FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN Oleh: M. Arief Amrullah, SH.,M.Hum
A. Pendahuluan Mengacu pada kebijakan pemerintah yang telah dituangkan di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), di mana antara lain dikatakan, bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pola umum pembangunan jangka panjang yang pelaksanaannya telah dimulai sejak tahun 1969 dengan titik beratnya adalah pembangunan di bidang ekonomi, hingga saat ini terus berkembang dengan pesat (GBHN 1983). Seiring dengan pesatnya pembangunan di bidang ekonomi (yang meliputi 18 bidang kegiatan ekonomi termasuk lembaga keuangan), maka tidak jarang pula telah terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang rakus akan kepuasan materi. Penyimpangan-penyimpangan itu menunjukkan, terjadinya pergeseran di mana pemerintah Indonesia yang saat ini sedang membawa struktur masyarakatnya ke arah masyarakat industri (modern) yang ditandai adanya keterbukaan sikap, rasional, dan sifat pekerjaan yang kompetitif. Akibat perbedaan pola kehidupan dan karakteristik struktur tersebut, telah menimbulkan berbagai variasi kehidupan bagi setiap individu. Di satu pihak ada individu atau kelompok individu yang dapat menyesuaikan dengan perubahan pola kehidupan yang terjadi, di lain pihak
1
ada pula individu atau kelompok individu yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang tengah dihadapinya itu. Dalam perspektif yang demikian ini, maka para pelaku kejahatan (crime offenders) tidak semata-mata didominasi oleh golongan kelas bawah (lower class) sebagaimana yang telah kita kenal selama ini (blue collar crime), tetapi juga yang tidak kalah berbahayanya dan bahkan lebih jahat daripada blue collar crime adalah apa yang disebut dengan white collar crime (crime in the upper) sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Sutherland melalui pidato bersejarahnya di hadapan American Sociology Society tahun 1939, yaitu suatu istilah yang menunjuk pada "crimes committed by people of respectability and high standing in the community (Michael R. Gottfredson and Travis Hirschi, 1990: 38). Indonesia yang tengah membangun ekonominya melalui berbagai sektor termasuk
sektor
perbankan,
telah
meletakkan
garis
kebijakan
moneter
sebagaimana yang tercantum dalam GBHN 1993 dan GBHN 1998, di mana "kebijakan moneter itu diarahkan untuk mendukung pemerataan pem-bangunan dan hasil-hasilnya yang makin luas, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas ekonomi yang mantap. Kebijakan moneter yang meliputi kebijakan pengendalian uang beredar, termasuk kebijakan perkreditan dan kebijakan nilai tukar uang, dilaksanakan secara terpadu untuk memantapkan kestabilan nilai uang, .... Oleh karena itu, lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank harus makin mampu berperan sebagai penggerak dan sarana mobilisasi dana masyarakat yang efektif dan sebagai penyalur yang cermat dari dana tersebut untuk pembiayaan kegiatan yang produktif. Lembaga keuangan yang handal dan dipercaya
masyarakat
dengan
jaringan
pelayanan
dan
jasa
perantara
ditumbuhkembangkan dan diperluas penyebarannya agar dapat menjangkau
2
seluruh pelosok tanah air serta segenap lapisan masyarakat sehingga mampu mendorong, merangsang, dan menumbuhkan motivasi masyarakat berperanserta dalam pembangunan serta sekaligus meningkatkan efisiensi, produktivitas, serta kehandalannya..." Dalam konteks demikian, Indonesia berupaya untuk menarik uang sebanyak-banyaknya, baik dari modal asing maupun dari masyarakat. Dalam perolehan uang tersebut tidak akan menanyakan dari mana uang itu ber-asal, yang penting uang masuk sebanyak-banyaknya, kecuali atas petunjuk dan buktibukti yang bisa dipertanggungjawabkan, bahwa uang tersebut hasil kejahatan (Koesparmono Irsan, 1993: 26). Upaya untuk menyemarakan sirkulasi moneter di tanah air, maka pemerintah, antara lain telah menerapkan kebijakan deregulasi perbankan, yaitu Kebijakan Paket
28 Oktober 1988, atau yang lebih dikenal dengan Pakto 28
