MODEL DINAMIK PENGATURAN HASIL HUTAN TIDAK SEUMUR DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP EKONOMI DAERAH (Studi Kasus : IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua)
JONNI MARWA
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dan Kontribusi Terhadap Ekonomi Daerah : Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Jonni Marwa E051060171
ABSTRACT JONNI MARWA. Dynamic model of uneven-aged forests yield regulation and its contribution toward regional economic : Case Study at Concession of PT.Bina Balantak Utama Sarmi Regency, Papua Province ). Under direction of Herry Purnomo and Dodik Ridho Nurrochmat This research was aimed to obtain yield regulation method of uneven-aged forest, based on system dynamics model approach. Logged– over natural forest in the concession area of PT. Bina Balantak Utama (PT.BBU), Sarmi Regency of Papua Province was selected for study. Stand structure dynamic model was estimated from re-measured permanent sample plot. It consists of ingrowth, upgrowth and mortality functions. The model was constructed based on species group (dipterocarpaceae, non dipterocarpaceae, and non commercial). Then, prediction data were compared with the actual data. The economic criteria were net present value, benefit cost ratio, internal rate of return and land expectation value. The cutting simulation result shows that cutting cycle has negative correlation with the income government and income of customary communities. By using yield regulation method of uneven-aged forest PT.BBU contributed to 0,56% of local government revenue and 47,91% of customary communities.
RINGKASAN JONNI MARWA. Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dan Kontribusi Terhadap Ekonomi Daerah : Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua. Dibimbing oleh Herry Purnomo dan Dodik Ridho Nurrochmat. Pengelolaan hutan di Papua (Propinsi Papua) sudah berjalan kurang lebih tiga dekade dan kini mengarah pada pengelolaan hutan bekas tebangan. Dengan tujuan mengejar laju pertumbuhan ekonomi pemerintah telah memberikan ijin hak pengusahaan hutan kepada kurang lebih 54 perusahaan untuk mengelola hutan Papua yang luasnya kira-kira mencapai 31 juta hektar. Sejalan dengan perkembangan pemanfaatan hutan tersebut, pemerintah maupun masyarakat sebagai pemilik sumberdaya hutan belum mendapatkan manfaat yang optimal. Kontribusi yang diberikan sektor kehutanan terhadap ekonomi Papua selama tahun 1993-2003 hanya mencapai 6,7% (Pawitno 2003). Kebijakan-kebijakan baru pengelolaan hutan diharapkan mampu meningkatkan penerimaan daerah dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan aspek-aspek pengelolaan yang lestari. Salah satu bentuk pengelolaan hutan yang lestari adalah pengaturan hasil hutan melalui penentuan jatah produksi tahunan (AAC, Annual Allowable Cutting) yang ditetapkan pemerintah. Namun penetapan tersebut sering tidak sesuai dengan kondisi spesifik lokal, sehingga menimbulkan pengelolaan hutan yang tidak lestari. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan alternatif pengaturan hasil hutan tidak seumur berdasarkan intensitas penebangan dan siklus tebang yang lestari menggunakan pendekatan sistem dinamik, serta kontribusi metode pengaturan hasil hutan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan ekonomi daerah. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah konsesi HPH PT. Bina Balantak Utama (BBU) Kabupaten Sarmi Propinsi Papua, pada Petak Ukur Permanen (PUP) RKT 2000/2001 petak 56 KK. Penelitian dilakukan selama tiga bulan sejak maret sampai dengan mei 2008. Data yang dikumpulkan meliputi : data pertumbuhan tegakan dan data struktur tegakan hutan primer. Data pertumbuhan tegakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil pengukuran PUP pada Blok RKT 1999/2000 petak 56 KK yang merupakan areal bekas tebangan 2 tahun. Pengukuran dilakukan pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Data struktur tegakan yang diperoleh dari PUP dan hutan primer dipresentasikan