TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN BERKAITAN DENGAN PENCANTUMAN DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA DALAM SITUS INTERNET (WEBSITE)
NI PUTU RIA DEWI MARHENI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN BERKAITAN DENGAN PENCANTUMAN DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA DALAM SITUS INTERNET (WEBSITE)
NI PUTU RIA DEWI MARHENI NIM : 1090561058
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN BERKAITAN DENGAN PENCANTUMAN DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA DALAM SITUS INTERNET (WEBSITE)
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI PUTU RIA DEWI MARHENI NIM : 1090561058
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 12 DESEMBER 2013
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.M.Hum.LLM. NIP.19611101 198601 2 001
Dr. Ida Bagus Wyasa Putra,SH.,M.Hum NIP.19620731 198803 1 003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., LLM NIP. 19611101 198601 2 001
Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 12 Desember 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor 1902/UN14.4/HK/2003 Tanggal 1 Oktober 2013
Ketua
: Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM.
Sekretaris
: Dr. Ida Bagus Wyasa Putra,S.H.,M.Hum
Anggota
: 1. Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., MH 2. Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H. 3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra S.H., M.Hum.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
:
Ni Putu Ria Dewi Marheni
NIM
:
1090561058
Program Studi
:
Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis Program Pascasarjana Universitas Udayana
Judul Tesis
:
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan Dengan Pencantuman Disclaimer Oleh Pelaku Usaha Dalam Situs Internet (Website)
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas dari plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah tesis ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 12 Desember 2013 Hormat saya,
Ni Putu Ria Dewi Marheni
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastiastu, Sesanti anghayu bhagia serta puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas asung kertha wara nugraha-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan dengan Pencantuman Disclaimer oleh Pelaku Usaha Dalam Situs Internet (Website)” yang disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan selesai tanpa doa, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada : 1.
Rektor Universitas Udayana, Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PDKEMD beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
2.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) beserta jajarannya atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswi Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra., S.H., M.Hum., atas fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
4.
Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM sebagai dosen Pembimbing I (Pertama), yang dengan penuh perhatian, tanpa mengenal lelah telah memberikan bimbingan, dorongan dan semangat serta saran kepada penulis dalam rangka penyusunan tesis ini.
5.
Bapak Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, S.H.,M.Hum sebagai dosen Pembimbing II (Kedua) yang dengan sabar telah berkenan membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
6.
Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra S.H., M.Hum. , Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H., Bapak Dr. I Made Sarjana, S.H.,M.H. sebagai dosen penguji yang telah mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
7.
Seluruh dosen pengajar di (S2) Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, terutama dosen konsentrasi Hukum Bisnis di Universitas Udayana atas segala ilmu yang telah diberikan.
8.
Ibu A.A Istri Agung Yuniana, S.E., Bapak Made Mustiana, S.E., Ibu Gusti Ayu Raka Wiratni, Putu Dyva Dhamahadi Yadnya, S.H., Made Dandy Pranajaya, S.Sos selaku staf administrasi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana atas berbagai dukungan administratif
dan moral yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi sampai akhir.
9.
Almarhum Kakek tercinta I Made Tjandra dan I Gede Sudarya, Almarhum Nenek tercinta Ni Nyoman Mongkrog dan Ni Nyoman Candri yang selalu memberikan petuah berguna dimasa hidup dan selamanya akan menjadi panutan dalam setiap langkah penulis.
10. Kedua orangtua tercinta Bapak I Nyoman Wina, S.H. dan Ibu Nyoman Oka Sri Haryani, yang dengan setia setiap waktu memberikan kasih sayang dan dukungan penuh bagi penulis, adik tersayang Made Meila Dwi Cahyani, Amd.Keb. , keponakan I Gd. Wahyu Pramartha serta seluruh keluarga besar di Tabanan dan Badung, yang telah banyak memberikan doa dan dukungan moral kepada penulis.
11. Bapak I Gusti Agung Prana, Penglingsir Puri Bakungan Mengwi, yang tiada hentinya telah memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis.
12. Bapak I Ketut Suteja Putra, S.P., S.H., dan Ibu Umi Martina,S.H.,M.H.,beserta rekan-rekan Senior Advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Bali yang telah memberikan semangat kepada penulis.
13. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Hukum Angkatan 2010, khususnya konsentrasi Hukum Bisnis yang berjuang bersama dan saling mendukung dalam menyelesaikan tesis.
14. Sahabat-sahabat tercinta, terdekat dan terbaik Putu Gde Eka T. Widana, S.H., Putu Purtini Utami, B.Buss, I Dewa Ayu Mas Ismayani, S.H., Desy Kusuma Wardhani, S.H.M.H., Ni Nyoman Anita Candrawati, S.H.,M.H., A.A Putri Aprilina, S.H. M.kn., Putu Niti Suari Giri, S.H.,M.H., Emmy Febriani,S.H.,M.H.,
Putu Yumi Antari, S.H., Lya Meinar Laksmi, S.H., Putu Ratih Prabandari, S.H., Komang Kartika Trisna Dewi, S.H., Ni Nyoman Muryatini, S.H., Agung Eka Maharta, S.H., I Wayan Juwahyudhi, S.H.,M.H., yang senantiasa memberikan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan tesis.
15. Serta seluruh rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang mengenal dan memberikan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Akhir kata penulis menyadari bahwa apa yang dipaparkan dalam tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari isi permasalahan, analisis, penyusunan maupun teknik penulisan. Walaupun demikian, penulis berharap semoga tulisan ini tetap dapat bermanfaat bagi pembaca. Astungkara, Ida Sang Hyang Widhi Wasa senantiasa melimpahkan berkah dan rahmat-Nya kepada kita semua.
Om Santi Santi Santi Om
Hormat Penulis,
Ni Putu Ria Dewi Marheni
ABSTRAK
Dalam situs internet (website) di Indonesia banyak pelaku usaha yang mencantumkan disclaimer. Disclaimer yang dicantumkan dalam situs internet (website) di Indonesia seringkali menyatakan pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen. Banyak konsumen yang tidak menyadari keberadaan disclaimer karena letaknya sulit terlihat. Pencantuman disclaimer tersebut tidak adil bagi konsumen, sehingga sangat penting untuk diadakan penelitian. Terdapat dua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu bentuk pengaturan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) di Indonesia dan perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) di Indonesia. Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa literatur yang berkaitan dengan permasalahan dan bahan hukum tertier berupa kamus hukum dan artikel dalam format elektronik. Seluruh bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem bola salju dan dianalisa secara deskriptif dan evaluatif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap permasalahan tersebut, bentuk pengaturan hukum terhadap pencantuman disclaimer di Indonesia ditinjau dari Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang secara khusus (lex specialis derogate legi generali) mengatur kegiatan di dunia maya, masih belum jelas. Namun, jika ditinjau dari segi perlindungan konsumen secara umum dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagian besar pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) dapat dikategorikan sebagai klausula eksonerasi. Perlindungan hukum bagi konsumen di dunia maya sangat diperlukan untuk menjamin persamaan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen. Saat ini perlindungan hukum secara umum dapat diberikan kepada konsumen secara preventif dengan dibentuknya suatu Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) dan secara represif melalui jalur litigasi dapat dilakukan dengan pengajuan gugatan perdata dan sanksi pidana berdasarkan Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Melalui jalur non litigasi dapat diselesaikan dengan alternatif penyelesaian sengketa salah satunya melalui jalur Arbitrase. Kata Kunci : Disclaimer, Perlindungan Hukum, Perlindungan Konsumen, Situs Internet, Transaksi Elektronik.
ABSTRACT
In the Internet site (website) in Indonesia many businessmen specify disclaimer. Disclaimer specified in the internet site (website) in Indonesia often states transfer of responsibility of the businessmen to consumers. Many consumers are not aware of the existence of the disclaimer because its position is difficult to see. The specification of the disclaimer is unfair to the consumers, so to conduct research on the phenomena is very important. There were two issues examined in this study; the form of disclaimer specification regulation in the internet site (website ) in Indonesia and the legal protection of the consumers with regard to the specification of disclaimer on the internet site ( website ) in Indonesia. The method applied in this thesis is a normative legal research using statutory and analytical approach to legal concepts. Legal materials used were primary legal materials in the form of legislation, secondary legal materials in the form of literature related to the problems and the tertiary materials were legal dictionary and articles found in electronic format. Those legal materials were collected and classified based on the problems formulated through a snowball system and the data were analyzed in descriptive and evaluative method. Based on the results of the study focusing on the two problems, the form of legal regulation on the disclaimer specification in Indonesia seen from Act 11 of 2008 related to Information and Electronic Transactions specifically (lex specialis derogate legi generali) regulate the activities in cyberspace, has not been clear. However, if it is seen in terms of consumer protection in general in Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection, most of the disclaimer specification on the internet site (website) can be categorized as an exoneration clause. Legal protection for consumers in the cyberspace is very necessary to ensure equality between entrepreneurs or businessmen and consumers. Currently legal protection generally can be provided to consumers preventatively with the establishment of a Reliability Certification Board and repressively through litigation can be done by filing a civil complaint and criminal penalties under Law 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions. Through non-litigation, it can be resolved with one alternative dispute resolutions and one of them is through arbitration. Keywords: Disclaimer, Legal Protection, Consumer Protection, Website, Electronic Transactions.
RINGKASAN Karya tulis tesis ini membahas tentang “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan Dengan Pencantuman Disclaimer Oleh Pelaku Usaha Dalam Situs Internet (website)”, yang pembahasannya terbagi dalam 5 (lima) bab. Bab I yang merupakan pendahuluan, diawali dengan penguraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis, kerangka berpikir dan metode penelitian. Pada latar belakang masalah menggambarkan fakta hukum yang menyangkut fenomena pencantuman disclaimer oleh pelaku usaha pada setiap situs internet (website) , penelitian lebih memfokuskan dalam situs internet (website) yang domainnya berasal dari Indonesia. Ditemukan beberapa keluhan-keluhan konsumen yang mengalami kerugian akibat pelaku usaha yang tidak mau bertanggung jawab atas apa yang ditampilkan dalam website–nya dan mengalihkan, membebaskan tanggung jawab dari barang dan/atau jasa yang dijualnya. Pembebasan tanggung jawab tersebut lebih diperkuat dengan pencantuman disclaimer dengan bentuk klausula baku yang dibuat secara sepihak, terkadang tidak disadari oleh konsumen karena letaknya yang sulit terlihat dan menguntungkan pelaku usaha. Diperlukan pengkajian eksistensi pengaturan kriteria substansi dari klausula baku khususnya dalam bentuk disclaimer di situs internet (website) agar dapat melindungi hak-hak konsumen dalam pengaturan khusus mengenai Informasi dan Transaksi elektronik dan untuk menjamin adanya perlindungan hukum konsumen yang memanfaatkan situs internet (website) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bab II membahas tentang konsepsi perlindungan konsumen, pelaku usaha, disclaimer dan situs internet (website). Yang pembahasannya meliputi konsepsi umum tentang Perlindungan Konsumen dan dasar hukumnya, hak-hak dan kewajiban
konsumen
dalam
perspektif
Undang-undang
No.8
tentang
Perlindungan Konsumen, asas-asas yang berkaitan dengan perlindungan konsumen di Indonesia, konsepsi tentang perjanjian jual beli antara pelaku usaha dengan konsumen menurut Kitab Undang-udang Hukum Perdata (KUHPerdata), hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam kegiatan bisnis, konsepsi tentang disclaimer dan situs internet (website), konsepsi umum tentang Wiver Clause dan Indemnity Clause , Konsepsi Tentang Situs Internet (website) dan kaitannya dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, perbedaan antara situs internet (website) dan blog (web log). Bab III Membahas tentang Pengaturan disclaimer dalam perspektif Hukum Indonesia, yang merupakan hasil penelitian dari rumusan masalah yang pertama, Pada bab ini dibahas mengenai keberadaan disclaimer yang juga berkaitan dengan transaksi elektronik di dunia maya di Indonesia kemudian menguraikan undangundang yang terkait dengan status hukum keberadaan disclaimer tersebut antara lain dilihat dari Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Eksistensi disclaimer dalam situs internet (website) termasuk juga dalam unsur-unsur Klausula Baku (dalam transaksi konvensional di dunia nyata) yang diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK), UUPK hanya berlaku secara limitatif dalam yurisdiksi nasional untuk transaksi secara konvensional (offline). Saat ini di Indonesia terdapat Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur secara khusus kegiatan transaksi elektronik di dunia maya (cyberspace). Bab IV membahas secara khusus mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan dicantumkannya disclaimer oleh pelaku usaha, yang merupakan hasil penelitian dari rumusan permasalahan kedua. Yang membahas mengenai Pelanggaran terhadap hak konsumen berkaitan dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website), tanggung jawab pelaku usaha pemilik situs terhadap konsumen berkaitan dengan akibat dari pencantuman disclaimer menurut perspektif Hukum Indonesia dan perlindungan konsumen dalam kaitannya dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) oleh pelaku usaha. Bab V merupakan bagian penutup. Bagian penutup merupakan simpulan dari pembahasan atas permasalahan penelitian serta diajukan saran dan rekomendasai yang
perlu
diperhatikan
oleh
pihak
terkait
dan
Depkominfo
untuk
menyempurnakan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik agar terdapat pengaturan yang jelas berkaitan dengan substansi disclaimer agar dapat melindungi hak-hak konsumen yang melakukan transaksi bisnis di situs internet (website) dan agar tercipta perlindungan hukum yang didasari oleh keadilan untuk konsumen internet di Indonesia.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN HALAMAN SAMPUL DALAM .................................................................... i HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER .................................... ii HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... iii HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ................................ iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................. v UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... vi ABSTRAK ..................................................................................................... x ABSTRACT ..................................................................................................... xi RINGKASAN ................................................................................................. xii DAFTAR ISI .................................................................................................. xv DAFTAR TABEL .......................................................................................... xix DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xx BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 9 1.3 Ruang lingkup Masalah ............................................................................ 9 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................... 10 a. Tujuan Umum ................................................................................. 10
b Tujuan Khusus ............................................................................... 10 1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................. 11 a. Manfaat Teoritis ............................................................................. 11 b. Manfaat Praktis ............................................................................... 11 1.6 Orisinalitas Penelitian .............................................................................. 11 1.7 Landasan Teoritis .................................................................................... 16 1.8 Metode Penelitian ................................................................................... 28 a. Jenis Penelitian ............................................................................... 28 b. Pendekatan Masalah ....................................................................... 29 c. Sumber Bahan Hukum .................................................................... 29 d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................... 31 e. Teknik Analisis Bahan Hukum ........................................................ 32 BAB II. KONSEPSI PERLINDUNGAN KONSUMEN, PELAKU USAHA , DISCLAIMER DAN SITUS INTERNET (WEBSITE) ...... 33 2.1 Perlindungan Konsumen ........................................................................... 33 2.1.1 Konsepsi Umum tentang Perlindungan Konsumen dan Dasar Hukumnya ...................................................................................... 33 2.1.2 Hak-hak dan Kewajiban Konsumen dalam Perspektif Undangundang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ............. 39 2.1.3 Asas –asas yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen di Indonesia ........................................................................................ 47
2.1.4 Konsepsi tentang Perjanjian Jual Beli antara Pelaku Usaha dengan Konsumen menurut Kitab Undang-udang Hukum Perdata (KUHPerdata) .................................................................... 50 2.2 Pelaku Usaha ............................................................................................ 55 2.2.1 Konsepsi Pelaku Usaha dan Dasar Hukumnya ................................. 55 2.2.2 Hak-hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dalam Perspektif Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ...................................................................................... 57 2.2.3 Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen ............. 58 2.2.4 Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha dalam kegiatan bisnis ............................................................................................. 62 2.3 Disclaimer dan Situs Internet (website) ..................................................... 63 2.3.1 Konsepsi tentang Disclaimer yang dicantumkan pelaku usaha pada situs internet (website) ........................................................... 63 2.3.2 Konsepsi umum tentang Wiver Clause dan Indemnity Clause ......... 68 2.3.3 Konsepsi tentang Situs Internet (website) dan kaitannya dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ....... 71 2.3.4 Perbedaan antara Situs Internet (website) dan Blog (web log) ......... 76 BAB III PENGATURAN DISCLAIMER DALAM HUKUM INDONESIA .... 80 3.1 Pengaturan disclaimer dalam Dunia Maya (virtual world) ........................ 80 3.2 Pengaturan disclaimer dalam Konteks Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen .................................. 90
3.2 Eksistensi disclaimer dalam Situs Internet (website) Relevansinya dengan Pengaturan Klausula Baku ............................................................ 107 BAB
IV
BENTUK
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
HUKUM
BERKAITAN
TERHADAP DENGAN
DICANTUMKANNYA DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA...................................................................................... 120 4.1
Pelanggaran
terhadap
Hak
Konsumen
Berkaitan
dengan
Pencantuman Disclaimer dalam Situs Internet (website)........................... 120 4.2 Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Konsumen Berkaitan dengan Pencantuman Disclaimer Menurut Perspektif Hukum Indonesia ................................................................................................. 130 4.3 Perlindungan Konsumen dalam Kaitannya dengan Pencantuman Disclaimer dalam Situs Internet (website) oleh Pelaku Usaha ................... 137 BAB V PENUTUP ......................................................................................... 166 5.1 Simpulan ................................................................................................... 166 5.2 Saran......................................................................................................... 167 DAFTAR BACAAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbedaan antara Situs Internet (website) dan Blog (web log) ............ 77
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Contoh tampilan disclaimer website Indonesia ............................ 84 Gambar 2. Contoh tampilan disclaimer website Indonesia ............................. 85 Gambar 3. Contoh tampilan disclaimer website Indonesia ............................. 85 Gambar 4. Contoh tampilan disclaimer website Indonesia ............................. 86 Gambar 5. Contoh tampilan disclaimer website Singapura............................. 86 Gambar 6. Tampilan disclaimer website Indonesia pada bagian paling bawah homepage ........................................................................................128 Gambar 7. Tampilan disclaimer website Singapura pada halaman utama homepage ..................................................................................... 129
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat. Pada era globalisasi ini perubahan telah terjadi diberbagai bidang kehidupan, termasuk perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memegang peranan penting dalam pembangunan. Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku
masyarakat
dan peradaban manusia secara global.
Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung demikian pesatnya. Teknologi dan Informasi menjadi dua hal yang sangat penting karena dapat mempermudah segala aktivitas hidup manusia. Demikian pesatnya perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, yang merupakan salah satu penyebab perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara dan memperkukuh perundang-undangan demi kepentingan nasional. Di samping itu, pemanfaatan teknologi informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Internet yang merupakan kepanjangan dari Interconection Networking atau juga
yang
telah
menjadi
International
Networking 1.
Internet
dapat
menghubungkan komputer diseluruh dunia tanpa dibatasi oleh jumlah unit menjadi satu jaringan yang bisa saling mengakses. Dengan internet tersebut, satu komputer dapat berkomunikasi secara langsung dengan komputer lain di berbagai belahan dunia. Internet pertama kali dikembangkan oleh salah satu lembaga riset di Amerika Serikat, yaitu DARPA (Defence Advanced Research Project Agency) pada tahun 1973. 2 Pada saat itu DARPA membangun Interconection Networking sebagai sarana untuk menghubungkan beberapa jenis jaringan paket data seperti CS-net, BIT-net, NSF-net dan lain-lain. Pada mulanya jaringan internet hanya dapat digunakan oleh lingkungan pendidikan (perguruan tinggi) dan lembaga penelitian. Kemudian tahun 1995, internet baru dapat digunakan untuk publik. Beberapa tahun kemudian, Tim Berners – Lee mengembangkan aplikasi world wide web (www)3. Dengan adanya aplikasi www tersebut dapat memudahkan orang untuk mengakses informasi di internet. Setelah dibukanya internet untuk keperluan publik kemudian semakin banyak muncul aplikasi – aplikasi bisnis di internet. World wide web (www) merupakan sekumpulan informasi yang dapat diakses melalui program browser Internet Explorer (IE) seperti Mozilla Firefox dan 1
Teguh Wahyono, 2009, Etika Komputer + Tanggung jawab Profesional di Bidang Teknologi Informasi, ANDI, Yogyakarta, h.132 2
3
Ibid
Budi Rahardjo, 2003, Pernak pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia ( Serial Online), diakses dari : URL: http://www.budi.insan.co.id, pada tanggal 20 Januari 2012.
Opera. Web terdiri dari dua komponen dasar yaitu server web dan browser web. Server Web merupakan sebuah komputer (server) beserta software yang berfungsi untuk meyimpan dan mendistribusikan data komputer lainnya melalui suatu jaringan internet, sedangkan Browser Web merupakan software yang beroperasi pada komputer pemakai (client) yang meminta informasi dari server web kemudian menampilkannya sesuai dengan file data yang diterima tersebut. Para pengguna sistem elektronik yang dapat disebut juga konsumen dapat mengetahui secara cepat perkembangan riset teknologi di berbagai belahan dunia. Dengan hanya berpandukan mesin pencari seperti Google, pengguna sistem elektronik di seluruh dunia mempunyai akses internet yang mudah atas bermacam-macam informasi. Dibanding dengan buku dan perpustakaan, internet melambangkan
penyebaran
(decentralization),
pengetahuan
(knowledge)
informasi dan data secara ekstrim. Internet juga dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam memberikan layanan publik. Internet merupakan sarana yang paling mudah untuk memenuhi kebutuhan dalam mencari informasi yang konsumen inginkan. Di internet,
konsumen dapat mencari barang kebutuhan
primer, sekunder, maupun tersier. Berita dan beragam informasi yang diperlukan dapat konsumen temukan di internet, termasuk hiburan. Cara yang digunakan sangat mudah, hanya dengan mengetik nama, alamat situs atau mencarinya dengan mesin pencari, dalam hitungan detik kebutuhan yang konsumen butuhkan dapat konsumen dapatkan. Aplikasi bisnis yang berbasiskan teknologi internet ini mulai menunjukkan adanya aspek finansial. Perusahaan-perusahaan yang berskala kecil, menengah
dan besar menggunakan teknologi internet sebagai pendukung kegiatan bisnisnya. Internet digunakan sebagai wadah untuk promosi, bisnis dan fasilitas untuk mendapatkan informasi mengenai segala hal. Pemasaran yang dulunya dilakukan secara konvensional sekarang ini banyak yang dilakukan dengan bantuan teknologi internet. Saat ini suatu perusahaan dapat bertahan apabila memiliki keunggulan bersaing dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan pesaingnya. Sebagai contoh, internet digunakan sebagai sarana untuk memesan/reservasi tiket (pesawat terbang, kereta api), hotel, pembayaran tagihan telepon, listrik, dan sebagainya.
Hal
ini
mempermudah
konsumen
dalam
menjalankan
aktivitas/transaksi bisnisnya. Konsumen tidak perlu keluar rumah dan antri untuk memperoleh layanan yang diinginkan karena dapat dilakukan di dalam rumah, begitu pula tingkat keamanannya yang relatif lebih terjaga. Jumlah konsumen pengguna internet saat ini semakin besar dan bertambah terus setiap harinya dari 245 juta penduduk Indonesia, konsumen pengguna internet di Indonesia mencapai 55 juta orang pada tahun 2011. Studi terhadap urban netizen di Indonesia ini dilakukan pada bulan Agustus dan September 2011 di 11 kota besar antara lain Jakarta, Bodetabek, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makassar, Denpasar, Pekanbaru, Palembang, dan Banjarmasin. 4 Pada tahun 2012 ini pengguna Internet di Indonesia telah mencapai hampir berjumlah 60 juta pengguna Internet.5 Jumlah konsumen pengguna internet di Indonesia 4
Reza Wahyudi, Tri Wahono, 2011, Pengguna Internet Indonesia, diakses dari URL : http://tekno.kompas.com, pada tanggal 12 Maret 2012. 5
Agung Setiawan, 2012, Digital dan Social Media Indonesia 2012, diakses dari URL : http://www.asm-digital.com, pada tanggal 19 September 2012.
menguasai Asia sebesar 22,4 persen, setelah Jepang. Indonesia merupakan negara peringkat ketiga di Asia untuk jumlah pengguna internet.6 Pencapaian teknologi internet yang pesat dan maju, mempermudah untuk mengakses informasi apapun yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya informasi produk. Adanya kemudahan tersebut membuatnya menjadi suatu potensi yang sangat penting untuk dapat mempengaruhi pola perdagangan, baik yang dilakukan secara online. Kemampuan komputer-komputer tersebut untuk saling terkoneksi antar satu dengan lainnya membuka peluang munculnya suatu metode pemasaran baru bagi produk-produk perniagaan baik itu berupa barang maupun jasa.
Pengguna sistem elektronik / konsumen sampai saat ini banyak yang belum menyadari bahwa dalam setiap situs di Internet mencantumkan disclaimer template pada bagian lain pada lay out situs internet tersebut. Disclaimer disebut juga pernyataan penyangkalan yang terdapat pada situs internet isinya kurang lebih menyatakan bahwa segala sesuatu yang dimuat di dalam situs internet tersebut semata-mata hanya sebagai informasi belaka dan pemilik situs tidak bertanggung jawab atas keakuratan dan kelengkapan informasi yang dimuat tersebut.7 Begitu juga dalam situs jual beli online (e-commerce) di internet banyak dicantumkannya disclaimer yang isinya bahwa penyelenggara sistem elektronik sebagai pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas kerusakan apapun yang timbul
6
Reza Wahyudi, 2012 ,Pengguna Internet di Indonesia Capai 55 Juta, diakses dari : http://tekno.kompas.com, pada tanggal 12 September 2012. 7
Diana Kusumasari,2011, Status hukum pencantuman disclaimer, diakses dari URL : http://www.hukumonline.com, pada tanggal 12 September 2012
dari setiap produk yang sudah dibeli oleh konsumen. E-commerce merupakan perdagangan yang dilakukan melalui internet.
Transaksi jual beli online (e-commerce) juga merupakan suatu perjanjian jualbeli sama dengan jual beli konvensional yang biasa dilakukan masyarakat. Hanya saja terletak perbedaan pada media yang digunakan. Pada transaksi jual beli elektronik yang digunakan adalah media elektronik yaitu internet. Sehingga kesepakatan ataupun perjanjian yang tercipta melalui online. Menurut Efraim Turban “e-commerce is the process of buying, selling transferring, or exchanging product service and/or information via computer networks, mostly the Internet and intranets”.8 Definisi tersebut diatas menjelaskan bahwa transaksi elektronik adalah proses pembelian, pengalihan penjualan, atau peningkatan pelayanan produk dan / atau informasi melalui jaringan komputer, terutama internet dan intranet. Beberapa alasan konsumen berbelanja secara online yaitu karena praktis, karena tinggal „klik‟, isi data diri dan bayar lewat e-banking atau atm, hemat karena lebih murah dari retail di toko fisik, efisien karena tidak perlu keluar rumah naik kendaraan, cari parkir, dan bayar parkir/taksi.
