KANUN JURNAL ILMU HUKUM
Nomor Tahun Desember
58 XIV
2012
Dr. I1yas Ismail, S.H., M.Hum Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan tanah
357
ECendi, S.H., M.Si Penerapan Prinsip Pengo[olaan Lingknngan Hidup Da[am Peraturan Perundang-Undangan Bidang Sumberdaya Alam (Studi Dari PerspektiC Politik Pembangunan Hukum)
369
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H. Revitalisasi Cunsi SDM Polri Dan Anggaran Polri Menuju Kemandirian dan ProCesionalisme Polri
385
Nellyana Rossa, S.H., LL.M dan M. Putra Iqkbal, S.H., LL.M.
Prinsip Pencegahan Dalam Hubungannya Dengan Prinsip Kebebasan
: Berlayar Di Wilayah Selat
340
Cut Era Fitriyeni, S.H., M.Kn .
Tanggung Jawab Notaris Terhadap Penyimpanan Minuta Akta Sebagai
Bagian Dari Protokol Notaris
412
NurhafiCah, S.H., LL.M.
Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika
(Knjian Putusan Nomor 118IPid.B/2010IPN.TTN)
427
Kurniawan, S.H., LL.m.
Dinamika Formalisasi Syari'at Islam Di Indonesia
444
Sulaiman, S.H., M.H.
Pembentukan Reusam Gampong Di Kecamatan Panteraja Kabupaten
Pidie Jaya
469
Nuribadah, S.H., M.Hum.
Implementasi kebijakan dan strategi Pelestarian Kawasan Ekosistem
Leuser Provinsi Aceh Sebagai Kawasan Strategi NasionaI
483
M. Zuhri, M.Hum Aspek Hukum Perencanaan Tata Ruang kawasan perkotaan di indonesia
503
ii
KANUN No. 58 Edis/ Desember 2012
,
,
h I' it
:-;,
iI .~
~.
,i
',~, ','
lIyas Ismail, Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
PEMBATASAN LUAS MAKSIMUM PENGUASAAN TANAH (Maximum Wide Limit Of Owning Land) Oleh: I1yas Ismain ABSTRACT
Kata Kunci: Pembatasan Luas, Penguasaan Tanah This article is aimed to explore the rules relating to the limit of maximum land wide owning in terms of balancing land owning fairly. In regard with such purpose, the study on rules and experts perspective is conducted. The findings are that although there are rules regulate the limit ofthe land owningfor agriculture, the rules are providing the chance for imbalance owning that has been put under personal title right and for the corporation with exploration rights. The rule on the limit for buildings is limited to title right for home, and it is based on the minister decree. The rules are tend to imbalance the owning of the land and dif.ficult to fulfill fair ownership. Thus, it is required for the rule regulating the maximum limit of the land either for agriculture or building by looking at the availability and need ofit for several necessary. A. PENDAHULUAN Suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa di satu sisi luas tanah tidak bertambah bahkan cenderung berkurang akibat berbagai macam peristiwa alam tetapi disisi lain kebutuhan tanah semakin bertambah seiring bertambahnya jurnlah penduduk. Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang biasa disebut juga Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memberikan arahan penguasaan dan penggunaan tanah yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan. Oleh karena sebagaian besar penduduk Indonesia adalah petani maka salah satu tujuan pokok yang ingin capai melalui UUPA pada saat itu adalah meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukurn agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
Sejalan dengan tujuan
pokok tersebut melarang penguasaan dan penggunaan tanah yang melampaui • DR. I1yas Ismail, S.H., M.Hum. adalah Dosen Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Syiab Kuala, Banda Aceb. [(ANUN No. 58 Edlsl Desember 2012 357
lIyas Ismail, Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
batas, dan bagi yang menguasai tallah melebihi batas maksimum maka kelebihan tanah tersebut diambil oleh negara untuk kemudian di bagi-bagikan kepada orang yang tidak mempunyai tanah atau yang mempunyai tanah dengan luas yang terbatas dan kepada bekas pemilik yang tanahnya diambil oleh negara diberikan ganti kerugian. Pada saat itu yang telah ditetapkan batas maksimumnya hanya terhadap tanah pertanian. Penetapan luas maksimum penguasaan tanah pertanian ternyata tidak mampu terdistribusinya tanah-tanah pertanian secara berkeadilan bahkan cenderung menumpuknya tanah pertanian pada suatu subjek tertentu karena memang ada pengecualian diberikan ketentuan perundang-undangan. Di samping itu semakin meningkatnya
nilai
ekonomis
tanah
mengkibatkan
semakin
tajarnmya
kesenjangan sosial antara mereka yang merr:punyai akses yang memungkinkan penguasaan tanah- tanah bangunan yang melampaui batas kewajaran dihadapkan dengan mereka yang paling membutuhkan tanah, namun tidak mempunyai akses untuk mempunyainya. 1 Sehubungan dengan hal tersebut urgen untuk ditelaah kembali ketentuan perundangan yang mengatur batas luas maksimimun penguasaan tanah pertanian dan pentingnya penetapan luas batas maksimun penguasaan tanah bangunan. Untuk membahas permasalahan tersebut dilakukan telaahan terhadap data sekunder berupa ketentuan perundang-undangan dan literatur yang terkait.
