Edisi 17 O September 2010
Acta Medica Indonesiana: 3
Acta Medica Indonesiana: Jurnal Lokal, Kualitas International
4
Acta Medica Indonesiana: Jalan Panjang Go International
9
Prof. Dr. Teguh Santoso, SpPD, K-KV, SpJP, FINASIM, PhD, FACC, FESC:
Teladan untuk Klinisi Indonesia
12
TB Paru dan Ekstra Paru, Tips dan Triks untuk Internist
16
Euthanasia dan Physician Assisted Suicide
Go International aat ini Acta Medica Indonesiana (AMI) satu-satunya jurnal kedokteran di Indonesia yang eksis terakreditasi international. Jurnal besutan dokter spesialis penyakit dalam ini bersanding dengan Lancet, BMJ, dan jurnal-jurnal international lain. Dengan mengetik www.ncbi.nlm.nih.gov, para klinisi maupun peneliti dari berbagai belahan dunia dapat dengan mudah memperoleh informasi dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti Indonesia. Tak pelak, nama-nama peneliti dan penulis dalam negeri menambah panjang daftar peneliti dunia.”Memang dari awal kami berupaya membuat jurnal ini menjadi jurnal international, agar penelitian-penelitian kita dapat disebarluaskan dan menjadi referensi oleh ahli-ahli lain dari berbagai dunia,” ujar Editor in Chief AMI, DR.Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP. Untuk dapat mempertahankan akreditasi international bukan perkara mudah. Sebelumnya, di Indonesia ada beberapa jurnal kedokteran lain, baik dari fakultas kedokteran maupun perhimpunan spesialis yang terindeks di database jurnal international seperti Pubmed. Sayangnya, hingga kini jurnal-jurnal tersebut sudah tidak terakreditasi international lagi. ”Penilaian jurnal international sangat ketat. Bila ada kesalahan, langsung turun,” kata Wakil Kementrian Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Fasli Jalal, SpGK, PhD ketika ditemui Halo Internis di sela-sela aktivitasnya di Departemen Pendidikan Nasional. (HI)
S
Acta Medica Indonesiana satusatunya jurnal kedokteran di Indonesia yang eksis terakreditasi international.
Susunan Redaksi: Penanggung Jawab: DR. Dr. Aru. W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP *Pemimpin Redaksi: Dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD, FINASIM *Bidang Materi dan Editing: Dr. lndra Marki, SpPD, FINASIM; Dr. Agasjtya Wisjnu Wardhana, SpPD, FINASIM; Dr. Alvin Tagor Harahap, SpPD; Dr. Nadia A. Mulansari, SpPD *Koresponden: Cabang Jakarta, Cabang Jawa Barat, Cabang Surabaya, Cabang Yogyakarta, Cabang Sumut, Cabang Semarang, Cabang Padang, Cabang Manado, Cabang Palembang/Sumbagsel, Cabang Makassar, Cabang Bali, Cabang Malang, Cabang Surakarta, Cabang Riau, Cabang Kaltim, Cabang Kalbar, Cabang Dista Aceh, Cabang Kalsel, Cabang Palu, Cabang Banten, Cabang Bogor, Cabang Purwokerto, Cabang Lampung, Cabang Kupang, Cabang Jambi, Cabang Kepulauan Riau, Cabang Gorontalo, Cabang Cirebon, Cabang Maluku, Cabang Papua, Cabang Maluku Utara, Cabang Bekasi, Cabang Nusa Tenggara Barat, Cabang Depok *Sekretariat: sdr. M. Muchtar, sdr. Husni, sdr. M. Yunus, sdri. Oke Fitia, sdri. Anindya Yustikasari *Alamat: PB PAPDI Lt.2 Departemen Penyakit Dalam, FKUI/RS. Dr. Cipto Mangunkusumo JI. Diponegoro 71 Jakarta 10430 Telp. (021) 31931384 Faks. (021) 3148163 Email :
[email protected]
2
SEKAPUR SIRIH
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
BIDANG HUMAS PUBLIKASI DAN MEDIA
elamat berjumpa kembali dengan Halo Internis edisi kali ini yang memberi informasi, pengetahuan serta wawasan baru bagi kita semua terutama dalam menjembatani dunia praktik klinik dengan dunia publikasi ilmiah medik yang merupakan dasar dari praktek berbasis evidence based medicine. Kita semua tentu sudah sering memakai acuan maupun dasar diagnostik serta terapi menggunakan jurnal ilmiah selain konsensus maupun guidelines yang ada. Sebagian besar dari konsensus maupun guidelines dipublikasikan melalui jurnal ilmiah medis/kedokteran yang jumlahnya mencapai ribuan. Kali ini Halo Internis akan mengulas mengenai Jurnal Ilmiah Kita yang sudah masuk publikasi di Pubmed yang tentu membanggakan kita semua bisa tampil di pentas jurnal ilmiah Internasional. Sebagai pendukung akan ada ulasan dari beberapa tokoh bidang pendidikan maupun pakar publikasi jurnal ilmiah kedokteran termasuk Wakil Menteri Kementrian Pendidikan Nasional RI Prof. DR.Dr. Fasli Jalal, SpGK, PhD. Tak luput bila ada kekurangan dari tutur bahasa tabloid kita kami segenap Tim Redaksi Halo Internis mengucapkan mohon maaf sebesar-besarnya dan selamat Idul Fitri 1431 H.
S
Teriring salam hangat dari kami dan selamat membaca.
OM INTERNIZ
SOROT UTAMA
3
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP Editor in Chief Acta Medica Indonesiana.
Acta Medica Indonesiana:
S
deks disana. Menurut Prof. Dr. Jeanne A. Pawitan, MS, PhD, Guru Besar FKUI, jurnal-jurnal international sangat mengutamakan kualitas artikel yang dimuatnya, disamping disiplin dalam penerbitan. Untuk itu, ketersediaan naskah yang bermutu sangat mempengaruhi penerbiatan suatu jurnal. ”Kendala yang sering ditemui pengelola jurnal lokal ialah kurangnya sumber artikel yang bermutu, terutama original paper. Sehingga jurnal itu tertunda atau tidak kontinue terbitnya. Itu menjadi penyebab jurnal-jurnal lokal sulit mempertahankan kategori international,” tukas pakar histologi yang gemar meneliti dan menulis ini. Pendapat senada juga disampaikan Wakil Kementrian Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Fasli Jalal, SpGK, PhD. Menurutnya jurnal dengan kategori international bila penerbitannya tidak konsisten dengan sendirinya akan keluar dalam daftar scopus, database jurnal-jurnal international. ”Bila janji terbit empat edisi setahun, maka mesti terbit empat kali juga. Sekali saja bolong maka langsung jatuh,” ujarnya mantan Dirjen Dikti ini. Tidak terbitnya suatu jurnal, lanjut mantan Dirjen Dikti ini, umumnya disebabkan kekurangan naskah yang baik. Seperti diketahui, iklim penelitian di Indonesia kurang kondusif untuk menghasilkan paper yang berkualitas. Kontribusi ilmuwan lokal dalam khazanah pengembangan ilmu pengetahuan di dunia terbilang kecil, bila tak mau dikatakan tidak ada. Menurut survei oleh Scientific American menunjukkan bahwa sumbangan para ahli Indonesia setiap tahun hanya sekitar 0,012 persen (12 publikasi/100.000 ahli), yang jauh berada di bawah kalau dibandingkan dengan USA yang besarnya lebih dari 20 persen. Doktor ilmu gizi Universitas Cornell, Amerika Serikat ini mengaku, kurangnya publikasi di jurnal international disebabkan peneliti kurang percaya diri. Peneliti beranggapan penelitian mereka dilakukan dalam laboratorium dan instrumentasi yang belum sesuai dengan standar international.” Padahal substansi penelitian cukupbaik, namun datanya kurang akurasi,” ujarnya. Alasannya lain, sambung Prof. Fasli, kurangnya penguasaan bahasa Inggris. Kendala keterbatasan bahasa kerap menjadi catatan reviewer ketika meninjau artikel dari penulis lokal. Begitu pula dengan penulis yang tidak mau menunggu lama-lama hasil review, dan akhirnya mereka mengirim artikel ke
Ketatnya penilaian jurnal international membuat pengelola selektif menerima naskah. Kami tak segan-segan menolak naskah yang tidak sesuai kriteria, meski itu dari senior. Sejak itu, Acta Medica Indonesiana (AMI) berubah statusnya menjadi jurnal dengan kategori international. Cukup mengetik www.ncbi.nlm.nih.gov, para dokter dari berbagai belahan dunia dapat dengan mudah memperoleh informasi dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti Indonesia. ”Memang dari awal kami berupaya membuat jurnal ini (Acta Medica Indonesiana-red) menjadi jurnal international, agar penelitian-penelitian kita dapat disebarluaskan dan menjadi referensi oleh ahli-ahli lain dari berbagai dunia,” ujar Ketua Umum PB PAPDI ini.
Ketatnya Kriteria Jurnal International Dari penelusuran Halo Internis, AMI bukan satu-satunya jurnal kedokteran lokal yang masuk kategori international. Ada beberapa jurnal kedokteran lain, baik dari fakultas kedokteran maupun perhimpunan spesialis yang bertengger di Pubmed. Sayangnya, jurnaljurnal itu drop out dari Pubmed. Meski jurnalnya masih tercantum, tapi sebenarnya pihak Pubmed telah mengeluarkannya. ”Sampai saat ini Acta Medica Indonesiana merupakan satu-satunya jurnal kedokteran di Indonesia yang masih eksis di Pubmed. Jurnal-jurnal yang ada sebelumnya, sudah tidak lagi,” tegas Konsultan Hematologi dan Onkologi Medik ini. Tak dipungkiri, Pubmed cukup ketat menilai jurnal-jurnal yang telah terin-
Prof. Dr. Fasli Jalal, SpGK, PhD.
jurnal nasional. Terakhir, kejar tayang. Para penulis lokal biasanya mengirim artikel ke jurnal-jurnal dengan tujuan memenuhi syarat kenaikan pangkat. Mereka berharap artikelnya segera dipublikasikan. Sementara untuk jurnal-jurnal yang kredibel butuh waktu lama, dari memasukan artikel hingga dimuat dalam jurnal. ”Mereka tidak sabar menunggu, dan akhirnya artikel ditarik kembali, dan dimasukkan dalam jurnal nasional,” ungkap suami Dr. Gusnawirta Taib, S.Pd., M.Pd ini. Minimnya ketersediaan naskah yang berkualitas berdampak pada penerbitan jurnal. Apalagi bagi jurnal international yang sarat dengan original paper, tidak tersedianya naskah yang baik akan berakibat pada tertundanya penerbitan, bahkan tidak terbit pada edisi tersebut. Begitu pula bila mendahulukan jadwal penerbitan tanpa melihat kualitas artikel, akan menurunkan kredibilitas jurnal, bahkan editorial board dari beberapa negera akan hengkang. ”Tentu para ahli itu tidak mau ikut terseret kredibilitasnya,” imbuh Prof. Fasli. Sulitnya menjaga mutu jurnal juga dialami Dr. Aru dalam mengelola jurnal. Namun ia mengakui tim Acta Medica Indonesiana punya kiat tersendiri mengatasinya, yaitu mulai dari menerima penelitian para residen Ilmu Penyakit Dalam, menjalin komunikasi dengan kolega-kolega dari luar negeri hingga membangun electronic journal dengan fasilitas online submission system yang memungkinkan pengelola jurnal menerima naskah dari manca negara lewat website. ”Kini kami telah banyak menerima naskah. Kami pun beberapa kali menolak artikel karena tidak sesuai dengan kualifikasi, walaupun itu artikel dari senior,” ujar Dr. Aru.
DOK. HALO INTERNIS
epucuk surat diterima Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKU/RSCM, awal Juli 2004 silam. Secarik kertas itu dikirim oleh Elizabet Frost, dari National Library of Medicine, Bethesda MD, USA untuk DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP, Editor in Chief Acta Medica Indonesiana. Isinya, menyampaikan bahwa jurnal Acta Medica Indonesiana telah dinilai oleh pihak komite Medline dan layak diindeks di Pubmed. ”Medline memberi skor Acta Medica Indonesiana 3,5 – 3,9 artinya very good,” ujar Dr. Aru, ketika ditemui Halo Internis, diselasela kesibukannya di Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM.
DOK. HALO INTERNIS
Jurnal Lokal, Kualitas International
DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP
Dukungan Pemerintah Jumlah jurnal dengan kategori international serta banyaknya penulis yang masuk dalam jurnal international mencerminkan kemajuan ilmu pengetahuan suatu negara. Sementara untuk melakukan sutu penelitian dibutuhkan dana yang tak sedikit. Oleh karena itu, Departemen Pendidikan Nasional memberi dukungan biaya kepada para peneliti agar hasil penelitiannya dapat masuk ke jurnal international. Prof. Fasli mengatakan, Depdiknas juga telah mengalokasikan dana untuk membantu penerbitan. ”Saat ini kita telah menyiapkan dana untuk 300 jurnal. Untuk jurnal yang belum terakreditasi nasional kita bantu Rp 50 juta pertahun untuk meng upgrade jurnalnya selama tiga tahun berturut-turut. Untuk jurnal nasional yang akan ditingkatkan menjadi intenational mendapat biaya Rp 150 juta per tahun selama tiga tahun. Dengan begitu jurnal itu diharapkan dapat terdaftar dalam scopus,” ujarnya. Tentu, masalah pengelolaan jurnal bukan sekadar persoalan dana semata. Bagi pengelola, ketatnya penilaian suatu jurnal international menjadi tantangan tersendiri untuk dapat mempertahankan akreditas tersebut. Sejak berdirinya, Acta Medica Indonesiana telah mandiri dalam segi pendanaan dan pengelolaannya. Bahkan jurnal penyakit dalam ini meski sudah tembus Pubmed tetap terakreditasi B oleh Dikti. ”Mengelola jurnal international tidak bisa sekenanya, perlu dokter-dokter ”gila” yang hobby dalam penerbitan,” ujar Dr. Aru yang menjuluki tim AMI dengan dokter-dokter ”gila”. (HI)
4
SOROT UTAMA
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
Acta Medica Indonesiana
Jalan Panjang Go International embangun dan mengelola suatu jurnal ilmiah penuh dengan dinamika. Banyak kendala yang mengganjal, mulai dari minimnya pendanaan, ketersediaan naskah yang kurang hingga managemen penerbitan yang seadanya. Buntutnya, tempo terbit, tempo tidak. Di Indonesia, ada banyak jurnal dari berbagai disiplin ilmu yang telah dipublikasikan. Pengelolanya pun beragam, baik dari universitas, fakultas, maupun profesi. Namun tak banyak yang telah terakreditasi international. Di penerbitan jurnal kedokteran misalnya, hingga saat ini baru ada satu jurnal yang eksis sebagai jurnal international, yaitu Acta Medica Indonesiana, jurnal dokter spesialis ilmu penyakit dalam. Lumrah. Mengelola jurnal, apalagi jurnal international bukan perkara mudah. Acta Medica Indonesiana (AMI) atau Indonesia of Journal Internal Medicine (IJIM) dapat bertahan menjadi jurnal international melalui proses panjang. Sejak berdirinya, tahun 1968, AMI juga kerap terbentur soal penerbitan, bahkan sempat vakum dua tahun, pada 1998 – 2000. Dan dalam perjalannya, sudah beberapa kali berubah rupa dan ukuran cetaknya. Penilaian dari Dikti pun tak pernah naik kelas, tetap teakreditasi “C”.
M
Ambil Alih Pengelola Nasib AMI ditentukan oleh induk organisasi dokter spesialis penyakit dalam, PB PAPDI. Pergantian pengurus di PB PAPDI, turut mengubah susunan pengurus AMI. Kondisi vakum yang cukup
lama, membuat geram beberapa internis yang mengelola jurnal ini. Mulai tahun 2000, pengurus baru berupaya mengatasi persoalan-persoalan penerbitan. “Ketika kami mengambil alih jurnal ini, kami bertekad ingin menjadi jurnal yang baik. Kami sama-sama belajar bagaimana membangun jurnal ini dengan baik, konsisten dalam penerbitan dan penulisan, serta kontennya yang berkualitas,” kata Editor in Chief AMI, DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP.
Mengelola jurnal international bukan perkara mudah. Apalagi bagi internis yang waktunya sudah tersita praktik dan mengajar. Lewat tangan ”orang-orang gila”itu Acta Medica Indonesiana eksis menjadi jurnal international. Kerja bareng Dr. Aru beserta tim membuahkan hasil. AMI menunjukan beberapa perbaikan, seperti terbit secara kontinu tanpa hilang satu edisi pun, konten naskah yang bermutu cukup, baik berupa review paper maupun original paper. Begitu juga dengan managemen yang aktif, meski di tengah kesibukan para editor yang juga berpraktik dan mengajar. Rapor Dikti pun naik kelas dengan terakreditasi “B”. Tak cukup sampai disitu, AMI ingin go international. Pengurus membakukan format jurnal sekaligus menggunakan bahasa Inggris. Untuk menjaga mutu ilmiah dari naskah yang dikirim penulis,
AMI dilengkapi oleh reviewer asing. Pada 2004, pengurus mendaftarkan jurnal ini ke Pubmed. Gayung pun bersambut. Pihak Pubmed melakukan skrining terhadap AMI. Hasilnya, Pubmed memberi nilai “very good” dan layak masuk dalam jajaran jurnal-jurnal international lainnya.
