Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized
40474 Laporan Pemantauan Konflik di Aceh 1 – 31 Maret 2007 Bank Dunia/DSF Sebagai bagian dari program dukungan analisis bagi proses perdamaian, Program Konflik dan Pengembangan di Bank Dunia Jakarta menggunakan metodologi pemetaan konflik melalui surat kabar untuk merekam dan mengkategorikan semua laporan tentang insiden konflik di Aceh yang diberitakan di dua surat kabar daerah (Serambi dan Aceh Kita). Program ini mempublikasikan perkembangan per bulan, sejauh mungkin didukung oleh kunjungan ke lapangan, yang terangkum dalam bahasa Inggris dan Indonesia. 1 Bulan ini tercatat angka paling tinggi untuk insiden kekerasan sejak terjadinya tsunami. Beberapa kasus pengeroyokan dan penganiayaan merupakan tanda penting tentang tingginya ketegangan antara KPA, masyarakat, dan satuan keamanan. Dinamika ini sangat kuat terutama di Aceh Utara. Konflik tingkat lokal bulan ini mencapai puncak baru hingga 126 insiden. Laporan ini menyoroti dua jenis konflik tingkat lokal. Pertama, konflik yang berkaitan dengan penyaluran dana reintegrasi. Penyaluran dana reintegrasi telah meningkatkan ketegangan di dalam tubuh KPA dan kelompok anti-separatis, dan program BRA-PPK untuk korban konflik telah menjadi sasaran dalam insiden pemerasan, perampokan, dan pengerusakan. Kedua, konflik terkait hasil pilkada tingkat kabupaten masih terus berlanjut, sebagai lanjutan dari beberapa kelemahan pada pelaksanaan pemilihan. Konflik-konflik ini termasuk protes terhadap kandidat terpilih yang dianggap korup, protes terhadap penanganan pelanggaran pemilihan, dan kasus Aceh Tenggara yang terus berlanjut sampai sekarang. Tidak ada insiden GAM-RI, tetapi ketegangan meletus menjadi kekerasan di Aceh Utara Figur 1: Konflik GAM-RI dan konflik tingkat lokal per bulan
Seperti pada bulan-bulan GAM-GoI Local Level Conflict sebelumnya, tidak ada insiden 140 120 konflik langsung antara GAM100 RI yang dilaporkan pada bulan 80 Maret (lihat Figur 1). 2 Meski 60 demikian, ketegangan di Aceh 40 Utara meletus pada beberapa 20 insiden kekerasan. Insiden0 Jan Feb Mar AprMay Jun Jul AugSep OctNov Dec Jan Feb Mar Apr MayJuneJulyAugSep Oct NovDec Jan Feb Mar insiden ini menunjukkan 05 MoU 06 07 kurangnya kepercayaan antara masyarakat dan satuan keamanan, sementara GAM/KPA memegang peranan penting dalam tindakan masyarakat. Seperti pada beberapa kasus sebelumnya, ada pendapat berlawanan mengenai perannya GAM/KPA itu sebagai mediator atau provokator dalam insiden kekerasan bulan ini. 1
Terdapat keterbatasan dalam menggunakan surat kabar untuk memetakan konflik, untuk analisis dan metodologi lebih lanjut lihat: Patrick Barron dan Joanne Sharpe (2005). “Counting Conflict: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia”, Indonesian Social Development Paper No. 7. Jakarta: World Bank. Laporan itu, serta laporan hasil pemantauan bulanan, dapat juga dilihat di: www.conflictanddevelopment.org. Dataset tersedia bagi yang membutuhkan, dengan menghubungi Blair Palmer di:
[email protected]. 2 ‘Insiden GAM-RI’ adalah insiden konflik dimana kedua belah pihak terlibat dalam insiden kekerasan ketika mereka berperan sebagai angkatan bersenjata.
