Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized
40438 Laporan Hasil Pemantauan Konflik di Aceh 1st – 31st Januari 2006 World Bank/DSF Sebagai bagian dari program dukungan untuk proses damai, Program Konflik dan Pengembangan Masyarakat di Bank Dunia Jakarta menggunakan metodologi pemetaan konflik melalui surat kabar untuk merekam dan mengkategorikan semua laporan tentang insiden konflik di Aceh yang diberitakan di dua surat kabar daerah (Serambi dan Aceh Kita). Program ini mempublikasikan perkembangan per bulan, sejauh mungkin didukung oleh kunjungan ke lapangan, yang terangkum dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.1 Tahun 2006 dimulai dengan suasana positif, tanpa ada insiden GAM-RI di bulan Januari. Ini adalah bukti dari komitmen GAM dan RI, dan menunjukkan seberapa jauh proses perdamaian yang telah tercapai selama enam bulan terakhir. Koalisi HAM, sebuah lembaga setempat yang memantau hak asasi manusia (HAM), makin banyak merilis berita positif dan memberitahukan bahwa pelanggaran hak asasi manusia telah sangat menurun di tahun 2005. Reportase dari dataran tinggi Aceh juga menunjukkan bahwa masalah pengungsi (IDP) telah distabilkan. Ada pula tanda bahwa masyarakat semakin percaya atas proses perdamaian, penduduk menggali dan mengubur kembali mayat-mayat di sembilan lokasi. Berlawanan dengan ini, tingkat konflik lokal tetap tinggi, dengan 65 insiden dilaporkan dibulan Januari. Bulan ini insiden yang terkait dengan bantuan tsunami menurun dan kebanyakan berkaitan dengan persoalan subsidi atas penaikan bahan bakar minyak (BBM). Untuk pertama kali tidak ada insiden GAM-RI yang terlapor Untuk pertama kali sejak pemantauan surat kabar dimulai tahun lalu, sampai sekarang tidak ada konflik GAM-RI yang terlapor di dalam satu bulan tertentu (lihat Gambar 1). Fakta ini memulai tahun dengan suasana positif dan menunjukkan keberhasilan proses perdamaian tercapai selama 12 bulan terakhir. Hanya di bulan Juni lalu, kedua sumber data kami memberitahukan 45 insiden GAM-RI yang mengakibatkan 62 korban jiwa, 23 korban luka-luka dan satu gedung binasa. Masyarakat sekitar Aceh mengetahui perbedaan di kehidupan hari biasa mereka dan menyampaikan kepercayaan dalam proses perdamaian ini. “Pergi ke warung kopi dan kamu langsung bisa merasakan proses perdamaian sedang berjalan. Sejak MoU, orangorang suka duduk di warung kopi sehari semalam. Inilah juga bagus untuk bisnis saya.” Pemilik warung kopi, Aceh Timur
Public Disclosure Authorized
Gambar 1: Insiden GAM-RI berdasarkan bulan
1
Adanya keterbatasan dalam pemetaan melalui surat kabar untuk memetakan insiden tingkat provinsi, surat kabar yang secara umum cuma memberitakan tentang berita tingkat daerah, tidak mengankat semua kasus dan pemberitaan miring dalam melaporkan kasus-kasus tertentu. Untuk informasi lebih lanjut atau yang berminat dapat dilihat di: Patrick Barron and Joanne Sharpe (2005).”Counting Conflict: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia”, Indonesia Social Development paper No. 7, Jakarta: World Bank. Laporan ini merupakan perkembangan pemantauan per bulan, bisa di akses melalui: www.conflictanddevelopment.org data tersedia bagi siapa saja yang berminat, untuk mendapatkan semua dataset tersebut silahkan hubungi Samuel Clark di:
[email protected]
1