Bangga Julukan “Dokter Gila” Ketatnya penilaian Pubmed, membuat pengurus AMI kerja ekstra untuk mempertahankan akreditasi international. Disamping konsisten dalam pe-
nerbitan, mutu naskah menjadi perhatian utama pengurus. Peran aktif reviewer baik dari dalam negeri maupun luar negeri sangat membantu memperkuat kualitas jurnal. Dr. Aru mengakui hingga kini pengurus tidak khawatir kekurangan naskah, bahkan hingga tahun depan naskah sudah mengantri. “Jadi kami tak segan-segan menolak bila artikel tidak sesuai dengan kriteria, walaupun itu punya senior. Kami terpaksa mempertahankan mutu dibanding kolegalitas,” ujarnya. Keterlibatan internis mengelola AMI semata-mata hobby. Mereka memang senang dan sudah terbiasa bekerja di bidang penerbitan. Oleh karena itu, mereka tak berharap ada ”upah” dari situ, apalagi mengingat jurnal ini didanai PB PAPDI dan diberikan gratis kepada anggota PAPDI. ”Staf AMI itu ”orang-orang gila” mau capek-capek mengurus kerjaan yang ngak ada duitnya sementara menuntut lebih mengambil waktu praktik dan istirahat dengan membawa pulang naskah-naskah. Kalau bukan karena hobby, mana mungkin mau,” imbuhnya. (HI)
ACTA MEDICA INDONESIANA (THE INDONESIAN JOURNAL OF INTERNAL MEDICINE) idirikan pada tahun 1998 adalah satu lembaga otonom dibawah naungan Yayasan Memajukan Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta. Keinginan untuk berbagi ilmu melalui publikasi ilmiah, meningkatkan kreativitas dan produktivitas karya ilmiah sehingga bermanfaat bagi dunia kedokteran dan masyarakat 1. Menerbitan buku-buku kedokteran yang bukan merupakan buku acara kegiatan simposium, seminar, atau pertemuan ilmiah 2. Belum tersedianya majalah kedokteran awam yang diasuh oleh dokter ahli khususnya dokter ahli penyakit dalam yang distribusinya menjangkau masyarakat luas
Dasar Hukum
D
Visi Pada tahun 2010 menjadi pusat penerbitan buku dan majalah ilmu penyakit dalam yang berkualitas di tingkat internasional
Misi 1. Menghasilkan buku-buku ilmu kesehatan yang memenuhi standar na-
1. SK IDI → No. 366/PB/A.4/09/2003 tanggal 27 September 2003, mengenai “Pengukuhan susunan dan personalia pengurus besar PAPDI” 2. SKP IDI → No.834/PB/A.7/07/ 2006 tanggal 17 Juli 2006 3. Akreditasi Dirjen DIKTI → SK No.108/DIKTI/ KEP/2007 tanggal 23 Agustus 2007 (Terakreditasi ‘B’) 4. Surat Pernyataan PB PAPDI → No. 514/PB PAPDI/Um/VIII/08 tanggal 10 Agustus 2008. sional dan internasional 2. Menghasilkan majalah ilmu penyakit dalam berskala nasional dan internasional yang berkualitas dan terbit secara rutin dan teratur 3. Menghasilkan produk-produk multimedia yang berkualitas
Bidang Kegiatan Mengolah dan mempublikasikan karya ilmiah melalui bahan cetak dan elektronik Publikasi diterbitkan dalam bentuk: • Buku ilmiah kedokteran • Buku ilmiah populer untuk masyarakat awam • Jurnal Ilmiah kedokteran • Tulisan ilmiah dalam website
Visi: Pada tahun 2010, menjadi Jurnal ilmu penyakit dalam terkemuka di tingkat regional.
Misi:
Menjadikan jurnal IJIM sebagai rujukan bagi mahasiswa maupun pakar di dunia kedokteran sebagai upaya untuk mengembangkan ilmu kedokteran penyakit dalam di tanah air hingga di tingkat Asia Tenggara.
Tujuan Umum: Terwujudnya jurnal yang berkualitas dan menjadi panutan bagi mahasiswa, pakar, maupun jurnal-jurnal kedokteran lainnya yang sedang berkembang di Indonesia.
Tujuan Khusus : 1. Terjaminnya kualitas isi makalah dan konsistensi format pada setiap jurnal yang diterbitkan 2. Dapat melibatkan pakar internasional untuk menulis dan menjadi mitra bestari jurnal IJIM 3. Tercapainya jurnal terakreditasi “A” oleh Dirjen Dikti 4. Tersedianya sistem pengelolaan administrasi yang baik, transparan, dan akuntabel 5. Terpublikasinya jurnal IJIM secara rutin dalam bentuk cetak, on line pada PubMed/MEDLINE (Abstrak), dan situs tersendiri dalam bentuk full text/PDF.
Website IJIM → www.inaactamedica.org Jurnal diterbitkan dalam 2 (dua) bentuk, antara lain: versi cetakan dan versi online pada website (abstrak dan full text). Updating website diperbaharui setelah jurnal terbit (upload setiap 3 bulan sekali)
SOROT UTAMA
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
DR. Dr. Siti Setiati, SpPD, K-Ger, FINASIM
Dr. Nafrialdi, SpPD, PhD
Sulitnya
Seleksi Ketat
5
Untuk Naskah Berbobot
Menjaga Mutu Artikel
Penelitian di Indonesia sudah cukup baik dan mendalam. Tinggal kebiasaan menulis, dan sarana medianya.
I
B
DOK. HALO INTERNIS
DOK. HALO INTERNIS
Kualitas naskah yang baik membuat AMI tetap eksis di dunia Internasional melalui publikasi Pubmed. Kami menjaga baik di depan atau di akhir. erbilang tahun berjalan, Dr. dr. Siti Setiati, SpPD, K-Ger, FINASIM semakin akrab dengan berbagai artikel penelitian yang dilakukan oleh dokter-dokter dari seluruh Indonesia. Tak hanya dalam negeri, tapi juga dari mancanegara, seperti Belanda dan Turki. Dan di tangan Dr. Setiati salah satunya, penelitian-penelitian tersebut menemui nasibnya : berhasil masuk Acta Medica Indonesiana (AMI), mengalami perbaikan oleh penulis dan tim reviewer, atau masuk kotak sekaligus dikembalikan kepada si pengirim. Sebagai vice editor, memang sudah menjadi tugas Dr. Setiati untuk menyeleksi naskah-naskah tersebut. Bersama Chief in editor, DR. Dr. Aru Sudoyo, SpPD, KHOM, FINASIM, FACP mereka saling bekerja sama dan berbagi tugas mengoreksi artikel. Kualitas penelitian memang merupakan kata kunci untuk menyaring naskahnaskah tersebut. Kualitas itu pula yang membuat AMI tetap eksis di dunia Internasional melalui publikasi Pubmed. Tanpa mutu yang andal, sebuah jurnal mungkin hanya memiliki umur singkat. Dan ternyata, menjaga kualitas bukan pekerjaan yang mudah. Seberapakah yang layak dan yang tidak layak naik? “Fifty-fifty,” ujar konsultan geriatri ini. Ada sejumlah alasan mengapa keputusan berat untuk ‘membuang’ naskah tersebut diambil. “Metodologinya tidak benar, tidak sesuai dengan audience kita, atau terlalu biomolekuler,” ujar Dr. Setiati. Ia mengatakan di samping alasan-alasan tersebut tentunya ia akan memilih naskah yang bermanfaat dan dapat diaplikasikan oleh internis. Dr. Setiati mengatakan, AMI semakin lama semakin ketat menyeleksi naskah. “Kami sudah dikenal secara internasional, dan semakin banyak yang berminat memasukkan hasil penelitiannya kepada kami. Jadi wajar saja jika semakin sulit untuk meloloskan tulisan tersebut.” Dalam tim redaksi AMI, selain tim editor tetap, terdapat juga tim reviewer yang menyeleksi naskah sesuai dengan bidang keahliannya. Artinya naskah mengenai subspesialis tertentu juga akan ditangani oleh reviewer dengan latar belakang yang sesuai. Reviewer ini datang dari berbagai daerah di Indonesia, juga berasal dari luar negeri. Diakui Dr. Setiati, masih terdapat sejumlah kendala yang terkait dengan naskah dan tim reviewer ini. Umumnya reviewer adalah ahli di bidangnya, yang tentunya juga memiliki waktu yang padat. “Yang paling susah, jika reviewer oke-oke saja terhadap sebuah naskah. Padahal, mungkin naskah tersebut masih banyak kekurangannya. At the end, kami juga yang menentukan apakah naskah layak muat atau tidak. Kami menjaga baik di depan atau di akhir,” katanya. Istri seorang dokter obgyn ini mengakui, sulitnya untuk mengawal mutu. “Sejujurnya kita belum bisa menjamin sepenuhnya , bahwa kualitas naskah itu baik. Sekitar 60-70 persen saya katakan baik. Namun ke depan, tidak boleh lagi seperti itu. Sebenarnya ada tim editor yang lebih profesional untuk menilai mengoreksi konten atau metodologinya, dan kemampuan itu ada pada kami. Tapi, alasan waktu lagi-lagi membuat proses tidak optimal. Harusnya kami memang merekrut orang yang bisa bekerja day by day,” katanya. Karena tingginya nilai cum dari pemuatan naskah ini, membuat si pengirim naskah mencoba mendekati melewati jalur pribadi. Ini diakui oleh Dr. Setiati. “Memang bisa ada dorongan dari pihak-pihak tertentu, kalau itu masih layak masih bisa di-upgrade, masih dimungkinkan. Tapi intinya, kita lebih memprioritaskan kualitas.” (HI)
tu berlebihan, yang menjaga mutu naskah adalah tim, bukan saya” ujar Dr. Nafrialdi, SpPD, PhD mengomentari soal dirinya yang berperan dibalik kualitas naskah Acta Medica Indonesiana (AMI). “Memang saya diminta untuk membaca artikel-artikel sebelum dimuat. Ada juga beberapa artikel yang telah di-review oleh rekan-rekan, kemudian ketika dilewatkan ke saya masih ditemukan kesalahankesalahan,” imbuh editorial board AMI ini. Dr. Nafrialdi, SpPD, PhD Dr. Nafrialdi yang juga Kepala Bagian Departemen Farmakologi FKUI ini punya pengalaman soal penelitian. Menurutnya menilai suatu original paper secara cepat dapat dilihat dari abstrak dan metodelogi penelitian. Biasanya, bila penulisnya sudah baik dan pengalaman maka artikel-artikel yang ditulisnya sudah bagus. Di sini, tugas editor atau reviewer pun ringan, tinggal menilai ulang apakah artikel tersebut telah sesuai standar yang ditetapkan. Tak sedikit artikel yang diterima AMI secara substansi baik namun belum memenuhi cara-cara penulisan yang sesuai. Hal ini biasa terjadi pada penulis-penulis baru atau belum pengalaman. ”Pertama dilihat adalah subtansinya, kalau punya value scientific, maka kita akan berupaya membantu memperbaiki atau menyarankan analisa dan struktur yang digunakan,” imbuhnya. Ada pula sebaliknya, dari sisi substansi kurang berbobot, namun si penulis dapat membungkus dengan baik. “Tapi jangan coba-coba memaksakan naskah yang tidak memiliki nilai tambah dan disusun dengan metodologi yang tidak shahih. Artikel ini jelas ditolak,” tegasnya. Dr. Nafrialdi menjelaskan ada beberapa indikator suatu naskah penelitian itu dinilai baik. Diantaranya, menampilkan sesuatu hal yang baru. Kemudian, bagaimana manfaatnya atau dapat diaplikasikan. Hal ini mesti menjadi pegangan. Sebab, tak jarang editor mendapati naskah penelitian yang kurang bermutu, dengan mengangkat tema-tema yang sebenarnya tanpa diteliti pun orang sudah mengetahuinya. Atau suatu penelitian yang esensinya kurang bagus, tapi ditutupi analisa statistik yang rumit agar tampak berbobot. ”Itu keliru. sebenarnya fungsi statistik itu untuk menyederhanakan atau mempermudah persoalan. Penelitian yang tidak jelas kemudian dianalisa dengan statistik canggih, menunjukan paper itu kurang berkualitas.” imbuhnya. ”Sama halnya dengan penelitian sederhana namun untuk menambah bobot sengaja dicantumkan penelitian molekur yang dalam-dalam. Artikel ini kurang berbobot. Banyak orang terpukau dengan penelitian molekuler yang canggih-canggih.” Di samping substansi, suatu naskah penelitian dinilai dari metodeloginya. Ada artikel yang esensinya sederhana namun dalam penelitian sengaja melibatkan subjek yang besar. Penelitian itu malah dipertanyakan, kenapa memakai subjek yang besar padahal dengan subyek sedikit sudah bisa. ”Secara etik itu akan dipertanyakan, kenapa dengan banyak orang yang dikorban, padahal dengan sedikit subjek sudah bisa terjawab,” jelasnya. Dr. Nafrialdi menambahkan, seleksi artikel ini perlu dilakukan untuk mempertahankan akreditasi international. Selain mempertahankan kualitas jurnal, naskah yang berkualitas akan mengundang banyak penulis menjadikan referensi atau meningkatkan sitasi. Oleh karena itu, tak heran bila kategori jurnal-jurnal international juga dinilai dari seberapa besar penolakannya. Dikti sendiri mematok 60 persen angka penolakan untuk menjadi jurnal international. Saat ini penelitian di Indonesia sudah cukup baik dan mendalam. Tinggal kebiasaan menulis, dan sarana medianya. “Syukurlah AMI sudah terindeks di Pubmed. Saat ini untuk tembus Pubmed luar biasa susahnya, dan sudah banyak yang mengantri,” katanya menutup wawancara. (HI)
”
SOROT UTAMA
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
Tangan-tangan di Balik Meja
S
rikan kepada penanggungjawab masingmasing naskah. Setelah itu, Dr. Setiati akan menentukan reviewer yang cocok untuk mengoreksi naskah tersebut. Keterbatasan waktu, terutama waktu reviewer, diakui oleh duo tim ini menjadi hambatan dalam proses perjalanan sebuah naskah. “Kadangkala sebuah naskah terlalu lama berada di reviewer. Maka, kami juga memiliki reviewer cadangan dari redaksi,” kata Dini. Dari berbagai reviewer, Dini mengatakan, reviewer yang berasal dari daerah atau luar negeri justru paling cepat mengembalikan naskah. “Paling lama dua
minggu. Tidak pernah lebih,” kata Dini. Wanita yang tengah mengandung anak pertama ini juga akan membuat lay out tulisan-tulisan tersebut. Selanjutnya di tahap akhir, Dini akan berhubungan dengan pihak Pubmed untuk upload abstrak. “Bagaimana membuat naskah dalam format XML, atau upload
DOK. HALO INTERNIS
usananya ribet,” ujar Nia menggambarkan rapat redaksi untuk memutuskan apakah naskah dapat dimuat atau tidak, atau jika ada perbedaan di antara tim redaksi mengenai kelaikan sebuah naskah. “Seorang dokter mengatakan, bagus, sementara yang lain jelek.” Bersama rekannya Dini, duo inilah yang memungkinkan roda-roda dalam sistem penerbitan Acta Medica Indonesiana (AMI) tetap bergerak. Nia, kini lebih banyak mengurusi back office AMI, sementara Dini bertanggung jawab terhadap alur naskah. Setiap naskah yang masuk akan dicatat oleh Dini ke dalam bank naskah, beserta data-data penulis. “Satu bulan rata-rata tujuh naskah,” kata Dini. Tanpa waktu panjang, dilakukan skrining administrasi naskah, untuk selanjutnya dibe-
”
file,” ujar Dini menggambarkan tugasnya. Ia juga mengurusi surat menyurat mengenai respon tulisan, serta terkait report dengan Pubmed. Baik Dini maupun Nia mengakui, memiliki suka duka dalam mengelola AMI. Terkadang, penulis tidak terima jika tulisan mereka dinyatakan tidak layak muat atau harus berkali-kali dilakukan perbaikan. Dan protes tersebut, mereka sampaikan pada Dini atau Nia, padahal tentu saja bukan Dini atau Nia yang menentukan nasib artikel tersebut. Tapi, untunglah mereka memaklumi ini bagian dari risiko kerja yang harus dihadapi. Dini bahkan berharap agar jumlah edisi AMI dapat ditambah setiap tahunnya. Namun, hal itu juga harus didukung dengan tim redaksi agar dapat mengikuti alur pengelolaan naskah yang telah disepakati bersama. Ia juga meminta agar penulis yang ingin mengirim naskah, agar mensitasi sumber-sumber referensi dari artikel yang sudah diterbitkan sebelumnya. (HI)
Prof. Dr. John MF Adam, SpPD, K-EMD, FINASIM
Prof. Dr. Jeanne Adiwinata Pawitan, MS, PhD
Tak Memburu
Kalau Ditolak
Kirim ke Jurnal Lain
Jurnal Internasional eski telah beberapa kali sukses meng-gol-kan karyanya ke beberapa jurnal internasional, namun Prof. Dr. John MF Adam, SpPD, K-EMD, mengaku masuk jurnal internasional bukanlah obsesi utamanya. “Saya memang senang meneliti, hasilnya apakah akan diterima di luar negeri atau dalam negeri, itu tidak penting bagi saya,” ujar Prof. John, begitu biasa disapa. Barangkali karena bekerja tanpa beban inilah, upayanya menjadi lebih begitu mudah. Apalagi ditambah network yang banyak berasal dari berbagai negara, sehingga mempermudahnya melakukan penelitian bersama. Beberapa penelitian itu misalnya penelitian bersama mengenai osteoporosis yang dimuat di International Journal of Rheumatic Disease, penelitian LIFECARE yang dimuat di World Heart Federation 2009, serta penelitian Obesity in Asian Collaboration yang dimuat di Diabetes Care 2007. Bagi Prof. John Adam, meneliti bukan sekadar kewajiban, melainkan ibarat hobby. Apalagi sebagai dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Hasannudin, Makassar, meneliti baginya menjadi suatu keharusan. “Jangan hanya mengajar saja,” terangnya. Meski mengaku tidak terlalu memburu publikasi di jurnal internasional, tetapi Prof. John menegaskan bahwa dirinya selalu mengupayakan untuk mempublikasi karyanya. Sebab baginya, yang terpenting dari seorang peneliti adalah bukan memburu di mana karyanya akan dipublikasi, tapi lebih pada hasil dari penelitiannya. Prof. John Adam mengaku, untuk sebuah karya penelitian yang bermutu tentulah tidak mudah karena akan membutuhkan biaya. Dan itu merupakan salah satu kendala baginya. Ia juga mengaku pernah diminta menulis naskah lengkap oleh salah satu jurnal international, setelah editor jurnal tersebut membaca dan menilai baik abstraknya. Namun, sayangnya saat itu waktu yang dimilikinya tidak memadai sehingga hingga tenggat waktu yang diberikan naskah belum rampung. Akhirnya, naskah yang telah selesai ia kirim ke jurnal nasional. Berbicara mengenai kriteria yang dibutuhkan oleh seorang penulis, menurut Prof. John itu sulit karena setiap majalah memiliki kriteria tersendiri.
