EKSISTENSI REGULASI SENDIRI (SELF REGULATION) SEBAGAI BENTUK PARTISIPASI PELAKU USAHA DALAM RANGKA MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KEPADA KONSUMEN Oleh : Dr. Dedi Harianto, SH. M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstract Now adays, the increasing of the consumer’s problems cann’t be solved just by the governtment’s act and people’s act as the consumers but it is also involve the stakeholders as a part or party in a trading. The involving of the stakeholders can be prove if the stakeholders aware that the developing of their business can be get by the supported and trusted of the consumers. In the growing of this awareness, the stakeholders have been created a self regulation to regulate the standardization of behaviour or business’s behaviour or profession in their related to another parties or people. With this self regulation can be give better dan optimal servicing for consumers. Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Regulasi Sendiri, Pelaku Usaha
A. Pendahuluan Kemajuan perdagangan global telah mendorong berbagai perusahaan multinasional (Multinational Corporation) untuk memperluas cakupan wilayah pemasaran produk yang menjadi andalannya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, tetapi juga untuk dipasarkan ke negara-negara lain. Kesempatan untuk memperluas pemasaran produk juga didukung oleh sarana transportasi antar negara yang semakin baik, fasilitas perpajakan antar negara yang semakin murah, pengembangan teknologi informasi yang memungkinkan electronic bussines,
1
distance selling, E. Commece, dan on line marketing tanpa menghadapi kendala perdagangan (trade barriers) yang kompleks dari negara pembeli.1 Membanjirnya produk-produk impor tentunya akan menambah sesak pasar suatu negara yang sebenarnya juga telah dipenuhi dengan berbagai produk buatan lokal. Sehingga mau tidak mau kondisi tersebut telah mendorong terjadinya persaingan yang sangat ketat antar pelaku usaha2 penghasil produk untuk merebut ”hati” konsumen. Apabila ditinjau dari sisi positifnya, persaingan tentunya akan mendorong pelaku usaha untuk berbenah diri dengan mempergunakan teknologi terbaru dalam rangka efesiensi proses produksi, peningkatan kualitas produk, intensitas promosi yang semakin gencar, perbaikan layanan purna jual dan sebagainya.
3
Sehingga
produk yang dihasilkan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan produk pesaing. Konsumen merupakan pihak yang sangat diuntungkan oleh kondisi tersebut, peredaran produk impor dan lokal telah memberikan keleluasaan kepada konsumen untuk memilih produk sesuai dengan kebutuhan dan daya belinya.4 Di samping itu, 1 Ade Manan Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 62. 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen mempergunakan istilah pelaku usaha sebagai padanan istilah produsen, pedagang dan sebagainya. Dalam Pasal 1 Angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama dengan melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 3 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Yogyakarta : Diadit Media, 2001, hlm. 5. (selanjutnya disebut A.Z. Nasution 1). 4 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta : Kencana, 2008, hlm. 1.
2
perbaikan-perbaikan produk dan layanan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam rangka memenangkan persaingan antar pelaku usaha, mampu meningkatkan kualitas produk dan layanan purna jual kepada konsumen. Menginggat persaingan yang terjadi melibatkan banyak pelaku usaha yang memiliki kemampuan penguasaan teknologi, permodalan, dan managemen yang tidak sama, maka masih terdapat kemungkinan sebagian pelaku usaha melakukan praktek bisnis tidak sehat (unfair trade parctice) melalui kiat iklan, promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.5 Kondisi dan fenomena tersebut telah mengakibatkan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha menjadi tidak seimbang, kerap kali konsumen ditempatkan sebagai obyek aktivitas bisnis pelaku usaha dengan menjadikannya sebagai lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan semata serta mengabaikan hak-hak dan kepentingan konsumen.6 Kondisi konsumen yang tidak seimbang secara ekonomi menjadi semakin tidak menguntungkan karena sebagian besar konsumen belum memahami hak dan kewajibannya sebagai konsumen, tingkat pendidikan konsumen yang masih rendah, sampai kepada kesenjangan taraf perekonomian di kalangan masyarakat yang masih cukup besar, sehingga jangankan berbicara tentang kualitas produk, masih banyak saudara-saudara kita yang masih memikirkan “dengan apa saya bisa mendapatkan 5 Ibid. Berkenaan dengan dampak negatif pedagangan bebas Erman Rajagukguk dalam tulisannya mengemukakan : “perlindungan konsumen harus mendapatkan perhatian yang lebih, satu dan lain hal, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, di mana ekonomi Indonesia juga berkaitan dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi konsumen.” Lihat Erman Rajagukguk, “Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas”, Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Penyunting), Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000, hlm. 2. 6 Terdapat jargon bisnis yang mendukung realitas tersebut, yaitu : “dengan modal yang sekecil-kecil dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.”
