Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
EFEKTIFITAS PENYUNTIKAN PROGESTERONE DAN ESTROGEN TERHADAP PENANGANAN KETIDAKSUBURAN PADA SAPI BALI DALAM PERIODE ANESTRUS POSTPARTUM (Handling the Infertility of Bali Cattle Using Hormonal Treatments (Progesterone and Estrogen) in Estrous Postpartum Period) A. POHAN1 dan C. TALIB2 1
Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian, Kupang 2 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT
One of the main problem in the development of beef cattle in Indonesia is the infertility indicated by the lengthened of an-estrous postpartum period that effects calving interval. The period can be stopped through hormonal treatments such as progesterone and estrogen, singly or the combination. The research is conducted to evaluate the effectivity of both hormones in stimulating the onset of estrus in an-estrous Bali cows. The results show that progesterone administered intramuscularly either once or twice or in combination with estrogen can effectively raise the onset of estrus five days after treatment and can sustain the normal cycles afterward.
Key words: Cattle, infertility, post partum oestrous ABSTRAK Salah satu persoalan pada sapi potong di Indonesia adalah ketidaksuburan (infertility) yang digambarkan dengan panjangnya calving interval yang disebabkan oleh panjangnya periode anestrus. Periode ini dapat dihentikan melalui perlakuan hormonal dengan pemberian progesteron maupun estrogen baik secara tunggal maupun kombinasi antara keduanya. Suatu penelitian dengan menggunakan kedua hormon ini telah dilakukan untuk mengetahui efektifitasnya terhadap sapi Bali yang sedang berada dalam periode anestrus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara efektif penggunaan hormon progesteron tunggal melalui satu kali pemberian maupun dua kali pemberian dan kombinasinya dengan estrogen secara efektif dapat membangkitkan terjadinya estrus kembali dalam waktu 5 hari setelah pemberian dan dapat menjamin berlangsungnya siklus estrus yang normal sesudahnya.
Kata kunci: Sapi, infertilitas, estrus post partum PENDAHULUAN Penyebab ketidaksuburan (infertility) pada sapi potong sangat beragam dan kadang juga sangat rumit. Gangguan bisa terjadi pada perkembangan follikel, timbulnya estrus, tingkat keberhasilan perkawinan, ovulasi, fertilisasi, implantasi dan perkembangan embrio, foetus dan membranenya. Setiap hal yang dapat menggangu berlangsungnya aktifitas ini merupakan penyebab infertility seperti penyakit, pakan jelek, management yang kurang baik, faktor keturunan, congenital, gangguan hormonal dan perubahan lingkungan (VALE et al., 1984). MUKASA MUGERWA (1989) melaporkan bahwa 59,4% dari gangguan reproduksi disebabkan oleh kelainan fungsional; 23,3% 135
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