dalam beberapa Kelas Diameter (Phn_D) menurut kelompok jenis dengan interval 10 cm ke atas, diameter terkecil (Phn_D15) berukuran 10-20 cm. Pembagian menurut kelompok jenis dilakukan dengan mengelompokan ke dalam jenis dipterocarpaceae, non dipterocarpaceae dan non komersil. Komponen penyusun dinamika struktu r tegakan terdiri dari jumlah pohon pada berbagai kelas diameter dan kelompok jenis, dengan melibatkan unsur dinamika tegakan seperti alih tumbuh ( ingrowth), tambah tumbuh ( upgrowth), dan kematian (Mortality). Rumus Alometrik digunakan untuk menghitung biomassa tegakan dalam pembuatan model usaha karbon adalah rumus pendugaan
2
biomassa secara umum yang dikemukakan oleh Brown.Selain itu dilakukan pula analisisi sistem dengan tahap analisis sistem dan simulasi yang dilakukan adalah sebagai berikut (Purnomo 2004; Grant et al. : Identifikasi isu, tujuan dan batasan, perumusan model konseptual, spesifikasi model kuantitatif serta evaluasi model dan penggunaan model Kelompok jenis non dipterocarpaceae merupakan penyusun utama struktur tegakan. Untuk mengetahui keterandalan model dilaukan uji Khi Kuadrat (x2) terhadap model dinamika tegakan. Berdasarkan statistik uji chi square diperoleh nilai 2 hitung sebesar 12,98, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai 2 tabel yaitu sebesar 27,59 pada derajat bebas 17 dan taraf nyata 5%. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan model simulasi dinamika struktur tegakan cukup handal, lebih mendekati kondisi aktual. Selain itu, dilakukan juga analisis sensivitas terhadap perubahan harga, standar kompensasi dan suku bunga untuk melihat perilaku yang diharapkan dengan terlebih dahulu dilakukan simulasi pada kondisi base line. Secara ekonomi skenario siklus tebang memberikan hasil yang layak untuk pengelola hutan dengan kondisi NPV, LEV, BCR dan IRR positif. Sedangkan skenario perburuan kayu memberi gambaran bahwa telah terjadi over eksploitasi k a r e n a” d o u b l eAAC”y a i t uAAC HPH d i t a mb a hd e n g a nAACp e r bu r u a nka y u , sehingga tegakan menjadi kolaps. Dengan demikian jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan penebangan ulang di lokasi yang sama semakin panjang. Secara ekonomi penerimaan mayarakat dari kegiatan perburuan kayu pada tahun-tahun awal menunjukan nilai penerimaan yang besar. Penerimaan tersebut didistribusikan kepada pemilik kayu sebesar 20% dan 80% untuk pemilik modal (penebang). Akibat penebangan secara intensif dalam rentang waktu yang terlalu dekat maka, penerimaan masyarakat pemilik kayu dan penebang kayu menjadi berkurang dan mengarah kepada hilangnya sumber pendapatan. Bagi penebang kayu walaupun penerimaannya makin berkurang, tetapi dapat memanfaatkan sumberdaya kayu di tempat lain karena menguasai teknologi dan modal kerja (rent seeking). Skenario REDD memberikan hasil yang terbaik pada siklus tebang 30 tahun. Pendapatan skema REDD adalah selisih pemasukan karbon dengan pengeluaran usaha karbon. Pemasukan usaha karbon didapat dari penjualan jasa penyerapan karbon dalam satuan ton (tC) per hektar Kontribusi yang diberikan berdasarkan skenario siklus tebang sangatlah kecil hanya 0,56% terhadap penerimaan pemerintah daerah. Penerimaan tersebut berasal dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), serta pajakpajak. Kontribusi tersebut berpeluang untuk terus meningkat karena belum termasuk sub-sektor industri pengolahan hasil hutan primer yang nantinya harus dibuka oleh setiap pemegang IUPHHK di Papua, hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah Papua yang melarang penjualan log ke luar Papua dan mewajibkan setiap HPH/IUPHHK untuk membangun industri primer. Disisi lain apabila pemerintah dan masyarakat terlibat dalam skema perdagangan karbon melalui REDD, maka kontribusi yang dapat diberikan terhadap rata-rata penerimaan daerah hanya sebesar 0.008% terhadap penerimaan daerah Kabupaten Sarmi. Walaupun kontribusi yang diberikan relatif kecil namun skema yang ditawarkan perlu menjadi pertimbangan.