3
sesuap nasi untuk anak dan istri saya.”7 Di tambah lagi budaya hukum masyarakat Indonesia yang masih sangat toleran terhadap adanya pelanggaran, menyebabkan pelaku usaha dengan leluasa melanjutkan praktek bisnis yang tidak sehat tersebut.8 Kesan yang dapat diperoleh dari kondisi konsumen tersebut menunjukkan, bahwa lemahnya posisi konsumen secara aspek hukum tidak hanya meliputi aspek materi (substansi) hukum, tetapi juga dari sisi kelembagaan hukum dan budaya hukum.9 Memperhatikan kondisi konsumen yang cukup memprihatinkan tersebut mengharuskan pemerintah untuk segera memberikan perlindungan yang memadai kepada konsumen melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang cara khusus menangani masalah konsumen. Di mana hal tersebut ditandai dengan lahirnya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang berfungsi “umbrella act” bagi ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, yang masih dapat diberlakukan sepanjang dalam koridor ketentuan UUPK.10 Selain mendorong kelahiran UUPK, Pemerintah juga membentuk beberapa lembaga/badan pemerintah yang bertugas melakukan pengawasan dan melaksanakan amanat yang tercantum dalam UUPK tersebut. Diantaranya dengan membentuk 7
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002, hlm.157-158. 8 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Penyusun Naskah Akademik Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Perlindungan Konsumen dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1991-1992 menunjukkan bahwa tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya, baik diperkotaan maupun di pedesaan, masih sangat rendah. Tidak seorangpun di antara responden maupun narasumber yang dirugikan oleh produk cacat pernah melakukan tindakan hukum baik secara pribadi, melalui yayasan-yayasan konsumen, maupun melalui saluran pengadilan. Dalam Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta : Djambatan, 2000, hlm. 203. 9 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 85. 10 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia., Jakarta : PT Grasindo, 2000, hlm. 77.
4
Direktorat Perlindungan Konsumen, sebagai badan khusus pada Departemen Perdagangan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang bertugas memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen, pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang bertugas menangani penyelesaian sengketa konsumen. Badan/lembaga Pemerintah yang baru terbentuk tersebut nantinya akan berkoordinasi dengan Badan/lembaga Pemerintah yang sudah ada sebelumnya, diantaranya Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM),
Departemen
Kesehatan,
Departemen
Perindustrian
dan
Departemen-departemen teknis lainnya.11 Dalam menangani problematika konsumen tersebut, peran serta masyarakat baik secara individual maupun kolektif sangat membantu upaya Pemerintah untuk menciptakan kemandirian konsumen dalam melindungi hak dan kepentingannya sebagai konsumen.12 Untuk itu, pemerintah terus mendorong terbentuknya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di berbagai daerah untuk bersama-sama
dengan
pemerintah
melakukan
fungsi
pengawasan
terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen, meningkatkan kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya, memberikan advokasi konsumen, serta menerima pengaduan konsumen dan membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya.13 11
Dedi Harianto, “Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan”, Disertasi, Medan : Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2007, hlm. 213-255. 12 Shidarta, Op.cit., hlm. 40. 13 Lihat lebih lanjut Pasal 44 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
5
Selain melibatkan Badan/lembaga Pemerintah serta peran serta masyarakat dalam memberikan perlindungan kepada konsumen. Partisipasi aktif pelaku usaha akan sangat membantu guna menciptakan iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen. 14 Hal tersebut hanya dapat terwujud apabila di kalangan pelaku usaha tumbuh kesadaran akan pentingnya perlindungan konsumen, serta sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha, dan pada akhirnya dapat tumbuh perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.15 Tumbulnya kesadaran pelaku usaha untuk menjaga hubungan yang sehat dan harmonis dengan konsumen diimplementasikan pada penciptaan aturan-aturan yang dapat dijadikan pedoman bagi pelaku usaha sebagai standar bertingkah laku dalam berhubungan dengan pihak lain atau sesama pelaku usaha. Dengan adanya standar tingkah laku tersebut, pelaku usaha telah menetapkan bentuk-bentuk perbuatan yang dapat dilakukan maupun yang dilarang dilakukan oleh anggotanya serta akan memberikan sanksi sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Ketentuan inilah yang kemudian dikenal sebagai ”regulasi sendiri (self regulation) atau yang umum dikenal masyarakat sebagai “kode etik profesi”.16 Dengan semakin maraknya pembentukan organisasi-organisasi profesi di kalangan pelaku usaha, telah mendorong bermunculan beraneka ragam regulasi sendiri sebagai aturan intern organisasi. 14
Sudaryatmo, Op.cit., hlm. 111. Penjelasan Umum Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 16 A.Z. Nasution, 1, Op.cit., hlm. 193. 15
6
B. Regulasi Sendiri Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Moral Pelaku Usaha Kepada Konsumen
Sebagai bentuk partisipasi pelaku usaha dalam memberikan perlindungan kepada konsumen, maka pelaku usaha yang terhimpun dalam berbagai organisasi profesi sejenis maupun asosiasi, membuat aturan-aturan yang berlaku ke dalam bagi para anggotanya. Ketentuan-ketentuan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk menentukan standar minimum perilaku tertentu bagi perusahaan-perusahaan atau pelaku usahapelaku usaha yang terikat atau tunduk kepadanya, sehingga setiap anggotanya terikat secara “moral” untuk mematuhi standar atau ukuran-ukuran yang telah ditetapkan tersebut. Inilah yang kemudian dikenal sebagai “Regulasi Sendiri (self regulation) atau Kode Etik Profesi”. Kesadaran untuk menciptakan regulasi sendiri di kalangan pelaku usaha dilandasi oleh adanya kesadaran bahwa perlu dibangun hubungan yang baik antara pelaku usaha dengan konsumen dengan berlandaskan kepada kepercayaan konsumen.17 Hal tersebut pertama sekali direalisasikan dengan pembenahan secara internal dikalangan pelaku usaha sejenis yang menetapkan standar perilaku bisnis atau profesi yang berlaku di kalangan para anggotanya, dan dalam hubungannya dengan pihak-pihak lain. 17
George E. Belch, Michael A. Belch, Introduction to Advertising and Promotion (An Integrated Marketing Communication Perspective),Third Edition, San Diego State University, 1995, hlm. 652.
