EFEKTIFITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN DI INDONESIA Oleh Rakei Yunardhani Alumni Program Pascasarjana Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Bekerja pada Bareskrim Mabes Polri
ABSTRACT This This paper reviews about the effectiveness of prisons in Indonesia. The limit in this paper include: the purpose of the SPP; indicator of the effectiveness of prisons, and; facts in Indonesian prisons. At the end of this paper, an alternative solution is also presented in order to realize effective in Indonesian prisons. Key word: Effectiveness, Indonesian prisons
PENDAHULUAN Penjatuhan pidana bagi seorang pelanggar hukum pada hakikatnya tidaklah sebagai suatu perbuatan balas dendam oleh negara, melainkan sebagai imbangan atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Dengan hal tersebut nantinya diharapkan akan menghasilkan kesadaran si-pelanggar hukum tersebut melalui pemberian pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dengan sistem Pemasyarakatannya. LAPAS sebagai lembaga pembinaan, posisinya memegang peranan yang strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari Sistem Peradilan Pidana (SPP), yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai pada penanggulangan kejahatan (supresion of crime). Lebih lanjut, dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan dinyatakan bahwa sistem pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan diulangi tindak pidana oleh narapidana. Tulisan ini akan mengulas secara singkat tentang efektifitas LAPAS di Indonesia. Adapun batasan dalam tulisan ini mencakup: tujuan SPP; indikator efektifitas LAPAS, dan; fakta LAPAS di Indonesia. Diakhir tulisan ini, disajikan pula alternatif solusi guna mewujudkan LAPAS yang efektif di Indonesia. Tujuan Sistem Peradilan Pidana (SPP) Sistem peradilan pidana mempunyai empat komponen, sebagaimana yang lazim dikenal dalam ilmu kebijakan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen ini biasa disebut sebagai aparat penegak hukum. Perkembangan terakhir dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokad pada Pasal 5 ayat (1), maka advokat telah mempunyai legitimasi sebagai aparat penegak Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 2: 143-149
143
hukum dan dapat dimasukkan sebagai salah satu komponen sistem peradilan pidana (Mulyadi, 2008). Dalam hal ini, para aparat penegak hukum harus terintegrasi dalam sistem peradilan pidana dan mampu bekerjasama dalam suatu integrated administration of criminal justice system, sehingga terjadi koordinasi yang baik. Keterpaduan ini juga diharapkan dapat mencapai tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana yang dikemukakan Purpura (1997) yaitu: 1. Melindungi masyarakat (protect society), 2. Memelihara ketertiban dan stabilitas (maintain order and stability), 3. Mengendalikan kejahatan (control crime), 4. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan serta melakukan penahanan terhadap pelakunya (investigate crimes and arrest offenders), 5. Memberikan batasan tentang bersalah atau tidak kepada pengadilan (provide for judicial determination of guilt or innoncence), 6. Menetapkan hukuman yang pantas dan sesuai bagi yang bersalah (set an appropriate sentence for the guilty), dan 7. Melindungi hak-hak hukum terdakwa melalui proses peradilan pidana (protect the constitutional rights of defendents throughhout the criminal justice process). Menurut Mardjono Reksodiputro (1999), tujuan sistem peradilan pidana mencakup beberapa hal, diantaranya: (1) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; (2) menyelesaikan kasus-kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana sehingga masyaraat merasa puas, dan; (3) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Lebih lanjut, Mardjono berpendapat bahwa apabila sistem peradilan pidana dilaksanakan tanpa terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik, akan tercipta fragmentasi yang menghambat tercapainya tujuan sistem tersebut untuk menanggulangi kejahatan. Adanya wewenang diskresi dapat menjadi pemicu timbulnya fragmentasi dalam sistem peradilan. Jika tidak ada rasa saling pengertian dan kerjasama di antara subsistem-subsistem peradilan maka akan menimbulkan berbagai kecurigaan yang tidak perlu akan berdampak terhadap pencapaian tujuan sistem peradilan pidana. Indikator Efektifitas LAPAS Di Indonesia pelaksanaan penghukuman dan pembinaan pelanggar hukum dilakukan dengan mempergunakan filosofi pemasyarakatan narapidana, yaitu suatu konsep yang bertujuan agar supaya pembinaan narapidana di dalam penjara mampu mengembalikan narapidana ke masyarakat dengan berhasil. Dengan demikian, keberhasilan tersebut diukur dari tidak diulanginya pelanggaran, dan bekas narapidana dapat terintegrasi kembali ke masyarakat sebagai warga negara yang taat hukum (Mustofa, 2007). Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pada Pasal 3 disebutkan bahwa fungsi sistem pemasyarakatan adalah "... menyiapkan warga bianaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab". Berdasarkan pasal tersebut, secara jelas mengenai gambaran keluaran (output) yang ingin dihasilkan dalam proses pembinaan di LAPAS. Terkait dengan hal tersebut, selanjutnya dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas: 144
Efektifitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pengayoman, Persamaan perlakuan dan pelayanan, Pendidikan, Pembimbingan, Penghormatan harkat dan martabat manusia, Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Selain itu, sistem pemasyarakatan juga mengakui pentingnya peran serta masyarakat dalam proses pembinaan narapidana. Hal ni sesuai dengan Pasal 9 UU/12/1995 disebutkan bahwa: (1). Dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan pembibingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. (2). Ketentuan mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, jelas bahwa peranan pihak ketiga dalam hal ini masyarakat yang mempunyai potensi dalam pelaksanaan kegiatan kerja pembinaan narapidana di lembaga Pemasyarakatan sangat dibutuhkan guna menunjang keberhasilan dari program pembinaan yang telah dientukan. Keterlibatan masyarakat pun mutlak diperlukan dalam usaha menjadikan narapidana terintegrasi kembali ke masyarakat, sebab bagaimanapun harus diakui bahwa narapidana itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian tanggung jawab masyarakat untuk membantu pemerintah melakukan pembinaan narapidana mutlak diperlukan, agar efektifitas proses pembinaan dapat berjalan dengan optimal. Bila merujuk pada Eight Principles of Effective Correctional Intervention, ada beberapa prinsip yang perlu dicermati guna memberikan hasil yang efektif dalam proses pembinaan di LAPAS yakni: (1) Menciptakan lingkungan yang positif (create a positive environment); (2) Desain program yang kuat (design a strong program; (3) Membangun staf yang berkualitas tinggi (build a high-quality staff); (4) Memahami kebutuhan si-pelanggar (understand offenders’ needs); (5) Target yang berhasil (target what works); (6) Mendemonstrasikan praktek yang baik (demonstrate good practice); (7) Berkomunikasi dengan pihak yang lain (communicate with others), dan; (8) Evaluasi kemajuan (evaluate progress). (lihat Latessa, Promoting Public Safety Through Effective Correctional Interventions: What Works and What Doesn’t?). Fakta LAPAS di Indonesia Lembaga pemasyarakatan sebagai instansi yang melakukan pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana, mempunyai peran yang vital dalam proses penegakan hukum. Hal ini dikarenakan LAPAS merupakan instansi penegak hukum yang terlibat dalam proses penegakan hukum, sejak dalam tahap pra-adjudikasi, adjudikasi hingga tahap post adjukasi. Namun dalam prakteknya di Indonesia, posisi LAPAS sebagai salah satu sub sistem dalam sistem peradilan pidana masih belum seratus persen diakui sepenuhnya, baik oleh masyarakat maupun oleh instansi penegak hukum lainnya. Terbukti dan dapat dirasakan Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 2: 143-149
145
bahwa dalam realitasnya, LAPAS sampai saat ini masih belum diposisikan sebagaimana mestinya sesuai dengan tuntutan undang-undang yang notabene merupakan suara rakyat. Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana garis koordinasi dan interkoneksi antar lembaga penegak hukum untuk melaksanakan tahapan acara pidana menunjukkan differensiasi fungsional dari masing-masing lembaga. Pada titik ini terdapat kerentanan terjadinya ego sektoral dari masing-masing lembaga. Terdapat kecenderungan dalam praktik selama ini LAPAS kurang memiliki kekuatan tawar yang kuat terhadap tiga institusi lainnya, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan (Direktorat Jenderal LAPAS, 2008). Selain itu, pada aspek pembinaan narapidana, orientasi pembinaan lebih bersifat top down approach. Pembinaan yang diberikan kepada narapidana, merupakan programprogram yang sudah ditetapkan dan narapidana harus ikut serta dalam program tersebut. Pendekatan top down tersebut juga didasarkan atas pertimbangan keamanan, keterbatasan sarana pembinaan dan pandangan bahwa narapidana hanya objek semata-mata. Jadi sebagai objek, eksistensi narapidana untuk ikut serta membangun dirinya atau membangun kelompok yang kurang diperhatikan. Pembinaan adalah paket yang datang dari atas. Sering pembinaan semacam ini tidak memperhatikan kondisi daerah atau kondisi LAPAS yang bersangkutan (Harsono, 1995). Seperti diketahui, keberhasilan upaya pembinaan, pengayoman narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan sangat tergantung kepada faktor-faktor pendukung lainnya, seperti: dukungan dan keikutsertaan masyarakat sampai dengan kemauan politik pemerintah itu sendiri. Namun demikian, banyak kendala yang dihadapi dalam proses pembinaan narapidana di LAPAS. Dalam tulisannya, Nainggolan (2002) mengungkapkan beberapa problema yang menjadi kendala yang dihadapi petugas lembaga pemasyarakatan dalam mengayomi serta memasyarakatkan para narapidana, yakni diantaranya: 1. Kurangnya ruangan-ruangan untuk menempatkan narapidana khusus, 2. Fasilitas dana pengayoman serta pemasyarakatan (pembinaan) narapidana yang sangat terbatas, 3. Kurangnya tenaga ahli (psikolog, sosiolog, ekonom, dan agawaman), 4. Perangkat Peraturan yang sudah tidak sesuai lagi, dan 5. Sikap masyarakat yang tidak mau menerima eks narapidana. Hal senada juga diungkapkan Deliani (2009), menurutnya permasalahan mendasar yang trerjadi di Lembaga Pemasyarakatan terletak pada beberapa sarana yang mendukung pembinaan narapidana, yaitu terbatasnya sarana personalia yang profesional yang mempu melakukan pembinaan secara efektif. Sarana administrasi dan keuangan, dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk mengelola suatu lembaga pemasyarakatan. Sarana fisik yang diperlukan untuk penampungan narapidana yang memenuhi syarat kesehatan begitu pula sarana bengkel kerja, yang berguna untuk melatih para narapidana agar terampil dalam peekrjaan tertentu. Ketiadaan beberapa sarana pendukung dan kegagalan lembaga pemasyarakatan melakukan pembinaan akan mengakibatkan bekas narapidana setelah berada di masyarakat akan melakukan kembali kejahatan, di samping adanya penolakan dari masyarakat. Cap atau stigma yang dibuat oleh masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan maupun bekas narapidana merupakan pertanda kegagalan lembaga pemasyarakatan pada khususnya dan sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Lebih lanjut, Sujatno dan Sudirman dalam bukunya "Pemasyarakatan Menjawab Tantangan Zaman" memaparkan beberapa fakta terkait dengan LAPAS di Indonesia. Mulai dari penyimpangan seksual dalam LAPAS dan juga penyeludupan barang-barang terlarang.
146
Efektifitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia
"Berbagai mekanisme penyaluran seksual dikenal dalam kosakata masyarakat Lapas/Rutan, antara lain istilah homobo’olabui, eentogan, memerian, anakanakan, prostitusi, penyalahgunaan ijin berobat dan lain sebagainya. Kesemuanya itu menunjukkan adanya mekanisme penyaluran seksual yang muncul dalam masyarakat Lapas/Rutan. ... penyelundupan barang-barang terlarang lainnya yang biasa terjadi adalah penyelundupan uang, narkoba, senjata tajam, handphone dan lain sebagainya. Gejala penyelundupan barang terlarang tersebut dapat diamati sebagai upaya dari narapidana untuk memnuhi segala kebutuhannya. Dengan terpenuhinya segala kebutuhannya itu, secara langsung, maka ia dapat mengurangi penderitaaanya selama di dalam Lapas" Tak pelak dipungkiri bahwa mekanisme kontrol dan monitoring terhadap kinerja internal LAPAS tidak berjalan dengan baik - bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada pengawasan -. Pada aspek inilah pentingnya fungsi kontrol dan monitoring untuk memberikan jaminan kualitas (quality assurance) penyelenggaraan program pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan dalam melaksanaan sistem pemasyarakatan. Mewujudkan LAPAS yang Efektif Merujuk pada pendapat yang dikemukakan Harsono (1995) bahwa pembinaan narapidana dengan top down approach tidaklah efektif sama sekali. Maka, orientasi pembinaan semacam itu harus diubah, agar pembinaan yang diberikan kepada narapidana berdaya guna dan berhasil guna, seperti yang diharapkan LAPAS. Pembaharuan orientasi pembinaan narapidana tersebut berubah dari top down approach menjadi bottom up approach. Bottom up approach adalah pembinaan narapidana yang berdasarkan kebutuhan belajar narapidana, setiap narapidana haruslah menjalani pre test sebelum dilakukan pembinaan. Dari hasil pre test akan diketahui tingkat pengetahuan, keahlian dan hasrat belajarnya. Dengan memperhatikan hasil pre test, dipersiapkan materi pembinaan narapidana. Pada pertengahan pembinaan, perlu diadakan mid test untuk mengetahui sejauh mana pembinaan bisa berhasil dan diakhiri pembinaan diadakan post test, untuk mengetahui keberhasilan pembinaan. Selain dilakukan perubahan pada orientasi pembinaan narapidana, penerapan Eight Principles of Effective Correctional Intervention juga akan dapat lebih mengintegrasikan pola pembinaan di LAPAS agar lebih efektif. Namun demikian, kesemua hal tersebut harus dibarengi dengan upaya perbaikan dibeberapa aspek, diantaranya yakni: peraturan perundang-undangan, sarana personalia, sarana administrasi dan keuangan, dan sarana fisik Lembaga Pemasyarakatan. Peningkatan koordinasi dan kerjasama antara Lembaga Pemasyarakatan dengan Instansi terkait dan keikutsertaan masyarakat dalam membina narapidana juga memegang peranan penting. Lebih lanjut, perlunya dilakukan peningkatan pengawasan (kontrol dan monitoring) terhadap kinerja internal LAPAS dalam melakukan penyelenggaraan program pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan dalam melaksanaan sistem pemasyarakatan. Bentuk pengawasan tersebut dapat berupa pengawasan internal (pimpinan organisasi, Inspektorat Pemasyarakatan) dan pengawasan eksternal (pengawasan legislatif, pengawasan oleh masyarakat, dan pengawas oleh hakim pengawas dan pengamat).
Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 2: 143-149
147
PENUTUP Lembaga pemasyarakatan memegang peranan yang strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari Sistem Peradilan Pidana (SPP), yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai pada penanggulangan kejahatan (supresion of crime). Tulisan di atas telah mengulas secara singkat persoalan yang menjadi kendala yang dalam melakukan pembinaan narapidana di LAPAS. Kecenderungan yang terjadi adalah proses pembinaan yang dilakukan di LAPAS belum berjalan secara efektif. Oleh karenanya, perlu diupayakan beberapa hal berikut agar terwujudnya LAPAS yang efektif, yakni: 1. Perlu dilakukannya perubahan pada orientasi pembinaan narapidana; 2. Memerhatikan dan mengimplementasikan aspek Eight Principles of Effective Correctional Intervention dalam proses pembinaan narapidana; 3. Perbaikan sarana dan prasana LAPAS, diantaranya: peraturan perundang-undangan, sarana personalia, sarana administrasi dan keuangan, dan sarana fisik Lembaga Pemasyarakatan; 4. Peningkatan koordinasi dan kerjasama antara Lembaga Pemasyarakatan dengan Instansi terkait dan keikutsertaan masyarakat dalam membina narapidana, dan; 5. Peningkatan pengawasan (kontrol dan monitoring) terhadap kinerja LAPAS, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal.
DAFTAR PUSTAKA Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita selekta hukum pidana dan kriminologi. Jakarta: Mandar Maju. Harsono, C.I. HS. 1995. Sistem baru pembinaan narapidana. Jakarta: Djambatan. Mulyadi, Mahmud. 2008. Criminal policy pendekatan integral penal policy dan non penal policy dalam penanggulangan kejahatan kekerasan. Medan: Pustaka Bangsa Press. Mustofa, Muhammad. 2007. Kriminologi kajian sosiologi terhadap kriminalitas perilaku menyimpang dan pelanggaran hukum. Depok: FISIP UI Press. Purpura, Philip P. 1997. Criminal justice an introduction. Boston: Butterworth-Heinemann. Reksodiputro, Mardjono. 1999. Hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana kumpulan karangan buku ketiga. Depok: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.
Sumber Lainnya: Deliani. Lembaga pemasyarakatan dalam perspektif sistem peradilan pidana. Jurnal Suloh Vol. VII No. 1 April 2009. Direktorat Jenderal LAPAS. 2008. Cetak biru pembaharuan pelaksanaan sistem LAPAS. Jakarta: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal LAPAS.
148
Efektifitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia
Latesssa, Edward J. Promoting public safety through effective correctional interventions: what works and what doesn’t?. University of Cincinnati. Sumber: http://www.familyimpactseminars.org/s_wifis19c04.pdf Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 2: 143-149
149