Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Ettawa (PE) Ras Kaligesing (Studi Kasus di wilayah Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah)
SKRIPSI
OLEH : MUCHLIDO APRILIAST B04103143
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ABSTRAK Muchlido Apriliast (B04103143). Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Ettawa (PE) Ras Kaligesing (Studi Kasus di wilayah Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah). Dibawah bimbingan R. Kurnia Achjadi. Penampilan reproduksi dari kambing PE ras Kaligesing sangat berperan penting dalam upaya peningkatan populasi kambing PE. Studi kasus ini bertujuan untuk mempelajari manajemen pemeliharan kambing peranakan ettawa secara umum, mengetahui tingkat keberhasilan munculnya kebuntingan pada perkawinan alami dan mengetahui penampilan reproduksi kambing PE untuk peningkatan populasi. Studi ini dilakukan pada bulan Agustus tahun 2007, berdasarkan metode survey deskriptif dengan pengumpulan data primer dan data pendukung lainnya. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dengan mewawancarai 33 peternak kambing PE di kecamatan Kaligesing. Data lainnya diperoleh dari data kelompok peternak, literatur dan internet. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil studi menunjukkan tingkat keberhasilan kebuntingan melalui perkawinan alami pada kambing PE sangat tinggi, hal ini berkaitan dengan penampilan reproduksi yang ideal dari induk kambing PE tersebut. Dengan manajemen yang baik dapat berproduksi 3 kali selama 2 tahun dengan calving interval selama 8 bulan.
Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Ettawa (PE) Ras Kaligesing (Studi Kasus di wilayah Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah)
SKRIPSI
OLEH : MUCHLIDO APRILIAST B04103143
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul
:
Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Ettawa (PE)
Ras
Kaligesing
(Studi
Kasus
di
Wilayah
Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah). Nama
:
MUCHLIDO APRILIAST
NRP
:
B04103143
Telah diperiksa dan disetujui oleh : Dosen Pembimbing
Drh. R. Kurnia Achjadi MS NIP. 130 536 668
Mengetahui Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan. MS. NIP. 131 129 090
Lulus Tanggal :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 30 April 1985 di Metro, Lampung. Orang tua penulis adalah Bapak Muchlis Muhtar dan Ibu Aida Fitri. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Pertiwi Tauladan Metro pada tahun 1997, kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SLTPN 1 Metro dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis telah menyelesaikan pendidikan di SMU TARUNA NUSANTARA MAGELANG. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2003. Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi internal kampus yaitu Himpunan Profesi Ornithologi dan Unggas, Himpunan Profesi Satwa Liar (SATLI) FKH IPB, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (Bem KM FKH IPB), DPM KM FKH IPB, Imakahi.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, Segala puji syukur hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dalam kehidupan. Karena hanya segala karunia-Nya dan Ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1 Allah SWT 2 Bapak dan ibu yang selalu mendoakan, mendidik dan mendukung penulis, selama menjadi mahasiswa sampai penyelesaikan Skripsi ini. 3
Drh. R. Kurnia Achjadi, MS, sebagai pembimbing skripsi yang telah dengan sabar memberikan bimbingannya kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.
\4
Dr.drh Iman Supriatna. sebagai pembimbing akademik yang telah membantu selama penulis menjalankan studi di FKH-IPB.
5
Keluarga di Gunung Batu (Om junaedi, Tante Yuli dan Rian ) yang telah menjadikan penulis sebagai ‘keluarga’ dan atas motivasi dan dukungannya selama penulis menempuh studi di FKH-IPB.
6
Brian Koesoema Adhie yang selalu bersama penulis menghadapi “warna warni kehidupan bisnis peternakan” .
7
Qozief, Kabo, Eza, Wangsit, dinda, Zhouzh, Nola, Aisyah, Gita, Heru, Laksana, Tedong, Umar, yang sempat, telah dan akan berjuang bersama melewati suka duka proses perjalanan hidup ini.
8
Anna Rica Lestari atas semua perjalanan dan dukungan hidup yang telah diberikan.
9
Angkatan 40 ,41 ,39 dan setiap insan yang telah singgah dalam kehidupan ini dan mewarnainya serta menjadikan hidup ini jadi lebih bermakna.
Penulis menyadari terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, walaupun demikian penulis berharap semoga bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, September 2007 Penulis
PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi kambing dengan produk susu yang cukup baik (tipe perah) di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagian masyarakat Indonesia lebih banyak tahu tentang sapi perah dibandingkan kambing tipe perah tersebut. Kambing Peranakan Ettawa (PE) memiliki potensi produksi susu cukup baik yang merupakan bangsa kambing asli Indonesia merupakan hasil persilangan antara kambing Ettawa yang berasal dari India dengan kambing kacang yang merupakan bangsa kambing asli Indonesia. Kambing ini dibudidayakan pertama kali oleh masyarakat Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. Sejak lama kambing PE sudah menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia dan mendominasi spesies kambing di Indonesia bagian barat, khususnya Pulau Jawa. Saat ini kambing perah yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah kambing peranakan ettawa atau yang lebih dikenal dengan sebutan kambing PE. Hasil persilangan pejantan Ettawa dengan kambing Kacang dikenal dengan nama Peranakan Ettawa (PE) yang diduga terbentuk dari persilangan secara grading up. Kambing PE merupakan kambing yang memiliki karakeristik baik dan khas, baik ditinjau dari fisik (ukuran tubuh, warna rambut), produksi (susu mencapai 1-2 liter per hari, laju pertumbuhan yang cepat). Dengan berkembangnya budidaya kambing perah maka memicu peternak untuk meningkatkan jumlah dan kualitas dari kambing perah tersebut. Salah satu cara untuk meningkatkan jumlah kambing yaitu dengan melakukan peningkatan manjemen pemeliharaan terutama manajemen reproduksi dari kambing perah yang dibudidayakan. Saat ini peternak menggunakan dua cara untuk mengawinkan kambingnya. Yaitu dengan perkawinan alami dan inseminasi buatan. Perkawinan alami mengharuskan peternak memiliki bibit yang unggul baik dari pejantan maupun betinanya. beberapa keunggulan yang harus dimiliki, antara lain produksi tinggi (mencapai 2 liter per ekor per hari), mempunyai postur tubuh yang baik (tinggi mencapai 110 cm dan bobot mencapai 100 kg), produktivitas tinggi, tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan, cepat beradaptasi apabila dihadapkan dengan lingkungan baru, cepat berkembang biak
Inseminasi Buatan merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mempercepat peningkatan mutu genetik dan populasi ternak (Toelihere 1981). IB ini merupakan suatu bentuk modifikasi memasukkan semen ke dalam saluran kelamin betina melalui alat buatan manusia. Daerah Kaligesing merupakan daerah yang sangat potensial untuk pengembangan kambing perah terutama kambing Peranakan Ettawa. Selain kambing ini dibudidayakan pertama kali oleh masyarakat Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah, daerah ini juga memiliki mikroklimat yang amat baik bagi kambing jenis PE ini, oleh karena kambing PE sudah dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan daerah tersebut.
