Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized
40472 Laporan Pemantauan Konflik di Aceh 1 – 31 Januari 2007 World Bank/DSF Sebagai bagian dari program dukungan untuk proses perdamaian, Program Konflik dan Pengembangan di Bank Dunia Jakarta menggunakan metodologi pemetaan konflik melalui surat kabar untuk merekam dan mengkategorikan semua laporan tentang insiden konflik di Aceh yang diberitakan di dua surat kabar daerah (Serambi dan Aceh Kita). Program ini mempublikasikan perkembangan per bulan, sejauh mungkin didukung oleh kunjungan ke lapangan, yang terangkum dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. 1 Perselisihan dan ketegangan pra-MoU terus berlanjut, dan mendapat wujudan dalam kesalahpahaman, pemukulan terhadap pelaku khalwat (dicurigai melakukan kontak seksual dengan pasangan yang bukan muhrimnya), dan beberapa insiden kekerasan berskala kecil yang lain. Beberapa insiden kekerasan yang terjadi bulan ini mencerminkan ketegangan yang terus berlanjut antara mantan kombatan GAM (sekarang anggota KPA, organisasi untuk GAM setelah demobilisasi) dan militer, juga antara masyarakat dengan militer. Diperlukan upaya yang semakin keras untuk dapat menyatukan KPA, aparat keamanan dan masyarakat, untuk membangunkan kepercayaan dan legitimasi. Penerimaan terhadap hasil pemilihan Gubernur sangat tinggi, tetapi sebaliknya banyak di antara pemenang pilkada bupati yang kemenangannya ditantang di pengadilan; beberapa kabupaten bahkan terjaring dalam konflik politik yang lebih serius. Bagaimana konflik-konflik tersebut ditangani akan sangat penting bagi proses perdamaian di Aceh, begitu juga bagi iklim politik Aceh di masa mendatang. Salah satu resiko adalah bahwa konflik kepentingan antara DPRD “barisan lama” dan bupati yang baru dapat berbuntut pada mobilisasi pengikut-pengikut, mengakibatkan kekacauan di lapangan; resiko lainnya adalah bahwa kabupaten-kabupaten yang dikuasai Golkar akan semakin bertolak belakang dengan kabupaten yang dikuasai KPA/GAM. Konflik tingkat lokal sedikit menurun, namun penangkapan terhadap pelaku khalwat oleh warga masih terus berlanjut, dan sempat diprotes serta dilawan dengan beberapa cara pada bulan ini. Ketegangan GAM-RI dan ketegangan pra-MoU yang lain terus kelihatan pada insiden kekerasan Mengikuti pola umum dari tahun lalu, tidak ada konflik GAM-RI yang langsung yang dilaporkan pada bulan Januari (lihat Figur 1). 2 Meskipun demikian, seperti dilaporkan pada bulan-bulan sebelumnya, ketegangan pra-MoU terus berlanjut; bulan ini beberapa insiden menunjukkan bagaimana insiden konflik lokal yang tampak berbeda-beda, sebenarnya mencerminkan perselisihan pra-MoU yang ternyata masih berlanjut di tengah masyarakat.
1
Terdapat keterbatasan dalam menggunakan surat kabar untuk memetakan konflik, untuk analisis dan metodologi lebih lanjut lihat: Patrick Barron dan Joanne Sharpe (2005). “Counting Conflict: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia”, Indonesian Social Development Paper No. 7. Jakarta: World Bank. Laporan itu, serta laporan hasil pemantauan bulanan, dapat juga dilihat di: www.conflictanddevelopment.org. Dataset tersedia bagi yang membutuhkan, dengan menghubungi Blair Palmer di:
[email protected]. 2 Yang kami sebut ‘insiden GAM-RI’ adalah peristiwa di mana anggota dari dua belah pihak terlibat dalam perkelahian kekerasan karena tugas mereka sebagai satuan militer.
