Edisi I September 2011
ecubung K
Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
Kecubung: Biar aku mabuk biji-biji aksara
(Timur Budi Raja) Membangun Puisi Dari Masyarakat Yang Mencemaskan (Irfa Ronaboyd) Mati Lampu (Firman G. Akhmadi) Era Teknologi Informasi dan Posisi Kebudayaan Puisi dari : Pipit Viandani, Ardiansyah DZ, Ristiana Ekawati, Ilham Hidayatullah, Asmail husana Haslah Ghinan Salman
Cerpen dari : Anik Rohitah Sukarman
Salam Redaksi Salam Pers Mahasiswa! Setelah melewati proses yang cukup pelik, diskusi panjang, akhirnya gagasan tentang buletin sastra ini terbit mengabarkan semangat untuk melakukan sesuatu perubahan dan keinginan berbagi kepada khalayak lewat media belajar kami – Buletin Sastra Kecubung. Media ini merupakan ajang penampung karya sastra bagi kami dan mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura, yang difasilitasi oleh UKM LPM Spirit Mahasiswa. Buletin Sastra Kecubung ini tidak diedarkan dengan versi cetak. Hal ini dikarenakan terbatasnya pendanaan yang ada. Sehingga kami hanya edarkan pada versi PDF. Karena seiring perkembangan di dunia Pers Kampus di berbagai tempat di indonesia sudah merambah dalam tataran sastra, untuk itu kami tidak ingin kalah dan berjuang semampu kita. Sekalipun masih belum menerbitkan versi cetaknya. Media ini juga merupakan tugas bagi kami calon anggota LPM SM yang masih menjalani proses pra diklat. Barangkali kami memang belum faham benar tentang kesusastraan itu seperti apa, dan kami harapkan untuk bisa memakluminya. Tapi setidaknya, kami ingin berbagi tentang apa yang sudah kami dapatkan dan pelajari bersama melalui tulisan, melalui buku-buku bermutu serta pelajaran-pelajaran membaca alam, situasi, keadaan dan lingkup kehidupan yang berada saat ini. Kami sadar bahwa kami belum mampu memberikan apa-apa terhadap dunia kesusastraan. Dunia yang menawarkan nilai-nilai kesadaran sebagai manusia dan keindahan. Barangkali ini hanya persoalan waktu saja. Kami akan terus memperkaya diri agar mampu m e m b e r i ka n s u g u h a n ya n g m e n a r i k d e n ga n menumbuhkembangkan ilmu dan wawasan-wawasan
baru tentunya. Hal yang menjadi pertanyaan besar adalah: mengapa harus muncul buletin sastra di Universitas Trunojoyo Madura? Alasan yang cukup mendasar yang bisa kami ajukan sebagai jawaban adalah begitu banyak para penulis kreatif muda di Universitas Trunojoyo Madura yang tidak memiliki ruang untuk menampung karya-karya mereka. Maka, kami disini ingin mengajak dan memberi ruang serta kebebasan berekspresi kepada teman-teman yang gemar menulis. Sehingga para penulis muda ini, tentunya dapat memberikan nafas baru terhadap dunia kesusastraan dan ikut meramaikan serta mewarnai hingar bingar di dunia kesusastraan Indonesia. Kemudian mampu membuat suatu perubahan terhadap bangsa melalui kreatifitas dan semangat mereka dalam bentuk tulisan yang membangun. Buletin Sastra Kecubung ini terbit atas dasar keprihatinan terhadap keadaan bangsa yang semakin tenggelam dan larut dalam keterpurukan yang mendalam. Di samping itu, kesadaran akan dibutuhkannya wadah yang bisa menampung karya kami. Kami sepakat bahwa generasi muda para penulis kreatif ini mampu membawa dan membangun bangsa ini lewat tulisan dan tangan-tangan kreatif mereka. Semoga “Buletin Sastra Kecubung” ini mampu memberikan motivasi kepada para pembaca dan menaruh harapan besar serta jawaban atas keraguan terhadap bangsa. Demikianlah Buletin Sastra Kecubung edisi Pertama. Selamat membaca. Salam Pers mahasiswa! (Pimred)
Susunan Redaksi: Pimpinan Umum: Irfa Ronaboyd, Pimred: Ghinan Salman Redaktur Senior: Citra D. Vresti T. Redaktur: Ardiansyah DZ., Ristiana Ekawati, Ilham Hidayatullah, Pipit Viandani.Sukarman, Anik Rohitah, Febriyanti Mandasari, Editor: Kang Rori Ilustrator: Ketoles Layouter: Firman G. Akhmadi. Redaksi Buletin Sastra Kecubung Menerima Tulisan dari Pembaca Silahkan Kirimkan ke Kantor Redaksi atau melalui e-mail:
[email protected]. dengan subject: sastra kecubung.
|01
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
SAJAK Rintihan Hati Senja akhiri ceritamu Aku tak sanggup lagi mendengarnya Sandiwara yang bersemayam di balik awan kelam Runtuhkan segala tunas harapan jiwaku Hari ini batu, gunung di tanganku hancur remuk tak berbentuk Bendera di tubuhku Dari selembar, Tiga kata Dan sampai berkata lembar, Di samping rembulan, Aku jantan yang di paksakan
Yang ada hanya bekas cerita terkubur dalam tanah tempat aku meneteskan air mata Hari ini, selembar surat cintaku Hilang lenyap belum sempat terbaca Hanya cahaya suram mengelilingi langkah-langkah malam Beritakan tentang kabar ketidak pastian Menggugurkan impian dan kenyataan dari
Dahan tanggal Senja yang tak dibaca di balik mata Jelata kota, Adalah akar yang tak bercerita tentang teriknya Angin, matahari, dan debu-debu Sampai mengering, Sebagai belati menikam nyawa Tetapi rerantingnya, Manusia itu nenek moyangmu Hujan pun turun; Kompas yang tak menyimpan rahasia Jalan-jalan ramai, Bahkan cibiran kota menjadi guru Yang lebih mulia, hingga saatnya tak terhitung Sebagai darah yang congkak, Mengering dan tanggal
harapan yang pernah aku lukiskan SEMANGATKU Disini ku menginjakkan kaki Di kehidupan yang tak tentu arah Dan saat ini ku coba melangkah memacu keberanianku menatap masa depan Takkan ku biarkan waktu memperbudakku dengan kesenangan yang meracuni dan membuatku gugur tertindih dosa dosa yang belum tentu sanggup ku tebus bahkan kelak, sekarang, atau hari ini perubahan yang terbaik yang biasa ku lakukan demi cita-cita sudah telalu lama aku terlena akan kepalsuan
Bangkalan, 2011 Ardiansyah DZ, mahasiswa baru di jurusan Ilmu Komunikasi, Fisib.
