PUTHUT EA
Menanam Padi di Langit Puthut EA © EA Books, 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Pemeriksa Aksara: Eko Susanto Desain Sampul dan Tata Letak: Hamzah Ibnu Dedi Cetakan Pertama, 2008 oleh Ark Gallery Cetakan Kedua, 2015 oleh EA Books 309+ix hlm, 14x21 cm ISBN: 978-979-17943-0-5 EA Books Drono, Gang Elang 6E No 8 RT 4 RW 33, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 55581
Untuk:
Blora Frida, Bintang, Bima dan Panji
S,
pernah kamu katakan kepadaku, “Bung, kita telah tiba di suatu musim, di mana kalau kita tidak mengerjakan sesuatu, orang akan nyinyir dan sinis kepada kita, dan kalau kita mengerjakan sesuatu, mereka berubah menjadi sangat cerewet. Padahal tak ada pada mereka, kerja dan karya.”
DAFTAR ISI Pengantar: Cetakan Kedua —viii Prolog: Kekacauan di Bandara — 1 Anak Gereja dan Virus Tante Rosa — 15 Ibunya Lima — 31 Gampang Tertawa, Gampang Menangis— 41 Mozaik Eksterior — 53 Mozaik Interior — 63 Forum Adu Goblok — 81 Cah Lor-Cah Kidul — 93 Memintal Benang Merah — 107 Steak Daging Kacang Ijo — 119 Njeglek! — 145 Mendongkel Kursi Tua — 159 Taring Padi Unjuk Gigi — 171 Hal Seperti Ini Sudah Cukup Buatku — 185 Anaknya Tiga, Sulung Semua — 203 Jari Kelingking dan Rasa Bersalah — 221 NIN — 241 Jejaring Yang Khas — 261 Ketika Sampah Bisa Menjadi Emas — 277 Epilog: Nandur Pari Neng Awang-awang — 289 Bahan Bacaan dan Sumber Wawancara — 306 Ucapan Terimakasih — 308
PENGANTAR: CETAKAN KEDUA Pembaca yang budiman...
D
I antara sekian banyak buku saya, buku ini adalah buku yang paling menguras energi saya, sekaligus memberi tantangan yang besar. Mungkin karena hal tersebut, saya merasa buku ini sebagai salah satu buku yang saya sukai. Namun, cetakan pertama buku ini menyimpan kekeliruan yang sekalipun terlihat kecil, tapi besar artinya bagi saya. Ada satu kutipan hasil wawancara yang keliru. Karena saat itu sudah telanjur dicetak, saya tidak bisa memperbaikinya, dan tidak saya tak punya cukup medium untuk menyampaikan kekeliruan tersebut. Dengan terbitnya cetakan kedua ini, saya telah memperbaiki kekeliruan tersebut, sekalipun harus menunggu kurang-lebih sampai 7 tahun.
viii
Khusus untuk cetakan kedua ini, sekali lagi saya harus menyampaikan ucapan terimakasih kepada Ark Gallery yang membiayai pembuatan buku ini ketika terbit pertama kali. Terimakasih juga untuk Ayos Purwoaji, Dewi Kharisma Michellia, dan Nuran Wibisono. Ketiga orang tersebut telah mengapresiasi buku ini jauh hari, sebelum ada tanda-tanda untuk dicetak ulang. Mereka bertiga juga berkenan membaca lagi dan memberikan endorsement untuk buku ini. Terimakasih untuk Hamzah Ibnu Dedi yang membuat sampul dan menata halaman demi halaman buku ini, termasuk Azka yang telah membantu memberi masukan soal perwajahan buku. Kepada Wijaya Eka Putra, saya juga berhutang budi karena berkenan menerbitkan buku ini lagi. Ketika buku ini ditulis, saya belum menikah dan memiliki anak. Kini di samping saya sudah ada seorang istri yang baik dan penyabar, dan seorang putra yang lucu dan menggemaskan. Terimakasih untuk Diajeng Paramita dan Bisma Kalijaga, istri dan anakku. Selamat membaca... Yogya, 31 Desember 2015 Puthut EA
ix
Prolog:
Kekacauan di Bandara
S
ORE itu, Jakarta gerah. Di bilangan Kemang, di salah satu rumah yang pagarnya senantiasa tertutup rapat, sebuah benih kekacauan mulai berkecambah. Tetapi tidak ada seorang pun yang mengira, di malam harinya, benih kekacauan itu dengan cepat mengeluarkan sulur dan siap melilit leher beberapa orang yang berada di dalam rumah itu. Sore itu, Heidi, si penyewa rumah itu, sedang menerima tamu di pinggir kolam renang. Sementara, beberapa orang terdengar berbicara keras dari ruang tamu. Hari itu adalah Jumat tanggal 7 Maret 2008, bertepatan dengan hari raya Nyepi. Karena hari itu libur, Heidi sengaja sengaja bangun tidur di siang hari. Di ruang tamunya yang luas dan nyaman, sembilan lukisan dengan tinta yang masih basah tersender di beberapa bagian tembok. Sekalipun di bagian tertentu lantai yang disulap dalam waktu singkat untuk melukis sudah digelari karpet tipis, namun tetap saja, bercak tinta berleleran di bagian lantai yang lain. Bahkan beberapa bagian dinding yang bercat putih bersih pun tertempel bercak-bercak tinta. Tidak ada seorang pun yang kebetulan di sana saat itu, yang bisa menebak perasaan Heidi, atau mungkin lebih tepatnya tidak peduli. Mereka yang berkumpul di ruang itu adalah para kawan lama Heidi. Heidi bangun tidur sekitar pukul dua siang. Begitu bangun tidur dan membuka kamar, ia mendapati Bob Sick masih asyik melukis. Heidi mengambil air minum dan sempat memperhatikan sejenak aktivitas Bob. Mereka tidak sempat bertegur sapa. Bob tidak menyapa Heidi, dan Heidi pun tidak menyapa Bob. Posisi Bob memunggungi Heidi. Bisa jadi, Bob memang tidak sadar kalau ada seseorang yang sedang memperhatikan kegiatannya melabur kanvas dengan cat minyak. Di ruang itu, ada meja kayu panjang diapit dua kursi kayu yang juga panjang tanpa sandaran. Di meja itulah biasanya Heidi sarapan dan membaca koran. Biasanya, di meja itu ada dua jenis koran: Jakarta Post dan Kompas. Lalu ada setumpuk
3
majalah seperti Time dan Tempo edisi berbahasa Inggris. Lalu ada beberapa katalog pameran. Namuan semenjak kedatangan kawan-kawan lamanya, meja panjang itu bertambah beban: beberapa bungkus rokok, asbak yang penuh, abu rokok bertebaran, dan juga ceceran nasi serta gelas-gelas kotor bekas kopi dan minuman anggur. Juga beberapa kaleng bir yang belum terbuka dan setengah botol wiski. Di dekat meja itu, tepat di depan kamar mandi, tergeletak Teddy. Begitu melihat Teddy tertidur di lantai, Heidi langsung maklum, pasti Teddy tertidur karena mabuk berat. Di ruang itu pula, terdapat satu set sofa. Dan di salah satu kursi sofa, Toni tertidur. Tepat di saat itu, Bob membalikkan badan, ia ingin membuat kopi. Begitu melihat Heidi sudah bangun dari tidur dan berada di ruang itu, mereka saling tersenyum, bertegur sapa, semacam mengucapkan selamat pagi, sekalipun hari telah siang. Selesai membuat kopi, Bob duduk di kursi dan berbincang dengan Heidi. Saat itu, dengan bahasa yang susah didengar oleh telinga orang yang tidak biasa mendengar suaranya, Bob berkata bahwa semalam ia tidak tidur. Bob merokok bebeapa batang, lalu melukis kembali. Heidi sempat berdiri dan mendekat ke arah Bob yang sedang asyik bermain warna. Perempuan berwarga negara Australia itu sempat bertanya mengapa Bob kadangkadang melukis dengan kanvas tersandar di dinding, tapi kadang-kadang juga di lantai. Bob saat itu menjawab, karena ia ingin ada lelehan cat di kanvasnya. Efek lelehan itulah yang sedang dikerjakannya saat itu. Heidi sempat mangut-manggut, tapi ia sempat juga bilang kalau Pollock juga mempunyai efek lelehan di lukisannya, namun melukis dengan kanvas terlentang. Setelah itu Heidi masuk kamar untuk mandi. Sebentar lagi, tamunya akan datang. Hari itu, jam tiga sore, ia ada janji untuk diwawancarai oleh seorang penulis.
4
Tidak lama kemudian, seorang laki-laki muncul dari kamar yang berbeda. Ia menenteng laptopnya, lalu meletakkan dan membuka laptop itu di atas meja kayu. Coki Nasution, nama lakilaki itu, tidak menyapa Bob. Ia asyik sendiri dengan laptopnya. Sudah sejak tiga bulan sebelumnya, Coki menumpang di rumah Heidi karena kebetulan ia sedang ada proyek pembuatan sebuah film dokumenter tentang flu burung. Hanya berselang sepuluh menit kemudian, ibu penjaga rumah Heidi masuk, memberi tahu kalau tamu yang sudah janjian dengn Heidi telah datang. Si tamu kemudian menyusul masuk, duduk di kursi berhadapan dengan Coki, dan sejenak mendekati Bob untuk berbasa-basi. Setelah itu ia kembali duduk di kursi kayu dan berbicang dengan Coki, sembari menunggu Heidi selesai mandi. Di bagian tertentu dinding rumah itu, terdapat sketsa Samuel Indratma. Dan yang selalu menarik perhatian siapapun yang baru datang ke rumah itu pastilah sebuah hiasan: sepasang sepatu berwarna hijau digantung di dinding dan dipigura. Seandainya toh tidak ada sembilan kanvas besar yang masih basah oleh cat, siapapun yang datang pasti langsung bisa menebak kalau Heidi, si empunya rumah, pastilah seorang pencinta seni. Heidi keluar dari kamar dengan wajah segar dan rambut yang masih basah. Mereka bertiga, Heidi, Coki dan si tamu, berbincang hangat. Sesekali, jika tertarik dengan isi perincangan, Bob menimpali sembari terus melukis. Dari kamar yang berbeda lagi, seorang laki-laki tinggi berkepala pelontos keluar. Ia langsung mendekati Bob, mengamati dari dekat bagaimana Bob melukis. Namun tidak lama kemudian ia pun ikut bergabung di meja panjang untuk berbincang bareng. Lakilaki itu bernama Bowo, tetapi teman-teman dekatnya memanggilnya dengan sebutan Jemek. Setelah beberapa saat, Heidi memutuskan agar wawancara dilakukan di halaman samping, di dekat kolam renang, agar kelak
5
jika Teddy dan Toni terbangun dari tidur, proses wawancara tidak terganggu. Di dekat kolam renang, terdapat juga beberapa kanvas. Kanvas yang di luar, dalam ukuran yang juga sama besarnya dengan kanvas-kanvas yang berada di dalam ruangan. Hanya saja, kanvaskanvas itu hanya dicoret dengan arang, lalu diberi tandatangan: S. Teddy. D. Wawancara dimulai. Suasana masih sepi. Hanya pelan terdengar perbincangan antara Jemek dan Coki, tetapi itu tidak mengganggu proses wawancara. --eddy, Bob dan Toni datang ke Jakarta sehari sebelumnya, hari Kamis. Mereka sedang terlibat proyek dengan Jemek. Sebelum datang, mereka bertiga berpesan agar disediakan kanvas dan perangkat melukis, dan tentu saja minuman beralkohol. Mereka bertiga bilang, seusai pembahasan tentang proyek itu, mereka ingin melukis dan menginap di tempat Heidi.
T
Jemek tentu saja dengan senang hati mempersiapkan apa saja yang diminta oleh ketiga pelukis tersebut. Bahkan, ia membeli karpet plastik untuk berjaga-jaga agar lantai rumah Heidi tidak kotor, walaupun toh akhirnya usaha itu sia-sia belaka. Sebab bukan hanya lantai yang kotor, melainkan juga tembok rumah. Sepanjang malam, seusai membahas sebuah proyek di daerah Kedoya, Teddy, Bob dan Toni melukis sembari menenggak minuman keras. Hingga akhirnya Toni tertidur di sofa, Teddy terkapar di lantai, dan hanya Bob yang terus melukis sampai sore harinya tanpa tertidur. Teddy, Bob dan Toni, berencana pulang ke Yogya Jumat malam. Tiket pesawat telah tersedia. Jadwal penerbangan mereka pukul tujuh malam. Tetapi karena hari itu adalah hari libur, mereka tidak perlu bergegas karena di saat libur, jalanan di Jakarta tidak macet.
6
Sampai pukul empat sore, suasana masih baik-baik saja. Satu jam lagi, menurut rencana, mereka bertiga akan berangkat ke bandara. Toni mulai bangun, juga Teddy. Mereka bahkan masih sempat menerima kedatangan dua orang kawan lama mereka. Di halaman samping, wawancara masih berjalan. Kegaduhan di ruang tamu belum cukup mengganggu jalannya wawancara. --i ruang tengah, begitu terbangun dari tidur, Teddy langsung menengak lagi minuman keras yang masih tersisa di meja. Mereka yang berada di ruangan itu juga minum. Lambat namun pasti, benih-benih kekacauan mulai tertebar.
D
Secara bergantian, Toni dan Teddy sesekali menuju haaman samping, dan semenjak itulah proses wawancara mulai terganggu. Kadang-kadang Toni datang, lalu ikut nimbrung wawancara. Dan kadang-kadang Teddy datang, lalu meracau. Sore itu, Teddy terlihat mabuk berat. Hanya sekali saja, Bob datang ke halaman samping. Ia hanya duduk diam, mengisap rokok. Bob pun terlihat mabuk berat. Tiba-tiba Toni bilang kalau ia menggagalkan rencananya untuk pulang hari itu. Ia bilang, ada hal yang harus dibicarakannya dengan Heidi. Waktu menggiring Bob dan Teddy untuk segera berkemas. Tetapi semua mendadak serba kacau. Bob terus bergeming walaupun sudah diingatkan agar segera berkemas, dan Teddy malah sibuk berjalan mondar-mandir sambil mengeluarkan katakata yang serba tidak jelas. Taksi panggilan datang. Bob akhirnya bangkit menuju pintu keluar. Sementara Teddy masih sibuk mencari kaus kakinya. Akhirnya ia menemukan kaus kaki, entah milik siapa, yang jelas ia memakai kaus kaki sebelah kanan berwarna hitam dan sebelah kiri berwarna abu-abu. Dan yang lebih gila lagi, ia mengambil celana dalam, juga entah milik siapa, lalu celana dalam itu dipakai
7
untuk membungkus kepalanya. Wawancara selesai sesaat setelah Bob dan Teddy pergi. Malam itu, Heidi punya janji dengan Dolorosa Sinaga untuk sebuah urusan. Begitu tahu Heidi akan bertemu Dolorosa, Toni bilang ingin ikut. Heidi tidak keberatan. Heidi masuk kamar untuk mempersiapkan kepergian. Ketika ia keluar kamar beberapa menit kemudian, ia sudah mendapati Toni tertidur. Lebih tepatnya, Toni mabuk berat, lalu tertidur. Setiap kali Heidi membangunkan Toni, selalu saja Toni menjawab, “Oke, oke…” Tapi kemudian tertidur lagi. Begitu terus, sampai berkali-kali. Sambil sesekali mengingatkan, lebih tepatnya membangunkan Toni, Heidi berbincang dengan Coki dan Jemek. Perbincangan itu sendiri sebetulnya sudah ‘beda frekwensi’, Heidi segar bugar, sementara Coki dan Jemek sudah ‘agak tinggi’ karena pengaruh alkohol. Di saat jam mendekati pukul tujuh malam itulah, Jemek memencet tombol telepon genggam. Ia mencoba mengecek Teddy dan Bob yang sudah seharusnya berada di bandara, dan mungkin pesawat yang mereka tumpangi sedang bersiap untuk tinggal landas. Pertama, Jemek menghubungi telepon genggam Teddy. Tetapi gagal. Dan Jemek saat itu berpikir, mungkin sudah masuk kabin pesawat. Lalu secara iseng, ia menghubungi telepon genggam Bob. Di saat itulah, ketika Bob menjawab panggilan teleponnya, Jemekkontan berdiri dan mengeluarkan kata-kata, “Di kantor polisi?!” Begitu Jemek mengeluarkan kalimat seperti itu, kekhawatiran merambat di ruangan jembar yang masih penuh dengan aroma cat minyak, bau alkohol, dan asap rokok. Semua yang berada di sana, tegang. ---
8
“
Ya, ya.. Tunggu di sana. Aku segera ke sana!” Selesai mengucapkan kalimat itu, Jemek menutup telepon. Baru saja telepon dimatikan, telepon genggam Jemek berbunyi lagi, kali ini datang dari Tere, istri Teddy. Lalu terdengar suara Jemek, “Iya, Tere. Iya, Tere. Iya, ini aku baru akan ke sana.” Jemek segera memakai sepatu. Kepada Coki dan Heidi, Jemek hanya bisa bilang bahwa Bob dan Teddy mabuk berat di bandara, lalu mereka berdua membuat ulah, sehingga ditahan di kepolisian bandara. Setelah kepergian Jemek, suasana di rumah itu lengang. Heidi segera membangunkan Toni, selain mengabarkan tentang apa yang terjadi, ia terlihat sudah tak sabar karena harus segera memenuhi janji. Kali itu, usaha Heidi berhasil. Ketika Heidi dan Coki menceritakan apa yang baru saja terjadi, Toni hanya tersenyum. Heidi dan Toni kemudian pergi ke rumah Dolorosa, sembari berpesan agar diberi tahu segala perkembangan yang terjadi menyangkut Bob dan Teddy.
Kelak, Toni mengaku bahwa ia tahu sesuau akan terjadi menimpa kedua temannya itu. karena itulah, ia membatalkan diri untuk ikut terbang bersama kedua rekannya. Pengakuan Toni dilakukan dengan cara yang khas: terus terang, pelan, dan selalu tersenyum. --i dalam taksi, perasaan Jemek berkecamuk. Ia merasa bersalah. Pertama, karena dirinyalah yang mengundang ketiga pelukis dari Yogya itu, dan seharusnya ia bisa menjaga ketiga orang tersebut, bukan malah membuat mereka bertiga mabuk berat di saat yang tidak tepat. Kedua, ia merasa tidak enak dengan Tere, istri Teddy, yang saat itu sedang mengandung memasuki bulan kedelapan, sekaligus merasa tidak enak dengan Widi, pasangan Bob, yang juga sedang mengandung memasuki bulan ketiga.
D
Selain itu, Jemek juga merasa khawatir, dan terus menduga,
9
sebetulnya apa yang terjadi sehingga Bob dan Teddy gagal ikut penerbangan dan malah terparkir di kepolisian bandara. Kemudian, Jemek juga merasa tidak enak dengan Heidi. Ia sudah membuat kotor rumah Heidi, membuat kekacauan, dan janganjangan Heidi pun bisa terlibat peristiwa konyol itu jika persoalan di kepolisian menjadi berlarut-larut. Begitu taksi yang ditumpanginya berhenti, Jemek langsung melompat keluar, setengah berlari menuju empat di mana Bob dan Teddy diperiksa. Setelah sampai di ruangan tersebut, ia melihat Teddy duduk di lantai sambil bersandar di dinding. Mulut Teddy meracau. Sementara itu, Bob dikelilingi beberapa petugas kepolisian. Pertama yang dilakukan oleh Jemek adalah mendekati Teddy, dan menepak kepala Teddy sambil berujar, “Bocah asu!” Teddy sambil mengeriyipkan mata, memandang ke arah Jemek, lalu berkata, “Sori, Mek…” Jemek segera mengambil alih tanggungjawab. Ia yang menjawab semua pertanyaan dari petugas, dan entah energi apa yang merasukinya saat itu, ia mampu menjawab semua pertanyaan dengan baik, lalu mengambil alih semua masalah. Hanya kurang dari tigapuluh menit, Jemek berhasil menggiring kedua temannya itu masuk ke dalam tubuh taksi. Bob berada di kursi depan, kepalanya terjuntai ke jendela, dan tubuhnya diamankan dengan sabuk pengaman. Sementara Teddy dan Jemek berada di belakang. Teddy tidak mau duduk di kursi, dan memilih untuk tiduran di lantai mobil. Tubuhnya terjepit. Tetapi ia sudah kembali tidak sadar. Sementara Jemek berada di atas kursi. Taksi berjalan menuju ke Kemang dengan kecepatan yang terjaga. Si sopir tahu persis, kondisi dua dari ketiga penumpangnya sedang dalam keadaan buruk. Taksi memasuki halaman rumah Heidi tepat pukul sembilan
10
malam. Kedua orang itu segera dibopong oleh Jemek, Coki dan penjaga rumah Heidi. Saat mereka membopong Teddy, hanya sepotong kalimat yang keluar dari mulut Teddy, “Aku bersalah kepada Bob…” --Sesungguhnya beginilah rentetan peristiwa yang dialami oleh Bob dan Teddy… Begitu taksi membawa mereka berdua menuju ke arah bandara sore itu, di tengah perjalanan, Teddy yang sudah mabuk berat meminta Bob untuk membeli bir lagi. Bob yang juga sudah teler, mengiyakan, dan akhirnya ia membeli empat enam kaleng bir. Keenam bir itu lalu dibagi rata, dua untuk Bob, dua untuk Teddy, dan dua untuk sopir taksi. Sekalipun sopir taksi menolak diberi bir, Teddy memaksa si sopir agar mau menerima jatahnya. Dua kaleng bir jatah Teddy lebih dulu tandas. Lalu ia meminta kembali jatah bir yang telah diberikannya kepada sopir taksi. Satu kaleng ditandaskan lagi. Kemudian ia meminta jatah Bob satu kaleng. Dan dengan cepat, jatah Bob pun dihabiskannya. Sesampai di bandara, begitu pintu taksi terbuka, Teddy terjatuh. Ia mulai mengumpat dan meracau. Mereka berdua segera menjadi pusat perhatian di bandara. Jangankan dalam keadaan mabuk, jika tidak pun, mereka pasti akan menjadi pusat perhatian. Kedua orang itu berambut gimbal dan bertato. Bahkan wajah Bob pun penuh dengan tato. Langkah kedua orang itu terhuyung. Setiap kali bersimpangan dengan orang, Teddy selalu menantang orang itu. Atau kalaupun tidak, mengumpati mereka. Tahu kalau kedua orang yang baru turun dari taksi mulai menebar kekacauan di bandara, para petugas keamanan bandara mengerubunginya. Di saat itulah, justru Teddy menantang mereka untuk berkelahi. Dan terus berkata dengan keras, “Aku ini seniman! Aku ini seniman!”
11
Bob ingin mengingatkan Teddy agar ia tidak usah membuat keributan. Tetapi kepala Bob pun sudah berat. Ia hanya tahu, mereka berdua pasti akan berhadapan dengan masalah. Maskapai penerbangan yang hendak ditumpangi oleh Bob dan Teddy, menolak mereka berdua untuk ikut serta dalam penerbangan karena mereka berdua mabuk berat. Bahkan si pilot mengancam, jika mereka berdua diijinkan ikut penerbangan, maka ia tidak mau menerbangkan pesawat. Saat mendengar hal itu, tindakan Teddy semakin tidak terkontrol. Ia mengumpat dan memaksa agar bisa ikut penerbangan. Tetapi bukannya ia bisa ikut terbang, melainkan diseret petugas kepolisian bandara ke ruang pemeriksaan. Di ruang periksa, kalimat Teddy berubah. Jika sebelumnya, kalimat yang paling banyak diucapkan adalah, “Aku ini seniman!”, maka ketika di ruang pemeriksaan, kalimat yang paling banyak diucapkan adalah, “Aku harus pulang! Istriku sedang hamil!” Teddy tidak bisa diinterogasi. Hanya dompet dan tasnya saja yang digeledah petugas, lalu ia dibiarkan terduduk di lantai sambil tetap meracau. Para petugas lalu menginterogasi Bob. Hal utama yang ditanyakan adalah mereka mabuk apa? Ditanya seperti itu, Bob menjawab, “Teddy mabuk alkohol!” Lalu petugas bertanya, Bob mabuk apa? Bob menjawab, “Saya mabuk obat!” Bob memang sedang berobat. Di dalam tasnya ada obat penenang, sekaligus kopian resep dari dokter, sehingga ia tidak takut mengaku kalau mabuk obat. Lalu Bob melanjutkan berkata, “Kesalahan saya adalah saya minum bir, tapi hanya sekaleng!” Di saat itulah, Jemek datang. Dan kita semua sudah tahu apa yang kemudian terjadi di ruangan itu. Kepulangan mereka tertunda. Jemek berhasil melakukan proses negosiasi dengan pihak maskapai penerbangan agar tiket mereka berdua bisa digunakan untuk keesokan harinya, pukul delapan pagi.
12
Bob terbangun dari tidurnya pukul tiga dini hari. Hal pertama yang keluar dari mulutnya, “Aku berada di mana?” Coki yang saat itu belum tidur menjawab, “Di rumah Heidi…” Bob bingung, lalu bertanya lagi, “Lho kok bisa?” Coki hanya tersenyum. Teddy bangun pukul lima pagi. Kalimat pertama yang meluncur dari mulutnya, “Aku berada di mana?” Jemek yang saat juga sudah bangun dan bersiap mengantar mereka berdua pergi ke bandara hanya bilang, “Bocah asu!” Teddy tersenyum. Lalu menyulut sebatang rokok. --eddy, Bob dan Toni adalah teman sebaya. Di kampus mereka dulu, di ISI Yogya, mereka bukan hanya dikenal sebagai tiga sahabat, melainkan juga trio pembikin onar, terutama Teddy dan Bob. Debut ‘kegilaan’ mereka dimulai ketika mereka bertiga, ditambah dengan Edo Pillu membentuk sebuah grup musik dengan nama: Steak Daging Kacang Ijo.
T
Tetapi yang dikenal paling ngedan saat itu adalah Bob dan Teddy. Pernah suatu saat, mereka berdua pergi ke Blora bersama Coki dan seorang teman mereka lagi bernama Sigit. Mereka berempat meminjam mobil salah seorang teman, dan pemegang setir mobil dipercayakan kepada Teddy. Agendanya adalah melakukan takziah karena pendeta yang akrab dengan Teddy sejak kecil, meninggal dunia. Malamnya, mereka mampir ke kedai arak, dan mereka berempat mabuk berat. Dalam keadaan mabuk itulah, mereka berempat mengunjungi lokalisasi. Teddy dengan bertelanjang dada, masuk lokalisasi, mengetuk pintu-pintu kamar, sambil berteriak-teriak, “Aku seniman kaya! Aku dari dayak dan tatoku banyak! Aku punya teman dari Batak!” Kontan lokalisasi itu heboh dengan segera. Tetapi preman-
13
preman di sana kenal baik siapa Teddy, sehingga mereka hanya ‘menjaga’ Teddy dari jauh, sembari menenangkan para pelacur agar tidak usah takut. Puas berteriak-teriak, Teddy masuk mobil lagi. Mereka memutuskan untuk mencari sate ayam di daerah Cepu. Tetapi yang mereka lakukan adalah berputar-putar di kota Blora. Setiap kali ada rumah yang menarik perhatian mereka, Teddy menghentikan mobil, lalu ia mengajak berdebat dengan Bob. Inti perdebatan itu kira-kira: rumah itu keren atau tidak, gaya artsitekturnya apa, dan kira-kira dibangun tahun berapa. Mereka belum puas berdebat, tetapi kota Blora yang kecil itu sudah mereka kelilingi. Akhirnya mereka masuk ke sebuah kompleks pemakaman tua. Teddy dan Bob turun dari mobil lalu melanjutkan perdebatan mereka. Perdebatan kacau itu merentang dari mulai apa itu kuburan, indah atau tidak, sampai diskusi tentang kematian. Sigit dan Coki hanya bisa menunggu di dalam mobil sambil terus-menerus mengingatkan kalau mereka berdua lapar dan harus segera ke Cepu untuk makan sate ayam. Setelah lelah berdebat, Teddy dan Bob masuk ke mobil. Mereka segera menuju kota Cepu. Tetapi kota yang seharusnya hanya ditempuh kurang dari satu jam dari Blora itu tidak juga mereka capai. Yang mereka tahu kemudian adalah mereka semua terbangun di pinggir alun-alun kota Blora, saat matahari sudah mulai terbit. Sepanjang malam, Teddy hanya mengitari alun-alun itu. Setelah lelah, ia mematikan mesin mobil, kemudian tidur, menyusul ketiga temannya yang lain, yang sudah terlebih dulu terlelap. Kisah-kisah di atas adalah sediki dari serentetan kisah gila yang mereka alami. Mungkin kita akan segera diingatkan dengan sebuah pameo tua: sebagian orang gila akan tetap gila, dan sebagian lagi akan menjadi legenda. Kita tidak pernah tahu, atau belum sepenuhnya tahu, apakah mereka akan menjadi legenda, atau justru termasuk di dalam golongan yang lain: tetap gila.
14
Anak Gereja dan Virus Tante Rosa
B
ANYAK orang mengira bahwa Teddy adalah orang Padang. Sebab di berbagai katalog pamerannya, senantiasa tertulis: S. Teddy. D, lahir di Padang, 25 Agustus 1970. Namun sejatinya, ia orang Jawa. Ibunya, berasal dari Kudus, dan bapaknya berasal dari Purwokerto. Sunarmi, ibu Teddy, memang sejak kecil sudah hidup di Sumatera Barat, karena mengikuti orangtuanya. Kebetulan sang bapak berprofesi sebagai tentara, yang ditugaskan ke Sumatera Barat untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta. Siradz, bapak Teddy, juga seorang tentara, yang pada tahun 1964 ditugaskan ke Sumatera Barat. Di sanalah, ibu dan bapak Teddy bertemu, kemudian melangsungkan pernikahan. Teddy terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan Siradz dan Sunarmi. Menurut Sunarmi, proses kelahiran Teddy merupakan proses kelahiran termudah yang dialaminya. Tetapi Teddy adalah anak Sunarmi yang paling lama dikandungnya, umur kandungan Sunarmi saat mengandung Teddy hingga kemudian melahirkan, berumur 10 bulan kurang 3 hari. Saat itu, di sebuah pagi, sebagaimana biasanya, Sunarmi berjalan-jalan bersama suaminya. Di tengah jalan, tiba-tiba perutnya terasa sakit, seperti hendak melahirkan. Lalu mereka mampir ke sebuah rumah sakit. Dan bayi kecil yang dikandung Sunarmi lahir dengan selamat. Mereka memberi nama si jabang bayi itu dengan nama Teddy Darmawan. Nama belakang ‘Darmawan’ diberikan kepada si bayi dengan harapan agar kelak anak itu menjadi sosok yang dermawan. Sedangkan huruf ‘S’ di depan nama Teddy adalah nama baptis: Stefanus. Sejak kecil, Teddy sudah menunjukkan gejala sebagai anak yang hiperaktif. Pernah suatu saat, ketika ia berumur tiga tahun, oleh sang tante yang saat itu menjaganya, Teddy meminta untuk dinaikkan pagar tembok setinggi lebih dari 1 meter. Awalnya, Teddy hanya diam. Tetapi tidak lama kemudian, ia berdiri dan mulai berjalan-jalan di atas pagar itu. Si tante panik, dan
17
segera hendak meraih kembali Teddy kecil. Tetap sayang, usaha si tante terlambat. Sebelum Teddy berhasil diraihnya, anak itu telah terlebih dahulu jatuh dengan posisi kepala yang pertama menyentuh tanah. Teddy segera dilarikan ke rumah sakit. Dokter mendiagnosa, Teddy menderita gegar otak. Teddy lalu dirawat di rumah sakit. Tetapi lagi-lagi, di rumah sakit, Teddy membikin ulah. Ia terjatuh lagi dari dipan tempatnya dirawat. Menjelang masuk sekolah dasar, Siradz ditugaskan di daerah Kudus, Jawa Tengah. Teddy pun ikut dibawa serta. Selain menunjukkan tingkah laku yang hiperaktif, Teddy dikenal kreatif. Ia membuat sendiri mainan-mainannya. Keluarga Siradz memelihara beberapa anjing kecil. Teddy lantas membuat semacam kereta kecil, dan menjadikan anjing-anjing itu seperti kuda-kuda yang menyeret kereta. Tetapi yang paling diingat oleh Teddy adalah saat ia membuat mobil-mobilan dari triplek. Mobil mainan itu berupa mobil jip kecil, dengan cat berwarna biru. Mobil itu dikagumi oleh banyak teman sepermainannya. Dan kelak ketika Teddy sudah menjadi pelukis yang cukup ternama, ia mempunyai mobil jip yang persis sama dengan jip buatannya sendiri saat ia masih kecil. Ketika mulai duduk di kelas 5 SD, menjelang kenaikan kelas, Teddy membuat ulah. Ia mengumpulkan semua teman lakilakinya sekelas, lalu mereka saling memotong rambut hingga semua anak laki-laki sekelas itu berkepala pelontos. Keesokan harinya, saat masuk ke dalam kelas, semua anak memakai topi. Terang saja guru mereka heran. Berkali-kali sang guru meminta anak-anak yang bertopi itu untuk melepas topi mereka. Tetapi anak-anak itu malah menundukkan kepala, tidak ada yang mencopot topi. Akhirnya, Teddy-lah yang mula-mula mencopot topinya, lalu satu per satu temantemannya juga mencopot topi mereka masing-masing. Begitu tahu apa yang sedang terjadi, si guru yang awalnya merasa marah, berbalik tersenyum.
18
Saat naik kelas menuju kelas 6 SD, kembali Siradz dipindahtugaskan ke kota Blora. Tetapi tepat di saat pindahan rumah, Teddy sedang berlibur di rumah kakeknya yang berada di Jakarta. Keluarga itu pindah rumah tanpa Teddy. Ketika Teddy pulang ke Kudus, ia mendapati rumahnya telah kosong. Dari Jakarta, Teddy didampingi oleh salah seorang pembantu kakeknya, yang kebetulan juga punya keluarga di Kudus. Tetapi orang yang dititipi Teddy, tidak mengantar Teddy sampai ke rumah. Begitu mendapati rumahnya kosong, Teddy bertanya kepada tetangga-tetangganya, ke mana keluarganya pindah. Ketika tahu bahwa keluarganya pindah ke Blora, Teddy segera menyusul seorang diri. Saat itu, Teddy baru saja naik ke kelas enam. Jarak antara kota Kudus dan kota Blora, relatif jauh. Dari Kudus menuju Blora, bisa ditempuh dengan 2 jalur. Pertama, dari Kudus menuju Pati, lalu melanjutkan ke Purwodadi, baru kemudian menuju Blora. Atau, dari Kudus menuju Rembang, dengan terlebih dahulu melewati Pati dan Juwana, setelah sampai Rembang perjalanan bisa dilanjutkan menuju ke Blora. Teddy memilih jalur yang terakhir. Ia melewati kota Rembang. Sesampai di Blora, Teddy segera menuju ke Kodim Blora. Di sana, ia mengaku sebagai anak Pak Siradz. Dengan diantar oleh seorang tentara yang sedang bertugas saat itu, Teddy dibawa menuju kecamatan Banjarejo, sebuah kecamatan arah barat daya dari kota Blora. Di sanalah Siradz bertugas sebagai komandan rayon militer (Danramil). Kedatangan Teddy seorang diri ke Blora, sempat membuat geger keluarganya. Anak kecil itu mulai menunjukkan nyalinya. Di dalam hari Sunarmi, terselip perasaan bangga, sekaligus rasa waswas. --ulus dari sekolah dasar, Teddy masuk SMP paling favorit sekabupaten Blora, SMPN 1 Blora. Jarak dari Banjarejo ke Blora, sejauh 12 kilometer, ditempuh Teddy pulangpergi dengan naik angkutan pedesaan (angkudes), mobil colt pick
L
19
up. Hobinya adalah bergelayut di bagian paling belakang, atau kalau tidak, naik di atas atap mobil. Di SMP itulah, Teddy mengenal Bowo, yang sampai sekarang merupakan sahabat karibnya. Hanya saja, Bowo saat itu belum dipanggil Jemek. Nama panggilan Jemek memahkotai Bowo ketika ia kelak kuliah di Fakultas Filsafat UGM. Persahabatan dua orang itu terjadi hanya karena soal sepele. Angkudes yang ditumpangi Teddy, hanya turun di sebuah perempatan kota. Untuk menuju ke SMPN 1 Blora, Teddy harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer lagi. Di antara jalan yang harus ditempuhnya itulah, terdapat rumah Bowo. Begitu mereka berkenalan, Teddy sering mampir ke rumah Bowo untuk samasama berangkat ke sekolah dengan naik sepeda angin Bowo. Karena Bowo yang memiliki sepeda, maka Teddy yang berada di depan, mengayuh sepeda, sementara Bowo berada di belakang, membonceng. Sudah jamak di tahun-tahun itu, begitu memasuki tahun kedua, anak-anak terpandai dirangking. Bagi mereka yang masuk rangking 40 besar, dijadikan satu kelas: 2A. Teddy masuk rangking 18, dan karenanya ia masuk kelas 2A. Di kelas itu, Teddy tidak kerasan. Satu-satunya teman yang bisa diajaknya membandel adalah Untung, seorang keturunan Tionghoa. Untung termasuk siswa yang cerdas, tetapi juga cukup bandel. Berbeda dengan kebanyakan teman sekelas Teddy yang lain, yang rata-rata begitu suntuk dengan pelajaran, bahkan di jam-jam istirahat pun mereka berada di dalam kelas untuk belajar. Sedangkan Bowo, menerima takdirnya sendiri, sesuai dengan kapasitas intelektualnya saat itu, ia berada di kelas 1E. Tetapi persahabatan mereka tetap berjalan. Bertiga bersama Untung, mereka sering ngeblong, sebuah istilah lokal di mana seorang siswa tidak masuk kelas hanya untuk mata pelajaran tertentu. Mereka bertiga sering ngeblong di sebuah kuburan yang dekat dengan lokasi sekolah mereka. Di sana, di kompleks kuburan itu,
20
mereka merokok dan makan buah jamblang atau duwet. Saat memasuki tahun ketiga SMP, Bowo kembali satu kelas dengan Teddy. Kenakalan mereka semakin menjadi-jadi. Mereka berubah dan mulai tumbuh sebagai duo-pembikin-onar. Salah satu hobi mereka adalah mendekati anak laki-laki yang terlihat alim, lalu menginterogasi mereka satu per satu. Biasanya materi ‘interogasi’ itu menyangkut apakah anak tersebut sudah pernah melakukan onani atau belum. Jika mereka menjawab sudah, duo-pembikin-onar itu akan membuat propaganda dan menyebarluaskan. Tetapi jika ada anak yang menjawab belum, mereka merayu dan membujuk mereka bahwa melakukan onani itu nikmat sekali. Dengan segera Teddy dan Bowo menempati urutan teratas sebagai anak bandel sekaligus duo yang disegani di SMP yang kebanyakan siswanya bukan hanya merupakan anak-anak terpintar di kabupaten tersebut, melainkan juga tempat sekolah anak-anak para pejabat di tingkat kabupaten. Karena mulai menduduki ‘posisi sosial’ tertentu dan mulai menancapkan pengaruh mereka, maka apa yang dilakukan oleh Teddy dan Bowo segera dianut oleh taman-teman mereka yang lain. Termasuk salah satunya adalah menonton film di gedung Bioskop, terutama film-film dengan tulisan: Untuk 17 tahun ke atas. Tetapi baik penjual tiket maupun petugas bioskop tidak pernah peduli. Bintang pujaan mereka saat itu adalah Eva Arnaz. Duo itulah yang menyebarkan virus Tante Rosa, sebuah akronim dari bahasa Jawa: Tangan tengen, nganggo sabun (Tangan kanan, memakai sabun). Sebuah istilah yang mendeskripsikan bagaimana seseorang melakukan onani. Lalu mereka pun mulai ikut mempopulerkan sebuah guyonan khas anak muda saat itu. tiba-tiba saja, entah Bowo atau Teddy memanggil teman mereka. Mereka berdua pura-pura bersedih dan menyesal. Mereka bilang, “Wah aku sudah tidak perjaka lagi…”
21
Kalau kemudian si lawan bicara mereka bertanya dengan siapa mereka berdua melakukannya, maka dengan serempak baik Bowo maupun Teddy menjawab, “Dengan Dita…” Hampir semua orang yang diajak bercakap model begituan, pasti mulai berpikir keras. Ada begitu banyak nama Dita di sekolah mereka saat itu. Kalau kemudian lawan berbincang mereka mulai capek menebak Dita yang mana, barulah kedua orang itu menjawab, “Di tangan!” --eluarga Siradz memeluk agama Kristen Protestan. Keluarga itu sangat religius. Konsekuensinya, anakanak mereka pun sering diajak terlibat dalam kegiatan keagamaan, tak terkecuali Teddy.
K
Sejak kecil, Teddy sudah terbiasa menjadi anak gereja. Ketika semakin besar, ia mulai terlibat dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan agama. Kalau ada hari raya tertentu yang diperingati agamanya, maka ia terlibat, mulai dari ikut mendesain panggung gereja, sampai ikut bermain drama. Pernah suatu ketika, saat Teddy sedang muncul di panggung untuk memerankan seorang tokoh, tiba-tiba adik terkecilnya, Samuel, yang saat itu baru berumur tiga tahun, entah bagaimana bisa muncul di atas panggung. Pasangan Sunarmi dan Siradz tentu saja terkejut, dan merasa degdegan, menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Di atas panggung, tak kalah terkejutnya. Apalagi saat Samuel mulai berteriak, “Mas Teddy, Mas Teddy…” Di saat itulah, improvisasi Teddy muncul. Cerita yang semula sangat serius, tibatiba ia belokkan menjadi bergaya srimulatan. Dengan segera Teddy berkata, “Iki anake sapa, melu-melu munggah panggung…” Semua pengunjung gereja tertawa terpingkal-pingkal. Pertunjukan malam itu boleh dibilang sukses. Dan Teddy menjadi
22
bintangnya. Bahkan ketika Teddy kelak menginjak bangku SMA, ia juga mengajar di sekolah Minggu. Di luar semua itu, mungkin kedua orangtua Teddy belum begitu tahu kebandelan anaknya di luar rumah. Sementara itu, keluarga Bowo adalah keluarga yang cukup berada, setidaknya untuk setingkat kabupaten Blora. Ayahnya bekerja di Perhutani. Di daerah seperti Blora, di mana dikenal dengan kualitas kayu jati nomor 1, dan sekaligus mempunyai wilayah hutan jati yang luas, pegawai Perhutani menempati urutan perekonomian yang cukup tinggi. Seorang Administratur, yang mengepalai sebuah Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH), bisa jadi lebih kaya dibanding seorang bupati. Dulu, sebelum hutan jati dalam keadaan serba-rusak seperti saat ini, ada istilah jaspro, akronim dari ‘jasa produksi’, di mana semua pegawai perhutani akan menerima uang jaspro yang bisa sampai lima kali lipat gaji bulanan mereka. Sekalipun bukan seorang administratur, ayah Bowo adalah pegawai Perhutani dengan posisi yang cukup tinggi. Di rumah Bowo itu, Teddy sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Teddy sering makan di sana, bahkan sesekali menginap. Karena hubungan antar-anak yang cukup dekat, akhirnya keluarga Siradz pun akrab dengan orangtua Bowo. Di rumah Bowo pula, Teddy mulai suka membaca buku. Orangtua Bowo berlangganan Kompas, sementara di rumah Teddy hanya ada koran Angkatan Bersenjata (AB). Di rumah Bowo juga melimpah dengan berbagai buku bacaan, maklum saja karena saudara-saudara Bowo yang lebih tua sangat gemar membaca, dan kadang-kadang saudara-saudara keluarga Bowo yang tinggal di kota-kota besar sering mengirimi berbagai buku. Bacaan favorit Bowo dan Teddy adalah serial Musashi, yang dimuat secara berkala di koran Kompas, serta berjilid buku ensiklopedi untuk anak-anak. Sampai sejauh itu, kedua keluarga ini hanya tahu kalau Teddy
23
dan Bowo tidak termasuk anak yang nakal. Kalau pun toh nakal, itu kenakalan khas anak-anak yang biasa saja. --ulus dari SMP favorit di kabupaten Blora, Teddy dan Bowo masuk ke SMA yang juga favorit di kabupaten itu: SMAN 1 Blora. Di sinilah, masa-masa remaja kedua anak itu mulai lebih bergeliat lagi.
L
Bacaan-bacaan di rumah Bowo sudah ‘tidak mencukupi’ lagi keingintahuan mereka akan hal-hal lain. Mereka mulai membeli dan membaca majalah remaja Hai, dan mulai rajin mengunjungi perpustakaan daerah yang terletak di sebelah utara alun-alun kabupaten Blora, jadi satu dengan kompleks kantor bupati. Di usia itulah, mereka mulai membeli dan mendengarkan musik-musik cadas yang sedang merebak saat itu, seperti Skid Row, Iron Maiden dan Kiss. Mereka berdua pun mulai membentung sebuah geng dengan nama: Ndeprox’z. Saat berada di SMA, ketrampilan Teddy dalam hal seni mulai moncer. Ia membuat sendiri tas sekolah yang berbahan dari poster-poster grup musik yang ia sukai. Poster-poster itu dilaminating, lalu dibuat tas. Jika ada orang yang tertarik, maka Teddy menjualnya. Uang hasil penjualan itu dipakainya untuk membeli rokok, minuman keras, dan juga berjudi. Selain membuat tas, Teddy juga membuat stiker dan kaus. Di saat itu, sudah biasa setiap kelas menunjukkan identitasnya dengan membuat stiker dan kaus. Hampir semua kelas di SMA 1 Blora saat itu, memesan stiker dan kaus dari Teddy. Desain kaus dan stiker Teddy sudah mulai dikenal sangat menarik, dan berkualitas bagus. Untuk memesan stiker, Teddy dan Bowo sering pergi ke kota Kudus, sementara untuk memesan kaus, mereka berdua pergi ke Klaten. Hasil ‘bisnis kecil-kecilan’ itu, lagi-lagi selalu habis untuk tiga hal: rokok, alkohol dan perjudian. Ketika naik ke kelas 2, Teddy sempat stres berat. karena berdasarkan rekomendasi dari pihak sekolah, ia harus masuk
24
ke kelas 2 Fisika. Sementara itu, Bowo masuk ke kelas Sosial. Mungkin hal itulah yang membuat kenakalan Teddy semakin menjadi-jadi. Ia kerap bolos hanya untuk berjudi, terutama di saat ada pelajaran-pelajaran yang tidak ia sukai. Di sekolah, Teddy dan Bowo pun mulai sering membuat ulah. Bukan saja mereka semakin sering membolos dan ngeblong, terutama jika sedang memesan stiker dan kaus, tetapi juga melakukan hal-hal lain yang di saat itu sudah bisa membuat orang menggelengkan kepala. Suatu saat, Teddy pernah membuat ulah sehingga bapaknya harus dipanggil kepala sekolah. Di SMAN 1 Blora saat itu, di setiap ruang kelas, di atas papan tulis, selalu ada gambar burung garuda Pancasila yang diapit oleh presiden dan wakil presiden. Entah kegilaan apa yang merasuki pikiran Teddy saat itu, gambar presiden disiletinya hingga hancur. Kedua orangtua Teddy dan Bowo juga pernah sama-sama dipanggil kepala sekolah lagi. Gara-garanya, saat itu usai liburan panjang, di mana Teddy melewatkan waktu liburan dengan berlibur ke Jakarta. Di kota besar itu, grafiti sudah mulai muncul di mana-mana. Begitu pulang, seluruh kota Blora, di pikiran Teddy adalah ‘hamparan kanvas kosong’. Dengan segera, berbekal belasan botol piloks, seluruh tembok kota Blora penuh dengan kata: Ndeprox’z. Tentu saja pelakunya gampang ketahuan. Empat pentolan geng itu dipanggil oleh kepala sekolah beserta orangtua masing-masing, dua di antara empat orang itu, tentu saja Teddy dan Bowo. Ndeprox’z sendiri, mulai melegenda di kota kecil Blora. Setiap malam minggu, puluhan remaja dan anak-anak menunggu kemunculan geng itu dengan sepeda motor mereka mengitari alun-alun kota Blora. Penampilan mereka cukup eksentrik, dari mulai aksesoris sepeda motor sampai pakaian yang mereka kenakan. Dan semua itu tidak luput dari sentuhan seni tangan Teddy.
25
Selain mulai mengoleksi jenis kenakalan seperti mengkonsumsi alkohol, main judi dan juga melakukan kegiatan corat-coret tembok, Teddy juga mulai suka berkelahi. Biasanya, setelah beberapa geng saling memamerkan diri mereka mengitari alunalun kota Blora, mereka kemudian minum-minuman keras di pojok-pojok tertentu. Saat mabuk seperti itulah, Teddy sangat sensitif. Ada apa-apa sedikit, ia mudah tersinggung. Tetapi ia tidak pernah mengajak teman-temannya untuk membela dirinya. Ketika temantemannya sedang asyik minum-minuman keras, ia berdiri dengan tenang, mendatangi kelompok lain yang berada di pojok alun-alun yang lain, lalu ‘bak-buk-bak-buk’ berkelahi. Kemudian ia bergabung lagi dengan temannya untuk ikut minum lagi, sembari mukanya telah lebam, dan bibirnya telah berdarah. Jika teman-temannya tahu hal itu dan hendak membelanya, Teddy selalu bilang, “Sudah, sudah, semua sudah selesai.” Sementara di dalam lingkungan sekolah nama Teddy mulai terkenal, di luar sekolah namanya pun merambah dunia yang lain. Ia kenal dengan baik para tukang becak, sopir angkutan, dan juga para preman. Setiap kali ia naik motor, tangannya tak pernah berhenti melambai, karena kenalannya berada di mana-mana. --enjelang kenaikan kelas dua ke kelas tiga, sehari sebelum penerimaan rapor, di SMAN 1 Blora sudah tersebar isu tentang siapa-siapa yang tidak akan naik kelas. Sejumlah anak yang merasa diri mereka bandel, mulai merasa waswas, termasuk Bowo dan Teddy. Salah seorang murid mengaku telah menerima bocoran siapa saja yang tidak akan naik kelas. Ada dua nama yang disebut, dan salah satunya adalah Bowo. Nama Teddy lolos, artinya, Teddy naik kelas. Segera Bowo stres berat. Teddy dengan gayanya yang sok bijaksana berusaha menenangkan Bowo, “Sudahlah, Wo, tidak apa-apa. Kita tetap saja berteman sekalipun nanti aku jadi kakak kelasmu.”
M
Kalimat yang bernada menghibur itu justru menyakiti hati Bowo. Ia segera pulang. Sesampai di rumah, Bowo menunggu
26
bapaknya pulang dari kantor. Setelah bapaknya pulang, dengan gugup Bowo mulai bercerita, kemungkinan besar ia tidak naik kelas. Sambil bercerita seperti itu, muka Bowo menunjukkan penyesalan yang mendalam. Mendengar hal seperti itu, sang bapak hanya diam, lalu berkata, “Lihat saja besok, deh… Kalau tidak naik ya terserah kamu. Kalau kamu malu sekolah di sana, ya pindah saja.” Keesokan harinya, saat penerimaan rapor, Bowo dan Teddy duduk menunggu berdampingan. Yang keluar pertama kali adalah bapak Bowo. Segera Bowo bertanya, Bagaimana, Pak?” Si Bapak tersenyum dan bilang, “Kamu naik kelas, kok.” Bowo bersorak gembira. Teddy dan Bowo saling bersalaman. Lalu tiba giliran bapak teddy keluar dari ruang kelas. Teddy belum sempat bertanya, bapaknya sudah berkata, “Teddy, ayo pulang!” Ternyata, Teddy-lah yang tidak naik kelas. Mendapati dirinya yang kemudian berada di satu tingkat dibandingkan teman-temannya yang lain, awalnya membuat Teddy merasa stres berat. Ia semakin rajin berjudi dan rajin menenggak minuman keras. Ketika teman-temannya mulai lulus dan kuliah, ia baru naik ke kelas tiga. Dan di fase itulah ‘penderitaannya’ semakin mengencang. Ketika liburan semesteran tiba, atau liburan lebaran, teman-temannya berkumpul dan saling bercerita tentang kegiatan mereka di kota-kota tempat mereka kuliah, ada yang di Jakarta, Yogya, Solo, Semarang dan Surabaya. Saat itu, Bowo kuliah di STIE Perbanas Jakarta. Kalau mereka berkumpul, menjelang liburan berakhir, pasti di antara mereka saling bertanya, kapan mereka balik ke kota tempat mereka kuliah. Dan terakhir, mereka selalu bertanya, “Kamu balik kapan, Ted?”
27
Jika ditanya seperti itu, Teddy hanya bisa mengumpat, “Asu!” Begitu lulus dari SMA, di bayangan Teddy ia ingin menjadi seorang desainer. Belum jelas saat itu, apa itu desainer. Yang jelas, ia pernah mendengar profesi itu, dan ia merasa ia bisa serta cocok dengan keinginannya. Saat itulah, ia meminta untuk mendaftar di ISI Yogya. Namun kali itu ia gagal. Ibunya lalu menyarankan agar Teddy mnecoba masuk ke Politeknik Universitas Diponegoro, Semarang. Ibunya sendiri yang saat itu mengantar Teddy ke Semarang. Teddy, karena bingung, ia mengikuti saja saran ibunya. Namun ketika tes, saat lembar jawaban dihadapinya, ia tidak mengerjakan soal-soal ujian. Tentu saja ia tidak diterima. Orangtua Teddy tentu saja bingung. Mereka akhirnya menyerahkan apapun pilihan Teddy. Barulah di sana, Teddy bilang kalau ia ingin jadi desainer. Akhirnya kedua orangtua Teddy mencari-cari kabar, di mana sekolah yang dimaksudkan Teddy. Salah seorang kenalan orangtua Teddy menyarankan agar Teddy masuk saja ke STSI Solo. Teddy akhirnya mendaftar masuk, dan ia masuk ke jurusan desain set panggung. Yang penting saat itu bagi Teddy ada kata: desain. Saat kuliah, Teddy sempat agak kecewa dengan pilihannya. Tetapi saat itu pula ia sadar bahwa beberapa ketrampilan yang kelak dibutuhkannya, walaupun ia belum tahu kelak itu akan seperti apa, pastilah berguna. Di sana ia diajari dasar-dasar teknik menyungging wayang. Sebuah teknik yang memutuhkan kejelian, terutama dalam membuat gradasi warna. Selain itu, Teddy juga belajar teknik yang menurutnya sangat penting, yakni teknik membuat wondo. Teknik itu adalah memberi karakter kepada tokoh-tokoh wayang. Namun, kebandelan Teddy semakin menapaki taraf yang lebih tinggi lagi saat berada di Solo. Ia berkarib dengan beberapa preman, dan semakin kerap mabukmabukan.
28
Salah satu dosen Teddy bernama Bonyong Munni Ardhi, salah satu tokoh yang pernah ikut mewarnai suasana ISI Yogya, melihat Teddy tidak tepat berada di Solo. “Ia perlu teman dan lingkungan yang tepat untuk mengasah ketrampilannya. Dan yang paling penting, dasar-dasar pelajaran penting di STSI sudah ia kuasai, terutama dalam hal menyungging dan mengerjakan wondo.” ungkap Bonyong. Kemudian ketika suatu saat bertemu denan Teddy, Bonyong menyarankan agar Teddy mencoba masuk ISI jurusan seni lukis. Teddy menggut-manggut. Saat itu, sebetulnya Teddy juga sudah berpikir untuk mencoba lagi masuk ISI. Setelah pertemuan itu, Teddy lama menghilang, dan tidak pernah lagi menemui Bonyong. Ternyata selama bebeapa bulan itu, Teddy mempersiapkan dan mengasah ketrampilannya agar bisa diterima di ISI. Setelah dua tahun kuliah di STSI Solo, pada tahun 1992, ia ikut tes masuk ISI, dan diterima. Teddy menemui Bonyong, dan mengabarkan kalau ia sudah diterima masuk ISI. Bonyong tersenyum lega.
29
Ibunya Lima
Y
OGYA, 24 Mei 1971. Rumah Sakit Mangkuyudan, penuh sesak dengan orang yang akan melahirkan. Salah satu di antara mereka adalah Ninung. Umurnya saat itu baru 19 tahun. Dengan diantar oleh suaminya, Sunardiyono. Ninung sedang hamil tua. Hari itu, ia telah mengalami ‘bukaan pertama’, pertanda seharusnya sebentar lagi bayi yang dikandungnya akan keluar. Dokter Anwar, dokter yang sedang bertugas saat itu, yang kebetulan kenal baik dengan Ninung, menyuruh Ninung agar menginap saja di rumah sakit. Tetapi saat itu, Ninung merasa belum saatnya melahirkan. “Dok, kayaknya saya masih lama melahirkannya. Saya tidak usah nginap saja. Besok saya ke sini lagi.” begitu katanya dengan nada pelan, seakan ingin mengharapkan rasa maklum dari dokter yang memeriksanya itu. “Kamu itu bagaimana, sih? Sudah bukaan pertama kok tidak mau menginap.” sergah dokter Anwar. Perdebatan kecil terjadi. Akhirnya sang dokter yang mengalah. Ninung diijinkan pergi, dengan catatan pasangan itu harus selalu berjaga-jaga jika terjadi apa-apa. Sesungguhnya yang terjadi pada diri Ninung adalah perasaan takut. Ia takut melahirkan. Apalagi di rumah sakit itu, suara erang kesakitan perempuan-perempuan lain yang sedang melahirkan bisa didengarnya dengan jelas. Keesokan harinya, tidak ada perubahan di diri Ninung. Kemungkinan besar, pengaruh psikologis tentang ketakutannya untuk melahirkan, berpengaruh besar pada kandungannya. Tapi ketika keesokan harinya lagi, tetap tidak ada perkembangan lebih lanjut, perasaan khawatir Ninung pada anak yang sedang dikandungnya lebih dominan. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit Mangkuyudan lagi. Segera Ninung ditangani oleh petugas jaga. Setelah beberapa kali diperiksa, akhirnya dokter yang berjaga berkata kepada
33
petugas medis yang membantunya, “KO dibuka!” Ninung kaget. Raut wajah si dokter, dan istilah ‘KO’ membuatnya khawatir. Dengan nada takut, ia bertanya kepada si dokter, “Dok, KO itu apa?” “Kamar Operasi, Bu…” jawab si dokter pelan. Begitu mendengar dua kata: kamar operasi, segera ketakutan memuncak di diri Ninung. Tetapi justru di saat itulah, bayi yang dikandungnya segera lahir dengan cepat. Bayi yang dikandungnya lahir dari sebuah ketegangan yang dicipta dari dua tiang pancang: ketakutan melahirkan sehingga prosesnya lama, dan ketakutan dioperasi sehingga si bayi bisa lahir dengan cepat. Bayi yang lahir pada tanggal 26 Mei, dengan umur kandungan tepat 9 bulan dan 10 hari itu, diberi nama: Bob Yudhita Agung. Nama ‘Bob’ diberikan kepada jabang bayi karena ninung sangat tergia-gila dengan suara Bob Tutupoli. Sedangkan nama tengah ‘Yudhita’ disematkan ke bayi itu karena Ninung berharap agar kelak anaknya sebijaksana tokoh wayang bernama Yudhistira, si sulung dari lima bersaudara Pandawa. Nama ‘Agung’ diberikan oleh suster yang membantu melahirkan si bayi dengan harapan agar si bayi kelak penuh dengan keagungan. Nama adalah doa dan pengharapan. Namun sebagaimana setiap doa dan pengharapan, bisa saja menjadi kenyataan, tetapi bisa juga tidak. --asangan Ninung dan Sunardiyono adalah pasangan dengan latar belakang yang berbeda. Ninung berasal dari keluarga yang pas-pasan, sedangkan Sunardiyono berasal dari keluarga kaya. Suteja, ayah Sunardiyono, bekerja di pengilangan minyak swasta, dan saat itu Suteja sedang bertugas di Palembang. Satu-satunya yang sama dari kedua pasangan itu adalah mereka sama-sama masih muda.
P
Ninung saat itu sudah memutuskan untuk berhenti dari sekolah
34
menengah, sedangkan Sunardiyono masih mencoba bertahan melanjutkan sekolahnya. Sunardiyono, menurut Ninung, adalah laki-laki yang tampan. “Seperti Sophan Sophian…” kenang Ninung. Karena ketampanannya itulah, kerap sekali Sunardiyono diincar oleh para gadis. Dan hal seperti itulah yang mulai kerap menghantui pasangan muda itu. Percekcokan pun kerap terjadi. Saat Yudhi, begitu Ninung memanggil anaknya, berumur 11 bulan, pasangan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Mereka berpisah. Yudhi, anak hasil pasangan Ninung dan Sunardiyono, akhirnya diambilalih oleh orangtua Sunardiyono, pasangan Suteja dan Sutinem. Yudhi dibawa ke Palembang. Menjelang Yudhi masuk sekolah dasar, pasangan Suteja dan Sutinem pindah ke Yogya. Mereka menempati rumah di kawasan yang cukup elit di Yogya, di daerah Pandega Bakti. Sementara itu, Ninung kemudian menikah lagi dengan tetangganya, bernama Suharto, yang bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Sedangkan Sunardiyono, dalam sejarah hidupnya menikah sebanyak tiga kali. Kini, beliau telah meninggal dunia. Walaupun telah berpisah, hubungan Ninung dengan keluarga Suteja terjalin dengan baik. “Bahkan dulu, saat baru saja bercerai dengan bapak si Yudhi, saya masih sering dikirimi wesel oleh Pak Suteja,” begitu pengakuan Ninung. Ninung pun masih sering menengok Yudhi. Apalagi Ninung tinggal di daerah Seturan, yang hanya berjarak kurang-lebih 2 kilometer dari daerah Pandega Bakti. “Pak Nardi dan Pak Harto juga berhubungan dengan baik. Jika ada acara keluarga dari pihak Suteja, mereka kerap satu mobil.” lanjut Ninung, menggambarkan bagaimana baiknya hubungan dua keluarga itu. Ketika masuk sekolah dasar, Yudhi mulai dipanggil temantemannya dengan nama depannya: Bob. Si Bob kecil ini sangat
35
dimanja oleh keluarga besar Suteja. Saking dimanjanya, sejak kecil Bob tidak pernah mau makan kalau tidak ada ayam goreng. Karena tidak bersama dengan Ninung, ibu kandungnya, maka Bob pun memanggil ‘mamak’ kepada Sutinem, neneknya. Karena begitu disayang oleh tantetantenya, maka Bob pun memanggil tante-tantenya dengan panggilan ‘ibu’. Ada tiga tantenya yang dipanggil dengan sebutan ‘ibu’ yakni Murti, Tatik dan Tutik. Sedangkan kepada Ninung, Bob memanggil dengan sebutan: Ibu Ninung. Dengan ‘lima orang ibu’ itulah, Bob kecil bukan hanya bergelimang kasihsayang, sekaligus ia bergelimang uang. Apapun yang diminta oleh Bob, ibu-ibunya, terutama para tentenya yang dipanggil ibu, dan juga neneknya, selalu siap memberi. Soal hal seperti itu, Ninung menjelaskan, “Kalau saya sih tidak bisa memberi uang. Maklumlah, saya hanya ibu rumah tangga biasa, dan suami saya seorang pegawai negeri. Kami harus menyekolahkan anak-anak kami sendiri.” --ob kecil jarang keluar rumah. Ia lebih sering berada di rumah, yang dipenuhi mainan, dan mulai sering mencorat-coret di kertas gambar. Bakat corat-coretnya, kemungkinan besar didapat dari Ninung.
B
Dulu, saat masih gadis remaja, oleh teman-temannya, Ninung dikenal sebagai perempuan yang ‘nyeni’. Klenthing, alat mengambil air yang terbuat dari tanah liat miliknya digambari, dan hal itu membuat banyak orang suka dengan klenthing Ninung. Ia juga dikenal pintar merangkai bunga. Bahkan, Ninung membuat sebuah kolam kecil yang indah di rumahnya. Bob kecil pun mulai sering diikutkan lomba menggambar. Setiap kali ikut lomba, Bob selalu menyabet gelar juara. Hal itu terus dilakukannya sampai SMA. Puluhan tropi dan piagam penghargaan sebagai juara lomba menghiasi sebuah lemari di rumah keluarga Suteja. Paling apes, dia menjadi juara harapan
36
dua. Selebihnya, kalau tidak juara satu pastilah juara dua. Selain itu, Bob dikenal rajin mengaji dan salat lima waktu. Ia sudah khatam Alquran sebelum kelas 6 SD. Sampai SMA, Bob tetap menjadi ‘anak manis’ sekaligus anak rumahan. Satusatunya ‘kenakalan’ yang pernah dilakukannya saat SMA hanyalah mencoba merokok di atap rumah. Tetapi setelah itu, ia mengalami rasa bersalah yang luar biasa. Sebagaimana umumnya anak-anak remaja yang lain, Bob juga tergabung dalam sebuah geng. Saat itu, di Yogya ada dua geng besar” Q’zruh dan Joxin. Hampir semua remaja SMA saat itu mejadi pendukung salah satu geng tersebut. Bob tergabung dalam geng Q’zruh. Tetapi ia tidak pernah berkelahi. Bob bilang sambil tertawa, “Kalau aku mau berkelahi, pasti teman-temanku maju lebih dulu.” Dan sebagaimana remaja yang lain, Bob juga akrab dengan lagu-lagu. Karena punya banyak uang, ia mengoleksi ratusan kaset. Namun berbeda dengan temantemannya, Bob lebih suka mengoleksi kaset band-band negeri sendiri, dan kalau pun mengoleksi kaset dari negeri asing, itu pun berasal dari para penyanyi atau grup musik dari negeri Jiran, yang saat itu banyak mendominasi tangga-tangga lagu di Indonesia. Dari para musisi negeri sendiri, Bob paling menyukai grup rock Power Metal. Sedangkan lagu Isabela, yang dilantunkan oleh musisi dari negeri Jiran, adalah ‘lagu wajib’-nyasampai sekarang. Tapi sayang, Bob tidak suka Bob Tutupoli, musisi yang dikagumi ibu kandungnya. Dan tentu saja, sekalipun suka menyanyi, suara Bob tidak semerdu suara Bob Tutupoli. --ob jarang sakit. Kalau pun toh sakit, paling hanya masuk angin. Dan obatnya juga mudah, tinggal memberi tahu ibu kandungnya, lalu Ninung akan datang ke Pandega Bakti untuk ngerokin Bob.
B
37
Namun pernah suatu saat Bob harus diopname selama beberapa bulan di rumah sakit karena sakit tipus. Untuk kali itu, Ninung ingin sekali bertanggungjawab dengan membayar biaya rumah sakit. Sayang, uang Ninung hanya pas-pasan. Salah seorang teman Ninung yang kebetulan berprofesi sebagai pencatat judi Loda, sejenis judi legal yang saat itu marak (semacam SDSB), Ninung diberi nomor yang diperkirakan akan keluar. Hati Ninung ragu-ragu. Saat itu ia berpikir, kalau uangnya dipakai untuk berjudi dan kemudian menang, maka ia akan bisa membayar lunas semua biaya Bob, bahkan akan ada sisa cukup banyak. Tetapi jika ternyata nomor yang dibelinya tidak keluar, maka ia tidak punya sedikit pun uang untuk membayar biaya pengobatan Bob. Akhirnya Ninung tidak berani berspekulasi. Ia tidak jadi membeli nomor yang disarankan oleh temannya. Dan sialnya, nomor itulah yang memang keluar. Untunglah, dokter di rumah sakit itu banyak yang kenal dengan Ninung, sehingga ia bisa mendapatkan banyak keringanan biaya. Ninung, sekalipun tidak tamat SMA, namun pergaulannya luas. Dan ia pun dikenal kawan-kawannya sebagai orang yang cakap berorganisasi. Bahkan sejak remaja, ia dikenal sebagai gadis yang ‘gaul’. Ia ikut berbagai jenis organisasi, dari mulai klub sepeda angin, sampai aktif di Darma Wanita tempat suaminya bertugas. Selain suka berorganisasi, untuk mengganti pengetahuan formalnya yang terhenti di tengah jalan, Ninung selalu ikut kursus. Hampir semua jenis kursus ketrampilan pernah ia ikuti. Mulai dari kursus menjahit, kursus memasak, kursus merangkai bunga, sampai berbagai kursus kesehatan. Karena kepintarannya itu, terutama kecapakannya di dalam mengorganisasikan sesuatu, saat salah satu pimpinan suaminya melakukan pindah rumah dari Lampung ke Yogya, Ninunglah yang diminta untuk memimpin pindahan rumah. Belasan angkutan, mulai dari truk sampai mobil pribadi, diatur oleh Ninung dari mulai Lampung sampai Yogya.