karena sebab patologis, 8,8% karena kelainan anatomi dan 4,8% karena ketuaan. Salah satu dari faktor kelainan fungsional ini adalah tidak kembalinya berahi setelah melahirkan sebagaimana yang diharapkan. Tidak kembalinya berahi setelah melahirkan pada ternak sapi potong dapat disebabkan karena adanya serangkaian proses fisiologi yang dimulai dari peristiwa kelahiran, involution uteri, milking calf dan short oestrus yang sering kali mengganggu mekanisme fungsional yang normal sehingga mengakibatkan timbulnya anoestrus postpartum. Anoestrus postpartum ini merupakan suatu penyebab infertilitas yang paling sering ditemukan pada sapi potong yaitu sekitar >50% dan repeat breeding/short oestrus dimana persentase sapi yang membutuhkan lebih dari 3 kali perkawinan untuk bunting ada sekitar 11,5% dari kasus infertility (SINGH et al., 1981). Kasus anoestrus postpartum ini bisa disebabkan oleh karena inactive ovaries, cyctic ovaries dan adanya persisten corpora lutea. Penanganan anoestrus postpartum juga dapat dilakukan dengan bermacam-macam, secara hormonal (FSH, LH, progesteron dan estrogen), behaviour (yang juga berpengaruh pada hormonal secara tidak langsung), fisik dan kombinasi antaranya. Dalam keadaan normal sapi Bali akan kembali estrus 45 hari setelah melahirkan (ASA et al., 1993) dengan adanya gangguan dapat bervariasi dari 111–145 hari (DEVENDRA et al., 1973; PANE, 1991). Berbagai produk komersial dari hormon-hormon diatas telah disediakan dan berbagai jenis yang baru terus dikembangkan, hanya saja harganya yang mahal dan belum ada yang diproduksi di Indonesia mengakibatkan agak sulit dalam pengadaannya. Oleh karena itu penelitian ini dikembangkan dengan menggunakan produk hormonal yang diproduksi lokal tetapi bukan yang dikhususkan untuk penanganan berahi dengan harga yang relatif lebih murah. Diharapkan hasil penelitian ini akan dapat merekomendasikan penggunaan hormon-hormon murah dengan efektifitas yang tidak kalah dengan produk-produk hormon komersial khusus tersebut. MATERI DAN METODA PENELITIAN Penelitian dilakukan di Kabupaten Kupang-Timor, NTT, dengan menggunakan 30 ekor induk sapi Bali yang berada dalam kondisi anestrus postpartum telah lebih dari tiga bulan. Semua ternak penelitian mengkonsumsi pakan serupa dengan yang dikonsumsi sebelumnya selama 5 bulan penelitian. Sapi-sapi induk yang digunakan telah melahirkan minimal 2 kali dengan umur 5-10 tahun agar diyakini bahwa mereka memiliki pengalaman reproduksi yang baik. Sapi-sapi ini memiliki skor kondisi tubuh antara 2–3 pada skala 1–5. Ternak ini juga telah diperiksa memiliki saluran reproduksi yang normal dengan ukuran maupun posisi alat-alat reproduksi yang baik. Ternak penelitian dikelompokkan menjadi tiga kelompok yang masing-masingnya terdiri dari 10 ekor. Kemudian diberikan perlakuan pada masing-masing kelompok. Kelompok 1, menerima satu kali penyuntikan (i.m) dengan satu dosis potahormon, buatan CV Woner, Jakarta, (62,5 mg progesteron). Kelompok 2, menerima 1,5 dosis potahormon (93,75 mg progesteron) i.m. dua kali berturut-turut, masing-masing 46,87 mg progesterone dengan selang waktu lima hari. Kelompok 3, menerima satu kali penyuntikan satu dosis potahormon (62,5 mg progesteron) disusul tiga hari kemudian dengan penyuntikan satu dosis (2 ml) CIDEROL (1 mg OB), buatan InterAg. New Zeland. Pengamatan estrus dilakukan pada tiga periode secara berturut-turut bilamana tidak mengalami kebuntingan, dimulai estrus pertama adalah setelah penyuntikan hormon. Rataan onset estrus dari ternak pada estrus pertama, dijadikan sebagai dasar penentuan waktu pemberian progesteron kedua pada perlakuan II dan pemberian oestrogen pada perlakuan III. Sedangkan estrus kedua dan ketiga
136
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
