Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized
40473 Laporan Pemantauan Konflik di Aceh 1 – 28 Februari 2007 World Bank/DSF Sebagai bagian dari program dukungan untuk proses perdamaian, Program Konflik dan Pengembangan di Bank Dunia Jakarta menggunakan metodologi pemetaan konflik melalui surat kabar untuk merekam dan mengkategorikan semua laporan tentang insiden konflik di Aceh yang diberitakan di dua surat kabar daerah (Serambi dan Aceh Kita). Program ini mempublikasikan perkembangan per bulan, sejauh mungkin didukung oleh kunjungan ke lapangan, yang terangkum dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. 1 Walaupun tidak adanya insiden antara GAM dan pemerintah RI bulan ini menunjukkan mulusnya perjalanan proses perdamaian, tiga insiden menandai ketegangan-ketegangan antara pihak tertentu, yang memiliki anteseden dalam perpecahan konflik vertikal masa lalu. Penyaluran dana reintegrasi sudah menimbulkan ketegangan di dalam organisasi-organisasi seperti GAM dan mantan front anti-separatis. Angka bulan Februari untuk konflik tingkat lokal meloncat besar hingga 118 kasus, angka tertinggi yang tercatat sejak awal dataset (Januari 2005). Angka insiden kekerasan juga meningkat menjadi 20. Laporan bulan ini membahas tiga tipe tertentu dari konflik tingkat lokal. Pertama, setelah pilkada bulan Desember lalu, beberapa sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan pilkada telah menyoroti beberapa kekurangan pada pelaksanaannya itu. Kedua, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pengangkapan pelanggar khalwat dibahas; dua hal ini menunjukkan perlunya meningkatkan usaha-usaha untuk melindungi hak perempuan. Ketiga, konflik terkait bantuan terus terjadi, dan bulan ini beberapa di antaranya memiliki unsur keagamaan. Ini menandakan perlunya diskusi lebih jauh mengenai ekspresi keagamaan dan arti pentingnya bagi identitas rakyat Aceh. Tiada insiden GAM-RI, tetapi ketegangan internal terlihat pada mantan organisasi bersenjata Figur 1: Konflik tingkat lokal GAM-pemerintah RI per bulan
Mengikuti pola umum sejak tahun GAM-GoI Local Level Conflict lebih, tidak ada insiden konflik 140 langsung antara GAM dan pemerintah 120 RI yang dilaporkan pada bulan 100 80 Februari (lihat Figur 1). 2 Selama 60 beberapa bulan terakhir, kami telah 40 mencatat bentuk-bentuk baru konflik 20 di Aceh yang berlanjut sebagai 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr MayJuneJuly Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb manifestasi perpecahan konflik masa 05 MoU 06 07 lalu. Bulan ini tiga insiden yang melibatkan satuan keamanan serta mantan kelompok anti-separatis menandai ketegangan yang
1
Terdapat keterbatasan dalam menggunakan surat kabar untuk memetakan konflik, untuk analisis dan metodologi lebih lanjut lihat: Patrick Barron dan Joanne Sharpe (2005). “Counting Conflict: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia”, Indonesian Social Development Paper No. 7. Jakarta: World Bank. Laporan itu, serta laporan hasil pemantauan bulanan, dapat juga dilihat di: www.conflictanddevelopment.org. Dataset tersedia bagi yang membutuhkan, dengan menghubungi Blair Palmer di:
[email protected]. 2 ‘Insiden GAM-pemerintah Indonesia’ adalah insiden konflik dimana kedua belah pihak terlibat dalam insiden kekerasan ketika mereka berperan sebagai angkatan bersenjata.
1
masih berlangsung diantara kelompok-kelompok ini dan masyarakat umum, dan juga di dalam lembaga-lembaga itu sendiri. •
Polisi melawan WH (Wilayatul Hisbah), Banda Aceh, 29 Januari Bulan lalu kami melaporkan bahwa sekelompok lelaki ‘berbadan tegap’ mencegat patroli WH, dan turun paksa dua perempuan yang tertangkap. Informasi baru yang dilaporkan pada bulan Februari menyebut bahwa pelakunya mengaku sebagai petugas Poltabes Banda Aceh. Petugas WH mengatakan kepada koran Serambi bahwa mereka sering menghadapi intimidasi dan ancaman dalam melaksanakan tugas mereka. Ini merupakan indikasi adanya resistensi dan perlawanan kepada WH diantara satuan keamanan dan/atau mantan kombatan GAM. Kapoltabes Banda Aceh mengatakan bahwa dia akan memberikan sanksi berat jika ada anggotanya yang terlibat dalam kejadian itu, tetapi tidak jelas apakah memang dilakukan investigasi atau tidak. Seorang anggota DPRD kemudian menuntut agar polisi menyelidiki secara tuntas, dan mengatakan, “untuk orang yang merasa tak nyaman dan alergi terhadap penerapan syariat Islam itu, segera keluar dari Nanggroe Aceh Darussalam”.
