Edisi No. 2 | September 2013
LaporanUtama
Editorial
S
aat ini lebih dari 70 % Buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit adalah BHL (Buruh Harian Lepas). Upah rendah, tak ada jaminan kerja, keselamatan kerja dan fasilitas kerja minim masih dialami Buruh di hampir semua perkebunan. Para perusahaan perkebunan saat ini melakukan pola-pola perburuhan seperti yang dilakukan pada zaman penjajahan belanda. Mereka melakukan penguasaan teritori, membuat peraturan sendiri, membuat sanksi-sanksi dan hukuman dalam teritorinya itu. Perusahaan perkebunan melakukan upaya-upaya pemiskinan terhadap buruh perkebunan sehingga tingkat ketergantungan buruh terhadap perkebunan tinggi. Dengan kondisi ini semua alat kotrol, mulai dari alat kontrol halus sepeti peraturan, hingga alat kontrol keras melalui aparat keamanan seperti, satpam, hansip, centeng, dan pamswakarsa ada ditangan pengusaha perkebunan. Buruh perkebunan tidak dapat berbuat apa-apa dalam teritori tersebut. Sementara di luar perkebunan, para pengusaha ini juga melakukan ‘penguasaan’ pejabat Negara, ‘penguasaan’ penegak hukum hingga mempengaruhi kebijakan Negara untuk keamanan usahanya.
Dalam kondisi buruk Buruh perkebunan, tak terlihat peran pemerintah. Padahal dilihat dari tingginya laju pembukaan perkebunan hampir dapat dipastikan jumlah rakyat Indonesia yang akan menjadi Buruh di Perkebunan juga akan sangat tinggi. Penggunaan buruh dari transformasi masyarkat adat dan petani jadi buruh sangat luar biasa. Kerusakan lingkungan baik ketika perkebunan mulai dibuka, hingga beroperasi juga sangat luar biasa. Konversi lahan pangan menjadi perkebunan juga telah pada tingkat yang sangat menggelisahkan. Oleh karena itu masalah buruh perkebunan harus menjadi perhatian lintas sektor. Terkait persolan tersebut di atas, pada edisi kali ini tim redaksi Tandan Sawit menurunkan berita terkait kondisi buruh perkebunan. Selamat membaca. Salam Redaksi
Penanggung Jawab Jefri Gideon Saragih Pemimpin Redaksi Jopi Peranginangin Dewan Redaksi Bondan Andriyanu, Jefri Gideon Saragih, Nurhanudin Ahmad, Ratri K, Yoka Eryono, Jumadi Jaya, Y. Hadiana, Jopi Peranginangin, Ronald Siahaan, Eep Saifulloh, Harizuddin, Carlo Lumban Raja, Fatilda Hasibuan, Sukardi, Monang Sirait, Maryo Saputra Tata Letak Jopi Peranginangin Alamat Redaksi Perkumpulan Sawit Watch Perumahan Bogor Baru Blok C1 No 10 kota Bogor, Jawa Barat. 17629 | Telp 0251-8352171 | Faks 0251-8352047 | Website: www.sawitwatch.or.id | Twitter: @SawitWatch Tandan Sawit ini diterbitkan atas dukungan Yayasan TIFA
Daftar Isi
Sistem Kerja dan Pola Perekrutan Buruh Perkebunan.... Halaman 03 Kisah Pahit Buruh Kebun: Buruh Perkebunan Dari Masa Ke Masa..... Halaman 04 Kesenjangan Hubungan Buruh Dan Perusahaan Perkebunan..... Halaman 06 Advokasi Buruh Perkebunan: Menyegarkan Kembali Perlawanan Yang Layu.... Halaman 08 Mengukur Partisipasi Buruh Perkebunan Pada Pemilu 2014..... Halaman 10 Menakar Perlawanan Buruh Perkebunan..... Halaman 12 Derita Buruh Perkebunan Dari Aceh Hingga Papua..... Halaman 14
Redaksi menerima sumbangan tulisan atau artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Artikel atau tulisan yang dimuat bersifat sukarela dan tidak mendapatkan honor. Ketentuan ini diberlakukan karena media Tanda Sawit bukan media komersil.
2 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013
Sistem Kerja Dan Pola Perekrutan Buruh Perkebunan
Tandan Sawit Edisi No. 2
Buruh Perkebunan di Kalimantan Tengah Sedang Apel Pagi
D
ari hasil kerja penelitian dan riset yang dilakukan Sawit Watch, terdapat beberapa hal penting terkait kondisi buruh perkebunan sawit. Beberapa hal mendasar yang akan disajikan dalam tulisan ini mengenai sistem kerja dan pola rekruitmen buruhburuh perkebunan sawit. Tulisan ini akan menurunkan deskripsi singkat dari beberapa daerah. Pola Rekruitmen buruh perkebunan di Kalimantan dilakukan dengan memakai orang lokal. Umumnya, ada riak-riak perlawanan dari penduduk lokal saat perusahaan mulai beroperasi. Perusahaan kemudiaan memetakan orang-orang yang melakukan perlawanan tersebut, dan selanjutnya melakukan pendekatan terhadap orang-orang tersebut. Langkah selanjutnya adalah meredam perlawanan dengan merekrut orangorang kritis tersebut untuk menjadi bagian dari manajemen perusahaan. Selain itu, biasanya ada juga orang kampung yang direkrut dan tugasi sebagai pengkampanye perusahaan, atau sebagai juru bicara perusahaan untuk merayu orang-orang kampung agar segera menyerahkan tanahnya. Orang-orang ini kemudian diangkat menjadi tim pembebasan lahan, yang kemudian dia akan mendapatkan bonus dari berapa hektar yang bisa dibebaskan. Ketika semua tanah
sudah berpindah kepemilikan, tenaga orang-orang ini tidak dibutuhkan lagi dan dapat dipastikan mereka akan segera dibuang atau memilih menjadi buruh karena tak ada pilihan lain. Mereka terpaksa menjadi buruh harian lepas untuk land clearing. Perkebunan sawit telah menciptakan apa yang disebut dengan proletarisasi pedesaan di Kalimantan. Proletarisasi adalah sebuah proses transformasi corak produksi masyarakat dari bertani menjadi buruh. Lihat saja proses proletarisasi di Seruyan, Kalimantan Tengah. Komunitas adat yang hidup di sekitar Danau Sembuluh harus meninggalkan profesinya sebagai pencari ikan danau dan menjadi buruh perkebunan sawit. Menjadi buruh perkebunan sawit adalah keterpaksaan. Tanah-tanah komunal milik komunitas adat telah dirampas menjadi kebun sawit. Kualitas air Danau Sembuluh menurun seiring dengan beroperasinya kebun sawit. Mereka tak bisa lagi menjadikan Danau Sembuluh sebagai sumber kehidupan. Karena tak ada pilihan lain, dengan terpaksa mereka menjadi buruh harian lepas di kebun sawit. Mereka bekerja tanpa kontrak jelas, dan bahkan ada diantara mereka yang sudah bekerja selama 5 tahun tanpa ikatan kerja yang jelas. Selain merekrut orang lokal, perkebunan sawit juga mendatangkan
tenaga kerja dari luar kalimantan, kebanyakan dari Jawa dan Nusa Tenggara. Buruh-buruh ini datang dengan membawa mimpi untuk hidup layak, tapi mimpi tersebut seketika buyar ketika menemukan fakta bahwa mereka kerja laksana budak. Mereka bekerja borongan dengan target besar. Karena bekerja berdasarkan target, para buruh pun harus tidur di lahan perkebunan. Jika ke Seruyan, sangat jamak jika melihat terpalterpal di areal perkebunan. Dibawah naungan terpal-terpal tersebut para buruh melepaskan penat dan tinggal. Cara bekerja tersebut dilakukan ketika perkebunan kelapa sawit baru dibuka. Ketika tanaman kelapa sawit sudah ditanam, maka terdapat kegiatan teratur. Ketika kegiatan sudah mulai teratur maka sudah mulai terdapat pengorganisiran buruh oleh mandor. Kegiatan ini juga memunculkan agenagen tenaga kerja baik resmi maupun non-resmi. Sementara di Jawa Barat dan Banten, sistem kerja dan perekrutan buruh hampir tak ada beda dengan apa yang terjadi di Kalimantan, yakni bertumpu pada buruh harian lepas dan buruh harian tetap. Buruh harian lepas, jam kerja setiap hari dan berdasarkan target, tidak ada pembatasan jam kerja dan berdasarkan pada target. Jika target tersebut tidak tercapai maka jam kerja pasti ditambah. Upah BHL di Jabar dan Banten sebesar 7000/hari tanpa ada perbedaan masa kerja (Sawit Watch, 2010). Sementara jam kerja buruh harian tetap 7 jam kerja per hari, dapat tunjangan kesehatan, susu dan upah sesuai dengan Upah Minimum Propinsi. Terkait rekruitmen buruh di Jabar dan Banten, pola perekrutan biasanya menggunakan mandor. Ujung tombak perekrutan buruh ini akan mengajak warga sekitar dan orang luar dengan bantuan agen informal yang disertai dengan perjanjian antara pekerja dan agen. Salah satu klausul yang tertuang dalam perjanjian adalah pemotongan gaji. Sementara perekrutan untuk satuan pengamanan berasal dari jawara.***
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013 | 3
LaporanUtama
LaporanUtama
Kisah Pahit Buruh Kebun
Buruh Perkebunan Dari Masa Ke Masa
Buruh Harian Lepas sedang bekerja mengangkut buah sawit
M
asa Kolonialisme, pembangunan perkebunan berlangsung secara massif. Pemodal asing, umumnya dari Belanda, mendapatkan hak sewa pakai atas tanah yang luas untuk dijadikan perkebunan. Dari relasi antara pemodal, tuan tanah dan kolonialisme tersebut, muncul satu kelompok yang di sebut sebagai buruh kontrak. Dan buruh kontrak ini adalah bentuk nyata dari penjajahan bangsa eropa terhadap nusantara. Untuk wilayah Sumatera, buruh kontrak tersebut awalnya berasal dari warga lokal. Untuk mengerjakan lahan perkebunan yang luas maka dibutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja pada waktu itu, maka ribuan buruh kontrak (kuli kontrak) didatangkan dari luar Sumatera. Mayoritas berasal dari Jawa, namun ada juga buruh-buruh yang didatang-
kan dari India dan Cina. Hampir semua buruh kontrak tersebut adalah petani yang tidak mempunyai tanah di daerah asalnya. Perusahaan perkebunan melakukan berbagai cara guna mendatangkan buruh-buruh kontrak tersebut. Bahkan pihak perkebunan membentuk agen yang bertugas mendatangkan buruh atau kuli kontrak tersebut. Cara lain yang dilakukan adalah dengan mengirimkan kuli kontrak yang sudah bekerja kembali ke daerah asalnya untuk mencari kuli kontrak yang baru. Saat itu, pihak perkebunan mempekerjakan buruh kontrak berdasarkan etnis. Kuli China dipekerjakan untuk pembangunan Bangsal, kuli Jawa dipekerjakan di perkebunan, kuli Batak dan Melayu dipekerjakan untuk membuka hutan, kuli Keling di pekerjakan untuk membangun Jalan baru dan kuli India