“Saya pikir yang utama adalah mengenai masalah yang akan ditulis serta cara menulis harus sesuai keinginan mereka, terutama metodologinya.” (HI)
B DOK. HALO INTERNIS
M
agaimana tips dan triks menembus jurnal international? Pertanyaan ini tepat ditujukan Prof. Dr. Jeanne Adiwinata, MS, PhD. Tentu hal ini tidak berlebihan. Lihat saja curriculum vitae Guru Besar Depar temen Histologi Fakultas Kedokteran UI ini tak kurang dari seratus karya ilmiah yang telah tersebar di berbagai jurnal, baik jurnal nasional maupun international. Bahkan diusianya yang tidak muda lagi, Prof. Jeanne, begitu biasa disapa, masih enerjik berkecimpung dalam berbagai penelitian. Tak sedikit karyanya telah sukses terpampang di beberapa jurnal internasional. Bahkan kredibilitas keilmuannya diakui banyak pihak di luar negeri. Tak heran bila ia kerap diminta mengisi artikel dan menjadi reviewer di jurnal-jurnal international. “Banyak permintaan call for paper dan reviewer di jurnal-jurnal international,” ujarnya Namun di antara jurnal-jurnal itu, ia merasa senang dengan jurnal Histology yang memuat artikelnya. “Saya orang histologi, jadi saya rasa kalau sampai tidak pernah publikasi di jurnal histologi internasional, kok ya kebangetan,” ujar wanita kelahiran Pontianak, 25 Juli 1954 ini menerangkan motivasinya. Telah melanglang buana menembus beberapa jurnal internasional, memberi pengalaman sendiri bagi Prof. Jeanne. Ia sangat memahami karakter dan gaya tiap-tiap redaksi di ditempat jurnal yang pernah memuat artikelnya. “Seperti Lancet, kalau mereka menolak jawabannya biasanya cepat dalam tiga hari sudah dibalas, tapi mereka yang tak pernah memberi alasan masukan dan biasanya hanya bilang tidak ada space yang tersedia,” tutur Prof. Jeanne. Situasi tersebut menurutnya berbeda dengan British Medical Journal (BMJ) yang biasanya memberi balasan dengan menyertakan saran dari reviewer. Komentar tersebut menurut Prof. Jeanne adalah kesempatan untuk bisa memperbaiki naskah tersebut lalu mengirimkannya lagi ke jurnal lain. Menikmati aktivitas sebagai peneliti dan aktif memasukkannya ke jurnal-jurnal internasional, diakui Prof. Jeanne memberi kesenangan tersendiri. Selain karena akan mendapat dana dari DRPM DIKTI jika artikelnya dimuat, Prof. Jeanne juga merasa senang karena ada namanya yang bakal di pasang di jurnal tersebut. Jika artikelnya dipublikasi lalu dikutip orang, maka ia akan mendapat sebutan scientist. Meski demikian Prof. Jeanne juga merasakan dukanya. “Karena email kita juga dipasang di situ, akibatnya banyak spam yang masuk,” ujar peneliti yang artikelnya pernah dipublikasikan dalam Acta Medica Indonesiana ini. Prof. Jeanne pun kemudian berbagi kiat-kiat menembus jurnal internasional.
“Pasti harus bisa bahasa Inggris dan memahami dengan keinginan editorial, selain itu kalau ditolak jangan menyerah, cobalah publikasikan ke jurnal yang lain, serta jangan bosan-bosan membaca komentar dari reviewer,” ujar peneliti yang masih produktif di usianya 56 tahun ini. (HI)
DOK. HALO INTERNIS
6
Prof. DR. Dr. Ketut Suastika, SpPD, K-EMD, FINASIM
Dr. Ibnu Purwanto, SpPD, K-HOM
Topiknya Mesti
Cermati Saran Reviewer nah naskahnya ditolak, merasa tidak ada kendala berarti dalam proses pengajuan ke jurnal tersebut. Bahkan waktu yang 3-6 bulan yang ia habiskan sampai artikel itu diterima, menurutnya, adalah wajar mengingat proses editing dan review yang dibutuhkan. Hal itu karena dia merasa sejak awal telah menyiapkan naskah dengan baik serta memperhatikan saran reviewer dan segera memperbaikinya. Kalaupun ada, hanya kendala akibat aktifitas harian yang selama 4 tahun terakhir ini disibukkan sebagai Pembantu Dekan I dan Dekan FK Unud, sehingga sebagian waktunya lebih tersita untuk keperluan institusi. “Tapi, sekarang saya sedang menyiapkan 3 nasakah ilmiah sebagai co-author yang sedang saya usahakan untuk publikasi internasional,” terangnya. Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes RS Sanglah ini pun berbagi tips agar naskah dapat mudah masuk ke AMI. DOK. HALO INTERNIS
asih minimnya publikasi ilmiah dari para dokter di Indonesia membuat Prof. Dr. Ketut Suastika, SpPD, K-EMD prihatin. Kerena itu, dirinya menghimbau agar hasil-hasil penelitian para peneliti tanah air dapat segera dipublikasikan. Prof. Ketut mengaku kerap mengirim artikel ke jurnal Acta Medica Indonesiana (AMI), satusatunya jurnal Indonesia yang saat ini terindeks di Pubmed. Ia termotivasi menulis di AMI karena jurnal ini telah menjadi salah satu jurnal ilmiah terpenting di Indonesia. “Selain itu, sebagai anggota PAPDI wajib menyumbang pikiran dan memajukan jurnal ini ke arah mutu yang lebih baik,” ujar Guru Besar Fakultas Kedokteran Unud/RS Sanglah, Bali ini. Hingga kini telah ada beberapa artikelnya yang dimuat baik sebagai author maupun co-author dalam bentuk editorial, naskah khusus, dan ada juga yang original paper. Prof. Ketut mengatakan belum per-
M
7
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
“Pertama, baca dan pahami dengan benar petunjuk cara menulis naskah, lalu persiapkan naskah dengan baik.” Khusus naskah original, Prof. Ketut menilai kelemahan utama dari penulis yaitu metode penelitian. Oleh karena itu, penulis hendaknya memperhatikan saran dari reviewer, dan berikan argumentasi bila tidak setuju atau ada alasan lain di mana mungkin ada perbedaan pendapat dengan reviewer. “Editing terakhir, mintalah bantuan kepada sejawat yang bahasa Inggrisnya baik dan baku,” ujar Prof Ketut, menambahkan kiatnya. (HI)
Aplikatif dan Faktual enjadi bagian dari himpunan dokter penyakit dalam adalah kebanggaan tersendiri bagi Dr. Ibnu Purwanto, SpPD, KHOM. Kebanggan itu juga dirasakannya dengan telah diakuinya jurnal Acta Medica Indonesiana (AMI) yang merupakan jurnal besutan para dokter penyakit dalam menjadi satu-satunya jurnal yang terindeks hingga kini di Pubmed. Kondisi ini membuat AMI menjadi jurnal yang sangat mudah diakses oleh banyak orang sehingga dapat memberikan nilai lebih tidak hanya bagi penulisnya tapi juga pembaca. Kebanggan inipun ditempuh oleh Dr. Ibnu dengan membuat sebuah langkah konkrit terlibat aktif dalam pengiriman naskah ke AMI. Dan hingga kini telah dua naskah originalnya sebagai author, serta beberapa naskah lainnya dalam kapasitasnya sebagai co-author yang dipublikasikan lewat AMI. “Saya melihat Acta Medica dari awal hingga sekarang telah melampaui tahapan-tahapan yang baik, dengan reviewer serta pengelolanya adalah orang-orang yang kredibel dan diakui,” terang konsultan onkologi medik RS Sardjito, Yogyakarta ini. Dr. Ibnu mengaku bersyukur bahwa sejauh ini tidak ada ada kendala berarti yang dia rasakan dalam proses menulis maupun pengajuan naskah ke redaksi. Kalaupun ada kendala hanya sebatas akibat kesibukannya yang tidak hanya bekerja sebagai peneliti tapi juga dokter klinisi. Ia pun menilai syarat-syarat yang diajukan oleh redaksi relatif tidak terlalu rumit dan masih dalam koridor wajar. Begitupula dengan tenggat waktu 6-9 bulan yang biasanya dia habiskan. Dan ia mengaku senang, hingga kini belum ada naskahnya yang ditolak. Hal ini karena menurutnya, ia melakukan persiapan matang sebelum mengajukan. Oleh karena itu, Dr. Ibnu mencoba membagi kiat-kiat bagi calon penulis yang ingin mengirim naskah ke jurnal internasional termasuk AMI.
M
“Pertama, topiknya harus menarik ya, kemudian aplikatif dan kasus yang diangkat adalah kasus yang banyak ditemui serta sifatnya terkini atau faktual.” Dan dia kemudian menambahi bahwa penelitian itu juga harus mempunyai nilai yang tinggi dan bisa dikembangkan dalam penelitian selanjutnya. (HI)
Dr. Amaylia Oehadian, SpPD, K-HOM
Cari Kasus-Kasus Yang Sulit i Indonesia, tradisi memasukan artikel ke jurnal-jurnal masih sekadar memenuhi prasyarat tertentu. Tak banyak kalangan ilmuwan, termasuk dokter yang rutin mengirim karya ilmiahnya. Begitu pula dengan Dr. Amaylia Oehadian, SpPD, KHOM. Internis asal Bandung ini mengirim tulisan ke jurnal lantaran memenuhi kredit untuk memperpanjang surat tanda registrasi dan surat izin praktik. Namun kondisi tersebut kini berbeda. Berawal dari sekadar kewajiban, Dr. Amaylia, biasa disapa, malah ketagihan mengirim karya ke Acta Medica Indonesiana (AMI). Beruntung tak banyak kendala yang dia hadapi sampai naskah itu kemudian diterima dan diterbitkan oleh satu-satunya jurnal Indonesia yang telah terindeks sebagai jurnal internasional di Pubmed ini. Bahkan kemudian menyusul dua naskah original lainnya yang juga ditampilkan di jurnal yang sama serta tiga naskah case report sepanjang tahun 2006-2010. Bagi dokter RS Dr. Hasan Sadikin Bandung ini, kesempatan menampilkan tulisan di AMI juga berarti kesem-
INTERNIS DOK. HALO
D
patan untuk membagi ilmu dan pengalamannya terkait kasus-kasus yang jarang ditemukan. Meski demikian dia merasakan sedikit kendala dalam proses persiapan naskah karena membutuhkan waktu khusus untuk menyusun artikel. “Tapi kalau kendala dalam pengajuan ke jurnal sejauh ini tidak ada ya,” terang Amaylia yang mengaku belum ada naskah yang dia kirim ini ditolak. Dalam menyiapkan naskah yang hendak dia kirim, Dr. Amaylia mengaku tidak terlalu ada kriteria khusus. Baginya, selama penulis tersebut mampu menyusun makalah dalam bahasa inggris, maka tidak akan masalah baginya. Hanya saja dia menyarankan agar naskah itu gampang diterima di AMI, maka perlu kiranya kasus-kasus yang dikumpulkan adalah
kasus-kasus yang sulit dan menarik serta jarang didapatkan. “Setelah itu carilah informasi dan datanya di literatur, lalu susun sesuai petunjuk dari Acta Medica,” ujar konsultan onkologi medik RS Hasan Sadikin, Bandung ini. (HI)
DOK. HALO INTERNIS
SOROT UTAMA
8
SOROT UTAMA
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
Dr. Lula Kamal
Bintangi Iklan
Juga Buka Jurnal
rofesinya sebagai dokter memang menuntut Dr. Lula Kamal untuk rajin mengakses jurnal-jurnal kedokteran. Apalagi dokter yang juga menggeluti dunia entertainment ini juga mengaku banyak menerima tawaran job mengisi seminar kedokteran maupun kesehatan. “Saya juga mengasuh suatu rubrik tanya jawab kesehatan di suatu media,” ujar Lula.
P
Tak urung kebutuhan mengakses jurnal kedokteran adalah suatu keharusan baginya untuk menambah wawasan dan mendapatkan informasi up to date mengenai dunia kedokteran ataupun kesehatan secara umum. Namun tak hanya untuk semua kepentingan itu, membintangi iklan pun Lula juga merasa perlu membuka jurnal. Ini dilakukan Lula ketika dirinya diminta bintangi produk phytostem cell dari Multicare. Sebelum menerima job tersebut dokter yang baru melahirkan anak kembarnya ini memburu informasi mengenai produk tersebut di jurnal-jurnal. “Saya lebih cenderung mengakses jurnal-jurnal yang menunjang bidang saya ya,” terang dokter yang pernah membintangi Film ”Berbagi Suami” ini. Untuk itu Lula tidak membeda-bedakan jurnal lokal ataupun jurnal internasional, karena dirinya mempercayai satu tema bisa saja ditulis oleh orang yang berbeda dengan sudut pandang masing-masing. Dan itu semua dia butuhkan untuk pengayaan wawasannya. Kini dengan aktifitas barunya sebagai ibu dari dua bayi kembarnya, Lula mengaku akhir-akhir ini lebih banyak membuka-buka jurnal yang kesehatan (HI) dan perkembangan bayinya.
Dr.Teuku ”Tompi” Adifitrian
Rutin Membuka Jurnal
engakses jurnal kedokteran bukan saja menjadi hobi bagi Dr. Teuku Adifitrian atau yang dikenal dengan Tompi ini, melainkan menjadi kebutuhan tetap mengingat profesinya sebagai dokter yang kini juga tengah mendalami bidang bedah plastik. Tentu saja jurnal yang dia akses tak jauh-jauh dari spesialisasinya.
