Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized
Laporan Pemantauan Konflik di Aceh 1– 31 Oktober 2007 Bank Dunia/DSF Di bulan Oktober, jumlah konflik terus menurun dan angka insiden kekerasan turut berkurang dimana hanya sembilan kasus yang dilaporkan. 1 Hal ini kemungkinan disebabkan karena berkurangnya aktifitas selama minggu terakhir bulan puasa dan liburan Hari Raya Idul Fitri. Meski demikian, beberapa konfik yang tengah terjadi menunjukkan ketegangan yang signifikan. Isu mengenai legalisasi Partai GAM terus berlanjut. Ini memperlihatkan adanya kebutuhan terhadap sebuah kerangka kerja institusi yang tepat untuk menengahi Partai GAM/KPA dengan Jakarta. Insiden baru terkait konflik di tingkat kabupaten menunjukkan bahwa stabilitas politik paskapeperangan di Aceh masih labil. Terutama campur tangan KPA dalam urusan pemerintahan lokal, seperti ketegangan yang terus berlangsung di Bireuen yang kemungkinan akan mengurangi dukungan masyarakat luas yang selama ini dirasakan oleh para mantan kombatan, dan pada gilirannya akan mengancam kohesi sosial. Di Aceh Barat Daya, protes melawan Bupati Akmal Ibrahim semakin membesar, dan dikhawatirkan kebuntuan politik ini akan mengarah ke konfrontasi yang lebih luas. Dukungan kontroverial Gubernur Irwandi Yusuf kepada Abdullah Puteh menimbulkan perselisihan dengan kelompok masyarakat sipil. Terakhir, maklumat yang diumumkan pemerintah pada bulan September untuk menyerahkan senjata ilegal tanpa dikenai sanksi telah berakhir pada 9 Oktober tanpa hasil yang memuaskan.Tidak diragukan bahwa senjata-senjata masih beredar di masyarakat. Namun, hasil yang mengecewakan dari operasi tersebut menyisakan misteri atas jumlah senjata yang masih beredar dan tingkat keterlibatan mantan kombatan dalam kejahatan kriminal. Laporan Pemantauan ini juga memuat analisa kecenderungan dan distribusi geografis kejahatan bersenjata di tahun 2007 yang dibuat berdasarkan data yang diperoleh dari pihak Polda Aceh. Kekerasan terus menurun selama bulan puasa dan libur Lebaran Pada bulan Oktober, jumlah konflik terus menurun dan insiden kekerasan juga berkurang di mana hanya sembilan kasus yang dilaporkan (lihat Figur 1). Hal ini sepertinya diakibatkan karena berkurangnya aktifitas selama minggu terakhir bulan puasa dan libur Hari Raya Idul Fitri. 2 Tidak ada insiden yang mengakibatkan
Figur 1: Insiden kekerasan vs. # total konflik, per bulan Insiden Kekerasan
Jumlah Total Konflik
160 140 120 100 80 60 40 20 0 JanFebMarAprMei Jun Jul Ag SepOktNovDesJanFebMarAprMei Jun Jul Ag SepOktNovDesJanFebMarAprMei Jun Jul Ag SepOkt 05 MoU 06 07
1
Sebagai bagian dari program dukungan analisis bagi proses perdamaian, Program Konflik dan Pengembangan di Bank Dunia Jakarta menggunakan metodologi pemetaan konflik melalui surat kabar untuk merekam dan mengkategorikan semua laporan tentang insiden konflik di Aceh yang diberitakan di dua surat kabar daerah (Serambi and Aceh Kita). Program ini mempublikasikan perkembangan per bulan, sejauh mungkin didukung oleh kunjungan lapangan, yang terangkum dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Laporan Pemantauan bulanan dapat diakses melalui: www.conflictanddevelopment.org. Dataset tersedia bagi mereka yang membutuhkan, dengan menghubungi Blair Palmer di
[email protected] atau Adrian Morel di
[email protected]. terdapat keterbatasan dalam menggunakan surat kabar untuk memetakan konflik; lihat Barron dan Joanne Sharpe (2005) “Counting Conflict: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia”, Indonesian Social Development Paper No. 7. Jakarta: World Bank. 2 Serambi Indonesia tidak terbit selama tiga hari, mulai tanggal 13 s/d 16 Oktober. Hal ini mungkin juga mempengaruhi jumlah kasus yang diberitakan.