4 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013
di pekerjakan sebagai kusir gerobak sapi. Pembagian berdasarkan etnis atau ras tersebut tak lain untuk memudahkan kontrol dan pengawasan agar buruh tak bersatu dan melawan. Buruh kontrak tersebut dibayar murah tapi bekerja dibawah tekanan untuk mencapai target yang diputuskan perusahaan pekerbunan. Praktek penghisapan upah murah tersebut dibarengi dengan kewenangan pihak perkebunan dalam memberikan hukuman ke buruh kontrak jika melakukan kesalahan. Kewengan pihak perkebunan dalam menjatuhkan sanksi ke buruh kontrak mendapat jaminan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Jenis hukuman yang sering dikenakan ke buruh diantaranya adalah menjebloskan buruh ke penjara, dirantai, dibal-bal, ditendang, disekap dalam ruangan tanpa diberi makan dan minum, sedangkan buruh perempuan diperkosa atau dijadikan gundik oleh mandor dan asisten perkebunan. Buruh kontrak mengalami penindasan fisik dan mental yang luar biasa. Masa Orde Lama Inilah masa keemasan gerakan buruh. Gerakan nasionalisasi yang dilancarkan Soekarno menyapu perkebunan diberbagai daerah. Kebijakan Orde Lama yang berpihak ke Buruh adalah adanya berbagai prodak Undang-undang yang mengarah pada kepentingan kaum Buruh. Waktu itu ada UU pangawasan perburuhan, misalnya tentang kecelakaan kerja Buruh. Dominasi Serikat Buruh terhadap regulasi pada masa itu luar biasa. Akhirnya pertarungan berbagai prodak UU itu dimenangkan oleh gerakan yang berpihak ke Buruh, misalnya SKU. Saat perusahaan perkebunan merekrut buruh maka harus memenuhi Syarat Kerja Umum, antara lain: 1. Kepastian kerja. Kepastian kerja pada waktu itu terkait jangka waktu bekerja selama 25-30 tahun dan memiliki masa pensiun. 2. Kesejahteraan Buruh. Perusahaan diwajibkan memberikan 15 macam catu kepada Buruh.
3. Upah. Upah itu pengertiannya “berapa anda sanggup bayar upah saya”. Sehingga konsep tersebut menempatkan buruh sebagai manusia dengan berbagai kebutuhannya. 4. Pendidikan. Buruh mendapakan pendidikan gratis dan memadai. 5. Kesehatan. Tunjangan kesehatan diberikan dalam bentuk pencegahan. Bukan seperti sekarang, tunjangan kesehatan diberika ketika si buruh sudah sakit. 6. Rekreasi. Hak untuk rekreasi diberikan ke Buruh, karena Buruh sebagai manusia juga butuh keluar dari rutinitasnya. Kemudian waktu itu fungsi Buruh di perkebunan itu bergeser ke arah fungsi pengawasan produksi, karena Buruh sudah bagian dari anggota Serikat Buruh. Untuk menentukan siapa Buruh, dulu ada aturan, kalau mulai dari buruh sampai mandor dan centeng itu masih bagian dari Serikat Buruh, kalau staf mereka tidak masukkan lagi sebagai buruh, itu mereka identifikasi sebagai musuh, jadi memang sangat tegas batasannya. Fungsi-fungsi kekerasan juga bergeser, fungsi kekerasan akhirnya bagaimana mengawal Buruh tidak dapat menuntut, kalau sekarang ini fungsi pengawasan itu menekan buruh. Itu makanya masa Orde Lama itu keputusan-keputusan itu kuncinya di Serikat Buruh, kapan misalnya harus libur itu Serikat Buruh yang menentukan. Pada Orde Lama beberapa perkebunan di Labuhan Batu itu libur pada 1 Mei, tetapi sekarang hal itu tidak pernah terjadi lagi. Masa Orde Baru Mengenaskan! Itulah kondisi buruh perkebunan di masa rezim Orde Baru. Tindakan represif dan stigmatisasi PKI gencar dilakukan Orde Baru untuk menumpulkan perlawanan buruh perkebunan. Cap anti pemban-
borongan, misalnya di sektor-sektor transportasi, seperti kernet. Itu tergantung dengan fluktuasi panenya, memang dia musiman, ketika panen dia bekerja.
gunan disematkan ke organisasi buruh perkebunan yang kritis. Penghilangan paksa terhadap aktifis buruh perkebunan yang mencoba mengkritisi kebijakan Negara pun dilakukan. Selain itu, berbagai kebijakan yang dilahirkan Orde Baru mengabdi pada kepentingan modal, misalkan UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. UU ini memungkinkan modal asing menguasai perkebunan kembali. Sistem kerja yang dipraktekan pada masa orde baru dapat dilihat dari sistem perikatan kerjanya, yakni: • Perikatan yang parmanen, dia bisa kontrak tahunan, itu beban karjanya sama dengan SKU hanya saja dia dibatasi bekerja 20 hari itu system kerja. Satu hari kerja itu 7 jam kerja tapi target kerjanya hanya ditentukan sepihak oleh perusahaan, jadi sebenarnya perusahan yang kemudian mematok upah yang diberikan kepada pekerja-pekerja yang perikatan parmanen. • Perikatan semi parmanen, disebut semi parmanen karena dia
Lantas Bagaimana Kondisi Buruh Terkini? Seperti menembus lorong waktu, kehidupan buruh saat ini tak ubahnya seperti kembali ke masa kolonialisme. Mengenaskan. Praktek penindasan dan kontrol ala kolonialisme kembali diberlakukan. Serikat buruh dimandulkan dan menjadi macan ompong. Sistem kontrak yang menindas pada masa kolonialisme berubah wujud dalam bentuk modern yakni outsourcing. Jika masa kolonialisme, mobilisasi buruh lewat agen-agen, kini perkebunan melakukan rekruitmen buruh dengan beberapa cara. Umumnya buruh kontrak dipasok melalui asisten, mandor kebun, kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda bahkan melalui Serikat Buruh yang ada di perkebunan. Individu-individu inilah yang berfungsi sebagai agen pengerah buruh. Selain itu, perkebunan kerap membuat pengumuman kebutuhan akan tenaga kerja yang ditempel di kantor manajer. Selain itu, ciri praktik perbudakan ala zaman kolonial yang masih diterapkan adalah soal upah. Penetapan besaran upah oleh BKPPS yang selalu dibawah besaran UMP merupakan bukti kongkritnya. Perkebunan bak negara dalam negara, di mana kebijakan perkebunan tidak dapat di intervensi oleh pemerintah. Praktik outsourcing di perkebunan umumnya dilakukan dengan cara: mengubah status buruh SKU (Standar Kerja Umum/buruh tetap) menjadi BHL (Buruh Harian Lepas/kontrak); menambah beban kerja perusahaan ke perorangan (individu); dan menerapkan sistem kerja ancak mandiri.***
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013 | 5
LaporanUtama
LaporanUtama
Kesenjangan Hubungan Buruh Dan Perusahaan Perkebunan
Barak Buruh Perkebunan Sawit di Jambi
D
ari rangkaian penelitian yang dilakukan Sawit Watch terhadap buruh perkebunan sawit, terdapat benang merah tentang posisi buruh, yaitu posisi buruh umumnya tidak punya posisi tawar yang kuat. Bahkan jika merujuk pada instrument hukum internasional, apa yang dialami buruh-buruh perkebunan sawit di Indonesia masuk dalam kategori perbudakan modern. Buruh ditempatkan pada posisi tak punya pilihan lain selain bekerja sebagai buruh, dimana seluruh aspek kehidupan buruh dibawah kontrol majikan (baca: perusahaan). Dari temuan lapangan oleh tim riset Sawit Watch, jika dilihat dari aspek karakteristik maka terdapat beberapa perbedaan terkait dengan relasi antara buruh dengan perusahaan. Akan tampak perbedaan antara buruh-buruh perkebunan yang lokasinya tidak terisolir dengan yang terisolir dari pusat-pusat ekonomi, kekuasaan dan peradaban. Perkebunan yang lokasinya tidak terisolir, para buruh umumnya berbaur dengan komunitas-komunitas sub urban, meskipun sebagian ada yang memilih di emplasmen perkebunan yang disediakan oleh perusahaan. Dengan demikian akses terhadap informasi, aspirasi dan pilihan-pilihan
hidup (pekerjaan) akan lebih terbuka, sehingga buruh relatif mempunyai posisi tawar dengan pihak perusahaan perkebunan. Sedangkan buruh-buruh perkebunan yang lokasinya di pelosok desa dan terisolir dari akses informasi, maka bentuk kesejangan hubungan buruh majikan akan semakin terasa. Pola pemukiman buruh perkebunan atau emplasmen merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pola pengawasan. Emplasmen terkonsentrasi dan berada di tengah-tengah lokasi perkebunan dan terisolasi dari pemukiman komunitas penduduk sekitar perkebunan. Pemukiman para tuan kebun berada paling depan atau jalan masuk perkebunan. Pintu masuk perkebunan dikondisikan terpusat yang dijaga oleh aparat satpam sehingga perkebunan tahu benar “orang asing” yang lalu lalang masuk ke daerah perkebunan. Kemudian di dalam emplasmen, Mandor adalah salah satu piranti penting pengawasan buruh. Melanggengkan Kesenjangan Dengan Upah Pihak perusahaan perkebunan secara cerdik dengan berbagai cara untuk melanggengkan kesenjangan pola hubungan buruh dengan perusahaan itu. Salah satu cara adalah
6 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013
membuat perbedaan upah anatara buruh dengan upah manajemen. Upah mandor misalnya sedikit lebih tinggi dari buruh. Pun demikian untuk tingkat managemen kerani, asisten kebun, kontrolir mendapat upah sekitar kisaran 4 juta sampai 15 juta, dan manager kebun 20 juta sampai 50 juta per bulan lengkap dengan fasilitas perumahan yang cukup mewah, akomodasi dan transportasi dan pelayanan kesehatan yang lebih jika merujuk pada rumah sakit rujukan mereka memelihara kesehatanya. Untuk setingkat asisten diberikan fasilitas transportasi sepeda motor dan manager kebun adalah mobil. Cara lainnya untuk melanggengkan kesenjangan adalah menekan upah buruh melalui penerapan sanksi-sanksi kerja yang ketat. Untuk pemanen misalnya, paling tidak setiap sub jenis kegiatan seperti mulai dari sangsi administratif sampai sanksi proses kerja; memotong TBS, memotong dan mengatur pelepah, memungut berondolan mempunyai mekanisme sanksi yang dikonversikan dalam bentuk uang sehingga terjadi pengurangan upah yang sedikit itu. Kesalahan kerja buruh dijawab dengan hukuman denda bukan dengan mendidik, melatih keterampilan kerja buruh.