1988 tentang Deregulasi Perbankan yang bertujuan untuk menggairahkan kembali kelesuan yang dialami oleh industri perbankan serta untuk memudahkan pendirian bank dan pembukaan bank, sehingga dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Itulah sebabnya sejak ditetapkannya deregulasi tersebut, dunia perbankan semakin bergairah terbukti dengan munculnya sejumlah bank-bank baru yang berhasil dalam meningkatkan pengerahan dana dan menyalurkannya kembali ke dalam masyarakat (Marulak Pardede, 1995: 38, 75). Menurut catatan Susanto (1991: 6), dalam tahun 1991 jumlah bank swasta nasional sudah mencapai lebih dari 150 buah dibanding permulaan tahun 1970-an yang berjumlah di bawah 50-an. Adanya kebijakan yang telah dituangkan dalam Paket Pakto 28 1988, jelas sangat mempengaruhi sistem politik ekonomi kita yang pada gilirannya akan
3
meningkatkan devisa bagi negara. Namun, dibalik kemudahan-kemudahan yang telah diberikan itu akan diikuti pula oleh meningkatnya tindak kejahatan di bidang perbankan (memanfaatkan kemudahan), baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini merupakan kendala yang serius di bidang perbankan pada khususnya dan terhadap pembangunan ekonomi pada umumnya. Kejahatan di bidang perbankan, merupakan bagian dari tindak pidana ekonomi (kejahatan ekonomi) di mana, baik bank sebagai sasaran dan sarana untuk melakukan kejahatan maupun kejahatan yang dilakukan oleh bank itu sendiri (corporate crime). Kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Pakto 28 1988 telah mengakibatkan persaingan antar bank semakin meningkat dalam memberikan tawaran pelayanan yang terbaik kepada masyarakat penyimpan dana, sehingga siapa cepat dialah yang dapat. Demikian pula untuk keperluan aplikasi lainnya, yaitu seperti antara lain: penyediaan fasilitas Automated Teller Machine (ATM). Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat telah dikembangkan suatu teknologi elektronik canggih di bidang perbankan, sehingga bank yang akan membuka cabang tidak perlu membangun gedung besar, tetapi cukup hanya beberapa meter saja (yang menyerupai kios), sehingga jika akan membuka cabang di bandara, stasiun kereta api, dan lain-lainnya, cukup menempatkan "kios" kecil yang dapat melayani tabungan, deposito, pengiriman uang, dan lain-lainnya (SCTV Liputan 6 Petang 1997). Teknologi semacam itu, di masa mendatang tidak menutup kemungkinan akan hadir di Indonesia. Kebijakan deregulasi yang telah diluncurkan itu, tidak dibarengi dengan syarat-syarat bagi sehatnya suatu bank. Karena bank sebagai agent of development bagi perekonomian nasional, harus diimbangi dengan syarat fit and
4
proper, serta tingkat pengawasan yang efektif dari otoritas moneter (Bank Indonesia). Pengabaian syarat-syarat tersebut, berakibat pendirian bank yang banyak itu belum menjamin kearah kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tangguh, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, yaitu timbulnya keambrukan beberapa bank, seperti dalam kasus bank Summa yang merupakan salah satu contoh kasus menyalahgunakan dana nasabah untuk disalurkan kepada perusahaan satu grup. Melihat banyaknya bank-bank yang berjatuhan pasca deregulasi tersebut, pemerintah berkeinginan membantu dengan alasan untuk menjaga stabilitas moneter nasional dan menjaga, agar kepercayaan masyarakat terhadap bank tidak berkurang. Untuk keperluan itu, pemerintah menerbitkan suatu kebijakan baru yang dituangkan melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998, tanggal 26 Januari Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 29) tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Namun demikian, suatu pertanyaan dapat diajukan sehubungan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden tersebut, yaitu apakah tidak ada muatanmuatan khusus bagi pengambil kebijakan yang seolah untuk membantu keselamatan bank dari keambrukan dan menjamin dana nasabah yang disimpan di bank yang bersangkutan, justru sebenarnya untuk melindungi kepentingankepentingan kelompok tertentu yang berlindung dibalik legitimasi yuridis? Pertanyaan di atas diajukan, karena dalam pelaksanaannya ada indikasi, bahwa uang rakyat yang diperoleh dari pinjaman luar negeri itu telah disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu. Penggunaan "tangan" otoritas moneter yang menyalurkan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), hanya sebagai suatu pemenuhan prosedur.
