PESAN PIMPINAN SUSUNAN REDAKSI PARLEMENTARIA EDISI 91 TH.XLII 2012 Pengawas Umum Pimpinan DPR RI Penanggung Jawab/ Ketua Pengarah Dra. Nining Indra Shaleh, M.Si Wakil Ketua Pengarah Achmad Djuned SH, M.Hum Pimpinan Pelaksana Djaka Dwi Winarko Pimpinan Redaksi Dwi Maryanto, S.Sos Wakil Pimpinan Redaksi Dadang Prayitna, S.IP.,MH Mediantoro, SE
Anggota Redaksi Dra. Trihastuti
Nita Juwita, S.Sos, Sugeng Irianto, S.Sos M. Ibnur Khalid, Iwan Armanias, Suciati, S.Sos Agung Sulistiono, SH
Fotografer Rizka Arinindya Sirkulasi Supriyanto Alamat Redaksi/Tata Usaha Bagian Pemberitaan DPR RI Lt. II Gedung Nusantara II DPR RI, Jl. Jend. Gatot Soebroto Senayan, Jakarta Telp. (021) 5715348, 5715350, Fax (021) 5715341 Email :
[email protected] www.dpr.go.id/berita
!
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
DAFTAR ISI
Parlementaria Edisi 91 Tahun XLII 2012 PESAN PIMPINAN
> Masyarakat Religius dan Supremasi Moral
LAPORAN UTAMA
> Peran Parlemen Menjadi Salahsatu Ujung Tombak
SUMBANG SARAN
> Menata Parlemen Dengan Mengubah UU MD3
PENGAWASAN
> BBM: Pemerintah Harus Hati-hati Mengambil Keputusan Yang Sensitif > Haji: Mencari Format Pelaksanaan Haji Yang Baik
ANGGARAN
> APBN Harus Miliki Ideologi Kerakyatan
LEGISLASI
> RUU UU Ormas > RUU Koperasi: Dorong Kemandirian Rakyat
PROFIL
> M. Prakosa
Laporan Utama
9 | Peran Parlemen Menjadi Salah Satu
Ujung Tombak “Priyo mengingatkan, pada awal reformasi DPR pernah dikritik oleh mendiang Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat itu Gus Dur mengatakan dengan sebutan taman kanak-kanak. Tentunya, kata Priyo, yang dimaksudkan Gus Dur saat itu bahwa DPR secara kelembagaan paska Orde Baru masih belajar berdemokrasi, membangun kelembagaan yang efektif dan akuntabel.”
4 9 22 28 32 36 38 42 46
KUNJUNGAN LAPANGAN DPR
> Kunjungan Kerja Komisi VI, VII, VIII, V DPR RI Ke Berbagai Daerah di Indonesia
SOROTAN
> Pemiskinan Pengemplang Pajak Timbulkan Efek Jera
LIPUTAN KHUSUS > Fit and Proper Test BPK
SELEBRITIS > Tiya Diran
49 57 60 63
PERNIK
> Taman DPR
66
POJOK PARLE
> “Hidup Penderitaan Rakyat”
70
PROFIL
46 | M. Prakosa
Badan Kehormatan, lanjut Prakosa, sedang menindaklanjuti yang dilakukan oleh BURT terkait dugaan adanya indikasi pembiaran proyek. “Tidak ada yang boleh lepas tanggungjawab atau lepas tangan. Kalau indikasi pembiaran itu benar terbukti maka itu jelas
pelanggaran,”tegasnya. Jika dilihat secara fungsi, paparnya, tidak ada masalah dengan anggota dewan dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Sorotan publik muncul karena hal yang diluar dari sifat kedewanan, seperti keberadaan BURT Menurut Prakosa, seharusnya tidak dibebankan kepada anggota. “Masa anggota mengurusi rumah tangga, secara fungsi itu salah. Kita itu hanya mengawasi, mengatur anggaran dan membuat undangundang,”ungkapnya.
Sorotan
57|
Pemiskinan Pengemplang Pajak, Timbulkan Efek Jera Belum Lama ini kita kembali terhentak, dan dikagetkan muncul kembali kasus pajak seperti kasus Gayus II, yang kali ini menimpa pegawai pajak berinisial DW yang diduga memiliki Rp. 60 Miliar. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan DW sebagai tersangka pada 16 Februari 2012, setelah ditetapkan sebagai tersangka, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rachmad juga mengatakan penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah mengajukan permohonan cekal terhadap DW.
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
PESAN PIMPINAN
Masyarakat Religius dan Supremasi Moral
P
eradaban atau civilization didefinisikan dalam beberapa pengertian. Beberapa ilmuwan Barat seperti Samuel Huntington, Czarnowski, Rene Sedilot dan lain-lain, mengartikan civilization sebagai nilainilai, institusi-institusi dan pola pikir, termasuk khasanah pengetahuan dan kecakapan teknis yang mencapai taraf tertentu dari kebudayaan yang menjadi bagian dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi ke generasi. Dalam Islam, ada istilah yang disebut hadharah, yang artinya sekumpulan konsep tentang kehidupan yang berupa peradaban spiritual (diniyah ilahiyyah) maupun hasil berpikir manusia (wadl’iyyah basyariyyah). Banyak sekali peradaban yang tumbuh, kemudian mati, bangkit kembali, dan seterusnya, yang pernah ada di muka bumi ini. Bahkan banyak pula peradaban yang hilang lenyap dari muka bumi, meskipun dulu pernah berjaya dan gilang gemilang. Tercatat, banyak sekali bekas peradaban yang pernah berjaya, namun hilang dan hanya meninggalkan bekas, seperti Machu Picchu di Peru, Angkor Wat di Kamboja, Mesir Kuno, Petra di Yordania, dan lain-lain. Bahkan ada peradaban seperti dongeng, antara ada dan tiada.
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
Saat ini, menurut Samuel Huntington, terdapat sembilan peradaban yang masih eksis, yaitu peradaban Barat, Konfusianis, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Dari peradaban-peradaban tersebut ada tiga peradaban besar, yaitu: peradaban Barat, peradaban China dan peradaban Islam. Namun, peradaban yang tumbuh dan berkembang, sesungguhnya tidak ada yang berdiri sendiri, antarperadaban yang ada di Bumi saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Peradaban Barat yang dianggap sedang berjaya saat ini, dipengaruhi langsung oleh peradaban YunaniRomawi, Judeo-Kristiani, dan Islam. Bahkan disebutkan bahwa, Peradaban Barat itu bukanlah peradaban yang baru yang tumbuh di muka bumi, tetapi peradaban lama yang tumbuh kembali (re-birth) atas pilar-pilar peradaban Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam, meskipun beberapa ilmuwan Barat kadang menolak adanya pengaruh Islam dalam peradaban mereka. Peradaban Islam Begitu pula peradaban Islam, pada awal-awal kelahirannya juga dipengaruhi oleh peradaban Yunani-Romawi.
Saling mempengaruhi antar-peradaban memang sangat dimungkinkan, sebab bagi ilmuwan Islam, menerima warisan intelektual dari manapun datangnya bukanlan suatu kekeliruan. Bahkan sebagaimana dibuktikan dalam sejarah, umat Islam “tidak alergi” terhadap peradaban Mesopotamia, Bizantium, Persia, Hindu maupun China. Hal ini dimungkinkan, karena Islam adalah agama yang inklusif, terbuka dan toleran terhadap pengaruh “asing” sejauh tidak bertentangan dengan prinsip tauhid (tauhid). Jika umat Islam mengalami kekalahan atau kemunduran, mereka segera ingat pada QS. Ali Imron 140 yang artinya:“dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”. Ayat Qur’an yang segera menjadi kesadaran inilah yang membuat umat Islam selalu optimis bahwa peradaban Islam yang sempat berjaya dan mengalami keruntuhan, akan tumbuh kembali. Al Qur’an pun menjelaskan periode masa kenabian dengan berbagai peristiwa yang mengguncang dunia, mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, masing-masing memiliki sejarahnya tersendiri. Dari rentetan sejarah itu, ada sebuah pesan yang tak lekang
oleh waktu, yakni nilai ketauhidan (tauhid). Artinya, Allah SWT, memiliki peran terhadap maju-mundurnya peradaban manusia. Nilai Agama dan Supremasi Moral Jika kita memetik pelajaran dari bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban, dapat disimpulkan bahwa peradaban akan bangkit dan tetap berjaya, tatkala masyarakatnya tetap konsisten mematuhi pesan nabi dan pemimpin yang taat (pada nilai-nilai ketauhidan). Yaitu mematuhi pesan agama (religius) dan berpegang teguh nilai-nilai moral bangsanya. Namun peradaban akan cepat runtuh tatakala mereka mulai ingkar terhadap agama dan memusuhi pemimpin yang taat kepada agama dan moral bangsanya. Melihat ini, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, masihkah masyarakat dan bangsa kita taat terhadap nilai-nilai agama dan nilainilai moral? Masihkah para pemimpin kita bisa diteladani karena akhlak dan moralnya? Ada beberapa penyebab kehancuran peradaban bangsa, seperti kepuasan diri para ilmuwan para pemimpin, sikap hedonis dan rusaknya moral dan akhlak masyarakatnya, atau dihancurkan oleh faktor luar seperti serbuan bangsa lain atau kerusakan alam. Faktor kerusakan alam atau serbuan dari bangsa lain, tercatat pernah dialami oleh bangsa manapun. Bencana alam pernah menggilas beberapa peradaban dunia, seperti bencana gunung Vesufius di Italia, dan bahkan sampai saat inipun, beberapa peradaban masing saling curiga dan saling berperang. Dari faktor pemimpin, dalam kajian siyasah Islamiyah seorang pemimpin haruslah dapat dipercaya, berkata benar, menyampaikan kebenaran, dan memiliki kekuatan yang menunjukan kemampuan dia dalam memimpin (al qudwah). Begitu pentingnya komitmen kejujuran seorang pemimpin kepada rakyatnya, sampai-sampai agama mengharamkan surga bagi pemimpin yang mati dalam keadaan
menipu rakyat. Rakyat-pun diharamkan taat kepada pemimpin yang tak bermoral yang suka membuat kezaliman. Namun sebaliknya, rakyat wajib taat kepada pemimpin yang memiliki moral yang baik sesuai ajaran agama. Pemimpin yang bermoral tentunya
bekerja keras untuk kemakmuran rakyatnya, melihat dengan mata rakyat, berbicara dengan bahasa rakyat, dan menangis ketika melihat rakyatnya dihimpit kemiskinan. Dari faktor masyarakatnya, dijelaskan oleh ilmuwan Muslim Ibn Khal-
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
PESAN PIMPINAN
dun, bahwa yang merusak peradaban diantaranya adalah tenggelamnya masyarakat dalam kemewahan dan memperturutkan hawa nafsunya sehingga terjerumus dalam kehancuran. Ibn Khaldun juga menjelaskan bahwa tujuan pembangunan adalah terbentuknya peradaban dan kemegahan. Apabila tujuannya telah tercapai, maka secara perlahan akan berbalik menuju kehancuran dan mulai memasuki usia senja, seperti layaknya terjadi pada daur kehidupan. Peradaban adalah tujuan pembangunan dan sekaligus merupakan penyebab kehancurannya. Lebih lanjut, berpendapat, moralitas yang dihasilkan oleh peradaban dan kemegahan adalah sebuah kerusakan. Maka apabila manusia telah rusak moral dan agamanya, maka rusak pulalah kemanusiaannya dan jati dirinya. Sebab manusia dianggap sebagai manusia karena bergantung pada sejauhmana dia mampu mengambil manfaat dan menghindari bahaya secara konsisten. Namun karena keterbatasannya, manusia tidak mampu menjaga sikap konsistennya. Baik disebabkan oleh ketidakberdayaannya mensyukuri kesejahteraan, maupun karena merasa ujub dengan kemegahan yang diperolehnya. Korupsi Anti-Peradaban Seorang bangsawan
Inggris
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
Abadke-19 Lord Acton mengatakan: “power tends to corrupt; absolute power tends to corrupt absolutely”. Kekuasaan memiliki korelasi positif dengan perilaku korupsi. Korupsi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa, sedangkan cara berkuasa bisa dilakukan dalam sistem politik apapun. Dengan kata lain, perilaku korup sering dilakukan oleh para pemimpin, dan perilaku ini, juga bisa berlangsung dalam peradaban manapun. Korupsi telah menjadi penyakit bagi setiap peradaban dan menjadi kejahatan kemanusiaan. Ironisnya, tema korupsi, saat ini masih menjadi tema yang terus mengemuka dalam kehidupan bangsa kita. Bukan hanya terhadap masyarakatnya, para pemimpin bangsa ini, kerap diberitakan terlibat dalam berbagai kasus korupsi yang akut. Maraknya perilaku korup yang melanda bangsa ini, dikhawatirkan akibat pendidikan dan pola pembangunan masa lalu yang keliru, yang tidak dilakukan secara menyeluruh tetapi hanya dititikberatkan pada pembangunan empirik yang hanya mengacu pada tujuan-tujuan hedonis semata. Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa pembangunan sebuah peradaban yang berkesinambungan, seharusnya tidak meninggalkan aspek-aspek spiritual dan moral bangsa. Sebab makna
membangun peradaban mencakup makna umur dan kemakmuran sebagai objek tujuan. Artinya, setiap jiwa yang diberi umur harus memba ngun. Sebab kerja-kerja pembangunan adalah ibadah yang wajib dilakukan manusia selaku pemimpin (khalifah) di muka bumi demi tercapainya kemakmuran dunia akherat. Sementara, perilaku korupsi adalah perilaku yang bertolak belakang dengan upaya membangun peradaban. Kejahatan korupsi ini adalah perilaku yang jauh meninggalkan aspek-aspek spiritual dan moral sehingga jauh dari upaya membangun sebuah peradaban yang kuat. Dalam catatan sejarah pula, disimpulkan bahwa sebuah peradaban bangsa akan cepat runtuh, tatkala korupsi telah menjadi penyakit dan menggerogoti masyarakatnya. Dengan bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban akibat adanya korupsi, sesungguhnya kita telah diperingatkan agar membangun sebuah peradaban yang benar-benar beradab, baik kepada Tuhan, kepada sesama, maupun kepada alam sekitar kita. Membangun peradaban ini, dapat dilihat jelas melalui konsep madinah atau civil society, dimana berkumpulnya sebuah komunitas yang bersamasama membangun peradaban yang didasari supremasi moral dan ruh keagamaan. Wallahu’alam Bissawab.*
PROLOG
Mencari Format Ideal Perubahan UU MD3
B
aru-baru ini, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyelenggarakan Workshop dan Fokus Group Discussion dengan tema : “Menata Parlemen Yang Demokratis, Efektif, dan Akuntabel”. Workshop ini diselenggarakan dengan tujuan untuk mencari masukan dalam rangka perubahan UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Masukan-masukan tersebut akan disusun dalam bentuk proceding yang diharapkan dapat dijadikan pijakan dalam perubahan undangundang tersebut. Peserta workshop terdiri dari berbagai Lembaga/Instansi, yaitu Pimpinan MPR, Pimpinan DPD, Pimpinan alat kelengkapan DPR, Pimpinan alat kelengkapan DPD, Pimpinan Fraksi,, Anggota Badan Legislasi, Ketua Asosiasi DPRD Provinsi, Ketua Asosiasi DPRD Kabupaten/Kota, Akademisi dari Universitas Negeri/Swasta, dan LSM pemerhati parlemen. Pembicara dalam kegiatan ini Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Sae-
fuddin, Wakil Ketua DPD Laode Ida, Asep Warlan Yusuf, mantan Pimpinan Baleg Ferry Mursyidan Baldan, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Saldi Isra dan mantan Pimpinan Baleg lainnya Pataniari Siahaan. Ketua Badan Legislasi DPR Ignatius Mulyono dalam kesempatan tersebut mengatakan, keberadaan UU tentang MD3 yang dimaksudkan untuk menata sistem keparlemenan dalam satu undang-undang, banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan, baik yang berkaitan dengan teknis pembentukan undang-undang maupun dari substansi yang dimuatnya. Terkait dengan teknis pembentukan undang-undang, penempatan 4 (empat) lembaga dalam satu undangundang kiranya perlu dilakukan revisi dengan mengacu pada perintah konstitusi. Sebagaimana diketahui, dalam UUD 1945 mengenai MPR, DPR dan DPD disebutkan pengaturan lebih
lanjut mengenai lembaga-lembaga tersebut diatur “dengan” undangundang. Sedangkan pengaturan lebih lanjut mengenai DPRD disebutkan diatur “dalam” undang-undang. Dari sisi teknis perundang-undangan, penggunaan kata “dengan” dan kata “dalam” memiliki makna tersendiri. Kata “dengan” diartikan dengan undang-undang tersendiri, sedangkan kata “dalam” diartikan tidak harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Kemudian dari sisi materi muatan yang diatur dalam UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD juga mengandung beberapa masalah. Diantara masalah-masalah tersebut adalah, materi muatan UU tentang MD3 banyak mengatur hal-hal yang bersifat teknis, yang semestinya menjadi materi muatan peraturan di masingmasing lembaga. Sebagai contoh, penetapan jumlah komisi yang dilakukan pada awal masa keanggotaan dewan dan permulaan tahun sidang dalam UU
|| PARLEMENTARIA PARLEMENTARIA || Edisi Edisi 91 91 TH. TH. XLII, XLII, 2012 2012 ||
LAPORAN PROLOG UTAMA
tentang MD3 mengikat dewan dan permulaan tahun sidang dalam UU tentang MD3 mengikat dewan untuk melakukan perubahan jumlah komisi sesuai dengan dinamika dan kebutuhan komisi, beban kerja serta jumlah mitra kerja yang harus diawasi. Selain itu, penataan hubungan DPR dan DPD dalam konteks pembentukan undang-undang. Dalam konstitusi disebutkan bahwa DPD memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU terkait kewenangannya. Frasa “ikut membahas” dalam konstitusi belum secara jelas digambarkan dan dijelaskan oleh penyusun perubahan konstitusi, sehingga dalam beberapa undang-undang yang didalamnya mengatur mengenai pembentukan undang-undang terdapat
teknya mempunyai kedudukan yang tidak sejajar dengan kepala daerah. Konsekuensi DPRD yang diposisikan sebagai bagian dari pemerintahan daerah, maka pengaturan tentang DPRD semestinya dimuat dalam undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Sistem Pendukung DPR, DPD dan DPRD dalam UU tentang MD3 juga tidak diatur secara jelas, terutama pengaturan mengenai badan fungsional/keahlian dan kelompok pakar/ tim ahli. Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso dalam sambutan pembukaan mengatakan, untuk membangun parlemen yang demokratis, efektif dan akuntabel harus disempurnakan dahulu sistem parlemen bikameral yang
Workshop dan Fokus Group Discussion “Menata Parlemen Yang Demokratis, Efektif, dan Akuntabel” yang diadakan oleh Badan Legislasi DPR RI di KK 2 Gedung Nusantara
penafsiran yang berbeda atas frasa “ikut membahas”. Permasalahan lainnya adalah ketidakjelasan dan ketidaktegasan kedudukan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah. Di satu pihak anggota DPRD merupakan wakil rakyat yang dipilih secara langsung dalam pemilihan umum, di lain pihak DPRD merupakan bagian dari pemerintahan daerah yang pada prak-
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
kita pilih. Parlemen yang kuat itu adalah parlemen yang bergerak berbasis nilai dan ideologi. Hal ini bisa terjadi bila agresi anggota parlemen didesain secara efektif. Untuk itu menurutnya, penyederhanaan partai politik sangat perlu dilakukan. Mantan Pimpinan Baleg Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, untuk mengoptimalisasi pelaksanaan fungsi
Dewan, disain idealnya adalah memulai dengan adanya alat kelengkapan yang setara terhadap fungsi-fungsi pokok Dewan, artinya Komisi, Badan Anggaran dan Badan Legislasi memiliki kedudukan yang sama. Ferry juga berpendapat, setiap anggota Komisi, Badan Anggaran dan Badan Legislasi tidak dirangkap satu sama lainnya. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Laode Ida menyampaikan, mengingat keterbatasan fungsi dan kewenangan DPD, maka dia berharap dilakukan perubahan-perubahan yaitu posisi DPD harus lebih diperkuat sehingga dalam menjalankan fungsinya dapat maksimal, bukan hanya sebagai lembaga “pelengkap” dari lembaga legislatif yang hanya memberi pertimbangan, usulan kepada DPR. Demikian juga dalam berhadapan dengan lembaga Negara lainnya yang menjadi mitra kerja DPD. Untuk itu, agar secara mendasar kembali ke akarnya hanya dapat dilakukan dengan mengamandemen pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang DPD. Sementara Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Saldi Isra menyoroti tidak adanya kejelasan DPRD dalam fungsi legislasi Berdasarkan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), DPRD memiliki fungsi legislasi. Namun sering terjadi ketidakjelasan dan ketidaktegasan sebagai pemegang kekuasaan membuat peraturan daerah. Selain itu, posisi DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif di daerah masih menjadi perdebatan. Pimpinan MPR, DPR, DPD, mantan Pimpinan Badan Legislasi dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas mengupas dengan jelas bagaimana Menata Parlemen Yang Demokratis, Efektif, dan Akuntabel melalui perubahan Undang-Undang MD3. (tt.iky) ***
LAPORAN UTAMA
Peran Parlemen Menjadi Salah Satu Ujung Tombak P
Saat membuka Workshop yang diselenggarakan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Wakil Ketua DPR RI H. Priyo Budi Santoso menyampaikan, demokrasi Indonesia saat ini merupakan hasil dari perjuangan panjang seluruh elemen masyarakat. Keterbukaan, kebebasan berpendapat, menguatnya hak-hak asasi manusia (HAM) dan lain sebagainya merupakan wujud dari demokrasi yang kita jalani.
arlemen sebagai salah satu pilar lembaga negara selain eksekutif dan yudikatif, dahulu hanya menjadi “stempel” kebijakan pemerintah/eksekutif, dan kini memainkan peran kontrol/pengawasan yang kritis dan lebih maju. Namun kendati demikian, kata Priyo, kita masih berada dalam dua pusaran kekuatan. Pada satu sisi ingin eksekutif berdiri kuat, tapi pada sisi lain tidak boleh melemahkan peran legislatif/parlemen. Ini sama dengan dilema yang ingin memperkuat negara, tapi sisi berbeda people power (kekuatan rakyat) harus berdiri tegak di atas segalanya. Oleh karena itu, kata Priyo, perlu eksekutif yang kuat sebagai bentuk komitmen presidensial sebagai pelaksana roda pemerintahan negara. Tapi, harus diimbangi dengan parlemen yang juga kuat sebagai representasi suara rakyat, vox populi vox dei; suara rakyat suara Tuhan. Disinilah dibutuhkan parlemen yang efektif, demokratis, dan akuntabel sebagaimana tema yang diusung pada acara Workshop. Parlemen merupakan pengawal demokrasi, jika parlemennya lumpuh, maka demokrasi pun tidak dapat berjalan dengan baik, begitu juga sebaliknya. Priyo menambahkan, pasca reformasi parlemen secara kelembagaan menjadi tumpuan demokrasi sehingga tidak heran jika acapkali menjadi pusat perhatian. Perubahan demi pe-
“Priyo mengingatkan, pada awal reformasi DPR pernah dikritik oleh mendiang Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat itu Gus Dur mengatakan dengan sebutan taman kanak-kanak. Tentunya, kata Priyo, yang dimaksudkan Gus Dur saat itu bahwa DPR secara kelembagaan paska Orde Baru masih belajar berdemokrasi, membangun kelembagaan yang efektif dan akuntabel.”
Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso memberikan sambutan pada acara workshop yang diadakan oleh Baleg DPR RI
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
LAPORAN UTAMA
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso (kiri) disela-sela acara Workshop dan Fokus Group Discussion
rubahan harus terus dilakukan untuk membangun kelembagaan parlemen yang kuat. Priyo mengingatkan, pada awal reformasi DPR pernah dikritik oleh mendiang Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat itu Gus Dur mengatakan dengan sebutan taman kanak-kanak. Tentunya, kata Priyo, yang dimaksudkan Gus Dur saat itu bahwa DPR secara kelembagaan paska Orde Baru masih belajar berdemokrasi, membangun kelembagaan yang efektif dan akuntabel. Namun DPR kini menurut Priyo jauh lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Kendati pun masih ada lubang sistem yang perlu ditambal dan dibenahi. Lebih jauh Priyo menyampaikan, di medan jalan demokrasi Indonesia yang masih terjal ini, peran parlemen/ legislatif menjadi salah satu ujung tombaknya. Menurutnya, ruang yang dapat dimainkan oleh legislatif adalah dengan cara membangun check and balances terhadap pemerintah dengan baik. Check and balances ini sangat diperlukan karena dia melihat sepanjang perjalanan demokrasi paska reformasi, masih ada euphoria negatif, sekalipun perlahan mulai mereda seiring dengan tumbuhnya kedewasaan demokrasi kita.