B. BATAS MAKSIMUM PENGUASAAN TANAH PERTANIAN Salah satu tujuan dilahirkan UUPA adalah dimaksudkan untuk meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai itu maka dalam batang tubuh UUPA ditetapkan beberapa ketentuan' dasar yang dipandang dapat memfasilitasi tercapainya tujuan UUPA. Ketentuan tersebut antara lain sebagaimana terdapat I Maria SW. Sumardjono, 2008, Tanah Da/am Perspekti[ Hak Ekonomi. 80siol dan Eudayo, Penerbit Buku Kompas, him. 11. 358 KANUN No. 58 Edlsi Desember 2012
il'\
1:L:::===......._iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii-ii--iiiiiiiiijiiiiiijiiiii.....
!
i~iif H::
Ille'I'.
IIr :ll';;: rt,I,f1.
j' ;~
.rl. '.
I,
'I' I
i
l~~ :
1:1;
! ':1: I· j~ 'f I i i ; i) i·j ;·1.i( I
Ii;;
[i ; ,
.:'. . ' '. '~I
'.;i'. ", i"
~
.,
! ,;
.;~
lIyas Ismail, Pembalasan luas Maksimum Penguasaan Tanah
dalam Pasa! 7 UUPA yang menyebutkan "untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui balas tidak diperkenankan". Lebih lanjut da!am Pasal 17 ayat (I) UUPA pada intinya disebutkan bahwa untuk meneapai sebesar besar kemakmuran rakyat diatur luas maksimum danlatau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau badan hukum. Pengaturan mengenai batas maksimum khusus tanah pertanian kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 56/PRPlTahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU 56/1960). Dalam Pasal I ayat (2) UU
56 /1960
disebutkan bahwa penetapan luas maksimun tanah pertanian yang dapat dipunyai oleh seseorang atau satu keluarga ditentukan oleh tingkat kepadatan penduduk dan luas suatu daerah, dan rentangnya antara 5 (lima) hektar sampai dengan 15 (lima belas) hektar untuk tanah sawah atau 6 (enam) hektar sampai dengan 20 (dua puluh) hektar untuk tanah kering atau akumulasi keduanya yang seluruhnya tidak melebihi 20 (dua puluh) hektar. Namun demikian dalam Pasal 2 ayat ((I) disebutkan bahwa dengan memperhatikan keadaan yang sangat khusus Menteri dapat menambah luas maksimum tersebut paling banyak menjadi 25 (dua puluh lima) hektar. Keadaan yang sangat khusus tersebut antara lain misalnya tanahnya sangat tandus danjumlah anggota keluarganya sangat besar.
2
Lebih lanjut dalam Pasa! 2 ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan luas maksimum tersebul tidak berlaku terhadap tanah pertanian; (a) yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari pemerintah, (b) yang dikuasai oleh badan-badan hukurn. Paling tidak ada tiga hal yang dapat dieermati dari aturan tersebut.