dunia dan saatnya aku bangkit, menegakkan kepala menatap kearah matahari pintu-pintu telah menantiku … Ristiana Ekawati, penulis adalah mahasiswa baru
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
di jurusan Sastra Inggris, Fisib.
|02
SAJAK Persepsi terbuka Pandangan sesuatu yang mutlak Mengenai apa yang dilihat dan dirasakan Buta dan tuli, dua kata yang menjadi sosok kelemahan Gagasan yang menjadi tolak ukur sebuah hidup Jika mata melihat, hati merasakan, dan otak berpikir Alam adalah pembelajaran di antara mereka yang bersahabat erat dengan kesejukan Namun tak banyak yang sadar Memandang banyak manusia yang tak lebih baik dari alam Yang tak berilmu dan memuakkan Hanya senyum satu yang pantas sebagai simbol dari itu semua Pipit Viandani, penulis adalah mahasiswa baru di jurusan Sastra Inggris.
Sajak kotor Setiap kerak malam datang Aku tertimbun sampah Dengan tahi-tahi menjijikkan Dan antek-antek rujak cingur Yang diurap dengan buah segar Tanpa mengetahui, Air kesegaran yang suci.
Berkabung Pagi ini tak seperti biasa; sendu Awan kelabu berarak Lagu sendu melambai Gelombang manusia berjubah hitam berjalan, namun aneh
Andai kau tahu kawan, Tahi itu merasuk di hatiku Dan sampah itu, Merasuk kekedalaman otak Dan kau tahu? Antek-antek rujak cingur yang berbuah busuk itu Sudah menjalar Bak air keruh yang berjalan
Di tengah berkabung seperti ini, gerombolan itu masih saja nenteng parsel berisi buah Karangan bunga musnah Harum bunga kematian mereka abaikan Diatas keranda sang mayat terdiam dalam takdirnya
Dimana letak pemandian suci itu Aku ingin kesana Membersihkan sedikit tubuhku Yang telah terlalu kotor ini.
Bangkalan, September 2010
Mati…! Mati…! Mati…!
Asmail husana Haslah Ilham Hidayatullah, Mahasiswa Baru Jurusan Sastra Inggris.
|03
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
Ulasan Puisi Bangunan-Bangunan Emosi Pada Sajak Remaja Citra D. Vresti Trisna Mengapresiasi karya sasta remaja masa transisi ternyata tidak sekedar melakukan apresiasi murni berdasarkan teori kritik sastra semata. Ada halhal yang lebih penting untuk diperhatikan ketika memahami karya mereka, diantaranya: kesabaran dan proses empati. Hal ini sesuai dengan puisi yang akan dibahas dalam edisi perdana buletin Sastra Kecubung ini, dimana buletin ini adalah wahana pembelajaran menulis paling dasar dari calon kader baru LPM Spirit Mahasiswa. Karena puisi bagi remaja adalah karya perdana yang dibuat karena dorongan alamiah psikologis dan kematangan jasmani mereka. Soal tema apa yang akan mereka ambil, itu relatif; cinta, alam, kemiskinan dan tentang orang terdekat mereka. Karya sastra remaja lahir, umumnya bukan karena kesadaran mereka akan kaidah-kaidah yang sifatnya teknis dan teoritis, tapi lebih pada dorongan emosi dan tanggapan spontan dari realitas yang cenderung disampaikan dengan tergesa-gesa. Sehingga remaja terkadang belum memperhatikan pembangunan suasana dan diksi pada puisi-puisinya. Dorongan emosi yang meletup-letup menjadi satu-satunya senjata dalam menyusun konstruksi di sajak-sajak mereka. Bahasa yang dipakai juga tidak lepas dari bahasa sehari-hari. Hanya yang membedakan bahasa yang mereka pakai – agar tulisannya disebut puisi – cenderung memperumit bahasanya dengan segala cara dan diksi yang dipakai untuk mengesankan pencitraan alam. Persoalan lahirnya sebuah sajak pada seseorang – terutama remaja – tidak bisa lepas dari persoalan motif. Meminjam istilah Timur, penyair sekarang dalam menulis sajak sudah dalam tataran niat. Jadi ketika sebuah tulisan itu diniatkan sebagai sajak, maka jadilah ia sajak. Soal tulisan itu sudah memenuhi kaidah yang sudah ditentukan, itu belakangan, niat tetap yang utama. Namun, bagi saya, pendapat Timur merupakan pembatasanpembatasan dalam berkarya. Tidak ada benar dan salah dalam karya sastra. Untuk itu proses memahami
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
begitu penting dalam upaya membangun daya kreativitas remaja dalam memulai aktivitas menulis. Disamping itu, proses berempati menjadi bagian yang sangat penting dalam menikmati karya remaja. Kita harus ingat, tidak ada orang yang bisa serta merta langsung menjadi penyair besar. Mereka pasti memulai dari menulis puisi dengan kadar dan kualitas yang ala kadarnya sebelum menghasilkan karya hebat. Sekarang, mari kita telaah puisi-puisi dari beberapa kawan calon kader LPM SM, diantaranya adalah karya Ristiana Ekawati, Ardiansyah DZ dan Pipit Viandani. Puisi pertama adalah milik Ristiana, “semangatku”, yang menggambarkan suasana keresahan hatinya akan masa depan dan keinginan untuk dapat bangkit dari segala perintang keduniawian. Hal ini nampak dari kalimat: / Disini ku menginjakkan kaki / Di kehidupan yang tak tentu arah / Dan saat ini ku coba melangkah memacu keberanianku menatap masa depan ... / dan saatnya aku bangkit, / menegakkan kepala menatap kearah matahari / pintu-pintu telah menantiku /. Idiom yang dipakai Ristiana Ekawati masih dalam tataran standard, dalam arti masih memakai apa