PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN (Oleh: M. Arief Amrullah, S.H.,M.Hum)
I. PENDAHULUAN Seiring dengan pesatnya pembangunan di bidang ekonomi, termasuk lembaga keuangan (bank), maka tidak jarang pula telah terjadi penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang rakus akan kepuasan duniawi. Penyimpangan-penyimpangan itu menunjukkan terjadinya pergeseran nilai, yaitu dari struktur masyarakat tradisional (agraris) ke struktur masyarakat industri (modern). Pemerintah kita memang tengah membawa struktur masyarakatnya ke arah masyarakat industri dimaksud yang ditandai dengan adanya keterbukaan sikap, rasional, dan sifat pekerjaan yang kompetitif. Akibat perbedaan pola kehidupan dan karakteristik struktur tersebut, telah menimbulkan berbagai variasi kehidupan bagi setiap individu. Di satu pihak ada individu atau kelompok individu yang dapat menyesuaikan dengan perubahan pola kehidupan yang terjadi, di lain pihak ada pula individu atau kelompok individu yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang tengah dihadapinya itu. Dalam perspektif yang demikian ini, maka para pelaku kejahatan (crime offenders) tidak lagi semata-mata didominasi oleh golongan kelas bawah (lower class) sebagaimana yang telah kita kenal selama ini (blue-collar crime), tetapi juga yang tidak kalah berbahayanya dan bahkan lebih jahat daripada blue collar crime, adalah apa yang disebut dengan white-collar crime (crime in the upper) sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Sutherland melalui pidato bersejarahnya di hadapan American Sociology Society tahun 1939, yaitu suatu istilah yang menunjuk pada "crimes committed by people of respectability and high standing in the community (Michael R. Gottfredson and Travis Hirschi, 1990: 38). Indonesia yang tengah membangun ekonominya melalui berbagai sektor, termasuk sektor perbankan, telah meletakkan garis kebijakan moneter sebagaimana yang tercantum dalam GBHN 1993 dan GBHN 1998, di mana "kebijakan moneter itu diarahkan untuk mendukung pemerataan pem-
bangunan dan hasil-hasilnya yang makin luas, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas ekonomi yang mantap. Kebijakan moneter yang meliputi
kebijakan
pengendalian
uang
beredar,
termasuk
kebijakan
perkreditan dan kebijakan nilai tukar uang, dilaksanakan secara terpadu untuk memantapkan kestabilan nilai uang, ..... Oleh karena itu, lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank harus makin mampu berperan sebagai penggerak dan sarana mobilisasi dana masyarakat yang efektif dan sebagai penyalur yang cermat dari dana tersebut untuk pembiayaan kegiatan yang produktif. Lembaga keuangan yang andal dan dipercaya masyarakat dengan jaringan pelayanan dan jasa perantara ditumbuhkembangkan dan diperluas penyebarannya agar dapat menjangkau seluruh pelosok tanah air serta segenap lapisan masyarakat sehingga mampu mendorong, merangsang, dan menumbuhkan motivasi masyarakat berperanserta dalam pembangunan serta sekaligus meningkatkan efisiensi, produktivitas, serta keandalannya...." Indonesia yang menganut devisa bebas berupaya untuk menarik uang sebanyak-banyaknya, baik dari modal asing maupun dari masyarakat. Dalam perolehan uang tersebut tidak akan menanyakan dari mana uang itu ber-asal, yang penting uang masuk sebanyak-banyaknya, kecuali atas petunjuk dan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, bahwa uang tersebut hasil kejahatan. Dalam upaya untuk menyemarakan sirkulasi moneter di tanah air, pemerintah antara lain telah menerapkan kebijakan deregulasi perbankan, yaitu Kebijakan Pakto 28 Oktober 1988, dan Pakmei tanggal 23 Mei 1993 tentang Deregulasi Perbankan yang bertujuan untuk menggairahkan kembali kelesuan yang dialami oleh industri perbankan serta untuk memudahkan pendirian bank dan pembukaan bank, sehingga dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Itulah sebabnya sejak ditetapkannya deregulasi tersebut, dunia perbankan semakin bergairah terbukti dengan munculnya sejumlah bank-bank baru yang berhasil dalam meningkatkan pengerahan dana dan menyalurkannya kembali ke dalam masyarakat (Marulak Pardede, 1995: 38, 75). Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, khususnya Pakto 28 1988, jelas sangat mempengaruhi sistem politik ekonomi kita yang pada gilirannya akan meningkatkan devisa bagi negara. Namun, dibalik kemudahan-kemudahan yang telah diberikan itu akan diikuti pula oleh meningkatnya tindak kejahatan
di bidang perbankan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini merupakan kendala yang serius di bidang perbankan pada khususnya dan terhadap pembangunan ekonomi pada umumnya. Timbulnya berbagai kejahatan ekonomi di bidang perbankan akhir-akhir ini, merupakan buah atau hasil dari suatu kebijakan yang tidak diremcanakan secara cermat. Dalam situasi seperti itu, nasabah (korban) yang menyimpan dananya di bank akan semakin rawan keamanannya, karena sampai saat ini di Indonesia belum ada ketentuan yang khusus mengatur mengenai perlindungan terhadap kepentingan nasabah bank, sehingga apabila dana yang disimpannya di suatu bank ternyata hilang atau nasabah tidak bisa mencairkan dananya karena bank yang bersangkutan bermasalah, maka dengan demikian kedudukan nasabah tersebut adalah lemah. Sementara itu, perangkat hukum seperti Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1998 No. 182) dan perundang-undangan lainnya seperti KUHP masih belum diberdayakan sebagaimana mestinya. Akibatnya, perlindungan dan jaminan hukum terhadap korban kejahatan di bidang perbankan, juga masih lemah.
