KETENTUAN DAN MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI 1 Oleh: M. Arief Amrullah 2
A. PENDAHULUAN Menelusuri perkembangan korporasi mulai dari abad pertengahan hingga abad ini, cukup memberikan informasi untuk mencari hubungan antara pertumbuhan korporasi yang pesat dengan timbulnya kejahatan korporasi. Pada abad pertengahan,
3
keberadaan korporasi hanya sebagai sarana pengaturan pekerjaan dan pembentukan badan hukum (legal entity) kelompok para individu, seperti serikat sekerja, perkumpulan gereja, universitas, atau wilayah. Pada waktu itu, peranan korporasi lebih ditekankan pada kerjasama (asosiasi) daripada tujuan pemanpatan penyediaan modal seperti korporasi pada umumnya. Namun, seiring dengan perluasan peluang bisnis, perusahaan-perusahaan besar mencari berbagai format baru untuk pengembangan penggabungan perusahaan, sehingga pada tahun 1920-an, sebagian besar korporasi telah menjangkau seluruh negeri. Padahal, apabila kembali ke tahun 1909, di Amerika Serikat, misalnya, hanya ada dua perusahaan industri (industrial corporation), yaitu United States Steel and
Standard Oil of New Jersey yang kemudian berganti nama menjadi Exxon. Dalam abad ke-20 hingga abad ke-21 ini, telah terjadi pertumbuhan korporasi multinasional yang begitu cepat, di samping mampu memperkerjakan berjuta-juta tenaga kerja, juga mampu mempengaruhi pilihan dan ketergantungan konsumen, serta mendominasi segmen-segmen ekonomi dunia melalui operasi global mereka. Dewasa ini, Korporasi multinasional telah menunjukkan akumulasi kekayaan besar-besaran, bahkan menurut Barnet dan Muller, aset fisik yang dimiliki oleh 1
Disampaikan dalam Workshop tentang “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR)”, Diselenggarakan oleh PUSHAM-UII Yogyakarta bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, Norway. Tempat Hotel Jogjakarta Plaza, Yogyakarta, 6-8 Mei 2008. 2 Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember 3 Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1980: 22-23.
Page 1 of 30
korporasi global pada tahun 1974 telah mencapai lebih dari $200 miliar. Implikasi dari bisnis dunia yang didominasi oleh korporasi besar tersebut, telah memasuki semua aspek kehidupan manusia. Karena, dapat menentukan pekerjaan bagi banyak orang, makanan, minuman dan pakaian, dan sebagainya.
4
Di samping itu, suatu korporasi
dapat pula mengancam pemerintahan suatu negara di mana korporasi itu beroperasi. Hal itu dilakukan, apabila kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak menguntungkan korporasi yang bersangkutan, yaitu dengan cara memindahkan usahanya ke negara lain yang
mempunyai
ketentuan
hukum
yang
lemah
dalam
pengaturan
masalah
pencemaran lingkungan hidup atau standar keamanan kerja yang lemah, atau upah buruh yang murah. Tindakan eksodus seperti itu biasanya lalu ditakuti, karena akan berakibat pada masalah pengangguran. Akibat selanjutnya, muncul berbagai komentar bahkan debat di televisi, yang sesekali menyudutkan pemerintah sebagai suatu koreksi atas kebijakan yang dijalankan. Yah…. barangkali juga termasuk mengenai Corporate
Social Responsibility (CSR). Dalam mengahadapi korporasi yang demikian itu, pemerintah mengalami kesulitan dalam mengaturnya atau mengontrolnya. karena pada umumnya korporasi mempunyai penasihat hukum yang mumpuni, sehingga mampu untuk menentukan apa yang harus dilakukan untuk menghindari kebijakan yang tengah dijalankan oleh negara yang nantinya diperkirakan akan dapat mengurangi keuntungannya. Tidak hanya itu, korporasi juga dapat atau mampu memainkan hukum suatu negara dengan tujuan, untuk mengurangi control yang dilakukan oleh negara. Ini menunjukkan, bahwa betapa besarnya kekuatan yang dimiliki oleh suatu korporasi.
5
Apabila memperhatikan pertumbuhan korporasi yang pesat itu, demikian juga dengan akibat yang ditimbulkannya, maka pertanyaannya bagaimana dengan di Indonesia? Akhir-akhir ini, bukan saja jumlahnya yang semakin meningkat melainkan munculnya
korporasi-korporasi
raksasa,
karena
disertai
dengan
meningkatnya
diversifikasi di bidang usaha oleh perusahaan-perusahaan raksasa tersebut, melalui usaha bersama di antara perusahaan-perusahaan domestik maupun perusahaan4 5
Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1980: 38. Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1980: 24.
Page 2 of 30
perusahaan luar negeri, telah mendorong meningkatnya korporasi multinasional dan transnasional.
6
Apalagi, dengan ditetapkannya program industrialisasi oleh pemerintah pada Pembangunan Lima Tahun Ketujuh semasa pemerintahan Orde Baru (Tap MPR No.II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara), pada bagian Prioritas
Pembangunan Lima Tahun Ketujuh, dikemukakan: “Penataan dan pemantapan industri nasional yang mengarah pada perluasan, penguatan, dan pendalaman struktur industri nasional yang makin kukuh dengan penyebarannya ke seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan potensi daerah”. Lebih lanjut, pada bagian Sasaran Bidang Pembangunan Lima
Tahun Ketujuh, dikemukakan: “Makin dinamais dan mantapnya perekonomian sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, ditandai oleh berkembangnya peran pasar yang terkelola, berlanjutnya perluasan, penguatan, dan pendalaman struktur industri; ….”. Demikian juga halnya, apabila memperhatikan isi pidato Presiden Megawati Soekarnoputri yang disampaikan dalam Forum Bisnis Kerjasama Selatan-Selatan di Kuala Lumpur, Malaysia, pada hari Minggu 23 Februari 2003, bahwa: “Dengan kemampuan dan sumberdaya yang terbatas, dan selama ini hampir selalu terkuras untuk menyelesaikan persoalan politik dan keamanan di dalam negeri, maka sangat sulit bagi pemerintah negara berkembang mana pun untuk dapat efektif menangani pembangunan
kehidupan
sejahtera
yang
dicita-citakan.
Saatnya
pemerintah
mengurangi perannya dan mendorong dunia usaha untuk melakukannya.” 7 Hal itu merupakan angin segar untuk berinvestasi di Indonesia, memang harus diakui, dengan tumbuh-suburnya korporasi di Indonesia tentu akan membantu dalam 6
Istilah transnasional diartikan sebagai masalah yang melintasi batas-batas nasional, karena menyangkut kepentingan lebih dari satu Negara, maka masing-masing Negara akan mengembangkan hukumnya untuk menelesaikan masalah-masalah transnasional itu (Lihat Sunarjati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Binatjipta, Bandung, 1972, hal. 12). 7 Presiden Soekarnoputri, Kompas Cyber Media, diakses 25 Februari 2003. Namun, pernyataan Presiden tersebut, tampaknya agak kurang sejalan apabila dihubungkan dengan pernyataan Emil Salim yang antara lain mengemukakan, bahwa pemerintah tidak bisa lagi pasif menyerahkan perkembangan pembangunan semata-mata pada mekanisme pasar, tetapi harus aktif ikut terjun untuk menyamakan medan kerja pengusaha, dan mendorong pengusaha kelas ringan, agar proses persaingan yang terjadi dalam pasar dapat berlangsung secara wajar dan adil. Untuk itu menurut Emil, pemerintah tidak boleh membiarkan mekanisme pasar menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, karena yang kalah itu adalah yang lemah. Jadi, harus ada tindakan yang tegas dari pemerintah. Lagi pula, jika semuanya diserahkan kepada pasar, dikhawatirkan adanya dominasi yang kuat dari yang lemah, karenanya sudah dapat diperkirakan adanya percepatan perkembangan korporasi dan sekaligus maraknya kejahatan korporasi di Indonesia.