yang dipakai pada umumnya. Pemaparan yang dipakai untuk menjelaskan pesan yang ia sampaikan sangat realis dan ekspresif. Hal ini juga mendukung dengan pesan semangat dan rasa percaya diri, yang kemudian dikemas dengan bahasa yang gamblang. Sedangkan dalam puisi “Rintihan Hati”, masih karya Ristiana Ekawati, sudah mulai merambah dalam ranah metafor. Seperti dalam kalimat: / Sandiwara yang bersemayam di balik awan kelam / Runtuhkan segala tunas harapan jiwaku / Hari ini batu, gunung di tanganku hancur remuk tak berbentuk /. Pada puisi ini menceritakan tentang kekecewaan mendalam penulis terhadap kekasihnya. Proses pembangunan suasana puitik sudah mulai terjadi karena dorongan emosi akibat cinta kerap membuat seseorang menjadi melankolik dan sentimentil pada apapun. Di samping itu, pada proses menangkap realitas dan
|4
Ulasan Puisi membekukannya ke dalam puisi sudah cukup tepat. Namun dramatisasi dan metafor untuk membekukan realitas masih perlu kembali dipelajari. Dalam persoalan puisi, bagi saya, realitas adalah segala-galanya, di samping kemampuan penyair dalam mengolah realitas agar menjadi menarik. Sebuah puisi harus bisa menghadirkan sesuatu yang berbeda – mungkin spirit – yang bisa menjadikan pembacanya menghela napas panjang setelah membaca. Namun penulis juga memiliki tanggung jawab kepada para pembacanya tentang realitas yang dihadirkannya. Seorang penyair harus memanusiakan pembacanya, dalam arti penulis harus bisa memberikan pemahaman bila realitas yang dibawanya itu berangkat dari sesuatu yang real – sekalipun tidak ada aturan yang mengharuskan penulis harus selalu menghadirkan yang real. Menulis puisi atau sajak juga merupakan sebuah jalan untuk mentransformasikan sesuatu; pesan, ide dan gagasannya kepada pembacanya. Multatuli pernah menulis kritik dalam bukunya – Max Havelar – yang menyindir para penyair hanya melakukan pembodohan kepada pembacanya mengenai kecenderungan mengada-ada dalam menulis. Jadi demi mengejar keseimbangan bunyi pada sajak dan cerpennya, penyair rela membodohi pembacanya dengan realitas yang tidak pernah ada, alias dikarangkarang. Seperti dalam sajak Ardiansyah DZ dalam sajaknya “Dahan Tanggal” memiliki tendensi seperti yang pernah disampaikan Multatuli. Namun, ada hal yang menarik dari puisi-puisi Ardiansyah DZ, yakni kemampuannya dalam menyusun serangkaian bangunan puitik dari bahasanya yang akrobatik. Penggunaan metafor yang gelap justru membawa puisi Ardiansyah terjebak diranah absurditas yang mendayu-dayu. Namun, bukan kekayaan khasanah sastra bila dalam puisi-puisi para penyair terseragamkan. Karakter yang kuat juga melekat dalam puisi-puisinya. Artinya, Ardiansyah tidak hanya sekedar membeo untuk menjadi sama dengan karya lainnya. Disamping itu, setiap orang bebas untuk memilih bahasannya sendiri. Lagi pula setiap orang bebas untuk memilih metodenya sendiri dalam menangkap realitasnya. Imajinasi mutlak mengambil
|05
peran dalam pusisi-puisi Ardiansyah, sehingga baris demi baris kalimatnya yang ajaib menjungkir balikkan teori sastra apapun. Ambiguitas bahasa dan kata yang akrobatik pada puisi Andriansyah tercermin dari potongan berikut ini: / Senja yang tak dibaca di balik mata / Adalah akar yang tak bercerita tentang teriknya / Pada penggalan kalimat diatas merupakan keajaiban kata nampak jelas. Logika yang dipakai untuk menggambarkan realitas dalam puisi mereka juga masih terasa sulit untuk dipahami benar maknanya. Jadi makna yang terkandung didalamnya bergantung dari interpretasi pembaca masing-masing. Karena setiap orang berhak memaknai apapun yang mereka baca. Ada perbedaan mendasar antara puisi Ristiana Ekawati – Semangatku – dengan puisi Ardiansyah. Umumnya setiap orang akan saling bersepakat mengenai maksud dari puisinya dibandingkan dengan membaca puisi Ardiansyah. Puisi yang dibawakan Ardiansyah cenderung membawa pertanyaan yang tidak selesai. Sedangkan Pipit Viandani dengan sajaknya “Persepsi terbuka” membawakan nuansa yang berbeda dalam sajak-sajaknya. Puisi pamplet yang membawakan pesan akan kesadaran yang salah dari manusia. Banyak kritik bertebaran di sana; seperti pendewaan gagasan dan ide dan sebuah kesadaran untuk belajar dari alam – salah satu buku terbaik dan terpercaya dalam kehidupan. Segala pandangan dan kritiknya tentang pembelajaran yang baik, disampaikan dengan bangunan yang cukup menarik. Seperti pada kalimat: / Gagasan yang menjadi tolak ukur sebuah hidup / Jika mata melihat, hati merasakan, dan otak berpikir / Alam adalah pembelajaran di antara mereka yang bersahabat erat dengan kesejukan /. Pesan yang disampaikan begitu terang, sekalipun ada beberapa hal yang terburu-buru, yang sebenarnya masih butuh untuk diendapkan lebih lanjut. Membaca puisi Pipit Viandani membuatku teringat akan Almarhum Rendra, penyair besar yang kerap menghadirkan puisi pamplet. Dan yang perlu disayangkan dari Pipit, dalam karyanya, masih dirasa kurang dalam mengolah realitas yang berhasil direkamnya, untuk di tuangkan dalam puisi-puisinya.