Tekanan upah rendah berakibat pada kesenjangan antara sumber pendapatan dengan besar pengeluaran hanya untuk sekedar makan. Dengan sedikit berseloroh; upah kami untuk “dubur” saja tak cukup sementara binatang peliharaan saja seperti “anjing” dikasi makan oleh tuanya berarti kami ini lebih rendah dari pada anjing demikian pengakuan salah seorang buruh secara lugas dan reflektif. Cara mensiasati hal tersebut memaksa buruh mengurangi pola konsumsi keluarga nyaris tanpa gizi, “gali lobang tutup lobang” seperti ngutang di warung dan tidak jarang terjebak dengan tengkulak atau lintah darat menyebabkan sifat keterganungan yang tinggi pada perusahaan. Cara lain yang juga ampuh menciptakan ketergantungan yang tinggi, telah lama berurat-berakar warisan kolonial. Akibat gaji yang rendah hanya cukup untuk tetap bertahan hidup memaksa buruh mengambil pilihan “pahit” yang harus ditempuh. Misalnya banyak buruh yang telah lama bekerja sekitar 25 – 30 tahun bahkan lebih saat pensiun tidak mempunyai rumah, sementara pihak perusahaan berusaha memindahkanya. Satu-satunya cara untuk tetap tinggal diemplasmen adalah berusaha mewariskan pekerjaan sebagai buruh kepada anaknya inilah yang disebut “rekruitmen warisan” itu pun tidak
secara otomatis diangkat sebagai buruh tetap (SKU), tetapi ditangguhkan statusnya atau ditetapkan sebagai Burun Harian Lepas (BHL) dengan membatasi jumlah hari kerja dibawah 20 hari mensiasati undang-undang ketenagakerjaan. Pada saat bapaknya aktif kerja di kebun, untuk mencapai basis borong dan premi biasanya mengikutkan anaknya magang kerja yang biasa disebut kerja model “sopir-kernet”. Kemudian cara ditempuh perusahaan adalah pengoptimalan penggunaan buruh harian lepas (BHL) dan pembatasan atau tidak lagi memerima buruh tetap, sampai pada pengalihan status buruh tetap dengan cara mengkondisikan buruh melanggar aturan kerja atau malakukan kesalahan yang berbuntut pada pemecatan dan menggangkat kembali sebagai BHL. Pengoptimalan BHL mempermudah perusahaan mengakumulasi modal tanpa terbebani biaya produksi yang tinggi, tanggung jawab sosial perusahan dan paling terpenting adalah pemindahan perselisihan atau konflik perkebunan keluar arena perusahaan. Penggunaan simbol-simbol “kekerasan” dalam bentuk aparatur keamanan kebun berupa perekrutan centeng, papan, satpan sampai mata-mata yang rekrut dari masyara-
kat sekitar mempertinggi derajat pengawasan sampai bentuk-bentuk pengawasan terselubung (hegemoni) seperti pemamfaatan tokoh adat, agama melalui kegiatan-kegiatan sosial sebagai alat “pengendalian sosial” kepada buruh hingga berupa “showroom” sepeda motor masuk perkebunan, pinjaman melalui koperasi dan bentuk-bentuk hiburan malam “warung remang-remang” disekitar jalan besar menuju perkebunan, biasanya bekerjasama dengan preman-preman setempat yang acap kali menjadi bisnis “prostitusi”. Selain hal yang disebutkan diatas, praktek kerja buruh juga sangat membebani mereka. Misalnya selain pembebanan biaya alat-alat kerja dipotong dari gaji mereka, juga pembiaran buruh bekerja tanpa penggunaan perlengkapan pelindung kerja. Tiada antisipasi pencegahan perlindungan kesehatan kerja. Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan sosialisasi dan pendidikan tentang bahaya kerja seperti tertimpa buah, tertimpa pelepah dan resiko, dampak berinteraksi dengan zat-zat kimia berbahaya yang digunakan oleh buruh penyemprot, pemerikasaan kesehatan dan rotasi pekerjaan yang bekerja pada bagian yang berhubungan dengan bahan kimia berbahaya.***
Buruh Perkebunan Sawit saat pulang kerja
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013 | 7
KabarWilayah
Advokasi Buruh Perkebunan:
Menyegarkan Kembali Perlawanan Yang Layu
Buruh Perempuan Sedang Memungut Brondol Sawit
8 | Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013
D
alam sejarah gerakan sosial di Nusantara, sektor buruh perkebunan telah mengguratkan sejarahnya dengan tinta emas. Berbagai aksi-aksi perlawanan pernah dikobarkan buruh perkebunan terhadap perusahaan, dari masa kolonial hingga masa-masa awal Republik Indonesia berdiri. Tentu kita tidak bisa melupakan sejarah pemogakan Delanggu, yang merupakan pemogokan buruh pertama kali di masa Indonesia merdeka. Pemogokan Delanggu ini dilancarkan secara teratur dan besar-besaran oleh Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) selama bulan Mei hingga Juni 1948. Pemogokan buruh yang pertama kali di alam Indonesia merdeka ini menyangkut pekerja-pekerja di pabrik karung dan tujuh perkebunan di Delanggu dan sekitar Klaten, Jawa Tengah. Sarbupri, seperti buruh pada umumnya yaitu menutut kenaikan upah dan penghidupan yang layak. Ada kesenjangan yang sangat nyata pada buruh dengan pemilik modal dan pemilik tanah. Gerakan mogok yang massif ini menuai hasil dimana pemerintah akhirnya memenuhi tuntutan buruh perkebunan. Pengorganisiran buruh perkebunan layu pasca penghancuran organisasi Sarbupri oleh rezim Soeharto. Sarbupri yang berafiliasi ke PKI turut diberangus hingga ke akarnya. Pasca pemberangusan Sarbupri, gerakan buruh perkebunan kehilangan elan perjuangannya dan seperti terabaikan. Gerakan advokasi NGO juga seperti meninggalkan sektor buruh perkebunan. Hampir tidak ada orang ataupun kelompok yang melakukan advokasi terhadap Buruh perkebunan. Advokasi Buruh perkebunan dilakukan kasuistik ketika melakukan advokasi lingkungan atau masyarakat adat. Di Kalimantan Barat misalnya, belum ada organisasi masyarakat sipil yang secara total mengorganisir buruh, namun yang bersifat kasuistik pernah dilakukan. Misalnya pada 2009, Gemawan pernah melakukan advokasi terhadap buruh perempuan yang bekerja di perkebunan Duta Palma.