10
Euforia yang Priyo maksud adalah selebrasi “kekuasaan” para pemegang kekuasaan, baik di pusat atau di daerah sehingga banyak yang keteteran dalam menjalankan pemerintahan dengan baik. Karenanya, diperlukan daya kontrol yang kuat dari parlemen terhadap eksekutif. Hal ini melihat besarnya kekuasaan, khususnya di daerah dalam mengelola kekayaannya tidak berbanding lurus dengan kesiapan perangkat sistem yang kuat yang kita miliki. Inilah yang kemudian menyebabkan eksekutif acapkali melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Priyo menambahkan, berdasarkan
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
amandemen UUD 1945, sistem yang kita pilih adalah sistem parlemen bikameral (dua kamar) dengan adanya DPR dan DPD. Ke dua lembaga inilah yang akan menjalankan peran keparlemenannya, sekalipun wewenang dan tugas ke dua lembaga tersebut tidak setara. Sistem bikameral ini sampai sekarang diakui masih menjadi perdebatan dan banyak kurang. Priyo berpendapat, untuk membangun parlemen yang demokratis, efektif dan akuntabel harus disempurnakan dahulu sistem parlemen bikameral yang kita pilih ini. Parlemen yang kuat itu adalah parlemen yang bergerak berbasis nilai dan ideologi. Hal ini bisa terjadi bila agresi anggota parlemen didesain secara efektif. Untuk itu menurutnya, penyederhanaan partai politik sangat perlu dilakukan. Pernyataan ini karena kita membutuhkan konsolidasi yang cepat dan kuat di parlemen. Sebuah konsolidasi yang berbasis pada nilai/ideologi, bukan pada prinsip politik transaksional. Dengan demikian, fraksi-fraksi politik pun harus diminimalisir. Karena itu, Priyo sangat mendukung jika Parlemen Treshold (PT) pada Pemilu 2014 dinaikkan dari 2,5% menjadi 5% agar parlemen dapat terbangun secara efektif dan efisien. (tt,iky) ***
Suasana Workshop dan Fokus Group Discussion
Tugas MPR Sosialisasikan Empat Pilar Kebangsaan
Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifudddin
“Jika MPR melaksanakan tugas itu dengan lurus sehingga bersih dari korupsi, suap, dan sejenisnya, maka MPR juga sudah dapat dikatakan melaksanakan tugas secara akuntabel,” papar Lukman.
L
ukman Hakim Saifuddin Wakil Ketua MPR RI periode 2009 2014 dalam memberikan masukan terkait dengan revisi UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD memfokuskan pada tema “Efektivitas dan Akuntabilitas Pelaksanaan Tugas MPR RI”. Dalam konteks ketatanegaraan MPR ada beberapa tugas dan wewenang MPR RI menurut UUD 1945
dan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Tugas dan kewenangan itu diantaranya, mengubah dan menetapkan UUD 1945, melantik Presiden dan/ atau Wapres hasil Pemilu, memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wapres dalam masa jabatannya, setelah MK memutuskan bahwa Presiden/Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum,
melakukan perbuatan tercela dan/ atau terbukti Presiden/ Wapres tidak memenuhi syarat lagi. Tugas lain secara ketatanegaraan, melantik Wapres menjadi Presiden apabila Presiden berhenti, diberhentikan, atau tidak melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya. Memilih Wapres dari dua calon yang diusulkan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres dalam masa jabatannya. Dan, memilih Presiden dan Wapres apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Menurut Lukman, tugas dan kewenangan MPR itu bersifat sekali dan selesai. Artinya, jika MPR sudah melaksanakan tugas dan kewenangan
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
11
LAPORAN UTAMA
gedung MPR secara masif tidak mau menerima keputusan itu. Apakah jika hal itu terjadi MPR dapat dianggap tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif dan akuntabel? Pertanyaan itu dijawab tegas Lukman, tentu saja tidak. Sebab, MPR sudah melaksanakan tugas dan wewenangnya meskipun keputusan itu tidak sesuai dengan mayoritas rakyat.
Tugas MPR di Luar Ketatanegaraan
Lebih jauh Lukman memaparkan, di luar tugas ketatanegaraan, MPR juga mempunyai tugas kebangsaan sesuai amanat UU No. 27 Tahun 2009 pasal 15 ayat (1) huruf e yang menugaskan anggota MPR, baik DPR dan DPD untuk melakukan sosialisasi UUD 1945 kepada seluruh lapisan masyarakat di
Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifudddin
itu dengan lancar, MPR sudah dapat dikatakan telah melaksanakan tugas dan kewenangannya secara efektif, jelasnya. “Jika MPR melaksanakan tugas itu dengan lurus sehingga bersih dari korupsi, suap, dan sejenisnya, maka MPR juga sudah dapat dikatakan melaksanakan tugas secara akuntabel,” papar Lukman. Jadi, tandas Lukman, efektivitas dan akuntabilitas MPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya adalah sejauhmana lembaga MPR mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan prosedur ketatanegaraan yang telah ditetapkan secara bersih, jujur dan penuh amanah. Agar negara tetap tertata rapi sesuai dengan aturan ketatanegaraan yang telah disepakati bersama. Menurut Lukman, MPR tidak mengalami kesulitan berarti untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif dan akuntabel. Karena, terangnya, ketentuan tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MPR sudah diatur dengan jelas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian Lukman tidak menapik kemungkin lain bisa saja
12
Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifudddin
terjadi. Misalnya, MPR tetap memutuskan pemberhentian Presiden atau sebaliknya setelah memenuhi persyaratan segala macam peraturan terkait, namun mayoritas rakyat di luar
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
seluruh Indonesia di bawah koordinasi pimpinan MPR. MPR periode 2009 - 2014 menterjemahkan amanat itu dengan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan, yaitu
Pembicara dalam acara Workshop yang diadakan oleh Baleg DPR RI
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Menurut Lukman, untuk mengukur akuntabilitasnya relatif mudah. Dengan melihat anggota MPR sudah menggunakan anggaran sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan dengan benar, tepat sasaran, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, lanjutnya, untuk menilai efektivitasnya akan menghadapi kerumitan, karena berkaitan dengan pertanyaan apakah sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan itu merasuk ke kalbu dan alam pikiran peserta sosialisasi, sehingga Empat Pilar Kebangsaan itu terpatri di alam sadar dan alam bawah sadar peserta, tandasnya. Tetapi, sebuah hasil studi yang dilakukan oleh tiga lembaga, antara lain LPPM Universitas Airlangga Surabaya, CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Setara Institute yang dipublikasikan akhir Desember 2011 dapat memberikan jawaban dan gambaran tentang efektivitas dari sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan yang dilakukan oleh MPR itu. Hasil studi tersebut menunjukkan sebanyak 96% peserta sosialisasi mengakui manfaat dari program itu Menurut survey terhadap partisi-
pan program sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan menunjukkan, adanya keinginan secara sukarela untuk turut melakukan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan di lingkungan terdekatnya. Inisiatif untuk melakukan apa yang telah mereka peroleh selama mengikuti program sosialisasi kepada lingkungan terdekatnya tampak sangat kuat diekspresikan oleh sebesar dari mereka, yaitu mencapai 91,1%. Dengan fakta itu sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan tidak saja telah dapat meningkatkan pengetahuan dan apresiasi terhadap nilai-nilai Pancasila, UUD negara RI, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika tetapi juga telah mendorong minat masyarakat untuk menularkan kepada lingkungan terdekat mereka. Dengan demikian, lanjut Lukman, program sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan dapat dikatakan berhasil memberikan dampak positif bagi kelompok sasaran. “Para peserta program sosialisasi yang tersebar di 33 provinsi itu telah menyatakan kesanggupan untuk menjadi agen sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, setidaknya untuk lingkungan terdekat mereka,” katanya.
Rekomendasi Teruskan Program
Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifuddin diakhir permaparan menyarankan, berdasarkan hasil studi itu merekomendasikan supaya program Empat Pilar Kebangsaan terus dilanjutkan serta dilakukan pengembangan dari segi teknis pelaksanaan program. Lukman memandang perlu adanya penyelenggaraan forum pelaksana tugas lembaga-lembaga negara sebagai bentuk laporan perkembangan (progress report) atas pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga Negara. Disamping itu, Lukman juga mengingatkan, pentingnya penentuan arah pembangunan nasional secara berkelanjutan, dan sekaligus merupakan pencerminan dari konsensus nasional yang secara sistematis tersaring dan terserap dalam satu wadah formal, serta memiliki kekuatan legitimasi. “Karena itu sudah seyogyanya diperlukan lembaga yang paling sesuai untuk merumuskan arah pembangunan nasional, baik jangka pendek maupun jangka menengah,” pungkasnya. (tt/iky)
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
13
LAPORAN UTAMA
Berharap Posisi DPD Diperkuat Sehingga Fungsi Maksimal Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Laode Ida dalam kesempatan Workshop yang diselenggarakan Badan Legislasi DPR menyampaikan dari hasil sebuah survey terbaru terungkap bahwa keberadaan DPD hingga kini belum dirasakan manfaatnya secara proporsional oleh masyarakat.
Wakil Ketua DPD RI Laode Ida
I
ni kiranya kritik masyarakat yang sudah sering muncul terhadap DPD, dan hal itu dapat diterima secara terbuka. Hal ini karena posisi DPD, meskipun sudah menjalankan aktualisasi fungsinya secara maksimal, memang tidak mampu berbuat lebih banyak karena keterbatasan yang dimiliki dari segi kewenangan. Hasil survey LSI (Lembaga Survei Indonesia) pada Desember 2011 menggambarkan tingginya harapan publik akan adanya penguatan dan perluasan kewenangan DPD melalui amandemen UUD 1945, seperti dalam hal pembuatan undang-undang hing-
14
ga penyusunan anggaran dan pengangkatan pejabat publik. Survei LSI itu menunjukkan sekitar 87,6% responden mengetahui bahwa tugas DPD RI untuk mewakili kepentingan daerah, sekitar 78% responden berharap DPD memiliki kewenangan yang lebih luas dalam memutuskan undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Sebanyak 74% berharap DPD dapat menindaklanjuti hasil pengawasan terhadap pemerintah, sekitar 70% responden berharap DPD bersama DPR RI membuat undang-undang. Selain itu, sebanyak 71% responden
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
berharap DPD dan DPR bisa bersamasama memberikan persetujuan atas RAPBN. Sekitar 64% juga berharap, DPD juga berwenang ikut mengangkat pejabat publik yang penting, seperti Hakim Agung, Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI dan Kapolri. Untuk penguatan posisi dan kewenangan DPD RI sekitar 65% responden setuju agar dilakukan melalui mekanisme amandemen UUD 1945. Melihat dari hasil survei tersebut, timbul pertanyaan dapatkah harapan masyarakat itu dipenuhi oleh DPD terkait dengan perubahan dan perbaikan perannya dalam sistem ketatanegaraan kita? Menurut Laode, ini terkait dengan kepentingan bersama untuk menata peran DPD dalam hubungannya dengan DPR, pemerintah serta lembaga negara lainnya. Tujuannya, untuk meletakkan posisi DPD agar dapat menjalankan fungsinya sebagai bagian dari lembaga legislatif yang menjalankan mandat konstituennya. Jika dilihat hubungan DPD dengan DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPD, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan rancangan undangundang berdasarkan program legislasi nasional. Rancangan undang-undang yang dimaksud harus disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik dapat diusulkan oleh panitia perancang undang-
undang dan/atau panitia kerja. Usul RUU tersebut diputuskan menjadi ranca-ngan yang berasal dari DPD dalam sidang paripurna DPD. Usulan lain yang disampaikan Laode adalah, DPD juga memberikan pertimbangan terhadap Rancangan Undang-undang kepada Pimpinan DPR. Terhadap rancangan undangundang tentang APBN, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dengan jangka waktu paling lambat empat belas hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Terkait dengan RUU yang membahas tentang pajak, pendidikan dan agama, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dan paling lambat tiga puluh hari sejak diterimanya surat dari pimpinan DPR. Selain itu, DPD juga memiliki tugas dan wewenang dalam hal memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai calon anggota BPK. Pertimbangan tersebut diputuskan dalam sidang paripurna DPD. Pertimbangan yang sudah diputuskan tersebut diserahkan kepada Pimpinan DPR sebagai pertimbangan DPD paling lambat tiga hari sebelum pelaksanaan pemilihan anggota BPK. Salah satu tugas DPD adalah mengawasi jalannya undang-undang. Dalam hal penyampaian hasil pengawasan tersebut, DPD menyampaikan hasil pengawasan atas undang-undang kepada DPR sebagai bahan pertimbangan. Hasil pengawasan tersebut diputuskan dalam sidang paripurna DPD. Laode menambahkan, dalam regulasi dikemukakan bahwa DPD memiliki sejumlah hak yaitu, mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukkan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, Selain itu, ikut membahas ranca-
ngan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD juga memiliki hak memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan undangundang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Hak yang dimiliki lainnya adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama. Lebih jauh Laode mengatakan, secara konstitusional DPD memeiliki kewenangan yang sangat terbatas untuk memberikan pertimbangan, mengajukan usul saran kepada DPR dan mengawasi pelaksanaan UU tertentu. Kewenangan legislatif sepenuhnya di DPR bersama Presiden, demikian pula dalam hal budget DPD hanya bisa memberikan pertimbangan dan usulan. Demikian pula dalam hal pengawasan terhadap pelaksanaan UU, anggaran dan kebijakan politik tertentu, semuanya harus diteruskan kepada DPR untuk ditindaklanjuti. Dalam hal ini, kewenangan DPD bersifat “konsultatif”, karena tidak mempunyai kewenangan untuk memutus, sedangkan DPR kewenangannya amat dominan, dimana semua kewenangan Presiden ada keterlibatan DPR. Menurut Laode, hubungan DPD dengan DPR penting untuk dikomunikasikan, terutama berkenaan dengan mekanisme legislasi. Sejauh ini, kata Laode, mekanisme kerja legislasi dan pengawasan dilakukan antara Komisi
DPR dan Komite DPD secara parsial dan sporadic, juga bervariasi tergantung dari interaksi masing-masing. Belum ada upaya proporsional dan serius untuk secara sistemik melembagakan, padahal sesungguhnya, dengan produktifitas tingkat legislasi yang tidak memuaskan di mata rakyat, seharusnya bisa dikoreksi dengan mengembangkan sinergi DPR dan DPD. “Jadi harus ada keberanian melakukan terobosan yang sistematis dan melembaga, baik oleh Pimpinan DPR maupun DPD,” kata Laode.
Beberapa Hal Yang Harus Dibenahi
Menyangkut hubungan DPD dengan DPR, ada beberapa hal yang harus dibenahi dan disepakati terutama dalam aktualisasi DPD dalam menjalankan fungsinya, diantaranya adalah masalah pengaturan mekanisme kerja. Perihal masalah pengaturan mekanisme kerja ini terkait dengan beberapa hal yakni, penyusunan Program Legislasi Nasional, (Prolegnas) Prioritas Tahunan, pengajuan dan pembahasan RUU dan pertimbangan atas RUU. Mengenai penyusunan Prolegnas prioritas tahunan, selama ini DPD amat mengapresiasi atas keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam pembahasan Prolegnas di DPR. Hal itu menurut Laode, telah berjalan dengan baik. Namun ada harapan yang ingin dia sampaikan yaitu keikutsertaan DPD dalam penyusunan daftar RUU Prolegnas prioritas tahunan dimungkinkan hingga ke tingkat perumusan. Adapun terkait pengajuan dan pembahasan RUU, diperlukan keiikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU bersama DPR dan Presiden, yang meliputi pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM), dan penyampaian pendapat mini. Laode juga berharap mekanisme kerja dalam pembahasan RUU yang melibatkan DPR, Pemerintah dan
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
15
LAPORAN UTAMA
DPD, terutama pembahasan DIM dan penyampaian pendapat ini, mengikutsertakan DPD. Keikutsertaan tersebut meliputi DPD memiliki wakil dan ikut serta dalam rapat kerja antara alat kelengkapan DPR dengan Pemerintah untuk menentukan jadwal pembahasan RUU, DPD diundang dalam pembicaraan tingkat II di Rapat Paripurna DPR. DPD memiliki wakil dalam pembahasan RUU di DPR yang berjumlah paling banyak 1/3 jumlah anggota alat kelengkapan DPR yang membahas suatu RUU atau paling sedikit 6 (enam) orang. Pokok-pokok gagasan lainnya yang disampaikan Laode adalah masalah pertimbangan atas RUU APBN. Dalam hal ini DPD mengingatkan bahwa DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis terhadap RUU APBN yang disampaikan oleh DPD yang diberikan paling lambat 14 hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Dia mengharapkan, DPD diikutsertakan sejak awal pembahasan sehingga pertimbangan yang disampaikan oleh DPD tepat sasaran dan bermanfaat bagi daerah. Untuk itu, katanya, DPD meminta agar DPR mengundang DPD dalam Rapat Paripurna DPR untuk bersama-sama mendengarkan keterangan Pemerintah mengenai Pokok-pokok Pembicaraan Pendahuluan RAPBN sejak RAPBN 2011. Dia juga berharap, DPD dapat ikut serta dalam pertemuan antara DPR dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia (BI), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam pembicaraan tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan ekonomi makro. Mengenai pertimbangan atas RUU tertentu, DPD berharap agar DPR mencantumkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 dalam konsiderans “mengingat” RUU yang mendapat pertimbangan DPD dan mencantumkan keputusan DPD dalam konsiderans “memperhatikan” dalam keputusan DPR, dan meminta Komisi DPR menyampaikan
16
paparan hasil pertimbangan DPD. Pokok gagasan selanjutnya yang disampaikan Laode adalah pengawasan atas UU tertentu. Dalam hal ini, DPD berharap agar DPR mencantumkan Pasal 22D ayat (3) UUD 1945 dalam konsiderans “mengingat” UU yang direvisi apabila hasil pengawasan DPD menjadi dasar perevisian, mencantumkan keputusan DPD tentang hasil pengawasan DPD dalam konsiderans “memperhatikan” dalam keputusan DPR, dan meminta Komisi DPR menyampaikan paparan hasil pengawasan DPD. Dari beberapa catatan yang disampaikannya, Laode Ida memberikan sejumlah catatan utama sebagai kesimpulan mendasar yaitu, kedudukan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah sudah tepat dan memang dibutuhkan kehadirannya. Namun demikian menurut Laode, seharusnya posisi DPD dapat sejajar dengan DPR, bukan lebih rendah. Di samping itu, sebagai lembaga Negara DPD mempunyai fungsi yang sangat lemah, hanya sebagai pelengkap bagi lembaga legislatif, dimana hanya sebagai lembaga konsultatif, dan pertimbangan, tidak mempunyai kewenangan dalam memutus. Selain
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
Wakil Ketua DPD RI Laode Ida (paling kiri)
juga, DPD dibatasi pada persoalanpersoalan berkaitan dengan otonomi daerah. Laode melihat, hubungan DPD dengan lembaga Negara lainnya, seperti MPR, DPR Mahkamah Konstitusi, Pemerintah Daerah dan DPRD ada, tetapi hanya pada masalah-masalah tertentu saja dan sifatnya hanya sebagai pemberi “pertimbangan”. Berdasarkan keterbatasan fungsi dan kewenangan DPD tersebut, maka dia berharap dilakukan perubahan-perubahan yaitu posisi DPD harus lebih diperkuat sehingga dalam menjalankan fungsinya dapat maksimal, bukan hanya sebagai lembaga “pelengkap” dari lembaga legislatif yang hanya memberi pertimbangan, usulan kepada DPR. Demikian juga dalam berhadapan dengan lembaga Negara lainnya yang menjadi mitra kerja DPD. Untuk itu, agar secara mendasar kembali ke akarnya hanya dapat dilakukan dengan mengamandemen pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang DPD. Laode menegaskan, Anggota Dewan Perwakilan Daerah sendiri tentunya harus memperjuangkan hak-haknya supaya sejajar dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. (tt,iky)
Memperkuat Posisi Baleg Dengan Cara Re-Disain Dalam memberikan masukannya terkait dengan revisi UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), mantan Pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI periode 2004-2009, Ferry Mursyidan Baldan memfokuskan pada thema “Menata Alat Kelengkapan bagi Penguatan Fungsi DPR”.
A
lat kelengkapan DPR terdiri dari 11 Komisi dan 7 (tujuh) Badan, yang jika ditelaah dari segi fungsi pokok Dewan, fungsi Pengawasan oleh 11 Komisi, Fungsi Budgeting oleh Badan Anggaran dan Fungsi Legislasi oleh Baleg. Sementara Badan-badan lain adalah Alat Kelengkapan yang tidak berkaitan langsung dengan fungsi pokok Dewan. Untuk mengoptimalisasi pelaksanaan fungsi Dewan, menurut Ferry, disain idealnya adalah memulai dengan adanya alat kelengkapan yang setara terhadap fungsi-fungsi pokok Dewan, artinya Komisi, Badan Anggaran dan Badan Legislasi memiliki kedudukan yang sama. Ferry juga berpendapat, setiap anggota Komisi, Badan Anggaran dan Badan Legislasi tidak dirangkap satu sama lainnya. Selain itu, review terhadap mitra kerja komisi, seiring Kementerian Hukum dan HAM, Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet menjadi mitra kerja Baleg, sedang Menteri Keuangan dan Bappenas mitra kerja Badan Anggaran. Dengan disain ini, kata Ferry, maka akan menegaskan bahwa masingmasing fungsi Dewan ditempatkan pada posisi yang sama, dan semua anggota terbagi dalam 3 (tiga) fungsi pokok secara permanen. Terkait dengan penggunaan hak mengajukan RUU, Ferry mengatakan, melekatnya hak mengajukan RUU
Mantan Pimpinan Baleg DPR RI periode 2004-2009 Ferry Mursyidan Baldan
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
17
LAPORAN UTAMA
bentukkan Fraksi. Hal ini bisa dimulai dengan jumlah nominal, yakni sekurang-kurangnya memiliki anggota 20% dari jumlah anggota Dewan atau 5 (lima) terbesar perolehan kursi, maka Partai tersebut dapat membentuk Fraksi. Dalam hal ini, tidak lagi dikenal adanya Fraksi gabungan, jika perolehan suaranya dibawah 20% atau perolehannya tidak masuk 5 besar, maka wajib bergabung dengan Fraksi yang ada.
Kewajiban Melaporkan Kinerjanya
Suasana Workshop dan Fokus Group Discussion
pada anggota Dewan belum dirasa optimal karena memang daya dukungnya yang tidak memadai, seperti Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang masih berbasis alat kelengkapan, dalam hal ini komisi. Ferry juga menyoroti, komisi yang relatif jarang memberi support pada RUU yang diajukan oleh anggota, atau setidaknya memfasilitasi untuk dibahas, agar menjadi RUU. Menurut Ferry, persyaratan administratif yang panjang juga menjadi faktor yang menyebabkan anggota enggan untuk mengajukan RUU. Selain itu, penyusunan Prolegnas yang tidak melibatkan anggota, sehingga memunculkan kesan bahwa hak mengajukan RUU pada dirinya, hanya bersifat administratif, tidak substantif. Dengan posisi yang kuat dari Badan Legislasi, seperti usulan redisain, maka tahapan pembentukan UU dapat dilakukan dengan lebih singkat. Dimulai dari tahap perencanaan, dalam tahap ini penyusunan Prolegnas hendaknya tidak berdasarkan judul UU, tapi konten atau substansi pokok, yang bisa saja menjadi lebih dari 1 judul UU. Selain itu, DPR juga tidak terbebani pada jumlah pencapaian penyelesaian. Dalam tahap penyusunan dan harmonisasi UU, dengan re-disain, maka sepenuhnya dilakukan oleh Baleg yang keanggotaannya sudah full, bu-
18
kan lagi sisa waktu. Pada tahap selanjutnya, tahap pembahasan, jika usul DPR, maka pembahasan dilakukan oleh Komisi yang mengusulkan, supaya tidak kehilangan “ruh” tujuan pembentukan UU, jika RUU berasal dari Pemerintah, maka pembuatan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) hanya untuk substansi pokok saja. Berkaitan dengan waktu, menurut Ferry, ada baiknya ditetapkan batas waktu pembahasan pembentukkan UU, misalnya 2 atau 3 masa sidang, yang jika tidak selesai maka pembahasannya diambil alih oleh Baleg, dan komisi yang bersangkutan tidak boleh membentuk UU dalam 1 (satu) Tahun Masa Sidang. Terkait dengan pembatasan waktu ini, perlu ditetapkan batasan waktu setiap tahapan pembentukkan UU, termasuk penyusunan DIM yang jika tidak dipenuhi, maka Fraksi yang bersangkutan dianggap tidak memiliki pendapat/pandangan. Selain menyoroti tahapan mekanisme pembentukkan UU , Ferry juga memandang perlunya penataan Fraksi dalam penguatan fungsi DPR. Meski bukan Alat Kelengkapan Dewan, namun secara politis, Fraksi memiliki kewenangan besar dalam proses pengambilan keputusan di Dewan. Dalam hal ini timbul pertanyaan, bisakah kita memulai penataan dengan “Memperketat” syarat pem-
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
Politisi Partai Golkar ini juga mengatakan pentingnya bagi Dewan melaporkan kinerjanya. Menurut Ferry, kewajiban melaporkan kinerja sebagai Anggota Dewan, cukup dilakukan pada setiap masa Reses, karena sejatinya masa reses adalah masa melaporkan apa-apa yang dilakukan selama masa sidang, termasuk menyerap aspirasi masyarakat di Dapilnya. Sedangkan laporan menyeluruh dalam konteks Dewan, bisa dituangkan dalam memori akhir masa jabatan Dewan secara kolektif, yang berisi apa-apa yang menjadi target, apa yang dicapai, apa yang tidak dapat dicapai dan penyebabnya. Dengan demikian, kata Ferry, maka tugas-tugas dalam melaksanakan fungsi Dewan diemban secara kolektif, sedang tugas-tugas politik sebagai wakil rakyat lebih personal atau kolektif dalam lingkup Dapil. Secara keseluruhan, optimalnya pelaksanaan fungsi Dewan tidak semata tergantung pada aturan main, tapi lebih pada kesadaran kerja kolektif, karena semua kewenangan kenegaraan yang diberi oleh UU adalah pada Dewan bukan Personal anggota Dewan. Sedang untuk personal Anggota Dewan, menurut Ferry, diberi fasilitas, hak bahkan imunitas untuk dapat melaksanakan tugas Dewan secara Kelembagaan/Kolektif. (tt,iky) ***
Tidak Ada Kejelasan DPRD Dalam Fungsi Legislasi Berdasarkan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), DPRD memiliki fungsi legislasi. Namun sering terjadi ketidakjelasan dan ketidaktegasan sebagai pemegang kekuasaan membuat peraturan daerah.
