e-magazine
DJP
ko lera edisi, desember 2012sis o l u c r tube g n u r u KO b u a fl r RU u p a PS g s n i I i s t i u g fl n i po lio n e s i m l i p i d i s hiv/a
eb ol a
r e k kan
HATI-HATI Lebih Mudah Tertular
e r a di
dari Infeksi Pernafasan s a i u r n a teta mal
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
1
2
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
S A L A M
R e d a k s i
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
T
ak terasa penghujung tahun sudah semakin dekat. Tak terasa pula DJP e-Magazine telah menemani pembaca setiap bulan selama setahun penuh. Di tengah keterbatasan yang ada, kami selalu berusaha menghadirkan informasi terbaru baik dari Kantor Pusat maupun kiriman liputan dari daerah. Selama satu tahun ini, kami berharap mampu memuaskan harapan pembaca akan informasi, kejadian maupun kebijakan yang terjadi di lingkungan Ditjen Pajak. Namun kami menyadari, kekurangsempurnaan pasti masih ada. Untuk itu kami selalu terbuka menerima kritik dan saran pembaca. Kami menerima kiriman tulisan baik hasil liputan berita, opini, feature, artikel, maupun bentuk karya tulis lainnya untuk di muat dalam penerbitan edisi selanjutnya. File tulisan beserta foto/ gambar pendukung dapat dikirimkan langsung atau melalui email kami yang tertera pada alamat redaksi. Akhir kata, kami ucapkan selamat membaca, semoga DJP e-Magazine semakin berkembang sesuai harapan kita bersama. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. n
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
3
e-magazine
DJP Pengarah
Direktur P2 Humas
Dewan Redaksi Kasubdit Hubungan Masyarakat
Kasubdit Penyuluhan Kasubdit Pelayanan Kasubdit Kerjasama
Redaktur Berita Sri Marjati Aris Pramudhityo Lukman Nulhakim Dian Alpha
Editor
Sriadi Setyanto Sri Marjati Chandra Budi
Redaktur Foto Slamet Rianto Arif S
Artistik
Saraswaty S Aris Pramudhityo
Dukungan Teknis Bagus Harie P Ikshan Alisyahbani Meidina Iksan Alisyahbani
4
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
DJP e-magazine
Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
ko lera edisi, desember 2012sis ulo tuberc ung KO bu r u a fl RU ur ap PS g is I sin it u g fl in po lio en m lis pi i d i a s / h iv er kank
eb ol a
Pembina
HATI-HATI
Lebih Mudah Tertular darinusInfeksi Pernafasan r ia teta mala
d iare
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
Alamat Redaksi
1
Seksi Hubungan Internal, Direktorat P2Humas, Lantai 16 Gedung Utama KPDJP Telepon :5251609, 5250208 Ext. 51636, 51633 Email: djpmagazine@gmail. com
DJP e-Magazine
merupakan media internal DJP yang terbit secara berkala (bulanan) yang dimaksudkan sebagai media untuk menyam paikan informasi baik berupa kebijakan, kegiatan maupun informasi lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kepen tingan DJP. Kepada seluruh pegawai maupun unit DJP, diharapkan partisipasi dan kontribusinya dalam mengisi rubrik yang telah disediakan untuk dapat diterbitkan.
d a f t a r
i s i
Apa kata mereka DJP Event: Pameran Foto Anti Korupsi Ceramah Anti Korupsi DJP di KPK Kring Pajak Artikel Pajak: Artikel Civil Law Kepailitan VAT Fraud Ucapan selamat tahun baru
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
5
Pameran Foto Anti Korupsi
Cermin pemberantasan korupsi Ditjen Pajak
R
eformasi birokrasi perpajakan yang dirintis mulai tahun 2002 memasuki jilid kedua. Reformasi Jilid Dua secara resmi dicanangkan di depan publik dan para pemangku kepentingan pada tanggal 22 Juni 2009 oleh Menteri Keuangan, dimana salah satu fokus perbaikan yaitu Sumber Daya Manusia. Reformasi perpajakan yang telah dan akan berlangsung tidak akan pernah optimal tanpa dukungan SDM yang berintegritas. Untuk itu, Ditjen Pajak menjadikan reformasi bidang SDM sebagai prioritas utama. Integritas merupakan modal yang harus dimiliki oleh setiap pegawai untuk dapat mengemban tugas dan kewajibannya dengan baik. Ditjen Pajak selalu berupaya untuk tetap menjaga integritas melalui pendekatan yang informatif dan persuatif sampai 6
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
dengan tindakan pengawasan. Salah satunya tekad untuk terus berkomitmen melawan segala bentuk tindakan korupsi. Peringatan hari anti korupsi sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember menjadi momentum yang tepat bagi Ditjen Pajak untuk merefleksi diri atas apa yang telah dilakukan untuk melawan korupsi. Hal ini disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak Dedi Rudaedi dalam sambutannya pada acara Pameran Foto Hari Anti Korupsi “Harapan dan Komitmen Anti Korupsi DJP” di Ruang Galeri Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. “Kita harus selalu waspada dan perlu diingatkan kembali bahwa korupsi itu merupakan bahaya laten yang dapat melanda dimana-mana,’’ katanya. Korupsi menjadi momok yang
PAMERAN FOTO ANTI KORUPSI
sangat merugikan negara karena dianggap sudah mengakar di setiap lembaga pemerintah. Ditjen Pajak telah melakukan reformasi birokrasi agar ruang gerak para koruptor semakin dipersempit. Perbaikan organisasi dan standar kinerja telah membawa budaya baru yang transparan dan akuntabel. Namun demikian, reformasi tidak bisa menjamin bahwa tindak pindana
korupsi akan hilang begitu saja. Masih saja ada oknum yang nekat dan nakal dengan memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan sehingga mereka melakukan pelanggaran hukum. Oleh karena itu, perlu adanya komitmen bersama dari seluruh pegawai untuk memerangi tindak pidana korupsi. “Ditjen Pajak memiliki komitmen yang tinggi untuk memerangi extra ordinary crime karena institusi kita ini DJPe-Magazine DESEMBER 2011
7
8
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
PAMERAN FOTO ANTI KORUPSI
Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak Dedi Rudaedi
melihat Pameran Foto Antikorupsi
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
9
10
memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya kita mengamankan penerimaan negara. Hal ini untuk mendukung agar negeri ini lebih sejahtera,’’ ungkap Dedi. Serangkaian kegiatan akan digelar dalam rangka peringatan hari anti korupsi sedunia. Pameran foto ini menjadi kegiatan awal sebelum hari berikutnya diisi dengan kegiatan lainnya. Pameran foto diikuti oleh kantor wilayah dan kantor pelayanan pajak di seluruh Indonesia. Mereka menampilkan kreasi foto yang menunjukkan komitmen setiap pegawai dalam melawan korupsi. “Pameran foto ini merupakan cerminan atau gambaran Ditjen Pajak, bagaimana sejarah institusi ini berupaya untuk melawan korupsi. Oleh karena itu, kegiatan ini kita berikan tema harapan dan komitmen Direktorat Jenderal Pajak.’’ Katanya. Pemberantasan korupsi harus diawali dari masing-masing pribadi setiap pegawai. Sosok seorang pimpinan tidak cukup untuk menjamin suatu institusi terbebas dari korupsi. Belajar dari sejarah dimana ulah dari satu, dua atau tiga oknum yang melakukan pelanggaran dapat berdampak bagi institusi, maka komitmen bersama pegawai sangat dibutuhkan untuk mewujudkan institusi yang bersih dari korupsi. DJPe-Magazine DESEMBER 2011
“Mari kita berantas korupsi itu dimulai dari diri kita sendiri bukan dari orang lain,’’ himbau pria yang sebelumnya menjabat Direktur P2Humas. Pemberantasan korupsi itu diri sendiri dimulai dari hal yang paling sederhana. Sebagai pegawai Kemenkeu, nilai-nilai kementerian merupakan pedoman yang harus dijalankan berperilaku sesuai dengan aturan. Pedoman ini bukan hanya sekedar slogan ataupun simbol namun harus dilaksanakan ketika menjalani pekerjaannya. “Mari kita tanamkan kepada seluruh pegawai bahwa nilai nilai Kementerian Keuangan bukan hanya menjadi simbol namun dapat menjadi keseharian dalam kehidupan kita. Mari kita buktikan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan bahwa di ditjen pajak itu tidak ada korupsi atau zero tolerance,’’ tambahnya. Apabila setiap pegawai mampu menjalankan nilai nilai kementerian itu maka nantinya pedoman itu akan membudaya di lingkungan internal. Budaya inilah yang perlu dikembangkan agar Ditjen Pajak menjadi institusi yang bersih. “Jika nilai-nilai itu sudah menjadi budaya dan dilakukan oleh lebih dari 31 ribu pegawai maka nantinya tidak akan ada lagi tindakan korupsi
PAMERAN FOTO ANTI KORUPSI
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak’’, pesan Sesditjen. Terakhir, Dedi mengharapkan kontribusi dari seluruh pegawai untuk menjawab ekpektasi masyarakat dengan berkinerja yang baik serta mengedepankan integritas dan profesionalisme. Kinerja yang baik itu dengan sendirinya akan menggiring masyarakat untuk semakin percaya dengan Ditjen Pajak. Kepercayaan dan dukungan inilah yang dibutuhkan untuk mewujudkan institusi yang bersih dalam mengelola administrasi perpajakan. Usai sambutan, Kepala Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar Sigit Priadi Pramudito memberikan testimoni tentang foto-foto yang ditampilkan oleh unit kerjanya. Ia menyatakan bahwa persepsi negatif dari masyarakat tidak meruntuhkan semangat pegawai Kanwil DJP WP
Besar untuk bekerja dengan baik. Ia juga berjanji bahwa seluruh pegawainya memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi ini. “Kami dengan yakin dan tidak ragu untuk berteriak Say no to corruption,’’ ungkap Sigit dengan suara lantang. Kegiatan dilanjutkan dengan pemotongan pita bunga oleh Sekretaris Ditjen Pajak yang menandakan dimulainya pameran foto anti korupsi. Selanjutnya, para peserta dipersilakan DJPe-Magazine DESEMBER 2011
11
12
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
PAMERAN FOTO ANTI KORUPSI