KabarWilayah Setali tiga uang dengan Kalbar, buruh-buruh perkebunan di Kalimantan Tengah juga belum di organisir secara sistematis hingga menjadi sekutu bagi gerakan sosial lainnya. Bahkan yang lebih fatal, pada beberapa kasus terkait konflik tanah antara masyarakat lokal dengan perusahaan perkebunan sawit, buruh perkebunan sawit dipetakan sebagai sekutu perusahaan. Taktik adu domba antara kelompok masyarakat adat versus buruh kebun sawit dijalankan oleh perusahaan perkebunan. Sejauh ini, advokasi tanah dan lingkungan di Kalteng belum terkoneksi dengan gerakan buruh perkebunan. Sebuah pekerjaan rumah buat aktifis gerakan sosial di Kalteng untuk menemukan benang merah dari isu utama yang diusung seluruh sektor gerakan sosial, sebuah benang merah guna menemukan siapa musuh bersama rakyat. Dengan luasan perkebunan sawit yang sudah mencapai 1,8 juta hektar di Kalteng, buruh perkebunan akan menjadi sangat strategis untuk organisir. Dengan luasan tersebut, dapat diperkirakan bahwa ada ribuan buruh perkebunan sawit. Disana ada potensi perlawanan untuk menghadang ekspansi sawit. Di Kalimantan Selatan, advokasi terhadap buruh perkebunan sawit baru dimulai. Persinggungan NGO dengan buruh perkebunan saat berlangsungnya hajatan RSPO di Kuala Lumpur. Salah seorang Buruh Perkebunan PT Minamas (Sime Darby) dikirim untuk menghadiri Pertemuan RSPO. Dalam pertemuan RSPO itu, perwakilan buruh tersebut menyampaikan tuntutan perbaikan bagi kondisi buruh di perusahaan tersebut. Buruh tersebut berdialog dengan pemilik Sime Darby. Buruh tersebut adalah kader organisasi nelayan dampingan Walhi Kalimantan Selatan yang mencoba untuk mengorganisir Buruh Perkebunan. Agak berbeda dengan Kalimantan Timur. Advokasi buruh perkebunan relatif sudah dilakukan sejak lama. Advokasi dilakukan sejak maraknya HPH dan HTI, dan masih terus dilakukan hingga maraknya perkebunan
Buruh Perempuan Sedang Mengambil Waktu Beristirahat
sawit. Namun isu buruh perkebunan belum menjadi isu utama yang di advokasi oleh NGO di Kaltim. Pada 2007, Walhi Kaltim pernah berkoalisi dengan organisasi Buruh HPH. Pada 2010, Walhi Kaltim dan Sawit Watch pernah melakukan investigasi terhadap perusahaan perkebunan sawit dari Malaysia terkait dengan isu perbudakan terhadap buruh. Lain halnya di Sulawesi Tenggara. Advokasi buruh perkebunan sawit belum tersentuh. Hal ini mungkin disebabkan bahwa sawit baru masuk di Sultra sekitar tahun 1998. Saat itu baru ada sekitar 5 hingga 6 perusahaan perkebunan sawit. Di Sulawesi Tengah, advokasi terhadap buruh perkebunan sawit belum dilakukan secara aktif dan massif. Namun persinggungan antara NGO dengan buruh perkebunan sawit telah dilakukan sejak 2009. Misalnya Solidaritas Perempuan telah mengadvokasi buruh perkebunan sawit sejak tahun 2009, khususnya buruh perempuan. Banyak persoalan-persoalan yang dihadapi buruh perempuan di Sulteng. Rata-rata Buruh berstatus BHL, mereka awalnya adalah petani sekarang menjadi BHL, jika bekerja upahnya dibayar jika tidak bekerja makan upahya tidak dibayar.
Bagi Sawit Watch sendiri, pengalaman advokasi buruh juga masih sebatas kasus, lokakarya dan riset. Belum ada upaya secara serius melakukan advokasi dan pengorganisasian secara total terhadap buruh perkebunan. Karena potensi perlawanan dan sekutu gerakan sosial terkait ekspansi perkebunan sawit, advokasi dan pengorganisasi mulai dilakukan secara serius sistematis pada tahun ini. Sawit watch memahami bahwa ada tantangan besar yang menghadang terkait dengan pengorganisasi buruh perkebunan ini. Satu hal yang menjadi tantangan besar adalah bagaimana mencairkan kooptasi kesadaran buruh oleh perusahaan perkebunan yang mempraktikan model penguasaan territorial. Penguasaan territorial dimana lokasi pemukiman buruh berada ditengah-tengah kebun sawit, dan dengan model pengawasan super ketat pada akses keluar masuk lokasi perkebunan. Disini dituntut kreatifitas model pengorganisasian terhadap buruh perkebunan. Ibarat bunga yang layu, perlawanan buruhburuh perkebunan harus disegarkan kembali. Menyirami-nya dengan teori dan praktek gerakan perlawanan. Sebuah tantangan yang menarik bukan?
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013 | 9
Politika
Politika
Mengukur Partisipasi Buruh Perkebunan Pada Pemilu 2014
Pendidikan Politik Untuk Buruh Perkebunan Adalah Sebuah Keharusan
P
erkebunan memiliki kekuasaan besar yang pada akhirnya bisa mempengaruhi pilihan-pilihan politik buruh. Besarnya kekuasaan perkebunan bisa dilihat dalam bentuk pengaturan ruang. Perusahaan sebisa mungkin menjauhkan buruh dari ruang yang memungkinkan mereka membangun identitas kelompok tertindas atau menjauhkan mereka dari akses informasi. Pemukiman pondokan buruh dibangun sedemikian rupa terkonsentrasi ditengah-tengah perkebunan serta berada dalam pengawasan dan kekuasaan mandor. Kondisi ini mengakibatkan buruh terisolir dari segala macam perkembangan-perkembangan di luar perkebunan baik perkembangan sosial, ekonomi maupun budaya. Itulah sebabnya di kalangan buruh tidak terjadi penguatan identitas. Secara teoritis rasa tertekan dan penderitaan yang mereka alami seharusnya menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya penguatan identitas dan sekaligus menyatukan
kepentingan mereka. Namun pada kenyataannya, hal demikian tidak terjadi. Situasi yang kontradiktif terjadi akibat realitas buruh dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman situasional mereka, seperti terbatasnya ruang mewacanakan kehidupan mereka, keterbatasan pendidikan, ekonomi serta hukum kurang melindungi kepentingan mereka. Buruh juga mendapat pengawasan serba ketat dari perusahaan sebagai konsekuensi besarnya kekuasaan yang dimiliki perusahaan. Penggunaan pengawasan untuk mengontrol buruh yang sebetulnya sudah dalam posisi yang lemah membatasi ruang gerak buruh. Pengawasan buruh ini dilakukan oleh asisten, mandor, centeng, serikat buruh kuning dan Papam. Pengawasan yang dilakukan manajemen perkebunan tidak hanya pada saat proses kerja, melainkan dilakukan pada keseluruhan hidup buruh yakni kerja, relasi sosial, mobilitas, dan pengetahuan. Sistem pengawasan di perkebunan ini
10| Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013
tidak hanya dilakukan secara internal melalui kebijakan target kerja, cara kerja dan sanksi kerja. Pengawasan secara eksternal (terhadap relasi dan mobilitas buruh ) juga dilakukan dengan melibatkan perangkat keamanan perkebunan. Penataan pemukiman dan pembangunan pemukiman buruh merupakan bagian sistem pengawasan. Pola pemukiman buruh terkonsentrasi dan berada ditengah-tengah lokasi perkebunan relatif terisolasi jauh dari pemukiman penduduk. Pemukiman petinggi perkebunan berada paling depan atau jalan masuk perkebunan. Di pondok (pemukiman buruh) pengawasan juga dilakukan dengan menempatkan mandor tinggal di pemukiman tersebut. Relasi tidak seimbang antara buruh perkebunan dengan manajemen perkebunan bersumber dari relasi kekuasaan yang timpang antara buruh dan perkebunan. Buruh sebagai kelas masyarakat yang tidak memiliki modal produksi (kecuali tenaga)
sangat tergantung pada keberadaan perkebunan. Besarnya kekuasaan yang demikian menyebabkan posisi buruh perkebunan semakin terpinggirkan. Mereka adalah kelompok masyarakat yang bungkam, tidak bersuara, pasrah pada keadaan. Keluh kesah, penderitaan mereka tenggelam oleh cerita keberhasilan perkebunan, perluasan areal perkebunan dan untung besar perkebunan. Berbagai aturan kerja, hukuman dan sanksi diproduksi demi peningkatan produktivitas kerja. Bila ada buruh yang mengkritik dan melawan ia akan menerima hukuman pencabutan hak sebagai buruh tetap (SKU), potongan upah dan tunjangan, dimusuhi, diasingkan dari pergaulan sosial dan sebagainya. Pemilu bagi buruh perkebunan tidak dapat dimaknai sebagai momentum awal perbaikan nasib. Ekspetasi buruh pasca reformasi 1998 ternyata kontradiktif dengan realitas yang dihadapi. Munculnya UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dipandang buruh justru jauh dari harapan. Dalam konteks pengupahan misalnya, kepala daerah (bupati atau gubernur) justru tidak berdaya dihadapan BKSPPS yang sering menetapkan upah dibawah UMK/UMP). Buruh perkebunan sawit sangat berbeda dengan buruh di lingkungan industri di perkotaan yang relatif terbuka akses pada informasi dan mobilitas sosial baik horizontal maupun vertikal. Buruh di perkebunan sawit menghadapi banyak keterbatasan. Buruh perkebunan adalah kelompok yang mempunyai status terendah dalam masyarakat perkebunan yang memiliki keterbatasan ruang gerak karena faktor keberadaan kebun sawit relatif terisolasi dan pengawasan yang dilakukan perkebunan. Selain itu keseluruhan praktek kerja mereka berbasis pada penghisapan. Mulai dari rekruitmen warisan, praktek outsourcing, pemberlakuan sanksi kerja dikonversikan dengan pengurangan upah, kriminalisasi, mutasi dan PHK bagi buruh yang kritis terhadap perusahaan sampai penggunaan manajemen kekerasan dalam bentuk pengerahan aparat ke-