Pertama, bahwa penelapan batas maksimum penguasaan tanah pertanian merupakan hal mutlak yang harns dilakukan sebagai prasyarat untuk terwujudnya sebesar besar kemakmuran rakyat khususnya rakyat tani. Adanya indikasi ketimpangan penguasan tanah, sebagaian kecil orang yang menguasai sebagaian besar tanah dan sebagian besar orang menguasai sebagian keeil tanah. Hanya 1 Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria. isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, him. 75. KANUN No. 58 Edisl Desember 2012 359
lIyas Ismail, Pembatasan luas Maksimum Penguasaan Tanah
0,2% penduduk Indonesia mengusai 56% asset nasional yang sebagian besamya dalam bentuk tanah, namun dipihak lain paling tidak pada periode 1993 - 2003 jumlah petani gurem bertambah dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang? Kedua, batas maksimum yang ditetapkan dalam UU 56/1960 tidak cocok lagi untuk kondisi sekarang, jumlah penduduk sekarang sudah lebih dari dua kali lipat dibandingkan pada tahun 1960, disamping itu luasan tanah pertanian cenderung berkurang akibat peristiwa alam dan alih fungsi lahan. Paling tidak tiap tahun 100.000 hektar lahan pertanian produktif beralih fungsi, terutama sawah di Pulau 4
Jawa untuk berbagai keperluan, terrnasuk untuk industri. Kondisi ini tentu akan semakin sempitnya lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan petani untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Bahkan menurut Nurhasan Ismail 5
pembatasan luas maksimurn yang
ditentukan dalam UU 56/1960 yang didasarkan pada beberapa variabel sehingga menghasilkan batas maksimum yang sangat variatif tersebut cenderung telah membuka peluang kepada petani kaya untuk tetap memepertahankan pernilikan tanah yang luas. Hal tersebut dapat dicerrnati dari hal-hal sebagai berikut;6 (1) luas tanah yang ditetapkan sebagai batas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian masih coop tinggi dibandingkan dengan rata-rata luas penguasaan tanah mayoritas petani, yaitu kurang dari 0,5 hektar dan bahkan terdapat petani yang tidak bertanah dalam jumlah yang cukup besar yaitu 60% dari seluruh petani yang ada. Penetapan batas maksimum seluas 5 (lima) hektar sawah atau 6 (enam) hektar tegalan di daerah yang sangat padat seperti di jawa masih 10 (sepuluh) kali lipat dibandingan dengan rata-rata luas pemilikan tanah yang ada; (2) penempatan faktor tingkat kepadatan penduduk per-kabupaten sebagai dasar penentuan untuk menentukan luas maksimum menunjukkan adanya pertiIilbangan yang rasional tetapi didalamnya terkandung pemberian perlindungan kepada kelompok petani
J Surat Kabar Harian Kampas, Kelimpangan Penguasaan Lahan Menjadi Persoalan, 6 Januari
2012.
4 Surat Kabar Harian Kampas, Kepastian Lahan Induslri, 24 Juli 2012
, Nurhasan Ismail, 2007, Perkembangan Hukllm Perlanahan, Pendekalan Ekanomi Polilik,
(Perobahan Pilihan Kepenlingan, Nilai Sosial dan Kelompok Diuntungkan), HuMa, Jakarta, hIm.
184. , Nurhasan Ismail, ibid., him 186-190
360
,
KANUN No. 58 Edis; Desember 2012
"
,;..,; ., >.'i\li
H;;,~
I! iii
J.
