ISSN: 1412-968X Volume 16, Nomor 1, Januari 2015
JOURNAL OF
Economic Management & Business Pengaruh Faktor Eksternal terhadap Profitabilitas Bank Tabungan Negara Anwar Puteh
1
Analisis Hubungan Antara Tingkat Pengangguran, Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Aceh Utara Periode 2008 - 2011 Cut Putri Mellita Sari
11
The Study Of Parents’ Income Toward Students’ Ability In Learning English A Case Study Of First Semester At Economic Faculty, Malikussaleh University H a n i f
21
Pengaruh LDR, CAR dan EPS terhadap Harga Saham pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia H u s a i n i
29
Analisis Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Aceh J a m i l a h
37
Pengaruh Faktor Internal terhadap Pertumbuhan Profitabilitas Bank Tabungan Negara (BTN) Nurul Mawaddah
47
Analisis Kelayakan Pengembangan Agribisnis Hortikultura Sistem Kemitraan Tinjauan dari Aspek Teknis, Manajemen dan Finansial R o m a n o
59
Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin pada Masyarakat Nelayan di Wilayah Pesisir Aceh Suadi, Eva Ayuzar dan Romano
69
Analisis Strategi Keberhasilan Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis - Lhokseumawe Pendekatan Matriks IFE dan EFE Teuku Zulkarnaen 79 Analisis Hubungan Keputusan Pendanaan terhadap Nilai Perusahaan pada Bursa Efek Indonesia Studi Kasus Perusahaan Manufaktur Teuku Zulkarnain
FAKULTAS EKONOMI Unversitas Malikussaleh
97
ISSN: 1412-968X Volume 16, Nomor 1, Januari 2015
JOURNAL OF
Economic Management & Business Pengaruh Faktor Eksternal terhadap Profitabilitas Bank Tabungan Negara Anwar Puteh
1
Analisis Hubungan Antara Tingkat Pengangguran, Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Aceh Utara Periode 2008 - 2011 Cut Putri Mellita Sari
11
The Study Of Parents’ Income Toward Students’ Ability In Learning English A Case Study Of First Semester At Economic Faculty, Malikussaleh University H a n i f
21
Pengaruh LDR, CAR dan EPS terhadap Harga Saham pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia H u s a i n i
29
Analisis Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Aceh J a m i l a h
37
Pengaruh Faktor Internal terhadap Pertumbuhan Profitabilitas Bank Tabungan Negara (BTN) Nurul Mawaddah
47
Analisis Kelayakan Pengembangan Agribisnis Hortikultura Sistem Kemitraan Tinjauan dari Aspek Teknis, Manajemen dan Finansial R o m a n o
59
Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin pada Masyarakat Nelayan di Wilayah Pesisir Aceh Suadi, Eva Ayuzar dan Romano
69
Analisis Strategi Keberhasilan Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis - Lhokseumawe Pendekatan Matriks IFE dan EFE Teuku Zulkarnaen 79 Analisis Hubungan Keputusan Pendanaan terhadap Nilai Perusahaan pada Bursa Efek Indonesia Studi Kasus Perusahaan Manufaktur Teuku Zulkarnain
FAKULTAS EKONOMI Unversitas Malikussaleh
97
E-MABIS
JOURNAL OF
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
Economic Management & Business
ISSN : 1412 – 968X
Diterbitkan Oleh : Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Dewan Penasehat/Advisory Board Rektor Universitas Malikussaleh Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Ketua Penyunting/ Chief Editor Wahyuddin Pengelola Penyunting/Managing Editor Khairil Anwar (Chief) Iswadi, Anwar Puteh, Ichsan, Ghazali Syamni, Damanhur, Naufal Bachri, Husaini, Yulbahri Penasehat Editorial dan Dewan Redaksi/ Editorial Advisory and Review Board Prof. A. Hadi Arifin (Unimal), Jullimursyida, Ph.D (Unimal), Adi Afif Zakaria, Ph.D (UI), Zafri Ananto Husodo, Ph.D (UI), Fachruzzaman (UNIB), Erlina, Ph.D (USU), Muhammad Nasir, Ph.D (USK), Sofyan Syahnur, Ph.D (USK), Tafdil Husni, Ph.D (UNAND), Jeliteng Pribadi, MA (USK), Sirkulasi & Secretary : Kusnandar Zainuddin, Fuadi, Karmila, Ismail Kantor Penyunting/Editorial Office Kampus Bukit Indah P.O. Box. 141 Lhokseumawe Telp. (0645) 7014461 Fax. (0645) 56941 E-mail :
[email protected] - Hompage: www.fe-unimal.org/jurnal/emabis Jurnal E-Mabis Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh diterbitkan sejak tahun 2000 sesuai dengan Surat Keputusan Rektor Universitas Malikussaleh nomor SK. No.34/UM.H/KP/2000 Jurnal E-Mabis diterbitkan oleh FE Unimal bekerjasama dengan ISEI Lhokseumawe Dekan : Wahyuddin, Pembantu Dekan I : Khairil Anwar, Pembantu Dekan II: Iswadi, Pembantu Dekan III : Anwar Puteh, Pembantu Dekan IV : Ichsan Jurnal E-Mabis terbit 4 kali setahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. ISSN : 1412-968X. keputusan terbit 4 kali setahun mulai Edisi Vol.13 Nomor: 1, Januari 2012
Daftar Isi Pengaruh Faktor Eksternal terhadap Profitabilitas Bank Tabungan Negara Anwar Puteh
1
Analisis Hubungan Antara Tingkat Pengangguran, Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Aceh Utara Periode 2008 - 2011 Cut Putri Mellita Sari 11 The Study Of Parents’ Income Toward Students’ Ability In Learning English A Case Study Of First Semester At Economic Faculty, Malikussaleh University H a n i f
21
Pengaruh LDR, CAR dan EPS terhadap Harga Saham pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia H u s a i n i 29 Analisis Ketidakpastian Pendapatan Nelayan Aceh J a m i l a h
37
Pengaruh Faktor Internal terhadap Pertumbuhan Profitabilitas Bank Tabungan Negara (BTN) Nurul Mawaddah 47 Analisis Kelayakan Pengembangan Agribisnis Hortikultura Sistem Kemitraan Tinjauan dari Aspek Teknis, Manajemen dan Finansial R o m a n o
59
Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin pada Masyarakat Nelayan di Wilayah Pesisir Aceh Suadi, Eva Ayuzar dan Romano 69 Analisis Strategi Keberhasilan Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis - Lhokseumawe Pendekatan Matriks IFE dan EFE Teuku Zulkarnaen
79
Analisis Hubungan Keputusan Pendanaan terhadap Nilai Perusahaan pada Bursa Efek Indonesia Studi Kasus Perusahaan Manufaktur Teuku Zulkarnain
97
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, 1, Januari 2015 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 16, Nomor 1, Januari 2015 ISSN: 1412 – 968X Hal. 1-10
PENGARUH FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP PROFITABILITAS BANK TABUNGAN NEGARA
ANWAR PUTEH
Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
This study aim to determine the effect of external factors; BI rate (SBI) and exchange rate to profitability of state bank (BTN), measured by return on assets (ROA) for the last 10 years. The data used of reseach is the data time series of monthly financial reports of state bank (BTN) and BI rate (SBI) and exchange rate of data published by the Bank of Indonesia since 2004 to 2013. The method of data analysis used is Ordinary Least Square (OLS). Data analysis begins with descriptive statistics of variables, the classic assumption test, and test hypotheses. The results showed that SBI (BI Rate) showed that positive influence to profitability. The results showed that SBI has positive influence to profitability of state bank. Exchange rate showed that negative a significant influence to profitability. Result showed together (simultan) internal factors as well as affecting to profitability (ROA). Keywords: Financial performance, ROA, inflation, SBI
1
2
ANWAR PUTEH
LATAR BELAKANG Kinerja suatu perusahaan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang secara umum dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu faktor internal dan faktor eksternal perusahaan (Fabozzi, 1999:98). Faktor internal merupakan faktor-faktor yang berada dalam kendali pihak manajemen perusahaan, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berada di luar kendali manajemen perusahaan seperti kondisi perekonomian dan kondisi perindustrian . Kinerja perbankan dapat diukur menggunakan rasio perbankan. Salah satu rasio yang dapat mengukur kinerja perbankan adalah rasio profitabilitas. Faktor eksternal dapat mempengaruhi profitabilitas bank. Faktor eksternal merupakan variabel-variabel yang memiliki hubungan tidak langsung dengan manajemen bank, tetapi secara tidak langsung memberikan efek bagi perekonomian yang akan berdampak pada kinerja lembaga keuangan. Beberapa faktor eksternal tersebut adalah kurs dan suku bunga Perkembangan tingkat suku bungan yang ditetapkan bank dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal bank. Suku bunga SBI tentu saja berpengaruh pada alokasi dana bank, karena dari laba yang diperoleh bank dana-dana tersebut mengalir ke pos-pos yang dapat terus meningkatkan laba bank seperti penyaluran dana untuk kredit pada pihak-pihak yang membutuhkan dana (lack of money) atau dana tersebut dialirkan untuk SBI karena lebih aman dan menguntungkan, sehingga diperlukan suatu analisis yang dapat menjelaskan bagaimana pengaruh tingkat suku bunga SBI yang disimulasi. Disamping itu, Inflasi yang meningkat akan menyebabkan nilai riil tabungan merosot karena masyarakat akanmempergunakan hartanya untukmencukupi biaya pengeluaran akibatnaiknya harga-harga barang,sehingga akan mempengaruhiprofitabilitas bank (Sukirno, 2006). BUMN karena faktor tersebut bersifat tetap untuk masing-masing bank, namun dapat dilakukan pada salah satu bank dengan runtun waktu panjang atau dikenal dengan times series. Adapun pertimbangan dalam memilih objek penelitian pada bank BTN, dikarenakan BTN memiliki nilai
ROA yang jauh lebih kecil dari bank BUMN lainnya dan juga berfluktuasi. Ini merupakan suatu fenomena yang dapat dijadikan sebuah penelitian. TINJAUAN PUSTAKA Kinerja Perbankan Kinerja keuangan bank merupakan gambaran kondisi keuangan bank pada suatu periode tertentu baik menyangkut aspek penghimpunan dana maupun penyaluran dana yang biasa diukur dengan indikator kecukupan modal, likuiditas dan profitabilitas bank (Jumingan, 2008:239). Salah satu faktor penilaian kinerja bank seperti yang diatur dalam PBI No.6/10/PBI/2004 adalah faktor finansial yang digunakan sebagai penilaian kesehatan bank untuk menilai baik buruknya suatu kondisi bank yang terdiri dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sesitivitas terhadap risiko pasar. Faktor-faktor ini dikenal dengan rasio CAMELS (Capital, Asset Quality, Management, Earning, Liquidity, Sensitivity to market risk). Profitabilitas (ROA) Profitabilitas merupakan gambaran kinerja fundamental perusahaan yang ditinjau dari tingkat efesiensi dan efektifitas operasi perusahaan dalam memperoleh laba (Horngren, 1993:369). Tingkat efesiensi sebuah perusahaan dapat diketahui jika profit yang dihasilkan pada setiap akhir periode dibandingkan dengan kekayaan atau modal yang digunakan untuk menghasilkan profit tersebut. ROA adalah salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur profitabilitas bank, karena menggambarkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba berdasarkan aktiva yang digunakan perusahaan secara keseluruhan. ROA adalah tingkat kemampuan perusahaan yang mencerminkan sejauh mana total investasi perusahaan mampu menghasilkan laba bersih perusahaan (Harmono, 2009:235). Faktor Eksternal Inflasi Menurut Case dan Fair (2004: 58), inflasi adalah kenaikan tingkat harga keseluruhan. Pada umumnya inflasi menyebabkan barang yang ada
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
dipasaran sedikit, sehingga masyarakat cenderung menyimpan uang dalam bentuk barang dibandingkan simpanan di bank. Ada beberapa cara untuk mengukur inflasi, salah satunya adalah dengan Indeks Harga Konsumen. Bank Indonesia untuk mengukur tingkat inflasi biasanya menggunakan indikator IHK. SBI (Suku Bunga Bank Indonesia) SBI adalah suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang menjadi acuan suka bunga dipasar uang dan juga dapat dijadikan sebagai pengawasan terhadap bank-bank yang lain, dikeluarkan oleh Bank Indonesia sesuai Rapat Dewan Gubernur (www.bi.go.id). Nilai Tukar Rupiah (Kurs) Kurs (nilai tukar) adalah nilai pada tingkat dimana dua mata uang yang berbeda diperdagangkan satu sama lain. Menurut Sukirno (2006: 397) kurs adalah perbandingan nilai mata uang suatu negara dengan mata uang negara lainnya. Tingkat kurs mata uang merupakan harga dari mata uang sebuah negara dilihat dari segi mata uang negara lain, rasio dimana dua mata uang saling dipertukarkan (Case dan Fair, 2004:376). Pengaruh SBI (BI Rate) terhadap ROA Bank Indonesia menggunakan tingkat suku bunga SBI sebagai salah satu instrumen untuk mengendalikan inflasi. Apabila inflasi dirasakan cukup tinggi maka Bank Indonesia akan menaikkan tingkat suku bunga SBI untuk meredam kenaikan inflasi. Perubahan tingkat suku bunga SBI akan memberikan pengaruh bagi pasar modal dan pasar keuangan, dan tentunya mempengaruhi profitabilitas bank. Ketika suku bunga BI naik, maka suku bunga deposito juga ikut naik dan akan berdampak langsung pada penurunan dana pihak ketiga (DPK), dikarenakan dana tersebut dipindahkan ketempat lainnya yang dapat menghasilkan imbalan bunga yang lebih tinggi. Jadi dapat dikatakan SBI berpengaruh positif terhadap profitabilitas bank. Hasil penelitian Oktavia (2009) yang menunjukkan bahwa suku bunga SBI berpengaruh positif terhadap ROA, hal ini disebabkan suku bunga merupakan salah satu instrumen konven-
3
sional untuk mengendalikan laju pertumbuhan tingkat inflasi. Kemudian Alper dan Anbar (2011), menyatakan tingkat bunga riil mempengaruhi kinerja bank secara positif Pengaruh Kurs Rupiah terhadap ROA Hubungan risiko nilai tukar dengan kinerja perbankan adalah ketika nilai tukar berfluktuasi maka akan mempengaruhi likuiditas sebuah bank dan kegiatan ekonomi melalui perubahan perilaku perbankan dalam pemberian kredit kepada nasabah. Hal ini dapat dilihat ketika nilai tukar dolar terhadap rupiah melemah atau menurun (kurs rupiah menguat), bank mengalami risiko nilai tukar karena ada pihak peminjam dana menikmati penurunan harga dolar. Pihak tersebut membayar pinjaman kepada bank lebih sedikit karena dolar bisa didapat dengan uang rupiah yang lebih sedikit ketika dikonversi, sedangkan bank mengalami risiko nilai tukar karena harus membayar rupiah yang lebih banyak kepada deposan ketika bank mengkonversi dolar yang dibayarkan oleh kreditur. Berdasarkan argumen ini maka dapat disimpulkan bahwa pada saat kurs rupiah menguat, maka pendapatan bank menurun, sebaliknya pada saat kurs rupiah melemah, pendapatan bank naik karena pihak peminjan dana membayar lebih banyak kepada bank pada saat rupiah melemah. Jadi kurs berpengaruh negatif terhadap profitabilitas. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat Hipotesis test yang dilakukan pada Bank BTN dengan runtun waktu selama 10 tahun.. Populasi dalam penelitian ini berupa pengamatan selama 21 tahun yaitu sejak PT. Bank Tabungan Negara didirikan dan disahkan sebagai persero pada tahun 1992. Adapun pengamatannya berupa laporan keuangan bulanan Bank BTN, inflasi, suku bunga BI (SBI atau BI rate), dan kurs rupiah terhadap dollar AS. Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Adapun kriteria observasinya (laporan keuangan) sebagai sampel adalah: 1. Data tersedia lengkap (laporan keuangan bulanan bank BTN selama periode pengamatan Januari 1992 - Desember 2013 dan telah dipublikasikan oleh Bank Indonesia.
4
ANWAR PUTEH
2. Laporan laba rugi mengalami laba bersih selama periode pengamatan. Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah data yang lengkap dan dipubilasikan oleh BI adalah terhitung dari tahun 2004 sampai 2013 (10 tahun), untuk tahun 2002 dan 2003 tersedia data tidak lengkap dan dibawah tahun 2002 data tidak tersedia. Jadi jumlah sampel yang terbentuk dalam penelitian ini adalah 120 observasi atau n = 120. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder (archival) yaitu laporan keuangan bulanan bank BTN dan data inflasi, suku bunga SBI dan kurs yang diperoleh dari situs resmi Bank Indonesia (www.bi.go.id). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi. Operasionalisasi Variabel 1. Profitabilitas (ROA) adalah gambaran kinerja fundamental perusahaan yang ditinjau dari tingkat efesiensi dan efektifitas operasi perusahaan dalam memperoleh laba (Horngren, 1993:369). Perhitungan rasio ROA berdasarkan SE BI No. 6/23/ DPNP/ tanggal 31 Mei 2004: ROA =
Laba Sebelum Pajak Rata-rata Aktiva
Untuk perhitungan laba sebelum pajak (EBIT) disetahunkan kemudian dibagi dengan bulan yang bersangkutan. Dalam hal ini, data berupa laporan keuangan bulanan, maka untuk EBIT bulan 1 disetahunkan dibagi 1, bulan 2 dibagi 2 dan seterusnya. Baru kemudian dibagi dengan rata-rata aktiva bulan tersebut. 2. Inflasi adalah kenaikan tingkat harga keseluruhan (Case dan Fair, 2004:58). Inflasi diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). 3. SBI adalah Tingkat suku bunga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sesuai Rapat Dewan Gubernur. (www.bi.go.id) 4. Kurs adalah perbandingan nilai mata uang suatu negara dengan mata uang negara lainnya (Sukirno, 2006: 397). Perhitungan kurs menggunakan kurs tengah BI: Kurs Tengah =
Metode Analisis Analisis data diawali dengan statistik deskriptif variabel, uji asumsi klasik, dan uji hipotesis. Untuk menguji kekuatan variabel-variabel penentu CAR,BOPO, LDR, Inflasi, SBI dan kurs terhadap ROA, maka dalam penelitian ini digunakan Ordinary Least Square (OLS) guna mengetahui arah, pengaruh, dan kekuatan hubungan dari variabel independen terhadap variabel dependen., dengan formulasi ekonometrika (Widarjono, 2007: 156), (Lind, et al 2008: 254), Y = a + b1IFL + b2SBI + b3KURS + et
Dimana: IFL : Inflasi SBI : Suku Bunga Bank Indonesia KURS : Nilai Tukar Rupiah tehadap Dollar AS a : Konstanta b1, b2, b3 : Koefisien regresi et : error term HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Statistik Deskriptif Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa nilai standar deviasi (σ) dari semua variabel lebih kecil dari nilai rata-rata (mean). Artinya semua variabel tersebut memiliki sebaran data yang cukup baik, sehingga tidak terjadi outlier data yang mengakibatkan tidak normalnya distribusi data. Hasil Pengujian Asumsi Klasik Uji Normalitas Berdasarkan Gambar 1 uji normalitas data ditunjukkan pada tampilan nilai statistik JarqueBera sebesar 70,48261 dengan nilai probabilitas 0,00000 dimana nilai tersebut lebih kecil dari nilai aplha 5% (0,00 < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah normalitas data. Uji Autokorelasi Tabel 2 menunjukkan hasil uji autokorelasi dengan menggunakan pendekatan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test.
Kurs Jual + Kurs Beli 2
Nilai uji Obs*R-squared sebesar 20,341den-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
5
Tabel 1 Statistik Deskriptif Variabel Tahun 2004 - 2013 Variabel
Minimum
ROA SBI Kurs
Maximum
0,710 5,750 8.395
Mean
3,260 12,750 12.087
Std. Deviation
1,795 7,880 9,155
N
0,369 1,874 0,075
120 120 120
Sumber: BI, diolah (2014) 16
Series: Residuals Sample 2004M01 2013M12 Observations 120
14 12
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
10 8 6 4
Jarque-Bera Probability
2 0
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
4.14e-16 -0.061218 1.259175 -0.696028 0.318747 1.294175 5.719737 70.48261 0.000000
1.2
Gambar 1 Sumber: Data sekunder diolah dengan Eviews 7(2014) Tabel 2 Uji Autokorelasi Keterangan Obs*R-squared Probabilitas Durbin-Watson stat
Nilai 20,341 0,140 2,022
Sumber: data sekunder diolah dengan Eviews 7(2014) Tabel 3 Uji Multikolinieritas Variabel SBI KURS
Tabel 4 Uji Heteroskedastisitas Keterangan Nilai Probabilitas
SBI -0.03888
F-statistic 0,423472 0,6558
Obs*R-squared 0,862417 0,6497
Sumber: data sekunder diolah dengan Eviews 7(2014) Tabel 5 Hasil Regresi Variable SBI KURS C R-squared Adj. squared
Coefficient 0,0173 -0,2399 3,9333 0,2525 0,2398
Std. Error 0,0157 0,0390 0,3961 F-statistic Prob(F-statistic)
Sumber: data sekunder diolah dengan Eviews 7(2014)
t-Statistic 1,0997 -6,1428 9,9288
Prob. 0,2737 0,0000 0,0000 19,7646 0,0000
6
ANWAR PUTEH
gan nilai p-value statistik adalah 0,140 lebih tinggi dari nilai aplha 5%. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa data ini terbebas dari masalah autokorelasi. Perolehan hasil dari autokorelasi dengan menggunakan pendekatan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test didukung oleh hasil pengujian pendekatan Durbin-Watson statistik yaitu sebesar 2,022 yang berada pada daerah penerimaan hipotesis null (1,780<2,022<2,199) artinya tidak adanya korelasi. Uji Multikolenearitas Uji multikolinearitas dalam penelitian ini akan menggunakan nilai korelasi untuk melihat ada tidaknya multiko antar variabel bebas. Adapun variabel yang dihilangkan adalah inflasi, dianggap ada hubungan antara variabel sehingga mengganggu variabel yang lain. Tabel 3 menunjukkan uji multikolinearitas untuk 2 variabel. Berdasarkan Tabel 3 diperoleh nilai secara keseluruhan pada semua variabel independen memiliki korelasi antar variabel yang rendah dengan nilai korelasi di bawah 0.80 (Gujarati, 2003:359). Oleh karena itu di dalam model dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat indikasi masalah multikolinear. Sebuah model diduga memiliki masalah multikolinear jika korelasi antar variabel melebihi 0.80. Uji Heterokedastisitas Berdasarkan Tabel 4 membuktikan bahwa dalam data penelitian ini tidak lagi menggandung heteroskedastisitas. Ini dibuktikan dengan nilai Probabilitas F-statistik tidak signifikan yaitu sebesar 0,6558 (65,58%) atau lebih besar dari nilai alpha (α) sebesar 5%. Hal ini juga didukung oleh nilai probabilitas chi square sebesar 0,6497 (64,97%) lebih besar dari nilai aplha (α) sebesar 0,05 (5%). Maka dapat disimpulkan bahwa model regresi memenuhi asumsi heterokedastisitas. Hasil Pengujian Hipotesis Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat dari hasil regresi Ordinary Least Square seperti terlihat pada Tabel 5. Nilai koefisien masing-masing variabel dapat dilihat pada persamaan di bawah ini: ROA = 3,9333 - 0,0173*SBI - 0,2399*Kurs
Nilai konstanta menunjukkan nilai sebesar 3,9333 yang artinya jika faktor eksternal (SBI dan Kurs) tidak mengalami perubahan naik turun (konstan) maka profitabilitas (ROA) adalah sebesar 3,9333. Hasil Pengujian secara Simultan (Uji F) Berdasarkan Tabel 5 nilai F stastistik menunjukkan variabel independen (SBI dan Kurs) yang dimasukan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen (ROA). Ini dapat dilihat dari nilai signifikansinya lebih kecil dari 0,05 (0,00 > 0,05). Artinya Ha diterima, dimana tidak semua parameter secara simultan sama dengan nol, paling tidak ada salah satu dari variabel independen (Ha : paling tidak ada salah satu dari bk ≠ 0) Kemudian hasil output diperoleh nilai koefesien determinasi (Adjusted R2), yaitu sebesar 0,2525 atau 25,25%. Artinya faktor eksternal (variabel independen) hanya mampu menjelaskan profitabilitas bank sebesar 25,25%. Sisanya sebesar 74,75 dijelaskan faktor lain diluar model. Hasil Pengujian secara Parsial (Uji t) Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2006). Untuk melihat ada tidaknya pengaruh, maka dapat dilihat dari nilai signifikansi (p_value atau probabilitinya) yakni lebih kecil dari nilai alpha 0,05 (p_value < 0,05). Jika signifikansi p_value < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti suatu variabel independen secara individual berpengaruh terhadap variabel dependen. Berdasarkan hasil regresi pada Tabel 5 maka hasil pengujian secara parsial dapat dilihat pada pembahasan. Pembahasan Pengaruh SBI terhadap ROA Berdasarkan hasil regresi pada Tabel 1.5 nilai koefesien untuk variabel SBI sebesar 0,0173 bertanda positif. Ini membuktikan bahwa SBI berpengaruh positif terhadap profitabilitas (ROA). Jika variabel SBI berubah atau mengalami peningkatan 1 (satu) persen, maka akan mengakibatkan kenaikan profitabilitas sebesar 0,0173. Artinya SBI naik maka profitabilitas (ROA) bank
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
naik. Sementara nilai signifikansi untuk variabel SBI sebesar 0,2737. Nilai tersebut lebih besar dari alpha 0,05 (0,2737 > 0,05). Artinya SBI berpengaruh tetapi tidak signifikan terhadap profitabilitas (ROA). Pada umumnya perkembangan tingkat suku bunga yang ditetapkan oleh bank dapat dipengaruhi oleh faktor internal yang meliputi struktur aktiva produktif bank yang sebagian returnnya sangat dipengaruhi oleh fluktuasi suku bunga BI. Adapun faktor eksternal ini terlihat dari kenaikan suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia mendorong terjadinya kenaikan tingkat suku bunga kredit, sehingga menyebabkan beban bunga pinjaman ikut naik dan pendapatan bunga bank yang diterima dari pinjaman akan ikut naik. Pendapatan bunga bank naik maka akan meningkatkan laba atau keuntungan bank yang bersangkutan. Disisi lain kebijakan suku bunga tinggi dapat menahan laju inflasi dan menarik dana masyarakat yang beredar kembali kesektor perbankan. Dan dana tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik oleh bank untuk dinvestasikan sehingga dapat menambah aktiva produktif dan kesempatan bank untuk meningkatkan profitnya semakin berpeluang besar. Hal ini berdampak pada pendapatan bank yang terus meningkat, disamping pendapatan bunga kredit dari pinjaman. Berdasararkan argumen tersebut, maka kenaikan SBI meningkatkan profitabilitas bukan menurunkan profitabilitas. Namun hasil penelitian berkebalikan, dimana semakin naik SBI maka semakin naik profitabilitas. Hal ini bisa saja terjadi, pada saat BI menaikkan suku bunga BI, pihak bank sangat cepat merespon untuk menaikkan suku bunga kredit. Namun pada saat SBI turun, suku bunga bank tidak turun-turun. Jadi suku bunga Bank Indonesia turun belum tentu suku bunga kredit ikut turun. Dengan kata lain bank tidak ikut menurunkan suku bunga, otomatis pendapatan bank tetap atau bisa saja naik. Jadi penurunan SBI belum menjamin akan diikuti dengan penurunan suku bunga kredit. Kebijakan yang diambil perbankan tidak berbanding lurus dengan otoritas moneter. Saat BI Rate turun, kebanyakan bank justru menahan suku bunga kreditnya atau turun sedikit dengan tetap menjaga rentang spread suku bunganya (selisih suku bunga kredit dengan suku
7
bunga deposito). Dalam kasus ini, industri perbankan tidak bisa disalahkan juga. Aspek kehati-hatian merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangkan. Tentunya tanpa mengurangi tingkat profitabilitas yang ingin didapatkan. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Oktavia (2009), Alper dan Anbar (2011), yang menunjukkan bahwa suku bunga SBI berpengaruh positif, terhadap ROA. Pengaruh Kurs terhadap ROA Berdasarkan hasil regresi pada Tabel 1.5 nilai koefesien untuk variabel Kurs sebesar 0,239872 bertanda negatif. Ini membuktikan bahwa Kurs berpengaruh negatif terhadap profitabilitas (ROA). Jika variabel Kurs berubah atau mengalami penurunan 1 (satu) persen, maka akan mengakibatkan kenaikan profitabilitas sebesar 0,239872. Artinya Kurs turun maka profitabilitas (ROA) bank tertambah. Sedangkan nilai signifikansi untuk variabel Kurs sebesar 0,0000. Nilai tersebut lebih kecil dari alpha 0,05 (0,0000 < 0,05). Artinya Kurs berpengaruh terhadap profitabilitas (ROA). Pada perbankan, nilai tukar ini besar pengaruhnya dari sisi perubahan perilaku perbankan dalam pemberian kredit kepada nasabah. Ketika nilai tukar dolar terhadap rupiah menurun (kurs rupiah menguat), bank mengalami risiko nilai tukar karena ada pihak peminjam dana menikmati penurunan harga dolar. Pihak tersebut membayar pinjaman kepada bank lebih sedikit karena dolar bisa didapat dengan uang rupiah yang lebih sedikit ketika dikonversi, sedangkan bank mengalami risiko nilai tukar karena harus membayar rupiah yang lebih banyak kepada deposan ketika bank mengkonversi dollar yang dibayarkan oleh kreditur, artinya bank tidak dapat menambah pendapatannya. Berdasarkan argumen di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada saat kurs rupiah menguat, maka pendapatan bank menurun, sebaliknya pada saat kurs rupiah melemah, pendapatan bank naik karena pihak peminjan dana membayar lebih banyak rupiah kepada bank. Selain itu, menurunnya nilai tukar juga mendorong meningkatnya suku bunga, sehingga mendorong lingkungan investasi di dalam negeri. Oleh karena itu kurs turun dapat mendongkrak profit-
8
ANWAR PUTEH
abilitas, karena bank juga memiliki pendapatan dari penjualan jasa. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian Oktavia (2009) dan Winarni (2011) yang menunjukkan bahwa kurs tidak berpengaruh terhadap profitabilitas. KESIMPULAN 1. Suku Bunga Bank Indonesia berpengaruh positif terhadap profitabilitas perbankan. 2. Kurs berpengaruh negatif terhadap profitabilitas perbankan. KETERBATASAN PENELITIAN Penelitian ini jauh memiliki keterbatasan antara lain sebagai berikut: 1. Penelitian hanya menggunakan sebagian faktor internal dan eksternal sehingga masih memungkinkan timbulnya pertanyaan tentang keterkaitan faktor internal dan eksternal lain yang tidak diuji dalam penelitian ini. 2. Penelitian ini hanya dilakukan pada satu objek penelitian yakni bank BTN, jadi penelitian ini terlalu sempit. 3. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan pertimbangan data yang tersedia lengkap. Metode ini merupakan non probability sampling, kemungkinan besar menghasilkan sampel tidak representatif, sehingga sampel bias dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
SARAN 1. Penelitian selanjutnya hendaknya memasukkan faktor internal dan eksternal lainnya sehingga memiliki cakupan luas bagi pihakpihak lainnya. Selain itu juga dapat dimasukkan variabel interveting atau moderating untuk melihat pengaruh langsung dan tidak langsung sehingga menghindari asumsi-asumsi tertentu dan terjadinya multikolinearitas. 2. Karena penelitian ini bersifat time series, maka sebaiknya dilakukan dalam rentan waktu yang jauh lebih panjang lagi dan menggunakan lebih dari satu objek penelitian sehingga dapat diperbandingkan. 3. Untuk menghasilkan Return On Assets (ROA) yang besar, maka bank perlu meningkatkan juga aktiva produktif. Untuk menambah aktiva produktif BTN harus dapat menghimpun sumber dana sebanyak mungkin baik dengan menambah modal sendiri, pinjaman ke pihak lain atau menarik minat masyarakat atau nasabah untuk menyimpan dananya di Bank BTN, yang dapat menghasilkan pendapatan opersional bank dan laba yang besar lagi.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
9
REFERENSI Alper, Deger dan Adem Anbar. 2011. Bank Specific and Macroeconomic Determinants of Commercial Bank Profitability: Empirical Evidence from Turkey. Business and Economics Research Journal. Vol. 2, No 2 : 139-152. Case, Karl E dan Ray C.Fair. 2004. Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro.Edisi Kelima.Terjemahan Benyamin Molan. Jakarta: Indeks. Dendawijaya, Lukman. 2005. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Fabozzi, Frank. J. 1999. Manajemen Investasi. Jakarta: Salemba Empat. Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics. 4th Edition. International Edition. McGraw Hill. Hariyani, Iswi. 2010. Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet. Jakarta: Elex Media Komputindo. Harmono. 2009. Manajemen Keuangan: Berbasis Balanced Scorecard. Pendekatan Teori, Kasus, dan Riset Bisnis. Jakarta: Bumi Aksara. Horngren, T Charles. 1993. Pengantar Akuntansi Manajemen. Jilid 1. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Margaretha, Farah. 2007. Manajemen Keuangan Bagi Industri Jasa. Jakarta: Grasindo Oktavia, Linda Dwi. 2009. Pengaruh Suku Bunga SBI, Nilai Tukar Rupiah, Dan Inflasi Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Sebelum Dan Sesudah Privatisasi (Studi Kasus pada PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk). Jurnal Online. Depok: Lembaga Penelitian Universitas Gunadarma.http://www. gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/economy/2009/Artikel_20205729.pdf Peraturan Bank Indonesia. 2004. PBI No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Jakarta: Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia. 2010. PBI No. 12/19/PBI/2010 tentang Giro wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan valuta Asing. Jakarta: Bank Indonesia. Ponco, Budi. 2008. Analisis Pengaruh Car, NPl, BOPO, NIM Dan LDR Terhadap ROA (Studi Kasus Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2004-2007). Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Prayudi, Arditya. 2010. Pengaruh CAR, NPL, BOPO, ROA, dan NIM terhadap LDR. papers.gunadarma.ac.id/index.php/mmanagement/article/.../14225 Puspitasari, Diana. 2009. Analisis Pengaruh CAR, NPL, PDN, NIM, BOPO, LDR, dan Suku Bunga SBI Terhadap ROA (Studi pada Bank Devisa di Indonesia perioda 2003-2007). Tesis. Program Magister Manajemen.Universitas Diponegoro Semarang. Sukarno, Kartika Wahyu dan Muhammad Syaichu. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Bank umum di Indonesia. Jurnal Studi Manajemen dan Organisasi. Vol. 3 No. 2:46.
10
ANWAR PUTEH
Sukirno, Sadono. 2006. Makroekonomi Teori Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Taswan. 2008. Akuntansi Perbankan. Transaksi dalam Valuta Rupiah. Yogyakara: YKPN Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi Kedua. Depok: EKONISIA Winarni. 2011. Analisis Pengaruh Capital Adequacy Ratio, Net Interest Margin, Biaya Operasional Pendapatan Operasional, Loan to Deposit Ratio, SBI dan Kurs terhadap return on asset (Studi Komparasi antara Bank Umum Swasta Nasional Devisa Dan Bank Asing). Jurnal Online. http://eprints. undip.ac.id/36901/2/jurnal_mm_B_winarni_34_pagi.pdf Yuliani, 2007.Hubungan Efisiensi Operasional dengan Kinerja Profitabilitas Pada Sektor Perbankan Yang Go Public Di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Manajemen dan Bisnis Sriwijaya, Vol. 5. No 10: 15-43.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, 1, Januari 2015 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 16, Nomor 1, Januari 2015 ISSN: 1412 – 968X Hal. 11-19
ANALISIS HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGANGGURAN, KEMISKINAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN ACEH UTARA PERIODE 2008 - 2011 CUT PUTRI MELLITA SARI
Dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
The purpose of this reseach is to examine the correlation of unemployment, poverty on economic growth; to examine directly the effect of unemployment on economic growth; and to examine indirectly the effect of unemployment on economic growth and poverty as intervening variabel. The results show that unemploymment have negative efffect on economic growth in north aceh district. This reseach also carry out the directly and indirectly effect of unemployment on economic growth. The model is estimated by using path analysis. The result study show that coefecient of indirect correlation is greather than direct correlation. This means that unemployment have indirectly effect on the economic growth in which poverty as intervening variables. Keywords: Unemployment, poverty, economic growth, indirectly effect, directly effect
11
12
CUT PUTRI MELLITA SARI
LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi secara menyeluruh merupakan komponen penting dalam pembangunan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat dan mengusahakan agar hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata. Untuk mencapai tujuan pembangunan digunakan berbagai peralatan, diantaranya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pengangguran merupakan masalah ketenagakerjaan yang dialami oleh banyak negara. Begitu seriusnya masalah ini sehingga dalam setiap rencana-rencana pembangunan ekonomi masyarakat dikatakan dengan tujuan untuk menurunkan angka pengangguran. Kemiskinan merupakan fenomena yang terjadi hampir di semua negara sedang berkembang. Kemiskinan muncul karena ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk menyelenggarakan hidupnya sampai taraf yang dianggap manusiawi. Kondisi ini menyebabkan menurunnya kualitas sumberdaya manusia sehingga produktivitas dan pendapatan yang diperolehnya rendah. Secara teori apabila tingkat pengangguran dan kemiskinan meningkat maka pertumbuhan ekonomi akan rendah. Fenomena yang terjadi bahwa tingkat pengangguran cenderung naik dan turun, kemiskinan meningkat dan pertumbuhan ekonomi meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah. Terlihat bahwa tingkat pengangguran pada tahun 2008, 2009 dan 2011 berkurang, begitu juga tingkat kemiskinan pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Terlihat juga dengan jelas bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai dengan 2010 dan tahun
2011 kembali meningkat. Pertanyaannya adalah mengapa tingkat pengangguran dan kemiskinan berkurang justru pertumbuhan ekonominya turun? Apakah pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan? Serta Apakah pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh tingkat pengangguran mempengaruhi secara langsung pertumbuhan ekonomi atau secara tidak langsung melalui variabel kemiskinan sebagai variabel mediasi?. Melihat fenomena tersebut penulis tertarik untuk meneliti “Analisis Hubungan Antara Tingkat Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2008 - 2011 Masalah Penelitian Berdasarkan Latar Belakang Penelitian, dapat ditarik suatu permasalahan dalam penelitian ini serta perlu dilakukan suatu pendekatan ekonometris : 1. Bagaimanakah hubungan antara pengangguran terhadap pertumbuhan ekonomi 2. Apakah hubungan pengangguran ke pertumbuhan ekonomi di mediasi oleh variabel kemiskinan? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian dan permasalahan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara pengangguran terhadap pertumbuhan ekonomi. 2. Untuk Mengetahui Apakah hubungan pengangguran ke pertumbuhan ekonomi di mediasi oleh variabel kemiskinan.
