DINAMIKA STRUKTUR TEGAKAN HUTAN TIDAK SEUMUR UNTUK PENGATURAN HASIL HUTAN KAYU BERDASARKAN JUMLAH POHON (Kasus pada Areal Bekas Tebangan Hutan Alam Hujan Tropika Dataran Rendah Tanah Kering di Kalimantan)
MUHDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Dinamika Struktur Tegakan Hutan Tidak Seumur Untuk Pengaturan Hasil Hutan Kayu Berdasarkan Jumlah Pohon : Kasus pada Areal Bekas Tebangan Hutan Alam Hujan Tropika Dataran Rendah Tanah Kering di Kalimantan adalah benar-benar hasil karya saya sendiri di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, M.S.; Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp.; Dr. Ir. Istomo, M.S.; dan Dr. Ir. Bintang CH Simangunsong, M.S. dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012 Muhdin
iii
ABSTRACT MUHDIN. Stand Structure Dynamic for Forest Yield Regulation Based on Number of Trees : Case on a logged over area of a low and dry-land of tropical rain natural forest in Kalimantan. Supervised by : ENDANG SUHENDANG, HERRY PURNOMO, ISTOMO and BINTANG CH SIMANGUNSONG. Differences in logging intensity, forest encroachment, and fires, caused the variability of natural forests condition, including their horizontal and vertical stand structures. Information on the variability of stand structure and dynamic of secondary forests is essential for projecting the future stand structure, which can be used to develop a forest management plan. The study, which used 101 permanent sample plots data established on a low and dry-land natural forest in Kalimantan, showed that there was an obvious variability of the stands condition after logging in terms of the number of trees ha-1 and horizontal stand structure. The variability of stand condition, time after logging, and environmental factors could result in variability of the components of stand structure dynamics (e.g., proportion of trees upgrowth and staying). This study aimed to develop models for estimating the dynamics of stand structure of logged-over natural forests, which used 75 permanent sample plots data of lowland and dryland of natural forests in Kalimantan. The proportions of trees upgrowth, staying (ai), and recruitment (bi) were obtained from 3-years growth data. Trees were classified into several 5-cm diameter classes and two species groups: dipterocarp and non-dipterocarp. This study tried to predict ai and bi by four methods. It showed that the proportion of trees upgrowth and staying of each species group could not be predicted satisfactory by three regression methods using the number of trees, stand basal area or time after logging and elevation that were used as independent variables in multiple linear regression models. The regression models produced overestimate and unrealistic projections of stand structures. In contrast, the projection of stand structures using the dynamics of stand structure’s components that were calculated using arithmetic mean was better performance than that of the three regression models. The simulation of stand structures also confirmed that the methods for calculating trees recruitment significantly affected the projected stand structures. The simulation of stand structure dynamics by using data from three sample plots showed that the different initial condition of stand (i.e. combination of trees number and stand structure) at the same harvesting intensity produced different cutting cycle as well. It was concluded that yield regulation of secondary forest should be determined specific to stand characteristics. Key words : permanent sample plot, stand structure projection, upgrowth, logged-over area of tropical natural forest, cutting cycle
iv
RINGKASAN MUHDIN. Dinamika Struktur Tegakan untuk Pengaturan Hasil Hutan Kayu Berdasarkan Jumlah Pohon : Kasus pada Areal Bekas Tebangan Hutan Alam Hujan Tropika Dataran Rendah Tanah Kering di Kalimantan. Dibimbing oleh : ENDANG SUHENDANG, HERRY PURNOMO, ISTOMO dan BINTANG CH SIMANGUNSONG. Intensitas penebangan yang beragam, perambahan hutan, dan kebakaran hutan dapat menyebabkan beragamnya kondisi hutan alam, seperti jumlah pohon dan struktur tegakannya. Informasi tentang keragaman struktur tegakan dan dinamika hutan bekas tebangan sangat diperlukan dalam menduga struktur tegakan hutan pada masa yang akan datang untuk keperluan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Kajian dengan menggunakan 101 plot ukur permanen (PUP) pada hutan alam dataran rendah tanah kering di Kalimantan menunjukan beragamnya kondisi tegakan setelah penebangan dalam hal jumlah pohon ha-1 dan struktur tegakannya. Struktur tegakan hutan alam bekas tebangan diketahui beragam dan terbagi menjadi 7 (tujuh) tipe struktur tegakan, yaitu tipe I : Nokecil-kkecil (32%), tipe II : Nokecil-ksedang (17%), tipe III : Nokecilkbesar (1%), tipe V : Nosedang-ksedang (30%), tipe VI : Nosedang-kbesar (4%), tipe VIII : Nobesar-ksedang (4%) dan tipe IX : Nobesar-kbesar (13%). Di mana: No = tetapan yang menunjukan jumlah pohon pada KD terkecil; k = tetapan yang menunjukkan laju penurunan jumlah pohon pada setiap kenaikan diameter pohon. Keragaman kondisi tegakan setelah ditebang, lamanya waktu setelah penebangan dan faktor lingkungan diduga berpengaruh terhadap keragaman komponen-komponen dinamika struktur tegakan, seperti proporsi pohon tambah tumbuh dan tetap. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan model atau cara yang dapat digunakan untuk menduga struktur tegakan hutan alam bekas tebangan pada masa yang akan datang melalui proyeksi struktur tegakan. Penelitian dinamika struktur tegakan ini menggunakan data dari 75 PUP hutan alam tanah kering dataran rendah di Kalimantan, yang diameter setinggi dada semua pohon berdiameter 10 cm ke atas diamati dan diukur ulang secara periodik. Nilai proporsi pohon tambah tumbuh, tetap dan rekrutmen dalam penelitian ini diduga dengan menggunakan 4 metode (3 metode regresi linier berganda dan 1 metode rata-rata aritmatik) berdasarkan data contoh dalam rentang waktu 3 tahun. Kelas diameter dibuat dengan lebar kelas 5 cm dan jenis pohon dikelompokan ke dalam 2 kelompok, yaitu : kelompok jenis dipterokarpa dan nondipterokarpa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi pohon tambah tumbuh dan tetap pada setiap kelompok jenis pohon tidak dapat diduga secara memuaskan oleh jumlah pohon, luas bidang dasar tegakan atau lamanya waktu setelah penebangan dan ketinggian dari permukaan laut yang digunakan sebagai peubah bebas dalam ketiga model regresi linier berganda. Ketiga model regresi tersebut menghasilkan dugaan proyeksi struktur tegakan yang cenderung overestimate dan tidak logis. Sebaliknya, proyeksi struktur tegakan menggunakan komponen dinamika struktur tegakan yang dihitung dengan rata-rata aritmatik menunjukan keragaan (performance) yang lebih baik dibanding menggunakan model regresi. Hasil simulasi proyeksi struktur tegakan juga menunjukan bahwa cara penentuan rekrutmen sangat mempengaruhi hasil simulasi tersebut. Simulasi dinamika struktur
v
tegakan dengan menggunakan 3 plot contoh yang kondisi tegakan awalnya berbeda, untuk mencapai kondisi tegakan layak tebang tertentu, memerlukan rotasi tebang yang juga berbeda. Jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai struktur tegakan siap tebang pada rotasi tebang yang akan datang, beragam tergantung kepada jumlah pohon dan struktur tegakan awal setelah penebangan sebelumnya. Jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai struktur tegakan siap tebang pada rotasi tebang berikutnya sangat tergantung pada intensitas penebangan sesuai preskripsi pengaturan hasil yang ditetapkan, semakin besar intensitas penebangan maka semakin panjang juga jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai struktur tegakan siap tebang pada rotasi tebang berikutnya tersebut. Dalam jangka panjang, dengan asumsi bahwa kualitas tempat tumbuh dan kemampuan pemulihan diri yang sama, struktur tegakan dengan tipe yang berbeda namun pada intensitas penebangan yang sama akan mengarah kepada rotasi tebang yang juga sama. Penurunan batas diameter pohon yang ditebang dari 50 cm ke atas menjadi 40 cm ke atas dengan kriteria tertentu, selain memperpendek rotasi tebang juga dapat meningkatkan volume hasil tebangan. Hasil di atas menunjukan bahwa preskripsi pengaturan hasil hutan alam bekas tebangan seyogyanya ditentukan sesuai karakteristik tegakannya. Oleh karena pertumbuhan tegakan sangat tergantung kepada kondisi jumlah pohon keseluruhan dan jumlah pohon pada setiap tingkat pertumbuhan pohonnya, maka preskripsi pengaturan hasil hutan alam produksi bekas tebangan, khususnya dalam hal jangka benah, rotasi tebang, kriteria pohon layak tebang dan intensitas penebangan harus ditentukan secara spesifik pada unit perlakuan dan unit administrasi terkecil. Sehubungan dengan hal itu, untuk mengurangi pengaruh keberagaman kondisi tegakan, kompartemenisasi merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam pengelolaan hutan alam produksi. Kata kunci : petak ukur permanen, proyeksi struktur tegakan, tambah tumbuh, hutan alam bekas tebangan, rotasi tebang
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
vii
DINAMIKA STRUKTUR TEGAKAN HUTAN TIDAK SEUMUR UNTUK PENGATURAN HASIL HUTAN KAYU BERDASARKAN JUMLAH POHON (Kasus pada Areal Bekas Tebangan Hutan Alam Hujan Tropika Dataran Rendah Tanah Kering di Kalimantan)
OLEH MUHDIN E 061030031
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
viii
Penguji luar komisi pada ujian tertutup (Selasa, 20 Desember 2011) : 1. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. (Guru Besar Emeritus bidang Ekologi Hutan di Fakultas Kehutanan IPB) 2. Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc. (Staf Pengajar Silvikultur Hutan Alam di Fakultas Kehutanan IPB)
Penguji luar komisi pada ujian terbuka (Selasa, 10 Januari 2012) : 1. Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc. (Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia) 2. Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, M.S. (Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB)
ix
Judul Disertasi
: Dinamika Struktur Tegakan untuk Pengaturan Hasil Hutan Kayu Berdasarkan Jumlah Pohon : Kasus pada Areal Bekas Tebangan Hutan Alam Hujan Tropika Dataran Rendah Tanah Kering di Kalimantan
Nama Mahasiswa : Muhdin Nomor Pokok
: E 061030031
Program Studi
: Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H.Endang Suhendang, M.S. Ketua
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. Anggota
Dr. Ir. Istomo, M.S. Anggota
Dr. Ir. Bintang C.H. Simangunsong, M.S. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S.
Tanggal ujian: 10 Januari 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal lulus:
x
PRAKATA Alhamdulillah puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt. karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi dengan judul : ”Dinamika Struktur Tegakan untuk Pengaturan Hasil Hutan Kayu Berdasarkan Jumlah Pohon :
Kasus pada Areal Bekas Tebangan Hutan Alam Hujan Tropika Dataran
Rendah Tanah Kering di Kalimantan”. Salah satu contoh dari hutan tidak seumur adalah hutan alam hujan tropika dataran rendah tanah kering, yaitu hutan dengan karakteristik tegakan yang khas, karena memiliki jenis pohon, tingkat perkembangan pohon dan dimensi pohon yang beragam. Tegakan hutan alam produksi saat ini didominasi oleh hutan alam bekas tebangan (HABT) dengan kondisi struktur tegakan (ST) tinggal yang juga beragam. Dari studi ini diharapkan dapat diperoleh metode untuk menduga ST hutan tidak seumur di masa yang akan datang yang bisa digunakan untuk menentukan preskripsi pengaturan hasil kayu berdasarkan metode jumlah pohon melalui pendekatan dinamika ST. Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam merumuskan kebijakan pengelolaan hutan tidak seumur terutama HABT dengan ST yang beragam, selain itu juga dapat digunakan untuk pemantauan pertumbuhan stok karbon. Atas telah tersusunnya disertasi ini, dengan setulus hati penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. H. Endang Suhendang, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp., Dr. Ir. Istomo, M.S. dan Dr. Ir. Bintang CH Simangunsong, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing atas dorongan motivasi yang telah diberikan, arahan, bimbingan dan masukan-masukannya dalam penyusunan disertasi. 2. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. dan Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc. sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, M.S. sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, atas masukan-masukannya yang sangat berharga. 3. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan yang telah memberi ijin untuk bisa mengakses dan menggunakan data petak ukur permanen (PUP) Hutan Alam Produksi.
Terima kasih juga kepada Ir. Djoko
Wahjono, M.S. staf Badan Litbang Kehutanan yang telah memfasilitasi sehingga penulis bisa mengakses sepenuhnya koleksi buku risalah PUP dan basis data PUP di Badan Litbang Kehutanan Gunung Batu Bogor.
xi 4. Ir. Suwarno Sutarahardja atas masukan-masukan yang telah diberikan, dan terima kasih pula atas bantuan moril maupun materilnya. 5. Direksi dan staf PT Saribumi Kusuma Kalimantan Tengah, terima kasih atas ijin yang diberikan dan fasilitasinya sehingga penulis bisa melakukan pengamatan dan pengukuran PUP di areal kerjanya. 6. Prof. Elias dan Dr. Teddy Rusolono terima kasih atas komentar dan masukanmasukannya yang berharga. 7. Dr. Tatang Tiryana, sebagai teman diskusi, terima kasih atas kontribusi penelusuran bahan rujukan, jurnal dan perangkat lunak yang sangat menunjang penelitian. 8. Kepada ayahanda H. Oo Abdurohim, isteri tercinta dan ananda : Fauzan, Rusdi dan Ismah terima kasih atas do’a, kesabaran, pengertian dan pengorbanannya. 9. Selanjutnya kepada semua pihak yang telah membantu baik langsung atau tidak langsung hingga disertasi ini dapat tersusun namun tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga. Penulis berharap, mudah-mudahan segala kebaikan ibu-ibu, bapak-bapak, dan saudara-saudara sekalian mendapat balasan berlipat-lipat ganda kebaikan dari Allah swt. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan dan masih sangat terbuka untuk lebih dikembangkan/dilengkapi di masa yang akan datang, untuk itu saran dan kritik demi penyempurnaan lebih lanjut sangat penulis harapkan. Bogor, Januari 2012 Muhdin
xii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada 10 Juni 1966 sebagai putra pertama dari enam bersaudara keluarga Bapak H. Oo Abdurohim dan (almarhumah) Ibu Mariyah. Pendidikan formal penulis dimulai tahun 1972 di SDN 2 Surade dan lulus tahun 1979, kemudian melanjutkan ke SMPN Surade dan lulus tahun 1982, selanjutnya tingkat SLTA ditempuh di SMPPN (sekarang SMAN 3) Sukabumi dan lulus tahun 1985. Ketiga sekolah tersebut berada di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Kehutanan IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK), mengambil Jurusan Manajemen Hutan dan lulus program sarjana pada tahun 1990.
Pada tahun 1995-1997 penulis
melanjutkan pendidikan program magister di Faculty of Forestry and Ecological Science, Universitas Goettingen, Jerman. Mulai tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak 1991 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Sebagai salah satu syarat untuk penyelesaian studi program doktor, pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB, penulis melaksanakan penelitian berjudul: Dinamika Struktur Tegakan untuk Pengaturan Hasil Hutan Kayu Berdasarkan Jumlah Pohon : Kasus pada Areal Bekas Tebangan Hutan Alam Hujan Tropika Dataran Rendah Tanah Kering di Kalimantan, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. H. Endang Suhendang, M.S.; Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp.; Dr. Ir. Istomo, M.S.; dan Dr. Ir. Bintang CH Simangunsong, M.S. Dalam masa studi program doktor ini, penulis beserta pembimbing telah mempublikasikan 2 buah tulisan: 1.
Judul ”Keragaman Struktur Tegakan Hutan Alam Sekunder” pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika XIV(2):82-88, Agustus 2008.
2.
Judul ”Pendugaan Dinamika Struktur Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan” pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika XVII(1):1-9, April 2011.
xiii
DAFTAR SINGKATAN
AAC DFID-FRP DIPSIM dbh DST GLS HA HABT HP HPH HPT HT HTI INP IP ITTO IUPHHK JPT KD KJ KJD KJN Litbang LOA MYRLIN OLS Permenhut PUP Silin SUR SYMFOR SK ST TPI TPTI TPTII YSS
: Annual Allowable Cut : Forestry Research Programme of the UK Department for International Development : Dipterocarp Forest Growth Simulation Model : diameter at breast height = diameter setinggi dada : Dinamika Struktur Tegakan : Generalized Least Square : Hutan Alam : Hutan Alam Bekas Tebangan : Hutan Produksi (biasa) : Hak Pengusahaan Hutan : Hutan Produksi Terbatas : Hutan Tanaman : Hutan Tanaman Industri : Indeks Nilai Penting : Intensitas Penebangan : International Tropical Timber Organization : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu : Jatah Produksi Tahunan : Kelas Diameter : Kelompok Jenis : Kelompok Jenis Dipterocarpa : Kelompok Jenis Non dipterocarpa : Penelitian dan Pengembangan : Logged Over Area = areal bekas tebangan : Methods of Yield Regulation with Limited Information : Ordinary Least Square : Peraturan Menteri Kehutanan : Petak Ukur Permanen : Silvikultur Intensif : Seemingly Unrelated Regression : Sustainable and Yield Management for Tropical Forests : Surat Keputusan : Struktur Tegakan : Tebang Pilih Indonesia : Tebang Pilih Tanam Indonesia : Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif : Yield Simulation System
xiv
DAFTAR ISTILAH Hutan alam bekas tebangan = hutan yang tumbuh secara alami dan pernah mendapat perlakuan penebangan secara tebang pilih baik sesuai skenario pengelolaan hutan atau akibat penjarahan yang masih menyisakan tegakan tinggal untuk proses suksesi tegakan. Hutan alam tanah kering dataran rendah = hutan yang tumbuh secara alami, tidak tergenang air sepanjang tahun dan berada pada ketinggian tidak lebih dari 800 m di atas permukaaan laut Hutan primer = virgin forest ~ old-growth-forest = hutan yang tumbuh secara alami dan belum terganggu atau belum terpengaruh oleh aktivitas manusia dan biasanya telah berada pada tahap pertumbuhan klimaks (steady state); atau hutan sekunder yang telah berada pada tahap pertumbuhan klimaks (steady state) Hutan sekunder = second-growth forest = young-growth forest = hutan yang mempermudakan kembali baik secara alami atau pun buatan, setelah mengalami perubahan drastis karena penebangan, kebakaran, serangan hama/penyakit, atau terpaan angin. Ingrowth = tambah tumbuh dari KD k–1 ke KD k = jumlah pohon, atau proporsinya, yang pada periode waktu tertentu naik ke KD tertentu dari KD di bawahya [Catatan : ingrowth pada KD ke-k sama dengan upgrowth bagi KD (k–1)] Intensitas penebangan = proporsi jumlah pohon layak tebang yang ditebang relatif terhadap keseluruhan jumlah pohon yang berukuran layak tebang Inventarisasi statis = inventarisasi yang dilaksanakan pada saat tertentu, untuk mengetahui gambaran keadaan hutan pada saat tertentu tersebut Inventarisasi dinamis = inventarisasi berulang (periodik) di tempat yang sama yang dimaksudkan untuk pengamatan pertumbuhan tegakan Jatah produksi tahunan (JPT) = annual allowable cut (AAC) = jumlah tebangan tahunan yang dibenarkan agar kelestarian hasil dapat dicapai Mortalitas = jumlah pohon, atau proporsinya, yang mati pada periode waktu tertentu Old-growth-forest = tahap terakhir (klimaks) dari proses suksesi pertumbuhan hutan Rekrutmen (recruitment) = alih tumbuh = jumlah pohon (atau proporsi sejumlah pohon) yang pada rentang waktu tertentu masuk ke dalam kelas diameter terkecil yang ditentukan. Rotasi tebang (cutting cycle) = interval waktu (tahun) antara dua penebangan yang berurutan di tempat yang sama dalam sistem silvikultur polisiklik Seri PUP = terdiri atas 6 buah PUP yang mengalami penebangan pada tahun tebang yang sama dan memiliki karakteristik tempat tumbuh yang sama pula. Tiga diantara PUP tersebut mendapat perlakuan pemeliharaan tegakan, dan tiga lainnya tidak (tumbuh alamiah tanpa campur tangan manusia) Simulasi = sebuah teknik operasi yang menggambarkan atau meniru sistem di alam nyata (fisik, sosial, ekonomi) untuk mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem dan untuk membantu dalam pengambilan keputusan
xv STREK project (Silvicultural Techniques for the Regeneration of logged-over forest in East Kalimantan) telah membangun 72 ha PUP selama 1990 dan 1991. Plot-plot tersebut tersebar di dua tipe hutan PT Inhutani I di Kalimantan Timur. Setiap PUP terdiri atas 4 ha. Enam plot (24 ha) dibangun di areal bekas tebangan (RKL-1) yang telah ditebang 1979/80. Dua belas plot lainnya (48 ha) dibangun di areal hutan yang tidak ditebang (RKL-4). Plot-plot di RKL-4 ditebang sesuai proyek antara Nopember 1991 hingga Mei 1992. Struktur Tegakan = dibedakan atas struktur tegakan vertikal dan horizontal ; dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah struktur tegakan horizontal yaitu sebaran jumlah pohon ha-1 pada setiap kelas diameternya. Tunak = steady state = equilibrium = keadaan mantap; berada dalam keadaan kesetimbangan Upgrowth = tambah tumbuh dari KD k ke KD k+1 = jumlah pohon, atau proporsinya, yang pada periode waktu tertentu naik dari KD tertentu ke KD di atasnya Validasi = pengujian ketelitian dan ketepatan model menggunakan set data yang berbeda dengan set data yang digunakan saat penyusunan model.
xvi
DAFTAR ISI Hal. DAFTAR TABEL ..................................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
xviii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................
xix
PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................................. Rumusan Permasalahan ................................................................................. Kebaruan (Novelty) .………………......………………………………......... Batasan/Ruang Lingkup Populasi ………………………………………..... Tujuan Penelitian ………………………………………………………....... Asumsi …………………………………………………………………....... Hipotesis Penelitian ……………………………………………………....... Manfaat Penelitian …………………………………………………….........
1 3 4 4 5 5 6 6
TINJAUAN PUSTAKA Hutan Indonesia ............................................................................................. Sistem Silvikultur TPTI ..................................…………………………........ Pengaturan Hasil Berdasarkan Jumlah Pohon …………………………......... Pengelompokan Jenis Pohon ..........................…………………………........ Kelas Diameter Pohon .....................................…………………………........ Struktur Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan ………………………........ Dinamika Struktur Tegakan Hutan Tidak Seumur ..……………………........ Penelitian Dinamika Struktur Tegakan Hutan Tidak Seumur di Indonesia ...
8 9 11 12 14 14 15 18
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian .………………………………………............ Jenis dan Cara Pengumpulan Data …………………………………............ Kerangka Pemikiran Penelitian ...........……………………………….......... Analisa Data ...........................……..…………………………………......... Keragaman Struktur Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan ................ Dinamika Struktur Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan ................... Pendugaan Nilai Komponen Dinamika Struktur Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan .................................................................. Simulasi Proyeksi Struktur Tegakan ............................................. Evaluasi Model Pertumbuhan dan Hasil Simulasi Proyeksi Struktur Tegakan ...........................................................................
27 27 27 29 30 30 30 31 32
xvii HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian .........................................………............ Keragaman Kondisi Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan .………............ Komponen Dinamika Struktur Tegakan .........……………………….......... Simulasi Proyeksi Struktur Tegakan ..…………………………………......... Simulasi Penebangan ....................................................................................... Pendugaan Pertumbuhan Stok Karbon pada HABT ......……………….........
34 34 38 44 45 49
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ....................................…….............................................................. Saran .........…………………….............................................................…......
51 52
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
53
LAMPIRAN ..........................................................................................................
58
xviii
DAFTAR TABEL Hal. 1
Penutupan lahan hutan alam pada hutan produksi per provinsi di Kalimantan (x 1000 ha)
8
2
Jumlah pohon komersil minimal pada hutan alam produktif tanah kering
12
3
Kriteria pengelompokan tegakan berdasarkan nilai No dan k
15
4
Ringkasan hasil-hasil penelitian tentang dinamika struktur tegakan di Indonesia
26
5
Statistik jumlah pohon untuk setiap tingkat pertumbuhan tegakan
35
6
Pengelompokan tegakan berdasarkan nilai No dan k
36
7
Dugaan parameter regresi persamaan rekrutmen
38
8
Koefisien regresi penduga proporsi tambah tumbuh dan tetap dengan Metode I
41
9
Nilai dugaan proporsi tambah tumbuh (bi) dan tetap (ai) dengan tiga metode
42
10
Mortalitas berdasarkan matriks transisi dengan tiga metode
43
11
Pembandingan ST dugaan (Metode IV) dengan ST aktual pada rentang proyeksi 15 tahun
45
12
Simulasi penentuan rotasi tebang dengan batas dbh pohon ditebang 50 cm up
46
13
Simulasi penentuan rotasi tebang dengan batas dbh pohon ditebang 40 cm up
47
14
Rotasi dan volume tebangan dengan batas dbh pohon ditebang 50 cm up
48
15
Rotasi dan volume tebangan dengan batas dbh pohon ditebang 40 cm up
48
xix
DAFTAR GAMBAR Hal. 1
Diagram kerangka pemikiran penelitian
28
2
Diagram alir penentuan preskripsi pengaturan hasil hutan alam bekas tebangan
29
3
Diagram dahan daun jumlah pohon semua jenis berdiameter ≥ 10 cm pada setiap PUP
35
4
Keragaman struktur tegakan pada berbagai tipe tegakan
37
5
Diagram proporsi tambah tumbuh, tetap dan mati dengan Metode IV
43
6
Struktur tegakan sebelum dan setelah penebangan
49
7
Pertumbuhan stok karbon tanpa penebangan dan dengan penebangan
49
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Hal. 1
Luas penutupan lahan Indonesia (x 1000 ha)
59
2
Luas penutupan lahan berhutan di Indonesia (x 1000 ha)
59
3
Luas penutupan lahan berhutan pada kawasan hutan produksi (x 1000 ha)
60
4
Kelompok jenis pohon dan karakteristiknya
61
5
Daftar IUPHHK contoh dan karakteristik tempat tumbuhnya
62
6
Daftar IUPHHK dan jumlah PUP contoh
64
7
Peta situasi sebaran IUPHHK contoh di Kalimantan
65
8
INP kelompok jenis/famili pohon di Kalimantan Timur
66
9
INP kelompok jenis/famili pohon di Kalimantan Tengah
68
10
INP kelompok jenis/famili pohon di Kalimantan Barat
70
11
INP kelompok jenis/famili pohon di Kalimantan Selatan
72
12
Jumlah pohon sesuai tingkat pertumbuhan pohon pada setiap PUP contoh
73
13
Statistik model ST pada setiap PUP di Kalimantan
76
14
Proporsi tambah tumbuh dan tetap beberapa hasil penelitian lain
80
15
Penentuan jumlah pohon layak tebang untuk simulasi penebangan
82
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asas kelestarian hasil sumberdaya hutan merupakan salah satu asas yang seharusnya mendasari pengelolaan hutan produksi di Indonesia. Sampai saat ini kayu merupakan salah satu produk utama hasil hutan, maka prinsip dasar manajemen hutan di dalam pemanenan kayu harus sejalan dengan asas kelestarian sumberdaya hutan yaitu jumlah hasil kayu yang dipungut tidak boleh melebihi kemampuan hutan tersebut untuk dapat memulihkan diri sehingga dapat mencapai struktur tegakan yang siap ditebang kembali pada rotasi tebang berikutnya.
Pengelolaan Hutan Lestari menurut ITTO
(2005) adalah proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu yang jelas dalam menghasilkan barang dan jasa hutan yang diperlukan secara berkelanjutan, tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan pada masa yang akan datang dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial. Definisi ini jelas menggambarkan atau menyatakan bahwa pengaturan hasil hutan merupakan salah satu masalah pokok dalam praktek pengelolaan hutan lestari. Metode pengaturan hasil dapat ditentukan berdasarkan: luas areal, volume kayu, riap, jumlah pohon atau kombinasi dari dua atau lebih peubah-peubah tersebut. Metode pengaturan hasil yang diterapkan dalam praktek pengelolaan hutan alam di Indonesia saat ini adalah metode berdasarkan luas areal dan volume kayu. Metode ini tidak lagi sesuai karena kondisi hutan yang dikelola sudah mengalami perubahan. Sebagian besar areal hutan alam saat ini sudah berupa areal hutan bekas tebangan dan hutan terdegradasi lainnya karena kebakaran dan perambahan. Kondisi dan dinamika struktur tegakan hutan bekas tebangan sangat berbeda dengan kondisi dan dinamika struktur tegakan di hutan primer.
Oleh karena itu, metode pengaturan hasil yang
mengakomodasi kondisi dan perilaku dinamis hutan bekas tebangan tersebut perlu dikaji. Selain karena telah berubahnya kondisi hutan, penentuan metode pengaturan hasil seharusnya juga mempertimbangkan karakteristik khas dari kondisi hutan alam. Hutan alam pada umumnya merupakan hutan tidak seumur (bahkan umur pohon pun tidak diketahui) dengan keragaman yang tinggi, baik dalam hal jenis pohon maupun struktur tegakan horizontal (sebaran diameter) dan struktur tegakan vertikal (strata tajuk). Salah satu sistem silvikultur yang cocok untuk karakteristik hutan seperti itu adalah sistem
2 tebang pilih dengan jumlah pohon dan batas diameter serta jenis pohon tertentu yang boleh ditebang dan sejumlah tertentu pohon inti dan pohon induk yang harus tersedia setelah penebangan untuk regenerasi tegakan. Tebang pilih dalam sistem silvikultur hutan alam perlu memperhatikan banyaknya dan sebaran pohon yang ditebang menurut diameter pohonnya, agar menghasilkan tegakan tinggal yang dapat tumbuh kembali membentuk tegakan siap panen pada rotasi tebang berikutnya. Dalam hal ini, penentuan jatah produksi tahunan (JPT) berdasarkan volume seperti yang selama ini digunakan, kurang mampu menerangkan gambaran keadaan tegakan tinggal yang diperlukan untuk persediaan dan pembinaan tegakan. JPT berdasarkan volume hanya cukup berarti untuk memberikan gambaran ketersediaan bahan baku kayu bulat, namun kurang tepat bila dijadikan sebagai alat kendali kelestarian hutan alam produksi (Suhendang 2005).