1
21 Maret, desa Alue Dua, Nisam, Aceh Utara Warga setempat mulai mencurigai empat orang pria yang tiba di desa dan menginap di sebuah gedung sekolah tanpa melaporkan diri kepada aparat desa. Setelah warga berkumpul dan menanyai mereka, dari situ ditemukan bahwa mereka adalah anggota TNI dan membawa senjata di dalam tas mereka. Karena mencurigai mereka sebagai agen intelijen, warga langsung mengeroyok keempatnya, mengakibatkan beberapa diantaranya luka berat, dan mengurung mereka di balai desa. Keesokan harinya, ketegangan makin meningkat ketika pihak militer menggugat bahwa KPA berada dibalik kejadian penyerangan itu, sementara KPA menyatakan bahwa campur tangan mereka justru menyelamatkan tentara-tentara itu dari pemukulan yang lebih parah lagi. Untuk meredakan ketegangan, Pangdam Aceh Supiadin menjamin bahwa anggotanya tidak akan membalas dendam. Tetapi meskipun ada jaminan itu, dua hari setelahnya, sekelompok TNI kembali ke desa untuk “menyelidiki” insiden itu, dan menganiayai sedikitnya 14 warga. Laporan selanjutnya menunjukkan bahwa tentara yang dipukuli sedang di sub-kontrakkan sebagai satpam untuk menjaga sekolah tempat mereka menginap, yang dibangun oleh sebuah LSM internasional. Dengan tingginya angka pengangguran diantara mantan kombatan, anggota KPA bisa jadi iri terhadap anggota TNI yang bekerja sambilan sebagai penjaga keamanan. Maka, kecurigaan tentang “misi” tentara itu mungkin telah diperbesar dengan kemarahan terhadap kerja sambilan mereka; tampaknya pada insidennya, anggota KPA aktif dalam menangkap dan menginterogasi para tentaranya. Insiden ini menandakan pentingnya lembaga bantuan mengawasi bagaimana pendistribusian keuntungan, termasuk dalam pemberian pekerjaan, dapat berkontribusi dan berinteraksi dengan ketegangan paska konflik yang tengah berlangsung, khususnya di daerah yang yang memiliki intensitas konflik tinggi seperti di Nisam. Selain itu, insiden ini semakin menggaris bawahi pentingnya koordinasi antara KPA dan satuan keamanan, dan pentingnya membangun pemahaman yang jelas mengenai peran mereka masingmasing dalam masyarakat. Setelah insiden itu terjadi, Gubernur Irwandi Yusuf dan Pangdam Iskandar Muda, Supiadin, telah mengingatkan KPA untuk tidak “mempolisikan masyarakat”. Sedangkan Bupati Aceh Utara terpilih, yang berasal dari KPA, telah mengusulkan pembentukan “Forum Bersama” bulanan, dalam rangka membangun hubungan dan kepercayaan antara satuan keamanan, pemerintahan lokal, KPA, dan masyarakat. AMM (Aceh Monitoring Mission) juga pernah menyelenggarakan pertemuan serupa di tingkat kecamatan di Aceh Utara dan cukup berhasil. 3 Forum-forum seperti itu di daerah yang memiliki ketegangan tinggi harus didukung. 11 Maret, desa Lhok Meureubo, Sawang, Aceh Utara Warga mengeroyok delapan orang yang disebut sebagai jamaah tabligh yang datang ke desa untuk mengajarkan Islam dari rumah ke rumah, dan menuduh mereka mengajarkan aliran sesat. Warga mulai mencurigai kelompok itu karena salah seorang diantaranya terlihat memiliki tato. Setelah warga berkumpul untuk menginterogasi mereka, ditemukan bahwa salah satu anggota kelompok itu menyimpan gambar porno di Hpnya; ini dianggap bukti bahwa mereka dari aliran sesat. Dari kartu identitasnya tiga diantaranya akhirnya diketahui sebagai anggota polisi. Langsung kedelapan anggota kelompok itu dikeroyok, kemudian lebih dari seribu orang mengurung mereka di meunasah selama dua hari hingga bupati (yang berafiliasi dengan GAM) datang membebaskan mereka. Setelah insiden itu, Kepala Dinas Syariat Islam Propinsi Aceh mengatakan secara tegas bahwa masyarakat tidak boleh main hakim sendiri, dan hanya tokoh-tokoh agama yang boleh memutuskan kalau sebuah ajaran merupakan aliran sesat, setelah diadakan penyelidikan 3
Lihat Laporan Pemantauan Konflik bulan Mei 2006, tersedia di www.conflictanddevelopment.org.
