah mencapai tiga tahun lebih, menjadi faktor pendorong bangkitnya sifat-sifat tersebut. Ingatanku jadi melayang jauh ke Jakarta . Bagaimana keadaan anak dan istriku, masihkah ia menjanda sepihak karena terpaksa, ataukah saat ini sudah ada laki-laki lain yang menjadi suaminya sebagai pengganti diriku, dan apakah anakku sudah punya adik lain bapak?. Aku belum kenyang momong anakku. Anakku belum sempat menggoda bapaknya ini, belum sempat pula dia menangis, meronta dan merengek minta dibelikan mainan oleh bapaknya. Terlintas pula ingatan di Budi Kemuliaan, membayangkan si ibu baru dan si bapak baru hidup damai, santai dan harmonis bersama si kecil. Oh alangkah indahnya kehidupan mereka. Aku dipisahkan dari keluarga oleh rezim yang berkuasa, sampai kapan?, nggak seorang pun yang
tahu. Mau tanya pada rumput yang bergoyang?, itu pun hanya sebuah nyanyian. Jadi sudahlah diteruskan pun tak ada guna, yang penting jaga kesehatan sebisa mungkin, buang jauh-jauh dan basmi pikiran -pikiran yang menggoda agar tidak menjadi sinting, siapa tahu esok atau lusa atau entah kapan saja ada keberuntungan yang mampir, memihakku dan aku bisa kembali pada keluarga yang kucintai. Selesai pentas giliran kepala sipir penjara memberi sambutannya. “Saudara-saudara, kami sangat berterima kasih, saudara-saudara telah menghibur kami. Ternyata saudara-saudara adalah orang-orang yang pintar. Dalam keadaan darurat tanpa persiapan serta sarana apapun saudara-saudara mampu berkarya begitu menarik. Tetapi sayang saudara-saudara, kalian pinter tapi keblinger. Apa sih sebabnya kok kalian bisa sampai di sini?. Itu yang saya katakan keblinger. Lha wong kalian orang-orang pintar seperti ini kok ya mulang sarak. Apa lagi itu yang namanya Slamet, kepala rombongan kalian, dia itu kan sudah sarjana, titelnya Doktorandus Sosial Politik, secara nalar apa kekurangan dia, kurang makan nggak, nggak bisa nyandang juga nggak, nggak bisa nyekolahin anak, omong kosong itu, keleleran nggak punya rumah, saya juga nggak percaya. Lantas apa yang dia cari?. Met, rungokno (dengarkan) Met. Kau mengerti nggak gegayuhaning wong urip (jangkauan orang hidup) menurut falsafah Jawa?. Sederhana saja kok. Met catat ini, kalau nggak ya kau ingatingatlah agar kau hidup selamat dunia akhirat, wong jenengmu dewe wis ngarani (orang namamu sendiri sudah bicara) ‘Slamet!’, kok mengalami hidup macam begini dan kalau sekarang ini kau ada di sini, ini bukan tempat yang terakhir Met. Nampaknya kau akan melanjutkan perjalanan lagi, jauh kemana nanti kau akan tahu sendiri. Di sini kau hanya barang titipan, mau dikemanakan lagi, itu urusan yang punya mau, apakah itu salah kalau saya katakan keblinger?” Tuntutan hidup menurut falsafah Jawa itu adalah “Buangen sing limo iku lan gayuhan sing limo iku” (Buanglah yang lima itu tapi carilah yang lima itu), kelihatannya aneh, membuang yang lima kok mencari yang lima, apa sih itu?. "Nah dengarkan baik-baik. Buanglah yang lima itu adalah membuang “Mo-limo” yaitu ; Satu “Main” (judi). Jagat ini sudah menjadi saksi, nggak ada orang yang hidupnya mapan, tenang dan tentram apa lagi jadi kaya karena main judi. Dua “Minum”, sami mawon, pada wae, karena