EFEK PERUBAHAN (PASS-THROUGH EFFECT) KURS TERHADAP INDEKS HARGA KONSUMEN DI ASEAN-5, JEPANG DAN KOREA SELATAN
OLEH FICKRY WIDYA NUGRAHA H 14102111
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
FICKRY WIDYA NUGRAHA. Efek Perubahan (Pass-Through Effect) Kurs Terhadap Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI). Selama 25 tahun setelah Perang Dunia II, sistem moneter internasional didasarkan pada nilai tukar tetap dan dikenal sebagai Bretton Woods System. Bretton Woods System merupakan nama lain dari rezim kurs tetap (fixed exchange rate regimes). Namun demikian, ketidakpuasan Eropa dan Jepang terhadap sistem moneter internasional, terjadinya Perang Vietnam yang didalangi oleh Amerika serta tindakan Presiden Nixon untuk mencetak Dollar dalam membiayai defisit anggaran Amerika menyebabkan rezim justru semakin memperburuk kondisi perekonomian Amerika dan sekaligus menandainya runtuhnya rezim kurs tetap. Penutupan Bretton Woods Currency Exchange Market pada bulan Februari 1973 menandai dimulainya rezim baru dalam sistem moneter internasional atau dikenal dengan istilah rezim kurs mengambang bebas (floating exchange rate regimes) pada bulan Maret 1973. Pemberlakuan rezim kurs mengambang bebas juga menjadi penyebab terjadinya structural breaks pada pertengahan tahun 1997. Keputusan pemerintah Thailand untuk mendevaluasi Baht pada 2 Juli 1997 menyebabkan krisis keuangan yang menjalar di ASEAN. Peristiwa ini dikenal dengan nama Asian Financial Crisis (AFC). Fenomena ini membuat kurs domestik terdepresiasi tajam bukan hanya di ASEAN bahkan di negara Asia Timur seperti Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan. Menurut IMF, Indonesia dan Filipina adalah negara yang mengalami dampak depresiasi paling tajam. Depresiasi kurs ini selanjutnya menyebabkan harga barang-barang impor meningkat yang pada akhirnya menyebabkan inflasi. Krisis keuangan ini juga kemudian menyebabkan transformasi rezim kurs di sejumlah negara seperti Indonesia, Thailand, Filipina dan Korea. Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama. Pertama, menganalisis derajat pass-through di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan. Kedua, menganalisis pengaruh efek perubahan kurs (pass-through effect) terhadap IHK di negara ASEAN, Jepang dan Korea Selatan. Ketiga, menganalisis peranan kurs dalam menjelaskan fluktuasi IHK di negara ASEAN, Jepang dan Korea Selatan. Penelitian ini menggunakan data sekunder time series dari bulan Januari 1990 sampai bulan November 2005. Data diperoleh dari International Financial Statistic (IMF), World Economic Statistic dan Bloomberg. Model penelitian ini mengacu pada model Sato, Ito dan Sasaki (2005) yang selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan Structural Vector Autoregression (SVAR). Namun demikian jika setelah dilakukan uji stasioneritas mengindikasikan adanya I(1) maka model SVAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi Vector Error Correction Model (VECM). Meninjau penelitian terdahulu
(McCarthy, 2000; Windarti, 2004; Hartati, 2004; Sato, et al, 2005) untuk menganalisis derajat pass-through di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan maka Cholesky Decomposition akan digunakan untuk mengidentifikasi guncangan struktural dari model SVAR jika I(0) dan VECM jika I(1) selama 48 horizon waktu (4 tahun). Hasil empiris penelitian menunjukkan bahwa selama periode penelitian terjadi incomplete pass-through di masing-masing negara ASEAN serta Jepang dan Korea Selatan. Kemudian, perubahan kurs akan direspon secara negatif oleh tingkat harga yang diproksikan melalui IHK. Namun hal ini tidak berlaku untuk Singapura yang mana hubungan antara kurs dengan IHK memiliki hubungan positif. Berdasarkan hasil analisis DFEV menunjukkan bahwa peranan kurs dalam menjelaskan flukutasi IHK sangat dominan di negara Indonesia dimana kurs memberikan kontribusi lebih dari 50 persen terhadap fluktuasi IHK. Hasil analisis melalui koefisien (derajat) pass-through mengindikasikan bahwa negara yang mengalami respon terbesar akibat perubahan kurs adalah Indonesia. Efek akumulasi perubahan kurs (derajat pass-through) selama 48 bulan sebesar -0,45 artinya perubahan IHK di Indonesia hampir 50 persen dipengaruhi oleh kurs. Efek perubahan kurs sebesar satu persen terhadap IHK di Indonesia selama 48 bulan berkisar antara 0,02 persen sampai 0,65 persen. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan temuan Sato, et al, (2005) dimana hasil empiris dari penelitian tersebut menemukan bahwa koefisien pass-through di Indonesia sebesar -0,57. Efek permanen perubahan kurs selama 48 bulan di negara ASEAN lainnya serta Jepang dan Korea Selatan tidak menunjukkan besaran yang begitu besar. Masing-masing negara tersebut yaitu Malaysia sebesar -0,01, Thailand sebesar -0,13, Filipina sebesar -0,1, Singapura sebesar 0,08, Jepang sebesar -0,02 dan Korea Selatan sebesar -0,05. Menurut McCarthy (2000), Sahminan (2005) dan Hyder dan Shah (2004), faktor variabel mikroekonomi seperti rasio komponen impor dalam biaya produksi, daya saing produk, struktur pasar akan mempengaruhi derajat passthrough. Kemudian variabel makroekonomi seperti rasio Foreign Direct Investment (FDI) terhadap PDB di suatu negara, jumlah perusahaan multinasional dan pertumbuhan ekonomi serta fenomena pricing to market akan serta merta mempengaruhi besaran derajat pass-through terhadap IHK. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak memisahkan antara periode sebelum dan pasca krisis keuangan terjadi. Sehingga untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat digunakan dummy krisis untuk masing-masing negara ASEAN, Jepang dan Korea Selatan. Selain itu penelitian ini juga hanya menganalisis bagaimana hasil empiris secara umum efek perubahan kurs terhadap IHK yang terjadi di negara-negara tersebut.
EFEK PERUBAHAN (PASS-THROUGH EFFECT) KURS TERHADAP INDEKS HARGA KONSUMEN DI ASEAN-5, JEPANG DAN KOREA SELATAN
OLEH FICKRY WIDYA NUGRAHA H 14102111
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Fickry Widya Nugraha
Nomor Registrasi Pokok : H14102111 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Efek Perubahan (Pass-Through Effect) Kurs Terhadap Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Noer Azam Achsani NIP. 132 014 445
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S.
NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan: PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2006
Fickry Widya Nugraha H14102111
PADA
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang memiliki nama lengkap Fickry Widya Nugraha lahir pada tanggal 19 Desember 1984 di Bekasi. Penulis lahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Adil Nugraha dan Wiwit Widyawati. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari TK Pelita pada tahun 1989. Kemudian pada tahun 1990, penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar Pelita. Lulus dari SD penulis melanjutkan ke tingkat SLTP di SLTPN 194 pada tahun 1996. Pada tahun 1999 penulis berhasil diterima di SMUN 71 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002, penulis berhasil diterima di Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) di Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) melalui ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Departemen ini kemudian berganti nama menjadi Departemen Ilmu Ekonomi pada tahun 2004. Selama masa kuliah penulis aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan dan berbagai organisasi kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris Komisi II Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (DPM FEM) IPB periode 2004/2005 dan juga menjadi staf divisi penelitian dan pengembangan
Himpunan
Profesi
dan
Peminat
Ilmu
Ekonomi
Studi
Pembangunan (HIPOTESA) pada periode yang sama. Karier organisasi penulis diakhiri dengan menjabat sebagai Ketua Departemen Pengembangan Kreativitas dan Minat Bakat Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (BEM FEM) IPB periode 2005/2006.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT karena atas izin dari-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Tidak lupa salawat serta salam agar terus tercurah kepada nabi akhir zaman beserta sahabat dan keluarganya sebagai penuntun jalan yang lurus kepada umatnya Rasulullah Muhammad SAW. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Mei 2006 dengan judul “Efek Perubahan (Pass-Through Effect) Kurs Terhadap Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan. Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama. Pertama, menganalisis derajat pass-through di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan. Kedua, menganalisis pengaruh efek perubahan kurs (pass-through effect) terhadap IHK di negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan. Ketiga, menganalisis peranan kurs dalam menjelaskan fluktuasi IHK di negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan. Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Noer Azam Achsani, Ph.D yang telah memberikan bimbingan baik secara teoritis maupun teknis, transfer ilmu serta menyisihkan waktu luangnya untuk konsultasi kepada penulis selama proses pengerjaan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada segenap pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini diantaranya : 1. Ibu Rina Oktaviani, Ph.D yang telah bersedia menjadi dosen penguji dalam ujian sidang penulis serta memberikan saran dan masukan untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. 2. Ibu Widyastutik, S.E, M.Si yang telah bersedia menjadi komisi pendidikan dalam ujian sidang penulis serta memberikan saran dan masukan untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. 3. Bapak Andriansyah, M.Sc yang telah memberikan izin pengambilan data melalui Bloomberg di BAPEPAM Departemen Keuangan. 4. Mba Yati Nuryati, M.S dan Bang Adrian Lubis, M.S yang sangat membantu dalam proses pengolahan data.
5. Bapak Syamsul Hidayat Pasaribu, S.E, M.Si yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis serta pinjaman literatur ekonometrika dan ekonomi keuangan internasional. 6. Bapak Dr. Djoni Hartono yang telah meminjamkan literatur ekonometrika. 7. Bapak Dr. Sahminan Pulungan atas pemberian data harga impor negara ASEAN. 8. Thamic, Iqbal, Imam, Ionk, Mala, Wirda, Tasya, Lia, Ary, Andros dan Rudi yang juga senantiasa membantu, menghibur dan senantiasa memberikan motivasi kepada penulis sampai dengan skripsi ini dapat terselesaikan. 9. Rekan-rekan departemen ilmu ekonomi angkatan 39 (Ary, Galih, Nova, Edi, Aan, Mardi, Juned, Herry, Nina, Hanie, Ade) yang senantiasa membantu penulis dalam bertukar pikiran selama proses pengerjaan skripsi sampai dengan skripsi ini selesai. Akhirnya penulis ingin memberikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada keluarga penulis terutama Wiwit Widyawati dan Adil Nugraha selaku Ibu dan Ayah yang telah banyak mendukung dan membesarkan penulis dan kepada adik-adik yaitu Fachri dan Fitry. Skripsi ini mungkin tidak akan begitu penting bagi keluarga penulis akan tetapi setidaknya mereka mengetahui ada sesuatu yang terjadi selama mereka mengorbankan waktu untuk penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih terdapat banyak sekali kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sematamata ditujukan untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang ada sangat penulis harapkan. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ekonomi Indonesia terutama dalam menghadapi perekonomian global serta dapat menambah khazanah pengetahuan kita. Bogor, Juli 2006 Wassalam, Fickry Widya Nugraha H14102111
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL ...........................................................................................x DAFTAR GAMBAR.......................................................................................xi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................xii DAFTAR SINGKATAN ...............................................................................................................................xi v I.
PENDAHULUAN............................................................................................1 1.1. Latar Belakang ...........................................................................................1 1.2. Permasalahan..............................................................................................6 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................10 1.4. Ruang Lingkup Penelitian .........................................................................11
II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................12 2.1. Kurs (Exchange Rate) ................................................................................12 2.1.1. Kurs Nominal ...................................................................................12 2.1.2. Kurs Riil ...........................................................................................13 2.1.3. Kurs Efektif Nominal.......................................................................13 2.2. Jumlah Uang Beredar.................................................................................15 2.3. Teori Purchasing Power Parity (PPP).......................................................15 2.3.1. Paritas daya beli absolut...................................................................15 2.3.2. Paritas daya beli relatif.....................................................................15 2.4. Pendekatan Konseptual Exchange Rate Pass-Through (ERPT) ...............16 2.4.1. Complete Pass-Through...................................................................18 2.4.2. Incomplete Pass-Through ................................................................18 2.4.3. Zero Pass-Through ..........................................................................19 2.4.4. Delayed Pass-Through.....................................................................19
2.5. Analisis Pass-Through Effect.....................................................................19 2.5.1. Efek Langsung (Direct Effect) ........................................................19 2.5.2. Efek Tidak Langsung (Indirect Effect) ...........................................22 2.6. Inflasi ........................................................................................................23 2.7. Jenis Inflasi ...............................................................................................24 2.7.1. Demand pull inflation ......................................................................24 2.7.2. Cost push inflation ...........................................................................25 2.7.3. Ekspektasi inflasi (expected inflation) .............................................26 2.7.4. Perspektif Inflasi .............................................................................26 2.8. Hubungan Nilai Tukar Dengan Tingkat Harga..........................................28 2.9. Indeks Harga Konsumen (IHK) .................................................................30 2.10. Determinasi Kurs .....................................................................................31 2.10.1. Pendekatan Neraca Pembayaran ..................................................32 2.10.2. Pendekatan Moneter.....................................................................32 2.10.3. Pendekatan Neraca Portofolio......................................................35 2.11. Indeks Produksi Industri (IPX) ................................................................36 2.12. Indeks Harga Produsen (PPI) ...................................................................37 2.13. Indeks Harga Perdagangan Besar (WPI)..................................................37 2.14. Indeks Harga Impor (IPC)........................................................................38 2.15. Tinjauan Penelitian Terdahulu .................................................................38 2.16. Kerangka Pemikiran.................................................................................42 III. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................47 3.1. Jenis dan Sumber Data ...............................................................................47 3.2. Metode Analisis .........................................................................................48 3.2.1. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................48 3.2.2. Analisis Structural Vector Autoregression (SVAR) ........................48 3.2.3. Analisis Vector Error Correction Model (VECM)..........................52 3.2.4. Data Generating Process (DGP) .....................................................53 3.2.5. Restriksi Sementara..........................................................................57 3.2.6. Model Restriksi ...............................................................................57 3.2.7. Innovation Accounting .....................................................................61
3.2.7.1 Impulse Response Function (IRF)........................................61 3.2.7.2. Decomposition of Forecasting Error Variance (DFEV) ....61 3.2.8. Derajat Pass-Through ......................................................................62 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................63 4.1. Sekilas Kondisi Perekonomian di Asia .....................................................63 4.2. Tren Kurs di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan.....................................64 4.3. Data Generating Process (DGP) ..............................................................68 4.3.1. Uji Stasioneritas Data......................................................................69 4.3.2. Penentuan Lag Optimal...................................................................71 4.3.3. Pengujian Stabilitas VAR ...............................................................73 4.3.3. Pengujian Kointegrasi .....................................................................73 4.4. Hasil Empiris.............................................................................................75 4.4.1. Simulasi Analisis Impuls Respon....................................................76 4.4.2. Simulasi Analisis Dekomposisi Varian...........................................95 4.5. Efek Perubahan (Pass-Through Effect) Kurs Terhadap IHK......................105 V.
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................119 5.1. Kesimpulan ...............................................................................................119 5.2. Saran..........................................................................................................121
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................123 LAMPIRAN.........................................................................................................127
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
3.1.
Variabel Penelitian yang Digunakan...................................................... 47
4.1.
Transformasi Rezim Kurs di Beberapa Negara Asia Pasca Krisis ........ 68
4.2.
Uji Stasioneritas Data ASEAN-5 .......................................................... 69
4.3.
Uji Stasioneritas Data Jepang dan Korea Selatan ................................. 70
4.4.
Pengujian lag optimal VAR ................................................................... 71
4.5.
Uji Stabilitas model SVAR ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan .................................................................................................... 73
4.6.
Pengujian Kointegrasi Berdasarkan Trace Statistics ............................. 74
4.7.
Dekomposisi Varian IHK di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan .................................................................................................... 96
4.8.
Derajat Pass-Through di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan ........... 105
4.9. Nilai Suku Bunga Nominal di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan .................................................................................................... 108 4.10. Peranan Faktor Eksternal Terhadap Fluktuasi di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan ...................................................................... 110
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1.
Grafik Indeks Nilai Tukar Domestik (1990=100) Terhadap US$ di Negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan periode 1990-2005...... 4
1.2.
Grafik Perekembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) (1990=100) di Negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan 1990-2005................... 7
2.1.
Kurva Demand Pull Inflation................................................................... 24
2.2.
Kurva Cost Push Inflation........................................................................ 25
2.3.
Kurva Model Mundell Flemming Jangka Pendek dan Jangka Panjang ... 29
2.4. Kerangka Pemikiran Teoritis Efek Perubahan Kurs Terhadap IHK........ 43 4.1.
Tren Kurs Domestik Terhadap US$ di Negara ASEAN-5 Periode 1990-2005 ............................................................................................... 66
4.2.
Tren Kurs Domestik Terhadap US$ di Negara Jepang dan Korea Selatan Periode 1990-2005 ................................................................................... 67
4.3.
Respon Kurs Domestik Terhadap Guncangan Kurs di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan .................................................................................... 77
4.4. Respon PPI Terhadap Guncangan Kurs di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan .................................................................................... 81 4.5.
Respon IPX Terhadap Guncangan Kurs di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan .................................................................................... 85
4.6.
Respon IHK Terhadap Guncangan Kurs di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan .................................................................................... 91
4.7.
Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Indonesia......... 109
4.8.
Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Malaysia.......... 111
4.9.
Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Thailand .......... 112
4.10. Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Filipina............ 113 4.11. Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Singapura ........ 114 4.12. Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Jepang ............. 116 4.13. Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Korea Selatan.. 117
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman INDONESIA Lampiran 1. Uji Akar Unit ................................................................................. 127 Lampiran 2. Uji Lag Optimal ............................................................................ 131 Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR......................................................................... 132 Lampiran 4. Restriksi Sementara ....................................................................... 133 Lampiran 5. Uji Kointegrasi .............................................................................. 135 Lampiran 6. Impulse Response Function ........................................................... 136 Lampiran 7. Forecasting Error Variance Decomposition................................. 137 MALAYSIA Lampiran 1. Uji Akar Unit ................................................................................. 137 Lampiran 2. Uji Lag Optimal ............................................................................ 141 Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR......................................................................... 142 Lampiran 4. Restriksi Sementara ....................................................................... 143 Lampiran 5. Uji Kointegrasi .............................................................................. 145 Lampiran 6. Impulse Response Function ........................................................... 147 Lampiran 7. Forecasting Error Variance Decomposition................................. 148 THAILAND Lampiran 1. Uji Akar Unit ................................................................................. 148 Lampiran 2. Uji Lag Optimal ............................................................................ 153 Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR......................................................................... 154 Lampiran 4. Restriksi Sementara ....................................................................... 155 Lampiran 5. Uji Kointegrasi .............................................................................. 157 Lampiran 6. Impulse Response Function ........................................................... 158 Lampiran 7. Forecasting Error Variance Decomposition................................. 159 FILIPINA Lampiran 1. Uji Akar Unit ................................................................................. 160 Lampiran 2. Uji Lag Optimal ............................................................................ 164
Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR......................................................................... 165 Lampiran 4. Restriksi Sementara ....................................................................... 166 Lampiran 5. Uji Kointegrasi .............................................................................. 168 Lampiran 6. Impulse Response Function ........................................................... 169 Lampiran 7. Forecasting Error Variance Decomposition................................. 170 SINGAPURA Lampiran 1. Uji Akar Unit ................................................................................. 171 Lampiran 2. Uji Lag Optimal ............................................................................ 175 Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR......................................................................... 176 Lampiran 4. Restriksi Sementara ....................................................................... 177 Lampiran 5. Uji Kointegrasi .............................................................................. 179 Lampiran 6. Impulse Response Function ........................................................... 180 Lampiran 7. Forecasting Error Variance Decomposition................................. 181 JEPANG Lampiran 1. Uji Akar Unit ................................................................................. 182 Lampiran 2. Uji Lag Optimal ............................................................................ 183 Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR......................................................................... 187 Lampiran 4. Restriksi Sementara ....................................................................... 188 Lampiran 5. Uji Kointegrasi .............................................................................. 190 Lampiran 6. Impulse Response Function ........................................................... 191 Lampiran 7. Forecasting Error Variance Decomposition................................. 192 KOREA SELATAN Lampiran 1. Uji Akar Unit ................................................................................. 193 Lampiran 2. Uji Lag Optimal ............................................................................ 197 Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR......................................................................... 198 Lampiran 4. Restriksi Sementara ....................................................................... 199 Lampiran 5. Uji Kointegrasi .............................................................................. 201 Lampiran 6. Impulse Response Function ........................................................... 202 Lampiran 7. Forecasting Error Variance Decomposition................................. 203
DAFTAR SINGKATAN
ASEAN
= Association of SouthEast Asian Nation
IMF
= International Monetary Fund
IFS
= International Financial Statistic
ERPT
= Exchange Rate Pass-Through
PDB
= Produk Domestik Bruto
FDI
= Foreign Direct Investment
PPP
= Purchasing Power Parity
AFC
= Asian Financial Crisis
SBI
= Sertifikat Bank Indonesia
PPI
= Producer Price Index
IPX
= Industrial Production Index
CPI
= Consumer Price Index
IHK
= Indeks Harga Konsumen
DGP
= Data Generating Process
ADF
= Augmented Dickey Fuller
AIC
= Akaike Information Criterion
SBC
= Schwarz Bayesian Criterion
HQC
= Hannan-Quinn Criterion
OLS
= Ordinary Least Squares
VAR
= Vector Autoregression
SVAR
= Structural Vector Autoregression
VECM
= Vector Error Correction Model
IRF
= Impulse Response Function
DFEV
= Decomposition of Forecasting Error Variance
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Rezim kurs yang diterapkan hampir di sebagian besar dunia sampai dengan
tahun 1929 menggunakan standar emas (gold system) yang mengikat nilai mata uang kepada nilai emas (Microsoft Encarta Library, 2005). Saat itu, emas memiliki peran utama dalam sistem ekonomi dunia baik untuk pembayaran saat itu (present payment) maupun yang akan datang (future payment), saving dari pendapatan dan juga sebagai penerimaan. Implikasi penggunaan standar emas dalam sistem moneter internasional yaitu pertama, kecukupan suplai emas dalam jumlah besar karena emas digunakan sebagai instrumen utama perekonomian dunia (trade and capital movement). Kedua, kepercayaan yang kuat dalam emas sebagai uang. Ketiga, harus adanya mekanisme yang efektif dalam menyesuaikan permintaan dan persediaan internasional dari mata uang setiap negara yang berpartisipasi dalam sistem ini. Ketiga implikasi ini dapat berjalan dengan baik sebelum tahun 1914. Selama 25 tahun setelah Perang Dunia II, sistem moneter internasional didasarkan pada kurs tetap dan dikenal sebagai Bretton Woods System. Bretton Woods System merupakan nama lain dari rezim kurs tetap (fixed exchange rate regimes). Pada sistem kurs ini negara anggota diwajibkan untuk menganut sistem kurs dimana mata uang negara yang bersangkutan memiliki pegged rate terhadap emas yang didenominasikan dalam mata uang Dollar US yaitu US$ 35/ons. Artinya untuk mendapatkan satu ons emas harus ditebus dengan uang sebesar
US$ 35. Nilai tukar ini tidaklah tetap untuk selamanya akan tetapi ada devaluasi yang sekali-kali dari mata uang untuk mengoreksi ketidakseimbangan pokok dalam Balance of Payment (BOP). Setelah Perang Dunia II, Amerika memegang US$ 26 miliar dalam cadangan emasnya. Angka ini meliputi 60 persen dari total cadangan emas yang ada di dunia sebesar US$ 40 miliar. Komitmen Amerika untuk membantu negara Eropa pasca Perang Dunia II diwujudkan dalam Marshall-Plan (The European Recovery Program) melalui bantuan dana daripada pemberian pinjaman. Sejak tahun 1947 sampai 1958 terjadi aliran keluar (outflow) Dollar ke berbagai negara Eropa. Sisi positifnya, perdagangan dunia pun mulai bergairah kembali tetapi sisi negatifnya menyebabkan cadangan emas Amerika semakin berkurang seiring bergeraknya perekonomian dunia. Akibatnya, pada tahun 1958 Amerika pun mengalami defisit neraca pembayaran. Pesatnya perekonomian dunia pada pertengahan tahun 1960-an juga menyebabkan Eropa dan Jepang menjadi kekuatan ekonomi internasional dengan total reserve yang melebihi Amerika dan pendapatan per kapita yang mulai mendekati Amerika (Microsoft Encarta Library, 2005). Ketidakpuasan Eropa dan Jepang terhadap sistem moneter internasional yang berlaku serta tekanan yang senantiasa meningkat terhadap Amerika di tahun 1960-an membuat kebijakan untuk menahan Dollar. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya negara yang tidak setuju terhadap politik Amerika, misalnya perang Vietnam. Selain itu Jerman Barat juga sepakat untuk tidak membeli emas dari Amerika. Hal ini diperparah lagi ketika Presiden Richard Nixon mengimpor
minyak dengan tujuan untuk mengurangi biaya energi. Hasilnya justru mengakibatkan dollar flight dan mengurangi cadangan emas. Puncaknya pada awal 1970-an menyebabkan inflasi dan untuk pertama kalinya dalam abad ke-20 Amerika tidak hanya mengalami defisit neraca pembayaran tetapi juga neraca perdagangan. Upaya IMF untuk membendung dollar flight dengan menerbitkan Special Drawing Rights (SDR) pun tidak berlangsung efektif. Pada tahun 1971 Amerika mengalami defisit sebesar US$ 56 miliar dan untuk menutupinya kebanyakan diambil dari cadangan emasnya. Selain itu tindakan Presiden Nixon untuk mencetak Dollar dalam membiayai defisit anggaran semakin memperburuk kondisi ekonomi Amerika saat itu sekaligus mengakhiri berakhirnya sistem kurs tetap berbasis emas. Sejak bulan Desember 1971 harga emas pun mulai meningkat tajam dan sempat mencapai US$ 70,3/ons. Mulai tahun 1972 mata uang dibiarkan mengambang dan pada bulan Februari 1973 Bretton Woods currency exchange market dengan resmi ditutup sekaligus menandai dimulainya rezim baru dalam sistem moneter internasional atau dikenal dengan istilah rezim kurs mengambang bebas (floating exchange rate regimes) pada bulan Maret 1973. Namun demikian, berlakunya rezim kurs mengambang bebas juga bukan berarti tanpa masalah. Pemberlakuan rezim kurs mengambang bebas merupakan salah satu penyebab terjadinya structural breaks atau lebih dikenal dengan istilah Krisis Keuangan Asia (Asian Financial Crisis) 1997-1998 (Sahminan, 2005). Keputusan pemerintah Thailand untuk mendevaluasi Baht pada 2 Juli 1997
merupakan penyebab krisis keuangan yang menjalar di ASEAN yang kemudian disusul adanya kepanikan luar biasa di bursa saham dan mata uang. Krisis selanjutnya menjalar ke Korea Selatan, Malaysia, Indonesia, Filipina, Singapura dan Hongkong (Achsani, 2001). Krisis Asia 1997-1998 telah memberikan eksternalitas negatif bagi negaranegara di Asia terutama negara Asia Tenggara khususnya Indonesia. Negara yang terkena dampak paling parah adalah Indonesia. Kurs Rupiah Indonesia bahkan sempat terdepresiasi mencapai Rp. 15.000/US$ pada pertengahan bulan Juni 1998 yang semula berada pada nilai Rp. 4.650/US$ pada bulan Desember 1997. Gambar 1.1 dibawah ini menampilkan perkembangan kurs domestik terhadap US$ selama periode 1990-2005. Berdasarkan Gambar 1.1, terlihat bahwa Indonesia mengalami depresiasi kurs tertajam dibandingkan negara Asia lainnya.
180 170 160 150 140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20
Ja n Ag -90 us tM 90 ar -9 O 1 kt9 M 1 ei De -92 s9 Ju 2 l -9 Fe 3 bSe 9 4 p9 Ap 4 r-9 No 5 pJu 95 n9 Ja 6 n Ag -97 us t-9 M 7 ar O 98 kt9 M 8 ei De 99 s9 Ju 9 lF e 00 b0 Se 1 pAp 01 r-0 No 2 p0 Ju 2 nJa 03 n Ag -04 us t-0 M 4 ar O 05 kt05
10 0
PERIODE
Sumber: data Bloomberg tahun 1990-2005 (diolah)
Gambar 1.1. Grafik Indeks Nilai Tukar Domestik (1990=100) Terhadap US$ di Negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan periode 1990-2005
Masalah yang melatarbelakangi perbedaan besaran inflasi pada saat terjadinya krisis terletak pada masalah kurs. Depresiasi kurs mengakibatkan harga barang-barang impor menjadi meningkat. Peningkatan harga barang impor akan meningkatkan harga bahan baku impor sehingga akan meningkatkan biaya produksi. Efek akhirnya adalah meningkatnya tingkat harga secara umum atau inflasi. Salah satu isu sentral dalam ekonomi internasional saat ini adalah exchange rate pass-through (ERPT) yang didefinisikan sebagai persentase perubahan harga (domestik, impor maupun ekspor) sebagai akibat perubahan satu persen dalam kurs. Dalam perdagangan internasional, misalnya depresiasi Rupiah terhadap Dollar sebesar 10 persen (0,1), karena produsen asing ingin mengejar market share dan laba tinggi di Indonesia maka ia menurunkan harga ekspor ke Indonesia sebesar 5 persen (0,05). Menurut doktrin PPP (asumsi harga produk lokal tetap) jika kurs nominal terdepresiasi 10 persen maka kurs riil akan berubah sebesar 10 persen akan tetapi perubahannya hanya sebesar 5 persen karena produsen asing menurunkan harga ekspornya ke Indonesia sebesar 5 persen. Hal ini yang dinamakan incomplete pass-through of exchange rate. Hal ini juga mengindikasikan terjadinya fenomena pricing to market di suatu negara. Terkait dengan tantangan era perdagangan bebas di kawasan Asia yaitu kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area dan juga Joint Declaration on the Comprehensive Economic Partnership antara ASEAN-Jepang menjadi tantangan sendiri bagi perekonomian Asia. Saat itu persaingan tidak hanya dengan sesama negara ASEAN, tetapi juga dengan China dan Jepang yang merupakan dua dari
tiga kekuatan ekonomi terbesar dunia saat ini selain Amerika Serikat (Achsani, 2001). Tantangan ini kemudian diperkuat lagi dengan disepakatinya untuk mengintegrasikan ekonomi ASEAN kedalam komunitas tunggal (single community) pada tahun 2020 pada pertemuan ASEAN yang ke-36. Beberapa ekonom mengemukakan bahwa pasar tunggal membutuhkan adanya suatu kesamaan mata uang (common curency). Hal ini diperlukan guna meminimalisir biaya transaksi dan resiko yang timbul dari perbedaan kurs yang mengarah kepada diferensiasi harga (Lloyd dan Smith, 2004). Sehingga masalah kurs akan menjadi topik utama bagi kesiapan negara-negara Asia dalam menghadapi tantangan tersebut. Masih minimnya penelitian mengenai ERPT di negara berkembang khususnya di Asia dan negara berkembang melatarbelakangi penulis untuk mencoba meneliti mengenai efek perubahan (pass-through effect) kurs terhadap indeks harga konsumen (IHK) di negara Asia dengan menggunakan alat analisis Structural Vector Autoregression (SVAR).
1.2.
Permasalahan Pemberlakuan rezim kurs mengambang bebas yang menimbulkan
volatilitas kurs merupakan hal yang fenomena yang menarik untuk diteliti, terutama untuk dilihat pengaruhnya terhadap indeks harga konsumen di Asia. Disamping itu menurut Sato, Ito dan Sasaki (2005) terjadinya perbedaan besaran inflasi pada saat terjadinya krisis keuangan di Asia terletak pada perbedaan kecenderungan pergerakan kurs di negara Asia yang ditunjukkan oleh
Gambar 1.1. Akibatnya efek perubahan kurs terhadap inflasi pun juga cenderung berbeda terutama saat dan pasca terjadinya krisis keuangan di Asia tahun 19971998. Fluktuasi inflasi yang diidentifikasi melalui IHK yang terjadi akibat perubahan kurs di beberapa negara Asia dapat dilihat pada Gambar 1.2 di bawah ini 700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 Jan- Aug90 90
Mar 91
Oct91
May- Dec92 92
Jul 93
Feb94
Sep94
Apr - Nov95 95
Jun96
Jan97
Aug- Mar 97 98
Oct98
May- Dec99 99
Jul 00
Feb01
Sep01
Apr 02
Nov02
Jun03
Jan04
Aug04
Mar 05
Oct05
Periode
Sumber: data Bloomberg tahun 1990-2005 (diolah)
Gambar 1.2. Grafik Perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) (1990=100) di Negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan periode 1990-2005 Berdasarkan Gambar 1.2 dapat diketahui bahwa setelah bulan Agustus 1997 tren IHK di Indonesia meningkat tajam dan lebih tinggi dibanding negara Asia lainnya. Hal ini diakibatkan oleh fenomena depresiasi kurs Rupiah terhadap USD. Menurut IMF, kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika terdepresiasi tajam mencapai Rp. 15.000/US$ yang semula berada pada kisaran Rp. 4.700/US$. Artinya, dibandingkan negara Asia lainnya terutama di kawasan Asia Tenggara Indonesia mengalami efek terparah sebagai akibat dari perubahan kurs yang terjadi saat itu. Gambar 1.2 juga mengimplikasikan bahwa pasca krisis Indonesia
masih mengalami mengalami tren pertumbuhan IHK yang tinggi dibanding negara Asia lainnya. Dengan demikian, fenomena ini juga dapat dipandang sebagai konsekuensi dari penerapan rezim kurs mengambang yang diterapkan di Indonesia. Rezim kurs mengambang bebas telah memberikan fenomena dalam perdagangan internasional dimana harga untuk barang yang sama antar negara harus dalam paritas yang sama. Doktrin Purchasing Power Parity (PPP) memberikan implikasi bahwa nilai atau harga suatu barang yang sama antara negara satu dengan negara yang lain haruslah sama yang didenominasikan dalam mata uang yang berlaku di negara tersebut. Namun demikian, dalam kaitannya dengan rezim kurs mengambang maka pada aplikasinya terjadi deviasi dari teori PPP ini. Pada kenyataannya, nilai atau harga suatu barang sama tadi, yang telah didenominasikan dalam mata uang negara tersebut, dapat berbeda satu sama lain. Masalah yang melatarbelakangi perbedaan ini terletak pada masalah exchange rate (kurs). Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa isu sentral dalam ekonomi internasional saat ini adalah exchange rate pass- through (ERPT) yang didefinisikan sebagai persentase perubahan harga (domestik, impor maupun ekspor) sebagai akibat perubahan satu persen dalam kurs. ERPT telah menjadi subyek dari studi para ekonom sejak 1970-an terutama pasca jatuhnya Bretton Woods System. Mann dalam Sahminan (2005) menemukan bahwa pada negara yang volatilitas permintaan agregatnya tinggi maka efek dari pass-through akan berpengaruh sedikit terhadap perekonomian
negara tersebut. Windarti (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa efek perubahan kurs di Indonesia akan direspon secara negatif oleh tingkat harga. Artinya ketika Rupiah terdepresiasi maka akan meningkatkan tingkat harga secara umum. Menurut Flamini (2003) dampak yang ditimbulkan akibat ERPT terhadap IHK akan berbeda saat bank sentral mengadopsi strict CPI dan flexible CPI inflation targeting. Menurut Sato, et al ,(2005) jika kebijakan moneter di suatu negara bersifat strict inflation targeting maka pengaruh ERPT terhadap IHK akan minimal dan begitu juga sebaliknya. Selain itu Sato, et al ,(2005) juga menemukan bahwa ERPT pada negara-negara yang mengalami krisis di Asia seperti Indonesia, Korea dan Thailand memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap harga domestik. Dalam kasus Indonesia misalnya, depresiasi Rupiah terhadap US$ sebesar 0,8 persen per hari pada tahun 1997-1998 menyebabkan total ekspor Indonesia menurun sebesar 8,5 persen pada akhir 1998 dibandingkan tahun 1997. Dari segi volume, total ekspor barang dagang mengalami rata-rata penurunan sebesar 14 persen antara kuartal kedua tahun 1998 dan kuartal pertama tahun 1999 (Siregar dan Rajan dalam Sahminan, 2005). Selanjutnya penurunan nilai ekspor akan mempengaruhi pendapatan eksportir dan laju inflasi di Indonesia melalui keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar domestik. Sampai sejauh ini tidak ada pendekatan yang seragam dalam menganalisis pass-through terhadap IHK, akan tetapi berdasarkan penelitian terdahulu (McCarthy, 2000; Hyder dan Sah, 2004; Hartati, 2004; Windarti, 2004; Sato, et al,
2005) derajat pass-through akan dianalisis dengan menggunakan Cholesky Decomposition melalui guncangan struktural terhadap IHK. Identifikasi guncangan struktural selengkapnya dapat dilihat pada bab III dalam penelitian ini. Lebih khusus lagi poin-poin yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu : a.
Bagaimana derajat pass-through di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan?
b.
Bagaimana efek perubahan (pass-through effect) kurs terhadap indeks harga konsumen (IHK) di negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan ?
c.
Bagaimana peranan kurs dalam menjelaskan fluktuasi indeks harga konsumen (IHK) di negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan ?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu :
1.
Menganalisis derajat pass-through di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan.
2.
Menganalisis pengaruh efek perubahan (pass-through effect) kurs terhadap IHK di negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan.
3.
Menganalisis peranan kurs dalam menjelaskan fluktuasi IHK di negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :
1.
Memberikan wawasan mengenai pengaruh ERPT terhadap indeks harga konsumen di negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan.
2.
Sebagai bahan referensi kepada para pembuat kebijakan baik di tingkat nasional maupun internasional.
3.
Menjelaskan pengaruh jangka pendek dan jangka panjang fenomena ERPT di negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan.
4.
Mengetahui efek simultan akibat efek perubahan kurs bagi perdagangan internasional terutama di Asia.
5.
Sebagai media komparatif antara teori yang selama ini dipelajari di bangku kuliah dengan fakta yang terjadi di dunia nyata.
1.4.
Ruang Lingkup Penelitian Fokus dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efek perubahan (pass-
through effect) kurs terhadap IHK di negara ASEAN. Adapun ruang lingkup penelitian ini mengambil sampel lima negara utama ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura. Namun terkait dengan era perdagangan bebas ASEAN yang akan melibatkan
Jepang, Cina dan Korea
Selatan maka penulis memasukkan ketiga negara tersebut ke dalam lingkup penelitian ini Namun demikian, keterbatasan ketersediaan data negara Cina menyebabkan tidak memungkinkan untuk dianalisis. Sehingga dalam penelitian ini hanya mencakup negara ASEAN, Jepang dan Korea Selatan (ASEAN+2).
II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam hubungannya dengan penelitian ini maka beberapa teori yang mendukung sebagai alat bantu teoritis untuk menganalisis efek perubahan kurs terhadap IHK adalah sebagai berikut : 2.1.