Kontribusi pengaturan hasil tidak hanya mengakomodir kepentingan penerimaan pemerintah, tetapi penerimaan masyarakat adat juga disimulasikan dalam penelitian ini. Hasil simulasi menunjukan adanya peningkatan jumlah penerimaan kompensasi pada setiap siklus tebang dengan kontribusi rata-rata sebesar 47,91%. Walaupun jumlah kompensasi yang diterima terlihat cukup besar, namun nilai tersebut relatif kecil apabila didistribusikan kepada penduduk/ kepala keluarga yang berada pada wilayah tersebut yakni Rp 617.848/ KK/tahun atau Rp 51.457/kk/bulan. Pilihan siklus tebang berkaitan erat dengan kontribusi terhadap tambahan penerimaan masyarakat adat dari kompensasi hak ulayat dan penerimaan pemerintah. Walaupun masyarakat dan pemerintah memperoleh nilai tambah akibat aktivitas pemanfaatan kayu, namun bagi perusahan hal tersebut merupakan biaya sehingga mempengaruhi kinerja finansial perusahaan. Hal ini dapat dijadikan instrumen ekonomi sehingga HPH akan lebih termotivasi untuk mengelola hutan yang berada dalam wilayah konsesi secara profesional dan efisien dengan tetap berpegang pada aspek kelestarian produksi, ekonomi dan lingkungan. Secara keseluruhan dari simulasi yang dibangun hak-hak masyarakat adat terhadap kompensasi dari sumberdaya hutan dapat diakomodir, walaupun masih relatif kecil dari nilai yang seharusnya diterima.
Kata Kunci : Sistem dinamik, pengaturan hasil, hutan tidak seumur, masyarakat adat
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
MODEL DINAMIK PENGATURAN HASIL HUTAN TIDAK SEUMUR DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP EKONOMI DAERAH (Studi Kasus: IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua)
JONN MARWA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
:
Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dan Kontribusinya Terhadap Ekonomi Daerah (Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua)
Nama
:
Jonni Marwa
NRP
:
E051060171
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp
Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr.Ir. Imam Wahyudi, MS Tanggal Ujian: 7 Januari 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Lulus:
PRAKATA Penulis bersyukur kehadirat Allah Bapa di Surga, atas segala limpahan Hikmat dan Berkat-Nya, sehingga penulisan Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Te s i sy a n gb e r j u d u l“ MODEL DI NAMI K PENGATURAN HASI L HUTAN TIDAK SEUMUR DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP EKONOMI DAERAH : Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Pa p u a ”d i s u s u ns e b a g a is a l a hs a t us y a r a tu n t u kme mp e r o l e hg e l a rMa g i s t e rSa i n s pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Adapun lokasi yang menjadi obyek penelitian ini adalah areal Petak Ukur Permanen (PUP) di dalam wilayah konsesi IUPHHK PT. Bina Balantak Utama (PT.BBU) Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang penelitian ini, antara lain: telah banyak kawasan hutan berubah menjadi areal bekas tebangan dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan kondisi awal, sehingga diperlukan pengaturan hasil yang didasarkan atas kondisi hutan saat ini. Disisi lain hutan sebenarnya mengandung manfaat ganda yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun akibat pemanfaatn eksesif telah mengurangi peranannya terhadap perkembangan ekonomi daerah terutama kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan kelestariannya. Karena kompleksitas masalah pengelolaan hutan maka pendekatan sistem dapat digunakan sebagai alat untuk mencari solusi dalam pengaturan hasil dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan. Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis dan selama penyelesaian studi di IPB ini. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada Dr. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc selaku pembimbing atas segala bimbingan, masukan dan saran selama penyusunan tesis ini, dan Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS selaku Penguji Luar Komisi yang ikut menyumbangkan pemikirannya untuk penyempurnaan tulisan ini. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada seluruh pimpinan dan staf PT. Bina Balantak Utama yang telah memberi kesempatan, tempat dan waktu untuk melaksanakan penelitian serta tim survey (Pak Steve Sinon dan rekan-rekan) yang telah membantu dalam pengambilan data lapangan. Terimakasih disampaikan juga kepada pemerintah pusat melalui departemen pendidikan nasional, pemerintah Provinsi Papua, serta pemerintah Kabupaten Sarmi yang telah memberikan beasiswa selama studi. Penghargaan yang tidak terucapkan kepada istri dan anak-anak yang telah mendorong, membantu dan memanjatkan doa serta mendampingi selama studi. Penghargaan juga disampaikan kepada orang tua, kakak dan adik yang telah memberikan dukungan moril maupun materil. Serta Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala doa, dorongan dan motivasinya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian, sebagai tambahan literatur bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Bogor, Januari 2009 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jayapura, Provinsi Papua pada tanggal 3 Januari 1974 dari ayah F. Marwa dan ibunda Ketty Sibi. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih (sekarang Univesitas Negeri Papua), lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2006 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada tahun 2001– sekarang penulis bekerja sebagai staf pegajar di Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan Universitas Negeri Papua Manokwari. Adapun bidang kajian yang menjadi konsentrasi adalah manajemen hutan, serta ekonomi sumberdaya hutan. Bogor, Januari 2009
DAFTAR ISI Halaman DAFTARI SI ……………………………………………………………. . . . . i DAFTAR TABEL ………………………………………………………… iv DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. . .