adalah estrus alami yang timbul dalam periode berikutnya. Pengamatan dilakukan 3 kali sehari yaitu pada waktu pagi (jam 05.00-07.00); siang (11.00-12.00) dan sore (16.00-18.00) waktu setempat. Inseminasi buatan dilakukan pada setiap periode estrus, maksimal pada periode ketiga. Inseminasi I dilakukan pada ternak yang menunjukkan tanda-tanda berahi segera setelah penyuntikan hormon, sedangkan inseminasi kedua dan ketiga dilakukan berturut-turut pada dua periode estrus berikutnya bagi yang belum bunting. Enam puluh hari setelah di inseminasi, bagi hewan-hewan yang tidak kembali estrus dilakukan palpasi per rektal untuk pemerikasaan kebuntingan oleh petugas yang berpengalaman. Variabel-variabel yang diukur meliputi: jumlah sapi yang estrus; intensitas estrus, waktu timbulnya estrus, lama estrus, panjang siklus estrus, conception rate dan service per conception. Selanjutnya data dianalisa dengan general linear model dari SAS yang dilanjutkan dengan uji Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi awal ternak Keadaan ternak pada saat awal penelitian berdasarkan skor kondisi tubuh dan lama mengalami anestrus postpartum adalah sebagaimana tercantum pada Tabel 1 dan 2. Tidak terjadi perubahan skor kondisi tubuh selama penelitian walaupun terjadi sedikit perubahan bobot badan yaitu adanya pertambahan bobot harian sebesar 0,08 kg per hari. Tabel 1. Penyebaran ternak penelitian berdasarkan perlakuan dan skor kondisi tubuh Skor kondisi tubuh (ekor)
Perlakuan
Jumlah (ekor)
2
3
P4, 1 x 62,5 mg
6
4
10
P4, 2 x 40,87 mg
7
3
10
P4, 1 x 62,5 mg + OB 1 mg
6
4
10
Jumlah (ekor)
19
11
30
Persentase (%)
63,3
36,7
100
Tabel 2. Penyebaran induk sapi Bali berdasarkan perlakuan dan lama periode anestrus Perlakuan
Lama anestrus (ekor)
Jumlah (ekor)
4-6
7-9
>10
P4, 1 x 62,5 mg
4
2
4
10
P4, 2 x 40,87 mg
5
2
3
10
P4 1x62,5 mg + OB 1 mg
5
3
2
10
Jumlah (ekor)
14
7
9
30
Persentase (%)
46,7
23,3
30
100
Dari Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa berdasarkan penyebaran kondisi tubuh sapi-sapi ini sebanyak 63,3% termasuk dalam kategori agak kurus dengan skor kondisi tubuh 2 dan kondisi 137
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
sedang dengan skor kondisi tubuh 3 dengan penyebaran yang cukup adil dalam masing-masing kelompok perlakuan. WRIGHT et al., (1992) melaporkan bahwa sapi-sapi kurus dengan body condition score 2,2 dengan konsumsi pakan rendah menunjukkan perpanjangan rebreeding interval 25 hari lebih panjang dari yang mengkonsumsi pakan tinggi. Hal yang sama tidak berlaku bagi sapisapi dengan skor kondisi tubuh 3. Bilamana dilihat dari lamanya mengalami anestrus postpartum maka jumlah terbanyak yaitu 46,7% telah mengalami kejadian infertility ini selama 4–6 bulan; 23,3% telah mengalaminya selama 7–9 bulan dan 30% telah mengalaminya selama lebih dari 10 bulan. Terjadinya perpanjangan anestrus ini kemungkinan besar berhubungan dengan telah menurunnya kualitas dan kuantitas rumput alam yang merupakan pakan utamanya (HIDAYATI et al., 2000). Dilihat dari kondisi awal ini maka sebagian besar ternak memang belum mengalami anestrus yang cukup lama. Walaupun demikian perkawinan yang diakhiri dengan kebuntingan yang lebih dari 3 bulan postpartum sudah merugikan bagi peternak sapi potong