1
SKRIPSI Perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai korban (vicyim) dalam tindak pidana penggelapan di bidang perbankan ditinjaudari viktimologi
Eko Joko Purnomo E. 000515
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
BAB I PENDAHULUAN
3
A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Hal ini berarti bahwa Indonesia menjunjung tinggi hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi terciptanya tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana di rumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke-empat yaitu membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum,
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pembangunan Nasional adalah salah satu cara untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana di rumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke-empat di atas. Pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke-empat. Pelaksanaan pembangunan nasional meliputi semua aspek kehidupan bangsa yang diselenggarakan secara bertahap dengan mendayagunakan seluruh sumber daya nasional dengan tujuan mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata, materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Guna mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus senantiasa memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan berbagai unsur pembangunan, termasuk di bidang ekonomi dan keuangan.
4
Penyelenggaraan pembangunan nasional yang meliputi seluruh aspek kehidupan bangsa termasuk di dalamnya pembangunan ekonomi. Di dalam pembangunan ekonomi harus selalu mengarah kepada mantapnya sistem perekonomian nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi yang harus dijadikan dasar pelaksanaan pembangunan. Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukan arah yang semakin menyatu dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat menunjang
sekaligus
dapat
berdampak
kurang
menguntungkan.
Perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks, oleh karena itu diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor perbankan sehinga diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkukuh perekonomian nasional. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran dalam mengarahkan dan memantapkan sistem ekonomi nasional adalah perbankan. Hal ini disebabkan oleh fungsi utama bank sebagai wadah yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif berasaskan demokrasi ekonomi demi meningkatkan taraf hidup rakyat banyak sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahanan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang menyatakan: Pasal 2 yang berbunyi : “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Pasal 3 yang berbunyi : “Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”.
5
Pasal 4 yang berbunyi : “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak” (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998). Sehubungan dengan sektor perbankan yang memiliki posisi strategis, diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan nasional yang bukan hanya mencakup usaha penyehatan bank secara individu melainkan juga penyehatan sistem perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan Perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, bank-bank itu sendiri dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan perbankan nasional sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional. Memperhatikan peranan lembaga perbankan yang demikian strategis dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, maka terhadap lembaga perbankan perlu senantiasa terhadap pembinaan dan pengawasan yang efektif, dengan didasari oleh landasan gerak yang kokoh antara lembaga perbankan di Indonesia mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar, dan mampu menghadapi persaingan yang semakin bersifat global, mampu melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat kebidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan. Pembinaan dan pengawasan bank agar dapat terlaksana secara efktif, kewenangan dan tanggung jawab mengenai perizinan bank yang semula berada pada Menteri Keuangan menjadi berada pada Pimpinan Bank Indonesia sehingga Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan perizinan, pembinaan dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank yang tidak memenuhi peraturan Perbankan yang berlaku. Dari uraian tersebut maka, Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk menilai dan memutuskan kelayakan pendirian suatu bank dan atau pembukaan kantor bank.
6
Upaya mendukung kesinambungan dan peningkatan pelaksanaan pembangunan dalam hal ini lembaga perbankan telah menunjukkan perkembangan yang pesat, seiring dengan kemajuan pembangunan di Indonesia dan perkembangan perekonomian Internasional, serta sejalan dengan peningkatan tuntutan kebutuhan masyarakat akan jasa perbankan yang tangguh dan sehat. Peningkatan kebutuhan akan jasa perbankan yang telah berkembang pesat, maka landasan gerak perbankan yang ada dirasakan sudah saatnya diadakan penyesuaian agar mampu menampung tuntutan pengembangan jasa perbankan. Agar kemajuan yang dialami lembaga perbankan dapat ditingkatkan secara berkelanjutan dan benar-benar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pelaksanaan pembangunan nasional, dan untuk menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi sehingga segala potensi, inisiatif dan kreasi masyarakat dapat dikerahkan dan dikembangkan menjadi suatu kekuatan riil bagi peningkatan kemakmuran rakyat, diperkuat dengan landasan hukum yang
dibutuhkan bagi
terselenggaranya pembinaan dan pengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan perbankan dalam menjalankan fungsi secara sehat, wajar dan efisien. Sementara itu sejak dicanangkannya deregulasi pada tahun 1988 yang lalu khususnya dibidang keuangan, moneter dan perbankan, tak dapat disangkal lagi dunia perbankan menjadi semarak. Dimana-mana bermunculan bank-bank baru, tidak ketinggalan Bank Perkreditan Rakyat yang banyak sekali didirikan di kecamatan-kecamatan dengan misinya yang utama untuk membantu rakyat kecil di pedesaan. Bukan hanya bank-bank baru yang berdiri tetapi cabang-cabang dari bank-bank yang telah ada bermunculan dimana-mana seperti jamur dimusim hujan. Perkembangan perbankan yang sangat cepat dan pesat itu selain mempunyai dampak positif yang sangat banyak sekali, sudah tentu ada pula dampak negatifnya berupa timbulnya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi sebelumnya termasuk aspek tindak pidana dibidang perbankan.