38
Kepiawaiannya dalam hal mengatur sesuatu, juga tampak dari caranya membagi waktu kepada anak-anaknya. Pernikahannya dengan Suharto, Ninung mempunyai 4 orang anak. Artinya, ia punya 5 anak, termasuk Bob. Ketika anak-anaknya masih kecil, termasuk Bob, Ninunglah yang bertugas untuk mengantar dan menjemput kelima anaknya itu. dengan sepeda motor bebek berwarna merah, Ninung bergerak dari sekolah satu ke sekolah yang lain, mengantar dan menjemput anak-anaknya. Ninung jugalah yang sering mengantar Bob ikut lomba menggambar. “Bahkan saat masih di SMA pun saya masih suka mengantarnya ikut lomba menggambar.” tandas Ninung. --asalah mulai muncul saat Bob lulus SMA. Di keluarga besar Suteja, dari dirinya sampai anak dan menantunya, hampir semuanya bekerja di bidang perminyakan. Oleh karena itu, keluarga Suteja menyarankan agar Bob pun kuliah di bidang perminyakan.
M
Sebagai anak manis yang tidak pernah memberontak, Bob menurut. “Toh aku tidak membayar. Mereka yang membiayai semuanya.” ungkap Bob. Sementara itu, Ninung, sebagaimana kebanyakan orang tua saat itu, juga berharap anaknya kalau tidak menjadi dokter ya menjadi insinyur. Tetapi ia tidak berani menyarankan kepada anaknya, sebab ia sadar kalau ia tidak mungkin membiayai kuliah Bob. Bob pun lantas masuk ke sebuah universitas swasta di Yogya, mengambil jurusan perminyakan. Tetapi sesungguhnya saat itu, hati kecilnya mulai berontak. Ia ingin masuk ISI. Ia ingin jadi pelukis. “Aku tidak ingin jadi orang kantoran, atau jadi orang yang kerja di perminyakan, yang kerjanya pergi ke lau atau pergi ke hutan. Aku ingin bebas!” tegas Bob. Tetapi saat itu, Bob belum berani melakukannya. Sebab ia juga sedang menikmati ‘kebebasannya’ yang lain, yakni bebas
39
dari masuk setiap hari, bebas dari memakai seragam sekolah, dan bebas dari mengikuti upacara bendera. Dan untuk merayakan kebebasannya itu, ia membuat tato kecil yang disembunyikannya di tangan. Sekaligus merayakan kebebasannya dengan cara tidak pernah masuk kuliah. Namun, bagaimanapun juga, pikiran Bob masih terus dihantui oleh betapa mengerikannya kalau kelak ia lulus. Ia akan tinggal di hutan, atau tinggal di lepas pantai. ia akan terikat oleh jadwal kerja. Ia merasa bahwa ‘kebebasan’ yang sudah diraihnya saat itu, di mana tidak perlu lagi masuk dari jam tujuh pagi dan tidak memakai seragam sekolah, akan segera terenggut kembali begitu ia selesai kuliah. Akhirnya Bob memutuskan untuk mengatakan apa yang diinginkannya kepada keluarga besar Suteja. Awalnya, keluarga besar itu kecewa dengan pilihan Bob. Tetapi mereka juga terlalu sayang kepada Bob. Mereka akhirnya menijinkan. Bob kemudian mendaftar masuk ISI pada taun 1991. Ia diterima. Dan untuk menandai hal itu, sekali lagi, ia menato tubuhnya. Masih tetap di bagian yang bisa disembunyikan.
40
Gampang Tertawa,
Gampang Menangis
K
EBANYAKAN orang yang membaca namanya, Yustoni Volunteero, maka kebanyakan orang akan terbelah di dalam dua kelompok. Kelompok pertama, mungkin akan berpikir bahwa ia bukan berasal dari Indonesia. Sedangkan kelompok yang lain mungkin berpikir bahwa nama itu, terutama nama belakang ‘Volunteero’ pastilah nama tempelan belaka. Tetapi mereka salah. Nama itu adalah nama asli, dan Toni berasal dari Indonesia. Setiap pemberian nama, bisa jadi mempunyai rentetan kisah. Yusman, bapak Toni, adalah lulusan UGM jurusan Administrasi Negara, pada tahun 1968. Saat itu, situasi politik Indonesia masih panas, dengan adanya peristiwa Gerakan 1 Oktober (Gestok). Dan sebagai konsekuensi logis dari peristiwa itu, setiap orang yang lulus kuliah, tidak dapat segera mendapatkan pekerjaan, termasuk Yusman. Sebab kala itu pemerintah mengeluarkan Keppres No 80 Tahun 1968 yang berlaku surut. Keppres itu berisi semua institusi negara tidak boleh menerima pegawai baru. Namun kemudian pemerintah membentuk sebuah badan yang bernama Badan Urusan Tenaga Kerja Sukarela (BUTSI). Badan ini dikelola oleh 11 departemen dan 1 lembaga non-departemen. Saat itu, BUTSI membuka lowongan bagi pekerja sukarela yang akan disebar ke berbagai wilayah di Indonesia, terutama untuk mensukseskan beberapa program seperti: pembinaan adminsitrasi pemerintahan desa, memberi penyuluhan tentang gizi keluar, mensukseskan program keluarga berencana (KB), dan masih banyak yang lain. Pada gelombang pertama, BUTSI membuka lowongan untuk 30 orang. Saat itu yang mendaftar 113 orang sarjana. Yusman salah satu orang yang lolos seleksi program tersebut dan ia ditempatkan di daerah Ungaran, Jawa Tengah. Di sana, ia bertugas untuk memberi penyuluhan soal KB. Celakanya, ia belum berkeluarga, sehingga hal seperti itu mempengaruhi psikologinya. Dan yang lebih celaka lagi, di tempatnya bertugas saat itu, baik kepala desa maupun camat
43
di daerah itu, masing-masing punya anak sebanyak 13 orang. Karena hal itulah, setiap kali Yusman berceramah, ia sering memelesetkan istilah KB menjadi keluarga besar. Setahun berada di sana, suatu hari ia sengaja jalan-jalan ke pasar Johar. Saat hendak menyeberang jalan, ia berpapasan dengan seorang perempuan yang telah lama dikenalnya. Perempuan itu bernama Kartini. Mereka lalu saling berkabar. Kartini adalah tetangganya di Yusman di Salatiga. Sejak kecil, Kartini sudah yatim-piatu. Setahu Yusman, Kartini sudah menikah, karena dulu ia tahu kalau Kartini pernah berpacaran dengan salah satu kawannya. Sebagai basa-basi, Yusman bertanya, “Sudah punya anak berapa?” Kartini saat itu langsung menjawab, belum punya. Kemudian ia bercerita bahwa pacarannya dengan kawan Yusman telah lama berakhir karena mantan pacarnya itu bertugas sebagai polisi di wilayah Papua. Dengan iseng, begitu mendengar hal tersebut, Yusman menyeletuk, “Sudah ikut aku saja ke Ungaran. Aku punya gaji 2000 rupiah, kok.” Basa-basi berakhir. Baik Yusman maupun Kartini pulang ke tempat masingmasing. Suatu siang, Yusman sedang takziah karena camat Ungaran saat itu meninggal dunia. masih di lokasi kuburan, tidak dinyana, seseorang memberikan sepucuk surat kepada Yusman. Surat itu berasal dari Kartini. Di lokasi kuburan itu pula, yusman membuka amplop surat, dan membaca isi surat. Isinya padat dan singkat: Apakah Yusman serius dengan ajakannya kepada Kartini tempo hari dulu? Yusman kelabakan. Pertama, karena memang ia hanya berbasabasi. Kedua, karena ia merasa tidak jatuh cinta dengan Kartini. Dan yang ketiga, kalaupun toh ia menikah, ia tidak yakin dengan
44
honorarium sebesar 2000 rupiah, ia bisa menghidupi sebuah keluarga. Saking bingungnya, Yusman kemudian menemui ibunya di kampung. Begitu si ibu diberi tahu masalah Yusman, si ibu meradang. Terutama karena si ibu merasa, sudah berkali-kali Yusman pacaran, tetapi tidak ada yang serius. Dan kini, anaknya malah membawa masalah baru. Dengan keras ibunya berujar, “Yusman, kamu tahu, Kartini ini sejak kecil sudah menderita. Ia yatimpiatu. Kini teganya kamu mempermainkannya!” Yusman mencoba berdalih, “Tapi uangku pasti tidak akan cukup untuk menghidupi keluarga, Bu…” “Sudah, jangan pikirkan itu. Nikahi saja Kartini. Kalau kamu kekurangan uang, aku akan membantu.” Yusman memenuhi nasihat ibunya. Segera ia melamar dan menikahi Kartini. Tidak lama kemudian, pada tanggal 14 juni 1970, lahirlah anak laki-laki pertama mereka. Awalnya, si anak diberi nama Yustoni Indriyanto. Nama ‘Yustoni’ diambil sebagai akronim dari nama kedua orangtuanya: Yusman dan Kartini. Tetapi di saat bersamaan, menteri tenaga kerja saat itu, Laksamana Madya Daeng Koko, sedang berkunjung ke Ungaran. Sudah jamak saat itu, bila ada atasan yang berkunjung, dan bila di saat itu ada anak buahnya yang sedang mempunyai anak yang baru lahir, si anak buah akan meminta ‘kenang-kenangan nama’. Begitu juga dengan Yusman. Daeng Koko lalu berkata, “Yus, kasih saja nama anakmu Volunteero, karena kamu pekerja sukarela.” Semenjak itu, nama Indriaynto dihapus dari nama Toni, sehingga namanya berubah menjadi: Yustoni Volunteero. “Nama Volunteero itu seperti karma atau kutukan bagiku,” ujar Toni, “makanya dari dulu kerjaku jadi sukarelawan terus…” lanjutnya sambil tertawa terbahak-bahak. ---
45
S
emenjak Toni mau masuk TK, keluarga Yusman pindah ke Yogyakarta. Dan sejak kecil pula, kepala Toni selalu dipenuhi oleh cerita-cerita heroik menyangkut keluarganya. Yusman, konon adalah keturunan orang Aceh yang dikejar-kejar Belanda. Hingga kemudian, salah satu kakeknya yang bernama Singodimeja, menjadi pendukung utama Pangeran Diponegoro. Singodimejo digambarkan sebagai tokoh hero yang mirip tokoh Robinhood. Ia merampok orang-orang kaya, terutama dari pihak Belanda dan antek-anteknya, untuk kemudian dibagibagikan kepada rakyat miskin. Diceritakan pula, Singodimeja ini mempunyai dua ilmu penting, yakni aji panglimunan dan aji ngrogoh suksma. Ilmu yang pertama, bisa membuatnya tidak terlihat secara kasat mata alias menghilang, dan ilmu kedua bisa membuat sukmanya keluar dari raganya. Konon, ketika Singadimeja akhirnya tertangkap oleh pihak Belanda, ia masih bisa memberi nafkah lahir dan batin kepada kelima istrinya. Kisah-kisah keluarga seperti itu, merasuki alam pikiran Toni kecil. Diam-diam, ia terobsesi dengan hal-hal yang berbau pemberontakan dan pembangkangan. Tetapi Toni kecil, dikeluarganya, dikenal sebagai sosok yang pendiam, gampang tertawa sekaligus gampang menangis. Jika ada sesuatu yang lucu sedikit saja, ia akan terpingkal-pingkal. Tetapi jika ada sesuatu yang membuatnya bersedih, misalnya melihat seroang pengemis yang lewat di depan rumahnya, ia dengan mudah akan menangis. Toni kecil juga dikenal sebagai seorang anak yang tidak suka berkelahi. Jika ada anak lain yang mengganggunya, apalagi menanantangnya berkelahi, justru yang maju adalah adik perempuan Toni bernama Yusti Damayanti. Sejak SD, Toni sudah menonjol di dua bidang: menggambar dan hasta-karya. Ia pernah menyabet gelar sebagai juara 1 lomba
46
melukis tingkat kabupaten. Toni merasa, saat itu yang paling berperan di dalam mengembangkan bakat melukisnya adalah guru SD-nya yang bernama Pak Bani. Selain menggambar, bakat Toni yang paling menonjol adalah berorganisasi. Sejak SD sampai SMA, ia aktif sebagai anggota Pramuka. Sejak SMP sampai SMA, ia aktif pula sebagai pengurus OSIS. Sementara di kampung, ia pernah menjadi ketua pemuda kampung, dan pernah menjadi ketua remaja masjid. Namun sejak kecil, Toni mengidap penyakit asma yang cukup akut. Karena penyakitnya itu pula, ia rajin ikut segala kegiatan olahraga, mulai dari masuk klub beladiri sampai klub bulutangkis. Mulai dari ikut grup bola basket sampai ikut kelompok sepakbola. Tetapi di kalangan teman-temannya, terutama di hal olahraga, Toni dikenal sebagai anak yang ‘kacau dan ngawur’. Misalnya saja, kalau ia ikut bermain sepakbola, hobinya adalah memasukkan bola di gawang kesebelasannya sendiri. --etika lulus dari SMA, Toni mendaftar ikut tes masuk UGM dengan mengambil jurusan psikologi dan Sastra Jepang. Hasilnya, jeblok. Ia tidak tembus untuk kedua jurusan, yang di dalam ‘strata’ UGM sendiri termasuk jurusan dengan banyak pesaing.
K
Ia cukup terpukul dengan hal tersebut. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk masuk ISI. Pikirannya sederhana saja saat itu, ia punya bakat menggambar, dan ia pernah beberapa kali menjuarai lomba menggambar. Ia berpikir punya modal ketrampilan yang memadai untuk masuk ISI. Akhirnya ia bicara kepada bapaknya, soal pilihannya itu. Mendengar niat Toni untuk masuk ISI, Yusman segera mencecar, “Kamu ngapain masuk ISI? Mau nambah pengangguran saja!” Mendengar kalimat bernada keras dari sang bapak, Toni hanya diam. Lalu bapaknya kembali berkata, memberi contoh beberapa temannya yang masuk ISI dan semua menjadi pengangguran.
47
Tapi akhirnya Yusman bertanya, lebih untuk ingin mengetahui seberapa mantap hati Toni, dan seberapa kuat alasan Toni untuk masuk ISI, “Kamu mau apa masuk ISI?” Pertanyaan itu sebetulnya jenis pertanyaan yang sederhana. Tetapi karena dari awal Toni sudah merasa terdesak, ia hanya diam. Setelah mengetahui anaknya tidak bisa menjawab pertanyaannya, Yusman mencoba memberi solusi, “Sudah begini saja, kamu kuliah saja di Akademi Akuntansi YKPN. Nanti kalau sudah selesai, kamu bisa meneruskan ke Sekolah Tinggi Ekonomi mana saja yang kamu pilih. Kalau sudah lulus, nanti aku yang akan mencarikan kerja buat kamu.” Saat itu, posisi pekerjaan Yusman memang tergolong tidak main-main. Ia saat itu menjabat sebagai kepala seksi di Depnaker daerah Yogya, yang tugasnya adalah mengangkat dan menempatkan para pekerja di departemen tersebut. Saat itu, Toni hanya bisa manut. Ia mengikuti saran bapaknya. Akhirnya Toni masuk AA YKPN. Di sana, ia mulai kembali terlibat dalam berbagai kegiatan kampus, terutama di pers mahasiswa, dan masuk organisasi HMIMPO. Agak ganjil memang, sebab saat masih muda, Yusman adalah salah satu aktivis Gerakan Pemuda Marhaen, di mana ketika huru-hara Gestok terjadi, organisasi Yusman termasuk yang diincar oleh RPKAD. Saat mulai kuliah itulah, sifat nyeleneh Toni mulai kelihatan. Misalnya saja ketika ia masuk HMI-MPO, organisasi tersebut adalah salah satu pecahan HMI yang menolak berasas tunggal Pancasila. Tetapi di dalam sebuah rapat, Toni bertanya dengan nada tidak bersalah, “Kok di rapat ini tidak ada lambang Garuda Pancasila dan bendera Merah Putih?” Pertanyaan seperti itu seharusnya mengundang reaksi keras dari para seniornya. Tetapi ternyata pertanyaan Toni malah disambut dengan gelak tawa.
48
Bahkan ketika dibaiat sebagai anggota baru, di mana terjadi prosesi pembacaan ayat-ayat suci, ketika teman-teman seangkatannya menangis, Toni malah tersenyum-senyum. Ia membatin, acara begitu saja kok menangis… Namun yang menarik perhatian Toni tetaplah kegiatan di pers mahasiswa. Di sana ia sangat aktif dan mengepalai sebuah rubrik. Setiap kali ada acara kursus jurnalistik untuk mahasiswa, di manapun berada, Toni selalu berangkat. Termasuk salah satu yang paling diingatnya, karena kursus jurnalistik itu menurutnya sangat berkualitas, adalah yang diadakan di Universitas Satya Wacana Salatiga. Sekalipun mulai menikmati kegiatan di kampus, hati kecil Toni tetap berontak. Ia ingin sekali masuk ISI. Ia merasa tidak cocok jika kelak kemudian akan menjadi seorang akuntan. Suatu saat, ketika bapaknya sedang bertugas ke Jakarta, Toni mengutarakan niatnya untuk ikut seleksi masuk ISI kepada ibunya. Kartini, sang ibu, hanya bisa diam. Ia memang sudah merasa Toni tidak betah berada di kampusnya. Akhirnya Kartini memberi sejumlah uang kepada Toni untuk ikut masuk ke ISI. Toni akhirnya mendaftar. Suatu hari, Toni ikut ibunya menjenguk salah satu saudaranya yang sakit di rumah sakit. Sepulang dari sana, iseng ia lewat di kampus ISI, Gampingan. Ia heran, kenapa banyak sekali anakanak yang berada di luar pagar dan sedang menggambar? Seperti sedang ada ujian. Hatinya merasa tidak enak. Setengah berlari, ia langsung pulang dan mengobrak-abrik sisi kamarnya untuk mencari formulir pendaftarannya. Setelah akhirnya mendapati formulir yang dicarinya, seketika itu juga Toni lemas. Ternyata hari itu adalah hari seleksi masuk ISI. Namun ia tidak melaporkan ‘tragedi’ itu kepada ibunya. Hanya saat pengumuman, ia bilang kepada ibunya kalau ia tidak lolos. Si ibu saat itu hanya menjawab dengan bijak, “Ya, mungkin belum saatnya…” Semenjak itu, batin dan pikiran Toni goncang. Ia semakin tidak
49
suka kuliah di AA YKPN, dan ia mulai sering hidup di jalanan. Suatu saat, ia bertemu dengan salah satu teman seangkatannya di AA YKPN yang kebetulan punya pacar anak ISI angkatan 1986. Anak ISI itu membuka kursus untuk para calon mahasiswa ISI yang ingin lolos ujian seleksi masuk ISI. Diam-diam, Toni ikut kursus itu, tanpa sepengetahuan bapak-ibunya. Menjelang pembukaan pendaftaran masuk ISI, barulah Toni berani bilan ke orangtuanya untuk mencoba ikut tes masuk ISI. Yusman tentu saja kaget, sebab di YKPN, Toni sudah memasuki tahun kedua. Tetapi saat itu Yusman tanggap, keinginan sang anak sepertinya sudah bulat. Kemudian Yusman mencoba memberi solusi, “Sudah begini saja, rampungkan dulu kuliahmu di AA YKPN, baru kemudian masuk ISI.” Toni menggelengkan kepala. Ia bilang saat itu, umurnya sudah cukup tua kalau harus menunggu setahun atau dua tahun lagi. Kemudian Yusman, mencoba memberi pilihan terakhir, yakni kalau nanti Toni diterima masuk ISI, ia harus kuliah dobel, satu di AA YKPN dan satu lagi di ISI. Lagilagi Toni bersikukuh tidak mau. Alasannya, ia bukan tipe orang yang ‘bercabang’ dan tidak dokus pada satu hal. Negosiasi mentok. Percakapan menemui jalan buntu. Yusman tidak merestui anaknya mencoba ikut tes masuk ISI. Mendengar hal itu, Toni langsung keluar rumah. Ia minggat. Selama seminggu lebih, Toni tidak pulang ke rumah. Ia hidup dari satu kawan ke kawan yang lain. hingga akhirnya ia mendengar dari kawan dekatnya, kalau Kartini mencari-cari Toni sambil menangis. Mendengar hal itu, Toni langsung pulang. Sesampai di rumah, Toni menemui ibunya, dan ia pun ikut menangis. Ia merasa bersalah kepada ibu yang sangat disayanginya. Sementara Yusman hanya diam saja. Saat itu, ia hanya meminta Toni mandi, lalu tidur. “Besok kita bicarakan masalahmu.” kata Yusman.
50
Keesokan harinya, tanpa banyak perdebatan, Yusman bilang kalau ia memperbolehkan Toni untuk mencoba ikut tes masuk ISI di tahun 1991 itu. Selang beberapa hari kemudian, Toni mendaftarkan diri. Di saat pengumuman tiba, Toni diberitahu oleh kawannya kalau namanya tercantum sebagai salah satu anak yang diterima di ISI. Toni segera membeli koran, dan memang menemukan namanya di sana. Ia berteriak kegirangan. Sepanjang jalan ia berjingkrak-jingkrak. Sesampai di rumah, ia memberitahu kedua orangtuanya tentang keberhasilannya saat itu. Pada saat itulah, untuk kali pertama, Toni melihat sepasang mata bapaknya berkaca-kaca…
51
Mozaik Eksterior
P
ERANG dingin antara Amerika Serikat versus Uni Sovyet, menyebar di mana-mana. Sekalipun disebut ‘Perang Dingin’ namun sesungguhnya yang terjadi adalah perang yang senyatanya. Hanya saja, peperangan kedua negara adi daya itu memercik di negaranegara yang mereka perebutkan. Salah satunya, Indonesia. Kekuatan kiri di Indonesia, di bawah kendali seorang militan yang keras kepala bernama D.N. Aidit, dan juga di bawah besutan seorang intelektual muda kiri yang flamboyan dan berjiwa seni bernama Nyoto, setelah mengambil alih pimpinan PKI dari para orangtua, dengan segera mereka berhasil membangun partai dengan sangat gemilang. Bayangkan saja, pada tahun 1927, sebagian besar para aktivis partai radikal ini dibuang ke Digoel. Pada tahun 1948, ketika partai ini mulai berkembang lagi di bawah pimpinan Muso, kembali disikat, nyaris sampai rata dengan tanah. Namun saat partai dibawah kendali duo AiditNyoto, di tahun 1959, pada saat pemilu pertama kali berlangsung, PKI berhasil menduduki peringkat empat, dan mengklaim memiliki 10 juta kader partai. Saat itu, kekuasaan politik di Indonesia hanya bisa dipetakan menjadi tiga kekuatan besar: Soekarno, Tentara (dalam hal ini terutama adalah Angkatan Darat alumni Peta), serta PKI. Pertentangan ketiga golongan ini masih belum sampai pada taraf permukaan, karena maing-masing pihak masih berhitung. Soekarno, bagaimanapun juga, masih seseorang yang mempunyai pengikut besar dengan slogan: Pejah-gesang, Ndherek Bung Karno! (Hidup-mati ikut Soekarno). Selain itu, bagaimanapun juga, dia masih sebagai ikon pimpinan PNI, sekalipun saat itu, sepak-terjang PNI mulai meredup. Sementara itu, si pihak tentara, terutama Angkatan Darat (AD), yang sejak awal sudah mempunyai nilai tawar yang tinggi terhadap kekuatan Soekarno juga berhasil mengkonsolidasikan kekuatan mereka, dan terutama mulai masuk ke dalam sektor masyarakat sipil yang lain, termasuk para teknokrat yang kelak dijuluki Mafia Barkeley,
55
juga di lini budaya yang kelak melahirkan para deklarator Manifes Kebudayaan, dan yang lebih penting lagi, masuk ke sektor mahasiswa, yang kelak membentuk organ Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Di medan kebudayaan, mulai terjadi polemik yang berkepanjangan antara Lembaga kabudayaan Rakyat (Lekra) versus para deklarator Manifes Kebudayaan (Lekra kemudian membuat akronim musuh mereka itu dengan sebutan ‘Manikebu’). Sampai sekarang, dalam dunia sejarah sosial Indonesia, masih menjadi perdebatan, apakah sebetulnya Lekra itu merupakan underbuow PKI, atau sebuah lembaga kebudayaan independen yang kebetulan mempunyai kesamaan visi dengan PKI. Polemik antara Lekra versus Manikebu itu sendiri sebetulnya merupakan polemik yang cukup ‘bermutu’, ikut memperkaya polemik sebelumya antara Sutan Takdir Alisyahbana versus Sanusi Pane. Sementara itu, di dunia seni rupa itu sendiri, sebuah peta perkembangan juga terus bergerak. Pada tahun 1937, salah satu pelukis ternama Indonesia saat itu membentuk Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), di Jakarta. Pembentukan organisasi iu sendiri lebih dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mendobrak kejumudan dunia seni rupa Indonesia yang dikungkung oleh dominasi Belanda. Mereka, para paktivis Persagi ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa para pelukis Indonesia itu ada, dengan seluruh hal yang khas. Pada tahun 1945, di bawah kekuasaan Jepang, seiring dengan semakin kooperatifnya para pimpinan politik Indonesia terhadap penguasa Jepang, terutama Soekarno yang kemudian terlibat di dalam pendirian Poesat Tenaga Rakjat (POETRA), maka dibentuklah Keimin Bunka Shidoso, semacam pusat kebudayaan. Hal ini paralel dengan kebijakan Jepang sendiri dalam bidang yang lain, misalnya menghapus dan melarang seluruh istilah yang memakai bahasa Belanda. Di masa itulah, para pelukis yang sudah termasuk senior
56
seperti Sudjojono, Agus Djaja dan Affandi, bertemu dan bergumul dengan pelukis-pelukis yang masih muda seperti Basuki Resobowo, Hendra, Trubus, dan masih banyak yang lain. Pergumulan dan pergaulan itu bukan hanya semata seperti transformasi ketrampilan melukis, namun juga terjadi transformasi ideologi. Ketika kemudian Jepang hengkang dari Indonesia, dan Belanda bersama sekutunya mulai merangsek masuk lagi dalam teritori Indonesia, terjadilah eksodus besar-besaran dari Jakarta ke Yogyakarta. Ibukota negara yang semula berada di Jakarta, dipindah ke Yogyakarta. Selain para politikus Indonesia yang mengikuti hijrah massal ini, tak ketinggalan para pelukis pun melakukan perjalanan yang sama, menuju Yogya. Dari peristiwa inilah, Yogya mulai menjadi tempat baru bagi pertumbuhan dunia seni rupa di Indonesia. Pada tahun 1947, Sudjojono kembali menunjukkan sisi lain kesenimanannya, yakni kemampuan untuk berorganisasi. Ia membentu sebuah lembaga bernama Seniman Indonesia Muda (SIM). Affandi dan teman-temannya, termasuk Basuki Resobowo kembali bergabung dengan lembaga bikinan Sudjojono tersebut. Tetapi fase itu hanya berlangsung sesaat. Karena terjadi perbedaan pendapat, Hendra dan Affandi keluar dari SIM di tahun yang sama, lalu ia membuat lembaga baru bernama Pelukis Rakyat. Beberapa seniman muda ikut bergabung di lembaga baru tersebut, misalnya Trubus. Pelukis Rakyat lambat laun mulai terlihat kedekatan ideologis antara Pelukis Rakyat dengan PKI. Karena hal itu, beberapa pelukis pergi dari lembaga tersebut, di antaranya adalah Affandi. Di antara sekian banyak lembaga seni rupa saat itu, hampir semuanya lesu, kecuali Pelukis Rakyat. Maklumlah, di saat itu, PKI pun mulai mencengkeramkan kekuatannya di ranah politik. Tidak heran, Pelukis Rakyat kemudian mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan Lekra.
57
Gambaran di atas adalah gambaran sederhana tentang perkembangan seni rupa di Indonesia, namun di luar lembaga formal (baca: sekolah). Di lembaga pendidikan formal sendiri, terjadi perkembangan yang patut dicatat. Di Bandung, misalnya, pada tahun 1947, berdiri Universitaire Leergang tot Opleiding voor Tekenleraren (Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar). Lembaga tersebut didirikan dan dikelola oleh orang-orang Belanda. Kelak, lembaga pendidikan seni formal itu kemudian tergabung di dalam Insitut Teknologi Bandung, dengan sebuah departemen yang diberi nama Departemen Seni Rupa. Sementara itu, lembaga pendidikan seni formal juga berdiri di Yogya pada tahun 1950, dengan nama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Kelak, di tahun 1968, lembaga ini berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI. --ada tahun 1965, meletuslah sebuah tragedi kemanusiaan. Tragedi ini kelak mempunyai dua nama, yang disebut dengan cara yang berbeda oleh dua kubu yang bertentangan. Kubu pertama, adalah kubu di bawah kendali AD dengan pimpinan Soeharto. Kubu ini memberi nama gerakan tersebut dengan sebutan G-30-S/PKI, yang definisinya kurang lebih adalah Gerakan 30 September yang didalangi oleh PKI. Sementara kubu lain yang merasa menjadi korban, terutama PKI, memberi nama peristiwa itu dengan nama Gerakan Satu Oktober (Gestok).
P
Ada banyak versi tentang gerakan yang menyebabkan tewasnya 6 orang Jenderal dan seorang prajurit ajudan. Versi pertama, yang kemudian memenangi laga wacana, PKI dituduh terlibat dalam peristiwa tersebut. Alasannya jelas, PKI ingin segera mengambil alih kekuasaan di Indonesia, sebab dukungan utama mereka saat itu yakni Soekarno, sedang sakit keras dan diperkirakan akan meninggal dunia. Sedangkan versi kedua menyebutkan bahwa peristiwa itu sebetulnya hanyalah konflik internal di antara kalangan AD, terutama antara para perwira muda dan para
58
jenderal. Para perwira muda merasa tidak puas dengan tingkah laku para pimpinan mereka yang gemar berfoya-foya, serta mulai tidak patuh terhadap Soekarno. Sementara itu, ada versi ketiga yang berargumen bahwa dalam di balik kejadian tragis itu dilakukan oleh Central Intelligence of Amerika (CIA), dengan alasan bahwa Amerika terlalu mengkhawatirkan kedekatan Indonesia, terutama Soekarno dan PKI yang semakin merapat ke Moskow dan Beijing. Sebetulnya masih ada sekian versi lagi tentang peristiwa ini, seiring dengan semakin banyaknya penelitian menyangkut peristiwa yang sampai sekarang masih dianggap sebagai ‘peristiwa gelap’. Namun yang jelas, imbas dari pristiwa inilah yang sesungguhnya penting, dan menjadi tonggak baru dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia. Kemenangan versi pertama, dengan seluruh instrumen politik dan budaya yang dikerahkan untuk mendukung versi tersebut, setidaknya telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban yang tidak berdosa. Ada banyak sekali penelitian yang mencoba memperkirakan berapa banyak jatuh korban, terutama yang dianggap sebagai orang komunis, bahkan juga dianggap sebagai Soekarnois. Angka yang paling rendah tentang jatuhnya korban adalah 150.000 orang, dan angkat tertinggi yang pernah diteliti, korban tragedi ini menjapai 1.000.000 orang. Proses pembantaian, pembuian, dan pembuangan orang-orang yang tertuduh berdosa itu pun berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, antara tahun 1966 sampai tahun 1969. Bahkan ada yang pada tahun 1972 masih ditangkap oleh aparat, karena dituduh terlibat peristiwa tersebut. Seperti dijelaskan di atas, AD tidak sendirian bermain memenangi laga politik itu. Di depan mereka, ada KAMI yang sampai tahun 1970 masih terus berusaha menghabisi kekuatan kiri yang tersisa, yang kemudian melebar ke menghabisi apa yang kelak disebut sebagai ‘kekuatan Orde lama’. Di garda depan itu pula, terutama yang kemudian ikut membersihkan
59
orang-orang yang dianggap berideologi kiri, tentara ‘meminjam’ tangan kelompok Islam dengan Bansernya. Sementara itu, di belakang para tentara, sebuah kekuatan sedang digodok, yakni para teknokrat yang kelak akan banyak mendesain keputusan ekonomi Orde Baru (demikian kelompok ini menamakan diri mereka untuk membedakan diri dengan kelompok lama yang dicap ‘Orde Lama’), dan para budayawan serta seniman yang tergabung dalam kelompok Manifes Kebudayaan, yang kelak akan mendesain jalannya kebudayaan di Indonesia. Tetapi rupanya, kelompok ini pun tidak monolitik. Dari pihak kami, sudah mulai muncul protes, terutama disuarakan oleh tokoh muda yang kelak juga meninggal dunia dalam usia yang sangat muda: Soe Hok Gie. Tokoh muda ini mulai menyoroti pembantaian manusia yang dilakukan oleh kekuatan Orde Baru, terutama yang dilakukan di Bali. Pada tahun 1970, tampaknya kubu KAMI mulai terbelah. Sebagian besar, mulai terserap ke dalam parlemen, birokrasi, dan sebagian lagi menjadi pengusaha yang kelak juga menopang perekonomian Orde Baru. Tetapi sebagian kecil yang lain, mencoba menghindar dari ‘jebakan kemewahan’ itu, lalu balik melakukan kritik tajam terhadap Orde Baru. Di antara para mahasiswa yang mulai mengkritik Orde Baru adalah Arif Budiman dan Syahrir. Kedua orang itu juga merupakan corong bagi mahasiswa yang merasa masih punya kewajiban moral untuk mengkritisi sebuah orde yang semula mereka dukung. Arief Budiman pula yang kemudian menjadi pelopor gerakan Golput ketika pemilu tahun 1971 sedang dipersiapkan, dan ia pula yang menjadi pelopor memprotes kebijakan dibuatnya Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang sejak semula sudah bisa dilihat sebagai proyek buang-buang duit dan sarat akan korupsi. Gerakan Mahasiswa (GM) kembali menguat untuk menentang Orde Baru, ketika memasuki tahun 1973. Di saat itu, mulai terlihat bagaimana fondasi ekonomi berdikari yang selalu digembar-gemborkan Soekarno, digantikan dengan
60
diterimanya banjir modal dari luar negeri ke Indonesia, terutama yang dilakukan oleh Jepang. Rentetan demonstrasi mahasiswa itu semakin lama semakin membesar, sehingga pecahlah apa yang kemudian dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari (Malari). Peristiwa itu menyebar ke seluruh Jakarta. Demonstrasi mahasiswa yang semula ditujukan untuk memprotes kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka, berakhir dengan bara api di mana-mana. Kantor-kantor perusahaan Jepang dibakar, ratusan mobil Jepang juga dibakar. Akibat peristiwa tersebut, belasan orang meninggal dunia, ratusan orang ditangkap. Dan kambing hitam adanya kerusuhan itu diarahkan ke para mahasiswa. Karena peristiwa tersebut, beberapa pentolan mahasiswa ditangkap dan dipenjara, beberapa di antara mereka adalah Hariman Siregar, Syahrir dan salah seorang aktivis dari Yogya, Aini Chalid. Namun tampaknya peristiwa tersebut bukannya meredam sikap politis dan kritis mahasiswa. Pada tahun 1977 sampai tahun 1978, mahasiswa kembali bangkit dengan isu yang semakin tajam. Mereka mulai mengkritisi kekuasaan tentara yang semakin dominan, kebijakan ekonomi yang tidak adil bagi rakyat jelata, termasuk masih ikut menyeret isu sebelumnya: ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap pihak asing. Kebetulan pula, momentum itu bertepatan dengan agenda pemilu, di mana segera dapat diketahui bahwa pesta demokrasi itu hanyalah opera sabun belaka yang kelak akan mengukuhkan kembali Soeharto sebagai presiden. Tampaknya pukulan balik yang dilakukan elemen pendukung Orde Baru bukan hanya dilakukan oleh para aktivis mahasiswa. Salah seorang penandatangan Menfes kebudayaan, WS Rendra, juga mulai balik menyerang Orde Baru. Sastrawan yang kerap dijuluki Si Burung Merak itu mulai meradang. Dan di saat itulah, dengan kepiawaiannya memainkan kata-kata dan bergerak di panggung pementasan, dengan cepat ia mendapatkan massa pendukungnya. Penyair ini pun akhirnya ditangkap dan dipenjara selama setahun.
61
Tetapi pukulan dari mahasiswa terhadap kekuasaan, dibalas Orde Baru dengan ‘serangan yang mematikan’. Tentara beserta panser masuk kampus. Semua Dewan Mahasiswa (Dema) dibekukan, dan lagi-lagi yang diangap pentolan serta biang kerok ditahan dan dimasukkan penjara. Tetapi senjata pamungkas yang disabetkan oleh Orde baru di kampus adalah ketika Menteri Pendidikan Daoed Joesoef mengeluarkan sebuah kebijakan bernama Normalisas Kehidupan Kampus (NKK). Kebijakan itu mencoba mentralkan wilayah kampus dari kehidupan politik praktis. Dan pembenahan administratif untuk mendukung hal tersebut benar-benar dilakukan dengan sistematis. Kebijakan NKK ala Daoed Joesof tampaknya berhasil meredam kegiatan mahasiswa di kampus. Sementara itu, di sisi lain, elemen politik Orde Baru pun mulai terkonsolidasi di bawah kekuasaan tunggal Jenderal Soeharto. Dan yang lebih menolong Orde Baru lagi saat itu untuk kembali merebut kepercayaan rakyat adalah dengan adanya booming minyak, yang menguntungkan Indonesia secara ekonomis.
62
Mozaik Interior
S
EMENTARA di awal tahun 1974, dunia politik digegerkan dengan meletusnya Malari, menjelang tutup tahun itu, terjadi sebuah persitiwa seni rupa yang menggegerkan: Desember Hitam. Memang belum ada yang berani menyimpulkan dengan pasti relasi antara kedua peristiwa yang cukup berdekatan dalam konteks waktu tersebut, tetapi dalam sejarah gerakan apapun, sebuah atmosfir politik senantiasa memberi asupan energi di berbagai bidang kreatif. Menurut Bonyong, setahun sebelum terjadinya peistiwa Desember Hitam, ia dan beberapa temannya seperti FX Harsono, Hardi dan Nanik Mirna, menggelar sebuah pameran yang ia sebut sebagai ‘pameran main-main’. Konsepnya saat itu, mereka ingin menentang paham universalisme yang dianut oleh salah satu dosen mereka. Bentukbentuk seperti bulatan, segitiga maupun garis, dianggap bukan seni. Mereka lalu mengeksplorasi halhal yang dianggap tidak seni itu. Ternyata saat pameran digelar, datanglah Sanento Yuliman, yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang kritikus senirupa yang ulung. Sanento mendekati Bonyong, lalu ia bertanya, apakah Bonyong sadar bahwa apa yang telah Bonyong lakukan bersama teman-temannya itu merupakan hal yang luar biasa. itulah yang disebut sebagai anti-lirisme. Bonyong saat itu mengaku terbengong-bengong dan bilang, “Enggak tahu aku, Mas…” Hasil kunjungan Sanento di pameran itu kemudian ditulis di media massa. Lalu dari sana mulai muncul polemik, ada yang pro dan tentu saja ada yang kontra. Wacana tersebut terus menggema, di Bandung disuarakan oleh Sanento, sementara di Yogya disuarakan oleh Sudarmadji. Setahun kemudian, tepatnya pada bulan Desember, Bonyong dan keempat rekannya dari Yogya, diundang ke Jakarta. Mereka diundang dalam rangka menghadiri sebuah lomba seni lukis. Saat itu yang terpilih sebagai juara antara lain: Aming Prayitno, AD Pirous, Irsam, dan yang menyabet karya terbaik adalah Abas Alibasyah.
65
Menjelang pengumuman, sebetulnya sudah mulai ada perdebatan tentang karya mana yang akan terpilih sebagai juara. Tetapi perdebatan memanas setelah tahu karya siapa saja yang terpilih sebagai juara. Inti dari perdebatan yang kemudian tidak pernah tuntas itu, menurut versi Bonyong, ia dan kawan-kawannya tidak sepakat kalau di dalam seni lukis terjadi penjurian. Malam itu juga, Bonyong sempat meminta uang kepada para pemenang. Saat ditanya untuk apa, ia menjawab, “Sudahlah, pokoknya untuk sesuatu…” Saat acara pembagian hadiah tiba, mendadak forum dikejutkan oleh datangnya beberapa orang yang mengusung keranda bersama karangan bunga dengan tulisan: Turut berduka cita atas kematian seni lukis Indonesia. Selain itu, ada pula manifesto yang dibuat oleh para pemrotes, banyak nama yang ikut bertandatangan, terutama dan Bandung, Jakarta, dan tentu saja kelima orang dari Yogya. Namun Bonyong tidak berpikir hal itu akan berbuntut panjang. Pertama, ia kenal betul dunia senirupa. Hal-hal seperti itu, bukanlah hal yang memalukan alias biasa. kedua, ia kenal cukup dekat dengan orang-orang yang diprotesnya. Sekalipun sebagian orang yang diprotesnya adalah para dosen yang mengajarnya, tetapi hubungan mereka lebih sering sebagai kawan. Ketiga, toh uang yang dipakai untuk melakukan aksi itu adalah uang dari para pemenang. Dan yang poin keempatlah yang sebetulnya meyakinkan Bonyong bahwa peristiwa itu pasti cepat berakhir: ia dan kawan-kawannya yang protes sempat ditraktir makanmakan oleh beberapa juri dan para pemenang. Malam itu, Abas Alibasyah bahkan sempat bertanya, “Besok kamu mau ke mana, Nyong?” “Ke Yogya, Pak. Mau daftar ulang kuliah.” jawabnya Bonyong singkat. Selang beberapa hari kemudian, setelah berada di Yogya, saat Bonyong mau daftar ulang di kampusnya, ia ditolak oleh salah
66
satu dosennya. Mendengar hal itu, Bonyong dan Hardi, yang saat itu berbarengan mendaftar ulang, bertanya, “Ada masalah apa, Pak?” Sang dosen mempermasalahkan mereka yang terlibat dalam aksi Desember Hitam tersebut. Bonyong dan Hardi tidak terima, “Itu kan tidak ada hubungannya dengan kuliah, Pak?” Si dosen tetap bergeming. Bonyong dan Hardi gagal melakukan proses daftar ulang hari itu juga. tidak lama kemudian muncul keputusan dari pihak kampus bahwa kelima mahasiswa yang ikut menandatangi Desember Hitam mendapat sanksi akademik. Berita segera menyebar ke mana-mana. Protes dilakukan oleh para mahasiswa. Beberapa dosen bahkan menyatakan diri keluar dari STSRI-ASRI karena merasa pihak kampus telah melakukan kesalahan yang telak. Di antara mereka yang keluar adalah Sudarmadji, Darmanto Jatman. Sudarmadji akhirnya mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), kemudian pergi ke Belanda. Sementara Darmanto Jatman akhirnya mengajar di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Ada hal yang agak ganjil, memang. Sebab di Bandung, para penandatangan dan mereka yang terlibat aksi Desember Hitam, justru mendapatkan pujian dari civitas akademika. Berkebalikan dengan apa yang terjadi di Yogya. Bagi Bonyong sendiri, peristiwa itu membuatnya kesal sekali, apalagi sebetulnya dia tinggal menyelesaikan tugas akhir. Sebelum berangkat ke Jakarta, ia sempat menemui beberapa dosen yang akan mengujinya. Saat itu Bonyong sempat berkata dengan nada optimistis, “Selamat bertemu di arena ujian, Pak!” Alih-alih bertemu di arena ujian, dari sejak mendaftar ulang saja, ia sudah kena cekal. Berkali-kali Bonyong menemui beberapa dosennya, termasuk Fajar Sidik. Fajar kemudian meminta agar Bonyong bersedia meminta maaf. Saat itu juga, Bonyong meminta maaf dalam konteks anak muda yang bersalah kepada
67
orang yang lebih tua. Tetapi Fajar Sidik meminta syarat yang lain, yaitu Bonyong harus pernyataan yang pernah dibuatnya di depan publik. Untuk kali itu, Bonyong menolak keras. Kembali, Bonyong menemui jalan buntu untuk bisa meneruskan kuliahnya yang tinggal setapak lagi. Tetapi kelak di kemudian hari, setelah hampir 10 tahun ia kena sanksi akademik, ia dicari dan ditemui oleh Fajar Sidik, salah satu dosen yang ikut memberi sanksi akademik. Fajar kemudian meminta agar Bonyong melakukan ujian untuk tugas akhirnya. Akhirnya Bonyong lulus pada tahun 1983. --anksi akademik yang diterima oleh Bonyong dan temantemanya, tidak membuat Bonyong surut untuk terus bergerak di dunia senirupa. Mereka sering mengadakan pertemuan dengan perupa-perupa dari kota lain yang mempunyai gagasan yang sama, terutama dengan kelompok Jim Supangkat di Bandung.
S
Pertemuan dan komunikasi yang intens itu kemudian mengerucut dan menggelindingkan sebuah gerakan senirupa yang masuk dalam catatan sejarah: Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Mereka pun menggelar sebuah pameran bersama di TIM. Pameran tersebut pun menuai pro-konra, apalagi dengan dilansirnya semacam manifesto yang diberi judul: Lima Jurus Gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru. Gagasan GSRB tentu saja lebih mengkristal di banding dengan peristiwa Desember Hitam. Jika diambil saripati gerakan tersebut kira-kira isinya adalah menolah paham lama mengenai senirupa, menolak spesialisasi di dalam senirupa, membuka seluas mungkin kemungkinankemungkinan di dalam berkarya, mengembangkan sendiri sejarah senirupa versi Indonesia yang dilakukan oleh para pemikir Indonesia, serta mengharapkan senirupa lebih berguna bagi masyarakat luas. GSRB masih sempat pula melakukan pameran kedua sekaligus pameran yang terakhir pada tahun
68
1977. Sementara di tingkat lokal Yogya, Bonyong dan temantemannya, membuat gebrakan tingkat lokal dengan label Kepribadian Apa (Pipa). Namun yang menjadi motor penggerak Pipa adalah perupa-perupa yang lebih yunior seperti Haris Purnama, Gendut Riyanto (alm), Tulus Warsito, Mulyono dan masih banyak lagi. Pipa sempat melakukan du akali pameran bersama, yang pertama pada tahun 1977 dan yang terakhir pada tahun 1979. Gerakan ini jelas terinspirasi dari GSRB, dan oleh karena itu, intisari pemikiran mereka pun tidak jauh dari intisari pemikiran GSRB. Begitu dekade 70an berakhir, sebagaimana lanskap sosial politik yang telah samasama kita ketahui, kampus kembali sunyi. Tetapi setiap kesunyian, sesungguhnya menyimpan potensi bunyi, kalau tidak dikatakan sebagai suatu jenis bunyi. --ogyakarta adalah magnet bagi banyak orang yang terobsesi dengan dunia kreatif dan intelektual. Sebutan ‘Kota Palajar’ bukanlah sembarang sebutan yang dititahlan dari langit. Sebutan itu termanifestasi dalam kehidupan dan geliat kota tersebut.
Y
Semenjak tahun 1950an, kota itu sudah mengundang para pemuda yang haus akan ilmu pengetahuan dan pergaulan intelektual. Mereka menyerbu Yogya seperti laron-laron yang melihat cahaya lampu. Tetapi puncak kehidupan yang dinamis kota tersebut sebetulnya terjadi di era 1970an. Di saat itulah, Malioboro menjadi pusat perhatian dengan dikomandani oleh seorang Presiden Penyair Malioboro: Umbu Landu Paranggi. Dari sentuhan tangannya, dan dari interaksinya bersama anak-anak muda zaman itu, lahirnlah tokoh-tokoh beken dalam dunia sastra dan budaya, seperti Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib, Ashadie Siregar, Suminto A Sayuti, Faruk HT, Simon Hate, Halim HD dan masih banyak lagi.
69
Tidak jauh dari tempat tongkrongan para kaum inteletual yang ngangsu kaweruh bersama di pinggiran Malioboro itu, terdapat sebuah gedung yang monumental bagi perkembangan senirupa saat itu yakni Gedung Senisono. Di gedung itulah, para perupa dari STSRI-ASRI sering mengadakan pameran. Selain berpusat di gedung tersbut, para perupa juga aktif melakukan kegiatan mereka di kampus, di daerah Gampingan, yang kurang lebih hanya berjarak 2 kilometer dari gedung Senisono. Hubungan antara kaum inteletual-sastrawan-perupa saat itu sangat dinamis. Setiap proses kreativitas selalu butuh lawan dan kawan. Mereka berproses serupa filosofi mencari ilmu orang Jawa dalam prosesi menumbuk padi. Kulit padi yang mengelupas bukan hanya karena ditekan oleh alu dan lumpang, melainkan tergesek oleh sesama padi saat alu menumbuk lumpang. Tetapi poros imajiner antara Malioboro-SenisonoGampingan, juga terkena hukum waktu. Ada saatnya bermula, dan ada saat pula untuk berakhir. Hal itu terjadi karena masingmasing orang yang terlibat di sana mulai bergelut suntuk dengan dinamika sosial dan fokus kerja masing-masing, dan yang tidak kalah pentingnya, dipicu oleh hengkangnya Sang Presiden Umbu Landu Paranggi yang kemudian memilih pergi ke Pulau Bali. Mungkin hanya kebetulan, tapi mungkin juga tidak, redup dan pudarnya pesona Malioboro itu terjadi juga di akhir tahun 1970an. --arry Wahyu, yang oleh teman-temannya lebih sering dipanggil dengan nama Ong, masuk STSRI-ASRI tahun 1980. Ia masuk jurusan grafik. Jurusan yang keliru dipilihnya, sebab sebetulnya yang ia maksud adalah masuk jurusan desain komunikasi visual. “Sudah terlanjur masuk, malas kalau mau mengulang lagi,” ucapnya, mengenang kekeliruannya memilih jurusan.
H
Bersama Ong, di dalam satu angkatan itu, namun beda jurusan
70
yakni jurusan seni lukis, ada setidaknya tiga nama yang kemudian tenar sebagai pelukis: Heri Dono, Eddie Hara dan Dadang Christanto. “Memang dari dulu, ketiga orang itu sudah terlihat mencorong di antara sekian banyak teman-teman mereka,” begitu pengakuan Ong. Di tahun 1980an itu, apa yang sebelumnya terjadi di dalam batupal (milestone) dunia senirupa seperti GSRB dan Pipa sudah pula pudar. Masih menurut Ong, kehidupan di kampus memang penuh kreativitas, tetapi lebih kepada soal ngedan, sebuah istilah untuk menunjuk pada eksplorasi gila menyangkut perilaku dan eksplorasi karya. Ong masih bisa mengingat dengan baik, bagaimana Eddie Hara melakukan seni peristiwa (performance art), dengan kekasihnya yang berasal dari luar negeri. “Tugasku saat itu bagian motret.” kata Ong. Ong juga masih bisa mengingat seni peristiwa yang lain, yang terekam kuat di dalam ingatannya, yakni ketika Haris Purnama menggelar seni peristiwa bertajuk: Karnaval Proyek Luka. Saat itu, Haris keliling kota Yogya dengan naik sepeda angin yang seluruh bagian sepeda itu dibalut perban. Di tahun-tahun itu, pengertian soal lukisan masih konvensional, yang disebut lukisan ya hanya yang berupa cat minyak di atas kertas. Sketsa dan medium selain kanvas, tidak dianggap sebagai lukisan. Pada saat itu pula, tempat pameran masih sangat terbatas, setidaknya saat itu hanya ada tiga tempat: Senisono, Bentara Budaya dan Karta Pustaka. Setiap perupa yang pameran di saat itu, berarti ia siap rugi, sebab lukisan saat itu tidak laku, kecuali beberapa seniman saja, misalnya Ivan Sagito. Perupa yang ingin mencari uang sendiri, tidak mengandalkan kiriman orangtua, biasanya terlibat ikut membuat iklan, dari mulai membuat spanduk sampai poster. Ada juga yang mengisi ilustrasi di berbagai koran. Dan yang dianggap proyek besar saat itu adalah ketika ada perupa yang diminta oleh pihak Gramedia
71
untuk menggambar ulang sampul buku di atas triplek besar, untuk acara tertentu, seperti peluncuran buku atau sekadar promosi biasa. Saat itu, di kampusnya, sama sekali tidak ada kegiatan yang berbau politik. Dan paralel dengan hal itu, booming minyak membuat Indonesia makmur secara ekonomi, sekalipun sesungguhnya hanyalah gelembung ekonomi (bulb economic), banyak orang kaya baru dan banyak bank yang didirikan. Soal absennya kegiatan politik di kampus juga dibenarkan oleh Dwi Maryanto, yang pada tahun 1984 sudah mulai mengajar di kampus STSRI-ASRI yang saat itu telah berubah nama menjadi Institus Seni Indonesia (ISI). Saat itu jika ada yang mencoba ngomong politik, selalu dibilang kawannya yang lain, “Sudahlah soal politik dan ekonomi sudah ada anak-anak UGM yang lebih jago.” Maka kemudian yang lebih banyak terjadi adalah eksplorasi media dan pencarian bentuk lukisan. Misalnya saja Dwi Maryanto mencontohkan, saat itu yang sedang populer adalah karya seni lukis yang surealistik. Salah satu pelukis yang diingat begitu dahsyat melakukan eksekusi gagrak (genre) itu adalah Lucia Hartini. Lucia pernah melukis baskom yang terbalik di tengah laut. Kemudian Lucia juga pernah melukis seekor burung bangau yang tersangkut di alang-alang. Baik Ong maupun Dwi Maryanto mengakui, saat itu, dan kemungkinan besar juga sampai beberapa tahun selanjutnya, ada semacam strata antara anak seni lukis dibanding jurusan-jurusan yang lain. Ong mengaku, saat itu, “Orang lukis itu nomor satu.” Sementara Dwi Maryanto mengatakan, justru karena hal itulah, orang seperti dirinya lalu mencari berbagai peluang, seperti kemudian menjadi penulis dan kurator. “Makanya sampai sekarang banyak anak grafik yang menjadi kurator atau penulis,” kata Dwi Maryanto menandaskan.
72
“Zaman itu di kampus, isinya ngedan, mabuk-mabukan, dagelan dan hura-hura.” ungkap Ong, ketika ditanya apakah saat itu kehidupan politik masuk di ISI. Pernah katanya, ia dan temanteman satu angkatannya, termasuk Eddie Hara, membuat wayang dari karton. Tokoh-tokoh di dalam wayang itu adalah para teman dan dosen mereka. Ceritanya seronok dan lucu, berkisah tentang kehidupan keseharian kampus, dalangnya anak Diskomvis, dan musik pengiringnya adalah grup musik keroncong. Bagi Ong, kampusnya adalah sebuah tempat yang memberi limpahan energi kreatif yang luar biasa. Ia menggambarkan kampusnya seperti hal ini, “Seperti sanggar tapi besar sekali. Hanya bedanya, ada yang disebut guru dan ada yang memberi nilai. Tetapi nilai pelajaran tidak penting-penting amat, yang penting terus bisa berkreasi.” --i Kampus ISI Gampingan, semenjak lembaga tersebut masih bernama STSRI-ASRI, tempat itu merupakan tempat favorit anak-anak kampung sekitar. Selain tempatnya teduh, dulu selain ada pohon beringin besar yang sampai sekarang masih ada, juga terdapat banyak pohon kemiri. Di tempat itu juga, dulu ada banyak sisa-sisa cat, yang boleh digunakan oleh anak-anak untuk mengecat apa saja, mengecat tembok sampai mengecat batu.
D
Salah satu anak yang selalu bermain di ISI adalah Gandung. Tetapi Gandung adalah nama paraban, nama julukan. Naman aslinya Wahyudiyono. Ia kelahiran 1969. Gandung tidak lulus SD. Sejak kecil, orangtuanya cerai. Dan sejak kecil pula, ia sudah terbiasa mencari uang sendiri. Ia bahkan mulai mengayuh becak semenjak usia 11 tahun, dan karena belum bisa mengayuh dari sadel, terpaksa ia lakukan dari spatbor roda bagian belakang. Karena sejak kecil selalu berada di kompleks ISI, ia mengenal hampir semua orang yang pernah kuliah di sana, terutama para
73
mahasiswa yang aktif. Sebutlah siapa saja, pasti dia akan tahu. Gandung mengaku kalau dirinya nakal. Tetapi ia mempunyai alasan khusus untuk itu, “Bagaimana tidak nakal, saya itu sejak kecil kalau tidur, melihat simbok saya main judi. Suatu saat ketika saya sudah besar dan sudah bisa mencari uang sendiri, kebetulan saya juga suka judi, simbok saya mengingatkan agar saya tidak berjudi. Tetapi saya balikkan kata-katanya, kalau dulu dia pun suka berjudi bahkan di depan anak sendiri.” Selain suka berjudi, Gandung juga dikenal sebagai peminum berat. “Saya selalu nyanding vodka atau sejenisnya. Kalau bangun tidur tidak minum alkohol, rasanya badan ini kurang bergairah.” Dulu, tempat mangkal Gandung dengan becaknya berada di perempatan Wirobrajan, hanya spelemparan batu dari kampus ISI. Selebihnya, ia nongkrong di ISI, ikut mabuk bareng dengan para mahasiswa. Dia tahu betul siapa saja dan dari angkatan berapa saja yang sangat ngedan di ISI. “Bahkan ada yang edan betulan, namanya Marganus. Kalau tidak angkatan ’78 ya angkatan ’79. Saya masih sering ketemu dia di jalanan. Karena saya diweling Pak Ong agar memperhatikan orang itu, ya setiap ketemu masih sering saya beri rokok.” Ia juga tahu betul siapa saja mahasiswa yang sudah berhasil dan masih teringat sama dia, dan yang sudah melupakannya. “Kalau Mas Heri Dono dan Eddie Hara itu baik sekali. Kalau datang ke kampus, pasti nyari saya, dan sering diberi uang. Tetapi andalan saya jika kepepet dan tidak punya uang ya datang ke Pak Ong.” Gandung bertubuh tambun, tetapi tampak kuat. Beberapa bagian giginya hancur. Beginilah pengakuannya, “Saya ini brjiwa seniman. Saya pernah enam tahun jadi anggota grup musik dangdut, bagian saya memainkan kendang dan ketipung. Kalau soal gigi, itu gara-gara waktu kecil saya sering ikut grup jathilan. Kalau pas ndadi (trance), saya makan beling dan mbrakoti sabut
74
kelapa. Makanya gigi saya hancur semua.” Tetapi semenjak tahun 1991, ketika anak pertamanya lahir, Gandung sudah tidak mau minum minuman keras, takut mengalami seperti yang dilakukannya kepada simboknya. “Saya takut diwelehke anak saya. Kalaupun toh minum, paling sekarang hanya minum bir, itu pun kalau ada yang membelikan.” Namun jika ada acara mabuk-mabukan di kampus, ia tetap terlibat. Terutama untuk menjaga mahasiswa-mahasiswa yang mabuk agar tidak bikin onar dan berantem. Dan tentu saja mengumpulkan botol serta kaleng minuman bekas tempat alkohol untuk dijual. Selain itu, kini ia juga berprofesi sebagai tukang pijat. Dan becaknya sekarang pun sudah terkenal dengan sebutan ‘Gandung Becak Art Trip’. Sesuai dengan namanya, Gandung khusus mengantarkan tamu-tamu yang ingin berwisata seni, terutama di galerigaleri atau tempat-tempat pameran. Ia juga kerap diminta beberapa pelukis untuk mengantar karya mereka ke tempattempat tertentu. Sebutan ‘Gandung Becak Art Trip’ diberikan oleh Samuel Indratma, dan Samuel pula yang mengiklankan ke mana-mana, termasuk lewat dunia maya. Maka, kalau ada seseorang yang ingin tahu masa lalu seorang tokoh di ISI, bahkan semenjak bernama STSRI-ASRI, asal di atas tahun 1977 sampai 1997, Gandung adalah salah satu orang yang pantas ditanya. Dan beginilah menurut penuturan Gandung, “Anak ISI sekarang sudah enggak asyik lagi, sudah enggak ngedan seperti dulu lagi. Sekarang serba necis. Terutama anakanak angkatan 1998 ke sini…” Mungkin saja benar omongan Pak Gandung. Sebab zaman sudah berubah. Tetapi masalahnya, semenjak anak angkatan 1998 sampai tahun-tahun berikutnya, sudah tidak kuliah lagi di Gampingan, melainkan sudah di Sewon, Bantul. Sebuah tempat
75
yang tentu saja jarang dikunjungi Pak Gandung. --rahmaiani memang baru berdomisili di Yogya pada tahun 2001. Tetapi Yogya, bukanlah kota asing baginya, terutama karena ia menjalin hubungan yang erat dengan banyak seniman dai Yogya, semenjak awal tahun 1980an.
A
Ia masuk kuliah di Departemen Seni Rupa ITB pada tahun 1979. Sesungguhnya, di saat itu, ia juga diterima masuk STSRIASRI. Tetapi karena pertimbangan bahwa orangtuanya tinggal di Bandung, maka ia memutuskan untuk kuliah di ITB. Saat ia masuk di ITB, gema GSRB sudah tidak terdengar lagi di kampusnya. Tetapi ITB, sebagaimana dua kampus lain yakni UI dan UGM, selalu tidak pernah putus melahirkan generasi-generasi penentang Orde Baru. Di sanalah, Arahmaiani mencemplungkan diri, di gerakan politik. Hal itu dilakukan bukan tanpa latar belakang, saat ia masih duduk di bangku SMA pun ia pernah ditahan karena sudah terlibat aktivitas politik, terutama menentang agenda pemilu 1977. Arahmaiani agak menyangsikan kalau STSRI-ASRI relatif bersih dari kegiatan politik. Baginya, apa yang dulu dilakukan oleh Eddie Hara dan kawan-kawannya, cukup politis. “Hanya saja kan waktu itu Orde Baru sedang kuat-kuatnya, sehingga setiap kegiatan politik harus dibungkus dengan rapi.” ITB dan ISI, masing-masing tempat itu mempunyai stereotip sendiri-sendiri. Menurut Arahmaiani, seni rupa ITB serig disteretipkan sebagai laboratorium Barat. Sedangkan STSRIASRI sering distereotipkan dengan hal-hal yang berbau kerakyatan. Pendapat tersebut didukung oleh Ong, walaupun dengan penekanan yang agak berbeda. Menurutnya, anak-anak senirupa ITB unsur modernismenya kuat, termasuk dealam hal gagraknya seperti kubisme dan abstrak. Sedangkan di STSRI-ISI dikenal sebagai kampus yang bersetia dengan lukisan gagrak realis.
76
Arahmaiani sendiri mengaku sebetulnya merasa lebih cocok dengan orang-orang Yogya. Praktik-praktik berkesenian di Yogya menurutnya lebih bisa dimengertinya daripada praktik-praktik kesenian di Bandung. “Mungkin karena di Bandung, senimansenimannya lebih individualistis dan elitis…” jelasnya. Lagi-lagi menurut Arahmaiani, tempat ngumpul seniman Bandung sangat terbatas, “Paling-paling di kampus,” ujarnya, “kalau di Yogya kan bisa di angkringan atau di rumah siapa gitu…” Perihal pemahaman seni yang konvensional dalam lembaga pendidikan formal, sperti yang pernah disitir oleh Ong, jika di Yogya yang namanya lukisan ya cat minyak di atas kanvas, di bandung pun menurut Arahmaiani sama saja, “Aku pernah tidak lulus ujian gara-gara aku melukis dengan arang.” Perupa yang sudah sejak lama menekuni bidang seni peristiwa (performance art) ini juga sempat mengungkapkan bagaimana susahnya ia mengembangkan bidang itu. Dulu, seni peristiwa itu sering hanya disebut dengan istilah ‘njeprut’, yang kurang lebih artinya gila-gilaan, tidak jelas, serta dianggap sarafnya sudah putus. Tetapi Arahmaiani juga tahu, di Yogya, seni peristiwa sudah lama pula dilakukan. Terutama di saat angkatan Heri Dono dan kawan-kawan. --ella Jarsma datang ke Indonesia karena digiring oleh bayangan (shadow). Semenjak ia kuliah seni di Belanda, ia begitu terpukau dan terobsesi dengan bayangan. Dan karena ketertarikannya itu, ia selalu mencoba memotret bayangannya sendiri, saat ada matahari, maupun saat ada sumber cahaya yang lain. Ia begitu terpukau dengan bayangan, sesuatu antara gelap dan terang, batas antara yang hidup dan yang mati, tegangan antara yang material dan imaterial.