Kurs (exchange rate) Nilai tukar atau kurs (exchange rate) didefinisikan sebagai harga satuan
mata uang dalam negeri (domestic currency) terhadap mata uang luar negeri (Salvatore, 1997). Nilai tukar antara dua negara adalah harga di mana penduduk kedua negara saling melakukan perdagangan (Mankiw, 2000). Dalam kenyataannya kurs dibedakan menjadi tiga jenis yaitu kurs nominal, kurs riil dan kurs efektif nominal. Adapun definisi dari ketiganya dapat dilihat dibawah ini : 2.1.1. Kurs nominal Kurs nominal (e) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Biasanya kurs nominal (e) disebut juga kurs bilateral karena hanya membandingkan nilai mata uang dua negara. Sebagai contoh jika kurs nominal antara Indonesia dengan Amerika sebesar Rp.10.000 per Dollar maka artinya untuk memperoleh satu Dollar Amerika (1 US$) harus ditukarkan dengan uang sebesar Rp.10.000. Menurut Moosa (2004) nilai tukar uang nominal (e) dapat dirumuskan sebagai berikut :
e = Pd / Pf
(1)
dimana Pd adalah tingkat harga domestik dan Pf adalah tingkat harga luar negeri.
2.1.2. Kurs riil Kurs riil (q) adalah harga relatif dari barang-barang kedua negara. Dengan kata lain kurs riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barangbarang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Kurs riil (q) kadang-kadang disebut terms of trade. Menurut Batiz (1994), kurs riil dapat dirumuskan sebagai berikut : * q =e p
p
(2)
dimana q adalah kurs nominal, Pd adalah tingkat harga domestik dan Pf adalah tingkat harga luar negeri. 2.1.3. Kurs efektif nominal Kurs efektif nominal (Et) adalah indeks (diukur relatif terhadap periode dasar) dari rata-rata tertimbang kurs nominal terhadap mata uang dari mitra dagang utama (major trading partners). Kurs efektif nominal mengukur harga dari mata uang dalam negeri terhadap beberapa negara (multilateral) mitra dagang utama (major trading partners). Menurut Moosa (2004) kurs efektif pada waktu t dihitung sebagai rata-rata tertimbang dari dari kurs relatif (exchange rate relatives) dan dapat dirumuskan sebagai berikut : m
Et = ∑ wV i it
(3)
i =1
wi =
Xi + Mi m
∑ Xi + Mi
(4)
i =1
Vit =
S i ,t Si.0
(5)
dimana Et adalah kurs efektif nominal pada waktu ke t, m adalah jumlah mata uang negara mitra dagang utama, wi adalah rata-rata perdagangan yang didenominasikan dalam mata uang negara i, Vit adalah kurs relatif dari mata uang negara i pada waktu t, Si adalah kurs pada spot market saat ini, S0 adalah kurs pada periode dasar (base period), Xi adalah nilai ekspor domestik ke negara i dan Mi adalah nilai impor dari negara i. 2.2.
Jumlah Uang Beredar (Money Supply) Jumlah uang yang tersedia disebut penawaran uang (money supply)
(Mankiw, 2000). Dalam arti luas jumlah penawaran uang dapat dibedakan menjadi tiga jenis base money (Mo), M1, M2 dan M3. Uang beredar yang dipengaruhi oleh bank sentral sebagai instrument kebijakan moneter adalah Mo (base money). Komposisi jumlah uang yang beredar di masyarakat dapat kita bedakan menjadi dua bagian. Pertama adalah uang beredar dalam pengertian sempit, yang digunakan untuk transaksi yaitu M1 (narrow money), dan kedua adalah uang beredar dalam pengertian luas yang biasa disebut dengan M2 (broad money). Komposisi jumlah uang beredar M1 dan M2 adalah sebagai berikut (Mishkin, 2001): M1 = Mo + traveler’s checks + demand deposits + other checkable
(6)
Deposits + total M1 M2 = M1 + small-denomination time deposits + saving deposit and
(7)
money market deposits accounts + total M2 M3 = M2 + large-denomination time deposits + money market mutual fund shares+ term repurchase agreements + term Eurodollars + total M3
(8)
2.3.
Teori Purchasing Power Parity (PPP) Teori
Purchasing
Power
Parity (PPP)
atau
paritas
daya
beli
menggambarkan hubungan antara tingkat harga umum dan kurs pada waktu tertentu. Versi dasar dari Purchasing Power Parity (PPP) dapat dipandang sebagai generalisasi dari Hukum Satu Harga (The Law of One Price). Implikasinya adalah bahwa harga komoditi yang diperdagangkan antar negara haruslah sama walaupun didenominasikan dalam mata uang negara yang berlaku. Menurut Batiz (1994) PPP dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 2.3.1. Paritas daya beli absolut (absolute purchasing power parity) Paritas daya beli absolut mengindikasikan bahwa kurs memiliki hubungan dengan harga relatif suatu barang. Hubungan antara kurs dengan harga barang atau tingkat harga umum direfleksikan melalui rumus berikut : P = e P*
(9)
atau Pˆ = eˆ + Pˆ *
(10)
dimana P adalah harga domestik, e adalah kurs nominal, P* adalah harga luar negeri (harga impor), Pˆ adalah perubahan harga domestik, eˆ adalah perubahan kurs nominal dan Pˆ * adalah perubahan harga luar negeri. 2.3.2. Paritas daya beli relatif (relative purchasing power parity)
Konsep paritas daya beli relatif menyatakan bahwa perubahan kurs sepanjang waktu t ke t + T akan sebanding dengan perubahan paritas daya beli antara dua negara. Konsep ini juga menekankan adanya penghitungan periode
dasar (base period) dalam persamaan paritas daya beli. Maka persamaan paritas daya beli relatif adalah sebagai berikut :
(S
e t +T
(
)(
− St ) / St = π te − π te / 1 + π te *
*
)
(11)
dimana Ste+T adalah expected exchange rate, St adalah kurs pada periode dasar *
(base period), π te adalah inflasi di dalam negeri, π te adalah inflasi di luar negeri. Model persamaan ini mengimplikasikan bahwa perubahan dalam ekspektasi kurs (expected exchange rate) akan berhubungan dengan perubahan dalam ekspektasi inflasi (expected inflation).
2.4.
Pendekatan Konseptual Exchange Rate Pass-Through (ERPT)
Exchange rate pass-through (ERPT) didefinisikan sebagai perubahan
harga (harga ekspor, harga impor maupun harga domestik) sebagai akibat perubahan satu persen dalam kurs domestik terhadap kurs asing. Menurut Moosa (2004) dan Batiz (1994), ERPT dapat disebut sebagai efek perubahan kurs atau persentase perubahan kurs terhadap persentase perubahan harga ekspor dan harga impor. Konsep ERPT dapat didekati melalui penurunan rumus PPP, yaitu : Pˆ + qˆ = eˆ + Pˆ *
(12)
dimana Pˆ adalah perubahan harga domestik, qˆ adalah perubahan kurs riil, eˆ adalah perubahan kurs nominal dan Pˆ * adalah perubahan harga luar negeri. Selain itu pengembangan model exchange rate pass-through juga dapat dikembangkan dari model ekonomi mikro sebagai berikut (Sahminan, 2005):
PM t j = Et j PX t j = Et j λt j Ct *
(13)
α
⎛ Pj ⎞ λt = ⎜ j t * ⎟ ⎝ Et Ct ⎠ j
(14)
dimana PM t j adalah harga impor negara j dalam mata uangnya pada waktu t,
PX t j adalah harga ekspor ke negara j dalam mata uangnya pada waktu t, Et j adalah kurs nominal negara j terhadap negara pengimpor (mitra dagang), Ct * adalah
marginal cost dalam mata uang negara pengekspor, λt j adalah biaya mark up produksi dan Pt j adalah harga kompetitor untuk jenis barang yang sama di negara j. Dengan mengasumsikan bahwa perusahaan pengekspor menetapkan mark
up ( λt j ) dengan memasukkan tekanan kompetitif (competitive pressure) ke dalam pasar impor dan tekanan kompetitif ini dihitung dari gap antara harga barang pesaing dalam pasar impor dan biaya produksi perusahaan. Maka persamaan ini disubtitusikan ke dalam persamaan di atas:
PM t j = ( Et j Ct * )
1−α
(P )
j α
t
(15)
Dengan menerapkan logaritma natural pada persaman di atas maka persamaan akhirnya :
pm = (1 − α )et + α Pt + (1 − α )ct*
(16)
Pada persamaan di atas fenomena exchange rate pass-through dilihat dari koefisien
(1 − α ) . Exchange rate pass-through pada persamaan di atas
didefinisikan sebagai elastisitas parsial terhadap harga impor yang ditunjukkan oleh (1 − α ) . Dengan demikian fenomena ERPT pada persamaan PPP dapat dianalisis manakala terjadi perubahan kurs nominal ( eˆ ) maka akan berpengaruh terhadap harga domestik ( Pˆ ). Fenomena ERPT ini dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu : 2.4.1. Complete pass-through Jika perubahan kurs nominal ( eˆ ) sebanding dengan perubahan harga domestik ( Pˆ ) maka fenomena ini dinamakan full atau complete pass-through. Misalnya jika diasumsikan perubahan harga domestik sama dengan nol. Maka jika perubahan kurs nominal ( eˆ ) sebesar 0,1 maka kurs riil ( qˆ ) akan bernilai sebesar 0,1. Pada kasus ini perubahan kurs riil sebanding atau sama dengan perubahan kurs nominal. 2.4.2 Incomplete pass-through Jika perubahan kurs nominal ( eˆ ) tidak sebanding dengan perubahan harga domestik ( Pˆ ) maka fenomena ini dinamakan partial atau incomplete passthrough. Misalnya jika diasumsikan perubahan harga domestik sama dengan nol. Maka jika perubahan kurs nominal ( eˆ ) sebesar 0,1 lalu produsen asing melakukan intervensi harga produk sebesar 0,05 maka kurs riil ( qˆ ) akan bernilai sebesar 0,05. Pada kasus ini perubahan kurs riil tidak sebanding atau tidak sama dengan perubahan kurs nominal
2.4.3. Zero pass-through Jika perubahan kurs nominal ( eˆ ) tidak mempengaruhi perubahan harga domestik ( Pˆ ) maka fenomena ini dinamakan zero pass-through. Artinya berapa pun perubahan kurs yang terjadi maka tidak berpengaruh pada tingkat harga. Dengan demikian respon yang dialami tingkat harga sebagai akibat perubahan kurs berapa persen pun adalah nol. 2.4.4. Delayed pass-through Jika perubahan kurs nominal ( eˆ ) mempengaruhi perubahan harga domestik ( Pˆ ) setelah interval waktu tertentu maka fenomena ini dinamakan delayed pass-through. Misalnya jika diasumsikan perubahan harga domestik sama dengan nol.
2.5.
Analisis Pass-Through Effect
Analisis efek perubahan nilai tukar (pass through effect) pada umumnya adalah untuk mengetahui efek perubahan nilai tukar terhadap perubahan tingkat harga baik itu berupa harga impor, harga ekspor maupun tingkat harga umum yang diukur melalui IHK. Akan tetapi analisis ini dapat dikembangkan lagi untuk dilihat dampaknya terhadap investasi dan volume perdagangan (Hartati, 2004). Pada dasarnya pass-through effect akan menimbulkan dampak langsung dan tidak langsung dalam perekonomian terbuka. 2.5.1. Efek Langsung (Direct Effect) Menurut McCarthy (2000) dampak langsung lintasan kurs (direct passthrough) nilai tukar terhadap inflasi adalah melalui perubahan harga barang-
barang impor. Dalam konsep ini depresiasi mata uang akan menyebabkan kenaikan harga barang-barang impor (imported inflation). Barang-barang tersebut dapat berupa barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal. Dampak perubahan nilai tukar yang langsung mempengaruhi inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu (Majardi dalam Hartati, 2004) pertama, first direct pass-through, yaitu dampak melalui barang konsumsi karena perubahan harga barang impor dapat langsung mempengaruhi harga jual produk dalam negeri. Kelompok barang ini memiliki elastisitas yang tinggi terhadap perubahan kurs. Kedua, second direct pass-through, yaitu dampak melalui impor bahan baku dan barang modal. Proses pembentukan harganya melalui proses produksi terlebih dahulu, sehingga elastisitasnya lebih rendah dibandingkan kelompok barang konsumsi. Melalui first direct pass-through, dampak fluktuasi nilai tukar terhadap inflasi dapat terjadi seketika (contemporaneous). Sementara pada second direct pass-through mempunyai efek tunda (lag effect). Dampak langsung perubahan nilai tukar mempengaruhi inflasi melalui perubahan indeks harga barang domestik yang berasal dari impor barang-barang konsumsi (final goods). Dimana jika terjadi fluktuasi nilai tukar (depresiasi mata uang) maka harga barang luar negeri akan menjadi mahal. McCarthy (2000) dengan menggunakan model of pricing along distribution chain menganalisis efek langsung dari perubahan nilai tukar melalui beberapa tahap yaitu (1) guncangan dari sisi penawaran (supply shock) yang diidentifikasi melalui inflasi harga minyak (oil price), (2) guncangan dari sisi permintaan (demand shock) yang diidentifikasi dengan menggunakan proksi
output gap yang dihitung dari selisih output riil dengan output potensial ditambah guncangan dari sisi penawaran dan (3) guncangan dari sisi kurs yang diidentifikasi melalui perubahan pergerakan kurs ditambah guncangan sisi permintaan dan penawaran. Lebih jelasnya perumusan model dapat dilihat dibawah ini:
π itoil = Et − n (π itoil ) + ε its yit = Et − n ( yit ) + a ε + ε s 1i it
d it
Δeit = Et − n (Δeit ) + a1iε its + a2iε itd + ε ite
(17) (18) (19)
Pada tahap selanjutnya efek perubahan kurs akan mempengaruhi inflasi secara langsung melalui harga barang impor dan secara tidak langsung melalui PPI. Dengan menggunakan persamaan (17), (18) dan (19) maka tingkat inflasi di negara i pada periode waktu t dapat ditulis sebagai berikut :
π itm = Et − n (π itm ) + b1iε its + b2iε itd + b3iε ite + ε itm
(20)
π itppi = Et − n (π itppi ) + c1iε its + c2iε itd + c3iε ite + c4iε itm +ε itppi
(21)
π itcpi = Et − n (π itcpi ) + d1iε its + d 2iε itd + d3iε ite + d 4iε itm +d5iε itppi + ε itcpi
(22)
dimana :
π itoil yit Δeit
π itm π itppi π itcpi
: inflasi harga minyak (oil price) di negara i pada waktu t : output gap di negara i pada waktu t : perubahan kurs (kurs efektif nominal) di negara i pada waktu t : imported inflation (harga impor) di negara i pada waktu t : inflasi PPI di negara i pada waktu t : inflasi IHK di negara i pada waktu t
Et − n (π itoil ) : ekspektasi harga minyak berdasarkan periode sebelumnya di negara i Et − n ( yit ) : ekspektasi output gap berdasarkan periode sebelumnya di negara i Et − n (Δeit ) : ekspektasi perubahan kurs berdasarkan periode sebelumnya di negara i pada waktu t m Et − n (π it ) : ekspektasi inflasi imported inflation berdasarkan periode
sebelumnya di negara i pada waktu t Et − n (π ) : ekspektasi inflasi PPI berdasarkan periode sebelumnya di negara i pada waktu t cpi Et − n (π it ) : ekspektasi inflasi IHK berdasarkan periode sebelumnya di negara i pada waktu t s ε it : guncangan sisi penawaran ppi it
ε itd ε ite ε itm ε itppi ε itcpi
: guncangan sisi permintaan : guncangan kurs : guncangan imported inflation : guncangan PPI : guncangan IHK
2.5.2. Efek Tidak Langsung (Indirect Effect) Menurut McCarthy (2000) efek tidak langsung yang diakibatkan oleh perubahan nilai tukar ditransmisikan melalui Producer Price Index (PPI). Sementara itu Sato et, al (2005) dan Menon dalam Sahminan (2005) menemukan bahwa efek tidak langsung yang ditimbulkan oleh perubahan kurs melalui guncangan sisi permintaan dan sisi penawaran. Analisis dari sisi permintaan mengindikasikan bahwa peningkatan pendapatan eksportir dalam negeri akan meningkatkan permintaan mereka terhadap barang dan jasa. Kemudian dari sisi penawaran adalah peningkatan harga bahan baku (intermediate input) yang memiliki komponen impor yang pada selanjutnya akan meningkatkan biaya produksi perusahaan. Hyder dan Shah (2004) juga menemukan bahwa di Pakistan efek tidak langsung yang bersumber dari peningkatan harga bahan baku pada akhirnya akan meningkatkan harga barang ekspor sehingga ekspor menjadi tidak murah lagi ketika terjadi depresiasi mata uang Pakistan (Pak Rupee).
2.6.
Inflasi
Inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga secara umum dan berlanjut atas barang dan jasa karena adanya ketidakseimbangan di dalam perekonomian. Kenaikan temporer atau kenaikan musiman, serta kenaikan harga akibat perubahan kebijakan harga oleh pemerintah tidak masuk ke dalam definisi inflasi dalam pengertian tersebut (Majardi dalam Hartati, 2004). Bank Indonesia mendefinisikan inflasi sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada kenaikan pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi. Sementara tingkat harga merupakan rata-rata tertimbang harga barang dan jasa di perekonmian yang diperoleh dengan bantuan indeks harga. Indeks harga yang banyak digunakan adalah indeks harga konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI), PDB deflator dan Whole Price Index (WPI). Namun hampir semua negara dalam perhitungan inflasi menggunakan IHK. Inflasi dapat dibedakan antara inflasi yang dipengaruhi oleh kebijakan moneter, yaitu inflasi inti (core inflation) dan inflasi yang tidak dipengaruhi oleh kebijakan moneter, yaitu inflasi sesaat (noise). Adapun indikator inflasi yaitu : 1. Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.
2. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) merupakan indikator yang menggambarkan
pergerakan
harga
dari
suatu
komoditi
yang
diperdagangkan di suatu daerah.
2.7
Jenis Inflasi
2.7.1. Demand pull inflation Faktor penyebab terjadinya demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya sedangkan produksi telah berada pada keadaan full employment. Kurva demand pull inflation ditunjukkan oleh Gambar 2.1 di bawah ini. Tingkat Harga Umum (P)
Kuantitas Agregat (Y)
Sumber : Mishkin (2001)
Gambar 2.1. Kurva Demand Pull Inflation
Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregat demand) lebih besar daripada kapasitas perekonomian akibatnya penambahan permintaan hanyalah akan menaikkan harga saja. 2.7.2. Cost push inflation Dalam cost push inflation inflasi disebabkan oleh pergeseran ke kiri atas kurva agregat suplai. Penyebab pergeseran ini antara lain kenaikan harga minyak dunia, tuntutan kenaikan upah oleh buruh sehingga meningkatkan biaya produksi dan menggeser kuva AS1 ke kiri atas dan keseimbangan berada di titik 1’. Kemudian pergeseran dalam kurva AS akan menimbulkan reaksi dari pemerintah agar tidak terjadi ouput gap dengan menggeser AD melalui pengeluaran pemerintah sehingga keseimbangan bergeser ke titik 2’ (kembali ke titik Yf). Kurva cost push inflation ditunjukkan oleh Gambar 2.2 di bawah ini. Tingkat Harga Umum (P)
Y* Sumber : Mishkin (2001)
Gambar 2.2. Kurva Cost Push Inflation
Kuantitas Agregat (Y)
2.7.3. Ekspektasi inflasi (expected inflation) Faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercemin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar (lebaran, natal dan tahun baru) dan penentuan upah minimum (minimum wages). 2.7.4. Perspektif Inflasi Pada dasarnya, teori inflasi dibedakan menjadi dua aliran, yaitu aliran Monetaris dan aliran Keynesian. Aliran Monetaris menganggap bahwa inflasi merupakan murni fenomena moneter. Sementara aliran Keynessian menganggap bahwa inflasi tidak saja merupakan fenomena moneter tetapi juga fenomena sector riil. Salah satu penganut aliran Monetaris adalah Irving Fisher, yang mengemukakan tentang teori kuantitas uang (quantity theory of money). Teori Irving Fisher atau dikenal dengan nama Fisher Effect merupakan persamaan identitas sebagai berikut (Mankiw, 2000) :
MV=PT
dimana :
M V P T
= Penawaran Uang = Tingkat Perputaran Uang (velocity of money) = Tingkat Harga Barang = Transaksi Barang
(23)
Sementara aliran Keynessian mengasumsikan bahwa uang dapat digunakan untuk transaksi, berjaga-jaga dan spekulasi. Dengan demikian permintaan uang riil merupakan fungsi sebagai berikut (Mankiw, 2000) :
M = L(i, Y ) P
(24)
dimana M adalah stok uang, P adalah tingkat harga, i adalah tingkat suku bunga nominal dan Y adalah output riil, maka tingkat harga :
P=
M L(i, Y )
(25)
Sementara, tingkat bunga khususnya suku bunga riil merupakan biaya modal yang merupakan salah satu komponen faktor produksi. Besarnya tingkat suku bunga nominal ditunjukkan oleh persamaan Fisher berikut ini (Mankiw, 2000) :
i = r +π e
(26)
Artinya perubahan suku bunga nominal akan dipengaruhi oleh perubahan tingkat suku bunga riil (r) dan tingkat ekspektasi inflasi ( π e ). Tingkat suku bunga nominal mempunyai hubungan positif terhadap inflasi dengan demikian tingkat harga atau inflasi dapat dipengaruhi oleh :
P=
M L( r , π e , Y )
(27)
Maka dengan demikian inflasi selain dipengaruhi oleh jumlah uang beredar (M) juga dipengaruhi oleh tingkat suku bunga riil, ekspektasi inflasi dan output.
2.8.
Hubungan Nilai Tukar Dengan Tingkat Harga
Hubungan antara nilai tukar dalam makro ekonomi dapat melalui pasar barang maupun pasar uang. Salah satu model yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara nilai tukar dengan tingkat harga adalah model MundellFlemming yang dikembangkan pada awal tahun 1960-an oleh Robert A Mundell dan J Marcus Flemming. Model ini mengasumsikan bahwa perekonomian adalah perekonomian kecil terbuka (small-opened economy). Model ini menggambarkan interaksi pasar barang yang direpresentasikan oleh kurva IS dan pasar uang yang direpresentasikan oleh kurva LM dalam perekonomian terbuka. Salah satu poin penting dalam model ini adalah bahwa perilaku perekonomian tergantung pada sistem kurs yang diadopsinya dan mobilitas modal sempurna yang artinya bahwa tingkat suku bunga domestik ( r ) ditentukan oleh tingkat suku bunga dunia ( r * ). Secara matematis kita bisa menulis asumsi ini sebagai berikut (Mankiw, 2000) : r = r*
(28)
Untuk mengkaji penyesuaian harga dalam perekonomian terbuka, kita harus membedakan antara kurs nominal (e) dan kurs riil (q). Kita bisa menulis model Mundell-Flemming sebagai berikut (Mankiw, 2000): Y = C (Y − T ) + I (r * ) + G + NX (q)............IS *
(29)
M
(30)
P
= L(r * , Y )........................................LM *
Persamaan pertama menjelaskan kurva IS dan persamaan kedua menjelaskan kurva LM. Gambar 2.3 berikut ini menunjukkan bagaimana keseimbangan jangka panjang dan jangka pendek melalui kurva IS dan LM dalam perekonomian terbuka kecil.
Kurs riil (q)
Pendapatan,Output (Y)
(A) Kurva Model Mundell Flemming Tingkat Harga (P)
Pendapatan,Output (Y)
(B) Kurva Model Penawaran dan Permintaan Agregat Sumber : Mankiw (2000)
Gambar 2.3. Model Mundell-Flemming Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Titik K dalam kedua gambar menunjukkan keseimbangan di bawah asumsi keynessian bahwa tingkat harga tetap (sticky) pada P1. Pada keseimbangan ini, permintaan terhadap barang dan jasa terlalu rendah untuk mempertahankan perekonomian berproduksi pada tingkat alamiah. Sepanjang waktu, permintaan yang rendah menyebabkan tingkat harga turun. Penurunan dalam tingkat harga meningkatkan keseimbangan uang riil, yang pada selanjutnya menggeser kurva LM ke kanan. Kurs riil mengalami depresiasi, sehingga ekspor bersih naik. Berangsur-angsur perekonomian mencapai titik C, keseimbangan jangka panjang. Kecepatan transisi antara keseimbangan jangka panjang dan jangka pendek tergantung pada secepat apa tingkat harga menyesuaikan untuk mengembalikan perekonomian
ke
mempertimbangkan
tingkat
alamiah.
perubahan
Kapan
dalam
pun
kebijakan,
pembuat
kebijakan
mereka
perlu
mempertimbangkan dampak jangka panjang dan jangka pendek dari keputusan mereka.
2.9.
Indeks Harga Konsumen (IHK)
Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index ( CPI), sering digunakan untuk menentukan biaya hidup dan dahulu disebut cost-of-living index, mengukur perubahan harga untuk suatu kombinasi belanja barang dan jasa. Jika GDP mengubah jumlah berbagai barang dan jasa menjadi sebuah angka tunggal yang mengukur nilai produksi, maka IHK mengubah harga berbagai barang dan jasa menjadi sebuah indeks tunggal yang mengukur seluruh tingkat harga. IHK juga dapat didefinisikan sebagai harga sekelompok barang dan jasa relatif
terhadap harga sekelompok
barang dan jasa yang sama pada tahun dasar
(Mankiw, 2000). Sebagai contoh, anggaplah seorang konsumen membeli lima apel dan dua jeruk setiap bulan. Maka kelompok barang itu terdiri dari lima apel dan dua jeruk, dan IHK-nya adalah IHK =
( 5 X Harga Apel Sekarang ) + ( 2 X Harga Jeruk Sekarang ) ( 5 X Harga Apel 1992 ) + ( 2 X Harga Jeruk 1992 )
(31)
Pada IHK ini, tahun 1992 adalah tahun dasar. Indeks itu menyatakan berapa biaya yang harus dibelanjakan untuk membeli lima apel dan dua jeruk sekarang relatif terhadap harga buah yang sama pada tahun 1992.
2.10.
Determinasi Kurs
Determinasi kurs dalam pasar uang internasional tentunya menjadi hal yang sangat penting bagi pelaku pasar. Apresiasi atau depresiasi kurs saat ini menjadi tolak ukur pelaku pasar dalam menganalisis ekspektasi kurs di masa yang akan datang. Dalam teori Keynessian (IS-LM) yang menggerakkan nilai tukar adalah perbedaan suku bunga domestik ( r ) dan suku bunga internasional ( r * ). Jika suku bunga domestik ( r ) lebih tinggi dari suku bunga internasional ( r * ) maka akan terjadi aliran modal masuk (capital inflow), selanjutnya akan menyebabkan apresiasi kurs. Berikut ini akan dipaparkan beberapa pendekatan popular mengenai determinasi kurs :
2.10.1. Pendekatan Neraca Pembayaran Melalui rezim kurs mengambang bebas, nilai dari mata uang suatu negara ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran mata uang itu sendiri. Maka melalui pendekatan neraca pembayaran secara matematis determinasi nilai tukar dapat ditulis sebagai berikut (Tucker, Madura dan Chiang, 1998): st = η ( pt − pt* ) + φ ( yt − yt* ) − λ (rt − rt* )
(32)
dimana st adalah perubahan kurs nominal, pt adalah perubahan harga domestik, pt* adalah perubahan harga luar negeri, yt adalah perubahan pendapatan domestik, yt* adalah perubahan pendapatan luar negeri, r adalah perubahan suku bunga domestik, rt* adalah perubahan suku bunga luar negeri, η , φ dan λ adalah koefisien dari variabel. Maka melalui pendekatan neraca pembayaran, ketika pendapatan domestik meningkat akan menyebabkan impor naik dan selanjutnya akan menyebabkan depresiasi nilai tukar (kurs nominal). Begitu juga ketika tingkat harga dometik meningkat maka akan menyebabkan depresiasi nilai tukar. Sebaliknya ketika tingkat suku bunga domestik meningkat akan menyebabkan capital inflow dan pada akhirnya akan menyebabkan apresiasi nilai tukar. 2.10.2.Pendekatan Moneter Pendekatan moneter lebih terfokus kepada kondisi keseimbangan stok uang dalam pasar uang. Selanjutnya pendekatan moneter dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendekatan moneter dengan asumsi harga fleksibel (flexible price) dan harga kaku (sticky price). Pertama-tama kita akan mulai dari
pendekatan moneter dengan asumsi harga fleksibel. Persamaan pendekatan moneter ini dapat ditulis secara matematis sebagai berikut (Batiz, 1994): eˆ = ( Mˆ − Mˆ * ) + α (Yˆ * − Yˆ ) + β (iˆ − iˆ* )
(33)
dimana eˆ adalah perubahan kurs nominal, Mˆ adalah perubahan jumlah uang beredar mata uang domestik di dalam negeri, Mˆ * adalah perubahan jumlah uang beredar mata uang asing di luar negeri, Yˆ * adalah perubahan pendapatan di luar negeri, Yˆ adalah perubahan pendapatan di dalam negeri, iˆ adalah perubahan suku bunga di dalam negeri, iˆ* adalah perubahan suku bunga di luar negeri,
α dan β adalah koefisien variabel. Maka melalui pendekatan moneter dengan asumsi harga fleksibel, peningkatan jumlah uang beredar mata uang domestik di dalam negeri akan menyebabkan terdepresiasinya nilai tukar nominal. Kemudian, peningkatan pendapatan domestik akan menyebabkan kelebihan permintaan uang (money demand) karena jumlah uang beredar ditentukan oleh bank sentral maka untuk menyeimbangkan kelebihan permintaan uang dilakukan dengan cara menurunkan harga domestik. Melalui teori PPP penurunan harga domestik akan menyebabkan apresiasi kurs. Hal ini paradox dengan pendekatan neraca pembayaran. Selanjutnya, peningkatan suku bunga domestik akan menyebabkan penurunan permintaan uang domestik yang akan mengarah kepada depresiasi mata uang domestik. Pendekatan moneter yang kedua adalah melalui pendekatan moneter dengan asumsi harga kaku. Persamaan matematisnya dapat ditulis sebagai berikut (Tucker et,al, 1998) :
st = η (m − m* ) − φ ( yt − yt* ) + (δ + λ − 1/ θ )(rt − rt* ) + 1/ θ (π te − π te* )
(34)
dimana st adalah perubahan kurs nominal, m adalah perubahan jumlah uang beredar mata uang domestik di dalam negeri, m* adalah perubahan jumlah uang beredar mata uang asing di luar negeri, yt adalah perubahan pendapatan di dalam negeri, yt* adalah perubahan pendapatan di luar negeri, r adalah perubahan suku bunga domestik, rt* adalah perubahan suku bunga luar negeri, π te adalah ekspektasi inflasi di dalam negeri, π te* adalah ekspektasi inflasi di luar negeri,
δ , λ dan 1/ θ adalah koefisien variabel. Analisis melalui pendekatan moneter dengan asumsi harga kaku sebetulnya memiliki kemiripan dengan pendekatan moneter dengan asumsi harga fleksibel. Hanya saja ada sedikit modifikasi dalam analisis perubahan suku bunga. Pertama-tama peningkatan suku bunga domestik akan menyebabkan institusi keuangan untuk meningkatkan dananya (suplai dana) di pasar uang. Pada waktu yang bersamaan juga akan menyebabkan permintaan uang di masyarakat menurun dan efeknya akan menyebabkan depresiasi kurs. Efek lanjutan dari peningkatan suku bunga domestik ini akan diimbangi dengan terjadinya capital inflow yang pada akhirnya akan menyebabkan apresiasi kurs. Selain itu juga jika ekspektasi inflasi di dalam negeri adalah tinggi akan menyebabkan depresiasi kurs karena pelaku pasar dan publik (masyarakat) lebih cenderung memegang mata uang asing.
2.10.3. Pendekatan Neraca Portofolio Pendekatan ini menyoroti peran dari kekayaan dan pandangan aset sebagai subtitusi yang tidak sempurna. Pendekatan ini berpendapat bahwa berbagai guncangan, dalam wujud suatu perubahan dalam kekayaan, akan menghasilkan efek kekayaan yang selanjutnya akan meningkatkan permintaan dalam aset keuangan dan akan menimbulkan efek subtitusi yaitu mensubtitusikan hasil yang tinggi (high yield) dalam aset keuangan sebagai alternatif. Implikasinya, nilai tukar dan suku bunga harus melakukan penyesuaian untuk memastikan keseimbangan portofolio. Secara matematis maka persamaan pendekatan neraca portofolio yang dirumuskan oleh dapat ditulis sebagai berikut (Tucker, et al (1998)) :
M t = m(rt , rt* )Wt
(35)
Bt = b(rt , rt* )Wt
(36)
St Ft = f (rt , rt* )Wt
(37)
Wt = M t + Bt + St Bt*
(38)
maka kombinasi empat persamaan diatas akan menjadi : St = S ( M t , Bt , Ft , M t* , Bt* , Ft * )
(39)
dimana St adalah kurs nominal, M t adalah jumlah uang beredar mata uang domestik di dalam negeri, Bt adalah obligasi domestik, Ft adalah obligasi asing di dalam negeri. Tanda asterisk menyatakan variabel yang bersangkutan di luar negeri. Melalui model di atas maka ekspansi moneter akan menyebabkan peningkatan eksogen dalam uang beredar. Hal ini berarti sebanding dengan peningkatan kekayaan. Peningkatan kekayaan ini akan menyebabkan excess demand untuk
obligasi dalam dan luar negeri. Peningkatan permintaan obligasi dalam negeri akan menyebabkan harga obligasi dalam negeri meningkat dan menurunkan
suku
bunga. Kelebihan permintaan obligasi luar negeri akan menyebabkan peningkatan permintaan mata uang luar negeri. Dengan demikian akan menyebabkan depresiasi rupiah. Kedua, melalui analisis ini mengimplikasikan bahwa peningkatan permintaan obligasi dalam negeri melalui efek kekayaan akan meningkatkan permintaan obligasi luar negeri. Maka hal ini akan menyebabkan depresiasi mata uang domestik. Di sisi lain, peningkatan suku bunga obligasi dalam negeri akibat hutang pemerintah akan menyebabkan obligasi luar negeri kurang menarik. Jika efek subtitusi ini dominant dalam efek kekayaan maka mata uang domestik akan terapresiasi. Ketiga, peningkatan dalam net holdings obligasi luar negeri akibat surplus neraca perdagangan akan meningkatkan permintaan dalam aset domestik melalui efek kekayaan. Hasilnya, hal ini akan menurunkan suku bunga dalam negeri dan depresiasi mata uang domestik.
2.11. Indeks Produksi Industri (Industrial Production Index/IPX)
Indeks produksi industri (Industrial production index) adalah salah satu yang paling tua dari laporan statistik untuk indikator ekonomi terutama untuk proxy output riil. Indeks produksi mengukur output fisik dalam perusahaan atau pabrik. Aktivitas di dalam manufaktur dihitung sekitar 85 persen dari total
produksi industri (industrial production) dengan sisa keluaran output dari utilitas dan jasa. Indeks produksi industri mengukur volume aktual dari output
dalam
produksi barang tanpa dipengaruhi harga. Indeks produksi industri dibagi atas beberapa jenis industri yang ada dan sangat berkembang di suatu negara seperti industri pertambangan, manufaktur, pertanian, perikanan, peternakan, otomotif, dan kimia (World Economic Statistic, 2006).
2.12.
Indeks Harga Produsen (Producer Price Index/PPI)
Indeks harga produsen (Producer price index) mengukur tingkat harga yang diterima produsen pada tiga tahapan yaitu barang jadi, barang intermedier dan bahan mentah. Indeks untuk barang jadi secara umum menjadi perhatian utama karena perubahan harga barang jadi adalah ukuran pertama inflasi agregat yang berada pada suatu bulan. Makanan dan energi adalah komponen terbesar dari PPI. Harga makanan dan energi seringkali seringkali dipengaruhi oleh faktor temporer dan non-ekonomi seperti cuaca, bencana alam dan musim. PPI untuk consumer goods dapat menjadi ukuran yang baik dari komponen barang dari IHK (World Economic Statistic, 2006).
2.13. Indeks Harga Perdagangan Besar (Wholesale Price Index /WPI)
Indeks harga perdagangan besar (IHPB) atau seringkali disebut dengan istilah Wholesale Price Index (WPI) adalah indeks yang digunakan untuk mengukur perubahan harga rata-rata dari waktu ke waktu di tingkat penjualan
utuh (whole sale) pada penjualan besar (big sales). Rata –rata tertimbang dalam WPI adalah nilai barang yang dijual untuk keseluruhan indeks harga perdagangan besar. Informasi harga perdagangan besar diperoleh dari responden yang berasal dari provinsi utama maupun kota potensial lain diluar provinsi tersebut dan diasumsikan di tempat tersebut memiliki major companies dan menjual barang yang beragam. IHPB akan disagregasi menjadi beberapa kelompok komoditi dan total kelompok sub-komoditi tergantung kondisi perekonomian di suatu negara semisal
pertanian, manufaktur, tambang dan galian, impor dan ekspor, dan
lain-lain (World Economic Statistic, 2006).
2.14.
Indeks Harga Impor (Import Price Index/IPC)
Indeks harga impor (import price index) adalah ukuran statistik yang digunakan untuk mengukur perbandingan harga barang-barang impor dari waktu ke waktu (time series). Indeks harga impor dihitung dari nilai impor suatu negara dibagi dengan volume impor dalam kurun waktu tertentu. Setelah diperoleh harganya kemudian diubah menjadi indeks. Sahminan (2005), mendefinisikan indeks harga impor sebagai indeks dari harga impor rata-rata dalam mata uang domestik.
2.15.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Analisis efek perubahan kurs atau lebih dikenal dengan istilah exchange rate pass-through (ERPT) merupakan isu hangat dalam ekonomi internasional terutama pasca jatuhnya bretton woods system. Krisis 1997-1998 yang melanda
Asia merupakan fenomena moneter yang timbul akibat dampak perubahan nilai tukar. Penelitian mengenai ERPT akhirnya menjadi topik para ekonom, terutama untuk dianalisis pengaruhnya terhadap harga impor, harga ekspor maupun indeks harga konsumen. Beberapa peneliti seperti Rana and Dowling dalam Sahminan (2005) dengan menggunakan data kuartalan dari kuartal pertama tahun 1973 sampai kuartal keempat tahun 1979 berusaha menguji pengaruh ERPT terhadap inflasi di negara Asia Tenggara. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh ERPT terhadap inflasi adalah nol (zero pass-through). Kemudian Alba & Papel dalam Sahminan (2005) dengan menggunakan struktur model perekonomian terbuka berusaha untuk menganalisis hubungan nilai tukar dengan inflasi di tiga negara Asia Tenggara (Malaysia, Filipina dan Singapura). Penelitian tersebut menggunakan data kuartalan dari tahun kuartal pertama tahun 1979 sampai dengan kuartal kedua tahun 1995. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa estimasi ERPT terhadap IHK di tiga negara Asia tersebut sebesar 0,09 (Malaysia), 0,165 (Filipina) dan -0,082 (Singapura). Calvo & Reinhart dalam Sahminan (2005), dalam mendukung argumen mereka tentang “fear of floating” , mengestimasi ERPT terhadap IHK di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia dan Malaysia. Dengan menggunakan data bulanan dari Agustus 1997 sampai November 1999 untuk Indonesia dan Desember 1992 sampai Agustus 1998 untuk Malaysia, mereka menemukan bahwa ERPT di Indonesia sebesar 0,062 dan Malaysia sebesar 0,02.