M
“Saya seringnya membuka jurnal internasional PRS atau Plastic Reconstructive Surgery, biasanya untuk keperluan mengupdate ilmu bedah plastik, sehubungan dengan teknik operasi dan lain-lain,” ujar pelantun tembang ”Sedari Dulu” ini. Karena sudah menjadi kebutuhan utama, maka Tompi mengaku hampir 2 sampai 3 kali seminggu dia mengakses jurnal tersebut. Tompi menilai, jurnal-jurnal kedokteran Indonesia akhir-akhir ini sebenarnya sudah mulai banyak dan muatannya juga bagus. Hanya saja dia menyayangkan tak semua jurnal tersebut dipublikasi ke internasional. “Saya kira ada baiknya lebih diperbanyak yang dipublikasi secara internasional,” ujar dokter kelahiran Lhokseumawe, Aceh, ini. Dan Tompi merasa senang mengetahui ada penulis dari bidang bedah plastik Indonesia yang sudah berhasil artikelnya dipublikasi di jurnal internasional. Sayangnya, Tompi mengaku kurang mengenal Acta Medica Indonesiana, salah satu jurnal kedokteran Indonesia yang telah terindeks di Pubmed. “Saya belum pernah melihat jurnalnya,” ujar Tompi. (HI)
PROFIL
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
9
Prof. Dr. Teguh Santoso, SpPD, K-KV, SpJP, FINASIM, PhD, FACC, FESC
Teladan
untuk
Klinisi Indonesia
S
tes masuk di Fakultas kedokteran lainnya, seperti Padjajaran, Gajah mada, Airlangga, juga mendaftar di Sipil ITB. Semuanya diterima, kecuali di Unair. Hal itu disebabkan Unair menerapkan sistem rayon, sehingga hanya pelamar dari Jawa Timur yang diprioritaskan untuk diterima.
pemasangan stent dari satu kota lain untuk diteruskan ke kota lain. Seper ti yang pernah ia presentasikan dari kota Kobe Jepang, dalam sebuah konferensi PCI internasional. Audiens lain lewat video streaming dapat berdiskusi mengenai tindakan yang dilakukan. Integritas dalam dunia kedokteran menjadikannya sebagai sumber belajar yang mumpuni. Ia adalah salah seorang tenaga pengajar di almamaternya. Selain itu ia juga diminta memberi kuliah di beberapa kota besar dunia. Jadwal mengajarnya sudah full booked untuk setahun ke depan. “Ada jadwal rutin untuk memberi kuliah di Jepang, Singapura, dan juga menjadi pembicara dalam even internasional di beberapa kota baik di Asia, Eropa dan Amerika,” imbuhnya. Di tengah kesibukan kerja, menulis lebih dari 250 publikasi, mengobati pasien, memberi materi kuliah, ia mengakui kurang waktu untuk berolahraga. “Saya kadang tidak ada waktu buat olahraga. Padahal, saya biasa menyarankan pasien untuk olahraga biar jantung bagus dan sehat, tapi saya sendiri tidak berolahraga,” ujarnya terkekeh. Tapi, ia kemudian menyebut olahraga treadmill yang masih sempat ia lakukan di rumah. Olahraga lain yang kerap ia lakukan adalah berenang, dengan cucunya. Olahraga air ini sangat senang ia lakukan, terlebih jika ia sedang berada di sebuah tempat yaitu Bali. Dengan seabrek kegiatannya, Prof. Teguh masih tetap sehat dan bugar di usianya kini, tanpa resep khusus untuk menjaga tubuhnya. “Syukurnya saya nggak punya keluhan berarti. Semua parameter kesehatan lewat tes lab menunjukan kondisi badan saya baikbaik saja. Jadi saya nggak kuatir ini itu atau pantang ini dan itu. Semua berimbang saja,” ujar pemegang penghargaan Satya Lencana Karya Setia ini.
Disiplin dan jiwa kemanusiaan adalah dua keteladanan yang patut dicontoh dari ahli intervensi jantung Indonesia, Prof. Teguh Santoso.
Belajar di Kampus Salemba Prof Teguh memutuskan untuk tetap ‘teguh’ pada janjinya melanjutkan studi di FKUI, meski ia bisa saja beralih ke kampus lain. Sebuah kebahagiaan luar biasa baginya mengenakan jas putih saat kuliah di FKUI. Ia pun masih teringat nomor registrasi mahasiswanya kala itu, yaitu nomor urut 400, sebuah bilangan yang menurutnya cukup unik. Kegemaran membaca terus berlanjut hingga ia kuliah, yang merupakan kunci keberhasilannya dalam studi. Ia bisa berlama-lama menekuri satu buku hingga lupa waktu. “Saya itu kutu buku dan terbiasa tidur jauh malam, kalau
DOK. HALO INTERNIS
osok nomor satu di Internal Publishing dikenal bersahaja. Tutur katanya menjadi daya tarik sendiri bagi sejawat lain. Segudang pengalaman di dunia medis telah ditorehnya. Ia adalah Prof. Dr. Teguh Santoso, SpPD, K-KV, SpJP, FACC, FESC, salah satu sosok yang bertanggungjawab terhadap kontinuitas dan mutu Acta Medica Indonesiana. Sebagai ‘Person in Charge’, ia harus membagi waktunya yang tinggal secuil untuk jurnal kebanggan penyakit dalam ini. Kali ini, untuk rubrik Profil Halo Internis, ia membagi kisah hidupnya di sela jam praktiknya kepada kami untuk selanjutnya kami hadirkan kepada para pembaca. Ia mengawali cerita tentang dirinya saat belum mengangkat sumpah Socrates. Panjang berbincang dengannya, cukup membuat lawan bicaranya mengerti, bahwa ia adalah orang yang penuh dengan rencana, dengan langkah yang matang dan penuh perhitungan. Menurutnya, menjadi dokter merupakan keinginan yang sudah diidamkan dari dulu, yang tumbuh sejak Teguh masih duduk di bangku SMP. Keinginan itu bertambah kuat saat seorang paman mengajaknya ke Jakarta. Di ibukota, Teguh muda berkesempatan mendokumentasikan gambarnya di depan pelataran FKUI. Sebuah janji terpatri di hatinya: “Satu waktu saya akan masuk ke sini.” Selanjutnya, untaian cerita yang berjalan seperti menyesuaikan dengan janjinya yang terucap di Salemba. Studi di kota Purwokerto diselesaikannya hingga selesai jenjang menengah pertama. Sekolah menengah atas ia tempuh di ibukota, di SMAK Pintu Air yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan SMU Penabur, Senen, Jakarta Pusat. Ia merampungkan studi di SMA dengan nilai terbaik. Bukan hanya di kalangan sesama pelajar di SMAK Pintu Air tapi untuk seluruh pelajar SMA se-Jakar ta. Ia dinobatkan menjadi lulusan terbaik SMA seJakarta. Predikat bintang pelajar yang disandangnya itu, membuatnya berpeluang besar masuk ke kampus yang diidamidamkannya, FKUI. Meski demikian, masih tersisa hasrat mencoba melamar ke kampus kedokteran lainnya. Ia pun mengikuti
lampu asrama sudah dimatikan karena malam, maka saya pindah ke perpustakaan UI yang lampunya tak kunjung padam,” katanya. Usai menamatkan pendidikan kedokteran di tahun 1961, ia diminta memperkuat divisi penyakit dalam, dan berhasil memperoleh gelar spesialis penyakit dalam pada 1975. Ketertarikannya pada studi organ jantung membuatnya menekuni sub spesialis jantung yang menjadikannya kardiologis pada tahun 1978. Haus akan pengetahuan membuat suami dari Dewi ini menekuni banyak jurnal dan mengikuti short course. Ia sempat mengikuti program Thorax Centre Erasmus University Rotterdam yang merupakan salah satu pusat kardiologi terbaik di dunia. Ia kembali membuktikan keunggulannya lewat program Sandwich yang dituntaskan dengan predikat magna cum Laude untuk gelar PhD-nya di Rotterdam. Menekuni jurnal, membuat publikasi medis, bertemu dengan banyak kardiologi, merupakan kesempatan bagi Teguh untuk mengasah keahlian di bidang jantung. Terlebih ketika diperkenalkan metode Percutaneous Coronary Intervention (PCI) yang menggunakan balloon untuk melebarkan penyempitan pada vena jantung. Metode PCI yang pertama kali digagas oleh Andreas Gruentzig itu, makin berkembang hingga menggunakan cincin yang dikenal dengan nama stent. Metode PCI akan menghindarkan bedah terbuka yang umum dilakukan untuk penanganan kelainan pada jantung dan juga akan menyingkat waktu perawatan bagi pasien. Prof. Teguh merupakan klinisi yang awal dalam menekuni studi PCI untuk kawasan Asia Pasifik. “Metode ini memang diawali oleh Andreas di negaranya sendiri. Mula-mula tidak diterima. Tetapi penelitiannya selalu berhasil pada pasien, pertama, kedua, ketiga demikian terus pasien bisa bertahan hidup hingga paper yang menyebut kegagalan tindakannya barulah konsepnya diperkenalkan kepada klinisi lainnya di dunia,” ujarnya. Kini keahlian di ranah PCI itu yang membuat ayah tiga putri ini menjadi sangat populer. Ia kerap diminta unjuk kebolehan dengan melakukan live demo
Menekuni Studi Sel Punca Belakangan namanya mencorong lagi lewat studi sel punca atau stem cell. Malah, ia adalah salah seorang pemegang sertifikat dari Texas Heart Institute untuk dapat mengoperasikan NOGA, alat bantu pemetaan aplikasi stem cell. NOGA sendiri berjumlah 60 unit di seluruh dunia, dua diantaranya ada di Asia, satu di Indonesia dan satunya lagi di Hongkong. “Saya mau mengajak tenaga dokterdokter terutama yang muda untuk mengembangkan studi stem cell ini. Karena selain baru, teknik ini punya pros-
SOSOK
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
(HI)
”Dr. Sally Kok
Berewokan?”
angan terkecoh oleh nama. Itu yang harus diwaspadai ketika mendapati nama Dr. Sally Nasution, SpPD. Pasalnya, nama itu berarti dua pribadi: Yang satu berjenis kelamin wanita, cantik, mungil, dan tidak berewokan (ups.. tentu saja). Sedangkan yang lain kebalikan dari ciri-ciri yang pertama: pria, tinggi besar, dan memiliki kumis dan janggut yang cukup lebat. Akibat kesamaan nama dan ciri-ciri yang berbeda tersebut, seorang professor dari Jakarta pun terkecoh. Professor yang saat itu menjadi moderator pada sebuah seminar diberitahu, bahwa yang akan menjadi co-moderator adalah Dr. Sally Nasution, SpPD. Ia pun celingukan mencari sosok Dr. Sally yang cantik dan mungil. Di kursi moderator, ia mendapati yang duduk di sana adalah seorang yang tinggi besar dan berewokan. ”Anda melihat Dr. Sally?” tanyanya kepada orang tersebut. ”Loh, saya Dr. Sally, Prof,” jawab pria tersebut. Seketika sang professor berseru, ”Dr. Sally kok berewokan?”. Usut punya usut, sang professor baru menyadari bahwa yang saat itu menjadi co-moderator-nya adalah Dr. Sally yang memang telah duduk di kursi moderator: Dr. Salli Rosefi Nasution, SpPD, K-GH, FINASIM yang pria, tinggi besar, dan berewokan. Dia baru tahu, jika ada dua sosok yang memiliki nama itu. Kepada Halo Internis, Dr. Sally Nasution, SpPD (wanita) mengatakan, ”Tidak hanya sekali peristiwa tertukar itu terjadi. Kadang ada orang mencari-cari saya karena melihat nama Sally terpampang di sebuah announcement.” Ia pun hanya tertawa-tawa dengan berbagai kekeliruan tersebut.
J
Nah, berikut foto dua Sally. Jadi, jangan pula mengira, jika siang yang tampil adalah ’Sally berewok’, namun ketika malam menjelma menjadi ’Sally cantik jelita’. Hehehe... (HI)
Prof. DR. Dr. Sri Hartini Kariadi, SpPD, K-EMD, FINASIM
Sumbangan
Buku Diabetes ernyata lebih sulit membuat buku diabetes untuk awam ketimbang membuat diktat kuliah,” ujar Prof. DR. Dr. Sri Hartini Kariadi, SpPD, KEMD saat peluncuran buku hasil karyanya yang berjudul “Diabetes? Siapa Takut!!”. Membuat buku dengan segmen pembaca masyarakat awam, membuat si penulis harus menjelaskan istilah-istilah medis dengan bahasa yang mudah dipahami. Tapi, menurut Guru Besar Universitas Padjadjaran ini, di situlah letak seni dalam penulisan. “Saya melihat bahwa komunikasi dokter dan pasien di klinik atau tempat praktik sangat terbatas, sehingga banyak sekali pertanyaan tentang diabetes yang belum terjawab, padahal pasien harus memahami penyakitnya supaya mereka dapat mengendalikan penyakit tersebut secara mandiri,” ujar Prof. Sri menjelaskan alasannya menulis buku. “Keinginan pasien untuk mencari informasi yang lengkap mengenai diabetes juga terbentur dengan kurang tersedianya bahan bacaan yang memadai, seringkali tidak mudah dicerna, dan tidak lengkap.” Prof. Sri paham benar, bahwa bahwa para diabetisi (orang dengan diabetes) seharusnya mendapatkan edukasi yang cukup tentang pentingnya disiplin pengendalian diabetes. Berpuluh tahun menjalani profesi sebagai ahli medis yang bersentuhan dengan pasien diabetes membuat ia peduli untuk selalu memberikan waktu dan perhatiannya
T
”
untuk penyakit ini. Perkenalannya dengan dunia endokrinologi dimulai tahun 1978. Ia masih ingat, usai menyelesaikan pendidikan internis, ia diminta Dr. Haznam (alm.) untuk membantu di Subbagian Endokrinologi. Salah satu tugas utama di subbagian ini adalah menangani kasus diabetes bik di klinik rawat jalan (poliklinik) maupun di bagian rawat inap.
“Berawal dari subbagian inilah, begitu banyak pengalaman yang sudah saya dapatkan. Ada yang menyedihkan, mengharukan, mengharukan tetapi menyenangkan, menjengkelkan, dan membuat penasaran,” ujar puteri dari tokoh pahlawan Dr. Kariadi ini. Berbagai kondisi yang dialami pasien dengan diabetes menyentakkan hati Sri. Ia lantas giat melakukan berbagai kegiatan yang mendukung pengendalian diabetes. Ketua Perkeni Cabang Bandung ini aktif di bidang akademik dan pengelolaan serta penyuluhan penyakit yang sering disebut kencing manis ini. Ia juga tercatat sebagai salah seorang founder Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) yang didirikan pada 1986 ini. Ia juga mengantarkan Persadi (sebelum menjadi Persadia) diterima sebagai anggota International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 1994. Meski sibuk dalam pekerjaannya
DOK. HALO INTERNIS
pek bagus dalam penanganan kelainan penyakit yang kadang-kadang sudah tidak memiliki opsi lagi. Praktek stem cell ini juga menjadi keunggulan kita dibanding negara tetangga,” sambungnya. Keberhasilan stem cell telah diaplikasikan pada pasien yang sudah tidak punya harapan lagi karena keparahan pada jantungnya. Ia mencontohkan seorang pasien yang menjadi tulang punggung keluarga harus terkapar tak berdaya karena kelainan jantung yang sudah tidak ada harapan lagi. Setelah dilakukan tindakan dengan metode stem cell, si pasien dapat beraktivitas kembali, bahkan melakukan kegiatan yang lebih. “Ini luar biasa dan saya katakan lagi, stem cell adalah masa depan. Saya kerjakan bersama tim. Contoh ada pasien yang tidak punya harapan, dan dia tulang punggung keluarga maka saya upayakan. Meski harus merogoh dari kocek sendiri. Ini memang tidak murah,” katanya. Di atas semua pencapaiannya itu, ia mengatakan energi terbesarnya adalah cinta — pada Tuhan dan pada sesama. Ia merasa sudah ditakdirkan menjadi dokter yang dapat berbuat banyak dalam penyelamatan jiwa manusia. Ia mengatakan keberhasilannya baik di bidang PCI atau stem cell adalah bukan pencapaian tunggalnya seorang. Ia menganggap bahwa hal tersebut adalah keberhasilan tim. Bahwa ia yang menjadi tokoh sentral dalam tim, ia hanya menganalogikan dirinya seperti Tenzin Norgay. Orang dari suku Sherpa Nepal yang berhasil memandu Sir Edmund Hillary menjadi penakluk pertama puncak Everst. “Saya ingin seperti Tenzin, ia cuma ingin mencapai misinya mengantar Sir Hillary. Dan Sir Hillary pun sampai pada misinya yaitu menjadi penakluk pertama Mount Everst. Dan, sesudah itu Hilllary berbagi sifat filantropisnya kepada masyarakat Nepal dengan mengusahakan kesejahteraan dan membangun rumah sakit,” katanya. Filantropi ada cerita lain yang menjadi setting episode ketika ia berpraktek di klinik di Taman Sari. Klinik ini menangani pasien yang kebanyakan berasal dari golongan tidak mampu. Teguh biasa menggratiskan pelayanan medis kepada semua pasiennya di sini. Sampai-sampai ada tiga generasi yang berlangganan padanya, kakeknya, ayahnya dan anaknya dari satu keluarga. Daerah Tamansari terimbas kerusuhan yang terjadi pada 1998. Banyak bangunan di daerah sana yang mengalami kerusakan akibat kerusuhan. Tetapi, syukurnya petaka tidak terjadi di bangunan klinik dan rumahnya. “Rumah saya bagian depannya itu dari kaca. Tetapi tidak satu batu pun menyentuh rumah saya. Mungkin karena penduduknya baik yang ikut menjaga bangunan rumah saya. Karena ketika kejadian memang saya dan keluarga sedang tidak ada di rumah,” ujarnya takjub. Karena keadaan dan kekhawatiran keluarga, praktek di Tamansari berangsur-angsur ditinggalkan. Meski demikian ia masih membuka pintu untuk melayani pasien yang kurang mampu di kamar periksa di dua rumah sakit yang ia masih aktif berpraktek, RSCM dan RS Medistra.
