Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized
40468 Laporan Hasil Pemantauan Konflik di Aceh 1– 30 September 2006 Bank Dunia /DSF Sebagai bagian dari program dukungan untuk proses perdamaian, Program Konflik dan Pengembangan di Bank Dunia Jakarta menggunakan metodologi pemetaan konflik melalui surat kabar untuk merekam dan mengkategorikan semua laporan tentang insiden konflik di Aceh yang diberitakan di dua surat kabar daerah (Serambi dan Aceh Kita). Program ini mempublikasikan perkembangan per bulan, sejauh mungkin didukung oleh kunjungan ke lapangan, yang terangkum dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.1 Sesuai dengan tren positif dari bulan-bulan sebelumnya, tidak ada insiden konflik terkait dengan GAM-RI yang dilaporkan pada bulan September. Walaupun demikian, hasil penelitian awal yang dilakukan oleh UNDP dan Bank Dunia menemukan ketegangan pilkada yang cukup berarti, khususnya di daerah Bener Meriah dimana politik kaum elit dan ikatan GAM, etnis, dan antiseparatis bercampur dengan cara yang berbahaya. Sebuah kajian psikologis dari IOM-HarvardUnsyiah baru menyoroti tingginya tingkat kekerasan yang dialami oleh penduduk Aceh dan dampaknya terhadap kesehatan mental. Data ini mempunyai kesimpulan penting untuk kebijakan. Laporan bulanan ini meliputi fokus khusus terhadap konflik lokal yang terkait proyek bantuan. Konflik tingkat lokal menurun hingga menjadi 61 insiden, dimana 27 diantaranya terkait program bantuan. Banyak sengketa menyangkut seleksi penerima bantuan, isu kepemilikan tanah, masalah dengan kontraktor, atau dugaan korupsi. Sangat mengkhawatirkan bahwa lima konflik bantuan ini melibatkan kekerasan, yaitu angka bulanan tertinggi di database kami. Jumlah demonstrasi meningkat hingga 19 di bulan September. Selain satu demonstrasi di BRR yang dirangkum dibawah ini, semuanya berjalan damai. Yang paling postif, kejahatan “main hakim sendiri” jatuh hingga dua kasus. Tidak ada insiden GAM-RI dilaporkan pada bulan September Tidak ada insiden GAM-RI yang dilaporkan Figur 1: Konflik GAM-RI dan tingkat lokal, per bulan pada bulan September (lihat Figur 1). GAM-GoI Local Level Conflict Sejak awal tahun 2006 hanya tercatat tiga 90 insiden GAM-RI. Satu tahun setelah Nota 80 Kesepakatan, insiden GAM-RI memang 70 60 tidak lagi merupakan salah satu bentuk 50 utama konflik di Aceh, meski ketegangan 40 masih tetap ada. Masih tetap penting 30 untuk terus memonitor bentuk konflik ini, 20 karena ia dapat berinteraksi dengan, atau 10 0 menyamar sebagai, konflik tingkat lokal. Jan 05
1
Feb Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug Sep
Oct
Nov
Dec
Jan 06
Feb Mar
Apr
May June July
Aug
Terdapat keterbatasan dalam menggunakan surat kabar untuk memetakan konflik, untuk analisis dan metodologi lebih lanjut lihat: Patrick Barron dan Joanne Sharpe (2005). “Counting Conflict: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia”, Indonesian Social Development Paper No. 7. Jakarta: World Bank. Laporan itu, serta laporan hasil pemantauan bulanan, dapat juga dilihat di: www.conflictanddevelopment.org. Dataset tersedia bagi yang membutuhkan dengan menghubungi Blair Palmer di:
[email protected].