Disclaimer dicantumkan oleh penyelenggara sistem elektronik / pelaku usaha tanpa adanya negosiasi dengan konsumen terlebih dahulu. Dari 10 situs internet yang
diakses, 8 diantaranya mencantumkan disclaimer yang didalamnya
mengandung pengalihan tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik terhadap segala sesuatu hal yang mungkin akan terjadi dan berakibat merugikan 8
Efraim Turban, et. al,2010, Electronic commerce 2010 (a managerial perspective) sixth edition, Pearson, United State of America, page 46.
konsumen. Salah satu contoh disclaimer yang ada di internet yang ditemukan yaitu disclaimer pada situs penyedia TV streaming yang berbunyi “None of the streams are hosted on this server, please contact ustream tv, vogulus, selfcast or justin tv directly regarding this stream copyright” (tidak ada satupun aliran host/pemilik pada server ini, silahkan langsung menghubungi ustream tv, vogulus, selfcast atau justin tv mengenai hak cipta siaran ini). Mengacu kepada disclaimer tersebut, yang merupakan sebuah website penyedia TV streaming, ada sedikit ketidaksesuaian
terhadap
disclaimer
yang
mereka
cantumkan,
sederhananya adalah bagaimana mungkin web TV streaming tersebut
logika tidak
bertanggung jawab atas apa yang di tampilkan, maupun di embed (dilekatkan), meskipun content dan server-nya itu berasal dari website lain. 9 Tentu saja disini sangat jelas dilihat bahwa penyelenggara sistem elektronik pada situs tersebut ingin mengalihkan tanggung jawabnya. Keluhan konsumen berkaitan dengan jual beli secara online (e-commerce) juga ditemukan salah satunya adalah mengenai seorang konsumen yang membeli jam tangan disebuah online shop di internet dimana permasalahan muncul ketika barang sampai ditangan konsumen ternyata hanya berupa kotak jam saja tanpa ada jam tangan padahal sebelumnya konsumen sudah melakukan pembayaran lunas ke pelaku usaha online shop tersebut, tentu saja dsini konsumen tersebut merasa kecewa dan dirugikan kemudian langsung menghubungi pihak online shop dan pihak online shop tidak mau bertanggung jawab atas tidak adanya jam tangan didalam kotak jam tersebut, tentu saja alasan pihak online shop tersebut dikuatkan 9
Mustadafin, 2012, Standar Ganda Copyright pada Website, diakses dari URL : http://www.kaskus.co.id , pada tanggal 20 Juni 2012
dengan disclaimer yang telah dicantumkan sebelumnya bahwa pihak online shop tidak bertanggung jawab atas barang yang telah dikirim ke pembeli. 10 Kasus selanjutnya ditemukan dari konsumen yang berbeda, konsumen tersebut membeli sejumlah barang secara grosir di sebuah online shop dan setelah barang diterima, didapati bahwa 2 dari 4 barang yang konsumen pesan dalam kondisi rusak, ketika konsumen mengadu ke online shop, pihak online shop mengatakan bahwa didalam situs sudah jelas dari awal bahwa barang grosir tidak dicek dan tidak bisa dikembalikan. Oleh karena semakin mudahnya para pelaku usaha dalam mengalihkan tanggung jawab mereka yang dituangkan dalam bentuk disclaimer, maka hal tersebut seakan menjadi kebiasaan yang diikuti oleh pelaku usaha online
lainnya sehingga terkesan menjadi suatu kewajiban dalam
mencantumkan klausul pengalihan tanggung jawab dalam bentuk disclaimer di dalam setiap situs internet. Aktivitas Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia sudah diundangkan berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi (UU ITE). Namun pengaturan mengenai perlindungan hak-hak konsumen pada Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum diatur secara tegas. UU ITE sebagai ketentuan yang khusus (lex specialis derogate legi generali) mengatur mengenai transaksi elektronik karena ruang lingkupnya di dunia maya (cyberspace). Pada UU ITE menyebutkan bahwa prinsip utama transaksi elektronik adalah kesepakatan atau dengan ”cara-cara 10
Toto Adhitama, 2011, About gadget, diakses dari URL : http://asia.groups.yahoo.com/, pada tanggal 12 Januari 2013
yang disepakati” oleh kedua belah pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen). Transaksi elektronik mengikat para pihak yang bersepakat sehingga konsumen yang melakukan transaksi elektronik dianggap telah menyepakati seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut (Pasal 18 ayat (1) UU ITE). Hal ini berkenaan dengan disclaimer yang dicantumkan oleh pelaku usaha yang memanfaatkan media internet. Disclaimer dalam transaksi elektronik dapat menempatkan posisi yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha dengan bebas mencantumkan disclaimer dalam website dengan tujuan untuk perlindungan hukum bagi pelaku usaha sendiri. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, perlu pengkajian lebih mendalam mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan Dengan Pencantuman Disclaimer Oleh Pelaku Usaha Dalam Situs Internet (website).” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan tersebut,maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan mengenai pencantuman disclaimer pada suatu situs internet (website) di Indonesia ? 2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs internet (website)? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Sesuai dengan rumusan masalah yang ada dan agar suatu masalah tidak menyimpang dari pokok permasalahan, dan untuk mendapatkan gambaran tentang
apa yang akan diuraikan dalam tesis ini, perlu kiranya dibuat ruang lingkup permasalahannya sehingga dapat diketahui dengan jelas materi-materi yang terkait erat dengan permasalahan diatas. Maka pembahasan terhadap materi yang akan diangkat dalam tesis ini berkisar pada pertama, menyangkut tentang eksistensi pengaturan mengenai pencantuman disclaimer pada suatu situs internet di Indonesia, kedua akan dibahas mengenai bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs internet (website). 1.4 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs internet (website). b. Tujuan Khusus 1)
Untuk mengetahui pengaturan mengenai pencantuman disclaimer dalam suatu situs internet (website) di Indonesia.
2)
Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs internet (website).
1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan hukum di masa yang akan datang yang khususnya
berkaitan dengan perkembangan di
bidang
hukum
bisnis
yang
keberadaanya sangat dibutuhkan dalam menopang aktifitas dunia bisnis dewasa ini. b. Manfaat praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi diseluruh kalangan. Bermanfaat bagi praktisi hukum maupun penegak hukum, serta bermanfaat terutama bagi para pelaku bisnis agar dapat menemukan solusi serta pemecahan masalah yang disebabkan oleh adanya disclaimer pada suatu situs internet (website). 1.6 Orisinalitas Penelitian Dari beberapa penelusuran pustaka banyak dijumpai penelitian-penelitian terdahulu yang membahas mengenai bidang informasi dan transaksi elektronik, akan tetapi belum ada yang membahas mengenai disclaimer pada situs internet, jadi penelitian ini bukan merupakan plagiat dan memenuhi unsur-unsur kebaruan. Penelitian-penelitian terdahulu yang pernah dilakukan adalah tidak sama dengan penelitian yang akan dilakukan. Berdasarkan penelusuran pustaka ditemukan lima judul penelitian, antara lain :
Pertama, ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Indonesia dengan judul “Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Perangkat Lunak Kepada Konsumen : Kajian Perbandingan Lisensi Standard Sofware, Bespoke Software dan Customized Software”11 atas nama Anggia Dyarini M. dengan rumusan masalah yang dibahas megenai permasalahan terhadap perangkat lunak timbul saat perangkat lunak tersebut tidak dapat mengakibatkan komputer bekerja untuk melakukan
fungsinya
berdasarkan
kebutuhan
konsumen,
atau
bahkan
mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Selain itu, minimnya kesadaran dan pengetahuan konsumen serta lemahnya peraturan perundang-undangan di Indonesia kadangkala dimanfaatkan oleh pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai itikad baik dengan mengesampingkan kewajiban dan tanggung jawab hukum pelaku usaha. Tesis ini membahas mengenai analisa yuridis sistem pertanggungjawaban pelaku usaha perangkat lunak terhadap konsumennya sebagai bentuk perlindungan konsumen di Indonesia. Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Kedua, ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Diponegoro dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli melalui Media Internet”12 atas nama Lia Catur Muliastuti dengan rumusan masalah yaitu :
11
Anggia Dyarini M, 2011, Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Perangkat Lunak Kepada Konsumen : Kajian Perbandingan Liensi Standard Sofware, Bespoke Software dan Customized Software, diakses dari : URL : www. lontar. ui. ac. id, pada tanggal 11 Maret 2012. 12
Lia Catur Mastuti, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli melalui Media Internet, diakses dari URL : eprints.undip.ac.id /23920 / 1 / Lia _ Catur _ Muliastuti.pdf, pada tanggal 12 Maret 2012.
1. Bagaimana proses pelaksanaan, hambatan-hambatan serta cara mengatasi hambatan-hambatan dalam jual beli melalui media internet? 2. Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli melalui media internet? Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dan spesifikasinya dilakukan secara deskriptif analisis. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan, dan data yang didapat akan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa pelaksanaan jual beli melalui media internet terdiri dari empat proses, yaitu penawaran, penerimaan, pembayaran, dan pengiriman, hambatan-hambatan dalam transaksi di internet, khususnya mengenai cacat produk, informasi dan webvertising yang tidak jujur atau keterlambatan pengiriman barang, dan umumnya mengenai pola pikir, minat, dan kultur atau budaya masyarakat Indonesia. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli melalui media internet meliputi perlindungan hukum dalam perjanjian dan perlindungan hukum di luar perjanjian. Ketiga , ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Udayana dengan judul “Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan” nama Anak Agung Ayu Diah Indrawati dengan rumusan masalah yaitu : 1. Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ?
2. Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan label pangan ? Jenis penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitian dalam hal ini adalah PP No. 69 Tahun 1999. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative yaitu penelitian yang menekankan pada data sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan bahan hukum diawali dengan inventarisasi dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan hukum. Analisa bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan komprenhensif. Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen, dan pelanggaran ketentuan label pangan oleh pelaku usaha dapat dikenakan tanggungjawab administratif, perdata maupun pidana. Keempat, ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Diponegoro dengan judul “Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial Elektronik”
13
atas nama
dr. Sylvia Christina Aswin, S.H. dengan rumusan masalah yaitu : Rumusan Masalah : 1. Apakah kontrak elektronik (e-contract/online-contract) yang dibuat tanpa pertemuan langsung antara para pihak dapat dikatakan sah? 13
Sylvia Christina Aswin, 2006, Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial Elektronik , diakses dari URL : eprints.undip.ac.id/17823/1/Sylvia_Christina_Aswin.pdf. pada tanggal 12 Maret 2012.
2. Jika terjadi sengketa di antara para pihak, bagaimana kekuatan pembuktian suatu kontrak elektronik (e-contract/online-contract)? Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analtis dengan pendekatan yuridis normatif. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masih terdapat ketidakpastian mengenai keabsahan dan kekuatan kontrak yang dilakukan secara elektronik sebagai alat bukti. Kelima, ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Udayana dengan judul “ Validasi Digital Signature Pada Dokumen Elektronik Dalam Transaksi Komersial”14 atas nama Made Maharta Yasa, dengan rumusan masalah yaitu Rumusan Masalah : 1. Bagaimanakah pengaturan transaksi e-commerce di Indonesia? 2. Bagaimanakah kedudukan dokumen elektronik dalam transaksi komersial
yang ditandatangai dengan digital signature pada sistem hukum Indonesia? Dibandingkan dengan penelitian dalam tesis ini, tampaklah perbedaanperbedaan yang spesifik.. Penekanan pada penelitian ini terletak pada pembahasan mengenai pengaturan pencantuman disclaimer pada suatu situs internet (website) dan perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs internet (website). Dalam penelitian yang terdahulu belum pernah ditemukan kajian mengenai keberadaan disclaimer pada situs internet (website). Oleh karena itu penelitian ini dapat dikemukakan
14
Made Maharta Yasa, 2010, Validasi Digital Signature Pada Dokumen Elektronik Dalam Transaksi Komersial , Tesis, Universitas Udayana.
masih bersifat orisinal dan layak untuk dijadikan sebagai obyek penulisan dalam bentuk tesis. 1.7.Landasan Teoritis Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian maka diperlukan landasan teori. Landasan teori sebagai landasan berfikir yang bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntunan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Landasan teori merupakan upaya untuk mengidentifikasi teori–teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, serta norma-norma hukum. Untuk mengkaji permasalah hukum secara mendetail diperlukan beberapa teori yang merupakan rangkaian asumsi, konsep, definisi, untuk mengembangkan, menekankan serta menerangkan suatu gejala sosial secara sistematis. Suatu teori adalah hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut caracara tertentu fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang telah diuji kebenarannya. 15 Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan interdisipliner. Jadi, tidak hanya menggunakan metode sintesis saja. Dikatakan secara kritis
15
Soerjono Soekamto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta,h.30.
karena pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teori hukum tidak cukup dijawab secara “otomatis” oleh hukum positif karena memerlukan argumentasi atau penalaran. 16 Teori terdiri dari serangkaian pemahaman-pemahaman dari suatu kenyataan yang tersusun secara sistematis, logic dan konkrit yang melalui serangkaian pengujian yang telah diakui kebenarannya (walaupun sementara) dan masih membutuhkan serangkaian pengujian lagi agar diperoleh suatu kebulatan pemahaman tentang suatu hal. 17 Dalam dunia hukum terhadap pemahaman bahwa istilah teori bukanlah suatu yang harus dijelaskan tetapi sebagai sesuatu yang seolah-olah telah dipahami maknanya. 18 Dalam menjawab permasalah yang terkait dengan pengaturan disclaimer dan perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website), maka dalam hal ini akan diuraikan melalui teori-teori sebagai berikut: 1. Untuk menjawab rumusan masalah pertama mengenai pengaturan disclaimer pada suatu situs internet (website) di Indonesia, digunakan teori-teori sebagai berikut : -
Teori Sistem Hukum;
-
Teori tentang
Azas-azas Pembentukkan Peraturan Perundang-
undangan. 16
Sudikno Mertokusumo,2012, Teori hukum (edisi revisi), Cahaya atma pustaka, Yogyakarta,
h.87 17
B.Hestu Cipto Handoyo , 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h.28 18
Otje Salman, 2008, Teori Hukum – Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Jakarta, h. 19
2. Untuk menjawab rumusan masalah kedua tentang perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs internet (website) digunakan teori-teori sebagai berikut : -
Teori Keadilan;
-
Stakeholders Theory.
Alasan menggunakan teori sistem hukum (legal system), oleh karena adanya pembahasan mengenai pengaturan disclaimer termasuk dalam salah satu komponen teori sistem hukum yaitu dalam substansi hukum (legal substance). Kemudian digunakannya Stakeholder Theory mengingat karena konsumen internet sebagai bagian dari stakehoders harus diperhatikan terlebih dahulu, karena kelompok ini sangat menentukan keberadaan dan keberhasilan suatu perusahaan dalam aktivitas usahanya, konsumen internet juga harus mendapatkan perlindungan, karena seluruh warga Negara dapat berkedudukan sebagai konsumen, maka perlindungan dan kesejahteraan konsumen juga menjadi tanggung jawab Negara. Digunakannya teori tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dari Lon. L. Fuller karena nampaknya adanya Undangundang No.11 Tahun 2008 (UU ITE) belum memenuhi salah satu syarat yang merupakan azas dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan yang baik menurut Lon L.Fuller. Kemudian digunakannya teori keadilan dari Adam Smith karena lemahnya posisi konsumen internet dibanding posisi pelaku usaha. Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni
keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan. Selengkapnya tentang teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : A. Teori Sistem Hukum (Legal System) Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Karenanya, proses pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut Negara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji pembentukan undang-undang secara komprehensif, haruslah dimulai dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory) menurut Lawrence M.Friedman dalam sistem hukum mengandung 3 (tiga) komponen, yaitu : a. Struktur hukum (legal structure) b. Subtansi hukum (legal substance) c. Budaya hukum (legal culture).19 Struktur hukum mengacu pada bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum. 20 Hubungan antar lembaga tinggi Negara. Komponen struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi (lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu diantara institusi tersebut adalah peradilan dengan berbagai perlengkapannya.
19
Lawrence M.Friedman,2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), Nusa Media, Bandung, h. 12 20
Ibid, h.15
Substansi tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi-institusi harus berlaku. 21 Substansi hukum meliputi aturanaturan hukum, norma-norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan-keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. Subtansi hukum ini juga mencakup hukum yang hidup di tengah masyarakat bukan hanya pada aturan-aturan yang ada didalam buku-buku hukum/ undang-undang/ putusan hakim. Komponen substansi hukum ini relevan untuk membahas rumusan masalah yang pertama, substansi hukum yaitu undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi (UU ITE) harus jelas mengatur tentang adanya perlindungan hak konsumen berkaitan dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet, jika substansi hukumnya tidak mengatur maka perlindungan hukum terhadap konsumen yang terlibat dalam transaksi elektronik melalui internet menjadi sangat lemah. Budaya hukum/kultur hukum (legal culture) mencakup nilai-nilai dalam masyarakat yang mendasari hukum yang berlaku.22 Kultur hukum juga bisa mempengaruhi tingkat penggunaan pengadilan yakni sikap mengenai apakah akan dipandang benar atau salah, berguna atau sia-sia bila kita pergi ke pengadilan. Sebagian orang juga bersikap takut menggunakannya hak-hak mereka. Seperti halnya budaya hukum pada konsumen internet, kesadaran hukum daripada konsumen internet masih sangat rendah, karena hukum yang melindungi hak-hak
21
Ibid, h.16
22
Ibid, h. 18
konsumen juga sangat lemah, belum ada mekanisme pengaduan yang mudah bagi konsumen yang menderita kerugian. Konsumen hanya bisa berdiam diri menanggung kerugian yang mereka alami. B. Teori tentang Azas-azas Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan Teori ini dikemukakan oleh Lon L.Fuller. menurut Fuller, agar hukum (peraturan) berfungsi dengan baik, maka peraturan tersebut harus mematuhi atau mengikatkan diri secara ketat kepada 8 (delapan) syarat yang merupakan azasazas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu23 : 1) …a failure to acliieve rule at all, so that every issue must de decided on an ad hoc basi : (peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya; dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum, artinya suatu system hukum harus mengandung peraturan-peraturan dan tidak boleh sekedar mengandung keputusan yang berisifat sementara atau ad hoc); 2) A failure to publicize, or at least, to make available to the affected party, the rules he is expected to observe (aturanaturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka yang menjadi objek pengaturan aturan-aturan tersebut); 3) The abuse of retroactive legislation, which not only cannot it self guide action, but under it‟s the integrity of rules prospective in effect, since it puts them under the threat of retrospective change (tidak boleh ada peraturan yang memilki daya laku surut atau harus nonretroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang); 4) A failure to make rules understandable (dirumuskan secara jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti); 5) The enactment of contradictory rules (tidak boleh mengandung aturan-aturan yang bertentangan satu-sama lain); 6) Rules that require conduct beyond the powers of the affected party (tidak boleh mengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan); 23
Yuliandari, 2009, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.130
7) Introduction such frequent changes in the rules (memperkenalkan perubahan sering seperti dalam aturan, artinya ketentuan bahwa hukum harus konstan/konsisten di setiap waktu tidak mutlak, karena hukum harus merespon perubahan yang terjadi di setiap waktu); dan 8) A failure of congruence between the rules as announced and their actual administration (harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari).
Salah satu syarat yang merupakan azas dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan menurut Lon I.Fuller dalam angka 7 (tujuh) sebagaimana telah disebutkan adalah : mengenai konsisten di setiap waktu, Menurut Fuller, ketentuan bahwa hukum harus konstan/konsisten di setiap waktu tidak mutlak, karena hukum harus merespon perubahan yang terjadi di setiap waktu (Introducing such frequent changes in the rules). Bila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan tentang Informasi dan transaksi elektronik (ITE), khususnya menyangkut pencantuman disclaimer dalam website. Menurut Fuller bahwa hukum harus dapat merespon perubahan yang terjadi di setiap waktu, dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan Informasi dan transaksi elektronik khususnya berkaitan dengan adanya pengabaian hak-hak konsumen akibat dari dicantumkannya disclaimer,
artinya peraturan dalam
bidang Informasi dan Transaksi Elektroik harus dapat mengakomodir segala macam kasus atau permasalahan yang menyangkut dunia internet yang timbul dari adanya
perkembangan
zaman
agar
tidak
terjadi
kekosongan
Penyempurnaan peraturan perundang-undangan khususnya Informasi dan Transaksi Elektronik perlu untuk dilaksanakan.
dalam
hukum. bidang
C. Teori keadilan Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil, keadilan ditandai oleh hubungan yang baik antara satu dengan yang lain, tidak mengutamakan diri sendiri, tapi juga pihak lain serta adanya kesamaan. 24 Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.25 Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Adam Smith yang hanya menerima satu konsep keadilan yaitu keadilan komutatif. Menurut Adam Smith keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti, yaitu keadilan komutatif yg menyangkut kesetaraan dan keharmonisan hubungan antara satu orang dengan orang lain. Ketidakadilan berarti pincangnya hubungan antar manusia karena kesetaraan yg terganggu. Keadilan legal sudah terkandung dalam keadilan komutatif, karena keadilan legal hanya konsekuensi lebih lanjut dari prinsip keadilan komutatif. Demi menegakkan keadilan komutatif, negara harus bersikap netral dan memperlakukan semua pihak secara sama tanpa terkecuali. John D.Ashcroft & Janet E. Ashcroft menyatakan bahwa : “Consumer protection is more than a protection of "consumer" interests. Legitimate business interests are strengthened by it. Laws requiring fairness and full disclosure of business dealings make it more difficult for unscrupulous business people to operate and thereby infringe upon the trade of those whose business practices are sound.
24
Satjipto Rahardjo,2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 44 25
Chainur Arrasjid, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 40
This area of the law is still growing and further measures attempting to protect the consumer from unfair practices are likely to be adopted.”26 Dijelaskan bahwa perlindungan konsumen lebih dari perlindungan dari kepentingan "konsumen" saja. Kepentingan bisnis diperkuat oleh kepentingan konsumen tersebut. Hukum membutuhkan keadilan dan keterbukaan penuh dalam kesepakatan-kesepakatan bisnis membuat hal tersebut lebih sulit bagi orang-orang bisnis yang tidak bermoral untuk menjalankan dan dengan demikian masuk akal apabila terdapat pelanggaran dalam praktik bisnis mereka. Hal ini termasuk dalam lingkup hukum masih terus berkembang dan langkah-langkah lebih lanjut yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari praktik yang tidak adil kemungkinan akan diadopsi. Apabila prinsip keadilan dijalankan maka akan lahir bisnis yang lebih baik dan etis. 27 D. Stakeholder Theory Suatu Perusahaan sebagaimana yang terjadi selama ini hanya bertanggung jawab terhadap para pemilik (shareholders). Tanggung jawab perusahaan yang semula hanya diukur sebatas pada indikator ekonomi (economic focused) dalam laporan keuangan, kini harus bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial (social dimentions) terhadap stakeholders, baik internal maupun eksternal. Friedman‟s memberikan definisi tentang stakeholders yaitu :
26
John D.Ashcroft & Janet E. Ashcroft, 1981, College Law for Business, United States of America, South-Western Publishing Co. Page 124 27
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum perjanjian asas proporsionalitas dalam kontrak komersial, Laksbang Mediatama ,Yogyakarta, h.70
“any group or individual who can affect or is affected by achievement of the organization‟s objectives.”28
Definisi tersebut menyatakan bahwa stakeholder merupakan kelompok / individu yang dapat mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Stakeholders theory lahir atas kritikan dan kegagalan shareholders theory atau Friedman‟s paradigm yang dikemukakan oleh Milton Friedman‟s dalam upaya meningkatkan tanggung jawab perusahaan, yang terletak pada tanggung jawab tunggal manajemen terhadap stakeholders. Kegagalan tersebut mendorong munculnya stakeholders theory yang melihat shareholders sebagai bagian dari stakeholders itu sendiri. Teori ini dikemukakan oleh R.Edward Freeman. Menurut Freeman, stakeholder memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Stakeholders merupakan keterikatan yang didasari oleh suatu kepentingan tertentu, membahas mengenai stakeholders theory berarti membahas hal-hal yang menyangkut tentang kepentingan dari berbagai pihak. Asumsi mengenai Stakeholder Theory menurut Thomas dan Andrew adalah :29 1. Suatu perusahaan memiliki hubungan dengan banyak kelompok-kelompok konstituen (Stakeholder) yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan perusahaan.
28
Busyra Azheri, 2011,Corporate Social Responsibility (Dari Voluntary Menjadi Mandatory), PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.112 29
Nor Hadi, 2012, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta, h.94
2. Teori ini ditekankan pada sifat alami hubungan dalam proses bagi perusahaan dan stakeholder. 3. Kepentingan semua legitimasi stakeholder memiliki nilai secara hakiki dan tidak membentuk kepentingan yang di dominasi satu sama lain. 4. Teori ini memfokuskan pada pengambilan keputusan manajerial. Berdasarkan asumsi stakeholder theory tersebut , perusahaan tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial. Perusahaan perlu menjaga legitimasi stakeholder serta memposisikannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga dapat
mendukung pencapaian tujuan perusahaan. 30
Stakeholder merupakan individu, kelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun parsial, internal maupun eksternal yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan, yang dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. 31 Berdasarkan kedekatan dengan pihak yang terkait dengan perusahaan, maka stakeholders theory dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian32, yaitu kelompok primer dan kelompok sekunder, kelompok primer terdiri atas pemilik modal/saham (owners), kreditor, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur dan pesaing/rekanan.
Kelompok
sekunder
terdiri
atas
pemerintah
setempat,
pemerintah asing, kelompok sosial, media masa, kelompok pendukung, masyarakat pada umumnya dan masyarakat setempat. 30
Ibid
31
Elvinard Ardianto dan Dindin M.Machfudz, 2011, Efek Kedermawanan Pebisnis dan CSR Berlipat-lipat, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, h. 75 32
Ibid, h.113
Atas dasar pengelompokan stakeholders, sudah tentu kelompok primer yang harus diperhatikan terlebih dahulu, karena kelompok ini sangat menentukan keberadaan dan keberhasilan suatu perusahaan dalam aktivitas usahanya oleh karena kelompok primer berinteraksi langsung dalam aktifitas bisnis perusahaan.33 Kenneth Andrews menyatakan bahwa eksekutif perusahaan sekarang ini termasuk orang yang tidak dapat membatasi dirinya hanya untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan mengabaikan aspek social. Seorang manajer dan perusahaan tidak bisa lepas dari berbagai masalah sosial di lingkungannya. Oleh karena itu para manajer harus menyadari bahwa suatu perusahaan adalah sebuah institusi publik dan manajemen yang dijalankan harus menurut pedoman nilai moral yang terkandung dalam kesadaran perusahaan itu sendiri. Pihak manajemen perusahaan diharapkan akan memasukkan nilai-nilai moralitas dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aktivitas usahanya dengan adanya stakeholders theory ini. Semakin jelaslah stakeholders theory yang merupakan suatu pendekatan yang didasarkan atas bagaimana mengamati, mengidentifikasi dan menjelaskan secara analitis tentang berbagai unsur yang dijadikan dasar dalam mengambil suatu keputusan dan tindakan dalam menjalankan aktivitas usaha. Kemudian dilakukan pemetaan terhadap hubungan-hubungan yang terjalin dalam kegiatan bisnis. Pada umumnya hal ini dilakukan sebagai upaya menunjukkan siapa saja yang punya kepentingan, terkait dan terlibat dalam kegiatan bisnis. Akhirnya tujuan bisnis akan bermuara pada suatu tujuan yang bersifat imperatif dalam arti kata bahwa bisnis harus 33
Dwi Kartini, 2009, Coorporate Social Responsibility Transformasi Konsep Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h.8
dijalakan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan stakeholders dengan aktivitas dunia usaha terjamin, diperhatikan dan dihargai. 34 Pelaku Usaha hendaknya memperhatikan stakeholders dan tidak hanya meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya saja, karena stakeholders adalah pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung atas aktivitas dan kebijakan yang diambil suatu perusahaan. Jika perusahaan tidak memperhatikan stakeholders, akan dapat menuai protes dan mengeliminasi stakeholders. Bagi pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya secara online melalui situs internet (website) berkaitan dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawabnya, diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak stakeholders yaitu hak-hak konsumen karena konsumen merupakan kelompok primer yang sangat terkait dengan perusahaan. Dalam suatu bisnis termasuk dalam bisnis online stakeholders theory bermuara pada prinsip minimal yaitu tidak merugikan hak dan kepentingan pihak yang berkepentingan baik pelaku usaha maupun konsumen. Hal ini bermakna bahwa suatu bisnis online harus dijalankan secara baik dan etis demi kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnis online tersebut. 1.8 Metode Penelitian a.
Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum yang 34
Ibid, h. 118-119
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka.35 Di dalam penelitian hukum normatif, maka penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum, yang merupakan patokan-patokan berprilaku atau bersikap tidak pantas.36 b. Pendekatan Masalah Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, informasi didapatkan dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.
37
Pendekatan masalah dalam penelitian
ini mempergunakan beberapa pendekatan dalam memecahkan masalah, yaitu dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach.). Disamping itu digunakan pendekatan analisis konsep hukum yaitu mengutip pandangan-pandangan atau pendapat para ahli yang terdapat pada buku-buku atau literatur yang relevan dengan permasalahan yang diteliti (analytical and conceptual approach) atau bahan hukum sekunder. Pendekatan ini juga mencari pembenaran atas suatu teori hukum atau azas-azas yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Teori Sistem Hukum, Teori tentang Azas-azas Pembentukkan Peraturan Perundangundangan, Teori Keadilan dan Stakeholder Theory.