7
Berdasarkan regulasi sendiri tersebut dapat ditentukan tindakan-tindakan anggota asosiasi yang menyimpang dari asas dan prinsip yang ditetapkan oleh asosiasi, serta dapat merusak citra usaha atau profesi dari mereka yang terlibat dalam usaha atau profesi tersebut.18 Di samping itu, regulasi sendiri sangat bersesuaian dengan tuntutan etika bisnis atau profesi yang menghendaki adanya kejujuran dalam berusaha guna membangun kepercayaan sebagai dasar hubungan bisnis.19 Menurut A.Z. Nasution, Regulasi Sendiri (Self Reguilation) merupakan “suatu perangkat prinsip-prinsip tentang tingkah laku atau perilaku bisnis atau profesi yang ditetapkan sendiri oleh kalangan bisnis atau profesi itu, dan berlaku bagi kalangan sendiri dan dalam hubungan-hubungan dengan pihak-pihak lain.”20 Apabila regulasi sendiri dari asosiasi, organisasi bisnis yang sejenis dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, dipadu dengan pemberlakuan ketentuan perundang-undangan dari pemerintah yang berkenaan dengan kepentingan konsumen, maka upaya para pelaku usaha tersebut merupakan hal yang sangat membantu dalam memberikan perlindungan konsumen. Komitmen bersama dari pelaku usaha untuk
18
A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum, Cetakan I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 141. (selanjutnya disebut A.Z. Nasution 2). 19 Kamhal Djamil, “Peranan Pemerintah Dalam Rangka Penanggulangan Perbuatan Curang”, Makalah Wicara Penaggulangan Perbuatan Curang, Oktober 1992 Dalam Ari Purwadi, “Perlindungan Konsumen Dalam Periklanan”, Majalah Hukum Trisakti, No. 21 tahun XXI, Januari 1996., hlm 238. secara lengkap menjelaskan” beberapa prinsip etika bisnis meliputi : a. Otonomi, yaitu sikap dan kemampuan untuk bertindak berdasarkan apa yang dianggapnya baik dilakukan (secara bebas dan bertanggung jawab), b. Kejujuran merupakan wujud dalam aspek antara lain : 1). Menuntut agar pelaku usaha memenuhi hak dan kewajibannya sesuai perjanjian dengan pihak lain 2). Penawaran produk (barang dan/atau jasa) dengan mutu yang baik 3). Pola hubungan kerja di dalam perusahaan c. Terlaksananya kejujuran membawa akibat timbulnya kepercayaan. d. Keadilan, yaitu menuntut perlakuan yang sama terhadap orang lain sesuai dengan haknya e. Prinsip bahwa memperlakukan pihak lain secara tidak etis sama artinya dengan tidak mempunyai rasa hormat kepada diri sendiri”. 20 A.Z. Nasution, 1, Op.cit., hal. 198.
8
mentaati peraturan yang berlaku serta memiliki moral yang tinggi dalam menjalankan usahanya, tentu sangat menguntungkan konsumen. Hal tersebut dapat dipahami dengan melihat dampak dari pengembangan konsep regulasi sendiri ini yang mencakup dua hal, yaitu :21 1. Konsep ini akan melindungi konsumen dari iklan menyesatkan; 2. Konsep ini melindungi produsen dari persaingan curang.” Di satu sisi regulasi sendiri akan melindungi konsumen yang beritikad baik dalam bertransaksi sehingga dapat memanfaatkan segala potensi ekonomi dan sosialnya dengan optimal, di sisi yang lain dapat memberikan perlindungan terhadap produsen yang baik dari akibat buruk tindakan penyesatan produsen yang tidak baik, sehingga terhindar dari hilangnya kepercayaan konsumen. Di Indonesia, ketentuan-ketentuan regulasi sendiri tersebut pada umumnya dikenal dalam beberapa bentuk kode etik tertentu. Antara lain Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dibuat oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan diberlakukan atas semua dokter yang terdaftar sebagai anggota IDI, tetapi juga berlaku bagi dokter yang berkerja secara fungsional dan terikat pada organisasi itu di bidang pelayanan, pendidikan, dan penelitian kesehatan dan kedokteran. Kode Etik Usaha Kefarmasian dari Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, serta Kode Etik Profesi Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia dari Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia. Etika Pariwara Indonesia yang berlaku bagi aggota Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). 21
Ari Purwadi, Op.cit., hal. 9.
9
Untuk menegakkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam regulasi sendiri atau kode etik profesi tersebut telah dibentuk berbagai badan pelaksana regulasi sendiri atau kode etik tersebut di antaranya : 1.
