EFEKTIVITAS METODE APLIKASI HORMON PROGESTERON, PGF2α DAN hCG DALAM PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI KAMBING PE ANESTRUS POSTPARTUM
MUHAMMAD SYAWAL B352120081
BIOLOGI REPRODUKSI SEKOLAH PASCA SARJANA ISTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Metode Aplikasi Hormon Progesteron, PGF2α Dan hCG Dalam Peningkatan Efisiensi Reproduksi Kambing PE Anestrus Postpartum adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015
Muhammad Syawal NIM B352120081
RINGKASAN MUHAMMAD SYAWAL. Efektivitas Metode Aplikasi Hormon Progesteron, PGF2α Dan hCG Dalam Peningkatan Efisiensi Reproduksi Kambing PE Anestrus Postpartum. Dibimbing oleh TUTY LASWARDI YUSUF dan MUHAMMAD AGIL. Anestrus Postpartum pada kambing PE sering terjadi karena kesalahan manajemen reproduksi dan pakan sehingga mengakibatkan gangguan fungsional pada ovarium. Anestrus postpartum yang berlangsung lama menimbulkan kerugian bagi peternak karena efisiensi reproduksi yang rendah. Penelitian ini bertujuan memperbaiki kondisi reproduksi pada kambing PE betina yang mengalami anestrus postpartum dengan menggunakan hormon Prostaglandin (PGF2α) atau progesteron (CIDR-G) dan meningkatkan kebuntingan hasil IB dengan pemberian hCG serta menggunakan dosis IB 100x106/0.25ml atau 200x106/0.25 ml. Selama penelitian sebanyak 30 ekor kambing dibagi menjadi 3 kelompok yaitu CIDR-G, PGF2α dan kontrol. Kambing diberi pakan berupa konsentrat yang memiliki protein kasar 16% sebanyak 700 g/e/h. Kelompok progesteron diberi CIDR-G (0.3 progesteron) ditanam intravaginal selama 12 hari dan kelompok prostaglandin diberi PGF2α dengan dosis 5 mg/ekor sebanyak 2 kali dengan selang waktu 11 hari. Respon estrus diamati setiap tiga jam sekali dengan cara memasukkan pejantan pengusik (teaser) ke dalam kandang kambing. Kambing dianggap positif estrus (onset estrus) jika diam dinaiki oleh pejantan. Kelompok kambing yang estrus sebagian diberi hCG, kemudian semua kambing estrus diinseminasi dengan dosis yang berbeda (100x106 /0.25ml dan 200x106/0.25ml). Pemberian progesteron menghasilkan respon estrus 100% lebih tinggi dibanding respon pada pemberian PGF2α (70%). Onset estrus kelompok CIDR-G adalah 35.81±13.33 jam lebih cepat dibandingkan kelompok PGF2α yaitu 45.6±9.2 jam. Gejala klinis vulva maksimal (kemerahan dan kebengkakan) lebih tinggi intensitasnya pada pemberian progesteron (80% dan 70%) dibanding PGF2α (71% dan 57%). Intensitas kebasahan (lendir vulva) tidak menjadi parameter utama pada kambing estrus karena variasi antar individu sangat tinggi. Lama estrus hasil pemberian PGF2α (52.17±3.34) jam lebih lama dibandingkan pada kelompok CIDR-G (49.61±3.56) jam. Kebuntingan pada kelompok yang diberi hCG lebih tinggi (67%) dibandingkan dengan yang tidak diberi hCG (42%). Kelompok yang menggunakan dosis IB dengan konsentrasi sperma 200x106/0.25ml menghasilkan kebuntingan yang tidak signifikan dibandingkan dengan dosis 100x106/0.25ml (54% dan 50%). Kesimpulan menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron dan PGF2α bisa memperbaiki fungsi reproduksi pada kambing anestrus postpartum 2-4 bulan. Pemberian hormon hCG menghasilkan kebuntingan lebih baik daripada yang tidak diberi hCG. Penggunaan dosis IB dengan konsentrasi sperma 100x106/0.25ml dan 200x106/0.25ml menghasilkan tingkat kebuntingan yang relatif sama. Kata kunci: Kambing PE, Anestrus Postpartum, Progesteron, PGF2α dan hCG
SUMMARY MUHAMMAD SYAWAL. Effectiveness of Progesterone, PGF2α And hCG Application to Improve Reproductive Efficiency in PE Goat Postpartum Anestrus. Supervised by TUTY LASWARDI YUSUF dan MUHAMMAD AGIL. Postpartum anestrus in PE goat often occurs due to mismanagement of reproduction and feed resulting in functional disorders of the ovary. Prolonged postpartum anestrus incur losses for farmers due to low reproductive efficiency. This study aims to improve the conditions of reproduction in PE goat females who experience postpartum anestrus using the hormone prostaglandin (PGF2α) or progesterone (CIDR-G) and improve pregnancy rate as AI result by administering hCG and AI doses of sperm concentration of 100x106/0.25ml or 200x106/0.25 ml. During the study 30 goats were divided into 3 groups of CIDR, PGF2α and control. Goats were fed with a concentrate which has a 16% crude protein as much as 700 g / e / h. Progesterone group was given CIDR (0.3 g progesterone) intravaginal for 12 days, and the prostaglandin group was treated with PGF2α dose of 5 mg/goat which was delivered 2 times with an interval of 11 days. Estrus response was observed every three hours by entering teaser into the goat pen. The females were considered positive estrus (estrus onset) if receptive to the male mounting. Partly of goats estrous were given hCG, and all of goat estrus were inseminated with different doses (100x106/0.25 ml or 200x106/0.25ml). Progesterone administration produced estrus response 100%, higher than the response to the administration of PGF2α (70%). Onset of estrus CIDR group is 35.81 ± 13:33 hours, faster than the PGF2α group (45.6 ± 9.2 hours). The intensity of vulva morphological changes (redness and swelling) was higher on progesterone administration (80% vs 70%) compared to PGF2α (71% vs 57%). Intensity wetness (mucus vulva) was not taken as parameter of estrus because the variation between individuals is very high. Duration of estrous in PGF2α group was about 52.17 ± 3.34 h which was longer than the CIDR group (49.61 ± 3.56 h). Pregnancy in the group given hCG is higher (67%) compared with those not given hCG (42%). Pregnancy obtained from AI with sperm dose concentration of 200x106/0.25ml, which was not significant compared with the dose 100x106/0.25ml (54% dan 50%). The conclusion showed that administration of progesterone and PGF2α can improve reproductive function in goats 2-4 months postpartum anestrus. hCG administration increased pregnancy rate. AI doses with sperm concentration 100x106 / 0.25ml and 200x106/ 0.25ml produced relatively the same pregnancy rate. Keywords: PE Goat, Anestrus Postpartum, Progesterone, PGF2α and hCG
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS METODE APLIKASI HORMON PROGESTERON, PGF2α DAN hCG DALAM PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI KAMBING PE ANESTRUS POSTPARTUM
MUHAMMAD SYAWAL
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr drh Iman Supriatna
Judul Tesis : Efektivitas Metode Aplikasi Hormon Progesteron, PGF2α Dan hCG Dalam Peningkatan Efisiensi Reproduksi Kambing PE Anestrus Postpartum. Nama : Muhammad Syawal NIM : B352120081 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr drh Tuty L.Yusuf, MS Ketua
Dr drh Muhammad Agil, MSc Agr Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biologi Reproduksi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 18 November 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 ialah kambing PE Anestrus Postpartum, dengan judul Efektivitas Metode Aplikasi Hormon Progesteron, PGF2α Dan hCG Dalam Peningkatan Efisiensi Reproduksi Kambing PE Anestrus Postpartum. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof.Dr. drh. Tuty L.Yusuf MS dan Bapak Dr. drh.Muhammad Agil, Msc. Agr selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Dr. Ir. Nasrullah, MS selaku kepala Balitnak dan Ibu Lisa Elisabeth beserta staf Balai Penelitian Ternak Ciawi - Bogor, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, istri dan anak-anakku serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Muhammad Syawal
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA .4 Reproduksi Kambing PE ......................... ......................................................4 Anestrus Postpartum.......................................................................................9 Prostaglandin (PGF2α)..................................................................................10 Progesteron (CIDR).......................................................................................11 human Chorionic Gonadotrophin (hCG).......................................................14 Inseminasi Buatan (IB)..................................................................................15 3 MATERI DAN METODE 16 Tempat dan Waktu 16 Materi Penelitian 16 Prosedur Percobaan......................................................................................17 Parameter Yang Diamati .............................................................................19 Rancangan Percobaan dan Analisa Data .....................................................19 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................19 Tingkat Kejadian Estrus Kambing PE Anestrus Postpartum ......................19 Perbedaan Intensitas Estrus Kambing PE Anestrus Postpartum .................24 Tingkat Kebuntingan Hasil IB setelah Pemberian hCG ..............................26 5 KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
29 29 29
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
37
RIWAYAT HIDUP
39
DAFTAR TABEL
1. Sifat Reproduksi pada Kambing PE Betina dan Jantan 2. Komposisi Bahan Pakan Konsentrat 3. Respon, Onset dan Lama Estrus kambing PE 4. Intensitas Estrus Kambing PE 5. Tingkat Kebuntingan Hasil IB Setelah Pemberian hCG 6 Tingkat Kebuntingan Hasil IB menurut Dosis Inseminasi Buatan
9 17 20 25 27 28
DAFTAR GAMBAR
1. Alur Kegiatan Penelitian 2. Siklus Estrus Kambing PE 3. Perlakuan CIDR-G dan PGF2α 4. Betina Diam Dinaiki Pejantan (onset estrus) 5. Gejala Klinis Vulva Kambing Yang Sedang Estrus
3 5 17 18 26
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kambing peranakan ettawa (PE) merupakan kambing yang cukup produktif dan adaptif dengan kondisi lingkungan setempat. Kambing ini banyak diminati peternak rakyat karena manajemen pemeliharaan yang mudah dan murah.Selain itu bisa juga digunakan sebagai penghasil tambahan dan tabungan.Jumlah permintaan kambing semakin meningkat sedangkan peningkatan populasi kambing masih rendah.Menurut statistik peternakan dan kesehatan hewan (Ditjenak 2013) populasi kambing sebanyak18.576.192 ekor peningkatannya hanya mencapai 0.03% (67.0330 ekor) dari tahun sebelumnya (2012) yakni 17.905.862 ekor. Kambing PE memiliki potensi biologi reproduksi yang cukup baik seperti umur pubertas adalah 6–10 bulan, mencapai dewasa tubuh (organ reproduksi siap bunting) pada umur 10 -12 bulan dimana saat bobot badan mencapai 55 - 60 kg. Kambing PE memiliki rataan berat badan betina 40,2 kg dan jantan 60 kg yang difungsikan sebagai penghasil susu dan daging. Selain itu jumlah anak sekelahiran (litter size) sebanyak 1.3–1.7 ekor dengan selang beranak yang relatif pendek yaitu 240 hari (Sutama et al. 2007). Memiliki tinggi badan untuk jantan/betina 70100 cm, dengan berat badan dewasa mencapai 40-80 kg untuk jantan dan 30-50 kg untuk betina yang difungsikan sebagai penghasil susu dan daging (Sutama 2011). Pada umumnya manajemen kambing PE dilakukan oleh peternak secara tradisional sehingga banyak terjadi anestrus setelah partus (anestrus postpartum). Kejadian anestrus postpartum bisa berlangsung lama bahkan bisa mencapai 200 hari (Freitas 2004). Kondisi yang demikian menyebabkan banyak peternak yang menjual ternaknya dengan harga yang murah sehingga merugikan peternak secara ekonomis. Anestrus postpartum bisa terjadi karena kesalahan manajemen reproduksi dan kualitas pakan yang mengakibatkan hipofungsi ovarium (Gonzalez-Stagnaro 1984). Selain itu, gangguan fungsi uterus dapat menyebabkan terjadinya korpus luteum persisten (CLP) sehingga mengganggu fungsi reproduksi secara keseluruhan. Perbaikan reproduksi pada kambing anestrus postpartum dapat dilakukan dengan cara pemberian pakan berkualitas. Pakan bisa membantu pencapaian kondisi tubuh yang optimal sehingga hormon gonadotropin terbentuk secara seimbang untuk menstimulasi folikulogenesis. Menurut De Santiago-Miramontes et al. (2008) bahwa keberhasilan estrus kambing dapat mencapai 88% dengan pemberian pakan yang cukup baik kualitas maupun kuantitas. Menurut Marwah et al. (2010) menyatakan bahwa kebutuhan kambing PE yang sedang laktasi (postpartum) adalah bahan kering (BK) 1.867 kg/hari, protein kasar (PK) 0.344 kg/hari dan total digestible nitrogen (TDN) 1.105 kg/hari. Sumber energi diperoleh dari TDN, sedangkan PK berperan sebagai sumber protein dalam pembentukan hormon-hormon terutama hormon reproduksi, seperti FSH dan LH. Pemberian hormon reproduksi pada kambing anestrus postpartum dapat meningkatkan fungsi reproduksi sehingga kambing dapat kembali estrus secara normal. Pemberian progesteron secara intravaginal dalam waktu tertentu terjadi mekanisme umpan balik negatif dan menginisiasi terjadinya perkembangan folikel setelah pencabutan sehingga dimulainya estrus kembali (Fonseca et al. 2005).
2
Pemberian prostaglandin (PGF2α) berfungsi untuk melisiskan korpus luteum yang mengakibatkan terjadinya proses folikulogenesis hingga estrus kembali. Pelaksanaan inseminasi buatan (IB) pada kambing telah banyak dilakukan namun hasilnya masih rendah seperti hasil penelitian Tambing dan Sariubang (2008) menghasilkan angka kebuntingan hanya 25%. Rendahnya hasil IB disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah waktu inseminasi, teknik inseminasi dan konsentrasi sperma serta kombinasi hormon sewaktu sinkronisasi estrus (Hastono 2000). Untuk mencapai hasil IB yang lebih optimal pada kambing PE yang sedang anestrus postpartum, maka dalam penelitian ini dilakukan beberapa kegiatan yaitu (1) Pemberian hormon progesteron (CIDR-G) secara intravaginal/pemberian PGF2α secara intramuscular, (2) Pemberian hCG saat onset estrus, (3) Menggunakan dosis IB 100x106/0.25ml atau 200x106/0.25ml. Penggunaan hormon hCG yang dikombinasikan dengan hormon progesteron atau PGF2α. Dimana hCG memiliki fungsi yang sama dengan LH yaitu untuk merangsang pematangan oosit dan ovulasi (Ginther et al. 2009). Kerangka Pemikiran Anestrus postpartum bisa terjadi karena kesalahan manajemen reproduksi dan kualitas pakan yang mengakibatkan hipofungsi ovarium. Kejadian anestrus postpartum bisa berlangsung lama bahkan bisa mencapai 200 hari, kondisi yang demikian menyebabkan banyak peternak merugi. Kambing anestrus postpartum 2–4 bulan diberikan nutrisi legum dan konsentrat berkualitas yang memenuhi kebutuhan standar ternak (Protein kasar:16%). Pemberian pakan berkualitas dilakukan sebelum perlakuan hormon reproduksi dengan tujuan agar nutrisi kambing terpenuhi sehingga mencapai kondisi tubuh yang optimal. Selanjutnya tubuh kambing akan memproduksi hormon-hormon reproduksi secara seimbang. Penggunaan CIDR-G selama 12 hari akan meningkatkan jumlah hormon progesteron dalam darah yang selanjutnya memberikan mekanisme umpan balik negatif. Pencabutan CIDR-G akan menurunkan jumlah progesteron secara drastis sehingga kondisi yang demikian memicu hypotalamus melepaskan hormon GnRH. Kemudian GnRH merangsang pelepasan hormon FSH dan LH oleh hypofisa anterior. Selanjutnya FSH dan LH akan merangsang terjadinya perkembangan folikel yang mengakibatkan siklus estrus dimulai lagi. Pemberian PGF2α berperanan untuk melisiskan korpus luteum yang mungkin ada pada ovarium, dengan lisisnya korpus luteum maka hormon progesteron akan segera turun secara mendadak yang memicu hypotalamus melepaskan hormon GnRH. Kemudian GnRH merangsang pelepasan hormon FSH dan LH oleh hypofisa anterior. Selanjutnya FSH dan LH akan merangsang terjadinya perkembangan folikel sehingga siklus estrus dimulai lagi. Pemberian hCG saat onset estrus (diam dinaiki pejantan teaser) akan membantu pematangan oosit dan menyebabkan terjadinya ovulasi. Pelaksanaan Inseminasi Buatan pada prinsipnya mendekati waktu ovulasi baik sesudah maupun sebelumnya, waktu inseminasi yang terbaik antara 12 sampai dengan 36 jam sejak onset estrus. Pelaksanaan Inseminasi dilakukan 12 dan 24 jam sejak onset estrus dengan menggunakan semen beku yang memiliki dosis IB 100x106/0.25 ml atau 200x106/0.25 ml.
