REFORMASI POLRI MENUJU POLRI YANG PROTAGONIS (Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum)
I. Later Belakang Historis Memotret keberadaan Polri, ada baiknya jika mene-lusurinya barang sejenak sejarah Polri dari awal hingga lepasnya Polri dari ABRI (TNI). Penelurusan historis ini penting, yaitu seperti yang pernah dikemukakan oleh Sidi Gazalba, bahwa The past has much to tell us about the presen. Dalam hubungan ini, Koesparmono Irsan (1995: 10-11) pernah mengemukakan, bahwa secara de facto Polri (pada waktu itu istilah Polisi Negara RI (Polri) masih belum dikenal) telah ada sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 dan telah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan secara langsung melawan penjajahan Jepang. Akan tetapi secara de jure, Polri lahir pada tangal 18 Agustus 1945, di mana sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan, bahwa organ Polisi yang ada ditempatkan di bawah Departemen Dalam Negeri sebagai Jawatan Kepolisian Negara Administratif. Penempatan Polisi di bawah kendali Departemen Dalam Negeri, oleh pemerintah dinilai tidak layak, karena mengingat kewenangan Kepolisian yang sangat luas itu menjadi sangat terbatas dan menghadapi kendala struktural maupun operasional. Oleh karena itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 11 D Tahun 1946 tanggal 1 Juli 1946, Polri harus langsung berada di bawah Perdana Menteri, sehingga keberadaannya sederajat dengan Kejaksaan dan Kehakiman. Dengan demikian, secara kelembagaan dan struktur organisasi Pemerintah, Polri adalah setingkat Departemen, sehingga kedudukan Kepala Polisi setingkat dengan Menteri. Dengan adanya perubahan struktur organisasi itu, Polisi mampu berkembang dengan baik, mampu menata organisasinya secara nasional dengan baik pula, dan secara operasional mampu memacu profesionalisme dalam menjalankan tugasnya sampai ke sektor Kecamatan, bahkan pelosokpelosok terpencil. Namun dalam perjalanan sejarah Polri berikutnya, ternyata telah mengalami berbagai tantangan. Hal itu disebabkan oleh situasi revolusi pada 1
waktu itu yang mengakibatkan banyak sekali perubahan-perubahan di tubuh Polri, yaitu seperti : 1. Polisi Negara dimiliterisasikan berdasarkan Penetapan Dewan Pertahanan Negara No. 112 pada tanggal 1 Agustus 1947. Di mana Polisi Negara mempunyai kedudukan sebagai tentara dan kesatuan Polisi diperintah kembali untuk menjalankan pekerjaan tentara atas perintah komando tentara, sedangkan di garis belakang tetap melakukan tugas-tugas kepolisian di bawah kendali Kementerian Pertahanan. 2. Pada tanggal 19 Juli 1949, polisi bergabung dengan Polisi Pemerintahan Militer (PPM), yaitu gabungan antara Polisi Negara dan CPM. Badan ini berada di bawah kendali Menteri Pertahanan Koordinator Keamanan. 3. Pada tanggal 17 Agustus 1950, terbentuk Negara Kesatuan dan Polisi Negara RI dilebur menjadi satu kesatuan yang berpusat di Jakarta. 4. Keppres No. 154/1959 tanggal 10 Juli 1959: Kepolisian Negara dimasukan dalam
bidang
Keamanan/Pertahanan
dikepalai
oleh
Menteri
Muda
Kepolisian. 5. Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI, tanggal 26 Agustus 1959, nama kementerian diganti Departemen, sehingga Jawatan Kepolisian Negara diganti menjadi Departemen Kepolisian Menteri. 6. Kepres No. 12/1960: Departemen Kepolisian dimasukan dalam bidang Keamanan Nasional, bersama dengan Menteri/Kastaf Angkatan Laut, Darat, Udara dan Menteri Jaksa Agung dan Menteri Urusan Veteran. 7. Peraturan Menteri/Kasak/No. 2/PRT/MK/1962, tanggal 11 November 1962, Kepolisian Negara diubah menjadi Angkatan Kepolisian RI dengan disertai perubahan susunan staf dan pola organisasinya (AKRI). 8. Kepres RI No. 134/1962, tanggal 12 April 1962, Menteri diubah menjadi Menteri/Kastaf Angkatan Kepolisian Negara, kedudukannya disesuaikan sebagai angkatan bersenjata. 9. Kepres No. 290/1964, tanggal 12 November 1964, AKRI berinteraksi penuh sebagai ABRI. Kepalanya disebut Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak), dan kemudian AKRI menjadi Kepolisian Negara RI (Polri) sampai sekarang ini. Berdasarkan
catatan
sejarah
tersebut, bahwa
sebenarnya
Polri
sekarang pada awalnya lahir sebagai Angkatan Bersenjata atau Kesatuan 2