M
Kebetulan saat kuliah itu pulalah, ia mengenal wayang kulit,
77
sebuah pertunjukan yang berhubungan erat dengan bayangan. Ia pun lantas berkunjung ke Indonesia. Di negeri ini, perihal bayangan semakin mengeras di pikiran dan batinnya. Karena itu, begitu lulus kuliah, ia mencari beasiswa yang memungkinkannya berkunjung dan sekolah di Indonesia. Tahun 1985, ia berhasil mendapatkan beasiswa, dan tiba di Indonesia. Awalnya ia kuliah di IKJ, mengambil seni patung dan instalasi. Tetapi hanya bertahan enam bulan. Ia bosan di Jakarta. Akhirnya Mella memilih hengkang ke Yogya, yang menurutnya, lebih mempunyai konsep bayangan yang lebih kaya, misalnya saja di warung-warung angkringan yang hanya diterangi lampu teplok dan dikelilingi terpal plastik. Selain soal bayangan, ada hal lain yang membuat Mella lebih kerasan berada di Yogya dibandingkan dengan di Jakarta. Di IKJ, karena jarak rumah atau kos-kosan para mahasiswa saling berjauhan, maka mereka cenderung hanya berkumpul di kampus. Sedangkan di Yogya tidak seperti itu. mahasiswa bisa berkarya di mana saja, di masingmasing kos mahasiswa bisa jadi studio, karya para mahasiswa bisa didiskusikan di kampus, tetapi juga bisa didiskusikan di masing-masing kos-kosan. Di Yogya, Mella bertemu dengan geng Dadang Christanto dan kawan-kawannya yang lain, sperti Heri Dono, Eddie Hara, dan Nindityo Adipurnomo. Nama laki-laki terakhir itu, kelak menjadi suaminya. Di Yogya, Mella terus mencoba mengeksplorasi bayangan. Bahkan ia menyewa rumah yang tidak mempunyai aliran listrik, semata-mata untuk mendalami kemungkinankemungkinan perihal bayangan. Tahun 1986, beasiswanya selesai. Dan kebetulan pula, Nindit bisa mendapat beasiswa pergi ke Belanda. Sepasang kekasih itu akhirnya sama-sama pulang pergi ke Belanda, dan kemudian menikah di sana. Selama di Belanda itulah, mereka berdua sering menghabiskan waktu untuk jalan-jalan di galeri seni. Di saat
78
itulah muncul pemikiran, kalau mereka perlu membuat semacam galeri di Yogya. Pada bulan Agustus 1987, mereka telah sampai lagi ke Indonesia, dan hanya butuh waktu setengah tahun, sebuah galeri bernama Galeri Seni Cemeti berhasil mereka dirikan, tepatnya pada bulan Januari 1988. Nama ‘cemeti’ itu mereka ambil, karena mereka merasa di Yogya butuh sebuah lecutan seni. Nama itu pula, sebetulnya diambil saat mereka berdua berkunjung ke Semarang, dan ada sebuah majalah dinding di sebuah sekolah yang memakai nama Cemeti juga. Alasan dibentuknya cemeti sebetulnya berawal dari niatan yang sederhana. Pertama, karena ruang pameran di Yogyakarta saat itu sangat sedikit. Kedua, ruang pameran itu hanya sebatas sebagai ruang pameran, ketika seorang seniman selesai melakukan pameran, hubungannya dengan pihak pengelola ruang pameran juga selesai. Tidak ada sistem dokumentasi dan informasi yang terus dimutakhirkan, serta tidak ada upaya dari pihak galeri yang ada untuk terus mengikuti perkembangan seorang seniman yang pernah berpameran di sana. Dan alasan ketiga, inilah yang nampaknya paling penting, pengertian bahwa senirupa, hanyalah semata-mata terfokus kepada seni lukis. Sketsa, instalasi, seni patung, belum dianggap sebagai bagian dari seni yang penting. Banyak seniman bahkan, yang sebelum membuat sebuah lukisan, mereka membuat sketsa di atas kertas, tetapi begitu lukisannya sudah jadi, sketsa itu dibuang begitu saja. hal sperti itulah yang menjadi perhatian Mella dan Nindit. Mereka benarbenar berharap dan berjuang, Galeri Seni Cemeti bisa menjadi galeri alternatif di Yogya. Saat Galeri Seni Cemeti dibuka, mereka hanya mempunyai ruang pajang untuk pameran seluas 4x7 meter. Untuk pembukaan galeri ini, digelarlah pameran bersama lima perupa: Mella Jarsma, Nindityo Adipurnomo, Ong Harry Wahyu, Eddie Hara dan
79
Heri Dono. Lalu kelima perupa itu giliran melakukan pameran tunggal di sana. Mella dan Nindit benar-benar membangun Galeri Seni Cemeti dari nol. Mereka menyablon sendiri poster dan undangan, lalu mengantar sendiri undangan-undangan ke orang-orang yang diundang. Cukup lama mereka menggunakan uang pribadi mereka di saat awal-awal galeri tersebut berdiri. Dengan manajemen yang baik, dan visi yang terus terjaga, Galeri Seni Cemeti benar-benar menjadi galeri alternatif di Yogya. Dan lambat laun, banyak orang yang mulai berdatangan, terutama para turis yang membeli lukisan dan sketsa. Ketika sketsa mulai laku dijual, baru banyak perupa yang terbuka pikiran mereka, ternyata sketsa pun merupakan produk seni dan bisa dijual. Saat Bob dan Toni masuk ISI pada tahun 1991, dan saat Teddy masuk ISI pada tahun 1992, Galeri Seni Cemeti sudah menempati posisi yang cukup penting dalam dunia senirupa di Yogya, bahkan di Indonesia. Bisa berpameran di Galeri Seni Cemeti, sudah mulai menjadi impian banyak perupa.
80
Forum Adu Goblok
S
YAMSUL Barry atau Icul, sebagaimana remaja lain yang merasa mempunyai bakat menggambar, dan sekaligus ingin menjadi seniman, begitu lulus dari SMA, mencoba mencari sekolah tinggi yang dipikirnya mampu menggilapkan ketrampilannya. Lalu ia mendengar kalau di Yogyakarta ada sebuah sekolah tinggi bernama STSRI-ASRI. Ia segera meninggalkan kota tempat asalnya, Jakarta, untuk menuju Yogya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1989. Setiba di Yogya, ia dikagetkan oleh dua hal. Pertama, sekolah tinggi yang ditujunya itu ternyata telah lama berubah nama menjadi ISI. Kedua, ketika kemudian mengikuti ujian masuk ISI, bakat menggambarnya tidak cukup buat menembus ujian masuk. Ia gagal masuk ISI. Kelak, kekagetannya akan bertambah lagi. Tetapi Icul tidak mau balik ke Jakarta. Ia menetap di Yogya, dan sembari menunggu kesempatan di tahun berikutnya, Icul kursus bartender di sebuah akademi pariwisata. Saat itu ia berpikir, “Kalau nanti tidak tembus lagi, aku akan buka warung makan. Bisnis makan tidak pernah sepi pembeli.” Tetapi ternyata di tahun berikutnya, 1990, ia berhasil masuk ISI dengan jurusan Kriya. Begitu masuk ISI, kekagetannya semakin bertambah. Di kampus, menurut Icul, suasananya ‘rock ‘n roll’, gila habis. Di mana-mana banyak mahasiswa berlaku gila, dan alkohol bisa diminum di setiap pojok kampus. Saat itu, ia sempat berpikir, “Wah, bagaimana bisa belajar kalau suasananya seperti ini?” Tetapi pikiran Icul tidak sejalan dengan praktiknya. Dengan segera, apalagi ia mempunyai ketrampilan mengoplos minuman yang dipelajarinya dari tempat kursus, segera ia menjadi ‘bartender idola’ di kampus ISI. Icul pun mulai terlibat dalam aksi gilagilaan ala ISI. Kalau ada pentas musik, botol minuman berterbangan di panggung. Musisi dengan seenaknya diturunkan oleh penonton yang kemudian mengambil alih panggung dengan kegiatan apa saja, apakah hanya sekadar menjerit atau bahkan bertelanjang
83
memamerkan tato. Kalau ada acara kemah, aksi gila seperti itu bisa sampai menyiram minyak tanah ke dalam kantung beras yang sedianya untuk bahan makan. Icul menyatakan, kalau angkatan 1989 dan 1990 disebutnya sebagai masa ‘transisi’. Sebab, kelak kemudian, setelah tahun 1991, ada perbedaan yang cukup mencolok di kegiatan kampus ISI. Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh Icul, sebab di dunia luar (baca: politik nasional), juga tengah terjadi pergeseran atmosfir, terutama ketika kekuasaan Orde Baru yang berhasil menetralisir kampus dari aksi politik mulai luntur, dan kebijakan politik Orde Baru di tingkat rakyat mulai semakin memperlihatkan kebrutalannya. Salah satu orang yang juga satu angkatan dengan Icul adalah Edo Pillu. Ia punya sejarah yang cukup unik mengapa bisa kuliah di ISI. Edo berasal dari Bandung. Sejak SMA, ia sudah mempunyai ketrampilan membuat patung dan bermain musik. Saat lulus dari SMA, ia bekerja kepada seorang pematung di Bandung. Suatu saat, Edo iseng-iseng menggambar di kertas, dan hasil gambarnya itu dilihat oleh si pematung. Melihat ‘bakat tersembunyi’ Edo, si pematung segera memberi Edo uang untuk mendaftar kuliah yang ada jurusan seninya. Saat itu, Edo pikiran Edo bercabang, memilih antara masuk seni rupa ITB atau ISI. Namun akhirnya Edo memilih masuk ISI. Alasannya pun sederhana, ia ingin suasana kota yang baru. Begitu masuk ISI, hampir sama dengan Icul, ia cukup terkejut. Kehidupan ala bohemian dengan alkohol dan kegilaan yang merebak di seantero kampus, membuatnya terbengong-bengong. Tetapi sebagaimana akhirnya mahasiswa baru yang lain, apalagi yang memang mempunyai bibit keliaran, Edo segera memasuki pergaulan seperti itu dengan santai. Tiada hari tanpa mabuk. --ada tahun 1991, di antara 30 mahasiswa baru jurusan seni lukis, terdapat dua nama: Bob dan Toni. Menurut pengakuan Toni, ia seperti sudah pernah mendengar nama
P
84
Bob sebelumnya. “Kayaknya aku sudah pernah dengar nama Bob, deh. Mungkin karena dia anak Q’zruh, mungkin karena dia pernah sering menjadi juara menggambar. Tapi kemungkinan besar, aku rancu dengan Bob yang lain. Bisa jadi yang kudengar adalah Bob Dylan atau Bob Marley, bukan Bob yang kawan satu angkatanku ini.” paparnya sambil tertawa. Berbeda dengan Icul dan Edo, begitu masuk ISI, Toni langsung merasa senang bukan kepalang. Inilah kampus yang bisa membuatnya berbuat segila yang dia mau. Apa yang dirasakan Toni, hampir sama juga dengan apa yang dirasakan oleh Bob. Di pikiran Bob saat itu, apa yang sering disebutnya dengan ‘kebebasan’ semakin terang. Namun, ia punya pengalaman yang agak buruk saat mulai masuk ISI, yakni ketika terjadi perpeloncoan bagi mahasiswa baru. Sudah menjadi rahasia umum di seantero Yogya, sistem perpeloncoan di ISI merupakan salah satu sistem perpeloncoan yang terkenal dengan kegilaan dan keganasannya. Oleh para kakak-kakak seniornya, Bob dan beberapa temannya disuruh telanjang, untuk diperiksa, apakah ia punya tato atau tidak. Bagi yang punya tato, perpeloncoan bisa lebih kejam lagi. Sebab oleh para senior, mereka yang bertato sudah punya pengalaman dan mental yang nakal. Dan sebab lain, sebagaimana hukum perpeloncoan, setiap yunior tidak boleh menyaingi para senior, juga dalam hal bertato. Malang bagi Bob, ia ketahuan mempunyai tato. Maka ia dikelilingi belasan seniornya, dan mengalami perpeloncoan yang lebih keras lagi. Mulai dimaki, sampai ditantang berkelahi. Tetapi dasar Bob, keesokan harinya, ia malah menambah satu tato lagi, dan saat itu, tatonya mulai diperlihatkan. Para seniornya marah lagi, Bob kena hukuman lagi. Dan keesokan harinya lagi, Bob menambah satu tato lagi. Begitu seterusnya sampai fase perpeloncoan usai. Di antara anak-anak seni lukis angkatan 1991, terdapat nama
85
perempuan yang cukup antik. Namanya, Bunga Jeruk. Ia masuk ISI selain karena sejak kecil suka menggambar, juga karena didorong oleh ayahnya, Darmanto Jatman. Sang ayah bilang kepada Bunga, “Kamu jadi seniman saja, masuk ISI sana.” Gayung bersambut. Bunga pun masuk ISI. Sekalipun perempuan, Bunga justru tidak termasuk orang yang mengalami ‘gegar budaya’. “Sejak SMA, aku sudah bergaul dengan banyak seniman di Solo, jadi aku enggak kaget.” kata Bunga. Dan masih menurut Bunga, dua orang teman seangkatannya yakni Bob dan Toni memang sudah ‘mencuri start’. Bunga mengungkapkan, “ Mereka sudah kenal dengan kakak-kakak angkatan. Mungkin karena mereka dulu sebelum masuk ISI pernah kursus menggambar agar lolos masuk ISI.” Bunga juga masih ingat, di awal-awal kuliah, kedua orang itu, Bob dan Toni, sudah terlihat selalu ingin tampil dan menonjolkan diri. Kata Bunga, mulai dari saat penataran, Bob dan Toni selalu bertanya kepada para penatar, walaupun pertanyaan mereka tidak begitu jelas, atau lebih tepatnya tidak begitu bermutu. Tampaknya, nama Bunga, benar-benar menjadi ‘bunga’ di kampusnya saat itu. Dan salah satu cowok yang berusaha mendekati Bunga adalah Toni. “Aku sering diajak bermain, pergi ke tempat-tempat pameran, dan bahkan pernah diajak ke rumahnya.” Tetapi Bunga akhirnya menjauh dari kejaran Toni, karena kebetulan ia mempunyai teman yang si teman tersebut ternyata adalah salah satu teman satu SMA dengan Toni. Kata si teman, sejak SMA, Toni sudah dikenal sebagai cowok play boy. Selain itu, Toni juga dikenal sebagai cowok yang celelekan alias konyol. Pernah di saat SMA, Toni disetrap gurunya gara-gara saat ia kebagian mempimpin doa, ia memimpin dengan mengatakan hal seperti ini, “Mari teman-teman, kita berdoa menurut alat kelamin masing-masing.”
86
Bunga kemudian lebih dekat dengan Bob, yang saat itu terpilih sebagai ketua angkatan anak-anak jurusan melukis tahun 1991, dengan julukan: Kepala Suku. Kedekatan itu bukan karena Bunga naksir Bob, walapun Bob seperti halnya Toni juga naksir Bunga, melainkan karena hal lain. Bunga mempunyai kakak perempuan bernama Omi Intan Naomi, yang kuliah di Fakultas Sosial-politik UGM, dengan mengambil jurusan Ilmu Komunikasi. Saat itu, Omi kos di daerah Pogung, di dekat UGM, yang kebetulan juga dekat dengan rumah Bob yang di Pandega Bakti. Karena hal itulah, Bunga sering bersama Bob, saat ia ingin mengunjungi Omi. “Saat itu kan musimnya grup musik Guns ‘N Roses, wah tampilan Bob dimiripmiripkan dengan Axl Rose, dengan bandana yang ditalikan di kepalanya, dan dengan jaket penuh gambar tengkorak. Sama sekali enggak mirip Axl Rose.” kenang Bunga. --wal tahun 1990an, di Indonesia merebak wacana posmodernisme. Sekalipun tidak paham apa itu posmodernisme, namun anak-anak muda ISI saat itu, sudah sering gembargembor tentang posmodernisme. Kalau ada ulah sedikit saja, selalu ada yang nyeletuk, “Wah itu posmo…”
A
Atau jika ada orang yang ingin mengajak ngedan temantemannya, ia bisa saja dengan ringan berkata, “Mosmo, yuk…” Demam posmodernisme pun menyerang kepala Icul. Tetapi dengan teman-teman seangkatannya, Icul merasa tidak begitu klop, kecuali dengan Edo. Icul malah merasa bisa nyaman dengan anak-anak angkatan 1991, angatan Tono, Bon dan kawan-kawannya. Bersama anak-anak angkatan 1991 itulah, Icul mengusulkan dibentuk sebuah forum diskusi. Nama forum itu: Forum Adu Goblok. Apa saja bisa dibicarakan di forum itu, mulai dari masalah tema politik, sosial, sampai masalah penyakit anjing. Dan sesuai
87
dengan namanya, Forum Adu Goblok, orang yang nimbrung di forum tersebut pun bisa seenaknya ngomong, dan bisa seenaknya membelokkan tema yang telah disepakati. Pernah suatu ketika, tema diskusi itu membahas tentang sepak bola, tetapi kemudian yang terjadi, yang lebih dominan dalam ‘diskusi’ itu adalah memperdebatkan mengapa burung Garuda Pancasila, kepalanya menengok ke kanan. Forum Adu Goblok bukan hanya nyeleneh secara tema, tetapi juga ganjil di dalam berperilaku. Suatu saat, pernah digelar diskusi di forum itu, di mana setiap anggota yang terlibat diskusi harus bertelanjang bulat. Forum itu semakin gila, ketika bertambah tahun. Ketika salah satu anak jurusan seni lukis angkatan 1992 ikut bergabung. Orang itu adalah Teddy. Menurut Toni tentang kehadiran Teddy, “Keliaran dan kegilaannya melebihi siapapun, termasuk melebihi para seniornya.” Ada satu mata kuliah yang dulu menjadi favorit banyak anak ISI, mata kuliah itu bernama Experimental Art. Di mata kuliah itu, Teddy sempat membuat syok warga kampus dengan menempel poster bergambar dirinya sendiri, dalam jumlah yang sangat banyak, di berbagai dinding kampus. Di mata kuliah yang sama, sebelumnya, Toni juga sempat membuat heboh, sebab ia mempresentasikan karyanya di depan kelas dengan cara mengambil atau lebih tepatnya mendongkel pintu kamar mandi yang berada di kampus, untuk kemudian dibawanya masuk ke ruang kelas. Sementara itu, alih-alih meniru kedua orang yang kemudian menjadi sahabatnya, Toni dan Teddy, Bob berbuat lain. Ia saat itu ‘patah hati’ karena gagal mendapatkan seorang perempuan dari jurusan Diskomvis. Karena ditolak cintanya, Bob naik ke menara tempat penampungan air yang berada di kampus ISI. Di sana ia bertelanjang bulat, sembari memamerkan tato-tato ditubuhnya, lalu menceburkan diri di bak penampungan, serta kencing di sana. Sampai beberapa minggu, tidak ada civitas akademika
88
di lingkungan kampus ISI yang berani menggunakan air di lingkungan itu, karena ulah Bob. Ulah gila-gilaan tersebut di atas, semakin menggila ketika banyak anak ISI mulai mengonsumsi pil koplo. Bob, Toni, Teddy, termasuk orang-orang yang sangat doyan pil koplo. Di Yogya, para penggemar pil koplo dijuluki Serpiko: Sersan Pil Koplo. Serpiko sendiri sebetulnya merujuk kepada seorang tokoh film bernama Serpico, seorang tokoh polisi yang dimainkan oleh Al Pacino. Bahkan karena tergila-gila dengan pil koplo itulah, Toni sampai sekarang kalau berbicara agak lambat dan kurang runtut. “Dulu dia tidak seperti itu,” ujar Icul. Ada peristiwa yang memantik sehingga Toni teler berat, dan setelah itu, gaya bicaranya melambat. Suatu hari, Toni menelan satu papan atau satu tik (istilah untuk menyebut satuan pil koplo dalam jumlah antara 12 sampai 16 biji). Seluruh pil yang berjumlah 12 biji itu, entah kenapa langsung ditelan oleh Toni. Lalu ia bermain di tempat kos Icul, kebetulan di sana, Icul pun sedang nenggak pil bersama dengan Edo Pilu dan salah seorang teman mereka bernama David. Tetapi cara menelan pil mereka berbeda dengan cara menelan pil Toni. Mereka bertiga mempunyai cara tersendiri yakni, Icul membuat kopi panas, lalu satu papan pil koplo dimasukkan ke dalam gelas berisi kopi, kemudian sedikit demi sedikit ketiga orang itu bergantian menyyeruput kopi. Saat Toni datang, kopi sudah teraduk bersama pil, hanya karena masih panas, ketiga orang itu menunggu hingga kopi agak dingin. Sementara menunggu kopi dingin, Icul dan David keluar rumah sebentar untuk membeli rokok. Sementara, Edo berada di rumah bersama Toni yang baru saja datang. Edo kemudian pergi ke kamar mandi. Begitu keluar dari kamar mandi, Edo kaget sekali, sebab kopi yang telah diracik oleh Icul ternyata telah tandas diminum Toni, yang memang tidak tahu saat minuman itu ‘diracik’. Ketika kemudian Icul dan David datang, mereka
89
berdua pun kaget begitu tahu kalau segelas kopi itu dihabiskan sendirian oleh Toni. Apalagi Icul tahu persis, kalau Toni sudah mengkonsumsi pil koplo dalam jumlah yang besar. Mereka bertiga bingung. Sementara Toni hanya tertawa-tawa, tetapi itu hanya berlangsung selama beberapa menit. Setelah itu, ia langsung tersungkur. Ketiga orang kawan yang masih sadar itu semakin kacau. Mau membawa Toni pergi ke rumah sakit, tetapi merasa hal itu sangat berbahaya, apalagi jika ditanya dokter apa sebabnya. Kalau tidak dibawa ke rumah sakit, nyawa Toni jels terancam, sebab dalam waktu yang hampir bersamaan ia menenggak 24 pil koplo. Mereka bertiga akhirnya menunggui Toni sampai keesokan harinya. Begitu Toni bangun tidur, mereka sangat lega. Walaupun Toni masih terus dalam keadaan ‘on’ hingga beberapa hari kemudian. Semenjak itulah, gaya bicara Toni yang semula tegas, berubah menjadi lambat. --ebetulnya, di tahun-tahun sebelum 1990an, ada semangat pemberontakan yang dilakukan oleh anak-anak ISI, mereka selalu ‘serba anti’. Jika ada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), anak-anak ISI membuat FKY Tandingan. Jika digelar peristiwa biennial, mereka membuat acara tandingan dengan nama: binal.
S
Lembaga yang menyerupai Forum Adu Goblok juga pernah didirikan oleh Toni yaitu Forum Seniman Peduli… (Baca: Forum Seniman Peduli Titik-titik). Titik-titik itu bisa diisi apa saja, sesuai dengan kebutuhan yang ada. Misalnya saja ketika di daerah tertentu terjadi banjir, maka lembaga tersebut berkegiatan dengan memakai nama Forum Seniman Peduli Banjir. Jika ada teman yang sakit, mereka pun bisa memakai lembaga tersebut dengan nama Forum Seniman Peduli Teman yang Sakit. Bagi anak-anak ISI angkatan Icul dan Toni, mereka juga mempunyai ‘pahlawanpahlawan lokal’ ala kampus. Bob misalnya,
90
ia mengaku tergila-gila kepada Eddie Hara. Bob bilang, “Eddie Hara itu ibarat imamku, dan aku dengan rela masuk ke dalam saf (barisan)-nya.” Lebih lanjut Bob berkata, “Jangankan bertemu dan bertegur sapa, melihat lukisannya pun aku sudah merasa bahagia, melihat Eddie Hara dari jauh pun aku sudah merasa gila, apalagi jika diajak ngomong oleh dia…” Sementara, Icul pun mengakui kalau saat itu, orang-orang macam Eddie Hara, Heri Dono dan Dadang Christanto, menjadi semacam inspirator. “Tetapi ada juga tokoh lain yang dinilai tidak kalah hebatnya, yaitu Mulyono.” tegas Icul, “sebab Mulyono selain dulu membuat gebrakan dengan tugas akhirnya berupa instalasi berjudul Koperasi Unit Desa, ia juga dikenal oleh para mahasiswa sebagai orang yang konsisten dengan paham seni yang dianutnya.” Sebetulnya pula, selain gila-gilaan dalam berperilaku, terutama di dalam Forum Adu Goblok, Icul dan Toni pun mulai berpikir dengan lebih dalam. Misalnya, mereka membenahi lembaga pencinta alam di ISI, Mahasiswa Seni Pencinta Alam (Sasenitala). Konsep Sasenitala yang semua hanya merupakan wahana para mahasiswa untuk naik gunung, diubah konsepnya menjadi sebuah lembaga yang peduli untuk melakukan konvservasi alam dan lingkungan. Lembaga ini pernah berkeliling ke beberapa wilayah di Indonesia seperti ke Suku Dayak, Suku Naga dan Suku Badui. Di sana mereka belajar tentang misalnya saja bagaimana teknologi lokal itu membuat sambungan kayu dalam membuat rumah. Dan di saat itu pula, sebuah perkembangan baru muncul, yakni ketika anak-anak ISI mulai menemkan lagi sambungan imajiner lama yang dulu sempat memudar, sambungan dengan orangorang di luar kampus mereka, terutama dari UGM. Mereka mempunyai sebutan yang khas untuk orang-orang UGM, sebuah sebutan yang ambigu: Cah Lor, yang artinya Orang Utara.
91
Cah LorCah Kidul
M
ENJELANG akhir tahun 1970an dan awal Tahun 1980an, kondisi politik Indonesia mulai marak dengan munculnya banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kondisi itu dipicu oleh ‘keberhasilan’ Orde baru di dalam mengkonsolidasikan kekuatan politiknya, ditopang pula dengan berhasilnya Daoed Joesof ‘menetralkan’ kampus dari aktivitas politik praktis, dan perekonomian Indonesia berkembang dengan lebih menjanjikan karena menuai booming minyak. Kebanyakan LSM yang muncul dan berdiri pun sebagian besar terjebak dalam paham ‘pembangunanisme’ rezim Orde Baru. Perkembangan politik lain yang patut dicatat adalah, menjelang tutup tahun 1970an, karena rasa percaya diri rezim Orde Baru atas keberhasilan dominasi politiknya, serta karena tekanan dunia Internasional, maka para korban Gestok, yang kebanyakan dibuang di Pulau Buru, secara bergelombang ‘dibebaskan’. Kata ‘dibebaskan’ harus diberi penekakan, sebab kata itu tidak berarti benar-benar bebas. Mereka selalu dimintai wajib lapor, diawasi, tidak boleh melakukan aktivitas politik sekecil apapun, bahkan kelak di Kartu tanda Penduduk (KTP) mereka diberi tanda khusus dengan kode ET yang artinya Eks-Tapol. Di antara ribuan gelombang manusia yang menjadi korban politik itu, terdapat seorang sastrawan nasional bernama Pramoedya Ananta Toer, yang sebelum ia dibuang ke Pulau Buru, telah melemparkan belasan karya bermutu, baik fiksi maupun non-fiksi di dalam khasanah sastra dan budaya di Indonesia. Pramoedya keluar dari Pulau Buru pada tahun 1977, dan hanya butuh waktu tiga tahun saja, ia mengeluarkan sebuah novel yang kemudian akan menjadi inspirasi ribuan pemuda Indonesia angkatan 1990an untuk melawan rezim Orde Baru. Karya awal Pram berjudul Bumi Manusia, satu dari empat buku yang sering disebut orang sebagai Kuartet Buru Pramodya Ananta Toer. Novel ini merupakan novel sejarah, sebuah karya fiksi semisejarah, dengan tokoh utama bernama Minke. Tokoh ini, sebetulnya adalah ‘penjelmaan’ dari salah satu tokoh nasional
95
terkemuka di akhir abad 19 dan awal abad 20: Tirto Adhi Suryo. Dengan tingkat kepiawaian yang tinggi, Pram mampu meracik sebuah karya dengan latar belakang sejarah yang kuat, di dalam sebuah karya novel, dengan seluruh elemen novel yang memukau, mulai dari pembangunan karekter tokoh yang kuat, kelenturan berbahasa, permainan plot yang ciamik, dan menyelipkan kisahkisah subtil mulai dari percintaan sampai keraguan hati. Karya ini, jika dibaca oleh mereka yang berpikiran kritis, akan memicu mereka untuk bertanya tentang sejarah kebangsaan Indonesia, serta membuat hati mendidih melihat segala macam penindasan. Orde Baru segera melarang karya ini, dan kemudian karyakarya selanjutnya Pramoedya, namun dengan alasan yang dangkal. Dan sebagaimana setiap kedangkalan alasan, pertanyaan yang tajam terasa percuma untuk dihunjamkan. Pelarangan itu, lebih dikarenakan mereka takut runtuhnya wibawa Orde Baru dengan munculnya kembali seorang tokoh kharismatik dan keras kepala seperti Pram. Dengan begitu, rezim Orde Baru secara memalukan menuduh karya ini mengembangkan tuduhan bahwa di dalam karya ini terdapat ajaran marxisme-leninisme. Buku ini memang dilarang beredar, tetapi tetap dikonsumsi secara sembunyisembunyi oleh ribuan puluhan ribu orang, terutama yang mulai berpikir kritis tentang Orde Baru. Para aktivis baik LSM maupun aktivis mahasiswa yang saat itu asyikmasyuk dengan kembali di pola lama pergerakan yakni Kelompok Diskusi, menyebarkan bukubuku Pram, mulai dari difotokopi sampai diketik ulang. Sementara, buku-buku Pram mulai beredar di mana-mana, rezim topeng keberhasilan Orde Baru mulai mengelupas. Satu per satu, mulai muncul di permukaan berbagai kasus di sektor buruh dan petani. Bahkan pada tahun 1985, sebuah peristiwa besar yang memicu perlawanan sengit dari para elemen pro-demokrasi mencuat. Kasus itu adalah Kasus Kedung Ombo. Proyek itu berencana membuat sebuah waduk raksasa di daerah Kedung Ombo, Jawa Tengah. Dengan rencana itu, puluhan ribu orang
96
terancam kena penggusuran, yang dalam bahasa rezim Orde Baru mendapatkan istilah penghalusan menjadi ‘dimukimkan kembali’. Berbagai elemen pro-demokrasi, seperti LSM yang mulai sadar diri untuk keluar dari jebakan ‘pembangunanisme’ Orde Baru, bersama dengan elemen mahasiswa yang mulai suntuk hanya melakukan diskusi terus-menerus, membalas kebijakan rezim Orde Baru dalam kasus Kedung Ombo dengan menggelar demonstrasi besar-besaran. Salah satu tokoh demokrasi Indonesia yang terkemuka, yang memposisikan dirinya di barisan penentang kebijakan itu adalah Romo Mangun Wijaya. Sedangkan salah satu elemen LSM yang keras menentang kebijakan itu adalah lembaga bernama Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI). Istilah ‘pelestarian hutan Indonesia’ bagi SKEPHI sepertinya hanya berupa istilah saja. Aktivitas lembaga tersebut merambah ke berbagai isu lain. Para aktivis SKEPHI merupakan orang-orang yang kemudian menjadi motor penggerak bagi tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga sejenis, yang mempunyai agenda utama mengkritisi semua kebijakan Orde Baru yang tidak pro-rakyat. Atmosfir politik nasional seperti itulah, yang memayungi beberapa kota dan kampus di Indonesia. Sebuah atmosfir yang kondusif untuk melahirkan ribuan para pembangkang baru, menjelang tutup akhir dekade 1980an. --alah satu okota yang cepat memanas oleh hawa panas politik adalah Yogyakarta. Untuk kasus Kedung Ombo, sentral pengorganisasian dan kampanye, dilakukan oleh tiga kota di sekitarnya: Yogya, Salatiga dan Solo. Aksi-aksi massa banyak digelar, bahkan aksi massa besar-besaran dilakukan juga di Jakarta, dengan mengkonsolidasikan banyak sekali aktivis politik, terutama dari kota-kota besar di Jawa, selain tiga kota tersebut: Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya.
S
97
Semenjak zaman Perang Kemerdekaan, Yogya memang selalu memasok orang-orang yang menyalakan perlawanan, terutama darah-darah muda kaum intelektual dan seniman. Bahkan ketika PKI sudah mulai dihabisi di Jakarta, organ legal mahasiswa PKI, CGMI, masih aktif menggalang dukungan dan melakukan serangkaian aksi massa, sebelum kemudian hampir seluruh aktivisnya dipenjara dan dibuang ke Pulau Buru. Ketika rezim Orde Baru sedang menancapkan kekuasaannya di era 1980an, Yogya masih penuh dengan tumpukan kayu yang terus menyalakan tungku perlawanan terhadap rezim Suharto tersebut, dengan model yang saat itu menjamur: kelompokkelompok studi. Salah satu kelompok studi yang mencuat menjelang akhir tahun 1980an adalah Kelompok Studi Sosial Palagan Yogyakarta (KSSPY), atau biasa disebut hanya dengan Kelompok Studi Palagan. Pada tahun 1989, tiga anggota kelompok ini ditangkap aparat dengan tuduhan melakukan tindakan subversif karena menyebarkan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Ketiga aktivis itu adalah Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho dan Bambang Subono. Pada tanggal 16 Agustus 1989, saat keputusan sidang dibacakan di Pengadilan Negeri Yogyakarta, sebuah aksi massa digelar. Aksi itu kemudian dibubarkan aparat dengan kekerasan. Peristiwa itu kemudian dikenal oleh para aktivis Yogya sebagai peristiwa ‘Kusumanegara Berdarah’, sebab bentrok aparat dengan para demonstran terjadi di daerah Kusumanegara. Para mahasiswa di kota Yogya juga menorehkan sebuah batupal sejarah gerakan mahasiswa, sebab di hanay di sanalah, sebuah organ tunggal mahasiswa tingkat kota berhasil dikonsolidasikan dalam satu lembaga bernama Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). Kebanyakan aktivis yang terlibat di lembaga ini berasal dari beberapa universitas besar di Yogya seperti UGM, Universitas Islam Indonesia, Institut Seni Indonesia (ISI), Universitas Janabadra (UJB) dan Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga (IAIN Suka). FKMY, saat itu, benar-benar
98
menjadi organ gerakan mahasiswa yang mempunyai anggota cukup besar, hampir mencapai seribu aktivis. Hal itu, dibuktikan di saat lembaga tersebut melakukan berbagai aksi massa. Tetapi pada tahun 1991, lembga ini pecah menjadi tiga: Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta (DMPY), Serikat Mahasiswa UII (SM-UII) dan Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta (SMY). Perpecahan ini sesungguhnya juga merupakan imbas dari adanya perpecahan ‘SKEPHI di Jakarta. Saat itu, di SKEPHI terjadi perdebatan yang berakhir pada perpecahan antara dua kubu dengan masing-masing tokohnya: Indro Cahyono dan Daniel Indra Kusuma. Memang perpecahan di SKEPHI sendiri sebetulnya terjadi pada tahun 1992, tetapi manuver kedua kubu tersebut di tingkat mahasiswa, terutama mahasiswa Yogya, sudah lama terjadi, dan klimaksnya terjadi pada tahun 1991. Kubu Daniel Indra Kusuma, kemudian merapat ke SMY, basis utama aktivisnya berasal dari UGM. Sedangkan kubu Indro Cahyono, mendekat ke DMPY yang kebanyakan aktivisnya berasal dari IAIN, ISI dan UJB. Hanya saja, yangpenting dicatat di sini adalah soal aktivis dari ISI. Saat itu, aktivis mahasiswa ISI yang terlibat politik berasal dari jurusan Teater, dengan seorang pimpinan mereka yang sangat terkenal saat itu yakni Brotoseno. Pada saat itu pula, tempat kuliah anak ISI jurusan teater masih berada di daerah utara, berdekatan dengan kampus IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta). Penjelasan ini perlu dikemukakan, sebab di kelak kemudian, penjelasan perihal ini akan banyak membantu untuk memperlihatkan benang merah pergerakan di Yogya, terutama menyangkut para perupa yang berada di kampus selatan (Gampingan). Lembaga SMY itulah yang kelak menjadi embrio bagi terbentuknya sebuah lembaga bernama Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) pada tahun 1994, yang kemudian diambil alih oleh generasi yang lebih muda seperti Budiman Sujatmiko dan kawankawannya, dan sekaligus mengubah dari ‘Persatuan’ menjadi ‘Partai’. Dan beberapa aktivis SMY ini pula yang kelak
99
bergabung dengan lembaga mahasiswa lain di beberapa kota seperti Ikatan Mahasiswa Solo (IMS), Solidaritas Mahasiswa Salatiga (SMST), Solidaritas Mahasiswa Semarang (SMS), dan Solidaritas Mahasiswa Jakarta (SMJ). Mereka kemudian melebur dalam organ tunggal bernama Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) pada tahun 1994 dengan tandem pimpinannya yang sangat legendaris yakni Andi Arif (Ketua) dan Nezar Patria (Sekretaris Jendral). Yogyakarta pada umumnya, sudah sama-sama kita ketahui memberikan kontribusi penting dalam setiap tahap pergerakan. Dan kita juga sama-sama tahu perihal keterlibatan para mahasiswa dari UGM, sekalipun hanya secara sepintas saja. Dan di antara fakultas-fakultas yang terus memasok sumberdaya-sumberdaya baru bagi pergerakan, terutama yang menentang rezim Suharto, terdapatlah sebuah fakultas kecil, dalam arti sesungguhnya, baik dari jumlah mahasiswa maupun gedungnya: Fakultas Filsafat UGM. Memahami dengan baik peta pergerakan mahasiswa Yogyakarta dan sekaligus menengok dengan lebih jeli Fakultas Filsafat menjadi sangat penting. Sebab kedua faktor itu, kelak akan ikut mendinamisasikan perkembangan ‘trio dari selatan’ yang semakin akrab: Toni, Teddy dan Bob. --amzah, begitu masuk dan diterima sebagai mahasiswa fakultas Filsafat UGM, segera mendapatkan julukan baru: Hamcrut. Julukan itu mungkin disematkan kepadanya karena kalau ia bicara, selalu ngethuprus atau ngecuprut alias ngecuprus, tidak bisa berhenti. Ia berasal dari Semarang, dan memilih Fakultas Filsafat karena di saat ia ikut UMPTN pada tahun 1989, fakultas itu tidak dimiliki oleh perguruan tinggi lain. “Pokoknya yang paling aneh yang aku pilih.” kata Hamcrut.
H
Saat masuk dan mengalami hari pertama perpeloncoan, ia didekati salah seorang seniornya, dan kemudian disuruh meneriakkan keras-keras, “Gantung Suharto!”
100
Tentu saja Hamcrut syok. Pelan, ia melirik ke arah seniornya itu, dalam hati saat itu ia berkata, “Kalau anaknya bertubuh kecil, akan kuajak duel saja!” Tetapi sayang, senior yang mendekatinya bertubuh besar. Sang senior itu dipanggil Kingkong, untuk menggambarkan saking besar bentuk tubuhnya. Nama sebenarnya Kingkong adalah Webi Warouw. Sejak SMA, Hamcrut memang bandel, tetapi menurutnya, “Nakalku hanya standar remaja biasa. paling-paling berantem dan mabuk-mabukan.” Hamcrut juga berasal dari sebuah keluarga, di mana bapaknya merupakan anggota pegawai negeri sipil. Sebagai anak pegawai negeri sipil, propaganda tentang kehebatan Suharto pun merasuk di pikirannya, dengan seluruh embel-embelnya seperti: Penyelamat Pancasila dan Bapak Pembangunan. Melihat tidak ketidakmungkinan ia mengajak duel sang senior, dan mempertimbangkan saat itu ia juga sudah dilingkari seniorsenior yang lain, dengan lirih Hamcrut mengucapkan kalimat, “Gantung Suharto!” Senior-seniornya marah. Mereka segera mencaci maki Hamcrut, dan saling berteriak, “Awas, kita kemasukan agen Suharto!” Teriakan yang serba keras, diiringi bentakan untuk terus meneriakkan ‘Gantung Suharto!’, akhirnya membuat Hamcrut kalap. Dengan keras dan emosi, karena tertekan, bukan karena ia memang benci Suharto, Hamcrut berteriak keras sekali, “Gantung Suharto!” Begitu mendengar lengkingan suara Hamcrut yang keras itu, para seniornya bertepuk tangan gemuruh. Mereka puas sekali, sementara di dalam hati Hamcrut mulai panik dan berkata, “Wah, kampus apa-apaan ini?” ---
101
J
ati, nama lengkapnya Raharjo Waluyo Jati, masuk Fakultas Filsafat pada tahun yang sama dengan Hamcrut, 1989. Agak berbeda dengan Hamcrut, Jati setahun sebelumnya sudah pernah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus, Semarang. Ia mengaku, awalnya ingin masuk Fakultas Psikologi. Tetapi ketika melihat besarnya jumlah saingan yang harus dimasuki, ia memilih Fakultas Filsafat, “Saat itu saingan masuk Filsafat jauh lebih rendah dibandingkan saat masuk Psikologi. Di Filsafat yang daftar seribu sekian, yang diterima tujuh puluh anak…” Juga agak berbeda dengan Hamcrut, ketika masih kuliah di Semarang, Jati sudah sering datang ke Undip untuk mengikuti berbagai diskusi politik. Sehingga ketika kemudian di Fakultas Filsafat, ia ketemu dengan para seniornya yang menjadi pembangkang Orde Baru, ia senang sekali. Saat mulai perpeloncoan, ia sudah mulai dekat dengan para senior seperti Sugeng Bahagiyo, Webi Warouw, Yayan Sopyan, Andi Munajat, dan lain-lain. Jati dan Hamcrut, karena mempunyai kesamaan dalam beberapa hal, seperti suka dengan hal-hal berbau seni dan sastra, mereka berdua pun cepat akrab. Dan hanya butuh beberapa bulan saja, kedua orang itu sudah mulai terlibat dengan aktivitas berbahaya para seniornya, seperti ikut demonstrasi dalam rentetan aksi membela warga Kedung Ombo, dan mulai terlibat juga dalam aksi Kusumanegara Berdarah, sekalipun hanya sebagai ‘massa cair’ sebuah istilah untuk menunjukkan massa yang hanya ikut-ikutan aksi. Setahun kemudian, mereka berdua sudah mulai iku memelonco yunior mereka, anak-anak baru Fakultas Filsafat angkatan 1990. Angkatan 1990 inilah yang sering disebut senior-senior mereka sebagai ‘Angkatan Emas’, sebab kelak dari angkatan ini, muncullah sederet nama yang melejit sebagai motor penggerak gerakan mahasiswa. Di antara mereka adalah Nezar Patria, Edi Hariyadi, Yulianto Sigit, Alexander Edwin, dan Bowo Arif.
102
Nama terakhir, sebagaimana kita ketahui, adalah teman Teddy saat masih remaja di kota Blora. Bowo, masuk Fakultas filsafat UGM, setelah ia bosan kuliah di Universitas Perbanas Jakarta. Salah satu ciri perpeloncoan di Fakultas Filsafat adalah mencari alasan namanama paraban (julukan) para senior. Dari sanalah, rahasia-rahasia kecil para senior dibongkar di depan para mahasiswa. Bowo, misalnya, ia dijuluki teman-temannya dengan nama ‘Jemek’ yang artinya ‘becek atau basah’, sebab ia selalu berkeringat. Tetapi keringat Bowo semakin deras mengalir, kalau ia berdekatan dengan perempuan. Ada juga kelak seorang anak yang dipanggil Antun Gondrong. Nama lengkapnya Antun Jaka Susmana. Para yunior mengira, Antun dipanggil ‘Gondrong’ karena memang rambutnya sangat panjang. Tetapi kemudian terbongkar rahasia lain: Antun disebut Gondrong karena giginya agak maju ke depan, dan untuk mengkamuflasekan itu, ia menggondrongkan rambutnya, biar dikira julukan ‘Gondrong’ berasal dari rambutnya. Tetapi nama lain yang perlu disebut di sini adalah ‘Tuhan’. Sudah tentu, nama itu hanyalah julukan berapa. Namanya Hendro, dan ia angkatan 1991. Ia disebut Tuhan karena begitu masuk Fakultas Filsafat, rambutnya lalu dibiarkan gondrong, dan kebetulan, wajahnya menyerupai Yesus. Maka ia segera dimahkotai dengan julukan ‘Tuhan’. Kelak, Tuhanlah yang kemudian menjalin hubungan dengan Bob. Sementara itu, karena merasa mempunyai jiwa seni, dan perlahan kepala mereka diisi oleh semangat pembangkangan, Jati dan Hamcrut mulai sering mengadakan aktivitas seni yang berisi nada protes. Dalam aktivitas itulah, kelak mereka berdua bertemu dengan orang-orang dari Gampingan, seperti Icul, Toni dan Teddy. --enarik untuk sejenak melacak mengapa ada istilah ‘Cah Lor’, yang sering diucapkan oleh orang-orang dari Gampingan. Sebutan itu, bisa dipakai untuk beragam
M
103
nada, bisa saja sinis dan bisa saja bernada ejekan. Sampai sekarang, istilah itu masih sering diucapkan oleh para seniman yang berada di wilayah selatan untuk menyebut anak-anak UGM. Dan istilah tersebut memicu, munculnya juga istilah ‘Cah Kidul’ atau Anak Selatan. Seringkali, ungkapan ‘Cah Lor’ yang diucapkan oleh ‘Cah Kidul’ itu lebih bernada sinis, yang bisa diartikan kurang-lebih sok intelektual, enggak nyeni, otoriter, dan hanya bisa ngomong doang. Oleh karena itu, sebutan dari Cah Lor untuk Cah Kidul juga berkebalikan dari arti itu yakni sok nyeni, enggak inteletual, tak punya konsep, dan tidak bisa diajak berorganisasi dengan baik. Tetapi penting kiranya untuk melacak sebab-musabab istilah tersebut, sehingga sampai sekarang terus direproduksi. Menurut Hamcrut, istilah ‘Cah Lor’ saat itu muncul karena mengacu kepada perpecahan di FKMY. Kebetulan saja, kampus UGM terletak di sebelah utara kampus ISI, UJB dan IAIN. Tidak ada hubungannya dengan anak-anak dari Gampingan, sebab saat itu kampus aktivis ISI bukan di Gampingan, melainkan di Kuningan. Sedangkan menurut Jati, istilah ‘Cah Lor’ dan ‘Cah Kidul’ merupakan istilah yang saling dilemparkan oleh sesama orang ISI, yakni antara para aktivis dari Jurusan Seni Pertunjukan yang saat itu posisinya berada di utara, dengan anak-anak seni rupa yang saat itu posisinya ada di Gampingan (selatan). Menurut Jati, sejak dulu memang seperti ada rivalitas antara kedua kubu di dalam tubuh internal anak-anak ISI. Menurut Jati, yang kemudian akrab dengan anak-anak Gampingan, orang-orang Gampingan sering merasa anak-anak aktivis ISI yang ada di utara sebagai, “Sok mbagusi, sok nyeleneh, sok radikal.” Sementara Icul sendiri, tidak punya pendapat soal mengapa terdapat istilah ‘Cah Lor-Cah Kidul’, hanya saja ia membenarkan kalau dari dulu ada rivalitas antara anakanak seni rupa dan anak-
104
anak seni pertunjukan. “Dulu, guyonannya,” kata Icul, “kalau anak-anak seni pertunjukan, lakunya kalau masih muda, makin tua makin enggak laku. Sedangkan anak seni rupa, makin tua makin laku.” Kalau Toni mempunyai versi yang agak berbeda lagi. Dulu, saat baru masuk ISI, ia sudah mulai mendengar ketenaran para aktivis anak-anak seni pertunjukan, termasuk Brotoseno. “Tetapi aku jadi menjauhi mereka, karena kerap kali mempropagandakan halhal yang buruk tentang perpecahan di FKMY. Batinku saat itu, lha wong sama-sama melawan, lawannya pun sama, kok uduruduran.” Tetapi apapun itu, pada praktiknya, orang-orang Gampingan dan orang-orang UGM kemudian saling merapat. Tentu saja dengan rentetan berbagai peristiwa yang melatarelakangi semua itu. Sebuah rentetan yang kemudian mencapai klimaks dengan terjungkalnya kekuasaan Suharto.
105
Memintal Benang Merah
S
ETELAH Teddy pindah kuliah ke Yogya, bukan berarti hubungannya dengan kawankawan perupa dari Solo putus, terutama dengn Bonyong. Sesekali Teddy datang ke Solo, sekadar dolan, dan kalau ia datang ke Solo, biasanya ia mengajak kawan-kawannya dari Yogya, seperti Toni dan Bob. Dalam pertemuan-pertemuan informal itu, selain ngobrol hangat perkawanan, kerap sekali diikuti dengan obrolan serius soal dunia seni rupa dan bahkan politik. Namun, intensitas Teddy, Toni dan Bob berhubungan dengan minuman keras dan pil koplo, juga semakin meningkat. Beberapa kali, dlam acara diskusi informal, perbincangan menjadi memanas hanya karena Teddy, Toni dan Bob mabuk berat. Hal itu cukup sering menjengkelkan sekaligus membuat Bonyong mengkhawatirkan rekan-rekan mudanya dari Yogya itu. “Orang mabuk itu ya sebaiknya sewajarnya, bukan setiap hari dan setiap saat. Mereka anak-anak muda yang potensial, sayang sekali kalau terjerembab hanya karena minuman keras dan pil koplo.” Pernah suatu ketika, menurut Bonyong, Teddy dan Toni datang ke rumahnya sudah dalam keadaan teler. Bonyong kesal dan tidak ingin melayani omongan mereka, dan saking mangkelnya tidak mau menyuguhi minuman kepada dua anak muda itu. namun apa yang terjadi? Di depan rumah Bonyong terdapat genuk, semacam wadah air besar yang terbuat dari tanah liat. Kebetulan saat itu musim penghujan sehingga genuk itu penuh dengan air yang berasal dari air hujan, dan tentu saja sampah yang berasal dari dedaunan yang rontok. Lalu dengan nikmat sekali, Toni dan Teddy menyeruput air kotor dari genuk itu secara bergantian, “Mereka terlihat nikmat, serupat-seruput, seperti minum es teh.” Bonyong tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu persis, percuma saja melarang kedua orang itu untuk menghentikan kegiatan minum air kotor dari genuk. “Pernah juga satu kali,” kata Bonyong, “Teddy dan Toni datang ke rumah. Lagi-lagi dalam keadaan mabuk. Setelah malam tiba, mereka berdua pergi dari sini. Keesokan harinya, saya melihat kok ada sepatu bagus di
109
depan pintu? Tetapi sepatu itu hanya satu, tidak sepasang. Saya berpikir saat itu, pasti sepatu itu kalau tidak milik Teddy ya milik Toni.” Benar, siang harinya Teddy datang lagi sambil senyamsenyum, lalu bilang, “Mau ngambil sepatu, Pak.” Setelah itu, ia langsung pergi lagi. Namun peristiwa yang paling tidak dapat dilupakan oleh Bonyong dengan trio edan itu adalah saat ia dan teman-temannya dari Solo, beserta trio edan dan teman-teman mereka dari Yogya, menggelar sebuah acara bertajuk ‘Sapu Lidi’, di Taman Budaya Solo pada tahun 1993. Saat itu, Bonyong sendiri menggelar seni instalasi dengan memajang mobil tuanya, yang sering dipakai oleh istrinya untuk bekerja. Di dalam mobil itu diisi penuh dengan jerami, dan di belakang setir mobil, dibuat sebuah boneka, persis sedang menyetir mobil. Teddy, Toni dan Bob datang dengan belasan seniman muda lain dari Yogya hanya dengan naik satu mobil kijang. Belasan seniman itu berdesakan dalam satu mobil. Begitu para seniman muda dari Yogya itu tahu karya instalasi Bonyong, Bob segera mendekati Bonyong, “Pak, boleh enggak nanti pas pembukaan, karya Pak Bonyong saya respons?” Bonyong agak kaget dengan pertanyaan Bob, yang tampaknya juga sudah teler itu. lantas Bonyong ingin memperjelas, “Direspons dengan cara bagaimana?” “Nanti saya mau baca puisi, terus kaca mobil Pak Bonyong saya pecah.” Bonyong semakin kaget. memecah kaca mobil? “Bob, itu mobil satu-satunya milikku, dan itu pun yang memakai bukan aku tetapi istriku.” “Wah, Pak Bonyong itu kurang total, deh…” balas Bob dengan nada tidak bersalah, dan tentu saja dengan tetap teler. Bonyong lantas berpikir. Agak tidak enak juga ia kalau tidak
110
mengijinkan seniman muda seperti Bob tidak menyalurkan ekspresinya. Akhirnya ia menemukan cara, “Oke Bob, gini saja. Nanti kaca bagian depan, samping boneka akan kuganti dengan kaca biasa. pecah saja enggak apa-apa. Tapi ingat ya, jangan kaca yang lain.” Mendengar solusi dari Bonyong, Bob segera berteriak, “Hidup Pak Bonyong, seniman segala zaman!” Malamnya, saat acara pembukaan pameran dimulai, hati bonyong tetap degdegan. Bagaimanapun ia tahu, Bob pemabuk, dan jika dia sudah mabuk, susah dikontrol. Hampir sama dengan Teddy. Tepat di detik pembukaan mulai berdentang, suasana Taman Budaya Solo hening. Tiba-tiba dari arah penonton, dengan tubuh gontai, Bob membawa helm, yang entah didapatnya dari mana, sambil memaki keras-keras ia melempar helm itu dari jarak yang cukup jauh, ke arah mobil Bonyong. “Waduh, mati aku!” batin Bonyong. Tepat di saat itu ia sudah pasrah. Bob mabuk, dan melempar helm ke arah mobilnya dari jarak yang cukup jauh. Pasti meleset, pikir Bonyong saat itu. “Prang!” Kaca mobil pecah. Anehnya, lemparan Bob tepat di kaca yang memang sudah dipersiapkan untuk dipecah. Seketika itu juga, Bonyong merasa lega. Dan diam-diam mengagumi lemparan Bob yang tetap tepat sasaran sekalipun dalam keadaan mabuk dan dari jarak yang cukup jauh. Dengan masih terus memaki, Bob mendekati mobil. Begitu dekat dengan mobil, mulailah ia membaca puisi. Hampir semua isi puisinya pun penuh dengan umpatan. Tetapi segera hati Bonyong berubah menjadi ketar-ketir, ketika kemudian Bob mulai naik ke atap mobil, hal yang di luar perkiraan Bonyong. Makin kacau hati Bonyong, ketika Bob terlihat emosi dan mulai menginjak atap mobil itu berkali-kali, melompat-lompat di sana, sambil terus membaca puisi. Bonyong hanya bisa geleng-
111
geleng kepala. Mobil bagian atasnya, penyok di sana-sini akibat ulah Bob. Sekalipun mempunyai pengalaman yang buruk dengan seniman-seniman muda dari Yogya, Bonyong tetap menjalin hubungan dengan mereka, terutama dengan Teddy, Toni dan Bob. “Ketiga anak itu punya energi kreatif yang luar biasa, walaupun kadangkadang berbahaya.” Setahun setelah kejadian itu, pada tahun 1994, digelar pameran bersama antara seniman Yogya dan Solo lagi. Kali itu bertajuk Nur Gora Rupa. Kali itu, trio edan tidak membikin ulah. Mereka juga datang, dan bersama mereka hadir pula para aktivis dari UGM termasuk Hamcrut. Tetapi acara hampir saja gagal dilakukan karena saat itu suatu kejadian. Mulyono di acara tersebut menggelar karya seni instalasi berupa waduk air. Kalau tidak salah, menurut ingatan baik Teddy maupun Bonyong, karena saat itu Mulyono sedang mendampingi masyarakat di kalau tidak di daerah Tulungagung mungkin Pacitan, yang terkena dampak pembuatan waduk. Mulyono sendiri saat itu tidak hadir di acara tersebut, ia hanya mengikutkan karya instalasinya. Karya itu kemudian hendak direspons leh Wiji Thukul dengan membacakan puisinya. Tetapi saat pihak Taman Budaya Solo tahu Wiji Thukul akan hadir dan membacakan puisi, salah satu pimpinan Taman Budaya Solo lalu menghubungi Bonyong dan bilang, kalau Wiji Thukul tetap mau membacakan puisi, acara bakal dibatalkan. Para seniman kecewa berat. Tetapi akhirnya mereka dengan sangat terpaksa meminta Thukul agar tidak membacakan puisi. Semenjak kejadian itulah, Teddy mulai kenal dan akrab dengan Thukul. ---
112
D
i UGM, pada tahun 1992, mulai rajin terjadi pertemuan antar-para seniman atau setidaknya mereka yang menaruh perhatian di bidang seni, di antara mereka yang intens ngumpul adalah Jati, Hamcrut, Kiswondo, Nico Warouw, Alexander Edwin, sera beberapa orang yang lain. mereka lalu membuat sebuah kelompok dengan nama Lembaga Pemajuan Budaya (LPB). Semenjak lembaga itu dibentuk, banyak kegiatan dilakukan, baik berupa pentas pembacaan puisi atau telaah sastra maupun diskusi-diskusi soal kebudayaan yang lain. menjelang tutup tahun 1993, mulai terdengar kasak-kusuk bahwa gedung Seni Sono akan ditutup. Maka mereka pun menyelenggarakan Parade Seni Akhir Tahun. Mereka lalu mengontak para seniman yang ingin mengisi acara tersebut, kebanyakan seniman yang terlibat di acara tersebut justru para perupa dari Gampingan, seperti Icul, Teddy, Toni dan kawan-kawan mereka. Para perupa itu kebanyakan membuat karya seni peristiwa dan seni instalasi. Tetapi yang paling menarik pengunjung pameran itu setidaknya dua karya, pertama karya Icul yang berjudul ‘Petasan 50’. Dari judulnya, jelas kalau karya itu memelesetkan ‘Petisi 50’, sebuah kelompok politik yang digawangi mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin, yang mencoba mengkritisi kebijakan Orde Baru. Karya terbuat dari petasan mainan dengan bahan utama koran-koran yang berisi berita-berita politik, lalu di masing-masing karya ditempeli foto para anggota Petisi 50. Dan di sekitar karya itu, dibri jerami serta cangkul. Karya lain yang berhasil menyita publik penonton adalah karya Hamcrut dengan judul ‘Mendongkel Kursi Tua’. Karya itu sangat sederhana, hanya memajang sebuah kursi kayu yang sangat tua dan sudah reot, lalu di salah satu kakinya disangga oleh batu, dan di bawah batu itu, terdapat mata cangkul. Sekalipun sederhana, karya itu boleh dibilang paling dominan di kelilingi para pengunjung.
113
Di acara tersebut, duo Toni dan Teddy melakukan seni peristiwa dengan memakai pakaian dari goni. Seni peristiwa itu juga terbilang cukup menarik, terutama bagi para pelakunya, sebab setelah itu tubuh mereka gatal-gatal sampai beberapa hari. Melakukan kegiatan konyol dan kemudian menerima risiko kecil-kecilan seperti tidak akrab dengan bahan, sudah biasa dilakukan oleh Toni. Pada tanggal 10 Desember 1993 misalnya, Teddy dan Toni keliling kota Yogya seharian penuh dengan melabur tubuh mereka berdua dengan bahan dari kapur, bahan yang biasa dipakai untuk melabur dinding rumah. Kegiatan itu diberi judul ‘Seni Rupa Jalan-jalan’. Acara tersebut sukses berat, banyak orang yang terlibat dan menyatakan salut, serta diapresiasi dengan baik oleh warga Yogya. Bahkan ketika di sepanjang Malioboro, ada banyak orang yang sengaja mendekatkan diri mereka agar bisa berfoto dengan kedua seniman itu. tetapi begitu acara selesai, sampai hampir dua minggu, baik Teddy dan Toni harus bergelut dengan risiko yang lain, tubuh mereka terasa panas, dan banyak bagian di kulit mereka yang mengelupas. Pada tahun 1994, ketika terjadi kasus pembredelan tiga media massa cetak nasional: Tempo, Detik dan Editor. Pembredelan ketiga media massa tersebut memicu aksi massa besar-besaran, dan digunakan oleh kaum aktivis pergerakan untuk mempercepat konsolidasi dan memanaskan situasi politik. “Itu momentum yang paling strategis yang harus diambil siapa saja, dari kubu mana saja, untuk mempercepat bola panas perlawanan.” ujar Raharjo Waluyo Jati. Sebelumnya, pada tanggal 2 Mei 1994, sekitar 40 aktivis dari berbagai latar belakang, berkumpul di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, untuk mendeklarasikan sebuah lembaga politik baru bernama Persatuan Rakyat Demokratik (PRD), sebagai ketua, terpilihlah Sugeng Bahagiyo. Beberapa bulan sebelum deklarasi itu, di Yogya, dukungan atas pembentukan lembaga tersebut diteken oleh banyak orang. Tiga di antara sekian banyak orang yang
114
bertandatangan adalah Teddy, Toni dan Icul. Dan ketika beberapa bulan kemudian, ada pembredelan tiga media massa oleh pemerintah, suhu politik di Indonesia benar-benar memanas dengan cepat. Gelombang massa tumpah di mana-mana, dari mulai Jakarta, Bandung, Yogya, Solo, Semarang, Surabaya, bahkan sampai luar Jawa. Momentum itu membuat banyak aktivis yang merasa yakin, kekuasaan Suharto sudah semakin keropos. Anak-anak Sasenitala, termasuk juga Icul dan Toni, tiba-tiba mempunyai gagasan yang nyeleneh. Mereka ingin ‘membungkus’ kantor biro Tempo di Yogya, yang terletak di jalan Kaliurang (sekarang dipakai menjadi kantor Jawa Pos Yogya) dengan koran. “Kalau ada yang mau menyediakan koran satu truk, kami akan mengerjakannya.” kata Icul kepada salah satu wartawan yang dikenalnya. Tidak lama kemudian, Icul dihubungi wartawan tersebut, dan mengatakan pihak Jawa Pos siap menyuplai aksi mereka dengan mendatangkan koran satu truk di kantor biro Tempo Yogya. Segera, puluhan anak Sasenitala berbondong-bondong menuju Jalan Kaliurang, dan dalam waktu semalam, mereka ‘membungkus’ bangunan itu dengan koran, dari luar sampai dalam. Bahkan juga komputer-komputer pun dibungkus koran. Menjelang pukul 3 dini hari, pekerjaan selesai, tetapi masih ada koran yang tersisa sebanyak setengah truk. Mereka lalu bersepakat menjual sisa koran itu ke pasar Bringharjo, dan uang hasil penjualan itu mereka belikan bir. “Sampai dapat ratusan botol bir.” ujar Icul mengingat peristiwa itu. Mereka yang terlibat pekerjaaan dahsyat itu lalu minum bir sebanyak-banyaknya, sampai teler. Saking telernya, Toni, bahkan hanya memakai celana dalam sampai keesokan harinya. ---
115
S
aat peristiwa ‘membungkus’ kantor Tempo Yogya dengan koran dilakukan, Hamcrut dan Teddy sedang pergi ke salah satu daerah di Jawa Timur untuk mendampingi para petani yang juga sedang mendapatkan masalah politik. Mereka berdua bersama Wiji Thukul. Thukul, saat itu memang tengah menjadi idola di kalangan mahasiswa di beberapa kota di Pulau Jawa. Ia lahir di kampung Sorogenen Solo, pada tahun 1963. Ia memang lahir dari keluarga miskin. Pendidikan formalnya berhenti di tengah jalan, di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, jurusan Seni Tari. Ia lalu menjalani beragam profesi, mulai dari jualan koran, menjadi calo karcis bioskop, sampai menjadi buruh pelitur di sebuah perusahaan mebel. Tetapi tampaknya Thukul mempunyai jiwa seni yang kuat. Ia senang sekali menulis puisi, dan suka sekali menonton pertunjukan teater. Ia juga sering mengajak teman-temannya untuk mengamen, tetapi anehnya bukan mengamen lagu, melainkan mengamen puisi. Suatu ketika, Thukul mengajak beberapa temannya yang buruh pelitur untuk menonton sebuah acara pembacaan puisi. Begitu pulang dari menonton pertunjukan itu, Thukul bertanya kepada teman-temannya, apa yang mereka rasakan. Semua temannya menggelengkan kepala, tidak paham dengan apa yang dibaca oleh para penyair. Semenjak itu, Thukul selalu berpikir, adakah yang salah dengan itu semua? Mengapa puisi hanya dipahami oleh ‘orang-orang pintar’ saja? Semenjak itu, Thukul mengubah gayanya di dalam berbahasa puisi, dengan harapan puisi-puisinya bisa dipahami oleh orang-orang seperti dirinya dan temantemannya. Ternyata apa yang dilakukan Thukul mendapat sambutan yang bagus di kalangan teman-temannya yang hidup di lapis ekonomi bawah. Segera kemudian, Thukul dikenal oleh banyak orang, termasuk penggiat jaringan kebudayaan bernama Halim HD. Halim-
116
lah yang banyak memperkenalkan Thukul ke para aktivis, dan dari sana kemudian sajak-sajak Thukul yang sederhana, mulai memperlihatkan muatan-muatan politis. Kata-katanya tetap sederhana, tetapi seperti lazimnya puisi, dalam kesederhanaan ada ketajaman. Thukul kemudian bukan hanya masuk dalam lingkungan politik, namun ia pun bekerja total di sana. Puisi Thukul dibaca di mana-mana. Di setiap panggung massa, syair-syairnya bergema. Jati bertemu Thukul pertama kali saat ia terlibat aksi besarbesaran untuk kasus Kedung Ombo. Warga Kedung Ombo saat itu dimobisasikan bersama para aktivis menuju gedung DPR/ MPR. Di sana, Thukul membacakan sajak-sajaknya. Dan di saat itu pula, Jati tersihir oleh karya Thukul, yang disuarakan dengan serak dan pelo (tidak bisa dengan jelas melafalkan huruf ‘R’). Hubungan para aktivis dengan Thukul pun semakin intens. Teddy dan Hamcrut pun berhubungan dan bekerja dengan Thukul untuk agenda-agenda politik tertentu. Begitu mendengar bahwa teman-temannya heboh ‘membungkus’ kantor Tempo Yogya dengan koran, Teddy merasa ‘kecolongan momentum’. Lalu saat ada peringatan 100 hari pembredelan Tempo, Detik dan Editor, bersama Thukul dan Weye Haryanto, Teddy segera pergi ke Surabaya. Di salah satu taman kota Surabaya, mereka gantian membungkus pohonpohon dengan koran. Aksi itu mendapatkan sambutan yang meriah oleh warga Surabaya. Sementara Toni, Teddy dan Icul serta beberapa anak seni rupa ISI yang lain mulai terlibat aktivitas politik di luar, di kampus Gampingan sendiri, suasana masih adem ayem. Geregetan dengan keadaan itu, suatu hari, Toni mengajak Teddy untuk melakukan aksi ‘gila’, tujuannya sederhana, agar memicu terjadinya penyegaran pikiran. Mereka lalu menempel poster dengan judul besar berbahasa Inggris: Change Your Mind!
117
Selama seminggu, mereka berdua datang ke kampus dengan mewarnai seluuh tubuh mereka, dari mulai rambut sampai kaki, dengan satu warna yang sama. Keesokan harinya, mereka melakukan lagi, namun dengan cat yang berbeda warna. Begitu seterusnya, kegiatan itu dilakukan selama seminggu penuh. Kontan saja, apa yang dilakukan oleh Teddy dan Toni, memukau banyak orang di kampus Gampingan. Aksi mereka lalu dibicarakan di mana-mana. Akhirnya apa yang mereka inginkan tercapai, berbagai forum mulai bergeliat, hingga kemudian menuju ke satu titik yang hampir sama: atmosfir melawan. Pada saat itulah, Teddy, Bob, Toni dan Edo Pillu bersepakat membuat sebuah grup musik ngedan dengan nama yang juga nyeleneh: Steak Daging Kacang Ijo.
118
Steak Daging Kacang Ijo
D
I kompleks kampus ISI Gampingan, ada sebuah gedung bernama Aji Yasa, semacam pendopo yang tepat berada di tengah kampus. Di samping gedung itu, berdiri rimbun pohon beringin yang cukup tua. Sebelum gedung itu dibangun, pohon beringin itu telah menjulag tinggi. Selain di arena parkir kampus, tempat nongkrong sekaligus ngedan anak-anak ISI Gampingan adalah di samping gedung Aji Yasa itu, tepatnya di bawah pohon beringin. Bahkan ada satu periode tertentu, saking seringnya dan ramainya orang-orang berkumpul di sana, muncullah sebuah julukan: Cah Sor Ringin. Artinya, anak-anak di bawah pohon beringin. Anak-anak ISI dari segala jurusan dan dari berbagaia angkatan, terutama yang suka berulah gila-gilaan, dengan gampang bisa ditemui di sana. Teddy, Toni, Bob, termasuk orang yang suka nongkrong di sana. Di angkatan yang lebih tua dari mereka bertiga, misalnya saja terdapat sebuah nama yang kelak mengukuhkan dirinya sebagai salah satu pelukis ternama: Ugo Untoro. Ugo adalah anak ISI jurusan seni lukis angkatan 1988. Saat ia nongkrong bersama Cah Sor Ringin, sudah banyak kawankawan satu angkatannya yang hengkang. Kalau pagi sampai sore, ia nongrong di tempat itu, sedangkan kalau sore sampai malam, ia nongkrong di Malioboro, mencari uang sebagai pelukis potret. Dari angkatan yang lebih muda dari Teddy, ada pula nama Kokok P Sancoko, ia anak desain interior angkatan 1993. Terlalu banyak nama untuk disebut, tetapi ada baiknya kita tahu beberapa nama tersebut, untuk melihat beragamnya orang yang sering nongkrong di tempat legendaris itu, sebutlah misalnya Samuel Indratma, Agung ‘Leak’ Kurniawan, Iwan Tipu, Eddo Pillu, Icul dan Dodo Hartoko. Nama terakhir ini, bukanlah anak ISI, tetapi ia kerap ikut bergerombol di bahwa pohon beringin. Dan tentu saja, di sana pastilah hadir Gandung, seorang tukang becak yang dari kecil sudah akrab dengan tempat itu. Ia bahkan satusatunya orang yang tercatat berani memanjat pohon beringin tua itu sampai pucuknya. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
121
anakanak ISI, segila apapun mereka. Cah Sor Ringin, sudah dikenal oleh banyak mahasiswa dan bahkan dosen-dosen mereka sebagai sosok-sosok yang ‘liar’, beberapa orang bahkan menyebut ‘kumpulan orang suka mencuri perhatian’. Tetapi tempat itu merupakan situs yang kondusif bagi sekelompok orang untuk melalui masa muda mereka yang penuh gejolak. Mereka mabuk, teler, diskusi, berantem, menggagas sesuatu, di tempat itu. Gandung, yang sejak kelahiran anak pertamanya tahun 1991 sudah bersumpah untuk tidak mabukmabukan lagi selain minum bir sekadarnya, menjadi ‘pengawas sekaligus pengawal’ anak-anak tersebut jika sudah mabuk di luar kontrol. Ia kerap melerai orang yang berantem tanpa sebab, hanya karena pengaruh alkohol. Ia juga kerap mengantar anak-anak itu pulang ke kos masingmasing, karena sudah teler berat. Dan ia, tentu saja sibuk mengumpulkan botol dan kaleng sisa minuman keras untuk dijualnya. Semua jenis barang yang memabukkan dikonsumsi di sana, mulai dari minuman beralkohol, pil koplo, ganja, sampai jamur tahi sapi. Mereka, dan juga kebanyakan orang Yogya yang suka mabuk-mabukan, menyebut jamur tahi sapi itu dengan sebutan mushroom, yang dalam bahasa Inggris sebetulnya hanyalah berati jamur, dan tidak secara spesifik menunjuk pada jamur tahu sapi yang jika dikonsumsi bisa memberikan sensasi yang mengerikan. Tetapi supaya lebih ‘mendekati’ gaya bahasa mereka, di dalam tulisan ini, kata mushroom akan tetap digunakan, atau sesekali akan disebut dengan kata jamur, yang itu artinya menunjuk ke satu hal: jamur tahi sapi. Ada banyak kisah unik yang beredar dari mulut ke mulut, berkaitan dengan mushroom itu. Tetapi sekalipun beredar dari mulut ke mulut, bukan berarti itu kisah bohong, sebab sudah banyak yang mengalam sensasi mabuk mushroom, dan mereka melakukan aksi-aksi yang aneh, untuk tidak dikatakan sebagai aksi yang membahayakan. Sebagai contoh, ada dua orang yang mabuk mushroom, keduanya lalu sepekat untuk membeli rokok bersama.