S
elain itu, posisi DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif di daerah masih menjadi perdebatan. Dalam hal ini timbul pertanyaan, bagaimana mendisain kemandirian DPRD dalam konsep trias politika? Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Saldi Isra menyoroti beberapa pasal dalam UUD 1945, UU MD3, UU tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 berbunyi : Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota memiliki DPRD yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 berbunyi : Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Sementara Pasal 291 UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD mengatakan, DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi. Pasal 292 UU MD3, Ayat 1, DPRD provinsi mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Ayat 2
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Saldi Isra
berbunyi ke tiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di provinsi. Pasal 293 UU MD3 ayat (1) berbunyi : DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur. Selain itu, membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh Gubernur. Ayat 2 mengatakan, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib. Saldi menambahkan, dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 41 disebutkan DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Sementara Pasal 42 (ayat 1) menyebutkan, DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama dan membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah. Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 1 Angka 7 menyebutkan, Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi de-
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
19
LAPORAN UTAMA
ngan persetujuan bersama Gubernur. Undang-undang yang sama Pasal 34 ayat (1) mengatakan, penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintahan Daerah Provinsi. Berdasarkan penjelasan normatif tersebut, kata Saldi, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, DPRD disebutkan sebagai bagian dari unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengaturan demikian menurut Saldi Isra, tidak memungkinkan penerapan konsep Trias Politika dalam pengertian “pemisahan kekuasaan”. Ketentuan yang ada lebih dekat dengan penerapan Trias Politika dalam pengertian “pembagian Kekuasaan”. Dengan posisi demikian, menjadi sulit meletakkan DPRD sama dan sebangun dengan model fungsi legislasi DPR. Saldi juga menjelaskan, tiga UU yang ada (UU MD3, UU No. 32/2004 dan UU No. 12/2011) tidak mengelaborasi bagaimana detailnya proses legislasi di DPRD. Dengan begitu, proses lebih banyak mengandalkan peraturan DPRD. Sejauh ini, katanya, penyusunan dan substansi Peraturan DPRD lebih banyak merujuk kepada Peraturan
Pemerintah (PP). Jika memang hendak menempatkan DPRD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebaiknya pengaturan fungsi legislasi lebih didetailkan dalam UU Pemerintahan Daerah.
PP Tidak Sinkron
Dalam kesempatan Workshop kali ini, Saldi juga menyoroti, saat ini peraturan yang memberi arahan pembentukan Tata Tertib DPRD yang diatur dalam PP seringkali tidak sinkron dengan peraturan yang lebih tinggi (UU). Di sini timbul pertanyaan, regulasi apa yang perlu disusun untuk menjadi pedoman dalam penyusunan Tatib, apakah langsung pendelegasian dari UU yang berimplikasi pada ketidaksamaan Tatib di masing-masing DPRD atau perlu ada peraturan selevel PP yang menjadi pedoman penyusunan Tatib. Karena hal ini juga berimplikasi pada pengalokasian anggaran yang bisa dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan. Sejauh ini, yang menentukan substansi Tatib DPRD tidak hanya pengaturan yang ada dalam PP. Praktek menunjukkan, acapkali muncul (Peraturan Menteri dan Surat Edaran
Menteri) yang mengatur substansi Tatib. Karena “perintah” yang beragam tersebut, sangat mungkin terjadi disinkronisasi antara yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, akan menjadi jauh lebih baik jika UU mengatur semacam “pedoman” penyusunan Tatib DPRD. Paling tidak, UU mengatur substansi apa saja yang diatur dalam Tatib DPRD, Namun demikian, apapun level pengaturannya menurut Saldi, sebaiknya disediakan ruang bagi DPRD untuk adanya kreatifitas. Saldi menambahkan, pengaturan di tingkat UU tidak selalu memberi ruang yang lebih leluasa. Boleh saja diberi ruang untuk adanya perbedaan. Meskipun demikian, katanya, untuk semua substansi yang ditentukan dalam UU harus berlaku sama untuk semua Tatib DPRD. Dalam pengertian itu, semua substansi yang diatur dalam UU harus dimuat dalam Tatib DPRD. Kelonggaran yang diberikan kepada DPRD hanya sebatas mengakomodasi kekhasan daerah dan tidak diperkenankan bertentangan dengan substansi yang ada dalam UU. Selain itu, karena ini menyangkut kelembagaan, lebih baik kalau ada aturan internal yang pokok-pokoknya diatur dalam UU.
Sudah Efektifkah Alat Kelengkapan
Workshop dan Fokus Group Discussion yang diadakan oleh Baleg DPR RI
20
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
Hal lain yang menjadi sorotan adalah, saat ini di DPRD terdapat alat kelengkapan baik berupa Komisi maupun Badan-badan. Apakah alat kelengkapan ini sudah efektif dan efisien dalam mengemban pelaksanaan fungsi dan wewenang DPRD.? Jika dilihat Pasal 302 (1) UU MD3, Alat Kelengkapan DPRD provinsi terdiri atas : Pimpinan, Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi daerah, Badan Anggaran, Badan Kehormatan dan Alat Kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. Dalam hal penentuan Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD provinsi (Kabupaten/Kota). Ketua DPRD (provinsi/kabupaten/ kota) ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD provinsi. Menurut Saldi, pola pengisian Pimpinan (termasuk Ketua DPRD) yang didasarkan kepada raihan urutan suara di DPRD telah menghilangkan sebuah proses yang demokratis di DPRD. Selain itu, katanya, pola pengisian yang demikian potensial “membunuh” kesempatan bagi partai politik lain yang kebetulan tidak berasal dari partai politik yang memiliki suara terbesar. Tambah lagi, kalau suara antara yang meraih posisi teratas hanya berselisih tipis dengan posisi berikutnya, aturan ini terasa “zalim” untuk hadirnya Ketua yang lebih mumpuni. Mungkin bisa dicek ke lapangan, betapa banyaknya seorang anggota DPRD
Workshop dan Fokus Group Discussion yang diadakan oleh Baleg DPR RI
menjadi ketua hanya karena keharusan ketentuan yang sejalan dengan proses demokrasi yang berkualitas. Sementara menyoroti Badan Legislasi Daerah, jika dilihat Pasal 36 UU No. 12/2011, penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemda Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. Ayat (2) UU ini juga mengatakan, penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. Ayat (3) menyebutkan, penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh Biro Hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait. Ayat selanjutnya mengatakan, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaima-
na dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Sistem Kepegawaian Yang Tepat
Bahasan lainnya yang menjadi sorotan Saldi Isra adalah sistem kepegawaian seperti apa yang tepat bagi pendukung Dewan. Menurutnya, kelompok pakar/tim ahli belum diatur dengan jelas dalam UU MD 3. Di sini timbul pertanyaan sistem pendukung keahlian yang bagaimana yang diperlukan Dewan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan kewenangannya ? Dalam hal ini, Saldi berpandangan staf pendukung merupakan keniscayaan. staf pendukung diperlukan sesu ai dengan keahlian yang diperlukan. Dalam hal ini, staf pendukung tidak dalam status PNS. Kalau di daerah, staf pendukung ini dapat dimulai dari ahli di alat kelengkapan dan kalau keuangan memungkinkan, dapat juga diusahakan staf ahli untuk anggota. (tt/iky)
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
21
LAPORAN UTAMA SUMBANG SARAN
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH, MH
Menata Parlemen Dengan Mengubah UU MD3 P
enataan kelembagaan parlemen memang harus dilakukan melalui amandemen UUD 1945 yang kelima, tidak cukup hanya dengan mengubah UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Apabila penataan itu di-
pandang sebagai sesuatu yang fondamental maka harus dimulai dengan perubahan/amandemen UUD 1945 yang kelima. Karena sulit akan didapatkan penataan kelembagaan parlemen yang akan benar-benar demokratis, efektif, dan akuntabel berdasarkan
Perlu dijelaskan yang dimaksud dengan unsur partai politik adalah orang yang duduk di MPR itu benar-benar mewakili partai politik. Pengisiannya melalui pemilihan umum (pemilu) khusus untuk MPR. Dalam Pemilu tersebut ada orang-orang Parpol yang hanya duduk di DPR. Dengan demikian, anggota DPR tidak merangkap sebagai anggota MPR, meski pengisiannya bersamaan dalam Pemilu.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH, MH Kepala Program Doktor dan Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung
Pancasila apabila penataannya hanya dilakukan dengan mengubah UU tentang MD3. Untuk mengubah UUD 1945 memerlukan suatu kajian yang sangat mendalam, komprehensif, konsisten, serta dilakukan oleh para ahli ketatanegaraan (dalam arti luas) yang sudah teruji dan diakui kepakarannya. Karena itu, untuk mengubah UUD 1945 diperlukan waktu yang cukup dengan forum yang luas dan melibatkan banyak keahlian. Sehingga, untuk sementara ini dapat dimaklumi dengan mengubah UU tentang MD3 jauh lebih mudah dari pada mengubah UUD 1945. Sehingga, pemikiran dalam melakukan penataan kelembagaan parlemen, dibagi dalam dua tataran. Tataran pertama, penataan melalui perubahan UUD 1945 pasca amandemen keempat, dengan dilakukan amandemen UUD 1945 yang kelima. Tataran kedua, penataan dilakukan hanya dengan mengubah UU tentang MD3, dengan tetap mengacu pada kelembagaan parlemen seperti diatur dalam UUD 1945 yang sekarang ini berlaku.
Pengertian Umum Konstitusi dan Negara Hukum
Menurut James Brice, konstitusi diartikan sebagai a frame of political society, organized through and by law, that is to say one in which law has established permanent institutions with recognised functions and definite rights. “Again a constitution may be said to be a collection of principles
22
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
according to which the powers of the government, the rights of the governed, and relations between the two are adjusted”. (CF. Strong, Modern Political Constitutions) Konstitusi diartikan Sir Keneth C. Wheare, sebagai sekumpulan ketentuan hukum tertinggi yang tersusun di dalam suatu dokumen yang mengatur pemerintahan negara. Pendapat senada dikemukakan oleh S.E. Finner , konstitusi sebagai sekumpulan norma hukum yang mengatur alokasi fungsi, kekuasaan, serta tugas-tugas di antara berbagai lembaga negara, serta yang menentukan hubungan-hubungan di antara lembaga-lembaga negara tersebut dengan rakyat, dan biasanya termodifikasi di dalam suatu dokumen. Sementara itu, Benyamin Akzin dalam sebuah artikel berjudul “On the Satbility and Reality of Constitution” berpendapat, konstitusi merupakan dokumen atau sekumpulan dokumen serta kebiasaan ketatanegaraan, baik yang ditetapkan secara formal maupun yang disepakati sebagai ketentuan dasar mengenai susunan dan fungsi negara, serta menetapkan pula secara pasti dan efektif kerangka dasar proses-proses pemerintahan dan proses-proses yuridis ketatanegaraan.
Jajaran Pimpinan Sidang Bersama DPR-DPD 16 Agustus 2011
Loewenstain berpendapat, konstitusi merupakan suatu sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan. Oleh karena itu, setiap konstitusi senantiasa mempunyai dua tujuan, yaitu untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik, dan untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa, serta menetapkan bagi para penguasa tersebut batas-batas kekuasaannya. Muhammad Tahir Azhary mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam mengajukan pandangan tentang ciri-ciri nomokrasi atau negara hukum yang baik itu mengandung sembilan prinsip. Kesembilan prinsip itu : 1. Prinsip kekuasaan sebagai amanah. 2. Prinsip musyawarah. 3. Prinsip keadilan. 4. Prinsip persamaan. 5. Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. 6. Prinsip peradilan yang bebas. 7. Prinsip perdamaian. 8. Prinsip kesejahteraan. 9. Prinsip ketaatan rakyat. Jimly Ashiddiqie berpendapat, dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencer-
minkan nilai-nilai keadilan yang hidup ditengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum tidak dimaksudkan hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, cita negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtssaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dalam setiap negara hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap negara demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
Penataan Kelembagaan Parlemen Melalui Amandemen UUD 1945
Konstitusi, menurut Hans Kelsen dan kemudian dikembangkan oleh muridnya Hans Nawiasky serta Adolf Merkl, paling tidak memuat dua norma utama, yaitu staatsfundamen-
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
23
SUMBANG SARAN
talnorm (norma fundamental negara) dan staasgrundgesetz (aturan dasar negara). Dengan demikian, kedudukan norma yang terdapat dalam konstitusi merupakan kristalisasi dari hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau, pandangan tokohtokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang, maupun untuk masa yang akan datang. Juga merupakan suatu kehendak dalam hal perkembangan kehidupan ke-tatanegaraan bangsa yang akan dipimpin, serta tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa. Jika ditelusuri, terjadinya reformasi konstitusi (constitutional reforms) di berbagai negara yang ditandai dengan perubahan terhadap materi muatan konstitusi, menurut beberapa literature antara lain James L. Sundquist dalam bukunya ”Constitution Reform and Effective Government” (1992); Barber Conable (1984) seorang Republican veteran; Arthur M. Schlesinger Jr. Dalam artikelnya berjudul “Leave The Constitution” (1966) dan K.C. Wheare “Modern Constructions” (1971) mengatakan, bahwa perubahan konstitusi suatu negara itu sekurang-kurangnya berkisar pada tiga isu utama. Pertama, menyangkut pertanyaan sejauhmanakah pencapaian negara
kesejahteraan (welvaartstaat/welfare state) mewujudkan dalam kehidupan warga negaranya? Indikasinya, apakah negara diselenggarakan dengan tidak efisien, dengan menghamburhamburkan sumber daya (resources) dengan dalih untuk dan atas nama negara, yang oleh konstitusi justru diberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk melakukannya. Selain itu, stabilitas negara pun menjadi amat terancam, antara lain berimplikasi pada benturan ideologi yang amat hebat, sehingga terjadi perpecahan di antara anak bangsa. Serta yang terpenting, kesejahteraan (prosperity) tidak menjadi bagian dalam pendekatan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Kedua, apakah negara hukum (rechtstaat/rule of law) telah menjadi landasan dalam penyelenggaraan negara. Indikasinya, hukum sudah tidak berjalan efektif untuk mengatasi berbagai bentuk kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat/instansi publik maupun masyarakat. Hambatan konstitusionalnya kekuasaan kehakiman tidak diberikan kedudukan yang merdeka. Dengan kata lain, tidak adanya jaminan konstitusional untuk mewujudkan independent of judiciary. Ketiga, bagaimanakah kedaulatan rakyat (volksoevereiniteit/democracy)
para anggota parlemen saat mengikuti Sidang Bersama DPR-DPD 16 Agustus 2011
24
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
menjadi tulang punggung atau pilar dalam membangun negara. Indikasinya, jalannya pemerintahan yang berbahaya (adventurous governments) yang mengancam atau mengganggu kebebasan warga negara (individual liberties) dan hak-hak asasi warga negara lainnya. Singkatnya, latar belakang suatu negara untuk melakukan reformasi (perubahan) konstitusinya didasarkan pada penilaian (assessment) apakah ada hambatan secara konstitusional untuk mewujudkan negara kesejahteraan. Kemudian pilar-pilar negara hukum sudah terancam untuk ambruk, di mana kekuasaan kehakiman dan atau institusi penegak hukum berada pada posisi sun ordinasi terhadap lembaga negara lainnya. Serta apakah kedaulatan rakyat atau demokrasi sudah mandeg, sehingga lembaga perwakilan rakyat sangat sulit untuk mendayagunakan fungsi dan tanggung jawabnya, dan hak-hak rakyat tidak mendapat perlindungan semestinya. Ada beberapa pokok pikiran yang mendasar dapat menjadi inspirasi dalam melakukan amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945 dari paparan di atas, yaitu : a. Pembentukan konstitusi itu merupakan kesepakatan rakyat yang dijalankan oleh wakil-wakilnya yang benar-benar amanah. b. Pembentukan konstitusi merupakan proses yuridis (hukum ketatanegaraan), selain proses politik, sehingga dalam proses pembahasan penyusunan konstitusi harus berpikir dan bersikap sebagai seorang negarawan yang berpengetahuan, berpengalaman, dan berpengaruh. c. Dalam membentuk konstitusi harus didasarkan kepada nilai-nilai filosofis dari negara yang bersangkutan, bukan semata-mata meniru atau mengadopsi dari negara lain secara begitu saja, yang tentunya dapat berbeda atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai ideologisnya.
d.
e.
Bahwa konstitusi itu harus mampu mambawa masyarakatnya kepada kesejahteraan yang didasarkan kepada negara hukum dan demokrasi. Setiap kali ada upaya penataan lembaga-lembaga negara yang termuat dalam konstitusi perlu terlebih dahulu ditetapkan landasan filosofis yang menjadi fundamen bagi pendirian lembagalembaga negara tersebut.
Bagi bangsa Indonesia, fundamen filosofis bangunan lembaga-lembaga negara yang hendak didirikan tersebut yaitu Pancasila. Dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, dalam sila keempat dari Pancasila menegaskan, bahwa adanya landasan bagaimana negara dijalankan dan bagaimana hubungan antar pemegang kekuasaan dalam negara di bangun. Sila keempat itu selengkapnya berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Apabila rumusan sila keempat itu dijadikan titik tolak dalam membangun sistem demokrasi, maka dalam sila keempat terdapat muatan demokrasi dalam arti materi dan sekaligus juga bermuatan sistem demokrasi dalam arti formil. Perlu dijelaskan, sistem demokrasi dalam arti materiil, bahwa demokrasi Indonesia berlandaskan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Maknanya, negara RI menganut ajaran kedaulatan rakyat atau demokrasi yang dalam penyelenggaraannya dipandu oleh suatu hikmah kebijaksanaan. Yang dimaksud dengan hikmah kebijaksanaan adalah demokrasi itu harus berpegang teguh kepada nilainilai Ketuhanan, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung persatuan Indonesia, dan ditujukan bagi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun demokrasi dalam arti formil, dalam sila keempat mengandung makna yakni dalam penye-
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH, MH Kepala Program Doktor dan Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung
lenggaraan demokrasi berlandaskan pada Permusyawaratan/Perwakilan. Maknanya, permusyawatan adalah tempat/wadah, fungsi, prosedur, proses, dan mekanisme untuk bermusyawarah dalam menjalankan kedaulatan rakyat. Dalam konteks negara yang Bhinneka Tunggal Ika, maka bermusyawarah akan mendekatkan pada kehendak bersama. Artinya, tidak ada kesewenang-wenangan dari mayoritas dan tidak ada tindakan tirani dari minoritas, namun mengutamakan toleransi, saling memberi dan menerima, dan kebersamaan menjadi hikmat menyelenggarakan negara demi kepentingan rakyat. Karena permusyawaratan itu bermakna sebagai wadah, fungsi, dan proses bermusyawarah, maka pemaknaan berikutnya digandeng dengan perwakilan. Perwakilan adalah wujud dari representative democracy. Artinya, ada lembaga yang mewakili rakyat dalam menyelenggarakan negara. Lembaga yang mewakili rakyat itu disebut parlemen. Dengan demikian, apabila bangsa Indonesia memang memerlukan penamaan dari sistem demokrasi Indonesia maka dapat disebut sebagai sistem demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan.
Sistem Permusyawaratan/ Perwakilan Dalam kajian akademik seringkali diperdebatkan apakah Negara Indonesia dalam keparlemenan itu menganut sistem unicameral (satu kamar), bicameral (dua kamar), tricameral (tiga kamar). Oleh para Pendiri Negara Indonesia sudah diciptakan sistem demokrasi yang benar-benar khas Indonesia adalah demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan. Basis utama dari sistem demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan adalah Persatuan Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. Permusyawaratan sebagai wadah diciptakan lembaga negara yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kehadiran lembaga MPR supaya seluruh rakyat Indonesia yang beraneka ragam akan mempunyai wakil dalam Majelis. Intinya, MPR merupakan wadah yang berfungsi mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika dalam menyelenggarakan negara, dengan mengutamakan prinsip perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Untuk itu hemat saya, MPR itu merupakan lembaga perwakilan rakyat tertinggi. Karena MPR merupakan lembaga perwakilan rakyat tertinggi maka harus diisi oleh orangorang atas pilihan rakyat, yang dapat
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
25
SUMBANG SARAN
mencerminkan kebhinnekaan yang ada pada rakyat Indonesia. Supaya MPR benar-benar mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika, unsur-unsur yang ada di MPR harus mencerminkan kebhinnekaan dengan ada unsur dari partai politik (Parpol), Daerah, utusan Golongan, juga Perseorangan. Perlu dijelaskan yang dimaksud dengan unsur partai politik adalah orang yang duduk di MPR itu benarbenar mewakili partai politik. Pengisiannya melalui pemilihan umum (pemilu) khusus untuk MPR. Dalam Pemilu tersebut ada orang-orang Parpol yang hanya duduk di DPR. Dengan demikian, anggota DPR tidak merangkap sebagai anggota MPR, meski pengisiannya bersamaan dalam Pemilu. Unsur dari Daerah adalah orangorang yang duduk di MPR yang benar-benar mewakili Pemerintah Daerah. Cara pengisiannya dipilih oleh DPRD Propinsi atas usulan gubernur. Jumlah orang dari unsur Daerah untuk masing-masing propinsi adalah 3 orang. Berbeda dengan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang dipilih secara langsung melalui Pemilu untuk mewakili Daerah. Unsur utusan Golongan adalah tokoh-tokoh yang mewakili organisasi masyarakat yang terkemuka, dan tokoh-tokoh nasional yang benarbenar sudah diakui reputasinya. Utusan Golongan ini dipilih oleh DPR dan DPD atas usulan dari Presiden. Unsur Perseorangan adalah orangorang yang independen, bukan anggota parpol. Pengisian orang-orang dari unsur perseorangan tersebut dilakukan melalui pemilu, dan tata caranya sama seperti ketika pemilihan anggota DPD sekarang ini. Jumlah anggota MPR dari unsur perseorangan adalah 5 orang dipilih dari masing-masing propinsi. Sedangkan Pemilu itu adalah untuk memilih anggota MPR dari unsur parpol dan unsur perseorangan, DPR dari parpol, DPRD juga dari parpol, dan DPD dari perseorangan. De-
26
ngan demikian keanggotaan MPR itu benar-benar mencerminkan kebhinnekaan, mewakili parpol, mewakili daerah, utusan daerah, golongan, dan orang perseorangan. Anggota DPR dan anggota DPD tidak merangkap menjadi anggota MPR. Dengan komposisi MPR demikian, tugas dan wewenang selain yang telah diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen, juga ditambah wewenangnya antara lain, menetapkan GBHN dan melakukan pengawasan terhadap Presiden, DPR, dan DPD. MPR perlu diberikan menetapkan GBHN karena untuk menjaga kesinambungan pembangunan. Dalam UUD 1945 yang berlaku sekarang ini, DPR/DPD tidak ada yang mengawasi. Namun ke depan perlu MPR diberikan wewenang mengawasi selain terhadap Presiden dalam melaksanakan UUD 1945 dan GBHN, juga DPR dan DPD dalam melaksanakan UUD 1945 dan GBHN. Berkaitan dengan keberadaan DPD ada dua kemungkinan. Pertama, diperkuat kedudukan, fungsi, dan wewenangnya kurang lebih setara dengan DPR, atau kemungkinan kedua dibubarkan atau dihapuskan. Apabila diperkuat, DPD akan banyak berperan secara signifikan dalam memperjuangkan aspirasi daerah dalam pembentukan UU dan APBN. Namun, apabila tidak diperkuat dalam pengertian sama seperti keadaan DPD sekarang ini sebaiknya dihapus saja keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Dan, sebagai pengganti yang mewakili aspirasi Daerah adalah utusan Daerah yang berada di MPR berasal dari unsur Daerah.