Bagi Kode Etik
Jurnalistik
diawasi
oleh
Dewan
Kehormatan
Persatuan
Wartawan
IndonesiaI; 2.
Bagi Kode Etik
Perusahaan Pers diawasi oleh Dewan Kehormatan Pers; 3.
Bagi Kode Etik
Usaha Kefarmasian diawasi oleh Majelis Pembina Etik Usaha Kefarmasian; 4.
Bagi
Etika
Pariwara Indonesia diawasi oleh Dewan Periklanan Indonesia; 5.
Bagi Kode Etik
Kedokteran Indonesia diawasi oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran. Pada pokoknya tugas yang dijalankan badan pelaksana ini adalah mengawasi perilaku anggota asosiasi/organisasi dengan berpedoman kepada regulasi sendiri/kode etik profesi yang telah disepakati anggota asosiasi, melakukan sosialisasi regulasi sendiri dan sebagainya, sebagaimana digambarkan dari kewenangan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran sebagai berikut : 1.
Menyampaikan pertimbangan dan usul
secara lisan atau tertulis,
diminta atau tidak, tentang penerapan etik kedokteran kepada pengurus IDI.
10
2.
Melaksanakan tugas bimbingan pelaksanaan etik kedokteran kepada
seluruh dokter di wilayahnya. 3.
Melaksanakan tugas pengawasan penerapan kode etik kedokteran di
seluruh wilayahnnya. 4.
Melaksanakan tugas penilaian pelaksanaan kode etik kedokteran yang
dilakukan oleh seluruh dokter di wilayah kerjanya. 5.
Pelaksanaan tugas bimbingan dan pengawasan pelaksanaan kode etik
bersama pengurus IDI dan perangkat jajaran yang sesuai. 6.
Pelaksanaan tugas penilaian pelaksanaan etik kedokteran
dilakukan melalui masing-masing Majelis Kehormatan Etik Kedokteran. Pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan oleh Mejelis Kehormatan Etik Kedokteran kepada pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akan dipergunakan untuk menjadi pedoman untuk mengenakan sanksi kepada setiap anggota IDI yang telah melakukan pelanggaran regulasi sendiri.
C. Tinjauan Terhadap Kode Etik Periklanan Indonesia Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai keberadaan regulasi sendiri dan problematika penerapannya di kalangan pelaku usaha, berikut akan dibahas penerapan regulasi sendiri yang berlaku di kalangan periklanan.
11
dunia usaha
Dalam bidang periklanan, kode etik periklanan yang berlaku dikenal dengan sebutan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia /TKCPI (saat ini telah dirubah menjadi Etika Pariwara Indonesia/EPI). Kode etik ini diprakarsai oleh beberapa pelaku usaha periklanan di Indonesia, yaitu Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Badan Periklanan Media Pers Nasional-Serikat Penerbit Surat Kabar (BPMNSPS), Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI), dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) pada tahun 1981. Kemudian pada tahun 1990/1993 pendukung kode etik periklanan bertambah dengan perusahaan televisi swasta yang diwakili oleh PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan para pelaku usaha periklanan media luar ruang yang diwakili oleh PT Prasetya Madya. Amandemen pertama TKCTPI dilakukan pada tahun 1996 yang merupakan penyempurnaan terhadap TKCPI tahun 1981, selanjutnya amandemen kedua dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2006, sekaligus merubah nama TKTCPI menjadi Etika Pariwara Indonesia (EPI).22 Kode etik periklanan ini landasi oleh adanya kesadaran bahwa “Industri periklanan menyatakan diri bukan saja menjadi komponen penting, namun juga merupakan inti dari komunikasi pemasaran. Bahkan lebih dari itu, industri periklanan menyatakan merupakan unsur yang tidak bisa ditiadakan dalam proses pembangunan 22
“Etika Pariwara Indonesia : Penyempurnaan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia”, http://www.pppi.or.id/jejak-isi.php?cid=1&id=125&pageNum=2, diakses tanggal 3 Juni 2007.
12
perekonomian bangsa dan negara, sekaligus menegakkan sendi-sendi budaya nusantara”23 selain itu EPI yang telah disempurnakan ini telah dicoba disusun dan dikembangkan sesuai dengan akar budaya bangsa dan ditujukan untuk kepentingan masyarakat yang seluas-luasnya.”24 Latar belakang perlu dibentuknya EPI yang merupakan kode etik periklanan nasional, menurut Rachmat Trijono didasarkan beberapa alasan, yakni : 25 “1. Kode etik yang dimiliki oleh masing-masing asosiasi dianggap hanya berlaku bagi anggota asosiasi tersebut. Di luar organisasi itu orang merasa tidak diwajibkan untuk mentaatinya; 2.
Kurangnya
kesadaran konsumen untuk mengkritik periklanan; 3.
Motif ekonomi
selalu mendorong pengusaha iklan mencantumkan kata-kata superlatif dan janji kosong”.