•
Kantor kelompok anti-separatis diserang, Bireuen, 2 Februari Serambi melaporkan bahwa sekelompok pemuda bersepeda motor mendobrak masuk kantor FORKAB (Forum Komunikasi Anak Bangsa), mantan front anti-separatis Bireuen. Mereka merusak kantornya dan mencuri sebuah computer dan sepeda motor.
•
PETA memprotes mengenai dana reintegrasi, 12 Februari, Takengon, Aceh Tengah Ratusan anggota PETA (Pembela Tanah Air), mantan front anti-separatis, berdemonstrasi di DPRD Aceh Tengah. Mereka menuntut ketua PETA, Syukur Kobath (yang juga maju sebagai calon bupati dalam pilkada), supaya mengelola dana reintegrasi (yang tertuju pada anggota PETA) secara adil dan transparan.
Meskipun relatif kecil, insiden ini menunjukkan bahwa perpecahan konflik masa lalu, seperti antara kelompok anti-separatis dan pihak yang merusak kantor FORKAB, masih tetap ada, walaupun muncul dalam bentuk baru. Insiden terakhir di atas, di Aceh Tengah, menunjukkan bahwa pembagian dana reintegrasi menyebabkan ketegangan yang signifikan di dalam organisasi-organisasi yang mendapat dana tersebut. Ini bukan kelompok anti-separatis saja; di Aceh Barat Daya, misalnya, distribusi dana reintegrasi tampaknya menimbulkan perpecahan kepemimpinan lokal di dalam tubuh GAM. Menyalurkan dana reintegrasi dengan cepat dan efektif akan menjadi tahapan penting dalam membangun perdamaian berkelanjutan di Aceh, tetapi penyaluran itu sedang menimbulkan ketegangan dalam lembaga penerima dana itu, serta protes-protes terhadap cara penyaluran yang digunakan oleh BRA. Bulan ini terjadi beberapa konflik di Aceh Utara mengenai mekanisme BRA-PPK untuk penyaluran dana reintegrasi kepada korban konflik; Laporan bulan depan akan memuat pembahasan khusus tentang dana reintegrasi. Kenaikan besar pada konflik tingkat lokal Angka-angka Februari untuk konflik tingkat lokal menunjukkan lompatan besar ke 118, angka tertinggi yang tercatat sejak awal dataset (lihat Figur 1). 3 Distribusi konflik antara insideninsiden administratif, politis, sumber daya, dan tindakan-tindakan main hakim sendiri, sangat mirip dengan bulan lalu, menunjukkan kenaikan bulan ini terjadi pada semua bentuk konflik. Adapun beberapa penjelasan yang mungkin dapat menjelaskan kenaikan ini. Pertama, setelah pilkada, koran-koran sekarang berbalik ke berita-berita lain, termasuk banyak meliput konflik. Kedua, banyak konflik yang dibiarkan selama pilkada kini telah dihidupkan kembali. Ketiga, 3
Angka-angka bulan Januari telah disesuaikan agar mencakup insiden konflik yang terjadi di bulan Januari tetapi dilaporkan bulan Februari.