3
Alur Kegiatan Penelitian Anestrus Postpartum (2-4 bulan)
Pemberian pakan berkualitas (1 bulan) Tahap 1: Perlakuan Hormon
CIDR-G
Tahap 2: Inseminasi Buatan hCG
PGF2α
Kontrol
Respon estrus (%) (vulva&diam dinaiki)
Non hCG
IB (2x ) 12 & 24 jam onset estrus
100x106/0.25ml Partus 6
200x10 /0.25ml
Gambar 1 Alur Kegiatan Penelitian Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan memperbaiki kondisi reproduksi pada kambing PE yang sedang anestrus postpartum dengan menggunakan hormon PGF2α atau progesteron (CIDR-G) dan meningkatkan keberhasilan kebuntingan hasil IB melalui pemberian hormon hCG dan menggunakan dosis IB 100x106/0.25ml atau 200x106/0.25 ml. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menghasilkan metode aplikasi hormon reproduksi terbaik yang dapat menginduksi estrus pada kambing PE anestrus postpartum dan aplikasi penggunaan hormon hCG dan dosis IB yang tepat guna meningkatkan persentase kebuntingan. HipotesisPenelitian
1. 2. 3.
Hipotesis pada penelitian ini adalah: Pemberian hormon progesteron dan PGF2α dapat mengurangi jumlah kejadian induk yang mengalami anestrus postpartum Pemberian hCG pada kambing saat onset estrus dapat meningkatkan persentase angka kebuntingan. Tingkat kebuntingan dengan dosis IB 200x106/0.25 ml lebih tinggi daripada 100x106/0.25 ml.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Reproduksi Kambing Peranakan Ettawa (PE) Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing Ettawa yang berasal dari India dengan kambing Kacang (lokal), yang penampilannya mirip Ettawa tetapi lebih kecil. Kambing PE merupakan tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu (perah). Ciri khas kambing PE antara lain: bentuk muka cembung melengkung dan dagu berjanggut, terdapat gelambir di bawah leher, telinga panjang menggantung dan ujungnya agak berlipat, ujung tanduk agak melengkung, tubuh tinggi, pipih, bulu tumbuh panjang di bagian leher, pundak, punggung dan paha, bulu paha panjang dan tebal. Secara biologis, Kambing PE cukup produktif dan adaptif dengan kondisi lingkungan setempat, sehingga memudahkan untuk budidaya dan pengembangan. Dapat menghasilkan daging dan susu dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan keluarga petani di pedesaan (Sutama 2007). Pubertas dan Dewasa Tubuh Pubertas (dewasa kelamin) adalah umur atau waktu dimana organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pubertas pada ternak betina merupakan fase atau keadaan dimana ternak tersebut menunjukkan tanda-tanda estrus pertama kali atas pengaruh hormon estrogen (Feradis 2010). Pubertas pada kambing PE betina berumur kisaran 8–10 bulan (Utomo 2011) dan sekitar 10-12 bulan (Tomaszewska et al. 1991). Pubertas kambing PE pada umur 8 – 12 bulan dimana bobot badan 18 – 22 kg atau sekitar 53 – 60% bobot badan dewasa ( Sutama 2009). Dewasa tubuh adalah umur atau waktu dimana kondisi tubuh ternak sudah siap untuk kawin pertama kali. Menurut Atabany et al. (2004) Umur kawin pertama kali kambing PE ketika mencapai 403.32 hari (13.44 bulan), Umur 15 bulan (Suranindyah et al. 2009), Devendra (1990) menyatakan 12 bulan, Saithanoo et al. (1991) pada umur 7 bulan, Pralomkarn (1996) 10-12 bulan. Siklus Estrus Siklus estrus merupakan jarak waktu antara satu estrus ke fase estrus berikutnya. Walaupun aktivitas estrus ternak kambing tergolong poliestrus artinya estrus terjadi beberapa kali dalam satu tahun, akan tetapi siklus bervariasi. Sutama (2007) menyatakan bahwa lama siklus estrus pada kambing adalah 18-24 hari dengan rata-rata 21 hari. Menurut Atabany et al. (2004) bahwa siklus estrus kambing PE adalah 22.79 hari dan Sutama (1996) sebesar18-22 hari. Sebagai pembanding pada kambing Kacang memiliki siklus estrus antara 19-50 hari (Prabowo et al. 1995) dan pada kambing Boer sebesar 20.7 hari kisaran 13-25 hari (Greyling 2000). Menurut Fatet et al. (2011) siklus estrus pada kambing dibagi 4 fase (Gambar 2). Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya variasi siklus estrus diantaranyaperbedaan bangsa, tatalaksana pemeliharaan terutama pengelolaan reproduksi dan juga faktor gelombang pertumbuhan folikel (follicle development
5
wave). Gelombang pertumbuhan folikel dalam satu siklus estrus pada kambing saat ini belum diketahui dengan pasti, sehingga sulit untuk menentukan dengan tepat aplikasi hormonal dalam program sinkronisasi estrus dan waktu inseminasi. Mengkontrol gelombang pertumbuhan folikel penting dalam program sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan (Adams 1994). Salah satu cara mengkontrol gelombang pertumbuhan folikel yakni dengan mengamati fase yang terjadi pada siklus estrus yang telah terbagi dalam empat fase yaitu Proestrus,Estrus, Metestrus dan Diestrus.
Hari
Gambar 2 Siklus estrus kambing (Fatet et al. 2011) Proestrus merupakan fase sebelum estrus yaitu periode pada saat folikel de Graaf tumbuh di bawah pengaruh FSH dari adenohipofisa anterior dan LH serta ovarium menghasilkan sejumlah estradiol (estrogen yang paling kuat) yang semakin lama semakin bertambah dan memicu peningkatan suplai darah ke saluran kelamin sehingga menyebabkan meningkatnya perkembangan uterus, vagina, oviduk, dan folikel ovarium. Fase ini berlangsung selama 2-3 hari (Fatet et al. 2011). Fase proestrus dimulai dengan regresi korpus luteum dan berhentinya progesteron dan mempersiapkan untuk memulai estrus kembali. Fase proestrus dicirikan dengan pertumbuhan folikel dan mulai memproduksi estrogen. Meningkatnya kadar estrogen yang diserap dari folikel ke dalam aliran darah akan merangsang peningkatan vaskularisasi dan pertumbuhan sel genital dalam persiapan untuk estrus dan kebuntingan yang akan terjadi. Karakteristik sel pada saat ini yaitu penampakan histologi dari ulas vagina diawal periode ditandai dengan banyak sel-sel ephitel yang memiliki inti kemudian diakhir periode sel-sel mulai bertanduk/kornifikasi (Leigh 2010). Pada fase ini akan terlihat perubahan pada alat kelamin luar dan terjadi perubahan-perubahan tingkah laku dimana hewan betina berperilaku seperti gelisah, agresif, dan mungkin akan menanduk, melenguh. Pada saat ini hewan sudah mulai menunjukkan tanda-tanda estrus tapi belum bersedia untuk kopulasi karena kadar hormon estrogen yang dihasilkan folikel belum mencapai optimal. Ovarium pada fase ini memiliki korpus luteum
6
albikan yang berasal dari korpus luteum yang mengalami atropi dan mengecil yang menyerupai tenunan pengikat (Senger 2003). Estrus merupakan kondisi saat hewan betina bersedia dikawini oleh pejantan atau merupakan periode penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk berkopulasi. Fase ini berlangsung selama 34-38 jam (1-2 hari) pada kambing betina (Feradis 2010). Fase ini mengalami kejadian cervik relaksasi dan pada ovarium terdapat folikel de Graaf yang membesar dan sudah matang, memperlihatkan tingkah laku estrus, umpan balik positif dan negatif terhadap pelepasan GnRH, karakteristik seks skunder, peningkatan kontraksi uterus. Pada fase ini produksi estrogen bertambah, puncak klimaks fase folikel yang terutama ditentukan oleh tingkat sirkulasi estrogen selanjutnya terjadi ovulasi. Pada saat initerjadi penurunan konsentrasi hormon FSH dan kenaikan kadar LHdalam darah, hormon ini yang menyebabkan terjadinya ovulasi dan pembentukan korpus luteum yang terlihat pada masa sesudah estrus. Mukosa dari uterus banyak mengandung darah, pada saat ini kambing betina siap dikawini olehpejantan. Kambing estrus umumnya memperlihatkan tanda-tanda perilaku gelisah,nafsu makan turun atau hilang sama sekali, menghampiri pejantan, diam dinaiki pejantan diikuti keluarnya cairan yang kental dan bening dari vulva, adanya kemerahan dan kebengkakan vulva, saling menaiki, urinasi yang berlebihan, mengembik terus menerus (Siregar et al. 2004). Karakteristik sel pada saat ini yaitu penampakan histologi dari ulas vagina diawal periode ditandai dengan banyak sel-sel yang bertanduk/kornifikasi (Leigh 2010). Metestrus atau Postestrus. Metestrus ditandai dengan berhentinya puncak estrus. Periode ini berlangsung selama 6–7 hari ((Fatet et al. 201). Menjelang pertengahan sampai akhir metestrus, uterus menjadi agak lunak karena pengendoran otot uterus. Folikel sudah mengalami ovulasi dan bekas folikel setelah ovulasi mengecil dan berhentinya pengeluaran lendir. Ovarium akan cekung karena bekas folikel yang ovulasi dan terbentuk korpus luteum dengan konsistensi menyerupai jantung. Pada fase ini sekresi mukus vagina berkurang dan epithel karunkula uterus hiperemis. Selama metestrus, rongga yang ditinggalkan oleh pemecahan folikel mulai terisi dengan darah. Darah membentuk struktur yang disebut korpus hemoragikum. Korpus hemoragikum mulai berubah menjadi luteal,menghasilkan korpus luteum atau CL. Fase ini sebagian besar berada di bawah pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH dari pituitary anterior sehingga menghambat pertumbuhan folikel ovarium dan mencegah terjadinya estrus. Karakteristik sel pada saat ini yaitu ditandai dengan mulai terdapat leukosit (Leigh 2010). Diestrus adalah periode terakhir dalam siklus estrus. Fase diestrus merupakan fase korpus luteum bekerja secara optimal dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Fase ini merupakan fase yang terpanjang di dalam siklus estrus. Periode ini berlangsung selama 10-11 hari (Feradis 2010). Pada fase ini ovarium didominasi oleh korpus luteum dengan bentuk permukaan yang tidak rata, menonjol keluar serta konsistensinya agak keras dari korpus luteum pada fase metestrus. Fase ini dimulai ketika konsentrasi progresteron darah meningkat dapat dideteksi dan diakhiri dengan regresi korpus luteum. Fase ini disebut juga fase persiapan uterus untuk kebuntingan. Baik terjadi kebuntingan maupun tidak, CL
7
akan tetap berkembang dengan sendirinya menjadi organ yang fungsional yang menghasilkan hormon progesteron. Selama periode ini dibawah pengaruh hormon progesteron dari korpus luteum. Korpus luteum ini tetap ada sampai hari ke 17 atau 18 dari siklus estrus. Uterus pada fase ini dalam keadaan relaksasi dan servik dalam kondisi mengalami kontraksi. Perubahan selama diestrus yaitu periode persiapan uterus untuk suatu kebuntingan,endometrium menebal dan kelenjarkelenjar uterusnya hypertropi, cervix tertutup, mukosa vagina pucat, akhir periode endometrium dan kelenjar uterus mengalami atropi kembali. Periode diestrus disebut pula periode istrahat dari alat kelamin. Bila terjadi kebuntingan korpus luteum akan berlangsung sampai terjadi kebuntingan. Korpus luteum berubah menjadi korpus luteum periodikum. Jika sel telur tidak dibuahi (tidak bunting) maka CL akan berfungsi hanya beberapa hari setelah itu CL akan meluruh dan akan masuk siklus estrus yang baru. Bila korpus luteum tidak regresi sedangkan tidak dalam keadaan bunting maka disebut korpus luteum persisten (Senger 2003). Fase diestrus biasanya diikuti pertumbuhan folikel pertama tapi akhirnya mengalami atresia sedangkan pertumbuhan folikel kedua nantinya akan mengalami ovulasi. Selama fase diestus tidak ada aktifitas seksual,terlihat folikel kecil-kecil (folicle primer). Pada fase diestrus, histologi dari ulas vagina menunjukkan karakteristik sel ditandai dengan banyak sel-sel yang memiliki leukosit kemudian diakhir periode sel-sel berinti mulai muncul (Leigh 2010). Lama Bunting dan Litter Size Lama bunting adalah waktu dari saat terjadinya fertilisasi sampai saat kambing partus (Sutama 2009). Lama bunting seekor ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan baik internalmaupun eksternal (Gatot Murdjitoet al. 2011). Lama bunting bervariasi tergantung dari spesies ternak, bahkan antar individu dalam spesies yang sama. Beberapa laporan hasil penelitian bahwa lama bunting pada kambing PE adalah 5-6 bulan (Astuti et al. 2007) 142– 156 hari (Sutama 2009). Sebagai pembanding, lama bunting pada jenis kambing lain seperti pada kambing Bligon memiliki rataan 5.5 bulan dengan kisaran 5-6 bulan (Gatot Murdjito et al.2011) dan kambing Kacang sekitar 5 bulan (Loliwu 2002). Litter size adalah jumlah anak sekelahiran. Kambing PE merupakan kambing lokal yang mempunyai keragaan reproduksi yang cukup baik terutama potensi genetik yang cukup tinggi pada jumlah anak sekelahiran (Sakul et al. 1994).Jumlah anak sekelahiran (litter size) kambing PE relatif tinggi 1.3–1.7 ekor (Adriani et al. 2003; Sutama et al. 2007). Jumlah anak perkelahiran (litter size) bervariasi 1 sampai dengan 3 ekor. Tinggi rendahnya litter size antara lain dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor umur induk, bobot badan induk dan tingkat nutrisi (Doloksaribu et al.2005), lingkungan dan iklim(Hardjosubroto1994). Menurut Inounu (1996) pemberian pakan dengan tingkat nutrisi yang lebih tinggi pada saat menjelang ovulasi akan meningkatkan jumlah ovum yang diovulasikan, dimana jumlah ovum yang diovulasikan lebih dari satu berpeluang meningkatkan jumlah anak sekelahiran.