Bersenjata yang terlengkap pada masanya serta tidak asing lagi berada dalam lingkungan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Fungsi
Kepolisian
dalam
menjaga
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat, dalam segala tindakannya selalu menjadi sorotan masyarakat, karena dinilai sebagai tidak menjalankan fungsinya sebagai polisi yang memberikan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat. Karena, berbagai kasus yang terjadi di masyarakat tidak mampu diselesaikan dengan baik oleh Polisi, sehingga sudah menjadi rahasia umum: jika kehilangan kambing jangan lapor kepada Polisi, sebab biayanya sama dengan harga sapi. Belum lagi, tindakan-tindakan kekerasan dalam melakukan tugas penyidikan. Profesinalisme yang ada di tubuh Polri selalu dipertanyakan. Oleh karena itu, dengan adanya gelombang reformasi yang menuntut demokratisasi di segala bidang yang melanda Indonesia dan mencapai puncaknya pada saat mundurnya Soeharto dari Presiden RI tahun 1998. Dengan begitu, maka bola reformasi terus menggelinding hingga ke tubuh Polri. Polri yang selama Orde Baru dijadikan kendaraan politik untuk mendukung dan melestarikan kekuasaan, telah dipekikan oleh masyarakat agar dipisahkan dari ABRI, dengan begitu diharapkan Polri dapat mandiri dan profesional dalam melaksanakan tugasnya. Benih reformasi tersebut sebenarnya dimulai ketika diadakan Seminar Nasional Hak Asasi Manusia dalam rangka memperingati hari Ulang Tahun Emas Kemerdekaan RI yang ke-50 tahun 1995 bertempat di Hotel Patra Jasa Semarang. Wakil dari Komisi Hak Asasi Manusia Kanada mempertanyakan keberadaan Polri yang masih satu atap dengan ABRI, sebab dalam sejarah polisi modern tidak ada lagi polisi yang satu atap dengan militer, tapi mengapa di Indonesia masih dilakukan demikian. Pada waktu itu hembusan pemisahan Polri dari ABRI sudah mulai mengedepan. Namun realisasinya baru terwujud pada tanggal 1 April 1999, itupun tentunya karena adanya momen politik yang kolosal pada tahun 1998, yang mengakibatkan jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan (Presiden).
3
II. Pemisahan Polri dari ABRI Polisi senantiasa merupakan bagian dari proses sosial yang lebih besar, karena itu setiap terjadi perubahan dalam masyarakat, Kepolisianpun akhirnya akan menerima pengaruh serta dampak dari perubahan tersebut. Angin reformasi yang tengah berlangsung di Indonesia, telah membawa pengaruh yang sangat besar, termasuk pengaruhnya terhadap reformasi di lembaga Kepolisian. Polisi yang mandiri dan terpisah dari ABRI memang sangat didambakan, pengkondisian keberpihakan Polri kepada elit politik selama Orde Baru telah meracuni misi Polri untuk berpihak kepada rakyat. Sekedar sebagai perbandingan dengan negara tetangga kita, Australia. Di Australia sebagaimana dikemukakan oleh Alick Longhurst, First Secretary Australian Embassy di Jakarta, bahwa pada pokoknya the military's role is to defend the nation against its external enemies, kill and destroy the enemy. The police service's role is to protect and serve the community, protect citizens and promote good public order (Makalah Seminar, 1999: 8-9). Dengan demikian, polisi di Australia jelas sekali tugas dan fungsinya yang terpisah dari militer dan selalu berpihak kepada rakyat. Oleh karena itu, ketika adanya desakan agar Polri tidak lagi menjadi satu atap dengan ABRI, maka terdapat pihak-pihak yang tidak atau kurang senang terhadap format baru Polri, pihak-pihak itu selain tidak partisifatif, juga dikhawatirkan berada di belakang dinamika yang tidak wajar di masyarakat. Ketidakwajaran itu pada gilirannya akan menjegal, sekurang-kurangnya mengurangi optimisme publik terhadap integritas polri. Dampak nilai militer yang masih kuat pada Polri tatkala berhadapan dengan media massa, misalnya. Sikap arogan, apriori dan merasa berbeda dari masyarakat, kerap menghambat media massa sebagai mitra Polri membentuk persepsi positif tentang Polri. Sebelum reformasi, Polri merupakan lembaga yang rajin menata pemberitaan media massa (Adrianus Meliala, dalam Forum Keadilan No. 14, 11 Juli 1999: 56). Demikian juga ketika menangani aksi-aksi mahasiswa pada bulan Maret sampai dengan Mei 1998, mereka
dihadapi
dengan
perlengkapan
pertempuran.