S DOK. HALO INTERNI
10
hingga menjadi pembicara di tingkat internasional, istri dari Prof. Kudrat Soemintapoera, Ir, PhD (alm) ini tetap tidak melupakan hobinya. Ia piawi memainkan alat musik bas, bahkan sempat membentuk Band Wanita Saptawati, yang merupakan band wanita pertama di Indonesia, saat masih kuliah di Universitas Padjajaran. Semasa mahasiswa, ia juga menjadi pemain biola di orkes simfoni Bandung. Ia sekarang tidak lagi aktif dalam bermain musik. “Sekarang menjadi penikmat beberapa macam musik: klasik ringan, jazz ringn, blues, pop/langgam, keroncong, dan sedikit dangdut,” katanya. Mantan President Rotary Club Bandung Utara (RCBU) ini mengaku sempat menjadi pegolf yang fanatik. Hobi yang masih dilakukannya hingga kini adalah melukis. Mantan Pembantu Dekan Bidang Akademik Unpad ini belajar melukis dari pelukis Barli dan telah mengikuti beberapa kali pameran bersama. Motto hidupnya, tetap membuatnya awet muda: Keep your heart free from hate, your mind from worry. Live (HI) simply, expect little, give much.
KABAR PAPDI
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
11
Ketua-ketua PAPDI Cabang (Periode 2009 – 2012)
P
erhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia merupakan perhimpunan dokter di bawah Ikatan Dokter Indonesia yang memiliki jumlah anggota terbesar. Para internis tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kini, PAPDI telah memiliki 34 cabang di seluruh Indonesia. Berikut namanama ketua cabang PAPDI. Bogor
Dr. Taolin Agustinus, SpPD
Jawa Barat
Dr. Arto Yuwono Soeroto, SpPD, K-P, FINASIM, FCCP
Lampung
Dr. Fermizet Rudy, SpPD, FINASIM
Medan
Prof. DR. Dr. Harun Alrasyid, SpPD, SpGK, FINASIM
Sumatera Barat
Dr. Syaiful Azmi, SpPD, K-GH, FINASIM
Cirebon
Aceh
Dr. Krishna Wardana Sucipto, SpPD, FINASIM
Depok
Dr. H. Dedi Nuralamsyah, SpPD, FINASIM
Dr. H. Sugiyono Sanjoyo, SpPD, FINASIM
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Dr. B.A. Marbun, SpPD, FINASIM
Makassar
Prof. DR. Dr. H. Syamsu, SpPD, K-AI, FINASIM
Nusa Tenggara Barat
Dr. I Gede Palgunadi, SpPD, FINASIM
Sumatera Selatan
DR. Dr. Zulkhair Ali, SpPD, K-GH, FINASIM
Dr. H.A. Soefyani, SpPD, FINASIM
Malang
Dr. Putu Moda Arsana, SpPD, K-EMD, FINASIM
Palu
Dr. H. Abdullah Ammarie, SpPD, FINASIM
Surabaya
Dr. Poernomo Boedi Setiawan, SpPD, K-GEH, FINASIM
Bali
Banten
Prof. DR. Dr. Ketut Suastika, SpPD, K-EMD, FINASIM
Gorontalo
Dr. Nur Albar, SpPD
Kalimantan Timur
Dr. Carta Agrawanto Gunawan, SpPD, K-PTI, FINASIM
Maluku
Dr. Yusuf Huningkor, SpPD, FINASIM
Purwokerto
DR. Dr. I Gede Arinton, SpPD, K-GEH, FINASIM
Surakarta
Prof. DR. Dr. A. Guntur Hermawan, SpPD, K-PTI, FINASIM
Dr. Muthalib Abdullah, SpPD, FINASIM
Jakarta Raya
DR. Dr. Idrus Alwi, SpPD, K-KV, FINASIM, FACC, FESC, FAPSIC
Kep. Riau
Dr. Soritua Sarumpaet, SpPD, FINASIM
Maluku Utara
Dr. Eko Sudarmo Dahad Prihanto, SpPD, FINASIM
Riau
Dr. Jazil Karimi, SpPD, FINASIM
Tanah Papua
Dr. Samuel Maripadang Baso, SpPD, FINASIM
Bekasi
Dr. Ahmar Abyadh Umar, SpPD, FINASIM, M.Kes
Jambi
Dr. Bambang Sutopo, SpPD, FINASIM
Kupang
Dr. Kamilus KD Karangora, SpPD
Manado
Prof. Dr. Nelly Tendean Wenas, SpPD, K-GEH, FINASIM
Semarang
Dr. Tony Suhartono, SpPD, K-EMD, FINASIM
Yogyakarta
Prof. Dr. H.A.H. Asdie, SpPD, K-EMD, FINASIM
12
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
INFO MEDIS
DR. Dr. Zulkifli Amin, SpPD, K-P, FINASIM, FCCP Divisi Respirologi dan Perawatan Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM
TB Paru dan Ekstra Paru, Tips dan Triks untuk Internist
T
uberkulosis (TB) termasuk tiga penyakit tersering di ruang perawatan penyakit dalam, baik sebagai penyakit tersendiri atau sebagai komorbid. Sementara di poliklinik, TB termasuk lima besar dengan kunjungan tersering. Penyakit TB mengenai multiorgan, namun sebagian besar mengenai paru. Sebagai internis sehari -hari kita dihadapkan dengan berbagai kasus imunkompromis (geriatrik, diabetes, gagal ginjal, jantung, hati, hematologi dan lain-lain), dengan komorbid TB serta komplikasi/efek samping terapi yang juga mengenai multiorgan, tentu tatalaksananya memerlukan seorang yang kompeten untuk masalah multiorgan tersebut. Internis dengan kurikulum pendidikan spesialisasinya semestinya terlatih dan cost efektif menangani masalah TB paru dan extra paru ini. Internis adalah ujung tombak pelayanan TB dalam diagnosis maupun deteksi dini terjadinya komplikasi yang bisa mengenai multiorgan serta mengatasinya. Program penanggulangan TB tidak mudah dilakukan, mengingat lamanya pengobatan, mahalnya biaya, kemiskinan, kurangnya pengetahuan, banyaknya efek samping obat, dan meningkatnya insidensinya. Meningkatnya kasus-kasus imun kompromis seperti HIV terkadang menyulitkan dalam praktik/merawat pasien. Standar diagnosis dan pengobatan TB dari tahun 1940 saat kemoterapi anti TB diperkenalkan sudah beberapa kali mengalami perubahan, maka beberapa ahli TB dunia mencoba membuat suatu standar internasiolan yang mudah/praktis dan memperhitungkan berbagai aspek tatalaksana TB yang disebut ISTC (International Standard for Tuberculosis Care). Dengan membaca sekilas kita para internist sudah punya pegangan sederhana/akurat dalam menangani kasus TB apapun yang datang ke praktik kita atau yang kita rawat.
Standar Internasional Pengobatan Tuberkulosis (ISTC 2) ISTC versi 2 terdiri dari 21 standar yaitu : 1. Standar untuk Diagnosis (1=6) 2. Standar untuk Pengobatan (7-13) 3. Standar untuk Penanganan TB dengan infeksi HIV dan Kondisi Komorbid lain 4. Standar untuk Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Standar 1
Setiap orang dengan batuk produktif selama 2 – 3 minggu atau lebih yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB. Addendum Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk evaluasi adalah berat badan yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk.
Standar 2
Semua pasien (dewasa, remaja dan anak-anak yang dapat mengeluarkan dahak) yang diduga menderita TB paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopis minimal 2 kali yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin. Jika mungkin paling tidak 1 spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.
Standar 3
Pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita TB ekstra paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasilitas dan sumber daya, dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi. Addendum Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya TB paru dan TB milier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila mungkin, pada anak.
Standar 4
Semua orang dengan temuan foto toraks diduga TB seharusnya menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi. (klinis bagus tapi pada check-up didapat kelainan foto torak)
Standar 5
Diagnosis TB Paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan kriteria berikut: minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari), temuan foto toraks sesuai TB dan tidak ada respon terhadap pemberian antibiotik spektrum luas (Catatan: fluoroquinolon harus dihindari karena aktif terhadap Mycobakterium tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita tuberkulosis). Untuk pasien ini, jika tersedia fasilitas, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan.
Standar 6
Diagnosis TB intratoraks (yakni: paru, pleura, kelenjar getah bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala TB namun sediaan apus dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai TB dan pajanan kepada kasus TB yang menular atau bukti tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferron gamma release assay positif). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasilitas, bahan dahak seharusnya diambil untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung atau induksi dahak). Addendum Untuk penatalaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti infeksi tubrkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferon gamma release assay) dan kelainan radiografi toraks sesuai TB.
Standar 7
Setiap dokter yang mengobati pasien TB mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini, dokter tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tapi juga harus mampu menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan serta dapat menangani ketidakpatuhan bila terjadi. Dengan melakukan hal itu, penyelenggara kesehatan akan mampu meyakinkan kepatuhan kepada paduan sampai pengobatan selesai.
Standar 8
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavailibilitasnya telah diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamide dan etambutol. Etambutol boleh dihilangkan pada fase initial pengobatan untuk orang dewasa dan anak dengan sediaan hapus dahak negatif, tidak menderita tuberkulosis paru yang luas atau penyakit ekstraparu yang berat, serta telah diketahui HIV negatif. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan Rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Isoniazid dan Etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan tetapi hal ini berisiko tinggi untuk gagal dan kambuh, terutama untuk pasien yang terinfeksi HIV. Dosis obat anti tuberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat ( isoniazid, rifampisin dan pirazinamide), dan 4 obat ( isoniazid, rifampisin, pirazinamide dan etambutol) sangat direkomendasikan terutama jika menelan obat tidak diawasi. Addendum Secara umum terapi TB pada anak diberikan selama 6 bulan, namun pada keadaan tertentu ( meningitis TB, TB tulang< TB milier, dll) terapi TB diberikan lebih lama (9-12 bulan) dengan paduan OAT yang lebih lengkap sesuai derajat penyakitnya.
Standar 9
Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) kepada pengobatan, suatu pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai usia dan harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan serta layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien. Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah penggunaan cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap paduan obat dan menangani ketidakpatuhan, bila terjadi. Cara-cara ini seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihak yaitu pasien dan penyelenggara pelayanan. Cara-cara ini dapat mencakup pengawasan langsung menelan obat (directly observed therapy-DOT) oleh pengawas menelan obat yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan.
INFO MEDIS Standar 10
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
13
Semua pasien harus dimonitor responnya terhadap terapi; penilaian terbaik pada pasien tuberkulosis ialah pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (2 spesimen) paling tidak pada waktu fase awal pengobatan selesai (2bulan), pada lima bulan, dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan sediaan apus dahak positif pada pengobatan bulan kelima harus dianggap gagal pengobatan dan pengobatan harus dimodifikasi secara tepat (lihat standard 14 dan 15). Pada pasien tuberkulosis ekstra paru dan pada anak, respon pengobatan terbaik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks umumnya tidak diperlukan dan dapat menyesatkan. Addendum Respons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru BTA negatif dapat dinilai dengan foto toraks
Pemberian Oral Anti Tuberculosis (OAT) yang adekuat merupakan kunci keberhasilan pengobatan penderita TB Paru. Pemberiaan OAT ini sesuai dengan yang dianjurkan oleh WHO, dimana panduan obat yang diberikan disesuaikan dengan kategori penyakit. Walaupun panduan obat tersebut mampu menyembuhkan penderita TB, ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak terwujudnya kemampuan tersebut antara lain: keteraturan pengobatan, resistensi obat, timbulnya efek samping, gejala awal, adanya penyakit lain yang menyertai, umur, tingkat pendidikan dan pekerjaan, pola konsumsi makanan, bahan toksik, pengawas pengobatan, tingkat pengetahuan penderita, edukasi oleh petugas kesehatan, sikap petugas, keluhan awal, dan keterjangkauan fasilitas kesehatan. Pemberian obat TB menimbulkan efek samping, hal ini harus dikenali oleh para internis dan disampaikan pada pasien kemungkinan terjadinya, sehingga mengurangi kemungkinan putus berobat. Beberapa masalah yang sering dihadapi internis dalam pengobatan TB, antara lain jika dugaan TB muncul pada penderita DM, maka pengobatan harus diberikan walau tanda-tanda klinis lain masih meragukan. Faktor pentingnya adalah mengontrol/mengendalikan gula darah penderita. Tatalaksana TB pada DM tidak berbeda dengan cara penatalaksanaan non DM. Perlu menjadi perhatian bahwa keadaan imunodepresi dapat menyulitkan pengobatan, karena walau OAT masih sensitive tetapi bila gula darah tinggi tetap tidak efektif kerjanya. Karena itu faktor edukasi pada DM khususnya tentang diet harus betul-betul dijalankan. Perlu diketahui bahwa rifampisisin dapat menurunkan metabolisme, termasuk obat antidiabetes (OAD), terutama pada dosis lebih dari 600 mg/hari. Hepatitis karena efek OAT tak sulit ditegakkan, dia dapat menyerupai bentuk hepatitis virus. Relatif mudah mengungkap penyebabnya melalui anamnesa. Gejala klinis, bila ada selain ikterus, dapat berupa gejala-gejala hipersensitivitas seperti demam, arthritis, mialgia, eksantema, pruritus, konjungtivitis, nyeri kepala dan sebagainya. Gambaran klinik sering tidak disertai ikterus dan kadang-kadang tidak disertai gejala subjektif. Gejala hepatitis toksik dapat didiagnosis dengan peningkatan enzim SGOT/SGPT dan akan membaik setelah obat-obatan yang diminum sebelumnya dihentikan. Konsensus penegakan diagnosis hepatitis toksik adalah: 1. “Mungkin hepatitis toksik” bila waktu antara mulai minum obat yang bersifat hepatotoksik sampai terjadinya reaksi antara 5-90 hari dan bila lebih dari 90 hari berarti “compatible” untuk hepatitis toksik. 2. “Sangat mungkin” jika reaksi setelah obat dihentikan, tampak perbaikan kadar enzim hati turun separuhnya dalam 8 hari dan “mungkin” bila perbaikan dicapai dalam 30 hari. 3. kepastian penyebab kelainan hati selain toksik (obat) adalah dengan pemeriksaan biopsi hati. 4. Respon posistif dengan dihentikannya obat, tampak berupa perbaikan minimal 2 jenis enzim hati. Talaksana hepatitis karena oat adalah menghentikan sementara pemakaian obat yang bersifat hepatotoksik sampai fungsi hati normal kembali. OAT yang bersifat hepatotoksik sebaiknya tidak diberikan lagi bila terjadi hepatitis akibat pemberian obat tersebut, dan diganti dengan obat anti tuberkulosis yang lain. Beberapa senter menganjurkan pemberian obat yang sama setelah fungsi hati kembali membaik, obat-obat tersebut diberikan dengan dosis kecil terlebih dahulu
kemudian dinaikkan secara bertahap sampai dicapai dosis terapi. Biasanya fungsi hati akan kembali normal setelah 2-4 minggu penghentian obat. Sebagaimana penatalaksanaan hepatitis akut karena virus, terdapat 3 penatalaksanaan umum yang meliputi tirah baring, diet, dan obat-obatan. Dianjurkan istirahat di tempat tidur sampai ikterus minimal dan transaminase serum turun mendekati normal. Diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat bias diterapkan. Bila nafsu makan telah pulih dianjurkan diet tinggi protein untuk mempercepat penyembuhan. Belum ada obat yang mempunyai khasiat khusus memperbaiki kerusakan sel hati. Obat- bersifat suportif dan simtomatik, membantu pulihnya gejala klinik/ laboratorium dan memberikan rasa nyaman, serta diikuti penurunan tes faal hati kearah normal. Salah satu penanda keberhasilan penatalaksanaan adalah pada perbaikan nilai SGOT dan SGPT.