2
menyeluruh. Pihak polisi menyatakan bahwa tiga petugas polisi itu telah meninggalkan tugas untuk menjadi jamaah tabligh, dan membantah bahwa mereka punya tugas intelijen. Ada kemungkinan insiden ini merupakan kasus di mana agama digunakan untuk menyembunyikan tugas intel, atau sebaliknya tuduhan aliran sesat digunakan untuk menyembunyikan aksi penyerangan “main hakim sendiri” melawan satuan keamanan. 27 Maret, Lhoksukon, Aceh Utara Sebuah mobil mendatangi kantor KPA Lhoksukon pada tengah malam. Sekelompok pria turun dan membakar kantornya. Aceh Kita melaporkan bahwa seorang saksi melihat patroli polisi lewat beberapa menit setelah kebakaran mulai. Pihak kepolisian Lhoksukon mengaku bahwa ada patroli di wilayah itu pada saat itu, tetapi mereka tidak mengetahui identitas atau motif pelaku. Kantor itu pernah dirusakkan sebelumnya, setelah terjadi perselisihan antara KPA dan polisi. 13 Maret, Tapaktuan, Aceh Selatan Ketua KPA Tapaktuan memprotes adanya peraturan bagi pihak keluarga narapidana untuk mendaftar ke TNI terlebih dahulu sebelum menjenguk keluarga mereka di penjara. Pihak keluarga telah berusaha mengunjungi empat anggota KPA yang ditahan karena penyerangan terhadap anggota TNI di Trumon, namun ditolak karena mereka belum melapor ke TNI sebelumnya. 4 Konflik tingkat lokal, dan kekerasan, mencapai titik tertinggi pasca-tsunami Bulan ini tercatat ada 126 konflik tingkat lokal. Ini adalah angka tertinggi yang pernah tercatat, sedikit lebih tinggi dibanding bulan lalu (lihat Figur 2). 5 Tingkat konflik selama dua bulan terakhir ini menunjukkan peningkatan yang dramatis, hampir dua kali lipat tingkat rata-rata pada tahun 2006. 6 Insiden kekerasan juga meningkat ke tingkat tertinggi bulan ini, dengan 20 insiden dilaporkan. Figur 2 menunjukkan angka-angka kekerasan dan non-kekerasan ini, dan Tabel 1 meringkas jenis-jenis insiden kekerasan yang terjadi bulan ini. 7 Figur 2: Konflik tingkat lokal kekerasan dan non-kekerasan per bulan Tabel 1: Jenis konflik tingkat lokal kekerasan Violent Local Level Conflict Non-violent Local Level Conflict # Jenis insiden kekerasan 120 11 Pengeroyokan, pemukulan dan perkelahian, 100 karena berbagai alasan. 80 4 Kerusuhan, dua diantaranya terkait konflik politik di Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya (lihat di 60 bawah). 40 3 Pembakaran. Tiga gedung menjadi sasaran 20 dalam serangan terpisah: kantor MPU (Majelis 0 Permusyawaratan Ulama ) Sawang, Aceh Utara; Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr MayJuneJuly Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar 05 MoU 06 07 kantor KPA Lhoksukon, Aceh Utara; dan sebuah kantor BRR di Meulaboh, Aceh Barat. 2 Jenis lainnya 4
Mengenai penyerangan Trumon, lihat Laporan Pemantauan Konflik bulan Januari 2007, tersedia di www.conflictanddevelopment.org. 5 Perlu dicatat bahwa angka bulan Februari pada Figur 1 dan Figur 2 telah berubah sedikit dari Laporan bulan lalu. Ini karena beberapa insiden pada akhir Februari baru dilaporkan pada koran bulan Mei. Insiden-insiden ini telah ditambahkan ke angka Februari sekarang. 6 Laporan bulan lalu menyebutkan tiga penjelasan atas peningkatan ini, tetapi masih terlalu dini untuk memutuskan di antaranya. Peningkatan tidak disebabkan oleh peningkatan pada salah satu tipe konflik saja. 7 Sebelumnya, kami klasifikasi sweeping dan penangkapan oleh warga sebagai kekerasan, meskipun korbannya tidak dipukuli, karena pelaku tidak memiliki wewenang untuk menerobos masuk ke rumah orang dan melakukan penangkapan. Sekarang, kami telah klasifikasi ulang insiden tersebut sebagai nonkekerasan, supaya definisi ‘kekerasan’ menunjuk kasus-kasus kekerasan fisik terhadap manusia ataupun gedung (tetapi termasuk penculikan). Figur 2 telah direvisi untuk mencerminkan definisi ini.