Tujuan 1 Mempelajari manajemen pemeliharaan kambing peranakan ettawa. 2 Mengetahui tingkat keberhasilan kebuntingan pada perkawinan alami. 3 Mengetahui penampilan reproduksi kambing Peranakan Ettawa (PE) untuk peningkatan populasi
\
TINJAUAN PUSTAKA
Kambing Peranakan Ettawa (PE) Klasifikasi dan morfologi Kambing liar Capra aegagrus di dunia ini di bagi atas 3 kelompok, yakni kelompok bezoar dari pasang (C.a. aegagrus), kelmpok ibeks (C.a. ibex), dan kelompok markhor (C.a. falconeri). Setiap kelompok meliputi beberapa subspesies yang terpisahkan secara geografi (Davendra dan Burns 1994). Pada mulanya ada tiga masa spesies terdiri kelompok tersebut, akan tetapi karena persilangan antara kelompok hewan ternyata bisa menghasilkan keturunan yang subur, maka satu nama spesies dipandang sudah memadai dewasa ini (Davendra dan Burns 1994). Kebanyakan masyarakat belum bisa membedakan antara kambing dan domba. Menurut Hafez (2000) terdapat banyak perbedaan antara domba dan kambing dan dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Karakter Genetik dan Parameter Reproduksi pada Domba dan Kambing Parameter
Domba
Kambing
Jumlah kromosom
54
60
Taksonomi
Ovis aries
Capra hircus
Umur pubertas
6-9
5-7
Siklus estrus (hari)
17 (14-19)
21 (18-22)
Lama estrus (jam)
24-36
24-28
Ovulasi
Beberapa
saat
setelah Menjelang akhir estrus
akhir estrus Kambing Peranakan Ettawa (PE), merupakan hasil persilangan antara kambing jawa dengan Kambing Ettawa yag berasal dari India. Kambing ini dibudidayakan pertama kali oleh masyarakat Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. Saat ini sudah banyak bibit kambing PE disebarkan ke berbagai daerah di Indonesia untuk meningkatkan kinerja kambing lokal di daerah bersangkutan (Budiarsana et al 2001). Kambing ini memiliki karakteristik dengan rambut yang
lebat khususnya pada bagian kaki belakang, ada jambul didaerah dahi dan hidung khusus untuk jantan, warna rambut yang khas yaitu hitam atau coklat hanya pada bagian kepala sampai leher dan putih diseluruh tubuh, memiliki gelambir, tanduk yang kecil, telinga yang panjang 20-25 cm dan melipat keluar, tinggi badan dewasa antara 60-120 cm, berat badan dewasa antara 25-100 kg, memiliki panjang tubuh 100-125 cm, lingkar dada 15-50 cm, hidung yang cembung. Kambing ini dapat bertahan sampai 12 tahun, dengan masa produktif 2-8 tahun (Wikipedia 2007).
Gambar 1
Kambing Perah Betina Peranakan Etawa (sumber : Diklat
Agribisnis Kambing Perah untuk Peternak Batu Jawa Timur) Kambing PE mempunyai ukuran yang lebih besar dari kambing kacang dan memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan (Prasetyo 1992). Menurut Davendra dan Burns (1994), pada kambing PE ambingnya berkembang baik dan bentuk mukanya cembung, yang berasal dari bentuk kambing Ettawa dan diduga karena adanya hubungan darah dengan kambing Nubian di Timur Tengah, yang mungkin menjadi moyangnya. Kambing PE berkembang biak dengan melahirkan. Kambing ini dapat melahirkan hingga tiga ekor dalam satu kali masa kebuntingan. Masa kebuntingan selama 150-154 hari, dewasa kelamin dicapai pada usia empat bulan untuk mendapatkan hasil baik biasanya mulai dikawinkan pada umur 12 bulan. Susu yang dihasilkan setelah kelahiran memiliki rataan 1-2 liter perhari (Wikipedia 2007).
Gambar 2 Kambing Jantan Peranakan Etawa (sumber : koleksi pribadi Aisyah Zulia T, Kaligesing 2007) Pakan Dalam bidang usaha peternakan, pakan atau ransum merupakan faktor yang penting. Menurut Sitorus (1991), pada daerah tropis musim kawin lebih dipengaruhi oleh faktor pakan daripada panjangnya siang hari. Tanpa pakan yang baik dan dalam jumlah yang memadai, maka meskipun bibit ternak unggul akan kurang dapat memperlihatkan keunggulannya jika pakan yang diberikan sangat terbatas (Partodihardjo 1982) Kambing PE diberikan pakan daun-daunan sebagai pakan dasar dan pakan tambahan (konsentrat). Pakan tambahan dapat disusun dari (bungkil kalapa, bungkil kedelai), dedak, tepung ikan ditambah mineral dan vitamin. Pakan dasar umumnya adalah rumput kayangan, daun lamtoro, gamal, daun nangka, dsb. Pemberian Hijauan diberikan mencapai 3 % berat badan (dasar bahan kering) atau 10 - 15 % berat badan (dasar bahan segar). Pemberian pakan selain campuran hijauan, pakan tambahan diberikan saat bunting tua dan baru melahirkan, sekitar 1,5 % berat badan dengan kandungan protein 16% (Wikipedia 2007). Zat-zat yang terkandung di dalam pakan kambing harus dapat mencukupi kebutuhan hidup
pokok
(maintenance
requirement)
serta
untuk
reproduksi
(production
requirements) (Haryanto 1992). Menurut Blakely dan Bade (1991), dalam memenuhi kebutuhan gizi, kambing memiliki toleransi yang tinggi terhadap pakan ternak, kambing juga lebih efisien dalam mencerna pakan yang mengandung serat kasar dibandingkan dengan sapi dan domba. Menurut Van Horn and Heinlein (1992), faktor nutrisional yang paling mempengaruhi reproduksi adalah energi, protein, fosfor, kalsium dan vitamin A, vitamin D dan vitamin E, serta garam dan trace element.
Susu Kambing Susu kambing diyakini memiliki khasiat menyembuhkan penyakit jaundice (sakit kuning), asma, lelah, eksim (penyakit kulit), migrain (sakit kepala), bronchitis, TBC, asam urat, maag kronis, diabetes melitus, impotensi dan darah tinggi. Di samping itu, lemak susu kambing lebih lembut dan mudah ditelan. Bahkan di Australia, susu kambing atau domba dikatakan sebagai the only alternative, karena kemampuannya yang bisa menggantikan Air Susu Ibu (ASI) bagi bayi. Susu kambing juga menjadi salah satu bahan utama dalam industri kosmetik (Pikiran Rakyat 2005). Susu kambing dapat merangsang kecerdasan balita yang diberikan setelah lepas ASI.
Fisiologi Reproduksi Fisiologi Reproduksi erat kaitannya tentang bahasan siklus reproduksi. Siklus Reproduksi berhubungan dengan beragam fenomena yang meliputi pubertas, siklus estrus, dan perubahan organ seksual post partus. Komponen tersebut dipengaruhi oleh lingkungan, genetik, mekanisme hormon, tingkah laku, serta faktor-faktor fisik dan psikis (Hafez 1987).