Beberapa Kiat Penting Bila ada kecurigaan adanya TB paru maka pemeriksan dahak adalah satu keharusan. Pasien harus diberitahu dengan baik dan pastikan betul pasien mengerti bahwa pengobatan perlu jangka waktu minimal 6 bulan meskipun gejala-gejala cepat menghilang, penting berobat sampai tuntas. Kita harus berlaku ramah dan simpatik, keluarganya harus diikutsertakan sebagai pengawas minum obat, semua orang yang kontak serumah dengan pasien harus diperiksa, tunjukkan obat dan cara menelannya selengkap mungkin, beritahukan juga tentang kemungkinan komplikasi ringan sampai berat yang akan terjadi dan kesiapan anda sebagai dokter untuk mudah dihubungi, (beritahu bahwa kencing akan berwarna merah, mual ringan yg mungkin terjadi bisa dihindari dengan makan obat saat akan tidur). Dibuatkan/isilah kartu berobat yang jelas dan pencatatan yang terstandarisasi. Pasien yang sudah dijanjikan berobat pada waktu tertentu dan tidak datang, harus kita usahakan ada petugas yang mencari penyebab dengan mendatangi rumahnya. Bila terjadi alergi obat dan kita perlu melakukan desensitisasi maka mulailah dengan dosis 10% dari dosis standard kemudian dinaikkkan bertahap. Pada sebagian besar penderita yang secara radiologis torak tergolong TB moderate dan advance: ada gejala penurunan berat badan, demam dan keringat malam, batuk lebih dari 2 minggu, dan batuk berdarah. Sedangkan gejala berikut biasanya bisa ada atu tidak ada antara lain: rasa lelah, penurunan nafsu makan, sakit dinding dada, nafas pendek, wheezing local, influenza berulang. Untuk memeriksa dahak terkadang kita ada kesulitan mengumpulkan nya, beberapa kiat dibawah ini penting jadi catatan: wadah dahak dengan mulut yang lebar, kuat agar tak sampai rusak/pecah yang berakibat penyebaran kuman. Periksa minimal 2 kali pengumpulan dahak yaitu dahak saat pertama bertemu, dahak kedua pagi hari sesudah bangun pagi. Perangsangan dahak bisa dengan cara beri teh manis, ini akan membantu produksi dahak. Meminta pasien sujud sambil ditepuk pelan-pelan punggungnya dengan persiapan batuk berdehem beberapa kali kemudian dilanjutkan batuk dalam dan keras sehingga dahak yang dikeluarkan berasal dari bronkus/bronkiolus dan kemungkinan mendapatkan kuman lebih besar. Bisa juga dengan bantuan nebulizer yang diisi dengan NaCl 3%. Bila perlu sekali bronkoskopi dengan bronkoalveolar lavase juga membantu untuk mendapatkan sputum yang representative (internist optional saat ini dengan pelatihan 3 bulan sudah berkompeten untuk
melakukan bronkoskopi diagnostic di RSCM). Bila didapat cairan pleura maka aspirasi cairan bisa dijadikan bahan untuk diagnostic, begitu juga biopsi pleura perkutan sampai biopsy paru. Aspirasi jarum halus pada limfadenitis (colli. Axilla, inguinal) mudah dilakukan dengan jarum no. 21, 22, 23, kirim specimen sesudah difiksasi dengan alkohol 96% (3 sediaan), formalin (3 sediaan) dan kering (3 sediaan). Lesi pleura tanpa adanya effusi hati2 sekali aspirasinya sebab proses granuloma pleura akan melebar bila ditusukdan me mudahkan terjadi pnumotorak. Terkadang pada keadaan infeksi berat (organ apapun) berbagai antibiotic non spesifik sudah diberikan, pasien tetap panas, sedangkan tanda-tanda TB tak didapatkan, maka pemberian anti TB (dengan tujuan diagnostic efek terapi) pada sebagian kasus ternyata member hasil baik. Rontgen dada tak bisa jadi dasar diagnosis pasti paru ok ada beberapa penyakit lain dengan gambaran sama (kanker, jamur, abses). Ada beberapa keadaan yang memberikan kesan kuat suatu tb paru antara lain: bercak atau nodul diapeks paru, adanya kavitas terutama bila lebih dari satu, adanya fibrosis yang menandakan tb lama, adanya bayangan soliter berbentuk oval atau bundar. Adanya pembesaran kelenjar limfe di hilus dan mediastinum, adanya titiktitik kecil yang tersebar.
Pengobatan Sebagai internis kita harus tahu betul tujuan pengobatan antara lain: menyembuhkan pasien dengan komplikasi seminimal, mencegah kematian pada yang sakit berat, mencegah kerusakan paru yang lebih luas dan komplikasinya yang terkait, mencegah kekambuhan, mencegah resistensi, melindungi keluarga/orang-orang dekat dia terinfeksi.
Peran steroid Penting dalam penyembuhan tuberkusosis meningitis, mengurangi pengeluaran cairan akibat proses inflamasi pada TB pericardium, effuse pleura dan peritoneal. Mengurangi pembentukan jaringan fibrotic pada TB mata, laring dan ureter yang bila terlambat pemberiannya akan berakibat cacat. Pada keadaan TB paru yang berat sekali dan diperkirakan akan meninggal dalam beberapa hari maka proses inflamsi yang berat tersebut bisa diminimalkan sampai kemudian efek bakteriosidik dan static dari obat anti TB bisa bekerja. Terkadang kita mendapatkan TB adrenal dengan penampilannya yang khas (kulit gelap) dan gambaran insuffisiensi sistemik dari hormone adrenal tersebut. Penggantian dengan glucocorticoid disini vital agar pasien tetap bertahan hidup. Kejadian alergi karena obat-obatan anti TB juga sering kita dapatkan maka disamping penghentian obat dan anti alergi maka pada keadaan berat steroid mempunyai peran penting. Perlu diingat bahwa jangka pendek-sedang steroid bisa menimbulkan retensi cairan, gangguan mental, perburukan ulkus peptic/duodenum dan ‘moon face’, pemberian berkisar dari 2 minggu sampai 4 minggu. Dosis umunya 0,75 mg-1 mg /kgbb. Penting diperhatikan bahwa rifampisin bersifat antagonis terhadap kerja prednisoson sehingga dosis prednisolon ini pada 2 minggu pertama penderita yang memakai rifampisin dosisnya harus dinaikkkan 50 persen.
14
INFO MEDIS
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
Dr. Faridin Pango, SpPD, K-R, FINASIM Divisi Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unhas / RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar
Penatalaksanaan Terbaru
Artritis Gout Penatalaksanaan
Bila GFR kurang dari 50-60 ml/menit, diberikan kolkisin dengan dosis setengah dari dosis normal.
Faktor gaya hidup (lifestyle)
ata gout berasal dari kata gutta, yang berarti tetesan, kartena pada jaman dahulu, gout dianggap sebagai akibat adanya tetesan jahat kedalam persendian. Gout disebut juga sebagai the king of diseases dan the disease of kings. Hal ini dihubungkan dengan beberapa nama orang terkenal yang menderita penyakit tersebut, yaitu Alexander the Great, Queen Anne, Leonardo da Vinci, Benyamin Franklin dan lain sebagainya. Artritis Gout merupakan penyakit yang diakibatkan oleh deposisi kristal monosodium urat pada sendi atau di jaringan yang akan menimbulkan 1 atau beberapa keadaan klinik berikut : • Serangan inflamasi sendi yang akut atau kronik berulang yang disebut artritis gout • Akumulasi deposit kristal pada sendi, tulang, jaringan lunak atau rawan sendi yang disebut tofus. • Gangguan fungsi ginjal yang disebut nefropati gout • Batu asam urat di saluran kemih. Sedangkan hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat pada laki-laki diatas 7 mg/dl dan pada wanita diatas 6 mg/dl. Pada laki-laki, akan terjadi peningkatan kadar asam urat serum secara bertahap setelah pubertas sampai mencapai 5,2 mg/dl. Pada wanita, tidak akan ada peningkatan kadar asam urat se-
K
Pengaruh diet terhadap asam urat darah sekitar 10%, sehingga dengan pengaturan diet dan gaya hidup merupakan hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan gout. Obesitas merupakan faktor komorbid yang berperan dalam pengaturan diet. Intake alkohol yang tinggi (khususnya bir), fruktosa, daging dan seafood meningkatkan resiko terjadinya gout. Indeks massa tubuh yang rendah akan mengurangi resiko. Vitamin C dan cherries akan menurunkan sUA. Pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan rendah purin, jangan daging, seafood, dan sayuran yang kaya purin. Diet yang dianjurkan biasanya rendah karbohidrat (40%) high protein (30%), dan lemak tidak jenuh (30%). Meskipun pengaturan diet tidak menurunkan sUA secara signifikan tetapi hal ini tetap membantu dalam penatalaksanaan untuk mencegah serangan akut arthritis yang sering berulang.
Kortikosteroid bekerja pada reseptor glukokortikoid sitisolik untuk ekspresi gen alter. Kortikosteroid juga memiliki efek non genomik yang dimediasi oleh reseptor glikokortikoid sitosolik permukaan yang mengelilingi reseptor glikokortikoid dan interaksi tambahan dengan protein membran sel. Pada gout, kortikosteroid dapat diberikan sistemik, IV, IM, IA jika terjadi pada satu atau dua sendi yang terkena. Kortikosteroid merupakan salah satu pilihan bila NSAID dan kolkisin tidak dapat diberikan atau pada kasus refrakter.
IL-1 reseptor antagonis Golongan obat ini sementara dalam uji coba tahap III. Dikenal dengan Rilanocept suatu reseptor antagonis dari IL-1, merupakan terapi baru yang kini berkembang. Dasar dari terapi ini adalah berdasarkan bahwa kristal MSU menstimulasi inflamasome yang menyebabkan sekresi IL-1?. IL-1 inhibitor mencegah sekresi IL-1 serta memblok sekresi IL-1 dengan makrofag melalui mekanisme TLR-dependent. Penghambatan IL-1 juga memperlihatkan keberhasilan dalam penatalaksanaan sindrom autoinflamasi herediter, dimana mutasi dari gen NALP3 menyebabkan aktifasi spontan inflamasome NALP3.
Pengobatan Kondisi Akut Gout Obat anti inflamasi non steroid Tujuan terapi pada keadaan ini adalah untuk menghilangkan nyeri secara tepat dan aman. NSAIDs merupakan terapi pertama yang paling sering digunakan pada kondisi flare akut. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) segera diberikan, OAINS sebaiknya dihindari pada penyakit ulkus gastrointestinal, perdarahan atau perforasi, insufisiensi ginjal, gagal jantung, dan yang sementara menggunakan anti koagulan. Efek samping meningkat kejadiannya pada pasien usia lanjut sehingga pemberian OAINS sebaiknya bersama dengan PPI.
Kolkisin
rum sampai mencapai menopause. Pada pramenopause, kadar asam urat serum rata-rata hanya 4 mg/dl dan meningkat menjadi 4,7 mg/dl setelah menopause. Insiden kejadian gout khususnya di Sulawesi Selatan cukup tinggi sekitar 10% pada laki-laki, dan 4% pada wanita. Kejadian ini tidak dapat dipisahkan dengan kebiasaan orang di daerah ini mengkonsumsi makanan tinggi purin (coto Makassar).
Kortikosteroid
Kolkisin merupakan suatu alkaloid, berasal dari bunga Chalchicum autumnale, pertama kali digunakan pada abad keenam SM oleh Alexander of Tralles. Mekanisme kerja kolkisin memblok serangkaian mikrotubulus pada neutrofil yang mengurangi fagositosis dan transport kristal MSU. Kolkisin juga berperan dalam migrasi neutrofil pada sendi dengan mengurangi perlekatan molekul pada sel endotelial dan respon molekul terhadap IL-1 dan TNF-?. Yang terbaru diketahui bahwa kolkhisin juga mengurangi inflamasome NALP3 aktifasi caspase-1 yang akan menurunkan pengantaran MSU. Pada artritis gout akut, kolkisin diberikan 0,5 mg/ jam sampai tercapai perbaikan nyeri dan inflamasi, atau timbul toksisitas gastrointestinal, yaitu muntah dan diare, atau tercapai dosis maksimal perhari, yaitu 8 mg. Namun bila pasien dilakukan rawat jalan maka dosis pemberian kolkisin yaitu empat kali 0,5 mg setiap hari. Pada gangguan fungsi hati dan ginjal, dosis kolkisin harus diturunkan.
Pengobatan Gout Kronik Urate Lowering Therapy (ULT) diindikasikan pada serangan berulang, artropathy, tofi, UA batu ginjal, gambaran radiologi dari gout. ULT dapat dibagi atas agen uricostatik yang menurunkan produksi asam urat, agen uricosurik yang meningkatkan ekskresi ginjal atau agen uricolitik yang memetabolisme asam urat. Target terapi adalah mencegah terbentuknya kristal MSU sesuai rekomendasi EULAR yaitu≤0.30 mmol/L atau≤0.36 mmol/L. Meskipun demikian, target optimum asam urat belum diketahui dan masih bervariasi pada tiap-tiap kelompok. Profilaksis untuk saat serangan akut diberikan bersama ULT, baik NSAID ataupun kolkisin. Bila tanpa profilaksis, 77% pasien akan mendapat serangan akut dalam 6 bulan pertama pada penggunaan allopurinol. Kolkisin dosis rendah terbukti efektif sebagai profilaksis, dan efek samping diare didapatkan pada sedikit subjek. Hasil dari RCT mengindikasikan pemberian kolkisin 600 µg dua kali sehari dalam 3 hingga 6 bulan selama penggunaan ULT, secara signifikan mengurangi frekuensi dan keparahan dari suatu serangan akut gout. Obat penurun asam urat dikenal dalam tiga kelom-
INFO MEDIS
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
15
Urikosurik Obat ini meningkatkan klirens ginjal terhadap urat. Digunakan < 15% pasien gout. Obat – obat yang masuk dalam kelompok ini adalah Benzbromarone, sulphinpyrazone dan probenesid bekerja menghambat URAT-1 sehingga mengakibat reabsorpsi urat menurun. Kontra indikasi: neprofati urat, riwayat nefrolitiasis.
Benzbromaron Dimetabolisme oleh sitokrom P450. Risiko hepatotoksik 1 : 17.000 dari 4 kasus yang dilaporkan. Dosis : 50-200 mg perhari, dapat ditoleransi, monitor fungsi hati penting dilakukan. Suatu penelitian RCT : membandingkan benzbromarone (200mg perhari) dengan Probenesid (1g, dua kali sehari), pd pasien dengan kontra indikasi allopurinol atau gagal mencapai sUA<0.3. mmol/L, didapatkan 92% mencapai target sUA dengan benzbromarone dan 65% dengan probenesid.
Probenezid Efektif bila pemakaian allopurinol tidak memberi hasil yang baik, namun tidak efektif pada gangguan fungsi ginjal. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5 – 2,0 gram dengan dosis terbagi perharinya.
Urikolitik
pok yaitu uricostatic, uricosuric dan uricolitic. Termasuk kelompok obat uricostatic adalah Allopurinol dan Febuxostat. Kelompok obat uricosuric Benzbromaron, Sulfinpirason, dan Probenesid. Sedangkan kelompok obat uricolytic adalah Rasburicase, Poly(ethylene) glycol uricase (PEG-Uricase).
Allupurinol Allopurinol merupakan golongan uricostatic pada keadaan gout kronik dan obat ini banyak digunakan sebagai Urate lowering therapy (ULT). Terdapat hubungan antara dosis allopurinol dan asam urat serum. Allopurinol mengurangi asam urat serum dengan menghambat xantine oksidase (XO) yang akan membentuk xantin, hasil dari metabolisme purin, yang akan berubah menjadi asam urat. Direkomendasikan 100mg perhari dan dinaikkan 100mg tiap 1-2 minggu dengan pengontrolan asam urat dan kreatinin klirens (dosis max 900mg). Efek samping berupa rash (2%), vaskulitis, eosinofilia, reaksi hipersensitivitas yang mengancam hidup, hepatitis, penurunan fungsi ginjal dan supresi sum-sum tulang. Dosis allopurinol harus diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, hal ini penting karena ekskresi dari allopuurinol.
Oxypurinol, metabolit dari allopurinol, merupakan alternatif padaindividu yang alergi terhadap allopurinol, tetapi hanya didapatkan 40% kemungkinan terjadi reaksi silang.
Febuxostat Febuxostat merupakan obat baru sebagai ULT, secara selektif menghambat XO tergantung dari status redox dan tidak memberi efek pada jalur enzimatik metabolisme purin/pirimidin. Febuxostat dimetabolisme dengan konjugasi melalui uridine diphosfat glukoronyltransferase. Tidak ada penurunan dosis pada kelainan ginjal sedang (kelainan hati sedang). Keuntungan lain: tidak berinteraksi dengan warfarin dan pilihan untuk pasien alergi allopurinol. Efek samping berupa diare, pusing, mialgia, takikardi, joint – related / musculosceletal/connective tissue symptom. Trial fase 2 : Febuxostat dosis 40, 80, dan 120 mg memberikan efikasi sebesar 56,76, dan 94% dalam 28 hari dengan sUA < 6mg/dl. Trial fase 3 : Febuxostat 80mg dan 120 mg dengan allopurinol 300mg selama 52 minggu, memperlihatkan penurunan sUA terbanyak pada febuxostat 120mg (p<0,001).