8
Involusi Uteri dan Estrus Post Partum Involusi uteri adalah proses uterus kembali ke ukuran normal setelah melahirkan. Semakin lambat uterus kembali ke ukuran normal (involusi uterus) akan semakin lambat ovarium untuk beraktivitas kembali yang mengakibatkan siklus birahinya yang lambat. Menurut Tambing et al. (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi involusi uterus adalah suckling (menyusui), kualitas dan kuantitas pakan, serta aktivitas hormonal. Semakin lama periode menyusui, kualitas dan kuantitas pakan yang tidakoptimal dan kurangnya rangsangan hormonal terutamaprostaglandin, akan memperlama involusi uterus yang mengakibatkan masa selang beranak semakin panjang. Pelepasan PGF2α setelah melahirkan diperlukan untuk meningkatkan tonus uterus dan selanjutnya merangsang involusi (Jainudeen dan Hafez 1993). Involusi uterus pada kambing PE berkisar 20-40 hari (Agrawal et al. 1992) dan pada kambing Boer 28 hari (Greyling 2000). Estrus Post Partummerupakan kemampuan kambing menunjukkan estrus kembali setelah beranak. Kambing PE termasuk bangsa kambing yang cukup produktif, kondisi ini bisa dilihat dari kemampuan kambing menunjukkan estrus kembali setelah melahirkan.Beberapa hasil penelitian terhadap kambing PE memiliki Estrus Post Partum4.2 bulan (Utomo 2013), 64.19 hari atau 2.14 bulan (Atabany et al. 2004 ). Pada jenis kambing lain seperti kambing Bligon 4.6 bulan (Utomo 2013), 45–180 hari dengan rata-rata 95 hari (Murdjito et al. 2011) dan 122 hari (Rustadi 2008). Days Open dan Selang Beranak Days open atau lama kosong adalah lama waktu sesudah induk beranak sampai dengan bunting kembali. Murdjito et al. (2011) menyebutkan bahwa Days Open (DO) atau waktu kosong adalah lamanya waktu ternak kambing setelah melahirkan sampai bunting lagi normalnya antara 2-3 bulan setelah kambing menyapih anaknya. Lama kosong menunjukkan selang waktu antara saat beranak sampai dengan terjadi konsepsi kembali (Hafez and Hafez 2008). Days open pada seekor ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya IB yang mencakup teknik inseminasi, penggunaan semen berkualitas baik dan kualitas estrus induk, kesehatan ternak, fertilitas induk dan manajemen yang meliputi recording, ketepatan dalam deteksi estrus dan nilai nutrisi yang memadai (Hafez and Hafez 2008). Days open yang hampir sama menunjukkan bahwa manajemen reproduksi sudah baik. Susilawati dan Affandi (2004) menyatakan DO yang panjang disebabkan oleh tingginya kegagalan inseminasi buatan sehingga S/C nya menjadi tinggi, umur pertama kali dikawinkan lambat dan pertambahan berat badannya yang lambat. Days open kambing PE 112.3+30.27 hari pada perkawinan alam dan pada perkawinan IB sebesar 104.4+21.32 hari (Badriyah et al. 2014). Hasil penelitian tentang lama kosong pada kambing Boer yakni selama 202.71± 90,54 hari sedangkan pada kambing persilangan Boer X Ettawa 208.04 ± 137.51 hari (Parasmawati et al. 2013) Selang Beranakmerupakan jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya. Selang beranak ditentukan oleh lama kebuntingan dan lama waktu kosong. Menurut Sutama (2011) menyatakan selang beranak pada kambing PE selama 8 bulan. Beberapa peneliti melaporkan kambing PE memiliki selang
9
beranak 8.33 bulan (Rustadi 2008), kisaran 8-10 bulan (Sutama et al. 2007), 240 hari (Sodiq dan Sumaryadi (2002). Sebagai pembanding selang beranak pada jenis kambing yang lain seperti Bligon rata-rata 8.53 bulan dengan kisaran 7–12 bulan (Murdjito et al. 2011), kambing West African Dwarf rata-rata 275.68 ± 608 hari (9.2 bulan) dengan rentang waktu 187 s/d 478 hari (Odubote’s 2000). Sifat-sifat reproduksi Kambing PE (Tabel1). Tabel 1 Sifat Reproduksi pada kambing PE betina dan jantan No. 1
Sifat Reproduksi Betina Tipe siklus birahi
2 3 4 5
Panjang siklus birahi Lama birahi Lonjakan sekresi LH (LH surge) Ovulasi
6 7 8
Rataan (Kisaran)
Waktu kawin yang optimal Lama bunting Sumber hormon progesteron selama kebuntingan 9 Tipe plasenta 10 Umur pubertas 11 Interval beranak Jantan 12 Umur pubertas 13 Umur pemacek 14 Ratio kawin 15 Volume ejakulat 16 Konentrasi sperma 17 Motilitas sperma 18 Abnormalitas sperma Sumber : Sutama (2011)
Polyestrus dan tidak terpengaruh musim 20 hari (18 – 24 hari 36 jam ( 12 – 48 jam) 3-6 jam setelah onset birahi 12 – 24 jam setelah lonjakan LH atau 30 – 36 jam setelah onset birahi 24 – 36 jam setelah onset birahi 150 hari (147 – 155 hari) Corpus luteum (CL) Kotiledon 6 – 12 bulan 8 bulan 6 – 10 bulan 15 – 18 bulan 1: 3 - 4/ minggu 0.5 – 2 ml 1 – 3 milyar/ ml > 70% 8 – 15 %
Anestrus Postpartum Anestrus Postpartum adalah suatu keadaan dimana hewan tidak menunjukkan gejala estrus setelah melahirkan (partus). Kejadian anestrus postpartum dipengaruhi beberapa faktor, terutama faktor nutrisi yang rendah dan kesalahan manajemen reproduksi. Defisiensi nutrisi yakni level energi yang dikonsumsi mempunyai pengaruh yang nyata terhadap aktivitas ovarium. Kekurangan nutrisi pada ternak betina akan menyebabkan hipofungsi ovarium. Anestrus akibat hipofungsi ovarium yaitu gagalnya sel-sel folikel menanggapi rangsangan hormonal, adanya perubahan kuantitas maupun kualitas sekresi hormonal, menurunnya rangsangan yang berhubungan dengan fungsi hipotalamus- ovarium menyebabkan menurunnya sekresi gonadotropin sehingga tidak ada aktivitas ovarium setelah melahirkan. Defisiensi mineral atau vitamin
10
seperti kekurangan fosfor pada kambing menyebabkan fungsi ovarium terganggu yang mengakibatkan pubertas tertunda, tanda-tanda estrus tidak jelas dan bahkan tidak pernah menunjukkan estrus. Defisiensi vitamin A dan vitamin E dapat menyebabkan tidak teraturnya siklus estrus atau anestrus. Ketersediaan pakan merupakan faktor lingkungan yang penting untuk mempengaruhi lama anestrus postpartum (Blache and Martin 2009). Anestrus postpartum juga bisa terjadi akibat adanya korpus luteum persisten. kejadian ini karena tubuh kekurangan nutrisi maka tidak mampu memproduksi hormon prostaglandin dalam jumlah yang cukup untuk melisiskan korpus luteum setelah melahirkan. Fase anestrus postpartum konsentrasi hormon estradiol rendah disebabkan karena rendahnya produksi GnRh pada kambing, lamanya bisa mencapai 202.4±6.4 hari (Zarazaga et al. 2005). Penelitian lain menyatakan 176 hari (Rivera et al. 2003). Pemberian nutrisi yang cukup bagi ternak yang sedang mengalami anestrus postpartum bisa mempersingkat waktu lama anestrus. Laporan Zarazaga et al. (2005) mengatakan bahwa kambing anestrus postpartum menunjukkan aktivitas reproduksi kembali berfungsi setelah mendapatkan nutrisi yang cukup. Rangsangan aktivitas ovarium pada kasus anestrus (hipofungsi ovarium) bisa dilakukan dengan menggunakan hormon Gn-RH. Seperti hasil penelitian, dilaporkan penyuntikan GnRH pada kambing anestrus dapat menginduksi pelepasan FSH dan LH (Holtz et al. 2008). Sebagai pembanding pada hewan lain dilaporkan bahwa penyuntikan GnRH pada sapi yang sedang anestrus dapat menginduksi pelepasan FSH dan LH (Yavas and Walton 2003). Gabungan hormon estrogen dengan progesteron juga pernah dicoba pada sapi perah yang mengalami anestrus, namun kurang berhasil dibandingkan hormon gonadotropin. Penanganan yang paling efektif pada kasus hipofungsi ovarium adalah pemberian FSH yang diikuti dengan pemberian LH (Dougall and Compton 2005). ProstaglandinF2α (PGF2α) Prostaglandin (PGF2α) merupakan hormon yang bekerja secara lokal, karena mekanisme kerjanya terbatas pada organ penghasil dan segera diinaktifkan di tempat yang sama (Senger 2003). Secara invivo PGF2α adalah hormon yang disekresikan endometrium (Saoeni 2008). Di dalam tubuh hewan terdapat berbagai jenis hormon prostaglandin yang memiliki tempat dan mekanisme kerja berbeda-beda. Hormon reproduksi ini berperan sangat penting terhadap alur siklus estrus, kebuntingan dan kelahiran pada hewan. Prinsip kerja prostaglandin di dalam tubuh berfungsi sebagai hormon pengatur proses ovulasi, luteolisis dan mempengaruhi efek beberapa hormon reproduksi misalnya Luteinizing Hormone (Syarif dan Muchtar 1995). Hormon ini berfungsi secara efektif pada kambing jika sudah memiliki korpus luteum. Hormon prostaglandin memiliki sifat luteolitik yang berfungsi menginduksi kejadian berahi dengan cara melisiskan korpus luteum (Saoeni 2007). PGF2α bekerja melisiskan CL. Korpus luteum yang baru terbentuk dari peristiwa sel telur yang ovulasi akan sensitiv terhadap hormon PGF2α (Rubianes et al. 2003). Namun, adanya ambang optimal reseptor PGF2α didalam CL menyebabkan tingkat kepekaan ternak kambing menurun dan akibatnya pengaruh yang diharapkan gagal diekspresikan. Oleh sebab itu penyuntikan dosis tunggal untuk penyerentakan berahi tidak akan menjamin seluruh hewan bisa berahi sekaligus.
11
Agar semua hewan bisa estrus dalam priode waktu yang hampir bersamaan dilakukan penyuntikan kedua yaitu 11 atau 12 hari setelah penyuntikan pertama. Dengan injeksi PGF2α dapat memicu perkembangan folikel walaupun pada fase pertengahan luteal dari siklus (Contreras Solis et al. 2008). Hasil penelitian Yacoub et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan PGF2α dalam program sinkronsasi estrus dapat menimbulkan estrus pada kambing yang fase luteal Holtz et al. (2008) mengatakan untuk mempersingkat lama waktu anestrus pada ternak kambing dapat dilakukan dengan menggunakan hormon prostaglandin melalui program sinkronisasi estrus dan superovulasi. Mekanisme kerja prostaglandin adalah melisiskan atau meregresi CL yang mengakibatkan terjadinya penurunan sekresi progesterone sehingga kembali terjadinya siklus berahi yang dimulai dengan pertumbuhan folikel dalam ovarium. Hal ini dapat terjadi karena prostaglandin menghambat aliran darah menuju CL. Penghambatan aliran darah ini terjadi cukup lama dan menyebabkan regresi bagian CL. Hal lain adalah fetus menghasilkan ACTH-RH,dimana terjadinya lonjakan kadar ACTH dari fetus akan mengakibatkan peningkatan sekresi kortisol melewati plasenta sehingga memicu produksi PGF2α dalam jumlah yang banyak (Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991). PGF2α diduga menyebabkan kontraksi pembuluh darah uteroovarica sehingga terjadi hipoksia (pengecilan) sel luteum dan menyebabkan luteolisis. Regresi CL akan diikuti dengan penurunan konsentrasi progesteron. Penurunan kadar progesteron ini akan merangsang hipofisa anterior melepaskan FSH dan LH. Kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala berahi (Fonseca et al. 2005). Penggunaan prostaglandin (PGF2α) pada sinkronisasi estrus dengan secara intra muskuler satu kali pada fase luteal atau dua kali berselang sebelas hari tanpa melihat siklus berahi hasilnya bervariasi antara 75%-100% (Macmilan et al. 1991). Hasil penelitian lain yaitu Tambing dan Sariubang (2008) menghasilkan estrus 84.1%. Sedangkan Siregar et al. (2010) menghasilkan estrus 100%. Siregar (2001) melaporkan, injeksi tunggal prostaglandin akan menghasilkan 80% kambing estrus sedang injeksi kedua yang dilakukan 10 hari kemudian akan menghasilkan 100% estrus dan dapat menghasilkan 93% estrus pada kambing yang disinkronisasi (Rubianes and Menchaca 2003). Penelitian lain juga menyatakan kambing mengalami estrus 100% setelah diinjeksi PGF2α pada kambing yang telah ditanam CIDR-G (Hamdan et al. 2012). Penggunaan PGF2α dikombinasikan dengan FGA dan eCG yang ditanam secara intravaginal pada kambing selama 5 hari dapat menstimulasi estrus (Wildeus 2000). Progesteron Progesteron adalah nama umum untuk grup steroid yang terdiri dari 21 atom karbon (Murtidjo et al. 2011). Progesteron salah satu hormon penting yang berhubungan dengan reproduksi yang disekresikan oleh sel-sel luteal korpus luteum (Atabany 2000). Hormon ini juga disekresikan oleh plasenta dan glandula adrenal. Konsentrasi progesteron serum darah dapat menentukan keadaan hewan tersebut dalam keadaan infertil, normal, berahi, dan bunting sehingga dapat digunakan untuk deteksi berahi, pemeriksaan kebuntingan dan mengetahui kondisi
12
patologis lainnya (Hartanto 1995). Progesteron ditransportasikan kedalam darah melalui ikatan pada globulin seperti androgen dan estrogen. Progesteron berfungsi menjaga kebuntingan dengan cara mempersiapkan uterus untuk implantasi embrio melalui peningkatan glandula sekretori didalam endometrium dan menghambat kontraksi miometrium (Senger 2003). Selain menjaga kebuntingan, hormon progesteron berperan penting untuk menstimulasi terjadinya estrus pada kambing. Mekanisme kerja progesteron dalam menstimulasi estrus dimulai dari penurunan konsentrasi progesteron secara didalam darah. Penurunan kadar hormon progesteron memicu hipotalamus untuk mensekresikan GnRH dan hipofisa segera mensekresikan FSH ke dalam darah selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan folikel. Folikel yang tumbuh dan matang akan menghasilkan estrogen dari sel theca folikel. Peningkatan kadar estrogen akan menyebabkan umpan balik positif (positif feedback) terhadap LH pada hipotalamus sehingga terjadi estrus dan ovulasi (Menchaca et al. 2007). Peningkatan kadar hormon progesteron 2-3 minggu pertama setelah kawin. Kenaikan kadar hormon progestron ini disebabkan karena pada awal kebuntingan CL aktif menghasilkan progesteron dan terus meningkat selama fase luteal (Llewelyn et al. 1997), sedangkan penurunan yang terjadi setelah fase tersebut disebabkan oleh mulai menyusutnya fungsi CL pada hari ke 12-14, sehingga bila ovum tidak dibuahi (tidak bunting) produksi progesteron akhirnya menurun. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jarrel dan Dziuk (1991) bahwa kenaikan kadar hormon progesteron terjadi sejak awal kebuntingan sampai pada hari ke-13 kebuntingan, tetapi sesudah itu terjadi penurunan. Dalam keadaan bunting, setelah mengalami penurunan sampai minggu ke-6 terjadi peningkatan kadar hormon progesteron lagi. Kejadian ini berkaitan dengan perkembangan plasenta yang sudah sempurna, sehingga kenaikan progesteron tersebut diduga akibat terbentuknya laktogen plasenta dengan tujuan untuk mempersiapkan uterus dalam memelihara kebuntingan. Pendapat lain menyatakan bahwa kenaikan kadar hormon progesteron tersebut diduga karena adanya progesteron yang dihasilkan oleh plasenta, walaupun pada kambing jumlahnya sangat kecil Progesteron mempersiapkan uterus dalam hal implantasi embrio dan kebuntingan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa kadar progesteron pada fetus kembar lebih tinggi dari yang mempunyai fetus tunggal. Dalam hal ini diasumsikan bahwa ternak dengan fetus tunggal juga mempunyai CL tunggal. CL pada kambing sangat esensial dalam menghasilkan progesteron yang berfungsi merangsang uterus mempersiapkan implantasi zygot dan untuk memelihara fetus selama kebuntingan (Stabendfelt dan Edqvist 1993). Hasil penelitian, rataan kadar hormon progesteron kambing PE selama 21 minggu kebuntingan masing-masing 6.75 ng/ml dan 8.69 ng/ml pada kambing beranak satu dan beranak dua/kembar (Budiarsana dan Sutama 2001). Hasil lain hampir sama dilaporkan oleh Manalu et al. (1996) bahwa kadar hormon progesteron selama 2 bulan terakhir masa kebuntingan pada kambing dengan anak dua lebih tinggi dari yang beranak satu 11.11 vs 5.79 ng/ml. Progesteron beraksi secara sinergik dengan estrogen untuk menginduksi tingkah laku estrus. Induksi estrus bisa dilakukan dengan memberikan progesteron dalam kurun waktu tertentu, baik secara oral, penyuntikan maupun intravagina. Bahan penyerentak berahi dapat berupa senyawa kimia yang mengandung hormon progesteron yang dikemas dalam spons, yang dikenal dengan nama medroxyprogesteron acetate atau flugeston