menyaksikan foto-foto yang telah dipasang di ruangan galeri. Fotofoto yang ditampilkan setiap unit kerja sangat menarik karena kreativitas mereka yang beragam dengan dipadu desain gambar yang elegan. Pameran ini memberikan nuansa baru di tengah upaya Ditjen Pajak memerangi korupsi seperti memperketat pengawasan, whistleblowing system dan budaya koreksi yang mulai dibangun di lingkungan internal. Semua ini menjadi bukti harapan dan komitmen anti korupsi sangat besar agar pengelolaan administrasi perpajakan dapat dilakukan dengan baik. l
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
13
Pengalaman Untuk
D 14
irekorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mendapat undangan untuk memeriahkan Hari Anti Korupsi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Balai Kartini Jakarta, Selasa 4 Desember 2012. Kegiatan pameran dan ceramah ini diikuti juga oleh kementerian lain maupun badan usaha milik negara. Dalam kesempatan ini, Ditjen Pajak membuka stand pameran dengan tema Komitmen Reformasi Birokrasi Perpajakan untuk Melawan Korupsi. Konsultasi perpajakan disediakan selama pameran berlangsung dengan membuka pojok pajak. Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany berkesempatan menyampaikan program atau aksi yang dilakukan Ditjen Pajak dalam rangka memberantas korupsi terutama di lingkungan internal. Fuad menyampaikan pengalaman saat menangani kasus yang menimpa beberapa oknum Ditjen Pajak diawali dari kasus pegawai berinisial GT. Kasus ini menjadi yang pertama DJPe-Magazine DESEMBER 2011
PAMERAN FOTO ANTI KORUPSI
Sebuah Perbaikan usai Ditjen Pajak mereformasi perpajakan sejak tahun 2002. Kasus ini pun menjadi pelajaran bagi institusi bahwa pengawasan yang telah diperbaiki sejak reformasi masih lemah sehingga dapat dimanfaatkan oleh salah satu oknum pegawai pajak. Selanjutnya, Ditjen Pajak menangani secara serius kasus korupsi yang menimpa pegawainya. Secara sporadis, Ditjen Pajak melakukan counter pemberitaan negatif dengan menyampaikan informasi positif di tengah masyarakat. Di sisi lain, pembenahan internal dalam bentuk penguatan sistem pengawasan menjadi fokus utama agar kejadian serupa tidak terulang. Hubungan dengan para stakeholder dan media pun semakin dibina agar pemberitaan dan persepsi masyarakat semakin membaik. Pengalaman menjadi pembelajaran berharga bagi Ditjen Pajak untuk melakukan perbaikan internal. Pengawasan internal semakin diintensifkan dengan adanya sistem whitle blowing. Selain itu, Ditjen Pajak juga berusaha membangun budaya korektif DJPe-Magazine DESEMBER 2011
15
16
antar pegawai di lingkungan internal. Budaya ini dibentuk agar setiap pegawai dapat saling mengawasi apabila terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh rekan kerja. Manakala seorang teman melakukan penyimpangan, rekan kerja yang mengetahui tindakan tersebut wajib segera melapor ke unit pengawasan internal. Apabila tidak melapor maka ia juga bisa dikenakan sanksi jika nanti kasus penyimpangan ini terungkap. Komitmen anti korupsi pun dijalankan dengan menandatangani surat pernyataan untuk tetap bekerja dengan penuh integritas dan profesionalisme. Belajar dari pengalaman masa lalu, beberapa kasus yang muncul dapat ditangani dengan baik karena Ditjen Pajak telah memiliki konsep penanganan krisis yang jelas. Ditjen Pajak semakin terbuka, proaktif dan antisipatif ketika menangani kasus yang serupa. Terbuka yang dimaksud ialah sikap kooperatif ketika media maupun penegak hukum membutuhkan data dan informasi. Koordinasi yang baik dengan penegak hukum ternyata mampu meredam pemberitaan negatif di masyarakat. Data dan informasi yang dimiliki dikumpulkan dan disampaikan sehingga masyarakat mengetahui kondisi sebenarnya apa yang terjadi. Sementara itu, sikap proaktif diambil dengan cara memenuhi permintaan wawancara media massa, aktif memperkenalkan whistle blowing system, dan menjalin hubungan dengan para opinion leader secara gencar. Ditjen pajak secara aktif memperkenalkan bagaimana fungsi whistle blowing system bekerja sehingga mampu menjerat oknum pegawai yang nakal. Kasus dugaan korupsi berikutnya yang menimpa DW, TH, dan AS menjadi ujian pengawasan internal apakah sudah berfungsi atau tidak. Pada akhirnya, Ditjen Pajak ternyata sudah bersiap ketika kasus ini muncul sehingga dapat menanggapi kasus ini dengan cepat dan tepat. Sikap terbuka dan proaktif dilengkapi dengan sikap DJPe-Magazine DESEMBER 2011
PAMERAN FOTO ANTI KORUPSI
antisipatif agar ketika kejadian kasus serupa muncul maka pemberitaannya dapat diredam. Harapan Ditjen Pajak ialah tidak ada lagi kasus korupsi yang menimpa salah satu pegawainya. Namun demikian, tidak mustahil bila satu dua orang di antara 31.000 pegawai masih saja ada yang berani dan nekat untuk melakukan korupsi. Oleh karena itu, sistem pengawasan yang telah ada diharapkan dapat mendeteksi oknum-oknum ini sehingga dapat dicegah sebelum timbul kerugian negara. Komitmen anti korupsi merupakan harapan seluruh pegawai Ditjen Pajak. Say no to corruption. l
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
17
Peringatan Hari Anti Korupsi
P 18
eringatan hari anti korupsi Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dilanjutkan dengan ceramah umum pada Selasa, 4 Desember 2012. Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo hadir dalam rangkaian kegiatan yang diselenggarakan di Auditorium Cakti Buddhi Bhakti, Kantor Pusat Ditjen Pajak. Agus mengajak seluruh pejabat beserta pegawai Kementerian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak, untuk bersama-sama dengan lantang meneriakkan “No Corruption” atau “Tolak Korupsi!”. Ia berharap seluruh jajaran Ditjen Pajak mendukung DJPe-Magazine DESEMBER 2011
PERINGATAN PERINGATAN HARI HARI ANTI ANTI KORUPSI KORUPSI
komitmen ini agar pengelolaan adminitrasi perpajakan dapat dilakukan dengan bersih. Pengelolaan yang baik akan berdampak pada optimalisasi penerimaan pajak sehingga dapat memenuhi target penerimaan pajak tahun 2012. Apresiasi diberikan Menkeu kepada Ditjen Pajak
karena kegiatan seperti ini dapat menjadi komitmen bersama melawan korupsi. “Hendaknya momentum ini dimanfaatkan untuk menambah motivasi dan semangat pegawai Ditjen Pajak dalam menjalankan tugas utama yaitu menghimpun
penerimaan pajak dengan cara administrasi yang kredibel dan akuntabel,” ungkap Menkeu. Usai memberikan sambutan, kegiatan dilanjutkan dengan ceramah umum yang disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), DJPe-Magazine DESEMBER 2011
19
Busyro Muqoddas. Ia menyampaikan masukan terhadap langkah pencegahan dan penindakan yang dapat dilakukan Ditjen Pajak untuk membersihkan institusi perpajakan ini dari oknum yang berniat melakukan korupsi. KPK memiliki dua kewenangan untuk memberantas korupsi yaitu pencegahan dan penindakan. Pencegahan merupakan prioritas utama yang dijalankan KPK karena lebih efektif dan menguntungkan dibandingkan dengan hanya menjalankan fungsi penindakan. Banyak para pejabat di
20
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
kementerian lembaga yang terjerat kasus korupsi. Hampir semua dari mereka yang ditangani KPK merupakan orang yang berpendidikan. Itu artinya pendidikan yang tinggi tidak menjamin seseorang tidak akan melakukan tindak pindana korupsi. KPK memberikan masukan kepada kementerian lembaga agar mengadopsi birokrasi yang profesional bersifat transendental, birokrasi yang memiliki nilainilai dan spirit yang mewujudkan pelayanan jujur, adil dan maksimal
dengan spirit ibadah (sosial). Terobosan baru ini perlu dicoba dalam birokrasi di kementerian lembaga agar dapat tercipta lingkungan kerja yang berbudaya melayani dengan mengamalkan nilai sosial. Busyro berharap para pegawai bekerja sesuai dengan aturan agar tidak berurusan dengan KPK. Ia juga mengingatkan kepada para pegawai untuk tidak melakukan korupsi karena dampaknya lebih banyak bersifat destruktif. Belajar dari pengalaman yang sudah terjadi ketika seseorang
PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI
yang terkena kasus korupsi maka masa depannya pun menjadi tidak berkembang. Ceramah berikutnya diisi oleh Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan. “Tidak ada demokrasi jika tidak ada proses pajak yang baik. Berjalannya pemilu adalah salah satu tanda demokrasi. Tapi pemilu ada karena dibiayai oleh iuran pajak. Karena
itu Pajak adalah Pilar Demokrasi!” kata Anies. “Republik ini lahir dari iuran, iuran jiwa, iuran pemikiran, dan iuran pajak. Pajak adalah pilar penting menjaga Republik ini tetap berdiri,” ungkap Anies. Anies memaparkan bahwa dalam beberapa aspek, Indonesia tidak kalah dengan negara-negara maju. Berdasarkan Global Competiveness Report
2012-2013 dan IMF (2010-2011) dari 144 negara, peringkat Capacity for Innovation Indonesia berada pada urutan ke-30, setara dengan Australia dan melampaui Spanyol dan Hongkong. Kemudian peringkat Pay & Productivity Indonesia urutan 34, setara dengan Irlandia dan melampaui Denmark, Jerman dan Norwegia. Lalu peringkat DJPe-Magazine DESEMBER 2011
21
22
Control of International Distribution Indonesia urutan 39, atau setara dengan Belgia dan melampaui Italia dan Australia. Lalu peringkat Buyer Sophistication Indonesia urutan 45, setara dengan Perancis dan melampaui Rusia, Turki dan Brunei. Lalu, DJPe-Magazine DESEMBER 2011
peringkat Breadth of Value Chain Indonesia urutan 30 melampaui Norwegia dn Kanada. Lalu, peringkat Favoritism In Decision of Govt Official Indonesia urutan 35 setara dengan Austria dan melampaui Perancis dan Korea Selatan.