Fisiologi Reproduksi pada kambing betina Pubertas Pubertas adalah periode pada saat organ reproduksi pertama kalinya berfungsi. Pada domba dan kambing mencapai umur 6 bulan. Variasi yang cukup besar dapat terjadi dalam suatu spesies tertentu, tergantung pada keadaan iklim, makanan, hereditas, dan tingkat pelepasan hormon (Frandson 1992). Menurut Hafez (2000), pubertas pertama kali ovulasi kira-kira 5 – 7 bulan pada kambing betina dan 6 – 9 bulan pada domba betina. Kambing betina mencapai usia pubertas sekitar 5 – 6 bulan, namun anak yang mendapat nutrisi berupa susu yang baik dapat mencapai pubertas lebih awal yaitu sekitar 4 bulan (Greenwood 1997). Menurut Tomaszewska et al (1991), pubertas pada kambing PE sekitar umur 10 – 12 bulan, dengan rata-rata berat badan 18,5 kg.
Siklus Estrus Menurut Frandson (1992) ternak-ternak betina menjadi estrus pada waktu yang teratur, namun berbeda dari spesies satu ke spesies lainnya. Interval waktu tersebut, mulai dari permulaan periode estrus yang pertama sampai ke periode estrus yang berikutnya, disebut siklus estrus. Estrus merupakan fase dalam siklus estrus yang ditandai oleh sikap penerimaan hewan betina terhadap hewan jantan untuk aktivitas reproduksi (Partodihardjo 1982). Pencirian estrus, disebutkan oleh Davendra dan Burns (1994) melalui pengeluaran lendir jernih dan encer selama birahi yang membentuk pola kristalisasi seperti pakis dan setelah ovulasi serta fase estrus akhir, lendir itu menjadi massa putih kental yang mengandung banyak elemen sel bertanduk. Besar kemungkinannya faktor curah hujan dan pertumbuhan tanaman makanan ternak dapat berpengaruh terhadap estrus dan kesuburan hewan, disebutkan oleh Davendra dan Burns (1994). Setiadi (1987) mengemukakan rerata lamanya siklus estrus kambing PE sekitar 20,25 hari dengan kisaran 7-27 hari. Menurut Ludgate (1989), estrus akan terulang kembali kurang lebih pada 19 hari berikutnya, bila terjadi kegagalan perkawinan yang ditandai ternak tidak menjadi bunting. Atabany (2001) dalam laporannya menelusuri lama siklus estrus pada kambing Saanen di PT Taurus yang terjadi setiap 21,73 hari. Hasil penelitian lain
untuk siklus estrus pada kambing didapatkan hasil yang beragam, yaitu 19 hari dengan rentang 18 – 22 hari (Sutama 1996), 21 hari (Blakely dan Bade 1992) dan 19,5 hari dengan rentang 18 – 21 hari (Heath and Olusanya 1985). Siklus ini dikontrol secara langsung oleh hormon dari ovari dan secara tidak langsung oleh hormon dari Adenohipofisis dari kelenjar pituitari. Lama estrus kambing bervariasi tergantung pada bangsa kambing, umur, musim, dan pengaruh dari hewan jantan itu sendiri (Hafez 2000) Siklus ini dibagi menjadi beberapa fase yaitu : proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. •
Proestrus Periode pemantapan, berupa pembesaran folikel, penebalan dinding vagina, dan peningkatan vaskularitas uterin.
•
Estrus Periode estrus serta saat meningginya penerimaan seekor betina terhadap pejantan. Pecahnya folikel ovari terjadi pada kebanyakan jenis ternak.
•
Metestrus Pembentukan korpus luteum, perubahan-perubahan terjadi pada dinding vagina dan uterus.
•
Diestrus Periode tak aktif yang singkat sebelum periode proestrus berikutnya selama musim kawin pada hewan-hewan poliestrus. Hewan poliestrus adalah hewan yang mengalami estrus lebih dari 1 kali selama 1 tahun
Kebuntingan Kebuntingan berarti suatu interval waktu, yang disebut periode kebuntingan (gestasi), terentang dari saat pembuahan (fertilisasi) ovum, sampai lahirnya anak. Hal ini mencakup fertilisasi, atau persatuan antara ovum dan sperma; nidasi atau implantasi, atau perkembangan membran fetus; dan berlanjut ke pertumbuhan fetus. Wodzicka-Tomaszewska et al. (1991) menjelaskan keadaan embrio berdasarkan 3 periode kebuntingan, yaitu : (1) embrio selama periode pertama ini sangat sensitif terhadap faktor-faktor berbahaya, misalnya virus dan obat-obatan yang dapat menyebabkan kematian atau cacat. Periode pertama ini berhubungan dengan diferensiasi sel dan pembentukan organ, (2) embrio selama periode
tengahan ini (bila terjadi periode diferensiasi fungsi sel dalam organ) relatif kurang sensitif terhadap virus dan obat-obatan tadi dan termasuk nutrisi, (3) embrio pada periode terakhir kebuntingan ini akan tumbuh cepat. Kambing betina yang bunting menunjukkan beberapa tanda, seperti tidak terlihatnya tanda-tanda estrus pada siklus estrus berikutnya, membesarnya perut sebelah kanan, ambing menurun, badan sering digesekkan ke dinding kandang dan kambing tampak lebih tenang (Ludgate 1989). Menurut Blekely dan Bade (1992), kambing yang dipelihara pada kondisi yang jelek selama kebuntingannya mengalami keguguran pada usia muda. Periode kebuntingan yang normal sangat bervariasi dari spesies ke spesies yang lain, begitu pula variasi antar individu dalam suatu spesies tertentu. Rata-rata periode kebuntingan domba atau kambing adalah 150 hari atau 5 bulan.
Fisiologi Reproduksi pada Kambing Jantan Domba jantan dan kambing jantan dapat dikembangbiakkan sepanjang tahun, namun jumlah sperma dan aktivitas spermatogenik mencapai maksimal dalam musim kawin yang normal dan kemudian berangsur-angsur menurun sampai tingkatan yang paling rendah dalam musim panas, juga mengenai kwalitas semen (viabilitas, motilitas, dan jumlah fruktosa serta seminal plasma).
Spermatogenesis Spermatogenesis adalah suatu proses dimana sel-sel kelamin primer dalam testis menghasilkan spermatozoa. Spermatogenesis meliputi serangkaian tahapan dalam menghasilkan spermatozoa : 1. Spermatogonia, sel-sel yang pada umumnya yang terdapat pada perifer tubulus seminiferus jumlahnya bertambah secara mitosis. 2. Spermatosit Primer, , dihasilkan oleh spermatogonia, mengalami migrasi menuju ke pusat tubulus dan mengalami pembelahan meiosis. 3. Dua spermatosit sekunder yang terbentuk dari masing-masing spermatosit primer terbagi secara mitosis menjadi empat spermatid
4. Masing-masing spermatid mengalami serangkaian perubahan nukleus dan sitoplasma (spermiogenesis) dari sel yang bersifat non motil menjadi motil dengan membentuk flagelum (ekor) untuk membentuk spermatozoa. 5. Spermatozoa adalah sel kecambah yang mana setelah masak kemudian bergerak melalui epididimis, yang mampu membuahi ovum setelah terjadinya kapasitasi pad hewan betina. Spermatozoa itu menjadi aktif bergerak setelah menyentuh bahan-bahan yang disekresikan oleh kelenjarkelenjar aksesoris (ampula, kelanjar vesikuler, kelenjar bulbouretralis, dan kelanjar prostat). Namun, banyak juga diantara spermatozoa mengalami degenerasi dan diserap kembali oleh sel-sel epitelium epididimis dan duktus deferens dan disekresikan dalam urin (Frandson 1992).