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
Essai
MATI LAMPU Oleh Irfa Ronaboyd
Malam menjadi gelap lebih awal. Bintang dan bulan nampak lebih terang. Listrik menjadi padam di sekitar kampus dari sore sampai kembali pagi. Penyebabnya sepele, layang-layang tersangkut penangkal petir pada tiang listrik. Musim dan angin yang mendukung menarik minat masyarakat bermain layang-layang. Semua menyalahkan layanglayang dan orang yang bermain. “Jaman sekarang kok masih ada yang bermain layang-layang” celetuk orang dengan raut kesal. Benar, bila layang-layang adalah usang. Ketika putus tali, dia bergerak sesuai angin bertiup. Kita tahu bila angin selalu berubah dan bergerak. Uni Soviet menjadi pelajaran bagaimana perubahan dan gerak angin tidak dapat ditebak. Layang-layang berubah kehendak. Dulu diminati dan sekarang dicaci. Layang-layang mempunyai sejarah yang panjang. Dia menjadi alat petarungan udara di kala manusia bermimpi terbang. Kemeriahan mengejar layang-layang yang putus memiliki keasyikan tersendiri. Tanpa takut nyangkut di tiang listrik atau tertabrak kendaraan. Sekarang, layang-layang seolah tak bersahabat dengan modernitas atau justru modernitas yang tak bersahabat dengan layanglayang. Dia memiliki kejayaan masa lampau yang coba dipertahankan dengan derasnya arus modernitas. Apanya yang salah? Modern menjadi musuh dari arkais1. Modernitas memang membawa perubahan terhadap kehidupan, namun adakalanya modernitas menjadi alat bagi kapitalis yang rakus. Mengeruk keuntungan tanpa memedulikan lingkungan dan budaya. Mereka menumbangkan keindahan alami dan menciptakan keindahan buatan. Mereka mengisap kekayaan alam dan memberikan kerusakan di atas permukaan tanah. Di mana yang salah? Pendidikan kita. Pendidikan adalah jantung bagi perubahan sosial. Pergeseran persepsi bahwa pendidikan hanya dimaknai sebagai sekolah-sekolah yang telah kita tempuh. Bagaimana bisa sekolah yang hanya dibatasi
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
dinding tersebut bisa melakukan perubahan sosial? Bagaimana bisa dari tempat itu mengajarkan kita cara mengubah realitas-realitas sosial? Janganlah heran jika pendidikan kita berada dalam situasi stagnan. Pendidikan kita masih menganut paradigma dogmatisme. Inilah penyebab terhentinya proses berpikir dalam dunia pendidikan. Hal tersebut yang dapat menghambat pemikiran agar tetap percaya pada realitas. Teori-teori hanya sebatas fiksasi realitas dan bukan lagi sebuah perkembangan yang bisa berubah. Penelitianpenelitian yang dihasilkan cenderung bersifat final. Dogmatisme menyebabkan ketidak mampuan melihat struktur sosial, termasuk dirinya. Pendidik meneruskan metode-metode baku yang kemudian makin diendapkan. Realitas dipandang sebagai objek untuk dimanupulasi, dikuasai dan ditundukkan. Menurut Jean-Francois Lyotard saat ini sedang memasuki fase di mana logika tunggal yang diyakini kaum modernis telah digantikan dengan pluralitas logika. Bagi yang tertutup matanya oleh paradigma mereka sendiri tidak menyadari akan hal ini. Dampaknya adalah mereka membangun dunia hanya dalam satu dimensi, apa yang ada dihadapannya hanyalah hitam dan putih. Maka matilah mereka! Kita tidak akan menemukan kebebasan dalam menentukan pilihan. Kita hanya akan mendapatkan para pendidik yang membentuk pola pikir peserta didik sesuai dengan pola pikir mereka. Biarkan kita memilih, mengikuti atau bahkan menciptakan mahzab sendiri. Biarkan kita menemukan sintesis apa yang disampaikan pendidik tanpa memaksakan pola pikirnya. Jikalau lampu tidak padam gara-gara layang-layang, kita tidak bisa menikmati malam dengan kelembutan angin, bintang dan bulan di alam terbuka. Mungkin kita akan sibuk dengan televisi atau komputer di depan kita. 1
Arkais: kuno; usang; jarang dipakai.
|06
MEMBANGUN PUISI DARI MASYARAKAT YANG MENCEMASKAN -catatan kecil perjalananOleh : R. Timur Budi Raja Sebuah karya kreatif (seni) dapat disajikan kepada publik pada saat karya tersebut telah matang karena perjalanan proses penciptaannya. Setiap karya sastra (baca: Puisi) yang lahir memiliki nilai kesejarahan. Pergulatan batin yang dihadapi oleh seorang penyair adalah teror yang mendewasakan, pencaharian atas banyak hal yang dibutuhkan demi kematangan kreatifitas (kekaryaan) yang memakan waktu tak sedikit, memberi penanda dan harga terhadap proses kreatif dan karyanya. Seorang penyair tidak secara tiba-tiba menulis puisi. Banyak fase dan pertanyaan yang harus dilalui dan dijawabnya sendiri, sebelum ia berhadapan dengan pena dan kertas. Mengapa saya menulis? Bagaimana saya menulis?,… Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah bekal paling sederhana yang akan menuntun seorang penulis (penyair) dalam perjalanan proses kreatifnya. “Mau menulis apa bila tak pandai membaca?” demikian kata orang. Ungkapan ini menjadi benarbenar tepat, karena dua aktifitas tersebut begitu sinergis dan tak dapat dipisahkan dalam dunia penulisan. Membaca buku, membaca literatur, membaca karya-karya sastra terjemahan, membaca peristiwa, membaca realitas dan jaman; selain menambah perbendaharaan kata dan memberi pengetahuan tentang kebahasaan, juga dapat memberi banyak pengetahuan yang menggelisahkan bagi penyair. Yakni, persoalan dan gagasan. Puisi menjadi sebentuk respon atas kepekaan intuitif penyair. Aktivitas membaca menjadi begitu penting, karena seorang penyair harus mengusai bahasa, untuk dapat memberi makna pada bangunan teks puisinya Realitas itu kaya, unik, sedih berbahaya dan mengerikan. Tapi bahasa, sungguh begitu miskin untuk mewakili kelengkapan milik realitas. Penyair adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk menyiasatinya. Menjembatani pertemuan dua