4
perang,
layaknya
di
medan
Ketika Polri berinteraksi dengan mantan saudara tua dalam TNI, yakni Angkatan Darat (AD) yang diketahui pernah amat keberatan terhadap pemisahan Polri dari ABRI. Keberatan itu didasarkan pada empat alasan : 1. Ada kekhawatiran, bahwa Polri belum siap atau terlalu lemah menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat. 2. Setelah tiga dasawarsa sama-sama berada dalam wadah ABRI, terdapat alasan historis, politis, dan emosional untuk tidak berpisah. 3. Saat negara tengah dilanda krisis, dan ancaman
disintegrasi, dianggap
bukan momen yang tepat bagi pemisahan Polri dari ABRI. 4. AD (khususnya satuan teritorial) akan kehilangan legitimasi dan mekanisme justifikasi saat melakukan kegiatan teritorial yang ekstra legal
(Adrianus
Meliala, dalam Forum Keadilan No. 14, 11 Juli 1999: 56). Dalam kondisi terpisah, AD tidak bisa lagi secara mudah mengintervensi atau mengabaikan pihak yang selama ini dianggap sebagai adik bungsu dan underdog itu. Di masa mendatang, Polri dapat menangkap anggota militer karena, misalnya melanggar lalu-lintas. Sebab, selama ini anggota ABRI seolah tidak takut pada Polri. Akibatnya yang kena sasaran, adalah warga sipil, main semprit, tangkap, dan tempeleng. Berdasarkan kondisi Polri yang tidak bisa netral dalam melaksanakan fungsinya sebagai pelindung, pengayom dan penjaga ketertiban, maka apa yang terjadi pada tanggal 1 April 1999 dapat dicatat dalam lembar sejarah, bahwa Polri telah lepas dari ABRI. Selanjutnya, pada tanggal 18 Agustus 2000 telah dikeluarkan Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. III. Potret dalam Menangani Kasus 3.1 Ketika Masih Bergabung Dengan ABRI Masuknya Polri dalam Sistem Peradilan Pidana, maka kontrol sosial tidak dapat dilakukan secara bebas, melainkan harus berlangsung dalam kerangka suatu "arsitektur yuridis" yang tertuang dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981, yaitu Undang-undang Hukum Acara Pidana yang lazim disingkat dengan KUHAP. Menurut KUHAP, penyelidik dan penyidik adalah Polri, sehingga ia diberi wewenang oleh hukum untuk menjalankan tugasnya: menangkap; menahan; 5
menggeledah; memasuki rumah, dan sebagainya. Meskipun KUHAP sudah memberikan rambu-rambu, akan tetapi karena Polri merupakan bagian dari ABRI sehingga dalam menjalankan tugasnya sering melanggar rambu-rambu tersebut, sehingga dalam melaksanakan tugasnya tersebut menjadi tidak seimbang, karena yang diperiksa itu sipil sedang yang memeriksa adalah ABRI. Pada beberapa peristiwa, seperti dalam kasus berikut ini (sebagai contoh) : 1. Kasus kematian Sofyan Effendi (19 tahun), pelajar SMEA Negeri 22 Jakarta. Pada waktu subuh Sabtu 23 Oktober 1982, korban ditangkap oleh polisi dalam suatu operasi Satgas Roda Delapan Kodak Metro Jaya, diberitakan oleh pers secara berulang-ulang, bahwa masih ada anggota Polri yang senang menggunakan tinjunya, sepatu larasnya, dan pistolnya daripada akal pikiran dan hati sanubarinya, sehingga pola kerja dengan kekerasan, tekanan, paksaan dan penyiksaan terhadap tersangka selalu terjadi, kendati sebenarnya keadaan yang dihadapi belum segawat harus bersikap keras seperti itu (Ridwan Syahrani, 1983: 100). 