Page 3 of 30
mengatasi masalah pengangguran, meningkatkan penerimaan pajak. Akan tetapi dibalik itu, akibat yang ditimbulkan dari kejahatan yang dilakukan juga cukup memadai. Sebagai contoh, ekspor produk kimia dari Amerika Serikat ke dunia ketiga, termasuk Indonesia, dan pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi. Produk kimia dengan berbagai jenis, mulai dari bahan pembasmi hama (pestisida), penyubur tanaman, bahan pengawet makanan, sampai pada bahan-bahan kecantikan yang digandrungi oleh ibu-ibu dan remaja putri, termasuk juga remaja-remaja pria. Dampak produk kimia tersebut besar sekali andilnya dalam penurunan tingkat kesehatan manusia. Salah satu produk kimia yang membahayakan itu, adalah racun pestisida. David Weir dan Schapiro dalam bukunya Circle of Poison, telah mendokumentasikan sebuah skandal dengan ukuran dunia, mengekspor pestisida yang dilarang di negara-negara industri ke dunia ketiga disertai iklan besan-besaran oleh perusahaan pestisida multinasional, telah mengubah dunia ketiga tidak hanya menjadi pasar besar pestisida, tetapi juga menjadi tempat penimbunan pestisida. Menurut catatan Weir dan Schapiro, di Amerika Serikat terdapat 12 perusahaan multinasional yang menguasai pasar pestisida, lusinan jenis pestisida yang sangat berbahaya dikirim ke negara-negara dunia ketiga. Di tempat-tempat itulah menurut pengamatan badan kesehatan dunia (WHO), rata-rata satu orang setiap menitnya dalam satu hari keracunan pestisida. Jadi, tinggal menghitungnya saja lagi berapa jumlah kematian dalam waktu satu tahun. Di Amerika Serikat, industri-industri kimia memproduksi dua miliar kilogram pestisida dalam setiap tahunnya dan telah diekspor hampir dua kali lipat. Adapun negara-negana sasaran ekspor, di antananya adalah Meksiko, Guatemala, El Salvador, Aprika, Pakistan, Sri Langka, Filipina, Malaysia, Indonesia, dan lain-lainnya. Sehubungan dengan itu, dalam Report on the meeting of the Ad Hoc Expert
Group on More Effective Forms of International Cooperation against Transnational Crime, including Environmental Crime, yang diselenggarakan di Vienna, dari tanggal 7 hingga 10 Desember 1993, di mana pada bagian forms of transnational
environmental crime, dikemukakan: bahwa hubungan antara pembangunan ekonomi dan kejahatan lingkungan merupakan isu-isu mendasar yang harus ditekankan dengan Page 4 of 30
merujuk kepada kasus-kasus khusus, yakni ekspor sampah berbahaya (beracun) oleh korporasi-korporasi besar dari negara-negara maju tertentu ke negara-negara berkembang, dengan tidak sedikit uang perangsang (financial incentive) yang diberikan kepada sebuah negara berkembang agar setuju untuk menerima mengiriman 15 (lima belas) ton sampah beracun dengan imbalan US$ 40 per ton. Akibatnya, tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga merusak kehidupan dan kesehatan manusia baik sekarang maupun yang akan datang. Di America Serikat, ketika tragedi Love Canal antara tahun 1942 sampai tahun 1953 Perusahaan Kimia Hooker (Hooker Chemical Company), sebuah cabang dari Perusahaan Minyak Occidental (Occidental Petroleum Corporation) membuang 21.000 ton limbah beracun ke dalam Love Canal dekat Air Terjun Niagara, New York. Pada tahun 1978, penduduk yang tinggal di daerah itu mengeluh karena buangan tersebut naik ke permukaan tanah. Selain itu, tempat pembuangan limbah beracun itu membawa akibat timbulnya penyakit kanker, anak-anak lahir dalam keadaan cacat, keguguran kandungan, sakit pernapasan dan saluran kencing, kelainan sel telur, dan penyakit akut dan kronis lainnya yang merugikan manusia, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Tragedi ligkungan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dikomparasikan dengan Indonesia. Menurut Nabiel Makarim, ketika menjabat sebagai Menteri Lingkungan hidup RI, mengemukakan bahwa pencemaran lingkungan saat ini menunjukkan peningkatan yang cukup tajam, sehingga dugaan semula kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh industri semakin berkurang saat krisis ekonomi, ternyata meleset. Sebaliknya, justru kasus pencemaran menunjukkan peningkatan. Peningkatan itu terjadi, karena pemerintah dan masyarakat disibukkan dengan penataan perekonomian, akibatnya pengawasan menjadi berkurang. Situasi demikian, dimanfaatkan oleh industri membuang limbahnya ke sungai, tanpa ada pengawasan dari masyarakat dan pemerintah.
8
Contoh, adalah kasus pencemaran
lingkungan di Teluk Buyat yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya yang
8
Media Indonesia Online, Rabu, 31 Juli 2002.
Page 5 of 30
selama 20 tahun melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan emas, membuang limbah (Lumpur sisa penghancuran batu tambang), akibatnya masyarakat di sekitar perusahaan menjadi korban, yaitu berupa timbulnya berbagai macam penyakit aneh yang sebelumnya tidak pernah diderita oleh masyarakat setempat. Penyakit aneh itu diidentikan dengan penyakit Minamata.
9
Gejala penyakit itu sebagaimana diungkapkan
oleh peneliti dr. Jein Pangemanan, diawali dengan gatal-gatal dan kejang pada tubuh penderita, kemudian muncul benjolan di tangan, kaki, tengkuk, pantat, kepala, atau payudara.
10
Namun belakangan ini, kasus tentang pencemaran lingkungan tersebut
terjadi tarik-menarik antara pihak yang tidak ingin kasus itu diperpanjang dengan memasang iklan di media massa televisi swasta nasional bahwa di Teluk Buyat aman tidak ada pencemaran. Bahkan untuk memperkuat argument itu, mereka menggunakan referensi WHO (World Health Organization) bahwa pencemaran di Teluk Buyat masih di bawah ambang batas menurut standar WHO, sehingga ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan setempat aman dikonsumsi yang sebelumnya ketika heboh timbulnya penyakit aneh (minamata) itu, masyarakat takut mengkonsumsinya. Di lain pihak, berdasarkan hasil penelitian berbagai kalangan menunjukkan bahwa PT. Newmont Minahasa Raya telah
terbukti
mencemari
Teluk
Buyat.
Dengan
adanya
penyangkalan
itu,
pertanyaannya: apakah ada hubungannya dengan permintaan Amerika Serikat melalui Duta Besarnya untuk Indonesia Ralph L. Boyce agar tersangka Newmont dibebaskan.