122
Salah seorang dari mereka lalu menyalakan motor, dan yang lain membonceng. Sampai di debuah pertigaan, yang menyetir motor ingin belok ke kiri, yang dibonceng ingin belok ke kanan. Merkea sempat berdebat beberapa saat. Lalu orang yang berada di depan memutuskan belok kiri, dan orang yang di belakang memutuskan belok kanan. Mereka berpencar. Tapi kemudian masing-masing orang terjungkal. Bagaimana bisa dalam sebuah sepeda motor ada satu orang belok kek kiri dan yang satu belok ke kanan? Perlu Anda tahu, mereka tidak naik motor. Mereka ‘seakan-akan’ saja naik sepeda motor berdua. Praktiknya, mereka hanya berlari berdua, yang satu di depan (seperti sedang menyetir) yang satu lagi di belakang (seperti sedang membonceng). Bagaimana hal aneh seperti itu bisa terjadi? Tanyakan saja pada yang menciptakan mushroom, terutama mushroom yang tumbuh dari kotoran sapi! Ada juga orang yang mabuk mushroom, sekian menit ia tertawa keras-keras. Tetapi sekian menit berikutnya ia menangis keras-keras. Lalu ada juga kisah orang yang mabuk mushroom, terlihat sangat emosional, marah-marah, mengumpatngumpat. Tetapi tidak lama kemudian ia melakukan salat sampai berpuluh-puluh rakaat sambil menangis, dan mengakui dosadosa apa saja yang telah ia lakukan di dalam hidupnya. Pendeknya, mabuk mushroom adalah salah satu jenis mabuk yang sangat berisiko. Maka, sudah menjadi semacam aturan main tidak tertulis, jika ada orang mabuk mushroom, harus ada orang yang tidak ikut mabuk untuk berjaga-jaga dari ulah gila. Tetapi tidak semua orang yang menjadi bagian dari Cah Sor Ringin pemabuk. Salah satunya adalah Kokok. “Aku kadangkadang saja minum, itu pun hanya sedikit. Aku sangat suka berada di sana karena banyak diskusi tentang seni rupa dan hal lain yang mengasyikkan.” Tetapi gila-gilaan di bawah pohon beringin itu tampaknya tidak cukup buat trio Teddy, Toni dan Bob. Mereka ingin melakukan sesuatu, tetapi sampai lama, ‘sesuatu’ itu belum jelas juga.
123
--ahun 1994, di saat Cah Sor Ringin sedang gila-gilanya, dunia sedang melansir berita duka. Salah satu personel grup musik Nirvana, meninggal dunia dalam usia yang masih sangat muda, 27 tahun. Ia, Kurt, menyusul para legendaris musik yang lain, yang meninggal persis di usia yang sama, 27 tahun, sperti Jimi Hendrix, Janis Joplin, dan tentu saja tokoh paling dipuja dalam dunia musik rock: Jim Morrison.
T
Berita kematian Kurt menyebar seperti wabah mematikan ke seantero dunia. Para anak muda yang suka memberontak, berada dalam sebuah ketegangan, berita kematian yang menyesakkan dada, tetapi sekaligus mendapatkan pahlawan baru yang patut dipuja. Sebagaimana kebanyakan kaum muda Indonesia lain yang juga memiliki pahlawanpahlawan lokal yang mati muda seperti Chairil Anwar, Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib, kematian Kurt menambah daftar pahlawan bagi mereka. Semenjak dilansirnya album Nevermind pada tahun 1991, wabah Nirvana menyebar ke Indonesia. Lagu dengan akor sederhana, kata-kata yang ganjil, dan suara serak melengking seperti auman serigala dari hutan yang keluar dari kerongkongan Kurt, dinyanyikan di mana-mana, dari mereka hanya baru belajar main gitar sampai pementasan grup-grup di tingkat kampus. Lagu Smells Like Teen Spirit adalah lagu wajib bagi banyak grup musik kampung dan kampus, jika mereka manggung. Kurt juga dipuja karena sikap seenaknya sendiri, dan derajat cuek yang sangat tinggi. Ia artis ternama, tetapi dengan pakaian itu-itu saja: sepasang sepatu tenis merek Converse, celana jins yang rombeng dan robek besar di bagian lutut, kaos belel yang telah memudar warnanya, dan sesekali terlihat dengan memakai kardigan yang sudah luntur pula warnanya. Ia biasa tidak mengganti kaos sampai beberapa hari, dan terbiasa tidak mencuci rambut sampai lebih dari seminggu. Semenjak kematian Kurt, wajah Kurt nongkrong di mana-
124
mana, baik di poster kamar, stiker, sampai di kaos, yang biasanya diimbuhi dengan cuplikan kalimat Kurt yang sangat terkenal: I hate my self and wanna die. Kaos itu diburu banyak remaja dan pemuda di Indonesia, dan kalimat itu diucapkan banyak orang, dikutip, sebagaimana mereka sering mengutip salah satu kalimat dari Chairil Anwar: Sekali beberarti, sudah itu mati. Mereka tidak perlu tahu, dalam konteks apa Kurt mengucapkan kalimat tersebut, dan mereka tidak perlu tahu juga di puisi yang mana terdapat kalimat Chairil Anwar itu. yang jelas, setiap remaja dan anak muda butuh pahlawan. Dan mereka telah mendapatkannya. Wabah Kurtisme, semakin menggila ketika album Unplugged dikeluarkan. Album itu direkam secara langsung oleh MTV dalam sebuah acara MTV Unplugged in New York pada tahun 1994, sebelum Kurt bunuh diri. Kematian Kurt Cobain, dirasakan oleh trio Teddy, Toni dan Bob sebagai hal yang mengerikan sekaligus menggairahkan. Kurt Cobain adalah pahlawan mereka. Mereka sering sekali menyanyikan lagu-lagu Kurt Cobain di bawah pohon beringin, dengan diiringi gitar bolong yang dipetik oleh Edo Pillu. Mereka juga mengumpulkan semua barang yang berhubungan dengan Kurt Cobain, dari kaset, poster, stiker sampai kaos. Semua berita tentang Kurt Cobain yang mereka temukan di berbagai media cetak, mereka keliping. Dan kalimat: I hate my self and wanna die, diteriakkan oleh mulut mereka di mana-mana. Tetapi seandainya saja mereka tahu proses kematian Kurt, mungkin mereka akan berbuat hal yang lain, atau setidaknya menyitir kalimat Kurt yang lain. Sebab kematian Kurt adalah satu di antar sekian kisah kematian lewat cara membunuh diri, yang berlangsung dengan liris dan dramatis. Sesaat sebelum bunh diri, Kurt menulis dua surat terakhirnya, yang pertama surat pendek untuk Coutrney, istrinya. Dan yang satu lagi ditujukan untuk Boddah, sebuah nama imajiner, yang dianggapnya teman lamanya sejak kecil. Jika ada masalah besar, Kurt selalu berbicara dan menulis surat kepada Boddah, sosok
125
yang tidak ada di dunia riil Kurt. Surat kepada Courtney dibuka dengan kalimat sederhana, dan dilanjutkan pula dengan kalimat-kalimat sederhana yang lain, tetapi sangat menggetarkan. “Kamu tahu, aku mencintaimu. Aku mencintai Frances. Aku minta maaf. Tolong jangan ikuti aku. Maaf, maaf, maaf….” Frances, adalah anak Kurt dengan Courtney. Dan kata ‘maaf ’ yang ditulis oleh Kurt begitu panjang, seakan ingin mendedahkan rasa bersalah yang teramat sangat kepada mereka berdua, orang-orang yang dicintainya, Courtney dan Frances. Selanjutnya Kurt menutup surat itu dengan, “Aku akan selalu ada. Aku akan melindungimu. Aku tak tahu ke mana aku akan pergi. Tapi aku tak bisa tinggal lebih lama lagi.” Sebetulnya, surat itu sudah dianggap Kurt selesai. Kemudian ia melanjutkan menulis surat panjang kepada Boddah, kali ini surat itu bukan hanya panjang, melainkan penuh dengan persoalanpersoalan yang menghimpitnya. Hanya dengan Boddah, Kurt bisa terbuka dan berterus terang. Hanya kepada ‘sosok yang tidak ada’, Kurt bisa mengeluarkan seluruh uneg-unegnya dengan tingkat emosi yang tinggi. Di dalam lariklarik panjang itu, kita bisa mendapatkan sedikit gambaran penderitaan Kurt, misalnya saja dalam kalimat ini, “Kejahatan terbesar yang pernah kulakukan adalah menipu kalian dengan memalsukan kenyataan bahwa aku 100 persen menikmati saat-saat di atas panggung.” Dari sana kita tahu, Kurt, sang rock star, di mana panggung musik adalah manifestasi dari eksistensinya sebagai seorang pemusik, ternyata justru tidak bahagia jika berada di atas panggung. Lalu ada kalimat lain yang juga memberi sedikit gambaran tentang Kurt, “Tapi aku hanya seorang narsis yang hanya menghargai sesuatu jika sesuatu itu sudah tidak ada lagi.” Kurt, sebagaimana kebanyakan seorang seniman besar, hidupnya berkecambah dengan benih narsisme yang mengakar kuat. Tetapi di surat itu pula, kita mendapatkan sebuah ungkapan yang sendu, “Aku adalah Jesus man, seorang pisces yang lemah,
126
tidak tahu berterimakasih dan bersedih.” Dari kalimat-kalimat itu, kita menjadi tahu, Kurt hanyalah manusia biasa yang rapuh, dan penuh dengan rasa bersalah. Dan tentang keluarganya, ia mendedahkan sederet kalimat subtil, “Aku punya istri yang bagaikan dewi yang berkeringat ambisi dan empati, dan seorang putri yang mengingatkanku akan diriku sendiri di masa lalu. (Putriku) Penuh cinta dan selalu gembira, mencium siapa saja yang dia temui karena menurutnya semua orang itu baik dan tidak akan menyakitinya. (Tingkah anakku) Itu membuatku ketakutan, sampaisampai aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tidak bisa membayangkan frances tumbuh menjadi rocker busuk yang suka menghancurkan diri sendiri danmenyedihkan, seperti aku sekarang.” Lalu di bagian akhir surat panjang itu, kita bisa mengerti satu elemen yang memilin kompleksitas pribadi Kurt sehingga ia memutuskan untuk bunuh diri, “Dari dasar perut mualku yang terasa terbakar, aku ucapkan terimakasih atas perhatian kalian selama ini. Aku hanyalah seorang anak main-mainan yang plinplan! Sudah tidak ada semangat yang tersisa dalam diriku. Jadi ingatlah, lebih baik terbakar habis, daripada memudar.” Kurt melipat surat keduanya itu. dan balik membuka lipatan surat pertamanya yang jauh lebih pendek, yang ditujukan untuk istrinya, yang awalnya sudah dianggap selesai. Namun Kurt kemudian membubuhkan lagi tiga kata di akhir surat pertamanya itu, “Damai, cinta, empati.” Dan kemudian ia menulis namanya sendiri: Kurt Cobain. Sebelum menuju ke puncak prosesi kematian, seusai menulis dua surat, Kurt masih sempat berdiam diri, merokok berbatangbatang Camel Light, rokok kegemarannya, dan meminum beberapa teguk root beer. Dengan pelan, Kurt kemudian bangkit, setelah mematikan batang Camel terakhir yang dihisapnya, lalu ia meracik barang yang paling digemarinya: heroin black tar dari Meksiko.
127
Kurt, tidak menunggu kematian, tetapi ia mendatanginya. Kurt tidak menghadapi malaikat pencabut nyawa, melainkan ia mengundangnya. Kurt tidak mendekati ajalnya dengan langkah pelan, pasti dan puitis. Heroin itu lalu disuntikkan di bagian siku, tidak jauh dari tato berhuruf ‘K’. Kurt kemudian meraih senapan yang sudah dibelinya beberapa hari sebelumnya, dan meletakkan ujung senapan itu di mulutnya. Kita tidak tahu apa yang dirasakan oleh Kurt, yang kita tahu hanyalah: Kurt mati dengan cara bunuh diri. --eddy, Toni dan Bob, tentu tidak tahu drama kematian Kurt akan sepuitis itu, sebab yang mereka konsumsi dari Kurt Cobain adalah potongan berita yang ditulis di koran-koran atau majalan-majalah. Sebab karya biografi gemilang tentang Kurt Cobain, termasuk kisah di atas, baru selesai ditulis oleh salah satu wartawan gaek mudik dari Amerika bernama Charles R Cross, dan biografi yang kemudian diberi judul Heavier Than Heaven: The Biography of Kurt Cobain, baru diterbitkan pada tahun 2001.
T
Tetapi tidak bisa disangkal, kematian Kurt Cobain, mencengkeram di otak banyak orang, termasuk Teddy, Toni dan Bob. Ditambah dengan aksi gila-gilaan yang ingin melakukan ‘sesuatu’, mereka terus mabuk dan bertukar gagasan. Hingga kemudian Toni membawa robekan koran atau mungkin majalah, ia tidak bisa mengingat itu dengan baik, lalu menemui Teddy dan Bob dengan menawarkan proposal gagasan yang konyol: Membuat grup musik. Konyol dalam arti yang sesungguhnya. Bagaimana tidak? Toni tidak bisa bermain satu alat musik pun, sama halnya dengan Teddy. Sedangkan Bob, yang mengaku bisa bermain gitar, sebetulnya hanyalah pemain gitar ‘Ebiet G Ade’. Istilah ‘Ebiet G Ade’ itu bukan merujuk kepada permainan musik dan lagulagu, atau bahkan ketrampilan bermain gitar seorang penyanyi ternama bernama Ebiet G Ade. Tetapi istilah ‘Ebiet G Ade’ itu
128
merujuk kepada kemampuan Bob yang hanya bisa memetik gitar dengan akor G, A dan D. Tetapi Toni berhasil meyakinkan kedua sahabatnya itu bahwa mereka bisa membuat grup musik yang legendaris tanpa harus bisa bermain musik. Sebab robekan koran atau majalah yang dibawanya, terdapat sebuah tulisan bahwa untuk jenis musik aliran tertentu, terutama punk rock, hanya dibutuhkan tiga akor. Mendengar penjelasan Toni, dan juga hasrat yang terpendam untuk melakukan sesuatu yang sudah lama ditahan, baik Teddy dan Bob menyambut dengan antusias. Mereka lalu berpikir harus ada satu orang lagi yang diajak untuk main musik, lalu mereka sepakat memilih Edo Pillu. Sialnya, Edo bukan sembarangan pemain musik. Ia produk khas orang Bandung, di mana di setiap gang muncul grup-grup musik dengan ketrampilan yang memadai. Edo bahkan bisa memainkan berbagai alat musik, dan bukan sekadar memainkan sekadarnya, melainkan memang sungguh-sungguh menguasai alat musik. Edo bahkan terampil bermain musik klasik dan jaz. Mereka bertiga lalu menawari Edo untuk bergabung bersama mereka dalam sebuah grup musik. Di luar dugaan, Edo menyambut tawaran gila dari trio edan itu. Kemudian dibagilah keempat orang itu dengan masing-masing ketrampilan yang bisa dimainkan oleh keempatnya. Bob jelas saja kebagian sebagai pemegang gitar. Toni bertugas memainkan alat musik bas, dengan pelajaran yang sederhana, satu petikan untuk satu nada, yang gampang dihapalkannya, tanpa harus secara rumit mempelajari sebuah akor. Jika ada akor G, Toni cukup memencet bagian senar G. Sangat sederhana. Dan Teddy, kebagian sebagai vokal. Sedang instrumen yang pasti tidak dapat dimainkan oleh ketiga orang itu, tetapi sangat penting, yakni drum, terpaksa dibawah kendali Edo. Sekarang masalahnya tinggal memilih nama grup musik. Berhari-hari mereka mencari nama grup untuk grup musik
129
mereka, tetapi selalu menemui jalan buntu. Hingga suatu hari, Bob datang di saat Teddy, Toni dan Edo sedang berkumpul. Bob yang saat itu sudah beristri dan mempunyai anak, secara cuek berkata, “Wah tadi aku dikasih sarapan sama istriku, steak daging dan kacang ijo.” Teddy langsung mengahut dengan nada pelan, setengah bertanya, “Kenapa kita enggak pakai nama itu sebagai nama untuk grup musik kita?” Anak-anak yang lain terbengongbengong. Tetapi lalu mereka sepakat dan antusias dengan judul nyeleneh grup musik mereka. Hari itu, sebuah grup musik berdiri, para musisinya selain satu orang, tidak bisa bermain musik, dan sebuah nama aneh dipilih sebagai nama grup tersebut: Steak Daging Kacang Ijo. Untuk merayakan pembentukan nama grup musik sekaligus kelahiran grup musik mereka, kemudian mereka berempat menuju ke kampus untuk mabuk-mabukan. Tidak lama setelah mereka sampai di sana, hujan turun dengan deras. Setelah mereka mabuk, mereka bersepakat tekanjang bulat dan berhujan-hujanan, berlari mengelilingi gedung Adi Yasa sebagai prosesi lahirnya grup musik mereka. Benar, mereka pun berhujanhujanan, dalam keadaan telanjang bulat mengitari gedung Adi Yasa. Banyak orang yang mengenang peristiwa dahsyat itu, termasuk para dosen. --emam membuat grup musik melanda Yogya, mulai tahun 1994 sampai tahun 1995. Pentas musik muncul di manamana, termasuk di berbagai kampus. Berbagai poster pertunjukan dan pergelaran musik tertempel di banyak tempat. Tetapi hampir semua orang di Gampingan dikejutkan dengan poster-poster Steak Daging Kacang Ijo. Poster pertama yang mereka tempel: Steak Daging Kacang Ijo menerima undangan untuk menghibur di acara pernikahan, sunatan dan hajatan.
D
Mereka tidak kenal ada sebuah grup dengan nama Steak daging Kacang Ijo. Dan poster seperti itu telah menyihir banyak orang
130
untuk tahu apakah grup musik itu? Tetapi setiap kali ada pentas musik di Gampingan, grup itu tidak pernah ikut manggung. Hanya poster-postre mereka yang cerdas dan menarik secara visual, diikuti dengan kalimatkalimat yang bombastis, terus menggempur dinding-dinding ISI Gampingan. Pernah suatu saat, ada poster Steak Daging Kacang Ijo hanya dengan tulisan: Wanted, Dead or Alive: Steak Daging Kacang Ijo. Eksistensi awal Steak Daging Kacang Ijo bukan diawali dengan pertunjukan mereka, tetapi lewat poster-poster, dan sampai lama mereka tidak juga tampil di panggung. Sekali waktu muncul sebuah poster dengan informasi bahwa Steak Daging Kacang Ijo akan melakukan pentas tunggal di sebuah lapangan, di sekitar daerah Wirobrajan, berikut diberi keterangan jam pertunjukan. Berbondong-bondong anak ISI, di tanggal dan jam yang telah ditentukan, menuju tempat tersebut. Tetapi di sana tidak ada apa-apa. Steak Daging Kacang Ijo, untuk sementara adalah hantu belau yang terkenal, tetapi tidak pernah terlihat. --ampir bersamaan dengan proses pendirian dan ulah aneh Steak Daging Kacang Ijo, Bob ingin sekali berkanalan dengan orang Filsafat UGM. Tidak jelas alasannya, “Pokoknya ingin kenal saja.” kata Bob.
H
Kebetulan ia kenal seorang mahasiswa Fakultas Filsafat UGM bernama Arif, tetapi Arif bukan sosok yang ‘dicarinya’. Kemudian Arif memberi sebuah alamat di dekat rumah Bob di Pandega Bakti, dengan nama keren: Tuhan. Dalam keadan mabuk, di saat malam hari, Bob mencari alamat Tuhan. Ia mengebel berkali-kali rumah itu. Akhirnya keluarlah Tuhan menemui Bob. Awalnya Tuhan kaget, melihat sosok di depannya, dalam keadan mabuk dan seluruh badan serta mukanya penuh dengan tato. Dengan setengah teler, Bob bertanya, “Kamu, Tuhan?”
131
Tuhan mengiyakan, dengan perasaan waswas. Ia merasa tidak pernah punya masalah dengan orang, dan saat itu pikirannya dipenuhi oleh dugaan, orang itu akan menantangnya berkelahi karena sebuah urusan. Tetapi ternyata tidak. “Aku Bob. Bob Sick. Aku ingin berteman denganmu.” Tuhan kaget. Tetapi di saat itu, ia merasa kalau ia memang bisa berteman dengan sosok aneh itu. Semenjak malam yang mencengangkan itu, Bob bersahabat akrab dengan Tuhan, tanpa alasan yang jelas. Tetapi hubungan mereka memang klop. Saat itu, Bob ingin mengeksplorasi karya seni, lebih tepatnya lukisan-lukisannya untuk digunakan sebagai desain kaos. Bob yang membuat gambar, lalu Tuhan yang membuatnya menjadi kaos. “Itu kaos gila. Masak dalam satu kaos, warnanya bisa sampai delapan.” kenang Tuhan, ketika awal-awal bekerja bersama Bob. Kaos bikinan Bob dicetak dengan sangat terbatas, rata-rata hanya dicetak 10 buah, dan paling banyak dicetak 20 buah. Bob sendiri yang menjual kaos itu ke temantemannya. Untuk soal itu, Bob mengungkapkan, “Puas rasanya, ada orang yang memakai kaos dengan lukisanku di bagian depan kaos itu.” Dua orang ini, Bob dan Tuhan, berbeda dalam segala hal. Bob pemabuk berat, Tuhan tidak suka mabuk-mabukan. Bob tukang bikin onar, sementara Tuhan sosok yang kalem dan santun. Linda, istri Bob saat itu, sangat suka begitu tahu Bob bersahabat dengan Tuhan yang ‘bersih’ itu, dengan harapan kelak Bob akan bisa sembuh dari mengkonsumsi barang-barang yang memabukkan, terutama mengkonsumsi pil koplo. Dan Tuhan, sekalipun berpuluh kali ia mengalami bagaimana Bob membuat onar, selalu berusaha menjaga Bob. “Aku tidak mungkin membiarkannya sendirian. Kadang capek juga sih menjaga orang mabuk pil koplo yang banyak tingkah, tetapi rasa kasihan menjaga seorang sahabat membuatku tetap bertahan di
132
sampingnya,” tutur Tuhan. Ketika Tuhan tahu Bob mendirikan grup musik Steak Daging Kacang Ijo, dan grup itu belum pernah punya wahana untuk mengekpresikan musik mereka di atas panggung, maka pada tahun 1995, ketika di Fakultas Filsafat ada pentas musik kampus memperingati hari ulang tahun kelompok pencinta alam Fakultas Filsafat yang bernama Mahasiswa Pencinta Jagat Raya (Mapajaga) Pantharei, Tuhan mengontak panitianya, yang salah satunya juga dikenal oleh Teddy dan Toni: Hamcrut. Dengan senang hati, Hamcrut mempersilakan grup musik Steak Daging Kacang Ijo pentas untuk kali pertama. --egitu anak-anak ISI tahu Steak Daging Kacang Ijo akan pentas, dan kali itu benar-benar akan terjadi, mereka berduyun-duyun mendatangi Fakultas Filsafat, digiring oleh rasa penasaran yang cukup tinggi. Seperti apakah aksi panggung grup musik yang tenar tetapi tidak pernah pentas itu?
B
Malam itu, setelah beberapa grup musik pentas dan mendapatkan respons yang hangat dari penonton, tibalah grup saatnya Steak Daging Kacang Ijo naik pentas. Saat satu per satu personelnya naik ke atas panggung, para penonton yang kebanyakan anak UGM, terbengong-bengong. Di atas panggung, orang-orang berambut gimbal, bertato, teler berat, dan sangat cuek, mulai menduduki posisi masing-masing. Sebuah lagu dinyanyikan, lagu pertama langsung membuat seluruh penonton terheran-heran dan senyap. Steak Daging akcang Ijo memainkan lagu karangan Maladi. Teddy dan Bob menyanyi bersama-sama: Menguning, padi menguning Gemulai ditiup angin Berderai padi di sawah Seperti Lautan Gembira bapak tani melihat
133
Syukur pada Ilahi Rezeki melimpah Selesai lagu itu dilantunkan, tidak ada yang bertepuk tangan. Para penonton tetap masih asing dengan lagu dan oang-orang ‘aneh’ di atas panggung. Tetapi tanpa peduli dengan respons penonton, Teddy dan Bob kembali menyanyikan lagu kedua: Hymne Guru. Terpujilah wahai engkau Ibu bapak guru Namamu akan selalu hidup Dalam sanubariku …. Lagu kedua pun selasai, dan hanya satu dua penonton yang bertepuk tangan. Musik dan suara mereka fals, tetapi penampilan mereka terlihat sangat percaya diri dan enak dilihat. Dan sebagai lagu ketiga, sekaligus lagu terakhir, Steak Daging Kacang Ijo menyanyikan lagu ‘Darah Juang’, karena akor lagu ini sangat rumit, lagu ini dinyanyikan tanpa iringan musik. Tetapi lagu ini bukan lagu asing di Fakultas Filsafat UGM, sebab syair lagu ini dibuat bersama-sama oleh anak-anak Filsafat seperti Webi Warouw, Dadang Yuliatoro, Andy Munajat dan John Tobing. Sedangkan lagunya sendiri, dibuat oleh musisi cum aktivis Fakultas Filsafat: John Tobing. Kelak, lagu ini mengumandang ke seantero negeri ini, terutama saat menjelang Suharto jatuh. Dan di banyak buku serta selebaran di berbagai kampus, lagu ini sering diberi keterangan, dikarang oleh: NN, atau kalau tidak, dibuat oleh Wiji Thukul, bahkan ada juga yang menyebut dikarang oleh Bimo Petrus. Tentu saja informasi itu salah fatal. Ketika Toni, Bob, Teddy, Edo Pillu maju bersama menuju bibir panggung, sembari mengepalkan tangan kiri dan melantunkan
134
lagu Darah Juang, puluhan aktivis yang berada di sana segera ikut berdiri, mengacungkan tangan kiri. Hal itu diikuti oleh penonton-penonton lain yang belum kenal lagu itu. Segeralah berkumandang syair lagu yang menggetarkan itu… Di sini negeri kami Tempat padi terhampar Samuderanya kaya raya Tanah kami subur Tuhan Di negeri permai ini Berjuta rakyat dirampas haknya Anak kurus tak sekolah Pemuda desa tak kerja Mereka dirampas haknya Tergusur dan lapar Bunda relakan darah juang kami Tuk membaskan rakyat Bunda relakan darah juang kami Padamu kami berjanji Suara massal itu bergetar, terbang ke langit gelap. Berpuluhpuluh orang menangis. Dan begitu lagu tersebut usai dinyanyikan, salah seorang penonton berteriak dengan keras sekali: Hidup rakyat! Teriakan itu disambut dengan keras oleh para penonton: Hidup! Lalu yang lain melanjutkan lagi dengan teriakan, “Hidup mahasiswa!” Dan segera teriakan itu disambut dengan bergemuruh oleh penonton, “Hidup!” Untung saja Steak Daging Kacang Ijo menyanyikan lagu itu. Kalau tidak, mungkin mereka tetap hanya mendapatkan
135
beberapa tepuk tangan yang tidak bersemangat. Tetapi kuartet Steak Daging Kacang Ijo tidak menyadari hal itu. Mereka berpikir, mereka memang calon-calon pemusik dengan banyak penggemar. Seperti yang telah mereka saksikan malam itu. --enampilan aneh Stead Daging Kacang Ijo akhirnya menyebar di mana-mana, dan anehnya, juga semakin banyak undangan pementasan yang diterima oleh Steak Daging Kacang Ijo. Semakin grup yang sableng luar-dalam itu sering tampil, semakin aneh pula cara mereka manggung.
P
Bayangkan saja, keempat musisi (kecuali Edo) yang nyaris tidak bisa bermain musik itu, bermain di atas panggung dengan gaya mereka. Kadang-kadang Toni berorasi, kadang-kadang Bob yang pegang gitar, karena di atas panggung ada alat musik kibor, dengan iseng ia memencet tuts kibor yang sma sekali tidak dipahami bunyi dan cara memencetnya itu. Kadang pula Toni yang bosa pegang bas minta gantian sama Teddy, yang sama pula tidak bisanya bermain musik. Tetapi justru keanehan itu mendapatkan dukungan yang luar biasa dari publik ISI. Keanehan Steak Daging Kacang Ijo, tampaknya merepresentasikan keanehan pendukung mereka, yang lambat laun kian membeludak. Steak Daging Kacang Ijo konsisten dengan cara tidak menyanyikan lagu-lagu orang lain, selain lagu-lagu ‘bawah tanah’ seperti Himne Darah Juang, atau lagu-lagu yang tidak pernah dipikirkan dibawakan oleh grup musik lain seperti Himne Guru. Grup ini pun menciptakan lagu-lagu sendiri, yang berasal dari puisi-puisi Bob. Tetapi puisipuisi itu bisa dilagukan dengan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan tingkat ketrampilan mereka dlam bermusik: tidak mungkin bisa membuat lagu, dan tidak mungkin mereka menghapalkan nada-nada lagu yang mereka ciptakan. Semakin lama, penampilan Staek Daging Kacang Ijo semakin brutal saja. Toni pernah dengan sengaja, mengendorkan dan mengencangkan tali senar bas yang dipegangnya. Dan tidak
136
perlu mencocokkan dengan nada senar di gitar Bob. Pernah pula mereka bermain hanya satu lagu di panggung, tidak pernah berhenti sampai dering beker berbunyi. Begitu mereka naik panggung, mereka meletakkan jam beker dengan durasi 15 menit, dan selama itu pula mereka memainkan alat musik sesuka mereka, dan bernyanyi sesuka mereka pula. Tetapi gelombang pecandu grup musik Steak Daging Kacang Ijo yang kian memanjang, tidak diikuti oleh keinginan para penyelenggara musik di kampus. Mereka pikir-pikir jika harus mengundang grup musik satu itu. Pasalnya sederhana. Di tahuntahun itu, jarang sekali ada grup musik yang tampil dengan membawa peralatan sendiri. Grup-grup yang akan tampil lebih banyak mengandalkan alat-alat musik yang disediakan oleh pihak penyelenggara. Tentu menjadi masalah tersendiri, kalau Steak Daging Kacang Ijo dengan seenaknya mengubah senarsenar gitar dan bas. Bahkan sering pula mereka memutuskan tali senar gitar dan bas. Akibatnya, hanya kampus-kampus tertentu atau panitia-panitia penyelenggara jenis musik tertentu saja yang mengundang mereka. Kegilaan dalam bermusik itu, menurut Toni, memang begitulah konsepnya, “Steak Daging itu bukan grup musik biasa, itu sebuah happening band,” ungkapnya, mungkin merujuk gagrak seni happening art. Sedangkan menurut Edo Pillu, pementasan Steak Daging Kacang Ijo merupakan sebuah, “Demonstrasi di atas panggung. Sebuah demonstrasi yang cantik,” katanya. Kalau Bob sendiri jika menerangkan Steak Daging Kacang Ijo, dengan bersemangat ia berkata, “Itu grup musik yang memecah kebuntuan!” Teddy, sang vokalis, bilang, “Kalau diteruskan, Steak Daging akan jadi legenda beneran.” Aksi gila-gilaan Steak daging Kacang Ijo terus berlanjut.
137
Pernah mereka hanya membawa radio di atas panggung. Dan mereka hanya menyetel radio itu, sambil berjoget dan bergantian berteriak di depan corong pengeras suara. Sering pula, jika ada salah satu personel yang capek, atau sedang malas manggung, digantikan oleh salah seorang pendukung mereka. Kadang, kalau di lingkungan ISI sendiri, grup ini tidak dipanggil untuk ikut terlibat, mereka akan datang. Sebelum pertunjukan dimulai dan para penonton datang, Steak Daging Kacang Ijo beserta seluruh penggemar mereka datang lebih dulu, lalu langsung tancap gas main di atas panggung. Mereka seperti melakukan sebuah ritual, kuartet Teddy, Toni, Bob dan Edo Pillu sebagai pimpinan sebuah mazab, lalu penggemar mereka yang berjingkrak dengan aneh di bawah panggung seperti umat. Tidak jarang pula, kalau mereka tidak diundang manggung, Steak Daging Kacang Ijo akan datang menjelang acara berakhir. Panggung tidak jadi ditutup sebab baik para musisi Steak Daging Kacang Ijo dan penggemar mereka yang banyak itu akan mendesak panitia agar tidak menutup acara terlebih dahulu jika mereka belum manggung. Pernah dan sering pula, kalau Steak Daging Kacang Ijo diundang pentas, mereka berangkat bersama dari Gampingan dengan seluruh pendukung grup itu, lalu pawai keliling kota besar. Yang paling diingat oleh para personel Steak Daging Kacang Ijo tentang hal seperti itu adalah saat mereka diundang untuk mengisi pemenasan di fakultas Pertanian UGM. Dari Gampingan, seluruh personel Steak Daging Kacang Ijo sudah memakai kostum yang aneh, terutama Edo Pillu. Ia memakai jas hujan dan hanya mengenakan celana dalam. Dengan diiringi puluhan sepeda motor penggemar mereka, mulai jam 7 malam, barisan bermotor ini mulai keliling kota Yogya. Sampai di debuah kompleks perbelanjaan, Edo Pillu diikuti beberapa orang keliling tempat itu, dan tentu saja dengan dikawal oleh para satpam. Dalam konteks yang lebih luas, sebetulnya kehadiran Steak Daging Kacang Ijo yang sangat penting adalah karena di saat
138
grup musik ini mencuat, kondisi politik nasional menuju sebuah titik lain. Di tahun 1996, rezim Suharto sebagaimana di tahun 1965, membuka ‘peperangan’ dengan lawan mereka melalui sebuah ‘pukulan pancingan’ dan ketika para kubu yang kontra rezim ini membalas pukulan itu, rezim Suharto mengeluarkan seluruh daya mereka untuk menghabisi lawan-lawannya. Tepat di saat itulah, kita bisa mengingat sebuah judul buku yang pernah ditulis sastrawan Indonesia yang cerdas, Seno Gumira Ajidarma: Saat jurnalisme dibungkam, sastra bicara. Tetapi untuk konteks Yogya saat itu, tepat sekali kalau ada aktivis yang bilang: Saat aktivis dibungkam, musik bicara. --ampir sama seperti tahun 1965, faksi terkuat di Angkatan Darat, membuat melakukan sebuah ‘pukulan pancingan’ dengan dua hal: pertama, menyebarkan isu bahwa ada sebuah gerakan bernama Dewan Jenderal, dan kedua, menyebarkan isu bahwa Sukarno, sang presiden sakit keras dan kemungkinan besar ia akan meninggal dunia. ‘Pukulan pancingan’ itu kemudian dibalas, dan masih menjadi polemik sampai sekarang, dengan adanya penculikan para jenderal. Tetapi konsekuensi dari peristiwa itu kita semua sudah tahu: PKI dan anasir-anasir politiknya, termasuk kelompok pendukung Sukarno disingkirkan dari kancah politik, dan Suharto naik tahta.
H
Pada tahun 1996, kita juga sama-sama tahu tensi politik semakin meninggi. Mulai dari akhir tahun 1990an, maraknya aksi menentang kebijakan Kecung Ombo, sampai kemudian pada tahun 1994 dengan kasus pembredelan Tempo, Editor dan Detik, beserta puluhan lagi masalah politik, membuat barisan penentang Suharto semakin menguat. Pada saat itulah, sekali lagi, rezim ini melakukan menuver politik dengan membuat pukulan pancingan lagi, kali ini korbannya adalah Megawati Sukarno Putri. Pada tahun 1987, Megawati memasuki gelanggang politik legal. Ia menjadi anggota parlemen dari Partai Demokrasi Perjuangan (PDI). Pada pemilu 1992, ternyata dukungan pemilih
139
kepada PDI mengalami pertambahan yang signifikan, dan mungkin, ini karena ada anak-anak Sukarno di partai tersebut, termasuk Megawati Sukarno Putri. Pukulan pancingan rezim Orde Baru disarangkan, dengan cara mensahkan kongres PDI versi pendukung pemerintah. Itu artinya, PDI versi Megawati mulai disingkirkan dari kancah politik. Momentum ini adalah momentum paling besar yang pernah terjadi, sebuah momentum yang bisa berujung pada dua hal: klimaks atau anti-klimaks politik. Segera demonstrasi merebak di mana-mana, terutama di markas PDI yang berhasil dikuasai oleh para pendukung Megawati, di Jalan Diponegoro. Berhari-hari, terjadi demontrasi besar-besaran, di berbagai kota, teruatam di Jakarta. Markas PDI di jalan Diponegoro dijadikan tempat berkumpulnya para aktivis anti-Suharto, termasuk PRD. Saat itu, PRD sebelumnya juga mengalami tarsformasi politik yang baru, yakni direbutnya PRD yang sebelumnya bernama Persatuan Rakyat Demokratik dengan ketua Sugeng Bahagiyo, yang kemudian pimpinan partai itu diambil alih oleh Budiman Sujatmiko dan kawan-kawannya, lalu mengubah nama dari Persatuan menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD). Serangan gencar dari elemen-elemen anti-Suharto, dibalas dengan cepat oleh rezim, dengan mengkambinghitamkan PRD, seluruh pengurus organisasi tersebut beserta lembaga-lembaga underbuow-nya seperti Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Tani Nasioal (STN), dan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat ( Jaker), menjadi buron, dan lembaga-lembaga tersebut dilarang. Dan hampir sama dengan peristiwa pada tahun 1965, yang saat itu kambing hitamnya adalah PKI, tetapi kemudian korbannya merembet ke mana-mana, di tahun 1996 sekalipun bidikan rezim hanya kepada PRD, tetapi pada praktiknya, hampir semua elemen penentang rezim Orde Baru disikat. Berbagai elemen mahasiswa non-PRD, juga diburu. Para penggiat dan pendukung PDI versi
140
Megawati juga disikat. Peristiwa ini kelak, menimbulkan perdebatan yang panjang dalam konteks wacana gerakan mahasiswa di Indonesia dengan sebuah pertanyaan kritis: Apakah tindakan PRD yang radikal itu menguntungkan secara politik terhadap memanasnya situasi nasional, atau justru mendinginkan situasi nasional. Semua aktivis, termasuk aktivis kelas anak bawang di kampus, lari ketakutan. Tentara bukan hanya mengobrak-abrik markas PRD dan lembaga di bawah naungannya, tetapi juga masuk kampus, mengobrak-abrik kantorkantor pers mahasiswa. Bahkan, di beberapa kota di Pulau Jawa, para pemimpin daerah, dari mulai Gubernur sampai Camat, sempat ikut menyebarkan selebaran palsu, berisi siapa sebenarnya PRD itu, yang dihubung-hubungkan dengan PKI. Hubungan itu bahkan diikuti oleh analisa aktivis-aktivis PRD punya hubungan darah (baca: kekerabatan) dengan para aktivis PKI. Tentu saja selebaran itu bohong belaka. Tetapi yanglebih mengerikan, banyak Camat di berbagai daerah, terutama di daerah Jawa Tengah, yang mengumpulkan para orangtua yang punya anak mahasiswa, terutama mereka yang kuliah di Yogyakarta. Para Camat itu meminta agar orang tua bukan hanya mewaspadai anak mereka sendiri, melainkan kalau bisa meminta anak mereka pulangke kampung agar mudah diawasi. Situasi politik nasional mengawali babak baru, dari hingar bingar demonstrasi, menjadi babak sunyi aktivitas politik. Tetapi ternyata, hal itu hanya bisa terjadi beberapa bulan. Rezim Suharto gagal membungkam rakyat, dan sekalipun mereka menang di permukaan, di kedalaman tertentu, kontradiksi rakyat terhadap Suharto justru menajam, sekalipun diam-diam… ---
141
K
etika banyak aktivis diburu, kampus segera sepi. Termasuk kampus fakultas Filsafat UGM, Fakultas Sospol dan Fakultas Sastra, sarang-sarang para mahasiswa pembangkang. Kampus-kampus lain juga sepi, seperti IAIN dan UJB. Hamcrut ditugasi untuk mengevakuasi para mahasiswa aktivis ke Semarang. Setelah menyelesaikan tugasnya di sana, ia mendapati tidak seorang pun temannya, bahkan yang dari angkatan paling muda, angkatan 1995, yang berani nongol di kampus. Mereka menyebar, ada yang masuk pondok pesantren, ada pula yang diselamatkan oleh para rohaniawan Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Sampai beberapa bulan, ia hanya sendirian, dan satu-satunya mahasiswa aktivis muda yang berani muncul di kampus Filsafat UGM adalah Manik Wijil Sadmoko, atau biasa disebut Admo. Berbulan-bulan mereka berdua hanya diskusi dan ngopi. Hingga kemudian mereka mendapatkan ide untuk kembali menghidupkan geliat kampus dengan cara berkumpul bersama anak band kampus. Lalu mereka menghubungi dua dedengkot anak angkatan 1994 yang dikenal sebagai pimpinan anak-anak band kampus: Gendel dan Gundul. Mereka lalu sering bertemu, dan memfasilitasi sebuah tempat bermusik di wilayah Kalasan, Yogyakarta. Setelah semakin ramai, studio dadakan itu kemudian dipindah ke kampus, dengan acara reguler, pentas musik di Minggu Pagi. Di hari Minggu pagi, kampus UGM memang selalu ramai. Sejak jam 6 pagi sampai jam 10, ratusan bahkan ribuan orang melakukan aktivitas di sana, mulai berolah raga sampai sekadar ngeceng. Tak pelak, di hari Minggu seperti itu, para penjual musiman bermunculan. Situasi seperti itulah yang menjadi pertimbangan para musisi di fakultas Filsafat untuk melakukan pementasan setiap Minggu pagi. Pementasan itu benar-benar reguler, dari jam tujuh pagi sampai
142
jam sepuluh, beberapa grup musik memainkan musik di halaman depan kampus Filsafat UGM, yang memang cukup strategis. Acara reguler itu kemudian diberi nama: Sunday Morning, sesuai dengan waktu pementasannya. Tetapi kemudian, nama itu ditulis menjadi Sande Monink. Lambat laun, aktivits bermusik di pagi hari itu mulai mengundang banyak musisi untuk berkumpul di sana. Dan peristiwa itu pula yang membuat beberapa aktivis mulai berani lagi masuk ke kampus dengan menyaru sebagai penonton musik. Dalam pementasan di Sande Monink itu, salah satu grup musik yang rajin tampil adalah Steak Daging Kacang Ijo. Tetapi di tahun itu, Steak Daging Kacang Ijo mendapatkan cobaan untuk kali pertama. Vokalis, Teddy, yang juga seorang perupa yang mulai naik daun, mengalami depresi berat. Orang Yogya menyebut orang yang depresi dengan kata: Njeglek! Seperti listrik yang kelebihan beban, atau saat terjadi korsleting.
143
Njeglek!
S
ELAIN terlibat dalam politik praktis, dan kemudian juga melakukan aksi ugal-ugalan di dalam Steak Daging Kacang Ijo, baik Teddy, Toni maupun Bob tetap melakukan aktivitas di bidang seni rupa. Teddy, terutama, di kalangan kawan-kawan dekatnya, selain dianggap sinting, tetapi hampir sebagian besar mereka mengakui bahwa totalitas Teddy di dalam dunia yang digelutinya, dunia seni rupa, tidak dapat dipungkiri. Teddy merambah dari hulu sampai hilir proses kreasi dalam kerja-kerja seni rupa. Ia dikenal berani suntuk berpikir tentang soal-soal seni rupa, sampai menggeluti berbagai materi dan media seni rupa, dan berani mengeksekusinya menjadi sebuah karya. Hal itu dibuktikan Teddy di dalam menggelar berbagai pameran, dan setiap karyanya selalu memberikan warna baru. Salah satu pameran Teddy bersama dua orang yang lain yaitu Rita Oetters dan Suryo, yang dilakukan di Taman Budaya Solo pada tanggal 20-26 Maret 1995, mulai memperlihatkan bahwa perupa muda satu ini bukan hanya matang di konsep tetapi juga piawai dalam mengeksekusi konsep tersebut menjadi sebuah karya. Rita sendiri, merupakan seniman yang berasal dari Jerman. Ia kemudian datang dan berkarya di Indonesia. Perempuan kelahiran tahun 1949 itu, di kalangan para perupa di Indonesia, dikenal sebagai seorang feminis radikal. Karya-karyanya juga menunjukkan paradigmanya itu. Rita kemudian berpacaran dengan Teddy. Mereka kerap melakukan ekplorasi materi dan diskusi tentang wacana. Diakui oleh Teddy, banyak pikiran Rita yang saat itu mempengaruhinya, terutama dalam memandang wilayah politik. Awalnya, hubungan dua orang yang umur mereka terpaut jauh itu, tidak begitu mengganggu hubungan keduanya. Tetapi kelak, hal itu menjadi salah satu pemicu yang menyebabkan Teddy mengalami njeglek, selain tentu saja ada beberapa faktor lain. Pasangan Rita dan Teddy juga kerap melakukan perjalanan keliling Indonesia. Perjalanan di danau Toba Sumatra yang pernah
147
mereka lakukan, misalnya, akhirnya membuat pasangan kekasih itu membawa pulang seekor anjing yang menjadi kesayangan mereka berdua. Si anjing, diberi nama: Kapten. Ketika mereka berdua sedang akan melakukan perjalanan ke Madura dengan naik mobil jip, Teddy menyempatkan mampir ke rumah Bonyong, di sana, sambil bergurau, Teddy bertanya, “Pak Bonyong mau dioleh-olehi apa?” Bonyong saat itu hanya menjawab sekilas saja, “Itu lho Ted, kelonengan sapi dari Madura. Kayaknya barang itu antik sekali.” Tetapi baru saja Teddy dan Rita menginjakkan kaki ke Madura, mereka berdua diusir oleh pemilik penginapan. Garagaranya hanya sepele, mereka datang dengan membawa kapten! Alih-alih mencarikan barang pesanan Bonyong, perjalanan itu kandas dalam waktu yang sangat cepat, segera pulang ketika kaki mereka baru saja menginjak Pulau Madura. --ementara itu, Galeri Seni Cemeti, semakin mengukuhkan diri sebagai salah satu galeri alternatif di Yogya, bahkan di Indonesia. Berpameran di Cemeti, adalah imajinasi bagi para perupa muda. Dan sebagai salah satu perupa muda di Indonesia saat itu, dan sering disebut oleh banyak orang sebagai salah satu perupa yang menjanjikan di masa depan, Teddy pun menyimpan obsesi untuk bisa berpameran di Cemeti.
S
Tetapi apa yang diharapkan Teddy, rupanya datang lebih cepat dari yang ia kira. Cemeti yang terus mengikuti perkembangan banyak perupa muda, terutama yang berasal dari Yogya, menawari Teddy untuk melakukan pameran tunggal di Cemeti. Teddy nyaris syok, menerima tawaran itu. Dan mulai saat itu, seluruh pikiran dan energi Teddy diperuntukkan buat pameran tunggal di Cemeti, yang digelar pada tanggal 4-29 September tahun 1996. Sambutan publik penonton dan media massa atas pameran itu, bukannya membuat Teddy bangga, tetapi justru ia resah.
148
Orang pertama yang menangkap keresahan Teddy adalah salah satu sahabatnya, Toni. Kepada Toni, dalam keadaan mabuk, Teddy selalu bilang, “Ton, aku enggak mau seperti Kurt Cobain….” Toni tidak begitu paham dengan maksud omongan Teddy. Bagi Toni saat itu, ketika Teddy melakukan pameran tunggal di Cemeti, memang membuatnya salut. Teddy masih terhitung muda, ia angkatan 1992 masuk ISI, dan pada tahun 1996, Teddy sudah melakukan pameran tunggal di sebuah galeri yang menjadi impian bagi banyak perupa muda. Tetapi di pikiran Toni saat itu, “Apa hubungannya dengan Kurt Cobain?” Tetapi tampaknya, ketakutan menjadi sepeti Kurt Cobain, yang belum begitu jelas pada hal yang mana, berbarengan dengan masalah asmara Teddy dengan Rita. Teddy sangat mencintai Rita, walaupun usia mereka terpaut 20an tahun. Dan Teddy sadar hal itu bukan perkara sepele. Pertama, karena Rita orang Jerman, dan ia orang Indonesia. Hubungan antar-manusia dua negara, dengan dua kultur yang berbeda, tentu bukan perkara mudah. Kedua, Rita sendiri dikenal sebagai aktivis radikal, yang jelasjelas menentang konsep rumah tangga, sementara Teddy, seliar apapun, masih mengharapkan kelak akan bisa membina sebuah keluarga. Dengan kelindan masalah yang menimpanya saat itu, ditambah kehidupan liarnya, hanya ada satu jalan yang paling mudah ditempuh oleh Teddy: mengkonsumsi pil koplo sebanyakbanyaknya. Ia mencoba lari dari dunia masalah yang dihadapinya, ke dalam dunia tenang yang dijanjikan oleh obat-obatan. Hampir setiap hari, Teddy mengkonsumsi pil koplo dalam dosis yang berlebihan. Dan Semenjak itu, di tempat kosnya, ia sering membikin ulah. Ia sering teriak-teriak sendiri, ia juga sering mengekspresikan apa yang ia pendam kepada orang-orang di sekitarnya. Menyaksikan hal itu, induk semang Teddy merasa khawatir. Berulang kali mereka meminta agar Teddy tidak memuat ulah
149
yang mengundang perhatian para tetangga. Tetapi Teddy cuek. Di saat Teddy sudah tidak dapat lagi dinasihati, sang induk semang mengeluarkan maklumat, Teddy harus segera hengkang dari tempat kosnya. Mendengar itu, Teddy yang dalam keadaan mabuk berat, tersinggung. Lalu terjadilah sebuah tragedi yang hampir menyeret Teddy masuk ke dalam bui. Ia mengejar ibu kosnya, dengan membawa sebilah pisau. Kampung tempat Teddy segera geger. Akhirnya satu kijang polisi menangkap Teddy, lalu membawanya ke kantor polisi Gondoman. Di sana, Teddy mengalami tuduhan serius, pertama, ia dituduh hendak membunuh orang, dan yang kedua, ia dituduh mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Teddy dikurung di penjara kantor polisi Gondomanan. Berita itu cepat menyebar. Toni dan Edo Pillu, segera menjenguk Teddy di kantor polisi. Di sana, kedua orang itu sudah mendapati Teddy dalam keadaan yang sangat buruk. Di tahanan kantor polisi, dalam ruangan yang sangat sempit itu, Teddy sudah di luar kontrol. Ia berteriak, berlari-lari di tempat, tidak mau makan, dan yang lebih mengerikan lagi, ia berak dan kencing di celana. Edo Pillu dan Toni-lah, yang dengan sabar mencoba merawat Teddy. Toni kebagian mencari bentuk pertolongan yang lain, termasuk memberi kabar ke kawankawan dekat Teddy yang lain, sementara Edo Pillu kebagian mulai dari mencari makanan dan mengganti pakaian dalam Teddy, yang setiap saat harus diganti karena Teddy tetap kencing dan berak di celananya. Ketika konsisi Teddy mulai agak membaik, eberapa kali, pihak kepolisian yang memeriksa Teddy ingin segera anak pembuat ulah itu segera menyelesaikan berkas berita acara pemerikasaan. Salah satu hal yang harus mereka lakukan, adalah membuat Teddy menandatangani pernyataan tentang barang bukti, bahwa pisau yang disita polisi adlah pisaunya, pisau yang dipakai untuk mengancam ibu kosnya.
150
Teddy tidak mengakui itu pisaunya. Di kesadaranya saat itu, ia bilang bahwa sebetulnya ia memang mendatangi ibu kos, tetapi bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk meminta maaf. Dan ia tidak membawa pisau. Tetapi pihak polisi bersikeras, Teddy mengancam ibu kos dan ada barang bukti berupa pisau yag dibawanya. Proses itu berjalan dengan alot, sampai berhari-hari. Akhirnya Teddy berpikir, ya sudahlah, daripada berlama-lama di sini, biarlah aku masuk penjara. Tepat di saat itu, Teddy kembali dipanggil pemeriksa. Teddy sudah mantap untuk menandatangani bekas acara pemeriksaan berkaitan dengan pisau itu. Namun semua mendadak berubah, saat polisi itu memperlihatkan pisau itu di depan Teddy. Begitu melihat bentuk pisau yang dalam bahasa Teddy ‘tidak artistik’, Teddy kembali menolak. Dia bilang saat itu, “Pak, saya ini seniman. Saya tidak mungkin punya pisau sejelek itu. Pisau itu enggak artistik sama sekali. Saya tidak pernah punya barang yang tidak artistik karena saya seorang seniman!” Lagi-lagi, pemeriksaan mengalami jalan buntu. Dan Teddy kembali depresi. Ia tidak mau makan, dan ia tetap berlari-lari di dalam ruang tahanannya yang sangat sempit itu. Teddy mempunyai versi sendiri menyangkut mengapa ia berlari-lari di dalam tahanan. “Saat itu, aku merasa ada tiga Teddy. Yang pertama adalah Teddy yang berada di dalam ruang tahanan. Sedangkan Teddy kedua, adalah Teddy sang bandar narkoba. Bandar itu berada di sebuah keranjang yang melingkar, sehingga ujung kepala dan ujung kakinya bisa saling menyentuh membentuk lingkaran. Sedangkan Teddy yang ketiga sedang berada di Amerika, ia jago beladiri, dan meminta Teddy yang berada di tahanan untuk sementaa waktu harus berlatih fisik dengan cara berlari-lari di dalam ruang tahanan. Teddy yang di Amerika ini bilang kepada Teddy yang di tahanan: Dua hari lagi aku akan menolongmu.” begitu kenang Teddy soal sensasi dan halusinasi dalam depresinya.
151
Selain itu, dalam halusinasinya, di atap tempat ia disekap, ada salah satu mantan pacarnya saat di solo, seorang gadis SMA, yang berada di langit-langit ruang itu. Si gadis kemudian berulang kali berkata kepada Teddy dengan lembut, kalau ia akan menyelamatkan Teddy. Sementara itu, Edo Pillu dan Toni akhirnya menyerah. Mereka berdua berpikir sebaiknya mereka menelepon orangtua Teddy. Siapa tahu, bapak Teddy yang seorang tentara, bisa memberi solusi terbaik bagi Teddy. Tepat tengah malam, setelah seminggu Teddy masuk kantor polisi, Edo menelepon keluarga Teddy. --enurut pengakuan Sunarmi, ibu Teddy, telepon diterimanya pukul 12 malam. Segera Siradz menelepon kantor polisi di mana Teddy ditahan. Saat itu, Siradz meminta agar diperbolehkan berbicara kepada Teddy. Tetapi jawaban sang polisi, membuat Siradz naik pitam. Akhirnya kedua abdi negara itu saling bertengkar keras lewat telepon. “Setelah saya meletakkan gagang telepon, sebetulnya saya merasa menyesal, mengapa saya harus bertengkar dengan polisi itu…” begitu pengakuan Siradz.
M
Saat peristiwa itu terjadi, Siradz sudah pindah dinas ke kota Kudus, dan semua keluarganya dibawa serta, termasuk Sunarmi dan adik-adik Teddy. Siradz kemudian memutuskan untuk menghubungi komandannya. Sang komandan kemudian bilang, supaya Siradz datang ke Yogya dengan pakaian dinas lengkap, beserta sopir dari pihak kesatuannya, yang juga berpakaian lengkap. Tepat pukul 2 dinihari, Siradz, Sunarmi dan sopir, berangkat ke Yogya. Siradz dan Sunarmi tidak ingat persis kapan tanggal kejadian itu terjadi, yang mereka ingat hanyalah hari itu hari Jumat. Setelah sampai di Yogya, mereka langsung ke kantor polisi tempat Teddy ditahan. Tetapi bukannya mencoba menyelesaikan jalan keluar untuk kasus Teddy, kembali Siradz dan para petugas polisi itu bertengkar untuk soal yang lain. Saat itu, para polisi yang berada
152
di sana merasa tersinggung dengan ucapan Siradz semalam saat menelepon. Mereka bahkan mengancam akan membawa masalah ini sampai ke Mabes Polri. Siradz makin naik pitam. Ia lalu meminta pinjam menggunakan telepon untuk menghubungi atasannya yang berada di Kudus, tetapi pihak kepolisian tidak mengijinkan. Siradz dan Sunarmi kemudian keluar dari kantor polisi, mencari wartel terdekat untuk menghubungi sang komandan. Begitu mendengar laporan dari Siradz, sang komandan juga naik pitam. Ia meminta Siradz bertahan di kantor polisi, sementara itu sang komandan akan menghubungi kepala Kodim Yogya untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Siradz. Sebetulnya saat itu Siradz sudah merasa tidak enak. Hanya gara-gara urusan pribadinya, dua korps antara tentara dan polisi bisa berantem. Ia dan Sunarmi kemudian balik ke kantor polisi. Suasana di kantor polisi masih tegang. Tetapi kemudian komandan polisi yang berada di sana mempersilakan Sunarmi menjenguk Teddy di ruang tahanan. Saat Siradz akan ikut menjenguk anaknya, sang komandan itu tidak memperbolehkannya. Kembali mereka berdua berdebat sengit. Suasana dengan cepat kembali memanas. Sementara Siradz masih beradu mulut dengan para polisi di ruang depan, Sunarmi segera menjenguk Teddy di ruang tahananya. Begitu melihat keadaaan Tedy, yang lemas, penuh dengan kotoran di celana, tidak bisa melakukan kegiatan apa-apa karena tidak pernah mau makan selama berhari-hari, Sunarmi segera menjerit kencang sekali, “Tuhan Yesus, selamatkan anak kami!” Jeritan Sunarmi itu terdengar jelas di ruang depan, tempat Siradz berdebat keras dengan para polisi. Mendengar jeritan Sunarmi itu, Siradz langsung duduk di kursi, menundukkan kepalanya, berdoa kepada Tuhan. Suasana menjadi hening seketika, selain isak tangis Sunarmi dari ruang tahanan yang
153
terletak di belakang. Sesaat setelah Siradz selesai berdoa, tiba-tiba komandan polisi itu bertanya dengan nada pelan, “Apakah Teddy seorang Kristen?” Siradz mengangguk. Ia juga bercerita bahwa dirinya dan istrinya terlibat aktif di gereja. Mendengar hal itu, sang komandan langsung berkata, “Sudah, Pak. Gini saja, lupakan semua persoalan tadi. Sekarang segera bawa Teddy ke rumah sakit.” Siradz langsung lega. Ia merasa doa istrinya dan doa dirinya didengar langsung oleh Tuhan, dan segera Tuhan memberi mereka pertolongan. Teddy segera diangkut ke rumah sakit Bethesda. --elama di rumah sakit Bethesda, kondisi Teddy bear-benar dalam keadaan buruk. Ia selalu meronta, dan berteriak, “Kebakaran! Kebakaran!” Tanpa jelas apa yang dimaksud olehnya, apa atau siapa yang terbakar. Akhirnya oleh pihak medis di rumah sakit tersebut, kedua tangan dan kaki Teddy terpaksa diikat. Kemudian ia disuntik obat tidur.
S
Namun setiap kali pengaruh obat tidur itu lenyap dari tubuh Teddy, dan ia kembali tersadar, berbagai sensasi dan halusinasi menerpanya dengan kencang. Halusinasi pertama yang ia rasakan adalah sebagian tubuhnya, di bagian kiri, dari kepala sampai kaki, ia rasakan terbakar. Sehingga Teddy memposisikan tidurnya dengan cara miring ke kanan. Halusinasi lain yang ia rasakan, di ruang tempatnya dirawat, ada kipas angin besar. Ia merasa ada seorang perempuan berambut panjang, yang kata Teddy menyerupai almarhumah Tien Suharto, menempel selayaknya spider-man. Ia butuh waktu berhari-hari untuk menyadari bahwa yang dilihatnya hanyalah halusinasi. Tetapi rentetan halusinasi lain, kembali menyerang Teddy jika ia siuman dari pengaruh obat tidur. Ia pernah merasakan berada di atas langit dengan bola-bola besar dengan berbagai warna metalik. Ia melompat dari satu bola ke bola yang lain, dan jika
154
ia terpeleset dari bola besar yang menjadi tujuan lompatannya, maka ia diterima oleh bola besar lain di bawahnya. “Itu sensasi yang paling menyenangkan saat itu,” kata Teddy. Tetapi ada satu halusinasi lagi yang diingat Teddy dengan baik. Di belakang kepala Teddy terdapat sebuah jendela. Menurut perasaannya, dari jauh, lewat jendela tersebut ada seorang penembak jitu yang bersiap dengan senjata laras panjang lengkap dengan teropongnya. Penembak jitu itu, menurut yang dirasakan Teddy, selalu memperhatikan kode yang berasal dari jempol tangan kanan dan kiri Teddy. Jika jempol tangan kanan itu teracung, si penembak jitu akan menemak ibunya. Dan jika jempol tangan kiri Teddy teracung, maka si penembak jitu itu akan menembak bapaknya. Dengan perasan seperti itu, Teddy menggenggam erat kedua jempol tangannya. “Keadaannya kacau sekali,” papar Sunarmi mengenang saat Teddy masuk rumah sakit Bethesda, “berkali-kali saya mau dicekiknya.” Melihat kondisi seperti itu, yang bisa dilakukan Sunarmi adalah berdoa. “Saya percaya dengan kuasa Yesus. Dan yang paling penting, saya percaya Tuhan Yesus pasti akan menjaga Teddy. Dia sebetulnya anak yang baik…” Ketika keadaan Teddy sudah membaik, ia lalu diajak keluarganya untuk pulang ke Kudus. Teddy dirawat di rumah sakit Bethesda selama kurang-lebih satu bulan. --elama di Kudus, Teddy menenangkan diri. Ia bahkan sudah punya niat untuk tidak pernah kembali lagi ke Yogya. Tetapi setelah beberapa bulan berad di Kudus, Teddy merasa tidak kerasan, dan ingin balik ke Yogya lagi. Tepat di saat itu, ada mahasiswamahasiswa dari sebuah persekutuan gereja, yang kenal baik dengan Teddy, karena mendengar Teddy sakit keras, ia mendatangi Teddy ke Kudus.
S
Dengan berbagai pertimbangan, termasuk kepentingan Teddy
155
untuk meneruskan kuliah, orangtua Teddy mengijinkan anaknya kembali ke Yogya, dengan catatan Teddy harus membentengi dirinya dari pengaruh buruk dengan cara aktif di gereja. Teddy mengiyakan saran orangtuanya. Tetapi ternyata, selama di Yogya, Teddy pun hanya betah beberapa bulan bergaul bersama para mahasiswa sukarelawan gereja. Teddy tahu persis, mereka anak-anak baik, “Tetapi dunia gereja bukan duniaku. Aku belum siap hidup dengan cara seperti itu. Duniaku adalah dunia seni.” Kemudian Teddy bicara baik-baik dengan para pimpinan mahasiswa sukarelawan gereja, tentang pilihan hidupnya. Mereka pun tidak punya pilihan lain, selain merelakan Teddy pergi. Hal pertama yang dilakukan Teddy adalah menyelesaikan urusannya dengan Rita. Dan hal kedua yang dilakukan Teddy adalah mencari Toni. Saat itu, Toni hidup di sebuah sanggar yang dikomandoi oleh Hanung Bramantyo, yang sekarang menjadi salah satu sutradara film ternama di Indonesia. Hanung saat itu mendirikan sebuah sanggar yang diberi nama Sanggar Kanvas. Di sana, ada banyak orang melakukan aktivitas kesenian, mulai dari bermain teater, menari, sampai melukis. Di sanggar itu, Toni melukis. Teddy segera bergabung dengan Toni di Sanggar Kanvas, dan seperti Toni, Teddy kemudian mulai lagi sibuk melukis. Tetapi suasana ramai di sanggar itu, dengan cepat membuat kedua sahabat itu tidak betah. Mereka berdua kemudian memutuskan hengkang dari sanggar itu, lalu mengontrak rumah berdua. “Rumah itu terpencil, di dekat gerumbulan bambu. Sewanya murah sekali, setahun hanya 250 ribu.” kata Teddy. Cukup lama mereka tinggal berdua di sana. Di rumah itu, kedua sahabat Teddy-Toni, kembali menggeluti dunia kanvas. Saat tinggal berdua itulah, Teddy berpacaran dengan Bunga, dan di saat itu pulalah, ada seorang kolektor lukisan dari Belanda yang menyukai karya-karya Teddy, lalu membelinya.
156
Teddy mulai mempunyai uang sendiri, dan ia mulai semakin yakin dengan jalan hidup yang telah dipilihnya sebagai perupa. Ketika tinggal di rumah itu pula, mereka berkenalan dengan seorang tukang becak yag suka melukis, yang ternyata sahabat Wiji Thukul. Nama tukang becak itu, Susilo. Akhirnya Teddy dan Toni bersepakat, Susilo disuruh bantu-bantu di rumah itu, lalu mereka berdua urunan untuk membelikan Susilo becak. Sebab kalau Susilo menyewa becak, maka ia harus terus bekerja, padahal Susilo mempunyai bakat melukis. Kata Teddy, “Biar dia bisa juga belajar melukis. Sebab di rumahku banyak sekali cat dan kanvas.” Adu kreativitas dua sahabat itu sempat meghasilkan karyakarya yang menarik. Bahkan mereka berdua pernah pameran bersama beberapa perupa lain di Cemeti dalam tajuk Slot in the Box. Menurut Mella Jarsma, salah satu karya yang luar biasa di pameran itu adalah karya Toni, berjudul Open Your Freezer: find Your Fresh President, sebuah karya instalasi yang mengkritisi kondisi politik di Indonesia menjelang Pemilu 1998. Karya itu berupa sebuah kulkas yang terbuka, di dalam kulkas tersebut ada berbagai barang seperti buah-buahan, botol mineral, dan yang paling menohok adalah terdapat beberapa pakaian. --etelah tinggal berdua dalam waktu cukup lama, ada satu tahap di mana Toni-lah yang giliran Njeglek. Toni sebetulnya punya gairah berorganisasi atau setidaknye berkumpul dengan banyak orang. Sementara itu, Tedddy, teman serumahnya, seakan-akan hanya menyuntuki lukisan terus. Dan lukisan Teddy sudah mulai laku. Tetapi menurut Toni, saat itu Teddy sering sambat kalau dirinya capek, tiap saat melukis dan menjual lukisannya. “Tetapi anehnya, ia terus melakukan itu.” Hal itulah yang membuat Toni kesal sama Teddy, sampai ia bilang, “Kamu itu jualan banget!”