Perubahan UU No. 27/2009 tentang MD3
Dari pengaturan kelembagaan ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, menurut hemat saya, akan melahirkan tiga undang-undang, yaitu UU tentang DPR dan DPD, UU tentang DPRD yang bersatu dengan UU tentang Pemerintah Daerah. UU tentang MPR
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
harus tersendiri (sui generis) tidak digabung dengan DPR, DPD, dan apalagi dengan DPRD, karena MPR diposisikan sebagai lembaga negara yang “tertinggi”, yang berwenang membentuk/mengubah UUD, mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden, serta tambahan kewenangan baru antara lain menetapkan GBHN, mengawasi lembaga-lembaga negara yang ada “dibawahnya”, dan menyelesaikan sengketa antar lembaga negara. UU tentang MPR mengatur secara lengkap tentang kedudukan, tugas, fungsi, wewenang, cara pengisian dan pemberhentian keanggotaan, hubungan dengan lembaga-lembaga negara lain, dan hal-hal lain yang lazim mengatur kelembagaan. UU tentang MPR tidak digabung dengan lembaga DPR, DPD, DPRD karena lembaga MPR benar-benar merupakan cerminan dari sistem demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan, Bhinneka Tunggal Ika, Persatuan Indonesia. MPR bersidang paling kurang setahun sekali. Watak dan ciri sidangsidang MPR, senantiasa begitu luas dan terbuka melibatkan semua komponen bangsa, tokoh-tokoh yang berwibawa, dan perdebatan serta argumentasi yang begitu berkualitas, semuanya diabdikan demi kemaslahatan dan kemajuan bangsa. Karena itu, MPR jangan dikerdilkan atau bahkan seolah menjadi lembaga “pelengkap penderita”, antara ada dan tiada. Sungguh disayangkan sekarang ini, MPR menjadi jauh dari pelibatan rakyat melalui tokoh-tokohnya, dan jauh dari nilai-nilai Permusyawaratan/ Perwakilan. Hal itu tentunya telah menafikan dan menegasikan sejarah perjuangan bangsa, pemikiran yang genius dari founding fathers Indonesia, sikap yang menjauh dari prinsip dasar sistem demokrasi Permusyawaratan/ Perwakilan. Diciptakannya MPR oleh founding fathers Indonesia , dalam kaca mata perkembangan demokrasi di dunia,
menurut hemat saya, merupakan temuan yang sangat luar biasa, meskipun dalam perjalanannya pernah disalahgunakan oleh penguasa Orde Lama maupun Orde Baru. Karena itu, Negara wajib menempatkan kembali harkat, derajat, dan martabat MPR sebagai lembaga negara yang memang berjiwa Indonesia. Dengan menempatkan MPR sebagai lembaga “penjelmaan rakyat”, dalam arti wadah, jiwa, pikiran dan karsa rakyat, kekisruhan, friksi, dan kegaduhan di antara lembaga-lembaga negara dapat “diselesaikan” melalui forum MPR, tempat bermusyawarah, mendekatkan hal yang berbeda, dan mencari solusi dan jalan keluar yang terbaik bagi kepentingan bangsa dan Negara. Hal ini juga merupakan suatu ajang pembuktian bagi para negarawan yang senantiasa berorientasi bagi kemaslahatan rakyat. Sekarang ini, ketika terjadi “konflik” antar lembaga negara seolah penyelesaiannya diambil alih oleh elit-elit politik dengan menggunakan forum-forum nonformal dan di media massa. Hasilnya, masyarakat dibuat bingung, terjadi pro kontra yang tidak rasional dan tidak produktif. Bahkan, kemudian masalahnya menjadi berkembang ke penghujatan pribadi atau kelompok, dan terkadang terkesan tidak serius (lebih sekedar hiburan politik), sangat tidak mencerahkan dan tidak mencerdaskan. Karena itu, MPR perlu didukung oleh supporting system (sekretariat dan keahlian) yang memadai dan handal. MPR bukan merupakan joint session antara DPR dan DPD lagi. Sidang-sidang MPR adalah sidangsidang yang memberikan kejelasan dan kepastian arah dan langkah yang akan membawa Indonesia ke keadaan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, melindungi bangsa dan tumpah darah Indonesia, dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Dengan demikian, semua lembaga-lembaga negara “di bawah” MPR yang melaksanakan misi tersebut
senantiasa diawasi oleh MPR agar tidak keluar dari jalurnya, atau terjadi pembiaran, pengabaian atau melalaikannya. MPR akan dengan sigap dan responsif secara proporsional untuk mengingatkannya. UU yang mengatur DPR dan DPD dibuat tersendiri karena kedua lembaga tersebut ditempatkan sebagai “parlemen harian” yang tugas dan kewajiban utamanya membuat UU dan menetapkan APBN. Sedangkan pengaturan mengenai DPRD harus diselaraskan dengan pengaturan Pemerintah Daerah. Karena keberadaan DPRD merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah seperti dinyatakan dalam Bab VI Pemerintahan Daerah UUD 1945. Meskipun keberadaan DPRD diatur dalam UU tentang Pemerintahan Daerah, namun kedudukan, fungsi, dan kewenangan DPRD harus benarbenar diposisikan sebagai lembaga parlemen daerah, yang memiliki kewenangan dan fungsi signifikan dalam pembentukan Perda, APBD, dan pengawasan. Pengaturan DPRD harus diatur lengkap dengan UU tentang Pemerintahan Daerah, dan sedikit kemungkinan (hal-hal yang sangat teknis saja) porsi yang diatur dalam PP dan Permendagri. Pemerintah melalui PP dan Permendagri tidak boleh mengatur lembaga DPRD yang berakibat “pelemahan” kedudukan dan fungsi DPRD. Hal mengenai materi muatan UU yang mengatur MPR, DPR, DPD,
DPRD tidak terlalu rigid dan mengatur hal-hal teknis. Hal-hal teknis keparlemenan dapat diatur dalam tata tertib dari masing-masing lembaga negara. Hal yang diatur terlampau teknis akan menyulitkan dalam membangun dinamika dan sikap responsiveness dari lembaga tersebut sebagai wakil rakyat. Khusus mengenai DPD apabila benar-benar akan diperkuat kedudukan, fungsi, dan wewenangnya maka dalam UU tentang DPR dan DPD perlu dilakukan sharing of power dengan DPR. Meskipun UUD 1945 tidak mengeksplisitkan peran yang signifikan DPD dalam pembentukan UU, APBN, dan pengawasan, namun apabila DPR “rela” berbagi dengan DPD merupakan hal yang sangat positif bagi penyelenggaraan Negara. Menurut hemat saya, meskipun DPR rela berbagi kekuasan dengan DPD, sesungguhnya tidak akan mengurangi kekuasaan DPR. Justru manfaatnya, DPR memiliki mitra yang tangguh untuk membentuk UU dan APBN. Namun apabila ternyata DPR enggan untuk berbagi kekuasaan dengan DPD, dan kekuasaan DPD sama seperti sekarang ini, sebaiknya keberadaan DPD dihapuskan saja dalam struktur organisasi ketatanegaraan Indonesia. Karena apabila DPD tidak diberikan kewenangan yang signifikan dalam membentuk UU, APBN, dan pengawasan akan terjadi kemubadziran saja.***
Pertemuan para Pimpinan Lembaga Tingggi Negara di Gedung Nusantara V DPR RI
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
27
PENGAWASAN SUMBANG SARAN
Internet/ yendi-bengkulu.blogspot.com
Masalah BBM :
Pemerintah Harus Hati-hati Mengambil Keputusan Yang Sensitif
B
eberapa waktu lalu, masyarakat kita dicemaskan dengan rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Pasalnya masyarakat khawatir kenaikan harga BBM biasanya berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok dan transportasi. Pemerintah dinilai tidak peduli pada kesulitan sebagian masyarakat yang berpenghasilan rendah. Sementara pemerintah berpendapat dengan menaikkan harga BBM merupakan suatu kebijakan yang harus dilaksanakan, mengingat harga minyak dunia sudah sangat tinggi,
sehingga bila tidak dinaikkan, maka subsidi BBM akan memberatkan APBN dan dapat mengancam perekonomian nasional. Berbagai aksi penolakan kenaikan BBM pun bermunculan di sejumlah kota besar di Indonesia, mulai dari mahasiswa, buruh, sampai beberapa Kepala Daerah pun turun ke jalan menolak kebijakan pemerintah tersebut. Mereka menolak pemerintah menaikkan harga BBM dari Rp 4.500,-/liter menjadi Rp 6.000,-/liter. Rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi mendapat dukungan dari lima partai koalasi di DPR
28 | PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
antara lain Demokrat, Golkar, PAN, PPP dan PKB. Sementara saat itu sikap PKS masih belum jelas. Dibarisan yang menolak kebijakan pemerintah ada PDIP, Gerindra dan Hanura. Rapat-rapat Komisi DPR dengan pemerintah telah melakukan pembahasan secara intens mengenai masalah BBM bersubsidi, dan DPR telah memberikan rekomendasi terhadap langkah-langkah yang perlu diambil pemerintah. Pemerintah juga diminta mempersiapkan Program Kerja Tim Koordinasi Penanggulangan, Penyalahgunaan, Penyediaan dan Pendistribusian BBM
lebih dari 15 persen, maka pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya. Hasilnya, mayoritas anggota fraksi DPR RI menyetujui opsi kedua dengan jumlah 356 suara. Sementara hanya 82 anggota yang menyetujui opsi pertama. Jumlah dukungan terhadap opsi pertama cukup kecil karena hanya terdiri dari Fraksi PKS dan Gerindra. Dua fraksi yang konsisten sejak awal menolak memutuskan untuk walk-out, yaitu PDIP dan Hanura. Sebagai hasil akhir, Rapat Paripurna DPR RI memutuskan bahwa kenaikan harga BBM yang rencananya berlaku 1 April 2012, gagal dilaksanakan dan DPR memutuskan tambahan Pasal 7 ayat 6a pada UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Intinya, pemerintah baru boleh mengubah harga BBM jika harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) mengalami perubahan sebesar 15 persen selama enam bulan. Keputusan tersebut menjadi sebuah antiklimaks baik bagi pemerintah yang sudah bersiap-siap menaikkan harga BBM, maupun bagi partai oposisi dan para demonstran
yang menolak pilihan kenaikan BBM. Meskipun harga BBM tidak jadi naik, namun tetap terbuka kemungkinan sewaktu-waktu harga BBM dinaikkan. Pada dasarnya semua sepakat bahwa pemerintah berkewajiban menjamin kesejahteraan rakyat dan menetapkan kebijakan-kebijakan yang menjamin terciptanya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun kita pun setuju bahwa subsidi yang diberikan pemerintah harus tepat sasaran kepada sektor dan pihak yang benar-benar membutuhkan. Subsidi yang tidak tepat hanya akan mengakibatkan pemborosan dan menghambat pembangunan nasional. Saat ini yang dibutuhkan adalah kearifan semua pihak. Bagi pihak yang menentang kebijakan kenaikan harga BBM, diharapkan dapat memahami tujuan kenaikan harga tersebut adalah untuk mengurangi subsidi yang tidak tepat sasaran menjadi subsidi yang ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Bagi pemerintah sendiri, hendaknya dipahami bahwa kritik atas rencana kenaikan harga BBM tersebut bukan dimaksudkan untuk membenci pemerintah, tetapi sebagai suatu alat Internet/ batursajalur.blogspot.com
(TKP4BBM) dalam rangka mengawal penggunaan BBM agar tepat sasaran. Rapat Badan Anggaran DPR yang membahas APBN Perubahan 2012 termasuk didalamnya pembahasan kenaikan BBM berjalan sangat alot dan sempat diwarnai aksi walkout dari Fraksi Gerindra dan Hanura. Badan Anggaran DPR gagal mencapai kesepakatan dan memutuskan membawa soal kenaikan harga BBM ke dalam Rapat Paripurna DPR. Rapat Paripurna DPR RI (30/3) yang berlangsung hingga dini hari menempuh jalan pemungutan suara (voting) secara terbuka untuk pengambilan keputusan. Dalam mekanisme ini, anggota fraksi DPR dihadapkan pada dua opsi pilihan. Opsi pertama, Pasal 7 ayat 6 RUU tentang Perubahan UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun Anggaran 2012 tetap, tidak berubah. Artinya tak ada kenaikan BBM. Opsi kedua, menambahkan ayat 6 butir a yang memberi kesempatan kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM, namun dengan persyaratan. Bilamana harga minyak mentah rata-rata Indonesia dalam kurun waktu berjalan yaitu enam bulan mengalami kenaikan atau penurunan
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 2012 TH. XLII, | PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. | 292012 | XLII,
29
PENGAWASAN
kontrol terhadap fungsi pemerintahan yang sebenarnya, yaitu melindungi rakyat seluruhnya. Kita semua yakin, seluruh rakyat akan mendukung kenaikan harga BBM bila pengurangan subsidi tersebut dapat direalisasikan kepada sektor-sektor yang benar-benar bermanfaat bagi kehidupan masyarakat luas, misalnya mewujudkan sekolah dan fasilitas kesehatan gratis untuk rakyat miskin, pembangunan infrastruktur di daerah-daerah yang tertinggal, daerah perbatasan, sehingga dapat mewujudkan pemerataan kesempatan dalam perekonomian dan penghidupan yang layak bagi seluruh warga negara. Pengalihan subsidi BBM hendaknya tidak diberikan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), karena hanya bersifat sementara dan tidak mendidik, bahkan cenderung mendidik masyarakat memiliki mental pengemis. Anggota Komisi VII DPR RI Daryatmo Mardiyanto menyatakan se-
belum dilakukan revisi terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2012, UU yang berlaku adalah UU APBN yang sudah disetujui pada Oktober 2011 dimana pada pasal 7 ayat 6 dinyatakan bahwa harga BBM tidak akan dinaikkan. “Jika dinaikkan, maka pemerintah melanggar UU dan kami (DPR) berkepentingan untuk mengingatkan. Kami akan berusaha mencegah pemerintah,” ujar Daryatmo. Daryatmo menyatakan bahwa masalah BBM menyangkut hajat hidup orang banyak, oleh karenanya pemerintah diminta untuk berhatihati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan masalah tersebut. “Masalah BBM harus menjadi perhatian kita sehingga sensitifitas yang sangat tinggi terhadap policy dalam budget yang kurang baik harus menjadi perhatian pemerintah agar berhati-hati melakukan keputusankeputusan yang sensitif,” terang politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut. Karena setiap kenaikan BBM ham-
Anggota Komisi VII DPR RI Daryatmo Mardiyanto
30
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
pir dipastikan berimbas kepada kenaikan-kenaikan harga lainnya. Dan indikasi hal tersebut memang menunjukkan bahwa sebelum kenaikan harga BBM sudah terjadi kenaikan harga bahan baku dan sembako lainnya. “Ini menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM menjadi elemen sentral bagi terjadinya kegiatan ekonomi di tingkat masyarakat yang saling terkait dan berantai, atau disebut dengan efek domino,” papar Daryatmo. Daryatmo tidak sependapat jika dalam menentukan harga minyak dalam negeri berdasarkan pada pendekatan pasar atau diserahkan kepada mekanisme pasar. Berkaitan dengan rencana pemerintah untuk melakukan pembatasan BBM, Daryatmo mempertanyakan, “Apakah kita yakin hal itu tidak akan berpengaruh terhadap roda perekonomian nasional dan masyarakat?,” tegasnya. Daryatmo menjelaskan kata pembatasan mengkonotasikan seolaholah BBM itu hanya satu-satunya dalam kehidupan kita, karena masih ada bahan bakar lain seperti gas atau energi terbarukan misalnya panas bumi atau bio ethanol dan bio gas. Saat ini memang 80% didominasi oleh minyak. Namun menurut Daryatmo jika pembatasan dalam pengertian penghematan, maka akan membatasi kegiatan mesin penggerak yang akan menimbulkan gejolak di sisi lain. “Dan suply and demand menjadi hukum ekonomi, volume dibatasi sementara kebutuhan masih sama maka akan terjadi kenaikan harga,” paparnya. Jika subsidi dianggap tidak tepat sasaran, Daryatmo tidak sependapat. Menurut survey yang dilakukan fraksinya (Fraksi PDIP) selama satu bulan pada Januari 2011 di Jabodetabek tidak menunjukkan demikian. “Sebagian besar subsidi BBM dinikmati masyarakat kelompok bawah. Survey yang kami lakukan saat membahas pembatasan BBM yang diusulkan oleh Pemerintah, hasilnya total premium yang dikonsumsi oleh rumah
Internet/ flickr.com
Demo menolak kenaikan BBM di depan Gedung DPR RI
syarakat menengah dan bawah yang pendapatan per kapitanya kurang dari 4 dollar, termasuk masyarakat miskin yang pendapatan per kapitanya kurang dari 2 dollar. Maka hasil survei membantah anggapan bahwa subsidi tidak tepat sasaran,” tambahnya. Saat ini yang terpenting menurut Daryatmo fungsi negara adalah
melindungi seluruh tumpah darah dan segenap bangsa Indonesia. Oleh karena itu, maka subsidi harus tetap diteruskan karena merupakan pemberian perlindungan kepada kelompok masyarakat untuk bisa membantu dirinya sendiri sebelum dilepas untuk bisa berkompetisi secara penuh dengan yang lainnya. (sc) Internet/ kaltengpos.web.id
tangga, 64% dikonsumsi oleh sepeda motor sedangkan untuk kendaraan mobil hanya 36%,” jelas Daryatmo. Mengingat sebagian besar pemilik sepeda motor adalah masyarakat menengah ke bawah, maka selama ini sebagian besar subsidi premium (64%) dikonsumsi oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah dan bukan oleh kelompok masyarakat atas. Kemudian konsumsi premium bagi kendaraan mobil 36%, namun dalam gambaran pola kepemilikan atau pembelian kendaraan di Jabodetabek 51% adalah dengan sistem kredit, 48% pembelian tunai dan 1% merupakan hibah. Dari prosentase tersebut, 51% yang membeli mobil dengan sistem kredit tidak bisa dikategorikan kelompok atas karena tidak bisa melakukan saving (menabung). “Cara mengkredit kendaraan mobil tersebut sebagai cara mereka saving (menabung). Ini menggambarkan bahwa subsidi dinikmati oleh kelompok masyarakat bawah,” ujar anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah II. “Sedangkan dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS menunjukkan, ternyata 65% bensin dikonsumsi oleh kelompok ma-
Antrian pengisian bensin disalahsatu SPBU di Jakarta menjelang kenaikan BBM
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
31
PENGAWASAN
Internet/ gambaronline.com
Mencari Format Terbaik Pelaksanaan Haji
P
erbaikan penyelenggaraan rukun Islam kelima senantiasa menjadi harapan besar rakyat Indonesia. Betapa tidak! Meski memiliki calon haji terbesar di dunia dan mengirimkan sekitar 200 ribu orang lebih jemaah per tahun, selalu saja ada persoalan krusial dalam pelaksanaan penyelenggaraan haji. Maka wajar apabila belum lama ini, DPR dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengintensifkan pengawasan operasionalisasi haji. Terakhir, kepada parlemen, KPK membeberkan fakta bahwa telah terjadi pemborosan biaya penyelenggaraan ibadah haji atau BPIH (dulu ONH atau ongkos naik haji) sebesar 253,6 juta dolar AS atau Rp 2,3 triliun (kurs Rp 9.200/do-
32
lar AS). Inefisiensi tersebut terjadi pada tahun 2007-2009. Salah satu penyebab pemborosan adalah penggunaan model sewa carter pesawat (bukan pembelian tiket) dan mekanisme penunjukan langsung (bukan tender) yang tak sesuai Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. KPK juga menemukan penggunaan biaya tak langsung (indirect cost) yang tidak menunjang pelayanan terhadap jemaah. Bahkan KPK secara tegas mengusulkan moratorium pendaftaran haji. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyatakan, manajemen pengelolaan keuangan haji saat ini berpotensi korupsi. Hingga Februari 2012 saja jum-
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
lah pendaftar calon haji sudah mencapai 1,4 juta orang dengan jumlah setoran awal mencapai Rp 38 triliun. Dalam kondisi ini, Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) Setya Novanto berpandangan perlu dilakukan pemisahan antara regulator dan operator, untuk menjamin transparansi penyelenggaraan haji juga diperlukan Kantor Akuntan Publik independen guna mengaudit keuangan pelaksanaan perjalanan ibadah umat Muslim tersebut. Menurut Novanto, dalam penyelenggaraan ibadah haji, Kementerian Agama seharusnya bertindak sebagai regulator yang berfungsi sebagai penenentu kebijakan. Sedangkan sebagai pelaksana atau operator adalah
institusi yang terpisah yang diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tenaga profesional. “Dalam hal ini institusi penyelenggaraan haji bisa berbentuk badan yang langsung di bawah Presiden,” ujarnya pada seminar Membangun Sistem Penyelenggaraan Ibadah Haji yang Baik, Profesional dan Amanah yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Golkar di Gedung DPR/MPR beberapa waktu lalu. Novanto mengemukakan dengan dilakukannya pemisahan itu maka berbagai kendala haji selama ini bisa dikurangi. Setya menyebutkan salah satu persoalan yang dihadapi oleh jemaah calon haji termasuk masalah pemondokan. Ia menambahkan pemondokan jamaah masih jauh dari Masjidil Haram dan tidak mungkin ditempuh dengan jalan kaki sehingga banyak jamaah yang menggunakan mobil bak terbuka. Untuk mengatasi masalah pemondokan, Novanto mengatakan perlu dibangun sebuah pemondokan yang permanen agar jemaah bisa tenang beribadah. Dia menceritakan pengalamannya ketika mendapati sebagai jemaah calon haji tidak bisa ditampung karena kurangnya tempat pemondokan. Padahal, kata dia dana haji yang terkumpul hingga saat ini telah mencapai kurang lebih sekitar Rp35,3 triliun. “Besar dana haji yang ada saat ini belum menyentuh perbaikan pelayanan haji. Padahal jika dana tersebut digunakan secara maksimal tentunya dapat mengurangi beban biaya penyelenggaraan ibadah haji,” ujarnya. Terkait usulan moratorium pendaftaran calon haji, DPR secara tegas menolak usulan KPK tersebut. Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Radityo Gondo Gambiro mengatakan pendaftaran haji dan pengelolaan keuangan merupakan kegiatan terpisah. Karenanya usulan moratorium yang dikaitkan dengan pengelolaan keuangan, dinilai tidak tepat. Radityo menjelaskan dalam kunjungan kerja Komisi VIII ke sejum-
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Radityo Gondo Gambiro
lah daerah, anggota dewan kerap mendapat pertanyaan mengenai wacana moraorium pendaftaran haji. Namun para ulama termasuk yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) di daerah, melontarkan reaksi keras. “Mereka tak setuju kalau pendaftaran itu harus dihentikan karena haji kan urusan syariat,” kata Radityo kepada wartawan di Jakarta, Minggu (26/2). Namun, Radityo mendesak dilakukannya perbaikan sistem pe ngelolaan keuangan dari setoran awal calon jemaah haji. Menurutnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu melakukan audit investigatif. “Ini bukan untuk mencari-cari kesalahan, tapi bagaimana membangun sistem yang lebih sehat,” cetusnya. Dia pun mengingatkan perlunya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan setoran awal calon jemaah haji itu. Dicontohkannya, pemerintah telah menaikkan dana setoran awal dari Rp 20
juta menjadi Rp 25 juta. “Ini apakah demi mengurangi jumlah pendaftar, atau ada maksud lain?” ucapnya. Radityo menambahkan, kenaikan jumlah setoran awal pendaftaran dapat dilakukan asalkan dibarengi dengan pengelolaan yang transparans dan ada akuntabilitas penggunaannya. “Jadi audit investigasi tetap
Setya Novanto Ketua Fraksi Partai Golkar
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
33
PENGAWASAN
Seminar membangun penyelenggaraan ibadah haji yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar di Gedung Nusantara IV beberapa waktu yang lalu.