f:I'
. :. ~: : I',~. 1*i,n,' ,! I, 1'~" "t· fl, I ,I:~
. ;1'
: :1:
'I·
I:
I: t ·
..J I "il i
,i1
1:\ , ,j"
< ,
.;.::
,'II ii t '. ". ,'I 1i )
'(' if
•
lIyas Ismail, Pembalasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
kaya untuk tetap dapat menguasai dan memiliki tanah yang luas. Karena, di satu sisi realitanya tidak semua tanah yang ada dalam suatu kabupaten dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian namun di sisi lain tanah-tanah pertanian yang subur dan luas telah terlebih dahulu dimiliki oleh petani kaya. Karena itu pula seharusnya batas maksimum ditetapkan berdasarkan luas tanah yang secara potensial dapat digunakan untuk. usaha pertanian bukan didasarkan pada seluruh luas tanah yang terdapat disetiap kabupaten; (3) faktor jumlah anggota keluarga sejumlah 7 (tujuh) orang dan dimungkinkan penambahan luas tanah 10% setiap penambahan anggota keluarga sampai batas maksimum 20 (dua puluh) hektar bahkan atas pertimbangan Menteri memungkinkan penambahan 5 (lima) hektar dari batas maksimum tersebut, cenderung menguntungkan petani kaya dan sekaligus menguarangi potensi luas tanah yang dapat diambil alih oleh negara untuk diredistribusikan kepada petani miskin. Menurut Erman Rajagukguk.7 batas maksimum penguasaan tanah di Indonesia tinggi dibandingkan dengan di Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan pada waktu negara-negara tersebut melaksanakan program landreform, karena itu batas maksimum penguasaan tanah di Jawa harus dikurangi menjadi dua hektar, sehingga diperoleh tambahan tanah untuk dibagikan kembali para petani yang tidak mempunyai tanah. Ketiga,
pengecualian berlakunya batas maksimun tanah pertanian bagi
Hak Guna Usaha (HGU) terutama yang dikuasai oleh badan hukum cenderung semakin tef\Umpuknya tanah pada perusahaan-perusahan perkebunan. Pemberian HGU dengan luasan yang relatif tidak terbatas telah
membatasi peluang
pemanfaatan tanah petanian oleh petani setempat, bahkan terdapat indikasi juga bahwa tanah-tanah yang digarap oleh petani setempat berdasarkan hukum adat cenderung dianggap oleh pemerintah sebagai tanah negara untuk kemudian diberikan HGU kepada perusahaan perkebunan, disamping itu terdapat juga indikasi penggarapan rakyat atas tanah HGU perkebunan yang tidak diuasahakan. Disadari atau tidak kondisi tersebut telah menimbulkan konflik antara perusahaan
Erman Rajagukguk, Reforma Agraria dan Ketahanan Pangan, Makalah disampaikan pada
Konferensi Inlemasional "Regulatory Reform On Indonesian Land Laws For People's Welfare",
KerjasanFHUldanBPNRI,Jakarta, II Desember2012,hlm.19.
KANUN No. 58 Ed/slDesember 2012 361
7
lIyas Ismail, Pembalasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
II'
perkebunan dengan warga setempat yang tidak hanya menimbulkan kerugian
d
materiillharta benda tetapi juga menimbulkan korban jiwa. Pada tahun 2011
S
Konsorsium PembOOarauan Agraria meneatat bahwa konflik agraria melibatkan
k
69.975 keluarga di seluruh Indonesia yang bersengketa alas 476.048 hektar IOOan
n
dan menimbulkan korbanjiwa sejumlOO 22 (dua puluh dua) orang. 8
Sl
Adanya pengeeualian terhadap tanOO-tanOO pertanian yang dikuasai
b
dengan status HGU danlatau yang dukuasai oleh badan hukum mengindikasikan
h
bOOwa pembentuk undang-undang mengabaikan substansi PasaJ 33 ayat (3) UUD
y
1945 yang menyebutkan "bumi dan air dan kekayaan aJam yang terkandung di
d
daJarnnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar
b
kemakmuran rakyat". Tentu sulit untuk dapat terwujudnya sebesara-besar kemakmuran rakyat apabila sebagian besar rakyat tani Indonesia hanya menguasai
l'
IOOan daJam luasan yang sangat keeil sedangkan penguasaan IOOan yang sangat
p
luas berada pada sebagian keeil orang. Apapun pertimbangannya
telOO
3
berimplikasi pada ketimpangan penguasaan tanah. Perlakuan khusus dan
p
berlebihan kepada perusOOaan perkebunan yang menguasai tanOO dengan HGU
Y
dengan luasan yang reltif tidak terbatas te100 meneederai semangat program
J
landreform sebagaimana diamanatkan daJam UUPA yang pada intinya
n
menginginkan adanya pemerataan penguasaan tanOO seeara berkeadilan. Karena' itu menjadi tidak sejaJan, apabila di satu sisi ada undang-undang yang membatasi
d
penguasaan tanOO oleh perorangan tetapi di sisi lain tidak mempunyai undang
J
undang yang mengatur pembatasan penguasaan perusOOaan atas tanah pertanian
I
termasuk HGU. 9
d
Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 40 TOOun 1996 Tentang
u
Hak Guna UsOOa, Hak Guna Banguan dan Hak Pakai Atas TanOO (pP 40/1996),
I
pembatasan luas maksimum penguasaan tanOO dengan HGU hanya ditentukan
I
terhadap penguasaan tanOO oleh perorangan, yaitu sebagaimana ditentukan daJam
2
PasaJ 5 ayat (2) PP 40/1996 yang 'menyebutkan bahwa luas maksimum tanOO yang
~
I
1
• Sural Kabar Harlan Kompas, Sengketa Lahan Dibiarkan, 29 Mei 2012.