Lalu peringkat Wastefulness of Govt Spending Indonesia urutan 32 setara dengan Inggris dan melampaui Israel dan Jepang. Sedangkan peringkat Burden of Govt Regulation Indonesia menempati urutan 48 melampaui Austria dan
PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI
Amerika Serikat. Meski dengan segala kompetensi tersebut, Produk Domestik Bruto (PDB) per Kapita Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara-negara maju tersebut. Anies mengung kapkan bahwa masih
menurut Global Competiveness Report 2012-2013 dan IMF (2010-2011) dari 144 negara, dalam hal Irregular Payment & Bribe, Indonesia menempati peringkat 111 atau setara dengan Kamboja dan lebih buruk daripada
Mozambik dan Etiopia. Lalu peringkat Transperancy of Govt Policy Making Indonesia urutan 82 setara dengan Kamerun dan lebih parah daripada Zimbabwe dan Uganda. Peringkat Burden of Custom Procedure Indonesia urutan 73 di bawah Uganda dan Mali. Peringkat Legal Protection of Borrower & Lenders Indonesia urutan 118 setara dengan Burundi dan lebih parah daripada Nepal, Rwanda dan Gambia. Lalu peringkat Procedure to Start Business Indonesia urutan 87 masih setara dengan Burundi dan di bawah Madagaskar, Bangladesh dan Benin. Kemudian peringkat Organized Crime Indonesia urutan 109 setara dengan Mozambik dan lebih buruk daripada Kamboja, Burkina Faso dan Bangladesh. Lalu peringkat Reliability of DJPe-Magazine DESEMBER 2011
23
Police Service Indonesia urutan 85 setara dengan Uganda dan di bawah Zambia dan Gambia. Sedangkan peringkat Ethical Behavior of Firms Indonesia peringkat 96 setara Sierra Leone dan Benin, serta di bawah peringkat Zimbabwe dan Burkina Faso. Kesimpulannya, Indonesia masih rendah dalam hal Integritas. Maraknya Korupsi di Indonesia karena masih lemahnya Integritas Bangsa Indonesia. Cukup mengembirakan bahwa gerakan anti korupsi di DJP berkembang
24
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
pesat. Oleh sebab itu baik Anies Baswedan maupun Busyro Muqqodas menaruh harapan besar agar DJP menjadi garda terdepan institusi pemerintah yang memiliki integritas yang tinggi dan anti korupsi. “Menegakkan Integritas bukan pengorbanan tapi kehormatan. Harus menjadi kesadaran kolektif bangsa ini!” ujar Anies. Menurut Anies, integritas itu dapat menular. “Intinya dari tempat
ini (Ditjen Pajak), integritas itu dapat menular luar biasa,” serunya. Ceramah kedua tokoh ini diharapkan dapat menguatkan komitmen Ditjen Pajak untuk melawan korupsi. Ditjen pajak pun senantiasa akan merapatkan barisan agar tercipta lingkungan yang zero tolerance terhadap korupsi. Dukungan dari masyarakat serta penegak hukum seperti KPK pun akan membantu Ditjen Pajak menjalankan komitmen anti korupsi. l
ARTIKEL
Kepailitan, Kurator dan Tanggung Jawab Renteng Kurator Oleh : Teddy Novi H (Kasi Bimbingan Penagihan, Bidang P4, Kantor Wilayah DJP Jawa Barat I)
K
epailitan sesuai Pasal 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU) merupakan sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat pernyataan pailit itu dilakukan, beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan itu. Dengan pernyataan pailit, debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataannya itu sendiri. Sejak
saat suatu perusahaan dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka segala hak dan kewajibannya dilakukan oleh Kurator, atau Balai Harta Peninggalan dengan supervisi oleh seorang Hakim Pengawas. Menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, syaratsyarat kepailitan adalah terdapat paling sedikit dua kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo serta dapat ditagih. Menurut sistem hukum pailit, ada 3 (tiga) golongan kreditor, yaitu : Kreditor separatis, yaitu kreditor yang memegang jaminan kebendaan. Kreditor yang diistimewakan non separatis, termasuk kreditor pajak. Kreditor konkuren, yaitu kreditor yang harus berbagi dengan para kreditor lain secara proporsional menurut perbandingan besarnya DJPe-Magazine DESEMBER 2011
25
tagihan (pari passu). Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) menegaskan bahwa dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk memnbayar utang pajak Wajib Pajak tersebut. Dengan demikian kedudukan kurator terikat erat dengan ketentuan dalam Pasal 21 ayat (3a) UU KUP tersebut karena 26
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
jelas disebutkan bahwa kurator dilarang membagikan asset pailit kepada kreditur lainnya sebelum dibagikan kepada kreditur pajak. Disamping itu, dalam kasus kepailitan, utang pajak mempunyai kedudukan yang diistimewakan (preferens) yang berarti mengalahkan posisi kreditor konkurens sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1131 dan Pasal 1137 KUHPerdata menyebutkan bahwa Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatanperikatan perorangan debitor itu dan Hak didahulukan milik negara, kantor lelang dan badan umum lain yang diadakan oleh penguasa, tata tertib pelaksanaannya, dan lama jangka waktunya, diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang berhubungan dengan hal-hal itu. Hak didahulukan milik persekutuan atau badan kemasyarakatan yang berhak atau yang kemudian mendapat hak untuk memungut bea-bea, diatur dalam undang-undang yang telah ada mengenai hal itu atau yang akan diadakan. Kedudukan kurator dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan adalah sebagai wakil bagi
ARTIKEL
badan yang dinyatakan pailit sesuai ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) UU KUP. Dalam membagikan harta pailit kurator juga bertanggung jawab secara renteng sampai ke harta pribadi apabila dikemudian hari diketemukan novum bahwa kurator dalam melakukan pembagian boedel pailit, ternyata terbukti terdapat iktikad tidak baik dalam proses pembagian boedel pailit. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP bahwa Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam pembagian boedel pailit kurator tidak dapat begitu saja menafikan kedudukan Direktorat Jenderal Pajak sebagai pihak yang mempunyai hak mendahulu dan diistimewakan (preferens) dibandingkan kreditur lain termasuk yang telah dijamin dengan hak tanggungan. Walaupun, mungkin, terdapat ketentuan atau undang-undang lain seperti
perbankan, asuransi, tenaga kerja, Perseroan Terbatas dan sebagainya yang mengatur kedudukan istimewa bagi pihak-pihak yang diatur dalam undang-undang tersebut. Namun demikian, dari berbagai pengaturan undang-undang, dapat ditarik suatu benang merah bahwa dengan beberapa kekecualian dan merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1134 dan Pasal 1137 KUHPerdata maka tagihan dari kreditor pajak (baca: Direktorat Jenderal Pajak) mempunyai posisi sangat tinggi. Hal ini sangat wajar mengingat tagihan pajak merupakan tagihan dari negara, dimana Negara mewakili seluruh rakyatnya dan pajak berfungsi sebagai sumber penerimaan negara (budgetair) guna kepentingan masyarakat dan untuk melangsungkan kehidupan bernegara dan berbangsa untuk mencapai masyarakat adil dan makmur serta terwujudnya kesejahteraan yang merata dan meyeluruh. Untuk itu, agar kedudukan Direktorat Jenderal Pajak sebagai pihak yang mempunyai hak mendahulu dan diistimewakan (preferens) dapat dikedepankan dalam proses kepailitan dan kurator sebagai wakil bagi badan tidak bertanggung jawab secara renteng, perlu kiranya dilakukan persamaan persepsi, penafsiran, harmonisasi dan sinkronisasi aturan hukum yang ada. l DJPe-Magazine DESEMBER 2011