5
Karena itu, dengan dalih untuk menjamin dana nasabah justru menguras dana rakyat. Belum lagi yang menyangkut pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang ditentukan sebesar 30 Prosen dari modal bank untuk perusahaan satu grup (Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian juga dengan kasus Bank Bali yang akhir-akhir (bulan Agustus 1999) mencuat ke permukaan, sebenarnya hanya merupakan letupan kecil dari sekian banyak kasus yang belum mengemuka. Konspirasi kejahatan
itu, telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit yang
harus ditanggung oleh rakyat dan bangsa Indonesia, serta masyarakat yang telah mempercayakan dananya untuk disimpan dan dikelola oleh bank yang bersangkutan. Penggunakan bank sebagai ajang atau wahana untuk melakukan kejahatan, ternyata menimbulkan korban, baik secara langsung maupun tidak langsung. Upaya untuk menanggulangi kejahatan jenis ini melalui sarana hukum pidana dalam rangka untuk melindungi korban, dalam arti mngembalikan dan menyelematkan
uang
rakyat,
serta
melindungi
kepentingan
masyarakat
penyimpan dana di bank, demikian juga kepentingan bank yang dijadikan sasaran kejahatan, masih belum menampakkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Konsep fungsionalisasi hukum pidana, sebagaimana dikatakan oleh Barda Nawawi Arief (1992: 157) dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret. Namun upaya ke arah itu masih belum nampak, hal itu berkaitan dengan berbagai faktor
non-yuridis
ataupun
faktor
yuridis
yang
mempengaruhi
dalam
memfungsikan hukum pidana, baik Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pem-berantasan Tindak Pidana
6
Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19), Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 27), maupun ketentuan pidana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182). Di samping juga, mencermati berbagai peraturan yang berkaitan dengan perbankan, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Kepres, maupun Instruksi Menteri dan sebagainya.
B. Tinjauan Historis Dilihat dari segi sejarahnya, usaha bank sudah dikenal sekitar tahun 2500 Sebelum Masehi di Mesir purba dan Yunani kuno, baru kemudian bangsa Romawi. Dalam perjalanan berikutnya, bank modern berkembang di Itali sekitar abad pertengahan yang dikuasai oleh beberapa keluarga untuk membiayai kePausan dan perdagangan wol. Perkembangan yang pesat terjadi dalam abad ke-18 dan 19 (Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus, Jilid I: 393). Di abad XX ini, perkembangan dunia perbankan semakin menunjukkan peranan yang penting dalam menunjang pembangunan perekonomian suatu negara. Di Indonesia, sesuai dengan amanat yang telah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, maka dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur, pelaksanaan pembangunan
perekonomian
harus
lebih
memperhatikan
keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan terhadap unsur-unsur Trilogi Pembangunan: pemerataan pembangunan; pertumbuhan ekonomi; dan stabilitas nasional. Peranan perbankan dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur Trilogi Pembangunan tersebut sangatlah strategis, karena fungsi utama
7
bank adalah sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien. Melihat peranan yang strategis itu, maka apabila dikaitkan dengan persaingan global yang semakin ketat, diharapkan lembaga perbankan benar-benar dapat menjaga kepercayaan masyarakat yang telah menitipkan dana kepadanya, serta mampu menyalurkannya ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan. Namun demikian, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat (para deposan) kepada lembaga perbankan, seringkali tidak sebagaimana yang diharapkan. Akibatnya dapat menimbulkan keresahan dan selanjutnya akan melemahnya kepercayan masyarakat terhadap bank.