2. Peringatan Kapolda Sumatera Bagian Selatan kepada aparat kepolisian di jajarannya untuk tidak terlalu mudah menahan seseorang tersangka. Kecenderungan itu menurut Kapolda, karena banyak dijumpai di Polsek, sehingga Kapolda merasa prihatin terhadap adanya petugas yang terlalu gampang melakukan penahanan atas seseorang tersangka, sekalipun sebenarnya ia tidak harus ditahan. Keprihatinan itu berdasarkan temuan langsung di lapangan, yaitu ketika melakukan serang-kaian kunjungan kerja ke berbagai Polsek (Kompas, Rabu 10 Pebruari 1993: 13). 3. Penanganan kasus Semanggi yang merupakan 1998 yang menuntut reformasi di segala
peristiwa kolosal tahun
bidang, yang menewaskan
beberapa orang mahasiswa, akibat diterjang peluru petugas keamanan (polisi). Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan (tahun 1997) di tiga kecamatan dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Jember (sekarang penyebutan itu menjadi Kabupaten Jember), masing-masing Kecamatan Kencong, Kecamatan Tanggul, dan Kecamatan Jenggawah. Semua mantan tersangka itu mengatakan, bahwa dalam penangkapan itu tanpa ada Surat Perintah Penangkapan, demikian juga dengan Surat 6
Penahanan. Ketika diperiksa, mereka dipukul meski sudah mengaku, bahkan ada yang jaringa diletakan di bawah kaki meja, kemudian mejanya diduduki oleh tujuh orang polisi. Pada waktu saya melakukan penelitian, dan mendatangi masing-masing orang yang pernah diperiksa oleh polisi, mereka takut dikira saya polisi yang mau menangkapnya. Akan tetapi dijelaskan oleh Kepala Dusun yang menyertai saya, bahwa yang datang ini bukan polisi, tapi bapak guru dari Universitas Jember. Itulah gambaran konkrit (merupakan bagian kecil), betapa karakter militer yang melekat pada polisi, sehingga dalam menjalankan tugasnya pun yang diutamakan adalah otot bukan otak. Perhatikan pula kasus pemukulan terhadap mahasiswa Universitas Muslimin Makassar tahun 2004. Belum lagi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, akibatnya masyarakat tidak percaya pada polisi. Jika ada yang menderita kerugian akibat dari suatu tindak pidana, maka mereka merasa percuma melaporkannya kepada polisi, tokh juga tidak akan ketemu, malah nantinya akan melebihi harga barang yang hilang, karena harus memberi polisi (katanya uang bensin, rokok, dan makan). 3.2 Setelah Lepas dari ABRI Sejak lepas dari ABRI pada tanggal 1 April 1999, maka pada tanggal 1 Juli 1999 ketika Polri memperingati ulang tahunnya yang ke-53 dan ditandai pula dengan perubahan seragam dan tanda kepangkatan. Warna kemeja cokelat muda berubah menjadi cokelat muda kehijauan. Tanda pangkat untuk semua tingkatan ditempatkan di pundak, sedangkan pada kedua ujung kerah terdapat monogram dan kapas yang mencerminkan pelayanan Polri kepada masyarakat. Selain itu, setiap anggota Polri wajib memakai tali peluit dan tanda kewenangan di lengan dan dada kiri. Sementara pakaian dinas harian anggota Polri tidak lagi dihiasi lambang-lambang brevet kehormatan dan kemahiran (layaknya seragam militer). Tanda-tanda penghargaan itu hanya disematkan pada pakaian dinas dan dipakai hanya dalam upacara-upacara khusus (Forum Keadilan No. 14, 11 Juli 1999: 73). Apakah dengan lepasnya Polri dari ABRI yang diikuti pula dengan perubahan pakaian seragam sudah mencerminkan, bahwa Polri sekarang sudah lain dari Polri yang lama? Jawabannya, tentu saja tidak hanya sekedar 7