Di samping itu, di tengah-tengah kekosongan Undang-Undang Periklanan, akan lebih terhormat kiranya bila kaidah/norma periklanan ditegakkan melalui organisasi profesi periklanan. Organisasi profesi lebih tahu, apakah suatu iklan merupakan kreativitas kompetitif atau semu belaka. Diharapkan produk iklan yang
23
Etika Pariwara Indonesia, Bab I Pendahuluan Angka 1. Etika Pariwara Indonesia, Bab I Pendahuluan Angka 4. 25 Rachmat Trijono, “Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Menyesatkan”, Jurnal Hukum JUISTHEID,Vol. I No. 2 Agustus 2003, Bogor : Fakultas Hukum Universitas Djuanda, 2003.,hlm. 50. 24
13
dihasilkan akan penuh muatan kretivitas, serta menjunjung asas-asas umum kode etik periklanan.26 EPI hasil pembaruan, terdiri dari 5 (lima) bab pengertian-pengertian pokok dan 3 (tiga) lampiran. Bab I Pendahuluan, memuat tentang sikap industri, asosiasi pendukung, posisi, pijakan awal, prinsip swakramawi, pengaruh globalisasi, kepedulian utama, penyempurnaan menyeluruh, pokok pengertian atau defenisi, batasan, bukan syarat keberterimaan, bukan sensor, lembaga penegak, konsultasi, rujukan, semangat etika, penunggalan dan bahasa asing, makna dan tafsir, dinamika industri, ancangan ke depan. Bab II Pedoman, terdiri dari mukadimah, lingkup, asas, dan defenisi. Bab III Ketentuan, memuat tentang tata krama, yang dibagi lagi menjadi ragam iklan, pemeran iklan, dan wahana iklan. Sedangkan Tata cara, dibagi lagi menjadi penerapan umum, produksi periklanan, dan media iklan. Bab IV Penegakan, memuat tentang landasan, kelembagaan, penerapan, prosedur, dan sanksi. Bab V memuat penjelasan, dan akhiri dengan lampiran, yang terdiri dari hukum positif, Dewan Periklanan Indonesia, dan sekilas swakrama.27 Asas-asas umum yang dikembangkan sebagai dasar penyusunan EPI dituangkan dalam Bab II Tata Krama yang terdiri dari : “1. Iklan harus jujur, benar dan Bertanggung jawab.
26 27
Yusuf Shofie, Op.cit., hlm. 150-151. “Etika Pariwara Indonesia”, http:www.pppi.or.id. diakses 3 Juni 2007.
14
2.
Iklan
harus
dijiwai oleh asas persaingan yang sehat 3.
Bersaing secara
sehat”. Dalam penjelasan asas-asas umum tersebut, termuat beberapa pengertian mengenai kejujuran, bertanggung jawab, dan bobot tanggung jawab pelaku usaha periklanan. Iklan harus jujur, tidak boleh menyesatkan, seperti memberikan keterangan tidak benar, mengelabui dan memberikan janji berlebihan. Berkaitan dengan tanggung jawab, iklan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat. Bobot tanggung jawab pelaku usaha diukur menurut komponen pelaku usaha periklanan. Pengiklan bertanggung jawab atas kebenaran informasi produk yang disampaikan kepada pelaku usaha periklanan. Perusahaan periklanan bertanggung jawab atas ketepatan unsur persuasi yang disampaikannya dalam pesan iklan, sedangkan media periklanan bertanggung jawab untuk kesepadanan iklan yang disiarkan dengan nilai-nilai sosial budaya dari masyarakat yang menjadi sasaran siarannya.28 Dari
sudut
persaingan
usaha
termuat
penjelasan
tentang
larangan
menggunakan kata-kata “ter, paling, nomor satu”, dan atau sejenisnya, tanpa menjelaskan dalam hal apa keunggulannya tersebut. Begitu pula iklan tidak dibenarkan melakukan perbandingan langsung dengan menampilkan merek atau produk saingan tertentu, merendahkan atau meniru sehingga menimbulkan kesan 28
A.Z. Nasution, 1, Op.cit., hlm. 214-215.