karena terjadinya perpanjangan calving interval yang lebih besar dari 12 bulan. Hasil-hasil penelitian dari berbagai sumber menunjukkan bahwa selang kelahiran pada sapi Bali berkisar dari 11–18 bulan (TALIB et al., 2000) dengan jarak kelahiran terpendek ditemukan di Sulawesi Selatan (TALIB, 1984; SUMBUNG et al., 1976) dan terpanjang di NTT yaitu sampai mencapai 18 bulan (SIREGAR et al., 1985). ONSET ESTRUS, PERSENTASE ESTRUS DAN LAMA ESTRUS Efektifitas perlakuan terhadap timbulnya estrus bervariasi dari hari pertama sampai hari ke lima (Tabel 3) dengan persentase terbesar timbulnya estrus pada hari ke 1–3 setelah penerapan perlakuan yaitu sebesar 35,7%; diikuti pada hari ke 3–4 sebesar 32,1% dan hari ke 4–5 yaitu 28,6%. Timbulnya estrus tercepat ditunjukkan oleh perlakuan kombinasi progesteron dan estrogen yaitu pada ternak-ternak di kelompok 3 kemudian diikuti oleh kelompok 2 dan paling akhir pada kelompok 1. Tabel 3. Efektifitas perlakuan terhadap onset estrus pada induk sapi Bali dalam periode anestrus postpartum Onset estrus jam ke…(%)
Perlakuan < 48
>48-72
>72-96
>96-120
Tidak estrus >144
(%)
---------------------------%-----------------------------P4, 1 x 62,5 mg
0
26,67
6,67
0
0
P4 2 x 40,87 mg
0
13,33
13,33
3,33
0
3,33
P4 1x62,5 mg +
20,00
10,00
0
0
0
3,33
20,00
23,33
10,00
0
6,67
0
OB 1 mg Sub total
40,00
Secara umum data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa timbulnya estrus paling banyak adalah pada hari ke >3–4 (>72–96 jam) yaitu sebesar 40% dan pada hari ke 6 sudah tidak ada lagi sapi yang estrus dengan kegagalan estrus sebesar 6.67% (2 ekor induk). Estrus tercepat ditunjukkan oleh perlakuan kombinasi antara hormon progesteron dan estrogen dimana sapi-sapi yang potensial estrus sudah selesai memperagakannya pada hari ke >2-3. Sementara itu, perlakuan hormon tunggal (progesteron) baik suntikan tunggal (perlakuan 1) maupun suntikan double (perlakuan 2) menunjukkan bahwa induk-induk sapi Bali mulai menunjukkan estrus pada hari 2–5 dengan 138
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
puncaknya pada hari ke 2–4. Hasil yang dicapai ini mirip dengan yang diperoleh HANLON et al., (1995) dengan menggunakan CIDR-B yang mengandung 1,9 mg progesteron dan 10 mg OB pada sapi perah. Hal ini disebabkan karena hormon estrogen berpengaruh pada tingkah laku estrus, dimana injeksi hormon ini mengakibatkan terjadinya lonjakan LH setelah 20–24 jam kemudian, akibatnya estrus terjadi lebih awal dan juga meningkatkan derajat sinkronisasi estrus dan ovulasi. MCDOUGAL et al., (1994) menyatakan bahwa folikel dominan yang berada pada fase puncak pertumbuhan lebih besar peluangnya untuk berovulasi sesudah pemberian OB dibandingkan dengan yang berada pada fase pertumbuhan. Tabel 4. Pengaruh perlakuan terhadap persentase estrus sapi Bali yang mengalami anestrus postpartum Perlakuan
Jumlah sapi estrus (ekor (%))
Jumlah sapi (ekor) Estrus I
Estrus II
Estrus III
P4 1 x 62,5 mg
10
10 (100)
6 (100)
5 (100)
P4 2 x 46,87 mg
10
9 (90)
5 (83,3)
2 (66,6)
P4 1x62,5 mg + OB 1 mg
10
9 (90)
7 (87,5)
3 (75)
Jumlah (ekor)
30
28
18
10
93,3
64,3
55,5