11
Tragedi lingkungan berikutnya di Indonesia, adalah pencemaran lingkungan di Sidoardjo oleh PT. Lapindo Brantas mulai tanggal 29 Mei 2006 sampai sekarang, yang menjadi korban tidak hanya penduduk sekitar, tetapi juga dunia usaha. Bahkan, mereka yang akan bepergian melalui bandara Juanda-Surabaya, dan harus lewat lokasi semburan, akan menjadi was-was karena macet, khawatir ditinggalkan pesawat. Namun demikian, keberpihakan pemerintah bukannya kepada masyarakat yang menjadi 9
Minamata sebuah kota kecil di pantai barat Pulau Kyushu (Jepang Selatan), yang pada tahun 1956 kota itu mendadak terkenal ke seluruh dunia, karena banyak penduduknya meninggal akibat makan ikan yang tercemar limbah merkuri atau air raksa dari pabrik pupuk Chisso. Lebih lanjut mengenai hal ini silahkan buka http://www.kompas.com/kompas-cetak/0404/16/Jendela/971265.htm, diakses 21 Juli 2004. 10 http://www.kompas.com/kesehatan/news/0407/20/074641.htm, diakses 21 Juli 2004. 11 (http://www.hariankomentar.com/arsip/sep28/lf001.html, diakses 17 Oktober 2004) (bandingkan kasus ini dengan tragedi Love Canal sebagaimana telah dikemukakan di atas).
Page 6 of 30
korban, akan tetapi justru kepada PT. Lapindo Brantas, yaitu sehubungan dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoardjo. Hal itu merupakan upaya terjadinya politisasi hukum pidana. Mengapa demikian, jawabnya karena ada petinggi yang terlibat, kemudian hendak bersembunyi di balik Perpres tersebut. Terjadinya berbagai kasus pencemaran lingkungan tersebut, merupakan cerminan dari kurangnya rasa tanggung jawab korporasi terhadap lingkungan di sekitar, dan karenanya dapat dipertanyakan apakah itu bukan merupakan suatu penghianatan terhadap bangsa dan Negara. Betapa tidak, korporasi yang seharusnya wajib memelihara kenyamanan lingkungan, akan tetapi malah sebaliknya: biarkan orang lain mati asalkan saya yang hidup. Perilaku seperti itu, oleh Edward Alsworth Ross, disebutnya dengan istilah criminaloid, artinya: pelaku yang menikmati kekebalan atas dosa-dosa, lebih suka mengorbankan kepentingan umum, dan apabila didakwa atau dituduh melakukan kejahatan, seolah-olah tidak bersalah. Bilamana perlu tidak segansegan mengeluarkan dana besar untuk menjaga reputasinya. Sehubungan dengan adanya ketentuan dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 106, tanggal 16 Agstus 2007) yang mengatur mengenai Corporate Social Responsibility (CSR), dan ternyata telah menimbulkan dua pandangan yang saling berlawanan antara yang memujikan atas kebijakan tersebut dan yang mengkritiknya karena dipandang memberatkan dunia usaha. Terlepas dari dua pandangan yang berseberangan itu, yang menjadi pertanyaan: apa sebenarnya yang hendak dibidik oleh pembuat undang-undang sehingga CSR dimasukan ke dalam ketentuan Pasal 74 Unang-undang No. 40 Tahun 2007. Dalam Penjelasan Umum Undang-undang No. 40 Tahun 2007 dikemukakan: “Dalam Undangundang ini diatur mengenai Tanggug Jawab Sosial dan Lingkungan yang bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi Perseroan itu sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada umumnya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan Page 7 of 30
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat, maka ditentukan bahwa Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam
wajib
melaksanakan
Tanggung
Jawab
Sosial
dan
Lingkungan.
Untuk
melaksanakan kewajiban Perseroan tersebut, kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
harus
dianggarkan
dan
diperhitungkan
sebagai
Perseroan
yang
dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kegiatan tersebut dimuat dalam laporan tahunan Perseroan. Dalam hal Perseroan tidak melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, maka Perseroan yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Jadi, jika mencermati Penjelasan Umum tersebut, tampak bahwa pembentuk undang-undang hendak menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Kehendak untuk menciptakan hubungan yang sedemikian itu, sebenarnya adalah demi kelangsungan Perseroan itu sendiri, dan masyarakat sekitar merupakan bagian dari Perseroan, dan sebaliknya. Filosofisnya adalah harmonisasi. Namun demikian, seperti yang telah saya singgung di atas, ketentuan dalam Pasal 74 Unang-undang No. 40 Tahun 2007, telah banyak menuai kritikan, di antaranya dari Ketua Umum Kadin Mohamad S. Hidayat,
12
yang mengatakan: CSR adalah
kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti ketetiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika hal itu diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Ketua Umum Kadin itu, dalam upaya memperkuat argumentasinya, dia membandingkan dengan Negaranegara Eropa, walaupun secara institusional jauh lebih atang daripada Indonesia, telah menyatakan bahwa CSR bukan sesuatu yang harus diatur. Pendapat yang dikemukakan oleh Ketua Kadin tersebut patut dipertanyakan, apakah kepentingan hukum Negara-negara Eropa yang disebutkan itu sama dengan Indonesia? Perkembangan legislatif di Indonesia, memang ada kecenderungan segala
12
Hukumonline.com, CSR, Kegiatan Sukarela yang Wajib Diatur, 28 Maret 2008,
Page 8 of 30
seuatu harus ditulis/diatur, kendati kita mengakui nilai-nilai budaya setempat. Karena di negeri ini, jangankan tidak diatur dalam arti tidak ditulis dalam peraturan perundangundangan, yang diatur saja suka dilanggar. Dan, untuk menjamin ketaatan ketentuan yang diatur itu, diperlukan adanya sanksi. Sesuai dengan judul makalah ini, maka uraian berikut, saya kemukakan perkembangan subjek hukum dalam hukum pidana, baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di luar KUHP, dalam RUU KUHP 2007, serta komentar para pakar hukum pidana. Selanjutnya, mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi kaitannya dengan ketentuan Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, dalam uraian ini saya mendasarkan pada tiga pilar dalam hukum pidana, yaitu: tindak pidana; kesalahan; dan pemidanaan. Kemudian, mengenai tanggung jawab korporasi terhadap korban dengan pendekatan konsep daad-dader-slachtoffer-strafrecht. Paling akhir, adalah penutup.