35
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.14 36
Nomensen Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT.Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, h. 107 37
h 93
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
c.
Sumber bahan hukum. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan bahan hukum
dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai bahan hukum sekunder. Bahan Hukum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 golongan 38 : 1)
Bahan hukum primer (primary law material) Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen, hukum dan putusan hakim)
2)
Bahan hukum sekunder (secondary law material) Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, media cetak atau elektronik.
3)
Bahan hukum tertier (tertiary law material) Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum dan ensiklopedia).
Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat diperoleh melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum 39. Bahan hukum primer dalam penulisan ini adalah:
38
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 82. 39
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 98.
1.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
4.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
5.
Undang-undang No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
6.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta;
7.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
8.
Peraturan
Pemerintah
Nomor
82
Tahun
2012
Tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Sedangkan bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penulisan ini yaitu buku-buku ataupun literatur-literatur yang memuat teori dan pandangan dari para ahli yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Serta bahan hukum tertier yang memberi petunjuk maupun penjelasan dalam penulisan ini adalah kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia dan internet yang diuraikan pada halaman akhir penulisan ini. d. Teknik pengumpulan bahan hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini dilakukan dengan cara menggali kerangka normatif menggunakan bahan hukum yang membahas tentang teori-teori hukum, perlindungan hukum terhadap konsumen internet di indonesia. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem bola salju (snow ball) dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif. e.
Teknik analisis bahan hukum. Teknik analisis terhadap bahan hukum dilakukan dengan cara deskriptif,
evaluatif, interpretatif dan argumentatif. Deskripsi dapat berupa penggambaran bahan-bahan hukum sebagaimana adanya. Bahan-bahan tersebut dideskripsikan Kemudian dilanjutkan dengan evaluasi berupa penilaian terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh. Untuk mendapat jawaban permasalahan-permasalahan maka dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan dan dikaitkan dengan permasalahan yang ada.
BAB II KONSEPSI PERLINDUNGAN KONSUMEN, PELAKU USAHA , DISCLAIMER DAN SITUS INTERNET (WEBSITE)
2.1 Perlindungan Konsumen 2.1.1 Konsepsi Umum tentang Pelindungan Konsumen dan Dasar Hukumnya Bentuk perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi salah satunya yaitu perlindungan hukum. Adanya benturan kepentingan didalam masyarakat harus dapat diminimalisasi dengan kehadiran hukum dalam masyarakat. Adanya perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) , oleh karena itu maka setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus mampu memberikan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat. Terdapat beberapa pendapat para sarjana mengenai perlindungan hukum, antara lain : a)
Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.40
b) Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan 40
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta, Kompas, h.121.
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia41 c)
Menurut
Muchsin,
perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk
melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidahkaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia. 42 d) Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum diartikan sebagai tindakan melindungi atau memberikan pertolongan kepada subyek hukum dengan perangkat-perangkat hukum. Bila melihat pengertian perlindungan hukum di atas, maka dapat diketahui unsur-unsur dari perlindungan hukum, yaitu 43: subyek yang melindungi , obyek yang akan dilindungi
alat, instrumen
maupun upaya yang digunakan untuk tercapainya perlindungan tersebut. Dari beberapa pengertian mengenai perlindungan hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu upaya untuk melindungi kepentingan individu atas kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai hak untuk menikmati martabatnya, dengan memberikan kewenangan padanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “Perlindungan konsumen adalah “segala upaya
41
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,Surakarta h. 14. 42
43
Ibid
Philipus M. Hadjon,dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h.10
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan mampu menjadi benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. Faktor yang juga turut mendorong pembentukan Undang-undan No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia adalah perkebangan sistem perdagangan global yang dikemas dalam kerangka World Trade Organization (WTO), maupun program International Monetary Fund (IMF) dan Program Bank Dunia. 44 Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidahkaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen. 45 Menurut Pasal 1 angka 2 UU No.8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Pernyataan “tidak untuk diperdagangkan” yang dinyatakan dalam definisi dari konsumen ini ternyata memang dibuat sejalan dengan pengertian “pelaku usaha” yang diberikan oleh Undang-undang, dimana dikatakan bahwa yang dimaksud
44
Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta,h.131 45
h.46.
Janus Sidabalok,2006, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
dengan pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 3 adalah : Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Ini berarti tidak hanya para pelaku usaha pabrikan yang menghasilkan barang dan/atau jasa yang tunduk pada Undang-undang ini, melainkan juga para rekanan, termasuk para agen, distributor, serta jaringan-jaringan yang melaksanakan fungsi pendistribusian dan pemasaran barang dan/atau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa 46. Berkaitan dengan kegiatan usaha secara online konsumen juga termasuk dalam kategori Pengguna Sistem Elektronik sesuai dengan Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang merupakan setiap Orang, penyelenggara Negara, Badan Usaha dan Masyarakat yang memanfaatkan barang, jasa, fasilitas atau informasi yang disediakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik. Selanjutnya untuk mempertegas makna dari barang dan/atau jasa menurut Pasal 1 angka 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga memberikan definisi dari barang dan jasa sebagai berikut : Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tiak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen, jasa adalah setiap
46
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2000, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.5
layanan yang berbentuk pekerjaan atau presentasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Konsumen merupakan pengguna akhir (end user), dari suatu produk yaitu setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 47 Pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga pengertian, yaitu 48 : 1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu. 2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan/komersial. Melihat pada sifat penggunaan barang dan/atau jasa tersebut, konsumen antara ini sesungguhnya adalah pengusaha, baik pengusaha perorangan maupun pengusaha yang berbentuk badan hukum atau tidak, baik pengusaha swasta maupun pengusaha publik (perusahaan milik negara) dan dapat terdiri dari penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang digunakan oleh konsumen akhir atau produsen, atau penyedia atau penjual produk akhir seperti supplier, distributor atau pedagang.
47
Abdul Rasyid Saliman, et.Al. 2008, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh Kasus) Edisi 2 Cetakan 4, Kencana Renada Media Group, Jakarta, h.23. 48
Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.61.
3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan barang dan/atau jasa, yang digunakan untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadinya, keluarga dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Hukum Perlindungan Konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan barang/jasa. Adapula yang mengatakan bahwa hukum konsumen digolongkan dalam hukum bisnis atau hukum dagang karena dalam rangkaian pemenuhan kebutuhan barang/jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi perdagangan.Serta ada pula yang menggolongkan hukum konsumen dalam hukum
perdata, karena hubungan antara konsumen dan produsen/pelaku usaha dalam aspek pemenuhan barang/jasa yang merupakan hubungan hukum perdata. 49 Peraturan tentang hukum Perlindungan Konsumen telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada tangal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati rancangan undang-undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 April 1999.50 Dengan diundangkannya masalah perlindungan konsumen dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di tanah air. 2.1.2. Hak-hak dan Kewajiban Konsumen dalam Perspektif Undangundang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu 51 : 1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); 2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 3. hak untuk memilih (the right to choose); 4. hak untuk didengar (the right to be heard).
49
N.H.T Siahaan, 2005, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk), Panta Rei, Jakarta, h.34. 50
51
Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika dirugikan, Visimedia, Jakarta, h.20.
Ibid
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan ganti kerugian dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pada era 1960an Negeri Paman Sam cukup beruntung karena gerakan perlindungan konsumen mendapat dukungan pada tingkat suprastruktur politik ini terjadi pada 15 Maret 1962 tatkala Mantan Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy mengucapkan pidato kenegaraan dihadapan Kongres Amerika Serikat berjudul “A Special Message of Protection the Consumer Interest”52, pernah mengemukakan empat hak dasar konsumen, yaitu 53 : 1. the right to safe products; 2. the right be informed about products; 3. the right to definite choices in selecting products; 4. the right to be heard regarding consumer interest. Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi54 :
52
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi 2006), PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.44. 53
54
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op cit, h.27. Ibid, h.28.
1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; 2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen; 3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi; 4. Pendidikan konsumen; 5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; 6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hakhak Konsumen disebutkan disusun secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling dasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut 55 : 1. Hak konsumen mendapatkan keamanan Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen adalah pihak yang wajib berhati-hati bukan pelaku usaha. Falsafah 55
h.32
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,
yang disebut let the buyer beware ini mencapai puncaknya pada abad ke-19 seiring dengan berkembangnya paham rasional individualisme di Amerika Serikat.56 Dalam perkembangannya kemudian, prinsip yang merugikan konsumen ini telah ditinggalkan. 2. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk. 57 Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal diartikan sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya terbebas dari manipulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar, maka perbuatan itu memenuhi kriteria kejahatan. Bentuk kejahatan ini ditandai oleh : 1. Pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah (false statement) 2.
Pernyataan yang menyesatkan (mislead), misalnya menyebutkan adanya khasiat tertentu padahal tidak.58
56
Ibid
57
Ibid, ,h.33.
58
Ibid
3. Hak untuk didengar Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut. Dalam tata krama dan tata cara periklanan Indonesia disebutkan, bila diminta oleh konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklan, harus bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu.59 Pengertian demikian, sekalipun masih berbentuk kode etik akan mengarah kepada langkah positif menuju penghormatan hak konsumen untuk didengar. 4. Hak untuk memilih Dalam
mengonsumsi
suatu
produk,
konsumen
berhak
menentukan
pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli. Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberikan hak monopoli untuk memproduksi dan memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk yang lain. 60 5. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikan
59
Ibid, h.35.
60
Ibid, h.36.
Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya. Namun, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Dalam situasi demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari produk alternatif (bila masih ada), yang boleh jadi kualitasnya malahan lebih buruk. Akibat tidak berimbangnya posisi tawar-menawar antara pelaku usaha dan konsumen, maka pihak pertama dapat saja membebankan biaya-biaya tertentu yang sewajarnya tidak ditanggung konsumen. 6. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Untuk menghindar dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausulaklausula eksonerasi di dalam hubungan hukum antara produsen/penyalur produk dan konsumennya. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian. 7. Hak untuk mendapat penyelesaian hukum Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausula eksonerasi secara sepihak. 61 Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan 61
Ibid, h.38
tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk
advokasi.
Dengan
kata
lain,
konsumen
berhak
menuntut
pertanggungjawaban hukum dari pihak-pihak yang dipandang merugikan karena mengonsumsi produk itu. 8. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik. Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan. 9. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang Persaingan curang dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian. 62 Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang 62
Ibid, h.39.
dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi. 10. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hakhaknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan kesadaran hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.63 Dari sepuluh butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi. 63
Ibid, h.40.
Mengenai kewajiban konsumen tercantum dalam Pasal 5 Undang-undang No.8 Tahun 1999 yang meliputi : 1. kewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4. mengikuti upaya penyelesaikan hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut Peningkatan terhadap kesadaran konsumen akan hak-haknya menjadi penting di era perdagangan bebas saat ini apalagi terkait dengan perubahan pola komunikasi yang memungkinkan para pihak melakukan transaksi tanpa harus bertatap muka. Salah satu aspek penting dalam hal dan kewajiban para pihak adalah penyediaan arus informasi yang harus jelas mengenai jaminan atas barang dan/atau jasa namun tidak meliputi informasi lain yang patut dilindungi oleh hukum apabila pelaku usaha tidak secara jelas memberikannya kepada konsumen seperti informasi mengenai keadaan perusahaan yang terkait erat dengan kredibilitas suatu perusahaan untuk menarik konsumen untuk mengikatkan diri. 2.1.3.
Asas –asas yang Berkaitan dengan Perlindungan Konsumen di Indonesia
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha dan pemerintahan berdasakan lima asas, yang menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah : 1. Asas manfaat; 2. Asas keadilan;
3. Asas keseimbangan; 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen; 5. Asas kepastian hukum. Penjelasan asas-asas tersebut diatas adalah sebagai berikut 64 : 1.
Asas manfaat mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.
Asas Keadilan partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
3.
Asas
keseimbangan
memberikan
keseimbangan
antara
kepentingan
konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 64
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.5.
Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan Negara. 4.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen, memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.
5.
Asas kepastian hukum baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
negara
menjamin
kepastian
hukum,
artinya
Undang-undang
perlindungan konsumen mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung didalam Undang-undang perlindungan konsumen harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya Undang-undang perlindungan konsumen sesuai dengan bunyinya. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu : 1.
asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;
2.
asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
3.
asas kepastian hukum. Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
konsumen, menyatakan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk: a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. mengkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. 2.1.4. Konsepsi tentang Perjanjian Jual Beli antara Pelaku Usaha dengan Konsumen menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Dalam hukum perdata, perjanjian merupakan sendi yang penting karena banyak mengandung penraturan-peraturan hukum yang berdasarkan atas janji seseorang. Suatu perjanjian menerbitkan perikatan, perjanjian merupakan sumber perikatan disamping sumber lain, yaitu Undang-undang. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undangundang.” Perikatan menunjukkan adanya suatu hubungan hukum antara para pihak yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Menurut Subekti, perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasar mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, berkewajiban memenuhi itu. 65 Dari sudut sifatnya, struktur kaidah hukum dapat dibedakan atas hukum imperative (istilah konvensional : hukum memaksa atau dwigend recht) dan hukum fakultatif (hukum yang mengatur atau hukum pelengkap : aanvullend recht /regelend recht). Pembedaan ini didasarkan pada kekuatan sanksinya. Hukum memaksa itu adalah hukum yang dalam keadaan konkret tidak dapat dikesampingkan (disisihkan) oleh perjanjian yang dibuat kedua belah pihak sendiri. Dengan kata lain, hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus ditaati, hukum yang mempunyai paksaan mutlak (absolut). Sedangkan hukum mengatur adalah hukum yang dalam keadaan konkret dapat disisihkan oleh perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Bilamana kedua belah pihak dapat menyelesaikan soal mereka dengan membuat sendiri suatu peraturan, maka peraturan hukum yang tercantum dalam pasal yang bersangkutan, tidak perlu dijalankan. Hukum mengatur biasanya dijalankan, bilamana kedua belah pihak tidak membuat sendiri suatu peraturan atau membuat sendiri suatu peraturan tapi tidak lengkap.66 Terdapat tiga sumber norma yang ikut mengisi suatu perjanjian, yaitu undang-undang, kebiasaan dan kepatutan. Menurut Pasal 18 ayat (3) KUHPerdata, semua pejanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik (Belanda ; tegoeder trouw, Inggris; in good faith, Perancis; de bonne fot). Norma yang dituliskan di 65
66
Subekti, 2001, Hukum Perjanian, Intermasa, Jakarta, h.50
Rachmadi Usman, 2003, Pustaka Utama.Jakarta, h.5
Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia
atas
ini
merupakan
salah
satu
sendi
yang
terpenting
dari
hukum
perjanjian.67Dalam perjanjian jual beli kewajiban-kewajiban pelaku usaha sebagai penjual ada 2 (dua) yaitu 68 : a.
Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan; Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut
hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu, dari pelaku usaha kepada konsumen. b.
Kewajiban menanggung kenikmatan tentram dan menanggung cacat-cacat tersembunyi (vrijwaring, warranty). Kewajiban untuk menanggung kenikmatan merupakan konsekuensi dari pada
jaminan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan diserahkan atau dilever itu sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu hak apapun. Kewajiban tersebut dalam realisasinya memberikan penggantian kerugian kepada pembeli karena suatu gugatan pihak ketiga. Penanggungan (vrijwaring, warranty) maksudnya bahwa ketentuan yang perlu diperhatikan oleh pembeli adalah sebagaimana disebutkan dalam pasal 1503 KUHPerdata.
Kewajiban untuk menanggung cacat-cacat
tersembunyi (verborgen gebreken, hidden defects) artinya bahwa penjual diwajibkan menanggung cacat-cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya, yang membuat barang tersebut tidak dapat dipakai oleh pembeli atau mengurangi kegunaan barang itu, sehingga akhirnya pembeli mengetahui cacat-cacat tersebut. 67
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
h.72 68
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Jakarta, h.8
Hukum Perjanjian pada asasnya merupakan hukum pelengkap (aanvullend recht), kedua belah pihak diperbolehkan dengan janji-janji khusus memperluas atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang, bahkan para pihak diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan mewajibkan menanggung sesuatu apapun. Namun ini ada pembatasannya yaitu sebagai berikut69 : a. Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung sesuatu apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang apa yang berupa akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan olehnya; semua persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal. (sesuai dengan pasal 1494 KUHPerdata); b. Si penjual, dalam hal adanya janji yang sama, jika terjadi suatu penghukuman terhadap terhadap si pembeli untuk menyerahkan barangnya kepada seorang lain, diwajibkan mengembalikan harga pembelian, kecuali apabila si pembeli ini pada waktu pembelian dilakukan, mengetahui tentang adanya putusan Hakim untuk menyerahkan barang yang dibelinya itu atau jika ia telah membeli barang itu dengan pernyataan tegas akan memikul sendiri untung ruginya (Pasal 1495 KUHPerdata). Jika dijanjikan penanggungan atau jika tentang itu tidak ada suatu perjanjian, pembeli berhak , dalam halnya suatu penghukuman untuk menyerahkan barang yang dibelinya kepada seorang lain,menuntut kembali dari si penjual : 1. pengembalian uang harga pembelian; 69
Subekti, Op.cit, h.17-18
2. pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil itu kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan; 3. biaya yang dikeluarkan berhubung dengan gugatan si pemilik untuk ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh si penggugat asal; 4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan penyerahannya, sekadar itu telah dibayar oleh si pembeli. Mengenai persoalan penanggungan (vrijwaring, warranty) ini ada suatu ketentuan yang perlu diperhatikan oleh pembeli yaitu pasal 1503 KUHPerdata yang berbunyi : “Penanggungan terhadap penghukuman menyerahkan barangnya kepada seorang lain, berhenti jika si pembeli telah membiarkan dirinya dihukum menurut suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan tidak memanggil si penjual, sedangkan pihak ini membuktikan bahwa ada alasan-alasan yang cukup untuk menolak gugatan.” Mengenai
kewajiban
untuk
menanggung
cacad
tersembunyi
dapat
diterangkan bahwa si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacad tersembunyi pada barang yang dijualnya yang membuat produk tersebut tidak dapat dipaka untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi pemakaian itu. Jika si penjual sudah mengetahui cacad barang maka penjual diwajibkan mengembalikan harga pembelian dan mengganti semua kerugian yang diderita oleh pembeli akibat produk yang cacad tersebut. Dalam hal penjual tidak mengetahui adanya cacad tersebut , penjual hanya diwajibkan mengembalikan harga pembelian dan mengganti kepada si pembeli biaya yang telah dikeluarkan
untuk penyelenggaraan pembelian dan penyerahan sesuai dengan bunyi pasal 1508 KUHPerdata dan pasal 1509 KUHPerdata. 2.1 Pelaku Usaha 2.2.1 Konsepsi Pelaku Usaha dan Dasar Hukumnya Pelaku usaha yang menjalankan usahanya melalui sarana internet (online) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) termasuk dalam kategori Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).70 Pasal 1 angka 6 UU ITE memberikan pengertian tentang Penyelenggara Sistem Elektronik sebagai pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara Negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa : Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang penyelenggara Negara, Badan Usaha dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoprasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain. Pasal 1 angka 26 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik memberikan pengertian mengenai pelaku usaha, yang diartikan sebagai berikut Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum 70
Teguh Arifiyadi, 2013, Sertifikasi Pelaku Usaha Online,diakses dari :URL : www.hukumonline.com , pada tanggal 9 Oktober 2013
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pelaku
Usaha
online
yang
menurut
Peraturan
Pemerintah
tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik disebut juga Penyelenggara Sistem Elektronik didalamnya
juga termasuk Penyelenggara Transaksi
Elektronik. Penyelenggara Transaksi Elektronik dilakukan dalam lingkup publik dan privat. Penyelenggara Transaksi Elektronik dalam lingkup publik meliputi Penyelenggara Transaksi Elektronik oleh Instansi atau oleh pihak lain yang menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan oleh Undangundang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah
tentang
Penyelenggaraan
Sistem
dan
Transaksi
Elektronik,
Penyelenggara Transaksi Elektronik dalam lingkup privat meliputi transaksi elektronik : a.
antar Pelaku Usaha
b.
antara Pelaku Usaha dengan Konsumen
c.
antar Pribadi
d.
antar Instansi; dan
e.
antara Instansi dengan Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.2.2 Hak-hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dalam Perspektif Hukum Indonesia Penyelenggara Sistem Elektronik sebagai pelaku usaha wajib melakukan edukasi kepada Pengguna Sistem Elektronik sebagai konsumen, edukasi tersebut berkaitan dengan hak, kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak yang terkait, serta prosedur pengajuan komplain. Informasi yang wajib disampaikan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik kepada Pengguna Sistem Elektronik sesuai dengan Pasal 25 Peraturan Pemerintah tentang penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yaitu mengenai Identitas Penyelenggara Sistem Elektronik, objek yang ditransaksikan, kenaikan atau keamanan sistem elektronik, tata cara penggunaan perangkat, syarat kontrak, prosedur mencapai kesepakatan dan jaminan privasi dan/atau perlindungan Data Pribadi. Kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik menerapkan manajemen resiko terhadap kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan. Pelaku usaha penyelenggara transaksi elektronik juga memiliki kewajiban berdasarkan Pasal 49 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang bunyinya sebagai berikut : 1.
2. 3.
4.
Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan; Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan; Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi; Pelaku Usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim;
5.
Pelaku Usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.
Kewajiban pelaku usaha dapat dilihat dari Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen antara lain : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Meperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan.atau yang diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 2.2.3 Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen yang termasuk konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir dan bukan konsumen antara. Sedangkan terkait dengan transaksi di Internet, pengertian pelaku usaha adalah pihak penyedia barang dan/atau jasa di Internet yang merupakan orang perorangan atau badan usaha berbentuk hukum ataupun tidak, didirikan dan berkedudukan didalam wilayah hukum Negara RI atau didirikan dan melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara RI. Pemahaman pengertian tersebut penting untuk memahami wilayah kerja dari para pelaku usaha yang melintasi batas wilayah RI.
Hubungan antara produsen dengan konsumen dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Hubungan secara Langsung dan Tidak langsung. Hubungan secara langsung dilaksanakan dalam rangka jual beli. Jual beli sesuai pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu perjanian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Unsur-unsur jual beli tersebut berupa perjanjian, penjual dan pembeli, harga dan barang. Suatu perjanjian sesuai Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, sesuai Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri.kecakapan untuk membuat suatu perikatan. suatu hal tertentu. suatu sebab yang halal. Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena undang-undang (Pasal 1233 KUHPerdata). Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata). Kata semua perjan-jian mencerminkan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract).
Kebebasan
berkontrak
terdapat
pembatasan-pembatasannya.
Pembatasan itu antara lain bahwa sutau perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang, ke-susilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337
KUHPerdata), dan harus dilaksanakan menurut kepatutan, kebiasaan dan undangundang (Pasal 1339 KUHPerdata). Tanggung jawab pelaku usaha disesuaikan dengan hubungan hukum yang terjadi di antara pelaku usaha dengan konsumen, hal tersebut dapat digambarkan berdasarkan skema berikut ini : Barang
Contractual liability
Langsung (Privity contract) Jasa
Hubungan Pelaku Usaha Dengan Konsumen
Professional liability
Strict liability
Tidak langsung (no privity contract)
Barang
Produk liability
Skema I. Hubungan Pelaku Usaha dengan Konsumen
Terdapat hubungan hukum didalam transaksi elektronik yang dilakukan dengan memadukan jaringan dari sistem informasi yang berbasis komputer dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa telekomunikasi. Hubungan hukum tidak hanya antara pelaku usaha dengan konsumen saja tetapi juga antara pihak-pihak dibawah ini : 1.
Business to Business
Transaksi yang terjadi antara perusahaan (pelaku usaha dan konsumennya adalah perusahaan bukan perorangan). Biasanya antara mereka telah saling mengetahui satu sama lain dan sudah terjalin hubungan yang sudah cukup lama. Pertukaran informasi hanya berlangsung di antara mereka dan pertukaran informasi itu didasarkan pada kebutuhan dan kepercayaan; 2.
Business to Customer Transaksi yang terjadi antar perusahaan
dengan konsumennya adalah
individu. Contohnya tokobagus.com sebuah situs e-commerce yang besar dan terkenal di Indonesia dan amazone.com sebuah situs e-commerce yang besar dan terkenal di dunia. Pada jenis ini transaksi disebarkan secara umum dan konsumen yang berinisiatif melakukan transaksi. Pelaku usaha harus siap menerima respon dari konsumen tersebut. Biasanya sistem yang digunakan adalah sistem web karena sistem ini yang sudah umum dipakai dikalangan masyarakat. 3.
Customer to Customer Transaksi ini terjadi dimana individu saling menjual barang satu sama lain.
Contohnya adalah e-bay. 4.
Customer to Business Transaksi yang memungkinkan individu menjual barang pada perusahaan.
Contohnya adalah priceline.com 5.
Customer to Government
Transaksi dimana individu dapat melakukan transaksi dengan pihak pemerintah. Contohnya adalah membayar pajak.
2.2.4 Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha dalam Kegiatan Bisnis Terdapat 10 larangan bagi pelaku usaha berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK yaitu pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pada setiap bidang usaha memiliki aturan tersendiri, sebagai contoh usaha dibidang makanan dan minuman diatur di dalam Undang-undang No.7 Tahun
1996 tentang Pangan. Bidang usaha yang dilakukan secara online juga tuduk kepada Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pelaku usaha selain wajib tunduk pada aturan-aturan yang berlaku juga wajib memiliki itikad baik dalam menjalankan suatu usaha. Segala janji-janji yang diberikan kepada konsumen harus dipenuhi. Larangan selanjutnya terdapat dalam ayat (2) dan (3) yang melarang pelaku usaha memperdagangkan barang, sediaan farmasi dan pangan yang rusak (sudah tidak sempurna lagi), cacat (kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna) atau bekas (sudah pernah dipakai) dan tercemar (rusak) tanpa memberikan
informasi
secara
lengkap
dan
benar
atas
barang
yang
diperdagangkan. Untuk peraturan yang lebih spesifik mengenai pangan dan sediaan farmasi masing-masing diatur didalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Untuk kedua bidang ini berlaku asas lex specialis derogate lege generalis yang artinya peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.
2.3 Disclaimer dan Situs Internet (Website) 2.3.1 Konsepsi tentang Disclaimer yang Dicantumkan Pelaku Usaha Dalam Situs Internet (Website) Disclaimer dalam website adalah suatu pernyataan yang pada umumnya dimaksudkan untuk menentukan atau membatasi ruang lingkup hak dan kewajiban yang dapat dilaksanakan dan ditegakkan oleh pihak dalam hubungan yang diakui secara hukum. Berbeda dengan istilah lain untuk bahasa hukum yang berlaku, disclaimer istilah yang biasanya menyiratkan situasi yang melibatkan beberapa
tingkat ketidakpastian, pengabaian atau risiko. Disclaimer dalam website atau pernyataan penyangkalan diberikan dengan tujuan perlindungan bagi pemilik website atau situs sebagai pemberi informasi. Pembaca suatu situs dianggap secara otomatis menerima syarat dan ketentuan yang berlaku pada situs tersebut, termasuk klausul disclaimer.71 Disclaimer atau pernyataan penyangkalan diberikan dengan tujuan perlindungan bagi pemilik situs (website). Pembaca suatu situs dianggap secara otomatis menerima syarat dan ketentuan yang berlaku pada situs tersebut, termasuk klausul disclaimer. Didalam sebuah artikel yang dikemukakan oleh seorang internet lawyer asal California bernama Richard A. Chapo menyatakan bahwa : “Disclaimer is a statement that details how certain information should be viewed or used on the site. For instance, you might include a disclaimer that states that all information was current at the time it was published, but may no longer be and it is the duty of the reader to make sure to check for any updates. Disclaimers are often included in the terms of use or terms and conditions of a site. Common disclaimers include an exclusion of warranties and their positioning in the terms is an accepted method of dealing with them. In other cases, however, it is best to detail certain elements of your disclaimer separately so they really stand out for readers..”.72 Dikemukakan bahwa disclaimer merupakan sebuah pernyataan yang merinci mengenai bagaimana informasi tertentu harus dilihat atau digunakan dalam sebuah situs. Misalnya, pembaca mungkin masuk dalam sebuah disclaimer yang menyatakan bahwa semua informasi yang sedang diterbitkan merupakan
71
72
Diana kusuma sari, Op.cit.