Tabel 1 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2008 – 2011 (Persentase) No 1 2 3 4
Tahun 2008 2009 2010 2011
TPT -2,97 -9,55 13,86 -26,57
Tingkat kemiskinan -16,85 -6,71 -1,74 0,24
Sumber :- Statistik Daerah Kabupaten Aceh Utara, 2011 - Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Aceh Utara, 2012 - Aceh Utara Dalam Angka, 2012
Pertumbuhan Ekonomi -13,05 -10,68 -5,45 2,46
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
Kegunaan Penelitian Adapun penelitian ini dapat berguna untuk : 1. Memberikan informasi kepada para pengambil keputusan untuk semakin memperhatikan Tingkat Pengangguran dan Kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara 2. Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu terutama mengenai Hubungan Antara Tingkat Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2008 - 2011 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan Produk Nasional Bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan berkembang atau tumbuh bila terjadi pertumbuhan output riil. Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang ekonomi kepada penduduknya, Simon Kuznets (Jhingan,2000:57). Menurut Sukirno (2006:8), pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan. barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah. Menurut Tambunan (2008:21) mengartikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondiisi utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun, yang dengan sendirinya kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun. Sedangkan menurut Budiono (1981 :1), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Dalam melihat pertumbuhan ekonomi perlu diperhatikan aspek output total, jumlah penduduk dan waktu jangka panjang. Pengangguran Menurut BPS (2012:3) pengangguran adalah penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang men-
13
cari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha baru atau pendudk yang tidak mencari pekerjaan karena putus asa/merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja/ mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Menurut Mankiw (2006:330) seseorang dikatakan bekerja apabila ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mendapatkan upah. Seseorang dikatakan tidak bekerja apabila ia tidak bekerja untuk sementara waktu atau sedang mencari pekerjaan. Menurut Sukirno (2010:330-331) berdasarkan kepada ciri pengangguran yang berlaku salah satunya digolongkan sebagai pengangguran terbuka. Pengangguran ini tercipta sebagai akibat pertambahan lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari penambahan tenaga kerja. Sebagai akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh pekerjaan. Efek dari keadaan ini di dalam suatu jangka masa yang cukup panjang mereka tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Jadi mereka menganggur secara nyata dan sepenuh waktu dan oleh karena itu dinamakan pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka dapat pula wujud sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang menurun, kemajuan teknologi yang mengurangi penggunaan tenaga kerja atau sebagai akibat dari kemunduran perkembangan sesuatu industri. Kemiskinan Kemiskinan adalah suatu kondisi yang dialami seseorang atau kelompok yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi (BAPPENAS dalam BPS, 2002:8). Sedangkan menurut BPS (2010:6), kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan yang bersifat mendasar. Esmara (1986:287) mengatakan apabila tingkat pendapatan tidak dapat mencapai kebutuhan minimum, maka orang atau keluarga tersebut dapat dikatakan miskin. Dengan demikian tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin atau biasa disebut garis kemiski-
14
nan. Konsep ini dikenal dengan kemiskinan mutlak (absolute). Walaupun tingkat pendapatan sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekelilingnya, maka orang atau keluarga masih berada dalam keadaan miskin. Konsep ini dikenal dengan kemiskinan relative. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran, BPS (2008:29-30) Pengaruh Tingkat Kemiskinan Dan Pengangguran Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Penelitian Sebelumnya Maryanti (2009), yang meneliti di Provinsi Riau dengan judul Analisa Pertumbuahan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan di Propinsi Riau. Metode analisis data yang digunakan adalah Growth Theory dan Proverty Gap Index – PI. Hasil dari penelitian pertumbuhan ekonomi meningkat namun kontribusi sektor pertanian menurun digantikan sektor manufaktur dan sektor jasa semakin tinggi. Tingkat kemiskinan paling banyak adalah dari sektor pertanian (67,49%) kemudian sektor jasa (21,40%) dan sektor manufaktur hanya (4,11%). Octaviani (2001): Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa kenaikan angka pengangguran mengakibatkan peningkatan atas angka kemiskinan, sebaliknya semakin kecil angka pengangguran akan menyebabkan semakin rendahnya tingkat kemiskinan di Indonesia. Laili (2011) : Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Timur, sedangkan kepadatan penduduk berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Kemudian pertumbuhan ekonomi dan kepadatan penduduk secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Timur tahun 2005 -2009. Coki (2005) : Hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan bahwa kenaikan GDP tidak
CUT PUTRI MELLITA SARI
mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Hal ini disebabkan kontribusi yang yang paling besar dalam pertumbuhan ekonomi adalah sektor industri manufaktur di mana sektor tersebut merupakan pertumbuhan yang terjadi pada beberapa industri padat modal bukan padat karya. Kerangka Pemikiran Pengangguran dan kemiskinan merupakan permasalahan pokok makroekonomi. Peningkatan pengangguran akan menyebabkan pendapatan turun dan tingkat produktivitas juga akan rendah, ini juga berarti investasi juga akan rendah yang selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pengangguran yang tinggi akan menyebabkan pendapatan turun dan tingkat kemiskinan tinggi akibatnya permintaan terhadap barang/jasa akan rendah yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Gambar 2.1 berikut akan menggambarkan kerangka pemikiran dalam penelitian ini yakni:
Tingkat Kemiskinan
p3
Pertumbuhan Ekonomi
p2
p1
Tingkat Pengangguran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Hipotesis Hipotesis yang dapat di buat untuk permasalahan yang diajukan pada adalah : H1 : Tingkat Pengangguran mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi H2 : Hubungan Pengangguran terhadap Pertumbuhan Ekonomi di mediasi oleh variabel Kemiskinan METODE PENELITIAN Sampel dan Data Sampel dalam penelitian ini adalah Kabupaten Aceh Utara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Tingkat Pengangguran,
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
15
Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi periode 2008 -2011.
per hari dan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Alat Analisis Analisis ini menggunakan alat-alat analisis deskriptif seperti rata-rata, nilai minimum, maksimum, standar deviasi. Analisis ini ditujukan untuk memberikan gambaran tingkat pengangguran, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Adapun pertumbuhan ekonomi (dalam konteks daerah) maupun pendapatan per kapita dihitung dengan formulasi berikut ini (kuncoro 2004) :
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kabupaten Aceh Utara Kabupaten Aceh Utara sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang terletak di bagian pantai pesisir utara pada 96.52.00o - 97.31.00o Bujur Timur dan 04.46.00o - 05.00.40o Lintang Utara. Kabupaten ini memiliki wilayah seluas 3.296,86 Km2 dengan batas-batas sebagai berikut :Sebelah Utara dengan Kota Lhokseumawe dan Selat Malaka; Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bener Meriah; Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur; dan Sebelah Barat dengan Kabupaten Bireuen. Kabupaten Aceh Utara terbagi ke dalam 22 wilayah kecamatan. Diantara kecamatan yang ada,Kecamatan Paya Bakong, Kecamatan Sawang dan Kecamatan Syamtalira Bayu adalah wilayah terluas. Selain itu kecamatan-kecamatan lain yang tergolong luas wilayahnya adalah kecamatan Nisam, Lhoksukon, Meurah Mulia, Cot Girek, Tanah Jambo aye, Kuta makmur, Langkahan, Matang Kuli dan kecamatan Seunuddon. Sedangkan delapan kecamatan lainnya hanya memiliki luas kurang dari 100 km2 dan rata-rata di bawah 50 km2. Aceh Utara hingga tahun 2006 memiliki 850 desa dan 2 kelurahan, yang terbagi ke dalam 56 buah mukim. Sebanyak 780 buah desa berada di kawasan dataran dan 72 desa di kawasan berbukit. Desa yang terletak di daerah berbukit dijumpai di 12 kecamatan. Yang paling banyak desanya di kawasan perbukitan adalah di Kecamatan Sawang, Syamtalira Bayu, Nisam, Kuta Makmur, dan Muara Batu. Di samping itu, terdapat 40 buah desa yang berada di kawasan pesisir.
Pertumbuhan Ekonomi =
PDRBt - PDRBt-1 PDRBt-1
x 100%
Dimana : PDRBt = Produk Domestik Regional Bruto pada tahun t PDRBt-1 = Produk Domestik Regional Bruto satu tahun sebelum tahun t Analisis Jalur (Path Analysis) Analisis ini digunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dengan Analisis Jalur (Path Analysis) dimungkinkan pengujian pengaruh simultan (efek langsung dan tidak langsung) sebuah variabel terhadap variabel lain. Pengujian asumsi klasik diperlukan sebelum dilakukan analisis lebih lanjut. Adapun uji asumsi yang digunakan adalah autokorelasi dan multikolinearitas (Ferdinand, 2002; Ghozali dan Fuad, 2005). Batasan Variabel 1. Tingkat Pengangguran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Seserorang yang tergolong dalam angkatan kerja dan ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Variabel ini di ukur melalui Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan dalam satuan persen. 2. Pertumbuhan Ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kenaikan output riil yang diukur dengan PDRB dan dalam satuan persen. 3. Tingkat Kemiskinan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar yang diukur dari pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang setara dengan 2.100 kilo kalori perkapita
Kondisi Ekonomi Tingkat Pengangguran Tingkat pengangguran di Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2009 mengalami penurunan tingkat pengangguran dari tahun sebelumnya yaitu dari -2,97 menjadi -9,55 persen. Pada tahun 2010 tingkat pengangguran kembali bertambah yaitu sebesar 13,86 persen dan pada tahun 2011 tingkat penggangguran turun hingga -26,57 persen. Penu-
16
CUT PUTRI MELLITA SARI
runan tingkat pengangguran dari tahun 2008-2011 rata-rata -25,23 persen.
(Ghozali: 2001). Dalam hal ini dua persamaan yang bisa dibuat yaitu:
Tingkat Kemiskinan Tingkat kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2008-2011. Pada tahun 2008 tingkat kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara masih tergolong tinggi, walaupun angka ini menunjukkan suatu penurunan angka kemiskinan, yaitu mencapai -16,85. Tingkat Kemiskinan pada tahun 2009 – 2011 terus mengalami penurunan. Pada tahun 2011 tingkat kemiskinan menunjukkan angka positif yang berarti kemiskinan meningkat menjadi 0,24 persen. Rata-rata penurunan tingkat kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara dari tahun 2008-2011 adalah -6,27 persen per tahun.
Kemiskinan = α + P2 Pengangguran + e1
Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Aceh Utara dapat dilihat dari sisi lapangan usaha berdasarkan minyak dan gas bumi (migas) dan tanpa migas. Masing-masing lapangan usaha tersebut berpengaruh terhadap capaian pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi Aceh Utara berdasarkan lapangan usaha migas terlihat mengalami penurunan yang sangat signifikan selama tahun 2008-2011, yaitu rata-rata -6,68 persen per tahun. Menurunnya pertumbuhan ekonomi ini disebabkan oleh berkurangnya kontribusi nilai tambah dari beberapa industri besar di daerah ini yang sebelumnya sangat dominan peranannya, baik yang beroperasi dalam lapangan usaha pertambangan, seperti PT Arun dan Exxon Mobil, maupun industri pupuk (PT. AAF dan PT. PIM), dan industri kertas (PT. KKA). Pada tahun 2011, angka pertumbuhan ekonomi kembali positif, walaupun juga masih relatif rendah (hanya 2,46 persen) Secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi daerah ini tumbuh negatif selama 2008-2011 hanya -6,68 persen per tahun . Analisis dan Interpretasi Hasil Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan melalui perhitungan koefesien jalur dengan membuat dua persamaan struktural yaitu persamaan regresi yang menunjukkan hubungan yang dihipotesiskan.
Pertumbuhan Ekonomi = α + P1 Pengangguran + P3 Kemiskinan + e2
Hipotesis 1 Hasil output memberikan koefesien tingkat pengangguran sebesar -0.201 Hal ini berarti bahwa tingkat pengangguran berhubungan secara negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten Aceh Utara, Jika tingkat pengangguran naik sebanyak 1% maka akan menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 20.1%. Secara Statistik, hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa jika tingkat pengangguran tinggi maka akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Sementara besarnya pengaruh variabel pengangguran terhadap pertumbuhan ekonomi sangat kecil yaitu hanya 0.239 atau 23.9%. Sedangkan sisanya 76.1% dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Dalam pengujian hipotesis penulis menggunakan uji t. Dari hasil uji t maka diperoleh bahwa t-hitung lebih kecil dibandingkan t-tabel yaitu thitung sebesar -0.794 dan t-tabel 12,706. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengangguran tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten Aceh Utara. Hal ini disebabkan pada masa konflik beberapa industri besar selain kontribusinya terhadap perekonomian rendah juga banyak tutup , hal ini menyebabkan sebagian besar karyawannya harus di PHK sehingga mereka tidak mempunyai pekerjaan dan terpaksa menganggur.Namun orang yang menganggur dalam sebuah rumahtangga, mempunyai anggota rumah tangga yang lain yang bekerja dengan tingkat pendapatan tinggi sehingga cukup untuk menyokong penganggur tersebut. Selain itu, karyawan yang di PHK rata-rata membuka usaha sendiri dari tabungannya. Penganggur yang ada di rumah tangga tersebut tidak secara otomatis menjadi miskin karena ada bagian anggota keluarga lain yang memiliki pendapatan yang cukup untuk mempertahankan keluarganya hidup berada di atas garis kemiskinan. Sehingga walaupun tingkat pengangguran tergolong tinggi tidak
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
17
Tabel 2 Tingkat Pengangguran Kabupaten Aceh Utara Selama Tahun 2008-2011 No Tahun 1 2008 2 2009 3 2010 4 2011 Tingkat Pengangguran Rata-rata (%)
Tingkat Pengangguran (%) -2,97 -9,55 13,86 -26,57 -6.3075
Sumber: BPS dan Bappeda Aceh Utara (diolah) Tabel 3 Tingkat Kemiskinan Kabupaten Aceh Utara Selama Tahun 2008-2011 No Tahun 1 2008 2 2009 3 2010 4 2011 Tingkat Kemiskinan Rata-rata (%)
Tingkat Kemiskinan (%) -16,85 -6,71 -1,74 0,24 -6,27
Sumber: BPS dan Bappeda Aceh Utara (diolah) Tabel 4 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Aceh Utara Selama Tahun 2008-2011 NO Tahun 1 2008 2 2009 3 2010 4 2011 Pertumbuhan Rata-rata (%)
PDRB (%) -13,05 -10,68 -5,45 2,46 -6,68
Sumber: BPS dan Bappeda Aceh Utara (diolah)
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten Aceh Utara pada tahun penelitian (20082011). Hipotesis 2 Untuk menguji hipotesis kedua digunakan analisis jalur. Output SPSS memberikan nilai standardized beta Pengangguran pada persamaan (1) sebesar – 0.195 dan signifikansi pada 0.805 yang berarti Pengangguran tidak mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi di kabupaten Aceh Utara. Nilai koefisien standardized beta -0.195 merupakan nilai path atau jalur p2. Pada output SPSS persamaan regresi (2) nilai standardized beta Pengangguran -0.335 dan Kemiskinan 0,791 dan tidak signifikan. Nilai standardized beta Pengangguran -0.335 merupakan nilai jalur path p1 dan nilai standardized beta Kemiskinan 0,791 merupakan nilai jalur path p3. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa Pengangguran tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi memiliki
hubungan langsung ke Pertumbuhan ekonomi, sementara dari pengangguran ke pertumbuhan ekonomi dimana variabel kemiskinan (sebagai variabel intervening) memiliki hubungan yang tidak langsung ke Pertumbuhan Ekonomi. Besarnnya koefesien hubungan langsung adalah -0,335 sedangkan besarnya hubungan tidak langsung harus dihitung dengan mengalikan koefisien tidak langsungnya yaitu (-0,195) x (0,791) = - 0,154. Oleh karena koefisien hubungan tidak langsung lebih besar dari koefisien hubungan langsung, maka dapat dikatakan bahwa hubungan yang sebenarnya adalah hubungan tidak langsung. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu : 1. Tingkat pengangguran memiliki slope negatif terhadap pertumbuhan ekonomi yang berarti bila tingkat pengangguran naik maka akan
18
menurunkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga bisa dibuktikan melalui hasil persamaan regresi yang diperoleh yaitu: Y = -7.948 – 0.201X + e. Dimana Y adalah pertumbuhan ekonomi dan X adalah tingkat pengangguran. 2. Pengaruh variabel pengangguran terhadap pertumbuhan ekonomi sangat kecil yaitu hanya 0.239 atau 23.9 %. Sedangkan sisanya 76.1 % dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. 3. Dari hasil uji t maka diperoleh bahwa t-hitung lebih kecil dibandingkan t-tabel yaitu t-hitung sebesar -0.794 dan t-tabel 12,706. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengangguran tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten Aceh Utara. Hal ini disebabkan pada masa konflik beberapa industri besar selain kontribusinya terhadap perekonomian rendah juga banyak tutup , hal ini menyebabkan sebagian besar karyawannya harus di PHK sehingga mereka tidak mempunyai pekerjaan dan terpaksa menganggur.Namun orang yang menganggur dalam sebuah rumahtangga, mempunyai anggota rumah tangga yang lain yang bekerja dengan tingkat pendapatan tinggi sehingga cukup untuk menyokong penganggur tersebut. Selain itu, karyawan yang di PHK ra-
CUT PUTRI MELLITA SARI
ta-rata membuka usaha sendiri dari tabungannya. Penganggur yang ada di rumah tangga tersebut tidak secara otomatis menjadi miskin karena ada bagian anggota keluarga lain yang memiliki pendapatan yang cukup untuk mempertahankan keluarganya hidup berada di atas garis kemiskinan. Sehingga walaupun tingkat pengangguran tergolong tinggi tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten Aceh Utara pada tahun penelitian (2008-2011). 4. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa Pengangguran memiliki hubungan langsung ke Pertumbuhan ekonomi, sementara dari pengangguran ke pertumbuhan ekonomi dimana variabel kemiskinan (sebagai variabel intervening) memiliki hubungan yang tidak langsung ke Pertumbuhan Ekonomi. Besarnnya koefesien hubungan langsung adalah -0,335 sedangkan besarnya hubungan tidak langsung yaitu - 0,154. Oleh karena koefisien hubungan tidak langsung lebih besar dari koefisien hubungan langsung, maka dapat dikatakan bahwa hubungan yang sebenarnya adalah hubungan tidak langsung. Atau dengan kata lain bahwa hubungan antara tingkat pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi merupakan hubungan tidak langsung dengan variabel kemiskinan sebagai intervening variabelnya.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
19
REFERENSI: Badan Pusat Statistik, 2008. Analisis dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan tahun 2008, Jakarta. _____________, 2010, Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Aceh Utara tahun 2010. _____________, 2012, Aceh Utara Dalam Angka 2012. _____________, 2012, IndikatorKesejahteraan Rakyat Kabupaten Aceh Utara tahun 2012. _____________, 2012, Indikator Ketenagakerjaan Kabupaten Aceh Utara tahun2012. Budiono, 1981, Teori Pertumbuhan Ekonomi, Yogyakarta : BPFE Coki, A. Syahwier, 2005, Realitas Makroekonomi: Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinan. Jurnal Ekonomi Dan Studi Pembangunan Vol.1 no.1, 2005, Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta Esmara, Hendra, 1986, Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia, Gramedia, Jakarta. Ghozali, Imam, 2011, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM SPSS 19,Universitas Dipenogoro Jhingan, M.L, 2000, Ekonomi Pembangunan Dan Perencanaan, terjemahan D.Guritno. Raja Grafindo Persada, Jakarta Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Jakarta: Penerbit Erlangga, Jakarta. Laili, Nur, 2011, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Dan Kepadatan Penduduk Terhadap Tingkat Kemiskinan Di Kabupaten / Kota Jawa Timur Tahun 2005-2009 Maryanti, Sri, 2009, analisa Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan di Propinsi Riau,Pekbis Jurnal, Vol, I, No.3, November 2009:150-158 Mankiw, N.Gregory, 2006, Principles of Economics, Pengantar Ekonomi Makro, Edisi 3, Salemba Empat, Jakarta Octaviani, Dian, 2001, Inflasi, Pengangguran dan Kemiskinnan di Indonesia: Analisis Indeks Forrester Greer & Horbecke, Media Ekonomi, Vol.7, No.8 Sukirno, Sadono, 2006, Teori Pengantar Ekonomi Makro, Edisi Ke-3, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sukirno, Sadono, 2010, Makroekonomi, Edisi Ke-3, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. Tambunan, Tulus, 2008, Perekonomian Indonesia,Jakarta : Ghalia Jakarta
20
CUT PUTRI MELLITA SARI
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, 1, Januari 2015 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 16, Nomor 1, Januari 2015 ISSN: 1412 – 968X Hal. 21-27
21
THE STUDY OF PARENTS’ INCOME TOWARD STUDENTS’ ABILITY IN LEARNING ENGLISH A case Study of first Semester at Economic Faculty, Malikussaleh University
HANIF
Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
This research was done to know the study of parents’ income toward students’ ability in learning English. The purpose of this research is to find out the influance of parents’ income toward students’ ability in learning English. Family’s income is one of the students’ backgrounds that effect the students’ success in learning English at college. The test and questionares were used as an intrument to collect the data and information. The population of this study was the first semester students of Economic faculty of Malikussaleh university was taken as the sample for this study. The data collected was analyzed by using the statiscal procedures. The anova analysis was used to test the hyothesis that the students who are coming from better ecomic family income will have higher capabilty in the English than those who come from lower economic family income. This finding revealed that the students from lower family income have the equal abilty in learning English with the students from middle or higher family income one. Keywords: Family income, abilty, learning english
22
HANIF
BACKGROUND Teaching method and students’ backgrounds are the factors that effect the students’ success or failure. Students at any universities in Indonesia are coming from diffrent backgrounds. They are different in many ways; their family’s status, their culture and the language they used at home. Meanwhile, the status of a family is usually associated with family’s income, parent’s educational level, parent’s occupation and social status. Family’s income is one of the students’ backgrounds that effect the students’ success in learning English. Students differ by the time they spend to study and to work depending on the family’s financial status and attention of parents toward education. Parents face major challenges to provide optimal care and education for their children. The children are more likely to succeed academically if their parents support their learning actively. However, the challenges are felt among poor families that they have to sruggle in providing the basic needs to rise up their family members. The students with lower family income often lack of the financial, social and education support than the student with higher family income. Those who come from low-income family have to help their parents working part time to earn money to support their life. Contrary, the students who come from better economic status do not necessary to do it. Their parents can provide them with learning needs at home such as good English readers, textbooks, exercise book, and other material related to the subject at school. They can also send their children to the English courses and or give a private tutor at home to reinforce their children work done for the school. Valdez (2001) stated in his essay that: at home, parents’ engagement in their children’s learning to strengthen children capabilities for intellectual growth and allows them to make sense out of everyday activities, thereby deepening their understanding of mathematics, science, and technology. It is generally believed that the students from high and middle class family income status are better expose to learning environment at home because of the availability of extra learning facilities. In contrast, the student from low family
income do not have such learning facilities, so the opportunity to get better of educational grade may not be very easy. In addition, Parker (1999:4) wrote that low income parents is associated with a higher level of frustration and aggravation with their children, and these children are more likely to have poor verbal development and exhibit higher levels of distractibility and hostility in the classroom. His statement is supported by Dahl (2005) by saying that” in particular, children growing up in poor families are likely to have advese home environment or face other challenges which would continue to affect their development even if family income were to incraese substantially”. Related to the above problems, some finding, however, are different in the field. There are some students who succeed in their study even though they are coming from low economic family status. Beside the economic status, many other factors also influance the students’ success in their study; they are motivation, learning strategy and learning process. It can be seen from what Ryan et al (2006:4) found: children invidual’s charateristics often emerge as importan predictor of school success. The evidence suggest that various individual characteristics, namely general self esteem, educational aspiration can improve their language proficiency. Every student has potensial to become a successful learner and achieve the success of learning English task when obtaining the knowledge, depents on them how to integrate the learning srategy. OPERATIONAL DEFINITION This study attempts to isvestigate the influances of parent’s economic status in students’ English learning process. Since English learning is not separated from learning process, the learning process itself will be described as follows. Learningis change in human disposition or capability, which can be retain, and which is not simply ascribable to the process of growth Gagne (196:5). The kind of change that called learning is change in behavior, and the inference of learning is made by comparing what behavior can be exhibit after such treatment. Meanwhile, in Wkipedia (2006) learning is explaned as the process of gain-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
ing understanding that leads to the modification of attitudes and behavior through the acquaisition of knowledge, skills and values, through study and experiance. English learning process depends on the students’ environment especially their family, in this case family’s income. According to Granzow (1999:208) income is money that received, especially as pay for work, or as interest on savings. THEORETICAL RATIONALE Students’ parent economic situation-the ability to pay fees, rent and support their children while studying is primary determinant of ability to access education. While access to education is determined by others factors, financial one is significant. Karolyn (1998:15) stated that early education programs have larger effects for economically disadvantaged populations, primarily because these children come from homes with lower quality learning environments. Definitions of at-risk students vary among educators. According to Costello (1996:2): Students are placed ‘at-risk’ when they experiance a significant mismath between their circumstances and needs, and the capacity or willingness of the school to accept, accommodate, and respond to them in a manner that supports and enables their maximum social, emotional, and intellectual growth and development. The condition of low family income is always lack of food and clothes. The parents are very busy to fulfill their basic needs, so that they have no time to encourage their children to learn. They can not provide their children with learning facilities. The result is their children lazy to learn especially English because of lack learning facilities and encouragement. According to Ogwu (2004:24) the high socio-economic status parents are able to provide their young children with high quality child care books and toys to encourage them in their various learning activities at home. Crinic and Lamberty (1994:94) believed that, segregating the nature of social-economic class, etnicity and race may well reduce the variety often enriching experiances thought to be pre-requisite for creating readiness to learn among children so-
23
cial class. Economic status of the family therefore can refer to such a position in relationship to the social and economic position of parents occupying various positions among groups in the society. These positions are looked in relationship toward education achievement. Socio-Economic Status The another research done by Lubienski (2006) found that socio-economic status influances students’ achievement; students from higher socioeconomic families tend to get higher achievement compared to students with lower socio-economic status. First of all, the research found that the gaps appeared to be more closely tied to socio-economic status than race, because students with high socio-economic status tend to have better access to computers, and learning tools such as calculators, books, dictionaries etc. Teachers can provide better inputs for students to improve their learning achievement. Culturally disadvantaged students may not receive an adequate education due to limited experiences with what the teacher is saying. These school experiances that reinforce inadequacy hinder self-esteen and provide little motivation as to what real world provides (Bakken, 2002:5). Furthermore, Bakken(2002:7) added that: “Many students who do not have easy access to better learning situation believe learning English is mostly memorizing subject which adds to their low achievement. However, students move away from this belief as they study more and deeper. The longer they remain in school, the farther below the avarage grade level they fall, finally drop out, become delinquent, and perhaps join the mass of unemployed youth”. The children at the bottom of the socio-economic scale generally achive far below the normal levels. Several factors are suggested as factors why students fail to meet the standard requirements. At times, young people see no relationship between the day-to-day activities of the school and the opportunities are open to them in the future. Lubienski (2006:71) said, “by providing fair learning opportunities to different population will help narrow the achievement gap. Existing eco-
24
nomic power in the comunity showed srong influance”. Furthermore, he found that nearly 50% of the variance in test passing rates was determined by the demographic opportunity sructure such as financial capital, human capital (level of parents’ education), cultural capital (status and expectacy), and geographic capital (level of urban influance), rather than the oppotunity sructure provide d within schools (economic opportunity sructure). As English (2002:34) wrote that, demographic opportunity sructure is largely influanced by economic opportunity sructure and other capitals, and it has srong impact on students’ achievement rate. Social Class Classifications According to Adler (1993:45) social economic status is traditionally measured by eduaction, income, and occupation. By using these criteria, the social classification is grouped. Numerous designations have been developed to categorize different levels of social class continuum. The three most popular designations are: 1. Three subgroups: upper class, middle class, and lower class 2. Five subgroups: upper class, upper-middle class, lower-middle class, upper-working class, and lower-working class. 3. Six subgroups: upper-upper class, lower upper class, upper middle class, lower-middle class, uper-lower class and lower-lower class. These subgroups are considered only as abroad label. They cannot account for variety of pattert to be found within each class level or do justice to an individual who is catagorized as being at specific class level. They suffice only to point out main group differences in life styles as they relate to such factors as home background, race, education, income, and occupational status. The calculation of a social has been controversy. According to Anderson(1995:26), the eventual classification is devided into three different social groups namely labeled as ‘high’, middle’ and low’,. The indicators of social class are residcupatential area and parents’ oion represent social indices in their own right, while the employed/unemployed distinction is used as a slight modification of the occupational index.
HANIF
Parental influance Heller and Fantuzzo (1993:22) discuss how parents are the earliest and most lasting influance that their children have in their lives. They explained that until the age of 18, children only spend 13% 0f their waking hours in school and 87% of their time with families. According to Sandra (2001:32), families play a meaningful role in children’s education success and interface at family and school is an element that must be accounted for when examing children’s school performance: that is, parents and teachers are educators, but not all education is schooling. Parents play a key role in improving the understanding and school achievement of their children. However, schools need to play a key role in developing ideas, which will encourage greater parent parcipation and involment in their children’s lives. Furthermore, Heller and Fantuzzo (1993:30) note that teachers who include parent participation in their classroom on a regularly will have two results: 1. Parents fell more positive about their contributions and abilities within themselves, and 2. Students show improvement in the areas of academic achievement and attitudes. Benjamin (1993:44) revealed that one the most important factors that influance a child’s achievement in school, particulary reading level, is the level of the parents’ education. It found that the avarage level of proficiency is lower for students with parents that did not graduate from high school. It was found tha more highly educated parents succeed greater in providing their children with the cognitive skills that promote achievement in school. Martin (1990) said that parents who are not as highly educated have a tendency to be more isolated and fear commitment and responsibility when it comes to involment in their child’s academic life. Parents’ Occupation Influance Most of people in Indonesia work in agricultural field, especially who live in the countryside and some are public servant in the goverment office. The farmers are still using tradional system in cultivating their farm namely using the workers
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
in their work. The result is many farmer live underline poverty. Therefore, many parents ask their children to work in the farmland to help them. The problem becomes more complex if the parents ask their children to work during the school time. The students achievement in school is becoming lower especially in English. Low parents’ income, as contextual factor to aid understanding performance. Heidenrick as quated by Natzke (2002:4) says that economically disadvantanged children have diffuculty in the school system because of family circumstances. At times, the family environment limits students’ perceptual, concepual, and linguistic experiance in their early yaers, poorly preparing them for school. In addition, Knapp (1990:58) says that, disadvantaged students often see less purpose in skills-based learning task than advantaged students because of frequent disparities between school and home. Therefore, poverty children are more likely to fall behind and never move past repetitive practice of basic skills. Many students suffer deprivantion in terms of economic needs, personal development, and quality of their education. The students are deprived in these are due to low-income levels, increasing tensions between their study and their work in supporting their parents. Students have no choice but working to support their parent’s income. It is difficult for students from lower family income to successfully compete in school in order to obtain better qualification skill. Low levels of income and indebtedness can have serious consequences for personal of students. Students from lower family income are at risk of developing low self-esteem due to their lack of financial means and inability to fully in social activities. Competing study and work demands are a major source of stress for students. Students from lower family income worry about meeting coursework deadline and working enough shift to cover their living expenses. As the result, students are prevented from maximizing their education levels due to financial and time pressures. Students often deprive themselves of sleep have significant impacts on the mental and physical well being of the students. Financial hardship has effected on students’ability to focus on their study. Work
25
commitment often interferes with a student, ability to attend the classes and to complete assessment task and study. Parents’ Education Influance According to Drazen (1992:11), in a study measuring student achievement and its relationship to family socioeconomic standing, the level of parent’s education is a factor that directly affects student achievement. Parents are the first responsible person toward their children education. Parents have to raise, protect, and educate for their children, which is not so easy to be implemented. It is supported by Zappala (2002:17) who states that students who had a parents with niversity qualification achieved higher levels of academic performance than students who did not have a parent(s) with university qualification. The duty of parents is provide educational environment at home. It can directly be linked with the educational level of the parents. Although the parents send their children to formal school, their parents affect the students’ achievement at school.. clay (1998) found that most children talk and act like their parents and do things they see done in their home. Each parent has different way of treating their children in supporting and encouranging their children in learning. The ability of parents to successfully support their children’ achievement largely relates to their ability to affordable childcare at home. Good educated parents can help developing academic and social competencies at home by encounraging good study habit and helping their children with homework assignment. Benefit of parents’ involvement can be academic, social and emotional. Additionally, when parents convey high academic expectation to their children, the children have high expectation for themselves. Parents of high achieving students are more likely, however, to participate in school govermance and school activities than are parents of avarage or struggling students and parental involvement both at home and at school is correlated positively to the educational level of the parent. (Miller,2001:13). Students from Low Family Income Low-income families have been labeled in dif-
26
HANIF
ferent ways, it was labeled with children with poor families, low-economic status and student at risk. According to Castello (1996:2), children are being placed”at risk” when they experiance a significant mismatch between their circumstance and need. Many children are the victims of this condition, which they cannot control. Where they live, how they are raised, and the amount of money their family has impacts the extent to which they can learn. The condition of low family income is always lack of food and clothes. The parents are very busy to fulfill their basic needs, so that they have no enough time to encourage their children to learn. They can not provide their children with learning facilities. The result is that their children are lazy to learn especially English because of lack learning facilities and encourangement. Taylor (2003:17) said that economic distress iincludinginsufficient resources to meet family needs and unemployment is related to parental depression, pessimism about the future and marital problem. Such parental distress affects child-rearing practices negatively. Base on the quotation above, it can be seen that the children from low family income cannot fully concentrate to their study. They focus not only on their study but also on their daily life. In addition, the children from lower family status have lower or less the opportunity to develop their language performance than the children from middle or higher family’s status. The differences may be caused by the way of their parents thinking, especially their mother in communicating with their children. The child’s language evolves through labeling of his enviroment, that is, his description and reaction to audiovisual stimulation. RESEARCH METHODOLOGY A case study approach supported with quantitative data collection is adopted for this reaserch.