dilakukan, tapi BPK juga membangun sistem manajemen keuangan haji yang lebih baik. Ini tak kalah penting karena ini tidak hanya dipakai untuk sekali musim haji,” imbuh dia. Saat ini Komisi VIII DPR juga tengah mendorong pembentukan badan khusus sebagai penyelenggara ibadah haji. Badan itu akan melengkapi Komisi Pengawas Ibadah Haji (KPIH) yang dibentuk sesuai amanat UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH). “Selama ini kan yang jadi persoalan pemerintah menjadi regulator, pelaksana, sekaligus pengawas. Nanti lewat revisi UU PIH, kita bentuk badan khusus penyelenggara haji. Badan khusus itu bukan berarti swastanisasi, karena langsung di bawah presiden.,” pungkasnya. Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi VIII Chairunnisa yang menolak permintaan KPK untuk membekukan atau melakukan moratorium pendaftaran haji. Pihaknya beralasan, tidak ada yang bisa menolak masyarakat yang ingin mendaftarkan diri menjadi calon jamaah haji. Meski begitu, DPR mendukung adanya pembekuan sementara setoran awal haji, yang dibebankan kepada setiap calon jamaah. Menurut politisi dari Partai Golkar itu, setoran awal penyelenggaraan
34
haji itu bisa dibayarkan setelah calon jamaah mengetahui jadwal keberangkatannya. “Untuk setoran, nanti dulu. Tunggu daftar antrian selesai atau menunggu Kementerian Agama memberangkatkan calon jamaah yang telah menyetor dengan jumlah keseluruhan mencapai Rp 32 triliun itu,” jelas Chairunnisa, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (6/3). Oleh karena itu, Komisi VIII DPR kata dia menargetkan agar segera menyelesaikan revisi undangundang tentang haji, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2008. Dengan adanya revisi mengenai setoran awal ini, diharapkan aturan mengenai haji dapat lebih ditegakkan dan tidak merugikan masyarakat. “Kami harapkan akhir tahun ini bisa selesai. Dan kami juga tetap mengawasi supaya hal ini tidak menjadi persoalan terusmenerus dan merugikan masyarakat,” imbuh Chairunnisa. Selain itu, Chairunnisa menambahkan, selama ini memang belum ada aturan yang mengawasi
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
bunga dana setoran awal ibadah haji yang diperkirakan mencapai Rp 2 miliar itu. Karena itu, pihaknya juga akan memasukkan pengelolaan mengenai bunga setoran awal penyelenggaraan ibadah haji kedalam revisi undangundang ibadah haji. “Pengelolaan mengenai bunga juga harus diawasi dan dibuatkan aturan pengelolaannya,” sebutnya. Sama halnya dengan Setya Novanto, anggota Komisi VIII Zulkarnaen Djabar juga berpandangan agar seluruh keuangan haji dan penggunaan dana haji yang saat ini dikelola Kementerian Agama diaudit oleh Kantor Akuntan Publik independen. Menurutnya, audit independen itu diperlukan guna menciptakan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. “Saya kira, untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan tidak menimbulkan praduga tak bersalah, ada baiknya dana haji yang ada sekarang ini diaudit oleh Akuntan Publik
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Chairunnisa
Independen dan selanjutnya hasil audit tersebut diumumkan kepada publik,” ujar Zulkaranen. Dia menjelaskan, pelaksanaan UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) terdapat banyak kelemahan dan berpotensi menimbulkan penyimpangan. Penyimpangan itu antara lain soal pembentukan Panitia Penyelenggaraan Haji (PPIH), Biaya Penyelenggara Ibadah Haji, dan Komisi Pengawas Haji Indonesia. “Secara prinsip, perlu dihindari kebijakan ibadah haji yang mengarah pada in-efisiensi dan monopoli. Pemerintah harus mengembangkan semangat untuk perbaikan mutu pelayanan dan biaya penyelenggaraan ibadah haji yang murah,” katanya. Sedangkan untuk menghindari daftar tunggu (waiting list), menurut Zulkarnaen sudah saatnya pemerintah menerapkan moratorium setoran awal dana haji. Moratorium yang dimaksudkan, ujarnya, adalah bahwa jemaah tetap diperbolehkan mendaftar tapi tanpa menyetor dana setoran awal haji. Meski begitu, Menteri Agama Suryadharma Ali dibeberapa media menyatakan akan menguji usul KPK untuk menghentikan sementara pendaftaran haji (moratorium). Sebab, ada kemungkinan ongkos naik haji akan meningkat jika biaya itu baru dibayar sebelum jemaah haji berangkat ke Tanah Suci. “Akan diuji dulu, termasuk barangkali untuk menghindari jangan sampai ada penyelewengan uang satu rupiah pun di Kementerian. Bisa jadi ada pikiran seperti itu. Jadi, orang pada saat mau berangkat saja setornya. Bisa saja kayak begitu,” kata Suryadharma. Menurut dia, usul setoran satu kali saat akan berangkat haji bisa menimbulkan konsekuensi negatif. “Konsekuensinya, biaya haji bisa lebih mahal dan pengaturannya bisa lebih ruwet. Sekarang, kalau orang setor di bank, dia tahu kapan harus berangkat,” dia menjelaskan. Suryadharma menilai pembayaran
biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) sejak jauh hari, seperti selama ini dilakukan, dapat menghemat di sejumlah pos biaya. Sebab, sejumlah biaya dapat dibayar dari bunga hasil pengendapan pembayaran biaya itu di bank. Menurut dia, besaran biaya haji masih dapat dihitung bersama DPR dan diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Kemudian pelaksanaannya dikontrol DPR, DPD, Inspektur Jenderal, dan badan-badan terkait,”katanya. Menanggapi usul anggota Komisi VIII DPR agar penyelenggaraan haji dikelola badan khusus di luar Kementerian, Menteri Agama menilainya belum tentu lebih baik. Namun usul tersebut akan dilaksanakan jika Undang-Undang Penyelenggaraan Haji diubah. “Pelaksanaan tergantung undang-undang. Kalau menyatakan lepas, ya, akan dilepas,” katanya. Dalam makalahnya, saat menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar, 5 Maret lalu, Profesor Azyumardi Azra menjelaskan sepanjang sejarah Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) sejak masa kolonial Belanda sampai sekarang ini, hampir selalu terjadi penyelewengan pengelolaan dan pendanaan oleh pihak-pihak swasta. Sebab itu, penanggungjawab dan PIH semestinya tetap berada pada otoritas dan tangan pemerintah, namun demikian, masyarakat melalui mekanisme tertentu dapat mengawasi PIH oleh pemerintah. Disini Azyumardi mengingatkan, perlunya mempertimbangkan tentang urgensi Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPIH) mengingat telah begitu banyaknya ‘Komisi’ negara yang tidak efektif; atau cukup dengan semacam dewan pengawas saja. Secara ideal menurut Azyumardi, PIH dapat berupa sebuah badan khusus/lembaga negara yang bisa disebut sebagai Badan Otoritas Ibadah Haji (BOIH—untuk tidak menggunakan istilah BPIH, yang akan bisa rancu dengan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji). BOIH atau nama lain yang
Profesor Azyumardi Azra
dipandang lebih pas, yang di bentuk pemerintah bersama DPR RI memiliki hubungan kordinatif, evaluative dan supervise dengan Kementerian Agama. Dalam pidato penutupan Masa Sidang III, Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan terkaitnya adanya sorotan terhadap tidak transparannya pengelolaan dana setoran calon jamaah haji yang dikelola oleh Kementerian Agama. Dalam hal ini, jelas Marzuki, kita tentu setuju apabila dilakukan audit secara menyeluruh terhadap dana-dana yang disetorkan oleh calon jamaah haji. “Dewan juga perlu mempertimbangkan adanya revisi UU No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah haji dalam rangka cetak biru mengenai tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang sehat,”katanya. Terkait dengan usulan KPK untuk penghentian sementara pendaftaran calon jamaah haji yang berpotensi penyelewengan, Marzuki menjelaskan, butuh pemikiran dan kajian yang mendalam agar tidak memunculkan persoalan baru yang terkesan menghalangi calon jamaah haji dalam melakukan ibadahnya. “Peningkatan kualitas pelayanan dan manajeman penyelenggaraan haji dan transparansi pengelolaan dana tentunya menjadi persoalan utama yang harus segera diselesaikan,”tega snya.(nt) ***
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
35
ANGGARAN
APBN Harus Miliki Ideologi Kerakyatan B
aru pertama kali dalam sejarah DPR RI melakukan voting terkait pembahasan anggaran di APBNP 2012 khususnya mengenai subsidi BBM. Memang, kita akui BBM merupakan salah satu variabel yang benar-benar menyentuh rakyat kecil. Kenaikan BBM secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan berbagai macam kebutuhan bahan pokok. “Kemampuan DPR itu mengubah dan paling menolak APBN seperti voting BBM paripurna lalu,itu baru pertama kali DPR melakukan voting terkait Anggaran Pemerintah,”Ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis kepada parlementaria melalui telepon baru-baru ini. Menurut Harry, indikator di dalam APBN khususnya mengenai subsidi bagi orang miskin belum menyentuh langsung penduduk miskin tersebut. “seharusnya pemerintah menerapkan
36
atau melakukan pendataan pernama atau peralamat dan apa saja yang diberikan,”katanya. Pemerintah, lanjutnya, harus memahami bahwa kekayaan alam dan sumber daya yang ada diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. “saat ini pemerintah tidak memiliki standar yang jelas bahkan selama ini DPR belum pernah mendapatkan laporan triwulan terkait APBN dan sebagainya,”paparnya. Bahkan, pengawasan di DPR itu cenderung sporadis dan tidak terfokus kepada hasil dari outcomes APBN tersebut. Dia menambahkan, angka kemiskinan tersebut tidak berpengaruh secara langsung dengan APBN. Angka kemiskinan naik dan turun dengan sendirinya. “kita tidak pernah sedikitpun menelusuri belanja pemerintah dari APBN secara detail,”ujarnya. Pemerintah, tambahnya, tidak memiliki ideologi pembelanjaan ru-
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
piah dimana sebenarnya anggaran tersebut seharusnya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. “Kedepan harus disesuaikan ideologi untuk rakyat Indonesia, dan tetap fokus terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia,”katanya. Menurutnya, persoalan APBN masih berkutat di daya serap yang masih rendah bahkan seringkali pekerjaan banyak dikebut pada akhir tahun. Ini semua menandakan birokrasi yang ada masih rendah kinerjanya. “Ini masih jelak birokrasinya hasilnya, artinya meskipun sudah remunerasi diberikan ternyata tidak menunjukkan produktivitas dari para birokrat tersebut,”terangnya.
Defisit APBN
Persoalan defisit memang menjadi masalah yang pelik dihadapi oleh Indonesia, karena konon paling besar porsinya setelah anggaran
Internet/ berita8.com
pendidikan, yang dipatok 20 persen adalah subsidi energi yang mencapai 15 persen, lebih dari total belanja negara, bahkan di APBN-P mungkin mendekati 20 persen. Ketua Komisi XI DPR RI Emir Moeis mengatakan defisit anggaran yang saat ini masih tercatat dalam APBN 2012 sebesar 1,5 persen, dan tidak perlu diperlebar hingga 2,3 persen. Menurut dia, pemerintah masih memiliki upaya untuk menutup defisit tersebut, salah satunya dengan mengoptimalkan penyerapan ang-
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Azis
garan. “Sisa anggaran masih banyak, penyerapan anggaran masih dibawah 90 persen, buat apa defisit,” ujarnya. Emir mengatakan pemerintah tidak perlu menambah sumber pembiayaan melalui penerbitan surat berharga negara. Namun, lanjut dia, penerbitan surat berharga negara boleh dilakukan sebagai upaya untuk membiayai pembangunan sarana infrastruktur. “Boleh, tapi jual obligasi ritel, dari dulu saya bilang kalau jual obligasi yang langsung ke proyek,” ujarnya. Terkait program kompensasi BBM, lanjut Emir, pemberian kompensasi bagi masyarakat tidak mampu yang akan terdampak langsung akibat kenaikan BBM, tidak berfungsi efektif. “Bantuan tersebut lebih maksimal di-
gunakan untuk pembangunan di desa, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan sarana tersebut untuk meningkatkan kesejahterannya,”katanya. Ketua Badan Anggaran (Banggar) Melchias Markus Mekeng mengatakan, akhirnya Pemerintah dan DPR telah menyepakati defisit anggaran negara dalam APBN-P 2012 menjadi Rp 190,1 triliun atau 2,23% PDB. Melchias menjelaskan membengkaknya defisit tersebut karena memperhitungkan selisih antara target penerimaan negara dan hibah Rp 1.358,2 triliun dan belanja negara Rp 1.548,3 triliun. Untuk menutup defisit tersebut, target utang pemerintah dinaikkan Rp 22,6 triliun menjadi Rp 156,16 triliun. Adapun rinciannya adalah sebagai
berikut: Pinjaman luar negeri awalnya turun Rp 2,53 triliun menjadi minus Rp 4,42 triliun, Penerbitan surat berharga negara (netto) naik Rp 25 triliun menjadi Rp 159,59 triliun, Pinjaman dalam negeri (neto) naik Rp 131 miliar menjadi Rp 991,2 miliar. Menanggapi defisit, jauh-jauh hari Presiden SBY bahkan telah menginstruksikan empat hal pokok untuk menjaga defisit pada APBNP 2012 ini, Presiden meminta untuk dilakukan penghematan energi dilakukan secara serius di seluruh Tanah Air sehingga akan dijadikan sebuah gerakan nasional. Kemudian langkah kedua, Presiden meminta konversi BBM ke BBG dipercepat implementasinya. Ketiga, penerimaan negara harus ditingkatkan seperti penerimaan pajak dan usaha tambang. Dan yang keempat adalah Presiden meminta penghematan anggaran di kantor Kementerian dan Lembaga Negara serta pemerintahan daerah. “Ini semua untuk menjaga agar defisit tetap terjaga dan tidak melebihi yang ditetapkan UU. Presiden juga menegaskan penerimaan dan pengeluaran APBN harus tetap dijaga keseimbangannya untuk menghindari utang baru. “Kita perlu menjaga rasio utang terhadap PDB secara sehat di angka 25 persen. Kita tidak ingin kondisi makro terganggu. Ini usaha untuk menyelamatkan ekonomi,”kata Presiden SBY kepada pers. ***
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
37
ANGGARAN LEGISLASI
Revisi UU Ormas :
Berdayakan Ormas lebih produktif, kontributif, dan tidak kontradiktif
Internet/ tegoeh.multiply.com
38
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
K
eberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) saat ini dipandang tidak sejalan lagi dengan perkembangan dan kondisi saat ini, karena tidak mampu menampung aspirasi yang berkembang dan tidak mampu lagi mengatur berbagai masalah organisasi masyarakat. UU Ormas dinilai tidak tegas, karena tidak menimbulkan efek jera bagi ormas yang menimbulkan ekses negatif serta meresahkan masyarakat. Namun di sisi lain masyarakat masih menginginkan dan mempertahankan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakat sebagai regulasi yang mengatur berdirinya sebuah organisasi kemasyarakatan. Berdasarkan hal tersebut di atas, DPR berinisiatif merevisi UndangUndang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. DPR menilai Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 sebagai pengatur, belum kuat sebagai payung hukum. Rapat Paripurna DPR RI 20 September 2011 telah memutuskan membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang bertugas membahas Revisi UU Ormas tersebut. Pansus RUU Ormas diharapkan dapat merumuskan regulasi bagi organisasi kemasyarakatan yang lebih partisipasif dalam pembangunan serta lebih profesional. Sehingga kebebasan berorganisasi tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang anti demokrasi dan anti persatuan nasional untuk memprovokasi terjadi konflik antar suku, ras, agama, maupun antar golongan. Saat ini Pansus RUU Ormas telah masuk pada pembahasan bersama pemerintah. Pansus RUU Ormas juga telah melakukan penjaringan melalui Rapat Dengar Pendapat/Rapat Dengar Pendapat Umum untuk mencari masukan positif dan konstruktif secara langsung bagi RUU Ormas dengan berbagai kalangan, baik instansi pemerintah, para pakar, ormas maupun LSM atau NGO. Hal ini dilakukan
Ketua Pansus RUU Ormas Abdul Malik Haramain
agar RUU Ormas nantinya benarbenar dapat mengakomodir berbagai kepentingan ormas di Indonesia. Bahkan Pansus RUU Ormas sudah mensosialisasikan RUU tersebut ke beberapa daerah untuk menampung usulan yang bisa diadopsi didalamnya dari berbagai kalangan, seperti pemerintah daerah, pelaku ormas di daerah maupun perguruan-perguruan tinggi. Mengingat banyaknya ormas yang ada di daerah baik yang merupakan cabang ormas pusat maupun ormas yang memang berkembang di daerah. Abdul Malik Haramain Ketua Pansus RUU Ormas menyatakan bahwa revisi UU Ormas bertujuan memberdayakaan Ormas agar lebih produktif, kontributif, dan tidak kontradiktif dalam melakukan pergerakan di masyarakat. Haramain memastikan UU tentang Ormas bebas dari pasal karet. “Kita memastikan hal itu tak terjadi seperti masa Orde Baru,” katanya. Ia mengatakan, dalam UU Ormas yang baru, pasal-pasal untuk memberikan sanksi jelas parameternya. Ia juga mengungkapkan, pembekuan
ataupun pembubaran suatu Ormas juga akan melalui pengadilan, sehingga pemerintah tak semena-mena membubarkan. “Kita tetap menginginkan pengadilan sebagai yang mengadili dalam perkara tersebut, sehingga pemerintah tidak semena-mena,” jelasnya. Ia mengatakan, RUU Ormas yang saat ini masih dibahas, isinya 60 persen berbeda dengan UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas. “Ini bisa dikatakan baru karena lebih dari 60 persen berbeda,” katanya. “Kita tidak terburu-buru ingin segera disahkan, karena jangan sampai nanti justru memunculkan masalah baru,” terang Anggota Komisi II DPR RI ini. RUU Ormas yang terdiri dari 57 pasal dan 19 bab selain mengatur larangan dan kewajiban, juga secara khusus mengatur sanksi terhadap ormas yang melakukan pelanggaran. “RUU Ormas mengatur khusus soal sanksi. Sanksi akan diputuskan melalui mekanisme pengadilan,” ujarnya. Sanksi tersebut bisa berupa sanksi administratif, pembekuan sementara, hingga pembubaran. Hanya saja itu ti-
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
39
LEGISLASI
gri,” katanya. Menurut Haramain, dengan mekanisme pengadilan kepentingan pemerintah untuk membubarkan Ormas karena alasan di luar hukum bisa dicegah. Pembubaran Ormas melalui mekanisme pengadilan juga merupakan semangat demokrasi yang memandang semua pihak sama di mata hukum. Haramain menambahkan, muculnya kembali desakan pembubaran Ormas yang bertindak anarkistis terjadi karena pemerintah belum mampu mengelola Ormas tersebut. “Penegakan hukum belum tegas sehingga masih ada Ormas yang berani bertindak anarkis dan meresahkan masyarakat,” katanya. Sedangkan Wakil Ketua Pansus RUU Ormas Deding Ishak menyatakan, sejatinya UU Ormas sebagai wadah partisipasif aktif masyarakat yang berbanding lurus dengan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang pelaksanaannya tentu dalam konteks bagaimana memberdayakan masyarakat dan memberikan kontribusi bagi usaha-usaha pencapaian tujuan pelaksanaan pembangunan. Sementara dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum tentunya pengaturan sebuah keberadaan dan peran organisasi diharapkan akan
Internet
dak langsung diputuskan pemerintah, namun melalui proses di pengadilan. Menurut politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini, perlunya mekanisme sanksi ini diambil melalui keputusan pengadilan, agar pemerintah tidak represif dalam melakukan pembekuan atau pembubaran ormas. “Ini diatur seperti itu, untuk membatasi kesewenangan pemerintah. Kita harapkan nantinya pengadilan menjadi filter,” katanya. Tentang proses pengusulan atau pelaporan hingga putusan dari pengadilan, Haramain mengatakan, jangka waktunya hanya berlangsung 30 hari. Sementara tentang pengadilan apa nantinya yang ditunjuk untuk mengurus sengketa ormas ini, masih menjadi perdebatan. Apakah nanti Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara, ini masih diperdebatkan. Ia menambahkan, hal lain yang perlu ditegaskan pada pembahasan RUU Ormas adalah pembubaran Ormas melalui mekanisme pengadilan. Melalui mekanisme pengadilan, kata dia, Ormas yang bersangkutan dengan pelanggaran hukum diberi kesempatan membela diri sehingga ada penegakkan hukum secara adil. “Pembubaran Ormas dicegah agar tidak menjadi kewenangan Kemenda-
40
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
membantu bagaimana peran ormas nantinya. “Hanya undang-undanglah yang bisa mengaturnya,” ujar Deding. Dijelaskan Deding, bahwa berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, paradigma berserikat dan berkumpul dibedakan dalam dua wadah, yaitu Partai Politik dan Organisasi non Partai Politik (Organisasi Masyarakat). Dengan demikian, menurut Deding dapat dipahami bahwa ormas mencakup keseluruhan organisasi sosial yang ada, baik organisasi keagamaan, OKP, LSM/NGO’s, organisasi sosial (Orsos), organisasi profesi maupun organisasi sosial lainnya? Bagaimana kelemahan, hambatan dan tantangan dalam penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakat. “Itu juga menjadi salah satu dasar pengaturan dalam Undang-Undang tentang Ormas yang menempatkan organisasi kemasyarakatan sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan,” jelas politisi Partai Golkar tersebut. Melalui pengaturan dalam undangundang itulah maka pelembagaan partisipasi masyarakat diharapkan dapat terlaksana dan memperoleh perhatian pemerintah, ujar Deding se-
Wakil Ketua Pansus RUU Ormas Deding Ishak
raya menambahkan karena berkaitan dengan aspirasi sejumlah orang dengan argumentasi yang kuat. Selain mengatur ormas-ormas lokal, RUU Ormas juga mengatur keberadaan ormas-ormas asing. Menurut Michael Watimena (F-PD), hal tersebut dimaksudkan agar keberadaan ormas asing di Indonesia diatur secara tegas dan kegiatannya dapat diawasi dan dikontrol. “Dalam RUU Ormas akan dibuat aturan tegas bagi ormas asing, dengan mewajibkan mereka memberikan laporan berkala, baik dalam pendanaan maupun program kegiatan. Misalnya, tiga bulan, enam bulan atau setiap tahun,” kata Michael. Pengaturan terhadap ormas asing kata Michael, berguna untuk mengetahui berapa besar dana yang didapatkan dari penyandang dana mereka di luar negeri dan dana itu digunakan untuk kegiatan apa saja.”Karena, seringkali kita tidak tahu berapa dana yang mereka dapatkan dari funding luar dan untuk apa kebutuhannya. Seharusnya dijelaskan keberadaan eksistensi dan sumber keuangan mereka,”
ujarnya. Meski begitu pihaknya sampai saat ini belum dapat memastikan berapa jumlah ormas asing yang beroperasi di Indonesia. Selama ini keberadaan
mereka belum dapat dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah. “Mereka dalam melakukan kegiatan di Indonesia di luar pengontrolan dari pemerintah. Padahal, mereka disinyalir sering membocorkan informasi rahasia ke luar negeri,” katanya. Ia mensyinyalir keberadaan ormas asing berada di Indonesia karena dibiayai penyandang dana untuk maksud tertentu. “Sehingga keberadaannya perlu diatur dalam RUU Ormas secara lebih tegas,” ujarnya. Untuk itu lanjut dia, ormas asing yang belum terdaftar diimbau untuk segera mendaftarkan diri ke pemerintah. “Sekarang mereka seperti jamur di musim hujan, tetapi nanti mereka suka tidak suka harus mendaftar untuk inventarisasi, baik ke Kementerian Hukum dan HAM, maupun Kementerian Dalam Negeri,” katanya. Politisi dari Partai Demokrat itu melihat adanya suatu kebutuhan yang sangat kuat untuk melakukan perubahan secara menyeluruh terhadap UU Nomor 5 1985 tentang ormas yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan dinamika saat ini dan ke depan. (sc)
Wakil Ketua Pansus RUU Ormas Michael Wattimena
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
41
LEGISLASI
42
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
D
PR RI dan Pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Pasalnya, pemerintah dinilai masih kurang memperhatikan Koperasi, karena itu perlu semacam program khusus Koperasi yang Sistematik. Pembahasan RUU yang merupakan usul inisiatif Pemerintah dilakukan secara maraton dengan Panitia Khusus (Pansus) DPR RI. Lebih dari 1000 Daftar Inventaris Masalah (DIM) menandakan perbedaan pendapat antara Pemerintah dengan DPR RI siknifikan baik besaran maupun kedalaman. UU Koperasi harus direvisi karena pada kenyataannya koperasi tidak berkembang seperti yang diinginkan, misalnya sebagai tidak berkembangnya koperasi sebagai pelaku usaha, tidak seperti pelaku usaha lainnya seperti BUMN dan swasta. apa permasalahan yang memberatkan koperasi sehingga kopersi tidak bisa berada pada level of playing field yang sama dengan swasta dan BUMN. Harus ada upaya untuk mengurangi beban-beban yang memberatkan koperasi, sehingga koperasi menjadi
indentitas, dan dapat menjadi level of playing field yang sama. Tetapi tanpa harus mengorbankan prinsip dan nilai koperasi. Wakil Ketua Pansus RUU Perkoperasian Erik Satrya Wardhana dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (F-P.Hanura) mengatakan perdebatan terjadi dimulai dari pembahasan judul. Masih ada-
nya perbedaan pendapat mengenai judul yaitu RUU Koperasi atau RUU Perkoperasian. “Perbedaannya antara lain mengenai judul, yang diusulkan Pemerintah adalah RUU Koperasi, tetapi beberapa fraksi di DPR meminta diubah menjadi RUU Perkoperasian,” kata politisi asal pemilihan Jawa Barat III itu.