perubahan seperti itu, tapi harus pula diikuti dengan perubahan sikap, dan mental sipil. Sebab jika tidak, maka mental militer dengan pendekatan keamanan selalu saja bersemayam ditubuh Polri. Uji coba perilaku Polri setelah melepaskan diri dari ABRI, terlihat ketika menangani kasus unjuk rasa anggota PRD (Partai Rakyat Demokratik) di depan Kantor KPU Jalan Imam Bonjol Jakarta Pusat (Forum Keadilan No. 14, 11 Juli 1999: 67). Unjuk rasa yang bertepatan dengan hari ulang tahun Polri yang ke-53 itu, diselesaikan dengan pengucuran darah. Di mana pada hari Kamis sore tanggal 1 Juli 1999, unjuk rasa ratusan orang pendukung PRD di depan Kantor KPU berubah menjadi arena aksi kekerasan. Tak kurang 12 orang tertembak peluru karet dan 26 orang lainnya luka-luka akibat tendangan, terjengan, dan ayunan pentungan, serta jotosan bogem mentah polisi. Maksud kedatangan anggota PRD ke KPU tersebut, adalah meminta untuk bertemu dan berdialog dengan anggota KPU. Namun, KPU hanya mau menerima 15 orang wakil, sedangkan anggota PRD ingin semuanya. Sambil menunggu jawaban apakah boleh masuk semuanya, mereka menggelar orasi yang intinya menggugat kecurangan Partai Golkar dan meminta, agar partai itu didiskualifikasi dari Pemilu 1999. Pada saat menyampaikan orasi tersebut, terjadi dorong-mendorong dan tak lama kemudian terdengar rentetan tembakan yang memekakkan telinga dan massa pun buyar. Mereka berhamburan menyelamatkan diri di balik mobil-mobil yang diparkir diseberang jalan, akan tetapi justru mereka terperangkap. Akibatnya aparat keamanan (polisi) menghajar sejadi-jadinya, dan darah segar mengucur dari mulut dan hidung seorang pengunjukrasa. Kendati begitu, ia terus saja ditendangi. Demikian juga temannya yang bertubuh kurus kering bernasib serupa, merintih-rintih minta ampun. Pertempuran yang tak seimbang itu berakhir 15 menit kemudian (Forum Keadilan No. 14, 11 Juli 1999: 67; dan SCTV Liputan 6 Petang, Tanggal 1 Juli 1999). Demikian juga yang dialami oleh 50 orang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jawa Barat yang sudah berhasil memasuki gedung KPU, diusir oleh aparat keamanan (polisi) karena tidak memiliki izin berdemonstrasi. Fahrus Jaman Fadli, pimpinan demo, dipukul dan ditempeleng oleh polisi. Melihat kejadian itu, seorang wartawan radio El Shinta Bandung yang berusaha membela Fahrus, juga terkena tempeleng. Dengan kata-kata kasar, seorang 8
anggota Polri bernama Lettu (Pol) Makmur S. mengatakan: "kamu pergi sana, Saya ini pakai pakaian dinas. Saya bisa tangkap dan bawa kamu sekarang..." Tidak hanya itu, ternyata polisi itu juga mengambil kartu pers watrtawan tersebut dengan seenaknya, tanpa harus permisi (Jawa Pos, Selasa Legi, 20 Juli 1999: 8). Dengan adanya peristiwa tersebut, orang lalu bertanya, mengapa Polri yang sudah melepaskan diri dari ABRI masih saja menggunakan cara-cara dengan kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Kalau begitu, apa yang berubah dari Polri kecuali hanya memisahkan diri dari ABRI dan berganti seragam. Akan tetapi, karakternya sama saja dengan sebelum pemisahan tersebut.