C. Kejahatan di Bidang Perbankan Kejahatan yang berkaitan dengan perbankan, merupakan salah satu bentuk kejahatan ekonomi yang terdiri dari kejahatan di bidang perdagangan, kejahatan di bidang investasi, kejahatan di bidang perusahaan, kejahatan di bidang lingkungan hidup, kejahatan di bidang komputer, asuransi, pajak, maritim, dan kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi lainnya. Oleh karena kejahatan di bidang perbankan termasuk dalam bidang kejahatan ekonomi, maka perlu dikemukakan apa yang dimaksud dengan kejahatan ekonomi tersebut. Kendati sulit dalam menetapkan batasan yang tepat tentang kejahatan ekonomi, karena mengingat kejahatan ekonomi berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi, ekonomi dan sosial suatu masyarakat. Hal ini juga diakui oleh Muladi (1992: 12), bahwa :
8
kesulitan tersebut disebabkan karena persoalan-persoalan ekonomi merupakan bagian dari kehidupan antarbangsa dalam rangka globalisasi ekonomi. Hubunganhubungan ekonomi antarbangsa menjadi bersifat interdepedensi dan melewati batas-batas nasional.
Berdasarkan uraian di atas, maka sebagai bahan acuan dapat dikemukakan, bahwa yang dimaksud dengan kejahatan ekonomi adalah "Setiap perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dalam bidang perekonomian dan bidang keuangan serta mempunyai sanksi pidana (Mardjono Reksodiputro, Bahan Seminar Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, 1993: 57). Selain itu, Muladi (1992: 19) yang menggunakan pendekatan teknis mengatakan, bahwa kejahatan ekonomi lebih menampakkan dirinya sebagai kejahatan di lingkungan bisnis, yakni bilamana pengetahuan khusus tentang bisnis diperlukan untuk menilai kasus yang terjadi. Atas dasar konstruksi yang demikian itu Muladi mengemukakan, bahwa yang dimaksud dengan kejahatan ekonomi adalah setiap perbuatan
yang
dilakukan
oleh
orang
dan
atau
badan
hukum,
tanpa
menggunakan kekerasan, bersifat melawan hukum, yang hakikatnya mengandung unsur-unsur penipuan, memberikan gambaran salah, penggelapan, manipulasi, melanggar kepercayaan, akal-akalan atau penge-lakan peraturan. Selanjutnya, Muladi (1992: 6-7) mengidentifikasikan beberapa tipe kejahatan ekonomi sebagai berikut:
1. kejahatan yang dilakukan dalam kerangka kepen tingan individu, contohnya adalah credit card frauds;
9
2. kejahatan yang dilakukan dalam kerangka perda gangan, pemerintahan atau kelembagaan lain, dalam kerangka menjalankan pekerjaan, tetapi dengan cara melanggar kepercayaan, contohnya adalah banking violations by bank officers and employees (embezzlement and misapplication of funds); 3. kejahatan yang berhubungan atau merupakan
kelanjutan operasional
perdagangan, tetapi bukan merupakan tujuan utama perdagangan tersebut, contohnya adalah suap-menyuap dan memberikan informasi yang salah untuk memperoleh kredit; 4. kejahatan sosio-ekonomi sebagai usaha bisnis atau sebagai aktivitas uatama, contohnya adalah penyalahgunaan kredit bank.
Sedangkan pengertian kejahatan di bidang perbankan, berbeda dengan kejahatan perbankan. Kejahatan di bidang perbankan, adalah kejahatan yang terjadi di kalangan dunia perbankan, baik yang diatur dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998
tentang
Perbankan
maupun
dalam
perundang-undangan
lainnya.