9 Badan Pertanahan Nasional, 2009, Himpunan Pidato Kepala Badan Pertanahon Nasional RI
2009, Pusat Hukum dan HUbungan Masyarakal BPN RI, him. 112.
362 KANUN No. 58 Edlsl Desemher 2012
s I
~'·Fiiiioiii_----_lllliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii •Ii•'·iiiiiiiiiii'.III• •h • ,Jl1i1i_ " .i.
,
ii",
I, ',',', t
'
I;"
::Ii .[ ::f :' i i!~ :JI
:I' ,.11
,;'1:'
I i":l
'::
L
i '
l :i,l/: 'I"
II,. I ,i,! 1·;
I,
I. IiI i:
I ",
i!
i' ";;
~
·,i,
IIVas Ismail, Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
dapat diberikan dengan HOD kepada perorangan adalab dua puluh lima hektar. Sedangkan yang dapat diberikan kepada badan hukum tidak ditentukan secara konkrit tetapi diberikan keleluasan kepada pejabat pemberi HOD dengan mempertimbangkan 1uas yang diperlukan bagi pelaksanaannya usabanya, yaitu sebagaimana diatur
dalarn Pasal 5 ayat (3) PP 4011996 yang menyebutkann
babwa luas maksimum tanab yang dapat diberikan dengan HOD kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaba yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaba yang paling berdayaguna di bidang yang bersangkutan. Dalarn
Peraturan Menteri Negara AgrariaJKepala Badan Pertanaba.'l
Nasional Nomor 3 Tabun 1999 Tentang Pelimpaban Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanab Negara (PMNAlKBPN 3/1999) hanya mengatur mengenai batas kewenangan Kepala Kanwil BPN Propinsi dalarn pemberian HOD yaitu maksimum 200 hektar, dan untuk luas yang melebihi
dari
200
hektar
menjadi
kewenangan Menteri
Negara
AgrariaJKepala BPN Pusat. Dalarn aturan tersebut tidak disebutkan batas luas maksimum yang dapat diberikan HOD oleh Menteri. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanab untuk usaba perkebunan dengan status HOD sebenarnya telab ditentukan dalarn Peraturan Menteri Negara AgrariaJKepala Badan Pertanaban Nasional Nomor 2 Tabun 1999 Tentang Izin Lokasi (PMNAlKBPN 2/1999), yang dalam Pasal 4 disebutkan babwa izin lokasi dapat diberikan kepada suatu perusabaan dan perusabaan-perusabaan lain yang merupakan satu group perusabaan dengannya untuk usaba perkebunan dengan luas maksimum 60.000 hektar di satu propinsi dan 150.000 hektar di seluruh Indonesia untuk komoditas tebu, sedangkan untuk komoditas lainnya maksimum 20.000 hektar di satu propinsi dan 100.000 hektar di seluruh Indonesia. Walaupun ketentuan tersebut dikecualikan terhadap penguasaan tanab untuk BUMN dan BUMD, badan usaba yang seluruh atau sebagaian besar sabammya dimiliki Negara baik Pemerintah maupun
pemerintab daerab, dan badan usaba yang
seluruh atau sebagian sabarnnya dimilki oleh rnasyarakat (go publik). KANUN No. 58 Edlsi Desember 2012
363
lIyas Ismail, Pembatasan luas Maksimum Penguasaan Tanah
Berbeda dengan ketentuan tersebut, dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
26/Permentanl0t.140/2/2007
Tentang
Pedoman
Perizinan
Usaha
Perkebunan, yang dalam Lampiran 3 dirincikan batas maksimum penggunaan areal perkebunan oleh I (satu) perusahaan perkebunan untuk suatu komoditi tertentu, yang antara lain menyebutkan batas maksimum untuk usaha perkebunan tebu 150.000 hektar dan untuk usaha perkebunan kelapa sawit 100.000 hektar. Terkait dengan ketentuan tersebut sekarang ini Pemerintah dalam hal ini Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) lagi membahas rencana perubahan terhadap peraturan tersbut terutama berkenaan dengan batas maksimum tersebut karena dipandang menggerogoti rasa keadilan masyarakat, sehingga nantinya diharapkan batas maksimum tersebut adalah untuk satu grouplkelompoklholding perusahaan, tidak lagi untuk setiap perusahaan.! 0 Sebenarnya formulasi