7
Dalam mengantisipasi dampak negatif dari adanya aktifitas perbankan ini maka perlu kiranya menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang tepat, selain terfokus pada berbagai hal yang berkaitan dengan penyebab timbulnya kejahatan atau metode apa yang efektif depergunakan dalam penanggulangan kejahatan namun, hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk dipahami adalah masalah korban kejahatan itu sendiri yang dalam keadaan-keadaan tertentu dapat menjadi pemicu munculya kejahatan. Sesuai dengan perkembangannya, maka kejahatan-kejahatan di bidang perbankan yang muncul tidak lagi bersifat sederhana yang korbannya pun tidak lagi bersifat individu konkrit, akan tetapi ada kecenderungan bersifat luas dan abstrak dan diderita oleh banyak orang dan sulit untuk ditelusuri. Korban kejahatan perbankan tidak dapat dilepaskan dari bentuk-bentuk tindak pidana yang ada dan seringkali para korban tersebut adalah para pihak yang mempunyai interaksi langsung dengan produk-produk perbankan yang ada. Para pihak yang dapat menjadi korban adalah masyarakat pengguna jasa produk-produk bank, seperti nasabah deposan, penabung, maupun pihak bank itu sendiri sebagai penyelenggara perbankan dan juga bahkan Pemerintah maupun Negara (J.E. Sahetapy, 1995 :22). Melihat dari jenis tindak pidana di bidang perbankan yang begitu banyaknya, maka penulis membatasi penelitian dalam hal perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana pada bank akibat penggelapan yang dilakukan oleh karyawan bank. Berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah dalam mendirikan bank seperti yang diatur dalam Pakto 1988 sangat memungkinkan munculnya bank-bank baru namun tidak diimbangi dengan penyiapan sumber daya manusia yang professional. Di lapangan tidak sedikit di temukan para banker bahkan tidak sedikit karyawan bank yang disebut dengan istilah kutu loncat, sehingga dalam prakteknya para banker tersebut tidak berkemampuan mengelola bank secara profesional. Kondisi ini dapat dilihat seperti dalam kasus bank century. Publik sudah mengetahui, Bank Century (Century) telah diambil alih Lembaga Penjamin Simpanan
8
(LPS), pemilik dan pengurus lama telah diamankan pihak berwenang. Berawal dari terjadinya default aset surat berharga pada pertengahan 2008, disusul dengan kesulitan likuiditas dan krisis insolvensi yang membuat Century harus “diselamatkan” melalui suntikan modal dari LPS. Masalah besar yang kini dihadapi adalah terungkapnya praktik penyalahgunaan dana nasabah dalam bentuk reksa dana bodong. Penerbit reksa dana bodong ini adalah perusahaan ter-afiliasi, Antaboga Sekuritas. Kasus ini serupa tetapi lebih kompleks dibandingkan dengan kasus penggunaan dana nasabah Sarijaya Permana Sekuritas, di mana instrumen yang digunakan adalah rekening efek nasabah (http://www.madani-ri.com). Nasabah penyimpan di Bank Century dirugikan karena dana yang diinvestasikan tidak bisa diambil. Dengan melihat kasus Bank Century maka penulis berusaha memaparkan bagaimana perlindungan hukum nasabah penyimpan dari tindak pidana penggelapan dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan nasabah penyimpan berperan sebagai korban dari tindak pidana penggelapan. Pada saat berbicara tentang korban kejahatan, cara pandang kita tidak bias dilepaskan dari viktimologi. Melalui viktimologi dapat diketahui berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, seperti faktor penyebab munculnya kejahatan, bagaimana seseorang dapat menjadi korban, dalam hal ini adalah nasabah bank, hak dan kewajiban korban kejahatan (nasabah bank) dan perlindungan hukum. Misi dari viktimologi adalah memberikan dasar pemikiran yang dapat mengenal dan mencegah pengorbanan criminal (viktimisasi kriminal) dan melayani kepentingan pihak korban secara rasional, positif, bertanggung jawab serta bermanfaat. Untuk korban kejahatan di bidang perbankan (nasabah penyimpan dana), perlakuan yang bagaimanakah yang dapat dianggap adil, seimbang, bermanfaat, dan memberikan perlindungan hukum mungkin dapat dianalisis dengan pisau bedah viktimologi.
9
Dari uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh sejauh mana penerapan ketentuan pidana terhadap tindak pidana dibidang perbankan dengan mengambil judul: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH SEBAGAI KORBAN (VICTIM) DALAM TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DI BIDANG PERBANKAN DITINJAU DARI VIKTIMOLOGI”. B. Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya penulis menetapkan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana sebagai korban dalam tindak pidana penggelapan di bidang perbankan ditinjau dari viktimologi? 2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan nasabah penyimpan dana berperan sebagai korban dalam tindak pidana penggelapan di bidang perbankan?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a.
Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana sebagai korban dalam tindak pidana perbankan penggelapan?
b. Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang menyebabkan nasabah penyimpan dana berperan sebagai korban dalam tindak pidana perbankan penggelapan? 2. Tujuan Subyektif
10
a. Untuk menambah wawasan pengetahuan, serta pemahaman penulis terhadap penerapan teori-teori yang telah penulis terima selama menempuh kuliah untuk mengatasi masalah hukum yang terjadi di masyarakat. b. Untuk memperoleh data yang lengkap guna penulisan sekripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum. D. Manfaat Penelitian Di dalam penelitian sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan karena nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Teoritis a. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang dapat dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah di bidang hukum. b. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat ditemukan metode yang efektif guna mencegah bahkan memberantas kejahatan dalam bidang Perbankan dikemudian hari. c. Untuk lebih dapat mendalami teori-teori yang telah dipelajari selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Manfaat Praktis a. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi berbagai pihak mengenai sejauh mana
11
perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana sebagai korban dalam
tindak
pidana
Perbankan
Penggelapan
ditinjau
dari
Viktimologi. b.
Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor apa saja yang menyebabkan nasabah penyimpan dana berperan sebagai korban dalam tindak pidana di bidang Perbankan. E. Metode Penelitian Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori,
atau
konsep baru sebagai perspektif dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan mengadakan klarifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya alur yang runtut dan baik untuk mencapai maksud. Jadi inti dari metodologi dalam setiap penulisan hukum adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilaksanakan (Peter Mahmud, 2007: 35). Adapun metode penulisan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu panelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disususn secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
12
2.