Sato, et,al, (2005) juga menyelidiki pengaruh ERPT terhadap harga impor, harga produsen, dan indeks harga konsumen di sembilan negara Asia yaitu Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, Hongkong, Jepang, Taiwan dan Korea Selatan dengan menggunakan data bulanan dari bulan pertama tahun 1995 sampai bulan kedelapan tahun 2004 dengan menggunakan metode VAR. Beberapa hasil temuannya antara lain : pertama, negara yang mengalami krisis 1997-1998 memiliki koefisien pass-through relatif besar terhadap harga domestik. Kedua, efek pass-through terbesar adalah di Indonesia, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Ketiga, untuk Indonesia, analisis VAR menunjukkan bahwa bukan hanya ERPT yang memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan tajam IHK tetapi juga kebijakan moneter. Menurut penelitian itu, kebijakan moneter Indonesia yang aktif (stabilisasi harga) menyebabkan penurunan atau hilangnya keunggulan kompetitif pada pasar ekspor produk Indonesia walaupun Rupiah terdepresiasi tajam. Selain itu, beberapa peneliti di Indonesia sendiri seperti Windarti (2004) yang melakukan penelitian mengenai ERPT terhadap perubahan tingkat harga di Indonesia dengan menggunakan analisis Structural Vector Autoregression (SVAR) menemukan bahwa pengaruh perubahan nilai tukar akan direspon secara negatif oleh tingkat harga, artinya depresiasi nilai tukar rupiah akan kenaikan harga baik harga impor, harga perdagangan besar maupun harga konsumen. Depresiasi Rupiah akan menyebabkan kenaikan harga impor sebesar 51 persen dalam waktu enam bulan, kenaikan harga perdagangan besar sebesar 50 persen dalam waktu enam bulan dan kenaikan harga konsumen sebesar 25 persen dalam
waktu tiga tahun. Kemudian, Hartati (2004) juga meneliti topik yang sama dengan Winarti (2004) akan tetapi model dan alat analisis yang digunakan berbeda. Hartati dalam tesisnya menggunakan metode Vector Autoregression (VAR) menemukan bahwa pengaruh perubahan nilai tukar akan direspon secara negatif oleh tingkat harga. Sahminan (2005) dalam disertasinya juga meneliti mengenai ERPT terhadap harga impor di Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand. Dengan menggunakan data kuartalan dari kuartal pertama tahun 1974 sampai kuartal ketiga tahun 2000 dan menggunakan metode Error Correction Model (ECM). Hasil temuannya adalah bahwa negara-negara tersebut kecuali Singapura mengalami complete pass-through. Peneliti lainnya seperti Zainal (2005) dalam studinya mengenai ERPT terhadap harga komoditi ekspor di Indonesia dengan menggunakan ECM menemukan bahwa harga komoditi ekspor di pasar dunia terutama untuk komoditi tambang dan produk manufaktur high-technology tidak ditentukan oleh variabel nilai tukar melainkan oleh ditentukan secara utuh oleh harga dunia (world price market). Secara umum koefisien ERPT terhadap harga ekspor Indonesia bernilai negatif dan ini mengindikasikan bahwa lemahnya posisi Indonesia dalam pasar internasional dan pasar ekspor dunia untuk produk manufaktur Sementara itu studi mengenai ERPT negara-negara maju sudah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya seperti McCarthy (2000) yang meneliti pengaruh ERPT terhadap Producer Price Index (PPI) dan Consumer Price Index (CPI )di Amerika dan negara-negara maju di dunia dengan menggunakan metode recursive
VAR. Hasil temuannya adalah bahwa pass-through effect lebih besar pada negara yang memiliki import share lebih besar dan nilai tukar serta harga impor yang lebih stabil. Flamini (2003) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa derajat pass-through di suatu negara sangat dipengaruhi oleh kebijakan moneternya. Artinya, ketika terjadi pass-through maka dampaknya terhadap trade-off antara stabilisasi output dan inflasi akan sangat bergantung pada seberapa ketat kebijakan moneter bank sentral dan tipe imperfect pass-through. Pada kebijakan moneter strict CPI inflation targeting maka imperfect pass-through akan meningkatkan variabilitas dari nilai tukar serta trade-off lebih tajam dan hal ini akan diperbaiki (improves) pada saat flexible CPI inflation targeting. Begitu juga saat delayed pass-through, dimana kebanyakan perubahan harga impor ditunda sampai dengan periode berikutnya, trade-off juga lebih terasa signifikan dan akan diperbaiki (improves) saat flexible CPI inflation targeting. Kesimpulannya, tipe dan derajat pass-through relevan dalam keterkaitan didalam keputusan bagaimana tahapan stabilisasi CPI inflasi seharusnya. Studi Goldberg, Knetter dalam McCarthy (2000), menemukan bahwa sekitar 60% pass-through effect kedalam harga impor Amerika. Sampai sejauh ini penelitian mengenai ERPT terhadap IHK di kawasan Asia terutama ASEAN dapat dikatakan masih minim. Sampai dengan penelitian ini dibuat penulis hanya dapat menemukan satu penelitian yang sejenis yaitu Sato, et,al, (2005). Namun demikian alat analisis, model penelitian, jenis variabel dan jumlah data yang digunakan berbeda dengan penelitian ini. Sehingga diharapkan dari penelitian diperoleh hasil yang lebih baik dan komprehensif.
2.16.
Kerangka Pemikiran
Skema alur berpikir pada Gambar 2.4 digunakan untuk menganalisis efek perubahan kurs pada penelitian ini. Namun pada penelitian ini jalur yang digunakan adalah melalui jalur langsung melalui bahan baku (input) impor. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu diduga kuat bahwa pengaruh perubahan nilai tukar (kurs) di negara small opened economy diawali oleh guncangan harga minyak dunia. Oleh sebab itu, dengan adanya guncangan tersebut akan mempengaruhi magnitude dari kurs di suatu negara. P e ru b a h a n K u rs
E fe k La n g su n g
B a h a n b a k u (in p u t) im p o r
B ia y a P ro d u k si
O u tp u t
B a ra n g im p o r fin a l (fin a l g o o d s)
H a rg a
1 . S tru k tu r P a sa r 2 . S ifa t K e b ija k a n M o n e te r 3 . B a ra n g Su b titu si Im p o r 4 . D a y a sa in g p ro d u k d o m e stik
In d e k s H a rg a K o n su m e n (IH K )
In fla si
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Teoritis Efek Perubahan Kurs Terhadap IHK
Maka jika harga minyak dunia meningkat, akan menyebabkan depresiasi di beberapa negara Asia. Kemudian depresiasi ini akan diteruskan terhadap IHK melalui efek langsung dan tidak langsung. Efek langsung dari depresiasi kurs ini adalah lebih mahalnya harga barang-barang impor terutama untuk barang jadi (final goods). Selain melalui barang jadi impor, efek langsung juga mempengaruhi barang intermedier atau bahan baku impor yang selanjutnya akan mempengaruhi biaya produksi perusahaan yang menggunakan komposisi bahan baku impor. Dengan demikian kedua hal ini akan menyebabkan inflasi IHK melalui imported inflation. Kemudian dari sisi efek tidak langsung, depresiasi nilai tukar akan menyebabkan permintaan ekspor di negara yang nilai tukarnya terdepresiasi meningkat karena harga barang-barang ekspor menjadi lebih murah. Hal ini akan menyebabkan pendapatan eksportir meningkat. Peningkatan pendapatan ini akan menyebabkan konsumsi eksportir tadi juga meningkat di negaranya. Maka secara tidak langsung akan menyebabkan permintaan agregat meningkat dan tingkat harga umum akan meningkat (inflasi). Selain itu, perusahaan di dalam negeri (non-ekspor) yang menggunakan bahan baku impor akan mengalami peningkatan biaya produksi dan akibatnya harga jual produk mereka pun akan meningkat. Maka secara agregat akan menyebabkan inflasi domestik. Efek tidak langsung ini juga akan membuat konsumen dalam negeri untuk mencari barang subtitusi impor dikarenakan mahalnya barang-barang impor. Dengan demikian permintaan barang subtitusi impor akan meningkat sehingga
akan menggeser kurva permintaan agregat dan menyebabkan tingkat harga umum meningkat (inflasi). Menurut Hyder dan Shah (2004) kebijakan harga, struktur pasar, product sustaibility, inflation environment serta keterlibatan non tradable goods dalam distribusi tradable goods sangat mempengaruhi kondisi inflasi di suatu negara yang diakibatkan oleh pass-through effect. Misalnya, jika pasar domestik memiliki kompetensi yang kuat untuk suatu barang tertentu maka pengaruh harga barang impor untuk jenis barang sejenis tidak akan begitu kuat.
2.17.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan literatur yang terkait dengan penelitian ini maka hipotesis dari penelitian ini adalah : 1.
Diduga efek perubahan kurs akan memberikan respon negatif terhadap inflasi yang disebabkan oleh IHK. Artinya, jika mata uang di suatu negara mengalami depresiasi maka akan menyebabkan inflasi. Sebaliknya jika mata uang di suatu negara mengalami apresiasi akan menyebabkan deflasi.
2.
Diduga pass-through terhadap PPI akan lebih kuat daripada IHK di negara ASEAN, Jepang dan Korea Selatan.
3.
Diduga fluktuasi IHK di negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan sebagian besar dipengaruhi oleh kurs.
4.
Diduga Indonesia akan memiliki tingkat responsivitas pass-through yang lebih besar dibandingkan negara Asia lainnya.
5.
Diduga negara-negara industri maju seperti Jepang, Singapura dan Korea Selatan akan memiliki derajat pass-through yang lebih kecil dibanding negara berkembang .
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Jenis dan sumber data yang digunakan
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tujuh negara Asia yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Jepang, dan Korea Selatan dalam bentuk data deret waktu bulanan (monthly time series) dari tahun bulan Januari 1990 sampai bulan November 2005. Untuk memudahkan hasil analisis maka seluruh data diubah kedalam logaritma natural (ln) kecuali data suku bunga dan data berbentuk indeks di ubah ke tahun dasar 2000. Selain itu, penulis juga melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal, artikel internet serta literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Tabel di bawah ini adalah meringkas variabel yang digunakan dalam penelitian ini : Tabel 3.1. Variabel Penelitian yang Digunakan
3.2.
Metode analisis
3.2.1. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Efek perubahan kurs terhadap IHK pada penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan Structural Vector Autoregression (SVAR). Kemudian jika data yang digunakan stasioner pada perbedaan pertama maka model SVAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan (error correction model) menjadi Cointegrated VAR atau biasa dikenal dengan istilah Vector Error Correction Model (VECM). Untuk mempermudah dalam pengolahan data dalam penelitian ini maka data dikelompokan untuk dapat dilakukan perhitungan, kemudian untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih valid dan konsisten maka semua data diubah kedalam bentuk logaritma natural (ln) kecuali untuk data suku bunga dan semua data yang berbentuk indeks diubah ke tahun dasar 2000. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian adalah Microsoft Excel 2003 untuk mengelompokkan data dan selanjutnya diolah menggunakan program Eviews 4.1 . 3.2.2. Analisis Structural Vector Autoregression (SVAR)
Pemodelan Vector Autoregression (VAR) adalah bentuk pemodelan yang digunakan untuk multivariate time series. Model VAR pertama kali dikembangkan oleh Cristoper A. Sims (1980) terutama sebagai solusi atas kritiknya terhadap model persamaan simultan yaitu (Amisano & Giannini, 1997) : 1. Spesifikasi dari sistem persamaan simultan terlalu berdasarkan agregasi dari model keseimbangan parsial tanpa adanya fokus untuk menghasilkan hubungan yang hilang (omitted interrelations).
2. Struktur dinamis dari model seringkali dispesifikasikan dengan tujuan untuk memberikan restriksi yang perlu dalam mendapatkan identifikasi dari bentuk struktural. Oleh karena itu dalam model VAR untuk mengatasi kritik di atas terutama dalam menentukan variabel mana yang harus bersifat eksogen dan endogen, pendekatan VAR berusaha membiarkan “let the data speaks for themselves” dengan membuat semua variabel bersifat endogen (McCoy, 1997). Dengan demikian dalam kerangka VAR, setiap variabel baik dalam level maupun first difference, diperlakukan secara simetris di dalam sistem persamaan yang mengandung regressor set yang sama. Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang (lag) yang digunakan dalam model. Sesuai dengan metodologi Sims (1980), variabel yang dipergunakan di dalam persamaan VAR dipilih berdasarkan model ekonomi yang relevan. Pemilihan selang optimal kemudian akan memanfaatkan kriteria informasi seperti Akaike Info Criterion (AIC), Schwarz Info Criterion (SC) maupun Hannan-Quinn Criterion (HQ). Analisis Structural Vector Autoregression (SVAR) didasarkan pada upaya untuk memberikan suatu solusi yang masuk akal terhadap suatu masalah yaitu
dengan
berdasarkan
pada
pembebanan
dari
satu
set
restriksi
(pensyaratan/pembatasan). Pembatasan ini menjadi bisa menguji (testable) ketika mereka mengijinkan suatu struktur over-identified untuk diperoleh. SVAR dapat dipandang sebagai jembatan antara teori ekonomi dan multiple time series
analysis. Maka sebagai konsekuensinya metode ini seringkali harus berhubungan dengan suatu analisis guncangan (analysis of disturbances). Model SVAR memasukkan sejumlah restriksi yang diidentifikasi berdasarkan teori ekonomi (orthogonal) ketimbang model VAR yang tidak menggunakan restriksi (atheoretic restrictions). Artinya SVAR merestriksi berdasarkan hubungan teoritis yang kuat akan skema (peta hubungan) bentuk urutan (ordering) variabel-variabel yang digunakan dalam sistem VAR. Spesifikasi model SVAR yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : ⎡1 ⎢b ⎢ 21 ⎢b31 ⎢ ⎢b41 ⎢b51 ⎢ ⎢b61 ⎢b ⎣ 71
b12 b13 b14 1 b23 b24 b32 1 b34 b42 b43 1 b52 b53 b54 b62 b63 b64 b72 b73 b74
b15 b16 b17 ⎤ ⎡πitoil ⎤ ⎡γ10 ⎤ ⎡γ11 ⎢ ⎥ b25 b26 b27 ⎥⎥ ⎢ iit ⎥ ⎢⎢γ 20 ⎥⎥ ⎢⎢γ 21 b35 b36 b37 ⎥ ⎢ mit ⎥ ⎢γ 30 ⎥ ⎢γ 31 ⎥⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ b45 b46 b47 ⎥ ⎢ eit ⎥ = ⎢γ 40 ⎥ + ⎢γ 41 1 b56 b57 ⎥ ⎢π ppi ⎥ ⎢γ 50 ⎥ ⎢γ 51 ⎥⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ b65 1 b67 ⎥ ⎢ y ⎥ ⎢γ 60 ⎥ ⎢γ 61 b75 b76 1 ⎥⎦⎣⎢ π c ⎥⎦ ⎢⎣γ 70 ⎥⎦ ⎣⎢γ 71
A
yt
γ12 γ 22 γ32 γ 42 γ52 γ 62 γ 72
γ0
γ13 γ 23 γ 33 γ 43 γ 53 γ 63 γ 73
γ14 γ 24 γ34 γ 44 γ54 γ 64 γ 74
Γ1
γ15 γ 25 γ 35 γ 45 γ 55 γ 65 γ 75
γ16 γ 26 γ 36 γ 46 γ 56 γ 66 γ 76
⎡π oil γ17 ⎤ ⎢ it γ 27 ⎥⎥ ⎢ iit ⎢ γ 37 ⎥ ⎢ mit ⎥ γ 47 ⎥ ⎢ eit ⎢ γ 57 ⎥ ⎢ π ppi ⎥ γ 67 ⎥ ⎢⎢ y γ 77 ⎥⎦ ⎢ π c
⎤ ⎥ ⎡ε1it ⎤ ⎥ ⎢ε2it ⎥ t−1 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ε3it ⎥ t −1 ⎥ ⎥ + ⎢ε ⎥ t−1 ⎥ ⎢ 4it ⎥ ⎥ ⎢ε5it ⎥ t−1 ⎥ ⎢ε ⎥ ⎥ ⎢ 6it ⎥ t−1 ⎥ ⎢⎣ε7it ⎥⎦ ⎣ t−1 ⎦ t −1
εt
yt-1
maka persamaan SVAR untuk model di atas dapat diringkas sebagai berikut (Zivot, 2000) :
Ayt = γ 0 + Γ1 yt -1 + ε t
(40)
dimana :
A = matriks 7 x 7 yang mengandung parameter struktural dari variabel endogen yt = vektor variabel endogen
γ 0 = intersep Γ1 = matrix polinomial (finite order matrix) dengan lag operator 1 yt -1 = vektor auto regressive dengan lag operator 1 ε t = vector white noise
Permasalahan representasi dalam persamaan di atas adalah karena koefisien dalam matriks di atas tidak diketahui dan setiap variabel memiliki efek kontemporer (contemporaneous effect) maka tidak mungkin untuk menentukan nilai parameter dalam model tersebut.
Untuk itu harus dibentuk persamaan
reduced form yang juga merepresentasikan sebuah bentuk Vector Moving Average (VMA) atau dikenal juga dengan istilah World Representation. Persamaan VMA digunakan untuk menghilangkan korelasi antar eror yang terjadi dalam model VAR biasa. Persamaan matematis VMA dapat dilihat sebagai berikut (Zivot, 2000):
y t = A -1 γ 0 + A -1 Γ 1 y t -1 + A -1 ε t
(41)
= a 0 + A 1 y t -1 + u t sistem inilah yang disebut sebagai sistem VAR standar (standard VAR representation). Error term (ut) adalah kombinasi linear dari uncorrelated shocks ( ε t ) dimana error term tersebut memiliki nilai rata-rata nol dan kovarian konstan. Dalam pemodelan SVAR perpindahan dari non-ortoghonal VMA ke ortoghonal VMA direpresentasikan melalui Choleski Factorisation ( Ω ) dari matrix ∑ (Amisano & Giannini, 1997). Matrix ∑ adalah varian/kovarian dari residual (ut) dari sistem VAR standar, persamaan matematis matrix ∑ adalah sebagai berikut (Zivot,2000) :
∑ = E ⎡ut ut′ ⎤ = A-1 E ⎡⎣ε t ε t' ⎤⎦ A-1′ ⎣ ⎦ = A -1 D A -1′
(42)
=Ω
3.2.3. Analisis Vector Error Correction Model (VECM)
Ketika dua atau lebih variabel yang terlibat dalam suatu persamaan pada data
level tidak stasioner
maka kemungkinan terdapat kointegrasi pada
persamaan tersebut (Verbeek, 2000). Jika setelah dilakukan uji kointegrasi terdapat persamaan kointegrasi dalam model yang kita gunakan maka dianjurkan untuk memasukkan persamaan kointegrasi kedalam model yang digunakan. Kebanyakan data time-series memiliki I(1) atau stasioner pada perbedaan pertama. Maka untuk mengantisipasi hilangnya informasi jangka panjang dalam penelitian ini akan digunakan model VECM jika ternyata data yang digunakan I(1). Adapun persamaan VECM (Cointegrated VAR) secara matematis ditunjukkan oleh persamaan berikut (Verbeek, 2000) :
k −1
ΔYt = ∑ Γ i ΔYt −i − γβ Yt −1 + ε t i =1
dimana : Γ : koefisien hubungan jangka pendek
β : koefisien hubungan jangka panjang
γ : kecepatan menuju keseimbangan (speed adjustment)
(43)
3.2.4. Data Generating Process (DGP)
Sebelum masuk kedalam tahapan analisis model SVAR, maka sebelumnya kita harus melakukan apa yang disebut Data Generating Process (DGP). Hal ini penting karena dalam model multivariat time-series kebanyakan data yang digunakan mengandung akar unit sehingga akan membuat hasil estimasi menjadi palsu (spurious regression) (Gujarati, 2003). Adapun tahapan dalam DGP sebelum melakukan analisis dengan pemodelan adalah sebagai berikut : 1.
Uji Stasioneritas Data (Augmented Dickey Fuller (ADF) Test) Data ekonomi time series pada umumnya bersifat stokhastik atau memiliki
trend yang tidak stasioner artinya data tersebut mengandung akar unit (unit root). Untuk dapat mengestimasi suatu model maka langkah utama yang harus dilakukan adalah uji stasioneritas data atau dikenal dengan nama unit root test. Apabila data yang kita gunakan mengandung akar unit maka akan sulit bagi kita untuk mengestimasi suatu model menggunakan data tersebut karena tren dari data tersebut cenderung berfluktuasi tidak disekitar nilai rata-ratanya (mean). Maka dapat disimpulkan bahwa data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya (Gujarati, 2003). Misalkan kita menggunakan variabel X yang mana jika variabel tersebut memiliki mean dan varian yang konstan dengan kovarian sama dengan nol, maka nilai variabel tersebut dapat disebut white noise. Kondisi ini dapat ditulis sebagai berikut (Lubis, 2005) : Xt = ut, dimana ut = terdistribusi normal
(44)
namun jika variabel tersebut ternyata tidak independen dan merupakan fungsi dari
Xt = ρ Xt-1 + ut , dimana ut = white noise error
(45)
maka kondisi di atas disebut dengan random walk, dimana nilai variabel Xt ditentukan oleh nilai variabel itu sebelumnya (Xt-1). Dengan demikian jika nilai ρ = 1 maka persamaan (45) tidak stasioner atau mengandung unit root. Dalam penelitian ini dilakukan uji akar unit atau biasa dikenal dengan istilah unit root test untuk mengetahui ada atau tidaknya akar unit (komponen random walk). Untuk mengetahui apakah suatu data time series yang kita gunakan
stasioner atau tidak maka dapat diuji dengan menggunakan Augmented DickeyFuller (ADF).
Metode
pengujian
Dickey-Fuller
(DF)
dapat
dilakukan
dengan
memodifikasi persamaan (45) dengan mengurangkan Xt-1 di sisi kedua persamaan terebut sehingga diperoleh (Gujarati, 2003) : X t − X t −1 = ρ X t −1 − X t −1 + ut = ( ρ − 1) X t −1 + ut
(46) (47)
maka persamaan di atas dapat ditulis :
Δ X t = δ X t −1 + ut dimana δ = ( ρ − 1) dan
(48)
Δ (delta) menunjukkan perbedaan pertama (first
difference). Maka hipotesis untuk persamaan (48) adalah H0 = δ = 0 (tidak stasioner) dengan hipotesis alternatinya adalah H1 = δ < 0 (stasioner). Artinya jika H0 ditolak maka data kita stasioner dan begitu juga sebaliknya. Pada persamaan (48) diasumsikan bahwa error term (ut) tidak berkorelasi. Dalam kasus error term-nya berkorelasi maka contoh persamaan yang dapat diuji
stasioneritas melalui Augmented Dickey-Fuller (ADF) dapat ditulis sebagai berikut (Gujarati, 2003) : m
ΔYt = β1 + β 2t + δ Yt −1 + α i ∑ ΔYt −1 + ut
(49)
i =1
dimana ut = white noise error term dan ΔYt −1 = (Yt −1 − Yt − 2 ) , ΔYt − 2 = (Yt − 2 − Yt −3 ) ,dst. Dalam kasus persamaan seperti ini pengujian hipotesis yang dilakukan masih sama dengan sebelumnya yaitu H0 = δ = 0 (tidak stasioner) dengan hipotesis alternatinya adalah H1 = δ < 0 (stasioner). Artinya jika H0 ditolak maka data kita stasioner dan begitu juga sebaliknya. Uji yang digunakan untuk mengetahui apakah sebuah data time series bersifat stasioner adalah dengan melakukan uji ordinary least squares (OLS) dan melihat nilai t statistik dari estimasi δ . Adapun
persamaan matematis adalah sebagai berikut :
thit =
δ Sδ
(50)
dimana : δ : koefisien estimasi Sδ : standard error dari koefisien estimasi Jika nilai t statistik ADF lebih kecil daripada t statistik kritis maka keputusannya adalah kita menolak H0 atau dengan kata lain data kita bersifat stasioner dan begitu juga sebaliknya. 2.
Penentuan Lag Optimal Tahap kedua yang harus dilakukan dalam membentuk model VAR yang
baik setelah melakukan uji akar unit adalah menentukan panjang lag (ordo) optimal. Penentuan lag optimal dapat diidentifikasi melalui Akaike Info Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC) dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Untuk dapat
menentukan lag ini maka dalam penelitian ini digunakan kriteria AIC yang dapat dirumuskan sebagai berikut (E.Views 4 User’s Guide) :
[
]
AIC = log ∑ ε t / N + 2k / N 2
(51)
dimana ∑εt2 adalah jumlah residual kuadrat, sedangkan N dan k masing-masing merupakan jumlah sampel dan jumlah variabel yang beroperasi pada persamaan tersebut. Besarnya lag optimal ditentukan oleh lag yang memiliki nilai kriteria AIC yang terkecil. 3.
Uji Kointegrasi Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang
tidak
stasioner
mengalami
kointegrasi
atau
tidak.
Konsep
kointegrasi
dikemukakan oleh Engle dan Granger (1987) sebagai fenomena dimana kombinasi linear dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linear ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diintepretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel (E.Views 4 User’s Guide). Untuk menguji apakah kombinasi variabel yang tidak stasioner mengalami kointegrasi dapat diuji dengan menggunakan uji kointegrasi Engle-Granger, uji kointegrasi Johansen maupun uji kointegrasi regresi durbin-watson (Cointegrating Regression Durbin Watson/CRDW). Pengujian kointegrasi ini dilakukan dalam rangka memperoleh hubungan jangka panjang antar variabel yang telah memenuhi persyaratan dalam proses integrasi yaitu dimana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat satu I(1) (Enders dalam Widyanti, 2005). Salah satu uji kointegrasi yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah uji kointegrasi Johansen (1991,1995a) yang ditunjukkan oleh persamaan matematis berikut ini :
p
Δyt = β 0 + Π yt −1 + ∑ Γ i Δyt −1 + ε t
(52)
i =1
Jika t-trace statistics > t- mac-kinnon maka persamaan tersebut terkointegrasi. Dengan
demikian
H0=
non-kointegrasi
dengan
hipotesis
alternatifnya
H1= kointegrasi. Jika t- trace statistics > t- mac-kinnon maka kita tolak H0 atau terima H1 yang artinya terjadi kointegrasi.
3.2.5. Restriksi Sementara
Tujuan utama penggunaan model SVAR adalah untuk memperoleh nonrecursive ortogonal dari error term untuk analisis impuls respon. Oleh karena itu
model SVAR memasukkan sejumlah restriksi untuk mengidentifikasi komponen struktural atau ortogonal dari error term. Untuk itu harus dimasukkan sebanyak untuk
restriksi
jangka
panjang
n2 + n 2
untuk restriksi jangka pendek
(contemporaneous restrictions/K-model) (McCoy, 1997; Amisano & Giannini, 1997). Dengan demikian jumlah restriksi yang harus dimasukkan kedalam persamaan VAR adalah sebanyak 28 persamaan untuk restriksi model jangka pendek. Pada penelitian ini jenis restriksi yang digunakan adalah restriksi jangka pendek (contemporaneous restrictions).
3.2.6 . Model Restriksi
Model restriksi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu dari model Sato, et al, (2005) yaitu diasumsikan model ini digunakan untuk small-opened economy dan bank sentral mengintervensi ekpektasi inflasi. Pada model ini inflasi
dibagi atas beberapa tahapan yaitu Producer Price Index (PPI) inflation dan Consumer Price Index (CPI) inflation. Kelebihan model ini adalah model ini dapat
melihat efek yang diakibatkan oleh imported inflation terhadap inflasi IHK baik melalui efek langsung maupun tidak langsung dan tidak ada contemporaneous feedback dalam model ini.
⎡1 ⎢b ⎢ 21 ⎢b31 ⎢ ⎢b41 ⎢b51 ⎢ ⎢b61 ⎢b ⎣ 71
0 1 b32 b42 b52 b62 b72
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 b43 1 0 0 b53 b54 1 0 b63 b64 b65 1 b73 b74 b75 b76 B
0⎤ 0⎥⎥ 0⎥ ⎥ 0⎥ 0⎥ ⎥ 0⎥ 1⎥⎦
⎡ eitπ ⎤ ⎢ i ⎥ ⎢ eit ⎥ ⎢ em ⎥ ⎢ ite ⎥ ⎢ eit ⎥ = zij ⎢ πppi ⎥ ⎢eit ⎥ ⎢ ey ⎥ ⎢ itc ⎥ ⎢⎣ eitπ ⎥⎦ oil
e
Z
⎡ ε itπ ⎤ ⎢ i ⎥ ⎢ ε it ⎥ ⎢ εm ⎥ ⎢ ite ⎥ ⎢ ε it ⎥ ⎢ πppi ⎥ ⎢ε it ⎥ ⎢ εy ⎥ ⎢ itc ⎥ ⎢⎣ ε itπ ⎥⎦ oil
(53)
ε
dimana : bij i it
e
= elemen dari B = residual (error term) dari guncangan orthogornal (orthogonal shocks)
zij
= choleski restrictions
ε
= vektor guncangan ortogonal (vector orthogonal shocks)
i it
Struktur dasar model ini dimulai dengan (1) guncangan dari sisi penawaran (supply shock) yang diidentifikasi melalui inflasi harga minyak (oil price), (2) dengan adanya supply shock maka bank sentral di suatu negara akan mengintervensi melalui suku bunga (short run nominal interest rate) dan (3) suku bunga akan mempengaruhi jumlah uang beredar di suatu negara. Lebih jelasnya perumusan model dapat dilihat dibawah ini:
π itoil = Et −n (π itoil ) + ε its
(54)
iit = Et − n (iit ) + x1iε its + ε itr
(55)
mS it = Et − n (mS it ) + z1iε its + z2ε itr + ε itms
(56)
Pada tahap selanjutnya jumlah uang beredar, supply shock dan guncangan suku bunga akan mempengaruhi nilai tukar Dengan menggunakan persamaan (54), (55) dan (56) maka persamaan matematisnya dapat ditulis sebagai berikut : eit = Et − n (eit ) + q1iε its + q2ε itr + q3ε itms + ε ite
(57)
setelah melalui kurs maka efek ini kemudian diteruskan kepada perubahan pada PPI
π itppi = Et − n (π itm ) + n1iε its + n2iε itr + n3ε itm + n4iε ite + ε itppi s
(58)
inflasi impor yang kemudian diteruskan ke PPI (58) beserta kombinasi shock yang terjadi ini kemudian akan mempengaruhi output yang diidentifikasi melalui indeks produksi (IPX) di suatu negara yit = Et − n ( yit ) + a1iε its + a2ε itr + a3ε itms + a4ε ite + a5ε itppi + ε itd
(59)
dengan demikian persamaan guncangan struktural dari IHK di setiap negara i pada waktu ke-t berdasarkan persamaan (59) dapat ditulis sebagai berikut :
π itcpi = Et − n (π itcpi ) + γ 1iε its + γ 2iε itr + γ 3ε itm + γ 4iε ite + γ 5iε itppi + γ 6iε itd + ε itcpi s
(60)
dimana :
π itoil
: inflasi harga minyak (oil price) di negara i pada waktu t : suku bunga : jumlah uang beredar (M2) di negara i pada waktu t : kurs (kurs efektif nominal) di negara i pada waktu t
iit mS it eit
π itppi
: indeks harga bahan baku impor (PPI) di negara i pada waktu t : indeks produksi (IPX) di negara i pada waktu t
yit
π itcpi
: indeks harga konsumen (IHK )di negara i pada waktu t
Et − n (π ) oil it
Et − n (iit ) Et − n (mS it ) Et − n (eit ) Et − n ( yit ) Et − n (π itppi ) Et − n (π itcpi )
ε its ε itr ε itm ε ite ε itppi ε itd ε itcpi s
: lag harga minyak berdasarkan n periode sebelumnya di negara i : lag suku bunga berdasarkan n periode sebelumnya di negara i : lag jumlah uang beredar berdasarkan n periode sebelumnya di negara i : lag perubahan kurs berdasarkan n periode sebelumnya di negara i : lag output gap berdasarkan n periode sebelumnya di negara i : lag inflasi PPI berdasarkan n periode sebelumnya di negara i : lag inflasi IHK berdasarkan n periode sebelumnya di negara i : guncangan harga minyak (supply shock) : guncangan suku bunga : guncangan jumlah uang beredar (M2) : guncangan kurs : guncangan PPI : guncangan output : guncangan IHK
i t n
: negara : periode waktu (bulan) : panjang lag (selang)
3.2.7. Innovation Accounting
3.2.7.1. Impulse Response Function (IRF) Analisis impuls respon (impuls respon function/IRF) adalah metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap guncangan (shock) variabel tertentu (Amisano dan Gianinni, 1997). IRF juga digunakan untuk melihat shock dari satu variabel terhadap variabel yang lain dan berapa lama (periode) pengaruh tersebut. Jadi metode ini digunakan untuk menjawab permasalahan pertama dan kedua dari penelitian ini. 3.2.7.2.Decomposition of Forecasting Error Variance (DFEV) Analisis dekomposisi varian (DFEV) digunakan untuk menghitung dan menganalisis seberapa besar pengaruh acak guncangan (random shock) dari variabel tertentu terhadap variabel endogen (Amisano dan Gianinni, 1997). Singkatnya DFEV menghasilkan informasi mengenai relatif pentingnya masingmasing inovasi acak (random innovation structural disturbance) atau seberapa kuat komposisi dari peranan variabel tertentu terhadap variabel lainnya dalam model SVAR. Alat analisis ini yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan ketiga dalam penelitian ini.
3.2.8. Derajat Pass-Through
Metode penghitungan derajat pass-through pada penelitian ini mengacu pada model Sato, et al, (2005), Hyder dan Shah (2004), Windarty (2004) dan
McCarthy
(2000)
dimana
Cholesky
Decomposition
digunakan
untuk
mengidentifikasi guncangan struktural dan menghitung derajat pass-through melalui analisis impuls respon. Koefisien (derajat) pass-through dihitung berdasarkan kumulatif impuls respon dari guncangan kurs terhadap harga dan guncangan kurs terhadap kurs itu sendiri. Maka analisis ini sekaligus menjawab permasalahan pertama dan kedua pada penelitian ini. Adapun persamaan matematis penghitungannya dapat ditulis sebagai berikut : n
Derajat Pass-Through
=
∑ψ i =1 n
cpi nt
∑ψ i =1
(61) s nt
dimana : n
∑ψ i =1
p nt
= kumulatif respon harga terhadap inovasi kurs untuk negara tertentu (t) dari horizon pertama sampai ke-n
n
∑ψ i =1
s n
= kumulatif respon kurs terhadap inovasi kurs untuk negara tertentu (t) dari horizon pertama sampai ke-n
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Sekilas Kondisi Perekonomian di Asia
Asia
telah
muncul
sebagai
sebuah
mesin
pertumbuhan
dunia
perekonomian yang menghasilkan 30 persen lebih dari PDB dunia dan memberikan kontribusi hingga separuh pertumbuhan global pada tahun-tahun belakangan ini (Rato, 2005). Pada semester pertama tahun 2004, pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara sangat mengesankan. Perekonomian Laos, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam mencatat prestasi jauh di atas perkiraan, sementara
Brunei,
Kamboja,
Indonesia,
dan
Filipina
juga
mengalami
pertumbuhan, meskipun dengan langkah maju yang lebih moderat. Thailand, misalnya, mampu meningkatkan volume perdagangan intraregionalnya dengan negara-negara ASEAN yaitu dengan Cina dari 15,7 persen menjadi 20,3 persen, dengan Korea Selatan dari 13,1 persen menjadi 15,9 persen, dan dengan Jepang dari 14,1 persen menjadi 15,0 persen. Kondisi pertumbuhan ekonomi dan perdagangan intra-industri di antara Asia Timur 9 dan Jepang ini membawa perubahan besar dalam perkembangan regionalisme ekonomi Asia Timur dan memberikan dorongan kuat bagi terciptanya Masyarakat Asia Timur atau Kerjasama Ekonomi Asia Timur (EAEC), yang diharapkan mampu meminimalkan risiko yang melekat pada sistem keuangan global yang ada sekarang, selain juga meningkatkan rasa persaingan di antara anggota kelompok (Hanafi, 2005). Pembentukan EAEC didasarkan atas kerjasama ekonomi terutama menjadi agenda penting sejak terjadinya krisis
keuangan yang melanda Asia (Asian Financial Crisis/AFC) pada pertengahan tahun 1997. Menurut Lembaga Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi Asia kuartal pertama 2006 mencapai tujuh persen. Angka tersebut sama dengan pertumbuhan yang dicapai pada 2005. Menurut IMF pesatnya pertumbuhan ini tidak terlepas dari perubahan pesat yang terjadi di Jepang dan Cina. Dalam laporannya IMF menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi disebabkan oleh berkembangnya permintaan akan sejumlah kebutuhan pokok terutama elektronik. Selain itu masih menurut IMF, kebijakan pasar keuangan yang begitu ketat juga berpengaruh terhadap pertumbuhan. Perbankan di Asia mengalami kemajuan dimana banyaknya sejumlah bank yang memberikan fasilitas kredit kepada (industri) rumah tangga. Terlepas dari itu faktor investasi juga menjadi faktor penting dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Asia dalam kuartal pertama 2006. Menurut IMF, Cina kini mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 9,5 persen dan masih relatif lebih kecil dibandingkan tahun 2005 sebesar 9,9 persen. IMF juga menyampaikan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jepang yang mencapai 2,8 persen tahun ini. Nilai ini sedikit berada di atas tahun lalu yang mencapai 2,7 persen.
4.2.
Trend Kurs di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan
Salah satu ukuran penting dari kurs di suatu negara adalah kurs nominal bilateral yang didefinisikan sebagai harga satuan mata uang dalam negeri (domestic currency) terhadap mata uang luar negeri (foreign currency).
Gambar 4.1 dan 4.2 menunjukkan tren kurs nominal domestik di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan terhadap kurs US$ dalam periode 1990-2005. Data kurs spot nominal ini diperoleh dari bloomberg dan kemudian dibentuk trendnya dengan menggunakan Hodrick-Prescott Filter. Berdasarkan gambar tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa trend kurs nominal di masing-masing negara ASEAN, Jepang dan Korea Selatan menunjukkan tren yang berbeda-beda. Terdapat beberapa esensi penting yang dapat diambil dari Gambar 4.1 dan 4.2 . Pertama, terjadi structural breaks pada tahun 1997. Hal yang menyebabkan terjadinya structural breaks adalah krisis keuangan di Asia yang dipicu oleh oleh keputusan pemerintah Thailand untuk mendevaluasi mata uang Baht pada tanggal 2 Juli 1997, yang kemudian disusul adanya kepanikan luar biasa di bursa saham dan mata uang. Krisis selanjutnya menjalar ke Korea Selatan, Malaysia, Indonesia, Philippina, Singapura dan Hongkong (Achsani, 2003). Kedua, pasca terjadinya krisis keuangan (AFC) yang melanda sebagian besar kawasan Asia pada pertengahan tahun 1997 kurs nominal di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan menunjukkan tren yang semakin meningkat (apresiasi) kecuali untuk negara Indonesia dan Filipina. Artinya negara-negara seperti Singapura, Thailand, Jepang, Korea bahkan Malaysia yang secara geografis bertetangga dengan Indonesia mampu menunjukkan trend kurs yang meningkat atau apresiasi. Implikasinya adalah bahwa pemulihan depresiasi kurs domestik terhadap US$ yang terjadi di kawasan ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan selama pertengahan 1997 relatif lebih lambat di Indonesia dan Filipina. Bahkan
berdasarkan gambar tersebut Peso cenderung memiliki nilai nominal dan tren yang lebih rendah dibanding tahun 1997 saat terjadinya krisis.