1
korban jiwa. Insiden kekerasan paling mendapat perhatian bulan ini adalah kerusuhan massal yang terjadi pada saat pertunjukan kelompok komedi “Empang Breuh” pada 16 Oktober di Aceh Timur. Terdapat indikasi bahwa kerusuhan tersebut dipicu eks-kombatan karena “Empang Breuh” menolak untuk membayar “pajak nanggroe”. Sejumlah insiden yang khas periode Lebaran melibatkan geng-geng anak-anak yang merayakan liburan dengan berkeliaran di jalanan dengan membawa senjata mainan dan batu, serta menyerang kelompok-kelompok saingan dan kendaraan yang lewat. Dua dari insiden-insiden ini mengakibatkan kekerasan antar orang dewasa, satu mengarah ke pertikaian kelompok antara masyarakat di desa yang bersebelahan. Jakarta menolak legalisasi Partai GAM Pada bulan Oktober, pertikaian mengenai legalisasi Partai GAM masih terus berlanjut. Meskipun ini tergolong non-kekerasan, namun konflik ini menggambarkan ketegangan yang berkelanjutan antara GAM/KPA dan Jakarta, serta berpotensi mempengaruhi proses perdamaian. Pada tanggal 1 Oktober, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata mengumumkan kepada Komisi Hukum DPR bahwa dia menolak legalisasi Partai GAM. Menurut Mattalata, Partai GAM, dengan mengunakan nama dan simbol GAM, bertentangan dengan prinsip Nota Kesepahaman Helsinki (MoU) dan UURI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) serta menjadi ancaman terhadap kesatuan Republik Indonesia. Pernyataan-pernyataan ini memancing protes dari Partai GAM dan KPA yang menekankan bahwa pengumuman itu terlalu dini. Kantor Wilayah Hukum dan HAM Aceh yang memiliki wewenang atas legalisasi partai lokal, sampai sekarang belum mengambil keputusan resmi dan tidak dimintai pendapat sebelumnya oleh Mattalata. Membuat keputusan akan menjadi sebuah tugas sensitif bagi Kanwil Hukum dan HAM, akibat MoU dan UU-PA tidak menepatkan dengan jelas apakah penggunaan nama dan emblem GAM merupakan sebuah pelanggaran dari perjanjian yang sudah ada (lihat Kotak 1). Baik Partai GAM maupun pemerintah pusat akan rugi jika tidak menemukan jalan keluar dari jalan buntu ini. Menolak hak GAM untuk mengekspresikan diri dengan cara-cara yang demokratis akan menjadi gangguan besar dalam proses perdamaian. Pada saat yang sama, Partai GAM juga tidak bisa kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum mendatang. Kenyataan ini mempertegas kurangnya badan yang tepat untuk memfasilitasi penyelesaian perselisihan pasca-MoU antara pihak-pihak yang dulunya bertikai.3
Kotak 1: Syarat-syarat pengunaan lambang oleh partai lokal menurut Nota Kesepahaman dan UURI Nomor 11 Tahun 2006 (LoGA) Pasal 82 UURI Nomor 11 Tahun 2006 dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Partai Politik Lokal di Aceh hanya melarang partai lokal untuk menggunakan lambang yang mempunyai persamaan dengan lambang negara, lambang pemerintah, lambang daerah atau lambang partai politik lain. Nota Kesepahaman (Pasal 4.2) melarang anggota GAM untuk “memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer”. Meski demikian, apakah bendera GAM adalah simbol militer tidak ditentukan dalam Nota. Maka perselisihan tentang simbol juga menunjukkan perbedaan interpretasi Nota Kesepahaman di antara Jakarta dan GAM.