3
Selebihnya Laporan Pemantauan ini membicarakan dua hal penting: konflik tentang dana reintegrasi paska konflik, dan konflik terkait pilkada. Konflik mengenai dana reintegrasi BRA (Badan Reintegrasi Damai Aceh) didirikan pada Februari 2006 untuk mengawasi proses reintegrasi. BRA telah mengembangkan beberapa program yang ditargetkan pada kelompok penduduk tertentu, dengan pendanaan dari pemerintah RI sekitar USD 150 juta untuk tahun 20052007 (lihat Tabel 2). Bagian ini menggambarkan bagaimana program-program ini mengakibatkan atau terimbas berbagai macam konflik. Tabel 2: Dana Reintegrasi BRA 2005 - 2007 Bantuan Ekonomi No Kategori 1 Kombatan GAM 2 GAM sipil 3 Tahanan politik 4 GAM menyerah sebelum MoU 5 Kelompok anti-separatis 6 Korban konflik (disalurkan melalui program BRA-PPK) Bantuan Sosial 7 Diyat - Geuchik dan tokoh agama - PNS - Masyarakat yang anggotanya hilang atau meninggal 8 Bantuan rumah 9 Bantuan untuk orang cacat fisik 10 Bantuan medis
Jumlah Orang 3,000 6,200 2,035 3,204 6,500 Semua desa diluar daerah perkotaan
Jumlah Rp. 25 juta/orang Rp. 10 juta/orang Rp. 10 juta/orang Rp. 5 juta/orang Rp. 10 juta/orang Rp.60–170 juta/desa (5,726 desa)
332 426 22,000
Rp. 3 juta/orang per tahun
14,000 unit 3,100 1 paket
Rp. 35 juta/rumah Rp. 10 juta/orang Rp. 5 miliar/tahun
Tiga bantuan pertama di Tabel 2 kini telah disalurkan, dan sebagian dari item 4 dan 5 telah disalurkan. Dana untuk korban konflik (item 6) telah disalurkan kepada 1724 desa. Tetapi, penyaluran bantuan ini telah menyebabkan atau memperparah ketegangan, baik diantara maupun di dalam kelompok-kelompok sasaran. Telah terjadi konflik didalam KPA mengenai penyaluran internal dana-dana ini (item 1 dan 2 di Tabel 2); konflik internal serupa di dalam tubuh organisasi anti-separatis (mengenai item 5); dan berbagai konflik mengenai penyaluran bantuan kepada masyarakat korban konflik (item 6). Konflik mengenai dana reintegrasi dalam tubuh KPA Di Aceh Barat Daya, penyaluran dana reintegrasi telah memperburuk sebuah perpecahan yang ada di KPA. Perpecahan ini telah mempengaruhi putaran pertama maupun kedua pilkada, dan terus bergulir menjadi konflik lebih lanjut (lihat Kotak 1).