batas maksimum yang diatur dalam Permentan
tersebut di atas tidak perlu terjadi apabila memperhatikan PMNAlKPBN 2/1999 yang memformulasikan batas maksimum untuk suatu perusahaan dan untuk suatu group perusahaan.' Artinya batas maksimum tersebut berlaku untuk suatu grouplholding perusahaan. Namun demikian untuk saat ini batas maksimum tersebutpun perlu ditinjau kembali mengingat keterbatasan lahan dan keperluan lahan bagi petani untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Tentu sebelum menentukan batasan luas maksimum tersebut hal yang sangat penting harus dilakukan adalah identifIkasi dan inventarisasi penguasaan tanah
secara
menyeluruh,
yang
meliputi
objek,
subjek,
dan
struktur
penguasaannya. Informasi menganai hal-hal tersebut harus telah tersedia terlebih dahulu sebelum reformulasi kebijakan menganai batas maksimun penguasaan tanah pertanian dilakukan. Selama ini data mengenai penguasaan tanah pertanian terpencar di berbagai institusi, yang cenderung tidak saling melengkapi bahkanrumpang tindih dan berbeda antara satu dengan lainnya, karena itu perlu sentralisasi data
http://agroindonesia.co.id/2012/08/28/batas-kepemilikan-kebun-bakal-dibatasil, diunduh 13 Pebruari 2013 jam 10.00 WlB, 10
364
KANUN No. 58 Ed/51 Desember 2012
," .,' :,'-'1:"',..:_"
"j;
ill. ,j~
"
1 ,
'I
:J
I~.
I~ j:.
',)r.
1 1
I-I!
i:1
'!
!
',I
; ';( , I
!
i
,d
'i
I I
I', ,
:~
'Iii
;i!!It
'~ ~
Ii I!
.:'
; IHF I~ .'11
.'
• ".
'J: f \
;- 't .~;
.1,
lIyas Ismail, Pembatasan Luas Makslmum Penguasaan Tanah
pertanahan yang lengkap dan mutakhir yang dapat dijadikan dasar dalam penentuan batas maksimum penguasaan tanan dan tentu untuk berbagai keperluan lainnya.
C. BATAS MAKSIMUM PENGUASAAN TANAH BANGUNAN Salah satu prinsip landreforrn yang dianut dalam hukum agraria nasional adalah larangan penguasaan tanah yang melampai batas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 dan Pasal 17 DUPA, karena itu pula perlu ditentukan batas maksimum penguasaan tanah yang diperkenankan bagi seseorang atau satu keluarga dan suatu badan hukum baik terhadap tanah pertanian maupun terhadap tanah bangunan. Dalam Pasal 12 UU No. 56/1960 disebutkan bahwa maksimum luas dan jumlah tanah perumahan dan pembangunan lainnya serta pelaksanaan selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 12 disebutkan bahwa oleh karena pembatasan mengenai tanah-tanah untuk perumahan tidak sepenting tanah-tanah pertanian dan tidak menyangkut banyak orang maka hal tersebut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namuri rungga saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum juga terbit. Penentuan balas maksimum tanah bangunan pada saat ini sama pentingnya dengan penentuan batas maksimum tanah pertanian. Kebutuhan tanah untuk tempat hunian dan usaha semakin meningkat disatu sisi dan indikasi penumpukan tanah dengan luasan di atas kewajaran pada sebagian kecil orang disisi lain harus menjadi perhatian serius pemerintah untuk menerbitkan aturan mengenai balasan maksimum penguasaan tanah bangunan. Dalam sejarahnya telah pernah ada aturan yang berrnaksud membatasi penguasaan tanah terrnasuk tanah bangunan, yaitu Peraturan