Sifat Penelitian Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah untuk mempertegas hipotesa-hiptesa, agar dapat membantu dan memperkuat teori-teori lama di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto: 2006:10).
3.
Pendekatan penelitian Pada penelitian ini digunakan pendekatan Undang-Undang (statute approach), dengan menelaah semua legislasi dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang diteliti, sehingga dalam metode pendekatan Perundang-undangan ini diperlukan mengenai hierarki dan asas-asas dalam Peraturan Perundang-undangan (Peter Mahmud, 2007: 96). Undang-Undang yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 JoUndang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Ijin Usaha Bank , Pembubaran Bank dan Likuidasi Bank, Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/ PLPS/ 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/ PLPS/ 2006 Tentang Program Penjaminan Simpanan Jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
4. Jenis Data Penelitian
13
Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber pertama, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan sebagainya. 5. Sumber Data Penelitian Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu penelitian dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yaitu tempat kedua diperoleh data. Dalam bukunya Soejono Soekanto bahwa sumber hukum sekunder meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yang terdiri dari: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. 4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. 6) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Ijin Usaha Bank , Pembubaran Bank dan Likuidasi Bank.
14
7) Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 1/ PLPS/ 2007 Tentang
Perubahan
Atas
Peraturan
Lembaga
Penjamin
Simpanan Nomor 1/ PLPS/ 2006 Tentang Program Penjaminan Simpanan Jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan. b. Bahan
hukum
sekunder,
yaitu
bahan-bahan
hukum
yang
menjelaskan bahan hukum primer seperti: 1) Rancangan peraturan perUndang-Undangan 2) Hasil-hasil penelitian 3) Hasil karya ilmiah para sarjana. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti ensiklopedia, bahan dari internet, dan lain-lain. 6.
Teknik Pengumpulan Data Karena penelitian ini adalah penelitian normatif, maka dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan atau studi dokumen. Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca, mengkaji, dan menganalisis serat membuat catatan dari buku literature, paraturan perUndang-Undangan, dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
7.
Teknis Analisis Data Dalam teknis analisis data penulis menggunakan teknik analisis isi (content analysis), yaitu suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya analisis ini mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemrosesan data ilmiah (bahan hukum). Mengutip dari
15
Albert Widjaja dalam bukunya Noeng Muhadjir, tentang content analysis, dalam menganalisa harus berdasarkan aturan yang dirumuskan secara eksplisit (Noeng Muhadjir, 2000:68). Berdasarkan pendapat tersebut, penulis akan berusaha mendiskripsikan isi yang terdapat dalam suatu peraturan serta melakukan analisis terhadap data-data tersebut sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan. F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika laporan penulisan
hukum yang disusun oleh penulis
adalah sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan dengan judul dan masalah yang diteliti yang memberikan landasan
teori
serta
diuraikan
mengenai
kerangka
pemikiran. Kajian Pustaka ini terdiri dari tinjauan tentang bank, tinjauan tentang viktimologi, tinjauan tentang tindak pidana
di
bidang
perbankan
dan
tinjauan
tentang
penggelapan. Selain itu, untuk mempermudah pemahaman alur berfikir didalam bab ini juga disertai dengan kerangka pikir. BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menguraikan hasil dari penelitian yang membahas tentang : perlindungan hukum bagi nasabah
16
penyimpan
sebagai
korban
dalam
tindak
pidana
penggelapan dan faktor-faktor yang menyebabkan nasabah penyimpan berperan sebagai korban dalam tindak pidana penggelapan. BAB IV
: PENUTUP Dalam bab ini akan diuraikan simpulan dari hasil pembahasan dan saran-saran mengenai permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Perbankan
17
a. Pengertian Bank Bank merupakan bagian dari lembaga keuangan yang memiliki fungsi intermediasi yang menjembatani pihak yang kelebihan dana (penyimpan dana atau kreditur) dan pihak yang membutuhkan dana (peminjam dana atau debitur) (Perry Warjiyo, 2003:128). Bank merupakan suatu kantor yang kegiatan sehari-harinya sebagai perantara orang yang menyimpan uang di kantor tersebut dan
uang
tersebut
dipinjamkan
kepada
orang
lain
yang
membutuhkannya. Artinya fungsi utama bank sebagai perantara bagi penawaran dan permintaan uang (Faisal Afiff dkk, 1996: 3). Menurut O.P Simorangkir dalam bukunya Sentosa Sembiring menyebutkan bahwa “Bank merupakan salah satu badan lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa”. Adapun pemberian kredit dilakukan dengan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran
baru berupa
uang giral (Sentosa Sembiring, 2000: 1). Menurut ketentuan Pasal 1 butir 2 UU Nomor 7 Tahun 1992 jo UU Nomor10 Tahun1998 Tentang Perbankan menyatakan bahwa: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk lainya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 7 Tahun 1992 jo UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menyatakan bahwa “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang
18
bank, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”. b. Hak dan kewajiban para pihak Sebelum menjelaskan hak dan kewajiban para pihak perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian nasabah bank. Nasabah bank adalah orang yang secara sadar mengikatkan dirinya kepada suatu lembaga yang menamakan dirinya bank, yakni suatu lembaga kepercayaan yang dipercayakan untuk menyimpan dan mengelola uang milik orang lain (J.E. Sahetapy, 1995 :18). Hubungan antara bank dan nasabah diatur dalam hukum perjanjian. Ini berarti, para pihak, dalam hal ini bank sebagai suatu badan usaha dan nasabah baik perorangan maupun badan usaha mempunyai hak dan kewajiban. Kewajiban bank (Sentosa Sembiring, 2000: 62): 1) Menjamin kerahasiaan identitas nasabah beserta dengan dana yang disimpan dalam bank, kecuali kalau peraturan perundangundangan menyatakan lain; 2) Menyerahkan dana kepada nasabah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati; 3) Membayar bunga simpanan sesuai dengan perjanjian; 4) Mengganti kedudukan debitor dalam hal nasabah tidak mampu melaksanakan kewajiban pada pihak ketiga; 5) Melakukan pembayaran kepada eksportir dalam hal digunakan fasilitas L/C, sepanjang persyaratan untuk itu telah dipenuhi; 6) Memberikan laporan kepada nasabah terhadap perkembangan simpanan dananya di bank;
19
7) Mengembalikan agunan dalam hal kredit telah lunas. Sebaliknya bank berhak untuk (Sentosa Sembiring, 2000: 62): 1) Mendapatkan propisi terhadap layanan jasa yang diberikan kepada nasabah; 2) Menolak pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama; 3) Melelang agunan dalam hal nasabah tidak mampu melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan akad kredit yang telah ditandatangani kedua belah pihak; 4) Pemutusan rekening nasabah; 5) Mendapatkan buku cek, bilyet giro, buku tabungan, kartu kredit dalam hal terjadi penutupan rekening. Kewajiban nasabah (Sentosa Sembiring, 2000: 63): 1) Mengisi dan menandatangani formulir yang telah disediakan oleh bank, sesuai dengan layanan jasa yang diinginkan oleh calon nasabah; 2) Melengkapi persyaratan yang ditentukan oleh bank; 3) Menyetor dana awal yang ditentukan oleh bank. Dalam hal ini, dana awal tersebut cukup bervariasi tergantung dari jenis layanan jasa yang diinginkan; 4) Membayar propisi yang ditentukan oleh bank; 5) Menyerahkan buku cek/giro bilyet tabungan; Nasabah berhak untuk (Sentosa Sembiring, 2000: 64):
20
1) Mendapatkan layanan jasa yang diberikan oleh bank, seperti fasilitas kartu ATM; 2) Mendapatkan laporan atas transaksi yang dilakukan melalui bank; 3) Menuntut bank dalam hal terjadi pembocoran rahasia nasabah; 4) Mendapatkan agunan kembali, bila kredit yang dipinjam telah lunas. 5) Mendapat sisa uang pelelangan dalam hal agunan dijual untuk melunasi kredit yang tidak terbayar. 2. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perbankan a. Pengertian tentang tindak pidana 1) Istilah Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Istilah ini terdapat dalam Wetboek van Strafrecht Belanda, tetapi tidak ada penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan “Strafbaar feit”. Para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu (Adami Chazawi, 2002:67). Menurut Simons dalam bukunya Moeljatno, “Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”. Sedangkan Van Hamel dalam bukunya Moeljatno berpendapat “Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan” (Moeljatno, 1993:56).
21
Hazewinkel-Suringa
dalam
bukunya
Lamintang
mengartikan Strafbaar feit sebagai “suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan saranasarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya”. Dalam buku yang sama Profesor Pompe menyebutkan bahwa Strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (Lamintang, 1997: 181-182). 2) Unsur-Unsur Tindak Pidana Dari pengertian tindak pidana di atas, Lamintang menjabarkan dua unsur, yaitu unsur-unsur subyektif dan unsurunsur obyektif sebagai berikut (Lamintang, 1997: 193-194): a) Unsur-unsur subyektif, adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Yang termasuk unsur-unsur subyektif antara lain: (1) kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa); (2) maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging; (3) macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya
di
dalam
kejahatan-kejahatan
pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lainlain;
22
(4) merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; (5) perasaan takut atau vress seperti antara lain yang terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. b) Unsur-unsur obyektif, adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Yang termasuk unsur-unsur obyektif antara lain: (1) sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; (2) kualitas dari si pelaku; (3) kausalitas, yaitu hubungan antara pelaku dengan tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. b. Jenis-jenis Tindak Pidana Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain (Adami Chazawi, 2002: 117-133): 1) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Dasar pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah bahwa jenis pelanggaran itu lebih ringan daripada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda. Sedangkan kejahatan lebih didominir dengan ancaman pidana penjara.