B. PERKEMBANGAN SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM PIDANA Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal orangperseorangan sebagai subjek hukum pidana, sedangkan korporasi belum dipandang sebagai subjek hukum pidana. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, baik dalam hukum pidana khusus, seperti antara lain Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak pidana Pencucian Uang, Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 Pemberantasan Page 9 of 30
Tindak Pidana Terorisme, maupun dalam perundangan administrasi yang bersanksi pidana (seperti antara lain Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi), korporasi sudah dianggap sebagai subjek hukum pidana. Demikian juga halnya dengan Rancangan KUHP, Diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dewasa ini, di mana korporasi besar sekali peranannya dalam seluk-beluk perekonomian negara, apalagi dalam menghadapi era industrialisasi yang saat ini tengah dikembangkan oleh pemerintah kita. Oleh karena, peranan korporasi yang begitu besar dalam pertumbuhan perekonomian negara, namun dibalik itu tidak tertutup kemungkinan adanya kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi di berbagai bidang. Dan, dalam Penjelasan Umum RUU KUHP 2007 Buku I angka 4 antara lain dinyatakan: “Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum………Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum mapun non-badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggunjawabkan dalam hukum pidana……..” Adanya pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pidana, tampaknya sudah mendunia. Hal itu dibuktikan, antara lain dengan diselenggarakannya konferensi internasional ke-14 mengenai Criminal Liability of Corporation di Atena dari tanggal 31 Juli hingga 6 Agustus tahun 1994. Di mana, antara lain, Finlandia yang semula tidak mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana, tapi dalam perkembangannya telah mengakui korporasi sebgai subjek hukum pidana dan dapat dipertanggungjawabkan. Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dilatalarbelakangi oleh sejarah dan pengalaman yang berbeda di tiap negara, termasuk Indonesia. Namun pada akhirnya ada kesamaan pandangan, yaitu sehubungan dengan perkembangan Page 10 of 30
industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan telah mendorong pemikiran bahwa
subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada
manusia alamiah (natural person) tetapi meliputi pula korporasi, karena untuk tidak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi. Menurut Jan Remmelink,
13
memang pada awalnya pembuat undang-undang
berpandangan bahwa hanya manusia (orang perorangan/individu) yang dapat menjadi subjek hukum pidana, sedangkan korporasi tidak dapat menjadi subjek hukum pidana. Adanya pandangan seperti itu dapat ditelusuri dari sejarah perumusan ketentuan Pasal 51 Sr. (Pasal 59 KUHP) terutama dari cara perumusan delik yang selalu dimulai dengan frasa hij die, barangsiapa. Sehubungan dengan itu, Doelder,
14
guru besar pada Jurusan Hukum Pidana dan
Kriminologi, Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda bahwa Hukum Pidana yang ada sejak tahun 1886 dan ditulis dengan ide bahwa hanya orang (natural persons) yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Pandangan Doelder tersebut sejalan dengan Jonkers
15
yang mengutif putusan
Mahkamah Tinggi tanggal 5 Agustus 1925 menulis bahwa menurut asas-asas hukum pidana kita (Belanda, pen.) badan-badan hukum tidak dapat melakukan delik. Alasannya, karena hukum pidana kita didasarkan atas ajaran kesalahan pribadi yang hanya ditujukan terhadap pribadi seorang (individu), sehingga ketentuan mengenai pidana pokok pun mempunyai sifat kepribadian, terutama pidana kemerdekaan. Demikian juga dengan pidana denda, sebab menurut sistem pidana Hindia Belanda, korporasi tidak dapat dijatuhi pidana denda, karena orang yang dijatuhi pidana denda dapat memilih untuk menjalani pidana kurungan pengganti selain membayar denda. Menurut Jonkers, meskipun korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, akan tetapi dalam kenyataannya korporasi sering melakukan tindak
13
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2003, hal. 97. 14 Hans de Doelder, 1996, Criminal Liability of Corporations - Netherlands, in Hans de Doelder and Klaus Tiedemann (ED), Criminal Liability of Corporations, XIVth International Congress of Comparative Law, The Hague, Kluwer Law International, The Netherlands, 1996, hal. 289-290. 15 Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 1987, 289-290.
Page 11 of 30
pidana. Namun, di Belanda telah terjadi perkembangan, pada tahun 1976 pembentuk undang-undang memutuskan untuk merubah Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana berdasarkan Undang-undang tanggal 23 Juni 1976, Lembaran Negara No. 377. Menurut ketentuan yang baru ini, semua tindak pidana dapat dilakukan oleh orang dan korporasi. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 51 itu telah ada sejak tahun 1951 dalam hukum pidana ekonomi (Pasal 15 Eeconomic Penal Code). Akan tetapi, ketentuan pasal dalam bidang ekonomi tersebut telah dicabut pada tahun 1976, dan itu telah disebutkan dalam Pasal 51 yang baru, yang berarti telah mengakhiri doktrin fiksi. Perundang-undangan yang baru itu, berlaku untuk hukum pidana umum dan hukum pidana ekonomi, yaitu berdasarkan ide bahwa korporasi merupakan badan hukum dan dapat melakukan tindak pidana. Selanjutnya, suatu hal yang perlu dikemukakan adalah yang berkaitan dengan jenis pelaku yang terdiri dari orang dan korporasi itu. Pengertian korporasi yang digunakan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda berbeda dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata, juga badan hukum yang bukan berbentuk badan hukum dipandang sebagai korporasi dan dapat dikenai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 51. C. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI KAITANNYA DENGAN KETENTUAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007 Menurut Packer
16
bahwa dasar rasional dari hukum pidana bersandar pada tiga
konsep, yaitu: tindak pidana, kesalahan, dan pemidanaan.
Lebih lanjut Packer
17
bahwa ketiga konsep tersebut melambangkan tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana, yaitu: 1) perbuatan apa yang seharusnya dianggap sebagai kejahatan; 2) ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat apa yang harus dibuat sebelum seseorang
16
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968, hal. 17. The rationale of the criminal law rests on three concepts: offense; guilt; and punishment. 17 Herbert L. Packer, Ibid. These three concepts symbolize the three basic problems of substance in the criminal law: 1) what conduct should be designated as criminal; 2) what determinations must be made before aperson can be found to have committed a criminal offense; 3) what should be done with persons who are found to have committed criminal offenses.
Page 12 of 30
dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana; 3) apa yang seharusnya dilakukan terhadap seseorang yang telah diketahui melakukan tindak pidana. Ketiga pilar tersebut, merupakan titik-tolak untuk mengkaji pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hubungannya dengan pengabaian kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian, ruang lingkup pembahasan ini meliputi: perbuatan pidana; pertanggungjawaban pidana korporasi; dan pidana dan pemidanaan. a. Pebuatan Pidana Bab V Undang-undang No. 40 Tahun 2007 yang mengatur mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Dan, berdasarkan ketentuan Pasal 74-nya ditentukan: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
Perseroan
yang
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
memperhatikan
kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajian sebagaimana diaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 74 tersebut, maka yang menjadi pertanyaan: apakah perseroan yang tidak melaksankan kewajiban berupa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan suatu perbuatan pidana? Untuk mejawab pertanyaan ini, perlu memperhatikan kriteria sebagai berikut :18 a. Pembangunan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,
18
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 44-48.