|07
dunia, yaitu imajinasi dan realitas. Kemanusiaan, harapan, cinta, kecemasan, keyakinan, kesunyian, kemurungan, malam dan blablabla, adalah tematema yang selalu didekati penyair. Sebagian berhasil menjadi karya yang utuh dan besar. Sebagian lagi tak berhasil diterima masyarakat pembaca, rumit dipersepsi dan bisa jadi gagal diinterpretasi. Akar persoalannya disebabkan oleh kegagalan pertama yang dialami penyair dalam usahanya membangun logika bahasa beserta estetikanya dan menghadirkan realitas tertentu yang berkelindan bersama gagasannya. Logika yang timpang-tindih, peletakan kata yang sengkarut dan pemberian rasa pirasa yang tidak proporsional membuat bangunan teks puitik menjadi bias dan glambyar. Keutuhan bangunan teks puitik hanya akan terjadi bila perpaduan antara pengalaman, plot, imajinasi, fantasi, realitas yang ditemui dan kesederhanaan rasa bahasa yang digunakan sudah dalam proporsi yang tepat (dalam hal ini: Kata), sebagai wujud dari kematangan capaian berbahasa penyairnya. Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi seorang penyair dalam membangun puisi-puisinya dengan sempurna. Antara lain adalah; kematangan usia, pola pikir yang tidak sederhana, proses perjalanan hidup yang kompleks, pergulatan batin yang panjang, latar belakang eksplorasi terhadap teknik menulis, pengalaman membaca realitas dan buku. SASTRA : SEBUAH CATATAN TENTANG BAHASA Karena penyair memilih puisi sebagai bahasa dan puisi adalah bahasa vital, segar dan menakjubkan; James Reves dalam bukunya, Understanding Poetry, halaman 18 yang diterbitkan Cox and Wyman Ltd di London tahun 1975, berucap : “Poetry is languange. That is inescapable…Poetry, then, is vital, fresh and surprising languange. Stole language will be in effective…” Seperti pula A. Teeuw, dalam sebuah bukunya ;
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
Membaca Dan Menilai Sastra, halaman 72, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka tahun 1991, menulis; “Bahwa untuk dapat memberi makna karya sastra, bahasa merupakan prioritas utama yang harus dikuasai ”. Jadi sesungguhnya betapa pentingnya bahasa dalam membangun karya sastra. Dalam menyampaikan gagasan ke dalam karyanya antara satu penyair dengan penyair yang lain menggunakan gaya bahasa (stilistika) yang berbeda. Masing-masing gaya bahasa penyair dipengaruhi oleh pribadi penyair itu sendiri. Selayaknya Graham Hough, tahun 1969, dalam bukunya Style and Stilistics, halaman 18 yang diterbitkan oleh Humanities di New York berucap: “…Style is seem as largely dictated by the nature of the outhour him self. It is the ekpression of personality.” Dalam bukunya Tergantung Pada Kata (1983), A. Teeuw banyak mempersoalkan kata-kata dalam puisi. Sebab kata-kata memiliki peranan penting dalam membentuk “roh puisi”. Dan sebagai yang membentuk roh puisi, kata-kata janganlah dianggap sebagai benda mati. Tapi, adalah substansi yang mesti diberi kesadaran (di kembalikan kepada ke b e ra d a a n nya ) s e b a b j i ka t i d a k , m a ka pengeksploitasian dan penjajahan manusia terhadap alam materi kata (sebagai kajian yang dianggap benda mati yang akhir-akhir ini banyak dicemaskan itu), akan terus berlanjut dan terus bergulir tanpa bisa ditahan “(baca “Gerd Binnig”: evolusi, manusia dan realitas baru, Jhon de Santo, Basis, November 1993). Dan ternyata dalam puisi, bukan saja kata-kata dan makna yang dipersoalkan, tapi lebih daripada itu. Ada keistimewaan tersendiri ketika kita berhadapan dengan pertautan interaktif antar berbagai unsur pembangun teks. Seperti bahasa, fantasi, plot, realitas, pengalaman, narasi, gaya performansi dan sebagainya. Keistimewaannya adalah bagaimana caranya agar imajinasi dapat secara intens mengalir hingga mampu membangun sebuah realitas tertentu (narasi). (baca: Tommy F. Awuy, majalah Horison Maret
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
2000, halaman 14 Essay; Politik Imajinasi dalam cerpen-cerpen Seno Gumira Aji Dharma ). LOGIKA DARI MASYARAKAT KECEMASAN. Bila ada semacam pandangan atau persepsi bahwa kerja penyair adalah menulis puisi, maka berarti sudah pasti selamanya puisi akan menjadi milik penyair yang tak bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Terlepas dari apakah puisi tersebut bicara tentang manusia dan lingkungannya. Tak bisa dinikmati berarti tak bisa dirasakan. Lebih dari itu, artinya, puisi yang demikian tak sampai ke kepala pembaca. Puisi, bagaimanapun, selalu dituntut untuk utuh. Logika dalam puisi sangat penting sekali dipikirkan ketika seorang penyair menciptakan sajak. Ada pembaca ideal, atau pembaca yang kita pikirkan. Pembaca selalu menuntut penyair agar karyanya yang imajinatif itu relevan dengan realitas kehidupan. Masuk akal, atau paling tidak dapat di pertanggung jawabkan logikanya. Minimal secara psikologis. Penyair bukan sekedar penulis tapi juga pembangun. Puisi menjadi gagal, ketika puisi melupakan logikanya. Sebab ia hanya menjadi ganjalan di kepala pembaca, yang sebenarnya tidak esensial. Proses perjalanan panjang kepenyairan seseorang wajar dilalui. Puisinya akan membuktikan sejauh mana tataran kepenyairannya itu sampai. Apakah karyanya berbobot atau tidak, perlu dibaca atau sebaliknya, justru dilempar pembaca ke selokan. Selain buku-buku bacaan, realitas adalah literatur penyair menangkap dan memotret persoalan-persoalan yang ada. Realitas empiris adalah bahan utama menuju kontemplasi, yang menjadi inner atau kekuatan penyair melahirkan gagasannya. -selebihnya, selamat menjadi salah satu bagian dari Masyarakat Kecemasan! Yogyakarta,Tanggal6-7 November 2010.