Isu mengenai Partai GAM juga menunjukkan semakin tingginya perpecahan didalam jajaran GAM. Penggunaan simbol GAM adalah bagian dari strategi Malik Mahmud dan pimpinan gerakan itu untuk menghadirkan keutuhan dukungan GAM pada pemilihan legislatif 2009 mendatang. Meskipun Partai GAM mendapat keuntungan dari jaringan mobilisasi yang luas milik KPA, namun partai lain mungkin akan mengambil 3
FKK (Forum Komunikasi dan Koordinasi) didirikan pada 18 April tahun ini untuk memenuhi kekosongan posisi yang ditinggalkan oleh Aceh Monitoring Mission (AMM). Meskipun Forum berhasil menangani beberapa insiden spesifik, tetapi mandat serta kapasitasnya sangat terbatas untuk dapat menengahi antara pemerintah dan GAM dalam isu-isu yang lebih luas
2
konstituen GAM juga. Gabhat, sebuah koalisi tokoh-tokoh ulama GAM yang dipimpin oleh Abi Lampisang, baru berhasil mengumpulkan pendukung yang terbatas. Di lain pihak, sebuah partai yang baru dibentuk, Partai SIRA, 4 kemungkinan dipimpin oleh Wakil Gubernur Muhammad Nazar, tampaknya akan menandai kegagalan usaha beberapa “GAM muda”, termasuk Irwandi Yusuf, Amni Marzuki, dan Sofyan Dawood, untuk menjembatani celah antara generasi tua dan muda dalam gerakan itu, dan kegagalan membentuk front persatuan dalam masa pemilu mendatang. Persaingan antara GAM dan SIRA tampaknya akan cenderung menambah ketegangan dan memperbesar perpecahan di jajaran GAM. Kotak 2 mengulas informasi lebih luas mengenai partai-partai politik lokal di Aceh. Kotak 2: Partai politik lokal Aceh • UU-PA memperbolehkan pembentukan partai politik lokal untuk mengikut pemilu legislatif 2009. Partai lokal harus mendaftar ke Kanwil Hukum dan HAM Aceh sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk memverifikasi bahwa mereka sudah memenuhi persyaratan, seperti yang dinyatakan dalam pasal 75 hingga 95 UU-PA dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 20 Tahun 2007. • Persyaratan utamanya adalah bahwa partai lokal harus memiliki kantor perwakilan di sedikitnya 50% kabupaten di Aceh, 25% di kecamatan dalam kabupaten-kabupaten itu, serta sedikitnya 30% perwakilannya adalah perempuan. • Undang-Undang menetapkan bahwa proses verifikasi harus dimulai tidak lebih dari 30 hari setelah pendaftaran. Sejauh ini sudah terjadi keterlambatan, terutama karena Kanwil Hukum dan HAM tidak dialokasikan dana untuk tahun 2007. BRR menawarkan diri untuk memberikan dana. Tabel 1: Partai politik lokal Aceh (sampai dengan Oktober 2007) Nama Pemimpin Keterangan Partai yang telah mendaftar ke kantor Dinas Hukum dan HAM hingga Oktober 2007 Berafiliasi dengan GAM. Mendapat dukungan dari Partai GAM Malik Mahmud KPA Partai Gabthat Abi Lampisang Koalisi tokoh-tokoh ulama GAM Partai Aliansi Rakyat Kelompok Masyarakat Sipil / Advokasi hak Aceh Peduli Perempuan Zulhafah Luthfi perempuan (PARA) Partai Rakyat Aceh Aguswandi Kelompok masyarakat sipil (PRA) Partai Serambi Persada Nusantara Serikat (PSPNS) Partai Darussalam Hasbi Bustamam Partai yang belum mendaftar Partai Aceh Aman Ghazali Abbas Adan Partai Islam Sejahtera (PAAS) Mengadvokasi pembentukan propinsi baru yang Partai Aceh Leuser Iwan Gayo terdiri dari kabupaten bener Meriah, Aceh Tengah, Antara (PALA) Gayo Lues, dan Aceh Tenggara. Partai lain: PESAD, PIAN, PPRN, PADAN, Partai Lokal Aceh Organisasi yang telah menyatakan niatnya untuk membentuk partai politik Kemungkinan dipimpin Koalisi yang dipimpin mahasiswa, dibentuk pada SIRA oleh Wakil Gubernur 1999 untuk mengadvokasi organisasi referendum Muhammad Nazar tentang kemerdekaan di Aceh Gerakan santri yang didukung oleh HUDA, sebuah Rabithah Thaliban jaringan 300 pesantren. Beberapa isu mungkin menimbulkan ketegangan antar partai: • Kompetisi antar partai yang berafiliasi GAM: kompetisi antara Partai GAM, Gabthat dan SIRA untuk memenangkan suara mungkin akan menambah perpecahan dengan jajaran mantan separatis. 4
SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) adalah sebuah koalisi mahasiswa yang dibentuk pada 1999 untuk mengadvokasi penyelenggarahan referendum tentang kemerdekaan di Aceh.