Menteri Agraria Nomor 14 Tahun 1961 tentang Permintaan dan Pemberian lzin Pemindahan Hak Alas Tanah, Peraturan Direktur Jenderal Agraria Nomor 4 Tahun 1968 tentang Penyelenggaraan Izin Pemindahan Hak Alas Tanah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor· SK.59/DDA/I970 tentang Penyederhanaan Peraturan Perizinan Pernindahan Hak Alas Tanah, yang antara lain mengatur bahwa diharuskan mengajukan perrnohonan izin pemindahan hak atas tanah dalam hal penerima hak tersebut telah mempunyai lima bidang tanah KANUN No. 58 Edisl Desember 2012
365
lIyas Ismail, Pembalasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
termasuk yang dipunyai oleh suarnil isteri dan anak-anak yang menjadi tanggnngannya. Walaupun Peraturan-peraturan tersebut !idak berlaku lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, namun telah menunjukkan bahwa pernah dilakukan upaya untuk membatasi pengnasaan tanah bangnnan. Dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 Tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal, antara lain disebutkan bahwa dalam mengajukan permohonan
hak milik atas tanah nntuk rumah tinggal pemohon harus melampirkan pernyataan bahwa dengan perolehan Hak Milik yang dimohon tersebut yang bersangkutan akan mempunyai Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal tidak lebih dari 5
(lima) bidang yang seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5.000 (lima ribu) M2. Ketentuan tersebut telah agak lebih maju dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yang telah dicabut, namnn keputuasan tersebut masih belum cukup memadai, paling tidak atas dasar dua alasan, sebagai berikut: (1) aturan tersebut masih pada level keputusan menteri, walaupun potensi untuk dapat disebut sebagai salah satu ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam . UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tetapi levelnya berada di bawah Peraturan Pemerintah semagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 12 UU 56/1960; (2) ruang lingkup pengaturannya masih terbatas pada tanah bangunan dengan status hak milik untuk tempat hunian, padahal tanah bangunan tidak hanya dapat berstatus hak milik tetapi dapat juga berstatus hak guna bangnnan (HGB) dan hak paksi. Di samping itu penggunaan tanah bangunan juga tidak hanya untuk tempat hunian tetapi juga untuk tempat usaha. Terkait dengan hal tersebut Maria SW. Sumardjono ll menyatakan bahwa dalam penentuan batas maksimum tanah bangunan yang dapat dikuasai oleh seseorang dan suatu badan hukum dapat menggunakan dua alternatif kriteria, yaitu (I) menentukan batas luas tertentu (misalnya 5.000 m2 bagi daerah strategis dan 10.000 m2 bagi daerah lain dengan penentuan bidang tanah sekitar lima atau sepuluh bidang; atau (2) hanya menentukan batas luas tertentu tanpa menentukan 11
Maria SW. Sumardjono, Tanah Da/am Perspektif .. ". Joe.cit, him. 14.
366
KANUN No. 58 Edis/ Desember 2012
i
~r;';",,~,'!'i,;'.'l'"'/F,.;
ijl;, c.(.:,;td .,1,
"I" LI'E'"'1'''''' -" 'Ii . i:~~
IV", .",.·.11"" -" ,, ••. ~'- ~~A~'
'''.1.'''.'' ~':!;I!
'i IT iii.' ,f."" ~<'rik." .~. j.;~.' ;~if"".; .lit Fi' ~!r~~f,{\~fl~i I'~i~1 .1 'f'; ):'; ,"[;., .' :ii..· n'') d'.:.:'j 'fA~il I ( "'!Ii •'. I ':1]
li;
,I . '. . 'r ".• ':'
I'!
'/i .
11 '.' ,.[ ..[;1.:', ~!' .'
i', .:
: ,.'
.~jl·:
':,f .
. : ~~
,";
'I.'
'I' "./ 'J ~:. (i.n ' ; 'j'. Ii
I.. ., i
i'
·r;~-;_JI'.