23
2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materiil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Sebaliknya, pada rumusan tindak pidana materiil, inti larangan adalah pada menimbulkan
akibat
yang
dilarang
itulah
yang
dipertanggungjawabkan dan dipidana. 3) Menurut bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana kealpaan (culpose delicten). Tindak pidana sengaja yaitu tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan tindak pidana kealpaan adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur culpa. 4) Menurut macam perbuatannya, dibedakan antara tindak pidana aktif/positif
(delicta
cimmissionis)
dan
tindak
pidana
pasif/negative (delic omissionis). Tindak
pidana aktif adalah
tindak
pidana
yang
perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatana aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan. Berbeda dengan tindak pidana pasif, dalam tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan
24
atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum untuk berbuat tertentu, maka ia telah melanggar kewajiban hukumnya tadi. Di sini dia telah melakukan tindak pidana pasif. 5) Menurut saat dan jangka waktu terjadinya, dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu yang lama. Tindak pidana terjadi seketika maksudnya adalah tindak pidana yag dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika, misalnya: pencurian, jika perbuatan mengambilnya selesai, maka tindak pidana itu menjadi selesai secara sempurna. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehungga terjadinya tindak pidana berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, misalnya: perampasan kebebasan yang berlangsung lama dan akan terhenti setelah korban dilepaskan/dibebaskan. 6) Menurut sumbernya, dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hokum pidana materiil (Buku II dan Buku III KUHP). Sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi tersebut. 7) Dilihat dari subyek hukumnya, dibedakan antara tindak pidana communia dan tindak pidana propria. Pada umumnya, tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang. Akan tetapi ada
25
perbuatan-perbuatan yang tidak patut tertentu yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tetentu saja, misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatan). 8) Menurut perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan. Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sedangkan tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk didapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dulu adanya pengaduan dari yang berhak mengajukan pengaduan, yaitu korban atau wakilnya dalam perkara perdata (Pasal 72 KUHP) atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu (Pasal 73 KUHP) atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang berhak. 9) Menurut berat ringannya pidana yang diancamkan, dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang diperberat, dan tindak pidana yang diperingan. Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsur-unsurnya dicantumkan dalam rumusan, misalnya: pencurian (Pasal 362 KUHP);pembunuhan (Pasal 338 KUHP); pemalsuan surat (Pasal 363 KUHP), karena disebutkan secara lengkap unsur-unsurnya maka pada rumusan bentuk pokok terkandung pengertian yuridis dari tindak pidana tersebut. Sedangkan pada bentuk yang diperberat atau diperingan tidak mengulang kembali unsur-unsur pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau Pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas
26
dalam rumusan. Karena ada faktor pemberat dan peringannya maka ancaman pidana terhadap bentuk yang diperberat dan diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya. 10) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya tergantung dari kepentingan hukum yang harus dilindungi serta berkembang mengikuti perkembangan dan kemajuan manusia seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya. 11) Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai. Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehinnga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga dipandang selesai dan dapat dipidananya pambuat disyaratkan dilakukan secara berulang. Misalnya: Pasal 481 KUHP, dimana perbuatan membeli,
menukar,
menerima
gadai,
menyimpan
atau
menyembunyikan barang yang diperoleh dari kejahatan itu dilakukan sebagai kebiasaan (dilakukan secara berulang, setidaknya dua kali perbuatan). c.
Pengertian Tindak Pidana Perbankan Tindak pidana perbankan merupakan salah satu bentuk dari tindak pidana ekonomi yang lazim disebut sebagai kejahatan kerah
27
putih (white collar crime). Tindak pidana ekonomi adalah suatu tindak pidana yang mempunyai motif okonomi atau lazimnya dilakukan
oleh
orang-orang
yang
mempunyai
kemampuan
intelektual dan mempunyai posisi penting dalam masyarakat atau pekerjaannya (Hermansyah, 2005:138). Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Bisnis Kotor: Anatomi Kejahatan Kerah Putih, mengemukakan bahwa tindak pidana perbankan adalah suatu jenis kejahatan secara melawan hukum pidana dilakukan, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, yang ada hubungannya dengan lembaga, perangkat, dan produk perbankan, sehingga menimbulkan kerugian materiil dan atau immaterial bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya (Munir Fuady, 2004: 74). Saat ini belum ada kesepakatan dalam pemakaian istilah tindak pidana perbankan, karena ada yang mempergunakan istilah tindak pidana perbankan dan tindak pidana di bidang perbankan. Pemakaian istilah tersebut tergantung dari sudut mana melihatnya, sehingga pengertian dan istilah satu sama lain mempunyai perbedaan (Muhammad Djumhana, 2000:138). Dari segi yuridis, tidak satupun ditemukan peraturan perUndang-Undangan yang memberikan pengertian tindak pidana di bidang perbankan dan tindak pidana perbankan. Pada umumnya perbedaan pengertian kedua istilah tersebut adalah dalam luas cakupan tindak pidana tersebut. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut: Pengertian istilah tindak pidana di bidang perbankan adalah tindak pidana yang terjadi di kalangan dunia perbankan, baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 maupun yang diatur di luar Undang-Undang tersebut. Sedangkan yang
28
dimaksud tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang hanya diatur dalam Undang-Undang Perbankan yang sifatnya intern. Dari uraian diatas, maka terdapat dua pengertian, yaitu: 1) Tindak pidana perbankan adalah setiap perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998; 2) Tindak pidana di bidang perbankan adalah setiap perbutan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, KUHP, dan peraturan-peraturan khusus, seperti UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. 3. Tinjauan tentang Viktimologi a.
Pengertian Viktimologi Viktimologi, berasal dari bahasa latin victim yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial (Dikdik Mansur & Elisatris Gultom, 2007: 33). Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang sangat luas karena tidak terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun
29
pemerintah. Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam membahas kejahatan disebabkan
korban memiliki peranan yang
sangat penting dalam terjadinya suatu kejahatan. Diperolehnya pemahaman yang sangat luas dan mendalam tentang
korban
kejahatan, diharapkan dapat memudahkan dalam menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang pada akhirnya akan bermuara pada menurunya kuantitas dan kualitas kejahatan. Viktimologi merupakan suatu
pengetahuan
ilmiah/studi
yang
mempelajari
suatu
viktimisasi/kriminal sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris gultom, 2007: 34). Sejak awal mula lahirnya hukum pidana, fokus subyek yang banyak disoroti adalah si pelaku, padahal dari suatu kejahatan, kerugian yang paling besar diderita adalah oleh si korban kejahatan tersebut. Dalam hal ini, sedikit sekali hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang dapat kita temui yang mengatur mengenai korban serta perlindungan terhadapnya (Marjono Reksodiputro, 1994:81). Hukum pidana memperlakukan korban seperti hendak mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk melindungi korban adalah dengan memastikan bahwa si pelaku mendapatkan balasan yang setimpal. Padahal apabila kita hendak mengamati masalah kejahatan secara komprehensif, kita tidak boleh mengabaikan peranan korban dalam terjadinya kejahatan. Bahkan, apabila memperhatikan pada aspek pencarian kebenaran materiil sebagai tujuan yang akan dicapai dalam pemeriksaan suatu kejahatan, peranan korban pun sangat strategis, dengan demikian sedikit banyak menentukan dapat tidaknya pelaku kejahatan memperoleh hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukanya.