4
Kotak 1: Kasus konflik mengenai dana reintegrasi di KPA mempengaruhi pilkada – Aceh Barat Daya 8 Penyaluran dana reintegrasi menjadi terkait dengan sebuah perpecahan dalam tubuh KPA di Blang Pidie (wilayah KPA/GAM yang meliputi Aceh Barat Daya). Kedua fraksi yang pecah mendukung calon bupati yang berbeda di kedua putaran pilkada, maka orang yang bersimpati terhadap GAM/KPA terpaksa memilih di antara beberapa pilihan calon bupati. Perpecahan ini juga mengakibatkan kekerasan, setidaknya satu kali. Isu utama yang menyebabkan perpecahannya adalah apakah anggota GAM yang meninggalkan perjuangan sebelum MoU (tetapi tidak menyerah) berhak menerima bagian penuh dari dana reintegrasi. Satu fraksi, yang dipimpin Panglima Wilayah Abdurrahman, merasa bahwa “GAM yang keluar” itu seharusnya menerima lebih sedikit daripada mereka yang masih aktif hingga MoU. Pemimpin-pemimpin fraksi Abdurrahman ini juga menuduh bahwa “GAM yang keluar” ini telah bergabung dengan GAM yang menyerah dalam membentuk organisasi anti-separatis seperti Forkab (Forum Komunikasi Anak Bangsa), dan oleh karenanya akan memperoleh dana reintegrasi anti-separatis. Sebaliknya, fraksi yang dipimpin mantan Panglima Wilayah Burhan mengklaim bahwa “GAM yang keluar” berhak menerima porsi dana reintegrasi sama dengan GAM lainnya, dan bahwa dia sendiri keluar dari GAM karena “pergi ke Jawa untuk berobat, bukan melarikan diri dari perjuangan”. Fraksi Burhan juga menklaim bahwa Abdurrahman telah menyalahgunakan dana reintegrasi yang sudah cair. Masing-masing fraksi mengaku memiliki dukungan 75% anggota GAM di Blang Pidie (Aceh Barat Daya). Ada kandidat yang berafiliasi dengan KPA pada putaran pertama pilkada di Aceh Barat Daya, tapi secara formal kantor KPA tidak mendukung kandidat tertentu. Fraksi Burhan justru mengaku mendukung Akmal (yang pada akhirnya menang) sedangkan Abdurrahman katanya mendukung Sulaiman (yang berhasil melaju ke putaran kedua). Kandidat yang berafiliasi KPA menjadi pemenang ketiga pada putaran pertama, barangkali karena kekurangan kekompakan ini, dan tumbang. Pada putaran kedua, Burhan tetap mendukung Akmal dan Abdurrahman tetap mendukung Sulaiman; keduanya saling menuding lawannya bahwa mereka mendukung kandidat itu karena disuap dengan uang. Perpecahan ini mengakibatkan panasnya situasi pilkada. Pendukung dari kandidat pesaing saling bertikai dua hari sebelum putaran kedua pada 4 Maret. Menangnya Akmal yang didukung Burhan bisa jadi berarti bahwa fraksi KPA yang dipimpinnya akan menikmati pengaruh yang semakin besar. Bila KPA Blang Pidie tidak melakukan konsolidasi, perpecahan ini dapat terus menimbulkan konflik dan mempengaruhi politik lokal secara negatif.