Oleh karena itulah maka
pengaturan hasil hutan alam akan lebih tepat apabila ditentukan berdasarkan jumlah pohon dari pada volume kayu. Gambaran keadaan tegakan tinggal dan jumlah pohon layak tebang dapat dengan mudah diketahui dari struktur tegakan. Untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukan potensi tegakan (pohon masak tebang) minimal yang harus tersedia agar pengelolaan hutan layak dilakukan, sedangkan untuk pertimbangan faktor ekologi, struktur tegakan dapat menggambarkan kemampuan regenerasi dari tegakan tersebut (Suhendang 1994). Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan alam bekas tebangan adalah berawal dari beragamnya kondisi hutan alam bekas tebangan terutama dalam hal: komposisi jenis, kerapatan pohon, kondisi struktur tegakan, serta intensitas penebangan yang telah dilakukan dan bervariasinya kualitas tempat tumbuh (berkaitan dengan sifat tanah dan iklim yang menunjang pertumbuhan) tegakan hutan tersebut. Keragaman kondisi hutan alam bekas tebangan menyebabkan pertumbuhan tegakan pun menjadi beragam. Ada hutan yang dapat tumbuh dengan relatif cepat atau sebaliknya relatif lebih lambat. Kecepatan pertumbuhan itu mencerminkan kemampuan upaya pemulihan hutan alam bekas tebangan untuk mencapai atau mendekati keadaan seperti semula sebelum ditebang sehingga siap untuk mendapat perlakuan penebangan pohon-pohon layak tebang pada rotasi tebang berikutnya. Lamanya waktu pemulihan tersebut juga akan beragam tergantung pada tingkat kerusakan hutan dan daya dukung lingkungannya. Pengamatan dan pengukuran pertumbuhan tegakan hutan di lapangan yang bersifat dinamis, memerlukan waktu yang relatif panjang (bahkan perlu puluhan tahun) karena sifat pertumbuhan tegakan hutan yang relatif lambat.
Oleh karena itu
3 penggunaan model dinamis akan sangat membantu mengatasi kendala lamanya waktu pengamatan tersebut. Namun demikian tetap perlu dukungan data hasil pengukuran berulang (time series data) yang dapat diperoleh melalui pengamatan/pengukuran berulang atau secara periodik terhadap petak ukur permanen (PUP). Pola pertumbuhan tegakan kemudian diduga dengan menggunakan data tersebut.
Data PUP yang
mencakup rentang waktu selama daur atau rotasi tebang, sangat bermanfaat untuk menghindari ekstrapolasi, namun data seperti itu sangat sulit diperoleh pada saat ini. 1.2 Perumusan Permasalahan Dalam perencanaan pengaturan hasil hutan, informasi tentang kondisi tegakan di masa yang akan datang saat dilakukan penebangan, sangat diperlukan.
Informasi
tentang kondisi tegakan di masa yang akan datang tersebut, diantaranya dapat diduga melalui proyeksi struktur tegakan dalam beberapa periode (tahun) ke depan. Proyeksi struktur tegakan dapat dilakukan, hanya apabila dinamika struktur tegakannya diketahui. Komponen-komponen dinamika struktur tegakan diantaranya adalah: rekrutmen (proporsi banyaknya pohon yang masuk ke dalam kelas diameter terendah), tambah tumbuh atau upgrowth (proporsi banyaknya pohon yang masuk/naik ke dalam kelas diameter yang lebih tinggi), dan mortalitas (proporsi banyaknya pohon yang mati pada kelas diameter tertentu) pada selang waktu tertentu. Nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh, dan mortalitas untuk sebuah tegakan hutan alam tertentu, sampai saat ini lazimnya diperoleh dari pengamatan/pengukuran berulang (serial) pada PUP di areal hutan tersebut. Apabila pada areal hutan tersebut tidak terdapat PUP, maka informasi riap tegakan dan dinamika struktur tegakan pada areal hutan tersebut tidak diperoleh, sehingga proyeksi struktur tegakan pada areal tersebut tidak dapat dilakukan. Penelitian ini akan menyusun model-model rekrutmen, tambah tumbuh, dan mortalitas yang mencakup berbagai variasi kondisi tempat tumbuh, kondisi tegakan, dan lamanya waktu setelah penebangan.
Model-model yang diperoleh,
diharapkan dapat juga digunakan untuk melakukan proyeksi struktur tegakan pada areal-areal lain yang memiliki karakteristik kondisi tempat tumbuh, kondisi tegakan, dan lamanya waktu setelah penebangan seperti yang tercakup dalam data yang digunakan saat menyusun model-model tersebut. Beberapa permasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah keragaman struktur tegakan hutan alam hujan tropis tanah kering dataran rendah di Indonesia setelah ditebang ?
4 2. Apakah nilai komponen dinamika struktur tegakan dapat diduga oleh beberapa faktor tegakan, lingkungan dan lama waktu setelah penebangan. Apakah model komponen dinamika struktur tegakan (rekrutmen, tambah tumbuh, mortalitas) dapat menjelaskan keragaman dinamika struktur tegakan tersebut ? 3. Berdasarkan model atau nilai komponen dinamika struktur tegakan yang diperoleh, juga ingin diperoleh gambaran jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: a. Dapatkah proyeksi struktur tegakan digunakan untuk menduga struktur tegakan di masa yang akan datang ? Untuk menjawab hal ini akan dilakukan pula validasi terhadap struktur tegakan hasil pendugaan tersebut. b. Dengan menggunakan hasil proyeksi struktur tegakan di atas dan melalui simulasi penebangan dengan berbagai kondisi ST awal tertentu, dapatkah ditentukan intensitas dan panjang rotasi tebang optimal dari aspek kelestarian hasil kayu yang mempertimbangkan faktor ekonomi dan ekologi ?. 1.3 Kebaruan (Novelty) Dari rumusan permasalahan di atas, maka kebaruan (novelty) yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperolehnya model pertumbuhan tegakan HABT di Kalimantan yang bisa diperbaharui sesuai dengan perkembangan kondisi tegakan.
Model
pertumbuhan tegakan yang diperoleh diharapkan bisa berlaku juga dalam ruang lingkup yang lebih luas (tidak hanya lingkup satu IUPHHK) sesuai dengan batasan ruang lingkup populasi untuk penyusunan model pertumbuhan tegakan tersebut, sehingga pertumbuhan tegakan yang belum memiliki PUP dapat diduga menggunakan model pertumbuhan tegakan yang diperoleh dari penelitian ini apabila tegakan tersebut memiliki karakteristik tipe hutan (karakteristik tegakan dan tempat tumbuh) yang masih tercakup sesuai dengan ruang lingkup populasi penelitian ini. 1.4 Batasan/Ruang Lingkup Populasi Ruang lingkup penelitian ini adalah meliputi areal hutan alam produksi hujan tropis tanah kering dataran rendah bekas tebangan di Kalimantan. Secara kuantitatif, batasan ruang lingkup populasi tersebut mengacu kepada Lamprecht (1989), yaitu areal hutan yang berada di sekitar garis khatulistiwa, selalu hijau (evergreen) dan tidak tergenang air sepanjang tahun, dengan rata-rata suhu tahunan tinggi (>22°C) dan curah hujan tahunan juga tinggi (>1800 mm/th), musim kering yang pendek atau tidak ada
5 sama sekali (0-2,5 bulan kering dalam setahun) dan berada pada ketinggian tidak lebih dari 800 m di atas permukaaan laut. Karena didominasi oleh pohon-pohon dari famili Dipterokarpa, maka tipe hutan pada areal seperti ini sering pula disebut sebagai hutan dipterokarpa campuran dataran rendah (mixed dipterocarp lowland forest). Pertimbangan pokok penetapan lingkup populasi ini selain karena data PUP pada areal hutan seperti ini tersedia menyebar di empat propinsi (Kalimantan Timur, Tengah, Barat, dan Kalimantan Selatan), hutan alam produksi di Kalimantan juga masih cukup luas yaitu sekitar 15,95 juta ha, yang terdiri dari 3,79 juta ha berupa hutan primer dan 12,16 juta ha hutan sekunder (Departemen Kehutanan 2008). Hutan bekas tebangan atau logged over area (LOA) adalah areal hutan alam (yang sebelumnya) virgin forest yang mendapat perlakuan tebang pilih (TPI/TPTI) sehingga meninggalkan tegakan sisa dengan struktur tegakan yang secara alamiah masih memungkinkan untuk dapat berkembang atau memulihkan diri membentuk kembali tegakan layak tebang pada rotasi tebang berikutnya. Pengertian ini dapat diperluas mencakup areal hutan alam yang telah mengalami gangguan/kerusakan baik karena penebangan (legal atau illegal), kebakaran, serangan hama penyakit, atau terpaan angin kencang, namun meninggalkan tegakan sisa dengan struktur tegakan yang secara alamiah masih memungkinkan untuk dapat berkembang atau memulihkan diri membentuk kembali tegakan layak tebang pada rotasi tebang berikutnya. 1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh model pertumbuhan yang dapat menggambarkan dinamika struktur tegakan hutan alam hujan tropis tanah kering dataran rendah bekas tebangan di Kalimantan serta dapat digunakan untuk melakukan proyeksi struktur tegakan dan simulasi pengaturan hasil. 1.6 Asumsi Asumsi-asumsi yang melandasi proyeksi struktur tegakan dan simulasi pengaturan hasil dalam penelitian ini adalah: 1. Areal hutan pada keseluruhan areal penelitian ini pada awalnya adalah berupa hutan primer (virgin forest) yang mendapat perlakuan yaitu penebangan dengan menggunakan sistem tebang pilih (TPI atau TPTI), kemudian dalam rentang waktu saat proyeksi struktur tegakan, tegakan tidak mendapat perlakuan apapun seperti
6 penanaman pengayaan dan pemeliharaan tegakan lainnya maupun penebangan ulang, sehingga tegakan tumbuh alamiah tanpa campur tangan manusia. 2. Kematian (mortalitas) yang terjadi dalam rentang waktu saat proyeksi struktur tegakan adalah kematian reguler, yaitu kematian alamiah seperti karena sakit (terkena hama/penyakit), tua, tekanan dan persaingan antar pohon. Selain kematian reguler, kematian (mortalitas) dalam penelitian ini juga dapat terjadi karena kerusakan tegakan tinggal akibat dilakukannya penebangan sesuai skenario pengaturan hasil. 3. Komposisi jenis dalam tegakan dan kualitas tempat tumbuh (kecuali ketinggian dari permukaan laut) pada populasi sesuai ruang lingkup kajian, dianggap seragam.
1.7 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: 1. Struktur tegakan setelah penebangan diduga beragam. Keragaman tersebut diduga karena pengaruh beragamnya intensitas penebangan dan tingkat kerusakan tegakan akibat kegiatan penebangan. 2. Komponen dinamika struktur tegakan (rekrutmen, proporsi tambah tumbuh, dan tetap) dapat diduga oleh karakteristik tegakan (jumlah pohon dan luas bidang dasar tegakan), ketinggian dari muka laut dan lamanya waktu setelah penebangan. 3. Komponen dinamika struktur tegakan (rekrutmen, proporsi tambah tumbuh, dan tetap) yang diperoleh dapat digunakan untuk melakukan proyeksi struktur tegakan. Proyeksi struktur tegakan ini juga dapat dilakukan pada areal hutan lain di luar yang digunakan dalam penyusunan model di sini, sepanjang areal hutan tersebut memiliki karakteristik (tegakan, tempat tumbuh, dan perlakuan tegakan) yang masih termasuk ke dalam kisaran karakteristik areal hutan yang digunakan saat penyusunan model. 4. Dengan kriteria pengaturan hasil tertentu, keberagaman jumlah pohon total dan ST awal, akan menyebabkan jangka waktu untuk mencapai kondisi tegakan siap tebang juga beragam. 1.8 Manfaat Penelitian Dengan diketahuinya nilai-nilai komponen dinamika struktur tegakan hutan alam hujan tropis tanah kering dataran rendah bekas tebangan di Indonesia, maka proyeksi struktur tegakan dapat dilakukan, bahkan pada areal hutan lain yang belum memiliki PUP namun memiliki karakteristik areal hutan yang masih termasuk ke dalam kisaran
7 karakteristik areal hutan yang digunakan saat penyusunan model. Berdasarkan hasil proyeksi struktur tegakan tersebut, rotasi tebang yang memperhatikan pertimbangan aspek ekologi serta aspek ekonomi dan diduga bersifat spesifik untuk setiap areal hutannya pun dapat ditentukan. Selain itu, struktur tegakan hasil proyeksi pada setiap rentang waktu tertentu dapat digunakan untuk memonitor pertumbuhan stok karbon pada hutan alam produksi bekas tebangan, sebagai salah satu metode dalam upaya Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD-plus). Pada prinsipnya dari penelitian ini diharapkan bisa diperoleh sebuah alat untuk pendugaan struktur tegakan HABT pada masa yang akan datang berdasarkan struktur tegakan yang diketahui pada saat tertentu.
Selanjutnya informasi tentang kondisi
struktur tegakan pada masa yang akan datang tersebut diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan di dalam merumuskan kebijakan pengelolaan hutan alam bekas tebangan di Indonesia, pada masa rotasi tebang kedua, ketiga dan seterusnya.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Indonesia Departemen Kehutanan (2008) mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil penafsiran cira landsat 7 ETM+ liputan tahun 2005/2006, dari total luas daratan Indonesia 187,8 juta ha, Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 132,4 juta ha (70,5%), sisanya areal penggunaan lain 55,4 juta ha (29,5%) (Lampiran 1). Dari total luas kawasan hutan tersebut : 90,1 juta ha berpenutupan sebagai hutan; tidak berhutan 39,3 juta ha; dan sisanya (3,0 juta ha) tidak teridentifikasi.
Kawasan hutan yang
berpenutupan sebagai hutan, terdiri atas hutan primer 44,1 juta ha, hutan sekunder 42,6 juta ha dan hutan tanaman 3,4 juta ha. Berdasarkan fungsi hutan, kawasan hutan yang berpenutupan sebagai hutan terdiri atas: hutan konservasi (HK) 15,1 juta ha, hutan lindung (HL) 22,7 juta ha, hutan produksi terbatas (HPT) 18,8 juta ha, hutan produksi tetap (HP) 22,1 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 11,0 juta ha (Lampiran 2). Tabel 1 Penutupan lahan hutan alam produksi per provinsi di Kalimantan (x 1000 ha) Provinsi di Kalimantan
HP
HPT
Jumlah
Total
Primer
Sekunder
Primer
Sekunder
Primer
Sekunder
Kal. Barat
25,6
822,8
338,9
1.170,9
364,5
1.993,7
2.358,2
Kal. Tengah
56,9
3.209,5
540,9
2.406,1
597,8
5.615,6
6.213,4
Kal. Timur
473,7
1.975,5
2.341,6
2.250,9
2.815,3
4.226,4
7.041,7
Kal. Selatan
6,6
241,0
5,6
85,0
12,2
326,0
338,2
Total
562,9
6.248,7
3.227,0
5.912,9
3.789,9
12.161,6
15.951,5
Sumber : Departemen Kehutanan (2008)
Pada kawasan hutan produksi yang meliputi HP dan HPT terdapat 3 macam penutupan, yaitu : hutan primer, hutan sekunder dan hutan tanaman. Dengan kategori hutan seperti itu, Kalimantan memiliki hutan produksi yang paling luas yaitu 16,63 juta ha, disusul Papua 11,73 juta ha, Sumatera 5,68 juta ha, Sulawesi 3,09 juta ha, Maluku 1,99 juta ha, dan Jawa 1,30 juta ha (Lampiran 3). Khusus di Kalimantan, Provinsi Kalimantan Timur memiliki hutan alam produksi terluas yaitu 7,04 juta ha, kemudian Kalimantan Tengah 6,21 juta ha, Kalimantan Barat 2,36 juta ha dan Kalimantan Selatan 0,34 juta ha (Tabel 1).
9 2.2 Sistem Silvikultur TPTI Hutan alam hujan tropis merupakan hutan yang heterogen, tidak seumur dan dengan komposisi jenis pohon yang tinggi. Indrawan (2000) mengemukakan bahwa jenis pohon berdiameter setinggi dada 20 cm ke atas di areal HPH PT Ratah Timber Co. Kalimantan Timur mencapai 79 jenis per ha pada areal hutan primer, dan 36-90 jenis pohon per ha pada areal HABT. Sedangkan Bertault dan Kadir (1998) yang dikutip Phillips et al. (2002) melaporkan bahwa pada sebuah plot seluas 1 ha hutan dipterokarpa campuran di Asia Tenggara dapat meliputi 80-200 jenis pohon yang berbeda dengan diameter 10 cm ke atas. Dari segi jumlah pohon, Sutisna (1997) menyatakan bahwa jumlah pohon berdiameter 10 cm ke atas pada hutan klimaks di Indonesia umumnya berkisar antara 400-600 pohon per ha. Sedangkan Elias (1997) melaporkan bahwa di Kalimatan Timur jumlah pohon berdiameter 10 cm ke atas sebelum penebangan bisa mencapai 746 pohon per ha. Pada hutan alam tidak seumur dengan komposisi jenis yang tinggi seperti itu, sistem silvikultur yang cocok adalah sistem tebang pilih dengan batas diameter tertentu yang dapat ditebang dan sejumlah pohon inti tertentu yang harus tersedia setelah penebangan (Suhendang 2002). Pada periode 1972-1989, berdasarkan SK Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tgl 13 Maret 1972, pengelolaan hutan alam di Indonesia menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI). Selanjutnya diubah menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 485/Kpts/II/1989 tgl 18 September 1989 dan SK Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tertanggal 30 Nopember 1989, yang kemudian disempurnakan dengan keluarnya SK Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tertanggal 19 Oktober 1993 tentang Pedoman TPTI. Beberapa butir pokok yang melandasi sistem silvikultur TPI/TPTI pada hutan alam daratan (tanah kering) adalah: 1. Batas diameter terkecil pohon jenis komersil yang boleh ditebang adalah 50 cm untuk Hutan Produksi (Tetap)/HP dan 60 cm untuk Hutan Produksi Terbatas (HPT). 2. Jumlah pohon inti dalam tegakan tinggal, yaitu pohon jenis komersil dengan diameter 20-49 cm sedikitnya 25 pohon per ha. 3. Riap diameter pohon diasumsikan 1 cm per tahun. 4. Rotasi tebang ditetapkan 35 tahun. 5. Metode pengaturan hasil ditentukan berdasarkan volume dan luas, dengan rumus (Suhendang et al. 1995):
10 a. Periode 20 tahun pertama: Etat volume : JPT = (80% x V)/35 m³/thn Etat luas = L/35 ha/thn di mana: JPT = jatah produksi tahunan; V = total volume pohon jenis komersial dari seluruh areal kerja produktif (m³); L = luas areal produktif (ha) b. Periode tahun ke-21 sampai dengan 35: Etat volume: JPT = (80% x Vp)/(35−20) m³/thn Etat luas = Lp/(35−20) ha/thn di mana: Vp = total volume pohon jenis komersial dari hutan primer yang tersisa dalam seluruh areal kerja produktif (m³); Lp = luas areal hutan primer yang tersisa dalam seluruh areal kerja produktif (ha). Menurut (Suhendang et al. 1995), sejak awal berlakunya sistem silvikultur TPI/TPTI memiliki beberapa kelemahan yang mendasar, yaitu: 1. Asumsi bahwa riap diameter sebesar 1 cm per tahun untuk semua jenis pohon, semua kelas diameter, semua tipe hutan, dan semua kondisi hutan adalah tidak benar.
Data berdasarkan pengukuran PUP menunjukkan bahwa riap diameter
bervariasi menurut jenis atau kelompok jenis pohon, dan tempat tumbuh. 2. Penentuan rotasi tebang yang sama (35 tahun) untuk semua tipe dan kondisi hutan adalah tidak benar. Rotasi tebang seharusnya ditentukan berdasarkan riap diameter pohon. 3. Penggunaan metode pengaturan hasil berdasarkan volume tegakan tanpa informasi tentang riap diameter pohon atau riap volume tegakan yang benar, akan mengarah kepada kesimpulan yang keliru. Situasi pengelolaan hutan alam produksi saat ini sudah amat berbeda dengan situasi saat-saat awal pengelolaan hutan alam dimulai pada awal tahun 1970-an, karena sebagian areal hutan alam yang semula merupakan hutan primer sekarang telah berubah menjadi hutan bekas tebangan (Parthama 2002).
Pada saat dimulainya periode
pengusahaan hutan untuk rotasi yang kedua, tegakan hutan yang terdapat dalam satu kesatuan pengusahaan hutan akan terdiri atas tegakan-tegakan yang memiliki jangka waktu setelah penebangan bervariasi antara 0-35 tahun. Untuk menentukan besarnya JPT baik berdasarkan volume ataupun jumlah pohon diperlukan perkiraan mengenai besarnya volume atau jumlah pohon yang boleh dipanen pada saat setiap tegakan itu
11 akan
ditebang.
Sehubungan
dengan
itu
maka
diperlukan
metode
untuk
memproyeksikan keadaan tegakan pada saat akan ditebang berdasarkan informasi keadaan tegakan hutan saat ini, yaitu pada saat JPT dihitung (Suhendang et al. 1995). 2.3 Pengaturan Hasil Berdasarkan Jumlah Pohon Sistem silvikultur TPI/TPTI telah digunakan pada areal hutan alam primer. Selanjutnya oleh karena adanya beberapa kelemahan mendasar seperti telah diuraikan di muka dan telah berubahnya kondisi sebagian besar areal hutan alam produksi dari yang semula sebagai hutan primer menjadi hutan bekas tebangan, maka perlu dirumuskan kembali sistem silvikultur yang cocok untuk pengelolaan hutan alam produksi pada rotasi tebang yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Pengaturan hasil dengan dasar perhitungan potensi tegakan berdasarkan volume kurang mampu menerangkan gambaran keadaan tegakan sisa yang diperlukan sebagai persediaan dan pembinaan tegakan untuk rotasi tebang berikutnya. Penentuan etat berdasarkan volume hanya cukup berarti untuk memberikan gambaran ketersediaan bahan baku kayu bulat, namun kurang tepat bila dijadikan sebagai alat kendali kelestarian hutan alam produksi (Suhendang 2005).
Oleh karena itulah maka
pengaturan hasil hutan alam akan lebih tepat apabila ditentukan berdasarkan jumlah pohon dari pada volume kayu. Jumlah pohon dalam tegakan dapat dievaluasi melalui pengamatan terhadap dinamika struktur tegakan horizontalnya. Informasi tentang struktur tegakan ini dapat memenuhi keperluan untuk pertimbangan ekonomi maupun ekologi dalam pengelolaan hutan. Untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukan potensi tegakan (pohon masak tebang) minimal yang harus tersedia agar pengelolaan hutan layak dilakukan. Sedangkan untuk pertimbangan ekologi, ST dapat menggambarkan kemampuan regenerasi dari tegakan tersebut (Suhendang 1994). Walaupun demikian disadari bahwa melalui ST ini informasi yang lebih detail tentang jenis pohon (untuk informasi keragaman jenis) dan ukuran diameter setiap pohonnya tidak dapat diperoleh. Keputusan Menteri Kehutanan No. 8171/Kpts-II/2002 tentang kriteria potensi hutan alam pada hutan alam produksi yang dapat diberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan alam, mengatur bahwa hutan produksi yang dianggap masih produktif adalah areal hutan produksi dengan penutupan vegetasi berupa hutan alam sekunder atau primer dengan kriteria teknis menggunakan jumlah pohon per kelas diameter sebagai acuan (Tabel 2).
Kriteria tersebut digunakan pula dalam Keputusan
12 Menteri Kehutanan No. 88/Kpts-II/2003 tentang kriteria potensi hutan alam pada hutan produksi yang dapat dilakukan pemanfaatan hutan secara lestari. Dalam kedua aturan tersebut jumlah pohon berdasarkan kelas diameternya menjadi kunci pokok sebagai kriteria dalam menentukan produktif tidaknya sebuah areal hutan alam produksi. Tabel 2 Jumlah pohon komersil minimal pada hutan alam produktif tanah kering Jumlah pohon komersil minimal yang sehat Keterangan per ha per regional (regional) I II III IV V VI 1 108 108 108 108 108 108 I. Sumatera II. Kalimantan 2 20 – 49 39 39 39 39 39 39 III. Sulawesi ; IV. NTB V. Maluku ; VI. Papua 3 50 > 16 15 15 14 17 14 Sumber : 1. SK Menteri Kehutanan No. 8171/Kpts-II/2002 2. SK Menteri Kehutanan No. 88/Kpts-II/2003 No.
Klas diameter ( cm ) 10 – 19
Untuk hutan alam di Indonesia, Suhendang (1994) mengkaji penggunaan metode pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon yang merupakan modifikasi dari Metode Brandis. Pada metode Brandis, Jatah Produksi Tahunan (JPT) berdasarkan jumlah pohon diperoleh dari hutan tidak seumur yang homogen dan belum mengalami penataan hutan. Sedangkan dalam kajian Suhendang (1994), JPT berdasarkan jumlah pohon diperoleh dari hutan tidak seumur yang heterogen namun telah mengalami penataan hutan. Metode ini berlandaskan kepada beberapa sifat tegakan persediaan, yaitu: (1) jumlah pohon yang ada pada setiap kelas diameter, (2) waktu yang diperlukan oleh pohon-pohon pada kelas diameter tertentu untuk mencapai kelas diameter berikutnya hingga kelas diameter pohon yang dapat ditebang, dan (3)
besarnya pengurangan
jumlah pohon dalam setiap kelas diameter karena mati sebelum mencapai kelas diameter pohon yang dapat ditebang. 2.4 Pengelompokan Jenis Pohon Oleh karena jenis-jenis pohon memiliki karakteristik pertumbuhan yang khas, maka beberapa cara pengelompokan jenis pohon telah coba dilakukan.
Menurut
Phillips et al. (2002), beberapa cara pengelompokan jenis pohon yang pernah digunakan dalam beberapa penelitian terdahulu diantaranya : (1) berdasarkan klasifikasi taksonomi (2) berdasarkan status komersil tidaknya jenis kayu, (3) berdasarkan atribut fungsional seperti tahan naungan atau tinggi potensial, (4) berdasarkan karakteristik pertumbuhan pohon (riap) dan/atau rekrutmen. Pengelompokan berdasarkan status komersil yang dikombinasikan dengan informasi taksonomi seperti yang pernah digunakan Rombouts (1998) dalam Phillips &
13 Gardingen (1999) menghasilkan 19 kelompok jenis pohon, dan masih dirasakan kurang cocok untuk memodelkan pertumbuhan karena beragamnya karakteristik pertumbuhan pohon-pohon di hutan tropik dan pengertian status komersil pohon bisa beragam tergantung lokasi (daerah), perusahaan dan bisa berubah dari tahun ke tahun. Pengelompokan jenis pohon yang dilakukan Ong & Kleine (1995) dalam Phillips & Gardingen (1999) dan dikembangkan untuk model DIPSIM di Sabah, Malaysia, menghasilkan lebih banyak lagi yaitu 22 kelompok jenis pohon. Phillips & Gardingen (1999) serta Phillips et al. (2002) dalam pengelompokan jenis pohon di Kalimantan Timur berdasarkan karakteristik ekologis dan kecepatan pertumbuhan pohon menghasilkan 10 kelompok jenis pohon yang kemudian disederhanakan lagi menjadi 8 kelompok jenis pohon (Lampiran 4). Terlalu banyaknya kelompok jenis dalam kajian dinamika struktur tegakan, dapat menyulitkan evaluasi atau interpretasi parameter model tiap kelompok jenis, selain itu akan sulit untuk mendapatkan ikhtisar dari gambaran umum tentang keadaan hutan (Phillips et al. 2002). Pengelompokan jenis yang terlalu spesifik dapat menyebabkan lebih besar kemungkinan tidak diperolehnya pengamatan (tidak ada pohon) pada kelas diameter tertentu, sehingga tidak semua jenis memiliki data yang cukup untuk dilakukan pemodelan (Vanclay 1995). Nilai ekonomi dan keragaman tegakan hutan tropis sangat ditentukan selain oleh sebaran diameter pohonnya juga komposisi jenisnya.
Atas dasar pertimbangan
ekonomi, pohon-pohon hutan tropis di Asia Tenggara secara umum dapat dikelompokan atas: kelompok dipterokarpa dan non dipterokarpa. Kelompok jenis dipterokarpa secara umum dianggap sebagai jenis yang lebih berharga (Ingram & Buongiorno 1996). Korsgaard (2002) menyatakan bahwa di Malaysia, semua jenis dipterokarpa dianggap sebagai jenis komersil.
Berdasarkan pengamatan beberapa PUP pada beberapa
IUPHHK di Kalimantan, Wulandari (2010) menyimpulkan bahwa secara umum kelompok jenis dipterokarpa memiliki pertumbuhan yang relatif lebih cepat dibanding kelompok jenis non dipterokarpa, yaitu berdasarkan contoh 7 IUPHHK di Kalimantan diperoleh riap diameter masing-masing 0,55 cm dan 0,43 cm. Mengikuti pengelompokan jenis seperti yang dilakukan Ingram & Buongiorno (1996), dalam penelitian ini tegakan dikelompokan menjadi 2 kelompok jenis pohon, yaitu: kelompok dipterokarpa dan non dipterokarpa. Selain oleh Ingram & Buongiorno (1996), pengelompokan jenis menjadi kelompok dipterokarpa dan non dipterokarpa, pernah juga dilakukan oleh Mendoza et al. (2000) dalam kajian pertumbuhan tegakan hutan bekas tebangan di Kalimantan Selatan serta Favrichon & Kim (1998) dalam
14 Krisnawati (2001) yang mengkaji pertumbuhan tegakan hutan bekas tebangan di Berau, Kalimantan Timur. 2.5 Kelas Diameter Pohon Diameter pohon adalah dimensi pohon yang hampir selalu diukur dalam setiap kegiatan inventarisasi hutan. Diameter setinggi dada (dbh) secara umum memiliki hubungan yang erat dengan berbagai dimensi pohon lainnya, seperti tinggi, volume, biomassa, serta pertumbuhan pohon. Untuk memudahkan analisis, dalam penelitian ini diameter pohon dikelompokan ke dalam kelas-kelas dengan lebar kelas 5 cm, dengan anggapan bahwa dalam rentang waktu 3 tahun riap diameter pohon-pohonnya secara umum kurang dari 5 cm. Menurut Suhendang (1994) ketelitian dugaan proyeksi ST akan sangat tergantung kepada lebar kelas yang dibuat, semakin kecil lebar kelas maka ketelitian yang dihasilkan semakin tinggi. Namun lebar kelas yang terlalu sempit dapat beresiko diperolehnya KD tertentu yang tanpa pengamatan, atau tambah tumbuh yang melewati KD terendah di atasnya. Hal ini seringkali bisa diatasi dengan cara membuat KD yang lebih lebar (Alder 1995). 2.6 Struktur Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan Struktur tegakan atau sebaran diameter per KD dalam penelitian ini dinyatakan oleh model ST yang disusun menggunakan fungsi eksponensial negatif dengan persamaan sebagai berikut: N = No e-kD
[1]
Keterangan : N = banyaknya pohon per hektar yang berdiameter D cm; No = intersep (koefisien elevasi dari persamaan yang disusun); k = tetapan yang menunjukkan laju penurunan jumlah pohon pada setiap kenaikan diameter pohon.
