ISSN: 1412-968X Volume 15, Nomor 3, Juli 2014
JOURNAL OF
Economic Management & Business Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Aceh Utara Andria Zulfa
219
Pengaruh Indek Bursa Dunia terhadap Indek Saham di Bursa Efek Indonesia Chairil Akhyar, Nurhadi, Ghazali Syamni, dan Anwar Puteh
235
Peluang dan Kendala Kemitraan Agribisnis Hortikultura di Aceh J a m i l a h
243
Pengaruh Uang Beredar, PDB, Tingkat Bunga, dan Kurs terhadap Inflasi di Indonesia Tahun 1998-2012 Khairil Anwar
253
Pengaruh Jumlah Uang Beredar (M2), Nilai Tukar Rupiah (Kurs), Neraca Perdagangan dan Suku Bunga Bank Indonesia terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2008-2013 Maya Febrianty Lautania dan Evayani
261
Analisis Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan Muhammad Ilhamsyah Siregar dan Iqbal Mudawali
273
Pengaruh Internal Konsumen terhadap Keputusan Pembelian Produk Kosmetik Studi pada Konsumen Produk Merek Pond’s di Kota Lhokseumawe Sapna Biby
291
Pengaruh Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe S u l l a i d a
305
Analisis Penerapan Akuntansi Zakat, Infaq dan Sedekah pada Baitul Mal Kota Lhokseumawe Syawal Harianto dan Diana
313
Pengaruh Bantuan Sarana Nelayan terhadap Peningkatan Pendapatan pada Masyarakat Pesisir Pantai Kota Lhokseumawe Studi Kasus di Pesisir Pantai Meuraksa Kec. Blang Mangat Umaruddin Usman
327
Pengaruh Dana Otonomi Khusus terhadap Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh R a t n a
339
FAKULTAS EKONOMI Unversitas Malikussaleh
ISSN: 1412-968X Volume 15, Nomor 3, Juli 2014
JOURNAL OF
Economic Management & Business Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Aceh Utara Andria Zulfa
219
Pengaruh Indek Bursa Dunia terhadap Indek Saham di Bursa Efek Indonesia Chairil Akhyar, Nurhadi, Ghazali Syamni, dan Anwar Puteh
235
Peluang dan Kendala Kemitraan Agribisnis Hortikultura di Aceh J a m i l a h
243
Pengaruh Uang Beredar, PDB, Tingkat Bunga, dan Kurs terhadap Inflasi di Indonesia Tahun 1998-2012 Khairil Anwar
253
Pengaruh Jumlah Uang Beredar (M2), Nilai Tukar Rupiah (Kurs), Neraca Perdagangan dan Suku Bunga Bank Indonesia terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2008-2013 Maya Febrianty Lautania dan Evayani
261
Analisis Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan Muhammad Ilhamsyah Siregar dan Iqbal Mudawali
273
Pengaruh Internal Konsumen terhadap Keputusan Pembelian Produk Kosmetik Studi pada Konsumen Produk Merek Pond’s di Kota Lhokseumawe Sapna Biby
291
Pengaruh Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe S u l l a i d a
305
Analisis Penerapan Akuntansi Zakat, Infaq dan Sedekah pada Baitul Mal Kota Lhokseumawe Syawal Harianto dan Diana
313
Pengaruh Bantuan Sarana Nelayan terhadap Peningkatan Pendapatan pada Masyarakat Pesisir Pantai Kota Lhokseumawe Studi Kasus di Pesisir Pantai Meuraksa Kec. Blang Mangat Umaruddin Usman
327
Pengaruh Dana Otonomi Khusus terhadap Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh R a t n a
339
FAKULTAS EKONOMI Unversitas Malikussaleh
E-MABIS
JOURNAL OF
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
Economic Management & Business
ISSN : 1412 – 968X
Diterbitkan Oleh : Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Dewan Penasehat/Advisory Board Rektor Universitas Malikussaleh Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Ketua Penyunting/ Chief Editor Wahyuddin Pengelola Penyunting/Managing Editor Khairil Anwar (Chief) Iswadi, Anwar Puteh, Ichsan, Ghazali Syamni, Damanhur, Naufal Bachri, Husaini, Yulbahri Penasehat Editorial dan Dewan Redaksi/ Editorial Advisory and Review Board Prof. A. Hadi Arifin (Unimal), Jullimursyida, Ph.D (Unimal), Adi Afif Zakaria, Ph.D (UI), Zafri Ananto Husodo, Ph.D (UI), Fachruzzaman (UNIB), Erlina, Ph.D (USU), Muhammad Nasir, Ph.D (USK), Sofyan Syahnur, Ph.D (USK), Tafdil Husni, Ph.D (UNAND), Jeliteng Pribadi, MA (USK), Sirkulasi & Secretary : Kusnandar Zainuddin, Fuadi, Karmila, Ismail Kantor Penyunting/Editorial Office Kampus Bukit Indah P.O. Box. 141 Lhokseumawe Telp. (0645) 7014461 Fax. (0645) 56941 E-mail :
[email protected] - Hompage: www.fe-unimal.org/jurnal/emabis Jurnal E-Mabis Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh diterbitkan sejak tahun 2000 sesuai dengan Surat Keputusan Rektor Universitas Malikussaleh nomor SK. No.34/UM.H/KP/2000 Jurnal E-Mabis diterbitkan oleh FE Unimal bekerjasama dengan ISEI Lhokseumawe Dekan : Wahyuddin, Pembantu Dekan I : Khairil Anwar, Pembantu Dekan II: Iswadi, Pembantu Dekan III : Anwar Puteh, Pembantu Dekan IV : Ichsan Jurnal E-Mabis terbit 4 kali setahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. ISSN : 1412-968X. keputusan terbit 4 kali setahun mulai Edisi Vol.13 Nomor: 1, Januari 2012
Daftar Isi Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Aceh Utara Andria Zulfa
219
Pengaruh Indek Bursa Dunia terhadap Indek Saham di Bursa Efek Indonesia Chairil Akhyar, Nurhadi, Ghazali Syamni, dan Anwar Puteh
235
Peluang dan Kendala Kemitraan Agribisnis Hortikultura di Aceh J a m i l a h
243
Pengaruh Uang Beredar, PDB, Tingkat Bunga, dan Kurs terhadap Inflasi di Indonesia Tahun 1998-2012 Khairil Anwar
253
Pengaruh Jumlah Uang Beredar (M2), Nilai Tukar Rupiah (Kurs), Neraca Perdagangan dan Suku Bunga Bank Indonesia terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2008-2013 Maya Febrianty Lautania dan Evayani
261
Analisis Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan Muhammad Ilhamsyah Siregar dan Iqbal Mudawali
273
Pengaruh Internal Konsumen terhadap Keputusan Pembelian Produk Kosmetik Studi pada Konsumen Produk Merek Pond’s di Kota Lhokseumawe Sapna Biby
291
Pengaruh Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe S u l l a i d a
305
Analisis Penerapan Akuntansi Zakat, Infaq dan Sedekah pada Baitul Mal Kota Lhokseumawe Syawal Harianto dan Diana
313
Pengaruh Bantuan Sarana Nelayan terhadap Peningkatan Pendapatan pada Masyarakat Pesisir Pantai Kota Lhokseumawe Studi Kasus di Pesisir Pantai Meuraksa Kec. Blang Mangat Umaruddin Usman
327
Pengaruh Dana Otonomi Khusus terhadap Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh R a t n a
339
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, 3, Juli 2014 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 15, Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 1412 – 968X Hal. 219-233
PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP ALOKASI BELANJA DAERAH DI KABUPATEN ACEH UTARA ANDRIA ZULFA
Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
This study aims to determine the effect Pendapatan Asli Dareah (PAD) and Dana Alokasi Umum (DAU) Belanja Daerah allocations in North Aceh Regency period 2001 to 2012. The data analysis was performed by multiple linear regression approach by the SPSS program. The results showed that simultaneous PAD and DAU significant on the allocation of Belanja Daerah in North Aceh district during the period of observation. While partially demonstrated that PAD positive and significant impact on the allocation of Belanja Daerah in North Aceh district during the period of observation, while the Dana Alokasi Umum (DAU) is positive but not significant effect on the allocation of Belanja Daerah in North Aceh during the observation period. The results of this study support the results of the study have Prakosa (2004), Maemunah (2006), Syukriy and Halim (2003), and Sani (2009). The implication of this study is the higher number of incoming PAD and DAU in northern Aceh district budget, the greater the potential for local governments to implement regional development programs for the prosperity and welfare of the community. Keywords: PAD, DAU, Allocations, Keuangan Daerah
219
220
ANDRIA ZULFA
PENDAHULUAN Pembangunan nasional diawali dengan pembangunan pondasi ekonomi yang kuat sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi nasional sangat ditentukan oleh pembangunan ekonomi daerah.Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka daerah diberikan otonomi atau kewenangan oleh Pemerintahan Pusat untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran disektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain dari pendapatan yang sah (Halim, 2009). Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Optimalisasi penerimaan PAD hendaknya didukung upaya Pemerintah Daerah dengan meningkatkan kualitas layanan publik (Mardiasmo, 2002). Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pasal 6 menjelaskan bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri atas: 1) Hasil pajak Daerah; 2) Hasil retribusi Daerah; 3) Hasil Perusahaan Milik Daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Sumber Pendapatan Asli Daerah sebagaimana tersebut pada dasarnya masih dalam bentuk dan jenis yang sama, kecuali dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dengan menambah 1 (satu) lagi unsur sumber PAD, yaitu “Zakat”. Namun PAD dari jenis ini belum sempat dilaksanakan, karena sudah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan ditetapkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tetapi PAD dari jenis Zakat ini masih tercantum didalamnya. Akan tetapi, hingga Tahun Anggaran 2010 belum juga dimasukkan sebagai jenis PAD dan
berdasarkan penelitian bahwa pada tahun anggaran 2011 telah dimasukkan didalam APBD Kabupaten, tetapi hanya sekedar pencatatan, sedangkan pengelolaannnya dilaksanakan oleh satu badan yang dinamakan dengan “Baital Maal” yang mekanisme pelaksanaannya sesuai dengan yang telah diatur menurut Hukum Islam (Syari’at Islam). Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan sumber pembelanjaan daerah disamping Pendapatan Asli Daerah (PAD). Peranan DAU terletak pada kemampuannya untuk menciptakan pemerataan berdasarkan pertimbangan atas potensi fiskal dan kebutuhan nyata dari masing-masing daerah (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Permasalahan Dana Alokasi Umum (DAU) terletak pada perbedaan cara pandang antara pusat dan daerah tentang dana ini. Bagi Pemerintah Pusat, DAU dijadikan sebagai instrument horizontal imbalance untuk pemerataan atau mengisi fiscal gap. Sedangkan bagi Pemerintah Daerah, DAU dimaksudkan untuk mendukung kecukupan pendapatan daerah. Permasalahannya akan timbul ketika Pemerintah Daerah meminta DAU sesuai dengan kebutuhannya. Akan tetapi, alokasi DAU didasarkan pada kebutuhan daerah yang demikian belum bisa dilakukan karena dasar perhitungan fiscal needs tidak memadai (terbatasnya data, belum ada standar pelayanan minimum masing-masing daerah, dan sistem penganggaran yang belum berdasarkan pada standar analisis belanja). Ditambah total pengeluaran anggaran khususnya APBD belum mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dan cenderung tidak efisien. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) bersama-sama digunakan untuk pembelanjaan daerah, jika keduanya meningkat maka dana yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah akan lebih tinggi dan tingkat kemandirian daerah akan meningkat pula, sehingga Pemerintah Daerah akan berinisiatif untuk lebih menggali potensi-potensi daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurut Pratiwi (2007), pertumbuhan PAD secara berkelanjutan akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah itu. Kabupaten Aceh Utara merupakan salah satu Daerah Tingkat II yang berada di Provinsi Aceh. Kabupaten ini adalah salah satu Kabupaten yang tergolong tua di Provinsi Aceh. Kabupaten Aceh
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
Utara terus melaksanakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memajukan daerahnya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang dalam hal ini adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Namun sumbangan PAD terhadap APBD Kapubaten Aceh Utara saat ini kondisinya masih sangat kurang memadai, terutama dengan habisnya sumber daya alam utama di daerah ini, yakni minyak bumi dan gas alam, sehingga kontribusi yang dapat disumbangkan PAD terhadap total penerimaan daerah masih relatif sangat rendah sementara belanja daerah cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Disamping itu, sumbangan DAU juga cenderung tidak mencukupi dari tahun ke tahun. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan belanja daerah di Kabupaten Aceh Utara selama 12 tahun terakhir seperti yang terlihat pada Tabel 1 bahwa rata-rata selama tahun 2001 hingga 2012, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Aceh Utara mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2001 PAD Kab. Aceh Utara sebesar Rp 12,533 milyar, kemudian terus mengalami pertumbuhan positif hingga mencapai Rp 119,858 milyar di tahun 2007. Namun pada tahun 2008, PAD mengalami penurunan hingga mencapai Rp 106,145 milyar dan terus berlangsung hingga mencapai Rp 38,504 milyar di tahun 2010. Se-
221
mentara pada tahun 2011 PAD Kab. Aceh Utara kembali meningkat hingga mencapai Rp 73,277 milyar di tahun 2012. Disamping itu, pertumbuhan Dana Alokasi Umum (DAU) di Kabupaten Aceh Utara selama periode pengamatan juga mengalami peningkatan yang positif. Pada tahun 2001, DAU Kab. Aceh Utara sebesar Rp 233,970 milyar, namun pada tahun 2002 mengalami penurunan hingga mencapai Rp 149,120 milyar di tahun 2003. Pertumbuhan DAU positif kembali terjadi pada tahun 2004 yakni mencapai Rp 199,895 milyar dan terus tumbuh hingga mencapi Rp 612,599 milyar di tahun 2012 meskipun sempat terpuruk pada tahun 2010. Kondisi yang hampir bersamaan juga terlihat pada pertumbuhan Belanja Daerah, dimana pada tahun 2001 Belanja Daerah Kabupaten Aceh Utara sebesar Rp 160,181 milyar dan terus mengalami pertumbuhan hingga mencapai Rp 1.611,235 milyar di tahun 2008 meskipun sempat terpuruk pada tahun 2004. Pada tahun 2009 Belanja Daerah Kabupaten Aceh Utara kembali menurun, yakni dari Rp 1.611,235 milyar (tahun 2008) ke Rp 1.352,233 milyar di tahun 2009. Penurunan ini terus berlangsung hingga mencapai Rp 847,164 di tahun 2012, meskipun sempat mengalami pertumbuhan positif di tahun 2011. Dari uraian di atas terlihat bahwa selama tahun 2001 hingga 2012, Pendapatan Asli Daerah
Tabel 1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Alokasi Belanja Daerah Kabupaten Aceh Utara Periode 2001 – 2012 PAD Thn.
Total
DAU Prtmbhn
Total
(%)
Belanja Daerah Prtmbhn
Total
2001
-
(Rp Milyar) 233,970
-
(Rp Milyar) 160,181
2002
21,821
0.74
200,592
-0.14
180,897
0.13
2003
37,774
0.73
149,120
-0.26
665,092
2.68
2004
38,029
0.01
199,895
0.34
733,629
0.10
2005
55,368
0.46
199,896
0.00
690,703
-0.06
2006
103,120
0.86
199,896
0.00
886,037
0.28
2007
119,858
0.16
203,868
0.02
1,066,064
0.20
2008
106,145
-0.11
224,975
0.10
1,611,235
0.51
2009
85,520
-0.19
226,981
0.01
1,352,233
-0.16
2010
38,504
-0.55
245,998
0.08
932,592
-0.31
2011
53,643
0.39
440,366
0.79
1,087,015
0.17
2012
73,277
0.37
612,599
0.39
847,164
-0.22
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (Diolah, 2013)
(%)
Prtmbhn
(Rp Milyar) 12,533
(%) -
222
ANDRIA ZULFA
(PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) memiliki hubungan searah dengan Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Aceh Utara. Dimana peningkatan PAD dan DAU akan memicu peningkatan Belanja Daerah di Kabupaten Aceh Utara. Sebaliknya penurunan PAD dan DAU akan memicu penurunan Belanja Daerah di Kabupaten Aceh Utara. Kondisi yang demikian ini relevan dengan hasil penelitian Maimunah (2006), Prakosa (2004), dan Syukry & Halim (2003), yang juga menunjukkan bahwa PAD dan DAU signifikan berpengaruh terhadap Belanja Daerah. Akan tetapi hasil penelitian Sari (2009) menunjukkan bahwa DAU berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah sedangkan PAD tidak. Berdasarkan rumusan fenomena di atas maka tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Aceh Utara. TINJAUAN PUSTAKA Pendapatan Asli Daerah (PAD) Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masingmasing. PAD mencerminkan local taxing power yang “cukup” sebagai necessary condition bagi terwujudnya otonomi daerah yang luas karena nilai dan proporsinya yang cukup dominan utuk mendanai daerah (Simanjuntak, 2005). Secara teoritis pengukuran kemandirian daerah diukur dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber PAD berasal dari pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengolahan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan lainlain pendapatan daerah yang sah. Penerimaan Pendapatan Asli Daerah merupakan akumulasi dari Pos Penerimaan Pajak yang berisi Pajak Daerah dan Pos Retribusi Daerah, Pos Penerimaan Non Pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, Pos Penerimaan Investasi serta Pengelolaan Sumber Daya Alam (Bastian, 2002). Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari
sumber ekonomi asli daerah. Identifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah meneliti, menentukan dan menetapkan mana sesungguhnya yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah dengan cara meneliti dan mengusahakan serta mengelola sumber pendapatan tersebut dengan benar sehingga memberikan hasil yang maksimal (Elita dalam Pratiwi, 2007). Kendala utama yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Proporsi Pendapatan Asli Daerah yang rendah, di lain pihak menyebabkan Pemerintah Daerah memiliki derajat kebebasan rendah dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan, dibiayai dari dana perimbangan, terutama Dana Alokasi Umum.Alternatif jangka pendek peningkatan penerimaan Pemerintah Daerah adalah menggali dari Pendapatan Asli Daerah (Pratiwi, 2007). Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Adapun kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi dua jenis pendapatan, yaitu (Halim, 2002): 1. Pajak Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak. 2. Retribusi Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi daerah. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil berdasarkan daerah penghasil cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Alokasi Dana Alokasi Umum bagi daerah yang potensi fiskalnya besar namun kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi Dana Alokasi Umum yang relatif kecil. Sebaliknya daerah yang memiliki potensi fiskalnya kecil namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi Dana alokasi Umum relatif besar. Dengan maksud melihat kemampuan
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
APBD dalam membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja pegawai (Halim, 2009). Dalam UU Nomor 32/2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemerintah daerah, Pemerintah pusat akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil yang terdiri dari pajak dan Sumber Daya Alam. Disamping Dana Perimbangan tersebut, Pemerintah Daerah memiliki sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dana transfer dari Pemerintah Pusat diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Menurut Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah dengan potensi daerah. Dana Alokasi Umum digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada. Alokasi Belanja Daerah Belanja Daerah adalah semua pengeluaran Pemerintah Daerah pada suatu periode Anggaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terdiri dari tiga komponen utama, yaitu unsur penerimaan, belanja rutin dan belanja pembangunan. Ketiga komponen itu meskipun disusun hampir secara bersamaan, akan tetapi proses penyusunannya berada di lembaga yang berbeda (Halim, 2002). Proses penyusunan APBD secara keseluruhan berada di tangan Sekretraris Daerah yang bertanggung jawab mengkoordinasikan seluruh kegiatan penyusunan APBD. sedangkan proses penyusunan belanja rutin disusun oleh Bagian Keuangan Pemerintah Daerah, proses penyusunan penerimaan dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah dan proses penyusunan belanja pembangunan
223
disusun oleh Bappeda (Dedy Haryadi et al, dalam Pratiwi, 2007). Menurut penelitian Pambudi (2007) belanja juga dapat dikategorikan menurut karakteristiknya menjadi dua bagian, yaitu: (1) Belanja selain modal (Belanja administrasi umum; Belanja operasi, pemeliharaan sarana dan prasarana publik; Belanja transfer; Belanja tak terduga). (2) Belanja modal. Sedangkan menurut Pambudi (2007), secara umum belanja dalam APBD dikelompokan menjadi lima kelompok, yaitu: 1. Belanja administrasi umum, yaitu semua pengeluaran Pemerintah Daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau pelayanan publik. 2. Belanja operasi, pemeliharaan sarana dan prasarana publik, yaitu semua pengeluaran Pemerintah Daerah yang berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik. 3. Belanja modal, yaitu semua pengeluaran Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan. 4. Belanja transfer, yaitu pengalihan uang dari Pemerintah Daerah kepada pihak ketiga tanpa adanya harapan untuk mendapatkan pengembalian imbalan maupun keuntungan dari pengalihan uang tersebut. Kelompok belanja ini terdiri atas pembayaran angsuran pinjaman, dana bantuan, dan dana cadangan. 5. Belanja tak tersangka, yaitu pengeluaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan tak terduga dan kejadian-kejadian luar biasa. Menurut Nurlan (2008) menyatakan bahwa belanja tidak terduga merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup. Kerangka Konseptual
224
ANDRIA ZULFA
Berdasarkan latar belakang dan landasan teori yang maka skema kerangka konseptual dalam penelitian ini yaitu :
Pendapatan Asli Daerah (X1) Dana Alokasi Umum (X2)
Alokasi Belanja Daerah (Y)
Gambar 1. Skema Kerangka Konseptual
Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara yang hendak diuji kebenarannya dengan melihat hasil analisis penelitian. Sekaran (2007) mengatakan bahwa hipotesis bisa didifinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hubungan tersebut diperkirakan berdasarkan jaringan asosiasi yang ditetapkan dalam kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi penelitian. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesisnya adalah: H1 : Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Alokasi Belanja Daerah (ABD) di Aceh Utara) . H2 : Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Alokasi Belanja Daerah (ABD). METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang bersifat time series, yaitu jumlah Pendapatan asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Alokasi Belanja Daerah di Kabupaten Aceh Utara selama periode pengamatan, yakni 12 tahun (mulai tahun 2001 hingga tahun 2012). Data-data ini diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah dan www.djkp.co.id.
Definisi Operasional Variabel 1. Pendapatan Asli Daerah (X1). PAD Kabupaten Aceh Utara adalah seluruh sumber keuangan daerah yang meliputi pajak daerah, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah di wilayah ini. Rasio Rupiah. 2. Dana Alokasi Umum (X2) DAU Kabupaten Aceh Utara adalah dana yang berasal dari APBN (Pemerintah Pusat) untuk pemerataan kemampuan keuangan dalam rangka mendanai kebutuhan daerah di wilayah ini. Rasio Rupiah. 3. Alokasi Belanja Daerah (Y) ABD Kabupaten Aceh Utara adalah seluruh belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dan tidak secara langsung oleh adanya dalam pelaksanaan program dan kegiatan daerah di wilayah ini. Rasio Rupiah Metode Analisis Data Dalam menganalisis data, lebih lanjut peneliti menggunakan bantuan pengolahan data SPSS (Statistical Package for Social Science). Dengan kecendrungan data linear maka digunakan spesifikasi Model Analisis Regresi Linier Berganda, yaitu: Y = α + β1 X1 + β2 X2 + ε Dimana: Y = Alokasi Belanja Daerah α = Konstanta X1 = Pendapatan Asli Daerah (PAD) X2 = Dana Alokasi Umum (DAU) β = Koefisien Variabel Independen ε = Error Term Uji Normalitas Menurut Ghozali (2006), uji normalitas digunakan untuk menyatakan apakah suatu data mengikuti sebagian normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov. Menurut Ghozali (2006), pedoman pengambilan keputusan dengan uji Kolmogorov Smirnov tentang data tersebut mendekati atau merupakan distribusi normal adalah jika nilai signifikan atau nilai probabilitas lebih kecil dari 5% maka distri-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
busi adalah tidak normal, sebaliknya jika nilai signifikan atau nilai probabilitas lebih besar 5% maka distribusi adalah normal. Namun jika data mengalami distribusi yang tidak normal, maka data-data mentah akan ditransformasikan kedalam bentuk Log atau LN atau bentuk lainnya. Uji Multikolinearitas Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel-variabel bebas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantar variabel bebasnya (Ghozali, 2006). Dalam penelitian ini teknik untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolonieritas adalah dengan cara mengamati nilai VIF dan tolerance . jika nilai VIF melebihi nilai 10 dan nilai tolerance kurang dari 0,10 maka model regresi yang diindikasikan terdapat multikolonieritas (Ghozali, 2006). Jika data-data terdeteksi mengalami heteroskedastisitas, maka data-data mentah akan ditransformasikan kedalam bentuk absolut dan selanjutnya ditransformasikan kedalam bentuk Ln (Ghozali, 2006). Uji Heteroskedastisitas Menurut Ghozali (2006), uji heteroskedastisitas menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika varians dan residual dari satu pengamatan ke pengamatan lain maka disebut homoskedastisitas, dan jika varians berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas. Deteksi adanya heterokedastisitas dapat dilakukan dengan melihat grafik Scatterplot. Dasar pengambilan keputusannya yaitu jika ada pola tertentu seperti titik-titik (poin-poin) yang membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka telah terjadi heteroskedastisitas dan jika tidak ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi berganda linier ada kore-
225
lasi antara kesalahan penganggu pada periode t dengan kesalahan penganggu pada periode t1(sebelumnya). Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Jika ada masalah autokorelasi, maka model regresi yang seharusnya signifikan, menjadi tidak layak untuk dipakai (Santoso, 2000). Autokorelasi dalam penelitian ini menggunakan uji statistik Durbin Watson. Singgih (2000), bila angka D-W diantara -2 sampai +2, berarti tidak terjadi autokorelasi. Menurut Ghozali (2006), untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi bisa menggunakan Uji Durbin-Watson (DW test) dengan pola pengambilan keputusannya. Pengujian Hipotesis Uji statistik pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas/ independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen dengan kriteria pengambilan keputusannya adalah: a. Jika thitung > ttabel atau jika nilai signifikansi < signifikansi alpha (α = 5%), maka H1, H2 diterima. Artinya, secara PAD (H1) dan DAU (H2) berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja Daerah. b. Jika thitung ≤ ttabel atau jika nilai signifikansi > signifikansi alpha (α = 5%), maka H1, H2 ditolak. Artinya, secara PAD (H1) dan DAU (H2) tidak berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja Daerah. HASIL PENELITIAN Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Aceh Utara Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Aceh Utara merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan yang diperoleh Pemerintahan Kabupaten Aceh Utara selama satu tahun anggaran yang berasal dari beberapa sumber, yaitu sumber pajak daerahnya, retribusi daerahnya, pendapatan lain-lain yang sah. Pertumbuhan jumlah PAD Kabupaten Aceh Utara selama periode pengamatan, yakni mulai tahun 2001 hingga 2012 terlihat pada Gambar 2.
226
ANDRIA ZULFA
Gambar 1. Pertumbuhan PAD Kabupaten Aceh Utara Periode 2001 – 2012
Gambar 2. Pertumbuhan DAU Kabupaten Aceh Utara Periode 2001 – 2012
Gambar 4. Pertumbuhan Jumlah ABD Kabupaten Aceh Utara Periode 2001 – 2012
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
Dari Gambar 2 tersebut terlihat bahwa ratarata Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Aceh Utara mengalami pertumbuhan positif selama periode pengamatan (2001 – 2012), kecuali pada tahun 2008 dan 2009 yang tumbuh secara negatif sebagai dampak krisis perekonomian dunia. Pertumbuhan PAD Kabupaten Aceh Utara tertinggi terjadi pada tahun 2006 yang mencapai 86,24% dari tahun sebelumnya dan pertumbuhan PAD terendah terjadi pada tahun 2010, yaitu mencapai -54,98% dari tahun sebelumnya. Perkembangan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Aceh Utara Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Aceh Utara merupakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat kepada Kabupaten ini sebagai tambahan pendapatannya dalam rangka penyelenggaraan program pembangunan nasional. Pada dasarnya, pengalokasian DAU bertujuan untuk membantu Pemerintah daerah dalam menjalakan pembangunan daerah serta untuk membendung ketimpangan keuangan antar daerah. Pertumbuhan DAU tersebut selama periode pengamatan terlihat dalam Gambar 3. Dari Gambar 3 tersebut terlihat bahwa selama periode pengamatan, rata-rata pertumbuhan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Aceh Utara positif setiap tahunnya, kecuali pada tahun 2002 dan 2003 yang mengalami pertumbuhan negatif. Pertumbuhan DAU tertinggi terjadi pada tahun 2011, yakni mencapai 79,01%, hal ini disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan nasional pasca pemulihan krisis perekonomian global. Sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2003 yang mencapai -25,66%, hal ini disebabkan oleh data kebutuhan fiskal dan data kapasitas fisikal disebabkan karena penambahan pegawai yang sangat signifikan. Perkembangan Alokasi Belanja Daerah Kabupaten Aceh Utara Belanja daerah Kabupaten Aceh Utara adalah semua pengeluaran kas Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam satu tahun anggaran yang digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran
227
dalam rangka pembangunan daerah tersebut. Selama periode pengamatan, yakni tahun 2001 hingga tahun 2012 jumlah belanja daerah kabupaten ini terindikasi mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pertumbuhan jumlah alokasi belanja daerah Kabupaten Aceh Utara selama tahun 2001 hingga 2012 terlihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4 terlihat bahwa pertumbuhan jumlah alokasi belanja daerah di Kabupaten Aceh Utara tertinggi terjadi pada tahun 2003, dimana pertumbuhannya mencapai 267,66% dari tahun 2002. Pertumbuhan yang sangat signifikan ini disebabkan oleh banyaknya jumlah pembiayaan terhadap sarana dan prasarana yang rusak selama konflik Aceh. Sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2010 yang mencapai -31%. Hasil Uji Normalitas Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov dengan kriteria keputusannya adalah jika nilai signifikansi atau Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari 5%, maka data-data yang digunakan dapat dinyatakan berdistribusi normal. Adapun hasil uji normalitas data dalam penelitian ini yang dilakukan dengan Kolmogorov Smirnov. Dari Tabel 2 terlihat bahwa seluruh data pada masing-masing variabel penelitian memiliki nilai Asymp. Sig. (2-tailed) > 5%. Dimana data Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki nilai Asymp. Sig (2-tailed) sebesar 0,934 (93,4%) > cronbach alpha (α = 5%), data Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 0,191 (19,1%) > α = 5%, dan data Alokasi Belanja Modal (ABM) sebesar 0,248 (24,8%). Oleh karena demikian, maka dapat dinyatakan bahwa seluruh data-data yang digunakan dalam penelitian ini berdistriusi normal dan dapat digunakan untuk proses analisis selanjutnya (regresi). Hasil Uji Multikolinearitas Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel-variabel bebas. Jika nilai VIF melebihi nilai 10 dan nilai tolerance kurang dari 0,10 maka model regresi yang diindikasikan terdapat multikolonieritas (Ghozali, 2006). Hasil uji multikolinearitas dalam penelitian ini seperti
228
ANDRIA ZULFA
Tabel 2 Hasil Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov PAD
DAU
N
ABM
12
12
12
10.8543
12.3931
13.4772
.68185
.38617
.71861
Absolute
.155
.313
.295
Positive
.109
.313
.139
Negative
-.155
-.230
-.295
Kolmogorov-Smirnov Z
.538
1.083
1.021
Asymp. Sig. (2-tailed)
.934
.191
.248
Normal Parameters(a,b)
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
Sumber: Hasil Penelitian (Data Diolah, 2013). Tabel 3 Hasil Uji Multikolinearitas Collinearity Statistics Tolerance VIF 0.982 1.018 0.982 1.018
Model Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU)
Sumber: Hasil Penelitian (Diolah, 2013) Tabel 4 Hasil Uji Autokorelasi Model
R
1
Adjusted R Square
R Square
.875(a)
.766
Std. Error of the Estimate
.713
Durbin-Watson
.38470
1.396
Sumber: Hasil Penelian (Data Diolah, 2013) Tabel 5 Koefisien Korelasi dan Determinasi Model
R
1
R Square .875
Adjusted R Square
.776
.713
Std. Error of the Estimate .38470
Sumber: Hasil Penelitian (2013)
Regression Standardized Predicted Value
Scatterplot Dependent Variable: ABM 1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 -1.5 -2.0 -2.5 -1.5
-1.0
-.5
0.0
.5
1.0
Regression Standardized Residual
Gambar 4. Grafik Scatterplot (Hasil Uji Heteroskedastisitas)
1.5
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
terlihat pada Tabel 2, menggambarkan bahwa semua variabel bebas memiliki nilai tolerance lebih besar dari 0,10 dan nilai VIF-nya kurang dari 10. Dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) sama-sama memiliki nilai tolerance sebesar 0,982 > 0,10 dan nilai VIF-nya sebesar 1,018 < 10. Oleh karena demikian, maka seluruh data variabel bebas dapat dinyatakan bebas dari gejala multikolinearitas. Hasil Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan lain (Ghozali, 2006). Adapun hasil pengujian hetroskedastisitas dalam penelitian ini terlihat pada Gambar 5. Dari Gambar 5 terlihat bahwa titik-titik tersebar secara tidak beraturan sehingga tidak terdeteksi adanya pola tertentu. Disamping itu, penyebaran titik-titik berada di atas dan di bawah nilai 0 pada sumbu Y. Oleh karena demikian, maka data-data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dinyatakan tidak terjadi heteroskedastisitas sehingga dapat digunakan untuk proses analisis berikutnya. Hasil Uji Autokorelasi Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara residual pada satu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi (Widarjono, 2009). Prasyarat yang harus terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model regresi. Metode pengujian yang sering digunakan adalah dengan uji Durbin-Watson (uji DW). Dari Tabel 4 terlihat bahwa nilai DurbinWatson (DW) sebesar 1,396. Berdasarkan Tabel DW dengan kepercayaan sebesar 5%, maka nilai
229
dL sebesar 1,1776 dan nilai dU sebesar 1,9399 sehingga 4-dL adalah 2,8224 dan 4-dU adalah 2,0601. Oleh karena demikian, maka nilai DW (1,396) berada diantara nilai dU (1,1776) dan nilai 4-dU (2,0601) sehingga dapat disimpulkan bahwa data-data yang digunakan dalam penelitian ini terbebas dari gejala autokorelasi. Hasil Analisis Korelasi dan Determinasi Untuk melihat hubungan variabel bebas dengan variabel terikat serta besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat, maka dapat diketahui melalui nilai koefisien korelasi dan determinasi. Dari Tabel 6 diketahui bahwa nilai korelasi (R) sebesar 0,875 yang menunjukkan kuatnya hubungan antara variabel independen (PAD dan DAU) dengan variabel dependen (alokasi belanja daerah) sebesar 87,5%. Sedangkan koefisien determinasi ditunjukkan oleh nilai R Square sebesar 0,776 artinya, PAD dan DAU mampu menjelaskan jumlah alokasi belanja daerah di Kabupaten Aceh Utara sebesar 77,6% sedangkan sisanya yaitu 22,4% (100% - 77,6%) dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini, seperti dana hibah atau dana bantuan, hutang, dan sebagainya. Hasil Pengujian Hipotesis Pebgujian hipotesis dengan menggunakan Uji t (parsial) bertujuan untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) secara individual terhadap alokasi belanja daerah di Kabupaten Aceh Utara. Adapun hasil pengujian secara parsial (uji t) dalam penelitian ini terlihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki nilai thitung (5,305) > ttabel (2,201) atau nilai signifikansinya (0%) < α (5%) sehingga H1 diterima, artinya PAD
Tabel 6 Hasil Pengujian secara Parsial (Uji t) Model (Constant)
Unstandardized Coefficients B Std. Error
Standardized Coefficients Beta
T
Sig.
2.119
3.965
.534
.606
PAD
.911
.172
.864
5.305
.000
DAU
.119
.303
.064
.392
.704
Sumber: Hasil Penelitian (Data Diolah, 2013)
230
berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja daerah di Kabupaten Aceh Utara. Oleh karenanya, jika PAD meningkat maka alokasi belanja daerah pun akan meningkat atau penurunan PAD akan memicu penurunan belanja daerah. Dalam literatur ekonomi dan keuangan daerah, hubungan Pendapatan dan Belanja Daerah didiskusikan secara luas sejak akhir dekade 1950an dan berbagai hipotesis tentang hubungan diuji secara empiris menyatakan bahwa pendapatan mempengaruhi belanja. Sementara studi tentang pengaruh grants dari Pemerintah Pusat terhadap keputusan pengeluaran atau Belanja Pemerintah Daerah sudah berjalan lebih dari 30 tahun (Prakosa, 2004). Holtz-Eakin, et al (dalam Prakosa, 2004) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari Pemerintah Pusat dengan Belanja Pemerintah Daerah. Sementara Dana Alokasi Umum (DAU) memiliki nilai thitung (0,392) < ttabel (2,201) atau nilai signifikansinya (0%) < α (5%) sehingga H2 ditolak, artinya DAU tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja daerah di Kabupaten Aceh Utara. Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan sumber pendapatan penting bagi sebuah daerah dalam memenuhi belanjanya. Dana Alokasi Umum (DAU) ini sekaligus dapat menujukan tingkat kemandirian suatu daerah. Semakin banyak Dana Alokasi Umum yang diterima maka berarti daerah tersebut masih sangat tergantung terhadap Pemerintah Pusat dalam memenuhi belanjanya, ini menandakan bahwa daerah tersebut belumlah mandiri, dan begitu juga sebaliknya (Pambudi, 2007). Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan untuk Kabupaten Aceh Utara dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan. Jaminan keseimbangan penyelenggaraan Pemerintah Daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat. Oleh karenanya, DAU merupakan sumber dana yang dominan dan dapat meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Sebagai tujuan dari desentralisasi yaitu untuk mempercepat pembangunan disamping itu tetap memaksimalkan potensi daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Kondisi yang demikian cenderung relevan
ANDRIA ZULFA
dengan hasil kajian Prakosa (2004) yang menunjukkan bahwa selama periode pengamatannya Dana Alokasi Umum (DAU) memiliki posisi yang kurang dominan dalam menentukan alokasi belanja daerah di Yogyakarta dan Jawa Tengah, karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) jauh lebih tinggi dari DAU-nya. Namun untuk tahun-tahun berikutnya DAU akan lebih dominan berpengaruh terhadap alokasi belanja daerah di kedua daerah tersebut, karena munculnya berbagai bentuk peraturan daerah tentang pajak dan retribusi daerah mungkin merupakan indikasi untuk “mengimbangi” pendapatan yang bersumber dari Pemerintah Pusat (salah satunya DAU). KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan, yaitu: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja daerah di Kabupaten Aceh Utara selama periode 2001 – 2012. Pendapatan Asli Daerah secara positif dan signifikan dalam mempengaruhi alokasi belanja daerah ini disebabkaan rata-rata PAD selama priode pengamatan tumbuh secara positif, sehingga memungkinkan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara untuk meningkatkan jumlah program-program daerah demi terlaksananya pembangunan daerah yang akan membawa pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, sehingga dengan meningkatnya program-program tersebut secara otomatis akan meningkatkan jumlah alokasi belanja daerahnya. b. Dana Alokasi Umum (DAU) tidak berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja daerah di Kabupaten Aceh Utara selama periode 2001 – 2012. karena DAU masih menjadi komponen utama bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara dalam hal pembiayaan program-program pemerintah. Dengan kata lain, selama periode pengamatan PAD Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara belum mampu sepenuhnya membiayai program pembangunan secara mandiri, meskipun Kabupat-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
en Aceh Utara merupakan daerah otonomi dan memiliki sumber daya alam yang berlimpah, tetapi masih dikendalai oleh berbagai masalah, seperti iklim politik yang belum sepenuhnya stabil, bencana alam, dan kebijakan-kebijakan teradap perusahaan multinasional yang saat ini beroperasi di wilayah ini. Namun demikian, jumlah DAU yang masuk kedalam APBD Kabupaten Aceh Utara selama periode pengamatan belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. SARAN Adapun saran penulis atas hasil penelitian ini adalah: a. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara Untuk dapat menjalankan desentralisasi atau otonomi daerah dalam rangka program pembangunan daerah khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya, maka Pemerintah Kabupaten Aceh Utara agar memaksimalkan potensi daerah sehingga dapat mendongkrak jumlah PAD-nya serta dalam penggunaannya juga diatur dengan seefisien mungkin. Disamping itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara juga perlu mengusulkan kepada Pemerintah Pusat agar jumlah
231
DAU ditingkatkan karena dengan peningkatan tersebut secara otomatis akan sangat membantu PAD dalam menjalankan program-program daerah. Akan tetapi, sebaiknya Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara agar tidak selalu mengandalkan DAU sehingga kebijakan otonomi yang berlaku dapat terlaksana dengan baik. Jika prosentase penggunaan DAU mengalami penurunan, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara berhasil dalam menggali segala potensi yang dimilikinya secara mandiri. b. Bagi Peneliti Berikutnya Mengingat hasil koefisien determinasi sebesar 77,6% yang menunjukkan bahwa variansi PAD dan DAU mampu menjelaskan alokasi belanja daerah di Kabupaten Aceh Utara sebesar 77,6%, artinya masih terdapat 22,4% faktor lain yang juga dapat menjelaskan variansi variabel dependen, maka peneliti lebih lanjut agar menambahkan faktor-faktor lain, seperti ukuran atau jenis-jenis pendapatan daerah lainnya atau dapat pula menambah (mengkombinasikan) dengan variabel-variabel nonkeuangan, seperti kebijakan dan peraturan, partisipasi dalam penganggaran, dan kondisi makro ekonomi.