|08
Cerpen
SANG PENCARI KEADILAN
Repro: Internet
Hari sudah hampir malam, para pengguna jalan mulai kelihatan sepi. Aku duduk-duduk santai diberanda rumah dengan secangkir kopi dimeja. Satu batang rokok dan satu bendel Koran. Sesekali kuhela nafas panjang sebagai rasa syukurku masih dapat menikmati keindahan sore ini. Tiba-tiba ada sebuah pemandangan yang mengajak mataku untuk berdiri, menari, dan berlari. Di ujung jalan sana kulihat ada seorang kakek tua melintas di pinggiran menuju arahku. Selang beberapa waktu, kakek tua itu memalingkan muka dan tubuhnya menghadap pada sesuatu yang entah apa. Mataku tak dapat melihat dengan jelas. “Tapi, tidak. Sepertinya dia bukan orang kampung sini, dan apa yang dikenakan kakek tua itu?” gumamku dalam hati. Mataku tertuju pada sebuah kertas yang ia kenakan sebagai kalung dan pada gambar garuda di dadanya – mengandung nilai-nilai pancasila. Tulisan apa itu, yang menghiasi dada kakek tua diujunng jalan sana? “kakek tua itu…. ” Sepertinya aku pernah tau dengan pakaian dan wajah itu? Tiba-tiba otakku berorientasi pada sebuah
|09
pemberitaan beberapa pekan lalu yang sangat menyentuh hati. Khususnya bagi rakyat kecil seperti aku. Seorang kakek mengenakan pakian yang cukup rapi, rambut dan jenggot mulai memutih. Pelan-pelan aku mendekati kakek tua itu. Aku menyelinap tepat dibelakang kakek itu. ”Tidak aku tidak boleh menegurnya” fikirku dalam hati dan ada baiknya aku disini saja. Menunggu sampai kakek itu selesai dengan meditasinya. Aku menunggu kakek tua itu cukup lama. Tanpa tersa satu jam sudah. Tapi kakek itu kok betahbetah saja di sana. Kudengar suara yang lirih dari mulut kakek itu seperti suara peradaban yang semu. “Kek… kakek, mau kemana?” sapaku dengan suara lirih. Kakek tua itu terus berjalan tanpa menghiraukan ada sesorang yang menegurnya. “kek, tolong berhenti.” Kakek-kakek itu terus berjalan dan semakin menjauh dariku. “Kek, kakek, tolong berhenti.” Aku kembali mencoba memanggil kakek-kakek itu. Akhirnya dia berhenti, langsung saja aku menghampiri kakek-kakek itu. “Ada apa, Nak?”. “Ada apa, Nak?” Kakek-kakek itu mengulang pertanyaannya. Mungkin karena aku masih terdiam, aku terpaku pada sebuah tulisan yang menempel didadanya itu, pelan aku mengejahnya huruf demi huruf. Yupz.. aku dapat membacanya dengan sempurna “ AKSI JALAN KAKI MALANG-JAKARTA” Ada apa, Nak? Wajah kakek-kakek itu s e p e r t i n y a s u d a h m u l a i m e n u n j u k ka n kejemuannya kepadaku Kakek benar 'adi kunjoro'? spontan pertanyaanku terlontar begitu saja. “Iya, betul, nak. Sepertinya kakek tidak perlu menjelaskan
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
tentang diri kakek dan apa mau kakek.” “Kakek sudah tidak tahu lagi akan kemana mencari keadilan.” Lanjut kakek tua itu. “Kenapa kakek melakukan itu, apa kakek tidak kawatir dengan kesehatan kakek sendiri?” aku memotong. “Kakek akan jauh lebih takut ketika keadilan tidak lagi ditegakkan di negri ini. Negeri ini sudah buta dan tuli. Tak ada bedanya dengan patung gorilla yang kakek ajak bicara.” Aku hanya mampu terdiam iba dengan nasib yang sedang ia alami. Ingin kujambah negeri ini, ingin kurobohkan istana Negara yang megah disana. “Janganlah, kau anak muda turut larut dengan kegilaan di negeri ini. Jangan pula ada inisiatif untuk menyumbangkan bangkai dibumi pertiwi ini.” Imbuhnya. Kakek-kakek itu menceritakan kepadaku bila ia melakukan aksi jalan kaki dari MALANG-JAKARTA, hanya untuk bertemu dengan Presiden RI dan meminta keadilan atas kasus anaknya yang tewas
ditabrak oknum Polri. Ia bercerita tentang peristiwa kelam yang dialami buah hatinya. Kakek juga menceritakan kisah duka itu terjadi. Peristiwa itu pun sudah cukup lama, tepatnya 17 tahun lalu. Putra pertamanya yang berumur 7 tahun ditabrak oknum polri dan mati seketika, tanpa kepastian hukum. *** Kami masuk dalam suasana yang lirih. Tanpa terasa alam sudah gelap, sepi dan tanpa suara, kecuali gemuruh perdebatan batin antaara aku dan kakek itu. Dan begitulah ahir dari pada perjumpaan antara aku dengan pejalan renta itu. Ia melanjutkan perkelenaannya dengan penuh kekecewaan yang dalam lantaran memendam perih yang terus membeku dan mengendap. Sukarman, Mahasiswa baru di Jurusan Hukum.
Sambungan Hal 12 (Ulasan Cerpen) menghantarkan sebuah permasalahan yang pelik. Hingga kedua orang tuanya jatuh sakit. Suatu realitas yang ditampilkan memang masih banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Dimana harga masa depan seorang wanita sering diamini hanya untuk urusan beranak, dapur, dan tempat tidur. Mungkin dikarenakan bentuk masyarakat kita yang menganut faham patriarki. Dimana dominasi pria mengalahkan eksistensi keberadaan wanita dalam rumah tangga. Cerita diakhiri oleh proses komunikasi antara mereka, gadis dengan orang tuanya. Disinilah masa kritis dalam cerita, dimana kedua belah pihak saling jujur mencurahkan keinginannya. Tokoh utama ya n g ta k in gin c ep at - cep at n ika h u nt u k pendidikannya yang lebih tinggi, orang tua yang ingin putrid kecintaannya hidup dengan enak. Dengan besarnya keinginan tokoh utama, akhirnya luluhlah
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
hati kedua orang tua. Suasana diakhiri dengan keadaan yang haru biru. Kedua belah pihak samasama mencurahkan kasih sayang yang dalam melalui sebuah dialog yang jujur. Karena keterbukaan adalah factor mutlak dalam menyelesaikan masalah komunikasi- antara tokoh utama dan orang tuanya. Mungkin kesederhanaan ini dipilih 2 penulis tadi karena kesadarannya sebagai penulis baru yang baru juga dalam hal berkesusastraan. Pengalaman literasi kata dan penggunaan kalimat yang masih minim setidaknya mengurangi kedasyatan cerita pendek ini. Akan tetapi, setidaknya penulis sudah mau dan memberanikan diri menuangkan idenya dalam sebuah tulisan. Karena dari tulisanlah suatu peradaban dimulai dan dijalani. Hal ini patut di beri penghargaan yang setinggitingginya.