13
acetate atau kemasan lain seperti CIDR-G mengandung 0.33 gram progesteron alami. Controlled Internal Drug Release (CIDR-G) adalah alat intravaginal yang melepaskan progesteron untuk stimulasi siklus estrus dan pengendalian siklus pada kambing. CIDR-G yang dibuat oleh Carter Holt Harvey Plastic Product (New Zealand) mempunyai rangka dengan tubular T-shape dari bahan dasar nilon dan diselubungi oleh silikon yang dipergunakan luas secara implan baik pada manusia maupun pemberian pada hewan. Silicon bersifat inaktif dan tidak mengiritasi membran mukosa yang sensitif seperti epitel vagina. CIDR-G mengandung 0.33 gram progesteron alami. yang dikeluarkan secara bertahap dalam aliran darah melalui difusi dari karet silicon yang dilapisi nilon dan dicelupkan dalam larutan progesteron, bentuknya disesuaikan dengan bentuk vagina (Inter 1996). Prinsip CIDR-G sebagai sumber progesteron eksogenous diserap oleh vagina kedalam darah untuk memelihara level progesteron sehingga menekan pengeluaran LH dan FSH dari hypothalamus selama waktu yang direkomendasikan sesuai program. Hormon progesteron yang diperoleh dari penanaman CIDR-G sangat besar pengaruhnya pada kambing fase luteal. Perbedaan jumlah progesteron akan mengakibatkan perbedaan perkembangan folikel diovarium. Jumlah progesteron yang lebih banyak akan menstimulasi terjadinya perkembangan folikel lebih banyak (Menchaca and Rubianes 2001) dan bisa menyebabkan banyak folikel yang dominan (Diskin et al. 2002). Perkembangan folikel akan mempengaruhi pematangan oosit dan waktu ovulasi (Burke et al. 2001). Hasil penelitian Roche (2006) melaporkan bahwa jika jumlah folikel yang tumbuh dan matangmakin banyak maka akan mengakibatkan sekresi estradiol menjadi banyak (meningkat)sehingga menyebabkan awal estrus dan ovulasi yang lebih cepat. Penggunaan CIDR-G telah terbukti efektif untuk mengontrol siklus estrus pada spesies ruminansia. Beberapa studi melaporkan bahwa CIDR-G efektif digunakan pada kambing, sinkronisasi dengan CIDR-G selama 10 hari yang dikombinasikan dengan injeksi prostaglandin 2 hari sebelum pencabutan CIDR-G efisien untuk memunculkan estrus dan ovulasi (Junaidi dan Norman 2005). Penggunaan CIDR-G intravaginal selama 10 hari dikombinasikan dengan suntikan prostaglandin bisa menghasilkan estrus 100 % (Diah et al. 2010). Sunendar (2008) bahwa sinkronisasi estrus dengan implant CIDR-G memperlihatkan onset estrus 20 - 40 jam setelah CIDR-G dilepas. Penggunaan CIDR-G untuk ternak kambing dan domba bervariasi antara 10-17 hari, penggunaan CIDR-G dengan kombinasi PGF2α pada ternak kambing selama 13 hari menunjukkan tingkat keserantakan estrus 80-100% (Feradis 2010). Penggunaan CIDR-G menunjukkan onset estrus 27.2±0.4 jam sejak pencabutan CIDR-G dengan lama estrus 32.2±0.7 jam Motlomelo et al. (2002). Hasil penelitian Popalayah et al. (2013) bahwa sejak pencabutan CIDR-G menunjukkan onset estrus pada kambing Bligon 40.2±19.3 jam dan kambing Kacang 52.6±18.4 jam dengan lama estrus masing-masing 34.6±15.4 jam dan 24.0±8,6 jam. Penggunaan CIDR-G pada kambing hampir sama dengan domba dimana tingkat kebuntingan dan beranak dari domba yang ditreatment dengan CIDR-G menunjukkan tingkat kebuntingan tertinggi pada perlakuan dengan penanaman CIDR-G selama 12 hari yaitu 91.2% (Fukui 1994). Hasil penelitian Sadat (2003)
14
melaporkan persentase tingkat kebuntingan sebesar 66.6% pada kambing yang dikawinkan setelah penanaman CIDR-G selama 17 hari. human Chorionic Gonadotrophin (hCG) hCG merupakan glikoprotein dengan berat molekul 39.000 dan memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan LH. LH adalah hormon yang disintesis dan disekresikan oleh gonadotropin dalam glandula hipofisa anterior sama seperti FSH yang distimulasi oleh GnRH. Hormon LH mempunyai sub unit beta dengan 121 asam amino yang memberikan respon biologis spesifik dan bertanggung jawab untuk interaksi dengan reseptor LH. Bagian gula hormon ini terdiri dari fruktosa, galaktosa, mannosa, galaktosamine, dan asam sialat. Asam sialat penting untuk waktu paruh biologisnya yang hanya sekitar 20 menit. LH berfungsi untuk merangsang pematangan oosit dan ovulasi. Pada saat estrus LH surge akan memicu rupturnya folikel de Graaf hal ini akan memicu aksi kolagenase yang menghancurkan jaringan kolagen sekitar folikel sehingga terjadi ovulasi. LH surge juga menyebabkan oosit primer komplit mengalami miosis I dan memasuki miosis II melalui aksi maturation – promoting factor (MPF). LH menginduksi sisa sel granulosa dan sel theca interna untuk menjadi korpus luteum sehingga memproduksi hormon androgen dan estrogen. hCG memiliki fungsi yang sama dengan LH yaitu dapat merangsang pematangan oosit dan ovulasi (Schmitt et al. 1996). hCG memiliki waktu paruh yang singkat. Penggunaan hCG dalam program sinkronisasi estrus bisa meningkatkan tingkat ovulasi, pertumbuhan konsepsi, implantasi, konsepsirate, jumlah kebuntingan dan berat lahir anak (Khan et al. 2003) Sebagai kontrol terbaik untuk ovulasi (Lopez-Gatius 2000) Mempercepat waktu ovulasi (Faillace et al. 1994) Mempercepat ovulasi folikel yang sudah matang saat onset estrus (Hunter and Picton 1995). Pemberian hCG pada kambing dapat meningkatkan jumlah progesteron dalam darah (Gómez-Brunet et al. 2007). Meningkatkan jumlah progesteron dalam darah baik sedang bunting maupun tidak bunting (Yates et al. 2010). Sekresi progesteron dan induksi perkembangan korpus luteum, serta memperpanjang waktu CL (Nishigai et al. 2001). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pemberian hCG sebelum bunting pada domba bisa meningkatkan angka kebuntingan dan jumlah kebuntingan kembar (Akif Cam and Kuran 2004). Pemberian hCG pada kambing dapat meningkatkan persentase kebuntingan dari 28.2% menjadi 53.5% (Vale 2004). Meningkatkan jumlah rataan kebuntingan dan jumlah kebuntingan serta bisa meningkatkan kinerja reproduksi lebih efisien dan membantu pertumbuhan fetus (Akif Cam dan Kuran 2004). Pemberian hCG bisa menstimulasi pertumbuhan janin (Khan et al. 2007). Hasil penelitian lain menyatakan, pemberian hCG pada kambing tidak meningkatkan jumlah kebuntingan namun membantu perkembangan embrio (Gómez-Brunet et al. 2007). Pemberian hCG akan mencegah terjadinya regresi luteal yang merupakan faktor utama terjadinya kematian embrio dini (Hamdan dan Siregar 2004). Pemberian hCG juga memberikan manfaat bagi domba yang mengalami fase anestrus yang lama (Khan et al. 2009).
15
Inseminasi Buatan (IB) IB merupakan alat yang efektif dan efisien dalam melaksanakan kebijaksanaan pemuliaan ternak secara nasional melalui perbaikan mutu genetik ternak. Leboeuf et al. (2000) menyatakan bahwa IB mempunyai peranan penting dalam breeding kambing, khususnya dalam sistem produksi intensif untuk meningkatkan produksi susu, daging dan bulu serta jumlah anak per kebuntingan. IB akan memberikan keuntungan berupa kemampuan untuk mempercepat kemajuan genetik dan memfasilitasi aplikasi teknik genetik molekuler dalam program seleksi (Leboeuf et al. 1998). Tujuan IB adalah memperbaiki mutu genetika ternak, tidak mengharuskan pejantan unggul untuk dibawa ketempat yang dibutuhkan, sehingga mengurangi biaya, mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam jangka waktu yang lebih lama, meningkatkan angka kebuntingan dengan cepat dan teratur dan mencegah penularan/penyebaran penyakit kelamin. Ihsan (2010) mengemukakan teknologi IB dapat meningkatkan perbaikan mutu genetik secara cepat, untuk pencegahan kemajiran ternak, dan pencegahan penyebaran penyakit. Karena IB hanya menggunakan semen dari pejantan yang telah teruji keunggulannya dari segi produksi dan reproduksi. Parameter yang biasa digunakan untuk menilai kenberhasilan IB ditinjau dari segi reproduksi ternak adalah service perconception (S/C), Conception rate (CR) dan Non Return Rate (NR). S/C adalah jumlah inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor ternak betina sampai terjadinya kebuntingan (konsepsi), sedangkan CR adalah prosentase ternak betina bunting pada inseminasi pertama dibanding dengan jumlah seluruh betina yang diinseminasi sedangkan Non Return Rate (NR) adalah jumlah ternak yang bunting (tidak kembali estrus pada siklus berikutnya). Keberhasilan IB dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah waktu inseminasi, teknik inseminasi dan konsentrasi spermaserta kombinasi hormon sewaktu sinkronisasi estrus (Hastono 2000). Pelaksanaan IB pada prinsipnya harus mendahului waktu ovulasi. waktu inseminasi berkaitan dengan puncak kesuburan ternak betina, yaitu pada waktu menjelang ovulasi dan kapasitasi spermatozoa didalam saluran reproduksi betina. Sebelum mampu membuahi sel telur yang dikeluarkan sewaktu ovulasi, spermatozoa membutuhkan waktu kapasitasi agar mampu membuahi sel telur. proses yang terjadi selama kapasitasi spermatozoa adalah membran sel tidak stabil dan persiapan pengeluaran enzim-enzim pelebur dinding sel telur.Waktu inseminasi pada kambing dilakukan beberapa jam sebelum terjadi ovulasi yaitu 12-18 jam setelah muncul gejala estrus (Atabany 2004). Waktu ovulasi pada kambing menurut Sutama (2007) terjadi pada saat menjelang akhir estrus, sehingga bila ingin dikawinkan secara alami maupun IB maka harus dilaksanakan selambat-lambatnya 12 jam setelah estrus. Foote (2002) mengemukakan bahwa waktu inseminasi yang terbaik adalah 12 sampai dengan 36 jam sejak onset estrus. Waktu ovulasi pada kambing 24-36 jam sesudah munculnya gejala berahi (Jainudeen dan Hafez 1993). Kemudian Fatet et al. (2011) melaporkan bahwa lama estrus kambing adalah 36 jam dan bervariasi antara 24 sampai dengan 48 jam, sedangkan ovulasi terjadi antara 9 sampai 37 jam setelah awal estrus. waktu ovulasi sulit ditentukan
16
secara rutin, karena itu inseminasi selalu harus dihubungkan dengan waktu permulaan munculnya estrus (Fonseca 2005). Hasil penelitian Tambing dan Sariubang (2008) menunjukkan angka konsepsi pada kambing 25% setelah inseminasi buatan 24 dan 36 jam sejak onset estrus. Inseminasi setelah 16 jam pemberian GnRH kedua pada kambing menghasilkan kebuntingan 58% (Holtz et al. 2008). Sedangkan laporan Leboeuf et al. (2000) menunjukkan bahwa inseminasi yang dilakukan 12 jam setelah munculnya gejala estrus menghasilkan angka konsepsi lebih tinggi yakni 66.974.8%, sedangkan bila diinseminasi antara 12-24 jam sejak onset estrus menghasilkan 60.7-66.2%. Yacob (2011) menyatakan bahwa kambing yang diinseminasi 16–18 jam sejak onset estrus menghasilkan kebuntingan 83% setelah diinjeksi GnRH.Siregar (2010) meghasilkan 75 % bunting pada kambing PE setelah di inseminasi buatan 20–25 jam sejak awal estrus dan menghasilkan 83.33% bunting yang diinseminasi 35-40 jam sejak awal estrus. Penelitian lain menghasilkan tingkat kebuntingan 37.5% pada ternak yang di IB 25 jam sejak onset estrusdan 40.9% pada kelompok yang di IB 35 jam sejak onset estrus (Budiarsana dan Sutama 2001).
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Seluruh tahapan penelitian dilaksanakan diBalai Penelitian Ternak CiawiBogor, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Kementerian Pertanian. Penelitian berlangsung selama 10 bulan yang dimulai pada bulan November 2013 sampai dengan bulan Agustus 2014. Materi Penelitian Hewan percobaan Hewan percobaan yang digunakan adalah kambing PE betina sebanyak 30 ekor, berumur 4-5 tahun,berat badan 35-40 kg. Semua hewan coba sehat secara klinis dan sedang mengalami anestrus post partum 2–4 bulan. Pakan yang diberikan berupa legum berkualitas (kaliandra) dan konsentrat yang memiliki protein kasar 16% sebanyak 700 g/e/h (Tabel 2). Rumput dan air minum disediakan secara adlibitum. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah CIDR-G (0.3 g progesterone; Pharmacia and Upjohn, Co. Hamilton, New Zealand), PGF2α Lutalyse (dinoprost tromethamine 5 mg/ml dan benzil alkohol 1.65%) sebanyak 5 mg/e, hCG (Chorulon; Intervet, Unterschleissheim, Germany) sebanyak 450 IU per ekor, dan Semen beku (straw 100x106/0.25ml dan 200x106/0.25 ml). Alat
17
yang digunakan pada penelitian ini adalah aplikator CIDR-G, Gun IB, Spekulum dan alat injeksi PGF2α/hCG. Tabel 2 Komposisi bahan pakan konsentrat Jumlah Komposisi Kimia (%) (kg) BK TDN PK Ca P 1 Pollard 20 86 68 16 0.2 0.8 2 Bekatul 40 86 58 10 0.1 1.2 3 Bungkil biji kapuk 10 86 63 26 0.7 2.8 4 Bungkil kopra 20 86 67 18 0.1 0.6 5 Kedelai 3.5 86 69 32 6 Tetes 6 83 58 3.3 0.8 0.1 7 Urea 0.5 2.81 Keterangan: BK= bahan Kering, TDN= total digestible nutrient, PK= Protein Kasar, Ca= calcium dan P= phosphor No.
Nama bahan
Prosedur Percobaan Seluruh kambing PE diberi pakan bernutrisi, selanjutnya penelitian dilakukan dalam dua tahap kegiatan yaitu: Perlakuan hormon (1) dan Inseminasi buatan (2). Perlakuan Hormon Sebanyak 30 ekor kambing PE anestrus postpartum dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok CIDR-G 10 ekor, kelompok PGF2α10 ekor dan kontrol 10 ekor. Hormon yang digunakan dalam penelitian adalah CIDR-G sebanyak satu unit per ekor dan PGF2α sebanyak 5 mg/ekor. Pemberian hormon progesteron (CIDR-G) secara intravaginal dilakukan dengan bantuan aplikator CIDR-G yang ditanam selama 12 hari. CIDR-G dicabut pada hari ke-13 dan selanjutnya dilakukan pengamatan estrus. Pemberian hormon PGF2α sebanyak 5 mg/ekor secara intramuscular dilakukan 2 kali dengan selang waktu 11 hari. Pengamatan terhadap timbulnya respon estrus dilakukan setelah penyuntikan PGF2α kedua (Gambar 3).