232
ANDRIA ZULFA
REFERENSI Arif, Bahtiar. (2002). Akuntansi Pemerintahan. Salemba Empat. Jakarta Arifin, Bustanul dan Didik J. Rachbini. (2001). Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. PT. Grasindo. Jakarta. Bastian, Indra. (2002). Sistem Akuntansi Sektor Publik. Salemba Empat. Jakarta. Brahmantio (2002). Analisis Kebijakan Fiskal pada Era Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi dan Keuangan. Vol. 6, No. 1. Darwanto dan Yustikasari, Yulia, Pengaruh pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum terhadap pengalokasian anggaran belanja modal, Makalah disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas Hassanudin, Makassar, 26-28 Juli 2007. Ghozali, Imam. (1997). Pokok-pokok Akuntansi Pemerintahan. Edisi Keempat. BPFE. Yogyakarta. ____________. (2006). Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS. Edisi Keempat. Badan Penerbitan Universitas Diponegoro. Semarang. Halim, Abdul. (2009). Problem Desentralisasi dan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat – Daerah. Sekolah Pascasarjana UGM. Yogyakarta. ___________. (2007). Akuntansi Sektor Publik : Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Ketiga. Salemba Empat. Jakarta. ____________. (2002). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Maimunah, Mutiara. (2006). Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang. Mardiasmo. (2002). Otonomi Dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Andi: Yogyakarta. _________. (2009). Akuntansi Sektor Publik. Edisi Keempat. Andi. Yogyakarta. Nafarin, M. (2001). Penganggaran Perusahaan. Salemba Empat. Jakarta. Nurlan, Darise. (2008). Akuntansi Keuangan Daerah. Penerbit PT. Indeks:. Jakarta. Nurul, Aisyiyah. (2008). Analisis Kinerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Sebelum dan Sesudah Pemberlakuan Pemendagri Nomor 13 Tahun 2006 Studi Pada Pemerintah Kabupaten Kudus. Tesis (Tidak dipublikasikan). Fakultas Ekonomi UNDIP. Semarang. Pambudi, Triwidodo. (2007). Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Bali. Tesis. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
233
Prakosa, Bambang. (2004). Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Prediksi Belanja Daerah (studi kasus Empirik di Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan DIY). Jurnal Ekonomi dan Keuangan. Vol. 3, No. 1. Pratiwi, Novi. (2007). Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Prediksi Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota di Indonesia. Skripsi Sarjana (dipublikasikan). Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta. Puspita, Sari. (2009). Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Dan Pendaptan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Langsung. Universitas Sumatera Utara, Medan. Santoso, Singgih. (2000). Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Elex Media Komputindo. Jakarta. Sukriy dan Halim Abdullah. (2004). Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Jawa dan Bali. Simposium Nasional Akuntansi VI:1140-1159, Surabaya 16-17 Oktober 2003. Warsito, Kawedar, Abdulrohman, dan Sri Handayani. (2008). Akuntansi Sektor Publik: Pendekatan Penganggaran Daerah dan Akuntansi Keuangan daerah. Badan Penerbit Undip. Semarang. Yuwono, Sony dkk. (2005). Penganggaran Sektor Publik Pedoman Praktis Penyusunan, Pelaksanaan, dan Pertanggungjawaban APBD (Berbasis Kinerja). Bayumedia. Malang. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. ________________,Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. ________________,Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. ________________,Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintah. ________________,Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. ________________,Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 Tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan keuangan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. ________________, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008. ________________, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. ________________, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009
234
ANDRIA ZULFA
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, 3, Juli 2014 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 15, Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 1412 – 968X Hal. 235-242
235
PENGARUH INDEK BURSA DUNIA TERHADAP INDEK SAHAM DI BURSA EFEK INDONESIA
CHAIRIL AKHYAR, NURHADI, GHAZALI SYAMNI, DAN ANWAR PUTEH Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
The purpose of this study was to examine the influence of the world stock price index of the composite stock price index in Indonesia Stock Exchange. The data used is the monthly index for the year 2009-2012 from the JCI index, KLCI, STI, HSI, KOSPI, N255, ASX, FTSE, and HSI. Methods of data analysis using multiple regression models and processed using SPSS 17.0. The research found that indices of Australia, London and America did not affect the JCI, while the KLCI index, STI, HSI, KOSPI, and the N225 effect on JCI. Keywords: examine, world, index, JCI
236
CHAIRIL AKHYAR, NURHADI, GHAZALI SYAMNI, DAN ANWAR PUTEH
LATAR BELAKANG Wacana integrasi pasar modal semakin didengunkan beberapa tahun belakangan ini. Integrasi pasar modal dapat mereferensi seorang investor di suatu negara, dapat membeli dan menjual tanpa pembatasan, surat berharga yang dikeluarkan di negara lain. Implikasinya adalah bahwa harga surat-surat berharga yang identik akan sama setelah disesuaikan dengan nilai kurs mata uang yang berlaku. (Pieper dan Vogel, 1997). Meskipun, umumnya untuk bursa-bursa saham yang berdekatan lokasinya, seringkali memiliki investor yang sama (Chabachib dan Witjaksono, 2011). Banyak Penelitian menemukan hasil yang berbeda berkaiatan dengan studi ini. Muzammil (2011); Maskie dan Satria (2003); Mansur (2002) menemukan bahwa bursa saham suatu negara sangat dipengaruhi oleh bursa saham lainnya.. Sedangkan Maskie dan Satria (2003) mengatakan bahwa indek KLSE, PSE, STI, dan SET, secara simultan berpengaruh signifikan terhadap IHSG Namun secara parsial hanya KLSE dan STI yang berpengaruh terhadap IHSG. Saputro (2009) menunjukkan bahwa secara simultan kelima indek global berpengaruh terhadap IHSG, namun secara parsial hanya Dow Jones, KOSPI, dan STI yang mempengaruhi IHSG di Bursa Indonesia. Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keterkaitan indek dunia dengan Indek Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia terus mengalami perubahan setiap tahunnya. Berdasarkan data www.yahoofinance.com memang menunjukkan ada perubahan IHSG selama satu 4 tahun terakhir mulai dari tahun 2009-2012. Berdasarkan uraian singkat tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh indek bursa dunia terhadap indek saham di Bursa Efek Indonesia LITERATUR Integrasi Pasar Modal Pasar terintegrasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tidak adanya hambatan (Husnan, 1996). Menurut Eitment, et. al (2006) mengatakan, integrasi pasar adalah keadaan harga-harga saham di berbagai pasar modal di dunia mempu-
nyai hubungan yang sangat dekat, sehingga pasar modal di dunia dapat mencapai suatu harga internasional atas saham-saham mereka dan memberikan akses yang tidak terbatas atau hambatan apapun kepada para investor diseluruh dunia untuk memilikinya. Onay (2007); Bodie. et. al. (2005) menyatakan bahwa korelasi antar bursa bervariasi dari waktu ke waktu, Korelasi ini penting bagi keputusan diversifikasi portofolio. Dengan demikian, disimpulkan terintegrasi pasar modal dunia berhubungan erat satu sama lain, dan mempengaruhi naik turunya nilai saham di setiap bursa. Karena menghasilkan risiko dan return yang sama besarnya di seluruh pasar modal didunia yang pada akhirnya memberikan kebebasan para investor untuk menanamkan investasinya di pasar modal. Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Variabel Ekonomi Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) mengambil hari dasar tanggal 10 Agustus 1982 dan mengikutsertakan semua saham yang tercatat di BEI. IHSG diperkenalkan pertama kali pada tanggal 1 April 1983 yang digunakan sebagai indikator pemantauan pergerakan saham. Indek ini mencakup semua saham biasa maupun saham preferen di BEI. Sejak tanggal 1 Desember 2007, Bursa Efek Jakarta digabung dengan Bursa Efek Surabaya menjadi Bursa Efek Indonesia. Oleh karena itu IHSG BEJ kemudian berubah menjadi IHSG sejak penggabungan tersebut. Dalam perkembangannya pasar modal dan IHSG sangat dipengaruhi variabel ekonomi makro. Pasar modal mencerminkan kejadian pada perekonomian makro ekonomi karena nilai investasi ditentukan opleh aliran kas yang diharapkan serta return yang disyaratkan atas suatu investasi. Namun kedua faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan ekonomi makro (Tandelilin, 2010). Selanjutnya, Tandelilin (2010) menyebutkan variabel ekonomi makro tersebut antara lain produk domestik bruto, tingkat pengangguran, inflasi, tingkat bunga, nilai rupiah, anggaran defisit, investasi swasta dan neraca perdagangan. Kondisi makro perekonomian suatu negara merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan yang ada di ne-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
gara tersebut khususnya perusahaan yang termasuk dalam bursa di suatu negara (Samsul, 2008). Indek Bursa Saham Dunia dan IHSG Keterkaitan pasar modal Indonesia dengan pasar modal luar negeri dimulai setelah diperbolehkannya para investor untuk ikut menguasai saham-saham yang tercatat di BEI. Investasi portofolio asing berperan sangat penting di pasar modal manapun (Mobius, 1998). Walaupun investor domestik meningkat tetapi terdapat kebiasaannya investor domestik sering mengekor investor asing atau setidaknya investor domestik menggunakan perilaku investor asing sebagai acuan (Cahyono, 2000). Beberapa indek bursa saham dunia yang telah diuji pengaruhnya terhadap Indek Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia. Indek tersebut antara lain; Indek Bursa Malaysia (Kuala Lumpur Composite Index/ KLCI), Indek Bursa Singapore (Strait Times Index / STI), Indek Bursa Hongkong (Hang Seng Index / HSI), Indek Bursa Korea Selatan (KOSPI), Indek Bursa Tokyo (Nikkei 225/ N225), Indek Bursa Australia (Australia Securities Index/ ASX), Indek Bursa London (Financial Times Securities Exchange/ FTSE) dan Indek Bursa New York (Dow Jones Index / DJI). Berdasarkan hasil empiris tersebut maka dapat dikatakan bahwa selain karakteristik unik industri dan emiten, bursa saham asing adalah faktor
penting yang harus dipertimbangkan, terutama investor yang menggunakan strategi indek dalam berinvestasi METODE PENELITIAN Jenis data yang diambil dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2009-2012 diambil dari Indek Harga Saham Gabungan (IHSG), Kuala Lumpur Composite Index (KLCI), Hang Seng Index (HSI), Korea Composite Stock Price Index (KOSPI), Strait Times Index (STI), Nikkei 225 (N225), Australia Securities Index (ASX), Financial Times Securities Exchange (FTSE), dan Dow Jones Index (DJI) yang berupa indek penutupan (clossing price) bulanan. Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari publikasi masing-masing bursa terkait dan melalui publikasi www. yahoo.finance.com. Tentu saja bursa dunia yang diamati adalah bursa yang berhubungan kuat dengan Bursa Efek Indonesia. Dalam penelitian ini maksudnya didasarkan pada pengamatan terhadap hubungan perekonomian antar negara yang bersangkutan dan atas dasar berbagai hasil kajian terdahulu. Variabel penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah variabel dependen yaitu IHSG. Sedangkan variabel independen yaitu KLCI (X1), STI (X2), Hang Seng
Tabel 1 Indek dunia dan IHSG Tahun
KLSE
STI
2009
1,272.78
2,897.62
21,872.50
2010
1,518.91
3,190.04
23,035.45
2011
1,530.73
2,646.35
18,434.39
2012 Tahun
1,688.95 KOSPI
3,167.08 Nikkei 225
22,656.92 ASX
2009
1,682.77
10,546.44
4,882.70
2010
2,051.00
10,228.92
4,846.90
2011
1,825.74
10,100.00
4,111.00
2012 Tahun
1,997.05 FTSE
10,395.18 Dow Jones
4,664.60 IHSG
2009
5,412.90
11,746.10
1,748.84
2010
5,899.90
13,443.20
2,133.70
2011
5,572.30
11,955.10
2,174.59
2012
5,897.80
12,433.50
2,362.33
Sumber: yahoofinance.com
237
Hang Seng
238
CHAIRIL AKHYAR, NURHADI, GHAZALI SYAMNI, DAN ANWAR PUTEH
(X3), indek KOSPI (X4), indek Nikkei 225 (X5), indek ASX (X6), indek FTSE (X7), dan DJI (X8). Semua variabel penelitian diukur dalam ukuran rasio. Rasio tersebut diperoleh dengan perbandingan nilai penutupan indek bulan ini dengan mengurangi indek penutupan bulan sebelumnya dan membagikan dengan indek penutupan bulan sebelumnya. Metode Analisis Data Dalam menganalisis data penelitian ini menggunakan regresi linier berganda, dimana data diolah dengan bantuan pengolahan data SPSS 16. Dan model persamaannya: Y = α + β1.X1 + β2.X2 + β3.X3 + β4.X4 + β5.X5 + β6.X6 + β7.X7 + β8.X8 + ε Dimana: Y = Indek Harga Saham Gabungan (IHSG). α = Konstanta β = Koefisien Variabel X. X1 = Kuala Lumpur Composite Index (KLCI) X2 = Strait Times Index (STI) X3 = Hang Seng Index (HSI) X4 = Korea Composite Stock Price Index (KOSPI) X5 = Nikkei 225 (N225) X6 = Australia Securities Index (ASX) X7 = Financial Times Securities Exchange (FTSE) X8 = Dow Jones Index (DJI) ε = Term Error
PEMBAHASAN Dari hasil regresi linear berganda dalam penelitian ini seperti yang terlihat pada Tabel 2, maka dapat disusun persamaan regresi linear berganda, yaitu sebagai berikut: Y = 0,012 + 0,405 X1 + 0,013 X2 + 0,276 X3 + 0,530 X4 + 0,019 X5 – 0,003 X6 – 0,002 X7 + 0,008 X8 + ε Dari persamaan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa: 1. Koefisien konstanta positif 0,012 menunjukkan kemungkinan Indek Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia tanpa dipengaruhi oleh indek bursa saham dunia. Artinya, tanpa dipengaruhi indek bursa dunia, IHSG bergerak naik 1,2% setiap bulannya. 2. Koefisien β1 positif 0,405 menunjukkan adanya pengaruh searah antara Kuala Lumpor Composite Index dengan Indek Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia. Artinya, jika KLCI meningkat sebesar 1% per bulan, maka IHSG akan meningkat sebesar 40,5% per bulannya. 3. Koefisien β2 positif 0,013 menunjukkan adanya hubungan antara Strait Times Index (STI) di Bursa Singapore dengan Indek Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Artinya, jika STI meningkat sebesar 1% per bulannya, maka IHSG akan meningkat sebesar 1,3% setiap bulannya.
Tabel 2 Hasil Regresi Model (Constant) KLCI STI HIS KOSPI N225 ASX FTSE DJI
Unstandardized Coefficients B Std. Error .012 .005 .405 .155 .013 .006 .276 .118 .530 .095 .019 .006 -.003 .007 -.002 .003 .008 .172
Sumber. Data diolah,2013
Standardized Coefficients Beta .244 .161 .277 .544 .241 -.032 -.065 .005
t
Sig.
2.514 2.603 2.144 2.329 5.550 2.940 -.423 -.769 .045
.016 .013 .038 .025 .000 .005 .675 .447 .965
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
4. Koefisien β3 positif 0,276 menunjukkan bahwa adanya hubungan antara Hang Seng Index (STI) dengan Indek Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia. Artinya, jika bahwa HSI meningkat sebesar 1%, maka IHSG akan naik sebesar 27,6% per bulan. 5. Koefisien β4 positif 0,530 menunjukkan hubungan searah antara Korea Composite Stock Price Index (KOSPI) dengan Indek Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia. Artinya, jika KOSPI meningkat sebesar 1%, maka IHSG akan meningkat sebesar 53,0% setiap bulannya. 6. Koefisien β5 positif 0,019 menunjukkan hubungan searah antara Nikkei 225 (N225) dengan Indek Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia Artinya, jika Nikkei 225 meningkat sebesar 1%, maka IHSG akan meningkat sebesar 1,9% per bulan. 7. Koefisien β6 negatif 0,003 menunjukkan adanya hubungan berlawanan arah antara Australia Securities Index (ASX) dengan Indek Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia. Artinya, jika bahwa ASX meningkat sebesar 1%, maka IHSG akan turun sebesar 0,3% setiap bulannya. 8. Koefisien β7 negatif = 0,002 yang juga menunjukkan adanya hubungan yang berlawanan arah (non-linear) antara Financial Times Stock Exchange (FTSE) di Bursa London (London Stock Exchange / LSE) dengan Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Artinya, jika diasumsikan bahwa FTSE naik sebesar 1%, maka secara bersamaan IHSG akan turun sebesar 0,2% setiap bulannya. 9. Koefisien β8 positif 0,008 menunjukkan adanya hubungan searah antara Dow Jones Index (DJI) dengan Indek Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia. Jika diasumsikan bahwa DJI di NYSE meningkat sebesar 1%, maka peningkatan ini akan memicu peningkatan IHSG di BEI sebesar 0,8% setiap bulannya. Pengaruh indek bursa dunia terhadap indek harga saham gabungan Indonesia Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa hanya variabel atau indek Bursa Australia,
239
Financial Times Securities Exchange di Bursa London dan Dow Jones Index di Bursa New York yang tidak bepengaruh terhadap IHSG di Bursa Indonesia. Sedangkan indek lainnya mempengaruhi indek IHSG. Kuala Lumpur Composite Index (KLCI) memiliki nilai signifikansinya 0,013 atau (5%) sehingga menolak Ho dan menerima Ha, artinya indek Bursa Malaysia, yaitu KLCI berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa efek Indonesia (BEI). KLCI meningkat maka IHSG pun akan meningkat atau penurunan KLCI memicu penurunan IHSG. Kondisi ini sangat relevan karena letak Indonesia dan Malaysia yang sangat berdekatan serta banyak penduduk Indonesia yang berada di Malaysia dan banyak pula penduduk Malaysia yang berada di Indonesia, sehingga memungkinkan terdapat investor yang sama di Bursa Efek Indonesia maupun di Bursa Malaysia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chabachib dan Witjaksono (2011), yang menyatakan bahwa pada umumnya untuk bursa-bursa saham yang berdekatan lokasinya seringkali memiliki investor yang sama. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil kajian Muzammil (2011) serta Maskie dan Satria (2003), yang menunjukkan bahwa KLCI berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Indek Bursa Singapore (Singapore Stock Exchange/ SSE), nilai signifikansinya 0,038 atau (5%). artinya indek Bursa Singapore berpengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG di BEI. Dengan kata lain, peningkatan STI menambah IHSG di BEI. Sama halnya dengan Bursa Malaysia, dimana letak Indonesia dan Singapore juga sangat berdekatan serta banyak penduduk Indonesia yang berada di Singapore dan banyak pula penduduk Singapore yang berada di Indonesia, sehingga memungkinkan terdapat investor yang sama di Bursa Efek Indonesia maupun di Bursa Singapore. Hasil kajian ini sesuai dengan Muzammil (2011); Maskie dan Satria (2003. Indek Bursa Hongkong, Hang Seng Index (HSI) nilai signifikansinya 0,02,5 atau 5% sehingga artinya indek Bursa Hongkong berpengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG di BEI. Dengan kata lain, peningkatan HSI di HSE meningkatkan IHSG di BEI. Kondisi ini dapat terjadi ka-
240
CHAIRIL AKHYAR, NURHADI, GHAZALI SYAMNI, DAN ANWAR PUTEH
rena Bursa Hongkong merupakan salah satu bursa yang tegolong maju di kawasan Asia, meskipun lokasi Hongkong tidak dalam satu kawasan dengan Indonesia. Temuan ini sesuai Chabachib dan Witjaksono (2011), Mansur (2008), yang mengatakan HSI berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Indek Bursa Korea Selatan, KOSPI memiliki signifikansinya (0,00 atau < α (1%). Artinya KOSPI berpengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG. Peningkatan KOSPI meningkatkan IHSG di BEI. Alasannya, Bursa Hongkong dan Bursa Korea Selatan juga tergolong maju di kawasan Asia sehingga kondisi ini relevan dapat terjadi. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Mansur (2008) yang menunjukkan bahwa KOSPI berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Indek Bursa Tokyo yaitu Nikkei 225 (N225) memiliki nilai signifikansinya (0,05%) < α (5%) sehingga indek Bursa Tokyo berpengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG di BEI. Dengan kata lain, peningkatan N225 akan menambah nilai IHSG di BEI. Bursa Tokyo merupakan bursa tergolong maju bahkan termaju di kawasan Asia. Disamping itu, hubungan perekonomian Indonesia dengan Jepang juga sangat tinggi, dimana Jepang bertindak sebagai sumber produksinya Indonesia dan Indonesia bertindak sebagai pangsa pasarnya Jepang. Peningkatan perekonomian Jepang secara otomatis meningkatkan N225, sehingga perekonomian Indonesia juga akan meningkat ditandai oleh meningkatnya IHSG. Hasil penelitian ini sesuai dengan Saputro (2009) dan Mansur (2008) yang menunjukkan bahwa N225 berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Indek Bursa Australia nilai signifikansinya (0,67) lebih besar 5%. Indek Bursa Australia yaitu ASX berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap IHSG di BEI. Dengan kata lain, peningkatan ASX tidak sepenuhnya menyebabkan IHSG di BEI turun. Hasil penelitian ini cenderung tidak sejalan dengan pernyataan Chabachib dan Witjaksono (2011), yang menyatakan bahwa umumnya bursa-bursa yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja bursa efek lainnya adalah bursa efek yang tergolong maju. Disamping itu, hasil penelitian ini juga cenderung kurang konsisten dengan hasil penelitian Mansur (2002), yang men-
yatakan bahwa ASX berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Hal ini dapat terjadi karena penelitian ini dilakukan pada Januari 2009 hingga Desember 2012, dimana dampak krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008 masih dirasakan oleh seluruh negara khususnya negara maju dan pada tahun 2009 juga meletusnya krisis Eropa serta naikknya harga minyak dunia.. Indek Bursa London yaitu Financial Times Securities Exchange memiliki nilai signifikansinya (0,447%) > (5%). Dengan kata lain, peningkatan FTSE di LSE tidak sepenuhnya memnyebabkan IHSG di BEI turun. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan pernyataan Chabachib dan Witjaksono (2011) tetapi sesuai Saputro (2009) yang menyatakan bahwa FTSE tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Indek Bursa New York yaitu Dow Jones Index (DJI) memiliki nilai signifikansinya 0,96,5 atau > 5%, artinya indek Bursa New York, DJI berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap IHSG di BEI. Dengan kata lain, peningkatan DJI di NYSE tidak menyebabkan IHSG di BEI meningkat. Hasil penelitian konsisten dengan Mansur (2002) menyatakan DJI tidak berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Namun, penelitian berbeda dengan Saputro (2009) menyebutkan DJI berpengaruh signifikan terhadap IHSG, meskipun hubungan perekonomian Indonesia dengan Amerika Serikat dan pasar saham keduanya sangat erat KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa hanya 3 indek dunia yang tidak memopengaruhi indek harga saham gabungan di BEI. Indek tersebut adalah indek Australia, indek London dan indek Amerika. Temuan tersebut disebabkan pada waktu penelitian ini dilakukan menggunakan data dari tahun 2009-2012. Pada tahun tersebut kondisi di negara tersebut terjadinya krisis Eropa dan krisis mata uang dan krisis Amerika. Di samping itu, berdasarkan temuan di atas disarankan kepada investor baik asing dan domestik untuk mempertimbangkan bursa indonesia sebagai tujuan investasi. Indek-indek negara yang memiliki pengaruh dengan indek indonesia sebai-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
knya mendifersivikasi investasinya karena tidak memiliki risiko investasi yang berbeda. Namun tidak juga menafikan indek lainnya. Selanjutnya, penelitian ke depan perlu ditambahakan variabel ekonomi seperti tingkat bunga, inflasi namun dijadikan sebagai variabel moderasi karena inflasi setiap negara berbeda.
241
242
CHAIRIL AKHYAR, NURHADI, GHAZALI SYAMNI, DAN ANWAR PUTEH
REFERENSI Bodie, Z, Alex Kane, and A.J. Marcus. (2005). Investment. Edisi Keenam. Salemba Empat. Jakarta. Cahyono, Jaka E. 2000. 22 Strategi dan Teknik Meraih Untung di Bursa Saham, Jilid 1. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Chabachib, H. M., dan Ardian A. Witjaksono, 2011. Analisis Pengaruh Fundamental Makro dan Indeks Harga Global terhadap IHSG, Jurnal: Karisma, Vol.5(2): hal 63-72 Eiteman, D.K., Arthur I. StonehiLL and Michae H. Moffet. (2006). Multinational Business Finance. 11th Edition. Pearso Addison Wesley Publishing. Husnan, Suad. (1996). Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. Edisi Pertama. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Mansur, Muhammad. (2002). Pengaruh Indeks Bursa Global terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Bursa Efek Jakarta Periode Tahun 2000-2002. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. FE-Universitas Padjajaran. Bandung. Maskie. R. dan Satria, M. (2003). Pengaruh Indeks Saham Malaysia, Philippines, Singapore, dan Tahiland terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Bursa Efek Indonesia. Jurnal Akuntansi. FE-UKPS. Surabaya. Muzammil. (2011). Analisis Pengaruh Indeks Saham Asia Tenggara terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia. Skripsi. Universitas Negeri Malang. Malang. Mobius, J. Mark. (1998). Mobius on Emerging Market: Prospek Investasi di Pasar Baru. PT. Elex Media Komputindo. Yakarta. Onay, C. (2007). Cointegration Analysis of Bovespo and Istambul Stock Exchanges. Oxford Business and Economics Conference. Oxford University. United Kingdom. Pieper, P. dan Vogel. (1997). The Stock Market Integration in Latin American. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. No. 21. Harvard Institute for International Development. Samsul, M. (2008). Pasar Modal & Manajemen Portofolio. Jakarta: Penerbit Erlangga. Saputro. (2009). Analisis Pengaruh Lima Indeks Bursa Dunia terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Bursa Efek Indonesia. Skripsi. Universitas Gunadharma. Depok. Tandelilin, Eduardus, 2010. Portfolio dan Investasi, Edisi 1, Penerbit Kanisius, Yogjakarta Yahoo Finance. (2013). Market Index. www.yahoofinance.com, diakses Januari 2013.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, 3, Juli 2014 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 15, Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 1412 – 968X Hal. 243-251
PELUANG DAN KENDALA KEMITRAAN AGRIBISNIS HORTIKULTURA DI ACEH
JAMILAH
Dosen pada Fakultas Pertanian, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
The problem scarce of woof in dry season because breeder can’t dominate technology who related with stock woof, weak of technis management and capital and difficult obtain seed of pure Aceh beef are problem expression who development in Aceh Besar district are development central region of agribusiness of beef cattle. The agroindustry who followed farmer very rare, whereas existence farmer can fortune agroindustry, on the other hand, farmer can’t socialization them in group who because they position can be weak in production and marketing. This research is aim for analyzed simulation of policy development og agribusiness and agroindustry of beef cattle based business partner who suitable to develop in Aceh. The data and information who could with survey method examined with SWOT analysis. The research showed that The policy of development agribusiness and agroindustry of beef cattle if support by stakeholder and businessman in related business partner with full comitment who give even distribution income and opened field work who very god at cultivation of seedlings, cultivation, manufacture of time after rice harvest and marketing, if animal husbandry managed with profecional, effecien, strong work, and higly motivation. With facilities development of beef cattle business at te breeder or agroindustry with sinergy by stakeholders, hoped this business will be develop and can speed up of economic be self and development of superior commodity of region. At breeder, the policy of development can do are formation group stable, give obstacle aid for breeder berupa beef stable, seed, strongly woof for a years, aid jerami processing, kompos processing and vaksin aid and medicines, the teknology training of production strongly woof who economic value, the development of animals clinic and animal market in a sub district. At rate of agroindustry, the policy of development who can do are stock credit of small business who softly , raising of production dan productivity of beef meat in state (capable of beef meat), raising of import tariff of beef meat, develop of agribusiness terminal, and formation area of integrated agroindustry (KAT). Keywords: The policy, beef cattle, business partner
243
244
JAMILAH
PENDAHULUAN Propinsi Aceh memiliki tingkat serapan pasar yang tinggi untuk komoditas hortikultura mengingat tingginya jumlah penduduk dan tersedianya lahan yang memungkinkan untuk dikembangkan pada skala lebih luas. Sentral produksi di Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Pidie, khususnya kubis, alpokat dan melinjo. Sejauh ini, agribisnis hortikultura hanya diusahakan petani dalam skala kecil, subsistem, dan tidak berorientasi pasar. Keterbatasan pengetahuan usahatani, kurangnya informasi harga dan bargaining harga jual produk yang rendah menyebabkan petani tidak termotivasi untuk meningkatkan kualitas produksinya. Potensi lahan yang dimiliki cukup besar untuk pengembangan komoditas hortikultura diantaranya lahan pertanian tanah kering seluas 117.161,12 ha, padang rumput seluas 223.985,00 ha, hutan seluas 3.929.420,05 ha, dan lahan sementara tidak diusahakan seluas 163.151,50 ha (Aceh dalam Angka, 2009). Namun potensi produksi yang besar belum mampu dikelola secara optimal, karena petani menghadapi kendala pemasaran, terkait dengan ketidakpastian pasar dan rendahnya harga pada musim panen. Sifat komoditas hortikultura yang mudah rusak, dan mengalami susut yang besar merupakan permasalahan yang dialami petani dan pedagang dan dapat menimbulkan resiko fisik dan harga bagi pelaku agribisnis hortikultura. Kualitas produk hortikultura yang rendah berkaitan erat dengan sistem produksi, sistem panen, penanganan pasca panen, sistem distribusi dan pemasaran. Konsekuensinya, agar dapat memenuhi permintaan pasar dan preferensi konsumen baik domestik maupun ekspor, maka masalah efisiensi, produktivitas, dan kualitas harus mendapatkan prioritas perhatian. Dengan demikian dipandang penting membangun kelembagaan kemitraan usaha yang saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan serta menerapkan manajemen mutu yang andal, agar komoditas hortikultura dapat berperan dalam perdagangan global. Keikutsertaan perguruan tinggi melalui kegiatan penelitian dan pengembangan merupakan salah satu langkah strategis guna mewujudkan program pembangunan pertanian berdaya saing unggulan lokal.
Kegagalan utama agribisnis hortikultura selama ini karena pengetahuan dan keterampilan petani hanya difokuskan pada bercocok tanam, sedangkan pemasaran terabaikan. Peliknya masalah pemasaran membuat petani jera mengembangkan usaha hortikulturanya menjadi lebih besar lagi. Berdasarkan pengamatan lapangan, para pengusaha hortikultura sering terjebak oleh kondisi pasar yang sulit diprediksi, sehingga peningkatan kesejahteraan hanya impian belaka. Karenanya, pengembangan hortikultura haruslah secara profesional, artinya adanya pembangunan yang seimbang antara aspek pertanian, bisnis dan jasa penunjang. Penanganan produksi tanpa didukung dengan pemasaran yang baik tidak akan memberi manfaat dan keuntungan bagi petani dan pelaku bisnis. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka diperlukan langkah-langkah strategis guna mengembangkan agribisnis hortikultura yang berdaya saing melalui pola kemitraan yang sinergis antara petani, pemerintah dan pelaku bisnis yang ditujukan; (1) agar bagi para petani di dataran tinggi yang berlahan sempit dapat meningkatkan pendapatan; (2) dengan kemampuan memproduksi sendiri, dapat ikut serta mengurangi impor; (3) dengan pola kemitraan, maka waktu dan jenis serta jumlah produksi dapat diatur; (4) secara jangka panjang, diharapkan akan dapat merubah persepsi para petani dari usahatani tradisional (tanpa perencanaan) agar dapat mengelola lahan sempit menjadi lebih intensif (terencana) dan menghasilkan produk hortikultura bernilai tinggi sekaligus meningkatkan pendapatannya. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian ditentukan dengan cara purposive yakni Kabupaten Pidie dan Kabupaten Bener Meriah yang merupakan daerah sentra produksi melinjo dan kubis dalam wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam menurut indikator luas panen, produksi dan produktivitas tanaman. Dipilih satu kecamatan potensial, dan tiap-tiap kecamatan sampel dipilih 2 (dua) desa. Mengacu pada beberapa pendapat Kalirajan dan Chruch (1991), Dillon and Hardaker (1993) dan Sinaga (1998) maka pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
kecukupan kerangka sampel, tujuan penelitian, ketersediaan data dan sumberdaya yang diperlukan. Penentuan desa sentra produksi dilakukan dengan indikator yang sama dengan pemilihan kabupaten dan kecamatan. Metode pengambilan sampel petani dan pengusaha dilakukan dengan metode simple random sampling yakni pengambilan secara acak sederhana terkait agribisnis hortikultura. Selanjutnya dilakukan identifikasi peluang dan masalah kemitraan agribisnis hortikultura di Aceh.
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi pola kemitraan agribisnis hortikultura Program kemitraan pada dasarnya dilaksanakan atas persetujuan dan keinginan dua individu atau perusahaan untuk menjalin kerjasama dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Pada agribisnis hortikultura, kerjasama dapat dilakukan dalam bidang penyediaan sarana produksi, budidaya, pengolahan hasil maupun pemasaran. Pola kemitraan yang dapat dibentuk adalah pola sub kontrak dan pola dagang umum. terbentuk adalah pola kemitraan sub kontrak antara petani dengan pedagang dan pengusaha serta pola kemitraan dagang antara pedagang dengan pihak pengelola perhotelan, supermaket dan perusahaan daerah adalah pola dagang. Bank Indonesia (2007) seperti diungkapkan oleh Sayaka (2008) telah mengembangkan Program Patnership Terpadu (PPT) yang menyatakan program partnership antara usaha besar dan usaha kecil dengan melibatkan bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerjasama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Kemitraan usaha agribisnis adalah hubungan bisnis usaha petani yang melibatkan satu atau sekelompok orang atau badan hukum dengan satu atau kelompok orang atau badan hukum dimana masing-masing pihak memperoleh penghasilan dari usaha bisnis yang sama atau saling berkaitan dengan tujuan menjamin terciptanya keseimbangan, keselarasan dan kesepadanan yang dilandasi rasa saling menguntungkan, memerlukan, dan saling melaksanakan etika bisnis (Suwandi, 1995). Dengan demikian, tujuan kemitraan usaha antara
245
perusahaan mitra dengan petani mitra adalah peningkatan efisiensi dan produktifitas di segala lini subsistem agribisnis dan terciptanya nilai tambah ekonomi yang merupakan kunci peningkatan daya saing produk. Pada usahatani melinjo, pola kemitraan yang terbentuk antara petani dan pengusaha emping adalah pola sub kontrak. Dalam hal ini, petani menjual biji melinjo kepada pengusaha untuk dijadikan emping. Harga jual biji melinjo ditentukan oleh permintaan emping melinjo di pasar. Pada tingkat petani, harga biji melinjo berkulit berkisar Rp. 10.000/bambu dan harga biji melinjo muda berkisar Rp. 8.000/bambu. Selanjutnya pengusaha melakukan pengolahan biji melinjo menjadi emping dengan memanfaatkan jasa buruh tani dengan upah berkisar Rp.9.000/ bambu – Rp. 10.000/bambu biji melinjo. Ironisnya, petani terkadang juga berperan sebagai buruh tani pada pengusaha tersebut dengan sistim upah pengolahan melinjo menjadi emping. Umumnya petani telah memiliki lahan sendiri dan melakukan budidaya melinjo dengan memanfaatkan lahan pekarangan rumah dan kebun dan sebagian besar petani melakukan pengolahan biji melinjo menjadi emping. Pola kemitraan yang terbentuk antara petani dengan pedagang adalah pola dagang umum, baik pedagang besar maupun pengecer. Petani menjual emping melinjo kepada pedagang di pasar jika lokasi usahatani dekat dengan pasar, namun jika jauh dari pasar, petani menjual emping melalui pedagang pengumpul. Dalam hal ini, ada kesepakatan harga dan mutu emping. Pola sub kontrak dan pola dagang umum juga terbentuk antara petani dengan koperasi yang sebagian besar anggotanya adalah petani melinjo. Petani dapat menjual biji melinjo dan emping melinjo kepada koperasi berdasarkan kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga dan mutu. Adanya usaha pengembangan yang dilakukan Dinas Perdagangan & Perindustrian untuk pengembangan koperasi berupa pelatihan peningkatan nilai tambah emping dengan berbagai rasa seperti emping rasa balado dan rasa keju serta pelatihan pembuatan kemasan emping. Pihak instansi terkait juga pernah menjembatani koperasi dan pengusaha agar dapat melakukan ekspor em-
246
JAMILAH
Gambar 1. Simulasi Kemitraan Melinjo dan Emping Melinjo Di Kabupaten Pidie
Petani Pedagang Pengumpul Kecamatan Pedagang Pengumpul Kabupaten
Jasa Perhotelan Perusahaan Daerah (Supermarket)
Pasar Pasar Modern Tradisional
Gambar 2. Simulasi Kemitraan Kubis Di Kabupaten Bener Meriah
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
ping, namun terkendala oleh ketidak-mampuan koperasi dan pengusaha dalam memenuhi permintaan ekspor. Hal ini terjadi karena melinjo adalah tanaman semusim yang memiliki masa panen raya pada bulan Mei – Juli dan hanya biji melinjo dari Kabupaten Pidie yang dapat diolah menjadi emping. Kemitraan kubis antara petani dengan pedagang pengumpul bersifat pola dagang umum. Kemitraan ini terjadi umumnya karena keterbatasan modal usahatani. Petani yang memiliki lahan melakukan budidaya kubis dengan bantuan modal dari pedagang sehingga harus menjual kubis kepada pedagang pengumpul kecamatan tersebut dengan harga Rp. 1.000/kg. Namun jika panen raya, harga kubis berkisar Rp. 500/kg. Di samping itu, diketahui juga bahwa petani dibatasi oleh peraturan non tertulis atau ketentuan bahwa petani tidak boleh menjual kubis langsung kepada pedagang pengumpul dari kabupaten yang dapat membeli dengan harga lebih mahal. Kondisi ini jelas sangat merugikan petani. Pedagang pengumpul kabupaten membeli kubis melalui pedagang pengumpul di pasar kecamatan dengan harga berkisar Rp. 1.200/kg. Pedagang pengumpul Kabupaten selanjutnya bermitra dengan pihak perhotelan, perusahaan atau pasar modern (supermarket) dalam pemasaran kubis ukuran besar. Sementara kubis dengan ukuran lebih kecil umumnya dijual di pasar tradisional. Sejauh ini kubis dari Kabupaten Bener Meriah tidak diekspor. Peluang ekspor kubis justru didominasi oleh kubis dari Brastagi Propinsi Sumatera Utara. Ironisnya, jika pasokan kubis dari Brastagi tidak dapat memenuhi permintaan, maka pedagang membeli kubis dari Kabupaten Bener Meriah. Hal ini jelas menggambarkan kurangnya perhatian instansi terkait terhadap pemasaran dan pengembangan kubis, padahal kubis juga merupakan potensi lokal setelah alpokat yang didukung oleh iklim dan tersedianya lahan usahatani yang luas. Ketidak berdayaan petani kubis juga disebabkan karena petani tidak terorganisir dalam wadah kelembagaan resmi sehingga tidak dapat memiliki legalitas kemampuan dalam penentuan harga jual dan pemasaran kubis serta pengadaan modal usahatani. Secara umum, jelas terlihat bahwa permasalahan utama dalam pengembangan agribisnis
247
hortikultura adalah belum terwujudnya ragam, kualitas, kesinambungan pasokan, dan kuantitas yang sesuai dengan dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen sehingga mengalami kesulitan untuk melakukan ekspansi pasar. Peluang dan Kendala Kemitraan Agribisnis Hortikultura Agribisnis hortikultura terutama melinjo dan kubis memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan karena didukung oleh iklim dan lahan yang tersedia serta merupakan potensi daerah. Untuk itu, diperlukan partisipasi dan hubungan yang sinergi antara pemerintah daerah, pelaku bisnis dan kelompok petani agar dapat berdaya saing dan dikembangkan dalam skala ekspor. Disamping peluang yang bagus untuk dikembangkan, agribisnis hortikultura juga memiliki kendala dan permasalahan jika dikembangkan dalam skala kemitraan. Berikut dijabarkan peluang dan kendala kemitraan agribisnis hortikultura di daerah penelitian. Untuk dapat mewujudkan peluang dan program sebagaimana yang telah dijabarkan pada Tabel 1, maka diperlukan peran pemerintah daerah, Lembaga Perbankan, pelaku bisnis dan petani yang tergabung dalam kelompok tani atau koperasi, sebagai berikut : 1. Pemerintah daerah - Menjembatani kemitraan antara kelompok petani, koperasi dan pelaku bisnis - Menetapkan peraturan daerah yang dapat memacu pengembangan agribisnis hortikultura bersistem kemitraan - Menciptakan kondisi sosial politik yang kondunsif - Membuka dan mengembangkan pasar domestik dan pasar internasional yang intensif bagi melinjo dan produk olahannya. - Membangun dan mengembangkan agroindustri melinjo. - Mengadakan pelatihan wirausaha bagi kelompok tani, koperasi dan pelaku bisnis. - Memfasilitasi pelatihan dan studi banding bagi kelompok peternak 2. Lembaga Perbankan - Menyediakan kredit lunak dengan sistem agunan agar petani mau mengembalikan
248
JAMILAH
Tabel 1 Kendala, Peluang, Program dan Indikator Keberhasilan Kemitraan Agribisnis Melinjo Peluang Internal : Tersedianya lahan usahatani yang luas Melinjo mudah dibudidayakan Modal usahatani relatif kecil
Dimungkinkan dilakukan pengembangan olahan emping melinjo dalam berbagai kualitas, harga dan cita rasa
Pengolahan melinjo menjadi emping relatif mudah
Kendala
Program
Indikator Keberhasilan
Umumnya memanfaatkan lahan pekarangan dan sistem penanaman campur sari sehingga sulit diukur luas lahan melinjo Adanya penggunaan biaya usahatani untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga petani
Usahatani melinjo intensif dan terpadu
Hasil panen lebih banyak dan efisien dalam pengelolaan
Pengadaan kredit lunak oleh lembaga perbankan dengan sistem pendampingan
- Terbentuknya kemitraan
antara petani dengan perbankan dengan sistem pola bapak angkat - Terbentuknya kemitraan dengan bantuan modal usahatani dan pengolahan dari pelaku bisnis - Adanya penjualan biji - Meningkatkan kesadaran Terbentuknya kemitraan melinjo muda oleh petani untuk menjual biji pola sub kontrak berdasarpetani sehingga kualitas melinjo tua tanpa kulit kan volume, keseragaman emping rendah. - Pengusaha lebih selektif kualitas, harga dan waktu - Belum adanya keserdalam pengadaan bahan agaman dalam ukuran, baku melinjo kualitas dan ketebalan - Membentuk kemitraan emping pola sub kontrak antara petani yang tergabung dalam kelompok dengan pelaku bisnis Peralatan pengolahan ber- Pengadaan mesin pengo- Adanya mesin pengolahan sifat tradisional sehingga lahan melinjo faktor kebersihan kurang terjamin
Eksternal : Potensi lokal yang berdaya Hanya dijadikan usahatani saing sampingan sehingga pengelolaan tidak intensif Dapat meningkatkan nilai Bahan baku terbatas dan tambah jika dikembangkan bersifat musiman skala agroindustri dan perusahaan Memiliki pangsa pasar - Kurangnya promosi yang luas baik di pasar - Desain emasan kurang domestik maupun internamenarik sional - Banyaknya penjualan emping dalam kiloan tanpa kemasan sehingga tidak menunjukkan emping produksi Kabupaten Pidie tetapi produksi daerah lain Harga jual relatif meningHarga jual lebih mahal kat setiap tahunnya dibanding emping melinjo dari pulan Jawa Permintaan konsumen Produk olahan terbatas akan pangan olahan men- dan sedikit karena pengoingkat setiap tahunnya lahan bersifat agroindustri rumah tangga dengan memanfaatkan buah melinjo hasil panen sendiri
Sumber : Data Primer (diolah), 2013.
Pengelolaan melinjo dan Dapat meningkatkan penemping melinjo beroren- dapatan petani melinjo tasi pasar
- Budidaya melinjo skala
Pengelolaan melinjo dan luas / perusahaan emping melinjo yang berori- Pengadaan bahan baku entasi ekspor dari luar Propinsi Aceh - Pelatihan pembuatan - Pelaku bisnis dan kemasan dan promosi koperasi dapat membuat - Merubah pola pikir kemasan yang menarik petani dan pelaku bisnis - Tidak adanya penjuaagar tidak menjual dalam lan dalam kiloan tanpa kiloan tanpa kemasan kemasan
Penurunan biaya produksi atau subsidi dari pemerintah Pengolahan melinjo menjadi emping atau stik dengan skala perusahaan dan orientasi ekspor
Harga jual melinjo dan emping melinjo yang kompetitif
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
kredit atau pinjaman secara tepat waktu - Membentuk petani binaan perbankan dengan sistem pendampingan 3. Pelaku bisnis (Pengusaha) - Membentuk kemitraan dengan kelompok petani dan koperasi dalam pengolahan melinjo - Membentuk usaha yang spesific investment untuk meningkatkan nilai tambah bagi pelaku bisnis dan petani mitra. - Mencari dan membuka pasar domestik dan pasar ekspor olahan melinjo. - Meningkatkan branded promotion - Menciptakan desain kemasan dalam berbagai ukuran dan model. 4. Koperasi - Membeli melinjo dari petani secara berkelompok dengan menetapkan standar bahan baku melinjo agar petani termotivasi untuk meningkatkan kualitas melinjo yang dihasilkan.
249
- Menetapkan standar mutu olahan melinjo yang dipasarkan - Memasarkan olahan melinjo dari petani dan koperasi - Membuka pasar ekspor olahan melinjo untuk meningkatkan pendapatan petani dan koperasi. - Bersinergi dengan pemerintah daerah dan pelaku bisnis untuk pengadaan mesin pengolahan melinjo 5. Kelompok Petani - Menjadikan usahatani melinjo dan pengolahannya sebagai usaha primer yang berorintasi pasar - Meningkatkan kualitas olahan melinjo. - Melakukan usahatani melinjo dan olahannya secara berkelompok atau terorganisir untuk dapat berperan dalam penentuan harga pasar dan mengawasi kebijakan pemerintah dibidang pengembangan melinjo dan produk olahannya.
Tabel 2 Kendala, Peluang, Program dan Indikator Keberhasilan Kemitraan Agribisnis Kubis Peluang
Kendala
Program
Indikator Keberhasilan
Internal: Tersedianya lahan yang luas dan iklim yang mendukung untuk usahatani kubis Modal usahatani terbatas
Tanaman kubis dibudidayakan
Terkadang gulma dibi- Pemanfaatan lahan & pe- Hasil panen kubis meningkat arkan tumbuh bersama nanaman kubis secara kubis berkelompok
Petani cenderung meminjam kepada pedagang pengumpul kecamatan karena administrasinya lebih mudah mudah - Bibit kubis sulit dikembangkan. - Bibit diperoleh dari kios saprodi
Pengadaan kredit lunak Petani memiliki modal usaoleh lembaga perbankan hatani atau pelaku bisnis dengan sistem kemitraan Pengembangan bibit kubis
- Kemitraan
dengan lembaga saprodi untuk pengadaan bibit kubis - Tersedianya bibit kubis di tingkat petani
Eksternal : Tingginya permintaan kon- Pemasaran kubis sangat Program peningkatan kualsumen terbatas, sebagian besar itas dan kuantitas kubis di Aceh, hanya sebagian kecil dipasarkan ke Propinsi Sumatera Utara Harga jual fluktuatif Peningkatan nilai tambah (ukuran, kemasan, pengolahan) Lokasi usahatani dekat Petani dibatasi hanya - Pembenahan saluran dengan pasar bisa menjual kepada ped. pemasaran. pengumpul kecamatan
Sumber : Data Primer (diolah), 2013.
Dapat memenuhi permintaan konsumen
Harga jual kubis meningkat Petani memiliki banyak alternatif pilihan saluran pemasaran yang menguntungkan.
250
JAMILAH
Berdasarkan Tabel 2 di atas, jelas menggambarkan bahwa kubis memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di Kabupaten Bener Meriah, untuk itu diperlukan beberapa langkah strategis dalam pengembangannya, yaitu : 1. Pemerintah Daerah : - Perlu mengupayakan pembibitan kubis secara kelembagaan resmi - Membuka dan mengembangkan pasar kubis (ekspansi pasar) - Menjembatani kemitraan antara kelompok petani dengan pelaku bisnis, lembaga perbankan dan koperasi 2. Lembaga Perbankan - Menyediakan kredit bagi petani kubis dengan sistim agunan - Membentuk kelompok petani binaan 3. Pelaku bisnis - Mengembangkan kemitraan dengan kelompok petani dalam penyediaan saprodi dan pemasaran kubis - Melakukan eskpansi pasar 4. Kelompok Petani - Membentuk koperasi petani kubis - Bermitra dengan pelaku bisnis dan lembaga perbankan dalam meningkatkan kualitas dan pemasaran kubis. - Memilih saluran pemasaran yang menguntungkan. - Pengolahan untuk peningkatan nilai tambah sehingga dapat meningkatkan harga jual kubis di tingkat petani terutama di saat panen raya. KESIMPULAN 1. Agribisnis hortikultura cukup berpotensi dan layak dikembangkan di Aceh jika didukung oleh kelembagaan yang sinergi dalam kemitraan khususnya pada kegiatan pengadaan
sarana produksi, pengolahan dan pemasaran mengingat belum adanya ragam, kualitas, kesinambungan pasokan, dan kuantitas yang sesuai dengan dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen dan kesulitan dalam melakukan ekspansi pasar. 2. Pola kemitraan yang dapat dikembangkan dalam agribisnis hortikultura adalah pola dagang umum, pola contract farming, pola waralaba dengan mengedepankan peranan koperasi tani dan pelaku bisnis sehingga diharapkan dapat mempercepat pemberdayaan ekonomi dan pengembangan komoditas unggulan daerah. SARAN 1. Kegiatan pengembangan agribisnis hortikultura hendaknya ditujukan kepada kepentingan petani dan pelaku bisnis melalui penerapan kebijakan pemerintah yang mempercepat pertumbuhan koperasi, agroindustri dan usahausaha ekspansi pasar. 2. Pemerintah hendaknya lebih peka terhadap permasalahan petani dan menjembatani hubungan antara petani dan pelaku bisnis dalam kemitraan serta lebih pro aktif dalam pengawasan pelaksanaan kemitraan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. 3. Pemerintah harus membumikan usahatani hortikultura pada tingkat petani dan pelaku bisnis sehingga agribisnis hortikultura dapat dikembangkan dalam skala perusahaan dan bertujuan ekspor.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
251
REFERENSI Badan Pusat Statistik Aceh. Aceh dalam Angka. 2009. Biro Pusat Statistik Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh. Dillon, J.L. and J. B. Hardaker. 1993. Farm Management Research for Small Farmer Development. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome. Kalirajan, K. and Chruch, P.E. 1991. Elementary statistical procedures and statistical measures. in Basic Procedures for Agroeconomics Research, 9-30. International Rice Research Institute, Philipines. Sayaka, B., I.W. Rusastra, Supriyati, W.K. Sejati, A. Agustian, I.S Anugerah, R. Elizabeth, Ashari, Y. Supriyatna, R. Sayuti, J. Situmorang, 2008. Pengembangan Kelembagaan Patneship dalam Pemasaran Komoditas Pertanian. Makalah Seminar Hasil Penelitian T.A. 2008. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Sinaga, B.M. 1998. Metode pengumpulan data dalam penelitian sosial ekonomi. bahan pelatihan Metodologi dan Manajemen Penelitian Bidang Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Suwandi. 1995. Strategi Pola Kemitraan dalam Menunjang Agribisnis Bidang Peternakan. Industrialisasi Usaha Ternak Rakyat dama Menghadapi Tantangan Golabalisasi, Prosiding Simposium Nasional Kemitran Usaha Usaha Ternak. Ikatan Sarjana Ilmu-ilmu Peternakan Indonesia (ISPI) bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak Ciamis. Bogor.