S
Tetapi menurut versi Teddy, Toni yang merasa suntuk di rumah itu. Berkali-kali ia mencoba melukis, tetapi berkali-kali pula gagal. Hingga pernah suatu ketika, mungkin saking kesal
157
dan suntuknya Toni, karena apa yang ada di pikirannya tidak tereksekusi dengan baik di atas kanvas, Toni melakukan onani di atas kanvas. Dan spermanya berleleran di kanvas itu. Melihat hal seperti itu, Teddy tertawa ngakak. Namun Teddy sadar betul, saat itu kondisi Toni sedang labil. Toni, menurut Teddy, saat itu ingin melakukan sesuatu, tetapi belum tahu persis apa yang harus dilakukannya. Lalu tibalah, suatu saat, Toni memilih pergi dari rumah itu. Ketika Teddy sedang keluar bersama Bunga, Toni mengepak barang-barangnya lalu menulis surat di atas selembar kartu pos. Surat itu berisi beberapa kalimat singkat, “Aku pergi dulu kawan, menjemput impian. Sampai bertemu di gerbang kesuksesan. Aku memilih jalan hidupku sebagai seorang ronin.” Saat surat itu dibaca oleh Teddy, di luar, kondisi politik kembali memanas. Krisis moneter mendera Indonesia. Sesuatu bak raksasa sedang menggeliat pelan, yang kelak memancang batupal baru bagi kehidupan politik di Indonesia. Sebuah batupal yang sering disebut: Era Reformasi.
158
Mendongkel Kursi Tua
S
EMENTARA pasca-peristiwa 27 Juli 1996, hampir semua aktivis mahasiswa tiarap, baik yang berafiliasi dengan PRD maupun yang tidak, kehidupan di kampus lambat laun menggeliat kembali, tetapi tidk dengan aktivitas politik melainkan aktivitas seni, seperti salah satu contoh kecil adalah pementasan reguler musik Sande Monink di halaman depan Fakultas Filsafat. Dan di dunia seni rupa, tampaknya juga membuka ruang otonom sendiri, hal ini terlihat misalnya dari misalnya yang terjadi di galeri Cemeti Yogya. Mulai dari Juli 1996 hingga tutup tahun 1997, tak kurang 14 pameran digelar oleh galeri altertantif tersebut, dan hampir semua pameran bermuatan politis! Menarik sekali melihat, ketika pembangkangan politik di tingkat praktis oleh para aktivis LSM maupun mahasiswa ‘melenyap’ karena serbuan gencar rezim Orde Baru, justru di wilayah seni musik dan seni rupa, ‘bilik-bilik perlawanan’ tetap menyala. Tetapi gencarnya perburuan para aktivis dan pemenjaraan para tokoh-tokoh politik yang dianggap membangkang oleh Orde Baru, hanyalah sebuah kemenangan yang semu bagi rezim yang sudah uzur itu. Orde Baru kembali harus menghadapi geliat massarakyat ketika waktu mendekat ke arah momentum Pemilu 1997. Disingkirkannya Megawati dari ranah politik dengan diakuinya kepemimpinan Suryadi sebagai representasi Orde Baru di PDI, tidak serta merta membuat para pendukung Megawati diam. Kekecewaan rakyat jelata mendapatkan manifestasinya ketika kampanye pemilu dimulai. Ribuan orang mendadak turun ke jalan, menghadang kampanye Partai Golkar, satu-satunya partai yang didukung secara resmi oleh pemerintah. Mereka menghadang kampanye itu dengan serangan batu dan blokade di jalan. Di Solo, seorang tokoh PPP dengan berani mengibarkan bendera ‘Mega-Bintang’. Tokoh tersebut bernama Mudrick
161
Sangidu. Dan di berbagai jalanan ibu kota, berkibar ratusan bendera dengan tulisan ‘Mega-Bintang-Rakyat’, sebuah penjelmaan protes dan kekecewaan rakyat yang mulai terlihat mengkristal. Pemerintah segera melarang dua versi lembaga dari bawah itu, baik Mega-Bintang, maupun Mega-Bintang-Rakyat. Bahkan petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pun ketakutan dengan gerakan di luar kebijakan politik mereka. Tetapi larangan itu tidak berarti apa-apa bagi rakyat, bentrok antara rakyat terhadap para pendukung Golkar bahkan mulai tertuju kepada satu fase penting yakni bentrok antara rakyat versus aparat keamanan yang bertindak sangat represif. Di sepanjang Pantura, mulai dari Rembang sampai Banyuwangi, setiap kali kampanye PPP digelar, bentrokan dengan tentara tidak dapat dihindari. Demikian juga yang terjadi di kota-kota besar lain seperti Solo, Yogya, dan terutama di Jakarta. Ketika hasil Pemilu 1997 diumumkan, dengan hasil kemenangan mutlak Partai Golkar yang mencapai perolehan di atas 70% suara, tidak membuat rakyat menyudahi perlawanan mereka. Kini, giliran kampus dan kaum intelektual yang bergeliat, merespons hasil pemilu yang dilakukan dengan curang itu. --ebuah contoh kecil yang memperlihatkan metamorfosa dari sebuah kegiatan ‘bersenangsenang’ yang kemudian nyaris dalam sekejap mejadi tempat bagi segala aktivitas politik direncanakan dan kemudian dilakukan, adalah acara Sande Monink.
S
Sebagian aktivis PRD yang segera keluar dari trauma politik karena dikejar-kejar rezin Orde Baru segera melakukan konsolidasi, dan seluruh sumberdaya yang ada dikerahkan untuk ‘memanaskan’ situasi Jakarta. Tetapi sebagian lain yang masih trauma, pelan-pelan mulai mendekat ke kampus, iku menonton acara musik Sande Monink. Satudua aktivis mulai muncul, dan
162
mereka mulai membentuk lagi kelompok-kelompok diskusi. Kelompok itu semakin menguat karena Indonesia mulai didera krisi moneter. Lalu ketika situasi sudah hangat dan siap, sebuah peristiwa bersejarah kembali dikibarkan: Mogok Makan di Fakultas Filsafat. Kegiatan yang semula diinisiasi oleh Hamcrut dan Admo serta salah satu angkatan tua bernama Terri, dan mendapat dukungan dari gembong-gembong musisi Filsafat seperti Gendel dan Gundul, dengan cepat menyebar luas. Hanya sehari begitu mogok makan itu dimulai, yang awalnya hanya diikuti oleh 5 orang peserta aksi mogok makan dan hanya didukung kurang dari 10 orang panitia mogok makan, dalam waktu tiga hari kemudian, peserta mogok makan menjadi 16 dan panitianya menjadi puluhan orang. Para aktivis mahasiswa dari berbagai organisasi yang semula saling bertikai karena menyalahkan gerakan PRD yang membuat banyak aktivis lain tercerai-berai, mendadak menjadi cair oleh memanasnya suhu politik 1998. Para perupa dari Gampingan pun mulai berdatangan, di antara mereka yang paling sering nongol di sana adalah Toni Volunteero, Atonk Tato, Bob Sik, Iwan Tipu, dan masih banyak yang lain. Atonk bahkan menyumbangkan sebuah megapon yang masih gres untuk para panitia. Saban malam, untuk terus mengundang para aktivis berdatangan, selalu digelar acara kesenian, mulai dari pembacaan puisi, seni peristiwa (happening art), sampai acara musik. Lagulagu perjuangan mahsiswa seperti Hymne Darah Juang, berpadu dengan lagu-lagu kritik sosial Iwan Fals, dan tentu saja yang selalu menggema di sana adalah puisi-puisi perlawanan Wiji Thukul. Jemek yang sebelumnya menghilang karena menjadi buron peristiwa 27 Juli pun mulai muncul. Bahkan dalam kumpulan massa yang semakin membeludak saban hari di Kampus Filsafat, mulai banyak muncul para aktivis lain seperti para mahasiswa dari Timor Lorosae (dulu masih Timor Timur), dan terutama dari
163
para mahasiswa Mapala dari berbagai kampus di UGM. Dengan cepat pula, kegiatan di sana mengundang para mahasiswa dari kampus lain seperti kampus UII, Atmajaya dan Sanata Darma. Begitu massa sudah banyak dan semakin solid, demonstrasi mulai dilakukan. Untuk menarik massa mahasiswa yang lain, acara demonstrasi dikemas dalam bentuk seni peristiwa, yang selalu didesain oleh Hamcrut. Tetapi Hamcrut mengakui, “Setiap kali mau ada happening art untuk aksi, aku konsultasi dengan Teddy…” Pernah satu kali, aksi massa yang sudah mulai diikuti ratusan mahasiswa, didesain seperti ini. Di depan, Hamcrut dan beberapa orang berpakaian seperti petani sedang menyeret sebuah gerobak. Dan di dalam gerobak itu, ratusan senjatan kau pentungan ditutup oleh kain hitam. Benar, saat aparat mulai mencegat demonstrasi itu, pentungan segera dibagikan ke barisan depan demonstran, bentrok pun pecah. Aparat mundur, kuwalahan. Dan untuk kali pertama, mahasiswa berhasil merebut masuk ke bundaran UGM, yang selama bertahun-tahun gagal mereka capai. Semenjak itu, radikalisasi massa sudah tidak bsa dibendung lagi. Setiap demoantrasi pasti terjadi bentrok. Dan mahasiswa pun mulai mempersenjatai diri. Di salah satu bangunan Fakultas Filsafat, yang dulu dipakai sebagai kantor pers mahasiswa Pijar, penuh dengan senjata tajam, pentungan dan bom molotov. Di UGM sendiri, telah dibangun dengan spontanitas, puluhan kelompk berani mati dengan masing-masing namanya yang khas. Di Fakultas Sastra misalnya, salah satu fakultas dengan banyak mahasiswa, dalam waktu yang relatif sebentar telah terbentuk lebih dari sepuluh barisan pelopor untuk demonstrasi. Dan yang paling terkenal adalah Pasukan Ketapel Indonesia (PKI). Puluhan mahasiswa sastra bergabung di kelompok itu dengan senjata utama mereka ketapel berpeluru batu tajam. Di Fakultas Filsafat sendiri, setiap malam dijaga puluhan aktivis dari berbagai kelompok dan universitas untuk menjaga
164
para peserta mogok makan. Di bawah koordinasi Hamcrut, para ‘aktivis tertentu’ dilindungi oleh empat sampai lima penjaga. Situasi semakin gawat dan memanas ketika pada awal Maret tersebar isu penculikan para aktivis PRD dan beberapa aktivis non-PRD di Jakarta. Emosi dan demonstrasi semakin tidak terkendali. Sebuah mantra politik diselipkan di mana-mana, “Kawan kita sudah mati, dan hanya ada dua pilihan: tumbangkan rezim ini atau kita menyusul mereka pergi ke surga.” Dan yang sebetulnya mewarnai demonstarsi di UGM sehingga lebih hidup, karena ada banyak ISI Gampingan yang terlibat. Di sana ada Ugo Untoro yang selalu setia memakai pakaian seperti yang dikenakan Bung Karno. Lalu ada Atonk dan kawankawannya yang selalu pamer tato. Kemudian para orator yang lucu seperti Kuss Indarto dan Operasi Rahman, serta Bob Sick yang selalu ingin juga tampil orasi dengan gaya bahasanya yang seenaknya itu. Pernah suatu saat Bob maju dan berurasi di depan panggung seni yang sengaja didirikan untuk menghangatkan atmosfir perlawanan, di panggung itu ia bilang seperti ini, “Aparat itu pengecut, mau tahu kenapa? Karena mereka tidak mungkin berani menato tubuhnya!” Orasi singkat itu disambut gelak tawa dan tepuk tangan bergemuruh. Kedatangan Bob termasuk satu dari sekian orang yang ditunggu orasinya di UGM karena selalu beda dan lucu. --etapi sesungguhnya gerakan mahasiswa 1998 tidaklah monolitik. Sebagai contoh yang terjadi di UGM. Setidaknya saat itu, ada kelompok besar yakni yang berada di lembaga mahasiswa formal, seperti senat mahasiswa tingkat Universitas dan Fakultas, sementara kelompok lain adalah kelompok yang jauh lebih radikal. Kita bisa melihat dari isunya. Saat senat Universitas masih menggemakan tuntutan populis dengan reformasi politik dan turunkan harga, kelompok radikal sudah membawa slogan besar: Turunkan Suharto!
T
165
Ketika senat mahasiswa melakukan sebuah aksi massa besar dengan isu reformasi politik (tanpa tegas memberikan solusi defintif apa itu reformasi politik?) dan dengan himbauan untuk membawa jaket almamater karena mereka takut disusupi oleh ‘oknum’ yang tidak bertanggungjawab, sebuah skenario sedang disusun oleh orang-orang yang berada di Fakultas Filsafat. Sebuah rencana yang bukan main-main di saat itu. Dalam sebuah rapat kecil, mereka yang berkumpul di Fakultas Filsafat merasa harus menajamkan kontradiksi yang ada dengan dua cara: pertama, membuat gerakan simbolis bahwa Suharto harus diturunkan. Dan yang kedua, membuat sebuah gerakan yang secara tegas bisa memberi pernyataan ke masyarakat luas bahwa gerakan yang sekadang ini memanas bukan hanya sah dilakukan oleh mahasiswa, melainkan dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat. Untuk misi yang pertama, ditunjuklah Hamcrut untuk mengetuai sebuah kelompok kecil yang bisa mempraktikkan misi tersebut, di antara mereka terdapat Jemek, Toni, Iwan Tipu dan Ambar (salah satu mahasiswa ISI juga). Sedangkan untuk misi kedua ditunjuk beberapa mahasiswa perwakilan dari berbagai fakultas. Kelompok pertama, membuat desain yakni dengan cara membuat patung Suharto, yang kelak akan dibakar di tengah ribuan massa. Sedangkan kelompok kedua, juga akan melakukan aksi pembakaran jaket mahasiswa sebagai simbol bahwa saat itu yang melawan Suharto bukan hanya mahasiswa. Sekarang masalahnya adalah, dari mana dan bagaimana cara membuat patung Suharto dengan ukuran yang besar? Jemek lalu teringat, di tempat Teddy ada kerancangkeranjang bambu berbetuk lonjong. Keranjang-keranjang tersebut, menurut rencana Teddy, akan dipakai untuk bahan membuat sebuah karya instalasi. Segera jemek dan beberapa temannya pergi ke tempat Teddy. Setelah diberi tahu apa yang mereka butuhkan dan
166
untuk apa, Teddy dengan senang menyuruh mereka mengambil barangbarang yang dimilikinya itu. Barang-barang itu kemudian diangkut ke Fakultas Filsafat, dan oleh Iwan Tipu, Toni serta Ambar, keranjang-keranjang lonjong itu lalu disatukan memanjang, dan tepat di bagian atasnya, sebuah gambar Suharto ditempel. Paginya, ketika arak-arakan muncul dengan berbagai jaket UGM, massa dari kelompk radikal tidak memakai jaket almamater UGM. Berbagai elemen mahasiswa lain dari perguruan lain, bahkan dari rakyat di sekitar UGM mereka ajak serta. Awalnya ketika ribuan barisan radikal itu bergabung di Gedung Pusat UGM, di sana mereka disambut belasan ribu mahasiswa yang memakai jaket almamater. Begitu tahu ada satu barisan panjang yang bergelora, para panitia juga menyambut dengan hangat. Orasi demi orasi dilakukan, termasuk salah satunya dilakukan oleh Amien Rais. Ketika suasana sudah mulai memanas, patung panjang yang semula dibungkus plastik hitam di bagian kepalanya itu, akhirnya dibuka. Serentak massa kelompok radikal berteriak, “Bakar! Bakar! Bakar Suharto! Bakar Suharto!” Tahu hal tesebut, beberapa panitia dari pihak Senat Mahasiswa Universitas panik. Mereka berlarian turun dari podium, mencegah agar kelompok mahasiswa radikal tidak malaukan aksi ‘gila’ itu. Tetapi teriakan massa radikal ternyata disambut teriakan ribuan massa mahasiswa yang lain. Api pun berkobar, membakar simbol sosok yang paling menakutkan sepanjang 32 tahun ia berkuasa. Setelah sukses membakar patung Suharto, mahasiswa radikal mengumumkan bahwa mulai detik itu, setiap aksi mahasiswa tidak boleh eksklusif, dan sebagai simbolnya, mereka membakar jaket mahasiswa UGM. Begitu para mahasiswa tahu bahwa jaket almamaternya dibakar, mereka pun mencopot jaket yang mereka kenakan, sebagai simbol bahwa mereka menyetujui cara berpikir dan berpolitik mahasiswa kelompok radikal.
167
Beberapa bulan setelah itu, ketika Suharto terjungkal dari kursi kepresidenan, aksi pembakaran patung Suharto diklaim oleh beberapa pengurus Senat Mahasiswa UGM sebagai aksi mereka. Mereka yang ketakutan di saat situasi genting, selalu unjuk gigi di saat situasi menang. Sebuah hukum alam. --ada bulan Agustus 1997, di saat kondisi politik nasioanal mulai memanas, Teddy mesih sempat berpameran dengan kedua kawannya, Toni dan Hafiz. Pameran itu diselenggarakan di Erasmus Huis, Jakarta, dengan tajuk: Sebuah Percakapan. Pameran kemudian dilanjutkan pada awal tahun 1998, di Bentara Budaya Yogyakarta.
P
Di pameran bentara Yogyakarta itulah, Teddy membuat lukisan-lukisan di atas kanvas kain loreng militer. Lalu ia membuat sebuah karya yang sangat monumental, dan karya ini sekarang sedang dicari dan dilacak oleh banyak orang karena menghilang dari peredaran. Karya tersebut berupa karya intslasi. Bentuknya adalah lukisan Suharto yang cukup besar, dan di sekeliling gambar Suharto itu dikelilingi oleh renda berwarna pink. Lalu karya itu dipajang dengan cara dimasukkan ke kelambu yang juga berwarna pink. Karya itu diberi judul: Seumur Hidupku. Menurut Teddy, alasan dipilihnya judul itu sangat sederhana, karena di saat ia lahir pada tahun 1970 sampai ia dewasa (saat itu berumur 27 tahun), hanya Suhartolah presiden Indonesia dan tidak pernah diganti. Tetapi sayang, karya tersebut dilarang untuk ditampilkan di Bentara Budaya. Tahu kalau karya itu dilarang, Toni marah. Ia hendak menarik diri dari keikutsertaan pameran itu. Namun kemudian baik Hafiz, Toni dan Teddy akhirnya bisa bicara dengan kepala dingin. Mereka bisa mengerti kekhawatiran pihak Bentara Budaya, dan akhirnya Teddy merelakan karya yang dianggapnya sebagai salah satu karyanya yang cemerlang tidak dipajang.
168
Karya tersebut akhirnya diserahkan Teddy ke Hamcrut. “Terserah mau kamu apakan, Crut. Semoga berguna.” kata Teddy saat itu. Di tangan Hamcrut, karya tersebutpernah dipajang di Gelanggang UGM dalam sebuah pameran, di saat aksi-aksi reformasi masih bergulir. Di dalam kelambu berwarna pink, di depan gambar Suharto yang dikelilingi renda berwarna pink juga, Hamcrut meletakkan barang-barang yang didapatnya ketika berbagai bentrok antara mahasiswa dan aparat terjadi. Di sana ada kaleng gas air mata, sandal demonstran, pecahan perisai polisi, bekas bom molotov, dan masih banyak lagi yang lain. Sebuah respons karya yang lauar biasa atas sebuah karya yang juga luar biasa. Tetapi sayang, sampai sekarang, Hamcrut pun tidak tahu di mana karya Teddy itu berada. “Itulah salah satu kelemahanku, barangku saja aku kerap lupa kutaruh di mana, apalagi barang orang. Aku merasa bersalah kepada Teddy…” ungkapnya, suatu saat, ketika peristiwa itu sudah hampir sepuluh tahun berlalu. Bahkan Hamcrut pun tidak ingat, kalau tidak dipaksa mengingat, bahwa pada tahun 1993 ia pernah membuat karya instalasi berjudul ‘Mendongkel Kursi Tua’, sebuah judul yang akhirnya menjadi kenyataan, hanya berselang 5 tahun setelah ia membuat karya itu. tahun 1998, kursi tua itu terdongkel sudah. Dan tahun itu menjadi batupal penting di jelujur riwayat republik ini.
169
Taring Padi Unjuk Gigi
H
EIDI Arbuckle, seorang mahasiswa seorang mahasiswa dari Australia, datang ke Indonesia, lebih tepatnya ke Yogyakarta, di saat kondisi politik Indonesia sedang memanas, tahun 1996. “Saya datang ke Indonesia karena ingin belajar jathilan.” Ungkapnya, mengingta niatan pertamanya datang ke Indonesia saat itu. Ia mengenal kesenian jathilan karena saat ia masih belajar di jurusannya saat kuliah di Australia, di jurusan Antropologi, beberapa materi kuliahnya terutama di mata kuliah antropologi seni, ada beberapa bahan bacaan yang berisi tentang kesenian semacam reog atau jathilan. Hal itulah yang menarik perhatiannya. Apalagi saat masih duduk bangku sekoah menengah, ia juga belajar teater, di mana di saat itu ia diajari soal olah tubuh, meditasi dan sebagainya. Begitu tahu ada kesenian seperti reog dan jathilan, ia langsung berpikir, “Wah, ini satu tingkat di atas teater yang kupelajari, nih. Sebab ada yang sampai ‘kerasukan’ segala…” Sejak muda, Heidi memang tertarik dengan hal-hal yang berbau seni dan ilmu sosial. Sebelum kuliah di antropoligi, ia pernah setahun kuliah di jurusan jurnalistik karena ia ingin menjadi seorang wartawan. Kemudian ia pergi ke Vietnam dan Kamboja, berharap saat itu bisa menulis sebuah buku mengenai kehidupan di kedua wilayah yang di waktu itu, di mana penuh dengan berbagai persoalan politik. Tetapi ketika ia berada di Kamboja, situasi begitu kacau. Ada terdapat banyak kasus kekerasan dan penculikan. Sebagai seorang anak muda yang masih berumur 19 tahun saat itu, akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke Australia. Ketika pulang itulah, ia merasa untuk menjadi seorang jurnalis yang baik, tidak harus mengambil kuliah di ilmu jurnalistik, melainkan harus masuk ke antropologi dan etnografi. Akhirnya ia memutuskan untuk kuliah dengan mayornya mengambil studi antropoligi, dan minornya mengambil ilmu politik.
173
Sebelum kuliah, sebetulnya Heidi sudah pernah mengambil pelajaran Bahasa Indonesia di kegiatan intrakuler, dan di luar itu, ia mengambil kursus Bahasa Vietnam. Alasannya saat itu sangat sederhana, ia merasa Australia dekat secara geografis dengan Indonesia dan Vietnam, dan kebetulan saat itu, dalam usia yang masih sangat muda, masih duduk di bangku sekolah menengah, ia sudah tertarik dengan isu-ise seputar pembangunanisme. Saat ia datang ke Indonesia, ia hampir lulus kuliah, tetapi kebijakan universitasnya memperbolehkan, beberapa mata kuliah yang belum ia selesaikan, bisa digantikan dengan mengikuti kuliah di UGM selama satu semester. Begitu selesai kuliah di UGM, ia langsung kuliah di ISI, masuk Fakultas Seni Pertunjukan, dengan harapan ia bisa mendapatkan pengetahun soal kesenian yang menjadi fokus perhatiannya: jathilan. Tetapi kenyataannya, di ISI ia justru mendapatkan mata kuliah yang sudah ia pelajari menyangkut teater, seperti metode teater Stanislavsky. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukan penelitian langsung ke lapangan, melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional), untuk pergi dan melakukan penelitian di Ponorogo. Tetapi keinginannya itu kandas karena Departemen P & K tidak mengijinkan. Saat itu bagi orang pemerintahan, mungkin mereka merasa aneh jika ada orang asing (baca: orang dari luar negeri) yang ingin mempelajari kesenian Indonesia, tetapi justru yang dipelajari adalah kesenian-kesenian yang dianggap ‘pinggiran’. Bagi pihak pemerintah, kesenian tradisional Indonesia saat itu ya gamelan atau tari-tarian keraton, jenis-jenis kesenian tradisional yang dianggap adiluhung. Saat Heidi kuliah di Seni Pertunjukan ISI, beberapa fakultas sudah menempati gedung ISI yang baru di daerah Sewon, Bantul. Sedangkan Fakultas Seni Rupa masih menempati gedung ISI lama, di daerah Gampingan. Tetapi ternyata Heidi lebih nyaman berada di Gampingan,
174
karena ia menganggap anak-anak di Gampingan lebih mempunyai kepedulian politik. Heidi bahkan juga sering mengikuti kuliah seni rupa di Gampingan. Kata Heidi, soal anak-anak Gampingan saat itu, “Sikap mereka sudah jelas. Jadi saat gerakan mahasiswa sudah mulai tumbuh (lagi), anak-anak ini sudah jelas bagaimana akan memposisikan diri di dalam gerakan itu. sementara anakanak seni pertunjukan menurutku, tidak sejelas anak-anak seni rupa.” Memang, Heidi pun sudah mendengar beberapa aktivis lama dari Seni Pertunjukan seperti Brotoseno, tetapi sejauh yang diketahui Heidi, saat itu Brotoseno sudah tidak aktif di kampus lagi, dan kondisi kampus di Seni Pertunjukan tidak seperti kondisi di kampus anak-anak Seni Rupa yang sudah begitu politis. Ia juga merasa tidak cocok ketika berbicang-bincang dengan anak-anak seni pertunjukan. Kalau masih berbincang soal Bertold Brecht, masih nyambung. Tetapi kalau sudah ngomong soal Augusto Boal atau Paulo Freire, ia sering dicela orang teman-teman di kampusnya. Bahkan saat ia mulai bicara perihal Teater Buruh, salah seorang mahasiswa bilang, “Itu bukan teater! Kamu mau meracuni kami, ya!” Hal-hal seperti itulah yang membuat Heidi tidak kerasan di kampusnya. Dan ia justru lebih nyaman berada di kampus anakanak seni rupa. Menarik untuk melacak sedikit latar belakang Heidi, mengapa ia begitu tertarik dengan hal-hal yang bersifat politik, terutama yang berhubungan dengan perubahan sosial. Menurut pengakuan Heidi, hal itu selain disebabkan oleh buku-buku yang dibacanya saat berada di Australia, juga hasil refleksi dirinya atas keluarganya sendiri. “Keluargaku cukup unik. Bapakku punya latar belakang aristiokrat Inggris, sedangkan ibuku berasal dari kelas pekerja, keturunan keluarga imigran dari Yunani.” Heidi menjadi saksi bagaimana perjuangan ibunya untuk bertahan dalam pola hubungan yang beda strata itu. Perjuangan
175
sang ibu itulah yang terinternalisasi ecara kuat di alam pikir Heidi. Ketika tahun 1997 menjelang berakhir, dan kondisi politik Indonesia semakin naik tensi politiknya, Heidi merasa sedang akan menjadi salah seorang penyaksi dari sebuah negara yang akan memasuki babak politik baru. Dulu, ia memang sempat banyak membaca buku-buku yang sudah memperkirakan Indonesia cepat atau lambat akan mengalami babak perubahan yang baru. Tetapi semua buku itu hanya bisa memperkirakan saja. Sedangkan saat ia berada di Indonesia, ia sudah berada dalam sebuah pusaran sejarah yang mirip dengan apa yang ditulis oleh Takashi Shiraishi, sebuah ‘zaman bergerak’. Tentu dengan konteks waktu yang berbeda. Ia berada di sebuah ketegangan dan penasaran, apakah yang akan terjadi dalam waktu dekat itu? Tetapi Heidi betul-betul bisa merasakan euforia kondisi politik Inonesia saat itu. Ketika suhu politik Indonesia hampir mencapai titik didihnya, banyak mahasiswa luar negeri yang sedang belajar di Indonesia diminta pulang oleh negara masing-masing, tak terkecuali Heidi. Salah satu kakaknya, yang kebetulan bekerja di dpeartemen luar negeri Australia, bahkan meminta secara khusus kedutaan besar Australia yang ada di Indonesia untuk ‘memaksa’ Heidi pulang. Tetapi Heidi tidak mau. Saat itu, ia merasa sudah menjadi bagian dari gerakan mahasiswa yang terjadi saat itu, dan ia tidak sudi meninggalkan sebuah momentum yang mungkin tidak akan dialaminya dua kali sepanjang hidupnya. Paksaan lain datang dari pihak yang berbeda. Saat itu, Heidi sudah mendaftar kuliah, meneruskan S2 di salah satu universitas, dan sudah diterima. Pihak universitas bahkan mengancam, kalau Heidi tidak pulang, pihak universitas tidak akan segan-segan untuk mengeluarkan Heidi. Atas hal itu, Heidi menjawab dengan ringkas, “Ya sudah keluarkan saja…” Ke mana-mana, Heidi membawa kamera. Ia tidak ingin
176
kehilangan momentum untuk mendokumentasikan segala hal yang terjadi, terutama di saat-saat demonstrasi sedang berlangsung. Dan diam-diam, ia mengagumi keberanian para mahasiswa, terutama mereka yang sering berkumpul di kampus Filsafat UGM, sebuah tempat bagi bertemunya para aktivis radikal dari berbagai kelompok, yang bahkan sudah mengusung slogan: Revolusi atau Mati! Dan Heidi tampaknya memang beruntung. Di tahun 1998 itu, pihak penentang Suhartolah yang menang. Sebab jika seandainya yang terjadi adalah sebaliknya, mungkin Heidi juga bisa bernasib buruk. --enurut versi Icul, sebetulnya mulai semanjak akhir tahun 1997, perbincangan di kalangan pekerja seni untuk melakukan atau membentuk sebuah lembaga yang bisa memberi kontribusi di ranah politik sudah mulai sering dibicarakan. Pembicaraan itu terutama dilakukan saat banyak aktivis mulai berkumpul di Fakultas Filsafat UGM. Di antara nama-nama orang yang mulai getol membicarakan pembentukan sebuah lembaga seni, kalau dari ISI Gampingan adlah Icul dan Toni, sementara kalau dri UGM adalah Hamcrut, Kiswondo dan Tuhan.
M
Hampir bersamaan dengan mundurnya Suharto dari tampuk kepemimpinan Indonesia, di saat itu pula, aktivitas kegiatan belajar-mengajar di Gampingan di pindah ke kampus ISI yang baru, di daerah Sewon, Bantul. Secara otomatis, kampus ISI lama mulai kosong, tidak berpenghuni. Hanya satu-dua orang, atau sekelompok kecil orang saja yang masih sering berada di sana, terutama untuk minum-minum dan ngobrol sekadarnya. Tetapi lama kelamaan, kampus ISI Gampingan mulai ramai kembali, dan perbincangan awal yang sempat diobrolkan di kampus Filsafat, mulai dibawa Icul dan Toni ke orang-orang yang sering datang di kampus ISI lama. Dari pembicaraan itu muncullah gagasan yang semkin mengental untuk mendirikan
177
sebuah lembaga yang bergerak di aras seni dan kebudayaan. Mereka pun mulai rajin mendudah buku-buku lama, terutama tentang praktik-praktik lembaga semacam ini yang pernah ada di Indonesia, serta referensi-referensi asing. Mereka yang intens, melakukan diskusi itu adalah Toni, Icul, Devi, Manyul, Dodi, Hestu, Wowok dan beberapa gelintir orang lain. Hanya kurang lebih 6 bulan setelah Suharto lengser, di LBH Yogyakarta, sekelompok seniman dengan anggota kurang-lebih 20an orang mendeklarasikan sebuah lembaga dengan nama Lembaga Budaya Kerakyatan (LBK) Taring Padi. Nama Taring Padi itu sendiri, di tingkat para pendirinya, punya versi yang berbeda-beda. Menurut Toni, nama Taring Padi itu diusulkan oleh Dodi. Dan forum menerima dengan bulat, karena sesuai dengan keinginan para pendiri Taring Padi, mereka tidk ingin menjadi sebuah lembaga yang besar, tetapi cukuplah menjadi lembaga yang kecil namun mampu membuat ‘gatal’ para penguasa, dan mampu memberi inspirasi kepada kelompokkelompok seniman lain. istilah ‘Taring Padi’ itu sendiri, menurut Dodi adalah istilah yang ada di kampung halamannya, di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Di sana, nama ‘taring padi’ merujuk pada ujung padi yang sering membuat orang jika terkena benda tersebut akan merasa gatal-gatal. Sedangkan versi Icul, nama Taring Padi berasal dari dirinya. Hal itu, menurutnya, berasal dari konsep, di mana sebetulnya lembaga ini dibentuk bukan untuk menjadi lembaga permanen, melainkan seperti komite saja. “Kenapa tidak bernama Padi saja, tetapi mengapa Taring Padi, ya karena niat awalnya seperti itu.” Sedangkan Muhammad Yusuf, atau dikenal sebagai Mat Ucup, atau cukup dipanggil Ucup saja, sebagai orang yang yunior saat itu, setahu dia Taring Padi diucapkan oleh Toni yang saat itu berorasi di sebuah pergelaran musik di Gampingan. “Tiba-tiba Toni naik panggung, berorasi, lalu menyebut kata Taring Padi.” ujar Ucup.
178
Pengurus Taring padi pun terbentuk. Sebagai ketuanya, terpilih Toni, tetapi lembaga itu tidak menggunakan istilah ketua, melainkan: presiden. Di jajaran anggota dewan Taring Padi, mungkin semacam lembaga Legislatifnya, ada sederet nama, di antara mereka terdapat nama Icul dan Heidi. Apapun perdebatan menyangkut siapa dan dari mana asal nama Taring Padi, yang jelas dalam waktu singkat, lembaga ini mulai dikenal publik luas. Kampung Gampingan yang nyaris kosong melompong saat itu, mulai digunakan sebagai ajang berkumpulnya puluhan orang dari berbagai latar belakang. Satu per satu ruang-ruang di dalam gedung itu yang semula dikunci, dijebol, lalu digunakan sebagai ruang kerja sekaligus tempat untuk menginap. Tembok-tembok yang semual kusam, dalam waktu yang relatif singkat, telah penuh dengan lukisan dan tulisan. Taring Padi juga semakin dikenal terutama di kalangan aktivis pro-demokrasi Indonesia. Lembaga ini sering menyumbangkan poster atau baliho untuk berbagai acara kemanusiaan. Taring Padi pun mulai mencuat setelah kemudian mereka populer dengan karya-karya yang bersifat kolektif, setiap karya yang dihasilkan oleh Taring padi, dikerjakan oleh banyak orang, dan tidak disebut siapa saja nama pelukisnya. Tidak cukup hanya dengan itu, mereka kemudian mencuat dengan slogan mereka yang anti-galeri. Untuk soal anti-galeri ini, Mella Jarsma punya pendapat. Ia sebetulnya merasa salut dengan Taring Padi. Tetapi di Yogya, yang kemudian berhembus, kata ‘anti-galeri’ itu seakan-akan menjadi ‘anti-cemeti’. “Padahal kan Cemeti tidak seperti galeri pada umumnya…” ungkap Mella. Dan suatu saat, Cemeti pernah kepentok sebuah masalah dengan Taring Padi. Saat itu, ada beberapa anggota Taring Padi yang ikut pameran bersama di Cemeti. Pameran tersebut kemudian juga akan dilangsungkan di Bali. Saat pameran yang di Bali hampir berlangsung, secarik kertas dari Taring Padi, dengan ditandatangani Presiden Taring Padi yakni Toni, menyatakan bahwa Taring Padi sebagai lembaga
179
keberatan jika beberapa karya anggota mereka dipamerkan di Bali karena galeri di Bali itu dianggap terlalu komersial. Mella tentu saja kecewa dengan surat itu, “Tetapi kemudian saya dengan cepat melupakannya.” Taring Padi juga dianggap mempunyai kedekatan dengan PRD, sebab selain slogan-slogan serta jenis poster yang mereka buat hampir sama dengan hal-hal yang diperjuangkan oleh PRD, asas Taring Padi pun sama persis dengan asas PRD: Sosialdemokrasikerakyatan. Tetapi Taring padi sebetulnya tidak ada hubungan secara kelembagaan dengan PRD, selain bahwa kedua lembaga ini mempunyai kemiripan isu yang diperjuangkan. Salah satu kegiatan yang dikenang oleh hampir semua anggota Taring Padi sebagai kegiatan yang luar biasa, adalah saat mereka bergabung dengan para petani di daerah Delanggu, Klaten, untuk membuat acara bernama Festival Memedi Sawah. Acara tersebut dikerjakan berbarengan antara Taring Padi, LSM Keliling dan warga desa tersebut, terutama karang taruna di desa itu. Festival itu menandakan adanya sinergi yang luar biasa antara kelompok seniman, aktivis, dan warga masyarakat. Dan yang paling penting adalah kontekstual dengan permasalahan yang ada. Karena saat itu, sebagian warga Delanggu yang menanam padi dengan sistem pertanian organik, lebih lambat panen dibanding yang menanam padi dengan sistem pertanian non-organik. Akibatnya, padi-padi mereka diserbu oleh sekawanan besar burung. Memedi-memedi sawah yang artistik itulah yang berfungsi mengusir sekawanan burung tersebut. --engan sekejap pula, ‘sarang’ Taring Padi di bekas kampus ISI Gampingan menjadi magnet bagi puluhan bahkan ratusan orang, terutama yang menaruh perhatian kepad seni, apapun bentuk seni itu. Belasan grup punk dari berbagai kota sering berkumpul di sana. Para pengamen jalanan juga banyak yang hidup di tempat itu. Singkatnya, Gampingan, di mana banyak ruang kosong, dengan air dan listrik gratis, menjadi
D
180
surga bagi para seniman jenis tertentu. Tetapi berbagai masalah kemudian menerpa Taring Padi. Masalah pertama, hubungan politik mereka dengan PRD merenggang. Pasalnya, banyak anggota PRD yang disersi atau dipecat dari lembaga tersebut, kemudian pindah ke Taring Padi. Menurut Icul, sebetulnya antara Taring Padi dan PRD tidak ada masalah, namun sering kali masalah itu dibuat atau diperuncing oleh orang-orang di luar Taring Padi. “Ada misalnya ‘orang-orang dari Jakarta’ yang datang dan kemudian membuat gosip yang ini atau itu tentang PRD…” Masalah lain muncul dari konteks politik lokal. Gampingan, dianggap sebagai tempat seks bebas dan tempat peredaran barang narkotika. “Padahal dari dulu kalau yang namanya mabukmabukan, waktu masih sebagai kampus ISI pun sudah biasa…” kata Toni. Tetapi di saat itu, terutama di akhir tahun 1999, berbagai kelompok yang menamakan dirinya identik dengan nama Islam dan menggunakan simbol-simbol Islam, mulai mempertunjukkan perilaku kekerasan. Kantor-kantor PRD dan sekretariatsekretariat mahasiswa yang dianggap radikal, diserbu. Mendengar hal itu, Taring Padi sebetulnya mempersiapkan diri untuk menghadapi kelompok tersebut jika mereka menyerbu Gampingan. Toni menjelaskan, “Kita sudah koordinasi dengan banyak kawan dari berbagai tempat di Yogya, dan mereka siap mendukung kita jika Taring Padi diserbu.” Tetapi saat taring Padi benar-benar diserbu kelompok tersebut, kebetulan saat itu kebanyakan anggota Taring Padi sedang berada di luar kota, dan sebagian yang lain sedang berada di pantai Parangtritis. Akibat penyerbuan itu, seorang anak muda dari Bandung yang kebetulan menginap di taring Padi, dihajar massa penyerbu, sampai harus kehilangan salah satu ginjalnya. ---
181
K
onflik internal pun mulai terjadi. Icul merasa, kalau Taring Padi semakin hari sudah semakin menjauh dari apa yang dicita-citakan semula. “Taring Padi berubah menjadi semacam industri orderan bagi banyak lembaga untuk pesan poster dan baliho…” Masih menurut Icul, banyak anggota Taring Padi yang jika diajak mengorganisir malah mangkir. “Pernah suatu saat, kami bertiga, aku, Devi dan Dodi membantu Mulyono untuk mengadvokasi ke daerah Ponorogo. Begitu kami pulang karena butuh sumberdaya manusia yang lebih banyak lagi, tidak ada yang mau berangkat. Taring Padi, menurut Icul, sudah tidak lagi secara praktik, sesuai dengan ideologi yang dianutnya. Icul menengarai, munculnya anggota-anggota Taring Padi yang baru, yang saat Taring Padi dibentuk, tidak bisa memahami ‘ideologi’ yang dianut oleh Taring Padi. Hal seperti itulah yang menurut pengakuan Icul, membuatnya putus asa lalu memutuskan keluar dari Taring Padi. Sedangkan menurut Heidi, fraksi itu mulai muncul karena memang ada perbedaan ‘cara pandang’ atas hal tertentu di kalangan orang-orang Taring Padi sendiri. Heidi memberi contoh, misalnya saja soal gender, yang bagi dia sangat prinsip. Saat itu, anggota Taring Padi yang perempuan sangat sedikit, dan Heidi mengusulkan agar Taring Padi mulai merekrut dan melibatkan banayk perempuan, supaya lebih punya warna yang lain, sekaligus bisa menunjukkan kesadaran mereka atas relasi yang timpang antara laki-lai dan perempuan. Tetapi salah satu anggota Taring Padi menyeletuk, mengeluarkan solusi, “Ya sudah, cowok-cock Taring Padi cari pacar sebanyak-banyaknya, lalu duruh masuk saja ke Taring Padi.” Jawaban seperti itu tentu saja mengecewakan Heidi. Hal lain yang menurut Heidi sangat mengganggu pikirannya saat itu berkaitan dengan ‘paradigma’ orang-orang Taring Padi, menyangkut kelompok tertindas lain. Heidi kembali memberi
182
contoh, “Suatu saat ada seorang kawan yang gay dari Kanada. Karena di Taring Padi sudah biasa, orang tidur bersama banyak orang, kawan itu pun tidur bersama mereka. Tetapi begitu salah satu orang tahu kalau teman dari Kanada itu seorang gay, mereka menjadi ribut minta ampun. Padahal tidak terjadi pelecehan seksual di sana.” Juga Heidi memberi contoh perihal kasus lesbian. Suatu saat, ada temannya, seorang lesbian datang dari Jerman. Heidi sudah menjelaskan ke hampir semua orang Taring Padi kalau si cewek seorang lesbian. Tetapi tetap saja banyak anak taring padi yang ‘mendekati’ cewek itu. “Hal-hal seperti itulah yang membuatku pusing,” ujar Heidi. Selebihnya, menurut Heidi, ia sangat menikmati hidup di lingkungan Taring Padi. Termasuk gaya hidup kolektif di sana. “Mereka masak bareng, dan membicarakan banyak hal secara bersama-sama. Dan sekalipun ada banyak orang di tempat itu, karena ruangannya sanagt banyak, aku tetap masih punya waktu untuk bisa menyendiri, sekadar membaca atau menulis.” Tetapi kemudian masalah yang mendera Taring Padi hampir serempak berdatangan. Setelah diserbu oleh sebuah gerombolan dengan cara kekerasan, malsah lain mulai muncul di Taring Padi. Misalnya ada orang kampung sekitar yang datang membawa golok karena tidak suka dengan salah satu orang yang sering nongkrong di taring Padi. Lalu ada pula salah satu orang yang datang, kemudian tinggal di taring Padi, tak lama kemudian orang itu melarikan anak orang. Dan hal-hal seperti itu semakin lengkap dengan perginya satu demi satu anggota Taring Padi yang lain, entah pergi untuk sementara, atau pergi karena keluar dari Taring Padi. Dan sebagai gong bagi rentetan masalah tersebut adalah saat Taring Padi menerima surat dari pemerintah daerah dan ISI, yang meminta mereka agar segera meninggalkan gedung di Gampingan tersebut. ---
183
U
cup yang saat itu menjadi presiden Taring Padi pusing bukan kepalang. Akhirnya Taring Padi dipindah ke daerah Sewon. Karena saat itu lembaga tersebut sedang tidak punya uang, mereka hanya mampu menyewa kantor yang hampir ambruk. Selama enam bulan, anggota Taring Padi yang menyusut menjadi kurang dari sepuluh orang, hanya berkonsentrasi untuk mendirikan rumah kontrakan itu agar layak dijadikan sekretariat. Tetapi lambat laun, anggota Taring Padi yang berpencaran pun mulai terhubung kembali. Kegiatan Taring Padi mulai menggeliat lagi. Bahkan keberuntungan kemudian mendatangi Taring Padi karena ada salah satu lukisan mereka yang terjual senilai 20 juta di Malaysia. “Uang itu kami tabung, karena Taring Padi bercita-cita ingin punya sanggar sendiri,” ujar Ucup. Sayang, tek berapa lama, gempa menggedor Yogya. Sekretariat Taring Padi di daerah Sewon pun luluh-lantak. Tetapi peristiwa itu juga menjadi semacam ‘sengsara membawa nikmat’, karena tiba-tiba banyak bantuan datang ke Taring Padi. “Bantuan itulah, ditambah dengan tabungan Taring Padi, yang akhirnya bisa membuat Taring Padi sanggup punya sanggar sendiri. Kini, memang Taring Padi telah mempunyai sanggar sendiri. Sanggar itu terletak di daerah Sembungan, Bangunjiwo, Bantul. Tepat di sebelah sanggar Taring Padi, studio Teddy pun sedang dibangun di sana. Dan hanya sepelemparan batu dari tempat itu, Toni menyewa sebuah rumah, yang dijadikan studio sekaligus tempat tinggalnya.
184
Hal Seperti Ini
Sudah Cukup Buatku
K
ETIKA Heidi lebih sering berada di Gampingan, dibandingkan berada di kampus ISI Sewon, karena di Gampingan ia merasa lebih nyaman dan lebih mendapatkan ‘suasana politis’, terutama pada semester akhir 1997, ia beberapa kali melihat Toni. Dan tentu saja, sedikitbanyak menyaksikan kiprah Toni di era yang sedang bergolak itu. “Tetapi saat itu aku belum menyimpan perasaan apa-apa sama dia…” kata Heidi. Kemudian, suatu malam, di awal tahun 1998, ia diundang oleh beberapa anak ISI untuk mengikuti sebuah rencana mengadakan demonstrasi. Saat Heidi datang di rapat itu, ia merasakan rapat yang diikutinya tidak jelas, apa mau mereka, dan bagaimana teknisnya. Tiba-tiba datanglah Toni dan Bob, yang segera mengambil alih forum menjadi sangat dinamis, dan semakin mengerucut. Maklumlah, saat itu baik Toni maupun Bob sudah sering melakukan rapat aksi di UGM, sehingga cukup terampil untuk mendesain sebuah aksi. Rapat itu menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan demonstrasi di DPRD Yogya. Tetapi tiba-tiba Toni bertanya ke Heidi, “Kamu datang ke sini untuk apa?” Heidi menjawab, ya tentu saja ia ingin ikut terlibat dalam aksi demonstrasi. Mendengar jawaban Heidi, Toni kemudian bilang, “Ya hati-hati ya, di sana banyak intel dan kemungkinan besar aksi itu akan kacau.” Dalam hati Heidi akan sebal mendengar ucapan Toni. Heidi merasa sudah terbiasa ikut demonstrasi. Tetapi Heidi mulai merasa penasaran dengan Toni, dan ia menduga hal sebaliknya juga terjadi. “Kayaknya itu cara Toni mencuri perhatianku.” kata Heidi sambil tergelak, tertawa ngakak mengingat peristiwa itu. Saat demonstrasi terjadi, Heidi mengaku, “Saat itu aku mencari-cari Toni. Hanya penasaran saja..” Toni tidak ada di aksi demonstrasi itu. Baru kemudian, ketika ada aksi seni peristiwa, Heidi tahu kalau Toni sedang memakai
187
topeng dan terlibat di seni persitiwa yang ikut menyemarakkan aksi tersebut. Tetapi apa yag dipesan oleh Toni beberapa malam sebelumnya, saat rapat aksi digelar, benar-benar terjadi. Terjadi aksi dorongmendorong antara para demonstran dan pihak aparat. Di tengah suasana yang memanas itu, Heidi kemudian dikelilingi beberapa aparat dan intel yang berpakaian biasa. Ia dipaksa mengeluarkan kaset videonya. Heidi terpaksa menuruti perintah itu. Pulang dari aksi, ia semakin punya rasa penasaran sama Toni. Tetapi kemudian ia segera tahu, saat itu, Toni sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan dari Amerika Serikat, yang kebetulan juga sedang berada di Indonesia untuk sebuah penelitian. --omentum yang paling diingat Heidi saat bersua dengan Toni terjadi pada saat aksi pembakaran Patung Suharto di Gedung Pusat UGM. Heidi datang ke UGM bersama salah satu kawannya yang bertugas ikut membantunya mendokumentasikan peristiwa yang sangat penting itu. ia sudah mendengar kasak-kusuk yang beredar di Gampingan kalau hari itu, kelompok radikal yang terkumpul di Fakultas Filsafat UGM dengan wadah komite bernama Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP) akan membakar patung Suharto. “Sebuah langkah yang membuatku sangat antusias,” jelas Heidi.
M
Heidi sudah berada di Gedung Pusat UGM sebelum barisan radikal KPRP datang. Ketika kemudian barisan itu datang, ribuan mahasiswa UGM yang sudah berada di tempat tersebut memberi sambutan yang meriah. Nama KPRP memang sudah mulai dikenal sebagai sebuah komite yang pertama sekaligus berani. Nyaris tidak ada harian lokal di Yogya saat itu, yang absen dari pemberitaan menyangkut komite ini. Di barisan depan KPRP, terdapat seni pertunjukan yang dilakukan oleh salah satu elemen pendukung KPRP, dari
188
kelompok pengamen yang menamakan dirinya Serikat Pengamen Indonesia. Dan tiba-tiba mata Heidi terbelalak, sebab di antara orang-orang yang sedang melakukankegiatan seni peristiwa itu, ada seseorang memakai pakaian petani serba hitam, lengkap dengan caping, topi khas petani yang terbuat dari bambu. Orang itu membawa poster yang teracung dengan tangkai bambu, di poster tersebut ada gambar Suharto dan terdapat tulisan merah menyala: Tolak Suharto! Heidi tahu, orang yang berpakaian petani itu adalah Toni. Hari itu, Heidi memang lumayan capek, karena ia harus pontang-panting memanggul kamera untuk mendokumentasikan peristiwa penting itu. Tetapi hatinya juga menjadi antusias untuk hal yang lain, ia melihat Toni di hari itu, dalam sebuah ‘pertunjukan’ yang memukau. Setelah peristiwa itu, Heidi bukan hanya semakin sering berada di Gampingan, bahkan ia mulai sering pula menginap di tempat itu. Suatu saat, ketika sedang berada di tempat kosnya, tiba-tiba muncul Toni. Ia mengajak Heidi untuk mengikuti rapat di Gampingan. Mereka berdua kemudian berangkat ke sana. Rapat itu berusaha mendesain sebuah selebaran, tetapi dengan cara yang agak berbeda. Alasan para peserta rapat di forum itu sederhana, selebaran yang biasanya hanya berisi tulisan, tidak mudah untuk dipahami oleh rakyat. Dan oleh karena itu, mereka ingin membuat versi selebaran yang bergambar, sehingga mudah dipahami. Heidi saat itu mulai mempertanyakan, ‘siapa’ yang dimaksud dengan ‘rakyat’ itu? atau lebih tepatnya rakyat yang mana? Barulah kemudian mereka menjelaskan, kalau yang menjadi tujuan dari selebaran itu adalah para penjual di warung-warung kecil, dan para tukang becak. Alasan mereka pun cukup masuk akal, di warung-warung kecil seperti itulah terjadi semacam ‘pertemuan’ berbagai orang dari kalangan bawah, dan para tukang becak adalah semacam ‘kabar berjalan’ karena mobilitas mereka. Ide itu menurut Heidi sangat cemerlang dan khas.
189
--ubungan Heidi dan Toni semakin akrab, apalagi saat Taring Padi terbentuk, dan saat Toni ditunjuk sebagai Presiden taring Padi, serta Heidi menjadi salah satu anggota Dewan Taring Padi. Heidi semakin sering menginap di Gampingan, dan kaget ketika ia pulang di rumah kontrakannya, ternyata aliran listrik di rumah kontrakannya sudah disegel PLN karena belum dibayar sampai beberapa bulan.
H
Akhirnya, suatu hari, Heidi diantar Toni untuk menyelesaikan urusan di kantor PLN, dan listrik di rumahnya akan bisa menyala dalam dua hari ke depan. Kemudian mereka berpisah, Toni punya sebuah urusan, dan Heidi juga punya urusan yang lain. Setelah menyelesaikan urusannya hari itu, pada malam harinya, Heidi pulang ke rumah kontrakannya. Walaupun saat itu listrik di rumahnya belum menyala, Heidi tidak merasa khawatir, karena ia punya banyak penerangan dari lilin, yang ditaruh di beberapa pojok rumahnya. Tetapi betapa kagetnya Heidi, saat ia sudah membuka kunci pintu depan, dan masuk ke rumahnya, ia mendapati lilin-lilin di ruangannya sudah menyala. Heidi heran sekaligus merasa agak takut, sebab dialah satu-satunye penghuni tempat itu, sekaligus satu-satunya orang yang memegang kunci rumah itu. Lebih kaget lagi ketika Heidi masuk di dalam kamarnya. Di sana sudah tergeletak Toni dalam keadaan tidur, dan Toni tidur di tempat tidurnya! Perasaan Heidi saat itu campur-aduk, antara kaget, sebal dan geli. Akhirnya malam itu, Heidi tidur satu tempat tidur dengan Toni. Tidur dalam arti harfiah. Tidak terjadi kontak fisik di antara mereka berdua. Semenjak kejadian itu, hubungan Heidi dan Toni semakin dekat. “Tetapi saat itu belum begitu jelas perasaanku sama dia…” kata Heidi.
190
--aat hubungan antara Heidi dan Toni semakin dekat, saat itu, Heidi sedang punya pacar, demikian juga Toni. Heidi dulu yang kemudian memutuskan hubungan dengan pacarnya, walaupun saat itu hubungannya denga Toni pun belum jelas. Mantan pacar Heidi sepertinya tidak bisa menerima keputusan itu, hampir tiap hari, si mantan pacar selalu tidur di depan rumah kontrakan Heidi, di sebuah ayunan. Tapi beginilah kenang Heidi soal Toni di saat-saat seperti itu, “Tapi gilanya Toni, ya. Dia itu cuek saja dengan mantan pacarku itu. Dianggapnya orang itu tidak ada.”
S
Ketika kemudian perasaan Heidi kepada Toni semakin ‘jelas’, Toni masih tetap juga menjalin hubungan dengan pacarnya yang dari Amerika itu. Akhirnya Heidi meminta ketegasan Toni, “Bagaiman dengan pacarmu? Kalau kita jalan berdua, kamu harus bikin keputusan.” Barulah kemudian Toni memutuskan pacarnya. Tetapi ada hal lain yang menghantui pikiran Heidi saat itu. Ia merasa mempunyai ikatan dan komitmen yang jelas dengan Taring Padi. Ia khawatir, jika suatu saat ‘terjadi apa-apa’ antara dia dan Toni, bisa menjadi masalah juga buat Taring Padi. Apalagi Heidi merasa, Taring Padi-lah saat itu organisasi satu-satunya yang telah mantap ia pilih, dan di sana pulalah ia merasa apa yang dibaca dan diimpi-impikannya terwujud. Kelak, kemudian, apa yang dikhawatirkan oleh Heidi benarbenar terjadi. Tetapi dalam sebuah situasi yang lebih subtil. Suatu saat, Heidi bau pulang dari Australia untul liburan natal. Begitu sampai di Indonesia, seperti biasa, banyak orang yang berkumpul, untuk sekadar kangen-kangenan danmenyambut kedatangannya. Di saat itu, tiba-tiba ada orang yang baru datang, orang itu tidak tahu kalau di antara beberapa orang yang sedang membentuk beberapa gerombolan terdapat Heidi. Si orang yang baru datang itu dengan tanpa merasa berdosa, segera berteriak ke Toni, “Ton, tadi ada telepon dari…”
191
Sebelum orang itu menyelesaikan kalimatnya, ada orang lain di sana yang segera memberi isyarat, bahwa ada Heidi di situ. Tepat di saat itu, Heidi merasa ada sesuatu yang telah dilakukan Toni selama ia berada di Australia, dan tepat di saat itu pula, ia menauh rasa syak kepada lembaganya, untuk kali pertama. Heidi kemudian mendesak Toni untuk menjelaskan apa yang sebetulnya terjadi selama ia berada di Australia. Barulah kemudian Toni mengaku, kalau ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Pengakuan Toni adalah luka pertama Heidi atas hubungan mereka. Tetapi ada hal lain yang menurut Heidi ‘aneh’ menyangkut komunitas Taring Padi. Hubungan Heidi dan Toni jelas diketahui oleh semua oarang yang berada di sana, dan hubungan Toni dengan perempuan yang lain juga diketahui oleh meraka semua. Tetapi kenapa mereka diam? Hal seperti itu merupakan masalah bagi Heidi. Menurut Heidi, bukankah sebaiknya orangorang di Taring Padi meminta penjelasankepada Toni sejauh mana hubungannya dengan perempuan itu. Atau, orang-orang Taring Padi bisa bertanya ke si perempuan, sebetulnya hubungan perempuan itu dengan Toni seperti apa? Kemudian orang-orang Taring Padi bisa memberi tawaran solusi kepada Toni, paling tidak supaya Toni mengaku kalau sudah punya pacar, atau kalau Toni tidak bersedia, orang-orang Taring Padilah yang akan memberitahu. Heidi tentu saja marah kepada Toni, lalu ia menawarkan agar hubungan mereka bersifat ‘hubungan terbuka’ saja. Artinya mereka tetap berpacaran, tetapi jika kemudian salah satu dari mereka tertarik dengan orang lain, mereka bisa melakukannya, dengan catatan harus saling berterus terang. Toni keberatan dengan tawaran Heidi itu. Ia bahkan sempat menangis sambil sujud di lantai, meminta maaf dan bersumpah tidak akan mengulangi perbuatannya. Heidi akhirnya memaafkan. Tetapi peristiwa itu telah menakik di perasaannya, menjadi sebuah catatan di dalam album batinnya.
192
Pada tanggal 22 Agustus 2002, Heidi dan Toni menikah di Australia. Pernikahan itu pun punya kisahnya tersendiri. --aat itu, Toni ingin berkunjung ke orang tua Heidi, sekaligus mempersiapkan sebuah acara Taring Padi di Australia.Tetapi proses kedatangan Toni ke Australia ternyata berbelit-belit karena tepat di waktu itu, pemerintahan John Howard sedang menghadapi masalah pengungsian besar-besaran terutama dari warga Afganistand dan Irak.
S
Semua prosedur yang seharusnya dilakukan oleh pihak Heidi sebagai pihak yang mengundang Toni, majal berhadpan dengan birokrasi Australia. Heidi otomatis mencakmencak. Ia mendatangi kantor dinas imigrasi, dan bertanya sebetulnya persyaratan apalagi yang kurang? Petugas imigrasi juga bingung, lalu mereka menawarkan solusi, karena mereka tahu dari keterangan yang diberikan oleh Heidi bahwa Heidi dan Toni bertunangan, mereka menyarankan agar prosesi itu menjadi mudah, disuruh saja untuk bilang kalau kedatangan Toni ke Australia adalah dalam rangka melamar Heidi, untuk kemudian menikah. Setelah beberapa saat berpikir, dan mendiskusikan hal itu dengan ibunya dan juga kepada Toni, Heidi mengiyakan permintaan dinas imigrasi. Sekalipun sudah mengikuti saran dari pihak dinas imigrasi, visa Toni baru bisa kelar setelah 6 bulan. Dan mereka, Heidi dan Toni, diharuskan sudah menikah dalam waktu maksimal 9 bulan, dan menikahnya harus di Australia. Akhirnya, ketika tenggat semakin mepet, Heidi dan Toni memutuskan untuk menikah. “Persiapan pernikahannya pun hanya sehari,” ujar Heidi. Ketika keputusan menikah benar-benar hendak diambil, Toni masih sempat bertanya kepada Heidi, “Apakah kamu sudha yakin jalan ini yang harus kita pilih?” Heidi saat itu menjawab, “ Ya memang jalan ini yang tersedia dan yang harus kita pilih.”
193
Mereka berdua sebetulnya tidak terlalu peduli dengan selembar keterangan pernikahan, atau pernikahan yang legal. Bagi mereka, yang paling penting dan yang mereka hormati adalah komitmen masing-masing orang untuk menjalin hubungan. Pesta pernikahan itu dilakukan di sebuah pantai. Malam sebelum hari H pernikahan, Toni berbelanja makanan, dan paginya ia memasak, membuat nasi tumpeng beserta seluruh pernak-perniknya. Sementara itu, Heidi mempersiapkan hal-hal yang lain, seperti pakaian. Undangan pun disebar ke beberapa kolega mereka di Australia, termasuk beberapa kenalan mereka orang Indonesia yang berada di sana. Sebagai saksi resmi pernikahan mereka adalah Dadang Christanto dan Ucup, salah satu anggota Taring Padi yang saat itu sedang berada di sana untuk mempersiapkan pameran Taring Padi di Australia. Rombongan kemudian segera menuju pantai, tempat pesta digelar. Begitu sampai di pantai, pesta itu mirip sebuah seni peristiwa. Toni memakai sarung dan pakaian hitamhitam yang dipinjamkan oleh Dadang Christanto, lalu Toni memakai caping petani. Sementara di belakang Toni, Ucup meniup seruling. Dan selama perjalanan menuju ke tempat pesta itu, Heidi menebarkan bunga. Namun, bunga yang ditebar oleh Heidi bukannya bunga yang kebanyakan dipakai untuk prosesi pernikahan di Jawa, melainkan bunga kamboja, yang di Jawa dianggap sebagai simbok kematian. “Ya yang ada di Audtralia saat itu bunga kamboja, mau gimana lagi…” kenang Heidi. Ternyata sesampai di tempat pesta, sudah banyak orang yang berkumpul. Saat itu senja hari, dan konon sudah banyak orang yang datang di tempat itu semenjak siang hari. Sewaktu sumpah pernikahan dilakukan, ada hal yang membuat Heidi terharu. “Biasa kan ada semacam sumpah yang diucapkan terus diikuti dengan kalimat to be your wife?” Saat menjawab pertanyaan itu, Toni mengatakan, “Yes. Forefer and ever!” Jawaban singkat Toni itulah yang membuat Heidi menangis.
194
Jawaban yang sederhana, tetapi merasuk begitu dalam di hati Heidi. Selaiknya sebuah pasangan yang sudah diresmikan, biasanya mempelai saling bertukar cincin. Tetapi Heidi tidak suka memakai cincin. Akhirnya ia meminjamkan kalung wasiat dari neneknya kepada Toni, yang kemudian dikalungkan ke leher Heidi, dan Heidi memasukkan cincin sederhana ke jari Toni. Tepat di saat itu terjadi, matahari mulai terbenam. Pesta pernikahan itu berlangsung dengan meriah, sampai jauh malam. Pesta berakhir ketika air laut mulai pasang… --ereka berdua sempat memperlama tinggal di Australia sampai hampir setahun setelah pernikahan itu. Pada Januari tahun 2004, mereka sudah sampai di Indonesia. Temanteman mereka di Yogya pun menggelar acara untuk memperingati pernikahan Heidi dan Toni. Acara digelar di Kaliurang.