15
membingungkan atau menyesatkan konsumen. Perbandingan yang diadakan haruslah berdasarkan kriteria yang tidak menyesatkan publik konsumen.29 Guna melakukan pengawasan pelaksanaan EPI tersebut dibentuk semacam badan pengawas yang diberi nama Dewan Periklanan Indonesia (DPI), sebagai organisasi independen dan dibentuk untuk mengembangkan dan mendayagunakan seluruh aset periklanan nasional untuk kepentingan seluruh masyarakat periklanan dan kepentingan seluruh masyarakat. Lembaga ini merupakan federasi dari para assosiasi usaha dan profesi, baik sebagai pengiklan, perusahaan periklanan, media periklanan, maupun sebagai usaha dan profesi penunjang industri periklanan.30 Komisi terdiri dari presedium komisi sebagai pemberi arah dan kebijaksanaan umum dan badan-badan pelengkap pelaksana operasional dari tugas dan kewajiban komisi. Keputusan presidium yang ditetapkan secara aklamasi bersifat mengikat asosiasi pendukungnya, namun dalam pelaksanaannya selalu mengindahkan kepentingan para asosiasi terkait. Berkembangnya pengaturan kegiatan periklanan berdasarkan regulasi sendiri (self regulation) di Indonesia, tidak terlepas dari perkembangan regulasi sendiri di Amerika Serikat, Kanada, Prancis, dan Inggris.31 Di Amerika Serikat regulasi sendiri muncul sebagai reaksi dari kritik konsumen atas iklan yang semakin tajam dan 29
Ibid. Dalam Etika Pariwara Indonesia dijelaskan, bahwa anggota komisi adalah asosiasi-asosiasi pendukung komisi, yaitu : Asosiasi Media Luar Ruang Indonesia (AMLI), Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO), Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Persatuan Perusahaan Periklanan Seluruh Indonesia (PPPI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia ( PRSSNI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Yayasan Televisi Republik Indoesia (Yayasan TVRI). 31 Daniel R. Bereskin, Q.C. & Jennifer Mc Kenzie, “Comparative Advertising : Canada and the United States”, Taronto : November 2001, hlm. 16. 30
16
kontrol pemerintah yang semakin ketat.32 Terdapat 4 (empat) kelompok utama yang mensponsori regulasi sendiri yaitu asosiasi periklanan (misalnya American Association of Advertising Agencies, Assosiacion of National Advertiser), kelompok industri khusus (misalnya Council of Better Business Bureaus), asosiasi media, dan asosiasi pedagang.33 Pada tahun 1971, komunitas periklanan di Amerika Serikat telah membentuk The National Advertising Division (NAD) dari The Council of Better Business Bureaus, sebagai suatu organisasi yang bertanggung jawab untuk menetapkan standar
industri periklanan, dan meminimalkan campurmtangan pemerintah terhadap iklan.34 NAD juga menetapkan prosedur bagi konsumen dan pelaku usaha (sebagai kompetitor suatu produk) untuk mengajukan keberatan terhadap suatu iklan, namun
32
Priscilla A. La Barbera, “Analyzing and Advancing the State of the Art of Advertising Self Regulation”, Journal of Advertising 9 No. 4 (1980), hlm. 27. 33 Ibid., lihat pula Martha Rogers, “Advertising, Self Regulation in the 1980’s : A Review, “ Current Issues & Research in Advertising 13 (1991), hlm. 369-392. 34 Lori A. Lustberg, “Current Advertising Regulation and The Internet”, Computer Law Review and Technology Journal, Summer 1998, hlm.44, lihat juga Terence A. Shimp, Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Edisi ke 5, Diterjemahkan oleh Revyani Sjahrial, Dyah Anikasi, Jakarta : Erlangga, 2003., hlm. 90. yang menjelaskan regulasi sendiri dari The Council of Better Business Bureau di National Advertising Review Council (NARC) merupakan bentuk peraturan mandiri yang paling banyak dipublikasikan dan mungkin paling efektif. NARC sendiri terdiri dari 3 (tiga) unit tinjauan yaitu : Children’s Advertisng Review unit (CARU) yang bertugas memonitor program dan iklan televisi untuk anak-anak, National Advertising Division (NAD), dan National Advertising Review Board (NARB). NAD dan NARB bertugas mempertahankan standar kebenaran yang tinggi dan keakuratan iklan-iklan nasional bagi orang dewasa.
17
iklan yang diajukan keberatannya tersebut haruslah iklan nasional (peredaran iklan tersebut untuk konsumsi pasar Amerika Serikat).35 Keanggotaan NAD terdiri dari para pengacara yang selalu melakukan peninjauan terhadap penerapan aturan hukum, serta menciptakan suatu standar periklanan yang dikenal sebagai The Better Business Bureau Code of Advertising. Pengiklan mempergunakan The Better Business Bureau Code of Advertising ini sebagai panduan untuk mempersiapkan iklan-iklannya serta guna menghindarkan pemberlakuan ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat pemerintah. Apabila NAD menemukan iklan-iklan bermasalah, maka NAD akan menghubungi pengiklan serta mempertanyakan substansi dari klaim yang dibuat, atau menyarankan dilakukannya perubahan terhadap iklan bermasalah tersebut. Dari saat pembentukannya NAD telah menerima lebih dari 3100 (tiga ribu seratus) keberatan terhadap iklan, dan sebagian besar iklan-iklan tersebut telah disetujui untuk diubah atau tidak dilanjutkan penayangannya. Di samping The Better Business Bureau Code of Advertising, terdapat pula “Creative Code” yang disusun oleh American Association of Advertising Agencies (AAAA) yang menentukan : “The members
of
the
American Association of Advertising Agencies
recoqnice :
35
Daniel R. Bereskin, Q.C. & Jennifer Mc Kenzie, Bereskin, Op.cit. “Comparative Advertising : Canada and the United States”, Taronto : November 2001., hlm. 23.
18
1.
That advertising bears a dual responsibility in the American
economic system and the way of live; 2.