1
Sep
Pada laporan bulan Juni/Juli, kami melaporkan sebuah insiden serius antara GAM-RI di Payo Bankong, Aceh Utara.2 Peristiwa tersebut telah dibicarakan pada pertemuan CoSA (Komisi Pengaturan Keamanan) yang ke 40 dan 41. Pada pertemuan ke-42 tanggal 16 September 2006, kasus tersebut diselesaikan dengan hasil sebagai berikut: polisi akan mengadakan investigasi kriminal sesuai prosedur yang berlaku; dukungan terhadap tindakan disipliner yang telah dilaksanakan; serta RI akan menyediakan kompensasi yang sesuai, bagi korban dan masyarakat, sebagai tahap rekonsiliasi. Hasil penelitian awal menemukan ketegangan pilkada tertinggi ada di Bener Meriah Hasil penelitian awal yang dilaksanakan pada bulan September mengidentifikasi beberapa tantangan dan ketegangan yang muncul berkaitan dengan pilkada. Yang paling memprihatinkan adalah meningkatnya ketegangan antar kandidat dan pendukungnya di dataran tinggi Aceh. Ketegangan-ketegangan ini paling menampak di Bener Meriah, dimana sejarah konflik GAM-RI, perbedaan etnis, dan permusuhan perseorangan akhirnya saling terkait, dan diperparah oleh persaingan pilkada.3 Dua diantara kandidatnya dikenal sebagai mantan pemimpin kelompok antiseparatis yang saling bekerja sama selama konflik vertikal, namun sekarang keduanya bersaing dalam pemilihan ini dan menemukan basis pendukung yang berbeda diantara para mantan anggota kelompok anti-separatis. Satu orang kandidat yang didukung GAM/KPA juga maju dalam pemilihan. Situasi ini telah menghasilkan ketegangan tinggi di dalam kelompok antiseparatis, begitu pula antar kelompok-kelompok ini dan GAM/KPA. Dialog yang difasilitasi kemungkinan akan diperlukan, agar bisa mengurangi ketegangan; salah seorang kandidat dari kelompok anti-separatis pernah mengancam membunuh mantan rekan sejawatnya bila mendukung kandidat anti-separatis lainnya. Beberapa masalah teknis sedang memperlambat persiapan pilkada. Dana dari pemerinah daerah belum turun sampai ke Panwas (Panitia Pengawas), di hampir semua daerah, dan KIP (Komite Independen Pemilihan), di beberapa lokasi. Di banyak tempat, institusi yang sangat penting ini menggunakan dana pribadi dari anggota komisi agar dapat segera memulai kegiatan mereka. Meski demikian, anggota komisi di Aceh Tenggara menolak untuk memulai persiapan dengan menggunakan dana pribadi mereka. Semua kantor Panwas dan KIP merasa yakin bahwa mereka akan siap untuk pilkada, meskipun penundaan dana ini akan menambah tekanan kepada jadwal yang sudah sempit, dan dapat menimbulkan masalah lebih berat bila legitimasi pemilihan diragukan karena pelaksanaannya yang tergesa-gesa. Terakhir, terdapat bukti yang kuat bahwa pendidikan pemilih dan sosialisasi masih sangat kurang, khususnya di daerah pedesaan. Sebagian besar kegiatan sosialisasi bahkan belum mulai dijalankan, dan para pemilih tampaknya kurang diberdayakan untuk menghadapi retorika kampanye dengan pikiran kritis. Ini membuat mereka menjadi rentan terhadap politik uang dan berbagai bentuk mobilisasi lainnya. Laporan IOM-Havard-Unsyiah menyoroti dampak psiko-sosial yang signifikan terhadap populasi Laporan dari IOM, Harvard Medical School dan Universitas Syiah Kuala yang baru ini menunjukkan bahwa masyarakat telah mengalami tingkat kekerasan dan kejadian traumatis yang 2