This research is done by giving a test and questionnaires for the first semester students of Economics faculty, Malikussaleh university. The test was given in order to get the students’ score, which is associated with the students’ background in finding out if there is a relationship between the students background, in this case, their parent income, toward their ability in learning English. In the same time, the questionnare was distributed to the students in order to get their background parents such as what their parents’job is, how much money their parents earned per month and so on. Hereafter, the data collected is analyzed by using the recommended statistical procedure. CONCLUSION The result from this research showed that parents’ income has no significant influence on students’ abilty in learning English from the students of first semester at Economic faculty, Malikussaleh university. The result of the test shows the equal abilty in answering the questions given by writer. From the Annova analysis above, the value of F count is 2.19 and F table is for 5% error is 3.33 and for 1% error is 5.52. It meants that the value of F count is smaller than the value of F table (2.19<3.33<5.52). in view of the fact that the value of F count is smaller than the value of table for 5% and 1% error, therefore, the null hypothesis (Ho) is accepted and Ha is rejected. As a result, the present study confirms that students performed the equal ability in learning English either with higher or lower income. The parents’ income of the students does not take effect to much toward their abilty.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
27
REFERENCES Adler, NE. 1993. Socioeconomic inequalities in Health: NO Easy Solution. (online) (http://tip.psychology.org/lave.html) (accessed on January 8, 2015) Anderson, P.J. 1995. Community School and Parent Dynamic: A synthesis of Literature and Activities (online) (http://www.uic.edu/classes/1997.pdf) (accessed on January 14,2015) Bakken, Aleah.2002. the socioeconomic Status of Learners (online) (http://www.charis.wlc.edu/publications/symposium_ spring02/bakken.pdf) (accessed on January 20, 2015) Benjamin, l.A. 1993, parents’ literacy and their Children’s success in School: Recent Research, Promising Practices, and Research Implications. U.S. Department of Education, New Orleans Clay, M. 1998. By Different Path to Common Outcomes. New York Sternhouse Publication Costello, M.A. 1996. Critical Issue: Providings Effective Schoolong for Student at Risk.(online) (http:// www.ncrel.org) (accessed on December 05, 2014) Crinic, K & Lamberty, G. 1994, Reconsidering School Readiness: Conceptual and Applied Perceptive. Early Education and Development volume 5, No.2. Dahl, Gordon. 2005. The Impact of Family Income on Child Achievement, (online), (http://www.Irp. wisc.edu/publication/dps/pdfs/dp130505.pdf) (accessed on December 17, 2014)
28
HANIF
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, 1, Januari 2015 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 16, Nomor 1, Januari 2015 ISSN: 1412 – 968X Hal. 29-36
PENGARUH LDR, CAR DAN EPS TERHADAP HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA HUSAINI
Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
This research is to aim the impact of Loan to Deposite Ratio (LDR), Capital Adequacy Ratio (CAR) and Earning Per Share (EPS) to Stock Price of Banking that listing in Bursa Efek Indonesia. The sample obtained of 20 firms since 2009-2012. Data analyze used multiple regression through SPSS Program. The result of research found that as simultanouesly all of independent variables like LDR, CAR and EPS have a significant impact to Stock Price. As partially only EPS that influence to Stock Price while LDR and CAR have no significant impact to stock price that listed at Bursa Efek Indonesia. Keywords: Loan to deposit ratio (LDR), capital adequacy ratio (CAR), earning per share (EPS), stock price
29
30
HUSAINI
LATAR BELAKANG Dengan lahirnya bank-bank baru di Indonesia, mengindikasikan bahwa tingkat profitabilitas yang diperoleh oleh manajemen bank relatif tinggi. Jika pendapatan atau keuntungan yang diperoleh tinggi, maka dividen yang diberikan kepada investor juga tinggi. Sehingga harga saham yang ada di pasar juga akan meningkat. Jika harga saham terus meningkat maka akan keuntungan yang diperoleh oleh spekulan atau investor yang aktif menjual dan membeli sahamnya juga akan mendapatkan kuntungan atau disebut dengan capital gain. Di sisi lain, jika tingkat profitabilias yang dimiliki oleh perusahan relatif kecil, maka dividen yang diberikan kepada investor juga rendah. Sehingga, saham tidak begitu diminati oleh investor, dan harganya cenderung mengalami penurunan. Jika kondisi tersebut terjadi, maka investor akan mengalami kerugian (capital loss). Di beberapa tahun terakhir, perusahaan perbankan bahkan menempati peringkat teratas perusahaan BUMN yang memberikan keuntungan besar bagi negara Indonesia, dan merupakan perusahaan yang tidak mengalami defisit yang signifikan dalam kinerja keuangannya (Iskan, 2013). Salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan bank yaitu dengan pemberian kredit kepada nasabah. Kredit yang diberikan harus mempertimbangan Loan to Deposite Rasio (LDR). Semakin besar LDR, maka akan semakin tidak likuid bank tersebut dikarenakan total kredit yang diberikan kepada masyarakat lebih banyak dari pada total dana pihak ketiga. Dalam pemberian kredit, tidak semua modal yang dimiliki oleh perbankan dapat diberikan kepada nasabah. Ada persyaratan yang harus dilalui yang lebih dikenal dengan Capital Adequacy Ratio (CAR). CAR merupakan rasio kecukupan modal perbankan. Semakin besar CAR yang dimiliki oleh suatu bank maka kinerja bank tersebut akan semakin baik sehingga berdampak positif terhadap harga saham, Fenomena yang lain berkaitan dengan harga saham yaitu, laba yang diperoleh untuk pemegang sahan (EPS). Semakin besar laba setelah pajak yang dihasilkan, maka EPS dalam jumlah lembar saham yang konstan semakin besar. Dengan de-
mikian, kemampuan perusahaan akan semakin besar untuk membayarkan cash dividend pada para pemegang saham. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa EPS memiliki hubungan yang positif dengan cash dividend. Dari beberapa fenomena di atas, maka penulis ingin menganalisis pengaruh Loan to Deposit Ratio (LDR), Capital Adequacy Ratio (CAR), dan Earning Per Share (EPS).terhadap Harga saham di Bursa Efek Indonesia. TINJAUAN PUSTAKA Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Saham Ada beberapa pendapat ahli tentang faktorfaktor yang mempengaruhi harga saham di pasar. Antara lain dibentuk oleh adanya pemintaan dan penawaran atas saham. Permintaan dan penawaran tersebut terjadi karena adanya banyak faktor, baik yang sifatnya spesifik atas saham tersebut (kinerja perusahaan dan industri dimana perusahaan tersebut bergerak) maupun faktor yang sifatnya makro seperti kondisi ekonomi negara, kondisi sosial dan politik, maupun informasi-informasi yang berkembang. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga saham dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: (1) Faktor yang bersifat fundamental, (2) Faktor yang bersifat teknis, (3) Faktor sosial politik. Faktor fundamental lebih bersifat kepada internal perusahaan, seperti kemampuan manajemen, prospek bisnis, pemasaran, penggunaan teknologi dan tingkat profitabilitas yang diperoleh. Faktor teknis lebih bersifat ekstern seperti perkembangan kurs, kondisi padar modal, suku bunga, kekuatan pasar modal dalam mempengaruhi harga saham. Faktor sosial politik lebih bersifat kepada kebijakan pemerintahan seperti penanganan inflasi, kebijakan moneter, keadaan politik dan dukungan pemerintah dalam upaya pertumbuhan perekonomian (Darmadji dan Fakhruddin, 2001). Loan to Deposit Ratio (LDR) Loan to deposit ratio dapat diartikan sebagai perbandingan antara kredit yang diberikan kepada nasabah dengan dana pihak ketiga (DPK) yang dihimupun oleh bank, baik dalam bentuk
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
giro, tabungan dan deposito. . Kredit yang diberikan tersebut tidak termasuk kredit yang diberikan terhadap bank lain. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur seberapa besar pendanaan pinjaman yang diberikan oleh bank yang bersumber dari pihak ketiga. (SE BI No.6/23/2004). Loan to deposit ratio (LDR) digunakan untuk menilai likuiditas suatu bank dengan cara membagi jumlah kredit dengan jumlah dana. Loan to deposit ratio juga merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan suatu bank dalam menyediakan dana kepada debiturnya dengan modal yang dimiliki oleh maupun dana yang yang dapat dikumpulkan dari masyarakat (Almilia dan Herdiningtyas, 2005). Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut: LDR =
Total Loan Total Deposit + Equity
x 100%
Capital Adequacy Ratio (CAR) Capital adequacy ratio adalah jumlah dana yang harus disediakan oleh banrasio kecukupan modal yang berfungsi menampung risiko kerugian yang memungkinkan dihadapi oleh bank. Semakin tinggi CAR maka semakin baik kemampuan tersebut untuk menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko. Menurut Dendawijaya (2009:121) capital adequacy ratio adalah rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung unsur risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) yang ikut dibiayai dari modal sendiri bank, disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank. Menurut Rivai, Veithzal, dan Idroes (2007:713) capital adequacy ratio adalah sebagai salah satu indikator kemampuan bank dalam menutup penurunan aktiva sebagai akibat kerugian yang diderita bank. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut: CAR =
Equity Capital Total Loans + Securities
x 100%
Earning Per Share (EPS) Earning per share merupakan rasio yang menunjukan bagian laba untuk setiap saham yang
31
diperoleh investor. Earning per share juga merupakan sebagai suatu rasio yang biasa digunakan dalam prospektus, bahan penyajian, dan laporan tahunan kepada pemegang saham yang merupakan laba bersih dikurangi dividen (laba tersedia bagi pemegang saham biasa) dibagi dengan ratarata tertimbang dari saham biasa yang beredar yang akan menghasilkan laba per saham. Sehingga earning per share merupakan jumlah pendapatan yang diperoleh dalam satu periode untuk tiap lembar saham yang beredar, Darmadji & Fakhruddin (2001):195) Menurut Machfoedz (2001:356) tujuan perhitungan earning per share adalah untuk melihat progress dari operasi perusahaan, menentukan harga saham, dan menentukan besarnya dividen yang akan dibagikan. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut: EPS =
Laba Bersih Setelah Pajak Jumlah Lembar Saham yang Beredar
x 100%
Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan bagian penelitian yang menunjukkan arah fokus penelitian sesuai dengan variabel yang akan diangkat dalam penelitian, adapun yang menjadi kerangka konseptual penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Loan to Deposit Ratio
Capital Adequacy Ratio
Harga Saham
Earning Per Share
Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah, telaah teori, dan kerangka pemikiran teoritis tersebut di atas, maka hipotesis alternatif yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut: H1: Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh terhadap harga saham perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. H2: Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh
32
HUSAINI
terhadap harga saham perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. H3: Earning Per Share (EPS) berpengaruh terhadap harga saham perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. METODE PENELITIAN Data yang digunakan dalam bentuk dokumentasi yang diperoleh dari laporan keuangan perusahaan-perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebanyak 20 perusahaan. Data yang diambil berkaitan dengan, loan to deposit ratio, capital adequacy ratio dan earning per share yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009-2012. Definisi Operasional Variabel Adapun variabel-variabel yang didefinisikan terdiri dari : 1. Harga saham (Y) merupakan variabel yang dipengaruhi atau tergantung oleh variabel independen. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah harga saham (Y) yang diukur dengan satuan rupiah (Rp). 2. Loan to Deposit Ratio (X1) adalah rasio yang membandingan antara total kredit yang diberikan oleh pihak bank dengan total dana pihak ketiga yang dihimpun. 3. Capital Adequacy Ratio (X2) adalah rasio yang membandingkan antara modal sendiri bank dengan total risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain). 4. Earning Per Share (X3) merupakan salah satu rasio pasar yang menunjukkan besarnya pendapatan saham yang mampu diperoleh dari setiap lembar saham yang dimiliki. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah penelitian mempunyai distribusi normal. Model pengujian yangdigunakan yaitu Uji statistik non-parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S), Ghozali (2005) Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi
diantara variabel bebas (independent). Adanya multikolinearitas dapat dilihat dari Tolerance Value > 0,10 dan nilai Variance Inflation Factor (VIF) < 10. Uji Autokorelasi Autokorelasi dapat diartikan sebagai korelasi yang terjadi antar anggota observasi yang terletak berdekatan secara serial dalam bentuk waktu atau korelasi antar tempat yang berdekatan bila adanya cross series. Uji yang digunakan untuk menguji adanya autokorelasi dalam suatu model regresi dapat dilakukan melalui pengujian terhadap nilai Durbin-Watson. Metode Analisis Data Untuk mengetahui tingkat pengaruh variabel independent terhadap variabel dependent, digunakan model analisis dalam bentuk persamaan regresi linier berganda. Y = ß0 + ß 1X1 + ß 2X2 + ß 3X3 + e Dimana: Y = Harga saham ß0 = Konstanta ß = Koefisien regresi X1 = Loan to Deposit Ratio X2 = Capital Adequacy Ratio X3 = Earning Per Share e = Error HASIL PENELITIAN Uji Normalitas Data Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Untuk melihat normal atau tidaknya data penelitian, bisa uji statistik non-parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S) dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel di atas, menunjukkan bahwa nilai Kolmogrov Smirnov sebesar 0,623 dan nilai Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,832. Karena nilai Asymp. Sig. (2-tailed) > 5% (0,05) maka data model penelitian berdistribusi normal.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
33
Tabel 1 Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N
80
Normal Parameters(a,b)
Mean
.0000000
Std. Deviation Most Extreme Differences
.76903994
Absolute
.070
Positive
.065
Negative
-.070
Kolmogorov-Smirnov Z
.623
Asymp. Sig. (2-tailed)
.832
Sumber: Data diolah SPSS 11.0 (2014)
Tabel 2 Hasil Uji Multikolinearitas Model Tolerance 1
Collinearity Statistics VIF
(Constant) LDR
.737
1.357
CAR
.346
2.887
EPS
.347
2.881
Sumber: Data diolah SPSS 11.0 (2014) Tabel 3 Hasil Uji Autokorelasi
Model
Durbin-Watson
1
1.919
Sumber: Data diolah SPSS 11.0 (2014) Tabel 4 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
Variabel Independen
Koefisien Regresi (ß)
Konstanta LDR CAR EPS
3.440 0.136 0.086 0.587
R = 0.827 R2 = 0.685 Adjusted R2 = 0.659
Sumber: data diolah SPSS 11.0 (2014)
Standard Error 1.258 0.008 0.039 0.001 Fhitung = 26,421 Ftabel = 2,23 Sign F = 0.000 Ttabel = 1.993
thitung
Sign t
2.734 1.781 0.766 5.260
0.008 0.079 0.446 0.000
34
HUSAINI
Uji Multikolinearitas Pada uji multikolinearitas model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Untuk mendeteksi ada tidaknya gejala multikolinearitas antar variabel independen dengan melihat nilai tolerance dan variance inflation faktor (VIF) pada Tabel 2. Berdasarkan hasil Tabel 2 di atas maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing variabel independen memiliki nilai tolerance > 0,10 begitu juga dengan hasil perhitungan yang dimiliki oleh nilai VIF menunjukkan nilai VIF < 10. Jadi dalam model ini tidak ada multikolinearitas antar variabel independen. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Dalam penelitian ada tidaknya terjadi autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin – Watson (DW test). Sebagaimana terlohat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 di atas, dapat diketahui bahwa nilai Durbin Watson adalah sebesar 1,919. Nilai DW ini akan kita bandingkan dengan nilai tabel Durbin Watson dengan signifikan 5% dan jumlah sampel sebanyak 80 dengan variabel independen 6, maka diperoleh du 1,801 dan kurang dari (4-du) = 4 - 1,801 = 2,199. Bila dw hit ≤ 4-du (1,919 ≤ 2,199) maka koefisien autokorelasi sama dengan nol maka dapat disimpulkan bahwa data model penelitian ini tidak terjadi autokorelasi. PEMBAHASAN Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Saham Dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda yang berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antar variabel LDR, CAR EPS terhadap harga dengan persamaaan LnY = ß0 + ß 1X1 + ß 2X2 + ß 3X3, Untuk melihat hasil estimasi model penelitian data, maka diperoleh hasil perhitungan analisis regresi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4 berikut ini.
Berdasarkan Tabel 4 di atas, diketahui bahwa koefisien korelasi (R) sebesar 82,7% yang menunjukkan bahwa derajat hubungan (korelasi) antara variabel bebas yaitu), Loan to Deposit Ratio (LDR), Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Earning Per Share (EPS) dengan variabel terikat yaitu harga saham sebesar 82,7% (korelasi sangat kuat). Sedangkan nilai koefisien determinasi (adjusted R2) sebesar 0,659 atau 65,9%. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel Return on Assets (ROA), Loan to Deposit Ratio (LDR), Capital Adequacy Ratio (CAR), Net Profit Margin (NPM), Debt to Equity Ratio (DER), dan Earning Per Share (EPS) dapat mempengaruhi harga saham sebesar 65,9%. Sedangkan sisanya 34,1% dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak termasuk dalam model penelitian ini. Pengujian Secara Simultan (Uji-F) Dari Tabel 4 di atas, dapat dijelaskan bahwa hasil pengujian secara simultan dilakukan, diperoleh Fhitung > Ftabel sebesar 26,421 > 2,23 dengan nilai signifikasi < α = 0,05, yang berarti LDR, CAR dan EPS berpengaruh terhadap harga saham pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Pengujian Secara Parsial (Uji-t) Berdasarkan Tabel 4 di atas, dapat dilihat bahawa variabel Loan to Deposit Ratio (X2) diperoleh nilai thitung < ttabel sebesar 1,781 < 1,993 dengan nilai signifikansi sebesar 0,079. Jika nilai thitung < ttabel dengan tingkat signifikansi > α = 0,05, maka hipotesis menyatakan menolak H2, dalam artian secara parsial tidak terdapat pengaruh positif yang signifikan Loan to Deposit Ratio (X1) terhadap harga saham (Y) pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sementara dari tabel 4 di atas, hasil penelitian untuk Variabel Capital Adequacy Ratio (X2) diperoleh nilai thitung < ttabel sebesar 0,766 < 1,993 dengan nilai signifikansi sebesar 0,446. Jika nilai thitung < ttabel dengan tingkat signifikansi > α = 0,05, maka hipotesis menyatakan menolak H2, dalam artian secara parsial tidak terdapat pengaruh positif yang signifikan Capital Adequacy Ratio (X3) terhadap harga saham (Y) pada perusahaan perbankan yang
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
35
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Selanjutnya hasil pengujian untuk Variabel Earning Per Share (X3) diperoleh nilai thitung > ttasebesar 5,260 > 1,993 dengan nilai signifikansi bel sebesar 0,000. Jika nilai thitung > ttabel dengan tingkat signifikansi < α = 0,05, maka hipotesis menyatakan menerima H3, dalam artian secara parsial terdapat pengaruh positif yang signifikan Earning Per Share (X6) terhadap harga saham (Y) pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
EPS berpengaruh signifikan terhadap harga saham pada perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia. Sedangkan hasil pengujian secara parsial (Uji t) menunjukkan hanya EPS yang berpengaruh signifikan terhadap harga saham perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia. Sedangkan LDR, CAR tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini, maka penulis dapat memberikan untuk peneliti selanjutnya agar penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian pada perusahaan yang berbeda agar hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan pada semua sektor yang ada di Bursa Efek Indonesia. Pada penelitian ini hanya menggunakan 20 perusahaan sampel oleh karena itu penelitian selanjutnya dapat menambah jumlah perusahaan agar hasil yang diperoleh lebih valid dan akurat.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa besarnya pengaruh antara variabel Independen yang terdiri dari variabel CAR, LDR dan EPS 65,9%. Hasil ini menunjukkan bahwa variable. Sedangkan sisanya 34,1% dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak termasuk dalam model. Hasil Pengujian secara simultan (Uji F) menunjukkan bahwa secara simultan LDR, CARdan
SARAN
36
HUSAINI
REFERENSI Almilia, Luciana Spica dan Winny Herdiningtyas. (2005). Analisis Rasio CAMEL Terhdap Prediksi Kondisi Bermasalah Pada Lembaga Perbankan Perioda 2000-2002. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Surabaya: STIE Perbanas. Bank Indonesia. Surat Edaran Direksi No. 6/23/2004 Tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Jakarta. Brigham, Eugene F dan Joel F Houston. (2010). Manajemen Keuangan. Buku I Edisi Kedelapan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Darmadji, T dan Fakhrudin M.H. (2001). Pasar Modal Di Indonesia Pendekatan Tanya Jawab. Jakarta: Salemba Empat. Dendawijaya, Lukman. (2009). Manajemen Perbankan. Jakarta: Galiah Indonesia. Ghozali, Imam. (2005). Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hair, Joseph et al. (2006). MultiVariate Data Analysis. Fifth Edition. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hanafi, Mamduh. (2008). Manajemen Keuangan. Edisi 1. Yogyakarta: BPFE. Harahap, Sofyan Syafri. (2007). Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada. Iskan, Dahlan. (2013). Dahlan Terkejut Laba 4 Bank BUMN Tetap Tinggi Di Tengah Gejolak Ekonomi. www.detik.com/finance. 10 Februari 2014. Machfoedz, Mas’ud. (2001). Akuntansi Lanjutan 2. Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE. Rivai, Veithzal, Andria Permata Veithzal, dan Ferry N Idroes. (2007). Bank And Financial Institution Management. Jakarta: Rajawali Pers. Riyadi. Selamet. (2006). Banking Assets And Liability Manageneunt. Edisi 3. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Syamsuddin, Lukman. (2004). Manajemen Keuangan Perusahaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, 1, Januari 2015 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 16, Nomor 1, Januari 2015 ISSN: 1412 – 968X Hal. 37-45
ANALISIS KETIDAKPASTIAN PENDAPATAN NELAYAN ACEH
JAMILAH
Dosen pada Fakultas Pertanian, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
The purpose of this study is to analyze the uncertainty of the income of fisherman and factors that affect the income of fishermen in Aceh. Fishing income levels were analyzed by revenue analysis methods, identification of factors that affect the revenue used multiple linear regression analysis method. The results showed that the income of fishermen to fish only 5 days a week. If the average income of fishermen converted in a week is at least Rp. 35.714,29/day, up to Rp. 71.428,57/day. Assuming family members as much as 5 people, yhe minimum income of Rp. 7.142,86 per capita per day and maximum of Rp. 14.285,71 per capita per day or Rp. 428.571,30 per capita per month. By using size Sajogyo poverty line, fishing in the study area are categorized as the poorest groups of fishermen, because the highest income of fishermen fishing in poverty caused by fluctuations in the catch of the season, lack of human resources (HR) fishermen, capital exploitation, inequality in the sharing system, motorization, and fishing habits to overcome economic difficulties. Keywords: uncertainty, income, poverty fishermen
37
38
JAMILAH
LATAR BELAKANG Lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia justru berada di bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang paling terpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Tahun 2010 angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS terakhir mencapai 35 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah penduduk yang mencapai sekitar 237 juta jiwa, sedangkan Bank Dunia melaporkan kemiskinan di Indonesia masih berkisar sekitar 100 juta (Riyono, 2011). Provinsi Aceh memiliki garis pantai 2.666,27 km dan wilayah laut kewenangan 43.339, 83 km2 atau merupakan wlayah pesisir terbesar di Pulau Sumatera. Namun kenyataannya sumberdaya ini belum mampu mengangkat taraf kehidupan masyarakat pesisir. Faktanya, 25 persen masyarakat pesisir Aceh masih hidup di bawah garis kemiskinan atau belum sejahtera. Jumlah nelayan Aceh saat ini diperkirakan 61.768 orang dengan 58 persen adalah nelayan tetap dan sisanya nelayan paruh waktu. Akibat dari kemiskinan ini masyarakat berusaha mencari nafkah dengan merusak, misalnya dengan menebang hutan mangrove atau menangkap ikan pakai bom dan sebagainya. Fakta lain adalah terjadinya penurunan penutupan terumbu karang 7 persen dalam 3 tahun terakhir. Bila berlanjut terus dalam kurun waktu 15 tahun terumbu karang di Aceh akan habis dan berdampak pada penurunan produktivitas ikan dan hasil tangkapan laut lainnya (Bisnis, 2010). Persoalan kemiskinan tidak hanya berupa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dalam pembahasan kemiskinan sangat pentinguntuk mengetahui tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan yang terjadi. selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus mampu mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Pada rentang waktu Maret 2009 hingga Maret 2010 kedua indeks mengalami penurunan dimana Indeks Kedalaman kemiskinan menjadi 4,11 persen dan
Indeks Keparahan Kemiskinan 1,26 persen. Penurunan kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit. Banyak pendapat pakar tentang kemiskinan di pesisir, Nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Akses-akses masyarakat pesisir (nelayan) Aceh dalam melakukan usaha-usaha peningkatan taraf hidup memiliki keterbatasan. Ketidakpastian pendapatan dan kurangnya akses nelayan dalam memperoleh modal usaha memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah. Nelayan sebagai produsen ikan dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu (1) golongan nelayan kecil, dengan modal kecil atau bahkan dengan hanya bermodalkan tenaga kerja saja; (2) golongan nelayan menengah, dengan peralatanperalatan sederhana seperti perahu kecil dan jala; dan (3) golongan nelayan tertinggi, yang mempunyai peralatan-peralatan dan perlengkapan khusus yang cukup canggih dan seringkali mempunyai cara-cara atau usaha lain (Alkausar 2013). Dalam bukunya, Satria dalam Saryani (2010) menyebutkan bahwa secara sosiologis karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat petani dalam pengelolaan atau dalam memanfaatkan lahan untuk mencari nafkah. Nelayan menghadapi sumberdaya yang tidak terkontrol dimana pada saat hasil tangkapan berkurang, maka nelayan tersebut harus mencari lahan baru. Artinya adalah nelayan lebih dipengaruhi oleh kondisi alam dan produktivitas tempat mereka mencari nafkah. Pada umumnya nelayan menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar dan sangat bergantung musim. Sebagian besar dari nelayan bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi terbatas. Nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar dan penurunan mutu sumberdaya pantai. Hasil tangkapan juga mudah rusak sehingga melemahkan posisi tawar mereka dalam transaksi penjualan. Selain itu, pola hubungan eskploitatif antara pemilik modal dengan buruh dan nelayan, serta usaha nelayan yang bersifat musiman dan tidak menentu menyebabkan masyarakat miskin di kawasan pesisir cenderung sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan dan belitan hutang pedagang atau pemilik kapal. Berbagai peraturan, qanun, dan regulasi lain yang mengatur lingkungan hidup termasuk pesisir belum berjalan sebagaimana mestinya karena lemahnya SDM yang mengelolanya. Program dan strategi `penanggulangan kemiskinan yang diterapkan oleh pemerintah masih berorientasi pada pertumbuhan makro, kebijakan yang terpusat, cara pandang tentang kemiskinan yang diorientasikan pada ekonomi, menempatkan nelayan miskin sebagai objek pembangunan, seperti pembebasan uang sekolah, pemberian kartu sehat, kartu miskin, dan bantuan yang bersifat habis pakai. Ironisnya, nelayan miskin hidup diantara kekayaan potensi sumberdaya perikanan, yang menunjukkan pengelolaan yang lambat, keterbatasan modal, kurangnya penguasaan teknologi perikanan, rendahnya akses informasi dan akses pasar, pemanfaatan sumberdaya yang belum optimal, menyebabkan kehidupan nelayan rentan dengan kemiskinan. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Pidie Jaya. Tingkat pendapatan nelayan dilihat dari indikator pendapatan, yaitu: Pd = TR – TC dan Pd = Yi.Pyi – ΣXi.Pxi Dimana: Pd = Pendapatan bersih (Rp) TR = Total penerimaan (Rp) TC = Total biaya produksi/penangkapan (Rp) Yi = Jumlah produksi/hasil nelayan (Kg)
39
Pyi = Harga rata-rata ikan (Rp/kg) Xi = Total biaya per satuan upaya (Rp/trip) Pxi = Jumlah upaya (trip/bulan) Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan di wilayah pesisir dianalisis dengan menggunakan metode regresi linier berganda, yang dinyatakan dengan persamaan berikut: Y = β0 + β1Um + β2Pk+ β3Tg+ β4D1+ β5D2+ β6D3+ β7D4+ β8D5+ β9D6 + εi Dimana: Y = pendapatan nelayan (Rp) β0 = intercept Um = umur nelayan (tahun) Pk = Pengalaman kerja (tahun) Tg = jumlah tanggungan keluarga (orang) D1 = Pendidikan (nilai 1 = SD, 0 = selain SD) D2 = akses ke pasar (nilai 1 = dekat, 0 = jauh) D3 = memiliki mesin motor (nilai 1 = pakai mesin, 0 = tidak pakai mesin) D4 = sarana penangkapan ikan (nilai 1 = kapal motor, 0 = perahu) D5 = jarak wilayah penangkapan D6 = tenaga kerja β1 = Koefisien regresi εi = error term. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendapatan Nelayan Aceh Salah satu ukuran kemakmuran adalah pendapatan karena kemakmuran itu sendiri tercipta karena adanya kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Artinya semakin besar pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat pada suatu wilayah, maka semakin makmur pula daerah itu. Selanjutnya bila pada suatu wilayah telah terjadi suatu kemakmuran dengan adanya peningkatan pendapatan, maka dapat dikatakan pula pada wilayah itu telah terjadinya suatu pengembangan wilayah. Sebaliknya semakin kecil pendapatan yang diterima oleh suatu masyarakat pada suatu wilayah, maka semakin kecil pula kemakmurannya pada wilayah itu. Dengan kata lain pada wilyah itu belum terjadinya suatu pengembangan wilayah, karena masyarakatnya miskin.
40
JAMILAH
Tingkat pendapatan bersih nelayan dapat diperoleh setelah hasil penjualan dkurangi dengan biaya produksi yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Menurut Subri (2005) bahwa biaya produksi dalam usaha nelayan terdiri atas dua kategori yaitu biaya berupa pengeluaran nyata dan biaya yang tidak merupakan pengeluaran nyata. Dalam hal ini pengeluaran nyata Ada yang kontan dan ada yang tidak kontan. Pengeluaran-pengeluaran kontan adalah : (1) bahan bakar dan oli, (2) bahan pengawet : es dan garam, (3) pengeluaran untuk makanan/konsumsi awak, (4) pengeluaran untuk reparasi, dan (5) pengeluaran untuk retribusi dan pajak. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak nyata adalah penyusutan dari perahukapal, mesin-mesin dan alat penangkap. Upah atau gaji awak nelayan pekerja yang umumnya bersifat bagi hasil dan dibayar sesudah hasil dijual. Sistem bagi hasil adalah pola pembagian dari hasil penjualan tangkapan setelah melakukan kegiatan menangkap ikan di laut dalam satu kali melaut. Sistem bagi hasil ini dilakukan oleh para nelayan karena adanya ketidakpastian hasil dalam usaha penangkapan ikan. Sistem bagi hasil yang berlaku pada masyarakat nelayan di daerah penelitian sangat bergantung pada jenis alat tangkap dan sarana penangkapan ikan (perahu/kapal) dikarenakan oleh adanya perbedaan modal yang dikeluarkan, maka bagian pemilik kapal akan lebih besar bila dibandingkan dengan sistem bagi hasil pada perahu besarnya resiko kerusakan sarana pada saat digunakan dalam kegiatan melaut. Setelah proses penjualan hasil tangkapan selesai, hasil penjualan tidak langsung dibagi. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali melaut mula-mula dipotong untuk biaya retribusi kepada petugas TPI (3%) dan biaya perbekalan atau biaya operasional melaut. Untuk sekarang ini, dengan adanya kenaikan harga BBM, biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini men-
cakup antara lain: biaya solar, oli, minyak tanah, dan es. Biaya perbekalan tersebut terlebih dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (toke). Sedangkan makanan dan rokok sebagai bekal nelayan di laut ditanggung sendiri oleh nelayan. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dipotong 10% dari hasil penjualan ikan untuk toke selaku pemilik modal. Sisanya dibagi menjadi dua bagian, yaitu satu bagian atau 40 persen untuk pemilik perahu (toke) dan sisanya 60 persen untuk nelayan buruh. Jika nelayan yang melaut ada 2 orang, maka bagian 60% dibagi menurut tugasnya masing-masing yaitu nelayan pawang perahu sebesar 40% dan nelayan buruh sebesar 20%. Jika perahu yang digunakan tanpa mesin, sistem bagi hasil sama dengan perahu mesin. Perahu tanpa mesin dengan wilayah penangkapan ikan 300 m hingga 1 km sehingga volume perolehan ikan lebih sedikit dan jenis ikan yang diperoleh biasanya ikan bilih, dencis dan tongkol. Rata-rata pendapatan nelayan yang menggunakan perahu mesin dan tanpa mesin adalah Rp. 50.000/hari hingga Rp. 100.000/hari. Jika usaha penangkapan ikan menggunakan kapal dengan lama penangkapan 3 hari (3 x 24 jam), maka hasil penjualan ikan yang diperoleh nelayan dikurangi dengan biaya bahan bakar solar 100 lt seharga Rp. 6.500/lt sebesar Rp. 650.000. Makanan selama 3 hari untuk 20 orang sebesar Rp. 1.000.000, penggunaan es sebanyak 50 bak (1 bak @ Rp. 25.000/bak) sebesar Rp. 1.250.000. Biaya bahan bakar, makanan dan es ditanggung oleh toke sedangkan rokok ditanggung oleh nelayan. Setelah dikurangi biaya bahan bakar selanjutnya dipotong 10% dari hasil penjualan ikan untuk toke selaku pemilik modal, dan sisanya dibagi sebesar 40% untuk toke dan 60% untuk nelayan yang ikut melaut. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kapal yang digunakan diikut sertakan oleh 20 orang hingga 25 orang dalam melaut,
Tabel 1 Pembagian Hasil Nelayan Buruh pada Usaha Penangkapan Ikan Di Aceh No. 1. 2. 3. 4. 5.
Spesialisasi Kerja Pawang Wakil pawang Tukang Lampu Masnage ABK
Sumber: Data Primer (Diolah), 2014.
Jumlah Orang 1 1 2 1 15
Bagian 5,0 bagian 4,0 bagian 3,0 bagian 2,5 bagian 1,0 bagian
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
maka bagian 60% untuk nelayan dibagi kepada 20 orang nelayan yang ikut melaut. Pembagian hasil diantara nelayan tersebut dibagi berdasarkan tugasnya masing-masing di kapal saat melaut sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1. Penghasilan rata-rata ABK (Anak Buah Kapal) sebesar Rp. 50.000/hari hingga Rp. 100.000/hari dan hanya melaut selama 5 hari dalam seminggu. Jika tidak ada keuntungan melaut atau perolehan hasil penjualan ikan hanya mampu menutupi biaya operasional maka nelayan yang ikut melaut tidak memiliki pendapatan, dan jika perolehan hasil penjualan ikan tidak mampu menutupi biaya operasional, maka kerugian ditanggung oleh toke. Di Kecamatan Pante Raja Kabuapten Pidie Jaya tidak ada kapal Langgar karena nelayan di daerah tersebut tidak mau menginap di laut atau tidak mau melaut lebih dari 1 x 12 jam. Tidak ada perbedaan sistem pembagian hasil antara nelayan di Kabupaten Aceh Utara dengan nelayan di Kabupaten Pidie Jaya. Berdasarkan hasil analisis pendapatan diketahui bahwa pendapatan nelayan di daerah penelitian berkisar antara Rp. 50.000/hari hingga Rp. 100.000/hari dan nelayan hanya melaut 5 hari dalam seminggu. Jika pendapatan rata-rata nelayan dikonversi dalam seminggu adalah minimal Rp. 35.714,29/hari, hingga Rp. 71.428,57/hari. Jika diasumsikan anggota keluarga sebanyak 5 orang, maka pendapatan nelayan minimum Rp. 7.142,86 per kapita per hari dan maksimum Rp. 14.285,71 per kapita per hari atau Rp. 428.571,30 per kapita per bulan. Jika pendapatan nelayan diukur dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan Sajogjo, dimana perhitungan dilakukan dengan mengasumsikan anggota keluarga sebanyak 5 orang dan harga beras saat dilakukan penelitian berkisar antara Rp. 6.500 s/d Rp. 10.000 per kilogram. Adapun garis kemiskinan ini dihitung dengan menggunakan konsep kebutuhan fisik minimum (KFM), yaitu KFM = kg beras/12 X Jak X HB (Sajogyo, 1991). Dengan ketentuan KFM = kebutuhan fisik miimum, Jak = Jumlah anggota keluarga, dan HB = Harga beras saat dilakukan penelitian. Jadi berdasarkan formula tersebut, kebutuhan fisik minimum keluarga nelayan dapat dihitung sebagai berikut:
a. b. c.
41
Miskin : 320/12 x 5 x 6.500 = Rp. 866.666,67 Miskin sekali : 240/12 x 5 x 6.500 = Rp. 650.000 Paling Miskin : 180/12 x 5 x 6.500 = Rp. 487.500
Jadi berdasarkan perhitungan di atas, nelayan tradisional dikataegorikan sebagai kelompok nelayan paling miskin, karena pendapatan tertinggi nelayan berada di bawah Rp. 487.500. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Mubyarto (1984) dalam penelitiannya bahwa pada umumnya nelayan merupakan kelompok paling miskin. Secara umum, kemiskinan dipahami oleh masyarakat nelayan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan akan sandang, pangan dan papan serta keterbatasan dalam menjangkau pelayanan pendidikan. Kemiskinan nelayan dapat dicirikan secara fisik dan sosial. Secara fisik kemiskinan nelayan dicirikan oleh kondisi rumah tempat tinggal nelayan yang sangat sederhana, yaitu berupa rumahrumah semi permanen atau rumah-rumah yang terbuat dari dinding anyaman bambu. Meskipun nelayan Aceh pasca bencana gempa dan tsunami telah mendapat bantuan rumah tempat tinggal permanen, namun ciri khas kemiskinan masih melekat dalam kehidupan rumah tangga nelayan, seperti kurangnya pemilikan perabotan rumahtangga serta tidak memiliki barang-barang berharga yang dapat menunjukkan status sosial yang tinggi seperti perhiasan emas, perabotan rumahtangga yang mewah, alat trasportasi, dan lain-lain. Secara sosial, kemiskinan nelayan dicirikan oleh tingkat pendidikan anggota rumah tangga yang masih rendah. Sebagian besar nelayan di Aceh hanya mampu menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD), bahkan ada pula sebagian nelayan yang sama sekali tidak pernah mengenyam bangku pendidikan karena keterbatasan biaya dan sejak kecil sudah diikut sertakan dalam kegiatan melaut. Peran para istri nelayan dalam membantu meningkatkan pendapatan rumah tangga juga patut diperhitungkan meskipun dalam kodratnya bertanggung jawab pada berbagai urusan rumah tangga dan gerak para istri nelayan dibatasi dalam lingkup rumah tangga. Mereka hadir dengan peran
42
produktif tanpa meninggalkan peran reproduktif dengan modal sosial mereka menopang ekonomi keluarga) namun rasanya masih perlu adaya pemberdayaan dari pemerintah untuk lebih jeli melihat kontribusi dari peran wanita ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan di wilayah pesisir Berdasarkan analisa kualitatif dapat diidentifikasikan beberapa faktor yang mempengaruhi fluktuasi pendapatan nelayan di Aceh, yaitu: a. Fluktuasi Musim Tangkapan Fluktuasi musim tangkapan ini dapat menyebabkan ketidakpastian pendapatan nelayan. Apabila sedang musim ikan, maka penghasilan nelayan pun cukup baik. Namun pada saat musim ikanpun mulai berkurang maka sering kali para nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang paspasan atau bahkan tidak ada perolehan ikan sama sekali. b. Sumberdaya Manusia (SDM) Nelayan SDM Nelayan sangat menentukan kinerja nelayan dalam usahanya memenuhi kebutuhan rumah tangga nelayan. Umumnya nelayan berpendidikan setaraf SD (Sekolah Dasar). Hal ini membuktikan ketidakmampuan nelayan dalam membiayai pendidikan anak-anaknya telah terjadi dalam waktu yang telah cukup lama. Kondisi sast ini juga memperlihatkan bahwa nelayan telah mengikut sertakan anak-anaknya untuk melaut yang didorong oleh keterbatasan ekonomi rumah tangga. Rendahnya tingkat pendidikan ini sangat berpengaruh terhadap ketrampilan, pola pikir, dan sikap mental nelayan. Dalam bekerja nelayan lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik atau tenaga, sehingga dapat dipastikan bahwa nelayan tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk mencari lapangan pekerjaan lain di luar sektor perikanan. Untuk itu, program pemerintah meluncurkan dana BOS dan pendidikan gratis hingga usia 9 tahun adalah langkah tepat guna mengantisipasi rendahnya kualitas sumber daya manusia nelayan di masa yang akan datang. c. Eksploitasi Pemodal (Toke) Ekploitasi para pemodal (toke) yaitu berupa hubunganpatron-klien yang sangat merugikan nelayan kecil dan buruh nelayan. Keterbatasan modal menyebabkan nelayan harus melaut dengan
JAMILAH
menggunakan perahu milik toke dengan sistem pinjaman. Dengan ketentuan, nelayan harus menjual ikan, membayar fee 10% dari hasil tangkapan dan membagi hasil tangkapan dengan toke sebagai pemilik modal/perahu. Jika nelayan berhenti melaut dan perahu dijual maka nelayan harus menggantikan biaya perahu ke toke sebesar pinjaman awal meskipun perahu tersebut telah digunakan selama beberapa tahun (susut). Jika biaya penjualan perahu tidak mencukupi maka nelayan dapat membayar sisa pembayaran perahu dengan cara dicicil. Sistem ini jelas sangat merugikan nelayan. d. Ketimpangan dalam Sistem Bagi Hasil Sistem bagi hasil dilakukan oleh para nelayan dengan alasan karena hasil tangkapan yang tidak menentu. Sistem bagi hasil yang berlaku ini dianggap hanya menguntungkan pihak toke saja karena besarnya pembagian hasil yang sangat timpang. Ketidakpuasan nelayan terhadap sistem bagi hasil terjadi jika saat melaut tidak memperoleh penghasilan atau penjualan ikan hanya mampu memenuhi biaya operasional saja, pada situasi seperti itu, nelayan tidak mendapatkan suatu kompensasi dalam bentuk apapun dari toke pemilik kapal/ perahu. e. Motorisasi Motorisasi perahu-perahu nelayan dalam pelaksanaannya memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan adanya penggunaan mesin, perjalanan perahu nelayan untuk menangkap ikan dapat dilakukan dengan lebih cepat, penghematan tenaga pendayung dan kegiatan tidak tergantung pada arah angin, yang berarti waktu dan tenaga dapat dihemat. Selain itu juga, kegiatan menangkap ikan dapat dilakukan dengan lebih intensif. Namun, dalam perkembangannya motorisasi peralatan tangkap ini telah menyebabkan tersisihnya kelembagaan ekonomi (TPI) karena para nelayan harus menjual hasil tangkapannya kepada para bakul yang menjadi langgannya bukan melalui lelang bebas di TPI seperti sebelum diberlakukannya motorisasi. Selain itu, motorisasi peralatan tangkap erat kaitannya dengan penggunaan bahan bakar. Setelah adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) masyarakat nelayan sangat merasa terbebani karena harus mengeluarkan biaya operasional yang lebih besar. Kenaikan harga BBM tersebut tidak dibarengi dengan kenaikan harga
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
hasil produksi nelayan. f. Kebiasaan Nelayan Nelayan seringkali meminjam sejumlah uang kepada toke pada saat hasil tangkapan sedang tidak baik atau pada saat musim paceklik, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Peminjaman kepada toke dilakukan karena lebih mudah, cepat dan tidak menggunakan anggunan seperti proses peminjaman melalui Bank. Peminjaman dilakukan atas dasar kepercayaan, dengan perjanjian bahwa nelayan akan mencicil pinjamannya saat memperoleh tangkapan ikan di laut. Kebiasaan ini menyebabkan para nelayan terjerat hutang dan semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan. Untuk mengetahui faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi pendapatan nelayan dilakukan analisis dengan metode regresi linier berganda, dan diperoleh hasil sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2 berikut. Berdasarkan Table 2, maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : Y = β0 + 52.530Um - 272.608Pk + 412.137Tg + 101.525D1 - 199.367D2 - 14644.731D3 + 12724.067D4 + 5147.573D5 - 2562.065D6 Secara parsial atau berdasarkan hasil uji t, diketahui bahwa variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan nelayan adalah akses ke pasar, memiliki mesin motor, sarana penangkapan dan jarak penangkapan ikan. Sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan nelayan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Umur nelayan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan karena berdasarkan
2.