27
Modus Penggelapan di Bidang Pajak Pertambahan Nilai Serta Upaya Penangannya
S
PPN SANG MESIN UANG ejak pertama kali diterapkan di Perancis pada tahun 1954 atau sekitar 58 tahun yang lalu, hingga kini Pajak Pertambahan Nilai telah diterapkan di hampir 150 negara di dunia (OECD,2010). Hal tersebut terjadi karena Pajak Pertambahan Nilai di anggap sebagai salah satu jenis pajak yang sangat efektif dalam meningkatkan penerimaan negara, walaupun agak “lebay” Cnossen (1990) menyebutkan bahwa ”VAT is probably the best tax ever invented”. Disisi lain Ebrill, Keen, Bodin, and Summers (2001) menyebutkan penerapan PPN di berbagai negara sebagai “raising about one-fourth of the world’s tax revenue”. Secara statistik menurut data OECD dalam publikasinya “Consumption Tax Trends 2010” , peran penerimaan PPN terhadap total penerimaan pajak negara-negara OECD dalam 10 tahun terakhir berkisar rata-rata sebesar 19,2% per tahun, sedangkan rasionya terhadap PDB mencapai rata-rata 6,6% per tahun. Indonesia secara efektif menerapkan PPN dan PPn BM sejak 1 April 1985 dengan memberlakukan Undang-undang PPN Tahun 1984 menggantikan ketentuan Pajak Penjualan Tahun 1951, transformasi tersebut merupakan bagian dari paket reformasi nasional di bidang perpajakan yang 28
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
dimulai pada tahun 1984. Seperti juga di negara lain, PPN di Indonesia memiliki peranan penting sebagai instrument utama penerimaan negara dari sektor perpajakan. Data tahun 2011 menunjukan PPN dan PPn BM memiliki konstribusi sebesar 33% terhadap total penerimaan negara dari sektor perpajakan.
POTENSIAL LOSS Terlepas dari keunggulannya sebagai mesin penerimaan negara, PPN sebagaimana juga jenis pajak lainnya tentu tidak terlepas dari praktek kecurangan baik itu bersifat penghindaran maupun penggelapan. Cnossen (2009) menyatakan “As a transactions-based but accounts-controlled tax, VAT should be at least as susceptible to fraud as other accounts-controlled taxes, such as the income taxes” . Mengutif IMF Working Paper No:0731 (IMF, 2007), menurut komisi Eropa (2004) kerugian akibat penggelapan PPN diberbagai negara anggotanya mencapai 10% dari penerimaan netto PPN dan meski belum ada data yang pasti diduga jumlah kerugian yang jauh lebih besar lagi (35%50%) terjadi di negara-negara berkembang. Bahkan di Srilangka terjadi satu kasus penggelapan PPN yang menyebabkan kerugian sebesar 10% dari total penerimaan netto PPN di negara tersebut (Keen and Smith,2007). Bagaimana dengan Indonesia? Tidak ada angka resmi dan pasti mengenai besarnya kerugian akibat penggelapan PPN yang terjadi di negara kita, tetapi sekalipun melakukan kajian dari sudut pandang yang berbeda diketahui bahwa berdasarkan technical report yang dilakukan “Partnership for Economic Growth (PEG) Project” USAID tanggal 20 Pebruari 2003 yang berjudul “The Value Added Tax in Indonesia: The Impact of Sectoral Exemptions on Revenue Potential and Effective Tax Rates” disebutkan bahwa dengan struktur pengenaan PPN yang berlaku seharusnya potensi penerimaan PPN (1995) adalah sebesar 5,8% dari PDB dengan jumlah tersebut maka terdapat gap penerimaan sebesar 45% dari potensi PPN karena rasio PPN terhadap PDB aktual hanya DJPe-Magazine DESEMBER 2011
29
sebesar 3,2% saja. Penulis meyakini bahwa potensial loss sebesar 45% bukan semata-mata terjadi karena penghindaran dan penggelapan PPN tetapi juga terjadi karena beberapa kebijakan khusus seperti batasan pengusaha kecil, Dasar Pengenaan Pajak khusus atas bidang usaha tertentu dan beberapa ketentuan khusus pengenaan PPN lainnya. Tetapi mengutip laporan IMF di atas, jika potensial loss akibat penggelapan PPN adalah 35% maka asumsi kerugian penerimaan negara akibat penggelapan PPN dalam 5 tahun terakhir mencapai +/- Rp. 372.953 Trilyun atau rata-rata Rp. 74,59 Trilyun per tahun suatu jumlah yang besar tentunya.
MODUS PENGGELAPAN PPN “Tax evasion (and tax avoidance) is a phenomenon present in all societies that use taxes to finance government expenditures” (Eichhorn, 2006). Berdasarkan literatur, Tait (1988) mencatat setidaknya 16 bentuk VAT Evasion, Keen dan Smith (2007) yang juga mengutip Tait mencatat 9 typology Evasion dan Fraud di bidang PPN, sementara Cnossen (2009) mengutip UK National Audit Office, HM Customs and Excise: Tackling VAT Fraud (2005) mencatat 5 Jenis VAT Fraud. Modus-modus penggelapan PPN tersebut dapat di sarikan sebagai berikut :
Menurut Tait : 1. Traders Who Are Liable to VAT but Do Not Register 2. Exaggerate Refund Claim 3. Unrecorded Cash Purchases 4. Credit Claimed for Invoices from Unregistered Suppliers 5. Credit Notes on Purchases Including VAT Not Shown On Returns 6. Credit Claimed for Taxable Supplies Used in Exempt Activities 7. Credit Notes on Purchases That Are Not Creditable 8. Imported Goods and Taxed but unreported Sales 30
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
9. Underreported Sales 10. VAT Collected but Not Remitted to The Authorities 11. Multiple Rates and Incorrect Descriptions 12. Omission of Self Deliveries 13. False Export Claims 14. Bogus Traders 15. Barter Arrangement 16. Accounting Errors
Menurut Keen and Smith : 1. Under-reported sales 2. Failure to register 3. Misclassification of commodities 4. Omission of self-deliveries 5. Imported goods not brought into tax 6. False claims for credit or refund 7. Credit claimed for VAT on purchases that are not creditable 8. Bogus traders 9. Carousel fraud
Menurut Cnossen 1. Shadow economy fraud 2. Suppression fraud 3. Insolvency fraud 4. Carousel fraud 5. Bogus traders Walaupun kuantitasnya berbeda tetapi terdapat benang merah di antara ketiga litelatur tersebut. Penulis mencoba menguraikannya dari sudut pandang Cnossen :
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
31
1. Shadow economy fraud Mengutip Silitonga (2006) “Kegiatan ekonomi bawah tanah umumnya berlangsung di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. “Shadow economy” atau kadang kala disebut “cash economy” ini lazimnya diukur dari besarnya nilai ekonomi yang dihasilkan, dibandingkan dengan nilai produk domestik bruto (PDB). Masih menurut Silitonga mengutip penelitian Dr Enste dan Dr Schneider (2002), besarnya persentase kegiatan ekonomi bawah tanah di negara maju dapat mencapai 14‐16% PDB, sedang di negara berkembang dapat mencapai 35 – 44% PDB”. Shadow economy atau underground economy bahkan dijadikan Pemerintah RI sebagai justifikasi atas tidak tercapainya penerimaan PPN di tahun 2011 (LAKIP, 2011). Modus yang paling dasar dalam penggelapan pajak yang dilakukan dalam shadow economy adalah Pengusaha yang memenuhi kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak sehingga atas penyerahan BKP/JKP yang dilakukannya tidak dipungut PPN. Praktek ini tentu saja akan mengakibatkan total loss bagi negara yang menganut single stage dalam teknik pengenaan PPN-nya sedangkan bagi negara yang menganut multy stage levy kerugian yang lebih besar akan terjadi apabila pengusaha yang berada di sektor hilir (ritel) tidak mendaftar diri sebagai Pengusaha Kena Pajak. Berikut ilustrasinya :
A. Dalam kondisi “full compliance” No.
Kegiatan
DPP PPN
PK
PM
Setor
750
75
-
75
1.
Impor
2.