Page 13 of 30
sehubungan
dengan
itu
pembangunan
hukum
pidana
bertujuan
untuk
menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. b. Perbuatan yang hendak dicegah atau ditangulangi dengan hukum pidana harus merupakan
perbuatan
yang
tidak
dikehendaki,
yaitu
perbuatan
yang
mendatangkan kerugian atas warga masyarakat. c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil. d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kemampuan daya kerja aparat penegak hukum. Apabila memperhatikan criteria tersebut, di samping juga mempertimbangkan adanya kerugian atau korban, baik aktual maupun potensial yang signifikan dari perbuatan tersebut. Karena, mengingat para korban kejahatan korporasi seringkali tidak merasa bahwa mereka telah menjadi korban, dan itu berbeda dengan korban kejahatan konvensinal. Apalagi, upaya untuk memperjuangkan kepentingan korban telah membutuhkan perjalanan yang panjang. Dan, sebagaimana ditulis oleh Sahetapy
19
bahwa perjalanan sejarah yang bertalian dengan permasalahan korban membutuhkan waktu yang cukup lama dan panjang. Setelah dua peperangan dunia yang besar dengan korban yang begitu banyak, barulah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 11 Desember 1985 menghasilkan Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power. Lebih lanjut Sahetapy menulis : Paradigma viktimologi tidak hanya bertalian dengan kejahatan dalam arti klasik saja, tetapi juga menyangkut perbuatan-perbuatan lain di luar bidang hukum pidana. Abuse of power, jelas mengindikasikan, bahwa perbuatan dengan menyalahgunakan kekuasaan berarti dapat juga dilakukan oleh suatu kekuasaan yang sah. Itu berarti, bahwa memiliki kekuasaan tidak dengan sendirinya berarti memiliki kebenaran. Jadi, rakyat bisa saja dikorbankan untuk kepentingan penguasa atau kelompok yang berkuasa tanpa memperhatikan atau mengindahkan atau menghormati norma-norma hukum dan atau moral. Penyalahgunaan kekuasaan, berlanjut kepada penyalahgunaan kekuasaan di bidang ekonomi (economic abuse of power), yaitu sebagaimana yang dinyatakan dalam Kongress PBB ke-6 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang diselenggarakan di Caracas, Venezuela tahun 1980. Dalam salah satu 19
Sahetapy, Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995, hal. v.
Page 14 of 30
pertimbangannya yang tercantum dalam Resolusinya yang ke-7 tentang Prevention of
the Abuse of Power, dinyatakan
20
bahwa mengingat penyalahgunaan kekuasaan
ekonomi dan politik menyebabkan kerugian materi dan sosial yang besar, yaitu merusak pembangunan ekonomi dan sosial serta mengganggu kualitas hidup rakyat dunia secara keseluruhan. Dengan demikian, korban dalam paradigma baru bukan saja korban dalam arti klasik, melainkan juga korban dalam konteks dimensi lain, yang tidak lagi bersifat individual tetapi sifatnya abstrak (abstract victims), termasuk korban dari perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dan, perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi, pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan alasan itu, perusahaan yang tidak melaksankan kewajibannya berupa tanggung jawab sosial dan lingkungan seharusnya merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Di samping itu juga patut dipertimbangkan untuk menggunakan hukum pidana, yaitu sebagaimana ditulis oleh Clinard dan Yeager:
21
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
tingkat kerugian masyarakat; tingkat keterlibatan yang dilakukan oleh para manajer korporasi; lamanya pelanggaran; frekuensi pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi; bukti adanya maksud melakukan kejahatan; bukti pemerasan, seperti dalam kasus-kasus penyuapan; banyaknya kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi yang telah diungkap oleh media; 8. precedent dalam hukum; 9. sejarah pelanggaran serius yang dilakukan oleh korporasi; 10. potensi pencegahan atau penangkalan; 11. adanya bukti yang menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi.
20
The Sixth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, held at Caracas from 25 August to 5 September 1980, Resolution 7, Prevention of the abuse of power: considering that abuse of economic and political power cause great material and social harm, undermine economic and social development and impair the quality of life of people throughout the world, hal 10. 21 Marshall B. Clinard and Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, New York, 1980, hal. 93. Berdasarkan hasil wawancara mereka dengan aparat penegak hukum federal di Washington D.C. menyatakan : 1) the degree of loss to the public; 2) the level of complicity by high corporate managers; 3) the duration of the violation; 4) the frequency of the violation by the corporation; 5) evidence of intent to violate; 6) evidence of extortion, as in bribery cases; 7) the degree of notoriety engendered by the media; 8) precedent in law; 9) the history of serious violations by the corporation; 10) deterrence potential; 11) the degree of cooperation evinced by the corporation.
Page 15 of 30
Memang pada umumnya penggunaan hukum perdata dan hukum administrasi merupakan primum remedium, dan hukum pidana sebagai ultimum remedium. Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan. 2. Pertanggungjawaban Pidana Apakah yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannya perbuatan pidana? Atas pertanyaan ini Roeslan Saleh
22
menulis bahwa bertanggung jawab atas
sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara syah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu. Lebih lanjut dikemukakan, pidana itu dapat dikenakan secara syah berarti untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tertentu, dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan tersebut. Atau dengan kata lain, tindakan ini dibenarkan oleh sistem hukum tersebut. Namun demikian, menurut Moeljatno
23
bahwa dalam pengertian perbuatan
pidana tidak termasuk pertanggungan jawab pidana. Karena perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Mengenai kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana sebagaimana yang diatur (diancamkan) dalam undang-undang (pidana) sangat tergantung pada apakah dalam melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan (asas: tiada pidana tanpa kesalahan). Pandangan Moeljatno ini sesuai dengan Rupert Cross dan P. Asterley Jones yang menulis
24
bahwa prinsip (asas) pokok hukum pidana diwujudkan dalam
pepatah actus non facit reum, nisi mens sit rea, di mana suatu perbuatan yang dilakukan tidak menjadikan seseorang bertanggung jawab atas perbuatan itu kecuali kalau yang bersangkutan mempunyai kesalahan. Itu berarti, asas kesalahan merupakan asas fundamental dalam hukum pidana, karena dengan asas ini diletakan sendi-sendi kemanusiaan berupa perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu dapat dikecualikan untuk meniadakan asas kesalahan tersebut, yaitu apa yang disebut dengan 22
Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 34. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, 1980, hal. 104. 24 Rupert Cross dan P. Asterley Jones, An Introduction to Criminal Law, Seventh Edition, Butterworth & Co, London, 1972, hal. 35. 23
Page 16 of 30
strict liability, dan vicarious liability. Strict liability, diatur dalam Pasal 38 ayat (1) RUU tentang KUHP 2007 bahwa: “Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsurunsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan”. Penjelasan pasal ini menegaskan: “Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian terhadap asas tiada pidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu, tidak berlaku bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindak pidana telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas pertanggugjawaban mutlak (strict liability). Asas ini diterapkan antara lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan profesinya, yang mengandung elemen keahlian memadai (expertise),
tanggung
jawab
sosial
(social
responsibility)
(corporateness) yang didukung oleh semua kode etik”. Menurut Packer,
26
dan
kesejawatan
25
issue strict liability atau pertanggungjawaban tanpa
kesalahan, merupakan suatu pengembangan yang penting dalam hukum pidana dalam abad ini, baik melalui pengundangan oleh pembentuk undang-undang atau melalui interpretasi oleh pengadilan untuk melarang perbuatan tertentu tanpa memperhatikan kesalahan seseorang. Demikian juga dengan Thomas Morawetz menulis,
27
kita telah
25
Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur apa yan disebut dengan Tanggung Jawab Mutlak, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 Undang-undang tersebut : (1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a. adanya bencana alam atau peperangan; atau b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. 26 Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford, California, 1968, hal. 13. 27 Thomas Morawetz, The Philosophy of Law, An Introduction, Macmillan Publishing Co., Inc., New York, 1980, hal.209.