Produksi Spermatozoa Harian Pada hewan jantan normal produksi spermatozoa seharinya sangat banyak. Jumlah tersebut telah diadakan perhitungan misalnya pada kambing dan domba jantan sebanyak 4,4 x 109 (Frandson 1992).
Efisiensi Reproduksi Menurut Partodihardjo (1980), efisiensi reproduksi dalam populasi ternak tidak dapat diukur semata – mata oleh proporsi ternak yang tidak mampu memproduksi ternak. Hewan betina mampu menghasilkan anak hanya jika dikawinkan dengan pejantan yang menghasilkan spermatozoa yang selanjutnya dapat membuahi ovum dan memulai proses – proses yang berhubungan dengan konsepsi, implantasi, atau diferensiasi normal dari embrio dan pertumbuhan janin.
Calving Interval (CI) Calving Interval (CI) adalah jarak antara 2 kelahiran yang berurutan yang dapat dihitung dengan menjumlahkan lama kebuntingan dan jarak dari melahirkan sampai terjadi konsepsi kembali(Vanderplassche 1982). Panjang pendeknya
Calving Interval ini akan mempengaruhi tingkat produktivitas rerata kelompok kambing PE per tahun (Abdulgani 1981).
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2007, dan bertempat di wilayah Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. Materi dan Metode Pelaksanaan studi kasus ini dilakukan dengan cara : 1 Wawancara dengan para peternak di wilayah. Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. 2 Sampel diambil sebanyak 33 orang peternak. 3 Pengumpulan data melalui pengamatan langsung dan wawancara. 4 Penelusuran data sekunder berasal dari data kelompok peternak, namun dalam perjalanannya peneliti belum mendapatkan data kelompok dikarenakan waktu yang relatif singkat dan kebanyakan peternak berternak secara mandiri, hanya sebagian kecil yang membentuk kelompok. Parameter yang diamati Parameter yang diamati dalam kegiatan ini berupa penanganan terhadap kambing perah yang mulai menampakkan tanda-tanda estrus, dan penilaian dan pemilihan karakteristik kambing pejantan dalam upaya yang dilakukan peternak untuk melakukan perkawinan alami serta penampilan reproduksi dari kambing PE jantan dan betina. Untuk mengetahui mengenai efektivitas perkawinan alami dianalisa dengan penghitungan Calving Interval.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Singkat Kambing Peranakan Ettawa (PE) Pada tahun 1923 di daerah kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo didatangkan kambing dari distrik Ettawa India dengan nama Fries Indie. Kambing tersebut secara turun-temurun dipelihara di daerah kecamatan Kaligesing hingga sampai sekarang. Berat badannya dapat mencapai 80-110 kg. Di daerah kecamatan Kaligesing perkembangan kambing tersebut sangat baik, sehingga terkenal dengan nama Kambing Peranakan Ettawa (PE) Ras Kaligesing. Dengan perkembangan yang sangat baik kini jumlah peranakan Ettawa menurut Dinas Peternakan Pada tahun 2003 jumlah kambing Peranakan Ettawa mencapai 50.200 ekor. Saat ini tidak hanya dikembangkan di kecamatan Kaligesing saja, kini menyebar ke Kecamatan Bruno, Gebang dan Bener.
Gambaran Umum Kabupaten Purworejo 1
Letak Geografis
Kabupaten Purworejo terletak pada posisi 109o 47’28” – 110o 8’20” Bujur Timur dan 7o 32’ – 7o 54 Lintang Selatan. 2
Iklim
Secara topografis merupakan wilayah beriklim tropis basah dengan suhu antara 19 C – 28 C, sedangkan kelembaban udara antara 70% - 90% dan curah hujan tertinggi pada bulan Desember 311 mm dan bulan Maret 289 mm 3
Luas Wilayah
Kabupaten Purworejo memiliki luas 1.034,81752 km2 dengan batas wilayah - Sebelah barat : Kabupaten Kebumen - Sebelah utara
: Kabupaten Magelang dan Wonosobo
- Sebelah timur : Kabupaten Kulonprogo (DIY) - Sebelah selatan : Samudra Indonesia
Gambaran Umum Karakteristik Responden Berkembangnya sektor perternakan di Jawa Tengah sangat berkaitan dengan peningkatan kuantitas jumlah ternak kambing PE,. Pada khususnya di daerah kecamatan Kaligesing kabupaten Purworejo. Masyarakat di daerah ini memelihara kambing PE sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu dengan berbagai alasan yaitu untuk hobi dan mengikuti kontes, pekerjaan pokok, dan sampingan. Bahkan tidak sedikit yang memanfaatkan sebagai tabungan yang sewaktu-waktu diperlukan untuk dijual. Berdasarkan hasil kajian kuesioner, dapat dilihat gambaran umum mengenai karakteristik peternak kambing PE di Kecamatan Kaligesing yang tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Identitas Responden di wilayah Kaligesing Karakteristik Responden
Frekuensi
Prosentase (%)
≤ 20 tahun
1
3,04
21-30 tahun
6
18,18
31-40 tahun
5
15,15
41-50 tahun
6
18,18
≥ 50 tahun
15
45,45
SD
4
12,12
SLTP
12
36,36
SLTA
8
24,24
PT
1
3,04
Lain – lain
8
24,24
PNS
1
3,04
Bert ernak
5
15,15
Bertani
18
54,54
Berdagang
3
9,09
Lain-lain
6
18,18
5
15,15
Mata pencaharian utama
10
30,30
Sampingan
18
54,55
Umur :
Pendidikan Formal :
Mata Pencaharian pokok :
Tujuan memelihara kambing :
Tabungan Sumber : Hasil Kuesioner 33 Pemilik kambing PE di wilayah kecamatan Kaligesing (Agustus 2007).
Latar belakang responden Berdasarkan latar belakang umur responden sebagian besar responden berumur antara ≥50 tahun sebesar 45,45%. Selanjutnya 18,18% berumur antara 21-30tahun. 18,18% berusia antara 41-50 tahun dan 15,15% usia 31-40 tahun. Sebagian kecil berumur kurang dari 20 tahun, yaitu sebesar 3,04%.
Dilihat dari latar belakang pendidikan dimana sebagian besar responden adalah tamatan SLTP, yaitu sebesar 36,36%. Selanjutnya masing – masing sebesar 24,24% merupakan tamatan
SMA dan lain-lain (tidak sekolah), dan
12,12% lulusan SD, jumlah terkecil 3,04% lulusan perguruan tinggi.
Pekerjaan utama Berdasarkan jenis pekerjaan diketahui sebanyak 18 orang (54,54%) responden memiliki pekerjaan utama sebagai petani, 6 orang (18,18%) lain-lain (buruh tani), 5 orang (15,15%) sebagai peternak dan 1 orang (3,04%) adalah PNS. Kebanyakan peternak di kecamatan Kaligesing memulai ternak dari usia muda sekitar 15 – 20 tahun, dan kebanyakan statusnya sebagai pemilik dan pekerja, hanya beberapa peternak yang memiliki ternak di atas 50 ekor menggunakan jasa tenaga kerja.