Pabrikan
1000
100
75
25
3.
Distributor
1250
125
100
25
4.
Ritel
1500
150
125
25 150
32
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
B. Kondisi “Uncompliance” di sektor hilir : No.
Kegiatan
DPP PPN
PK
PM
Setor
750
75
-
75
1.
Impor
2.
Pabrikan
1000
100
75
25
3.
Distributor
1250
125
100
25
4.
Ritel
1500
-
-
125
C. Kondisi “Uncompliance” si sektor yg lebih hulu : No.
Kegiatan
DPP PPN
PK
750
75
PM
Setor
1.
Impor
75
2.
Pabrikan
1000
100
75
25
3.
Distributor
1250
-
-
-
4.
Ritel
1500
150
-
150 250
Praktek lain yang lazim terjadi adalah Importing “Bodong” yaitu perusahaan yang didirikan hanya untuk kepentingan administrasi pemasukan barang impor saja. Dalam praktek seperti ini pemerintah masih mengalami kerugian minimal karena perusahaan tersebut tetap membayar PPN Impor hanya saja mata rantai transaksinya kemudian terputus sampai tingkat impor saja, mata rantai lanjutan atas distribusi barang kemudian hilang karena importir tersebut bukan pemilik barang sesungguhnya. Tingkat kejahatan yang lebih parah dalam shadow economy tentu saja lebih dari sekedar importir “bodong” barang impor membanjiri pasar domestik bahkan masuk melalui cara penyelundupan.
2. Suppression fraud Modus penggelapan ini umumnya dilakukan oleh Pengusaha yang sudah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan memanfaatkan sarana SPT PPN. Pengusaha jenis ini berusaha untuk meminimalkan setoran PPN yang menjadi kewajibannya, secara umum modus ini dilakukan dengan cara meminimalkan Pajak Keluaran dan/atau menggelebungkan Pajak Masukan. DJPe-Magazine DESEMBER 2011
33
Teknik meminimalkan setoran PPN menurut litelatur di atas dapat dilakukan dengan berbagai cara yang umumnya adalah “kejahatan akuntansi” seperti : tidak melaporkan seluruh penjualan atau pembelian, retur penjualan palsu, tidak melaporkan retur pembelian, tidak melaporkan pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma, pengkreditan pajak masukan yang tidak sesuai ketentuan perpajakan bahkan fiktif, pemanfaatan fasilitas khusus dibidang PPN oleh Pengusaha yang seharusnya tidak menikmati fasilitas tersebut, dan lainlain.
3. Insolvency fraud Modus ini dilakukan bukan saja untuk meminimalkan setoran PPN bahkan dilakukan untuk “mengemplang” uang PPN dari kas Negara. Kejahatan jenis ini umumnya dilakukan secara terorganisir. Pengkreditan dan/atau restitusi atas faktur pajak yang tidak sah merupakan praktek yang sering dilakukan dalam praktek kejahatan ini. Tait (1988) menyebutkan “44 percent of all VAT fraud found in an investigation in the Netherlands took the form of false claims for tax paid at previous stages”. Bentuk kejahatan lain dilakukan dengan cara yang tidak kalah jahat yaitu Pengusaha yang tidak menyetorkan Kurang Bayar PPN ke kas negara. Untuk kejahatan jenis ini Cnossen (2009) mencontohkan sebuah perusahaan yang membeli barang kena pajak kemudian menjualnya pada saat harga tinggi kemudian tidak meyetorkan PPN kurang bayar sampai kemudian perusahaan tersebut menyatakan bangkrut dan kemudian menghilang.
4. Carousel fraud Penggelapan PPN tidak saja terjadi dalam konteks domestik tetapi juga dapat terjadi dalam konteks global khususnya di Uni Eropa. Kaidah umum PPN yang menganut “prinsip destinasi” dalam impor barang dan/atau jasa memberi hak pemajakan kepada negara dimana komsumsi dilakukan (negara tujuan) 34
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
pada saat terjadinya peristiwa impor dan disisi lain sejalan dengan prinsip tersebut ekspor atas barang keluar dari suatu negara akan dikenakan tarif 0% untuk tujuan netralitas beban pengenaan PPN-nya. Sejak tahun 1992 negara anggota Uni Eropa telah menghilangkan batasan pabean sebagai cerminan dari kawasan uni eropa sebagai suatu “pasar tunggal” dengan kondisi ini maka tidak seperti kaidah umum, PPN atas impor tidak dipungut pada saat barang masuk melainkan pada saat pelaporan SPT PPN. Pada prakteknya, prosedur ini ternyata membuka ruang untuk terjadinya penggelapan pajak. Carousel fraud di inggris diistilahkan juga dengan istilah “Missing Trader Intra Community fraud (MTIC)” . Keen and Smith (2007) menyatakan carousel fraud sebagai “exploits the zero-rating of exports combined with the “deferred payment” mechanism for collecting VAT on imported goods”. Sedangkan Cnossen (2009) menyatakan “where fraudsters register for VAT, buy goods VAT free from another member state, sell them on at VAT inclusive prices and then disappear without paying the VAT due”.
5. Bogus Traders Istilah ini dalam praktek perpajakan Indonesia dikenal juga dengan penerbit faktur fiktif. Perusahaan ini didirikan dengan tujuan semata-mata penggelapan pajak, biasanya dilakukan secara terorganisir dengan melibatkan mata rantai beberapa perusahaan yang berujung para pengguna faktur fiktif yang memperoleh Pajak Masukan tidak berdasarkan transaksi yang sesungguhnya, tidak ada arus uang dan barang atas transaksi ini tetapi pajak masukan tetap dikreditkan dengan tujuan mengambil keuntungan pribadi. Dalam rentang sejarah PPN di Indonesia telah beberapa kasus penerbit faktur fiktif berakhir di balik jeruji besi akan tetapi belum cukup memberi efek jera, penerbit faktur fiktif atau penerbit faktur pajak yang tidak sah (pembaharuan istilah) tetap tumbuh seperti cendawan di musim hujan. DJPe-Magazine DESEMBER 2011
35
LANGKAH APA YANG HARUS DILAKUKAN? Pengalaman Inggris Pepatah mengatakan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Untuk itu mari kita belajar dari pengalaman Inggris dalam menangani masalah penggelapan PPN (disarikan dari National Audit Office. HM Customs and Excise. Tackling VAT Fraud. Report by the Comptroller and Auditor General, HC 512 Thirty–sixth Report of Session 2003-2004 (29 July, 2004) . Kerugian yang terjadi akibat penggelapan PPN di Inggris pada tahun 2002-2003 diperkirakan sebesar 15,7% dari total penerimaan PPN. Berdasarkan hal tersebut pemerintah Inggris berusaha untuk mengurangi kerugian tersebut dengan target kerugian berkurang menjadi angka 12% dari penerimaan PPN pada tahun 2005-2006. Begitu seriusnya langkah yang di ambil sampai-sampai pemerintah Inggris membentuk satu departemen baru bernama “HM Revenue and Customs” yang bertujuan untuk menyelaraskan kegiatan bea cukai dan pajak. Langkah-langkah yang dilakukan otoritas perpajakan di inggris untuk menangani penggelapan pajak adalah sebagai berikut : 1. Pemerintah mengukur jumlah kerugian dan mengidentifikasi kelemahan yang ada sebagai langkah awal untuk menentukan bobot dan pemecahan masalahnya disamping sebagai acuan awal di setiap tahap perbaikan. 2. Melakukan pencegahan atas penggelapan pajak dan ketidakpatuhan WP : a. Pada tahun 2000-2001 kerugian penerimaan pajak diperkirakan sebesar £2,5 Milyar s.d £4 Milyar yang terjadi baik karena kealfaan maupun kesengajaan yang dilakukan para Pengusaha. b. Pemerintah melakukan sosialiasi terhadap pengusaha yang dinilai belum memahami ketentuan perpajakan 36
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
c.
dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela. Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang baru, sosialiasi di lakukan pada tahun pertama PKP baru tersebut terdaftar. Kerugian jutaan pound diperkirakan terjadi karena praktek “carousel fraud/MITC” . Untuk mencegahnya maka pemerintah telah memperketat syarat pengukuhan PKP. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya penolakan atas permohonan pengukuhan PKP.