1
Figur 1: Konflik GAM-RI dan konflik lokal per bulan
•
•
•
GAM-GoI Local Level Conflict 16 Januari, Trumon Timur, 100 Aceh Selatan. Serambi 90 80 melaporkan terjadinya 70 60 perkelahian antara dua tentara 50 TNI dan empat mantan 40 30 kombatan yang nampaknya 20 mengikuti mereka di pasar. 10 0 Seorang petugas polisi mencoba Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May JuneJuly Aug Sep Oct Nov Dec Jan05 MoU 06 07 menghentikan perkelahian, namun lebih dari selusin mantan kombatan lain ikut membantu temannya, sehingga anggota polisi serta dua anggota tentara itu dihajar babak belur. Empat orang mantan kombatan berusia 21-24 tahun ditangkap dalam beberapa hari, dan sedang dituntut karena pemukulannya. Kepala kantor KPA setempat melakukan investigasi tentang insiden ini dan bertemu dengan polisi dan pemimpin TNI setempat untuk mencaritahu mengapa hal ini bisa terjadi – karena kesalahpahaman saja, menurut kepala kantor KPA. 29 Desember, Lhoksukon, Aceh Utara. 3 Seorang tentara sedang berkunjung ke rumah seorang perempuan, ketika sekelompok pemuda setempat lewat, dan dilaporkan mengatakan sesuatu kurang sopan kepada tentara itu mengenai khalwat. Selanjutnya mereka terlibat adu mulut, dan kemudian pemuda-pemuda mengeroyok tentara itu, menyebabkan ia harus dirawat di rumah sakit. Dompet dan HP milik korban juga hilang dalam insiden itu. Empat orang ditangkap selepas insiden itu. Pada tanggal 13 Januari, 60 warga desa mendatangi kantor polisi, menuntut agar tahanan dilepaskan, setelah mendengar bahwa tahanan itu dipukuli setiap malam. Pihak polisi membantah rumor tersebut dan mempersilakan warga desa bertemu dengan para tahanan; setelah itu para demonstran pulang. Insiden ini tampaknya merupakan konsekuensi dari baik insiden “main hakim sendiri” berkenaan dengan hukum syari’ah, maupun ketegangan antara militer dan masyarakat. 11 Januari, Langsa. Lima mantan kombatan GAM diracuni dalam penjara. Ketua KPA Langsa menyatakan bahwa ini adalah usaha pembunuhan terhadap anggota KPA, dan menuntut agar diselidiki secara tuntas. Meski demikian, para pelaku dan motifnya masih belum terungkap. Kemudian pihak KPA memprotes lagi ketika tiga korban keracunan dikembalikan lagi ke penjara sebelum mereka benar-benar pulih.
Identitas mereka yang terlibat dalam insiden-insiden ini tidak hanya menunjukkan bahwa perselisihan pra-MoU ternyata masih relevan sekarang; tampaknya ketika pihak-pihak yang ada perselisihan lama itu terlibat dalam sebuah insiden baru, eskalasi lebih mungkin terjadi. Pemukulan terhadap pelaku khalwat diatas mencerminkan ketegangan antara masyarakat dan aparat keamanan, dan tampaknya berkaitan dengan pergeseran kekuasaan, di mana pemuda tidak lagi menghormati dan takut tentara seperti pada masa lalu. Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan diperlihatkan ketika warga mendatangi kantor polisi untuk menyelidiki rumor tentang pemukulan terhadap tahanan. Meski demikian, satu pertanda yang positif adalah peran yang dimainkan KPA dalam mendamaikan situasi setelah pemukulan yang terjadi di pasar. KPA sering mengambil peran sebagai mediator, selain sekali-kali masih memicu atau mengeskalasikan insiden. Sangat penting untuk mendorong KPA supaya menggunakan pengaruhnya untuk mediasi ketika ketegangan muncul. Insiden-insiden itu juga membuktikan bahwa upaya masih perlu ditingkatkan untuk dapat menyatukan KPA, aparat keamanan dan masyarakat, untuk membangun hubungan kepercayaan dan legitimasi. Mengingat kondisi 3
Peristiwa ini dilaporkan setelah laporan pemantauan bulan lalu sudah dibuat, maka dijelaskan di sini.
2
ekonomi para mantan kombatan tingkat rendah, seharusnya dipertimbangkan pengangkatan mantan kombatan sebagai polisi atau militer, sebuah strategi yang biasa digunakan dalam konteks paska konflik yang lain. Penerimaan terhadap pemilihan bupati bermasalah, dengan kasus hukum dan lebih buruk lagi Figur 2: Insiden terkait pilkada per dwi-minggu
ov _1 ov _2 D ec _1 D ec _2 Ja n_ 1 N
N
O ct _2
Au g_ 1 Au g_ 2 Se p_ 1 Se p_ 2 O ct _1
Ju l_ 1 Ju l_ 2
Pada periode paska-pilkada, tingkat konflik Non-violent Violent politik menurun di bulan Januari; hanya ada 10 60 konflik politik dibandingkan 32 yang terjadi 50 pada bulan lalu. Angka-angka insiden terkait 40 pilkada juga mengalami penurunan pada bulan 30 Januari (lihat Figur 2). Akan tetapi, walaupun 20 jumlah konflik menurun, intensitas konflik 10 terkait pilkada justru meningkat. Walaupun 0 penerimaan hasil pemilihan Gubernur sangat tinggi, hasil pemilihan bupati ditantang, dengan Jul_1 is first half of July, Jul_2 second half, and so on intensitas yang bervariasi, pada 14 dari 19 kabupaten. Tabel 1 merangkum sengketa-sengketa Sumber: UNDP/WB pilkada newspaper dataset ini, dan Kotak 1 menjelaskan lebih jauh dua kasus yang paling serius, yaitu di Aceh Tengah dan Aceh Tenggara.