Salah satu kegiatan Koperasi
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
43
LEGISLASI
Wakil Ketua Pansus RUU Perkoperasian Erik Satrya Wardhana
44
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
Terkait pemberian nama atau judul memang sepertinya tidak prinsip, namun menurut Erik Satrya ini berimplikasi pada konsistensi penekanan. Karena kalau dilihat dalam struktur sistematika RUU ini ada bab tentang pemberdayaan koperasi, yang mengisyaratkan mengenai adanya peran Pemerintah dan gerakan koperasi. “Peran Pemerintah dan gerakan koperasi berada diluar kelembagaan koperasi itu sendiri. Jadi RUU ini lebih baik diberi Judul RUU Perkoperasian,” paparnya. Pemerintah dinilai terlalu menyederhanakan penafsiran atau implementasi dari amanat UUD 1945 Pasal 33, beberapa fraksi menginginkan ada ketegasan itu. Bukan hanya di pendahuluan tetapi juga pada beberapa pasal. Pasal 33 Ayat (1) mengamanatkan Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dan Ayat (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional. Erik Satrya mengutarakan, bahwa DPR RI menginginkan adanya kejelasan mengenai penjewantahan usaha bersama dan asas kekeluargaan dalam RUU ini. Dia mengingatkan UUD 1945 sebelum amandemen pada penjelasannya menegaskan bahwa badan usaha yang sesuai dengan itu adalah Koperasi. Artinya memang RUU Perkoperasian ini harus menterjemahkan prinsip dan nilai yang ada di dalam UUD 1945. RUU ini nantinya tidak hanya mengatur koperasi sebagi suatu entitas, tatapi juga menyangkut peran-peran lain di luar koperasi, misalnya peran Pemerintah. Pemerintah harus terus mendampingi perkembangan koperasi. Karena didalamnya ada semangat sebagaimana di amanatkan Pasal 33 sebagai suatu usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, Erik Satrya mengungkapkan kalau koperasi tidak difasilitasi Pemerintah, maka dikhawatirkan koperasi akan tetap sulit berkembang, karena lingkungan eksternal tidak berubah yang mengarah pada lingkungan usaha yang lebih individualistik. Ada dua jiwa yang berbeda, antara koperasi dengan lingkungan. Lingkungan yang Erik maksud adalah baik konsumen maupun pelaku usaha lainnya, seperti BUMN dan swasta yang berprinsip ekonomi relative materialistik dan individualistik. “Koperasi berasas kekeluargaan, tetapi koperasi harus tetap eksis,”katanya. Berkembangnya koperasi juga tidak terlepas dari pengelolaan yang profesionalisme, Erik Satrya mencoba mengusulkan dalam perubahan UU ini, misalnya struktur organisasi koperasi dibuat sama dengan struktur korporasi. Dia menjelaskan Struktur koperasi saat ini ada badan pengawas, pengurus, setelah itu managemen. Kemudian permasalahannya timbul adalah pengurus merangkap sebagai mana-gemen, sedangkan badan pengawas yang terjadi adalah antara ada
Wakil Ketua Pansus RUU Perkoperasian Erik Satrya Wardhana saat di wawancara oleh tim parle
dan tiada, secara formal ada tetapi dalam prakteknya jarang sekali badan pengawas yang berperan. “Saya usulkan untuk dirubah, badan pengawas diganti namanya dengan pengurus tetapi fungsi mirip dengan badan komisaris di korporasi, sedangkan pengurus diubah namanya menjadi direksi atau managemen yang pada korperasi adalah dewan direksi,” papar Erik Satrya. Menurutnya, hal itu dimungkinkan sepanjang pengurus yang berfungsi seperti dewan direksi di korporasi itu diangkat oleh rapat anggota. Konsep Koperasi Unit Desa dikembangkan tidak hanya di desa tapi juga di kota. Yang terhimpun dalam koperasi sekunder. Sehingga akan menjadi
kekuatan ekonomi. Setelah itu, lanjutnya, perlu dikembangkan koperasi produksi, Pemerintah relative kurang memperhatikan UKM, sehingga koperasi relatif kurang tersentuh. Pemerintah sangat diharapkan memberikan perhatian khusus terhadap upaya peningkatan aktivitas koperasi. Dengan majunya perkoperasian menjadikan anggota koperasi merasakan manfaat nyata yang dirasakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan fasilitas dan kemudahan yang didapatkan dari menjadi anggota koperasi tersebut. “Koperasi di Indonesia harus bermanfaat dan dibutuhkan oleh rakyat Indonesia,” tegasnya. (as) ***
Salah satu kegiatan Koperasi
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
45
PROFIL
M. Prakosa Berjuang Bangkitkan Citra DPR 46 | PARLEMENTARIA | Edisi 91 90 TH. XLII, 2012 |
M
eskipun hanya menjabat satu tahun pada era kabinet Abdurahman Wahid, Prakosa lebih dikenal akrab sebagai mantan Pertanian, begitu juga pada kabinet Gotong Royong di era pergantian kepemimpinan saat Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden, Prakosa juga masih dipercaya menduduki kursi kabinet. Ketika itu, Prakosa diberi mandat sebagai Menteri Kehutanan hingga akhir periode kepemimpinan Megawati. (2001-2004). Ketertarikan Prakosa pada bidang pertanian dan kehutanan memang sudah dimulai sejak dirinya masih Kuliah. Bahkan dia mengambil Fakultas Kehutanan di Universitas ternama. Pria kelahiran Yogyakarta yang memiliki karakter kalem dan cenderung sabar ini menggantikan posisi Ketua BK dari PDIP yang lalu yaitu Gayus Lumbuun. Sebelumnya pimpinan BK dikenal orang yang berkarakter kuat dengan nada bicara keras. Memang dari sisi background bertolak 180 derajat dengan dirinya, yang berasal dari Fakultas Kehutanan. Keinginan kuat untuk belajar membuat Prakosa cepat beradaptasi dengan pekerjaan barunya sebagai Ketua BK. Pria kelahiran Yogyakarta 4 Maret 1960 belum menunjukkan emosi selama masa kepemimpinannya. ”Bagi saya yang penting menjalankan tugas sebaik-baiknya berdasarkan amanat partai,”katanya. Belum lama ini, BK memang disibukkan oleh berbagai urusan baik pelanggaran etika dari anggota Dewan maupun pengumpulan data terkait renovasi ruang Banggar DPR. Khusus masalah renovasi Banggar, BK telah mengumpulkan bukti secara marathon dengan memanggil berbagai pihak diantaranya pimpinan BURT, Pimpinan Banggar, Setjen DPR, maupun pihak kontraktor bahkan konsultan pengawas renovasi ruang Banggar tersebut. Baru saja usai Prakosa mengadakan rapat tertutup mengenai renovasi banggar, dengan wajah terlihat letih, Prakosa masih bersemangat menang-
M. Prakosa saat konferensi pers di Gedung DPR RI
gapi wartawan yang berusaha mengklarifikasi hasil rapat BK tersebut. Dengan sabar dirinya menjelaskan satu-persatu kepada wartawan televisi maupun cetak yang mengerubuninya. Dengan kalimat yang teratur, dan lugas dia menjelaskan bahwa memang terdapat lima pelanggaran yang berhubungan dengan renovasi banggar, oleh karena itu BK telah meminta kepada KPK untuk menindaklanjuti laporan yang telah dilakukan oleh Ketua DPR pada bulan Januari 2012. “BK menduga adanya mark up dan permasalahan hukum yang berkaitan dengan proyek pengadaan di lingkungan DPR,” tegasnya saat itu kepada wartawan Badan Kehormatan, lanjut Prakosa, sedang menindaklanjuti yang dilakukan oleh BURT terkait dugaan adanya indikasi pembiaran proyek. “Tidak ada yang boleh lepas tanggungjawab atau lepas tangan. Kalau
indikasi pembiaran itu benar terbukti maka itu jelas pelanggaran,”tegasnya. Jika dilihat secara fungsi, paparnya, tidak ada masalah dengan anggota dewan dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Sorotan publik muncul karena hal yang diluar dari sifat kedewanan, seperti keberadaan BURT Menurut Prakosa, seharusnya tidak dibebankan kepada anggota. “Masa anggota mengurusi rumah tangga, secara fungsi itu salah. Kita itu hanya mengawasi, mengatur anggaran dan membuat undangundang,”ungkapnya. Pernyataan Prakosa kepada Media massa tersebut mencerminkan sosok pemimpin yang tegas dan berwibawa serta mampu memberikan solusi bagi masalah-masalah kebangsaan saat ini. Bahkan meski masih baru sudah terdapat keputusan yang dibuat oleh BK. Di kepemimpinannya, BK DPR RI telah menetapkan tiga
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
47
PROFIL
M. Prakosa saat di lantik menjadi Ketua BK DPR RI
vonis kode etik bagi anggota dewan yang berstatus terdakwa. Diawal-awal masa kepemimpinan memang banyak orang yang merasa ragu mengenai kapasitas dan kapabilitas seorang Muhammad Prakosa, pasalnya dia memiliki background yang bukan berasal dari hukum. ”Semuanya tidak masalah, di BK tetap saja tugas kedewanan,” katanya. Menurutnya, sebagai seorang Ketua BK harus berpegangan kepada aturan tata tertib dan kode etik beracara BK yang disahkan 2011 lalu. ”Di Undang Undang MD3 UU 27 tahun 2009, Ada di pasal 213 hingga 219. tinggal dihayati,” ujarnya. Dia menambahkan, Kode etik itukan ilmu yang common sense, karena itu semua orang menyadari ada dan diperlukan kode etik. “Jadi saya santai saja bertugas di sini,” ujarnya. Prakosa mengakui tugasnya sebagai Ketua BK tentu lebih berat dibandingkan dengan anggota DPR biasa, seorang pimpinan harus menjadi contoh bagi anggota lainnya, misalnya kedisiplinan. Dengan tugasnya yang dobel baik di Komisi, pansus maupun di BK, dia mengaku waktunya memang banyak tersita di rumah
48
rakyat. Namun ada hal yang tidak boleh ditinggalkannya yaitu olahraga rutin setiap pagi. ”Setiap pagi saya wajib olahraga. Paling tidak jogging, di rumah” jelasnya.
Disiplin diri sendiri
Ketua BK Muhammad Prakosa menyadari beban berat sebagai seorang pimpinan BK yaitu berusaha menegakkan etika namun disatu sisi pencitraan dewan semakin terpuruk karena perilaku anggotanya. “Untuk bisa menegakkan aturan, kita harus mematuhi peraturan itu sendiri. Itu salah satu cara meningkatkan citra DPR yang saat ini sering menjadi bulan-bulanan di masyarakat,” ujar Prakosa beberapa waktu lalu. Dia mengakui seringkali beberapa diantara 560 anggota dewan melanggar kode etik atau melakukan ketidakpatutan yang seharusnya tidak dilakukan sebagai seorang representasi rakyat. Menyinggung kunjungan luar negeri yang dipandang menghamburkan uang negara dan paripurna yang jadi tolak ukur malas tidaknya seorang anggota, Menurut Prakosa,
| PARLEMENTARIA | Edisi 90 TH. XLII, 2012 |
hal-hal semacam itu perlu di kaji ulang dan dievaluasi, karena menyangkut citra dan persepsi rakyat terhadap anggota dewan yang bisa meruntuhkan segalanya. “BK berkomitmen, baik pimpinan maupun anggota akan terus melakukan perbaikan untuk membangun persepsi yang positif dari DPR, dan itu harus dimulai sekarang. Ini konsepnya penegakan citra secara menyeluruh,”jelas Prakosa. Tidak hanya perbaikan secara lembaga saja yang menjadi fokus utama dari BK namun secara personal BK merekomendasikan untuk bisa menjaga tingkah laku dan kode etik seorang dewan, termasuk terbuka menerima berbagai pengaduan masyarakat jika ada pelanggaran yang dilakukan anggota dewan secara personal. Demi perbaikan itu BK telah memberikan kerangka perbaikan citra PR secara menyeluruh kepada pimpinan DPR. “Kita sudah berikan usulan kepada kepada pimpinan, termasuk mengkaji ulang UU MD3 untuk mempertegas fungsi anggota dewan dalam menjalankannya, sehingga tidak tumpang tindih dengan fungsi lain diluar kedewanan,” ujarnya.***
KUNJUNGAN KERJA
Menuju Bandar Udara Kelas Dunia Komisi VI DPR RI mendukung pengembangan bandar udara di Provinsi Bali. Pasalnya, kapasitas serta fasilitasnya sudah tidak memadai lagi untuk menampung aktivitas penumpang dan arus barang (cargo) yang semakin meningkat.
H
al itu diungkapkan Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima (F-PDI Perjuangan) saat pertemuan dengan jajaran Direksi Angkasa Pura I (Persero) Provinsi Bali, Jum’at (16/3) dalam rangka kunjungan spesifik Pengelolaan dan Pengembangan Bandar Udara oleh BUMN PT. Angkasa Pura I (Persero) di Provinsi Bali. “Pengembangan Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, diharapkan dapat memberikan peningkatan pelayanan agar sesuai dengan standar bandara kelas dunia,” ujar Bima. Pemerintah telah mencanangkan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI), dimana salah satu strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan mengembangkan potensi ekonomi di koridor ekonomi BaliNusa Tenggara Barat (NTB) sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional. “Jadi Bali merupakan pintu gerbang kegiatan ekonomi utama pariwisata di Indonesia, pada tahun 2011 tercatat 40 persen masuk dari sini” jelasnya. Pada kesempatan itu, ujar Bima, Komisi VI DPR berharap agar pengembangan Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali memberikan kontribusi yang nyata bagi perkembangan perekonomian nasional umumnya, dan pereko-
nomian di Provinsi Bali, serta dapat turut serta mensukseskan program MP3EI yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Menurutnya, semakin berkembangnya perekonomian suatu daerah/ wilayah, maka kebutuhan pengembangan prasarana bandar udara sangat mendesak dan penting. Begitu juga permintaan akan angkutan udara semakin meningkat, dan jumlah penumpang setiap tahun akan meningkat pula. “Oleh karenanya, agar mampu mengimbangi pertumbuhan tersebut, beberapa bandara Indonesia perlu diperluas secara signifikan,” jelasnya. DPR juga berharap agar PT. Angkasa Pura I sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pelayanan jasa navigasi penerbangan dan pengelolaan bandar udara dapat mencapai visinya menjadi perusahaan pengelola bandar udara kelas dunia yang memberikan manfaat dan nilai tambah ke-
Komisi VI DPR RI saat meninjau Bandara Internasional Ngurah Rai Bali
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 49
KUNJUNGAN KERJA
pada stakeholder. Menurutnya, peningkatan fasilitas dan pelayanan kebandarudaraan akan berpengaruh signifikan terhadap program peningkatan daya saing nasional. Oleh karena itu, BUMN kebandarudaraan dalam menyelenggarakan usaha jasanya diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan sehingga dapat meningkatkan nilai investasi dan kenyamanan, tuturnya. Sementara itu Direktur PT. Angkasa Pura I (Persero) Bali, Tommy Soetomo menjelaskan, pembangunan terminal internaional dari 65.000 m2 menjadi 139.000 m2 untuk target penumpang 16 juta penumpang per tahun. Sedangkan pengembangan terminal domestik yang semula seluas 13.000 m2 akan didemolish menjadi apron, dan kegiatan terminal domestik akan menempati eks terminal internasional seluas 65.000 m2 dengan target penumpang 9,4 juta penumpang per tahun. Untuk mempertahankan kualitas pelayanan atas lonjakan calon penumpang dan keluhan penumpang sehubungan dengan bandara yang sedang dilakukan saat ini PT. Angkasa Pura I melakukan antisipasi, antara lain salah satuhnya merenovasi terminal domestik dengan memperluas area ruang tunggu penumpang dan pengoperasian “buggy car” untuk penumpang lanjut usia, anak-anak, cacat dan orang sakit, paparnya.
Rapat Gabungan untuk Tuntaskan Masalah Kualanamu
Pembangunan Bandar Udara Kualanamu, Sumatera Utara pengganti Bandara Polonia yang sudah tidak memadai dinilai berlarut-larut. Target penyelesaian akhir tahun 2012 yang disesuaikan untuk kesekian kalinya, dikhawatirkan tidak dapat dipenuhi memperhatikan ragam persoalan proyek kerja sama pusat dan daerah yang sudah dimulai sejak tahun 2007 lalu. “Masyarakat sudah kenyang dengan janji, tahun 2007 Gubernur
50
Rudolf Pardede berjanji selesai 2 tahun. Tahun 2009 Wapres JK datang menguatkan akan selesai tahun itu disambut tepuk tangan, ternyata meleset. Tahun selanjutnya Presiden SBY datang berjanji lagi akhir tahun 2010 kita resmikan. Kemudian 2011, Menko Perekonomian menyebut selesai tahun itu, ternyata tidak. Janji selanjutnya akhir tahun ini mulai digunakan,” kata anggota Komisi VI dari FPAN Nasril Bahar saat melakukan pertemuan dengan Pimpinan PT. Angkasa Pura II di Medan, Sumut, Kamis (15/3/12). Ia meminta dalam pertemuan yang merupakan rangkaian kunjungan spesifik meninjau pelaksanaan pembangunan Bandara Kualanamu ini diharapkan pihak Angkasa Pura II terbuka menyampaikan hambatan dalam pelaksanaan proyek. Baginya persoalan pembangunan dengan anggaran Rp.2,9 triliun tidak bisa ditimpakan sepenuhnya kepada Angkasa Pura II, karena melibatkan banyak pihak seperti Pemerintah Pusat, PU, investor, Pemprov dan Pemkab. Anggota Komisi VI dari FPDIP Sukur Nababan mempertanyakan belum beresnya pembebasan lahan untuk jalan menuju bandara. Baginya bandara sebagus apapun tetap tidak akan berfungsi apabila infrastruktur eksternal tidak selesai. Ia menyebut kasus gedung kargo yang tuntas dibangun tahun 2007 lalu karena belum digunakan akhirnya biaya maintenance menjadi beban PT. Angkasa Pura II. Hal senada disampaikan Chairuman Harahap dari FPG yang juga meragukan Kualanamu bisa beroperasi akhir tahun ini. “Kami minta report bukan angin sorganya. Masyarakat sudah tahu, 2012 akan diresmikan. Kita khawatir ini tidak akan terjadi, sepertinya akan diundur 2013,” tandas wakil rakyat dari dapil Sumut II ini. Ketua Tim Kunjungan Spesifik Komisi VI, Agus Hermanto mendukung agar seluruh permasalahan pembangunan Bandara Kualanamu dapat dipetakan dan dipilah-pilah. “Apabila dipandang perlu, saya men-
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
dukung pelaksanaan rapat gabungan Komisi VI dengan Komisi V, sekaligus menghadirkan Menteri Perhubungan dan kementrian lainya,” tegas politisi FPD ini. Percepatan pelaksanaan proyek merupakan tanggung jawab seluruh instansi terkait sehingga diharapkan target penyelesaian tahun 2012 ini dapat dipenuhi. Direktur Operasi Tehnik PT. Angkasa Pura II, Salahuddin Rafie menekankan penuntasan pembangunan Bandara Kualanamu sudah semakin mendesak karena Bandara Polonia yang memiliki kapasitas 900 ribu penumpang/tahun saat ini traffic-nya sudah mencapai 7 juta penumpang/ tahun. Ia meminta dukungan agar kendala pembebasan lahan yang masih membayangi pembangunan jalan akses menuju bandara dapat diatasi. “Kebutuhan jalan 150 miliar rupiah tapi pemerintah provinsi baru menyiapkan 19 miliar. Jalan tol perlu 900 hari untuk konstruksi, pembebasan lahan baru 25 persen. Mohon dukungan terutama bagi akses masuk menuju bandara ini,” imbuhnya. Beberapa bagian fasilitas bandara yang sepenuhnya dirancang dan dibangun oleh putra terbaik bangsa sudah berhasil dituntaskan seperti, terminal kargo, bangunan security, gedung otoritas bandara, bangunan taxiway, dan area parkir. Terminal yang dapat menampung 8.1 juta penumpang/tahun memasuki tahap penyelesaian interior. Gedung ditata modern dengan mengadopsi kearifan lokal menerapkan package sending system 100 persen otomatis pertama kali di Indonesia. Sistem ini dapat menangani 5000 bagasi perjam, dengan conveyor otomatis, barcode, pengaturan jurusan, penanganan lebih cepat dan aman karena tidak ditangani orang perorang. “Kami berharap semua konstruksi dapat diselesaikan pada akhir 2012 sehingga bandara baru yang menjadi kebanggaan warga Sumut ini dapat beroperasi penuh awal 2013,” demikian Salahuddin Rafie. (Iw/iky)
Komisi VI DPR RI Dukung Revitalisasi Pabrik Gula Internet/seputarsulawesi.com
DPR RI mendukung Revitalisasi pabrik gula untuk pencapaian target swasembada gula benar-benar tercapai pada tahun 2014.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Agus Hermanto
P
ada kesempatan itu, Komisi VI DPR meminta agar Program Pemerintah swasembada gula, disamping menghasilkan kecukupan kebutuhan dalam negeri, juga menumbuhkan struktur industri yang kuat serta bermuara pada kesejahteraan petani tebu. Hal tersebut mengemuka saat Komisi VI DPR mengadakan Kunjungan Kerja Spesifik ke Pabrik Gula PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX di Provinsi Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Kunjungan tersebut bertujuan meninjau pabrik gula setempat dalam rangka revitalisasi pabrik yang ada. Wakil Ketua Komisi VI DPR Agus Hermanto mengatakan, pengembangan industri tebu dikaitkan dengan dengan program swasembada gula nasional harus diletakkan dalam konteks pembangunan industri yang lebih
Gudang Gula Bulog
komprehensif dan terintegritas, yaitu industri nasional yang berbasis tebu. Dahulu, lanjutnya, Indonesia pernah mengalami kejayaan gula, dan menjadi salah satu Negara pengekpor gula terbesar di dunia. “Agro ekosistem, dimana jumlah lahan dan tenaga kerja yang tersedia sangat potensial untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen gula dunia,”ujarnya. Saat ini, kebutuhan konsumsi gula rumah tangga dan gula untuk industri dalam negeri saat ini diperkirakan lebih dari 4,8 juta ton. Namun pertumbuhan kebutuhan konsumsi
dalam negeri tersebut tidak diikuti dengan peningkatan produksi industri gula yang sepadan, sementara pabrikpabrik gula (PG) milik BUMN yang ada sudah tua sehingga industri gula dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan gula untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk industri. ‘hal itu mengakibatkan Indonesia menjadi pengimpor gula Kristal putih dalam kurung waktu yang panjang,”ujarnya. Komisi VI DPR, lanjutnya, menginginkan tercapainya sasaran industri gula BUMN dan swasta yang berkualitas, dilihat dari sisi kualitas produk,
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
51
KUNJUNGAN KERJA
kuantitas, biaya produksi yang kompetitif, meningkatkan minat petani menanam tebu, mendukung pembentukan dan pertumbuhan industri hilir berbasis tebu dan bermuara pada swasembada gula pada 2014. Menurut perhitungan proyeksi swasembada gula dari Pemerintah, dengan asumsi kebutuhan gula konsumsi rumah tangga meningkat 1,83% pertahun dan gula industri 5% pertahun. Maka pada tahun 2014 dibutuhkan 2,956 juta ton gula konsumsi rumah tangga (GKP) dan 2,744 juta ton gula kebutuhan industri, sehingga total kebutuhan adalah 5,7 juta ton. Untuk target GKP swasembada 2014 sebesar 2,956 juta ton tersebut, tingkat produksi GKP dari BUMN masih dapat dikembangkan hingga mencapai 2,275 juta ton, sedangkan dari produsen swasta dapat mencapai 1,2 juta ton, sehingga total adalah 3,494 juta ton. Dengan demikian diperhitungkan pada tahun 2014 akan diperoleh surplus sebesar sekitar 538 ribu ton GKP atausekitar 18% diatas tatal kebutuhan. Gima mencapai target kumulatif produksi sebesar 2,275 juta ton yang berasal dari BUMN gula diperlukan peningkatan produktivitas agregat. Langkah yang dilakukan seperti sinergi kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pembangunan dan pembenahan infrastruktur agroindustri terutama di daerah pengembangan baru, Tata Wilayah perkebunan tebu yang sesuai dengan master plan pembangunan ekonomi nasional dari Pemerintah, Peningkatan peran lebaga Ristek dan Pengembangan terutama dalam mengantisipasi masalah perubahan iklim dan variasi kondisi pertanahan di wilayah RI, Peningkatan Iptek dan SDM yang mendukung pengembangan industri nasional berbasis tebu, Peningkatan penyuluhan pendampingan dan fasilitas bagi petani tebu, Pengembangan tata niaga yang menarik baik bagi petani maupun pabrikan, Organisasi dan koordinasi yang kuat dalam mengelola pelaksanaaan
52
program swasembada gula nasional. Menurut Agus, Pemerintah harus memberikan solusi masalah terkait on farm yang dapat menjadi penghambat produksi dan produktivitas budidaya tebu, diantaranya yaitu sulitnya untuk mendapatkan lahan baru atau bahkan mempertahankan lahan yang sudah ada. “Lahan baru yang dibutuhkan bagi pencapaian swasembada gula 2014 seluas 360 ribu ha. Selain itu, Penataan varietas tebu yang masih terhambat baik dari segi pengembangan maupun segi budi daya,”ujarnya. Selanjutnya, Pemerintah juga harus segera mencarikan solusi masalah pada sisi off farm, yaitu pada sisi produksi gula pleh PG-PG terutama PG milik BUMN, antara lain tingkat efisiensi pabrik dibawah standar dimana peralatan pabrik di masing-masing proses produksi tingkat efiensinya rendah. Selain itu, teknologi alat-alat produksi yang tergolong tertinggal jauh dari proses produksi autonation sehingga kinerjanya rendah, belum berkembangnya diversifikasi produk dari PG termasuk produk yang dapat menjadi sumber energy sehingga dapat meningkatkan daya saing industri gula. “Kedala lainnya yaitu tidak adanya sinergi diantara bidang engineering PG milik BUMN sehingga tidak terjadi perpindahan pengetahuan mengenai permasalahan di masingmasing pabrik, Lokasi masing-masing PG berjauhan sehinga span of control dari managemen menjadi terlalu luas yang mengakibatkan kurangnya perhatian pada pengelolaan pabrik gula BUMN,”ujarnya. Industri gula Kristal putih (GKP) saat ini didominasi oleh BUMN (PTPN II, VII, IX, X, XI, XIV dan PT RNI) yang menguasai 51 PG yang menghasilkan 55% dari produk gula nasional. Tercatat 10 perusahaan swasta produsn GKR yang terdiri dari 6 PMA dan 4 PMDN, namun masih ada 2 PMDN yang belum merealisasikan pembangunan pabriknya. Kunjungan Spesifik DPR RI pada
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
masa persidangan III tahun sidang 2011-2012 ke Jawa Tengah dalam rangka Revitalisasi Pabrik Gula PTPN IX tersebut dipimpin Wakil Ketua Komisi VI Agus Hermanto (F-PD), dan beranggotakan Hari Kartana (F-PD), Lili Asdjudireja, Marzuki Daud (F-PG), Hendrawan Supratikno (F-PDIP), Fahri Hamzah (F-PKS), dan Abdul Wachid (F-Gerindra). Dalam Kunjungan di PTPN IX tersebut Lili Asdjudireja (F-PG) mengkritisi masih rendahnya tingkat efisiensi pabrik, dan mempertanyakan kendala produksi yang dihadapi, serta efektifitas manfaat 9 unit Low Grade yang dimiliki Pabrik Gula PTPN IX. Hari Kartana mempertanyakan ketersediaan tenaga listrik dan menyarankan agar pabrik gula perlu memperbarui kemasan dimaksudkan agar hasil produksi kemasan dapat bersaing dengan produk impor. Sementara Hendrawan Supratikno (F-PDIP) mengatakan pabrik gula rending harus bekerja lebih keras untuk meningkatkan produktifikasnya dan dapat bersaing dengan pabrik gula milik swasta. Sedangkan Fahri Hamzahmengingatkan bahwa Indonesia adalah pasar yang sangat potensial bagi produk gula, jika pabrik gula BUMN tidak dapat meningkatkan produktivitasnya, dia mengkhawatirkan akan kalah bersaing dengan Pabrik milik swasta dan produk gula impor akan terus membanjiri pasar dalam negeri. Menjawab beberapa pertanyaan Anggota Dewan tersebut, Direktur Utama PTPN IX S. Haryanto mengatakan sasaran kinerja yang telah disusun sudah mempertimbangkan saran saat Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI, untuk tidak terlalu terpaku dengan roadmap tetapi tetap harus realistis. Sedangkan untuk fungsi low grade, haryono menjelaskan bahwa pengoperasian mesin loe grade adalah untuk mengantisipasi jika mesin-mesin lama mengalami gangguan dan kerusakan. (parle) ***
Sulbar Berpotensi Bangun Pabrik Pupuk Pertama di Kawasan Timur
Komisi VII DPR menyoroti aset gas yang ada di blok Sebuku di wilayah Pulau Laria-Lariang. Potensi gas di blok Sebuku tersebut diharapkan dapat mendorong pembangunan pabrik Pupuk di sekitar Sulbar.