minum bisa berbuat diluar nalar, mabuk, ngamuk, maki orang tanpa sadar. Tiga “Madat”, karena madat badan jasmani jadi rusak, kesehatan berantakan, jalan pikiran jadi kacau balau. Lihat saja remaja-remaja kita sekarang yang rusak dan teler akibat narkoba. Keempat adalah “Madon” (main perempuan), main dengan perempuan liar atau pelacur disamping bisa merusak rumah tangga juga bisa merusak keturunan, seorang bayi yang nggak tahu dan nggak ngerti apa-apa hidupnya mengalami cacat fisik akibat bapaknya mengidap penyakit kelamin seperti sphylis, raja singa, vietnam rose dan lain-lain Yang ke lima “Maling”. Nah kalau sudah sampai yang kelima ini sangatlah berbahaya. Maling arti harafiahnya memasuki rumah orang, mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
Tapi maling juga bisa berarti luas dari arti harafiahnya. Maling di jaman moderen, ooh jangan ditanya akibatnya. Ada maling yang disebut dengan ungkapan musang berbulu ayam, maling ini bukan seperti maling kebanyakan. Jas dan dasi pakainnya sehari-hari, mobil mewah seperti Mercedes atau BMW adalah kendaraan tumpangannya, nah dengan penampilan seperti itu siapa yang berani bilang mereka maling?. Tapi di balik itu semua eeh nggak tahunya negara kebobolan di mana-mana. Seandainya kalian itu orang-orang yang bebas, yang dibolehkan membaca koran dan mendengar berita, tentu akan kaget, setiap hari berita koran dihiasi dengan berita korupsi.” Aku kaget, badanku disenggol teman di sebelahku serta bisiknya, “Tuh, itu bapak kepala kok berani memberi informasi tentang kerusakan negara akibat korupsi, kalau ketahuan yang lebih berkuasa bisa ditangkap dia, itu omongan kan sudah kebablasan. Tuh lihat lagi ikat pinggangnya, kendor melorot kebawah keberatan pistolnya kali, tuh!” “Oh iya,” kataku, “Itu kan akibat ngomongnya terlalu bersemangat, jadi tak terasa pistolnya merosot kebawah” Si teman terus berbisik, “Pistolnya pak kepala itu diproduksi di jaman Lois XIV, “Raja Matahari” “Ah bisa saja ente ngomong” “Eh, bener,” katanya “Raja Matahari itu siapa?” tanyaku “Raja Matahari itu ya si Lois XIV tadi, dia menganggap dirinya penguasa mutlak, seperti halnya matahari yang merupakan pusat dari alam semesta dan menjadi sumber segala kehidupan. Demikian juga Lois XIV menganggap dirinya sebagai pusat kehidupan di Perancis. Itulah sebabnya dia disebut Raja Matahari. Istana Versailles pun dibangunnya dengan biaya yang sangat tinggi. Untuk itu dia menekan dan menguras pajak rakyatnya habishabisan. Tak heran kalau kemudian timbul benih-benih pemberontakan yang merupakan cikal bakal Revolusi Perancis. Bung, katanya pistol buatan abad ke delapan belas itu nggak semua orang bisa menggunakannya, terlalu kuno” “Ah sekuno-kunonya pistol kalau pelornya melesat tetap saja bisa mematikan.” “Mematikan apa?, wong sebelum pistolnya bunyi orang yang mau ditembak sudah lari duluan” “Ya tapi kan secepat-cepatnya orang lari, masih lebih cepat larinya peluru” “Nggak mungkin bung, yang mau ditembak kan sudah keburu ngumpet” “Mana bisa begitu” “Lha iya, orang bilang pistol seperti punya pak kepala itu kalau mau dipakai menembak harus diangetin dulu, dipanggang dulu, gitu” “Gila lo, menghina tuh!”