amanan termasuk premanisme lokal secara berlapis untuk mengendalikan buruh demi maksimalisasi keuntungan perusahaan. Akibat upah yang rendah, kaum buruh mesti bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga kelompok ini mesti rela kehilangan kesempatan untuk terlibat langsung di dalam kegiatan-kegiatan berorganisasi. Kebanyakan buruh lebih memilih menggunakan waktu luang mencari kerja tambahan di luar perkebunan, misalnya bertukang membangun rumah. Akhirnya buruh hanya tertarik berbicara bila itu menyangkut kepentingan-kepentingan jangka pendek seperti pesangon, status kerja, bonus dan sebagainya. Bicara partisipasi politik buruh adalah bicara bagaimana buruh kebun mengartikulasikan kepentingan buruh dalam konteks pemilu. Dalam konteks pemilihan umum 2014, gejala di lapangan memperlihatkan bahwa buruh perkebunan masih terkoptasi oleh pengaruh kekuasaan penguasa perkebunan. Sikap demikian tidak terlepas dari pengalaman dan situasi sosial dimana mereka hidup. Para petinggi perkebunan terutama pemilik dan administrator perkebunan merupakan aktor yang sering terlibat dalam partai atau menjadi caleg dari salah satu partai politik. Perilaku para petinggi perkebunan sawit yang ikut berpolitik praktis itu kerap menggunakan kedudukannya untuk memaksa buruh memilih diri atau parpol yang mendukung atau didukungnya sebagaimana yang terjadi pada pemilu legislatif 2009 lalu. Dikhawatirkan, petinggi perkebunan juga akan memaksa buruh untuk memilih kandidat yang diyakini bisa menjamin kepentingan perkebunan. Pendekatan kekuasaan sengaja digunakan untuk mendapatkan suara dari buruh. Misalnya saja cara melarang berdirinya bendera atau baliho dari kandidat lain diluar kandidat yang didukung para petinggi perkebunan. Demikian pula nasib buruh yang masuk atau ikut terlibat sebagai tim sukses kandidat lain, biasanya langsung diintimidasi dengan mutasi
kerja. Pendekatan lain yang digunakan elit perkebunan sawit biasanya menggiring buruh memilih kandidat yang memiliki “gizi” tak terbatas. Tujuannya selain mendapatkan uang dari kandidat, kelak apabila terpilih, maka kepentingan politik si elit perkebunan tadi akan diakomodir oleh kandidat terpilih. Sering kali buruh mengidentifikasi kandidat bukan atas dasar sumbangan terhadap perbaikan kehidupan mereka, tetapi dilihat dari seberapa banyak sumbangan atau pemberian kandidat tersebut dalam kegiatan-kegiatan buruh. Demikian juga karena keterbatasan informasi yang diterima oleh buruh perkebunan. Hampir dipastikan bahwa hanya kandidat-kandidat tertentu yang dekat dengan elite perkebunan yang bisa masuk ke daerah perkebunan. Sungguhpun demikian sering terjadi bahwa perkebunan membatasi partai-partai politik dalam sosialisasi dan kampanye karena dianggap bisa menganggu proses kerja. Dalam konteks pemilihan legislatif, sangat sedikit kaum buruh mengetahui track record kandidat yang akan bertarung. Oleh karena tidak ada kandidat yang diketahui dan dipercaya maka hubungan kesukuan, agama dan daerah dipakai sebagai ukuran buruh menentukan pilihan politiknya. Hal lain, sebagaimana gejala umum kekecewaan masyarakat terhadap hasil pemilu, di kalangan buruh perkebunan juga terjadai hal yang sama. Keengganan wakil rakyat hasil pemilu sebelumnya dalam mendukung perjuangan memenuhi hak-hak normatif buruh perkebunan selama ini menjadi dasar penilaian buruh yang sangat menentukan partisipasi politiknya dalam Pileg 2014. Bila partisipasi buruh perkebunan dalam Pileg 2014 mendatang tinggi, tidak serta merta dapat dikatakan bahwa itu merupakan buah dari kesadaran politik. Mobilisasi dukungan kepada kandidat tertentu dengan ancaman mutasi atau PHK sebagaimana kecendrungan yang terjadi pada pemilu legislatif lalu setidaknya dapat dipandang sebagai faktor penyebab utama.***
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013 | 11
MedanJuang
MedanJuang
Menakar Perlawanan Gerakan Buruh Perkebunan
Buruh Perkebunan Harus Membangun Aliansi Melawan Sistem Kontrak Yang Menindas Buruh
P
erkebunan dan pertambangan adalah industri yang rakus tanah. Kedua sektor ekstraktif tersebut tak pernah berhenti memperluas areal konsesinya hingga ke wilayah-wilayah yang terisolir. Kecepatan dalam ekspansi luasan sangat fantastis dan mengerikan. Hal ini berangkat dari anggapan, bahwa salah satu persyaratan pokok yang diperlukan kedua industri ekstraktif tersebut adalah melalui perampasan tanah yang didukung oleh Negara. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan “membonsai” organisasi-organisasi rakyat yang dapat menghambat proses-proses perampasan tanah tersebut. Ketika Negara bertindak mendukung kapital dalam ekspansinya, maka hambatan berikutnya adalah organisasi rakyat. Organisasi tersebut diantaranya masyarakat adat, serikat petani dan serikat buruh. Tulisan ini fokus pada keberadaan serikat buruh, khususnya serikat buruh perkebunan. Buruh perkebunan adalah kelas sosial yang berada tepat di jantung perampasan tanah, yakni industri perkebunan. Sejarah tentang serikat buruh perkebunan sendiri punya kisah sendiri, dimana serikat buruh perkebunan dan serikat tani punya sejarah
perlawanan panjang. Terutama sejarah aksi-aksi merebut alat produksi yakni tanah. Mari buka lembaran sejarah negeri ini, sejarah tentang Sarbupri misalnya. Sarbupri (sarekat buruh perkebunan republik Indonesia) adalah organisasi serikat buruh perkebunan yang berafiliasi ke SOBSI. Organisasi progressif revolusioner ini mengklaim punya anggota lebih dari 300 ribu, tata kelola organisasi yang rapi, pendanaan besar lewat saweran atau iuran anggota, beberapa kadernya duduk di parlemen dan lain-lain. Inilah salah satu organisasi paling radikal pada masanya sebelum ditumpas habis oleh rezim militer orde baru dibawah komando Soeharto. Peristiwa September 1965 adalah titik balik dari kehancuran gerakan rakyat progressif revolusioner. Rezim militer Soeharto menumpas habis seluruh elemen gerakan rakyat yang punya kaitan dengan Partai Komunis Indonesia, termasuk Sarbupri. Organisasi radikal ini dihancurkan hingga ke akarnya dan berdarahdarah. Tak ada sisa. Ribuan anggota dan pimpinannya dibunuh secara keji oleh rezim Soeharto. Kapasitas politik mereka dihancurkan, fisik mereka dihancurkan, tidak cukup sampai
12| Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013
di situ, semua dokumen organisasi mereka juga ikut dimusnahkan tanpa sisa. Sarbupri dihapus dari sejarah dan ingatan sosial bangsa Indonesia. Dampak dari penghancuran Sarbupri (bersama seluruh serikat buruh dan kekuatan Kiri Indonesia sejak 1965) adalah hancurnya kekuatan politik serikat buruh. Hilangnya tradisi perlawanan buruh perkebunan, menunjukkan betapa dalamnya penghancuran Sarbupri. Untuk mengkerdilkan perlawanan rakyat, rezim Orde Baru menerapkan kebijakan organisasi tunggal sebagai saluran aspirasi seluruh sektor rakyat. Di sektor perburuhan, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) merupakan satu-satunya organisasi pekerja yang bertugas melegitimasi kebijakan pemerintah dalam perburuhan. Dengan jalan itu bila ada inisiatif buruh yang keluar dari kebijakan itu legal untuk digebuk.Untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru, SPSI merupakan alat Orde Baru untuk meredam gerakan buruh. Bahkan hingga rezim Orde Baru tumbang, SPSI belum menunjukkan perubahan signifikan dan masih memiliki watak lama. Hingga masa Orde baru tumbang pada 1998. Penerapan organisasi tunggal yang mengkooptasi gerakan rakyat pun turut luruh disapu badai reformasi. Pasca berlakunya kebebasan berserikat dengan dicabutnya kebijakan serikat buruh tunggal, dinamika gerakan buruh Indonesia, --dengan sekian persoalan mendasar yang belum teratasi seperti terfragmentasi, lemahnya kapasitas politik dan demokratisasi di tubuh serikat-terus mengalami pelbagai perubahan. Bahkan, dalam beberapa hal, kapasitas serikat buruh dalam melakukan mobilisasi terus mengalami peningkatan, dan semakin politis karena tidak lagi sebatas didorong oleh persoalan-persoalan di dalam pabrik. Pasca kebebasan berserikat, terjadi perpecahan dan konflik antar serikat di berbagai sektor industri, terutama perpecahan di tubuh SPSI. Namun perpecahan tersebut tidak berlaku bagi serikat buruh sektor perkebunan, yang sampai saat ini terus berada dalam status quo. Catatan
pentingnya adalah, seluruh dinamika tersebut hanya terkonsentrasi di sektor manufaktur perkotaan, tidak menyentuh sektor perkebunan. Serikat buruh perkebunan, baik SPBUN SPSI pada perkebunan swasta, maupun SPBUN PTPN pada perkebunan negara, sampai saat ini terus berada dalam stagnasi yang sama ketika orde baru berkuasa. Tidak terpengaruh oleh gelombang kebebasan berserikat dan per-
pecahan serikat buruh. Hal ini menunjukkan terputusnya gerakan buruh di sektor manufaktur perkotaan, dengan gerakan buruh di sektor perkebunan. Kemudian apa yang menjadi penyebabnya? Berdasarkan pembacaan situasi internal gerakan buruh, setidaknya ada empat faktor penyebab pokok yang saling terkait, dan merupakan karakteristik sektor perkebunan: Pertama, sejarah penghancuran serikat buruh perkebunan (dalam hal ini Sarbupri), yang dilakukan secara keji dan sistematis berlangsung sampai kepada tingkat penghancuran tradisi perlawanannya. Perkebunan sebagai arena pertarungan antara kelas tertindas dan penindas, dengan sejarah dan tradisi perlawanan yang panjang sejak masa kolonial, (dengan beberapa pengecualian kecil) diubah menjadi perkebunan yang steril dari perlawanan apapun. Pasca hancurnya Sarbupri, dapat dikatakan tradisi perlawanan itupun turut hilang. Se-
jarah perlawanan buruh perkebunan dihapus dari memori sosial, nyaris tanpa sisa. Dampaknya, serikat buruh perkebunan saat ini terputus dari sejarahnya. Kedua, gerakan buruh perkebunan menghadapi kendala geografis, khususnya pada aspek jarak dan interaksi, yang membuat dinamika politik, khususnya politik perburuhan, yang terkonsentrasi di
perkotaan sulit untuk dapat menjangkau dan berinteraksi dengan dinamika serikat buruh perkebunan. Geografi sejarah perkebunan (khususnya perkebunan warisan kolonial) yang ditempatkan di tengah-tengah hutan, dengan buruh-buruh didatangkan dari jarak geografi, kebudayaan dan ekologi yang jauh berbeda, membuat kehidupan masyarakat buruh perkebunan menjadi terkonsentrasi di perkampungan yang diciptakan perkebunan, sekaligus mengalami keterasingan ekologis. Terkonsentrasi dan terisolasinya buruh perkebunan secara geografis di tengah-tengah perkampungan-perkebunan, memudahkan proses kontrol perkebunan terhadap buruhnya sampai pada tingkat kehidupan sehari-hari. Ketiga, konstruksi perkebunan ditopang oleh sebuah tatanan (rule dan order), yang sumber utama kekuasaannya terletak pada kepemilikan/ monopoli tanah oleh perkebunan.