2
iklim politik baru di Aceh telah memberdayakan warga untuk menentang berbagai ketidakadilan yang mereka saksikan di sekitar mereka, dan ini membuat angka konflik meningkat. Walaupun pada bulan-bulan mendatang akan semakin diketahui penjelasan yang mana yang lebih benar, sepertinya penjelasan terakhir di atas cukup berpengaruh, dan ini merupakan tanda potensialnya maupun bahayanya yang ada pada transisi pasca-konflik di Aceh. Jumlah insiden kekerasan juga meningkat bulan ini, naik dari 14 menjadi 20 (lihat Figur 2). Dari kasus tersebut termasuk sembilan penangkapan khalwat (dicurigai melakukan kontak seksual dengan pasangan yang bukan muhrimnya) yang dilakukan secara main hakim sendiri 4 , dua kasus pengeroyokan terhadap maling, tiga kasus perkelahian yang berkaitan dengan konflik, satu kasus penculikan karena masalah hutang, dua kasus perusakan kantor, dan tiga kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Figur 2: Konflik tingkat lokal kekerasan dan non-kekerasan per bulan Violent Local Level Conflict
Non-violent Local Level Conflict
120 100 80 60 40 20 0 Jan FebMar AprMay Jun Jul AugSepOct NovDec Jan FebMar Apr MayJuneJulyAugSep Oct NovDec JanFeb 05 MoU 06 07
Sisa Laporan ini akan mengupas tiga tipe konflik tingkat lokal yang dianggap penting: konflik terkait pilkada; KDRT dan keamanan perempuan; dan konflik terkait bantuan. Konflik pilkada: sengketa anggaran, tuntutan pengadilan gagal, Agara masih tetap deadlock Pilkada bulan Desember telah berjalan sukses, dalam arti bahwa persaingan politik menyusul sebuah perjanjian damai tidak menimbulkan konflik kekerasan. Walaupun pilkada berjalan damai, pelaksanaan pilkada menjadi kurang optimal disebabkan beberapa kelemahan pada institusi pelaksana, terutama KIP dan Panwas. Pada bulan ini beberapa sengketa seputar anggaran pemilihan menarik perhatian kepada masalah-masalah seperti kurangnya sosialisasi (disebabkan oleh terlambatnya pencairan dana) dan buruknya kinerja atau kurang netralnya Panwas. 5 •
Pada tanggal 19 Februari, 12 hari sebelum pemungutan suara putaran kedua pilkada di Aceh Barat Daya, ketua KIP memrotes bahwa tidak sepeserpun dari anggaran mereka Rp. 3,7 milyar sudah dicairkan. Ia mengancam bahwa bila dana tersebut tidak dicairkan dalam dua hari, pemilihan pada tanggal 4 Maret tidak dapat diselenggarakan. Kalaupun dicairkan, KIP tetap tidak akan sempat melakukan beberapa kegiatan sosialisasi dan pelatihan.
4
Kami menggolongkan ‘sweeping’ dan penangkapan secara main hakim sendiri sebagai tindakan kekerasan bahkan bila korbannya tidak dipukuli sekalipun, sebab pelaku penangkapan tidak memiliki wewenang hukum untuk menggeledah rumah-rumah dan melakukan penangkapan. 5 Masalah-masalah ini telah dibahas pada Laporan Dinamika Pilkada Aceh (tersedia online di: www.conflictanddevelopment.org), yang dibuat sebagai bagian dari Aceh Elections Study, yang dikerjakan Bank Dunia dan UNDP. Penelitian ini baru selesai, dan laporan akhir akan ditinjau di sini jika tersedia.
3
•
Pada akhir bulan Februari, permintaan anggaran Panwas Aceh Tengah yang diajukan kepada DPRD setempat, atas dana Rp 600 juta, menyebabkan pertengkaran. Seorang anggota DPRD mengatakan kepada Serambi, permintaan itu dinilai tidak cocok, karena pilkada telah dilaksanakan dan Panwas tidak ada tugas lagi, dan yang kedua, “biaya yang tersedot untuk pilkada sangat besar, sementara kontribusi terhadap kesuksesan pilkada di wilayah itu sangat kecil”. Bahkan, dia bilang bahwa Panwas tidak menyumbang apapun terhadap pelaksanaan pilkada, dan hanya menjadi beban APBD.
•
Perseteruan diantara anggota Panwaslih Aceh Barat pada pertemuan di DPRD memaparkan tidak kompetennya Panwaslih. Pertemuan yang bertujuan untuk mempertimbangkan permintaan dana Rp. 600 juta oleh Panwaslih untuk pilkada putaran kedua pada tanggal 4 Maret, memicu perdebatan tentang mengapa Panwaslih tidak melakukan apapun selama putaran pertama. Dalam merespon itu, Panwaslih tidak menerangkan apa yang mereka lakukan, tetapi ketua dan anggota Panwaslih malah saling menyalahkan satu sama lain. Serambi mengutip seorang anggota Panwaslih yang mengatakan “saya tidak mau membeberkan masalah interen ini. Karena ketua selalu menyalahi anggota, maka saya terpaksa membeberkan bobrok ketua...kami punya bukti. Tapi, tidak baik membuka kesalahan itu, termasuk penggunaan dana, karena persoalan itu menyangkut masalah institusi Panwaslih.”