Pak kepala meneruskan sambutannya, “Buang dan jauhkan ‘Mo-limo’itu, upayanen wo limo. Ngerti nggak, ‘Wo’ itu huruf Jawa kalau huruf latinnya ‘W’, kebalikan dari huruf ‘M’. Jungkir dan balikan huruf ‘M’ itu, kepalanya jadi kaki, kakinya jadikan kepala, dia akan mempunyai arti yang jungkir balik juga dengan arti “Mo-limo”. “Wo” sepisan (kesatu) itu Wareg, artinya kenyang, nggak kurang makan, karena kenyang pikiran jadi tenang dan tentram, nggak ada niat cendolo (melanggar) aturan, nggak ada niat jahat. “Wo” kedua Waras, artinya sehat lahir batin, apa lagi kalau yang dimakan itu empat sehat lima sempurna. Perut kenyang, badan sehat ini akan menyebabkan orang jadi nggak malas bekerja dan berpikir. Dengan bekerja dan berpikir sehat, rejeki jadi mudah dicari, kalau toh sakit ya bisa dan mampu untuk berobat. “Wo” ketiga itu Wutuh, artinya bisa nyandang dengan baik, nggak kumal seperti nggak pernah ganti pakaian, karena dengan berpakaian yang baik dan sopan kita bisa bergaul dengan sesama, kita menghormati dan menghargai orang maka orang lain pun akan menghormati dan menghargai kita. Kan enak dilihat dan dirasakan. “Wo” keempat adalah Wulang, artinya pendidikkan, orang hidup itu perlu wulang, nggak cukup hanya kenyang thok!, kalau hanya asal kenyang saja itu sama halnya dengan yang berkaki empat. Bayangkan seandainya hidup ini tanpa pendidikkan, kira-kira ya kayak hidupnya orang-orang primitif, menutupi auratnya saja dengan ala kadarnya, dengan rumput atau kulit kayu, seperti koteka itu.” Kami sempat tertawa, boleh juga si bapak ini. “Iya toh!” katanya, “Coba saja tanpa pendidikkan apa kita bisa merdeka seperti sekarang ini?. Kemerdekaan yang kita miliki ini kan berkat bapak-bapak bangsa, para pendiri republik ini yang memiliki pendidikkan lebih, hingga menjadi orang-orang yang tidak bisa dibodohi terusterusan. Pendidikkan sebaiknya juga bukan pendidikkan lahiriyah saja, tapi pendidikkan rohani juga perlu melengkapinya. Lha kalau sudah begitu kita ini bisa menjadi bangsa yang sehat dan kuat lahir batinnya. Bener nggak kira-kira omongan saya ini?” “Bener pak!”, kami menjawab ramai-ramai. Pak kepala menjadi bungah, bangga. Temanteman tersenyum, apa sih dosanya membuat orang senang?. “Nah "Wo" yang kelima itu Wismo (rumah, tempat tinggal). Rumah adalah tempat kita berteduh dari hujan dan panas, tempat berkumpul sanak kadang, tempat beralamat. Rumah merupakan idaman setiap orang hidup. Seorang anak, misalnya, sebelum dia berkeluarga kumpul serumah dengan orang tua adalah wajar. Tetapi kalau dia sudah beristri atau bersuami, tentu akan berusaha pisah dari orang tuanya, ingin berdikari, berdiri sendiri, walaupun hidup di rumah kontrakan misalnya. Kalau "W-limo" atau "W" yang kelima ini sudah bisa dicapai, mau apa lagi?. Lha kalau setiap orang hidup bisa mencapai "W-lima" ini maka kehidupan akan jadi tenang dan tentram, tidak saling gontok-gontokkan. Seperti yang biasa diucapkan Ki Dalang,"Toto tentrem karta raharja". Nah itulah yang bisa saya pesankan kepada saudara-saudara sekalian. Ya Met, Slamet, ingat-ingatlah ini!. Saya pikir kau sudah bisa menggapai "W-lima" ini, Eh kok kebangetan Met. Saya jadi nggak ngerti jalan pikiranmu. Ya nasi sudah menjadi bubur, mau apa lagi, kalau itu yang menjadi cita-citamu,