3. Mendeteksi terjadinya penggelapan pajak dan ketidakpatuhan WP : a. Dilakukan pemeriksaan mendalam terhadap 1000 PKP terbesar. sedangkan terhadap pengusaha kecil dan menengah pemeriksaan dilakukan dengan menerapkan kriteria risiko untuk menentukan bobot kegiatan pemeriksaannya. PKP besar mendapat perhatian lebih karena kegiatan dan sistem akuntansinya memiliki kompleksitas dan potensi risiko yang lebih besar terhadap penerimaan PPN. b. Dilakukan kegiatan visit terhadap PKP yang tidak hanya untuk mendeteksi penggelapan pajak tetapi juga sosialisasi terhadap PKP yang telah patuh untuk menghindari kesalahan dalam pemahaman mereka terhadap ketentuan perpajakan. Kegiatan visit diyakini secara signifikan telah meningkatkan penerimaan PPN sehingga kedepan kegiatan tersebut akan dilakukan dengan pendekatan baru dan kegiatan yang lebih efektif. c. Memberikan bonus tambahan terhadap aparat pajak untuk mendorong keberpihakan mereka terhadap upaya meningkatkan penerimaan pajak. d. Pemerintah menggunakan staf khusus intelijen untuk mengidentifikasi sektor-sektor usaha yang rawan penggelapan pajak dan mendeteksi modus penggelapan DJPe-Magazine DESEMBER 2011
37
yang dilakukan. Fungsi intelijen juga diterapkan dalam penggalian data dan pemberian restitusi. e. Diperkirakan 180.000 Pengusaha yang wajib untuk dikukuhkan sebagai PKP secara sengaja maupun tidak sengaja tidak mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sebagian besar aktifitas mereka terjadi dalam ekonomi bawah tangan sehingga juga tidak membayar PPh. Untuk itu dibentuk tim gabungan dengan Departemen lain untuk pertukaran informasi dan investigasi gabungan. Melalui kegiatan ini dijamin bahwa pada tahun 2002-2003 telah terjaring 3.600 pengusaha untuk dikukuhkan menjadi PKP. f. Pada tahun 2003 Pemerintah Inggris mengeluarkan skema kebijakan semacam “sunset policy” selama satu tahun tersebut. Hasilnya sebanyak 3.900 mendaftar dan menghasilan penerimaan PPN sebesar £ 2 juta pada akhir tahun. g. Pemerintah melakukan pertukaran data dan akses database antar departemen terutama untuk meneliti data pengusaha yang telah memenuhi batasan untuk dikukuhkan sebagai PKP. h. Kerjasama dengan negara anggota Uni Eropa lain terutama terkait pertukaran data perdagangan. i. Kerugian akibat penghindaran PPN selama tahun 2000-2001 diperkirakan berjumlah £ 2,5 milyar - £ 3 milyar. Sekalipun legal tetapi pemerintah menilainya sebagai suatu hal yang tidak dapat diterima. Untuk Itu PKP dengan kriteria jumlah omset tertentu akan diminta untuk menjelaskan skema pelaksanaan kewajiban PPN yang mereka lakukan.
4. Penyidikan dan penjatuhan sanksi. a. Pemerintah melakukan langkah-langkah yang serius dalam upaya penegakan hukum yang terjadi karena penggelapan PPN. Kegiatan tersebut telah melibatkan kurang lebih 325 tenaga penyidik yang menangani 699 kasus sipil dan 377 kasus pidana. 38
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
b. Penegakan hukum tidak saja dilakukan terhadap Pengusaha tetapi juga terhadap pihak-pihak lain yang ikut terlibat seperti akuntan dan konsultan pajak. c. Hasil dari berbagai langkah penegakan hukum yang telah dilakukan oleh pemerintah Inggris. Maka telah terjadi penurunan yang tajam dalam jumlah kasus penggelapan PPN dari 729 kasus di tahun 2000 turun menjadi 276 kasus di tahun 2003.
Bagaimana Indonesia? Dalam konteks Indonesia, menurut penulis ada 2 hal penting terkait upaya meminimalisasi tindakan penggelapan PPN. Pertama disain kebijakan sebagai upaya pencegahan dan yang kedua upaya penegakan hukum.
Disain Kebijakan 1. Pengukuhan PKP a. Sesuai Legal karakter PPN yang bersifat “multi stage levy” maka seluruh pengusaha yang wajib untuk dikukuhkan untuk menjadi PKP dalam semua mata rantai distribusi dan konsumsi atas Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak harus dijamin dan didorong untuk dikukuhkan sebagai PKP. Tait (1988) menyatakan, Registration brings person within the control of the tax authorities. Tanpa mengenyampingkan sektor yang lebih hulu dari mata rantai pengenaan PPN yaitu pabrikan dan distributor, secara teoritis legal karakter pengenaan PPN secara “multy stage levy” atas konsumsi BKP dan/atau JKP di dalam negeri yang dianut oleh rezim UU PPN 1984 telah menempatkan sektor ritel sebagai “benteng terakhir” pengenaan PPN sebelum kemudian beban PPN ditanggung oleh konsumen akhir. Oleh karenanya, perlu kebijakan dan langkah khusus untuk mencegah terjadinya kebocoran PPN di sektor ini terutama DJPe-Magazine DESEMBER 2011
39
upaya untuk mendorong sebanyak mungkin PKP ritel mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP. Dalam salah satu papernya DR. Saroyo Atmosudarmo menyatakan bahwa “penambahan jumlah pengusaha yang menjadi subjek pajak memang dapat menambah penerimaan pajak. Namun, penambahan jumlah penerimaan itu hanya akan terjadi bilamana tambahan jumlah pengusaha tersebut berasal dari pengusaha-pengusaha yang melakukan kegiatan usaha yang lebih ke hilir dibanding pengusaha-pengusaha yang sebelumnya telah menjadi subjek pajak tersebut”.
b. Aspek pelayanan memang selalu bertolak belakang dengan aspek pengawasan, oleh karenanya harus ada jalan tengah antara kebijakan layanan unggulan dan pengawasan terhadap Pengusaha Kena Pajak. Upaya pemerintah dengan menerbitkan ketentuan baru (PMK nomor : 73/PMK/2012) yang menegaskan bahwa jangka waktu pengukuhan PKP 5 hari sejak permohonan lengkap dan melalui verifikasi tentu perlu mendapat apresiasi karena proses pengukuhan PKP adalah saringan awal untuk mencegah terjadinya penyalahgunaaan di bidang PPN. Keinginan pemerintah sebelumnya untuk memberikan layanan unggulan 1 (satu) hari dalam hal pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SE - 79/ PJ/2010) memang dinilai kurang tepat dan sangat rawan, kebijakan tersebut menyebabkan DJP pada tahun 2012 harus melakukan melakukan kegiatan “registrasi ulang” terhadap seluruh PKP. c. Selain jangka waktu pelayanan, hal lain yang tidak kalah penting adalah evaluasi terhadap validitas informasi dan eksistensi Pengusaha Kena Pajak yang hendaknya dilakukan secara komprehensif dan berkala. Segala sesuatu yang menyangkut perubahan data PKP baik itu identitas pengurus, alamat, nomor telepon, email, tempat usaha dan 40
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
lain-lain wajib diberitahukan oleh PKP yang bersangkutan (kenakan sanksi tertentu apabila tidak dilaksanakan) disamping itu AR secara berkala harus melakukan verifikasi dan pemeliharaan basis data atas data-data PKP tersebut atau lebih lanjut lagi melakukan visit ke lokasi PKP tertentu yang dinilai mencurigakan. Validitas data profil PKP harus dijamin 100% kebenarannya. Hal ini untuk menjamin agar jangan sampai “cek kosong” yang diberikan negara kepada PKP untuk memungut uang PPN dimanfaatkan oleh pihakpihak yang tidak bertanggungjawab.
2. Faktur Pajak a. Faktur pajak merupakan dokumen pendukung untuk mendeteksi atau menguji kebenaran jumlah pajak yang terutang (Sukardji, 2009). Sementara Tait (1988) menyatakan, The invoice is crucial control document of the usual VAT. Berdasarkan hal tersebut maka pengawasan yang baik terhadap mekanisme penerbitan faktur pajak oleh PKP penjual dan pengkreditannya oleh PKP pembeli merupakan kunci untuk dapat mencegah terjadinya berbagai praktek penggelapan PPN. Metode pengkreditan pajak masukan secara teknis memang menggunakan pendekatan per faktur pajak bukan berdasarkan pada realisasi kontribusi barang atau jasa yang difakturkan tersebut pada keluaran yang dikenakan pajak keluaran (Atmosudarmo..) sehingga dalam metode ini sangat penting untuk dilakukan pengujian atas kebenaran transaksi. Secara formal, Korea telah melakukan metode uji silang terhadap faktur penjualan dan pembelian. Hasil penerapan metode uji silang tersebut telah menurunkan tingkat ketidaksesuaian dari 7,2% pada tahun 1977 menjadi 3% pada akhir tahun 1979. b. UU PPN 1984 menganut prinsip akrual, hal tersebut tercermin dari ketentuan tentang faktur pajak yang lebih bersifat “formal”. Sekalipun secara material uang PPN belum atau tidak dibayar oleh pembeli akan tetapi DJPe-Magazine DESEMBER 2011
41
pembuatan faktur pajak oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP sudah memenuhi pengertian bahwa PPN terutang atas penyerahan BKP/JKP tersebut sudah dipungut (invoice method). Ketentuan positif yang ada belum cukup kuat untuk membentengi secara utuh hakikat ekonomi dari suatu transaksi penyerahan BKP dan/atau JKP. Sukardji (2009) menyatakan, Tidak ada satu pasal pun dalam UU KUP yang mengenakan sanksi terhadap PKP yang malakukan penyerahan BKP atau JKP tetapi tidak berhasil memungut PPN dalam arti ekonomis.