To the public it is a primary way of knowing about the goods
and service which are the product of American free enterprise, goods and services which can be freely choosen to suit the desiree and needs of the individual. The public is entitled to expect that advertising will be reliable in content and honest in presentation”.36 Creative Code sangat memahami arti pentingnya informasi yang disampaikan melalui iklan bagi publik di Amerika Serikat, karena dengan panduan informasi iklan tersebut konsumen di Amerika Serikat dapat dengan bebas menentukan pilihannya terhadap barang dan/atau jasa yang dibutuhkan, namun hendaknya informasi tersebut sesuai dengan kondisi barang dan/atau jasa yang sebenarnya, serta jujur dalam penyampaiannya. Di Kanada, regulasi sendiri di bidang periklanan dipelopori oleh Advertising Standards Canada (ASC) sebagai asosiasi industri Kanada. ASC telah menyusun the Canadian Code of advertising Standards (the ASC Code) sebagai panduan dalam beriklan. Pada tahn 1999, the
ASC Code telah diamandemen guna memperluas
kewenangan yang di miliki ASC, termasuk mengawasi iklan-iklan pos langsung.37 Kehadiran regulasi sendiri (self regulation) berkaitan dengan periklanan di berbagai negara untuk melengkapi aturan-aturan hukum produk pemerintah
36 37
Gene Richert, Advertising, dalam A.Z. Nasution, 2, Op.cit., hal. 195. Daniel R. Bereskin, Q.C. & Jennifer Mc Kenzie, Op.cit., hlm. 16.
19
memberikan pengharapan lebih besar bagi upaya perlindungan terhadap konsumen. Pelaku usaha tidak hanya terikat untuk mematuhi suatu ketentuan hukum karena adanya tekanan, paksaan dari pemeritah, tetapi juga dilandasi oleh adanya kesadaran moral untuk mau mematuhi standar perilaku yang ditetapkan oleh asosiasi. Namun demikian, masih kerap ditemukan iklan-iklan yang bertentangan dengan standar yang ditetapkan dalam EPI, sehingga harus diperiksa oleh Badan Pengawas Periklanan PPPI atau oleh Badan Musyawarah Etika Dewan Periklanan Indonesia.38 Terjadinya pelanggaran terhadap EPI ini disebabkan terdapatnya perbedaan antara kekuatan berlaku/mengikat etika bisnis periklanan dengan kekuatan berlaku peraturan perundang-undangan dari pemerintah. Dalam etika bisnis periklanan, pelaku usaha membuka diri bagi permintaan untuk memenuhi suatu kewajiban moral berdasarkan pertimbangan sendiri, sedangkan kewajiban hukum lebih banyak bergantung kepada kekuasaan pemerintah, bukan pada pertimbangan sendiri. Etika memusatkan pada individu dari pada masyarakat. Orang bebas untuk menerima atau menolak kewajiban-kewajiban yang timbul dari etika. Berbeda dengan kewajiban
38
Badan Pengawas Periklanan PPPI (badan) merupakan lembaga intern yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Pusat PPPI No. 040/SK-PP/III/2000, sehingga secara struktural badan ini merupakan bagian dari PPPI . Badan ini bertugas membantu Pengurus Pusat PPPI dalam menegakkan etika periklanan yang diproduksi dan atau dipublikasikan oleh para anggota PPPI. Sedangkan Badan Musyawarah Etika Komisi Periklanan Indonesia merupakan organisasi struktural yang berada di bawah Komisi Periklanan Indonesia. Secara penugasan kedua badan ini mengemban tugas yang sama untuk menegakkan etika periklanan sesuai Kode Etik Periklanan Indonesia, namun Badan Pengawas Periklanan PPPI hanya mampu melakukan pengawasan etika periklanan terhadap para anggota PPPI saja, sedangkan Badan Musyawarah Etika Dewan Periklanan Indonesia dapat melakukan pengawasan etika periklanan bagi seluruh pelaku usaha periklanan.
20
hukum yang diawasi pelaksanaannya dengan sesuatu kekuatan. Jika aturan hukum dilanggar, maka sanksi yang efektif mungkin berupa tekanan dari masyarakat.39 Menurut Sutedjo Hadiwasito, Ketua Bidang Hukum dan PerundangUndangan PPPI, terdapat 6 (enam) faktor yang menyebabkan banyaknya iklan yang melanggar EPI, yaitu :40 “1. Tidak adanya kekuatan penuh dari Tim Penilai Iklan; 2.
Terjadinya bias
antara konsep iklan dan hasil yang ditayangkan; 3.
Pemerintah
lambat dalam menindak iklan yang melanggar; 4.
Gaya beriklan di
Indonesia yang hanya menonjolkan kekuatan penjualan; 5.
Masih
ada
ketentuan yang kurang jelas (gray area) dalam buku panduan beriklan; 6.
Lemahnya daya
kreatifitas pembuat iklan”.
Dari sedemikian banyak iklan-iklan yang telah melakukan pelanggaran EPI tersebut, ternyata secara
kuantitas hanya
sebagian kecil saja yang
dapat
ditangani oleh Badan Pengawas Periklanan PPPI. Hal ini disebabkan :41 39
G.W. Paton, A Textbook of Jurisprudence, Oxford University Press, 1972, hlm. 71-72. Media Indonesia, 11 Oktober 2001. 41 Badan Pengawas Periklanan PPPI, Buku Putih 1999-2002, Jakarta : Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, 2002, hlm. 10, selanjutnya dijelaskan di Inggris hingga sepuluh tahun yang lalu 40
21
“1. Badan tidak memiliki cukup sumber daya atau akses untuk memantau semua iklan yang muncul di media-media nasional. Jumlah yang terekam saat ini bagian besar merupakan pengaduan dari perusahaan periklanan anggota PPPI sendiri. Kasus-kasus yang ditangani badan praktis hanya berasal dari media-mesia cetak dan televisi dan terpantau di DKI Jakarta saja; 2.