Richard A. Chapo, 2012, Disclaimer For Website, www.socalinternetlawyer.com, pada tanggal 19 Mei 2013.
diakses
dari
:
URL
:
informasi terbaru , tetapi mungkin juga sudah lama dan hal tersebut adalah tugas pembaca untuk memastikan untuk memeriksa beberapa pembaharuan mengenai informasi tersebut. Disclaimer biasanya tercantum beserta term of use atau terms and conditions sebuah situs. Disclaimer pada umumnya meliputi pengecualian dari jaminan dan pemilik situs menempatkan dirinya ke dalam syarat-syarat yang merupakan metode yang diterima oleh pembaca dalam hal berurusan dengan pemilik situs tersebut, merupakan hal yang baik untuk merinci unsur-unsur tertentu dari disclaimer secara terpisah sehingga terlihat untuk pembaca . Lebih lanjut Richard A. Chapo dalam artikel elektronik tersebut juga menyatakan bahwa : “...Can‟t use the disclaimers for anything, If you offer a weight loss product on your site and then include a disclaimer that says it hasn‟t been proven to help people lose weight, the disclaimer is not going to keep you from being sued or potentially found liable. That being said, a court may give it credence, so it is worth a shot. Any belief that you can use disclaimers to prevent lawsuits, however, is simply not true. Disclaimers tend to carry more weight if the users of the site actually affirmatively agree to them. This means they must click a box that says “I have read the terms of use and expressly agree to them.” The reason for this is such affirmative acceptance makes it easier to argue the terms are a binding contract.”73 Dapat diketahui bahwa pelaku usaha pemilik situs tidak bisa menggunakan disclaimer tersebut untuk hal apapun , sebagai contoh jika pemilik situs menawarkan produk penurunan berat badan di website-nya dan kemudian mencantumkan disclaimer yang menyatakan itu belum terbukti untuk membantu orang menurunkan berat badan , disclaimer tidak akan melindungi pemilik situs
73
Ibid
untuk tidak digugat atau berpotensi untuk diminta bertanggung jawab. Pengadilan dapat memberikan kepercayaan , sehingga layak untuk dituntut . Setiap anggapan bagi pemilik situs bahwa disclaimer digunakan untuk mencegah tuntutan hukum, merupakan hal yang keliru. Disclaimer cenderung mengikat lebih berat jika pengguna situs sebenarnya menyetujuinya. Ini berarti mereka harus meng-klik kotak yang mengatakan "Saya telah membaca persyaratan penggunaan dan menyatakan setuju untuk mereka”. Alasan untuk itu termasuk penerimaan persetujuan yang membuat lebih mudah untuk berpendapat bahwa syarat tersebut merupakan perjanjian yang mengikat. Dalam artikel yang dibuat SEQ Legal LLP sebuah website generator jasa pembuat disclaimer di Inggris menjelaskan tentang bagian dari disclaimer website antara lain : The disclaimer document is divided into the following sections: 74a licence of the copyright in the website (and restrictions on what may be done with the material on the website); a disclaimer of liability (which gives the document its name); a variation clause; an entire agreement clause; a clause specifying the applicable law and the jurisdiction in which disputes will be decided; and a provision specifying some of the information which needs to be disclosed under the Ecommerce Regulations. Dapat dijelaskan bahwa suatu dokumen disclaimer yang dibuat oleh SEQ Legal LLP sebuah website generator dibagi menjadi beberapa bagian seperti lisensi hak cipta di website (pembatasan pada apa yang dapat dilakukan dengan
74
SEQ Legal LLP, 2013, More information about website disclaimers, diakses dari : URL : http://www.seqlegal.com , pada tanggal 20 Oktober 2013.
materi di website), penolakan pemenuhan kewajiban (yang biasanya menjadi sebutan untuk suatu dokumen disclaimer), klausul variasi, klausul kesepakatan, klausul yang menentukan hukum yang berlaku dan yurisdiksi di mana perselisihan akan diputuskan dan
ketentuan menentukan beberapa informasi yang perlu
diungkapkan berdasarkan Peraturan e-commerce. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia keberadaan suatu klausula disclaimer yang ada di dalam situs internet (website) yang tidak dapat dinegosiasikan kepada konsumen terlebih dahulu dalam hukum perikatan termasuk dalam perjanjian standar. Perjanjian standar dialihbahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standaard contract” atau “standaard voorwarden” dalam bahasa jerman, perjanjian standar dikenal dengan istilah “Allegemene geschaft bedingun”, “standaard vertrag”, “standaardkonditionen”. Hukum Inggris mengenal perjanjian standar sebagai “standard contract” atau “take it or leave it contract”. Tretel memberikan definisi perjanjian standar sebagai “The terms of many contracts are set out in printed standard forms which are used for all contracts of the same kind and are only varied so far as the circumstance of each contracts require.”75 Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa perjanjian standar adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan ditiangkan dalam bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya. Dalam ketentuan Undang75
G.H Treitel, 1995, The law of contract, 9 th Edition , Sweet & Maxwell Ltd, London, h.196
undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menggunakan istilah klausula baku untuk menyebut perjanjian standar. Pengertian tentang klausula baku terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa klausula baku tersebut disiapkan terlebih dahulu oleh pelaku usaha dan dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen. Dalam situs internet (website) bentuk klausula baku ditampilkan secara digital, berbeda dengan klausula baku yang beredar dalam dunia nyata yang dicetak dalam bentuk formulir. 2.3.2 Konsepsi umum tentang Wiver Clause dan Indemnity Clause Berkaitan dengan klausula pembebasan tanggung jawab yang dicantumkan dalam bentuk disclaimer dalam website, dalam kontrak standar di dunia nyata juga dikenal Wiver Clause dan Indemnity Clause yang sama-sama berkaitan dengan tanggung jawab. Klausula Wiver (Wiver Clause) yaitu merupakan surat pernyataan yang dibuat secara resmi untuk melepaskan tuntutan. Wiver clause juga terdiri dari pasal dalam kontrak yang memuat kehendak salah satu atau para pihak untuk melepaskan hak untuk melakukan sesuatu atau untuk menuntut atas suatu klaim tertentu yang dapat terbit dari kontrak. Wiver Clause disebut juga klausula pelepasan yang berguna dalam terjadi kelambatan atau kekurangtegasan dari pihak kreditur tidak ditafsirkan sebagai pelepasan haknya. Pelepasan hak, apabila suatu syarat dalam kontrak diabaikan, dilalaikan atau dilupakan, maka yang bersangkutan dianggap telah melepaskan haknya, karena itu untuk mencegah agar tidak terjadi penafsiran yang demikian dibuatlah suatu pernyataan, sehingga tidak terjadi penafsiran yang keliru ataupun bahkan
ditafsirkan sebaliknya. Dalam legal dictionary disebutkan bahwa Waiver merupakan : “The voluntary surrender of a known right; conduct supporting an inference that a particular right has been relinquished”76 Dapat dijelaskan bahwa klausula wiver merupakan penyerahan secara sukarela atas hak, melakukan mendukung kesimpulan bahwa hak tertentu telah dilepaskan. Selain waiver clause juga dikenal indemnity Clause, di Indonesia juga dikenal sebagai Prinsip Indemnity diartikan sebagai kompensasi keuangan yang pasti dan cukup untuk mengembalikan posisi keuangan tertanggung setelah peristiwa kerugian, sama dengan posisi keuangan sesaat sebelum terjadinya peristiwa kerugian tersebut.
Pengaturan mengenai prinsip indemnity di Indonesia diatur dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang secara jelas bahwa Asuransi merupakan suatu perjanjian ganti rugi atau perjanjian indemnitas (Contract Of Indemnity) artinya penanggung berjanji akan membayar ganti rugi seimbang sesuai kerugian yang diderita oleh tertanggung, apabila objek telah dipertanggungkan dengan nilai penuh. Besarnya kerugian dihitung berdasarkan nilai pada sesaat sebelum terjadi peristiwa kerugian. Contract of indemnity merupakan sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh penerbitnya kepada pihak lain yang berfungsi sebagai perjanjian formal untuk melepaskan atau melindungi pihak lain tersebut dari kewajiban
76
Farlex, 2013, Waiver, diakses dari URL : http:// www. Legal-dictionary.com, pada tanggal 29 November 2013
terhadap kinerja tindakan-tindakan tertentu yang dilakukannya. Menurut Simone Selkirk dan Garrett Williams :
Indemnity clause is a contractual transfer of risk between two contractual parties generally to prevent loss or compensate for a loss which may occur as a result of a specified event.77 Dapat dijelaskan bahwa klausul indemnity adalah transfer risiko kontrak antara dua pihak kontrak umumnya untuk mencegah kerugian atau kompensasi untuk kerugian yang mungkin terjadi sebagai akibat dari peristiwa tertentu. Dalam prakteknya, karakteristik indemnity berupa ganti kerugian oleh pihak ketiga yang dapat ditemukan dalam kontrak asuransi yang dimana jumlah klaim/kompensasi belum dapat dihitung sebelum peristiwa terjadi, jumlah klaim dihitung berdasarkan nilai/harga pada saat sesaat sebelum terjadi peristiwa klaim, kecuali dalam asuransi jiwa dan kecelakaan diri jumlah klaim yang akan dibayarkan telah diketahui sejak awal kontrak.
Jadi, diantara disclaimer, wiver clause dan indemnity clause terdapat persamaan dan perbedaannya. Persamaannya adalah sama-sama merupakan klausula baku yang berkaitan dengan tanggung jawab. Perbedaannya disclaimer merupakan pembebasan tanggung jawab yang biasanya dicantumkan untuk membebaskan diri sendiri dari tanggung jawab banyak ditemukan dalam website dan keberadaannya terkadang tidak disadari oleh konsumen. Wiver clause merupakan penyerahan secara sukarela atas hak dalam kontrak yang diketahui
77
Simone Selkirk dan Garrett Williams, 2011, Indemnity clauses in commercial contracts, diakses dari URL : http://www.lexology.com, pada tanggal 29 November 2013.
oleh para pihak dan Indemnity clause menyatakan pengalihan tanggung jawab dimana tanggung jawab tersebut dialihkan kepada pihak ketiga seperti contohnya pada jasa asuransi.
2.3.3 Konsepsi tentang Situs Internet (website) dan Kaitannya dengan Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Situs Internet (website) merupakan halaman yang ditampilkan di internet yang berisikan suatu informasi tertentu. Website juga dapat diartikan kumpulan dari web pages mengenai hal atau organisasi ternetu. Web page adalah tampilan sebuah halaman di internet yang memiliki alamat tertentu dimana alamat itu tidak ada yang sama satu dengan yang lain. 78 Jenis-jenis website berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu website Dinamis dan website statis.79 Website dinamis merupakan website yang contentnya dapat berubah setiap saat. website dinamis antara lain tokobagus.com, detik.com, Wikipedia.com dan blog tentang internet marketing. Faktor utama yang membuat suatu website menjadi dinamis adalah Content Management System. Dengan adanya CMS ini, siapapun yang memiliki akses ke administrator website dapat mengupdate contentnya dengan sangat mudah.website statis merupakan website yang jarang sekali dirubah karena memang tidak diperlukan perubahan yang sangat sering. Contohnya adalah
78
Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.268 79
Matt Junior, 2013, Mengenal Jenis-jenis http://www.mattjunior.com, pada tanggal 19 Juni 2013
website,
diakses
dari
:
URL
:
website company profile dan website profil organisasi. Website statis seringkali juga berfungsi hanya sebagai brosur atau kartu nama digital perusahaan. 80
Internet
dan website merupakan dua hal yang berbeda. Sebuah website
dilindungi oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC) yang melindungi secara otomatis tanpa harus melalui pendaftaran di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI). UUHC melindungi desain website maupun konten website (teks/tulisan, foto-foto, gambar-gambar, musik, video, database dan software) yang merupakan obyek perlindungan hak cipta, elemen lainnya yang dapat ditemukan didalam website yaitu logo, nama usaha, brand/nama produk/nama jasa, symbol, slogan, nama domain dan fitur-fitur dengan teknologi web misalnya search engines, sistem online shopping dan sistem navigasi.
Pada pembuatan website semua tahap persiapan sebelum website tersebut diupload ke dalam internet, website dirancang dalam suatu HTML Editor. Editor adalah sebuah program komputer. Perbuatan merancang website dengan menggunakan program HTML Editor sebagai sarana, adalah sama seperti membuat suatu program aplikasi dengan menggunakan program Pascal. Rancangan website yang dibuat dalam bentuk HTML Editor itu adalah program komputer. Dengan demikian secara keseluruhan website itu dilindungi oleh Hak Cipta. Didalam sebuah website terdapat beberapa Hak Cipta selain Hak Cipta atas tulisan artikel dan program komputer di website tersebut, juga terdapat Hak Cipta 80
Ibid
atas desain dalam website dan juga Hak Cipta atas typographical arrangement (tata cara penyususnan suatu karya) website tersebut.
Situs internet (website) telah menjadi bagian penting dari kehidupan modern yang memerlukan segala sesuatu aktivitas yang serba cepat, efisien. Namun, sisi negatifnya adalah kehadiran internet bisa pula memudahkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terutama masalah Hak Cipta. Sebuah website terdiri dari informasi, berita, karya-karya fotografi, karya drama, musikal, sinematografi yang kesemuanya itu merupakan karya-karya yang dilindungi oleh prinsip-prinsip tradisional Hak Cipta sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC) melindungi secara otomatis tanpa harus mendaftar ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) baik desain website maupun isi (konten) website, dari publikasi dan perbanyakan oleh pihak lain tanpa izin pemegang hak cipta. Perlindungan hak cipta diperoleh pencipta atau penerima hak, sepanjang desain dan konten website tersebut merupakan hasil karya yang original. Suatu disclaimer dalam website merupakan bagian dari hak cipta dari website tersebut karena program komputer, karya tulis yang diterbitkan dan ciptaan-ciptaan lain yang terdapat di internet dilindungi berdasarkan Pasal 12 Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC). Keterkaitan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta terhadap ruang lingkup cyberspace dalam sistem Hukum Indonesia dilihat dari pengertian
atas hak cipta yang termuat dalam Pasal 1 angka 1 dan 3 Undang-undang Hak Cipta yang menyatakan : “Hak Cipta adalah Hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan peundang-undangan yang berlaku”. Ciptaan yang dimaksud termasuk segala bentuk karya pencipta yang terdapat di media internet. Pengalihan atas hak cipta dapat dilakukan agar pihak lain selain pencipta dapat menikmati manfaat dari suatu karya cipta. Dalam pengalihan ini, hak yang beralih hanyalah hak ekonominya (economic rights) saja, sedangkan hak moralnya (moral right) tidak dapat dialihkan, karen ahak moral tidak pernah lepas dari pencipta, sekalipun secara fisik telah berpindah melalui proses pembelian maupun lisensi81, sebagai contoh berkaitan dengan penjualan software di sebuah website. Berikut ini beberapa contoh pelanggaran Hak Cipta dalam suatu situs internet (website), antara lain82 : 1. Seseorang dengan tanpa izin membuat situs penyanyi-penyanyi terkenal yang berisikan lagu-lagu dan liriknya, foto dan cover album dari penyanyipenyanyi tersebut; 2. Seseorang tanpa izin membuat website yang berisikan lagu-lagu milik penyanyi lain yang lagunya belum dipasarkan;
81
Anne Fitzgerald, 1999, Intelectual Property, LBC Information Services, NSW, Sydney,
h.62 82
Am Badar, 2009, Perlindungan HKI di Jaringan Internet, diakses dari : URL : http ://www.kompasiana.com pada tanggal 8 Agustus 2013.
3. Seseorang dengan tanpa izin membuat sebuah situs yang dapat mengakses secara langsung isi berita dalam situs internet milik orang lain atau perusahaan lain. Akan tetapi, saat ini kenyataannya share (membagi) suatu berita oleh website berita sudah merupakan sebuah nilai yang akan menaikan jumlah kunjungan ke website berita itu sendiri, yang secara tidak langsung share berita ini akan menaikan page rank website dan mendatangkan pemasang iklan bagi website berita itu sendiri. Maka dalam kasus ini, Hak Cipta sebuah berita telah diizinkan oleh pemilik website berita untuk di share melalui media-media lain asalkan sumber resmi berita tersebut dicantumkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 14 c UU No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, dimana : Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta pengambilan berita aktual (berita yang diumumkan dalam waktu 1 x 24 jam sejak pertama kali diumumkan) baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan Surat Kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap. Dalam konteks pemahaman teknologi Informasi, ciptaan-ciptaan harus disertai dengan efektivitas penerapan sarana kontrol teknologi yang terus-menerus dikembangkan mengikuti perkembangan pesat teknologi informasi tersebut. Berdasarkan Pasal 27 Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, ketentuan ini sudah mengakomodasi secara kontrol teknologi. Ini berarti untuk melindungi karya-karya cipta intelektual dalam jaringan internet harus pula dilengkapi dengan instrument teknologi dalam bentuk barcode, serial number, teknik deskripsi dan enkripsi yang digunakan untuk melindungi hak cipta. Enkripsi merupakan proses mengamankan suatu informasi dengan membuat
informasi tersebut tidak dapat dibaca tanpa bantuan pengetahuan khusus. Keberadaan hak cipta di internet, umumnya membutuhkan aplikasi sarana-sarana teknologi baru yang dapat mencegah upaya pembajakan oleh mereka yang tidak berhak. Tingginya derajat pelanggaran hak cipta di sektor ini sangat membutuhkan perpaduan dari semua faktor itu, sehingga ini diharapkan dapat membentuk sistem hukum proteksi hak cipta di Internet yang semakin terpercaya dan dapat diandalkan. Dengan adanya proteksi yang tegas mengenai hak cipta tersebut tentu saja tindakan semena-mena para pelaku usaha pemilik website dalam meng-copy suatu ciptaan atau isi dari website lain dan menyebarkan dalam website-nya akan dapat diminimalisir.
2.3.4 Perbedaan antara situs Internet (website) dan blog (web log)
Website dengan blog sekilas terlihat sama, keduanya sama-sama memiliki peran penting di dunia maya. Blog adalah kependekan dari Weblog, istilah yang pertama kali digunakan oleh Jorn Barger pada bulan Desember 1997. Para pembuat blog dinamakan Blogger. Melalui Blognya, kepribadian Blogger menjadi mudah dikenali berdasarkan topik apa yang disukai, apa tanggapan terhadap linklink yang di pilih dan isu-isu didalamnya. Oleh karena itu Blog bersifat sangat personal. Blogger adalah objek pelaku dari sebuah blog, dengan kata lain Blogger (terlepas dari aksi google yang membeli domain blogger.com untuk layanan blognya) adalah orang-orang yang senantiasa menulis dan mengupdate blognya. Sedangkan website adalah kumpulan dari halaman-halaman situs, yang biasanya terangkum dalam sebuah domain atau subdomain, yang tempatnya berada di
dalam world wide web (www) di Internet. Sebuah halaman website adalah dokumen yang ditulis dalam format HTML (Hyper Text Markup Language), yang hampir selalu bisa diakses melalui HTTP, yaitu protokol yang menyampaikan informasi dari server website untuk ditampilkan kepada para pemakai melalui web browser. Semua publikasi dari website-website tersebut dapat membentuk sebuah jaringan informasi yang sangat besar.
Perbedaan antara website dengan blog lebih terperinci dapat dilihat dari tabel berikut ini : Perbedaan
Pengertian
Website
Blog
Sekumpulan halaman Sebuah situs diskusi yang web terkait yang dipublikasikan dalam world disajikan dari satu wide web (www) domain.
Berdasarkan Konten
Sebuah website mewakili satu produk, satu orang, dan teknologi yang serupa. Dengan kata lain, website memiliki isi dengan genre serupa.
Tata Bahasa
Menggunakan nada atau menggunakan nada atau bahasa formal untuk bahasa yang jauh lebih menggambarkan isinya. sederhana dan informal untuk deskripsi kontennya.
Coding
Harus paham dan mengerti pengkodean seperti HTML5, CSS3, PHP, dan lain-lain.
Topik-topik posting dapat berupa bahasan mengenai teknologi, fashion, produk tertentu atau mengenai aktor dan atlet tertentu dengan sensasi yang baru (seperti majalah digital)
Untuk menciptakan sebuah blog, tidak perlu seorang yang ahli di bidang pengkodean, cukup mendownload template dan
Daftar Konten
Homepage
Rating
Interaksi Pengguna
Tidak akan menemui daftar dari beberapa konten yang pernah diposting,data yang ada dalam website biasanya statis. Homepage menjelaskan isi dasar website. Ini akan memberitahukan kepada pengunjung tentang jenis produk yang ditawarkan oleh website itu Tidak dipengaruhi oleh hal-hal seperti jumlah pengunjung aktif yang dimilikinya.
Biasanya admin memblok komentar sehingga membuat website kurang interaktif.
memulai dengan belajar dasar-dasar pengkodean. Memiliki daftar kronologis postingan. Semua tulisan yang telah Anda buat disusun dari yang terbaru sampai terlama Dipenuhi dengan berbagai tulisan yang telah diposting sebelumnya.
Sebagian besar dianggap aktif tergantung pada jumlah pengunjung aktif yang dimilikinya. Jumlah pembaca menentukan peringkat blog. Blog dianggap lebih interaktif, menawarkan pengunjung berupa opsi untuk berkomentar, menyukai, dan membagikan postingan
Tabel 1. Perbedaan antara website dengan blog
Bagi Perusahaan / Lembaga / perorangan yang ingin website contohnya untuk kepentingan bisnis, sangat menjaga sekali profesional dari website yang akan digunakan untuk memasarkan usahanya tersebut. Bila URL dari web bisnis kita ada wordpress.com atau blogspot.com di belakangnya, akan mengakibatkan hal hal seperti : disangka tidak serius dalam mengelola bisnis, usahanya hanya fiktif dan hanya menipu saja karena web-nya gratisan, menimbulkan keraguan bagi calon konsumen yang akan membeli produk yang ditampilkan di website. Jika menggunakan domain dan hosting berbayar seperti .com .net .biz, kita akan dianggap serius dalam mengelola bisnis yang kita lakukan sehingga konsumen
tidak ragu-ragu dalam mentransfer uang untuk membeli produk yang ditawarkan. Banyak sekali web yang menyediakan penjualan online dan kebanyakan konsumen lebih percaya pada website yang dikelola dengan serius (bukan gratisan). Bahkan untuk kebutuhan sebagai contoh pada online shop, walaupun memiliki blog untuk memperlihatkan foto produk yang dijual, tetapi pihak online shop tersebut tetap memiliki website khusus yang menyediakan layanan pemesanan online yang tidak gratis tentunya.
BAB III PENGATURAN DISCLAIMER DALAM HUKUM INDONESIA 3.1 Pengaturan Disclaimer dalam Dunia Maya (virtual world) Jaringan telekomunikasi terbuka seperti World wide web yang biasa disingkat (www) adalah suatu ruang teknologi informasi yang digunakan oleh pengenal global untuk mengidentifikasi sumber-sumber daya yang berguna. Data dan informasi dapat digunakan secara bersama diseluruh dunia berkat adanya www Melalui web, para pengguna internet dapat mengakses informasi-informasi salah satunya berbentuk teks. Sebenarnya www merupakan kumpulan dokumen yang tersimpan di server web dan tersebar di lima benua termasuk Indonesia yang terhubung menjadi satu melalui jaringan internet. Dokumen-dokumen informasi ini disimpan dan dibuat dalam format HTML (Hypertext Markup Language). Dengan adanya world wide web (www) kemudahan dalam mengakses internet mulai dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat seluruh dunia. Kemudahan yang telah ditawarkan Internet untuk dapat secara langsung melakukan percakapan, pidato umum, pertukaran mail, transmisi radio dan televisi, mempublikasikan semua hal dan penelitian telah memunculkan suatu kebutuhan untuk menggabungkan cara-cara pengaturan yang masing-masing telah digunakan pada waktu sebelumnya. Kombinasi media cetak, media komunikasi umum (seperti surat, telegraf dan telepon) dan penyiaran menjadi satu media telah membuat adanya perubahan-perubahan di lingkungan pengaturan yang sudah ada sebelumnya menjadi sangat penting. Kemajuan teknologi informasi harus diberikan pengakuan hukumnya di masing-masing Negara.
Dunia internet disebut sebagai virtual world yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah “dunia maya” Dunia maya telah mengubah kebiasaan banyak orang yaitu orang-orang yang dalam kehidupannya terbiasa menggunakan internet. Berbelanja, mengirimkan surat, mengirimkan surat lamaran kerja berkirim foto, mencari informasi secara praktis tanpa haru membeli Koran dan berjalan-jalan ke luar rumah , melakukan pembicaraan jarak jauh tidak ubahnya seperti sedang bertelepon, mengambil uang dari bank, membuat desain bangunan oleh arsitek, berkonsultasi tatap muka (yaitu masing-masing pihak muncul gambarnya pada layar komputer mereka (karena setiap computer dilengkapi dengan kamera) dan masih banyak lagi. Praktis pada saat ini hamper semua kegiatan yang dapat dilakukan di dunia nyata (real world) dapat dilakukan di dunia maya. Bahkan di dunia maya orang telah melakukan berbagai tindakan kejahatan yang justru tidak dapat dilakukan di dunia nyata. Budaya internet sebagai tanda-tanda kemajuan dunia yang begitu mempesona masyarakat dunia. Internet menawarkan keuntungan secara ekonomis, finansial tenaga dan lain-lain dalam perkembangan dunia komunikasi dan informasi baik domestik maupun internasional. Menurut F.Lawrence Street dan Mark P.Grant, didalam transaksi bisnis melalui internet menimbulkan beberapa masalah yuridis 83, salah satunya yang menarik yaitu mengenai pembatasan tanggung jawab. Di dalam suatu situs internet (website) disadari/tidak oleh masyarakat yang mengunjungi suatu website, baik itu website yang menyediakan layanan informasi maupun layanan jual beli 83
Niniek Suparni, 2009, Cyberspace Problematika & Antisipasi Pengaturannya, Sinar Grafika, Jakarta, h.52
secara elektronik (e-commerce), terdapat klausula mengenai pembatasan tanggung jawab tersebut yang diciptakan oleh pemilik situs sebagai pelaku usaha dengan tujuan agar supaya jelas bagi para pihak akan batas-batas dari tanggung jawab masing-masing pihak. Namun hal tersebut sangat penting untuk diperhatikan yaitu berupa klausula eksemsi (exemption clause atau disclaimer) melanggar asas kepatuhan yang berlaku pada hukum yang dipilih oleh para pihak untuk diterapkan dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak tersebut. Suatu pembatasan tanggung jawab tersebut dapat pula menentukan jumlah ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lainnya, apabila timbul sengketa.Dengan demikian para pihak sudah sejak dini mengetahui berapa besar kemungkinan masing-masing pihak harus menanggung kewajiban pembayaran ganti kerugian apabila pihaknya cidera janji. 84 Dalam prakteknya di Indonesia dalam suatu situs internet (website), baik itu website penyedia layanan informasi elektronik maupun transaksi jual beli pihak pelaku usaha pemilik situs mencantumkan suatu klausula eksemsi yang disebut disclaimer tersebut yang mana letaknya di dalam website tidak langsung muncul dilayar (screen) monitor ketika konsumen internet membuka
suatu website.