252
JAMILAH
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, 3, Juli 2014 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 15, Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 1412 – 968X Hal. 253-260
253
PENGARUH UANG BEREDAR, PDB, TINGKAT BUNGA, DAN KURS TERHADAP INFLASI DI INDONESIA TAHUN 1998-2012
KHAIRIL ANWAR
Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
The study aimed to analyze the influence of the money supply, gross domestic product, interest rates and the inflation rate in Indonesia. The data used are secondary data from the years 1998-2012. The method used multiple linear regression. The results of the study found that the rate of positive and significant impact on inflation in Indonesia, negative interest rates and significant effect on inflation in Indonesia. Meanwhile, gross domestic income, and the Total Money Supply not affect inflation in Indonesia Keywords: Inflation, money supply, GDP, interest rate, exchange rate
254
KHAIRIL ANWAR
PENDAHULUAN Inflasi merupakan dilema yang menghantui perekonomian setiap negara, lajunya yang terus meningkat memberikan hambatan pada pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik. Inflasi di pandang sebagai penyakit ekonomi yang mesti diberantas tuntas karna terganggunya stabilitas pasar barang dikarenakan harga input yang mahal mengakibatkan biaya produksi menjadi naik, maka supply menurun, harga menjadi naik, sehingga pertumbuhan ekonomi menurun dan daya beli masyarakat semakin rendah. Oleh karena itu menekan laju inflasi sering menjadi target kebijakan pemerintah. Karna inflasi dapat berubah dengan cepat menjadi Inflasi yang tinggi dan rendah maka begitu penting untuk diperhatikan mengingat dampaknya bagi perekonomian yang sangat luas. Tekanan inflasi berdampak terhadap konsumen dan produsen serta mempengaruhi terhadap kebijakan ekonomi dalam menentukan arah pembangunan nasional. Inflasi menyebabkan nilai riil atau kemampuan daya beli konsumen menurun dan dapat menurunkan keuntungan, karena terjadi kenaikan biaya produksi bagi produsen. Apabila inflasi meningkat akan diikuti dengan kenaikan suku bunga, maka para investor tidak berani meminjam modal pada bank untuk memperluas investasi, hal ini berdampak terhadap kenaikan angka pengangguran, penurunan GDP dan pendapatan negara (Asnawi, 2007). Tingkat suku bunga terlalu rendah, jumlah uang yang beredar di masyarakat akan bertambah karena orang akan lebih senang memutarkan uangnya pada sektor-sektor yang dinilai produktif. Suku bunga yang tinggi akan mendorong investor untuk menanamkan dananya di bank daripada menginvestasikannya pada sektor produksi atau industri yang memiliki tingkat risiko lebih besar. Sehingga dengan demikian, tingkat inflasi dapat dikendalikan melalui kebijakan tingkat suku bunga (Tajul Khalwaty, 2000). Bank Indonesia dapat mengukur peredaran uang, nilai tukar rupiah, dan menentukan tingkat suku bunga SBI untuk mengendalikan inflasi, selain itu pemerintah juga memegang peranan penting dalam mengendalikan laju inlasi untuk itu
salah satu kebijakannya adalah mengatur pengeluaran untuk pengeluaran rutinnya (government expenditure) serta meningkatkan PDB. Dilain pihak sektor luar negeri juga cukup memegang peranan dalam mengendalikan inflasi diantaranya yaitu penerimaan export. Dengan demikian laju pertumbuhan inflasi dapat dikendalikan ditekan atau bahkan kemunculannya dapat dicegah. LANDASAN TEORITIS Inflasi yaitu kenaikan harga secara umum terus menerus dalam periode tertentu atau proses kenaikan harga umum barang-barang secara terus menerus. Pendapat ini sudah menjadi umum dan dapat dilihat pada (Boediono, 1985; Nopirin, 1987; ; dan Hera Susanti et al, 1990; Hasan, 2007). Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi (Nopirin, 1987), terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan (Gunawan, 1991) Inflasi menurut sifatnya digolongkan dalam tiga kategori (Nopirin, 1987), yaitu Inflasi Merayap adalah kenaikan harga terjadi secara lambat, dengan persentase yang kecil dan dalam jangka waktu yang relatif lama (di bawah 10% per tahun). Inflasi Menengah kenaikan harga yang cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Inflasi Tinggi kenaikan harga yang besar bisa sampai 5 atau 6 kali. Penyebab inflasi: a) Demand Pull Inflasion. Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (agregat demand). Sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. b) Cost pust inflation. ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total (agregat supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Level inflasi: Inflasi ringan (dibawah 10% setahun), Inflasi sedang (antara 10%-30% setahun), Inflasi berat (antara 30%-100% setahun), Hiperinflasi ( diatas 100% setahun ).
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
Teori-teori tentang inflasi: a) Teori kuantitas ini menyatakan bahwa proses inflasi itu terjadi karena 2 hal, yaitu jumlah uang beredar dan psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations). Ada 2 hal penting dari teori Kuantitas ini, adalah bahwa, pertama, inflasi terjadi jika ada penambahan volume uang beredar. Kedua, inflasi oleh harapan masyarakat mengenai kenaikan harga di masa yang akan datang (Boediono, 1985). b) Teori Keynes ini menerangkan bahwa proses inflasi terjadi karena permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia. Hal ini yang disebut juga dengan inflationary gap. c) Teori Strukturalis lebih menekankan pada faktor-faktor struktural dari perekonomian yang menyebabkan terjadinya inflasi, teori ini disebut juga teori inflasi jangka panjang karena yang dimaksud dengan faktor-faktor struktural di sini adalah faktor-faktor yang hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka yang panjang. Jumlah Uang Beredar (JUB) Didalam menerangkan mengenai teori kuantitas, yang dilakukan oleh Irving Fisher digunakan persamaan aljabar yang dinamakan persamaan pertukaran. Persamaan pertukaran tersebut pada umumnya dinyatakan sebagai berikut : MV = PT Dimana : M = Jumlah Uang Beredar, V = Kelanjutan Peredaran Uang, P = Tingkat Harga-harga, dan T = Jumlah Barang dan Jasa yang diperjual belikan dalam suatu tahun tertentu. Teori kuantitas uang Teori ini, yang dikembangkan oleh Irving Fisher mengatakan bahwa “pada hakikatnya berpendapat bahwa perubahan dalam jumlah uang beredar akan menimbulkan perubahan yang sama cepatnya ke atas harga-harga”. Perubahan ini maksudnya jika uang yang beredar bertambah sebanyak lima persen, maka tingkat harga-harga juga akan bertambah sebanyak lima persen atau sebaliknya. Pandangan teori kuantitas yang demikian timbul sebagai akibat dari dua per-
255
misalan penting teori itu mengenai kenyatan yang wujud dalam perekonomian. Tingkat Bunga menurut Nopirin (1996) adalah biaya yang harus di bayar oleh pemimjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan. Suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini dengan masa depan, sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran (Suhedi, 2000). Produk Domestik Bruto (PDB) didefinisikan oleh Sukirno (1994) sebagai nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksi oleh faktorfaktor produksi milik warga negara tersebut dan warga negara asing. Sedangkan Wijaya (1997) menyatakan bahwa PDB adalah nilai uang berdasarkan harga pasar dari semua barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh suatu perekonomian dalam suatu periode waktu tertentu biasanya satu tahun. Secara umum PDB dapat diartikan sebagai nilai akhir barang-barang dan jasa yang diproduksi di dalam suatu negara selama periode tertentu (biasanya satu tahun). Menurut pendekatan produksi, produk domestik bruto (PDB) adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu Negara dalam jangka waktu setahun (Dumairy,1990). Nilai Tukar Rupiah atau disebut juga kurs Rupiah adalah perbandingan nilai atau harga mata uang Rupiah dengan mata uang lain. Perdagangan antar negara dimana masing-masing negara mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut kurs valuta asing atau kurs (Salvatore,1998). Hipotesis 1. Jumlah Uang Beredar berpengaruh positif dan sifnifikan terhadap inflasi di Indonesia periode 1998-2012
256
KHAIRIL ANWAR
2. Produk Domestik Bruto berpengaruh positif dan sifnifikan terhadap inflasi di Indonesia periode 1998-2012 3. Tingkat bunga berpengaruh negatif dan sifnifikan terhadap inflasi di Indonesia periode 19982012 4. Kurs berpengaruh positif dan sifnifikan terhadap inflasi di Indonesia periode 1998-2012 METODE PENELITIAN Motode analisis data di gunakan model regresi berganda, sebagai berikut: INF= f (PDB, JUB, ECR, SBD) Dimana; INF = Inflasi PDB = Produk Domestik Bruto JUB = Jumlah Uang Beredar ECR = Kurs SBD = Suku Bunga Deposito Untuk tujuan kajian, spesifikasi model tentang faktor penyebab inflasi di Indonesia diestimasikan dalam bentuk log-linear sebagai berikut;
punyai hubungan yang perfect dengan variabel bebas lainnya. Gujarati (1997) mengemukakan multikolinieritas adalah adanya hubungan linear yang sempurna atau pasti, diantara beberapa atau semua variabel. Nachrowi dan Usman (2002) mengemukakan multikolinieritas menimbulkan beberapa akibat; (1). Variasi besar (dari taksiran OLS), (2). Interval kepercayaan lebar. (3) Uji-t (t rasio) tidak signifikan. (4) R2 tinggi, tetapi tidak banyak varabel yang signifikan dari uji t. (5). Terkadang taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai yang tidak sesuai dengan substansial, sehingga dapat menyesatkan interprestasi. Ghozali (2010), mengemukakan langkahlangkah untuk mengatasi multikolonieritas, yaitu; (a) menggabungkan data (pooling data), (b) keluarkan satu atau lebih variabel independen yang mempunyai korelasi tinggi dari model dan identifikasikan variabel independen lainnya untuk membantu prediksi, (c) transformasi variabel dengan cara mengurangi hubungan linear diantara variabel independen, (d) gunakan model dengan variabel independen yang mempunyai korelasi tinggi hanya untuk prediksi. HASIL PENELITIAN
INF = β0 lnPDB + β1 lnJUB+ β2 ECR + β3 SBD + εt Uji Persyaratan Asumsi Klasik Uji autokorelasi adalah untuk menguji dalam model regresi linear adakah hubungan (korelasi) antara kesalahan penganggu pada periode t dengan kesalahan penganggu pada periode sebelumya. Masalah autokorelasi dimaksudkan disini adalah untuk menguji deretan data menurut waktu (deret waktu) apakah timbul autokorelasi dikarenakan residual (kesalahan penganggu) bebas dari satu observasi ke observasi lainnya. Selanjutnya, untuk mendeteksi autokorelasi dilakukan melalui uji Durbin-Watson dengan program SPSS yang dapat menyediakan fasilitas untuk uji autokorelasi tersebut. (Imam Ghozali, 2010). Uji Multikolinieritas adalah keadaan, dimana terdapat hubungan yang linear diantara variabelvariabel bebas. Jika variabel bebas tersebut mem-
Hasil pengolahan data berupa informasi untuk mengetahui apakah Inflasi (INF) dipengaruhi oleh faktor Produk Domestik Bruto (PDB), Jumlah Uang Beredar (JUB), Nilai tukar Dollar terhadap rupiah (ECR) dan Suku Bunga Deposito (SBD). Pada tahun 1998 kwartal empat tekanan inflasi sangan kuat yaitu 77,63 disebabkan terjadinya krisis ekonomi. Dan pada tahun 2000 tekanan inflasi turun drastis kwartal satu yaitu -11, oleh sebab terjadi apresiasi nilai rupiah dari 10.700 ke 7.100 terhadap dollar serta meningkatnya anggaran belanja pemerintah akibatnya kemampuan pemerintah untuk berekspansi investasi di dalam negeri semakin meningkat. Dengan kondisi tingkat pertumbuhan produksi domestik yang relatif lebih cepat, peningkatan permintaan (investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari masyarakat ke pemerintah. Oleh sebab upaya pemerintah dengan peranan Bank Indonesia menaikkan suku bunga sebesar
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
Gambar 1. Grafik Laju Inflasi
Gambar 2. Grafik Tingkat Bunga
Gambar 3. Grafik Jumlah Uang Beredar dan Produk Domestk Bruto
Gambar 4. Grafik Kurs
257
258
KHAIRIL ANWAR
49,23 % untuk mengurangi peredaran uang yang sangat tinggi pada tahun 1998 yang menyebabkan inflasi tinggi. Malah dengan relatif tingginya tingkat bunga menyebabkan biaya produksi dan investasi yang dibiayai kredit perbangkan akan tinggi juga, akibatnya terjadi tekanan inflasi. Akhirnya, relasi antara tingkat suku bunga dengan inflasi ini menjadi interest rate-price spiral. Namun pada sisi lain nilai tukar rupiah disamping dapat mengakibatkan tekanan inflasi yang kuat, khususnya imported inflation. Pemerintah yang lebih banyak menggunakan kebijakan moneternya dalam mengupayakan mengendalikan tingkat harga umum. Peredaran uang pada tahun 2001 sampai tahun 2004 kwartal empat terus mengalami peningkatan secara signifikan akibatnya terjadi kenaikan inflasi pada tahun 2005 kwartal empat sebesar 10,5%. Dengan ditingkatkan suku bunga pada tahun yang sama sebesar 11,75 tingkat peredaran uang menggalami penurunan kembali pada tahun 2006 dan tingkat Inflasi terjadi penurunan. Apabila tingkat suku bunga (deposito) perbankan sudah terlalu tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi atau berusaha) yang ada di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan dapat menyebabkan timbulnya stagnasi atau bahkan penurunan produk domestik bruto, terjadi pada tahun 2006. Terjadi depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap mata uang asing pada tahun 2001, 2008,2009, maka akan menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang harus ditanggung oleh produsen, baik itu untuk pembayaran bahan baku
dan barang perantara ataupun beban hutang luar negeri akibat ekspansi usaha yang telah dilakukan. Hal ini menyebabkan harga jual output di dalam negeri (khususnya untuk industri subtitusi impor) akan meningkat tajam, sehingga potensial meningkatkan derajat inflasi di dalam negeri. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil estimasi data seperti terlihat pada Tabel 1, dilakukanlah Uji parsial (uji t) yang merupakan pengujian statistik untuk melihat pengaruh setiap variabel independen, yang terdiri dari variabel Pendapatan Domestik Bruto (PDB), Jumlah Uang Beredar (JUB), Echange Rate (ECR) dan Suku Bunga Deposito (SBD) terhadap variabel dependen inflasi (INF). Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tidak berpengaruh terhadap inflasi, karena thit0,01 = 0,538 < t tab 0,01 = 2,423, dimana H0 yang diterima dan di tolak hipotesis alternatif (H1). Selanjutnya Variabel jumlah uang beredar (JUB) tidak berpengaruh terhadap inflasi, karena thitung0,01 = 0,138< ttab 0,01 = 2,423, dimana menerima hipotesis Null (H0) dan menolak hipotesis H1. Kurs atau exchange rate (ECR) berpengaruh secara signifikan secara positif terhadap inflasi, karena thitung0,01 = 2,458 > ttab0,05 =-2,0595, dimana hipotesis diterima. Suku bunga deposito (SBD) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi (INF) , karena thitung0,01 = 8,482 > ttab 0,05 = 2,0595, dimana hipotesis diterima. Uji simultan (Uji F) adalah uji statistik yang menggambarkan dari hasil regresi, apakah variabel independent yang terdiri dari Produk Domes-
Tabel 1 Hasil Regresi Linear Berganda Nama Variabel Konstanta JUB ECR PDB SBD Koef. Korelasi (R)
thitung -398.263 0.867 87.493 12.539 -1.774 0.967
Koef. Diterminasi (R2)
0.752
R Adjusted Squere *** signifikan pada 1%. ** signifikan pada 5%
0.730
-3,335 0.138 2.458** 0.538 8.482***
ttabel 2.0595 2.0595 2.0595 2.0595 2.0595 Predictors: (Constant), JUB, ECR, PDB dan SBD Dependent Variabel : Inflasi (INF) F
Sig 0.002 0.891 0.018 0.593 0.000
34.066
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
tik Bruto (PDB), Jumlah Uang Beredar (JUB), Kurs atau Echange rate (ECR) dan suku bunga deposito (SBD) secara bersama-sama mempengaruhi inflasi (INF) atau variabel dependen. Berdasarkan hasil estimasi data pada Tabel 1, didapati nilai Fhit0,05 = 34,066 > Ftab0,05 = 5,5097 ini berarti variabel jumlah uang beredar (JUB), kurs (ECR), Produk Domestik Bruto (PDB) dan suku bunga deposito (SBD) secara bersama-sama menerangkan atau mempengaruhi terhadap inflasi di Indonesia, sedangkan selebihnya dipengaruh oleh variabel lain diluar model. KESIMPULAN Kurs berpegaruh positif dan signifikan terhadap inflasi, tingkat Suku Bunga mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap inflasi, jumlah Uang Beredar, tidak berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia, Pendapatan Domestik Bruto tidak berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia. SARAN Berdasarkan hasil penelitian membuktikan bahwa kenaikan jumlah uang beredar cenderung tidak menaikkan Inflasi. Untuk mengurangi dan menambahkan uang beredar dengan menentukan
259
tingkat suku bunga, pemerintah harus lebih mengontrol volume uang yang beredar sesuai dengan kebutuhannya di masyarakat. Dengan naiknya tingkat suku bunga merupakan implikasi dari tingginya inflasi, karena jika inflasi tinggi maka akan diikuti pula oleh meningkatnya kebijakan terhadap sumber-sumber pembiayaan yang menyebabkan naiknya tingkat suku bunga Bank Indonesia. Untuk menekan inflasi maka kebijakan yang diambil adalah menstabilkan tingkat suku bunga, sejalan dengan kondisi makro ekonomi Indonesia yang terjadi saat ini. Untuk meningkatkan PDB sehingga inflasi menjadi rendah kebijakan yang diambil dengan efisiensi alokasi anggaran dan memberikan bobot yang lebih besar pada pengeluaran pembangunan. Bedasarkan penelitian ini maka untuk menjaga kestabilan harga di dalam negeri maka otoritas moneter melalui kebijakannya diharapkan dapat menjaga kestabilan rupiah terhadap dollar dalam batas wajar dan aman.
260
KHAIRIL ANWAR
REFERENSI Asnawi (2008), Analisis Faktor-Faktor Penyebab Inflasi di Indonesia: Studi Empiris Dengan Pendekatan VECM, Junal Mantek- ASM Tanah Rencong: Lhokseumawe. Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, Lhokseumawe, Beberapa Edisi. Bank Indonesia, Laporan Tahunan BI, Lhokseumawe, Beberapa Edisi. Boediono, (1985) , Ekonomi Moneter, edisi 3, BPFE : Yogyakarta. Dumairy (1990), Matematika Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta. Endri, (2005), Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia, ABFI Institute PERBANAS Jakarta. Gujarati, Damodar (1997), Ekonometrika Dasar, Alih Bahasa Sumarno Zain, Erlangga, Jakarta Imam Ghozali (2005), Analisis Multivariat Dengan Progam SPSS, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Mankiw, N. Gregory. (2007). Makro Ekonomi. Edisi Keenam. Penerbit Erlangga. Jakarta, Indonesia. Nachrowi Djalal Nachrowi & Hardius Usman (2002), Penggunaan Teknik Ekonometrika Pendekatan Populer & Praktis dilengkapi tehnik Analisis & Pengolahan Data Dengan Menggunakan Paket Progam SPSS, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Nopirin, (1987), Ekonomi Moneter, edisi 1, BPFE : Yogyakarta. Salvatore, (1998), Ekonomi Internasional, Erlangga : Jakarta. Sriyana, Jaka, (2001), Dampak Ekspansi Fiskal Terhadap Inflasi : Studi Empiris Dengan Pendekatan ECM, JEP, vol 6, no 2, 203-212. www.jurnal-ekonomi.org. Sukirno, Sadono, (2004), Makro Ekonomi Teori Pengantar, edisi 3, PT Raja Grafindo Persada : Jakarta. Tajul Khalwaty. (2000). Inflasi dan Solusinya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Wahjuanto Mamik (2010), Beberapa faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia. www.jurnalekonomi.org. http://amriamir.wordpress.com/2009/12/02/hubungan-inflasi-dan-suku-bunga/
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, 3, Juli 2014 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 15, Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 1412 – 968X Hal. 261-271
PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR (M2), NILAI TUKAR RUPIAH (KURS), NERACA PERDAGANGAN DAN SUKU BUNGA BANK INDONESIA TERHADAP INFLASI DI INDONESIA PERIODE 2008-2013 MAYA FEBRIANTY LAUTANIA DAN EVAYANI
Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
The purpose of this study to see the effect of the money supply (M2), the rupiah exchange rate, trade balance and interest rate of Bank Indonesia against inflation during the period 2008 to 2013, this study used secondary data, drawn from the data BPPS and www.bi.go.id, the data were processed using SPSS version 20, and analyzed using multiple linear regression method, the T test, F test and R2. The dependent variable is inflation, and the independent variables are the money supply (M2), the exchange rate, trade balance and the interest rate the central bank. Based on the T test result that only the exchange rate and interest rate effect on inflation, while the money supply (M2) and the trade balance did not affect on inflation . Based on the F test, the results showed that simultaneous variables money supply (M2), the rupiah exchange rate, trade balance and the Bank Indonesia interest rate effect on inflation, with the correlation of test results obtained R2 value of 34.8%, which means that the four independent variables affect dependent variable of 34.8% while the remaining 65.2% is influenced by other variables outside of this research. Keywords: Inflation, exchange rate, trade balance, interest rate, central bank
261
262
MAYA FEBRIANTY LAUTANIA DAN EVAYANI
PENDAHULUAN Inflasi adalah terjadinya fenomena kenaikan harga barang yang terjadi secara terus menerus dan bersifat umum.Nilai inflasi biasanya diberikan dalam bentuk persentase.Inflasi sendiri merupakan salah satu indikator daripada situasi makro eknomi suatu negara.Efek daripada inflasi dapat berbeda-beda sesuai dengan keadaan ekonomi suatu negara. Suatu negara dengan nilai inflasi yang besar akan mengalami permasalah ekonomi, dimana harga barang-barang akan melaju tinggi sehingga berdampak langsung terhadap kemampuan masyarakat untuk membeli barang-barang tersebut. Tetapi di sisi lain, inflasi yang rendah juga mengindikasi lemahnya daya beli dan berujung terhadap pengurangan lapangan kerja. Untuk itu nilai inflasi harus dapat di kontrol sesuai dengan persepsi makro ekonomi suatu negara berdasarkan karakterisitik masing-masing negara. Pada umumnya nilai inflasi yang baik apabila berada di bawah nilai tumbuh perekonomian suatu negara. Inflasi di Indonesia pada umumnya sangat bergantung dengan sektor agragris, hal ini sesuai dengan karakterisitik indonesia sebagai negara yang mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan. Kenaikan secara terus menerus pada produkproduk agraris akan berdampak secara langsung terhadapnaiknya nilai inflasi. Di Indonesia sendiri, nilai inflasi di ukur dan di umumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).Dimana BPS secara rutin melakukan survey harga di seluruh daerah di Indonesia dan mengumumkan nilai inflasi di setiap bulan nya.Hal ini penting untuk menjadi acuan bagi perkembangan eknomi makro Indonesia. Bank Indonesia sebagai lembaga yang membuat kebijakan makro eknomi dibantu dengan lembaga negara terkaitnya mempunyai peran aktif dalam mengontrol tingkat inflasi. Bank Indonesia mempunyai wewenang untuk mengeluarkan kebijakan dalam menjaga nilai inflasi itu sendiri. Salah satu peran yang di jalankan oleh BI adalah dengan menjaga nilai tukar rupiah.Setelah terjadi nya krisis moneter pada tahun 1997, sistem nilai tukar rupiah berubah menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate).Dengan sistem ini nilai tukar
rupiah sepenuhnya di berdasarkan nilai market yang terjadi saat itu.Sehingga nilai tukar Rupiah sangat bergantung dengan tingkat kebutuhan terhadap rupiah. Semakin tinggi tingkat kebutuhan akan rupiah maka semakin baik pula nilai tukar rupiah, dan juga sebaliknya. Semakin tidak menarik rupiah untuk di simpan , maka nilai tukar rupiah akan menurun. Untuk itu Bank Indonesia sering mengeluarkan kebijakan dalam menjaga nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah sangat berhubungan langsung dengan inflasi, hal ini terjadi karena masih bergantungnya indonesia terhadap produk-produk impor dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia. Selain itu nilai tukar rupiah yang rendah juga akan membuat kesulitan para eksportir untuk mendapatkan untung yang sesuai bagi produknya. Sehingga ini memberikan dampak pada perekonomian makro Indonesia. Inflasi juga mempengaruhi secara langsung terhadap kemampuan masyarakat untuk berbelanja.Menurut teori kuantitas Fisher, bahwa terjadi hubungan yang erat antara nilai inflasi yang tinggi dengan meningkat nya jumlah uang beredar.Secara signifikan, jumlah uang yang beredar menyebabkan harga-harga barang juga akan beranjak naik. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat mempunyai kemampuan berbelanja yang baik. Tetapi pada titik tertentu, inflasi yang tinggi pada akhir nya akan mengurangi jumlah uang yang beredar, hal ini dikarenakan harga barang semakin tinggi sehingga masyarakat akan cenderung untuk berhemat dalam berbelanja. Inflasi yang tinggi juga akan membuat harga barang naik dan juga mempengaruhi nilaiuang dalam melakukan investasi. Oleh karena itu, pada negara yang mempunyai inflasi yang sangat tinggi akan menyebabkan jumlah uang yang beredar (M2) juga akan menurun. Ini sebagai akibat secara langsung berkurangnya minat belanja masyarakat. Studi ini bertujuan untuk menilai pengaruh inflasi terhadap jumlah uang beredar (M2) dan nilai tukar rupiah pada periode 2008- 2010. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah: H1 : Jumlah Uang beredar (M2) berpengaruh terhadap inflasi H2 : Selisih nilai rupiah dan dollar (kurs) berpen-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
garuh terhadap inflasi H3 : Neraca perdagangan berpengaruh terhadap inflasi H4 : Suku bunga BI (Rate) berpengaruh terhadap inflasi TINJAUAN PUSTAKA Inflasi merupakan kejadian yang ditandai adanya kenaikan terhadap harga-harga barang pada umumnya atau menurunnya jumlah nilai mata uang beredar(Herman, 2003). Inflasi juga merupakan ukuran ekonomi yang memberikan gambaran tentang meningkatnya harga barang dan jasa secara rata-rata yang diproduksi pada suatu sistem perekonomian (Suseno Hg,1990 dalam Sugeng 2004). Indikator umum yang digunakan untuk menggambarkan perubahan inflasi disebut dengan indek harga konsumen (IHK). Perubahan terhadap indek ini mengindikasikan pergeseran harga dari jenis barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat. Inflasi dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yaitu dengan menggolongkannya berdasarkan tingkat parah atau tidaknya (Dornbusch & Fischer, 1992) : a. Inflasi ringan (<10% setahun) b. Inflasi sedang (10% - 30% setahun) c. Inflasi berat (30% - 100% setahun) d. Hiper inflasi (>100% setahun). Selanjutnya (Dornbusch & Fischer, 1992) mengolongkan inflasi berdasarkan sebab akibat terjadinya, yaitu sebagai berikut: a. Demand inflation terjadi karena permintaan barang yang terlalu tinggi dikarenakan situasi politik dan keamanan negara pada saat tersebut. b. Cost inflation terjadi akibat naiknya biaya produksi Laju Inflasi yang tinggi merupakan kondisi yang paling tidak diinginkan oleh para pelaku bisnis, karena dapat meningkatkan biaya produksi yang berdampak terhadap harga dan pendapatan (Samuelson, 1992 dalam Mudji dan Mudjilah, 2003) .
263
Jumlah Uang Beredar (M2) adalah banyaknya jumlah uang yang eredar dimasyarakat. Namun definisi ini dapat berbeda antar negara yang satu dengan negara lainnya. Adapun pendekatandalam menghitung jumlah uang beredar antara lain : transactional approach dan liquidity approach.Pendekatan ini mengasumsikan bahwa jumlah uang beredar yang dihitung merupakan jumlah uang yang digunakan untuk keperluan transaksi ditambah dengan uang kuasi (quasy money). Dalam arti sempit, jumlah uang beredar M1 terdiri dari uang kuartal, yaitu uang kertas dan uang logam, tidak termasuk didalamnya uang kas pada kantor perbendaharaan dan kas negara (KPKN), Bank Umum dan uang giral yang terdiri atas rekening giro, , simpanan berjangka, kiriman uang dan tabungan dalam rupiah yang sudah jatuh tempo yang seluruhnya merupakan simpanan penduduk dalam rupiah pada sistem moneter. Perkembangan jumlah uang beredar (M2) lebih cepat meningkat dibandingkan dengan perkembangan jumlah uang beredar (M1) dikarenakan adanya pertambahan tingkat kemajuan ekonomi. Meningkatnyajumlah uang yang beredarbaik secara langsung maupun tidak langsung menggambarkan bahwa terjadinya peningkatan perekonomian masyarakat.Meningkatnya jumlah tabungan dan investasi dalam deposito menunjukkan bahwa terjadi peningkatan penghasilan dari masyarakat yang lebih besar dari konsumsi. Nilai Tukar Mata Uang Asing (Exchange rate) atau kurs adalah harga mata uang terhadap mata uang lainnya. Dalam sistem ekonomi terbuka, kurs merupakan salah satu harga yang terpenting mengingat pengaruh yang besar bagi neraca transaksi berjalan maupun variabel-variabel makro ekonomi lainnya. Ada dua pendekatan dalam menilai naik turunnya nilai tukar mata uang asing yaitu pendekatan moneter dan pendekatan pasar aset. Pendekatan moneter mendefinisikan nilai tukar mata uang sebagai harta dimana mata uang asing diperjualbelikan terhadap mata uang domestik dan harga tersebut berhubungan dengan penawaran dan permintaan uang. Secara resmi, perubahan nilai tukar mata uang asing terjadi pada waktu dilakukan transaksi valuta asing yang biasa dilakukan oleh pemerintah
264
MAYA FEBRIANTY LAUTANIA DAN EVAYANI
dalam suatu negara yang menganut sistem managed floating exchangeatau dapat juga disebabkan karena tarik menarik antara demand dan supply. Sementara itu, perubahan nilai tukar mata uang asing dapat diakibatkan oleh empat hal, yaitu : a. Depresiasi, yaitu penurunan harga mata uang nasional terhadap mata uang asing akibat terjadinya tarik menarik antara supply dan demand dipasar. b. Apresiasi, yaitu peningkatan harga mata uang asing terhadap mata uang asing akibat terjadinya tarik menarik antara supply dan demand dipasar. c. Devaluasi, yaitu penurunan harga mata uang nasional terhadap mata uang asing yang dilakukan dengan resmi oleh pemerintah di suatu negara d. Revaluasi, yaitu peningkatan harga mata uang nasional terhadap mata uang asing yang dilakukan dengan resmi oleh pemerintah di suatu negara.
hingga secara tidak langsung akan dapat menurun harga-harga barang di dalam negeri. Sebaliknya, defisit di dalam neraca perdagangan apabila terjadi secara terus menerus dan dalam jumlah yang signifikan akan mempengaruhi kestabilan ekonomi suatu makro suatu negara secara langsung. Nilai mata uang akan turun, harga barang-barang akan naik sehingga pada akhirnya akan memberikan pengaruh terhadap kenaikan inflasi.
Neraca perdagangan suatu negara dapat di definisikan sebagai kumpulan transaksi eknomi dari suatu Negara terhadapa negara lain nya. Selain neraca perdagangan dapat juga di definisikan sebagai selisih antara kegiatan ekspor dan impor. Ketika suatu negara mempunyai neraca perdagangan yang bernilai positif itu bermakna bahwa negara tersebut mempunya kegiatan ekspor yang lebih besar daripada kegiatan impor atau biasa disebut dengan trade surplus.Demikian juga sebaliknya, apabila neraca perdagangan itu bernilai negative, maka kegiatan perekonomian di bidang impor itu lebih besar dibandingkan dengan kemampuan ekspor atau biasa di sebut dengan deficit perdagangan. Neraca perdagangan yang positif atau biasa di sebut dengan trade surplus itu memberikan pengaruh positif bagi kestabilan ekonomi satu Negara. Trade surplus ini berarti aliran uang masuk dari luar itu lebih besar dari pada aliran uang keluar sehingga hal ini secara tidak langsung akan membantu pendapatan negara melalui keuntungan –keuntungan perusahaan yang bergerak di ekspor dalam melakukan pembayaran pajak. Selain itu nilai neraca perdagangan yang positif juga akan membantu memperkuat nilai tukar mata uang se-
Tingkat suku bunga merupakan harga dari penggunaan uang atau bisa juga sebagai sewa atas penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu (Boediono, 1988). Selanjutnya Khalwaty (2000:145) mendefinisikan suku bunga merupakan instrumen konvensional yang dapat mengendalikan atau menekan laju pertumbuhan tingkat inflasi.Tingginya suku bunga akan menyebabkan masyarakat menempatkanuangnya dilembaga perbankan daripada menginvestasikannya pada bidang produksi atau industri, sehingga lembaga perbankan dapat menghimpun uang yang beredar lebih banyak dari masyarakat. Akan tetapi, disisi lain hal ini akan mempengaruhi opportunity cost pada sektor industri dan riil dikarenakan meningkatnya nilai uang. Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor yang menpengaruhi terjadinya perubahan nilai Inflasi sudah pernah di publikasikan. Pada tahun 1990, Ahmed dan Kapur membuat kesimpulan bahwa jumlah uang beredar yang rendah akan dapat mengurangi inflasi. Penelitian ini mengunakan metode estimasi OLS.Studi yang dilakukan Siregar (1996) menunjukan bahwa nilai tukar rupiah mempunyai pengaruh secara langsung terhadap inflasi.Tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari kebijakan pengendalian nilai uang secara ketat terhadap inflasi. Penelitian yang dilakukan Endri (2008) mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia pada periode 1997-2005 menyimpulkan ada pengaruh yang signifikan dari nilai tukar rupiah terhadap inflasi. Pada tahun2012, Primawan dan Maruto menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar (M2) mempunyai pengaruh negatif dan siginifikan terhadap
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
inflasi. Sedangkan nilai tukar rupiah mempunyai pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap inflasi.Penelitian ini di lakukan dalam kurun waktu data 2000 – 2011. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari lembaga yang terkait secara resmi antara lain Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI). Adapun data yang digunakan bersifat time series, yaitu data yang diambil merupakan data nilai inflasi bulanan, Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar (Kurs) setiap akhir bulan, jumlah uang beredar setiap bulannya dalam arti luas (M2), Neraca Perdagangan perbulan dan suku bunga BI (Rate). Data yang di gunakan adalah data selama tahun 2008 sampai dengan 2013, (data selama enam tahun). Teknik analisa data yang di gunakan pada penelitian ini adalah mengunakan softaware SPSS. karena penelitian ini bersifat sample, maka perlu dilakukan uji asumsi klasik yang meliputi uji normalitas, uji multikoliner, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi. Metode analisis yang digunakan adalah model regresi linier berganda(multiple linier regression method), yang dirumuskan sebagai berikut: Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + e Dimana: Y = Inflasi perbulan X1 = Jumlah uang beredar (M2) perbulan X2 = Selisih mata uang rupiah Terhadap Dolar (Kurs) 1 bulanan X3 = Neraca Perdagangan (NP) X4 = Tngkat Suku Bunga Bank Indonesia (Rate) e = Error Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas, Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi yang normal atau tidak (Ghozali,2001), maka digunakan pengujian Kolmogrof-Smirnov Goodness of Fit Test terhadap masing-masing var-
265
iable dalam penelitian. Data dikatakan berdistribusi normal apabila probabilitas nilai signifikansi lebih besar dari 0,05. Uji Multikolinieritas, Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan linier antara satu variabel dengan variabel lain dengan menggunakan tolerance and VIF (variance inflation factor). MenurutGhozali, (2006) nilai yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai Tolerance kurang dari 0,10 atau nilai VIF lebih besar dari 10. Uji heterokedastisitas dilakukan untuk menguji sebuah model regresi linier apakah terjadi ketidaksamaan varian dari residual pengamatan ke pengamatan lainnya. Model regresi yang baik apabila tidak terjadi heterokedastisitas dengan melihat pada nilai signfikansi. Apabila diatas 0,05 maka tidak ada heterokedastisitas. Uji autokorelasi dilakukan untuk mengujiapakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t- 1 sebelumnya. Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem autokorelasi (Ghozali;95). Persyaratan yang harus dipenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model regresi. Metode pengujian yang lazim digunakan adalah uji Durbin-Watson (uji DW) dengan ketentuan membandingkan antara nilai dw dengan nilai tabel dimana nilai signifikansi 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas, hasil pengujian normalitas pada Tabel 1 menunjukkan bahwa variabel yang diuji memiliki nilai asymp. Sig masing-masing variabel diatas 0,05. Data tersebut dinyatakan mempunyai distribusi normal sehingga dapat dilakukan pengujian selanjutnya. Uji autokorelasi dimaksudkan untuk menguji apakah terjadi korelasi antar variabel independen. Melihat ada tidaknya autokorelasi dilakukan dengan melihat angka Durbin-Watson (DW). Hasil uji
266
MAYA FEBRIANTY LAUTANIA DAN EVAYANI
Tabel 1 Hasil Uji Normalitas Hypothesis Test Summary Null Hypothesis
Test
Sig.
Decision
The distribution of Inflasi is normal One-Sample Kolmogorov1 with mean 2,51 and standard deviation 0,62 Smirnov Test
,501
Retain the null hypothesis.
The distribution of M2 is normal 2 with mean 2,50 and standard deviation 0,62
One-Sample KolmogorovSmirnov Test
,278
Retain the null hypothesis.
The distribution of Kurs is normal 3 with mean 9,66and standard deviation 0,43
One-Sample KolmogorovSmirnov Test
,064
Retain the null hypothesis.
The distribution of Rate is normal 4 with mean 6,39 and standard deviation 0,43
One-Sample KolmogorovSmirnov Test
,053
Retain the null hypothesis.
The distribution of NP is normal 5 with mean 3,47 and standard deviation 1,32
One-Sample KolmogorovSmirnov Test
,982
Retain the null hypothesis.
Asymptotic significances are displayed. The significance level is ,05
Sumber: Data diolah dengan SPSS Tabel 2 Uji Autokorelasi
DW Tabel du 4-du 2.374 1.505 3.495
Model
DW
Model 1
Sumber : Data Diolah SPSS Tabel 3 Uji Multikolinearitas Coefficient Correlationsa
Model 1 Correlations
Covariances
NP Kurs M2 Rate NP Kurs M2 Rate
NP 1.000 ,411 ,311 -,498 ,005 ,003 ,003 -0,007
Kurs ,411 1.000 -,090 -,476 ,003 ,008 -,001 -,009
M2 ,311 -,090 1.000 ,083 ,003 -,001 ,016 ,002
a. Dependent Variable: Inflasi
Variabel indepeden Tolerance M2 0,804 Kurs 0,712 NP 0,630 Inflasi 0,579 Sumber : Data Diolah SPSS
VIF 1.244 1.404 1.588 1.727
Rate -,498 -,476 -,083 1.000 -,007 -,009 ,002 ,042
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
267
Pengujian Hipotesis Analisis Regresi Linier Berganda Hasil pengolahan data dengan menggunakan model regresi linier berganda pada penelitian ini memberikan hasil seperti pada Tabel 5.
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa nilai DW sebesar 2,374 angka ini berada diatasangka du tabel (1,505) dan berada dibawah 4-du (3,495). Kesimpulan dari uji ini menyatakan bahwa tidak ada autokorelasi antar variabel independen. Nilai du di dapat dari k=4 dengan jumlah pengamatan 72 Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui bahwa variabel independen terbebas dari gejala multikolinearitas. Dari hasil uji multikolinearitas terhadap variabel independen diperoleh nilai VIF lebih kecil dari 10dan nilai tolerance yang kurang dari 0,10 sesuai dengan tabel 3 dibawah ini. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadinya multikolinearitas antar variabel bebas dalam analisis regresi. Pada uji coefisien corelasi ditemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat diantar variabel NP dengan Rate yaitu sebesar 49,8%. Sedangkan korelasi yang lemah didapati pada variabel rate dengan M2 yaitu sebesar 8,3%. Uji Heteroskedastisitas yang telah dilakukan tampak seperti Tabel 4 berikut ini menunjukkan bahwa keempat variabel tersebut mempunyai nilai signifikansi diatas 0,05. Hal ini berarti tidak terdapat heteroskedastisitas.
Pada persamaan diatas diperoleh konstanta sebesar 3,345, ini dapat diartikan bahwa apabila semua variabel independen dianggap konstan atau tidak berubah maka tingkat inflasi yang terjadi adalah sebesar 3,345. Berdasarkan hasil persamaan regresi linier berganda maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: Y= 3,345-0,151*M2 - 0,215*Kurs – 0,216*NP + 0,372*Rate + e. Uji secara Partial (Uji t) merupakan pengujian variabel jumlah uang beredar (M2), kurs, defisit dan rate terhadap inflasi secara partial. Berdasarkan uji regresi yang telah dilakukan maka diperoleh hasil seperti terlihat pada Tabel 6. 1. Nilai variabel M2 tidak berpengaruh terhadap variabel Y dengan nilai t -1,215 dan tingkat signifikansi sebesar 0,228sehingga Hipotesis H1 ditolak.Hasil ini tidak sesuai dengan teori
Tabel 4 Uji Heteroskedastisitas
Variabel indepeden M2 Kurs NP Rate
Sig. 0,228 0,058 0,053 0,075
Sumber : Data Diolah SPSS Tabel 5 Coefficientsa
Variabel independent (Constant) M2 Kurs Rate NP
Unstandardized Coefficients B
Std Error
3.345 -0,151 -0,215
1.212 0,125 0,089
0,372 -0,216
0,205 0,707
a. Dependent Variable : Inflasi
Sumber : Data diolah SPSS
268
MAYA FEBRIANTY LAUTANIA DAN EVAYANI
Tabel 6 Uji t
Variabel independent
t
(Constant) M2 Kurs Rate NP
Sig. 3
,007
-1,215
,228
-2,422
,018
2
,075
-3,109
,003
a. Dependent Variable : Inflasi
Sumber : Data diolah SPSS Tabel 7 Uji F ANOVAa
Sum of Squares 4.006 23.143 27.149
Model 1
Regression Residual Total
df
Mean square
4 67 71
1.001 ,345
F
Sig. ,028 b
2.899
a. Depedent Variable: Inflasi b. Predictors: (Constant), NP, Kurs, M2, Rate
Sumber : Data diolah SPSS Tabel 8
Uji R Square Model Summaryb
Model 1
R
R Square ,684 a
Sumber : Data diolah SPSS
,348
Adjusted Std. Error of R Square the Estimate 0,299
0,5877223
DurbinWatson 2.374
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
yang berkaitan dengan hubungan jumlah uang yang beredar dengan inflasi. Berdasarkan teori, seharusnya peningkatan jumlah mata uang beredar berarti meningkat pula kemampuan masyarakat untuk berbelanja dan ini memberikan nilai positif atau peningkatan terhadap inflasi, hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Primawan dan Maruto (2012). Pengaruh yang negatif ini dimungkinkan karena M2 adalah jumlah uang beredar secara total, baik dalam bentuk liquid maupun non liquid. Ada kemungkinan jumlah uang non liquid di dalam periode penelitian ini berjumlah signifikan sehingga walaupun jumlah uang yang beredar itu besar, tetapi kenyataannya tidak memberikan efek positif kepada inflasi. 2. Nilai variabel kurs berpengaruh negatif dengan nilai t – 2,422 dansignifikan dengantingkat signifikansi sebesar 0,018 sehingga hipotesis H2 diterima. Hal ini berarti peningkatan kurs sebesar satu rupiah akan menurunkan inflasi sebesar 2,422 apabila variabel lainnya yaitu M2, Neraca perdagangan dan rate dianggap konstan. 3. Nilai variabel neraca perdagangan (NP) berpengaruh negatif terhadap variabel Y, ditunjukkan dengan nilai t -3,109dan tingkat signifikan sebesar 0,003 sehinggaHipotesis H3 diterima.Nilai Variabel Neraca perdagangan terhadap inflasi sebesar -3,109hal ini menunjukkan bahwa peningkatan terhadap satu rupiah neraca perdagangan akan menurunkan inflasi sebesar 3,109 apabila variabel lainnya yaitu M2, Neraca perdagangan dan rate dianggap konstan. 4. Nilai variabel rate tidak berpengaruhterhadap variabel Y dengan nilai t 1,808dan nilaisignifikansisebesar 0,075 sehingga Hipotesis H4 ditolak. Uji Secara Simultan (Uji F) digunakan untuk menguji signifikansi pengaruh variabel jumlah uang beredar (M2), kurs, Nerac perdagangan dan Rate terhadap inflasi secara simultan. Hasil uji F dengan program SPSS dapat dilihat pada Tabel 7.