13-16 OKTOBER
TANGGAL BULAN
OKTOBER
NAMA KEGIATAN
Brain and Heart Symposium
ASPTH (Asia Pasific Society of Thrombosis Hemostasis)
BANDUNG
BALI, NUSA DUA
TEMPAT
SEKRETARIAT/ PJ ACARA
CONTACT PERSON
Divisi Kardiologi
AYU 31934636
Divis Hematologi PTHI (Perhimpunan Trombosis Hemostatis Indonesia) ERNI/BERNARD 392 6286 316 2497
Gen urikase manusia terdiri dari 2 mutasi yang secara langsung menyebabkan pemisahan transkripsi gen. Menyebabkan penurunan fungsi urikase, meningkatkan aktivitas antioksidan, peningkatan kemampuan menahan garam. Urikase mengubah urat menjadi allantoin, 10x lebih larut dan siap diekskresi.
Rasburicaze. Dikembangkan dengan teknik rekombinan DNA dari strain Saccharomyces cerevisae. Prevensi dan terapi dari Tumor Lisis Syndrom (TLS). Dosis : 0,2 mg/kgBB IV selama 5-7 hari. Digunakan sebagai terapi gout pada pasien transplantasi ginjal. Penggunaan obat ini memperlihatkan penurunan sUA yang cukup bermakna.
PEG-Uricase Poly(ethylene)glycol-uricase berbeda dengan protein PEGylated yg sering dipakai. Waktu paruh lebih panjang dan penurunan antigenisitas. Waktu paruh PEG-urikase 12 minggu dibandingkan rasburicase 19 jam. Trial fase 1, menunjukkan bahwa pemberian IV lebih baik dibandingkan SC, PEG-urikase menurunkan atau mengeliminasi ekskresi UA sehingga menguntungkan penderita nefrolitiasis urat. Trial fase 2, dosis efektif 8mg tiap 2 minggu. Efek samping biasanya mencetuskan serangan akut, reaksi di tempat infus, mual, muntah, pusing, gejala respiratorik, mialgia dan rash.
5-6 NOVEMBER
12-14 NOVEMBER
PIN PAPDI
JDM (Jakarta Diabetes Meeting)
Simp. Psikosomatik
JACIN (Jakarta Allergy & Clinical lmmunologi)
MALANG
JAKARTA
HOTEL SAHID JAYA
BALI
PB. PAPDI
Metabolik Psikosomatik
Divisi Psikosomatik
Divisi Alergi lmunologi
MUCHTAR 31931384
OLA/ANNA 3907703
MURTI 31930956
ENAH/TINI 3141160
5-7 NOVEMBER
NOVEMBER
16
INFO MEDIS
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
Dr. Bambang Subagyo, SpPD, SE, MM, FINASIM Komite Etik dan Hukum RSUP Persahabatan, Jakarta
Euthanasia dan Physician Assisted Suicide 2. Euthanasia Tidak Sukarela (non-voluntary euthanasia): adalah ET yang permintaannya tidak berasal dari pasiennya sendiri. (pasien mungkin sudah dalam keadaan tidak sadar). Biasanya keluarga pasien yang meminta tindakan tersebut. Termasuk didalam ET tidak sukarela adalah euthanasia yang tidak disadari (Involutary euthanasia); yaitu euthanasia yang dilakukan pada seorang pasien, sedang pasien yang bersangkutan tidak menyadari dilakukan euthanasia pada dirinya (bayi yang lahir dengan cacat yang sangat berat.)
II. Physician Assisted Suicide (PAS) Tindakan bunuh diri berbantuan (BDB) adalah tindakan bunuh diri yang dilakukan secara aktif oleh pasien yang berada dalam tahap terminal dari sakitnya,dimana dalam tindakan tersebut dibantu oleh dokter dengan melakukan tindakan yang dapat dianggap memberikan fasilitas pada pasien stadium terminal tadi untuk melakukan bunuh diri tersebut. Bantuan dokter tdapat melalui berbagai cara, seperti: menuliskan resep obat dengan dosis toxis, membantu mencarikan obat/zat yang beracun, menyediakan peralatan khusus yang dapat dipakai oleh pasien sebagai sarana untuk bu nuh diri, dsb.(1) Adapun tindakan bunuh diri dari seorang pasien yang dilakukannya tanpa keterlibatan dokter, tidak dapat digolongkan dalam PAS atau euthanasia, sekalipun tindakan tersebut menggunakan obat-obatan atau bahkan memakai peralatan medis. Tindakan tersebut termasuk dalam bunuh diri.
III. Euthanasia dan Physician Assisted Suicide Perdebatan Berkepanjangan
E
uthanasia (ET) dan Physician Assisted Suicide (PAS), adalah dua masalah etika medis dan hukum yang selalu aktual, bukan hanya pada saat ini tetapi juga dimasa lalu, bahkan tidak ter tutup kemungkinan masih akan diperdebatkan dimasa mendatang. Pertikaian antara mereka yang setuju dan yang kontra pada masalah ini, bersifat laten sehingga sewaktu-waktu dapat terjadi. Pendapat dari mereka yang setuju pada tindakan euthanasia dan physician assisted suicide yang dilakukan pada pasien yang berada dalam stadium terminal dari sakitnya, akan selalu berseberangan dengan pandangan norma, etika dan hukum, dari kelompok main-stream yang tidak dapat menyetujui pada kedua tindakan tersebut. Tidak berlebihan kalau Prof Bertens(1) menyatakan euthanasia sebagai perdebatan yang berkepanjangan, Sedang menurut Prof. Sugiri, dalam pro dan kontra euthanasia akan selalu berpolemik antara nalar, moral dan legal(6).
I. Euthanasia Kata euthanasia sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan dari dua suku kata, ialah Eu (= baik) dan thanatos (=kematian), Sehingga ketika dirangkai menjadi satu kata menjadi berarti sebagai ”mati yang baik”. Tetapi pengertian dari euthanasia yang dikenal umum pada saat ini, adalah suatu cara kematian dari seorang penderita yang berada dalam tahap terminal sakitnya, akibat dari tindakan aktif dokter yang memberikan obat atau membiarkan secara sengaja kondisi tertentu pada pasien tersebut sehingga berakibat timbulnya kematian. ET dapat dibagi kedalam siapa yang meminta ET dan cara bagaimana ET dilakukan(4,5):
A. Permintaan Dilakukan Euthanasia. 1. Euthanasia Sukarela (voluntary euthanasia): apabila tindakan itu dilakukan atas permintaan dari pasien yang bersangkutan,dilakukan berulang-ulang, dan dalam keadaan sadar.
B. Cara Melakukan Euthanasia 1. Euthanasia Aktif (ET-A): bila dokter secara aktif melakukan intervensi medis secara aktif pada pasien yang berada dalam tahap terminal sakitnya, yang mengakibatkan kematian pasien. Dalam perkembangannya ada dua macam ET Aktif ialah: ET Aktif yang dilakukan secara langsung, dan ET-A yang dilakukan secara tidak langsung. Disebut sebagai ET-A langsung bila tindakan medis yang secara aktif dilakukan oleh dokter tersebut memang diarahkan untuk pengakhiran hidup pasien itu. Contohnya adalah; pemberian obat yang toxis, K Cl dosis tinggi, dsb. Sedangkan yang dimaksud dengan ET- A tidak langsung, ialah tindakan meringankan penderitaan pasien dalam stadium terminal tersebut, tidak diarahkan untuk mengakiri hidup pasien tersebut. Namun dokter menyadari kalau tindakan tersebut, beresiko memperpendek usia penderita atau dapat mengakibatkan kematian pasiennya. 2. Euthanasia Pasif, letting die dan auto euthanasia. Adalah euthanasia dengan melakukan tindakan penghentian atau pencabutan segala macam peralatan bantu kehidupan pasien, sehingga akan menyebabkan pasien tersebut meninggal karena penyakit yang dideritanya. Perlu diketahui kalau istilah ET Pasif pada saat ini sudah jarang digunakan lagi untuk menyebut tindakan tersebut diatas, dan sebagai gantinya digunakan istilah ”tindakan untuk membiarkan pasien meninggal” (letting-die). Namun pada saat ini keputusan dokter untuk melakukan letting die pada seorang pasien yang sudah berada dalam keadaan terminal,ada yang menganggap tidak termasuk dalam tindakan euthanasia.(1) Masih terkait dengan euthanasia pasif ini adalah auto-euthanasia,yang terjadi bila seorang pasien sengaja menolak perawatan medis dan secara sadar ia mengetahui kalau itu akan memperpendek atau mengakhiri kehidupannya. Auto eutanasia dapat dianggap euthanasia pasif atas permintaan.(4)
Baik ET maupun PAS keduanya sampai saat ini belum diterima dikebanyakan negara, dianggap sebagai pelanggaran etik berat, bahkan termasuk tindakan kriminal. Dokter yang melakukan ET atau PAS, dapat dianggap sebagai pembunuh, atau minimal terlibat dalam rekayasa pembunuhan terhadap seseorang. Ditahun 1985 Paus Yohanes Paulus II sebagai pemimpin tertinggi umat katolik berpesan pada para ahli Akademi Pontifikal yang saat itu sedang membahas tentang euthanasia, Paus menegaskan bahwa tugas para dokter adalah menjadi pelayan kehidup an,bukan berperan sebagai tuan atau pemilik dari kehidupan itu. Euthanasia adalah sebuah tindak kriminal yang tidak beliau setujui dan tidak didukung.(2) Dalam agama Islam pun terdapat doktrin bahwa jiwa manusia adalah milik Allah swt, manusia tidak boleh sembarangan mencabut nyawa milik orang lain hanya karena pertimbangan dari manusia itu sendiri. Tindakan untuk menncabut jiwa orang lain,adalah dosa besar yang harus dihindari. Begitu pula tindakan bunuh diri, juga adalah dosa besar dalam agama Islam
Tetapi perdebatan masih berlanjut, walaupun pada saat ini mayoritas dokter, agamawan dan para pakar hukum masih belum dapat menerima eutanasia dan physician assisted suicide. Karena mereka yang setuju dengan ET dan PAS juga tidak kalah sengit berargumentasi. Mereka menanyakan apakah salah melaksanakan sesuatu hal yang diinginkan oleh pasien?
INFO MEDIS Bukankah ini merupakan salah satu penghargaan terhadap hak otonomi dari pasien? Dan apakah menghilangkan penderitaan pasien yang berada dalam tahap terminal dan sudah tidak ada harapan hidup lagi, bukan suatu tindakan maleficiale dari etika medis? Selain itu juga dipermasalahkan, bagaimana sikap etis dan tindakan dokter terhadap seorang pasien yang jelas telah berada dalam tahap terminal dari sakitnya, dimana tidak ada obat yang dapat menyembuhkan, sedangkan keluarganya telah kehabisan dana untuk membiayai perawatan pasien tersebut? Dimana akan terjadi perdebatan antara pertimbangan rasio ekonomis, etika medis dan hukum positif yang berlaku.
Bukti bahwa perdebatan euthanasia masih berlangsung, adalah dalam waktu hampir 100 tahun Inggris (UK) merupakan negeri yang telah tiga kali mencoba memberlakukan Undang-Undang tentang Euthanasia, tetapi telah tiga kali pula rancangan undangundang tersebut dibatalkan. Begitu pula negara bagian Northern Territory di Australia yang pada tahun 1995 telah menyetujui Undang-undang yang melegalkan Euthanasia, namun ternyata ditahun 1997 Undang-undang itu dicabut kembali oleh Senat Australia.(3) Negeri Belanda dan Belgia pada saat ini merupakan dua negara yang telah melegalkan euthanasia tetapi dengan mewajibkan beberapa persyaratan ketat yang harus dipenuhi terlebih dulu. Karena tanpa dipenuhinya persyaratan tersebut, tindakan euthanasia akan bertentangan dengan Kitab Undang undang Hukum Pidana yang berlaku di Negeri Belanda, sehingga merupakan perbuatan kriminal(1). Adapun syarat-syarat tersebut adalah(3): 1. Pasien harus menghadapi sesuatu yang tidak tertahankan lagi dan, tak dapat dicegah. 2. Permintaan mati harus diajukan secara sukarela dan pasien berada dalam kesadaran penuh. 3. Dokter dan pasien harus telah yakin memang tidak ada solusi yang lain. 4. Harus ada second medical opinion, dan pengakhiran kehidupan harus secara medis. Negara Swiss dan Oregon adalah tempat yang telah melegalkan PAS. Negara bagian Oregon di Amerika Serikat sejak 1997 telah mengizinkan PAS dengan persyaratan yang amat ketat. Walaupun begitu dinegara bagian Oregon tetap tidak mengizinkan dilakukan Euthanasia.
IV. Bagaimana Di Indonesia? Walaupun tidak menyebutkan secara implisit sesuatu sebagai tindakan euthanasia, namun KUH-Pidana kita(7), melarang tindakan yang dapat dikategorikan sebagai ET dan PAS. Baik ET aktif maupun pasif semuanya termasuk kedalam perbuatan melawan hukum. Dan bagi mereka yang dengan sengaja melanggar larangan tersebut, diancam dengan hukuman pidana penjara. Adapun pasal-pasal KUH-Pidana (7) yang berkaitan dengan hal ini adalah: a. Larangan pada tindakan yang mirip dengan eutha-
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010 nasia pasif, yang bila penderitanya meninggal karena tindakan tadi, diancam hukuman penjara sembilan tahun. (pasal: 304, 306) b. Sedang untuk hal-hal yang dapat digolongkan pada euthanasia aktif sukarela, larangannya diatur dalam KUHP pasal 344, dengan ancaman penjara selama-lamanya 12 tahun. c. Untuk assisted suicide bila ternyata kemudian benar-benar terjadi kematian pada penderitanya, menurut KUHP pasal 345, diancam penjara selama lamanya empat tahun. Namun berdasarkan pasal 340 KUHP, bagi mereka yang sengaja terlibat dalam perencanaan untuk menghilangkan nyawa orang lain, dapat diancam dengan hukuman mati atau seumur hidup atau dihukum selama 20 tahun, tergantung peran dan bobot pelanggaran hukumannya. Dalam KUHP juga tidak dibahas secara khusus tentang euthanasia yang inisiatifnya datang dari keluarga pasien. Logikanya jika niat mengakhiri kehidupan tadi datang dari keluarga, dapat dianggap sebagai suatu konspirasi untuk melakukan pembunuhan. Sekalipun dalam hal ini pihak keluarga telah membuat surat pernyataan diatas meterai dan ada saksi-saksi untuk hal itu. Disini dokter tetap berpotensi dianggap ikut merencanakan perbuatan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Dokter akan terbebas dari jeratan hukum, hanya jika dokter tersebut dapat membuktikan bahwa tindakannya itu terjadi karena ada kekuasaan (paksaan) yang tidak dapat dihindarkan olehnya (pasal 48 KUHP). Hukum Indonesia masih melarang tindakan euthanasia dan physician assisted suicide, bahkan dalam KUH Pidana Republik Indonesia sudah sejak lama terdapat pasal-pasal dan ancaman hukuman bagi yang sengaja melakukan perbuatan tersebut. Namun untuk pasien yang telah dipastikan telah mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otak
17
sama sekali, sekalipun jantungnya masih berdenyut, dimungkinkan dilakukan penghentian tindakan terapetik, dan ini bukan suatu euthanasia bila dilakukan dengan prosedur khusus.(3,6) Yaitu keputusan penghentian tindakan teraupetik tersebut harus dilakukan oleh suatu tim dokter. Dan hendaknya dalam pengambilan keputusan itu, ikut dipertimbangkan juga hal-hal yang menjadi keinginan dari pasien, keluarganya, serta bagaimana kualitas hidup terbaik yang masih dapat diharapkan dari pasien tersebut(4).
V. Kesimpulan Sekalipun euthanasia dan physician assisted suicide karena alasan etis dan hukum, tidak dibenarkan untuk dilakukan nyaris diseluruh negara didunia. Namun ada beberapa negara yang telah mengizinkan euthanasia aktif dan physician assisted suicide, sekalipun dengan persyaratan yang sangat ketat. Masalah euthanasia bukan suatu hal yang sederhana, karena termasuk dalam pelanggaran hukum yang cukup berat ancaman pidananya. Ironisnya seorang dokter dapat saja tidak sadar telah terjebak melakukan suatu tindakan yang tergolong pada euthanasia atau physician assisted suicide. Padahal tidak ada niat sedikitpun dari dokter itu untuk melakukan perbuatan tersebut. Walaupun begitu dalam kondisi khusus ketika seorang pasien sudah dalam keadaan mati batang otak, ada prosedur khusus yang dapat dilakukan dokter supaya tidak digolongkan pada tindakan euthanasia. Karena itu menjadi kewajiban bagi kita semua untuk memahami dengan benar, tentang apa yang dimaksudkan dengan euthanasia dan physician assisted suicide, termasuk ancaman pidana dari perbuatan itu. Agar kita tidak terjebak dalam situasi sulit yang semestinya dapat dihindari. Juga jangan sampai dikemudian hari seorang dokter dituntut oleh keluarga pasien, karena dianggap telah melakukan penghilangan nyawa secara paksa, Atau justru digugat karena dianggap melakukan tindakan sia-sia pada seseorang pasien yang sebenarnya sudah meninggal, sehingga membebani keluarganya secara moral dan materiel.