teruskanlah!” Aku jadi bingung dengan ucapan terakhir pak kepala sipir ini, “Kalau memang itu yang menjadi cita-citamu, teruskanlah!” Ini kan bertentangan dengan celaannya terhadap jalan pikiran kami. Ya namanya juga orang pidato, kadang-kadang nggak disadari sudah kebablasan, karena macam-macam yang diomongin kadang-kadang lidah jadi keseleo. Pidato selesai, penonton bubar, dan kami pun kembali ke kandang. Pak sipir kepala mencegah temannya yang mau meninggalkan aula. Dalam bahasa Jawa gaya Banyumasan ia berseru, “Arep maring endi sih kok kesusu mene ngombe kopi panas dingin” Teman yang menyenggolku tadi ngomong lagi, “Bung, di Nusa Kambangan ini kok banyak yang aneh-aneh ya, sudah ada pistol panggang eh ada lagi tuh kopi meriang” “Kopi meriang gimana sih maksudmu?” “Lha itu tadi pak kepala bilang ngombe kopi panas dingin, itu kan berarti kopinya lagi sakit meriang” “Oh itu, ngombe kopi panas dingin, itu artinya minum kopi dulu, kalau bahasa Sundanya mangga ngaleeut kopi heulak” “Oh gitu!” Dari pentas tadi rupanya ada juga yang diuntungkan. Salah seorang dari sekian banyak tapol ada yang mendapatkan keberuntungan, namanya Brahim. Dialah yang tadi menjelaskan tentang asal kata Minangkabau kepada salah seorang ibu yang menonton. Esok paginya, Brahim diperintahkan oleh pak kepala sipir untuk bekerja di komplek perumahan pegawai, rupanya si ibu itu berkenan dan merasa iba pada si Brahim ini. Anaknya memang cakep, ngomongnya halus, santun pula. Mungkin juga untuk ganti pandangan dari muka kriminal ke muka tapol, bagi si ibu. Rupanya sudah bertahun-tahun beliau dilayani oleh muka kriminal, bosen dan nyebelin, bisa jadi. Maka Brahim diminta jadi gantinya. Pagi-pagi Brahim sudah dibukakan pintu untuk bekerja di komplek. Lalu kerjanya apa?. Ya kerja rumah tangga, seperti nyapu, ngangsu (ngisi bak mandi dan gentong) juga mencuci. Pulang kerja biasanya sudah jam empat sore, masuk kandang lagi. Yang tidak pernah ketinggalan adalah bawaan dari komplek, singkong rebus, kira-kira ada 2 kiloán, ya lumayanlah, singkong rebus itu kalau dibagi ke seluruh isi kandang yang jumlahnya seratus orang, kira-kira seorang bisa kebagian tidak lebih dari sejempol kaki. Karena Brahim sudah makan di komplek, tentunya cukup kenyang dan mesti pakai lauk, maka jatah makannya di penjara siang dan sore diserahkan untuk dibagi bergiliran seorang sesendok. Lumayan, mau bilang apa?. Ya itu lumayan. Disamping itu aku juga termasuk orang yang diuntungkan. Selama empat puluh hari di Nusa Kambangan, dua kali aku sempat titip baju dan celana kolor yang kotor untuk dicuci. Terima kasih Him!, aku tak akan melupakan jasamu. Hari "H" akhirnya tiba, masa transit selesai dan habis. Dua hari sebelum hari "H" ada pemeriksaan kesehatan masal oleh tim kesehatan. Perjalanan jauh dan akan menempati tempat baru tentunya memerlukan ketahanan fisik yang memadai. Pas giliran aku diperiksa kok makan waktu agak lama, padahal teman-teman yang lain cepat, hanya dengan stateskop, tutul
sini tutul situ, beres, sehat, lulus dan lolos, artinya bisa ikut berangkat. Tapi kenapa pemeriksaanku kok lama, barangkali mereka meragukan ketahanan fisikku. Berdasarkan hal ini aku sudah bisa mengira-ngira, di sana , di tempat yang akan di tuju, kami pasti dan harus menghadapi kerja berat. Kalau memang begitu, ya itulah tanah buangan seperti romusha di jaman Jepang (kerja paksa, kultur stelsel di jaman VOC). Aku berdoa dalam hati, ya Allah jangan kau biarkan aku tetap tinggal di penjara yang satu ini, ya Allah. Keadaan sudah kepalang basah, jangan nantinya aku mati di sini, mati di tangan para kriminal yang tak kenal iba, teman-temanku sudah