Sedangkan pengertian kejahatan perbankan, adalah kejahatan yang hanya diatur dalam undang-undang perbankan (Marulak Pardede, 1995: 13). Moch. Anwar (1986: 44-45). juga membedakan antara pengertian tindak pidana perbankan dengan tindak pidana di bidang perbankan, pembedaan tersebut menurutnya didasarkan pada perbedaan perlakuan peraturan terhadap perbuatanperbuatan yang telah melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatankegiatan dalam menjalankan usaha bank. Lebih lanjut dikatakan, tindak pidana perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tentang perbankan, pelanggaran mana dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang tersebut. Sedangkan tindak pidana
10
di bidang perbankan, terdiri atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha pokok bank, perbuatan mana dapat diperlakukan peraturan-peraturan pidana di luar Undang-undang No. 10 tahun 1998. Peraturan-peraturan yang dimaksud, adalah seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU. No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dikenakannya ketentuan ini, karena kejahatan jenis ini pada umumnya menimbulkan kerugian yang sangat besar, baik terhadap bank itu sendiri, masyarakat pada umumnya maupun nasabah bank.
D. Fungsionalisasi Hukum Pidana Mengingat kerugian yang ditimbulkan cukup besar, maka upaya perlindungan terhadap nasabah bank sudah waktunya dilakukan, karena sampai saat ini nasabah yang menjadi korban kejahatan di bidang perbankan masih belum terlindungi kepentingannya. Padahal akses nabah besar sekali peranannya bagi kelangsungan beroperasinya lembaga bank. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka memfungsikan hukum pidana sudah saatnya dikedepankan, karena mengingat kelihaian pelaku yang terkadang sulit terdeteksi oleh aparat penegak hukum, bahkan sarana perdata atau tindakan administrasi belum mampu membendung para pelaku kejahatan kerah putih itu beraksi. Akibatnya, perlindungan terhadap korban dirasakan masih belum memadai. Untuk memfungsikan hukum pidana, pertama-tama
perlu ditelusuri
minimal tiga faktor, yaitu faktor peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum dan kesadaran hukum (Barda Nawawi Arief, 1992: 157). Ketiga faktor ini
11
saling terkait dalam menentukan tegak atau tidaknya hukum pidana, di samping faktor-faktor lainnya yang berpengaruh terhadap penegakan hukum pidana. Pada faktor yang pertama (peraturan perundang-undangan), menurut Barda Nawawi Arief (1992: 157-158) yang perlu dikaji adalah faktor kebijakan legislatif yang berhubungan dengan masalah kejahatan ekonomi (kejahatan di bidang perbankan, pen.). Lebih lanjut dikatakan: Peninjauan masalah ini sangat penting, karena kebijakan legislatif ini pada dasarnya merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses penegakan hukum pidana. Selanjutnya, pada faktor kedua adalah yang me-
nyangkut aparat penegak
hukum. Hal ini penting karena mengingat sifat atau ciri dari kejahatan di bidang perbankan yang merupakan kejahatan white-collar dan kejahatan terorganisir, di mana pelakunya termasuk salah satu yang sulit dijangkau oleh hukum. Di samping itu, dalam laporan Kongres PBB ke-6 tahun 1980 dikemukakan, bahwa dalam menghadapi kejahatan kerah putih aparat penegak hukum relatif tidak berdaya karena ada alasan, yaitu : 1. kedudukan ekonomi atau politik yang kuat dari si pelaku; 2. keadaan-keadaan sekitar perbuatan yang mereka lakukan itu sedemikian rupa sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk dilaporkan atau dituntut (Barda Nawawi Arief, 1992: 165). Kemudian, faktor mengenai kesadaran hukum. Faktor ini berkaitan dengan kepatuhan terhadap hukum yang dapat dilihat dari perilaku (psikomotorik) seseorang. Dalam pada itu Soerjono Soekanto (1986: 5), dalam penegakan hukum (pidana) harus memperhatikan faktor-faktor berikut ini : 1.faktor hukumnya sendiri (undang-undangnya);
12
2. faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang
membentuk maupun
menerapkan hukum; 3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergayulan hidup; Menurut Soekanto, kelima faktor tersebut saling berkaitan erat satu sama lain. Karena, merupakan essensi dari penegakan hukum serta juga merupakan toluk ukur dari efektifitas memfungsikan hukum (pidana, pen.). Dilihat dari segi undangundangnya, maka harus dicari asas yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, perlu dibedakan antara asas perundang-undangan dan asas jurisprudensi (Ronny Hanitijo Soemitro, 1990: 20-21).