Pengetahuan Manajemen Ternak Pengetahuan
manajemen
ternak
dapat
dilihat
berdasarkan
tingkat
pendidikan yang diperoleh. Hanya sebagian kecil, yaitu 6,06 % peternak pernah mendapat penyuluhan tentang menejemen ternak. Sebagian besar hampir 89,90 % peternak mendapatkan pengetahuan dari cerita dan tradisi turun temurun. 3,04 % peternak mendapatkan dari sumber lain yaitu buku.
Aspek Reproduksi Dalam pengembangan ternak kita mengenal dengan cara perkawinan alam dan Inseminasi Buatan (IB). Berdasarkan kuesioner ,masyarakat Kaligesing tidak menggunakan IB dengan alasan antara lain : •
Anakan kurang baik kualitasnya
•
Kesehatan anakan buruk
•
Tingkat pertumbuhan lambat
•
Tingkat kebuntingan rendah
Hal ini sesuai dengan kelemahan penerapan IB di kecamatan Kaligesing antara lain : 1) inbreeding; 2) memiliki potensi yang besar dalam tidak akurasinya perkawinan; 3) sulitnya deteksi estrus dikarenakan sistem komunikasi yang
kurang dan keadaan geografis yang berbukit sehingga menyulitkan pelaporan pada inseminator. Maka, berdasarkan kuesioner 100 % peternak menggunakan cara perkawinan alam.
Alasan menggunakan Perkawinan Alami Pada masyarakat Kaligesing sudah sangat umum 1 orang memelihara kambing PE baik jantan maupun betina, sehingga perkawinan alami mereka anggap menjadi pilihan yang paling tepat.Berdasarkan kuesioner hampir 89,90 % peternak memilih perkawinan alami karena lebih praktis dan lebih murah serta munculnya kebuntingan lebih banyak, karena tiap rumah memiliki pejantan sebagai pemacek dan tentu saja lebih murah. Selain itu, diantara kelompok peternak jarang memungut biaya untuk sekali perkawinan hanya beberapa saja yang memungut biaya sekitar Rp 10.000 – Rp 25.000, bergantung kualitas pejantan. Perkawinan alami pada kambing PE di Kecamatan Kaligesing sangat memperhatikan kualitas pejantan. Peternak memiliki kriteria tersendiri bagi pejantan yang digunakan sebagai pemacek. Hal ini berdasarkan keinginan peternak agar anakan yang nantinya diperoleh kualitasnya masih tetap baik bahkan lebih baik dari induknya. Berdasarkan kajian dari kuesioner dapat dilihat kriteria-kriteria tersebut disajikan pada tabel 3.
Tabel.3 Penampilan anatomi dan reproduksi kambing PE jantan Penampilan anatomi dan reproduksi kambing PE
Presentase (%)
jantan
berat pejantan : 65-75 kg
10.10
75-85 kg
66.67
85-95 kg
23.23
Ukuran telinga: 15-18 cm
9.09
18-21 cm
15.15
21-24 cm
75.75
lingkar testis: 15-18 cm
78.78
18-21 cm
18.18
21-24 cm
3.03
Umur produktif: 1-2 tahun
9.09
2-3 tahun
57.57
3-4 tahun
24.24
4-5 tahun
6.06
>5 tahun
3.03
Sumber : Hasil kuesioner dari 33 pemilik kambing PE di wilayah kaligesing (Agustus 2007).
Kriteria Pejantan Dari data kuesioner 86,87 % menggunakan pejantan milik sendiri dan sisanya 13,13 % menggunakan pejantan milik orang lain. Masyarakat Kaligesing sangat memperhatikan pejantan yang digunakan sebagai pemacek. Peternak menginginkan kriteria pejantan yang ideal, dari kuesioner 66.67 % menginginkan berat pejantan 75 – 85 kg, sedangkan 23.23 % menginginkan berat 85 – 95 kg dan sisanya 10.10 % menginginkan berat pejantan 65 – 75 kg. Di atas 100 kg pejantan sangat berat sehingga membuat kambing jantan malas dan sulit kawin (Sarwono, 2007). Berat badan tidak hanya penting bagi kambing pejantan untuk peningkatan kualitas aspek reproduksinya, kambing betina juga sangat penting untuk diperhatikan berat badan pada saat sebelum,sedang dan setelah
melahirkan. Hal ini sesuai menurut Yusran et al (1997) bahwa makin rendah bobot badan (BB) dapat skor kondisi induk (SKI) ternak makin rendah pula persentase kebuntingan (dari 85 menjadi 20%). Dari data tersebut tampak bahwa pakan tambahan pada induk mempengaruhi kinerja reproduksi induk. Dari ukuran telinga pun menjadi ukuran sendiri. 75.75 % peternak menginginkan jantan dengan panjang telinga 21 – 24 cm, 15.15 % menginginkan panjang telinga 18 – 21 cm, dan 9.09 % menginginkan panjang 15 – 18 cm. Daun telinga ibarat perhiasan bagi kambing PE, sehingga sangat diperhatikan oleh peternak. Hal ini berkaitan dengan harga jual kambing yang akan dipasarkan baik di pasar lokal maupun ekspor. Aspek anatomis organ reproduksi berdasarkan lingkar testis menjadi sorotan peternak. Peternak menginginkan lingkar testis 21 – 24 cm sekitar 78.78 % peternak, 18.18 % menginginkan lingkar testis 18 – 21 cm, dan 3.03 % menginginkan lingkar testis 15 – 18 cm. Peternak berasumsi dengan makin besarnya lingkar testis maka jumlah sperma yang dihasilkan akan semakin banyak sehingga kemunculan angka kebuntingan makin tinggi. Menurut Senger (1997) pada kambing dan domba jantan menghasilkan cairan semen sebanyak 1 – 2 ml. Setiap cairan semen yang dikeluarkan terdapat sperma sebanyak 4,4 x 109 spermatozoa. Dapat disimpulkan analogi peternak sangat sesuai dengan adanya luas penampang testis yang makin luas diharapkan dapat dihasilkan volume dan jumlah sperma yang memadai. Umur produktif kambing PE jantan mencapai umur 8 tahun (Sarwono, 2007). Kambing PE jantan siap dikawinkan pada usia 6 – 8 bulan, saat itu kambing jantan telah mampu mengawini kambing betina, namun untuk kambing PE baru menjadi pejantan yang baik jika usianya telah mencapai antara 10 – 18 bulan (Sarwono, 2007). Satu ekor pejantan PE siap kawin dapat mengawini 20-25 ekor kambing betina dan dalam sehari dapat melakukan perkawinan 4-5 kali sebanyak 2-3 hari/minggu.Ada pun peternak memiliki kegemaran tersendiri dalam memilih pejantan untuk dijadikan pemacek. Umur 2 – 3 tahun memiliki peringkat tertinggi yaitu 57.57 %. Umur 1 – 2 tahun sekitar 9.09 % yang memilih, dan 24.24 % peternak memilih 3 – 4 tahun, 6.06 % memilih 4 – 5 tahun, dan 3.03 % memilih di atas 5 tahun. Pada umur lebih dari 2 tahun fungsi anatomi dan fisiologi
reproduksi kambing jantan mencapai tahap sempurna, hal ini yang mendasari penangguhan perkawinan sampai umur 18 bulan. Penampilan Reproduksi Kambing PE Betina Berdasarkan kuesioner yang diperoleh, pada kambing PE betina sangat diperhatikan tentang penampilan reproduksinya. Hal yang sering dibahas biasanya mengenai estrus (lama), umur kambing pertama kali estrus, kebuntingan dan kelahiran. Berdasarkan kajian kuesioner, penampilan reproduksi kambing PE betina dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4.Penampilan reproduksi kambing PE betina Penampilan reproduksi kambing PE betina
Presentase (%)
Pengetahuan peternak tentang lama estrus: 12 jam
81.81
>12 jam
15.15
Tidak tahu
3.03
Pengetahuan peternak tentang umur estrus pertama:
100
18 bulan
Tingkat keberhasilan kawin alam:
89.90
1 kali kawin kemudian bunting
10.10
2 kali kawin kemudian bunting
-
3 kali kawin kemudian bunting
Lama kebuntingan:
100
5 bulan Jumlah anakan yang dilahirkan :
9.09
1 ekor
60.60
2 ekor
30.31
3 ekor Sumber : Hasil kuesioner dari 33 pemilik kambing PE di wilayah kaligesing (Agustus 2007).
Pengetahuan responden tentang siklus estrus Berdasarkan hasil kuesioner, peternak di Kaligesing sudah mengerti tentang siklus estrus walaupun penjelasannya dengan
pengertian dan bahasa mereka
sendiri. Kebanyakan menjawab sering mengamati estrus sewaktu – waktu atau hampir tiap hari. 70 % menjawab memerikasa di pagi dan sore hari, 30 % menjawab setiapa waktu yaitu pagi, siang, dan sore hari. Berdasarkan kuesioner peternak juga memiliki jawaban sendiri mengenai lama estrus yang terjadi pada kambing peliharaannya. 81.81 % menjawab 12 jam, 15.15 % menjawab lebih dari 12 jam, dan 3.03 % menjawab tidak tahu. Menurut Sarwono (2007) masa estrus kambing PE berlangsung sekitar 16 – 20 jam dan berulang setiap 3 minggu. Dengan pernyataan peternak dapat dilihat bahwa peternak tidak mengetahui data sebenarnya berdasarkan literatur, namun kisaran waktunya masih sesuai dengan literatur,sehingga mempengaruhi tingkat keberhasilan kebuntingan pada kambing mereka. Pada peternak yang menjawab tidak tahu hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan yang rendah, dan kurangnya pengetahuan dari sumber lain.
Pengetahuan responden tentang Pubertas Peternak di daerah Kaligesing, hanya mengetahui bahwa kambing PE betina mengalami estrus pertama kali pada usia 18 bulan. Menurut Frandson (2002) kambing dapat mencapai masa pubertas pada umur 6 – 10 bulan. Pada kambing PE sama halnya demikian, namun ditangguhkan perkawinannya pada usia 18 bulan. Menurut Sarwono (2007) perkembangan organ reproduksi kambing PE betina mencapai tahap sempurna pada usia 18 bulan, sehingga berdasarkan kuesioner peternak menjawab 100 % estrus pertama kali pada usia 18 bulan dan dikawinkan pertama kali pada usia 18 bulan. Dari pemahaman peternak tenyata terdapat kesalahan yang secara turun temurun dibiarkan. Pemahaman yang salah tentang umur kambing betina PE mengalami pubertas erat kaitannya dengan tingkat pendidikan yang ada di daerah tersebut. Sehingga
peternak hanya
mengetahui kambing mereka estrus pada usia 18 bulan, padahal menurut Frandson (2002) kambing betina mulai estrus pada usia 6-10 bulan.
Kebuntingan Setelah kambing betina mencapai masa estrusnya maka peternak sesegera mungkin mengawinkan kambing betinanya dengan jantan pemacek, baik milik sendiri atau milik orang lain. Tingkat keberhasilan munculnya kebuntingan
dengan cara alami cukup efektif terbukti dari 89,90 % menjawab hanya 1 kali kawin langsung bunting, sedangkan 10,10 % menjawab 2 kali kawin mengalami kebuntingan, dan tidak ada yang mengalami 3 kali kawin mengalami kebuntingan. Peternak dapat mengetahui kebuntingan dengan beberapa cara namun peternak menjawab 93,94 % mengetahui kambingnya bunting berdasarkan melihat siklus estrus berikutnya dan 6,06 % mendapat bantuan dari petugas. Bantuan petugas datang jika peternak meminta bantuan atau melapor kepada petugas, tetapi hal ini jarang ditemui. Kelahiran Pada kambing PE betina masa kebuntingan mencapai 150 hari atau 5 bulan (Sarwono 2007). Hal ini tidak jauh berbeda dengan jenis kambing lainnya. Lama bunting yang diperoleh dari studi ini masih dalam batas kisaran lama bunting yang dikemukakan beberapa ahli yaitu 144-157 hari (Smith dan Mangkoewidjojo 1988) dan 143-153 hari (Davendra dan Burns 1994). Penyebab keragaman dalam periode bunting ini dipengaruhi oleh jenis kelamin, keragaman lingkungan (pakan) dan faktor keturunan. Anakan yang dihasilkan tiap kelahiran bervariasi. Peternak menjawab anakan yang dihasilkan 2 ekor sebanyak 60.60 %, 30.31 % menjawab 3 ekor, dan 9.09 % menjawab 1 ekor. Dapat dilihat dari data terdapat perbaikan produktivitas yaitu jumlah anakan akibat persilangan antara kambing ettawa (Jamnapari) dengan kambing kacang. Pada awalnya diketahui kambing Ettawa biasanya melahirkan anak tunggal sekali dalam setahun (Devendra dan Burn 1994). Bangsa kambing Jamnapari(ettawa) dilaporkan mempunyai angka kembar dua yang lebih rendah, tercatat sebesar 33% (Minett, 1950),45% (Roy dkk., 1962), dan 45,18% (Singh dan Singh, 1974). Sedangkan menurut Devendra dan Burn (1994) kambing Kacang memiliki angka kesuburan yang tinggi. Jumlah anak lahir seperindukan adalah 2.2 ekor Dapat dilihat berdasarkan data yang ada bahwa poduktivitas pada kambing PE sangat baik karena dapat dilihat terdapat kombinasi antara sifat kambing kacang dan kambing ettawa sehingga sifat unggul kambing kacang yaitu mampu beranak lebih dari 2 ekor dapat muncul dan menjadi keunggulan bagi kambing PE. Hal ini sesuai dengan pernyataan tentang produktivitas biologis kambing cukup tinggi, 8-28% lebih tinggi dibandingkan
sapi (Devendra 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993), kejadian kelahiran anak kembar adalah umum pada kambing dan terdapat banyak sekali bukti, bahwa kesuburan kelamin meningkat dengan bertambahnya umur. Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Blakely dan Bade (1992), bahwa kelahiran lebih dari 1 anak untuk seekor kambing adalah normal dan biasanya berproporsi kembar dua atau kembar tiga. Kelahiran kembar dapat diperoleh melalui cara-cara seleksi dan makanan yang baik selama kebuntingan. Semua kriteria di atas yang diinginkan peternak sesuai dengan ciri - ciri kambing PE kelas A. Secara singkat ciri – ciri kambing PE kelas A adalah sebagai berikut : 1
tubuh besar.
2
tinggi gumba kambing jantan 90 – 110 cm, betina 70 – 90 cm.
3
berat hidup kambing jantan dewasa 65 – 90 kg, betina 45 – 79 kg.
4
panjang tubuh kambing jantan dewasa 85 – 105 cm, betina 65 – 85 cm.
5
kepala tegak, garis profil wajah melengkung sekali.
6
kepala bertanduk, baik kambing jantan maupun betina dan posisi tanduk mengarah ke belakang.
7
telinga lebar, panjang, menggantung (terkulai), dan sedikit melipat pada bagian ujungnya. Panjang telinga kambing jantan 25 – 41 cm dengan lebar 8 – 14 cm, yang betina panjang 21 – 30,5 cm dengan lebar 8 – 13 cm.
8
ambing kambing betina berkembang biak baik. Puting susu cukup besar dan panjang seperti botol. Masa laktasi setelah melahirkan anak dapat menghasilkan 2 – 3 liter per hari. Pada kambing jantan lingkar testis 23 cm atau lebih.
9
warna bulu bermacam-macam, antara lain belang putih dengan bercakbercak hitam, merah coklat, atau campuran ketiga-tiganya.
10 pada bagian belakang kaki terdapat bulu gembol yang lebat dan panjang, baik pada kambing jantan maupun betina. 11 mampu memproduksi susu 0,5 – 1 lt/hari. Pada kambing PE dapat bunting kembali membutuhkan waktu 3 bulan. Berdasarkan kuesioner, peternak menjawab hal yang sama sebanyak 100 %. Hal ini sesuai data dari Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor (1997).
Dari data tersebut maka calving interval pada kambing PE betina mencapai 8 bulan. Maka tiap 8 bulan sekali kambing dapat berproduksi (melahirkan). Dari hal tersebut maka kambing dalam jangka 2 tahun dapat melahirkan 3 kali. Kelakuan kelamin pada kambing PE sangat dipengaruhi oleh glandula endokrin yang menghasilkanhormon reproduksi. Untuk menghasilkan hormon tersebut diperlukan gizi. Fungsi anatomi dan reproduksi akan berjalan baik bila kita dapat memenuhi kecukupan vitamin B, asam pantotenat, niasin, vitamin E, dan zinc. Kejadian abortus pada kambing PE jarang terjadi. Berdasarkan kuesioner 93,94 % menjawab jarang sekali, dan 6, 06 % menjawab kadang-kadang. Secara singkat dari hasil pembahasan dapat dilihat banyak ketidak mengertian peternak tentang aspek reproduksi dari kambing PE, dikarenakan sistem informasi yang masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan data yang diperoleh dar kuesioner dibandingkan dari berbagai literatur yang terdapat dalam pembahasan. Perbandingan data tersebut dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Perbandingan data berdasarkan kuesioner dan literatur Uraian
Nilai Rataan
Nilai Rataan
(kuesioner)
(literatur)
Beranak tunggal
9,09%
30,28 %
Beranak kembar 2
60,60%
60,55 %
Beranak kembar 3
30,31%
9,17 %
Umur dewasa kelamin (betina)
18 bulan
8 – 12 bulan
Umur dewasa kelamin (jantan)
18 bulan
6 – 8 bulan
Umur induk betina pertama kali
18 bulan
12-15 bulan
18 bulan
8-10 bulan
Umur dewasa tubuh betina
18 bulan
15 – 18 bulan
Umur dewasa tubuh jantan
18 bulan
10 bulan
Siklus estrus
19 – 23 hari
18-22 hari
Lama estrus
12 jam
24-48 jam
dikawinkan Umur pejantan pertama kali dikawinkan
Waktu yang tepat dikawinkan,
12 – 18 jam
setelah terlihat tanda tanda estrus Lama kebuntingan Interval beranak
150 hari
±147 hari
7 – 8 bulan sekali
8 bulan
Sumber : Hasil Kuesioner 33 Pemilik kambing PE di wilayah kecamatan Kaligesing (Agustus 2007) dan lirteratur.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Penampilan Reporoduksi dari kambing Peranakan Ettawa sangat berperan penting dalam peningkatan produksi baik dari segi kualitas maupun kuantitas.Dalam upaya meningkatkan melalui perkawinan alami, penampilan fisik dan reproduksi dari induk jantan maupun betina harus memiliki kriteria yang termasuk ideal agar didapatkan angka kebuntingan yang cukup tinggi, serta keturunan yang ideal. 2. Manajemen pakan yang baik, dengan pemenuhan kebutuhan pokok serta untuk reproduksi dengan pemenuhan gizi berupa vitamin B, asam pantotenat, niasin, vitamin E, dan zinc. Upaya ini untuk mewujudkan kambing dapat berproduksi 3 kali selama 2 tahun. 3. Secara umum pengetahuan peternak mengenai aspek reproduksi kambing PE pada daerah kaligesing masih sangat terbatas dan kebanyakan bersumber dari cerita dan tradisi turun temurun. 4. Tingkat kebuntingan serta angka kelahira kambing PE pada perkawinan alami di kecamatan Kaligesing memiliki persentasi yang tinggi.
Saran 1. Peningkatan pengetahuan bagi peternak,tentang aspek reproduksi ternak kambing sebagai upaya peningkatan kualitas dan kuantitas ternak Kambing Peranakan Ettawa. 2. Perlu adanya pelestarian dan pengembangan pejantan unggul PE untuk pengembangan dan mempertahankan kualitas anakan yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA Abdulgani, I. K. 1981. Beberapa Ciri Populasi Kambing di Desa Ciburuy dan Cigombong serta Kegunaannya bagi Peningkatan Produktivitas. Disertasi Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonim. www. Pikiran-rakyat.com/0803/03/1004. Htm. [ 3 Juni 2007] Anonim. www. Pikiran-rakyat.com/cetak/1004/14/cakrawala/penelitian.htm [3 Juni 2007] Atabany, A. 2001. Studi Kasus Produktivitas Kambing Peranakan Ettawa dan Kambing Saanen Pada Peternakan Barokah dan PT Taurus Dairy Farm. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Blakely, J. dan H. Bade. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Terjemahan : B. Srigandono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Budiarsana IGM et al. 2001. Siklus Berahi dan Fertilitas Kambing Peranakan Ettawa pada Perkawinan Alami dan Inseminasi Buatan. Buku 1 Penelitian Ternak Ruminansia Kecil. Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Bogor. Cahyono, Bambang. Berternak domba dan kambing. Jogya: kanisius, 1998. Cole. H. H and P. T. Cupps. 1977. Reproduction in Domestic Animal. 2nd Ed. Academic Press New York and London. Davendra, C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan : I. D. K. Harya Putra. ITB Bandung. Dunn, Peter. Goat Keepers Veterinary book. 1994. Farming Press. USA. Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi 4. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Gall, C. Goat Production. 1981. Academic Press INC LTD. New York. Greenwood P. 1997. Goat Breeds : Saanen. Agfact A7.3.4,2nd edition. Hafez, E. S. E.1987. Reproduction in Farm Animal. Fourth Ed. Lea and Fabiger. Philadelphia Hafez B and Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals 7th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. USA.