Biasanya disclaimer dari suatu situs terdapat dibagian bawah tampilan situs yang penulisannya menggunakan ukuran font lebih kecil daripada tulisan utama dari situs tersebut dan ada juga situs yang langsung menggabungkan disclaimer didalam suatu term and condition suatu situs internet. Dari segi isinya, pada disclaimer isinya sudah ditentukan secara sepihak oleh penyelenggara sistem 84
Ibid
elektronik/ pelaku usaha. Pengguna sistem elektronik/ konsumen tidak dapat menegosiasikan isinya karena perjanjian sudah tercetak dilayar. Pencantuman disclaimer tidak saja ditemukan di website yang berasal dari Indonesia, namun juga ditemukan di beberapa website yang berasal dari luar negeri. Namun isinya berbeda-beda disetiap website. Menurut kutipan artikel yang ditulis oleh Simon Davey dari Inggris yang menjelaskan bahwa : “Adding a disclaimer to your website is essential. It won‟t cover you for every eventuality but helps protecting your organisation and restrict liability. It‟s your way of stating the terms under which people access and use your information, explaining your obligations and theirs. Disclaimers are sometimes called „Terms of Use‟ and may incorporate a privacy policy.It‟s important that disclaimers are obvious and visible, ideally on every page of your site, typically at the bottom of a page. If people can‟t find it, they won‟t read it and it may not offer you the necessary protection. Ideally, from a legal perspective, users should be asked to expressly agree to these terms (e.g. by clicking an “I agree” button) but this is rarely done in practice. Be explicit about the purpose and implications of the disclaimer”85. Dapat diketahui bahwa menurut Simon Davey mencantumkan disclaimer pada website adalah penting. Disclaimer tidak akan melindungi pemilik situs untuk setiap kemungkinan, tetapi juga membantu memproteksi organisasi dan membatasi kewajiban . Ini merupakan cara pemilik situs menyatakan syarat-syarat bagi pihak yang mengakses dan menggunakan informasi dari pemilik situs , menjelaskan kewajiban pemilik situs. Disclaimer kadang-kadang digabungkan dalam ' Terms of Use ' dan privasi policy. Hal ini penting bahwa disclaimer yang jelas dan terlihat, idealnya pada setiap halaman website , biasanya di bagian bawah halaman. Jika orang tidak dapat menemukannya , mereka tidak akan 85
Simon Davey, 2011, Website disclaimers , :http://www.ictknowledgebase.org.uk, pada tanggal 17 Juni 2013
diakses
dari
:
URL
membacanya dan mungkin tidak menawarkan perlindungan yang diperlukan . Idealnya , dari perspektif hukum , pengguna harus diminta untuk tegas menyetujui persyaratan ( misalnya dengan mengklik tombol " Saya setuju ") , tetapi hal ini jarang dilakukan dalam praktek. Menjadi jelas mengenai tujuan dan implikasi dari disclaimer tersebut”).
Tampilan disclaimer dalam website di Indonesia sebagian besar letaknya dibagian bawah homepage website dan konsumen harus meng- klik terlebih untuk dapat membaca tampilan dari disclaimer tersebut.
Gambar 1 : contoh disclaimer website Indonesia
Gambar 2 : contoh disclaimer website Indonesia
Gambar 3 : contoh disclaimer website Indonesia
Gambar 4 : contoh disclaimer website Indonesia
Gambar 5 : contoh disclaimer website Singapura tampilannya di awal homepage
Simon Davey dalam artikel tersebut juga menjelaskan bahwa suatu disclaimer di Inggris mengandung pernyataan seperti sebagai berikut : “This disclaimer governs your use of our website; by using our website, you accept this disclaimer in full. If you disagree with any part of this disclaimer, do not use our website. We reserve the right to modify these terms at any time. You should therefore check periodically for changes. By using this site after we post any changes, you agree to accept those changes, whether or not you have reviewed them.”86 Dijelaskan bahwa disclaimer ini mengatur penggunaan website, dengan menggunakan website , pengguna dianggap menerima disclaimer ini secara penuh . Jika pengguna tidak setuju dengan setiap bagian dari disclaimer ini , jangan gunakan website ini . Pemilik situs berhak untuk mengubah ketentuan ini setiap saat . Oleh karena itu Anda harus memeriksa secara berkala untuk perubahan . Dengan menggunakan situs ini setelah kita posting perubahan apapun , Anda setuju untuk menerima perubahan tersebut , walaupun anda telah atau belum memeriksa hal tersebut. Sedangkan dalam website transaksi jual beli secara elektronik (ecommerce) di inggris pencantuman disclaimer yang menyatakan pengalihan tanggung jawab disebut juga exemption clauses adalah dilarang hal ini tercantum dalam salah satu Undang-undang di Inggris The Unfair Contract terms Act (1977) (UCTA) yang merupakan peraturan perundang-undangan khusus untuk penerapan perjanjian standar dalam kontrak bisnis dan kontrak elektronik dan termasuk bagian integral dari penerapan pencantuman suatu klausula pengalihan tanggung jawab (disclaimer) didalam suatu situs internet. UCTA juga bertujuan untuk 86
Ibid
melindungi konsumen dari perilaku pelaku usaha yang ingin melepaskan diri dari tanggung jawabnya. The Unfair Contract terms Act (1977) menjelaskan bahwa : is largely restricted to business liability. Contracts excluded include those involving land, those for insurance, and those affecting the formation or management of companies. Exemption clauses can only be included in a written form contract if they are reasonable. It is not possible to use exemption clauses to escape liability in the case of bodily harm or death due to negligence. Exemption clauses are automatically void if they contain a clause exempting from liability in the case of personal injury or death due to negligence; Dapat dikatakan bahwa kontrak standar sebagian besar terbatas pada kewajiban bisnis. Kontrak dikecualikan termasuk yang melibatkan tanah, untuk asuransi, dan yang mempengaruhi pembentukan atau manajemen perusahaan. Klausul pembebasan hanya dapat dimasukkan dalam kontrak tertulis jika mereka wajar. Hal ini tidak mungkin untuk menggunakan klausul pengecualian untuk melarikan diri tanggung jawab dalam kasus cedera tubuh atau kematian akibat kelalaian. Klausul pengecualian secara otomatis tidak berlaku jika: mengandung klausul pembebasan dari kewajiban dalam kasus cedera atau kematian karena kelalaian; Dalam Bab 3 mengenai Exemption Clauses and Unfair Terms dalam Pasal 13 ayat 1 yang bunyinya : Section 13 (1), which states: To the extent that this part of this Act prevents the exclusion or restriction of liability it also prevents : a. making the liability or its enforcement subject to restrictive or onerous conditions; b. excluding or restricting any right or remedy in respect of the liability, or subjecting any person to any prejudice in consequence of his pursuing any such right or remedy; c. excluding or restricting any rules of evidence or procedure.
Jadi, bagian dari The Unfair Contract terms Act (1977) mencegah pengecualian atau pembatasan kewajiban juga mencegah : membuat kewajiban atau subjek penegakan hukum untuk kondisi membatasi atau berat, tidak termasuk atau membatasi hak atau upaya hukum sehubungan dengan tanggung jawab, atau menundukkan setiap orang untuk prasangka apapun sebagai konsekuensi nya mengejar semua hak dan perbaikan tersebut dan tidak termasuk atau membatasi aturan bukti atau prosedur. Mengenai pencantuman klausula dalam kontrak elektronik di Inggris harus dinegosiasikan terlebih dahulu. Inggris juga menerbitkan The United Kingdom Unfair Terms in Consumer Contracts Regulations 1999. Berdasarkan regulasi tahun 1999 ini ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk mengukur unfair terms, akibat hukum bagi konsumen dari penggunaan unfair terms oleh pelaku usaha dan cara penyelesainnya. Ukuran unfair terms : a contractual term which has not been individually negotiated is unfair if contrary to the requirement of good faith, it causes a significant imbalance in the parties‟ rights and obligations under the contract, to the detriment of the consumer;price setting – provided it is in plain, intelligible language;terms defining the product – provided they are in plain, intelligiblelanguage; terms required by law or explicitly allowed by law; specially negotiated terms. Dapat dijelaskan bahwa Istilah kontrak yang belum dinegosiasikan tidak adil jika bertentangan dengan kebutuhan itikad baik, hal itu menyebabkan ketidakseimbangan yang signifikan dalam hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak, sehingga merugikan konsumen; penetapan harga asalkan itu transparan, bahasa dimengerti; istilah mendefinisikan produk asalkan sesuai kenyataan,
bahasa dapat dimengerti;
istilah diwajibkan oleh hukum atau secara eksplisit
diizinkan oleh hukum; mengenai klausula khusus dinegosiasikan terlebih dahulu. Akibat hukum bagi bisnis online yang mencantumkan unfair terms juga diatur dalam Unfair Terms in Consumer Contracts Regulations 1999 yang menyebutkan : a consumer is not bound by a term which is unfair. The rest of the contract is binding if it is capable of continuing in existence without the unfair term; where a term has been drawn up for general use, the United Kingdom Office of Fair Trading (UK OFT) can seek an undertaking or apply for aninjunction to stop businesses using unfair terms. Dijelaskan bahwa konsumen tidak terikat oleh sebuah klausula yang tidak adil. Klausula dalam kontrak yang mengikat jika tidak ada klausula yang tidak adil didalamnya, dimana jika istilah tersebut telah dibuat untuk pernyataan umum, United Kingdom Office of Fair Trading (UK OFT) dapat mengambil suatu usaha atau mengajukan permohonan yang memerintahkan untuk menghentikan bisnis online yang menggunakan istilah-istilah yang tidak adil.
3.2 Pengaturan Disclaimer dalam Konteks Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Indonesia adalah Negara hukum, eksistensi Indonesia sebagai Negara hukum disebutkan secara tegas dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3); “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfarestate terdapat pada kewajiban pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana
yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; “Melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan hukum juga untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun pasif, secara aktif sebagai upaya
menciptakan suatu kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi sedangkan secara pasif mengupayakan penegakkan atas upaya yang sewenang-wenang dalam penyalahgunaan hak secara tidak
adil. 87
Tujuan-tujuan
tersebut
diharapkan
perwujudannya
melalui
pembangunan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah dan panjang. Arief Sidharta berpendapat bahwa Hukum adalah : “Hukum yang berlaku atau hukum positif. Jadi, kita berpikir antara lain tentang undang-undang atau keputusan-keputusan hakim dan tidak tentang salah satu hukum kodrat atau sistem-sistem hukum ideal yang mungkin saja dapat dipikirkan sebagai berlaku. Hukum yang dibicarakan disini adalah hukum dengannya kita setiap hari berurusan. Tetapi, ia bukanlah suatu gejala sewenang-wenang (sekehendak hati) atau subjektif, ia memperlihatkan, menurut pemahaman kami, beberapa ciri objektif.” 88
Menurut pendapat tersebut diatas memfokuskan pengertian hukum dalam undang-undang semata. Salim HS berpendapat bahwa hukum adalah : “Keseluruhan dari aturan-aturan hukum, baik yang dibuat oleh Negara maupun yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat”89 87
Abdul Manan, 2005, Apek-aspek Pengubah Hukum, Kencana , Jakarta, h. 23
88
Arief Sidharta, 2009, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, h.35. 89
Ibid h.26
Hukum pada dasarnya merupakan suatu aturan yang sengaja diciptakan oleh masyarakat agar tercapai kehidupan yang tertib, aman, damai dan tentram. Hukum juga sebagai sarana penegak keadilan dan sarana pendidikan masyarakat. Indonesia menganut hukum yang dikodifikasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum sebagai patokan suatu norma harus diperhatikan dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan. Suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peratura perundangundangan lain yang lebih tinggi tingkatannya Dalam pasal 7 ayat (1) Undangundang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan diatur mengenai hirerki peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan
Rakyat,
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan hal-hal yang dapat dijadikan asas-asas, sesuai dengan yang dkemukakan Montesquie antara lain 90 : a.
Gaya harus padat (concise) dan mudah (simple); kalimat-kalimat bersifat kebesaran dan retorikal hanya tambahan yang membingungkan;
b.
Istilah yang dipilih hendaknya sebisa mungkin bersifat mutlak dan tidak relative, dengan maksud meminimalisasi kesempatan untuk perbedaan pendapat dari individu;
90
Yuliandri. Op.cit, h.128
c.
Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan actual, menghindarkan sesuatu yang metaforik dan hipotetik;
d.
Hukum hendaknya tidak halus (not be subtle), karena hukum dibentuk untuk rakyat dengan pengertian yang sedang; bahasa hukum bukan latihan logika, melainkan untuk pemahaman yang sederhana dari orang rata-rata;
e.
Hukum hendaknya, tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian, pembatasan atau pengubahan kecuali hanya apabila benar-benar diperlukan;
f.
Hukum hendaknya tidak bersifat argumentasi/ dapat diperdebatkan; adalah berbahaya merinci alasan-alasan hukum, karena hal itu akan lebih menumbuhkan pertentangan-pertentangan;
g.
Lebih daripada semua itu, pembentukan hukum hendaknya dipertimbangkan masak-masak dan mempunyai manfaat praktis dan hendaknya tidak menggoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan dan hakikat permasalahan, sebab hukum yang lemah, tdak perlu dan tdak adil hanya akan membawa seluruh sistem perundang-undangan kepada image yang buruk dan menggoyahkan kewibawaan Negara. Roger Catterrell dalam bukunya The Sociology of Law yang mengemukakan
bahwa “Law secures social cohesion and orderly social change by balancing conflicting interest-individual (the private interest of individual citizens), social (arising from the common conditions of social life) and public (specifically the interest of the state91)”.
91
h.76.
Roger Catterrell, 1984, The Sociology of Law : An Introduction, Butterworths, London,
Dapat diketahui bahwa Hukum mengamankan kohesi sosial dan perubahan sosial yang tertib dengan menyeimbangkan konflik kepentingan-individu (kepentingan pribadi warga negara), sosial (yang timbul dari kondisi umum kehidupan sosial) dan masyarakat (khususnya kepentingan Negara). Hukum merupakan alat utuk mengatur masyarakat, tugas pembentuk peraturan perundang-undangan akan berhasil jika keseluruhan persyaratan bisa terpenuhi. Hukum adalah suatu aturan yang sengaja diciptakan oleh masyarakat agar tercapai kehidupan yang tertib, aman, damai dan tenteram. Hukum bisnis adalah bagian dari hukum privat, hal ini dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki92 : “Business law is the body of law that governs business transactions. The word business denotes an activity that generates profit. Non profit activity is not business; rather, it is charity. Consequently, business law deals only with activities that generate profit. Business law, therefore, belongs to private law rather than public law”. Dijelaskan bahwa Hukum bisnis adalah badan hukum yang mengatur transaksi bisnis. Usaha kata menunjukkan aktivitas yang menghasilkan keuntungan. Kegiatan non profit bukan bisnis, melainkan adalah amal. Akibatnya, hukum bisnis hanya berkaitan dengan kegiatan yang menghasilkan keuntungan. Hukum bisnis, oleh karena itu, milik hukum privat bukan hukum publik).
92
p.219.
Peter Mahmud Marzuki, 2011, An Introducation To Indonesian Law, Setara Pers, Malang,
Persyaratan sesuai dengan asas-asas pembentukkan peraturan perundangundangan yang baik juga dikemukakan menurut Lon.L.Fuller :93 “The criteria which Fuller argues must be in order for something which can truly be called a legal system to exist are generality, promulgation, non-retroactivity, clarity, non-contradiction, not requiring the impossible, constancy throught time and finally, congruence between official action and the declared rule”. Kiranya diketahui bahwa kriteria yang dikemukakan Fuller harus dipenuhi agar dapat disebut sistem hukum yang ada adalah umum, perundangan, nonretroaktif, kejelasan, non-kontradisi, tidak memerlukan yang tidak mungkin, keteguhan melalui waktu dan akhirnya, kesesuaian resmi tindakan dan aturan diumumkan. Bila dikaitkan dengan pengaturan mengenai pencantuman disclaimer yang terdapat dalam situs internet, harus ada aturan untuk kriteria pencantuman suatu disclaimer didalam suatu situs internet agar tidak menguntungkan pihak pelaku usaha pemilik situs saja namun juga harus melindungi hak-hak dari pada konsumen. Di Indonesia pengaturan secara khusus (lex specialis derogate legi generali) mengenai dunia internet diatur dalam undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan instrument hukum yang efektif melindungi konsumen, namun perlindungannya terbatas, karena Undang-undang ini hanya berlaku terhadap subyek hukum yang berdomisili dalam yurisdiksi hukum Indonesia. Secara a contrario dikatakan 93
Ian Mcleod, 2003, Legal Theory, Queen Mary Centre for Commercial Law Studies, University of London, h. 105.
bahwa pelaku usaha yang berdomisili di luar yurisdiksi hukum Indonesia tidak tunduk pada UUPK. UUPK kehilangan efektivitasnya saat berhadapan dengan persoalan pelanggaran hak konsumen oleh pelaku usaha yang berdomisili di Negara asing. Transaksi elektronik jarak jauh menimbulkan masakah baru terkait dengan perlindungan hak kewajiban konsumen. Pengaturan mengenai pencantuman klausula baku diatur dalam Pasal 1 angka 10 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak pleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan mengenai pencantuman klausula baku dimaksudkan oleh undang-undang sebagai usaha untuk menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Dalam hal hubungan pelaku usaha dan konsumen, maka pencantuman klausula baku harus memperhatikan ketentuan Pasal 18 UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, yang berbunyi sebagai berikut : (1). Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan kalusula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada palaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemenfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini. Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap perjanjian dalam hal hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, yang mencantumkan klausula baku didalamnya wajib memperhatikan ketentuan Pasal 18 UU No.8 Tahun 1999 tersebut. Konsekuensi terhadap pelanggaran Pasal 18 adalah batal demi hukum terhadap perjanjiannya, kecuali apabila dicantumkan klausula severability of provisions (ketentuan yang terpisah) maka yang batal demi hukum hanyalah klausula yang bertentangan dengan Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 saja.
Klausula Eksonerasi (exemption clause) dibedakan dengan istilah klausula baku. Mariam Darus Badarulzaman menyebutkan dengan klausul eksonerasi, sebagai terjemahan dari exoneratie clause. Remy Sjahdeni menyebutkan dengan istilah klausul eksemsi, sedangkan Bernes menyebutkan dengan istilah exculpatory clause. Exculpatory Clause menurut Bernes adalah “ a provision in a contract that attempts to relieve one party‟s liability for the consequences of his on her own negligence” 94 Dapat dijelaskan bahwa ketentuan dalam kontrak yang mencoba untuk meringankan tanggung jawab satu pihak atas konsekuensi-nya pada kelalaian sendiri. Oleh karena UUPK hanya berlaku dalam yurisdiksi hukum Indonesia, maka untuk mengatasi persoalan tersebut langkah pertama yang penting adalah merujuk pada Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 2 UU ITE secara eksplisit menyebutkan bahwa UU ITE berlaku untuk setiap perbuatan subyek hukum yang menimbulkan implikasi hukum di Indonesia. Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Tujuan dari pembentukan UU ITE tercermin dari Pasal 4 UU ITE, yaitu untuk: a.
94
Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
N.H.T. Siahaan, 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung jawab produk, Panta Rei, Jakarta, h.17
b.
Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; c. Meningkatkan efektivitas dan pelayanan publik; d. Membuka kesempatan seluas-luasnya pada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab;dan e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi. UU ITE mengimplementasikan prinsip-prinsip perlindungan konsumen didalam pasal-pasalnya yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi konsumen dalam melakukan transaksi elektronik. Pasal 9 UU ITE mengatur bahwa : “pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan.” Dalam kenyataannya masih terdapat tindakan oknum pengguna internet yang sangat merugikan konsumen. Salah satu contoh adalah kasus situs palsu yang dungkap oleh Petrus Reinhard Goles, Kepala Unit Cyber Crime Mabes Polri. Dalam kasus tersebut terungkap bahwa Chumpon Korp Phaibun, seorang Warga Negara Thailand tertipu oleh sebuat situs Indonesia, yakni www.henbing.com, dengan sarana situs tersebut Chumpon membeli sebuat jet ski seharga $19.520 (Sembilan belas ribu lima ratus dua puluh) dollar Amerika. Namun setelah mengirim uang ke dua rekening Bank Mandiri, jet ski tidak dating, setelah menerima laporan akhirnya penyidik Polri mendatangi Chumpon ke Bangkok.
Dari penyelidikan dan penyidikan polisi di Internet akhirnya mereka berhasil menangkap pelaku. 95 Pada pasal 3 UU ITE diatur mengenai asas dan tujuan sebagai alat untuk menciptakan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik yang baik, antara lain : 1.
Asas Kepastian Hukum, mengandung pengertian bahwa landasan hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik
termasuk
segala
sesuatu
yang
mendukung
penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum; 2.
Asas Manfaat, mengandung pengertian bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi;
3.
Asas Kehati-hatian, mengandung pengertian bahwa landasan untuk memperhatikan segenap potensi yang dapat
mendatangkan
kerugian dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik; 4.
Asas Itikad Baik, mengandung pengertian bahwa para pihak baik iut pelaku usaha maupun konsumen dalam melakukan transaksi
95
Kompas, 2008, Kejahatan Cyber Tinggi, Polisi Menerima Laporan dari 17 Negara , diakses dari URL : www.kompas.com, pada tanggal 29 November 2013
elektronik tidak dilakukan dengan tujuan merugikan pihak lain baik secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum; 5.
Asas Kebebasan Memilih Teknologi atau Netral Teknologi, megandung pengertian bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik tidak terfokus pada pemanfaatan teknologi tertentu sehingga diharapkan mampu mengikuti perkembangan teknologi di masa yang akan datang.
Transaksi melalui internet antara pelaku usaha dengan konsumen dilakukan melalui berkomunikasi terlebih dahulu, komunikasi dilakukan melalui email dan menyetujui harga dan barang. Sepanjang telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian maka nantinya email yang dimaksud dapat dikategorikan sebagai kontrak elektronik. Ketika telah terjadi kesepakatan mengenai barang dan harga maka telah ada perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen, oleh karena itu konsumen dapat melakukan gugatan jika konsumen dirugikan atas dasar wanprestasi. E-mail tersebut dapat djadikan alat bukti sesuai dengan yang dimaksud dalam pasal 5 UU ITE yang menyebutkan bahwa : 1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah; 2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. 4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: i. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan ii. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Undang-undang
Informasi
dan
Transaksi
Elektronik
memberikan
kewenangan para pihak untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 18 ayat 2 (UU ITE). Akan tetapi jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional akan berlaku asas Hukum Perdata Internasional (Pasal 18 ayat 3 UU ITE). Dalam transaksi elektronik para pihak yang terkait didalamnya melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 17 (UU ITE) disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya. Dalam transaksi elektronik
para pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain tetapi berhubungan melalui internet. Dalam transaksi elektronik pihak-pihak yang terkait antara lain : 1. Pelaku
usaha
sebagai
penyelenggara
sistem
elektronik
yang
menawarkan sebuah produk melalui internet sebagai pelaku usaha; 2. Pembeli atau konsumen yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-undang, yang menerima penawaran dari pelaku usaha dan berkeinginan untuk melakukan transaksi atas jual beli produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha; 3. Bank sebagai pihak penyalur dana dari konsumen kepada pelaku usaha karena pada transaksi jual beli secara elektronik, pelaku usaha dan konsumen tidak berhadapan langsung karena mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayarannya dapat dilakukan melalui perantara dalam hal ini bank; 4. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet. Pihak-pihak dalam transaksi elektronik tersebut memiliki hak dan kewajiban. Pelaku usaha merupakan pihak yang menawarkan produk melalui internet, oleh karena itu pelaku usaha wajib memberikan informasi secara benar dan jujur atas barang yang ditawarkannya kepada konsumen. Pelaku usaha harus menawarkan barang yang layak untuk diperjualbelikan tidak mengandung cacat tersembunyi, rusak dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian transaksi tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pelaku usaha selain memiliki kewajiban juga memiliki hak yaitu hak untuk mendapat
pembayaran dari konsumen atas barang yang dijualnya. Konsumen memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang telah dibelinya dari pelaku usaha sesuai dengan harga yang telah mereka sepakati. Selain hal tersebut, konsumen wajib mengisi data identitas diri yang sebenar-benarnya dalam formulir penerimaan. Selain itu konsumen berhak mendapatkan informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya dari pelaku usaha. Konsumen juga berhak mendapatkan perlindungan hukum atas perbuatan pelaku usaha yang beritikad tidak baik. Bank sebagai pihak penyalur dana dalam transaksi elektronik atas pembayaran yang dilakukan oleh konsumen atas suatu barang yang dibeli. Karena jika berbelanja secara online melalui internet jarak antara pelaku usaha dengan konsumen saling berjauhan sehingga sebagian besar pelaku usaha menggunakan sistem transfer dari rekening konsumen kepada rekening pelaku usaha (account to account). Kemudian provider juga merupakan pihak lain dalam transaksi elektronik, dalam hal ini provider memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan akses 24 jam kepada calon konsumen untuk dapat melakukan transaksi elektronik melalui media internet dengan pelaku usaha yang menawarkan barangnya melalui media internet tersebut. Disini terdapat kerjasama antara pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha online melalui internet. Dalam transaksi jual beli online (e-commerce), penawaran merupakan suatu “invitation to enter into a binding agreement”.96 Tawaran merupakan sebuah 96
Mariam Daruz Badrulzaman, 2001, E-commerce Tinjuan dari Hukum Kontrak Indonesia, Hukum Bisnis XII, h.33
tawaran jika orang lain menanggapinya sebagai suatu tawaran. Suatu perbuatan seseorang beralasan bahwa perbuatan itu sendiri sebagai ajakan untuk masuk ke dalam suatu ikatan perjanjian dapat dianggap sebagai tawaran. Dalam transaksi jual beli elektronik khususnya jenis business to customer yang melakukan penawaran adalah pelaku usaha. Para pelaku usaha tersebut memanfaatkan website untuk menjajakan barang dan jasa pelayanan. Para pelaku usaha menyediakan semacam storefront yang berisikan katalog barang dan pelayanan yang diberikan dan para konsumen seperti berjalan-jalan di depan toko-toko serta melihat barang-barang di dalam etalase/ keuntungan jika melakukan belanja di toko online adalah kita dapat melihat dan berbelanja kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi oleh jam buka toko dan kita juga tidak akan rishi dengan pandangan penjaga toko yang mengawasi kegiatan kita. Dalam website tersebut biasanya ditampilkan barang-barang yang ditawarkan, harganya, nilai rating atau poll otomatis tentang barang itu yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi tentang barang tersebut dan menu produk lain yang berhubungan. Penawaran ini terbuka bagi semua orang. Semua orang yang tertarik dapat melakukan window shopping di toko-toko online ini dan jika ada barang yang menarik perhatian maka dapatlah transaksi dilakukan. Penawaran dan penerimaan saling terkait untuk menghasilkan suatu kesepakatan. Dalam menentukan suatu penawaran dan penerimaan dalam cybersystem ini digantungkan pada keadaan dari cybersystem tersebut. Penerimaan dapat dinyatakan melalui website, electronic mail (surat elektronik) atau juga melalui Electronic Data Interchange. Pelaku usaha biasanya bebas
menetukan suatu cara penerimaan. Pelaku usaha melakukan penawaran melalui website atau news group maka dapat dianggap penawaran tersebut ditujukan kepada khalayak ramai, dengan demikian maka setiap orang yang berminat dapat membuat kesepakatan dengan penjual yang menawarkan. Dalam transaksi jual beli melalui website, biasanya calon konsumen akan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Jika memang konsumen tertarik maka shopping cart akan menyimpan terlebih dahulu barang yang calon konsumen inginkan sampai calon konsumen yakin akan pilihannya. Setelah yakin dengan pilihannya maka calon konsumen akan memasuki tahap pembayaran. Dengan menyelesaikan tahapan transaksi ini
maka dengan demikian konsumen telah melakukan
penerimaan, dengan demikian telah terciptalah kontrak online. Bentuk pembayaran yang digunakan di internet umumnya berdasarkan pada sistem keuangan nasional, tetapi ada juga beberapa yang bertumpu pada keuangan local. Klasifikasi mekanisme pembayaran dapat dibagi menjadi lima mekanisme utama, yaitu :97 1.
Transaksi model ATM. Transaksi ini hanya melibatkan institusi finansial dan pemegang account yang akan melakukan pengambilan uangnya dari account masing-masing;
2.
Pembayaran dua pihak tanpa perantara, transaksi dilakukan langsung antara dua pihak tanpa perantara menggunakan uang nasionalnya;
97
Onno W. Purbo & Aang Arif Wahyudi, 2001, Mengenal E-Commerce, PT. Elex Media Komputindo, h. 92
3.