3.
4.
5.
6.
43
hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata nelayan sejak kecil telah dilibatkan membantu dalam kegiatan nelayan dan semenjak remaja sudah ikut menangkap ikan di laut. Pengalaman kerja tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan karena meskipun nelayan cukup berpengalaman dalam menangkap ikan namun persaingan yang tinggi dengan kapal besar dan adanya keterbatasan sarana nelayan membuat wilayah penangkapan ikan menjadi terbatas sehingga perolehan ikan menjadi lebih sedikit. Jumlah tanggungan keluarga tidak mempengaruhi pendapatan nelayan karena sejak kecil anak-anak nelayan sudah dilibatkan dalam kegiatan nelayan, beternak, dan berdagang, sehingga anak-anak nelayan tidak menjadi beban bagi orang tuanya. Pendidikan juga tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan karena pengetahuan tentang pekerjaan nelayan diperoleh secara turun temurun dari orang tua mereka yang berprofesi sebagai nelayan sehingga tidak ditentukan oleh tingginya tingkat pendidikan formal. Akses ke pasar tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan karena umumnya pemasaran ikan dilakukan oleh touke di lokasi PPI sehingga dapat menghemat biaya transportasi dan perolehan pendapatan nelayan menjadi lebih besar. Koefisien regresi untuk variabel memiliki mesin motor / kapal adalah b3 = -14644.731 pada taraf nyata 10%, Hal ini menunjukkan bahwa nelayan yang memiliki perahu mesin motor/kapal memang dapat menjangkau
Tabel 2 Hasil Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan Variabel (Constant) Umur Nelayan Pengalaman Kerja Tanggungan Klga Pendidikan Akses Thd Pasar Memiliki mesin Sarana Pengkapan Jarak tangkapan Tenaga Kerja
Coefisients 50746.579 52.530 -272.608 412.137 101.525 -199.367 -14644.731 12724.067 5147.573 -2562.065
Std. Error 6193.751 321.668 316.061 656.166 476.692 2018.846 8834.294 3878.101 1005.662 662.692
T 8.193 .163 -.863 .628 .213 -.099 -1.658 3.281 5.119 -3.866
Sig.
.000 .870 .390 .531 .832 .921 .099 .001 .000 .000
VIF 14.069 14.704 1.799 1.456 1.284 19.671 4.975 76.654 46.492
44
wilayah penangkapan ikan yang dalam sehingga memperoleh ikan yang lebih besar dan lebih banyak namun disisi lain mengelaurkan anggaran yang cukup besar umtuk pengadaan bahan bakar minyak (BBM) sehingga mempengaruhi besarnya pendapatan nelayan. 7. Sarana penangkapan ikan berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan dengan koefisien regresi sebesar b4 = 12724.067 pada taraf nyata 1%. Hal ini disebabkan karena nelayan yang menggunakan perahu tanpa mesin biasanya hanya mampu menjangkau jarak 0,5 – 1 mil dan nelayan yang menggunakan perahu mesin mampu menempuh jarak penangkapan ikan + 5 – 10 mil. Sedangkan nelayan yang menggunakan kapal memiliki jarak tempuh yang lebih jauh dibandingkan nelayan yang menggunakan perahu motor yaitu + 20 mil. Jarak tempuh mempengaruhi jumlah dan jenis ikan yang diperoleh nelayan dan akan menentukan besarnya pendapatan nelayan. 8. Jarak wilayah penangkapan ikan berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan dengan koefisien regresi sebesar b5 = 5147.573 pada taraf nyata 1%. Hal ini karena jarak penangkapan ikan yang jauh biasanya diperoleh ikan besar-besar dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan jarak penangkapan ikan yang lebih dekat. Apalagi daerah pesisir pantai biasanya sudah over fishing sehingga ikan yang diperoleh jumlahnya relatif sedikit. 9. Tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan dengan koefisien regresi sebesar b6 = - 2562.065. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar penggunaan tenaga kerja maka akan semakin sedikit perolehan pendapatan bagi nelayan. Berdasarkan hasil uji determinasi diperoleh nilai R2 (R-Squared) sebesar 0,764. Artinya 76,4% variasi pendapatan nelayan dapat dijelaskan oleh perubahan variabel umur nelayan, pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan, akses ke pasar, memiliki atau tidak mesin motor/ kapal, sarana penangkapan ikan, jarak wilayah penangkapan, dan tenaga kerja. Sedangkan 23.6% lagi dijelaskan oleh perubahan variabel lain di luar model.
JAMILAH
KESIMPULAN a. Hasil analisis pendapatan diketahui bahwa pendapatan nelayan di daerah penelitian minimal sebesar Rp. 50.000 per hari hingga Rp. 100.000 per hari dan nelayan hanya melaut 5 hari dalam seminggu. Jika pendapatan rata-rata nelayan dikonversi dalam seminggu adalah minimal Rp. 35.714,29 per hari, hingga Rp. 71.428,57 per hari. Jika diasumsikan anggota keluarga sebanyak 5 orang, maka pendapatan nelayan minimum Rp. 7.142,86 per kapita per hari dan maksimum Rp. 14.285,71 per kapita per hari atau Rp. 428.571,30 per kapita per bulan. Dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan, nelayan di daerah penelitian dikatagorikan sebagai kelompok nelayan paling miskin, karena pendapatan tertinggi nelayan berada di bawah Rp. 487.500. b. Ketidakapastian perolehan pendapatan nelayan yang mendorong nelayan pada jurang kemiskinan disebabkan oleh fluktuasi musim tangkapan, rendahnya sumberdaya manusia (SDM) nelayan, adanya eksploitasi modal, ketimpangan dalam sistem bagi hasil, motorisasi yang mengharuskan penggunaan BBM non subsidi, dan kebiasaan nelayan dalam mengatasi kesulitan ekonomi. SARAN a. Pengembangan infrastruktur, penyediaan sarana dan prasarana perikanan dan bantuan pendanaan mutlak dibutuhkan nelayan saat ini untuk mengurangi ketergantungan terhadap touke dan meningkatkan pendapatan nelayan. Dalam hal ini, peran dunia usaha dalam usaha-usaha perikanan perlu diwujudkan mengingat belum adanya regulasi yang mengatur peran dunia usaha dalam pendanaan pembangunan Aceh. b. Mengingat rendahnya pendidikan dan keterbatasan nelayan dalam dunia usaha maka perlu ditingkatkan pendidikan dan pelatihan agar nelayan dapat melakukan usaha-usaha sampingan yang bernilai ekonomis guna mengantisipasi minimnya pendapatan melaut saat musimmusim tertentu yang menyebabkan rendahnya penangkapan ikan.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
45
REFERENSI Alkausar M. 2011. Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara. [tesis]. [Internet]. [Diunduh 8 Oktober 2013]. Denpasar [ID]: Universitas Udayana. 187 hal. Dapat diunduh dari: http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-349-1033464347pdf%20 tesis.pdf. Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik Aceh. Banda Aceh Bisnis, 2010. Kemiskinan di Wilayah Terujung Indonesia. 23 November 2010. Riyono, 2011. Akar Kemiskinan Nelayan Indonesia. Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia. Jum’at 01 April 2011. Sajogyo. 1991. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Saryani Y. 2010. Langgan bagi nelayan Muara-Binuangeun (studi kearifan lokal masyarakat nelayan Muara-Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 161 hal.
46
JAMILAH
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, 1, Januari 2015 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 16, Nomor 1, Januari 2015 ISSN: 1412 – 968X Hal. 47-57
PENGARUH FAKTOR INTERNAL TERHADAP PERTUMBUHAN PROFITABILITAS BANK TABUNGAN NEGARA (BTN)
NURUL MAWADDAH
Dosen pada Jurusan Tata Niaga, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Lhokseumawe
This study aim to determine the effect of internal factors; Capital Adequacy Ratio (CAR), Operating Expense to Operational Income (ROA), Loan to Deposit Ratio (LDR), and growth of profitability of state bank (BTN), measured by return on assets (ROA) for the last 10 years. The data used of reseach is the data time series of monthly financial reports of state bank (BTN). The method of data analysis used is Ordinary Least Square (OLS). Data analysis begins with descriptive statistics of variables, the classic assumption test, and test hypotheses. The results showed that BOPO has positive a significant influence to growth of profitability of state bank. LDR and CAR showed that negative a significant influence to growth of profitability. Result showed together (simultan) internal factors as well as affecting to profitability (ROA). Keywords: Financial performance, BOPO, CAR, ROA, LDR
47
48
NURUL MAWADDAH
LATAR BELAKANG Kinerja suatu perusahaan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang secara umum dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu faktor internal dan faktor eksternal perusahaan (Fabozzi, 1999:98). Faktor internal merupakan faktor-faktor yang berada dalam kendali pihak manajemen perusahaan, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berada di luar kendali manajemen perusahaan seperti kondisi perekonomian dan kondisi perindustrian . Pada perbankan, faktor internal identik dengan rasio keuangan karena setiap bank selalu memperhitungkan rasio tersebut sebagai alat kinerja bank dalam setiap laporan keuangannya. Adapun faktor internal yang mempengaruhi profitabilitas antara lain Capital Adequacy Ratio (CAR) Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), dan Loan to Deposite Ratio (LDR). Selain itu, juga terdapat faktor eksternal yang menarik untuk diteliti pada salah satu bank BUMN karena faktor tersebut bersifat tetap untuk masingmasing bank, namun dapat dilakukan pada salah satu bank dengan runtun waktu panjang atau dikenal dengan times series. Adapun pertimbangan dalam memilih objek penelitian pada bank BTN, dikarenakan BTN memiliki nilai ROA yang jauh lebih kecil dari bank BUMN lainnya dan juga berfluktuasi. Ini merupakan suatu fenomena yang dapat dijadikan sebuah penelitian. TINJAUAN PUSTAKA Kinerja Perbankan Kinerja keuangan bank merupakan gambaran kondisi keuangan bank pada suatu periode tertentu baik menyangkut aspek penghimpunan dana maupun penyaluran dana yang biasa diukur dengan indikator kecukupan modal, likuiditas dan profitabilitas bank (Jumingan, 2008:239). Salah satu faktor penilaian kinerja bank seperti yang diatur dalam PBI No.6/10/PBI/2004 adalah faktor finansial yang digunakan sebagai penilaian kesehatan bank untuk menilai baik buruknya suatu kondisi bank yang terdiri dari faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sesitivitas terhadap risiko pasar. Faktor-faktor ini dikenal
dengan rasio CAMELS (Capital, Asset Quality, Management, Earning, Liquidity, Sensitivity to market risk). Profitabilitas (ROA) dan Pertumbuhan Profitabilitas Profitabilitas merupakan gambaran kinerja fundamental perusahaan yang ditinjau dari tingkat efesiensi dan efektifitas operasi perusahaan dalam memperoleh laba (Horngren, 1993:369). Tingkat efesiensi sebuah perusahaan dapat diketahui jika profit yang dihasilkan pada setiap akhir periode dibandingkan dengan kekayaan atau modal yang digunakan untuk menghasilkan profit tersebut. ROA adalah salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur profitabilitas bank, karena menggambarkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba berdasarkan aktiva yang digunakan perusahaan secara keseluruhan. ROA adalah tingkat kemampuan perusahaan yang mencerminkan sejauh mana total investasi perusahaan mampu menghasilkan laba bersih perusahaan (Harmono, 2009:235). Sedangkan pertumbuhan profitabilitas merupakan perkembangan dari profitabilitas itu sendiri dari waktu ke waktu dengan berpedoman pada teori pertumbuhan ekonomi. Secara formulasi dapat dilihat pada operasionalisasi variabel. CAR (Capital Adequance Ratio) CAR merupakan bahagian dari modal yang dijadikan alat ukur dalam kesanggupan bank membangun kepercayaan masyarakat sehingga bank dapat menarik dana pihak ketiga (DPK). CAR memperlihatkan seberapa besar aktiva bank yang mengandung risiko seperti kredit, penyertaan, surat berharga, dan tagihan pada bank lain dapat dibiayai dari modal sendiri disamping memperoleh dana dari sumber-sumber diluar bank, (Margareta, 2007:63). BOPO (Biaya Operasional Terhadap Pendapatan Operasional) BOPO merupakan rasio efesiensi yang mengukur beban operasional terhadap pendapatan operasional. Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas pokok, seperti biaya bunga, biaya tenaga kerja, biaya pemasaran dan biaya ope-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
rasi lainnya, sedangkan pendapatan operasional merupakan pendapatan utama bank yaitu pendapatan bunga yang diperoleh dari penempatan dana dalam bentuk kredit dan pendapatan operasi lainnya. Jika bank dapat mengendalikan biaya dengan baik atau semaksimal mungkin maka laba bank meningkat. Semakin kecil biaya operasional yang dikeluarkan bank maka kemungkinan suatu bank dalam keadaan bermasalah (mengalami kerugian) semakin kecil (Hariyani, 2010:54). LDR (Loan to Deposite Ratio) LDR adalah suatu pengukuran tradisional yang menunjukkan deposito berjangka, giro, tabungan, dan lain-lain yang digunakan dalam memenuhi permohonan kredit nasabahnya. Penyaluran kredit merupakan kegiatan utama bank, oleh karena itu perhitungan LDR digunakan untuk mengetahui serta menilai seberapa jauh bank memiliki kondisi sehat dalam menjalankan operasi atau kegiatan usahanya. Dengan kata lain LDR digunakan sebagai suatu indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan dan likuiditas suatu bank dalam penyaluran kredit. Batas toleransi LDR berkisar antara 85%-100% atau batas aman untuk LDR menurut peraturan pemerintah adalah maksimum 110%. Pengaruh CAR terhadap ROA CAR wajib dimiliki oleh setiap perbankan minimum 8% sebagai jaminan bahwa bank mampu menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR tinggi maka bank tersebut mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas. CAR yang besar mampu menutupi penurunan aktiva sebagai akibat dari kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva beresiko dengan modal yang dimiliki disamping sumber dana lainnya seperti dana dari masyarakat ataupun pinjamam lainnya. Sebagai contoh paling simpel, pada saat bank memiliki dana sebesar Rp. 100.000.000 maka dana yang tersisa setelah dipotong untuk pemberian kredit, kpr atau lainnya adalah CAR. Dana yang tersisa tersebut dianjurkan oleh BI sebesar 8% dari modal tersebut. Inilah analogi dasar dari CAR, jadi apabila nilai CAR kecil yakni 0% ataupun minus maka bank tidak memiliki modal lagi.
49
Sehingga muncul pertanyaan, bagaimana bank menutupi kerugian aktiva beresiko tanpa modal. Dengan CAR tinggi, bank mampu menutupi penurunan aktiva yang diakibatkan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR), otomatis semakin kecil resiko bank menghadapi kebangkrutan dan laba semakin meningkat dan tentunya diikuti naiknya profitabilitas bank (ROA). Hasil penelitian Sukarno dan Syaichu (2006), Yuliani (2007) dan Ponco (2008), Winarni (2011), menunjukkan bahwa CAR berpengaruh negatif dan signifikan terhadap profitabilitas (ROA). Pengaruh BOPO terhadap ROA Biaya opersional terhadap pendapatan operasional (BOPO) merupakan alat ukur kinerja bank dilihat dari segi efesiensi dan efektivitas suatu bank dalam mengelola manajemen laba. Pada umumnya, suatu biaya yang besar yang dikeluarkan bank tanpa diiringi pendapatan yang sebanding atau jauh lebih besar dari pendapatan maka pihak bank akan mengalami resiko kerugian. Hal inilah yang harus diantisipasi pihak bank untuk dapat mengelola aktiva atau semua faktor produksi yang dimiliki menjadi beban dengan sebaik mungkin (efektif dan efesien). Jika bank dapat mengendalikan biaya dengan baik atau semaksimal mungkin maka laba bank meningkat dan diikuti pula tingkat profitabilitas bank. Begitu pula sebaliknya. Teori ini sesuai dengan hasil penelitian Sukarno dan Syaichu (2006), Yuliani (2007), Winarni (2005), Ponco (2009) dan Winarni (2011), yang menunjukkan bahwa BOPO berpengaruh negatif dan signifikan terhadap profitabilitas (ROA), artinya semakin kecil rasio BOPO maka semakin besar keuntungan yang diperoleh bank. Pengaruh LDR tehadap ROA LDR menunjukkan seberapa besar dana bank disalurkan ke perkreditan. Semakin tinggi LDR maka laba bank akan semakin meningkat, dengan meningkatnya laba bank maka kinerja bank juga meningkat(Dendawijaya, 2005:116). Rendahnya LDR mencerminkan rendahnya kontribusi perbankan untuk membantu menggerakkan sektor perekonomian. Namun, apabila LDR di atas 110% (maksimum sesuai ketentuan BI) berarti likuidi-
50
NURUL MAWADDAH
tas bank kurang baik karena jumlah DPK tidak mampu menutupi kredit yang disalurkan sehingga bank harus menggunakan dana antarbank (call money) untuk menutupi kekurangannya atau bahkan modalnya sendiri.Hasil penelitian Sukarno dan Syaichu (2007), Ponco (2008) menunjukkan bahwa LDR berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas (ROA). Berdasarkan pembahasan di atas maka kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
LDR
CAR
Pertumbuhan Profitabilitas ROA
lengkap dan dibawah tahun 2002 data tidak tersedia. Jadi jumlah sampel yang terbentuk dalam penelitian ini adalah 120 observasi atau n = 120. Operasionalisasi Variabel Untuk nilai CAR, BOPO, dan LDR dilakukan perhitungan terlebih dahulu dengan menggunakan formulasi berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/ DPNP/ tanggal 31 Mei 2004). 1. Profitabilitas (ROA) Profitabilitas adalah gambaran kinerja fundamental perusahaan yang ditinjau dari tingkat efesiensi dan efektifitas operasi perusahaan dalam memperoleh laba (Horngren, 1993:369). Perhitungan ROA berdasarkan SE BI No. 6/23/ DPNP/ tanggal 31 Mei 2004 : Laba Sebelum Pajak ROA = Rata-rata Aktiva
BOPO
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat Hipotesis test yang dilakukan pada Bank BTN dengan runtun waktu selama 10 tahun. Populasi dalam penelitian ini berupa pengamatan selama 21 tahun yaitu sejak PT. Bank Tabungan Negara didirikan dan disahkan sebagai persero pada tahun 1992. Adapun pengamatannya berupa laporan keuangan bulanan Bank BTN, inflasi, suku bunga BI (SBI atau BI rate), dan kurs rupiah terhadap dollar AS. Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Adapun kriteria observasinya (laporan keuangan) sebagai sampel adalah: 1. Data tersedia lengkap (laporan keuangan bulanan bank BTN selama periode pengamatan Januari 1992 - Desember 2013 dan telah dipublikasikan oleh Bank Indonesia. 2. Laporan laba rugi mengalami laba bersih selama periode pengamatan. Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah data yang lengkap dan dipubilasikan oleh BI adalah terhitung dari tahun 2004 sampai 2013 (10 tahun), untuk tahun 2002 dan 2003 tersedia data tidak
Pertumbuhan ROA =
ROAt - ROAt-1 ROAt-1
Untuk perhitungan laba sebelum pajak (EBIT) disetahunkan kemudian dibagi dengan bulan yang bersangkutan. Dalam hal ini, data berupa laporan keuangan bulanan, maka untuk EBIT bulan 1 disetahunkan dibagi 1, bulan 2 dibagi 2 dan seterusnya. Baru kemudian dibagi dengan rata-rata aktiva bulan tersebut. 2. CAR CAR memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank disamping memperoleh dana dari sumber diluar bank, (Margareta, 2007:63). Perhitungan CAR berdasarkan SE BI No. 6/23/DPNP/ tanggal 31 Mei 2004: CAR1 =
Modal ATMR
Pertumbuhan CAR =
CARt - CARt-1 CARt-1
Perhitungan modal dan aktiva tertimbang menurut resiko dilakukan berdasarkan ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum yang ber-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
laku. Modal meliputi modal inti (tier 1) dan modal pelengkap (tier 2). 3. BOPO BOPO adalah rasio efesiensi bank yang mengukur beban operasional terhadap pendapatan operasional.Taswan (2008: 60). Perhitungan rasio BOPO berdasarkan SE BI No. 6/23/DPNP/tanggal 31 Mei 2004:
Untuk menguji kekuatan variabel-variabel penentu pertumbuhan CAR,BOPO, dan LDR terhadap pertumbuhan ROA, maka dalam penelitian ini digunakan Ordinary Least Square (OLS) guna mengetahui arah, pengaruh, dan kekuatan hubungan dari variabel independen terhadap variabel dependen., dengan formulasi ekonometrika (Widarjono, 2007: 156), (Lind, et al 2008: 254), ROA = a + b1CAR + b2BOPO + b3LDR + et
Total Biaya Operasi BOPO = x 100% Total Pendapatan Operasi 4. LDR Rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan( Kasmir, 2011:290). Rasio LDR berdasarkan SE BI No. 6/23/DPNP/ tanggal 31 Mei 2004: LDR =
Dimana: CAR : Capital Adequancy Ratio BOPO : Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional LDR : Loan Deposite Ratio a : Konstanta b1, b2, b3,... bi : Koefisien regresi et : error term HASIL PEMBAHASAN
Total Kredit yg diberikan x 100% Total Dana Pihak Ketiga
Pertumbuhan LDR =
51
LDRt - LDRt-1 LDRt-1
Metode Analisis Analisis data diawali dengan statistik deskriptif variabel, uji asumsi klasik, dan uji hipotesis.
Analisis Statistik Deskriptif Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa nilai standar deviasi (σ) dari semua variabel lebih kecil dari nilai rata-rata (mean). Artinya semua variabel tersebut memiliki sebaran data yang cukup baik, sehingga tidak terjadi outlier data yang mengakibatkan tidak normalnya distribusi data.
Tabel 1 Statistik Deskriptif Variabel Tahun 2004 - 2013 Variabel ROA CAR BOPO LDR
Minimum 0,710000 12,33000 64,97000 60.32000
Maximum 3,260000 22,01000 94,41000 119.7000
Mean 1,7949 18,2609 85,2098 94,9974
Std. Deviation 0,36868 1,94286 3,97314 15,55214
N 119 119 119 119
Sumber: BI, diolah (2014) 80
Series: Residuals Sample 1 119 Observations 119
70 60 50 40 30 20 10 0
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-3.32e-16 -0.682128 21.88273 -7.315482 3.432684 3.247324 18.50293
Jarque-Bera Probability
1400.834 0.000000
22
Gambar 2. Uji Normalitas Sumber: Data sekunder diolah dengan Eviews 7(2014)
52
NURUL MAWADDAH
Uji Normalitas Berdasarkan Gambar 2 Uji normalitas data ditunjukkan pada tampilan nilai statistik JarqueBera sebesar 1400,834 dengan nilai probabilitas 0,00000 dimana nilai tersebut lebih kecil dari nilai aplha 5% (0,00 < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah normalitas data. Uji Autokorelasi Tabel 2 menunjukkan hasil uji autokorelasi dengan menggunakan pendekatan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Tabel 2 Uji Autokorelasi Keterangan Obs*R-squared Probabilitas Durbin-Watson stat
Nilai 3,767463 0,1520 2,015341
Sumber: Data sekunder diolah dengan Eviews 7(2014)
Nilai uji Obs*R-squared sebesar 3,767463 dengan nilai p-value statistik adalah 0,1520 lebih tinggi dari nilai aplha 5%. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa data ini terbebas dari masalah autokorelasi. Perolehan hasil dari autokorelasi dengan menggunakan pendekatan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test didukung oleh hasil pengujian pendekatan Durbin-Watson statistik yaitu sebesar 2,05141 yang berada pada daerah penerimaan hipotesis null (1,780<2,015341<2,199) artinya tidak adanya korelasi. Uji Multikolenearitas Uji multikolinearitas dalam penelitian ini akan menggunakan nilai korelasi untuk melihat ada tidaknya multiko antar variabel bebas. Berdasarkan hasil multikolenearitas untuk 6 variabel, terdapat multiko antara variabel inflasi dan SBI. Oleh karena itu, dalam penelitian ini salah satu dari faktor tersebut akan dihilangkan untuk menghindari terjadinya multokolenearitas. Adapun variabel yang dihilangkan adalah inflasi, dianggap ada hubungan antara variabel sehingga mengganggu variabel yang lain. Tabel 3 menunjukkan uji multikolinearitas untuk 5 variabel.
Tabel 3 Uji Multikolinieritas Variabel CAR BOPO LDR
CAR 1,00000 -0.28924 -0,01003
BOPO 1,000 0,00992
LDR -0,02242 1,0000
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh nilai secara keseluruhan pada semua variabel independen memiliki korelasi antar variabel yang rendah dengan nilai korelasi di bawah 0.80 (Gujarati, 2003:359). Oleh karena itu di dalam model dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat indikasi masalah multikolinear. Sebuah model diduga memiliki masalah multikolinear jika korelasi antar variabel melebihi 0.80. Uji Heterokedastisitas Tabel 4 Uji Heteroskedastisitas Keterangan Nilai Probabilitas
F-statistic 1,847236 0,1624
Obs*R-squared 3,767463 0,1520
Sumber: data sekunder diolah dengan Eviews 7(2014)
Berdasarkan Tabel 4 membuktikan bahwa dalam data penelitian ini tidak lagi menggandung heteroskedastisitas. Ini dibuktikan dengan nilai Probabilitas F-statistik tidak signifikan yaitu sebesar 0,1624 (16,24%) atau lebih besar dari nilai alpha (α) sebesar 5%. Hal ini juga didukung oleh nilai probabilitas chisquare sebesar 0,1520 (15,20%) lebih besar dari nilai aplha (α) sebesar 0,05 (5%). Maka dapat disimpulkan bahwa model regresi memenuhi asumsi heterokedastisitas. Hasil Pengujian Hipotesis Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat dari hasil regresi Ordinary Least Square yang terlihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 nilai koefisien masingmasing variabel dapat dilihat pada persamaan di bawah ini: ROA = 0,863004 - 0,14511*LDR - 20,97207*CAR – 22,39331*BOPO
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
53
Tabel 5 Hasil Regresi Variable LDR CAR BOPO C R2 Adj, R2
Coefficient -0,14511 -20,97207 -22,39331 0,863004 0,190952 0,169847
Std, Error 0,847943 5,371629 6,159159 0,319564 F-statistic Prob(F-statistic)
t-Statistic -0,171127 -3,904229 -3,635774 2,700571
Prob, 0,8544 0,0002 0,0004 0,0080 9,047471 0,000020
Sumber: Data sekunder diolah dengan Eviews 7(2014)
Nilai konstanta menunjukkan nilai sebesar 86,3004 yang artinya jika faktor internal (CAR, BOPO, dan LDR) tidak mengalami perubahan naik turun (konstan) maka profitabilitas (ROA) adalah sebesar 86,30004%. Hasil Pengujian secara Simultan (Uji F) Berdasarkan Tabel 5 nilai F stastistik menunjukkan variabel independen (CAR, BOPO, dan LDR) secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen (ROA). Sedangkan nilai signifikansinya sebesar 0,000020 lebih kecil dari 0,05 (0,000020 < 0,05). Artinya variabel CAR, BOPO, dan LDR secara signifikan berpengaruh ROA. Kemudian hasil output diperoleh nilai koefesien determinasi (Adjusted R2), yaitu sebesar 169847 atau 16,9847%. Artinya faktor internal (variabel independen) hanya mampu menjelaskan profitabilitas bank sebesar 16,984%. Sisanya sebesar 83,016 dijelaskan faktor lain diluar model. Hasil Pengujian secara Parsial (Uji t) Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2006). Untuk melihat ada tidaknya pengaruh, maka dapat dilihat dari nilai signifikansi (p_value atau probabilitinya) yakni lebih kecil dari nilai alpha 0,05 (p_value < 0,05). Jika signifikansi p_value < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti suatu variabel independen secara individual berpengaruh terhadap variabel dependen. Berdasarkan hasil regresi pada Tabel 5 maka hasil pengujian secara parsial dapat dilihat pada pembahasan. PEMBAHASAN Pengaruh CAR terhadap ROA Berdasarkan hasil regresi pada Tabel 5
nilai signifikansi untuk variabel CAR sebesar 0,0002. Nilai tersebut lebih kecil dari alpha 0,05 (0,0002<0,05). Artinya CAR berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas (ROA). Jadi, rancangan pengujian hipotesis untuk Ha1 diterima. Nilai koefesien untuk variabel CAR sebesar -20,97207 bertanda negatif. Ini membuktikan bahwa CAR berpengaruh negatif dan signifikan terhadap prifitabilitas (ROA). Jika variabel CAR berubah atau mengalami penurunan 1 (satu) persen, maka akan mengakibatkan penurunan profitabilitas sebesar 20,97207. Artinya CAR berkurang maka profitabilitas (ROA) bank akan berkurang. CAR merupakan bahagian dari modal yang dijadikan alat ukur dalam kesanggupan bank membangun kepercayaan masyarakat sehingga bank dapat menarik dana pihak ketiga (DPK). Pada CAR tersebut terdapat modal dasar bank yang bisa digunakan untuk menjaga posisi likuiditas dan investasi. Selain itu, CAR wajib dimiliki oleh setiap perbankan minimum 8% sebagai jaminan bahwa bank mampu menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR rendah maka bank tersebut tidak mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas. Artinya semakin rendah nilai CAR maka bank belum memiliki modal yang cukup baik dalam menanggung resko kredit (Prayudi, 2010). Masalah CAR yang dialami oleh perbankan, adanya persaingan tajam yang tidak seimbang yang dapat menimbulkan ketidakefisienan manajemen yang berakibat pada pendapatan dan munculnya kredit bermasalah yang dapat menimbulkan penurunan laba. Kredit bermasalah akan mempengaruhi permodalan yang juga dapat menyebabkan bank mengalami masalah likuiditas. Hasil penelitian ini konsisten dengan teori dan didukung oleh hasil penelitian Sukarno dan Syai-
54
chu (2006), Ponco (2008), dan Winarni (2011) bahwa CAR berpengaruh negatif terhadap profitabilitas (ROA). Pengaruh BOPO terhadap ROA Berdasarkan hasil regresi pada Tabel 5 nilai signifikansi untuk variabel BOPO sebesar 0,0080. Nilai tersebut lebih kecil dari alpha 0,05 (0,0080<0,05). Artinya BOPO berpengaruh terhadap profitabilitas (ROA). Jadi, rancangan pengujian hipotesis untuk Ha2 diterima. Nilai koefesien untuk variabel BOPO sebesar 22,39331 bertanda negatif. Ini membuktikan bahwa BOPO berpengaruh negatif terhadap profitabilitas (ROA). Jika variabel BOPO berubah atau mengalami penurunan 1 (satu) persen, maka akan mengakibatkan kenaikan profitabilitas sebesar 22,39331. Artinya BOPO turun maka profitabilitas (ROA) bank tertambah. Biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) merupakan alat ukur kinerja bank dilihat dari segi efesiensi dan efektivitas suatu bank dalam mengelola manajemen laba. Pada umumnya, suatu biaya yang besar yang dikeluarkan bank tanpa diiringi pendapatan yang sebanding atau jauh lebih besar dari pendapatan maka pihak bank akan mengalami resiko kerugian. Sebaliknya, akan menambah laba sehingga profitabilitas ikut naik. Jadi semakin kecil rasio ini maka semakin efesien biaya operasional yang dikeluarkan bank dan kemungkinan suatu bank dalam keadaan bermasalah semakin kecil (Hariyani, 2010:54). Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Sukarno dan Syaichu (2006), Yuliani (2007), Winarni (2005), Ponco (2009) dan Winarni (2011), yang menunjukkan bahwa BOPO berpengaruh negatif dan signifikan terhadap profitabilitas (ROA). Pengaruh LDR terhadap ROA Berdasarkan hasil regresi pada Tabel 5 nilai signifikansi untuk variabel LDR sebesar 0,0000. Nilai tersebut lebih kecil dari alpha 0,05 (0,0000<0,05). Artinya LDR berpengaruh terhadap profitabilitas (ROA). Jadi, rancangan pengujian hipotesis untuk Ha3 diterima. Nilai koefesien untuk variabel LDR sebesar 0,012 bertanda negatif. Ini membuktikan bahwa LDR berpengaruh negatif terhadap
NURUL MAWADDAH
profitabilitas (ROA). Jika variabel LDR berubah atau mengalami penurunan 1 (satu) persen, maka akan mengakibatkan kenaikan profitabilitas sebesar 0,012. Artinya LDR turun maka profitabilitas (ROA) bank tertambah. LDR menunjukkan tingkat kemampuan bank dalam menyalurkan dana pihak ketiga yang dihimpun bank. Batas aman LDR suatu bank secara umum adalah sekitar 78-100% (Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/PBI/2010). Besarnya rasio LDR suatu bank akan mempengaruhi profitabilitas bank tersebut. Semakin besar jumlah dana yang disalurkan kepada nasabah dalam bentuk kredit maka jumlah dana yang menganggur berkurang dan penghasilan bunga yang diperoleh akan meningkat. Atau sebaliknya semakin kecil jumlah dana yang disalurkan kepada nasabah dalam bentuk kredit maka jumlah dana yang menganggur berkurang dan penghasilan bunga yang diperoleh akan menurun. Hal ini tentunya akan menurunkan LDR, dimana semakin rendahnya LDR maka laba bank akan semakin berkurang dan kinerja bank juga ikut menurun (Dendawijaya, 2005:116). Namun, hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan LDR berpengaruh negatif terhadap profitabilias (ROA). Biasanya LDR naik profitabilitas naik, ini malah berkebalikan LDR naik profitabilitas turun. Hal ini bisa saja terjadi, LDR di atas 110% (maksimum sesuai ketentuan BI) berarti likuiditas bank kurang baik karena jumlah DPK tidak mampu menutupi kredit yang disalurkan sehingga bank harus menggunakan dana antarbank (call money) untuk menutupi kekurangannya atau bahkan modalnya sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa anjloknya dana pihak ketiga dan tingkat bunga yang relatif kecil memicu menurunya profitabilitas karena membuat masyarakat tertarik untuk meminjam dana ke bank. Kemudian, bisa juga dikarenakan feedback yang diperoleh bank tidak sebanding atau jauh lebih kecil pendapatan yang diharapkan dari landing, sehingga menurunkan profitabilitas bank. Kemudian, kalau berpegang pada peraturan Bank Indonesia Nomor 12/PBI/2010 batas aman LDR suatu bank secara umum adalah sekitar 78100 %, maka data bank BTN terhitung Juli 2008 – Desember 2013 menunjukkan LDR diatas batas maksimum. Artinya tidak hanya DPK saja yang
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
diikutsertakan dalam ekpansi kredit namun juga modal sendiri atau call money antar bank. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Sukarno dan Syaichu (2007), Ponco (2008) menunjukkan bahwa LDR berpengaruh negatif dan signifikan terhadap profitabilitas (ROA). KESIMPULAN 1. Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh negatif terhadap ROA. 2. Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh negatif ROA. 3. Loan Deposit Ratio (LDR) berpengaruh negatif ROA. KETERBATASAN PENELITIAN Penelitian ini jauh memiliki keterbatasan antara lain sebagai berikut: 1. Penelitian hanya menggunakan sebagian faktor internal sehingga masih memungkinkan timbulnya pertanyaan tentang keterkaitan faktor internal lain yang tidak diuji dalam penelitian ini. 2. Penelitian ini hanya dilakukan pada satu objek penelitian yakni bank BTN, jadi penelitian ini terlalu sempit. 3. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan pertimbangan data yang tersedia lengkap. Metode ini merupakan
55
non probability sampling, kemungkinan besar menghasilkan sampel tidak representatif, sehingga sampel bias dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. SARAN 1. Penelitian selanjutnya hendaknya memasukkan faktor internal lainnya sehingga memiliki cakupan luas bagi pihak-pihak lainnya. Selain itu juga dapat dimasukkan variabel interveting atau moderating untuk melihat pengaruh langsung dan tidak langsung sehingga menghindari asumsi-asumsi tertentu dan terjadinya multikolinearitas. 2. Karena penelitian ini bersifat time series, maka sebaiknya dilakukan dalam rentan waktu yang jauh lebih panjang lagi dan menggunakan lebih dari satu objek penelitian sehingga dapat diperbandingkan. 3. Untuk menghasilkan Return On Assets (ROA) yang besar, maka bank perlu meningkatkan juga aktiva produktif. Untuk menambah aktiva produktif BTN harus dapat menghimpun sumber dana sebanyak mungkin baik dengan menambah modal sendiri, pinjaman ke pihak lain atau menarik minat masyarakat atau nasabah untuk menyimpan dananya di bank BTN, yang dapat menghasilkan pendapatan opersional bank dan laba yang besar lagi.