Tatanan tersebut merupakan bagian dari politik perkebunan sebagai mekanisme penjinakkan dan pendisiplinan masyarakat buruh perkebunan. Tatanan yang jauh lebih efektif dibandingkan tatanan yang diciptakan oleh negara, semisal hukum perburuhan. Tatanan inilah yang kemudian membuat perkebunan menjadi negara di dalam negara, dengan logika hukumnya sendiri. Keempat, karakter akumulasi primitif dalam industri perkebunan, membuat buruh perkebunan yang mengalami eksploitasi buruh upahan, seringkali dihadapkan dengan masyarakat di sekitar perkebunan yang mengalami perampasan. Dalam hal ini terjadi konflik antara kepentingan ruang kerja (upah, K3, jaminan sosial, dan lain sebagainya), versus kepentingan atas ruang hidup (tanah sebagai alat produksi) masyarakat sekitar perkebunan. Dalam konflik tersebut, seringkali buruh perkebunan dijadikan tameng oleh perusahaan untuk menghadapi masyarakat petani yang dirampas tanahnya. Sehingga keduanya terjebak dalam politik pecah belah modal. Keempat jawaban di atas, memberikan masukan bahwa kondisi stagnasi serikat buruh perkebunan saat ini akan dapat lebih dipahami jika melihat semua pengaruh (fisik, budaya, ekonomi politik, lingkungan) dari sejarah pembentukkan perkebunan itu sendiri. Yang membutuhkan pendiskusian lebih lanjut. Namun, belum lagi beranjak mendapatkan penjelasan yang lebih baik, muncul pertanyaan lain yang belum sempat terbahas, “Seberapa jauh buruh perkebunan dapat diharapkan untuk melawan perampasan tanah? Mengingat basis materil perlawanan serikat buruh, baik tingkat kesadaran, perubahan-perubahan organisasi, terus-menerus terkonsentrasi di sektor manufaktur-perkotaan.” Meski demikian, yang harus segera dilakukan adalah merancang strategi mendorong serikat buruh agar kelak dapat menjadi organisasi rakyat yang melawan brutalnya perampasan tanah.***
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013 | 13
KabarWilayah
KabarWilayah
Buruh Perkebunan di Papua Sedang Dengar Pendapat Dengan Anggota DPRD Terkait Hak-Hak Mereka
Derita Buruh Perkebunan Dari Aceh Hingga Papua
C
erita pilu buruh perkebunan sawit membentang dari Aceh hingga Papua. Di Aceh Singkil, ratusan buruh perkebunan kelapa sawit PT Delima Makmur bergerak melawan. Mereka mengobrak-abrik kantor perusahaan, Senin (23/9/2013). Awalnya massa buruh akan melakukan aksi unjuk rasa ke perusahaan. Sejak pukul 07.00 WIB, massa sudah bergerak menuju kantor group Delima Makmur di kawasan Situban Makmur, Kecamatan Danau Paris. Menurut informasi, kemarahan buruh yang awalnya melakukan unjuk rasa damai, disebut-sebut dipicu lantaran tidak diperkenankan bertemu pimpinan perusahaan untuk menyampaikan tuntutannya, ketika sampai di depan kantor group Delim Makmur. Belum puas di situ, buruh kembali bergerak menuju pabrik kelapa sawit sambil teriak bakar. Beruntung aparat keamanan telah tiba, hingga berhasil mengendalikan kemarahan buruh yang akhirnya memilih berkonsentrasi sekitar 50 meter dari pabrik. Buruh yang mengamuk tidak hanya laki-laki. Kaum perempuan sambil menggendong anak juga
ikut berbaur dengan buruh lainnya. Teriakan histeris bernada cacian kemarahan terdengar dari perempuan ketika buruh melancarkan aksinya. Kemarahan tersebut dilandasi oleh sikap perusahaan yang tidak juga mengangkat status buruh harian lepas menjadi SKU walau sudah bekerja 15 tahun. Buruh perkebunan melakukan unjuk rasa menuntut perusahaan memberikan tunjangan hari raya (THR) dan mengangkat buruh harian lepas (BHL) menjadi karyawan. Kemudian meminta perusahaan membayar upah buruh sesuai UMR, serta memberikan premi. Bermimpi jadi Petani Sukses, Malah jadi Buruh Kebun Sawit Sementara itu kisah pilu lainnya terjadi di Sambas. Kali ini menimpah transmigran di Desa Sebunga, Kecamatan Sajingan Besar. Mereka harus tinggal di kawasan tak subur di daerah perbukitan di sekitar perbatasan. Malangnya, mereka belum memperoleh lahan meski jatah hidup tersisa dua bulan. Banyak diantara mereka yang memilih bekerja di
14| Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013
perkebunan kelapa sawit. Para transmigran tersebut, tak menyangka akan menetap di kawasan yang berbukit dan tidak subur itu. Sebelum berangkat mereka membayangkan akan tinggal di kawasan subur untuk menanam berbagai macam tanaman pertanian. Tidak mudah untuk sampai di komplek transmigrasi di wilayah perbatasan ini. Satu-satunya jalan untuk sampai ke lokasi transmigrasi ini adalah melalui jalan di perkebunan sawit. Kondisi jalan masih berupa tanah dan batu. Kawasan ini gersang. Tak ada pepohonan di sana, kecuali hamparan tanaman sawit. Tidak seperti kawasan transmigrasi lain yang berada di kawasan pertanian, wilayah transmigrasi ini dikelilingi perkebunan kelapa sawit. Meski sudah tinggal di kawasan itu selama 10 bulan sejak Desember tahun lalu, para transmigran belum mendapatkan lahan olahan. Karena itu, warga hanya mengandalkan hidup dari jatah yang diberikan pemerintah. Jatah hidup itu berupa beras, gula, ikan asin, ikan kaleng, minyak makan, garam, minyak tanah, dan
kecap. Karena tidak mendapatkan jatah berupa uang, mereka bekerja apa saja. Ada yang membuka warung, ada yang bekerja bangunan, dan ada pula yang bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit. Selain tanah yang tidak subur, warga juga mengeluhkan sulitnya mendapatkan air bersih. Untuk minum warga menggunakan air hujan. Mereka mendapatkan jatah dua drum untuk menampung air hujan. Untuk mandi mandi warga harus menggunakan air kolam yang berada tak jauh dari kebun sawit. Air kolam berwarna hitam itu rentan tercemar pupuk dan berbagai racun dari perkebunan sawit. Tak heran anak-anak mereka kerap mengalami gatal-gatal. Namun mereka terpaksa menggunakan air tersebut sebab kolam yang mereka buat di belakang rumah tak mengeluarkan air. Warga mengharapkan pemerintah bisa menyediakan air bersih ke wilayah mereka, baik dengan membuat sumur bor atau menyediakan pipa besar untuk mengalirkan air dari kampung sebelah. Keluhan lain adalah tidak jelasnya batas lahan pekarangan setiap rumah. Ini menyulitkan mereka untuk menggarap lahan pekarangan mereka. Alhasil banyak pekarangan yang dibiarkan begitu saja tanpa diolah. Di malam hari, lokasi transmigrasi ini gelap gulita. Sebab listrik belum masuk ke sana. Warga menggunakan lentera berbahan bakar minyak tanah sebagai penerangan. Selama 10 bulan ini anak-anak di sana selalu belajar dengan penerangan seadanya. Tidak hanya itu kesulitan hidup yang dialami warga di sana. Karena berada di daerah perbukitan, wilayah ini juga kerap dilanda angin puting beliung. Di sekitar kawasan itu sudah tidak ada pepohonan sehingga tidak ada penahan saat angin datang. Beberapa kali puluhan rumah rusak terkena terjangan angin puting beliung. Rumah-rumah di sana memang dibangun alakadarnya. Dinding misalnya tidak dibangun dengan papan atau semen, melainkan berbahan asbes yang tidak begitu kuat. Karena itu wajar saja saat terkena angin
kencang, rumah warga kerap jebol. Miris! Buruh Perkebunan Bekerja Tanpa Jaminan Keselamatan Papua, tanah surga yang bertaburan cerita pahit tentang derita rakyatnya. Dari kisah pilu pertambangan yang menghancurkan komunitas adat di Papua hingga buruh perkebunan yang di eksploitasi oleh perusahaan perkebunan. Buruh perkebunan sawit terus berada dalam himpitan ekonomi. Di Kabupaten Keerom, Buruh Harian Lepas memperoleh upah hanya untuk kebutuhan dapur. Sejak perkebunan sawit masuk ke Keerom, belum terlihat perubahan kesejahteraan bagi masyarakat. Banyak penduduk lokal yang terpaksa menjadi buruh perkebunan karena tak punya tanah lagi. Sementara pemilik tanah terus menuntut ganti rugi atas penggunaan lahan oleh perusahaan. Selain berupah rendah, buruh sawit tidak mendapat jaminan kerja. Mereka bahkan dikenakan standar ganda, yakni kerja harian namun juga dipasang target tertentu per hari. Akibatnya, banyak buruh yang melibatkan anak istri untuk memenuhi target tersebut. Beratnya beban buruh tergambar pula dari luasnya lahan yang harus ditangani. Misalnya 10 hektar lahan, hanya ada beberapa saja pekerja. Pekerja lepas perkebunan sawit di Keerom bekerja penuh waktu. Mereka harus memotong pelepah, merapikan, memotong tangkai kelapa sawit, memunguti buah sawit, mengangkut ke tempat pengumpulan hasil, hingga menyusun dan memberi kode buah kelapa sawit. Semua itu dikerjakan buruh di bawah pengawasan ketat mandor perkebunan. Ironisnya, para pekerja ini tidak dilengkapi dengan alat pengaman dan rawan kecelakaan. Dampak dari rentang lama bekerja pada perkebunan kelapa sawit adalah terjadinya peningkatan penghidupan bagi buruh dengan masa kerja dari 1-5 tahun sampai 6-10 tahun. Tapi kemudian, penilaian tersebut turun drastis pada masa kerja berikutnya, 11-15 tahun. Hal ini