Page 17 of 30
banyak menyaksikan jenis-jenis tindak pidana yang dipertanggungjawabkan secara
strict dalam dua puluh hingga tiga puluh tahun terakhir ini. Adapun alasan pembenar pembuat undang-undang memasukan doktrin strict liability ke dalam perundangundangan pidana, karena perbuatan-perbuatan tertentu dapat menimbulkan bahaya potensial yang serius terhadap keselamatan publik. Sedangkan vicarious liability, diatur dalam Pasal 38 ayat (2) RUU tentang KUHP 2007 bahwa: “Dalam hal ditentukan oleh Undang-undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain”. Penjelasan pasal ini menegaskan: “Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan. Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan
pendalaman
asas
regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh Undang-Undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang. Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal sebagai asas “vicarious liability ”. 28 Dalam konteks vicarious liability tersebut, bahwa dalam hukum pidana dapat digambarkan sebagai pengenaan pertanggungjawaban pidana kepada seseorang dalam kapasitas pelaku utama, berdasarkan atas perbuatan pelanggaran atau sekurangkurangnya ada unsur pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Contoh dari bentuk pertanggungjawaban ini, adalah hubungan antara karyawan dan pimpinan (employer-
employee situation).
29
Kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
yang mengabaikan tanggungn jawab sosial dan lingkungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, maka yang menjadi pertanyaan: 28
Vicarious liability berarti pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (liability for the acts of another person). Lihat Russel Heaton, Criminal Law, Cases & Naterials, Second Edition, Blackstone Press Limited, London, 1998, hal. 404. 29 Peter Gillies, op.cit., hal 107.
Page 18 of 30
apakah korporasi dapat dipertangungjawabkan secara pidana? Pertanyaan ini mengemuka, karena dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tidak secara tegas menyatakan bahwa korporasi merupakan subjek hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pasal terebut, hanya menunjuk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 menentukan: “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Linkungan”, Dan, sesuai dengan Penjelasan Pasal 74 ayat (3) Undang-undang No. 40 Tahun 2007, bahwa: “Yang dimaksud dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait’, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang dekat, di antaranya adalah Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, tanggal 19 September 1997). Namun demikian yang menjadi pertanyaan: apakah Undang-undang No. 23 Tahun 1997 telah dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana? Dalam Pasal 1 Angka 24 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dinyatakan: “0rang adalah orang perorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum”. Selanjutnya, bagaimana kriteria tentang siapa saja yang dapat dipertanggungawabkan secara pidana? Pasal 46 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 menentuan : (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini 30 dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan 31 baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. 30
Bab IX tentang Ketentuan Pidana. Pasal 47 Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: (1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau (2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau (3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau (3) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (4) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (5) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.
31
Page 19 of 30
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama. (3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap. (4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan. Dengan dimkian, berdasarkan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 bahwa korporasi dapat dipertanggungjawakan secara pidana. Ini berarti, perusahaan yang mengabaikan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan Pasal 46 Undang-undang No. 23 Tahun 1997.
3. Pidana dan Pemidanaan Salah satu dari dua tema sentral dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, adalah yang berkaitan dengan penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelaku tindak pidana.
32
Masalah
ini penting dikemukakan, karena sebagaimana Rekomendasi Economic and Social Council
33
yang menyatakan bahwa mengingat perubahan ekonomi dan politik yang
32
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 32. United Nations, Economic and Social Council, Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, Vienna, 21-30 April 1992, Addendum: Report of the Ad Hoc Expert Group Meeting on Strategies to Deal with Transnational Crime, Smolenice, 27-31 Mei 1991, Recommendations No. 2, hal. 3: In view of the political and economic changes taking place in many countries, including the newly emerging “market economies”, new laws and regulations should be developed so as to be able to anticipate and respond to changing situations and emerging economic realities. Exchanges of information on, and experiences with, economic crime and its control by criminal sanctions
33
Page 20 of 30
terjadi di banyak negara, termasuk kebangkitan ekonomi pasar yang baru, maka hukum dan peraturan baru harus dikembangkan, sehingga dapat mengantisipasi dan merespon situasi yang berubah dan realitas bangkitnya ekonomi. Pertukaran informasi yang terus berlangsung dan pengalaman yang berkaitan dengan kejahatan ekonomi dan control terhadapnya dengan sanksi pidana harus diintensifkan. Pertimbangan tersebut harus diberikan sebagai masukan guna melengkapi mekanisme pengaturan sanksi pidana. Sehubungan dengan itu, kaitannya dengan ketentuan Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, di mana dalam Pasal 74 tersebut tidak menentukan sendiri mengenai sanksi pidananya, akan tetapi menunjuk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait, maka apabila mengacu kepada ketenuan Pasal 45 Undang-undang No. 23 Tahun 1997: “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga”. Berdasarkan ketentuan Pasal 45 tersebut, suatu hal yang patut dipertanyakan: apakah ancaman pidana denda yang diperberat itu akan dapat dirasakan sebagai sanksi atau hukuman bagi suatu korporasi? Memang sebagaimana yang ditulis oleh Balakrishnan
34
bahwa pidana denda itu sesuai diterapkan terhadap perusahaan atau
korporasi, karena korporasi tidak dapat dijatuhi pidana penjara, akan tetapi hal itu saja (denda) masih belum cukup. Karena, sanksi yang berupa pidana denda tidak akan pernah dirasakan sebagai hukuman. Anggapan bahwa denda sebagai hukuman hanyalah di atas kertas. Untuk itu, perlu ada ketentuan khusus, seperti menghentikan kegiatan korporasi untuk sementara waktu dan untuk mengelola korporasi itu dilakukan oleh negara. Pandangan Balakrishnan tersebut, bahwa “perlu ada ketentuan khusus, seperti menghentikan kegiatan korporasi untuk sementara waktu dan untuk mengelola korporasi itu dilakukan oleh Negara,” sebenarnya dalam Pasal 47 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 telah diatur, bahwa: Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud should be intensified. Due consideration should be given to regulatory mechanisms as essential complements to penal sanctions. 34 Balakrishnan, Reform of Criminal in India Some Aspects, Dalam Resource Material Series No. 6, UNAFEI, Fuchu, Tokyo, Japan, Oktober 1973, hal. 48.
Page 21 of 30
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: (1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau (2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau (3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau (4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun. Namun demikian, ketentuan yang diaur baik dalam Pasal 45 maupun Pasal 47 Undang-undang No. 23 Tahun 1997, arahnya ditujukan kepada pelaku (korporasi), dan tidak ada ketentuan yang mewajibkan korporasi untuk bertanggung jawab kepada korban, sehingga apabila dikaitkan dengan perusahaan yang
tidak melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undangundang No. 40 Tahun 2007 akan menjadi tidak berarti. Kemudian, dalam Pasal 15 huruf b Undang-undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67, tanggal 26 April 2007), menentukan: “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Selanjutnya, dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-undang No 25 Tahun 2007 ditentukan: “Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administrasi berupa : a. b. c. d.
peringatan tertulis; pembatasan kegiatan usaha; pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal”.
Sanksi yang diatur dalam
Undang-undang No 25 Tahun 2007 sama dengan
ketentuan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997, masih diarahkan kepada pelaku. Bahkan, dengan adanya sanksi berupa pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal akan berisiko besar jika dilakukan tidak secara hati-hati, karena akan berakibat pada masalah PHK karyawan/karyawati.