IV. Polisi dalam Masyarakat Demokrasi dan Otoriter Satjipto Rahardjo mengatakan (Makalah Seminar, 1996: 4), bahwa dalam masyarakat modern pada dasarnya ada dua pihak yang menuntut pertanggungjawaban, yaitu pihak pemegang kekuasaan dan pihak masyarakat. Sistem politik suatu negara sangat menentukan peran masing-masing pihak tersebut. Pada sistem otoriter, penekanan pertanggungjawaban diletakan kepada pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasaan ini dianggap sebagai yang paling mengetahui apa yang mesti dilakukan, sementara rakyat diposisikan sebagai orang yang patuh kepada penguasa. Sedang pada sistem demokratis, penekanannya lebih ditonjolkan kepada masyarakat. Pada tataran politis-kenegaraan, Indonesia bukan negara otoriter yang menyerahkan sepenuhnya kekuasaan di tangan seseorang dengan
tanpa
batas. Akan tetapi Indonesia, adalah negara yang berkedaulatan rakyat, di mana hak rakyat tidak habis diserahkan kepada wakil rakyat di MPR. Namun demikian, konsep demokrasi sering disalah-pahamkan dan disalahgunakan manakala rezim-rezim totaliter dan diktator, militer berusaha memperoleh dukungan rakyat dengan menempelkan label demokrasi pada diri mereka (Apakah Demokrasi itu?, Alih Bahasa oleh Budi Prayitno dan Editor Abdullah Alamudi, tth.: 4). Oleh karena itu, bentuk pertanggungjawaban yang khas muncul pada perkembangan terakhir peradaban manusia, adalah pertanggungjawaban 9
hukum sebagai suatu refleks dari suatu institusi negara hukum dan kedaulatan hukum dalam masyarakat. Demikian juga dengan pelaksanaan kontrol sosial tidak dapat lagi dilakukan dengan secara bebas, dalam arti main otot tinju dan sepatu laras, melainkan harus berlangsung dalam kerangka arsitektur yuridis yang disebut Sistem Peradilan Pidana. Akan tetapi, kehendak untuk menempatkan polisi sebagai aparat penegak hukum, dapat menempatkan polisi pada posisi sebagai penjaga status quo, di mana
kehadiran polisi sepenuhnya hanya untuk menjalankan dan
menerapkan hukum. Apabila semua perintah hukum telah dijalankan, maka selesai dan sempurnalah polisi dalam menjalankan tugasnya. Dipandang dari sudut kedaulatan rakyat, maka pelaksanaan tugas seperti itu termasuk kategori yang antagonis, karena polisi memposisikan dirinya berhadapan dengan rakyat. Berbeda dengan model protagonis, polisi selalu ingin melihat dan memposisikan dirinya bersama rakyat (Satjipto Rahardjo, Makalah Seminar, 1996: 10). Pilihan terhadap kedua model tersebut pada dasarnya selalu dihadapi oleh polisi, karena hukum itu dirumuskan secara abstrak. Padahal tugas polisi bukan abstrak, melainkan konkrit. Oleh karena itu, kewenangan untuk melakukan diskresi sangat mungkin dilakukan oleh polisi. Penggunaan kewenangan yang berazas diskresi ini menurut Mayjen. Pol. Drs. Nurfaizi (ketika masih menjabat sebagai Kapolda Jawa Tengah), hanya mungkin dilakukan jika polisi dalam posisi netral, dalam arti tidak terikat dengan suatu kepentingan politik tertentu. Apalagi bila kepentingan itu terkait dalam suatu garis komando dengan hirarki yang ketat dan menuntut kepatuhan dan ketaatan mutlak dalam melaksanakan tugas yang sesuai dengan perintah atasan (Makalah Seminar, 1999: 9). Di samping dalam posisi netral, kemampuan untuk mengambil kebijakan (diskresi) tersebut, juga ditentukan oleh sumberdaya yang berkualitas tinggi, sehingga mampu menerjemahkan kondisi yang dia hadapi di lapangan. Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan bagi kita semua (tentunya): apakah konsep demikian sudah disosialisasikan sampai ke level bawah?
10
11
12