M
Tetapi ternyata, terlalu banyak badai yang harus dihadapi oleh kedua pasangan itu. dan badai-badai itu biasanya berasal dari Toni, ketika Heidi sedang tidak ada di sampingnya. Ia beberapa kali selingkuh, dan kemudian yang laing tidak bisa dimengerti oleh Heidi adalah, ia justru tahu bukan dari Toni,melainkan dari orang lain. Barulah setelah Heidi mengkonfirmasi hal itu ke Toni, barulah Toni mengaku. Hingga kemudian terjadi sebuah krisis di diri Heidi, krisis yang setidaknya dipicu dari dua hal. Pertama, ia mengalami krisis hubungan dengan Toni. Kepercayaan, sebagai fondasi sebuah hubungan, sudha tidak lagi dimilikinya terhadap Toni. Kedua, di saat itu mulai muncul krisis eksistensial di diri Heidi sendiri. Akhirnya Heidi memutuskan untuk melanjutkan studi S3 di Australia. Kemudian ia bilang saat itu ke Toni, “Ya sudah hubungan kita terbuka saja.” Awalnya Toni tetap tidak mau dengan pola hubungan seperti
195
itu. Tetapi Heidi tetap menuntut. “Aku mau hubungan yang setara. Dan aku pikir itu solusi yang terbaik bagi hubungan kami.” ‘Hubungan terbuka’ itu tetap dengan catatan, jika masingmasing orang tertarik dan menjalin hubungan dengan orang lain, maka wajib berterus terang satu sama lain. Tetapi kelak kemudian, hubungan itu tetap kandas juga. Sekalipun mereka berdua sampai tulisan ini ditulis (April, 2008), secara legal masih berstatus suami-istri. “Ketika Heidi mengutarakan solusinya saat pertama kali masalah muncul di antara kami dengan model open relationship, aku memang tidak siap secara mental.” begitulah pengakuan Toni. Hubungan Toni dengan perempuan lain selain Heidi, dilakukan Toni dengan seorang ‘aktivis perempuan’, sat Heidi sedang berada di Australia. Saat Heidi tahu hal itu, Heidi marah, dan Toni kemudian meminta maaf. Masalah pertama itu, bagi Toni sudah selesai. Tetapi Toni mengakui, saat itu ia mulai bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Di satu sisi, ia terus mengasah ketrampilan melukis dan berorganisasinya di Taring Padi, di sisi yang lain, pertanyaan tentang ‘moralitas’ menerpa diri Toni. Hingga kemudian, ketika lagi-lagi Heidi sedang berada di Australia. Saat itu, menurut pengakuan Toni, ia sedang mabuk berat dan mendekati salah satu teman Heidi. Si teman kemudian bertanya, “ Lho terus bagaimana dengan Heidi?” Toni kemudian dengan gampang menjawab, “Heidi oke saja kok, nanti biar aku yang ngomong..” Menurut Toni, ia segera sadar bahwa ia tidak mau melakukan itu. ia takut akan risikonya, terutama kalau sampai Heidi tahu. “Aku enggak mau nerusin…” kata Toni, “dan memang malam itu tidak terjadi apa-apa antara aku dan temannya Heidi itu.” Tetapi ternyata Heidi mendengar apa yang terjadi malam itu. Dari Australia, marah besar kepada Toni. Kemudian Toni
196
lagi-lagi meminta maaf, dan menjelaskan bahwa tidak terjadi apa-apa antara dia dan temannya Heidi. “Waktu Heidi pulang ke Indonesia, saat itu aku gimbal. Aku segera potong rambut, dan membuat tato dengan nama Heidi di dada kiriku, lalu aku menjemput Heidi di Jakarta,” kata Toni sambil menunjukkan tato dengan nama Heidi di dada sebelah kirinya. Tapi saat itu, Toni sudah merasa telah melukai Heidi untuk kedua kalinya. Ia kemudian kerap menyendiri di rumah kontrakannya yang baru, di daerah Langensastran Yogya. Di saat sering sendirian itulah, saat sedang dirundung masalah, Toni mengaku ia memasuki apa yang disebutnya sebagai ‘babak lain’ dalam proses kreatifnya sebagai seorang perupa. “Aku melihat kupu-kupu hinggap di atas bunga, dan aku mendengar kicauan burung menjadi semakin jels di telingaku. Hal itu jelas remehtemeh, tetapi hal itu pula yang membuatku mulai berpikir dengan cara yang berbeda saat melukis.” Tetapi kemudian Toni tertarik lagi dengan seorang perempuan. Tono mengaku, “Aku hanya tertarik secara seksual dengan perempuan itu…” Hubungan Toni dengan perempuan itu kemudian semakin dekat. Tetapi Toni mengaku, mereka berdua tidak berhubungan seksual. Namun, Heidi pun kemudian mendengar hal itu. Dan sekali lagi, hal itu terjadi ketika Heidi sedang berada di Australia. Peristiwa ketiga inilah yang kemudian memicu keputusan Heidi bahwa relasi antara dirinya dengan Toni bersifat ‘hubungan terbuka’. Tetapi sekalipun begitu, Toni merasa hubungan mereka masih baik-baik saja. Setiap Heidi datang ke Jakarta, mereka selalu berduaan. Tetapi kemudian tiba saat apa yang disebut Heidi dengan krisis pada dirinya sendiri dan krisis kepercayaan kepada Toni. Toni sendiri, menandai hal itu hanya dengan beberapa peristiwa. Peristiwa pertama terjadi saat Toni membonceng Heidi. Saat itu, tangan Heidi tidak melingkar di pinggang Toni,
197
itu hal yang aneh bagi Toni. Lalu hak kedua, Toni merasa Heidi semakin sering mengomentari dirinya, “Aku dibilangnya suka melukis sambil nyimeng, dan yang aneh lagi, aku dibilangnya tidak suka membaca buku. Aku ituu suka membaca buku. Hanya saja saat itu karena aku sedang tertarik dengan tumbuhtumbuhan, aku membaca buku-buku tentang tanaman,” panjang lebar Toni menjelaskan hal itu. Tetapi yang paling membuat Toni tidak habis pikir adalah ketika suatu saat mereka berdua datang ke sebuah acara tahun baruan di tempat salah satu teman mereka. Biasa, di acara seperti itu mereka lalu mabuk-mabukan. Ketika acara usai, beberapa orang tidur dalam satu ruangan, termasuk di sana ada Toni dan Heidi. Tetapi begitu Toni bangun, ia sudah tidak mendapati Heidi di tempat tersebut. Lalu ia bertanya ke beberapa orang, dan mereka menjwab kalau Heidi sudah pergi. Akhirnya Toni mencari Heidi, dan mencecar dengan pertanyaan sebetulnya apa yang sedang terjadi pada hubungan mereka berdua? Pada saat itulah Heidi mengaku, ia sedang krisis kepercayaan pada dirinya sendiri dan ada hubungannya dengan Toni. “Saat itu, Heidi meminta agar ia berproses sendirian di Jakarta.” Heidi waktu itu memang sedang melakukan penelitian untuk disertasinya di Jakarta. Dan ketika Heidi bilang seperti itu, Toni akhirnya hanya bisa berkata, “Oke tidak apa-apa.” Sekalipun Toni mengatakan, “Oke tidak apa-apa,” tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah Toni stres berat. “Aku ngedrop. Benar-benar ngedrop.” katanya. “Aku tidak boleh menengok Heidi ke Jakarta. Paling-paling aku hanya bisa menghubunginya lewat telepon, itu pun jarang diangkat. Kalau aku mengirim sms, hanya kadang-kadang saja dijawab, itu pun seperlunya. Sat seperti itulah, aku sering menangis sendirian di rumah. Karena aku… aku itu merasa kalau cintaku, sayangku, itu buat dia.” Pernah suatu saat, Toni diundang untuk menghadiri pembukaan pameran di Jakarta. Saat itu, dari Yogya, ia ingin membuat kejutan untuk Heidi, karena Toni yakin, Heidi pun pasti
198
menghadiri pembukaan pameran itu. “Tetapi sampai di Jakarta, dan ketika semakin mendekati areal pameran, aku kembali ngedrop. Aku bahkan tidak berani masuk ke ruang pameran itu dan hanya duduk-duduk di luar. Aku melihat dari luar, Heidi berada di dala. Dan aku hanya berni nelepon dia, berkata: Heidi, kalau kamu mau ketemu aku, aku berada di luar. Aku enggak mau ketemu orang-orang. Aku ngedrop…” Selang kurang-lebih sejam kemudian, Heidi keluar menemui Toni. Heidi saat itu bertanya, “Kamu kenapa?” Toni hanya bisa menjawab, “Enggak tahu ya, aku ngedrop saja…” Kemudian Heidi menyarankan agar Toni pulang saja ke tempat kontrakannya. Saat itu, Heidi mengontrak rumah dengan beberapa temannya. Lalu Toni bertanya, “Terus kamu mau ke mana?” “Aku mau ada acara sebentar…” “Aku boleh ikut, enggak?” “Enggak boleh. Sudah, tunggu saja aku di rumah.” Toni kemudian pergi ke rumah kontrakan Heidi. Selama berada di rumah kontrakan Heidi, Toni merasa lama sekali menunggu Heidi pulang. Sampai akhirnya, dengan setengah menangis, ia menelepon Heidi, menanyakan apakah ia akan pulang atau tidak malam itu? Heidi menjawab kalau malam itu ia pulang. Benar, Heidi memang pulang malam itu. Dan mereka pun tidur dalam satu tempat tidur. Saat itu, Toni merasa sangat bahagia sekali. Setelah tiga hari berada di Jakarta, Toni mulai merasa tidak enak dengan Heidi. Dan memutuskan esok harinya akan pulang ke Yogya. Malam menjelang paginya ia pulang, pada dini hari, Toni terbangun. Ia tidak mendapati Heidi di sampingnya. Lalu ia keluar kamar mencari Heidi. Ketika ia mendapati Heidi sedang
199
duduk-duduk di ruang tamu, Toni bertanya, “Kamu kenapa sih, Heidi?” Saat itu, seingat Toni, Heidi menjawab kalau ia merasa gerah. Kemudian muncullah kalimat-kalimat yang menurut Toni sendiri merupakan kalimat yang ‘ndangdut banget’. Mengingatkan dulu saat mereka sama-sama tinggal di Yogya dengan kasur yang lepek, dan lain sebagainya. Tetapi tampaknya Heidi tidak begitu merespons omongan Toni. Akhirnya Toni bilang, “Aku memang besok mau pulang ke Yogya kok…” Menjelang Heidi balik ke Australia untuk menyelesaikan disertasinya, Tono dan Heidi sempat bertemu lagi. Mereka kemudian memutuskan untuk menjalani hubunga terbuka, dan sama-sama tahu risiko terbesar dari hubungan mereka adalah bercerai. --aat Toni berada di Yogya dan Heidi berada di Australia, kembali Toni menjalin hubungan seorang perempuan lagi. Pacar baru Toni, begitu tahu kalau Toni masih menjalin hubungan dengan Heidi menuntut agar Toni ngomong ke Heidi soal hubungan mereka berdua. Pacar baru Toni pun sebetulnya juga sedang punya pacar, dan dia ngomong ke pacarnya kalau sedang menjalin hubungan sama Toni. Di diri Toni sendiri, ia sebetulnya mau ngomong ke Heidi, tetapi dia mencoba mencari ‘waktu yang tepat’. Naas bagi Toni, sebelum ‘waktu yang tepat’ itu didapatkannya, Heidi sudah terlebih dulu tahu. Dan Heidi tentu saja marah sama Toni, terutama soal ketidakberanian Toni untuk berterus terang. Toni semakin linglung, dan merasa semakin membuat deretan luka di batin Heidi bertambah banyak.
S
Sedangkan hubungan Toni dengan pacar barunya pun menarik untuk disimak. Pacar baru Toni tahu betul kalau hubungan mereka hanya bersifat sementara. Dan ia sadar juga, tidak mungkin menggantikan posisi Heidi di hati Toni. “Bahkan, kalau aku kangen sam Heidi, aku itu menangis di
200
dada pacarku itu…” ungkap Toni. Tapi Toni, tetaplah Toni. Selesai menjalin hubungan dengan pacar barunya itu, ia mendapat pacar yang baru lagi. Baru di saat itu, Toni memberi kabar kepada Heidi. Tetapi jawaban Heidi saat itu justru membuat Toni kembali menangis, merasa bersalah lagi. Menurut Toni, Heidi bilang saat itu, begitu tahu ia menjalin hubungan dengan seorang perempuan yang lain lagi, “Sebenarnya kamu itu sama aku bagaimana sih?” Pertanyaan Heidi itu membuat Toni semakin merasa bersalah. “Sepertinya Heidi merasa sangat sakit hati dan gagal menyembuhkan luka-lukanya yang disebabkan olehku,” kata Toni, “Saat itu dia sepertinya benar-benar kehilangan kepercayaan kepadaku. Aku juga heran, kok bisa ya aku seperti itu…” Hal seperti itu, juga berhubungan dengan beberapa kegiatannya yang lain, membuat Toni memutuskan untuk tinggal sementara di Bali. Saat berada di Bali, Heidi memberi kabar kalau ia akan bekerja di Indonesia, dan akan menyempatkan diri untuk mampir ke Bali menemui Toni. Pada saat itulah, lagi-lagi menurut Toni, Heidi mengucapkan sebuah kalimat yang bagi Toni, hal itu membuat kehidupannya merasa segar kembali. Saat itu Heidi bilang, “Kita sebenarnya masih punya harapan, Ton…” Sebulan menjelang kedatangan Heidi ke Bali, Toni berhubungan dengan sorang perempuan yang lain lagi. “Tetapi kali ini awalnya sebatas teman saja…” kata Toni mencoba menjelaskan. Hingga suatu malam, karena ada sebuah acara, Toni terpaksa menginap di teman ceweknya yang baru itu. Toni sudah mulai berpikir, bisa saja malam itu ‘akan terjadi sesuatu’ antara dia dan cewek kenalannya itu. oleh karena itu, buru-buru Toni mengirim sms ke Heidi dan bilang, dengan ‘nada halus’, “Heidi, aku mau makan malam sama cewek dan kemungkinan besar aku akan menginap di rumahnya. Kamu oke, enggak?” Lama, tidak ada jawaban dari Heidi. Dan hal itu dipikir Toni sebagai isyarat bahwa apa yang akan dilakukannya, tidak masalah
201
buat Heidi. Toh mereka sudah berkomitmen untuk menjalani hubungan terbuka, dan Toni saat itu sudah mengatakan apa yang kemungkinan terjadi. Malam itu, Toni tidur dengan cewek kenalannya itu. Kali ini, kata ‘tidur’ dalam arti konotatif. Paginya, barulah datang kabar dari Heidi yang berisi komplain keras, terutama Toni yang suka banget tidur dengan perempuan lain. Kali itu, Toni bukan hanya ngedrop lagi sebab ia sudah terlanjur menggantungkan harapannya untuk bisa kembali lagi dengan Heidi. Tetapi saat itu juga, ia juga bingung. Kata Toni, “Kadang-kadang perempuan itu aneh. Kalau kita terus terang, ia menyerang. Kalau kita bohong, ia marah.” Heidi memang kemudian tetap menemui Toni di Bali. Di saat itulah muncul kesepakatan bahwa mereka berdua ‘berpisah’. Soal perceraian secara legal, menurut mereka akan dibicarakan nanti. Itu perkara yang gampang. Toni sampai sekarang masih mengaku cinta dan sering kangen dengan Heidi. Sementara Heidi mengaku ia masih punya ikatan emosi dengan Toni, walaupun dalam bentuk yang lain, misalnya rasa peduli. “Kalau dia datang dengan pacarnya ke rumahku pun aku sedikit pun tidak merasa cemburu,” kata Heidi. Dan memang Toni beberapa kali, ketika Heidi sudah berada di Jakarta, sering mengajak pacarnya main ke tempat Heidi. Sementara kata Toni, dengan ia bisa akrab kembali bersama Heidi, boleh datang sesukanya di rumah Heidi dan kembali bisa berbincang dengan leluasa, itu sudah membuat hatinya gembira. Toni menegaskan perasaannya, “Ya, semacam pertautan hatilah, rasa yang akrab antara aku dan Heidi. Dan hal seperti ini sudah cukup buatku...”
202
Anaknya Tiga,
Sulung Semua
B
OB Sick identik dengan tato. Di sekujur tubuhnya, dari ujung kaki hingga wajah, semua penuh dengan tato. Tidak jarang, bagian-bagian tertentu, sebuah tato dilapisi dengan tato lagi. “Soal tato, aku selalu tidak pernah mau kalah dengan orang lain.” pengakuannya suatu kali. Karena tato itu pulalah, Bob pernah dinobatkan sebagai Presiden Tato, mengalahkan belasan orang yang lain. Tetapi jauh hari sebelumnya, Bob pernah ‘dipermalukan’ oleh seseorang berhubungan dengan tato. Saat itu, ada pentas kontes tato di kampus ISI Gampingan. Bob yang merasa dirinya saat itu sudah mengkoleksi banyak tato, sangat percaya diri kalau ia bakal memenangi kontes tersebut. Tetapi tiba-tiba muncul seseorang yang sudah cukup tua, menunjukkan diri kalau ia punya tato di pantat. Dewan juri segera memenangkan peserta yang sudah sepuh itu, karena Bob saat itu belum punya tato di pantat. Sepulang dari kontes itu, Bob segera menato penuh pantatnya, beberapa huruf di yang ia tatokan di pantatnya membentuk sebuah nama: Bob Marley. Saat demonstrasi penggulingan Suharto sedang marak, Bob dan kawan-kawannya sesama penggemar tato memberi warna tersendiri di aksi-aksi itu. ia dan kawankawannya selalu bertelanjang dada, memamerkan tato, dan selalu berada di barisan paling depan. Mereka lalu mempopulerkan sebuah slogan yang memelesetkan slogan gerakan mahasiswa saat itu, “Rakyat bersatu tak dapat dikalahkan!”, dengan menggantinya menjadi, “Rakyat bertato tak bisa disalahkan!” Selain itu, di mana-mana, entah saat berorasi di depan para demonstran, maupun saat berorasi di panggung ketika Steak Daging Kacang Ijo pentas, tampak sekali kebenceian Bob kepada aparatus keamanan negara. Dan memang, jelujur sejarah Bob tidak pernah bisa jauh-jauh berurusan dengan aparat. Urusan pertamanya dengan pihak kepolisian pertama kali terjadi saat ia digerebek bersama beberapa temannya yang
205
menghisap ganja. “Aku sempat masuk Patroli waktu itu,” kata Bob. Yang dimaksud dengan ‘Patroli’ adalah acara kriminalitas yang ditayangkan oleh sebuah stasiun swasta di Indonesia. Tetapi Bob saat itu lolos. Sebab pertama, karena ia memang tidak terbukti membawa ganja. “Aku bawa sebotol minuman keras. Tidak ada barang bukti di diriku.” Dan sebab kedua karena salah satu aparat yang menciduknya adalah adik kelasnya saat di SMA. “Jam 11 malam aku ditangkap, jam 11 siang aku keluar. Aku saat itu memang yakin kalau aku akan keluar.” Urusan Bob yang kedua kalinya dengan polisi, berlangsung lebih dramatis. Nenek Bob, yang dipanggilnya ‘mamak’, kebetulan mempunyai bisnis kos-kosan. Suatu saat si mamak bilang kepada Bob, ada salah satu anak kos yang bandel dan tidak mau membayar uang sewa kos. “Lha mamakku salah. Masak dia bilangnya ke aku, saat itu aku mabuk berat,” kata Bob. Mendengar aduan itu, Bob segera naik pitam. Ia menyengkelit badik, dan mendatangi tempat kos-kosan neneknya. Saat berada di sana, si anak kos yang bandel itu tahu, lalu ia melarikan diri. Bob kalap, kemudian ia mengobrak-abrik kamar kos anak tersebut. Rupanya, si anak kos itu mempunyai saudara yang bertugas sebagai polisi. Tahu kalau Bob melakukan pengerusakan, satu mobil polisi mendatanginya. Di situ terjadi pertengkaran yang menarik. Saat polisi bertanya mengapa Bob melakukan pengerusakan, Bob menjawab dengan santai, ia berhak merusak karena si anak kos membandel tidak membayar uang kos. Lagian sah baginya untuk merusak, karena rumah itu adalah rumah milik neneknya. Tetapi karena polisi melihat Bob menyengkelit badik, Bob dibawa ke kantor polisi. Bob mau, dengan syarat ia tidak mau naik di bak terbuka, tetapi di depan. Para polisi yang berurusan dengan Bob saat itu mengalah, Bob berad di depan, para polisi yang berada di belakang.
206
Sesampai di kantor polisi, salah satu polisi yang tidak tahu menahu urusan, tibatiba memukul Bob. Menurut Bob, sebetulnya pukulan itu tidak keras, tetapi hal itu telah menyinggung harga dirinya. Dengan segera Bob balas menggertak, “Kok gitu cara mainmu? Kamu bener berani sama aku? Ayo kalau berani, kita duel satu lawan satu, jangan main keroyokan!” Semua polisi yang berada di kantor terdiam. Mereka tampaknya mulai berpikir lain tentang seseorang yang sedang mereka hadapi. Tapi kemudian ada satu peristiwa yang membuat Bob segera dikeluarkan dari kantor polisi itu. Karena membawa badik dan seperti orang yang sedang teler, Bob diminta mencopot bajunya. Bob menurut, “Sambil pamer tato,” katanya sambil terkekeh. Lalu polisi meminta Bob mencopot celana panjangnya. Bob pun menuruti perintah polisi, ia mencopot celana panjangnya. Ternyata di dalam celana panjang itu masih ada celana panjang lagi. Polisi lalu meminta Bob mencopot celana panjang kedua. Bob pun nurut. Tetapi ketika celana panjang kedua sudah dicopot, masih ada celana panjang lagi. Segitu seterusnya, sampai semua polisi bengong karena Bob memakai celana panjang rangkap lima! Akhirnya Bob dilepas malam itu juga. Lalu tibalah Bob berurusan untuk kali ketiga dengan aparat. Kali ini, urusan itu begitu panjang, menguras energi, dan berakibat fatal pada diri Bob. Jejak urusan itu, akan dibawa Bob sampai ia mati. Suatu malam, ia menghadiri acara pementasan musik. Saat itu, Bob menjadi manajer sebuah grup musik bernama Peluru Karet. Begitu grup musiknya tampil, Bob pun naik ke pentas, “Aku kan orang pentas, kalau lihat panggung, apalagi suasana begitu liar, aku ngaceng pengin tampil.” Seperti biasa, di panggung seperti itu, Bob sealu memakimaki aparat. Puas dengan aksinya ia turun panggung, dan setelah
207
seluruh pertunjukan bubar, Bob kemudian melenggang sendiri ke sebuah pub. Pub itu cukup sering dikunjungi oleh Bob karena ia kenal dengan pemiliknya. “Saat itu, di sana sudah penuh dengan polisi. Biasa, mereka kan juga senang ngumpulngumpul dan minumminum.” Karena merasa gerah, Bob mencopot bajunya. Setelah cukup minum-minum di tempat itu, ia kemudian pergi dari sana. Naas bagi Bob, ternyata aksi buka bajunya di pub itu, menyinggung para polisi yang berad di sana. Tetapi menurut Bob, “Aku sebetulnya sudah lama diincar sejak ikut aksi-aksi ’98.” Ketika tiba di tempat yang sepi, Bob dipepet oleh serombongan orang, yang ternyata adalah para polisi. Ia dicaricari kesalahannya, kemudian dibawa ke sebuah kantor polisi. Tiba di kantor polisi, salah satu polis bertanya, “Kamu itu punya pegangan apa?” Maksud polisi, ‘pegangan’ itu serupa jimat, yang membuat seseorang menjadi pemberani dan sakti. Dasar Bob, bukannya berbaik-baik dengan polisi, ia malah menjawab seenaknya, “Ini peganganku!” katanya sambil melempar KTP-nya. Merasa dilecehkan, polisi itu lalu menonjok muka Bob. Begitu ditonjok, darah Bob naik. Ia balik menggertak, persis seperti yang ia katakan tempo dulu saat ia dipukul polisi. “Begitu ya caramu? Oke kalau itu maumu, kita duel saja satu lawan satu.” Kali itu, tantangan Bob dilayani. Hanya satu bukan satu lawan satu, tetapi satu lawan banyak. Ada setidaknya lima orang polisi yang mengeroyok Bob saat itu. Bob dipukuli, diinjak-injak, dan ditendangi. Ketika para polisi itu sudah puas menghajar Bob, dan saat itu Bob sudah pingsan, ia dibawa ke semak-semak, dibuang begitu saja. Sepeda motor yang ditumpangi Bob, ditabrakkan ke sebuah pohon, sehingga jika ada orang yang menemukan Bob, kesannya adalah kecelakaan. Tidak berapa lama Bob berada di sana, dengan masih setengah sadar, ia merasa dijemput oleh mobil patroli lain, kemudian
208
dibawa ke rumah sakit Bethesda. Di rumah sakit itu, Bob tidak sadar sampai beberapa hari. Heidi, salah satu orang yang sempat menengok Bob berkomentar, “Jelas itu bukan kecelakaan. Dan keadaan Bob benar-benar mengerikan.” Saat itu, muka Bob mencong. Beberapa giginya patah. Tulang rusuk serta tulang belakangnya mengalami cedera berat. Sampai sekarang, karena peristiwa tersebut, Bob tidak bisa bicara dengan terang karena gigi dan mulutnya remuk, dan jalannya terpincangpincang karena saraf tulang belakangnya mengalami kerusakan. “Benciku kepada aparat, setelah peristiwa itu semakin menjadijadi. Benci yang akan kubawa sampai mati!” ucap Bob dengan nada bergetar. --inung, ibu kandung Bob begitu ditelepon pihak rumah sakit kalau anaknya mengalami ‘kecelakaan’ yang parah, segera menuju rumah sakit bersama suaminya, Suharto. Sampai di rumah sakit, begitu tahu kondisi Bob, Ninung langsung lemas, “Tidak seperti manusia lagi…” komentarnya mengingat kejadian itu.
N
Di hadapan Bob yang tidak sadar dan dalam keadaan koma, Ninung berdoa, “Duh Gusti Allah, menawi lare menika saged mboten nyusahaken piyambakipun utawi kula, nyuwun diparingi gesang. Menawi lare menika badhe nyusahaken piyambakipun kaliyan keluwarga, menawi badhe Panjenengan pundhut, kula sampun ikhlas, ya Allah..” (Ya Tuhan, kalau anak itu (Bob) bisa tidak akan menyusahkan dirinya dan diri saya, saya meminta agar ia tetap hidup. Tetapi kalau ia akan menyusahkan dirinya sendiri dan keluarga, kalau memang Kamu minta, saya sudah ikhlas, ya Tuhan…) Tetapi setelah dirawat lebih dari sebulan di rumah sakit Bethesda, dan kemudian di rawat juga lewat pengobatan alternatif, Bob akhirnya sembuh, walau tidak mungkin pulih
209
seperti sediakala. Soal kesembuhannya itu, Bob hanya bisa berkata, “Kalau tidak karena doa ibuku, kayaknya aku mati…” Tetapi ketika Bob sembuh, ia sekaligus juga menangis dalam hati, karena merasa ‘hutang-hutangnya’ kepada keluarga besarnya semakin menumpuk. “Saat itu kalau tidak salah, biaya pengobatan rumah sakitku saja berjumlah 47 juta…” kata Bob. Sementara soal apakah yang menimpa Bob itu ‘kecelakaan’ biasa atau karena disiksa oleh aparat, Ninung hanya pasrah. “Saya hanya berdoa kepada Tuhan, karena itulah satu-satunya yang bisa saya lakukan. Saya meminta keadilan Tuhan. Dan saya yakin, Tuhan pasti adil. Dan saya yakin, kalau memang Bob tidak kecelakaan melainkan disiksa oleh pihak-pihak tertentu, orang-orang itu pasti sudah menanggung perbuatan yang pernah mereka lakukan.” Namun, ada hal lain yang sebetulnya membuat Ninung lega begitu Bob sembuh. “Itu artinya, ia pasti bisa berguna bagi dirinya sendiri dan keluarga…” ungkap Ninung dengan mata berkacakaca. --ub, kelab malam, atau diskotik dan berbagai tempat dalam dunia malam, memang bukan sesuatu yang asing bagi Bob. Semenjak ia lulus SMA, merasakan kebebasan yang diam-diam ia idamkan, dunia malam adalah satu dari beberapa hal seperti barang-barang memabukkan dan tato, yang segera ia cicipi.
P
Salah satu tempat yang sering dikunjungi Bob, terutama semenjak tahun 1992, adalah sebuah diskotik yang cukup ternama di Yogya saat itu: Papillon. Di sana pula, untuk kali pertama, Bob merasa jatuh cinta dengan seorang perempuan bernama Linda. Bob mengaku, ketertarikannya kepada Linda berawal dari saat Linda turun dan berjoget di lantai dansa. “Tariannya indah…” kenang Bob.
210
Bob tanpa ba-bi-bu, segera berkenalan dengan perempuan itu, dan tidak menunggu waktu lama, ia segera main ke rumah Linda, yang saat itu tinggal bersama neneknya. Kebetulan pula, salah satu tetangga Linda adalah anak ISI, dan kebetulan pula salah satu sepupu Linda juga kuliah di ISI. Jalan yang ditapaki Bob cukup lempang, dan cara yang digunakan Bob untuk mendekati Linda adalah cara khas Bob. Misalnya ia datang ke rumah itu dengan pakaian ala Superman, sesuatu yang kelak menjadi salah satu ciri Bob, yakni dengan memakai celana dalam di luar. Jadi ia memakai celana jins dulu, dan baru ia memakai celana dalam. Pakaian seperti itulah yang membuat nenek si Linda tertawa terpingkal-pingkal, dan anehnya justru mempersilakan cucu kesayangannya untuk diajak berpergian ole Bob. Mereka berpacaran mulai tahun 1993, dan setahun kemudian, Linda hamil. Bob bingung. Ia lalu datang ke tempat Ninung, ibu kandungnya. Begitu tahu masalah yang dihadapi Bob, Ninung hanya berkata, “Bob, kamu harus berlaku jantan. Kamu harus bertanggungjawab.” Akhirnya, Bob pun menikah dengan Linda. Pernikahan itu berlangsung pada awal tahun 1995. Di saat akan menikah, sudah menjadi tradisi Jawa, kedua mempelai dipingit. Sementara Linda dipingit oleh keluarganya, Bob memilih ‘memingit’ dirinya sendiri di Gampingan. “Saat itu hampir tiap hari aku mabuk. Ya wajar saja, aku selalu didera pertanyaan, betul enggak aku sudah siap untuk menikah?” Tepat di hari pernikahan, Bob malah lupa. Ia masih dalam keadaan teler akibat sisa mabuk yang malam sebalumnya ia lakukan. Ninung segera mencari Bob di kampusnya dan bertanya dengan nada keras, “Bob kowe ki sida nikah apa ora?” (Bob, kamu jadi menikah atau enggak?) Bob segera tersadar. Ia langsung sadar dari sisa telernya dan menjawab, “Sida, Bu…” ( Jadi, Bu..)
211
Linda kemudian melahirkan bayi hasil kolaborasinya dengan Bob. Bayi itu diberi nama: Bimo Chairul Setiawan. Ketika Bimo mulai lahir, Bob kemudian merasa bahwa ia ingin sembuh dari ketergantungannya dengan pil koplo dan alkohol. Apalagi, salah satu sepupunya, nyaris menguras harta keluarga karena kecanduan putaw. Kemudian Bob, meminta bertemu dengan keluarga besarnya, dan di hadapan mereka Bob bilang kalau ingin sembuh dan siap dibawa berobat ke mana saja. Akhirnya, oleh pihak keluarga, Bob dimasukkan ke sebuah pesantren di daerah Cianjur, Jawa Barat. Di pesantren itu, Bob mengaku belajar tentang kesederhanaan dan kebersamaan. “Di pesantren itu,” kata Bob, “semua makanan di ambil dari alam sekitarnya, dari sawah, ikannya juga diambil dari sawah dan sungai, petai dan sayuran juga diambil dari hasil pertanian pesantren. Dan di sana, kita makan beramai-ramai, pakai daun pisang, lalu keroyokan. Kadang-kadang lauknya sangat sederhana, hanya garam, nasi dan biji lamtorogung…” Selama beberapa bulan di pesantren, Bob benar-benar tidak mengkonsumsi alkohol dan pil koplo. Tetapi, diam-diam, jauh di dalam hatinya, ia merasa bahwa ‘kebebasan’ yang didambanya juga lenyap. “Aku seperti balik di saat menjadi murid SD sampai SMA, hanya bedanya kalau di sekolah itu, kita dipatok oleh jam pelajaran dan seragam, kalau di pesantren oleh jadwal mengaji dan salat. Sebentar-sebentar, terdengar azan, yang artinya aku harus salat berjamaah…” Pada saat yang sama pula, nalur kesenimanan Bob bangkit lagi. “Aku tidak bisa seperti ini. Aku mungkin akan memasuki dunia seperti ini kalau aku sudah tua. Bahkan mungkin aku akan membuat pesantren sendiri. Tapi saat ini, aku harus berkarya, ini saatsaat mudaku untuk melakukan pencarian dan pergulatan dalam berkarya.” Bob kemudian pamitan dengan para pengurus pesantren, bilang kalau ia sudah sembuh dan ingin balik lagi ke Yogya.
212
Sesampai di Yogya, Bob bingung. Kebetulan saat itu, tahun 1999, nama Taring Padi mulai dikenal publik. Bob ingat kalau ia punya beberapa sahabat dekat yang ikut mendirikan dan aktif di Taring Padi. Ia lalu menemui Toni, dan tinggal di Gampingan, markas Taring Padi. Setelah berada di Taring Padi, awalnya ia bisa menjauh dari alkohol dan pil koplo. Bahkan beberapa orang masih ingat, Bob selalu jika bertemu dengan orang, ia mengajak bersalaman dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum…” Tetapi ternyata, hal seperti itu tidak lama dilakukan oleh Bob. Ia, sebagaimana slogan para pecandu alkohol yang saat itu banyak mengedarkan stiker: Jauhi alkohol, tetapi jangan jauh-jauh. Bob pun akhirnya tidak bisa jauh-jauh dari alkohol dan pil koplo. Ia kembali masuk dalam dunia mabuk-mabukan. Dan hal seperti itu adalah satu dari sekian masalah yang kemudian membuat pernikahan Bob dengan Linda kandas. Mengenang perceraiannya dengan Linda, Bob berkata, “Ternyata cerai itu memang ada, ya… Dulu aku tidak membayangkan kalau perceraian itu ada. Tapi saat aku menghadapinya, baru aku tahu dan sadar, perceraian itu ada…” --ada tahun 2002, seorang penari dari Jakarta, hendak menuju ke Surabaya, lebih tepatnya ke Mojokerto untuk mengeksplorasi situs-situs peninggalan Majapahit dalam rangka sebuah proyek tarian yang sedang digelutinya. Nama penari itu Okty Budiati, tapi nama panggilannya cukup: Oik.
P
Tetapi saat itu, uangnya habis di tengah jalan. Ia tinggal punya uang beberapa ribu rupiah saat sampai di Yogya. Karena ia punya banyak kenalan di Yogya, akhirnya Oik memutuskan untuk berhenti saja di Yogya. Di Yogya, Oik mengunjungi beberapa kenalannya, dan ketika ia berada di salah satu rumah kontrakan temannya, ia melihat sebuah lukisan. Saat itu pula, Oik bilang ke temannya, “Lukisan
213
itu aku banget!” Si teman memberi tahu bahwa nama pelukisnya, Bob Sick. Dan Oik segera berkata, “Aku pengen dong kenalan sama pelukisnya…” Kesempatan Oik untuk berkenalan dengan Bob akhirnya terjadi, ketika kedua orang itu sama-sama menghadiri sebuah pembukaan pameran patung. Dan hanya selang beberapa jam, setelah berkenalan dan kemudian asyik ngobrol berdua, mereka kencan. Lalu hanya dalam beberapa hari kemudian, mereka sudah tinggal bersama dalam satu rumah. Hubungan antara Oik dan Bob berlangsung dengan naikturun. Kadang mereka mesra, bisa berdiskusi mulai dari soal tarian, lukisan dan puisi, tetapi dengan cepat mereka bisa bertengkar. Mereka bisa membicarakan tentang masa depan mereka berdua, bahwa mereka ingin membuat rumah dari batu, di bagian bawah studio Oik dan bagian atas studio Bob, tetapi sebentar kemudian mereka sudah bertengkar lagi. “Bob cemburuan, dan ia selalu melarangku keluar rumah, terutama di malam hari…” kata Oik. Sementara Bob mengaku, “Ya aku memang cemburuan. Tapi bagaimana enggak cemburuan, saat bertemu dengan banyak orang, ia bersikap mesra dengan orang lain dan aku dicuekin. Jadinya aku malah kayak obat nyamuk bagi dia dan orang itu. Kalau keluar malam, aku tidak pernah melarangnya. Aku mendukung aktivitas berkeseniannya. Aku itu seniman, tidak mungkin melarang seniman lain mengeksplorasi sesuatu…” Dan hanya kurang-lebih sebulan tinggal bersama, Oik hamil. Menurut Oik, saat Bob dikasih tahu kalau dirinya hamil, Bob malah pergi. “Saat aku hamil, yang banyak merawatku adlah anak-anak Rumah Panggung, dan pasangan Mbak Yayuk-Ugo Untoro.” “Aku tidak meninggalkannya. Aku berobat.” sergah Bob saat
214
dikonfirmasi perihal itu. Bob memang sering merasa ingin sembuh dari kecanduannya, dan ia memang sering pergi berobat, terutama lewat pengobatan-pengobatan alternatif. Kemudian Oik pulang kembali ke Jakarta. Tetapi tidak berapa lama, Bob menyusul Oik ke Jakarta. “Di depan bapakku,” ujar Oik, “Bob siap menikahiku. Tetapi aku bilang sama bapakku, aku tidak ingin menikah!” Bapak Oik tidak memberi solusi apa-apa. Ia hanya bilang, ia tidak bisa menerima kehadiran Oik dan Bob di rumahnya. Karena itu, Bob dan Oik pun akhirnya pulang kembali ke Yogya, dan mereka tinggal serumah lagi. Di saat bersama Oik itulah, Bob jarang mengkonsumsi obatobatan. Di fase itu, Bob mulai sering terlibat dalam kegiatan mural dan menjadi manajer grup musik Peluru Karet. “Tetapi aku selalu mengingatkannya agar ia jangan sampai lupa melukis. Aku sangat tahu, melukis adalah hidup Bob.” papar Oik. Saking besarnya keinginan Oik agar Bob kembali melukis di atas kanvas, ia sering datang ke tempat Ugo Untoro dan Putu Sutawijaya untuk meminta kanvas. “Begitu Bob tahu kalau aku suka meminta-minta, ia marah sekali. Tetapi aku enggak peduli. Aku hanya ingin Bob melukis. Dan akhirnya, ia memang mempergunakan kanvas-kanvas itu untuk melukis.” Sementara masih dalam keadaan hamil, Oik melakukan pementasan tari di Kedai Kebun dengan judul ‘Belahan Jiwa’. Di dalam tarian itu, Oik menari dengan setengah telanjang. “Begitu Bob melihat tarian itu, ia marah dan merasa malu, mungkin. Ia lalu pergi dan tidak pernah nongol sampai beberapa saat.” Sedangkan Bob punya versi yang lain, “Enggak, enggak mungkin aku seperti itu. Aku bahkan bilang: kenapa enggak telanjang bulat sekalian? Kan tanggung, masak masih memakai celana dalam?” Pertengkaran-pertengkaran antara Oik dan Bob, masuk dalam
215
taraf yang mengerikan. Kalau sudah bertengkar, kata Oik, sumpah serapah Bob meluncur, “Mulai dari kata ‘pelacur’ sampai seluruh isi kebun binatang diabsenin semua…” Bahkan mereka juga sering terlibat adu fisik. Awalnya Oik yang memukul Bob, lalu Bob membalas. Mereka kemudian saling memukul. Tetapi seperti yang sudah-sudah, dalam jangka beberapa menit setelah itu, mereka bisa berpelukan dan berciuman. Bob menolak keras kalau ia dibilang sering berkalahi secara fisik dengan Oik. “Sekali saja, aku belum pernah memukul atau menamparnya…” papar Bob. Bahkan percekcokan itu sampai pada taraf yang ‘mengerikan’. Kemudian sering sekali, jika mereka bertengkar, Oik memecah gelas atau botol, dan menyileti tubuhnya, terutama di bagian tangan dan kaki. “Bob hanya diam dan menunduk, lalu membersihkan bercak darahku di lantai. Kemudian ia pergi.” Menurut Oik, jika sudah seperti itu, Bob hanya bilang kalau dirinya tidak tahan hidup dengan Oik. Menurut Oik, Bob menganggap Oik lebih gila dari Bob karena saat Oik ‘gila’ itu dilakukan dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan mabuk. Di saat hubungan antara Bob dan Oik yang semakin memburuk itulah, Bob mengalami ‘kecelakaan’ yang membuatnya tidak sadar berhari-hari, dan harus menjalani pengobatan berbulan-bulan ke berbagai tempat. Pada saat Oik sedang mengunjungi Bob di rumah sakit, ia bertemu dengan Ninung, ibu kandung Bob. Ninung kemudian bertanya, siapa anak yang sedang dikandung oleh Oik? Saat itu, kata Ninung, Oik menjawab kalau itu bukan anak Bob. “Jadi ya wajar, kalau kemudian saya tidak pernah menganggap kalau anak itu cucu saya.” ujar Ninung. Tetapi Bob mengakui kalau itu anaknya. “Ibuku boleh bilang kalau itu bukan cucunya. Itu hak ibuku. Tapi aku menganggap
216
bayi yang dikandung Oik adalah calon anakku.” Bayi itu kemudian diberi nama: Jembar Aji Kalangkuan. “Nama itu pun bukan pemberian Bob, satu-satunya kontribusi nama atas bayi itu diberikan Bob berupa nama panggilan saja, sebab anakku kemudian dipanggil Bob dengan sebutan: Panji.” Dan selama Oik melahirkan sampai Panji lahir hingga berumur beberapa bulan, Bob tidak pernah menengoknya. “Bagaimana aku bisa menengoknya? Aku saja hampir mati. Berbulan-bulan aku hanya bisa mengurusi diriku supaya aku bisa sembuh. Justru keinginanku untuk sembuh, salah satunya agar aku bisa melihat Panji!” bantah Bob soal peristiwa itu. Pertengkaran Bob dan Oik semakin sering terjadi, apalagi saat Bob sudah mulai sembuh, namun ia hanya bisa berad di dalam rumah karena belum bisa berjalan. “Bob semakin melarangku untuk berpergian, padahal aku yang merawatnya. Bob itu masih seperti orang Jawa pada umumnya, istri harus di rumah untuk melayani suami. Aku sendiri pusing, di satu sisi harus merawat Panji, di sisi yang lain harus merawat Bob.” Sedangkan menurut Bob, Oik sudah mulai suka berkencan dengan laki-laki lain, dan Oik sering memanas-manasi Bob. Pernah suatu ketika, Oik bilang kalau ia ‘selingkuh’ dengan Teddy. Mendengar hal itu, tanpa pikir panjang Bob mencari Teddy yang kebetulan berada di rumah Ugo Untoro. Segera Bob mendamprat Teddy. Saat itu Teddy hanya diam. Tapi setelah peristiwa itu, Bob berpikir, ia kenal betul Teddy, terutama kalau Teddy mabuk, memang ia sering merayu dan genit terhadap perempuan. Dan jika Oik tidak meresponsnya, pasti tidak terjadi apa-apa. Baru kelak kemudian Oik mengaku, memang ia tidak melakukan apaapa dengan Teddy, sebatas berpelukan dan berciuman saja. Dan hal seperti itu sudah biasa dia lakukan kepada kuartet seniman yang dikenalnya: Bob, Teddy, Ugo dan Toni. “Aku agak menyesal telah marah sama Teddy. Dia hanya dimanfaatkan oleh Oik saja. Untung saat itu Teddy hanya diam,
217
kalau dia membantah, urusannya bisa tambah panjang…” kata Bob. Oik merasa, hubungannya dengan Bob sangat menyakitkan hatinya. Dan untuk mengenang itu, ia membuat tato di payudara sebelah kirinya. “Yang mau menato tidak berani, karena saat itu aku sedang hamil tua, dan aku menato di payudaraku. Tapi aku mendesaknya. Akhirnya si penato meminta agar Bob ikut menyaksikan saat aku ditato. Bob pun setelah kupaksa akhirnya mau. Aku menato ular melingkari puting payudaraku, tubuh ular itu ular biasa, tetapi kepala ular itu berbentuk kepala naga.” Bagi Oik, Bob menyimpan hal-hal yang kontradiktif. Bob ingin menjadi seniman yang liar dan bebas, sementara hal itu tidak berlaku buat pasangannya. “Enak di dia, enggak enak di aku, dong…” Lebih lanjut, menurut Oik, Bob masih setengah-setengah dalam hal keliaran. “Liarnya hanya kalau ia mabuk. Lagi pula, aku sering bertanya, bagaimana sikapnya atas lukisannya dan kanvasnya jika ia tidak sedang mabuk?” Selama bersama Bob, Oik merasa ‘jauh’ dari dunia panggung. Tetapi setelah mereka berjauhan, dan Oik kembali intens menggeluti dunia panggung, pengalamannya selama berhubungan dengan Bob itulah yang membuat Oik menghasilkan karya tari dengan judul: Fragile. Karya itu dipentaskan di Solo, Yogya, Riau dan Jakarta. Untuk kali itu, Oik benar-benar menari dengan telanjang bulat. Bagi Oik, kisahnya dengan Bob cukup sudah. Tetapi ia mengakui, seluruh jejak yang ia alami bersama Bob tidak mungkin hilang dari dirinya, untuk selama-lamanya. “Ya, seperti ada jejak Bob yang terus ada di diriku. Di didriku ada: Bob dan hal-hal yang tidak selesai…” kata Oik, dan kalimat terakhirnya itu pelesetan dari sebuah judul buku karya Gunawan Mohamad: Tuhan dan Hal-hal yang Tidak Selesai. ---
218
P
ada tahun 2007, Bob menggelar sebuah pameran tunggal di Gampingan, bekas kampus ISI lama yang kemudian berubah menjadi Yogya National Museum. Pameran itu diberi tajuk ‘Happy Birthday NIN’. Kata ‘NIN’ adlah singkatan dari Naomi Intan Naomi, yang di dunia tulis-menulis lebih dikenal dengan nama Omi Intan Naomi, kakak kandung Bunga Jeruk. NIN memang sosok yang sangat dikagumi oleh Bob. Saat mempersiapkan pamerannya itu, selama hampir dua bulan, Bob tinggal di Gampingan, selain untuk menyerap energi kreatif yang konon sangat besar di tempat itu, juga menurut Bob untuk ‘menguasai medan tempur’. Selama di tempat itulah, Bob ditemani seorang perempuan bernama Widi. Selama proses melukis di Gampingan itu, Widi adalah rekan Bob yang menemani dalam hal segalanya. Hubungan Widi kemudian berlanjut ke jenjang pacaran, dan kemudian Widi hamil. Mereka lalu berencana untuk menikah di pertengahan tahun 2008. Dan jika kelak anak Widi hamil, berarti Bob punya tiga anak, dan ketiganya merupakan anakanak sulung. “Widi ingin anakku bernama Bintang. Hanya Bintang saja,” kata Bob, “tapi kalau aku kelak ingin agak nakal, bisa saja kutambahi nama anak itu menjadi: Bir Bintang.”
219
Jari Kelingking
dan Rasa Bersalah
S
UNARMI, ibu Teddy, merasa punya perasaan yang kuat kepada anak-anaknya, terutama kepada Teddy. Setiap kali ‘terjadi sesuatu kepada Teddy’, perasaannya selalu tidak enak. Karena jarak yang jauh, baik ketika ia masih tinggal di Blora kemudian pindah ke Kudus dan kemudian saat Siradz sudah pensiun kemudian keluarga itu menetap di Semarang, Sunarmi hanya bisa berdoa kepada Tuhan. Tetapi kalau perasaan tidak enak itu sudah sangat kuat, ia biasanya kemudian memutuskan untuk pergi menengok Teddy di Yogya. Pernah suatu saat, bersama Samuel, ia menengok Teddy ke Yogya. Lagi-lagi, karena ada arus mendesir di hatinya, mengatakan sesuatu sedang menimpa Teddy. Benar, ketika sampai di Yogya, dan saat ia masuk ke rumah kontrakan Teddy, rumah itu tampak sepi, singup, dan berantakan. Di antara remang cahaya yang menerobos dari sebuah jendela, Sunarmi melihat Teddy sudah tergeletak, hampir tidak sadarkan diri. Teddy hanya bisa mengigau pelan. Ternyata saat itu, lagi-lagi Teddy depresi, tidak makan berharihari dan hanya mengkonsumsi alkohol. Tubuhnya nyaris tak dapat berhadapan dengan dunia pikirannya sendiri. Dengan digotong oleh Samuel, Teddy dibawa ke rumah sakit lagi, dan saat konsisinya sudah pulih, Teddy diperiksakan ke Puri Nirmala, sebuah klinik yang cukup ternama di Yogya khusus bagi mereka yang punya penderitaan psikis. Puri Nirmala adalah klinik yang menjadi langganan baik Teddy maupun Bob, masing-masing mereka, setidaknya pernah tiga kali keluar-masuk klinik tersebut. Kelak, dalam suasana yang lebih nyaman, mereka sering mengejek sebagai sesama alumni Puri Nirmala. Mengalami berkali-kal kejadian seperti itu menimpa Teddy, Sunarmi dan Siradz hanya bisa pasrah dan berdoa. “Tetapi saya yakin,” kata Sunarmi, “Teddy pasti akan sembuh. Pasti. Pasti akan tiba saat Tuan mengulurkan tangan-Nya, entah lewat apa…” “Sebagai orang tua, hati siapa sih yang tidak prihatin dengan
223
kondisi anaknya yang seperti itu?” tutur Siradz, “tetapi kami ini jaraknya terlalu jauh dengan Teddy, dia di Yogya. Tapi kalaupun dekat pun, belum tentu bisa berbuat apa-apa. Anak itu punya jalan masing-masing, yang tidak bis dikontrol oleh orang tua. Tetapi dari dulu kami percaya, Teddy itu hadir ke dunia karena kehendak Tuhan Yesus, Tuhan pulalah yang akan mengatur hidupnya.” “Saya berharap satu saja, Teddy tidak jauh-jauh dari gereja,” lanjut Sunarmi, “kalau bisa ia jangan sampai jauh dari rumah Tuhan. Begitu saya tahu kalau Teddy sudah semakin jauh dari rumah Tuhan semenjak ia berada di Solo, setiap saat, setiap hari saya selalu berdoa khusus buatnya.” Siradz menambahkan, “Dan pada akhirnya kami mendapat kesimpulan, bahwa kelak tangan Tuhan yang terulur untuk Teddy, hanya bisa lewat seorang perempuan yang kelak menjadi istrinya. Kami berdua sangat meyakini hal itu.” --ampaknya, yang mengkhawatirkan Teddy bukan hanya kedua orangtuanya, tetapi juga Bonyong Munni Ardhi. Semenjak Teddy pindah dari Solo ke Yogya, ia selalu memantau perkembangan Teddy, dan setiap ada kesempatan, ia selalu mendatangi Teddy ke Yogya. “Teddy itu punya pemikiran yang brilian. Sebagai seorang perupa, dia itu luar biasa. Tapi aku tahu, pergolakan pikiran dan batinnya pastilah keras. Dan hal itu bisa membahayakan jiwanya. Apalagi Teddy suka mengkonsumsi barang-barang yang memabukkan.”
T
Pernah suatu saat, ketika Bonyong datang ke Yogya, ke rumah kontrakan Teddy, darahnya segera terkesiap begitu melihat lukisan-lukisan Teddy. Dan Bonyong langsung mengudar katakata, meminta Teddy segera mengakhiri cara melukisnya yang seperti dilihat Bonyong saat itu. Pada waktu itu, Bonyong melihat Teddy melukis di atas kanvas, tetapi yang dilukis hanya di pojokpojok tertentu, dengan objek-objek yang sangat kecil.
224
“Aku punya pengalaman persis seperti itu dengan beberapa temanku sesama pelukis. Persis apa yang dilakukan oleh Teddy. Dan aku bisa menandai dengan baik, semua temanku yang melakukan hal itu, kena depresi akut. Aku meminta Teddy menghentikan cara melukis seperti itu. aku bilang saat itu: Teddy, kamu tidak bisa seperti ini! Kamu itu masih muda, kamu penuh bakat, jangan rusak dirimu untuk hal-hal seperti itu!” kata Bonyong. Kekhawatiran Bonyong sampai lama terjadi, terlebih ketika Teddy mulai dikenal sebagai salah satu pelukis yang menjanjikan, dan karya-karya Teddy mulai laku. “Ia semakin sering mabuk. Dan aku juga mendengar, beberapa kolektor yang nakal sengaja memberikan barang-barang memabukkan untuk Teddy. Itu kelakuan yang kurang ajar. Aku juga bilang saat itu ke Teddy: Ted, kamu diperalat oleh kolektor-kolektor yang jahat. Pintarpintarlah memilih kolektor. Sebab kolektor yang jahat itu sebetulnya tidak pernah perhatian sama kamu. Yang mereka pikirkan adalah membeli karyamu sebanyakbanyaknya lalu dapat untung yang besar. Bahkan mungkin jika kamu mati, mereka akan senang. Sebab karyamu jadi mahal!” Bonyong bahkan ingat persis, saat ia ‘menceramahi’ Teddy soal itu, di rumah kontrakan Teddy tergeletak salah satu pelukis. Orang itu tidur dalam waktu yang sangat lama. “Aku itu bertemu dengan Teddy jam 9 pagi, dan baru selesai ketika hari mulai malam. Anak yang tergeletak itu, bergerak pun tidak. Dari sana aku tahu, Teddy pun sebetulnya tidak jauh-jauh dari hal seperti itu.” Menurut Bonyong, “Mabuk itu boleh, tetapi sekali-kali saja. Tidak terus-menerus. Kalau pas ada pembukaan pameran atau pas ada pesta, silakan saja. Tetapi kalau tiap hari mabuk, bagaimana bisa berkarya?” ---
225
S
ementara itu, Teddy mengaku, ia gampang depresi. Setiap kali ia putus cinta, ia selalu depresi. Setiap kali mau pameran, ia juga depresi. Dan setiap kali ada sesuatu yang ia pikirkan secara mendalam, ia pun depresi. “Kalau pameran tunggal, apalagi jika tidak ada kuratornya, aku stres berat,” begitu pengakuan Teddy, “apalagi di awal-awal aku mulai pameran tunggal. Saat itu, aku msaih sangat idealis, pameran tunggal itu bukan hanya sekadar memajang karya. Tetapi harus menampilkan hal-hal termutakhir yang ada di diriku. Harus ada pernyataan dan pemikiran baru di seni rupa, atau paling tidak mengisi perkembangan seni rupa pada umumnya. Kalau tidak, ngapain aku harus pameran tunggal? Hal-hal seperti itulah yang sering membuatku stres.” Sebagai contoh, adalah saat Teddy awal-awal menggelar karya instalasi. Beginilah pengakuannya, “Waktu itu aku sering meras enggak pede (percaya diri), sebab karya instalasi belum begitu populer di sini. Dan aku juga sadar, pemahamanku terhadap apa itu karya instalasi juga belum penuh. Waktu itu yang ada di pikiranku hanyalah, aku ingin menggarap karya itu. Lalu aku juga berusaha untuk mencari tahu apa itu seni instalasi. Aku banyak cari bahan bacaan dan bertanya ke banyak orang. Tetapi saat itu tidak memuaskanku. Dan hal itu membuatku semakin enggak pede. Terus ada ketakutan aku akan diserang dan dikritik. Padahal kenyataannya ya enggak sejauh itu…” Lalu, Teddy mencoba merefleksikan, setelah beberapa tahun, mengapa ia selalu stres jika akan melakukan pameran. Dan beginilah kesimpulannya, “Aku itu keliru. Kalau aku akan pameran, terutama pameran tunggal, aku berhenti tidak menyentuh alkohol. Itu keliru besar. Sebab apa, karena kalau aku tidak minum, pikiranku akan terus bergerak dan tertuju ke karyakaryaku. Aku tidak bisa beristirahat, dan akhirnya tidak bisa tidur sampai berhari-hari. Itu salah. Harusnya aku tetap minum. Sehingga aku bisa tidur. Dan setelah bangun tidur aku bisa fresh lagi.”
226
Kalau sudah stres berat, biasanya Teddy hanya diam, tidak bisa bertemu dan berkomunikasi dengan orang. Dan biasanya ia tidak mau makan sampai berhari-hari. Hal seperti itulah yang kemudian sering membuatnya masuk Puri Nirmala. Menurut Teddy, “Kalau aku sudah seperti itu, hanya ada dua orang yang bisa kudengarkan, Pak Bonyong dan Dadang Christanto.” Selain panik karena pameran, hal lain yang sering membuat Teddy stres adalah saat ia mengalami pemikiran yang disebutnya sebagai ‘pemikiran yang terlalu mendalam’, atau kadang-kadang ia bilang sebagai ‘rasa bersalah’. Hal itu pulalah yang membuat Teddy berani mengambil keputusan agak gila, ia memotong jari kelingking tangan kirinya dengan kampak sampai putus! “Saat itu,” kenang Teddy, “teman-teman sibuk berdemonstrasi. Sementara aku hanya tinggal di rumah terus. Karya-karyaku semakin laku. Aku mulai berpikir, alangkah kurang ajarnya aku. Sementara di luar teman-temanku terus bergerak menghadapi ancaman aparat, aku di rumah enak-enak melukis dan mulai menikmati uang hasil lukisanku.” Kemudian Teddy melanjutkan kisahnya, “Akhirnya suatu hari, aku kan punya beberapa anjing. Setiap pagi, aku selalu mencacah-cacah daging dengan kampak untuk makan anjinganjingku, dan ya sudah… karena aku stres, kukampak sekalian saja kelingkingku.” Berita soal Teddy yang stres dan memotong jari kelingkingnya dengan segera menyebar ke banyak tempat. Hamcrut dan Jemek berkomentar hampir sama, Teddy terlalu sensitif, padahal sebetulnya ia mempunyai kontribusi yang besar bagi dunia pergerakan saat itu. Mulai dari memberi bahan-bahan untuk seni peristiwa, memberikan lukisannya, dan Teddy paling sering menyumbang uang untuk berbagai acara kebutuhan demonstrasi saat itu. Barulah ketika Teddy mulai kembali main ke Gampingan, di sana ia bertemu dengan Kiswondo dan Coki Nasution, dua orang
227
anggota komunitas Taring Padi. Mereka berdua lalu memberi semangat ke Teddy, intinya, Teddy tidak perlu merasa bersalah, dan ia masih ditunggu karya-karya terbaiknya muncul di depan publik. Mendengar hal itu, Teddy mulai merasa tenang. Tinggal satu lagi yang tersisa, yang penting untuk diketahui, satu hal lagi yang membuat Teddy sering stres adalah saat ia putus hubungan dengan pacar-pacarnya. --epresi berat yang nyaris merenggut nyawa Teddy terjadi saat ia mengalami kegoncangan hubungan dengan Rita Oetters. Goncangan kedua, yang berhubungan dengan putus cinta, dialami Teddy saat ia diputus oleh pacarnya yang lain, Bunga Jeruk.
D
Bunga mulai dekat dan kemudian menjalin hubungan kasih dengan Teddy pada tahun 1997, saat itu, Bunga sudah lulus dari kuliah. Menurut Bunga, saat itu Teddy sudah sering mengirim salam buat dirinya lewat teman-teman Teddy. Kemudian, Teddy mulai sering main ke tempat Bunga. Tetapi menurut Bunga, “Saat awal-awal Teddy main ke rumahku, ia tidak pernah berani sendirian. Pasti ada yang mengantarnya. Tetapi yang paling sering mengantar Teddy itu Toni, bahkan mereka sering ke tempatku dengan membawa becak.” Mungkin becak yang dimaksud oleh Bunga adalah becak yang dibeli secara saweran oleh Teddy dan Toni untuk Susilo, tukang becak kawan dekat Wiji Thukul yang kemudian disuruh tinggal di tempat Teddy dan Toni, sekalian biar bisa belajar melukis. Selain Teddy mulai dekat dengan Bunga, Teddy juga dekat dengan kakak kandung Bunga, Omi Intan Naomi, yang saat itu satu rumah dengan Bunga. Dan dengan Omi pula, Bunga berkonsultasi soal Teddy yang mendekatinya. Saat itu, menurut Bunga, Omi berkata, “Ya sudah sama Teddy saja. dia kayakanya anak yang baik.”
228
Bunga kemudian sering jalan sama Teddy, dan mereka pun berpacaran, walaupun tidak ada kata lisan yang menegaskan hal itu. Tetapi pernah suatu saat, Teddy meminjam sepeda angin milik pacar Omi. Tapi saat mengembalikan sepeda itu, Teddy tidak segera memasukkan sepeda ke dalam rumah, melainkan hanya diparkir di halaman rumah, dalam kondisi tidak terkunci. Sepeda itu kemudian hilang. Dan Teddy terpaksa menggantinya. Pada saat itu, harga sepeda angin bukan hanya masih mahal, tetapi persoalannya adalah kondisi ekonomi Teddy pun belum begitu jelas, kadang punya uang, dan kadang tidak. Jemek masih mengingat persitiwa itu dengan baik. Sebab paginya, Teddy langsung datang ke tempat kos jemek, kemudian rebahan di tempat tidur, sambil sesekali menempelak keningnya sendiri, lalu Teddy bercerita, “Apes, aku ngilangin sepeda pacar Omi…” Awal-awal jalan bareng, menurut Bunga, Teddy belum sering mabuk. “Mungkin karena itu awal pacaran, ya. Kayaknya dia perlu jaga imej.” tutur Bunga. Tetapi lama-kelamaan, Teddy semakin sering mabuk. Bahkan sempat membuat ulah di sekitar rumah kontrakan Bunga dengan menantang berkelahi anak-anak mahasiswa dari Palembang yang saat itu mengontrak bareng satu rumah, tidak jauh dari rumah kontrakan Bunga. “Untung aku bisa menjelaskan, dan untung mereka mengerti…” kata Bunga, “bahkan salah satu dari mereka merawat Teddy yang sedang mabuk berat saat itu.” Tetapi menurut pengakuan Bunga, saat ia sudah mulai agak lama berpacran dengan Teddy, ia yakin kalau dirinya tidak akan menikah dengan Teddy. Saat ditanya alasannya, Bunga berkata, “Ya bagaimana, kalau dia cinta sama aku, harusnya dia tidak mabuk dong. Dia tahu aku tidak suka kalau dia itu mabuk. Lalu, Teddy menurutku punya kecenderungan sakit jiwa. Dia gampang banget tiba-tiba benci sama orang tanpa alasan yang jelas. Dan tiba-tiba pula suka dengan orang yang sama, juga tanpa alasan yang jelas.”
229
Selain hal di atas, Bunga sering mendapati Teddy punya kelakuan yang ‘aneh’. Bunga mencontohkan, saat itu Teddy punya anjing, dan menurut Teddy banyak orang yang tidak suka dengan anjingnya. Lalu hampir tiap saat, menurut Bunga, Teddy seperti mendengar ‘suara-suara asing’ seperti suara-suara orang yang hendak membunuh anjingnya. Selama hampir empat tahun Bunga dan Teddy berpacaran, Bunga berkali-kali mendapati Teddy masuk ke Puri Nirmala. Bahkan saat berpacaran dengan Bunga pulalah, Teddy memotong jari kelingkingnya. Kalau ditanya soal perasaan Bunga saat itu dengan mengalami Teddy yang keluar masuk Puri Nirmala, Bunga hanya berkomentar singkat, “Ya aku cuek saja. Bahkan aku sempat mengajak ibuku untuk menengok Teddy di Puri Nirmala, biar ibuku tahu seperti apa pacarku, sehingga kemungkinan besar walaupun ia demokratis terhadap anak-anaknya, ia pasti tidak setuju kalau aku menikah dengan Teddy.” “Saat itu, aku hanya bilang dalam hati,” ungkap Bunga, “Ya wis karepmu Ted, kalau mau edan ya edanlah sendiri.” Dan ada satu lagi yang membuat Bunga merasa tidak nyaman dengan Teddy. Kata Bunga, “Teddy itu kalau mabuk genit. Sering godain perempuan lain. Dia itu sebetulnya play boy.” Hingga suatu saat, Teddy pergi ke luar negeri selama dua bulan, tepatnya di Jerman. Di saat itulah, Bunga merasa, “Lho kok hidupku nyaman banget saat tidak ada Teddy?” Peristiwa itu terjadi pada tahun 2001. Lalu Bunga berkonsultasi dengan Omi, ia ingin memutuskan Teddy saat itu pula, saat Teddy tidak ada di Indonesia, karena di saat itu, hampir tiap malam Teddy selalu telepon Bunga. “Maksudku, biar tak putusin sat dia berada di Jerman. Biar langsung selesai utusannya.” Tetapi Omi keberatan. Menurut Bunga, Omi saat itu bilang, “Kalau mau mutusin ya jangan lewat telepon. Langsung saja. Ya
230
sudah, tunggu saja sampai Teddy pulang.” Bunga pun menuruti nasihat kakak kandungnya. Begitu pulang ke Indonesia, dari bandara, Teddy bukannya pulang ke rumah kontrakannya, melainkan datang ke rumah kontakan Bunga. Saat itu, Bunga sudah tinggal sendirian, karena Omi sudah menikah dengan seorang laki-laki keturunan Polandia tetapi tinggal di Jerman. Sekalipun suami Omi cukup jarang tinggal di Indonesia, tetapi Omi kemudian memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri, tepat di depan rumah kontrakan Bunga, hanya dipisah oleh sebuah jalan yang tidak begitu ramai. Saat Teddy datang, ia benyak membawa oleh-oleh, dan tentu saja banyak bercerita soal pengalamannya selama di Jeman. Saat itu, Bunga berpikir, mungkin ia akan memutus hubungannya dengan Teddy beberapa hari lagi, karena kalau saat itu juga, kesannya serba mendadak. Namun kemudian Bunga mengurungkan niatnya, dan di saat itu juga, Bunga ngomong ke Teddy, hubungan mereka putus saja. Teddy langsung kaget, bingung, linglung, dan hanya selalu bisa bertanya, “Salahku apa?” Bunga memaklumi respons Teddy, sebab selama 4 tahun berpacaran, sekalipun sering ribut, mereka belum pernah terlibat dalam satu peristiwa yang membuat salah seorang di antara mereka bilang putus. Itu adalah kali pertama Bunga bilang putus. Malam itu, Teddy tidak mau pulang. Ia berada di rumah Bunga, tidak tidur. Dan berjalan mondar-mandir, sambil sering bertanya ke Bunga yang saat itu sudah mengunci dirinya di dalam kamar, “Bunga, salahku apa?” Tetapi paginya, ibu Bunga dartang dari Solo. Akhirnya, karena ibu Bunga datang, Teddy segera pergi, mengangkat kopernya. Teddy tetap belum bisa menerima keputusan Bunga untuk menghentikan huubngan mereka. Teddy sering datang, sering telepon, bahkan ia pernah dini hari datang ke rumah Bunga,
231
menggedor-gedor pagar, sambil memanggil-manggi Bunga. Saat itu, Bunga menelepon tetangganya yang bernama Pak Iwan. Kebetulan Bunga kenal akrab dengan Pak Iwan yang sering numpang baca koran di rumah Bunga. Bunga segera bilang, “Pak Iwan, itu lho Teddy datang. Suruh pulang saja.” Bunga yang saat itu belum tidur, segera mendengar percakapan antara Pak Iwan dan Teddy di luar. Pak Iwan bertanya, “Ted, kamu ngapaian malam-malam ke tempat Bunga?” Teddy bilang, “Anu Pak, mau ngajak Bunga datang ke pameran.” Lalu Pak Iwan segera bilang, “Pameran apa jam tiga pagi begini. Sudah kamu pulang saja.” Akhirnya Teddy pun pergi dari rumah Bunga. Karena Teddy terus mendesak Bunga, dan belum bisa menerima keputusan bahwa mereka berdua tidak berpacaran lagi, akhirnya Bunga meminta Omi memfasilitasi kedua orang itu untuk mencoba berdialog. “Tapi dialog itu buntu,” ujar Bunga, “engak nyambung. Misalnya, karena waktu dialog itu berlangsung acara teve menyala, aku mengomentari salah seorang artis yang ternyata enggak bisa berbahasa Inggris dengan baik, eh Teddy tersinggung. Dipikirnya, aku sedang menyindir dia.” Dialog menemui jalan buntu. Teddy masih terus berusaha untuk mendekati Bunga sampai beberapa saat yang cukup panjang. Tetapi bunga tetap bergeming. --heresia Agustina Sitompul, sesuai dengan namanya, ia keturunan Batak. Tetapi sejak kecil, ia hidup di daerah Jawa Timur, karena bapaknya bertugas sebagai kepala kehutanan di daerah Gunung Arjono. There, nama panggilan perempuan itu, sejak kecil suka menggambar dan suka ikut perlombaan, “Tetapi aku tidak pernah menang.”
T
Ketika lulus kuliah, ia memutuskan untuk masuk ISI. Selain
232
karena suka menggambar dan hal-hal lain yang berbau seni, ada pemicu lain. Salah satu kakak perempuan Tere, pacaran dengan anak ISI. Karena itu, kakak perempuan There ssesekali bermain ke Yogya. Suatu saat, si kakak pulang dan membawa oleh-oleh katalog pameran Erika. There suka sekali dengan katalog itu, dan ia semakin mantap untuk masuk ISI. Tetapi bapaknya bilang, “Ngapain kamu masuk sekolah seni?” Tetapi There mengangap pertanyaan bapaknya itu hanya angin lalu saja. There segera mendaftar ISI dengan mengambil jurusan seni grafis, dan ia diterima. There masuk ISI pada tahun 1999. Saat awal berad di Yogya, There cukup sering bermain di Gampingan, di sana pula, ia mulai tahu ada seorang seniman bernama Teddy, dan sempat beberapa kali melihat pementasan Steak Daging Kacang Ijo. “Mengerikan kalau pentas. Teddy, vokalisnya, pernah buka celana di atas panggung. Ia juga pernah terjatuh dari panggung saking pencilakan-nya, sampai mulutnya nyonyor. Bahkan aku beberapa kali sempat melihat Teddy tidur di pasar dan di pinggir jalan karena saking mabuknya.” Saat itu, menurut There, ia tidak punya ketertarikan dengan Teddy. Hanya saja sempat berpikir, “Kalau aku punya suami kayak gitu kelak, gimana ya?” There seorang perempuan yang mandiri. Ia jarang dikirimi duit oleh bapaknya, tetapi ia tidak pernah mengeluh, “Pekerjaaan apa saja kulakukan supaya aku bisa dapat uang. Mulai dari jadi jaga pameran, ikut event organizer, tetapi yang paling menyelamatkanku adalah aku selalu dapat beasiswa. Pokoknya kalau ada beasiswa apapun itu, selalu kuburu.” Teddy saat itu, sudah menjadi buah bibir di angkatan There, Teddy dengan polah tingkahnya yang ugal-ugalan dan liar, tetapi dahsyat di dalam berkarya, membuat temanteman There selalu menyebut nama Teddy. Tapi There sendiri baru mengagumi karya Teddy saat melihat karya instalasi Teddy yang berbentuk kepala manusia yang ada rodanya. “Bocah ini jenius,” batin There saaat
233
itu. Hingga kemudian, suatu hari, karena kenal dengan Ucup Taring Padi, yang saat itu baru menyelesaikan tugas akhirnya, sengaja saat akan kuliah di ISI Sewon, There mampir ke tempat Ucup untuk mengucapkan selamat. Di saat itu, ada Teddy yang sedang nongkrong di tempat Ucup. Begitu melihat ada There, Teddy dengan gayanya yang sok cuek berteriak, “Hei There, pacaran yuk!” There hanya sempat menoleh sekilas ke arah Teddy, lalu bilang dengan tidak kalah cueknya, dengan logat Jawa Timurnya yang kental, “Gah aku lek pacaran, lek rabi wae piye?” (Tidak mau aku kalau hanay berpacaran, bagaimana kalau menikah saja?). setelah berkata begitu, There melenggang pergi, seperti tidak terjadi apaapa. There kemudian bertemu dengan Teddy lagi saat mereka berdua sama-sama datangke sebuah acara pameran. Saat itulah, Teddy meminta nomor telepon genggam There, dengan alasan yang menurut There tidak jelas. “Alasan ndakik-ndakik khas laki-laki,” kata There. Tapi There akhirnya memberi juga nomor teleponnya, dan ternyata Teddy sudah punya. “Arek gendheng!” komentar There saat itu, sudah punya nomor teleponnya kok masih minta. Semenjak itu, Teddy sering menelepon There, mulai dari mengajak melihat truk yang baru saja dibelinya, sampai mengajak makan malam. Tapi There tahu persis, kalau Teddy menelepon, berarti Teddy sedang mabuk. “Kalau enggak mabuk, enggak mungkin dia berani nelepon aku,” ujar There. Tapi There saat itu lebih sering menolak ajakan Teddy, sebab di saat seperti itu, biasanya ia sedang punya banyak kesibukan. Kemudian Teddy mulai sering datang ke tempat There, tetapi seperti halnya saat ia mulai datang ke tempat Bunga, Teddy tidak pernah sendirian. Ia selalu membawa teman.