|10
Cerpen
DEAR Senin,28 september 2009 Aku kembali sedih…… Setelah keinginan orang tuaku tidak bisa kukabulkan, saat ini mereka mengalami kecelakaan. Ingin rasanya ku kembali saat orang tuaku menginginkan untuk aku menerima pinangan anak juragan tanah di desaku. Entah kenapa saat itu aku buta, aku marah, aku rasa mereka tak peduli akan keinginanku, aku perangi orang tuaku karna alasan cita-citaku, bagiku emansipasi wanita sangat terpenting sat ini, namun semua sirna karna keegoisanku mempertahankan keinginanku. Hal ini membuat orang orang yang menyayangiku terkapar kesakitan. “Maafkan aku ayah… ibu… ” ucapku. ”Kita tak pernah menganggapmu salah, nak” jawab ibu. ”Terus kenapa ayah dan ibu slalu memaksaku untuk menuruti keinginan ayah dan ibu?”desakku. ”Aku hanya ingin kamu bahagia nak” tukas ayah menjwab pertanyaanku. ”Kau tetap keras kepala” ibu menyaut. Jum'at,02 oktober 2009 Aku binggung banget hari ini……. Aku bahagia, namun aku binggung. Aku bahagia karna pengajuan beasiswaku di terima. Tanpa sepengetahuan orang tuaku, aku sering mengikuti lomba-lomba dan sering pula menjuarainya. Aku bangga atas semua itu. Namun, disisi lain aku binggung. Aku pusing, aku takut orang tuaku kembali kecewa. Aku takut terjadi apa-apa dengan mereka jika aku tetap memaksa keinginanku. “Ya Allah apa yang harus aku lakukan saat ini? Semua keinginanku berbenturan dengan
|11
kehendak orang tuaku. Ingin rasanya ku teriak. Namun, aku tak berdaya saat ini! keinginanku terlalu besar, tapi aku tak kuasa untuk nenyakiti hati orang tuaku. Maafkan aku yah… buk… ” Minggu,4 oktober 2009 “Nak, tolong katakan pada ayah apa yang sebanarnya kamu rasakan selama ayah memintamu melakukan sesuatu?” “Aku bahagia yah. Selama ini ayah memintaku untuk melakukan sesuatu adalah demi kebahagiaannkku. Tapi aku benar-benar tak bisa melakukan permintaan ayah kali ini. Aku benar-benar tak sanggup. Maafkan yah? Aku ingin sekolah! Aku ingin menjadi orang yang menggapai cita-citaku sendiri. Aku ingin yang jauh lebih berguna saat ini…. “ “Hmm.” ayah meggumam, “Apa itu bisa membuatmu bahagia?” “Insyaallah, Yah..!” “Ya sudah. Pergilah. Ayah hanya ingin kamu bahagia, jika itu benar-benar bisa membuat mu bahagia. ayah dan ibumu hanya bisa mendoakanmu.” “Terima kasih, ayah” ujarku sembari langsung menghambur dalam dekapan ayah. Anik Rohitah, mahasiswa baru di jurusan Ilmu Komunikasi, Fisib.
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
Ulasan Cerpen Ulasan Cerpen “Sang Pencari Kebenaran” dan “Dear Diary” Oleh: Defy Firman Al-Hakim Berbicara cerpen, sama halnya membicarakan panggung monolog. Dimana penulis yang sedang perform, dan pembaca sebagai penontonnya. Ada suatu proses komunikasi yang terjadi di dalamnya. Pembaca akan menilai bagus tidaknya suatu cerpen melalui persepsinya masingmasing. Yah, tentu saja menurut latar belakang dan pengalaman masing-masing. Inilah yang disebut proses encoding dan decoding proses penghantaran pesan dan penerimaan pesan. Tapi ingat, semua perbedaan persepsi yang menjadi tantangan penulis harus tetap melayani kekayaan khazanah kesusastraan bahasa Indonesia. Jadi, kita bisa menulis dengan ide seliar mungkin, tapi tak seenaknya sendiri mengubah kebakuan di dalamnya. Inilah yang mungkin membedakan cerpen serta karya sastra yang lain – karya kamaran – atau biasa kita sebut curhatan pribadi. Menulis adalah kegiatan yang tak boleh terlepas dari aktivitas membaca. Baik membaca langsung ataupun secara tidak langsung. Tidak langsung melalui buku, dan secara tidak dengan membaca realitas. Dari sana kita akan mendapatkan sesuatu yang memberi angin segar kita dalam menuangkan ide dalam cerpen-cerpen yang kita buat. Sang Pencari Kebenaran Dalam cerpen ini, Sukarman nampaknya ingin mengingatkan kita perihal tema pemberitaan beberapa waktu yang lalu perihal Kakek Adi Kunjoro yang sedang meminta haknya sebagai seprang warga Negara Indonesia. Keadilan menjadi sesuatu yang istimewa kini. Cerita diawali suatu keheranan pada hal yang berbau asing. Melalui pengelihatannya, tokoh utama menangkap keanehan pada sesosok lelaki renta, yang ternyata itu adalah Adi Kujoro. Lelaki yang sempat diblow up oleh beberapa media nasional. Baik media cetak ataupun elektronik sempat menyoroti kisah haru kakek berumur 80 tahunan ini dan jelas saja mengejutkan ketenangan yang baru saja dibangun tokoh utama-dengan rokok
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
dan sebendel Koran sore itu. Adi kuncoro adalah kakek yang anak semata wayangnya ditabrak mati oleh oknum polisi. Namun, pelaku tidak mendapatkan ganjaran keadilan yang layak di meja hukum. Rasa skeptis membuatnya tak percaya lagi dengan adanya keadilan hukum bagi kaum kecil. Akhirnya bentuk terakhir yang dilakukan hanyalah melakukan hal gila: berjalan kaki dari Malang (Jawa Timur) sampai Istana Negara (Jakarta). Sukarman ingin me-review kembali ingatan kita tentang hal itu. Setidaknya inilah salah satu fungsi dari cerpen-untuk mengangkat sebuah realitas yang terjadi di dunia nyata. Dia menyadur pemberitaan dan menumpahkannya dengan beberapa percakapan dan adegan yang sangat sederhana. Cerita ini akan sangat mudah dipahami oleh pembaca dari kalangan apapun. Sebab, penulis menceritakannya melalui hal yang sangat sederhana pula. Penulis ingin mengingatkan bahwa keadilan dan kebenaran harus di cari keberadaannya. Meskipun sulit dan berat. Dear Dairy Cerita yang ditulis oleh Anik Rokhita, dimana kali ini mengangkat isu kesetaraan gender dan feminisme. Dimana hak wanita dalam hal memperoleh suatu hal yang lebih baik melalui pendidikan wajib untuk diperjuangkan. Karena tak hanya lelaki yang boleh mengerti tentang dunia. Cerita berawal dari kegalauan gadis sebagai tokoh aku utama perihal pilihan yang harus dia emban dari keinginan kedua orang tuanya. Dia dituntut untuk mau menikah dengan seorang pria pilihan mereka. Jelas gadis ini meronta. Sebab, di matanya, pendidikan yang harus ditempuh belumlah selesai. Dia harus melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. Dilema terjadi, karena semula ini, gadis ini memperoleh kasih sayang yang besar dari kedua orang tuanya tersebut. Keangkuhan dan besar keinginan gadis untuk memperoleh haknya dalam memperoleh pendidikan lebih tinggi Bersambung Halaman 10 (Ulasan Cerpen)