!],.:p, •,.
lIyas Ismail, Pembalasan Luas Makslmum Penguasaan Tanah
jwnlah bidang tanahnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa altematif kedua lebih fleksibel mengingat adanya kemungkinan penetapan luas kapling tanah yang diatur oleh pemerintah daerah untuk berbagai penggunan, dan juga perlu disadari bahwa penetapan batas maksirnum untuk perorangan relatif lebih mudah dibandingkan pembatasan untuk badan hukum, karena pembatasan untuk badan hukum memerlukan pertimbangan berdasarkan jenis serta volume usaha sehingga akan bervariasi. Pembatasan tanah bangumin untuk badan hukum seyogyanya juga perlu ketegasan bahwa badan hukum tersebut dalam arti suatu badan hukwn tertentu dan badan hukum-badan hukum yang merupakan suatu group perusahaan/holding company, sebagaimana juga diperlakukan dalam pembatasan penguasaan tanah pertanian.
D. PENUTUP Pengaturan mengenai batas maksirnwn penguasaan tanah pertanian dalam ketentuan
perundang-undangan yang
telah ada cenderung menimbulkan
ketidakadilan dan ketimpangan. Indikasi ketidakadilan karena pembatasan itu hanya terhadap perorangan sedangan terhadap badan hukum yang mengill. 'i tanah dengan status HGU diberikan perlakuan khusus. Walaupun dalam peraturan teknis terdapat pembatasannya namum pembatasn tersebut masih membuka peluang
terkonsentrasinya tanah pertanian yang luas pada subjek tertentu
sedangkan sebagian besar petani tidak mempunyai luasan tanah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Karena itu diperlukan pengaturan kembali menganai batas maksirnum penguasaan tanah yang dapat mengakomodir kebutuhan petani dan investor secara berkeadilan. Terhadap tanah bangunan belum ada aturan mengenai batas maksimunnya kecuali terhadap terhadap penguasaan tanah dengan status hak milik untuk tempat hunian, itupun pengaturannnya masih berdasarkan Peraturan Menteri. Mengingat pembatasan tanah bangunan adalah sama pentinganya dengan pembatasan tanah pertanian maka perlu juga segera diterbitkanaturan paling tidak dalam bentuk peraturan pemerintah, yang antara lain mengatur; batas luas dan atau bidang yang KANUN No. 58 Edisl Desember :ZOJ:Z
367 o
lIyas Ismail, Pembatasan luas Maksimum Penguasaan Tanah
dapat dikuasai oleh perorangan dan badan hukum; yang objeknya meliputi tanah bangunan untuk hunian dan tanah bangunan
untuk tempat usaha. Tentu
penentuan batas maksimum tersebut dengan memeprhatikan ketersediaan dan kebutuhan tanah untuk berbagai kepentingan.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pertanahan Nasional, 2009, Himpunan Pidato Kepala Badan Pertanahan Nasional RI 2009, Pusat Hukurn dan Hubungan Masyarakat BPN RI, Jakarta. Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang PokokAgraria, isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Erman Rajagukguk, 2012, Reforma Agraria dan Ketahanan Pangan, Makalah disampaikan pada Konferensi Intemasional "Regulatory Reform On Indonesian Land Laws For People's Welfare", Kerjasan FH VI dan BPN RI, Jakarta, 11 Desember 2012. Maria SW. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam PerspektifHak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Nurhasan Ismail,2007, Perkembangan Hukum Pertanahan. Pendekatan Ekonomi PoUlik, (Perubahan Pilihan Kepenlingan, Nilai Sosial dan Kelompok Diuntungkan), HuMa, Jakarta. Surat Kabar Harlan Kompas, Ketimpangan Penguasaan Lahan Menjadi Persoalan, 6 Januari 2012. Surat Kabar Harlan Kompas, Kepastian Lahan Industri, 24 Juli 2012. Surat Kabar Hanan Kompas, Sengketa Lahan Dibiarkan, 29 Mei 2012. http://agroindonesia.co.id!2012!08!28!batas-kepemilikan-kebun-bakal-dibatasi/,
diunduh 13 Februarl 2013 jam 10.00 WIB.
368
KANUN No. 58 Edlsl Desember 2012
., .",,' r'''''.'\': "If' !:;:",
I
r
i
;,i
,}
I:
l
I
I !. i
i :
,iJ! .~:::::!tP·;lt!lil'}
~'j';1itt!., ,,' "".
"!i:l~ {J)~r
,IIIL
I!
i
'.
'
A ,,JiL, J~ . ,Ji.
'