“
Sulbar sebagai provinsi harus ada industri, harus ada keadilan. Sulbar juga merupakan koridor ekonomi, yang memiliki daerah pertanian dan perkebunan yang banyak terdapat wilayah Sulbar, sehingga sudah sepantasnya pabrik pupuk juga di bangun di provinsi ini,”ujar anggota Komisi VII DPR Nazzaruddin Kiemas dari PDIP saat Kunker Sulbar barubaru ini. apabila hal ini terjadi, lanjutnya, maka pabrik ini akan menjadi pabrik pertama yang ada di Indonesia bagian timur. Dia mengungkapkan bahwa pabrik tambahan pupuk kaltim itu sendiri belum di bangun. “Jadi kalo belum dibangun toh haknya tetap sama untuk PKT tapi di bangunnya di Sulbar. Jadi hak gasnya tetap sama. PKTnya pun ada keuntungan pipanya lebih pendengan maka biayanya lebih murah,” paparnya.
Wakil Ketua Komisi VII Zainuddin Amali saat melakukan pertemuan dengan Pemprov Sulbar
Memang ada masalah teknis masalah palung namun menurut masukan para ahli hal itu dapat diatasi dengan menggunakan teknologi canggih. “Untuk pemerintah cost recovery hanya sepertiganya. Jadi saling menguntungan dan untuk Sulbar belum ada industrinya,”ujarnya.
Blok Sebuku Bagian Sulbar
Pada kesempatan itu, DPR RI memberikan dukungan secara politis terhadap Block Sebuku yang ada di pulau Laria-Lariang, menjadi bagian dari provinsi Sulawesi Barat. “block Sebuku yang berada di wilayah pulau Laria-Lariang yang harus menjadi milik Sulbar dilihat secara historis administrative,” Tegas Wakil Ketua Komisi VII Zainudin Amali. Menurut Zainudin, berdasarkan penjelasan Gubernur Sulbar dengan dikuatkan bukti adanya Surat
Mendagri bahwa memang benar posisi block Sebuku di Sulbar, sehingga potensi sumber daya yang ada menjadi milik Sulbar. “Sulbar juga merupakan wilayah NKRI, sehingga tidak semata-mata untuk masyarakat Sulbar. Tetapi prioritas diperuntukan bagaimana mempersejahterakan mawsyarakat Sulbar dimana blok Sebuku itu berada,”katanya. Kemudian kedepannya, lanjutnya, harus diformalkan didalam keputusan politik di DPR, bahwa sebagai laporan komisi VII memberikan dukungan secara politik bahwa blok sebuku yang berada di pulau Laria-Lariang menjadi bagian dari provinsi Sulbar, kemudian olahan dan lain-lainnya harus terpusat di Sulbar. Dia menambahkan, pihaknya akan berkoordinasi dengan komisi VI DPR yang membidangi industri dan BUMN, supaya bagian dari pupuk kal-
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
53
KUNJUNGAN KERJA
tim yang ada di Pusri dapat membuka industri di Sulbar. “Sementara mengenai keterlambatan dapat diteloransi sampai dua tahun, namun efeknya masyarakat merasakan secara langsung apa yang terkandung di dalam perut bumi mereka,”ujarnya. Menurutnya, rakyat setempat tidak memberikan dukungan penuh, karena mereka tidak merasakan langsung dari dampak investasi tersebut. “Tempatnya dieploitasi SDA, tapi tidak merasakan manfaatnya,”katanya. Dia melanjutkan, bahwa kita semua harus merubah paradigma tersebut, karena merupakan kewajiban kita untuk mensejahterakan rakyat sekitar lokasi setempat.
Angka Kemiskinan Tinggi
Pada tempat yang berbeda, tim Komisi VII DPR juga melakukan kunjungan ke Papua Barat, pada kesempatan itu, Anggota Komisi VII DPR Satya Widya Yudha (F-PG) menyoroti tingginya angka kemiskinan di Teluk Bintuni, Papua Barat mencapai 46 persen. “Ini sangat ironi sekali, padahal masyarakat setempat bersebelahan dengan LNG Tangguh yang kita anggap sebagai LNG center ketiga di Indonesia setelah LNG ArunAceh dan LNG Bontang-Kalimantan Timur,” ungkap Satya saat ditemui tim Parle usai meninjau LNG Tangguh, Papua Barat dalam rangka kunjungan kerja Komisi VII DPR ke Provinsi Papua
Barat, Selasa (17/4). Menurut Satya, LNG Tangguh adalah mega-proyek yang membangun kilang LNG di Teluk BintuniPapua Barat untuk menampung gas alam yang berasal dari beberapa blok disekitar teluk Bintuni. Seperti Blok Berau, Blok Wiriagar dan Blok Muturi. LNG Tangguh ini melengkapi pengilangan gas yang sudah ada di Indonesia, yaitu LNG Arun-Aceh dan LNG Bontang-Kalimantan Timur, jelasnya. Ia meminta kepada pemerintah agar masalah ini dapat ditindaklanjuti dan ditangani secara serius dalam menangani pengalokasian gas domestik untuk daerah-daerah dimana LNG itu berada. Karena tidak ada alokasi gas Tangguh untuk domestik khususnya untuk daerah setempat sehingga dalam jangka pendek yang bisa dilakukan listriknya dapat digunakan untuk kepentingan sendiri. Pasalnya, Tangguh memiliki kelebihan pasokan, yang dapat diberikan kepada rakyat setempat sebesar 5 MW. “Tapi kedepan tidak cukup dengan itu, kedepan kita minta supaya ada gas yang dedikasi kepada daerah setempat untuk mengembangkan tidak hanya cuma listrik tapi juga city gas (gas kota), dan itu harus bisa mengalir ke daerah Kabupaten Bintuni dimana LNG Tangguh itu berada,” pinta Satya. Menurut Satya, pemerintah seharusnya sudah bisa merubah para-
Tim Kunker Komisi VII saat meninjau langsung LNG Tangguh
54
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
digma saat ini, dengan tidak lagi mengandalkan penerimaan negara saja tapi juga pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. “Sehingga dalam pengembangan Tangguh kedepan tidak lagi bertumpuh hanya menjual gas ke luar negeri untuk pemasukan devisa negara yang besar tetapi harus melihat yang ada disekeli lingnya. Bagaimana caranya Tangguh itu berperan didalam mengembangkan atau memberikan pertumbuhan ekonomi di Papua Barat khususnya,” katanya. Untuk itu, lanjutnya, Komisi VII menitikberatkan kepada listrik karena kekurangan supply listrik dilokasi dimana disitu merupakan sumber gas itu membeikan kecemburuan bagi masyarakat setempat. Karena masyarakat setempat tidak diberikan listrik dengan baik yang sementara berdekatan dengan sumber gas besar. “Ini jadi program yang harus segera direalisasikan oleh Pemerintah,” tegasnya. Satya menambahkan, Komisi VII DPR akan memanggil Kementerian ESDM bahkan kalau bisa dalam waktu dekat akan minta adanya kunjungan spesifik dengan mengundang kehadiran Menteri ESDM atau Wamen ESDM untuk meninjau LNG Tangguh Papua Barat. “Disitu nanti Menteri ESDM atau Wamen ESDM dapat melihat langsung dan mendapatkan informasi yang detail dari daerah setempat, baik Kabupaten Bintuni maupun Pemerintah Provinsi Papua Barat,” katanya. Menurut Satya ini sangat penting, karena permintaan Bupati Kabupaten Teluk Bintuni Papua Barat ini harus kita difollow-upi seperti adanya city gas (gas kota), listrik yang ada disekitar daerah itu harus betul-betul kita prioritaskan. Untuk itu, lanjutnya, Komisi VII akan merencanakan meminta kepada Kementerian ESDM agar menangani ini secara serius dan melakukan kunjungan spesifik bersama ke LNG Tangguh. “Itu menjadi program prioritas kita kedepan ini,” tuturnya.***
A
nggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Milton Pakpahan mengatakan, sektor energi, Indonesia masih menghadapi tantangan utama yaitu peningkatan kebutuhan dan konsumsi yang tidak diimbangi secara proporsional oleh peningkatan pasokan dan ketersediaan. “Peningkatan produksi minyak dan gas bumi serta pertambangan mineral dan batubara belum dapat dilaksanakan dengan optimal,” ujarnya. Saat ini, lanjutnya, Komisi VII sedang melaksanakan proses perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, kata Milton seraya menambahkan perubahan dimaksud untuk memperbaiki tatakelola minyak dan gas bumi kita. “Hal tersebut sangat berkaitan erat dan perlu mendapatkan perhatian, mengingat Provinsi Papua Barat merupakan salah satu daerah penghasil migas yang cukup besar,” jelasnya. Terkait de-ngan sektor ketenagalistrikan, Milton menjelaskan, kita masih dihadapkan pada persoalan keterbatasan pasokan yang belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan. Terlebih lagi di Provinsi Papua Barat yang juga masih terdapat ma-
salah besar dalam pemenuhan kebutuhan pasokan listrik. “Sampai saat ini hanya sebagian kecil masyarakat di Papua Barat yang dapat menikmati listrik, sedangkan sebagian besar yang lain masih dalam kondisi gelap gulita dan belum menikmati terangnya listrik,” jelasnya. Menurutnya, yang utama yaitu bagaimana upaya untuk mempercepat pembangunan sektor ketenagalistrikan dan pengembangan ener-gi di Provinsi Papua Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Milton Pakpahan (kanan) Barat, karena Provinsi Papua Barat bangan riset dan teknologi dilakukan memiliki sumber energi yang cukup dalam upaya untuk meningkatkan nibesar dan memiliki banyak sumber lai tambah dalam pemanfaatan sumenergi alternatif yang dapat dikem- ber daya alam yang kita miliki, serta bangkan. peningkatan daya saing dan produk“Begitu juga dengan bidang ling- tivitas perekonomian juga perlu terus kungan hidup serta riset dan teknologi kita kembangkan guna melakukan ak(ristek) perlu mendapatkan perhatian selerasi pembangunan. yang serius, khususnya terkait dengan Milton berharap, kunjungan kerja kerusakan dan upaya konservasi ling- ini dapat mencapai tujuan dan dapat kungan hidup,” paparnya. bermanfaat bagi masyarakat serta Dia menambahkan, perlindungan memberikan dukungan terhadap prodan pelestarian masyarakat dan tanah gram-program yang telah dicanangadat di bumi Papua Barat juga harus kan oleh Pemerintah Provinsi Papua diprioritaskan sedangkan pengem- Barat. (as/iw).
Prioritaskan Program PKH dan KUBE Gorontalo
H
Pemerintah Provinsi Gorontalo meminta kepada Tim Kunjungan Kerja Komisi VIII DPR RI untuk memperjuangkan Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Gorontalo.
al tersebut disampaikan Gubernur Gorontalo Ruslie Habibie saat pertemuan dengan Tim Kunjungan Kerja Komisi VIII ke Provinsi Gorontalo yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VIII Gondo Radityo Gambiro di Gedung Wanita Balelimbui, Gorontalo, Senin malam (16/4). “Kami harapkan saat pembahasan anggaran di pusat, Gorontalo mendapatkan prioritas untuk pro-
gram tersebut,”kata Ruslie. Kepala Dinas Sosial Provinsi Gorontalo Baihaki Natsir yang turut hadir pada pertemuan tersebut, menjelaskan masih ada satu kabupaten yang belum mendapatkan program PKH yaitu Pohuwato. Untuk Program KUBE, dijelaskan bahwa masih banyak masyarakat Gorontalo yang tinggal di bukit-bukit, jika tidak di relokasi dikhawatirkan
banyak terjadi penggundulan hutan akibat ladang berpindah sehingga dapat mengakibatkan longsor. “Kami juga telah mengusulkan 1000 rumah layak huni, karena faktanya masyarakat Gorontalo mayoritas memiliki rumah kurang layak, sementara setiap program telah kami usulkan dengan melampirkan proposal by name, by photo,”tambahnya. Ketua Tim Gondo Radityo Gam-
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
55
KUNJUNGAN KERJA
biro mengatakan, meskipun APBNP 2012 sudah diketok, namun Komisi VIII berjanji akan memperjuangkan hal tersebut saat Rapat Kerja dengan Kementerian Sosial. Anggota DPR dari PKS Jajuli Juwaeni menjelaskan bahwa dalam pembahasan APBNP tidak ada anggaran tambahan baik untuk PKH ataupun KUBE. Fokusnya kemarin untuk mengantisipasi jika BBM naik. Sedangkan untuk PKH ada tambahan, tapi hanya untuk menambah indeks. Namun demikian menurutnya berbagai masukan yang disampaikan akan menjadi prioritas Komisi VIII. Saat kunjungan ke Ponpes Bubohu, tim Kunjungan Kerja Komisi VIII DPR RI yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VIII Gondo Radityo Gambiro merasa Kagum pada Pondok Pesantren (Ponpes) bernuansa alam di Bubohu, Kabupaten Gorontalo.”Kami kagum dan bangga pada konsep alam dan religius yang diterapkan pada pondok pesantren Bubohu,” ujar Gondo saat berkunjung ke ponpes alam Bubohu pimpinan Yosef Ma’ruf , Selasa (17/4). Pada kesempatan tersebut Gondo juga meresmikan Kartu Pos Desa Wisata Bubohu yang diterbitkan Ponpes alam tersebut. Kartu pos yang
Wakil Ketua Komisi VIII Gondo Radityo Gambiro
56
merupakan photo-photo ponpes alam dan lingkungan alam sekitar dijadikan sebagai brosure atau promosi bagi ponpes alam.
Serahkan Bantuan
Pada kesempatan berbeda, Tim Kunjungan Kerja Komisi VIII DPR RI menyerahkan bantuan Pembangunan Ruang Kelas Baru bagi Madrasah Aliyah Muhammadiyah Molowahu Gorontalo.Bantuan sebesar Rp 197 juta dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam direktorat pendidikan madrasah Kementerian Agama diserahkan langsung Ketua Tim Gondo Radityo Gambiro saat meninjau Madrasah Aliyah Muhamadiyah di Molowahu Gorontalo, Senin (16/4). Madrasah Aliyah Molowahu Gorontalo ditetapkan sebagai penerima bantuan karena merupakan Madrasah yang didirkan atas dana masyarakat pada 2007 dan bangunan sekolahnya dibangun dari bantuan PNPM Mandiri pada 2010. Selain Madrasah, Tim kunjungan Komisi VIII DPR juga memberikan bantuan kepada Panti Sosial Tresna Werdha Ilomata Gorontalo. Panti sosial tersebut mendapatkan Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Tahun 2012 dari Kementerian Sosial. Bantuan sebesar Rp 38.325.000 bagi 35 orang penghuni panti werdha ilomata diserahkan langsung Wakil Ketua Komisi VIII Chairunnisa saat meninjau panti tersebut, Selasa (17/4). Chairunnisa meminta kepada Kepala Dinas Sosial Provinsi Gorontalo dan pengurus panti untuk benarbenar memperhatikan Panti dan jika memang ada kekurangan dana harap diinfokan kepada pemerintah daerah setempat. “Jika kita informasikan kepada Pemerintah daerah, saya yakin pemda akan memberikan perhatiannya, pemerintah melalui APBN hanya dapat membantu pada pemenuhan kebutuhan dasar,” kata Chairunnisa. Dia menambahkan, dibutuhkan keikhlasan dan waktu untuk mengurus panti, mengasuh manula merupakan amal ibadah yang akan mendapat-
| PARLEMENTARIA | Edisi 90 91 TH. XLII, 2012 |
kan pahala. “Kita anggap saja seperti mengurus ortu sendiri,”terangnya.
Jadi Embarkasi Haji Penuh
Gubernur Provinsi Gorontalo Ruslie Habibie mengharapkan kepastiannya agar Bandara Jalaluddin Gorontalo untuk ditingkatkan dari Embarkasi Haji Antara (EHA) menjadi Embarkasi penuh. Permintaan tersebut disampaikan oleh Ruslie saat Komisi VIII melakukan Kunjungan Kerja yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VIII Gondo Radityo Gambiro di Gedung Wanita Balelimbui,Gorontalo, Senin Malam (16/4). Ketua DPRD Gorontalo Marthen A Taha yang turut hadir dalam pertemuan tersebut menerangkan bahwa sejak 2008 Bandara Jalaluddin sudah menjadi EHA. Seluruh pengurusan haji dan asramanya di urus di Gorontalo. “Dengan adanya EHA waktu perjalanan menjadi sedikit. Hanya menginap semalam di asrama Gorontalo, keesokannya langsung berangkat ke Makasar. Di Makasar hanya pindah pesawat” papar Marthen. Menurutnya, berbagai persyaratan dari kementerian agama dan perhubungan belum bisa dipenuhi. “Bandara Jalaluddin belum bisa didarati pesawat berbadan besar, demikian pula dengan terminalnya masih sangat terbatas. Namun dari sisi pengurusan haji dan asrama Pemerintah Daerah telah berusaha memenuhi persyaratannya dengan membangun kamar sampai mencapai jumlah yang ditentukan dari anggaran APBD. Yang menjadi masalah saat ini adalah bandara ex bandara hasanuddin yang digunakan untuk jemaah haji sudah tidak bisa digunakan untuk haji, sedangkan bandara hasanudin baru tidak bisa digunakan untuk haji. Ketua Tim Komisi VIII Gondo Radityo Gambiro menjawab bahwa permintaan tersebut juga diminta oleh Bandara di Nusa Tenggara Barat. “Kami akan berusaha mempertanyakan hal tersebut, namun tidak hanya masalah bandara tapi juga dengan peningkatannya,” kata Gondo. (sc)
SOROTAN
Pemiskinan Pengemplang Pajak, Timbulkan Efek Jera
Belum Lama ini kita kembali terhentak, dan dikagetkan muncul kembali kasus pajak seperti kasus Gayus II, yang kali ini menimpa pegawai pajak berinisial DW yang diduga memiliki Rp. 60 Miliar. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan DW sebagai tersangka pada 16 Februari 2012, setelah ditetapkan sebagai tersangka, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rachmad juga mengatakan penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah mengajukan permohonan cekal terhadap DW.
Anggota Fraksi Partai Golkar
Satya Widya Yudha
|| PARLEMENTARIA PARLEMENTARIA || Edisi Edisi 90 91 91 TH. TH. XLII, XLII, 2012 2012 || 57 57
SOROTAN
K
emudian, beberapa waktu lalu, penyidik juga telah melakukan penggeledahan, penyitaan, serta pemblokiran terhadap aset DW. Dari hasil penggeledahan, penyidik menemukan dokumen, sertifikat, uang dalam pecahan rupiah dan dollar, serta logam mulia berupa emas yang saat ini sudah disita penyidik. Menanggapi persoalan itu, Satya W. Yudha dari Partai Golkar mengatakan, kasus pengemplangan pajak merupakan bentuk sinyalemen APBN yang tidak efisien. Karena banyaknya kebocoran didalam APBN selama kurun waktu 10 tahun terakhir, bahkan diprediksi kebocoran bisa sampai 20 persen. “Faktor kebocoran itu macammacam dari sisi pajak karena bermacam tipe pajak ada pajak di perusahaan-perusahaan royalti serta wajib pajak, kemudian kedua kebocoran di penerimaan yang lain sehingga menurut hemat saya penyelesaian pajak yang menjadi sokogurunya kita dimana pendapatan kita APBN 25 persen migas sisanya pajak itu sangat mengganggu kesehatan APBN kalau diteruskan menambah defisit anggaran,”ujarnya. Menurutnya, tindakan pemerintah menambah belanja hingga defisit 3 persen itu sangat ironis sekali, dimana
58
Anggota dari F-Golkar Satya W. Yudha
banyaknya kebocoran pajak negara. “Kita meminta ada pemeriksaan yang melekat baik dimiliki kementerian keuangan dan inspektorat-inspektorat di departemen hingga pendapatan negara tidak diselewengkan,”katanya. Kejadian ini, lanjut Satya, seperti api dan sekam permasalahan pajak tidak transparan, bahkan kita tidak
| PARLEMENTARIA | Edisi 90 TH. XLII, 2012 |
pernah tahu berapa total wajib pajak yang betul-betul terdaftar dan taksiran pajak yang benar. Artinya bisa saja sebuah perusahaan menggelapkan taxasi tidak seperti asli atau realnya. Dia mendesak Kementerian atau lembaga, BPK, BPKP ikut turut serta audit pajak agar taxasi pajak betulbetul akurat sehingga kita mengetahui pendapatan utuh dari sektor pajak. “Saat ini kita memang sering dikejutkan terbongkarnya kasus pajak karena membayar lebih ternyata kurang. Ini sudah mengejala bahkan banyak pihak yang mengatakan APBN kita bisa menanggung subsidi BBM, jika pajak tidak diselewengkan,”ujarnya. Pendekatan pajak sekarang ini ada dua, pertama wajib pajak melapor karena dia menganggap ketika mendapatkan kartu identitas pajak, pihaknya mendapatkan kemudahan seperti tidak perlu membayar fiskal ketika keluar negeri dan sebagainya. Apapun juga dikaitkan dengan kartu wajib pajaknya yang paling penting kejujurannya. Menurutnya, pemerintah bisa melakukan sistem satu pintu, misal-
nya saja dengan sistem standarisasi dimana para wajib pajak dapat mengisi online dan mendapatkan total pajak yang dibayar. “Itu dapat menjadi langkah yang bagus dengan memangkas birokrasi yang ada,”katanya. Namun terdapat kendala jika bicara barang maka perlu bukti-bukti otentik dengan cara menggiatkan inspeksi pajaknya. “ini kombinasi dua sistem, orang dipermudah sehingga orang mudah mengkalkulasinya, kemudian inspeksi pajak juga tetap bekerja dia mengetahui persis yang dilaporkan sesuai yang dimiliki sebenarnya. Karena itu DPR meminta instansi pajak atau karyawan pajak tidak main-main dalam hal ini karena mempengaruhi sumber pendapatan nasional,”tegasnya. Saya mengusulkan, perlu ada sanksi hukum yang tegas terhadap penyeleweng pajak. Jadi tidak hanya dimutasi, dipindahkan bahkan dikeluarkan dalam hal ini sanksi administrasi semata tetapi harus dengan cara pemiskinan bagi para tersangka tersebut. “Wacana pemiskinan itu menjadi penting karena menimbulkan efek jera., misal seperti kasus Dhana harus disita betul dan dimiskinkan dan dikembalikan kepada posisi awal. Ini harus dicermati apabila hanya sanksi biasa mereka masih lenggang kangkung,”katanya. Kedua sistem sindikat biasanya berjenjang pada sistem birokrasi dan biasanya menggunakan karyawan dibawah sebagai penerima dana yang tentunya akan menyetor keatasannya. “Jadi tidak hanya stop kepada orang tersebut tetapi sumbernya yang memperoleh kue yang besar. Harus disikat habis karena ini sudah menjadi wabah dan tidak mudah menjadikan pengemplang pajak dan penghitung pajak bila menyeleweng jadikan musuh bersama membuat APBN kita kedodoran. Sementara Ketua panitia kerja (Panja) Mafia Pajak DPR Tjatur Sapto Edy mendesak Kepolisian dan Kejaksaan memprioritaskan pengusutan skandal mafia pajak ‘kakap’. DPR
menyindir kinerja Kepolisian dan Kejaksaan yang hanya berkutat di kasus pajak dengan kerugian keuangan negara miliarian rupiah. “Ada beberapa kasus yang besar yang kita minta Dirjen Pajak untuk menindaklanjuti kasus-kasus itu di internal. Kemudian diproses oleh penegak hukum, tapi kan sampai sekarang mereka jarang memproses pelanggar pajak yang besar. Kalau hanya fokus di kasus DW (Dhana Widyatmika), itu
kecil,” kata Tjatur Menurutnya upaya pemberantasan korupsi di sektor pajak harus ditunjukkan dengan komitmen penegakan hukum. “Kasus DW dan Gayus itu masih level anak buah, sementara proses hukum untuk atasan mereka mandek termasuk perusahaan besar wajib pajak yang menunggak dengan cara kongkalikong di Ditjen Pajak. Ini harus segera diselesaikan,” terangnya. (si/iw)
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 90 TH. XLII, 2012 |
59
LIPUTAN KHUSUS
Fit And Proper Test BPK
INTEGRITAS DAN KEJUJURAN,
Modal Pimpin BPK RI
60
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
I
ntegritas, kejujuran maupun track record seorang calon anggota BPK menjadi point penting bagi seseorang yang ingin mendaftar menjadi anggota BPK. Sebelumnya uji kelayakan dan kepatutan diikuti oleh 35 calon untuk mencari pengganti Wakil BPK Herman Widyananda yang wafat tahun lalu, dan anggota BPK Sapto Amal Damandari. Dari 35 calon ternyata mengundurkan diri dua orang yaitu mantan Kepala BPH Migas Tubagus Haryono mundur, dan Nursanita Nasution juga menyatakan mundur jadi calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kini sisa calon anggota tinggal 33 orang. “Tadinya memang ada 35 orang, Pengunduran dirinya tersebut karena belum dua tahun sebagai kuasa badan anggaran, terkait masa jabatannya sebagai kepala BPH migas,” jelas Wakil ketua Harry Azhar Azis kepada parle. Menurut Harry, Kriteria yang diharapkan dari dua anggota BPK nantinya, berdasarkan kriteria-kriteria undang-undang secara khusus yakni harus lulus secara track record. Kemudian harus lulus tentang kompetensi
secara proporsional, serta integritas diri yang menjadi bahan pertimbangan komisi XI untuk memilih dua anggota BPK. “Ketika calon yang terpilih ternyata dari golongan partai maka mereka harus meninggalkan partainya, sebelum terpilih mereka masih boleh mengikuti partainya,” pungkas Harry. Ke-33 orang tersebut mendapat cecaran pertanyaan dari Komisi XI DPR, mulai pertanyaan kemampuan menganalisa, integritas, kejujuran bahkan kapasitas dari calon diteliti sedemikian rupa oleh anggota Komisi XI DPR. Guna mendapatkan dua nama anggota BPK yang mumpuni, DPR melakukan rapat secara marathon sehingga diharapkan mendapatkan calon yang sesuai harapan masyarakat Indonesia. Rapat fit and proper test calon anggota BPK, dimulai dari tanggal 22-29 Februari 2012, masing-masing calon berusaha memaparkan programnya kepada seluruh anggota Komisi XI DPR. Ada beberapa calon yang memiliki program menarik misalnya saja, auditor Utama KN II BPK Syafri Adnan
Ketua Komisi XI DPR RI Emir Moeis saat memimpin fit and proper test calon Anggota BPK RI
Badaruddin yang berjanji akan mengaudit semua anggaran pada kinerja berjalan jika terpilih sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) “Saya akan bekerja semaksimal mungkin jika menjadi anggota BPK, salah satunya mengaudit semua anggaran pada kinerja yang berjalan nantinya,” ujarnya saat mengikuti pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan anggota BPK di Gedung DPR. Menurutnya, dari sekitar 4.0005.000 auditor yang dimiliki Indonesia saat ini, yang mempunyai kualifikasi untuk audit kinerja hanya sekitar 350 auditor. “Jadi nantinya kita tingkatkan terus sampai tahun 2015 sekitar 1.700 auditor,”paparnya. Namun meskipun dianggap memiliki pengalaman kerja yang mumpuni ternyata Syafri masih belum cukup menarik perhatian anggota Komisi XI DPR untuk dipilih, akhirnya berdasarkan rapat internal Komisi XI DPR dipilihlah dua orang anggota yaitu Sapto Amal Damandari dan Agung Firman Sampurna sebagai anggota BPK RI Periode 2012-2017.