karena, setelah bekerja hampir 15 tahun, tenaga mereka mulai berkurang yang berakibat turunnya penghasilan. Selain di Keerom, lahan sawit berskala luas juga berada di Kabupaten Boven Digoel. Dikelola oleh perusahaan patungan Korea – Indonesia. Perkebunan sawit di daerah itu telah menyerap sekitar 3.398 pekerja, terdiri dari 1.447 karyawan perusahaan dan 1.951 tenaga kerja lepas. Di Keerom, berdasarkan data Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua, lahan sawit dikelola oleh PT Rajawali dengan luas perkebunan 23.000 Ha, PTPN II, 13.000 Ha, dan PT Palai Abadi, 2 Ha. Buruh sawit di Kabupaten Keerom mencapai ribuan. Mereka hidup seadanya bergantung dari upah perusahaan. Tiap hari, buruh harus memotong pelepah, merapikan, memotong tangkai kelapa sawit, memunguti buah sawit, mengangkut ke tempat pengumpulan hasil, hingga menyusun dan memberi kode buah kelapa sawit. Semua itu dikerjakan di bawah pengawasan ketat mandor perkebunan. Ironisnya, para pekerja ini tidak dilengkapi dengan alat pengaman dan rawan kecelakaan.***
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013 | 15
Kebijakan
Kebijakan Kertas Posisi
Revisi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan (2) 1. Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC) Di Indonesia, tidak ada mekanisme untuk mengefektifkan hak atas persetujuan tanpa paksaan. Tidak hanya pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat, namun institusiinstitusi masyarakat adat juga tidak diakui secara memadai. Institusi tingkat desa yang diakui pemerintah umumnya bertindak dengan cara yang berpihak pada penguasaan negara dan tidak diijinkan untuk secara independen mewakili kepentingan masyarakat. Juga penting untuk dicatat bahwa kegagalan pemerintah Indonesia untuk memberikan penghormatan terhadap hak masyarakat adat adalah bertentangan dengan kewajiban Indonesia menurut undang-undang internasional. Untuk itu, Permentan harus secara jelas dan tegas mengatur mengenai penghormatan terhadap hak atas persetujuan tanpa paksaan. Tidak ada skema pelaksanaan Permentan yang boleh dilaksanakan tanpa adanya persetujuan dari pemegang hak tanah dan persetujuan tanpa paksaan pemilik adat. 2. Pelarangan (pembatasan) Sejumlah Mata Pencaharian Tertentu Pelanggaran dominan yang seringkali dilakukan perusahaan perkebunan adalah praktik-praktik pelarangan aktivitas ekonomi penduduk yang tinggal di wilayah atau sekitar perkebunan. Pelanggaran ini terjadi setelah perusahaan perkebunan mengambilalih semua lahan-lahan yang dahulunya dikelola oleh penduduk, kemudian perusahaan memberlakukan larangan (pembatasan) sejumlah aktivitas-aktivitas ekonomi penting penduduk seperti aktivitas mencari daun kering kelapa sawit yang jatuh dari pohon dan menggembala ternak, dengan alasan aktivitas-aktivitas tersebut dapat menurunkan produk-
tifitas kebun. Penduduk yang tetap menjalankan aktivitas tersebut akan ditangkap dan diserahkan ke polisi dengan tuduhan mencuri, merusak aset perusahaan atau mengganggu jalannya usaha perkebunan. Padahal Hak atas pekerjaan adalah suatu hak fundamental, yang diakui di dalam UUD 1945 dan beberapa instrument hokum internasional. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan “ setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Disamping itu, Negara juga menjamin hak “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Kovenan Internasional tentang hakhak ekonomi, social dan budaya (ICESCR) yang diratifikasi Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005 juga menyatakan bahwa “hak atas pekerjaan ini sangat penting untuk pemenuhan hak-hak asasi lainnya serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan inheren dengan martabat manusia. Setiap individu berhak untuk bisa bekerja, sehingga memungkinkan mereka untuk hidup bermartabat. Hak atas pekerjaan juga menyumbang bagi perikehidupan dari seorang individu dan keluarganya, serta sepanjang pekerjaan tersebut secara bebas dipilih atau diterima, maka pekerjaan tersebut juga berpengaruh bagi perkembangan dan pengakuan atas diri seseorang dalam masyarakat”. Oleh karenanya, di dalam Permentan ini harus ada jaminan dan pedoman-pedoman bagi perusahaan perkebunan agar dalam setiap proses pembangunan perkebunan tidak mengakibatkan pembatasan hak-hak masyarakat sekitar untuk melakukan sejumlah aktivitas yang berkaitan
16| Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013
mata pencahariannya, terutama yang terkait sebelum adanya pembangunan perkebunan. 3. Tidak Ada Sanksi Bagi Perusahaan Yang Tak Membangun Kebun Plasma Kebijakan pembangunan perkebunan nasional umumnya berpihak kepada perusahaan besar dan, meskipun dalam teori kebijakan-kebijakan ini bersifat netral, economies of scale umumnya menguntungkan dominasi sektor ini oleh perkebunan dan pabrik-pabrik besar. Kondisi petani kecil di Indonesia telah diketahui amat problematik. Menurut beberapa survey lapangan serta kesaksian petani di berbagai, petani kecil di Indonesia mengalami kerugian dari hubungan monopsonik (cuma ada satu pembeli) dengan pabrik setempat; alokasi lahan untuk petani kecil yang tidak adil; proses penetapan status tanah yang tidak transparan; hutang yang banyak dan dimanipulasi; penetapan harga yang tidak adil; dan kerja untuk melunasi hutang. Studi-studi belakangan ini menunjukkan semakin besarnya kesenjangan antara kaya dan miskin di daerah petani kecil terutama di Sumatra. Oleh karenanya Permentan harus mengadopsi pendekatan yang jelas yang berpihak pada petani kecil dan bukannya perusahaan besar dan pendekatan yang dapat menjamin pilihan tanaman; kontrol petani atas tanah dan modal; ketentuan dukungan yang tidak menyimpang; dukungan pasar yang memadai; fasilitas kredit dan penetapan harga yang transparan dan adil; dan kebebasan untuk berorganisasi. Pembangunan kebun plasma merupakan salah satu bentuk yang dapat dilakukan untuk memperkuat posisi petani kecil. Pembangunan kebun
plasma yang diperuntukkan bagi masyarakat sekitar perusahaan perkebunan merupakan kewajiban bagi perusahaan yang memiliki IUP atau IUP-B seluas sedikitnya 20% (dua puluh perseratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan perusahaan (lihat Pasal 11 ayat (1) Permentan No. 26/2007). Sebelum adanya Permentan No. 26/2007, pembangunan kebun plasma sebenarnya sudah diatur SK. Mentan No. 333/kpts/KB.50/6/1986 tentang tata cara pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan pola PIR-Trans, sehingga pembangunan kebun plasma adalah wajib tanpa kecuali. Kemudian selanjutnya, kewajiban tersebut ditegaskan kembali melalui Pasal 22 UU Perkebunan mengenai kemitraan usaha perkebunan. Permasalahannya adalah, selama ini adalah banyaknya perusahaan yang tidak membangun kebun plasma untuk masyarakat dan mengakibatkan timbulnya kecemburuan dari masyarakat terhadap pertumbuhan kebun sawit tersebut. Selain itu banyak pembangunan kebun plasma yang ternyata dimiliki bukan warga sekitar perkebunan. Kelemahan Permentan no. 26/2007 adalah ketiadaan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak membangun kebun plasma bersamaan dengan perkebunan inti.