Model ST dengan fungsi eksponensial negatif cukup sederhana namun berdasarkan beberapa kajian, cukup baik dalam menjelaskan hubungan diameter pohon dengan jumlah pohon ha-1. Untuk jenis-jenis hutan alam di Indonesia, model tersebut pernah digunakan oleh Suhendang (1994) untuk menggambarkan ST dengan menggunakan 27 PUP di Provinsi Riau, pada kondisi hutan primer dan beberapa tahun setelah penebangan (3, 5, 6, 8, 10, 12, dan 16 tahun setelah penebangan). Model di atas dapat diterima oleh semua PUP dengan koefisien determinasi (R²) berkisar antara 7389%. Sedangkan Krisnawati (2001) menggunakan fungsi eksponensial negatif untuk
15 menggambarkan ST di Provinsi Kalimantan Tengah dengan terlebih dahulu mengelompokkan jenis pohon menjadi: kelompok jenis dipterokarpa, non-dipterokarpa, non-komersil dan semua jenis pada kondisi hutan primer dan beberapa tahun setelah penebangan (1, 2, 6, dan 8 tahun setelah penebangan). Hasilnya model tersebut dapat diterima oleh semua tegakan dengan R² berkisar antara 87-99%.
Wahjono dan
Krisnawati (2002) juga menggunakan fungsi eksponensial negatif untuk menyusun model dinamika ST hutan alam rawa bekas tebangan di Provinsi Jambi. Berdasarkan sebaran nilai No dan k
yang diperoleh pada setiap unit contoh
tegakan, secara hipotetis ST dapat dikelompokan menjadi 9 tipe ST dengan kriteria pengelompokan seperti yang disajikan pada Tabel 3 (Suhendang 1994). Tabel 3 Kriteria pengelompokan tegakan berdasarkan nilai No dan k
Keterangan : k[1] = k(minimum) + a k[2] = k(minimum) + 2a a = ( k(maksimum) – k(minimum) )/3
No[1] = No (minimum) + b No[2] = No (minimum) + 2b b = (No (maksimum) – No (minimum))/3
2.7 Dinamika Struktur Tegakan Hutan Tidak Seumur Pendugaan pertumbuhan hutan tidak seumur telah banyak dilakukan dengan berbagai skenario preskripsi pengelolaan hutan dalam upaya mencapai pengelolaan hutan yang lestari (misalnya: Mendoza & Setyarso 1986; Ingram & Buongiorno 1996; Krisnawati 2001). Menurut Hao et al. 2005, hingga saat ini ada lima tipe model pertumbuhan tegakan tidak seumur, yaitu: (1) model tingkat tegakan (stand-level models); (2) sistem persamaan differensial; (3) rantai markov; (4) model matriks; (5) proyeksi tabel tegakan non linier.
Model matriks telah banyak digunakan untuk
mensimulasikan dinamika populasi satwa dan perkembangan tegakan hutan (dinamika struktur tegakan). Dalam proses suksesi hutan, Shugart & West (1980) menyatakan bahwa ada tiga kategori model simulasi hutan, yaitu: (1) model pohon (tree models); (2) model celah (gap models); (3) model hutan (forest models). Alder (1995) dan Vanclay (1995) membedakan model dinamika struktur tegakan menjadi tiga macam berdasarkan kedetilan data yang diperlukan dan informasi yang
16 dapat diperoleh, yaitu: (1) model keseluruhan tegakan (whole stand model); (2) model kelas ukuran (size class model atau stand class model); (3) model pohon tunggal (single tree model).
Model keseluruhan tegakan menggunakan parameter tingkat tegakan
seperti kerapatan (jumlah pohon per ha), luas bidang dasar atau volume tegakan untuk menduga pertumbuhan tegakan.
Model pohon tunggal menjadikan individu pohon
sebagai unit dasar dalam pemodelan. Model kelas ukuran merupakan kompromi antara model keseluruhan tegakan dengan model pohon tunggal, yang umum digunakan dalam bentuk struktur tegakan (sebaran jumlah pohon per kelas diameter). Menurut Buongiorno & Michie (1980), pada awalnya model matriks dikembangkan oleh Lewis (1942) dan Leslie (1945, 1948) dalam mengkaji pengaruh struktur umur terhadap pertumbuhan populasi satwa.
Tarumingkeng (1994) juga
menggunakan matriks Leslie untuk pemodelan dinamika pertumbuhan populasi hewan. Usher (1966) memelopori penggunaan matriks Leslie untuk pemodelan pertumbuhan tegakan hutan tanaman campuran.
Buongiorno & Michie (1980) serta Michie &
Buongiorno (1984) mengembangkan pendekatan model matriks dengan membuat rekrutmen sebagai fungsi dari kondisi tegakan. Selanjutnya berbagai penelitian yang mengadopsi cara ini dikembangkan misalnya dengan penambahan pengelompokan jenis serta mencoba berbagai alternatif penebangan dan melihat pengaruhnya terhadap manfaat ekonomi dan ekologi (diantaranya: Mendoza & Setyarso 1986; Setyarso 1991; Lu & Buongiorno 1993; Volin & Bungiorno 1996; Ingram & Bungiorno 1996; Krisnawati 2001; Hao et al. 2005). Kajian dinamika ST dilakukan melalui proyeksi ST menggunakan matriks transisi (G), yaitu matriks segi (Gmxm) yang unsur-unsurnya pada diagonal utama adalah proporsi banyaknya pohon yang pada periode tertentu tetap berada pada setiap kelas diameter, unsur-unsur matriks di bawah diagonal menyatakan tambah tumbuh (upgrowth), sedangkan unsur matriks lainnya bernilai nol. Secara umum proyeksi ST dilakukan menggunakan Persamaan [2] (Buongiorno & Michie 1980; Vanclay 1994). Yt+θ = G(yt − ht) + c
[2]
Keterangan: Yt+θ = vektor ST dugaan pada waktu t+θ ; G = matriks transisi; yt = ST awal (initial condition); ht = jumlah pohon mati akibat penebangan; c = vektor rekrutmen.
Apabila misalnya terdapat 5 (lima) KD, maka model matriks transisi selengkapnya dapat disajikan seperti pada persamaan [3].
17 ⎡ y1(t +θ ) ⎤ ⎡ a1 ⎢ ⎥ ⎢b ⎢ y2(t +θ ) ⎥ ⎢ 1 ⎢y ⎥ = ⎢0 ⎢ 3(t +θ ) ⎥ ⎢ ⎢ y4(t +θ ) ⎥ ⎢0 ⎢ ⎥ ⎢0 ⎣ ⎣⎢ y5(t +θ ) ⎦⎥
⎡ y1(t ) − h1(t ) ⎤ 0 0 0 0 ⎤ ⎡r⎤ ⎢ ⎥ ⎥ ⎢0⎥ a2 0 0 0 ⎥ ⎢ y2(t ) − h2( t ) ⎥ ⎢ ⎥ b2 a3 0 0 ⎥ x ⎢⎢ y3(t ) − h3(t ) ⎥⎥ + ⎢ 0 ⎥ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ y4(t ) − h4( t ) ⎥ 0 b3 a4 0 ⎥ ⎢0⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ 0 ⎥⎦ 0 0 b4 a5 ⎥⎦ ⎣⎢ y5(t ) − h5(t ) ⎦⎥ G
Yt+θ
(yt − ht)
[3]
c
Keterangan: yi(t+θ) = jumlah pohon pada KD ke-i pada saat t+θ ai = proporsi pohon yang tetap berada pada KD ke-i ; (ai = 1 − mi − bi) mi = proporsi pohon yang mati (mortalitas) pada KD ke-i bi = proporsi pohon pada KD ke-i yang pindah ke KD berikutnya (upgrowth) yi(t) = jumlah pohon pada KD ke-i saat t hi(t) = jumlah pohon pada KD ke-i yang mati akibat penebangan saat t i = subscript yang menyatakan urutan KD dari yang terendah; i = 1, 2, 3, ..., n r = rekrutmen, yaitu jumlah pohon yang masuk ke dalam KD terkecil
Apabila data rekrutmen tersedia maka (r) dalam Persamaan [3] diduga dengan menggunakan persamaan [4], sedangkan apabila data rekrutmen tidak tersedia maka y1(t+θ) dalam Persamaan [3] diduga dengan menggunakan persamaan [5] yang didalamnya juga telah mencakup persamaan [4]. Kedua persamaan, baik persamaan [4] maupun persamaan [5] merupakan fungsi dari jumlah pohon dan luas bidang dasar (Buongiorno & Michie 1980 serta Michie & Buongiorno 1984). n
n
i =1
i =1
It + θ = β 0 + β1 ∑ Bi ( yi,t ) + β 2 ∑ yi,t n
n
i =1
i =1
y1,t + θ = β 0 + β1 ∑ Bi ( yi ,t ) + β 2 ∑ yi ,t + a1 y1,t
[4] [5]
Keterangan: It+θ = rekrutmen (r) yang terjadi pada selang waktu t+θ Bi = rata-rata luas bidang dasar pohon pada tengah KD ke-i yi,t = jumlah pohon pada KD ke-i saat t yi,t+θ = jumlah pohon pada KD ke-i saat t+θ β0, β1, β2, a1 = konstanta/koefisien regresi a1 = proporsi jumlah pohon yang tetap pada KD pertama pada selang waktu t+θ
Untuk menduga proporsi tetap (a) dan tambah tumbuh (b) pada KD ke-2, ke-3 dan seterusnya, Michie & Buongiorno (1984) menggunakan 4 pendekatan, yaitu: Metode I: Proporsi tetap (ai) dan proporsi tambah tumbuh (bi) ditentukan sebagai ratarata hitung proporsi jumlah pohon yang tetap berada pada KD ke-i (ai) dan proporsi tambah tumbuh dari KD ke-i ke KD berikutnya yang berurutan (bi). Metode II: Proporsi tetap (ai) dan proporsi tambah tumbuh (bi) disusun menggunakan persamaan regresi yang merupakan fungsi dari jumlah pohon pada KD tertentu dan
18 KD sebelumnya (Persamaan 6).
Pendugaan parameter dilakukan untuk setiap
persamaan (masing-masing KD) secara sendiri-sendiri, dengan metode ”ordinary least square” (OLS).
yi ,t + θ = ai yi ,t + bi yi −1,t
[6]
Metode III: Seperti halnya Metode II, tetapi pendugaan parameter pada persamaan [6] untuk semua KD (KD ke-2, ke-3 dan seterusnya) dilakukan secara serentak menggunakan prosedur ”seemingly unrelated regression” (SUR).
Metode ini
dilakukan untuk mengatasi kemungkinan adanya korelasi antara sisaan dalam sebuah persamaan dengan sisaan dalam persamaan lain yang berurutan, sehingga semua penduga parameter dalam semua persamaan diduga secara simultan dalam sekali operasi. Metode IV: Metode ini dikembangkan untuk mengatasi tidak saling bebasnya antar parameter dalam sebuah persamaan bahkan terhadap parameter persamaan lain dalam persamaan simultan dari model pertumbuhan hutan. Pendugaan parameter dilakukan secara rekursif, artinya sebuah penduga parameter yang dihasilkan dari persamaan terakhir (persamaan [7]) akan digunakan pada saat menduga parameter dalam persamaan sebelumnya (persamaan [8]), demikian seterusnya hingga persamaan pertama [persamaan [9]).
y n , t + θ − (1 − m n ) y n , t = b n y n − 1 , t
[7]
y n −1,t +θ − (1 − bn − m n −1 ) y n −1,t = bn −1 y n − 2,t
[8]
n
n
i =1
i =1
y1,t +θ − (1 − b2 − m1 ) y1,t = β 0 + β 1 ∑ Bi yi + β 2 ∑ yi
[9]
2.8 Penelitian Dinamika Struktur Tegakan Hutan Tidak Seumur di Indonesia Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia yang berkaitan dengan topik metode pengaturan hasil hutan alam produksi bekas tebangan melalui proyeksi struktur tegakan horizontalnya, antara lain: 1. Penggunaan model matriks pertumbuhan Leslie dalam mempelajari dinamika tegakan hutan alam di Indonesia dipelopori oleh Agus Setyarso pada 1984 untuk melihat proyeksi struktur tegakan hutan alam sesudah penebangan di Pulau Laut Kalimantan Selatan yang dikelola dengan sistem TPI. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai komponen dinamika struktur tegakan yang diperoleh dari PUP yang tersedia di areal tersebut dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi yang dilakukan (Setyarso 1991).
Model
19 pertumbuhan dengan matriks transisi pada areal yang sama juga digunakan oleh Mendoza dan Setyarso (1986) untuk mengevaluasi alternatif skema penebangan. Proyeksi struktur tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai rekrutmen yang tetap selama rentang waktu proyeksi sedangkan tambah tumbuh dan mortalitas merupakan nilai proporsi yang juga bernilai tetap selama rentang waktu proyeksi. 2. Suhendang (1994) juga menggunakan model matriks pertumbuhan Leslie untuk menyusun model dinamika tegakan hutan alam sesudah penebangan di HPH PT Siak Raya Timber Provinsi Riau. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai poporsi rekrutmen, tambah tumbuh, dan mortalitas yang diperoleh dari PUP yang tersedia dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi yang dilakukan. Proyeksi tegakan dilakukan hingga tegakan mencapai keadaan mendekati keadaan hutan primernya (sebelum ditebang).
Selanjutnya
model dinamika tegakan yang diperoleh dipergunakan untuk menentukan preskripsi pengaturan hasil. Hasil dari kajian ini menghasilkan sebuah program kemasan yang disebut Metode pengaturaN Hasil berdasarkan Intensitas Penebangan Berimbang disingkat menjadi MNH-IPB, yaitu sebuah metode pengaturan hasil (penentuan AAC) menurut jumlah pohon berdasarkan intensitas tebangan optimum dan proporsional menurut jenis atau kelompok jenis dan kelas diameter (Suhendang et al. 1995). 3. Indrawan (2000) mengkaji perkembangan suksesi tegakan hutan alam setelah penebangan dalam sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia dan membuat model simulasi perkembangan tegakannya.
Dalam penelitian ini proyeksi tegakan
dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh yang diduga berdasarkan data riap diameter, dan mortalitas dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi. Dari ketiga komponen dinamika struktur tegakan tersebut, hanya data riap diameter (yang digunakan untuk menghitung tambah tumbuh) yang diperoleh dari PUP yang tersedia di Pulau Laut Kalimantan Selatan (HPH PT Inhutani II), sedangkan untuk data rekrutmen, Indrawan (2000) mengutip Whitmore (1986) dan untuk data mortalitas, Indrawan (2000) mengutip Appanah et al. (1990) serta Elias et al. (1997).
Model yang diperoleh selanjutnya digunakan dalam
simulasi untuk mendapatkan rotasi tebang hutan bekas tebangan di HPH PT Inhutani II Kalimantan Selatan dan HPH PT Ratah Timber Co. Kalimantan Timur. Atas dasar kecukupan pohon inti sebelum ditebang yang bisa mencapai ukuran layak tebang, di HPH PT Inhutani II diperoleh rotasi tebang I 24 tahun dan rotasi
20 tebang II 37 tahun. Sedangkan di HPH PT Ratah Timber Co. diperoleh rotasi tebang I 30 tahun dan rotasi tebang II 43 tahun. 4. Ermayani (2000) mengkaji pertumbuhan tegakan hutan alam bekas tebangan di HPH PT Dwimajaya Utama, Kalimantan Tengah.
Dalam penelitian ini pun
proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh yang diduga berdasarkan data riap diameter, dan mortalitas yang diperoleh dari PUP yang tersedia dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi yang dilakukan. Proyeksi tegakan dilakukan untuk menentukan lamanya waktu yang diperlukan tegakan mencapai keadaan mendekati keadaan hutan primernya (sebelum ditebang). 5. Aryanto (2001) melakukan simulasi pengaturan hasil hutan kayu secara adaptif pada hutan alam bekas tebangan di HPH PT Belayan River Timber, Kalimantan Timur. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh yang diduga berdasarkan data riap diameter, dan mortalitas yang diperoleh dari PUP yang tersedia dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi yang dilakukan. Selanjutnya hasil proyeksi struktur tegakan horizontal divalidasi menggunakan data PUP dengan rentang waktu 5 tahun, dan diperoleh kesimpulan bahwa pada tingkat keyakinan 95% struktur tegakan berdasarkan model tidak menunjukkan perbedaan dengan keadaan aktualnya. Pengaturan hasil secara adaptif dalam penelitian ini berarti bahwa penebangan dilakukan tidak dengan rotasi tebang tertentu yang tetap, melainkan kapan saja sepanjang persediaan tegakan terpenuhi sesuai skenario pengaturan hasil dan harga di atas rata-rata. Untuk kasus di areal penelitian ini, secara ekologis dan finansial, pengaturan hasil secara adaptif dengan proyeksi tegakan selama 105 tahun memperlihatkan hasil yang lebih baik dibanding rotasi tebang yang tetap 20, 35, dan 50 tahun. 6. Taptajani (2002) juga melakukan simulasi pengaturan hasil hutan kayu secara adaptif pada hutan alam bekas tebangan di HPH PT Timberdana, Kalimantan Timur. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh yang diduga berdasarkan data riap diameter, dan mortalitas yang diperoleh dari PUP yang tersedia dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi yang dilakukan. Selanjutnya hasil proyeksi struktur tegakan horizontal divalidasi menggunakan data PUP dengan rentang waktu 4 tahun dan diperoleh kesimpulan bahwa pada tingkat keyakinan 95% struktur tegakan berdasarkan model tidak menunjukkan perbedaan dengan keadaan aktualnya. Untuk
21 kasus di areal penelitian ini, secara ekologis dan finansial, pengaturan hasil secara adaptif dengan proyeksi tegakan selama 105 tahun juga memperlihatkan hasil yang lebih baik dibanding rotasi tebang yang tetap 20, 35, dan 50 tahun. 7. Rusolono et al. (1997)
menggunakan model matriks untuk menyusun model
pertumbuhan dan dinamika tegakan hutan alam bekas tebangan di Pulau Laut Kalimantan Selatan.
Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan
menggunakan nilai proporsi tambah tumbuh dan mortalitas yang diperoleh dari PUP yang tersedia dengan nilai yang tetap selama rentang waktu proyeksi yang dilakukan. Sedangkan rekrutmen disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar dan kerapatan pohon setelah penebangan, yang menghasilkan koefisien determinasi 64,5-76,3%. Karena menggunakan komponen tambah tumbuh dan mortalitas yang nilainya tetap selama rentang waktu proyeksi tegakan, Rusolono et al. (1997) menyarankan agar penggunaan model dinamika tegakan yang diperoleh dalam penelitian ini untuk memproyeksikan tegakan sebaiknya dilakukan dalam rentang waktu tidak lebih dari 20 tahun, lebih dari itu akan menghasilkan struktur tegakan horizontal yang tidak rasional. 8. Krisnawati (2001) membuat simulasi pengaturan hasil hutan alam bekas tebangan dengan pendekatan dinamika struktur tegakan di HPH PT Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah.
Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan
dengan menggunakan nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh dan mortalitas berdasarkan data yang diperoleh dari PUP yang tersedia dan disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar, kerapatan atau diameter pohon. Model rekrutmen yang disusun sebagai fungsi dari kerapatan pohon dan luas bidang dasar menghasilkan koefisien determinasi 45,5-65,6%. Model tambah tumbuh yang disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar dan diameter pohon menghasilkan koefisien determinasi 20,1-37,6%.
Model mortalitas yang disusun sebagai fungsi dari
kerapatan pohon, luas bidang dasar, dan diameter pohon menghasilkan koefisien determinasi 11,8-29,3%.
Hasil proyeksi struktur tegakan horizontal divalidasi
menggunakan data PUP dengan rentang waktu proyeksi 6 tahun, dan diperoleh kesimpulan bahwa pada tingkat keyakinan 99% struktur tegakan berdasarkan model tidak menunjukkan perbedaan dengan keadaan aktualnya. Model dinamika tegakan yang diperoleh digunakan untuk melakukan proyeksi tegakan untuk menentukan lamanya waktu yang diperlukan tegakan mencapai keadaan mendekati keadaan hutan primernya. Selanjutnya juga dilakukan simulasi pengaturan hasil dengan sistem penebangan (batas diameter pohon yang boleh ditebang dan ketersediaan
22 pohon inti) mengacu ke aturan TPTI. Simulasi pengaturan hasil dilakukan dengan berbagai kombinasi rotasi tebang dan intensitas tebangan. 9. Labetubun et al. (2005) juga membuat simulasi pengaturan hasil hutan alam bekas tebangan melalui pendekatan model dinamika struktur tegakan di HPH PT Telagabakti Persada Pulau Obi Provinsi Maluku Utara. Dalam penelitian ini proyeksi tegakan dilakukan dengan menggunakan nilai-nilai rekrutmen, tambah tumbuh dan mortalitas berdasarkan data yang diperoleh dari PUP yang tersedia dan disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar atau diameter pohon.
Model
rekrutmen yang disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar tegakan menghasilkan koefisien determinasi 17,9-42,7%. Model tambah tumbuh yang disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar dan diameter pohon menghasilkan koefisien determinasi 10,7-14,6%.
Model mortalitas yang disusun sebagai fungsi dari
diameter pohon menghasilkan koefisien determinasi 12,4-29,6%. Hasil proyeksi struktur tegakan horizontal divalidasi menggunakan data PUP dengan rentang waktu proyeksi 4 tahun, dan diperoleh kesimpulan bahwa pada tingkat keyakinan 95% struktur tegakan berdasarkan model tidak menunjukkan perbedaan dengan keadaan aktualnya. Model dinamika tegakan yang diperoleh digunakan untuk melakukan simulasi proyeksi tegakan untuk menentukan rotasi tebang dengan berbagai intensitas penebangan yang dicoba. Selanjutnya ditentukan kombinasi rotasi tebang dan intensitas penebangan optimal dengan memperhatikan keanekaragaman pohon dan kriteria finansial (land expectation value/ LEV, net present value/NPV, dan benefit cost ratio/BCR). 10. Sumarna et al. (2002) mengembangkan metode pengaturan hasil untuk hutan alam bekas tebangan di Indonesia dengan menggunakan rumus: JPT = 1/35 x L x Vest x fp x fe
[10]
di mana: JPT = Jatah produksi tahunan (m³/thn) L = luas areal tebangan (ha) fp = faktor pengaman fe = faktor eksploitasi Vest = proyeksi potensi tegakan pada akhir masa rotasi tebang (m³/ha) Potensi tegakan, Vest, ditentukan berdasarkan data hasil inventarisasi hutan terakhir pada areal tebangan kemudian diproyeksikan dengan menggunakan salah satu dari dua pendekatan berikut, yaitu: (1) menggunakan data riap volume rata-rata tegakan; (2) menggunakan model DST. Riap volume rata-rata tegakan dan model DST diperoleh dari data PUP.
23 11. Wahjono dan Krisnawati (2002) menyusun model DST untuk pendugaan hasil di hutan alam rawa bekas tebangan di areal HPH PT Putraduta Indah Wood, Jambi. Model DST dibangun menggunakan data PUP hasil 6 kali pengukuran ulang dan mengikuti model eksponensial negatif, yaitu: Ndit = k e−f(Di, N0di,t), di mana: Ndit = jumlah pohon pada KD ke-i waktu t; Di = KD pohon ke-i; N0di = jumlah pohon pada KD ke-i pada waktu t = 0 (awal pengukuran); t = tahun pengukuran; k = konstanta yang menunjukkan kerapatan tegakan pada KD rendah; e = konstanta yang merupakan bilangan natural; dan f(Di,N0di,t) = suatu persamaan yang akan mempengaruhi laju penurunan jumlah pohon pada setiap kenaikan KD. Model yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menduga struktur tegakan dan volume tegakan pada rentang waktu proyeksi 10 tahun. 12. Program kemasan berbasis komputer yang mensimulasikan pertumbuhan dan pengaturan hasil hutan alam bekas tebangan di Indonesia, di antaranya: a. Dipterocarp Forest Growth Simulation Model, disingkat DIPSIM, yang merupakan hasil dari sebuah kerjasama bertajuk Promotion of Sustainable Forest Management Systems (SFMP) in East Kalimantan, kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Jerman (Deutsche Gesellschaft fur Technische Zussamenarbeit, GTZ), sehingga untuk versi ini disebut juga DIPSIM-Kaltim. DIPSIM-Kaltim terdiri atas model yang dapat digunakan untuk memperkirakan potensi tegakan dan riap volume tegakan berdasarkan riap diameter pohon, perubahan kualitas pohon, mortalitas dan rekrutmen serta model simulasi penebangan berdasarkan sistem TPTI atau skema pengaturan hasil (yield scheduling) yang sifatnya ”uji coba” (Kleine & Hinrich 1999; Kleine & Hinrich 2002). Aplikasi DIPSIM-Kaltim merupakan model growth and yield untuk hutan tropis yang mempertimbangkan fungsi-fungsi pertumbuhan (riap diameter, rekrutmen, mortalitas dan penebangan), menggunakan data hasil inventarisasi dan informasi rencana penebangan (Hinrich & Solichin 2000). Fungsi riap diameter berdasarkan kelompok jenis, rekrutmen dan mortalitas dalam model dibangun berdasarkan data PUP di areal HPH PT ITCI dan PT Inhutani I–Berau, Kalimantan Timur. Riap diameter serta mortalitas merupakan fungsi dari luas bidang dasar, diameter dan lamanya waktu setelah ditebang, sedangkan rekrutmen merupakan fungsi dari luas bidang dasar (Kleine & Hinrich 1999).
Parthama (2002) menyatakan bahwa DIPSIM dibuat untuk
tujuan penentuan AAC, DIPSIM semula dikembangkan dan diterapkan untuk hutan tropis yang didominasi dipterokarpa di Sabah, Malaysia. AAC dalam
24 DIPSIM
adalah
tingkat
pemanenan
pada
tahun
tertentu
yang
tidak
mengakibatkan penurunan potensi tegakan melainkan sebaliknya memberi peluang bagi tegakan tersebut untuk tumbuh ke tingkat potensi yang diharapkan. DIPSIM mendapatkan nilai AAC melalui proses trial and error menggunakan berbagai intensitas penebangan. Keputusan apakah suatu tegakan ditebang atau tidak didasarkan pada pertimbangan ekonomis (economical benchmark) dan batasan-batasan menejerial serta pembandingan dengan kondisi tegakan optimal, sehingga luas areal penebangan tiap tahun adalah output, bukan input. b. Sustainable and Yield Management for Tropical Forests, disingkat SYMFOR, yang merupakan hasil dari sebuah kerjasama bertajuk Indonesian Tropical Forestry Management Project (ITFM) kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Inggeris (Forestry Research Programme of the UK Department for International Development, DFID-FRP). SYMFOR terdiri atas dua jenis model, yaitu : (1) model untuk proses pertumbuhan hutan secara alami berdasarkan pertumbuhan pohon, mortalitas dan rekrutmen, berdasarkan data PUP; (2) model untuk keperluan strategi pengelolaan hutan. Dengan SYMFOR seorang menejer, pengambil kebijakan atau silvikulturis dapat mengembangkan pilihan-pilihan sistem silvikultur dengan menggunakan model yang sesuai dengan kondisi alamiah hutannya (Phillips et al. 2000).
SYMFOR dapat digunakan untuk
tujuan pengelolaan hutan, penelitian kehutanan, serta monitoring dan evaluasi pengelolaan hutan lestari, dengan menggunakan data serial PUP. Program ini tidak khusus dibuat untuk menentukan AAC, melainkan untuk mempelajari dampak ekonomis dan ekologis dari suatu perlakuan, termasuk intensitas penebangan, sehingga AAC yang tepat, ialah yang memberikan hasil ekonomis terbaik
namun
tidak
mengorbankan
kelestarian.
SYMFOR
menuntut
ketersediaan data PUP (Parthama 2002). c. Yield Simulation System (YSS) adalah sebuah program kemasan hasil kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa dalam proyek Berau Forest Management Project (BFMP). YSS terdiri atas beberapa modul program untuk memproses data PUP. Model dalam modul dapat digunakan untuk menduga kondisi tegakan di masa yang akan datang dengan teknik simulasi menggunakan matriks transisi. Menurut Parthama (2002), serupa dengan perangkat lunak sebelumnya YSS juga bekerja secara trial and error dan luasan penebangan tiap tahun adalah output, bukan input. Perbedaan penting dengan yang lainnya ialah pengurangan luas areal hutan secara eksplisit di-inputkan ke dalam model.
25 d. Methods
of
Yield
Regulation
with
Limited
Information
(MYRLIN)
dikembangkan oleh Oxford Forestry Institute yang merupakan bagian dari DFID-FRP, Inggris, melalui proyek dengan nama: “Humid and semi-humid tropical forest yield regulation with minimal data”. Program kemasan ini dibuat dengan berdasarkan latar belakang keterbatasan informasi yang dipunyai oleh negara-negara
tropis
termasuk
Indonesia.
MYRLIN
diperkenalkan
penggunaannya dalam sebuah workshop di Oxford University Computer Service teaching laboratory pada September 2001 yang diikuti oleh peserta dari negara tropika: Guyana, Brazil, Costa Rica, Ecuador, Argentina, Ghana, Cameroon, Uganda, Malaysia dan Indonesia. Salah satu rekomendasi dari workshop adalah dilakukannya Pilot Studi di negara-negara peserta.
Untuk Indonesia model
simulasi ini telah di implementasikan pada HPH PT. Intracawood, Provinsi Kalimantan Timur.
MYRLIN merupakan sebuah model simulasi yang
digunakan untuk memprediksi kondisi tegakan di masa yang akan datang, dengan menggunakan data yang diperoleh dari hasil inventarisasi, informasi dasar yang dapat diperoleh antara lain mengenai kondisi hutan, tingkat equilibrium tegakan hutan dan berbagai pilihan tingkat pemanenan (SCKPFP 2002). Menurut Parthama (2002), MYRLIN diharapkan bisa menjadi sebuah perangkat Pan-Tropical, artinya dapat digunakan di daerah tropis mulai dari Brazil hingga Mali di Afrika. Hal itu bisa dicapai apabila library data PUP semakin lengkap mencakup berbagai daerah tropis di dunia. Menurut Vanclay (2002),
anggapan
yang
mendasari
penggunaan
MYRLIN
dalam
memproyeksikan tegakan adalah asumsi bahwa pola riap diameter untuk jenisjenis hutan tropis secara umum mirip dari suatu daerah dengan daerah lainnya. Uraian hasil-hasil penelitian terdahulu di atas, dirangkum dalam Tabel 4. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hasil-hasil penelitian tentang DST di Indonesia: 1. Semuanya bersifat lokal (lingkup sebuah areal IUPHHK atau HPH) 2. Komponen DST ditentukan sebagai nilai mutlak, proporsi atau merupakan fungsi dari peubah tegakan saja 3. Komponen DST bersifat konstan selama masa proyeksi tegakan 4. Tidak ada validasi terhadap hasil proyeksi ST dalam jangka panjang, untuk mengetahui apakah bisa mencapai keadaan tunak (steady state) ?.
Sesuai
ketersediaan data, beberapa penelitian melakukan validasi pada rentang waktu proyeksi 6 tahun atau kurang.
26 Tabel 4 Ringkasan hasil-hasil penelitian tentang dinamika struktur tegakan di Indonesia No.
Peneliti/Program Kemasan
1
Setyarso (1991)
2
Mendoza & Setyarso (1986) Suhendang (1994);
3 Suhendang et al . (1995)/ MNH-IPB
Lokasi P. Laut Kalsel
Kompn Dinamk Struk Tegkn ( DST ) Rekrutmen Up growth nilai mutlak
proporsi
Proyeksi Struktur Tegakan
Simulasi Pengaturan Hasil
Mortalitas
Rentang Waktu
Komponen DST
Validasi
Intensitas Penebangan
Rotasi
Batas Dbh Ditebang Batas Dbh Ph Inti
proporsi
10-70 th
statis
Tidak ada
---
---
---
---
40 & 50 cm
20 & 35 cm
P. Laut Kalsel
nilai mutlak
proporsi
proporsi
35 & 45 th
statis
Tidak ada
Tertentu (kombinasi)
35 & 45 th
PT Siak Raya Timber (Riau)
proporsi
proporsi
proporsi
Tidak ditentukan
statis
Tidak ada
Fleksibel (faktor pengaman : 1-0)
Fleksibel
50 cm
20 cm
4
Indrawan (2000)
P. Laut Kalsel & PT Ratah Timber, Kaltim
proporsi
dari riap Dbh
proporsi
100 tahun
statis
Tidak ada
100%
Fleksibel
50 cm
20 cm
5
Ermayani (2000)
PT Dwimajaya Utama, Kalteng
nilai mutlak
dari riap Dbh
proporsi
35 th
statis
Tidak ada
Tidak ditentukan
Fleksibel
60 cm
20 cm
6
Aryanto (2001)
proporsi
105 tahun
statis
Tahun ke-5
80% ; adaptif 40%
20,35,50 th & adaptif
50 cm
20 cm
7
Taptajani (2002)
proporsi
105 tahun
statis
Tahun ke-5
80% ; adaptif 40%
20,35,50 th & adaptif
50 cm
20 cm
8
Rusolono et al . (1997)
---
---
---
---
PT Belayan River Timber, Kalteng PT Timberdana, Kaltim
proporsi
dari riap Dbh dari riap Dbh
f(B;N)
proporsi
proporsi
20 th
statis
Tidak ada
f(B;N)
f(B;N)
f(B;N;D)
70 tahun
statis
Tahun ke-6
0.4-2.4% (10 cm up) Fleksibel
50 cm
20 cm
f(B)
f(D;B)
f(D)
Tidak ditentukan
statis
Tahun ke-4
Tertentu (kombinasi) Fleksibel
30, 40, 50, 60 cm
20 cm
---
---
---
PT ITCI dan PT Inhutani I, Kaltim
f(B)
Riap D = f(B;D;tal)
f(B;D;tal)
Tidak ditentukan
ITFM (1996)/ SYMFOR
PT Inhutani I, Kaltim (STREK Plot)
f(B)
Riap D = f(B;D;tal)
f(B;D;tal)
14 BFMP (1999)/YSS
PT Inhutani I, Kaltim (STREK Plot)
f(B)
Riap D = f(B;D;tal)
nilai mutlak
dari riap Dbh
9
Krisnawati (2001)
10 Labetubun et al . (2005) 11
15
PT Sarpatim, Kalteng PT Telagabakti Persada, Maluku Utara
Wahjono & Krisnawati PT Putraduta Indah (2002) Wood, Jambi
12 SFMP (1999)/DIPSIM
13
P. Laut Kalsel
proporsi
Oxford Forestry Institute
(2001)/ MYRLIN
Pan-Tropical
Keterangan : B = Luas bidang dasar N = Jumlah pohon D = Dbh = Diameter setinggi dada
model : Ndit = k e−f(Di, N0di,t)
---
---
---
---
---
dinamis
Tidak ada
Fleksibel
Fleksibel
Fleksibel
Fleksibel
Tidak ditentukan
dinamis
Tidak ada
Fleksibel
Fleksibel
Fleksibel
Fleksibel
f(B;D;tal)
Tidak ditentukan
dinamis
Tidak ada
Fleksibel
Fleksibel
Fleksibel
Fleksibel
proporsi
150 th
statis
Tidak ada
30-80%
35 th
50 atau 60 cm
20
tal = tahun setelah penebangan L = Peubah-peubah lingkungan T = Peubah-peubah tegakan
III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian yang meliputi eksplorasi dan pemilihan data PUP, evaluasi, koreksi dan ekstraksi data PUP dilaksanakan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Gunung Batu, Bogor pada Februari-Agustus 2007. Pengolahan, analisis data PUP dan penyusunan model dilaksanakan di Fakultas Kehutanan IPB pada September 2007-Februari 2010. Pengambilan/pengukuran PUP untuk keperluan validasi hasil proyeksi ST dilaksanakan di IUPHHK PT Saribumi Kusuma, Kalimantan Tengah dari 22 Maret-3 April 2010. Pengolahan dan analisis data lapangan di Fakultas Kehutanan IPB pada April-Mei 2010. Simulasi proyeksi ST dan simulasi penebangan di Fakultas Kehutanan IPB pada Juni-September 2010. Penulisan disertasi di Fakultas Kehutanan IPB pada Oktober 2010-November 2011. 3.2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Kajian keragaman ST HABT dan DST menggunakan data PUP yang tersedia di Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR), Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan di Gunung Batu Bogor. Setiap PUP berukuran 100 m x 100 m. Dari buku risalah PUP diambil data diameter setinggi dada (dbh) hasil pengukuran secara serial dan saat pengukurannya serta informasi keadaan tempat tumbuh (Lampiran 5). Untuk melihat keragaman ST HABT digunakan data hasil pengukuran berulang pada 35 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu atau disingkat IUPHHK (dulu Hak Pengusahaan Hutan atau HPH) contoh di Kalimantan yang meliputi 101 buah PUP. Sedangakan penyusunan model penduga komponen DST menggunakan data hasil pengukuran berulang pada 26 IUPHHK (Lampiran 6) yang meliputi 75 PUP yang tersebar di 4 provinsi di Kalimantan (Lampiran 7).
Sedangkan validasi proyeksi
struktur tegakan menggunakan data tegakan dari 3 PUP di PT Saribumi Kusuma, Kalimantan Tengah yang diukur langsung (survey) di lapangan. 3.2 Kerangka Pemikiran Penelitian Berdasarkan hasil inventarisasi pada saat tertentu (inventarisasi statis) dapat diketahui kondisi tegakan hutan pada saat tertentu tersebut.
Informasi tegakan
berdasarkan inventarisasi statis ini akan digunakan sebagai kondisi awal (initial
28 condition) dalam melakukan proyeksi struktur tegakan. Nilai-nilai komponen dinamika struktur tegakan (rekrutmen, tambah tumbuh dan mortalitas) yang digunakan dalam melakukan proyeksi struktur tegakan, diperoleh berdasarkan data hasil inventarisasi berulang (inventarisasi dinamis) dan dapat ditentukan dengan beberapa metode, yaitu : berupa nilai mutlak, proporsi atau pemodelan berupa persamaan penduga menggunakan peubah-peubah bebas tertentu. Nilai-nilai komponen dinamika struktur tegakan yang diperoleh digunakan untuk memproyeksikan ST pada beberapa PUP contoh.
Selanjutnya hasil proyeksi ST
tersebut divalidasi yaitu dibandingkan dengan keadaaan yang sebenarnya di lapangan. Metode proyeksi struktur tegakan yang dapat diterima, selanjutnya digunakan untuk melakukan simulasi penebangan (tebang pilih) untuk memperoleh preskripsi pengaturan hasil kayu lestari (intensitas penebangan dan rotasi tebang) yang optimal berdasarkan penilaian aspek ekologi dan aspek ekonomi. Dari hasil simulasi ini juga diharapkan dapat menghasilkan informasi tentang tipologi hutan alam bekas tebangan untuk menentukan alternatif sistem silvikulturnya. Kerangka pemikiran seperti yang telah diuraikan di atas, disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar 1. Inventarisasi Statis
Proyeksi Struktur Tegakan
Pengujian (Validasi)
Inventarisasi Dinamis
Nilai/model Komponen Dinamika Struktur Tegakan (rekrutmen, tambah tumbuh, mortalitas)
Tidak
Ya Simulasi Penebangan
Rotasi Tebang Optimal
Tipologi Hutan Alam Bekas Tebangan
Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian. Tipologi hutan alam bekas tebangan menggambarkan kondisi tegakan yang ditentukan berdasarkan keadaan struktur tegakan horizontalnya. Secara umum tipologi hutan bekas tebangan terdiri atas tegakan yang layak disimulasikan dan yang tidak.
29 Hutan bekas tebangan yang layak disimulasikan adalah tegakan yang struktur tegakannya sedemikian rupa sehingga apabila diproyeksikan dalam rentang waktu tertentu sesuai skenario pengelolaan hutan kemudian ditebang dengan preskripsi pengaturan hasil yang ditentukan, tegakan tersebut kemudian secara alamiah dapat memulihkan diri kembali sehingga memiliki struktur tegakan yang siap ditebang kembali pada rotasi tebang berikutnya, dan apabila tidak demikian maka disebut tidak layak. Dengan diketahuinya tipologi hutan bekas tebangan ini, maka selanjutnya sejak awal dapat diindikasikan apakah sebuah tegakan dapat disimulasikan untuk dikelola secara tebang pilih atau tidak. Apabila tidak maka disarankan untuk dikelola dengan preskripsi pengelolaan hutan yang lain, misalnya perlu pengayaan dengan intensitas tertentu, perlu rotasi tebang yang lebih lama, dan lain-lain. Selanjutnya preskripsi pengaturan hasil pada hutan bekas tebangan lain yang tidak memiliki PUP, dengan menggunakan model komponen dinamika struktur tegakan yang diperoleh dari penelitian ini, dapat ditentukan dengan kerangka pemikiran seperti yang ditunjukkan dalam diagram alir pada Gambar 2.
Tipologi Hutan Alam Bekas Tebangan
Inventarisasi Statis
Tidak
Sistem Sivikultur yang lain
Ya
Proyeksi Struktur Tegakan
Nilai/model Komponen DST (rekrutmen, tambah tumbuh, mortalitas)
Simulasi Penebangan
Preskripsi Pengaturan Hasil Hutan Alam Produksi
Gambar 2 Diagram alir penentuan preskripsi pengaturan hasil hutan alam bekas tebangan 3.3 Analisa Data Model pertumbuhan komponen dinamika struktur tegakan disusun untuk setiap kelas diameter pada setiap kelompok jenis pohon.
Jenis pohon dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu : kelompok jenis dipterokarpa (KJD) dan kelompok jenis nondipterokarpa (KJN). Sedangkan kelas diameter (KD) dibuat dengan lebar kelas 5 cm.
30
3.3.1 Keragaman Struktur Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan Obyek yang digunakan dalam kajian keragaman ST HABT ini mencakup 101 PUP, yang tersebar di empat provinsi, yaitu : Kalimantan Timur 54 PUP, Kalimantan Tengah 29 PUP, Kalimantan Barat 15 PUP, dan Kalimantan Selatan 3 PUP. Tahapan-tahapan kajian keragaman ST HABT adalah sebagai berikut: (1) Penyusunan tabel struktur tegakan, yaitu tabel yang menampilkan sebaran jumlah pohon per kelas diameter. Lebar selang kelas diameter dibuat 5 cm. Kelas diameter terrendah dimulai dari 10,0-14,9 cm dan kelas tertinggi 85,0 cm ke atas. (2) Penyusunan model struktur tegakan menggunakan fungsi eksponensial negatif (Persamaan 1), dengan kriteria penerimaan model adalah F-hitung yang nyata (melalui analisis ragam) dan koefisien determinasi lebih dari 50%. (3) Pengelompokan tegakan. Pengelompokan tegakan dilakukan berdasarkan sebaran nilai No dan k yang diperoleh, dengan kriteria pengelompokkan seperti pada Tabel 3 mengikuti Suhendang (1994). 3.3.2 Dinamika Struktur Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan 3.3.2.1 Pendugaan Nilai Komponen Dinamika Struktur Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan Komponen dinamika struktur tegakan (DST) yang menyatakan proporsi jumlah pohon yang tetap berada pada KD ke-i (ai) dan proporsi tambah tumbuh (bi), dalam penelitian ini ditentukan dengan 4 (empat) cara, yaitu: Metode I: Model penduga komponen DST disusun menggunakan persamaan regresi (Persamaan 11) dengan anggapan bahwa proporsi tetap (ai) dan proporsi tambah tumbuh (bi) tersebut merupakan fungsi dari peubah-peubah tegakan, lingkungan, dan lamanya waktu setelah penebangan. Persamaan regresi disusun menggunakan 5 peubah bebas (X) dan sebuah peubah tidak bebas (W). Tiga peubah bebas berkaitan dengan kondisi tegakan yaitu jumlah pohon total, jumlah pohon pada KD tertentu dan jumlah luas bidang dasar pohon total yang diduga memiliki hubungan kuat dengan komponen DST, sedangkan dua peubah bebas lainnya adalah lama waktu setelah penebangan dan ketinggian tempat tumbuh, ditetapkan dengan pertimbangan pokok semata-mata karena ketersediaan data dan kemudahan dalam hal kemungkinan untuk bisa mendapatkan datanya. Model untuk menduga banyaknya atau proporsi pohon tambah tumbuh dan tetap disusun untuk setiap KD pada setiap KJ pohon. Untuk mengurangi pengaruh serial korelasi atau heteroskedastisitas,
31 koefisien regresi diduga dengan metode cochrane-orcutt atau generalized least square (GLS). Wijk = β0 + ∑ βmijXmijk
[ 11 ]
Keterangan: Wijk = peubah tidak bebas (tambah tumbuh/proporsi tetap) pada KJ ke-i dan KD ke-j) i = 1, 2 (ada 2 KJ) ; j = 1, 2, ..., 10 (ada 10 KD) β0 = intersep βm = koefisien regresi; m = 1,2,3,4,5; Xm = peubah bebas ke-m, yang meliputi : X1 = jumlah pohon dengan diameter 15 cm ke atas per ha X2 = jumlah pohon per ha pada KD ke-i X3 = jumlah luas bidang dasar pohon dengan diameter 15 cm ke atas per ha X4 = jangka waktu (tahun) setelah penebangan X5 = ketinggian dari permukaan laut (m)
Metode II: Proporsi tetap (ai) dan proporsi tambah tumbuh (bi) disusun menggunakan persamaan regresi yang merupakan fungsi dari jumlah pohon pada KD tertentu dan KD sebelumnya (Persamaan 6).
Pendugaan parameter dilakukan untuk setiap
persamaan (masing-masing KD) secara sendiri-sendiri dengan metode ”ordinary least square” (OLS). Cara ini mengikuti Metode II menurut Michie & Buongiorno (1984). Metode III: Seperti halnya pada Metode II, tetapi pendugaan parameter untuk setiap persamaan (masing-masing KD) dilakukan secara serentak menggunakan prosedur ”seemingly unrelated regression” (SUR). Cara ini seperti Metode III menurut Michie & Buongiorno (1984). Metode IV: Proporsi tetap (ai) dan proporsi tambah tumbuh (bi) ditentukan sebagai ratarata hitung proporsi jumlah pohon yang tetap berada pada KD ke-i (ai) dan proporsi tambah tumbuh ke KD berikutnya yang berurutan. Cara ini disebut Metode I menurut
Michie & Buongiorno (1984). Proyeksi ST dilakukan sampai tegakan mencapai keadaan kesetimbangan atau keadaan tunak (steady state/equilibrium), yaitu kondisi di mana ST dalam keadaan tetap sehingga pertumbuhan tegakan yang terjadi seimbang dengan mortalitas yang ada. 3.3.2.2 Simulasi Proyeksi Struktur Tegakan Nilai-nilai komponen DST yang diperoleh dan dapat diterima, selanjutnya dipakai untuk simulasi proyeksi ST berdasarkan kondisi ST awal yang bervariasi untuk mendapatkan gambaran waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi ST tertentu
32 yang diharapkan (dalam hal ini kondisi ST yang secara ekologi dan ekonomi layak tebang).
Berdasarkan kondisi ST yang diharapkan dari hasil proyeksi tersebut,
selanjutnya dilakukan simulasi pengaturan hasil untuk mendapatkan gambaran preskripsi pengaturan hasil terutama informasi tentang rotasi tebang pada intensitas penebangan dan batas diameter pohon minimum yang boleh ditebang tertentu. Kondisi ST tertentu yang diharapkan (pencapaian kondisi ST yang secara ekologi dan ekonomi layak tebang) mengacu kepada Elias (2002), yang menyatakan bahwa berdasarkan perhitungan dengan menggunakan break even concept di salah satu IUPHHK-HA di Kalimantan Timur, intensitas penebangan minimal yang secara ekonomis masih layak adalah 5 batang/ha dengan volume kayu produksi 25-30 m³/ha. Apabila nilai faktor eksploitasi (Fe) dan faktor pengaman (Fp) masing-masing diasumsikan sebesar 0,7 dan 0,8 maka potensi kayu minimum (dari pohon komersil berdiameter 50 cm ke atas) hutan alam tropika yang dapat ditebang dengan sistem TPTI adalah sebesar 45-55 m³/ha atau rata-rata 50 m³/ha (dalam penelitian ini volume tersebut dianggap setara dengan 10-15 pohon berdiameter 50 cm ke atas). Dalam simulasi pertumbuhan tegakan setelah penebangan, kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan yang dilakukan, diperhitungkan dengan menggunakan proporsi (terhadap total jumlah pohon per ha) kerusakan tegakan tinggal menurut Elias (1998), yaitu : KD 11-20 cm sebesar 14,61%; KD 21-30 cm sebesar 4,77%; KD 31-40 cm sebesar 1,31%; dan KD 41-50 cm sebesar 0,44%. 3.3.2.3
Evaluasi Model Pertumbuhan dan Hasil Simulasi Proyeksi Struktur Tegakan
Evaluasi model pertumbuhan dan hasil simulasi proyeksi struktur tegakan meliputi proses pengujian keterandalan model (reliability) dan validasi model.
Pengujian
keterandalan model mempertimbangkan ukuran-ukuran kebaikan model regresi (melalui Fhitung, koefisien determinasi dan galat baku), selain itu model yang diperoleh haruslah logis, memenuhi kaidah koherensi, konsistensi dan korespondensi.
Model atau
kombinasi nilai komponen DST dapat diterima apabila memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (1) 0 ≤ ai + bi ≤ 1 ; ai ≥ 0 ; bi ≥ 0 ; mi ≥ 0 ; (2) Jumlah pohon berdiameter 15 cm ke atas hasil proyeksi ST sampai mencapai kondisi tunak (steady state) tidak lebih dari 800 pohon per ha ; (3) Jumlah pohon per KD (hasil proyeksi ST) memenuhi kaidah ”J” terbalik ; (4) Proyeksi jangka panjang dapat menghasilkan ST yang mencapai kondisi tunak (steady state).
33 Proses validasi dalam penelitian ini mengikuti prosedur “Brute force” (Shugart & West 1980), yaitu membandingkan ST hasil proyeksi dengan ST yang sebenarnya (aktual) dengan uji khi-kuadrat (Waite 2000). Struktur tegakan yang sebenarnya adalah struktur tegakan berdasarkan pengukuran terakhir di lapangan. Pasangan hipotesis yang diuji adalah: H0: Struktur tegakan berdasarkan model = Struktur tegakan yang sebenarnya H1: Struktur tegakan berdasarkan model ≠ Struktur tegakan yang sebenarnya Statistik uji khi-kuadrat (χ²) dinyatakan dalam Persamaan 7.
χ
2 hitung
=
k
∑ i =1
( N i(a ) − N i(m ) )2 N i(m )
[12]
Keterangan: Ni(a) adalah jumlah pohon per ha yang sebenarnya pada KD ke-i Ni(m) adalah jumlah pohon per ha dugaan (hasil proyeksi) pada KD ke-i
Kaidah keputusan atau kriteria pengujian disusun sebagai berikut: χ²hitung
≤ χ²tabel , maka terima H0 > χ²tabel , maka tolak H0
34
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dari 34 IUPHHK yang tersebar pada keempat provinsi di Kalimantan, secara umum areal penelitian terletak pada kisaran elevasi 0-768 m dari permukaan laut (dpl). Jenis tanah didominasi oleh Podsolik Merah Kuning, termasuk tipe iklim A dengan curah hujan berkisar antara 1830-4753 mm/tahun dan 102-252 hari hujan dalam setahun. Karakteristik setiap IUPHHK contoh selengkapnya disajikan pada Lampiran 5. Jenis pohon umumnya didominasi oleh jenis-jenis Dipterokarpa, terutama jenis-jenis Shorea dan Dipterocarpus. 4.2 Keragaman Kondisi Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan Dari PUP yang tersebar di empat provinsi, yaitu: Kalimantan Timur 54 PUP, Kalimantan Tengah 29 PUP, Kalimantan Barat 15 PUP dan Kalimantan Selatan 3 PUP, diketahui bahwa tahun penebangan bervariasi dari mulai tahun 1987-1988, 1991-1995 dan 1998. Jumlah pengukuran ulang juga bervariasi mulai dari 2-8 kali pengukuran. Pada saat pengukuran pertama dilakukan, lamanya waktu setelah penebangan bervariasi mulai dari 1-12 tahun. Dalam kajian keragaman ST ini, untuk penyeragaman, lamanya waktu setelah penebangan ditentukan 3 tahun, karena paling mencakup banyak PUP yang dapat dikaji. Keragaman kondisi tegakan setelah penebangan dalam pembahasan ini ditunjukan oleh jumlah pohon dan ST. Jumlah pohon per satuan luas menggambarkan kerapatan tegakan, sedangkan ST menggambarkan sebaran jumlah pohon per kelas diameter (KD). Jumlah jenis pohon pada setiap PUP berkisar antara 7-34 jenis pohon. Hasil pengolahan data dari 60 PUP di Kalimantan Timur, total indeks nilai penting (INP) untuk jenis-jenis Dipterocarpaceae diketahui sebesar 76,8% (Lampiran 8).
(Nursetyani 2007)
Dari 35 PUP di Kalimantan Tengah, total INP untuk jenis-jenis
Dipterocarpaceae sebesar 91,9% (Dewi 2007) (Lampiran 9). Sedangkan dari 16 PUP di Kalimantan Barat diperoleh total INP untuk jenis-jenis Dipterocarpaceae sebesar 54,3% (Lampiran 10) dan di Kalimantan Selatan (dari 8 PUP) total INP untuk jenis-jenis Dipterocarpaceae sebesar 110,7% (Saragi 2007) (Lampiran 11) Jumlah pohon semua jenis dengan diameter 10 cm ke atas pada setiap PUP (berukuran 1 ha) pada umumnya bervariasi antara 113-607 pohon dengan rata-rata jumlah pohon per PUP adalah 323 pohon dan simpangan baku 132. Diagram dahan
35 daun yang menggambarkan sebaran jumlah pohon semua jenis dengan diameter minimum 10 cm pada setiap PUP disajikan pada Gambar 3. Stem-and-leaf of Dbh ≥ 10 cm N = 101 ; Leaf Unit = 10 Depth 15 27 34 47 (10) 44 32 18 8 4 1
Stem 1 1 2 2 3 3 4 4 5 5 6
Leaf 111122223333444 557777778889 0123334 5556677778899 0012333444 5556677778899 00011122333344 5567788899 0144 567 0
Gambar 3 Diagram dahan daun jumlah pohon semua jenis berdiameter ≥ 10 cm pada setiap PUP. Rata-rata jumlah pohon KD 10-19 cm 186 pohon per ha dengan kisaran antara 16387 pohon per ha, rata-rata jumlah pohon KD 20-49 cm 117 pohon per ha dengan kisaran antara 48-218 pohon per ha dan rata-rata jumlah pohon KD ≥ 50 cm 20 pohon per ha dengan kisaran antara 1-52 pohon per ha. Statistik jumlah pohon untuk setiap tingkat pertumbuhan tegakan, mulai KD 10-19 cm, KD 20-49 cm dan KD ≥ 50 cm diringkas dalam Tabel 5 dan selengkapnya per PUP disajikan pada Lampiran 12. Tabel 5 Statistik jumlah pohon untuk setiap tingkat pertumbuhan tegakan Statistik Minimum Maksimum Rataan Simp. baku Median Modus
KD 10-19
KD 20-49
KD 50 cm up
Total
16 387 186 97 185 229
48 218 117 39 112 140
1 52 20 9 20 20
113 607 323 132 331 346
Dari 109 PUP yang diamati, fungsi eksponensial negatif hubungan jumlah pohon (seluruh jenis) dengan diameternya, dapat diterima oleh hampir semua PUP. Hal itu dicirikan oleh nilai p-value yang lebih kecil dari 0,05 kecuali pada 3 PUP di Kalsel. Koefisien determinasi, dari 106 PUP yang memiliki hubungan nyata antara jumlah pohon dengan diameternya, berkisar antara 40,7-99,9%. Dari 106 PUP tersebut, ada 5
36 PUP yang memiliki R² kurang dari 50%, yaitu 3 PUP di Kalbar dan 2 PUP di Kalsel, sehingga tinggal 101 PUP yang memiliki hubungan nyata antara jumlah pohon dengan diameternya dengan R² berkisar antara 52,6-99,9% (Lampiran 13). Tabel 6 Pengelompokan tegakan berdasarkan nilai No dan k Kriteria
No
< 0,078 (kkecil)
< 399 (Nokecil) 399-788 (Nosedang) > 788 (Nobesar)
32 PUP 0 0
k 0,078-0,123 (ksedang) 17 PUP 30 PUP 4 PUP
> 0,123 (kbesar) 1 PUP 4 PUP 13 PUP
Konstanta regresi, No, berkisar antara 10-3.683 merupakan kisaran yang cukup lebar, menunjukkan sangat beragamnya jumlah pohon awal (berdiameter kecil) antar PUP. Sedangkan konstanta regresi, k, berkisar antara 0,032-0,212. Berdasarkan kisaran No dan k tersebut diperoleh 7 (tujuh) kelompok struktur tegakan (tipe tegakan), yaitu Nokecil-kkecil, Nokecil-ksedang, Nokecil-kbesar, Nosedang-ksedang, Nosedang-kbesar, Nobesar-ksedang dan Nobesar-kbesar (Tabel 6). Dari tabel tersebut terlihat bahwa tidak ada tegakan pada kategori Nosedang dengan kkecil dan Nobesar dengan kkecil. Berdasarkan nilai No, PUP didominasi (50%) oleh tegakan dengan Nokecil, Nosedang 34% dan Nobesar 16%. Nokecil artinya jumlah pohon awal (berdiameter kecil) yang sedikit. Ini berarti bahwa tegakan hutan alam setelah penebangan pada umumnya memiliki jumlah pohon berdiameter kecil yang relatif sedikit. Nokecil bisa berarti tegakan kurang memiliki permudaan. Nilai k yang besar artinya jumlah pohon menurun dengan tajam seiring meningkatnya ukuran diameter. penurunan jumlah pohon tidak tajam (melandai).
Sedangkan kkecil, artinya
Visualisasi keragaman struktur
tegakan disajikan pada Gambar 4. Umumnya struktur tegakan ideal adalah tegakan dengan nilai No besar namun nilai k kecil, artinya jumlah pohon yang cukup banyak dan menyebar secara proposional hingga ke pohon-pohon berdiameter yang semakin besar. Dari 101 PUP yang dikaji, 32 PUP (32%) termasuk tegakan tipe I yaitu tegakan dengan Nokecil-kkecil dan 17 PUP (17) termasuk tegakan tipe II yaitu tegakan dengan Nokecil-ksedang. Kedua tipe tegakan ini menunjukan jumlah pohon dalam tegakan yang relatif sedikit. Selebihnya, 30 PUP (30%) termasuk tegakan tipe V yaitu tegakan dengan Nosedang-ksedang, dan 13 PUP (13%) termasuk tegakan tipe IX yaitu tegakan dengan Nobesar-kbesar. Kedua tipe tegakan ini menunjukkan jumlah pohon yang relatif lebih banyak pada diameter kecil, namun menurun dengan tajam pada pohon-pohon yang berdiameter lebih besar.
37
250
Jumlah Pohon per Ha
Jumlah Pohon per Ha
250 200 150 100 50
200 150 100 50 0
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0
100
10
20
30
(a) Tipe I : Nokecil–kkecil (32%)
60
70
80
90
100
250
Jumlah Pohon per Ha
Jumlah Pohon per Ha
50
(b) Tipe II : Nokecil–ksedang (17%)
250 200 150 100 50 0
200 150 100 50 0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0
10
20
30
Diameter (cm)
40
50
60
70
80
90
100
Diameter (cm)
(c) Tipe III : Nokecil–kbesar (1%)
(d) Tipe V : Nosedang–ksedang (30%)
250
250
Jumlah Pohon per Ha
Jumlah Pohon per Ha
40
Diameter (cm)
Diameter (cm)
200 150 100 50
200 150 100 50 0
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Diameter (cm)
(e) Tipe VI : Nosedang–kbesar (4%)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Diameter (cm)
(f) Tipe IX : Nobesar–kbesar (13%)
Gambar 4 Keragaman struktur tegakan pada berbagai tipe tegakan Jumlah pohon dan struktur tegakan dapat menggambarkan tingkat ketersediaan tegakan pada setiap tingkat pertumbuhan tegakan, sehingga keduanya diduga berpengaruh terhadap kemampuan regenerasi atau pertumbuhan tegakan termasuk kecepatan pemulihan diri tegakan setelah mengalami gangguan yaitu perlakuan penebangan. Oleh karena itu preskripsi pengelolaan hutan alam bekas tebangan yang diantaranya meliputi rotasi tebang, batas diameter pohon layak tebang dan struktur tegakan tinggal untuk rotasi tebang di masa yang akan datang, seyogyanya memperhatikan kedua hal tersebut. Untuk itu diperlukan kajian lebih lanjut mengenai dinamika tegakan.
38
4.3 Komponen Dinamika Struktur Tegakan (DST) Untuk menduga besarnya rekrutmen digunakan Persamaan [4] dan [5] yang dikembangkan oleh Buongiorno dan Michie (1980) serta Michie dan Buongiorno (1984) dengan menggunakan peubah tegakan sebagai peubah penduga, yaitu jumlah pohon total dan jumlah luas bidang dasar total.
Penduga parameter regresi linier
berganda pada Persamaan [4] (P4LR) ditentukan dengan metode sesuai dengan pemenuhan asumsi yang mendasari regresi linier berganda, sedangkan pada Persamaan [4] (P5LR) selain dengan metode seperti pada P4LR, juga dengan metode “seemingly unrelated regression”, yaitu secara serentak bersama-sama ai dan bi (P5SUR). Tabel 7 Dugaan parameter persamaan regresi penduga rekrutmen Metode P4LR P5LR P5SUR
Kelompok jenis D ND D ND D ND
β0
Koefisien regresi β1 β2
a1
Fhitung
Sig.
R²
13,73** (2,89)
-1,27* (0,53)
0,08* (0,03)
---
3,34
0,04
0,074
-3,26 (4,55) 6,67* (2,57)
1,02 (0,61) 0,64 (0,41)
0,06** (0,02) -0,004 (0,08)
--0,72** (0,20)
22,5 93,48
0,00 0,00
0,422 0,825
-3,99* (1,83) 8,07** (2,38)
-0,61 (0,60) -0,12 (0,57)
0,20** (0,08) 0,076 (0,08)
0,73** (0,08) 0,64** (0,18)
1552,19 ---
0,00 0,00
0,988 0,739
-3,19 (3,54)
-2,00** (0,73)
0,37** (0,10)
0,57** (0,14)
---
0,00
0,912
Keterangan : D = dipterocarpaceae; ND = nondipterocarpaceae P4LR = Persamaan [4] dengan linear regression biasa P5LR = Persamaan [5] dengan linear regression biasa P5SUR = Persamaan [5] dengan SUR * berpengaruh nyata (α = 0,05) ** berpengaruh sangat nyata (α = 0,01) Sig. = p-value (H0 diterima bila Sig. ≥ α)
Dari hasil penduga rekrutmen dengan metode P4LR) pada KJD diketahui bahwa rekrutmen berkurang 1,27 pohon ha-1 per 3 tahun untuk setiap peningkatan 1 m² ha-1 luas bidang dasar, namun bertambah sebesar 0,08 pohon ha-1 per 3 tahun untuk setiap peningkatan 1 pohon ha-1 (Tabel 7). Kecenderungan hubungan seperti itu sesuai dengan Michie & Buongiorno (1984) yang menyatakan bahwa rekrutmen berbanding terbalik dengan luas bidang dasar tetapi berbanding lurus dengan jumlah pohon. Kesesuaian ini juga terjadi pada penduga rekrutmen dengan metode P5LR pada KJN dan P5SUR baik pada KJN maupun KJD. Namun, pola hubungan seperti itu tidak terjadi pada penduga rekrutmen dengan metode P4LR pada KJN dan metode P5LR pada KJD. Ketidakkonsistenan tersebut mungkin karena data yang ada atau model regresi yang digunakan belum cukup bisa menjelaskan fenomena rekrutmen yang sebenarnya terjadi di alam. Hal tersebut ditunjukan oleh relatif besarnya nilai galat baku pada beberapa dugaan parameter persamaan regresinya (Tabel 7), sehingga beberapa nilai koefisien tersebut tidak nyata pada tingkat keyakinan 95%. Selain karena keterbatasan model,
39 ketidakkonsistenan tanda pada koefisien regresi dan adanya hubungan yang tidak nyata tersebut mungkin juga terjadi karena rekrutmen dalam tegakan merupakan suatu proses yang acak (Buongiorno et al. 1995). Ketidakkonsistenan seperti ini juga terjadi pada persamaan rekrutmen dengan Metode II dan Metode III hasil penelitian Michie & Buongiorno (1984) pada hutan campuran di Wisconsin dan Michigan. Persamaan rekrutmen juga tidak bisa diperoleh oleh Mendoza & Setyarso (1986) pada hutan alam produksi di Kalimantan Selatan karena tidak ada hubungan yang nyata antar peubah penyusun modelnya. Penduga nilai proporsi pohon tetap (ai) dan proporsi pohon tambah tumbuh (bi) pada masing-masing kelas diameter (KD) untuk setiap kelompok jenis (KJ), ditentukan dengan menggunakan 4 (empat) metode, seperti yang telah diuraikan dalam Bab Metode Penelitian. Persamaan penduga nilai proporsi pohon tetap (ai) dan proporsi pohon tambah tumbuh (bi) dengan menggunakan Metode I (Met-1), disajikan pada Tabel 9; sedangkan nilai proporsi pohon tetap (ai) dan proporsi pohon tambah tumbuh (bi) dengan Metode II, III dan IV (Met-2, Met-3 dan Met-4), diringkas dalam Tabel 9. Dari Tabel 8a diketahui bahwa persamaan penduga proporsi tambah tumbuh pada KJD menunjukkan pengaruh peubah bebas yang nyata (p-value < 0,05) untuk KD15 (kelas diameter 15,0-19,9), KD40, dan KD50 dengan koefisien determinasi (R²) berkisar 8,9-15,9%, sedangkan untuk KD lainnya pengaruh peubah bebas tidak nyata (p-value > 0,05).
Persamaan penduga proporsi tetap pada KJD juga menunjukkan pengaruh
peubah bebas yang nyata untuk KD15, KD40, dan KD50 dengan R² berkisar 9,9-15,6% (Tabel 8b), untuk KD lainnya pengaruh peubah bebas tidak nyata. Persamaan penduga proporsi tambah tumbuh pada KJN menunjukkan pengaruh peubah bebas yang nyata pada KD15, KD20, KD25, KD30, dan KD35 dengan R² berkisar 7,7-14,9% (Tabel 8c), sedangkan untuk KD lainnya pengaruh peubah bebas tidak nyata.
Persamaan penduga proporsi tetap pada KJN menunjukkan pengaruh
peubah bebas yang nyata untuk KD20, KD25, KD30, dan KD35 dengan R² berkisar 8,119,9% (Tabel 8d), sedangkan untuk KD lainnya pengaruh peubah bebas tidak nyata. Keseluruhan persamaan penduga proporsi tambah tumbuh dan tetap baik pada KJD maupun KJN memiliki R² kurang dari 50%, dengan kisaran 1,6-15,9% (tambah tumbuh KJD); 0,2-15,6% (tetap KJD); 2,8-14,9% (tambah tumbuh KJN); dan 0,2-19,9% (tetap KJN). Bervariasi atau lebarnya rentang nilai R² tersebut menunjukkan bahwa peranan peubah bebas dalam menerangkan komponen DST mungkin bersifat spesifik untuk setiap KD pada masing-masing KJ. Bahkan pada KD-KD tertentu peubah-peubah
40 bebas yang digunakan dalam penelitian ini, berdasarkan contoh yang ada, belum menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap proporsi tambah tumbuh ataupun proporsi tetap baik pada KJD maupun KJN. Hasil penelitian Krisnawati (2001) pada hutan alam bekas tebangan tanah kering di Kalimantan Tengah, menunjukan bahwa persamaan penduga tambah tumbuh yang disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar dan diameter pohon menghasilkan koefisien determinasi dalam kisaran 20,1-37,6% dan persamaan penduga mortalitas yang disusun sebagai fungsi dari kerapatan pohon, luas bidang dasar dan diameter pohon menghasilkan koefisien determinasi dalam kisaran 11,8-29,3%. Hasil kajian Labetubun et al. (2004) di Maluku Utara menunjukan bahwa persamaan penduga tambah tumbuh yang disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar dan diameter pohon menghasilkan koefisien determinasi dalam kisaran 10,7-14,6% dan persamaan penduga mortalitas yang disusun sebagai fungsi dari diameter pohon menghasilkan koefisien determinasi dalam kisaran 12,4-29,6%. Lin et al. (1996), dalam penelitiannya pada hutan “northern hardwood“ di Wisconsin USA, mendapatkan bahwa persamaan penduga tambah tumbuh yang disusun sebagai fungsi dari luas bidang dasar, diameter dan diameter kuadrat menghasilkan koefisien determinasi dalam kisaran 9-12% dan persamaan penduga mortalitas yang disusun sebagai fungsi dari diameter dan diameter kuadrat menghasilkan koefisien determinasi dalam kisaran 3-9%. Suhendang (1998) menyatakan bahwa untuk data yang berasal dari alam, nilai R² yang rendah dapat dipengaruhi oleh karena tidak terkendalinya pengaruh berbagai faktor lingkungan, baik yang bersifat hayati maupun non hayati dan interaksi di antara faktor-faktor tersebut. Secara umum, dari keseluruhan persamaan pada setiap KD dengan menggunakan Metode I ini, tanda pada nilai koefisien regresi untuk setiap peubah bebas memperlihatkan adanya ketidakkonsistenan arah hubungan sehingga tanda dari nilai koefisien tersebut tidak dapat ditafsirkan untuk menggambarkan arah hubungan antara peubah bebas dengan peubah tak bebasnya.
Ketidakkonsistenan arah hubungan
tersebut, seperti halnya rentang nilai koefisien determinasi yang lebar, semakin menunjukkan bahwa peranan peubah bebas dalam menerangkan komponen DST kemungkinan bersifat spesifik untuk setiap KD pada masing-masing KJ.
41 Tabel 8 Koefisien regresi penduga proporsi tambah tumbuh dan tetap dengan Metode I (a) Proporsi tambah tumbuh pada KJD b1
b2
b3
b4
b5
Fhit. (Sig.)
15,0–19,9
0,290
0,021
-0,211
0,004
0,015
-0,019
5,22 (0,000)
0,16
0,18
20,0–24,9
0,367
-0,063
0,297
-0,012
0,008
0,017
2,38 (0,077)
0,08
0,24
25,0–29,9
0,365
0,011
-0,098
-0,018
0,008
0,0003
0,88 (0,498)
0,03
0,26
30,0–34,9
0,490
0,037
0,149
-0,111
0,003
-0,004
0,56 (0,730)
0,02
0,30
35,0–39,9
0,371
0,007
0,397
-0,055
0,009
-0,005
0,65 (0,659)
0,02
0,35
40,0–44,9
0,413
-0,033
-0,102
-0,026
0,007
0,054
2,55 (0,031)
0,09
0,31
45,0–49,9
0,441
-0,026
1,376
-0,069
0,005
0,014
0,39 (0,857)
0,02
0,34
50,0–54,9
0,429
-0,079
-0,118
-0,002
0,019
0,047
3,03 (0,013)
0,11
0,37
55,0–59,9
0,212
-0,045
-2,266
0,126
0,007
0,056
0,84 (0,525)
0,04
0,39
KD (cm)
b0
R²adj.
s
(b) Proporsi tetap pada KJD KD (cm) 15,0–19,9
b0
b1
b2
b3
b4
b5
Fhit. (Sig.)
0,558
0,025
0,037
0,002
-0,012
0,025
3,03 (0,013)
R²adj. 0,10
s 0,20
20,0–24,9
0,616
0,061
-0,353
0,008
-0,005
-0,024
2,06 (0,073)
0,07
0,25
25,0–29,9
0,546
-0,008
0,280
-0,010
-0,002
-0,005
0,26 (0,935)
0,01
0,26
30,0–34,9
0,447
-0,013
-0,236
0,078
-0,001
35,0–39,9
0,490
0,011
0,074
0,027
40,0–44,9
0,558
0,021
0,100
45,0–49,9
0,507
-0,018
0,113
50,0–54,9
0,437
0,058
0,984
0,006
0,58 (0,719)
0,02
0,31
-0,006
0,007
0,16 (0,976)
0,01
0,35
0,038
-0,005
-0,061
2,98 (0,014)
0,10
0,30
0,095
-0,006
-0,018
0,50 (0,778)
0,02
0,34
0,051
-0,020
-0,058
4,29 (0,001)
0,15
0,39
55,0–59,9
0,644
0,017
-0,284
-0,043
0,001
-0,031
0,48 (0,788)
0,02
0,40
60 up
0,882
0,040
0,433
-0,077
-0,001
0,006
0,05 (0,998)
0,00
0,16
(c) Proporsi tambah tumbuh pada KJN b1
b2
b3
b4
b5
Fhit. (Sig.)
15,0–19,9
0,304
-0,014
-0,062
-0,012
0,012
-0,007
2,39 (0,041)
0,08
0,12
20,0–24,9
0,312
-0,021
0,038
-0,030
0,011
-0,009
4,10 (0,002)
0,13
0,13
25,0–29,9
0,249
-0,006
0,311
-0,029
0,007
-0,017
2,70 (0,023)
0,09
0,15
30,0–34,9
0,364
0,024
-0,869
-0,022
0,010
-0,013
3,12 (0,011)
0,10
0,18
35,0–39,9
0,369
-0,040
-0,196
0,018
0,012
-0,025
4,35 (0,001)
0,13
0,20
40,0–44,9
0,362
-0,011
0,021
-0,022
0,002
-0,009
0,78 (0,569)
0,03
0,22
45,0–49,9
0,390
-0,051
-0,135
0,013
0,010
-0,016
0,94 (0,455)
0,04
0,27
50,0–54,9
0,292
-0,062
0,374
0,065
0,012
-0,018
2,11 (0,068)
0,08
0,25
55,0–59,9
0,316
0,004
1,605
-0,090
0,010
-0,008
1,20 (0,315)
0,05
0,32
KD (cm)
b0
R²adj.
s
(d) Proporsi tetap pada KJN b0
b1
15,0–19,9
0,706
20,0–24,9
0,526
25,0–29,9
s
b2
b3
b4
b5
Fhit. (Sig.)
-0,051
0,154
0,067
-0,009
-0,010
2,25 (0,053)
0,07
0,15
0,026
-0,114
0,055
-0,009
0,028
4,31 (0,001)
0,14
0,14
0,684
-0,028
-0,174
0,071
-0,006
0,015
3,27 (0,008)
0,10
0,14
30,0–34,9
0,522
-0,028
0,868
0,059
-0,011
-0,011
2,85 (0,018)
0,10
0,20
35,0–39,9
0,630
0,020
-0,217
0,039
-0,013
0,005
2,53 (0,032)
0,08
0,21
40,0–44,9
0,592
0,043
-0,438
0,0001
-0,006
0,003
0,72 (0,613)
0,03
0,23
45,0–49,9
0,580
0,051
-0,741
0,012
-0,007
-0,0003
1,20 (0,313)
0,04
0,26
50,0–54,9
0,647
0,047
-1,060
-0,017
-0,011
0,009
1,07 (0,380)
0,04
0,28
55,0–59,9
0,673
-0,056
-0,169
0,111
-0,006
-0,007
0,06 (0,998)
0,00
0,36
60 up
0,853
0,017
0,466
-0,047
0,004
0,002
0,51 (0,766)
0,02
0,15
KD (cm)
R²adj.
Keterangan : b0 = koefisien elevasi (intersep) b1 = koefisien regresi pengaruh X1 (jumlah pohon berdiameter 15 cm up ha-1) b2 = koefisien regresi pengaruh X2 (jumlah pohon ha-1 pada KD ke-i) b3 = koefisien regresi pengaruh X3 (jumlah luas bidang dasar (lbds) pohon berdiameter 15 cm up ha-1) b4 = koefisien regresi pengaruh X4 [waktu (tahun) setelah penebangan] b5 = koefisien regresi pengaruh X5 [ketinggian dari permukaan laut (m)] Sig. = p-value (H0 diterima bila Sig. > α) ; s = galat baku (standard error)
42 Tabel 9 Nilai dugaan proporsi tambah tumbuh (bi) dan tetap (ai) dengan tiga metode Koefisien a1 b2 a2 b3 a3 b4 a4 b5 a5 b6 a6 b7 a7 b8 a8 b9 a9 b10 a10
Met-2
Dipt Met-3
Met-4
0.72 (0.20)** 0.22 (0.06)** 0.74 (0.06)** 0.05 (0.03)t 0.85 (0.06)** 0.22 (0.06)** 0.61 (0.09)** 0.61 (0.08)** 0.51 (0.07)** 0.38 (0.07)** 0.65 (0.08)** 0.30 (0.06)** 0.56 (0.10)** 0.36 (0.10)** 0.47 (0.08)** 0.34 (0.09)** 0.54 (0.10)** 0.45 (0.13)** 1.04 (0.04)**
0.64 (0.18)** 0.18 (0.05)** 0.79 (0.05)** 0.07 (0.03)** 0.82 (0.05)** 0.17 (0.04)** 0.67 (0.06)** 0.55 (0.06)** 0.67 (0.06)** 0.26 (0.05)** 0.72 (0.05)** 0.30 (0.05)** 0.61 (0.09)** 0.29 (0.06)** 0.48 (0.07)** 0.48 (0.07)** 0.62 (0.11)** 0.46 (0.11)** 1.03 (0.04)**
0.69 (0.03) 0.24 (0.03) 0.60 (0.04) 0.30 (0.04) 0.54 (0.04) 0.34 (0.04) 0.52 (0.05) 0.37 (0.05) 0.64 (0.06) 0.31 (0.06) 0.61 (0.05) 0.34 (0.05) 0.63 (0.06) 0.31 (0.06) 0.63 (0.07) 0.30 (0.07) 0.63 (0.07) 0.31 (0.07) 0.93 (0.03)
Koefisien a1 b2 a2 b3 a3 b4 a4 b5 a5 b6 a6 b7 a7 b8 a8 b9 a9 b10 a10
Non Dipt Met-2 Met-3
Met-4
0.73 (0.08)** 0.10 (0.05)* 0.97 (0.09)** 0.22 (0.04)** 0.70 (0.08)** 0.38 (0.05)** 0.74 (0.07)** 0.14 (0.05)* 0.89 (0.08)** 0.43 (0.07)** 0.54 (0.09)** 0.23 (0.05)** 0.53 (0.08)** 0.31 (0.09)** 0.63 (0.09)** 0.14 (0.08)** 0.68 (0.09)** 0.37 (0.08)** 1.06 (0.05)**
0.71 (0.02) 0.22 (0.02) 0.67 (0.02) 0.22 (0.03) 0.64 (0.02) 0.23 (0.02) 0.64 (0.03) 0.25 (0.03) 0.70 (0.04) 0.22 (0.03) 0.72 (0.04) 0.23 (0.04) 0.75 (0.04) 0.19 (0.05) 0.71 (0.05) 0.22 (0.04) 0.72 (0.06) 0.19 (0.06) 0.91 (0.03)
0.57 (0.14)** 0.10 (0.04)** 0.95 (0.06)** 0.31 (0.04)** 0.66 (0.08)** 0.38 (0.04)** 0.71 (0.05)** 0.14 (0.04)** 0.88 (0.05)** 0.32 (0.06)** 0.78 (0.06)** 0.31 (0.04)** 0.48 (0.06)** 0.47 (0.06)** 0.59 (0.07)** 0.13 (0.05)** 0.58 (0.06)** 0.33 (0.07)** 1.06 (0.03)**
Keterangan : angka dalam kurung adalah nilai galat baku * : berpengaruh nyata (α = 5%); ** : berpengaruh sangat nyata (α = 1%)
Berdasarkan nilai-nilai ai dan bi pada Tabel 9, dapat dihitung nilai mortalitas untuk masing-masing KD pada setiap metode, yaitu dengan formulasi : mi = 1 − ai − bi. Hasil perhitungan menunjukan bahwa mortalitas bernilai negatif terjadi pada beberapa KD yang dihasilkan Metode II dan III, baik pada KJD maupun KJN (Tabel 10). Mortalitas negatif terjadi karena jumlah proporsi tetap dan tambah tumbuh pada KD yang sama lebih dari satu. Dari simulasi proyeksi ST juga diketahui bahwa proporsi tambah tumbuh dan tetap pada beberapa KD dengan Metode I juga menghasilkan nilai yang negatif. Mortalitas bernilai negatif juga diperoleh dalam hasil penelitian Michie &
43 Buongiorno (1984) menggunakan Metode II dan III. Proporsi tambah tumbuh, tetap dan mortalitas bernilai negatif adalah hal yang tidak dapat diterima, karena tidak logis. Hal yang juga tidak logis dari hasil penelitian ini adalah diperolehnya proporsi tetap yang nilainya lebih dari satu pada KD terbesar pada Metode II maupun Metode III. Tabel 10 Mortalitas berdasarkan matriks transisi dengan tiga metode Kelas Diameter
Metode2 0.039 0.214 -0.070 -0.218 0.117 0.057 0.075 0.190 0.012 -0.041
15-19,99 20-24,99 25-29,99 30-34,99 35-39,99 40-44,99 45-49,99 50-54,99 55-59,99 60 UP
Mortalitas KJD Metode 3 Metode 4 0.053 0.069 0.139 0.103 0.012 0.119 -0.221 0.115 0.069 0.047 -0.019 0.048 0.109 0.056 0.036 0.075 -0.078 0.057 -0.031 0.071
Mortalitas KJN Metode 3 0.012 -0.260 -0.037 0.148 -0.201 -0.091 0.049 0.285 0.097 -0.056
Metode2 0.122 -0.186 -0.087 0.114 -0.318 0.226 0.162 0.232 -0.053 -0.062
Metode 4 0.070 0.104 0.130 0.101 0.075 0.057 0.063 0.072 0.085 0.092
Rata-rata proporsi pohon tambah tumbuh, mati, dan tetap pada setiap KD dan KJ dalam periode waktu 3 tahun yang diperoleh dengan Metode IV disajikan pada Gambar 5. Periode waktu 3 tahun dipilih sesuai dengan Suhendang (1997) yang menyarankan bahwa periode waktu yang optimal untuk pengukuran ulang PUP HABT lahan kering
1.0
1.0
0.8
0.8
Proporsi
Proporsi
adalah tiap 3 tahun bagi PUP tanpa pemeliharaan.
0.6 0.4
0.6 0.4 0.2
0.2
0.0
0.0 0
(a) Dipt
10
20
30
40
50
60
0
70
Kelas Diameter (cm)
10
(b) Nondipt
20
30
40
50
60
70
Kelas Diameter (cm)
Gambar 5 Diagram proporsi tambah tumbuh ( ), tetap (•) dan mati (◊) dengan Metode IV.
Proporsi pohon yang tetap berada dalam KD tertentu untuk semua KD lebih besar dibanding proporsi pohon tambah tumbuh dan proporsi pohon mati, baik pada KJD maupun KJN. Proporsi pohon tetap pada KJN cenderung lebih besar dibanding KJD, sebaliknya proporsi pohon tambah tumbuh pada KJN cenderung lebih kecil dibanding KJD. Proporsi tambah tumbuh, tetap dan mortalitas pada KJD memiliki keragaman antar KD yang lebih tinggi dibanding KJN. Proporsi pohon tambah tumbuh pada KJD berkisar 0,241-0,365 dan pada KJN 0,187-0,254;
Proporsi pohon tetap pada KJD
berkisar 0,520-0,929 dan pada KJN 0,644-0,908; Proporsi pohon yang mati berkisar 0,047-0,119 pada KJD dan 0,057-0,130 pada KJN.
44 Hasil penelitian Krisnawati (2001) pada hutan alam 6 tahun setelah tebangan di Kalimantan Tengah, dengan lebar KD 5 cm dan periode pertumbuhan 2 tahun diperoleh proporsi tambah tumbuh berkisar 0,300-0,380 pada KJD dan 0,120-0,260 pada KJN; proporsi tetap berkisar 0,580-0,960 pada KJD dan 0,660-0,900 pada KJN. Rusolono et al. (1997) pada hutan alam bekas tebangan di Kalimantan Selatan, dengan lebar KD 10 cm dan periode pertumbuhan 2 tahun diperoleh proporsi tambah tumbuh berkisar 0,1100,430 pada KJ Meranti dan 0,070-0,300 pada KJ Non Meranti; proporsi tetap berkisar 0,510-0,850 pada KJ Meranti dan 0,700-0,900 pada KJ Non Meranti. Mendoza & Setyarso (1986) pada hutan alam bekas tebangan di Kalimantan Selatan, dengan lebar KD 5 cm dan periode pertumbuhan 2 tahun untuk semua jenis diperoleh proporsi tambah tumbuh berkisar 0,131-0,303 dan proporsi tetap berkisar 0,691-0,970. Michie & Buongiorno (1984) pada hutan campuan di Wisconsin dan Michigan, dengan lebar KD 5 cm dan periode pertumbuhan 3 tahun diperoleh proporsi tambah tumbuh berkisar 0,190-0,300 dan proporsi tetap berkisar 0,650-0,860. Hao et al. (2005) pada hutan campuran di Changbai Mountain, Northeastern China, dengan lebar KD 4 cm (periode pertumbuhan tidak diketahui) untuk semua jenis diperoleh proporsi tambah tumbuh berkisar 0,136-0,382 dan proporsi tetap berkisar 0,585-0,818.
Ingram &
Buongiorno (1996) pada hutan dipterocarp campuran dataran rendah di Malaysia, dengan lebar KD 10 cm dan periode pertumbuhan 1 tahun diperoleh proporsi tambah tumbuh berkisar 0,030-0,050 pada KJD dan 0,000-0,002 pada KJN; proporsi tetap berkisar 0,930-0,980 pada KJD dan 0,970-0,980 pada KJN (Lampiran 14) 4.4 Simulasi Proyeksi Struktur Tegakan Simulasi proyeksi ST dilakukan dengan mencoba komponen DST yang diperoleh dengan ke empat metode. Simulasi proyeksi ST menggunakan komponen DST Metode I menghasilkan jumlah pohon tambah tumbuh dan tetap yang nilainya negatif pada beberapa KD baik pada KJD maupun KJN. Proyeksi beberapa tahun ke depan juga menghasilkan jumlah pohon berdiameter 15 cm ke atas dengan jumlah lebih dari 800 pohon per ha. Sutisna (1997) menyatakan bahwa jumlah pohon berdiameter 10 cm ke atas pada hutan klimaks di Indonesia umumnya berkisar antara 400-600 pohon per ha. Sedangkan Elias (1997) melaporkan bahwa di Kalimatan Timur jumlah pohon berdiameter 10 cm ke atas sebelum penebangan bisa mencapai 746 pohon per ha. Simulasi proyeksi ST menggunakan komponen DST metode II, III dan IV tidak menghasilkan jumlah pohon tambah tumbuh dan tetap yang nilainya negatif, namun menghasilkan jumlah pohon berdiameter 15 cm ke atas dengan jumlah lebih dari 800
45 pohon per ha dan tidak bisa mencapai ST kondisi tunak (steady state). Bahkan pada Metode II dan III menghasilkan ST yang tidak memenuhi kaidah huruf “J” terbalik yang lazim pada ST hutan alam. Fenomena seperti itu kemungkinan disebabkan karena jumlah proporsi tambah tumbuh dan tetapnya yang lebih dari satu atau rekrutmen berdasarkan model yang cenderung “overestimate”. Penggunaan nilai rekrutmen yang merupakan rata-rata hitung (konstanta) menghasilkan ST yang berbeda, namun tidak merubah kecenderungan hasil yaitu tetap menghasilkan jumlah pohon tambah tumbuh dan tetap yang nilainya negatif pada Metode I, jumlah pohon berdiameter 15 cm ke atas dengan jumlah lebih dari 800 pohon per ha, tidak bisa mencapai ST kondisi tunak atau ST yang tidak memenuhi kaidah huruf “J” terbalik pada Metode II dan III. Hal ini kemungkinan lebih disebabkan karena jumlah proporsi tambah tumbuh dan tetapnya yang lebih dari satu. Fenomena yang berbeda ditunjukan oleh hasil simulasi DST menggunakan Metode IV dan nilai rekrutmen yang merupakan rata-rata hitung. Nilai komponen DST dan hasil simulasinya memenuhi keempat kriteria penerimaan di atas, selain itu hasil uji khi kuadrat pembandingan ST dugaan menggunakan Metode IV dengan ST aktual pada rentang proyeksi 15 tahun, dari 9 pembandingan, 6 diantaranya menunjukan ST yang tidak berbeda pada tingkat kepercayaan 99% (Tabel 11). Hasil pengujian khi kuadrat terhadap ST pada kondisi steady state dibandingkan ST old growth forest (Ingram & Buongiorno 1996), menunjukan tidak ada perbedaan pada tingkat kepercayaan 99%. Tabel 11 Pembandingan ST dugaan (Metode IV) dengan ST aktual pada rentang proyeksi 15 tahun PUP
Dipt χ²
Non Dipt
p-value
Kesimpulan
χ²
All Sp
p-value
Kesimpulan
χ²
p-value
Kesimpulan
1
16.3
0.060
Tdk Berbeda
14.3
0.113
Tdk Berbeda
20.2
0.017
Tdk Berbeda
2
24.4
0.002
Berbeda
30.8
0.000
Berbeda
41.3
0.000
Berbeda
3
8.0
0.538
Tdk Berbeda
6.1
0.731
Tdk Berbeda
8.4
0.493
Tdk Berbeda
4.5 Simulasi Penebangan Simulasi penebangan menggunakan DST Metode IV pada 3 plot contoh dengan kondisi ST awal yang berbeda namun memiliki tahun tebang yang sama (masingmasing termasuk ST tipe I, II dan IX menurut Muhdin et al. 2008), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : (1) penebangan dilakukan apabila jumlah pohon berdiameter 50 cm ke atas telah mencapai sedikitnya 25 pohon (dasar perhitungan diuraikan pada Lampiran 15); (2) mortalitas akibat penebangan pohon berdiameter 50 cm ke atas
46 terhadap pohon-pohon pada KD yang lebih kecil diperhitungkan dengan menggunakan proporsi (terhadap total jumlah pohon per ha) kerusakan tegakan tinggal menurut Elias (1998), yaitu : KD 11-20 cm sebesar 14,61%; KD 21-30 cm sebesar 4,77%; KD 31-40 cm sebesar 1,31%; dan KD 41-50 cm sebesar 0,44%. Hasil simulasi menunjukan bahwa jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai ST siap tebang pada rotasi tebang I beragam untuk setiap plot (Tabel 12). Keragaman tersebut diduga disebabkan jumlah pohon dan struktur tegakan awal yang juga beragam. Tabel 12 Simulasi penentuan rotasi tebang dengan batas dbh pohon ditebang 50 cm up Kondisi tegakan awal
Plot 1 (ST tipe 1)
Jumlah pohon 10 cm up Jumlah pohon 10-19,9 cm Jumlah pohon 20-49,9 cm Jumlah pohon 50 cm up Luas bidang dasar (m2/ha) Waktu mencapai steady state (thn) Mencapai rotasi tebang I (thn) Intensitas tebangan 50 cm up 40% Mencapai rotasi tebang II (thn) 44 Mencapai rotasi tebang III (thn) 57 Mencapai rotasi tebang IV (thn) 51 Mencapai rotasi tebang V (thn) 54 Mencapai rotasi tebang VI (thn) 51 Mencapai rotasi tebang VII (thn) Catatan : jangka waktu simulasi dalam rentang terhadap jumlah pohon layak tebang.
172 74 83 15 12,6 213 72 60% 54 57 57 57 57
100% 63 66 66 66
Plot 2 (ST tipe 5)
Plot 3 (ST tipe 9)
273 156 96 21 15,5 195 48 60% 60 57 57 57 57
427 314 101 12 16,4 195 54 60% 48 60 57 57 57
40% 54 51 54 51 54
100% 69 63 66 66
40% 100% 36 63 60 66 48 66 54 66 51 54 waktu ± 350 tahun dan intensitas penebangan merupakan persentase
Plot 1 yang termasuk ST tipe 1 (Nokecil kkecil), memerlukan waktu 213 tahun untuk mencapai ST kondisi tunak. Plot 2 yang termasuk ST tipe 2 (Nokecil ksedang) dan plot 3 yang termasuk ST tipe 9 (Nobesar kbesar), memerlukan yang sama 195 tahun untuk mencapai ST kondisi tunak. Plot 2 secara keseluruhan memiliki jumlah pohon yang lebih sedikit dibanding plot 3, jumlah pohon berdiameter kecil juga lebih sedikit namun memiliki jumlah pohon berdiameter besar yang lebih banyak, sedangkan plot 3 secara keseluruhan memiliki jumlah pohon yang lebih banyak dibanding plot 2, jumlah pohon berdiameter kecil juga lebih banyak namun memiliki jumlah pohon berdiameter besar yang lebih sedikit. Kedua plot yang berbeda karakteristik tegakannya tersebut ternyata memerlukan waktu yang sama untuk mencapai ST kondisi tunak (steady state). Hal itu menunjukan bahwa waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi ST tertentu sangat tergantung kepada jumlah pohon yang ada pada setiap tingkat pertumbuhan pohonnya atau dengan kata lain, selain tergantung dari jumlah pohon keseluruhan, juga dipengaruhi oleh tipe ST-nya.
47 Jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai ST siap tebang pada rotasi tebang berikutnya sangat tergantung pada intensitas penebangan sesuai preskripsi pengaturan hasil yang ditetapkan, semakin besar intensitas penebangan maka semakin panjang juga jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai ST siap tebang pada rotasi tebang berikutnya tersebut. Dalam jangka panjang (dengan asumsi adanya kesamaan dal hal kualitas tempat tumbuh dan kemampuan pemulihan tegakan setelah mendapat gangguan), ST dengan tipe yang berbeda namun pada intensitas penebangan yang sama akan mengarah kepada rotasi tebang yang juga sama. Tabel 13 Simulasi penentuan rotasi tebang dengan batas dbh pohon ditebang 40 cm up Kondisi tegakan awal
Plot 1 (ST tipe 1)
Plot 2 (ST tipe 5)
Plot 3 (ST tipe 9)
Jumlah pohon 10 cm up Jumlah pohon 10-19,9 cm Jumlah pohon 20-39,9 cm Jumlah pohon 40 cm up Luas bidang dasar (m2/ha) Waktu mencapai steady state (thn) Mencapai rotasi tebang I (thn) Intensitas tebangan 40 cm up Mencapai rotasi tebang II (thn) Mencapai rotasi tebang III (thn) Mencapai rotasi tebang IV (thn) Mencapai rotasi tebang V (thn) Mencapai rotasi tebang VI (thn) Mencapai rotasi tebang VII (thn) Mencapai rotasi tebang VIII (thn)
172 74 75 23 12,6 213 48
273 156 87 30 15,5 195 27
427 314 84 29 16,4 195 24
40% 42 42 42 42 42 42 42
60% 48 48 48 48 48 48
100% 57 54 54 54 54
40% 48 42 42 42 42 42 42
60% 51 48 48 48 48 48
100% 60 54 54 54 54 54
40% 42 42 42 42 42 42 42
60% 48 48 48 48 48 48
100% 57 54 54 54 54 54
Catatan : jangka waktu simulasi dalam rentang waktu ± 350 tahun dan intensitas penebangan merupakan persentase terhadap jumlah pohon layak tebang.
Fenomena yang sama juga terjadi apabila penebangan dilakukan secara proporsional dengan batas diameter pohon layak tebang minimal 40 cm.
Dalam
simulasi ini, tegakan mencapai keadaan siap tebang apabila jumlah pohon dengan diameter 40 cm ke atas berjumlah minimal 40 pohon (dasar perhitungan diuraikan pada Lampiran 15). Setelah mencapai kondisi tegakan layak tebang, penebangan dengan intensitas yang sama memerlukan waktu pemulihan yang lebih pendek dibanding penebangan dengan batas diameter 50 cm (Tabel 13). Waktu pemulihan yang lebih pendek tersebut terjadi karena untuk mencapai jumlah pohon minimal 40 pohon setelah penebangan dengan batas diameter 40 cm ke atas lebih cepat dibanding waktu untuk mencapai jumlah pohon minimal 25 pohon setelah penebangan dengan batas diameter 50 cm ke atas. Hal itu menunjukan bahwa pertumbuhan pohon-pohon berdiameter besar cenderung lebih lambat.
48 Tabel 14 Rotasi dan volume tebangan dengan batas dbh pohon ditebang 50 cm up Kondisi tegakan awal Mencapai rotasi tebang I (thn) Intensitas tebangan Dbh 50 cm up Mencapai rotasi tebang II (thn) Mencapai rotasi tebang III (thn) Mencapai rotasi tebang IV dst. (thn) 3
-1
Vol. tebangan Dbh 50 cm up (m ha )
Plot 1 (ST tipe 1)
Plot 2 (ST tipe 5)
Plot 3 (ST tipe 9)
72
48
54
40% 44 57
60% 54 57
100% 63 66
40% 54 51
60% 60 57
100% 69 63
40% 36 60
60% 48 60
100% 63 66
54
57
66
54
57
66
54
57
66
44
66
111
44
66
111
44
66
111
Tabel 15 Rotasi dan volume tebangan dengan batas dbh pohon ditebang 40 cm up Kondisi tegakan awal Mencapai rotasi tebang I (thn) Intensitas tebangan Dbh 40 cm up Mencapai rotasi tebang II (thn) Mencapai rotasi tebang III dst. (thn) Vol. tebangan Dbh 40 cm up (m3 ha-1)
Plot 1 (ST tipe 1)
Plot 2 (ST tipe 5)
Plot 3 (ST tipe 9)
48
27
24
40% 42 42
60% 48 48
100% 57 54
40% 48 42
60% 51 48
100% 60 54
40% 42 42
60% 48 48
100% 57 54
52
79
123
52
79
123
52
79
123
Penurunan batas diameter pohon yang ditebang dengan kriteria seperti yang telah diuraikan di muka, selain memperpendek rotasi tebang juga meningkatkan volume hasil tebangan (Tabel 14 dan 15). Namun demikian penurunan batas ukuran diameter pohon yang ditebang harus ditentukan secara cermat dengan memperhatikan nilai kayu dan persyaratan teknis (ukuran diameter) dari industri yang memerlukan kayu hasil tebangan tersebut. Selain itu tingkat kerusakan tegakan tinggal harus diperhitungkan secara lebih teliti, karena secara umum semakin banyak pohon yang ditebang, maka pohon-pohon yang mati karena dampak penebangan kemungkinan besar juga akan semakin banyak. Karena itu pengaruh penurunan batas diameter pohon ditebang ini, masih perlu kajian lebih lanjut sebelum dijadikan sebagai rujukan untuk operasional di lapangan. Penebangan dalam pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon, pada prinsipnya adalah menurunkan kurva struktur tegakan bukan memotong kurva, artinya penebangan dilakukan secara proporsional pada semua kelas diameter, tidak hanya menebang semua pohon dengan batas diameter minimal tertentu. Hal ini sejalan dengan prinsip dari Metode pengaturaN Hasil dengan Intensitas Penebangan Berimbang yang disingkat MNH-IPB (Suhendang et al. 1995). Sebagai contoh pada Gambar 6 adalah penurunan kurva ST akibat penebangan dengan batas minimal diameter pohon ditebang 50 cm skenario plot 2 dengan IP 60% pada Tabel 12. Sehubungan dengan itu maka dalam perhitungan dan pemanfataan hasil panen kayu seyogyanya juga memperhatikan jumlah pohon atau volume kayu dari semua pohon yang ditebang dan ikut tertebang pada semua KD, sehingga dengan demikian limbah penebangan bisa berkurang.
Untuk
penerapan metode ini maka kompartemenisasi areal pengelolaan hutan dalam bentuk
49 petak-petak yang memiliki keseragaman dalam hal tipe hutan, komposisi jenis dan kondisi ST mutlak diperlukan (Suhendang 1999).
Jumlah pohon per Ha
100 Sebelum
Setelah
75 50
25
60 up
55 ‐5 9
50 ‐5 4
45 ‐4 9
40 ‐4 4
35 ‐3 9
30 ‐3 4
25 ‐2 9
20 ‐2 4
15 ‐1 9
0
Kelas Diameter (cm)
Gambar 6 Struktur tegakan sebelum dan setelah penebangan. 4.6 Pendugaan Pertumbuhan Stok Karbon pada HABT Pasca-Conference of the Parties (COP) ke-13 di Bali tahun 2007, konsep pengurangan emisi karbon dioksida dari penebangan dan degradasi hutan (reducing emissions from deforestation and forest degradation/REDD), kemudian berkembang menjadi REDD-plus (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan stok karbon hutan) (Masripatin 2010).
Untuk menduga kemungkinan peningkatan stok karbon, maka
diperlukan model pertumbuhan tegakan yang dapat menduga nilai stok karbon tersebut pada masa yang akan datang. Model DST yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan untuk keperluan tersebut. ton ha-1 ton C C/ha tanpa penebangan
150 125
penebangan 50 cm up 100 75 50
penebangan 40 cm up
25
Tahun
0 0
Gambar 7
25
50
75
100 125 150 175 200 225 250 275 300 325 350
Pertumbuhan stok karbon tanpa penebangan dan dengan penebangan.
50 Sebagai contoh, dengan kondisi awal ST seperti data plot 2 pada Tabel 12 dan Tabel 13, nilai stok karbon hasil proyeksi ST pada tahun ke-350 yang merupakan setengah dari potensi biomassa yang dihitung dengan menggunakan rumus Brown (1997) adalah 137 ton C ha-1.
Apabila dilakukan penebangan dengan intensitas
penebangan 60% sesuai skema penebangan pada Tabel 12 (batas diameter pohon ditebang 50 cm), dan dengan asumsi bahwa 25% kandungan karbon pada pohon yang ditebang tetap berada pada produk kayu olahan, maka akumulasi nilai stok karbon pada tahun ke-350 adalah 135 ton C ha-1. Sedangkan apabila dilakukan penebangan dengan intensitas penebangan 60% sesuai skema penebangan pada Tabel 13 (batas diameter pohon ditebang 40 cm), dan dengan asumsi bahwa 25% kandungan karbon pada pohon yang ditebang tetap berada pada produk kayu olahan, maka akumulasi nilai stok karbon pada tahun ke-350 adalah 150 ton C ha-1 (Gambar 7).
51
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan (1) Berdasarkan data contoh 101 PUP yang tersebar di Kalimantan, jumlah pohon serta kondisi ST hutan alam bekas tebangan diketahui beragam dan terbagi menjadi 7 (tujuh) tipe ST, yaitu tipe I : Nokecil-kkecil (32%), tipe II : Nokecil-ksedang (17%), tipe III : Nokecil-kbesar (1%), tipe V : Nosedang-ksedang (30%), tipe VI : Nosedangkbesar (4%), tipe VIII : Nobesar-ksedang (4%) dan tipe IX : Nobesar-kbesar (13%). (2) Melalui persamaan regresi linier, peubah-peubah jumlah pohon, luas bidang dasar, ketinggian dari muka laut atau lamanya waktu setelah penebangan, berdasarkan data yang ada, belum cukup untuk bisa menjelaskan fenomena DST HABT di Kalimantan.
Komponen DST yang diperoleh tidak dapat digunakan untuk
melakukan proyeksi ST. (3) Penggunaan nilai rata-rata hitung yang menyatakan rekrutmen serta proporsi banyaknya pohon tambah tumbuh dan yang tetap per kelas diameter pada setiap kelompok jenis dipterokarpa dan non dipterokarpa untuk pendugaan ST menunjukkan hasil yang lebih tepat, lebih logis dan berdasarkan data yang ada secara umum ST hasil proyeksi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding ST aktualnya. (4) Jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai ST siap tebang pada rotasi tebang yang akan datang, beragam tergantung kepada jumlah pohon dan struktur tegakan awal setelah penebangan sebelumnya. (5) Jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai ST siap tebang pada rotasi tebang berikutnya sangat tergantung pada intensitas penebangan sesuai preskripsi pengaturan hasil yang ditetapkan, semakin besar intensitas penebangan maka semakin panjang juga jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai ST siap tebang pada rotasi tebang berikutnya tersebut. (6) Dengan asumsi bahwa kualitas tempat tumbuh dan daya pemulihan tegakan sama, dalam jangka panjang ST dengan tipe yang berbeda namun pada intensitas penebangan yang sama akan mengarah kepada rotasi tebang yang juga sama. (7) Penurunan batas minimum diameter pohon yang ditebang dari 50 cm menjadi 40 cm dengan kriteria (jumlah pohon layak tebang dan intensitas penebangan) tertentu, apabila hanya ditinjau dari aspek produksi kayunya saja, maka selain memperpendek rotasi tebang juga dapat meningkatkan volume hasil tebangan.
52 Akan tetapi, mengingat simulasi yang dilakukan dalam penelitian ini belum memperhatikan komponen-komponen ekosistem hutan yang bersifat utuh, maka kesimpulan ini belum dapat dijadikan dasar yang bersifat ilmiah untuk menurunkan batas minimal diameter pohon yang dapat ditebang dari 50 cm ke 40 cm. 5.2 Saran (1) Oleh karena pertumbuhan tegakan sangat tergantung kepada kondisi jumlah pohon keseluruhan dan jumlah pohon pada setiap tingkat pertumbuhan pohonnya, maka preskripsi pengaturan hasil hutan alam produksi bekas tebangan, khususnya dalam hal jangka benah, rotasi tebang, kriteria pohon layak tebang dan intensitas penebangan harus ditentukan secara spesifik pada unit perlakuan dan unit administrasi terkecil (level tegakan). (2)
Untuk meminimalisir keragaman kondisi tegakan, kompartemenisasi merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam pengelolaan hutan alam produksi.
(3)
Penurunan batas ukuran diameter pohon yang ditebang harus ditentukan secara cermat dengan memperhatikan nilai kayu dan persyaratan teknis (sesuai ukuran diameter) dari industri yang memerlukan kayu hasil tebangan tersebut.
(4) Hasil pengukuran PUP pada rentang waktu yang panjang sangat diperlukan untuk proses validasi hasil simulasi proyeksi struktur tegakan, untuk itu pengawasan dan evaluasi perlu dilakukan menyangkut keberadaan dan kondisi PUP di lapangan. (5) Ketersediaan PUP dengan pengukuran ulang yang kontinyu dan akurasi data yang terjaga perlu mendapat perhatian yang lebih serius dari unit pengelola hutan di bawah pengawasan dan evaluasi yang rutin dari badan yang berwenang. (6) Pengamatan, pencatatan, dan pengukuran dimensi pohon pada pohon bernomor hendaknya mulai dari pohon berukuran 5 cm, agar rekrutmen pada kelas diameter mulai dari 10 cm dapat diperoleh.
53
DAFTAR PUSTAKA Alder D. 1995. Growth Modelling for Mixed Tropical Forests. Oxford Forestry Institute, Department of Plant Sciences, University of Oxford. Tropical Forestry Paper No. 30. 231 p. Appanah S, Weinland G, Bossel H, Krieger H. 1990. Are tropical rain forests nonrenewable ? An enquery through modelling. J. Trop. For. Sci. 2(4):331-348. Aryanto. 2001. Simulasi pengaturan hasil hutan kayu secara adaptif (Studi kasus di HPH PT Belayan River Timber, Kalimantan Timur) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Buongiorno J, Michie BR. 1980. A matrix model of uneven-aged Forest Management. For. Sci. 26(4):609-625. Buongiorno J, Peyron J, Houllier F, Bruciamacchie M. 1987. Growth and management of mixed-species, uneven-aged forests in the French Jura: implications for economic returns and tree diversity. For. Sci. 41 (3):397-429. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest: A primer. FAO Forestry Paper. USA. 134: 10-13. Departemen Kehutanan RI. 2002. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 8171/Kpts-II/2002 tentang Kriteria Potensi Hutan Alam Produksi yang Dapat Diberikan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Alam. Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan RI. 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 88/KptsII/2003 tentang Kriteria Potensi Hutan Alam pada Hutan Produksi yang Dapat Dilakukan Pemanfaatan Hutan Secara Lestari. Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan RI. 2008. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2008. http://www.dephut.go.id/files/Rekalkulasi_08/Rekalkulasi%2008.pdf [19-8-2009] Dewi KT. 2007. Karakteristik Tegakan Hutan Alam Produksi Setelah Penebangan (Kasus di Provinsi Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Elias. 1997. Wood harvesting damages, regeneration and growth in the residual stand of dipterocarp forest : A case study in the concession area of PT. Narkata Rimba, East Kalimantan, Indonesia. BIOTROP Spec. Publ. No. 60:107-117. Elias. 1998. Long-Term Monitoring of Biological Diversity with Permanent Sample
Plots (A Study on Logged-Over Diptero-carp Forests in the Tropical Natural Forest in East Kalimantan, Indonesia). A poster presented on International Conference on Indicators for Sustainable Forest Management, in Melbourne, Australia. Elias. 2002. Rasionalisasi kegiatan logging dan kondisi minimal struktur tegakan yang boleh ditebang dalam pengelolaan hutan alam tropika Indonesia. Jurnal Teknologi Hasil Hutan – Fakultas Kehutanan IPB, Vol. XV No. I. Elias, Manan S, Rosalina U. 1997. Studi hasil penerapan pedoman Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) di areal HPH PT Kiani
54 Lestari dan PT Narkata Rimba, Kalimantan Timur. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Ermayani E. 2000. Studi model struktur tegakan dan prospek pertumbuhan tegakan hutan alam bekas tebangan (Studi kasus di HPH PT Dwimajaya Utama, Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hao Q, F Meng, Y Zhou, J Wang. 2005. A transition matrix growth model for unevenaged mixed-species forests in the Changbai Mountain, northeastern China. New Forests 29: 221-231. Hinrich A, Solichin. 2000. DIPSIM Kaltim : Sebuah perangkat pendukung perencanaan sistem pengelolaan hutan lestari. Bulletin Forum Komunikasi Sumberdaya Manusia Kehutanan Kalimantan Timur. Vol. 3 No. 9:15-17, 2000. Ingram CD, Buongiorno J. 1996. Income and Diversity Tradeoffs from Management of Mixed Lowland Dipterocarps in Malaysia. J. Trop. For. Sci. 9(2):242-270. Indrawan A. 2000. Perkembangan suksesi tegakan hutan alam setelah penebangan dalam sistem tebang pilih tanam indonesia [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [ITTO] International Tropical Timber Organization. 2005. Revised ITTO criteria and indicators for the sustainable management of tropical forests including reporting format. ITTO Policy Development Series No 15. http://www.itto. or.jp/live/Live_Server/963/ps15e.pdf [24 April 2006] Kleine M, Hinrichs A. 1999. DIPSIM-KALTIM Dipterocarp Forest Growth Simulation Model : Model Concept and Guide to AAC Determination. SFMP Document No. 3. 37 p. Kleine M, Hinrichs A. 2002. The DIPSIM Model and its Application for Sustainable Forest Management in Tropical Forests. In : Ismail SM, Kiam TS, Hwai YY, Deris O, Korsgaard S, editors. Proceedings of the Malaysia-ITTO international workshop on growth and yield of managed tropical forest. Forestry Department Peninsular Malaysia. 102-121. Korsgaard. 2002. Workshop Summary of Discussion and Comments. Session V. In : Ismail SM, Kiam TS, Hwai YY, Deris O, Korsgaard S, editors. Proceedings of the Malaysia-ITTO international workshop on growth and yield of managed tropical forest. Forestry Department Peninsular Malaysia. 201. Krisnawati H. 2001. Pengaturan hasil hutan tidak seumur dengan pendekatan dinamika struktur tegakan : Studi kasus hutan alam bekas tebangan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Labetubun MS, Suhendang E, Darusman D. 2005. Metode pengaturan hasil hutan tidak seumur melalui pendekatan model dinamika sistem : Kasus hutan alam bekas tebangan. Forum Pascasarjana Vol. 28 (2) : 91-101. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Lamprecht H. 1989. Silvikulture in the Tropics. Deutsche Gesselschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Eschborn. Germany.
55 Lin CR, Buongiorno J, Vasievich M. 1996. A multi-species, density-dependent matrix growth model to predict tree diversity and income in northern hardwood stands. Ecol. Model. 91:193-211. Lu H, Buongiorno J. 1993. Long- and short-term effects of alternative cutting regimes on economic returns and ecological diversity in mixed-species forests. For. Ecol. Manage. 58:173-192. Masripatin N. 2010. Hutan Indonesia: Penyerap atau Penyumbang Emisi Dunia ?. Dalam : Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban. Prisma Vol. 29 No. 2, April 2010. LP3ES. Jakarta. Mendoza GA, Onal H, Soetjipto W. 2000. Optimising tree diversity and economic returns from managed mixed forests in Kalimantan, Indonesia. J. Trop. Sci. 12(2):298-319. Mendoza GA, Setyarso A. 1986. A transition matrix forest growth model for evaluating alternative harvesting schemes in Indonesia. For. Ecol. Manage. 15:219-228. Michie BR, Buongiorno J. 1984. Estimation of a matrix model of forest growth from re-measured permanent plots. For. Ecol. Manage. 8:127-135. Muhdin, Suhendang E, Wahjono D, Purnomo H, Istomo, Simangunsong BCH. 2008. Keragaman Struktur Tegakan Hutan Alam Sekunder (The Variability of Stand Structure of Logged-over natural Forest). Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 14(2):82-88. Nursetyani A. 2007. Karakteristik Tegakan Hutan Alam Produksi Setelah Penebangan (Kasus di Provinsi Kalimantan Timur) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Parthama IB. 2002. Pengaturan hasil hutan alam produksi. Makalah disampaikan dalam Diskusi Penentuan AAC Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan dan DFID-FRP (The University of Edinburgh). Jakarta, 21 Pebruari 2002. Phillips PD, Gardingen PR van. (1999). Ecological Species Grouping for Forest Management in East Kalimantan. Berau Forest Management Project. Jakarta. Phillips PD, McLeish M, Brash T, Susanti FH, Gadas S, Purnama B, Sardjono E, Yasman I, Gardingen PR van. 2000. The SYMFOR model : A general description. Symfor Technical Note Series No. 3. http://www.symfor.org/ technical/symfordescription.pdf [17 April 2006] Phillips PD, Yasman I, Brash TE, Gardingen PR van. 2002. Grouping tree species for analysis of forest data in Kalimantan (Indonesian Borneo). For. Ecol. Manage. 157:205-216. Rusolono T, Parthama IBP, Rosmantika M. 1997. Growth model and dynamics of logged-over forest stand : Case study in the natural forest of Pulau Laut, South Kalimantan. BIOTROP Spec. Publ. No. 60:125-137. [SCKPFP] South and Central Kalimantan Production Forest Project. 2002. MYRLIN Methods of Yield Regulation with Minimal Information : Pengaturan Hasil di HPH
56 PT. Aya Yayang Indonesia, Propinsi Kalimantan Selatan. Laporan No. 129, April 2002. Saragi Y. 2007. Karakteristik Tegakan Hutan Alam Produksi Setelah Penebangan (Kasus di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Setyarso A. 1991. Assesment on stand structure and growth after an intensive logging in dipterocarp forest. Fourth Round Table Conference on Dipterocarps. BIOTROP Spec. Publ. No. 41:191-200. Shugart Jr HH, West DC. 1980. Forest Succession Models. Bioscience 30(5):308-313. Suhendang E. 1994. Penerapan model dinamika struktur tegakan hutan alam yang mengalami penebangan dalam pengaturan hasil dengan metode jumlah pohon sebagai suatu alternatif upaya penyempurnaan sistem silvikultur TPTI. Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1994/1995 (tahun ketiga). Fakultas Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan. Suhendang E, Soerianegara I, Rusolono T, Prihanto B, Purnomo H, Muhdin. 1995. Petunjuk operasional penerapan metode pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon pada hutan alam campuran tidak seumur. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Suhendang E. 1997. Penentuan periode pengukuran optimal untuk petak ukur permanen di hutan alam tanah kering. Jurnal Manajemen Hutan Tropika III (1):1-14. Suhendang E. 1999. Pembentukan hutan normal tidak seumur sebagai strategi pembenahan hutan alam produksi menuju pengelolaan hutan lestari di Indonesia : Sebuah analisis konsepsional dalam ilmu manajemen hutan. Orasi ilmiah guru besar tetap dalam ilmu manajemen hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor, 29 Mei 1999. Suhendang E. 2002. Growth and Yield Studies : Their implication for the management of Indonesian tropical forest. In : Ismail SM, Kiam TS, Hwai YY, Deris O, Korsgaard S, editors. Proceedings of the Malaysia-ITTO international workshop on growth and yield of managed tropical forest. Forestry Department Peninsular Malaysia. 205-216. Suhendang E. 2005. Kontroversi di sekitar AAC. Bahan Presentasi dalam Diskusi Penentuan AAC Hutan Alam Produksi. Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki). Jakarta. Sumarna K, Wahjono D, Krisnawati H. 2002. Proyeksi Potensi Hutan Alam Produksi Bekas Tebang Pilih dan Konsep Perhitungan Jatah Produksi Kayu Tahunan. Makalah disampaikan dalam Diskusi Penentuan AAC Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan dan DFID-FRP (The University of Edinburgh). Jakarta, 21 Pebruari 2002. Sutisna M. 1997. Growth of a tropical lowland forest in East Kalimantan. BIOTROP Spec. Publ. No. 60:81-91. Taptajani R. 2002. Simulasi pengaturan hasil hutan kayu secara adaptif (Studi kasus di HPH PT Timberdana, Kalimantan Timur) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
57 Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi : Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 284 p. Usher MB. 1966. A matrix approach to the management of renewable resources, with special refrence to selection forests. Journal of Applied Ecology 3(2):355-367. Vanclay JK. 1994. Modelling Forest Growth and Yield. CAB International. Wallingford. 312 p. Vanclay JK. 1995. Growth model for tropical forest : A synthesis of models and methods. For. Sci. 41(1):7-42. Vanclay JK. 2002. Growth Modelling and Yield Predictions For Sustainable Forest Management. In : Ismail SM, Kiam TS, Hwai YY, Deris O, Korsgaard S, editors. Proceedings of the Malaysia-ITTO international workshop on growth and yield of managed tropical forest. Forestry Department Peninsular Malaysia. 11-21. Volin VC, Buongiorno J. 1996. Effects of alternative management regimes on forest stand structure, species composition, and income : a model for the Italian Dolomites. For. Ecol. Manage. 87:107-125. Waite S. 2000. Statistical ecology in practice : A guide to analysing environmental and ecological field data. Prentice Hall. London. Wahjono D, Krisnawati H. 2002. Penyusunan model dinamika struktur tegakan untuk pendugaan hasil di hutan alam rawa bekas tebangan di Provinsi Jambi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bul. Pen. Hutan 632:1-16. Whitmore TC. 1896. Tropical rain forest of the far east. English Language Book Society. Oxford University Press. Wulandari D. 2010. Keragaman karakteristik tempat tumbuh dan tegakan hutan alam hujan tropik tanah kering bekas tebangan di Pulau Kalimantan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
58
Lampiran
59 Lampiran 1 Luas penutupan lahan Indonesia (x 1000 ha) Status dan fungsi hutan
Kawasan hutan
Hutan tetap
HK HL HPT HP Jumlah HPK Jumlah % Jumlah %
APL
Total %
Hutan 15 197 23 020 18 835 22 080 79 132 11 004 90 135 48.0 8 325 4.4 98 460 52.4
Penutupan lahan Non hutan Tidak ada data 3 790 712 5 895 940 5 498 454 13 091 536 28 272 2 642 11 004 344 39 276 2 986 20.9 1.6 46 491 572 24.8 0.3 85 767 3 558 45.7 1.9
Total 19 699 29 855 24 786 35 707 110 046 22 352 132 398 70.5 55 387 29.5 187 785 100
Sumber : Departemen Kehutanan (2008)
Keterangan : HK = Kawasan hutan konservasi (Suaka alam/Pelestarian alam) HPT = Kawasan hutan produksi terbatas HPK = Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi APL = Areal penggunaan lain HL = Kawasan hutan lindung
Lampiran 2 Luas penutupan lahan berhutan di Indonesia (x 1000 ha)
Hutan tetap
Kawasan hutan
Status dan fungsi hutan
APL
HK HL HPT HP Jumlah HPK Jumlah % Jumlah %
Total %
Hutan primer 10 503.5 13 521.4 7 202.6 7 776.2 39 003.6 5 091.3 44 094.9 44.8 1 050.5 1.1 45 145.4 45.9
Sumber : Departemen Kehutanan (2008
Penutupan lahan Hutan sekunder Hutan tanaman 4 617.5 76.1 9 153.0 345.7 11 066.2 565.8 12 046.3 2 257.6 36 883.0 3 245.3 5 738.5 173.7 42 621.5 3 419.0 43.3 3.5 6 033.9 1 240.3 6.1 1.3 48 655.4 4 659.3 49.4 4.7
Total 15 121.0 22 674.4 18 834.7 22 080.1 79 132.0 11 003.5 90 135.5 91.5 8 324.7 8,5 98 460.2 100
60 Lampiran 3 Luas penutupan lahan berhutan pada kawasan hutan produksi (x 1000 ha) HP
Pulau
HPT
Jumlah
Jumlah
Total
316.1
2 117.5
5 683.1
26.2
157.8
186.0
1 296.2
3 227.0
5 912.9
73.2
9 213.1
16 630.8
692.0
827.6
1 561.2
7.8
2 396.7
3 088.7
6.2
213.6
107.6
164.7
8.3
280.5
494.1
632.3
19.2
769.9
141.6
1 074.4
1.8
1 217.8
1 987.7
6 449.2
1 861.7
0.2
8 311.0
2 703.0
719.4
0.7
3 423.0
11 734.0
7 776.2
12 046.3
2 257.6
22 080.1
7 202.6
11 066.2
565.8
18 834.7
40 914.8
Primer
Sekunder
Tanaman
Primer
Sekunder
Tanaman
Sumatera
414.9
2 502.1
648.7
3 565.6
193.9
1 607.4
Jawa
42.5
97.8
969.9
1 110.2
1.9
Kalimantan
562.9
6 248.7
606.1
7 417.7
Sulawesi
145.5
539.1
7.4
Bali dan Nusa Tenggara
42.8
164.6
Maluku dan Maluku Utara
118.4
Papua Total
Sumber : Departemen Kehutanan (2008)
61 Lampiran 4 Kelompok jenis pohon dan karakteristiknya No.
Nama kelompok
Karakteristik
Anggota
1
Shorea cepat tumbuh (D1)
Shorea : johorensis, leprosula, ovalis
2
Dipterocarpaceae cepat tumbuh (D2)
Pohon besar, intoleran Pohon besar, toleran
3
Dipterocarpaceae lambat tumbuh (D3)
Pohon besar, toleran
4
Dipterocarpacea lainnya (D4)
5
Non Dipterocarpaceae intoleran (N1)
Pohon kecil, default group untuk jenis Dipterocarpaceae Pohon kecil, intoleran
6
Non Dipterocarpaceae toleran (N2)
Pohon kecil, toleran, default group untuk jenis nonDipterocarpaceae
7
Non Dipterocarpacea lainnya (N3) Lain-lain
Pohon kecil, cepat tumbuh, intoleran Tidak diketahui
8
Shorea : faguetiana, lamellata, mecistopteryx, ochracea, parvifolia, pauciflora, pinanga, smithiana, virescens, parvistipulata, agamii, almon, confusa, longisperma, macrophylla/pinanga, parvifolia, superba, symingtonii ; Parashorea : malaanonan, smythiesii ; Dryobalanops : beccarii, lanceolata ; Anisoptera : costata, laevis Dipterocarpus : caudiferus, confertus, costulatus, gracilis, grandiflorus, humeratus, acutangulus, glabrigemmatus, pachyphyllus, palemb./borneensis, stellatus/parvus ; Shorea : guiso, hopeifolia, inappendiculata, laevis, maxwelliana, scrobiculata, seminis, exelliptica ; Hopea : sangal, semicuneata Hopea : bracteata, dryobalanoides, ferruginea, mengerawan, pachycarpa, resinosa, nervosa ; Vatica : micrantha, rassak, sarawakensis, umbonata, albiramis, nitens, oblongifolia/multi., odorata/mindanensis, vinosa ; Shorea : atrinervosa, beccariana, bentongensis, ochrophloia, angustifolia, fallax, leptoderma, macroptera/sandak, parvistipulata, patoiensis, semicunata ; Dipterocarpus : appendiculatus, tempehes, elongatus ; Cotylelobium melanoxylon Aglaia : odoratissima, tomentosa, eximia, trichostemon, polyandra, sapindina, shawiana ; Mangifera : foetida, macrocarpa, oblongifolia, quadrifida ; Artocarpus : anisophyllus, dadah, elasticus, glaucus, integer, kemando, lanceifolius, odoratissimus ; Alseodaphne : insignis, dewildei, elmeri, oblanceolata, ceratoxylon ; Eusideroxylon zwageri ; Mallotus : echinatus, muticus ; Antidesma leucopodum ; Artocarpus nitidus ; Horsfieldia : brachiata, brachiata var. sumatranum, grandis, macrocoma ; Knema : laurina, cineria, furfuracea, hookeriana, latericia, conferta, elmeri, latifolia ; Palaquium calophyllum ; Pentace : polyantha, triptera, adenophora, borneensis, discolor ; Gironniera nervosa Mammea malayana ; Mezzetia : umbellata, leptopoda ; Paratocarpus venenosus ; Acer niveum ; Alangium ridleyi ; Bouea : oppositifolia, macrophylla ; Buchanania insignis, Campnosperma auriculata, Dracontomelon : costatum, dao ; Gluta : rengas, wallichii ; Koordersiodendron pinnatum ; Melanochylla elmeri ; Parishia maingayi ; Swintonia schwenkii ; Cyathocalyx magnificus ; Goniothalamus macrophyllus ; Monocarpia euneura ; Polyalthia : glauca, lateriflora, rumphii, sumatrana, beccarii, Saccopetalum horsfieldii, Sagereaea lanceolata ; Xylopia : malayana, fusca ; Alstonia angustiloba ; Dyera costulata ; Ilex cymosa ; Agathis borneensis ; Coelostegia borneensis ; Durio : carinatus, acutifolius, kutejensis, oxleyanus, testudinarum, graveolens ; Canarium : apertum, caudatum, denticulatum, littorale, odontophyllum, megalanthum, elmeri, littorale f. tomentos ; Dacryodes : costata, laxa, rostrata, rugosa, pachyphyllus, rostrata f. pallida, rostrara f. rost. ; Santiria : griffithii, laevigata, tomentosa ; Sindora velutinata ; Cynometra ramiflora ; Koompassia exelsa ; Saraca minor ; Sindora : coriacea ; galedupa, velutina ; Bhesa paniculata ; Kokoona : reflexa, ochracea ; Lophopetalum javanicum ; Atuna exelsa ; Parinari oblongifolia ; Ellipanthus sp., Mastixia bracteata ; Winmannia fraxinea ; Octomeles sumatrana ; Dillenia : exelsa, sumatrana ; Diospyros : borneensis, curranii, densa, ferruginea, frutescens ; dlsb. Anthocephalus chinensis, Glochidion sp., Macaranga : bancana, gigantea, hypoleuca, pruinosa, semilgobosa, triloba ; Lithocarpus sp.
Sumber : Modifikasi dari Phillips & Gardingen (1999) dan Phillips et al. (2002)
---
62 Lampiran 5 Daftar IUPHHK contoh dan karakteristik tempat tumbuhnya No. Seri
IUPHHK
Propinsi
Seri / No. PUP / No. Ptk dan Thn Tebang
Letak/koordinat
Elevasi (m dpl)
Kelerengan
Tipe Iklim
1
PT BASUIMEX
KALTIM
I / - / Ptk 66 / 1993/1994
116°30'−117°30' BT 1°00'-1°30' LU
100-300
0 − 25 %
A
2544
102
Podzolik Kambisol
2
PT BELAYAN RIVER TIMBER
KALTIM
I / - / Ptk 187 / 1993/1994
115°32' BT 0°32'LU
750
2 − 40 %
A
4753
224
Mediteran Podzolik Kambisol
3
PT DAISY TIMBER
KALTIM
- / - / Ptk 27-32A / 1994/1995
118°00'−119°00' BT 1°00'-1°31' LU
50
0 − 25 %
A
1923
4
PT DHARMA SATYA NUSANTARA
KALTIM
I / - / Ptk 27 Zone XVI / 1993/1994
116°50'05" BT 1°02'33" LU
40
0 − 45 %
A
2372
103
5
PT GUNUNG GAJAH ABADI
KALTIM
II / - / Ptk 137 / 1985/1986
116°46'43" BT 1°25'30" LU
230
0 − 15 %
A
2324
117
6
PT JAMAKER
KALTIM
- / - / Ptk 50 / 1993/1994
116°30'−117°35' BT 4°00'-4°20' LU
0-768
0 − 25 %
A
1958
104
Latosol Litosol PMK Alluvial
7
PT MARIMUN TIMBER & INDUSTRIES
KALTIM
I / - / Ptk 188 / 1976
115°46'−116°09' BT 0°00'-0°13' LS
50-100
0 − 15 %
A
2350
125
Podzolik
8
PT MUGI TRIMAN INTER CONTI NENTAL
KALTIM
I / - / Ptk 16A / 1993/1994
115°08'−116°21' BT 0°56'-1°21' LS
450
33%
A
2604
119
Podzolik
115°19'27" BT 0°09'35" LU
300
0 − 25 %
A
3748
123
PMK Latosol Alluvial
176
Curah Hujan Hari Hujan Suhu Udara RH (%) (mm/th) perthn (°C)
Jenis Tanah
Rendoll Eutropept 82,3
26,9
Latosol Podzolik Alluvial
22
Alluvial PMK Latosol
9
PT RATAH TIMBER Co.
KALTIM
I / - / Ptk T-22 / 1993/1994
10
PT REJOSARI BUMI
KALTIM
I / - / Ptk 690 / 1993/1994
117°26'49" BT 2°28'27" LS
350
4,7 %
A
1979
11
PT SUMALINDO LESTARI JAYA I
KALTIM
I / - / Ptk 16 Zone XII / 1993/1994
117°20'−119°00' BT 1°59'-1°59'47" LU
100
0 − 25 %
A
1947
Podzolik Mediteran Renzina
12
PT SUMALINDO LESTARI JAYA II
KALTIM
I / - / Ptk 11 Zone XI / 1992/1993
115°−115°03' BT 0°45'-1°45' LU
650
38%
A
3931
Kambisol distrik dll.
13
PT SUMALINDO LESTARI JAYA II
KALTIM
II / - / PB 12-40 / 1998/1999
115°09'57"−115°10'40" BT 01°12'02"-01°12'43" LU
40-500
30%
A
2884
182
Kambisol distrik dll.
14
PT SUMALINDO LESTARI JAYA IV
KALTIM
I / - / Ptk 62 / 1993/1994
116°40'47" BT 2°17'24" LU
100
5 − 40 %
A
1830
201
PMK Kompleks Organosol
15
PT INTRACAWOOD MANUFACTURING (UNIT SEKATAK)
KALTIM
I / - / Ptk 498 / 1994/1995
116°42'18" BT 3°20'00" LU
200
0 − 45 %
A
3898
222
84
26,7
16
PT INTRACAWOOD MANUFACTURING (UNIT SESAYAP)
KALTIM
I / - / Ptk 1698 / 1993/1994
116°50'27" BT 3°09'47" LU
360
0 − 45 %
A
4263
222
84
26,7
117°02'−117°35' BT 1°20'-1°40' LU
150-400
17
PT KEDUNGMADU TROPICAL WOOD
KALTIM
I-IV/ -/ Ptk Q72&Q77 / 1993/1994
18
PT BARITO PACIFIC TIMBER UNIT 3 (PT SBIP)
KALTENG
-/ -/ Ptk F14 / 1992/1993
115°00'−115°37' BT 1°22'-1°34' LS
715
19
PT ERNA DJULIA WATI
KALTENG
-/ -/ Ptk AF-18 / 1994/1995
102°03'29"−102°03'49" BT 01°09'32"-01°10'02" LS
300
20
PT FAJAR KAHAYAN
KALTENG
I / - / Ptk 38-O / 1991/1992
113°45'07" BT 0°27'56" LS
386
0-25%
92
25,3
Inceptisol PMK
PMK PMK Podzolik Latosol
A
2105
A
3289
143
0 − 25 %
A
3449
228
0 − 45 %
A
2930
192
26,2
Podzolik Latosol
79,1
28,6
PMK Latosol
82,1
26,3
Podzolik PMK Kompleks
63 Lampiran 5 …………. Lanjutan No. Seri
IUPHHK
Propinsi
Seri / No. PUP / No. Ptk dan Thn Tebang
Letak/koordinat
Elevasi (m dpl)
Kelerengan
Tipe Iklim
Curah Hujan Hari Hujan Suhu Udara RH (%) (mm/th) perthn (°C)
21
PT GUNUNG MERANTI
KALTENG
I / - / Ptk BM-12 / 1993/1994
113°39'−114°03' BT 0°21'-0°48' LS
200
0 − 45 %
A
2980
22
PT INHUTANI (III) (HUTAN EMAS)
KALTENG
-/ -/ Ptk AO35 / 1995/1996
114°18'−114°58' BT 0°30'-0°52' LS
165
0 − 25 %
A
2824
200
23
PT INHUTANI (III) (KATINGAN)
KALTENG
-/ -/ Ptk AA49 / 1994/1995
112°25'−113°15' BT 1°15'-1°38' LS
76
0 − 25 %
A
2670
24
PT INHUTANI (III) (SERAWAK)
KALTENG
-/ -/ Ptk DM89 / 1993/1994
113°04'−113°05' BT 1°48'-1°50' LS
65
0 − 45 %
A
112°11'−112°12' BT 0°56'-0°57' LS
329-370
8 − 34 %
Jenis Tanah PMK
29,9
PMK Latosol Litosol
120
26,1
Podzolik
2494
165
26,1
Podzolik
A
3311
126
PMK
83,3
25
PT SARIBUMI KUSUMA
KALTENG
-/ -/ Ptk II.33 / 1998/1999
26
PT SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER
KALTENG
I / - / Ptk 105-AA / 1991/1992
112°09'18" BT 1°30'26" LS
206
0 − 40 %
A
3167
145
PMK
27
PT SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER
KALTENG
II / - / Ptk 100-P / 1988/1989
112°05'06" BT 1°30'05" LS
223
0 − 40 %
A
2978
144
Distropept (Kambisol oksik)
28
PT SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER
KALTENG
III / - / Ptk 110-W / 1993/1994
112°06'47.61" BT 1°27'20.34" LS
225
0 − 45 %
A
3340
154
PMK
29
PT SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER
KALTENG
IV / - / Ptk 98-N / 1987/1988
112°03'40" BT 1°34'14" LS
202
0 − 45 %
A
2929
137
Distropept (Kambisol oksik)
30
PT HALISA
KALBAR
I / - / Ptk O-14 / 1993/1994
111°02'24" BT 0°39'53" LS
200
0 − 25 %
A
3363
206
31
PT HARJOHN TIMBER LIMITED
KALBAR
II / - / Ptk D-4 / 1993/1994
111°00'−111°28' BT 0°39'-1°02' LU
550
A
3362
PMK
KALBAR
- / - / Ptk AJ-23 / 1993/1994
112°12'−112°37' BT 0°35'-0°45' LU
350
0 − 40 %
A
2894
PMK
111°12'02"−111°12'57" BT 0°20'54"-0°21'08" LU
575
0 − 25 %
A
3235
252
86,1
89
32
PT KURNIA KAPUAS PLYWOOD
33
PT MARAGA DAYA WOOD WORKS (PT BARITO PACIFIC TIMBER I)
KALBAR
I / - / Ptk 196 / 1990/1991
34
PT SARIBUMI KUSUMA
KALBAR
I / - / Ptk LL-61 / 1994/1995
112°33'−113°14' BT 0°01'-0°33' LU
100-400
10 − 40 %
A
3371
195
86
35
PT SUKA JAYA MAKMUR
KALBAR
I / - / Ptk LLL-41 / 1993/1994
110°20'−111°20' BT 1°20' LU-1°55' LS
500
8%
A
2761
184
85
36
PT EMIL TIMBER
KALSEL
- / - / Ptk G-17 / 1994/1995
115°26'42" BT 3°02'21" LS
197
0 − 30 %
B
2527
145
37
PT HENDRATNA PLY WOOD
KALSEL
I / - / Ptk E-78 / 1993/1994
115°28'14"−115°28'46" BT 3°30'34"-3°31'06" LS
100
0 − 60 %
A
2153
38
PT KODEKO TIMBER
KALSEL
- / - / Ptk V-A / 1993/1994
115°51'04" BT 3°05'05" LS
45
0 − 30 %
B
2845
26,9
26,4
PMK PMK kompleks
PMK PMK Latosol
26
PMK PMK Latosol Litosol Distropept Hapludult Hapludalt Troportent
166
26
Mediteran
64 Lampiran 6 Daftar IUPHHK dan jumlah PUP contoh No.
IUPHHK
Propinsi
Jumlah PUP Contoh
1
PT BELAYAN RIVER TIMBER
Kaltim
3
2
PT DAISY TIMBER
Kaltim
3
3
PT DHARMA SATYA NUSANTARA
Kaltim
3
4
PT GUNUNG GAJAH ABADI
Kaltim
3
5
PT INTRACAWOOD MANUFACTURING (Unit Sekatak)
Kaltim
3
6
PT INTRACAWOOD MANUFACTURING (Unit Sesayap)
Kaltim
3
7
PT KEDUNGMADU TROPICAL WOOD
Kaltim
3
8
PT MARIMUN TIMBER & INDUSTRIES
Kaltim
3
9
PT MUGI TRIMAN INTER CONTI NENTAL
Kaltim
3
10
PT REJOSARI BUMI
Kaltim
3
11
PT RATAH TIMBER Co.
Kaltim
3
12
PT SUMALINDO LESTARI JAYA I
Kaltim
3
13
PT SUMALINDO LESTARI JAYA IV
Kaltim
3
14
PT SUMALINDO LESTARI JAYA II
Kaltim
3
15
PT ERNA DJULIA WATI
Kalteng
1
16
PT FAJAR KAHAYAN
Kalteng
3
17
PT GUNUNG MERANTI
Kalteng
3
18
PT INHUTANI (III) (HUTAN EMAS)
Kalteng
3
19
PT SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER
Kalteng
3
20
PT SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER
Kalteng
3
21
PT SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER
Kalteng
3
22
PT SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER
Kalteng
3
23
PT HALISA
Kalbar
3
24
PT SARIBUMI KUSUMA
Kalbar
3
25
PT SUKA JAYA MAKMUR
Kalbar
3
26
PT KODEKO TIMBER
Kalsel
2
65 Lampiran 7 Peta situasi sebaran IUPHHK contoh di Kalimantan
66 Lampiran 8 INP kelompok jenis/famili pohon di Kalimantan Timur No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Genus/Famili Anisoptera Dipterocarpus Dryobalanops Hopea Parashorea Shorea Vatica INP Dipterocarpaceae Alangiaceae Anacardiaceae Annonaceae Apocynaceae Araliaceae Bombacaceae Burseraceae Caesalpiniaceae Celastraceae Combretaceae Dahniphylaceae Datiscaceae Dilleniaceae Ebenaceae Euphorbiaceae Fabaceae Fagaceae Flacourticeae Guttiferae Lauraceae Lecythidaceae Leguminaceae Loganiaceae Lythraceae Magnoliaceae Malvaceae Melastomataceae Meliaceae Mimosaceae Moraceae Myristicaceae Myrsinaceae Myrtaceae
KR (%) 0.167 4.278 1.999 1.514 0.016 16.915 1.202
FR (%) 0.874 3.577 2.941 1.51 0.159 4.293 1.828
DR (%) 0.262 6.674 2.491 1.404 0.022 24.917 0.57
0.145 3.055 3.723 0.35 0.038 0.598 2.371 1.067 0.738 0.56 0.016 0.194 0.609 3.125 4.273 0.156 1.891 0.065 1.557 4.974 0.307 0.652 0.156 0.011 0.124 0.043 0.291 0.507 0.108 1.304 2.937 0.005 5.949
0.477 3.736 2.862 1.51 0.238 2.146 3.736 3.1 1.749 0.874 0.079 0.636 1.192 3.975 3.498 0.477 2.862 0.318 3.18 3.736 0.874 1.987 0.477 0.079 0.715 0.318 1.431 1.669 1.003 3.498 3.18 0.079 4.054
0.084 2.718 2.015 0.708 0.183 0.459 1.874 2.184 0.58 0.773 0.038 0.278 0.695 2.511 2.802 0.269 1.83 0.054 1.314 6.021 0.146 0.836 0.138 0.003 0.199 0.048 0.098 0.455 0.177 1.277 1.801 0.001 4.77
INP (%) 1.304 14.529 7.432 4.428 0.198 45.404 3.6 76.9 0.706 9.509 8.6 2.569 0.459 3.204 7.982 6.351 3.067 2.208 0.134 1.108 2.496 9.611 10.573 0.902 6.583 0.436 6.051 14.731 1.327 3.475 0.771 0.093 1.038 0.409 1.82 2.631 1.319 6.079 7.917 0.086 14.773
67 Lampiran 8 ................... Lanjutan No.
Genus/Famili
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Ochanace Olacaceae Papilionaceae Podocarpaceae Polygalaceae Rhizophoraceae Rosaceae Rubiaceae Sapindaceae Sapotaceae Simarubaceae Sonneratiaceae Sterculiaceae Symplocaceae Theaceae Thymelaeaceae Tiliaceae Ulmaceae Verbenaceae Tidak dikenal Total
Sumber : Nursetyani (2007)
KR (%) 0.038 1.142 0.981 0.108 0.442 0.005 0.226 1.051 1.816 4.65 0.787 0.016 1.008 0.28 0.102 0.027 0.469 0.797 0.059 18.003 100
FR (%) 0.238 1.987 0.556 0.397 0.715 0.079 1.033 2.146 2.464 4.213 1.033 0.159 2.941 1.033 0.079 0.318 0.556 0.636 0.318 4.134 100
DR (%) 0.016 1.653 1.185 0.1 0.318 0.002 0.189 0.448 1.781 4.904 0.36 0.023 0.858 0.353 0.032 0.015 0.446 0.626 0.049 13.683 100
INP (%) 0.292 4.783 2.722 0.606 1.475 0.087 1.449 3.645 6.061 13.767 2.18 0.198 4.807 1.667 0.214 0.36 1.471 2.06 0.426 35.819 300
68 Lampiran 9 INP kelompok jenis/famili pohon di Kalimantan Tengah No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Genus/Famili Anisoptera Dipterocarpus Dryobalanops Hopea Shorea Vatica INP Dipterocarpaceae Alangiaceae Anacardiaceae Annonaceae Apocynaceae Araucariaceae Bombacaceae Burseraceae Caesalpiniaceae Celastraceae Clacaceae Combretaceae Dilleniaceae Ebenaceae Euphorbiaceae Fagaceae Flacourticeae Guttiferae Hammamelidaceae Hypericaceae Lauraceae Lecythidaceae Lythraceae M agnoliaceae M elaceae M elastomataceae M eliaceae M imosaceae M oraceae M yristicaceae M yrtaceae Ochanace Olacaceae Papilionaceae Podocarpaceae
KR (%) 0.313 6.216 1.241 0.396 19.764 2.952
FR (%) 1.349 4.722 1.518 1.349 4.890 4.047
DR (%) 0.331 8.821 1.141 0.420 29.623 2.764
0.010 3.859 3.160 0.271 0.115 1.147 2.096 3.577 0.219 0.083 0.010 0.396 0.407 5.392 0.834 0.355 2.837 0.010 0.021 4.965 1.064 0.073 0.198 0.209 0.563 0.334 0.136 0.615 3.118 9.460 0.063 0.521 0.240 0.083
0.169 3.879 3.204 1.349 1.180 1.518 2.867 4.384 0.337 0.169 0.169 1.686 1.180 3.879 3.541 1.349 4.216 0.169 0.337 2.867 1.012 0.337 0.506 0.337 2.361 0.675 1.349 2.698 3.541 3.035 0.506 1.180 0.506 0.675
0.002 3.229 1.778 0.460 0.262 1.212 1.233 4.576 0.155 0.094 0.017 0.286 0.278 4.938 0.908 0.126 2.912 0.004 0.013 5.015 0.792 0.044 0.221 0.188 0.254 0.252 0.225 0.521 2.050 6.920 0.025 0.576 0.119 0.046
INP (%) 2.0 19.8 3.9 2.2 54.3 9.8 91.9 0.7 9.5 8.6 2.6 0.5 3.2 8.0 6.4 3.1 2.2 0.1 1.1 2.5 9.6 10.6 0.9 6.6 0.4 6.1 14.7 1.3 3.5 0.8 0.1 1.0 0.4 1.8 2.6 1.3 6.1 7.9 0.1 14.8 0.3
69 Lampiran 9 .................... Lanjutan No.
Genus/Famili
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
Polygalaceae Rhizophoraceae Rosaceae Rubiaceae Rutaceae Sapindaceae Sapotaceae Sonneratiaceae Sterculiaceae Symplocaceae Theaceae Thymelaeaceae Tilliaceae Ulmaceae Tidak dikenal Total
Sumber : Dewi (2007)
KR (%) 0.657 0.083 0.469 1.669 0.198 0.803 4.276 0.261 2.701 1.001 0.240 1.356 0.021 0.365 8.573 100
FR (%) 1.686 0.337 1.012 2.361 0.506 2.361 4.047 1.518 2.192 1.518 0.843 2.024 0.337 0.675 3.541 100
DR (%) 0.796 0.045 0.449 0.649 0.043 0.599 3.880 0.150 2.175 0.353 0.224 1.364 0.049 0.208 6.185 100
INP (%) 4.8 2.7 0.6 1.5 0.1 1.4 3.6 6.1 13.8 2.2 0.2 4.8 1.7 0.2 0.4 300
70 Lampiran 10 INP kelompok jenis/famili pohon di Kalimantan Barat No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Genus/Famili Anisoptera Dipterocarpus Dryobalanops Hopea Shorea Vatica INP Dipterocarpaceae Lauraceae Myrtaceae Sapotaceae Myristicaceae Burseraceae Anacardiaceae Caesalpiniace Sapindaceae Euphorbiaceae Fagaceae Guttiferae Moraceae Olacaceae Meliaceae Bombacaceae Annonaceae Simaroub. Celastraceae Sterculiaceae Polygalaceae Mimosaceae Ebenaceae Rubiace Datiscaceae Hypericaceae Magnoliaceae Lecythidaceae Theaceae Thymelaceae
KR (%) 0.120 1.543 0.321 0.321 12.124 1.844
FR (%) 0.767 3.069 1.535 1.279 4.604 1.023
DR (%) 0.026 1.273 0.440 0.200 21.288 2.519
11.042 11.583 4.910 4.489 2.846 3.287 1.703 1.864 3.206 1.222 1.202 1.363 3.768 1.924 0.541 0.902 1.162 1.042 0.441 0.962 0.261 0.621 0.601 0.401 0.100 0.240 0.180 0.200 0.301
4.604 4.604 4.348 4.604 4.348 3.836 3.581 4.348 2.813 4.092 3.836 3.581 0.130 1.535 3.581 2.558 1.279 1.535 2.046 1.279 2.046 1.535 1.535 1.790 1.535 1.279 1.023 1.279 1.023
12.701 10.355 3.928 2.799 3.172 2.959 3.904 2.089 2.273 1.491 1.282 1.302 1.810 1.287 0.376 0.552 1.352 0.909 0.650 0.667 0.353 0.438 0.239 0.111 0.434 0.442 0.416 0.101 0.192
INP (%) 0.9 5.9 2.3 1.8 38.0 5.4 54.3 28.3 26.5 13.2 11.9 10.4 10.1 9.2 8.3 8.3 6.8 6.3 6.2 5.7 4.7 4.5 4.0 3.8 3.5 3.1 2.9 2.7 2.6 2.4 2.3 2.1 2.0 1.6 1.6 1.5
71 Lampiran 10 ......................... Lanjutan No. 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Genus/Famili Apocynaceae Aquifoliaceae Flacourticeae Dilleniaceae Rosaceae Verbenaceae Alangiaceae Linnaceae Podocarpaceae Ochanace Loganiaceae Rhizophorace Symplocaceae Tidak dikenal Total
Sumber : Saragi (2007)
KR (%) 0.080 0.321 0.220 0.080 0.100 0.100 0.080 0.060 0.040 0.020 0.020 0.020 0.020 20.200 100
FR (%) 1.279 0.767 0.767 1.023 0.767 0.767 0.767 0.512 0.512 0.256 0.256 0.256 0.256 4.092 100
DR (%) 0.151 0.409 0.320 0.204 0.146 0.097 0.044 0.121 0.009 0.028 0.017 0.012 0.003 14.110 100
INP (%) 1.5 1.5 1.3 1.3 1.0 1.0 0.9 0.7 0.6 0.3 0.3 0.3 0.3 38.4 300
72 Lampiran 11 INP kelompok jenis/famili pohon di Kalimantan Selatan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Genus/Famili Anisoptera Dipterocarpus Shorea INP Dipterocarpaceae Caesalpiniaceae Sapotaceae Lauraceae Euphorbiaceae Anacardiaceae Ebenaceae Fagaceae Annonaceae Moracaceae Rubiaceae Sterculiaceae Verbenaceae Meliaceae Myristicaceae Celastraceae Bombacaceae Myrtaceae Lecythidaceae Dilleniaceae Apocynaceae Sonneratiaceae Guttiferae Mimosaceae Sapindaceae Tidak dikenal Total
Sumber : Saragi (2007)
KR (%) 3.030 18.271 27.094
FR (%) 3.817 6.107 6.107
DR (%) 1.909 19.096 25.280
7.576 6.595 6.774 4.278 4.724 2.941 3.119 3.119 1.159 1.337 2.317 1.693 0.802 1.070 0.713 0.713 0.624 0.535 0.357 0.267 0.267 0.178 0.178 0.089 0.178 100
6.107 6.107 3.817 6.107 4.580 5.344 6.107 3.817 4.580 4.580 1.527 3.053 3.817 3.053 3.053 3.053 2.290 2.290 2.290 2.290 1.527 1.527 1.527 0.763 0.763 100
8.993 5.784 6.905 6.127 6.444 4.209 2.299 2.236 1.353 1.018 2.051 0.953 0.652 0.971 1.261 0.666 0.210 0.294 0.425 0.448 0.076 0.152 0.034 0.043 0.108 100
INP (%) 8.8 43.5 58.5 110.7 22.7 18.5 17.5 16.5 15.7 12.5 11.5 9.2 7.1 6.9 5.9 5.7 5.3 5.1 5.0 4.4 3.1 3.1 3.1 3.0 1.9 1.9 1.7 0.9 1.0 300
73 Lampiran 12 Jumlah pohon per kelas diameter pada setiap PUP contoh Nama IUPHHK PT. Basuimex PT. Basuimex PT. Basuimex PT. Belayan River Timber PT. Belayan River Timber PT. Belayan River Timber PT. Daisy Timber PT. Daisy Timber PT. Daisy Timber PT. Dharma Satya Nusantara PT. Dharma Satya Nusantara PT. Dharma Satya Nusantara PT. Gunung Jati Rimba PT. Gunung Jati Rimba PT. Gunung Jati Rimba PT. Hitayaq Alan Medang PT. Hitayaq Alan Medang PT. Hitayaq Alan Medang PT. Intraca Sekatak PT. Intraca Sekatak PT. Intraca Sekatak PT. Intraca Sesayap PT. Intraca Sesayap PT. Intraca Sesayap PT. Jaya Maha Kerta PT. Jaya Maha Kerta PT. Jaya Maha Kerta PT. Kemakmuran Berkah Timber PT. Kemakmuran Berkah Timber PT. Kemakmuran Berkah Timber PT. Mugi Triman Inter Continental PT. Mugi Triman Inter Continental PT. Mugi Triman Inter Continental PT. Ratah Timber Co. PT. Ratah Timber Co. PT. Ratah Timber Co. PT. Rejosari Bumi PT. Rejosari Bumi PT. Rejosari Bumi
Provinsi No. Seri/ PUP 10–19 20–49 50–up Jumlah 367 Kalimantan Timur I/ 04 229 115 23 428 Kalimantan Timur I/ 05 266 151 11 346 Kalimantan Timur I/ 06 174 140 32 274 Kalimantan Timur I/ 04 154 98 22 320 Kalimantan Timur I/ 05 212 83 25 253 Kalimantan Timur I/ 06 132 101 20 242 Kalimantan Timur I/ 04 133 93 16 475 Kalimantan Timur I/ 05 299 140 36 494 Kalimantan Timur I/ 06 267 194 33 170 Kalimantan Timur I/ 04 74 83 13 130 Kalimantan Timur I/ 05 40 73 17 142 Kalimantan Timur I/ 06 58 76 8 359 Kalimantan Timur I/ 04 174 150 35 331 Kalimantan Timur I/ 05 177 135 19 360 Kalimantan Timur I/ 06 260 76 24 545 Kalimantan Timur 1/ 04 327 207 11 436 Kalimantan Timur 1/ 05 255 167 14 435 Kalimantan Timur 1/ 06 249 174 12 438 Kalimantan Timur / 04 262 140 36 268 Kalimantan Timur / 05 145 96 27 263 Kalimantan Timur / 06 133 106 24 450 Kalimantan Timur / 04 259 163 28 279 Kalimantan Timur / 05 157 92 30 295 Kalimantan Timur / 06 162 109 24 562 Kalimantan Timur / 04 349 173 40 495 Kalimantan Timur / 05 302 166 27 576 Kalimantan Timur / 06 345 207 24 400 Kalimantan Timur I / 04 235 125 40 346 Kalimantan Timur I / 05 200 126 20 370 Kalimantan Timur I / 06 239 114 17 510 Kalimantan Timur I / 04 370 112 28 431 Kalimantan Timur I / 05 293 122 16 473 Kalimantan Timur I / 06 300 142 31 351 Kalimantan Timur I/ 04 204 135 12 352 Kalimantan Timur I/ 05 192 136 24 343 Kalimantan Timur I/ 06 229 98 16 237 Kalimantan Timur I / 04 116 109 12 255 Kalimantan Timur I / 05 146 108 1 462 Kalimantan Timur I / 06 275 166 21
74 Lampiran 12 ................................ Lanjutan Nama IUPHHK PT. Sumalindo Lestari Jaya I PT. Sumalindo Lestari Jaya I PT. Sumalindo Lestari Jaya I PT. Sumalindo Lestari Jaya II PT. Sumalindo Lestari Jaya II PT. Sumalindo Lestari Jaya II PT. Sumalindo Lestari Jaya II PT. Sumalindo Lestari Jaya II PT. Sumalindo Lestari Jaya II PT. Sumalindo Lestari Jaya IV PT. Sumalindo Lestari Jaya IV PT. Sumalindo Lestari Jaya IV PT. Kedungmadu Tropical Wood PT. Kedungmadu Tropical Wood PT. Kedungmadu Tropical Wood PT. Barito Pacific Timber Unit 3 PT. Barito Pacific Timber Unit 3 PT. Erna Djuliawati PT. Fajar Kahayan PT. Fajar Kahayan PT. Gunung Meranti PT. Gunung Meranti PT. Gunung Meranti PT. Inhutani II (Katingan) PT. Inhutani II (Katingan) PT. Inhutani II (Katingan) PT. Inhutani II (Serawak) PT. Inhutani II (Serawak) PT. Sarmiento Parakantja Timber PT. Sarmiento Parakantja Timber PT. Sarmiento Parakantja Timber PT. Sarmiento Parakantja Timber PT. Sarmiento Parakantja Timber PT. Sarmiento Parakantja Timber PT. Saribumi Kusuma PT. Saribumi Kusuma PT. Saribumi Kusuma
Provinsi No. Seri/ PUP 10–19 20–49 50–up Jumlah 371 Kalimantan Timur I / 04 234 124 13 292 Kalimantan Timur I / 05 185 89 18 286 Kalimantan Timur I / 06 149 114 23 221 Kalimantan Timur I / 04 120 89 12 277 Kalimantan Timur I / 05 144 109 24 255 Kalimantan Timur I / 06 129 103 23 234 Kalimantan Timur II / 04 144 70 20 289 Kalimantan Timur II / 05 136 133 20 215 Kalimantan Timur II / 06 134 66 15 406 Kalimantan Timur I / 04 263 123 20 484 Kalimantan Timur I / 05 324 149 11 487 Kalimantan Timur I / 06 327 135 25 136 Kalimantan Timur I / 04 51 74 11 141 Kalimantan Timur I / 05 41 78 22 151 Kalimantan Timur I / 06 69 70 12 448 Kalimantan Tengah -/4 242 154 52 557 Kalimantan Tengah -/6 305 215 37 552 Kalimantan Tengah -/5 306 218 28 176 Kalimantan Tengah 1/4 99 63 14 126 Kalimantan Tengah 1/5 66 53 7 415 Kalimantan Tengah 1/4 254 137 24 232 Kalimantan Tengah 1/5 147 72 13 386 Kalimantan Tengah 1/6 222 144 20 180 Kalimantan Tengah -/4 104 72 4 172 Kalimantan Tengah -/5 96 66 10 185 Kalimantan Tengah -/6 82 82 21 175 Kalimantan Tengah -/4 67 95 13 123 Kalimantan Tengah -/5 69 48 6 454 Kalimantan Tengah 1/4 280 154 20 607 Kalimantan Tengah 1/5 387 196 24 543 Kalimantan Tengah 1/6 344 167 32 366 Kalimantan Tengah 3/4 230 116 20 442 Kalimantan Tengah 3/5 284 147 11 435 Kalimantan Tengah 3/6 335 90 10 408 Kalimantan Tengah -/4 279 104 25 387 Kalimantan Tengah -/5 273 95 19 413 Kalimantan Tengah -/6 295 105 13
75 Lampiran 12 ................................ Lanjutan Nama IUPHHK PT. Barito Pacific Timber Unit I PT. Barito Pacific Timber Unit I PT. Barito Pacific Timber Unit I PT. Halisa PT. Halisa PT. Halisa PT. Harjohn Timber Limited PT. Harjohn Timber Limited PT. Harjohn Timber Limited PT. Kurnia Kapuas Plywood PT. Kurnia Kapuas Plywood PT. Kurnia Kapuas Plywood PT. Saribumi Kusuma PT. Saribumi Kusuma PT. Saribumi Kusuma PT. Suka Jaya Makmur PT. Suka Jaya Makmur PT. Suka Jaya Makmur PT. Emil Timber PT. Emil Timber PT. Emil Timber PT. Kodeko Timber PT. Kodeko Timber
Provinsi No. Seri/ PUP Kalimantan Barat I/ 04 Kalimantan Barat I/ 05 Kalimantan Barat I/ 06 Kalimantan Barat I/ 04 Kalimantan Barat I/ 05 Kalimantan Barat I/ 06 Kalimantan Barat I/ 04 Kalimantan Barat I/ 05 Kalimantan Barat I/ 06 Kalimantan Barat I/ 04 Kalimantan Barat I/ 05 Kalimantan Barat I/ 06 Kalimantan Barat I/ 04 Kalimantan Barat I/ 05 Kalimantan Barat I/ 06 Kalimantan Barat I/ 04 Kalimantan Barat I/ 05 Kalimantan Barat I/ 06 Kalimantan Selatan / 04 Kalimantan Selatan / 05 Kalimantan Selatan / 06 Kalimantan Selatan / 05 Kalimantan Selatan / 06 Statistik Min Maks Rataan Simp Baku Median Modus
10–19 16 35 33 206 200 202 217 125 141 49 54 47 161 184 130 235 245 325 27 49 29 63 37
20–49 50–up Jumlah 123 85 22 183 129 19 158 102 23 331 106 19 304 93 11 334 115 17 375 134 24 277 123 29 390 208 41 143 78 16 130 65 11 114 54 13 319 133 25 309 105 20 204 66 8 386 131 20 426 163 18 484 129 30 113 79 7 171 113 9 116 76 11 176 103 10 120 77 6
10-19 20-49 50-up Jumlah 16 48 1 113 387 218 52 607 186 117 20 323 97 39 9 132 185 112 20 331 229 140 20 346
76 Lampiran 13 Statistik model ST pada setiap PUP di Kalimantan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Nama IUPHHK PT. Emil Timber PT. Inhutani II (Hutan Emas) PT. Inhutani II (Serawak) PT. Kedungmadu Tropical Wood PT. Dharma Satya Nusantara PT. Kodeko Timber PT. Kodeko Timber PT. Kurnia Kapuas Plywood PT. Kurnia Kapuas Plywood PT. Dharma Satya Nusantara PT. Kedungmadu Tropical Wood PT. Harjohn Timber Limited PT. Inhutani II (Serawak) PT. Inhutani II (Hutan Emas) PT. Kurnia Kapuas Plywood PT. Inhutani II (Katingan) PT. Dharma Satya Nusantara PT. Sumalindo Lestari Jaya II PT. Rejosari Bumi PT. Kedungmadu Tropical Wood PT. Harjohn Timber Limited PT. Sumalindo Lestari Jaya II PT. Gunung Jati Rimba PT. Inhutani II (Hutan Emas) PT. Rejosari Bumi PT. Sumalindo Lestari Jaya II
Kode IUPHHK/ PUP NEmi5 HIhu5 HIse6 RKed5 RDsn5 NKod6 NKod5 TKkp6 TKkp4 RDsn6 RKed4 THtl6 HIse4 HIhu6 TKkp5 HIka6 RDsn4 RSj225 RRej4 RKed6 THtl5 RSj216 RGjr4 HIhu4 RRej5 RSj214
No. PUP
No
k
R²
s
Fhit
p-value
... / 05 -/5 -/6 I - IV / 05 I/ 05 ... / 06 ... / 05 I/ 06 I/ 04 I/ 06 I - IV / 04 I/ 06 -/4 -/6 I/ 05 -/6 I/ 04 II / 05 I / 04 I - IV / 06 I/ 05 I / 06 I/ 04 -/4 I / 05 I / 04
44.8 10.2 25.7 37.3 36.9 36.7 55.5 39.0 48.3 52.1 49.3 140.6 66.2 33.7 56.4 81.5 81.3 148.2 124.1 77.2 141.3 135.4 218.1 41.5 173.6 150.0
-0.03217 -0.03342 -0.03351 -0.03414 -0.03544 -0.03641 -0.03727 -0.04040 -0.04086 -0.04223 -0.04365 -0.04366 -0.04460 -0.04720 -0.04974 -0.05168 -0.05317 -0.05539 -0.05558 -0.05594 -0.05686 -0.05745 -0.06404 -0.06412 -0.06489 -0.06726
0.583 0.817 0.785 0.822 0.724 0.658 0.526 0.532 0.690 0.655 0.893 0.930 0.933 0.831 0.942 0.907 0.928 0.891 0.798 0.965 0.966 0.794 0.979 0.838 0.849 0.936
8.307 0.929 2.757 3.478 4.591 5.493 10.890 7.055 6.217 7.228 3.103 7.052 3.239 2.607 2.336 4.150 3.624 8.218 9.928 2.244 3.960 10.418 4.312 2.257 10.190 5.153
19.6 62.3 51.1 64.5 36.7 26.9 15.5 15.9 31.2 26.6 116.3 185.8 193.5 68.7 229.5 135.9 181.8 114.1 55.2 387.5 400.1 53.9 658.0 72.6 78.7 204.9
5.8E-04 1.6E-06 5.0E-06 1.3E-06 2.9E-05 1.4E-04 1.5E-03 1.3E-03 6.7E-05 1.4E-04 3.6E-08 1.8E-09 1.4E-09 9.1E-07 4.5E-10 1.4E-08 2.1E-09 4.1E-08 3.2E-06 1.3E-11 1.1E-11 3.6E-06 3.6E-13 6.5E-07 4.0E-07 9.4E-10
77 Lampiran 13 …………………….. Lanjutan No.
Nama IUPHHK
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56
PT. Sumalindo Lestari Jaya II PT. Basuimex PT. Belayan River Timber PT. Sumalindo Lestari Jaya I PT. Gunung Jati Rimba PT. Intraca Sekatak PT. Sari Bumi Kusummah PT. Inhutani II (Katingan) PT. Hitayaq Alan Medang PT. Barito Pacific Timber Unit 3 PT. Ratah Timber Co. PT. Hitayaq Alan Medang PT. Daisy Timber PT. Fajar Kahayan PT. Inhutani II (Katingan) PT. Sumalindo Lestari Jaya II PT. Belayan River Timber PT. Intraca Sekatak PT. Inhutani II (Serawak) PT. Intraca Sesayap PT. Gunung Meranti PT. Fajar Kahayan PT. Sari Bumi Kusummah PT. Fajar Kahayan PT. Rejosari Bumi PT. Daisy Timber PT. Intraca Sesayap PT. Hitayaq Alan Medang PT. Ratah Timber Co. PT. Jaya Maha Kerta
Kode IUPHHK/ PUP RSj215 RBas6 RBrt6 RSj16 RGjr5 RItk6 TSbk4 HIka5 RHit6 HBpt4 RRat5 THtl4 RDai4 HFaj6 HIka4 RSj226 RBrt4 RItk5 HIse5 RIyp6 HGum5 HFaj5 TSbk6 HFaj4 RRej6 RDai6 RIyp4 RHit4 RRat4 RJam5
No. PUP
No
k
R²
s
Fhit
p-value
I / 05 I/ 06 I/ 06 I / 06 I/ 05 / 06 I/ 04 -/5 1/ 06 -/4 I/ 05 I/ 04 I/ 04 1/6 -/4 II / 06 I/ 04 / 05 -/5 / 06 1/5 1/5 I/ 06 1/4 I / 06 I/ 06 / 04 1/ 04 I/ 04 / 05
192.2 240.9 187.9 216.5 260.7 202.0 257.9 146.1 384.4 384.9 343.1 368.8 244.8 75.2 192.3 252.6 322.6 315.6 146.4 366.0 351.7 178.5 392.5 381.4 422.3 436.8 484.0 652.9 420.3 584.8
-0.06954 -0.06998 -0.07293 -0.07350 -0.07491 -0.07513 -0.07799 -0.07828 -0.07838 -0.08156 -0.08529 -0.08657 -0.08691 -0.08721 -0.08768 -0.09345 -0.09624 -0.09810 -0.09825 -0.10019 -0.10751 -0.10861 -0.12272 -0.13702 -0.07988 -0.08110 -0.09027 -0.09391 -0.09397 -0.09475
0.967 0.990 0.980 0.989 0.989 0.982 0.966 0.977 0.991 0.970 0.993 0.967 0.972 0.986 0.987 0.971 0.983 0.970 0.946 0.970 0.992 0.893 0.976 0.921 0.955 0.989 0.995 0.996 0.985 0.978
4.450 2.931 3.231 2.645 3.232 3.098 5.262 2.479 4.110 6.919 2.929 6.625 4.084 0.840 2.184 3.939 3.641 4.504 2.795 5.060 2.371 4.268 3.650 5.149 10.126 4.819 3.254 3.842 4.649 7.782
405.3 1458.4 671.9 1313.9 1233.4 772.8 400.1 584.8 1553.6 460.4 1927.9 414.1 479.6 1018.0 1029.2 467.1 788.8 453.3 245.2 458.7 1658.4 116.9 557.9 162.8 299.0 1291.0 2690.1 3265.8 919.8 608.3
9.8E-12 1.5E-15 3.1E-13 3.0E-15 4.7E-15 1.2E-13 1.1E-11 8.1E-13 9.5E-16 4.1E-12 2.1E-16 8.5E-12 3.1E-12 1.8E-14 1.7E-14 3.8E-12 1.0E-13 4.6E-12 2.9E-10 4.2E-12 6.1E-16 3.5E-08 1.1E-12 4.2E-09 7.7E-11 3.4E-15 2.1E-17 5.4E-18 3.6E-14 6.2E-13
78 Lampiran 13 …………………….. Lanjutan No.
Nama IUPHHK
57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86
PT. Hitayaq Alan Medang PT. Kemakmuran Berkah Timber PT. Barito Pacific Timber Unit 3 PT. Kemakmuran Berkah Timber PT. Basuimex PT. Suka Jaya Makmur PT. Halisa PT. Sumalindo Lestari Jaya I PT. Kemakmuran Berkah Timber PT. Basuimex PT. Intraca Sekatak PT. Sarmiento Parakantja Timber PT. Sarmiento Parakantja Timber PT. Suka Jaya Makmur PT. Erna Djuliawati PT. Gunung Meranti PT. Sarmiento Parakantja Timber PT. Gunung Meranti PT. Sumalindo Lestari Jaya I PT. Sumalindo Lestari Jaya IV PT. Halisa PT. Sumalindo Lestari Jaya II PT. Gunung Jati Rimba PT. Saribumi Kusuma PT. Halisa PT. Ratah Timber Co. PT. Belayan River Timber PT. Intraca Sesayap PT. Jaya Maha Kerta PT. Jaya Maha Kerta
Kode IUPHHK/ PUP RHit5 RKbt4 HBpt6 RKbt5 RBas5 TSjm4 THal6 RSj14 RKbt6 RBas4 RItk4 HSar14 HSar35 TSjm5 HErn5 HGum4 HSar34 HGum6 RSj15 RSj414 THal5 RSj224 RGjr6 TSbk5 THal4 RRat6 RBrt5 RIyp5 RJam6 RJam4
No. PUP
No
k
R²
s
Fhit
p-value
1/ 05 I / 04 -/6 I / 05 I/ 05 I/ 04 I/ 06 I / 04 I / 06 I/ 04 / 04 1/4 3/5 I/ 05 -/5 1/4 3/4 1/6 I / 05 I / 04 I/ 05 II / 04 I/ 06 I/ 05 I/ 04 I/ 06 I/ 05 / 05 / 06 / 04
532.7 500.5 685.4 452.3 596.5 532.0 460.8 532.1 536.2 523.8 610.4 652.2 692.7 630.3 751.5 622.1 572.4 600.2 483.9 695.8 536.7 428.9 782.7 562.0 638.0 711.6 675.3 549.9 825.6 927.2
-0.09541 -0.09923 -0.10020 -0.10048 -0.10186 -0.10289 -0.10353 -0.10366 -0.10389 -0.10434 -0.10519 -0.10527 -0.10755 -0.10792 -0.10820 -0.10831 -0.11039 -0.11279 -0.11380 -0.11463 -0.11523 -0.12005 -0.12200 -0.12247 -0.12359 -0.12518 -0.12843 -0.12926 -0.10519 -0.11419
0.987 0.987 0.955 0.987 0.996 0.995 0.979 0.995 0.984 0.995 0.988 0.991 0.999 0.967 0.990 0.992 0.990 0.961 0.988 0.989 0.993 0.985 0.991 0.956 0.982 0.993 0.983 0.951 0.987 0.990
5.256 4.659 11.705 4.122 2.881 3.044 5.210 2.829 5.345 2.945 4.979 4.663 1.702 8.459 5.364 3.942 4.011 8.065 3.557 4.887 2.897 3.251 4.462 7.046 5.024 3.513 4.838 6.540 7.301 6.132
1100.1 1072.0 300.0 1098.1 3852.4 2619.3 653.0 3025.4 860.5 2620.8 1181.3 1564.3 12841.3 407.2 1440.2 1818.5 1405.4 343.6 1162.0 1258.7 2116.9 914.6 1537.0 301.5 761.6 1914.4 811.5 270.4 1023.7 1406.9
1.0E-14 1.2E-14 7.5E-11 1.1E-14 1.7E-18 2.5E-17 3.8E-13 9.2E-18 5.7E-14 2.5E-17 6.4E-15 9.1E-16 3.8E-22 9.5E-12 1.6E-15 3.2E-16 1.9E-15 3.0E-11 7.1E-15 4.1E-15 1.1E-16 3.7E-14 1.0E-15 7.2E-11 1.3E-13 2.2E-16 8.5E-14 1.5E-10 1.7E-14 1.9E-15
79 Lampiran 13 …………………….. Lanjutan No.
Nama IUPHHK
87 92 88 89 90 91 93 94 95 96 97 98 99 100 101
PT. Sarmiento Parakantja Timber PT. Barito Pacific Timber Unit 3 PT. Sumalindo Lestari Jaya IV PT. Sumalindo Lestari Jaya IV PT. Mugi Triman Inter Continental PT. Sarmiento Parakantja Timber PT. Mugi Triman Inter Continental PT. Sarmiento Parakantja Timber PT. Suka Jaya Makmur PT. Saribumi Kusuma PT. Erna Djuliawati PT. Saribumi Kusuma PT. Saribumi Kusuma PT. Daisy Timber PT. Mugi Triman Inter Continental
Kode IUPHHK/ PUP HSar16 HBpt5 RSj416 RSj415 RMug5 HSar15 RMug6 HSar36 TSjm6 HSbk4 HErn4 HSbk5 HSbk6 RDai5 RMug4
No. PUP
No
k
R²
s
Fhit
p-value
1/6 -/5 I / 06 I / 05 I / 05 1/5 I / 06 3/6 I/ 06 -/4 -/4 -/5 -/6 I/ 05 I / 04
1028.4 1322.5 1068.2 1172.5 1176.5 1302.9 1567.3 1827.1 1946.9 1972.9 2231.1 2981.2 3174.3 3362.8 3683.4
-0.12160 -0.12023 -0.12915 -0.13480 -0.14234 -0.12915 -0.15808 -0.16642 -0.16908 -0.18212 -0.14664 -0.21183 -0.21106 -0.21235 -0.20656
0.991 0.970 0.991 0.984 0.990 0.984 0.970 0.988 0.979 0.979 0.987 0.980 0.979 0.942 0.987
6.002 14.021 5.616 7.422 5.488 8.923 10.073 6.617 9.016 7.664 10.899 7.838 8.596 14.714 8.245
1484.6 456.9 1500.6 887.9 1335.5 874.4 447.4 1195.0 652.9 654.1 1087.9 670.4 648.6 228.4 1067.7
1.3E-15 4.4E-12 1.2E-15 4.6E-14 2.7E-15 5.1E-14 5.0E-12 5.9E-15 3.8E-13 3.8E-13 1.1E-14 3.2E-13 4.0E-13 4.6E-10 1.3E-14
80 Lampiran 14 Proporsi tambah tumbuh dan tetap beberapa hasil penelitian lain ABT‐6 KELAS DIAMETER 10‐14,99 15‐19,99 20‐24,99 25‐29,99 30‐34,99 35‐39,99 40‐44,99 45‐49,99 50‐54,99 55‐59,99 60‐64,99 65‐69,99 70 UP
(Periode 2 th) DIPT Upgrowth Tetap 0.350 0.370 0.380 0.380 0.380 0.380 0.380 0.370 0.360 0.340 0.320 0.300
0.610 0.600 0.590 0.580 0.580 0.580 0.580 0.590 0.600 0.620 0.640 0.660 0.960
KELAS DIAMETER 10‐14,99 15‐19,99 20‐24,99 25‐29,99 30‐34,99 35‐39,99 40‐44,99 45‐49,99 50‐54,99 55‐59,99 60‐64,99 65‐69,99 70 UP
NON DIPT Upgrowth Tetap 0.120 0.150 0.180 0.210 0.230 0.250 0.260 0.260 0.260 0.250 0.230 0.210
0.860 0.840 0.750 0.720 0.700 0.680 0.670 0.660 0.660 0.660 0.670 0.690 0.900
Sumber : Krisnawati (2001) ( Periode 1 atau 2 th) KELAS DIAMETER 15‐19,99 20‐24,99 25‐29,99 30‐34,99 35‐39,99 40‐44,99 45‐49,99 50‐54,99 55‐59,99 60‐64,99 65‐69,99 70 UP
Periode 1 th Upgrowth Tetap 0.092 0.100 0.097 0.094 0.131 0.151 0.082 0.147 0.077 0.116 0.081
0.862 0.851 0.861 0.846 0.826 0.844 0.889 0.785 0.894 0.842 0.915 0.995
KELAS DIAMETER 15‐19,99 20‐24,99 25‐29,99 30‐34,99 35‐39,99 40‐44,99 45‐49,99 50‐54,99 55‐59,99 60‐64,99 65‐69,99 70 UP
Periode 2 th Upgrowth Tetap 0.165 0.168 0.186 0.196 0.224 0.226 0.131 0.218 0.170 0.186 0.303
0.766 0.750 0.750 0.716 0.718 0.724 0.850 0.702 0.767 0.772 0.691 0.970
Sumber : Mendoza & Setyarso (1986) (Periode 2 th) KELAS DIAMETER 10‐19,99 20‐29,99 30‐39,99 40‐49,99 50‐59,99 60 UP
Meranti Upgrowth Tetap 0.110 0.850 0.180 0.760 0.300 0.700 0.300 0.700 0.430 0.510 0.790
KELAS DIAMETER 10‐14,99 20‐24,99 30‐34,99 40‐44,99 50‐54,99 70 UP
Non Meranti Upgrowth Tetap 0.070 0.900 0.140 0.810 0.180 0.780 0.300 0.700 0.110 0.890 0.880
Sumber : Rusolono, Parthama, Rosmantika (1997) (Periode 5 th) KELAS DIAMETER 12,6‐17,7 17,7‐22,8 22,8‐27,9 27,9‐33,0 33,0‐38,1 38,1‐43,2 43,2 UP
Metode I Upgrowth Tetap 0.230 0.720 0.260 0.700 0.300 0.670 0.300 0.650 0.300 0.660 0.19 0.810 0.860
Sumber : Michie & Buongiorno (1984)
KELAS DIAMETER 12,6‐17,7 17,7‐22,8 22,8‐27,9 27,9‐33,0 33,0‐38,1 38,1‐43,2 43,2 UP
Metode II Upgrowth Tetap 0.230 1.170 0.280 0.690 0.270 0.610 0.270 0.780 0.350 0.720 0.230 0.650 0.820
81 Lampiran 14 ……………….. Lanjutan (Periode 1 th) KELAS DIAMETER 10‐19,99 20‐29,99 30‐39,99 40‐49,99 50‐59,99 60‐69,99 70 UP
Dipt Upgrowth 0.030 0.030 0.040 0.040 0.050 0.030
Tetap 0.950 0.960 0.940 0.950 0.930 0.960 0.980
KELAS DIAMETER 10‐14,99 20‐24,99 30‐34,99 40‐44,99 50‐54,99 60‐69,99 70 UP
Non Dipt Upgrowth Tetap 0.010 0.970 0.010 0.970 0.010 0.970 0.010 0.970 0.000 0.980 0.020 0.970 0.980
Sumber : Ingram & Buongiorno (1996)
Kelas Diameter
Tetap
Sumber : Hao, Meng, Zhou, Wang (2005)
Upgrowth
Mortalitas
82 Lampiran 15 Penentuan jumlah pohon layak tebang untuk simulasi penebangan
5 btg Dbh : 50 cm
9 btg 22 btg
panen minimal
5 m3/phn Dbh rata2 : 62 cm
panen minimal komersil Stock minimal all species
25 0.7 0.8 0.56 45
m3/ha komersil faktor eksploitasi faktor pengaman m3/ha stock
25 btg 8 btg Dbh : 40 cm
14 btg 36 btg
40 btg
panen minimal
3 m3/phn Dbh rata2 : 50 cm
panen minimal komersil Stock minimal all species
25 0.7 0.8 0.56 45
m3/ha komersil faktor eksploitasi faktor pengaman m3/ha stock