Perkataan anggota tersebut mengisyaratkan bahwa akuntabilitas dana, atau pertanggungjawaban kepada pemilih dalam menjalankan tugas, kurang dianggap penting oleh anggota Panwas. Kegagalan dalam menjalankan tugas dan penyalahgunaan dana malah dianggap sebagai persoalan “internal”, yang hanya dibuka kepada publik ketika hubungan diantara staf menjadi bermasalah. Sikap seperti ini barangkali ada hubungan dengan penilaian di beberapa kabupaten bahwa Panwas tidak aktif atau partisan. Tampaknya ada kontradiksi pada sikap petugas pemilihan dalam menangani pelanggaran pilkada. Di satu sisi, sepertinya memang diakui oleh banyak pihak (demikian juga pemahaman masyarakat) bahwa terjadi berbagai pelanggaran, namun di sisi lain, penyelidikan dan tindakan yang diambil KIP dan Panwas sangatlah sedikit. Seolah-olah para petugas khawatir bahwa penyelidikan dan pemberian sanksi atas pelanggaran akan menimbulkan konflik. Beberapa petugas bekerja dengan mentalitas “mengorbankan keadilan demi perdamaian”, hingga nyaris tidak ada keluhan atau keberatan yang diusut dengan sungguh-sungguh, tanpa adanya tekanan politik yang kuat. 6 Walaupun memang ada situasi dimana pertimbangan seperti itu bisa dianggap wajar, patut dipertanyakan apakah menutup mata terhadap pelaggaran pemilihan memang akan mendukung perdamaian jangka panjang, atau hanya merajut benih ketidakpuasan dan kekecewaan politik di masa mendatang. Lebih-lebih, anggapan bahwa mengorbankan kualitas pemilihan demi perdamaian bisa dimanfaatkan sebagai alasan pembenar oleh para petugas yang bertindak partisan terhadap pengusutan pelanggaran. Mungkin terkait dengan persepsi bahwa KIP dan Panwas kurang menyelidiki pelanggaranpelanggaran pada pilkada, beberapa tuntutan pengadilan telah diluncurkan mengenai hasil pemilihan bupati-bupati. Sampai sekarang, hampir semua keputusan pengadilan telah menggagalkan tuntutan-tuntutan tersebut. Dalam kata lain, tidak ada hasil pemilihan bupati yang dibatalkan, dan tidak ada permintaan pilkada ulang yang dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Satu per satu, tuntutannya ditolak dengan berbagai alasan, termasuk kurangnya bukti, tuntutannya terlambat (tuntutan mengenai pelaksanaan hari H harus diluncurkan dalam waktu paling lama tiga hari), dan masalah kewewenangan (tuntutan pidana seperti money politik 6
Penelitian lapangan Bank Dunia untuk Aceh Elections Study, Desember 2006.