Untuk itu, perlu disiapkan sanksi yang tegas bagi perusahaan-perusahaan perkebunan yang tidak melaksanakan skema plasma yang baik yang menguntungkan dan memberdayakan petani kecil. 4. Perlunya Pengawalan/Assistensi Pemerintah Terhadap Masyarakat Dalam Membangun Kesepakatan Pembangunan Kebun Plasma Pembangunan perkebunan plasma sebagaimana diamanatkan Pasal 11 Permentan No. 26/2007 atau aturan sebelumnya, banyak diantaranya dilakukan dengan pola KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota). Payung hukum kerja sama tersebut adalah Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil No.73/Kpts/OT.210/2/98 dan 01/ SKB/M/II/1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa di Bidang Usaha Perkebunan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa di Bidang Usaha Perkebunan dengan Pola Kemitraan Melalui Pemanfaatan Kredit Kepada Koperasi Primer Untuk Anggotanya (KKPA). Dalam proses tersebut, masyarakat memerlukan pengawalan atau assistensi ketat dari pihak pemerintah agar dalam kesepakatan awal antara
masyarakat dengan perusahan, kedua pihak mendapatkan pengarahan yang transparan akan konsekwensi kesepakatan tersebut. Hal ini juga demi mencapai proses kesepakatan yang fair. Karena kerapkali perjanjian kerjasama (MoU) yang selama ini ada merugikan masyarakat karena tidak dipahami secara baik. Sehingga pada beberapa kasus tanah-tanah kepunyaan masyarakat yang diserahkan kepada perusahaan perkebunan untuk dibangun kebun plasma, justru dimasukan dalam areal HGU perusahaan. Hal ini bisa ditemui dalam kasus sengketa lahan di Desa Sungai Sodong, OKI, Sumatera Selatan. Selain itu di kasus lain juga terjadi bahwa pelaksanaan kemitraan pembangunan kebun plasma kelapa sawit justru diselewengkan oleh Koperasi bentukan perusahaan. Pada 2001, kerjasama kemitraan untuk pembangunan kebun kelapa sawit PT. Kresna Duta Agroindo dengan masyarakat Desa Karang Mendapo, perusahaan membentuk Koperasi Tiga Serumpun di Kabupaten Sarolangun dan Bangko, dan pada tanggal 12 Januari 2001 ditandatangani kesepakatan antara PT. KDA dengan Koperasi Tiga Serumpun tentang kerja sama kemitraan pembangunan kelapa sawit dengan skema KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya). Namun, pengelolaan
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013 | 17
Kebijakan Koperasi Tiga Serumpun tidak dilakukan sesuai UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, karena 1) Keanggotaannya tidak jelas. Masyarakat yang di-klaim sebagai anggota koperasi tidak memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) Koperasi Tiga Serumpun; 2) Perangkat organisasi seperti rapat anggota tahunan atau rapat pengambilan keputusan tidak jelas, sehingga masyarakat hilang akses atas informasi dan kontrolnya atas pengelolaan kebun sawitnya; 3) Tidak ada kejelasan mengenai Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dibagikan kepada para anggotanya. Masyarakat Desa Karang Mendapo hanya mendapatkan uang sejumlah Rp. 53.000,- per bulan, tanpa ada kejelasan mengenai harga dan pembagiannya secara proporsional; 4) Pengurus Koperasi tidak merespon penolakan masyarakat atas uang yang dibagikan melalui UUO. Pengurus koperasi justru menolak hadir dalam rapat dengan warga-Kepala Desa Karang Mendapo; Fakta-fakta tersebut memperlihatkan bahwa koperasi yang seharus-
Kebijakan nya menjadi alat tawar masyarakat dengan modal dan menjadikan setiap keuntungan untuk kesejahteraan anggotanya, terindikasi dimanipulasi oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan modal. Sehingga masyarakat tak kunjung sejahtera. Di titik inilah penting hadir peran Pemerintah untuk memperkuat posisi masyarakat, agar proses kesepakatan menjadi fair dan transparan. 5. Perusahaan Beroperasi Tanpa HGU Pada banyak kasus sengketa lahan, setidaknya yang selama ini ditangani ELSAM, yakni sengketa lahan perkebunan kelapa sawit PT. Jamer Tulen & PT. MPS di Batanghari, Jambi; sengketa lahan perkebunan kelapa sawit PT. Buana Artha Sejahtera di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah; sengketa lahan perkebunan kelapa sawit PT. Bangun Nusa Mandiri di Ketapang, Kalimantan Barat; yang kesemuanya berkonflik dengan masyarakat lokal, tak satu pun perusahaan memiliki Hak Guna Usaha atas
Suku Anak Dalam dengan latar kebun sawit
18| Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013
lahannya tersebut. Pada kasus-kasus tersebut, masyarakat lokal yang melawan dan berusaha mengambil kembali lahan mereka yang dirampas perusahaan justru dikriminalkan dan disidangkan sebagai pencuri, perusak dan provokator. Perusahaan-perusahaan tersebut tak satupun memiliki alas hak yang sah, yakni Hak Guna Usaha dalam menggarap lahan dan mengusahakan perkebunan kelapa sawit di atasnya. Bahkan PT. Bangun Nusa Mandiri hanya memiliki IUP dan Ijin Lokasi. Sedangkan IUP dan Ijin Lokasi tidak dapat dikatakan sebagai alas hak perusahaan untuk melakukan penanaman atau pengusahaan atas suatu lahan. Kejanggalan lain dalam Permentan No. 26/2007, jika melihat ketentuan sanksi administratif, satu-satunya kewajiban yang harus dilakukan perusahaan yang telah memiliki IUP, IUP-B, IUP-P, namun tak ada sanksi jika tidak memenuhi kewajiban tersebut
adalah menyelesaikan hak atas tanah selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya IUP-B, IUP-P, atau IUP. Artinya, kalaupun memang perusahaan tak menyelesaikan hak atas tanahnya, belum membebaskan tanah atau membelinya dari masyarakat lokal, namun sudah menanami tanah tersebut, maka sesuai Permentan No. 26/2007 tak ada sanksi yang dapat diberikan terhadapnya.
keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan dan pembatasan yang ketat atas hak menguasai negara untuk mengambil alih tanah secara paksa. Selain itu, revisi Permentan No. 26/2007 harus mensyaratkan seluruh perusahaan untuk menyelesaikan konflik-konflik besar yang ada bersama masyarakat lokal dan masyarakat adat.
harus menghormati dan melindungi hak asasi manusia yang berlaku di suatu negara dimana korporasi itu beroperasi. Prinsip-Prinsip Panduan ini juga menyatakan korporasi harus menghormati hak asasi manusia yang diakui secara internasional, bahkan apabila hak asasi manusia ini tidak diakui di dalam sistem hukum nasional. Korporasi sebetulnya merupakan aktor non-negara yang memiliki potensi dari segi perekonomian dalam upaya pemajuan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga yang tinggal di sekitar perusahaan bekerja, sehingga dengan mengintegrasikan prinsip panduan “Ruggie Principles” ke dalam aturan internalnya, diharapkan peran positif pembangunan korporasi bagi masyarakat sekitar lebih mudah diukur penerapannya.
Operasi pembukaan lahan perkebunan yang tak tuntas ini, sudah barang tentu makin mengundang masyarakat lokal yang terlanggar haknya agar perusahaan bertanggung jawab. Dalam upaya menuntut kembalinya hak mereka, masyarakat melakukan berbagai cara, karena ini berkaitan dengan sumber penghidupannya. Mereka pun akhirnya terpaksa mengambil hasil perkebunan perusahaan yang nyata-nyata menanam di atas tanah masyarakat.
Perkembangan Internasional saat ini telah memberikan dampak positif yang signifikan bagi operasi perusahaan. Sejak Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations “Protect, Respect and Remedy” Framework (Prinsip-prinsip Panduan Tentang Bisnis dan HAM: Perlindungan, Penghormatan dan Pemulihan) disahkan Dewan HAM PBB pada 16 Juni 2011, banyak perubahan dalam konteks akuntabilitas operasi korporasi di dunia. Prinsip panduan ini menetapkan norma-norma berdasarkan hukum internasional dan harapan sosial, memberikan landasan tidak hanya untuk masa depan pembuatan aturan oleh negara-negara di tingkat nasional dan global, tetapi juga kerangka otoritatif terhadap perilaku bisnis yang akan dinilai dari titik ini ke depan. Prinsip-prinsip panduan ini terdiri dari tiga pilar: 1) Kewajiban negara melindungi hak asasi manusia, di mana pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga, termasuk bisnis; 2) Tanggung jawab perusahaan sebagai aktor non-negara untuk menghormati hak asasi manusia, yang berarti tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional korporasi; dan 3) Memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial.
Demi menghindari masalah-masalah ini, revisi Permentan No. 26/2007 sebagai turunan dari UU Perkebunan, harus memberikan jaminan akuisisi lahan secara adil, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, penghormatan terhadap hak atas
Berdasarkan ketiga pilar tersebut, maka korporasi harus mengintegrasikan Prinsip-Prinsip Panduan ini ke dalam operasi bisnisnya. Karena Prinsip-prinsip panduan ini telah memberikan standar global bagi korporasi tentang bagaimana mereka
6. Perlu Penerapan Standar HAM Dalam Operasi Perusahaan Pada banyak operasi pembukaan lahan perkebunan, pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat lokal kerap terjadi. Pengusiran penduduk dari lahan-lahan tempat tinggal dan usaha mereka, bahkan disertai kekerasan merupakan tindakan buruk nan lumrah terjadi selama ini demi “membersihkan” HGU perusahaan. Tak jarang perusahan dibantu satuan keamanan perusahaan, preman bayaran dan back-up penuh dari kepolisian maupun militer. Akibatnya, masyarakat lokal pun menjadi korban tindak kekerasan. Tak sampai di sini, masyarakat yang masih melawan justru akan dihadapkan dengan hukum, ditangkap, ditahan dan dipenjara dengan alasan mengganggu jalannya usaha perkebunan, atau bahkan dianggap melakukan provokasi melawan perusahaan.
KESIMPULAN Melalui revisi Permentan No. 26/2007 kami mengharapkan, keberlangsungan pembangunan perkebunan di Indonesia dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal sekitar perkebunan yang selama ini sudah mendiami sebuah wilayahnya tersebut. Oleh karenanya secara menyeluruh revisi Permentan ini harus didialogkan dengan berbagai stake holder. Beberapa pandangan kami di atas secara umum menginginkan agar pembebasan lahan perkebunan bisa dilangsungkan secara adil, melindungi masyarakat adat, dan kalaupun terkena dampak pembangunan perkebunan, mereka harus diinformasikan bahkan dilibatkan di dalam prosesnya. Selain itu, ketegasan pemerintah melalui instansinya, dalam hal ini Dinas Perkebunan dapat dilakukan dalam mendisiplinkan perusahaan-perusahaan “nakal” dan di sisi lain Pemerintah harus memiliki kepekaan atas berbagai masalah warga, sehingga dalam berbagai proses dia hadir mengawal kepentingan masyarakat. Artikel ini adalah lanjutan dari artikel dengan judul yang sama pada Tandan Sawit edisi sebelumnya.
Tandan Sawit, Edisi No. 2 | September 2013 | 19