Asas perundang-undangan, merupakan asas
tentang berlakunya suatu undang-undang dalam arti materil, yaitu: 1. undang-undang tidak berlaku surut; 2.
undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih
tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula; 3.
undang-undang yang bersifat khusus, mengesampingkan
undang-undang
yang bersifat umum bilamana pembuatnya sama; 4. undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu; 5. undang-undaang tidak dapat diganggu-gugat; 6. undang-undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat atau individu secara spiritual maupun materiil. Supaya pembuat undang-undang
13
tidak sewenang-wenang atau supaya undang-undang tidak menjadi huruf mati, perlu dipenuhi syarat-syarat tertentu :
1. keterbukaan dalam proses pembuatannya; 2. pemberian hak kepada anggota masyarakat untuk mengajukan usul-usul kepada penguasa. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang, mungkin disebabkan oleh (Soerjono Soekanto, 1986: 12): 1. tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang; 2. belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat
dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang; 3. ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpang-siuran di dalam penafsiran serta penerapannya. Sedangkan asas-asas yurisprudensi menyangkut masalah peradilan. Adapun asas-asas pokok mengenai peradilan, adalah : 1.
Asas preseden, di mana hakim terikat dan tidak boleh menyimpang dari
keputusan-keputusan yang telah diputuskan lebih dahulu oleh hakim yang lebih tinggi tingkatnya. Asas ini berlaku di negara-negara Anglo Saxon. 2. Asas kebebasan, di mana hakim tidak terikat pada keputusan-keputusan hakim yang lebih tinggi. Asas ini dipergunakan di negeri Belanda dan Perancis. Namun demikian, hakim tingkat pertama sampai batas-batas tertentu mengikuti keputusan-keputusan hakim yang lebih tinggi tingkatannya. Dilihat dari unsur penegak hukum, yang meliputi hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan petugas lembaga pemasyarakatan, yang merupakan golongan panutan
14
masyarakat, hendaknya mempunyai kemampuan dalam menangkap aspirasi masyarakat. Penyediaan sarana atau fasilitas dalam upaya menunjang kegiatan dalam penegakan hukum sangat memegang peranan penting. Sebab, tidak mungkin pelaksanaan penegakan hukum akan berlangsung dengan baik tanpa didukung oleh tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil (profesional), organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan sebagainya (Soerjono Soekanto, 1986: 27). Faktor lainnya, adalah masyarakat. Masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum yang didasarkan pada persepsi, bahwa baik-buruknya hukum selalu dikaitkan
dengan
pola
perikelakuan
penegak
hukum
pencerminan dari hukum sebagai struktur atau pun proses
yang
merupakan
Berkaitan dengan
faktor masyarakat ini, adalah faktor kebudayaan sebagai suatu sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku (Soerjono Soekanto, 1986: 45).