banyak yang mati disini. Keluarga pun sulit bisa diharapkan datang menengok, untuk hidup sehari-hari saja mereka sudah sulit, apa lagi untuk datang dengan menyebrang laut, tak akan terjadi ya Allah. Biarlah kalau aku harus mati di tempat yang baru nanti tak apalah, itu juga masih tanah airku. Rupanya doaku itu dikabulkan, aku akhirnya lolos, bisa ikut berangkat dengan rombongan teman-temanku. Perintah berkemas diserukan, kami pun bersiap. Barang bawaan dari penjara Salemba menjadi bawaan berwisata, mengarungi Lautan Indonesia (laut kidul), dengan gelombangnya yang menggulung setinggi gunung. Dengan alas kaki gapyak pun masuk perut kapal tidak dilarang. Pak Slamet dan pak Pram memimpin kami. Jam 11 selesai makan siang kami pun diberangkatkan ke Sodong, tempat kapal merapat. Satu jam berlalu kami menunggu kedatangan kapal, kapal belum datang, dua jam, tiga jam hingga empat jam kami menunggu, kapal masih tak kunjung tiba. Setahuku, di alam bebas, kalau hendak berpergian jauh, apakah pergi dengan kereta api, bus, kapal atau peasawat udara, biasanya kendaraanlah yang menunggu penumpangnya. Tapi ini sebaliknya penumpang yang harus menunggu kedatangan kendaraan, maklum menumpang dengan gratis, ya sak kobere yang mengangkut. Mau ya begini, nggak mau ya begini. Waktu sudah jam 4 sore, kapal tak jadi datang, perut kami sudah mulai lapar lagi. Kami harus kembali ke kandang. Waktu makan sore sudah lewat, apakah sesampainya kami di kandang nanti masih sempat medapat ransum sore?. Memasak untuk perut seratus orang akan memerlukan waktu cukup lama. Kami pun cemas, dengan terseok-seok kami berjalan, mau tak mau kami harus kembali ke Karang Tengah. Jalan kaki antara Sodong dengan Karang Tengah sebenarnya tak lama, hanya dua puluh atau dua puluh lima menit saja sudah sampai. Tapi sependek apa pun waktu yang diperlukan jika berjalan dengan perut lapar sambil menggendong barang bawaan pula, terasa banget beratnya. Di tengah perjalanan kembali ke Karang Tengah, seorang teman melihat ada kulit pisang raja di jalan, karena perut lapar diambilah kulit pisang itu, diusap dengan ala kadarnya, lalu dimakannya kulit pisang yang tebal itu, habis tanpa sisa. Aku pun tak mau ketinggalan, kucabut batang singkong yang tumbuh di pinggir jalan, tanaman berumur kurang lebih tiga bulan dengan otot yang masih tinggal, berhasilah aku dapat akar singkong yang sudah mulai membesar. Pak sipir yang mengawal kami tahu perbuatanku itu, tapi kali ini dia diam saja tak bereaksi, ada rasa kasihan juga rupanya. Singkong pun aku bagikan pada teman-teman yang lain untuk dimakan mentah-mentah. Alhamdulillah perut bisa menerima dan tidak berulah. Jam setengah lima sore kami sampai di kandang. Benar juga dugaan kami, jatah makan sore nggak ada. Tapi untungnya jadwal makan siang keesokan harinya dipercepat jadi lebih pagi. Jam sepuluh pagi kami sudah dapat makan siang. Ada hal yang lebih mencemaskan dari penundaan keberangkatan kami, yaitu adanya informasi tentang ketidak datangan kapal kemarin itu dikarenakan kapal mengalami kerusakan mesin dan perlu diperbaiki dahulu. Kapal yang akan mengangkut kami katanya