v
PENDAHULUAN………………………………………………………….
1
La t a rBe l a ka n g…………………………………………………………. Pe r u mus a nMa s a l a h ………………………………. . ……………………
1 2
Tujuan Penelitian......................................................................................
3
Ma nf a a tPe ne l i t i a n ………………………………………………………
4
TI NJ AUANPUSTAKA……………………………………………………
5
Ko n s e pPe ng a t u r a nHa s i lHut a n. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ………………
5
Sejarah Metode Pengaturan Hasil ............................................................
5
Pengaturan Hasil Berdasarkan Model Simulasi ......................................
6
Tegakan dan Struktur Tegakan.................................................................
9
Dinamika Struktur Tegakan......................................................................
11
Model Pertumbuhan Hutan Tidak Seumur..............................................
11
Perkembangan Penelitian Tentang Model Dinamika Struktur Tegakan..
12
Model Pengelolaan Hutan Alam Secara Optimal.....................................
15
Pendugaan Nilai Lahan Hutan ................................................................
16
Pendekatan Nilai Kini Bersih (Net Present Value)..........................
16
Pendekatan Nilai Harapan Lahan.....................................................
17
Internal Rate of Return (IRR)..........................................................
18
Benefit Cost Ratio (BCR)................................................................
18
Us a h aPe r da g a ng a nKa r bon pa daHut a nAl a m Pr oduks i …………. . . . . . .
18
Biomassa..........................................................................................
19
Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD)....
20
Analisis Fi na n s i a ld a nAn a l i s i s iEkonomi ………. …………………. . . . . . .
20
Ko n t r i bus iSe kt o rKe h ut a na nTe r ha d a pEkon omiDa e r a h……………. . . .
21
Pe ne r i ma a nDa e r a hd a r iSe kt orKe hut a na n…………………………. . . . . .
23
Model dan Simulasi..................................................................................
25
Pendekatan Sistem Dinamik.....................................................................
26
ii METODOLOGIPENELI TI AN……………………………………………
29
Ke r a ng kaPe mi ki r a nPe n e l i t i a n………………………………………….
29
Loka s id a nWa kt uPe ne l i t i a n…………………………………………. .
32
Ba h a nd a nAl a t ………………………………………………………….
32
Me t o d ePe n e l i t i a n……………………………………………………….
33
Pe n g u mp u l a nDa t a …………………………………………………. . .
33
Te k n i kPe n g umpu l a nDa t a …………………………………………
33
An a l i s i sDa t a …………………………………………………. . . . . . . . . . . .
34
An a l i s i sSi s t e md a nSi mul a s i ………………………………………. . .
35
I de nt i f i k a s ii s u, t u j u a nd a nba t a s a n………………………………. . . . . . . . . . .
35
Perumusan Model Konseptual dan Spesifikasi Model Kuantitatif.....
36
Evaluasi Model...................................................................................
41
KEADAAN UMUM LOKASI......................................................................
42
Letak dan Luas..........................................................................................
42
Biofisik Kawasan......................................................................................
43
Potensi Ekonomi Sumberdaya Hutan Kabupaten Sarmi...........................
43
Kondisi Ekonomi Daerah Penelitian.........................................................
45
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
47
Risalah data Petak Ukur Permanen (PUP)................................................
47
Deskripsi Struktur Tegakan......................................................................
47
Perhitungan Dinamika Tegakan................................................................
48
Pembangunan Model Pengaturan Hasil Hutan.........................................
51
Identifikasi Isu, Tujuan dan Bata s a n……………………………………. .
52
Formulasi Model Konseptual.....................................................................
54
Merepresentasekan Model Konseptual......................................................
56
Sub Model Dinamika Struktur Tegakan.................................................
56
Sub Model Pengembalian Ekonomi......................................................
61
Sub Model Pengaturan Hasil.................................................................
64
Sub Model Penerimaan Masyarakat.....................................................
64
Sub Model REDD..................................................................................
64
Evaluasi Model..........................................................................................
65
Mengevaluasi Kewajaran dan Kelogisan Model................................
65
iii Mengevaluasi Hubungan Perilaku Model dengan Pola yang diharapakan ...........................................................................................
69
Perubahan Harga...................................................................................
70
Perubahan Suku Bunga.........................................................................
72
Perubahan Standar Kompensasi Masyarakat Adat...............................
74
Penggunaan Model ...................................................................................
75
Komparasi Skenario..................................................................................
84
Kontribusi Terhadap Ekonomi Daerah.....................................................
85
Implikasi Kebijakan dari Simulasi............................................................
87
KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................
90
Kesimpulan............................................................................................
90
Saran.......................................................................................................
90
DAFTARPUSTAKA……………………………………………………. . . LAMPIRAN
91
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Po t e n s iHu t a nKa b u p a t e nSa r mi ……………………. . …. . . ………. .
43
2. Keberadaan HPH/IUPHHK di Kabupaten Sarmi Tahun 2008........
44
3. Kontribusi relatif sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Sarmi atas dasar harga konstan 2000 selama tahun 2001-2006 ( %)..
45
4. Riap rata-rata tegakan masing-masing kelompok jenis.....................
47
5. Nilai inrate dari masing-masing kelompok jenis..............................
48
a d aI UPHHKPT. BBU…………………………. . . 6. Laju upgrowth p
49
a d aI UPHHKPT. BBU…………………………… 7. Laju mortality p
50
8. Luas Blok RKT, Volume Produksi dan Jumlah Batang selam II RKLp a d aI UPHHKPT. BBUKa b u pa t e nSa r miPa p u a ……………
51
9. Ke r u s a k a nt e g a k a nt i n g g a la k i b a tp e n e ba n g a n . . . . . …………………
57
10. Hasil Simulasi pengembalian ekonomi pada berbagai perubahan h a r g a …………………………………………………………………
69
11. Pe t ub a h a nSu k ub u n g at e r h a d a pNPV,LEV, d a nBCR……………. . 72 12. Jumlah Pohon Masak Tebang berdasarkan hasil simulasi tanpa p e n e b a n g a n…………………………………………………………
75
13. Preskripsi intensitas penebangan, jumlah pohon yang ditebang, 77 volume dan koefisien kelestarian hasil pada simulasi pengaturan h a s i l …………………………………………………………………. . 14. Hasil Simulasi nilai NPV, LEV, BCR dan IRR pada berbagai preskripsi penebangan dengan suku bungan 9%.................................
78
15. Proyeksi Penerimaan Pemerintah dan masyarakat pada berbagai s i k l ust e b a n g …………………………………………………………
79
16. Pr oy e k s iPe n e r i ma a nREDD………………………………………. ..
83
17. Ko mp a r a s iSk e n a r i o …………………………………………………
84
18. Kontribusi Penerimaan Sektor Kehutan dari PT.BBU terhadap ratarata Penerimaan Daerah Kabupaten Sarmi berdasarkan scenario s i k l ust e b a n g …………………………………………………………
85
19. Kontribusi Penerimaan sektor kehutanan dari PT.BBU terhadap rata-rata penerimaan daerah Kabupaten Sarmi berdasarkan skenario REDD…………………………………………………………
85
20. Kontribusi penerimaan kompensasi masyarakat adapt berdasarkan 86 h a s i ls i mu l a s ida na c t u a l ……………………………………………. .
v
DAFTAR GAMBAR No
Halaman 1. Su mb e rPe n d a pa t a nDa e r a hBe r d a s a r k a nUU3 3 / 2 0 0 4…. . . ………. . 22 2. Pe r b a n d i n g a nMe t o d ePe me c a h a nMa s a l a h . . . ……………………. . . 27 3. Kerangka Pemikiran Model Sistem Dinamik Pengelolaan Hutan Alam .................................................................................................