CIDR-G
Deteksi estrus
CIDR-G 0
12
PGF2α PGF2α
PGF2α Deteksi estrus
0
estrus
11 Gambar 3. Perlakuan CIDR-G dan PGF2α
estrus
18
Deteksi Estrus Respon estrus diamati setiap tiga jam sekali dengan cara memasukkan pejantan pengusik (Teaser) yang memakai apron kedalam kandang betina hewan. Pengamatan respon estrus dilakukan setelah CIDR-G dicabut untuk kelompok progesteron, setelah injeksi ke-2 pada kelompok PGF2α dan setelah pemberian pakan bernutrisi pada kelompok kontrol. Kambing dianggap positif estrus (onset estrus) jika diam dinaiki oleh pejantan (Gambar 4).
Gambar 4 Betina diam dinaiki pejantan (onset estrus) Respon Estrus : Onset Estrus
:
IntensitasEstrus:
Lama Estrus
:
Merupakan jumlah persentase kambing yang berhasil estrus selama pengamatan estrus. Merupakan lama waktu yang diperlukan setelah pencabutan CIDR-G atau sejak pemberian hormon PGF2α yang ke-2 hingga mencapai estrus Merupakan tingkatan intensitas gejala klinis vulva (kebengkakan, kemerahan dan keberadaan lendir) yang dibedakan antara lain: ++ = Merah menyala/bengkaknya terlihat/lendir cukup banyak + = Merah sedang/bengkak sedang/lendir sedikit. Merupakan lama waktu sejak onset estrus (diam dinaiki) sampai menolak dinaiki oleh pejantan (Teaser).
Inseminasi Buatan Kambing yang berhasil estrus dari perlakuan hormon, dibagi menjadi 3 kelompok yakni kelompok A yang diberi hCG secara intramuscular sebanyak 450 IU/ekor dan B tidak diberi hCG sedangkan kontrol sebagai kelompok C. Selanjutnya, inseminasi buatan dilakukan dengan menggunakan insemination gun dan bantuan spekulum. Semen beku yang digunakan berasal dari kambing Anglo Nubian dengan dosis IB 100x106/0.25ml dan 200X106/0.25ml. Dithawing
19
menggunakan air pada suhu 37°C selama 30 detik. Sementara itu, kambing betina estrus ditempatkan pada cradle dengan bagian belakangnya mengarah ke atas selanjutnya di inseminasi secara teknik intraservical. Setelah pelaksanaan IB selesai kambing dibiarkan tetap tegak dengan bagian belakang ke atas selama sekitar tiga menit. Pengamatan persentase hasil IB ditentukan setelah induk kambing yang di IB setelah mengalami partus. Persentase Kebuntingan: Merupakan jumlah kambing yang melahirkan (partus) dibagi jumlah seluruh kambing yang di beri perlakuan inseminasi buatan. Parameter Yang Diamati Parameter yang diamati pada penelitian tahap 1 adalah respon estrus, intensitas estrus, onset estrus dan lama estrus, sedangkan pada penelitian tahap 2 parameter yang diamati adalah tingkat kebuntingan setiap kelompok perlakuan. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan Acak Lengkap (RAL). Pada penelitian tahap 1 dilakukan 3 perlakuan dengan masing-masing 10 kali ulangan (10 ekor), sedangkan pada penelitian tahap 2 dilakukan 2 perlakuan. Data onset estrus dan lama estrus dianalisis menggunakan analysis of variance (ANOVA), sedangkan persentase estrus, intensitas estrus, dan tingkat kebuntingan dianalisis secara deskriptif.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kejadian Estrus Kambing PE Anestrus Postpartum Setelah Pemberian CIDR-G dan PGF2α Respon Estrus: Penelitian ini dilakukan menggunakan 30 ekor kambing PE yang mengalami anestrus postpartum antara 2 - 4 bulan untuk kemudian dibagi ke dalam 3 kelompok masing-masing berjumlah 10 ekor. Pengamatan dilakukan terhadap persentase respon estrus yang muncul setelah perlakuan hormon (CIDRG atau PGF2α) maupun tanpa perlakuan (kontrol). Hasil penelitian ini menunjukkan 4 (40%) dari 10 ekor kambing PE anestrus postpartum pada kelompok kontrol berhasil mengalami estrus kembali (Tabel 3). Munculnya respon estrus tersebut diduga terjadi akibat pengaruh pemberian pakan berkualitas (PK=16%). Pemberian pakan berkualitas terbukti dapat memperbaiki siklus estrus pada kambing PE anestrus postpartum, walaupun 6 ekor kambing lainnya belum mampu meningkatkan fungsi reproduksinya. Seperti dinyatakan De Santiago (2008) bahwa pentingnya faktor pakan dan lingkungan dapat mempengaruhi keseimbangan hormon reproduksi yang memicu siklus estrus yang normal. Lebih lanjut ditambahkkan oleh Marwah et al. (2010) bahwa pakan erat kaitannya dengan kondisi keseimbangan tubuh. Umumnya menurut Gonzalez-Stagnaro (1984), anestrus terjadi karena adanya kesalahan manajemen pada masa kebuntingan, terutama manajemen reproduksi & kualitas pakan pada periode
20
sebelum dan setelah kelahiran. Asupan nutrisi yang berkualitas sangat diperlukan bagi induk untuk proses laktasi. Apabila induk tidak mendapat tambahan pakan, baik secara kuantitas maupun kualitas, maka akan terjadi penghambatan dalam pembentukan gonadotropin. Hal ini dikarenakan energi yang masuk hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basalnya saja dan tidak tersedia energi yang cukup untuk kebutuhan reproduksinya. Hasil tersebut diatas berbeda dengan yang diperoleh pada kelompok perlakuan. Pada kelompok CIDR-G, seluruh kambing yang dilakukan pemasangan CIDR-G selama 12 hari secara intravaginal berhasil untuk memulai estrus kembali (100%) seperti disajikan pada Tabel 3. Hasil yang sama dinyatakan oleh Dewi et al. (2011), bahwa pemberian CIDR-G secara intravaginal selama 10 hari pada kambing anestrus mampu menghasilkan respon estrus sebesar 100%. Pemberian CIDR-G yang berisi hormon progesteron akan menghasilkan mekanisme umpan balik negatif pada hipotalamus yang berpengaruh terhadap berkurangnya sekresi GnRH. Setelah dilakukan pelepasan CIDR, turunnya hormon progesteron secara drastis dalam darah akan memicu hipotalamus untuk kembali menghasilkan GnRH (feed back positive) akibat rangsangan estradiol dan menstimulus hipofisa anterior untuk mensekresikan FSH dan LH (Menchaca et al. 2007), sehingga terjadi folikulogenesis dan terlihat gejala klinis estrus. Lebih lanjut, respon estrus yang teramati pada 10 ekor kambing kelompok CIDR-G (100%) mengindikasikan bahwa tubuh kambing yang mengalami anestrus postpartum mampu untuk membentuk gonadotropin, terjadi follikulogenesis dan memperlihatkan gejala klinis estrus, jika dibantu melalui pemberian progesteron (CIDR-G) sebagai stimulus eksternal dan perbaikan kualitas pakan. Tabel 3 Respon, onset dan lama estrus setelah perlakuan hormon CIDR-G dan PGF2α pada kambing PE anestrus postpartum Kelompok Parameter Kontrol CIDR-G PGF2α Kambing perlakuan 10 10 10 Respon estrus (%) 40 100 70 Onset estrus (jam) 168-192 35.81±13.33 45.59±9.23 Lama estrus (jam) 52.96±1.60 49.61±3.56 52.17 ±3.34 Kelompok PGF2α menunjukkan respon estrus yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (70% vs 40%), meskipun hasil tersebut masih lebih rendah dibandingkan kelompok CIDR-G (70% vs 100%) seperti disajikan pada Tabel 3. Dari 10 ekor kambing yang diinjeksi PGF2α, hanya 7 ekor (70%) kambing yang memberikan adanya respon estrus. Hal ini bisa dimengerti bahwa saat pemberian, kemungkinan 3 ekor kambing lainnya yang tidak memperlihatkan gejala estrus tersebut sedang tidak memiliki corpus luteum (CL) yang aktif dalam ovariumnya atau kambing tersebut belum mampu menghasilkan perbaikan kondisi tubuh setelah dilakukan perbaikan kualitas pakan, sehingga belum terjadi siklus dan tidak terbentuk CL yang aktif. Sebaliknya, respon estrus yang diperlihatkan oleh 7 ekor kambing (70%) setelah pemberian PGF2α diduga terjadi karena terdapatnya CL persisten (CLP) sebagai sebab terjadinya anestrus postpartum atau kambing telah berhasil mengalami perbaikan performans setelah diberikan pakan berkualitas, sehingga terjadi siklus dan terbentuk CL yang aktif dalam ovarium.
21
Mac Millan et al. (1991) menunjukkan respon estrus sebesar 75 – 100% setelah diberikan PGF2α pada kambing yang sedang anestrus postpartum. Zarazaga et al. (2005) menyatakan bahwa anestrus postpartum dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah kasus hipofungsi ovarium dan CLP. Korpus luteum persisten merupakan gangguan reproduksi karena corpus luteum tidak mengalami regresi dan tetap tinggal di ovarium dalam jangka waktu lama meskipun hewan tidak bunting (Hardjopranjoto 1995). Korpus luteum persisten (CLP) merupakan kejadian tertahannya corpus luteum di ovarium oleh tertahannya prostaglandin dari uterus oleh sebab-sebab tertentu (Arsyad & Yudistira 2011). Korpus luteum yang tetap besar ukurannya dan tetap berfungsi menghasilkan progesteron. Progesteron tinggi sehingga sekresi FSH dan LH dihambat folikel tidak tumbuh menyebabkan anestrus karena estrogen dihambat. Gejala klinis dari CLP yang dapat diamati yaitu tidak diketahuinya tanda berahi pada beberapa siklus estrus. CLP dapat muncul karena adanya patologi uterus seperti pada kasus endometritis. Adanya patologi uterus dapat memperpanjang memperpanjang masa hidup korpus luteum sehingga akan mempengaruhi produksi PGF-2α dan mengakibatkan munculnya CLP (Magata et al. 2012). Terapi yang dapat dilakukan pada kasus CLP adalah dengan menyuntikkan PGF2α (prostaglandin). Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghilangkan korpus luteum secara manual, namun cara ini berisiko tinggi menyebabkan ovaritis. Jika CLP disebabkan oleh patologi uterus seperti endometritis, maka pengobatan yang perlu dilakukan adalah menanggulangi patologi uterus tersebut terlebih dahulu, selanjutnya dapat diberikan PGF-2α untuk mempercepat proses regresi korpus luteum (Noakes et al. 2008). Partodiharjo (1992) menyatakan penyingkiran korpus luteum persisten dengan penyuntikan PGF2α yang menyebabkan luteolisis yaitu degenerasi corpus luteum. Wurlina et al. (2005) menyatakan bahwa pemberian PGF2α pada hewan hanya akan efektif jika di dalam ovariumnya terdapat CL. Ovarium tanpa kehadiran CL menyebabkan PGF2α tidak berfungsi sempurna dikarenakan tidak adanya target sel (sel lutein) yang dapat dilisiskan. Sebagaimana diketahui, mekanisme kerja PGF2α adalah dengan cara melisiskan CL untuk menginduksi terjadinya estrus kembali akibat reaksi umpan balik positif pada hipotalamus oleh estradiol. GnRH yang dihasilkan oleh hipotalamus akan menginduksi hipofise anterior untuk menghasilkan dan mensekresikan FSH dan LH. Kedua hormon protein ini bertanggung jawab dalam proses perkembangan dan pematangan folikel, sehingga pada akhirnya folikel akan mensekresikan estrogen dan memunculkan gejala estrus (Menchaca and Rubianes 2001). Hasil penelitian terhadap respon estrus pada ketiga kelompok perlakuan memperlihatkan bahwa respon estrus tertinggi teramati pada kambing yang diberi perlakuan CIDR-G, (100%), diikuti oleh perlakuan PGF2α (70%) dan kontrol (40%). Hal ini mengindikasikan bahwa melalui pemberian CIDR-G atau PGF2α terbukti mampu membantu menginduksi terjadinya estrus pada kambing PE anestrus postpartum yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol. Onset estrus: Onset estrus atau kecepatan timbulnya estrus setelah akhir perlakuan penting untuk diketahui karena mempunyai peranan yang besar bagi keberhasilan perkawinan. Hal ini berkaitan dengan perkiraan waktu ovulasi dan ketepatan waktu IB/kawin alami yang dapat dilakukan. Hewan dapat dikatakan telah mengalami estrus jika menunjukkan tanda-tanda visual birahi seperti adanya
22
kemerahan dan kebengkakan pada vulva, keluarnya lendir bening dari vagina, serta adanya respon pada pejantan. Lama waktu yang dibutuhkan bagi setiap individu hewan pada masing-masing kelompok perlakuan untuk memulai estrus kembali setelah akhir perlakuan kemudian dicatat dan dibandingkan. Pada penelitian ini, onset estrus pada kelompok kontrol teramati muncul setelah 37.7 hari pemberian pakan. Lebih lanjut hasil penelitian pada kelompok perlakuan menunjukkan onset estrus yang lebih cepat pada kelompok CIDR-G dibandingkan kelompok PGF2α dengan onset estrus masing-masing adalah 35.81±13.33 jam dan 45.59±9.23 jam. Meskipun hasil tersebut secara analisa statistik tidak memberikan hasil yang berbeda nyata (P>0.05), tetapi secara analisa deskriptif tampak kecenderungan perlakuan CIDR-G lebih cepat menghasilkan estrus daripada PGF2α. Munculnya perbedaan ini diduga terjadi berkaitan dengan keragaman aktivitas ovarium pada masing-masing individu hewan yang dipengaruhi oleh perlakuan hormon yang digunakan. Penanaman CIDR-G secara intravaginal selama 12 hari pada kelompok CIDR-G memberikan waktu yang panjang bagi hipotalamus untuk mengalami proses priming oleh progesteron. Caraty dan Skinner (1999), menyatakan dalam penelitiannya bahwa priming oleh progesteron pada hipotalamus sangat penting terjadi agar dapat dihasilkan positif feedback oleh estradiol yang maksimal (full expression) terhadap sekresi GnRH. Berkenaan dengan hal ini, Caraty et al. (1998) menyatakan terdapat dua mekanisme yang dapat menjelaskan bagaimana progesteron mampu meningkatkan sekresi GnRH, yaitu melalui peningkatan respon sistem terhadap estradiol dan peningkatan penyimpanan peptida di neuron GnRH. Peningkatan respon sistem terhadap estradiol dapat terjadi dikarenakan adanya penurunan minimum threshold yang dibutuhkan bagi estradiol untuk dapat mensitumulus hipotalamus. Hipotalamus menjadi lebih sensitif dan responsif terhadap rangsangan yang sedikit dari estradiol untuk dapat mengeluarkan GnRH. Hal ini terjadi karena priming oleh progesteron mampu meningkatkan jumlah reseptor estradiol di bagian medio-basal dari hipotalamus sehingga jumlah sel yang responsif terhadap estradiol semakin meningkat. Medio-basal hipotalamus merupakan bagian utama di hipotalamus kambing yang berfungsi dalam merespon estradiol dan menginduksi terjadinya preovulatory LH surge. Meningkatnya jumlah reseptor estradiol akan menambah dan memperbesar hasil positif feedback yang dikeluarkan terhadap respon dari estradiol. Mekanisme terkait lainnya yaitu adanya peningkatan penyimpanan peptida. Selama fase luteal, frekuensi pengeluaran GnRH oleh hipotalamus akan berkurang karena kehadiran progesteron. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah peptida yang tersedia di hipotalamus untuk kemudian dikeluarkan pada saat terjadi lonjakan estradiol (Caraty dan Skinner 1999). Ditambahkan oleh Wheaton (1979), menyatakan bahwa kandungan GnRH di preoptik area hipotalamus mencapai konsentrasi tertinggi saat fase luteal dan GnRH messenger RNA di fase luteal pada kambing memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan hewan anestrus (Yang et al. 1994). Pada tikus, kandungan hipotalamik GnRH tertinggi terdapat pada fase diestrus (Barr dan Barraclough 1978) dan pemberian progesteron pada tikus yang telah di ovariektomi mampu meningkatkan konsentrasi GnRH hipotalamus pada level yang sama seperti yang ditemukan di hewan intak (Ramirez et al. 1998). Lebih lanjut kambing yang sebelumnya di priming oleh progesteron menunjukkan sekresi GnRH yang sangat kuat setelah di