Konflik mengenai dana reintegrasi di dalam organisasi anti-separatis Penyaluran dana reintegrasi telah menghasilkan konflik dalam kelompok anti-separatis juga. Dua contoh kasus di Kotak 2 menggambarkan tentang konflik-konflik yang terjadi dan menunjukkan bahwa, seperti pada konflik internal KPA di Aceh Barat Daya, perpecahan internal seringkali berhubungan dengan politik lokal. Dana reintegrasi ditambah dengan persaingan politik lokal telah menguatkan hubungan ini, dan semakin memperbesar perpecahan internal. Kotak 2: Dua kasus konflik dana reintegrasi pada kelompok anti-separatis – Aceh Barat Daya dan Aceh Barat Anggota PETA (Pembela Tanah Air, sebuah organisasi anti-separatis) di Aceh Barat Daya, yang masing-masing seharusnya menerima dana reintegrasi sebesar Rp. 10 juta (USD 1100), mengeluh bawa dana tersebut (untuk 135 anggota) telah diberikan pada orang-orang yang salah. GPSG (Gerakan Perlawanan Separatis GAM) telah mengubah nama menjadi PETA, namun ketika hal itu terjadi, pejabat Bupati mengeluarkan surat pada 29 November 2006 yang menetapkan pemimpin baru bagi PETA beserta 90 orang anggotanya yang diklaim sebagai “90% mukamuka baru”. Penyaluran pertama sebesar Rp. 450 juta (USD 50.000) diterima oleh Amiruddin, ketua GPSG, pada bulan Agustus 2006; dia kemudian mengaku telah menyalurkan dana itu kepada anggota organisasi, termasuk GAM yang menyerah dan lain-lainnya. Penyaluran yang kedua pada akhir Februari sebesar Rp. 900 juta (USD 100.000) kepada Muazam, ketua PETA. Meski begitu, mereka yang mengadu menyatakan bahwa mereka tidak menerima sepeserpun dari dua-duanya pembayaran itu.
8
Informasi di Kotak 1 berdasarkan wawancara-wawancara yang dilaksanakan pada bulan Desember 2006, serta wawancara kelanjutan melalui telepon dengan sumber-sumber lokal pada bulan April 2007.
5
Di Aceh Barat, Frontum (sebuah organisasi anti-separatis) menerima Rp. 10 juta (USD 1100) untuk masing-masing 220 anggotanya, yang seluruhnya dimasukkan dalam satu rekening dengan tujuan membentuk sebuah usaha bersama. Kemudian pemimpin Frontum menjadi manajer kampanye pilkada untuk Iskandar, salah satu calon di putaran kedua pilkada Aceh, dan bendahara Frontum juga bergabung. Anggota Frontum mengklaim bahwa ada upaya mengalihkan dana reintegrasi kepada kampanye Iskandar. 9
Konflik mengenai dana reintegrasi di tingkat masyarakat Untuk masyarakat korban konflik (item 6 pada Tabel 2 di atas), dana disalurkan melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) RI/Bank Dunia. 10 Penerimaan secara umum terhadap program ini adalah positif, namun program ini tetap menghadapi tantangan termasuk upaya pemerasan oleh mantan kombatan, perampokan, dan miskomunikasi mengenai prosedur program. Kotak 3 merangkum empat insiden yang terjadi selama dua bulan terakhir ini. Semuanya telah diatasi. Kotak 3: Empat kasus konflik berkaitan dengan penyaluran dana kepada masyarakat korban konflik Sawang, Aceh Utara, 7 Februari Sekelompok orang, dipimpin oleh empat pria yang kemudian diketahui sebagai anggota KPA, merusak dan mencuri komputer dari kantor PPK di Sawang. Staf PPK lari ke kecamatan lain karena takut akan terjadi kekerasan lebih lanjut. Setelah diadakan pertemuan antara PPK dan Camat, KPA mengatakan bahwa kejadian itu hanya kesalahpahaman, dan bahwa mereka akan mendukung kembalinya staf PPK dan berlanjutnya program. Komputerkomputer telah dikembalikan secara diam-diam. Nisam, Aceh Utara, Februari Ketua KPA di Nisam menuntut bagian Rp. 13 juta (USD 1400) dari block grant dana BRA-PPK setiap desa di kecamatan (sehingga totalnya Rp. 572 juta atau USD 62.000). Setelah diadakan pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini bersama KPA, BRA Aceh Utara dan staf PPK, ketua KPA mencabut tuntutannya. Seunuddon, Aceh Utara, 20 Maret Staf BRA-PPK dirampok dengan todongan senjata ketika menarik uang proyek sebesar Rp. 62 juta (USD 6800) dari bank. Hal ini berarti dana menjadi kurang untuk melaksanakan proyek di Aceh Utara. Setelah diadakan pertemuan konsultatif dengan masyarakat, diputuskan bahwa bunga bank dari dana proyek akan diambil untuk menutupi sebagian dana yang kurang, dan Rp. 800.000 (USD 90) akan dipotong dari alokasi dana per desa untuk menutupi sisanya. Aceh Tengah/Bener Meriah Ada yang klaim bahwa anggota KPA di Linge (Aceh Tengah/Bener Meriah) meminta dana Rp. 3 juta (USD 330) dari alokasi dana BRA-PPK untuk tiap desa. Sebuah surat disebarluaskan, menyatakan bahwa BRA dan PPK telah menyetujui pembayaran ini diberikan pada KPA oleh setiap desa. Hal ini dibantah oleh BRA lokal dan pemimpin KPA; KPA menyatakan bahwa mereka akan menjatuhkan sanksi bagi anggotanya yang mencoba melakukan pemerasan.