II. RUANG LINGKUP DAN PERKEMBANGAN PENGERTIAN KORBAN KEJAHATAN Suatu tindak kejahatan, termasuk kejahatan di bidang perbankan selalu melibatkan dua
pihak,
yaitu
pelaku
dan
korban.
Dalam kriminologi
konvensional, para ilmuan dalam mencari sebab-sebab terjadinya kejahatan lebih banyak berorientasi pada pelaku dan tidak/kurang memperhatikan korban yang secara faktual juga ikut terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu tindak kejahatan (Arif Gosita, 1993: 98), walaupun tidak semua tindak kejahatan selalu melibatkan peranan korban. Dalam beberapa kasus kejahatan di bidang perbankan, seperti kasus bank dalam bank (kasus BPR Bima Hayu Jember), Kasus Bank Summa, peranan korban besar sekali bagi berlangsungnya kejahatan tersebut, karena korban tergiur dengan kemudahan-kemudahan dan bunga yang tinggi. Akan tetapi tanpa disadari, ternyata justru merugikan korban sendiri, meskipun ada juga
korban tidak terlibat di dalamnya, yaitu apabila kejahatan itu dilakukan oleh pelaku dengan bekerjasama dengan orang dalam. Perjalanan
sejarah
bertalian
dengan
permasalahan
korban
memang
membutuhkan waktu yang cukup lama dan panjang. Setelah dua peperangan dunia yang besar dengan korban yang begitu banyak, barulah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 11 Desember 1985 menghasilkan Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Menurut Reksodiputro (1988: 97), ada dua arus yang perlu diketahui sehubungan dengan perhatian para ilmuwan terhadap victimology, yaitu : 1. adanya pikiran bahwa negara turut
bersalah
dalam terjadinya korban,
karena itu sewajarnyalah negara memberikan kompensasi kepada korban; 2. adanya aliran pemikiran baru dalam kriminologi
yang meninggalkan
pendekatan positivis, dan lebih memperhatikan proses-proses yang terjadi dalam
sistem
peradilan
pidana
dan
struktur
masyarakatnya
(ctitical
criminology), pandangan kriminologi kritis ini banyak mempengaruhui pemikiran dalam victimology.
Dalam pada itu, Muladi (Makalah Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, 1995: 5) membedakan antara korban kejahatan konvensional dengan korban kejahatan nonkonvensional (white-collar). Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat dengan mudah diidentifikasikan, sedangkan pada kejahatan white-collar korbannya seringkali bersifat abstrak, baik perorangan, masyarakat, perusahaan maupun pemerintah. Sementara itu, perangkat hukum seperti Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya masih banyak kelemahannya dalam mengatasi kejahatan di bidang ini, demikian juga dengan aparat penegak hukumnya. Akibatnya, perlindungan
dan jaminan
hukum terhadap korban, juga masih lemah. Oleh karena itu, sudah saatnya meninjau
kebijakan
legislatif
yang
telah
ada
dan
menyempurnakan
peraturannya, serta ketentuan pidana dalam rangka perlindungan terhadap korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan.
IV.