Kotak 1: Kekacauan di dua kabupaten Aceh Tengah. Ketegangan yang tinggi tampak jelas di Aceh Tengah menjelang dan sesudah pilkada (lihat Laporan Hasil Pemantauan Pilkada di Aceh yang pertama). Demonstrasi mengenai hasil pilkada terjadi, kemudian ada tuntutan hukum oleh para kandidat yang kalah. Anggota polisi ditarik dari Panwas, karena dicurigai mengintimidasi orang yang mengajukan keluhan. Pada tanggal 1 Januari, kantor KIP dibakar. Tertuduh, petugas kebersihan di kantor KIP, mengaku bahwa ia membakar kantor KIP setelah menerima SMS yang menyuruhnya, dengan imbalan Rp. 20 juta. Petugas kebersihan itu mengatakan ia tidak tahu siapa yang mengirimnya. Semua kotak suara dan data lainnya musnah. Ketua Panwas dan semua anggota KIP telah hilang, tampaknya bersembunyi karena mendapatkan tekanan dan intimidasi untuk mengadakan pemilihan ulang. Aceh Tenggara. Setelah pilkada, demonstrasi tentang pelanggaran dalam pelaksanaan proses pilkada digelar, dan tuntutan hukum dilayangkan. Lebih serius lagi, KIP Aceh Tenggara menolak menetapkan hasil pilkada, dan meminta agar diadakan pemilihan ulang. KIP NAD bersikeras agar KIP Aceh Tenggara menetapkan hasil pilkada dahulu, baru kemudian mengambil tindakan selanjutnya. Dua belah pihak saling bersikeras, sampai akhirnya KIP NAD menerima hasil pilkada melalui petugas KIP tingkat kecamatan (PPK). DPRD Aceh Tenggara menuntut KIP NAD sebesar Rp. 1 milyar karena dianggap melakukan ‘intervensi’, dan KIP NAD menuntut balik (anggota DPRD yang melayangkan tuntutan pertama) sebesar Rp. 10 milyar. Anggota-anggota DPRD senior meminta agar diadakan pilkada ulang. Pengadilan Negeri Aceh Tenggara menetapkan keputusan bahwa harus dilaksanakan pilkada ulang. Pengadilan Tinggi Banda Aceh kemudian menyatakan bahwa keputusan Pengadilan Negeri tidak sesuai prosedur, karena mereka tidak memiliki wewenang untuk itu. Sejumlah pemimpin partai politik dari Aceh Tenggara menyatakan kepada KIP NAD bahwa mereka tidak menginginkan adanya pilkada ulang. Elit-elit dari Aceh Tenggara sempat pergi ke Jakarta untuk protes, kemudian sebuah tim dari Depdagri berangkat ke Aceh Tenggara untuk menyelidiki.