Nilai, dapat diartikan sebagai ukuran yang
disadari atau tidak oleh suatu masyarakat atau golongan guna menetapkan apa yang benar, yang baik (Sudarto, 1983: 27,13). Idealnya, apabila kesemua faktor yang telah disebutkan di atas terpenuhi, tentu pelaksanaan hukum (undang-undang) akan dapat dilakukan secara efektif sesuai dengan kehendak pembentuk undang-undang. Akan tetapi, untuk mencapai kesempurnaan absolut tidaklah mungkin. Sering orang mengatakan, meskipun undang-
undangnya baik jika aparat penegak hukumnya masih belum siap,
maka hukumnya tidak akan efektif. Sebaliknya, meskipun undang-undangnya relatif tidak baik, apabila ditunjang oleh aparat pelaksananya yang baik (siap), maka pelaksanaannya akan baik pula. Jadi, titik-beratnya tergantung pada aparat
15
penegak hukumnya. Tapi, apakah asumsi ini bisa diandalkan. Sebab, dalam pelaksanaan hukum erat kaitannya dengan sasaran diberlakukannya hukum (undang-undang), yakni anggota masyarakat. Dalam kaitan ini, Sudarto (1983: 90-91) mengatakan, bahwa pengaruh umum dari pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi (pidana) itu. Namun demikian, intensitas pengaruh ini tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak dianggap tercela. Misalnya, dalam pelanggaran lalu-lintas. Dalam hal ini, ancaman pidana yang berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut. Akan tetapi, ancaman pidana yang berat, tidak banyak artinya jika tidak dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula. Pendapat Sudarto ini,
relevan untuk melihat fungsionalisasi hukum pidana
terhadap kejahatan di bidang perbankan, sebab meskipun Undang-undang Perbankan telah menetapkan sanksi pidana maupun denda yang sangat berat, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A, namun pelanggaran terhadap ketentuan tersebut terus saja berlangsung. Demikian juga dengan ketentuan-ketentuan lainnya di luar undang-undang perbankan tersebut. Untuk itu, sebagaimana yang diingatkan oleh Barda Nawawi Arief (1992: 166), bahwa :
Kejahatan di bidang perbankan merupakan salah satu bentuk kejahatan yang erat hubungannya dengan sistem atau struktur sosial ekonomi masyarakat yang tidak hanya bersifat nasional, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh tatanan ekonomi dunia internasional. Secara nasional, penegakan hukum
pidana
terhadap
16
kejahatan di bidang perbankan harus memperhatikan kebijakan sosial dan tahaptahap pembangunan nasional. Ini berarti, bahwa penegakan hukum pidana harus memperhatikan
sasaran-sasaran pembangunan ekonomi nasional yang
hendak dicapai. Adanya pengaruh globalisasi ekonomi dan keterkaitan dengan tata
ekonomi
internasional
sudah
barang
tentu
menuntut
usaha-usaha
pembaharuan untuk mengoptimalkan penegakan hukum pidana.
Dalam pada itu Kongres PBB ke-7 tahun 1985 sebagaimana dikutif oleh Barda nawawi Arief (1992: 167) dikemukakan, bahwa mengingat keterjalinan antara pencegahan kejahatan dengan pembangunan dan tata ekonomi internasional, perubahan-perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi harus dibarengi dengan pembaharuan-pembaharuan yang tepat di bidang sistem peradilan pidana untuk menjamin sifat responsif dari sistem hukum pidana terhadap nilai-nilai dasar dan tujuan-tujuan masyarakat serta aspirasi masyarakat internasional. Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur. Struktur, adalah mekanisme yang terkait dalam kelembagaan. Substansi, adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari sistem itu. Kemudian kultur, adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem Rambu-rambu tersebut dipasang, agar pemerintah sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak pada kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek), sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya, justru akan merugikan bangsa sendiri. Contohnya, adalah peluncuran kebijakan Paket Deregulasi 28
17
Oktober 1988, yang oleh banyak kalangan sudah diramalkan hanya akan menjadi bom waktu. Sebab dengan kebijakan tersebut, siapa pun asal punya dana Rp 10 miliar boleh mendirikan bank, sehingga sejak saat itu bank tumbuh bak jamur di musim hujan. Sekarang apa yang terjadi, justru menjamurnya kejahatan di bidang perbankan dengan mengorbankan berbagai kepentingan, termasuk dana masyarakat yang dipercayakan untuk disimpan di bank. Upaya memfungsikan hukum pidana
terhadap kejahatan ekonomi di bidang
perbankan, maka dalam teori ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu :
1. Pendekatan yang bersifat tradisonal (fundamen tal approach). Menurut pendekatan ini, fungsi hukum pidana diarahkan terutama untuk mempertahankan dan melindungi nilai-nilai moral, karenanya unsur kesalahan selalu merupakan unsur utama dalam syarat pemidanaan dan berkait erat pula dengan teori-teori pemidanaan yang bersifat retributif. 2. Pendekatan utilitarian (utilitarian approach). Pada pendekatan ini, hukum pidana dan sanksi pidana dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana yang dapat melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan. Karena itu, kegunaan sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan kondisi yang lebih baik. 3. Pendekatan dengan menggunakan administrative penal law. Pendekatan ini didasarkan pada proses modernisasi dan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat, sehingga muncul perkembangan baru dalam fungsi hukum pidana dan sanksi pidana. Hukum pidana digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab negara dalam mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin komplek. Digunakannya sanksi pidana, adalah
18
untuk mendukung norma hukum administratif. Dalam konteks ini muncul bentuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang disebut strict liability yang meninggalkan asas mens rea sebagai refleksi kecenderungan untuk menjaga keseimbangan kepentingan sosial (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991: 178-179).