PERLINDUNGAN KORBAN
KEJAHATAN EKONOMI
DI
BIDANG
EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA DI INDONESIA Di abad XX ini, perkembangan dunia perbankan semakin menunjukkan peranan yang penting dalam menunjang pembangunan perekonomian suatu negara. Di Indonesia, sesuai dengan amanat yang telah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, maka dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur,
pelaksanaan
pembangunan
perekonomian
harus
lebih
memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan terhadap unsurunsur Trilogi
Pembangunan: pemerataan pembangunan;
pertumbuhan
ekonomi; dan stabilitas nasional. Peranan perbankan dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masingmasing unsur Trilogi Pembangunan tersebut sangatlah strategis, karena fungsi utama bank adalah sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien. Melihat peranan yang strategis itu, maka apabila dikaitkan dengan persaingan global yang semakin ketat,
diharapkan lembaga perbankan benar-benar
dapat menjaga kepercayaan masyarakat yang telah menyimpan dana kepadanya, serta mampu menyalurkannya ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan. Namun demikian, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat (para deposan) kepada lembaga perbankan, seringkali tidak sebagaimana yang diharapkan. Akibatnya dapat menimbulkan keresahan dan selanjutnya akan melemahnya kepercayan masyarakat terhadap bank. Munculnya berbagai kebijakan yang dikemas dalam Paket Deregulasi sebagaimana telah dikemukakan di atas, memang dalam program jangka pendek sangat menggembirakan, karena maraknya bank-bank baru layaknya jamur dimusim hujan. Akan tetapi, pertumbuhan bank yang banyak itu tidak dibarengi
dengan
persyaratan-persyaratan
pengelolaan
bank
yang
profesional, serta pengawasan dari Bank Indonesia yang masih belum memadai,
sehingga
semula
tujuan
mendirikan
bank
adalah
untuk
meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional, telah menyimpang dari tujuan semula, karena danaya banyak disalurkan ke perusahaan satu grup.
Akibatnya menjadikan bank tersebut hancur dan perekonomian nasional ambruk. Pengaturan lembaga perbankan di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, lebih banyak diarahkan pada persyaratan-persyaratan administratif tentang ijin usaha mendirikan bank, dan kurang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan peran lembaga perbankan tersebut. Dengan demikian, belum terlihat yang semestinya harus diper-hatikan, yaitu segi hukum nasabah dan bank. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini,
bahwa
Undang-undang
tentang
Perbankan
dan
ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, pada saat ini belum memungkinkan bagi masyarakat untuk dapat mengetahui secara jelas dan benar mengenai keadaan kesehatan suatu bank. Paling jauh, masyarakat hanya mempunyai neraca bank yang diumumkan setiap enam bulan sekali. Namun, neraca yang diumumkan hanya terbatas pada keuangannya, sedangkan
kesehatan
suatu
bank
tidak
hanya
dinilai
berdasarkan
keuangannya saja, sebab ada faktor lain yang harus dinilai, yaitu misalnya aspek manajemen bank. Kurangnya informasi yang dapat diperoleh dari suatu bank, memungkinkan masyarakat rentan menjadi korban. Karena mereka seperti berjalan di hutan belantara, yang tidak mengetahui tingkat kesehatan yang sebenarnya dari suatu bank. Keadaan seperti ini sangat memberikan peluang kepada pihak pemilik bank untuk menyalahgunakan dana masyarakat yang disimpan di banknya. Pasal 29 ayat (4) memang ada mengatur mengenai informasi (transfaransi) kepada nasabah, tetapi menurut Penjelasan Pasal 29 ayat (4), antara lain menyatakan, bahwa informasi tersebut diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara penempatan dana dari nasabah atau pembelian/penjualan surat berharga untuk kepen-
tingan dan atas perintah nasabahnya.
Munculnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak banyak melakukan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, khususnya perlindungan terhadap masyarakat penyimpan dana yang menjadi korban. Apabila dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1996 yang telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1997
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, ternyata menempatkan nasabah deposan tidak berada dalam urutan pertama yang akan dibayar oleh Tim Likuidasi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 23 dari Peraturan Pemerintah tersebut, di mana gaji pegawai, biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terhutang, pajak dan biaya kantor, harus didahulukan sebelum para nasabah deposan memperoleh pembayaran.