234
Kadang-kadang, Teddy juga benar-benar bertemu dengan There di saat acara-acara tertentu. Menurut pengakuan There, “Kalau pas saat seperti itu, Teddy enggak mabuk, dia engak berani menyapaku. Pas aku pulang, baru dia kirim sms: There, kamu tadi keren banget! Kalau sudah ngomong gitu terus kujawab: Gombal!” Akhirnya hubungan mereka berdua semakin dekat, terutama saat Teddy terlibat dalam sebuah pameran dengan tajuk ‘Broken Mirror’ di Galeri Langgeng Magelang. There datang juga di pameran itu. Saat berada di sana, Teddy semakin sering berkomunikasi dengan There. Bahkan suatu saat, There diajak Teddy ke Semarang, menengok orangtua Teddy yang saat itu sudah pindah ke Semarang. Di dalam bis, Teddy bilang, “Aku ngajak kamu ini gak ada maksud apa-apa, lho. Bukan untuk ngenalin calon menantu ke mertua.” Mendengar kalimat Teddy, There membalas dengan tak kalah cueknya, “Sayangnya, aku gak pernah mikir seperti itu…” Tetapi menarik untuk mengetahui bagaimana perasaan Sunarmi saat pertama kali melihat There. “Saya pernah beberapa kali bertemu dengan pacar-pacar Teddy. Tetapi begitu bertemu dengan There, perasaan saya mengatakan: Inilah tangan Tuhan yang terulur lewat There untuk menolong Teddy.” --here mengenal dengan baik pasangan Yayuk dan Ugo Untoro. Apalagi Teddy, yang sudah menganggap Ugo seorang sahabat. There sempat bertanya ke Mbak Yayuk soal Teddy, dan jawaban Yayuk, “Teddy itu kayaknya kalau nanti sudah menikah dan punya anak bisa berubah.” Sementara itu, Teddy pun sering curhat ke Yayuk soal bagaimana sebaiknya hubungannya dengan There, dan Yayuk menjawab, “Ted, kamu itu butuh perempuan yang tegas dan galak kayak There.”
T
Kemampuan There menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan Teddy telah banyak teruji. Salah satunya, ketika suatu
235
saat, di tengah malam, There ditelepon dari pihak kepolisian, memberitahu bahwa Teddy tabrakan. There segera meminta kedua temannya untuk ikut bersama dirinya menyelesaikan masalah Teddy. Mulai dari menyelesaikan masalah dengan polisi dan pihak yang ditabrak Teddy, sampai merawat Teddy yang saat itu teler berat dan hanya bisa berteriak, “Tanganku bagaimana? Aku takut tidak bisa melukis lagi…” Saat itu, tangan Teddy memang cedera. Dan kemudian There membawanya ke rumah sakit. “Sejak dulu, saat mulai sudah akrab,” ungkap There, “kami sudah sering berbagi uang. Teddy itu memang sudah banyak uang, tetapi tidak pernah jadi apa-apa. Jadi dia juga sering tidak punya uang. Kalau pas dia tidak punya uang, kebetulan aku pas punya. Kalau kebetulan aku sedang tidak punya uang, Teddy pas punya.” Soal Teddy yang memang tidak bisa mengelola uang dengan baik, juga dikatakan oleh Gandung, orang yang cukup sering pula mengantar Teddy pulang ke rumah kontrakannya kalau Teddy sudah mabuk berat. Gandung memberi kesaksian,“Pernah, lukisan Teddy laku 15 juta saat itu. Uang itu habis hanya dalam waktu seminggu. Dipakai mabuk-mabukan dengan teman-temannya. Kala seniman lain, masih ada pikiran untuk menabung. Tetapi kalau Teddy, blas tidak ada pikiran seperti itu. Dapat sekarang, habis sekarang. Itu prinsip dia saat itu. Yang penting bisa mabuk dan bersenang-senang dengan kawan-kawannya.” Hubungan There dan Teddy semakin lengket, membuat Teddy sering menginap di rumah kontrakan There. Pernah suatu saat, Teddy bilang ke There, “Yuk kitanikah saja..” Awalnya There tentu saja kaget dengan kalimat yang meluncur dari mulut Teddy. Segera There bertanya, “Serius kamu?” Teddy menjawab, “Serius. Aku sudah capek begini-begini terus…”
236
There saat itu juga bilang, “Sebetulnya aku juga sudah capek…” Hingga kemudian suatu pagi, There secara iseng mengecek urinnya, dan di sana tertera tanda positif. Teddy yang saat itu juga sudah bangun tidur, dan sedang dudukduduk di luar, segera diberitahu There, “Gimana, Ted?” Teddy malah tertawa ngakak. Teddy bilang saat itu, “Ternyata aku berhasil ya setelah beberapa hari diet alkohol.” Dengan perasaan tak menentu, mereka memberi kabar ke orangtua Teddy. Jawaban orangtua Teddy saat itu, “Ya sudah, kapan kalian menikahnya?” Saat There memberitahu bapaknya, si bapak juga berkata, “Ya sudah enggak apa-apa. Kalau enggak begitu, kalian enggak menikah.” Sebetulnya, There sudah 5 tahun tidak pernah pulang dan berjumpa dengan bapaknya. Dan pernah suatu kali, There bilang ke bapaknya kalau ia sudah punya pacar, “Tapi orangnya tatonya banyak, Pak…” Jawaban bapak There singkat, “Kayak orang pernah dibui di Nusa Kambangan saja, banyak tatonya…” Akhirnya keluarga Teddy melamar There. Kejadiannya pun unik. There ikut rombongan Teddy dari Semarang, ia bersama kedua orangtua Teddy, Teddy, dan kakak Teddy bernama Heri. Jadi yang dilamar datang bersama rombongan orang yang hendak melamar. Di perjalanan, There bilang, “Ted, bapakku galak lho, kamu tahu, dia orang Batak.” Sesampai di Mojokerto, hari masih sangat pagi. Mereka kemudian mencari hotel untuk menginap, sambil menunggu siang hari. Heri dan kedua orangtua Teddy satu kamar, sementara There dan Teddy satu kamar. There dan Teddy begitu masuk kamar langsung tertidur, sementara ketiga orang di kamar yang lain tidak bisa tidur karena omongan There di mobil, juga rasa bersalah karena Teddy menghamili There duluan.
237
Begitu Teddy dan There sudah bangun, mereka pergi ke kamar yang lain, dan heran, melihat ketiga orang tsrebut tidak tidur. Sunarmi bilang ke There, “Iya, There. Mami, papi dan Heri tidak tidur, membicarakan bagaimana enaknya nanti…” Sementara itu, Heri langsung bilang ke Teddy, “Ted, kalau nanti kamu dipukul bapaknya There, biar aku yang maju.” There sebetulnya pengen tertawa. Ia memang belum sanggup membayangkan apa yang akan terjadi di siang nanti ketika rombongan itu datang ke rumahnya, apalagi There sendiri sudah 5 tahun tidak pulang, pulang-pulang dalam keadaan hamil sekaligus dilamar, dan yang dilamar datang bersama rombongan yang melamar. Hanya saja There tidak sempat berpikir kejadiannya akan semenakutkan yang dipikir oleh orangtua Teddy dan Heri. Kata There, “Bapakku kan sudah lama di Jawa, ibu kandungku itu sudah meninggal dunia dan bapakku kawin lagi dengan orang Jawa. Jadi kemungkinan besar, bapakku sudah tidak segalak dan sekeras dulu.” Ternyata apa yang dipikirkan oleh keluarga There, tidak terjadi. Mereka diterima pihak keluarga There dengan baik, terutama justru oleh bapak There. Pertemuan dua keluarga itu berlangsung dengan singkat. Siang itu juga, rombongan keluarga Teddy pulang. Dan There juga ikut rombongan Teddy lagi. --here tahu persis kelakuan Teddy terutama kalau Teddy terkena minuman keras. Hampir semua orang yang kenal Teddy, mempunyai definisi yang sama tentang Teddy, “Teddy itu bukan peminum, tetapi pemabuk.” Maksudnya, walau Teddy hanya minum sedikit saja, ia sudah mabuk dan kerap membuat onar.
T
There juga tahu persis, kalau Teddy mabuk, Teddy sering berbuat genit kepada perempuan. Tidak peduli siapa perempuan itu, pasti akan digodanya dan ingin dimesrainya. “Makanya, semenjak kami menikah, aku tidak mau Teddy mabuk di luar
238
sepengetahuanku. Karena aku bisa galak sama Teddy, kalau perlu kutonjok pun akan kutonjok.” Tetapi There pun sadar, ia tidak mungkin mengubah Teddy, apalagi dalam hitungan bulan.“Teddy tidak mungkin bisa berubah, yang paling mungkin hanya mengurangi dan menjaganya,” ucap There. Dan semenjak menikah, There pelan-pelan mengikuti perubahan pada diri teddy walaupun sangat lambat. “Dia pernah bilang ke aku: Untung ya Re, aku enggak kecanduan pil atau cimeng…” Mendengar itu, There semakin ingin menegaskan, “Kalau bisa Ted, kamu itu minumnya bir saja. Jangan minuman yang terlalu keras. Kamu kalau mabuk kewer-kewer itu punya kelakuan yang buruk.” Karena itu pula, There sangat benci kalau ada kolektor yang datang dan membawa pil koplo atau kinuman keras. “Mereka itu mau memanfaatkan Teddy saja.” Dan There tidak suka kalau ada teman Teddy yang mengajak Teddy mabuk tanpa ada There, “Mereka kalau ada apa-apa dengan Teddy kan enggak bisa segalak kalau ada aku.” Tetapi There sadar, Teddy tidak bisa hidup tanpa alkohol. Maka di rumah There dan Teddy selalu tersedia bir, dan There tahu, Teddy kalau mabuknya tanggung, karyanya bagus. Karena itu, There selalu bilang ke Teddy, “Ted, kamu kalau minum, minum bir saja. Kalau mabukmu tanggung, karyamu bagus. Kalau kamu mabuk berat, bukan hanya kewer-kewer, tetapi juga tidak berkarya tetapi hanya ngomyang enggak jelas lalu tertidur.” There semakin protektif kepada Teddy saat usia kandungannya menginjak 8 bulan, “Lha kalau tidak kujaga si Teddy, kalau aku pas mau melahirkan terus dia dalam keadaan teler bagaimana?” Kandungan There memang sudah saatnya menginjak hari-hari di mana ia tinggal menunggu saatnya untuk melahirkan. Dan
239
bayi yang dikandung There sudah punya nama: Blora Frida. There mengakui, walaupun Teddy itu pemabuk, sebetulnya Teddy itu orang yang baik. “Dia selalu memikirkan kawankawannya. Kalau ada kolektor datang, dia selalu mempromosikan teman-temannya yang belum laku. Persis Ugo Untoro. Ugo juga selalu melakukan hal itu. Teddy juga sering merekomendasikan kepada galeri agar temantemannya yang jarang ikut pameran bisa diikutkan kalau ada pameran bareng. Bahkan tidak tanggungtanggung, Teddy dering membelikan teman-temannya kanvas dan cat yang harganya tidak murah.” Sementara Sunarmi pun menyatakan hal yang sama. “Ternyata nama ‘Darmawan’ yang kami berikan kepadanya dengan niat agar kelak kalau ia sudah besar jadi seseorang yang dermawan betulbetul terjadi. Teddy banyak membantu keluarga jauhnya, apalagi keluarganya sendiri. Rumah saya pun dibangun ulang dengan biaya yang diberikan oleh Teddy. Tetapi yang paling membuat saya bahagia, saat Teddy menyumbangkan sebuah lukisannya untuk gereja. Saat itu, lukisan Teddy laku 7,5 juta, dan semua uang hasil penjualan karya itu disumbangkan ke gereja…” Sunarmi kemudian semakin yakin, “Benar keyakinan saya, There adalah penjelmaaan tangan Tuhan. Doa kami berdua dikabulkan oleh Tuhan. Dan kami semakin yakin, bersama There, Teddy kelak akan semakin berubah ke arah yang semakin baik lagi.”
240
NIN
H
ARI itu, Sabtu tanggal 4 November 2006, Bunga bangun tidur dengan perasaan biasa saja. Bersama Andang, suaminya, Bunga segera bermain dengan Akira, anak laki-laki pertamanya yang saat itu baru berumur 1 tahun, seorang bocah yang mulai gemar memegang dan menelan sesuatu. Akira mulai tumbuh menjelang fase lucu-lucunya, dan sepasang suami-istri itu seakan tidak ingin melewatkan setiap detik pun, kehilangan momentum perkembangan Akira. Sari, seorang perempuan yang biasa membantu membersihkan rumah Bunga, dan sekaligus momong Akira jika Bunga mulai memegang kuas untuk melukis, datang tak seperti biasanya. Ia datang lebih awal. Biasanya, tidak seperti itu, sebab Sari, selain membantu membersihkan rumah Bunga, terlebih dahulu membersihkan rumah Omi, kakak kandung Bunga yang tinggal di sebuah rumah, tak begitu jauh dari rumah Bunga. Di rumah itu, Omi tinggal sendirian. “Mbak, kok rumah Mbak Omi terkunci, ya. Lampunya juga masih menyala,” Mbak Sari, seperti merasa khawatir. Itu jelas bukan pagi yang biasanya bagi dia, sebab ia tahu persis keseharian Omi yang baru berangkat tidur menjelang pagi, lalu biasanya Omi akan mematikan lampu, membuka kunci pintu rumahnya, agar saat Omi tidur tak perlu lagi membukakan pintu buat Sari yang akan membersihkan rumah. Saat diberi tahu seperti itu, Bunga hanya bilang ya sudah, lebih baik Sari membersihkan rumahnya dulu, baru kemudian ia pergi ke rumah Bunga. Hari itu, jadwalnya dibalik, karena kalau hari biasa, rumah Omi dulu yang harus dibersihkan baru rumah Bunga. Tetapi Bunga berpesan agar Sari begitu selesai membersihkan rumahnya, segera pergi ke rumah Bunga. Bukan apa-apa, pernah terjadi suatu peristiwa yang sepertinya sepele, tetapi membuat Omi terlihat sangat marah. Saat itu, Akira sedang sakit. Bunga kemudian meminta agar Sari pergi ke rumahnya dulu untuk
243
membantu membereskan pakaian Akira, karena ia dan suaminya akan memeriksakan Akira ke rumah sakit. Maksud Bunga saat itu, begitu Bunga dan suaminya berangkat ke rumah sakit, Sari langsung saja ke rumah Omi. Tetapi di tengah perjalanan, sebuah pesan pendek dari Omi masuk, ia bertanya mengapa Sari belum datang juga? Lalu Bunga menjelaskan apa yang terjadi hari itu. Awalnya, Omi hanya berkomentar kepada Bunga kalau Bunga terlalu mmemanjakan Akira, sakit sedikit dibawa ke dokter. Hal seperti itu, kata Omi lewat pesan pendek, akan membuat Akira tumbuh menjadi anak yang manja. Tetapi lama-kelamaan, pesan pendek Omi menjadi lebih jelas, ia bertanya dengan nada agak keras, apakah Sari harus menunggu Bunga pulang dari memeriksakan Akira? Bunga baru ‘ngeh’ dengan ‘apa yang terjadi’, segera ia menghubungi Sari meminta agar Sari segera ke tempat Bunga, tanpa perlu menunggunya pulang. Maka, begitu di hari itu Bunga merasa pekerjaan Sari sudah beres, ia meminta Sari agar lekas pergi ke rumah Omi, “Nanti orangnya ngamuk lho, Mbak…” kata Bunga kepada Sari. Sari segera berangkat, tetapi tidak lama kemudian, ia datang lagi dan bilang, “Pintunya masih terkunci dan lampunya juga masih menyala, Mbak…” Bunga tetap tidak punya perasaan apa-apa. Ia berpikir, hari itu, Omi lupa membuka kunci pintu rumahnya dan lupa mematikan lampu, lalu ketiduran. Bunga hanya bilang, meminta Sari tinggal di rumah itu sesaat lagi, lalu nanti menyuruh Sari datang lagi ke tempat Omi dengan membawa serta Akira. Karena, kalau ternyata pintu rumah Omi masih terkunci juga, Sari tidak akan berani mengetuk pintu rumah Omi, sebab hal itu akan membuat Omi marah. Kalau bersama Akira, dan Akira tinggal bilang, “Bude, bude…” mungkin Omi tidak akan marah. Hari berangkat siang, melewati batas waktu di mana Omi biasanya paling telat bangun tidur. “Mbak Omi biasanya bangun tidur antara jam 10 pagi sampai paling telat jam 12 siang.” kata
244
Bunga, menuturkan kebiasaan dan jadwal tidur kakaknya. Bunga segera meminta Sari bernagkat dengan membawa Akira. Tetapi tidak lama kemudian, Sari balik lagi dengan Akira, kali itu, nada suara Sari semakin memperlihatkan kekhawatiran. “Mbak, sudah saya gedor berkali-kali tetapi tidak dibukakan juga…” Barulah di saat itu, Bunga merasa khawatir. Ia teringat persis kira-kira setahun sebelumnya, di bulan November 2005, ada kejadian yang hampir membuat Omi nyaris direnggut maut. Saat itu, Sari yang lebih dulu membersihkan rumah Omi, memberitahu kalau Bunga kalau Omi sakit. Bunga dan Andang segera ke rumah Omi, yang saat itu masih berseberangan rumah dengan pasangan Bunga dan Andang yang baru saja menikah. Begitu masuk ke kamar Omi, Bunga kaget. Ia sudah mendapati Omi kejang-kejang. Bunga segera meminta Andang untuk memanggil dokter beserta ambulans. Tetapi Omi sempat melarang. “Mbak Omi memang takut sama dokter.” ucap Bunga. Tetapi melihat keadaan Omi yang sudah seperti itu, Bunga tidak peduli lagi dengan larangan Omi. Tidak lama kemudian, dokter datang beserta ambulans yang dipesan. Begitu sudah mengecek keadaan Omi, si dokter merekomendasikan agar Omi dibawa ke rumah sakit. Tetapi Omi berontak, ia tidak mau. Hal itu membuat si dokter bingung. Akhirnya, dokter itu mencoba memberi pertolongan kepada Omi, sambil menunggui sampai cukup lama. Untunglah kemudian, keadaan Omi mulai membaik dengan relatif cepat. Teringat hal itu, Bunga segera menelepon Andang, yang saat itu sedang keluar rumah untuk sebuah urusan. Begitu Andang pulang, Bunga segera meminta Andang untuk mengecek kondisi Omi. “Kalau perlu, dobrak saja pintunya,” pinta Bunga. Andang segera berangkat ke rumah Omi. ---
245
O
mi lahir pada tanggal 26 Oktober 1970, selisih dua tahun lebih tua dibanding Bunga. Nama lengkapnya, sebetulnya Naomi Intan Naomi, tetapi semenjak Omi menjadi penulis dan penerjemah, ia menggunakan nama Omi Intan Naomi. Hanya beberapa tahun belakangan saja, ia cukup menggunakan inisial nama aslinya kalau sedang memberi keterangan nama penulis atau penerjemah: NIN. Ibu kandung Bunga dan Omi, seorang guru Bahasa Inggris, yang sempat mengajar di berbagai sekolah di Solo. Sejak kecil, mereka berdua memang tinggal di Solo, di sebuah kampung yang bernama Kandang Sapi. Mereka berdua tinggal serumah dengan ibu kandung mereka, dan eyang putri mereka. Satu keluarga, dengan empat perempuan yang bernauh di rumah itu. Bapak kandung Omi dan Bunga, adalah salah satu sastrawan, kritikus sastra, dan dosen yang cukup ternama, Darmanto Jatman. Tetapi sejak mereka berdua lahir, Darmanto Jatman lebih sering bersama keluarganya yang lain, tinggal di Semarang. Darmanto memang punya keluarga lain di Semarang, dan ia saat itu mengajar di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Sejak kecil, Omi dikenal sebagai anak yang pemberani dan suka menyanyi. Kalau kebetulan keluarga itu berkunjung ke salah satu saudara, begitu pamitan pulang, Omi diminta menyanyi dulu. Dan Omi dengan penuh percaya diri selalu mau menyanyi. Baik Bunga maupun Omi, tidak pernah masuk TK. Omi masuk SD Kristen Margoyudan, Solo. Tetapi dari kelas 1 sampai kelas 6, Omi selalu mendapat rangking satu. Padahal, menurut pengakuan Bunga, Omi tidak pernah belajar. Kegiatan Omi sejak SD sudah banyak sekali, ia ikut paduan suara, ia juga ikut kursus menari. Di kampung, Omi membuka pelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak sebayanya yang masih duduk di bangku SD. Sejak kecil, Omi memang pintar berbahasa Inggris, tetapi menurut pengakuan Bunga, pengetahuan Bahsa Inggris Omi didapat Omi dengan cara otodidak, sebab sekalipun sang ibu guru Bahasa Inggris, beliau tidak pernah mengajari Bahasa
246
Inggris anak-anaknya sendiri. “Ibu terlalu sibuk. Ia mengajar di tiga sekolah. Ia berangkat pagi-pagi, dan pulang di senja hari.” Selain mengajar bahasa Inggris, Omi juga sempat membuka perpustakaan. Omi memang gemar membaca. Pada hari-hari libur, Omi, Bunga dan ibu mereka memang sering diminta bertemu di Yogya oleh Darmanto Jatman yang membawa serta istri seta tiga anaknya dari keluarganya yang di Semarang. Anakanak dari kedua keluarga itu lalu diajak ke Gramedia, dan masingmasing anak dijatah uang 5.000 rupiah untuk membeli buku. Bunga mengaku, ia juga selalu membeli buku, tetapi jatahnya selalu lebih, sehingga ia bisa mendapatkan uang dari sisa jatah itu. Sementara kalau Omi, jatahnya selalu kurang. Harga bukubuku yang dibelinya, melebihi jatahnya. Tetapi Darmanto tetap memberikan kekurangan nominal harga yang harus dibayar Omi. Perpustakaan Omi awalnya berjalan, setiap peminjam diminta mengganti uang, seingat Bunga, 25 rupiah per buku. Tetapi lamakelamaan, banyak buku yang tidak balik. Akhirnya perpustakaan itu ditutup. Masih saat sekolah di SD, Omi sudah membuat majalah sendiri. Majalah itu semua isinya dibat oleh Omi dan dibagibagikan secara gratis ke teman-temannya. Omi membuat cerpen, puisi dan gambar-gambar di majalah buatan tangan anak kecil itu. majalah itu diberi judul Mama Angsa. Ketika masuk SMP, Omi masuk salah satu SMP favorit di Solo, SMPN IV. Di SMP, Omi juga jarang belajar. Tetapi ia tetap mendapat rangking 2. Dan jadwal kegiatannya mulai lebih banyak lagi. Ia mulai ikut paduan suara, dan mulai memimpin sebuah geng khusus anak-anak perempuan. Di SMP, Omi sudah membuat grup tari modern. Saat ada pentas sekolah, grup tari pimpinan Omi pernah membikin geger karena ada acara ‘bukabukaan baju’. Di sebuah upacara bendera, Omi dan kawankawannya disindir keras oleh kepala sekolah mereka. Sejak kelas 1 SMP, Omi sudah berpacaran. Hal itulah yang sempat membuat eyang putrinya marah sama Omi, sanga eyang berpikir, anak
247
masih bau kencur kok sudah pacaran… Ketika masuk SMA, Omi pun masuk ke SMA yang termasuk favorit di Solo, SMAN IV Solo. Dan kegiatan Omi semakin seabreg. Ia mulai ikut teater sekolah dan main musik. Sementara itu, di luar, ia bergabung dengan kelompok teater yang cukup ternama di Solo, Teater Gidak-gidik. Saat di SMA, Omi berpacaran dengan seorang gitaris dari kelompok grup musik yang cukup ternama di Solo, Solo Rock Band. Di grup musik itu, kadang Omi juga tampil sebagai penyanyi latar. Omi nyaris tidak pernah berada di rumah. Ia bukan anak rumahan. Suatu hal yang kemudian berubah drastis ketika ia sudah menjelang lulus kuliah, sebab kemudian ia, meminjam salah satu judul cerpen Seno Gumira Ajidarma, berubah menjadi Manusia Kamar. Omi dan Bunga, adalah dua hal yang nyaris berada dlam kutub yang berbeda. Omi anak gaul, sementara Bunga anak rumahan, hanya sesekali saja Bunga keluar rumah. “Saya takut berada di jalan raya,” begitu pengakuan Bunga. Jika Omi sejak SD sudah meminta sepeda, dan saat SMP sudah meminta sepeda motor, Bunga ke mana-mana cukup dengan naik becak atau jalan kaki. Bunga relatif pendiam, Omi cukup cerewet dan galak. Sebagai dua bersaudara yang umur mereka tidak begitu terlalu terpaut jauh, hanya dua tahun, Bunga dan Omi sering berantem, lalu mereka jothakan, tidak saling menyapa. Dan untuk hal yang seperti itu, Bunga paling tahan. Kalau Omi tidak mengajak ngomong duluan, Bunga tidak akan menyapa Omi. Tetapi sebagai seroang kakak, Omi cukup perhatian dengan Bunga, bahkan cenderung berlebihan, terutama dalam hal memproteksi Bunga dari pergaulan yang dianggap Omi bisa membahayakan Bunga. Di sanalah kontradiktifnya sifat Omi. Di satu sisi, ia kerap keluyuran, bahkan cukup sering keluarmasuk diskotik, di sisi yang lain, ia ingin tampil sebagai kakak yang bisa ‘menjaga’ adiknya.
248
Pernah suatu ketika, Bunga diajak seorang pemuda untuk keluar. Pemuda itu, dikenal Omi sebagai seorang play boy, dan ada gosip yang menyebar bahwa pemuda itu pernah memperkosa seorang perempuan. Begitu tahu Bunga keluar dengan pemuda tersebut, Omi menunggu Bunga. Saat Bunga pulang, Omi mendamprat habis Bunga. Dan kemudian Omi berkata dengan keras, “Nek nganti bocah kuwi macem-macem karo kowe, tak pateni tenan. Ben, paling mung mlebu penjara 5 tahun!” (Kalau sampai orang itu macam-macam sama kamu, aku akan membunuhnya. Tidak apa-apa, paling-paling aku hanya akan dihukum 5 tahun). Lulus dari SMA, Omi mendaftar masuk ke UGM mengambil jurusan Komunikasi. Anehnya, saat itu, kalau Omi ternyata tidak tembus masuk ujian masuk, ia berniat untuk sekolah teologi. --ndang mencoba menggedor pintu tumah Omi, tetapi tetap saja tidak dibuka. Akhirnya, dengan dibatu oleh para tetangga, Andang memanjat jendela Omi, mencoba melihat Omi dari jendela. Di sanalah Andang kaget bukan kepalang. Ia melihat kepala Omi berada di lantai, dan sebagian tubuhnya berada di kasur. Mulut Omi mengeluarkan buih. Andang dan para tetangga Omi segera menelepon ambulans, lalu mereka mendobrak pintu rumah Omi. Segera, Omi dibawa ke rumah sakit Ludira Husada. Saat diberitahu apa yang menimpa kakak kandungnya, Bunga tidak berani melihat Omi diangkut ambulans. Tetapi ia segera menyusul Omi ke rumah sakit Ludira Husada.
A
Saat berada di sana, dokter yang bertugas memberikan du ainformasi penting yang disampaikan kepada Andang dan Bunga. Pertama, keadaan Omi sudah cukup parah. kemungkinan, Omi terkena serangan stroke. Kedua, dokter yang ahli penyakit yang sedang diderita Omi, tidak sedang bertugas dan baru akan bertugas pada hari Senin. Cukup lama Andang dan Bunga berdiskusi apa yang sebaiknya mereka lakukan. Kemudian Bunga menelepon Deddy Irianto,
249
pemilik Galeri Langgeng Magelang, kolega sekaligus orang yang sering menggunakan jasa Omi terutama untuk menerjemahkan katalog-katalog pameran. Deddy langsung meminta agar Bunga memindahkan Omi ke rumah sakit Bethesda, salah satu rumah sakit terbaik di Yogya, terutama yang cukup dikenal mampu menangani penderita stroke dengan baik. Bunga dan Andang segera memproses perpindahan Omi dari rumah sakit Ludira Husada ke rumha sakit Bathesda. Setelah itu, ia menelepon ibunya. Tapi sayang, si ibu saat itu ada acara yang sangat penting yang tidak bisa ditinggalkan. Kemudian Bunga ngomong, “Ya sudah, jangan terburu-buru, daripada terjadi apa-apa di jalan.” Kemudian Bunga juga menelepon Darmanto Jatman, bapaknya sekaligus bapak Omi, dan Dramanto bilang, baru keesokan harinya. Omi masuk ke rumah sakit Bethesda pukul 8 malam, setengah jam kemudian, sang ibu sudah berada di rumah sakit, menunggui sang putri yang belum tersadarkan diri. Omi tembus masuk Fakultas Sospol UGM jurusan Ilmu Komunikasi. Semenjak kuliah itulah, Omi mulai aktif di majalah pers mahasiswa UGM, Balairung. Namanya dalam waktu sekejap mencuat. Ia sering diminta menjadi pembicara di berbagai acara diskusi. Selain itu, Omi juga menulis puisi dan cerpen. Di dunia sastra itu, nama Omi pun cepat menanjak. Tetapi selain menjalani dunia yang berbau seni dan sastra, juga merambah dunia intelektual, Omi tetap tidak meninggalkan dunia lamanya, dunia main-main dan dugem. Ia juga tetap sering bergonta-ganti pacar, sebagaimana yang ia lakukan sejak SMP sampai SMA. Selama kuliah, beberapa kami Omi pindah tempat kos, tetapi masih selalu di sekitar UGM, yang masuk dlam wilayah Yogya utara. Bunga sesekali mengunjungi Omi, dan karena Bunga kenal akrab dengan Bob Sick yang saat itu tinggal di daerah Pandega, daerah yang juga dekat dengan UGM, Bunga dan Bob pun kerap
250
bersama singgah di tempat kos Omi. Dari sanalah, Bob mulai akrab dengan Omi. Kemudian datanglah sebuah peristiwa yang membuat Omi memutuskan untuk pindah dari daerah Utara ke daerah Selatan. Suatu saat, Omi baru saja pindah kos lagi. Ia sudah membayar uang kos untuk enam bulan ke depan, sebagaimana biasanya tata-cara orang kos di Yogya. Kos baru Omi itu campuran, dihuni oleh anak kos perempuan dan laki-laki. Baru seminggu berada di kos barunya, saat mandi, Omi merasa ia diintip oleh salah satu penghuni kos. Saat itu juga, Omi langsung menelepon Bunga, mengangkuti barangnya dan tinggal di rumah kontrakan Bunga, di jalan Wates, daerah yang sudah termasuk daerah Selatan yogya, lebih tepatnya barat daya Yogya. Di rumah kontrakan Bunga, ia hanya tinggal berdua dengan salah satu temannya. Rumah kontrakan Bunga saat itu terdiri dari tujuh kamar, dan hanya dua kamar yang ditempati. Omi memilih kamar paling belakang, di dekat sumur. Setelah tinggal beberapa saat di sana, Omi yang saat itu juga sedang menyusun skripsi, mulai akrab dengan teman-teman Bunga yang lain, selain Bob. Termasuk Toni, dan tentu saja Teddy, yang kelak pernah menjalin hubungan pacaran dengan Bunga. Mereka bertiga, Teddy, Bob dan Toni pun semakin akrab dengan Omi. Suatu hari, pagi pukul 6, Bob sudah mengetuk pintu rumah kontrakan yang hanya dihuni tiga orang. Omi sebetulnya benci dengan orang yang datang pagi-pagi, karena di saat itu, ia mulai sering menyendiri, tidak pernah keluar rumah, dan mulai menjalani siklus tidur di pagi hari. Tetapi begitu tahu Bob yang datang, Omi hanya maklum saja. Khusus untuk Bob, Omi yang terkenal sangat keras itu cukup permisif. Suatu saat, Omi pernah berkata kepada Bunga soal Bob, “Bob ki kaya cah cilik. Jadi mau enggak mau harus dilayani, tidak bisa diusir.” Hanya Bob-lah yang berani mengambil obat sakit kepala Omi dan meminum
251
kopi bikinan Omi. Hanya Bob-lah, yang jika Omi benar-benar sedang tidak ingin ketemu orang, dengan cuek tetap saja masuk ke kamar Omi. Dan pagi itu, Bob yang biasanya tampil konyol, penuh tawa, ngeyel dan agak ngawur, saat itu datang dengan mimik serius. Di tangannya, ada dua ekor kucing. Lalu Bob berkata kepada Omi dan Bunga, “Ini ada kucing. Kasian, mau ditembak kakekku. Biar di sini saja, ya…” Omi yang pada dasarnya suka kucing, dengan senang hati menerima dua kucing titipan Bob. Kucing itu kemudian beranak pinak, dan jadilah Omi ‘ibu’ bagi banyak kucing. Sementara, jika dengan Teddy, Omi sering mau menjadi lawan diskusi Teddy. Biasanya, Teddy selalu bertanya, “Mbak, enaknya aku berkarya apa lagi ya?” Lalu mereka terlibat diskusi-diskusi ringan. Terutama, Omi berusaha menstrukturkan pikiranpikiran Teddy yang saat itu kerap melompat-lompat. Kalau dengan Toni, menurut keterangan beberapa orang, termasuk Teddy, Omi sempat naksir Toni. Tapi menurut Bunga, enggak sampai naksir. Hanya saja Omi pernah berkata kalau Toni mempunyai sex appeal. Toni sendiri akhirnya mengaku pernah menggoda Omi, bertanya, mau enggak dijadikan pacar Toni. Saat itu Omi hanya menjawab, “Lha pacarmu yang bule itu gimana?” Tidak jelas, apakah di saat itu yang dimaksud ‘bule’ adalah Heidi, atau pacar Toni yang lain. Saat kontrakan rumah yang dihuni tiga orang itu habis, Omi mengontrak rumah berdua dengan Bunga. Omi semakin suka menyendiri. Apalagi ketika ia telah lulus kuliah dan memutuskan untuk bekerja menjadi penerjemah dan penulis bebas. Dan semakin suka menyendiri lagi ketika ia sudah mulai merambah dunia internet. Omi setiap hari menulis di dunia maya, alamat situ web gratisannya www. geocities.com/rainforestwind, penuh dengan berbagai ragam tulisan. Semua tulisannya di situs web itu berbahasa Inggris. Omi juga membuatkan situs web untuk
252
Teddy dan Bob. Di dunia maya itu pula, kelak Omi menemukan jodohnya, Yani Kozinski, laki-laki keturuan Polandia yang tinggal di Jerman. Pernikahan antara Kozinski dan Omi pun terkesan mendadak. Saat itu, Kozinski sedang berada di Indonesia, dan saat itu pula mereka menikah. Resepsi pernikahan diadakan di Solo. Setelah itu, barulah Bunga mengontrak rumah sendiri, tepat berseberangan dengan rumah kontrakan Omi. Tetapi Kozinski tetap tinggal di Jerman, dan hanya sesekali saja ia datang menjenguk Omi. Jadilah, dua kakak beradik, tinggal di rumah yang saling berseberangan, hanya dibatasi jalan yang sepi, dan masing-masing kakak beradik itu tinggal sendiri-sendiri. Kesukaan Omi menyendiri, tampaknya sangat akut. Kalau menerima tamu, ia menyuruh tamunya datang saja ke rumah Bunga, baru ia menemui tamunya di rumah Bunga. Bahkan, saat ibu kandung mereka datang, omi pun enggan ibunya menginap di rumah kontrakannya, sehingga selalu si ibu menginap di rumah kontrakan Bunga. Kalau suami Omi datang, Omi meminta suaminya jalan-jalan, disuruhnya sang suami ke Bali, atau jika hanya di Yogya, disuruhnya sang suami ke Malioboro selayaknya turis. Sementara, Omi lebih memilih tinggal sendiri di rumah. Kadang-kadang saja, Omi keluar untuk berbelanja keperluannya sehari-hari, terutama untuk makanan kucing-kucingnya. Dan biasanya, yangkerap mengantar Omi adalah Bob, tentu dengan kostum yang identik dengan Bob, ‘kostum superman’-nya, memakai celana dalam di luar. --egitu sampai di rumah sakit Bethesda, Omi segera dipindai, dan hasil pemindaian menyatakan bahwa tidak ada pembuluh darah Omi yang tersumbat atau pecah. Sementara itu, Dodo Hartoko, salah satu orang yang cukup kenal baik dengan Omi sekaligus Bunga, sudah datang ke rumah sakit begitu ia diberi tahu oleh Bunga bahwa Omi masuk rumah sakit dan dalam keadaan koma.
B
253
Setelah Bunga dan Andang menunggu cukup lama di Bethesda, sang ibu menyuruh Bunga pulang karena harus mengurus Akira. Akhirnya malam itu, Bunga, Andang dan Dodo meninggalkan rumah sakit. Esoknya, hari Minggu pagi, Bunga sudah berada di rumah sakit lagi. Dan siangnya, Darmanto Jatman datang. Karena kesibukannya, setelah mencoba berbincang dengan salah satu dokter kenalannya yang saat itu bekerja di rumah sakit dan kebetulan juga sedang menangani Omi, siang itu juga Darmanto pun langsung balik lagi ke Semarang. Sementara itu, sang ibu, sebetulnya juga berencana pulang Minggu malamnya, karena paginya, hari Senin, ia juga ada urusan yang sangat penting di Solo. Namun kepulangan sang ibu ditunda, ia berencana pulang Senin pagi. Hari Minggu sore, Bunga pulang sebentar untuk mandi dan mengurus Akira. Ketika ia hendak berangkat lagi ke rumah sakit, ia ditelepon dari pihak rumah sakit, diminta segera datang menemani sang ibu, karena kondisi Omi semakin memburuk. Saat itu, bahkan sang ibu berpesan agar Bunga sekalian membawa alkohol dan kapas. Mendengar kata itu, Bunga langsung terkesiap. Andang yang juga mendengar hal itu, tidak sepakat dan berkata, “Belum apa-apa kok sudah disuruh bawa gituan.” Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk tidak membawa alkohol dan kapas, selain untuk menghindari rasa yang ganjil, juga beranggapan kalau pun toh nanti terjadi apa-apa, pasti kedua barang itu juga ada di rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, Bunga sudah mendapati Omi sedang dicoba diberi alat kejut jantung untuk yang kedua kalinya. Tetapi kali kedua itu tetap gagal. Lalu pihak para medis bilang ke pihak keluarga Omi, ia akan mencoba untuk yang ketiga kalinya, dan berkata, “Kalau misalnya tidak berhasil, ya mohon diikhlaskan saja…” Suasana tegang dan sangat hening. Semua orang yang berad di
254
sana, menahan napas…
--ekalipun hubungan Bunga dengan Teddy sudah putus, tetapi Teddy masih berhubungan baik dengan Omi. Teddy menganggap, Omi adalah salah satu orang yang bisa diajaknya untuk bertukar gagasan. Bahkan pada pameran tunggal Teddy yang digelar di Galeri Cemeti pada tahun 1998, untuk pertama kalinya, Omi mau menulis di katalog pameran. Saat itu, nama Omi memang sering tercantum di katalog pameran, tetapi hanya mau menjadi penerjemah. Beberapa orang sering meminta Omi untuk menulis di katalog pameran, tetapi Omi selalu tidak pernah mau.
S
Omi pernah bilang ke Bunga, bahwa ia sudah menjelajah, masuk dan bergaul dalam berbagai bidang kreatif, mulai dari sastra, jurnalistik, teater, seni rupa dan dunia menari. Kata Omi, dunia seni rupa, sejauh yang selama ini ia kenal, dihuni oleh kebanyakan orang yang bodoh. Tetapi lebih bodoh lagi, tentu saja sejauh yang diketahui Omi, adalah orang-orang di dunia tari. Omi memang sering sinis terhadap dunia seni rupa. Biasanya ia selalu berkomentar pendek, kalau ada orang yang mengajak berdiskusi seni rupa dengannya, “Kenapa sih yang dianggap seni selalu jelek?” Bahkan karena Omi sering menerjemahkan buku untuk katalog, dan ia kenal dengan banyak perupa, para kenalan Omi itu sering membawakan Omi buku-buku seni rupa. Tetapi oleh Omi, buku-buku itu justru dikasih-kasihkan ke orang, atau kalau ia kepepet dijual. Tetap saja, bagi Omi, buku itu ya sastra, sosial, politik, dan komik. Buku seni rupa tidak dianggap ‘buku’ oleh Omi. Tetapi tampaknya, dengan empat perupa dari Yogya, seperti Teddy, Bob, Ugo dan Toni, ternyata Omi mau bergaul dan akrab dengan mereka. Bahkan pada saat mereka berempat menggelar pameran bareng di Galeri Langgeng, Omi mau menulis lagi,
255
tapi untuk kali itu, sekalipun pamerannya berempat, Omi secara khusus menulis tentang Bob. Tulisan Omi tentang Bob, dianggap salah satu ‘harta karun’ Bob yang paling besar. Omi juga sempat membuat tulisan panjang tentang Ugo Untoro, tetapi sampai sekarang, tulisan itu belum terbit juga. Sekalipun Omi sering sinis dengan para perupa, tetapi orangorang yang mengenal Omi tidak ada yang berani berbantah argumen dengannya. Reputasi Omi sebagai seorang inteletual muda sekaligus sastrawan, cukup membuat gentar orang yang hendak mendebatnya. Bagaimana tidak? Hanya dua hal yang selalu ia kerjakan setiap hari, kalau tidak menulis ya membaca. Ibarat pendekar, kalau mau diajak bertarung, senjata yang dimiliki Omi terlalu banyak, dan dia sudah terlanjur dicap sebagai pendekar sakti. Tetapi cap itu bukan gosip belaka, ia telah menerbitkan beberapa buku berbobot dalam usia yang relatif muda, sebutlah misalnya Anjing Penjaga (1996) buku yang terbit ketika ia masih berusia 26 tahun itu mengejutkan banyak orang. Selain itu, ia masih menerbitkan sejumlah buku lain yang tak kalah berbobotnya, dan puisi-puisinya masuk dalam buku-buku antologi puisi yang dianggap punya kualitas. Selain menulis, Omi juga menerjemahkan sejumlah karya asing ke dalam bahasa Indonesia, sebutlah misalnya karya Ivan Illich dan Benedict Anderson. Buku Anderson yang diterjemahkan Omi, adalah Imagined Communities, termasuk karya yang menjadi referensi banyak orang untuk melihat problem tentang negara-bangsa, terutama soal negara-bangsa Indonesia. Terjemahan Omi itu sempat menimbulkan kontroversi. Tetapi tampaknya, Omi mulai mengundurkan diri dari gelanggang intelektual dan sastra. Ia memilih menggeluti profesi sebagai penerjemah, dan lebih memilih berkarya di dunia maya, sebuah dunia yang saat itu masih dianggap asing oleh kaum intelektual Indonesia, bahkan karya-karya yang berada di dunia itu dianggap bukan karya layak diapresiasi. Ratusan tulisan telah dibuat oleh Omi, dan tak terhitung karya
256
yang telah diterjemahkannya, jika katalog pameran dianggap sebagai sebuah karya terjemahan. Sehari-harinya, ia hanya berada di kamar, sesekali keluar, memberi makan kucingkucingnya. Berselancar di dunia maya, membuat Omi sering kali harus kebobolan uang. “Di zaman awal-awal berkutat dengan internet, sebulan khusus untuk bayar internet saja bisa sampai 2 juta rupiah.” tutur Bunga. Padahal Omi tidak punya pendapatan yang tetap, dan jika ia mendapat uang, Omi bukanlah tipe orang yang pintar mengatur uang. “Dapat sekarang, bisa habis sekarang juga,” lanjut Bunga memberikan kesaksian tentang kakaknya. Saat masih tinggal serumah dengan Bunga, kalau sudah kebobolan seperti itu, Bunga selalu yang membayar. Tetapi yang membuat Bunga kesal, karena saat itu Omi menggunakan saluran telepon untuk mengakses dunia maya, dan teknologi belum secanggih saat ini, Bunga tidak bisa menelepon, dan jika ada telepon yang masuk tidak diketahui. Saking tergila-gilanya Omi dengan dunia internet, ketika ia sudah tidak satu rumah lagi dengan Bunga, dan beban teleponnya melonjak tinggi sekali sampai berjutajuta, akhirnya Omi harus rela sambungan teleponnya dicabut. Tetapi ketika dibuka pendaftaran sambungan telepon lagi, Omi dengan antusias mendaftar lagi. Namun ia tidak mau mencantumkan namanya. Ia minta Bunga yang mencantumkan nama sebagai pelanggan telepon yang baru. Sementara rumah Bunga yang juga ingin memasang saluran telepon menggunakan atas nama suaminya. Dalam hal seperti itu, Bunga mengungkapkan, “Ya begitulah Mbak Omi, orangnya enggak kenal kompromi, dan sejak kecil memang dominan, bukan hanya kepadaku tetapi juga kepada teman-temannya…” ---
257
T
ernyata percobaan ketiga dengan cara memberi alat kejut jantung, tetap tidak berhasil. Air mata orang-orang yang ikut menyaksikan peristiwa itu turun pelan. Selang-selang dicabuti dari tubuh Omi, dan jasad Omi dipindah ke sebuah ruang yang lain. Di ruang itu, sang ibu yang nampak tabah, membuka tas pakaiannya, ternyata ia sudah mempersiapkan pakaian pengantin Omi yang dtinggal di Solo. Dari sana, Bunga kemudian bisa mengerti, ibunya sudah punya firasat bahwa Omi akan meninggal dunia. Bunga kemudian mengirim pesan pendek ke tiga orang, Hendro Wiyanto, salah satu kurator yang dihormati Omi karena kapasitas intelektualnya yang mumpuni di bidang seni rupa, Deddy Irianto, pemilik Galeri Langgeng yang sering menggunakan jasa Omi untuk menerjemahkan katalog pameran, dan Sari, pembantu Omi sekaligus pembantu Bunga. Berita kemudian menyebar dengan cepat. Malam itu juga, Yayuk, istri Ugo Untoro langsung datang dan memberitahu kalau Ugo tidak sanggup melihat mayat Omi. Kemudian Teddy dan There juga datang, tetapi kemudian segera pergi karena malam itu mereka ada acara pergi keluar kota. Beberapa orang yang lain juga mulai berdatangan, termasuk teman-teman Omi saat masih kuliah. Paginya, sebuah misa kecil diadakan di rumah sakit Bethesda untuk mendoakan arwah Omi. Kemudian jenazah Omi diantar memakai ambulans ke Solo. Di dalam mobil ambulans itu ada Bob, Andang, Tono dan Dodo. Setelah Omi meninggal, Bunga baru bisa mengingat jejakjejak isyarat yang pernah didengar atau disaksikannya, serentetan hal yang mungkin mengisyaratkan bahwa Omi mati dalam usia muda. Dulu, saat awal kuliah, Omi pernah diajak oleh temannya pergi ke peramal. Omi hanya mengantar, teman Omi-lah yang minta diramal. Tetapi si peramal, sat melihat Omi, walaupun tidak secara langsung bilang dengan cara vulgar, memberi isyarat
258
bahwa Omi tidak akan sampai berumur tua. Lalu ketika Akira sudah mulai lahir, dan rambutnya tidak segera tumbuh, Omi sempat berkomentar, “Le, rambutmu kok ora thukul-thukul to, mosok rambutmu thukul wae aku wis ora menangi…” (Nak, rambutmu kok tidak cepat tumbuh? Masak ketika rambutmu tumbuh, aku sudah tidak menyaksikannya lagi…) Atau, cukup sering Omi minta difoto bersam Akira sambil berkata, “Sini kamu foto sama bude, biar besok kamu tahu kalau kamu itu punya bude…” Kelak, Akira pasti tahu bahwa ia punya bude bernama Naomi Intan Naomi. Bukan hanya lewat foto, tetapi juga setumpuk karya Omi. Pada akhirnya, karyalah yang akan membuat nama seseorang menjadi kekal. Setahun setekah Omi meninggal dunia, Bob Sick menggelar pameran tunggalnya di Yogya National Museum, dengan tajuk Happy Bitrhday NIN. Di tulisan Bob pada katalog pameran itu, ia memberi judul tulisannya dengan: Remember 26. Lalu ada subjudul yang sangat panjang: Nine Nin Nina Wilhelmina Naomi Intan Naomi: Happy Birthday Nin. Tidak jelas apa maksudnya, dan memang tidak untuk diperjelas. Kita hanya bisa menduga, kalimat tak jelas itu serupa mantra, serupa doa…
259
Jejaring Yang Khas
A
DA satu tahap di mana, dalam kehidupan Toni, ia seperti berada di Tubir masalah. Ia merasa tidak tahu harus melakukan apa. Di dalam dirinya ada ketegangan, dan diamdiam sebentuk rasa cemas merayap di dirinya. Di Taring Padi, Toni dikenal bukan hanya salah satu penggagas lembaga tersebut, tetapi juga merupakan salah satu penggerak, dan sekalipun dirinya tidak pernah berniat menjadi figur sentral di sana, tetapi hal itu tidak bisa dihindarinya. Tetapi kemudian, perlahan, ia bisa mengalihkan tugas organisasional ke orang lain, sekalipun nyaris semua orang yang pernah bersinggungan dengan Taring Padi tahu, bahwa perjalanan Taring Padi kemudian memang tersendat-sendat. Tetapi begitulah dialektika setiap lembaga, ada saat naik dan turun. Juga seperti yang sama-sama kita ketahui, menjelang tahun 2007, Taring Padi kembali menggeliat lagi, merangkak sedikit demi sedikit memenuhi tugas-tugas sejarahnya. Bagi Toni sendiri, setelah cukup lama ‘mengambil jarak’ dengan Taring Padi, ia mulai berkutat dengan masalah-masalah pribadinya sendiri, selain masalah hubungannya dengan Heidi yang cukup menyita energinya, juga masalah-maalah eksistensinya berkaitan dengan dirinya sebagai seroang perupa. “Aku pikir, Taring Padi bagaimanapun juga sudah mencatatkan diri dalam lembar sejarah seni rupa di Indonesia,” kata Toni, “lalu aku mulai berpikir bisakah aku sebagai seniman juga bisa hidup dari lukisanlukisanku dan menempuh jalan sebagaimana para pelukis lain…” Tetapi apa yang disebut Toni sebagai sebagai ‘menempuh jalan sebagaimana pelukis lain’, yang itu artinya jalan konvensional sebagaimana yang ditempuh oleh para perupa yakni berkarya dan kemudian lukisan mereka terjual, lalu bisa hidup dan mencatatkan nama di barisan itu, bukanlah soal yang mudah. Memang ada banyak pelukis yang berhasil, dalam arti, masuk dalam barisan tersebut. Tetapi yang gagal, jumlahnya jauh lebih banyak. Tetapi sayang, hal seperti ini jarang dilihat oleh banyak
263
orang yang mencoba terjun dan menekuni dunia seni rupa, hanya melihat enaknya saja, atau kelihatan enaknya saja, apalagi saat booming lukisan dan harga lukisan melejit, membikin ngiler hati siapa saja yang mengetahuinya. Tetapi yang gagal sebagai pelukis, dalam arti betul-betul gagal, tidak pernah masuk dalam barisan perupa yang mampu mejual karya sama sekali, atau gagal dalam arti hanya sesekali karyanya terjual, jarang dilihat. Tetapi dunia seni rupa yang seperti itu, jelas bukan dunia yang baru buat Toni. ‘Karirnya’ sebagai perupa, selain karir dirinya di Taring Padi, tidak bisa dilihat sebagai biasa-biasa saja. Jauh hari sebelum menggeluti dan mendirikan Taring Padi, ia sudah masuk dalam gelanggang seni rupa. Bahkan, dalam posisi seperti itu pun, jalan yang diinginkan Toni tetap saja tidak mudah. Akhirnya, ia menemui orang bernama Yayuk, istri Ugo Untoro, yang dikenal selain sukses memanajeri suaminya, juga dianggap sukses ‘menyentuh’ banyak seniman yang lain. Yayuk seperti seorang Midas, menyentuh para perupa, dan tiba-tiba bisa berubah menjadi emas. Sebagai contoh, salah satu orang yang ‘disentuh’ oleh Yayuk adalah Bob Sick. Suatu saat, mungkin karena sudah suntuk dengan jalan kreatif yang ia lalui, Bob menemui Yayuk dan bilang, “Mbak, aku dimanajeri dong…” Lalu dicapai kesepakatan, Bob menggelar pameran tunggalnya yang bertajuk Happy Birthday NIN. Menurut pengakuan Yayuk, ia tahu kalau Bob punya potensi untuk menjadi pelukis yang ‘laris’. Dan dari segi kualitas karya, memang Bob bisa diandalkan. Saat itu, Yayuk mengalokasikan uang dari salah satu lembaga yang dikelolanya, dengan direktur lembaga tersebut suaminya sendiri, Ugo Untoro. Sedangkan lembaga yang dimaksud adalah Museum dan Tanah Liat. “Saat itu aku sama sekali tidak berpikir bahwa uang itu harus kembali,” ujar Yayuk, “kuanggap duit ilangilangan… Dan saat itu pula, uang MdTL pun hanya terbatas, aku terpaksa nyari duit tambahan ke san ke mari, Bob juga. Dan saat itu semua sepertinya lancar banget…”
264
Ternyata kelancaran proses pameran tunggal Bob, diikuti kelancaran penjualan karya Bob. Di pameran Bob itu, terjual lukisan dengan jumlah yang cukup fantastis, sebanyak 150 lukisan terjual ludes. “Peran Mbak Yayuk sangat besar di pameranku itu.” begitu pengakuan Bob. Tetapi selain itu, Bob yang sangat suka dengan ramalan percaya bahwa di tahun 2007, ia akan mendulang sukses. Kepercayaan itu bahkan sudah didengar oleh banyak orang di dekat Bob. Kepada beberapa orang, bertahun-tahun sebelumnya, Bob selalu bilang, “Tahun 2007 adalah tahun suksesku. Begitulah yang kubaca dari ramalan shio, dan aku mempercayainya.” Tetapi dengan nada merendah, Yayuk selalu bilang bahwa ia orang di balik suksesnya beberapa seniman yang ditanganinya. Untuk soal seperti itu, beginilah yang dikatakan Yayuk, “Itu kayak jodoh saja, kok. Juga kebetulan, orang yang berpameran sudah saatnya untuk meraih sukses. Bob kan juga punya reputasi seni yang cukup baik. Hal-hal kayak gitu itu kan kayak orang mau babaran saja. tinggal menunggu hari untuk melahirkan bayi.” Kepada sosok Yayuk-lah, Toni kemudian datang. Tetapi saat itu, Toni hanya bilang ke Yayuk begini, “Mbak, aku bantu-bantu di sini ya (MdTL), apa sajalah, pekerjaan apapun aku mau.” Yayuk tentu saja menerima Toni ‘bekerja’ di MdTL. Dan melakukan berbabagai kegiatan rutin yang sering dilakukan oleh MdTL. Tetapi tidak lama kemudian, Yayuk ilang ke Toni, “Ton, kamu itu sebetulnya mau apa? Kamu itu dari dulu kan pelukis, kenapa enggak melukis saja lagi? Itu ada kanvas dan cat, pakailah.” Semenjak Yayuk bilang seperti itu, Toni kemudian mulai melukis lagi. Kali itu, setelah bertahun-tahun bertaruh bersama Taring Padi, ia memasuki kembali gelanggang seni rupa yang pernah ditinggalkannya. Ia berlaga dengan atas namanya sendiri. ---
265
M
dTL, didirikan oleh Ugo pada tahun 1998. Sebetulnya, saat itu yang ada bukanlah sebuah museum, melainkan studio melukis Ugo. Di sana banyak orang yang berkumpul, dan setiap hari jadi tempat bagi banyak seniman muda untuk mabuk-mabukan. Lama-lama, Yayuk berpikir, dari pada dipakai untuk mabuk-mabukan, ruang itu dipakai utuk hal yang lebih baik lagi, misalnya saja untuk menggelar pameran bagi pelukis yang ingin menambah daftar panjang pameran yang pernah mereka ikuti. “Bagaimanapun seorang seniman, butuh curriculum vitae. Tidak bisa seorang seniman kok tibatiba muncul dan kemudian jadi besar.” tutur Yayuk menjelaskan keinginannya saat itu. Nama MdTL sendiri, di sana ada kata ‘museum’-nya, sebetulnya merupakan impian Ugo untuk mempunyai sebuah museum. “Tetapi bukan museum yang angker dan formal. Ya benar-benar museum, di mana ada banyak karya pelukis yang dipajang di sana. Dan aku pengennya museum itu khusus untuk para perupa yang masih muda,” ungkap Ugo. Sedangkan Tanah Liat, adalah nama anak pertama Ugo dan Yayuk. MdTL sendiri, seperti rumah ketiga bagi Yayuk. “Rumah pertama adalah rumah tanggaku dengan Ugo, rumah kedua adlah kandang kuda, dan MdTL rumah ketiga.” Awalnya, Yayuk menjelaskan, tidak gampang mengelola tiga rumah itu. semua butuh biaya. Sedangkan saat itu, Ugo belumlah semoncer dan selaris sekarang ini. “Kadang kalau ada kegiatan di MdTL, aku pinjam duit ke teman-teman, terutama pinjam ke Teddy. Pernah juga, saat ada pameran yang diselenggarakan oleh MdTL, aku menjual hp-ku, dari yang harganya di atas 5 juta, aku ganti hp yang harganya 300 ribu.” Tetapi sekarang ini, menurut Yayuk, MdTL sudah mulai bisa jalan sendiri. Dia pengennya, MdTL perlahan-lahan dikembalikan fungsinya sebagai sebuah museum. Sedangkan kalau ada pameran bisa diselenggarakan di tempat yang lain,
266
seperti pameran Bob yang digelar di Yogya National Museum, walaupun yang menyelenggarakan acara tersebut adalah MdTL bekerjasama dengan Yogya National Museum. “Kalau bisa sih diselenggarakan di tempat-tempat seperti Cemeti atau Bentara Budaya, sehingga MdTL benar-benar bisa dikembalikan fungsinya sebagai sebuah museum,” tutur Yayuk, membentangkan gagasannya soal MdTL ke depan. --epintas, kalau kita jeli, kita bisa mulai melihat semacam jejaring yang cukup unik di Yogya, dengan melihat cara bergeraknya MdTL. Hal ini pun diakui oleh Yayuk. Para perupa satu dengan yang lain, terlihat sangat saling peduli. Ketika ada satu perupa yang mulai mendulang sukses, ia akan menggeret perupa lain, walaupun tentu proses menggeret itu juga tidak dilakukan dengan sembarangan.
S
Ugo pun mengiyakan apa yang dikatakan oleh Yayuk. Dulu, saat ia didatangi oleh kulektor lukisan, ia selalu mempromosikan karya teman-temannya yang dianggapnya juga mempunyai kualitas yang bagus, misalnya Teddy. Kolektor itu kemudian diajaknya untuk pergi ke tempat Teddy. Bahkan, menurut pengakuan Yayuk, Ugo sering sekali meminta syarat jika ada kolektor yang ingin membeli lukisannya, “Bapak boleh beli lukisan saya, tapi harus beli lukisan pelukis ini dan itu…” Kalau si kolektor agak ngeyel, Ugo terus bilang, “Ngapain sih Pak beli lukisan saya banyak-banyak? Satu atau dua saja kan cukup…’ Dan hal seperti itu pun dilakukan oleh Teddy. Setiap ada kolektor yang datang kepadanya, ia selalu membawa kolektor tersebut datang ke perupa-perupa yang lain. Teddy ikut mempromosikan kawan-kawannya. “Sampai ada banyak kolektor yang berkomentar lho,” ujar Yayuk, ”mereka bilang: Yogya ini aneh, tidak seperti kota-kota
267
lain, di sini para perupanya saling merekomendasikan antara perupa satu dengan perupa yang lain.” Hal seperti inilah yang sebetulnya agak khas dari pergaulan perupa di Yogya. Mella Jaarsma membenarkan hal itu, juga Arahmaiani dan juga Ong Harry Wahyu. Dan itulah keunikan Yogya, memang tetap saja ada semacam kompetisi antar-perupa, tetapi mereka juga saling mendukung. Sampai pada taraf yang agak ekstrem seperti yang dilakukan oleh Ugo: boleh beli lukisannya dengan syarat membeli lukisan perupa lain yang direkomendasikannya. Di kota dan daerah lain, di mana banyak perupa juga bertebaran di wilayah-wilayah tersebut, hal seperti ini, jejaring yang khas seperti hal tersebut, tampaknya tidak terjadi. Selain itu, ada cara lain yang sering digunakan oleh para perupa Yogya untuk saling mendukung perupa atau seniman lain. --atif masuk ISI tahun 1999, ia satu jurusan dan satu angkatan dengan There. bersama teman-temannya, dari berbagai jurusan yang lain, mereka mendirikan sebuah sanggar bernama Sanggar Caping. Berbagai kegiatan mereka lakukan bareng, seperti kegiatan membuat sketsa bersama.
L
Sanggar Caping kemudian secara kelembagaan dekat dengan Taring Padi. Sanggar itu memang telah membubarkan diri, dan kemudian Taring Padi memasuki fasefase yang cukup sulit. Ia kemudian lontang-lantung tidak karuan. Pengalamannya selama di Taring Padi dan Sanggar Caping, sebuah komunitas yang hidup dengan cara-cara kolektif membuat pikirannya terbuka, sebab sebelumnya, ia sempat masuk dalam wadah salah satu partai politik yang selalu mengedepankan sikap kekerasan, baik ketika kampanye maupun saat melihat ada ‘perbedaan ideologi’ kelompok lain. Ketika Latif mulai masuk ISI dan kemudian bergabung dengan Sanggar Caping dan Taring Padi, lambat laun pemikirannya mulai mengalami pergeseran. “Walaupun tentu saja tidak mudah. Benturan tentang apa yang kualami saat
268
sebelum berada di lingkungan Taring Padi dan saat sudah berada di sana.” ujarnya. Ketika kemudian mulai luntang-lantung itulah, ia bertemu dengan Teddy, dan ditawari Teddy untuk ikut ‘bantu-bantu’ pekerjaan Teddy. Latif langsung mengiyakan. Awalnya, ia hanya membantu hal-hal yang sederhana, misalnya ikut membereskan alatalat melukis Teddy yang berantakan, atau membelikan kebutuhan-kebutuhan untuk melukis Teddy, dari mulai cat, kuas sampai kanvas. Tetapi lama kelamaan, mulai naik jenjang keterlibatannya, seperti memasang kanvas, membersihkan jamur, dan mengepak lukisan-lukisan yang hendak dikirim. Dari proses seperti itulah, Teddy sering mengajak ngobrol Latif soal seni rupa, dari mulai konsep, eksekusi karya sampai soal sifat-sifat media yang sering digunakannya. Latif mengaku, “Dari sana aku belajar banyak, terutama dalam hal konsep sebuah lukisan.” Bagi Latif, bekerja membantu Teddy, membuatnya bukan saja mendapatkan uang, tetapi juga banyak pengalaman. “Dan sekalipun aku itu bisa dibilang orang yang membantu Teddy, tetapi ia selalu memposisikan aku sebagai teman. Ia tidak pernah menyuruh dan memerintah aku. Kalau ada apa-apa, baik Teddy dan There, selalu bertanya: Kamu ada waktu luang enggak hari ini?” Latif juga merasakan betul, bahwa sebetulnya dengan sedikit demi sedikit, Teddy mengajak dirinya untuk terus mengasah ketrampilannya. Selain itu, Teddy mendorong Latif agar ia terus berkarya. “Teddy sering menyempatkan datang ke tempatku, melihat lukisan-lukisanku, lalu memberikan masukan, kurang ini atau kurang itu. Tetapi kalau aku memberikan argumenku, Teddy juga mendengarkan dengan baik.” “Kadang-kadang aku bahkan merasa tidak enak,” tutur Latif, “karena Teddy sering sekali menawariku untuk mengambil kanvas yang sudah terpasang, dan menggunakan cat-catnya. Tapi
269
menurutku itu sudah berlebihan. Dia terlalu baik.” Tetapi proses menuju ke sana, ke sebuah hubungan kerja membantu Teddy sebetulnya tidak mulus. Misalnya saja ketika sebuah karya sudah dibungkus dan siap dikirim, tiba-tiba Teddy ingin melihat karyanya kembali. Dengan begitu, terpaksa Latif harus membongkar lagi barang yang sudah dikemasnya. “Tetap lambat laun, aku jadi mengerti irama Teddy, dan Teddy juga mulai mengerti iramaku.” Bahkan menurut Latif, Teddy selalu menghargai privasi dirinya. Kalau kebetulan suasana hatinya sedang tidak enak, Teddy tidak pernah menghubunginya, seakan Teddy tahu kalau Latif sedang tidak ingin diganggu. Atau Teddy sangat memperbolehkan Latif untuk terlibat dalam bentuk-bentuk pergaulan sebagai mahluk sosial, “Pernah suatu ketika harus ada barang yang segera dipak dan dikirim, tetapi begitu Teddy tahu kalau aku sedang membantu teman yang sedang pindah rumah, Teddy tidak memintaku untuk segera datang. Tapi menunggu hingga semua urusanku bantu-bantu teman selesai.” Tapi Latif juga mengakui, kalau Teddy mabuk, sering bikin onar. Dan kalau kebetulan ia sedang bersama Teddy, ia berusaha menjaga Teddy, “Kalau dia mabuk berat kan suka nantangnantang orang di jalan. Akhirnya aku yang harus ikut ngomong ke orang yang ditantang itu: Maaf Mas, dia sedang mabuk…” Latif mempunyai prinsip, di dalam hidup ini dia harus selalu belajar dari siapa saja dan dari mana saja. Dan di tahap ini, ia merasa dia memang sedang belajar dari Teddy. Dan Teddy selalu bilang agar Latif tidak lupa berkarya. Dan bentuk dukungan lain yang penting adalah, Teddy berusaha membuka akses untuk Latif, agar ia bisa ikut pameran. Selain Latif, orang yang biasa membantu Teddy bernama Budi atau kadangkadang oleh orang lain ia dipanggil Satrio, sebab nama lengkapnya: Satrio Budi Gunawan. Budi banyak membantu kerja-kerja Teddy terutama yang berurusan dengan
270
karya tiga dimensi, sebab Budi anak ISI jurusan patung, dan ia cukup paham dengan sifat-sifat bahan untuk tiga dimensi. Selain itu, ia punya banyak kenalan yang mempermudah pengeksekusian gagasan Teddy di dalam karya tiga dimensi. Seperti halnya Latif, sekalipun sebetulnya Budi itu membantu kerja-kerja Teddy, tetapi Teddy selalu memposisikan Budi setara dengannya. “Ia selalu mendiskusikan gagasannya, dan meminta pertimbanganku, terutama kalau menyangkut bahan-bahan yang akan digunakan dan di mana sebaiknya bisa dikerjakan.” ujar Budi. Lalu tugas Budi adalah dia mencoba memberi masukan ke Teddy, soal pilihan bahan yang hendak dipilih, dan kemudian mencari tahu, di mana tempat yang tepat untuk mengerjakan hal itu. Dan hampir mirip dengan apa yang dilakukan Teddy kepada Latif, Budi berkata, “Dia (Teddy) tidak pernah berhenti mendorong saya untuk berkarya, bukan hanya berhenti sebagai orang yang membantunya atau membantu seniman-seniman lain.” Budi juga tahu, kelemahan terbesar Teddy adalah kalau dia sedang mabuk. “Benar-benar tak terkontrol. Dan sering merepotkan teman-temannya. Tapi ya begitulah Teddy, setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan.” ujar Budi sambil tersenyum. --rang yang pernah juga membantu Teddy bernama Gentong. Sedari kecil, Gentong kerap berpindah-pindah tempat tinggal dan sekolah, hingga kemudian saat SMA ia berdomisili di Semarang, tetapi kemudian keluar dari SMA. Ia kemudian asyik berkumpul bersama komunitas para punker di Semarang. Di saat itulah, karena di komunitas punk sering ada diskusi politik, kesadaran politiknya mulai muncul.