Lihat Laporan Hasil Pemantauan bulan Juni/Juli, di www.conflictanddevelopment.org. Tidak seperti bagian-bagian lain di Aceh yang memiliki distribusi etnisitas yang agak homogen (seperti di Aceh Besar dan Pidie), atau heterogen (seperti di Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Selatan), di dataran tinggi Aceh terdapat tiga kelompok etnis: Gayo, Jawa, dan Aceh. Perbedaan etnis ini menjadi semakin meruncing selama konflik dan ketegangan meningkat sejak penandatanganan Nota Kesepakatan, khususnya setelah ribuan IDP etnis Aceh mulai kembali pada Desember 2005. Lihat Laporan Hasil Pemantauan bulan Desember 2005, di www.conflictanddevelopment.org. 3
2
tinggi.4 Keadaan ini berlaku pada laki-laki maupun perempuan di daerah rawan saat konflik di Pidie, Bireuen dan Aceh Utara, meski jenis dan intensitas dari peristiwa-peristiwa yang dialami berbeda-beda. 56% laki-laki dan 20% perempuan melaporkan pernah dipukul, 36% laki-laki dan 14% perempuan melaporkan pernah diserang dengan pisau, 25% laki-laki dan 11% perempuan melaporkan pernah disiksa, 19% laki-laki dan 5% perempuan melaporkan pernah diculik, dan 56% laki-laki dan 45% perempuan melaporkan pernah dipaksa untuk melihat kekerasan dilakukan terhadap orang lain (lihat Figur 2). Barangkali yang paling penting adalah temuan bahwa orang masih menderita masalah kesehatan mental yang berat, sebagai hasil baik dari pengalaman mereka maupun dari perjuangan mereka dalam mencari sumber mata pencaharian dan memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dengan menggunakan protokol yang diakui secara internasional, kajian ini menemukan bahwa 65% dari populasi mendapatkan angka tinggi untuk gejala depresi, 69% untuk gejala kecemasan (anxiety), dan 34% untuk gejala gangguan stress paska-trauma (post-traumatic stress disorder atau PTSD). Angka-angka ini sangat tinggi. Laporan ini menyimpulkan bahwa parahnya gejala psikologis pada masyarakat Aceh setingkat dengan penduduk di Bosnia atau Afghanistan. Mengingat sedikitnya program yang diarahkan kepada masalah psikologis di Aceh, temuan ini memiliki kesimpulan kuat untuk kebijakan. Selain diperlukan percepatan pelaksanaan program ekonomi dan mata pencaharian dalam rangka mengurangi masalah masa kini, diperlukan pula pelayanan kesehatan mental untuk menanggapi dampak dari peristiwa traumatis yang pernah terjadi.
% who have experienced being
Figur 2: Tingkat kekerasan yang dialami masyarakat Aceh, menurut pengakuan masyarakat 70 60 50 40
women
30
men
20 10 0 beaten
tortured
attacked with knife
taken captive
forced to watch violence
Sumber: IOM Pscyhosocial Assessment.
Konflik tingkat lokal menurun di bulan September Konflik tingkat lokal menurun hingga ke 61 insiden pada bulan September, angka paling rendah selama tahun 2006. Sulit untuk menentukan apakah penurunan ini adalah pengecualian atau justru bagian dari sebuah tren postif yang sedang berlangsung. Tampaknya penurunannya bukan karena kebetulan September adalah awal bulan Ramadhan, karena insiden-insiden terjadi sepanjang bulan termasuk pada awal Ramadhan. Angka insiden kekerasan tetap konstan dengan terdapat tujuh kasus (lihat Figur 3). Jumlah ini termasuk dua penyerangan “main hakim sendiri”, satu kerusuhan oleh “mantan GAM” yang tidak puas dengan penyaluran bantuan rumah, sebuah demonstrasi yang berakhir kekerasan di BRR (lihat Kotak 1), sebuah pertikaian mengenai proyek simpan pinjam yang dilaksanakan oleh LSM lokal, dan beberapa kasus pembakaran terhadap bangunan yang dibuat sebagai bantuan tsunami. 4
Kalau ada orang tertarik dengan menerima laporannya lengkap berjudul Psychosocial Needs Assessment of Communities Affected by the Conflict in the Districts of Pidie, Bireuen Aceh Utara, tolong menghubungi Marianne Kearney dari IOM:
[email protected].