269
Dari uji Anova atau F test didapat nilai F hitung sebesar 2,899 dengan probabilitas 0,028. Karena probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka model regresi dapat dipergunakan untuk memprediksi pengaruh secara bersama-sama variabel jumlah uang beredar (M2), kurs, neraca perdagangan dan terhadap inflasi. Koefisien Determinasi (R2) Analisis ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan variabel atau jumlah uang beredar (M2), kurs, neraca perdagangan dan rate secara bersama-sama terhadap inflasi. Berdasarkan uji koefisien determinasi maka diperoleh nilai R2 sebesar 34,8%, hal ini menunjukkan bahwa keempat variabel tersebut mempunyai pengaruh sebesar 34,8% terhadap perubahan inflasi, sementara sisanya sebesar 65,2% merupakan faktor lain diluar keempat variabel independen tersebut. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari keempat variabel yang diuji yaitu jumlah uang beredar (M2), kurs rupiah terhadap dollar, neraca perdagangan dan suku bunga BI (rate) maka hanya dua variabel yaitu kurs dan neraca perdagangan yang signifikan berpengaruh terhadap inflasi, sementara jumlah uang beredar (M2) dan suku bunga BI (rate) tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap inflasi. Hal ini dibuktikan dengan nilai uji t dari masing-masing variabel tersebut sebesar0,228 untuk variabel M2 dan 0,075 untuk variabel suku bunga BI 2. Berdasarkan uji variabel secara simultan maka diperoleh nilai F hitung sebesar 2,899 dengan nilai signifikansi sebesar 0,028. Ini menunjukkan bahwa secara simultan keempat variabel independen tersebut berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. SARAN Berdasarkan hasil yang di peroleh di dalam
270
MAYA FEBRIANTY LAUTANIA DAN EVAYANI
penelitian ini maka penulis ingin memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Pemerintah harus dapat mengendalikan faktorfaktor yang memberikan pengaruh secara signifikan terhadap terjadi nya inflasi terutama dalam hal ekspor impor. Pemerintah harus dapat mendorong dan meningkatkan kemampuan dalam melakukan ekspor serta mengurangi impor. Hal ini bertujuan untuk dapat memperkuat nilai mata uang serta menurunkan harga-harga barang dalam negeri. 2. Pemerintah juga harus membuat kebijakankebijakan moneter yang akan mengurangi ket-
ergantungan terhadap penggunaan mata uang asing. Ini perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan mata uang sendiri. 3. Dalam menjaga inflasi, pemerintah harus dapat melakukan langkah-langkah secara preventif dan terukur. Hal ini mencegah kenaikan inflasi yang secara tiba-tiba dan tanpa penangganan secara tepat. Kenaikaninflasi yang secara tibatiba akan memberikan efek yang sangat negative di dalam masyrakat dan pada akhir nya akan menganggu kestabilan ekonomi makro secara umum.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
271
REFERENSI Ahmed, S dan B.K. kapur (1990), “How Indonesia’s Monetary Policy Affects key Variables”. Working Bank Policy, research and external affairs Working Paper, february. Badan Pusat Statistik, www.BPS.go.id Bank Indonesia, www.BI.go.id Endri (2008), “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di indonesia, jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.13 No.1 April 2008 Hal. 1-13 Siregar, R.Y. (1996). “Real Exchange rate Targeting and Inflation in Indonesia: Theory and Empirical Evidence. “Pacific Basin Working Paper series, Federal Reserve Bank of San Fransisco, No.PB96-07. Primawan, W.N. dan Maruto, U.B. (2012), “ Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia periode 2001.1-2011.4, Diponegoro Journal of Economics, Vol. 1, No.1, 2012, Hal. 1-10.
272
MAYA FEBRIANTY LAUTANIA DAN EVAYANI
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, 3, Juli 2014 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 15, Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 1412 – 968X Hal. 273-289
273
ANALISIS REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH ACEH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGANGGURAN, DAN KEMISKINAN MUHAMMAD ILHAMSYAH SIREGAR DAN IQBAL MUDAWALI Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
This study aims to determine the effect of regional expenditure on economic growth, unemployment, and poverty in the region of Aceh, the Aceh region because of its dependence on the budget. The scope of the study were 23 districts / cities in Aceh and use the data for 2008-2011 are sourced from publications Provincial Finance Department and the Central Statistics Agency (BPS). The model used is a simple linear regression using panel data analysis method Fixed Effect Model. The results show the realization of the regional expenditure and significant positive effect on economic growth with a coefficient of determination (Adj.R2 = 0.9646), meaning that 96.46 percent of the area affected by the expenditure, if the expenditure increases, the region’s economic growth will also increase. While the realization of shopping areas as well as significant negative effect on unemployment with Adj.R2 value = 0.8400, which means the realization of regional spending 84 percent unemployment and expenditures affecting the area as well as well as a significant negative effect on poverty with Adj.R2 value = 0.8598 at 85 , 98 percent of poverty is affected by the realization of the regional expenditure. If the expenditure increases, will be able to reduce the unemployment rate and also reduce the level of poverty. Policy implications of this research are important for the government of Aceh and district / city in Aceh to improve the optimization of regional expenditure, especially capital expenditure because it can boost economic growth and reduce unemployment and poverty. Keywords: Realization of regional expenditure, Economic Growth, Unemployment, Poverty, Panel Data, Fixed Effect Model
274
MUHAMMAD ILHAMSYAH SIREGAR DAN IQBAL MUDAWALI
PENDAHULUAN Perkembangan suatu negara untuk lebih maju dilaksanakan melalui pembangunan nasional secara terus-menerus dan berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu bagian penting dari pembangunan nasional adalah pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi pada dasarnya mengoptimalkan peranan sumber daya dalam menciptakan kenaikan pendapatan pada sektor-sektor ekonomi dan mengusahakan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan nasional yang dilaksanakan membutuhkan anggaran belanja pada setiap periode. Seiring dengan peningkatan pembangunan nasional maka anggaran belanja yang diperlukan juga semakin meningkat. Anggaran belanja tersebut dikumpulkan dari segenap potensi sumber daya dan pendapatan yang dimiliki oleh suatu daerah. Anggaran pendapatan dan belanja yang dikumpulkan dituang dalam suatu program atau rancangan pemerintah yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD merupakan dasar pengelola keuangan daerah dalam tahun tertentu yang berisi pendapatan dan pembiayaan dana pemerintah. Pengelolaan keuangan daerah sangat besar pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah. Pengelolaan keuangan yang baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan penerimaan daerah serta mengurangi pengangguran yang selanjutnya akan mengurangi tingkat kemiskinan di suatu daerah. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 adalah semua penerimaan uang melalui kas umum daerah terdiri dari PAD (Pendapatan Asli Daerah) mencakup pajak daerah, restribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, Dana perimbangan mencakup Dana Bagi Hasil (Pajak dan Sumber Daya Alam), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan pendapatan daerah yang sah lainnya mencakup dana hibah dan dana otonomi khusus. Belanja daerah dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintah daerah yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, be-
lanja modal, subsidi, dan belanja lain-lain. APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Aceh dirancang dan disusun dengan kinerja yang memuat sasaran yang diharapkan dalam pertumbuhan ekonomi di Aceh. Realisasi anggaran pendapatan dan belanja pemerintah Aceh dari tahun 2006 sampai 2012 terjadi peningkatan, namun mengalami penurunan pada realisasi pendapatan tahun 2007. Menurut Alamsyah (2013) kinerja positif Pemerintah Aceh dalam merealisasikan APBD tahun 2008 sampai tahun 2012 berdampak positif dalam menurunkan SILPA (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran) Aceh yang menjadi persoalan klasik dalam manajemen pembangunan di Aceh selama ini. Belanja daerah masih menjadi modal penting yang digunakan untuk pembangunan ekonomi di Aceh, terutama bagi 23 kabupaten/kota dalam menjalankan pemerintahannya, karena daerah Aceh belum memiliki pendapatan lain yang besar dan hanya mengaharapkan pada belanja daerah. Oleh karena itu, semua daerah di Aceh sangat tergantung pada belanja daerah khususnya adalah belanja modal yang menjadi bagian dari asset daerah yang dapat meningkatkan perekonomian dalam membangun daerah masing-masing. Prioritas utama dalam perekonomian adalah pembangunan yang dilakukan di semua sektor karena dapat menghasilkan pendapatan yang lebih baik di masa yang akan datang. Optimalisasi dan prioritas belanja akan menumbuhkan perekonomian yang berdampak secara langsung terhadap pengurangan pengangguran dan mengatasi permasalahan kemiskinan. Dritsakis dan Adamopoulus (2004) membuktikan bahwa belanja negara berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa apabila perekonomian meningkat maka daya serap angkatan kerja juga akan meningkat sehingga jumlah pengangguran dapat berkurang dan kemungkinan besar dapat mengatasi permasalahan kemiskinan di suatu daerah. Namun yang terjadi sekarang adalah tingkat pertumbuhan angkatan kerja yang semakin meningkat tetapi tidak di dukung oleh pertumbuhan lapangan kerja sehingga menyebabkan permasalahan pengangguran semakin serius. Pertumbuhan ekonomi yang
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
mengalami peningkatan dan terus menunjukkan perbaikan selama beberapa tahun terakhir tidak berarti pekerjaan pemerintah telah selesai, kegiatan di sejumlah sektor khususnya di sektor riil masih di bawah kapasitas. Pertumbuhan ekonomi juga belum mampu menyerap pengangguran dan mengatasi kemiskinan. Tingkat pengangguran dan kemiskinan di Aceh masih tinggi, tetapi semakin membaik dengan adanya penurunan jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan, sedangkan pertumbuhan ekonomi Aceh terus meningkat semenjak tahun 2010. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Aceh turun menjadi -2,36 dan turun lagi tahun 2008 sebesar -5,24, hal ini disebabkan karena krisis global yang terjadi pada saat itu. Kemerosotan yang terjadi pada sektor riil akan mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Pemerintah dituntut untuk mengambil inisiatif kebijakan fiskal yang tepat untuk menumbuhkan perekonomian dalam rangka mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang mantap dan stabil akan mendorong berkurangnya jumlah pengangguran dan menekan angka kemiskinan. Setiap negara akan berusaha keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal dan menurunkan angka kemiskinan. Negara-negara di dunia menjadikan syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi. Namun, kondisi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia pertumbuhan ekonomi yang dicapai ternyata juga diiringi dengan munculnya permasalahan meningkatnya jumlah penduduk yang menganggur dan hidup dibawah garis kemiskinan. Tingkat kemiskinan dapat diukur dari tingkat IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang terdapat di suatu negara. IPM adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk seluruh negara di dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup. Pengukuran IPM dilakukan oleh UNDP(United Nations Development Programme). Nilai IPM yang tinggi
275
adalah mendekati 1,0. Angka IPM Indonesia dan Aceh selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan, tahun 2012 IPM Indonesia meningkat menjadi 0,629 dari sebelumnya 0,624 , sedangkan wilayah Aceh memiliki IPM 0,7216 meningkat dari tahun 2011 yaitu 0,7170 seperti yang terlihat pada tabel 1.3, angka tersebut menunjukkan bahwa daerah Aceh memiliki tingkat standar hidup, harapan hidup dan pendidikan yang termasuk kategori menengah dan secara nasional lebih baik dibandingkan dengan Indonesia, tetapi pada kenyataanya Aceh termasuk daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Menurut Kuncoro (2004) ada tiga masalah pokok yang menjadi perhatian dalam mengukur pembangunan suatu negara atau daerah, yaitu 1) apa yang terjadi pada tingkat kemiskinan, 2) apa yang terjadi pada tingkat pengangguran, 3) apa yang terjadi terhadap ketimpangan berbagai bidang. Peneliti disini membahas tentang pengelolaan keuangan Daerah Aceh yang mencakup 23 kabupaten/kota pada realisasi belanja daerah yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan. Dari masalah yang telah dikemukakan, maka permasalahan utama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah berapa besar pengaruh realisasi anggaran belanja Daerah Aceh terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan. Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh realisasi anggaran belanja Daerah Aceh terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan. LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu rencana kerja pemerintah daerah yang mencakup seluruh penerimaan dan belanja (pengeluaran) pemerintah daerah, baik provinsi ataupun kabupaten dalam rangka mencapai sasaran pembangunan dalam kurun waktu satu tahun yang dinyatakan dalam satuan uang dan disetujui oleh DPRD. Pada dasarnya fungsi dan tujuan penyusunan APBD sama dengan fungsi
276
MUHAMMAD ILHAMSYAH SIREGAR DAN IQBAL MUDAWALI
dan tujuan APBN, hanya dalam APBD ruang lingkupnya yang berbeda, APBN berskala nasional sedangkan APBD terbatas pada wilayah daerah dan pelaksanaannya diserahkan kepada kepala daerah atau gubernur dan bupati/walikota, serta sesuai dengan kebijakan otonomi daerah. Sementara itu, APBD disusun oleh pemerintah daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) daerah untuk menjalankan pemerintahan daerahnya masingmasing (Ismawanto, 2009:27). Belanja Daerah berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagia pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Belanja daerah adalah semua pengeluaran yang dikeluarkan pemerintah daerah pada suatu periode anggaran yang berupa arus kas aktiva keluar. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah dan merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja daerah terdiri dari: a. Belanja Aparatur Daerah antara lain: - Belanja Administrasi Umum - Belanja Modal - Belanja Operasi dan Pemeliharaan b. Belanja Pelayanan Publik, antara lain: - Belanja Administrasi Umum - Belanja Modal - Belanja Operasi dan Pemeliharaan - Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan - Belanja Tak Tersangka Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 telah diperbaharui dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, sehingga struktur Belanja Daerah sekarang berubah menjadi sebagai berikut: a. Belanja Tidak Langsung yang meliputi: - Belanja Pegawai Belanja pegawai adalah belanja kompensa-
si baik adalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada pejabat negara, PNS, dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah. Contohnya adalah gaji. - Belanja Bunga (Pembayaran Bunga Utang) Pembayaran bunga utang adalah pengeluaran pemerintah yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri yang dihitung berdasarkan pinjaman. - Belanja Subsidi Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan pemerintah kepada perusahaan daerah, lembaga pemerintah atau pihak ketiga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup banyak orang agar harga jual dapat dijangkau masyarakat. - Belanja Bantuan Sosial Bantuan sosial adalah transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. - Belanja Hibah Hibah adalah pengeluaran pemerintah berupa transfer dalam bentuk uang, barang atau jasa, bersifat tidak wajib yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan tidak mengikat serta tidak terus menerus. - Belanja Bagi Hasil kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa - Belanja Bantuan Keuangan kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa - Belanja Tidak Terduga seperti pengeluaran untuk penanggulangan bencana alam dan bencana sosial. b. Belanja Langsung antara lain: - Belanja Pegawai Belanja pegawai adalah belanja kompensasi baik adalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada pejabat negara, PNS, dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah. Contoh: tun-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
jangan, honorium, lembur, dan lain-lain. - Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambahkan asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode. - Belanja Barang dan Jasa Merupakan pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakatdan belanja perjalanan. Pertumbuhan Ekonomi Riil (GDP riil) Pertumbuhan ekonomi adalah perubahan pendapatan nasional (produksi nasional/GDP/ GNP) dalam satu tahun tertentu, dan menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah atau meningkat. Variabel ini diuji menggunakan data tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai daerah dalam suatu periode tertentu, dalam hal ini untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada kenaikan Produk Reguional Domestik Bruto. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini digunakan formula sebagai berikut : Pertumbuhan Ekonomi =
PDRBt - PDRBt-1 PDRBt-1
GDP riil adalah ukuran yang digunaka untuk mengukur pertumbuhan ekonomi yaitu suatu ukuran jumlah barang dan jasa keseluruhan yang diproduksi perekonomian yang tidak terpengaruh oleh perubahan harga barang dan jasa tersebut atau tidak dipengaruhi oleh inflasi. GDP riil menunjukkan bagaimana produksi barang dan jasa keseluruhan berubah seiring berjalannya waktu dengan mengevaluasi produksi pada masa sekarang menggunakan harga-harga yang ditetapkan di masa lampau. GDP riil yaitu produksi barang dan jasa yang dinilai dengan harga-harga tetap (mankiw: 14-15). Ukuran yang digunakan untuk tingkat harga secara keseluruhan dalam perekonomian digunakan Deflator GDP yang merupakan perbandingan
277
GDP nominal dengan GDP riil. GDP nominal merupakan output saat ini yang dinilai berdasarkan harga saat ini dan GDP riil adalah output pada saat ini yang dinilai berdasarkan harga pada tahun pokok (harga konstan). Deflator GDP mencerminkan tingakt harga saat ini relative terhadap tingkat harga tahun pokok. Deflator GDP merupakan salah satu ukuran yang digunakan oleh para ekonom untuk mengamati rata-rata tingkat harga perekonomian(mankiw: 38).
GDP nominal Deflator GDP = x 100 GDP riil
Kemiskinan, dalam kamus ilmiah populer, kata “miskin” mengandung arti tidak berharta (harta yang ada tidak mencukupi kebutuhan). Adapun kata “fakir” diartikan sebagai orang yang sangat miskin dan tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Secara etimologi makna yang terkandung yaitu kemiskinan sarat dengan masalah konsumsi. Hal ini bermula sejak masa neo-klasik di mana kemiskinan hanya dilihat dari interaksi negatif (ketidakseimbangan) antara pekerja dan upah yang diperoleh. Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pergeseran pengertian kemiskinan dengan tidak melihat aspek pendapatan dan konsumsi saja, tetapi juga melihat masalah ketergantungan, harga diri, pendapatan, kesejahteraan dan sebagainya (Hamid, 2008: 13). Berdasarkan deskripsi BAPPENAS 2004 (BPS, 2006:11) yang dimaksud dengan kemiskinan adalah : “Kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar antara lain, (a) terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya dan lingkungan hidup, (b) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan (c) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik baik bagi perempuan maupun laki-laki”. Menurut World Bank, dalam definisi kemiskinan adalah: ”the denial of choice and opportunities most basic for human development to lead a long healthy, creative life and enjoy a decent standard of living freedom, self esteem and the re-
278
MUHAMMAD ILHAMSYAH SIREGAR DAN IQBAL MUDAWALI
spect of other”. Dari definisi tersebut diperoleh pengertian bahwa kemiskinan itu merupakan kondisi yang menunjukkan seseorang tidak dapat menikmati segala macam pilihan dan kesempatan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti tidak dapat memenuhi kesehatan, standar hidup layak, kebebasan, harga diri, dan rasa dihormati seperti orang lain. SMERU Research Institute mengartikan kemiskinan dengan melihat berbagai dimensi (Hamid, 2008: 14-15): a. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan); b. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi); c. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tidak adanya investasi untuk pendidikan dan keluarga); d. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal; e. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam; f. Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat; g. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan; h. Ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik maupun mental; dan i. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2013), kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang memiliki rata-rata pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita per hari. Paket komoditi kebu-
tuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buahbuahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Pengangguran merupakan suatu ukuran yang dilakukan jika seseorang tidak memiliki pekerjaan tetapi mereka sedang melakukan usaha secara aktif dalam mencari pekerjaan. Pengangguran dapat terjadi karena disebabkan oleh ketidakseimbangan pasar tenaga kerja, hal ini menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebihi jumlah tenaga kerja yang diminta. Pengangguran adalah suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Seseorang yang tidak bekerja, tetapi tidak secara aktif mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai penganggur. Faktor utama yang menimbulkan pengangguran adalah kekurangan pengeluaran agregat. Para pengusaha memproduksi barang dan jasa dengan maksud untuk mencari keuntungan. Keuntungan tersebut hanya akan diperoleh apabila para pengusaha dapat menjual barang yang mereka produksikan. Semakin besar permintaan, semakin besar pula barang dan jasa yang akan mereka wujudkan. Kenaikan produksi yang dilakukan akan menambah penggunaaan tenaga kerja. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat diantara tingkat pendapatan nasional yang dicapai (PDB) dengan penggunaan tenga kerja yang dilakukan; semakin tinggi pendapatan nasional (PDB), semakin banyak penggunaan tenaga kerja dalam perekonomian (Sukirno, 2006:13). Berdasarkan penyebabnya pengangguran dapat dibagi empat kelompok (Sukirno, 2006:328329) : a. Pengangguran Normal atau Friksional Apabila dalam suatu ekonomi terdapat pengangguran sebanyak dua atau tiga persen dari jumlah tenaga kerja maka ekonomi itu sudah dipandang sebagai kesempatan kerja penuh. Pen-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
gangguran sebanyak dua atau tiga persen tersebut dinamakan pengangguran normal atau pengangguran friksional. Para penganggur ini tidak ada pekerjaan bukan karena tidak dapat memperoleh kerja, tetapi karena sedang mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Dalam perekonomian yang berkembang pesat, pengangguran rendah dan pekerjaan mudah diperoleh. Sebaliknya pengusaha susah memperoleh pekerja, akibatnya pengusaha menawarkan gaji yang lebih tinggi. Hal ini akan mendorong para pekerja untuk meninggalkan pekerjaan yang lama dan mencari pekerjaan baru yang lebih tinggi gajinya atau lebih sesuai dengan keahliannya. Dalam proses mencari kerja baru ini untuk sementara para pekerja tersebut tergolong sebagai penganggur dan mereka inilah yang digolongkan sebagai pengangguran normal. b. Pengangguran Siklikal Perekonomian tidak selalu berkembang dengan teguh, adakalanya permintaan agregat lebih tinggi, dan ini mendorong pengusaha menaikkan produksi. Lebih banyak pekerja baru yang digunakan dan pengangguran berkurang. Akan tetapi pada masa lainnya permintaan agregat menurun dengan banyaknya. Misalnya, di negara-negara produsen bahan mentah pertanian, penurunan ini mungkin disebabkan kemerosotan harga-harga komoditas. Kemunduran ini menimbulkan efek kepada perusahaan-perusahaan lain yang berhubungan, yang juga akan mengalami kemerosotan dalam permintaan terhadap produksinya. Kemerosotan permintaan agregat ini mengakibatkan perusahaan-perusahaan mengurangi pekerja atau menutup perusahaanya, sehingga pengangguran akan bertambah. Pengangguran dengan wujud tersebut dinamakan pengangguran siklikal. c. Pengangguran Struktural Tidak semua industri dan perusahaan dalam perekonomian akan terus berkembang maju, sebagian dari mereka akan mengalami kemunduran. Kemerosotan ini ditimbulkan oleh salah satu atau beberapa faktor berikut: wujudnya barang baru yang lebih baik, kemajuan teknologi mengurangi permintaan ke atas barang tersebut, biaya pengeluaran sudah sangat tinggi dan tidak mampu bersaing, dan ekspor produksi industri itu sangat menurun oleh karena persaingan yang lebih serius dari negara-negara lain. Kemerosotan
279
itu akan menyebabkan kegiatan produksi dalam industri tersebut menurun, dan sebagian pekerja terpaksa diberhentikan dan menjadi penganggur. Pengangguran yang terjadi digolongkan sebagai pengangguran struktural. Dinamakan demikian karena disebabkan oleh perubahan struktur kegiatan ekonomi. d. Pengangguran Teknologi Pengangguran dapat pula ditimbulkan oleh adanya penggantian tenaga manusia dengan mesin-mesin dan bahan kimia. Racun lalang dan rumput, misalnya, telah mengurangi penggunaan tenaga kerja untuk membersihkan perkebunan, sawah dan lahan pertanian lain. Begitu juga mesin telah mengurangi kebutuhan tenaga kerja untuk membuat lubang, memotong rumput , membersihkan kawasan, dan memungut hasil, dan lainlainnya. Sedangkan di pabrik-pabrik, robot telah menggantikan kerja-kerja manusia. Pengangguran yang ditimbulkan oleh penggunaan mesin dan kemajuan teknologi lainnya dinamakan pengangguran teknologi. Berdasarkan cirinya, pengangguran dibagi ke dalam empat kelompok (Sukirno, 2006:330) : a. Pengangguran Terbuka Pengangguran ini tercipta sebagai akibat adanya pertambahan lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari pertambahan tenaga kerja. Akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh pekerjaan. Dampak dari keadaan ini di dalam jangka masa yang cukup panjang, mereka tidak melakukan suatu pekerjaan. Jadi mereka menganggur secara nyata dan separuh waktu, dan oleh karenanya dinamakan pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka dapat pula terjadi sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang menurun, dari kemajuan teknologi yang mengurangi penggunaan tenaga kerja, atau sebagai akibat dari kemunduran perkembangan sesuatu industri. b. Pengangguran Tersembunyi Pengangguran ini terutama terjadi di sektor pertanian atau jasa. Setiap kegiatan ekonomi memerlukan tenaga kerja, dan jumlah tenaga kerja yang digunakan tergantung pada banyak faktor. Faktor yang perlu dipertimbangkan adalah besar kecilnya perusahaan, jenis kegiatan perusahaan,
280
MUHAMMAD ILHAMSYAH SIREGAR DAN IQBAL MUDAWALI
mesin yang digunakan (apakah intensif buruh atau intensif modal) dan tingkat produksi yang dicapai. Banyak negara berkembang seringkali didapati bahwa jumlah pekerja dalam suatu kegiatan ekonomi lebih banyak dari yang diperlukan sebenarnya supaya mereka dapat menjalankan kegiatannya dengan efisien. Kelebihan tenaga kerja yang digunakan digolongkan dalam pengangguran tersembunyi. Contoh-contohnya adalah pelayan restoran yang lebih banyak dari yang diperlukan dan keluarga petani dengan anggota keluarga yang besar mengerjakan luas tanah yang sangat kecil. c. Pengangguran Musiman Pengangguran ini terutama terdapat di sektor pertanian dan perikanan. Pada musim hujan penyadap karet dan nelayan tidak dapat melakukan pekerjaan dan mereka terpaksa menganggur. Pada musim kemarau para petani tidak dapat mengerjakan tanahnya. Di samping itu pada umumnya para petani tidak begitu aktif di antara waktu sesudah menanam dan sesudah panen. Apabila dalam masa tersebut para penyadap karet, nelayan dan petani tidak melakukan pekerjaan lain maka mereka terpaksa menganggur. Pengangguran seperti ini digolongkan sebagai pengangguran musiman. d. Setengah Menganggur Pada negara-negara berkembang migrasi atau penghijrahan dari desa ke kota sangat pesat. Sebagai akibatnya tidak semua orang yang pindah ke kota dapat memperoleh pekerjaan dengan mudah. Sebagiannya terpaksa menjadi penganggur sepenuh waktu. Di samping itu ada pula yang tidak menganggur, tetapi tidak pula bekerja sepenuh waktu, dan jam kerja mereka adalah jauh lebih rendah dari yang normal. Mereka mungkin hanya bekerja satu hingga dua hari seminggu, atau satu hingga empat jam sehari. Pekerja-pekerja yang mempunyai masa kerja seperti yang dijelaskan sebelumnya digolongkan sebagai setengah menganggur (underemployed). Dan jenis pengangguran tersebut dinamakan underemployment. Pengangguran akan muncul dalam suatu perekonomian dikarenakan oleh tiga hal antara lain (Sukirno, 2006:332): a. Proses Mencari Kerja Pada proses ini menyediakan penjelasan te-
oritis yang penting bagi tingkat pengangguran. Munculnya angkatan kerja baru akan menimbulkan persaingan yang ketat pada proses mencari kerja. Dalam proses ini terdapat hambatan dalam mencari kerja yaitu disebabkan karena adanya para pekerja yang ingin pindah ke pekerjaan lain, tidak sempurnanya informasi yang diterima pencari kerja mengenai lapangan kerja yang tersedia, serta informasi yang tidak sempurna pada besarnya tingkat upah yang layak mereka terima, dan sebagainya. b. Kekakuan Upah Besarnya pengangguran yang terjadi dipengaruhi juga oleh tingkat upah yang tidak fleksibel dalam pasar tenaga kerja. Penurunan pada proses produksi dalam perekonomian akan mengakibatkan pergeseran atau penurunan pada permintaan tenaga kerja. Akibatnya, akan terjadi penurunan besarnya upah yang ditetapkan. Dengan adanya kekakuan upah, dalam jangka pendek, tingkat upah akan mengalami kenaikan pada tingkat upah semula. Hal ini akan menimbulkan kelebihan penawaran (excess supply) pada tenaga kerja sebagai inflasi dari adanya tingkat pengangguran akibat kekakuan upah yang terjadi. c. Efisiensi Upah Besarnya pengangguran juga dipengaruhi oleh efisiensi pada teori pengupahan. Efisiensi yang terjadi pada fungsi tingkat upah tersebut terjadi karena semakin tinggi perusahaan membayar upah maka akan semakin keras usaha para pekerja untuk bekerja (walaupun akan muncul juga kondisi dimana terjadi diminishing rate). Hal ini justru akan memberikan konsekuensi yang buruk jika perusahaan memilih membayar lebih pada tenaga kerja yang memiliki efisiensi lebih tinggi maka akan terjadi pengangguran terpaksa akibat dari persaingan yang ketat dalam mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian sebelumnya yang dijadikan referensi untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: Rudiningtyas (2012) pada penelitian pengaruh pendapatan dan belanja terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran menunjukkan bahwa pendapatan dan belanja tidak ber-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
pengaruh terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi, dan tidak berpengaruh terhadap kemiskinan. Pendapatan dan belanja juga tidak berpengaruh pengangguran. Hasil penelitian Iskana (2009) pada penelitian tentang Pengaruh Belanja dan Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan Dan Pengangguran pada Pemerintahan Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Timur menjelaskan belanja daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, belanja daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan, belanja daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengangguran. Pendapatan daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan, pendapatan daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengangguran. Untuk Pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengangguran. Penelitian yang dilakukan oleh Kamzah (2007) yang meneliti tentang Analisa Kinerja Keuangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Kemiskinan : Pendekatan Analisis Jalur (Studi pada 29 Kabupaten dan 9 Kota di Propinsi Jawa Timur periode 2001 - 2006) bertujuan untuk menguji secara langsung pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan dan pengangguran serta menguji secara tidak langsung pengaruh kinerja keuangan terhadap kemiskinan dan pengangguran. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah kesenjangan kinerja keuangan berupa rasio kemandirian cukup besar, bahkan rasio efektifitas dan efisiensi dapat dikatakan besar sekali. Pada tingkat kemiskinan dan pengangguran juga mengalami kesenjangan yang cukup besar, sedangkan pada pertumbuhan ekonomi kesenjangannya tidak terlalu besar. Pengujian secara langsung antara kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan rasio kemandirian dan rasio efisiensi berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektivitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk pengujian pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran menunjukkan terdapat pengaruh secara positif,
281
sedangkan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan berpengaruh negatif. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2007) menemukan bahwa pendapatan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran. Hasil penelitian yang dilakukan menemukan bahwa anggaran belanja tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran. Menurut Setiyati (2007) dalam penelitiannya analisis pengaruh PAD, DAU, DAK, dan belanja Pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran menemukan hasil penelitian bahwa PAD berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dan berpengaruh positif terhadap pengangguran. Hasil pengujian secara tidak langsung PAD terhadap kemiskinan adalah 9,66 % dan pengangguran sebesar 16,95 %. Hasil penelitian Jonaidi (2012) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap angka kemiskinan, dan kemiskinan juga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran berpengaruh signifikan dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kerangka Pemikiran Pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara sangat tergantung dari modal atau dana yang dikumpulkan dari potensi sumber daya yang dimiliki. Kemudian modal yang dikumpulkan dikelola oleh keuangan negara di dalam APBN. Selanjutnya APBN akan disalurkan ke daerah-daerah yang disebut APBD. APBD Aceh atau APBA dialokasikan untuk pembangunan baik itu pembangunan ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesehatan, maupun pelayanan umum lainnya. Meningkatnya pembangunan ekonomi berarti terjadi pertumbuhan ekonomi, seiring dengan itu tingkat pengangguran akan berkurang karena lapangan kerja yang tersedia banyak akibat pembangunan ekonomi. Tingkat partisipasi kerja yang meningkat maka pendapatan individu juga meningkat, akibatnya akan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan yang akan berkurang dan kesejahteraan rakyat meningkat. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif
282
MUHAMMAD ILHAMSYAH SIREGAR DAN IQBAL MUDAWALI
pada realisasi belanja Daerah Aceh tahun 2008 sampai tahun 2011 pada 5 kota dan 18 kabupaten yang ada pada kantor BPS Aceh. Dalam penelitian ini digunakan variabel terikat (dependent variable) yaitu variabel pertumbuhan ekonomi, variabel kemiskinan dan variabel pengangguran, sedangkan variabel bebas (independent variable) yaitu variabel belanja daerah.
Pertumbuhan Ekonomi
Belanja Daerah
Pengangguran
Kemiskinan
Skema Kerangka Pemikiran
Hipotesis Berdasarkan latar belakang dan teori yang telah dibahas sebelumnya, maka dirumuskan hipotesis yaitu diduga bahwa realisasi belanja Daerah Aceh berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, berpengaruh negatif terhadap pengangguran, dan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. METODOLOGI PENELITIAN Ruang lingkup penelitian ini adalah pengaruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran. Penelitian ini membatasi kajian pada belanja daerah 23 kabupaten/kota sebagai variabel bebas (independent variable) untuk data tahun 2008-2011 terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan sebagai variabel terikat (dependent variable). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang digunakan yaitu berupa data kuantitatif yang meliputi data keuangan realisasi APBD Aceh yaitu realisasi belanja 23 kabupaten/kota, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran juga pada 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Data dalam penelitian ini diperoleh dari Dinas Keuangan Aceh dan Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh. Jenis data yang digunakan adalah data Panel yaitu gabungan dari
Time Series dan Cross Section. Data Time Series yang digunakan adalah data tahunan yaitu tahun 2008-2011, sedangkan data Cross Section adalah 23 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Aceh. Data panel (panel pooled data) adalah gabungan antara data runtun waktu (time series) dan data silang (cross section). Dengan kata lain, data panel merupakan data dari individu sama yang diamati dalam kurun waktu tertentu. Jikan kita memiliki T periode waktu (t = 1,2,…,T) dan N jumlah individu (I = 1,2,…,N), maka dengan data panel kita akan memiliki total observasi sebanyak NT. Jika jumlah unit waktu sama untuk setiap individu, maka data disebut panel teratur/tetap (balanced panel). Jika sebaliknya, yakni jumlah unit waktu berbeda untuk setiap individu, maka disebut panel tidak teratur (unbalanced panel) (Gujarati, 2010:31). Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan data panel adalah: 1. Data panel merupakan gabungan data time series dan cross section mampu menyediakan data yang lebih banyak sehingga akan menghasilkan degree of freedom (derajat bebas) yang lebih besar dan mampu meningkatkan presisis dari estimasi yang dilakukan. 2. Menggabungkan informasi dari data time series dan cross section dapat mengatasi masalah yang timbul ketika ada masalah penghilangan variabel (omitted-variable). 3. Data panel dapat digunakan untuk mempelajari kedinamisan data, yaitu dapat digunakan untuk memperoleh informasi bagaimana kondisi individu-individu pada waktu tertentu dibandingkan pada kondisi waktu yang lainnya. Model regresi linier menggunakan data time series dan cross section, maka modelnya dituliskan: Yit = α + β Xit + εit ; i = 1,2,....,N; t = 1,2,….., T Dimana : N = banyaknya observasi T = banyaknya waktu N x T = banyaknya data panel
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
Regresi data panel dapat dimodelkan sebagai berikut: Yit = α + αi + Xit β + εit Dimana: α = Konstanta β = Vektor berukuran P x 1 merupakan parameter hasil estimasi Xit = Observasi ke-it dari P variabel bebas αi = efek individu yang berbeda-beda untuk setiap individu ke-i εit = error regresi seperti halnya pada model regresi klasik. Untuk mengestimasi model dengan data panel, terdapat beberapa pendekatan, yaitu: 1. Common Effect Model, model ini merupakan pendekatan data panel yang paling sederhana. Model ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu sehingga diasumsikan bahwa perilaku antar individu sama dalam berbagai kurun waktu. Model ini hanya mengkombinasikan data time series dan cross section dalam bentuk pool, mengistemasinya menggunakan pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square). 2. Fixed Effect Model, mengasumsikan bahwa terdapat efek yang berbeda antar individu. Perbedaan itu dapat diakomodasi melalui perbedaan pada intersepnya, dalam model ini setiap individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi dengan menggunakan teknik variabel dummy. 3. Random Effect Model, mengasumsikan efek dari masing-masing individu diperlakukan sebagai bagian dari komponen error yang bersifat acak dan tidak berkorelasi dengan variabel penjelas yang teramati. Model ini sering disebut juga dengan error component model (ECM). Ada tiga teknik analisis dalam menggunakan data panel yaitu common effect, fixed effect model, dan random effect model. Untuk memilih model yang lebih baik atau lebih tepat dari ketiga teknik analisis tersebut, maka diperlukan beberapa pengujian yang harus dilakukakn, yaitu Uji F (Uji Chow), Uji Hausman, serta Uji LM (Lagrange
283
Multiplier). Uji LM perlu dilakukan apabila hasil Uji F menunjukkan bahwa Common Effect sebagai model yang sesuai sementara ujii Hausman menunjukkan Random Effect sebagai model yang sesuai, sehingga untuk membandingkan antara kedua model tersebut perlu uji LM. Ada beberapa uji teknik untuk memilih model yang lebih baik digunakan dalam penelitian ini: a. Uji Chow; untuk menentukan manakah yang lebih sesuai digunakan dalam penelitian ini antara common (pool) dengan fixed effect. Untuk pendekatan Fixed Effects atau common menggunakan uji F statistik. Dengan asumsi hipotesa sebagai berikut: H0 : metode pooled least square H1 : metode fixed effects Kriteria jika Fhit > Ftabel maka H0 ditolak b. Uji Hausman; bertujuan untuk memilih apakah menggunakan metode fixed effect atau random effects yang paling baik untuk digunakan. Dengan asumsi hipotesa sebagai berikut: H0 : metode random effect H1 : metode fixed effects Kriteria jika X2hit > X2(p,α), dimana P= jumlah koefisien slope atau P-value < α (tingkat kesalahan), maka tolak H0. c. Uji LM (lagrange Multiplier); bertujuan untuk memilih apakah menggunakan metode random effects atau common effects yang paling baik digunakan. Dengan asumsi hipotesa sebagai berikut: H0 : metode common effects H1 : metode random effects Jika LM lebih besar dari chi-square pada table signifikan (α tertentu), maka H0 ditolak. Pertimbangan-pertimbangan dalam memilih fixed effects atau random effects adalah sebagai berikut (Judge dalam Manurung, 2005: 220): 1. Jika T (banyaknya unit time series) besar sedangkan N (jumlsh unit cross section) kecil, maka hasil fixed effects dan random effects tidak jauh berbeda sehingga dapat dipilih pendekatan yang lebih mudah dihitung yaitu fixed effects model. 2. Apabila T kecil dan N besar, maka hasil estimasi kedua pendekatan akan berbeda jauh. Jadi jika kita menyakini bahwa unit cross
284
MUHAMMAD ILHAMSYAH SIREGAR DAN IQBAL MUDAWALI
section yang dipilih dalam penelitian diambil secara acak (random), maka random effects model harus digunakan. Sebaliknya, apabila diyakini bahwa unit cross section tidak diambil secara acak maka harus kita gunakan fixed effects model. 3. Apabila komponen error individual (εit) berkorelasi dengan variabel bebas X maka parameter yang diperoleh dengan random effects akan bisa bias sementara parameter yang diperoleh dengan fixed effects tidak bias. 4. Jika T kecil dan N besar serta asumsi yang mendasari random effects dapat terpenuhi, maka random effects lebih efisien dibandingkan fixed effects.
duduk yang menganggur di daerah Aceh yang dinyatakan dalam satuan persen. Kemiskinan adalah persentase jumlah penduduk miskin pada daerah penelitian yaitu Aceh setiap tahun dalam satuan persen.
Model regresi linier sederhana sebagai berikut:
Nilai konstanta sebesar -6.840.000.000.000 menjelaskan apabila diasumsikan realisasi belanja daerah adalah tetap (tidak mengalami perubahan), maka tingkat pertumbuhan ekonomi pada 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh akan mengalami penurunan sejumlah 6,84 persen. Koefisien untuk belanja daerah sebesar 625.000.000.000 menjelaskan bahwa belanja daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, artinya setiap meningkat belanja daerah sebesar satu persen, maka dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,25 persen dengan asumsi cateris paribus. Apabila dilihat dari nilai Thitung variabel sebesar -21,20389 dengan probabilitas sebesar 0,0000 , artinya probabilitas (p-value) lebih besar dari α = 5 persen (0,0000 < 0,05) sehingga dengan tingkat keyakinan 95 persen dapat disimpulkan kita menolak hipotesis nol (H0). Kesimpulannya adalah realisasi belanja daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Nilai Adj.R2 adalah 0,9646 yang artinya 96,46 persen pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh realisasi belanja daerah dan 3,54 persen dipengaruhi oleh variabel lain.
Y = α + βX + ε Diformulasikan menjadi : Dimana : G = Belanja Daerah kabupaten/kota PE = Pertumbuhan Ekonomi U = Pengangguran P = Kemiskinan α = Konstanta β1, β2 = Koefisien Regresi ε = error term i = Kabupaten/Kota Provinsi Aceh t = Waktu (2008 – 2011) Definisi Operasional Variabel - Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh dalam penelitian ini adalah realisasi belanja daerah 23 Kabupaten/Kota Provinsi Aceh dari tahun 2008-2011yang diukur dalam satuan rupiah (Rp). - Pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 dihitung dalam satuan persen. - Pengangguran adalah persentase jumlah pen-
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Analisis regresi yang akan dilakukan adalah analisis pengaruh realisasi belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi pada 23 kabupaten/ kota di Provinsi Aceh. Adapun hasil analisis tersebut dipaparkan pada Tabel 1.
Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pengangguran Analisis yang akan dilakukan adalah pengaruh belanja daerah terhadap penganguran pada 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Adapun hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 4.2 menunjukkan nilai konstanta sebe-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
285
Tabel 1 Hasil Analisis Regresi untuk Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Metode Fixed Effect Model Fixed Effect Model Variabel Dependen Variabel Independen C Belanja Daerah R-square Adjusted R-square F-statistic Prob(F-statistic)
: Pertumbuhan ekonomi Koefisien Std. Error -6.84E+12 3.22E+11 6.25E+11 2.79E+10 = 0.973568 = 0.964634 = 108.9651 = 0.000000
t-statistik -21.20389 22.394909
Prob(p-value) 0.0000 0.0000
Sumber : Hasil Pengolahan Eviews (2013) Tabel 2 Hasil Analisis Regresi untuk Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pengangguran dengan Metode Fixed Effect Model Fixed Effect Model Variabel Dependen Variabel Independen C Belanja Daerah R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic)
: Pengangguran Coeffisient 5.61E+11 -1.13E+10 = 0.880474 = 0.840046 = 21.77891 = 0.000000
Std. Error 3.93E+10 4.68E+09
t-statistik 14.27577 -2.421202
Prob(p-value) 0.0000 0.0181
Sumber : Hasil Pengolahan Eviews (2013) Tabel 3 Hasil Analisis Regresi untuk Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan dengan Metode Fixed Effect Model Fixed Effect Model Variabel Dependen Variabel Independen C Belanja Daerah R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic)
: Kemiskinan Coeffisient 8.74E+11 -1.90E+10 = 0.895289 = 0.859872 = 25.27854 = 0.000000
Sumber : Hasil Pengolahan Eviews (2013)
Std. Error 1.01E+11 4.69E+09
t-statistik 8.663059 -4.038863
Prob(p-value) 0.0000 0.0001
286
MUHAMMAD ILHAMSYAH SIREGAR DAN IQBAL MUDAWALI
sar 561.000.000.000 menjelaskan apabila diasumsikan realisasi belanja daerah adalah tetap (tidak mengalami perubahan), maka tingkat pengangguran pada 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh secara konstan akan mengalami peningkatan sejumlah 5,61 persen. Koefisien untuk realisasi belanja daerah sebesar -1.13E+10 menjelaskan setiap meningkatnya belanja daerah sebesar satu miliar rupiah, maka dapat menurunkan pengagguran sebesar 1,13 persen dengan asumsi cateris paribus. Jika dilihat dari nilai Thitung variabel sebesar -2,421202 dengan probabilitas sebesar 0,0181, artinya probabilitas (p-value) lebih kecil dari α = 5 persen (0,0181 < 0,05) sehingga dapat diambil kesimpulan kita menolak hipotesis nol (H0) dan menerima H1. Kesimpulannya adalah realisasi belanja daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengangguran. Sedangkan nilai Adj. R2 sebesar 0,84 menggambarkan bahwa variabel pengangguran dipengaruhi oleh variabel realisasi belanja daerah sebesar 84 persen, sisanya 16 persen dipengaruhi oleh variabel lainnya. Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kemiskinan Analisis yang akan dilakukan adalah pengaruh realisasi belanja daerah terhadap kemiskinan pada 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Adapun hasil analisisnya dapat diterangkan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 nilai konstanta sebesar 874.000.000.000 menjelaskan apabila diasumsikan realisasi belanja daerah adalah tetap (tidak mengalami perubahan), maka tingkat kemiskinan pada 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh secara konstan akan mengalami penurunan sejumlah 8,74 persen. Koefisien untuk realisasi belanja daerah sebesar -19.000.000.000 menggambarkan setiap meningkatnya realisasi belanja daerah sebesar satu miliar rupiah, maka dapat menurunkan kemiskinan sebesar 1,90 persen dengan asumsi cateris paribus. Jika dilihat dari nilai Thitung variabel sebesar -4,038863 dengan probabilitas sebesar 0,0001 artinya probabilitas (p-value) lebih kecil dari α = 5 persen (0,0001 < 0,05) sehingga dapat disimpulkan kita menolak hipotesis nol (H0) dan menerima H1. Kesimpulannya adalah realisasi belanja daerah berpengaruh negatif dan signifi-
kan terhadap kemiskinan. Pada hasil Adj.R2 yaitu 0,8598 menunjukkan variabel realisasi belanja daerah mempengaruhi variabel kemiskinan sebesar 85,98 persen, sedangkan sisanya 14,02 persen dipengaruhi oleh variabel lainnya. KESIMPULAN Berdasarkan hasil regresi dan pembahasan dapat disimpulkan: 1. Realisasi belanja daerah secara statistik berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini sesuai dengan teori, artinya jika belanja daerah meningkat maka pertumbuhan ekonomi juga akan mengalami peningkatan. Hasil ini berbeda dengan penelitian Iskana untuk daerah Jawa Timur. Pertumbuhan ekonomi 96,46 persen dipengaruhi oleh belanja daerah, sedangkan sisanya 3,54 persen dipengaruhi oleh variabel lain. 2. Realisasi belanja daerah terhadap pengangguran berpengaruh negatif dan signifikan, sehingga apabila belanja daerah meningkat, maka tingkat pengangguran akan berkurang. Belanja daerah mempengaruhi pengagguran sebesar 84 persen, sisanya 16 persen dipengaruhi oleh variabel lainnya. Hasil tersebut juga berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Hamzah. 3. Realisasi belanja daerah berpengaruh negatif dan signifikan secara statistik terhadap kemiskinan. Jika belanja daerah meningkat, maka tingkat kemiskinan akan mengalami penurunan atau berkurang. Kemiskinan 85,98 persen dipengaruhi oleh belanja daerah, sedangkan variabel lain yang mempengaruhi kemiskinan hanya 14,02 persen. Hasil ini juga berbeda dari penelitian Rudiningtyas. SARAN Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka ada beberapa saran yang dapat dikemukakan: 1. Pemerintah daerah kabupaten/kota harus mampu mengelola belanja daerah masing-masing sebaik mungkin dengan cara mengoptimalkan belanja modal agar pertumbuhan ekonomi
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
daerah dapat ditingkatkan, tingkat pengangguran serta kemiskinan dapat diminimalisir atau dikurangi. 2. Pemerintah daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat pengangguran dengan cara memberikan modal usaha bagi mereka yang membuka usaha baru dan sehingga dapat menyerap sebahagian tenaga kerja yang kemudian akan dapat mengentaskan kemiskinan di Aceh. Hasil penelitian ini sekiranya dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Aceh dalam pengambilan kebijakan publik secara efektif pada anggaran belanja daerah. 3. Pemerintah daerah diharapkan mampu memperbaiki pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik dengan kebijakan-kebijakan yang
287
mampu mendongkrak perekonomian, seperti pemberian bibit-bibit unggul pertanian pada masyarakat agar mereka dapat menghasilkan produksi yang besar dan memperoleh pendapatan yang besar juga. 4. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut pada anggaran belanja yang lebih khusus, seperti belanja pendidikan, belanja pegawai, dan belanja-belanja lainnya agar lebih tepat hasil dan teori yang mempengaruhi secara langsung. Diharapkan juga agar dapat menambah beberapa variabel lain yang lebih mendukung teori serta memperbanyak jumlah data atau sampel yang akan diteliti, sehingga akan memperoleh hasil yang lebih baik dan akurat.