O
Kemudian tiba saatnya ketika di Yogya ada pergelaran musik, saat itu tahun 2001, pergelaran diadakan di Gampingan dan salah
271
satu grup musik yang pentas adlah Black Boot, sebuah grup punk yang digawangi oleh sebagian besar para aktivis Taring Padi. Begitu tahu ada sebuah tempat yang nyaman di Gampingan, Gentong kemudian memutuskan untuk hidup di Gampingan. “Bayanganku dulu, aku akan di Gampingan sampai akhir dunia. Eh, ternyata tidak…” Saat Gentong di Gampingan itulah, ia mendengar sebuah grup musik yang legendaris bernama Steak Daging Kacang Ijo. Toni, tentu Gentong kenal. Edo Pillu, ia tahu. Sedangkan Teddy, ia juga kenal karena kalau punya uang selalu ke Gampingan dan ngajak semua orang untuk mabuk. Sedangkan Bob, ia tidak tahu. “Bob seperti hantu, namanya banyak disebut, tetapi saat itu aku tidak tahu gimana bentuk orangnya.” Gentong baru tahu sosok Bob, ketika suatu siang, ada seseorang penuh tato menggeber sepeda motornya keras sekali masuk ke Gampingan. Gentong terheran-heran, “Wah, mahluk apa itu?” Tapi tubuh penuh tato itu ternyata menebar senyum ramah di mana-mana, lalu sosok itu langsung menemui Toni dan Heidi. Mereka kemudian saling bercengkerama. Lalu Gentong berkenalan dengan Bob. Dari situ Gentong tahu dan membatin, “O ini yang namanya Bob…” Semenjak perkenalan itu, Gentong lengket dengan Bob. Demikian juga sebaliknya. Bahkan pernah suatu kali, ia diajak Bob ke Jakarta untuk ngasong lukisan, maksudnya, menawarkan lukisan dari satu galeri ke galeri yang lain. Saat itu, mereka berangkat berdua, naik kereta api bisnis dengan membayar di atas, sehingga bisa lebih murah. Mereka pergi dengan membawa 6 lukisan, tetapi tidak ada yang laku. Dan Bob hanya berkomentar pendek saat itu, “Ngentot nih para kolektor, gak ada yang mau lukisanku!” Lalu mereka berdua pulang dengan tangan penuh, penuh lukisan, tapi kantong kosong, tanpa uang. Kelak, pengalaman mengasong lukisan juga dialami oleh Bob bersama temannya yang sat itu sudah mecoba peruntungan nasib
272
di Jakarta, Edi Mulyo. Mereka berdua pun sering ngasong dan sering pulang dengan tangan hampa. “Pernah, sampai uang di kantong tinggal 250 rupiah, untuk naik bis pun gak bisa. Ya terpaksa jalan kaki,” tutur Edi, yang sekarang ini sering berada di tempat Bob. Tetapi ada saat di mana kemudian Gentong bosan di Taring Padi, maklumlah, umurnya sat itu belum genap 20 tahun. Gentong kemudian hengkang dari sana, dan memutuskan untuk tinggal dengan Teddy. “Aku dulu pengen nyantrik sama Teddy. Bantu-bantu dia mulai dari bersih-bersih rumah sampai masang kanvas…” Dari sanalah, Gentong menjadi semakin paham mengapa Teddy benar-benar berpotensi menjadi seniman ulung, “Saat itu ia sering mengekplorasi bahan. Apapun itu. Dan total, enggak setengah-setengah. Pernah suatu malam karena dulu rumah kontrakan Teddy dekat sawah, ada banyak orang yang nyari katak dengan obor karbit. Teddy minta langes-nya dan dicoba untuk tinta lukisan. Pernah juga ia ngumpulin besi bekas, yang katanya saat itu akan dibuat menjadi karya pedang. Dan ternyata dilakukan betul.” Tetapi berkali-kali Gentong pun mengalami hal lucu bersama Teddy, “Saat itu Teddy enggak punya uang. Untuk merokok pun enggak ada. Saat itu hujan deras. Terus kita bingung, ngapain ya? Akhirnya Teddy menatoku. Tapi sebelum selesai, tinta tatonya sudah keburu habis…” Tetapi Gentong pun lama kelamaan bosan tinggal dengan Teddy, akhirnya ia pindah ke komunitas yang lain. Tetapi hubungannya dengan Toni, Teddy dan Bob tidak pernah putus. “Mereka selalu mendukung apapun yang ingin kulakukan, termasuk memberiku uang.” lanjut Gentong sambil tertawa ngakak. Kini, Gentong sedang mempersiapkan sebuah lembaga yang diinisiasi oleh Toni, Teddy dan Bob, lembaga tersebut bernama
273
Steak Daging Kacang Ijo Foundation. Rencananya, kerja awal lembaga tersebut adalah membantu para musisi indie untuk rekaman. “Ini sudah mau jalan. Tinggal tunggu Toni pameran tunggal, Bob menikah, dan anak Teddy lahir.” Gentong mengakui, yang paling antusias untuk secepatnya merealisasikan gagasan itu adalah Bob. Sepertinya, Bob tidak ingin melewatkan ‘masa jayanya’ di Steak Daging Kacang Ijo. Steak Daging Kacang Ijo memang pernah digosipkan mau didirikan lagi. Tetapi di antara mereka bertiga masih belum bertemu dalam satu suara, temasuk ketika diomongkan ke Edo Pillu. Ada yang berpendapat dengan sangat yakin, cukuplah bahwa Steak daging Kacang Ijo cukup menjadi legenda saja. Dan sudah saatnya mereka cukup mendukung banyak musisi agar bisa membuat album rekaman. Tetapi ada yang tetap berkeinginan agar Steik Daging Kacang Ijo tetap pentas, tapi sesekali saja, cukup untuk menghibur diri para pemainnya sendiri, bukan untuk menghibur penonton. Ketidakjelasan mendirikan ulang Steik Daging Kacang Ijo sebagai sebuah grup musik, sama tidak jelasnya saat grup itu bubar dengan tidak aktifnya Edo Pillu. Menurut Bob dan Teddy, Edo Pillu dipecat Toni dengan alasan Edo Pillu satu-satunya personel yang bisa main musik. Tetapi kata Toni, Edo keluar sendiri karena sudah mulai malas bermain musik. Sedangkan saat hal ini dikonformasi ke Edo Pillu, ia mengatakan dua alasan. Pertama, karena Suharto sudah jatuh, seharusnya memang Steak Daging Kacang Ijo bubar, karena dulu Steak Daging Kacang Ijo dimunculkan untuk memecahkan kebekuan di saat rezin Suharto masih berkuasa. Alasan kedua, karena saat itu Edo Pillu ingin sembuh dari ketergantungannya dari obat-obatan dan alkohol. “Kalau aku kumpul sama mereka lagi (Toni, Teddy, Bob), aku bisa kambuh lagi.” tutur Edo. Terlepas soal perdebatan apakah grup musik Steak Daging Kacang Ijo mau bangkit lagi atau tidak, tetapi yang jelas Steak
274
Daging Kacang Ijo Foundation tampaknya dalam waktu singkat akan segera berdiri. Gentong memastikan hal itu sambil berkata, “Semangat untuk membantu kawan itu yang aku salut dari niatan lembaga ini didirikan.” Khusus dengan Bob, Gentong mengaku sampai saat ini masih melihat bahwa Bob adalah sebuah keajaiban. Gentong ikut menjenguk saat Bob ‘kecelakaan’ dan dirawat di rumah sakit. “Saat itu bahkan aku bawa kamera, dan aku mendokumentasikan kondisi Bob saat itu. Tapi aku berjanji tidak pernah akan mempublikasikan hasil dokumentasi itu.” Di saat menjenguk itulah, Gentong dan beberapa kawannya yang lain, sudah mulai mencoba menerima bahwa, “Bob pasti lewat…” maksudnya, Bob pasti meninggal dunia. “Saat itu,” tutur Gentong, “tidak ada seorang pun kawan yang yakin kalau Bob bisa hidup lagi.” Maka ketika kemudian Bob ternyata mampu bertahan dan kemudian melewati saat-saat kritis, Gentong hanya bisa bilang, “Dia itu seperti Lazarus!” Rasanya tidak berlebihan jika kemudian Gentong berseru seperti itu, mengutip sebuah nama dari Alkitab, sosok bernama Lazarus yang telah meninggal dunia selama 4 hari, kemudian dihidupkan lagi oleh Yesus Kristus.
275
Ketika Sampah
Bisa Menjadi Emas
P
ADA paruh tahun 2007, jagat seni rupa Indonesia, kembali mengalami booming untuk yang ke sekian kali. Kali ini, ada beberapa ciri yang menyerupai dengan fase-fase booming sebelumnya, harga lukisan melejit tinggi, pasar seperti tidak terkendali dan liar. Tetapi ada juga yang sedikit membedakan dengan fase-fase booming sebelumnya, untuk kali ini, lompatan harga begitu tinggi, dan ada variabel lain yang penting, untuk kali ini ada hubungannya dengan pasar regional dan internasional. Arahmaiani melihat, “Pada dasarnya (booming kali ini) merupakan dampak dari pasar seni rupa di China. Karena booming di sana seperti enggak ada akhirnya, dan harga-harga melambung sangat tinggi, sehingga orang-orang di sana (China) hanya beberapa saja yang bisa bermain, ya akhirnya mereka mencari permainan ke wilayah Asia Tenggara. Dan kalau bicara soal Asia Tenggara, salah satu yang menjadi daya tariknya adalah Indonesia.” Lebih lanjut Arahmaiani menjelaskan, mengapa Indonesia menjadi daya tarik, sebab di Indonesia mempunyai lebih banyak seniman di banding misalnya Thailand atau Filipina. Sehingga Indonesia lebih bervariasi, dan juga karena Indonesia mempunyai cukup sejarah seni rupa. Teddy, mengingatkan, bahwa apa yang disebut sebagai booming seni rupa itu keliru. “Yang terjadi adalah booming lukisan.” katanya, “ini tidak bisa digebyah uyah, disamaratakan, karena bidangbidang seni rupa yang lain tidak mengalami booming. Performance art tetap tidak dihargai, juga karya instalasi.” Hendro Wiyanto juga mengoreksi hal yang sama. Dan ia menegaskan, “Booming itu tidak menghasilkan apa-apa, dalam arti, ketika terjadi booming kok terus lalu muncul seniman-seniman hebat.” Kembali dalam kaitannya dengan booming lukisan, banyak orang melihat, ini seperti dua mata pedang, bisa membawa pengaruh yang baik, dan sekaligus bisa juga membawa dampak yang buruk. Arahmaiani mengatakan, “Seperti sinar matahari
279
dan mendung yang datang bersamaan.” Arahmaiani melihat, ada sisi positif dari setiap booming, yaitu seniman bisa mempunyai banyak uang dan bisa berkarya terus, demikian juga banyak galeri yang diuntungkan secara finansial. Tetapi ia juga melihat sisi negatifnya, sebab menurut Arahmaiani, pasar seni rupa Indonesia belum mendapatkan pendidikan dan informasi yang benar tentang dunia senirupa. “Para kolektor yang memahami betul seni rupa dan mengapresiasi seni dengan sungguh-sungguh, hanya beberapa gelintir orang saja. Umumnya yang banyak beredar di pasar adalah para spekulan yang enggak ngerti dan pada dasarnya juga tidak peduli dengan seni.” tegasnya. Di sinilah, Arahmaiani melihat ada potensi pemiskinan kreativitas seniman di Indonesia. “Tiba-tiba banyak pelukis di Indonesia yang meniru gaya pelukis China. Dalam situasi yang dilanda ‘Tsunami China’ seperti itu kan muncul keresahan dari banyak pihak yang punya perhatian terhdap perkembangan seni di Indonesia. Tiba-tiba kita seperti kehilangan identitas. Kita harus berani bertanya, mana identitas orang Indonesia? Dan kenapa kita harus meniru oang China?” Persoalan booming kali ini juga mengusik pikiran Mella Jaarsma. Ia melihat, memang ada sisi baiknya, “Seniman bisa punya akses yang lebih banyak dan punya uang sehingga mereka bisa membuat karya yang lebih besar dan teknik yang lebih istimewa, dengan bahan-bahan lukisan yang lebih awet dan bermutu.” Tetapi di sisi lain, Mella melihat juga sisi buruknya, “Tetapi hal ini juga bisa merukak banyak hal, terutama kreativitas seniman. Sebab kan yang laku hanya lukisan. Maka banyak pelukis muda yang mungkin masih perlu mengeksplorasi berbagai media dan bidang seni yang lain, kemudian fokus hanya mengurusi lukisan saja.” Dalam situasi yang seperti itu, mungkin menarik untuk menyimak beberapa pendapat, potensi apakah yang bisa dimaksimalkan untuk mendorong dunia seni rupa Indonesia saat ini, dengan memanfaatkan booming yang sedang terjadi. Menurut
280
Hendro Wiyanto, “Ini saatnya untuk terus memperbaiki infrastruktur seni rupa di Indonesia, terutama infra-struktur yang independen, dalam arti bisa mengatakan tidak terhadap pasar yang terlalu jauh melenceng, termasuk mengatakan tidak terhadap lelang-lelang yang berisi (karya-karya) sampah.” Tetapi Hendro juga mengakui, di saat seperti inilah, para kurator mendapatkan momentum agar bisa menulis catatan kuratorial yang panjang dan berbobot. Dan kemudian juga berharap akan semakin banyak buku tentang seni rupa yang bisa diterbitkan. Dan yang lebih penting lagi, kata Hendro, “Harus segera dibuka ruang untuk mengakomodasi jenis seni non-lukisan.” Sedangkan Arahmaiani berpendapat, sebetulnya keresahan baik dari kalangan seniman, kolektor, atau bahkan pemilik galeri yang menginginkan pertumbuhan seni rupa di Indonesia lebih sehat lagi, sudah mulai muncul sejak booming luksian pada akhir tahun 1990an dan awal tahun 2000an. Ketika itu dipicu oleh wacana ‘goreng-menggoreng’ yang ditelorkan oleh seorang kurator bernama Adi Wicaksono. Terlepas dari berbagai tudingan yang diarahkan ke Adi Wicaksono, soal validitas data, tetapi hasil penelitian Adi sebetulnya termasuk mencoba ‘menyelam di dalam kedalaman dunia seni rupa’, yang sering tidak dilihat atau sengaja memang tidak dilihat oleh para pelaku di dunia tersebut. Dan tulisan tersebut merupakan salah satu tulisan seni rupa yang menyeruak ke khalayak, memberi denah sirkuit kepentingan antar berbagai pihak di dunia seni rupa. Memang kemudian situasinya mendadak memanas. Bahkan, konon, Adi Wicaksono sempat didatangi beberapa pelukis dengan membawa senjata tajam, yang membuatnya harus hengkang dari Yogya. Sebuah noda tertoreh. Apapun alasannya, ketika pemikiran intelektual telah dihadang dengan tajamnya parang, satu ruang telah terampas kemerdekaannya, dan jika tabiat seperti itu diteruskan, sebuah bangunan yang lebih besar bisa roboh karenanya. Tetapi ada banyak pihak yang mulai melihat dengan jernih duduk permasalahannya. Menurut Arahmaiani, Oei Hong Djin,
281
salah satu kolektor lukisan yang cukup disegani di Indonesia dengan reputasinya yang baik, mulai menginisiasi agar terjadi pertemuan antaa para klektor lukisan, terutama dari para kolektor yang berdomisili di Magelang dengan para seniman. “Di forum itu, mereka bisa ngobrol dan saling bedialog. Bahkan kadangkadang diundang para kurator untuk ikut memperkaya wacana seni rupa bagi para seniman dan para kolektor.” Dari pertemuan-pertemuan seperti itu, kemudian banyak berkembang gagasan segar, terutama untuk memikirkan kemungkinan yang lebih baik ke depan bagi dunia seni rupa di Indonesia. Tetapi sayang, ide itu bergulir dengan lamban, karena para penggeraknya yang kemudian sibuk dengan kegiatan masing-masing. Apalagi ketika salah satu pemilik galeri yang punya keinginan kuat untuk memberikan kontribusi dalam perkembangan dunia seni rupa, Deddy Irianto, harus berkutat melawan penyakit kanker yang dideritanya. Ketika booming terjadi lagi, dengan potensi risiko yang lebih besar terjadi lagi, mulailah forum adu gagasan yang semula mandek, mulai dikembangkan lagi, terlebih ketika Deddy Irianto sudah lepas dari ancaman penyakit yang dideritanya. Apalagi di saat yang sama, muncul momentum 10 tahun reformasi. Lewat momentum inilah, Arahmaiani, Deddy Irianto, dan beberapa kurator serta seniman yang peduli dengan perkembangan seni rupa di Indonesia, mulai mematangkan dan memproses gagasan yang dulu sempat mengemuka. “Kita mulai dari refleksi 10 tahun reformasi,” kata Arahmianai, “kita ingin mempertanyakan kembali identitas kita sebagai orang Indonesia, dan melihat posisi kita berada di mana.”
Lagi-lagi menurut Arahmaiani, ‘Tsunami China’ yang menerpa dunia seni rupa Indonesia, sebetulnya bisa mencerminkan bagaimana dunia global itu dioperasikan. “Pada dasarnya, dalam situasi seperti itu, kita tetap saja sebagai kelompok yang dihisap. Dan masalahnya, apakah kita akan mau menyerah begitu saja dijadikan sapi perah, atau sebetulnya kita punya nilai tawar yang kuat.”
282
Para seniman di Indonesia, kata Arahmaiani, punya potensi dan kekuatan untuk bertarung di kancah regional maupun internasional, tanpa harus meniru para pelukis China. “Para seniman kita bisa muncul dengan kekuatan sendiri, dengan warna sendiri, dan dengan identitas sendiri. Kita harus yakin dengan hal itu. Lalu kita bisa muncul sebagai orang-orang yang datang dari sebuah lingkungan sendiri, dan tidak perlu berpura-pura jadi orang China.” Kalau banyak seniman, kurator, pemilik galeri yang menyadari hal ini, maka isu ini bisa diangkat ke permukaan, dan Arahmaiani yakin, dunia akan menoleh ke Indonesia. “Kita bisa memberi suara yang beda tapi berisi dan bermakna. Kita bisa menyuarakan diri sebagai orang-orang yang memang datang dari keadaan negara yang sedang terpuruk secara ekonomi, dan tidak perlu merasa minder, apalagi harus ‘ganti pakaian’ meniru China supaya terlihat sejajar. Kita harus tampil percaya diri, memahami duduk perkaranya dengan baik, mengerti betul berada di mana posisi kita dalam konstelasi yang ada, dan berani bersuara dengan suara kita sendiri.” Menarik menyimak para pemikir seni rupa Indonesia dalam melihat permasalahan seni rupa, dan berusaha mencari celah untuk terus melakukan terobosan wacana dan paktik, terutama di saat memanfaatkan momentum booming kali ini. Tetapi mungkin perlu juga menyimak bagaimana sebetulnya persoalan booming di mata seorang kolektor seni lukis di Indonesia yang sangat ternama: Oei Hong Djien. --ejak kecil, Oei Hong Djien sudah terbiasa hidup dengan memandang lukisan. Di rumahnya, banyak terpajang lukisan koleksi ayahnya, terutama lukisan-lukisan Belanda. Ayah Hong Djien yang berbisnis tembakau, sebetulnya bercitacita ingin menjadi dokter, tetapi tidak kesampaian, sehingga keinginan itu diwariskan kepada Hong Djien. Dan Hong Djien pun kemudian kuliah kedokteran di Universitas Indonesia, lalu meneruskan kuliah di Belanda.
S
283
Selama berada di Belanda, ketertarikan Hong Djien terhadap lukisan semakin meningkat, akhirnya sebagai jalan tengah karena tidak sanggup membeli lukisan, ia banyak mengoleksi kartu pos yang bergambar karya para pelukis ternama. Tetapi jalannya nasib tidak bisa diduga. Ayah Hong Djien tiba-tiba meninggal dunia, dan mau tidak mau kemudian Hong Djien harus berpindah profesi, dari seseorang yang mendalami patologi, ke bisnis tembakau. “Tembakau itu seperti anggur, tidak ada yang sama, dan itu butuh sentuhan seni,” katanya, ketika ditanya soal adakah hubungan antara tembakau dan seni. Dan hubungan yang lebih penting lagi adalah, tanpa tembakau, Hong Djien tidak mungkin bisa menjadi kolektor. Suatu saat, ia ingin sekali mempunyai lukisan Affandi, lalu Hong Djien pun datang ke tempat Affandi. “Pak, aku pengen tiga lukisan, tetapi uangnya enggak ada,” ujar Hong Djien suatu saat kepada Affandi. Affandi kemudian bilang, Hong Djien boleh mencicil untuk membeli lukisannya. “Berapa lama, Pak?” tanya Hong Djien lagi. Affandi kemudian menjawab terserah. Lalu ketiga lukisan itu dicicil selama setahun. Malah, Affandi memberi potongan harga karena dibayar dengan cara dicicil, sebab kata Affandi, cara itu bisa membuat dapurnya terus mengepul. Dari Affandi-lah kemudian Hong Djien belajar banyak soal lukisan. Oleh Affandi, Hong Djien sering diajak bermain ke tempat pelukis-pelukis yang lain. di proses sperti itulah, Hong Djien sering bertanya, tentang lukisan yang bagus. Suatu saat, di sebuah acara pameran ia disuruh ceramah soal lukisan. Padahal yang datang saat itu banyak dari para intelektual dan pelukis kenamaan. Hong Djien sempat gemetar. Saat ia mulai cermah, tiba-tiba ada yang neyletuk bertanya, “Bagaimana cara Anda menilai lukisan?” Di saat itu, ia teringat bahwa pertanyaan itu pun pernah
284
ditanyakan Hong Djien kepada Affandi, dan saat itu Affandi menjawab, “Kalau kelirnya bagus, warnanya bagus, dan dirasakan bagus, berarti ya bagus.” Tetapi saat ditanya di forum itu, Hong Djien sudah punya jawaban sendiri tentang bagaimana menilai sebuah lukisan. Ia kemudian bilang, “Menilai lukisan itu kan dari visual, dan karena itu mata kita harus sensitif. Caranya adalah dengan melatih mata kita dengan pengalaman melihat lukisan sebanyak-banyaknya dan sesering-seringnya, terutama karya-karya yangsudah dinyatakan bagus oleh para ahlinya.” Hong Djien tidak pernah berpikir dirinya menjadi seorang kolektor lukisan. Pada saat itu, yang dia lakukan adlah jika ada lukisan yang bagus, ia membeli lukisan itu. Begitu terus, hingga lukisan-lukisan koleksinya bertambah banyak. Ia tidak ingat betul, berapa jumlah lukisan yang dikoleksinya, dan hanya bisa memberi perkiraan, sampai sekarang ia mempunyai koleksi lukisan antara 1.300 sampai 1.500 lukisan. “Beli lukisan itu sudah nyandu buat saya. Tapi kalau kondisinya seperti ini, harga lukisan mahal, para senimannya senang, saya yang pecah kepala saya!” katanya sambil tertawa keras. Hong Djien termasuk kolektor yang disegani oleh para pelukis, bahkan menjadi semacam parameter terutama bagi pelukis muda, ada semacam pameo yang digaungkan, seorang seniman belum dianggap pelukis kalau lukisan si seniman belum dikoleksi oleh Hong Djien. Dan oleh para koleganya, Hong Djien memang dikenal jarang menjual lukisan, karena ia memang pencandu lukisan. Sedangkan Hong Djien sendiri mengaku, selera dirinya juga berubah, sehingga kadang-kadang ia memang menjual lukisan yang sudah tidak disukainya. Atau, kalau ia menjual lukisan, karena ia memiliki lebih dari satu lukisan dari satu seniman dan kebetulan karya tersebut hampir sama coraknya. “Seorang kolektor itu bukan berarti tidak boleh menjual lukisan, tetapi ia pasti tidak mungkin menjual lukisan yang disukainya atau dianggapnya bermutu.”
285
Hal sepert itulah, menurut Hong Djien, yang membedakan antara seorang kolektor dengan seorang kolekdol, sebuah istilah untuk orang yang suka membeli dan menjual lukisan. “Kalau kolekdol,” tutur Hong Djien, “motivasi mengoleksinya it bukan karena suka kepada sebuah karya melainkan karena ia ingin melakukan investasi. Kalau kolektor, bahkan saat ia kehabisan duit pun lebih baik hutang bank atau jual barang dari pada harus jual lukisan.” Menurut Hong Djien, ada tiga kategori kolektor. Pertama, cinta barang seninya. Kedua, cinta duit dari seni. Ketiga, cinta keduanya, cinta seni dan juga cina duit dari seni. Hong Djien memposisikan dirinya di bagian yang pertama. Di kalangan pelukis muda, Hong Djien dikenal suka menolong dengan cara sering berkeliling, dan membeli lukisan. Soal seperti itu, Hong Djien bilang, “Ya, dulu saya memang sering keliling dan membeli lukisan dari para pelukis muda. Tetapi yang jelek tidak saya beli. Soalnya nanti pelukisnyamikir, karena sudah saya beli ia menganggap lukisannya sudah bagus. Itu kan membuat pelukis itu tidak maju.” Nama dan posisi Hong Djien yang kukuh seperti itu, menurut pengakuan Hong Djien, sering dimanfaatkan oleh para pedagang lukisan. Mereka sering mengklaim sebuah lukisan sebagai bekas dikoleksi Hong Djien, padahal tidak. Atau, misalnya si pedagang bilang Hong Djien sudah nawar lukisan itu, padahal melihat pun Hong djien belum pernah. Juga sering dimanfaatkan oleh galeri sat menggelar pameran, disebarkan gosip sebelum pameran terjadi, kalau Hong Djien sudah pesan lukisan. Padahal juga tidak seperti itu. Khusus soal booming kali ini, Hong Djien berkomentar, “Menurut saya ini sudah kebablasan. Dominasi pasar terhadap wacana seni rupa di Indonesia belum pernah seperti separah ini, terutama balai lelang.” Hal seperti itulah membuat banyak pelukis akhirnya hanya menuruti apa yang sedang dibutuhkan oleh balai lelang. Dan banyak pelukis muda yang seharusnya masih perlu berproses panjang, terpatok kepada pragmatisme supaya lukisannya laku.
286
Hong Djien juga mengakui, sering sekali yang dianggap merusak wacana seni rupa itu dari apa yang kemudian disebut sebagai ‘kartel Magelang’, terutama untuk menyebut para kolekdol yang berasal dari Magelang, yang bisnis inti mereka kebanyakan bisnis tembakau. Menanggapi hal itu, Hong Djien bilang, “Saya sebetulnya agak enggak nyaman ada sebutan seperti itu, tentang para kolekdol dari Magelang. Tapi begini, kita tidak bisa menyalahkan kalau memang ada orang yang pertama-tama suka kepada lukisan dari sisi ekonominya, karena keuntungan finansial. Kita tidak bisa mengharapkan, orang yang tidak punya latar belakang seni tiba-tiba bisa langsung suka kepada seni,” lalu dengan nada agak bijak Hong Djien, pria berusia 69 tahun itu berkata, “okelah, kalau awalnya daya tariknya hanya soal untung. Sebab kan enggak mungkin orang mau rugi. Tetapi kita bisa berharap, lama kelamaan, mereka akan suka dan memperdalam pengetahuan mereka soal seni. Kalau tiap hari mereka melihat dan dikelilingi lukisan, lambat laun pasti suka. Apalagi jika kemudian ada orang yang mengajak mereka berdialog soal seni.” Tetapi Hong Djien juga menyadari, bahwa gejala pasar yang hanya memprioritaskan lukisan yang laku yang dicari, itu sangat berbahaya. Hal itu membuat kolekdol menggenjot lukisan-lukisan yang laku saja, yang tidak laku kemudian dibuang. Kolekdol yang seperti itu, menurut Hong Djien, tidak bertanggungjawab terhadap seniman, “Kalau sedang laku dibeli terus, kalau sudah tidak laku ditinggal”. Dan senimannya tahu kondisi seperti itu banyak juga yang senang, pelukis sebanyak-banyaknya lalu dilempar ke pasar sehingga para seniman bisa bergelimang kekayaan. Apalagi bagi seniman-seniman yang dulu memang tidak laku dan menggunakan aji mumpung. Sehingga kata Hong Djien, “Lha sekarang kesempatan, buang sampah jadi emas!” Salah satu koleksi lukisan Hong Djien yang paling disukainya adalah karya Teddy berjudul ‘Benang Merah’. Karya itu dilihat Hong Djien di tempat Deddy Irianto, dan begitu melihat lukisan
287
itu, Hong Djien langsung bilang, “Ini buat saya!” Saking cintanya Hong Djien dengan lukisan, setidaknya ada dua peristiwa besar yang terjadi dalam kehidupan Hong Djien, yang kemudian disentuh dengan cita rasa seni. Peristiwa pertama adalah saat Wilowati, istrinya Hong Djien, meninggal dunia akibat serangan kanker, dan meninggal dunia di Jerman, pada tahun 1992. “Istri saya itu juga senang seni. Kalau istri saya tidak senang dengan seni, tidak mungkin saya mengoleksi lukisan sebanyak itu. saya beli lukisan apa saja, dia enggak pernah marah.” Saat jenasah sang istri dikirim ke Indonesia, hanya boleh dimasukkan ke dalam boks, tidak boleh memakai peti jenasah. Kotak yang berisi jenasah Wilowati itu kemudian sesampai di Indonesia, dilukis oleh Widayat. “Dilukis keempat sisinya, itu jadi peti mati termahal karena dilukis oleh Widayat.” kata Hong Djien, mengenal peristiwa itu sambil terkekeh. Peristiwa kedua terjadi pada tahun 2006, saat Hong Djien menikahkan salah satu anaknya. Pesta pernikahan itu diberi tajuk ‘Tobacco and Art’. Semua perlengkapan dan acara pernikahan disentuh oleh para seniman. Termasuk Hong Djien mengundang Teddy, Bob dan Ugo yang khusus didatangkan untuk melukis para tamu yang ingin dilukis potret. Kata Hong Djien, saat itu ada seniman yang nyeletuk, “Wah masak tajuknya tobacco dulu baru art…” Hong Djien saat itu menjawab dengan rileks, “Ya kan kalau saya, saya punya uang dari tembakau dulu, baru beli lukisan. Itu bedanya dengan pelukis, kalau pelukis, jual lukisan dulu baru beli tembakau atau rokok…” Para tamu undangan yang mendengar celetukan itu tertawa terbahak-bahak.
288
Epilog:
Nandur Pari Neng Awang-awang
K
AMIS, 20 Maret 2007. Senja itu, Yogya basah oleh gerimis yang mulai turun sejak sore hari. Di sebuah kafe kecil, di wilayah Yogya bagian utara, Teddy, There dan Jemek turun dari mobil Teddy, tepat ketika azan magrib terdengar hampir berbarengan dari beberapa masjid. Senja berubah menjadi malam dengan cepat. Tapi tidak di perasaan Jemek. Sejak hari Rabu, ia sudah berulang kali memastikan ke Toni dan Bob, bahwa pukul 6 sore di hari Kamis, mereka harus berkumpul kembali, untuk membicarakan lagi Teddy, Toni dan Bob di dalam sebuah proyek. Toni menyanggupi, demikian juga Bob. Tapi Jemek tahu persis dengan siapa ia sedang membuat janji. Teddy sudah ‘dikawalnya’ sejak sore untuk memastikan pertemuan itu berlangsung. Tapi Jemek bukan Teddy yang pernah punya halusinasi berubah menjadi tiga orang. Sehingga Jemek hanya bisa memastikan Bob dan Toni lewat telepon genggam, secara terus-menerus. Pukul 7 malam, mungkin sudah lebih dari 10 kali, Jemek menelepon Toni dan Bob. Ada kalanya, telepon dari Jemek diangkat, tetapi ada kalanya tidak. Perasaan Jemek menjadi waswas, setiap kali menit berganti, rasa waswas itu semakin meninggi. Tetapi perasaan Jemek kemudian menjadi segar seketika, karena tepat pukul 7.30 malam, Toni datang dengan mengendarai sepeda motor, dan Bob datang dengan diantar sopir serta istrinya. Di meja kafe itu, dua gelas kopi dan sebotol bir telah ditandaskan Jemek, jejak barang yang bisa mengisyaratkan kecemasan hatinya. Kafe itu menjadi semacam ‘pengasingan’ buat Teddy, dan semua yang hadir di sana nyaris tidak ada yang tahu soal itu. Begitu kedua orang yang telah ditunggu datang, Teddy masuk ke bagian belakang kafe, berbincang sebentar dengan yang punya, lalu mengajak semua orang untuk naik ke lantai dua. Sampai di lantai atas, Teddy menyalakan lampu, dan seketika wajah-wajah terpengarah. Di bangunan lantai dua yang nyaris
291
semua bagiannya terbuat dari kayu itu, beberapa lukisan Teddy terpasang. Di sana, ada pula sebuah lukisan yang belum jadi. Perkakas melukis, tertata rapi. Jemek sejenak lupa atas misinya. Ia dengan cermat melihat satu per satu lukisan Teddy yang ‘disembunyikan’ di tempat itu. Ketika beberapa botol bir dan beberapa gelas berisi kopi serta teh, Teddy, Jemek, Toni dan Bob mengitari sebuah meja kecil. Mereka berbincang soal tempat itu, dan Teddy sejenak menerangkan ke teman-temannya, beberapa konsep lukisannya yang terpajang di tempat itu. Sementara itu, There langsung tiduran di atas kasur, karena ia kelelahan dan juga karena kehamilannya yang semakin tua. Demikian juga Widi, calon istri Bob yang usia kandungannya mulai masuk ke bulan keempat. Malam itu, prosesnya, Teddy, Toni dan Bob mencoba mengingat-ingat, apa saja yang pernah mereka lakukan bertiga, dan apa saja komentar di antara mereka, baik secara personal maupun soal karya. “Bob, itu maestro.” kata Teddy, membuka percakapan. Bob yang saat itu terlihat segar, karena ia dijaga ketat isrinya supaya tidak mengkonsumsi pil koplo, hanya nyengir begitu mendengar komentar Teddy. “Kalau Toni, dia itu seniman sekaligus orator,” ujar Teddy, “lukisan-lukisan Toni, sebetulnya mirip seperti ketika Toni berorasi.” Toni hanya diam. Ia mencari tas lusuhnya, membuka, meraba-raba isinya, lalu mengeluarkan alat hisap untuk meredakan asma yang sedang mengamuk di dadanya. Lalu suasana menjadi penuh gelak, ketika mulai membicarakan kesintingan Bob saat masih kuliah. “Dulu, ke mana-mana, ia selalu membawa kampak dan di rambutnya selalu ada sehelai burung, karena ia begitu tergilagila dengan film The Last of the Mohicans,” kenang Toni sambil terkekeh-kekeh.
292
“Kapakku itu disita polisi di jalan, karena aku membawanya ke mana-mana.” ujar Bob. Lagi-lagi, ia menambah daftar masalahnya dengan polisi. Kemudian Teddy berkisah, dulu saat mereka kuliah, ada saat di mana para mahasiswa terutama yang suka berkumpul di bawah pohon beringin, membawa binatangbinatang peliharaan. Ada yang membawa anjing, kucing, iguana, ayam dan tikus. “Bob selalu datang dengan anjing dan kucing yang terbuat dari kayu.” Semua orang di ruangan itu tertawa terpingkal-pingkal. Juga Bob, dan kemudian ia berkomentar, “Kan enggak susah, enggak usah harus memberi makan…” Tetapi karena saat itu sering diejek teman-temannya, akhirnya Bob datang ke kampus dengan membawa ular. “Ular pertama yang dibawa Bob, mati hari itu juga, karena ketika Bob mabuk, ular itu diputar-putar sampai ratusan kali. Begitu selesai diputar, Bob hampir menangis karena ularnya mati.” Kembali terdengar suara ngakak. Perut Jemek sampai terguncang dan mengencang. “Ular kedua,” hampir berbarengan Toni dan Teddy bersuara, tetapi kemudian Toni yang mengalah, membiarkan Teddy yang melanjutkan kisah, “mati juga saat Steak Daging Kacang Ijo manggung. Karena Bob mabuk, jatuh, ular yang melilit lehernya, jatuh terlebih dahulu dan tergencet gitarnya.” Semua orang menunggu ad kisah ular ketiga. Ternyata memang ada. “Ular ketiga, ini ular yang terakhir, jenisnya kobra. Kurang ajarnya Bob, ular itu hilang di sekitar pohon beringin. Sampai berminggu-minggu, hampir tidak ada orang yang berani berkumpul di bawah pohon beringin.” Teddy mulai menenggak bir, dan There mulai mengingatkan Teddy supaya tidak banyak-banyak minum. There sadar betul, kalau sampai Teddy mabuk pasti akan lepas kontrol. Bob tidak menyentuh bir. Ia selalu melirik dengan takut-takut ke arah Widi.
293
“Ayo Bob minum…” Teddy menawari. Bob langsung merespons denga cepat. Ia berkata sambil sekali lagi melirik ke arah Widi, “Aku enggak mau mabuk lagi. Aku itu setia dan mencintai pasanganku. Kalau dia (Widi) bilang jangan mabuk, ya aku enggak mabuk…” “O kalau gitu ya jangan…” ucap Teddy dengan nada sok bijak. “Masalahnya, aku pengen!” begitu selesai mengucapkan kata itu, Bob langsung menandaskan satu botol bir lagi. Semua orang kembali tertawa, kecuali There dan Widi. Jemek memanggil pramusaji, meminta tambahan beberapa botol bir lagi. “Kalau soal lukisan Bob?” pancing Jemek kepada Toni dan Teddy. Pancingan Jemek tidak ada yang merespons. Toni malah kemudian bercerita, “Dulu, puisi-puisi Bob selalu jadi andalan pementasan Steak Daging Kacang Ijo…” “Apa Bob, puisimu yang bagus itu, yang bercerita soal petani?” tanya Toni kemudian. Begitu ditanya, Bob langsung bersenandung. Sambil mengingat-ingat. Sampai lama tidak ketemu. Akhirnya Bob memukul-mukul keningnya dan berkata, “Pokoknya aku ingin bercerita kalau lahan sudah penuh dengan bangunan, di mana petani bisa menanam padi?” Kalimat Bob itu langsung membuat Teddy dan Toni juga berpikir keras, berusaha mengingat-ingat. Tapi akhirnya Bob yang ingat, “Nandur pari neng awang-awang! Menanam padi di langit!” Teddy yang merasa jadi vokalis grup musik aneh itu langsung sok ingat. “Betul! Aku dulu sering menyanyikan lagu itu!” “Syairnya bagaimana?” tanya Jemek penasaran. “Ya itu saja syairnya, dari awal sampai akhir hanya nyanyi: Nandur pari neng awang-awan…” celetuk Toni sambil terkekeh. “Kita dulu hebat ya, coy?” tanya Teddy. Ia mulai terlihat mabuk.
294
“Bukan hebat, tapi brengsek.” jawab Bob. “Kalau brengsek ya sampai sekarang, enggak hanya dari dulu.” ucap Toni. “brengsek kok enggak sembuh-sembuh.” “Kalau aku brengsek kan wajar, aku jauh dari orang tua. Lha kalian, dekat orang tua kok brengsek…” Teddy mulai ‘menyerang’ kedua rekannya. “Iya, tapi kan aku enggak tinggal di rumah lagi. Aku minggat dari rumah.” Toni mencoba bertahan. “Tapi kalau lapar dan enggak punya duit pulang ke rumah, ngambil barangbarang untuk dijual.” Teddy menyambut jawaban Toni, dengan ‘serangan kedua’, dan ia langsung tertawa terpingkal-pingkal. Toni juga terkekeh-kekeh. “Toni itu asu!” ucap Teddy, “pernah suatu saat, ada temannya yang memelihara piranha. Lalu orang itu pulang kampung dan menitipkan piranha itu ke Toni. Kan bapaknya Toni punya kolam lele di belakang rumah, karena Toni kesal dengan bapaknya, piranha itu dimasukkan ke kolam lele. Beberapa bulan kemudian, saat bapaknya Toni pergi, Toni ngajak aku mencuri lele dari kolam bapaknya. Kolam itu kita kuras. Hanya ada satu ekor ikan piranha.” Semua tertawa terpingkal-pingkal. Hanya Jemek yang mulai berubah pendiam. Tampaknya, ia mulai berpikir, forum yang ia gagas sedang melenceng jauh dari apa yang ia inginkan… Tetapi mereka bertiga tidak menyadari kegundahan Jemek. Mereka terus asyik membentang ingatan, soal apa yang pernah mereka lakukan di waktu dulu. “Pas aku awal kuliah,” giliran Toni bercerita, “aku kan sudah suka performance art. Ada pentas wayang orang di UGM. Aku sama Bob nyewa pakaian Hanoman dan Sugriwa dari persewaan kostum wayang di daerah Timoho.” “Dia yang Sugriwo aku yang Hanoman!” Bob dengan semangat
295
ikut bercerita. Teddy hampir mau mengeluarkan suara, tapi Toni memangkasnya, “Kamu enggak tahu, Ted! Kamu belum kuliah. Kan kami berdua ini kakak tingkatmu!” Teddy hanya bisa bilang, “Asu!” “Kami berdua naik sepeda onthel ke UGM,” lanjut Toni, “saat pentas dimulai, kami ikut naik panggung!” Semua orang kembali tertawa ngakak. Bob langsung berkata, “Kan kita ini orang panggung! Kalau lihat ada panggung hanya ngeceng, ngaceng dan ngaceng, pengen tampil!” “Tapi pulang-pulang, harus ngganti kain jarik, karena kain yang dipakai Bob masuk ke jeruji roda dan robek.” Lanjut Toni. “Aku lupa, apakah kemudian jarik itu kuganti dengan mencuri punya ibuku atau Bob yang mencuri punya neneknya…” “Dulu,” Teddy tidak mau kalah, “Bob pernah datang ke kampus membawa cewek cantik banget. Dia bilang cewek itu pacarnya. Siapa namanya?” “Reni!” ketiga orang menyahut berbarengan. Tapi kemudian Toni yang melanjutkan kisah itu, “Nah, pernah suatu hari, Rani datang ke sor ringin, bilang ke Bob kalau ia digoda cowok di kampusnya, di Instiper (Insitut Pertanian).” “Hanya cowok goblok yang enggak nggoda Reni.” Teddy, nyeletuk. “Nah Bob langsung berangkat ke Instiper, terus aku tanya: perlu dikawal enggak, Bob? Bob menjawab: enggak perlu. Lalu terjadi perkelahian di sana…” tutur Toni. “Salah!” Bob menyergah. “Bukan perkelahian. Pemukulan. Aku datang ke sana, kucari orangnya, ketemu, terus kupukul: jrot! Terus aku pergi. Itu namanya bukan perkelahian karena tidak ada perlawanan. Itu pemukulan!” Semua orang kembali terkekeh-kekeh mendengar penjelasan
296
Bob. Lalu terdengar suara Teddy, “Baru kemudian ketahuan kalau Reni itu ternyata sepupunya Bob!” “Begitu tahu kalau keponakan Bob, kamu langsung naksir, kan?” ejek Toni ke Teddy. “Ora sudi! Mana mau aku punya sepupu seperti Bob.” Sahut Teddy, lagi-lagi disambut gelak tawa. “Kamu kok dulu pemberani gitu, Bob?” tanya Jemek. “Enggak berani gimana, wong aku ngoplo!” jawab Bob dengan jujur. “Ya yang berani itu nipamku itu, bukan aku!” Kembali semua terkekeh. Bob memang dikenal pelahap pil koplo. Pernah suatu saat, ia mendapatkan anugerah bergengsi di ISI, Affandi Prize. Waktu iu tahun 1994. Ia mendapat hadiah 800 ribu rupiah, dan karya itu dibeli orang dengan harga 2 juta. “Uang 2.800.000 rupiah saat itu besar banget. Aku kan nabrakin mobil kampus, kubengkelkan dari uang itu, dan sisanya masih banyak. Aku langsung ke Jakarta, beli pil koplo dari tangan pertama. Akhirnya aku pulang dengan membawa satu lodong penuh pil koplo.” ujar Bob. “Dulu aku pengoplo berat…” kenang Bob sok bijak mengenang masa lalunya. Mendengar hal itu, Teddy langsung menyergap dengan pertanyaan, “Memangnya sekarang sudah enggak?” “Enggak dong. Sekarang kan minum obat dari resep dokter…” “Tapi sama saja. Yang kamu minum itu juga sejenis pil koplo.” “Obat penenang, bukan pil koplo.” “Sama saja!” Tapi tiba-tiba Bob terlihat bingung, matanya beredar ke manamana, “Lho, sayangku mana?” tanyanya, ketika tidak melihat
297
Widi di ruangan itu. “Ke kamar mandi!” teriak There. Bob terlihat lega. Percakapan kemudian berpindah ke tema soal apa yang mereka impikan ke depan. Teddy yang menjawab pertama kali, “Aku ingin membuat Steak Daging Kacang Ijo Painting Institute. Yang mengajar di sana, aku, Bob dan Toni. Status yang belajar di sana adalah mahasiswa, sekalipun yang masuk ke sana tidak lulus SMA.” “Aku daftar jadi mahasiswanya.” segera Jemek ambil suara. “Sudahlah, kelasmu itu jualan lukisan saja!” jawab Teddy dengan dingin. Jemek hanya bisa bilang, “Asu!” Toni kemudian mengeluarkan impiannya, “Aku pengen membantu banyak seniman supaya bisa kaya, terutama kawankawan dekat. Secara pemikiran dan ekonomi, kita harus maju bersama-sama…” Sementara Bob bilang, “Kalau aku impianku sederhana. Sayangku pengen punya panti asuhan di kampungnya. Aku akan berusaha mewujudkan hal itu.” Jawaban Bob disambut dengan tepuk tangan. Setelah tepuk tangan mereda, mendadak percakapan menjadi lebih serius lagi. Dan hal itulah yang ditunggu-tunggu Jemek. Mereka mendedahkan konsep-konsep lukisan, dan uneg-uneg mereka di dalam dunia seni rupa saat ini. Jemek segera meminta ke pramusaji beberapa botol bir lagi. Dan tidak lama lagi, ia menjadi sadar, memesan bir berkali-kali di forum yang seperti ini adalah sebuah kesalahan fatal. ---
298
D
i antara ketiga orang itu, Teddy memang dikenal orang yang paling tegang dan berpikir soal seni rupa. Ia total di sana. Hal itu bisa dilihat dari beberapa batupal kreativitasnya. Pernah ia mengeksplorasi habis-habisan soal ‘kepala’. “Bagiku, kepala itu sangat penting dan mengerikan. Ketegangan manusia berada di sana. Persoalan manusia tersimpan di sana.” ucap Teddy. Dan dari sana ia membuat banyak karya tentang kepala, termasuk yang sangat terkenal dan dikenal orang dengan baik, terutama mereka yang punya perhatian terhadap seni rupa adalah saat ia membuat kepala dan ada rodanya. Karya itu terbuat dari logam. Soal konsep karya itu, Teddy bilang, “Fisik kita bisa berjalan di mana-mana, tetapi kepala kita bisa saja hanya terpaut pada sesuatu di satu tempat, di rumah misalnya. Atau bisa juga, tubuh kita berdiam di satu tempat, tetapi isi kepala kita mengelana ke mana-mana.” Dan satu lagi karya luar biasa yang dihasilkan Teddy dalam garapan serialnya tentang kepala, dan masih berbahan logam adalah kepala di atas perahu. Ia memberi judul karya itu ‘Old Head on the Sea’, judul itu mengingatkan kita kepada karya novelet Ernest Hemingway, The Old Man and The Sea, yang menceritakan kisah seorang nelayan tua, menghadapi dirinya sendiri dengan kesabaran dan keyakinan bahwa ia akan mendapatkan seekor ikan yang besar. Tetapi ironisnya ketika seekor ikan marlin besar berhasil nyangkut di pancingnya, dan selama berjam-jam ia melakukan tarik-ulur dengan ika itu, seekor hiu menyantap ikan tersebut. Karya pendek Hemingway itulah yang membuatnya menyabet hadiah nobel. Batupal karya Teddy yang juga mengengat publik seni rupa Indonesia adalah saat ia membuat banyak televisi dari batu. Proses karya itu berawal dari suatu saat lukisannya terjual, dan ia membeli sebuah televisi besar. Hampir tiap saat ia menonton televisi. Tetapi hal itu kemudian membuatnya muak. Dan kemudian membuat Teddy tidak bisa melihat televisi lagi. Lalu
299
ia membuat karya itu dengan judul ‘Tak Kutuk Dadi Watu’ (Kukutuk Menjadi Batu). Karya itu juga sempat membuat heboh karena di saat ada acara di Pantai Parangtritis, televisi-televisi dari batu itu dipajang di pantai, dan di malam hari, benda-benda itu dipakai sebagai tempat duduk oleh para pelacur yang berada di sana untuk melakukan transaksi seks. Baik Toni maupun Bob mengakui, soal konsep dan totalitas, Teddy adalah jagonya. Teddy pula yang akhirnya mengeluarkan kredo soal lukisan, dan kredo ini kemudian sering dipakai oleh orang, “Lukisan adalah gambar yang dipermudah atau diperumit.” Toni dan Bob juga tahu, kalau Teddy dikenal sebagai perupa yang piawai membuat idiom, yang kemudian menjadi terkenal, seperti ‘Gambarsari’ di mana bagi Teddy, gambar adalah intisari yang tidak lagi bisa dipecah dalam seni rupa. “Seperti atom dalam kimia,” kata Teddy. Ketegangannya dalam berproses dan berkarya, tidak selalu diawali dengan pencarian yang rumit. Kadang ditemukan Teddy dalam kehidupan sehari-hari. Pernah suatu saat, teddy merasa terganggu kalau ada temannya yang makan kacang di dekatnya. Setelah dipikir-pikir, ia menjadi mendapatkan benang merah tentang kacang yang kebanyakan berisi dua biji. Hal itu mengingatkannya tentang teori bipolar, tentang dualisme tubuh dan jiwa dalam teori Filsafat Manusia, termasuk persoalan makrokosmos dan mikrokosmos, bahkan dwi fungsi ABRI. Serial kacang inilah yang dalam waktu dekat akan dipamerkan Teddy di Beijing China, dengan kurator Hendro Wiyanto. Dan salah satu ‘temuan’ Teddy yang kemudian langsung mencengkeram kuat di benak kawan-kawan dekatnya adalah saat Teddy mengeluarkan istilah ‘Art-Merdeka’. Sebuah konsep berkesenian yang butuh militansi dan total berada di sana. Untuk soal seperti itu, Hendro Wiyanto mengakui, “Kadangkadang, di dalam dunia seni rupa, ada kecenderungan perupa untuk membuat hal-hal yang dengan konteks yang berlebihan.
300
Dan kemudian dibesar-besarkan oleh para kurator. Padahal sebetulnya itu hanyalah filosofi yang semu. Mereka punya pretensi untuk menjadi semacam filsuf-filsuf kecil. Nah, Teddy itu tidak dalam posisi seperti itu.” Tetapi di saat kedua temannya, Bob dan Toni memuji dirinya, Teddy merendah dengan berkata, “Kalau aku enggak pernah bersama-sama kalian, mungkin aku juga tidak akan menemukan konsep-konsep seperti itu..” Soal lukisan Teddy, Bob punya komentar, “Tulisan Teddy itu kuanggap bagus, kalau begitu aku melihat lukisannya aku langsung tertawa. Tapi kalau aku harus mikir dulu, berarti karya Teddy kuanggap belum berhasil.” Sementara Toni berpendapat, “Kebanyakan karya Teddy itu bagus. Tapi ada juga yang jelek!” Mendengar komentar itu, Teddy langsung agak keras bersuara, “Kalau lukisanku bagus pun kalian tidak membelinya!” Semua orang lagi-lagi tertawa, mendengar sanggahan Teddy yang mulai terlihat mabuk, dan berjalan ke san ke mari, seperti tidak jenak, entah mencari apa. Soal ciri mabuk Teddy itu, Deddy Irianto pernah bilang, “Mungkin dia itu reinkarnasi dari monyet kali. Suka genit dan jalan ke sana ke mari. Kalau mabuk susah sekali dikontrol!” Tapi Deddy juga mengakui, kalau antara dia dan Teddy terikat semacam cairan kimiawi, di mana ia bisa berdialog soal seni rupa dengan nyaman bersama Teddy. “Aku bisa belajar banyak tentang seni yang konseptual itu malah dari Teddy,” begitu pengakuan Deddy. --ementara itu, Bob yang mengaku bahwa ‘sakit’ adalah filsosofi hidupnya, dan karena itu ia menempelkan kata ‘sick’ sebagai namanya, mengatakan bahwa melukis itu sudah seperti memuntahkan apa yang dia rasakan. “Melukis kok pakai mikir!” ucapnya.
S
301
Ugo Untoro mengakui, kalau dalam menghadapi kanvas besar, Bob nyaris tidak ada bandingannya, dalam hal keberanian melakukan eksekusi di atas kanvas. Bob bisa lngsung sratsret menyabetkan kanvas. Bob mengakui panjang lebar sambil mengeluarkan uneg-unegnya, “Hidupku sudah penuh dengan masalah. Dan kanvas adalah tempat yang tepat untuk melampiaskan itu semua. Jadi jangan salahkan aku yang bisa melukis dengan cepat, sebab di kepalaku tertimbun begitu banyak masalah. Itulah sialnya. Karena ternyata hal itu dalam dunia seni rupa jadi masalah, karena kemudian itu bicara soal pasar di mana mereka ketakutan karyaku terlalu banyak berada di pasar dan kemudian anjlok.” Bob berhenti sebentar, lalu berkata lagi, “Tapi ya enggak apaapa. Masak karena itu aku harus tidak melukis? Melukis bagiku itu sudah seperti seorang kiai melakukan zikir. Itu kebutuhan spritualku. Kalau kemudian lukisanku karena tetek-bengek pasar menjadi tidak laku ya tidak apa-apa. Malah itulah saatnya aku bisa melukis untuk diriku sendiri. Tapi aku yakin, jika kemudian harga lukisanku anjlok, aku akan bangkit lagi. Karena aku itu enggak mau kalah dalam hal berkompetisi. Mau lihat buktinya? Lihat saja tato-tatoku!” Sedangkan Toni berkata dengan pelan, semenjak ia punya masalah dengan Heidi dan masasah lain, “Aku jadi memperhatikan hal-hal kecil dalam hidup ini.” Ia mengulang kisah di mana ia sendirian di sebuah rumah, hatinya resah, tetapi di saat itu pula, ia melihat kupu-kupu yang hinggap di antar bunga-bunga. “Semenjak itu, aku lebih meminimalisir aksesori di dalam lukisanku. Tapi bagi yang jeli, mereka pasti tahu, lukisanlukisanku tidak pernah jauh-jauh dari permasalahan sosial dan politik.” Selesai mengudar gagasan dan uneg-uneg soal lukisan, mereka kembali berbincang soal hal lain, seperti tato, mabuk, dan spiritualitas mereka. ---
302
“
Tato bagiku adalah hidup itu sendiri. Dan untuk urusan ini, aku tidak mau dikalahkan.” ujar Bob. Ia bahkan berani membuat tato di bagian-bagian yang sangat berisiko, seperti di sekitar mata dan kelopak mata. “Akibatnya, kalau salah dikit saja, bisa buta.” Sementara bagi Toni, tato adalah alat untuk menunjukkan keyakinankeyakinannya dan filosofi hidupnya. Ia menunjukkan tato dengan tulisan yang dipetil dari salah satu pidato tokoh revolusioner Argentina yang ikut berjuang bersama Fidel Castro menggulingkan pemerintah otoriter di Kuba, lalu pergi lagi dan kemudian mati tertembak di Bolivia: Ernesto Che Guevara. Di tangan Toni tertulis kalimat terkenal Che Guevara itu: Kalau kamu menangis dan marah melihat ketidakadilan, kau adalah kawanku. Lalu Toni juga menunjukkan tato berupa gunungan wayang di lengannya. Kemudian Toni menjelaskan, “Di dalam wayang, gunungan itu membuka dan menutup cerita. Dan itu adalah simbol pohon kehidupan. Pohon yang harus dimulai, dibangun, didiami, dan kemudian diakhiri. Pohon yang harus ditapaki dengan rasa cinta.” Sedangkan Teddy menjelaskan bahwa tato baginya adalah mantra. “Aku suka dengan agama-agama pagan, karena itu, tatotatoku banyak bergambar simbol-simbol paganisme. Aku kecewa kenapa harus dilahirkan dengan agama besar. Dan aku kecewa hidup di sebuah negara yang mengatur soal agama. Spiritualitas itu jika tumbuh terus, maka semua sama. Semua sama ketika mencapai tataran makrifat…” Untuk soal mabuk, Toni berkata, “Mabuk itu bagiku untuk mensyukuri hidup ini. Dan stimulan untuk berkarya. Mabuk bagiku itu semacam jalan pedang bagi seorang samurai.” “Mabuk itu kemerdekaan!” Bob mengucapkan kalimat singkat. Dan Teddy menanggapi soal mabuk seperti ini, “Aku mabuk
303
karena aku haus. Aku juga enggak tahu, sebetulnya aku yang sebenarnya itu yang dalam keadaan mabuk atau tidak mabuk. Dan jangan salah, mabuk itu bukan kok tidak sadar. Karena lawan sadar adalah tidak sadar. Kalau lawan mabuk adalah tidak mabuk!” Jawaban itu kontan menyulut gemuruh tawa. Tapi tiba-tiba, Bob mengedarkan pandangan dan bertanya-tanya, “Sayangku di mana? Lho, kekasihku di mana?” Ia mencari-cari Widi. There menjawab, “Keluar. Mungkin belanja.” Bob semakin bingung, “Belanja apa malam-malam begini? Wah pasti dia ngambek gara-gara aku mabuk. Padahal aku enggak mabuk.” Bob lalu mencari-cari telepon genggamnya, dan setelah ketemu ia menelepon istrinya, tapi tidak diangkat. Lalu ia bilang ke teman-temannya, “Itu kan, padahal aku itu sebetulnya tadi enggak pengen mabuk.” “Lha ya jangan mabuk…” jawab Teddy dengan cepat. “Masalahnya, aku ternyata pengen!” selesai mengatakan itu, Bob mencari sepatunya, dan memakainya. Forum terancam bubar. Tapi Jemek sudah lega. Beberapa hal yang ingin ia dengarkan, sudah ia dapatkan. Satu per satu, orang-orang turun. Bob memanggil taksi, lalu pergi mencari istrinya setelah ia menelepon sopirnya. Toni segera menghidupkan sepeda motor dan melenggang, menembus gerimis yang masih saja turun. Karena dalam kondisi yang agak teler, There tidak mau disetiri baik oleh Jemek maupun oleh Teddy. Mobil Teddy akhirnya dibawa Jemek, dan There memanggil taksi. There dan Teddy masuk ke dalam taksi. Sepanjang perjalanan dari kafe itu ke rumah Teddy, Teddy berceramah kepada sopir taksi tentang dunia melukis. There hanya berkomentar pelan si sopir, “Maaf ya Pak, suami saya sedang mabuk…” Si sopir taksi mengangguk sambil tersenyum. Hanya mungkin dia heran, kok ada suami mabuk dan yang mengawal istrinya,
304
padahal si istri perutnya membesar, pertanda hamil tua. Gerimis di malam itu, baru berhenti menjelang subuh. Mungkin di malam itu, baik Teddy, Toni maupun Bob bermimpi sama, mereka menanam padi di langit sambil menyanyi satu lagu yang ternyata judul lagu itu adalah satu-satunya syair lagu tersebut: Nandur pari neng awang-awang…
305
Bahan Bacaan Dan SUMBER WAWANCARA
S
ebagian besar buku ini disusun dari sumber wawancara. Tetapi, beberapa ihwal di dalam buku ini, didapatkan dari berbagai buku dan dokumen tertulis lain, hanya saja disarikan dan dibahasakan ulang, dan secara sengaja, supaya tidak mengganggu proses pembacaan, sumber tersebut tidak diletakkan sebagai catatan kaki, melainkan dengan cara lain. Sejak mula, buku ini sudah berhutang inspirasi dari In Cold Bloodnya Truman Capote, dan The Invicible Palacenya Jose Manuel Tesara, dan Heavier than Heaven-nya Charles R. Cross. Sedangkan dari sisi teoritik dan metodologi, buku ini berhutang kerja pada karya Ken Plummer, Documents of Life: An Introduction to the Problems and Literature of Humanistic Method (1983). Lalu karya Ardra L. Cole dan J. Gary Knowles, Lives in Context: The Art of History Research (2001). Dan juga karya Valerie Raleigh Yow, Recording Oral History: A Practical Guide for Social Scientists (1994). Dari segi data dan analisa politik Indonesia pasca-1965, saya mengandalkan karya intelektual anak bangsa yang membanggakan, lahir dari tangan Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003). Juga karya Max Lane, Bangsa yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto (2007). Perihal bentangan sejarah seni rupa, saya harus menyebut sumber acuan yang saya gunakan yakni rampai tulisan Sanento Yuliman yang disunting oleh Asikin Hasan, Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman (2001). Kemudian buku yang disunting oleh Jim Supangkat, Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (1979).
306
Khusus untuk membantu menyegarkan ingatan saya atas peristiwa 1998, dari sisi seni rupa, saya membaca tesis karya Heidi Arbuckle, Taring Padi and the Politics of Radical Cultural Practice in Contemporary Indonesia (2000). Dan khusus untuk membantu saya mengingat kembali tahun penting tersebut dalam konteks gerakan mahasiswa dan sekelumit sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, saya membaca skripsi hasil kerja F. Asisi Sukoeksi Widianto, Selebaran Gerakan Mahasiswa Pro-Demokrasi Yogya: Simbolisasi Penyadaran dan Perlawanan Kelas (2000). Di dalam buku ini, saya juga membaca setumpuk katalog pameran, di mana di dalam katalog-katalog tersebut terdaat sederet tulisan yang saya anggap penting, namun ijinkanlah saya hanya menyebut beberapa di antara katalog-katalog tersebut: katalog pameran Haris Purnomo, Alien: Nation (2007); katalog pameran FX Harsono, Titik Nyeri (2007); katalog pameran Bob ‘Sick’ Yudhita, Happy Birthday NIN (2007). Saya juga membaca sebuah buku yang berisi tulisan-tulisan penting: 15 Years Cemeti Art House: Exploring Vacuum (2003). Dan sebagaimana saya sebut di awal, sebagian besar isi buku ini berdasarkan wawancara, dan berikut ini adalah daftar nama yang saya wawancarai, saya sebut secara alfabetikal: Arahmaiai, Bob ‘Sick’ Yudhita, Bonyong Munni Ardhi, Bowo Arif, Budi Satrio, Bunga Jeruk, Coki Nasution, Deddy Irianto, Dwi Maryanto, Edo Pillu, Gandung, Hamzah ‘Hamcrut’, Heidi Arbuckle, Hendro ‘Tuhan’, Hendro Wiyanto, Latif, Mella Jaarsma, Ninung, Octy ‘Oik’ Budiati, Oei Hong Djien, Ong Harry Wahyu, Raharjo Waluya Jati, S. Teddy D., Siradz, Sunarmi, Syamsul Barry, Theresia Sitompul, Toni Volunteero, Ugo Untoro, Widiasih, Yasto dan Yayuk.
307
UCAPAN TERIMAKASIH
S
etiap kali saya menyelesaikan sebuah buku, selalu saya tiba pada fase terdiam yang cukup lama, terutama untuk mengisi lembar halaman terimakasih. Saya tahu persis, tidak mungkin seluruh nama yang berjasa di dalam penyelesaian sebuah buku saya sebut, tapi saya juga sangat tahu persis, setiap buku tersebut terbit, saya menyesal mengapa ada sejumlah nama yang tidak saya sebut di sana. Tapi saya sadar, orang-orang yang berhubungan dengan saya, bukan hanya tahu soal masalah seperti itu, tetapi juga sangat tahu, ucapan terimakasih dari saya untuk mereka, tidak terlalu penting. Saya punya cukup waktu luang untuk menyelesaikan buku ini, satu bulan untuk melakukan riset dan wawancara, dan tiga minggu untuk menuliskannya. Tetapi buku ini akhirnya bisa selesai saya tulis dalam waktu 15 hari. Hal tersebut mustahil saya lakukan, tanpa bantuan dari Bowo ‘Jemek’ Arif, manajer proyek ini, yang dengan penuh tanggung jawab mengawal proses dari awal hingga akhir. Terimakasih juga untuk Ope Wardhani, dialah yang mengatur semua hal yang saya perlukan, dari mulai mencari data, mengorganisasikan para transkriptor, membuat jadwal kerja, sampai menemukan sebuah tempat yang nyaman dan tersembunyi untuk saya menyepi mulai dari awal menulis. Ope bukan orang yang tidak sibuk, tetapi dia selalu menyediakan waktu selama 24 jam untuk membantu saya dengan tingkat ketangkasan yang mencengangkan. Saya ingin juga mengucapkan terimakasih kepada Kang Eko Susanto, yang berusaha mengimbangi kerja saya dengan memeriksa kata demi kata, dengan tempo tinggi dan jadwal yang ketat. Ia juga memberikan suntikan semangat, sebagai sahabat lama untuk menuntaskan kerja kali ini.
308
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Heidi Arbuckle, yang meluangkan waktunya untuk membaca naskah ini, dan memberikan masukan, serta mempersilakan saya membaca tesisnya, sebuah karya yang penting tetapi belum diterbitkan. Kepada Bung Asisi, saya juga mengucapkan terimakasih, karena memberi saya pinjaman skripsi bahkan membawakan saya setumpuk dokumen lain yang juga penting, yang bahkan belum saya pikirkan saat itu. Saya harus juga berterimakasih kepada Nurhady Sirimorok, yang telah mengirimkan bukubuku yang saya anggap penting dari tempat yang sangat jauh. Saya juga berterimakasih kepada beberapa lembaga di mana saya bisa mengakses informasi yang sangat saya butuhkan yakni Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Galeri Seni Cemeti dan Pusat Data Kompas.
309
ISBN 979179430-8
9 789791 794305