Badan
hanya
menangani pelanggaran yang terjadi pada iklan-iklan yang diproduksi dan atau dipublikasikan oleh para anggota PPPI. Iklan-iklan lain yang ditangani langsung oleh pengiklan atau media tidak tersentuh, karena sesuai dengan posisi kelembagaannya yang berada di luar yuridiksi badan. 3.
Rendahnya
produktivitas industri juga menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya dimensi pelanggaran etika periklanan. Kalau produksi iklan cetak dan televisi telah mencapai ribuan setiap bulannya seperti di negara-negara maju, tentu kuantitas dan kualitas pelanggaran atau kasus akan meningkat”. Beberapa kelemahan dalam penegakan EPI, hanya bisa ditutupi dengan memadukan penegakan regulasi sendiri (self regulation) tersebut dengan ketentuan hukum dari pemerintah, terutama bagi pelaku usaha periklanan yang bukan sudah tercatat rata-rata di atas 10.000,- (sepuluh ribu) kasus yang masuk ke Advertising Standards Authority, suatu badan pengawas etika periklanan di negara tersebut setiap tahun. Pada hal lembaga ini hanya menangani iklan-iklan di luar TV dan radio. (khusus masalah iklan di televisi dan radio ditangani oleh Independent Television Commission (ITC) Meskipun sudah termasuk iklan-iklan pos langsung (mail order) dan basis data (database). Dari jumlah itu hanya sekitar sekitar 25 % yang mampu diselesaikan oleh lembaga terebut, sedangkan jumlah kasus yang keputusannya masih tertunda hanya 1 %. Dari selaksa jumlah kasus yang masuk ini biasanya sekitar 45 % merupakan keluhan yang berasal dari industri periklanan sendiri (para pelaku maupun mitra bisnis periklanan), dan sisanya keluhan langsung dari masyarakat.
22
merupakan anggota asosiasi (misalnya PPPI), dengan memberikan sanksi hukum yang tegas bagi setiap pelanggar sehingga dapat menimbulkan efek jera.
D. Penutup Eksistensi Regulasi Sendiri (Self Regulation) merupakan perwujutan peningkatan kesadaran pelaku usaha agar dalam menjalankan kegiatan bisnis dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan penuh kehati-hatian, serta menempatkan konsumen sebagai pihak yang memiliki kedudukan yang setara dengan pelaku usaha. Sehingga nantinya kemajuan di bidang perdagangan yang berhasil dicapai tidak hanya meningkatkan pendapatan pelaku usaha, tetapi juga dapat memberikan perlindungan secara maksimal hak-hak dan kepentingan konsumen yang selama ini diabaikan oleh pelaku usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Barbera, Priscilla A. La, “Analyzing and Advancing the State of the Art of Advertising Self Regulation”, Journal of Advertising 9 No. 4 (1980).
23
Belch, George E., dan Belch, Michael A., Introduction to Advertising and Promotion (An Integrated Marketing Communication Perspective),Third Edition, San Diego State University, 1995. Bereskin, Daniel R., Q.C. & Kenzie, Jennifer Mc, “Comparative Advertising : Canada and the United States”, Taronto : November 2001. Badan Pengawas Periklanan PPPI, Buku Putih 1999-2002, Jakarta : Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, 2002. Djamil, Kamhal, “Peranan Pemerintah Dalam Rangka Penanggulangan Perbuatan Curang”, Makalah Wicara Penaggulangan Perbuatan Curang, Oktober 1992 Dalam Ari Purwadi, “Perlindungan Konsumen Dalam Periklanan”, Majalah Hukum Trisakti, No. 21 tahun XXI, Januari 1996. “Etika Pariwara Indonesia”, http:www.pppi.or.id. diakses 3 Juni 2007. “Etika Pariwara Indonesia : Penyempurnaan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia”, http://www.pppi.or.id/jejak-isi.php? cid=1&id=125&pageNum=2, diakses tanggal 3 Juni 2007. Gene, Richert, Advertising, dalam A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum, Cetakan I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995. Harianto, Dedi, “Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan”, Disertasi, Medan : Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2007. Lustberg, Lori A., “Current Advertising Regulation and The Internet”, Computer Law Review and Technology Journal, Summer 1998. Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta : Kencana, 2008. Nasution, A.Z. , Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Yogyakarta : Diadit Media, 2001. ______________, Konsumen dan Hukum, Cetakan I, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995. Paton, G.W., A Textbook of Jurisprudence, Oxford University Press, 1972. Media Indonesia, 11 Oktober 2001.
24
Rajagukguk, Erman, “Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas”, Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Penyunting), Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000. Rogers, Martha, “Advertising, Self Regulation in the 1980’s : A Review, “ Current Issues & Research in Advertising 13 (1991). Suherman, Ade Manan, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002. Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002. Shimp, Terence A., Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Edisi ke 5, Diterjemahkan oleh Revyani Sjahrial, Dyah Anikasi, Jakarta : Erlangga, 2003. Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia., Jakarta : PT Grasindo, 2000. Trijono, Rachmat, “Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan Menyesatkan”, Jurnal Hukum JUISTHEID,Vol. I No. 2 Agustus 2003, Bogor : Fakultas Hukum Universitas Djuanda, 2003. Usman, Rachmadi, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta : Djambatan, 2000.
25