288
MUHAMMAD ILHAMSYAH SIREGAR DAN IQBAL MUDAWALI
REFERENSI Alamsyah. (2013). Tabloid Tabangun Aceh, Maret 2013, Banda Aceh. Badan Pusat Statistik. (2006). Statistik Indonesia 2006. Aceh. ________. (2013). Statistik Indonesia 2013, Banda Aceh. Aceh. Boediono. (1999). Teori Pertumbuhan Ekonomi. Penerbit Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Dritsakis, Nikolas dan Adamopoulus, Antonis. (2004). A Causal Relationship Between Government Spending and Economic Development: An Empirical Examination of the Greek Economy. Journal Applied Economics. Endri, (2011). Model Regresi Panel Data dan Aplikasi Eviews. http://programdoktorpersada.files. wordpress.com/2011/12/data-panel.pdf. Fadly, Ferdi.(2012).Tutorial-eviews-import-data-panel. http://ferdifadly.blogspot.com/2012/03/tutorial-eviews-import-data-panel-file.html di akses tanggal 8 oktober 2013. Gujarati, N.Damodar. (2003). Basic Economertis, fourth edition. New York: McGraw-Hill ___________. (2011). Dasar-dasar Ekonometrika, edisi kelima. Jakarta: Salemba Empat. Hamid, Edy Suandi. (2008). Sistem Ekonomi dan Pemberantasan Kemiskinan. Lembaga Penelitian SMERU Research Institute. Jakarta. Hamzah, Ardi. (2007). Pengaruh Belanja Dan Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, Dan Pengangguran (Studi Pada APBN 1999-2006). Konferensi Penelitian. Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik Pertama. Jatim; Pasca Sarjana PNU. Iskana, Ida. (2009). Pengaruh Belanja dan Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, Dan Pengangguran. SKRIPSI, tidak dipublikasikan, Malang, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Malang. Ismawanto. (2009). Ekonomi 3: Untuk SMA dan MA Kelas XII, Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Jhingan, M.L. (2004). Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Jonaidi, Arius. (2012). Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan. Jurnal Kajian Ekonomi, Volume 1, Nomor 1. Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kuncoro, Mudrajad. (2004). Otonomi dan Pembangunan Daerah, Jakarta. Penerbit: Erlangga.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
289
___________. (2006). Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan, UPP Akademi Manajemen Perusahaan YKPN. Mankiw, N.Gregory. (2006). Principles Of Economics Pengantar Ekonomi Makro. Edisi Ketiga. Jakarta: Salemba Empat. Manurung, Jonni J, Adler Haymans Manurung, dan Ferdinand Dehoutman Saragih. (2005). Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. Rahardja, Prathama. (2008). Teori Ekonomi Makro, Suatu Pengantar. Edisi keempat. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Dlam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keunagan Daerah serta Tata Cara Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggara Pendapatan dan Belanja Daerah. ___________ .2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Rudiningtyas D.A. (2012). Pengaruh Pendapatan dan Belanja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Pengangguran(Studi Pada APBN 2004-2008). Jurnal. Fakultas Ekonomi Universitas Islam Malang (UNISMA). Samuelson, A.Paul. (2004). Ilmu Makro Ekonomi. Edisi Tujuh Belas. Jakarta: PT Media Global Edukasi. Setiyati. (2007). Analisis pengaruh PAD, DAU, DAK, dan belanja Pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan pengangguran. Fakultas Ekonomi Trunojoyo. Soemitro, Djojohadikusumo. (1994). Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Sukirno, Sadono. (2004). Makro Ekonomi. Cetakan ke 5, Edisi 3. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sukirno, Sadono. (2006). Makro Ekonomi. Cetakan ke 17, Edisi 3. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suryana, (2000). Ekonomi Pembangunan, Problematika dan Pendekatan. Jakarta: Salemba Empat. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UUD 1945, Pasal 23 tentang Keuangan Negara ________, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Pembangunan_Manusia di akses tanggal 8 september 2013. http://gerilyastatistik.wordpress.com/tag/david-ricardo/ di akses tanggal 8 september 2013.
290
MUHAMMAD ILHAMSYAH SIREGAR DAN IQBAL MUDAWALI
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, 3, Juli 2014 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 15, Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 1412 – 968X Hal. 291-304
PENGARUH INTERNAL KONSUMEN TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN PRODUK KOSMETIK Studi pada Konsumen Produk Merek Pond’s di Kota Lhokseumawe SAPNA BIBY
Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
This study aims to determine and analyze the influence of cultural factors, social class, individual characteristics, and psychological factors on product purchasing decisions in cosmetic brand’s pond Lhokseumawe City. determination of sample size can not be calculated, so the authors use a non-probability sampling method with accidental sampling technique as a method of determination of the amount of sample with 100 respondents. Testing the hypothesis with multiple regression analysis model formulation is formulated Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + e with SPSS (Statistical Package for Social Science). The results of this analysis showed that the variables of internal consumers of the cultural variables, social class, individual characteristics, and psychological variables were statistically influence the purchasing decisions of Pond’s beauty products brand by consumers in Lhokseumawe City. Keywords: culture, social class, individual characteristics, psychological, purchasing decisions
291
292
SAPNA BIBY
LATAR BELAKANG Dewasa ini produk-produk kecantikan mengalami perkembangan yang sangat pesat, para pemerhati kecantikan senantiasa selalu melakukan research untuk menemukan bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai alat kesehatan dan kecantikan terutama untuk konsumen wanita. Kecenderungan produk-produk kecantikan digunakan oleh wanita, disebabkan kelompok konsumen wanita lebih memperhatikan perawatan tubuh dibandingkan dengan kelompok konsumen pria. Kebutuhan wanita akan produk-produk kecantikan sangat besar, umumnya wanita sangat khawatir cepat tua dibandingkan dengan pria, oleh karena itu berbagai produk kecantikan dicoba, mulai dari produk-produk alamiah maupun produk-produk kecantikan yang telah dicampur dengan zat-zat kimia tertentu. Banyak yang berhasil dan menemukan produk yang sesuai dengan jenis kulit, tetapi tidak sedikit pula wanita yang mengalami kegagalan dalam mencoba produk kecantikan sehingga produk tersebut ditinggalkan dan diganti dengan produk-produk lain sejenis yang sesuai dengan jenis kulitnya. Sebenarnya produk kecantikan tidak hanya dalam bentuk kebutuhan pada kulit saja, ada juga produk yang dirancang untuk meningkatkan kecantikan dari dalam terutama untuk mengencangkan otot-otot pada wanita, mengencangkan kulit dan menghilangkan kerutan pada wajah. Pada umumnya perawatan tubuh dari dalam ini berupa suplemen tulang, otot dan juga kulit. Peningkatan daya tahan tubuh juga akan dapat memancarkan aura kecantikan pada setiap wanita. Selain produk kecantikan dari dalam, ada juga produk kecantikan dari luar yang dirancang untuk kulit. Beberapa alat kecantikan yang paling sering dibutuhkan oleh wanita diantaranya; lipstik, eyeshadow, bedak, alas bedak, dan pelembab kulit. Penggunaan dari setiap produk yang dikemukakan di atas tersebut mempunyai target agar tetap cantik, awet muda dan selalu segar. Salah satu produk kecantikan yang paling banyak digunakan wanita Indonesia, terutama untuk kalangan menengah ke atas adalah Pond’s Pada tahap pengenalan dan selama pertama kali diluncurkan, hanya produk Pond’s sabun wa-
jah. Seiring dengan kemajuan, dalam tahap pertumbuhan sampai tahap jatuh tempo, Pond’s telah menciptakan inovasi dalam memproduksi krim malam dan krim menodai remover yang telah berhasil di pasaran, yang disebut: Pond’s White sempurna. Pond’s Flawless White adalah produk pemutih wajah dan bahan artikel baru kandungan alaminya dalam memutihkan kulit yang dapat 7 hari saja. Visible Lightning Day Cream artikel baru diperkaya dan kompleks VAO-B3 pelindung sinar matahari using ganda, pelembab dalam nama dan kembali krim kulit memucat ekstra dimana membutuhkan pertolongan terhadap kulit tampak hasilnya: lebih putih, net, terasa halus, bersinar dan juga terlindung using sinar matahari. menjawab kebutuhan tersebut, kini PT Unilever Indonesia memperkenalkan Pond’s Flawless White yang mengetahui keinginan perempuan Indonesia untuk memiliki wajah lebih cerah dan sehat. ”Pond’s Flawless White meyakini dan menghargai keinginan setiap perempuan Indonesia untuk mempercantik diri dengan kulit yang senantiasa sehat dan tampak lebih putih. Bahkan tak hanya penampilan luar saja, produk ini juga dapat membantu untuk menumbuhkan perasaan cantik, bahagia, dan nyaman pada diri setiap perempuan untuk mencintai dan dicintai, termasuk untuk menemukan cinta sejatinya,” tutur Senior Brand Manager Pond’s, PT Unilever Indonesia, Fiona Anjani Foebe dikutip dari www.okezone.com (diakses tanggal 8 Oktober 2011). Sampai saat ini PT Unilever Indonesia terus meningkatkan aneka produk Pond’s terutama untuk menyesuaikan dengan kebutuhan kulit wanita, peningkatan dari segi kuantitas produk dan diversifikasi produk juga dengan mengefektifkan pemasaran terutama melalui periklanan media cetak dan elektronik telah membuat Pond’s menjadi produk kecantikan yang sangat diminati oleh banyak kalangan wanita terutama remaja dan wanita karir. Perluasan jaringan pemasaran telah mampu menjangkau kawasan-kawasan pemasaran tidak hanya di perkotaan saja, tetapi juga telah meluas ke kawasan pedesaan. Di Kota Lhokseumawe sendiri, produk kecantikan merek Pond’s bukan lagi menjadi produk yang langka, disetiap mini
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
market telah tersedia produk ini, bahkan konsumen juga dapat menemukan produk ini pada toko maupun kios retail. Suatu fenomena yang sangat menarik yang dapat diamati seksama adalah menyangkut adanya suatu image bahwa produk Pond’s diperkenalkan sebagai produk eksklusif tetapi pada kenyataannya konsumen yang menggunakan produk kecantikan merek Pond’s tidak semuanya berlatar belakang sebagai kelompok masyarakat kelas menengah ke atas saja, melainkan juga ada yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Apa sebenarnya penyebab terjadinya hal semacam ini, tentu perlu dikaji keterkaitan antara berbagai faktor yang dapat menyebabkan prilaku konsumen dalam pembelian produk kecantikan merek Pond’s, Dari uraian diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor budaya, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis terhadap keputusan pembelian produk kosmetik merek pond’s di Kota Lhokseumawe. TINJAUAN TEORITIS Teori Perilaku Konsumen Tujuan pemasaran adalah memenuhi dan memuaskan kebutuhan serta keinginan konsumen. Menurut definisinya perilaku konsumen adalah kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk atau jasa (Engel et. all., 1994; Lamb et. all., (2001). Sedangkan Peter dan Olson (2000), menjelaskan bahwa perilaku konsumen sebagai interaksi dinamis antara pengaruh pikiran (kognisi), perilaku (behavioral), dan kejadian sekitar, dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, perilaku konsumen akan berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan yang difikirkan (cognitive), dirasakan (affective), dan yang dilakukan (conative) oleh konsumen. Oleh karena itu dalam pengembangan strategi pemasaran, sifat perilaku konsumen yang dinamis tersebut merupakan isyarat bahwa seorang manajer pemasaran yang hendaknya selalu mengevaluasi keberhasilan kinerja pemasarannya.
293
Proses Pengambilan Keputusan Konsumen Proses Pengambilan keputusan konsumen berbeda-beda, tergantung pada jenis keputusan pada saat pembelian dilakukan. Pembelian yang rumit dan mahal mungkin melibatkan lebih banyak pertimbangan pembeli dan lebih banyak peserta, dimana pertimbangan-pertimbangan tersebut akan membetuk konsumen kedalam segmen-segmen yang berbeda. Krisis ekonomi di Indonesia telah mengelompokkan konsumen Indonesia kedalam tiga segmen dalam proses pengambilan keputusan pembelian terhadap suatu produk atau jasa, yaitu (1) segmen konsumen Dumb. Ini adalah kelompok konsumen yang dalam pengambilan keputusan pembelian hanya memperhatikan harga, dimana produk dengan harga murah menjadi incaran segmen ini, (2) segmen Snop. Segmen ini sangat menngutamakan kualitas produk, dan (3) segmen Smart, yang dikatakannya sebagai segmen yang mengutamakan value (nilai). Value ini diartikan sebagai perbandingan antara manfaat (benefit) dan biaya yang harus dikeluarkan konsumen untuk menikmati manfaat tersebut (Kertajaya dalam Maulana, 1999). Pada dasarnya konsumen mengikuti suatu proses atau tahapan dalam pengambilan keputusannya, dimana proses pengambilan keputusan konsumen (consumer decision making) yang paling kompleks terdiri dari lima tahap (Kotler, 2005; lamb et all., 2001; Mowen dan Minor, 2002), yaitu (1) pengenalan masalah, (2) pencarian informasi, (3) evaluasi alternatif, (4) keputusan pembelian, (5) dan perilaku pasca pembelian. Faktor-faktor internal konsumen yang mempengaruhi perilaku pembelian, meliputi: (1) faktorfaktor budaya, (2) Kelas Sosial, (3) Karakteristik Pribadi, dan (4) Faktor Psikologis (Kotler, 2005; Lamb et all.,2001). Sedangkan menurut Engel et. all., (1995), internal konsumen terdiri dari: (1) budaya, (2) kelas sosial, (3) pribadi, (4) keluarga, dan (5) situasi. a. Budaya Konsumen Budaya merupakan karakter sosial konsumen yang membedakannya dengan kelompok kultur lain disekitarnya. Budaya merupakan sesuatu yang harus dipelajari, konsumen tidak dilahirkan secara spontan untuk memahami serangkaian nilai
294
pokok, persepsi, preferensi dan perilaku melainkan melalui suatu proses sosialisasi yang melibatkan keluarga dan lembaga inti lainnya. Masing-masing budaya terdiri dari sub budaya yang lebih kecil yang memberikan lebih banyak ciri-ciri dan sosialisasi khusus bagi anggota-anggotanya. Kotler (2005), mengidentifikasikan sub budaya terdiri atas: (1) kelompok kebangsaan, (2) kelompok agama, (3) kelompok rasial (4) kelompok kedaerahan (geografis). Sub budaya tersebut akan membentuk suatu segmen pasar penting, dan pemasar sering merancang produk dan program pemasaran yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. b. Kelas Sosial Kelas sosial adalah kelompok-kelompok yang relatif homogen dan bertahan lama dalam suatu komonitas masyarakat, yang tersusun secara hierarkis dan keanggotaanya mempunyai nilai, minat, dan perilaku yang serupa (Setiadi, 2005). Kelas sosial tidak hanya mencerminkan penghasilan, tetapi juga indikator lain, seperti pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal. Di Amerika Serikat karakteristik utama kelas sosial dibagi atas tujuh kelompok, yaitu: (1) kelas atas atas, (2) kelas atas bawah, (3) kelas menengah atas, (4) kelas menengah, (5) kelas pekerja, (6) kelas atas bawah, (7) bawah bawah (Kotler, 2002). c. Karakteristik Individu Selanjutnya perilaku pembelian konsumen juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi konsumen. Karakteristik-karakteristik tersebut misalnya: umur konsumen, tahapan dalam siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri. Peranan usia dan siklus hidup mempunyai pengaruh penting terhadap pembentukan perilaku konsumen, tinggi rendahnya usia seseorang biasanya akan mempengaruhi minat terhadap suatu produk, seperti selera pada makanan, pakaian, mobil, dan rekreasi. Tahapan siklus hidup keluarga konsumen (family life cycle) merupakan urutan yang teratur mengalami perubahan dalam mengkonsumsi suatu produk, dimana proses ini berkembang melalui kedewasaan, pengamanan, perubahan pendapatan serta status pekerjaan dan pernikahan (keluarga). Menejer pemasaran sering mendefinisikan sasaran pasarnya dengan siklus hidup keluarga, seperti:
SAPNA BIBY
menikah atau belum menikah, punya anak maupun tidak punya anak. Konsep diri merupakan bagaimana konsumen mempersepsikan diri mereka sendiri, dimana konsepsi diri ini dapat meliputi sikap, persepsi, keyakinan, dan evaluasi diri. Meskipun konsepsi diri bisa berubah, maka perubahan tersebut biasanya bertahap (Lamb. Et. all., 2001). Keberadaan konsepsi atau persepsi konsumen terhadap suatu produk dan mempengaruhi motivasi konsumen untuk belajar tentang bagaimana berbelanja, dan membeli suatu produk dan merek yang tepat. Pada tahapan selanjutnya kepribadian dan konsepsi diri konsumen dapat mencerminkan gaya hidup (life style) seseorang. Gaya hidup merupakan pola hidup yang diekspresikan oleh minat, kegiatan dan pendapat seseorang terhadap keputusan membeli suatu produk. Gaya hidup menggambarkan seseorang, tentang bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungannya. d. Faktor Psikologis Pilihan pembelian seseorang dipengaruhi oleh empat faktor psikologis utama, seperti motivasi, persepsi, pembelajaran, serta keyakinan dan pendirian (Kotler, 2005). Motivasi konsumen merupakan suatu pendorong seseorang untuk melakukan sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan, termasuk keputusan pembelian. Kebutuhan muncul dari tekanan biologis, seperti rasa lapar, haus, kenyamanan, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat psikogenis. Kebutuhan ini muncul dari tekanan psikologis, seperti: kebutuhan akan pengakuan dan penghargaan. Menurut Setiadi (2005), motivasi dapat diartikan sebagai pemberi daya penggerak yang menciptakan kegairahan seseorang agar mereka mau bekerjasama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor kebutuhan pribadi, tujuan dan persepsi individu atau kelompok yang bersangkutan, bagaimana tujuan-tujuan terealisasi agar kebutuhan-kebutuhan terpenuhi. Maka secara psikologis masyarakat menilai penggunaan kosmetik bagi wanita menjadi mutlak diperlukan.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
a. Kebutuhan Fisik (Phsiological Needs) Kebutuhan yang paling mendasar dalam diri seseorang adalah kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk mempertahankan hidup, dimana kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan akan makanan, minuman, perumahan, seks, dan kebutuhan akan istirahat. b. Kebutuhan Keamanan (safety Needs) Kebutuhan akan keamanan merupakan kebutuhan yang kedua setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan akan memberi perlindungan dan rasa aman dari setiap gangguan terhadap fisik manusia, seperti aksi kriminalitas pada saat dirumah, dikantor dan pada saat berpergian. c. Kebutuhan Sosial (Social Needs) Pada tahap ketiga manusia membutuhkan interaksi dengan lingkungannya. Dalam kebutuhan sosial manusia membutuhkan rasa cinta dan dicintai, persahabatan, perasaan memiliki terhadap sesuatu produk atau benda dan perasaan diterima oleh kelompok dimana mereka bernaung, kekeluargaan dan asosiasi. d. Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs) Kebutuhan harga diri adalah kebutuhan tingkat ke empat, yaitu kebutuhan akan pengakuan terhadap status atau kedudukan seorang manusia, kepercayaan diri, reputasi dan prestasi, apresiasi, kehormatan diri. Manusia mempunyai kemauan yang keras dalam prestasi kerja dan karir yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhannya maupun bagi orang lain disekelilingnya. e. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs) Kebutuhan tertinggi dalam diri manusia adalah keinginan untuk menjadikan dirinya sebagai seorang terbaik menonjolkan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Kebutuhan aktualisasi diri juga mencerminkan keinginan individu untuk mengetahui, memahami, dan membentuk suatu sistem nilai, sehingga ia dapat mempengaruhi orang lain disekitarnya. Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan dan keinginan untuk dapat menyampaikan ide, gagasan, dan sistem nilai yang diyakininya kepada oraang lain. Keputusan Pembelian Konsumen Pembelian konsumen sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal konsumen, seperti budaya
295
konsumen, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor-faktor psikologis. Oleh karena itu dalam proses keputusan pembelian konsumen, para pemasar harus jeli dalam melihat setiap proses yang dilalui oleh konsumen, terutama dalam proses pada saat pembelian dan pascapembelian dalam kaitannya dengan kepuasan atau ketidakpuasan konsumen. Menurut Kotler (2002), kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya. Kepuasan pelanggan merupakan kunci untuk membuat hubungan jangka panjang dengan pelanggan, yakni untuk mempertahankan dan menumbuhkan konsumen serta untuk memetik hasil yang berupa nilai seumur hidup pelanggan (Kotler dan Armstrong, 2003). Berdasarkan pendapat tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kepuasan pelanggan merupakan hasil evaluasi pasca pembelian dan alternatif yang dipilih sekurangkurangnya sama atau melebihi harapan pelanggan. Artinya jika harapan konsumen melebihi dari kenyataan (actual) maka akan terjadi kepuasan. Dimana kepuasan yang dirasakan oleh konsumen akan menjadikan konsumen tersebut loyal. Loyalitas konsumen akan mempengaruhi tingkat pendapatan dan yang akan diperoleh oleh perusahaan, karena perusahaan dapat mengefisienkan sumber daya yang dikeluarkan, seperti: (a) mengurangi biaya pemasaran, (b) mengurangi biaya transaksi, (c) mengurangi biaya penggantian konsumen, (d) meningkatkan penjualan masa lalu, (e) informasi dari mulut ke mulut yang lebih positif, dan mengurangi biaya kegagalan. Konsumen yang mempunyai loyal memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) melakukan pembelian secara teratur, (b) membeli diluar lini produk atau jasa, (c) menolak produk lain, (d) menunjukan kekebalan dari ajakan persaingan (tidak mudah terpengaruhi oleh ajakan persaingan produk sejenis lainnya) (Grifin dalam Adam, 2006). Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dilakukan Eduardo (2006)
296
menganalisis pengaruh faktor internal konsumen dalam membeli produk kosmetik di Sleman. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 185 responden, penarikan sampel dengan metode Proportionate stratified Random Sampling. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dan alat analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) secara serempak terdapat pengaruh yang signifikan antara faktor kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologis terhadap pembelian produk kosmetik, (2) secara parsial hanya faktor pribadi, dan faktor sosial yang signifikan mempengaruhi pembelian produk kosmetik. Wilson (2007), melakukan penelitian dengan judul Prilaku pembelian konsumen; Kasus pembelian produk kecantikan. Jumlah sampel yang dilibatkan sebanyak 320 responden. Teknik analisis yang digunakan adalah Mapping Consumer’s Behavior Test. Hasil penelitiannya menunjukkan suatu pemetaan prilaku konsumen dalam membeli produk masih didominasi oleh faktor pribadi dengan persentase mencapai 42,5%, selebihnya terbagi dalam beberapa faktor seperti keluarga, lingkungan, dan sebagainya. Dalam pemetaan ini beberapa kasus pembelian melibatkan pihak lain, dengan melibatkan keinginan yang sama kuat dari konsumen itu sendiri. Kerangka Berpikir Kebutuhan dan keinginan konsumen akan terus berubah, sehingga mengharuskan seorang manejer pemasaran harus mempunyai pengetahuan yang seksama tentang perilaku konsumen produk kecantikan agar dapat memberikan definisi pasar yang baik untuk mengikuti perubahan tersebut. Proses pengambilan keputusan konsumen tidak dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Menurut lamb, et al.,(2001) dan Kotler (2005), bahwa faktor-faktor tersebut adalah: (1) budaya konsumen, (2) sosial, (3) karakteristik individu, dan (4) faktor psikologi.
SAPNA BIBY
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Lhokseumawe dengan objek penelitian adalah konsumen wanita yang menggunakan produk kecantikan merek Pond’s. Penelitian ini hanya memfokuskan pada bidang kajian tentang variabel-variabel internal konsumen dan keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s. Dalam penelitian ini, populasi adalah seluruh konsumen wanita pengguna produk kecantikan merek Pond’s yang berdomisili di wilayah penelitian Kota Lhokseumawe yang terdiri dari empat kecamatan; Banda Sakti, Muara Dua, Muara Satu, dan Blang Mangat. Adapun jumlah populasi secara pasti tidak diperoleh data yang akurat. Oleh karena itu penentuan ukuran sampel tidak dapat diperhitungkan, sehingga penulis menggunakan metode non probability sampling dengan teknik accidental sampling sebagai metode penetapan sampel dengan besaran 100 orang responden. Model analisis data yang digunakan untuk menganalisis hipotesis adalah model regresi linier berganda. Analisis regresi linear berganda dapat digunakan untuk mengukur atau mengetahui, apakah faktor budaya, kelas sosial, karakteristik individu dan faktor psikologis yang merupakan variabel bebas yang mempunyai pengaruh terhadap keputusan pembelian produk kosmetik merek Pond’s oleh konsumen di Kota Lhokseumawe sebagai varibel terikat. Dengan demikian formulasi model analisis dalam penelitian dirumuskan (Koutsoyiannis, 1981) sebagai berikut: Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + e Dimana: Y = Keputusan pembelian X1 = Budaya konsumen X2 = Kelas sosial X3 = Karakteristik individu X4 = Faktor psikologis β0 = Intersep atau Konstanta e = Variabel yang tidak terungkap (error term) β1, β2, β3, β4 adalah koefisien regresi
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
297
Tabel 1 Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel Budaya (X1)
Kelas Sosial (X2) Individu (X3) Psikologis (X4)
Definisi Kebiasaan yang diciptakan oleh manusia dari generasi ke generasi sebagai penentu dan pengatur perilaku manusia dalam masyarakat. Pembagian masyarakat yang relatif homogen dan permanen, tersusun secara hirarkis. Karakteristik individu yang dapat mempengaruhi perilaku dalam pengambilan keputusan pembelian. Suatu dorongan psikologis konsumen yang melibatkan perasaan (afeksi) dan pemikiran (kognisi) dalam proses pengambilan keputusan
Indikator
- Kebiasaan - Frekuensi - Waktu penggunaan
Skala Pengukuran Skala Likert
- Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan - Tempat tinggal - Umur - Keluarga - Gaya hidup - Persepsi - Keyakinan dan sikap - Motivasi - Kenikmatan - Manfaat kesehatan - Kebaikan dalam mengatasi
Skala Likert
- Jumlah pembelian - Jenis yang disukai - Pertimbangan - loyalitas
Skala Likert
Skala Likert Skala Likert
rasa haus
Keputusan Pembelian (Y)
Upaya atau tindakan konsumen dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan dan menggunakan produk yang diinginkan.
Tabel 2 Hasil Uji Validitas Data Variabel Budaya
Seberapa sering anda menggunakan Pond’s karena kebiasaan (budaya)? Lingkungan wanita di sekitar anda umumnya menggunakan Pond’s? Pond’s di rasakan cocok dengan kulit wanita asia, dan khususnya wanita di Indonesia? Di lingkungan anda banyak dijumpai produk-produk kecantikan merek Pond’s? Wanita disekitar anda menggunakan Pond’s sebagai kebiasaan (budaya)?
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach’s Alpha if Item Deleted
14,7200
4,668
0,540
0,766
14,4800
3,585
0,763
0,682
14,4400
3,683
0,767
0,684
15,0300
4,494
0,615
0,748
15,2900
3,945
0,353
0,661
Sumber: Data Primer (diolah), 2011
298
SAPNA BIBY
Data yang telah dikumpulkan, kemudian dianalisis dan dilakukan pengujian terhadap hipotesis penelitian. Analisa dan uji hipotesis dilakukan dengan bantuan program SPSS (Statistic Package for Social Science). Setelah persamaan regresi diperoleh perlu diadakan interprestasi/analisis arti dari setiap koefisien, yaitu: a. Konstanta (β0) menggambarkan besarnya nilai dari variabel Y pada saat variabel X bernilai nol. b Koefisien β mengukur perubahan di dalam Y karena adanya perubahan satu unit variabel X dengan anggapan nilai dari variabel X lain adalah konstan. Untuk pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisa regresi dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Menentukan besarnya koefisien korelasi dari persamaan regresi yang telah dikemukakan 2. Mencari besarnya nilai determinasi atau R2 yang merupakan koefisien yang menunjukkan besarnya persentase pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen 3. Untuk menguji ada tidaknya pengaruh tersebut baik secara individu maupun secara bersama dilakukan dengan melakukan serangkaian pengujian, yaitu uji t atau “t test” dan uji F atau “F test”. Pengujian Hipotesis Secara Serempak (Uji F) digunakan untuk menguji pengaruh variabel bebas secara serempak terhadap variabel terikat. Jika Fhitung < Ftabel berarti H0 diterima dan H1 ditolak. Jika Fhitung > Ftabel berarti H1 diterima dan H0 ditolak. Pengujian Hipotesis Secara Parsial (Uji t) digunakan untuk menguji signifikansi pengaruh variabel bebas (X) secara parsial terhadap variabel terikat (Y). Jika thitung < ttabel berarti H0 diterima dan H1 ditolak. Jika thitung > ttabel berarti H1diterima dan H0 ditolak. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Validitas Pengujian validitas data dilakukan dengan ko-
relasi antar item pada setiap pertanyaan yang diajukan dari masing-masing variabel yang diobservasi. Hasil perhitungan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil pengujian validitas data variabel budaya Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 5 pertanyaan yang diajukan semuanya mempunyai koefisien korelasi di atas 0.50. Koefisien korelasi yang paling tinggi dijumpai pada pertanyaan mengenai Pond’s di rasakan cocok dengan kulit wanita asia, dan khususnya wanita di Indonesia? yang mempunyai koefisien sebesar 0.767, sedangkan koefisien korelasi yang paling rendah dijumpai pada pertanyaan Wanita disekitar anda menggunakan Pond’s sebagai kebiasaan (budaya)? yang mempunyai koefisien sebesar 0.353. Berdasarkan hasil pengujian ini menunjukkan data-data pada variabel budaya semuanya valid secara statistik. Hasil pengujian validitas data variabel kelas sosial Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 5 pertanyaan yang diajukan semuanya mempunyai koefisien korelasi di atas 0.50. Koefisien korelasi yang paling tinggi dijumpai pada pertanyaan Pendapatan anda dan keluarga juga menentukan pilihan merek Pond’s? yang mempunyai koefisien sebesar 0.743, sedangkan koefisien korelasi yang paling rendah dijumpai pada pertanyaan Keluarga anda termasuk yang mempunyai pengaruh dalam menggunakan produk kecantikan? yang mempunyai koefisien sebesar 0.496. Berdasarkan hasil pengujian ini menunjukkan data-data pada variabel kelas sosial semuanya valid secara statistik. Hasil pengujian validitas data variabel individu Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 5 pertanyaan. Koefisien korelasi yang paling tinggi dijumpai pada pertanyaan Umur suami juga menentukan anda dalam memilih jenis merek kecantikan yang mempunyai koefisien sebesar 0.807, sedangkan koefisien korelasi yang paling rendah dijumpai pada pertanyaan Apakah dalam mengambil keputusan pembelian merek kecantikan anda berdiskusi dengan suami/keluarga yang mempunyai koefisien sebesar 0.087. Berdasarkan hasil pengujian ini menunjukkan data-data pada variabel individu semuanya valid secara statistik.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
299
Tabel 3 Hasil Uji Validitas Data Variabel Kelas Sosial
Keluarga anda termasuk yang mempunyai pengaruh dalam menggunakan produk kecantikan? Pendapatan anda dan keluarga juga menentukan pilihan merek Pond’s? Pendidikan anda dan keluarga juga menentukan pilihan Pond’s? Jenis pekerjaan yang anda dan keluarga tekuni turut menentukan memilih Pond’s? Lokasi tempat tinggal anda dan keluarga turut menentukan memilih merek Pond’s?
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach’s Alpha if Item Deleted
14,7300
5,027
0,496
0,792
15,0300
4,676
0,743
0,717
14,5400
4,332
0,504
0,814
14,0100
5,061
0,630
0,753
13,8900
5,291
0,699
0,746
Sumber: Data Primer (diolah), 2011 Tabel 4 Hasil Uji Validitas Data Variabel Karakteristik Individu
Umur anda menentukan dalam memilih jenis produk kecantikan yang digunakan? Umur suami juga menentukan anda dalam memilih jenis merek kecantikan Jumlah anggota keluarga wanita menentukan jumlah pembelian Pond’s dalam setiap bulannya Sejauh mana tingkat keinginan anda untuk mencoba produk kecantikan merek lain? Apakah dalam mengambil keputusan pembelian merek kecantikan anda berdiskusi dengan suami/keluarga
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach’s Alpha if Item Deleted
14,1842
2,046
0,145
0,188
13,3026
2,587
0,159
0,201
14,6447
2,339
0,105
0,229
13,5789
2,487
0,140
0,204
14,6053
2,002
0,087
0,268
Sumber: Data Primer (diolah), 2011
300
Hasil pengujian validitas data variabel psikologis Tabel 5 koefisien korelasi yang paling tinggi dijumpai pada pertanyaan Dengan menggunakan Pond’s anda menjadi lebih percaya diri dalam bergaul? yang mempunyai koefisien sebesar 0.235, sedangkan koefisien korelasi yang paling rendah dijumpai pada pertanyaan Anda merasa lebih cantik dengan menggunakan produk kecantikan merek Pond’s? yang mempunyai koefisien sebesar 0.046. Berdasarkan hasil pengujian ini menunjukkan data-data pada variabel psikologis semuanya valid secara statistik. Hasil pengujian validitas data variabel keputusan pembelian Tabel 6 menunjukkan bahwa dari 4 pertanyaan yang diajukan 1 pertanyaan mempunyai koefisien korelasi di atas dan di bawah 0,50. Koefisien korelasi yang paling tinggi dijumpai pada pertanyaan Dalam pengambilan keputusan seberapa sering anda mempertimbangkan faktor pajangan produk yang menarik? yang mempunyai koefisien sebesar 0,621, sedangkan koefisien korelasi yang paling rendah dijumpai pada pertanyaan Dalam pengambilan keputusan pembelian ulang terhadap produk Pond’s, anda mempertimbangkan tingkat kepuasan? yang mempunyai koefisien sebesar 0,166. Berdasarkan hasil pengujian ini menunjukkan data-data pada variabel keputusan pembelian semuanya valid secara statistik. Uji Reliabilitas Adapun hasil pengujian reliabilitas dari masing-masing variabel penelitian ditampilkan pada Tabel 7. Dari hasil pengujian dijumpai nilai Cronbach Alpha masing-masing variabel adalah; variabel budaya 0.790, variabel kelas sosial 0.801, variabel individu 0.657, variabel psikologis 0.780, dan variabel keputusan pembelian dijumpai nilai Cronbach Alpha sebesar 0.639. Dengan demikian bila mengacu dari kriteria (Nunnaly dalam Ghozali, 2007) semua variabel yang diuji realibel secara statistik. Hasil Estimasi Model Penelitian Estimasi untuk mengetahui pengaruh internal konsumen terhadap keputusan pembelian dilakukan dengan menggunakan model regresi linier
SAPNA BIBY
berganda. Secara spesifik internal konsumen terdiri dari variabel budaya, kelas sosial, karakteristik individu, dan variabel psikologis dimasukkan sebagai variabel estimator yang diduga mempengaruhi keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s di Kota Lhokseumawe. Hasil estimasi model penelitian diperoleh seperti terlihat pada Tabel 8. Dengan mensubsitusi parameter estimasi ke dalam model penelitian, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Y = 0,151 + 0,362(X1) + 0,318(X2) + 0,247(X3) + 0,652(X4) Berdasarkan hasil estimasi dapat diinterpretasikan bahwa kontanta mempunyai koefisien sebesar 0,151 bermakna bahwa tanpa tambahan dari variabel budaya, kelas sosial, karakteristik individu dan variabel psikologis, maka keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s hanya sebesar 15,1%. Variabel budaya mempunyai koefisien sebesar 0,362 bermakna bahwa dengan meningkatnya variabel budaya 1 dalam skala, maka akan meningkatkan keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s sebesar 0,362 dalam skala (36,2%) dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. Variabel kelas sosial mempunyai koefisien sebesar 0,318 bermakna bahwa dengan meningkatnya variabel kelas sosial 1 dalam skala, maka akan meningkatkan keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s sebesar 0,318 dalam skala (31,8%) dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. Variabel karakteristik individu mempunyai koefisien sebesar 0,247 bermakna bahwa dengan meningkatnya variabel karakteristik individu 1 dalam skala, maka akan meningkatkan keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s sebesar 0,247 dalam skala (24,7%) dengan asumsi variabel lain dianggap konstan. Selanjutnya variabel psikologis mempunyai koefisien sebesar 0,652 bermakna bahwa dengan meningkatnya variabel psikologis 1 dalam skala, maka akan meningkatkan keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s sebesar 0,652 dalam skala (65,2%) dengan asumsi variabel lain dianggap konstan.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. Tabel15, 5 No. 3, Juli 2014 Hasil Uji Validitas Data Variabel Psikologis
Bagaimana persepsi anda terhadap manfaat produk Pond’s? Seberapa yakin anda bahwa Pond’s tidak memberi dampak buruk terhadap kesehatan? Apakah menurut anda dengan menggunakan Pond’s dapat meningkatkan motivasi anda dalam beraktivitas? Dengan menggunakan Pond’s anda menjadi lebih percaya diri dalam bergaul? Anda merasa lebih cantik dengan menggunakan produk kecantikan merek Pond’s?
301
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach’s Alpha if Item Deleted
14,8200
1,503
0,136
0,295
13,8700
1,912
0,137
0,271
14,2100
1,865
0,231
0,197
13,7100
1,966
0,235
0,207
13,9900
2,111
0,046
0,341
Sumber: Data Primer (diolah), 2011 Tabel 6 Hasil Uji Validitas Data Variabel Keputusan Pembelian
Dalam pengambilan keputusan untuk membeli Pond’s seberapa sering anda mempertimbangkan situasional? Dalam pengambilan keputusan seberapa sering anda mempertimbangkan faktor pajangan produk yang menarik? Dalam pengambilan keputusan pembelian ulang terhadap produk Pond’s, anda mempertimbangkan tingkat kepuasan? Sejauhmana tingkat loyalitas anda menggunakan produk Pond’s?
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected ItemTotal Correlation
Cronbach’s Alpha if Item Deleted
9,8700
1,730
0,172
0,591
10,6000
1,293
0,621
0,216
10,9300
1,864
0,166
0,580
10,9600
1,211
0,411
0,385
Sumber: Data Primer (diolah), 2011 Tabel 7 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Penelitian Variabel Budaya (X1) Kelas Sosial (X2) Individu (X3) Psikologis (X4) Keputusan Pembelian (Y)
Item 5 5 5 5 4
Cronbach Alpha 0.790 0.801 0.657 0.780 0.639
Keterangan Relialibel Relialibel Relialibel Relialibel Relialibel
Sumber: Data Primer (diolah), 2011 Tabel 8 Hasil Pengujian Hipotesis Secara Parsial Model
1
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
B
Std. Error
Beta
(Constant)
0,151
0,462
Budaya
0,362
0,085
Kelas Sosial
0,318
0,084
Karakteristik Individu
0,247
Psikologis
0,652
Sumber: Data Primer (diolah dengan SPSS), 2011
t
Sig.
0,326
0,745
0,450
4,266
0,000
0,264
3,785
0,000
0,118
0,241
2,094
0,037
0,120
0,512
5,457
0,000
302
SAPNA BIBY
Koefisien Korelasi dan Determinasi Sebelum melakukan pengujian hipotesis dengan uji t dan uji F, terlebih dahulu akan diuji kesesuaian model yang digunakan dengan uji korelasi dan determinasi. Koefisien determinasi berguna untuk mengukur sejauhmana kontribusi yang dapat diberikan oleh seluruh variabel bebas secara Simultan terhadap peningkatan atau penurunan variabel terikat. Hasil analisis korelasi dan determinasi disajikan pada Tabel 9. Hasil uji korelasi (R) dijumpai koefisien sebesar 0,699 bermakna bahwa hubungan variabel bebas; budaya, kelas sosial, karakteristik individu dan variabel psikologis dengan keputusan pembelian sebesar 69,9%, sisanya sebesar 30,1% keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s berhubungan dengan variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,489 bermakna bahwa variansi kemampuan variabel bebas (budaya, kelas sosial, karakteristik individu dan variabel psikologis) dalam menjelaskan pengaruhnya terhadap variabel terikat (keputusan pembelian) produk kecantikan merek Pond’s sebesar 49,9%, sisanya sebesar 50,1% keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian. Menurut Young (Djarwanto, 1996:169): jika koefisien korelasi bernilai 0,70 sampai mendekati 1,00 (plus atau minus) menunjukkan derajat hubungan yang tinggi, koefisien korelasi lebih besar dari 0,40 sampai di bawah 0,70 (plus atau minus) menunjukkan derajat hubungan yang sedang,
apabila koefisien korelasinya di atas 0,20 sampai 0,40 (plus atau minus) maka menunjukkan derajat hubungan yang rendah atau lemah. Berdasarkan kriteria dari Young di atas, maka korelasi dan determinasi variabel bebas terhadap keputusan pembelian dapat dikatagorikan sedang. Pengujian Hipotesis Secara Simultan Pengujian simultan dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini secara bersama-sama mempengaruhi keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s. Pengujian simultan ini dilakukan dengan membandingkan nilai F hitung dengan F tabel. Dengan kriteria pengambilan keputusan adalah; jika F hitung lebih besar dari F tabel maka H1 diterima dan menolak H0. Hasil pengujian sebagaimana terlihat pada Tabel 10. Hasil pengujian secara simultan menjumpai nilai F hitung sebesar 16.959 sedangkan F tabel pada v1 = k – 1 (5 – 1 = 4) dan v2 = n – k (100 – 5 = 95) diperoleh sebesar 2.460. Dengan membandingkan F hitung > F tabel dapat disimpulkan bahwa secara bersama-sama variabel internal konsumen; budaya, kelas sosial, karakteristik individu, dan variabel psikologis secara bersamasama berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s. Pengujian Hipotesis Secara Parsial Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya uji statistik secara parsial dilakukan dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel dengan kriteria; apabila nilai t hitung lebih
Tabel 9 Nilai Koefisien Korelasi dan Determinasi Model 1
R 0,699
Adjusted R Square 0,460
R Square 0,489
Std. Error of the Estimate 0,29230
Sumber: Data Primer (diolah dengan SPSS), 2011 Tabel 10 Hasil Pengujian Hipotesis Secara Simultan Model 1
Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
Regression
5,796
4
1,449
16,959
0,000
Residual
6,066
71
0,085
Total
11,862
75
Sumber: Data Primer (diolah dengan SPSS), 2011
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
besar dari t tabel, maka variabel yang diobservasi signifikan mempengaruhi keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s, sebaliknya apabila nilai t hitung variabel observasi lebih kecil dari nilai t tabel, maka variabel tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s. Adapun nilai t tabel pada df = n – k (100 – 5 = 95) sebesar 1.960. Selain uji t kriteria untuk signifikansi juga dapat dilihat pada nilai sig. pada α = 0.05. Hasil estimasi menemukan nilai t hitung variabel budaya sebesar 4,266 dengan nilai sig. 0,000 jauh lebih besar dari nilai t tabel 1,960 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel budaya berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s. Nilai t hitung variabel kelas sosial sebesar 3,785 dengan nilai sig. 0,000 lebih kecil dari nilai t tabel 1,960 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel kelas sosial berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s. Hasil pengujian ini konsisten dengan penelitian Elizabeth (2006) yang menemukan variabel sosial berpengaruh signifikan terhadap keputusan konsumen. Nilai t hitung variabel karakteristik individu sebesar 2,094 dengan nilai sig. 0,037 lebih besar dari nilai t tabel 1,960 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel karakteristik individu berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s. Hasil pengujian ini konsisten dengan penelitian Syarif (2007) yang menemukan variabel individu berpengaruh signifikan terhadap keputusan konsumen. Juga konsisten dengan penelitian Muslichah, dkk (2006) dan penelitian Elizabeth (2006). Nilai t hitung variabel psikologis sebesar 5,457
303
dengan nilai sig. 0,000 lebih besar dari nilai t tabel 1,960 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel psikologis berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s. Hasil pengujian ini konsisten dengan penelitian Syarif (2007) yang menemukan variabel psikologis berpengaruh signifikan terhadap keputusan konsumen. KESIMPULAN Variabel-variabel internal konsumen yang terdiri dari variabel budaya, kelas sosial, karakteristik individu, dan variabel psikologis secara statistik mempengaruhi keputusan pembelian produk kecantikan merek Pond’s oleh konsumen di Kota Lhokseumawe. Pengujian secara parsial semua variabel bebas yang diuji mempunyai pengaruh yang signifikan. Pengujian secara simultan variabel-variabel bebas yaitu faktor budaya, kelas sosial, faktor karakteristik individu, dan faktor psikologis signifikan secara statistik mempengaruhi keputusan pembelian produk Pond’s. Spesifikasi model regresi linier berganda yang digunakan sudah tepat Selain itu juga ditemukan nilai R2 yang mencapai 0.489 atau dapat dikatagorikan sedang, dan nilai R mencapai 0.699 yang tergolong sedang. SARAN Kepada konsumen pengguna produk kecantikan hendaknya juga perlu berhati-hati dan jeli dalam memilih produk kecantikan karena sekarang banyak beredar produk-produk kecantikan palsu.