56
NURUL MAWADDAH
REFERENSI Alper, Deger dan Adem Anbar. 2011. Bank Specific and Macroeconomic Determinants of Commercial Bank Profitability: Empirical Evidence from Turkey. Business and Economics Research Journal. Vol. 2, No 2 : 139-152. Case, Karl E dan Ray C.Fair. 2004. Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro.Edisi Kelima.Terjemahan Benyamin Molan. Jakarta: Indeks. Dendawijaya, Lukman. 2005. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Fabozzi, Frank. J. 1999. Manajemen Investasi. Jakarta: Salemba Empat. Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics. 4th Edition. International Edition. McGraw Hill. Hariyani, Iswi. 2010. Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet. Jakarta: Elex Media Komputindo. Harmono. 2009. Manajemen Keuangan: Berbasis Balanced Scorecard. Pendekatan Teori, Kasus, dan Riset Bisnis. Jakarta: Bumi Aksara. Horngren, T Charles. 1993. Pengantar Akuntansi Manajemen. Jilid 1. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Margaretha, Farah. 2007. Manajemen Keuangan Bagi Industri Jasa. Jakarta: Grasindo Oktavia, Linda Dwi. 2009. Pengaruh Suku Bunga SBI, Nilai Tukar Rupiah, Dan Inflasi Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Sebelum Dan Sesudah Privatisasi (Studi Kasus pada PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk). Jurnal Online. Depok: Lembaga Penelitian Universitas Gunadarma.http://www. gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/economy/2009/Artikel_20205729.pdf Peraturan Bank Indonesia. 2004. PBI No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Jakarta: Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia. 2010. PBI No. 12/19/PBI/2010 tentang Giro wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan valuta Asing. Jakarta: Bank Indonesia. Ponco, Budi. 2008. Analisis Pengaruh Car, NPl, BOPO, NIM Dan LDR Terhadap ROA (Studi Kasus Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2004-2007). Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Prayudi, Arditya. 2010. Pengaruh CAR, NPL, BOPO, ROA, dan NIM terhadap LDR. papers.gunadarma.ac.id/index.php/mmanagement/article/.../14225 Puspitasari, Diana. 2009. Analisis Pengaruh CAR, NPL, PDN, NIM, BOPO, LDR, dan Suku Bunga SBI Terhadap ROA (Studi pada Bank Devisa di Indonesia perioda 2003-2007). Tesis. Program Magister Manajemen.Universitas Diponegoro Semarang. Sukarno, Kartika Wahyu dan Muhammad Syaichu. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Bank umum di Indonesia. Jurnal Studi Manajemen dan Organisasi. Vol. 3 No. 2:46.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
57
Sukirno, Sadono. 2006. Makroekonomi Teori Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Taswan. 2008. Akuntansi Perbankan. Transaksi dalam Valuta Rupiah. Yogyakara: YKPN Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi Kedua. Depok: EKONISIA Winarni. 2011. Analisis Pengaruh Capital Adequacy Ratio, Net Interest Margin, Biaya Operasional Pendapatan Operasional, Loan to Deposit Ratio, SBI dan Kurs terhadap return on asset (Studi Komparasi antara Bank Umum Swasta Nasional Devisa Dan Bank Asing). Jurnal Online. http://eprints. undip.ac.id/36901/2/jurnal_mm_B_winarni_34_pagi.pdf Yuliani, 2007.Hubungan Efisiensi Operasional dengan Kinerja Profitabilitas Pada Sektor Perbankan Yang Go Public Di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Manajemen dan Bisnis Sriwijaya, Vol. 5. No 10: 15-43.
58
NURUL MAWADDAH
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, 1, Januari 2015 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 16, Nomor 1, Januari 2015 ISSN: 1412 – 968X Hal. 59-68
ANALISIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS HORTIKULTURA SISTEM KEMITRAAN
Tinjauan dari Aspek Teknis, Manajemen dan Finansial ROMANO
Dosen pada Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
This study aims to analyze the feasibility of developing a partnership model featured horticultural commodities applying partnership with the review of the technical aspects, and financial management. The location determined by purposive research the Pidie District (Melinjo) and Bener Meriah district (cabbage). The results showed that the development of agri-horticultural policy through partnerships, both technical, and financial management is very likely to be developed, because it can be done in scale agro-industry, market demand and based on the acquisition value of the Net Present Value (NPV) of Rp. 275 838 559, Net Benefit Cost Ratio (NBCR) of 3.19, an IRR of 41.1% and PBP achieved during melinjo effort has been running for 5 years and 3 months 6 days. While the cabbage farm, the value of the Net Present Value (NPV) of Rp. 2,961,745, Net Benefit Cost Ratio (NBCR) of 3.07, an IRR of 40.9% and PBP achieved when the business has been running for 3 years and 4 days. In general, illustrates that the development of agri-horticulture in the province have good prospects and benefit farmers because the average acquisition NBCR worth 3, meaning that the acquisition of benefit (income) is three (3) times greater than the costs incurred. However, the depiction of peasant households still fraught with poverty, this is because farmers cultivate only a small land, disorganized and largely acts as a laborer working on the land, so that the revenue is relatively small and is only intended to meet the needs of the household. Keywords: Technical aspects, financial management
59
60
ROMANO
LATAR BELAKANG Aceh memiliki potensi lahan yang dimiliki cukup besar untuk pengembangan komoditas hortikultura diantaranya lahan pertanian tanah kering seluas 117.161,12 ha, padang rumput seluas 223.985,00 ha, hutan seluas 3.929.420,05 ha, dan lahan sementara tidak diusahakan seluas 163.151,50 ha (Aceh dalam Angka, 2009). Namun potensi produksi yang besar belum mampu dikelola secara optimal, dengan berbagai kendala dan keterbatasan diantaranya pengusahaan lahan untuk tanaman hortikultura yang relatif kecil, hanya memanfaatkan lahan pekarangan dan bersifat usaha sampingan, petani juga menghadapi kendala pemasaran, terkait dengan ketidakpastian pasar dan rendahnya harga pada musim panen. Sentral produksi hortikultura adalah Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Pidie, khususnya kubis, alpokat dan melinjo. Kabupaten Bener Meriah merupakan dataran tinggi gayo dan sentral produksi hortikultura (khususnya kubis dan alpokat). Jenis sayur-sayuran yang dikembangkan adalah kubis, wortel, tomat, cabai, dan brongkoli sedangkan buah-buahan adalah alpokat, jeruk, markisa (Bener Meriah dalam Angka, 2009). Sedangkan melinjo merupakan komoditas unggulan hortikultura di Kabupaten Pidie. Produksi melinjo sebanyak 208.877 kwintal pada lahan seluas 9.000 hektar dengan sentra produksi di enam kecamatan yakni Kecamatan Mutiara, Mutiara Timur, Sakti, Tiro Trueseb, Keumala, Titeue, dan Kecamatan Pidie serta memiliki 3.995 unit usaha emping melinjo dengan jumlah pengrajin mencapai 8.000 orang. Produksi emping rata-rata 4.000 kg/bulan dan setiap tahun mengekspor 9-10 ton emping melinjo ke Malaysia dan Singapura (Dinas Perdagangan, Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Pidie, 2009). Namun skala usahataninya masih kecil dan merupakan usaha sampingan. Pengembangan agribisnis hortikultura yang tak disertai sarana pendukung yang memadai serta kurang sikronnya antara industri hulu dan hilir, kurang memberikan hasil yang menggembirakan. Sumberdaya yang ada, tidak termanfaatkan secara optimal. keunggulan komparatif belum terberdayakan maksimal, sehingga selalu kalah bersaing.
Dengan demikian, pemerintah sebagai fasilitator harus duduk sejajar dengan para pelaku-pelaku agribisnis hortikultura, merumuskan suatu grand strategy untuk menggali potensi agribsinis hortikultura, sehingga mampu menghasilkan devisa, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan pendapatan para pelaku-pelaku agribisnis hortikultura dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan regional dan nasional. Perkembangan agribisnis hortikultura menuntut kerja keras, perencanaan yang matang dan terpadu, dan melibatkan semua unsur yang terkait dengan memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada. Dalam hal ini, aspek teknis harus menjadi prioritas agar diperoleh bahan baku yang berkualitas. Selain faktor ekternal permintaan produk dan penyediaan bahan baku, faktor internal baik aspek teknis dan manajemen usaha, unsur kelayakan terutama finansial menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam pengembangan agribisnis hortikultura yang berorientasi agroindustri. Untuk itu, kemitraan yang sinergis adalah langkah utama mewujudkan sistem agribisnis hortikultura yang tangguh dan kompetitif, baik di pasar domestik, regional maupun internasional. METODE PENELITIAN Lokasi dan Lingkup Penelitian Lokasi penelitian ditentukan dengan cara purposive yakni Kabupaten Pidie dan Kabupaten Bener Meriah yang merupakan daerah sentra produksi melinjo dan kubis dalam wilayah Propinsi Aceh. Lingkup penelitian pada analisis kelayakan budidaya dan agroindustri dalam pengembangan komoditas unggulan hortikultura dengan sistem kemitraan, tinjauan aspek teknis, manajemen dan finansial, fokus kajian terhadap penyediaan sarana produksi, budidaya, pengolahan dan pemasaran produk. Pendekatan penelitian menggunakan explanatory research dengan metode survei (Survey Method) dengan teknik pengambilan sampel secara stratified random sampling. Metode Analisis Analisis ini difokuskan pada kajian kelayakan penyediaan sarana produksi, budidaya, pengolahan dan pemasaran komoditas unggulan horti-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
kultura, dengan menggunakan beberapa kriteria: a. Net present value (NPV) NPV merupakan selisih antara Present Value dari benefit dengan Present Value Cost selama umur proyek, dengan formula sebagai berikut :
bt - c t (1 + i) t
n
NPV = ∑ t =1
Dimana: Bt = Penerimaan pada periode t; Ct = Biaya pada periode t; t = Tahun kegiatan usaha; i = Tingkat discount rate yang digunakan. Kriteria keputusannya adalah sebagai berikut: - Jika nilai NPV > 0, usaha dikatakan layak dilakukan; - Jika nilai NPV < 0, usaha tidak layak. - Jika nilai NPV = 0, usaha berada dalam keadaan break event point (BEP) b. Net benefit cost ratio (Net B/C) Net B/C merupakan perbandingan antara Net Present Value positif dengan jumlah Net Present value negatif dengan formula sebagai berikut:
(B t - C t ) ∑ 1 + i) t t =1 ( Net B/C = n (C t − Bt ) ∑ 1 + i) t t =1 (
berikut : IRR = i1 + NPV1 (i2 - i1) NPV1 - NPV2
Dimana: i1 = Tingkat bunga i1 (dimana NPV positif) i2 = Tingkat bunga i2 (dimana NPV negatif) NPV1 = Nilai NPV pada tingkat bunga i1 (positif menuju nol) NPV2 = Nilai NPV pada tingkat bunga i2 (negatif menuju nol) Jika IRR suatu proyek = nilai yang berlaku bagi social Discount Rate maka NPV proyek itu adalah nol. Jika IRR < social Discount Rate maka NPV < 0. Oleh karena itu jika IRR > Social Discount Rate menyatakan bahwa Agroindustri layak diusahakan. Sedangkan jika IRR < Social Discount Rate menyatakan bahwa Agroindustri tidak layak diusahakan. d. Break Event Point (BEP) BEP untuk menghitung dan menggambarkan suatu perusahaan dalam keadaan seimbang atau tidak untung dan tidak rugi secara finansial, digunakan formula sebagai berikut ; n
n
Dimana: Bt = Penerimaan pada periode t; Ct = Biaya pada periode t; i = Tingkat discount rate yang digunakan n = Umur ekonomis dari proyek. Kriteria keputusannya adalah sebagai berikut: - Jika nilai B/C ratio > 1 usaha dikatakan layak dilakukan; - Jika nilai B/C ratio < 1, usaha tidak layak. - Semakin besar nilai B/C ratio secara finansial kelayakannya semakin baik. c. Internal Rate of Return (IRR) IRR untuk mengetahui persentase keuntungan dari suatu proyek iap tahunnya. IRR juga merupakan alat ukur kemampuan proyek dalam mengembalikan bunga pinjaman, dengan formula sebagai
61
BEP = T p −1 +
∑ TC t =1
n
i
−∑ Bicp −1 i =1
Bp
Dimana:
T p −1
= Satu tahun sebelum terdapat tahun BEP
n
∑ TC t =1
i
= Jumlah total cost yang telah didiskon
n
∑B
= Jumlah benefit telah didiskon satu tahun terdapat tahun BEP
Bp
= Jumlah benefit yang telah didskon yang terdapat tahun BEP
i =1
icp −1
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kelayakan Pengembangan Agribisnis Hortikultura Sistem Kemitraan, Tinjauan dari Aspek Teknis Secara teknis dan berdasarkan sifatnya, agribisnis hortikultura khususnya melinjo dan kubis
62
sangat rentan terhadap kondisi lingkungan baik dari sistem budidaya, ketersediaan tenaga kerja, pasca panen dan pengolahan yang pada akhirnya akan menentukan besar kecilnya produksi dan perolehan pendapatan. Untuk itu, akan dijabarkan kelayakan pengembangan komoditas jika dilakukan dalam sistem kemitraan. A. Melinjo Budidaya Melinjo dan Proses Produksi Emping Usahatani melinjo tidak dilakukan pengelolaan secara intensif dan petani hanya melakukan pemanenan jika biji melinjo telah siap panen seperti berwarna agak kemerahan dan ukurannya besar. Permasalahannya petani juga menjual biji melinjo yang masih muda. Selanjutnya biji melinjo langsung dijual atau dikupas kulitnya sebelum dipasarkan. Dengan kemitraan maka akan ada keseragaman bahan baku yang dijual karena kualitas bahan baku sangat menentukan produk akhir dan petani akan selektif dalam memasarkan biji melinjo. Kualitas biji melinjo juga menentukan harga jual di tingkat petani. Biji melinjo yang sudah benar-benar tua memiliki kadar air yang kecil, sehingga apabila diproses menjadi emping tidak mengalami banyak penyusutan. Hasil survei menunjukkan bahwa berdasarkan tua-mudanya biji melinjo, jika dijadikan emping akan mengalami penyusutan (Tabel 1). Proses produksi emping melinjo masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan peralatan yang sederhana yaitu periuk sebagai tempat penggosengan biji melinjo, centong kayu untuk penggosengan, wadah kayu sebagai landasan untuk pemipihan biji melinjo, dan pemanfaatan pelepah daun kelapa untuk penjemuran emping melinjo yang telah dipipih. Proses produksi ini dilakukan secara manual sehingga emping melinjo yang dihasilkan cukup bervariasi baik dari ukuran, ketebalan, kadar air dan cita rasa sehingga sulit dilakukan standarisasi hasil produk berupa emping melinjo yang berkualitas dan kebersihan juga kurang terjamin. Adapun proses produksinya sebagai berikut; biji melinjo yang telah dikupas kulit luarnya selanjutnya dipanaskan/digongseng dalam wajan
ROMANO
kecil yang diisi dengan pasir. Kemudian dalam kondisi panas, pengrajin memipihkan biji melinjo di landasan yang terbuat dari kayu dengan menggunakan palu/martil. Selanjutnya diangkat dan dijemur pada anyaman bambu selama + 2 hari dengan memanfaatkan sinar matahari jika cuaca cerah, namun bila kondisi cuaca mendung atau musim penghujan maka penjemuran dapat memakan waktu 2 – 3 hari untuk mendapatkan kualitas emping melinjo yang baik. Emping yang bagus adalah emping yang permukaannya tipis. Jadi semakin tipis emping tersebut, maka akan semakin bagus. Apabila ingin membuat emping ukuran yang lebih besar, maka caranya dengan meletakkan secara berdekatan biji melinjo pertama dengan biji melinjo berikutnya. Semakin besar ukuran yang diharapkan, makin banyak biji melinjo yang dibutuhkan. Setelah emping melinjo dikeringkan, selanjutnya dilakukan penyortiran untuk memisahkan emping berdasarkan kualitas. Kualitas fisik dinilai dari keutuhan bentuk, kejernihan, kepipihan dan bau. Penyortiran emping tersebut dilakukan dengan cara: 1. Memisahkan emping yang utuh dari yg pecah 2. Memisahkan emping yang ada bintik-bintik hitamnya. 3. Memisahkan emping yang tebal dari yang tipis 4. Memisahkan emping yang berasal dari biji melinjo yang masih muda. Ciri-ciri emping yang berasal dari biji melinjo yang masih muda yaitu warna empingnya kurang bening dan ada kerutan-kerutannya. Emping yang telah disortir selanjutnya dikemas dengan plastik yang telah diberikan label pengemasan. Pengemasan dilakukan dengan menggunakan kemasan plastik dan atau karton. Emping dimasukkan ke kantong plastik dan ditimbang berat bersihnya (netto). Setelah itu barulah dipress dengan menggunakan mesin press. Ukuran kemasan bermacam-macam tetapi umumnya 0,5 kg dan 1 kg. Emping-emping yang sudah dikemas tersebut sebaiknya disimpan di tempat yang sejuk dan kering. Kemasan karton digunakan untuk pengiriman produk ke tempat yang relatif jauh dan dalam jumlah besar. Pemakaian kemasan karton bertujuan agar produk sampai di tempat tujuan
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
63
Tabel 1 Penyusutan Berat Biji Melinjo Menjadi Emping Melinjo Jenis Biji Tua Kurang Tua Agak Muda
Berat Biji Berkulit Keras (kg) 1 1 1
Berat setelah jadi Emping Kering (kg) 0,65 0,60 0,50
Penyusutan (kg) 0,35 0,40 0,50
Sumber: Sunanto, Hatta (1997). Tabel 2 Rincian Penggunaan Peralatan pada Agroindustri Emping Melinjo No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Peralatan Wadah landasan Palu/martil Serok Wajan Anyaman bambu Timbangan Karung Packing seller Kemasan (0,5 kg & 1 kg)
Jumlah 1 1 1 1 10 1 15 1 50
Sumber : Data Primer (diolah), 2011.
dalam kondisi utuh dan baik. Proses ini menggambarkan bahwa emping melinjo di Kabupaten Pidie telah berdaya saing dan siap untuk diekspor. Jika kemitraan dilakukan, maka kontinuitas bahan baku, peningkatan kualitas emping, dan promosi dapat dilakukan dengan baik. Peralatan yang digunakan untuk memproduksi emping melinjo masih sederhana, mudah diperoleh, dan relatif murah harganya. Alat-alat yang digunakan antara lain: 1. Wadah landasan yang terbuat dari kayu untuk memipihkan biji melinjo. Kayu yang digunakan biasanya kayu mahoni dan kayu sawo. 2. Palu/martil untuk memecahkan atau memipih biji melinjo yang sudah disangrai. Martil tersebut terbuat dari besi baja. Ukuran berat martil bermacam-macam, mulai dari 1 kg, 1,5 kg, dan 2 kg bahkan ada yang sampai 3 kg. Proses pemipihan yang baik adalah dengan cara memukulkan martil pada biji melinjo 2-3 kali. Pemukulan yang berkali-kali justru akan membuat emping pecah/hancur. Sedangkan pemukulan yang lemah akan menghasilkan emping tebal. 3. Serok, terbuat dari seng untuk memindahkan biji melinjo yang sudah dipipihkan ke any-
aman bambu. 4. Wajan, yang digunakan untuk menyangrai biji melinjo. Wajan tersebut terbuat dari tanah liat. 5. Anyaman bambu, yang digunakan untuk menjemur emping yang telah dipipihkan biasanya berukuran 70cm x 80cm dan 60cm x 120cm. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 2 rincian penggunaan peralatan pada Agroindustri Emping Melinjo. Tabel 2 di atas jelas memperlihatkan bahwa emping melinjo dapat dilakukan dalam skala rumah tangga. Hal ini juga mengidentifikasikan bahwa masih dimungkinkan bagi petani untuk meningkatkan pendapatannya dengan melakukan sendiri pengolahan melinjo menjadi emping dan bermitra dengan pengusaha eksportir dalam pemasaran dan permodalan. Namun kenyataannya masih banyak petani yang menjual biji melinjo berkulit dan menjadi buruh tani bagi pengusaha emping. Tenaga Kerja pada kegiatan usahatani melinjo, umumnya berasal dari dalam keluarga, kecuali pada kegiatan pemanenan, kadang menggunakan tenaga kerja luar keluarga berdasarkan sistem upah.
64
Pada tingkat agroindustri, proses pembuatan emping melinjo biasanya memanfaatkan jasa buruh tani yang umumnya terdiri dari ibu-ibu rumah tangga dan remaja yang putri yang putus sekolah. Tidak ada kualifikasi khusus yang diperlukan dalam agroindustri emping. Pengetahuan pembuatan emping melinjo biasanya diperoleh secara turun temurun. Biasanya mereka bekerja di pagi hari pukul 8.00 wib hingga 11.00 wib. Mereka menunggu pihak agen atau pengusaha yang membawa biji melinjo untuk diolah menjadi emping melinjo. Upah ditentukan berdasarkan jumlah biji melinjo yang mampu diolah. Upah buruh tani ini berkisar Rp. 10.000/bambu biji melinjo. Dalam satu hari, biasanya pengrajin atau buruh tani mampu mengolah 5 - 7 bambu biji melinjo dengan waktu kerja antara 5-8 jam per hari dengan hari kerja efektif selama 30 hari. Dalam 1 bambu biji melinjo dapat dihasilkan rata-rata 0,7 kg emping melinjo. Produksi biji melinjo yang dihasilkan di Kabupaten Pidie sangat bagus untuk dijadikan emping dibanding biji melinjo yang dihasilkan dari kabupaten lainnya. Untuk itu, ada 3 (tiga) ukuran emping melinjo yang dihasilkan yakni melinjo ukuran kecil, emping ukuran sedang dan emping ukuran besar. Ketiga ukuran ini juga terbagi dalam 3 (tiga) jenis emping melinjo yaitu emping biasa, emping louse ground dan louse super. Dalam hal ini Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura bekerjasama dengan Bank Indonesia dan lembaga terkait lainnya telah memberikan pelatihan diversifikasi emping melinjo dalam bentuk rasa pedas, rasa jagung dan rasa keju. Namun karena keterbatasan pengetahuan maka hingga saat ini emping dalam berbagai cita rasa tersebut belum dapat dipasarkan. Namun demikian, emping melinjo dari Kabupaten Pidie telah diekspor ke beberapa mancanegara. B. Kubis Budidaya Kubis Tidak ada pengetahuan atau keterampilan khusus dari dinas terkait dalam usahatani kubis karena umumnya petani telah memahami budidaya kubis. Iklim yang sangat cocok untuk budidaya tanaman
ROMANO
hortikultura menyebabkan tanaman kubis tumbuh dengan baik di Kabupaten Bener Meriah. Penanaman kubis diawali dengan pembibitan, selanjutnya bibit ditanam dalam bedengan yang telah disiapkan. Pada sisi budidaya, petani juga mengalami kekurangan pupuk bersubsidi jenis urea, ZA dan SP-36 karena pasokan kurang padahal pupuk tersebut sangat dibutuhkan untuk tanaman padi dan hortikultura. Menurut dinas terkait ada pengawasan untuk penyaluran pupuk bersubsidi tersebut, tetapi tetap saja ada distributor dan pengecer yang menaikkan harga pupuk bersubsidi. Di samping itu, masih ada juga petani yang menggunakan pupuk untuk tanaman kopi meskipun sudah ada larangan untuk itu. Sejauh ini, belum dapat dilakukan upaya pengadaan benih kubis oleh dinas terkait sehingga petani membeli benih kubis dari kios sarana produksi terdekat. Pihak dinas terkait berpendapat bahwa jika kubis dikembangkan melalui pembibitan sendiri maka dikhawatirkan produksi meningkat dan harga jual kubis semakin menurun. Pernyataan ini sekaligus membuktikan bahwa ketidak mampuan dinas terkait untuk mengembangkan jalur pasar kubis yag dapat menciptakan nilai tambah (value added) bagi petani. Penggunaan Peralatan pada usahatani kubis menggunakan peralatan tradisional seperti cangkul, gembor. Ada bangunan berupa gubuk kecil disekitar lahan untuk memudahkan pengawasan. Tenaga Kerja sebagaimana layaknya usahatani lainnya juga menggunakan tenaga kerja dalam keluarga sehingga dapat menekan biaya produksi. Sejauh ini tidak ada kendala khusus terkait penggunaan tenaga kerja karena budidaya kubis merupakan usaha sampingan dan penggunaan lahan usahatani relatif terbatas meskipun lahan yang tersedia masih sangat luas atau dengan kata lain pemanfaatan lahan usahatani belum optimal. Analisis Kelayakan Pengembangan Agribisnis Hortikultura Sistem Kemitraan, Tinjauan dari Aspek Manajemen A. Manajemen Usaha Pada tingkat petani, jika usahatani dan kegia-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
tan pengolahan dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan bukan berorientasi pasar ekspor maka tidak ada upaya efisiensi dan peningkatan mutu produksi, apalagi jika didukung dengan keterbatasan permodalan. Rendahnya penguasaan aset di tingkat usaha kecil khususnya petani dapat menyebabkan kecemburuan sosial dan berdampak pada timbulnya masalah-masalah sosial. Oleh sebab itu, program kemitraan adalah langkah tepat dalam mewujudkan azas pemerataan pendapatan. Melalui pelatihan terpadu tentang manajemen usaha dan pengendalian keuangan agribisnis maka keterbatasan petani yang diakibatkan oleh rendahnya pendidikan, akan dapat dikendalikan. Pelatihan wirausaha bukan hanya ditujukan kepada petani saja, tidak menutup kemungkinan juga bagi pengusaha agroindustri dan skala perusahaan mengingat di Indonesia, pengusaha cenderung bergerak dibidang generic product dan bukan spesific investment yang memacu peningkatan kepuasan konsumen sehingga konsumen mau membayar lebih mahal terhadap produk yang dikonsumsikannya. Dalam hal ini, pemerintah dapat memaksakan pengusaha menuju spesific investment dengan sanksi pencabutan ijin usaha B. Manajemen Pemasaran Melinjo dan Emping Melinjo Selain diekspor, emping melinjo juga dipasarkan ke beberapa kota besar di Aceh dan Propinsi Sumatera Utara melalui supermarket dan toko retail/klontong di daerah tersebut. Sementara untuk wilayah Kabupaten Pidie, emping dipasarkan melalui agen-agen kecil, rumah makan, pedagang besar, toko retail/klontong serta minimarket. Saluran pemasaran melinjo yang paling dominan terjadi adalah petani menjual biji melinjo kepada pengumpul dan pengumpul menjual kepada pengusaha emping yang selanjutnya emping dijual kepada grosir dan pengecer di pasar lokal. Berhubung permintaan pasar lokal yang relatif tinggi sedangkan produksi emping terbatas akibat pengaruh musim maka eksportir agak kesulitan memenuhi kebutuhan emping ekspor dari Aceh sehingga perlu memasok emping dari pulau Jawa. Harga jual emping melinjo diperhitungkan berdasarkan harga bahan baku, biaya produksi,
65
kualitas produk dan keuntungan yang diharapkan. Meskipun demikian, harga jual sangat dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Pada saat permintaan tinggi dan produk terbatas maka harga emping relatif tinggi, demikian juga sebaliknya. Saat ini harga emping berkisar Rp. 35.000 s/d Rp. 45.000 per kg. Harga jual emping melinjo biasa adalah Rp. 35.000/kg, harga jual emping louse ground adalah Rp 38.000/kg dan harga jual emping louse super adalah Rp. 45.000/kg. Harga jual ini berfluktuasi, biasanya sepa C. Manajemen Pemasaran Kubis Pemasaran kubis di tingkat petani sebagian besar melalui pedagang pengumpul karena pedagang tersebut memberikan pinjaman bibit dan pupuk yang dibutuhkan petani sehingga petani harus menjual kubis kepada pedagang pengumpul tersebut. Hal ini jelas sangat merugikan petani. Dalam hal ini, ada juga petani yang memiliki modal sendiri dan juga berperan sebagai pedagang pengumpul sehingga mereka dapat memasarkan langsung kubis kepada pedagang pengumpul dari kabupaten lain. Di Kabupaten Bener Meriah, pemasaran kubis telah memiliki jaringan pemasaran sendiri sehingga petani tidak bisa leluasa memasarkan hasil panennya ke pedagang pengumpul dari kota atau kabupaten lainnya. Saat ini, harga kubis di tingkat petani anjlok ke level yang sangat memprihatinkan, hanya berkisar Rp. 1.000 per kilogram. Anjloknya harga komoditas andalan itu seiring berlangsungnya panen raya kubis di kawasan Simpang Tiga Redelong, hingga kubis yang beredar di pasaran membludak. Dalam hal ini petani kubis mengalami keprihatinan dengan tidak stabilnya harga komoditi yang mereka hasilkan. Karena hasil dari penjualan sangat tidak setimpal dibandingkan modal yang telah dikeluarkan. Beberapa waktu lalu harga sempat melonjak hingga menyentuh Rp. 2.200 per kilogram di tingkat petani sehingga petani enggan memanen kubis dan menunda panen hingga harga naik. Meskipun jelas-jelas ini sangat beresiko bagi petani terutama dari sisi kualitas kubis dan berimbas kepada perolehan pendapatan petani. D. Pengendalian Resiko Secara umum risiko dikaitkan dengan ke-
66
mungkinan (probabilitas) terjadinya peristiwa diluar yang diharapkan. Bila investor menanamkan modal untuk mendirikan usaha, tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan dimasa depan, tetapi pada waktu yang sama juga memahami risiko kurang dari yang diharapkan. Makin besar kemungkinan rendahnya keuntungan atau bahkan rugi, dikatakan makin besar risiko usaha tersebut. Kendala yang dihadapi dalam agribisnis ternyata tidak di dalam satu aspek saja, tetapi juga muncul tiga aspek yang lazim ditemukan, yaitu aspek produksi, pengolahan, dan pemasaran. Perubahan sistem pengusahaan pertanian yang tradisional ke semi tradisional atau ke komersial juga membawa dampak terhadap perilaku produsen dalam mengambil keputusan dalam pengusahaannya (Soekartawi, et all, 1986). Dengan kemitraan maka resiko dapat ditanggung bersama, hal ini akan sangat menguntungkan petani yang memiliki modal terbatas. Resiko pada agribisnis hortikultura umumnya disebabkan oleh beberapa faktor seperti curah hujan yang tinggi, serangan hama dan penyakit, komoditas bersifat cepat rusak (perisable) dan fluktuasi harga yang tinggi, dan mekanisme pasar yang tidak efisien. Pada tingkat pengusaha, resiko dapat diminimalisir jika diawali dengan perencanaan yang matang dan umumnya pengusaha memiliki modal yang cukup sehingga dapat dengan mudah mengalihkan modalnya kepada usaha lain, tetapi sebaliknya bagi petani, tidak mudah untuk beralih pada usahatani lain. Jadi pengendalian resiko yang dimaksudkan disini adalah upaya-upaya untuk melakukan kontinuitas bahan baku, peningkatan kualitas produk olahan, peningkatan jaringan pasar dan diversifikasi produk khususnya jika terjadi terjadi fluktuasi harga. Analisis Kelayakan Pengembangan Agribisnis Hortikultura Sistem Kemitraan, Tinjauan dari Aspek Finansial Tinjauan dari aspek finansial diasumsikan jika petani terkoordinasi dalam koperasi tani dan bermitra dengan pelaku bisnis. Dalam hal ini, anggota koperasi terdiri dari 60 petani/pengrajin emping melinjo. Kemitraan ditujukan agar setiap petani mendapatkan bantuan sarana produksi sehingga dapat berproduksi secara maksimal dan
ROMANO
dapat memasarkan produksinya dengan harga yang menguntungkan petani. Petani melinjo diasumsikan juga berperan sebagai pengrajin, artinya setiap petani memiliki peralatan sendiri untuk mengolah biji melinjo menjadi emping, selanjutnya emping dijual kepada koperasi. Pada tingkat koperasi, emping disortir sesuai kualitas kemudian dipasarkan kepada pedagang. Hasil penelitian menunjukkan jika petani melinjo bermitra dalam bentuk koperasi tani dan memasarkan emping melinjo kepada pedagang lokal maupun pedagang eskportir, maka diperoleh nilai Net Present Value (NPV) sebesar Rp. 275.838.559, Net Benefit Cost Ratio (NBCR) sebesar 3,19, IRR sebesar 41,1 % dan PBP tercapai pada saat usaha telah berjalan selama 5 tahun 3 bulan 6 hari. Pada usahatani kubis, petani melakukan usahatani kubis kemudian menjual hasil panen kepada koperasi. Selanjutnya kubis disortir berdasarkan ukuran sehingga terdapat perbedaan harga pada kategori ukuran tersebut. Kubis ukuran besar dijual ke pasar modern dan beberapa perusahaan besar di Aceh, sementara kubis ukuran kecil di jual ke pasar-pasar tradisional. Hasil penelitian diperoleh nilai Net Present Value (NPV) sebesar Rp. 2.961.745, Net Benefit Cost Ratio (NBCR) sebesar 3,07, IRR sebesar 40,9% dan PBP tercapai pada saat usaha telah berjalan selama 3 tahun 4 hari. Secara umum, hasil penelitian di atas menggambarkan bahwa pengembangan agribisnis hortikultura di Aceh memiliki prospek yang baik dan menguntungkan petani karena perolehan NBCR rata-rata bernilai 3, artinya perolehan benefit (pendapatan) adalah 3 (tiga) kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Namun demikian, penggambaran rumah tangga petani masih sarat dengan kemiskinan, hal ini dikarenakan petani hanya mengusahakan lahan yang kecil, tidak terorganisir dan sebagian besar berperan sebagai buruh tani pada lahan yang digarapnya, sehingga perolehan pendapatan relatif kecil dan hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. KESIMPULAN 1. Agribisnis hortikultura layak dikembangkan di Aceh jika didukung oleh kelembagaan ber-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
sisitem kemitraan, ketersediaan sarana dan prasarana produksi, pengolahan dan pemasaran mengingat belum adanya ragam, kualitas, kesinambungan pasokan, dan kuantitas yang sesuai dengan dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen dan kesulitan dalam melakukan ekspansi pasar. 2. Kebijakan pengembangan agribisnis hortikultura melalui kemitraan baik secara teknis, manajemen maupun finansial sangat mungkin untuk dikembangkan, karena dapat dilakukan dalam skala agroindustri, tingginya permintaan pasar dan berdasarkan perolehan nilai Net Present Value (NPV) > 0, Net Benefit Cost Ratio (NBCR) >1, IRR > Social Discount Rate.
67
SARAN 1. Kebijakan dan program pengembangan agribisnis hortikultura hendaknya diarahkan pada usaha-usaha agribisnis hortikultura dan mempercepat pertumbuhan koperasi, agroindustri dan usaha-usaha ekspansi pasar yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi petani dan pelaku bisnis. 2. Pemerintah harus membumikan usahatani hortikultura pada tingkat petani dan pelaku bisnis sehingga agribisnis hortikultura dapat dikembangkan dalam skala perusahaan yang berorientasi ekspor.