3
Hampir setengah insiden konflik lokal berhubungan dengan penyaluran bantuan Dari 61 insiden konflik tingkat lokal, 27 diantaranya (44%) berhubungan dengan program bantuan (lihat Figur 4). Sebagian besar terkait dengan program bantuan tsunami (22 kasus, 80%), sisanya terkait dengan program reintegrasi paska-konflik dan program bantuan pemerintah lainnya. Yang lebih mengkhawatirkan, lima dari tujuh insiden kekerasan bulan ini adalah insiden yang terkait bantuan. Ini adalah peningkatan signifikan dalam konflik bantuan yang melibatkan kekerasan, karena selama ini hanya terdapat delapan kasus sejak pengumpulan data dilakukan tahun lalu.5 Figur 3: Konflik tingkat lokal dengan kekerasan dan tanpa kekerasan, berdasarkan bulan Non-violent
Violent
Figur 4: Konflik terkait bantuan, berdasarkan bulan 45
90
40
80
35
70
30
60
25
50
20
40
15
30
10
20
5
10
0
0
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul AugSept Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr MayJuneJuly AugSept 05 06
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep 05 06
Kotak 1: Demonstrasi IDP di BRR berakhir dengan kekerasan Aceh Kita dan Serambi memberitakan dua demonstrasi yang saling berkaitan di BRR Banda Aceh. Pada tanggal 11 September, Forum Komunikasi Antar Barak (FORAK) mengorganisir demonstrasi dengan 1000 pengungsi. Direktur FORAK, Panji Utomo, dilaporkan menyebarkan selebaran yang berisi 13 tuntutan atas bantuan pengungsi, dan memperingatkan BRR bahwa bila tuntutannya tidak dianggapi dalam dua hari, demonstrasi yang lebih besar akan terjadi. Pada tanggal 19 September, demonstrasi lanjutan dilaksanakan. Melalui negosiasi antara BRR dan perwakilan IDP, sebuah pernyataan disiapkan berisi komitmen BRR untuk memperbaiki kondisi barak. Meski demikian, negosiasi tersebut batal, menurut Serambi, ketika BRR menolak menyalurkan dana bantuan ke IDP melalui rekening bank FORAK. Para demonstran menginap di halaman BRR dan esoknya, ketika polisi mencoba mengusir mereka, kekerasan terjadi. Polisi kemudian menangkap Panji Utomo; dia dituduh menggalang tindak anarki dan menimbulkan kebencian, dan dipenjara. Kapoltabes Banda Aceh berpendapat, ini adalah peringatan bahwa memperjuangkan hak-hak rakyat itu membanggakan, tapi tidak dengan mengeksploitasi rakyat demi hal-hal yang tidak diinginkan.
Melihat besar jumlahnya konflik terkait bantuan, dan semakin seringnya terjadi kekerasan, cukup beralasan untuk menyoroti lebih detil beberapa keluhan yang muncul (lihat Figur 5). Untuk bulan September, isu yang paling sering terdengar adalah mengenai: penyeleksian penerima bantuan (7 kasus), isu kepemilikan tanah (5 kasus), masalah dengan kontraktor (5 kasus), dan dugaan korupsi (4 kasus). Beberapa contoh ilustrasi dari setiap jenis dapat dilihat sebagai berikut. Figur 5: Konflik terkait bantuan, menurut tipe
5
Oleh karena perkembangan situasi ini, maka Bank Dunia akan melaksanakan penelitian kualitatif yang mendalam, mengenai interaksi antara konflik dan bantuan tsunami, mulai bulan depan. Hasilnya akan dilaporkan pada Laporan Hasil Pemantauan Konflik di Aceh selanjutnya.