304
SAPNA BIBY
REFERENSI Eduardo. 2006. Pengaruh Faktor Internal Konsumen Dalam Membeli Produk Kosmetik Di Sleman. www.indoskripsi.com diakses tanggal 8 Oktober 2010 Engel, F. James, Roger D. Blackwell and Paul. W. Miniard, 1995, Perilaku Konsumen, Alih Bahasa: Budijanto, Binarupa Aksara, Jakarta. Fiona Anjani Foebe dikutip dari www.okezone.com (diakses tanggal 8 Oktober 2010) Geriyana, Gita, 2003, Pertimbangan Pembelian Pakaian Jadi di Kalangan Mahasiswa: Studi Pada Mahasiswa Perguruan Tinggi Strata-1 di Kota Malang, Seminar Hasil Penelitian, Program Pasca Sarjana Unibraw, Malang. Ghozali, H, Imam, 2007, Analisis Multivariat dengan Program SPSS, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang. Koutsoyiannis, A, 1981, Theory Of Econometrics, Second edition, The Macmillan Press, London. Kotler, Philip, 2005, Manajemen Pemasaran, Edisi Bahasa Indonesia, Alih Bahasa: Benyamin Molan, Indeks, Jakarta. Kotler, Philip, Gary Armstrong, 2003, Dasar-dasar Pemasaran, Jilid 1, Alih Bahasa: Alexander Sindoro, Indeks, Jakarta. Kotler, Philip, 2002, Manajemen Pemasaran, Edisi Milenium, Alih Bahasa: Hendra Teguh, Prenhallindo, Jakarta. Lamb, Charles W., Joseph F. Hair, and Daniel McCarl, 2001, Marketing, Alih Bahasa: David Octarevia, Salemba Empat, Jakarta. Maulana, Agus, 1999, Perilaku Konsumen Dimasa Krisis; Implikasinya Terhadap Strategi Pemasaran, Jurnal Usahawan No.1 Tahun XXVIII, Jakarta. Mowen, C. Mowen, Michael Minor, 2002, Perilaku Konsumen, Alih Bahasa: Dwi Kartini Yahya, Erlanngga, Jakarta. Nazir, Moh, 1999, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta. Santoso, Singgih, 2002, Mengolah Data Statistik Secara Profesional, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Setiadi, J. Nugroho, 2005, Perilaku Konsumen: Konsep dan Implikasi untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran, Kencana, Jakarta., Singarimbun, Masri dan Effendi Sofyan, 1995, Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta. Wilson, R. Jarod. 2007. Perilaku Pembelian Konsumen; Kasus Pembelian Produk Kecantikan. http://www.consumer’s/behavior/artikel/ diakses Tanggal 8 Oktober 2010
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, 3, Juli 2014 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 15, Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 1412 – 968X Hal. 305-312
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KEMAMPUAN MANAJERIAL TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PERUSAHAAN JASA KONTRUKSI DI KOTA LHOKSEUMAWE SULLAIDA
Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
This study aims to investigate and analyze the influence of organizational culture and managerial capabilities to employee performance in service companies in the city of Lhokseumawe. Sample size determination writer used pusposive sampling is done by setting the amount of the sample with 77 respondents. Testing the hypothesis with multiple regression analysis model formulation is formulated Y = a + b1x1 + b2X2 + ei with SPSS (Statistical Package for Social Science). The results of this analysis showed that the variables consisting of variables of organizational culture and managerial Traffic statistically affect the performance of employees at a construction company in the city of Lhokseumawe. Keywords: organizational culture, managerial capabilities, performance of employees
305
306
SULLAIDA
PENDAHULUAM Untuk meningkatkan kinerja anggota organisasi dalam hal ini pegawai maka salah satunya yang harus dilakukan oleh organisasi adalah menciptakan dan menumbuhkan budaya organisasi bagi seluruh anggotanya baik atasan maupun bawahan. Sebuah organisasi tumbuh dan berkembang didunianya mengeksiskan diri dengan cara dan kebiasaan yang khas berdasarkan nilai dan kepercayaan yang dibawa tiap orang. Tiap orang yang bergabung dalam organisasi membawa nilai dan kepercayaan yang diajarkan kepada mereka. Interaksi yang terjadi dalam organisasi yang diwarnai oleh nilai dan kepercayaan tiap anggotanya menimbulkan sebuah nilai dan kepercayaan baru yang akhirnya berkembang menjadi budaya organisasi. Budaya organisasi adalah nilai, keyakinan kepercayaan, sikap yang dianut oleh anggota baru yang merupakan suatu system makna bersama. Budaya yang berlaku dalam organisasi atau perusahaan dapat terlihat melalui kegiatan ritual, simbol-simbol, nilai-nilai,sejarah perusahaan maupun kode etik yang ditunukkan anggota perusahaan dalam perilakunya. Kemampuan karyawan dalam memahami dan mengintepretasikan apa yang dan berlaku dalam perusahaan sangat terbatas sehingga karyawan perlu memahami dan menyeleksi secara tepat. Hal tersebut dimungnkinkan untuk mencari nilai-nilai positif yang akan digunakan untuk kinerja karyawan. Kemampuan manajerial diharapkan menjadi salah satu tolak ukur dalam menjalankan usaha. Menurut Mulyanto (2007) Kemampuan manajerial adalah kemampuan untuk mengelola usaha seperti perencanaan, pengorganisasian, pemberian motivasi, pengawasan, dan penilaian. Kemampuan manajerial yang baik diharapkan akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup suatu usaha. Namun sebagian besar fungsi-fungsi manajemen tersebut jarang didapati oleh wirausahawan pada pendidikan formal. Hal ini cukup beralasan karena diantara mereka berasal dari latar pendidikan yang berbeda yang jauh dari pengetahuan akan berwirausaha, dan bahkan tak sedikit dari mereka yang berbekal dari pengalaman dan pengamatan mereka pada usaha-usaha yang terlebih dahulu sudah ada, yang disebut dengan belajar
dari pengalaman (learning by experience). Anggota organisasi dalam hal ini karyawan apabila dalam melaksanakan tugas atau melakukan suatu pekerjaan berpijak pada budaya organisasinya maka dapat meningkatkan kinerjanya, karena pegawai bekerja selalu memikirkan halhal yang positif, kreatif, inovatif dan bertanggung jawab atas pekerjaannya serta berupaya untuk mencapai prestasi dengan harapan mendapatkan penghargaan. Kemudian juga dalam melaksanakan tugasnya tidak bertentangan dengan pedoman kerja, prosedur, kebijakan dan perundang-undangan yang berlaku. TINJAUAN TEORITIS Budaya Organisasi banyak diungkapkan oleh para ilmuwan yang merupakan ahli dalam ilmu budaya organisasi, namun masih sedikit kesepahaman tentang arti konsep budaya organisasi atau bagaimana budayaorganisasi harus diobservasi dan diukur (Brahmasari,2004). Lebih lanjut Brahmasari mengemukakan bahwa hal tersebut dikarenakan oleh kurangnya kesepahaman tentang formulasi teori tentang budaya organisasi, gambarannya dankemungkinan hubungan dengan dampak kerja. Ndraha (2003) dalam Brahmasari (2004) mengemukakan bahwa budaya perusahaan (corporate culture) merupakan aplikasi dari budaya organisasi (organizational culture) terhadap badan usaha atau perusahaan. Kedua istilah ini sering dipergunakan untuk maksud yang sama secara bergantian. Menurut Davis (dalam Lako, 2004: 29) budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mangkunegara (2005: 113) yang menyatakan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan internal.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang diyakini dan dijiwai oleh seluruh anggotanya dalam melakukan pekerjaan sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalahmasalah terkait, sehingga akan menjadi sebuah nilai atau aturan di dalam organisasi tersebut. Indikator Budaya Organisasi Budaya organisasi menurut Mangkunegara (2006) menyebutkan bahwa Karakteristik organisasi (lingkungan kerja) meliputi : 1. Peraturan kerja 2. Iklim kerja 3. Hubungan kerja harmonis 4. Budaya kerja yang disepakati. Sjabadhyni dan Wutun dalam Hendri, (2010) mengemukakan bahwa budaya organisasi mempunyai 5 (lima) ciri-ciri pokok yaitu : 1) Budaya organisasi merupakan satu kesatuan yang integral dan saling terkait, 2) Budaya organisasi merupakan refleksi sejarah dari organisasi yang bersangkutan, 3) Budaya organisasi berkaitan dengan halhal yang dipelajari oleh para antropolog, seperti ritual, symbol, ceritera, dan ketokohan, 4) Budaya organisasi dibangun secara sosial, dalam pengertian bahwa budaya organisasi lahir dari sekelompok orang yang mendirikan organisasi tersebut, 5) Budaya organisasi sulit diubah. Budaya organisasi adalah sistem nilai – nilai yang dinyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Budaya Organisasi Budaya dalam organisasi setidaknya memainkan tiga peranan penting, yaitu memberikan identitas bagi anggotanya, meningkatkan komitmen terhadap visi dan misi organisasi serta memperkuat standar perilaku. Ketika budaya organisasi melekat kuat, maka masing-masing anggota akan merasa bahwa mereka adalah bagian dari organisasi. Perasaan sebagai bagian dari organisasi
307
akan memperkuat komitmennya terhadap visi dan misi organisasi. Budaya juga akan mengarahkan perilaku anggota organisasi. Budaya organisasi memberikan banyak pengaruh kepada individu dan proses organisasi. Budaya memberikan tekanan pada individu untuk bertindak ke arah tertentu, berfikir serta bertindak dengan cara yang konsisten dengan budaya organisasinya. Tidak ada satupun tipe budaya organisasi yang terbaik yang dapat berlaku universal. Yang terpenting adalah organisasi harus mengetahui potret budaya organisasi saat ini dan mengevaluasinya apakah budaya yang berlaku tersebut dapat mendukung program perubahan organisasi. Kemampuan Manajerial Hasibuan (2006:1) menjelaskan manajemen itu merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Manajemen pengolahan mengurus atau menangani sesuatu untuk mencapai tujuan. Manajemen adalah seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Dengan demikian manajemen dapat dilakukan oleh seseorang akan tetapi dalam pencapaian tujuan tersebut dilakukan melalui kegiatan atau menggunakan beberapa orang, artinya semakin melibatkan orang dalam mencapai tujuan maka peranan manajemen semakin besar. Manajemen adalah fungsi dewan manajer (biasanya dinamakan manajemen) untuk menetapkan kebijakan (policy) mengenai apa macam produk yang akan dibuat, bagaimana pembiayaannya, memberikan servis dan memilih serta melatih pegawai, dalam faktor yang mempengaruhi kegiatan suatu usaha, lebih-lebih lagi manajemen bertanggung jawab dalam membuat suatu susunan organisasi untuk melaksanakan kebijakan itu. Menurut Purwanto dan Atwi (2008:6-8) yang dikutip dari Waldo menjelaskan bahwa manajemen adalah suatu rangkaian tindakan dengan maksud untuk mencapai hubungan kerja yang rasional dalam suatu sistem administrasi. Pendapat Abdurahman sesuai dengan pendapat Terry yang mengemukakan bahwa : manajemen adalah proses tertentu yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai
308
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan manusia/orang-orang dan sumber lainnya. Burhanuddin (2004:11) mengemukakan bahwa “sukses tidaknya seseorang manajer melaksanakan tugasnya, lebih banyak ditentukan oleh wawasan yang dimiliki dalam menggerakkan orang lain inilah sering disebut dengan pengetahuan “manajerial skill”. Menurut Mulyanto (2007) Kemampuan manajerial adalah kemampuan untuk mengelola usaha seperti perencanaan, pengorganisasian, pemberian motivasi, pengawasan, dan penilaian. Dengan penjelasan melalui penelusuran (www.google. com), adalah sebagai berikut : a. Perencanaan (planning) adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsifungsi lainnya tak dapat berjalan. b. Pengorganisasian (organizing) dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, pada tingkatan mana keputusan harus diambil. c. Pemberian motivasi adalah memberikan dorongan kepada tenaga kerja agar pada dirinya tumbuh kondisi yang menggairahkan di dalam melaksanakan pekerjaan d. Pengawasan pada hakekatnya mengatur apakah kegiatan sesuai dengan persyaratan-
SULLAIDA
persyaratan yang ditentukan dalam rencana. Sehingga pengawasan membawa kita pada fungsi perencanaan. Makin jelas, lengkap serta terkoordinir rencana-rencana makin lengkap pula pengawasan. Menurut Siagian (2007:32-33) menjelaskan bahwa kemampuan manajerial adalah kemampuan menyelenggarakan fungsi-fungsi manajerial. Fungsi-fungsi manajerial dapat digolongkan kepada dua jenis utama, yaitu fungsi organik dan fungsi penunjang. Yang tergolong kepada jenis fungsi organik adalah keseluruhan fungsi utama yang mutlak perlu dilakukan oleh para manajer dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Fungsi-fungsi organik tersebut merupakan penjabaran kebijaksanaan dasar atau strategi organisasi yang telah ditetapkan dan harus digunakan sebagai dasar bertindak. Hasibuan (2006:75) mengemukakan bahwa ada empat prinsip dalam perilaku manajerial yang sangat penting, yaitu : 1. Pengembangan metode kerja yang terbaik 2. Pemilihan dan pengembangan para pekerja 3. Usaha menghubungkan metode kerja dengan pekerja yang terpilih 4. Kerja sama, pembagian kerja dan tanggung jawab semua pekerja. Pelaksanaan manajerial dibutuhkan oleh semua organisasi karena tanpa manajemen semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan akan lebih sulit. Handoko (2000) mengemukakan, ada tiga alasan utama diperlukan kinerja manajerial : 1. Untuk mencapai tujuan 2. Manajemen dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi dan pribadi 3. Untuk menjaga keseimbangan diantar tujuantujuan yang saling bertentangan Pengertian Kinerja Kinerja merupakan bagaimana melakukan pekerjaan itu sendiri dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis dan kontribusi (Armstrong
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
309
dan Baron). Dalam pernyataan dari Mangkunegara (2000:67), kinerja adalah hasil kerja kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dengan pemahaman kinerja tersebut, dapat disimpulkan bahwa kinerja yang baik dapat tercapai apabila di dalamnya terdapat perumusan tujuan, terdapatnya kerjasama,sifatnya berkelanjutan, terjadi komunikasi dua arah dan umpan balik. Kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2005). Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan dan tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk (1) kuantitas keluaran, (2) kualitas keluaran, (3) jangka waktu keluaran, (4) kehadiran di tempat kerja, (5) Sikap kooperatif (Mathis dan Jackson, 2006).
tivitas dan efisiensi pekerjaan yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula. Untuk memperoleh kinerja yang tinggi dibutuhkan sikap mental yang memiliki pandangan jauh ke depan. Seseorang harus mempunyai sikap optimis, bahwa kualitas hidup dan kehidupan hari esok lebih baik dari hari ini. Penilaian kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha, dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya (Sulistiyani dan Rosidah, 2003). Menurut Dessler (2000) Penilaian terhadap kinerja para pegawai, maka harus diperhatikan 5 (lima) faktor penilaian kinerja yaitu : 1. Kualitas pekerjaan meliputi: akurasi, ketelitian, penampilan dan penerimaan keluaran. 2. Kuantitas pekerjaan meliputi: volume keluaran dan kontribusi. 3. Supervisi yang diperlukan meliputi : membutuhkan saran, arahan, atau perbaikan. 4. Kehadiran meliputi: regularitas, dapat dipercayai/diandalkan dan ketepatan waktu. 5. Konservasi meliputi: pencegahan, pemborosan, kerusakan, pemeliharaan peralatan.
Indikator Kinerja pegawai Kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas – tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. (Mangkunegara, 2005). Variabel Kinerja pegawai terdiri dari empat indikator yaitu: (1) kualitas pekerjaan, (2) Kuantitas pekerjaan, (3) Supervisi, (4) Kehadiran, (5) Konservasi, (Dessler, 1992). Selanjutnya menurut (Bernardin and Russel, 1993). indikator Kinerja pegawai terdiri dari empat indikator yaitu: (1) kualitas pekerjaan, (2) Kuantitas pekerjaan, (3) Supervisi, (4) Kehadiran, (5) Konservasi. (Dessler, 1992). Tingkatan di mana seorang karyawan merasa percaya diri, punya keinginan yang baik, dan bekerja sama di antara rekan kerja
METODE PENELITIAN
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Kinerja adalah perbandingan antara keluaran (ouput) yang dicapai dengan masukan (input) yang diberikan. Selain itu, kinerja juga merupakan hasil dari efisiensi pengelolaan masukan dan efektivitas pencapaian sasaran. Oleh karena itu, efek-
Penelitian ini dilakuk’an pada perusahaan jasa konstruksi di Kota Lhokseumawe, dengan objek penelitian yaitu karyawan yang bekerja pada jasa konstruksi di Kota Lhokseumawe. Dengan jumlah populasi sebanyak 159 perusahaan yang tergabung dalam Gapensi Kota Lhokseumawe Sampel Setelah diketahui jumlah populasi maka selanjutnya ditetapkan besarnya sampel. Sampel merupakan unit-unit yang dapat mewakili populasi secara keseluruhan. Menurut Arikunto (2003:111) Apabila subyeknya kecil atau kurang dari 100 diambil seluruhnya, sedangkan kalau besar atau lebih dari 100 maka untuk menentukan jumlah sampel dapat diambil antara 10%, 15%, 20%, 25%, atau lebih, tergantung setidak-tidaknya dari: a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga dan dana b. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data.
310
SULLAIDA
HASIL DAN PEMBAHASAN
c. Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti. Maka berdasarkan pendapat di atas maka pengambilan sampel dilakukan secara pusposive. Menurut sugiyono (2005) sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Penulis mengambil sampel pada 5 perusahaan jasa konstruksi dengan jumlah responden sebanyak 77 orang dengan pertimbangan-pertimbangan: a. Keterbatasan kemampuan peneliti dari segi waktu, tenaga. b. Jumlah objek yang diteliti sangat luas. c. Tidak semua perusahaan jasa konstruksi yang ada di Kota Lhokseumawe memiliki jumlah kayawan yang dapat mewakili sampel. Metode Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda untuk menguji dan menganalsiis Pengaruh Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial terhadap Kinerja karyawan dengan pengolahan data memakai program SPSS data yang dikumpulkan terdiri dari data skunder dan data primer. Jenis penelitian yang dilakukan dengan metode survey, Formula regresi adalah sebagai berikut: Y = a + b1X1 + b2X2 +ei Dimana : Y = Kinerja a = Konstanta b = Koefisien Regresi X1 = Budaya Perusahaan X2 = Kemampuan Manajerial ei = Error Term.
Dari hasil perhitungan statistic dengan menggunakan bantuan program SPSS, maka diperoleh persamaan regresi linear berganda sebagai berikut: Y = 1,551 + 0,322X1 + 0,609X2 + ei a. Apabila Variabel X1 (Budaya Organisasi) mengalami kenaikan 1 % maka akan berpengaruh positif terhadap Variabel Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe yaitu sebesar 0,322 % dengan asumsi Variabel Kemampuan Manajerial dan Kinerja Karyawan dianggap tetap. b. Apabila Variabel X2 (Kemampuan Manajerial) mengalami kenaikan 1 % maka akan berpengaruh positif terhadap Variabel Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe yaitu sebesar 0,609 % dengan asumsi Variabel Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial dianggap tetap. Dari persamaan regresi linear berganda di atas dapat diketahui hasil penelitian sebagai berikut: a. Koefisien korelasi (R) sebesar 0,777. Nilai tersebut menunjukkan kuatnya hubungan korelasi antara Budaya Organisasi dan kemampuan manajerial terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe. b. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,604, artinya Budaya Organisasi dan kemampuan manajerial berpengaruh terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe sebesar 60,4%. Selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain diluar penelitian ini.
Tabel 1 Analisis Regresi
DF= 74
Variabel
Koefisien
Constant X1 X2
1,551 0,322 0,609 R= 0,777 R2= 0,604
Sumber: Data primer (diolah), 2009
thitung 4.538 2.651 4.881 ttabel 0,05=1,980
Sig 0,004 0.003 0.000 Fhitung = 26,483 Ftabel = 2,72
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
Pembuktian Hipotesis Hasil Pengujian Secara Simultan (Uji F) adalah uji yang digunakan untuk menyatakan signifikansi pengaruh variabel bebas secara simultan terhadap variabel terikat. Untuk menguji variabel yang berpengaruh antara Budaya Organisasi (X1) dan Kemampuan Manajerial (X2) terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe. Hipotesisnya sebagai berikut: - Jika Fhitung > Ftabel, maka Ha diterima dan Ho ditolak pada tingkat signifikansi 5 %, artinya Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial secara simultan berpengaruh terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe - Jika Fhitung < Ftabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak pada tingkat signifikansi 5 %, artinya Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial secara simultan tidak berpengaruh terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe Hasil pengujian Statistik memperlihatkan nilai Fhitung sebesar 26,483 sedangkan nilai Ftabel pada taraf signifikansi sebesar 5 % adalah sebesar 2,72. Dengan demikian terlihat bahwa nilai Fhitung (26,483) > Ftabel (2,72), sehingga menunjukkan variabel Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial secara simultan berpengaruh terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe Pengujian Secara Parsial (Uji t) ini untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing Variabel independen (Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial) terhadap Variabel Dependen (Kinerja Karyawan) Hipotesisnya sebagai berikut: - Jika thitung > ttabel, maka Ha diterima dan Ho ditolak pada tingkat signifikansi 5 %, artinya Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial secara individual (parsial) berpengaruh terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe - Jika thitung < ttabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak pada tingkat signifikansi 5 %, artinya Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial secara individual tidak berpengaruh terha-
311
dap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe ` Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe signifikan, karena thitung (2,651) > dari ttebel (1,980) dan pengaruh Kemampuan Manajerial terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe sgnifikan, karena thitung (4,881) > dari ttebel (1,980). Jadi variabel yang dominan mempengaruhi Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe adalah Variabel Kemampuan Manajerial yaitu dengan nilai thitung sebesar 4,881 dan nilai signifikansi sebesar 0,000. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial berpengaruh positif terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe. Kesimpulan didasarkan pada hasil uji hipotesis yang menunjukkan bahwa Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe. Simultan berarti secara universal atau umum faktor Budaya Organisasi dan Kemampuan Manajerial dapat mempengaruhi kinerja karyawan, sedangkan secara parsial menunjukkan bahwa pengaruh Kemampuan Manajerial lebih dominan dibandingkan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan pada Perusahaan Jasa Kontruksi di Kota Lhokseumawe. Agar Kinerja Karyawan lebih baik, maka kemampuan Manajerial yang telah baik dapat dipertahankan, serta terus berupaya menciptakan Budaya Organisasi yang diterima oleh semua karyawan guna untuk merangsang Kinerja Karyawan lebih baik bagi. SARAN Variabel-variabel lain yang belum muncul pada penelitian ini hendaknya dapat ditindaklanjuti menjadi pertimbangan untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam.
312
SULLAIDA
REFERENSI Arikunto, Suharsimi, (2002), Prosedur Penelitian, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta Brahmasari, Ida Ayu (2008) Pengaruh motivasi kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada kinerja perusahaan (Studi Kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia), Jurnal Manajemen Kewirausahaan vol 10, No. 2 September 2008 Ghozali, Imam, (2005), Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Penerbit BP-Universitas Diponogoro, Semarang Handako,T Hani (2000), Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Edisi 2, Penerbit BPFE Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Hasibuan, M (2006), Organisasi dan Motivasi: Dasar Peningkatan Produktivitas, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta Mangkunegara, Anwar Prabu (2000), Perilaku dan Budaya Organisasi, Penerbit Refika Aditama, Bandung Mangkunegara, Anwar Prabu (2005). Perilaku dan Budaya Organisasi, Penerbit Refika Aditama, Bandung Mathis, L, Robert, (2003) Human Resource Mangement. Tenth Edition, Ohio: Thomson South-Wester Mulyanto (2007) Pengaruh Motivasi dan Kemampuan Manajerial Terhadap Kinerja Usaha Perdaganngan Kaki Lima menetap (suatu Survei pada Perdagangan dan Wisata di Kota Surakarta), Sumner Jurnal. Benafit Management dan Bisnis, Universitas Muhammadiah Surakarta Ndraha, Taliziduhu (2002), Budaya Organisasi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta Priyonto Lako (2004), Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi dan Kinerja; Pendekatan konsep, Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. Purwanto dan Atwi, (2008) Evaluasi Program Diklat Lembaga Administrasi Negara Jakarta Siagian P, Sondang (2007) Fungsi-Fungsi Manajerial, Edisi Revisi PT. Bumi AKsara Jakarta Sugiono (2005), Metode Penelitian Bisnis, Edisi Keempat Penerbit CV. ALfabede, Bandung Simamora, Hendry (2004), Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi ke tiga, cetakan pertama, Yogyakarta : YKPN
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, 3, Juli 2014 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 15, Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 1412 – 968X Hal. 313-326
ANALISIS PENERAPAN AKUNTANSI ZAKAT, INFAQ DAN SEDEKAH PADA BAITUL MAL KOTA LHOKSEUMAWE
SYAWAL HARIANTO DAN DIANA
Dosen pada Jurusan Tata Niaga, Politeknik Negeri Lhokseumawe
This study aims to analyze the application of accounting zakat, the alms infaq and Baitul Mal Lhokseumawe. This research is qualitative research with descriptive analysis method that aims to provide an overview of research state of the object based on existing data and provide a comparative analysis between SFAS 109 is applied to the Baitul Mal in Lhokseumawe. The scope of analysis includes the recognition, measurement, recording and reporting. The results showed that the Baitul Mal Lhokseumawe applying the single entry system of accounting records by just making a note in the form of cash which is commonly used to record all expenditures recepti or charity, donation and alms to the cash basis approach. Baitul Mal Lhokseumawe Jugan not make financial reports to the charity fund, donation and alms in accordance with SFAS No. 109. This study recommends a design Baitul Mal financial statements in accordance with SFAS 109 to expect can be applied in the preparation of financial statements Baitul Mal Lhokseumawe. Keywords: Accounting zakat infak, financial statements, SFAS 109
313
314
SYAWAL HARIANTO DAN DIANA
PENDAHULUAN Provinsi Aceh sebagai serambi Mekah telah menetapkan pelaksanaan Syariah Islam melalui Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari ‘at Islam, kemudian Tahun 2002 melalui Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Di Provinsi Aceh memiliki Qanun yang mengatur tentang pengelolan zakat daerah yang khusus mengatur tentang zakat, yaitu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7 Tahun 2004. Berdasarkan Qanun tersebut dibentuk sebuah lembaga amil yang mengelola zakat mulai dari pengumpulan sampai penyaluran, yang sekarang dikenal dengan Baitul Mal Aceh (BMA) Provinsi Aceh. Di Kota Lhokseumawe Baitul Mal berdiri berdasarkan Qanun Nomor 03 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan Kota Lhokseumawe. Masyarakat di Provinsi Aceh yang mayoritas muslim memiliki potensi strategis yang layak dikembangkan menjadi salah satu instrument pemerintah dalam pemerataan pendapatan. Realisasi penerimaan zakat di Provinsi Aceh masih minim jika disbanding dengan target. Jika dihitung dari PDRB (produk domestic regional bruto tahun 2012) potensi zakat mencapai Rp. 1,9 Triliun, namun pada tahun tersebut Baitul Mal Aceh (BMA) sebesar Rp. 28,78 M. sedangkan jika digabug dengan seluruh Baitul Mal Kabupaten/Kota sebesar Rp. 98,19 M. Armiadi Musa (2014). Baitul Mal Kota Lhokseumawe tahun 2013 mengelola anggaran sebesar Rp. 7.671.002.588, yang bersumber dari penerimaan zakat sebesar Rp. 3,6 Miliar, Infaq sebesar Rp. 1,1 Miliar dan sisa anggara tahun 2012 sebesar Rp. 2 Miliar lebih. Dana yang dikelola melalui Baitul Mal Kota Lhokseumawe tahun 2013 bersumber dari gaji PNS, swasta maupun pihak lain dikabarkan rawan penyimpangan sehingga diperlukan akuntanbilitas dan transparansi dalam pengelolaan baik sumber pemasukan maupun penyaluran dana zakat, infaq dan sedekah. Zakat termasuk dalam ranah keuangan publik, dana yang dihimpun dari masyarakat oleh badan
amil harus dipertanggungjawabkan secara terbuka. Hal ini menjadi keharusan dan tidak boleh diabaikan, karena dapat berdampak besar terhadap kepercayaan masyarakat (Hafidhuddin, 2011). Ketidakpercayaan pembayar zakat (Muzakki) disebabkan belum transparansinya laporan penggunaan dana zakat untuk publik. Karena itu aturan pelaporan penggunaan dana zakat diperlakukan pada semua Amil di Indonesia (Nikmatuniayah, 2010).Hasil penelitian menunjukkan bahwa kredibilitas lembaga amil zakat berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi membayar zakat (Kanji,Habbe, Mediaty, 2011). Bagi institusi yang didirikan khusus hanya untuk mengelola dana ZIS atau disebut juga sebagai Amil, maka penyusunan laporan keuangannya tidak menganut PSAK 101 tetapi menggunakan PSAK 109, standar akuntansi yang mengatur tentang zakat dan infak/ sedekah. Tentu hal-hal yang tidak diatur dalam PSAK 109 dapat menggunakan PSAK yang terkait sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam. Tabel 1 berikut ini menunjukkan perbedaan komponen laporan keuangan dalam PSAK 101 dengan PSAK 109 (Istutik, 2011). TINJAUAN TEORITIS Konsep Dasar Zakat, Infak dan Sedekah Perkataan zakat berasal dari kata zaka’ artinya tumbuh dengan subur. Makna lain kata zaka’sebagaimana digunakan dalam Al-Qur’an adalah suci dari dosa. Nurhayati (2013:284) zakat adalah aktivitas memberikan harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk diserahkan kepada orangorang yang berhak. Muhammad (2005:159) menguraikan bahwa pengertian yang dapat dipetik dari firman Allah SWT diatas adalah bahwa zakat merupakan kewajiban dari setiap muslim yang memenuhi nisab (batas minimal harta yang harus dikeluarkan zakatnya), agar dapat mensucikan jiwa, individu maupun masyarakat. PSAK No. 109, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh muzzaki sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq.Undang- undang Nomor 23 Tahun 2011 Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Nurhayati (2013:284) infak artinya mengeluarkan harta karena taat dan patuh kepada Allah SWT dan menurut kebiasaan yaitu untuk memenuhi kebutuhan. Menurut PSAK NO. 109, infaq/ sedekah adalah harta yang diberikan secara sukarela oleh pemiliknya baik peruntukannya dibatasi (ditentukan) maupun tidak dibatasi.UU Nomor 23 Tahun 2011 Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usahan di luar zakat untuk kemaslahatan umum. Mu’is (2011:23) Sedekah adalah pemberian harta pada orang-orang fakir miskin, orang yang membutuhkan, atau pihak-pihak lain yang berhak untuk menerima shadaqah tanpa disertai imbalan, tanpa paksaan, tanpa batasan jumlah, kapan saja dan berapapun jumlahnya. Nurhayati (2013:285) Sedekah adalah segala pemberian/kegiatan untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT. UU Nomor 23 Tahun 2011 Sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum. Sumber Hukum Kata zakat disebut 30 kali dalam Al-Quran, sedangkan kata shadaqah disebut sebanyak 12 kali. Hukum zakat dalam itu wajib yang merupakan perintah. (QS. At Taubah:103) Artinya : ”Ambilah zakat dari sebagian harta mereka,dengan zakatitu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka .Dan Allah Maha Mendengar LagiMaha Mengetahui.” Surat Al-Baqarah ayat 43 :“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beseta orangorang yang ruku.” Surat Al-Hadid ayat 7 :“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainnya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) hartanya memperoleh pahala yang besar.” Nabi Muhammad SAW bersabda : “Islam dibangun diatas lima rukun ; syahadat tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, menegakkan sholat, membayar zakat, berpuasa Ram-
315
adhan, dan menunaikan Haji bagi yang mampu”. (HR Bukhari dan Muslim). Sedangkan sumber hukum dalam Negara yaitu UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Penggelolaan Zakat. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 07 Tahun 2004 Tentang Pengelola Zakat. Jenis Zakat Menurut jenisnya zakat terdiri dari dua macam: 1. Zakat fitrah Adalah zakat pribadi yang harus dikeluarkan setiap muslim yang bernyawa pada bulan Ramadhan sampai menjelang hari raya Idul Fitri sebelum sholat Ied. 2. Zakat Mal atau zakat harta Adalah zakat yang harus dikeluarkan setiap ummat muslim terhadap harta yang dimiliki, yang telah memenuhi syarat haul, nisab dan kadarnya. Zakat ini dapat dibagi UU No. 23 Tahun 2011 - emas, perak, dan logam mulia lainnya - uang dan surat berharga lainnya - perniagaan - pertanian, perkebunan dan kehutanan - peternakan dan perikanan - pertambangan - perindustrian - pendapatan dan jasa - rikaz. Konsep Dasar Akuntansi Zakat, Infaq dan Sedekah James, M dkk (2009:9) Akuntansi adalah suatu system informasi yang menyediakan laporan untuk para pemangku kepentingan mengenai aktivitas dan kondisi ekonomi perusahaan. Niswonger, Fess dan Warren dalam Ely dan Dewi (2009;2) yang diterjemahkan oleh Marianus Sinaga, Akuntansi adalah proses mengenali, mengukur, dan mengkomunikasikan informasi ekonomi untuk memperoleh pertimbangan dan keputusan yang tepat oleh pemakai informasi yang bersangkutan. Soemarso (2004:3) akuntansi disefinisikan sebagai suatu aktivitas jasa untuk memberikan informasi kuantitatif terutama yang bersifat finansial kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi tersebut untuk pembuatan keputusan. Menurut AAA dalam Nurhayati (2013:3) adalah the identificion,
316
SYAWAL HARIANTO DAN DIANA
recording, classification, interpreting and communication economic events to permit user to make informed decisions. Sedangkan definisi Akuntansi Islam (syariah) AAA dalam Nurhayati (2013:3) adalah the”Accounting process” which provides appropriate information (not necessarily limited to financial data) to stakeholders of an entity which will enable them to ensure that the entity is continuously within the bouds of the Islamic Shari’ah and delivering on its socioeconomic objectives. Zaid (2004: 57) Muhasabah (akuntansi syariah), yaitu suatu aktivitas yang teratur berkaitan dengan pencatatan transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, keputusan-keputusan yang sesuai dengan syariat, dan jumlah-jumlahnya, di dalam catatan-catatan representatif: serta berkaitan dengan pengukuran hasil-hasil keuangan berimplikasi pada transaksitransaksi, tindakan-tindakan, dan keputusankeputusan tersebut untuk membantu pengambilan keputusan yang tepat.” Harahap dalam Nurhayati (2013:2) menjelaskan Perbedaan akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah sebagai berikut: Tabel 1 Perbedaan Akuntansi Konvensional dengan Akuntansi Syariah Akuntansi Syariah Dasar Hukum Hukum Etika yang bersumber Al-Quran dan Sunnah Dasar Tindakan Keberadaan Hukum Allah & Keagamaan Tujuan Keuntungan yang Wajar Orientasi Kemasyarakatan Kreteria
Tahap Operasional
Dibatasi dan tunduk ketentuan syariah
Akuntansi Konvensional Hukum Bisnis Modern
atas harta haram 3. Fatwa MUI No. 14/2011 tentang penyaluran harta zakat delam bentuk asset kelola. 4. Fatwa NUI No. 15/2011 tentang penarika, pemeliharaan dan penyaluran harta zakat. Bagi institusi yang didirikan khusus hanya untuk mengelola dana ZIS atau disebut juga sebagai Amil, maka penyusunan laporan keuangannya tidak menganut PSAK 101 tetapi menggunakan PSAK 109, standar akuntansi yang mengatur tentang zakat dan infak/ sedekah. Tentu hal-hal yang tidak diatur dalam PSAK 109 dapat menggunakan PSAK yang terkait sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam. Tabel 1 berikut ini menunjukkan perbedaan komponen laporan keuangan dalam PSAK 101 dengan PSAK 109 (Istutik, 2011). Tabel 2 Komponen Laporan Keuangan PSAK101 dan PSAK109 PSAK 101
• Neraca (Laporan Posisi • Neraca (Laporan Posisi Keuangan)
Keuangan)
kat
Keuangan
• Laporan Laba Rugi • Laporan Perubahan • Laporan Perubahan Dana Ekuitas • Laporan Perubahan • Laporan Arus Kas Aset Kelolaan • Laporan Sumber dan • Laporan Arus Kas Penggunaan Dana Za- • Catatan atas Laporan • Laporan
Rasionalisme & Sekuler Maksimalisasi Keuntungan Individual atau kepada pemilik Tidak dibatasi kecuali pertimbangan ekonomis
Sumber: Harahap (2004)
Perlakuan Akuntansi Zakat Berdasarkan PSAK 109 Perlakuan akuntansi zakat berdasarkan pada PSAK 109 hanya untuk organisasi/amil yang menerima dan menyalurkan zakat dan infak/ sedekah. PSAK 109 ini merujuk kepada Fatwa MUI yaitu: 1. Fatwa MUI No. 8/2011 tentang amil zakat. 2. Fatwa MUI No. 13/2011 tentang hukum zakat
PSAK 109
Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan • Catatan atas Laporan Keuangan
Sumber: Istutik
Laporan posisi keuangan (neraca) Lembaga Amil menurut PSAK 109, menyajikan akun dengan klasifikasi aset lancar, aset tidak lancar, kewajiban jangka pendek, kewajiban jangka panjang, dan saldo dana. Saldo dana disajikan terpisah antara dana zakat, dana infak/sedekah, dana amil, dan dana non halal. Penentuan nilai wajar aset nonkas yang diterima menggunakan harga pasar. Jika harga pasar tidak tersedia, maka dapat menggunakan metode penentuan nilai wajar lainnya sesuai yang diatur dalam PSAK yang relevan. Jika terjadi penurunan nilai aset zakat nonkas, jumlah kerugian yang di-
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
317
Tabel 3 Pengukuran dan Pengakuan Dana Zakat
Pengakuan awal
-
Penerimaan zakat diakui pada saat kas atau asset lainnya diterima.
-
Zakat yang diterima dari muzakki diakui sebagai penambahan dana zakat jika dalam bentuk kas maka sebesar jumlah yang diterima, jika dalam bentuk nonkas maka sebesar nilai wajar asset nonkas tersebut
-
Zakat yang diterima diakui sebagai dana amil untuk bagian amil dan dana zakat untuk nonamil.
-
Jika muzakki menentukan mustahiq, maka seluruhnya menambah dana zakat, amil mendapatkan ujrah
Pengukuran setalah pengakuan awal
-
Penyaluran Zakat
-
Penurunan aset zakat non kas mengurangi dana zakat, namun jika sebab amil lalai maka mengurangi dana amil Penyaluran zakat mengurangi dana zakat sebesar nilai yang disalurkan.
Tabel 4 Pengukuran dan Pengakuan Dana Infak dan Sedekah
Pengakuan Awal
-
Infak/sedekah yang diterima diakui sebagai dana infak/sedekah terikat atau tidak terikat sesuai dengan tujuan pemberi infak/sedekah sebesar: (a) jumlah yang diterima, jika dalam bentuk kas; (b) nilai wajar, jika dalam bentuk nonkas.
-
Infak/sedekah yang diterima diakui sebagai dana amil untuk bagian amil dan dana infak/sedekah untukbagian penerima infak/sedekah.
- Pengukuran Setelah Pengakuan Awal
- -
Penyaluran Infak dan Sedekah
-
Aset tidak lancar yang diterima oleh amil dan diamanahkan untuk dikelola dinilai sebesar nilai wajar saat penerimaannya dan diakui sebagai aset tidak lancer infak/ sedekah. Penyusutan dari aset tersebut diperlakukan sebagai pengurang dana infak/sedekah terikat apabila penggunaan atau pengelolaan aset tersebut sudah ditentukan oleh pemberi. Penurunan nilai aset infak/sedekah tidak lancer diakui sebagai: (a) pengurang dana infak/sedekah, jika terjadi bukan disebabkan oleh kelalaian amil; (b) kerugian dan pengurang dana amil, jika disebabkan oleh kelalaian amil. Penyaluran dana infak/sedekah diakui sebagai pengurang dana infak/sedekah sebesar: (a) jumlah yang diserahkan, jika dalam bentuk kas; (b) nilai tercatat aset yang diserahkan, jika dalam bentuk aset nonkas. Penyaluran infak/sedekah kepada amil lain merupakan penyaluran yang mengurangi dana infak/ sedekah sepanjang amil tidak akan menerima kembali aset infak/ sedekah yang disalurkan tersebut.
Tabel 5 Contoh Neraca (laporan posisi keuangan) BAZ “XXX” Per 31 Desember 20XA Keterangan Aset Aset Lancar Kas dan setara kas Instruen keuangan piutang
Rp xxx xxx
Aset tidak lancar Aset tetap Akumulasi penyusutan
Jumlah asset
xxx (xxx)
Xxx
Keterangan Kewajiban Kewajiban jangka pendek Biaya yang masih harus dibayar Kewajiban Jangka Panjang Imbalan kerja jangka panjang Jumlah kewajiban Saldo dana Dana zakat Dana infak/sedekah Dana amil Dana nonhalal Jumlah dana Jumlah kewajiban dan saldo dana
Sumber: Ikatan Akuntansi Indonesia (109, 2008)
Rp xxx xxx xxx
Xxx
318
tanggung harus diperlakukan sebagai pengurang dana zakat atau pengurang dana amil tergantung dari sebab terjadinya kerugian tersebut. Penentuan jumlah atau persentase bagian untuk masing-masing mustahiq ditentukan oleh amil sesuai dengan prinsip syariah dan kebijakan amil. Pengungkapan dana zakat pada catatan atas laporan keuangan dapat meliputi kebijakan penyaluran zakat, kebijakan pembagian dana amil dan non amil, metode penentuan nilai wajar, rincian jumlah penyaluran dana zakat, dan hubungan istimewa antara amil dengan mustahiq. Amil harus mengungkapkan hal-hal berikut terkait dengan transaksi zakat, tetapi tidak terbatas pada: (a) kebijakan penyaluran zakat, seperti penentuan skala prioritas penyaluran, dan penerima; (b) kebijakan pembagian antara dana amil dan dana nonamil atas penerimaan zakat, seperti persentase pembagian, alasan, dan konsistensi kebijakan; (c) metode penentuan nilai wajar yang digunakan untuk penerimaan zakat berupa aset nonkas; (d) rincian jumlah penyaluran dana zakat yang mencakup jumlah beban pengelolaan dan jumlah dana yang diterima langsung mustahiq; dan (e) hubungan istimewa antara amil dan mustahiq yang meliputi: sifat hubungan istimewa, Jumlah dan jenis aset yang disalurkan dan presentase dari aset yang disalurkan tersebut daritotal penyaluran selama periode. Penerimaan dan penyaluran dana infak/ sedekah dibedakan untuk yang terikat (muqayyadah) dan tidak terikat (mutlaqah). Penerimaan dana amil diperoleh dari dua sumber, yaitu zakat dan infak/sedekah, selanjutnya penggunaannya untuk beban umumdan administrasi. Sesuai juga dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, pasal 1 No.11, menyebutkan bahwa Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat dimanfaatkan untuk biaya operasional dalam pengelolaan zakat sesuai syariat Islam. Pengungkapan dana infak/sedekah pada catatan atas laporan keuangan dapat meliputi metode penentuan nilai wajar, kebijakan pembagian dana amil dan non amil atas penerimaan infak/sedekah, keberadaan dana infak/sedekah yang dikelola dulu dan hasil yang diperoleh. Perubahan saldo dana dilaporkan menurut
SYAWAL HARIANTO DAN DIANA
klasifikasinya. Penerimaan dana zakat dipisahkan untuk amil dan non amil, penyalurannyapun dipisahkan kepada amil dan mustahiq lainnya. Sedangkan penerimaan nonhalal adalah semua penerimaan dari kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, antara lain penerimaan jasa giro atau bunga yang berasal dari bank konvensional. Penerimaan nonhalal pada umumnya terjadi dalam kondisi darurat atau kondisi yang tidak diinginkan oleh entitas syariah karena secara prinsip dilarang. Pengungkapan Dana nonhalal oleh amil meliputi hal-hal berikut: keberadaan dana nonhalal, jika ada, diungkapkan mengenai kebijakan atas penerimaan dan penyaluran dana, alasan, dan jumlahnya; dan kinerja amil atas penerimaan dan penyaluran dana zakat dan dana infak/sedekah. Format Laporan Keuangan berdasarkan PSAK 109 Neraca adalah laporan keuangan yang menyajikan informasi mengenai aktiva, kewajiban dan modal pada waktu tertentu. Dari neraca kita dapat melihat berbagai informasi penting mengenai aktiva, kewajiban, dan modal yang dimiliki oleh Lembaga Amil Zakat. Sedangkan akun-akun yang terdapat dalam neraca dapat dilihat pada Tabel 5. Laporan perubahan dana adalah laporan yang menjelaskan tentang perubahan dana zakat selama periode akuntansi dijelaskan bahwa entitas syariah menyajikan laporan perubahan dana yang menunjukkan golongan dana zakat yang berasal dari wajib zakat (muzakki), penggunaan dana zakat melalui Lembaga Amil Zakat untuk ke delapan golongan mustahik, kenaikan atau penurunan dana zakat, saldo awal dana zakat, dan saldo akhir dana zakat. Jenis-jenis akun yang terdapat dalam laporan perubahan dana dapat dilihat dalam Tabel 6. Laporan perubahan aset kelolaan adalah laporan yang menjelaskan tentang perubahan aset kelolaan Lembaga Amil Zakat selama satu periode akuntansi. Laporan perubahan aset kelolaan mencakup aset kelolaan yang termasuk aset lancar dan tidak lancar dan akumulasi penyusutan, penambahan dan pengurangan aset kelolaan, saldo awal dan saldo akhir aset kelolaan. Contoh laporan perubahan aset kelolaan dapat dilihat pada Tabel 6.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
319
Tabel 6. Laporan perubahan dana Baz “XXX” Untuk periode yang berakhir 31 desember 20XA Keterangan
Rp
Dana zakat Penerimaan Penerimaan dari muzakki muzakki entitas muzakki individual Hasil penempatan Jumlah penerimaan dana zakat
xxx xxx xxx xxx
Bagian amil atas penerimaan dana zakat Jumlah penerimaan dana zakat setelah bagian amil
xxx xxx
Penyaluran Fakir miskin Riqab Gharim Muallaf Sabilillah Ibnu sabil Jumlah penyaluran dana zakat
(xxx) (xxx) (xxx) (xxx) (xxx) (xxx) (xxx) (xxx)
Surplus (defisit) Saldo awal Saldo akhir Dana infak/sedekah Penerimaan Infaq/sedekah terikat (muqayyadah) Infaq/sedekah tidak terikat (mutlak) Bagian amil atas penerimaan dana infak/sedekah Hasil pengelolaan Jumlah penerimaan dana infaq/sedekah Penyaluran Infak/sedekah terikat (muqayyadah) Infaq/sedekah tidak terikat (mutlak) Alokasi pemanfaatan aset kelolaan (misalnya beban penyusutan dan penyisihan) Jumlah penyaluran dana infak/sedekah Surplus(defisit) Saldo awal Saldo akhir Dana amil Penerimaan Bagian amil dari dana zakat Bagian amil dari dana infak/sedekah Penerimaan lainnya Jumlah penerimaan dana amil Penggunan Beban pegawai Beban penyusutan Beban umum dan adm lainya Jumlah penggunaan dana amil Surplus (defisit) Saldo awal Saldo akhir
(xxx) xxx xxx
Sumber: Ikatan Akuntansi Indonesia (109, 2008)
xxx xxx (xxx) xxx xxx (xxx) (xxx) (xxx) (xxx) xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx (xxx) (xxx) (xxx) (xxx) xxx xxx xxx
320
SYAWAL HARIANTO DAN DIANA
Tabel 7 Laporan Perubahan Aset Kelolaan Baz “xxx” Untuk periode yang berakhir 31 desember 20XA Saldo awal Penambahan Pengurangan Penyisihan
Akumulasi Penyusutan
Saldo akhir
Dana infak/ Sedekah – aset Kelolaan lancar (misal piutang bergulir)
xxx
xxx
(xxx)
(xxx)
-
Xxx
Dana infak/ sedekah – aset kelolaan tidak lancar (misal Rumah sakit atau sekolah)
xxx
xxx
(xxx)
-
(xxx)
Xxx
Sumber : Ikatan Akuntansi Indonesia (109:2008)
Laporan Arus Kas Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia dalam PSAK No 2 (2009:28) Laporan Arus kas adalah “Laporan arus kas menyajikan informasi perubahan historis atas kas dan setara kas entitas, yang menunjukkan secara terpisah perubahan yang terjadi selama satu periode dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan”. Wisna (2009:20) laporan arus kas adalah “Laporan yang terdiri dari tiga bagian yaitu aktivitas operasi, aktivitas investasi, dan aktivitas pendanaan” METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologi dan studi kasus. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sugiyono (2011: 29), metode penelitian deskriptif adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas. Bodgan dan Biklen dalam Ernowo ( 2013) Metodologi kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Penelitian ini untuk menganalisis penerapan akuntansi dana zakat,infak dan sedekah pada Baitul Mal Kota Lhokseumawe dengan PSAK 109. Dalam penelitian ini penulis memilih objek penelitian Baitul Mal yang beralamat di Komplek Islamic Center Kota Lhokseumawe.