Rataan (%)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat baik pada persentase jumlah ternak yang mengalami estrus (Tabel 4). Akibat perlakuan secara langsung menunjukkan bahwa 93,3% sapi Bali yang berada dalam periode anestrus langsung menunjukkan estrus. Sementara itu, pada estrus selanjutnya yang terjadi secara alamiah pada induk tidak bunting ternyata semua ternakyang mengalami estrus setelah mengalami perlakuan tetap konsisten menunjukkan reestrus. Penurunan persentase jumlah ternak yang estrus pada perlakuan ke-2 dan ke-3 pada estrus lanjutan yaitu estrus ke 2 dan ke-3 adalah disebabkan oleh adanya satu ekor ternak pada masingmasing perlakuan yang tidak mengalami estrus sejak periode estrus pertama (ke 1) dan berkurangnya jumlah ternak akibat telah bunting. Sehingga bilamana kedua penyebab ini dihilangkan maka semua ternak yang berhasil estrus setelah perlakuan memperoleh siklus estrusnya kembali. Dengan demikian perbedaan persentase jumlah ternak yang estrus tidak berbeda tetapi perlakuan secara efektif berhasil mengeluarkan ternak-ternak induk sapi Bali dari periode anestrus. Rataan lama estrus akibat pemberian perlakuan pada estrus pertama (ke-1) adalah sebesar 41,4 jam. Estrus terlama terjadi pada kombinasi progesteron dan OB yaitu sebesar 45 jam diikuti oleh pemberian progesteron dua kali yaitu 39 jam dan terakhir adalah sebesar 37 jam (Tabel 5). Walau terdapat perbedaan yang cukup besar antar perlakuan pada lama estrus, tetapi secara statistik hasil tersebut belum nyata (P>0,05), sebab adanya variasi individu yang sangat besar dalam merespon perlakuan. Estrus pertama lebih panjang (P<0,05) dari estrus kedua dan ketiga yang timbul secara alamiah. Tabel 5. Lama estrus induk sapi Bali yang mengalami periode anestrus pada tiga siklus sesudah penerapan perlakuan Perlakuan
Lama estrus (rataan (kisaran) Estrus kesatu (jam)
Estrus kedua (jam)
Estrus ketiga (jam)
P4 1 x 62,5 mg
37 (12-48)
21 (12-36)
16 (12-24)
P4 2 x 46,87 mg
39 (24-60)
20 (12-36)
27 (24-29)
139
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
P4 1x62,5 mg + OB 1 mg Rataan (jam)
45 (24-74)
22 (12-36)
12 (12-36)
41,4
20,7
20,5
Dengan demikian perlakuan hormonal ini selain secara efektif dapat membangkitkan estrus kembali dalam waktu singkat, juga dapat memperpanjang lama estrus. Hal ini berarti memberikan kesempatan yang lebih besar untuk terjadinya perkawinan. Hasil penelitian ini dibandingkan dengan laporan dari penelitian lain pada sapi Bali menunjukkan hasil yang hampir sama dengan variasi yang juga besar yaitu berkisar dari 18–48 jam (PAYNE dan ROLLINSON, 1973; SUTEDJA et al., 1976; MEIJER, 1962; PANE, 1991). KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:semua perlakuan secara efektif dapat memutuskan fase anestrus pada sapi Bali dalam waktu 1–5 hari setelah perlakuan. Perlakuan kombinasi antara hormon progesteron dan estrogen memberikan keuntungan yang relatif lebih baik dari perlakuan hormon tunggal progesteron baik melalui satu kali pemberian maupun dua kali pemberian karena kualitas estrus yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA ARDIKA, I.N. 1995. Parameter fenotipik dan genetic sifat produksi dan reproduksi sapi Bali pada Proyek Pembibitan dan Pengembangan sapi Bali (P3 Bali) di Bali. Thesis for MSc. in Faculty of Postgraduate, Bogor Agricultural University (IPB). Bogor. Indonesia. ASA, C.S., B. READ, E.W. HOUSTON, T. GROSS, J. PARFET and W.J. BOEVER. 