Persetujuan Paripurna
Pada Rapat Paripurna, kedua nama tersebut akhirnya dibacakan oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Achsanul Qosasih terkait materi Paripurna pembahasan pencalonan dan pemilihan Anggota BPK periode 2012-2017 untuk dimintakan persetujuan Paripurna DPR RI. Achsanul mengatakan, berdasarkan keputusan rapat Badan Musyawarah DPR RI, Komisi XI DPR diberikan tugas untuk membahas pencalonan anggota BPK RI dalam rangka menindaklanjuti Surat Ketua BPK No.174/S/I/09/2011 tertanggal 15 September 2011 perihal Penggantian Antar Waktu dan pemberitahuan berakhirnya masa jabatan anggota BPK. Komisi XI DPR juga telah melakukan uji kelayakan kepada 33 calon anggota BPK. Selanjutnya dalam rapat internal Komisi XI pada 7 Maret 2012, dilakukan pengambilan keputusan melalui pemungutan suara (voting).
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
61
LIPUTAN KHUSUS
Pimpinan DPR RI Marzuki Alie dan Pramono Anung bersama dua anggota BPK RI Sapto Amal Damandari (paling kanan) dan Agung Firman Sampurna
Dalam voting tersebut, lanjut Achsanul ada enam kandidat yang berhasil mendapat dukungan suara yaitu Sapto Amal Damandari dengan 34 suara, Agung Firman Sampurna mendapat 28 suara, Syafri A. Baharuddin memperoleh 24 suara, Parwito memperoleh 24 suara, Dharma Bakti mendapat 1 suara, dan Agus Purwanto mendapat 1 suara. Berdasarkan hasil tersebut, Komisi XI menyepakati bahwa kandidat dengan perolehan suara terbanyak pertama dan kedua yang terpilih menjadi Anggota BPK periode 2012-2017. Seperti diketahui, dua anggota BPK yang baru tersebut akan menempati dua posisi kosong di BPK pada Mei 2012 mendatang. Pertama, posisi sebagai Anggota III BPK yang membidangi mengenai Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Bidang Lembaga Negara, Kesejahteraan Rakyat, Kesekretariatan Negara, Aparatur Negara, Riset dan Teknologi yang saat ini masih dirangkap oleh Wakil Ketua BPK, Hasan Bisri.
62
Kedua, posisi sebagai Anggota V BPK yang membidangi Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Daerah dan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan pada Wilayah I
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
(Sumatera dan Jawa). Posisi ini sebelumnya diisi oleh Sapto Amal Damandari yang akan berakhir masa tugasnya pada Mei mendatang. (si) ***
suasana fit and proper test calon Anggota BPK RI
SELEBRITIS
Tiya Diran
Sampai Sekarang Belum Tergoda
S
etiap acara kenegaraan yang dihadiri Presiden atau tamu mancanegara hampir selalu dipastikan disitu ada Tiya Diran sebagai master of ceremony. Master sebuah acara pastinya tokoh kunci, itulah sebabnya penyiar TVRI berkulit hitam manis ini selalu tampil total, mulai dari memeriksa kesiapan sound system, membangun komunikasi dengan tim pendukung acara dan tentu gladi bersih yang benar-benar bersih. “Keberhasilan sebuah acara tergantung bagaimana persiapan termasuk komunikasi yang terbangun diantara seluruh tim pendukung,” kata Tiya disela-sela gladi bersih pembukaan Konferensi Parlemen Anggota OKI (PUIC) di Palembang, Sumsel, beberapa waktu lalu. Beberapa kali ia terlihat bicara dengan sound engineer agar output dari pengeras suaranya bisa lebih baik. Senyum selalu mengambang dari bibirnya ketika memberikan aba-aba kepada petugas gladi bersih. Beberapa kali ia harus mengulang komando dengan intonasi yang tetap terjaga, tidak ada kesan kesal dari nada suaranya. MC pada Konferensi Internasional PUIC yang dihadiri Presiden SBY, Sekjen OKI, Ketua DPR dan anggota parlemen dari 45 negara Islam adalah salah satu acara resmi kenegaraan yang berhasil dipandunya dengan baik. Daftar lainnya tentu masih panjang diantaranya acara Presidential Lectures di Istana Negara dengan pembicara antara lain, Sekjen PBB Koffi Annan (2010), Prince of Wales (2008), Asean – Uni Eropa Business Summit, World Geothermal Energy Congress. Penggemar jagoan banyak akal Indiana Jones ini ternyata tidak hanya
Tiya Diran piawai menjadi MC tetapi juga menjadi penerjemah berkesinambungan – simultaneous interpreter. Kebisaan ini telah mengantarnya keliling dunia pada acara-acara besar seperti G 20 Summit di Korea, KTT APEC di Jepang, Google’s SAVE di Irlandia atau Million Dollar Round Table di Atlanta, Georgia, USA. Menjadi seorang MC baginya
adalah seni mengendalikan diri. Salah satu pengalaman paling berkesan dan menegangkan yang pernah dialaminya adalah pada saat menjadi MC kenegaraan acara penganugerahan Democracy Award di Grand Hyatt, Bali. Acara yang dihadiri Presiden SBY dan tamu-tamu penting lain yang sudah berjalan beberapa waktu sontak terhenti. Apa pasal..., mati lampu.
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 63
SELEBRITIS
Tiya Diran bersama rekan penyiar TVRI
Ballroom yang terletak di basement itu gelap gulita selama lebih kurang 2 menit. Panitia penyelenggara panik, ge-
Tiya Diran bersama Presiden Timor Leste
64
Tiya Diran bersama Ibu Any Yudhoyono
nerator yang seharusnya bisa cepat berfungsi ternyata mogok. Ditengah remang cahaya lampu darurat ketua panitia dengan terbata-bata meminta maaf dan mencoba menjelaskan kepada Presiden SBY dan hadirin bahwa upaya perbaikan saat ini tengah berlangsung. K e t i k a akhirnya lampu menyala kembali Tiya segera memutar otak mencari kata pembuka untuk mencairkan suasana yang terlanjur beku. “Saya bilang, Pak Presiden mati lampu tadi disengaja, seperti buku
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
ibu Kartini habis gelap terbitlah terang. Demikian pula acara penghargaan Democracy Award ini seakan memperlihatkan perjalanan demokrasi Indonesia yang harus melewati lorong gelap terlebih dahulu dan kemudian sampai pada satu titik munculnya sinar, itulah saat penghargaan bagi demokrasi kita.” Hadirin bertepuk tangan, kebekuan cair kembali. Alumni Lester B. Pearson College, Canada ini memang serba bisa, ibarat kata santai bisa resmi juga boleh. Baginya humor penting dalam melewati tantangan demi tantangan kehidupan, ini berhasil dibawakannya dengan renyah di panggung MC dalam porsi wajar sehingga tidak merusak hakekat utama sebuah acara. Pilihan kata, intonasi, kostum yang tepat membuat acara resmi yang dipandunya mengalir, jauh dari bosan atau kaku. Tampil di banyak acara kenegaraan pastinya banyak menarik perhatian pejabat baik di pusat maupun di daerah sehingga menambah jam terbang Tiya sebagai MC lintas provinsi. Seperti minggu lalu ia diundang khusus seorang bupati untuk membawakan satu acara didaerahnya. Honornya pasti tinggi dong?. Ia tergelak sambil
mengelak. “Pastinya ada tarif, alhamdulillah kalau yang ngundang mau mengikuti itu.” Wanita kelahiran 23 November ini kembali terbahak ketika ditanya berapa tarif ngemsi kalau yang mengundang anggota DPR. “Wakil kita di DPR pasti ada yang kaya juga kan.. tapi saya juga punya banyak teman, kalau teman cincailah haha..,” imbuh pembawa acara upacara pembukaan Sea Games XXVI Palembang bersama Tantowi Yahya yang juga anggota Komisi I DPR RI. “Uang penting tapi bekerja tidak selalu untuk uang-kan, saya juga sering mendukung acaraacara sosial.”
TVRI dan UU Penyiaran
Menjadi MC papan atas tidak membuat Tiya Diran melupakan akarnya TVRI, stasiun televisi plat merah yang sudah digelutinya sejak tahun 1985. “Aku harus mengakui TVRI-lah yang pertama kali membesarkan aku, dimulai dengan jadi penyiar tahun 1985, sekarang tetap di TVRI walaupun godaan banyak untuk pergi. Bagi aku TVRI tetap dihati dan tidak pernah tergoda pindah kelain hati.” jelasnya sambil kembali tersenyum, deretan gigi putih mempertegas pesona seorang Tiya. Cerita kemudian mengalir tentang kondisi televisi tertua di republik yang diibaratkan bagai kapal besar, penuh penumpang yang semakin sulit bergerak. Dinamika bangsa inilah yang membuat TVRI merana. Era orde baru ketika mereka masih muda bergairah, kreativitas adalah tabu. Mereka bekerja tapi dengan tangan diikat. Mendadak sontak orde baru tumbang, muncullah era reformasi. Tangan terikat dilepas tapi mereka kemudian langsung disuruh lomba lari sprint dengan stasiun televisi baru ditingkat nasional maupun lokal. “Kita jelas terseok, TV swasta muncul dengan modal besar, SDM fresh graduate dengan tenaga penuh. Sementara TVRI yang seakan baru lepas kungkungan mana mungkin bisa berlari dengan tenaga dan dana yang
dibatasi,” keluhnya. UU Penyiaran memberi TVRI peran baru menjadi Lembaga Penyiaran Publik. Ini menjadi nafas baru, namun ternyata belum cukup karena tidak didukung peningkatan anggaran untuk memproduksi program siaran berkualitas. Tiya Diran berharap revisi UU Penyiaran yang sedang digarap Komisi I DPR RI dapat kembali mendorong kebangkitan stasiun televisi milik bangsa ini. Peran TV Publik menurutnya patut dipertahankan, karena masyarakat saat ini sangat memerlukan stasiun televisi penyeimbang ditengah pesatnya perkembangan TV Swasta yang notabene dimiliki segelintir pengusaha yang membawa misi kelompok atau partai politik tertentu. “Posisi publik sudah pas, kita menjadi televisi penyeimbang memberi
pilihan pada masyarakat. Swasta kebanyakan dimiliki individu dengan kepentingan tertentu, seperti partai politik dan sebagainya. TVRI berada ditengah, indenpen, bukan kepanjangan pemerintah, bukan pula kelompok tertentu seperti parpol,” urainya. Kedekatan dengan tokoh parpol membuat Tiya juga tidak luput dari godaan untuk terjun berpolitik praktis. Namun sejauh ini ia masih mampu bertahan dengan profesi yang sudah terlanjur dicintainya. “Saya lebih suka freelance, bebas tidak terikat. Banyak yang udah dorong-dorong tapi tetep gak mau, tak tergoda. Saya ngemsi aja, penterjemah, sampai kapan?... sampai gak laku lagi kali ya,” katanya, kali ini kembali diiringi derai tawa ceria. (iky) ***
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
65
PERNIK
Taman DPR
Kawasan Hijau Sekaligus Area Penyerapan Air
Gedung DPR yang mempunyai nilai arsistik yang cukup tinggiini merupakan salah satu gedung yang bersejarah di Indonesia.
Salah satu taman di sekitar kawasan Gedung DPR RI
G
edung ini dirancang dan dibangun antara lain oleh Ir. Soejoedi dan Ir. Soetami serta ratusan armada semut, armada muda dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi teknik yang ada di Indonesia, yang bergotong-royong dengan puluhan tenaga senior dari berbagai macam departemen, instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta. Kepala Sub Bagian Halaman Akhmad mengatakan, bahwa kawasan komplek tersebut sekarang sudah menjadi salah satu obyek wisata penting dan juga mendapat perhatian yang cukup tinggi di Jakarta. Luas lahan yang mencapai 38 Ha menjadi-
kan kawasan komplek perkantoran para wakil rakyat ini juga dijadikan sebagai kawasan yang memiliki fungsi penyerapan air yang cukup tinggi bagi lingkungan perkantoran di sekitar Senayan. Akhmad mengemukakan, pohonpohon yang ada disekitar kawasan komplek ini cukup tinggi dan besarbesar dan cukup rindang yang hampir merata keseluruh lahan kosong di kawasan komplek senayan ini menjadikan kawasan ini sebagai tempat yang nyaman dan membawa ketenangan untuk beraktifitas. Sebagai tempat yang cukup representasi dari pengayoman mereka
66 | PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
yang akan menyampaikan aspirasi masyarakatnya, kawasan komplek gedung ini selalu terbuka untuk semua kalangan masyarakat, baik yang ingin menyampaikan aspirasi, wisata, study tour, penelitian bahkan juga sangat terbuka bagi masyarakat. Akhmad juga menambahkan, taman yang ada dilokasi komplek perkantoran ini selain dijadikan fungsi daerah penyerapan air, juga merupakan kawasan yang dapat membuat suatu keindahan dan membawa kesejukan tersendiri bagi para karyawan dan karyawati Setjen MPR/DPR dan DPD serta para pengemudi maupun para anggota Dewan, juga para pen-
gunjung yang sengaja datang ke gedung Dewan ini. Menurut petugas pertamanan Setjen DPR staf Abd Haris mengengemukankan, bahwa taman yang ada di lokasi ini di bagi dua zona, zona pertama di depan gedungMPR/DPR/DPD, sedangkan zona ke dua yang ada dibelakang gedung, sementara luas taman yang ada di gedung Dewan ini adalah 20 persen dari sisa bangunan yang luas lahannya mencapai kurang lebih 38 hektare. Abd Haris selaku koordinator petugas taman dan halaman yang kesehariannya mengurus taman dan halam tersebut menambahkan, bahwa petugas yang setiap hari merawat taman dikelola oleh pihak ke tiga yaitu dikelola oleh dua perusahaan Perseroan Terbatas (PT) dengan jumlah petugas kurang lebih 100 orang pertugas yang setiap harinya. Petugas taman yang berasal dari asli Betawi ini juga menjelasakan
bahwa dari 100 orang karyawan yang mengelola taman ini juga ada daftar piketnya yang dilakukan setiap hari libur biasa maupun libur besar seperti hari raya idul adha maupun hari raya idul fitri, setiap kali piket sebanyak dua orang setiap bertugas piket. Selain taman out door juga ada taman in door, taman in door biasa-nya tanaman yang ditanam didalam sebuah pot, dan tanaman ini ditempatkan di ruangan-ruangan pimpinan Dewan, Pimpinan Komisi dan juga diruangan Pimpinan Fraksi atau ditempatkan dilorong-lorong diseluruh gedung ini. Abd. Haris lelaki yang setiap hari menggeluti taman ini juga me-
Kepala Sub Bagian Halaman Akhmad
ngatakan, bahwa tanaman yang ada dilokasi sekitar gedung ini bermacam-macam jenis dari tanaman perdu sampai tanaman pohon besa,r disana ada beberapa jenisnyang ber-
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
67
POJOK PARLE
bunga seperti soka, bougenvil, evorbia, merak, melati, mawar, jasmin, melati rombusta, rosanda, rowelia, asalea, hujan mas, pisang lady, aliris, bromolia, oliander lambago dan masih banyak lagi yang tidak disebutkan jenisnya. Ada juga beberapa jenis pohon atau tanaman yang berfungsi sebagai pohon pelindung seperti palm anggur, palm ponix, palm raja, palm kuning, palm jepang, palm tupai, dan juga palm putri, ada juga jenis tanaman yang ditanam sebagai pelindung sekaligus sebagai penghias, seperti pandan bali, pandan afrika, pandan sugi braziliz, aliria dan juga agave parigata, meranti, ekor kuda, dan sanse veira. Sementara pohon besar sebagai pohon pelindung yang dinama di taman gedung Dewan ini juga banyak jenisnya seperti, mahoni, jati, akasia, kelapa sawit, salam, kupu-kupu, ketapang tingkat, ketapang col, tanjung,
68
angsana, satu tangan, bungur, kayu putih, glondongan tiang, samania saman, mundu, kabu buya, petai, damar lautkayu manis, sepatu dea, perdamaian, dadap merah, cemara lilin, juga masih banyak lagi yang tidak disebutkan disini. Aris mengatakan ada jenis pohon kelapa yang berada didepan gedung Utama DPR yang berjumlah 7 pohon tersebut, apabila pohon kelapa tersebut ada yang mati, itu segera dicarikan penggantinya, itu yang selalu mendapat perhatian secara khusus entah kenapa pohon kelapa tersebut mendapat perhatian dan perawatan khusus dari pada tanaman yang lainnya. Rumput-rumput yang ditanam ditaman ini juga beragam jenisnya seperti rumput gajah, rumpaut jepang, rumput manila, rumput gapes mini sementara rumput-rumput liar juga tumbuh dikawan ini dan semua ditata dengan apik dan cukup indah
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
dipandang mata. Mesin atau alat potong rumput yang digunakan oleh para petugas yang merawat rumput dan tanaman hias yang ada di komplek perkantoran ini, mereka menggunakan mesin jenis Beaver dan Rover dorong juga ada mesing gendong yang dipergunakan oleh para petugas potong rumput. Jenis pohon yang berbuah juga ditanam seperti mangga, nangka, rambutan, jamblang, matoa, buni, jeruk bali, sawo jawa, sawo duren, sawo kecik, jambu biji, jambu air, sirsak, asem jawa, belimbing, kelapa, bisbol, rukem, kurma, teen, juga masih banyah pohon buah lagi yang belum disebutkan. Aris juga mengeluhkan tentang kendala yang selama ini dihadapai apabila sudah memasuki musim kemarau, air sangat susah didapat untuk menyiram tanaman yang ada, sementara air pam yang ada dilokasi gedung tidak terpenuhi untuk diper-
gunakan menyiram tanaman, sedangkan tanaman harus disiram setiap hari tiga kali. Air yang dipergunakan untuk menyiram adalah air tanah yang diambil dari sumur yang dibuat, namun hingga saat ini air sumur juga belum memadai, dia mengatakan semestinya sumur yang ada dilokasi taman ini kuranag lebih 20 pompa air tanah, namun pompa air tanah yang ada hingga saat ini cuma ada 5 pompa, maka dia meminta agar segera dibuatkan sumur tambahan agar nanti di musim kemarau tanaman dapat tersiran dengan merata, imbuhnya. Dia juga mengeluhkan dengan adanya piaraan rusa yang ada dilokasi taman yang semua hanya berjumlah 25 ekor, namun dengan populasi yang cepat berkembang biaknya dan sekarang rusa-rusa tersebut sudah mencapai kurang lebih 70 ekor, itu juga memerlukan tanaman rumput yang segar dan memadai, mengingat rumput-rumput yang ada dilokasi rusa sudah ludes habis disikat
oleh kawanan rusa. Sementara rusa-rusa yang ada dilokasi tersebut sementara diberi makan selain rumput juga diberi makan, sayur-saturan, seperti ubi jalar, wortel, serta dicampuri dedek
dengan garam, juga masih diberitambahan obat-obatan berupa vitamin, rusa-rusa tersebut diberi makan sehati tiga kali pagi siang siang dan sori hariserta air minum yang cukup, kata Aris. (Spy).
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
69
POJOK PARLE
“Hidup Penderitaan Rakyat” DPR RI sudah sering kali menggelar Rapat Paripurna. Namun berbeda dengan Rapat Paripurna yang diselenggarakan pada hari Jum’at, 30 Maret lalu, Rapat kali ini menjadi hari yang penuh dinantikan segenap bangsa Indonesia.
B
etapa tidak, rapat kali ini salah satu agendanya akan mengesahkan APBN-Perubahan 2012 yang memulai pembahasannya sejak sebulan lalu akibat adanya peningkatan harga minyak dunia. Jadi rapat kali ini juga memutuskan : jadi tidaknya BBM bersubsidi dinaikkan per 1 April 2012. Suasana pagi itu di gedung Parlemen tampak berbeda dari hari-hari biasanya. Mobil-mobil van dari stasiun-stasiun TV swasta sudah mulai memasang peralatannya sehari sebelum acara dimulai. Kesibukan itu tidak hanya terlihat bagi insan Pers, tapi segenap regu pengamanan baik dari jajaran TNI maupun Polri tampak sudah siaga mengamankan jalannya rapat pari-
purna. Selain mengesahkan APBN-P 2012, sidang juga mengagendakan dua acara lainnya diantaranya Penetapan Tata Cara Penyusunan Prolegnas. Dua agenda rapat ini berjalan mulus tidak menghabiskan waktu yang begitu lama. Dan agenda pengesahan APBN-P 2012 baru dimulai pada pukul 14.30. Pimpinan Rapat mempersilahkan masing-masing Fraksi menyampaikan pendapatnya terkait dengan kenaikan BBM. Selama berlangsungnya rapat, hujan interupsi mewarnai jalannya sidang paripurna. Fraksi PPP mengusulkan kenaikan harga BBM dilakukan apabila harga minyak internasional sebesar 10 persen diatas asumsi harga minyak
Suasana Rapat Paripurna bahas kenaikan BBM, 30 Maret 2012
70
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
dalam APBN-P 2012. “PPP meyakini kemampuan masyarakat yang masih kesulitan, untuk itu Fraksi PPP menghimbau agar ditunda sampai kondisi riil masyarakat siap,” ujar anggota DPR dari Fraksi PPP Romihurmuzy Menurut Romi, PPP yakin pemerintah mampu menganalisis harga minyak dunia sesuai konteks mikro dan makro ekonomi karena itu kita menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah terkait kenaikan harga BBM. Setelah F-PKB dan F-PAN, giliran F-PKS menyampaikan pendapat fraksinya yang disampaikan Abdul Hakim. Abdul Hakim membuka dengan kata : Assalamualikum dilanjutkan dengan salam yang sering dikumandangkan F-PDI Perjuangan “merdeka”. Ternyata salam itu tidak berhenti sampai di situ, Abdul Hakim dengan suara lantang melanjutkan lagi dengan “Hidup Penderitaan Rakyat”. Mendengar salam yang diucapkan Abdul Hakim, mendadak pecahlah tawa seisi ruang rapat paripurna. Seiisi
gedung yang penuh sesak mendadak bergumuruh suara dan tawa yang mengikuti sidang. Terdengar celetukan-celetukan kecil dari anggota yang lain :” Pak Hakim……… rakyat itu sudah sengsara, jangan lagi Hidup penderitaan rakyat,” kata anggota yang mengomentari. Anggota lainnya ada yang menimpali :” rakyat sudah menderita Pak Hakim ……… gimana mau hidup,” tambah anggota yang mengomentari berikutnya. Ternyata yang mengomentari tidak hanya dari anggota, wartawan yang memadati balkon pun berceletuk :” Bapak………. Jangan kelewat semangat dong jangan-jangan yang dimaksud Hidup Rakyat !
Demo BBM di depan Gedung DPR RI
Tidak salah juga jika F-PKS terlalu bersemangat, karena selaian F-PDI Perjuangan, Fraksi Gerindra dan Fraksi Hanura, F-PKS juga menolak kenaikan BBM . Fraksi PKS mengatakan. agar harga BBM subsidi dinaikkan pemerintah apabila harga minyak internasional naik 20% di atas asumsi harga minyak dalam APBN-P 2012. Rapat sempat mengalami skors pada pukul 16.30 untuk memberikan kesempatan kepada fraksi untuk melakukan lobi. Skors kemudian dicabut pada pukul 22.30, namun sempat mengalami penundaan selama
Abdul Hakim Anggota dari F-PKS
10 menit menunggu kehadiran fraksi PDI-Perjuangan yang belum hadir di ruang rapat. Rapat kemudian dibuka lagi pada pukul 22.45. Rapat yang berakhir pada pukul 01.00 dini hari mengambil keputusan untuk menunda kenaikan harga BBM bersubsidi serta memungkinkan adanya penyesuaian apabila harga rata-rata minyak mentah mengalami deviasi lebih 15 persen dalam enam bulan terakhir. Hasil final Rapat Paripurna ini sejenak melegakan seluruh masyarakat Indonesia, setelah dari pagi hingga malam hari aksi demo mewarnai jalannya sidang paripurna. (tt)
Suasana Rapat Paripurna bahas kenaikan BBM
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
71
POJOK PARLE
72
| PARLEMENTARIA | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |