POLITIK HUKUM PIDANA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG 1 Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 2
A. PENDAHULUAN Kejahatan tengah meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas maupun kecanggihannya. Demikian juga dengan ancamannya terhadap keamanan dunia dan menghambat kemajuan negara, baik dari aspek sosial, ekonomi maupun budaya. Mengingat kejahatan itu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, maka wajar jika ada suatu ungkapan: kejahatan itu tua dalam usia, tapi muda dalam berita. Artinya, sejak dulu hingga kini orang selalu membicarakan mengenai kejahatan, mulai dari yang sederhana (kejahatan biasa) sampai kepada kejahatan-kejahatan yang sulit pembuktiannya. Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan kejahatan perdagangan orang tidak lepas dari perkembangan tersebut, dan sehubungan dengan konteks perdagangan orang dimaksud, pada tahun 1995 dalam konperensi PBB mengenai the crime prevention and the treatmen of offers yang diselenggarakan di Cairo, telah dibicarakan tindakan-tindakan to combat transnational crime, terrorism and violence against women. Sehubungan dengan itu, dan terkait dengan combat transnational crime, pada tahun 2000 di Palermo Itali diselenggarakan konferensi PBB mengenai Transnational Organized Crime, termasuk di dalamnya adalah mengenai perdagangan orang, khususnya wanita dan anak. Bahkan sebelumnya dalam Kongres PBB ke-5 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang diselenggarakan di Jenewa dari tanggal 1 hingga 12 September 1975 telah memfokuskan pembicaraan mengenai
1
Disampaikan dalam Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum Universitas Jember dengan Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan, Jember, 21 Nopember 2006. 2 Staf Pengajar Fakultas Fakultas Hukum Universitas Jember, dan KPS Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Jember
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
1
crime as business at the national and transnational levels yang meliputi organized crime, white-collar crime dan corruption. Crime as business itu diakui sebagai ancaman yang serius terhadap masyarakat dan ekonomi nasional dibandingkan dengan bentuk kejahatan tradisional. Apa yang telah dibicarakan dalam Kongres PBB tersebut, pada dasarnya merupakan respon atas perkembangan kejahatan, baik dalam skala nasional maupun transnasional, termasuk kejahatan perdagangan orang, khususnya wanita dan anak sebagai salah satu jenis kejahatan yang mendunia. Kejahatan perdagangan orang telah masuk dalam kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational Criminal Organizations) yang meliputi the drug trafficking industry, smuggling of illegal migrants, arms trafficking, trafficking in nuclear material, transnational criminal organizations and terrorism, trafficking in women and children (huruf tebal dan miring, pen.), trafficking in body parts, theft and smuggling of vehicles, money laundering, dan jenis-jenis kegiatan lainnya, 3 sangat memprihatinkan masyarakat internasional. Adanya keprihatinan tersebut tentunya sangat beralasan, yaitu apabila dikaitkan dengan ancaman atau akibat yang ditimbulkannya sangat begitu dahsyat (insidious), dan dapat menembus ke berbagai segi atau bidang, baik terhadap keamanan dan stabilitas nasional maupun internasional, dan merupakan ancaman utama (frontal attack) terhadap kekuasaan politik dan legislatif, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Di samping itu, juga mengganggu dan mengacaukan lembaga-lembaga sosial dan ekonomi, menyebabkan longgarnya penegakan proses demokrasi, serta merusak pembangunan dan menyelewengkan hasil-hasil yang sudah dicapai. Mengorbankan penduduk, mempergunakan kesempatan atas kelengahan
manusia
sebagai
sasarannya.
Memperangkap
dan
bahkan
memperbudak golongan-golongan masyarakat, khususnya wanita dan anak-anak
3
Dokumen PBB No. E/CONF.88/2 tanggal 18 Agustus 1994 dan telah dibicarakan dalam World Ministerial Conference on Organizied Transnational Crime di Naples, 21-23 November 1994 dengan tema Problem and Dangers Posed by Organized Transnational Crime in the Various Regions of the World, untuk disampaikan dalam Kongres PBB ke-9 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Kairo, 29 April – 8 Mei 1995, hal. 17-22.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
2
dalam melakukan pekerjaan ilegal di berbagai bidang dan keterkaitan satu sama lain, terutama sekali dalam prostitusi. Adapun tujuan utama dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan keuntungan baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana gelap ini akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan selanjutnya. 4 Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa kejahatan perdagangan orang merupakan salah satu jenis kejahatan yang potensial dalam mengancam berbagai kepentingan baik dalam skala nasional maupun internasional. Hal ini tampaknya terkait dengan perubahan baru-baru ini dalam bidang ekonomi global, yang telah memberikan keuntungan bagi penjahat tingkat dunia, yaitu dengan memanfatkan peningkatan arus barang, uang dan orang secara lintas batas, maka organisasi kejahatan internasional telah memperluas jangkauan wilayah mereka dan
hubungan
mereka
dengan
kekuasaan
pemerintahan
setempat.