“Proses perdamaian ini lebih baik dari sebelumnya. Sebelumnya, anggota GAM kembali secara sembunyi-sembunyi. Kali ini mereka datang terang-terangan. Sebelumnya cuma ada janji didalam secarik kertas, namun kali ini, GAM dan pasukan TNI telah bertukar informasi.” Masyarakat, Aceh Tengah
Pelanggaran HAM telah menurun secara signifikan di tahun 2005 dan sejak MoU Lembaga lokal hak asasi manusia Koalisi HAM makin banyak merilis berita positif di bulan Januari. Jaringan pemantauannya menunjukkan bahwa pelanggaran HAM telah menurun secara signifikan di tahun 2005 dibandingkan dengan 2004 dan telah menurun lebih jauh lagi semenjak penandatanganan MoU di bulan Agustus (lihat Gambar 2). Mereka mencatat 779 kasus pelanggaran HAM di tahun 2004 dibandingkan 311 kasus di tahun 2005, penurunan sebanyak lebih dari 50 persen. Cuma 46 kasus tercatat sejak 15 Agustus. Mashudi, anggota dari tim Riset dan Analisis Kebijakan di Koalisi HAM, mencatat bahwa mengikuti penurunan angka, MoU membawa konteks sosio-politik yang lebih terbuka dan mudah diterima pada penyelidikan pelanggaran HAM. Meski begitu, ia menunjukkan rasa kecewa karena bahkan ada konteks ini, “tidak ada satu pun kasus yang telah diproses secara hukum oleh pemerintah.” Gambar 2: Pelanggaran HAM: 2004-2005 berdasarkan bulan
Sumber: Koalisi HAM, Banda Aceh
Di Januari, masyarakat membuka 23 mayat di sembilan lokasi yang berbeda Di Januari, Aceh Kita melaporkan sembilan insiden yang berbeda mengenai penduduk membuka sebanyak 23 mayat di empat kabupaten. Tabel 1 menunjukkan bahwa kebanyakan terjadi di Aceh Utara. Masyarakat tersebut sudi membuka kuburan umum merupakan tanda kepercayaan komunitas pada proses perdamaian. Kebanyakan mayat-mayat ditemukan di dekat pos TNI dan karena itu penggalian mayat ini tidak terlalu aneh. Namun di beberapa lokasi terdapat laporan bahwa penduduk hanya bersiap untuk membuka kuburan dengan kehadiran dari wakil AMM. Tabel 1: Mayat yang dibuka oleh penduduk di bulan Januari Kabupaten Kecamatan Desa Aceh Utara Paya Bakong Alue Bungkoh Blang Seupeng Matangkuli Lueng Jalo Kuta Makmur Bevak Lhokseumawe Blang Mangat Mane Kareeng Syamtalira Bayu Lancok Aceh Timur Rantau Seulamat Bayeun Bener Meriah Timang Gadjah Timang Gajah Dua Timang Gadjah Kuala Relo
2
Mayat 1 2 1 2 2 11 1 2 1 23
Lokasi Pos TNI (100m) Warehouse Pos TNI (200m) Pos TNI Pos TNI (100m) Perkebunan Perkebunan kopi -
Laporan Aceh Kita tidak menunjukkan harapan masyarakat dalam penuntutan yang seolah-olah pelanggaran HAM. Namun, banyak yang lebih peduli dengan menyediakan anggota keluarga tempat peristirahatan yang layak. Seorang wakil dari GAM memberitahukan ada lebih dari 40 keluarga di Aceh Timur sendiri yang berharap dapat membuka kuburan dan menyediakan lokasi kuburan yang lebih layak untuk anggota keluarga mereka yang hilang dalam masa konflik. Situasi Kemanusiaan IDP di Bener Meriah dan Aceh Tengah menstabilkan Dalam laporan terakhir bulan lalu kami mencatat kepulangan orang-orang yang terkena dampak konflik IDP ke Bener Meriah dan Aceh Tengah. Sejak saat itu, situasi menjadi stabil namun tetap memprihatinkan. Pemerintah daerah di dua kabupaten telah menganjurkan orang-orang IDP untuk berpindah dari tenda-tenda ke desa asal mereka. Sebagian besar nampaknya menuruti anjuran tersebut. Terdapat beberapa laporan mengenai adanya ketegangan yang diakibatkan dari kepulangan mereka. Dalam sebuah kasus di kecamatan Kesol, terjadi pertikaian antara pemuda setempat dan orang-orang IDP, beberapa pemimpin setempat juga menolak untuk memberikan jaminan