diberi tanda dengan nama “ADRI-11”, jadi kira-kira kapal itu milik Angkatan Darat. Oleh karena kabar adanya kerusakan mesin kapal itulah seorang teman yang mempunyai pengalaman berlayar memberi penerangan dan penjelasan. Dia mengatakan dalam menghadapi kapal yang rusak dan mungkin bisa mengakibatkan kapal tenggelam kita jangan panik. Kapal itu kalau mau tenggelam tidak langsung bles masuk kedalam air, tapi dia tenggelam pelan-pelan, prosesnya itu cukup buat persiapan menyelamatkan diri. Ada waktu bagi kita untuk mengirm sinyal dan tanda S.O.S, minta bantuan dan pertolongan kepada perahu atau kapal lain yang sedang lewat. Mendengar keterangan itu seorang teman nyeletuk, “Itu kan buat orang yang punya pengalaman berlayar seperti bung, lha kalau buat orang awam seperti saya ini bagaimana nggak panik, wong berenang saja nggak bisa, gimana mau mempersiapkan penyelamatan yang ada juga saling berebut menyelamatkan diri masing-masing. Taruhlah tenggelamnya kapal memang memerlukan waktu satu sampai dua jam, lalu kalau ternyata nggak ada kapal yang lewat gimana?, kalau pun ada untuk memberi pertolongan berapa banyak sekoci yang diperlukan?, berapa sih kapasitas tampung tiap sekoci?. Kan yang bakal mengisi perut kapal ADRI-11 itu bukan hanya kita yang dari Karang Tengah saja, tapi juga dari Gliger, Candi dan lainnya. Sudahlah bung jangan diterusin cerita tentang tenggelamnya kapal, bikin hati ciut saja. Kalau kapal kita tenggelam seperti tenggelamnya KRI. Macan Tutul dalam perang merebut kembali Irian Barat yang di comodori oleh Yos Sudarso di perairan Aru itu adalah tenggelamnya seorang patriot sehingga nama Yos Sudarso menempel di pulau Dolak (Pulau Yos Sudarso). Lha kalau kapal yang kita naiki tenggelam karena memang kapalnya yang rusak itu kan mati konyol namanya. Dan kalau pun memang ada sarana penyelamat tentu perioritas utama untuk awak kapal itu sendiri, soal tapol sih biar mati jadi penghuni dasar laut itu mah bukan perkara, wong tapol memang diharapkan mati dan jika tapol mati karena kecelakaan mereka kan bisa bebas dari tanggung jawab. Sudahlah sebaiknya kita berdoa menurut keyakinan masing-masing saja agar perjalanan kita nanti bisa selamat sampai tujuan.” Jam sebelas siang, kembali ada perintah berangkat ke Sodong. Kami berbondong-bondong di giring ke Sodong. Apa pun alasannya kami tetap datang lebih dahulu dari si kapal dan kami pun tetap harus menunggu kedatangannya walaupun hanya setengah jam. Benar juga, setengah jam kemudian nampak dari arah timur gundukan hitam bergerak ke arah barat. Lama-lama gundukan itu makin jelas bentuknya. Itu dia si ADRI-11 datang. Oh Allah, badan kapal sudah banyak lukanya, berkarat di sana-sini, warna catnya pun sudah kusam, membuatnya tampak semakin tua, kasihan dia, perutnya harus diisi ratusan orang sampai membengkak, kalau nanti penumpang sudah masuk semua mungkin dia akan miring, berat sebelah. Ya namanya kapal, dia barang mati, nggak bisa ngomong, apalagi menolak karena kebanyakan muatan. Semuanya tergantung pada yang mengusai, apa kata penguasa harus ditaati. Mudah-mudahan saja kapal tua ini masih mampu bekerja dengan baik dan bisa mengantar kami sampai ke tempat tujuan yang entah di mana dengan selamat. Seluruh penghuni Karang Tengah sudah masuk ke perut ADRI-11, komplit, tak ada yang tertinggal menjadi penghuni kuburan Karang Tengah. Kami selamat dari amukan bekasakáan, bala tentara Kanjeng Ratu Kidul. Kami ini orang-orang yang santun, tahu menghormati orang lain, tidak pernah usil atau mengusili keberadaan Kanjeng Ratu Kidul, kalau toh kena marah dan harus dilahap, apanya yang akan dilahap?, orang badannya saja kurus-kurus, tinggal kulit pembalut tulang doang, darahnya pun barangkali terasa pahit. Begitulah akhirnya kami semua selamat, keluar dari Nusa Kambangan.