1993. Serum estradiol and progesterone concentration during the ovulatory cycle and pregnancy in Banteng cattle (Bos javanicus). Theriogenology 39: 1367. DEVENDRA, C., T. LEE KOK CHOO and M. PHATMASINGHAM. 1973. The productivity of Bali cattle in Malaysia. Malaysian Agricultural Journal 49: 183. HANLON, D.W., N.B. WILLIAMSON, J.J. WICHTEL, I.J. STEFFERT, A.L. CRAIGIE and D.U. PFEIFFER. 1995. The effect of estradiol benzoat administration on estrous response and synchronized pregnancy rate in dairy heifers aftertreatment with exogenous progesterone. Theriogenology 45: 775. HIDAYATI, N., C. TALIB dan A. POHAN. 2000. Produktivitas padang rumput alam di Kupang Timur, NTT. Proc. Seminar Nasional Biology XVI 25-27 Juli 2000, Bandung. Inpress. MCDOUGALL, S., C.R. BURKE, K.L. MCMILLAN and N.B. WILLIAMSON. 1995. Follicle pattern during extended periods of postpartum ovulation in pasture-fed dairy cows. Research Veterinary Science 58: 212. MEIJER, W. CH. P. 1962. Das Balirind; A Ziemsen Verslag. Wittenberg Lutherstandt. MUKASA MUGERWA,E. 1989. A Review of Reproductive Performance of Female Bos Indicus (Zebu) Cattle. ILCA Monograph No.6. International Livestock Center of Africa. Addis-Ababa, Ethiopia. PANE, I. 1991. Productivity and breeding in Bali cattle (Produktivitas dan breeding sapi Bali). In Proc Seminar Nasional Sapi Bali. Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. P: 50. PAYNE, D.J.A. and D.H.L. ROLLINSON. 1973. Bali Cattle. World Anim. Review. 7 : 13. SINGH, C.S.P., S.K. SINGH and B. SINGH. 1981. Studies on the incidence of infertility in cows. Indian Veterinary Journal 58: 909–912.
140
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
SIREGAR,A.R., C. TALIB, K. DIWYANTO, P. SITEPU, U. KUSNADI, H. PRASETYO dan P. SITORUS. 1985. Performance sapi Bali di Nusa Tenggara Timur. Dirjenak, Jakarta. SUMBUNG, F.P., J.T. BATOSAMA, B.R. RONDA and S. GARANTJANG. 1976. Performans reproduksi sapi Bali. Proc. Seminar Ruminansia. Directorat of Animal Services and Bogor Agriculture University and P4. Bogor. SUMBUNG, F.P., J.T. BATOSAMA, B.R. RONDA and S. GARANTJANG. 1976. Performans reproduksi sapi Bali. Proc. Seminar Ruminansia. Directorat of Animal Services and Bogor Agriculture University and P4. Bogor. SUTEDJA, P., M. KOTA, I.B. MANTRA and S.G.N. D. DARMADJA. 1976. Performance of Bali cattle (Performance sapi Bali). FKHP, Udayana University, Denpasar, Indonesia. TALIB, C. 1984. Kekhasan sapi Bali di Sulawesi Selatan. Buletin Teknik dan Pengembangan Peternakan IV:16: 10. TALIB, C. 2000. Performance produksi dan reproduksi sapi Bali di daerah sumber bibit dan peluang pengembangannya. Proc. Simposium Nasional dan Pengelolaan Plasma Nutfah dan Pemuliaan, Bogor 22–23 Agustus. Inpress. VALE, W.G., O.M. OHASHI, H.F.L. RIBIERO and J.S. SOUSA. 1984. Causes and incidence of infertility and subfertility in zebu crossbred cows in the Amazon region of Brazil. Veterinary Medical Review 2: 133– 143 (Veterinary Bulletin 55:3059). WRIGHT, I.A., S.M. RHIND, T.K. WHYTE and A.J. SMITH. 1992. Effect of body condition at calving and feeding level after calving on LH profiles and the duration of the postpartum anestrus period in beef cows. Animal Production 55: 41-46. M.R. 1985 b. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung.
141