4
harus diluncurkan di tingkat kabupaten, sementara tuntutan perdata yang mempermasalahkan hasil pilkada versi KIP harus diluncurkan di tingkat propinsi). Dua kabupaten yang paling bermasalah adalah Aceh Tengah, dimana terjadi sejumlah insiden di lapangan, dan Aceh Tenggara, dimana organisasi-organisasi yang tampak partisan saling berseteru sehingga mengakibatkan deadlock mengenai hasil pilkada, yang sampai saat ini belum juga diumumkan. Berita dari lapangan bulan ini menunjukkan ketegangan tetap tinggi di kedua kabupaten tersebut (lihat Kotak 1). Permasalahan pada dua kabupaten ini kemungkinan diperparah oleh kelemahan institusi yang dijelaskan di atas. Kotak 1: Tuntutan pengadilan di Aceh Tengah dan kekacauan hukum di Aceh Tenggara Tuntutan pengadilan yang diajukan oleh calon bupati yang kalah di Aceh Tengah telah ditolak oleh Pengadilan Tinggi di Banda Aceh pada tanggal 12 Februari. Kasus tersebut menuduh bahwa calon yang menang, Nasaruddin, melibatkan pegawai pemerintah dalam kampanyenya, mulai dari para keuchik (kepala desa), camat, hingga kepala dinas, dan bahwa sejumlah kertas suara yang telah dicoblos untuk Nasaruddin telah ditemukan sebelum dimulainya pemungutan suara. Kasus ini ditolak atas dasar bahwa penuntut hanya menyebutkan nama calon bupati Nasaruddin tanpa nama calon wakilnya yaitu Djauhar Ali, dan bahwa kasus ini diajukan sebelum KIP Aceh Tengah ‘secara resmi’ mengumumkan hasil pilkada. Pada tanggal 26 Februari, penuntut menggugat KIP Aceh Tengah lagi, dengan tuntutan pilkada tidak diselenggarakan sesuai dengan peraturan, adanya kertas suara yang telah ditandai, manipulasi perhitungan suara, dan tabulasi suara tanpa kehadiran saksi-saksi. Proses pilkada Aceh Tenggara (Agara) masih mengalami kebuntuan. KIP NAD telah mendesak KIP Agara untuk mengumumkan hasil, dan sebagai respon DPRD Agara menuntut KIP NAD sebesar Rp 1 milyar karena dianggap ‘intervensi’. Pada bulan Februari beberapa anggota DPRD protes langkah hukum ini, dengan mengatakan bahwa hal tersebut merupakan tuntutan pribadi ketua DPRD, tanpa diplenokan dan tanpa dukungan mereka. Mereka menyatakan telah terjadi konspirasi politik, dan menyebutkan bahwa pengacara yang menangani kasus ini adalah juga merupakan pengacara ‘salah satu kandidat’ (menandakan mantan bupati, yang tampaknya kalah dalam pilkada, dan menginginkan pilkada ulang) dan juga pengacara KIP Agara. Sementara itu, Depdagri mengeluarkan surat peringatan kepada KIP Agara dan DPRD Agara, agar tidak melanggar undang-undang yang berlaku, dan meminta KIP Agara untuk segera mengumumkan hasil pilkada. DPRD propinsi juga mendesak pemerintah propinsi untuk segera menyelesaikan masalah ini.
Perempuan terancam oleh KDRT dan penangkapan khalwat Pada situasi konflik dan pasca-konflik, perempuan sangat rentan. Bulan ini kami menyoroti dua masalah yang menunjukkan kerentanan ini di Aceh paska-MoU: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan penangkapan khalwat yang dilakukan secara “main hakim sendiri”. KDRT adalah isu konflik karena, pertama, pada masa konflik perempuan sering diletakkan dalam situasi di mana mereka lebih rentan terhadap KDRT (dan juga bentuk kekerasan lain), dan kedua, konflik itu terkait dengan trauma dan pengangguran, dua faktor yang terkait dengan tingkat KDRT yang lebih tinggi. KDRT biasanya hanya sedikit saja yang dilaporkan kepada polisi ataupun media, sehingga sangat sulit diukur tingkatannya. Walaupun begitu, mempertimbangkan trauma mendalam yang dialami oleh masyarakat Aceh 7 , kerentanan perempuan di tempat-tempat seperti kamp pengungsi 8 , dan tingkat pengangguran yang tinggi di Aceh sekarang, maka kemungkinan bahwa kasus yang dijelaskan di bawah merupakan hanya puncak dari ‘gunung es’. 7
Lihat hasil survey psikososial IOM, yang dimuat dalam Laporan Pemantauan Konflik September 2006. Sebuah laporan oleh Komnas Perempuan, dengan judul Sebagai Korban Juga Survivor: Pengalaman dan Suara Perempuan Pengungsi Aceh Tentang Kekerasan dan Diskriminasi (Pelapor Khusus Komnas Perempuan, April 2006), telah mendokumentasikan beberapa bentuk kekerasan yang dihadapi oleh perempuan di kamp pengungsi, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 8
5
Kotak 2 menggambarkan tiga kasus KDRT yang tercatat bulan ini, serta dua insiden lain yang terjadi di pesantren, di mana santrinya mengalami kekerasan. Walaupun perempuan bukan korban dalam setiap kasus ini, tetapi keanekaragaman kasus KDRT di sini menjadi tanda bahwa KDRT bisa menimpa siapapun, dan perempuan secara khusus adalah sangat rentan. Para donor sebaiknya mendukung usaha-usaha yang dilakukan LSM untuk mengurangi KDRT dengan kampanye pendidikan, pendampingan korban, dan pemberdayaan hukum.