-7.2
-0.8
-7.6
-0.9
-8.0
-1.0
-8.4
-1.1
-8.8
-1.2
-9.2
-1.3
-9.6
-1.4
-10.0 90
92
94
96
RUPIAH
98
00
02
-1.5
04
90
92
TREND RUPIAH
94
96
RINGGIT
-3.1
98
00
02
04
TREND RINGGIT
-3.0
-3.2 -3.2 -3.3 -3.4
-3.4
-3.5 -3.6 -3.6 -3.7
-3.8
-3.8 -4.0 -3.9 -4.0
-4.2 90
92
94
96
BAHT
98
00
02
04
90
92
TREND BAHT
94
96
PESO
98
00
02
04
TREND PESO
-.32 -.36 -.40 -.44 -.48 -.52 -.56 -.60 -.64 90
92
94
96 SGD
98
00
02
04
TREND SGD
Gambar 4.1 Trend Kurs Domestik Terhadap US$ di Negara ASEAN Periode 1990-2005
-6.4
-4.4
-6.6
-4.5 -4.6
-6.8
-4.7 -7.0 -4.8 -7.2
-4.9
-7.4
-5.0
-7.6
-5.1 90
92
94
96
WON
98
00
02
04
TREND WON
90
92
94
96 YEN
98
00
02
04
TREND YEN
Gambar 4.2. Trend Kurs Domestik Terhadap US$ di Negara Jepang dan Korea Selatan Periode 1990-2005 Ketiga, krisis keuangan yang melanda Asia pertengahan 1997 telah membuat transformasi rezim kurs yang berlaku. Dengan demikian, rezim kurs ini juga menjadi faktor yang dapat menjelaskan tren kurs nominal di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan pasca krisis. Seperti kita ketahui, dalam rezim kurs mengambang bebas, kurs dibiarkan mengambang sesuai mekanisme pasar. Oleh karena itu, kurs nominal di suatu negara akan sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran kurs domestik di pasar valuta asing (foreign exchange market). Kekuatan kurs di pasar valas ini pada akhirnya juga ditentukan oleh besar kecilnya perekonomian dari suatu negara. Jika perekonomian cenderung perekonomian terbuka kecil maka fluktuasi kurs cenderung lebih volatile (Lloyd dan Smith, 2004). Apalagi jika tidak didukung oleh struktur pasar domestik yang baik maka volatilitas kurs yang tinggi akan cenderung menyebabkan depresiasi. Tabel 4.1 menyajikan transformasi rezim kurs di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan pasca terjadinya krisis keuangan.
Tabel 4.1. Transformasi Rezim Kurs di Beberapa Negara Asia Pasca Krisis Negara
Periode
November 1978 - Juni 1997
Managed Floating
Juli 1997 - Desember 2005
Independently Floating
Maret 1980 - Oktober 1997
Managed Floating
November 1997 - Desember 2005
Independently Floating
Januari 1986 - Februari 1990
Limited Flexibility
Maret 1990 - November 1992
Fixed
Desember 1992 - September 1998
Managed Floating
September 1998 - Desember 2005
Pegged Arrangement
Januari 1988 - Desember 2005
Independently Floating
Januari 1970 - Juni 1997
Fixed
Juli 1997 - Desember 2005
Independently Floating
Indonesia
Korea
Malaysia
Filipina Thailand
Rezim Kurs
Sumber : Hernandez dan Montiel (2001)
4.3.
Data Generating Process (DGP)
Sebelum masuk kedalam tahapan analisis model SVAR, maka sebelumnya kita harus melakukan apa yang disebut Data Generating Process (DGP). DGP diantaranya meliputi uji akar unit (unit root test), pengujian lag optimal dan stabilitas VAR. Hal ini penting karena dalam model multivariat time-series kebanyakan data yang digunakan mengandung akar unit sehingga akan membuat hasil estimasi menjadi palsu (spurious regression) dan tidak valid (Gujarati, 2003).
4.3.1. Uji Stasioneritas Data
Sebelum mengestimasi model maka pertama-tama kita harus melakukan uji stasioneritas untuk masing-masing variabel yang digunakan karena sebagian besar data time-series mempunyai akar unit (Gujarati, 2003). Metode pengujian yang digunakan untuk melakukan uji stasioneritas adalah uji ADF dengan lag maksimum 4. Jika nilai t-ADF lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon (1996) maka dapat disimpulkan data yang kita gunakan tidak mengandung akar unit (stasioner). Pengujian kestasioneran data dilakukan pada tingkat level sampai dengan first difference dengan taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Hasil pengujian stasioneritas data untuk masing-masing negara dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4.2. Uji Stasioneritas Data ASEAN
Variabel
Indonesia level
1st diff
Malaysia level
1st diff
Thailand level
1st diff
Filipina level
1st diff
Singapura level
1st diff
loil
-0.423 -7.446 -0.423 -7.446 -0.423 -7.446 -0.423 -7.446 -0.423 -7.446
r
-2.913 -6.178 -1.151 -5.895 -1.248 -6.091 -1.956 -7.094 -3.447 -8.507
lm2
-1.898 -7.045 -1.453 -5.698 -4.048 -4.483 -1.311 -8.346 -1.835 -5.864
ls
-0.917 -4.934 -1.099 -5.155 -1.009 -5.124 -0.944 -5.189 -1.634 -6.708
lppi
-0.428 -4.451 -0.248 -5.836 0.032 -4.585
lipx
-3.329 -7.550 -0.406 -6.199 -0.777 -7.723 -1.456 -7.578 -0.879 -7.799
lcpi
-0.262 -3.233 -2.568 -5.883 -1.862 -4.565 -3.215 -4.064 -3.907 -4.752
0.614
-5.411 -0.248 -5.836
S Sumber : Lampiran 1 masing-masing negara. ADF dengan intercep tanpa trend t-kritis MacKinnon 1% = -3.465, 5% = -2.877 dan 10% = -2.575 Cetak tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf 1 %, 5 % dan 10 %
Tabel 4.3. Uji Stasioneritas Data Jepang dan Korea Selatan Jepang
Variabel loil r lm2 ls lppi lipx lcpi
Korea Selatan
level
1st diff
level
1st diff
-0.423
-7.446
-0.423
-7.446
-2.074
-6.414
-1.901
-5.703
-0.621
-6.754
-3.450
-2.737
-2.930
-7.120
-1.610
-6.551
0.411
-5.139
-1.067
-5.769
-2.640
-4.069
-0.288
-12.093
-4.706
-6.234
-3.322
-6.228
Sumber : Lampiran 1 masing-masing negara. ADF dengan intercep tanpa trend t-kritis MacKinnon 1% = -3.465, 5% = -2.877 dan 10% = -2.575 Cetak tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf 1 %, 5 % dan 10 %
Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa 80 persen data untuk masing-masing negara ASEAN, Jepang dan Korea Selatan tidak stasioner di tingkat level karena nilai t-ADF kebanyakan variabel makroekonomi lebih besar daripada nilai kritis Mackinnon dan setelah dilakukan perbedaan pertama (1st difference) barulah semua data stasioner pada tingkat kritis 5 persen dan 10 persen. Artinya data yang digunakan pada penelitian ini terintegrasi pada ordo 1 atau dapat disingkat menjadi I(1). Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa penelitian ini bertujuan menganalisis efek perubahan kurs terhadap IHK baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, Penggunaan data perbedaan pertama (1st difference) sebagaimana dikatakan Sims dalam Verbeek (2000) tidak direkomendasikan sebab akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu untuk menganalisis informasi jangka panjang akan digunakan data level sehingga model SVAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan (error correction model) menjadi VECM.
4.3.2. Penentuan Selang (Lag) Optimal
Penggunaan selang (lag) optimal sangat penting dalam pendekatan VAR karena lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen (Enders dalam De Jong, 2005). Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak lagi muncul masalah autokorelasi. Adapun kriteria penentuan lag optimal ditentukan berdasarkan lag terpendek dan standar Akaike Information Criterion (AIC) terkecil. Hasil pengujian penentuan lag optimal terlampir pada Tabel 4.4 di bawah ini : Tabel 4.4. Pengujian lag optimal VAR Akaike Information Criterion (AIC)
Lag Indonesia Malaysia
Thailand
Filipina Singapura Jepang
Korea
0
-14.69666
-28.78829
-29.08688
-22.63129
-27.14494
-35.61213
-27.73110
1
-16.23680
-29.23056
-29.83081
-23.00269
-27.57076
-36.07290
-28.54466
2
-16.84167
-29.05209
-29.67767
-22.99163
-27.90221 -36.34951
-29.00155
3
-17.01966
-28.93548
-29.69374
-22.84911
-27.71344
-36.39747
-29.07459
4
-17.22037
-28.87128
-29.58742
-22.71790
-27.55289
-36.35490
-29.07239
5
-17.16886
-28.87188
-29.48116
-22.64736
-27.32936
-
-
Sumber : Lampiran 2 masing-masing negara. Cetak tebal menunjukkan AIC terkecil
dengan demikian maka persamaan umum VAR untuk masing-masing negara dapat ditulis sebagai berikut :
Indonesia 4
4
4
4
4
4
4
i =1
i =1
i=1
i=1
i=1
i=1
i=1
1
1
1
1
1
1
1
i =1
i =1
i=1
i=1
i=1
i=1
i=1
1
1
1
1
1
1
1
i =1
i =1
i=1
i=1
i=1
i=1
i=1
1
1
1
1
1
1
1
i =1
i =1
i=1
i=1
i=1
i=1
i=1
2
2
2
2
2
2
i =1
i=1
i=1
i=1
i=1
i=1
3
3
3
3
3
3
3
i =1
i =1
i=1
i=1
i=1
i=1
i=1
3
3
3
3
3
3
3
i =1
i =1
i=1
i=1
i=1
i=1
i=1
Zt = ∑Γiπtoil−i + ∑Γiit −i + ∑Γi m2t −i + ∑Γi st −i + ∑Γiπt-ippi + ∑Γi yt−i + ∑Γiπt-icpi + εit
(62)
Malaysia
Zt = ∑Γiπtoil−i + ∑Γiit −i + ∑Γi m2t −i + ∑Γi st −i + ∑Γiπt-ippi + ∑Γi yt−i + ∑Γiπt-icpi + εit
(63)
Thailand
Zt = ∑Γiπtoil−i + ∑Γiit −i + ∑Γi m2t −i + ∑Γi st −i + ∑Γiπt-ippi + ∑Γi yt−i + ∑Γiπt-icpi + εit
(64)
Filipina
Zt = ∑Γiπtoil−i + ∑Γiit −i + ∑Γi m2t −i + ∑Γi st −i + ∑Γiπt-ippi + ∑Γi yt−i + ∑Γiπt-icpi + εit
(65)
Singapura 2
Zt = ∑Γ π + ∑Γiit −i + ∑Γi m2t −i + ∑Γi st −i + ∑Γ π + ∑Γi yt−i + ∑Γiπt-icpi + εit i =1
oil i t −i
ppi i t-i
(66)
Jepang
Zt = ∑Γiπtoil−i + ∑Γiit −i + ∑Γi m2t −i + ∑Γi st −i + ∑Γiπt-ippi + ∑Γi yt−i + ∑Γiπt-icpi + εit
(67)
Korea Selatan
Zt = ∑Γiπtoil−i + ∑Γiit −i + ∑Γi m2t −i + ∑Γi st −i + ∑Γiπt-ippi + ∑Γi yt−i + ∑Γiπt-icpi + εit
(68)
dimana : Zt = variabel analisis yang terdiri dari harga minyak dunia ( π oil ), suku bunga (i), jumlah uang beredar (M2), kurs nominal (s), indeks harga produsen ( π ppi ), indeks produksi ( yt ) dan indeks harga konsumen ( π cpi ) Γ = parameter dalam bentuk matriks polinomial (finite order matrix) dengan lag operator i
ε it = vector white noise i = panjang lag (ordo) VAR (i=1,2,3,4)
4.3.3. Pengujian Stabilitas VAR
Sebelum dilakukan analisis lebih jauh, maka stabilitas SVAR perlu diuji karena jika hasil estimasi SVAR yang akan dikombinasikan dengan ECM tidak stabil akan menyebabkan analisis IRF dan DFEV menjadi tidak valid. Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi SVAR yang telah dibentuk maka dilakukan VAR Stability Condition Check berupa Roots of Characteristic Polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu (Lutkepohl dalam Eviews 4 User’s Guide, 2002). Berdasarkan uji stabilitas VAR yang ditunjukkan oleh Tabel 4.5 dapat disimpulkan bahwa estimasi SVAR yang akan digunakan untuk analisis IRF dan DFEV stabil. Tabel 4.5. Uji Stabilitas model SVAR ASEAN, Jepang dan Korea Selatan Negara Indonesia Malaysia Thailand Filipina Singapura Jepang Korea Selatan
Kisaran Modulus 0,041 - 0,839 0,069 - 0,428 0,09 - 0,478 0,022 - 0,364 0,025 - 0,759 0,311 - 0,807 0,254 - 0,863
Sumber : Lampiran 3 masing-masing negara. Cetak tebal menunjukkan AIC terkecil
4.3.4. Pengujian Kointegrasi
Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engle dan Granger (1987) sebagai fenomena dimana kombinasi linear dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linear ini dikenal dengan istilah
persamaan
kointegrasi
dan
dapat
diintepretasikan
sebagai
hubungan
keseimbangan jangka panjang diantara variabel (Verbeek, 2000). Metode pengujian kointegrasi didasarkan pada metode Johansen Pengujian ini dilakukan dalam rangka memperoleh hubungan jangka panjang antar variabel yang telah memenuhi persyaratan dalam proses integrasi yaitu dimana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat satu I(1). Informasi jangka panjang diperoleh dengan menentukan terlebih dahulu rank kointegrasi untuk mengetahui berapa sistem persamaan yang dapat menerangkan dari keseluruhan sistem yang ada. Kriteria pengujian kointegrasi pada penelitian ini didasarkan pada trace statistics. Apabila nilai trace statistics lebih besar daripada nilai kritis 5% maka kita menerima hipotesis alternatif yang menyatakan jumlah rank kointegrasi. Hasil pengujian kointegrasi ditampilkan pada tabel berikut ini : Tabel 4.6. Pengujian Kointegrasi Berdasarkan Trace Statistics Trace Statistics
Negara
Ho
R=0
R<=1
R<=2
R<=3
R<=4
R<=5
R<=6
H1
R>=1
R>=2
R>=3
R>=4
R>=5
R>=6
R>=7
Indonesia Malaysia Thailand Filipina Singapura Jepang Korea Selatan
157.40 142.46 187.80 187.69 165.87 173.71 183.86
102.96 98.19 125.81 126.69 116.61 113.34 125.93
63.62 68.45 85.75 85.93 82.11 73.35 81.36
34.05 44.43 48.14 51.08 48.67 46.27 52.52
16.60 24.48 21.07 21.33 27.26 27.38 26.84
5.79 10.10 6.94 5.79 7.47 10.89 12.64
0.34 1.09 0.32 0.02 1.28 3.94 1.19
5% critical value
124.24
94.15
68.52
47.21
29.68
15.41
3.76
Sumber : Lampiran 5 masing-masing negara Cetak tebal menunjukkan bahwa trace statistic > 5 % critical value dan terjadi kointegrasi
Berdasarkan tabel di atas maka dapat disimpulkan untuk masing-masing negara ASEAN, Jepang dan Korea Selatan terdapat minimal dua rank kointegrasi pada tingkat kritis 5 persen. Selanjutnya persamaan kointegrasi ini akan digunakan untuk membentuk restriksi umum (just identifying restrictions) berdasarkan metode Johansen yaitu dengan membuat matriks identitas berukuran jumlah rank kointegrasi yang terdapat pada masing-masing negara ASEAN serta Jepang dan Korea Selatan. Informasi jumlah rank kointegrasi ini akan digunakan sebagai model koreksi kesalahan (error correction model) yang akan dimasukkan ke dalam model SVAR menjadi VECM.
4.4.
Hasil Empiris
Model SVAR yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan atau VECM digunakan dalam menganalisis efek perubahan (pass-through effect) kurs terhadap IHK. Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam menganalisis passthrough of exchange rate maka dengan meninjau penelitian terdahulu (Sato, et al,
2005; McCarthy, 2000; Hyder, dan Sah, 2004; Hartati, 2004; Windarti, 2004) efek perubahan kurs terhadap IHK akan diidentifikasi melalui guncangan struktural dari persamaan (52). Untuk itu akan digunakan Cholesky Decomposition yang selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan simulasi analisis impuls respon dan dekomposisi varian. Hasil analisis impuls respon guncangan kurs dan dekomposisi varian selengkapnya terlampir pada Lampiran 6 dan Lampiran 7.
4.4.1. Simulasi Analisis Impuls Respon 1.
Respon kurs terhadap guncangan kurs
Pertama-tama kita akan memulai analisis impuls respon (impulse responses function/IRF) dengan melihat respon kurs akibat guncangan kurs itu sendiri. Dari hasil analisis impuls respon yang terlampir pada Lampiran 6 terlihat bahwa guncangan kurs untuk masing-masing negara di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan memiliki pola yang hampir serupa pada horizon pertama. Dimana saat terjadi guncangan kurs sebesar satu standar deviasi maka kurs domestik masing-masing negara akan mengalami apresiasi. Hasil analisis respon kurs domestik terhadap guncangan kurs di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan dalam jangka panjang atau selama 48 horizon waktu kedepan (4 tahun) ditunjukkan pada Gambar 4.3 berikut ini. a. Rupiah Pada saat terjadinya guncangan, kurs Rupiah akan mengalami apresiasi sebesar 7,2 persen dan hal ini akan berlangsung selama dua bulan kedepan. Sampai dengan sepuluh bulan kedepan Rupiah akan mengalami fluktuasi pada kisaran 6 sampai dengan 7 persen. Kemudian rupiah akan mengalami apresiasi tertajam pada bulan ke tujuh yaitu sebesar 7,9 persen. Pada bulan ke-25 Rupiah akan mengalami apresiasi terendah dibanding horizon lainnya yaitu sebesar 3,7 persen. Sampai dengan horizon ke 48 atau sekitar empat tahun belum dapat ditentukan keseimbangan Rupiah namun terlihat pada grafik bahwa Rupiah berada pada besaran 4,6 persen dan masih mengalami pertumbuhan positif.
INDONESIA .08
.07
Persen (%)
.06
.05
.04
.03 5
10
15
20
25
30
35
40
45
bulan
THAILAND
MALAYSIA
.040
.028
.038
.027
.036 Persen (%)
.026 Persen (%)
.034
.025
.032
.024
.030
.023
.028
.022
.026 5
10
15
20
25
30
35
40
.021
45
5
10
15
20
25
bulan
30
35
40
45
30
35
40
45
35
40
45
bulan
SINGAPURA
FILIPINA
.0155
.032
.0150 .031 .0145 .030
.0140 Persen (%)
Persen (%)
.0135
.029
.0130 .028
.0125 .0120 5
10
15
20
25
30
35
40
.027
45
5
10
15
20
bulan
25 bulan
JEPANG
KOREA SELATAN
.032
.040 .036
.028
.032 .024 Persen (%)
Persen (%)
.020
.028 .024
.016
.020
.012
.016 5
10
15
20
25 bulan
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
bulan
Gambar 4.3. Respon Kurs Domestik Terhadap Guncangan Kurs di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan
b. Ringgit Pada horizon pertama, guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan Ringgit mengalami apresiasi sebesar 2 persen dan terus menerus terapresiasi sampai dengan bulan ke-11. Kemudian Ringgit akan sedikit mengalami depresiasi pada bulan ke-12 dan kembali mengalami pertumbuhan positif sebesar 2.6 persen. Dalam jangka panjang mulai bulan ke-40 guncangan kurs satu standar deviasi akan menyebabkan apresiasi Ringgit sebesar 2,7 persen. c. Baht Guncangan kurs satu standar deviasi pada bulan pertama akan menyebabkan apresiasi Baht sebesar 3,4 persen dan mengalami apresiasi tertajam pada bulan kedua yaitu sebesar 3,9 persen. Selanjutnya Baht akan mengalami depresiasi tajam dalam delapan bulan kedepan. Selanjutnya Baht akan kembali terapresiasi pada kisaran 2,7 persen dan dalam jangka panjang guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan apresiasi Baht pada kisaran 2,7 persen sampai 2,8 persen. d. Peso Respon Peso terhadap guncangan kurs sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama akan menyebabkan Peso terapresiasi sebesar 2,8 persen dan Peso akan terus mengalami apresiasi sampai dengan bulan ke-16 sebesar 3,1 persen. Pada bulan ke-17 Peso akan mengalami depresiasi pada kisaran 3 persen. Dalam jangka panjang guncangan kurs terhadap Peso akan menyebabkan apresiasi Peso sebesar 3 persen dan guncangan ini mulai tidak kelihatan lagi pada saat bulan ke-30.
e. Dollar Singapura Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama akan menyebabkan Dollar Singapura terapresiasi sebesar 1,4 persen. Pada bulan kedua kurs Dollar Singpura masih mengalami apresiasi sebesar 1,5 persen. Apresiasi ini tidak berlangsung lama karena pada bulan ke-3 sampai dengan bulan ke-24 Dollar Singapura mengalami depresiasi pada kisaran 1,2 persen. Pengaruh guncangan mulai hilang sekitar bulan ke-45 dimana guncangan kurs menyebabkan pertumbuhan positif pada kisaran 1,3 persen. f. Yen Pengaruh guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan apresiasi Yen sebesar 3 persen pada bulan pertama. Kemudian dalam empat bulan kedepan Yen akan mengalami fluktuasi pada kisaran 2,8 persen sampai 3 persen. Selanjutnya dalam 27 bulan kedepan Yen akan mengalami pertumbuhan negatif dan akan stabil pada bulan ke-26. Dalam jangka panjang efek guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan apresiasi Yen sebesar 1,2 persen g. Won Guncangan pada Won sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan apresiasi won sebesar 3,2 persen. Won akan mengalami apresiasi tajam pada bulan kedua sebesar 3,7 persen. Setelah bulan ketiga Won akan terus menerus mengalami pertumbuhan negatif (depresiasi). Dalam jangka panjang guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan Won terapresiasi pada kisaran 1,9 persen dan efek dari guncangan ini mulai tidak kelihatan lagi pada bulan ke-25.
2.
Respon indeks harga produsen (PPI) terhadap guncangan kurs
Respon indeks harga produsen (PPI) sebagai akibat guncangan kurs selama 48 horizon waktu ditunjukkan oleh Gambar 4.4. Berdasarkan restriksi yang telah dibuat maka tahapan selanjutnya adalah menelaah pengaruh guncangan kurs terhadap indeks harga produsen yang diidentifikasi dari harga bahan baku impor atau Producer Price Index (PPI). Analisis ini melihat pengaruh kurs terhadap harga bahan baku impor terutama yang digunakan produsen dalam berproduksi. Secara teori ekonomi, PPI memiliki hubungan negatif dengan kurs. Melalui teori PPP, jika terjadi apresiasi kurs maka harga barang impor akan menurun atau lebih murah. Akan tetapi, tidak selamanya fakta yang terjadi sesuai dengan teori ekonomi. Hasil analisis respon PPI terhadap guncangan kurs ditunjukkan pada Gambar 4.4 berikut ini. a. Indonesia Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan penurunan PPI sebesar 1,9 persen pada bulan pertama. Hal ini cukup konsisten dengan teori ekonomi mengingat pada analisis sebelumnya bahwa guncangan kurs pada horizon pertama dan dalam jangka panjang akan menyebabkan Rupiah terapresiasi. Dengan terapresiasinya Rupiah maka harga impor menjadi lebih murah dan akibatnya harga bahan baku impor pun akan menurun akibat apresiasi kurs Rupiah. PPI akan berfluktuasi selama 38 bulan kedepan pada kisaran 3 persen dan mencapai titik terendah sebesar 4 persen. Dalam jangka panjang guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan pertumbuhan negatif PPI sebesar
3 persen. Efek guncangan ini mulai tidak kelihatan lagi pada bulan ke-40 atau dengan kata lain keseimbangan jangka panjang dicapai pada bulan ke-40. INDONESIA -.016 -.020 -.024 -.028
Persen (%)
-.032 -.036 -.040 -.044 5
10
15
20
25
30
35
40
45
bulan THAILAND
MALAYSIA
-.001
-.002
-.002 -.003
-.003 -.004 Persen (%)
Persen (%)
-.005 -.006
-.004
-.005
-.007 -.008
-.006
-.009 -.010
-.007 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
bulan
25
30
35
40
45
30
35
40
45
35
40
45
bulan
SINGAPURA
FILIPINA
.002
-.001
.001
-.002
.000
-.003 Persen (%)
-.001
-.004 -.005
-.002 -.006 -.003 -.007 -.004 5
10
15
20
25
30
35
40
-.008
45
5
10
15
20
bulan
25 bulan
JEPANG
KOREA SELATAN
.0000
-.001
-.0002
-.002 -.003
-.0004 -.004 Persen (%)
-.0006
Persen (%)
-.005 -.006
-.0008
-.007 -.0010 -.008 -.0012 5
10
15
20
25 bulan
30
35
40
45
-.009 5
10
15
20
25
30
bulan
Gambar 4.4. Respon PPI Terhadap Guncangan Kurs di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan
b. Malaysia Guncangan pada kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan penurunan PPI pada bulan pertama sebesar 0,2 persen. Perilaku ini akan berlangsung terus dan mulai akan hilang gangguannya pada bulan ke-35. Akhirnya dalam jangka panjang guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan mengakibatkan pertumbuhan negatif PPI di Malaysia sebesar 0,65 persen . Hal ini juga sesuai dengan teori ekonomi karena dalam jangka panjang guncangan kurs mengakibatkan Ringgit terapresiasi. Apresiasi pada kurs domestik akan menyebabkan harga barang impor terutama harga bahan baku impor relatif mennjadi lebih murah. c. Thailand Respon PPI terhadap guncangan kurs sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama akan menyebabkan penurunan PPI sebesar 0,2 persen. Sejalan dengan analisis respon Baht terhadap guncangan kurs yang mengakibatkan apresiasi maka pertumbuhan PPI pun juga negatif dalam jangka panjang. Hal ini konsisten dengan teori ekonomi karena apresiasi kurs Baht akan membuat harga barang-barang impor menjadi lebih murah. Pertumbuhan negatif PPI ini dalam jangka panjang berada pada kisaran 0,8 persen dan efek guncangan kurs terhadap PPI mulai hilang sekitar bulan ke-15. d. Filipina Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama akan menyebabkan
penurunan PPI sebesar 0,1 persen. Fenomena ini akan terus
berlangsung sampai dengan bulan ke-30 dimana guncangan kurs sudah mulai
tidak berpengaruh lagi. Dalam jangka panjang guncangan kurs akan mengakibatkan pertumbuhan negatif pada PPI dan berada pada kisaran 0,7 persen. Hal ini konsisten dengan teori ekonomi karena apresiasi Peso relatif akan membuat harga barang-barang impor menjadi lebih murah. e. Singapura Pengaruh guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan penurunan PPI sebesar 0,1 persen pada bulan pertama dan hal ini akan berlangsung sampai dengan bulan ke-12. Akan tetapi pada beberapa bulan berikutnya terjadi peningkatan PPI dan mencapai titik tertinggi pada bulan ke-27 sebesar 0,18 persen. Secara keseluruhan, dalam jangka panjang respon yang ditimbulkan akibat guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan pertumbuhan positif PPI pada kisaran 0,01 persen dan keseimbangan jangka panjang dicapai pada bulan ke-45. Hal ini berarti tidak sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku karena dalam jangka panjang apresiasi Dollar Singapura yang disebabkan oleh guncangan kurs seharusnya menyebabkan harga barang impor lebih murah. f. Jepang Pada saat (horizon pertama) terjadinya guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan penurunan PPI sebesar 0,009 persen. Besaran ini memang relatif kecil jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya mengingat Jepang merupakan salah satu negara industri maju di dunia. Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan PPI berfluktuasi selama 18 bulan kedepan pada kisaran 0,04 persen sampai 0,09 persen. Dalam jangka panjang
guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan pertumbuhan negatif PPI dan berada pada kisaran 0,09 persen. Fenomena ini menunjukkan kesesuaian antara teori dengan fakta yang terjadi di lapangan mengenai hubungan kurs dengan harga barang impor. g. Korea Selatan Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama akan menyebabkan
penurunan PPI sebesar 0,2 persen. Fenomena ini akan terus
berlangsung sampai dengan bulan ke-30 dimana guncangan kurs sudah mulai tidak berpengaruh lagi. Dalam jangka panjang guncangan kurs akan mengakibatkan pertumbuhan negatif pada PPI dan berada pada kisaran 0,5 persen. Hal ini konsisten dengan teori ekonomi karena apresiasi Won akan membuat harga barang-barang impor menjadi lebih murah. 3.
Respon indeks produksi (IPX) terhadap guncangan kurs
Respon indeks produksi (IPX) sebagai akibat guncangan kurs selama 48 horizon ditunjukkan oleh Gambar 4.5. Berdasarkan restriksi yang telah dibuat maka tahapan selanjutnya adalah menelaah pengaruh guncangan kurs terhadap indeks produksi yang diidentifikasi dari indeks produksi. Melalui teori ekonomi mikro, penggunaan bahan baku impor akan mempengaruhi output produksi. Seiring dengan itu kurs juga akan mempengaruhi IPX melalui harga bahan baku impor (PPI). Semakin tinggi harga PPI maka biaya produksi akan meningkat dan output akan menurun. Sehingga secara teori PPI akan memiliki hubungan negatif dengan IPX dan kurs akan memiliki hubungan positif dengan IPX.
INDONESIA .032 .028 .024 Persen (%)
.020 .016 .012 .008 5
10
15
20
25
30
35
40
45
bulan
THAILAND
MALAYSIA
.016
.002
.014
.001 .000
.012 Persen (%)
-.001
.010
Persen (%)
.008
-.002 -.003
.006
-.004 -.005
.004
-.006 .002 5
10
15
20
25
30
35
40
-.007
45
5
10
15
20
bulan
25
30
35
40
45
30
35
40
45
35
40
45
bulan
SINGAPURA
FILIPINA
.008
.008
.006 .006 .004 Persen (%)
.004
.002 Persen (%)
.000
.002
-.002 .000 -.004 -.002
-.006 -.008 5
10
15
20
25
30
35
40
-.004
45
5
10
15
20
bulan
25 bulan
JEPANG
KOREA SELATAN
.0028
.009 .008
.0024 .007 .0020 Persen (%)
.006 Persen (%)
.0016 .0012
.005 .004 .003 .002
.0008 .001 .0004
.000 5
10
15
20
25 bulan
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
bulan
Gambar 4.5. Respon IPX Terhadap Guncangan Kurs di Negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan
a. Indonesia Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi pada horizon pertama akan menyebabkan peningkatan indeks produksi sebesar 1 persen. Kemudian dalam beberapa bulan kedepan akan terjadi fluktuasi indeks produksi pada kisaran 2 persen sampai 3 persen dan akan mencapai titik tertinggi pada bulan ke-18 yaitu sebesar 3,06 persen. Keseimbangan jangka panjang dicapai sekitar bulan ke-40 yaitu dimana guncangan sudah tidak berpengaruh lagi dan berada pada kisaran 2,9 persen. Dalam jangka panjang guncangan kurs mengakibatkan pertumbuhan positif pada indeks produksi. Hal ini berarti sejalan dengan teori ekonomi dimana ketika kurs rupiah terapresiasi dan harga bahan baku impor cenderung lebih murah maka output di sektor riil akan meningkat karena biaya produksi cenderung lebih murah sehingga perusahaan akan mempunyai insentif untuk meningkatkan produksinya. b. Malaysia Horizon pertama saat terjadinya guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan penurunan indeks produksi sebesar 0,6 persen. Fenomena ini cukup menarik karena pada bulan pertama kurs Ringgit justru terapresiasi akibat guncangan kurs maka seharusnya terjadi peningkatan indeks produksi. Menurut Hartati (2004), hal ini diduga ada lag penyesuaian (adjustment) dari apresiasi kurs Ringgit sehingga para produsen cenderung mengalami penurunan output pada bulan pertama. Selanjutnya akan terjadi peningkatan indeks produksi pada kisaran 0,005 persen sampai dengan 0,02 persen dalam dua
sampai enam bulan kedepan. Akan tetapi terjadi penurunan kembali dalam bulan ke-8 sampai dengan ke-20 pada kisaran 0,003 persen sampai 0,06 persen. Dalam jangka panjang guncangan kurs sebesar satu standar deviasi di Malaysia akan menyebabkan pertumbuhan positif indeks produksi pada kisaran 0,1 persen dan keseimbangan sulit untuk dianalisis karena sampai dengan horizon ke-48 masih menunjukkan trend menaik. Dalam jangka panjang pertumbuhan positif indeks produksi ini berarti sesuai dengan teori ekonomi dimana output di sektor riil akan tumbuh seiring dengan menguatnya kurs Ringgit dan menurunnya harga bahan baku impor yang dicerminkan dari penurunan PPI. c. Thailand Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan peningkatan indeks produksi sebesar 0,2 persen pada bulan pertama. Kemudian pada beberapa bulan kedepan akan terjadi peningkatan indeks produksi dan mencapai puncaknya pada bulan ke-16 yaitu sebesar 1,57 persen. Dalam jangka panjang akan dicapai pertumbuhan positif pada kisaran 1,5 persen. Hal ini berarti sesuai dengan teori ekonomi dimana ketika terjadi apresiasi kurs Baht (jangka panjang) akan menyebabkan harga bahan baku impor menurun sehingga output di sektor riil meningkat. d. Filipina Respon indeks produksi akibat guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan kenaikan indeks produksi sebesar 0,5 persen pada bulan pertama. Kemudian pada bulan kedua akan terjadi penurunan indeks produksi sebesar 0,2 persen. Peningkatan tertinggi yang dicapai oleh indeks
produksi akibat guncangan kurs adalah sebesar 0,6 persen pada bulan ke-13. Dalam jangka panjang efek guncangan kurs sebesar satu standar deviasi terhadap indeks produksi akan akan dicapai pada bulan ke-31 dan menyebabkan pertumbuhan positif sebesar 0,48 persen. Hal ini berarti sesuai dengan teori ekonomi karena apresiasi pada Peso akan menyebabkan PPI menurun sehingga output di sektor riil meningkat. e. Singapura Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan indeks produksi meningkat sebesar 0,6 persen pada bulan pertama. Selanjutnya Singapura akan mengalami pertumbuhan negatif dalam 34 bulan kedepan dimana IPX mengalami titik terendah sebesar 0,6 persen Hal ini mungkin dapat dijelaskan oleh kondisi eksportir di Singapura yang mengalami penurunan permintaan akibat apresiasi Dollar Singapura. Menurut Sahminan (2005), Singapura adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, memiliki rasio perdagangan yang besar terhadap PDB terutama dari sisi ekspor dan memiliki FDI tinggi. Dalam jangka panjang, ketika terjadi apresiasi Dollar Singapura maka permintaan ekspor akan menurun sehingga menyebabkan produsen akan menurunkan outputnya daripada terjadi excess supply. Dalam jangka panjang apresiasi kurs Dollar Singapura akan diikuti
oleh pertumbuhan negatif IPX. Keseimbangan dalam jangka panjang sulit untuk dianalisis karena smpai dengan horizon ke-48 IPX masih cenderung mengalami pertumbuhan negatif pada kisaran 0,5 persen.
f. Jepang Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan indeks produksi meningkat di Jepang sebesar 0,1 persen pada bulan pertama. Kemudian Jepang akan mengalami fluktuasi IPX pada bulan-bulan berikutnya terutama selama 14 bulan kedepan. Fluktuasi ini berada pada kisaran 0,04 persen sampai 0,17 persen. Dalam jangka panjang guncangan kurs sebesar satu standar deviasi terhadap indeks produksi akan menyebabkan pertumbuhan positif indeks produksi dan stabil pada bulan ke-22 dimana indeks produksi akan tumbuh pada kisaran 0,12 persen. Ekspektasi yang baik terhadap kurs Yen (apresiasi) membuat iklim produksi membaik karena menurunnya PPI sehingga menyebabkan output di sektor riil menjadi meningkat. Akan tetapi peningkatan indeks produksi ini bukan hanya dijelaskan oleh apresiasi kurs Yen semata melainkan daya saing produk yang tinggi dari negara tersebut dan market share di pasar internasional (McCarthy, 2000). g. Korea Selatan Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan peningkatan indeks produksi sebesar 0,06 persen pada bulan pertama. Selanjutnya Korea akan mengalami fluktuasi indeks produksi pada kisaran 0,03 persen sampai 0,8 persen. Peningkatan indeks produksi tertinggi ini dicapai pada bulan ke-7 yaitu sebesar 0,81 persen. Dalam jangka panjang Korea akan mengalami pertumbuhan positif dalam indeks produksinya namun sulit untuk diprediksi karena sampai dengan horizon ke-48 IPX Korea masih mengalami pertumbuhan positif yaitu sebesar 0,28 persen. Sama halnya seperti negara-negara yang lain,
kondisi ini juga sesuai dengan teori ekonomi karena guncangan kurs (jangka panjang) akan menyebabkan kurs Won terapresiasi sehingga menyebabkan PPI menurun dan efeknya terhadap output di sektor riil adalah meningkat. 4.