3
• •
Pandangan terhadap hukum Islam: Gabthat, PAAS, dan Rhabithah Talibhan mendukung implementasi syariah Islam yang lebih kuat di Aceh, sementara Partai GAM cenderung lebih pada sekuler Aceh. Perbedaan geografis dan etnis: PALA, dipimpin dari Jakarta oleh Iwan Gayo, mendukung pemekaran kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara dari provinsi NAD untuk membentuk sebuah propinsi baru. (memudahkan akses bagi daerah-daerah yang terisolasi ini ke pelayanan publik), proyek ini tampaknya akan menuai kontroversi. Selama konflik, Jakarta mendukung pemecahan sebagai bagian dari strategi untuk melemahkan GAM. Hal ini juga berpotensi mempertajam ketegangan antar-suku di daerah tersebut.
Konflik politik tingkat kabupaten berlanjut Pada bulan Oktober, stabilitas politik di Bireuen dan Aceh Barat Daya mendapat tantangan dengan adanya beberapa insiden. Laporan Pemantauan bulan September membahas penyerangan terhadap Wakil Bupati Bireuen Busmadar Ismail, dan ketegangan antara KPA lokal dan Bupati Nurdin Abdul Rahman mengenai pengangkatan Nasrullah Muhammad sebagai Sekretaris Daerah (Sekda). Penunjukan Nasrullah oleh Bupati Nurdin melawan permintaan dari hirarki KPA yang menginginkan posisi itu diberikan kepada Azhari Usman. Pada 3 Oktober, terjadi insiden ketika penyerang tak dikenal melempar batu ke arah konvoi yang dipimpin oleh Azhari Usman, di kecamatan Juli, Bireuen bagian timur. Tidak ada informasi yang cukup untuk mengkonfirmasi apakah insiden ini adalah serangan balas dendam oleh pendukung Nurdin atau Busmadar. Meski demikian, hal ini mempertegas adanya ketegangan di Bireuen. Afiliasi daerah memang memainkan peran dalam pertikaian ini, sebagaimana elemen-elemen dari Bireuen bagian barat yang dominan dalam kepemimpinan KPA,5 sedangkan Nurdin dan Busmadar keduanya berasal dari bagian timur kabupaten tersebut. Namun demikian, isu utamanya adalah ketidakpuasan KPA dengan tingkat keterlibatan mereka dalam menangani urusan pemerintahan di kabupaten. Pemimpin KPA bersikeras agar keputusan pemerintah, termasuk pemilihan posisi jabatan penting, seperti sekda dan kepala dinas, harus diputuskan melalui proses konsultasi yang melibatkan organisasi tersebut. Gugatan yang sama dari KPA juga sering terdengar di kabupaten lain yang dipimpin oleh GAM. Meski Bupati-Bupati sampai sekarang masih dapat menanganinya, tekanan-tekanan tersebut benar-benar menghambati pemerintahan yang baik, dan bahkan kemungkinan akan mengurangimenggerogoti dukungan masyarakat yang selama ini dirasakan oleh para mantan kombatan. Di Aceh Barat Daya (Abdya), protes melawan Bupati Akmal Ibrahim semakin membesar. Pada tanggal 5 Oktober, 22 dari 25 anggota DPRK menandatangani mosi tidak percaya kepada Ketua DPRK, H. Said Syamsul Bahri. Lawan Akmal telah memberi isyarat bahwa mosi tidak percaya adalah manuver yang dibuat Bupati untuk menghalangi investigasi DPRK terhadap 208 proyek yang dicurigai dilakukan dalam kepemimpinannya tanpa melalui proses tender. Pada 29 Oktober, kelompok kontraktor yang menamai diri mereka “Kelompok 59” memblokade jalan ke DPRK selama empat hari tiga malam. Kelompok yang sebagian besar terdiri dari mantan kombatan itu menuntut investigasi dilanjutkan. Sementara ini, musuhmusuh kuat Akmal secara terpisah membangun kekuatan untuk menggeser Akmal dari posisinya. Seperti Mantan Panglima GAM Nasir Alue yang telah mendukung kampanye Akmal dengan syarat Akmal menghadiahinya kursi di DPRK dan dengan mendukung pembentukan Partai GAM. Begitu juga Rafli Aris, seorang usahawan dengan koneksi militer, meminjamkan dana Rp. 4 miliar (US$ 440,000) kepada Akmal, yang kemudian gagal melunasinya. Bulan Oktober, Rafli melakukan lobi intensif di Banda Aceh dan Abdya dalam rangka mempersiapkan demonstrasi massal anti-Akmal yang dijadwalkan berlangsung pada awal November. Konfrontasi agaknya tidak bisa dihindari, dan mungkin akan mengarah pada kekerasan antar pendukung. Perkembangan terbaru mengenai situasi di Abdya akan menjadi fokus Laporan Pemantauan bulan November. Sebagai informasi studi Bank Dunia mengenai
5
Tgk Dedi, ketua KPA Bireuen saat ini, dan pendahulunya, Darwis Jeunib, keduanya lawan utama Nurdin, berasal dari Bireuen bagian barat.