Daftar Pustaka Daftar Pustaka ada pada Redaksi.
18
BERITA CABANG
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
Kiprah PAPDI Cabang Gorontalo
Geliat PAPDI Cabang Makassar
Peduli Korban Banjir Gorontalo usibah kembali melanda bumi pertiwi. Kali ini, luapan banjir bandang melanda bumi di belahan pulau Sulawesi, tepatnya di Kabupaten Gorontalo pada bulan Juni 2010. Banjir kali ini merupakan akibat dari hujan deras tak henti yang turun selama beberapa hari. Akibatnya, luberan air kian tak terbendung sehingga banjir bandang pun mengancam. Meski banjir memang kerap terjadi di Gorontalo, namun tak dapat dipungkiri banjir kala itu adalah banjir terbesar dalam sejarah Gorontalo. Ratusan keluarga terpaksa mengungsi untuk menyelamatkan diri. Tentu saja, kondisi di pemukiman sangat memprihatinkan, tak senyaman tinggal di kediaman pribadi. Kurangnya bahan makanan, air bersih serta pakaian, serta lingkungan yang kotor mengundang banyak penyakit. Tak heran para pengungsi terancam berbagai penyakit. Melihat kondisi ini, nurani para jajaran dokter di Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Cabang Gorontalo pun turut tersentuh. Mereka ikut terjun untuk memberi bantuan kepada korban banjir. Karena korban terparah terjadi di dua kecamatan, yakni di Kecamatan Bongomeme dan Tibawa, Mereka pun memutuskan memilih turun ke kedua wilayah tersebut Rabu, 23 Juni 2010. Ada tiga orang anggota PAPDI yang turun, yaitu ketua PAPDI Gorontalo, salah seorang anggota lainnya, Dr Alex Coeliangan, SpPD, ser ta seorang
M
Ketua PAPDI menyerahkan bantuan secara simbolis kepada kepala desa Bongomeme.
anggota istimewa, Dr. Titin Payuhi. Bantuan bagi korban banjir ini merupakan bantuan kemanusiaan untuk korban banjir pertama yang dilakukan oleh PAPDI Cabang Gorontalo di Kabupaten tersebut sejak Perhimpunan ini diresmikan pada Februari 2010 lalu. “Kami berharap bantuan ini dapat meringankan beban yang dirasakan oleh para korban meski mungkin jumlahnya tak seberapa,” ujar Dr. Nur Albar, SpPD, ketua PAPDI Cabang Gorontalo. Pada kesempatan tersebut, PAPDI Gorontalo memberi bantuan untuk 140 keluarga yang mengungsi. Mereka menyumbangkan mie instan sekitar 100 karton, sekarung beras seberat 60 kg, air mineral dalam gelas dan biskuit sebanyak 10 karton, juga baju wanita (daster) 160 potong kepada para korban. Dengan latar belakang kedokteran mereka, PAPDI Gorontalo juga bantuan medis gratis pada para korban. “Ya seperti korban banjir pada umumnya, mereka kebanyakan datang dengan keluhan penyakit ISPA, gatal, diare, dan sejenisnya,” terang Nur Albar. PAPDI Gorontalo tidak sendiri, mereka juga mendapat bantuan dari pihak swasta dan dimediasi oleh Dinas Kesehatan Kab, Gorontalo dan Rumah Sakit MM Dunda. Hadir dalam kesempatan tersebut Kepala RS. Aloe Saboe, Dr. Zein Suweleh, SpTHT, serta sejumlah dokter internis, seperti Dr. Chandra Lasimpala, Dr. Zarman Hadati, dan juga Dr. Erna Lasabuda. (HI)
Selain pembagian bantuan, para dokter ahli sempat melakukan pengobatan gratis bagi warga korban banjir.
PAPDI bersama warga masyarakat Bongomeme.
PAPDI bersama warga masyarakat Tibawa.
Bertaraf Internasional dengan Citarasa Lokal su tentang kian maraknya dokter warga negara asing yang berpraktik di Indonesia, akhir-akhir ini menjadi perhatian khalayak, termasuk profesi kedokteran. Ada yang menganggapnya sebagai problema. Tak jarang juga yang justeru menyambutnya sebagai suatu kemajuan sekaligus tantangan bagi layanan kesehatan di negeri ini. Seperti yang dirasakan oleh kalangan dokter dari Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) cabang Makassar. “Keadaan ini justeru kian menantang kita sehingga termotivasi untuk lebih maju dan memberpaiki kualitas layanan kedokteran di sini,” ujar Prof. DR. Dr. Syamsu, SpPD, K-AI, Ketua PAPDI Cabang Makassar. Meski demikian, Prof. Syamsu menggarisbawahi agar kalangan dokter juga perlu mewaspadai adanya dokter asing baik yang sebenaranya malah kurang berkualitas. Bahkan ada pula dokter gadungan yang memanfaatkan sifat sebagian masyarakat Indonesia yang memiliki pola pikir luar negeri minded. Tantangan yang muncul tidak saja dari sisi dokter asing saja, namun juga merebaknya beberapa jenis jenis rumah sakit yang menyatakan bertaraf internasional. Menurut Prof. Syamsu, kondisi ini menciptakan tantangan bagi dunia rumah sakit di Indonesia untuk terpacu pula mendirikan rumah sakit semacam itu namun dengan menambahkan nilai lebih, citarasa lokal. Artinya menurut Direktur RS Pendidikan Univesitas Hasanuddin (Unhas) ini, rumah sakit tersebut disebut bertaraf internasional karena semua peralatan diagnostik dan penunjang terapi medisnya tergolong canggih dan masih harus didatangkan dari luar negeri. “Lalu saya sebut bercitarasa lokal, karena sebagian besar tenaga paramedis maupun medis berasal dari dalam negeri yang di samping itu sarana komunikasinya kemungkinan juga masih menggunakan bahasa Indonesia yang mungkin diperkaya dengan bahasa daerah setempat,” papar Prof. Syamsu. Tantangan semacam itu menurut Syamsu juga berlaku pada pemberi layanan kesehatan di tingkat lokal, pada rumah sakit-rumah sakit yang menggunakan nama daerah ataupun tokoh setempat. Sebab pada benak sebagian besar masyarakat, kata internasional memberi nilai lebih yang seakan memberi jaminan mutu untuk mendapatkan pelayanan yang prima. Karena hal ini pulalah, pengurus PAPDI Cab. Makassar periode 2009-2012 dalam 2 tahun terakhir terdorong untuk membuat berbagai kegiatan guna meningkatkan professionalisme dokter baik anggota maupun bukan anggota PAPDI. PAPDI Cabang Makassar dan dimotori oleh koordinator P2KB Dr. Idar Mappangara, SpPD, membuat beberapa ke-
I
Suasana Workshop pembuatan Apusan Darah Tepi, DDR, apusan hasil BMP
Suasana Workshop IMELS dengan peserta yang begitu antusias.
Kursus USG Tahap I bagi anggota PAPDI Cabang Makassar dan PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK-UNHAS
Kegiatan workshop pengisian borang P2KB manual dan online
giatan workshop bulanan dengan tema sesuai subdivisi yang berbeda. Subdivisi Tropis Infeksi misalnya mengadakan workshop dengan tema “Diagnosis dini dan Penatalaksanaan Dengue Syok Syndrom serta Penatalaksanaan Malaria Berat/Cerebral”. Beberapa workshop lain juga pernah dibuat oleh PAPDI Cabang Makassar diantaranya adalah workshop pembuatan Apusan Darah Tepi, DDR, apusan hasil BMP, workshop endokrin metabolik, workshop pengisian borang P2KB manual dan online, juga Workshop IMELS. Workshop pengisian borang P2KB manual dan online mengikutkan digelar dua kali, yakni untuk generasi baru dan generasi tua PAPDI Cab. Makassar. Sedang pada workshop IMELS, peserta terlihat begitu antusias sehingga melebihi dari kapasitas ruangan yang disiapkan. Tak hanya workshop, PAPDI Cabang Makassar juga menyelenggarakan kursus untuk meningkatkan keahlian para tenaga medis di Makassar. Diantaranya adalah kursus USG Tahap I bagi anggota PAPDI Cab. Makassar dan PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK-UNHAS. (HI)
ALBUM PAPDI
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
Rakernas PB PAPDI dan Cabang
Rakernas PB PAPDI dan semua cabang PAPDI berlangsung selama dua hari, 1-2 Mei 2010 di Hotel Borobudur, Jakarta. Tampak perwakilan dari seluruh cabang PAPDI sedang melakukan prosesi pembukaan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars PAPDI.
Rakernas PAPDI dihadiri seluruh pengurus PB PAPDI dan perwakilan dari 34 Cabang PAPDI se Indonesia. Seusai acara, pengurus PB PAPDI serta perwakilan cabang foto bersama. Musyawarah kerja selama dua hari ini membahas program kerja, persoalan-persoalan di cabang dan memutuskan kebijakankebijakan PAPDI terkait dengan perubahan kebijakan para stakeholder kedokteran di Indonesia.
PAPDI Forum
Bidang Humas dan Media PB PAPDI menyelenggarakan PAPDI Forum dengan tema “Ibadah Berkualitas Selama Puasa Tanpa Gangguan Penyakit”, di Gedung Graha Purna Wira pada 7 Agustus 2010. Simposium ini dihadiri oleh perwakilan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan , dokter-dokter dari Sudin Kesehatan dan masyarakat dari kader diabetes. Tampak Dr. Ari fahrial Syam, SpPD, K-GEH, FINASIM, MMB mewakili PB PAPDI memberikan plakat kepada perwakilan Sudin Kes Jaksel. Acara ini merupakan wujud partisipasi PAPDI merespon persoalan-persoalan kesehatan di masyarakat.
Para pembicara dan moderator: Dr. Agasjtya Wisjnu Wardhana, SpPD, FINASIM (moderator) dan Dr. Tri Juli Edi tarigan, SpPD, Dr. Nina Kemala Sari, SpPD, K-Ger, FINASIM, Dr. Ari Fahrial Syam, SpPD, K-GEH, FINASIM, MMB, dan DR.Dr. Imam Effendi, SpPD, K-GH, dalam sessi tanya jawab pada acara PAPDI Forum. Acara yang dipandu Dr. Nadia A. Mulansari, SpPD ini juga dilengkapi pemeriksaan gula darah gratis dari Prodia.
Indomedica Expo 2010
PB PAPDI turut berpartisipasi dalam Indomedica Expo III di Jakarta Convention Center, 27-30 Mei 2010. Acara tahun PB IDI ini selain menampilkan stand-stand dari institusi kedokteran dan farmasi, juga menyuguhkan seminar kedokteran. Tampak stand PB PAPDI dikunjungi Ketua PP PERKI Dr. Anna Ulfah Raharjoe, SpJP (K) FIHA, yang didampingi Ketua Umum PB PAPDI, DR.Dr.Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP, Wakil Sekjen Dr. Sally A. Nasution, SpPD, FINASIM dan Humas Dr. Agasjtya Wisjnu Wardhana, SpPD, FINASIM.
Suasana stand PB PAPDI pada Indomedica Expo III di Jakarta Convention Center, 27-30 Mei 2010. Stand PAPDI menyuguhkan booklet PAPDI, tabloid halo Internis, serta memutar video profil PB PAPDI bagi pengunjung yang ingin mendapatkan informasi tentang seputar organisasi dokter spesialis penyakit dalam. Tampak staf sekretariat PB PAPDI sedang menyapa ramah pengunjung.
PIT Ilmu Penyakit Dalam 2010
PB PAPDI berpartisipasi pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2010, di Hotel Sahid, 22-25 Juli 2010. Acara yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM ini menyuguhkan simposium dengan tema-tema mutakhir seputar ilmu penyakit dalam. Stand PB PAPDI menyajikan informasi seputar organisasi dokter spesialis penyakit dalam dalam bentuk booklet dan profil video. Tampak Ketua Umum PB PAPDI bersama pengunjung di stand.
Bidang Humas, Publikasi dan Media PB PAPDI kembali berpartisipasi pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2010, di Hotel Sahid, 22-25 Juli 2010. Tampak Ketua Bidang Humas Dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD, FINASIM dan staf sekteriat PB PAPDI berfoto bersama di stand PAPDI. Stand ramai dikunjungi peserta yang ingin mengetahui informasi terbaru seputar organisasi dokter spesialis penyakit dalam.
19
20
Halo Internis Q Edisi 17 Q September 2010
ALBUM PAPDI
Pelantikan PAPDI Cirebon
Penandatanganan naskah pelantikan PAPDI Cabang Cirebon oleh Ketua Umum PB PAPDI, DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP dan Ketua PAPDI Cabang Cirebon, Dr. H. Dedi Nuralamsyah, SpPD, FINASIM, yang disaksikan oleh perwakilan IDI Cabang Cirebon, Dr. H. Edi Sugiarto, M.Kes dan beberapa pengurus PAPDI Cabang Cirebon maupun dari pengurus PB PAPDI, pada 19 Juni 2010 di Hotel Santika.
Foto bersama pengurus PAPDI Cab. Cirebon beserta pengurus PB PAPDI, seusai pelantikan pengurus PAPDI Cab. Cirebon. Tampak jajaran PB PAPDI, diantaranya Ketua PB PAPDI, Sekretaris Jenderal, Dr. Chairul Rajab Nasution, SpPD, K-GEH, FINASIM dan Wakil Sekretaris Jenderal, Dr. Sally, Aman Nasution, SpPD, FINASIM, Ketua Bidang Advokasi dan Dr. Ari Fahrial Syam, SpPD, K-GEH, MMB, FINASIM Ketua Bidang Advokasi dan Bidang Humas Publikasi dan Media Dr. Indra Marki, SpPD, FINASIM. Sedangan dari pengurus Cab. Cirebon diantaranya Ketua PAPDI Cab. Cirebon dan Sekretaris PAPDI Cab. Cirebon Dr. H. Wizhar Syamsuri, SpPD. Prosesi pelantikan berlangsung khidmat dengan suasana penuh kekeluargaan.
Pelantikan PAPDI Kalimantan Timur
Pelantikan pengurus PAPDI Cab. Kalimantan Timur oleh Ketua Umum PB PAPDI, DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP pada 5 Juni 2010, di Hotel Grand Victoria. Tampak Ketua Umum PB PAPDI sedng menyematkan PIN PAPDI kepada pengurus PAPDI Cab. Kaltim. Acara pelantikan yang disaksikan oleh perwakilan IDI Wilayah Kaltim Dr. Panuturi Ratih E.T.S berlangsung sukses.
Suasana dialog penuh keakraban dan kekeluargaan antara pengurus PB PAPDI dengan pengurus PAPDI Cab. Kaltim seusai pelantikan pengurus cabang. Tampak Ketua Umum PB PAPDI dan Wakil Sekretaris Jenderal PB PAPDI, beberapa pengurus cabang, diantaranya Dr. Andi Baji, SpPD dan DR.Dr. Latif Choibar Caropeboka, SpPD,K-EMD.
Pelantikan PAPDI Purwokerto
Pelantikan pengurus PAPDI Cab. Purwokerto oleh Ketua Umum PB PAPDI DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP pada 8 Mei 2010 di Hotel Dinasti. Ketua Umum PB PAPDI menyematkan PIN PAPDI kepada pengurus cabang. Acara yang dihadiri perwakilan IDI Wilayah Cab Banyumas, Dr. L. Budhi Setiawan berlangsung khidmat.
Usai upacara pelantikan pengurus PAPDI Cab. Purwokerto, jajaran pengurus cabang berkesempatan foto bersama dengan Ketua Umum PB PAPDI. Tampak Dr. Aru didampingi Ketua PAPDI Cab. Purwokerto DR.Dr. I Gede Arinton, SpPD, K-GEH, FINASIM, Sekretaris cabang Dr. Bambang Poernomo, SpPD, FINASIM dan jajaran pengurus cabang lainnya. Pada kesempatan ini juga diadakan Simposium Nasional Hepatologi.
Pelantikan PAPDI Jaya
Penandatanganan naskah pelantikan PAPDI Jaya oleh Ketua Umum PB PAPDI, DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FINASIM, FACP dan Ketua PAPDI Jaya DR. Dr. Idrus Alwi, SpPD, K-KV, FINASIM, FACC, FESC yang disaksikan oleh perwakilan IDI Jaya Dr. Endah Sulastiana, MARS dan berapa perwakilan baik dari pengurus PAPDI JAYA maupun dari pengurus PB PAPDI, pada 24 Juli 2010 di Hotel Sahid Jaya, Jakarta.
Usai upacara pelantikan pengurus PAPDI Jaya, jajaran pengurus cabang berkesempatan foto bersama dengan Ketua Umum PB PAPDI. Tampak Dr. Aru didampingi Ketua PAPDI Jaya, perwakilan IDI Jaya, serta jajaran pengurus cabang lainnya.