30
Tidak berlebihan apabila selama ini berkembang pendapat yang menyebutkan bahwa korban merupakan asset yang penting dalam upaya menghukum pelaku kejahatan. Pada sebagian kasuskasus kejahatan, korban sekaligus merupakan saksi penting yang dimiliki untuk menghukum pelaku kejahatan. Sayangnya dalam kerangka pemeriksaan suatu perkara di mana korban merupakan saksi bagi pengungkapan suatu kejahatan hanya diposisikan sebagai instrument dalam rangka membantu aparat penegak hukum umtuk menghukum si pelaku, dan tidak pernah berlanjut pada apa yang dapat negara serta aparat penegak hukum lakukan untuk si korban, sehingga penderitaan (kerugian) yang diderita korban dapat dipulihkan seperti keadan sebelum terjadi kejahatan yang menimpa dirinya (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris gultom, 2007: 37). Apabila dikaji, dilupakannya persoalan korban disebabkan antara lain karena (Suryono Ekotama, dkk, 2000: 173): 1) Masalah kejahatan tidak dilihat, dipahamai menurut proporsi yang sebenarnya secara multidimensional; 2) Kebijakan penanggulangan kejahatan yang tidak didasarkan pada konsep yang integral dengan etiologi kriminal; 3) Kurangnya pemahaman bahwa masalah kejahatan merupakan masalah kemanusiaan, demikian pula masalah korban . b.
Ruang Lingkup Viktimologi Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana. Kejahatan yang mengakibatkan korban sebagai obyek kajian viktimologi semakin luas setelah Kongres PBB Kelima di Geneva Tahun 1975, Kongres Keenam
31
Tahun 1980 di Caracas, yang meminta perhatian bahwa korban kejahatan dalam cakupan viktimologi bukan hanya kejahatan konvensional seperti pemerasan, pencurian, penganiayaan, dan lainnya, tetapi juga kejahatan inkonvensional, seperti terorisme, pembajakan, dan kejahatan kerah putih (Suryono Ekotama, dkk, 2000: 174-178). Dalam Kongres PBB Kelima di Geneva Tahun 1975 dihasilkan kesepakatan untuk memperhatikan kejahatan yang disebut sebagai crime as business, yaitu kejahatan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan materiil melalui kegiatan dalam bisnis atau industri yang pada umumnya dilakukan secara terorganisasi dan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat, seperti pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen, perbankan dan kejahatan-kejahatan lain yang biasa dikenal sebagai organized crime, white collar crime (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris gultom, 2007: 44). c.
Manfaat Viktimologi Manfaat
yang
diperoleh
dengan
mempelajari
ilmu
pengetahuan merupakan faktor yang paling penting dalam kerangka pengembangan ilmu itu sendiri. Apabila suatu ilmu pengetahuan dalam pengembanganya tidak memberikan manfaat, baik yang sifatnya praktis maupun teoritis, sia-sialah ilmu pengetahuan itu untuk dipelajari dan dikembangkan. Arif Gosita menguraikan beberapa manfaat yang diperoleh dengan mempelajari viktimologi, yaitu sebagai berikut (Arif Gosita, 2004: 40-41): 1) Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi;
32
2) Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial; 3) Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapi berkaitan dengan kehidupan dan pekerjaan mereka; 4) Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada setiap orang akibat polusi industry, terjadinya viktimisasi ekonomi, politik dan sosia; 5) Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian
viktimisasi
kriminal,
pendapat-pendapat
viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal. Manfaat Viktimologi pada dasarnya berkenaan dengan tiga hal utama dalam mempelajari manfaat studi korban, yaitu (Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004: 8): 1) manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban dan perlindungan hukum; 2) manfaat yang berkenaan dengan penjelasan peran korban dalam suatu tindak pidana; 3) manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban. Viktimologi juga berperan dalam hal penghormatan hak-hak asasi korban sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai
33
warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama dan seimbang kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Viktimologi bermanfaat bagi kinerja aparatur penegak hukum seperti, aparat kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Bagi aparat kepolisian,
viktimologi
sangat
membantu
dalam
upaya
penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasa dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya, serta aspek-aspek lainya yang terkait. Bagi kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di pengadilan,
viktimologi
dapat
dipergunakan
sebagai
bahan
pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdawa, mengingat dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan. Bagi kehakiman, dalam hal ini hakim sebagai organ pengadilan yang dianggap memahami hukum yang menjalankan tugas luhurnya, yaitu menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (Pasal 1 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan adanya viktimologi, hakim tidak hanya menempatkan
korban sebagai saksi dalam persidangan suatu
perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkretisasi
dalam
putusan
hakim.
Hakim
dapat
mempertimbangkan berat ringanya hukuman yang akan dijatuhkan pada terdakwa dengan melihat seberapa besar penderitaan yang
34
dialami oleh korban pada terjadinya kejahatan (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris gultom, 2007: 65-66). d.
Korban 1) Pengertian Korban Pentingnya
pengertian
korban
diberikan
dalam
pembahasan ini adalah untuk sekedar membantu untuk menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara pandang. Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang
membahas
mengenai
korban
kejahatan,
sebagian
diantaranya adalah sebagai berikut: a) Arief Gosita Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang menderita (Arief Gosita, 2004: 64). b) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian,
pengurangan,
atau
perampasan
hak-hak
dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya (UndangUndang Nomor 27 Tahun 2004).