4
pilkada 2006 dan dunia politik di Aceh pasca-Pilkada, termasuk analisa konflik-konflik yang dibahas disini, akan beredar awal tahun depan. Dukungan Irwandi Yusuf kepada Abdullah Puteh menimbulkan pertikaian dengan masyrakat sipil Pada 31 Oktober, GeRAK (Gerakan Rakyat Anti Korupsi) membocorkan kepada media sebuah salinan surat yang dikirim oleh Irwandi yusuf kepada Presiden Yudhoyono yang meminta pengampunan untuk Abdullah Puteh, mantan gubernur Aceh. Puteh saat ini sedang menjalani hukuman sepuluh tahun penjara atas tindak pidana korupsi. Irwandi bereaksi sangat emosional atas bocornya surat tersebut dan protes yang dilakukan oleh kelompok masyarakat. sipil. Secara pribadi ia memanggil beberapa penandatangan petisi yang dipimpin oleh GeRAK, dan menuduh mereka bertindak tidak bertanggung jawab. Ibrahim KBS, atas nama KPA, menuduh kelompok masyarakat sipil sebagai “perusak perdamaian”, dan menyebutnya sebagai “konspirasi untuk menggerogoti legitimasi” kepemimpinan Irwandi-Nazar pada saat keduanya “lebih butuh dukungan dari pada kritik”. Pertimbangan politik tampaknya sedang dipertaruhkan dalam dukungan Irwandi kepada Puteh. Sebagai seorang tokoh dari partai Golkar dengan koneksi luas di Jakarta dan Aceh, Puteh bisa membantu menbangun dukungan untuk pemerintah propinsi. Apapun alasan dibalik keputusan Irwandi, kasus ini menunjukkan bagaimana pembukaan ruang untuk debat publik dan demokrasi di Aceh masih menghadapi tantangan. Seperti telah diperdepatkan dalam Laporan-Laporan sebelumnya, perkembangan positif ini masih rentan dan bergantung kepada kapasitas pemerintah lokal untuk menggandeng masyarakat sipil secara konstruktif. Reaksi Gubernur Irwandi dan KPA dalam kontroversi Puteh bisa dilihat sebagai sebuah kemunduran yang signifikan. Kriminalitas: upaya Pemerintah untuk mengumpulkan senjata ilegal berakhir dengan hasil yang tidak memuaskan Maklumat yang diumumkan bulan lalu oleh pemerintah Aceh untuk menyerahkan senjata ilegal tanpa dikenai sanksi berakhir pada tanggal 9 Oktober dengan hasil yang tidak memuaskan. Menurut polisi, hanya 35 senjata dan beberapa peledak yang diserahkan. Semua senjata adalah senjata rakitan, beberapa diantaranya tidak lebih dari senapan angin yang dimodifikasi untuk mirip seperti AK-47. Lebih jauh, sebagian besar senjata (28) tersebut diserahkan oleh penduduk desa biasa di Aceh Tengah dan Bener Meriah, dua kabupaten yang memiliki catatan kriminal rendah (lihat seksi tentang kriminalitas bersenjata di tahun 2007 di bawah ini dan peta di annex). Panen yang diharapkan berupa senjata tipe militer di daerah yang memiliki catatan kriminal tinggi, seperti di Aceh Timur, justru tidak terjadi. Operasi sweeping intensif yang direncanakan oleh Kotak 3: Perampokan bersenpi di bulan Oktober polisi dan militer setelah berakhirnya Enam kasus perampokan bersenjata api dilaporkan di periode damai, ternyata hanya terjadi bulan Oktober, termasuk satu kasus di mana sasaran dalam skala kecil dan tidak memberikan 6 aksi kejahatan tersebut adalah LSM internasional. hasil yang lebih baik. Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) menyesalkan hasil yang mengecewakan dari operasi tersebut. Forum juga menyuarakan keprihatinan mereka atas adanya indikasi bahwa banyak senjata masih dipasok ke Aceh setelah penghancuran (decomissioning) senjata GAM pada tahun 2005 lalu dan bahwa “beberapa pemilik senjata api masih kurang
Pada tanggal 29 Oktober, sekitar sepuluh OTK bersenjata api laras panjang menyerang kompleks LSM Medair dekat Calang, Aceh Jaya, dan dapat melarikan diri dengan peti besi. Tidak ada korban mati maupun luka. Ini kasus ketiga sejak tsunami di mana LSM internasional menjadi sasaran aksi perampokan bersenpi, setelah perampokan kantor Aksi Melawan Kelaparan (ACF) di Teunom, Aceh Jaya, pada tanggal 26 Januari 2007, dan pencurian dengan kekerasan mobil milik LSM Cardi di Sawang, Aceh Utara, pada tanggal 23 Mei 2007.