Page 22 of 30
Kelemahan-kelemahan itu, sesuai dengan yang pernah dikemukakan oleh Dr. Barry A.K. Rider
35
berdasarkan pengalamannya, bahwa upaya memerangi kejahatan
ekonomi masih banyak menemui kendala, di antaranya peraturan yang ada tidak cukup sempurna (inadequate and badly drafted laws) dan mekanisme untuk mendeteksi kejahatan ekonomi, selain kurang baik juga tidak dapat dipercaya (inadequate and
unreliable mechanisms for detection), tidak tersedianya sumberdaya manusia yang professional dalam melakukan penyidikan dan penuntutan (deficient and unspecialized
investigatory
prosecutionary
resources),
ketidakmampuan
pengadilan
untuk
menafsirkan dan mengevaluasi fakta (inability of the tribunal to interpret competently
and evaluate evidence). kurang sesuainya sanksi dan hukuman (inappropriate sanctions and penalties), dan kendala lainnya adalah adanya korupsi (corruption). Berdasarkan uraian di atas menunjukkan, bahwa produk perundang-undangan di Indonesia secara kuantitas oke, tetapi secara kualitas masih memprihatinkan. D. TANGGUNG JAWAB KORPORASI TERHADAP KORBAN Permasalahan hak korban kejahatan dan penderitaan manusia tampaknya sudah menjadi isu utama perhatian masyarakat internasional, yaitu sehubungan dengan diselenggarakannya Kongres PBB di Caracas, Venezuela, tahun 1980. Komisi PBB mengenai Crime Preventioan and Treatment of Offenders berpendapat bahwa pada Kongres PBB ke VII yang akan diadakan di Milan tahun 1985 harus membahas permasalahan korban kejahatan, yang meliputi baik korban kejahatan konvensional, seperti kekerasan terhadap orang maupun juga korban berbagai penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan ekonomi dan politik, kejahatan terorganisasi, diskriminasi dan eksploitasi, dan memberikan perhatian khusus terutama sekali terhadap golongangolongan penduduk yang rentan, seperti anak-anak, wanita, dan etnik minoritas,
36
dan
sesuai dengan hasil Kongres PBB VII Tahun 1985 di Milan dikemukakan: hak-hak
35
Barry A.K. Rider, Combating Internatonal Comercial Crime a Commonwealth Perspective, Disampaikan pada Seminar tentang Kejahatan Ekonomi di bidang Perbankan, Bank Indonesia, Jakarta, 4-7 Januari 1993, hal. 91. 36 Paul Zvonimir Separovic, Victimology: Studies of Victims, Zagreb: Samobor-Novaki bb Pravni Fakultet, 1985, hal. 43, 425-426.
Page 23 of 30
korban seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana. Apabila memperhatikan produk perundang-undangan di Indonesia, orientasinya masih dominan kepada perlindungan calon korban (potential victims) ketimbang actual
victims (korban nyata), seharusnya ada keseimbangan dalam perlindungan tersebut. Ambil contoh, selain yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001, dalam Pasal 18 ayat (1)-nya telah diatur mengenai pidana tambahan, namun ancaman pidananya hanya berorientasi kepada perlindungan calon korban, sementara untuk korban langsung masih belum diatur. Lengkapnya ketentuan dari
Pasal 18 ayat (1) tersebut: Selain pidana tambahan
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begipun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001ditentukan: Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) tersebut, seolah hendak memberikan perlindungan langsung terhadap korban, akan tetapi harapan itu pupus sehubungan
Page 24 of 30
dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (3)-nya yang menentukan: Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Ketentuan pidana penjara yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (3) tersebut merupakan suatu hal tidak mungkin apabila dijatuhkan terhadap korporasi. Padahal dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 ditentukan: Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Dengan demikian, subjek hukum pidana dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 di samping orang perseorangan, juga korporasi. Ini menunjukkan, bahwa pembentuk undang-undang tidak cermat dan tidak konsisten dalam merumuskan bunyi pasal. Jika pada Pasal 18 di atas, tidak ada ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap korban aktual, maka demikian juga dengan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdaangan Orang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 58), tanggal 19 April 2007. Hal itu dapat dibuktikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50-nya, yang pada intinya menentukan sebagai berikut : (1) Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu yang telah ditentukan, maka korban atau ahli warisnya memberitahukan hal itu kepada pengadilan. (2) Selanjutnya pengadilan memberikan surat peringatan kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajibannya. (3) Jika surat peringatan tersebut tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, maka pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta ersebut untuk pembayaran restitusi. (4) Kemudian, jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun. Dengan adanya ketentuan Pasal 50 ayat (4) ini, menunjukkan kurang cermatnya pembentuk Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Page 25 of 30
Orang, karena jika pelakunya adalah korporasi, maka ketentuan ini tidak berlaku untuk korpoasi. Padahal dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tersebut ditentukan: Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memberoleh restitusi. Di samping itu, dalam Pasal 1 angka 4 ditentukan: Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana pedagangan orang. Dengan demikian, pemikiran pembentuk Undang-undang yang terimplementasi dalam
Pasal 50 ayat (4) hanya tertuju kepada orang perseorangan sebagai pelaku
tindak pidana perdagangan orang. Berdasarkan kenyataan demikian, maka pandangan mono-dualistik dalam hukum pidana, yang menurut Barda Nawawi Arief
37
biasa dikenal dengan istilah Daad-dader
Strafrecht, yaitu hukum pidana yang memperhatikan segi-segi objektif dari perbuatan (daad) dan juga segi-segi subjektif dari orang atau pembuat (dader). Karena itu, dalam konsep (RUU tentang KUHP. pen.) bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana, sehingga syarat pemidanaannya bertolak dari dua pilar yang sangat fundamental di dalam hukum pidana, yaitu azas legalitas yang merupakan azas kemasyarakatan
dan
azas
kesalahan/azas
kemanusiaan. Dan, menurut Muladi
38
culpabilitas
yang
merupakan
azas
model itu merupakan model yang realistik,
karena memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana, yaitu meliputi kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu,
kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kejahatan. Model yang bertumpu pada konsep Daad-dader Strafrecht itu, oleh Muladi disebut sebagai Model
Keseimbangan Kepentingan. Namun demikian, pandangan tersebut yang memasukkan kepentingan korban di dalamnya, menurut hemat saya sebenarnya baru pada tataran perlindungan terhadap calon korban (potential victims), bukan pada korban aktual, sehingga sifatnya masih
37
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 107108, 98-99. 38 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal 5.