Perkembangan ini menimbulkan berbagai ancaman, baik langsung maupun tidak langsung terhadap kepentingan nasional. Kejahatan perdagangan orang yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan internal nasional dan internasional. Perhatian dan keprihatinan dunia internasional terhadap kejahatan perdagangan orang dimaksud tentunya sangat beralasan, karena ruang lingkup dan dimensinya begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan transnational crime. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan kejahatan terorganisasi tersebut, maka yang perlu dikemukakan terlebih dahulu adalah istilah dari kejahatan terorganisasi (organized crime). Istilah organized crime telah lama menjadi sumber kontroversi dan perdebatan, hal itu terjadi mungkin
karena
perbedaan dalam cara pendekatan terhadap berbagai permasalahan yang 4
Ambassador Wendy Chamberlin, Principal Deputy Assistant Scretary, Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Affairs, U.S. Department of State, in Economic Perspectives, The Fight Against Money Laundering.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
3
dihadapi. Suatu konsensus utama telah muncul meskipun atas beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum istilah tersebut mungkin dianggap dapat diterapkan. Akan tetapi dalam Article 2 ayat 1 Proposal and Contributions Received from Governments, dinyatakan
5
bahwa organized crime berarti kegiatan-kegiatan yang
bertujuan (melakukan perbuatan) dalam rangka (dalam kaitannya dengan) sebuah organisasi kejahatan. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan: Sebuah organisasi kejahatan (a criminal organization) berarti suatu kelompok (tiga atau lebih) orang dengan hubungan hirarki atau hubungan personal yang dapat bertahan lama untuk tujuan memperkaya diri atau pengawasan wilayah-wilayah atau pasar-pasar, baik di dalam maupun di luar negeri (internal or foreign) dengan cara melawan hukum seperti kekerasan, ancaman atau korupsi, dan dalam memajukan aktivitas kejahatan itu masuk ke dalam ekonomi yang sah. Para pengikut organisasi kejahatan dianggap sebagai kelompok orang untuk tujuan melakukan kegiatan kejahatan. Mereka biasanya menggunakan perusahaan untuk melakukan kejahatan, yakni menyediakan barang-barang gelap dan jasa, atau barang-barang legal yang telah diperoleh dengan cara-cara yang ilegal, yaitu seperti mencuri atau perbuatan-perbuatan curang lainnya. Kejahatan terorganisasi (organized crime) menampakkan yang sebenarnya dalam setiap perluasan ruang gerak pasar yang sah masuk menjadi bidang yang biasanya dilarang.
Aktivitas
kelompok
kejahatan
terorganisasi
memerlukan
tingkat
kerjasama yang baik dan organisasi untuk menyediakan barang-barang dan jasa. Seperti dalam melakukan bisnis, di mana bisnis kejahatan memerlukan ketrampilan sebagai pengusaha, dan kemampuan untuk koordinasi. Di samping melakukan kekerasan dan kecurangan adalah untuk memfasilitasi dalam mengadakan kegiatan-kegiatan lainnya. Penyebutan kelompok kejahatan terorganisasi tersebut, dalam Annex I UN Convention against Transnational Organized Crime,
6
telah diberi batasan
5
General Assembly, A/AC.254/5 19 December 1998. General Assembly, Report of the Ad Hoc Committee on the Elaboration of a Convention against Transnational Organized Crime on the work of its first to eleventh sessions, 2 November 2000, A/55/383. 6
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
4
sebagaimana tercantum dalam Article 2 tentang Use of terms. Di mana dalam huruf (a) dinyatakan bahwa kelompok kejahatan terorganisasi berarti sebuah kelompok yang terstruktur (structured group)
7
dari tiga atau lebih orang,
keberadaannya untuk periode wakrtu tertentu dan bertindak bersama-sama (in concert) dengan tujuan melakukan satu atau lebih kejahatan-kejahatan yang berat (serious crime)
8
atau melakukan pelanggaran sebagaimana yang diatur dalam
Convensi ini, dengan maksud untuk mendapatkan baik langsung atau tak langsung keuangan atau keuntungan material lainnya. Mengingat operasi kegiatan kejahatan terorganisasi tidak hanya dalam skala lokal nasional, tetapi juga dunia internasional, sehingga penyebutannya pun menjadi organisasi kejahatan transnasional (transnational criminal organization). Penggunaan instilah transnational untuk criminal organization tersebut pada umumnya digunakan untuk menunjuk kepada pergerakan informasi, uang, barang, orang, barang berwujud dan tak berwujud lainnya yang melintasi batas-batas negara. Sehubungan dengan uraian di atas, Mardjono Reksodiputro menulis bahwa kejahatan terorganisasi mengacu pada organisasi rahasia (seperti mafia) dan mempunyai jaringan yang luas. Luasnya jaringan itu, hingga sampai pula kepada organisasi-organisasi
bisnis
yang
sah.
Oleh
karena
itu,
keliru
untuk
menggambarkan kejahatan terorganisasi sebagai organisasi yang hanya bekerja dengan tukang-tukang pukul atau bergerak dalam kegiatan yang tidak boleh dilihat oleh penegak hukum. Menurut Reksodiputro,
9
organisasi bisnis yang mempunyai
hubungan dengan kejahatan terorganisasi dapat dibagi menjadi tiga : a. Perusahaan hanya sebagai kedok, yaitu yang didirikan memang untuk menutupi kegiatan kejahatan dan apabila terbongkar, maka perusahaan itu 7
Structured group shall mean a group that is not randomly formed for the immediate commission of an offence and that does not need to have formally defined roles for its members, continuity of its membership or a developed structure, Article 2 (c) UN Convention against Transnational Organized Crime. 8 Serious crime shall mean conduct constituting an offence punishable by a maximum deprivation of liberty of at least four years or a more serious penalty (Article 2 (b) UN Convention against Transnational Organized Crime). 9 Mardjono Reksodiputro, Kejahatan Terorganisasi dan Kejahatan oleh Organisasi (Suatu Tinjauan dari Segi Kriminologi), Dalam Jurnal Polisi Indonesia, Tahun: 2, April 2000 – September 2000, hal. 39-40.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
5
segera bubar, contoh mengenai hal ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang finansial dengan tujuan menipu konsumen atau nasabahnya; b. Perusahaan sah, yang melakukan kegiatan melanggar hukum sebagai bisnis sampingan, sebagian besar kegiatan bisnisnya adalah sah, tetapi di samping bisnis yang sah, secara teratur perusahaan itu juga digunakan untuk kegiatan kejahatan, contoh perusahaan ekspor-impor yang melibatkan diri dalam kegiatan penyelundupan; c. Perusahaan sah dan pemilik serta pengurusnya selalu bergerak dalam bidang kegiatan bisnis yang sah, namun mereka membiarkan dan memanfaatkan adanya kegiatan kejahatan yang berada di sekitar mereka, contoh perusahaan perhotelan yang membiarkan hotelnya digunakan sebagai tempat pelacuran dan perjudian. Kegiatan organisasi kejahatan tersebut di antaranya: Trafficking in women and children, dan dalam United Nations Office on Drugs and Crime,
10
dinyatakan
bahwa dari dusun-dusun Himalaya hingga kota-kota Eropah Timur, orang-orang, khususnya wanita dan anak-anak, tergiur dengan prospek pekerjaan dan bayaran yang tinggi, baik sebagai pembantu rumah tangga, pelayan, maupun pekerja pabrik. Para pedagang tersebut mendapatkan wanita dan anak-anak itu dengan cara menipu atau informasi bohong di antaranya melalui iklan-iklan. Wanita dan anak-anak itu dipaksa bekerja sebagai pelacur. 11 Kondisi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan gambaran tersebut, dan sebagai salah satu contoh, yaitu sebagaimana yang diberitakan oleh Media
10
Trafficking in Human Beings, http://www.unodc.org/unodc/en/trafficking_human_beings.html, diakses tanggal 15 April 2003. 11
Dalam berbagai sumber telah dikemukakan bahwa, prostitusi memang sudah lama dijadikan sebagai unsur utama dalam kegiatan organisasi kejahatan pada tingkat nasional, atau pun juga pada dimensi internasional. Organisasi kejahatan Triads dan Yakuza khususnya aktif di bidang ini dan menjadikan wanita sebagai budak dalam industri seks wisata (tourist sex industry) di Pilipina, Korea Selatan dan Thailand. Jenis perdagangan gelap ini menjadikan suguhan wanita sebagai komuditi yang mempunyai nilai pasar. Bekerja seks merupakan bagian besar dalam dunia ekonomi di mana wanitanya dan anakanak dipandang sebagai barang kesukaan. Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
6
Indonesia Online
12
bahwa polisi berhasil membongkar sindikat penjual ABG (anak
baru gede) untuk dijadikan WTS (wanita tuna susila) dan menangkap tiga germo di lokalisasi Teleju Pekanbaru pada hari Jum’at 28 Pebruari 2003. Tiga ABG yang berasal dari Cianjur Jawa Barat itu, semula dijanjikan akan bekerja di Jakarta, tetapi kenyataannya dijadikan WTS dan dijual dengan harga Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) per orang. Polisi berhasil membongkar sindikat penjualan ABG tersebut adalah berdasarkan informasi masyarakat dan laporan pers. Adanya sindikat penjualan manusia (ABG) tersebut menunjukkan bahwa kejahatan terorganisasi itu (perdagangan wanita dan anak) sudah merambah ke Indonesia, dan ini merupakan tantangan bagi Indonesia untuk menanggulanginya, baik pada tataran perundang-undangan (kebijakan legislatif) maupun aparat pelaksananya (kebijakan aplikasi/yudikatif dan kebijakan eksekusi/eksekutif). Mengingat perbuatan perdagangan orang yang demikian itu, pada hakikatnya merupakan kejahatan transnasional dan merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia, maka saat ini Indonesia telah mempersiapkan
Undang-undang
tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Perdagangan Orang, yang saat ini sudah dalam bentuk RUU sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada korban dan calon korban agar tidak menjadi korban. Namun demikian, yang patut untuk dipertanyakan: apakah hukum pidana positif masih belum mampu menanggulangi kejahatan perdagangan orang, sehingga Indonesia masih merasa perlu membuat undang-undang yang khusus dibuat untuk menanggulangi kejahatan tersebut.
B. PENGATURAN PERDAGANGAN ORANG DALAM KUHP Dalam bagian menimbang dari RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang antara lain disebutkan bahwa: peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perdagangan orang belum memberikan 12
Media Indonesia Online, Sindikat Penjual WTS ABG Dibongkar Polisi, http://www.media-indonesia.com, diakses tanggal 02 Maret 2003.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
7
landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (konsideran huruf e). Adapun pasal-pasal dalam KUHP yang diacu sebagai sudah tidak memadai lagi dalam upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang tersebut, adalah Pasal 297 dan Pasal 324 KUHP.13 Pasal 297 KUHP mengatur mengenai: memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.
Kemudian, Pasal 324 KUHP mengatur mengenai perdagangan
budak belian (slavenhandel): barangsiapa dengan ongkos sendiri atau ongkos orang lain menjalankan perniagaan budak belian atau melakukan perbuatan perniagaan budak belian atau dengan sengaja turut campur dengan segala sesuatu itu, baik dengan langsung maupun dengan tidak langsung, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Mencermati ketentuan Pasal 297 KUHP dan Pasal 324 KUHP apabila dikaitkan dengan upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang sudah tidak memadai lagi. Dalam Pasal 297 KUHP, hanya membatasi pada perempuan dan laki-laki yang belum dewasa. Padahal, dalam perdagangan orang tersebut tidak hanya perempuan yang belum dewasa, tetapi juga perempuan dewasa. Demikian juga dengan ketentuan Pasal 324 KUHP, dalam abad ini tentu tidak ada lagi perdagangan budak belian, yang barang dagangannya terdiri atas orang-orang yang akan dipergunakan untuk dijadikan budak hamba belian, yang ada adalah dalam bentuk lain, yaitu apa yang disebut dengan perbudakan modern.
13
Di samping Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, adalah Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU No. 39 Tahun 2004), Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang tentang Kesehatan, Undang-undang tentang Perlindungan Anak, Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang tentang Keimigrasian.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
8
C. IMPLEMENTASI POLITIK HUKUM PIDANA DALAM RUU TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terdiri atas sembilan bab: Bab I mengenai Ketentuan Umum; Bab II mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang, meliputi dua bagian, Bagian Kesatu mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang (Pasal 2 sampai dengan Pasal 16), Bagian Kedua mengenai Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Pasal 17 sampai dengan Pasal 26); Bab III mengenai Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan (Pasal 27 sampai dengan Pasal 36); Bab IV mengenai Perlindungan Saksi dan Korban (Pasal 37 sampai dengan Pasal 39); Bab V mengenai Hak-hak Korban (Pasal 40 sampai dengan Pasal 47); Bab VI mengenai Pencegahan (Pasal 48 sampai dengan Pasal 50); Bab VII mengenai Kerjasama Internasional dan Peranserta Masyarakat, meliputi dua bagian, Bagian Kesatu mengenai Kerjasama (Pasal 51), Bagian Kedua mengenai Peranserta Masyarakat (Pasal 52 sampai dengan Pasal 55); Bab VIII mengenai Ketentuan Peralihan (Pasal 56); Bab IX mengenai Ketentuan Penutup (Pasal 57 sampai dengan Pasal 59). Di antara bab-bab itu (dalam kerangka sosialisasi ini) saya hanya menyoroti ketentuan yang berkaitan dengan perluasan subjek hukum pidana, dan perlindungan korban.
c.1 Perluasan Pengaturan Subjek Hukum Pidana Dalam RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 angka (4) merumuskan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Ini berarti subjek hukum pidana menurut RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, di samping manusia alamiah (natural person), manusia hukum (juridical person), juga kelompok orang. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka (6) dipertegas lagi: bahwa kelompok orang adalah sekumpulan dua
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
9
orang
atau lebih baik yang terorganisasi maupun tidak terorganisasi untuk
melakukan tindak pidana perdagangan orang. Namun, pengertian mengenai kelompok orang tersebut, masih belum sesuai dengan Annex I UN Convention against Transnational Organized Crime sebagaimana telah dikemukakan di atas, yang memberi batasan dalam Article 2 tentang Use of terms. Dalam huruf (a) dinyatakan bahwa kelompok kejahatan terorganisasi berarti sebuah kelompok yang terstruktur (structured group) dari tiga atau lebih orang. Sedangkan dalam RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, kelompok orang dimaksud terdiri atas dua orang
atau
lebih. Terlepas dari perbedaan penyebutan jumlah dalam kelompok orang itu, akan tetapi pembuat RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sudah mengetahui bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi. Karena itu, subjek hukum pidana diperluas, di samping orang perseorangan, korporasi, juga kelompok orang. Karena itu, dalam RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 16-nya menentukan: Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
14
ditambah 1/3 (sepertiganya).
Selanjutnya, diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana di samping orang perseorangan dan kelompok orang, tidak lepas dari upaya untuk mengantisipasi perkembangan ke depan. Hal demikian, sebelumnya sudah diatur 14
Pasal 2 RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menentukan: Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
10
dalam RUU tentang KUHP, bahwa: “Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula korporasi, …………..” (Penjelasan Umum Buku Kesatu, angka 4). Dengan demikian, korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Kebijakan demikian sesuai dengan tulisan Gillies
15
yang menyatakan
bahwa korporasi atau perusahaan adalah orang atau manusia di mata hukum, dan karenanya mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang dilakukan oleh manusia, diakui oleh hukum seperti memiliki kekayaan, melakukan kontrak, dan dapat dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang dilakukan. Dalam RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, sudah diatur mengenai penentuan suatu tindak pidana dikatakan sebagai dilakukan oleh korporasi, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 ayat (1): Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja rnaupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Hal ini penting, jika tidak ada penentuan mengenai kapan suatu tindak pidana perdagangan orang dapat dikatakan telah dilakukan oleh korporasi, maka akan mengaburkan dalam hal dapat dipidananya korporasi.
c.2 Perlindungan Korban Perlindungan terhadap korban, pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari permasalahan hak asasi manusia, dan hak korban itu sendiri pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep hak asasi manusia. Karena itu, bila hak asasi manusia tersebut telah terancam atau diganggu, maka perlu adanya jaminan perlindungan hukum terhadap korban. 15
Peter Gillies, Criminal Law, Second Edition, The Law Book Company Limited, Sydney, 1990, hal. 125.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
11
Dengan demikian, korban akibat kejahatan memang seharusnya dilindungi, sebab pada waktu korban masih berhak menuntut pembalasan terhadap pelaku, korban dapat menentukan besar-kecilnya ganti rugi itu. Namun, setelah segala bentuk balas dendan dan ganti rugi diambil alih oleh negara, maka
peranan
korban tidak diperhatikan lagi. Apalagi dengan adanya perkembangan pemikiran dalam hukum pidana, di mana perlunya pembinaan terhadap pelaku agar dapat kembali ke masyarakat. Akibatnya, telah mengurangi perhatian negara terhadap korban. 16 Adanya upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan dalam suatu undang-undang, telah diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dapat dipandang sebagai suatu langkah yang maju, mengingat selama ini pengaturan hak korban sifatnya masih sektoral dalam beberapa undang-undang, dan itu apabila ditelusuri lebih lanjut bahwa apa yang menjadi hak ternyata bukan merupakan sesuatu yang mudah untuk mendapatkannya, sehingga yang terjadi: dari imperatif menjadi fakultatif. Di beberapa negara, kepedulian terhadap nasib korban telah tumbuh begitu meyakinkan, yaitu sehubungan dengan adanya bentuk pemberian ganti kerugian kepada korban kejahatan. Bentuk pemberian ganti kerugian tersebut, dimulai di New Zealand (Selandia Baru) pada tahun 1963 (Criminal Injuries Compensation Act 1963) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1964, telah mengatur mengenai pemberian ganti gerugian dari pelaku kepada korban, yang selanjutnya diikuti oleh Criminal Injuries Compensation Board, yang mencakup Inggris, Skotlandia dan Wales pada tahun 1964. Bentuk pemberian ganti kerugian oleh negara itu, sekarang sudah menyebar hampir ke seluruh negara. Bentuk
16
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 75-76. Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
12
bantuan lainnya terhadap korban, adalah seperti dukungan emosional dan bantuan dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana. 17 Perhatian terhadap nasib korban kejahatan sesuai dengan keinginan masyarakat internasional, yang ditandai dengan diselenggarakannya Kongres PBB di Caracas, Venezuela, tahun 1980. Komisi PBB mengenai Crime Preventioan and Treatment of Offenders berpendapat bahwa pada Kongres PBB ke VII yang diadakan di Milan tahun 1985 harus membahas permasalahan korban kejahatan, yang meliputi baik korban kejahatan konvensional, seperti kekerasan terhadap orang maupun juga korban berbagai penyelahgunaan kekuasaan, kekuasaan ekonomi dan politik, kejahatan terorganisasi, diskriminasi dan eksploitasi, dan memberikan perhatian khusus terutama sekali terhadap golongan-golongan penduduk yang rentan, seperti anak-anak, wanita, dan etnik minoritas,
18
dan
sesuai dengan hasil Kongres PBB VII Tahun 1985 di Milan dikemukakan: hak-hak korban seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana. Dalam kaitan ini, Joanna Shapland, dkk
19
pernah mengingatkan
bahwa korban kejahatan sudah dilupakan orang dari sistem peradilan pidana. Kurangnya perhatian yang diberikan terhadap korban, justru akan melemahkan bekerjanya sistem peradilan pidana. Sehubungan dengan itu, J.J.M. van Dijk, dkk
20
menulis bahwa pada paro
pertama abad ke-20 ilmu pengetahuan hukum pidana hampir tidak memperhatikan sama sekali kedudukan si korban. Demikian juga dengan kriminologi, selalu diarahkan kepada si pelaku. Perkembangannya, baru pada tahun 60-an muncul sejumlah perhatian kepada pihak yang dirugikan. Dengan maksud, agar penderitaan yang menjadi beban si korban agak diperlunak. Kemudian, sekitar 17
Stephen Schafer, The Victim and His Criminal: A Study in Functional Responsibility, Random House, New York, 1968, hal. 118, 120; Joanna Shapland, Jon Willmore dan Peter Duff, Victim in the Criminal Justice System, Gower, England, 1985, hal. 1. 18 Paul Zvonimir Separovic, Victimology Studies of Victims, Samobor-Novaki bb Pravni Fakultet, Zagreb, 1985, hal. 43, 425-426. 19 Joanna Shapland, Jon Willmore dan Peter Duff, Victims in the Criminal Justice System, Gower, England, 1985, hal. 1. 20 J.J.M. van Dijk, H.I. Sagel-Grande, dan L.G. Toornvliet, Kriminologi Aktual, Alih Bahasa P. Soemitro, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1999, hal. 289.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
13
tahun 1980, di banyak negara terjadi kelompok-kelompok aksi yang mengadakan kampanye untuk memperlakukan korban lebih baik dalam sistem peradilan pidana, dan para kriminolog yang berorientasi pada korban, ternyata memberi dukungan bagi upaya tersebut. Perkembangan perhatian terhadap korban tersebut menunjukkan, bahwa masalah korban sebagai bagian dari sistem peradilan pidana sudah seharusnya mendapat perhatian. Perhatian dunia internasional terhadap korban dapat dilihat dalam Kongres PBB VII Tahun 1985 di Milan tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, antara lain dikemukakan bahwa hak-hak korban seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana. Merespon hasil kongres PBB tersebut, Komisi Eropah (European Commission, 1999: 2) menyatakan bahwa dalam suatu area kemerdekaan, keadilan dan keamanan dalam lingkup Uni Eropah, harus ada jaminan atas warga negara Eropah untuk dapat akses dalam sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, individu-individu harus dapat memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Hal itu penting, sebab hak-hak korban kejahatan sudah begitu lama diabaikan, dan sekarang waktunya untuk lebih memberikan perhatian terhadap hak-hak korban dimaksud. Upaya ke arah perlindungan terhadap korban kejahatan, sebenarnya telah dilakukan sejak awal tahun 1980-an, di mana Dewan Eropah mengadopsi beberapa instrument internasional dengan tujuan untuk memperbaiki keadaan korban kejahatan di Uni Eropah. Langkah lanjut dari upaya tersebut, dalam beberpa kesempatan telah dibicarakan di Parlemen Eropah. Pada tahun 1998, masalah perlindungan korban kejahatan dibicarakan di Dewan Uni Eropah, dan hasilnya korban kejahatan dimasukkan dalam Action Plan on Freedom, Security and Justice. Deklarasi PBB mengenai Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power itu sendiri telah diadopsi oleh Majelis Umum tanggal 29 Nopember 1985 (General Assembly resolution 40/34), dan itu mencerminkan adanya
kemauan
kolektif
masyarakat
internasional
untuk
memulihkan
keseimbangan antara hak-hak fundamental tersangka dan pelaku, dan hak-hak
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
14
dan kepentingan korban. Adanya deklarasi tersebut didasarkan atas suatu filosofis bahwa korban harus diakui dan diperlakukan secara memadai atas dasar kemanusiaan. Karena itu, korban berhak akses terhadap mekanisme pengadilan dan memberikan ganti rugi yang tepat terhadap kerugian yang dideritanya. Di samping itu, korban juga berhak untuk menerima bantuan khusus yang memadai yang berkaitan dengan trauma emosional dan masalah-masalah lain yang disebabkan oleh terjadinya penderitaan yang menimpa diri korban. Perhatian atau kepedulian terhadap korban kejahatan, seharusnya tidak terbatas pada korban kejahatan konvensional (perampokan, perkosaan, pencurian, dan yang sejenis lainnya), tetapi juga harus mencakup korban kejahatan nonkonvensional, di antaranya korban tindak pidana perdagangan orang.
c.2.1 Konsep Perlindungan Korban Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa adanya perkembangan perhatian terhadap korban kejahatan pada dasarnya sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara hak-hak fundamental tersangka dan pelaku, dan hak-hak dan kepentingan korban. Untuk itu, maka konsep mengenai perlindungan terhadap korban pun harus jelas. Dalam arti harus ditetapkan terlebih dahulu arah atau cakupan dari perlindungan dimaksud. Untuk membangun konsep perlindungan terhadap korban yang komprehensip, maka perlu dikaitkan dengan konsep pemidanaan sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief
21
bahwa konsep pemidanaan harus bertolak dari keseimbangan antara dua sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu, sehingga melahirkan konsep Daad-dader Strafrecht. Namun, perlindungan individu tersebut menurut saya harus pula diperluas ruang lingkupnya, tidak hanya pada offenders oriented tetapi juga pada victims oriented. Victims oriented ini pun diperluas lagi, tidak hanya berorientasi pada potential victims, tetapi juga pada actual victims atau direct victims. Karena itu, konsep Daad-dader Strafrecht yang terimplementasi 21
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 98.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
15
dalam Pasal 11 RUU KUHP 2005
22
sudah seharusnya ditinjau ulang dan
dikembangkan, serta menggantinya dengan konsep Daad-dader-slachtoffer Strafrecht.
Dengan demikian,
pihak korban tidak lagi termarginalkan dalam
hukum pidana. Karena itu, keseimbangan dan kesetaraan perlu dibangun dalam hukum pidana ke depan. Berdasarkan konsep demikian, hukum pidana ke depan seharusnya mengimplementasikan
perlindungan
yang
seimbang
antara
perlindungan
masyarakat, pelaku, dan korban (baik korban potensial maupun korban langsung) merupakan konsep yang ideal dalam rangka membangun hukum pidana yang lebih bijak karena memperhatikan berbagai kepentingan tersebut. Selama ini, politik hukum pidana dalam upaya memberikan perlindungan terhadap korban baik yang terimplementasi dalam KUHP maupun di luar KUHP lebih terarah pada perlindungan terhadap calon korban (potential victims) yaitu perlindungan terhadap masyarakat agar tidak menjadi korban, dan minus korban aktual. Sebagai contoh, politik hukum pidana yang terimplementasi dalam UUTPE, orientasai perlindungan korban masih tertuju pada potential victims. Kebijakan yang terimplementasi dalam UUTPE ini tidak berbeda dengan KUHP, yang memarginalkan korban dalam arti konkrit, yaitu korban nyata atau orang yang sudah menjadi korban. Memang, jika memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUTPE yang mengatur tentang Tindakan Tatatertib, dalam huruf b dinyatakan: mewajibkan membayar uang jaminan … dan seterusnya. Selanjutnya, dalam huruf c: mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan ….. dan seterusnya. Namun, Ketentuanketentuan itu, arahnya dibayarkan kepada negara dan bukan kepada korban (manusia). Hal itu telah ditegaskan dalam Pasal 12 UUTPE: Dalam putusan hakim menentukan, bahwa uang jaminan seluruhnya atau sebagian akan menjadi milik pemerintah, jika syarat-syarat umum atau khusus tidak dipenuhi oleh tersangka. Kemudian, huruf c: mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, … dan seterusnya, semua atas biaya si terhukum. Ketentuan itu, dapat dipandang 22
Penjelasan Pasal 11 antara lain menyebutkan: Hukum pidana Indonesia didasarkan pada perbuatan dan pembuat tindak pidananya (daad-dader-strafrecht) dan atas dasar inilah dibangun asas legalitas dan asas kesalahan.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
16
telah berorientasi kepada korban. Akan tetapi, bila memperhatikan kalimat terakhir dari ketentuan Pasal 8 huruf d UUTPE yang berbunyi: sekedar hakim tidak menentukan lain. Dengan adanya klausul yang demikian, maka sanksi pidana yang mewajibkan pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban, maknanya berubah dari imperatif ke fakultatif. Selain
itu,
dalam
Undang-undang
No.
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Dalam Pasal 18 ayat (1)-nya telah diatur mengenai pidana tambahan, namun ancaman pidananya hanya berorientasi kepada perlindungan calon korban, sementara untuk korban langsung masih belum diatur. 23 Jika pada Pasal 18 ayat (1) di atas, tidak ada ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap korban aktual, maka bagaimana dengan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 30) tanggal 17 April 2002, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 108) tanggal 13 Oktober 2003. Dalam undang-undang itu, ternyata tidak ada ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap korban aktual. Ambil contoh, ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 yang ditujukan kepada korporasi, tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan tentang kewajiban korporasi untuk memberikan ganti kerugian kepada korban yang menderita akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Misalnya, dalam
23
Bunyi Pasal 18 ayat (1): a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begipun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyakbanyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
17
hal pencucian uang harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana penyelundupan tenaga kerja. Hal itu berbeda dengan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 45), di mana dalam Bab VI mengatur mengenai Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi. Pasal 36 menentukan: (1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi. Ayat (3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya. Adapun cara mendapatkan hak tersebut, dapat dilakukan dengan mengajukan sesuai prosedur sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-undang tersebut: bahwa pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan. Meskipun, undang-undang telah memberikan perlindungan kepada korban, berupa hak untuk mendapatkan ganti kerugian kepada pelaku. Akan tetapi, tidak ada ketentuan berupa sanksi kepada pelaku bilamana kewajiban yang harus diberikan itu tidak dilaksanakan. Karena, Pasal 41 Undang-undang No. 15 Tahun 2003 hanya menentukan: bahwa dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39,
24
korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada
pengadilan. Kemudian, pengadilan segera memerintahkan pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima. Dengan demikian, tidak adanya sanksi sebagai upaya penekan kepada pelaku untuk melaksanakan kewajibannya, berarti undang-undang telah memberi peluang kepada pelaku untuk tidak mentaati undang-undang. Oleh karena itu, 24
Pasal 39 menentukan: Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
18
jangan terlalu berharap banyak akan keberhasilan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 dalam memberikan perlindungan kepada korban akibat dari pelaku tindak pidana terorisme, sebab undang-undang itu sendiri telah membatasi diri untuk tidak memberikan sanksi kepada pihak yang telah diwajibkan untuk memberikan ganti kerugian kepada korban. Akibat lebih lanjut dari kelemahan undang-undang tersebut, akan timbul kecemasan-kecemasan di masyarakat, dan kepada pelaku tidak akan merasa takut untuk melakukan tindak pidana terorisme. Sebelumnya, upaya perlindungan terhadap korban telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 7), tanggal 13 Maret 2002, yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 35 ayat (3) Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang berbunyi : (1)
Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
(2)
Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
(3)
Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Kendati dalam Peraturan Pemerintah itu sasarannya adalah korban HAM
berat, telah mengatur mengenai perlindungan terhadap korban, akan tetapi yang menjadi pertanyaan, sampai seberapa jauh komitmen pemerintah sebagaimana yang terimplementasi dalam Peraturan Pemerintah tersebut dalam memberikan perlindungan dimaksud, apakah juga tidak berbeda dengan uraian sebelumnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 menentukan: (1) Kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya; (2) Pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak. Adapun tata cara pelaksanaan pemberian hak yang harus
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
19
diterima oleh korban, telah diatur dalam Bab III mulai dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 10, yaitu sebagai berikut : 1. Pengadilan HAM mengirimkan salinan putusan Pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Jaksa Agung. 2. Jaksa Agung melaksanakan putusan itu dengan membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada instansi pemerintah terkait untuk melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi, dan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian restitusi. 3. Instansi pemerintah terkait melaksankan pemberian itu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak berita acara diterima. 4. Setelah pemberian itu dilaksanakan, maka instansi pemerintah terkait melaporkannya kepada ketua Pengadilan HAM yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi. 5. Salinan tanda bukti disampaikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. 6. Setelah Ketua Pengadilan HAM menerima tanda bukti, selanjutnya Ketua Pengadilan
HAM
mengumumkan
pelaksanaan
tersebut
pada
papan
pengumuman pengadilan yang bersangkutan. 7. Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada pihak korban melampaui batas waktu tiga puluh hari kerja, maka pihak korban
atau
keluarga
korban
yang
merupakan
ahli
warisnya
dapat
melaporkannya kepada Jaksa Agung. 8. Jaksa Agung kemudian segera memerintah Instansi Pemerintah Terkait, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima. Berdasarkan ketentuan itu, maka yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika pelaku tidak memberikan restitusi kepada korban. Jawaban yang dapat diberikan, ternyata Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tidak memberikan
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
20
solusi yang baik, karena tidak ada sanksi kepada pelaku bilamana kewajibannya itu tidak dilaksanakan. Padahal, dalam Penjelasan Umum alenia ke-2 dinyatakan: Dalam hal terjadi pengabaian, pengurangan dan perampasan hak asasi mansusia, terutama terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat ….., maka pihak korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya berhak memperoleh kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi secara tepat, cepat, dan layak dalam arti bahwa pihak korban atau ahli warisnya berhak memperoleh ganti kerugian atau pengembalian hak-hak dasarnya yang dilakukan sesuai dengan sasaran yakni korban dan penggantian kerugiannya, pelaksananya segera terwujud, dan pengembalian haknya harus patut sesuai dengan rasa keadilan. Di samping itu, suatu hal yang patut dicermati sehubungan dengan adanya ketentuan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002: Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Pencantuman ketentuan demikian, semakin tidak mendukung ide tanggung jawab pelaku kepada korban, yang pada akhirnya pencantuman ketentuan restitusi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tersebut, menjadi tidak bermakna, karena telah memberi peluang kepada pelaku untuk menghindar dari tanggung jawabnya. Kebijakan yang terimplemantasi dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 itu, merupakan pelajaran yang baik bagi pembuat perundang-undangan pidana, agar dalam mengimplementasikan suatu ide harus benar-benar komprehensif, tuntas, dan mungkin untuk dilaksanakan, serta betul-betul mencerminkan apa yang hendak dicapai dengan dibuatnya undang-undang. Jangan sampai timbul kesan dari masyarakat, bahwa pembentuk undang-undang tidak sungguh-sungguh dalam merumuskannya. Kelemahan dalam penyelesaian akhir Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tersebut, berarti sama dengan ketentuan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 sebagaimana telah dikemukakan di atas. Bahkan, apabila memperhatikan ketentuan Pasal 27 Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Lembaran Negara Tahun 2004 No. 114) (sebagai telaah perbandingan), bahwa
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
21
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang No. 27 Tahun 2004
25
dapat diberikan apabila permohonan
amnesti dikabulkan, yang berarti, Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tidak berpihak kepada korban (dalam arti memang betul-betul memberikan apa yang dihakki oleh korban), karena pemberian kompensasi dan restitusi itu harus dikaitkan dengan amnesti. Kelemahan itu tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena itu harus ada upaya perbaikan untuk hukum pidana yang akan datang, khususnya mengenai kewajiban pelaku untuk memberikan ganti kerugian kepada korban yang diakibatkan oleh kejahatan yang dilakukannya. Selanjutnya, bagaimana dengan perlindungan korban sebagaimana telah dituangkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
c.2.2 Perlindungan Korban dalam RUU RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, melalui Bab V yang mengatur mengenai Hak-hak Korban, telah mencantumkan perlindungan hukum terhadap korban nyata atau korban langsung, yaitu sebagaimana terimplementasi dalam pasal-pasal berikut ini. 1. Pasal 40 (1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku. (2)
Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:
25
Pasal 19 Undang-undang No. 27 Tahun 2004 menentukan: Subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 huruf b, bertugas memberikan pertimbangan hukum dalam pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Adapun kriteria pelanggaran hak asasi manusia yang berat diatur dalam Pasal 7 huruf a dan b Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 208) tanggal 23 Nopember 2000, meliputi: a. kejahatan genosida; dan b. kejahatan terhadap kemanusiaan. Penjabaran lebih lanjut terhadap ketentuan Pasal 7 tersebut, masing-masing diatur dalam Pasal 8 dan 9 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 . Dalam RUU tentang KUHP 2004 masing-masing diatur dalam Pasal 390 dan 391.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
22
a. kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. penderitaan; c. penggantian
biaya
untuk
tindakan
perawatan
medis
dan/atau
psikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. tertentu. (3)
Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
(4) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2. Pasal 41 (1) Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada Ketua Pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut. (2) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan. (3) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pengadilan kepada korban atau ahli warisnya. 3. Pasal 42 (1)
Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 angka (4) korban atau ahli warisnya
memberitahukan hal
tersebut kepada pengadilan. (2) Pengadilan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
memberikan
peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
23
memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya. (3)
Dalam hal surat peringatan sebagaimana pada ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 hari pengadilan memerintah Penuntut Umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelangnya harta tersebut untuk pembayaran restitusi. Ketentuan Pasal 42 ayat (3) ini lebih maju dibandingkan dengan ketentuan
hukum pidana sebagaimana telah dikemukakan di atas, termasuk juga dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Kendati dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang No. 13 Tahun 2006, telah mengatur adanya tanggung jawab pelaku kepada korban, akan tetapi yang perlu dipertanyakan: bagaimana jika pengadilan dalam putusannya mewajibkan pelaku memberikan restitusi kepada korban sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2)
26
ternyata kemudian tidak dilaksanakan atau tidak dipatuhi oleh pelaku. Dalam
kaitan ini apakah ada ketentuan yang memberikan sanksi kepada pelaku. Jawabannya, Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tidak mengatur mengenai hal itu. Pasal 7 ayat (3) hanya menentukan: Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan peraturan pemerintah. Dengan tidak adanya ketentuan dimaksud justru melemahkan apa yang sudah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b. Selanjutnya, apabila ditelusuri pada ketentuan pidananya sebagaimana diatur dalam Bab V mulai dari Pasal 37 sampai dengan Pasal 43, tidak satu pasal pun yang secara tegas mencantumkan ancaman pidana kepada pelaku dimaksud. Dalam Pasal 40 hanya menentukan: Setiap orang yang menyebabkan dirugikan atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), karena Saksi dan/atau Korban, memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara …..dst. 26
Pasal 7 ayat (2) RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban menentukan: “Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan”.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
24
Dalam Pasal 40 tersebut, memang telah menyebut ketentuan Pasal 7 ayat (1), akan tetapi konteks dalam Pasal 40 itu bukan diarahkan kepada hak korban untuk mendapatkan restitusi dari pelaku, melainkan kepada orang yang menyebabkan dirugikan atau dikuranginya hak-hak saksi dan/atau korban, karena saksi dan/atau korban telah memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, sehingga kepada pelakunya diancam pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp 30.000.000,00 dan paling banyak Rp 100.000.000,00. Mengingat konsep perlindungan korban tidak hanya berorientasi pada potensial victims, tetapi juga pada actual victims, karena itu apa yang sudah diatur dalam RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, sudah lebih maju dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. Hal itu, sesuai dengan pandangan Schafer, bahwa ganti rugi kepada korban seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi pelaku, tanggung jawab itu pada dasarnya juga merupakan bagian dari proses pemasyarakatan. Berdasarkan sudut pandang ini, restitusi tidak semata ditujukan kepada orang yang telah dirugikan itu (korban), akan tetapi pada saat yang sama juga membantu memasyarakatkan kembali dan rehabilitasi si pelaku, dan itu bagian dari pemidanaan. 27 Dengan demikian, sebagaimana ditulis oleh J.J.M. van Dijk, dkk.
28
bahwa
untuk menyelesaikan konflik antara pelaku dan korban, maka pidana merupakan bantuan bagi penyelesaian konflik tersebut, karena pidana dapat menjadi pemuasan bagi korban. Penyelesaian konflik sepenuhnya antara pelaku dan korban dalam tindak pidana yang menimbulkan kerugian tergantung dari sejauh mana kerugian itu pada akhirnya diganti atau dipenuhi.
27
M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003, hal. 213. 28 J.J.M. van Dijk, H.I. Sagel-Grande, dan L.G. Toornvliet, Kriminologi Aktual, Alih Bahasa P. Soemitro, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1999.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
25
D. PENUTUP Perluasan pengaturan mengenai subjek hukum pidana, yang tidak lagi terbatas pada orang perorangan, tetapi juga korporasi, dan kelompok orang terorganisasi. Pengaturan
kelompok orang terorganisasi tersebut dalam RUU,
mencerminkan bahwa tindak pidana perdagangan orang tidak dapat dilepaskan dari kejahatan terorganisasi sebagaimana telah diatur dalam Protokol PBB mengenai Perevent, Suppress and Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children yang ditandatangi oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 12 Desember 2000.di Palermo Itali. Demikian juga dengan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah mencerminkan pelaku kejahatan tidak hanya sebatas manusia, tetapi juga korporasi dengan korban yang ditimbulkannya jauh lebih dahsyat apabila dilakukan oleh manusia. Kebijakan
perlindungan
korban
yang
diatur
dalam
RUU
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, sudah sesuai dengan ide perlindungan korban yang berorientasi pada potential victims maupun actual victims,
dan
itu
sesuai
dengan
konsep
perlindungan
korban
seimbang
sebagaimana konsep Daad-dader-slachtoffer-strafrecht. Kendati RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sudah mengatur sedemikian rupa upaya-upaya untuk memberantas dan melindungi korban tindak pidana perdagangan orang, akan tetapi di sana-sini masih banyak yang perlu ditinjau ulang untuk diperbaiki sebelum diundangkan, di antaranya ketentuan Pasal 1 angka 6, Pasal 12 huruf c, Pasal 23, Pasal 26, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, Pasal 57.
Seminar dan Sosialisasi RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
26