6
Di akhir bulan ini, menurut polisi beberapa senjata yang dikumpulkan mencapai 62 senjata api dan peledak. Hampir seluruhnya adalah senjata rakitan.
5
percaya kepada proses perdamaian sehingga tidak rela menyerahkan senjata mereka”. Polisi menyangkal adanya indikasi bahwa senjata dipasok dari luar. 7 Lagipula, KPA bersikukuh bahwa GAM sudah menyerahkan semua senjatanya setelah MoU dan anggotanya masih berkomitmen penuh terhadap proses perdamaian. Tidak dapat diragukan bahwa senjata-senjata masih beredar. Namun demikian, jumlah dan tingkat keterlibatan mantan kombatan dalam kejahatan bersenjata masih sulit untuk dikaji. Hanya sedikit kasus kriminal yang terbukti dilakukan oleh mantan kombatan, dan sebagian besar dilakukan oleh “GAM liar” yang bukan anggota KPA. Lagipula, tingginya angka kriminalitas di pesisir timur mungkin lebih berkaitan dengan arus lalu lintas perdagangan/bisnis di jalan Banda Aceh-Medan dibandingkan sejarah konflik di daerah tersebut. Menurut pendapat beberapa pihak, ada kemungkinan juga isu tentang beredarnya senjata ilegal dibesarkan menjadi alasan untuk menambah personil satuan keamanan di Aceh. Kejahatan bersenjata di tahun 2007 Figur 2: Kejahatan bersenjata di Aceh mulai Jan s/d Okt 07 Figur 2 menunjukkan nilai Curas Bersenjata Api (# Kasus) Kejahatan Bersenpi Lain (# Kasus) jumlah kasus perampokan 14 bersenjata dan jenis kejahatan 12 bersenjata api lain di tahun 2007, 10 berdasarkan data yang disediakan 8 8 Biro Operasi Polda Aceh. Jenis 6 kejahatan bersenjata api lain 4 termasuk penembakan dan 2 pelemparan granat (kekerasan 0 politik dan pelemparan granat Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sept Okt yang terjadi bulan April hingga Juli setidaknya menjelaskan tingginya angka kasus selama periode tersebut). Jumlah perampokan bersenjata tetap relatif stabel sejak bulan Maret, dengan jumlah kasus di antara empat hingga enam per bulan. Meskipun nilai kekerasan di tahun 2007 jelas lebih tinggi daripada tahun 2006 (lihat Figur 1), Figur 2 tidak mendukung tuduhan bahwa kejahatan bersenjata terus meningkat sepanjang tahun 2007. Figur 2 juga menunjukkan bahwa tindakan polisi untuk mengumpulkan senjata ilegal tampaknya belum berhasil mengurangi aktifitas kriminal. Peta yang terlampir di Laporan ini (halaman 7) menunjukkan penyebaran geografis kasus-kasus kejahatan bersenjata. Sebagian besar insiden terdapat di pesisir timur di sepanjang jalan Banda Aceh-Medan. Menurut catatan polisi, sejauh ini Aceh Timur memiliki catatan kriminal bersenjata paling buruk, dengan 36% dari jumlah kasus yang terjadi di Aceh tahun ini (29 dari 80). Hampir 50% dari kasus di Aceh Timur (14) terjadi di segitiga kecamatan Peureulak, Peureulak Barat, dan Rantau Peureulak.
7
Tetapi dalam sebuah wawancara dengan ICG bulan September, Pangdam Aceh Mayjend Supiasin mengatakan bahwa ada senjata yang diselundupkan ke Aceh dari Thailand dan daerah lain di Indonesia. International Crisis Group (2007), Asia Report No. 139, Aceh : Post-Conflict Complications. 8 Catat bahwa hanya tersedia data mengenai perampokan bersenjata untuk September dan Oktober. Lebih lanjut lagi,data bulan Oktober juga kurang lengkap. Polisi mencatat hanya ada empat perampokan bulan itu, sementara ada enam kasus yang diberitakan di surat kabar.
6
7