Konflik-konflik mengenai dana reintegrasi memiliki kaitan dengan pengangguran, kriminalitas, hubungan sosial (social cohesion), dan inklusivitas politik. Agar dapat memfasilitasi program reintegrasi yang lebih efektif, BRA seharusnya melakukan lebih banyak kegiatan sosialisasi sehingga masyarakat, dan mantan kombatan khususnya, mengetahui keuntungan-keuntungan apa saja yang bisa diperoleh dan bagaimana cara mendapatkannya. Sistem penanganan keluhan yang 9
International Crisis Group (2007). Indonesia: How GAM won in Aceh. Crisis Group Asia Briefing No.61, 22 Maret 2007. Jakarta/Brussels: ICG. Lihat halaman 8. 10 Seperti yang sudah dijelaskan pada Laporan Pemantauan sebelumnya, melalui mekanisme BRA-PPK ini akan disalurkan dana kurang lebih USD 60 juta yang berasal dari Pemerintah RI, untuk mencakup semua desa (kecuali pada kotamadya) di Aceh (total 5.726 desa). Setiap desa menerima dana bantuan block grant mulai dari Rp. 60 juta (USD 6700) hingga Rp. 170 juta (USD 19.000), tergantung intensitas konflik pada masa lalu di tingkat kecamatan, dan jumlah penduduk desa.
6
kuat, termasuk kontak atau hotline untuk melaporkan upaya pemerasan, akan sangat membantu staf fasilitator BRA-PPK di lapangan, serta dapat lebih menjamin mulusnya perjalanan program. Terakhir, program reintegrasi dan bantuan mata pencaharian (livelihoods) bagi mantan kombatan adalah isu vital untuk keberlanjutan perdamaian di Aceh, tetapi hanya beberapa organisasi saja melaksanakan program; diperlukan upaya yang lebih besar, dan terkoordinir, untuk hal ini. Konflik terkait pilkada: kasus korupsi, tekanan terhadap KIP, dan, tentu, Aceh Tenggara Setelah beberapa kasus pengadilan yang menentang hasil pilkada di tingkat kabupaten dikalahkan, 11 beberapa insiden terkait dengan pemilihan terjadi bulan ini. Ini termasuk: protes terhadap kandidat terpilih yang dianggap korup, protes terhadap penanganan pelanggaran pemilihan, dan kasus Aceh Tenggara yang terus berlanjut sampai sekarang (lihat Kotak 4). Kotak 4: Konflik terkait pilkada di bulan Maret 2007 Tuduhan korupsi mengganggu pelantikan bupati di Nagan Raya dan Aceh Singkil, dan ketegangan di Simeulue Terjadi demonstrasi bulan ini di Nagan Raya dan Aceh Singkil, memprotes pelantikan bupati terpilih yang sedang ada kasus pengadilannya, dan meminta agar pelantikan ditangguhkan hingga pengadilan mengeluarkan keputusannya. Bupati terpilih di Simeulue, yang juga mantan bupati, sedang diadili dengan tuntutan merusak ribuan hektar hutan lindung untuk membangun perkebunan kelapa sawit, namun ia tidak dapat menghadiri pengadilan pada 28 Maret karena sedang dilantik sebagai bupati baru. Mantan bupati dari partai Golkar menang pilkada di tiga kabupaten (Aceh Singkil, Nagan Raya, dan Simeulue); ketiga orang itu sedang tertimpa