68
ROMANO
REFERENSI BPS. Aceh dalam Angka. 2009. Biro Pusat Statistik Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh. BPS Bener Meriah. Bener Meriah dalam Angka. 2009. Biro Pusat Statistik Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh. Dinas Perdagangan, Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Pidie. 2009. Tingkatkan Produksi Emping Melinjo. Aceh. Sukartawi. Et.al. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Sunanto, H. 1997. Budidaya Melinjo dan Usaha Produksi Emping. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, 1, Januari 2015 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 16, Nomor 1, Januari 2015 ISSN: 1412 – 968X Hal. 69-78
STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA MISKIN PADA MASYARAKAT NELAYAN DI WILAYAH PESISIR ACEH
SUADI1, EVA AYUZAR2 DAN ROMANO3
Dosen pada FISIPOL, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe Dosen pada Fakultas Pertanian, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe 3 Dosen pada Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 1 2
The general objective of this study is to analyze the livelihood strategies of poor households and poverty reduction policy on fishing communities in the coastal areas of Aceh. The purpose is to examine in particular the social structure of fishing communities in coastal areas, examining household livelihood strategies of fishermen in coastal areas, to analyze the level of income of fishermen in coastal areas, and analyze the factors that affect the income of fishermen in the coastal areas of Aceh. The research was conducted in the district of North Aceh and Pidie Jaya with the consideration that the district has the most percentage of poor people in Aceh coastal areas dominated by poor fishermen. Social structure and household livelihood strategies of fishermen in coastal areas studied in descriptive analysis to obtain the social structure of fishing communities more comprehensive. The results showed that the coastal communities is unique in terms of social structure that is strong relationship between patron and client in fisheries including capital lending by ships / boats and equipment for fishermen in fishing effort. This is due to the uncertainty of the income of fishermen at sea, the poor quality of the fishing resources to take advantage of the opportunities the informal sector, and fishing effort to meet the needs of the household. Although some of them do double living patterns, but still the livelihood of fishermen are on the poverty line because of the inequality system for results only benefit the owners of capital. The constraints of fishermen in the sea fishing industry, among others, limited capital, the proceeds depending on the season and fishing area, the weather, and the shallow estuary so that if the tide is low it could not land a fishing boat in the PPI. Ketidakapastian revenue that encourage fishermen fishing in poverty caused by fluctuations in the catch of the season, lace human resources (HR) fisherman, capital exploitation, inequality in the sharing system, motorization, and fishing habits to overcome economic difficulties. Keywords: Strategy living, government policy, poverty fishermen
69
70
SUADI, EVA AYUZAR DAN ROMANO
LATAR BELAKANG Dengan luas wilayah Aceh sekitar 58,37 ribu km yang didiami 4,48 juta jiwa, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Aceh sebanyak 77 orang/km2. Provinsi Aceh menempati peringkat ke-7 dengan persentase angka kemiskinan mencapai 20,98 persen. Data dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014 menunjukkan bahwa dari 183 kabupaten di Indonesia, Provinsi Aceh memiliki kabupaten daerah tertinggal sebanyak 12 kabupaten, Untuk itu, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal meluncurkan program Bedah Desa sebagai instrumen untuk percepatan pembangunan daerah tertinggal, yang bertumpu pada tiga pilar pendekatan yakni agribisnis, berbasis mata pencaharian berkelanjutan, dan hak. Aceh baru bisa memproduksi 10 persen dari 1,8 juta ton potensi laut dengan wilayah perairan laut seluas 295 ribu kilometer persegi. Data BPS 2010 memperlihatkan bahwa menunjukkan bahwa jumlah persentasi yang orang miskin yang berlapangan kerja perikanan (sebagai nelayan dan pembudidaya ikan) adalah sebesar 16,93% atau sekitar 906.421 jiwa (jumlah penduduk yang bermata pencaharian nelayan dan petani ikan = 5.353.936 jiwa (BPS 2010). Persentase kemiskinan ini lebih besar dibandingkan persentase kemiskinan petani pada pertanian padi dan palawija yaitu sekitar 22,60%. Data dari Panglima Laot dalam Antara (2014) menyebutkan sekitar 70 persen nelayan Aceh hidup dibawah garis kemiskinan. Menurut Satria (2002) dalam Sugiharto et al. (2013), perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan yang mendorong terjadinya pengurasan sumberdaya laut secara berlebihan. Namun demikian, data yang pasti tentang jumlah nelayan miskin di Indonesia sampai saat ini tidak pernah tersedia (Satria 2009 dalam Muflikhati et al. 2010). Problematika usaha penangkapan ikan dan 2
upaya nelayan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang mewarnai karakterstik kehidupan nelayan menyebabkan nelayan dan anggota keluarganya melakukan kegiatan di sektor informal. Namun apakah sektor ini mampu membantu nelayan dalam meningkatkan pendapatannya dan bagaimana akses nelayan dalam permodalan, memerlukan kajian mendalam sehingga dapat diketahui struktur sosial dalam kehidupan nelayan, stategi nafkah ganda nelayan dan garis kemiskinannya. Meskipun Pemerintah Daerah melalui dians terkait telah ikut ambil bagian dalam upayaupaya nelayan mengatasi kemiskinan nelayan, namun perlu ditelusuri lagi sejauh mana efektifitas program pemberdayaan nelayan dan strategi penanggulangan kemiskinan pada masyarakat nelayan di wilayah pesisir Aceh. Besarnya angka kemiskinan di wilayah pesisir Aceh mengindikasikan adanya ketimpangan pendapatan yang tinggi diantara masyarakat khususnya masyarakat diwilayah perkotaan. Hal ini juga memperlihatkan bahwa akses-akses masyarakat pesisir (nelayan) Aceh dalam melakukan usahausaha peningkatan taraf hidup memiliki keterbatasan. Ketidakpastian pendapatan dan kurangnya akses nelayan dalam memperoleh modal usaha memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah. Beberapa pakar peneliti pun telah melakukan merumuskan kehidupan nelayan dan permasalahannya dari berbagai sisi, namun nelayan dan kehidupannya selalu menarik untuk dibahas karena program dan kebijakan penanggulangan pemerintah belum mampu membantu nelayan keluar dari jurang kemiskinan. Masyarakat miskin yang berada kawasan pesisir menghadapi berbagai permasalahan yang menyebabkan kemiskinan. Pada umumnya mereka menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar dan sangat bergantung musim. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi terbatas. Nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar dan penurunan mutu sumberdaya pantai. Hasil tangkapan
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
juga mudah rusak sehingga melemahkan posisi tawar mereka dalam transaksi penjualan. Selain itu, pola hubungan eksploitatif antara pemilik modal dengan buruh dan nelayan, serta usaha nelayan yang bersifat musiman dan tidak menentu menyebabkan masyarakat miskin di kawasan pesisir cenderung sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan dan belitan hutang pedagang atau pemilik kapal. Upaya `penanggulagan kemiskinan yang telah dilakukan selama ini, belum dilakukan secara terpadu. Hal ini menunjukkan kelemahan beberapa kelemahan dari penanggulagan pada masa yang lalu, sehingga perlu dikoreksi secara mendasar, kelemahan tersebut antara lain masih berorientasi pada pertumbuhan makro, kebijakan yang terpusat, cara pandang tentang kemiskinan yang diorientasikan pada ekonomi, menempatkan nelayan miskin sebagai objek pembangunan, seperti pembebasan uang sekolah, pemberian kartu sehat, kartu miskin, dan bantuan yang bersifat habis pakai. Ironisnya, nelayan miskin hidup diantara kekayaan potensi sumberdaya perikanan, yang menunjukkan pengelolaan yang lambat, keterbatasan modal, kurangnya penguasaan teknologi perikanan, rendahnya akses informasi dan akses pasar, pemanfaatan sumberdaya yang belum optimal, menyebabkan kehidupan nelayan rentan dengan kemiskinan. Untuk itu, dibutuhkan indikator yang menjadi ukuran obyektifitas bagi pengambil kebijakan dalam menerapkan program-program penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat nelayan dari jurang kemiskinan. METODE PENELITIAN Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian Lingkup penelitian mencakup strategi nafkah rumah tangga nelayan dan kebijakan pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan yang telah diterapkan pada masyarakat nelayan di wilayah pesisir Aceh. Performa strategi nafkah rumah tangga nelayan mencakup peran sistem sosial, ekologi, dan kebijakan pemerintah terhadap strategi nafkah rumah tangga nelayan. Melalui strategi nafkah ini akan diketahui kemampuan pola nafkah ganda rumah tangga nelayan berdasarkan strategi ekonomi dan strategi sosial yang
71
menempatkan posisi nelayan dalam sistem sosial masyarakat. Penentuan lokasi penelitian menggunakan metode purposive sampling. Lokasi penelitian ditentukan Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Pidie Jaya dengan pertimbangan bahwa kabupaten tersebut memiliki persentase penduduk miskin paling banyak di Aceh dengan wilayah pesisir yang didominasi nelayan miskin. Tiap kabupaten dipilih dua kecamatan yang terletak di wilayah pesisir dan memiliki garis kemiskinan nelayan tertinggi di kabupaten. Selanjutnya untuk setiap kecamatan dipilih 2 desa dengan ketentuan yang sama seperti pemilihan kabupaten dan kecamatan. Pada setiap desa dipilih 20 nelayan dan 2 orang tokoh masyarakat sebagai responden. Dengan demikian, total responden nelayan sebanyak 160 orang dan tokoh masyarakat sebanyak 16 orang. Metode dan Prosedur Pengumpulan Data Data penelitian dibedakan atas data primer dan data sekunder. Data primer (primary data sources) diperoleh dengan cara wawancara, pengamatan dan menggunakan kuesioner langsung ke responden di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti BPS, Dinas Perikanan dan Kelautan, Bappeda, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perindag, Dinas Nakertrans, dan instansi terkait. Analisis Data Kajian struktur sosial masyarakat nelayan di wilayah pesisir Struktur sosial masyarakat nelayan dikaji secara deskriptif (deskriptif analitis) berdasarkan informasi dari nelayan responden dan stakeholder di lokasi penelitian. Analisis dilakukan dengan menjabarkan karakteristik, pola hidup dan sistem sosial masyarakat nelayan untuk menggambarkan struktur sosial masyarakat nelayan berdasarkan analisis komponen utama dan analisis faktor. Kajian strategi nafkah rumah tangga nelayan di wilayah pesisir Strategi nafkah nelayan dikaji berdasarkan analisis deskriptif (deskriptif analitis) dengan menjabarkan pola nafkah ganda berdasarkan potensi dan peluang usaha pada rumah tangga
72
SUADI, EVA AYUZAR DAN ROMANO
nelayan. Selanjutnya dilakukan perbandingan strategi nafkah rumah tangga nelayan antar lokasi penelitian. Strategi nafkah rumah tangga nelayan dibedakan atas strategi ekonomi dan strategi sosial sehingga dapat dijadikan acuan dasar untuk menentukan tingkat kemiskinan masyarakat nelayan.
kesehatan, dan pelayanan publik 5. Degradasi sumberdaya lingkungan baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil 6. Program dan Kebijakan Penanggulangan kemiskinan nelayan yang dilakukan pemerintah daerah belum efektif mengatasi permasalahan nelayan dan kemiskinannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Nelayan Miskin Di Kabupaten Aceh Utara Masyarakat Kabupaten Aceh Utara yang menetap di kawasan pesisir, sebagian besar, menjadi nelayan tradisional dan masih terabaikan. Jumlah nelayan sebanyak 7.226 orang terdiri dari nelayan tetap sebanyak 3.481 Orang dan nelayan sambilan sebanyak 3.745 Orang (Tabel 1). Kehidupan nelayan masih terpuruk dari sektor pendapatan ekonomi. Padahal,Kabupaten Aceh Utara dikenal sebagai daerah penghasil Migas di Indonesia. Namun, hasil kekayaan daerah itu, belum bisa dirasakan oleh nelayan miskin di 9 wilayah PPI di pesisir Aceh Utara. Hal itu disebabkan, sarana pendukung nelayan seperti Kuala Pangkalan Pendarata Ikan (PPI) masih dangkal dan membuat perahu nelayan sulit mendarat. Kehidupan nelayan sarat dengan kemiskinan. Mayaoritas nelayan menangkap ikan dengan sistem bagi hasil. Pemilik kapal/perahu dan peralatan menangkap ikan adalah toke bangku. Bahan bakar juga ditanggung oleh toke bangku. Pendapatan nelayan diperoleh setelah dikurangi semua biaya produksi yang dikeluarkan toke bangku dan persentase fee toke bangku sebagai pemilik modal sebesar 10% dari hasil penjualan ikan. Selanjutnya keuntungan bersih dibagi dua antara nelayan dengan toke bangku. Pendapatan nelayan hanya berkisar Rp. 50.000/hari hingga Rp. 100.000/hari. Pendapatan ini sangat berfluktuasi tergantungan musim angin. Terkadang nelayan pulang tanpa membawa hasil tangkapan ikan.
Profil Nelayan Aceh Masyarakat pesisir didominasi oleh nelayan. Nelayan bergelut dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa dikontrol. Nelayan menghadapi sumberdaya yang bersifat open acces dan beresiko tinggi. Hal tersebut menyebabkan masarakat pesisir seperti nelayan memiliki karakter yang tegas, keras dan terbuka. Selan itu karakteristik masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya, aspek pengetahuan, kepercayaan (teologis), dan posisi nelayan social. Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat nelayan mendapat pegetahuan dari warisan nenek moyangnya misalnya untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka menggungakan rasi bintang. Dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut memiliki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau sedekah laut. Pada umumnya berdasarkan posisi social, kehidupan nelayan tergolong miskin Jumlah nelayan di Aceh mencapai 65 ribu orang. Sebagian besar masih hidup di baweah garis kemiskinan. Sementara potensi perikanan laut Aceh mencapai 1,8 juta ton per tahun, baru bisa diproduksi sekitar 10 persen saja. Masyarakat nelayan menghadapi sejumlah masalah politik, sosial dan ekonomi yang kompleks. Masalahmasalah tersebut antara lain: 1. Kemiskinan, kesenjangan sosial dan tekanantekanan ekonomi yang datang setiap saat 2. Keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar sehingga mempengaruhi dinamika usaha 3. Kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada 4. Kualitas sumberdaya mayarakat yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan,
Aktivitas nelayan dimulai pagi hari terutama bagi nelayan yang menggunakan perahu mesin. Nelayan berangkat ke laut menjelang shubuh jam 05.00 wib dan pulang pada pagi hari jam 8.00 wib dan melakukan pendaratan di TPI. Hasil tangkapan ikan diserahkan kepada toke untuk dijual dan selanjutnya nelayan membereskan peralatan
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
73
Tabel 1 Data Jumlah Nelayan Di Kabupaten Aceh Utara, Tahun 2013 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8, 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22 23. 24. 25. 26. 27.
Kecamatan Sawang Nisam Nisam Antara Bandar Baro Kuta Makmur Simpang Kramat Syamtalira Bayu Geureudong Pase Meurah Mulia Matang Kuli Paya Bakong Pirak Timu Cot Girek Tanah Jambo Aye Langkahan Seuneudon Baktiya Baktiya Barat Lhoksukon Tanah Luas Nibong Samudera Syamtalira Aron Tanah Pasir Lapang Muara Batu Dewantara Jumlah
Nelayan Tetap 0 0 0 0 0 0 348 0 0 0 0 0 0 439 0 687 0 0 0 0 0 323 0 286 368 508 522 3.481
Nelayan Sambilan 0 0 0 0 0 0 557 0 0 0 0 0 0 343 0 617 0 0 0 0 0 499 0 179 276 700 574 3.745
Jumlah 0 0 0 0 0 0 905 0 0 0 0 0 0 782 0 1.304 0 0 0 0 0 822 0 465 644 1.268 1.096 7.226
Sumber: Aceh Utara Dalam Angka, 2013 Tabel 2 Data Jumlah Nelayan Di Kabupaten Pidie Jaya No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kecamatan Bandar Baru Pante Raja Trienggadeng Meureudu Meurah Dua Ulim Jangka Buya
Nelayan Tetap 96 458 236 320 255 198 315
Nelayan Sambilan 25 81 110 65 59 36 49
Jumlah 121 539 346 385 314 234 364
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pidie Jaya, 2014
tangkap. Biasanya toke telah menunggu nelayan pulang di TPI setiap pagi. Hasil pembagian tangkapan biasanya diserahkan toke pada sore hari. Aktivitas nelayan setelah melaut adalah memperbaiki jika ada perahu yang bocor atau memperbaiki jaring jika ada yang rusak. Umumnya nelayan di daerah penelitian tidak melakukan usaha sampingan sehingga jika tidak memperoleh hasil tangkapan ikan di laut maka nelayan tidak memiliki penghasilan lainnya. Bagi nelayan yang menggunakan kapal untuk menangkap ikan, kegiatan me-
laut dilakukan mulai pada malam hari pukul 22.00 wib dan pulang pagi hari pukul 08.00 wib. Namun jika mereka belum memperoleh hasil tangkapan, biasanya mereka bertahan di laut hingga mendapatkan hasil tangkapan. Jadi kegiatan melaut dilakukan selama 1 hari sampai 3 hari tergantung perolehan hasil tangkapan. Jarak tempuh atau wilayah penangkapan ikan juga sangat menentuan besarnya hasil tangkapan ikan. Nelayan yang menggunakan perahu mesin memiliki jarak tempuh atau wilayah penangka-
74
pan ikan sejauh 10 mil, sedangkan nelayan yang menggunakan kapal memiliki jarak tempuh 20 mil hingga 30 mil. Semakin jauh wilayah penangkapan maka semakin besar ikan yang diperoleh dan volumenya lebih besar. Adapun kendala nelayan dalam usaha penangkapan ikan dilaut antara lain adalah keterbatasan modal usaha untuk kepemilikan kapal/perahu dan bahan bakar serta perolehan hasil tergantung musim dan jarak tempuh atau wilayah penangkapan ikan, cuaca, dan kuala dangkal sehingga jika air laut surut maka perahu nelayan tidak bisa mendarat di PPI. Profil Nelayan Miskin di Kabupaten Pidie Jaya Di Kabupaten Pidie Jaya, masyarakat yang menetap di wilayah pesisir, mayoritas menggantungkan hidupnya dengan melaut. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabuapten Pidie Jaya pada tahun 2013, Kecamatan Panteraja dan Kecamatan Meureudu memiliki jumlah nelayan paling banyak karena sebagai besar daerahnya merupakan daerah pesisir. Kecamatan Panteraja memiliki nelayan 539 orang nelayan atau 6,87% dari total jumlah penduduk sedangkan Kecamatan Meureudu memiliki nelayan sebanyak 385 orang nelayan atau 2,01% dari total penduduk (Tabel 2). Jadwal kegiatan melaut nelayan di kabupaten Pidie Jaya relatif sama dengan nelayan di Kabupaten Aceh Utara, yaitu kegiatan melaut dimulai menjelang shubuh bagi perahu mesin dan pulang pagi hari demikian juga nelayan yang menggunakan kapal, aktivitas melaut dilakukan selama 1 hari hingga 3 hari tergantung perolehan hasil tangkapan ikan. Usaha sampingan nelayan adalah memperbaiki jaring yang rusak, memperbaiki perahu/kapal yang bocor, penjemuran ikan, pengolahan ikan (ikan segar menjadi ikan asin dan ikan kayu/keumamah), membuat perahu, dan usaha penggemukan sapi. Pengolahan ikan dilakukan jika perolehan ikan di laut terlalu banyak dan harga ikan relatif sangat murah. Hasil tangkapan nelayan Pidie Jaya, termasuk Pidie, belakangan ini terus menurun sehingga sebagian toke terpaksa memasok ikan dari luar daerah seperti Samalanga (Bireuen), bahkan dari Medan (Sumatera Utara), semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal maupun langganan.
SUADI, EVA AYUZAR DAN ROMANO
Memang bila ditinjau dari sisi pendapatan ekonomi masyarakat di pesisir pantai yang rata-rata berpencaharian sebagai nelayan, jauh dari harapan. Apalagi menurut data, angka kemiskinan itu berada di daerah pesisir. Ini menggambarkan pendapatan nelayan tergolong kecil dan tergantung pada hasil tangkapan di laut serta harga di pasaran. Jika kondisi laut tidak bersahabat dan nelayan tidak bisa beraktivitas mencari ikan, maka nelayan terpaksa berutang pada toke tempat mereka bekerja, yang sering diistilahkan dengan toke bangku. Diperkirakan hampir 80% pengusaha (toke) nelayan di Pidie Jaya dan Pidie memiliki boat baru dan 20% lagi tersisa boat lama atau alat tangkap tradisional. Meskipun hasil tangkapan merosot tajam, namun toke masih mendapatkan minimal 80 kg ikan setiap nelayan pulang melaut. Melimpah atau tidaknya hasil tangkapan ikan, nelayan tetap menerima sebagian setelah satu bagian ke toke. Jika harga ikan Rp 30.000/kg dikali 80 kg, jumlahnya Rp 2,4 juta yang didapat. Nelayan, atau istilah daerah itu anak pukat, memperoleh gaji Rp 40.000 hingga Rp 60.000/orang setelah dipotong biaya lainnya, baik buat tekong sebagai komisi maupun untuk yang lain. Sedangkan selebihnya ke toke. Kehidupan nelayan sangat tergantung dengan harga jual ikan. Tidak ada ketentuan harga ikan tangkapan yang ditetapkan pemerintah, berbeda dengan petani yang telah ditetapkan harga gabah mereka. Angka kemiskinan di daerah pesisir sekitar 30%, meskipun secara Kabupaten Pidie Jaya angka kemiskinan hanya tinggal sekira 28% dari jumlah penduduk Pidie Jaya (Riwat, 2014). Meureudu-Nelayan Pasie Aron resah dengan maraknya pukat trawl memasuki wilayah mereka. Tak jarang jaring nelayan tradisional itu turut disapu pukat trawl milik nelayan luar, dari Aceh dan daerah itu sendiri. Pukat trawl beroperasi pada jarak 100 meter dari pantai di perairan Kecamatan Jangka Buya, Kabupaten Pidie Jaya. Penangkapan ikan-ikan kecil yang dijaring oleh Boat-boat besar di laut lepas, dinilai sudah merugikan nelayan setempat. Sebab, ikan-ikan kecil yang biasanya bermigrasi dari laut lepas hingga diikuti ikanikan besarnya, sudah terjaring terlebih dahulu di laut lepas oleh kapal-kapal tersebut. Akibatnya, nelayan setempat yang bisa mengandalkan penangkapan ikan di sekitar Bibir Pantai, membuat
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
hasil tangkapan ikannya menjadi minim Ratarata hasil tangkapan ikan nelayan di Kecamatan Jangka Buya ini, sekali operasi hanya dua sampai tujuh kuintal. Sedangkan kapal-kapal besar, sekali angkat jaring cincinnya bisa mencapai 60 ton. Parahnya lagi, tak hanya ikan-ikan besar saja yang terkena jaring, tapi ikan-ikan kecil pun ikut diambil juga. Beroperasinya pukat trawl merugikan mata pencaharian nelayan tradisional di daerah tersebut. Hasil tangkapan ikannya semakin merosot. Selain penangkapan ikan-ikan kecil, dari segi persaingan hasil tangkapan ikan antara nelayan setempat dengan nelayan diluar Pidie Jaya, dinilai jauh tidak sebanding. Alat penangkapan ikan mereka sudah canggih menggunakan jaring cincin, sedangkan nelayan masih menggunakan alat tangkap tradisional yakni menggunakan jaring gillnet, jelas tidak akan mampu bersaing dengan boat mereka. Struktur sosial masyarakat nelayan di wilayah pesisir Kategori sosial yang berpengaruh dalam menentukan struktur sosial masyarakat nelayan adalah; (1) pemilik perahu/kapal ikan (nelayan pemilik), (2) pemimpin awak perahu (nakhoda) dalam operasi penangkapan ikan, (3) nelayan buruh, (4) pedagang ikan (pengepul/pedagang perantara/ pemindang). No. 1-3 adalah basis struktur sosial masyarakat nelayan (khususnya dalam organisasi penangkapan/pranata penangkapan. Interaksi sosial dalam struktur sosial tersebut didasarkan pada noma-norma yang ada, hak dan kewajiban masing-masing pelaku yang ditentukan oleh status dan peranan pelaku. Kelompok-kelompok dalam masyarakat pesisir yaitu : (1) nelayan tangkap (fishing) sebagai entitas kelompok sosial yang utama, (2) pedagang ikan, (3) pengusaha pengolahan hasil tangkap, seperti pemindang, pengering ikan, pengasap, pengusaha terasi, pengusaha kerupuk ikan, dan sebagainya, (4) pembudidaya ikan di wilayah perairan (karamba-japung untuk uang laut dan ikan kerapu), (5) petambak (udang dan bandeng), (6) pengusaha jasa perikanan (tukang perahu, montir/bengkel mesin perahu, pemilik toko alat-alat tangkap, dan sebagainya, (7) Pemilik toko/warung barang-barang konsumsi, (8) PNS/ABRI/swasta,
75
(9) Kegiatan jasa dan perdagangan lainnya. Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas dalam hal struktur sosial yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien dalam hubungan pasar pada usaha perikanan. Unsur-unsur sosial yang berpotensi sebagai patron adalah pedagang (ikan) berskala besar dan kaya, nelayan pemilik (perahu), juru mudi (juragan laut atau pemimpin awak perahu), dan orang kaya lainnya. Mereka yang berpotensi menjadi klien adalah nelayan buruh dan warga pesisir yang kurang mampu sumber dayanya. Secara intensif, relasi patron-klien ini terjadi di dalam aktivitas pranata ekonomi dan kehidupan sosial di kampung. Para patron ini memiliki status dan peranan sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat nelayan (Kusnadi, 2000). Kompleksitas relasi sosial patron-klien (vertikal) dan relasi sosial horisontal di antara mereka merupakan urat-urat struktur sosial masyarakat nelayan. Biasanya patron memberikan bantuan berupa modal kepada klien. Hal tersebut merupakan taktik bagi patron untuk mengikat klien dengan utangnya sehingga bisnis tetap berjalan. Dari masalah utang piutang tersebut sering terjadi konflik, namun konflik yang mendominasi adalah persaingan antar nelayan dalam memperebutkan sumberdaya ikan yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, sangatlah penting adanya pihak yang dapat mengembangkan sumberdaya laut dan mengatur pengelolaannya. Selain di sektor ekonomi, relasi-relasi patron-klien juga terjadi intensif pada nelayan yang tingkat kemiskinannya tinggi. Dalam jaringan sosial berbasis hubungan ketetanggaan, orangorang yang mampu (pedagang, nelayan pemilik, atau pihak lainnya) dan memiliki sumber daya ekonomi lebih dari cukup akan membantu tetangganya yang kekurangan. Biasanya bantuan tersebut berupa barang-barang natura, makanan, informasi, pakaian, dan upah jasa. Mereka yang telah ditolong itu akan membalas kebaikan tersebut dengan kesiapan menyediakan jasa tenaganya untuk membantu patron. Aktualisasi relasi patronklien ini merupakan upaya menjaga kerukunan bersama, sehingga efek negatif kesenjangan sosial di kalangan masyarakat nelayan dapat diminimalisasi (Kusnadi, 2000).
76
Strategi nafkah rumah tangga nelayan di wilayah pesisir Menghadapi situasi kemiskinan yang berkaitan dengan hasil tangkapan yang tidak menentu, rumah tangga nelayan melakukan pola nafkah ganda dan berusaha mengoptimalkan peran tenaga kerja anggota keluarga dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Anak-anak nelayan yang masih kecil biasanya membantu mencari penghasilan dengan membantu nelayan saat mendaratkan perahu di Tempat Penampungan Ikan (TPI) setelah melaut. Anak-anak tersebut mendapat bebarapa ikan dari nelayan yang melaut. Ikan-ikan itu dikumpulkan untuk dijual. Mereka juga ikut membantu mencari rumput untuk pakan sapi bagi yang melakukan usaha penggemukan sapi. Bagi remaja laki-laki biasanya sudah diikut sertakan melaut. Para istri nelayan dan remaja putri membantu dalam penjemuran ikan, membuat kue untuk dijual, dan berjualan warung. Penerapan strategi ini telah membantu menambah pendapatan rumahtangga nelayan dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Keinginan rumah tangga nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari memicu gejala pola nafkah ganda. Meskipun kegiatan perikanan sangat padat sehingga sangat sedikit memberi ruang bagi nelayan untuk melakukan pekerjaan lain, para nelayan pada suatu waktu masih mempunyai kesempatan untuk melakukan nafkah ganda. Setidaknya ada 4 (empat) pola nafkah ganda yang berlaku di daerah penelitian, yaitu: 1. Suami dan istri yang masing-masing bekerja namun masih dalam satu sektor perikanan. Misalnya suami menangkap ikan di laut dan istri berperan sebagai muge, yaitu menjual ikan secara berkeliling dengan motor. Ini terjadi di Kabupaten Pidie Jaya. Istri melakukan penjemuran ikan, pengolahan ikan segar menjadi ikan teri, bandeng tanpa tulang, kerupuk ikan, ikan kayu (keumamah), nugget, terasi ikan, terasi udang, dan ikan asin. Untuk mencukupu kebutuhan rumah tangga, seorang istri atau salah satu anggota rumah tangga lainnya turut membantu suami untuk meringankan beban rumah tangga. 2. Suami dan istri memiliki pekerjaan masing-
SUADI, EVA AYUZAR DAN ROMANO
masing namun berlainan sektor. Karena terbatasnya modal dan keterampilan, suami hanya bias bekerja menangkap ikan sementara pekerjaan lain sulit dilakukan. Dengan kondisi yang serba kekurangan, maka seorang istri atau salah satu anggota rumah tangga lainnya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga maka melakukan pekerjaaan seperti membuat kue, berdagang di warung, dan menjadi buruh cucian rumah tangga. 3. Suami memiliki pekerjaan lain selain melaut, seperti membuat perahu, buruh bangunan, bertani, dan beternak ayam dan itik. 4. Keterlibatan seluruh anggota rumah tangga nelayan dalam mencari nafkah, seperti istri dan remaja putri melakukan penjemuran ikan, berdagang di warung atau membuat kue. Anak-anak nelayan ikut membantu dalam pendaratan perahu nelayan, menjadi aneuk itek (cuci perahu dan membantu nelayan dalam mempersiapkan atau membeli bahan dan bekal melaut nelayan), penjemuran ikan, mencari rumput dalam usaha penggemukan sapi, sedangkan remaja putra biasanya sudah diikut sertakan dalam melaut dan sebagai ABK (Anak Buah Kapal). Adanya TPI (Tempat Penampungan Ikan) bukan hanya sebagai tempat pendaratan ikan bagi nelayan tapi juga sumber penghasilan terutama bagi remaja putra dan anak-anak nelayan. Mereka bisa ikut terlibat dalam kegiatan mencari nafkah seperti membantu nelayan dalam mendaratkan perahu sehingga mereka mendapatkan sejumlah ikan dari nelayan, membantu mengangkat ikan dari perahu ke TPI, membantu membawa ikan dari TPI ke pasar, berperan sebagai aneuk itek, menjadi ABK, membantu memperbaiki jaring yang rusak, membantu memperbaiki kapal/perahu yang bocor, dan lain-lain. Beragam aktifitas ini menyebabkan setiap anggota rumah tangga nelayan dipastikan hampir semuanya terlibat dalam mencari nafkah kecuali bayi dan balita. Aktifitas ini juga dapat mengurangi pengangguran sehingga daerah pesisir umumnya aman dari kegiatan pencurian dan dampak sosial lainnya. Hubungan sosial yang dilakukan nelayan merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
keberadaannya dengan membentuk jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat nelayan.. Jaringan sosial mengacu pada hubungan yang di bangun oleh nelayan dengan berbagai pihak untuk mengantisipasi tekanan-tekanan hidup. Jaringan sosial dimanfaatkan nelayan sebagai salah satu strategi dalam menghadapi kemiskinan. Jaringan sosial ini dimanfaatkan dalam kegiatan menangkap ikan dan mengatasi tekanantekanan ekonomi. Pada musim tidak menangkap ikan para nelayan biasanya meminjam uang kepada saudara, tetangga maupun teman untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adapula nelayan yang meminjam uang kepada toke dengan perjanjian ikatan kerja dan melunasinya hutangnya dengan hasil tangkapan ikan di laut. Hubungan sosial nelayan dalam masyarakat sekitarnya juga terjalin kuat, seperti jika ada anggota keluarga nelayan yang kemalangan (kematian) maka masyarakat sekitar akan membawa sedekah beras ½ bambu dan uang sebesar Rp. 3.000 per rumah tangga. Pada hubungan kekerabatan yang lebih dekat maka jika ada anggota keluarga yang mengadakan hajatan pernikahan, maka nelayan lain akan memberikan bantuan sejumlah uang. Besarannya dicatat oleh nelayan yang melakukan hajatan. Demikian sebaliknya nelayan tersebut akan memberikan sedekah yang sama atau lebih besar kepada nelayan yang telah membantunya. KESIMPULAN 1. Masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas dalam hal struktur sosial yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien dalam usaha perikanan diantaranya peminjaman modal berupa kapal/perahu dan perlengkapannya bagi nelayan dalam usaha penangkapan ikan. Hal ini disebabkan ketidakpastian pendapatan nelayan melaut, rendahnya kualitas sumberdaya nelayan untuk memanfaatkan peluang sektor informal, dan upaya nelayan untuk me-
77
menuhi kebutuhan rumah tangganya. Meskipun beberapa diantaranya melakukan pola nafkah ganda, namun tetap saja kehidupan nelayan berada pada garis kemiskinan karena adanya ketimpangan sistim bagi hasil yang hanya menguntungkan pemilik modal ( toke). Kompleksitas relasi sosial patron-klien (vertikal) dan relasi sosial horisontal di antara nelayan merupakan urat-urat struktur sosial masyarakat nelayan. Adapun kendala nelayan dalam usaha penangkapan ikan dilaut antara lain keterbatasan modal usaha, , perolehan hasil tergantung musim dan wilayah penangkapan ikan, cuaca, dan kuala dangkal sehingga jika air laut surut maka nelayan tidak bisa mendaratkan perahu di PPI. 2. Keterlibatan istri dan anak-anak nelayan membentuk pola nafkah ganda rumah tangga nelayan dalam upaya memenuhi kebutuhan keluarga selain melaut yaitu beternak (ayam, itik, kambing, dan usaha penggemukan sapi), membuat dan memperbaiki perahu yang rusak, berdagang, dan pengolahan ikan. SARAN 1. Guna mengurangi ketergantungan terhadap toke, maka diharapkan Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan kapal/perahu dengan sistim kredit bergulir dan mengoptimalkan kembali peran kelembagaan ekonomi (TPI), sehingga para nelayan dapat melakukan kegiatan lelang terbuka dan tidak terikat kepada para toke. Pembangunan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan kelembagaan lainnya hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan nelayan guna meminimalisir kelembagaan yang tidak sefisien. 2. Perlu dibentuk kelompok-kelompok nelayan dan kegiatan pendampingan, baik oleh petugas penyuluhan, LSM, dan lain-lain, agar nelayan dapat dikoordinir dalam wadah organisasi dan memudahkan nelayan mendapat informasi, melakukan akses kredit dan akses pasar.
78
SUADI, EVA AYUZAR DAN ROMANO
REFERENSI Badan Pusat Statistik Aveh Utara. 2013. Aceh Utara Dalam Angka. 2013. Badan Pusat Statistik Aceh Utara. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pidie Jaya. 2014. Perikanan Laut Kabupaten Pidie Jaya Dalam Angka. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pidie Jaya. Meureudu. Harian Rencong. 2014. Nelayan Aceh Dapat Bantuan 27 Kapal Penangkap Ikan dari KKP. Minggu, 9 Maret 2014. http://www.harianrencong.com/2014/03/nelayan-aceh-dapat-bantuan-27-kapal.html Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. Muflikhati I, Hartoyo, Sumarwan U, Fahrudin A, Puspitawati H. Kondisi sosial ekonomi dan tingkat kesejahteraan keluarga: kasus wilayah pesisir Jawa Barat. Dalam: Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen.[Internet]. [dikutip tanggal 2 Maret 2014, pukul 23.30]. 3(1): 1-10. Dapat diunduh dari: http://journal.ipb.ac.id/index.php/jikk/article/download/ 5178/3572 Rakyat Aceh. 2012. Ribuan Nelayan Daerah Penghasil Migas Luput Perhatian Pemerintah Terkesan Kurang Respon, 9 PPI Masih Dangkal. Rabu, 12 September 2012. http://rakyataceh.com/ Riwat A.I. 2014. Nasib Nelayan Pidie Jaya Memprihatinkan. Harian Medan Bisnis. Senin, 26 Mei 2014 07:19 WIB - http://mdn.biz.id/n/97377/ Sugiharto E, Salmani, Gunawan BI. 2013. Studi tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di Kampung Gurimbang Kecamatan Sambaliung Kabupaten Berau. Dalam: Jurnal Ilmu Perikanan Tropis. [Internet]. [dikutip tanggal 2 Maret 2014, pukul 23.30]. 18(2): 68-74. Dapat diunduh dari: https://fpik. unmul.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/9-Salmani-Studi-Tingkat-Kesejahteraan-Masyarakat.pdf
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, 1, Januari 2015 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 16, Nomor 1, Januari 2015 ISSN: 1412 – 968X Hal. 79-95
ANALISIS STRATEGI KEBERHASILAN RUMAH MAKAN AYAM PENYET PAK ULIS LHOKSEUMAWE Pendekatan Matriks IFE dan EFE TEUKU ZULKARNAEN
Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
The purpose of this study was to determine the success strategy of Ayam Penyet “Pak Ulis” restaurant in Lhokseumawe using IFE and EFE matrix approach. The primary data were obtained by spreading questionnaires to 36 respondents who worked at Ayam Pak Penyet Ulis restaurant, which assesses internal factors and 40 respondents was its customer which assess external factors. The secondary data was obtained from various sources related to the object of research. By combining the total value of internal and external to the IFE and EFE matrix seen that Ayam Penyet “Pak Ulis” restaurant is applaying an aggressive strategy that lead the company to the favorable situation as results of its ability of taking advantage of strengths and opportunities and controlling the weaknesses and threats appropriately. Internal and external value are obtained from data analysis process and show the result of 3,792 for the internal value and 3.829 for the external value. The internal and external value is in aggressive quadrant. It means that the company can maintain this aggressive strategy as a mainstay strategy. Some of the weaknesses are found and requires improvement such as accelerating serving time and prevent the duplicate work Keywords: Success strategies, internal factors, external factors
79
80
TEUKU ZULKARNAEN
LATAR BELAKANG Perkembangan ekonomi atau bisnis erat kaitannya dengan perkembangan dan pertumbuhan dibidang dunia usaha. Hal ini ditandai salah satunya dengan munculnya perusahaan dengan skala yang bervariasi. Pada sisi yang lain para pelaku bisnis juga di tuntut untuk dapat bertahan dalam pasar yang sangat kompetitif. Segala potensi sumber daya manusia atau pemimpin dalam perusahaan di tuntut untuk selalu mengikuti laju perkembangan ekonomi dan mampu mengelola seluruh potensi yang ada tersebut sehingga mampu bersaing dan bertahan dalam pasar. Setiap perusahaan memiliki strategi yang berbeda dalam menghadapi persaingan tersebut agar dapat lebih unggul dari pesaing – pesaing lain. Dalam hal ini seorang pemimpin harus dapat melihat dan mencermati segala perubahan yang terjadi dan harus mampu dan cepat dalam bertindak, jika tidak ingin ketinggalan dari para pesaing lainnya dan dapat mencapai tujuan perusahaan dengan baik. Kompetisi yang dihadapi oleh suatu perusahaan dalam suatu industri, membuat tiap perusahaan harus merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol strategi pemasaran yang di buatnya. Keberhasilan strategi pasar tidak hanya terletak pada kemampuan perusahaan memasarkan barang dan jasa, tapi juga kemampuan mengembangkan produk baru atau jasa secara berhasil dan menjaga peningkatan laba. Untuk mencapai tujuan tersebut, hal utama yang diperlukan adalah menyadari dimana posisi kita dalam hubungan dengan konsumen dan pesaing. Strategi merupakan suatu kebutuhan da penting sifatnya karena strategi merupakan interaksi antara kebutuhan konsumen dan penawaran dan biaya bersaing yang menentukan siapa yang menguasai penjualan dan dengan tingkat laba yang bagaimana. Inti dari strategi adalah mengidentifikasi wilayah mana kita dapat mencapai tingkat persaingan. Konsentrasi pada tingkat persaingan itu sedemikian penting, karena tidak hanya menyangkut penawaran produk atau jasa yang lebih baik, ataupun penawaran dengan biaya lebih rendah. Kita perlu juga meletakkan nilai untuk pesaing dengan biaya yang akan menghasilkan keuntungan nyata bagi kita.