keamanan. Akan tetapi, kasus-kasus ini telah diselesaikan dan masih dalam skala kecil. Dalam kebanyakan kasus, orang-orang IDP kembali tanpa disertai adanya insiden. Bagaimanapun, masih banyak yang harus diperhatikan. Pertama, pada saat kebutuhan awal telah terpenuhi, tidak jelas sampai jangka waktu berapa lama hal ini akan bisa bertahan. Pemerintah berencana untuk menempatkan pendampingan awal dengan program kemasyarakatan jangka panjang dan dengan program pembangunan perumahan. Akan tetapi, program pengembangan yang berhubungan dengan hal lain dalam proses perdamaian, seperti reintegrasi GAM, tidak mengalami perkembangan seperti yang direncanakan; tidak jelas apakah program untuk orang-orang IDP akan berjalan lebih cepat. Kedua, data untuk penentuan sasaran sangat rendah. Situasi yang ada rumit dikarenakan adanya fakta bahwa populasi orang-orang IDP sangat tidak tetap—banyak yang kembali ke Pidie dan Bireuen, sedangkan banyak pula pendatang baru lainnya yang masuk. Lebih jauh, selama bulan Desember orang-orang yang kembali kebanyakan orang Aceh, yang lainnya merupakan orang Gayo dan Jawa yang datang dengan diam-diam, dan juga akan menerima manfaat. Ketiga, ketegangan di Aceh tengah masih tetap tinggi dibandingkan dengan bagian lain di propinsi ini. Orang-orang yang kembali dan warga desa menunjukkan keinginan yang besar agar upacara ‘peusijuk’ (pemberian maaf) diselenggarakan, namun elit setempat belum mengatur kegiatan ini. Pada saat keprihatinan terhadap kemanusiaan ataupun krisis keamanan telah surut, pelaksanaan monitoring terhadap situasi yang ada merupakan hal yang perlu. Ketegangan atas Keterangan MoU Meskipun tidak sufisien untuk dihitung sebagai konflik insiden, Aceh Kita melaporkan argumen antara GAM dan RI atas keterangan MoU di pertemuan sosialisasi yang terjadi di Muara Tiga, Lhokseumawe. Bupati Lhokseumawe menuduh GAM karena melenceng dari muatan MoU. Juru bicara GAM, Ilyas Pase, meminta maaf atas kesalahan dalam pidato mereka. Selama beberapa bulan penyelidik lapangan juga menemukan bahwa adanya bermacam-macam dan keterangan yang sereng kali terjadi perselisihan (dan ketidakpahaman) di antara komunitas. “Masyarakat tidak mau banyak tahu mengenai MoU karena setelah itu mereka akan mempunyai banyak pikiran. Meskipun begitu, ada beberapa yang bilang MoU berarti kemandirian. Beberapa bilang itu berarti federalisme. Beberapa bilang bila kita nanti memilih partai politik, Aceh bisa bebas.” Kepala desa, Aceh Utara “Bila kamu bertemu masyarakat, terutama GAM, kamu perlu menjelaskan pada mereka bahwa arti sebenarnya dari MoU adalah Aceh akan tetap menjadi bagian dari Indonesia dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) diterima. Jika kamu mengatakan pada mereka, mereka akan mendengar. Beberapa GAM menolak mengakui ini dan berkata bahwa MoU tidak seperti itu.” Pemimpin Pemuda/Pemimpin Anti-Separatis, Aceh Selatan
Kenyataan bahwa masyarakat memiliki pendapat-pendapat yang berbeda bukanlah suatu masalah. Yang lebih penting adalah pendapat-pendapat yang tertahan memiliki ruang tempat untuk dapat diekspresikan
3