3
Tabel I: Konflik mengenai hasil pemilihan bupati Kabupaten Pemenang Status Aceh Barat Putaran kedua: n/a KPA/GAM vs. Independent Aceh Tamiang Putaran kedua: n/a PD/PBR vs. PAN/PKS
Masalah/Konflik Para kandidat yang kalah mengancam tuntutan hukum
Aceh Barat Daya
Putaran kedua: PKB/PM vs. PAN
n/a
Lhokseumawe Sabang Pidie Aceh Utara Aceh Jaya Aceh Timur
KPA/GAM KPA/GAM KPA/GAM KPA/GAM KPA/GAM KPA/GAM
Baru Baru Baru Baru Baru Baru
Simeulue
Golkar*
Mantan
Nagan Raya
Golkar*
Mantan
Bener Meriah
Golkar*
MP
Gayo Lues Aceh Singkil Langsa Banda Aceh
Golkar* Golkar Golkar PPP/PBR/PD*
MP Mantan MP Mantan
Aceh Besar
PAN/PBR
Baru
Aceh Tengah
PPP/PAN/ PBR* PDIP/PKB*
Mantan
Demonstrasi mengenai perusakan kotak suara Tuduhan adanya politik uang Tuntutan hukum oleh para kandidat yang kalah Putaran kedua diundur hingga bulan Mei karena banjir Demonstrasi Kandidat protes terhadap hasil dan menuntut agar diadakan pemilihan ulang Tidak ada yang dilaporkan Tidak ada yang dilaporkan Tidak ada yang dilaporkan Tidak ada yang dilaporkan Tidak ada yang dilaporkan Beberapa permintaan agar diadakan pemilihan ulang karena kotak suara yang dirusakkan. Pemenang kedua menantang pencalonan pemenang karena ijazah SMA yang tidak sah, namun penyelidikan polisi tidak menemukan bukti apapun. Demonstrasi Tuntutan hukum dari para kandidat yang kalah Hasilnya baru diumumkan pada awal Februari Demonstrasi. Tuntutan hukum dari para kandidat yang kalah Demonstrasi Tuntutan hukum dari para kandidat yang kalah Tuntutan hukum dari para kandidat yang kalah Demonstrasi Tuntutan hukum dari para kandidat yang kalah Ancaman tuntutan pengadilan dari sebuah organisasi masyarakat Demonstrasi Tuntutan hukum dari para kandidat yang kalah Sejumlah masalah yang lebih berat – lihat Kotak 1
MP
Sejumlah masalah yang lebih berat – lihat Kotak 1
Aceh Tenggara
* Terdiri dari koalisi partai-partai kecil
‘MP’ artinya ‘mantan pejabat’, orang yang pernah memegang jabatan tinggi, misalnya sebagai anggota DPRD
Beberapa observasi awal dapat ditarik dari konflik yang tertera di Tabel 1. Pertama, di kabupaten di mana kandidat KPA/GAM memenangkan pemilihan, tidak terdapat banyak protes (hanya di Aceh Timur). Kedua, di kabupaten di mana kandidat Golkar memenangkan pemilihan, terdapat tuntutan hukum di setiap kasus kecuali satu (Aceh Singkil). Ketiga, di dua kabupaten di mana penetapan hasil pilkada paling bermasalah, Aceh Tengah dan Aceh Tenggara (lihat Kotak 1), seorang kandidat non-Golkar menang, dan sebagian besar intensitas protes sepertinya berasal dari para pendukung seorang kandidat Golkar yang kalah. Apa yang unik pada kedua kabupaten ‘kisruh’ ini? Di Aceh Tengah, kandidat dari partai Golkar yang kalah, Mahreje, telah mengingatkan bahwa ia akan ‘bereaksi keras’ bila kalah dalam pemilihan. Dia adalah tokoh kuat, yang memiliki jaringan dengan kelompok-kelompok pemuda,
4
organisasi nasionalis (seperti Pemuda Pancasila), dan mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA). Protes yang dilayangkan terfokus pada para camat yang bias (yang katanya mendukung mantan bupati yang menang lagi), intimidasi pemerintah terhadap calon, dan politik uang; isu-isu ini juga diangkat di kabupaten-kabupaten lain di mana seorang mantan bupati yang kuat menang lagi. Tapi di banyak daerah lain, tampaknya kandidat yang kalah tidak memiliki dana, keinginan, atau dukungan dari kelompok masyarakat untuk melakukan protes yang mengganggu. Mereka