4
selection of aid recipients 25%
other 22%
corruption allegations 15%
land ownership issues 19% contractor problems 19%
1. Seleksi Penerima Bantuan • 20 September, Samudra Geudong, Aceh Utara. Serambi melaporkan dua kandang sapi dibakar, diduga karena ketidakpuasan mengenai siapa yang berhak mendapatkan bantuan ini, yang didanai oleh BRR. • 15 September, Labuhan Haji Timur, Aceh Selatan. Serambi melaporkan lebih dari 12 orang (diidentifikasi sebagai mantan GAM) melakukan aksi kerusuhan dengan merusak tujuh rumah, diduga karena kekecewaan mereka tidak mendapat dana bantuan perumahan. • 29 September, Jangkabuya, Pidie. Serambi melaporkan sebuah pertikaian, berkaitan dengan proyek yang menawarkan kredit bagi modal bisnis – sedikitnya lima orang terluka, dan kantor LSM pelaksana dirusak. Puluhan orang yang berkumpul untuk pelatihan terkait proyek tersebut, namun ketika diketahui bahwa hanya lima orang yang akan menerima kredit di tahap pertama pelaksanaan, situasi menjadi tegang dengan perselisihan sengit, dan kekerasan terjadi. Ketegangan mengenai penyeleksian penerima bantuan diperkirakan akan terus muncul, namun tidak mesti berakhir dengan kekerasan. Prosedur seleksi seharusnya berjalan secara transparan dan disosialisasi terus menerus. Perencanaan program yang sensitif terhadap konflik, keikutsertaan masyarakat dalam memilih penerima bantuan, dan mekanisme penanganan keluhan yang kuat akan sangat membantu untuk mencegah terjadinya kekerasan. 2. Isu Kepemilikan Tanah • 13 September, Panga, Aceh Jaya. Serambi memberitakan bahwa warga desa memprotes bahwa empat rumah bantuan yang dibangun oleh LSM asing dibangun diatas tanahnya tanpa ijin, dan menuntut supaya rumah-rumah itu dibongkar. • 24 September, Meuraxa, Banda Aceh. Serambi memberitakan empat rumah bantuan dibangun diatas tanah kuburan, dan 24 lainnya akan menyusul dibangun di tanah yang sama. Pemilik yang mengklaim tanah itu menuntut agar rumah-rumah itu dibongkar. Kasus ini menjadi lebih rumit setelah ada keluarga lain yang belakangan mengklaim bahwa itu tanah mereka. • 25 September, Leupung, Aceh Besar. Aceh Kita dan Serambi memberitakan sekelompok warga desa memblokir jalur lintas darat Banda Aceh-Meulaboh. Mereka menuntut pembayaran kompensasi tanah mereka seperti yang telah dijanjikan oleh pemerintah kabupaten. Isu kepemilikan tanah sangat banyak dan rumit, dan bisa diduga akan terus menyebabkan penundaan pelaksanaan proyek bantuan, menambah kebutuhan anggaran, dan menjadi sumber konflik. Meski demikian, resiko bisa diminimalisir. Sebagai contoh, proyek seharusnya selalu
5
mengikuti prosedur standar dalam menangani klaim tanah dan melakukan konsultasi publik secara matang sebelum melaksanakannya. 3. Masalah Kontraktor • 29 September, Rusep Antara, Aceh Tengah. Serambi memberitakan warga desa protes kehadiran PT Gayotama, kontraktor yang dipilih untuk membangun jalan di desa mereka. Para pemrotes menyatakan bahwa kontraktor tersebut memiliki reputasi buruk dalam hal kualitas, dan meminta BRR untuk mempertimbangkan kembali alokasi tender. • 2 September, Trienggadeng, Sigli. Menurut Serambi, warga desa mengklaim bahwa tanda tangan mereka dipalsukan agar kontraktor dapat menerima pembayarannya. Rumah mereka belum selesai dibangun tetapi kontraktornya sudah meninggalkan tempat. • Lhokseumawe. Pada bulan September Serambi memberitakan beberapa artikel mengenai sengketa yang tengah berlangsung antara Save the Children USA (STC-USA) dan 3 kontraktor yang disewa untuk membangun rumah bantuan. Kontraktor-kontraktor tersebut dilaporkan akan menuntut STC-USA secara hukum, agar mendapat sisa pembayaran, sedangkan STC-USA menolak membayar karena belum menyelesaikan bangunan sesuai kontrak. Selain memastikan bahwa kontrak memadai telah dibuat dan disepakati, ada kebutuhan untuk memperbaiki koordinasi informasi antara BRR dan pihak lain yang terlibat dalam industri bantuan di Aceh, tentang bagaimana melakukan bisnis dengan kontraktor dan bagaimana hasil kerja kontraktor tertentu. 