2. Fungsi Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Korban Mengingat kerugian yang ditimbulkan cukup besar, maka upaya perlindungan terhadap nasabah bank sudah waktunya dilakukan, karena sampai saat ini nasabah yang
belum terlindungi kepentingannya. Padahal akses nabah
besar sekali peranannya bagi kelangsungan beroperasinya lembaga bank. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka memfungsikan hukum pidana sudah saatnya dikedepankan, karena mengingat kelihaian pelaku yang terkadang sulit terdeteksi oleh aparat penegak hukum, bahkan sarana perdata atau tindakan administrasi belum mampu membendung para pelaku kejahatan kerah putih itu beraksi. Akibatnya, perlindungan terhadap korban dirasakan masih belum memadai. Untuk memfungsikan hukum pidana, pertama-tama perlu ditelusuri minimal tiga faktor, yaitu faktor peraturan perundangundangan, aparat penegak hukum dan kesadaran hukum (Barda Nawawi Arief, 1992: 157). Ketiga faktor ini saling terkait dalam menentukan tegak atau tidaknya hukum pidana, di samping faktor-faktor lainnya yang berpengaruh terhadap penegakan hukum pidana. Pada faktor yang pertama (peraturan perundang-undangan), menurut Barda Nawawi Arief (1992: 157-158) yang perlu dikaji adalah faktor kebijakan legislatif yang berhubungan dengan masalah kejahatan ekonomi (kejahatan di bidang perbankan, pen.). Lebih lanjut dikatakan: Peninjauan masalah ini sangat penting, karena
kebijakan legislatif ini pada dasarnya merupakan
tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses penegakan hukum pidana. Selanjutnya, pada faktor kedua adalah yang me-
nyangkut aparat penegak
hukum. Hal ini penting karena mengingat sifat atau ciri dari kejahatan di bidang perbankan yang merupakan kejahatan white-collar dan kejahatan
terorganisir, di mana pelakunya termasuk salah satu yang sulit dijangkau oleh hukum. Kemudian, faktor mengenai kesadaran hukum. Faktor ini berkaitan dengan kepatuhan terhadap hukum yang dapat dilihat dari perilaku (psikomotorik) seseorang. Sehubungan dengan hal ini, Sudarto (1983: 90-91) mengatakan, bahwa pengaruh umum dari pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi (pidana) itu. Namun demikian, intensitas pengaruh ini tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak dianggap tercela. Misalnya, dalam pelanggaran lalu-lintas. Dalam hal ini, ancaman pidana yang berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut. Akan tetapi, ancaman pidana yang berat, tidak banyak artinya jika tidak dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula. Pendapat Sudarto ini, relevan untuk melihat penegakan hukum pidana terhadap kejahatan di bidang perbankan, sebab meskipun Undang-undang Perbankan telah menetapkan sanksi pidana maupun denda yang sangat berat, yaitu pidana penjara berkisar antara 1 sampai dengan 15 tahun dan denda antara 1 miliar sampai dengan 200
miliar, namun pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut terus saja berlangsung. Untuk itu, sebagaimana yang diingatkan oleh Barda Nawawi Arief (1992: 166), bahwa : Kejahatan di bidang perbankan merupakan salah satu bentuk kejahatan yang erat hubungannya dengan sistem atau struktur sosial ekonomi masyarakat yang tidak hanya bersifat nasional, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh tatanan ekonomi dunia internasional. Secara nasional, penegakan hukum
pidana
terhadap kejahatan di bidang perbankan harus memperhatikan kebijakan sosial dan tahap-tahap pembangunan nasional. Ini berarti, bahwa penegakan hukum pidana harus memperhatikan
sasaran-sasaran pembangunan
ekonomi nasional yang hendak dicapai. Adanya pengaruh globalisasi ekonomi dan keterkaitan dengan tata ekonomi internasional sudah barang tentu menuntut usaha-usaha pembaharuan untuk mengoptimalkan penegakan hukum pidana.