justru mengajukan keluhannya melalui pengadilan. Di Aceh Tenggara hanya dua kandidat yang berasal dari partai politik. Mantan bupatinya, dari Golkar, kalah dengan calon lain dari sebuah koalisi antar partai-partai kecil. Kandidat Golkar tersebut dikatakan memiliki banyak sekutu yang tersebar di legislatif dan yudikatif, dan dianggap sebagai orang kuat. Di Aceh Tenggara ini, tampaknya sengketa paska-pilkada berada di tingkat elit politik. Bersama, peristiwa di kedua kabupaten ini mendukung gagasan bahwa situasi paling kacau terjadi di mana ada pergeseran kekuasaan politik, dengan Golkar kehilangan kekuasaan atau gagal memenangkannya, dan sebuah kelompok selain KPA/GAM mendapatkannya (karena di mana kandidat KPA/GAM menang, tidak ada banyak perlawanan). Kandidat dari partai Golkar yang gagal barangkali sudah berinvestasi cukup banyak dana untuk meraih kemenangan, cenderung memiliki banyak jaringan dan sumber daya, dan seringnya tampak bersedia melakukan segala usaha untuk melawan hasil pilkada. 4 Meski unsur Golkar memang ada di dua kasus tersebut, namun bentuk kekacauannya berbeda; di Aceh Tengah (di mana kandidat dari Golkar yang kalah bukan mantan bupati), kekacauan terutama terjadi di tingkat jalanan, sedangkan di Aceh Tengah (di mana kandidat dari Golkar yang kalah adalah mantan bupati) kekacauan terutama terjadi di tingkat institusional. Mempertimbangkan politik paska-pilkada dan kemungkinan terjadinya konflik kekerasan, salah satu resikonya adalah konflik kepentingan antara DPRD “barisan lama” dan bupati yang baru dapat berbuntut pada mobilisasi pengikut-pengikut, mengakibatkan kekacauan di lapangan. Resiko ini tinggi khususnya di kabupaten-kabupaten di mana pemenangnya adalah dari KPA/GAM. Resiko lainnya adalah bahwa kabupaten-kabupaten yang dikuasai Golkar akan semakin bertolak belakang dengan kabupaten yang dikuasai KPA/GAM (dan tidak tutup kemungkinan bahwa kabupaten yang dikuasai oleh partai nasional selain Golkar beraliansi dengan kabupaten-kabupaten Golkar dalam perpecahan seperti itu). Terakhir, di Aceh Tengah dan Aceh Tenggara, kandidat Golkar yang kalah kemungkinan akan terus mencoba melawan dengan berbagai cara, dan ini membuat resiko konflik akan tetap tinggi di kedua kabupaten ini. Untuk mengantisipasi resiko-resiko ini, diperlukan pemantauan terhadap hubungan antara elit politik dan kelompok pemuda/milisi, serta dukungan untuk dialog-dialog terbuka di antara golongan politik yang berseberangan (seperti bupati-bupati Golkar, DPRD “barisan lama”, dan bupati-bupati dukungan KPA) mengenai pembangunan perdamaian (peacebuilding). Mempertimbangkan pengaruh yang dimiliki eselon tinggi dari partai-partai nasional terhadap anggota partai di tingkat kabupaten, usaha-usaha diperlukan untuk melibatkan kantor pusat partai nasional dalam mengantisipasi dan mencegah konflik di tingkat kabupaten. Konflik tingkat lokal menurun tapi kekerasan tidak menurun Angka-angka dari bulan Januari untuk tingkat konflik menurun, dengan 63 konflik dilaporkan, dibandingkan dengan 86 pada bulan lalu. 5 Penurunan ini kemungkinan terkait adanya penurunan 4
Bank Dunia dan UNDP sedang melaksanakan penelitian bersama mengenai sengketa-sengketa paskapilkada. Hasilnya akan disoroti dalam Laporan Bulanan ini bila telah tersedia. 5 Angka-angka bulan Desember telah disesuaikan untuk memasukkan insiden-insiden yang terjadi bulan Desember tetapi dilaporkan pada bulan Januari.