Kotak 2: Berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga •
• • • •
19 Februari, Longkip Aceh Singkil. Serambi melaporkan bahwa seorang lelaki berusia 18 tahun membacok ayahnya. Pelaku mengatakan bahwa ia berusaha melindungi adik laki-lakinya dari sang ayah, yang memukulnya pakai sendok. Ia berusaha melerai namun tidak berhasil, lalu ia pergi mengambil parang dan menyerang ayahnya, sampai ayahnya terjatuh dan sekarang dalam kondisi kritis. Kakaknya pelaku juga ada yang sedang dipenjara karena membunuh istrinya sendiri dalam suatu insiden KDRT. 6 Februari, Lhoksukon, Aceh Utara. Seorang pekerja rumah tangga (PRT) melapor kepada polisi, mengadukan bahwa dirinya telah dipukul oleh majikannya. 20 Februari, Jeumpa, Bireuen. Serambi melaporkan bahwa seorang lelaki berusia 25 tahun menganiaya ibunya sebab ibunya tidak memberinya uang untuk membeli ganja. 7 Februari, Sabang. Serambi melaporkan bahwa seorang ustadz di sebuah pesantren telah ditangkap karena mencabuli sebelas orang murid perempuannya. (Ketua Rabithah Thaliban cabang Aceh kemudian meminta si tersangka dihukum rajam.) 10 Februari, Langsa. Sekitar 20 orang siswa pesantren memukuli dua orang guru mereka. Para pelajar tersebut menutupi muka dengan kain untuk menyembunyikan identitasnya, dan menyerang guru mereka pada tengah malam. Menurut Serambi, para pelajar itu mengeluh pernah dipukulpukul oleh guru mereka.
Masalah lain yang terus-menerus menempatkan perempuan dalam situasi yang berbahaya adalah penangkapan khalwat yang dilakukan secara “main hakim sendiri”. Bulan ini kami mencatat sembilan kasus, dan bisa disyukuri bahwa semuanya terjadi tanpa pemukulan. Tetapi, penangkapan yang dilakukan oleh bukan pihak berwajib ini membuat korbannya, dan secara khusus korban perempuan, rentan terhadap kekerasan fisik maupun seksual. Pada tanggal 30 Januari, seorang tentara yang lagi mengembara di hutan dekat Meulaboh menangkap satu pasangan dengan alasan khalwat. Setelah diserahkan kepada WH, sepertinya salah satu tersangka, seorang gadis pelajar SLTA yang berusia 19 tahun, diperiksa badannya sehingga ditemukan sebuah tanda merah di bagian dadanya – yang kemudian dianggap menjadi bukti pelanggarannya. Pasangan lainnya tertangkap berdua di sebuah gudang di Lhokseumawe pada tanggal 24 Februari kemudian dimandikan oleh “warga” sebelum diserahkan ke polisi. Kalau menghalalkan warga biasa untuk melakukan patroli di tempat-tempat sepi, dan melakukan pengangkapan seperti ini yang termasuk memandikan atau menginspeksi badan para korban, ini membawa resiko yang serius bahwa wewenang itu akan disalahgunakan. Dalam situasi tersebut, perlindungan terhadap perempuan sangat minim, dan resiko pelecehan seksual tinggi sekali. Bahkan penangkapan yang dilakukan oleh WH pun tetap menimbulkan pertanyaan akan hak korban dan prosedur-prosedur yang dijalankan dalam interogasi dan pemeriksaan fisik. Konflik terkait bantuan berlanjut, dan muncul isu keagamaan Program-program bantuan terkait pada 27 dari 118 kasus konflik tingkat lokal bulan ini (lihat Figur 3). Isu utama pada konflik terkait bantuan ini adalah sama dengan yang muncul pada bulan-bulan lalu: masalah dengan kontraktor, lambatnya bantuan, penyeleksian penerima bantuan, dan dugaan korupsi dana bantuan (lihat Figur 4). Beberapa konflik terjadi berkaitan
6
dengan penyaluran dana reintegrasi; seperti disebut di atas, bulan depan kami akan membahas lebih jauh tentang masalah ini. Figur 3: Konflik terkait bantuan per bulan Aid-related Conflicts
Figur 4: Rincian konflik terkait bantuan bulan Februari