3. Ketentuan Khusus a. Metode pembatasan berdasarkan kriteria peredaran usaha memang lazim dilaksanakan di berbagai negara. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi pengusaha kecil yang “belum siap”. Hanya saja pada prakteknya otoritas pajak harus konsisten dalam menerapkan ketentuan tersebut di lapangan jangan sampai fasilitas pembatasan ini diberikan atau dimanfaatkan bukan oleh pengusaha kecil melainkan oleh pengusaha yang sengaja “mengecilkan” usahanya. Disinyalir sebagian besar pengusaha sektor ritel adalah pengusaha orang pribadi yang sebagian besar sengaja melaporkan SPT Tahunan PPh dengan peredaran usaha di bawah Rp. 600 juta (agar tidak PKP). Dengan batasan Rp. 600 juta mungkin kita semua setuju bahwa hampir dipastikan semua pengusaha di sentra-sentra ritel populer di kota besar seharusnya sudah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Motif untuk mengecilkan skala usaha bisa juga terjadi karena adanya kekhawatiran persaingan usaha yang tidak sehat akibat belum semua pengusaha dengan jenis usaha yang sama dan/atau di lokasi yang sama sudah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. b. Pada prakteknya fasilitas perpajakan seringkali digunakan oleh Wajib Pajak sebagai sarana untuk melakukan 42
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
penggelapan pajak. Bentuk-bentuk penyalahgunaan tersebut telah diuraikan pada bagian tulisan tentang modus penggelapan pajak di awal tulisan ini. Menurut Haula, Kristiyanto dan Sukirno (…) dalam Undang-undang PPN dikenal dua jenis fasilitas, yaitu dibebaskan dari pengenaan PPN dan PPN tidak dipungut. Sementara Tait (2008) menyatakan bahwa “from both theoretical and practical viewpoint, exemptions should kept to a minimum”. Semakin banyak fasilitas PPN yang diberikan semakin besar peluang terjadinya penggelapan.
PENEGAKAN HUKUM 1. Kegiatan Pemeriksaan a. Pemeriksaan sebagai bagian dari kegiatan administrasi perpajakan harus dilakukan secara optimal karena kegiatan tersebut merupakan salah satu pilar yang mutlak diperlukan dalam membangun suatu sistem perpajakan yang kompetetitif. Mathews (2011) dalam kertas kerja OECD yang berjudul What is a “Competitive” Tax System menyatakan “Good administration that is effective in deterring evasion reinforces social cohesion and ensures no unfair advantage accrues to businesses that evade tax “. b. Pemeriksaan mutlak “hadir” dalam sistem perpajakan yang menganut self assessment. Tidak saja untuk menjalankan fungsinya sebagai alat untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak tetapi juga untuk menjamin bahwa pelaksanaan ketentuan perpajakan dilaksanakan secara adil dan “zero tolerance” terhadap setiap upaya penggelapan pajak. c. Tait (1988) menyatakan bahwa metode pengawasan yang universal dibidang PPN adalah audit dan pemeriksaan langsung terhadap pencatatan Wajib Pajak yang didukung oleh sistem penalti yang memadai. Penggelapan PPN hanya dapat dapat terungkap apabila pemeriksaan dilakukan DJPe-Magazine DESEMBER 2011
43
melalui program pemeriksaan yang efektif yang digariskan secara satu komando oleh kantor pusat. Tait juga menekankan pentingnya pemeriksaan PPN secara fisik terhadap gudang dan lalulintas barang “A VAT fundamentally must tax a fact, the delivery or supply of a good or a service; it should not tax just an invoice”. d. Salah satu kunci keberhasilan inggris dalam menurunkan VAT gap di negara tersebut adalah menggunakan instrumen pemeriksaan pajak secara komprehensif. Skala pemeriksaan dilakukan secara nasional bahkan otoritas pajak inggris melakukan pemeriksaan terhadap 1000 PKP terbesar. Sudah saatnya bagi Indonesia yang telah 27 tahun menerapkan UU PPN untuk segera melaksanakan hal serupa. Penanganan penggelapan PPN seperti penerbit dan pengguna faktur fiktif misalnya seyogyanya dilakukan melalui pemeriksaan dengan skala nasional sehingga mata rantai penggelapan PPN tersebut dapat terungkap dari hulu sampai ke hilirnya. e. Kebijakan di bidang pemeriksaan pada hakekatnya juga tidak saja ditujukan untuk kepentingan pengawasan rutin tetapi juga untuk kepentingan pertumbuhan (pro growth). Dengan sudut pandang tersebut maka pemeriksaan di bidang PPN juga dapat dilakukan dengan tujuan pertumbuhan jumlah PKP. Kegiatan pemeriksaan dapat dilakukan secara serentak terutama di sentra-sentra ekonomi potensial terhadap pengusahapengusaha yang dinilai telah memenuhi syarat PKP tetapi tidak atau belum mendaftarkan diri menjadi PKP (setelah dihimbau). Kegiatan tersebut diharapkan akan menimbulkan deterrent effect sehingga dapat meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak lainnya. f. Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka kegiatan pemeriksaan dalam penanganan penggelapan PPN harus dilaksakanan dengan mengembangkan teknik dan kemampuan tenaga pemeriksa terutama menyangkut 44
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
fungsi-teknik intelijen dalam pemeriksaan pajak dan metode pengolahan data. Hal tersebut mutlak dilaksanakan karena modus penggelapan PPN akan semakin berkembang seiring dengan kemajuan praktek bisnis yang terjadi dalam berbagai kegiatan ekonomi masyarakat bahkan dapat dilakukan secara lintas negara.
Sanksi Pidana a. Allingham & Sandmo (1972) dikutip dari Eichhorn (2006) menyatakan “that the taxpayers know precisely the probability of being caught and the penalties that they will receive so that they can make the cost-benefit calculation”. Oleh karena itu upaya pengawasan dan penegakan hukum yang optimal mutlak dilaksanakan karena pada dasarnya penerapan sanksi yang berat akan dapat memberi efek jera terhadap upaya penggelapan pajak. Pirtilla (1999) menyatakan “In the standard tax evasion framework, evasion can be deterred by imposing heavy penalties”.
b. Sanksi yang berat tidak saja harus dijatuhkan terhadap Wajib Pajak yang terlibat langsung dalan kegiatan penggelapan pajak tetapi juga harus dikenakan terhadap pihak lain yang membantu upaya penggelapan pajak tersebut seperti misalnya konsultan pajak atau akuntan publik yang menyusun laporan keuangan Wajib Pajak. c. Upaya penegakan hukum dalam rangka memerangi penggelapan PPN hanya akan dapat tercapai secara optimal apabila otoritas pajak diberikan wewenang yang memadai dalam kegiatan penyidikan. Selain itu perlu kesamaan langkah dan dukungan penuh dari instansi penegak hukum lain karena pada dasarnya penggelapan pajak adalah kejahatan terhadap negara yang harus diperangi oleh semua pihak. Kita semua harus sepakat bahwa pajak adalah harga diri bangsa.