kasus pengadilan, dan ada protes mengenai pelantikan mereka di ketiga kabupaten tersebut. Demonstrasi memprotes pelanggaran pilkada di Aceh Barat Daya dan Aceh Tamiang Pada 9 Maret, ribuan orang berdemo di depan kantor KIP di Aceh Barat Daya, memprotes bahwa putaran kedua pilkada tidak adil dan bahwa banyak terjadi penjual-belian suara. Pemimpin demo mendesak KIP dan Panwas untuk menyelidiki secara menyeluruh semua pengaduan mengenai pelanggaran, dan mengatakan bahwa mereka akan menggelar demo yang lebih besar lagi bila hal itu tidak dilaksanakan. Aceh Kita melaporkan bahwa pemimpinpemimpin KPA lokal terlihat di antara para demonstran. Pada 20 Maret di Aceh Tamiang, seorang kandidat yang kalah meluncurkan tuntutan hukum terhadap polisi dan kejaksaan, karena mereka tidak menangani kasus perusakan kotak suara. 12 Pengaduan itu sudah dilanjutkan dari Panwas kepada polisi, namun tidak ditindaklanjuti hingga akhirnya melewati batas waktu penanganan. Ada klaim bahwa hal ini terjadi karena alasan politis. Kasus Aceh Tenggara masih berlanjut Aceh Tenggara (Agara) tetap merupakan kabupaten yang paling bermasalah, dimana hasil pilkada masih belum ditetapkan setelah beberapa kali campur tangan dari KIP NAD dan berbagai janji dari KIP Agara. Hasilnya, yang dilaporkan oleh KIP tingkat kecamatan, mengindikasi bahwa Hasanuddin menang, mengalahkan mantan bupati Armen Desky dengan selisih 2.624 suara. Situasi makin memanas bulan ini ketika KIP Agara memutuskan untuk melakukan penghitungan ulang terhadap beberapa kotak suara. Penghitungan ulang dilaksanakan mulai tanggal 23 Maret, dan segera disusul dengan demonstrasi pada tanggal 24 Maret, yang menyatakan bahwa penghitungan ulang melanggar ketentuan pilkada. Pada hari yang sama, saksi dari pihak Hasanuddin dikeluarkan dari ruang penghitungan suara karena “menyebabkan kekacauan”. Dari hampir semua kotak suara yang dihitung kembali, Armen Desly mendapatkan suara terbanyak. Demonstrasi berlanjut pada tanggal 25 Maret dan berakhir dengan kericuhan; setidaknya tiga orang polisi terluka karena dilempari batu, dan Aceh Kita melaporkan bahwa enam orang ditembak polisi. Penghitungan tidak dilanjutkan setelah kerusuhannya. Juga pada tanggal 25 KIP NAD mendeklarasikan bahwa penghitungan ulang suara tersebut menyalahi peraturan, dan meminta polisi untuk menghentikannya. Gubernur Irwandi mengingatkan Pj. Bupati Agara untuk bersikap netral, dan mengatakan bahwa ia mendukung keputusan apapun yang dibuat oleh KIP NAD. “Kalau ada yang melawan, ya kita tangkap saja,” katanya. Situasi masih belum terselesaikan.
11 12
Lihat Laporan Pemantauan Konflik bulan lalu, tersedia di www.conflictanddevelopment.org. Lihat Laporan Pemantauan Konflik bulan Januari 2007, tersedia di www.conflictanddevelopment.org.
7