Pembayaran dengan perantara pihak ketiga, umumnya proses pembayaran yang menyangkut debit, kredit maupun cek masuk dalam kategori ini. Metode yang digunakan adalah sistem pembayaran kartu kredit online dan sistem pembayaran check online. Apabila kedudukan pelaku usaha dengan konsumen berbeda, maka
pembayaran dapat dilakukan melalui cara account to account atau pemgalihan dari rekening konsumen kepada rekening pelaku usaha sebagai penjual. Untuk pembayaran secara langsung sulit untuk dilakukan karena adanya perbedaan lokasi antara pelaku usaha dengan konsumen walaupun memungkinkan untuk dilakukan. 3.3 Eksistensi Disclaimer dalam Situs Internet (website) Relevansinya dengan Pengaturan Klausula Baku International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) dalam Principles of International Commercial Contracts 1994 atau biasa disebut UNIDROIT‟94 dalam Pasal 2.19 menjelaskan bahwa klausula baku (standard terms) adalah “… provisions which are prepared in advance for general and repeated use by one party and which are actually used without negotiation with the other party”98, dijelaskan mengenai klausula baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan secara umum dan
98
UNIDROIT1994, 1994, Principles of International Commercial Contract 1994, International Institute for the Unification of Private Law Article 2.19, diakses dari :URL : http://www.lexmercatoria.org. pada tanggal 4 Juli 2013.
berulang-ulang oleh salah satu pihak dan yang secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lain. Dalam penjelasan mengenai Pasal 2.19 tersebut, dijelaskan bahwa penentuan suatu klausula baku bukan berdasarkan bentuk penampilan atau formatnya, juga bukan berdasarkan pihak mana yang membuatnya, bahkan bukan juga dari isinya, melainkan pada fakta atau kenyataan bahwa klausula tersebut dibuat secara nyata tanpa dinegosiasikan dengan pihak lain. 99 Dalam pasal 2.20 UNIDROIT‟94 dijelaskan bahwa klausula baku haruslah wajar dalam artian harus memperhatikan isi, bahasa dan cara penyajiannya. Suatu klausula baku dianggap tidak wajar atau janggal apabila si dari klausula tersebut sedemikian rupa sehingga orang yang sewajarnya tidak akan mungkin mengharapkan adanya syarat tersebut. Sebagai contoh klausula baku tersebut adalah adanya suatu syarat yang membatasi atau meniadakan tanggung jawab yang sudah sewajarnya merupakan tanggung jawab dari pihak tertentu akibat kesalahan yang diperbuatnya (liabilities based on faults). Ketidakwajaran suatu klausula baku dilihat dari segi bahasa, terutama dalam bahasa asing adalah apabila bahasa yang dituliskan atau dituangkan dalam kontrak tidak jelas, tidak sesuai definisi umum atau diterjemahkan secara salah atau tidak tepat, misalnya dalam perjanjian terdapat klausula ganti rugi tetapi diterjemahkan sebagai klausula wanprestasi sebagai contoh yang salah : Ganti rugi (events of
99
Taryana Soenandar, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan : Tinjauan Atas Beberapa Aspek Hukum dari Prinsip-Prinsip UNIDROIT dan CISG, Commentaries on the Article 2.19 of the UNIDROIT‟94, PT.Citra Aditya Bakti, h.189
default) , contoh yang benar : Ganti rugi (liquidated damages).100 Ketidakwajaran dari segi penyajian adalah apabila penyajian suatu klausula baku dalam bentuk cetakan huruf yang kecil-kecil dan nyaris tidak terbaca, tersembunyi pada suatu bagian sehingga tidak dapat disadari bahwa persyaratan tersebut sebenarnya ada dan atau penyajiannya tidak dapat dimengerti. Selanjutnya dalam UNIDROIT 1994, pada pasal 7.16 menjelaskan bahwa klausula eksonerasi (exemption clause) adalah “A clause which limits or excludes one party‟s liability for non-performance or which permits one party to tender performance substantially different from what the other party reasonably expected…” ( suatu klausula yang membatasi atau meniadakan tanggung jawab pihak yang satu terhadap tidak terlaksananya suatu kewajiban atau yang mengizinkan pihak yang satu untuk menawarkan pelaksanaan suatu kewajiban yang secara substansi berbeda secara akal sehat dari apa yang diharapkan pihak yang satunya). Menurut Shidarta antara klausula baku dengan klausula eksonerasi letak pembedaannya adalah jika dalam klausula baku lebih menekankan kepada prosedur pembuatannya yang sepihak dan bukan mengenai isinya, sedangkan dalam hal eksonerasi yang dipermasalahkan adalah menyangkut substansinya yaitu mengalihkan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha. 101 Terlepas dari istilah yang dipergunakan oleh pakar hukum, klausula eksonerasi adalah klausula yang digunakan dengan tujuan yang pada dasarnya untuk membebaskan atau
100
Ibid
101
N.H.T Siahaan, Op.cit. h.114
membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya, dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam suatu perjanjian. Nik Ramlah Mahmood menanggapi keberadaan klausula eksonerasi dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen dalam bukunya Unfair Term in Malaysian Consumer Contracts – The Need Increased Judicial Creativity menyatakan : Clauses in standard form contracts which exempt or limit a contracting party‟s liability for certain breaches of the expressed or implied terms of the contracts or for the commission of a tort, operate extremely harshly against and to the detriment of consumers. Such clauses are found at the back of tickets of public transport on receipt and other types of standard form consume contracts.102 Sekiranya dapat diketahui bahwa Klausul dalam bentuk kontrak standar yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab pihak kontraktor untuk pelanggaran tertentu dari tersurat maupun tersirat ketentuan dalam kontrak atau komisi dari perbuatan melawan hukum, beroperasi sangat keras menentang dan merugikan konsumen. Klausul semacam itu ditemukan di bagian belakang tiket angkutan umum pada penerimaan dan jenis-jenis kontrak mengkonsumsi bentuk standar. Ada tiga bentuk yuridis dari perjanjian dengan klausula eksonerasi yang disebutkan oleh R.H.J Engels103 yaitu sebagai berikut :
102
Taqyuddin Kadir, 2006, Klausula Baku diakses dari : URL : http://taqlawyer.com pada tanggal 20 Agustus 2013 103
Az.Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, h.100
1.
Tanggung jawab untuk akibat-akibat hukum, oleh karena kurang baiknya
dalam
melaksanakan
kewajiban-kewajiban
dalam
perjanjian; 2.
Kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya, perjanjian keadaan darurat);
3.
Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan) oleh salah satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggung jawab yang lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga.
Perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi membebaskan tanggung jawab seseorang pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajiban-kewajibanyang diharuskan oleh perundang-undangan, antara lain tentang masalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Ganti rugi tidak dijalankan apabila persyaratan eksonerasi mencantumkan hal tersebut. Apabila ditelaah secara lebih cermat didalam perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi beban tanggung jawab konsumen lebih ditonjolkan daripada beban tanggung jawab pelaku usaha, tersirat bahwa pelaku usaha berusaha supaya bebas dari tanggung jawab. Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Klausula eksonerasi dapat berasal dari rumusan pelaku usaha secara sepihak dapat juga berasal dari
rumusan undang-undang. 104 Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan, oleh karena itu pengadilan dapat mengesampingkan klausula eksonerasi tersebut.105 Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan dengan kesusilaan dan apabila terjadi sengketa mengenai tanggung jawab tersebut, konsumen dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menguji apakah eksonerasi yang ditetapkan oleh pelaku usaha tersebut adalah layak, tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Klausula eksonerasi dapat saja dirumuskan dalam suatu perjanjian karena terdapat keadaan memaksa, karena perbuatan para pihak dalam perjanjian. Pebuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak ketiga. Terdapat tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian106: a. Eksonerasi karena keadaan memaksa (force majeur) ; Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab para pihak, tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dapat dibebankan kepada konsumen sehingga dibebaskan dari beban tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian jualbeli, barang objek perjanjiannya musnah karena terbakar. Sebab kebakaran bukan 104
Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.20 105
Ibid
106
Ibid, h.21-22
kesalahan para pihak, tetapi dalam hal ini pembeli diwajibkan melunasi harga yang belum dibayar lunas berdasarkan klausula eksonerasi. b. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak kedua dalam perjanjian ; Kerugian yang timbul karena kesalahan pelaku usaha seharusnya menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak baik atau lalai melaksanakan prestasi terhadap pihak kedua. Tetapi dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian dibebankan kepada konsumen dan pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian pengangkutan ditentukan bahwa barang bawaan yang rusak atau hilang bukan merupakan tanggung jawab pengangkut. c. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak ketiga; Kerugian yang timbul karena kesalahan pelaku usaha seharusnya menjadi tanggung jawab pelaku usaha, namun dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian yang timbul dibebankan kepada pihak kedua, yang ternyata menjadi beban pihak ketiga. Dalam hal ini pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga terhadap tuntutan pihak ketiga. Dalam hal ini mengenai pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) belum diatur secara khusus didalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), apabila ditinjau dari pengertian klausula baku yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, maka disclaimer termasuk dalam ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen elektronik yang didalamnya terdapat unsur pengalihan tanggung jawab (klausula eksonerasi) dari pelaku usaha kepada konsumen, bersifat mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. UUPK tidak mengatur mengenai pencantuman klausula baku dalam lingkup transaksi secara elektronik. Peraturan yang mengatur ruang lingkup Transaksi Elektronik di Indonesia adalah Undang-undang No. 11 Tahun 2008. Oleh karena itu masih terdapat kekosongan norma dalam pengaturan disclaimer dalam situs internet (website). Berkaitan dengan adanya kekosongan norma harus diisi dengan suatu pengaturan dalam perundang-undangan. Suatu pembentukan peraturan perundangundangan berpedoman dengan Teori tentang Azas-azas Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan dimana menurut Fuller hukum harus dapat merespon setiap perubahan yang terjadi kehidupan masyarakat. Jadi fenomena kemunculan disclaimer dalam situs internet (website) harus direspon oleh hukum melalui pengaturan secara tegas agar dapat melindungi seluruh masyarakat dalam hal ini sebagai konsumen. Apa yang dikemukakan Fuller juga berkaitan dengan Teori Sistem Hukum dari
Lawrence M. Friedman yang mengemukakan bahwa
pembentukkan suatu perundang-undangan juga sangat dipengaruhi oleh sistem hukum suatu Negara. Dalam pembentukkan perudnang-undangan haruslah melihat sistem hukumnya melalui 3 aspek untuk mengkaji pembentukan undangundang secara komprehensif yaitu Struktur hukum, subtansi hukum dan budaya hukum, ketiga hal tersebut harus sinkron karena saling berhubungan. Jika tidak ada substansi hukum yang merupakan peraturan perundang-unangan maka tidak
ada pedoman yang akan digunakan bagi lembaga pemerintahan yang termasuk dalam struktur hukum untuk menindaklanjuti permasalahan yang timbul di dalam kehidupan masyarakat yang dimana masyarakat merupakan perwujudan dari suatu budaya hukum. Bedasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Membahas mengenai transaksi elektronik tidak terlepas juga dari konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat didalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menegaskan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III KUHPerdata, yang memiliki sifat terbuka dalam artian ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan dan hanya berfungsi mengatur saja. Keterbukaan sifat dari KUHPerdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mengandung asas kebebasan berkontrak yang artinya setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa syarat sahnya perjanjian dengan adanya kesepakatan para pihak dalam perjanjian, yang berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan perjanjian tidak boleh ada paksaan, kehilapan dan penipuan, kecakapan para pihak dalam perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini juga menganut asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak atau perjanjian yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
107
Selanjutanya kebebasan berkontrak juga memberikan
kebebasan untuk menentukan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan108, dapat disimpulkan dari Pasal 1337 KUHPerdata bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang. Hal ini juga yang menjadi dasar pemikiran mengapa pemilik situs di internet mencantumkan substansi daripada suatu disclaimer dengan bebas sesuai dengan kehendaknya, namun yang menjadi permasalahan adalah mengenai kesepakatan kedua belah pihak karena isi dari disclaimer tidak dinegosiasikan terlebih dahulu dengan masing-masing konsumen. Dengan konsumen setuju untuk berbelanja dan memanfaatkan isi suatu website itu juga berarti konsumen telah setuju dengan seluruh syarat yang telah pemilik situs cantumkan dalam disclaimer, sedangkan letak dari disclaimer pun terkadang tidak terbaca dan tidak disadari konsumen oleh karena letaknya dibawah homepage website. Sesuai dengan Pasal 19 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan bahwa :
107
Ridwan Syahrani, 1985, Seluk beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
h.212 108
Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum HukumPerjanjian dan Penerapannya di bidang kenotariatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.31
“Para Pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati”. Suatu Perjanjian baku yang dibuat pelaku usaha online dibuat secara sepihak dan bersifat menguntungkan pelaku usaha terutama dalam hal : efisiensi biaya dan waktu, praktis, penyelesaiannya cepat karena konsumen hanya tinggal menyetujui dan pembebasan tanggung jawab. Berdasarkan beberapa ciri tersebut , maka perjanjian baku tersebut termasuk Perjanjian Baku Sepihak. Jika dikaitkan dengan teori dalam KUHPerdata ,perjanjian seperti ini termasuk dalam jenis perjanjian Innominaat (Diluar KUHPerdata). KUHPerdata tidak mengatur mengenai perjanjian baku secara khusus, KUHPerdata hanya mengatur mengenai perjanjian atau perikatan secara umum. Apabila hendak meninjau perjanjian baku dalam website berdasarkan KUHPerdata maka perjanjian tersebut harus memenuhi asas kebebasan berkontrak, konsensualisme dan keseimbangan demi sahnya perjanjian online tersebut. Dalam melihat suatu perjanjian baku apakah melanggar kebebasan berkontrak atau tidak maka dapat dilihat melalui 2 paham yaitu : pertama, secara mutlak memandang bahwa perjanjian baku bukanlah suatu perjanjian, sebab kedudukan pelaku usaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai pembentuk undangundang swasta. Syarat yang diberikan oleh pelaku usaha di dalam perjanjian tersebut menjadi undang-undang bukan perjanjian. Kedua, mengemukakan paham bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi bahwa adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian tersebut. Dengan konsumen menerima
penawaran berarti konsumen secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut. Konsumen telah sepakat secara diam-diam/ takluk terhadap pelaku usaha dengan catatan takluknya ia dikarenakan itikad baik dari pelaku ushaa demi terciptanya efisiensi dalam hubungan pelaku usaha dan konsumen. Sifat unilateral/sepihak dalam perjanjian baku membawa pada kenyataan bahwa perjanjian ini belum dapat dianggap sebagai suatu kesepakatan yang melahirkan perjanjian bagi yang membuatnya. Perjanjian baku dapat dikatakan sebagai persetujuan (consent)109 dan bukan kesepakatan bilateral (bilateral agreement) yang melahirkan perjanjian sebagai hukum yang mengikat kedua belah pihak. Oleh karena sifat perjanjian ini telah melumpuhkan unsur penting dalam membuat suatu perjanjian yaitu kesepakatan (konsensus). Dapatlah dikatakan bahwa perjanjian baku termasuk dalam kategori persetujuan sukarela dari pihak yang mengadakannya. Perjanjian baku pada transaksi elektronik membawa akibat hukum terhadap dua hal : Pertama, sifat perjanjian baku tersebut menempatkan pelaku usaha dala posisi yang monopolis, sehingga konsumen tidak memiliki alternative lain kecuali harus menerima dan tunduk pada substansi perjanjian. Kedua, pelaku usaha mengambil keuntungan dari kondisi ini dengan cara mengalihkan seluruh resiko yang timbul dari perjanjian kepada konsumen.
109
Imam Sjahputra, 2010, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, PT.Alumni, Bandung, h.127
Berkaitan dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) belum secara jelas diaur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, oleh karena itu
memerlukan penafsiran. Setiap peraturan hukum itu bersifat
abstrak dan pasif. Abstrak karena sangat umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum apabila tidak terjadi peristiwa konkrit. Peristiwa hukum yang abstrak memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan kepada peristiwanya. Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode untuk melakukan suatu penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai Undang-undang agar ruang lingkup kaedah tersebut diterapkan kepada peristiwanya. Dalam hal bunyi atau kata-kata dalam suatu perjanjian cukup jelas kiranya tidak perlu dijelaskan. Bahwa penjelasan itu tidak boleh ditafsirkan menyimpang dari bunyi (isi) perjanjian, azas ini disebut “Sens Clair” tercantum dalam pasal 1342 KUHPerdata : “Apabila kata-kata dalam perjanjian itu tegas maka tidak dibenarkan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran”.
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN BERKAITAN DENGAN DICANTUMKANNYA DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA
4.1 Pelanggaran terhadap Hak Konsumen Berkaitan dengan Pencantuman Disclaimer dalam Situs Internet (website) Pada era globalisasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dunia internet semakin pesat. Banyak kegiatan-kegiatan bisnis yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang bermunculan. Kemajuan teknologi sering kali disalahgunakan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab. Adanya interaksi atau hubungan satu sama lain diantara pihak-pihak yang terlibat didalam banyaknya kepentingan bisnis berkaitan dengan dunia internet tentu saja dimungkinkan terjadi permasalahan. Permasalahan terjadi apabila telah merugikan kepentingan pihak lain sedangkan dalam posisi tersebut para pihak membutuhkan rasa aman dalam melaksanakan kepentingannya agar dapat melaksanakan segala kegiatan dengan tenang. Dalam menyongsong perdagangan bebas permasalahan menyangkut perlindungan konsumen saat ini terjadi demikian kompleksnya. 110 Permasalahan yang terjadi didalam kegiatan bisnis di situs internet adalah berkaitan dengan pelanggaran hak konsumen oleh karena kesadaran pihak pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas barang atau jasa yang diberikan kepada konsumen masih kurang dan konsumen masih segan untuk memperjuangkan hak110
Sri Rejeki Hartono, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, h. 33
haknya. Ketidakberdayaan ini makin jelas dengan munculnya format perjanjian yang dibakukan. Dalam suatu perjanjian selalu ada kebebasan berkontrak bagi para pihak yang terlibat, dengan adanya perjanjian baku nampaknya asas kebebasan berkontrak telah digerogoti. Konsumen hanya tinggal menerima atau menolak (take it or leave it) atas perjanjian yang ditawarkan pelaku usaha. Secara garis besar, dapat ditemukan beberapa permasalahan yang timbul berkenaan dengan hak-hak konsumen, antara lain : 1.
konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat atau menyentuh barang yang akan dipesan;
2.
ketidakjelasan informasi tentang produk (barang dan jasa) yang ditawarkan dan/atau tidak ada kepastian apakah konsumentelah memperoleh berbagai informasi yang laya diketahui atau yang sepatutnya dibutuhkan untuk mengambil suatu keputusan dalam bertransaksi;
3.
tidak jelasnya status subyek hukum dari si pelaku usaha;
4.
tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan privasi serta penjelasan terhadap resiko-resiko yang berkenaan dengan sistem yang digunakan, khususnya dalam hal pembayaran secara elektronik baik dengan credit card ataupun electronic cash;
5.
pembebanan resiko yang tidak berimbang karena umumnya terhadap jual beli di Internet, pembayaran telah lunas dilakukan dimuka oleh si konsumen, sedangkan barang belum tentu diterima atau akan menyusul kemudan karena jaminan yang ada adalah jaminan pengiriman barang bukan penerimaan barang;
6.
transaksi bersifat lintas batas Negara borderless menimbulkan pertanyaan mengenai yursdiksi hukum Negara mana yang sepatutnya diberlakukan;
7.
Kerugian yang diakibatkan oleh perilaku pelaku usaha yang memang secara tidak bertanggung jawab merugikan konsumen;
8.
Kerugian konsumen yang terjadi karena tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak ketiga, sehingga konsumen disesatkan dan kemudian dirugikan. Pelaku Usaha merasa secara social, ekonomis, psikologis dan politis berada
diatas konsumen, walaupun konsumen mencari pelaku usaha lain tetap saja akan menghadapi kondisi yang sama dan berhadapan dengan perjanjian yang dibakukan. Pencantuman disclaimer di situs internet merupakan salah satu bagian dari format klausula baku yang dicantumkan pelaku usaha. Salah satu karakter klausula baku yang dicantumkan di situs internet dalam bentuk disclaimer mengandung syarat eksonerasi yang mengalihkan tanggung jawab. Untuk mengatakan suatu disclaimer sebagai suatu perjanjian standar yang berklausula baku, terhadap disclaimer tersebut harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian klausula baku yang dipenuhi oleh disclaimer : 1.
Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat. Dikatakan disclaimer memenuhi unsur ini karena disclaimer sendiri
merupakan aturan atau ketentuan dan syarat yang diajukan oleh pemilik situs internet yang bersangkutan kepada pengguna akhir atau konsumen. Didalam isi disclaimer itu sendiri kebanyakan terdapat aturan, ketentuan dan syarat yang harus
diperhatikan oleh pengguna, seperti suatu Term and Conditons (ketentuan dan syarat). 2.
Dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha. Ciri bahwa disclaimer telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha dapat dilihat dalam bentuk atau format dan isinya serta tampilan dalam layar yang tidak dapat diubah, dinegosiasikan dan sudah tercetak. 3.
Dituangkan dalam suatu dokumen. Disclaimer ditampilkan secara digital (digital printed) dalam layar, yang
merupakan suatu sistem elektronik yang didalamnya terdapat informasi elektronik. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat
dan
mengumpulkan,
prosedur mengolah,
elektronik
yang
menganalisis,
berfungsi menyimpan,
mempersiapkan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Sedangkan yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminta (Pasal 1 angka 1 Undangundang No.11 Tahun 2008). Dalam hubungannya dengan dokumen digital ini,
merujuk pada pengertian dokumen (elektronik) menurut UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Elektronik dalam Pasal 1 angka 4, yaitu : Dokumen Elektronik adalah setiap informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, symbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Dengan demikian disclaimer merupakan suatu dokumen elektronik seperti yang dimaksudkan pada pengertian di atas. 4.
Pernyataan klausula eksonerasi dalam disclaimer. Banyak ditemukan pelaku usaha yang menjual produknya melalui situs
internet membatasi dengan ketat atau melepaskan tanggung jawab mereka. Konsumen yang masih awam yang membeli suatu produk dari pelaku usaha yang benar-benar memiliki monopoli dalam harga produk mempunyai sedikit pilihan kecuali menerima dan meyetujui syarat-syarat yang dibebankan kepadanya. Bentuk kerugian konsumen yang kerap muncul akibat dari klausula eksonerasi dalam transaksi elektronik antara lain (a) karena barang atau jasa yang sudah dibeli tidak sampai ke tangan konsumen, (b) barang atau jasa yang sudah dibeli ternyata tidak sesuai dengan promosi yang diberikan kepada konsumen, (c) keterlambatan waktu pengiriman barang atau jasa yang sudah dibeli oleh konsumen. Dalam hal adanya pernyataan klausula eksonerasi yang tercantum dalam disclaimer suatu website, dapat dilihat dalam pernyataan berikut ini :
1. Disclaimer dalam online shop Okley indonesia : Semua produk-produk yang dijual
adalah final. TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN ATAU
DITUKAR DENGAN UANG. 2. Disclaimer pada online shop : Nakimori menganggap anda telah mengerti, memahami serta menyetujui segala sistem BARANG YANG SUDAH DIBELI TIDAK DAPAT DITUKAR/DIKEMBALIKAN. 3. Disclaimer pada online shop software house : Software yang sudah dibeli TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN DALAM BENTUK APAPUN. 4. Disclaimer pada online shop ponsel : Dengan memesan barang dari kami, anda dianggap sudah membaca dan/atau menyetujui syarat-syarat ini BARANG YANG TELAH DIBELI TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN ATAU DITUKAR DENGAN BARANG LAIN. 5. Disclaimer pada situs berita online : menyebutkan disclaimer sebagai pasal sanggahan yang bunyinya TIDAK BERTANGUNG JAWAB atas segala kesalahan dan keterlambatan memperbarui data atau informasi atau segala kerugian yang timbul karena tindakan yang berkaitan dengan data/informasi yang disajikan. 6. Disclaimer pada Korean Online Shop yang dibuat oleh orang Indonesia, menyebutkan BARANG TIDAK DAPAT DI RETUR DENGAN ALASAN APAPUN DAN PEMBELI YANG MEMBATALKAN PESANANNYA AKAN DIMASUKKAN DALAM DAFTAR HITAM KONSUMEN/BLACKLIST.
Dari beberapa pernyataan klausula eksonerasi diatas dapat disimpulkan bentuk klausula eksonerasi yang biasanya dicantumkan dalam suatu disclaimer dalam website adalah sebagai berikut : 1. Menyatakan pengalihan dan atau mengindarkan diri dari tanggung jawab, bahwa pihak pelaku usaha yang memasarkan produknya melalui website tidak bertanggung jawab atas kegagalan, kerusakan, kecacatan produk dan kerugian yang diderita oleh konsumen selama memanfaatkan produk / informasi tersebut. Sekalipun sebelumnya telah diberi tahu mengenai adanya kemungkinan adanya kerugian tersebut dan juga apabila solusi yang disediakan gagal memenuhi tujuan utamanya. Bahkan mengalihkan tanggung jawab dengan menyatakan bahwa konsumen mengambil seluruh tanggung jawab dan resiko atas pilihannya menggunakan produk / memperoleh informasi yang bersangkutan. Hampir semua disclaimer memuat klausula seperti ini. Setiap penyelenggara sistem elektronik seharusnya menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya dan penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggara sistem elektroniknya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 2. Menyatakan bahwa pelaku usaha menolak penyerahan kembali barang yang dibeli oleh konsumen. Pada dasarnya dalam hal membeli produk seperti software
dan handphone konsumen juga telah membeli
keseluruhan perangkat yang disertakan termasuk jaminan dan layanan (support) tetapi seringkali ditemukan pada pelaku usaha online menolak penyerahan kembali oleh konsumen untuk memperoleh jaminan dan layanan. Begitupula dengan produk yang dijual secara online lainnya seperti misalnya produk sandang dan pangan, sebagian besar pelaku usaha ditemukan mencantumkan klausula eksonerasi yang menyatakan produk yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan. Demikian pernyataan-pernyataan yang menunjukkan bahwa disclaimer tersebut
mengandung
suatu
klausula-klausula
yang
bersifat
eksonerasi.
Keberadaan disclaimer juga dilihat lebih menguntungkan pihak pemilik situs online shop selaku pelaku usaha, seperti contoh disclaimer korean online shop , Dimasukkannya seorang konsumen ke dalam daftar hitam artinya bahwa jika konsumen ingin memesan barang lagi suatu hari nanti maka konsumen tersebut tidak akan dilayani dan ditanggapi, hal tersebut tentu saja bertentangan juga dengan Pasal 4 UUPK butir (c) yaitu hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dan butir (g) yaitu hak diperlakukan secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif dan butir (h) yaitu hak untuk medapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Berkaitan juga dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (2) Undang-undang Perlindungan
Konsumen,
yang
menyatakan
“Pelaku
Usaha
dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak
dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti”. Dalam disclaimer di situs internet terdapat beberapa masalah mengenai hal ini. Pertama, mengenai letak daripada suatu disclaimer biasanya terletak pada bagian yang sulit terlihat yaitu dibagian bawah situs yang dituliskan dengan ukuran font hurufnya sedemikian kecil, jauh dibawah besar huruf yang normal digunakan surat kabar atau buku-buku bacaan, sepert contoh dibawah ini :
Gambar 6.tampilan disclaimer website Indonesia pada bagian paling bawah homepage
Gambar 7. tampilan disclaimer website singapura ( diatas homepage)
Oleh karena letak disclaimer sesuai yang terlihat dalam contoh gambar website Indonesia seperti pada gambar diatas tentu saja akan sangat mudah untuk mengecoh konsumen, tidak semua konsumen tanggap atas keberadaan disclaimer tersebut padahal sebenarnya disclaimer tersebut patut diketahui oleh konsumen terlebih dahulu sebelum konsumen membaca isi website dan juga sebelum konsumen melakukan transaksi pembelian produk jika website itu adalah sebuat penyedia layanan online shop. Namun demikian, seandainya huruf-hurufnya sedemikian tebal dan terang tercetak (seperti dalam contoh gambar disclaimer website singapura), hal tersebut tidak mengurangi makna bahwa konsumen (pengguna akhir) tidak dalam posisi seimbang antara hak-hak dan kewajibannya dengan pelaku usaha. Kondisi take it or leave it adalah karakteristik nyata sejak konsumen memutuskan untuk memanfaatkan transaksi melalui internet.