dan diperdebatkan secara damai. Contohnya adalah insiden di Aceh Kita; AMM menyediakan forum sosialisasi untuk memberi kesempatan pada GAM dan RI, juga masyarakat, untuk mengekspresikan dan memperdebatkan pandangan mereka tentang MoU. Dengan mendekatnya pemilihan umum, forum ini akan menjadi penting untuk pemantauan perbedaan dan potensi perpecahan, terutama bila pemilihan umum menjadi kompetisi antara pro GAM versus pro RI. Insiden main hakim sendiri (vigilantism) tetap rendah di bulan Januari. Dua insiden main hakim sendiri (vigilantism) dilaporkan di bulan Januari. Ini melanjutkan suatu tren positif akan rendahnya insiden main hakim sendiri setelah keruncingan post-MoU di bulan September. Insiden tersebut terjadi di Aceh Timur dan Lhokseumawe, dan mengakibatkan tiga korban luka-luka. Kedua insiden melibatkan serangan preman pada kriminalitas yang tertangkap saat sedang beraksi. Di Lhokseumawe, dua pencuri HP genggam amatiran tertangkap dan dipukuli ketika sepeda motor mereka terjatuh saat melarikan diri. Sedangkan di Aceh Timur, seorang anak muda dihajar ketika menculik anak. Konflik di tingkat lokal tetap tinggi Di bulan Januari, konflik lokal tetap tinggi, yaitu 65 insiden (lihat Gambar 3). Seperti di bulan sebelumnya, mayoritas perdebatan terjadi karena masalah administratif (70 persen), melibatkan distribusi dan pelayanan pemerintah maupun bantuan kemanusiaan. Jumlah insiden yang mengaliam kekerasan sedikit bertambah hingga delapan (lihat Gambar 4), dua dari itu adalah insiden main hakim sendiri (lihat di atas). Gambar 3: Konflik RI-GAM dan Konflik Lokal per bulan
Gambar 4: Konflik Lokal yang menimbulkan kekerasan dan tidak per bulan
Sumber: dataset surat kabar
Dari 45 konflik yang berkaitan dengan hal administratif, 12 berkaitan dengan bantuan tsunami; 16 merupakan insiden korupsi; dan 17 berkaitan dengan persoalan administrasi. Bulan ini tidak ada yang terkait dengan penyediaan bantuan konflik. Seperti yang diindikasikan oleh dua contoh kasus berikut ini (lihat Kotak 1 pada halaman berikutnya), banyak terjadi insiden konflik di tingkat lokal yang berhubungan dengan ketentuan bantuan tsunami juga dengan program pemerintah merupakan hasil dari ketidakpuasan masyarakat terhadap pimpinan lokal. Hal ini menegaskan pentingnya penekanan program untuk mensosialisasikan kepada seluruh masyarakat serta sejauh mungkin memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan mekanisme transparansi. Hal ini juga menekankan pentingnya mekanisme penanganan keluhan.
4
Kotak 1: Contoh kasus konflik lokal yang sampai ke kekerasan Idi Rayeuk, Aceh Timur, 16 Januari 2006 Serambi melaporkan bahwa Idi Rayeuk Panglima Laot dipukul oleh penduduk desa dalam kunjungan pemerintah daerah ke proyek konstruksi pelabuhan yang didanai pemerintah. Insiden terjadi saat Panglima Laot berpidato sebelum anggota masyarakat dan tamu pemerintah menyanjungkan proyek ini dan berkata bahwa tidak ada yang dirugikan atas konstruksi ini. Penduduk tersebut, yang terlibat dengan perdebatan atas nilai kompensasi tanah (yang diutarakan oleh proyek ini), dengan keras tidak setuju. Keduanya dipisahkan dengan cepat dan tidak ada perbuatan selanjutnya yang dilaporkan. Mutiara Timur, Pidie, 21 Januari 2006 Serambi melaporkan seorang penduduk bersungut-sungut menyerang Geuchik desa Reubat karena dia masih belum juga didaftarkan untuk mendapatkan bantuan langsung tunjangan pemerintah sebagai bagian dari program kompensasikenaikan bahan bakar. Geuchik lalu menjelaskan bahwa pemuda itu, umur 30, masih termasuk tanggung jawab orang tua (yang telah menerima subsidi bahan bakar) karena dia tidak memiliki status terpisah sebagai kepala keluarga. Pemuda ini secepatnya dilarikan ke desa terdekat, dan masalah ini lalu dilaporkan polisi.
5