Page 26 of 30
berat sebelah. Penamaan yang memperluas makna dari konsep Daad-dader-Strafrecht tersebut, tidak secara otomatis dapat mengubah atau menambah makna yang sebenarnya tanpa ditopang dengan pengembangan konsepnya. Untuk itu, konsep
Daad-dader-Strafrecht seharusnya ditambahkan dengan aspek korban (slachtoffer), sehingga rumusannya menjadi: Daad-dader-slachtoffer-Strafrecht. Penambahan aspek korban itu, sesuai dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang menghendaki adanya tanggung jawab pelaku terhadap korbannya. Jika tidak, dikhawatirkan timbul kesan bahwa hukum pidana lebih memanjakan pelaku kejahatan ketimbang korban. Wujud dari tanggung jawab tersebut, adalah berupa pemberian ganti kerugian (restitusi) dari pelaku kepada korban. Menurut Jennifer J. Llewellyn dan Robert Howse,39 restitusi sebagai sebuah konsep common law secara garis besar merupakan ide bahwa keuntungan atau manfaat yang diperoleh atau dinikmati dengan cara yang tidak benar harus dikembalikan. Kekuatan atau dasar pembenar dari restitusi tersebut, karena lebih dipokuskan pada si penderita atau korban kejahatan. Dengan demikian, pokusnya pada pengembalian kerugian kepada korban. Ini berarti, dengan restitusi telah menempatkan korban nyata (actual sufferer) pada pusat perhatian dari suatu upaya untuk memberikan yang terbaik bagi korban. Konsep yang mewajibkan pelaku untuk memberikan ganti kerugian kepada korban tindak pidana, sebenarnya bukan hal baru, karena apabila dilacak kepada sejarah ribuan rahun yang lalu, masyarakat sudah terbiasa dengan istilah utang garam
bayar garam, artinya korban dapat menentukan cara-cara (ganti kerugian) yang harus dilakukan oleh pelaku akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya kepada korban. Ganti kerugian tersebut, meliputi tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga tuntutan tambahan lainnya seperti permintaan maaf.
Dalam perkembangannya, negara atau
pemerintah mengambil alih tanggung jawab dalam penyelesaian masalah kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban, sehingga kejahatan tidak lagi dianggap sebagai penyerangan
terhadap korban, melainkan dianggap
sebagai penyerangan
terhadap negara. Akan tetapi, dalam banyak hal, restitusi telah dilupakan. Padahal,
39
http://www.icc.gc.ca
Page 27 of 30
sebelumnya
hal
itu
merupakan
kelaziman
bagi
masyarakat
primitive
dalam
menyelesaikan kasus-kasus kejahatan antara pelaku dan korban. Karena itu, sebagaimana yang ditulis oleh Schafer
40
pada tahun 1847 sudah
dirancang upaya-upaya perbaikan kondisi korban, yang kemudian diikuti dengan beberapa kongres internasioal untuk lebih memantapkan perhatian terhadap hak-hak korban kejahatan. Selanjutnya, pada International Prison Congress yang diadakan di Stockholm tahun 1878, Sir George Arney, Ketua Pengadilan New Zealand, dan William Tallack mengusulkan kembali kepada praktik-praktik pada masa lalu, dan ketika International Prison Congress yang diadakan di Roma pada tahun 1885,
Raffaele
Garofalo mengemukakan dan menulis bahwa perbaikan kondisi korban berupa memberikan ganti rugi merupakan persoalan keadilan dan jaminan sosial. Permasalaan-permasalahan pemberian ganti kerugian kepada korban, telah didiskusikan secara mendalam pada International Prison Congress yang diadakan di Paris tahun 1895. Pada kongres itu, semua pihak telah menyadari bahwa hukum modern masih lemah dalam memberikan perlindungan kepada korban. Karena itu, para anggota kongres mengharapkan agar hukum di negara-negara lebih memperhatikan korban daripada pelaku. Kendati
pembicaraan
itu
arahnya
pada
perlindungan
korban
kejahatan
konvensional, akan tetapi ide-idenya perlu ditransfer kepada upaya perlindungan korban kejahatan korporasi. Karena itu ke depan, kesenjangan perlakukan hukum pidana antara pelaku dan korban sebagaimana yang sudah terimplementasi dalam perundang-undangan pidana positif Indonesia tidak perlu terjadi lagi, yaitu dengan melakukan rekonstruksi paradigma, atau dengan kata lain, bahwa kaidah hukum itu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakatnya (dalam arti kejahatannya juga berkembang), sehingga akan dapat memberikan kualitas atau mutu politik hukum pidana sesuai dengan issu yang berkembang, khususnya dalam konteks perlindungan terhadap korban yang seimbang antara potential victims dan actual victims. Karena saat
40
Stephen Schafer, The Victim and His Criminal: A Study in Functional Responsibility, (New York, 1968), hal. 23-25.
Page 28 of 30
ini perhatian pembentuk undang-undang lebih berorientasi kepada para calon korban (potential victims). Dengan demikian, bila mengkaji beberapa undang-undang sebagaimana telah dikemukakan, seolah undang-undang telah memberikan perlindungan terhadap korban langsung, tetapi setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata ketentuan yang dirumuskan dalam pasal-pasalnya masih belum sempurna atau belum selesai dalam merumuskan perlindungan dimaksud. Karenanya dapat dikatakan, bahwa kebijakan penal yang tertuang dalam hukum pidana positif masih belum secara sungguh-sungguh memperhatikan korban langsung, yaitu dalam hal pemberian restitusi terhadap korban sebagai wujud dari tanggung jawab pelaku kejahatan terhadap korban. Kaitannya dengan ketentuan Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, pada dasarnya konsep restitusi dapat diterapkan, yaitu jika perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, ternyata terjadi perusakan atau pencemaran lingkungan, maka tanggung jawab itu tidak cukup dengan hanya memulihkan keadaan lingkungan ke keadaan semula, tetapi juga tanggung jawab terhadap masyarakat di sekitarnya. Tanggung jawab itu sebenarnya merupakan bagian dari proses pemasyarakatan. Berdasarkan sudut pandang ini, restitusi tidak semata ditujukan kepada masyarakat yang telah dirugikan, akan tetapi pada saat yang sama juga membantu harmonisasi antara perusahaan dan masyarakat sekitar. Karena itu, konsep charity atau kedermawanan dalam konteks Corporate Social
Responsibility tersebut, sudah tidak relevan, karena selain tidak ada kepastian hukum bagi masyarakat, juga seringkali dipakai sebagai alasan oleh perusahaan bahwa kami tidak bisa membantu masyarakat karena dana yang telah kami siapkan telah diambil oleh “petinggi” di daerah (ini salah satu contoh nyata). E. PENUTUP Mempertanggungawabkan secara pidana bagi korporasi yang melakukan pengabaian atas
kewajiban
terhadap
tanggung jawab sosial
dan
lingkungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 74 Undang-undang No. 40 Tahun 2007, seharusnya
Page 29 of 30
tidak semata-mata ditujukan atas perbuatan yang dilakukan, tetapi juga akibat dari perbuatan tersebut, yaitu timbulnya korban. Kelemahan formulasi hukum pidana saat ini, lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat (korban poensal), yaitu berupa acaman pidana yang tinggi. Sementara itu, tanggung jawab korporasi terhadap korban nyata sebagai akibat dari perbuatan korporasi masih belum memadai. Untuk Indonesia, dalam membangun hukum pidana yang berorientasi pada perlindungan korban akibat dari kejahatan korporasi. Terlebih dalam abad ini dan yang akan datang, pertumbuhan korporasi sudah dapat diperkirakan akan semakin meningkat, maka sudah seharusnya hukum pidana mengatur perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi dengan mewajibkan korporasi memberikan ganti kerugian (restitusi) kepada korban. Dan, konsep daad-dader-slachtoffer-Strafrecht
sudah
seharusnya terimplementasi dalam perundang-undangan pidana. Jember, 2 Mei 2008 Wassalam, M. Arief Amrullah
Page 30 of 30