35
c) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran Hak Asasi yang Berat. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang
yang
pelanggaran
mengalami hak
asasi
penderitaan manusia
sebagai
yang
berat
akibat yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak manapun (Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002). 2) Tipologi Korban Perkembangan
ilmu
viktimologi
selain
mengajak
masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban sehingga muncul berbagai jenis korban sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, 2007: 49): a) Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan; b) Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban; c) Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan; d) Participating
victims,
yaitu
mereka
yang
dengan
perilakunya memudahkan untuk menjadi korban; e) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibutnya sendiri.
36
Pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, 2007: 50): a) Primary victimization, yaitu korban berupa individu (bukan kelompok). b) Secondary victimization, yaitu korban kelompok misalnya badan hukum. c) Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas. d) No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi. Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana Stepen Schafer membagi menjadi tiga tipe korban, yaitu sebagai berikut (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, 2007: 50-51): a) Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku; b) Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban mempunyai peran atau andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada korban dan pelaku; c) Mereka yang secara biologis dan social berpotensa menjadi korban. Dalam hal ini orang mudah menjadi korban, misalnya: anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik maupun mental, orang miskin, golongan minoritas dan
37
sebagainya. Pihak yang harus bertanggung jawab adalah masyarakat; d) Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. Misalnya pelacuran, perjudian, dan zina. Pihak yang bersalah adalah korban karena dia sebagai pelaku. 3) Hak-hak Korban Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan (optional), artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitaan (fisik, mental, dan materiil) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya karena perasaan takut dikemudian hari masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih
baik
korban
menyembunyikannya,
atau
korban
mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi lebih panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris gultom, 2007: 52). Sekalipun
demikian,
tidak
sedikit
korban
atau
keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, yang meliputi (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris gultom, 2007: 53): a) Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat
38
iberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti Negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahatan (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia); b) Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi; c) Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku; d) Hak untuk memperoleh bantuan hukum; e) Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya; f) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis; g) Hak
untuk
diberitahu
bila
pelaku
kejahatan
akan
dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan; h) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban; i) Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya. Deklarasi
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
Nomor
40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris gultom, 2007: 54): a) Compassion, respect and recognition; b) Receive information and explanation about the progress of the case; c) Provide information;
39
d) Providing proper assistance; e) Protection of privacy and physical safety; f) Restitution and compensation; g) To access to the mechanism of justice system. 4) Kewajiban Korban Kewajiban dari korban kejahatan tidak boleh diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan. Ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris gultom, 2007:54-55): a) Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas
dendam
terhadap
pelaku
(tindakan
pembalasan); b) Kewajiban
untuk
mengupayakan
pencegahan
dari
kemungkinan terulangnya tindak pidana; c) Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai
terjadinya
kejahatan
kepada
pihak
yang
berwenang; d) Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku; e) Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya; f) Kewajiban
untuk
membantu
berbagai
pihak
yang
berkepentingan dalam upaya penanggulangan kejahatan;
40
g) Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi. 4. Tinjauan tentang Penggelapan a. Pengertian Penggelapan Bab XXIV (buku II) KUHP mengatur tentang penggelapan (verduistering), terdiri dari 5 Pasal (372 s/d 376). Di samping penggelapan sebagaimana diatur dalam Bab XXIV, ada rumusan tindak pidana lainnya yang masih mengenai penggelapan, yaitu Pasal 415 dan 417, tindak pidana mana sesungguhnya merupakan kejahat a n jabatan, yang kini ditarik ke dalam tindak pidana korupsi oleh UU Nomor 31 Th. 1999 dan UU Nomor 20 Th, 2001, oleh karenanya tidak dimuat dalam Bab XXIV, melainkan dalam bab tentang kejahatan jabatan (Bab XXVIII). Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam Pasal 372 yang dirumuskan sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. Rumusan
itu
disebut/diberi
kualifikasi
penggelapan.
Rumusan di atas tidak memberi arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan verduistering yang ke dalam bahasa kita diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi masyarakat Belanda diberikan arti secara luas (figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang atau gelap.
41
Pada contoh seseorang dititipi sebuah sepeda oleh temannya, karena memerlukan uang, sepeda itu dijualnya. Tampaknya sebenarnya
penjual
ini
menyalahgunakan
kepercayaan
yang
diberikan temannya itu dan tidak berarti sepeda itu dibikinnya menjadi gelap atau tidak terang. Lebih mendekati pengertian bahwa petindak tersebut menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda, hak mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai atau memegang sepeda itu. b. Unsur-Unsur Penggelapan Dari rumusan penggelapan sebagaimana tersebut di atas, jika dirinci terdiri dari unsur-unsur objektif meliputi perbuatan memiliki (zicht toe.igenen), sesuatu benda (eenig goed) , yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja (opzettelijk), dan penggelapan melawan hukum (wederrechtelijk). 1) Unsur-Unsur Objektif a) Perbuatan memiliki. Zicht toe.igenen diterjemahkan dengan perkataan memiliki, menganggap sebagai milik, atau ada kalanya menguasai secara melawan hak, atau mengaku sebagai milik. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25-2-1958 Nomor 308 K/Kr/1957 menyatakan bahwa perkataan Zicht toe.igenen dalam bahasa Indonesia belum ada terjemahan resmi sehingga kata-kata itu dapat diterjemahkan dengan perkataan mengambil atau memiliki. Pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam
42
penggelapan.