4. Dugaan Korupsi • 10 September, Muara Batu, Aceh Utara. Serambi memberitakan 19 kepala keluarga yang terkena dampak tsunami diminta membayar Rp. 250.000 per KK kepada PLN setelah listrik disambungkan ke rumah mereka, meskipun menurut kampanye publik tidak ada biaya apapun yang dibebankan pada publik. • 22 September, Baitussalam, Aceh Besar. Aceh Kita memberitakan bahwa seorang kapolsek meminta bagian daging sapi yang diterima masyarakat atas sumbangan dari Palang Merah Kanada; warga desa memprotes dengan membawa tiga ekor sapi ke kantor polisi. Serambi melaporkan bahwa hari esoknya kapolsek yang bersangkutan dicopot dari jabatannya, dan warga desa menerima permohonan maaf secara resmi dari pihak kepolisian. Penerima bantuan harus didorong untuk melaporkan kasus-kasus korupsi kepada pihak berwenang untuk mengambil tindakan lebih lanjut, dan proyek harus memasukkan komponen sosialisasi mengenai mekanisme spesifik dalam menangani keluhan korupsi. Demonstrasi mengenai berbagai hal meningkat di bulan September Demonstrasi terjadi sedikitnya 19 kali pada bulan September (lihat Figur 6). Alasan demonstrasi bervasiasi, mulai dari tuntutan warga desa untuk mencopot kepala desa, hingga buruh pabrik yang menuntut upah kerja minimum dari perusahaan mereka, demonstrasi mengenai korupsi, masalah kriminalitas, serta ketidakpuasan atas penyaluran bantuan. Demonstrasi sebagian besar ditujukan pada instansi pemerintah, termasuk DPR, kantor Gubernur, polisi, dan BRR. Sebagian besar dilaksanakan dengan damai, hanya satu yang berakhir dengan kekerasan (di BRR). Jumlah demonstrasi sangat mungkin bertambah dalam waktu dekat ini; barangkali iklim politik liberal akan memberi ruang untuk menyampaikan keluhan dengan cara ini. Sengketa perburuhan mungkin juga bertambah, seiring dengan kebebasan mereka untuk berorganisasi dengan cara yang tidak mungkin pada iklim politik pra Nota Kesepakatan. Meningkatnya jumlah demonstrasi
6
tidak mesti merupakan perkembangan yang negatif. Demonstrasi damai, sebagai wujudan sengketa yang damai, dapat memberi jalan resolusi terhadap konflik. Meski demikian, bila sering terjadi demonstrasi yang berakhir dengan kekerasan, maka ini bisa dianggap sebagai tanda kurangnya kepercayaan terhadap aparat negara, dan menandakan bahwa sengketa yang muncul tidaklah ditanggapi dengan cukup serius. Figur 6: Demonstrasi, insiden terkait korupsi, dan penyerangan “main hakim sendiri”, berdasarkan bulan Demonstrations
Corruption-related incidents
Vigilante incidents
30 25 20 15 10 5 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sept Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr MayJune July AugSept 05 06
Tidak ada penyerangan “main hakim sendiri terkait moral” pada bulan September Bulan lalu perhatian kita tertuju pada “penyerangan main hakim sendiri terkait moral”; tidak ada insiden semacam itu yang dilaporkan pada bulan September. Tentu saja ini adalah perkembangan yang positif. Bahkan hanya ada dua penyerangan “main hakim sendiri” yang dilaporkan pada bulan September (lihat Figur 6). Bila angka ini tetap bertahan di tingkat rendah, hal ini bisa dianggap sebagai indikasi bahwa keluhan personal, dan perbedaan pendapat mengenai moralitas, lebih sering diselesaikan dengan cara-cara lain.
7