HASIL DAN PEMBAHASAN Lembaga Pengelolaan zakat Baitul Mal Kota Lhokseumawe yang beralamat di Komplek Islamic Center Kota Lhokseumawe terbentuk setelah disahkannya Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan Kota Lhokseumawe. Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 3 Tahun 2012 merupakan implementasi dari Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang pembentukan Baitul Mal sebagai lembaga formal pengelola zakat, harta wakaf dan harta Agama. Berdasarkan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 3 Tahun 2012 Pasal 18(1) Susunan organisasi Sekretariat Baitul Mal, terdiri dari: a. Kepala Sekretariat b. Sub Bagian Umum c. Sub Bagian Keuangan dan Program d. Sub Bagian Pengembangan Informasi dan Teknologi e. Kelompok Jabatan Fungsional. Dalam menjalankan aktivitas pada sub bagian keuangan dan program di Baitul Mal Kota Lhokseumawe berkaitan dengan pengelolaan administrasi dan tata kelola keuangan. Meliputi proses akuntansi Zakat, infak dan sedekah pada Baitul Mal Kota Lhokseumawe dimulai dari: 1. Pengakuan Penerimaan dan pengeluaran dana zakat, infak
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
dan sedekah di Baitul Mal Kota LHokseumawe diakui pada saat dana zakat, infak dan sedekah diterima atau dikeluarkan (cash basis). akan tetapi dana yang masuk hanya berpengaruh pada kas zakat dan infak/sedekah saja. 2. Pengukuran setelah pengakuan awal Baitul Mal Kota Lhokseumawe tidak melakukan pengukuran atas aset zakat nonkas, hal ini disebabkan karena seluruh penerimaan dana zakat yang diterima oleh Baitul Mal Kota Lhokseumawe berupa aset kas yang disetorkan muzakki entitas dan Muzakki individu yang kemudian dana tersebut akan disetorkan ke rekening Baitul Mal dan dipindahkan ke kas daerah dan diakui sebagai pendapatan asli daerah (PAD) 3. Penyaluran Zakat dan Infak/Sedekah Penyaluran dana zakat, Infak dan sedekah yang disalurkan kepada mustahik dicatat mengurangi kas dana zakat, infak dan sedekah. 4. Pencatatan Baitul Mal Kota Lhokseumawe menganut pencatatan akuntansi yang menggunakan sistem tata buku tunggal (Single Entry Bookkeeping). Pembahasan 1. Pengakuan Penerimaan dan pengeluaran zaka, infak dan sedekah di Baitul Mal Kota Lhokseumawe diakui pada saat dana zakat, infak dan sedekah diterima atau dikeluarkan. akan tetapi dana yang masuk hanya berpengaruh pada kas zakat dan atau kas infak/sedekah saja. Hal ini tentu tidak sesuai dengan PSAK no. 109 tentang akuntansi zakat, Infak dan Sedekah, karena menurut PSAK 109 tersebut penerimaan dan pengeluaran zakat, infak dan sedekah dapat mempengaruhi juga saldo dana zakat. 2. Pencatatan Pengelola dana zakat dan infak/sedekah khususnya sub bagian keuangan perlu memahami tata cara pencatatan akuntansi untuk organisasi pengelola zakat. Organisasi pengelola zakat merupakan organasasi non profit yang memerlukan sistem akuntansi dan pencatatan yang berbeda dengan organisasi bisnis yang bersifat profit motive. Sifat khas lainnya dari organisasi pengelola zakat adalah adanya aturan syar’i yang harus diikuti. Hal ini menimbulkan konsekuensi tata cara pencatatan
321
akuntansi zakat juga memiliki keunikan tersendiri yang mungkin dsalam beberapa hal tidak dijumpai pada organsasi bisnis maupun nonprofit yang lain selain organisasi pengelola zakat. Berdasarkan data dan pengamatan yang penulis dapatkan di lapangan, penulis menemukan bahwa Baitul Mal Kota Lhokseumawe menganut pencatatan akuntansi yang menggunakan sistem tata buku tunggal (Single Entry Bookkeeping). Pembukuan tunggal ini mencatat transaksi akuntansi hanya sekali, hanya untuk mencatat penerimaan kas, pengeluaran kas serta saldo akhir kas. Pembukuan tunggal pada umumnya diikuti dengan akuntansi basis kas (cash basis) yaitu dasar pencatatan transaksi berdasarkan diterima atau dikeluarkannya kas. Sistem tata buku tunggal dengan pendekatan basis kas memang memiliki kelebihan, tetapi juga mengandung kelemahan yang mendasar. Kelebihan sistem ini adalah sederhana, mudah dan objektif dalam mengukur kas. Akan tetapi kelemahan sistem tata buku tunggal dengan basis kas tersebut adalah tidak dapat menginformasikan posisi aset, kewajiban dan ekuitas organisasi. Sistem tata buku tunggal tidak mampu menghasilkan laporan keuangan neraca. Selain itu, sistem tata buku tunggal juga sulit dalam pengauditan, kurang mampu menginformasikan kinerja secara komperhensif dan mudah terjadi manipulasi. Hal ini agak bertentangan dengan PSAK No 45 tentang pelaporan akuntansi keuangan Organisasi Nirlaba, dimana menurut PSAK tersebut organisasi nirlaba sebaiknya menggunakan sistem tata buku berpsasangan (double entry bookkeeping) dengan pendekatan basis akrual, karena sistem tata buku berpasangan dengan basis akrual ini dapat menginformasikan aset, kewajiban, dan ekuitas bersih organisasi yang tidak mungkin akan dihasilkan oleh sistem pencatatan tata buku tunggal. Jika dilihat dari aspek historis, sistem pembukuan berpasangan ini sebenarnya juga merupakan salah satu warisan tradisi islam. Sistem tata buku berpasangan mencatat transaksi akuntansi secara berpasangan yakni dalam setiap transaksi pasti ada akun yang dicatat pada sisi debit dan ada akun yang dicatat di sisi kredit. Sehingga jumlah sisi debit dan kredit selalu seimbang (Balance). Pencatatan debit dan kredit dalam sistem tata buku
322
SYAWAL HARIANTO DAN DIANA
berpasangan ada aturannya. Aturan debit dan kredit tersebut didasarkan pada persamaan akuntansi yang bersifat logis dan rasional yang menggunakan pendekatan persamaan aritmatika. Terdapat persamaan dasar akuntansi sebagai landasan penyajian laporan keuangan. Persamaan dasar akuntansi tersebut dibedakan untuk persamaan akun riil (neraca) dan dengan persamaan untuk akun nominal (laporan sumber dan penggunaan dana). Adapun sistem pencatatan berpasangan yang sederhana dapat digunkan oleh Baitul Mal Kota Lhokseumawe seperti pada Tabel 8. 3. Pelaporan Menurut Undang–Undang No. 23 tahun 2011 pasal 29 disebutkan bahwa setiap lembaga amil zakat/organisasi pengelola zakat wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat dan infak/sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya secara berkala. Baitul Mal Kota Lhokseumawe juga membuat laporan pelaksanaan pengelolaan zakat dan infak/sedekah setiap bulannya. Namun karena Baitul Mal Kota Lhokseumawe sekarang ini masih melakukan pencatatan dengan sistem tata buku tunggal (single entry accounting) dengan pendekatan basis kas (Cash Basis) maka laporan yang dihasilkan hanya berbentuk laporan kas umum yang digunakan untuk mencatat penerimaan dan pengeluaran saja. Semua transaksi yang berhubungan dengan penerimaan dan pengeluaran kas direkap dan disusun berdasarkan tanggal terjadinya transaksi kemudian di hitung akumulasi
dari total penerimaan yang dikurangkan dengan total pengeluaran dan menghasilkan sisa saldo. Disetiap transaksi penerimaan dan pengeluran kas dilampirkan bukti transaksi, surat keputusan dan bukti – bukti transaksi pendukung lainnya. Standar akuntansi zakat yang terdapat dalam PSAK No 109 menyatakan bahwa laporan keuangan yang seharusnya ada dalam laporan keuangan setiap organisasi pengelola zakat adalah: a. Neraca (Laporan Posisi Keuangan) b. Laporan perubahan dana c. Laporan perubahan aset kelolaan d. Laporan arus kas dan e. Catatan atas laporan keuangan. Standar akuntansi zakat merupakan pedoman yang mengatur tentang pengakuan, pengukuran dan pelaporan keuangan. Standar akuntansi zakat mengatur tentang bagaimana suatu transaksi diakui atau dicatat, kapan harus diakui, bagaimana mengukurnya, serta bagaimana mengungkapkannya dalam laporan keuangan. Tujuan standar akuntansi zakat adalah agar laporan keuangan bisa lebih mudah dipahami bagi para pengguna laporan, agar tidak terjadi kesalah pahaman antara penyaji laporan dengan pembaca laporan, serta agar terdapat konsistensi dalam pelaporan sehingga laporan keuangan dapat memiliki daya banding (comaparability). Dengan adanya standar akuntansi maka dapat dilakukan perbandingan kinerja antar kurun waktu dan dengan organisasi
Tabel 8 Form Jurnal Umum Tanggal 02/02/20XA
10/02/20XA
20/02/20XA
30/02/20XA
30/02/20XA
Keterangan Kas/Rekening Bank Dana zakat (penerimaan dana zakat tunai / OB via bank) Kas/Rekening Bank Dana Infak/Sedekah (penerimaan dana Infak/sedekah tunai/ OB via bank) Dana Zakat/Dana Infak/Sedekah Kas/Rekening Bank Mustahiq (Penyaluran Dana Zakat/Infak/Sedekah) Jasa giro bank Kas/Rekening Bank (biaya administrasi atau jasa giro bank) Kas/Rekening Bank Dana Non Halal (Jasa Bunga atau jasa giro bank Konvensional)
Sumber: Isma (2014)
Debit
Kredit xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
sejenis lainnya. Standar akuntansi zakat juga menjadi dasar bagi auditor dalam proses audit, karena pada dasarnya audit adalah memeriksa laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen organisasi pengelola zakat apakah sudah disajikan sesuai dengan standar akuntansi zakat yang telah ditetapkan. Kesuaian penyajian laporan keuangan Baitul Mal Kota Lhokseumawe dengan PSAK 109 dapat dilihat pada Tabel 9. KESIMPULAN 1. Baitul Mal Kota Lhokseumawe menggunakan sistem pencatatan tata buku tunggal atau single entry accounting yaitu pencatatan yang hanya dilakukan sekali dan hanya dapat mempengaruhi akun kas tanpa mempengaruhi akun–
323
akun yang lain. 2. Dalam hal pengakuan pencatatan Baitul Mal Kota Lhokseumawe menerapkan pendekatan Cash Basis, dimana pencatatan dilakukan ketika terjadi transaksi penerimaan kas dan pengeluaran kas. 3. Laporan keuangan Baitul Mal Kota Lhokseumawe masih dalam bentuk kas umum yang berisi tentang kas masuk dan kas keluar, hal ini belum sesuai dengan PSAK 109. 4. Kebijakan akuntansi dan prosedur belum disusun oleh manajemen amil sehingga dalam proses akuntansi belum sesuai dengan PSAK 109 maupun PSAK 45. 5. Pada prinsipnya perlakuan akuntansi pada Baitul Mal Kota Lhokseumawe belum menerapkan akuntansi zakat yang sesuai den-
Tabel 9 Kesesuaian Penyajian Laporan Keuangan Baitul Mal Kota Lhokseumawe Dengan PSAK 109 No
Pelaporan Keuangan menurut PSAK 109
Pelaporan Keuangan Pada Baitul Mal Kota Lhokseumawe Diterapkan
1
2 3
4
5
6
7
Pengakuan Awal a. Penerimaan zakat diakui pada saat kas/aset lainnya diterima b. Kas masuk diakui sebagai penambahan dana zakat c. jika dalam bentuk kas dicatat sebesar jumlah yang diterima d. jika non kas dicatat berdasarkan nilai wajar e. zakat yang diterima diakui sebagai dana amil f. pendapatan fee sebagai penambahan dana amil Pengukuran Setelah Pengakuan Awal perhitungan penurunan nilai aset zakat Penyaluran Zakat, diakui sebagai pengurang dana zakat a. dalam bentuk kas dicatat sebesar jumlah yang diserahkan b. dalam bentuk nonkas Dana Nonhalal Penerimaan jasa bank diakui sebagai dana nonhalal yang terpisah dari dana zakat Penyajian Amil menyajikan dana zakat, dana infak/sedekah, dana amil, dan dana nonhalal secara terpisah dalam neraca Pengungkapan a. Kebijakan penyaluran zakat b. Kebijakan pembagian dana amil dan dana nonamil c. Metode penentuan nilai wajar d. Rincian jumlah penyaluran zakat Unsur Laporan Keuangan a. Laporan Neraca b. Laporan perubahan dana c. Laporan perubahan aset kelolaan d. Laporan arus kas e. Catatan atas laporan keuangan
Sumber: Isma (2014)
Tidak diterapkan
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
324
SYAWAL HARIANTO DAN DIANA
gan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 109. SARAN 1. Baitul Mal Kota LHokseumawe sebaiknya menerapkan Akuntansi Zakat yang sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 109 agar pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan transaksi zakat dan infak/sedekah dapat tersaji dengan tepat. 2. Baitul Mal merupa organisasi yang aktivitas utamanya sebagai tempat pengembangan ummat membutuhkan tenaga akuntansi yang handal dan terampil sebagai media dalam penilaian profesional dan akuntabilitas lembaga amil, oleh karena itu sebaiknya diada-
kan pelatihan bagi para tenaga keuangan atau akuntansi dalam organisasi dan tata kerja sekretarian Baitul Mal Kota Lhokseumawe secara berkelanjutan, sehingga sub bagian keuangan dan program dapat mengetahui dan menerapkan standar akuntansi zakat, infak dan sedekah secara handal dan akuntabel sehingga kepercayaan para muzakki entitas dan individu lebih tinggi. 3. Pengadaan perangkat lunak (software) akuntansi, bisa dijadikan salah satu pertimbangan dalam melaksanakan tugas-tugas lembaga amil. Software ini memudahkan pekerjaan bagian akuntansi dalam mencatat setiap transaksi yang terjadi. Dengan adanya bantuan software akuntansi zakat maka informasi mengenai posisi keuangan lembaga amil dapat dihasilkan dengan cepat.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
325
REFERENSI Armiadi Musa (2014). Konferensi Internasional Tentang Zakat, (http:/www.baitulmal.acehprov.go.id) Baitul Mal Kota LHokseumawe. (2014). Realisasi Zakat di Baitul Mal Kota Lhokseumawe (http://www. Baitulmal.Lhokseumawekota.go.id,) Ely Suhayati, Sri Dewi Anggadini. (2009). Akuntansi Keuangan, Edisi pertama, Graha ilmu, Bandung. Ernomo, M. 2013. Analisis Metode Pengakuan Keuntungan Pembiayaan Murabahah pada PT Bank Syariah Mandiri. Skripsi. Program Sarjana Akuntansi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. (Online), (http://www.repository.uinjkt.ac.id) Hafidhuddin, D. 2011. PSAK Zakat Harus Dipaksakan, Majalah Akuntan Indonesia, No.3, SeptemberOktober 2011. Ikatan Akuntan Indonesia. 2008. Standar Akuntansi Keuangan No. 109 Tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah. Jakarta: Salemba Empat. Isma, Syariatul. 2014. Akuntansi Dana Zakat Berdasarkan PSAK 109 Studi kasus Pada Baitul Mal Kota Lhokseumawe. Tugas Akhir. Program Sarjana Saint Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe. Istutik. 2013. Analisis Implementasi Akuntansi Zakat dan Infak/Sedakah (PSAK:109) pada Lembaga Amil Zakat di Kota Malang. Jurnal Akuntansi Aktual :Vol. 2 No. 1, Januari. hal. 19-24. James M, Reeve.,Carls S. Waren., Yusuf, Amir. (2009). Pengantar Akuntansi Adaptasi Indonesia, Buku I, Jakarta: Salemba Empat. Kanji, L., dan Abd. Hamid Habbe, Mediaty. 2011,Faktor Determinan Motivasi Membayar Zakat, (http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/file/387a71645e06a7998e64844810f877d1f.pdf) Mu’is, fahrur.2011. Zakat A-Z Panduan Mudah, Lengkap, dan Praktis tentang Zakat. Solo: Tinta Medina. Muhammad. 2005. Pengantar Akuntansi Syari’ah. Jakarta: Salemba Empat. Nikmatuniayah. 2010.Perlunya Pelaporan Zakat untuk Publik. Jurnal Teknis. Vol. 5 No. 2, Agustus. hal. 91-96. Nurhayati, Sri&Wasilah. 2013. Akuntansi Syariah di Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Salemba Empat. Pemerintah Provinsi Aceh. 2007. Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal. Banda Aceh: Sekretariat Daerah. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2002. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Isla bidang Aqidah, Ibadah dan Syariat Islam. Banda Aceh: Sekretariat Daerah. -------------------------. 2004. Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Zakat. Banda Aceh: Sekretariat Daerah.
326
SYAWAL HARIANTO DAN DIANA
Pemerintah Kota Lhokseumawe. 2012. Qanun Nomor 03 Tahun 2012 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan Kota Lhokseumawe. Lhokseumawe: Sekretariat Daerah. Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta: Sekretariat Negara. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Soemarso, Akuntansi Suatu Pengantar, Jakarta: Salemba Empat, 2004.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, 3, Juli 2014 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 15, Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 1412 – 968X Hal. 327-337
PENGARUH BANTUAN SARANA NELAYAN TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI KOTA LHOKSEUMAWE
Studi Kasus di Pesisir Pantai Meuraksa Kec. Blang Mangat UMARUDDIN USMAN
Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
The purpose of this study was to analyze the effect of fishing tools to help increase people’s income Meuraksa Coastal District of Blang Mangat. The data used in this study by dividing the primary data in the form of questionnaires to 62 respondents. Data processing was performed with a model of simple linear equations through SPSS. The results showed that the test results showed that the correlation coefficient (R) of 0.868 (86.8%) meaning relief means fishermen are very closely related (correlation) with the increase in revenue to the community in the District Meuraksa Coastal Blang Mangat. The test results of coefficient of determination (R-Square) of 0.754 or 75.4%. The coefficient of determination obtained in this study means that the increase in revenue can be affected by a fisherman means of 75.4% and the remaining 24.6% is influenced by other factors. The results of testing hypotheses obtained tcount > ttable, namely tcount 13,571 and ttable. of 1.66980, thus H0 is rejected and Ha accepted means of support fisherman meaningful effect on the significance of the increase in income community Meuraksa Coastal District of Blang Mangat. Keywords: Help fishermen means, income
327
328
UMARUDDIN USMAN
LATAR BELAKANG Masyarakat pesisir pada umumnya merupakan kelompok masyarakat yang relatif tertinggal secara sosial, ekonomi, dan kultural dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Keterbelakangan sektor sosial ekonomi pada masyarakat pesisir merupakan hambatan potensial bagi mereka untuk mendorong dinamika pembangunan di wilayah Kota Lhokseumawe khususnya di pesisir pantai Meuraksa sendiri. Akibatnya terjadi kemiskinan, kelemahan pendapatan dan kurang memiliki kemampuan mengembangkan kapasitas dalam membangun wilayahnya. Pasca penandatanganan perjanjian perdamaian antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, kondisi di Propinsi Aceh telah berubah menjadi kondusif. Momentum perdamaian ini adalah merupakan kesempatan bagi masyarakat Aceh untuk memperbaiki kehidupannya ke arah yang lebih baik. Pasca tragedi gempa bumi dan tsunami banyak masyarakat yang terkena musibah kehilangan segala-galanya dan yang lebih terasa adalah kehilangan tempat tinggal dan lapangan pekerjaan yang merupakan tempat di mana mereka menggantungkan kelangsungan hidup mereka ke depan. Keadaan ini harus segera ditanggulangi karena ini merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kesenjangan dalam proses rehabilitasi dan rekontruksi pasca gempa bumi dan gelombang tsunami. Masyarakat yang mempunyai mata pencaharian dan berpenghasilan dari usaha nelayan merupakan salah satu dari kelompok masyarakat yang melakukan aktivitas usaha dengan mendapatkan penghasilan bersumber dari kegiatan usaha nelayan itu sendiri. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan dan binatang air lainnya. Tingkat kesejahtraan nelayan sangat ditentukan oleh hasil tangkapannya. Banyaknya tangkapan tercermin pula besar pendapatan yang diterima dan pendapatan tersebut sebagian besar untuk keperluan konsumsi keluarga. Dengan demikian tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga atau kebutuhan fisik minimum (KFM) sangat ditentu-
kan oleh pendapatan yang diterima. Berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat pesisir di wilayah Kota Lhokseumawe, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mereka masih tertinggal antara lain keadaan sumber daya alam yang semakin menipis dan sarana yang tidak memadai sehingga untuk mengatasi masalah tersebut baik pemerintah propinsi maupun pemerintah daerah Kota Lhokseumawe melakukan pemberdayaan untuk masyarakat daerah pesisir. Berbagai upaya dan kebijakan pembangunan telah dilakukan oleh pemerintah dan Non Goverment Organization (NGO) untuk memberikan peluang pada masyarakat di pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat untuk meningkatkan kesejahteraan dan perbaikan di sektor sosial ekonomi. Misalnya pada tahun 2005 dari NGO Caritas Germany telah membantu 5 buah motor bot untuk masyarakat Gampong Jambo Mesjid, bantuan-bantuan dari Palang Merah Hongkong berupa Jala dan Sawok, serta bantuan-bantuan dari pemerintah sendiri pada tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan telah membantu masyarakat yang kurang mampu dengan bantuan berupa 1 unit motor bot bermesin 25 PK dan 4 unit perahu bermotor kecil bermesin 5,5 PK. Bukan Cuma itu saja, sampai sekarang pemerintah terus melakukan pemberdayaan dalam usaha meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir pantai Meuraksa. Dalam harapan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat sebagai daerah tsunami dan konflik dari sektor sosial ekonomi yang terpuruk, mereka tidak mengerti harus mulai dari mana untuk bangkit. Keterbelakangan sosial ekonomi pada masyarakat pesisir merupakan hambatan potensial bagi mereka untuk mendorong dinamika pembangunan di wilayah Kota Lhokseumawe. Sehubungan observasi awal pada lokasi penelitian yaitu di pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe, penulis mendapat gambaran bahwa kehidupan masyarakat di pesisir pantai Meuraksa belum ada perubahan yang berarti walaupun mereka telah menerima bantuan sarana nelayan baik dari Pemerintah maupun NGO. Masyarakat belum bisa meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pernyataan di atas merupakan pusaran
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
masalah yang akan diteliti sebesar apa pengaruh dari bantuan sarana nelayan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat. TINJAUAN TEORITIS Pendapatan merupakan salah satu unsur yang paling utama dari pembentukan laporan laba rugi dalam suatu perusahaan. Banyak yang masih bingung dalam penggunaan istilah pendapatan. Hal ini disebabkan pendapatan dapat diartikan sebagai revenue dan dapat juga diartikan sebagai income. Menurut Sukirno (2006:69) pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima oleh penduduk atas prestasi kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan atau tahunan. Konsep pendapatan menurut Ilmu Ekonomi bahwa Pendapatan merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh seseorang dalam seminggu dengan mengharapkan keadaan yang sama pada akhir periode seperti keadaan semula. Pengertian tersebut menitikberatkan pada pola kuantitaif pengeluaran terhadap konsumsi selama satu periode. Secara garis besar, pendapatan adalah jumlah harta kekayaan awal periode ditambah keseluruhan hasil yang diperoleh selama satu periode, bukan hanya yang dikonsumsi. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan (Kusnadi, 2002:3) menyatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan usaha nelayan dan diuraikan sebagai berikut: 1. Teknologi Peralatan yang digunakan oleh nelayan dalam penangkapan ikan (produksi) adalah alat penerangan (lampu) dan jaring. Peralatan atau modal usaha nelayan adalah nilai dari pada peralatan yang digunakan seperti: a. Harga perahu, apakah mempergunakan mesin besar atau kecil yang dimiliki nelayan. b. Harga dari peralatan penangkapan ikan, misalnya jaring dan lain-lain. c. Tenaga kerja, banyak atau sedikit tenaga kerja yang digunakan dalam melaut (menangkap ikan).
329
2. Sosial Ekonomi a. Umur; Seseorang yang telah berumur 15 tahun ke atas baru disebut sebagai nelayan, dibawah umur tersebut walaupun ia melaut tidak disebut sebagai nelayan. Umur juga mempunyai pengaruh terhadap pendapatan walaupun pengaruhnya tidak terlalu besar. b. Pengalaman; Apabila seseorang dianggap nelayan yang telah berumur 15-30 tahun, diatas 30 tahun dianggap sebagai nelayan yang berpengalaman. Hal ini merupakan kategori atau klasifikasi untuk menentukan banyak jumlah tangkapan ikan dilaut. c. Musim; Musim sangat berpengaruh kepada keadaan kehidupan nelayan yaitu musim barat dan musim timur. Dalam satu tahun ada dua musim yaitu musim timur dari bulan Maret sampai Agustus, umumnya gelombang besar, pasang tinggi,arus deras, curah hujan selalu terjadi, keadaan demikian ini pada umumnya nelayan sangat jarang ke laut karena takut bahaya, jadi produksi sedikit dan harga ikan akan tinggi. Pada musim barat biasanya dari September sampai Februari keadaan pasang tidak terlalu tinggi, arus tidak terlampau deras, gelombang tidak terlampau besar. Pada musim inilah nelayan banyak mendapat ikan. Disamping kedua musim tersebut dalam setahun, ada lagi pengaruh musim bulanan yaitu pada bulan purnama. Pada bulan purnama atau terang arus akan deras dan pasang akan tinggi. Sebaliknya pada bulan gelap, gelombang akan kecil, arus tidak bergerak yang disebut dengan istilah pasang mati. Pada kedua keadaan ini nelayan akan kurang mendapatkan ikan dan harga ikan akan tinggi apalagi pada musim timur keadaan ini umumnya nelayan tidak akan turun melaut, kalaupun turun melaut hanya dipinggir saja. Kegiatan spekulatif dalam penangkapan ikan semakin meningkat ketika kondisi tangkap melanda. Dalam keadaan yang demikian, sulit membedakan antara masa musim ikan dan masa paceklik, (Kusnadi, 2002:5). 3. Tata Niaga Ikan adalah komoditi yang mudah rusak dan
330
busuk, jadi penyampaiannya dari produsen (nelayan) kepada konsumen harus cepat agar kualitas atau kondisinya tidak rusak atau busuk kalau ikan itu diolah. Kondisi atau keadaan ikan ini sangat berpengaruh kepada harga ikan, demikian juga nilai gizinya. Jadi dalam hal ini dilihat nilai efisiensi dari penggunaan tata niaga perikanan tersebut, dari produsen ke konsumen berarti semakin baik dan semakin efisien tata niaganya. Masyarakat pesisir secara geografis adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir, nyakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Menurut Tratmodjo yang dikutip oleh Hassan (2004:88) “Pesisir adalah daerah darat ditepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, dan disisi lain pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah”. Kondisi masyarakat pesisir yang amat merana dan terlihat sangat miskin adalah pada saat musim paceklik dimana hasil perolehan ikan sangat minim. Pada saat ini, karena mereka tidak mempersiapkan diri, misalnya dengan menabung ketika mereka masih memiliki uang. Pola pengeluaran merupakan gambaran keadaan bagaimana nelayan tradisionil membelanjakan pendapatannya untuk kebutuhan sehari-hari. Sebahagian besar masyarakat nelayan yang tinggal didaerah penelitian adalah nelayan penangkap ikan secara tradisionil. Walaupun nelayan sebagai pihak produsen hasil perikanan, dalam transaksi ekonomi nelayan tradisionil tidak memperoleh bagian pendapatan yang besar. Pihak yang paling beruntung adalah pedagang ikan berskala besar atau pedagang perantara. Pada masyarakat pesisir tumpuan kehidupan rumah tangga berada dalam tanggung jawab sepenuhnya seorang kepala keluarga dalam hal ini adalah suami atau ayah, tanggung jawab tersebut dalam aspek kehidupannya terutama dalam hal ekonomi, istri hanya dirumah mengurusi anaknya-anaknya dan ada yang membantu suaminya diluar rumah kalau memang benar-benar sangat diperlukan, bentuk bantuannya berupa usaha dari pihak istri untuk menjualkan ikan ke pasar hasil dari tangkapannya suaminya. Sedangkan anak
UMARUDDIN USMAN
laki-laki yang sudah tidak sekolah dalam keluarga prasejahtera kebanyakan mereka membantu orang tuanya dilaut untuk mencari ikan, anak-anak tadi memiliki peranan yang tidak kecil dalam menopang kehidupan ekonomi keluarganya. Menurut Mubyarto “biasanya anak-anak kalau sudah memperoleh uang banyak tidak memikirkan lagi sekolah, karena orang tua juga sibuk mencari uang buat menghidupi keluarganya” (Mubyarto, 2004:168). Peralatan dan perlengkapan hidup masyarakat yang tinggal ditepi pantai banyak dihubungkan dengan alat-alat untuk menangkap ikan dan peralatan yang mendukung, maka kondisi ekonomi mereka sangat dipengaruhi oleh peralatan dan perlengkapan tersebut. “Peralatan yang digunakan untuk mencari ikan banyak tergantung kepada perkembangan tekhnologi, semakin canggih peralatan yang digunakan akan menentukan pendapatan yang mereka peroleh”.(Mubyarto, 2004:18). Kalau dalam kenyataannya dengan adanya kemajuan tekhnologi itu akan menimbulkan dampak negatif terhadap tatanan kehidupan nelayan itu sendiri, yakni terciptanya masyarakat yaitu sumber daya alam milik bersama ini direbutkan oleh banyak nelayan yang akhirnya pada penurunan produksi dan produktivitas sebagai akibat habisnya sumber daya alam yang tersedia. Hal yang sering terjadi atau yang dialami oleh masyarakat pesisir adalah “pada masyarakat pesisir terdapat karakteristik yang mencolok yaitu ketergantungan pada musim, maka pada musim penangkapan para nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur” (Nugroho dan Dahuri, 2004:251). Nelayan merupakan suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Berdasarkan pemilikan alat tangkap, nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik oarang lain. Sedangkan nelayan juragan adalah nelayan yang
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. (Mulyadi, 2005:135). Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategorikategori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dengan kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya perikanan. Mereka menjadi komponen utama konstruksi masyarakat maritime Indonesia, (Kusnadi, 2009:27). Fenomena yang muncul kemudian bagi masyarakat pesisir adalah ketidakberdayaan, kemiskinan, serta komunitas kelompok marginal. Umumnya masyarakat pesisir hidup dalam keterbatasan. Keterbatasan ekonomi tampak pada tingkat pendapatan nelayan yang rendah. Keterbatasan sosial yaitu di mana nelayan tidak mampu mengambil bagian dalam kegiatan ekonomi pasar yang menguntungkan dan kelembagaan sosial lainnya. Keterbatasan politik karena adanya sistem nilai yang dipaksakan dari luar dan tidak dilibatkannya mereka untuk berpartisipasi dalam peran pengambilan keputusan. Di samping keterbatasan lainnya seperti sarana pendidikan, kesehatan, akses modal, jaringan informasi dan transportasi, dan lain sebagainya. Sarana Nelayan adalah perlengkapan yang dapat dipindah-pindahkan untuk mendukung fungsi kegiatan. Berdasarkan pengertian di atas, maka prasarana dan sarana pada dasarnya memiliki fungsi utama sebagai berikut: (1) Mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan sehingga dapat menghemat waktu; (2) Meningkatkan produktivitas, baik barang dan jasa; (3) Hasil kerja lebih berkualitas dan terjamin; (4) Lebih memudahkan untuk para pengguna; (5) Ketepatan susunan stabilitas pekerja lebih terjamin; (6) Menimbulkan rasa kenyamanan bagi orang-orang yang berkepentingan; dan (7) Menimbulkan rasa puas pada orang-orang yang berkepentingan yang
331
mempergunakannya. Sarana nelayan adalah alatalat untuk menangkap ikan dan peralatan yang mendukung. Menurut Mubyarto (2004:18) “Peralatan dan perlengkapan hidup masyarakat yang tinggal ditepi pantai banyak dihubungkan dengan alatalat untuk menangkap ikan dan peralatan yang mendukung, maka kondisi ekonomi mereka sangat dipengaruhi oleh peralatan dan perlengkapan tersebut”. Penelitian yang dilakukan oleh Marlinawati (2010) dengan judul penelitian “Pengaruh Saluran Irigasi terhadap peningkatan hasil padi sawah (Studi di Kecamatan Meurah Mulia)” Dari hasil penelitian menyatakan “Terdapat perbedaan pendapatan usaha petani sawah di Kecamatan Meurah Mulia berdasarkan saluran irigasi. Rata-rata pendapatan usaha tani jenis irigasi sederhana lebih rendah dibandingkan saluran irigasi yang lain”. Adapun kesamamaan penelitian Marlinawati (2010) dengan peneliti adalah kedua-duanya menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian berupa studi kasus. Kedua-duanya tentang pengaruh sarana terhadap peningkatan pendapatan. Sementara perbedaanya adalah peneliti terdahulu disektor pertanian khususnya pada petani sawah dengan pemanfaatan irigasi, lokasi penelitian di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh utara. Sedangkan peneliti di sektor perikanan (nelayan) dan lokasi penelitian di daerah pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe. Penelitian yang dilakukan oleh Murhaban (2009) dengan judul penelitian “Analisis pemberdayaan masyarakat kecamatan Tanah Pasir dalam pengentasan masyarakat Nelayan”. Hasil penelitian menggambarkan bahwa Untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir, pemerintah telah melakukan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Salah satunya adalah program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dikembangkan secara nasional. Program PEMP bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan Tanah Pasir khususnya masyarakat nelayan di Kuala Keureuto Barat melalui pendekatan ekonomi dan kelembagaan sosial. Adapun kesamamaan penelitian Murhaban
332
UMARUDDIN USMAN
(2009) dengan peneliti adalah kedua-duanya menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian berupa studi kasus. Kedua-duanya tentang pemberian bantuan kepada masyarakat pesisir, Sementara perbedaanya adalah peneliti terdahulu melalui program PEMP yang dikembangkan secara nasional, lokasi penelitian di Kecamatan Tanah Pasir. Sedangkan peneliti melalui bantuan pemerintah dan NGO serta lokasi penelitian di daerah pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat. Dengan mendasarkan pada rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis : H0 : Bantuan sarana nelayan berpengaruh negatif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat. H1 : Bantuan sarana nelayan berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat. METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat penerima bantuan sarana nelayan yang berdomisili di pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat yaitu masyarakat Gampong Kuala Meuraksa, Gampong Jambo Mesjid, dan Gampong Jambo Timu dengan jumlah populasi keseluruhan sebanyak 62 orang. Adapun pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik sensus. Pengertian dari sampling jenuh atau sensus menurut Sugiyono (2007:122) “Sampel jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi dijadikan sampel”. Istilah lain sampel jenuh adalah sensus, dimana semua anggota populasi dijadikan sampel. Berhubung populasinya kurang dari 100 orang, maka sampel pada penelitian ini adalah se-
mua populasi yang menerima bantuan sarana nelayan yaitu 62 orang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara menggunakan instrument angket. Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden untuk memberikan respons sesuai dengan permintaan penulis. Tujuan penyebaran angket ialah mencari informasi yang lengkap mengenai pengaruh bantuan sarana nelayan terhadap peningkatan pendapatan pada masyarakat pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat dan responden tanpa merasa khawatir bila responden memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam pengisian daftar pertanyaan. Metode analisis data dalam penelitian ini akan menjelaskan pengaruh Pengaruh bantuan sarana nelayan terhadap peningkatan pendapatan pada masyarakat pesisir. Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan adalah regresi linier sederhana yaitu untuk menghitung ada atau tidaknya pengaruh secara signifikansi antara bantuan sarana nelayan (X) terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat. Semua pengolahan data akan dilakukan dengan bantuan program SPSS. yang mana persamaannya dirumuskan sebagai berikut : Y = a + bX + e Dimana: Y = Peningkatan pendapatan pada masyarakat pesisir pantai a = harga konstan b = angka arah atau koefisien regresi X = Bantuan sarana nelayan. e = nilai kesalahan (error) Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji kualitas data terhadap data yang
Tabel 1 Daftar Masyarakat Penerima Bantuan No. 1. 2. 3.
Nama Gampong
Populasi
Gampong Kuala Meuraksa Gampong Jambo Mesjid Gampong Jambo Timu Jumlah
25 orang 17 orang 20 orang 62 orang
Sumber: Data Kec. Blang Mangat 2013
Sampel 25 17 20 62
orang orang orang orang
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
didapat. Adapun yang digunakan dalam pengujian kualitas data adalah uji reliabilitas dan uji validitas. Setelah uji kualitas data dilakukan kemudian dilakukan uji asumsi klasik terhadap data yang didapat. Uji asumsi klasik dilakukan agar nilai parameter penduga sahih dan tidak bias. Uji asumsi klasik yang dilakukan adalah uji normalitas. HASIL PENELITIAN Variabel Bantuan sarana Nelayan (X), frekuensi tanggapan responden terhadap pertanyan variabel (X) produksi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa pertanyaan terhadap variabel bantuan sarana nelayan yaitu untuk pertanyaan nomor satu jawaban responden untuk jawaban sangat setuju sebanyak 41 responden, jawaban setuju 19 responden, dan jawaban tidak setuju sebanyak 2 responden. Selanjutnya untuk pertanyaan nomor dua terdiri atas; jawaban sangat setuju sebanyak 32 responden, jawaban setuju 25 responden, dan jawaban netral 1 responden. Pertanyaan nomor tiga yaitu jawaban sangat setuju sebanyak 36 responden, jawaban setuju 21 responden, dan jawaban netral 5 responden. Variabel Peningkatan Pendapatan Masyarakat (Y), frekuensi tanggapan responden ter-
333
hadap pertanyan variabel (Y) yaitu berupa modal dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa pertanyaan terhadap variabel peningkatan pendapatan (Y) antara lain; untuk pertanyaan nomor satu jawaban responden untuk jawaban sangat setuju sebanyak 39 responden, jawaban setuju 20 responden, jawaban netral 1 responden dan jawaban tidak setuju sebanyak 2 responden. Selanjutnya untuk pertanyaan nomor dua terdiri atas; jawaban sangat setuju sebanyak 36 responden dan jawaban setuju sebanyak 26 responden. Pertanyaan nomor tiga yaitu jawaban sangat setuju sebanyak 36 responden, jawaban setuju 21 responden, dan jawaban netral 5 responden. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah item – item yang tersaji dalam kuesioner benar- benar mampu mengungkapkan dengan pasti apa yang akan diteliti. Cara yang digunakan adalah dengan analisis item, dimana setiap nilai yang ada pada setiap butir pertanyaan dikorelasikan dengan nilai total seluruh butir pertanyaan untuk suatu variabel dengan menggunakan rumus korelasi product moment melalui bantuan program SPPS. Hasil pengolahan data seperti terlihat pada Tabel 4 menunjukan bahwa butir soal dikatakan
Tabel 2 Tanggapan Responden Terhadap Variabel (X) No. 1. 2. 3.
Pertanyaan Bantuan sarana nelayan yang diterima sesuai dengan yang diinginkan Bantuan sarana nelayan yang diterima masih baru Bantuan sarana nelayan yang diberikan berupa bot, mesin, dan alat tangkap
Jawaban Responden SS
S
N
TS
STS
41
19
-
2
-
32
25
1
-
-
36
21
5
-
-
Sumber : Data Primer ( Diolah) 2013 Tabel 3 Tanggapan Responden Terhadap Variabel (Y) No. 1. 2. 3.
Pertanyaan Kondisi kehidupan nelayan setelah menerima bantuan sarana nelayan semakin sejahtera. Penghasilan yang diperoleh setelah menerima bantuan sarana nelayan semakin membaik. Kondisi nelayan mengalami perubahan kearah yang lebih baik setelah menerima bantuan sarana nelayan.
Sumber : Data Primer ( Diolah) 2013
Jawaban Responden SS
S
N
TS
STS
39
20
1
2
-
36
26
-
-
-
36
21
6
-
-
334
UMARUDDIN USMAN
Tabel 4 Uji Validitas Butir Kuesioner Variabel (X) No. 1 2 3
r-tabel 0,246 0,246 0,246
r-hitung
Validitas
0,723 0,373 0.720
Valid Valid Valid
Sumber : Data Primer ( Diolah) 2013 Tabel 5 Uji Validitas Butir Kuesioner Variabel (Y) No. 1 2 3
r-tabel 0,246 0,246 0,246
r-hitung
Validitas
0,695 0,461 0,698
Valid Valid Valid
Sumber : Data Primer ( Diolah).2013 Tabel 6 Uji Reliabilitas No. 1. 2.
Variabel
Jumlah Responden
Butir Soal
Cronbach Alpha
62 62
3 3
0,192 0,230
Bantuan Sarana Nelayan ( X ) Peningkatan Pendapatan( Y )
Sumber : Data Primer ( Diolah) 2013 Tabel 7 Uji Normalitas Data No 1. 2.
Asym. Sig (p-value)
Nama Variabel Bantuan Sarana Nelayan (X) Peningkatan Pendapatan (Y)
Kondisi
0,056 0,066
P > 0.05 P > 0.05
Keterangan Distribusi Data Normal Normal
Sumber : Data Primer ( Diolah) 2013 Tabel 8 Korelasi dan Determinasi Koefisien Korelasi (R) Koefisien Determinasi (R2)
0,868 0,754
86,8 % 75,4%
Sumber : Data primer (diolah) 2013. Tabel 9 Hasil Uji Statistik Variabel Independent Konstanta Bantuan sarana nelayan Konstanta Bantuan sarana nelayan thitung t tabel Sig t
= 1.364 = 0,895 = 13.571 = 1.66980 = 0,000
Sumber : Data primer (diolah) 2013.
Koefisien Regresi
t-hitung
Signifikansi
1.364 0,895
1.508 13.571
0,137 0,000
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
valid apabila skor dari butir soal tersebut (rhitung ) lebih besar dari rtabel. Uji Validitas terhadap variabel bantuan sarana nelayan (X) menunjukkan dari tiga pertanyaan yang diajukan kepada responden hasilnya yaitu valid yang mana rhitung lebih besar dari rtabel. Berdasar Tabel 5, hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tiga pertanyaan yang diajukan kepada responden terhadap variabel (Y) hasilnya adalah valid karena r-hitung lebih besar dari r-tabel yang mana untuk soal nomor satu rhitung adalah , 0,695, soal nomor dua r-hitung yaitu 0,461, dan untuk soal nomor tiga r-hitung 0,698. Untuk menilai kehandalan kuesioner yang digunakan, maka dalam penelitian ini mengunakan uji reliabilitas dengan menggunakan bantuan program SPSS dan dengan berdasarkan Cronbach Alpha yang lazim digunakan untuk menguji kuesioner. Berdasarkan Tabel 6, tingkat reliabilitas dari kuesioner tentang Analisis pengaruh bantuan sarana nelayan terhadap peningkatan pendapatan pada masyarakat Pesisir Pantai Meuraksa. Menurut (Sugiyono, 2007:121) bila korelasi positif dan signifikan, maka instrumen dapat dinyatakan reliabel dan menyatakan bahwa koefisien yang diterima di atas 0. Jadi berdasarkan hasil yang didapatkan diatas, kuesioner yang diajukan kepada responden dinyatakan reliabel karena Cronbach Alpha mempunyai nilai di atas 0 yaitu variabel X sebesar 0,192 dan variabel Y sebesar 0,230. Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas diuji dengan statistik non parametik yaitu uji kolmogorof smirnov (K-S), dengan kriteria pengambilan keputusan didasarkan pada besaran nilai kolmogorof smirnov (K-S) Z dan Asymp Sig (2-tailed), variabel dinyatakan terdistribusi secara normal jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 pada signifikansi 95%. Maksud data terdistribusi secara normal adalah bahwa data akan mengikuti bentuk distribusi normal (Santoso, 2005:231). Berdasarkan Tabel 7, nilai signifikansi variabel bantuan sarana nelayan (X) 0.056, dan pen-
335
ingkatan pendapatan (Y) 0,066 lebih besar dari alpha (0.05). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa distribusi data dari masing-masing variabel berdistribusi normal. Sebelum melakukan uji-t, penulis melakukan uji korelasi dan determinasi. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat hasil analisis regresi nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,868 atau 86,8%, sehingga variabel tersebut dapat dikatakan memiliki korelasi atau hubungan, adapun korelasi tersebut dalam kategori yang kuat. R2 (R-Square) disebut dengan koefisien determinasi (Coefficient of Determination), yaitu nilai untuk mengukur besarnya kontribusi X terhadap variasi (naik turunnya) Y. Selanjutnya diperoleh koefisien determinan R2 (R-Square) sebesar 0,754 atau 75,4%. Ini berarti peningkatan pendapatan dapat dipengaruhi sebesar 75,4% oleh bantuan sarana nelayan dan sisanya sebesar 24,6% dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil analisis regresi linear sederhana pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan metode analisis data, dari uji regresi linear sederhana juga dapat dibentuk sebuah persamaan yaitu : Y = 1.364 + 0,895.X Dari persamaan di atas dapat dijelaskan bahwa, nilai konstanta sebesar 1.364 artinya jika bantuan sarana nelayan dianggap konstan, maka peningkatan pendapatan masyarakat di Pesisir Pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat sebesar 1,364%. Koefisien regresi sebesar 0,895 berarti jika bantuan sarana nelayan meningkat 100%, maka pendapatan masyarakat akan meningkat sebesar 89,5%. Pengujian Hipotesis, hasil hipotesis dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan ujit atau uji parsial. Sehingga dapat diperoleh untuk bantuan sarana nelayan sebesar 13.571 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai ttabel pada tingkat kepercayaan 95% (α = 5% /2 = 2,5%) dan df = n-k-1 ( 62-1-1=60) diperoleh nilai ttabel sebesar 1.66980 dan nilai t-hitung sebesar 13.571. Dengan
336
UMARUDDIN USMAN
demikian t-hitung > ttabel yaitu 13.571 > 1.66980 artinya H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti bantuan sarana nelayan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan pendapatan pada masyarakat di pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat. KESIMPULAN Hasil penelitian ini membuktikan terdapat kecenderungan bahwa adanya pengaruh bantuan sarana nelayan terhadap peningkatan pendapatan pada masyarakat Pesisir Pantai Meuraksa. Sehingga dengan bantuan sarana nelayan yang di berikan dapat menjadikan peluang pada masyarakat di Pesisir pantai Meuraksa Kecamatan Blang Mangat untuk meningkatkan kesejahteraan dan perbaikan di sektor sosial ekonomi. Meningkatnya kesejahteraan dan perbaikan ekonomi masyarakat pesisir pantai akan mengakibatkan meningkatnya pendidikan sumber daya manusianya dan juga meningkatkan keterampilan penangkapan ikan secara lebih baik dengan penguasaan dan penerapan teknologi yang ada.