Ketiga pendekatan tersebut, bukan berarti yang satu lebih penting daripada yang lainnnya, melainkan harus dilihat sesuai dengan konteks kasusnya.
E. Penutup Mengingat kejahatan ekonomi di bidang perbankan telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, maka fungsionalisasi hukum pidana terhadap kejahatan ekonomi di bidang perbankan harus memperhatikan kebijakan sosial dan tahaptahap pembangunan nasional. Ini berarti, fungsionalisasi hukum pidana harus pula memperhatikan sasaran-sasaran pembangunan ekonomi nasional yang hendak dicapai. Dengan adanya pengaruh globalisasi ekonomi, sudah barang tentu menuntut usaha-usaha pembaharuan guna mengoptimalisasikan berfungsinya hukum pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Gottfredson, Michael R, and Travis Hirschi, 1990,
A General Theory of Crime,
Stanford University Press, California.
19
Koeswadji, Hermien Hadiati, 1983, Delik Harta Kekayaan dalam Kaitan Pembahasan dengan Kasus Peradilan, Dalam Hermien Hadiati Koeswadji (ED), Delik Harta Kekayaan Asas-asas, Kasus dan Permasalahannya: Sinar Wijaya, Surabaya.
Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum.
Pardede, Marulak, 1995, Hukum Pidana Bank, Sinar Harapan, Jakarta.
Bahan Hukum Primer
GBHN 1993.
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Lembaran Negara Tahun 1998 No. 182.
Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, Tanggal 26 Januari 1998, Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 29.
Bahan Hukum Sekunder
Irsan, Koesparmono, 1993, Kejahatan di Bidang Perbankan, Makalah Seminar: Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bank Indonesia, Jakarta.
20
Muladi, 1993, Kerjasama Internasional Dalam Pencegahan
Kejahatan dan
Peradilan Pidana, Bahan Penataran Nasional: Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP.
Reksodiputro, Mardjono, 1993, Hukum Positif Mengenai Kejahatan Ekonomi dan Perkembangannya di Indonesia, Makalah Seminar: Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bank Indonesia, Jakarta.
Samadikun, Ny. G.M., Kejahatan dengan Sarana Komputer di Bidang Perbankan, Makalah Seminar: Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bank Indonesia, Jakarta.
Susanto, 1991, Kecenderungan-kecenderungan Dalam An-cangan Kriminologi di Indonesia, Makalah Seminar Kriminologi VI tentang "National Trend in Crime", Semarang: Kerjasama Faklultas Hukum UNDIP ASPEHUPIKI dan Program Kerjasama Hukum
Indonesia - Belanda.
Ensiklopedi Indonenesia Edisi Khusus, Jilid I.
Jawa Pos, 7 Desember 1995.
Jawa Pos, 29 Desember 1995.
Forum Keadilan No. 12 Tahun VII, 21 September 1998.•2
21