Dalam strategi, kita juga perlu membangun peluang persaingan bersifat struktural untuk menjaga tingkat perbedaan. Strategi bisnis yang sehat memerlukan disiplin untuk membangun rencana pengembangan yang kreatif, namun dapat diterima secara komersial. Jika strategi yang selama ini digunakan oleh perusahaan untuk menjaga keberlangsungan hidup usahanya hanya bertujuan untuk mempertahankan loyalitas konsumen, maka kedepan perusahaan membutuhkan suatu strategi baru yang digunakan sebagai upaya untuk mengembangkan dan memperluas pangsa pasar. Kondisi ini bisa terjadi jika perusahaan tersebut memiliki strategi yang tepat dan sesuai Perencanaan strategi merupakan kegiatan perusahaan mencari kesesuaian antara situasi internal (kekuatan dan kelemahan) dan situasi eksternal (peluang dan ancaman) perusahaan dalam memanfaatkan peluang pasar. Kegiatannya meliputi pengamatan secara hati-hati terhadap persaingan, peraturan, tingkat inflasi, siklus bisnis, keinginan dan harapan konsumen serta faktor-faktor lain yang dapat mengidentifikasikan peluang dan ancaman. Esensi strategi suatu perusahaan yakni memanfaatkan kekuatan dan memperkecil kelemahan internal perusahaan untuk menghadapi ancaman dan merebut peluang eksternal. Strategi terhadap lingkungan eksternal dapat ditetapkan dengan mengetahui apa yang menjadi ancaman (threats) dan apa yang menjadi peluang (opportunities) bagi perusahaan. Setelah mengetahui lingkungan eksternal yang dihadapi maka analisis lingkungan internal perlu dilakukan guna mengetahui apa yang menjadi kekuatan (strengths) dan apa yang menjadi kelemahan (weaknesses) dari perusahaan. Dengan demikian perusahaan tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungannya sehingga upaya untuk mencapai tujuan perusahaan senantiasa akan dapat dicapai. SWOT merupakan salah satu alat yang dapat dipakai untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan suatu perusahaan, khususnya pada bidang pemasaran. Analisis SWOT timbul secara langsung atau tidak langsung karena adanya persaingan yang datang dari perusahaan lain yang memproduksi barang dan jasa yang sejenis dengan produk perusahaan. Hal ini membuat perusahaan
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
harus menetapkan srategi untuk memenangkan persaingan atau paling tidak dapat bertahan hidup dipasar. Matriks kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman adalah sebuah alat pencocokan yang penting yang membantu para manajer mengembangkan empat jenis strategi. Strategi SO (kekuatan-peluang) memanfaatkan kekuatan internal untuk menarik keuntungan dari peluang eksternal. Strategi WO (kelemahan-peluang) bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan mengambil keuntungan dari peluang eksternal. Strategi ST (kekuatan-ancaman) menggunakan kekuatan sebuah perusahaan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal. Strategi WT (kelemahan-ancaman) merupakan taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman eksternal. Terkait dengan hal tersebut maka saat ini di kota Lhokseumawe banyak tumbuh berbagai usaha baru di berbagai bidang salah satunya yang bergerak disektor jasa rumah makan. Dalam konteks ini peneliti mengambil salah satu objek yaitu Usaha Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis Lhokseumawe yang di rintis sejak tahun 2008. Suatu perusahaan rumah makan lokal yang dianggap mengalami kemajuan yang sangat pesat. Adapun aktivitas bisnisnya adalah di bidang kuliner. Selain di Lhokseumawe, usaha Ayam Penyet Pak Ulis juga memperluas jaringannya dengan membuka cabang di beberapa tempat seperti Langsa, Tebing Tinggi, Bireuen dan Banda Aceh dan Pekan Baru Hal yang ingin dikaji dan dilihat oleh peneliti adalah tentang strategi yang dijalankan oleh perusahaan tersebut dalam rangka menghadapi persaingan yang semakin ketat tentu hal ini akan berdampak pada pencapaian tujuan usaha. Oleh karena itu usaha rmah makan Ayam Penyet Pak Ulis perlu menerapkan kebijakan yang tepat yang berhubungan dengan strategi dan matriks IFE dan EFE agar bisa memenangkan serta bertahan dalam persaingan. Maka berdasarkan uraian tersebut diatas peneliti tertarik melakukan suatu kajian dalam bentuk penelitian yang berjudul “Analisis Strategi Keberhasilan Rumah Makan Ayam Penyet Pak
81
Ulis – Lhokseumawe (Pendekatan Matriks IFE dan EFE)”. Sehingga dari penelitian ini diharapkan akan dapat diketahui bagaimana Strategi Keberhasilan Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis yang ada di kota Lhokseumawe TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pemasaran (Marketing) Pemasaran merupakan suatu alat atau proses yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan para konsumen. Secara teoritis banyak pendapat yang menjelaskan tentang makna dari pemasaran diantaranya menurut Kotler (2002), mendefinikan bahwa marketing adalah kegiatan pemasaran suatu produk adalah kegiatan menganalisis, merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi seluruh program yang telah dirancang sebelumnya agar terjadi pertukaran nilai secara sukarela (dengan konsumen), sehingga tercapai tujuan perusahaan. Menurut Rangkuti (2006), mengatakan bahwa, pemasaran adalah suatu proses kegiatan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, budaya, politik, ekonomi, dan manajerial. Akibat dari pengaruh berbagai faktor tersebut adalah masing-masing individu maupun kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan menciptakan, menawarkan, dan menukarkan produk yang dimiliki nilai komoditas. Disisi yang lain Stanton (2007) juga memiliki pandangan tentang pemasaran yaitu: sesuatu yang meliputi seluruh sistem yang berhubungan dengan tujuan untuk merencanakan dan menentukan harga sampai dengan mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang bisa memuaskan kebutuhan pembeli aktual maupun potensial. Dari pendapat diatas secara umum pemasaran dapat dikatakan sebagai tugas untuk menciptakan, memperkenalkan, dan menyerahkan barang dan jasa kepada konsumen dengan tujuan agar kebutuhan dan keinginan konsumen terpenuhi sehingga memunculkan rasa puas dan loyal para konsumen terhadap produk atau perusahaan tersebut. Bauran Pemasaran Salah satu konsep utama dalam dunia usaha adalah kebijakan bauran pemasaran. Dimana perusahaan untuk menjangkau konsumen sebagai
82
sasaran pasarnya, perusahaan harus dapat menetapkan bauran pemasaran dengan tepat pada segmen pasar yang diinginkan agar tingkat penjualan dapat tercapai. Bauran pemasaran (marketing mix) adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran (Kotler, 2002). Adapun bauran pemasaran adalah strategi yang dijalankan perusahaan, yang berkaitan dengan penentuan bagaimana perusahaan menyajikan penawaran produk pada segment pasar tertentu yang merupakan pasar sasarannya (Assauri, 1999). Menurut Stanton (2000:147), pengertian Marketing Mix secara umum adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan kombinasi empat besar pembentuk inti sistem pemasaran sebuah organisasi. Keempat unsur tersebut adalah penawaran produk/jasa, struktur harga, kegiatan promosi, dan sistem distribusi. Empat variabel bauran pemasaran tersebut adalah: a. Produk, adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk dimiliki atau dikonsumsi serta memberikan kepuasan kepada konsumen. Strategi produk mencakup keputusan bauran produk, merk dagang, pembungkusan, tingkat mutu, dan pelayanan. b. Harga, merupakan jumlah uang yang harus dibayarkan konsumen untuk mendapatkan produk tersebut. Harga mempengaruhi tingkat penjualan, keuntungan serta market share yang dapat dicapai perusahaan. c. Tempat, menunjukkan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan untuk menjadikan produk dapat diperoleh dan tersedia bagi konsumen sasaran. d. Promosi, merupakan berbagai kegiatan yang dilaksanakan perusahaan untuk menjual produknya, yang dilakukan dengan strategi promosi yang mencakup periklanan, penjualan perorangan, promosi penjualan, dan publisitas. Variabel–variabel dalam bauran pemasaran perlu dikombinasikan dan dikoordinasikan agar perusahaan dapat melakukan tugas pemasaran seefektif mungkin. Jadi perusahaan tidak hanya sekedar memilih kombinasi yang terbaik saja, tetapi juga harus mengkoordinasikan berbagai
TEUKU ZULKARNAEN
macam elemen dari variabel bauran pemasaran tersebut untuk melaksanakan kebijakan dan program pemasaran secara tepat. Pengertian Strategi Banyak pakar yang menjelaskan tentang makna dari strategi diantaranya Menurut M.grant, Robert (1996), mengatakan bahwa, strategi adalah suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Pendapat lain disampaikan oleh Robert (1996), strategi adalah suatu bentuk atau rencana yang mengintegrasikan tujuan-tujuan utama, kebijakan-kebijakan, dan rangkaian tindakan dalam suatu organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh. Strategi yang di formulasikan dengan baik akan membantu penyusunan dan pengalokasian sumber daya yang dimiliki perusahaan menjadi suatu bentuk yang unik dan dapat bertahan. Strategi yang baik disusun berdasarkan kemampuan internal dan kelemahan perusahaan, antisipasi perubahan dalam lingkungan, serta kesatuan pergerakan yang dilakukan oleh mata-mata musuh. Secara pengertian khusus strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti (core competencies). Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukan. Jenis-Jenis Strategi Jenis-jenis strategi adalah sebagai berikut : a. Strategi Agresif. Integrasi ke depan, integrasi ke belakang, integrasi horizontal kadang semuanya disebut sebagai integrasi vertikal. Strategi integrasi vertikal memungkinkan perusahaan dapat mengendalikan para distributor, pemasok, dan atau pesaing. b. Strategi Intensif. Penetrasi pasar, dan pengembangan produk
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
kadang disebut sebagai strategi intensif karena semuanya memerlukan usaha-usaha intensif jika posisi persaingan perusahaan dengan produk yang ada hendak ditingkatkan. c. Strategi Diversifikasi. Strategi diversifikasi tu sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu : - Diversifikasi konsentrik, yaitu menambah produk atau jasa baru, namun masih terkait. - Diversifikasi horizontal, yaitu menambah produk atau jasa baru yang tidak terkait untuk pelanggan yang sudah ada. - Diversifikasi konglomerat, yaitu yang tidak menambah produk atau jasa baru. d. Strategi Defensif. Di samping strategi integratif, intensif, dan diversifikasi, organisasi juga dapat menjalankan strategi rasionalisasi biaya, divestasi, atau likuidasi. Rasionalisasi Biaya, terjadi ketika suatu organisasi melakukan restrukturisasi melalui penghematan biaya dan aset untuk meningkatkan kembali penjualan dan laba yang sedang menurun. Kadang disebut sebagai strategi berbalik (turn around) atau reorganisasi, rasionalisasi biaya dirancang untuk memperkuat kompetensi pembeda dasar organisasi. Selama proses rasionalisasi biaya, perencana strategi bekerja dengan sumber daya terbatas dan menghadapi tekanan dari para pemegang saham, karyawan dan media. e. Strategi Umum Michael Porter. Menurut Porter, ada tiga landasan strategi yang dapat membantu organisasi memperoleh keunggulan kompetitif, yaitu keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus. Porter menamakan ketiganya strategi umum. Keunggulan biaya menekankan pada pembuatan produk standard dengan biaya per unit sangat rendah untuk konsumen yang peka terhadap perubahan harga. Diferensiasi adalah strategi dengan tujuan membuat produk dan menyediakan jasa yang dianggap unik di seluruh industri dan ditujukan kepada konsumen yang relatif tidak terlalu peduli terhadap perubahan harga. Fokus berarti membuat produk dan menyediakan jasa yang memenuhi keperluan sejumlah kelompok kecil konsumen. Perusahaan–perusahaan yang melaksanakan
83
strategi tersebut dengan paling baik akan memperoleh laba paling besar. Setiap perusahaan memiliki strategi berbeda dengan berbagai kegiatan yang berbeda tetapi harus tetap konsisten dan sinergis sehingga sulit untuk ditiru oleh para pesaing secara keseluruhan. Perumusan Strategi Perumusan strategi merupakan proses penyusunan langkah-langkah ke depan yang dimaksudkan untuk membangun visi dan misi organisasi, menetapkan tujuan strategis dan keuangan perusahaan, serta merancang strategi untuk mencapai tujuan tersebut dalam rangka menyediakan customer value terbaik. Beberapa langkah yang perlu dilakukan perusahaan dalam merumuskan strategi (http:// id.wikipedia.org/wiki/perumusan_strategi, 2010), yaitu : 1. Mengidentifikasi lingkungan yang akan dimasuki perusahaan di masa depan dan menentukan misi perusahaan untuk mencapai visi yang dicita-citakan pada lingkungan tersebut. 2. Melakukan analisis lingkungan internal dan eksternal untuk mengukur kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan dalam menjalankan misinya. 3. Merumuskan faktor-faktor ukuran keberhasilan (key success factors) dari strategi-strategi yang dirancang berdasarkan analisis sebelumnya. 4. Menentukan tujuan dan target terukur, mengevaluasi berbagai alternatif strategi dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki dan kondisi eksternal yang dihadapi. 5. Memilih strategi yang sesuai untuk mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Langkah-langkah dalam perumusan masalah ini jika diterapkan dengan tepat dan akurat oleh pengelola perusahaan maka bias mencapai visi misi perusahaan dan melancarkan kegiatan produksi/ usaha perusahaan. Mengelola Strategi Manajemen strategi tidak hanya mempunyai hubungan dengan formulasi strategi kemenangan,
84
tetapi juga terikat erat dengan implementasinya. Manajemen strategi konvensional berhubungan dengan pekerjaan manajer senior, strategi yang paling efektif adalah strategi-strategi ynag menyebar ke seluruh organisasi dan tertanam dalam budaya organisasi. Kebutuhan akan pendekatan analitik terhadap formulasi strategi berdasarkan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang perusahaan dan lingkungan sekelilingnya ditekankan melalui tantangan-tantangan yang meningkat yang dihadapi oleh para manajer. Pokok-pokok masalah lingkungan, sosial dan etika mengantarkan kriteria baru dan kendala- kendala yang menambah kerumitan dalam pengambilan keputusan. Akibatnya para manajer harus selalu memecahkan masalahmasalah: a. Antara fleksibilitas rencana jangka pendek dan panjang yang diperlukan oleh investasi b. Antara perlunya efisiensi biaya yang teliti dengan kebutuhan akan kreasi dan inovasi c. Antara integrasi global dengan adaptasi lingkungan dan permintaan pasar setempat d. Antara persaingan dan kolaborasi. Manajer diharapkan cepat tanggap terhadap berbagai masalah yang timbul baik dari dalam maupun luar perusahaan dan penyelesaian masalah disesuaikan dengan kondisinya. Pengertian Usaha Kata usaha merupakan kata yang tidak asing lagi didengar oleh masyarakat. Beberapa ahli telah memberikan pengertian mengenai usaha yaitu direncanakan sebelumnya dan memerlukan sejumlah pembiayaan, serta penggunaan tujuan tetentu dan dilaksanakan dalam waktu tertentu pula. Seperti disampaikan oleh Sudantoko (2002), mendefinisikan usaha adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus untuk mengolah sumber daya (bahan baku) untuk menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan menurut Umar (1997), memberikan pengertian usaha adalah suatu keseluruhan kegiatan yang menggunakan sumber-sumber agar memperoleh manfaat (benefit), atau suatu kegiatan dengan sejumlah pengeluaran biaya dengan harapan dapat memperoleh hasil pada waktu yang akan datang, dan dapat direncanakan, dibi-
TEUKU ZULKARNAEN
ayai dan dilaksanakan sebagai satu unit. Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu kesimpulan tentang pengertian usaha adalah suatu pendirian usaha baru dengan menginvestasikan modal yang dimiliki oleh investor yang bersal dari sumber-sumber modal agar memperoleh manfaat dalam jangka waktu tertentu. Faktor Penentu Keberhasilan Usaha Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menentukan pencapaian target atau penentu keberhasilan usaha yaitu: 1. Konsep yang matang. Penentuan konsep usaha diawal harus matang karena akan menentukan langkah usaha selanjutnya dalam mencapai keberhasilan. 2. Perencanaan usaha yang baik. Perencanaan usaha (Business Plan) sebaiknya dibuat diawal usaha agar usaha berjalan dengan panduan yang baik. 3. Pengelolaan usaha yang professional. Setelah usaha mulai berjalan, kelolalah usaha secara baik dan professional. 4. Strategi usaha yang jitu. Memiliki suatu strategi jitu dan berbeda dengan pesaing untuk mencapai target. 5. Inovasi tiada henti. Dengan inovasi dapat memberikan kelebihan baru yang tidak dimiliki usaha lainnya. 6. Kontrol usaha secara cermat. Pengawasan dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 7. Evaluasi usaha terus menerus. Evaluasi dilakukan setiap saat agar dapat mengkoreksi jalannya usaha. Setiap faktor-faktor di atas harus di perhatikan secara seksama dan diterapkan dalam setiap pengelolaan usaha sehingga pencapaian target yang diterapkan benar-benar dapat tercapai bahkan melebihi target. Perkembangan Strategi Bisnis Identifikasi perkembangan strategi bisnis dapat diikuti melalui empat tahap berikut : 1. Perencanaan Keuangan. Perlunya pengendalian atas bisnis yang semakin meningkat, perencanaan anggaran,
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
digabungkan dengan penerapan analisis cash flow untuk proposal investasi, guna membuat kerangka kerja yang benar-benar. 2. Perencanaan Perusahaan. Pada tingkat perusahaan, perencanaan terdorong oleh ramalan tentang permintaan jangka menengah, rencana pasar sasaran, proyeksi penjualan dan investasi, dan peluang-peluang yang diidentifikasi untuk pengembangan pasar, produk dan perusahaan. 3. Analisis industri dan posisi persaingan. Analisis penentu daya tarik industri yang berhubungan dengan strategi perusahaan dirancang untuk menempatkan kembali portofolio bisnis perusahaan melalui diversifikasi, divestasi dan relokasi arus dan perusahaan. 4. Mengeksploitasi keunggulan strategi khusus perusahaan. Strategi yang didasarkan pada analisis industri dan posisi pasar mendorong perusahaan menerapkan posisi yang sama. Pada akhirnya mendorong perusahaan mencari bersaing yang unik yang didasarkan atas pemanfaatan sumber daya dan kemampuan khusus perusahaan. Setiap tahapan yang ada berbeda-beda tetapi tahapan-tahapan ini memiliki satu kesatuan yang tak bias dipisahkan begitu saja, sehingga strategi bisnis yang telah direncanakan dapat dijalankan dengan baik. Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan salah satu metode untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi suatu masalah, proyek atau konsep bisnis yang berdasarkan faktor internal (dalam) dan faktor eksternal (luar) yaitu Strengths, Weakness, Opportunities, dan Threats. Metode ini paling sering digunakan dalam metode evaluasi bisnis untuk mencari strategi yang akan dilakukan. Analisis SWOT hanya menggambarkan situasi yang terjadi bukan sebagai pemecah masalah. Analisis SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu: 1. Strengths (kekuatan) Merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organ-
2.
3.
4.
85
isasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. Weaknesses (kelemahan) Merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep bisnis yang ada. Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. Opportunities (peluang) Merupakan kondisi peluang berkembang di masa datang yang terjadi. Kondisi yang terjadi merupakan peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri. Misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar. Threats (ancaman) Merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
Melalui analisis SWOT, perusahaan dapat melihat evaluasi keseluruhan terhadap kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan hambatan atau gangguan (threats). Tujuan mengadakan analisis SWOT pada perusahaan adalah untuk menentukan aktivitas perusahaan berdasarkan kekuatan yang dimiliki, untuk mengekploitasi peluang dan kesempatan yang ada, dengan mengurangi atau menghilangkan ancaman dan gangguan yang membahayakan posisi perusahaan di pasar, dalam rangka mempertinggi kemampuan perusahaan untuk menghasilkan dan memperoleh laba. Analisis SWOT didahului dengan identifikasi posisi perusahaan melalui evaluasi nilai faktor internal (kekuatan dan kelemahan), dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Identifikasi posisi perusahaan sangat penting dalam membuat keputusan untuk memilih alternatif strategi yang paling tepat sesuai kondisi internal dan eksternal perusahaan saat ini. Analisis Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) Analisis internal merupakan evaluasi terhadap kekuatan dan kelemahan lingkungan yang dihadapi. Setiap unit bisnis harus mengevaluasi kekuatan dan kelemahannya secara periodik. Unit bisnis tidak perlu memperbaiki setiap kelemahannya
86
maupun merasa bangga dengan setiap kekuatannya. Pertanyaan yang penting adalah apakah unit bisnis itu harus membatasi diri pada peluang dimana unit bisnis tersebut memiliki kekuatan ynag dibutuhkan, atau harus mempertimbangkan untuk meraih peluang yang lebih baik walaupun unit bisnis tersebut harus mendapatkan atau mengembangkan kekuatan tertentu. Dalam bukunya, Kotler (2000), menjabarkan faktor-faktor yang biasanya di perhatikan dalam analisis internal: 1. Kebudayaan perusahaan 2. Image perusahaan 3. Struktur organisasi 4. Staf 5. Akses terhadap sumber daya alam 6. Posisi dalam “Kurva Pengalaman” 7. Efisiensi operasional 8. Kapasitas operasional 9. Kesadaran terhadap brand 10. Marketshare 11. Sumber daya finansial 12. Kontrak eksklusif 13. Paten dan rahasia perusahaan Disisi lain ada juga pendapat yang dsampaikan oleh Fatima (2009) dimana indikator-indikator faktor internal adalah sebagai berikut: 1. Manajer berpengalaman 2. Persepsi publik terhadap produk 3. Citarasa dan aroma khas 4. Kualitas produk baik 5. Tata letak pabrik yang strategis 6. Profesionalisme karyawan masih rendah 7. Harga produk tidak kompetitif 8. Promosi produk kurang 9. Kemasan berlogo ganda 10. Jaringan pemasaran masih terbatas 11. Pangsa pasar belum optimal Analisis Matriks EFE (External Factor Evaluation) Analisis eksternal merupakan evaluasi terhadap peluang dan ancaman dalam lingkungannya. Peluang didefinisikan sebagai kesempatan untuk mengenalkan produk atau jasa bagi perusahaan.
TEUKU ZULKARNAEN
Peluang dapat muncul ketika terjadi perubahan pada lingkungan eksternal. Perubahan yang terjadi dapat pula menimbulkan ancaman bagi produk dan mungkin juga diperlukan perubahan spesifikasi produk agar produk yang ada dapat bersaing di pasaran. Umumnya, suatu unit bisnis harus memantau kekuatan lingkungan makro (demografi-ekonomi, teknologi, politik-hukum, dan sosial-budaya) dan pelaku lingkungan mikro utama (pelanggan, pesaing, saluran distribusi, pemasok) yang mempengaruhi kemampuannya memperoleh laba. Unit bisnis harus memiliki sistem intelijen pemasaran untuk mengikuti kecenderungan atau perkembangan, manajemen perlu mengindetifikasi peluang dan ancaman yang ditimbulkannya. Dalam bukunya, Kotler (2000) menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternal antara lain memiliki keterkaitan dengan hal-hal berikut : 1. Konsumen 2. Pesaing 3. Tren pasar 4. Supplier 5. Rekanan 6. Perubahan social 7. Teknologi baru 8. Lingkungan ekonomi lingkungan politik dan regulasi Perubahan – perubahan bisa terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga. Oleh karena itu manajer diharapkan cepat tanggap dalam menghadapi perubahan-perubahan ini. Fatima (2009) indikatorindikator faktor eksternal (peluang dan ancaman) adalah sebagai berikut : 1. Preferensi dan pendapatan konsumen 2. Kebijakan pemerintah 3. Perubahan teknologi yang mendukung 4. Pertumbuhan ekonomi baik 5. Jumlah penduduk semakin meningkat 6. Budaya masyarakat seetempat 7. Persaingan 8. Hambatan perdagangan 9. Kenaikan harga BBM dan tarif listrik 10. Nilai tukar yang berubah-rubah 11. Nilai produksi meningkat 12. Dampak negatif kopi terhadap kesehatan
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
Penelitian Sebelumnya Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fatima (2009) yang berjudul Strategi Pemasaran Kopi Bubuk Flores NusaTenggara Trading Co. Ltd. (NTC) Di Ruteng Kabupaten Manggarai. Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dilakukan pada NV. Nusatenggara Trading Co (Indonesia) Ruteng, Dari penelitian ini diketahui bahwa (1) Kekuatan internal NV Nusatenggara Trading Co (Indonesia) Ruteng dimana NTC memiliki manajer berpengalaman. persepsi publik terhadap produk baik, citarasa dan aroma kas, kualitas produk baik, tata letak pabrik strategis, dan saluran distribusi lancar. Kelemahannya adalah profesionalisme karyawan masih rendah, harga produk tidak kompetitif, promosi produk kurang, kemasan berlogo ganda, jaringan pemasaran terbatas, dan pangsa pasar domestik belum optimal. Sedangkan peluang eksternalnya adalah prefensi dan pendapatan konsumen, kebijakan pemerintah, perubahan teknologi, pertumbuhan ekonomi baik, jumlah penduduk bertambah, dan budaya masyarakat setempat. Ancamannya adalah persaingan, hambatan perdagangan, kenaikan BBM dan tariff listrik, nilai tukar berubahubah, biaya produksi meningkat, dan dampak negatif kopi terhadap kesehatan; (2) Posisi NV. NTC Ruteng lebih kuat dibandingkan dengan CV. Agape Ruteng sebagai pesaing utamanya; (3) Alternatif strategi yang memiliki ketertarikan relative tertinggi yang direkomendasikan adalah strategi intensif urutan pertama, integrasi kedua dan terakhir adalah diversifikasi. Penelitian yang dilakukan Budi Rahayu Tanama Putri (2007) dengan judul penelitian Analisis Strategi Pemasaran DOC Pedaging Pada PT. X Unit Bali. Penelitian dilakukan pada salah satu perusahaan yang bergerak dibidang pemasaran DOC (day old chicks). Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT X Unit Bali berada pada sel IV, yang masuk ke dalam kelompok pertama yaitu strategi tumbuh dan bina. Formulasi yang disarankan adalah: 1) melakukan riset pasar, 2) melakukan promosi penjualan, dan 3) melakukan analisis kembali terhadap sistem dalam pola kemitraan yang telah diterapkan agar mampu menyerap lebih banyak DOC.
87
Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap suatu masalah yang dihadapi dimana kebenarannya harus dibuktikan sehingga dapat diterima atau ditolak, terlebih dahulu dirumuskan hipotesis yang akan diuji kebenarannya sehubungan dengan masalah yang dihadapi. Sebagai jawaban sementara tersebut, maka dapat dibuat sebagai berikut: Ho : Diduga bahwa strategi pemasaran yang diterapkan oleh Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis adalah strategi agresif. Hi : Diduga bahwa strategi pemasaran yang diterapkan oleh Rumah Makan Ayam penyet Pak Ulis adalah bukan strategi agresif. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis di Jalan Mahoni No.9, Kutablang di kota Lhokseumawe dan yang menjadi objeknya adalah karyawan Rumah Makan tersebut untuk menilai strategi IFE sedangkan konsumen untuk menilai strategi EFE. Populasi ialah keseluruhan dari unit-unit analisa yang ciri-ciri akan diduga (Supranto, 2003). Menurut Kuncoro (2003) menyatakan bahwa “Populasi adalah kelompok elemen yang lengkap, dimana kita tertarik untuk mempelajarinya atau menjadi objek penelitian”. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis sebanyak 36 orang untuk menilai faktor internal dan konsumen untuk menilai faktor eksternal tidak dapat diketahui dengan pasti jumlahnya. Sampel adalah kumpulan elemen yang sifatnya tidak menyeluruh melainkan hanya sebagian dari populasi saja. Sampel adalah bagian dari populasi yang dipergunakan sebagai sumber data yang sesungguhnya dalam penelitian (Sudjana, 2010). Menurut Arikunto (2002) menyatakan apabila subjeknya kecil atau kurang dari 100 diambil seluruhnya, sedangkan kalau besar atau lebih dari 100 maka untuk menentukan jumlah sampelnya dapat diambil antara 10%-15% atau 20%-25%
88
TEUKU ZULKARNAEN
atau lebih. Jadi dalam penelitian ini sampel yang akan diambil sebesar 10% dari keseluruhan populasi. Untuk menilai internal, penulis menggunakan sampel yang diambil dari populasi karyawan sebanyak 36 orang di jadikan sampel penelitian, cara ini disebut dengan metode sensus. Sedangkan populasi konsumen tidak dapat diketahui secara pasti, maka penulis memakai pendekatan berdasarkan kemudahan (Convenience Sampling). Menurut Suharyadi (2004) convenience sampling yaitu penarikan sampel berdasarkan keinginan peneliti sesuai dengan tujuan penelitian. Dan jumlah sampel dari populasi konsumen untuk menilai eksternal faktor, penulis tetapkan sebanyak 100 orang, mengingat keterbatasan waktu, dan dana penelitian. Metode Pengumpulan Data dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode penyebaran quisioner yaitu dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden yang menjadi objek penelitian ini. Metode Analisis Data dalam penelitian ini akan digunakan Metode Kualitatif. Analisis matriks IFE dan EFE, yaitu untuk mengetahui internal dan eksternal yang dianalisis terhadap kondisi perusahaan. Posisi perusahaan dapat dikelompokkan dalam empat kuadran, yaitu kuadran I strategi yang sesuai adalah strategi agresif, kuadran II strategi diversifikasi, kuadran III strategi turn around, dan kuadran IV strategi defensive (Fatima, 2009). Adapun penjelasan dari kuadran I, II, III dan IV adalah sebagai berikut:
a. Kuadran I : Ini merupakan situasi yang menguntungkan. Perusahaan tersebut memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif. b. Kuadran II : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (produk/ pasar). c. Kuadran III : Perusahaan menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi ini yaitu meminimalkan masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut pasar yang lebih baik (turn around). d. Kuadran IV : Ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. Fokus strategi yaitu melakukan tindakan penyelamatan agar terlepas dari kerugian yang lebih besar (defensive). Definisi Operasional Variabel Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel Strategi IFE a. Kekuatan (Strengths). Kekuatan adalah yang memberikan suatu keunggulan kompetitif, dan kemampuan kepada perusahaan atau organisasi mempertahankan posisinya dengan melakukan aktivitas pada tingkat
Berbagi Peluang
Kuadran III Turn Around
Kuadran I Strategi agresif
Kelemahan Kekuatan Internal Internal Kuadran IV Kuadran II Strategi defensif Strategi Diversifikasi Berbagai Ancaman
Gambar 1. Diagram Analisis SWOT
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
yang sama. b. Kelemahan (Weaknesses). Kelemahan adalah berupa sesuatu yang tidak dilakukan dengan baik oleh perusahaan atau perusahaan tidak memiliki kapasitas untuk melakukannya, sementara para pesaingnya memiliki kapasitas tersebut. 2. Variabel Strategi EFE a. Peluang (Oppurtunities). Peluang adalah suatu kecenderungan lingkungan yang menguntungkan yang dapat meningkatkan kinerja suatu organisasi, divisi perusahaan, fungsi-fungsi perusahaan, serta produk dan jasa perusahaan. b. Ancaman (Threats). Ancaman adalah suatu kecenderungan lingkungan yang tidak menguntungkan yang dapat merugikan posisi organisasi perusahaan, divisi perusahaan, fungsi perusahaan, produk atau jasa. 3. Keberhasilan yaitu suatu kegiatan untuk mewujudkan suatu tujuan yang diukur dengan tingkat keuntungan, jumlah penjualan, dan pertumbuhan usaha. Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu Kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang diukur oleh kuesioner tersebut. Uji validitas dapat dilakukan dengan Comfirmatory Factor Analisis. (CFA) dilakukan atas setiap variabel yang digunakan. Setiap faktor dianggap valid apabila menghasilakan faktor loading diatas 0,40 menunjukkan bahwa indikator-indikator tersebut merupakan kesatuan alat ukur yang mampu mengukur suatu konstruk yang sama dan dapat memprediksi apa yang seharusnya diprediksi sesuai dengan pendapat (Nunnaly dalam Ghozali, 2005). Uji Reliabilitas, setiap pengujian kehandalan ditujukan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya. Tinggi rendahnya kehandalan dapat digambarkan melalui koefisien reliabilitas dalam suatu angka tertentu. Untuk menilai kehandalan kuesioner yang digunakan, maka dalam penilaian ini digunakan uji reliabilitas berdasarkan Alpha Cronbach. Menurut Ghozali (2005), sebuah instrumen dianggap telah memiliki
89
kehandalan yang diterima jika nilai koefisien reliabilitas yang diukur adalah lebih besar atau sama dengan 0,60. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Penelitian Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis yang bergerak dalam jasa kuliner Di dukung 36 karyawan dan cabang tetap ramai di kunjungi para pelanggan setianya. Sudah beberapa tahun rumah makan ini menerima jasa delivery service untuk daerah kota Lhokseumawe. Selain itu, pesanan dalam skala besar untuk jamuan makan, meeting atau acara lain baik formal maupun informal juga sanggup di penuhi pengelola. Bahkan Pak Ulis kerap kali menawarkan discount khusus bagi para penikmatnya. Usaha Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis yang dirintis sejak tahun 2008. Adapun aktivitas bisnisnya adalah di bidang kuliner yang juga dilengkapi dengan sarana bermain untuk anak-anak. Selain di Lhokseumawe, usaha Ayam Penyet Pak Ulis juga memperluas jaringannya dengan membuka cabang di beberapa tempat seperti Langsa, Tebing Tinggi, Bireuen dan Banda Aceh hingga ke Pekan Baru Karakteristik Responden yang ditinjau dari segi jenis kelamin dapat dijelaskan dimana untuk penilaian faktor internal, perempuan lebih dominan yang bekerja di rumah makan Ayam Penyet Pak Ulis, sebanyak 24 orang atau 66,7%. Sedangkan laki-laki sebanyak 12 orang atau 33,3%. Sedangkan untuk penilaian faktor eksternal, responden laki-laki yang lebih dominan mengkonsumsi Ayam Penyet Pak Ulis yaitu sebanyak 56 orang atau 56%. Dan sisanya perempuan sebanyak 44 orang atau 44%. Untuk karakteristik usia diketahui dari 36 orang responden yang menilai faktor internal, segi usia < 20 tahun berjumlah 6 responden atau 16,7%, usia 21 – 25 tahun berjumlah 20 responden atau 55,6%, usia 26 – 30 tahun berjumlah 8 responden atau 22,2%, diikuti oleh usia 31 – 35 tahun berjumlah 2 responden atau 5,6% dan tak ada seorang respondenpun yang berusia diatas 35 tahun. Sedangkan untuk faktor eksternal, usia responden < 20 tahun adalah sebanyak 4 orang atau
90
4%. Usia berkisar antara 21−25 tahun sebanyak 15 responden atau 15%. Usia antara 26 – 30 tahun sebanyak 15 orang atau 15%. Usia responden antara 31 – 35 tahun sebanyak 36 orang atau 36% dan usia responden > 36 tahun yaitu sebanyak 30 orang atau 30%. Untuk karakteristik tingkat pendidikan terakhir responden dari faktor internal, SLTA yang paling dominan yaitu mencapai 28 orang atau sebesar 77,8%, selanjutnya disusul dengan lulusan diploma/akademi sebanyak 6 orang atau 16,7%. Berikutnya tamatan SLTP sebanyak 2 orang atau 5,6% dan tidak ada responden yang lulusan SD atau Sarjana. Untuk pendidikan terakhir responden dari faktor eksternal lebih didominasi oleh sarjana yaitu sebanyak 48 orang atau 48%. Di ikuti oleh responden yang berpendidikan terakhir SLTA adalah sebayak 31 orang atau 31%. Diploma/akademi sebanyak 17 orang atau 17% dan sisanya SLTP sebanyak 4 orang sedangkan yang terkait dengan jenis pekerjaan respondendari sisi internal terdiri 4 (empat) jenis, yaitu tukang masak/koki, kasir, pelayan, dan tukang parkir. Jumlah responden yang bekerja sebagai pelayan lebih dominan yaitu sebanyak 20 orang atau 55,6%, disusul oleh tukang masak/koki sebanyak 11 orang atau 30,6%. Kasir sebanyak 3 orang atau 8,3% dan terakhir tukang parkir sebanyak 2 orang atau 5,6%. Berbeda dengan jenis pekerjaan responden eksternal/konsumen. Lebih di dominasi oleh konsumen yang bekerja sebagai PNS yaitu sebanyak 29 orang atau 29% dan di ikuti oleh wirausahawan sebanyak 41 orang atau 41%. Pelajar/mahasiswa sebanyak 4 orang atau 4%. Responden yang berprofesi sebagai TNI/Polri sebanyak 1 orang atau 2,5%. Karyawan swasta sebanyak 9 orang atau 9% dan lainya sebanyak 16 orang atau 16%. Dari segi pendapatan, responden internal mendapatkan penghasilan yang tidak jauh berbeda. Responden yang berpenghasilan antara Rp 500.000 sampai dengan Rp. 1.000.000 sebanyak 29 orang atau 80,6%. Dan responden yang berpenghasilan antara Rp 1.050.000 sampai dengan 1.600.000 sebanyak 7 orang atau 19,4%. Sedangkan untuk responden eksternal lebih didominasi oleh responden yang berpenghasilan diatas Rp 1.900.000 yaitu sebanyak 57 orang atau 57%. Disusul oleh responden yang berpenghasilan
TEUKU ZULKARNAEN
antara Rp 1.650.000 – Rp 1.900.000 yaitu sebanyak 57 orang atau 57%. kemudian responden berpenghasilan antara Rp 1.050.000 – Rp 1.600.000 yaitu sebanyak 27 orang atau 27% dan sisanya sebanyak 4 orang atau 4% yang berpenghasilan dibawah Rp 500.000. Analisis Internal Factor Evaluation (IFE) Berikut ini adalah penentuan nilai faktor internal (Tabel 1) Nilai pada bobot adalah asumsi dari peneliti dimana diberikan bobot sesuai dengan berapa besar pentingnya indicator tersebut pada perusahaan Ayam Panyet Pak Ulis. Bobot pada indikatorindikator tersebut berkisar antara 0,10 dan 0,15. Sedangkan total dari semua nilai bobot adalah 1 atau 100%. Rating adalah nilai rata-rata jawaban responden terhadap indikator yang ada pada kuesioner. Nilai ini merupakan nilai dari skala likert antara 1 sampai dengan 5. Nilai rating pada perusahaan ini berkisar antara 2,97 dan 4,08. Sedangan nilai internal adalah nilai hasil kali antara bobot dengan rating. Nilai internal ini berkisar antara 0,297 dan 0,408. Total nilai internal pada perusahaan Ayam Penyet Pak Ulis adalah 3,792. Nilai internal inilah yang digunakan dalam matrik Internal Factor Evaluation (IFE). Dengan bantuan matriks tersebut dapat ditentukan dimana keberadaan perusahaan Ayam Penyet Pak Ulis, apakah berada pada strategi agresif, diversifikasi, defensif, dan turn around. Analisis External Factor Evaluation (EFE) Berikut ini adalah penentuan nilai faktor eksternal (Tabel 2) Nilai pada bobot adalah asumsi dari peneliti dimana diberikan bobot sesuai dengan seberapa besar pentingnya indikator tersebut pada perusahaan Ayam Panyet Pak Ulis. Bobot pada indikatorindikator tersebut berkisar antara 0,10 dan 0,15. Sedangkan total dari semua nilai bobot adalah 1 atau 100%. Rating adalah nilai rata-rata jawaban responden terhadap indikator eksternal yang ada pada kuesioner. Nilai ini merupakan nilai dari skala likert antara 1 sampai dengan 5. Nilai rating pada perusahaan ini berkisar antara 3,08 dan 4,08. Sedangkan nilai eksternal adalah nilai hasil
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
91
Tabel 1 Total Nilai Faktor Internal Faktor Internal Pengelolaan keuangan dilakukan oleh manajer yang berpengalaman Adakah sikap pimpinan dan manajer memberikan kenyamanan terhadap karyawan Pengelolaan Rumah Makan dilakukan oleh sistem kekeluargaan Perusahaan memiliki modal yang cukup Memiliki struktur organisasi yang efektif Perusahaan memiliki citra yang baik Perusahaan memiliki karyawan yang handal Karyawan melaksanakan kerja team yang solid Perusahaan memiliki bahan baku yang berkualitas
Bobot 0,15
Rating/rata-rata 3,92
Nilai Internal 0,588
0,10
4,00
0,400
0,10
3,36
0,336
0,15 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 1,00
3,92 2,97 4,08 3,94 3,81 4,00
0,588 0,297 0,408 0,394 0,381 0,400 3,792
Sumber : Data Primer (data diolah), 2013 Tabel 2 Total Nilai Faktor Eksternal Faktor Eksternal Lokasi usaha Ayam Penyet Pak Ulis termasuk strategis atau mudah dicapai Fasilitas yang ada serta karyawan yang bekerja memberikan kenyamanan pada konsumen Pelayanan yang diberikan ramah dan memuaskan Fasilitas seperti sarana bermain merupakan daya pikat pelanggan Penyajian masakan dan pemesanan sangat cepat Ayam Penyet Pak Ulis memiliki cita rasa yang berbeda dibandingkan produk sejenis yang ditawarkan pesaing lain Harga dapat dijangkau oleh masyarakat Ayam Penyet pak Ulis menawarkan produk yang berbeda dari pesaingnya
Bobot 0,15
Rating/rata-rata 3,84
Nilai Eksternal 0,576
0,10
4,10
0,410
0,15 0,10
3,78 3,90
0,567 0,390
0,10 0,15
3,14 4,00
0,314 0,60
0,15 0,10
3,95 3,78
0,592 0,378
1,00
3,829
Sumber : Data Primer (data diolah), 2013
kali antara bobot dengan rating. Nilai eksternal ini berkisar antara 0,308 dan 0,612. Total nilai eksternal pada perusahaan Ayam Penyet Pak Ulis adalah 3,829. Nilai eksternal inilah yang digunakan dalam matrik External Factor Evaluation (EFE). Analisis Matriks IFE dan EFE Dengan menggabungkan nilai total internal dan eksternal pada matriks IFE dan EFE dilihat bahwa Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis sedang melakukan Strategi agresif hal ini berdasarkan pada nilai faktor internal yaitu 3,829. Strategi ini berarti perusahaan berada dalam situasi yang sangat menguntungkan karena perusahaan dapat memanfaatkan kekuatan dan kesempatan serta dapat mengendalikan kelemahan dan ancaman dengan baik. Berikut ini merupakan diagram analisis SWOT yang menunjukkan posisi Rumah Makan
Ayam Penyet Pak Ulis di Kota Lhokseumawe. Dengan bantuan diagram analisis SWOT dapat ditentukan dimana keberadaan atau strategi yang dilakukan Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis, yaitu berada pada strategi agresif. 1. Strategi agresif merupakan Perusahaan tersebut memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif. 2. Strategi diversifikasi meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan juga memiliki kekuatan internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (produk/pasar). 3. Strategi intensif merupakan Perusahaan meng-
92
TEUKU ZULKARNAEN
Peluang
Intensif
Kelemahan
3,829 3 2 1
Ayam Penyet Pak Ulis
Agresif
Kekuatan
1 2 3 3,792 Diversifikasi
Defensif
Ancaman
Gambar 2. Diagram Analisis SWOT Tabel 3 Matriks SWOT
IFE
STRENG-S 1. Manajer Rumah makan berpengalaman 2. Kenyamanan karyawan 3. Sistem kekeluargaan 4. Modal yang cukup 5. Citra yang baik 6. Kemampuan Karyawan 7. Kerja tim yang solid 8. Bahan baku berkualitas
WEAKNES-W 1. Tempat parkir tidak memadai 2. Promosi produk kurang 3. Kemasan tidak berlogo 4. Jaringan pemasaran masih terbatas 5. karyawan kurang professional 6. Harga tidak kompetitif 7. Pangsa pasar belum optimal
OPPORTUNITIES-O 1. Preferensi dan pendapatan konsumen 2. Kebijakan pemerintah 3. Perubahan teknologi yang mendukung 4. Pertumbuhan ekonomi yang mendukung 5. Jumlah pendudduk bertambah 6. Budaya masyarakat se-tempat
STRATEGI-SO (kekuatan untuk meraih keuntungan dari peluang yang ada) 1. Manajer terus menerus beradaptasi dalam pemamfaatan teknologi 2. Meningkatkan kapasitas produksi 3. Perluasan pangsa pasar
STRATEGI-WO (memperkecil kelemahan dengan memamfaatkan keuntungan dari peluang yang ada) 1. Meningkatkan SDM para karyawan 2. Perluasan jaringan pemasaran 3. Memperbaiki strategi promosi 4. Pemamfaatan teknologi dengan biaya murah
THREAT-T 1. Persaingan 2. Hambatan perdagangan 3. Kenaikan harga Ayam 4. Biaya produksi meningkat 5. Dampak negatif Ayam penyet terhadap kesehatan
STRATEGI-ST (kekuatan untuk menghindari ancaman) 1. Tetap menjaga kualitas , cita rasa dan bumbu khas 2. Meningkatkan kinerja Rumah Makan 3. Memilih ayam yang sehat
STRATEGI-WT (memperkecil kelemahan yang ada dan menghindari ancaman) 1. Melakukan promosi penjualan dan periklanan ntuk membangun dan mempertahankan citra merek 2. Tetap menjaga kualitas produk ayam penyet dan menetapkan harga yang terjangkau
EFE
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
93
hadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi juga memiliki beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi ini yaitu meminimalkan masalah internal sehingga dapat merebut pasar yang lebih baik (turn around). 4. Strategi defensif merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. Fokus strategi yaitu melakukan tindakan penyelamatan agar terlepas dari kerugian yang lebih besar (defensive).