Local Level Conflict
140
late aid 26%
120 100
contractor problems 19%
80 60
corruption allegations 11%
selection of recipients 22%
40 20 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr MayJuneJuly Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb 05 MoU 06 07
other 22%
Sejumlah konflik terkait bantuan bulan ini berhubungan dengan agama (lihat Kotak 3). Insideninsiden tersebut merupakan tanda perlunya debat publik lebih banyak tentang isu-isu ekspresi keagamaan di Aceh, dan partisipasi perempuan dalam debat politik dan pembentukan kebijakan. Pada diskusi di International Conference for Aceh and Indian Ocean Studies bulan ini, John Bowen, seorang antropolog yang telah melakukan penelitian di Aceh selama puluhan tahun, membahas masalah identitas Aceh, pada jaman sekarang dengan meningkatnya otonomi maupun keterlibatan pihak-pihak asing. Ia berpendapat bahwa identitas masyarakat Aceh yang inklusif dan toleran akan mendukung perdamaian dan pembangunan, sementara identitas yang didasarkan atas hanya satu agama atau etnisitas bisa menjurus kepada perpecahan dan konflik. Para donor patut mempertimbangkan untuk mendukung forum-forum untuk debat publik atas isu-isu ini, agar penduduk Aceh dapat menentukan cara terbaik untuk mewujudkan aspirasi politik dan keagamaan mereka dengan sekaligus membangun perdamaian berkelanjutan di Aceh yang menghormati hak-hak perempuan dan hak-hak minoritas etnis dan agama. Kotak 3: Konflik terkait keagamaan • Penduduk di Kampung Paya Tumpi I, Aceh Tengah, menuntut agar mess BRR dipindahkan ke tempat lain, sebab para staf BRR tidak menghormati budaya lokal dan syariat Islam. Terutama, perayaan Hari Valentine yang mereka lakukan pada tanggal 13 Februari dianggap telah melecehkan norma budaya serta syariat Islam. Kepala desa melaporkan bahwa ratusan pemuda telah berkumpul di depan rumahnya, bersiap-siap menyerang pesta tersebut, tetapi ia bisa mencegahnya. Pestanya berakhir jam 10.30 tanpa kekerasan. • Ketua MPU meminta pemerintah mengusir LSM-LSM yang berusaha menganggu akidah di Aceh. Ini terjadi setelah beberapa warga di Lemteumen Timur, Banda Aceh, menerima obat yang dicap tulisan ‘Jesus lives’ dari Yayasan Peduli Bangsa. Warga desa mengadukannya kepada Dinas Syariat Islam, dan Serambi melaporkan bahwa ketua YPB beserta dua orang warga negara Amerika telah ditahan di kantor polisi setempat. • DPRD tengah menyelidiki kasus lain yang berkaitan dengan simbol, setelah sejumlah sekolah dasar di Banda Aceh menerima kamus-kamus yang memakai ‘simbol agama tertentu’. Seorang anggota DPRD mengatakan kepada Serambi bahwa bantuan ini, berasal dari LSM internasional, patut dicurigai mempunyai maksud “tertentu”. • Sebuah diskusi panas tentang penerapan syariat Islam di Aceh terjadi pada Konferensi ICAIOS di Banda Aceh pada tanggal 25 Februari. Peserta dari Aceh mempertanyakan penerapan syariat Islam di Aceh, apakah perempuan dilibatkan dalam pembentukan qanun, dan apakah benar seluruh rakyat Aceh menginginkan penerapan syariat Islam itu. Pada hari berikutnya, seorang mantan anggota DPRD mengritik perdebatan tersebut, dengan mengatakan bahwa ia malu melihat rakyat Aceh menunjukkan perselisihan ini di depan orang asing, yang ‘notabene bukan muslim’. Perdebatan itu menunjukkan bahwa ada perbedaan pendapat tentang penerapan syariat Islam di Aceh, bahwa ada para perempuan dengan perasaan kuat yang merasa tidak diikutsertakan dalam diskusi-diskusi seperti ini, dan bahwa perdebatan publik tentang isu-isu tersebut selama ini terasa kurang.
7