|12
Catatan Kebudayaan Era Teknologi Informasi dan Posisi Kebudayaan Oleh: Firman Ghazali Akhmadi . Setiap waktu manusia selalu membahas kebudayaan, sejauhmana peran mereka dalam menjaga kebudayaan yang ada dan memperbaiki kebudayaan yang dianggap salah atau cacat. Namun, dibalik semua itu ada sekelumit narasi tentang tantangan kebudayaan di era teknologi informasi. Sebuah telaah sederhana sebagai wujud keperdulian atas kebudayaan. Teknologi Informasi dan Kebudayaan. Interaksi manusia dengan manusia yang lain merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia, dimana dalam setiap interaksi tersebut manusia bertukar informasi baik dalam kegiatan ekonomi maupun kegiatan sosial. Dari pertukaran informasi tersebut nantinya akan membentuk pengetahuan, yang dapat digunakan dalam setiap kehidupan mereka. A wa l nya p e r t u ka ra n i n fo r m a s i dilakukan melalui bahasa guna saling memahami informasi yang disampaikan orang lain, akan tetapi bahasa tidak bertahan lama karena setelah diucapkan, informasi tersebut mudah terlupa. Melalui beragam pengetahuan yang dimiliki, manusia mengembangkan teknologi guna memudahkan membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengomunikasikan dan/atau menyebarkan informasi yang dikenal dengan teknologi Informasi. K e m a j u a n Teknologi Informasi tersebut turut serta mempengaruhi kebudayan yang ada di masyarkat. Hal ini terjadi karena adanya transformasi informasi antar manusia dalam masyarkat baik dilakukan secara
|13
sadar maupun tidak. Seiring dengan perkembangan Teknologi Informasi, batas-batas embarkasih antar wilayah semakin sempit. Kemudahan komunikasi dan trasformasi Informasi menjadi pertanda hilangnya batas-batas daerah. Dan akhirnya Globalisasi lahir sebagai anak dari kemajuan teknologi informasi. Dalam wujudnya keseharianya, Teknologi Informasi membantu manusia menghapus jarak dan meminimalisir biaya dalam berkomunikasi dengan manusia lain di seluruh bumi. Kemudahana inilah yang akhirnya lambat laun akan membentuk susunan kebudayaan yang hadira dalam suatu masyarakat. Pembaharuan dan asimilasi budaya secara sadar atau tidak, terus merubah tatanan kehidupan bermasyarakat. Teknologi informasi dengan segala bentuknya telah merubah kaum-kaum muda berada dalam kehidupan yang semu. Dalam prakteknya teknologi informasi mendorong munculnya generasi anti-sosial, yang tidak memperdulikan lingkungan, dan interaksi sosial wujudiyah. Menurut mereka interaksi sosial cukup dengan memanfaatkan teknologi tanpa harus melakukan interaksi wujudiyah, karena dianggap sudah ketinggalan jaman. Sikap-sikap seperti inilah yang menjadi batu sandungan dalam mengelola dan melestarikan kebudayaan dimasa yang akan datang. Pola interaksi sosial sebagai bagian terpenting munculnya kebudayaan, akan menjadi barang langka dan mendorong terbentuknya kebudayan baru, tanpa berakar pada kebudayaan lama - yang telah menjadi representatif sejarah manusia. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
Catatan Kebudayaan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuankemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Dan pada akhirnya, teknologi informasi merong-rong setiap sendi kebudayaan. Kita dan Masa Depan Kebudayaan. Transformasi teknologi informasi dimasa akan datang akan menjadi tantangan terbesar dalam menjaga keberlangsungan kebudayaan. Akar kebudayaan dimasa depan, harus merupakan cerminan dari kebudayaan dimasa lalu, yang terbentuk dari setiap perubahan tatanan masyarakat.
Dari setiap tindakan yang akan kita lakukan dalam bermasyarakat, kebudayaan hadir dalam bentuk-bentuk yang baru sebagai konsekuensi dari interaksi sosial yang terjadi. Sebagai manusia kita memiliki pilihan, terlepas dari pilihan manusiamanusia lain. Kebudayaan terus akan berkembang sebagai wujud dari perubahan tatanan sosial masyarakat. Lalu apa yang harus kita lakukan?. Sebagai pemegang estafet kebudayaan dari masa silam ke masa akan datang, tentu memiliki kesempatan untuk melakukan perubahan maupun keengganan. Dan pada akhirnya kita-lah yang akan menjadi penentu akan kondisi kebudayaan dimasa akan datang,
Do'a tentang mimpi dan harapan :teruntuk ibu Rasanya ingin sesekali aku terjaga di butanya pagi Sebelum fajar menjelang Saat itulah kudengar suara rintihan adzan berkumandang Kukenali suara itu Suara dari geremang malam Yang disusup tahun-tahun panjang dan gigil Suara itu seakan member isyarat kepadaku Agar bias membuka jendela mata dan, Ikut mengumandangkan ayat-ayat yang dia tulis setebal kitab itu Tapi aku belum tau Betapa aku sangat mencintai-Nya Aku ingin bercerita pada-Nya tentang mimpi itu dan, Harapan yang ingin kugapai bersama gemercik air Yang ku teteskan sampai ke ujung jari kakiku Bangkalan, 2011 Ghinan Salman
Kecubung Buletin Sastra LPM Spirit Mahasiswa
|14
Baiklah, biar aku ikuti jalanmu untuk sementara waktu: bertuhan pada teori kaku — menempatkan manusia dalam deret angka dan hipotesis tanpa harga. Tapi aku pasti kembali di jalanku: segala keagungan kata yang teduh; bersahaja — menempatkan kemanusiaan di ruang-ruang yang semestinya. Masyarakat GOA