Respon indeks harga konsumen (IHK) terhadap guncangan kurs
Meninjau penelitian terdahulu (McCarthy, 2000; Sato, et al, 2005; Hartati, 2004; Windarti, 2004; Hyder, dan Sah, 2004) bahwa efek perubahan kurs (passthrough effect) terhadap IHK sangat tidak langsung (remote) dan melalui tahapan struktural seperti yang telah dibentuk mengacu pada jalur Sato, et al ,(2005). Menurut teori PPP, jika kurs domestik terapresiasi akan menurunkan harga barang impor sehingga akan menyebabkan imported inflation menurun dan IHK juga akan relatif turun (deflasi). Kemudian menurut teori cost push inflation penurunan PPI akan meningkatkan IPX (output) sehingga menggeser kurva AS ke kanan bawah. Analisis impuls respon IHK terhadap guncangan kurs selama 48 horizon waktu ditunjukkan oleh Gambar 4.6 berikut ini. a. Indonesia Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan penurunan IHK sebesar 0,1 persen pada bulan pertama. Hal ini konsisten dengan apresiasi kurs Rupiah yang terapresiasi pada bulan pertama saat tejadinya guncangan kurs. Selanjutnya Indonesia akan mengalami trend IHK menurun (deflasi) terutama dalam 16 bulan kedepan setelah terjadinya guncangan dan mencapai titik terendah sebesar 3 persen. Dalam jangka panjang guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan pertumbuhan IHK Indonesia yang negatif yaitu pada kisaran 2,9 persen. Keseimbangan jangka panjang ini dicapai
pada bulan ke-46. Dengan demikian, fenomena efek perubahan kurs terhadap IHK yang terjadi di Indonesia sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku. INDONESIA .000 -.004 -.008 -.012
Persen (%)
-.016 -.020 -.024 -.028 -.032 5
10
15
20
25
30
35
40
45
bulan
THAILAND
MALAYSIA
.000
.0004 .0003
-.001
.0002 .0001
-.002
Persen (%)
Persen (%)
.0000 -.0001
-.003
-.0002 -.004
-.0003 -.0004
-.005 5
10
15
20
25
30
35
40
-.0005
45
5
10
15
20
bulan
25
30
35
40
45
35
40
45
bulan
SINGAPURA
FILIPINA
.0016
.000
.0012 -.001 .0008 Persen (%)
Persen (%)
.0004
-.002
-.003
.0000
-.0004
-.004 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
10
15
20
bulan
25
30
bulan
KOREA SELATAN
JEPANG .0005
.0006
.0000
.0004
-.0005
.0002
-.0010 Persen .0000 (%) -.0002
Persen (%)
-.0015 -.0020
-.0004
-.0025
-.0006
-.0030 -.0035
-.0008 5
10
15
20
25 bulan
30
35
40
45
5
10
15
20
25
30
35
40
45
bulan
Gambar 4.6. Respon IHK Terhadap Guncangan Kurs di Negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan
b. Malaysia Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan peningkatan IHK sebesar 0,03 persen pada bulan pertama. Akan tetapi fenomena ini tidak berlangsung lama karena pada bulan-bulan berikutnya justru terjadi trend penurunan IHK. Dimana IHK akan terus menurun sampai dengan titik balik yaitu sebesar 0,48 persen. Dalam jangka panjang guncangan sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan pertumbuhan negatif (deflasi) pada IHK Malaysia yaitu sebesar 0,45 persen dan dicapai pada bulan ke-45. Maka hal ini berarti konsisten dengan teori ekonomi karena apresiasi Ringgit yang terjadi dalam jangka panjang akibat guncangan kurs sebesar satu standar deviasi mengakibatkan deflasi. Dengan demikian, fenomena efek perubahan kurs terhadap IHK yang terjadi di Malaysia sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku. c. Thailand Respon IHK di Thailand akibat guncangan kurs sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama adalah penurunan IHK sebesar 0,05 persen. Dalam jangka panjang Thailand akan mengalami tren pertumbuhan IHK yang negatif. Artinya dengan terapresiasinya Baht dalam jangka panjang maka akan diikuti oleh deflasi. Keseimbangan jangka panjang yang dicapai agak sulit untuk dianalisis karena trendnya cenderung menurun. Akan tetapi, berdasarkan hasil analisis impuls respon, kisaran penurunan IHK yang terjadi akibat guncangan kurs sebesar satu standar deviasi berada pada kisaran 0,4 persen. Dengan demikian, fenomena efek perubahan kurs terhadap IHK yang terjadi di Thailand sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku.
d. Filipina Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama akan menyebabkan penurunan IHK sebesar 0,002 persen. Kemudian dalam bulan berikutnya juga terjadi penurunan IHK hingga mencapai titik terendah sebesar 0,39 persen. Dalam jangka panjang guncangan kurs sebesar satu standar deviasi di Filipina akan menyebabkan pertumbuhan negatif IHK pada kisaran 0,37 persen dan efek dari guncangan kurs ini baru akan stabil pada bulan ke-37. Artinya apresiasi kurs Peso dalam jangka panjang akan menyebabkan deflasi. Peningkatan IPX dan penurunan PPI di Filipina akibat guncangan kurs (Gambar 4.4) juga merupakan salah satu kemungkinan penyebab terjadinya deflasi. Dengan demikian, fenomena efek perubahan kurs terhadap IHK yang terjadi di Filipina sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku. e. Singapura Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama akan menyebabkan penurunan IHK sebesar 0,003 persen. Dalam bulan-bulan berikutnya pun terjadi trend yang menaik pada IHK di Singapura. Artinya apresiasi kurs yang terjadi di Singapura pada bulan pertama justru diikuti oleh inflasi. Temuan ini serupa dengan temuan Sato, et al, (2005) dimana ia menemukan bahwa pass-through terhadap IHK di Singapura memiliki hubungan yang positif. Artinya, apresiasi kurs Dollar Singapura akan menyebakan pertumbuhan positif IHK sebesar 0,1 persen. Keseimbangan jangka panjang dicapai pada bulan ke-30. Fenomena ini menjadi bertentangan dengan teori ekonomi yang berlaku.
f. Jepang Guncangan sebesar satu standar deviasi di Jepang akan menyebabkan peningkatan IHK pada bulan pertama sebesar 0,04 persen. Fluktuasi akan terlihat selama tiga bulan kedepan dimana IHK akan berfluktuasi pada kisaran 0,02 persen sampai 0,04 persen. Kemudian selanjutnya berangsur-angsur akan terjadi penurunan IHK dari mulai bulan ke-6. Keseimbangan jangka panjang dicapai pada bulan ke-23 dimana pada saat itu IHK sudah mulai stabil berada pada titik 0,07 persen. Artinya, dalam jangka panjang apresiasi kurs Yen yang disebabkan oleh guncangan kurs sebesar satu standar deviasi selama 48 horizon waktu akan menyebabkan pertumbuhan negatif pada IHK (deflasi). Dengan demikian, fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku. g. Korea Selatan Guncangan kurs sebesar satu standar deviasi di Korea Selatan akan menyebabkan penurunan IHK sebesar 0,08 persen pada bulan pertama. Kemudian Korea Selatan akan mengalami pertumbuhan negatif IHK selama tiga bulan kedepan pada kisaran 0,2 persen sampai 0,3 persen. Selanjutnya pada bulan ke-7 Korea akan mengalami titik balik menjadi pertumbuhan positif pada IHK. Dalam jangka panjang, respon IHK yang disebabkan oleh guncangan kurs sebesar satu standar deviasi agak sulit diketahui. Karena sampai dengan horizon ke-48 IHK Korea cenderung mengalami pertumbuhan positif. Dengan demikian, fenomena pass-through yang terjadi di Korea Selatan cukup sesuai dengan teori ekonomi
yang berlaku.
4.4.2 Simulasi Analisis Dekomposisi Varian
Analisis Decomposition of Forecasting Error Variance (DFEV) digunakan untuk mengetahui bagaimana peranan nilai tukar dalam menjelaskan fluktuasi IHK serta berapa besar persentase kontribusi masing-masing guncangan variabel makroekonomi dalam mempengaruhi IHK di masing-masing negara ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan. Dengan demikian hasil analisis ini akan menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini Simulasi analisis ini diproyeksikan selama 48 horizon waktu (4 tahun) agar dapat dianalisis efek jangka panjangnya. Hasil analisis DFEV selengkapnya disajikan pada bagian dekomposisi varian atau Lampiran 7 dan diringkas dalam Tabel 4.7 berikut ini. a. Indonesia Berdasarkan hasil simulasi analisis dekomposisi varian yang ditunjukkan oleh tabel 8 dapat disimpulkan bahwa fluktuasi IHK di Indonesia saat bulan pertama relatif kuat dipengaruhi oleh IHK itu sendiri sebesar 74,19 persen. Namun demikian dalam empat bulan sampai dua belas bulan (satu tahun) mendatang kurs memberikan kontribusi terbesar dalam mempengaruhi fluktuasi IHK di Indonesia. Adanya lag waktu ini disebabkan adanya proses penyesuaian (adjustment) dari para pedagang dan produsen karena rezim kurs mengambang bebas membuat kurs Rupiah sulit diprediksi oleh pengusaha sehingga mengakibatkan produsen cenderung mematok harga jual relatif tinggi untuk mengantisipasi ketidakpastian nilai kurs Rupiah (Hartati, 2004).
Tabel 4.7. Dekomposisi Varian IHK di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan
Sumber: lampiran 7 masing-masing negara
Pada empat bulan pertama guncangan kurs memberikan kontribusi sebesar 50,83 persen dalam menjelaskan fluktuasi IHK. Trend ini pun semakin meningkat karena setelah satu tahun guncangan kurs memberikan kontribusi sebesar 61,27 persen terhadap fluktuasi IHK yang terjadi di Indonesia. Besaran ini merupakan kontribusi terbesar dibanding horizon waktu lainnya. Dalam jangka panjang yang pada simulasi ini disimulasikan dalam periode 4 tahun mendatang maka peranan kurs dalam menjelaskan fluktuasi IHK adalah sebesar 57,44 persen. Variabel makroekonomi lainnya tidak begitu besar kontribusinya ketimbang kurs dalam mempengaruhi IHK. Variabel harga minyak dunia dalam jangka panjang hanya memberikan kontribusi sebesar 0,24 persen, SBI sebesar 10,45 persen, M2 sebesar 6,18 persen, PPI sebesar 6,23 persen, IPX sebesar 16,50 persen dan IHK sebesar 2,96 persen. Dengan demikian implikasinya adalah bahwa stabilitas kurs merupakan hal terpenting yang harus dilakukan dalam mengendalikan laju inflasi di Indonesia terutama dalam satu tahun mendatang. Karena berdasarkan hasil analisis DFEV setelah satu tahun kurs memberikan kontribusi sebesar 61,27 persen. Koordinasi yang baik antara pemerintah, Bank Indonesia, pengusaha dan lembaga perbankan merupakan salah satu solusi dalam mengendalikan stabilitas kurs baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. b. Malaysia Dari hasil simulasi dekomposisi varian yang ditunjukkan oleh Tabel 4.7, pada bulan pertama flukutasi IHK di Malaysia relatif kuat disebabkan oleh guncangan IHK sebesar 80,15 persen. Pada bulan ke-4 kontribusi terbesar
terhadap fluktuasi IHK masih disumbangkan oleh guncangan IHK itu sendiri yaitu sebesar 66,57 persen. Peranan kurs dalam menjelaskan fluktuasi IHK di Malaysia tidak begitu besar yaitu sebesar 1,66 persen pada bulan pertama dan turun menjadi 0,67 persen pada bulan kedua. Setelah satu tahun, peranan kurs juga tidak memberikan kontribusi yang cukup dominan terhadap fluktuasi IHK yaitu hanya sebesar 1,09 persen. Dalam jangka panjang (4 tahun), peranan kurs juga tidak memberikan kontribusi yang begitu besar terhadap fluktuasi IHK yaitu hanya sebesar 1,25 persen. Kontribusi terbesar masih disebabkan oleh guncangan IHK yaitu sebesar 46,28 persen. Relatif kecilnya kontribusi kurs dalam mempengaruhi flukutasi IHK di Malaysia diduga ada hubungannya dengan rezim kurs yang diterapkan Malaysia. Sampai dengan tahun 2005 Malaysia menerapkan rezim kurs tetap (fixed) sehingga pengaruh faktor eksternal seperti kurs relatif kecil terhadap fluktuasi IHK (lihat Tabel 4.1). Dalam jangka panjang, kontribusi variabel makroekonomi lainnya terhadap flukutasi IHK di Malaysia yaitu harga minyak dunia sebesar 5,88 persen, suku bunga (t-bills) sebesar 2,28 persen, M2 sebesar 28,87 persen, PPI sebesar 4,06 persen dan IPX sebesar 9,89 persen. Artinya laju inflasi di Malaysia lebih dipengaruhi oleh faktor ekspektasi inflasi daripada kurs dan jumlah uang beredar. Maka implikasinya adalah baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang pemerintah Malaysia harus serius dalam menangani faktor ekspektasi inflasi dan jumlah uang beredar di Malaysia baik melalui instrumen kebijakan moneter maupun fiskal.
c. Thailand Berdasarkan hasil simulasi analisis dekomposisi varian yang ditunjukkan oleh Tabel 4.7 menunjukkan bahwa pada bulan pertama fluktuasi IHK di Thailand sebagian besar disebabkan oleh guncangan IHK yaitu sebesar 75,49 persen. Pada bulan pertama kurs tidak memberikan kontribusi terhadap fluktuasi IHK. Pada bulan ke-4 trend fluktuasi IHK juga masih relatif kuat disebabkan oleh guncangan IHK yaitu sebesar 49,9 persen namun kurs sudah mulai memberikan kontribusi terhadap fluktuasi IHK yaitu sebesar 21,05 persen. Setelah satu tahun peranan kurs menjadi dominan dalam menjelaskan fluktuasi IHK dimana guncangan kurs memberikan kontribusi sebesar 35,35 persen. Dominasi peranan kurs dalam menjelaskan fluktuasi IHK juga masih terasa pada horizon ke-24 dan ke-36 dimana kontribusi kurs pada horizon ke-24 (dua tahun) adalah sebesar 33,13 persen dan 29,51 persen setelah tiga tahun. Adanya lag waktu ini mirip dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Dimana para pedagang dan produsen cenderung mematok harga jual relatif tinggi untuk mengantisipasi ketidakpastian nilai kurs Baht akibat rezim kurs mengambang bebas yang membuat kurs Baht sulit diprediksi oleh pengusaha dan pelaku pasar. Dalam jangka panjang (4 tahun), terjadi pergeseran peranan dalam mempengaruhi fluktuasi IHK di Thailand. Dimana kurs relatif tidak memberikan kontribusi terbesar terhadap fluktuasi IHK. Kontribusi terbesar terhadap fluktuasi IHK disumbangkan oleh suku bunga (government bonds) yaitu sebesar 31,23 persen. Peranan variabel makroekonomi lainnya dalam menjelaskan fluktuasi IHK yaitu harga minyak dunia sebesar 15,10 persen, M2 sebesar 3,12 persen, kurs
sebesar 26,64 persen, PPI sebesar 11,17 persen, IPX sebesar 0,34 persen dan IHK sebesar 12,40 persen. Implikasinya adalah bahwa stabilitas kurs penting dalam mengendalikan laju inflasi terutama dalam tiga tahun pertama. Kemudian dalam jangka panjang diperlukan koordinasi yang baik antara pemerintah, lembaga perbankan, bank sentral dan pasar modal dalam menstabilkan suku bunga jangka panjang yang dalam hal ini diproxikan oleh surat utang negara (government bonds). Hal ini penting karena berdasarkan hasil analisis DFEV suku bunga dalam jangka panjang (4 tahun) relatif memberikan kontribusi terbesar terhadap laju inflasi yaitu sebesar 31,23 persen dibanding kurs. d. Filipina Berdasarkan hasil analisis dekomposisi varian yang ditunjukkan oleh Tabel 4.7 dapat diketahui bahwa kontribusi terbesar pada bulan pertama yang mempengaruhi fluktuasi IHK adalah guncangan IHK yaitu sebesar 94,86 persen. Peranan kurs pada bulan pertama belum memberikan kontribusi terhadap fluktuasi IHK. Pada bulan ke-4 fluktuasi IHK juga masih relatif kuat dipengaruhi oleh guncangan IHK yaitu sebesar 86,68 persen. Setelah satu tahun, peranan kurs dalam menjelaskan fluktuasi IHK juga tidak begitu besar yaitu hanya sebesar 7,48 persen. Dalam jangka panjang (4 tahun) fluktuasi IHK lebih disebabkan oleh guncangan IHK (ekspektasi inflasi) yaitu sebesar 30 persen. Peranan kurs dalam menjelaskan fluktuasi IHK hanya sebesar 12,66 persen. Besaran ini masih relatif kecil ketimbang variabel makroekonomi lainnya. Artinya kurs tidak memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap fluktuasi inflasi di Filipina dalam jangka panjang. Kontribusi variabel makroekonomi lainnya dalam menjelaskan fluktuasi IHK hampir merata yaitu harga minyak dunia sebesar 10,22 persen, suku bunga (t-bills) sebesar 15,13 persen, M2 sebesar 17,18 persen , PPI sebesar 9,35 persen dan IPX sebesar 5,46 persen. Berdasarkan Tabel 4.7 terlihat bahwa mulai satu tahun sampai dengan empat tahun variabel moneter seperti suku bunga, M2 dan kurs menjadi relatif besar dalam menjelaskan fluktuasi IHK di Filipina meskipun besaran ini masih relatif lebih kecil dibanding IHK. Sehingga implikasinya adalah bahwa pemerintah Filipina bersama-sama dengan bank sentral, pengusaha dan lembaga perbankan harus harmonis dalam melakukan koordinasi kebijakan untuk mengendalikan faktor ekspektasi inflasi. e. Singapura Berdasarkan hasil simulasi dekomposisi varian yang ditunjukkan oleh Tabel 4.7 dapat disimpulkan bahwa pada bulan pertama fluktuasi IHK di Singapura relatif kuat disebabkan oleh guncangan IHK yaitu sebesar 94,97 persen. Sampai dengan bulan ke-12 (satu tahun) peranan IHK dalam menjelaskan flukutasi IHK masih dominan yaitu sebesar 52,46 persen. Peranan kurs dalam menjelaskan flukutasi IHK setelah satu tahun tidak begitu besar yaitu hanya sebesar 10,21 persen. Peranan kurs baru mulai terasa relatif kuat pada horizon ke36 (3 tahun) dimana kurs memberikan kontribusi sebesar 19,68 persen. Dalam jangka panjang (4 tahun) fluktuasi IHK di Singapura relatif kuat dipengaruhi oleh IPX. Peranan IPX dalam menjelaskan fluktuasi IHK setelah
empat tahun yaitu sebesar 31,98 persen. Peranan kurs setelah empat tahun dalam menjelaskan fluktuasi IHK hanya memberikan kontribusi sebesar 16,52 persen. Peranan variabel makroekonomi lainnya dalam menjelaskan fluktuasi IHK dalam jangka panjang yaitu harga minyak dunia sebesar 12,28 persen, suku bunga (t-bills) sebesar 0,3 persen, M2 sebesar 4,05 persen, PPI sebesar 21,98 persen dan IHK sebesar 12,93 persen. Maka implikasinya adalah bahwa selama dua tahun pertama faktor ekspektasi inflasi cenderung lebih kuat mempengaruhi fluktuasi IHK. Kemudian pada tahun ketiga peranan IPX menjadi relatif lebih dominan dibanding kurs dan variabel makro ekonomi lainnya. Hal ini konsisten dengan kondisi Singapura dimana Singapura adalah negara yang dikarakterisasikan sebagai negara industri yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan rasio FDI yang besar terhadap PDB (Sahminan, 2005). f. Jepang Berdasarkan hasil simulasi analisis dekomposisi varian yang ditunjukkan oleh Tabel 4.7 dapat disimpulkan bahwa kontribusi IHK dominan dalam menjelaskan flukutasi IHK di Jepang yaitu sebesar 90,4 persen. Sementara itu kurs hanya memberikan kontribusi sebesar 1,82 persen pada bulan ini. Pada horizon ke-18 terjadi persaingan ketat antara IHK dan IPX dalam memberikan kontribusi terhadap fluktuasi IHK di Jepang dimana IHK sebesar 35,93 persen dan IPX sebesar 35,92 persen. Namun pada horizon ke-24 (2 tahun) IPX memberikan kontribusi terbesar dalam menjelaskan fluktuasi IHK di Jepang yaitu sebesar
46,06 persen. Peranan kurs masih relatif kecil dalam menjelaskan fluktuasi IHK yaitu hanya sebesar 4,66 persen. Dalam jangka panjang (4 tahun) peranan kurs di Jepang juga tidak memberikan kontribusi yang begitu besar yaitu hanya sebesar 3,21 persen. Fluktuasi IHK di Jepang dalam jangka panjang dominan disebabkan oleh indeks produksi (IPX) yaitu sebesar 61,27 persen. Variabel makroekonomi lainnya seperti harga minyak dunia memberikan kontribusi sebesar 1,69 persen, suku bunga (government bonds) sebesar 3,95 persen, M2 sebesar 5,13 persen, PPI sebesar 12,89 persen dan IHK sebesar 11,86 persen. Temuan ini sejalan dengan penelitian terdahulu (McCarthy, 2000) bahwa negara industri maju seperti Jepang, Amerika dan Uni Eropa, faktor industri relatif lebih kuat dalam menjelaskan fluktuasi IHK ketimbang faktor kurs. Alasannya adalah rasio perdagangan produk Jepang yang besar di pasar internasional. Akibatnya tingkat inflasi justru dipengaruhi oleh sektor industri yang berkembang di negara tersebut seperti industri manufaktur, otomotif, alat berat dan elektronika. Terkait dengan hasil simulasi analisis dekomposisi varian pada penelitian ini maka implikasinya adalah bahwa peran sektor industri dalam mempengaruhi laju inflasi di Jepang relatif kuat dalam jangka panjang walaupun dalam jangka pendek fluktuasi IHK lebih dikarenakan faktor ekspektasi inflasi di Jepang. Oleh sebab itu pemerintah Jepang harus melakukan koordinasi kebijakan dengan pengusaha di sektor industri untuk mengendalikan laju inflasi di Jepang.
g. Korea Selatan Berdasarkan hasil simulasi analisis DFEV yang ditunjukkan oleh Tabel 4.7 terlihat bahwa pada bulan pertama fluktuasi IHK dominan dipengaruhi guncangan IHK (ekspektasi inflasi) yaitu sebesar 60,49 persen. Peranan kurs dalam mempengaruhi fluktuasi mulai terlihat pada bulan ke-4 yaitu sebesar 25,52 persen dan masih relatif lebih kecil ketimbang IHK yaitu sebesar 36,53 persen. Selama 12-24 bulan peranan kurs dalam menjelaskan fluktuasi IHK di Korea Selatan berada pada kisaran 23,3 persen sampai 29,07 persen. Besaran ini juga masih relatif lebih kecil dibanding faktor ekspektasi inflasi di Korea yang memberikan kontribusi sebesar 29,7 persen sampai 31,67 persen. Namun demikian, pada horizon ke-12 (1 tahun) terjadi persaingan ketat antara kurs dan IHK dalam kontribusinya terhadap fluktuasi IHK di Korea Selatan dimana kurs sebesar 29,07 persen dan IHK sebesar 29,7 persen. Dalam jangka panjang (4 tahun), peranan kurs dalam mempengaruhi fluktuasi IHK menjadi relatif kecil dibanding IHK. Kurs hanya mampu menjelaskan sebesar 14,15 persen sementara IHK memberikan kontribusi sebesar 32,39 persen dalam menjelaskan fluktuasi IHK di Korea Selatan. Peranan variabel makroekonomi lainnya dalam mempengaruhi fluktuasi IHK di Korea Selatan yaitu harga minyak dunia sebesar 7,58 persen, suku bunga (money market rate) sebesar 16,8 persen, M2 sebesar 10,80 persen, PPI sebesar 5,36 persen dan IPX sebesar 12,91 persen. Maka implikasinya adalah bahwa selama satu sampai dua tahun pertama stabilitas kurs relatif penting. Kemudian dalam jangka panjang (4 tahun)
pemerintah Korea Selatan harus berkoordinasi dengan bank sentral, lembaga perbankan dan keuangan lainnya seperti pasar modal dan juga pengusaha dalam mengendalikan laju inflasi melalui instrumen kebijakan moneter maupun fiskal.
4.5.
Efek Perubahan (Pass-Through Effect) Kurs Terhadap IHK
Meninjau penelitian terdahulu (Sato, et al, 2005; Hyder dan Shah, 2004; Windarti, 2004 dan McCarthy, 2000) maka derajat pass-through dihitung dari kumulatif impuls respon dari guncangan kurs terhadap harga dibagi dengan guncangan kurs terhadap kurs itu sendiri. Hasil analisis ini sekaligus menjawab permasalahan pertama dan kedua dari penelitian ini. Efek akumulasi perubahan kurs terhadap IHK yang diidentifikasi melalui derajat pass-through selama 48 bulan disajikan dalam Tabel 4.8. Kemudian efek perubahan kurs terhadap IHK di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan selama 48 bulan selengkapnya ditunjukkan oleh Gambar 4.7 sampai Gambar 4.13. Tabel 4.8. Derajat Pass-Through di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan Derajat Pass-Through No
1 2 3 4 5 6 7
Negara
Indonesia Malaysia Thailand Filipina Singapura Jepang Korea Selatan
PPI
IHK
-0.64 -0.23 -0.30 -0.24 0.06 -0.06 -0.27
-0.45 -0.02 -0.15 -0.11 0.08 -0.03 -0.04
Sumber : Hasil analisis IRF Lampiran 6 masing-masing negara (diolah)
Penelitian ini sengaja memasukkan pass-through terhadap PPI untuk menguji hipotesis bahwa pass-through terhadap PPI cenderung lebih kuat dibanding pass-through terhadap IHK. Menurut McCarthy (2000) dan Sato et al, (2005), pass-through terhadap PPI memberikan efek langsung dibandingkan IHK. Selain itu jika pass-through terhadap PPI besar maka hal ini mengindikasikan besarnya kandungan impor (import contents) terutama bahan baku impor di suatu negara. Hal ini dikarenakan kurang berkembangnya industri subtitusi impor di suatu negara. Dari hasil penelitian ini, terbukti bahwa pass-through terhadap PPI memang cenderung lebih kuat dibanding pass-through terhadap IHK kecuali Singapura. Kemudian Indonesia memiliki derajat pass-through PPI terbesar dibanding negara Asia lainnya yaitu sebesar -0,64. Artinya persentase perubahan PPI di Indonesia 64 persen dipengaruhi oleh perubahan kurs Rupiah. Oleh karena itu diduga komposisi penggunaan bahan baku impor di Indonesia relatif lebih besar daripada bahan baku lokal. Kemudian berdasarkan Tabel 4.8, derajat pass-through terhadap IHK yang lebih kecil dari satu mengindikasikan bahwa negara-negara ASEAN, Jepang dan Korea Selatan mengalami incomplete pass-through. Hanya saja besaran ini relatif berbeda-beda antar masing-masing negara. Adapun besaran derajat pass-through ini berdasarkan tabel 9 adalah sebagai berikut. Indonesia memiliki derajat passthrough sebesar -0,45, Malaysia sebesar -0,02, Thailand sebesar -0,15, Filipina
sebesar -0,11 dan Singapura sebesar 0,08, Jepang sebesar -0,03 dan Korea Selatan sebesar -0,04.
Incomplete pass-through mengindikasikan terjadinya fenomena pricing to market. Fenomena pricing to market adalah suatu kondisi dimana ketika kurs
domestik menguat (apresiasi) terhadap kurs asing (misal negara A) maka eksportir (ke negara A) akan melakukan intervensi harga yaitu dengan menurunkan harga jualnya. Secara teoritis, struktur pasar yang tidak sempurna memungkinkan dilakukannya konsep pricing to market. Dengan kegiatan tersebut, maka agen yang terlibat dalam kegiatan impor maupun produsen di luar negeri dapat mengatur margin keuntungan. Sehingga pada saat terjadi depresiasi atau apresiasi maka besarnya perubahan kurs tersebut tidak semuanya ditransmisikan ke harga jual akan tetapi diantisipasi dengan pengaturan margin keuntungan sehingga kenaikan harga tidak sebesar depresiasi yang terjadi (Batiz, 1994). Berdasarkan Tabel 4.8 dapat disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling besar memiliki derajat pass-through dibanding negara Asia lainnya. Besarnya derajat pass-through terhadap IHK ini memberikan arti bahwa diantara negara Asia yang mengalami krisis, Indonesia adalah negara yang paling sensitif terhadap perubahan kurs dibanding negara Asia lainnya yang terdapat dalam penelitian ini. Mungkin hal ini ada hubungannya dengan besarnya pass-through terhadap PPI di Indonesia yang mengindikasikan besarnya ketergantungan penggunaan bahan baku impor. Salah satu alasan yang dapat menjelaskan mengapa besaran koefisien ini relatif besar di Indonesia adalah variabilitas kebijakan moneter. Menurut Flamini (2005) dan Sato, et al, (2005), pass-through terhadap IHK akan cenderung lebih besar pada negara yang menerapkan kebijakan yang ketat terhadap IHK (strict
CPI inflation targetting). Menurutnya kebijakan moneter akan mempengaruhi volatilitas kurs di pasar spot exchange rate. Hal ini konsisten mengingat kondisi kebijakan moneter ketat yang berlaku di Indonesia selama waktu penelitian. Bank Indonesia cenderung melakukan tight money poilicy dengan instrumen SBI dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk menekan laju inflasi. Indikasi ini dapat dilihat dari besarnya nilai suku bunga nominal baik berupa suku bunga bank sentral, t-bills, government bonds maupun money market rate di suatu negara. Besaran nilai suku bunga nominal selama beberapa periode ini di ASEAN, Jepang dan Korea Selatan disajikan pada Tabel 4.9. Dari Tabel 4.9 dapat diketahui bahwa nilai suku bunga nominal di Indonesia memiliki besaran yang relatif besar dibanding negara Asia lainnya yaitu berkisar antara 7 persen sampai 10 persen. Tabel 4.9. Nilai Suku Bunga Nominal di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan (dalam %) Periode 2004:q1 2004:q2 2004:q3 2004:q4 2005:q1 2005:q2 2005:q3
Indonesia (SBI)
Malaysia (T-bills)
Thailand (GB)
7.42 7.34 7.39 7.43 7.44 8.25 10
2.538 2.566 2.522 1.964 2.565 2.66 2.691
4.57 5.28 5.1 5.04 4.82 4.2 5.32
Filipina Singapura (T-bills) (T-bills) 7.41 7.556 7.826 7.655 6.628 5.717 5.859
0.64 0.75 1.39 1.26 1.89 1.97 2.23
Jepang (GB)
Korea Selatan (MMR)
0.0644 0.0617 0.0658 0.0656 0.0658 0.0656 0.0694
3.77 3.78 3.53 3.28 3.25 3.28 3.25
Sumber : International Financial Statistics Keterangan MMR : Money Market Rate, GB : Government Bonds
Derajat pass-through IHK sebesar -0,45 artinya depresiasi satu persen kurs Rupiah akan mengakibatkan peningkatan IHK (inflasi IHK) sebesar 0,45 persen (Tabel 4.8). Dengan kata lain persentase perubahan IHK di Indonesia hampir 50 persen dipengaruhi oleh perubahan kurs. Kemudian dari gambar 11 di bawah ini terlihat bahwa dalam enam bulan pertama, ERPT tertinggi berada pada bulan ke-5
yaitu sebesar 0,3 persen. Kemudian dalam durasi selama 48 bulan, ERPT tertinggi berada pada bulan ke-20 yaitu sebesar 0,65 persen. Efek perubahan kurs sebesar satu persen terhadap IHK di Indonesia selama 48 bulan berkisar antara 0,02 persen sampai 0,65 persen. 0.9 0.8 0.7
persen
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
33
35
37
39
41
43
45
47
bulan
Gambar 4.7. Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Indonesia Temuan ini tidak jauh berbeda dengan temuan Sato, et al, (2005) dimana pada penelitiannya Indonesia juga memiliki pola yang lebih responsif ketimbang negara ASEAN lainnya. Sato, et al, (2005) dengan menggunakan sampel data dari kuartal pertama tahun 1990 sampai dengan kuartal ketiga tahun 2003 menemukan bahwa koefisien pass-through terhadap IHK di Indonesia sebesar -0,57. Artinya depresiasi Rupiah sebesar satu persen akan mengakibatkan inflasi IHK sebesar 0,57 persen. Dalam penelitiannya ia menemukan bahwa depresiasi kurs nominal Rupiah sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan IHK sebesar satu persen setelah empat bulan dan menjadi empat persen setelah satu tahun Begitu juga dengan pass-through terhadap PPI, respon PPI di Indonesia akibat depresiasi kurs cenderung lebih besar daripada IHK dimana pada bulan pertama akumulasi peningkatan PPI akibat depresiasi kurs Rupiah adalah sebesar empat persen.
Hasil analisis DFEV yang ditunjukkan pada Tabel 4.7 cukup mendukung fenomena ERPT terhadap IHK di Indonesia. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam 12 bulan pertama fluktuasi IHK di Indonesia dominan dijelaskan oleh guncangan kurs yaitu sebesar 61,27 persen. Kemudian pada horizon ke-48 guncangan kurs masih memberikan kontribusi terbesar yaitu sebesar 57,44 persen dalam menjelaskan fluktuasi inflasi IHK di Indonesia. Selain itu jika kita mengidentifikasi melalui faktor eksternal terhadap fluktuasi IHK yang ditampilkan pada Tabel 4.10 di bawah ini juga mengindikasikan hal yang serupa. Dimana fluktuasi IHK di Indonesia dominan disebabkan guncangan eksternal dibandingkan negara lainnya. Kontribusi peranan faktor eksternal ini diidentifikasi melalui guncangan harga minyak, guncangan kurs dan guncangan PPI. Tabel 4.10. Peranan Faktor Eksternal Terhadap Fluktuasi di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan Negara Indonesia Malaysia Thailand Filipina Singapura Jepang Korea Selatan
Periode 1 22.11 5.47 18.34 2.51 0.43 8.55 32.98
4 62.65 9.13 40.33 3.19 12.54 13.79 48.67
12 70.29 10.54 55.43 16.60 25.29 19.43 43.94
18 67.59 10.86 56.64 23.80 33.42 20.36 40.64
24 65.35 11.01 56.21 27.62 39.38 20.05 37.66
36 64.00 11.14 54.54 30.88 47.00 18.72 31.87
48 63.91 11.19 52.90 32.23 50.74 17.79 27.09
Sumber : Tabel 4.7.
Adapun kisaran ERPT terhadap IHK di negara Asia lainnya selama 48 bulan yang ditunjukkan pada Gambar 4.8 sampai Gambar 4.13 yaitu Malaysia berkisar antara 0,01 persen sampai 0,017 persen, Thailand berkisar antara 0,01 persen sampai 0,17 persen, Filipina berkisar antara 0,0009 persen sampai 0,12 persen, Singapura berkisar antara 0,002 persen sampai dengan 0,1 persen, Jepang
berkisar antara 0,01 persen sampai 0,05 persen dan Korea Selatan berkisar antara 0,06 persen sampai 0,1 persen. Beberapa fenomena menarik dari penelitian ini yaitu ERPT terhadap IHK di Malaysia sebesar -0,02. Bahkan efek perubahan kurs terhadap IHK di Malaysia relatif stabil selama 48 bulan dan tertinggi dirasakan pada bulan ke-15 yaitu sebesar 0,018 persen (Gambar 4.8). Besaran ini bahkan lebih rendah ketimbang Jepang dan Korea Selatan yang merupakan salah satu negara industri maju di dunia. Menurut McCarthy (2000) dan Sato, et al ,(2005) relatif kecilnya derajat pass-through di suatu negara mengindikasikan bahwa struktur perekonomian
negara tersebut memiliki industri yang maju dan produk domestik yang mampu bersaing di pasar internasional. 0.3
0.25
persen
0.2
0.15
0.1
0.05
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 -0.05 bulan
Gambar 4.8. Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Malaysia Dengan demikian menurut hipotesis McCarthy (2000) maka dapat diduga bahwa Malaysia memiliki struktur perekonomian dan industri yang maju di negaranya. Disamping itu hal ini juga dapat diakibatkan oleh rezim kurs yang diterapkan Malaysia. Sampai dengan tahun 2005 Malaysia menerapkan rezim kurs
tetap (fixed) sehingga pengaruh faktor eksternal seperti kurs relatif kecil terhadap fluktuasi IHK (lihat Tabel 4.1). Selain Malaysia, kita juga dapat membandingkan ERPT di negara Thailand dan Filipina yang memiliki ERPT terhadap IHK relatf lebih kecil dibanding Indonesia. Padahal dari sisi rezim kurs kedua negara ini menerapkan rezim kurs mengambang bebas yang sama halnya seperti Indonesia (lihat Tabel 4.1). Kemudian dari sisi kebijakan moneter yang diidentifikasi melalui suku bunga nominal kedua negara ini menunjukkan besaran nilai suku bunga nominal yang cukup relatif besar (lihat Tabel 4.9). Namun ERPT di kedua negara ini tidak sebesar di Indonesia. Efek perubahan (pass-through) kurs di Thailand ditunjukkan oleh Gambar 4.9 di bawah ini. 0.35 0.3
persen
0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
33
35
37
39
41
43
45
47
bulan
Gambar 4.9. Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Thailand Relatif kecilnya derajat ERPT di kedua negara ini mungkin disebabkan oleh relatif kecilnya komposisi penggunaan bahan baku impor di kedua negara ini yang tercermin dari relatif kecilnya derajat ERPT terhadap PPI di kedua negara ini, dimana Thailand sebesar -0,3 dan Filipina sebesar -0,24, kompetensi industri subtitusi impor di kedua negara tersebut dan meningkatnya daya saing produk
kedua negara tersebut di pasar internasional (Rato, 2005). Efek perubahan (passthrough) kurs terhadap IHK di Filipina ditunjukkan Gambar 4.10 di bawah ini. 0.3
0.25
persen
0.2
0.15
0.1
0.05
0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
33
35
37
39
41
43
45
47
bulan
Gambar 4.10. Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Filipina Fenomena lain yang menarik untuk dibahas dari penelitian ini adalah bahwa Singapura memiliki derajat pass-through yang positif terhadap IHK yaitu sebesar 0,08. Artinya apresiasi kurs Dollar Singapura sebesar 1 persen akan mengakibatkan inflasi IHK sebesar 0,08 persen. Kemudian efek perubahan kurs terhadap IHK di Singapura dirasakan tertinggi pada bulan ke-18 yaitu sebesar 0,105 persen (Gambar 4.11). Temuan ini memang agak anomali dibanding di negara Asia lainnya. Berdasarkan hasil DFEV yang dapat dilihat pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa fluktuasi IHK di Singapura sebagian besar disebabkan oleh IPX. Oleh karena itu penulis menduga anomali yang terjadi pada ERPT di Singapura dapat dijelaskan melalui sisi sektor industri di Singapura. Hasil temuan yang bersifat anomali ini serupa dengan hasil penelitian Sato, et al ,(2005). Menurut
Sahminan
(2005),
kondisi
aspek
mikroekonomi
dapat
memberikan penjelasan mengapa terjadi anomali di Singapura. Faktor variabel mikroekonomi seperti struktur pasar, karakteristik produk, jumlah perusahaan
multinasional (MNCs) dan intra-firm trade (Menon dalam Sahminan (2005)) merupakan salah satu penyebab anomali pass-through yang terjadi di Singapura. 0.25 0.2 0.15
persen
0.1 0.05 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
33
35
37
39
41
43
45
47
-0.05 -0.1 -0.15 -0.2 bulan
Gambar 4.11. Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Singapura Sahminan (2005) mengungkapkan bahwa Singapura dikarakterisasikan sebagai negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, inflasi yang rendah, jumlah uang beredar yang rendah, banyaknya jumlah perusahaan multinasional, high ratio of trade to GDP dan high ratio of FDI to GDP. Singapura yang memiliki rasio FDI yang tinggi terhadap PDB artinya banyak perusahaan asing yang melakukan investasi langsung di Singapura. Ketika terjadi apresiasi kurs domestik di Singapura maka artinya terjadi depresiasi kurs asing. Depresiasi kurs asing akan dimanfaatkan oleh perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Singapura untuk menjual produknya lebih banyak dan menyebabkan meningkatnya permintaan produk tersebut. Peningkatan permintaan ini secara agregat akan memicu inflasi IHK di Singapura. Selain itu seiring dengan meningkatnya output perusahaan asing akibat peningkatan permintaan maka pendapatan perusahaan asing juga akan meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi (Sahminan, 2005).