23
challenge oleh estradiol dan sebaliknya ketika priming oleh progesteron tidak dilakukan, maka hanya terjadi peningkatan yang rendah dari sekresi GnRH (Blache et al. 1994). Priming oleh progesteron pada kelompok PGF2α hanya terjadi secara singkat, yaitu pada fase luteal yang umur CL nya bervariasi di masing-masing individu hewan yang tergabung dalam kelompok perlakuan PGF2α. Besarnya CL pada ovarium, diperkirakan akan menghasilkan konsentrasi progesterone yang berbeda. CL yang lebih besar akan menghasilkan progesterone lebih besar (Yusuf 1990). Diduga besarnya konsentrasi progesterone tersebut akan mempengaruhi pengeluaran GnRH oleh hipotalamus yang berlanjut pada perbedaan konsentrasi FSH dan LH yang dihasilkan oleh hipofise anterior. Hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi kecepatan perkembangan dan pematangan folikel pada proses follikulogenesis, sehingga estrogen yang dihasilkan bervariasi, yang berpengaruh terhadap awal munculnya estrus. Berbeda halnya pada kelompok CIDR, dengan waktu penanaman 12 hari, peranan progesteron terjadi relatif panjang, sama untuk semua hewan coba, sehingga respon umpan balik negative terhadap hipotalamus dan hipofisa, menjadikan pengumpulan FSH/LH terjadi dan merata di semua individu hewan menyebabkan sesaat setelah CIDR-G dilepaskan dan kadar progesteron menurun secara drastis dalam tubuh, segera terjadi pematangan folikel, yang memproduksi hormone estradiol, maka terjadi umpan balik positif pada hipotalamus dan hipofisa, akan berdampak pada sekresi GnRH dalam jumlah cukup besar dan hipofisa anterior terbebas dari hambatan untuk mensekresikan sejumlah FSH dan LH (Menchaca and Rubianes 2001; Diskin et al. 2002). Kualitas folikel yang tumbuh dan matang akan sejalan dengan tingginya kadar estrogen yang dihasilkan sehingga pada akhirnya akan memunculkan gejala estrus lebih awal (Menchaca and Rubianes 2001). Hormon estrogen berfungsi untuk memanifestasi tanda-tanda estrus sehingga rendahnya kadar estrogen menyebabkan tidak tampaknya tanda-tanda estrus atau waktu awal terjadinya menjadi lebih lambat. Hasil penelitian Roche (2006) melaporkan bahwa kualitas folikel yang rendah, akan mengakibatkan sekresi estradiol menjadi sedikit (berkurang) sehingga menyebabkan terlambatnya onset estrus. Onset estrus kelompok CIDR-G hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sunendar (2008) yaitu antara 20-40 jam dan mendekati hasil penelitian Semiadi et al. (2003) menyatakan waktu onset estrus 38,22 jam. Namun lebih lambat dari Suharto et al. (2007) yaitu 26.6±0.98 jam. Kelompok PGF2α menunjukkan onset estrus sebesar 45.6 jam lebih lambat dibandingkan hasil Tambing dan Sariubang (2008) yang menyatakan 30.5 jam. Akan tetapi lebih cepat dibanding hasil penelitian Romano (1998) onset estrus rata-rata 53.1 jam. Perbedaan hasil penelitian terhadap onset estrus dimungkinkan karena perbedaan perilaku seksual kambing pejantan yang digunakan saat mendeteksi estrus dan kondisi tubuh ternak (Kresno dan Eko 2010). Lama estrus: Durasi atau lama estrus adalah interval antara awal (onset) estrus sampai akhir penampakan gejala estrus, yang ditandai oleh kambing menolak untuk dinaiki pejantan. Diketahui secara umum lama estrus bervariasi antar spesies, pada kambing dinyatakan oleh Sutama (2011) bahwa lama estrus berlangsung 12 - 40 jam (36 jam). Hasil penelitian ini menunjukkan lama estrus antara kelompok kontrol, CIDR-G dan PGF2α masing-masing adalah 52.96±1.60 jam, 49.61±3.56 jam, 52.17 ±3.34 jam dengan tidak memberikan hasil yang
24
berbeda nyata (P> 0.05). Lama estrus kambing berkisar antara 24-48 jam dengan rata-rata 36 jam (Wildeus 2006). Dewi et al. (2011) dalam laporannya menyebutkan bahwa lama estrus pada hewan dapat dipengaruhi oleh body condition score dan LH surge. Terlambatnya LH surge saat hewan estrus akibat rendahnya konsentrasi estrogen dalam darah akan berpengaruh terhadap lama waktu terjadinya estrus. Selain hal itu, faktor lainnya seperti bangsa, umur, musim dan kehadiran dari pejantan juga ikut menentukan lamanya waktu estrus pada masing-masing hewan (Suharyati 1999). Dilaporkan lama estrus spesifik terhadap breed tertentu, yaitu untuk kambing Mossi (20 jam), Angora (22 jam), Creole (27 jam), French Alpine (31 jam), Boer (37 jam) dan Matou (58 jam). Demikian juga waktu ovulasi diperhitungkan sejak awal terlihatnya gejala estrus. Perhitungan lama berahi bertujuan untuk membantu memprediksi waktu terjadinya ovulasi, lama kapasitasi sperma di dalam saluran kelamin betina, lama kemampuan sperma bertahan hidup di dalam saluran kelamin betina dan lama kemampuan bertahan ovum setelah diovulasikan. Menurut Fatet et al. (2011) melaporkan bahwa lama estrus kambing adalah 36 jam dan bervariasi antara 24 sampai dengan 48 jam, sedangkan ovulasi terjadi antara 9 sampai 37 jam sejak onset esrtus. Sutama (2011) menyatakan waktu ovulasi kambing 30 – 36 jam setelah onset estrus. Waktu ovulasi pada kambing menurut Jainudeen dan Hafez (1993) 24-36 jam sesudah munculnya onset estrus. Perhitungan waktu ini bertujuan untuk memastikan kapan waktu IB yang tepat dilaksanakan. Pada penelitian ini seluruh kambing yang digunakan memiliki bobot badan berkisar antara 35-40 kg yang dapat dikategorikan sebagai BCS 3 (ideal) dan dengan umur, breed, serta musim yang tidak berbeda antara satu individu hewan dan lainnya. Hal tersebut diduga sebagai sebab tidak terdapatnya perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan, walaupun faktor perlakuan hormon yang diberikan berbeda tetapi ternyata tidak memberikan banyak pengaruh. Penelitian lainnya menggunakan CIDR-G memberikan hasil lama estrus yang lebih pendek yaitu 36.61±2.5 jam (Sunendar 2008) dan 32.4±1.47 jam (Dewi et al. 2011). Sementara itu lama estrus yang dihasilkan dari pemberian PGF2α pada penelitian ini (52.17±3.34 jam) hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Tambing dan Sariubang (2008) yaitu 50.10±1.50 jam dan Ahmed et al. (1998) yaitu rata-rata lama estrus 52,6 jam, namun berbeda dari yang dilaporkan oleh Romano (1998) pada kambing nubian, yakni rata-rata lama estrus sebesar 39,4 jam. Perbedaan ini sangat bergantung dari faktor individu hewan, umur, breed yang digunakan pada masing-masing penelitian. Perbedaan Intensitas Estrus Kambing PE Anestrus Postpartum Setelah Pemberian CIDR-G dan PGF2α Kambing yang estrus dicirikan oleh kemunculan tanda-tanda visual estrus seperti adanya kemerahan dan kebengkakan pada vulva, keluarnya lendir bening dari vagina dan diam ketika dinaiki oleh pejantan. Setiap gejala klinis yang muncul umumnya memiliki intensitas yang berbeda-beda pada masing-masing individu hewan tergatung respon tubuh terhadap estrogen yang dihasilkan. Pada penelitian ini diamati perbandingan intensitas estrus berdasarkan gejala klinis yang muncul pada masing-masing kelompok CIDR-G, PGF2α dan kontrol seperti disajikan pada tabel 4. Persentase intensitas estrus pada perlakuan CIDR-G dan
25
PGF2α memperlihatkan jelas dari gejala klinis vulva merah (++) masing-masing adalah 80% vs 70% dan bengkak (++) masing-masing 71% vs 57%. Pada kelompok kontrol merah (++) 50% dan bengkak (++) 50%. Sedangkan Produksi lendir vagina pada kelompok CIDR-G, PGF2α dan kontrol relatif sama (50% vs 43% vs 50%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kambing dengan perlakuan CIDR-G mampu memperlihatkan gejala klinis estrus dengan intensitas yang lebih jelas dibandingkan kelompok PGF2α dan kelompok PGF2α lebih jelas dibandingkan kontrol. Lendir vagina bukan merupakan pengamatan yang utama,karena lendir vagina pada kambing bervariasi antar individu, sehingga perbedaan produksi lendir terlihat pada ternak kambing dalam intensitas yang berbeda. Perbedaan intensitas estrus antar individu terutama dipengaruhi oleh kadar estrogen di dalam darah. Semakin tinggi kadar estrogen yang dihasilkan oleh individu hewan maka intensitas estrus akan semakin jelas terlihat, terutama munculnya kemerahan dan kebengkakan pada vulva (Popalayah et al. 2013), Estrogen yang dihasilkan pada masing-masing individu hewan terjadi melalui mekanisme umpan balik positif yang merangsang dimulainya kembali folikulogenesis, akibat pengaruh dari pemberian hormon yang digunakan. Pada kelompok CIDR-G, setelah dilakukan pelepasan CIDR-G yang disertai penurunan kadar progesteron secara drastis dalam tubuh, maka terjadi mekanisme umpan balik positif dengan dihasilkannya kembali GnRH. Proses priming selama 12 hari oleh progesteron pada hipotalamus menyebabkan pengeluaran GnRH terjadi dalam jumlah yang banyak (Diskin et al. 2002). Tabel 4 Perbandingan intensitas estrus kambing PE anestus postpartum setlah perlakuan CIDR-G atau PGF2α Intensitas Estrus (Ekor) Jumlah Vulva Merah Vulva Bengkak Lendir Vagina Perlakuan Kambing (%) (%) (%) (n) + ++ + ++ + ++ Kontrol 4 2 (50) 2 (50) 2 (50) 2 (50) 2 (50) 2 (50) CIDR-G 10 2 (20) 8 (80) 3 (30) 7 (70) 5 (50) 5 (50) PGF2α 7 2 (28) 5 (71) 3 (43) 4 (57) 4 (57) 3 (43) Ket: + = Sedang; ++ = Bagus Pemberian PGF2α akan memicu lisisnya CL, terjadi penurunan kadar progesteron dalam tubuh, yang dilanjutkan dengan reaksi umpan balik positif pada hipotalamus oleh estradiol. Kedua perlakuan pada akhirnya akan meningkatkan sekresi dari GnRH yang akan merangsang hipofise anterior untuk menghasilkan dan mensekresikan FSH dan LH. Kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses follikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut dalam pertumbuhannya akan menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala birahi (Jainudeen et al. 2000). Folikel yang tumbuh dan matang akan menghasilkan estrogen dari sel teka melalui stimulus LH. Peningkatan kadar estrogen akan meningkatkan umpan balik positif pada hipotalamus. Estrogen akan meningkatkan frekuensi pembebasan GnRH dari hipotalamus yang akan mempengaruhi hipofisa untuk membebaskan FSH dan LH preovulasi dan selanjutnya akan terjadi ovulasi (Bearden and Fuquay 1997). Meningkatnya kadar
26
estradiol akan meningkatkan suplai darah ke vagina, sehingga terjadi peningkatan aktivitas sel-sel di daerah vagina yang berakibat meningkatnya temperatur vagina. Estradiol juga akan menyebabkan meningkatnya cairan-cairan pada sel-sel vagina yang berakibat vulva membengkak (Lammoglia et al. 1998). Gejala klinis estrus seperti kebengkakan dan kemerahan pada vulva, serta produksi lendir bening vagina dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Gejala klinis estrus pada kambing PE Intensitas estrus yang lebih jelas pada kelompok CIDR-G mengindikasikan bahwa priming progesteron (CIDR-G) dapat menyebabkan jumlah GnRH yang dikeluarkan lebih banyak, mensitimulus tingginya pengeluaran FSH, terutama LH (LH surge), sehingga akan menstimulasi terjadinya perkembangan dan pematangan folikel yang lebih baik (Menchaca and Rubianes 2001; Diskin et al. 2002). Folikel matang akan memicu peningkatan sekresi estrogen yang berkorelasi dengan kemunculan tanda-tanda visual estrus yang jelas, onset estrus yang lebih cepat dan percepatan waktu ovulasi (Roche 2006; Ismail 2009). Feradis (2010) menyatakan bahwa timbulnya gejala estrus seperti kebengkakan dan kemerahan pada vulva bergantung dari tinggi rendahnya kadar estrogen dalam darah yang dihasilkan oleh folikel yang sudah matang. Sementara itu Priming oleh progesteron pada kelompok PGF2α hanya terjadi secara singkat di fase luteal. Hal ini diduga akan berpengaruh terhadap kadar GnRH yang dihasilkan yang berkorelasi terhadap pengeluaran FSH dan LH sebagai hormon protein yang bertanggung jawab dalam perkembangan dan pematangan folikel. Rendahnya kemampuan ovarium dalam membentuk folikel akan berbanding lurus terhadap sekresi estrogen yang dihasilkan, sehingga pada akhirnya hanya sebagian kambing pada kelompok PGF2α yang menunjukkan kemunculan tanda-tanda estrus dengan intensitas yang jelas dibandingkan kelompok CIDR-G.
Tingkat Kebuntingan Hasil Ib Setelah Pemberian hCG Dengan Dosis IB 100x106 Atau 200x106 Pengaruh pemberian hCG saat onset estrus terhadap tingkat kebuntingan dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat kebuntingan kelompok hCG lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non-hCG (67% vs 42%).