Seperti halnya bung Baho ketika di Blok-E, Salemba, pak Slamet pun menunjukkan kelasnya sebagai seorang pemimpin di antara kami. Apa yang beliau lakukan?. Ditemuinya kapten kapal, kepala logistik dan kepala dapur. Kepada mereka beliau mohon agar kami mendapat jatah makan siang, hasilnya memang nol. Tapi apa pun hasilnya pak Slamet telah berbuat sesuatu untuk kami, beliau tidak takut untuk dikatakan cerewet, banyak tuntutan dan lain sebagainya. Pak Kapten Cs mengatakan, “Jatah makan siang di sini ketentuannya jam 11 siang, sekarang sudah jam setengah satu. Makan siang sudah lewat, dapur hanya masak untuk jatah makan sore nanti, jam 4 sore”, begitu jawaban kepala dapur ADRI-11, persis seperti di Karang Tengah, jawabannya sama. Bolak-bolak perut kami ini menjadi korban di luar perhitungan. Saat di Salemba kami mengalami tidak makan siang karena ulah teman, penghuni salah satu sel yang menolak ransum karena dipandang sangat tidak manusiawi. Di Karang Tengah, kami mengalami tidak makan sore karena diperhitungkan akan makan sore di kapal, eh sialnya kapal tidak datang, terpaksa kembali ke kandang tanpa dapat jatah makan sore lagi. Sekarang di kapal karena urusan administrasi dan lain sebagainya, kami masuk kapal sudah jam setengah satu, jam makan siang sudah lewat. Oh perut-perut tapol kok sial banget nasibmu. Memang begitulah nasib para tahanan, mungkin di mana-mana sama saja seperti itu harus mentaati seluruh aturan penjara tanpa kompromi. Biar apa pun bentuknya sebuah kapal sekalipun kalau isinya para tahanan tetap saja itu berarti penjara. Itu kata Pak Hasyim tempo hari. Akhirnya kami hanya bisa pasrah, menurut apa kata sang penguasa kapal. Sebelum kapal berangkat pak Kapten memberi pengumuman dan perhatian serius kepada seluruh para penumpang. "Saya adalah salah satu anggota satuan awak kapal yang bertanggung jawab di dalam kapal ini. Kami seluruh satuan awak kapal yang bertanggung jawab atas keselamatan saudarasaudara selama saudara-saudara berada di dalam kapal ini. Kami dengan rasa senang hati, ridho serta ikhlas akan mengantar saudara-saudara sampai ke tempat tujuan dengan tanggung jawab sepenuhnya. Oleh karena itu hargailah kerelaan kami, janganlah saudara-saudara bikin ulah yang membuat kami marah. Jangan coba-coba memancing kemarahan kami. Bagi siapa saja yang membuat ulah di kapal ini, kami tidak akan pandang bulu, akan kami tindak tegas. Perlu saudara-saudara ketahui, kami di sini punya tempat yang sangat menyeramkan untuk menghukum siapa saja yang membuat ulah. Tempat itu berupa ruang satu meter persegi dengan penerangan lampu berkekuatan seribu watt. Jika saudara-saudara kepingin tahu dan merasakannya, silahkan mencoba, ayo berulahlah!. Jika tidak, patuhilah peraturan dan tata tertib di kapal ini. Ngerti dan siap patuh?. Terima kasih." Ah benar-benar sial jadi tahanan ini. Aku pernah berbuat apa sih dalam peristiwa '65 itu?, kok akibatnya begitu hebat, di mana-mana selalu menerima ancaman. Hak yang aku miliki hanya satu, yaitu bernafas itu pun bila perlu sewaktu-waktu bisa dicabut. Mudah-mudahan saja aku kuat menghadapi segala cobaan ini. Persiapan segala sesuatunya sudah beres, kapal siap angkat jangkar. Suling kapal berbunyi melengking, kapal pun mulai bergerak, putar haluan dan terus melaju ke arah timur, munuju laut bebas. Dari jendela kapal kupandangi daratan yang baru kutinggalkan. "Selamat tinggal pulau Jawa, mudah-mudahan suatu saat kita bisa bertemu kembali."
Bersambung ke: [KISAH PAHIT SEORANG TAHANAN G30S VI] BULEMBANGBU Oleh N. Syam. H