5
jumlah konflik politik setelah pilkada. Bulan ini 11 insiden kekerasan dicatat (lihat Figur 3), tingkat yang serupa dengan bulan lalu. Dari insiden ini, yang terbanyak adalah insiden “main hakim sendiri” (digambarkan dibawah ini). Selain pembakaran terhadap kantor KIP di Aceh Tengah dan peracunan makanan yang sudah dijelaskan di atas, terdapat pula sebuah peristiwa pembunuhan yang belum terpecahkan. Figur 3: Konflik lokal kekerasan dan non-kekerasan per bulan Violent Local Level Conflict
Non-violent Local Level Conflict
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Jan Feb Mar Apr MayJun Jul AugSep Oct NovDec Jan Feb Mar Apr MayJuneJulyAug Sep Oct NovDec Jan 05 MoU 06 07
Konflik mengenai proyek bantuan terus berlanjut Program bantuan terlibat dalam 15 dari 63 konflik tingkat lokal bulan ini (lihat Figur 4). Isu utama dalam konflik terkait bantuan ini sama dengan isu kunci yang terus disebut-sebut para pemrotes: masalah dengan kontraktor, lambatnya pelaksanaan program bantuan, dan tuduhan korupsi pada dana bantuan (lihat Figur 5). Figur 4: Konflik terkait bantuan bulan ini Aid-related Conflicts
Figur 5: Rincian konflik terkait bantuan bulan Januari
Local Level Conflict
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
late aid 27%
other 7% Jan FebMar AprMay Jun Jul AugSepOctNovDec Jan FebMar AprMayJuneJulyAugSepOctNovDec Jan 05 MoU 06 07
contractor problems 33%
corruption allegations 33%
Penangkapan khalwat berlanjut, dan insiden perlawanan bertambah Bulan ini kami merekam tujuh insiden “main hakim sendiri”, meningkat sedikit dari bulan lalu. Sebagian besar dari insiden ini adalah penangkapan khalwat yang dilakukan oleh warga. 6 Meskipun pelaku biasanya disebut di koran sebagai ‘masyarakat’ atau ‘warga’, namun seringkali mereka terdiri dari sekelompok pemuda yang agresif, dan penangkapan sering melibatkan pemukulan, pelecehan seksual, atau kekerasan lain terhadap korban. Bulan ini terdapat beberapa protes dan aksi melawan terhadap penangkapan-penangkapan itu, dan juga satu kasus tindakan “main hakim sendiri” terhadap WH (polisi syari’ah) sendiri (lihat Kotak 2). Pemerintahan yang baru memiliki pandangan tertentu terhadap pelaksanaan syari’ah di Aceh. Segera setelah pelantikannya, Nazar dikutip (di Serambi, 9 Februari) mengatakan, “penerapan syariat Islam tidak 6
Kami mengklasifikasikan ‘sweeping’ dan penangkapan oleh warga sebagai insiden kekerasan, walaupun korban tidak dipukul, karena pelakunya tidak memiliki wewenang secara hukum untuk memasuki rumah orang dan melakukan penangkapan.
6
hanya sebatas hukuman cambuk bagi pelanggar syariat, yang umumnya menimpa kalangan masyarakat kecil.” Sepertinya ia bersikap kritis terhadap peran WH sebagai polisi moral bagi masyarakat Aceh. Namun perdebatan mengenai penangkapan khalwat belum begitu ramai dibicarakan di forum-forum resmi sampai sekarang.
Kotak 2: Perlawanan terhadap penangkapan pelaku khalwat 14 Januari, Sawang, Aceh Utara. Setelah insiden ‘sweeping’ dilakukan oleh warga, sekelompok korban mengajukan keluhan kepada polisi dan petugas pemerintahan. Mereka mengeluh bahwa yang menjadi sasaran adalah perempuan, termasuk mereka yang mengenakan baju tidak ketat; bahwa para penangkap sempat makimaki mereka; dan bahwa terjadinya pemukulan terhadap anggota keluarga mereka. Sweeping seperti itu hanya boleh dilaksanakan oleh petugas WH, kata mereka, dan seharusnya dilaksanakan dengan lembut dan hormat. Seorang anggota senior DPRD Aceh Utara berkomentar bahwa sweeping boleh-boleh saja, tapi seharusnya dilaksanakan dengan sopan. Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Utara mengatakan bahwa sweeping yang dilakukan warga itu illegal, karena tidak dilaporkan pada mereka. “Aksi seperti itu tidak boleh ditolerir,” kutip Serambi, “malah pelanggaran HAM.” 29 Januari, Banda Aceh. Patroli WH telah menangkap sedikitnya enam orang, dan sedang melaju di jalan ketika kendaraannya ditabrak dan dipaksa minggir oleh mobil lain. Sekelopmpok laki-laki kemudian melepaskan paksa dua perempuan yang ditangkap karena diduga melakukan khalwat. Serambi melaporkan bahwa laki-laki itu “berbadan tegap”, yang seringkali merupakan sebutan halus untuk ‘militer’. Sebuah insiden lain terjadi bulan ini tetapi tidak dilaporkan dalam surat kabar. Menurut seorang aktivis LSM, seorang perempuan sedang berbincang-bincang dengan tamu laki-laki di ruang tamu ketika sekelompok pemuda desa datang dan menangkap mereka, menuduh mereka ber-khalwat. Pemuda-pemuda itu memukuli pasangan itu, mencukur kepala si perempuan, dan banyak di antara mereka menciumi wajah korban perempuan. Pemudapemuda itu lalu merusakkan rumah itu dan mencuri sebuah laptop computer dan sebuah dispenser air. Korban perempuan masih trauma akibat penyerangan itu; ia sedang didampingi LSM, tapi masih belum jelas bagaimana pengaduannya akan dilanjutkan.
7