Dalam pada itu Kongres PBB ke-7 tahun 1985 sebagaimana dikutif oleh Barda nawawi Arief (1992: 167) dikemukakan, bahwa mengingat keterjalinan antara pencegahan kejahatan dengan pembangunan dan tata ekonomi internasional, perubahan-perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi harus dibarengi dengan pembaharuan-pembaharuan yang tepat di bidang sistem peradilan pidana untuk menjamin sifat responsif dari sistem hukum pidana terhadap nilai-nilai dasar dan tujuan-tujuan masyarakat serta aspirasi masyarakat internasional. Rambu-rambu tersebut dipasang, agar pemerintah sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak pada kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek), sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya, justru akan merugikan bangsa sendiri. Contohnya, adalah peluncuran kebijakan Paket Deregulasi Oktober 1988, yang oleh banyak kalangan sudah diramalkan hanya akan menjadi bom waktu. Sebab dengan kebijakan tersebut, siapa pun asal punya dana Rp 10 miliar boleh mendirikan bank, sehingga sejak saat itu bank tumbuh bak jamur di musim hujan. Sekarang apa yang terjadi, justru menjamurnya kejahatan di bidang perbankan dengan mengorbankan berbagai kepentingan, termasuk dana masyarakat yang dipercayakan untuk disimpan di bank. Upaya memfungsikan hukum pidana dalam rangka perlindungan terhadap nasabah korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, maka dalam teori ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu : 1. Pendekatan yang bersifat tradisonal (fundamen tal approach). Menurut pendekatan
ini,
fungsi
hukum
pidana
diarahkan
terutama
untuk
mempertahankan dan melindungi nilai-nilai moral, karenanya unsur kesalahan selalu merupakan unsur utama dalam syarat pemidanaan dan berkait erat pula dengan teori-teori pemidanaan yang bersifat retributif. 2. Pendekatan utilitarian (utilitarian approach). Pada pendekatan ini, hukum pidana dan sanksi pidana dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana yang dapat melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan. Karena itu,
kegunaan sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan kondisi yang lebih baik. 3. Pendekatan dengan menggunakan administrative penal law. Pendekatan ini didasarkan pada proses modernisasi dan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat, sehingga muncul perkembangan baru dalam fungsi hukum pidana dan sanksi pidana. Hukum pidana digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab negara dalam mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin komplek. Digunakannya sanksi pidana, adalah
untuk mendukung norma hukum administratif. Dalam konteks ini
muncul bentuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang disebut strict liability yang meninggalkan asas mens rea sebagai refleksi kecenderungan untuk menjaga keseimbangan kepentingan sosial (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991: 178-179). Dalam upaya melindungi korban kejahatan di bidang perbankan ini, maka pendekatan yang ketiga relevan untuk dipertimbangkan, karena mengingat bank sebagai korporasi yang potensi melanggar hak-hak korban sudah seharusnya diberikan pembebanan kewajiban untuk melindungi kepentingan korban.
F. PENUTUP Upaya perlindungan hukum pidana terhadap korban (nasabah penyimpan dana) kejahatan ekonomi di bidang perbankan, masih belum memadai dalam hukum positif kita, sehingga penegakannya menjadi lemah. Karena itu, pengkajian kembali terhadap peraturan perundangan yang ada masih perlu terus dilakukan. Demikian juga dengan pengkajian terhadap azas-azas dan teori-teori hukum (pidana) yang selalu berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Gottfredson, Michael R, and Travis Hirschi, 1990, Crime, Stanford University Press, California.
A General Theory of
Gosita, Arif, 1993, "Peranan Korban Dalam Interaksi Sosial Mempengaruhi Terjadinya Kejahatan", Dalam Arif Gosita, (ED), Masalah Korban Kejahatan: kumpulan karangan, Akademika Pressindo, Jakarta.
-------------, 1993, "Kedudukan Korban Di dalam Tindak Pidana", Dalam Arif Gosita (ED), Masalah Korban Kejahatan: kumpulan karangan, Akademika Pressindo, Jakarta
Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum.
Nawawi Arief, Barda, 1992, Fungsionalisasi Hukum Pidana terhadap Kejahatan Ekonomi, Dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Pardede, Marulak, 1995, Hukum Pidana Bank, Sinar Harapan, Jakarta.
Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Bahan Hukum Primer
GBHN 1993 dan 1998.
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Tahun 1992 No. 31 dan Tambahan Lembaran Negara RI. No. 3472.
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Tahun 1998 No. 182.
Bahan Hukum Sekunder
Muladi, 1988, Perlindungan Korban Melalui Proses Pemidanaan, Makalah Seminar: Viktimologi yang Diselenggarakan Oleh FH. UNAIR - Surabaya.
------, 1993, Kerjasama Internasional Dalam Pencegahan
Kejahatan dan
Peradilan Pidana, Bahan Penataran Nasional: Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP.
Reksodiputro, Mardjono, 1988, Struktur Perekonomian Dewasa ini dan Permasalahan Korban, Makalah Seminar: Viktimologi yang Diselenggarakan Oleh FH. UNAIR - Surabaya.
Data Polres Jember Tahun 1995.
Jawa Pos, 7 Desember 1995.
Jawa Pos, 29 Desember 1995.