Memiliki
pada
penggelapan,
karena
merupakan unsur tingkah laku, berupa unsur objektif, maka memiliki itu harus ada bentuk/wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat untuk menjadi selesainya penggelapan. Bentuk-bentuk perbuatan memiliki, misalnya menjual, menukar, menghibahkan, menggadaikan, dan sebagainya. b) Unsur objek kejahatan (sebuah benda). Objek penggelapan, tidak dapat ditafsirkan lain dari sebagai benda yang bergerak dan berwujud saja. Perbuatan memiliki terhadap benda yang ada dalam kekuasaannya sebagaimana yang telah diterangkan di atas, tidak mungkin dapat dilakukan pada benda-benda yang tidak berwujud. Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada bendabenda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap. Adalah sesuatu yang mustahil terjadi seperti menggelapkan rumah, menggelapkan energi listrik maupun menggelapkan gas. Kalaupun terjadi hanyalah menggelapkan surat rumah (sertifikat tanah ), menggelapkan tabung gas. c) Sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun telah dilepaskan hak miliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Benda milik suatu badan hukum, seperti milik negara adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki oleh orang, adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam
43
arti bukan milik petindak, dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan. Orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau orang tertentu, melainkan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri. Arrest HR tanggal 1 Mei 1922 dengan tegas menyatakan bahwa untuk menghukum karena penggelapan tidak disyaratkan bahwa menurut hukum terbukti siapa pemilik barang itu. Sudah cukup terbukti penggelapan bila seseorang menemukan sebuah arloji di kamar mandi di stasiun kereta api, diambilnya kemudian timbul niatnya untuk
menjualnya,
lalu
dijualnya.
(http://pakarhukum.site90.net/penggelapan.php). d) Benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Di sini ada 2 unsur, yang pertama berada dalam kekuasaannya, dan kedua bukan karena kejahatan. Perihal unsur berada dalam kekuasaannya telah disinggung di atas. Suatu benda berada dalam kekuasaan seseorang apabila antara orang itu
dengan
benda terdapat
hubungan
sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan yang lain. Misalnya ia langsung dapat melakukan perbuatan : menjualnya, menghibahkannya, menukarkannya, dan lain sebagainya, tanpa ia harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu (perbuatan yang terakhir mana merupakan perbuatan antara agar ia dapat berbuat secara langsung. 2) Unsur-Unsur Subjektif
44
a) Unsur kesengajaan. Unsur ini adalah merupakan unsur kesalahan dalam penggelapan. Sebagaimana dalam doktrin, kesalahan (schuld) terdiri dari 2 bentuk, yakni kesengajaan (opzettelijk atau dolus ) dan kelalaian (culpos). Undangundang sendiri tidak memberikan keterangan mengenai arti dari kesengajaan. Dalam MvT ada sedikit keterangan tentang opzettelijk, yaitu sebagai willens en wetens, yang dalam arti harfiah dapat disebut sebagai menghendaki dan mengetahui. Mengenai willens en wetens ini dapat diterangkan lebih lanjut ialah, bahwa orang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, berarti ia menghendaki mewujudkan perbuatan dan ia mengetahui, mengerti nilai perbuatan serta sadar (bahkan bisa menghendaki) akan akibat yang timbul dari perbuatannya itu. Atau apabila dihubungkan dengan kesengajaan yang terdapat dalam suatu rumusan tindak pidana seperti pada penggelapan, maka kesengajaan dikatakan ada apabila adanya suatu kehendak atau adanya suatu pengetahuan atas suatu perbuatan atau hal-hal/unsur-unsur tertentu (disebut dalam rumusan) serta menghendaki dan atau mengetahui atau menyadari akan akibat yang timbul dari perbuatan. Bahwa menurut keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa setiap unsur kesengajaan (opzettelijk) dalam rumusan suatu tindak pidana selalu ditujukan pada semua unsur yang ada di belakangnya, atau dengan kata lain semua unsur-unsur yang ada di belakang perkataan sengaja selalu diliputi oleh unsur
kesengajaan
itu
(http://pakarhukum.site90.net/penggelapan.php). b) Unsur melawan hukum. Dalam hubungannya dengan kesengajaan, penting untuk diketahui bahwa kesengajaan petindak juga harus ditujukan pada unsur melawan hukum
45
ini, yang pengertiannya sudah diterangkan di atas. Pada penggelapan unsur melawan hukumnya adalah
unsur
memiliki adalah unsur tingkah laku, berupa unsur objektif. Untuk selesainya penggelapan disyaratkan pada selesai atau terwujudnya perbuatan memiliki. Tentang beradanya benda objek kejahatan di tangan petindak. Benda tersebut berada dalam kekuasaannya karena perbuatan-perbuatan yang sesuai
dengan
hukum
(http://pakarhukum.site90.net/penggelapan.php).
A. Kerangka Pemikiran
Pembangunan Nasional
Pembangunan Ekonomi
Pasal 3 UU No 7 Tahun 1992 Jo UU No 10 Tahun 1998 tentang fungsi Perbankan,yaitu menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat
KUHP
melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Tindak Pidana di bidang Perbankan
46
Nasabah bank menyimpan dana di bank menjadi korban
Perlindungan hukum terhadap nasabah bank
Ilmu Viktimologi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan: Pembangunan nasional
merupakan upaya
pembangunan
yang
berkesinambungan yang meliputi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Penyelenggaraan pembangunan nasional yang meliputi seluruh aspek kehidupan bangsa termasuk di dalamnya pembangunan ekonomi. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran dalam mengarahkan dan memantapkan sistem ekonomi nasional adalah perbankan. Hal ini disebabkan oleh fungsi utama bank sebagai wadah yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif berasaskan demokrasi ekonomi demi meningkatkan taraf hidup rakyat banyak sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahanan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Fungsi perbankan jika tidak dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo
47
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dapat dikatakan sebagai tindak pidana perbankan. Dalam tindak pidana perbankan nasabah yang menyimpan dana di bank sering menjadi korban dan untuk itu diperlukan suatu perlindungan hukum terhadap korban. Dalam penulisan hukum ini penulis akan meninjau masalah tersebut dari sudut hukum viktimologi.