Efek perubahan kurs terhadap IHK di Negara Asia timur yang terdapat dalam penelitian ini menunjukkan besaran yang relatif kecil dibanding negara Asia lainnya. Relatif kecilnya derajat ERPT terhadap IHK di Jepang sebesar -0,03 diduga dikarenakan baiknya struktur perekonomian di negara tersebut yang ditopang oleh sektor industri. Selain itu juga dari Gambar 4.12 dapat diketahui bahwa selama 48 horizon ERPT terhadap IHK relatif stabil dan berada dibawah 0,06 persen. Dugaan ini diperkuat dari hasil analisis DFEV yang menunjukkan bahwa kurs tidak memberikan kontribusi besar terhadap flukutasi IHK di Jepang selama 48 horizon waktu. Berdasarkan Tabel 4.7 dapat ditarik kesimpulan bahwa IPX memberikan kontribusi terbesar dalam menjelaskan flukutasi IHK di Jepang dalam jangka panjang (48 horizon). Temuan ini sejalan dengan McCarthy (2000) dimana dalam penelitiannya ia menemukan bahwa negara-negara industri utama di dunia salah satunya Jepang memiliki koefisien pass-through yang kecil terhadap IHK karena tingginya daya saing produk Jepang di perdagangan internasional, serta segmentasi pasar yang baik dalam pasar domestiknya. Selain itu IPX juga memberikan kontribusi terbesar dalam menjelaskan fluktuasi IHK di Jepang. McCarthy (2000) mengatakan bahwa fenomena pricing to market lebih dominan terjadi di negara-negara industri maju seperti Jepang, Amerika, dan negara industri maju di Eropa. Implikasi pernyataan ini adalah bahwa produsen asing di negara maju, dalam hal ini Jepang, akan melakukan intervensi harga jual yaitu dengan menurunkan harga jual ketika kurs mereka terapresiasi terhadap Yen. Sehingga dengan begitu harga barang impor yang diterima konsumen tidak
sebesar depresiasi Yen terhadap mata uang asing. Daya beli yang tinggi serta produk subtitusi impor di Jepang merupakan alasan produsen asing untuk melakukan pricing to market. Maka hasil akhirnya depresiasi Yen yang terjadi terhadap mata uang asing tidak akan memicu inflasi yang tinggi. 0.1
0.08
persen
0.06
0.04 0.02
0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
33
35
37
39
41
43
45
47
-0.02 -0.04 bulan
Gambar 4.12. Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Jepang Berdasarkan Gambar 4.12 terlihat bahwa selama enam bulan pertama depresiasi kurs Yen memberikan efek deflasi. Seperti kita ketahui bahwa inflasi di Jepang dari hasil DFEV sangat dominan dipengaruhi oleh IPX (output industri besar dan sedang) di Jepang. Tingginya permintaan produk Jepang di pasar internasional membuat permintaan terhadap bahan baku (input primer) juga akan meningkat. Seperti kita ketahui bahwa industri subtitusi impor di Jepang cukup maju sehingga dalam jangka pendek kemampuan industri subtitusi impor di Jepang terhadap pemenuhan bahan baku masih dapat terpenuhi. Namun dalam jangka panjang, besarnya laju IPX Jepang membuat industri subtitusi impor di Jepang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku. Sehingga pada akhirnya Jepang juga akan mengimpor bahan baku yang tidak dapat dipenuhi oleh industri subtitusi impor di Jepang dari negara-negara lainnya. Implikasi dari penjelasan ini
adalah bahwa depresiasi Yen dalam jangka pendek mungkin masih dapat meningkatkan output industri di Jepang sehingga cenderung menyebabkan deflasi. Namun hal ini tidak berlaku dalam jangka panjang ketika permintaan produk Jepang akan berhubungan positif dengan kebutuhan bahan baku. Sehingga pada akhirnya Jepang juga akan memiliki ketergantungan terhadap negara lain. Artinya keterkaitan ekonomi Jepang terhadap negara-negara lainnya menyebabkan depresiasi kurs Yen juga akan menyebabkan inflasi. Begitu juga dengan Korea Selatan yang memiliki derajat pass-through sebesar -0,04. Semakin baiknya daya saing produk Korea di perdagangan internasional juga menjadi salah satu alasan rendahnya derajat pass-through terhadap IHK di Korea Selatan. Seperti kita ketahui saat ini produk-produk buatan Korea mulai dari elektronika, otomotif dan tekstil sudah mulai merambah pasar dunia dan mampu bersaing dengan produk negara maju lainnya seperti Jepang, Amerika dan Uni Eropa. 0.35 0.3 0.25
persen
0.2 0.15 0.1 0.05 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
33
35
37
39
41
43
45
47
-0.05 bulan
Gambar 4.13. Efek Perubahan (Pass-Through) Kurs Terhadap IHK di Korea Selatan . Gambar 4.13 di atas menunjukkan bahwa efek perubahan kurs terhadap IHK di Korea Selatan tertinggi dirasakan pada bulan ke-7 yaitu sebesar 0,107
persen dan berangsur-angsur menurun setelah bulan ke-7. Malahan pada bulanbulan ke-41 ERPT terhadap IHK di Korea Selatan cenderung mengalami zero pass-through.
Menurut Mishkin (2001), jika elastisitas kurs jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang maka kemungkian terjadi overshooting kurs di negara tersebut. Ketika terjadi depresiasi Won terhadap mata uang asing maka akan ada ekspektasi dari pelaku pasar terhadap kurs Won. Karena Korea Selatan merupakan salah satu negara industri maju di kawasan Asia maka depresiasi kurs yang terjadi tidak akan begitu direspon berlebihan oleh pelaku pasar. Artinya pelaku pasar akan memilih tetap menginvestasikan dananya di Korea Selatan dan memandang bahwa expected return di Korea Selatan masih menjanjikan. Pada akhirnya ekspektasi terhadap kurs inilah yang juga akan menimbulkan masalah perbedaan volatilitas kurs di tiap negara.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Hasil empiris dari penelitian ini menunjukkan bahwa efek perubahan (pass-through effect) kurs terhadap indeks harga konsumen di masing-masing negara ASEAN-5 serta Jepang dan Korea Selatan akan memberikan respon negatif kecuali Singapura. Artinya depresiasi kurs domestik terhadap kurs asing akan menyebabkan inflasi dan begitu juga berlaku sebaliknya jika terjadi apresiasi. Kemudian derajat pass-through di masing-masing negara ASEAN-5 serta Jepang dan Korea Selatan adalah bersifat incomplete pass-through yang secara implisit mengindikasikan terjadinya fenomena pricing to market. Adapun garis besar yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah bahwa di Indonesia dan Korea Selatan terjadi overshooting kurs. Artinya inflasi yang disebabkan oleh perubahan kurs cenderung lebih kuat dalam jangka pendek ketimbang jangka panjang. Kemudian, fenomena anomali yang terjadi di Singapura ini disebabkan oleh tinggi rasio FDI terhadap PDB Singapura (Sahminan, 2005). Berdasarkan hasil simulasi analisis impuls respon dapat disimpulkan bahwa diantara negara Asia yang mengalami krisis, Indonesia adalah negara yang paling sensitif terhadap perubahan kurs. Besarnya ERPT terhadap PPI mengindikasikan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku impor besar. Selain itu pass-through terhadap IHK mengimplikasikan bahwa persentase perubahan IHK di Indonesia hampir 50 persen dipengaruhi oleh perubahan kurs.
Selain itu efek perubahan kurs (pass-through effect) di negara Asia Timur cenderung rendah yaitu Jepang sebesar -0,03 dan Korea Selatan sebesar -0,04. Namun demikian fenomena ERPT terhadap IHK di Korea Selatan setelah horizon ke-40 cenderung mengalami zero pass-through. Implikasi penting yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa harus ada konsolidasi yang baik antara sektor fiskal dan moneter di Indonesia untuk menjaga kestabilan inflasi mengingat besarnya derajat ERPT terhadap IHK juga disebabkan oleh besarnya derajat ERPT terhadap PPI di Indonesia. Artinya keberadaan produk domestik di Indonesia masih belum mampu bersaing dengan produk luar negeri sehingga menimbulkan ketergantungan yang tinggi atas produk luar negeri terutama bahan baku impor. Berdasarkan hasil analisis DFEV, peranan kurs relatif kuat di Indonesia dan Thailand. Namun, pada horizon pertama kurs relatif tidak memberikan kontribusi kuat terhadap fluktuasi IHK di kedua negara tesebut. Maka hal ini mengindikasikan adanya lag waktu yang terjadi di Indonesia dan Thailand disebabkan adanya proses penyesuaian (adjustment) dari para pedagang dan produsen karena rezim kurs mengambang bebas membuat kurs Rupiah dan Baht sulit diprediksi oleh pengusaha sehingga mengakibatkan produsen cenderung mematok harga jual relatif tinggi untuk mengantisipasi ketidakpastian nilai kurs Rupiah dan Baht. Dari hasil DFEV juga dapat ditarik kesimpulan bahwa peranan kurs dominan dalam jangka panjang di Indonesia dimana kurs memberikan kontribusi sebesar 57,44 persen dan Thailand berkisar 33 persen sampai 34 persen dalam
horizon ke-12 sampai horizon ke-36. Peranan kurs di negara Asia lainnnya relatif kecil dan kisarannya berada di bawah 17 persen. Disamping itu dari hasil ini juga dapat diketahui bahwa peranan faktor eksternal yang diidentifikasi melalui harga minyak, kurs dan PPI dalam menjelaskan fluktuasi IHK dalam jangka panjang relatif kuat di Indonesia, Thailand dan Singapura. Instrumen kebijakan inflation targeting yang diterapkan Indonesia tampaknya tidak begitu cukup signifikan mempengaruhi inflasi karena dari hasil IRF dan DFEV dapat ditarik kesimpulan bahwa kontribusi terbesar bagi inflasi adalah kurs bukan suku bunga maupun ekspektasi inflasi. Hal ini juga berlaku bagi negara Thailand. Artinya stabilitas kurs adalah penting di negara Indonesia dan Thailand. Dari hasil penelitian ini juga terlihat bahwa Indonesia dan Thailand merupakan negara yang paling rentan terhadap pengaruh eksternal seperti harga minyak dunia, kurs dan PPI. Selain itu, walaupun ERPT terhadap IHK di Filipina cenderung lebih kecil dibanding negara berkembang seperti Indonesia dan Thailand namun inflasi IHK di Filipina tetinggi kedua setelah Indonesia. Maka sebaiknya pemerintah Filipina dalam hal ini Bank Sentral Filipina sebaiknya menerapkan instrumen inflation targeting untuk menstabilkan inflasi.
5.2.
Saran
Dalam kaitannya dengan penelitian mengenai efek perubahan (passthrough effect) terhadap IHK maka rekomendasi yang dapat diberikan
diantaranya :
1. Terkait dengan hasil penelitian ini maka pemerintah Indonesia dan Thailand dalam hal ini Bank Indonesia dan Bank Sentral Thailand sebaiknya mempertimbangkan untuk mengubah sasaran kebijakan moneter menjadi exchange rate targeting mengingat kurs berperan besar dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia. 2. Mengingat terbesarnya ERPT terhadap PPI di Indonesia dibanding negara Asia lainnya. Maka sebaiknya pemerintah Indonesia dapat memacu industri subtitusi impor untuk mengurangi ketergantungan yang dapat memicu inflasi tinggi akibat perubahan kurs. 3. Terkait dengan Asean Free Trade Area (AFTA) dan juga isu pasar tunggal ASEAN+3 maka sebaiknya negara yang akan tergabung dalam AFTA dan pasar tunggal ASEAN+3 mempertimbangkan untuk mencanangkan sebuah mata
uang
tunggal
(single
currency)
untuk
meminimalisir
ketidakseimbangan resiko yang ditanggung suatu negara terutama negara berkembang seperti Indonesia, Thailand dan Filipina. Hal ini disarankan guna mencegah terjadinya ketimpangan ekonomi di antara negara-negara anggota tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, Noer Azam. 2001. Sekilas Ekonomi Indonesia : “Sukses” Masa Lalu, Problema Masa Kini dan Tantangan Masa Depan. http:/ Istecs. f2o/ diskusi/ paper/Noer Achsani.Pdf Achsani, Noer Azam dan Hermanto Siregar. 2003. Toward East Asian Economic Integration : Classification of the ASEAN+3 Economies using Fuzzy Clustering Approach. Paper dipresentasikan pada International Conference “EU-ASEAN Facing Economic Globalization”. Thailand. 21-22 Juli 2005. Amisano, Gianni dan Carlo Giannini.1997. Topics in Structural VAR Econometrics. Springer-Verlag Berlin. Heidelberg. Germany Arsana, I Gede Putra. 2005. Pengaruh Nilai Tukar Terhadap Aliran Kredit dan Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Nilai Tukar Jalur Kredit.Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. Agung, Juda. 2000. Financial Deregulation & The Bank Lending Channel in Developing Countries Case of Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan,Vol. 3, no.1, Arsana, I Gede Putra.2005. VAR (Vector AutoRegressive). Lab Komputasi Universitas Indonesia Batiz, Fransisco Rivera dan Luis R. Batiz. 1994. International Finance and Open Economy, Macroeconomics. Mcmillan Publishing co. New York. Calvo, Guillermo dan Carmen M. Reinhart. 2000. Fixing For Your Live. NBER Working Paper Series. Working Paper 8006. National Bureau of Economic Research. Campa, Jose dan Linda S Goldberg. 2004. Exchange Rate Pass-Through into Import Prices. NBER Working Paper. JEL codes : F3, F4. Cuche, Nicholas A. 2001. VAR and SVAR 1: Some equations. Econometic Class. Chowdhury, Anis dan Akhtar Hossain. 1998. Open-Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar.Cheltenham,UK.Northampton, MA, USA De Jong, Rendie Putreva. 2005. Analisis Kesinambungan Fiskal di Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Flamini, Alessandro. 2003. Inflation Targetting and Exchange Rate Pass-through. Princeton University, GIIS. Gujarati, Damodar. 2003. Basic Econometrics fourth edition. McGraw Hill. Singapore. Hanafi, Iwan Dermawan. 2005. Faktor Cina Dalam Struktur Ekonomi ASEANJepang [Pikiran Rakyat On-Line] [7 Maret 2005] Hartati, Enny Sri. 2004. Analisis Dampak Pergerakan Nilai Tukar Terhadap Inflasi Di Indonesia : Pendekatan Exchange Rate Pass-Through. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hernandez, Leonardo dan Peter J. Montiel. 2001. Post Crisis Exchange Rate Policy in Five Asian Countries: Filling in the “Hollow Middle”?. IMF. Hyder, Zulfiqar and Sardar Sah. 2004. Exchange Rate Pass-Through to Domestic Price in Pakistan. State Bank of Pakistan Working Paper No. 5, June 2004. Johansen,
Soren. 1995. Likelihood-Based Inference In Cointegrated Vectorautoregressive Model. Oxford University Press. United States.
Kiptui, Moses, Daniel Ndolo dan Sheila Kaminchia. 2005. Exchange Rate PassThrough : To What Extent Do Exchange Rate Fluctuations Affect Import Prices and Inflation in Kenya. Working Paper No. 1 April 2005 Central Bank of Kenya. Lubis, Adrian Darmawan. 2005. Ordinary Least Square dan Unit Root. Pelatihan Ekonometrika FEM IPB. Lloyd, Peter dan Penny Smith. 2004. Global Economic Challanges to ASEAN Integration and Competitiveness : A Prospective Look. REPSF Project 03/006a Mankiw, N Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga. McCarthy, Jonathan. 2000. Pass-Through of Exchange Rate and Import Prices to Domestic Inflation in Some Industrialized Economies. Staff Reports, 111, Research Department Federal Reserve Bank of New York. McCoy, Daniel. 1997. How Useful is Structural VAR Analysis for Irish Economics.Technical Paper no. 2/RT/97. Ireland.
Microsoft. 2005. Microsoft Encarta 2005 Reference Library Premium. Microsoft Corporation. 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved. Mindasari, Puri. 2005. Pengujian Model Moneter Terhadap Nilai Tukar di Indonesia. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mishkin, Frederick S. 2001. The Economics of Money, Banking and Financial Market. Sixth Edition. Columbia: Columbia University. Moosa, Imad A. 2004. International Finance, An Analytical Approach. 2nd edition. La Trobe University. McGraw Hill. Australia. Nuryati, Yati. 2004. Pelaksanaan Kebijakan Moneter Pentargetan Inflasi di Indonesia. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pasaribu, Syamsul H, Tony Irawan dan Djoni Hartono. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Pesaran, M Hashem dan Bahrem Pesaran. 1997. Working with Microfit 4.0 Interactive Econometric Analysis, Oxford University Press. Purnomo, Sigit. 2001. Kajian Model VAR Struktural Untuk Analisis Fluktuasi Ekonomi Indonesia. [Tesis]. Program Studi Statistika Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rato, Rodrigo. 2005. Integrasi Asia dan IMF.[Sarwono Net][21 September 2005]. http://aseansummit.bernama.com/newslistbm.php?cat=ase&page=14. Sahminan. 2005. Exchange Rate Pass-Through into Import Price in Major Southeast Asian Countries.Thesis. Sato, Kiyotaka, Takatoshi Ito dan Yuri N. Sasaki. 2005. Pass-Through of Exchange Rate Changes and Macroeconomic Shocks to Domestic Inflation in East Asian Countries.RIETI Discussion Paper Series 05-E020.Japan. Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama. Siahaan,
Nifar. 2005. Pengaruh Foreign Direct Investment Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Siregar, Hermanto dan Bert D. Ward. 2005. Can Monetary Policy/Shocks Stabilize Indonesian Macroeconomic Fluctuations?.Working Paper No. IWP/007/2005. INTERCAFE Tucker, Alan L, Jeff Madura dan Thomas C Chiang. 1998. International Financial Markets. West Publishing Company. United States of America. New York. Verbeek, Marno. 2000. A Guide To Modern Econometrics. John Wiley & Sons, LTD. New York, USA. Widyanti, Restuning D. 2005. Analisis Trade Off Inflasi Dan Pertumbuhan Ekonomi. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor. Windarti, Retno Ponco. 2004. Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Terhadap Perubahan Tingkat Harga : Analisis SVAR Pasca Penerapan Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas di Indonesia. [Tesis]. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Indonesia Zainal, Arindra A. 2005. Exchange Rate Pass-Through On Export Price : Evidence From Indonesian Data. Paralel Session IVC : International Trade 17 November 2005, Pukul 10.45-12.15. Hotel Borobudur, Jakarta. Zivot, Eric. 2000. Notes on Structural VAR Modelling. Econometic Class. Anonim. 2002. E. Views 4 User’s Guide. United States of America. ISBN 1880411-28-8. Revised for E-Views 4.1-February 2002.
LAMPIRAN
INDONESIA
Lampiran 1. Uji Akar Unit
a. Harga Minyak Dunia (LOIL) Null Hypothesis: LOIL has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.423380 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9014
t-Statistic
Prob.*
-7.445609 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LOIL) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
b. Suku Bunga SBI (r) Null Hypothesis: R has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.912781 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.0458
t-Statistic
Prob.*
-6.177791 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: DR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
c. Jumlah Uang Beredar (M2 ) Null Hypothesis: LM2 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.897678 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.3329
t-Statistic
Prob.*
-7.045130 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-0.917199 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.7811
t-Statistic
Prob.*
-4.934056 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
d. Kurs Nominal (s) Null Hypothesis: LS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
e. Indeks Harga Bahan Baku Impor (PPI) Null Hypothesis: LPPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.427531 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9006
t-Statistic
Prob.*
-4.451088 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0003
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LPPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
f. Indeks Produksi (IPX) Null Hypothesis: LIPX has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.329244 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.0150
t-Statistic
Prob.*
-7.549802 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: DLIPX has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
g. Indeks Harga Konsumen (CPI) Null Hypothesis: LCPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.261873 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9267
t-Statistic
Prob.*
-3.233392 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0196
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LCPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 2. Uji Lag Optimal VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 04/26/06 Time: 21:48 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 187 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
0 1
SC
HQ
1384.760
NA
9.40E-16
1577.732
369.4329
2.02E-16
-14.73540
-14.61445
-14.68639
-16.27521
-15.30760*
2
1682.272
192.3086
-15.88313
1.12E-16
-16.86922
-15.05496
-16.13408*
3
1748.428
116.7458*
9.33E-17*
-17.05270*
-14.39179
-15.97450
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 04/28/06 Time: 11:31 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 185 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
0 1
SC
HQ
1366.441
NA
9.77E-16
1557.904
366.3682
2.10E-16
-14.69666
-14.57481
-14.64727
-16.23680
-15.26199*
2
1662.854
192.8804
1.15E-16
-15.84174
-16.84167
-15.01390
-16.10092*
3
1728.319
115.3595
4
1795.884
113.9475
9.65E-17
-17.01966
-14.33893
-15.93323
7.98E-17*
-17.22037*
-13.68668
5
1840.119
71.25508*
8.54E-17
-15.78825
-17.16886
-12.78221
-15.39106
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion
Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Lag specification: 1 4 Date: 06/14/06 Time: 19:08 Root 0.823862 + 0.160821i 0.823862 - 0.160821i -0.453700 + 0.671327i -0.453700 - 0.671327i 0.594400 + 0.524384i 0.594400 - 0.524384i -0.089899 + 0.785970i -0.089899 - 0.785970i -0.167986 + 0.758233i -0.167986 - 0.758233i 0.083803 + 0.760337i 0.083803 - 0.760337i -0.637803 + 0.404130i -0.637803 - 0.404130i 0.500596 + 0.532781i 0.500596 - 0.532781i -0.722806 + 0.019915i -0.722806 - 0.019915i 0.364388 + 0.624319i 0.364388 - 0.624319i -0.416984 + 0.442007i -0.416984 - 0.442007i -0.058060 - 0.555936i -0.058060 + 0.555936i 0.489818 - 0.208063i 0.489818 + 0.208063i -0.446312 -0.418381 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.839411 0.839411 0.810262 0.810262 0.792647 0.792647 0.791095 0.791095 0.776619 0.776619 0.764942 0.764942 0.755059 0.755059 0.731062 0.731062 0.723080 0.723080 0.722878 0.722878 0.607656 0.607656 0.558959 0.558959 0.532177 0.532177 0.446312 0.418381
Lampiran 4. Restriksi Sementara Structural VAR Estimates Included observations: 186 after adjusting endpoints Estimation method: method of scoring (analytic derivatives) Convergence achieved after 20 iterations Structural VAR is just-identified Model: Ae = Bu where E[uu']=I Restriction Type: short-run text form @e1 = C(1)*@u1 @e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2 @e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3 @e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4 @e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5 @e6 = C(16)*@e1 + C(17)*@e2 + C(18)*@e3 + C(19)*@e4 + C(20)*@e5 + C(21)*@u6 @e7 = C(22)*@e1 + C(23)*@e2 + C(24)*@e3 + C(25)*@e4 + C(26)*@e5 + C(27)*@e6 + C(28)*@u7 where @e1 represents DLOIL residuals @e2 represents DR residuals @e3 represents DLM2 residuals @e4 represents DLS residuals @e5 represents DLPPI residuals @e6 represents DLIPX residuals @e7 represents DLCPI residuals C(2) C(4) C(5) C(7) C(8) C(9) C(11) C(12) C(13) C(14) C(16) C(17) C(18) C(19) C(20) C(22) C(23) C(24) C(25) C(26) C(27) C(1) C(3) C(6) C(10) C(15) C(21)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
-1.581238 0.035846 0.002859 -0.061492 -0.007291 -0.355195 0.031949 -0.000142 0.015159 -0.272399 0.088670 -0.001569 0.020955 0.005519 -0.273602 -0.015381 0.000548 -0.002257 0.083776 0.355612 -0.019066 0.088661 1.864395 0.058419 0.074271 0.011735 0.077751
1.541876 0.048449 0.002298 0.061687 0.002933 0.093220 0.009773 0.000471 0.015293 0.011585 0.066584 0.003122 0.101593 0.152985 0.485812 0.007067 0.000330 0.010733 0.016161 0.051364 0.007746 0.004597 0.096664 0.003029 0.003851 0.000608 0.004031
-1.025529 0.739865 1.244551 -0.996833 -2.485898 -3.810280 3.269197 -0.301236 0.991259 -23.51255 1.331696 -0.502542 0.206270 0.036075 -0.563185 -2.176413 1.659930 -0.210306 5.183856 6.923435 -2.461459 19.28730 19.28730 19.28730 19.28730 19.28730 19.28730
0.3051 0.4594 0.2133 0.3188 0.0129 0.0001 0.0011 0.7632 0.3216 0.0000 0.1830 0.6153 0.8366 0.9712 0.5733 0.0295 0.0969 0.8334 0.0000 0.0000 0.0138 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
C(28) Log likelihood
0.008213
0.000426
19.28730
0.0000
0.000000 0.000000 1.000000 0.355195 -0.015159 -0.020955 0.002257
0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.272399 -0.005519 -0.083776
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.273602 -0.355612
0.000000 0.000000 0.058419 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.074271 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.011735 0.000000 0.000000
1694.268
Estimated A matrix: 1.000000 0.000000 1.581238 1.000000 -0.035846 -0.002859 0.061492 0.007291 -0.031949 0.000142 -0.088670 0.001569 0.015381 -0.000548 Estimated B matrix: 0.088661 0.000000 0.000000 1.864395 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
Lampiran 5. Uji Kointegrasi Sample(adjusted): 1990:06 2005:11 Included observations: 186 after adjusting endpoints Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI Lags interval (in first differences): 1 to 4 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6
0.253751 0.190639 0.146979 0.089534 0.056494 0.028883 0.001802
157.4008 102.9593 63.61847 34.04984 16.60325 5.786823 0.335393
124.24 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76
133.57 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 2 cointegrating equation(s) at the 5% level Trace test indicates 1 cointegrating equation(s) at the 1% level Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6
0.253751 0.190639 0.146979 0.089534 0.056494 0.028883 0.001802
54.44153 39.34084 29.56863 17.44658 10.81643 5.451430 0.335393
45.28 39.37 33.46 27.07 20.97 14.07 3.76
51.57 45.10 38.77 32.24 25.52 18.63 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
Lampiran 6. Impulse Response Function Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
LS
LPPI
LIPX
LCPI
0.072104 0.078532 0.071611 0.060593 0.064284 0.079063 0.076272 0.071589 0.070214 0.067772 0.066274 0.061096 0.058245 0.054639 0.051420 0.048344 0.045441 0.043614 0.041676 0.039944 0.038722 0.037724 0.037305 0.037118 0.037299 0.037757 0.038366 0.039106 0.039926 0.040819 0.041732 0.042646 0.043535 0.044351 0.045089 0.045719 0.046240 0.046653 0.046956 0.047160 0.047269 0.047291 0.047237 0.047118 0.046946 0.046736 0.046500 0.046250
-0.019641 -0.031985 -0.035827 -0.032879 -0.034771 -0.038826 -0.040736 -0.040136 -0.040084 -0.040698 -0.040886 -0.039770 -0.038734 -0.037760 -0.036839 -0.035704 -0.034546 -0.033477 -0.032419 -0.031384 -0.030474 -0.029721 -0.029145 -0.028696 -0.028374 -0.028171 -0.028085 -0.028096 -0.028192 -0.028370 -0.028611 -0.028894 -0.029203 -0.029522 -0.029841 -0.030148 -0.030434 -0.030695 -0.030924 -0.031119 -0.031276 -0.031396 -0.031479 -0.031527 -0.031544 -0.031533 -0.031499 -0.031447
0.011777 0.026019 0.023534 0.016354 0.025079 0.020919 0.023139 0.025989 0.030369 0.031018 0.029126 0.026704 0.026050 0.027768 0.029815 0.030310 0.030675 0.030482 0.030470 0.030179 0.030049 0.030227 0.030364 0.030349 0.030274 0.030132 0.029939 0.029709 0.029544 0.029416 0.029321 0.029227 0.029137 0.029053 0.028971 0.028906 0.028867 0.028847 0.028847 0.028860 0.028881 0.028906 0.028937 0.028971 0.029008 0.029048 0.029088 0.029126
-0.001509 -0.008889 -0.014466 -0.017126 -0.019250 -0.021076 -0.024007 -0.026462 -0.028897 -0.030404 -0.031044 -0.031245 -0.031125 -0.030950 -0.030549 -0.029914 -0.029128 -0.028145 -0.027114 -0.026050 -0.025022 -0.024059 -0.023171 -0.022393 -0.021721 -0.021159 -0.020713 -0.020386 -0.020178 -0.020073 -0.020068 -0.020146 -0.020292 -0.020491 -0.020729 -0.020994 -0.021273 -0.021555 -0.021831 -0.022091 -0.022329 -0.022539 -0.022719 -0.022866 -0.022979 -0.023061 -0.023111 -0.023133
Cholesky Ordering: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI
Lampiran 7. Forecast Variance Error Decomposition Period
S.E.
LOIL
R
LM2
LS
LPPI
LIPX
LCPI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
0.088524 0.126366 0.152421 0.174881 0.188390 0.198450 0.209267 0.219971 0.231736 0.243847 0.254727 0.265190 0.275646 0.285101 0.294172 0.303018 0.311217 0.319116 0.326668 0.333825 0.340759 0.347393 0.353758 0.359948 0.365932 0.371742 0.377440 0.383015 0.388483 0.393876 0.399186 0.404429 0.409618 0.414757 0.419855 0.424920 0.429949 0.434950 0.439920 0.444858 0.449765 0.454639 0.459478 0.464280 0.469044 0.473767 0.478448 0.483085
0.226105 0.229632 0.251352 0.754494 0.897066 0.982689 0.907376 0.751305 0.648726 0.574180 0.523267 0.494159 0.467782 0.441269 0.416322 0.394359 0.375645 0.360201 0.347153 0.335784 0.325807 0.316676 0.308549 0.301398 0.294998 0.289390 0.284475 0.280089 0.276165 0.272637 0.269450 0.266572 0.263971 0.261620 0.259491 0.257542 0.255740 0.254064 0.252482 0.250976 0.249531 0.248132 0.246765 0.245421 0.244092 0.242773 0.241462 0.240158
2.669119 6.220068 8.215265 9.248066 10.23087 11.32391 12.08430 12.47664 12.75364 12.77903 12.68762 12.56876 12.45807 12.33737 12.22005 12.10654 11.98212 11.85092 11.72041 11.59445 11.47641 11.36698 11.26740 11.17638 11.09285 11.01696 10.94835 10.88653 10.83138 10.78267 10.73974 10.70199 10.66895 10.64010 10.61494 10.59305 10.57408 10.55761 10.54320 10.53045 10.51897 10.50840 10.49842 10.48879 10.47929 10.46977 10.46009 10.45020
0.140417 2.999116 3.658216 3.907405 4.331418 4.361393 4.402172 4.630030 4.872386 5.055296 5.227840 5.383290 5.502221 5.599218 5.684898 5.763257 5.831259 5.886094 5.934007 5.973808 6.004478 6.029627 6.050803 6.068092 6.082374 6.094344 6.104278 6.112384 6.118966 6.124391 6.128941 6.132718 6.135939 6.138787 6.141299 6.143587 6.145779 6.147940 6.150145 6.152463 6.154933 6.157574 6.160388 6.163367 6.166497 6.169747 6.173089 6.176494
2.561468 25.72009 42.38220 50.82923 54.86591 56.77621 58.19622 59.18953 60.02693 60.74315 61.14242 61.27399 61.21174 61.07429 60.86559 60.61303 60.34830 60.06829 59.78196 59.50003 59.23026 58.97835 58.74640 58.53773 58.35276 58.19016 58.04863 57.92723 57.82445 57.73844 57.66785 57.61108 57.56631 57.53193 57.50637 57.48816 57.47589 57.46826 57.46411 57.46233 57.46190 57.46199 57.46184 57.46087 57.45864 57.45484 57.44930 57.44195
19.32210 14.90475 12.77205 11.06582 10.83938 10.70882 10.41191 9.990300 9.517299 9.137626 8.812892 8.517487 8.257150 7.997776 7.756041 7.532110 7.332580 7.158188 7.007130 6.876222 6.762811 6.665520 6.582500 6.512108 6.453446 6.405065 6.365954 6.334751 6.310315 6.291712 6.277957 6.268230 6.261831 6.258067 6.256284 6.255874 6.256293 6.257049 6.257741 6.258045 6.257721 6.256604 6.254587 6.251630 6.247742 6.242972 6.237406 6.231157
0.888115 0.556459 0.559305 0.814914 1.174070 1.741142 2.342344 2.949508 3.504844 4.132048 4.874701 5.705610 6.575930 7.449674 8.302940 9.120966 9.897756 10.64022 11.33736 11.98535 12.58081 13.11932 13.60055 14.02682 14.40102 14.72699 15.00883 15.25048 15.45557 15.62777 15.77070 15.88810 15.98349 16.06019 16.12146 16.17020 16.20901 16.24035 16.26642 16.28915 16.31026 16.33116 16.35300 16.37663 16.40263 16.43133 16.46287 16.49717
74.19268 49.36988 32.16160 23.38007 17.66127 14.10583 11.65568 10.01268 8.676168 7.578668 6.731257 6.056708 5.527106 5.100404 4.754155 4.469732 4.232338 4.036098 3.871970 3.734351 3.619425 3.523532 3.443797 3.377473 3.322555 3.277093 3.239476 3.208532 3.183149 3.162389 3.145360 3.131304 3.119515 3.109310 3.100154 3.091586 3.083211 3.074724 3.065901 3.056588 3.046681 3.036146 3.024999 3.013293 3.001116 2.988572 2.975782 2.962865
Cholesky Ordering: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI
MALAYSIA
Lampiran 1. Uji Akar Unit
a. Harga Minyak Dunia (LOIL) Null Hypothesis: LOIL has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.423380 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9014
t-Statistic
Prob.*
-7.445609 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LOIL) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
b. T-Bills (r) Null Hypothesis: R has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.151265 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.6950
t-Statistic
Prob.*
-5.895487 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(R) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
c. Jumlah Uang Beredar (M2 ) Null Hypothesis: LM2 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.453037 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.5553
t-Statistic
Prob.*
-5.698172 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-1.099332 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.7160
t-Statistic
Prob.*
-5.155052 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
d. Kurs Nominal (s) Null Hypothesis: LS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
e. Indeks Harga Bahan Baku Impor (PPI) Null Hypothesis: LPPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.248219 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9286
t-Statistic
Prob.*
-5.836025 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-0.406134 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9043
t-Statistic
Prob.*
-6.198553 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LPPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
f. Indeks Produksi (IPX) Null Hypothesis: LIPX has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LIPX) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
g. Indeks Harga Konsumen (CPI) Null Hypothesis: LCPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.567780 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.1016
t-Statistic
Prob.*
-5.883024 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LCPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 2. Uji Lag Optimal VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 04/27/06 Time: 10:44 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 187 Lag
LogL
LR
0 1 2 3
2702.412 2793.634 2825.221 2864.277
NA 174.6381 58.10720 68.92128*
FPE
AIC
SC
7.13E-22 -28.82794 -28.70699* 4.54E-22* -29.27951* -28.31190 5.48E-22 -29.09328 -27.27902 6.13E-22 -28.98692 -26.32600
HQ -28.77893 -28.88743* -28.35814 -27.90871
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 05/23/06 Time: 09:37 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 186 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4
2686.361 2777.103 2809.545 2848.818 2891.796
NA 173.6791 59.65111 69.25595 72.55294*
7.25E-22 4.63E-22* 5.55E-22 6.19E-22 6.67E-22
-28.81033 -29.25918* -29.08113 -28.97654 -28.91178
-28.68893* -28.28798 -27.26015 -26.30576 -25.39121
-28.76114 -28.86561* -28.34320 -27.89424 -27.48511
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 06/24/06 Time: 06:47 Root -0.428706 0.272669 - 0.159705i 0.272669 + 0.159705i 0.134388 - 0.281941i 0.134388 + 0.281941i -0.117330 0.069539 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.428706 0.315997 0.315997 0.312331 0.312331 0.117330 0.069539
Lampiran 4. Restriksi Sementara
Structural VAR Estimates Date: 04/27/06 Time: 10:44 Sample(adjusted): 1990:04 2005:11 Included observations: 188 after adjusting endpoints Estimation method: method of scoring (analytic derivatives) Convergence achieved after 16 iterations Structural VAR is just-identified Model: Ae = Bu where E[uu']=I Restriction Type: short-run text form @e1 = C(1)*@u1 @e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2 @e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3 @e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4 @e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5 @e6 = C(16)*@e1 + C(17)*@e2 + C(18)*@e3 + C(19)*@e4 + C(20)*@e5 + C(21)*@u6 @e7 = C(22)*@e1 + C(23)*@e2 + C(24)*@e3 + C(25)*@e4 + C(26)*@e5 + C(27)*@e6 + C(28)*@u7 where @e1 represents DLOIL residuals @e2 represents DR residuals @e3 represents DLM2 residuals @e4 represents DLS residuals @e5 represents DLPPI residuals @e6 represents DLIPX residuals @e7 represents DLCPI residuals C(2) C(4) C(5) C(7) C(8) C(9) C(11) C(12) C(13) C(14) C(16) C(17) C(18) C(19) C(20) C(22) C(23) C(24) C(25) C(26) C(27) C(1) C(3) C(6)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
0.207590 -0.020471 -0.007014 0.009457 -0.001710 -0.315875 0.037805 0.002191 0.061237 -0.118237 0.106073 -0.008613 -0.295669 -0.284456 -0.173462 -0.004804 0.001271 0.048103 0.015967 0.027901 -0.009764 0.094723 0.378097 0.015627
0.291117 0.012049 0.003014 0.016983 0.004277 0.102022 0.009580 0.002412 0.058947 0.041105 0.035084 0.008506 0.208058 0.147816 0.256683 0.002244 0.000533 0.013063 0.009322 0.016049 0.004555 0.004885 0.019499 0.000806
0.713083 -1.699041 -2.326981 0.556826 -0.399911 -3.096140 3.946388 0.908745 1.038845 -2.876487 3.023434 -1.012589 -1.421093 -1.924396 -0.675782 -2.141314 2.386382 3.682419 1.712886 1.738419 -2.143746 19.39072 19.39072 19.39072
0.4758 0.0893 0.0200 0.5776 0.6892 0.0020 0.0001 0.3635 0.2989 0.0040 0.0025 0.3113 0.1553 0.0543 0.4992 0.0322 0.0170 0.0002 0.0867 0.0821 0.0321 0.0000 0.0000 0.0000
C(10) C(15) C(21) C(28) Log likelihood
0.021860 0.012321 0.043362 0.002708
0.001127 0.000635 0.002236 0.000140
19.39072 19.39072 19.39072 19.39072
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.000000 0.000000 1.000000 0.315875 -0.061237 0.295669 -0.048103
0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.118237 0.284456 -0.015967
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.173462 -0.027901
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.009764
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000
0.000000 0.000000 0.015627 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.021860 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.012321 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.043362 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.002708
2787.073
Estimated A matrix: 1.000000 0.000000 -0.207590 1.000000 0.020471 0.007014 -0.009457 0.001710 -0.037805 -0.002191 -0.106073 0.008613 0.004804 -0.001271 Estimated B matrix: 0.094723 0.000000 0.000000 0.378097 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
Lampiran 5. Uji Kointegrasi Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6
0.208802 0.145627 0.119313 0.100185 0.073268 0.046543 0.005760
142.4575 98.19225 68.44596 44.43294 24.48094 10.09970 1.091873
124.24 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76
133.57 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 2 cointegrating equation(s) at the 5% level Trace test indicates 1 cointegrating equation(s) at the 1% level Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None At most 1 At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6
0.208802 0.145627 0.119313 0.100185 0.073268 0.046543 0.005760
44.26524 29.74628 24.01302 19.95200 14.38124 9.007826 1.091873
45.28 39.37 33.46 27.07 20.97 14.07 3.76
51.57 45.10 38.77 32.24 25.52 18.63 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates no cointegration at both 5% and 1% levels
Lampiran 6. Impulse Response Function Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
LS
LPPI
LIPX
LCPI
0.021608 0.026298 0.026543 0.026268 0.026159 0.026195 0.026280 0.026371 0.026454 0.026525 0.026584 0.026633 0.026675 0.026711 0.026742 0.026768 0.026792 0.026813 0.026831 0.026848 0.026863 0.026877 0.026889 0.026901 0.026911 0.026921 0.026930 0.026938 0.026946 0.026954 0.026960 0.026967 0.026973 0.026978 0.026984 0.026989 0.026993 0.026998 0.027002 0.027005 0.027009 0.027013 0.027016 0.027019 0.027022 0.027024 0.027027 0.027029
-0.002394 -0.005162 -0.005697 -0.005622 -0.005585 -0.005676 -0.005791 -0.005896 -0.005981 -0.006052 -0.006110 -0.006159 -0.006201 -0.006236 -0.006267 -0.006293 -0.006316 -0.006337 -0.006355 -0.006372 -0.006386 -0.006400 -0.006412 -0.006423 -0.006434 -0.006443 -0.006452 -0.006461 -0.006468 -0.006475 -0.006482 -0.006488 -0.006494 -0.006500 -0.006505 -0.006510 -0.006514 -0.006519 -0.006523 -0.006526 -0.006530 -0.006533 -0.006536 -0.006539 -0.006542 -0.006545 -0.006547 -0.006550
-0.006722 5.54E-05 0.000708 0.001319 0.000645 0.000259 -0.000122 -0.000330 -0.000475 -0.000550 -0.000585 -0.000587 -0.000567 -0.000529 -0.000481 -0.000424 -0.000362 -0.000297 -0.000231 -0.000165 -9.91E-05 -3.48E-05 2.75E-05 8.77E-05 0.000146 0.000201 0.000254 0.000304 0.000352 0.000397 0.000440 0.000481 0.000519 0.000556 0.000590 0.000622 0.000653 0.000682 0.000709 0.000734 0.000758 0.000781 0.000803 0.000823 0.000842 0.000860 0.000876 0.000892
0.000380 -1.95E-06 -0.000228 -0.000328 -0.000371 -0.000398 -0.000420 -0.000437 -0.000451 -0.000461 -0.000468 -0.000473 -0.000477 -0.000479 -0.000480 -0.000480 -0.000480 -0.000479 -0.000479 -0.000477 -0.000476 -0.000475 -0.000474 -0.000472 -0.000471 -0.000470 -0.000469 -0.000467 -0.000466 -0.000465 -0.000464 -0.000463 -0.000462 -0.000461 -0.000460 -0.000459 -0.000458 -0.000458 -0.000457 -0.000456 -0.000456 -0.000455 -0.000455 -0.000454 -0.000454 -0.000453 -0.000453 -0.000452
Lampiran 7. Forecast Variance Error Decomposition
Period
S.E.