27
Tabel 5. Tingkat kebuntingan hasil IB setelah pemberian hCG Perlakuan n Bunting (n/ %) Tidak bunting (n / %) hCG 9 6 (67%) 3 (33 %) Non hCG 12 5 (42%) 7 (58%) Rata-rata (±SD) kadar estradiol masa estrus berkisar antara 32.22 ± 22.23 pg/mL sampai 89.91 ± 92.84 pg/mL, kadar tertinggi adalah 89.91 ± 92.84 pg/mL, peningkatan kadar estrogen akan menyebabkan umpan balik positif (positif feedback) terhadap LH pada hipotalamus sehingga terjadi estrus dan ovulasi (Menchaca et al. 2007). Selanjutnya hasil penelitian Kim et al. (2003) mengenai kadar estradiol waktu estrus yang berkisar antara 30.2 pg/mL sampai 105.5 pg/mL. Kadar estradiol dalam darah tertinggi sebesar 89.91±92.84 ng/mL sudah mampu memicu (triggers) pelepasan LH surge dari hipofise anterior (preovulatory LH surge) yang akan menyebabkan rupturnya folikel dan pelepasan ovum. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Karsch et al. (1984) bahwa peningkatan estradiol akan berpengaruh pada axis hypothalamo-pituitary untuk menstimulasi LH surge dan ovulasi. Ovulasi terjadi segera setelah 51 jam sampai 62 jam dari pencabutan CIDR-G atau segera setelah 25 jam sampai 36 jam dari awal estrus (Suharto et al. 2008). Kombinasi masing-masing perlakuan hormon (CIDR-G atau PGF2α) dengan hCG pada penelitian ini mampu untuk meningkatkan angka kebuntingan pada kambing PE anestrus postpartum. Hormon hCG merupakan hormon analog dari LH dengan fungsi membantu pematangan folikel dan proses ovulasi. Pemberian hCG saat onset estrus akan menstimulasi folikel untuk mempercepat terjadinya ovulasi. Freitas et al. (1997) menyatakan bahwa pemberian hCG saat onset estrus sampai terjadinya ovulasi membutuhkan waktu 13.7±5.0 jam. Lebih lanjut pemberian hCG pada domba dapat meningkatkan ovulation rate dan conceptionrate (Khan et al. 2003). Tingginya tingkat ovulasi disertai waktu pelaksanaan IB yang tepat akan meningkatkan persentase kemungkinan terjadinya kebuntingan. Jainudeen dan Hafez (1993) melaporkan waktu ovulasi diperkirakan 24-36 jam sejak onset estrus, sedangkan waktu IB pada prinsipnya harus mendahului waktu ovulasi. Waktu pelaksanaan IB pada penelitian ini adalah 12 dan 24 jam sejak onset estrus. Melalui pemberian hCG, hewan akan mengalami ovulasi lebih cepat (13.7±5.0 jam) dibandingkan waktu alaminya. Hal ini mengindikasikan waktu IB yang dilakukan pada penelitian ini dengan pemberian hCG mendahului atau menjelang waktu ovulasi, sehingga spermatozoa dan ovum masih dalam waktu fertilnya dan akan meningkatkan kemungkinan terjadinya fertilisasi hingga kebuntingan. Selain itu, waktu IB yang tepat akan memungkinkan spermatozoa untuk mengalami kapasitasi terlebih dahulu di saluran reproduksi betina. Pelaksanaan IB pada penelitian ini dilakukan sebanyak 2 kali yaitu 12 jam dan 24 jam sejak onset estrus. Hasil penelitian ini menunjukkan 52% kambing bunting. Hasil ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Budiarsana dan Sutama (2001) yang menghasilkan tingkat kebuntingan 37.5% pada kambing yang di IB 25 jam sejak onset estrus dan 40.9% pada kelompok yang di IB 35 jam sejak onset estrus dan hasil penelitian Tambing dan Sariubang (2008) menunjukkan angka konsepsi pada kambing 25% setelah inseminasi buatan 24 dan 36 jam sejak onset estrus. Hasil penelitian ini mendekati hasil penelitian Holtz et al. (2008) yang
28
menghasilkan kebuntingan 58% pada kambing yang di inseminasi setelah 16 jam pemberian GnRH. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan inseminasi buatan adalah volume dan konsentrasi sperma yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan kedua dosis IB tersebut menghasilkan tingkat kebuntingan yang relatif sama (50% vs 54%) seperti yang terlihat pada tabel 6. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah sperma yang digunakan untuk IB tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kebuntingan yang dihasilkan Tabel 6. Tingkat kebuntingan hasil IB dengan dosis 100x106 dan 200x106 Perlakuan dosis n Bunting (n / %) Tidak bunting ( n / %) 6 100x10 10 5 (50%) 5 (50%) 200x106 11 6 (54%) 5 (46%) Pelaksanaan IB menggunakan semen beku pada kambing PE dengan dosis 100x106/0.25ml cukup mampu menghasilkan angka kebuntingan yang tinggi. Hasil kebuntingan pada kedua perlakuan tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Tambing dan Sariubang (2008) menggunakan dosis 100x106/ml yang hanya mampu menghasilkan kambing partus sebesar 25%. Perbedaan ini terkait dengan teknik inseminasi yang digunakan, kemampuan inseminator, waktu pelaksanaan IB, dan respon individu hewan. Hasil penelitian lain menghasilkan kebuntingan pada kambing diperoleh antara 62.5–73.1% dengan konsentrasi spermatozoa 60–120 x106/0.25 ml dengan menggunakan semen cair dalam program IB (Roca et al. 1997). Hal lain salah satu faktor penentu keberhasilan program inseminasi buatan adalah teknik inseminasi. Pada prinsipnya semakin dekat deposisi semen dengan tempat fertilisasi didalam saluran reproduksi betina akan semakin tinggi daya fertilitas dan angka kebuntingan (Lopez Gatius 2000). Tenik inseminasi yang digunakan pada penelitian ini adalah inseminasi intra-servikal dengan deposisi semen dilakukan pada cincin kedua serviks. Teknik inseminasi pada kambing dikenal tiga macam, yaitu inseminasi vagina (vaginal insemination), inseminasi serviks (cervical insemination) dan inseminasi intra-uterus (intrauterine insemination). Dari ketiga teknik inseminasi ini yang praktis digunakan di lapangan adalah inseminasi serviks (cervical insemination). Ketiga jenis teknik IB tersebut sudah pernah dilakukan dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi. Seperti hasil laporan Leboeuf et al. (2000) menghasilkan angka kebuntingan ratarata 44% menggunakan teknik inseminasi intravagina. Tambing (2004) melaporkan kebuntingan sebesar 50%. Pada kambing PE dengan teknik inseminasi intravagina. Tambing dan Sariubang (2008) menggunakan teknik intravagina menghasilkan kebuntingan hanya 25%. Selanjutnya Persentase tingkat kebuntingan setelah inseminasi secara cervical sebesar 60% (Pamungkas et al. 2014). Kambing bunting 60% dengan teknik inraservical (Hamdan et al. 2012) dan 47.62% pada kambing Florida (Dorado et al. 2007) serta 35% pada kambing dengan metode intrauterine (Yacoub et al. 2011). .
29
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada kambing yang mengalami anestrus postpartum adalah : 1. Pemberian hormon progesteron (CIDR-G) atau PGF2α cukup efektif menginduksi terjadinya respon dan intensitas estrus. 2. Pemberian hCG saat onset estrus efektif pada pelaksanaan IB untuk dapat meningkatkan angka kebuntingan. 3. Tingkat keberhasilan kebuntingan dengan teknik IB sebanyak 2 kali yakni 12 dan 24 jam sejak onset estrus mencapai 52%. 4. Penggunaan dosis IB 100x106/0.25ml dan 200x106/0.25ml menghasilkan tingkat kebuntingan yang relatif sama. Saran Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk (1) Mengembangkan teknik diagnosa kebuntingan dini. (2) Mengamati kejadian bunting kembar dan litter size pada kambing bunting hasil IB yang menggunakan dosis 100x106/0.25ml.
DAFTAR PUSTAKA Ahmed MMM, Makawi SE dan Jubara AS. 1998. Synchronization of oestrus in Nubian goats. Small Rum. Res. 30: 113 – 120. Aller JF, Fernandez O, Sanchez E.2009. Fixed time artificial insemination in red deer (Cervus elaphus) in Argentina. Anim Reprod Sci. 115: 312–316. Arsyad dan Yudistira. 2011. Penanganan Kesehatan Hewan. Kasus Gangguan Reproduksi Pada Ternak Sapi. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. Astuti M, Agus A, Budisatria IGS, Yusiati LM, Anggriani MUM. 2007. Peta Potensi Plasma Nutfah Ternak Nasional . Edisi 1. Yogyakarta (ID): Ardana Media Atabany A, Abdulgani IK, Sudono A, Mudikdjo K. 2004. Performan produksi, reproduksi dan nilai ekonomis kambing peranakan etawa di peternakan barokah. Media Peternakan: Vol 24. No.2 Badriyah, Susilawati T, Wahyuningsih S. 2014. Perbedaan Produktifitas Kambing Peranakan Ettawa (online).(di unduh 2014 november 17). Tersedia pada elibrary.ub.ac.id//. Barr GD, Barraclough CA 1978 Temporal changes in medial basal hypothalamic LH-RH correlated with plasma LH during the rat estrous cycle and following electrochemical stimulation of the medial preoptic area in pentobarbital-treated proestrous rats. Brain Res 148: 413–423. Bearden HJ and JW.Fuquay. 1997. Applied Animal Reproduction. Fourth Edition. Prentice Hall. New York. pp. 77.
30
Blache D, Batailler M, Fabre-Nys C 1994 Oestrogen receptors in the preoptic hypothalamic continuum: immunohistochemical study of the distribution and cell density during oestrous cycle in ovariectomized ewe. J Neuroendocrinol. 6:329–339. Blache D, Martin GB, 2009. Focus feeding to improve reproductive performance in male and female sheep and goats how it works and strategies for using it. In: Papachristou, TG, Parissi, ZM, Ben SalemH, Morand-Fehr, P. (Eds.). Nutritional and Foraging Ecology of Sheep and Goats. CiheamIamz/Fao/Nagref, Zaragoza, pp. 351–364. Budiarsana IGM, Sutama IK. 2001. Fertilisasi kambing peranakan Ettawa pada perkawinan alami dan inseminasi buatan Dalam: Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor (ID). Pp:85-92 Burke CR , Mussard ML, Grum DE, Day ML. 2001. Effects of maturity of the potencial ovulatory follicle on induction of oestrus and ovulation in cattle with oestradiol benzoate. Anim. Rep. Sci. 66 :161–174. Caraty A, Fabre-Nys C, Delaleu B, Locatelli A, Bruneau G, Karsch F, Herbison A 1998. Evidence that the mediobasal hypothalamus is the primary site of action of estradiol in inducing the preovulatory gonadotropin) releasing hormone surge in the ewe. Endocrinology. 139:1752–1760 Caraty A, Skinner DC. 1999. Progesterone Priming Is Essential for the Full Expression of the Positive Feedback Effect of Estradiol in Inducing the Preovulatory Gonadotropin-Releasing Hormone Surge in the Ewe. Endocrinology. 140(1): 166-170. Contreras Solis I, Diaz T, Lopez G, Caigua A, Lopez Sebastian A, Gonzales Bulnes A. 2008. Systemic and intraovarian effects of korpus luteum on follicular dynamics during estrous cycle in hair breed sheep. Anim Reprod Sci.104 : 47–55. De Santiago-Miramontes MA, Rivas-Mu˜noz R, Mu˜noz-Guti´errez M, Malpaux B, Scaramuzzi RJ, Delgadillo JA. 2008. The ovulation rate in anoestrous female goats managed under grazing conditions and exposed to the male effect is increased by nutritional supplementation. Anim Reprod Sci. 105:409–416. Devendra, Burns M. 1983. Goat Production in The Tropic II. Commonwealth Agricultural Bereaux Famhan Royal. England (GB): Bucks press. Dewi RR, Wahyuningsih dan DH Widayati. 2011. Respon estrus pada kambing Peranakan Etawah dengan body condition score 2 dan 3 terhadap kombinasi implant controlled internal drug release jangka pendek dengan injeksi prostaglandin F2 Alpha. Jurnal Kedokteran Hewan 5: 11-14. Diah TW, Aris J, Kresno S, Amelia O, Wahyuningsih. 2010. Reproduction Performance of Etawah Cross BredGoats in Estrus Synchronization by ControlledInternal Drug Release Implant and Pgf2α Continued by Artificial Insemination. World Academy of Science, Engineering and Technology 65. Direktorat Jenderal Peternakan. 2013. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Bina Produksi. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Diskin MG, Austin EG, Roche JF. 2002. Exogenous hormonal manipulation of ovarian activity in cattle. Domest Anim Endocr: 23: 211–228.
31
Doloksaribu M, Elieser S, Mahmilia F, Pamungkas FA. 2005. Produktivitas kambing Kacang pada kondisi dikandangkan: 1. Bobot lahir, bobot sapih, jumlah anak sekebuntingan dan daya hidup anak prasapih. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID). Dorado J, I Rodríguez, M Hidalgo. 2007. Cryopreservation of goat spermatozoa: Comparison of two freezing extenders based on post-thaw sperm quality and fertility rates after artificial insemination. Theriogenology. 68:168–177. Faillace LS, Biggs C, Hunter MG. 1994. Factors affecting age at onset of puberty, ovulation rate and time of ovulation in Chinese Meishan gilts. J. Reprod Fertil. 100: 353-357. Fatet A, Teresa M, Pellicer Rubio P, Leboeuf P. 2011. Reproductive cycle of goats. Anim Reprod Sci. 124:211–219. Feradis. 2010. Reproduksi Ternak. Cetakan II. Bandung (ID): Alfabeta. Pp. 125146 Fonseca JF, Bruschi JH, Santos ICC, Viana JHM, Magalhaes ACM. 2005. Anim Reprod Sci. 85: 117-124. Foote RH. 2002. The history of artificial insemination: selected notes and notables. J Anim Sci. 80: 1–10. Freitas VJF, G. Baril, J. Saumande. 1997. Estrus synchronization in dairy goats: use of fluorogestone acetate vaginal sponges or norgestomet ear implants. Animal Reproduction Science. 46: 237–244. Freitas VJF, Rondina D, Nogueira DM, Simplicio AA. 2004. Postpartus anoestrus in Anglo-Nubian and Saanen goats raised in semi-arid of North-eastern Brazil. Livestock Prod Sci.90 : 219–226. Fukui YK, Tabuchi, Yamada A, Hayashi N. Tanaka K. 1994. Effect of insertion periods of controlled internal drug release device (CIDR) in conception rate by fixed-time intrauterian insemination with frozen semen in seasonally anestrous ews. J Reprod Dev. 40: 221-226. Ginther OJ, Beg MA, Gastal EL, Gastal MO, Cooper DA. 2009. Treatment with human chorionic gonadotropin (hCG) for ovulation induction is associated with an immediate 17-estradiol decrease and a more rapid increase in mares. Anim Reprod Sci. 114:311–317. Gómez Brunet A, Moreno JS, Montoro V, Garde J, Pons P, Bulnes AG, Sebastian AL. 2007. Reproductive performance and progesterone secretion in estrusinduced Manchega ewes treated with hCG at the time of AI. Small Ruminant Research.71:117-122 Gonzalez Stagnaro C. 1984.Comportamiento reproductivo de las razas locales de rumiantes en el tr6pico americano. In: Chemineau P, Gauthier D, Thimonier J (eds), Reproduction des Ruminants en Zone Tropicale, June 8-10, Pointe ~t Pitre. Paris: Les Colloques de I'INRA 1984; 1-83. Greyling JPC. 2000. Reproduction traits in the Boer goat doe. Small Ruminant Research. 36: 171-177 Hafez B and Hafez ESE. 2008. Fertilization and Cleavage. Reproduction in Farm Animals. 7th ed by B. Hafez and ESE. Oxford (GB): Hafez Blackwell Publishing : 110–125. Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals . Philadelphia (US): Lippincot Williams & Wilkins. pp. 59‐ 63.