Selain letak atau bentuknya yang sulit terlihat, masalah yang kedua yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUPK adalah mengenai pengungkapannya dari disclaimer yang menggunakan bahasa asing (bahasa inggris), tentunya jika konsumen internet yang tidak mengerti maksud dari isi disclaimer yang bersangkutan, akibatnya konsumen tidak akan mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya serta pembatasan-pembatasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam memanfaatkan produk yang mereka beli dari pelaku usaha yang memasarkan produknya di dunia maya. Sebagian disclaimer juga ada menggunakan bahasa Indonesia, tetapi hal tersebut pun tidak menjamin bahwa konsumen akan mengerti isi dari pada disclaimer tersebut karena kebanyakan susunan kata-kata yang digunakan sulit untuk dimengerti. 4.2 Tanggung jawab Pelaku Usaha terhadap Konsumen Berkaitan dengan Pencantuman Disclaimer Menurut Perspektif Hukum Indonesia Di dalam hukum perlindungan konsumen konsep tanggung jawab merupakan bagian dari konsep kewajiban hukum yang sangat penting. Dari beberapa sumber hukum formal, seperti peraturan perundang-undangan dan klausula eksonerasi dalam situs internet sering memberikan pembatasan-pembatasan tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, mengenai tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 19 yang bunyinya : 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atau kerusakan pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan; 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 ( tujuh ) hari setelah tanggal transaksi; 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasatkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan; 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab yang berkaitan dengan kegiatan pelaku usaha selaku penyelenggara transaksi elektronik adalah : 111 1.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability / liability based on fault) Prinsip ini diterapkan dalam beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu pada pasal 1365, 1366, 1367 KUH Perdata. Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya. Asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak konsumen yang dalam hal ini menjadi korban. 2.
Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle)
111
Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 71-80.
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai konsumen dapat membuktikan dirinya tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Terlihat adanya penerimaan atas beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) yang jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak bahwa asas ini sangan membantu konsumen pada saat berhadapan dengan pelaku usaha dalam sengketa hukum. 112
Prinsip ini
merupakan asas pembuktian terbalik yang sangat membantu dalam kasus konsumen dimana pembuktian ada pada pelaku usaha. Dalam ketentuan pasal 19, 22, 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa beban pembuktian (ada tidaknya kesalahan) merupakan tanggung jawab pelaku usaha. 3.
Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability) Prinsip ini adalah kebalikan daripada prinsip kedua. Prinsip praduga untuk
tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. 113 Misalnya pada kejadian pelaku usaha yang memiliki usaha pabrik didekat wilayah sungai, kemudian pihak tertentu yang tinggal disekitar wilayah sungai tersenut mengalami sakit karena mengkonsumsi air sungai untuk kebutuhan sehari-harinya. Hal ini belum tentu menjadi kesalahan pelaku usaha
112
Edmon Makarim, Op.cit. h.370-371
113
Ibid
pemilik pabrik bisa saja pihak warga tidak menerapkan hidup sehat dengan mengkonsumsi air sungai tanpa memasaknya dengan baik terlebih dahulu sehingga airnya tidak higienis dan mengandung kuman penyakit. 4.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) Strict liability dapat diberikan dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami
konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan. 114 Prinsip tanggung jawab produk lebih kepada tanggung jawab produsen (pabrik atau manufactures) dan pemasok-pemasok (supplier) secara bersama-sama atau kelompok terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh barang yang cacat (defective products) atas kerugian yang diderita konsumen. Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha harus secara mutlak bertanggung jawab atas produknya. Prinsip tanggung jawab ini menetapkan bahwa suatu tindakan dapat dihukum atas dasar prilaku berbahaya yang merugikan (harmful conduct), tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesengajaan (intention) atau kelalaian (negligence). Jadi kesalahan bukan sebagai faktor yang menentukan, namun adanya pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya adanya force majeure. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen belum mengatur prinsip strict liability. Pada pasal 28, pembuktian ada atau tidaknya unsur kesalahan merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha. Jadi dapat dikatakan bahwa
114
pembuktian
terbalik
terbatas
pada
unsur
kesalahan,
sedangkan
Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perusahaan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, PT.Citra Aditya Bakti Bandung, h.179
pertanggungjawaban hukum (pertanggungjawaban perdata) mencakup termasuk unsur hubungan sebab akibat (causal link), sehingga perlu dibuktikan kerugian yang ditanggung konsumen karena diakibatkan oleh barang atau jasa yang dihasilkan pelaku usaha disamping unsur kesalahan tersebut. 5.
Prinsip tanggung jawab dengan batasan (limitation of liability) Prinsip yang sangat menguntungkan pelaku usaha karena para pelaku usaha
dapat dengan bebas untuk membatasi beban tanggung jawab yang seharusnya ditanggung. Dalam perjanjian baku, klausula ini disebut klausula eksonerasi. Namun dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen prinsip ini dilarang pada pasal 18 ayat 1 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang mengatur pernyataan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha maupun agar konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha. 6.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (breach of warranty) Prinsip ini menerapkan bahwa tanggung jawab dari pelaku usaha adalah
mutlak (strict obligation), kewajiban didasarkan pada upaya yang telah dilakukan pelaku usaha untuk memenuhi tanggung jawabnya berdasarkan kontrak (contractual liability). Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha dengan konsumen mengenai barang dan/atau jasa, tanggung jawab pelaku usaha di sini didasarkan pada Contractual Liability (pertanggungjawaban kontraktual).
Dari perkembangan tanggung jawab produk dibeberapa negara, tanggung jawab produk merupakan lembaga hukum yang menggunakan konstruksi hukum perbuatan melawan hukum (tort) dengan beberapa modifikasi115, yaitu sebagai berikut : a) Pelaku usaha langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus
product
liability sehingga dianutlah prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan. b) Karena pelaku usaha dianggap bersalah, konsekuensinya ia harus bertanggung jawab untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada pihak konsumen yang menderita kerugian (strict liability). c) Karena pelaku usaha sudah dianggap bersalah, konsumen yang menjadi korban tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan pelaku usaha. Berbeda dengan konstruksi dalam tort yang mengharuskan pihak konsumen untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha (unsur pembuktian terbalik). Meskipun dalam bentuk tanggung jawab dapat bersifat kontraktual (perjanjian) ataupun berdasarkan undang-undang (gugatannya berdasarkan perbuatan melawan hukum), namun demikian dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir (tortious liability). Jadi, pihak konsumen masih harus membuktikan ketiga unsur lainnya, yaitu adanya perbuatan melawan hukum, telah timbul kerugian dan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul. 115
Johanes Gunawan, 1994, Product Liability Dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro Justitia Tahun XXI Nomor 2, April 1994, h. 212.
Menurut Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) para pihak yang menyelenggarakan transaksi elektronik dalam lingkup publik atau pun privat yang melakukan transaksi elektronik wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung (Pasal 17 UU ITE). Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik baik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya atau melalui agen elektronik diatur dalam Pasal 21 ayat 2 huruf a,b,c UU ITE yang bunyinya sebagai berikut : a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi; b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau c. Jika dilakukan melalui agen elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik.
Dalam penerapan prinsip tanggung jawab pelaku usaha harus sangat selektif sehingga tidak merugikan stakeholders terkait, karena dalam hal tanggung jawab pelaku usaha ini berkaitan erat dengan stakeholder theory . Perusahaan tidak hanya sekedar bertanggungjawab terhadap pemilik (shareholder) namun menjadi lebih luas ke ranah kemasyarakatan (stakeholder). Stakeholder theory yang menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder-nya (shareholders, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain).
Keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut.
Kelangsungan hidup
suatu perusahaan bergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Makin banyak dan kuat stakeholder, makin besar usaha perusahaan tersebut untuk beradaptasi. Tanggung jawab sosial perusahaan yang berdasarkam stakeholder theory berkaitan langsung dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi yang semakin sejahtera, adil dan merata. Di dalam pelaksanaan kegiatan bisnis di internet secara online tentu saja konsumen sebagai stakeholder harus diperhatikan oleh pelaku usaha yang memasarkan produknya melalui situs internet (website). Hal ini diperlukan agar kegiatan bisnis elektronik dapat dibangun berdasarkan konsep kebermanfaatan yang saling menguntungkan dan adil. 4.3 Perlindungan Konsumen
dalam Kaitannya
dengan
Pencantuman
Disclaimer dalam Situs Internet (website) oleh Pelaku Usaha Suatu stabilitas sosial yang akan menunjang kegiatan bisnis akan tercipta jika suatu keadilan terwujud. Dalam hal ini berkaitan dengan teori keadilan, dimana keadilan merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi setiap manusia di dunia dan menjadi salah satu topik penting dalam etika bisnis. Keadilan merupakan lawannya kebohongan dan kecurangan. Segala sesuatu perbuatan yang tidak baik dan tidak jujur sangat berseberangan dengan keadilan. Berdasarkan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Tidak lengkap jika suatu
keadilan tidak diikuti dengan adanya hukum. Menurut teori keadilan yang dikemukakan Adam Smith salah satunya terdapat prinsip No Harm yang merupakan prinsip tidak merugikan orang lain, khususnya tidak merugikan hak dan kepentingan orang lain. Dalam bisnis, tidak boleh ada pihak yg dirugikan hak dan kepentingannya, baik sebagai konsumen, pelaku usaha, karyawan, investor, maupun masyarakat luas. Hal tersebut berarti bahwa semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada. Seluruh masyarakat dijamin untuk memperoleh perlakukan yang sama, sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum sebagai kaedah yang berfungsi untuk melindungi hak-hak yang dimiliki masyarakat termasuk hak kebendaannya. Untuk melindungi hak-hak masyarakat tentu saja dibutuhkan suatu upaya melalui perlindungan hukum. Apabila dilihat dari aspek ekonomi perusahaan, selama ini sebagian besar perusahaan masih menganut doktrin ekonomi klasik yaitu “maximization profit” , sebagaimana dinyatakan oleh Adam Smith yang menegaskan bahwa “tujuan utama dari perusahaan adalah menekan biaya serendah mungkin dan meningkatkan efisiensi setinggi mungkin demi memaksimalkan laba”. Di era global dan pasar bebas , doktrin tersebut sudah usang, sehingga dibutuhkan paradigm baru dalam berusaha yaitu bagaimana perusahaan mampu menciptakan “positive image” terhadap stakeholders-nya. Salah satu cara adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip CSR (Coorporate Social Responsibility/ tanggung jawab sosial) dalam aktivitas dunia usaha sebagai bagian dari penerapan prinsip
tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance, selanjutnya disingkat GCG). Terdapat empat prinsip dasar dari GCG yaitu fairness, transparency, accountability dan responsibility. CSR sendiri merupakan penerapan dari prinsip pertanggungjawaban (responsibility). Keempat prinsip GCG tersebut dijabarkan oleh Forum Corporate Governance in Indonesia (FCGI) 116 sebagai berikut : 1. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan; 2. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
Manajemen
perusahaan
sehingga
pengelolaan
Perusahaan terlaksana secara efektif ; 3. Responsibilitas (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen dalam situs internet (website) dapat disesuaikan dengan keempat prinsip GCG tersebut, yang terpenting berkaitan dengan pencantuman disclaimer website adalah prinsip kewajaran (fairness). Berdasarkan prinsip kewajaran tersebut harus dilindungi dan dipenuhi. Oleh karena itu pencantuman syarat-syarat baku yang sepihak dalam 116
Busyra Azheri, Op.cit, h.12
bentuk disclaimer harus disesuaikan dengan hak-hak konsumen sebagai stakeholder dari pelaku usaha yang menjalankan usahanya dengan media situs internet (website) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tercipta keadilan dan keseimbangan bagi masing-masing pihak (konsumen dan pelaku usaha). Perlindungan tidak hanya berdasarkan pada hukum tertulis tetapi juga hukum tidak tertulis dengan harapan ada jaminan terhadap benda yang dimiliki dalam menjalankan hak dan kewajiban. 117 Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum bagi konsumen internet tersebut, menurut Philipus M.Hadjon118 bahwa dapat diuraikan menurut jenis perlindungan hukum ada 2 bentuk yaitu : 1.
Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan hukum secara preventif diberikan oleh pemerintah yang
bertujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dan dapat memberikan aturan-aturan sebagai batasan kepada pelaku usaha dalam melakukan kewajibannya. Permasalahan pencantuman disclaimer yang isinya sebagian besar membebaskan pelaku usaha internet dari tanggung jawab yang termasuk dalam klausula eksonerasi tentu saja semakin memperlemah posisi konsumen. Disini nampak jelas terdapat ketimpangan posisi konsumen dengan pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya
117
Jimly Asshiddiqie, 2000, Pergeseran-pergeseran Kekuatan Legislatif Universitas Indonesia, Jakarta, h.97 118
Eksekutif,
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Percetakan M2 Print, Edisi Khusus, Surabaya, h.2
di internet. Perlindungan preventif dalam hal pencantuman disclaimer ini berfungsi untuk mencegah agar konsumen berada dipihak yang lemah dan tidak semata-mata dirugikan. Bentuk perlindungan hukum secara preventif bagi konsumen internet dapat sebaiknya diwujudkan dengan pengaturan mengenai kriteria-kriteria isi dari disclaimer yang berbentuk perjanjian baku dalam suatu situs internet agar konsumen sebagai pengguna internet dapat terlindungi dan juga mengenai letak pencantuman disclaimer juga perlu diperhitungkan dengan menampilkan di halaman utama dari website sehingga disadari keberadaan daripada disclaimer tersebut oleh konsumen sebelum memutuskan utuk membaca substansi situs dan melakukan transaksi barang dan/atau jasa. Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik diatur dalam BAB III mengenai Informasi, dokumen dan tanda terima elektronik yaitu dalam mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha dalam menawarkan produknya melalui sistem elektronik (dalam hal ini internet) harus menyediakan secara lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan (Pasal 9 UU ITE). Selanjutnya, setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan (Pasal 10 UU ITE). Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan Sertifikat
Keandalan dalam Transaksi Elektronik (Pasal 1 angka 24 PP PSTE). Di Indonesia secara formal belum ada satupun LSK yang diakui dan disahkan oleh pemerintah. Beberapa contoh LSK asing yang telah ada secara resmi adalah GeoTrust, Hacker Safe, Trust Guard, VerySign, McAfee Secure dan Trustweb. Tentu saja jika LSK ini terwujud dan sistem transaksi elektronik di dunia maya (cyberspace) tetap diawasi dengan jujur, maka konsumen akan merasa lebih tenang untuk memanfaatkan dunia internet untuk bertransaksi dan mencari informasi. Selanjutnya dalam Bab VII UU ITE juga diatur mengenai perbuatan yang dilarang berkaitan dengan larangan daripada muatan yang ada didalam suatu situs internet yaitu berkaitan dengan aktivitas informasi dan transaksi elektronik di media internet antara lain setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik (Pasal 28 UU ITE). Dalam lingkup ruang dunia maya (cyberspace), negara-negara yang tergabung dalam ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia telah memiliki formulasi kebijakan tersendiri yang mengatur transaksi melalui media elektronik. Diantara negara-negara tersebut, Singapura sebagai Negara maju di Asia Tenggara memiliki visi untuk menjadi Pusat E-commerce Internasional ( International Electronic Commerce Hub ), yaitu negara dimana seluruh transaksi perdagangan elektronik regional maupun internasional diproses. The Electronic Transaction Act 1998 merupakan Undang-undang khusus di singapura yang mengatur mengenai transaksi elektronik. Singapura memiliki perangkat regulasi mengenai kegiatan transaksi elektronik yang lengkap dan
memadai. Sementara itu, dengan bekal 237 juta penduduknya, Indonesia menjadi negara Asia Tenggara yang diproyeksi memiliki prospek menjanjikan dalam bidang perdagangan melalui internet. Salah satu indikatornya ialah melalui belanja di internet yang pertumbuhannya mencapai 200% dari tahun ke tahunnya. Tetapi sangat disayangkan aturan mengenai transaksi elektronik di Indonesia belum selengkap dan sememadai Singapura. Sebagai perbandingan dengan Negara tetangga, pada tahun 1999 di Singapura didirikan sebuah organisasi nonprofit oleh CommerceNet Singapore yang dikenal sebagai CASE (Consumers Association of Singapore). CASE memiliki tujuan untuk memberikan informasi, edukasi perlindungan bagi konsumen dan juga memberikan nasihat jika konsumen mengalami permasalahan dan membantu konsumen untuk melakukan klaim kepada pelaku usaha secara online. Di Singapura juga dikenal adanya Case Trust119 yang merupakan sistem untuk melindungi konsumen dalam transaksi perdagangan dengan tatap muka dan konsumen dalam transaksi melalui website. Selain alat-alat teknologi yang dikembangkan untuk menciptakan keamanan dalam bertransaksi diperlukan pula pembentukkan lembaga dan mekanisme hukum untuk mendukung perkembangan transaksi melalui internet. Case Trust juga bertujuan untuk meyakinkan konsumen bahwa pelaku usaha akan mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh organisasi perdagangan tersebut dan memberikan hak kepada pelaku usaha untuk menggunakan cap yang di singapura dikenal sebagai „trustmark”. Untuk perdagangan dengan tatap muka akan dikeluarkan “physical certification” 119
Assafa Endeshaw, 2007 ,Hukum E-Commerce dan Internet dengan focus di Asia Pasifik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.50
sedangkan untuk perdagangan melalui internet akan dikeluarkan “web certification”. Case Trust menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha yang memasarkan produknya secara elektronik. Pelaku usaha online harus mencantumkan sistem pemesanan online kepada konsumen. Dalam sistem tersebut harus pula mancantumkan informasi yang terperinci tentang produk yang dipasarkan. Cara ini ditempuh agar konsumen dapat melakukan transaksi secara efisien tanpa mengalami kesulitan.Untuk pelaku usaha online Case Trust menerbitkan satu jenis akreditasi yang disebut Case Trust Basic. Agar dapat memperoleh akreditasi tersebut pelaku usaha pemohon harus lolos uji penilaian (pass assessment) yang dilakukan oleh Case Trust.120 Jika pelaku usaha online berhasil lolos dari tahap uji penilaian tersebut , maka berhak memperoleh stempel atau logo TrustSg sebagai tanda keandalan sehingga konsumen dapat yakin bahwa konsumen berbelanja ditempat yang benar. Jangka waktu keanggotaan akredtasi adalah 4 (empat) tahun, tetapi harus diperbarui setiap tahunnya. Di Indonesia, seleksi terhadap pelaku usaha online sangat penting dilakukan untuk transaksi melalui internet agar hak-hak konsumen dilindungi khususnya untuk menghindari adanya pelaku usaha online yang palsu, fiktif dan juga agar lebih menjamin agar barang yang dikirim ke konsumen sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan melalui internet. Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur bahwa pemerintah atau 120
CaseTrust Be Sure, 2008, CaseTrust Accreditation Scheme, Information & Application KitWebfront, CaseTrust Departement, diakses dari URL : http://www.case.org.sg, pada tanggal 29 November 2013, h.9-10
masyarakat dapat membentuk lembaga sertifikasi keandalan yang berfungsi memberikan sertifikasi terhadap pelaku usaha dan produk yang ditawarkannya secara elektronik (Pasal 10 ayat 1). Sertifikasi keandalan tersebut dapat sebagai bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak melakukan usahanya setelah melalui penilaian dan audit dari suatu badan yang berwenang. Telah dilakukannya sertifikasi keandalan atas sebuah website tersebut ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi berupa trust mark pada home page pelaku usaha tersebut. 2. Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat akibat perbedaan kepentingan. Bentuk perlindungan hukum represif untuk para pihak, baik pemilik situs sebagai pelaku usaha maupun konsumen. Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua, yaitu melalui jalur Pengadilan (Litigasi) dan melalui jalur penyelesaian sengketa di luar Pengadilan / Alternatif penyelesaian sengketa (non litigasi). 1. Melalui jalur Litigasi a. Berdasarkan Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan pemerintah dalam hal pengembangan
Teknologi
Informasi
melalui
infrastruktur
hukum
dan
pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.
Perlindungan dalam hukum diperlukan pada setiap perbuatan yang merugikan pihak lainnya harus bertanggung jawab degan membayar ganti rugi / kompensasi. 121 UU ITE memuat sanksi yang diberlakukan kepada penyelenggara sistem elektronik (pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara Negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat) pada bab VIII Pasal 38 dan 39 UU ITE yaitu dalam Pasal 38 ayat (1) menyatakan : “setiap
orang
dapat
mengajukan
gugatan
terhadap
pihak
yang
menyelanggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian”. Dapat diartikan bahwa setiap orang tersebut sebagai konsumen internet yang mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan terhadap peyelenggara sistem elektronik yaitu pelaku usaha yang memiliki situs internet sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika yang dirugikan adalah masyarakat sesuai Pasal 38 ayat (2) UU ITE juga memperbolehkan untuk diadakannya gugatan secara perwakilan terhadap pihak penyelenggara sistem elektronik yang berakibat merugikan masyarakat. Dalam Pasal 45 UU ITE memberikan ancaman pidana paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) terhadap setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (1) mengenai penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Sejak diberlakukannya UU ITE, untuk website yang isinya mengenai opini, berita, diskusi dan lain sebagaunya harus menyesuaikan dengan aturan yang ada 121
Huala Adolf, 2002, Apek-aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III, Rajawali Pers, Jakarta, h.87
dalam UU ITE, pemilik situs internet yang dianggap menghina orang atau institusi dapat dijerat dengan Pasal 27 UU ITE tentang Pencemaran nama baik melalui media elektronik. Pelaku dapat terkena hukuman penjara selama enam tahun dan denda maksimal satu miliar rupiah. Dengan adanya Pasal 27 UU ITE ini tentu saja harus kebih diperhatikan oleh pemilik situs yang tidak bisa kabur dari tanggung jawab hanya dengan mencantumkan disclaimer yang menyatakan tidak bertanggung jawab atas keakuratan isi website-nya.122 Tahap-tahap penyidikan terhadap kasus pidana yang berkaitan dengan transaksi elektronik juga diatur dalam pada pasal 43 UU ITE, Penyidaikan dapat dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 43 ayat (5) diatur mengenai wewenang penyidik yang diantaranya adalah : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini; b. memanggil setiap barang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkait dengan ketentuan UndangUndang ini; c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan UndangUndang ini; d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini; e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
122
Merry Magdalena, 2009, UU ITE : don‟t be the next victim, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.29
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini; g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang-undangan; h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini sesuai' dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. (6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. (7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada penuntut umum. (8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti. Jika dibandingan dengan Negara Inggris, menurut Unfair Terms in Consumer Contracts Regulations, lembaga pemerintah semacam lembaga perdagangan berwenang untuk mengentikan bisnis atau kegiatan usaha apabila penggunaan unfair terms telah digunakan sebagai kebiasaan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Sedangkan di Indonesia sanksi seperti ini tidak ada. Peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengatur penggunaan sanksi berupa penutupan kegitan usaha apabila ada pelaku usaha yang menggunakan klausula baku seperti yang ada dalam disclaimer suatu website. b. Secara Perdata Jenis-jenis gugatan yang lazim diajukan di Peradilan Umum yaitu gugatan wanprestasi dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
gugatan wanprestasi dan PMH terdapat perbedaan prinsip yaitu:
1.
Gugatan wanprestasi (ingkar janji)
Ditinjau dari sumber hukumnya, wanprestasi menurut Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata timbul dari perjanjian (agreement). Oleh karena itu, wanprestasi tidak mungkin timbul tanpa adanya perjanjian yang dibuat terlebih dahulu diantara para pihak. Hak menuntut ganti kerugian karena wanprestasi timbul dari Pasal 1243 KUHPerdata, yang pada prinsipnya membutuhkan penyataan lalai dengan surat peringatan (somasi). KUHPerdata juga telah mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti kerugian yang dapat dituntut, serta jenis dan jumlah ganti kerugian yang dapat dituntut dalam wanprestasi.
2. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, PMH timbul karena perbuatan seseorang yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Hak menuntut ganti kerugian karena PMH tidak perlu somasi. Apabila terjadi PMH, pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi tersebut. KUH Perdata tidak mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi. Dengan demikian, bisa digugat ganti kerugian yang nyata-nyata diderita dan dapat diperhitungkan (material) dan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang (immaterial).
Perlindungan hukum secara perdata untuk melindungi hak konsumen dalam kaitannya dengan pencantuman klausula baku yang dilarang oleh undang-undang. Hukum Indonesia yang menjadi dasar hukum tata cara pengajuan gugatan yaitu
berdasarkan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), yaitu gugatan ganti rugi karena adanya suatu Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Untuk dapat menuntut ganti rugi berdasarkan PMH, maka unsur yang harus dipenuhi adalah:
1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat; 2. Perbuatan tersebut harus melawan hukum. Istilah Melawan Hukum telah diartikan secara luas, yaitu tidak hanya melanggar peraturan perundangundangan tetapi juga dapat berupa: 1. Melanggar hak orang lain. 2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku. 3. Bertentangan dengan kesusilaan. 4.
Bertentangan dengan kepentingan umum.
3. Adanya kesalahan; 4. Ada kerugian, baik materil maupun immaterial; 5. Adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan ,melawan hukum tersebut dengan kerugian.
c. Secara Pidana Perlindungan secara pidana dari adanya penipuan yang dilakukan oleh pelaku usaha/ pemilik website juga dapat dikenakan sanksi pidana jika terbukti adanya penipuan tersebut sesuai pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Penipuan secara online pada prinsipnya sama dengan penipuan konvensional, yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Dengan sanksi pidana diharapkan pelaku jera dan terjadi keseimbangan hukum karena pelaku diberikan sanksi. Sanksi pidana sangat diperlukan, tetapi harus diikuti peraturan-peraturan lain yang efektif untuk mengatur kegiatan ekonomi. 123 Tindak pidana penipuan berdasarkan Pasal 378 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Kepolisian Republik Indonesia (Polri), khususnya Unit Cyber Crime, telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani kasus terkait Cyber Crime. Standar yang digunakan telah mengacu kepada standar internasional yang telah banyak digunakan di seluruh dunia, termasuk oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) di Amerika Serikat. Oleh karena terdapat banyak perbedaan antara cyber crime dengan kejahatan konvensional, maka Penyidik Polri dalam proses penyidikan di Laboratorium Forensik Komputer juga melibatkan ahli digital forensik baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri. Mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain:
123
Supanto, 2010, Kejahatan Ekonomi Global & Kebijakan Hukum Pidana, PT.Alumni, Bandung, h. 162.
1.
Proses Acquiring dan Imaging Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan proses
Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning/menduplikat) secara tepat dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang ahli digital forensik dapat melakukan analisis karena analisis tidak boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah barang bukti.
2.
Melakukan Analisis Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan
untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, dienkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan. Hasil dari analisis barang bukti digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan. Menurut teori yang berlaku di Amerika Serikat dalam menentukan locus delicti atau tempat kejadian perkara suatu tindakan cyber crime124 yaitu :
a. Theory of The Uploader and the Downloader, teori ini menekankan bahwa dalam dunia cyber terdapat 2 (dua) hal utama yaitu uploader (pihak yang memberikan informasi ke dalam cyber space) dan downloader (pihak yang mengakses informasi)
124
Radian Adi , 2012, Cara pembuktian Cyber Crime menurut Hukum Indonesia, diakses dari URL : http://www.hukumonline.com pada tanggal 29 November 2013.
b. Theory of Law of the Server, dalam pendekatan ini, penyidik memperlakukan server di mana halaman web secara fisik berlokasi tempat mereka dicatat atau disimpan sebagai data elektronik. c. Theory of International Space, menurut teori ini, cyber space dianggap sebagai suatu lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional di mana setiap negara memiliki kedaulatan yang sama.
Dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian perkara suatu tindakan cyber crime, maka penyidik dapat mengacu pada log file, yaitu sebuah file yang berisi daftar tindakan dan kejadian (aktivitas) yang telah terjadi di dalam suatu sistem komputer. Aparat Penegak Hukum di Indonesia saat ini memiliki kendala dalam penyelidikan maupun penyidikan kasus-kasus penipuan (fraud) secara online. Kendala tersebut terkadang bersifat teknis, keterbatasan sumber daya, maupun kesulitan mengidentifikasi pelaku yang berada di luar wilayah Indonesia. Saat ini, kasus penipuan (fraud) secara online merupakan salah satu kasus terbanyak dalam cyber crime yang dilaporkan di Indonesia. Langkah yang biasanya dilakukan oleh penyidik adalah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum negara setempat. Dalam hal penyidikan dilakukan oleh penyidik Indonesia, maka penyidik melalui Interpol akan meminta bantuan kepada aparat setempat dalam proses penyidikan.
Sebagai contoh penanganan pengaduan (complaint) pada Serious Fraud Office (SFO) di Inggris didasarkan pada kriteria kecukupan informasi (suffecient information) yang diperoleh dari laporan maupun klarifikasi pelapor. Jika laporan
memenuhi kriteria kecukupan informasi untuk ditindaklanjuti, maka laporan tersebut akan ditangani sesuai prosedur SFO. Jika laporan mengarah pada kriminal, SFO akan menunjuk reviewer independen yang berasal dari luar SFO untuk melakukan investigasi. Jika memungkinkan dilakukan di luar jalur pidana, SFO akan mengusahakan penyelesaian secara informal. Apabila cara tersebut tidak memuaskan pelapor, pengaduan tersebut akan diteruskan kepada Kejaksaan (the Attorney General's Office /AGO). Lamanya waktu respon atas pengaduan tergantung jenis pengaduan, jika yang berkaitan dengan dugaan kriminal dan ditangani oleh reviewer independen, maka waktu respon yang dibutuhkan adalah 40 (empat puluh) hari setelah surat pengaduan diterima. Meski demikian, dalam praktiknya mungkin saja terdapat kendala teknis maupun non teknis untuk menindaklanjuti suatu laporan/pengaduan.
d.
Penggabungan sanksi pidana dan perdata Pengertian ganti rugi dari sudut pandang hukum pidana dan hukum perdata.
Dalam hukum pidana, makna ganti rugi dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana / Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang isinya: “Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Dalam Hukum Perdata tidak memberikan definisi tegas mengenai arti ganti rugi, namun Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menjelaskan ganti kerugian sebagai berikut: “Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya” Berdasarkan kedua pasal mengenai ganti kerugian tersebut diatas, maka jelas bahwa hukum pidana mengarahkan ganti kerugian untuk kepentingan tersangka. Sedangkan hukum perdata mengarahkan ganti kerugian untuk kepentingan pihak yang dirugikan atas terjadinya tindakan melawan hukum atau ingkar janji. Berkaitan dengan konsumen yang hendak mengajukan ganti kerugian kepada tersangka, ada 2 (dua) cara, yaitu:
1. Mengajukan gugatan ganti kerugian (perdata) yang terpisah dari perkara pidana; dan 2. Menggabungkan gugatan ganti kerugian (perdata) dengan perkara pidana.
Pertama, jika ingin mengajukan gugatan ganti kerugian yang terpisah dengan perkara pidana, maka sebaiknya konsumen menunggu terlebih dahulu putusan terhadap perkara pidana tersebut. Oleh karena apabila terdakwa terbukti bersalah, maka putusan tersebut adalah dasar yang kuat bagi konsumen untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Namun konsumen juga dapat mengajukan gugatan ganti kerugian tanpa menunggu putusan terhadap perkara pidana. Konsumen harus
memiliki alasan-alasan yang kuat dan nyata bahwa konsumen telah mengalami kerugian akibat tindakan yang dilakukan oleh orang lain.
Kedua, menggabungkan gugatan ganti kerugian (perdata) dengan perkara pidana. KUHAP memberikan dasar hukum melalui ketentuan Pasal 98, yang isinya sebagai berikut:
(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. (2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. Berdasarkan pasal 98 tersebut, maka konsumen dapat menggabungkan gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana yang sedang berjalan. Penggabungannya wajib dimintakan Kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara a quo paling lambat sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Mengingat perkara pidana tersebut masih dalam tahap pemeriksaan Kepolisian, maka konsumen harus menunggu hingga pemeriksaan dilakukan di Pengadilan untuk dapat mengajukan gugatan tersebut. Sekalipun melalui proses yang berbeda, kedua cara tersebut didasarkan pada satu dasar hukum yang sama, yaitu Pasal 1365 KUHPerdata. Asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak konsumen yang dalam hal ini menjadi korban.
Keberadaan lembaga litigasi yang juga disebut first and the last resort dalam penyelesaian sengketa, dimana sebagai first and the last resort diharapkan keberadaan lembaga litigasi yaitu pengadilan menjadi tujuan utama pencarian keadilan, yang dapat menghasilkan kepastian hukum dalam menyelesaikan sengketa yang ada. Peran hakim di pengadilan, maupun lembaga yang bergerak di bidang penyelesaian sengketa kontrak elektronik adalah penting. Keberadaan pedoman putusan hakim ini juga dipandang dapat memberikan pembaruan atas hukum yang ada, termasuk manakala belum ada peraturan hukum yang secara spesifik mengatur tentang hal yang ada. Namun demikian dalam model penyelesaian sengketa jalur litigasi ini belum dapat mengakomodasi efektivitas dan efisiensi dalam proses penyelesaian sengketa, karena lambatnya proses penyelesaian sengketa, biaya yang mahal khususnya dalam sengketa transaksi perdagangan. Namun demikian hukum tetap memiliki kewajiban dalam mengakomodasikan terpenuhinya perlindungan hukum, sebagai bentuk dari tanggung jawab hukum terhadap hak subjek hukum, dimana dalam hal ini ialah para pelaku kontrak elektronik dalam penyelesaian sengketa kontrak elektronik. Oleh karenanya, karena terdapat keprihatinan atas persoalan yang dihadapi oleh lembaga litigasi, melatarbelakangi adanya lembaga non litigasi alternatif penyelesaian sengketa, yang menggunakan mekanisme yang hidup dalam masyarakat dimana bentuk dan macamnya bervariasi baik secara musyawarah, perdamaian, penyelesaian adat dan cara-cara lain yang disesuaikan dengan wilayah masyarakat tersebut berada.
II Melalui Jalur Non Litigasi
Penyelesaian sengketa transaksi bisnis secara elektronik di Indonesia menggunakan beberapa prinsip yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan yaitu :
1. Prinsip kesepakatan para pihak, tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka. Pasal 56 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak. 2. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa, terdapat
dalam Pasal 18 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif.
Penerapan pilihan hukum tersebut adalah tidak mungkin
dilakukan mengingat sifat dasar dari transaksi elekronik yang secara mayoritas menggunakan jenis kontrak baku. 3. Prinsip kebebasan memilih hukum, yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2)
UU No.11 Tahun 2008 menyatakan bahwa para pihak memiliki
kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya. 4. Prinsip pengedepanan penyelesaian sengketa menggunakan Hukum
Nasional, terdapat dalam Pasal 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa Undang-undang Informasi da Transaksi Elektronik berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Sengketa dapat teradi karena ada pihak yang dirugikan dapat juga karena wanprestasi dan maupun perbuatan melawan hukum. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan berkaitan dengan transaksi elektronik di dunia maya lebih banyak dipilih karena tidak terlalu banyak memakan waktu, biaya dan tidak terlalu banyak formalitas-formalitas yang pada hakikatnya merupakan suatu model penyelesaian sengketa yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam transaksi elektronik. Penyelesaian sengketa secara damai antara lain negosiasi, mediasi dan konsiliasi. Negosiasi adalah penyelesaian sengketa secara damai dimana para pihak berhadapan langsung tanpa ada keikut sertaan pihak ketiga. Sedangkan mediasi dan konsiliasi adalah penyelesaian sengketa secara damai dimana ada turut campur pihak ketiga. Perbedaan antara konsiliasi dan mediasi terletak pada aktif tidaknya pihak ketiga dalam mengusahakan para pihak untuk
menyelesaiakn sengketa. Apabila dilihat dari sifatnya, penyelesaian sengketa secara damai ini merupakan hal yang ideal mengingat keadilan muncul dari para pihak. Sengketa pada transaksi elektronik cenderung berkaitan dengan masalah harga, kualitas barang dan jangka waktu pengiriman. Produk yang menjadi obyek sengketa apabila jumlahnya relative kecil, maka para pihak cenderung tidak memerlukan bantuan pihak ketiga untuk penyelesaiannya mengingat biaya yang dikeluarkan untuk membayar jasa pihak ketiga akan lebih besar daripada obyek yang disengketakan. Dalam hal ini proses negosiasi tepat digunakan dan dilakukan secara langsung antara penjual dan pembeli, baik melalui pertemuan secara fisik apabila domisili keduanya saling berdekatan maupun melalui surat menyurat (e-mail) jika kedua belah pihak berjauhan. Penyelesaian sengketa secara damai harus disertau kesukarelaan dari para pihak, tanpa kesukarelaan tidak mungkin penyelesaian sengketa secara damai dapat berjalan lancer. Penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase, hal ini termasuk dalam penyelesaian sengketa secara adversarial yang melibatkan suatu lembaga. Arbitrase pada dasarnya berbentuk lembaga non Negara atau swasta untuk menyelesaiakn sengketa secara cepat. Hukum di Indonesia yang mengatur tentang Arbitrase adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada prinsipnya pemeriksaan perkara di arbitrase melalui 3 tahapan, yaitu : pertama, tahap persiapan untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna sidang pemeriksaan perkara, kedua tahap pemeriksaan tahap mengenai jalannya sidang pemeriksaan perkara, mulai dari
awal pemeriksaan peristiwanya, proses pembuktian sampai dijatuhkan putusan oleh arbiter dan tahap ketiga pelaksanaan tahap untuk merealisir putusan arbiter yang final dan mengikat.125 “Arbitration is a procedur whereby a controversy is a submitted to a person or person other than courts of a final, a binding decision.” 126 Dapat diketahui pengertian arbitrase adalah prosedur dimana sebuah sengketa yang disampaikan kepada seseorang atau orang lain dari pengadilan keputusan final, mengikat). Arbitrase juga merupakan penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (adhoc). Badan arbitrase dewasa ini semakin popular. Arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa dagang nasional maupun Internasional. Kekurangan dari digunakannya penyelesaian sengketa melalui arbitrase diantaranya adalah mahal. Hal ini disebabkan pihak yang bersengketa harus membayar honor dari arbiter yang menyelesaikan sengketa. Proses dan prosedur arbitrase tidaklah mudah, oleh karena itu hanya masyarakat pada stratifikasi sosial tertentu yang dapat memanfaatkan. Di Indonesia penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya bisa dilakukan pada sengketa yang bersifat dagang (commercial dispute) hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.30 Tahun 1999. Lembaga alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia yang dapat digunakan adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa 125 126
Bambang Sutiyoso, 2006, Peneylesaian Sengketa Bisnis, Citra Media, Yogyakarta, h.120
Corley Holmes & Robert, 1982, Fundamentals of Business Law, Third Edition, PrenticeHall, Inc, USA,p-16.
selain melalui arbitrase juga dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana diatur dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang merupakan salah satu senjata sah konsumen yang paling kuat selain UU ITE. BPSK dibentuk oleh pemerintah tetapi bukan merupakan bagian dan institusi kekuasaan kehakiman. Didalam transaksi elektronik selalu berkaitan dengan pelaku usaha dan konsumen. BPSK merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang cenderung digunakan dalam hal sengketa konsumen. Dalam menyelesaikan sengketa konsumen dibentuk Majelis minimal 3 (tiga) dengan dibantu seorang panitera dan putusan BPSK bersifat final dan mengikat. BPSK wajib menjatuhkan putusan selama-lamanya 21 (duapuluh satu) hari sejak gugatan diterima dan keputusan BPSK wajib dilaksanakan pelaku usaha dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan diterimanya atau apabila keberatan dapat mengajukan kepada pengadilan negeri dalam jangka waktu 14 (empat belas hari). Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha memutus perkara tersebut dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya keberatan tersebut. Selanjutnya kasasi pada putusan pengadilan negeri ini diberi jangka waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Keputusan Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi. 127 Pemberian sanksi administratif diatur dalam Pasal 60 UUPK yang merupakan suatu hak khusus yang diberikan UUPK kepada BPSK atas tugas dan/atau kewenangan yang diberikan untuk menyelesaikan sengketa konsumen diluar 127
Gunawan Widjaja, 2002, Alternatif Penyelesaian Sengketa,, Jakarta, PT.RajaGrafindo Persada, h.79
pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 60 ayat (2) jo Pasal 60 ayat (1) UUPK, sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK adalah berupa penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap/ dalam rangka salah satunya adalah tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada konsumen dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita konsumen. Dalam dunia internasional juga terdapat arbitrase institusional yang berada di luar negeri diantaranya adalah International Chamber of Commerce (ICC) yang berkedudukan di Paris, London Court of International Arbitration (LCIA), America Arbitration Association (AAA), dan Singapore International Center for Arbitration
(SIAC).
Pelaksanaan
putusan
arbitrase
didalam
negeri
(nasional/domestik) berlaku ketentuan Pasal 59 sampai dengan Pasal 64 UU No.30 Tahun 1999. Sementara untuk putusan arbitrase internasional berlaku ketentuan Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 UU No.30 Tahun 1999. Diakuinya putusan internasional di Indonesia didasarkan pada keikutsertaan Indonesia dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Konvensi New York 1959. Konvensi ini menegaskan bahwa Negara yang menjadi peserta harus mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase yang dibuat diluar negeri sepanjang Negara tempat dimana arbitrase dilangsungkan termasuk juga menjadi peserta konvensi. Untuk mempermudah penyelesaian sengketa dalam transaksi elektronik dalam perkembangan saat ini juga muncul penyelesaian sengketa secara online (online
dispute resolution/ODR). ODR pada dasarnya sama dengan mekanisme arbitrase scara konvensional namun medianya saja yang berbeda yaitu
menggunakan
media internet sebagai media untuk menyelesaikan sengketa. Demi keadaan tertentupun demi kelancaran ODR dapat mempertemukan para pihak yang bersengketa. Contoh ODR yang telah ada adalah The Virtual Magistre yang dilahirkan oleh para akademisi hukum dunia maya yang bekerja untuk National Center for Automated Information Research (NCAIR) dan Cyberspace Institute yang didirikan oleh asosiasi arbitrase Amerika. Arbitrase online bekerja seperti persidangan, dimana arbiter bertindak seperti hakim yang didahului dengan mendengarkan keterangan kedua belah pihak dan kemudian menjatuhkan putusan. Mengikat dan tidaknya suatu putusan arbitrase online itu tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. 128 Teknis penyelesaian sengketa dilakukan secara online menggunakan media e-mail, video conferencing, radio button electronic fund transfer, web conference maupun online chat. Meskipun dalam UU No. 30 Tahun 1999 tidak secara tegas diatur mengenai prosedur arbitrase online, Pasal 4 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan “Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail, atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak”. Jadi, berdasarkan UU No.30 Tahun 1999 diberikan kemungkinan dipergunakannya 128
e-mail
dalam proses penyelesaian sengketa
Bambang Sutiyoso, 2008, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Online Dispute Resolution dan Pemberlakuannya di Indonesia, Mimbar Hukum, Vol. 20 No.2, Yogyakarta, FH.UGM, hal 238.
meskipun baru dalam tahap penyampaian surat. Selain kata “e-mail” adanya kata “bentuk sarana komunikasi lainnya” dalam ketentuan tersebut dapat dijadikan dasar hukum pelaksanaan arbitrase secara online. Namun di Indonesia sampai saat ini belum diterapkan arbitrase online sesuai yang tersirat dalam Pasal 4 ayat (3) UU No.30 Tahun 1999 tersebut.
BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan 1. Berdasarkan pembahasan terhadap penelitian sebagaimana dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : Pengaturan disclaimer dalam situs internet (website) di Indonesia belum jelas dalam Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur secara khusus kegiatan transaksi elektronik di dunia maya (cyberspace). Banyak disclaimer yang menyatakan pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen dan letaknya pada bagian bawah homepage website sehingga tidak semua konsumen tanggap atas keberadaan disclaimer tersebut. Apabila ditinjau dari Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK),
beberapa substansi dari disclaimer
dalam situs internet (website) dapat dikategorikan sebagai klausula eksonerasi. Namun UUPK hanya berlaku secara limitatif dalam yurisdiksi nasional untuk transaksi secara konvensional (offline). 2. Bentuk
perlindungan
hukum terhadap
konsumen
mengacu
pada
pencantuman disclaimer dalam website, masih lemah. Adapun saat ini perlindungan hukum konsumen yang dapat diberikan, ada 2 (dua) yaitu secara preventif yakni disyaratkan dengan adanya suatu Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undangundang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) dan secara represif penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dapat dilakukan dengan pengajuan gugatan perdata, sanksi pidana dan melalui jalur Non Litigasi yang ideal dengan filosofi lahirnya transaksi elektronik dengan media situs internet (website) adalah melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa. 5.2 Saran 1. Untuk Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) segera mengambil tindakan dalam rangka
kepastian
pengaturan yaitu peraturan Perundang-undangan tentang Informasi dan Transaksi Elektronik materi yang diatur haruslah jelas dan lengkap agar dapat melindungi hak-hak konsumen yang melakukan transaksi bisnis secara elektronik. 2. Untuk Pemerintah, agar melegalisasi setiap website resmi yang melakukan transaksi bisnis secara elektronik dengan cara segera membentuk Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) seperti Case Trust dengan logo TrustSg di Singapura agar dapat memberikan sertifikasi untuk setiap situs internet (website), sehingga dapat melindungi hak-hak konsumen internet di Indonesia.
DAFTAR BACAAN I Buku-Buku Adolf, Huala, 2002, Apek-aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III, Jakarta : Rajawali Pers Ais, Chatamarrasjid, 2004, Penerobosan Cadar Perusahaan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, Bnadung : PT.Citra Aditya Bakti Ardianto, Elvinard dan Dindin M.Machfudz, 2011, Efek Kedermawanan Pebisnis dan CSR Berlipat-lipat, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Arrasjid, Chainur, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika Asshiddiqie, Jimly, 2000, Pergeseran-pergeseran Kekuatan Legislatif Eksekutif, Jakarta : Universitas Indonesia Azheri, Busyra 2011, Corporate Social Responsibility (Dari Voluntary Menjadi Mandatory), Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada Azwar,Azrul, 1989, Pengantar Administrasi Kesehatan, Jakarta : PT. Binarupa Aksara Badrulzaman , Mariam Daruz, 2001, E-commerce Tinjuan dari Hukum Kontrak Indonesia, Hukum Bisnis XII Budiono, Herlien, 2010, Ajaran Umum HukumPerjanjian dan Penerapannya di bidang kenotariatan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti Endeshaw, Assafa , 2007 ,Hukum E-Commerce dan Internet dengan focus di Asia Pasifik, Jakarta : Pustaka Pelajar Friedman , Lawrence M.,2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M.Khozim, Pentj), Bandung : Nusa Media Gunawan, Johanes 1994, Product Liability Dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro Justitia Tahun XXI Nomor 2, April 1994. Hadi,Nor, 2012, Corporate Social Responsibility, Yogyakarta : Graha Ilmu Hadjon, Philipus M., 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya : Percetakan M2 Print (edisi khusus)
---------------------------, dkk , 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Handoyo , B.Hestu Cipto , 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Yogyakarta, Universitas Atmajaya Hartono, Sri Rejeki, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju Hernoko, Agus Yudha,2008, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta : Laksbang Mediatama Kartini, Dwi,
2009, Coorporate Social Responsibility Transformasi Konsep Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Bandung : Refika Aditama
Kristiyanti, Celina Tri Siwi , 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Sinar Grafika Makarim, Edmon, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada ----------------------,
2005, Pengantar Hukum PT.RajaGrafindo Persada
Telematika,
Jakarta
:
Magdalena, Merry, 2009, UU ITE : don‟t be the next victim,Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama Manan, Abdul, 2005, Apek-aspek Pengubah Hukum,Jakarta : Kencana Marzuki , Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Mertokusumo , Sudikno,2012, Teori hukum (edisi revisi), Cahaya atma pustaka, Yogyakarta Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada Muhammad, Abdulkadir, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti -----------------------------, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti Nasution , Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung : CV. Mandar Maju
Nasution, Az, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta : Daya Widya Nugroho , Susanti Adi, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Purbo, Onno W. & Aang Arif Wahyudi, 2001, Mengenal E-Commerce, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Rahardjo, Satjipto, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing Samsul, Inosentius, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta : Universitas Indonesia Saliman, Abdul Rasyid et.Al. 2008, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh Kasus) Edisi 2 Cetakan 4, Jakarta : Kencana Renada Media Group Salman, Otje, 2008, Teori Hukum – Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Jakarta : Refika Aditama Soekanto,
Soerjono, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
--------------------------- dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Nornatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Soenandar, Taryana, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan : Tinjauan Atas Beberapa Aspek Hukum dari Prinsip-Prinsip UNIDROIT dan CISG, Commentaries on the Article 2.19 of the UNIDROIT‟94, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti Shidarta,
2000,
Hukum Perlindungan PT.RajaGrafindo
Konsumen
Indonesia,
Jakarta
:
-----------, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi 2006), Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. Siahaan, N.H.T., 2005, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk), Jakarta : Panta Rei. Sidabalok, Janus, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : PT Citra Aditya Bakti. Sidharta, Arief, 2009, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Bnadung : Refika Aditama
Sinamo, Nomensen, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT.Bumi Intitama Sejahtera. Sjahputra , Imam,2010, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, Bandung : PT.Alumni Supanto, 2010, Kejahatan Ekonomi Global & Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : PT.Alumni Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Jakarta : PT.Citra Aditya Bakti ----------, 2001, Hukum Perjanian, Jakarta : Intermasa Suparni,
Niniek,
2009, Cyberspace Problematika Pengaturannya,Jakarta : Sinar Grafika
&
Antisipasi
Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika dirugikan, Jakarta : Visimedia Sutiyoso, Bambang, 2006, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Yogyakarta : Citra Media -----------------------, 2008, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Online Dispute Resolution dan Pemberlakuannya di Indonesia, Mimbar Hukum, Vol. 20 No.2, Yogyakarta : FH.UGM Syahrani, Ridwan , 1985, Seluk beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni Wahyono,
Teguh, 2009, Etika Komputer + Tanggung jawab Profesional di Bidang Teknologi Informasi, Yogyakarta : ANDI.
Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani, 2000, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama ------------------------ , 2002, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada Yuliandari, 2009, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta :Kencana Prenada Media Group.
II Literatur Asing Anne Fitzgerald, 1999, Inteleectual Property, NSW, Sydney : LBC Information Services,
Corley Holmes & Robert, 1982, Fundamentals of Business Law, Third Edition, USA : Prentice-Hall, Inc G.H Treitel, 1995, The law of contract, 9 London
th
Edition , Sweet & Maxwell Ltd,
Ian Mcleod, 2003, Legal Theory, Queen Mary Centre for Commercial Law Studies, University of London John D.Ashcroft & Janet E. Ashcroft, 1981, College Law for Business, United States of America : South-Western Publishing Co. Roger Catterrell, 1984, The Sociology of Law : An Introduction, London : Butterworths Turban, Efraim, et.al., ,2010, Electronic commerce 2010 (a managerial perspective) sixth edition, United State of America : Pearson. III. Kamus, Jurnal, Tesis Made Maharta Yasa, 2010, Validasi Digital Signature Pada Dokumen Elektronik Dalam Transaksi Komersial , Tesis, Universitas Udayana. Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. IV. Artikel dalam Format Elektronik (Internet) Agung Setiawan, 2012, Digital dan Social Media Indonesia 2012, diakses dari URL : http://www.asm-digital.com, pada tanggal 19 September 2012. Am Badar, 2009, Perlindungan HKI di Jaringan Internet, diakses dari : URL : http ://www.kompasiana.com pada tanggal 8 Agustus 2013. Anggia Dyarini M,2011, Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Perangkat Lunak Kepada Konsumen : Kajian Perbandingan Liensi Standard Sofware, Bespoke Software dan Customized Software, diakses dari : URL : www. lontar. ui. ac. id, pada tanggal 11 Maret 2012. Bagus Hanindoyo Mantri, 2007, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-commerce , diakses dari URL : eprints .undip.ac.id/16674/1/Bagus_Hanindyo_Mantri.pdf ,pada tanggal 12 Maret 2012.
Budi Rahardjo, 2003, Pernak pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia (Serial Online) , diakses dari : URL: http://www.budi.insan.co.id, pada tanggal 20 Januari 2012. Diana Kusumasari, 2011, status hukum pencantuman disclaimer, diakses dari URL : http://www.hukumonline.com, pada tanggal 12 September 2012 Lia Catur Mastuti, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli melalui Media Internet, diakses dari URL : eprints.undip.ac.id/23920/1/Lia_Catur_Muliastuti.pdf, pada tanggal 12 Maret 2012. Matt Junior, 2013, Mengenal Jenis-jenis website, diakses dari : URL : http://www.mattjunior.com, pada tanggal 19 Juni 2013 Mustadafin, 2012, Standar Ganda Copyright pada Website, diakses dari : http://www.kaskus.co.id, pada tanggal 20 Juni 2012 Purwono, 1992, Studi Kepustakaan (online), Diakses dari URL : http://adab.uinsuka.ac.id, pada tanggal 21 Juni 2012. Radian Adi , 2012, Cara pembuktian Cyber Crime menurut Hukum Indonesia, diakses dari URL : http://www.hukumonline.com pada tanggal 29 November 2013. Reza Wahyudi, Tri Wahono, 2011, Pengguna Internet Indonesia, diakses dari URL : http : // tekno.kompas.com/read/2011, pada tanggal 12 Maret 2012. -------------------, 2012 ,Pengguna Internet di Indonesia Capai 55 Juta, diakses dari : http://tekno.kompas.com, pada tanggal 12 September 2012 Richard A. Chapo, 2012, Disclaimer For Website, diakses dari : URL : www.socalinternetlawyer.com, G.H Treitel, 1995, The law of contract, 9 th Edition , Sweet & Maxwell Ltd, London, h.1969 pada tanggal 1 Mei 2013. SEQ Legal LLP, 2013, More information about website disclaimers, diakses dari : URL : http://www.seqlegal.com, , pada tanggal 20 Oktober 2013.
Simon
Davey,
2011, Website disclaimers , diakses dari : URL :http://www.ictknowledgebase.org.uk, pada tanggal 17 Juni 2013
Sylvia Christina Aswin, 2006, Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial Elektronik , diakses dari URL : eprints.undip.ac.id/17823/1/Sylvia_Christina_Aswin.pdf. pada tanggal 12 Maret 2012. Taqyuddin
Kadir,
2006, Klausula Baku , diakses dari : URL http://taqlawyer.com pada tanggal 20 Agustus 2013
:
Teguh Arifiyadi, 2013, Sertifikasi Pelaku Usaha Online,diakses dari :URL : www.hukumonline.com , pada tanggal 9 Oktober 2013 Toto
Adhitama,
2011, about gadget, diakses dari URL : http://asia.groups.yahoo.com/, pada tanggal 12 Januari 2013
CaseTrust Be Sure, 2008, CaseTrust Accreditation Scheme, Information & Application Kit-Webfront, CaseTrust Departement, diakses dari URL : http://www.case.org.sg, pada tanggal 29 November 2013 Kompas, 2008, Kejahatan Cyber Tinggi, Polisi Menerima Laporan dari 17 Negara , diakses dari URL : www.kompas.com, pada tanggal 29 November 2013 UNIDROIT 1994, 1994, Principles of International Commercial Contract 1994, International Institute for the Unification of Private Law Article 2.19, diakses dari : URL : http://www.lexmercatoria.org. pada tanggal 4 Juli 2013. V. Perundang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.