LOIL
R
LM2
LS
LPPI
LIPX
LCPI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
0.093790 0.140074 0.172911 0.199391 0.222573 0.243567 0.262884 0.280870 0.297770 0.313764 0.328987 0.343542 0.357512 0.370961 0.383946 0.396512 0.408698 0.420536 0.432055 0.443280 0.454232 0.464930 0.475391 0.485631 0.495663 0.505499 0.515151 0.524627 0.533938 0.543092 0.552096 0.560958 0.569684 0.578280 0.586752 0.595105 0.603344 0.611473 0.619496 0.627418 0.635243 0.642973 0.650612 0.658164 0.665631 0.673015 0.680320 0.687549
2.852467 4.709594 4.990511 5.139370 5.300948 5.449466 5.572106 5.671093 5.750871 5.815155 5.866751 5.907927 5.940541 5.966118 5.985905 6.000923 6.012006 6.019838 6.024982 6.027904 6.028988 6.028553 6.026864 6.024144 6.020577 6.016319 6.011500 6.006229 6.000599 5.994687 5.988559 5.982271 5.975868 5.969391 5.962872 5.956340 5.949818 5.943326 5.936880 5.930494 5.924179 5.917945 5.911799 5.905747 5.899794 5.893944 5.888199 5.882562
0.821039 0.397420 0.342516 0.358495 0.411325 0.490121 0.583562 0.682720 0.781794 0.877591 0.968526 1.053961 1.133784 1.208166 1.277422 1.341926 1.402067 1.458228 1.510765 1.560009 1.606258 1.649781 1.690819 1.729589 1.766281 1.801066 1.834098 1.865513 1.895432 1.923964 1.951209 1.977254 2.002180 2.026058 2.048956 2.070932 2.092041 2.112335 2.131858 2.150653 2.168759 2.186213 2.203048 2.219294 2.234982 2.250138 2.264787 2.278953
8.541449 12.11757 15.40574 17.79153 19.51841 20.84492 21.91168 22.79187 23.52771 24.14877 24.67719 25.13012 25.52100 25.86047 26.15703 26.41755 26.64761 26.85177 27.03380 27.19680 27.34337 27.47569 27.59559 27.70461 27.80408 27.89512 27.97870 28.05564 28.12667 28.19241 28.25340 28.31011 28.36296 28.41232 28.45851 28.50181 28.54248 28.58075 28.61681 28.65085 28.68303 28.71348 28.74236 28.76976 28.79581 28.82059 28.84420 28.86671
1.661991 0.728310 0.610905 0.671666 0.747664 0.816924 0.878876 0.933996 0.982387 1.024387 1.060546 1.091516 1.117952 1.140471 1.159624 1.175897 1.189710 1.201424 1.211346 1.219736 1.226817 1.232778 1.237778 1.241955 1.245424 1.248285 1.250622 1.252507 1.254003 1.255164 1.256035 1.256655 1.257060 1.257278 1.257336 1.257255 1.257055 1.256754 1.256364 1.255900 1.255373 1.254791 1.254165 1.253500 1.252804 1.252083 1.251342 1.250584
0.950795 2.495454 3.116183 3.318172 3.395816 3.437195 3.464370 3.484255 3.500493 3.515244 3.529673 3.544339 3.559467 3.575111 3.591240 3.607778 3.624634 3.641715 3.658929 3.676196 3.693443 3.710607 3.727635 3.744482 3.761111 3.777492 3.793599 3.809413 3.824920 3.840109 3.854970 3.869501 3.883696 3.897557 3.911082 3.924275 3.937139 3.949678 3.961896 3.973800 3.985395 3.996687 4.007684 4.018391 4.028817 4.038967 4.048850 4.058473
5.019838 5.276723 5.706258 6.152577 6.593017 6.989910 7.339713 7.642952 7.904941 8.131009 8.326442 8.495851 8.643222 8.771908 8.884726 8.984030 9.071788 9.149648 9.218993 9.280985 9.336604 9.386681 9.431919 9.472920 9.510196 9.544186 9.575270 9.603774 9.629980 9.654136 9.676454 9.697123 9.716306 9.734149 9.750777 9.766305 9.780831 9.794445 9.807225 9.819243 9.830561 9.841237 9.851321 9.860860 9.869895 9.878464 9.886600 9.894336
80.15242 74.27493 69.82789 66.56819 64.03282 61.97146 60.24969 58.79312 57.55181 56.48784 55.57087 54.77628 54.08403 53.47776 52.94406 52.47190 52.05218 51.67737 51.34119 51.03837 50.76452 50.51591 50.28940 50.08230 49.89233 49.71753 49.55621 49.40692 49.26839 49.13953 49.01938 48.90709 48.80193 48.70325 48.61047 48.52308 48.44063 48.36271 48.28896 48.21906 48.15271 48.08964 48.02963 47.97244 47.91790 47.86581 47.81603 47.76838
THAILAND
Lampiran 1. Uji Akar Unit
a. Harga Minyak Dunia (LOIL) Null Hypothesis: LOIL has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.423380 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9014
t-Statistic
Prob.*
-7.445609 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LOIL) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
b. Suku Bunga SBI (r) Null Hypothesis: R has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.248104 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.6532
t-Statistic
Prob.*
-6.090658 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(R) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit c. Jumlah Uang Beredar (M2 ) Null Hypothesis: LM2 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.047767 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.0015
t-Statistic
Prob.*
-4.483029 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0003
t-Statistic
Prob.*
-1.008929 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.7499
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
d. Kurs Nominal (s) Null Hypothesis: LS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-5.124221 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
e. Indeks Harga Bahan Baku Impor (PPI) Null Hypothesis: LPPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
0.032139 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9595
t-Statistic
Prob.*
-4.585497 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0002
t-Statistic
Prob.*
-0.777057 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.8228
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LPPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
f. Indeks Produksi (IPX) Null Hypothesis: LIPX has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LIPX) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-7.723437 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
g. Indeks Harga Konsumen (CPI) Null Hypothesis: LCPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.862076 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.3497
t-Statistic
Prob.*
-4.565103 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0002
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LCPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 2. Uji Lag Optimal VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 04/27/06 Time: 11:10 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 187 Lag
LogL
LR
0 1 2 3
2730.968 2848.874 2884.066 2934.173
NA 225.7234 64.73868 88.42429*
FPE
AIC
SC
5.25E-22 -29.13335 -29.01240* 2.51E-22* -29.87031* -28.90270 2.92E-22 -29.72263 -27.90837 2.90E-22 -29.73447 -27.07356
HQ -29.08434 -29.47823* -28.98749 -28.65627
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 04/29/06 Time: 10:14 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 186 Lag
LogL
LR
0 1 2 3 4
2714.812 2833.193 2868.266 2918.368 2957.298
NA 226.5785 64.48949 88.35091* 65.72177
FPE
AIC
SC
5.34E-22 -29.11626 -28.99486* 2.53E-22* -29.86229* -28.89110 2.95E-22 -29.71254 -27.89155 2.93E-22 -29.72438 -27.05360 3.30E-22 -29.61611 -26.09554
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
HQ -29.06706 -29.46873* -28.97461 -28.64208 -28.18944
Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 06/24/06 Time: 07:03 Root -0.478463 0.145421 - 0.334047i 0.145421 + 0.334047i 0.319592 0.206487 0.143651 0.090241 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.478463 0.364328 0.364328 0.319592 0.206487 0.143651 0.090241
Lampiran 4. Restriksi Sementara Structural VAR Estimates Date: 04/29/06 Time: 10:13 Sample(adjusted): 1990:05 2005:11 Included observations: 187 after adjusting endpoints Estimation method: method of scoring (analytic derivatives) Convergence achieved after 14 iterations Structural VAR is just-identified Model: Ae = Bu where E[uu']=I Restriction Type: short-run text form @e1 = C(1)*@u1 @e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2 @e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3 @e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4 @e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5 @e6 = C(16)*@e1 + C(17)*@e2 + C(18)*@e3 + C(19)*@e4 + C(20)*@e5 + C(21)*@u6 @e7 = C(22)*@e1 + C(23)*@e2 + C(24)*@e3 + C(25)*@e4 + C(26)*@e5 + C(27)*@e6 + C(28)*@u7 where @e1 represents DLOIL residuals @e2 represents DR residuals @e3 represents DLM2 residuals @e4 represents DLS residuals @e5 represents DLPPI residuals @e6 represents DLIPX residuals @e7 represents DLCPI residuals C(2) C(4) C(5) C(7) C(8) C(9) C(11) C(12) C(13) C(14) C(16) C(17) C(18) C(19) C(20) C(22) C(23) C(24) C(25) C(26) C(27) C(1) C(3) C(6)
Coefficient Std. Error
z-Statistic
Prob.
0.601850 -0.002734 0.000500 0.009807 -0.005278 -0.277126 0.008435 0.001180 -0.033831 -0.058036 -0.036579 0.003926 -0.113166 0.056794 0.162342 0.000375 -0.000166 0.016593 0.002713 0.268411 -0.016967 0.092960 0.326800 0.008690
2.341119 -0.394194 0.257298 0.353276 -0.678244 -0.947191 1.502807 0.749146 -0.570730 -3.926595 -0.953316 0.366339 -0.280697 0.543495 0.326686 0.124300 -0.197417 0.524482 0.330609 6.882662 -2.957287 19.33908 19.33908 19.33908
0.0192 0.6934 0.7969 0.7239 0.4976 0.3435 0.1329 0.4538 0.5682 0.0001 0.3404 0.7141 0.7789 0.5868 0.7439 0.9011 0.8435 0.5999 0.7409 0.0000 0.0031 0.0000 0.0000 0.0000
0.257078 0.006935 0.001945 0.027760 0.007781 0.292577 0.005613 0.001575 0.059276 0.014780 0.038370 0.010717 0.403161 0.104497 0.496936 0.003018 0.000841 0.031637 0.008205 0.038998 0.005737 0.004807 0.016898 0.000449
C(10) C(15) C(21) C(28) Log likelihood
0.034768 0.007027 0.047753 0.003746
0.001798 0.000363 0.002469 0.000194
19.33908 19.33908 19.33908 19.33908
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
2852.254
Estimated A matrix: 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -0.601850 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.002734 -0.000500 1.000000 0.000000 0.000000 -0.009807 0.005278 0.277126 1.000000 0.000000 -0.008435 -0.001180 0.033831 0.058036 1.000000 0.036579 -0.003926 0.113166 -0.056794 -0.162342 -0.000375 0.000166 -0.016593 -0.002713 -0.268411 Estimated B matrix: 0.092960 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.326800 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.008690 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.034768 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.007027 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.016967
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.047753 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.003746
Lampiran 5. Uji Kointegrasi Date: 04/27/06 Time: 11:11 Sample(adjusted): 1990:03 2005:11 Included observations: 189 after adjusting endpoints Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 ** At most 2 ** At most 3 * At most 4 At most 5 At most 6
0.279649 0.191006 0.180420 0.133432 0.072070 0.034411 0.001684
187.8018 125.8066 85.74544 48.14142 21.07387 6.936825 0.318565
124.24 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76
133.57 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 4 cointegrating equation(s) at the 5% level Trace test indicates 3 cointegrating equation(s) at the 1% level Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 * At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5 At most 6
0.279649 0.191006 0.180420 0.133432 0.072070 0.034411 0.001684
61.99520 40.06118 37.60402 27.06755 14.13705 6.618260 0.318565
45.28 39.37 33.46 27.07 20.97 14.07 3.76
51.57 45.10 38.77 32.24 25.52 18.63 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 3 cointegrating equation(s) at the 5% level Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating equation(s) at the 1% level
Lampiran 6. Impulse Response Function Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
LS
LPPI
LIPX
LCPI
0.033982 0.038830 0.035721 0.032718 0.030720 0.029345 0.028319 0.027571 0.027043 0.026685 0.026450 0.026303 0.026218 0.026174 0.026158 0.026160 0.026172 0.026191 0.026214 0.026237 0.026261 0.026285 0.026307 0.026329 0.026350 0.026370 0.026390 0.026408 0.026427 0.026444 0.026461 0.026478 0.026494 0.026511 0.026526 0.026542 0.026557 0.026572 0.026586 0.026600 0.026614 0.026628 0.026642 0.026655 0.026668 0.026681 0.026694 0.026706
-0.001945 -0.006946 -0.008966 -0.009142 -0.008975 -0.008865 -0.008795 -0.008732 -0.008675 -0.008626 -0.008585 -0.008552 -0.008526 -0.008504 -0.008487 -0.008472 -0.008460 -0.008450 -0.008440 -0.008432 -0.008424 -0.008417 -0.008410 -0.008403 -0.008396 -0.008390 -0.008384 -0.008378 -0.008371 -0.008365 -0.008360 -0.008354 -0.008348 -0.008342 -0.008337 -0.008331 -0.008326 -0.008321 -0.008316 -0.008311 -0.008306 -0.008301 -0.008296 -0.008291 -0.008287 -0.008282 -0.008278 -0.008273
0.002606 0.007434 0.005517 0.008462 0.010221 0.012033 0.013182 0.014059 0.014657 0.015077 0.015354 0.015532 0.015638 0.015697 0.015724 0.015730 0.015724 0.015710 0.015692 0.015672 0.015652 0.015632 0.015613 0.015595 0.015578 0.015561 0.015545 0.015530 0.015516 0.015502 0.015488 0.015475 0.015462 0.015449 0.015437 0.015425 0.015413 0.015401 0.015390 0.015378 0.015367 0.015356 0.015346 0.015335 0.015325 0.015315 0.015305 0.015295
-0.000572 -0.001933 -0.002651 -0.002953 -0.003189 -0.003397 -0.003572 -0.003704 -0.003803 -0.003876 -0.003931 -0.003973 -0.004007 -0.004034 -0.004058 -0.004079 -0.004098 -0.004116 -0.004134 -0.004151 -0.004168 -0.004185 -0.004202 -0.004218 -0.004234 -0.004250 -0.004266 -0.004282 -0.004297 -0.004312 -0.004327 -0.004342 -0.004356 -0.004370 -0.004384 -0.004398 -0.004411 -0.004425 -0.004438 -0.004450 -0.004463 -0.004475 -0.004487 -0.004499 -0.004511 -0.004522 -0.004533 -0.004544
Lampiran 7. Forecast Variance Error Decomposition Period
S.E.
LOIL
R
LM2
LS
LPPI
LIPX
LCPI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
0.089933 0.126541 0.146553 0.159085 0.167902 0.174560 0.180067 0.185045 0.189857 0.194678 0.199578 0.204569 0.209637 0.214758 0.219910 0.225073 0.230233 0.235379 0.240505 0.245607 0.250685 0.255736 0.260762 0.265763 0.270742 0.275698 0.280634 0.285551 0.290450 0.295331 0.300196 0.305047 0.309882 0.314704 0.319512 0.324308 0.329091 0.333863 0.338623 0.343371 0.348109 0.352835 0.357551 0.362256 0.366951 0.371636 0.376310 0.380974
0.696705 5.660742 7.214394 7.353756 7.295347 7.262007 7.312560 7.455547 7.685708 7.986407 8.337138 8.717854 9.111614 9.505337 9.889686 10.25852 10.60820 10.93697 11.24437 11.53078 11.79714 12.04469 12.27479 12.48883 12.68817 12.87409 13.04777 13.21030 13.36266 13.50572 13.64027 13.76702 13.88660 13.99958 14.10647 14.20772 14.30375 14.39492 14.48158 14.56404 14.64256 14.71740 14.78881 14.85698 14.92212 14.98440 15.04400 15.10106
0.813522 1.652954 2.554930 3.492126 4.466659 5.481859 6.526055 7.584134 8.641167 9.684452 10.70404 11.69294 12.64685 13.56369 14.44303 15.28560 16.09288 16.86670 17.60909 18.32211 19.00772 19.66777 20.30397 20.91785 21.51082 22.08412 22.63889 23.17613 23.69678 24.20165 24.69150 25.16702 25.62885 26.07757 26.51371 26.93780 27.35029 27.75162 28.14222 28.52248 28.89275 29.25341 29.60478 29.94717 30.28089 30.60624 30.92348 31.23289
0.088059 0.090950 0.370060 0.821940 1.358725 1.933239 2.472562 2.937161 3.311842 3.599310 3.810094 3.957559 4.054849 4.113574 4.143331 4.151736 4.144658 4.126525 4.100631 4.069391 4.034566 3.997425 3.958878 3.919575 3.879976 3.840408 3.801099 3.762209 3.723847 3.686089 3.648986 3.612570 3.576861 3.541870 3.507602 3.474055 3.441225 3.409106 3.377688 3.346962 3.316916 3.287538 3.258815 3.230734 3.203281 3.176443 3.150205 3.124554
2.023747 9.908110 16.41434 21.04981 24.73785 27.73510 30.13669 31.98539 33.35207 34.31710 34.95957 35.34928 35.54482 35.59358 35.53287 35.39158 35.19169 34.94976 34.67818 34.38616 34.08050 33.76624 33.44712 33.12587 32.80454 32.48465 32.16731 31.85337 31.54344 31.23799 30.93736 30.64178 30.35144 30.06644 29.78686 29.51275 29.24409 28.98089 28.72310 28.47068 28.22356 27.98169 27.74497 27.51333 27.28668 27.06492 26.84796 26.63570
15.62291 13.43575 12.25120 11.92476 11.91499 11.95179 11.94320 11.88027 11.77577 11.64598 11.50493 11.36332 11.22852 11.10514 10.99569 10.90115 10.82151 10.75611 10.70390 10.66366 10.63407 10.61388 10.60185 10.59690 10.59800 10.60427 10.61492 10.62926 10.64669 10.66670 10.68884 10.71273 10.73805 10.76450 10.79185 10.81990 10.84846 10.87739 10.90655 10.93584 10.96516 10.99443 11.02358 11.05256 11.08132 11.10981 11.13800 11.16587
5.260813 6.846135 6.072186 5.460060 4.854739 4.320358 3.849138 3.443950 3.097033 2.799950 2.544261 2.322834 2.129783 1.960357 1.810730 1.677816 1.559112 1.452578 1.356538 1.269603 1.190619 1.118616 1.052776 0.992405 0.936909 0.885778 0.838571 0.794906 0.754448 0.716904 0.682016 0.649554 0.619315 0.591117 0.564797 0.540210 0.517223 0.495716 0.475581 0.456720 0.439042 0.422465 0.406914 0.392321 0.378620 0.365754 0.353669 0.342315
75.49425 62.40536 55.12289 49.89755 45.37169 41.31565 37.75980 34.71355 32.13641 29.96680 28.13997 26.59621 25.28356 24.15833 23.18467 22.33360 21.58195 20.91136 20.30729 19.75831 19.25539 18.79138 18.36062 17.95857 17.58158 17.22669 16.89144 16.57382 16.27214 15.98495 15.71104 15.44933 15.19890 14.95893 14.72870 14.50757 14.29497 14.09036 13.89328 13.70329 13.52001 13.34307 13.17213 13.00690 12.84709 12.69243 12.54268 12.39761
FILIPINA
Lampiran 1. Uji Akar Unit
a. Harga Minyak Dunia (LOIL) Null Hypothesis: LOIL has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.423380 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9014
t-Statistic
Prob.*
-7.445609 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-1.956390 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.3060
t-Statistic
Prob.*
-7.093533 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LOIL) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
b. Suku Bunga (r) Null Hypothesis: R has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(R) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit c. Jumlah Uang Beredar (M2 ) Null Hypothesis: LM2 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.310802 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.6244
t-Statistic
Prob.*
-8.346384 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-0.943800 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.7724
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
d. Kurs Nominal (s) Null Hypothesis: LS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-5.188908 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
e. Indeks Harga Bahan Baku Impor (PPI) Null Hypothesis: LPPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
0.613687 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9898
t-Statistic
Prob.*
-5.410685 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-1.456084 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.5537
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LPPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
f. Indeks Produksi (IPX) Null Hypothesis: LIPX has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LIPX) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-7.577502 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
g. Indeks Harga Konsumen (CPI)
Null Hypothesis: LCPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.215081 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.0207
t-Statistic
Prob.*
-4.063722 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0014
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LCPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 2. Uji Lag Optimal VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 04/27/06 Time: 11:28 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 187 Lag
LogL
LR
0 1 2 3
2126.405 2210.239 2259.681 2294.945
NA 160.4940 90.95260* 62.22997
FPE
AIC
SC
3.38E-19 -22.66743 -22.54648* 2.33E-19 -23.03999 -22.07238 2.32E-19* -23.04472* -21.23046 2.70E-19 -22.89780 -20.23689
HQ -22.61843 -22.64791* -22.30958 -21.81960
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 05/23/06 Time: 10:27 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 186 Lag
LogL
LR
FPE
0 1 2 3 4
2114.162 2197.213 2246.018 2281.440 2317.927
NA 158.9589 89.73797* 62.46502 61.59542
3.41E-19 2.36E-19* 2.37E-19 2.76E-19 3.19E-19
AIC
SC
HQ
-22.65765 -22.53625* -22.60846 -23.02380* -22.05261 -22.63023* -23.02170 -21.20071 -22.28377 -22.87570 -20.20492 -21.79340 -22.74115 -19.22058 -21.31448
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 06/24/06 Time: 07:08 Root 0.364762 -0.329598 0.092787 - 0.211028i 0.092787 + 0.211028i -0.132787 0.084464 -0.022134 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.364762 0.329598 0.230526 0.230526 0.132787 0.084464 0.022134
Lampiran 4. Restriksi Sementara Structural VAR Estimates Date: 05/23/06 Time: 10:29 Sample(adjusted): 1990:03 2005:11 Included observations: 189 after adjusting endpoints Estimation method: method of scoring (analytic derivatives) Convergence achieved after 14 iterations Structural VAR is just-identified Model: Ae = Bu where E[uu']=I Restriction Type: short-run text form @e1 = C(1)*@u1 @e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2 @e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3 @e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4 @e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5 @e6 = C(16)*@e1 + C(17)*@e2 + C(18)*@e3 + C(19)*@e4 + C(20)*@e5 + C(21)*@u6 @e7 = C(22)*@e1 + C(23)*@e2 + C(24)*@e3 + C(25)*@e4 + C(26)*@e5 + C(27)*@e6 + C(28)*@u7 where @e1 represents DLOIL residuals @e2 represents DR residuals @e3 represents DLM2 residuals @e4 represents DLS residuals @e5 represents DLPPI residuals @e6 represents DLIPX residuals @e7 represents DLCPI residuals C(2) C(4) C(5) C(7) C(8) C(9) C(11) C(12) C(13) C(14) C(16) C(17) C(18) C(19) C(20) C(22) C(23) C(24) C(25) C(26) C(27) C(1) C(3) C(6) C(10)
Coefficient Std. Error z-Statistic
Prob.
1.396195 -0.007376 0.001408 -0.019273 -0.001819 -0.007484 0.007153 0.001071 -0.007346 -0.087709 -0.030724 0.002313 -0.137868 0.188116 -0.023770 -0.008823 -0.000150 -0.019049 -0.010856 -0.015072 0.005391 0.090559 1.129948 0.040359 0.028520
0.1240 0.8211 0.5879 0.4032 0.3222 0.8842 0.4690 0.1741 0.7383 0.0048 0.4713 0.4980 0.1459 0.1695 0.9396 0.0535 0.6810 0.0619 0.4609 0.6534 0.4885 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.907605 0.032620 0.002598 0.023054 0.001837 0.051402 0.009877 0.000788 0.021983 0.031107 0.042648 0.003413 0.094816 0.136919 0.313642 0.004570 0.000366 0.010202 0.014724 0.033562 0.007783 0.004658 0.058118 0.002076 0.001467
1.538330 -0.226135 0.541865 -0.835963 -0.990009 -0.145603 0.724146 1.359160 -0.334167 -2.819614 -0.720390 0.677567 -1.454056 1.373915 -0.075788 -1.930791 -0.411147 -1.867093 -0.737310 -0.449080 0.692662 19.44222 19.44222 19.44222 19.44222
C(15) C(21) C(28) Log likelihood
0.012197 0.000627 19.44222 0.052590 0.002705 19.44222 0.005627 0.000289 19.44222
0.0000 0.0000 0.0000
2201.101
Estimated A matrix: 1.000000 0.000000 -1.396195 1.000000 0.007376 -0.001408 0.019273 0.001819 -0.007153 -0.001071 0.030724 -0.002313 0.008823 0.000150 Estimated B matrix: 0.090559 0.000000 0.000000 1.129948 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 1.000000 0.007484 0.007346 0.137868 0.019049
0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.087709 -0.188116 0.010856
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.023770 0.015072
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 -0.005391
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000
0.000000 0.000000 0.040359 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.028520 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.012197 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.052590 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.005627
Lampiran 5. Uji Kointegrasi Date: 05/23/06 Time: 10:28 Sample(adjusted): 1990:03 2005:11 Included observations: 189 after adjusting endpoints Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 ** At most 2 ** At most 3 * At most 4 At most 5 At most 6
0.275870 0.193997 0.168356 0.145671 0.078925 0.030059 0.000117
187.6943 126.6882 85.92706 51.08481 21.32894 5.790508 0.022159
124.24 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76
133.57 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 4 cointegrating equation(s) at the 5% level Trace test indicates 3 cointegrating equation(s) at the 1% level Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 * At most 2 * At most 3 * At most 4 At most 5 At most 6
0.275870 0.193997 0.168356 0.145671 0.078925 0.030059 0.000117
61.00611 40.76113 34.84226 29.75587 15.53843 5.768350 0.022159
45.28 39.37 33.46 27.07 20.97 14.07 3.76
51.57 45.10 38.77 32.24 25.52 18.63 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 4 cointegrating equation(s) at the 5% level Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating equation(s) at the 1% level
Lampiran 6. Impulse Response Function Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
LS
LPPI
LIPX
LCPI
0.027976 0.028629 0.029085 0.029723 0.030354 0.030816 0.031170 0.031401 0.031534 0.031588 0.031581 0.031528 0.031441 0.031332 0.031210 0.031081 0.030951 0.030825 0.030704 0.030592 0.030490 0.030398 0.030317 0.030246 0.030185 0.030133 0.030090 0.030054 0.030026 0.030004 0.029987 0.029974 0.029965 0.029959 0.029956 0.029954 0.029955 0.029956 0.029958 0.029961 0.029964 0.029967 0.029970 0.029973 0.029976 0.029979 0.029982 0.029984
-0.001648 -0.004130 -0.005141 -0.005859 -0.006472 -0.006908 -0.007228 -0.007467 -0.007641 -0.007765 -0.007849 -0.007903 -0.007932 -0.007944 -0.007941 -0.007928 -0.007907 -0.007882 -0.007854 -0.007824 -0.007795 -0.007765 -0.007738 -0.007712 -0.007688 -0.007667 -0.007648 -0.007632 -0.007617 -0.007605 -0.007595 -0.007587 -0.007580 -0.007575 -0.007571 -0.007568 -0.007566 -0.007564 -0.007563 -0.007563 -0.007563 -0.007563 -0.007564 -0.007564 -0.007565 -0.007566 -0.007566 -0.007567
0.005139 -0.002763 0.000239 0.001125 0.002765 0.003612 0.004393 0.004967 0.005399 0.005686 0.005861 0.005945 0.005962 0.005930 0.005866 0.005781 0.005683 0.005581 0.005478 0.005378 0.005285 0.005199 0.005121 0.005051 0.004990 0.004938 0.004893 0.004856 0.004825 0.004800 0.004780 0.004764 0.004753 0.004744 0.004739 0.004735 0.004734 0.004733 0.004734 0.004736 0.004738 0.004740 0.004743 0.004745 0.004748 0.004750 0.004753 0.004755
-2.72E-05 -0.000440 -0.000744 -0.001154 -0.001619 -0.002029 -0.002379 -0.002676 -0.002928 -0.003139 -0.003315 -0.003459 -0.003575 -0.003667 -0.003738 -0.003792 -0.003830 -0.003856 -0.003872 -0.003881 -0.003882 -0.003879 -0.003873 -0.003864 -0.003853 -0.003841 -0.003830 -0.003818 -0.003807 -0.003796 -0.003786 -0.003777 -0.003769 -0.003762 -0.003756 -0.003751 -0.003747 -0.003743 -0.003740 -0.003738 -0.003736 -0.003735 -0.003734 -0.003733 -0.003733 -0.003732 -0.003732 -0.003732
Cholesky Ordering: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI
Lampiran 7. Forecast Variance Error Decomposition Period
S.E.
LOIL
R
LM2
LS
LPPI
LIPX
LCPI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
0.087142 0.125544 0.147684 0.163057 0.175047 0.184871 0.193212 0.200547 0.207204 0.213400 0.219275 0.224915 0.230377 0.235694 0.240889 0.245974 0.250960 0.255853 0.260658 0.265378 0.270017 0.274578 0.279065 0.283479 0.287824 0.292102 0.296316 0.300469 0.304562 0.308600 0.312583 0.316514 0.320395 0.324228 0.328015 0.331758 0.335458 0.339116 0.342735 0.346316 0.349859 0.353367 0.356840 0.360279 0.363686 0.367061 0.370405 0.373719
1.558898 1.637768 1.249525 0.866374 0.760244 0.939741 1.335819 1.873324 2.488955 3.134901 3.777667 4.395456 4.975291 5.510473 5.998560 6.439875 6.836439 7.191241 7.507744 7.789565 8.040270 8.263256 8.461681 8.638430 8.796111 8.937056 9.063336 9.176782 9.279004 9.371412 9.455237 9.531554 9.601296 9.665273 9.724186 9.778645 9.829173 9.876226 9.920193 9.961415 10.00018 10.03675 10.07132 10.10411 10.13526 10.16491 10.19320 10.22023
0.072110 0.747347 2.545401 4.812398 7.033491 9.011899 10.70816 12.12513 13.28202 14.20558 14.92638 15.47558 15.88268 16.17423 16.37329 16.49939 16.56874 16.59462 16.58776 16.55672 16.50829 16.44781 16.37941 16.30628 16.23085 16.15492 16.07985 16.00660 15.93583 15.86799 15.80336 15.74206 15.68415 15.62957 15.57824 15.53003 15.48479 15.44234 15.40252 15.36514 15.33003 15.29702 15.26594 15.23665 15.20899 15.18283 15.15805 15.13455
1.497795 1.091929 1.249077 1.454706 1.691829 2.020043 2.455897 2.994633 3.616510 4.298281 5.017431 5.754343 6.492893 7.220446 7.927527 8.607358 9.255378 9.868796 10.44620 10.98722 11.49229 11.96241 12.39898 12.80367 13.17832 13.52486 13.84525 14.14141 14.41524 14.66854 14.90302 15.12029 15.32186 15.50913 15.68337 15.84578 15.99741 16.13926 16.27222 16.39708 16.51457 16.62534 16.72999 16.82903 16.92294 17.01214 17.09701 17.17790
0.002410 0.253068 0.582968 1.123833 1.895603 2.780369 3.690949 4.575189 5.405910 6.169853 6.862422 7.484200 8.038792 8.531381 8.967803 9.353980 9.695595 9.997924 10.26575 10.50337 10.71458 10.90272 11.07072 11.22113 11.35618 11.47780 11.58767 11.68725 11.77780 11.86041 11.93603 12.00550 12.06952 12.12871 12.18363 12.23473 12.28242 12.32706 12.36896 12.40839 12.44558 12.48074 12.51406 12.54569 12.57576 12.60442 12.63176 12.65787
0.953034 0.763555 0.919787 1.198560 1.572162 2.009119 2.477741 2.955206 3.426352 3.881387 4.314308 4.721787 5.102343 5.455742 5.782562 6.083887 6.361093 6.615715 6.849342 7.063563 7.259926 7.439910 7.604914 7.756250 7.895137 8.022702 8.139985 8.247938 8.347433 8.439266 8.524158 8.602767 8.675688 8.743458 8.806562 8.865439 8.920482 8.972046 9.020447 9.065971 9.108874 9.149384 9.187706 9.224025 9.258503 9.291289 9.322513 9.352295
1.059478 2.180031 2.968929 3.866486 4.657191 5.286148 5.744973 6.061622 6.267576 6.391168 6.455000 6.476422 6.468398 6.440472 6.399590 6.350758 6.297555 6.242510 6.187384 6.133380 6.081295 6.031629 5.984671 5.940556 5.899312 5.860891 5.825196 5.792094 5.761434 5.733055 5.706792 5.682480 5.659961 5.639083 5.619704 5.601689 5.584915 5.569267 5.554643 5.540946 5.528092 5.516003 5.504609 5.493848 5.483663 5.474004 5.464828 5.456094
94.85627 93.32630 90.48431 86.67764 82.38948 77.95268 73.58646 69.41490 65.51267 61.91883 58.64679 55.69221 53.03960 50.66725 48.55067 46.66475 44.98520 43.48919 42.15582 40.96618 39.90334 38.95226 38.09963 37.33368 36.64409 36.02176 35.45871 34.94793 34.48326 34.05933 33.67141 33.31535 32.98753 32.68477 32.40431 32.14369 31.90081 31.67380 31.46102 31.26106 31.07267 30.89476 30.72637 30.56666 30.41489 30.27041 30.13263 30.00107
SINGAPURA
Lampiran 1. Uji Akar Unit
a. Harga Minyak Dunia (LOIL) Null Hypothesis: LOIL has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.423380 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9014
t-Statistic
Prob.*
-7.445609 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LOIL) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
b. Suku Bunga SBI (r) Null Hypothesis: R has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.446590 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.0106
t-Statistic
Prob.*
-8.506907 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(R) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
c. Jumlah Uang Beredar (M2 ) Null Hypothesis: LM2 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.834918 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.3627
t-Statistic
Prob.*
-5.863608 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-1.634236 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.4631
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
d. Kurs Nominal (s) Null Hypothesis: LS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-6.708218 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
e. Indeks Harga Bahan Baku Impor (PPI) Null Hypothesis: LPPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.248220 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9286
t-Statistic
Prob.*
-5.836027 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-0.879490 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.7930
t-Statistic
Prob.*
-7.799387 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LPPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
f. Indeks Produksi (IPX) Null Hypothesis: LIPX has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LIPX) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
g. Indeks Harga Konsumen (CPI)
Null Hypothesis: LCPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.907393 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.0024
t-Statistic
Prob.*
-4.752283 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LCPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 2. Uji Lag Optimal VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 04/29/06 Time: 08:27 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 187 Lag
LogL
LR
FPE
0 1 2 3
2549.281 2638.290 2717.889 2748.374
NA 170.4040 146.4270* 53.79686
3.67E-21 2.39E-21 1.73E-21* 2.12E-21
AIC
SC
HQ
-27.19017 -27.06922* -27.14116 -27.61808 -26.65048 -27.22601* -27.94534* -26.13108 -27.21020 -27.74731 -25.08640 -26.66911
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 04/29/06 Time: 08:28 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 186 Lag
LogL
LR
FPE
0 1 2 3 4
2534.382 2623.064 2703.032 2733.966 2767.984
NA 169.7356 147.0381* 54.55020 57.42730
3.72E-21 2.43E-21 1.74E-21* 2.13E-21 2.53E-21
AIC
SC
HQ
-27.17615 -27.05475* -27.12696 -27.60284 -26.63165 -27.20928* -27.93583* -26.11485 -27.19790 -27.74157 -25.07079 -26.65927 -27.58047 -24.05990 -26.15380
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Date: 06/24/06 Time: 07:19 Root -0.371047 - 0.662249i -0.371047 + 0.662249i 0.324882 + 0.389468i 0.324882 - 0.389468i -0.358964 - 0.235757i -0.358964 + 0.235757i -0.005997 + 0.408703i -0.005997 - 0.408703i 0.259172 + 0.234426i 0.259172 - 0.234426i -0.248935 + 0.192400i -0.248935 - 0.192400i 0.163589 + 0.192456i 0.163589 - 0.192456i No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.759111 0.759111 0.507182 0.507182 0.429461 0.429461 0.408747 0.408747 0.349465 0.349465 0.314621 0.314621 0.252588 0.252588
Lampiran 4. Restriksi Sementara Structural VAR Estimates Date: 05/23/06 Time: 10:51 Sample(adjusted): 1990:04 2005:11 Included observations: 188 after adjusting endpoints Estimation method: method of scoring (analytic derivatives) Convergence achieved after 13 iterations Structural VAR is just-identified Model: Ae = Bu where E[uu']=I Restriction Type: short-run text form @e1 = C(1)*@u1 @e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2 @e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3 @e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4 @e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5 @e6 = C(16)*@e1 + C(17)*@e2 + C(18)*@e3 + C(19)*@e4 + C(20)*@e5 + C(21)*@u6 @e7 = C(22)*@e1 + C(23)*@e2 + C(24)*@e3 + C(25)*@e4 + C(26)*@e5 + C(27)*@e6 + C(28)*@u7 where @e1 represents DLOIL residuals @e2 represents DR residuals @e3 represents DLM2 residuals @e4 represents DLS residuals @e5 represents DLPPI residuals @e6 represents DLIPX residuals @e7 represents DLCPI residuals
C(2) C(4) C(5) C(7) C(8) C(9) C(11) C(12) C(13) C(14) C(16) C(17) C(18) C(19) C(20) C(22) C(23) C(24) C(25) C(26)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
0.653861 -0.017370 -0.002542 0.022409 -0.005054 -0.045039 0.044078 -0.000902 0.064929 -0.122857 0.133437 0.022579 0.962389 0.150739 -0.929975 0.001925 0.000252 0.021987 0.008810 0.010771
0.444545 0.011507 0.001877 0.011552 0.001882 0.072779 0.010282 0.001690 0.064202 0.064272 0.066479 0.010438 0.397278 0.400469 0.450078 0.002548 0.000401 0.015297 0.015190 0.017258
1.470854 -1.509554 -1.354042 1.939810 -2.684897 -0.618849 4.287053 -0.533385 1.011322 -1.911516 2.007214 2.163040 2.422457 0.376407 -2.066256 0.755572 0.629823 1.437384 0.579973 0.624121
0.1413 0.1312 0.1757 0.0524 0.0073 0.5360 0.0000 0.5938 0.3119 0.0559 0.0447 0.0305 0.0154 0.7066 0.0388 0.4499 0.5288 0.1506 0.5619 0.5325
C(27) C(1) C(3) C(6) C(10) C(15) C(21) C(28) Log likelihood
-0.008275 0.091896 0.560136 0.014416 0.014386 0.012678 0.078235 0.002966
0.002765 0.004739 0.028887 0.000743 0.000742 0.000654 0.004035 0.000153
-2.992372 19.39072 19.39072 19.39072 19.39072 19.39072 19.39072 19.39072
0.0028 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.000000 0.000000 1.000000 0.045039 -0.064929 -0.962389 -0.021987
0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.122857 -0.150739 -0.008810
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.929975 -0.010771
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.008275
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000
0.000000 0.000000 0.014416 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.014386 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.012678 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.078235 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.002966
2679.249
Estimated A matrix: 1.000000 0.000000 -0.653861 1.000000 0.017370 0.002542 -0.022409 0.005054 -0.044078 0.000902 -0.133437 -0.022579 -0.001925 -0.000252 Estimated B matrix: 0.091896 0.000000 0.000000 0.560136 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
Lampiran 5. Uji Kointegrasi Date: 05/23/06 Time: 10:54 Sample(adjusted): 1990:04 2005:11 Included observations: 188 after adjusting endpoints Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 ** At most 2 ** At most 3 * At most 4 At most 5 At most 6
0.230496 0.167677 0.162957 0.107634 0.099897 0.032390 0.006786
165.8691 116.6115 82.10704 48.66563 27.25629 7.470088 1.280031
124.24 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76
133.57 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 4 cointegrating equation(s) at the 5% level Trace test indicates 3 cointegrating equation(s) at the 1% level Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None * At most 1 At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6
0.230496 0.167677 0.162957 0.107634 0.099897 0.032390 0.006786
49.25763 34.50445 33.44142 21.40934 19.78620 6.190056 1.280031
45.28 39.37 33.46 27.07 20.97 14.07 3.76
51.57 45.10 38.77 32.24 25.52 18.63 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating equation(s) at the 5% level Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 1% level
Lampiran 6. Impulse Response Function Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
LS
LPPI
LIPX
LCPI
0.014009 0.015181 0.014087 0.013533 0.012930 0.012494 0.012310 0.012255 0.012182 0.012134 0.012141 0.012162 0.012204 0.012269 0.012339 0.012414 0.012497 0.012579 0.012660 0.012741 0.012817 0.012889 0.012955 0.013016 0.013070 0.013117 0.013158 0.013193 0.013221 0.013244 0.013261 0.013272 0.013280 0.013283 0.013282 0.013279 0.013273 0.013265 0.013255 0.013244 0.013232 0.013219 0.013206 0.013193 0.013180 0.013168 0.013156 0.013145
-0.001935 -0.003174 -0.002400 -0.001842 -0.001686 -0.001516 -0.001190 -0.000785 -0.000474 -0.000197 9.66E-05 0.000351 0.000583 0.000807 0.000999 0.001166 0.001316 0.001440 0.001541 0.001625 0.001688 0.001734 0.001765 0.001782 0.001788 0.001783 0.001769 0.001749 0.001723 0.001694 0.001661 0.001627 0.001592 0.001557 0.001523 0.001490 0.001460 0.001431 0.001405 0.001382 0.001361 0.001343 0.001328 0.001315 0.001305 0.001298 0.001292 0.001288
0.005984 0.005720 0.002235 0.002267 0.002168 0.003973 0.003642 0.002810 0.003373 0.002881 0.002063 0.001877 0.001259 0.000488 -1.59E-06 -0.000661 -0.001368 -0.001924 -0.002521 -0.003108 -0.003595 -0.004067 -0.004502 -0.004862 -0.005185 -0.005466 -0.005689 -0.005873 -0.006019 -0.006122 -0.006194 -0.006236 -0.006250 -0.006242 -0.006215 -0.006172 -0.006116 -0.006052 -0.005980 -0.005904 -0.005826 -0.005748 -0.005671 -0.005597 -0.005527 -0.005461 -0.005401 -0.005346
-3.31E-05 -0.000121 -1.06E-05 0.000292 0.000484 0.000542 0.000654 0.000786 0.000879 0.000967 0.001050 0.001115 0.001172 0.001221 0.001257 0.001285 0.001306 0.001318 0.001323 0.001323 0.001318 0.001309 0.001296 0.001281 0.001263 0.001245 0.001226 0.001206 0.001186 0.001167 0.001149 0.001132 0.001116 0.001101 0.001087 0.001075 0.001064 0.001055 0.001047 0.001040 0.001035 0.001030 0.001027 0.001024 0.001023 0.001022 0.001021 0.001021
Cholesky Ordering: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI
Lampiran 7. Forecast Variance Error Decomposition Period
S.E.