32
Hafez ESE. 2000. Anatomy of Male Reproduction. “In Reproduction in Farm Animals”. Hafez ( 7 th ed.). Lippincott William & Wilkins. A Wolter Kluwer Company. Hamdan dan Siregar TN. 2004. Perbandingan sistem sinkronisasi singkat dengan sistem sinkronisasi standar terhadap tampilan berahi kambing lokal. JIIP VII (3) : 17-22. Hamdan, Nurcahaya D, Siregar TN, Panjaitan P, Husnurrizal. 2012. Reproductive performance of local does were induced superovulation with inhibin antiserum. J. Ked. Hewan. 6 (1): 25-32. Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya. Hartantyo S. 1995. Calculation of percent progesterone in skim milk fraction when centrifugation temperature and butterfat of whole milk are known. Bull. FKH-UGM .Vol. XIV No. 2:1-6. Hastono. 2000. Penyerempakan berahi pada domba dan kambing. Animal Production. 2(1):1-8. Holtz W, Sohnrey B, Gerland M, Driancourt MA. 2008. Ovsynch synchronization and fixed-time insemination in goats. Theriogenology .69:785–92. Hunter MG, Picton HM.1995. Effect of hCG administration at the onset of oestruson early embryo survival and development in Meishan gilts. Anim Reprod Sci. 38 .231-238. Inter Ag.1996. Controlled Breeding And Reproductive Management. Easi Breed CIDR. Hamilton New Zealand.Kambing lokal. J. Ked. Hewan. Vol. 3 No. 2 September. Ismail M. 2009. Onset dan intensitas estrus kambing pada umur yang berbeda. J. Agroland. 16 (2): 180-186 Jainudeen MR and Hafez ESE.1993a. Gestation, prenatal physiology and parturition. In: Hafez ESE. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Lea & Febiger. Philadelphia. pp. 213-236 Jainudeen MR and Hafez ESE.1993b. Sheep and goat. In: Hafez ESE.1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Lea & Febiger, Philadelphia. pp. 330-342. Jainudeen MR, Wahid H, Hafez ESE. 2000. Sheep and goats. Di dalam: Hafez B dan Hafez ESE, editor. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7. USA: Lippincott Williams and Wilkins. hlm 172-181. Junaidi A, Norman ST. 2005. Comparison of Different Superovulatory Protocols in Feral does. Reproduction biotechnology for improved animal breeding in Southeast Asia. Proc . International Asia Link Symposium.19-20 August. Pp. 119-121. Karsch FJ, EL Bittman, DL Foster, RL Goodman, SJ Legan, JE Robinson. 1984. Neuroendocrine Basis of Seasonal Reproduction. Academic Press. 40:185– 232 Khan TH, Beck NFG, Khalid M.2009. The effect of hCG treatment on Day 12 post-mating on ovarian function and reproductive performance of ewes and ewe lambs. Anim Reprod Sci.116 : 162–168. Khan TH, Hastie PM, Beck NFG, Khalid M. 2003.hCG treatment on day of mating improves embryo viability and fertility in ewe lambs. Anim Reprod Sci.76 :81–89.
33
Kim ST Tanaka and H Kamomae. 2003. Different effect of subnormal levels of progesterone on the pulsatile and surge mode secretion of luteinizing hormone in overiectomized Doess. J. Biol. Reprod. 69: 141-145. Kresno S dan Eko M. 2010. Sinkronisasi Estrus dengan Implant Controlled Internal Drug Release Intravagina Pada kambing Peranakan Ettawa. Buana Sains. Vol.10 No: 1(1-7).2010 Lammoglia MA, RE Short, SE Bellows, MD Macneil and HD Hafs. 1998. Induced and synchronized estrus in cattle. J. Anim. Sci. 76:1662-1670. Leboeuf b, Manfredi E, Boue P, Piacére A, Brice G, Baril G, Broqua C, Humblot P, Terqui M. 1998. Artificial insemination of dairy goats in France. Livestock Prod Sci. 55: 193–203. Leboeuf b, Restall B, Salamon S. 2000.Production and storage of goat semen for artificial insemination. Anim. Reprod. Sci. 62: 113-141. Leigh OO, Raheem AK, Oluwadamilare OJA. 2010. Improving the reproductive efficiency of the goat: Vaginal cytology and vulvar biometry as predictors of synchronized estrus/breeding time in West African dwarf goat. Int J Morphol. 28(3):923- 928. Lopez Gatius F. 2000a. Short synchronization system for cycles in dairy heifers: a preliminary report. Theriogenology. 54 (8): 1186-1190. Lopez Gatius F. 2000b. Reproductive performance of lactatin of dairy cows treated with cloprostenol, hCG, and estradiol benzoate treatment on berahi synchronization of berahi followed by time AI. Theriogenology.54 (2): 551-558. Macmilla KL, Taufa VK, Barnes DR, Day AM. 1991. Plasma progesterone concentrations in heifers and cow treated with a new intravaginal device. Anim Reprod Sci. 26:25-40. Magata F, Shirasuna K, Struve K, Herzog K, Shimizu T, Bollwein H, dan Miyamoto A. 2012. Gene Expressions in The Persistent Corpus Luteum on Dairy Cattle: Distinct Profile From The Corpora Lutea of The Estrous Cycle and Pregnancy. Jurnal reproduction and development. 58(4): 445- 452. Marwah MP, Suranindyah YY, Murti TW. 2010. Produksi dan komposisi susu kambing peranakan ettawa yang diberi suplemen daun katuk (sauropus androginus (L) merr) pada awal masa laktasi. Buletin Peternakan. 34 (2) : 94-102. Mehmet AC, Mehmet Kuran. 2004. Effects of a single injection of hCG or GnRH agonist on day 12 post mating on fetal growth and reproductive performance of sheep. Anim Reprod Sci. 80 (2004) 81–90. Menchaca A, Miller V, Salveraglio V, Rubianes E. 2007. Endocrine, luteal and follicular responses after the use of the short-term protocol to synchronize ovulation in Goats. Anim Reprod Sci.102 : 76–87. Menchaca A, Rubianes E. 2001. Effect of high progesterone concentrations during the early luteal phase on the length of the ovulatory cycle of goats. Anim Rep Sci. 68: 69–76. Morrow CJ, Penfold LM., Wolfe BA. 2009. Artificial insemination in deer and non domestic bovine. Theriogenology.71 : 149- 165. Murdjito G, Budisatria IGS, Panjono, Ngadiyono N, Endang B. 2011. Kinerja kambing bligon yang dipelihara peternak di desa Giri Sekar, Panggang, Gunung Kidul. Buletin Peternakan 5(2): 86-5
34
Nishigai M, Takamura A, Kamomae H, Tanaka T, Kaneda Y. 2001. The effect of human chorionic gonadotrophin on the development and function of bovine korpus luteum. J of Reprod and Develop. 47 (5) : 283- 294. Noakes DE, Pearson H, Parkinson TJ. 2008. Arthur’s Veterinary Reproduction and Obstetric. Philadelphia (US): Saunders. Obst JM, Boyer T, Chaniago T. 1980. Reproductive performances of Indonesian sheep and goats. Proc Australian Soc of Anim Prod 13: 321 – 324. Odubote IK. 2000. Genetic Analysis of Reproductive Performance of West African Dwarf Goats in the Humid Tropics. Proceeding of the First Bienneal Conference of the African Small Ruminant Research Network, ILRAD. Nairobi, Kenya, 10-14 December 1990. (diunduh 2014 oktober 19). Terdapat pada (www.fao.org/wairdocs/ilri/x5473b/x/5473b 09.htm). Pamungkas FA, Batubara A, Anwar. 2014. Kriopreservasi spermatozoa kambing boer: perbandingan dua bahan pengencer terhadap kualitas post-thawing dan kemampuan fertilisasinya. JITV 19. (2): 130-137. Parasmawati F, Suyadi, Wahyuningsih S. 2013. Performan reproduksi pada persilangan kambing boer dan peranakan etawah (PE). J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 23 (1):11 – 17. Partodiharjo A. 1995. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan Ke 3. Mutiara. Jakarta. Popalayah, Ismaya, Ngadiyono N. 2013. Efektivitas penggunaan controlled internal drug release (CIDR) terhadap respon estrus. Bulletin peternakan. 37(3): 148-156. Ramirez V, Dluzen D, Lin D 1980 Progesterone administration in vivo stimulates release of luteinizing hormone-releasing hormone in vitro. Science 208:1037–1039 Ritar AJ and Salamon S. 1983. Fertility of fresh and frozen-thawed semen of the angora goat. Aust.J. Biol .Sci. 36: 49-59. Rivera GM, Alanis GA, Chaves MA, Ferrero SB, Morello HH. 2003. Seasonality of estrus and ovulation in Creole goats of Argentina. Small Rum Res. 48:109–117. Roca J, JA Carrizosa, I Compos, A Lafuente, JM Vazquez and E Martinez. 1997. Viability and fertility of unwashed Murciano-Granadina goat spermatozoa ° diluted in Tris-egg yolk extender and stored at 5 C. Small Rum. Res. 25: 147-153. Roche JF .1996. The Effect Of Nutritional Management Of The Dairy Cow On Reproductive Efficiency. Animal Reproduction Science. 96:282–296. Romano JE. 1998. Effect of two doses of cloprostenol in two schemes for estrous synchronization in Nubian goats. Small Rum Res. 28:171-176. Rubianes E, Menchaca A, Carbajal B. 2003. Response of the 1 to 5-day aged ovine corpus luteum to Prostaglandin F2. Anim Rep Sci. 78: 47–55. Rubianes E, Menchaca A. 2003. The pattern and manipulation of ovarian follicular growth in goats. Anim Reprod Sci.78: 271–287. Sakul, Bradford HGE, Subandriyo.1994. Prospects for genetic improvement of small ruminant in Asia. Proc. Strategic Development for Small Ruminant Production in Asia and the Pasific. SR-CRSP. Univ. of California Davis. Saoeni R. 2008. Efek Pemberian Prostaglandin F2α, secara intra vaginal spons (IVS) dan intra muskuler. Jurnal Produksi Ternak: Vol 9 No 3.
35
Schmitt EJP, Barros CM, Fields PA, Fields MJ, Diaz T, Kluge JM, Thatcher WW. 1996. A cellular and endocrine characterization of the original and induced corpus luteum after administration of a gonadotropin-releasing hormone agonist or human chorionic gonadotropin on day five of the estrous cycle. J Anim Sci. 74: 1915–1929. Senger PL. 2003. Pathways to Pregnancy and Parturition. 197- 199. Setiadi B, Subandriyo, Iniguez IC.1995 .Reproductive performance of small ruminants in an Outreach Pilot Project in West Java. JITV. 1 (2):73-80. Setiadi B, Sutama IK, Budiarsana IGM. 1997. Efisiensi reproduksi dan produksi kambing peranakan etawah. JITV. 2 No. 4 Th . Siregar TN, Armansyah T, Sayuti A, Syafruddin. 2010. Tampilan reproduksi kambing betina lokal yang induksi berahinya dilakukan dengan sistem sinkronisasi singkat. Jurnal Veteriner. 11(1) : 30-35. Siregar TN, N Areuby, G Riady, dan Amiruddin. 2004. Efek pemberian PMSG terhadap respon ovarium dan kualitas embrio kambing lokal prepuber. Med. Ked. Hewan. 20(3):108-112. Siregar TN. 2001. Tampilan reproduksi kambing lokal yang mengalami sinkronisasi birahi dengan prostaglandin F2 alpha dan kehadiran pejantan. Agripet. 2(2):8-12. Siregar TN. 2002. Pengukuran profil progesteron sebagai suatu metode diagnosis kebuntingan dini dan kebuntingan kembar pada domba lokal. Med. Ked. Hewan. 18(2):73-77. Sonjaya, H.D. Panturu, dan Y. Rawasiah.1993. Respon ovarium kambing kacang terhadap perlakuan superovulasi dan suplementasi konsentrat. Bulletin Ilmu Peternakan dan Perikanan Unhas II (5):10-19 Suharto K, Junaidi A, Kusumawati A, Diah TW. 2008. Perbandingan Fertilitas antara Kambing Peranakan Etawa Skor Kondisi Tubuh (SKT) Kurus versus Ideal Setelah Sinkronisasi Estrus dan Inseminasi Buatan. Bulletin Peternakan (24):1 Sunendar. 2008. Profil implant progesteron dan estrogen pada kambing Peranakan Ettawa (PE) yang disinkronisasi estrus dengan implant CIDR. [Tesis].Yogyakarta (ID) Universitas Gadjah Mada. Suranindyah Y, Widi TSM, Sumadi, Tarmawati NH, Dwisepta U. 2009. Production performance of Ettawah Crossbreed goat in Turi Sleman Jogjakarta. The 1st International Seminar on Animal Industry Bogor: 314318. Sutama IK. 2007. Tantangan dan Peluang Peningkatan Produktivitas Kambing Melalui Inovasi Teknologi Reproduksi. Wartazoa. Vol. 20 No. 1 Sutama IK. 2007. Tantangan dan Peluang Peningkatan Produktivitas Kambing Melalui Inovasi Teknologi Reproduksi. Sutama IK. 2009. Productive and Reproductive Performances of Female Etawah Crossbred Goats in Indonesia. Wartazoa.Vol. 19 No. 1 Sutama IK. 2011. Inovasi teknologi reproduksi mendukung pengembangan kambing perah lokal. Pengembangan Inovasi Pertanian. (4): 231-246. Syarif A dan Muchtar Armen. 1995. Oksitosik. Di Dalam: Ganiswarna SG, Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 400-409.
36
Tambing SN dan Sariubang M. 2008. Kajian Komponen Teknologi Inseminasi Buatan (Ib) Pada Induk Kambing. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008. Tambing SN, Gazali M, Bambang P. 2001. Pemberdayaan Teknologi Inseminasi Buatan Pada ternak kambing. Wartazoa.11 (1):1-9. Utomo S. 2013. Perbedaan ketinggian tempat terhadap capaian hasil IB pada kambing Peranakan Ettawah (PE). Sains Peternakan. 11 (1): 34-42. Vale GW. 2010. Deep freezing buffalo semen-state of art. In: Vale GW. Technique of Artificial Insemination.Principles of Oestrus Detection and Artificial Insemination. Handbook on the use of Reproductive Biotechniques in water Buffaloes.9th World Buffalo Congress. Makati City. Philippines. October. Manila Philippina: Rev. Vet. 83-92. Wheaton JE. 1979 Regional brain content of luteinizing hormone-releasing hormone in sheep during the estrous cycle seasonal anestrus and after ovariectomy. Endocrinology 104: 839–844. Wildeus S. 2000. Current concepts in synchronization of estrus: sheep and goats. J. Anim. Sci. 77:1–14. Wildeus S. 2006. Reproductive Management of The Meat Goat. http://www.clemson.edu/agronomy/goats/handbook/reproduction. html. (diunduh 26 Januari 2015). Wurlina. 2005. Pengaruh berbagai dosis prostaglandin F2 α terhadap kualitas birahi pada kambing lokal. Media Kedokteran Hewan. 21 (2): 84-87. Yacoub AN, Gauly M, Sohnrey B, Holtz W. 2011. Fixed time deep uterine insemination in PGF2 synchronized goats. Theriogenology 76:1730–1735. Yang CSJ, Wang HJ, Smith MS, Dailey RA 1994 Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) gene expression in sheep: seasonal effect. Biol Reprod 50: 108. Yates DT, Yates LJ, Otis AR, Warner CA, Halalsheh RA, Hallford DM, Ross TT. 2010. Effects of human chorionic gonadotropin on serum progesterone concentration during the first weeks after mating, components of preimplantation complete blood counts, and number of offspring at parturition in ewes. Sheep and Goat Research Journal. (25) 9-15. Yusuf, T. L. (1990). Pengaruh Prostagladin F2α Gonadotropin terhadap Aktivitas Estrus dan Superovulasi dalam Rangkaian Kegiatan Transfer Embrio pada Sapi Fries Holland, Bali dan Peranakan Ongole. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/1496. Zarazaga LA, Guzm´an JL, Dom´ınguez C, P´erez MC, Prieto R. 2005. Effect of plane of nutrition on seasonality of reproduction in Spanish Payoya goats. Anim Reprod Sci. 87 253–267.
37
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar bahan dan alat penelitian
38
39
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mandailing Natal, Sumatera Utara pada tanggal 20 Desember 1980 dari ayah Muhammad Darwis Hasibuan dan Ibu Ummi Sahelan Nasution. Penulis adalah putra kelima dari sembilan bersaudara. Pendidikan sarjana di tempuh pada Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, lulus pada tahun 2005. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program magister dilakukan di Program Studi Biologi Reproduksi, Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2012. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai Peneliti Pertama di Loka Penelitian Kambing Potong, Deli Serdang Sumatera Utara. Penulis termasuk ke dalam Kelompok Peneliti Reproduksi dan banyak bekerja di bidang Reproduksi dan Fisiologi Hewan, khususnya Teknologi Reproduksi hewan ruminansia (kambing). Selama mengikuti program S-2, penulis menjadi pengurus Forum Mahasiswa Pascasarjana (WACANA) BRP, IPB di bidang sosial dan keagamaan. Karya ilmiah berjudul “Efektivitas Metode Aplikasi Hormon Progesteron, PGF2α Dan hCG Dalam Peningkatan Efisiensi Reproduksi Kambing PE Anestrus Postpartum” sedang dalam proses penilaian pada Jurnal Kedokteran Hewan Unsyiah Kuala. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis.