2-
TINJAUAN UMUM 37ENIS-SENIS PUNGiJTM HASIL ]HUTAN
2.1 Jenis-Jenis Pungutan Hasil Hutan
Di Indonesia dikenal beberapa jenis pungutan kayu alam oleh Pemerintah. Pungutan tersebut selalu disempurnakan baik dalam prosedur, tata waktu dan besarnya pungutan. Perubahan dan penyempurnaan ini dimaksudkan untuk mencapai efisiensi dan efektif itas penerimaan pungutan Pemerintah yang dikaitkan dengan upaya menjaga kelestarian hutan.
Sejumlah insentif
melalui kebijaksanaan Pemerintah diberikan kepada HPH, untuk memungkinkan terjadinya perubahan struktural usaha pemanfaatan hasil hutan dari kegiatan semula yang hanya memproduksi kayu bulat kepada usaha yang mengarah kepada spesialisasi usaha, seperti industri hilir kayu olahan. Berikut ini adalah fee dan royalty yang ditetapkan Pemerintah dari kayu bulat yang dihasilkan HPH di Indonesia atas dasar obyek penetapan : a). Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHH) dipungut atas dasar luas areal HPH. b). Dana Reboisasi
(DR), Grading Fee (GF), dan
Iuran Hasil
Hutan (IHH) dipungut berdasarkan volume produksi kayu bulat
c). GF
.
. dan
Iuran Hasil Hutan Tambahan (IHHT) dipungut atas
dasar volume produksi kayu olahan. d). IHH dan IHHT dipungut atas dasar volume ekspor kayu bulat dan kayu olahan.
e). Iuran Wajib Pendidikan dan Latihan (IWPL) dipungut bagi mereka (HPH) yang mempekerjakan tenaga kerja asing. Penerimaan pungutan
Pemerintah seperti disebutkan di
atas, pada hakikatnya akan mencerminkan harga tegakan hutan alam Indonesia, karena biaya tersebut sebagai beban HPH yang harus dibayarkan kepada Pemerintah dari setiap satuan produk alam (kayu). Keberadaan pungutan Pemerintah dalam sejumlah jenis pungutan adalah berfungsi ganda, di samping sebagai upaya memperoleh penerimaan negal;a alam
dari pengusahaan hutan
juga untuk fungsi pengawasan. xuran Hak Penuusahaan Hutan (IHPHI. Iuran ini merupakan
fee yang harus dibayar oleh setiap pemegang HPH setiap tahun, dikenakan terhadap satuan hektar dari luas areal yang dikuasai. Prosedur pengenaan IHPH tidak mengalami perubahan sampai saat ini. Juran Hasil Hutan I IHH) dan Iuran Has 1 Hutan Tambahan
IIHHT). Iuran ini merupakan royalty yang harus dipungut dari setiap meterkubik kayu yang dijual. Sepanjang tahun 1968-1984 pungutan IHH dan IHHT ini dikenakan terhadap kayu bulat, tetapi sejak tahun
1985 dengan KEPPRES
No.
77
ditetapkan
dari kayu olahan. Kemudian dengan KEPPRES No. 30 tahun 1990 pungutan dikenakan kembali pada kayu bulat.
.
Qana Reboisasi (DRL. Dana Jaminan Reboisasi (DJR) merupakan royalty yang dipungut dari setiap meterkubik kayu bulat dalam satuan US$/m3, dan mulai berlaku tahun
1980 dengan
KEPPRES No. 35. Pada mulanya pihak pemegang HPH menafsirkan ketentuan
DJR
ini sebagai jaminan pelaksanaan reboisasi,
sehingga
mereka merasa tidak perlu lagi melakukan
reboisasi
di areal bekas tebangan dan lahan kritis. Oleh karena itu Pemerintah dengan KEPPRES menjadi DR,
29 Tahun
No.
sehingga dengan istilah
1989 mengganti DJR
yang tegas ini pungutan
DR -bukan lagi merupakan jaminan tetapi pembayaran
wa jib
reboisasi, sementara pemeliharaannya tetap harus dilaksanakan sesuai ketentuan
TPTI.
m . Pungutan an dan pengujian terhadap
ini merupakan biaya pengukur-
kayu bylat maupun kayu olahan yang
dipasarkan di dalam negeri maupun ekspor, dikenakan
akan
untuk setiap meterkubik kayu yang dan pengujian bisa
kuran
dijual. Pelaksanaan pengu-
dilakukan oleh tenaga penguji
perusahaan atau tenaga penguji aparat kehutanan yang ditunjuk. Pemakaian tenaga penguji (grader) ini akan membedakan besarnya biaya per meterkubik yang harus dibayar oleh pihak perusahaan. Dengan tenaga penguji sendiri, perusahaan hanya membayar sebesar 60 % dari beban GF. Iuran GF ini ditujukan untuk membiayai kegiatan pengawasan dan pembinaan mutu kayu.
. . dan Latihan (IWPL __I . Pungutan IWPL It usan Waiib Pandidikan
ini dikenakan kepada tenaga kerja asing yang dipekerjakan di HPH dan atau kegiatan industri pengolahan kayu. Biaya ini dimaksudkan
untuk
mempercepat
proses
Indonesianisasi tenaga
kerja melalui pengadaan latihan dan pendidikan profesi
Kehu-
tanan. Dari Tabel 1 terlihat bahwa nilai riil rata-rata fee dan
royalty dari kayu bulat menunjukan fluktuasi nilai riil harga tegakan
hutan
tahunan yang
besar
dan
cenderung
menurun.
Tabel 1. Produksi Logs dan Penerimaan R i i l Rata-Rata Fee dan Roya7ty H a s i l Hutan d i Indonesia Selama Kurun Waktu 1980-1989 (dalam harga konstan 1980=100).
................................................................. Tahun
Produrji Logs ( j u t a m3)
Penerimaan
RiRoya l Fee27 1t y (juts RP)
Rata-Rata R i i l Pener imaan (Rp/m3)
Persentase Perubahan
3
4
5
(%I ................................................................. 2
1
Sumber : 1. FA0 (1990). 2. Departemen Kehutanan R.1 (1990).
Kondisi
demikian
perkembangan
dimungkinkan
nilai
tukar
US$
oleh
i) pengaruh apresiasi
terhadap
rupiah,
sedangkan
sgcara umm besarnya fee dan royalty relatif konstan dalam
m3, padahal nilai riil mengalami penurunan menjadi
se-wsar 35
persen, demikian pula nilai IHPH menurun sebesar 75 persen.
Tabel 2. Perkembangan Fee dan Royal t i Kayu Bulat d i Indonesia Selama Kurun Waktu 1968-1991. ( Kelompok Kayu Heranti) Tahun
IHPH (../ha/th)
IHH (. ./m3) 1,5 195 195 Rp 640 640 640 640 640 640 2.000 2.000 2.000 6% x H.PlOg sda sda sda sda sda sda $
IHHT ( A 3 1
GF (R~/m3)
DR ($/m3)
0 0 0 $ 1,5 Rp 620 620 ' 620 620 620 620 620 620 620 620 620 620 620 620 620
=r==m=========et=t===t==s=s=========u============s======s=======
Sumber : Himpunan Keputusan dan Peraturan Pemerintah, Departemen Kehutanan R . I .
.
Dari
perkembangan
fee dan royalty
yang dikenakan
terhadap
jenis kayu meranti (Tabel 2), besarnya pungutan IHPH selama kurun waktu tahun 1968 sampai pertengahan tahun 1971 ditetap-
kan sebesar US$ #/ha/th, kemudian berubah menjadi Rp20/ha/th (1971-1979), Rp1000/ha/th (1979-1987) dan sejak Februari 1988 menjadi Rp3000/ha/th kecuali Irian Jaya. Sedangkan IHH dibedakan berdasarkan jenis kayu, besarnya antara US$ 0,5 per - m3 kayu bulat Rp250
- Rp800
(1968-1971), kemudian
per m3
per m3 kayu bulat
- US$
3
dirubah men jadi
kayu bulat (1971-1976), Rp900
- Rp5000
(1976-1979), dan pada pertengahan tahun
1979 untuk seterusnya IHH ditetapkan sebesar 6 persen dari harga
patokan kayu bulat di dalap negeri. Dari perkembangan pungutan tadi, menunjukkan bahwa
Pemerintah terus berusaha menaikkan harga tegakan hutan. Akan tetapi setiap kali harga tegakan hutan dinaikkan, kemudian untuk beberapa tahun tidak diubah, sehingga nilai riil harga tegakan hutan menjadi menurun terus.
2.2 Perkembangan Pelaksanaan Pungutan Pemerintah
Hekanisme penerimaan kepada prosedur
Tata
pungutan Pemerintah berpedoman
Usaha Kayu (TUK). TUK ditetapkan ke
dalam Peraturan Pemefintah
(PP)
atau Keputusan Presiden
(KEPPRES), kemudian penjabarannya dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) maupun Surat Edaran (SE) Menteri Kehutanan dan atau Direktur
Jenderal
Pengusahaan Hutan. TUK ini aeru#
pakan ketentuan Pemerintah untuk mengatur administrasi pengelolaan dan peredaran kayu/hasil hutan
(flow of woods and
documents), meliputi kegiatan inventarisasi hutan, penebangan, pembagian batang, pengukuran, pengujian, pengangkutan,
pnggunaan
dan
lain-lain.
Pelaksanaan
pungutan
Pemerintah
dikaitkan dengan TUK, dimaksudkan untuk memudahkan fungsi pengawasan peredaran kayu/hasil hutan oleh Pemerintah. Pungutan IHPH dan IHH dialokasikan untuk penerimaan Pemerintah Pusat dan Daerah dengan perbandingan 30
: 70,
kecuali pungutan DR merupakan penerimaan Pemerintah Pusat. Sedangkan tanggung jawab
penerimaan pungutan IHPH, IHH dan
GF pada awalnya dipercayakan
kepada Dinas Kehutanan Propinsi
Dati I.
f
Mengikuti perkembangan ketentuan Pemerintah dalam menetapkan pungutan, berikut ini secara ringkas diuraikan perkembangan penetapan pungutan Pemerintah sampai saat ini. Pada tahun
1971
dengan SK Henteri
Pertanian
/1971, tarif IHPH dan IHH dinaikkan namun
No.288/Kpts/Ekku/7 prosedur pemungut-
annya tidak berubah yakni dikenakan terhadap setiap meter kubik kayu bulat yang akan dijual/diekspor. Henteri Pertanian No. 289/Kpts/Ekku/7/1971 wilayah untuk membedakan tarif
Berdasarkan SK
terjadi pembagian
IHH kedalam tiga wilayah.
Pembagian wilayah ini didasarkan atas tingkat aksesibilitas hutan dan
pengembangan wilayah. Kemudian tahun 1972 dengan
SK Menteri Pertanian No.396/Kpts/Um/8/72
diperkenalkan tam-
bahan jenis pungutan yakni IHHT. IHHT ini dimaksudkan
untuk
keperluan biaya pengerukan, perbaikan dan pemeliharaan sungai serta pemukiman penduduk, dan dikenakan pada setiap meter kubik kayu bulat yang diekspor. Dana Jaminan Reboisasi ( D J R ) baru dikenalkan tahun 1980
dengan SK Menteri Pertanian
729/Kpts/Um/10/1980 dan SK Direktur Jenderal
Kehutanan
No. No.
189/Kpts/DJ/I/1980 tentang Pedoman Pengumpulan
dan pengelo-
laan DJR, dipungut pada setiap meterkubik kayu bulat yang ditebang
.
Pada Tahun 1985 dengan KEPPRES No.77 Tahun
1985 berlaku
perubahan prosedur TUK, meliputi penyempurnaan administrasi dan prosedur penerimaan pungutan termasuk obyek penetapan. Ketentuan ini muncul untuk menyesuaikan dengan kebijaksanaan pelarangan ekspor kayu
bulat Indonesia.
Di dalam TUK ini
DJR tetap dikenakan terhadap kayu bulat, sedangkan IHH, IHHT, dan GF
dikenakan terhadap kayu olahan yang diperdagangkan.
Pada tahun 1991, TUK disempurnakan lagi dengan cara mengatur obyek pungutan Pemerintah kembali dipusatkan hanya pada kayu bulat. Prosedur TUK tahun 1991, sesungguhnya kembali pada pola TUK tahun tahun 1960-an, namun saat ini pengaturannya lebih berwawasan lingkungan melalui pengawasan yang ketat untuk menjaga kelestarian hutan. Sedangkan pada waktu 1985-1990
kurun
pengaturannya lebih menekankan kepada per-
tumbuhan dan perkembangan industri kayu olahan.
2.3
Royalty Berdasarkan Rente Ekonomi Tegakan Hutan
Royalty atas dasar perhitungan rente ekonomi tegakan hutan, secara potensial akan dapat menangkap seluruh harga
.
tegakan hutan ke dalam bentuk pungutan Pemerintah dari kayu bulat.
Pungutan terhadap kayu bulat berdasarkan pendekatan
rente ekonomi ini, tidak akan mengganggu keuntungan wajar pengusaha HPH, karena sedemikian rupa diperhitungkan memper-
timbangkan seluruh pengeluaran untuk faktor produksi lainnya. Menurut Gray (1983) dari hasil evaluasi atas dasar aspek-aspek penerimaan ~emerintah, administrasi dan kepraktisan, efisiensi dan dampak distribusi ekonomi yang berlaku di beberapa negara produsen kayu, maka dari
sejumlah alter-
natif penyerapan pungutan (rent capture) dari tegakan hutan ternyata royalty atas dasar rente ekonomi sumberdaya hutan (tegakan) merupakan
sumber penerimaan terbesar di
antara
alternatif royalty lainnya, serta,tidak akan mengganggu upaya pemanfaatan dan managemen hutan yang baik, Di dalam pelaksanaan pun tipe royalty ini mudah, sepanjang HPH secara terbuka dapat memberikan laporan akuntansi dan pengawasan keuangan dengan
akurat
kepada
Pemerintah.
Tipe royalty
ini
tentu
sangat sesuai pada kondisi dimana perusahaan melaksanakan penghitungan sendiri, Wamun yang perlu dihindarkan adalah adanya harga transfer (transfer pricing), yakni memberikan harga jual yang rendah dari kayu bulat untuk memaksimalkan keuntungan
dari
kegiatan
usaha
terkait
lainnya.
Untuk
menghindari ini maka Pemerintah harus menciptakan struktur pasar kayu bulat yang kompetitif di dalam negeri, sehingga raemungkinkan diperolehnya suatu harga pasar kayu bulat yang bersaing
(wajar) karena terbebas dari kekuatan penguasaan
pasar baik
oleh pembeli maupun
penjual,
dan mudah dalam
I
pelaksanaan pengawasan dan monitoring harga. Dengan demikian, maka alternatif royalty atas dasar rente ekonomi bisa dijadikan dasar perhitungan dalam menetapkan penyerapan pungutan Pemerintah dari kayu bulat, tanpa
harus mengorbankan upaya pelestarian sumberdaya hutan.