Haryanto B. 1992. Pakan Domba dan Kambing. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. Balai Penelitian Ternak Ciawi – Bogor. Bogor Heath, E and S. Olusanya. 1985. Anatomy ang Physiology of Tropical Livestock. Intermediate Tropical Agriculture Series. Longman, London and New York. Holmes, A.S. The Book of the Goat. 1965. The Bazar Exchange and Mart LTD. London. Ludgate, P.J. 1989. Kumpulan Peragaan dalam Rangka Penelitian Ternak Kambing dan Domba di Pedesaan. Cetakan Kedua. Balai Penelitian Ternak. Program. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Edisi 1. Mutiara Sumber Widjaya. Jakarta. Prasetyo, L. H. 1992. Pemikiran dalam Upaya Peningkatan Mutu Genetik Kambing. Prosiding Domba dan Kambing untuk Kesejahteraan Masyarakat. Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong Era PJPT II. Ikatan Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan Indonesia. Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia, Cabang Bogor, Bogor : 22 – 25. Roberts, S. J. 1971. Veterinary Obstetris and Genital Disease. 2nd Edition. Published by The Autor Ithaca . New York. Setiadi, B. 1987. Studi Karakterisasi Ternak Kambing Peranakan Ettawa. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sitorus P. 1991. Pedoman Praktis Beternak Kambing dan Domba sebagai Ternak Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Bogor. Bogor. Sutama, I.K. 1996. Potensi Produktivitas Ternak Kambing di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor : 35-49. Toelihere, M. R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung. Toelihere, M. R. 1981. Ilmu Kemajiran pada Ternak. FKH. IPB. Bogor.
Tomaszewska MW et al. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Vanderplassche, M. 1982. Reproductive Efficiency in Cattle : Guideline for Projects Developing Countries. Food and Agriculture Organisation of The United Nation (FAO). Rome. Von Horn, HH and Heinlein GFW. 1992. Nutritional Causes of Reproductive Losses. D.L. Ace (ed). Pennsylvania State U. University Park. Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi Ketiga. Terjemahan : S. G. N. Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wodzicka-Tomaszewka, M, I. K. Sutama, I. G. Putu dan T. D. Chaniago. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT Gramedia Pustaka, Jakarta.
LAMPIRAN Lampiran Kuesioner Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Ettawa (PE) di Kecamatan Kaligesing
Form : kuesioner untuk penulisan karya ilmiah sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Nomor kuesioner: ..................... I. Identitas dan Latar Belakang Peternak (Boleh dipilih lebih dari satu pilihan) 1. Nama : ........................ Tanda tangan 2. Umur : ........................ 3. Alamat : ........................ ....................... 4. Berapa ekor kambing yang anda miliki : a. Induk bunting..............ekor b. Induk laktasi (menyusui)................ekor c. Dara bunting.................ekor d. Anakan...............ekor e. Jantan..............ekor 5. Pekerjaan utama : a. Beternak d. PNS b. Bertani e. Lainnya ..................... c. Berdagang 6. Pendidikan peternak Formal a. Tidak pernah b. SD c. SMP d. SMA e. Perguruan tinggi
Informal (kursus-kursus) a. Pernah Sebutkan ....................... b. Tidak pernah
7. Pengalaman beternak selama...........tahun. 8. Kedudukan dalam peternakan : a. Pemilik b. Pekerja c. Pemilik dan Pekerja
9. Sumber daya tenaga kerja (pekerja) : a. Istri b. Anak c. Menyewa orang 10. Tujuan memelihara ternak : a. Sebagai mata pencaharian pokok b. Pekerjaan sampingan c. Lainnya.................. 11. Sumber pengetahuan tentang menejemen ternak : a. Penyuluhan c. Buku b. Tradisi turun temurun d. Lainnya ...........................
II. Aspek Reproduksi 1. Cara perkawinan kambing : a. Seluruhnya di IB b. Seluruhnya kawin alam c. keduanya dilakukan 2. Tindakan bila terjadi berahi a. Melapor pada inseminator b. Dikawinkan secara alami c. Lainnya................ (3-7 dijawabjika jawaban melapor pada inseminator ): 3. Selang kedatangan petugas setelah melapor : a. 1-6 jam c. 12-24 jam b. 6-12 jam d. >24 jam 4. Tempat melapor bila kambing berahi : a. Inseminator b. Kotak TPK c. Lainnya.................. 5. Alasan melakukan inseminasi buatan(jika hanya dilakukan IB): a. lebih praktis b. lebih berhasil munculnya kebuntingan c. biaya lebih murah d. kebiasaan 6. Jarak waktu yang dibutuhkan setelah melahirkan sampai bunting kembali.........bulan 7. Berapa kali kambing anda dikawinkan sampai terjadi kebuntingan : a. Satu kali c. Tiga kali b. Dua kali d. ....... kali (8-11 jika jawaban dikawinkan secara alami): 8. asal pejantan untuk perkawinan alami
a. milik sendiri b. milik orang lain (9-10 jika memakai pejantan orang lain) 9. Asal Pejantan dari kelompok atau peternak ........... 10. biaya yang dibutuhkan untuk membayar tiap perkawinan :..........rupiah (kriteria pejantan) 11. Berat pejantan yang diinginkan sebagai pemacek a. 65-75 kg c. 85-95 kg b.75-85 kg d. ≥ 95 kg 12. Panjang telinga kambing jantan a. 20-25 cm c. 35-45 cm b. 25-35 cm 13. Lingkar testis pejantan a. 15-18 cm c. 21- 24 cm b. 18-21 cm 14. umur pejantan yang digunakan a.1-2 tahun c. 3-4 tahun b.2-3 tahun d. 4-5 tahun
e. ≥5 tahun
15. Alasan melakukan perkawinan alami(jika hanya melakukan perkawinan alami) : a. lebih praktis b. lebih berhasil munculnya kebuntingan c. biaya lebih murah d. kebiasaan e. kualitas anakan baik sesuai yang diharapkan 16.Jarak waktu yang dibutuhkan setelah melahirkan sampai bunting kembali.........bulan 17. Berapa kali kambing anda dikawinkan sampai terjadi kebuntingan : a. Satu kali c. Tiga kali b. Dua kali d. ....... kali 18. Berapa anak kambing yang diperoleh tiap kelahiran a. 1 ekor c. 3 ekor b.2 ekor d. 4 ekor 19. Anakan yang sudah siap kawin apakah dikawinkan pada jantan pemacek yang sama a. ya b. tidak 20. (jika jawaban 19 tidak) Alasan tidak dikawinkan pada jantan pemacek yang sama a. anakan yang dihasilkan tidak begitu sehat b. anakan yang dihasilkan tidak normal secara anatomi c. kualitas postur tubuh anakan rendah d. perkembangan anakan kurang optimal 21. Waktu pengamatan berahi :
a. Pagi b. Siang c. Sore 22. Berapa kali dilakukan pengamatan : a. Satu kali c. Tiga kali b. Dua Kali d. Tidak tentu 23. Lama berahi yang diketahui : ......... jam 24. Umur kambing pertama kali berahi .....................bulan 25. Umur kambing pertama kali dikawinkan .....................bulan 26. Cara mengetahui kebuntingan : a. Melihat siklus berahi berikutnya b. Pemeriksaan kebuntingan oleh petugas 27. Kapan anda mendapat layanan pemeriksaan kebuntingan : a. Saat melapor kepada petugas ( diperiksa kebuntingan ) b. Petugas datang sendiri 28. Kejadian abortus pada kambing (kluron) : a. Sering b. Kadang-kadang c. Lainnya.................