Pembuktian Hipotesis Pada analisis dan pembahasan diatas bahwa nilai internal sebesar 3,792 berarti berada pada sisi kanan matrik dan nilai eksternal sebesar 3,829 berarti berada pada sisi atas matriks sehingga nilai tersebut membetuk titik koordinat (3,792 , 3,829). Titik koordinat ini berada pada kuadran agresif. Dengan demikian hipotesis awal (Ho) diterima, Diduga strategi pemasaran yang diterapkan oleh Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis adalah Strategi Agresif.
Setelah diagram SWOT terbentuk, kemudian dibuat matriks SWOT yang menjelaskan berbagai alternatif yang mungkin membantu untuk manajer mengembangkan empat tipe strategi SO, WO, ST dan WT. Matriks pada Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis di Kota Lhokseumawe adalah sebagai yang tergambarkan dalam Tabel 3.
KESIMPULAN
1. Strategi SO Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran perusahaan, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Strategi SO menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk memanfaatkan peluang eksternal. 2. Strategi ST Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman. Strategi ST menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal. 3. Strategi WO Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Strategi WO bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang eksternal. 4. Strategi WT Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan serta menghindari ancaman. Strategi WT bertujuan untuk mengurangi kelemahan internal dengan menghindari ancaman eksternal
1. Dengan mengunakan metode Matriks IFE dan EFE terlihat bahwa perusahaan Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis menggunakan strategi Agresif. Yang mana perusahaan berada dalam situasi yang sangat menguntungkan karena perusahaan dapat memanfaatkan kekuatan dan kesempatan serta dapat mengendalikan kelemahan dan ancaman dengan baik. 2. Nilai internal dan eksternal diperoleh dari perhitungan bobot yang diasumsikan oleh peneliti dengan nilai rata-rata jawaban responden terhadap internal dan eksternal faktor. Dengan demikian nilai internal sebesar 3,792 dan nilai eksternal sebesar 3,829. SARAN 1. Dengan nilai internal dan eksternal berada pada kuadran agresif, hendaknya perusahaan dapat mempertahankan strategi agresif ini sebagai strategi andalan. 2. Strategi agresif bukan berarti perusahaan tidak memiliki kelemahan yang harus diperbaiki. Adapun kelemahan yang harus diperbaiki oleh Rumah Makan Ayam Penyet Pak Ulis adalah pada kecepatan penyajian yang masih lambat. Hendaknya penyajian ke pelanggan dapat lebih dipercepat. Dan stuktur organisasi juga belum efektif sehingga pekerja melakukan rangkap pekerjaan. Jadi hendaknya struktur organisasi yang sudah ada direkonsilidasi kembali.
94
TEUKU ZULKARNAEN
REFERENSI Arikunto, S (2002), Prosudur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V, Rineka Cipta, Jakarta Assauri, Sofjan. (1999). Manajemen Pemasaran. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada Jakarta. David, Fred R, (2006), Manajemen Strategi: Konsep-konsep, edisi kesembilan, INDEKS Kelompok Gramedia, Jakarta Fatima, Imaculata (2009), Strategi Pemasaran Kopi Bubuk Flores Nusa Tenggara Trading Co. Ltd. (NTC) di Ruteng Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal H. Nystrom (2007), http://id.wikipedia.org/wiki/Arti Definisi/ Pengertian Pemasaran Menurut Para Ahli Ilmu Manajemen Pemasaran/ Marketing Dasar” 10 April 2010 Hermawan, Asep, (2006), Penelitian Bisnis Paradigma Kuantitatif, Grasindo, Jakarta http://id.wikipedia.org/wiki/analisis_swot, 10 April 2010 Kotler, Philip (1998), Manajemen Pemasaran : Analisis, perencanaan dan pengendalian, Edisi kelima, Penerbit Erlangga, Jakarta. (2000). Marketing Management: Analysis, Planing, Implementation and Control, 9th . Prentice Hall. Upper Sadle Riverss. New Jersey. (2002). Manajemen Pemasaran, Edisi Milenium, PT. Ikrar Mandiriabadi: Jakarta. Margono, (2010), http://id.wikipedia.org/wiki/populasi, 26 April 2010 M.grant, Robert, (1996), Analisis Strategi Kontemporer, Erlangga, Jakarta Mark dan Spencer, http://id.wikipedia.org/wiki/strategi_keberhasilan, 20 Januari 2010 Mcnichon (2000), Manajemen Laba. Penerbit Salemba Empat Jakarta. Nawawi, (2010),”http://id.wikipedia.org/wiki/populasi, 26 April 2010 Putri, Budi Rahayu Tanama (2007), Analisis Strategi Pemasaran DOC Pedaging Pada PT. X Unit Bali, Jurnal Pride dan Ferrel, (1995), http://id.wikipedia.org/wiki/ Segmentasi Pasar: Definisi, Manfaat dan Kelemahan dan Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Melakukan Segmentasi Pasar” 11 April 2010 Rangkuti, Freddy, (2006), Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Robert (1996) Manajemen Pengendalian. Penerbit Salemba Empat, Jakarta
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
95
Steers, Richard M. Lyman W. Porter. (1991), Motivation and Work Behavior. New York: McGrewHill Inc. Salusu, J. (1996), Pengambilan Keputusan Stratejik: Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta Sudantoko, (2002), Manajemen Bisnis dan Manajemen Metode, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta Suharyadi, (2004), Statistika Untuk Ekonomi Dan Keuangan Modern, Salemba Empat, Jakarta Suryana, (2003), Pedoman Praktis, Kiat Dan Proses menuju Sukses, Salemba Empat, Jakarta Stanton, William J. (2000), Prinsip Pemasaran, Edisi ketujuh, jilid kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta. Tjiptono, Fandy. (2002). Strategi Pemasaran. Penerbit : Andi. Yogyakarta. Umar, Husein (1997), Studi Kelayakan Bisnis, Edisi Kedua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Umar, Husen, (2001), Study Kelayakan Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta WY. Stanton, (2007), http://id.wikipedia.org/wiki/Arti Definisi/ Pengertian Pemasaran Menurut Para Ahli Ilmu Manajemen Pemasaran/ Marketing Dasar” 10 April 2010
96
TEUKU ZULKARNAEN
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, 1, Januari 2015 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 16, Nomor 1, Januari 2015 ISSN: 1412 – 968X Hal. 97-104
97
ANALISIS HUBUNGAN KEPUTUSAN PENDANAAN TERHADAP NILAI PERUSAHAAN PADA BURSA EFEK INDONESIA Studi Kasus Perusahaan Manufaktur TEUKU ZULKARNAIN
Dosen pada Politeknik Negeri Lhokseumawe, Lhokseumawe
This research aim to examine and analyze the influence of financing decisions, either simultaneously or partial, of the company’s value in companies listed on the Indonesia Stock Exchange in 2009-2011. This study used purposive sampling method. Engineering analysis will use multiple regression analysis to test the hypothesis. This study used secondary data obtained from the official website of the Indonesia Stock Exchange is http://www.idx.co.id. There are 66 observations of companies that meet the criteria of population. The results of this study indicate that (1) financing decisions jointly affect the value of thecompany (2) funding decisions affect the value of the company, has no effect on firm value. Keywords: Enterprise value, financeng decisions
98
TEUKU ZULKARNAIN
LATAR BELAKANG Pada umumnya perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tujuan utamanya adalah memperbesar atau memperluas jangkauan usaha sapai ke pasar luar negeri.Disamping itu juga perusahaan-perusahaan tersebut akan bersaing dalam meningkatkan mutu perusahaan untuk menarik perhatian pelaku bisnis dan investor sehingga dapat menanamkan modalnya ke perusahaan. Untuk menghadapi pasar bebas, terkadang perusahaan akan sulit bertahan jika tidak mengejar tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaan. Perusahaan yang tidak bisa mempertahankan nilai perusahaan, maka akan sulit memperoleh dana melalui investor dan akan menurunkan kinerja serta tidak tercapainya tujuan dari perusahaan. Husnan (2000:7) menyatakan bahwa nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Meningkatnya nilai perusahaan adalah sebuah prestasi, yang sesuai dengan keinginan para pemiliknya, karena dengan meningkatnya nilai perusahaan maka kesejahteraan para pemilik juga akan meningkat. Pada perusahaan yang terdaftar di pasar modal atau dalam hal ini Bursa Efek Indonesia maka perusahaan akan menerbitkan harga saham untuk diperjualbelikan di bursa saham. Harga saham tersebut akan menjadi indikator bagi perusahaan dalam menetapkan nilai perusahaan. Dengan demikian, nilai perusahaan akan sangat penting dalam menaikkan harga saham apabila kinerja dari perusahaan tersebut turut meningkat. Afzal dan Rohman (2012:4) menyatakan bahwa nilai perusahaan dalam penelitian ini diproksikan dengan Price Book Value (PBV). PBV mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang terus tumbuh. Setiap perusahaan mengupayakan peningkatkan nilai perusahaan mereka melalui implementasi keputusan keuangan yaitu keputusan invetasi, keputusan pendanaan dan kebijakan dividen. Nilai perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya keputusan pendanaan. Nilai perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya keputusan pendanaan dan
kebijakan dividen. Afzal dan Rohman (2012:2) menyatakan bahwa kebijakan pendanaan adalah kebijakan manajemen keuangan untuk mendapatkan dana (baik dari pasar uang maupun pasar modal). Dengan demikian perusahaan akan memutuskan dari mana sumber dana yang didapat untuk menjalankan perusahaannya, baik melalui hutang atau menerbitkan saham yang baru. Setelah mendapatkan dana, manajer keuangan akan menginvestasikan dana yang diperoleh ke dalam perusahaan. Dalam keputusan pendanaan, manajer berhubungan dengan perbaikan sisi kanan neraca. Horne dan Wachowicz (2005:4) menyatakan bahwa apabila bauran pendanaan telah ditetapkan, manajer keuangan masih harus menetapkan cara terbaik untuk secara fisik mendapatkan dana. mekanisme untuk mendapatkan pinjaman jangka pendek, cara memasuki kesepakatan jangka panjang, atau negosiasi untuk penjualan obligasi atau saham, haruslah dipahami oleh manajer keuangan. Afzal dan Rohman (2012:4) menyatakan bahwa keputusan pendanaan diproksikan melalui DER (Debt to Equity Ratio). DER menunjukkan perbandingan antara total hutang dengan total ekuitas. Hasil penelitian Afzal dan Rohman (2012:6) menunjukkan bahwa keputusan pendanaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Namun, Noerirawan dan Muid (2012:6) menunjukkan bahwa keputusan pendanaan yang diukur dengan DER berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Dengan hasil penelitian di ata menunjukkan bahwa adanya perbedaaan hasil penelitian, maka penulis akan meneliti kembali apakah hasil penelitian variabel keputusan pendanaan berpengaruh positif atau negatif terhadap nilai perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. TINJAUAN PUSTAKA Nilai Perusahaan merupakan kondisi tertentu yang telah dicapai oleh suatu perusahaan sebagai gambaran dari kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan setelah melalui suatu proses kegiatan selama beberapa tahun, yaitu sejak perusahaan tersebut didirikan sampai dengan saat ini. Nilai perusahaan dianggap penting, hal ini dikarenakan
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
dengan tingginya nilai perusahaan maka akan diikuti dengan meningkatnya kemakmuran pemegang saham. Husnan (2000:7) menyatakan bahwa nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Nilai perusahaan atau nilai pasar perusahaan juga mencerminkan seberapa sukses suatu perusahaan tersebut dalam mengelola perusahaannya, apabila nilai perusahaannya meningkat maka akan meningkat pula kualitas dan kinerja perusahaan tersebut serta akan diikuti pula dengan peningkatan kemakmuran pemegang saham. Brealey, Myers, dan Marcus (2007:46) menyatakan bahwa harga saham dan nilai perusahaan mengikhtisarkan penilaian kolektif investor tentang seberapa baik keadaan suatu perusahaan, baik kinerja saat ini maupun prospek masa depannya. Nilai perusahaan dapat dilihat dari harga saham perusahaan, maka dengan peningkatan harga saham akan mengirimkan sinyal positif dari investor kepada manajer. Dengan demikian perusahaan perlu menetapkan harga saham agar tercapainya peningkatan harga saham perusahaan. Nilai perusahaan dalam penelitian ini diinterpretasikan oleh harga saham perusahaan yang dikonfirmasikan melalui PBV (Price Book Value) atau rasio nilai pasar/buku (M/B). PBV mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang terus tumbuh (Brigham dan Houston, 2001:92) Keputusan Pendanaan adalah keputusan keuangan tentang dari mana dana untuk membeli aktiva tersebut berasal (Atmaja, 2008:2) Ada 2 (dua) macam dana atau modal yaitu: 1. Modal asing, seperti hutang bank dan obligasi. 2. Modal sendiri, seperti laba ditahan dan saham. Bagi perusahaan yang go public atau sudah tercantum sebagai perusahaan perseroan terbatas (PT), pembagian modal dapat berupa modal asing yang berupa saham dan obligasi serta modal sendiri berupa laba ditahan dan saham. Sebaliknya, pada perusahaan yang non go public dan bukan perusahaan perseroan terbatas, sumber pendanaan dari luar yang merupakan modal sendiri yaitu tambahan modal yang disetor. Brealey, Myers,
99
Marcus (2007:6) juga menyatakan bahwa keputusan pendanaan merupakan tanggung jawab utama kedua manajer keuangan untuk menggalang dana yang dibutuhkan perusahaan untuk investasi dan operasinya. Suatu perusahaan mendapatkan dana dengan mengundang para investor untuk menanamkan modalnya ke perusahaan dengan ketentuan pihak investor akan medapat keuntungan dari investasi mereka atau pihak perusahaan akan meminjam modal tersebut dan akan melunasinya pada waktu yang akan datang dengan tingkat bunga yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini terdapat dua kasus, yaitu pertama, para investor menerima pangsa pasar saham dan menjadi pemegang saham sehingga menjadi pemilik sebagian perusahaan. Para investor dalam kasus ini disebut dengan investor ekuitas, yang berkontribusi atas pendanaan ekuitas. Kasus kedua, para investor adalah pemberi pinjaman, yaitu investor hutang, yang suatu hari harus mendapatkan pelunasan. Pilihan antara pendanaan hutang dan ekuitas sering disebut dengan keputusan struktur modal. Sartono (2001:225) menyatakan bahwa struktur modal merupakan perimbangan jumlah hutang jangka pendek yang bersifat permanen, hutang jangka panjang, saham preferen dan saham biasa, sedangkan struktur keuangan merupakan perimbangan antara hutang dan modal sendiri. Dengan demikian struktur modal merupakan bagian dari struktur keuangan. Dalam hal ini, modal berarti sumber pendanaan jangka panjang perusahaan. Suatu perusahaan yang berusaha mendapatkan pendanaan jangka panjang dikatakan menggalang dana. Keputusan pendanaan juga dapat dibagi 2 (dua) berdasarkan jangka waktunya, yaitu pendanaan jangka panjang dan pendanaan jangka pendek. Afzal dan Rohman (2012:3) menyatakan bahwa terdapat dua pandangan mengenai keputusan pendanaan. Pertama, dikenal dengan pandangan tradisional yang menyatakan bahwa struktur modal mempengaruhi nilai perusahaan. Kedua, peningkatan melalui hutang merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi biaya keagenan. Hutang dapat mengendalikan manajer untuk mengurangi tindakan perquisites dan kinerja perusahaan menjadi lebih efisien sehingga penilaian investor terhadap perusahaan akan meningkat. Perquisites
100
TEUKU ZULKARNAIN
adalah tindakan manajemen yang memunculkan aliran kas keluar dalam rangka untuk tujuan bukan kepentingan perusahaan, misalnya biaya perjalanan dinas dan akomodasi kelas VIP, mobil dinas mewah, dan lain-lain. Brigham dan Houston (2001) dalam Noerirawan dan Muid (2012:2) juga menyatakan bahwa pihak luar mengartikan peningkatan hutang yaitu tentang kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban di masa yang akan datang atau adanya risiko bisnis yang rendah. Hal tersebut akan direspon secara positif oleh pasar. Penelitian yang dilakukan oleh Afzal dan Rohman (2012) menunjukan bahwa adanya pengaruh positif keputusan pendanaan terhadap nilai perusahaan. Keputusan pendanaan dalam penelitian ini dapat diinterpretasikan melalui DER (Debt to Equity Ratio). Rasio ini menunjukkan antara pembiayaan dan pendanaan melalui hutang dengan pendanaan melalui ekuitas. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini akan mengacu pada rancangan penelitian yang dikemukan oleh Sekaran (2007:152) dengan berpedoman pada aspek yang harus terpenuhi. Masing -masing aspek dijelaskan sebagai berikut: 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan berdasarkan Teori-teori dan penelitian terdahulu. Hipotesis yang dirumuskan menjelaskan hubungan kausalitas antara variabel. 2. Situasi Studi (Study Setting) Situasi studi penelitian ini adalah situasi tidak diatur. Berdasarkan kondisi lingkungan dan tingkat keterlibatan penelitian, penelitan ini merupakan studi yang dilakukan untuk menentukan hubungan sebab akibat pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia yang disebut eksperimen lapangan. Penelitian ini juga merupakan studi lapangan, yaitu situasi penelitian yang tidak diatur karena penelitian dapat dilakukan kapan saja dan tingkat intervensi peneliti minimal. Studi lapangan penelitian ini dilakukan hanya dengan mengolah data laporan tahunan perusahaan manufak-
tur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011 yang diperoleh dari web http:// www. idx.co.id. 3. Jenis Investigasi Jenis investigasi dalam penelitian ini adalah studi kausal, yaitu penelitian yang menjelaskan sebab dan akibat antara variabel yang diteliti,yaitu variabel nilai perusahaan sebagai variabel dependen dan variabel keputusan pendanaan dan kebijakan dividen sebagai variabel independen. 4. Intervensi Peneliti Peneliti memiliki intervensi minimal terhadap variabel yang diteliti. Penelitian ini menggunakan data laporan tahunan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 5. Horizon Waktu Penelitian ini bersifat panel data, data yang digunakan berupa laporan tahunan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2011. 6. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia berupa data laporan keuangan perusahaan periode 2009-2011 Populasi dan Sampel Penelitian Sekaran (2006:121) menyatakan bahwa populasi mengacu pada keseluruhan kelompok orang, kejadian, atau hal minat yang ingin peneliti investigasi. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang telah go public di pasar modal Indonesia. Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi. Sampel terdiri atas sejumlah anggota yang dipilih dari populasi. Dengan kata lain, tidak semua diteliti akan tetapi elemen populasi yang akan membentuk sampel. Variabel Dependen adalah variabel yang dipengaruhi variabel-variabel yang lain atau faktor-faktor yang lain. Penelitian ini yang menjadi variabel dependen adalah nilai perusahaan. Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimum apabila harga saham perusahaan
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
meningkat. Nilai perusahaan dalam penelitian ini diinterpretasikan melalui Price BookValue (PBV). PBV mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang terus tumbuh (Brigham dan Houston, 2001 dalam Lestari, Taufik dan Yusralaini, 2013:6). PBV =
HARGA SAHAM BOOK VALUE
Dimana: PBV = Price Book Value (Rp) BV = Book Value (Rp) Variabel Independen Keputusan Pendanaan Brealey, Myers, Marcus (2007:6) menyatakan bahwa keputusan pendanaan merupakan tanggung jawab utama kedua manajer keuangan untuk menggalang dana yang dibutuhkan perusahaan untuk investasi dan operasinya. Keputusan pendanaan dalam penelitian ini dapat diinterpretasikan melalui Debt to Equity Ratio(DER). Rasio ini menunjukkan antara pembiayaan dan pendanaan melalui hutang dengan pendanaan melalui ekuitas (Afzal dan Rohman, 2012:4). DER =
TOTAL HUTANG TOTAL EKUITAS
Sedangkan persamaan untuk menguji hipotesis secara keseluruhan pada penelitian ini sebagai berikut: PBV = α + β DER + e ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis trend nilai perusahaan yang diperoleh berdasarkan data-data dari perusahaan-perusahaan yang diteliti. Hal ini dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel X (keputusan pendanaan) dan terhadap variabel Y (nilai perusahaan) dan untuk mengetahui seberapa besar nilai signifikansi dari hubungan variabel X dan variabel Y secara bersama-sama dan parsial.Unit analisis penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di
101
Bursa Efek Indonesia berupa data laporan keuangan perusahaan periode 2009-2011. Hasil pemilihan sampel yang menggunakan metode purposive sampling, dari hasil pemilihan sampel diperoleh22 perusahaan yang akan diamati sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Perusahaan yang menjadi sampel merupakan perusahaan yang terdaftar yang Bursa Efek Indonesia yang telah go publicserta perusahaan yang membagikan dividennya setiap tahun selama 3 (tiga) tahun berturut-turut yaitu selama periode tahun 2009-2011. Selama 3 tahun tersebut menunjukkan perusahaan-perusahaan yang membagikan dividennya secara berturut-turut selamaperiode 2009-2011. Data perusahaan diperoleh dari situs www.idx.co.id. Berdasarkan informasi dari perusahaan-perusahaan yang menjadi pengamatan, maka selanjutnya akan diamati besarnya nilai perusahaan pada setiap perusahaan dan persentase dividend payout ratio yang dibagikan kepada para pemegang saham. Nilai perusahaan dinilai dari PBV (Price Book Value) yang diperoleh dari perbandingan harga saham per lembar saham dengan harga buku per lembar saham (nilai buku). Harga saham dalam penelitian ini merupakan harga saham pada saat penutupan setiap akhir tahun (triwulan ke empat). Nilai buku diperoleh dari laporan keuangan yang dilaporkan oleh perusahaan, akan tetapi tidak semua mencantumkan nilai buku berupa angka namun dapat diperoleh dari perbandingan total aktiva dikurangi hutang dengan jumlah saham yang beredar. Nilai dari PBV ini yang menjadi acuan bagi perusahaan dalam menilai perusahaan mereka apakah setiap tahunnya akan meningkat atau menurun. Jika meningkat maka nilai perusahaan dari perusahaan tersebut akan baik dan akan menguntungkan para pemegang saham. Namun demikian, jika nilai perusahaan tersebut menurun maka akan berdampak juga kepada para pemegang saham dan pihak manajemen perusahaan . Pada tahun 2009 nilai PBV yang tertinggi diperoleh oleh perusahaan PT. Multi Bintang Indonesia Tbk yaitu sebesar Rp 32,552milliar dan yang terendah adalah perusahaan PT. Kimia Farma (Persero) Tbk yaitu sebesar Rp.166.109. Tahun 2010 nilai PBV yang tertinggi adalah pe-
102
rusahaan PT. Multi Bintang Indonesia Tbk yaitu 15,186 milliar, sedangkan perusahaan yang memiliki nilai PBV yang terendah adalah PT. Kimia Farma (Persero) Tbk yaitu sebesar Rp.223.113. Tahun 2011 perusahaan yang memiliki nilai PBV yang tertinggi adalah PT. Multi Bintang Indonesia Tbk yaitu sebesar Rp.9,495 milliar, sedangkan perusahaan yang memiliki nilai PBV yang terendah adalah PT. Kimia Farma (Persero) Tbk yaitu sebesar Rp.411.172. Selama pengamatan 3 (tiga) tahun yaitu tahun 2009-2011, maka terdapat 6 (enam) perusahaan yang memiliki nilai PBV berfluktuatif, yaitu nilai PBV mengalami kenaikan dan penurunan. Terdapat juga 4 (empat) perusahaan yang mengalami penurunan nilai PBV dan 12 (dua belas) perusahaan yang mengalami kenaikan nilai PBV. Menurut data diatas, maka terdapat dua belas perusahaan yang mengalami kenaikan PBV, hal ini dapat diartikan bahwa perusahaan tersebut juga akan mengalami peningkatan nilai perusahaan yang tercermin dari kenaikan nilai PBV. Oleh karenanya, dengan meningkatnya nilai perusahaan maka akan meningkat juga kesejahteraan para pemegang saham. Namun data tersebut akan diuji kembali dengan menggunakan program SPSS untuk melihat hubungan antara nilai perusahaan dengan keputusan pendanaan. Keputusan Pendanaan Setiap perusahaan memiliki kebijakan masingmasing, terutama dalam hal kebijakan menyangkut keputusan keuangan yang diambil oleh pihak manajemen. Salah satu kebijakan yang penting dalam menjalani perusahaan yaitu keputusan pendanaan. Keputusan pendanaan merupakan keputusan yang diambil oleh pihak manajemen yang menyangkut komposisi pendanaan yang dipilih oleh pihak manajemen yaitu dapat berupa hutang jangka pendek atau hutang jangka panjang maupun dapat berupa penerbitan saham baru untuk manambah modal bagi perusahaan. Penelitian ini akan menganalisis seberapa besar nilai yang diperoleh oleh perusahaan setiap tahunnya. Nilai dari keputusan pendanaan akan diproksikan melalui DER (Debt to Equity Ratio) yaitu dengan perbandingan antara total hutang dengan total ekuitas.Dalam pelaksanaannya ten-
TEUKU ZULKARNAIN
tu tidak begitu sulit untuk menentukan nilai dari DER karena nilai dari DER ini hampir rata-rata perusahaan mencantumkan dalam laporan tahunan mereka.Jika tidak dicantumkan nilai DER, maka dapat dihitung dengan membagikan total hutang dengan total ekuitas. Berdasarkan tabel 4.2 menunjukan bahwa nilai minimum adalah sebesar 0,30 dan maksimal sebesar 843,10. Hal ini berarti bahwa dari 66 pengamatan memiliki nilai DER yang paling rendah adalah 30% dan paling tinggi sebesar 84.310%. Analisis Deskriptif Berikut ini akan dipaparkan gambaran umum dari seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Pemaparan tersebut akan didukung dengan tabel agar dapat mempermudah penjelasan dan pemahaman dari setiap variabel tersebut. Hasil analisis deskriptif yang dilakukan terhadap variabel dalam penelitian ini dapat dilihat dari tabel berikut ini: No
Variabel
Koefisien
t-stat
1
C
-598799,47
-.729
2
DER
30071,101
8.057
sign .496 .000
n = 22 R2 = 0,712 F-stat = 32,475 F-sign. = 0,000 DW-stat = 2,042
PBV = -598799,47 + 30071,101 DER + e Berdasarkan persamaan diatas, maka dapat diketahui bahwa variabel keputusan pendanaan berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dengan koefisien sebesar 30.071,101. Artinya apabila nilai DER naik sebesar 1%, maka akan meningkatkan nilai perusahaan sebesar 30.071,101%. Hubungan Keputusan Pendanaan terhadap Nilai Perusahaan. Berdasarkan hasil pengujian statistik menunjukan bahwa variabel keputusan pendanaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Dengan demikian penelitian ini menerima hipotesis kedua (H2). Hal ini berarti bahwa apabila terjadi kenaikan keputusan pendanaan yaitu nilai DER maka akan terjadi pula kenaikan dari nilai perusahaan yaitu nilai PBV. Keputusan pendanaan berpen-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 16, No. 1, Januari 2015
garuh terhadap nilai perusahaan, hal ini dikarenakan adanya pajak yang dapat mengakibatkan nilai perusahaan atau nilai saham perusahaan dipengaruhi oleh pendanaan perusahaan. Semakin tinggi hutang maka akan semakin tinggi pula nilai perusahaan, hal ini didukung apabila pendanaanperusahaan mencapai optimal. Akan tetapi tidak dianjurkan menggunakan hutang yang terlalu tinggi karena akan mengakibatnya besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh perusahaan, hal ini justru tidak baik bagi perusahaan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Keputusan pendanaan mempunyai hubungan dan berpengaruh terhadap nilai perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BursaEfek Indonesia. 2. Keputusan pendanaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Keputusan pendanaan merupakan kebijakan yang diambil oleh perusa-
103
haan, dimana keputusan ini akan menentukan langkah perusahaan di masa yang akan datang. Keputusan yang diambil adalah keputusan mengenai dana yang akan digunakan oleh perusahaan untuk melaksanakan operasional perusahaan. Keputusan pendanaan dapat berupa hutang jangka panjang, hutang jangka pendek, saham preferen atau saham biasa. SARAN Dari hasil analisis dan pembahasan sebelumnya dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Penelitian selanjutnya diharapkan agar menambahkan variabel independen yang dapat mempengaruhi variabel dependen. Hal ini agar dapat dilihat faktor-faktor pendukung lain yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan yaitu keputusan investasi, pertumbuhan aset, tingkat inflasi dan lainnya. 2. Penelitian selanjutnya juga dapat memperluas pengamatan dalam hal waktu pengamatan dan jenis perusahaan yang diamati.
104
TEUKU ZULKARNAIN
REFERENSI Afzal, A & Rohman, A. 2012. Pengaruh Keputusan Investasi, Keputusan Pendanaan,dan Kebijakan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan. Dipenegoro Journal ofAccounting. Vol 1, No.1. Atmaja, L. Setia. 2008. Teori dan Praktik Manajemen Keuangan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. Brealey, R. A, Myers, S. C, & Marcus, A. J. 2007. Dasar-dasar Manajemen Keuangan Perusahaan Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga. Horne, J. C. Van & Wachowicz, J. M. 2005. Fundamentals of Financial Management (Prinsip-prinsip Manajemen Keuangan). Buku 1. Edisi 12. Jakarta: Salemba Empat Husnan, Suad. 2000. Manajemen Keuangan, Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka Panjang). Buku 1. Edisi 4. Yogyakarta. BPFE Noerirawan, Moch. Ronni & Muid, Abdul. 2012. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Perusahaan Terhadap Nilai Perusahaan. Dipenehoro Journal of Accounting. Vol. 1, No. 2. Sartono, Agus. 2001. Manajemen Keuangan, Teori dan Aplikasi. Edisi 4.Yogyakarta. BPFE Sekaran, Uma. 2006. Research Methods For Business (Metodologi Penelitian untuk Bisnis). Buku 2. Jakarta: Salemba Empat.
PETUNJUK PENULISAN JURNAL EMABIS FAKULTAS EKONOMI UNIMAL 1. Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dan harus merupakan tulisan asli dari hasil penelitian, telaah pustaka, laboratorium, pengalaman lapangan atau gagasan yang belum dan tidak akan dipublikasikan dalam media cetak lain. 2. Tulisan yang dimuat dalam Jurnal E-Mabis berasal dari bidang Ilmu-ilmu Ekonomi Manajemen dan Bisnis. 3. Naskah diketik dengan perangkat lunak pengolahan kata Microsolft Word yang dicetak pada satu permukaan (tidak dibolak-balik) kertas berukuran A-4 putih 80 gram/m2, dengan jarak 1,5 spasi (kecuali abstrak), dengan tata letak portraif, serta jarak margin kiri dan atas 4 cm, kanan dan bawah 3 cm. Panjang naskah 15-20 halaman, termasuk halaman dan tabel. 4. Naskah yang termasuk katagori penelitian, disusun dengan urutan sebagai berikut: a. Judul: diusahakan singkat dan mencerminkan isi penelitian/karya ilmiah, ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. b. Nama Penulis: ditulis dibawah judul, tanpa gelar kesarjanaan. Jika penulis lebih dari satu orang hendaknya diurutkan dan diberi angka Arab di akhir nama masing-masing penulis. Angka-angka Arab tersebut diberi keterangan sebagai catatan kaki pada halaman pertama, lengkap dengan alamat lembaga penulis c. Abstrak: ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, diketik satu spasi dan maksimum 150 kata. Dibawah abstrak dicantumkan kata kunci (keywords) antara 3-5 frasa (phrase) d. Pendahuluan: (tanpa subjudul, berisi : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Tinjauan Pustaka) e. Metode Penelitian (alat/bahan, cara penelitian, teknik pengambilan data dan teknik analisis) f. Hasil dan Pembahasan: menguraikan hasil yang diperoleh, disertai pembahsan baik dalam bentuk tabel, grafik dan gambar g. Kesimpulan dan Saran h. Referensi (daftar pustaka) i. Biodata Penulis (daftar riwayat hidup/curriculum vitae) 5. Naskah yang termasuk katagori non penelitian/ konseptual, disusun dengan urutan sebagai berikut: a. Judul (sama dengan poin 4.a) b. Nama Penulis (sama dengan poin 4.b) c. Abstrak (sama dengan poin 4.c) d. Pendahuluan (berisi: Latar Belakang, Perumusan Masalah, Sedikit Tinjauan Pustaka. Tidak dipecah menjadi anak sub judul, tetapi dalam bentuk alinea saja) e. Pembahasan (Isi Informasi/pemikiran ilmiah penulis)
f. Kesimpulan dan Saran (saran tidak merupakan keharusan) g. Referensi (daftar pustaka) h. Biodata Penulis (daftar riwayat hidup/curriculum vitae) 6. Naskah tidak diperkenankan memakai lampiran 7. Daftar pustaka yang ditampilkan hanya yang benar-benar diacu/dikutip saja: penulisan daftar pustaka disusun menurut abjad nama pengarang secara kronologis: a. Untuk buku: nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit. Judul Buku jilid, edisi. tempat/kota penerbit: nama penerbit b. Untuk karangan/artikel dalam pertemuan ilmiah atau seminar nama pokok dan inisial pengarang, tahun “Judul Karangan”. Singkatan nama pertemuan (penyelenggara). Waktu;tempat/kota pertemuan. c. Untuk karangan/artikel dalam majalah atau jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun. Judul karangang : nama majalah atau jurnal. Jilid (nomor) halaman permulaan dan akhir. d. Untuk tulisan dari internet : nama pokok dan inisial pengarang, tahun. Judul tulisan. Nama jurnal atau majalah/sumberlainnya. (online), vol.,no., (alamat sumber rujukan dan tanggal diakses) 8. Naskah yang dikirim ke redaksi rangkap 2 (asli dan foto copynya) dan disertakan disketnya selambat-lambatnya 3(tiga) minggu sebelum penertbitan 9. Dewan redaksi dapat mengubah dan mengoreksi bahasa dan istilah, tanpa merubah isi dan maknanya dengan atau tanpa memberitahukan penulis. 10. Dewan redaksi dapat menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi persyarat. Alamat Redaksi : Fakultas Ekonomi Univesitas Malikussaleh. Kampus Bukit Indah P.O.Box 141 Lhokseumawe. Tlp. (0645), 40210 Fax. (0645) 44450. Email:
[email protected] Website: http://www.fe-unimal.org