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
45
KESIMPULAN 1. Sekalipun PPN adalah jenis pajak yang dinilai sangat produktif untuk menambah penerimaan negara. Tetapi praktek di berbagai negara menunjukan bahwa “Tax gap” PPN ternyata masih sangat besar. Salah satu penyebab terjadinya tax gap tersebut adalah potensial loss yang terjadi karena praktek penggelapan PPN. Data menunjukan rata-rata potensial loss akibat penggelapan PPN di negara maju berkisar pada angka 10% dari penerimaan netto PPN. Jumlah yang lebih besar terjadi di negara berkembang yang berkisar antara 35%-50% dari penerimaan netto PPN. Meskipun belum ada data resmi dari pemerintah, penelitian USAID menunjukan bahwa pada tahun 1995 jumlah tax gap penerimaan PPN di Indonesia adalah sebesar 45% dari potensi penerimaan PPN yang seharusnya terhimpun. 2. Praktek penggelapan PPN terus berkembang dengan menggunakan berbagai macam modus bukan hanya dalam lingkup domestik bahkan terjadi lintas negara. Secara umum shadow economy atau underground economy menjadi habibat yang subur bagi berbagai praktek kejahatan perpajakan ini. 3. Berbagai upaya dilakukan oleh banyak negara untuk memerangi penggelapan PPN. Secara khusus para ahli dibidang PPN menjadikan upaya di Kerajaan Inggris pada tahun 2002-2005 sebagai acuan karena negara tersebut telah berhasil menurunkan tax gap secara signifikan melalui langkah-langkah yang terpadu sehingga patut dijadikan contoh oleh negara lain termasuk Indonesia. 4. Setidaknya terdapat 2 hal yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya menekan angka potensial loss akibat penggelapan PPN. Pertama penyempurnaan disain kebijakan di bidang PPN yang menyangkut pengukuhan PKP, faktur pajak, dan penyempurnaan aturan-aturan khusus sebagai upaya
46
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
pencegahan terjadinya tindakan penggelapan PPN. Langkah kedua kegiatan penindakan berupa upaya penegakan hukum melalui serangkaian penyempurnaan kebijakan di bidang pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi pidana. KPP Pratama Bekasi utara, 15 Agustus 2012
TAUFIK ACHMAD Referensi :
l Atmosudarmo, Saroyo, Pengusaha Kena Pajak, (unpublished), Jakarta : Universitas Indonesia, 1999. l Cnossen, Sijbren, “Taxing Value Added: The OECD Experience,” International VAT Monitor 5 (May), 1990. l Cnossen, Sijbren, “VAT Coordination in Common Markets and Federations Lessons from European Experience,”2009. l Ebrill, Liam, Michael Keen, Jean-Paul Bodin, and Victoria Summers, “The Modern VAT”, Washington: International Monetary Fund, 2001. l Eichhorn, Christoph, “Optimal Policies in the Presence of Tax Evasion”, Inaugural-Dissertation Muenchen: an der Ludwig-Maximilians-UniversitÄat MÄunchen, 2006. l Firttila, Jukka, “Tax Evasion and Economies in Transition: Lessons from Tax Theory”, Discussion Papers: Bank of Finland Institute for Economies in Transition, BOFIT, Helsinki, 1999. l Keen, Michaeål, and Stephen Smith, “VAT Fraud and Evasion: What Do We Know, and What Can be Done?”, Washinton. D.C. : International Monetary Fund, 2007. l Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Keuangan Tahun 2011 l Matthews, Stephen, “What is a “Competitive” Tax System?”, OECD Taxation Working Papers, No. 2, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/5kg30vmd4kj-en, 2011 l Mark , Stephen V, “The Value Added Tax in Indonesia:The Impact of Sectoral exemptions on Revenue Potential and Effective Tax Rates”, Technical Report PEG Project, USAID Jakarta, 2003 l OECD (2010), Consumption Tax Trends 2010: VAT/GST and Excise Rates, Trends and Administration Issues OECD publishing. doi: 10.1787/ctt-2010-en l Rosdiana, Haula, Agus Kristiyanto dan Sukirno. Kupas Tuntas Objek PPN, Jakarta: PT Multi Utama Consultindo, l Silitonga, Erwin . Ekonomi Bawah Tanah, Pengampunan Pajak Dan Referendum, ( unpublished), Dies Natalis Fakultas Ekonomi ke 31, Bandung : Universitas Parahiyangan, 2006. l Sukardji, Untung. Pajak Pertambahan Nilai Pemahaman Melalui Studi Kasus, Jakarta: PT Multi Utama Consultindo, 2010. l Tait, Alan A. Value Added Tax, International Practice and Problems, Washinton. D.C. : l International Monetary Fund, 1988. l U.K., Government. National Audit Office. HM Customs and Excise. Tackling VAT Fraud. l Report by the Comptroller and Auditor General, HC 512 Session 2003-2004, 2004
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
47
Civil Law dan Common Law Oleh: Teddy Novi Hardein
(Kepala Seksi Bimbingan Penagihan, Kanwil DJP Jawa Barat I)
I
lmu hukum (yurisprudence) adalah ilmu yang mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Perkembangan hukum dan ilmu hukum dipengaruhi oleh tingkat kemajuan masyarakat di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, politik hukum bahkan pandangan hidup dan keyakinan hukum suatu masyarakat. Hal ini karena hukum itu hidup, tumbuh, berkembang dan lenyap di dalam masyarakat pada waktu dan tempat yang berbeda. Ilmu hukum merupakan alat ilmiah untuk memahami hukum artinya kita memperoleh pengetahuan tentang makna dan fungsi hukum. Ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Ilmu hukum merupakan alat ilmiah untuk memahami hukum artinya kita 48
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
mempunyai pengetahuan tentang makna dan fungsi hukum. Ilmu hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Hukum” mengemukakan daftar masalah untuk mempelajari hukum, antara lain : mempelajari azas-azas hukum, sistem formal hukum, konsepsi-konsepsi hukum, apa sesungguhnya hukum itu, keadilan, perkembangan hukum dan lain sebagainya. Dalam literatur hukum, ada empat sistem hukum dunia yg paling dominan, yaitu: Civil Law disebut juga sistem hukum Eropa-Kontinental, banyak diterapkan di negara Eropa daratan antara lain Jerman, Perancis, Belanda, Belgia, Itali Negara Amerika Latin, Asia dan bekas jajahannya (seperti Indonesia yg menerapkan
Civil Law yg dibawa Belanda), Common Law disebut juga sistem hukum Anglo-Sakson, diterapkan di Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan bekas koloni Inggris (negara persemakmuran/common wealth) seperti Australia, Malaysia, Singapore, India dan lain-lain, Islamic Law (hukum Islam) dan Socialist Law (hukum sosialis). Menurut definisinya : Common Law sama dengan hukum yg dibuat berdasarkan adat/tradisi yg berlaku dalam masyarakat dan keputusan hakim. Pada mulanya, sistem hukum ini tidak tertulis. Civil
Law sama dengan hukum yg dibuat berdasarkan kodifikasi hukum yg dilakukan lembaga legislatif. Telah lama sejak berabad-abad yang lalu terjadi perdebatan sengit antara mana yang terbaik antara Civil Law dan Common Law. Cara terbaik untuk mengatasi perbedaan tersebut adalah dengan menghampirinya dari aspek historis sebagaimana dikatakan Benjamin N. Cordozo “sejarah dalam menerangi masa lalu menerangi masa sekarang, sehingga dalam menerangi masa sekarang dia menerangi masa depan.“ Tradisi Common Law lahir pada tahun 1066, terjadi peristiwa pada tahun tersebut yakni ketika bangsa Norman mengalahkan dan menaklukkan kaum asli (Anglo Saxon) di Inggris. Sedangkan Civil Law lahir terlebih dahulu ketika Corpus Juris Civilis of Justinian diterbitkan di Constatinopel pada tahun 533 M yang sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi. Akar perbedaan yang substansial diantara kedua sistem hukum itu DJPe-Magazine DESEMBER 2011
49
terletak pada sumber hukum yang digunakan oleh Pengadilan dalam memutus sebuah perkara. Sistem Civil Law menggunakan kodifikasi sebagai sumber hukum sedangkan sistem Common Law menggunakan putusan hakim sebelumnya sebagai sumber hukum. Perbedaan menonjol lainnya menyangkut peran pengadilan. Di negara Civil Law, hakim merupakan bagian dari pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari sejarah yang melandasi terciptanya perbedaan itu. Sebelum revolusi, para hakim Perancis menjadi musuh masyarakat daripada pembela kepentingan masyarakat karena lebih mendukung kepentingan Raja. Kondisi inilah yang kemudian memicu
50
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
revolusi Perancis yang dipimpin oleh Napoleon. Pengalaman sebelum masa revolusi tersebut menjadi inspirasi bagi Napoleon dalam meletakkan hakim di bawah pengawasan pemerintahan untuk mencegah “pemerintahan oleh hakim” seperti yang pernah terjadi sebelum revolusi. Hal ini membuat kekuasaan pemerintah di negara Civil Law menjadi sangat dominan. Perbedaan ini tetap dipertahankan dalam sistem Civil Law di daerah continental yang mewarisi tradisi Hukum Romawi. Di Perancis misalnya, pengadilan membedakan antara kasus kasus yang berhubungan dengan pemerintah dan
memberlakukan hukum yang berbeda dengan hukum yang mengatur hubungan sektor privat. Posisi ini membuat pengadilan biasa di Perancis secara prosedural tidak mempunyai wewenang untuk mengkaji kebijakan pemerintah. Sebaliknya, negara Common Law yang berasal dari tradisi Inggris memiliki lembaga pengadilan yang independen. Oleh karenanya kekuasaan untuk menentukan hukum berada pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi Sebagai negara hukum sudah sepatutnya hukum itu harus dipatuhi dan ditaati agar terciptalah negara yang sejahtera, agar masyarakat yang ada di dalamnya dapat terlindungi dari hal-hal yang meresahkan dan tidak mengenakan. Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung hukum agar ketentraman dinegara Indonesia senantiasa terjaga dan terpelihara serta terciptalah kesejahteraan dan ketentraman dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah juga turut turun langsung meninjau apakah sistem keadilan yang menjadi dasar hukum negara
ini sudah benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat, sehingga hak mereka dilindungi oleh hukum tanpa pandang bulu, apakah dia masyarakat yang mampu ataukah tidak mampu. Karena hukum itu adalah bagian dari masyarakat juga dan masyarakatlah yang berhak dijamin atas hukum. Hukum yang dapat menjamin sebanyak-banyaknya kepastian hukum dalam hubungan kemasyarakatan adalah hukum yang berdaya guna. Berdasarkan teori-teori tentang tujuan hukum, dapat kita lihat bahwa apabila tujuan hukum semata-mata mewujudkan keadilan saja maka tidak seimbang hingga akan bertentangan dengan kenyataan. Sebaliknya akan terjadi pula kesenjangan jika tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan hal yang berfaedah atau yang sesuai dengan kenyataan karena akan bertentangan dengan nilai keadilan. Begitu pula jika tujuan hukum semata-mata mewujudkan kepastian hukum, ia akan menggeser nilai keadilan maupun nilai kegunaan dalam masyarakat. (Note : beberapa bagian dikutip dari berbagai macam sumber)
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
51
52
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
DJPe-Magazine DESEMBER 2011
53