SARAN Sarana nelayan merupakan faktor penting dalam usaha ekonomi masyarakat pesisir, maka dengan ini diharapkan kepada masyarakat untuk mengelola serta menjaga dan merawat sarana tersebut sebaik mungkin agar penghasilan para nelayan menjadi lebih baik lagi. Kepada pemerintah untuk terus memberdayakan masyarakat pesisir pantai karena dengan meningkatnya hasil laut akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Dan juga diperlukan sistem pengawasan yang dilakukan pemerintah kepada penerima bantuan sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat pesisir agar terus berjalan sesuai dengan rencana dan tepat sasaran, sehingga program pemerintah melalui bantuan sarana nelayan dapat berhasil dalam mewujudkan masyarakat yang mandiri dan sejahtera.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
337
REFERENSI Hasan, Iqbal, (2004), Analisis Data Penelitian dengan Statistik, Bumi Aksara, Jakarta. Kusnadi, (2009), Strategi Hidup Masyarakat Nelayan, LkiS, Yogyakarta. , (2002), Akar Kemiskinan Nelayan. LkiS, Yogyakarta. Marlinawati, (2010), Pengaruh Saluran Irigasi terhadap peningkatan hasil padi sawah (Studi di Kecamatan Meurah Mulia), Skripsi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe. Mubyarto, Loekman, dkk., (2004), Nelayan dan Kemiskinan, Rajawali, Jakarta. Mulyadi, S., (2005), Ekonomi Kelautan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Murhaban, (2009), Analisis Pemberdayaan Masyarakat Kecamatan Tanah Pasir dalam Pengentasan Masyarakat Nelayan. Skripsi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe. Nugroho, I dan Dahuri, R., (2004), Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, LP3ES, Jakarta. Sadono Sukirno, (2006), Ekonomi Pembangunan Proses masalah dan Dasar Kebijakan, Kencana, Jakarta. Santoso, Singgih, (2005), Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik, Elex Media Komputindo, Jakarta. Sugiono, (2007), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Cet. XIV, Alfabeta, Bandung.
338
UMARUDDIN USMAN
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, 3, Juli 2014 JOURNAL OF ECONOMIC MANAGEMENT & No. BUSINESS
Volume 15, Nomor 3, Juli 2014 ISSN: 1412 – 968X Hal. 339-351
PENGARUH DANA OTONOMI KHUSUS TERHADAP KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI ACEH
Ratna
Dosen pada Fakultas Ekonomi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
Poverty was still being a serious problem that must be solved with associated to economic growth and income distribution, various attempts have been made by the goverment to overcome the problems of poverty, one of them was provide of the local autonomy and special autonomy to some areas such as both the province of Aceh and Papua. Expected with the transfer of those funds the Aceh province able to accelerate the development and increased prosperity for the society whow were still far behind compared to others provinces in Sumatra and Indonesia in general. In particular the purpose of these research was to analyse factors that influence poverty and obtain a representation of effect special autonomy funds for the welfare of the society of Aceh province and poverty reduction.Data analysis methods used in these research was descriptive analysis and econometric analysis. Descriptive analysis was by presented the data the form of tables and graphs with data cross-sectional in 23 district/city and time series during the period 2008-2012, while the econometric analysis was performed using model for panel data (pooled model). The results obtained was special autonomy funds were negative and significant effect on poverty in Aceh province, that means the special autonomy funds could reduce poverty districs/cities in Aceh province. Keywords : poverty, economic growth, funds transfer, special autonomy
339
340
RATNA
PENDAHULUAN Kemiskinan masih menjadi momok yang menakutkan bagi semua orang dan merupakan masalah serius yang harus segera dipecahkan. Untuk menyelesaikan masalah kemiskinan tidak hanya diperlukan keterlibatan seluruh pihak semata, tetapi perlu pendekatan berbagai aspek terkait untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kemiskinan seperti kultur, struktur budaya termasuk mental dan pola pikir masyarakat terkait. Mengingat kemiskinan merupakan masalah kompleks, perlu komitmen dalam menanganinya. Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah adalah dengan pemberian otonomi daerah dan otonomi khusus kepada beberapa daerah seperti provisi Aceh dan Papua. Pada dasarnya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia, hal ini sudah diatur dalam UU RI No. 5 tahun 1975 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Pada awal tahun 2001 pelaksanaan otonomi daerah mulai diimplementasikan, acuannya berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti oleh UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Kemudian masing-masing disempurnakan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU RI No. 33 tahun 2004. Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ialah “Money Follows Functions”, yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumbersumber penerimaan kepada daerah (Sidik, 2002). Selain otonomi daerah juga diberikan otonomi khusus kepada Provinsi Aceh dan Papua dengan berbagai pertimbangan kekhususan. Acuannya berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 1999, UU No. 25 Tahun 1999. Kemudian masing-masing disempurnakan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU RI No. 33 tahun 2004. Kedua UU tersebut di atas belum cukup mewadahi kepentingan daerah, karena secara kultural dan historis Aceh membutuhkan otonomi khusus, apalagi dalam UU. No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Atas dasar itu untuk menampung sepenuhnya aspirasi masyarakat Aceh maka diterbitkan UU. No. 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU. No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Aceh merupakan suatu kebijakan yang bernilai strategis dan bertujuan untuk pengentasan kemiskinan, ini menegaskan bahwa dana tersebut harus digunakan sebaik mungkin untuk kesejahteraan masyarakat Aceh. Tujuan diberikannya otonomi khusus kepada Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/ Kota diharapkan dapat mewujudkan rasa keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, percepatan pembangunan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan keseimbangan pembangunan antar kabupaten/kota di wilayah provinsi Aceh (Tursandi, 2006). Kajian tentang dana otonomi khusus tidak terlepas dari kerangka teori ekonomi makro dalam hal ini berkaitan dengan teori pengeluaran pemerintah. Namun bagi daerah penerima dana otonomi khusus merupakan mekanisme bagian dari penerimaan (revenue). Kedua mekanisme ini bila dihubungkan menjadi hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah atau proses pengeluaran bagi pemerintah pusat dan penerimaan bagi pemerintah daerah disebut sebagai transfer antar tingkat pemerintah (intergovernmental transfers). Oleh karena itu kajian teori yang akan diulas berkaitan dana otonomi khusus ini dilandaskan pada teori hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, lebih spesifik teori transfer antar tingkat pemerintah yang akan dihubungkan dengan masalah ekonomi makro dan kemiskinan. Munculnya hubungan keuangan pusat dan daerah berkenaan dengan adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, terlebih setelah otonomi daerah diimplementasikan dalam bentuk otonomi khusus yang memberikan kewenangan-kewenangan kepada daerah. Pendelegasian kewenangan ini disertai transfer dari pemerintah pusat untuk membiayai pelaksanaan kewenangan tersebut. Djaenuri (2013), menyebutkan semakin luas urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah semakin luas pula fungsi yang harus dilaksanakan didukung lagi dengan UU No. 33 tahun 2004
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
Davey (1989) menyebutkan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah terjadi karena adanya pembagian kewenangan, serta menyangkut pembagian tanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan tertentu antar tingkat-tingkat pemerintahan dan pembagian sumber penerimaan sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan tersebut, kemudian Sidik (2002), perlunya transfer ke daerah adalah untuk mencapai tujuan stabilisasi pemerintah pusat. Transfer dana dapat ditingkatkan oleh pemerintah ketika aktivitas perekonomian lesu, dan sebaliknya dana transfer dapat dikurangi manakala perekonomian sedang booming. Dengan kata lain besar kecilnya dana transfer diberikan ke daerah bergantung pada kemampuan kapasitas ekonomi daerah. Menurut Litvack et. al., (1998), transfer fiskal antar tingkat pemerintahan (intergo-vernmental fiscal transfers) yang terdiri atas hibah (grants), dan bagi hasil (revenue-sharing) merupakan sumber penerimaan yang dominan bagi tingkat pemerintah subnasional di banyak negara sedang berkembang, dan desain dari transfer tersebut memiliki pengaruh terhadap efisiensi dan keadilan atau pemerataan (equity) penyediaan jasa-jasa lokal dan kesehatan fiskal dari pemerintah subnasional. Oleh karena itu, maka desain dari transfer dianggap merupakan faktor yang sangat penting bagi keberhasilan desentralisasi fiskal. Dalam pelaksanaan otonomi daerah maupun pelaksanaan otonomi khusus hubungan fiskal antar berbagai tingkat pemerintahan (intergovernmental fiscal relations) merupakan salah satu unsur yang sangat penting. Hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan menggambarkan hubungan keuangan (financial relations) diantara berbagai tingkat pemerintahan, yang meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan, pengeluaran, pinjaman, subsidi, transfer dan hibah. Sementara bila dilihat perdefinisi transfer pada dasarnya merupakan bantuan atau hibah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah yang menganut money follow function. Menurut Shah (2007), transfer antar pemerintah atau hibah dapat secara luas diklasifikasikan menjadi dua kategori: Tujuan Umum (Tanpa Syarat), Tujuan Spesifik (Bersyarat atau Dialokasikan). Adapun perbedaan dari kedua jenis bantuan atau hibah
341
tersebut menurut (Prud’homme, 1995:204), terletak pada dampak yang ditimbulkan masing-masing jenis bantuan tersebut. Perbedaan diantara kedua jenis bantuan tersebut adalah bahwa block grant dampaknya terhadap produksi atau konsumsi dapat diprediksi secara langsung, sedangkan specific grant tidak dapat. Selain itu kalau block grant hanya menghasilkan income effect, sedangkan specific grant juga menghasilkan subtitution effect dan price effect. Kemudian Oates (1999) berpendapat bahwa desentralisasi penyediaan barang publik dapat menciptakan kondisi pareto optimum karena pelayanan publik akan lebih sesuai dengan prefensi masyarakat di daerah. Transfer dana pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan fiskal pemerintah daerah, mempengaruhi alokasi sumberdaya ekonomi daerah, perbaikan istribusi pendapatan, sehingga dapat menciptakan pemerataan antar daerah dan antar individu. Setiap dana transfer mempunyai dampak yang berbeda terhadap pola konsumsi perekonomian daerah pada umumnya. Efektivitas dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat menimbulkan substitution effect atau income effect. Transfer dana ke daerah merupakan fenomena umum yang terjadi diberbagai negara, bahkan transfer tersebut penting dilakukan. Menurut Oates (1999), tujuan utama dari transfer adalah untuk menginternalisasikan eksternalitas fiskal yang muncul antar daerah, perbaikan sistem perpajakan, koreksi ketidakefisienan fiskal, dan pemerataan fiskal antar daerah. Dalam prakteknya transfer dilakukan untuk menguragi ketimpangan vertikal dan horizontal antar daerah, sekaligus meminimumkan resiko separatisme. Secara ekonomi, transfer dilakukan untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas dalam hal penyediaan barang publik (Oates, 1993), karena pemberian kewenangan disertai transfer kedaerah moniroting pelaksanaan dan pengadaan barang publik makin baik dibandingkan dengan dilakukan oleh pemerintah pusat (De Mello, 2003). Selain itu, pemberian transfer dimaksudkan untuk memberikan penguatan pelaksanaan otonomi daerah maupun otonomi khusus, seperti di Aceh dan Papua. Prinsipnya, pemberian kewenan-
342
RATNA
gan yang lebih ke daerah harus disertai transfer untuk membiayai kewenangan tersebut, apalagi selama ini sumber-sumber penerimaan daerah relatif masih kecil dibandingkan sumber penerimaan dari pusat. Oleh sebab itu transfer menjadi penting, berdasarkan uraian teori tersebut secara empiris sudah banyak dibuktikan kaitan antara pengeluaran pemerintah maupun transfer dengan pertumbuhan ekonomi maupun kaitan antara transfer dan pengentasan kemiskinan, diantaranya Sodik (2007), pengeluaran pemerintah (baik rutin maupun pembangunan) memberikan pengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sementara Kuncoro (2004), membuktikan bahwa transfer fiskal mendorong peningkatan pendapatan asli daerah dan signifikan mendorong peningkatan pendapatan perkapita. Sementara Boadway (2001) mengisyaratkan bahwa transfer fiskal antar pemerintah daerah dapat menciptakan efisiensi dan peningkatan pelayanan publik. Adanya dana otonomi khusus menegaskan bahwa dana tersebut harus digunakan sebaik mungkin untuk kesejahteraan mansyarakat Aceh. Selama pelaksanaan otonomi khusus di Aceh secara fisik mengalami kemajuan, apalagi transfer dana otonomi khusus yang diberikan untuk provinsi Aceh dari 2008-2012 mencapai Rp.
21,646 triliun. Selain mendapatkan dana otonomi khusus, Provinsi Aceh dan kabupaten/kota juga menerima dana transfer dari pusat berupa dana perimbangan yang komponennya terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus seperti daerah otonom lainnya di Indonesia, seperti terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1 di atas dana perimbangan yang diterima Provinsi Aceh yang bersumber dari dana bagi hasil tahun 2008 dan 2009 penerimaanya sama, pada tahun 2010 terjadi penurunan, karena dana bagi hasil minyak dan gas bumi semakin menurun. Dana Alokasi Umum (DAU) terus mengalami peningkatan karena pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi terus terjadi peningkatan. Dana Alokasi Khusus yang merupakan dana dari APBN yang dialokasikan kepada daerah Aceh dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah Aceh dan sesuai dengan prioritas nasional peningkatan berfluktuatif. Akan tetapi besarnya dana otsus, maupun dana perimbangan keuangan pusat dan daerah (PKPD)
Gambar I. Bantuan Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Aceh Tahun 2008-2012 (Dalam Trillyun) Sumber : Kemenkeu RI dan Pecapp Provinsi Aceh, 2014
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
yang ditransfer masih menyisakan banyak persoalan. Pemberian dana otsus untuk mengakselarasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh masih jauh dari yang diharapkan, karena berbagai indikator makro ekonomi maupun indikator kesejahteraan masyarakat Aceh masih jelas tertinggal jauh dengan provinsi lainnya di Sumatera dan Indonesia secara umum. Kemiskinan masih merupakan masalah yang serius dan memiliki keterkaitan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Kemiskinan juga merupakan masalah yang kompleks karena berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan dari manusia, karena itu definisi kemiskinan dan penyebabnya begitu luas dan beragam dan mencakup berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan kesejahteraan manusia. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan melalui transfer fiskal merupakan salah satu kebijakan pemerintah, yang langsung ataupun tidak langsung dapat memberi dampak terhadap kemiskinan di Indonesia (Nanga, 2006). Secara umum kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenui kebutuhan dasar standar pada setiap aspek kehidupan (Sen, 1976). Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang di masyarakat yang bersifat sementara dan dinamis. Kemiskinan bukanlah suatu karakteristik yang melekat pada diri seseorang atau sekelompok orang secara terus-menerus. Walaupun dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama, namun secara umum kemiskinan bukanlah suatu hal yang bersifat permanen. Hasil studi “Keluar dari Kemiskinan” (Moving Out of Poverty/MOP) membuktikan hal tersebut. Dalam kurun waktu tertentu, ada orang/sekelompok orang yang dapat keluar dari kemiskinan, walaupun ada pula orang/sekelompok orang lainnya yang justru jatuh miskin atau terjebak dalam kemiskinan (Fillaili, 2008). Bappenas, (2004) menyebutkan kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar antara
343
lain (a) terpenuhinya kebutuhan pangan, (b) kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, (c) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009). Yao (2006) menjelaskan bahwa makna dan definisi kemiskinan telah melebar secara progresif, konsep kemiskinan secara bertahap berevolusi dari gagasan “tingkat minimum subsistensi” untuk gagasan “deprivasi relatif” yang mendefinisikan kemiskinan sebagai kegagalan untuk mempertahankan standar yang berlaku di suatu masyarakat tertentu. Dengan demikian, ukuran kemiskinan telah diperluas mencakup banyak hal, selain pendapatan, juga diperluas ke non-pendapatan, seperti pendidikan dasar, kesehatan dasar, dan akses terhadap pelayanan sosial dasar. Bahkan unsurunsur lain telah ditambahkan ukuran kemiskinan, termasuk kemampuan secara otonomi, memiliki hak suara, pemberdayaan dan partisipasi. Blackwood dan Lynch (1994) menyebutkan ada banyak kriteria untuk mendefinisikan kemiskinan dilihat dari banyak persperktif, ada yang melihat dari aspek kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar gizi. Orang lain melihat kemiskinan, sebagian sebagai fungsi pendidikan dan/atau kesehatan: harapan hidup, kematian anak, dan sebagainya. Ada yang mengukur tingkat pengeluaran dan konsumsi sebagai kriteria lain yang digunakan untuk mengidentifikasi orang miskin. Untuk beberapa peneliti, kemiskinan didefinisikan dalam istilah yang sangat luas, seperti tidak mampu memenuhi “kebutuhan dasar.” Kebutuhan dasar mengacu pada (fisik, perawatan makanan kesehatan, pendidikan, penampungan, dll) dan nonfisik (partisipasi, identitas, dll) persyaratan dari “kehidupan yang bermakna”. Sementara Bank Dunia (2001) menguraikan bahwa kemiskinan merupakan konsep multidimensi dan dengan demikian dapat didefinisikan dalam banyak cara: Kemiskinan adalah kurangnya pendapatan, makanan, tempat tinggal, kesempatan kerja, atau fisik aset, seperti ternak dan tanah. Kemiskinan juga tidak memiliki akses terhadap air minum yang bersih, fasilitas kesehatan bila diperlukan atau tidak mampu membaca dan menulis. Kemiskinan juga rentang berada pada risiko,
344
RATNA
ketidakpastian tentang masa depan, kerentanan, ketidakberdayaan, kurangnya suara, representasi atau kebebasan. Dengan demikian, definisi alternatif kemiskinan berfokus pada berbagai aspek kekurangan dalam hal kesejahteraan, pendapatan dan non pendapatan. Definisi kemiskinan juga mungkin berbeda dengan nilai-nilai dan sikap masyarakat yang sedang dipertimbangkan dengan karakteristik dan pilihan secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemiskinan dapat dilihat sebagian sebagai pertimbangan nilai, berdasarkan kriteria yang berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Dalam pengertian ini, kondisi yang mendefinisikan kemiskinan dapat berbeda cukup signifikan di seluruh negara dan budaya yang berbeda. Namun demikian, analisis dari penyebab kemiskinan dan desain kebijakan penanggulangan kemiskinan memerlukan beberapa tingkat standardisasi yang berbeda sesuai dengan karakter dan budaya. Menurut Chambers (1996), kemiskinan terutama di daerah perdesaan (rural poverty) adalah masalah ketidakberdayaan (powerlessness), keterisolasian (isolation), kerentanan (vulnerability) dan kelemahan fisik (physical weakness), dimana satu sama lain saling terkait dan mempengaruhi. Singkatnya, saling keterkaitan diantara berbagai aspek kemiskinan tersebut atau sebagai klaster ketidakberuntungan ‘the clusters of disadvantage’ telah membentuk suatu lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal (the vicious circle of poverty) atau ‘the deprivation trap’. Dari beberapa penjelasan di atas menggam-
barkan tentang definisi dan indikator kemiskinan, namun yang banyak digunakan oleh para ahli untuk mengukur kemiskinan dengan menggunakan ukuran atau indeks, diantaranya (Sen, 1976; Blackwood dan Lynch, 1994: Nanga, 2006).Di provinsi Aceh kemiskinan masih didominasi pada daerah Aceh Pedesaan, seperti terlihat pada Gambar 2. Persentase penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Aceh pada tahun 2011 sebesar 19,57 persen. Angka ini menurun dibandingkan dengan tahun 2010 yang sebesar 20,98 persen. Penurunan persentase penduduk miskin tersebut terjadi di daerah perkotaan, daerah perdesaan penurunan penduduk miskin tidak terlalu signifikan. Sekalipun mengalami penurunan angka kemiskinan, akan tetapi berdasarkan Gambar 2 di atas terlihat bahwa persentase penduduk miskin di Aceh masih sangat tinggi dibandingkan dengan Indonesia secara keseluruhan. Kemiskinan di Aceh sedikit meningkat pasca bencana tsunami, dari 28,4 persen pada tahun 2004 mencapai 32,6 persen terjadi peningkatan sebesar 4,2% pada tahun 2005 dan wilayah yang paling tinggi tingkat kemiskinannya adalah daerah pedesaan. Hal ini berlawanan dengan tingkat penurunan kemiskinan yang terjadi pada wilayah-wilayah lain di Indonesia. Peningkatan tersebut termasuk relatif kecil mengingat besarnya kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh gempa dan musibah tsunami dan juga mencerminkan dampak yang positif dari upaya awal rekonstruksi. Persentase
Gambar 2. Persentase Penduduk Miskin Provinsi Aceh dan Indonseia Tahun 2004-2011 Sumber : BPS Aceh Tahun 2014
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
penduduk miskin Aceh pada tahun 2011 adalah 19,57%, yang berarti lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata Nasional sebesar 12,49% (BPS Aceh, 2012). Dengan diberlakukan otonomi kuhus untuk Provinsi Aceh diharapkan kemiskinan di Aceh dapat segera dipecahkan, karena kemiskinan itu tidak saja berdampak pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berdampak kepada sosial, ekonomi, politik, hukum dan sarana fisik lainnya, sehingga diperlukan suatu rumusan kebijakan yang tepat untuk memecahkan masalah pengentasan kemiskinan di Provinsi Aceh. Berangkat dari fenomena tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melihat dan meneliti perkembangan dana otonomi khusus yang digulirkan pemerintah pusat ke Provinsi Aceh dengan tujuan untuk menganaliais faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan mendapatkan gambaran umum pengaruh dana otonomi khusus terhadap kesejahteraan masyarakat provinsi Aceh dan penurunan tingkat kemiskinan. Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : Diduga dana otonomi khusus dan variabel makro ekonomi lainnya memberikan pengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksplanatoris (explanatory research), mencoba melihat, mengukur atau menguji kausalitas antar variabel. Penelitian ini juga dilakukan untuk melakukan uji hipotesis, untuk menganalisis hubungan antara variabel bebas (independent variable) terhadap variabel terikat (dependent variable) berdasarkan data yang diperoleh guna mendapatkan makna dan implikasi permasalahan yang ingin dipecahkan secara sistematis, aktual dan akurat dan penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif dan verefikatif. Metode analisis data yang digunakan berupa analisis deskriptif dan analisis ekonometrika. Analisis deskriptif dilakukan dengan menyajikan data dalam bentuk tabel dan grafik, sedangkan uji statistik dan analisis ekonometrika dilakukan
345
dengan menggunakan panel data, untuk menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan mendapatkan gambaran umum pengaruh dana otonomi khusus terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Aceh. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross-sectional dan time series pada 23 kabupaten/kota selama periode 2008-2012. Analisis data menggunakan analisis kuantitatif dengan metode regresi data panel (pooled model) yaitu kombinasi data crosssectional dan time series. (Pindyk dan Rubinfeld, 1998; Gujarati, 2003; Wooldridge, 2005). Selanjutnya hasil estimasi model persamaan dengan menggunakan model panel (Pooled model) dapat dilakukan dengan menggunakan fixed atau random effects. Untuk memutuskan antara fixed atau random effects dapat dilakukan dengan Hausman Test, dimana bahwa hipotesis null dalam model yang dipilih dengan alternatif fixed effects atau random effects. Menurut Green, 2008, jika hasil Hausman Test Prob>Chi2 < maka model dapat diestimasi dengan menggunakan Fixed Effects Model (FEM) dan bila Prob>Chi2 > maka model dapat diestimasi dengan menggunakan Random Effects Model (REM) Untuk melihat pengaruh dana otonomi khusus terhadap kemiskinan, variabel-variabel yang mempengaruhi model penelitian tersebut, seperti terlihat dalam spesifikasi model sistem persamaan struktutal berikut ini : POV = f (PDRB, BL, DOK, EDUK, INF, DENS, UNEM) Kemudian model di atas dapat ditulis kembali dalam bentuk bentuk persamaan dengan menggunakan log : LPOVit = α0 + α2LBLit + α3LDOKit + α4LEDUCit + α5LINFit + α6DENSit + α7LUNEMit + εit Dimana: α0 - α7 = parameter yang akan diestimasi, LPOV = Persentase penduduk miskin PDRB = pertumbuhan ekonomi LBL = pengeluaran pemerintah untuk Belanja langsung LDOK = Dana Otonomi Khusus
346
RATNA
EDUC = Tingkat Pendidikan INF = Inflasi DENS` =`kepadatan penduduk antar kabupaten/ kota dan UNEM = Tingkat Pengangguran Terbuka.
HASIL PENELITIAN Transfer dana otonomi khusus dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya pendapatan Indenesia yang bersumber dari APBN, Provinsi Aceh memperoleh tambahan sumber daya fiskal secara signifikan. pada tahun 2008 penerimaannya mencapai Rp 3.6 triliun dan terus meningkat sampai dengan tahun 2012 mencapai Rp 5,9 triliun, sehingga total dana otonomi khusus yang diterima Provinsi Aceh sampai dengan tahun 2012 mencapai Rp. 21 triliun lebih, meningkat 27,4 persen dari tahun 2008. Selama kurun waktu pelaksanaan tersebut telah banyak kegiatan yang dibiayai Dana Otonomi Khusus dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan di Aceh. Namun demikian, gambaran utuh penerimaan dana Outsus seperti terlihat pada Gambar 3. Gambaran umum perkembangan penyaluran dana otonomi khusus setiap tahunnya mulai dari 2008-2012 untuk Kabupaten/Kota seperti terlihat pada Gambar 3. Berdasarkan grafik tersebut
di atas terlihat daerah yang paling tinggi mendapat dana otonomi khusus adalah Kabupaten Aceh Timur, disusul dengan Gayo Luwes, Aceh Selatan, Aceh Selatan, Aceh Tengah, Nagan Raya, Aceh Jaya dan Aceh Utara. Pembagaian dana tersebut berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk, yang merupakan bagian dari formula alokasi pembagian dana otonomi khusus. Setelah dilakukan Hausman Test Prob>Chi2 = 0.0613> maka model dapat diestimasi dengan menggunakan Random Effects Model (FEM). Secara empiris hasil estimasi model kemiskinan dengan menggunakan pooled model, memberikan indikasi bahwa diantara ke 7 variabel eksogen dalam model tersebut, ada enam variabel yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Aceh selama periode 2008-2012 dan tanda sesuai dengan yang diharapkan. Hasil estimasinya seperti terlihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 1 di atas terlihat bahwa kemampuan dari ke tujuh variabel independen menjelaskan tingkat kemiskinan Provinsi Aceh yang semakin menurun berdasarkan kriteria goodnessn of fit dengan nilai koefisien determinasi = 0,7364), yang berarti bahwa 74,6% variasi perubahan pada varibel endogen secara bersama-sama mampu dijelaskan oleh variabel eksogen yang ada dalam model. Sementara nilai probabilitas chi-square () secara keseluruhan masing-masing variabel memiliki nilai signifikansi
Gambar 3. Perkembangan Dana Otonomi Khusus Kabupaten/Kota Provinsi Aceh Tahun 2008-2012 (Dalam Milliar) Sumber : Diolah Data Dari Kemenkeu RI dan Pecapp Provinsi Aceh, 2014
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
347
Tabel 1 Hasil Estimasi Model Kemiskinan Variabel
Model Panel Data (Pooled Model)
Kemiskinan (LPOV)
Koefisien
Std. Err.
Pertumbuhan Ekonomi (LPDRB)
(0.02984)
0.08042
(0.37)
Belanja Langsung (LBL)
(0.05881)
0.03460
(1.70) *
Dana Otonomi Khusus (LDOK)
(0.29377)
0.06007
(4.89) ***
Pendidikan (LEDUC)
(0.05064)
0.04951
(1.02)
Inflasi (INF) Kepadatan Penduduk (LDENS)
0.00975
0.00251
3.89***
(0.15801)
0.03803
(4.15) ***
0.03190
0.01880
1.70*
8.66824
0.73777
11.75***
Pengannguran (LUNEM) Constanta R-square Overall
: 0.7364 : 0.4206
z-stat
Wald Chi2 Prob > F
: 253,37 : 0,0000
Sumber: Hasil Pengolahan Data, Tahun 2014 Keterangan:
***) Signifikan pada critical values 1 %
**) Signifikan pada critical values 5 %
*) Signifikan pada critical values 10 %
pada . Nilai Wald chi-square () hitung = 253.37 lebih besar dari Wald chi-square () tabel = 14,04, dapat disimpulkan bahwa ke tujuh variabel eksogen dalam model secara bersama-sama (secara serentak) berpengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan. Secara empiris dapat diungkapkan bahwa salah satu temuan penting dari estimasi tersebut bahwa pertumbuhan ekonomi (LPDRB) dan pendidikan (LEDUC) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh selama periode 2008-2012. Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi secara parsial di provinsi Aceh sejak tahun 1994-2008 terus mengalami penurunan (negatif), sejalan dengan semakin menurunnya produksi migas yang ada di Kabupaten Aceh Utara seperti Exxon Mobil dan PT. Arun NGL Co. Hasil temuan dalam penelitian ini sejalan dengan studi empiris Ravallion (1997), Sen dan Kakwani (2003) dan Bourguignon (2004), mereka melakukan review hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan dan kemiskinan, menemukan bahwa dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan angka kemiskinan hanya terjadi ketika ketimpangan relatif tinggi (high inequality) dan hasil studi Deininger dan Squire (1996) yang menggunakan data crosssectional tidak menemukan adanya keterkaitan simetris antara pertumbuhan PDB dan pengurangan kemiskinan. Hal ini bertolak belakang dangan
studi yang dikemukanan oleh Ravallion dan Chen (1997), Dollar dan Kraay (2002) bahwa pertumbuhan merupakan sesuatu yang baik bagi si miskin (growth is good for the poor). Hasil ini juga mempertegas kesimpulan Balisacan, Pernia, dan Asra (2002) yang melakukan analisis ekonometrik terhadap hubungan pertumbuhan dan kemiskinan di Indonesia, bahwa pertumbuhan merupakan sesuatu yang krusial bagi strategi pengentasan kemiskinan di Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Adams (2003) dengan menggunakan data cross-sectional maupun studi yang dilakukan oleh Wodon (1999) di Banglades, bertentangan dengan hasil penelitian ini. Jadi pertumbuhan ekonomi bukan merupakan satu-satunya yang mempengaruhi kemiskinan di Provinsi Aceh. Terkait dengan pernyataan tersebut bahwa ada variabel-variabel lain yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh diantaranya pengeluaran pemerintah melalui belanja langsung, dana otonomi khusus, inflasi, kepadatan penduduk dan pengangguran yang sama-sama memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan. Temuan ini sejalan dengan hasil studi yang dilakukan oleh (Ravallion dan Datt, 2000; Dollar dan Kraay, 2001; Beck, Kunt, dan Levine, 2004; dan Laabas dan Limam, 2004), yang menyatakan bahwa belanja langsung, dana otonomi khusus, inflasi, kepadatan penduduk dan pengangguran dapat menurunkan tingkat kemiskinan, masing-masing
348
RATNA
koefisiennya -0.0588, -0.2938, 0.0098, -0.1580 dan 0.0319. Diantara ke 5 variabel tersebut yang paling besar dapat mereduksi kemiskinan adalah dana otonomi khusus. Hal ini menandakan bahwa dana otonomi khusus yang digulirkan pemerintah pusat untuk mereduksi kemiskinan di Provinsi Aceh sudah berjalan sesuai dengan harapan. Adanya dana otonomi khusus tersebut membawa provinsi Aceh sebagai daerah dengan pemasukan dana terbesar dibandingkan daerah lainnya. Untuk tahun 2013 direncanakan Aceh akan menerima dana otsus sebanyak 6,1 triliun. Meningkat sebesar 0,7 triliun bila dibandingkan dengan tahun 2012, dimana Aceh menerima dana otsus sebanyak 5,4 triliun, bila di total sejak tahun 2008 hingga tahun 2013 Aceh akan mendapatkan dana otsus sebanyak 26,9 triliun [Serambi Indonesia 24/08/2012]. Hasil yang ditemukan pendidikan dapat mereduksi kemiskinan Kabupaten/ Kota yang ada diprovinsi Aceh selama periode 2008-2012, namun tidak pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan, mungkin karena ada pengaruh langsung secara simultan dengan variabel-variabel lain dalam model dan juga adanya pengaruh tidak langsung dari instrumen variabel, sehingga secara individual pendidikan tidak berpengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan. Hal ini bertentangan dengan studi yang dilakukan Janjua dan Kamal (2011) yang meneliti 40 negara berkembang dari tahun 1997-2007 menemukan bahwa pendidikan sangat besar kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan suatu negara.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini secara deskriftif maupun secara ekonometrika melalui hasil estimasi model dan hasil uji kesesuian model dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Wacana otonomi khusus yang digulirlan Pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah Aceh sejak berlakunya UU PA No. 11 Tahun 2006, dan dana otonomi mulai dikucurkan pada tahun 2008 manfaatnya baru dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat terutama masyarakat yang berada didaerah perkotaan, sedangkan masyarakat yang berada di daerah pedesaan belum sepenuhnya merasakan manfaat dana tersebut, karena kemiskinan masih sangat tinggi berada dipedesaan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. 2. Hasil temuan setelah dilakukan estimasi model dengan menggunakan pooled model terlihat bawha dalam hasil penelitian ini pertumbuhan ekonomi dan pendidikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan. sedangkan variabel lain seperti belanja langsung, dana otonomi khusus, inflasi, kepadatan penduduk dan pengangguran secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan dan dapat menurunkan tingkat kemiskinan pada Kabupaten/Kota Provinsi Aceh selama periode 2008-2012. Variabel yang paling berpengaruh terhadap kemiskinan adalah dana otonomi khusus, menandakan bahwa dana otonomi khusus yang digulirkan pemerintah pusat tersebut sudah dapat mereduksi kemiskinan di Provinsi Aceh sudah berjalan sesuai dengan harapan. Saran Sedangkan saran/rekomendasi peneliti : Hendaknya pemeberian dana otonomi bisa lebih merata keseluruh daerah, pemerintah daerah harus melihat penduduk di daerah pedesaan dan daerah pesisir yang tingkat kesejahteraannya masih jauh di bawah penduduk yang berada di daerah perkotaan.
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
349
DAFTAR PUSTAKA Adams Jr., Richard H. & Page, John. 2003. “Poverty, Inequality and Growth in Selected Middle East and North Africa Countries, 1980–2000”, Journal World Development 31 (12) 2027 – 2048. Badan Pusat Statistik. 2009. Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009, Jakarta. Badan Pusat Statistik. Jakarta Bappenas, BPS and UNDP (2004). Human Development Report 2004: The Economics of Democracy, Financing Human Development in Indonesia, BPS-Statistics Indonesia, Bappenas, and UNDP Indonesia. Bidani, B., & Ravallion, Martin, 1993, “A Regional Poverty Profile for Indonesia”, Bulletin of Indonesia Economic Studies”, 29 (3) 37 – 68. Blackwood, D. L. & Lynch, R. G., 1994, “The Measurement of Inequality and Poverty: A Policy Maker’s Guide to the Literature”, Journal World Development, 22 (4) 567 – 578. Boadway, R. and D. E. Wildasin. 1988. Public Sector Economics. Second Edition. Little, Brown and Company, Boston. BPS Aceh.. 2012. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia”. Jakarta: BPS. Chambers, R., 1996, “Rural Development: Putting the Last First”, Longman Group Limited, London. Reprinted Davey, Kenneth. 1989. Keuangan Pemerintah Indonesia. Lembaga Penerbit Universitas Indonesia (UIPress). Jakarta. De Mello Jr, Luiz R., 2000, Fiscal Decentralization and Intergovernmental Fiscal Relations: A Cross-Country Analysis, World Development, 28 (2) 365 – 380. Dollar, David & Kraay, Aart, 2002. “Growth Is Good for the Poor,” Journal of Economic Growth, Journal Springer, 7 (3) 195-225 Ferreira, Francisco, et. al., 2010. “Poverty reduction without economic growth?: Explaining Brazil’s poverty dynamics, 1985-2004,” Journal of Development Economics, Elsevier, 93 (1) 20-36. Fillaili Rizki, (2008). Memahami Jalan Keluar Dari Kemiskinan: Kapasitas Agensi dan Mobilitas Kesejahteraan (Making Sense of PathwaysOut of Poverty: Agency Capacity and Welfare Mobility), Buletin Smeru No. 27, Jakarta Fisher, R.C., (1996), State and Local Public Finance, Richard D. Irwin, Chicago. Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics, 4th edition. New York: The McGraw-Hill Companies. Kausar AS, Jurnal Otonomi Daerah, Vol. VII,No.3, Agustus-September 2007
350
RATNA
Kuncoro, Haryo, 2004. “Pengaruh Transfer antar Pemerintah pada Kinerja Fiskal Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian Ekonomi Negara Berkembang, 9 (1) 47 – 63. Litvack, Jennie, et.al., 1998, “Rethinking Decentralization in Developing Countries”, The World Bank, Washington.D.C. Nanga Muana, 2006. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan, Disertasi, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Tidak Dipublikasikan.. Nemec, J. dan G. Wright, (Ed.), (1997), Public Finance: Theory and Practice in Central European Transition, Osnovy, Kiev. Oates, W, 1993, Fiscal Decentralization and Economic Development, National Tax Journal, XLVI. 237-243. Oates, W.E. 1999. “An Essay on Fiscal Federalism”, Journal of Economic Literature, 37(3), September: 1120-49. Pindyck, R,S. And D.L. Rubienfeld, 1998. Econometric Model and Economic Forecast, McGraw-Hill, International Edition, Singapore. Prud’homme, Remy, (1995), “The Dangers of Decentralization”, The World Bank Research Observer, Vol. 10, No. 2, P. 201 – 220. Rao M G, Das-Gupta A. 2000, “Hubungan Fiskal Interpemerintah Dalam Sistem Perencanaan Nasional”, (Dalam Bird dan Vaillancourt, 2000: Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara Berkembang, Jakarta, Gramedia) Rao. M. Govinda, et.al., 2002, “Fiscal Decentralization and Poverty Alleviation in a Transitional Economy: The Case of Vietnam”, Asian Economic Journal, 1:(4):353-378. Sen, Amartya, 1996. Poverty: An Ordinal Approach to Measurement, Journal Econometrica, Vol. 44 No. 2 Shah. 2007, “Public Sector Governance and Accountability Series Intergovernmental Fiscal Relations Principles and Practice”, The World Bank Washington, D.C. Sjafrizal, 1997. Pertumbuhan Ekonomi Dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat, Prisma, No.3, 27-38. Sidik Machfud. (2002), Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal (Antara Teori dan Aplikasinya di Indonesia), Makalah Seminar “Setahun Implementasi Kebijaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia” Jogyakarta, 13 Maret 2002 Sodik Jamzani. 2007,“Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional; Studi Kasus Panel Data Indonesia”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12 (1) 27 – 36
Journal Of Economic Management & Business - Vol. 15, No. 3, Juli 2014
351
Suparmoko, 1987.‟Pengeluaran Pemerintah‟. Penerbit Erlangga, Jakarta. Tursandi Alwi, Sosialisasi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Majalah Aceh Economic Review, Edisi-VI, Agustus 2006, hlm. 12 Uppal, J.S., and Budiono S,1986.‟Regional Income Disparities in Indonesia‟. Jurnal Ekonomi Keuangan Indonesia,Vol.3. Verbeek,M and Marquering, W. 2004 The Economic Value of Predicting Stock Index Returns and Votality, The Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 39, No. 2 (Jun., 2004), pp.407-429Published Wooldridge, M.Jeffrey. 2002, Econometric Analysis of Cross Section and Panel Data, The MIT Press Cambridge, Massachusetts London, England World Bank. 2007, Understanding poverty and well-being : bridging the disciplines, The Library Network Serving the World Bank Group and IMF Copyright © 2000 - 2008, SirsiDynix Yao Guevera, at, al. 2006. Poverty Through Fiscal Decentralization, United States Agency for International Development UU RI No. 5 tahun 1975 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah UU RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh UU. No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pokok-pokok Pemerintah Daerah menjelaskan bahwa otonomi daerah UU RI No. 33 tahun 2004. Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah UU. No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
352
RATNA
PETUNJUK PENULISAN JURNAL EMABIS FAKULTAS EKONOMI UNIMAL 1. Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dan harus merupakan tulisan asli dari hasil penelitian, telaah pustaka, laboratorium, pengalaman lapangan atau gagasan yang belum dan tidak akan dipublikasikan dalam media cetak lain. 2. Tulisan yang dimuat dalam Jurnal E-Mabis berasal dari bidang Ilmu-ilmu Ekonomi Manajemen dan Bisnis. 3. Naskah diketik dengan perangkat lunak pengolahan kata Microsolft Word yang dicetak pada satu permukaan (tidak dibolak-balik) kertas berukuran A-4 putih 80 gram/m2, dengan jarak 1,5 spasi (kecuali abstrak), dengan tata letak portraif, serta jarak margin kiri dan atas 4 cm, kanan dan bawah 3 cm. Panjang naskah 15-20 halaman, termasuk halaman dan tabel. 4. Naskah yang termasuk katagori penelitian, disusun dengan urutan sebagai berikut: a. Judul: diusahakan singkat dan mencerminkan isi penelitian/karya ilmiah, ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. b. Nama Penulis: ditulis dibawah judul, tanpa gelar kesarjanaan. Jika penulis lebih dari satu orang hendaknya diurutkan dan diberi angka Arab di akhir nama masing-masing penulis. Angka-angka Arab tersebut diberi keterangan sebagai catatan kaki pada halaman pertama, lengkap dengan alamat lembaga penulis c. Abstrak: ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, diketik satu spasi dan maksimum 150 kata. Dibawah abstrak dicantumkan kata kunci (keywords) antara 3-5 frasa (phrase) d. Pendahuluan: (tanpa subjudul, berisi : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Tinjauan Pustaka) e. Metode Penelitian (alat/bahan, cara penelitian, teknik pengambilan data dan teknik analisis) f. Hasil dan Pembahasan: menguraikan hasil yang diperoleh, disertai pembahsan baik dalam bentuk tabel, grafik dan gambar g. Kesimpulan dan Saran h. Referensi (daftar pustaka) i. Biodata Penulis (daftar riwayat hidup/curriculum vitae) 5. Naskah yang termasuk katagori non penelitian/ konseptual, disusun dengan urutan sebagai berikut: a. Judul (sama dengan poin 4.a) b. Nama Penulis (sama dengan poin 4.b) c. Abstrak (sama dengan poin 4.c) d. Pendahuluan (berisi: Latar Belakang, Perumusan Masalah, Sedikit Tinjauan Pustaka. Tidak dipecah menjadi anak sub judul, tetapi dalam bentuk alinea saja) e. Pembahasan (Isi Informasi/pemikiran ilmiah penulis)
f. Kesimpulan dan Saran (saran tidak merupakan keharusan) g. Referensi (daftar pustaka) h. Biodata Penulis (daftar riwayat hidup/ curriculum vitae) 6. Naskah tidak diperkenankan memakai lampiran 7. Daftar pustaka yang ditampilkan hanya yang benar-benar diacu/dikutip saja: penulisan daftar pustaka disusun menurut abjad nama pengarang secara kronologis: a. Untuk buku: nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit. Judul Buku jilid, edisi. tempat/kota penerbit: nama penerbit b. Untuk karangan/artikel dalam pertemuan ilmiah atau seminar nama pokok dan inisial pengarang, tahun “Judul Karangan”. Singkatan nama pertemuan (penyelenggara). Waktu;tempat/kota pertemuan. c. Untuk karangan/artikel dalam majalah atau jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun. Judul karangang : nama majalah atau jurnal. Jilid (nomor) halaman permulaan dan akhir. d. Untuk tulisan dari internet : nama pokok dan inisial pengarang, tahun. Judul tulisan. Nama jurnal atau majalah/sumberlainnya. (online), vol.,no., (alamat sumber rujukan dan tanggal diakses) 8. Naskah yang dikirim ke redaksi rangkap 2 (asli dan foto copynya) dan disertakan disketnya selambat-lambatnya 3(tiga) minggu sebelum penertbitan 9. Dewan redaksi dapat mengubah dan mengoreksi bahasa dan istilah, tanpa merubah isi dan maknanya dengan atau tanpa memberitahukan penulis. 10. Dewan redaksi dapat menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi persyarat. Alamat Redaksi : Fakultas Ekonomi Univesitas Malikussaleh. Kampus Bukit Indah P.O.Box 141 Lhokseumawe. Tlp. (0645)40210 - Fax. (0645)44450. Email:
[email protected] Website: http://www.fe-unimal.org