LOIL
R
LM2
LS
LPPI
LIPX
LCPI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
0.088773 0.126128 0.149583 0.167220 0.181007 0.193285 0.205398 0.217369 0.228904 0.240086 0.250897 0.261286 0.271310 0.280982 0.290309 0.299322 0.308038 0.316480 0.324667 0.332614 0.340340 0.347856 0.355171 0.362297 0.369240 0.376006 0.382600 0.389028 0.395295 0.401406 0.407365 0.413178 0.418852 0.424392 0.429804 0.435096 0.440273 0.445344 0.450314 0.455191 0.459980 0.464688 0.469321 0.473885 0.478383 0.482822 0.487205 0.491536
0.167447 1.133945 9.209387 10.51796 11.36364 12.41922 12.93276 13.43503 13.84588 14.09177 14.27582 14.39014 14.42606 14.41987 14.38138 14.31081 14.22209 14.12209 14.01196 13.89745 13.78206 13.66653 13.55325 13.44379 13.33846 13.23820 13.14361 13.05470 12.97174 12.89482 12.82377 12.75847 12.69874 12.64428 12.59479 12.54993 12.50933 12.47261 12.43941 12.40933 12.38201 12.35709 12.33424 12.31314 12.29350 12.27506 12.25759 12.24087
0.005367 1.468934 1.075489 1.384642 1.722151 1.534174 1.382740 1.231661 1.112494 1.025827 0.958345 0.916378 0.885731 0.861175 0.844696 0.829339 0.813110 0.796901 0.778508 0.757629 0.735020 0.710489 0.684415 0.657489 0.630091 0.602684 0.575754 0.549647 0.524650 0.500993 0.478826 0.458231 0.439238 0.421834 0.405967 0.391558 0.378514 0.366728 0.356090 0.346488 0.337816 0.329972 0.322862 0.316402 0.310515 0.305134 0.300201 0.295665
1.468235 3.584070 5.571678 6.053708 6.562600 7.267810 7.689294 7.991109 8.291328 8.487403 8.618904 8.731477 8.794734 8.818016 8.819562 8.790451 8.734164 8.659066 8.563385 8.449270 8.321094 8.179450 8.026158 7.863938 7.694062 7.518123 7.338005 7.154981 6.970325 6.785344 6.601031 6.418285 6.237939 6.060638 5.886921 5.717246 5.551947 5.391277 5.235421 5.084486 4.938527 4.797552 4.661526 4.530383 4.404029 4.282353 4.165226 4.052507
0.014064 0.124120 0.089933 0.471423 1.306473 2.096325 3.120597 4.396440 5.760865 7.229748 8.732361 10.21368 11.67500 13.06387 14.35798 15.55741 16.63779 17.59483 18.43295 19.14688 19.74166 20.22541 20.60243 20.88159 21.07251 21.18303 21.22252 21.20016 21.12392 21.00193 20.84171 20.64981 20.43241 20.19498 19.94225 19.67843 19.40712 19.13138 18.85380 18.57654 18.30135 18.02965 17.76258 17.50099 17.24555 16.99670 16.75475 16.51987
0.247796 2.551365 1.888304 1.549933 1.301733 1.135900 1.012857 0.900421 0.807232 0.739745 0.699130 0.683451 0.712899 0.792577 0.920894 1.114227 1.375534 1.702082 2.100965 2.570060 3.103709 3.700805 4.354968 5.058181 5.804620 6.586081 7.394082 8.221557 9.060846 9.904784 10.74738 11.58292 12.40648 13.21409 14.00237 14.76862 15.51093 16.22785 16.91851 17.58249 18.21973 18.83051 19.41536 19.97501 20.51034 21.02234 21.51209 21.98069
3.122534 4.385462 4.239677 3.753461 5.037325 6.182567 6.829323 8.077505 9.310097 10.30440 11.47783 12.60670 13.60298 14.62542 15.59670 16.48594 17.35517 18.17980 18.94977 19.69036 20.39478 21.06043 21.69838 22.30758 22.88808 23.44524 23.97976 24.49254 24.98650 25.46273 25.92222 26.36673 26.79720 27.21447 27.61959 28.01323 28.39595 28.76834 29.13081 29.48367 29.82722 30.16169 30.48721 30.80393 31.11195 31.41136 31.70222 31.98462
94.97456 86.75210 77.92553 76.26888 72.70608 69.36400 67.03243 63.96784 60.87210 58.12111 55.23761 52.45818 49.90259 47.41907 45.07879 42.91183 40.86214 38.94524 37.16247 35.48835 33.92168 32.45688 31.08039 29.78742 28.57218 27.42665 26.34627 25.32642 24.36202 23.44940 22.58507 21.76555 20.98799 20.24970 19.54811 18.88099 18.24622 17.64181 17.06596 16.51700 15.99334 15.49354 15.01623 14.56015 14.12412 13.70706 13.30793 12.92578
JEPANG
Lampiran 1. Uji Akar Unit
a. Harga Minyak Dunia (LOIL) Null Hypothesis: LOIL has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.423380 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9014
t-Statistic
Prob.*
-7.445609 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LOIL) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
b. Government Bonds (r) Null Hypothesis: R has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.074172 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.2555
t-Statistic
Prob.*
-6.414390 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(R) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
c. Jumlah Uang Beredar (M2 ) Null Hypothesis: LM2 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.621247 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.8617
t-Statistic
Prob.*
-6.754402 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-2.929662 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.0439
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
d. Kurs Nominal (s) Null Hypothesis: LS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-7.120425 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
e. Indeks Harga Bahan Baku Impor (PPI) Null Hypothesis: LPPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
0.410875 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9830
t-Statistic
Prob.*
-5.138668 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-2.640441 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.0867
t-Statistic
Prob.*
-4.068738 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0014
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LPPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
f. Indeks Produksi (IPX) Null Hypothesis: LIPX has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LIPX) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
g. Indeks Harga Konsumen (CPI) Null Hypothesis: LCPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.705638 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.0001
t-Statistic
Prob.*
-6.233753 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LCPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 2. Uji Lag Optimal VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 04/29/06 Time: 09:04 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 187 Lag
LogL
LR
FPE
0 1 2 3
3336.392 3429.168 3503.631 3557.389
NA 177.6152 136.9788 94.86685*
8.09E-25 5.07E-25 3.87E-25 3.70E-25*
AIC
SC
HQ
-35.60847 -35.48752* -35.55946 -36.07667 -35.10906 -35.68459* -36.34899 -34.53473 -35.61385 -36.39988* -33.73896 -35.32167
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 04/29/06 Time: 09:04 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 186 Lag
LogL
LR
FPE
0 1 2 3 4
3318.928 3410.779 3485.505 3538.965 3584.005
NA 175.8022 137.3981 94.27385 76.03617*
8.06E-25 5.09E-25 3.87E-25 3.71E-25* 3.91E-25
AIC
SC
HQ
-35.61213 -35.49073* -35.56293 -36.07290 -35.10170 -35.67933* -36.34951 -34.52853 -35.61158 -36.39747* -33.72669 -35.31517 -36.35490 -32.83432 -34.92823
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Lag specification: 1 3 Date: 06/24/06 Time: 07:21 Root 0.375623 + 0.714724i 0.375623 - 0.714724i -0.047260 + 0.756146i -0.047260 - 0.756146i -0.267222 + 0.612048i -0.267222 - 0.612048i 0.434858 + 0.466561i 0.434858 - 0.466561i -0.602314 + 0.009519i -0.602314 - 0.009519i 0.569199 -0.458031 - 0.328513i -0.458031 + 0.328513i -0.266155 - 0.460598i -0.266155 + 0.460598i 0.471255 -0.044466 + 0.426675i -0.044466 - 0.426675i 0.382888 - 0.071143i 0.382888 + 0.071143i -0.311686 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.807417 0.807417 0.757622 0.757622 0.667840 0.667840 0.637793 0.637793 0.602389 0.602389 0.569199 0.563661 0.563661 0.531967 0.531967 0.471255 0.428986 0.428986 0.389441 0.389441 0.311686
Lampiran 4. Restriksi Sementara Structural VAR Estimates Date: 04/30/06 Time: 08:47 Sample(adjusted): 1990:05 2005:11 Included observations: 187 after adjusting endpoints Estimation method: method of scoring (analytic derivatives) Convergence achieved after 13 iterations Structural VAR is just-identified Model: Ae = Bu where E[uu']=I Restriction Type: short-run text form @e1 = C(1)*@u1 @e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2 @e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3 @e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4 @e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5 @e6 = C(16)*@e1 + C(17)*@e2 + C(18)*@e3 + C(19)*@e4 + C(20)*@e5 + C(21)*@u6 @e7 = C(22)*@e1 + C(23)*@e2 + C(24)*@e3 + C(25)*@e4 + C(26)*@e5 + C(27)*@e6 + C(28)*@u7 where @e1 represents DLOIL residuals @e2 represents DR residuals @e3 represents DLM2 residuals @e4 represents DLS residuals @e5 represents DLPPI residuals @e6 represents DLIPX residuals @e7 represents DLCPI residuals
C(2) C(4) C(5) C(7) C(8) C(9) C(11) C(12) C(13) C(14) C(16) C(17) C(18) C(19) C(20) C(22) C(23) C(24)
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
0.615086 0.000249 0.002858 0.034045 0.006849 -0.227816 -0.001776 0.000352 -0.069242 -0.004398 0.007496 -0.005161 0.010948 0.047768 -0.626507 0.002094 -0.000953 0.023096
0.183253 0.004773 0.001850 0.026117 0.010186 0.400107 0.002612 0.001015 0.039875 0.007282 0.010817 0.004201 0.166237 0.030144 0.302431 0.002374 0.000924 0.036434
3.356493 0.052256 1.544682 1.303545 0.672444 -0.569388 -0.679994 0.347069 -1.736467 -0.604018 0.692917 -1.228590 0.065860 1.584644 -2.071569 0.882092 -1.030957 0.633918
0.0008 0.9583 0.1224 0.1924 0.5013 0.5691 0.4965 0.7285 0.0825 0.5458 0.4884 0.2192 0.9475 0.1130 0.0383 0.3777 0.3026 0.5261
C(25) C(26) C(27) C(1) C(3) C(6) C(10) C(15) C(21) C(28) Log likelihood
0.014192 0.316962 -0.038669 0.090154 0.225921 0.005715 0.031270 0.003114 0.012877 0.002822
0.006651 0.067040 0.016027 0.004662 0.011682 0.000296 0.001617 0.000161 0.000666 0.000146
2.133809 4.727985 -2.412695 19.33908 19.33908 19.33908 19.33908 19.33908 19.33908 19.33908
0.0329 0.0000 0.0158 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.000000 0.000000 1.000000 0.227816 0.069242 -0.010948 -0.023096
0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.004398 -0.047768 -0.014192
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.626507 -0.316962
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.038669
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000
0.000000 0.000000 0.005715 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.031270 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.003114 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.012877 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.002822
3475.469
Estimated A matrix: 1.000000 0.000000 -0.615086 1.000000 -0.000249 -0.002858 -0.034045 -0.006849 0.001776 -0.000352 -0.007496 0.005161 -0.002094 0.000953 Estimated B matrix: 0.090154 0.000000 0.000000 0.225921 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
Lampiran 5. Uji Kointegrasi Date: 05/23/06 Time: 11:21 Sample(adjusted): 1990:05 2005:11 Included observations: 187 after adjusting endpoints Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI Lags interval (in first differences): 1 to 3 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 ** At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 *
0.275916 0.192529 0.134794 0.096087 0.084388 0.036506 0.020842
173.7079 113.3353 73.34581 46.27057 27.37933 10.89299 3.938584
124.24 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76
133.57 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 3 cointegrating equation(s) at the 5% level Trace test indicates 2 cointegrating equation(s) at the 1% level Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6 *
0.275916 0.192529 0.134794 0.096087 0.084388 0.036506 0.020842
60.37260 39.98954 27.07524 18.89124 16.48634 6.954409 3.938584
45.28 39.37 33.46 27.07 20.97 14.07 3.76
51.57 45.10 38.77 32.24 25.52 18.63 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating equation(s) at the 5% level Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating equation(s) at the 1% level
Lampiran 6. Impulse Response Function Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
LS
LPPI
LIPX
LCPI
0.030111 0.028060 0.029372 0.030041 0.028189 0.025677 0.024371 0.022308 0.021026 0.019379 0.018066 0.016991 0.016125 0.015402 0.014918 0.014481 0.014108 0.013829 0.013626 0.013463 0.013328 0.013213 0.013116 0.013038 0.012981 0.012939 0.012902 0.012868 0.012840 0.012819 0.012805 0.012795 0.012785 0.012777 0.012770 0.012766 0.012763 0.012762 0.012760 0.012759 0.012758 0.012758 0.012759 0.012759 0.012760 0.012760 0.012761 0.012762
-9.91E-05 -0.000575 -0.000436 -0.000501 -0.000693 -0.000738 -0.000768 -0.000849 -0.000857 -0.000874 -0.000921 -0.000946 -0.000950 -0.000959 -0.000970 -0.000980 -0.000989 -0.000996 -0.000998 -0.000997 -0.000997 -0.001000 -0.001002 -0.001002 -0.001001 -0.000999 -0.000998 -0.000998 -0.000998 -0.000997 -0.000996 -0.000995 -0.000994 -0.000993 -0.000992 -0.000991 -0.000990 -0.000989 -0.000989 -0.000988 -0.000987 -0.000986 -0.000986 -0.000985 -0.000984 -0.000984 -0.000983 -0.000983
0.001146 0.002388 0.000420 0.001784 0.001295 0.001462 0.001508 0.001369 0.001398 0.001367 0.001289 0.001347 0.001310 0.001295 0.001303 0.001310 0.001305 0.001308 0.001306 0.001303 0.001300 0.001300 0.001300 0.001297 0.001293 0.001289 0.001287 0.001284 0.001282 0.001279 0.001276 0.001273 0.001271 0.001269 0.001267 0.001264 0.001262 0.001260 0.001258 0.001256 0.001254 0.001253 0.001251 0.001249 0.001248 0.001246 0.001245 0.001244
0.000374 0.000435 0.000377 0.000393 0.000106 -0.000171 -0.000220 -0.000294 -0.000357 -0.000430 -0.000502 -0.000575 -0.000605 -0.000612 -0.000621 -0.000647 -0.000674 -0.000689 -0.000692 -0.000692 -0.000694 -0.000701 -0.000709 -0.000712 -0.000711 -0.000709 -0.000709 -0.000711 -0.000713 -0.000713 -0.000711 -0.000710 -0.000709 -0.000709 -0.000709 -0.000709 -0.000707 -0.000706 -0.000706 -0.000705 -0.000705 -0.000704 -0.000703 -0.000703 -0.000702 -0.000702 -0.000701 -0.000701
Cholesky Ordering: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI
Lampiran 7. Forecast Variance Error Decomposition Period
S.E.
LOIL
R
LM2
LS
LPPI
LIPX
LCPI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
0.085881 0.120378 0.143172 0.166982 0.183583 0.197008 0.209707 0.222157 0.233609 0.244087 0.253434 0.262023 0.270197 0.278251 0.286069 0.293453 0.300365 0.306930 0.313239 0.319328 0.325180 0.330775 0.336123 0.341272 0.346271 0.351143 0.355886 0.360500 0.364998 0.369401 0.373727 0.377985 0.382177 0.386305 0.390376 0.394400 0.398382 0.402326 0.406234 0.410108 0.413950 0.417764 0.421553 0.425317 0.429058 0.432777 0.436474 0.440151
0.007557 0.591195 0.593492 0.559362 0.605743 0.556012 0.483155 0.445953 0.429419 0.400522 0.373047 0.354917 0.345983 0.346589 0.359737 0.378496 0.397170 0.421348 0.457003 0.500998 0.547316 0.594307 0.642940 0.693927 0.747256 0.801926 0.856230 0.909140 0.960910 1.012105 1.062664 1.112009 1.159656 1.205516 1.249772 1.292602 1.334017 1.373891 1.412137 1.448799 1.484007 1.517861 1.550396 1.581609 1.611525 1.640206 1.667731 1.694166
0.452293 1.230371 0.990150 0.961621 0.893162 0.981473 1.264340 1.589709 1.626970 1.538262 1.422784 1.327336 1.248962 1.156098 1.053166 0.972561 0.914647 0.866242 0.828827 0.815051 0.836796 0.890933 0.962202 1.040079 1.126330 1.227424 1.345138 1.474083 1.606715 1.739259 1.872672 2.009132 2.148583 2.288493 2.426158 2.560618 2.692488 2.822514 2.950540 3.075685 3.197181 3.314912 3.429235 3.540464 3.648575 3.753338 3.854614 3.952490
0.000606 0.155709 4.702506 9.093791 8.882072 8.164130 7.356452 7.439325 7.857434 8.068265 7.953782 7.603645 7.291638 7.241738 7.322403 7.282782 7.113280 6.923500 6.789295 6.715331 6.654664 6.566702 6.451998 6.338294 6.247215 6.176259 6.108445 6.033678 5.955440 5.882335 5.818662 5.762032 5.707516 5.652772 5.599168 5.549162 5.503580 5.461256 5.420609 5.381086 5.343197 5.307591 5.274318 5.242876 5.212745 5.183772 5.156112 5.129909
1.816540 2.099409 2.346835 2.711339 2.561156 2.457543 2.290893 2.202170 2.281592 2.505561 2.820387 3.194351 3.518098 3.767913 3.973818 4.175415 4.363892 4.511471 4.605544 4.657222 4.681727 4.689880 4.684211 4.661968 4.622248 4.569329 4.509209 4.445671 4.379525 4.310421 4.238689 4.165698 4.093054 4.021724 3.951872 3.883340 3.816174 3.750712 3.687321 3.626160 3.567164 3.510206 3.455232 3.402271 3.351354 3.302445 3.255452 3.210274
6.721271 7.706291 9.276289 10.52223 11.65162 12.61242 14.23152 15.35987 15.64704 15.65412 15.75863 15.87983 15.91238 15.89884 15.82410 15.67479 15.52386 15.42292 15.34134 15.23068 15.08832 14.94073 14.80835 14.69344 14.58609 14.47526 14.35897 14.24482 14.14032 14.04556 13.95560 13.86673 13.77930 13.69584 13.61803 13.54538 13.47614 13.40918 13.34462 13.28321 13.22530 13.17050 13.11814 13.06784 13.01963 12.97368 12.93000 12.88835
0.605569 0.804569 1.082421 4.862313 8.418800 10.68943 11.64650 12.53822 14.56369 17.63589 20.66422 22.99262 24.82014 26.73850 29.02749 31.51578 33.87531 35.92049 37.73221 39.50006 41.29487 43.03929 44.63675 46.06052 47.35356 48.57087 49.73159 50.81874 51.81151 52.71023 53.53424 54.30282 55.02270 55.69108 56.30552 56.86975 57.39191 57.87911 58.33450 58.75850 59.15188 59.51729 59.85834 60.17798 60.47781 60.75866 61.02156 61.26803
90.39616 87.41246 81.00831 71.28934 66.98745 64.53899 62.72714 60.42476 57.59386 54.19738 51.00715 48.64731 46.86280 44.85033 42.43928 40.00018 37.81184 35.93403 34.24578 32.58065 30.89630 29.27816 27.81355 26.51178 25.31730 24.17894 23.09043 22.07386 21.14558 20.30009 19.51747 18.78158 18.08919 17.44458 16.84948 16.29915 15.78569 15.30333 14.85028 14.42657 14.03127 13.66163 13.31433 12.98696 12.67836 12.38789 12.11454 11.85678
KOREA SELATAN
Lampiran 1. Uji Akar Unit
a. Harga Minyak Dunia (OIL) Null Hypothesis: LOIL has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.423380 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9014
t-Statistic
Prob.*
-7.445609 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LOIL) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
b. Suku Bunga (r) Null Hypothesis: R has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.901077 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.3313
t-Statistic
Prob.*
-5.703253 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(R) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
c. Jumlah Uang Beredar (M2 ) Null Hypothesis: LM2 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.449980 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.0105
t-Statistic
Prob.*
-2.736665 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0698
t-Statistic
Prob.*
-1.609726 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.4756
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
d. Kurs Nominal (s) Null Hypothesis: LS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-6.550508 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
e. Indeks Harga Bahan Baku Impor (PPI)
Null Hypothesis: LPPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.067148 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.7284
t-Statistic
Prob.*
-5.769368 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-0.287889 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.9230
t-Statistic
Prob.*
-12.09291 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LPPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
f. Indeks Produksi (IPX) Null Hypothesis: LIPX has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LIPX) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lanjutan Lampiran 1. Uji Akar Unit
g. Indeks Harga Konsumen (CPI) Null Hypothesis: LCPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.322161 -3.465585 -2.876927 -2.575051
0.0153
t-Statistic
Prob.*
-6.228494 -3.465780 -2.877012 -2.575097
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LCPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Fixed) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 2. Uji Lag Optimal VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 04/29/06 Time: 10:31 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 187 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3
2597.400 2724.447 2814.955 2869.833
NA 243.2248 166.4960 96.84337*
2.19E-21 9.51E-22 6.11E-22 5.77E-22*
-27.70481 -28.53954 -28.98348 -29.04635*
-27.58386* -27.57194 -27.16922 -26.38543
-27.65580 -28.14747 -28.24834* -27.96814
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Date: 04/29/06 Time: 10:31 Sample: 1990:01 2005:11 Included observations: 186 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4
2585.992 2710.653 2802.144 2857.937 2906.732
NA 238.5985 168.2250 98.38761 82.37490*
2.13E-21 9.46E-22 6.01E-22 5.61E-22* 5.68E-22
-27.73110 -28.54466 -29.00155 -29.07459* -29.07239
-27.60970* -27.57347 -27.18056 -26.40381 -25.55182
-27.68191 -28.15110 -28.26362* -27.99229 -27.64572
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 3. Uji Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLOIL DR DLM2 DLS DLPPI DLIPX DLCPI Exogenous variables: C Lag specification: 1 3 Date: 06/24/06 Time: 07:27 Root 0.863698 0.365861 - 0.672432i 0.365861 + 0.672432i 0.562130 + 0.418588i 0.562130 - 0.418588i -0.047867 + 0.636217i -0.047867 - 0.636217i -0.328590 + 0.519535i -0.328590 - 0.519535i 0.544393 + 0.234893i 0.544393 - 0.234893i -0.183033 - 0.556261i -0.183033 + 0.556261i -0.340352 + 0.468261i -0.340352 - 0.468261i -0.570460 -0.402297 + 0.077443i -0.402297 - 0.077443i -0.311178 0.081383 - 0.241270i 0.081383 + 0.241270i No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.863698 0.765519 0.765519 0.700861 0.700861 0.638015 0.638015 0.614726 0.614726 0.592907 0.592907 0.585600 0.585600 0.578885 0.578885 0.570460 0.409683 0.409683 0.311178 0.254626 0.254626
Lampiran 4. Restriksi Sementara Structural VAR Estimates Date: 04/29/06 Time: 10:31 Sample(adjusted): 1990:05 2005:11 Included observations: 187 after adjusting endpoints Estimation method: method of scoring (analytic derivatives) Convergence achieved after 14 iterations Structural VAR is just-identified Model: Ae = Bu where E[uu']=I Restriction Type: short-run text form @e1 = C(1)*@u1 @e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2 @e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3 @e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4 @e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5 @e6 = C(16)*@e1 + C(17)*@e2 + C(18)*@e3 + C(19)*@e4 + C(20)*@e5 + C(21)*@u6 @e7 = C(22)*@e1 + C(23)*@e2 + C(24)*@e3 + C(25)*@e4 + C(26)*@e5 + C(27)*@e6 + C(28)*@u7 where @e1 represents DLOIL residuals @e2 represents DR residuals @e3 represents DLM2 residuals @e4 represents DLS residuals @e5 represents DLPPI residuals @e6 represents DLIPX residuals @e7 represents DLCPI residuals
C(2) C(4) C(5) C(7) C(8) C(9) C(11) C(12) C(13) C(14) C(16) C(17) C(18) C(19) C(20) C(22) C(23) C(24) C(25)
Coefficient Std. Error z-Statistic
Prob.
-0.577726 0.004298 -0.000246 0.014116 -0.011576 -0.330253 0.004620 0.000991 0.085112 -0.064486 0.017855 -0.001008 -0.632425 0.117997 0.448655 -0.003792 0.000113 0.052794 0.007187
0.4839 0.4563 0.6301 0.5967 0.0000 0.3279 0.1799 0.0022 0.0513 0.0000 0.6397 0.7825 0.1933 0.3100 0.5776 0.1386 0.6433 0.1071 0.3581
0.825327 0.005769 0.000511 0.026674 0.002358 0.337583 0.003445 0.000323 0.043677 0.009437 0.038138 0.003651 0.486099 0.116239 0.805727 0.002560 0.000245 0.032762 0.007821
-0.699996 0.744892 -0.481585 0.529211 -4.908715 -0.978288 1.341091 3.065227 1.948674 -6.833199 0.468183 -0.276055 -1.301022 1.015124 0.556833 -1.480922 0.463042 1.611412 0.918931
C(26) C(27) C(1) C(3) C(6) C(10) C(15) C(21) C(28)
0.501681 -0.001776 0.092903 1.048517 0.007320 0.033792 0.004361 0.048050 0.003224
Log likelihood
2787.914
0.054106 9.272253 0.004907 -0.361873 0.004804 19.33908 0.054218 19.33908 0.000379 19.33908 0.001747 19.33908 0.000225 19.33908 0.002485 19.33908 0.000167 19.33908
0.0000 0.7174 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Estimated A matrix: 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.577726 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -0.004298 0.000246 1.000000 0.000000 0.000000 -0.014116 0.011576 0.330253 1.000000 0.000000 -0.004620 -0.000991 -0.085112 0.064486 1.000000 -0.017855 0.001008 0.632425 -0.117997 -0.448655 0.003792 -0.000113 -0.052794 -0.007187 -0.501681 Estimated B matrix: 0.092903 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.048517 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.007320 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.033792 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.004361 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.001776
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.048050 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.003224
Lampiran 5. Uji Kointegrasi Date: 05/23/06 Time: 11:47 Sample(adjusted): 1990:05 2005:11 Included observations: 187 after adjusting endpoints Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI Lags interval (in first differences): 1 to 3 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 ** At most 2 ** At most 3 * At most 4 At most 5 At most 6
0.266390 0.212058 0.142940 0.128322 0.073136 0.059368 0.006345
183.8600 125.9316 81.36365 52.51941 26.83778 12.63535 1.190380
124.24 94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76
133.57 103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 4 cointegrating equation(s) at the 5% level Trace test indicates 3 cointegrating equation(s) at the 1% level Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 * At most 2 At most 3 At most 4 At most 5 At most 6
0.266390 0.212058 0.142940 0.128322 0.073136 0.059368 0.006345
57.92840 44.56794 28.84424 25.68163 14.20243 11.44497 1.190380
45.28 39.37 33.46 27.07 20.97 14.07 3.76
51.57 45.10 38.77 32.24 25.52 18.63 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating equation(s) at the 5% level Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating equation(s) at the 1% level
Lampiran 6. Impulse Response Function Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
LS
LPPI
LIPX
LCPI
0.032699 0.037161 0.034643 0.031094 0.026549 0.022759 0.022015 0.022562 0.023158 0.023752 0.024013 0.023855 0.023483 0.022987 0.022468 0.022013 0.021641 0.021336 0.021074 0.020821 0.020565 0.020317 0.020093 0.019900 0.019736 0.019596 0.019474 0.019370 0.019282 0.019212 0.019157 0.019114 0.019080 0.019054 0.019037 0.019028 0.019025 0.019027 0.019031 0.019039 0.019048 0.019059 0.019071 0.019084 0.019097 0.019110 0.019122 0.019134
-0.002032 -0.005198 -0.007824 -0.008116 -0.007841 -0.007394 -0.006949 -0.006717 -0.006683 -0.006710 -0.006721 -0.006681 -0.006604 -0.006501 -0.006376 -0.006250 -0.006145 -0.006065 -0.006005 -0.005956 -0.005907 -0.005853 -0.005798 -0.005747 -0.005703 -0.005666 -0.005634 -0.005605 -0.005581 -0.005561 -0.005545 -0.005532 -0.005521 -0.005511 -0.005503 -0.005496 -0.005491 -0.005487 -0.005483 -0.005480 -0.005478 -0.005476 -0.005474 -0.005472 -0.005471 -0.005469 -0.005467 -0.005465
0.000621 0.000372 0.006944 0.002147 0.002640 0.005552 0.008119 0.007632 0.007068 0.006395 0.005916 0.005626 0.005586 0.005442 0.005032 0.004559 0.004276 0.004150 0.004029 0.003832 0.003565 0.003292 0.003080 0.002948 0.002857 0.002763 0.002657 0.002558 0.002489 0.002452 0.002435 0.002422 0.002408 0.002398 0.002399 0.002414 0.002437 0.002462 0.002487 0.002513 0.002542 0.002575 0.002611 0.002646 0.002680 0.002713 0.002747 0.002780
-0.000811 -0.001926 -0.003061 -0.003219 -0.002863 -0.002501 -0.002155 -0.001943 -0.001856 -0.001808 -0.001731 -0.001660 -0.001593 -0.001508 -0.001393 -0.001256 -0.001114 -0.000990 -0.000893 -0.000815 -0.000745 -0.000675 -0.000604 -0.000539 -0.000483 -0.000433 -0.000388 -0.000344 -0.000303 -0.000266 -0.000234 -0.000205 -0.000178 -0.000153 -0.000129 -0.000106 -8.46E-05 -6.46E-05 -4.53E-05 -2.63E-05 -7.57E-06 1.09E-05 2.91E-05 4.70E-05 6.47E-05 8.26E-05 0.000101 0.000119
Cholesky Ordering: LOIL R LM2 LS LPPI LIPX LCPI
Lampiran 7. Forecast Variance Error Decomposition Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
S.E.
LOIL
R
LM2
LS
LPPI
LIPX
LCPI
0.087402 0.120929 0.135582 0.147372 0.156960 0.166005 0.176682 0.187835 0.198687 0.209376 0.219921 0.230352 0.240584 0.250382 0.259677 0.268528 0.277027 0.285244 0.293195 0.300857 0.308220 0.315301 0.322135 0.328756 0.335180 0.341412 0.347460 0.353336 0.359062 0.364654 0.370125 0.375482 0.380732 0.385883 0.390943 0.395922 0.400826 0.405659 0.410426 0.415131 0.419778 0.424370 0.428912 0.433406 0.437854 0.442257 0.446619 0.450941
0.125195 0.779098 0.464309 1.040322 1.168874 1.053791 1.541900 2.448430 3.035880 3.220919 3.274481 3.395720 3.675286 4.042507 4.366443 4.610018 4.819386 5.050980 5.325159 5.614996 5.878685 6.098866 6.286586 6.460791 6.630468 6.791030 6.933169 7.053014 7.154149 7.242811 7.322759 7.393890 7.454437 7.503778 7.543266 7.575115 7.600933 7.621207 7.635829 7.644868 7.648890 7.648701 7.644944 7.637925 7.627736 7.614483 7.598395 7.579775
4.165379 7.383047 8.387494 9.298255 10.16561 10.68052 10.81189 10.83916 10.91688 11.00873 10.99223 10.82316 10.52371 10.15562 9.779603 9.425824 9.103121 8.817761 8.576487 8.386370 8.254918 8.187291 8.184398 8.243274 8.358468 8.524095 8.735270 8.987757 9.276794 9.596602 9.941022 10.30465 10.68343 11.07439 11.47492 11.88239 12.29431 12.70863 13.12397 13.53942 13.95428 14.36792 14.77975 15.18940 15.59668 16.00158 16.40413 16.80437
2.355499 3.411455 3.940633 5.059932 6.342153 7.511615 8.415425 9.163800 9.879721 10.57770 11.16368 11.59757 11.90429 12.14853 12.39136 12.64151 12.86787 13.04364 13.16501 13.24579 13.30258 13.34161 13.35918 13.35103 13.31826 13.26661 13.20221 13.12816 13.04469 12.95152 12.84967 12.74135 12.62886 12.51357 12.39591 12.27601 12.15424 12.03128 11.90780 11.78422 11.66066 11.53714 11.41371 11.29052 11.16771 11.04538 10.92353 10.80215
4.234103 10.10957 18.94458 25.51797 28.89204 30.62300 30.99541 30.47035 29.89971 29.58892 29.34971 29.07283 28.71820 28.30088 27.87092 27.44015 26.98407 26.48824 25.95826 25.41340 24.87366 24.34577 23.82451 23.30411 22.78457 22.27077 21.76832 21.27983 20.80481 20.34201 19.89124 19.45346 19.02984 18.62075 18.22567 17.84379 17.47450 17.11754 16.77279 16.43994 16.11848 15.80784 15.50747 15.21698 14.93604 14.66432 14.40145 14.14705
28.62283 27.27136 25.03224 22.10690 19.65031 17.73206 16.21710 14.88536 13.76538 12.85930 12.11367 11.47583 10.92228 10.44600 10.03928 9.688790 9.380106 9.102387 8.850850 8.623978 8.418807 8.230442 8.054782 7.890113 7.736220 7.592543 7.457392 7.328710 7.205151 7.086300 6.972085 6.862152 6.755751 6.652070 6.550574 6.451049 6.353404 6.257495 6.163088 6.069948 5.977928 5.886975 5.797081 5.708237 5.620415 5.533589 5.447752 5.362919
0.009716 0.523203 0.394112 0.449027 1.517678 2.373155 2.563629 2.446078 2.401250 2.654433 3.258920 3.938920 4.455932 4.819413 5.165322 5.597188 6.118114 6.648399 7.117129 7.520631 7.899828 8.289547 8.691057 9.079999 9.433876 9.749907 10.04039 10.31742 10.58328 10.83233 11.05895 11.26302 11.44898 11.62146 11.78222 11.93048 12.06514 12.18660 12.29656 12.39688 12.48856 12.57175 12.64642 12.71291 12.77192 12.82424 12.87038 12.91057
60.48728 50.52227 42.83663 36.52760 32.26334 30.02587 29.45465 29.74682 30.10118 30.08999 29.84730 29.69597 29.80030 30.08705 30.38707 30.59652 30.72733 30.84859 31.00710 31.19483 31.37152 31.50648 31.59949 31.67068 31.73814 31.80504 31.86325 31.90512 31.93113 31.94842 31.96428 31.98148 31.99870 32.01398 32.02743 32.04116 32.05747 32.07724 32.09996 32.12473 32.15119 32.17968 32.21062 32.24404 32.27950 32.31641 32.35436 32.39317