30
4. Lokasi Penelitian hutan alam produksi PT. BBU Kabupaten Sarmi, Papua.................................................................................................
31
5. Diagram causal loop antar komponen dalam model........................
54
6. Hubungan LBD tegakan (BA) terhadap parameter pertumbuhan.....
56
7. Representase model dinamik tegakan dipterocarpaceae...................
58
8. Representase model dinamik tegakan non dipterocarpaceae............
58
9. Representase model dinamik tegakan non komersil.........................
59
10. Representase model pengembalian ekonomi....................................
60
11. Representase model penerimaan masyarakat adat............................
63
12. Representase Penerimaan REDD......................................................
64
13. BAU dan Baseline kredit...................................................................
65
14. Proyeksi Dinamika Tegakan Jangka Panjang...................................
66
15. Perbandingan Struktur Tegakan Hasil Pengamatan dengan Simulasi setelah 5 tahun menurut kelompok jenis : (a) Dipterocarpaceae, (b) Non Diterocarpaceae, (c) Non Komersil.......
67
16. St r u k t u rTe g a k a nHu t a nd iAr e a lp e n e l i t i a n ……………………….
68
17. Nilai harapan lahan pada berbagai s i k l u st e b a n gd a nh a r g a ………. . 70 18. Produksi Kayu Bulat IUPHHK PT. BBU tahun 2001-2 0 07 ………. 70 19. Pe r u b a h a nSu k uBu n g at e r h a d a pNPV,LEV, d a nBCR…………
72
20. Penerimaan Kompensasi pada kondisi terjadi perubahan standar kompensasi yaitu 0%, 20%, 40% dan 60%.......................................
74
21. Hasil Simulasi 70 tahun kondisi masak tebang jenis 74 Di p t e r o c a r p a c e a e ,n o nd i p t e r o c a r p a c e a e , d a nn o nk o mr s i l ………. . . 22. Proyeksi jumlah pohon masak tebang (a), siklus tebang 30 tahun (b), siklus 35 tahun (c) siklus 40 ta h u n, ( d )Se mu as i k l u s ………. .
76
23. Pr oy e k s ipe n e b a n g a np o h o ns t i a pp o h o nma s a kt e b a ng …………. . . 81 24. Keadaan Penerimaan masyarakat pemilik hak ulayat & penebang...
82
25. Pr oy e k s iPe n e r i ma a nREDD……. . . ………………………………. . 83
vi
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1
Komp o s i s iJ e n i sd a l a mt e g a k a nd ia r e a lh u t a npr i me r . . . . . . . . ………. . 96
2.
Ko mp o s i s ij e n i sp o h o nd a l a mt e g a k a nd ia r e a lb e k a st e b a n a n …. .
98
3.
Mo d e lKu a nt i t a t i fpe n g a t u r a nh a s i lh u t a nt i d a ks e u mu r ………….
99
4.
Representasi Model dinamika tegakan total........... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ….
112
5.
Haisl simulasi nilai NPV, LEV, BCR dan IRR pada berbagai 117 perubahan suku bunga...................................................................... Re p r e s e n t a s es u bmo d e lb i a y ap r o d u k s i ………………. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 118
6.
PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memberikan manfaat majemuk dalam pelaksanaan pembangunan baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi. Manfaat tersebut sangat kuat dalam menunjang pembangunan dan memberikan kontribusi sangat penting dalam menghasilkan devisa bagi negara. Namun peran tersebut kini dihadapkan pada permasalahan pengelolaan hutan yang tidak lestari karena kondisi hutan yang dikelola telah mengalami perubahan. Areal berhutan terutama hutan alam produksi sebagian besar merupakan areal hutan bekas tebangan (logged over area) yang kondisinya terus mengalami degradasi karena aktivitas pembalakan secara eksesif, sehingga diperlukan upaya-upaya pengelolaan hutan secara lestari. Salah satu prasyarat utama tercapainya pengelolaan hutan lestari pada unit pengelolaan hutan adalah tersedianya rencana pengelolaan hutan jangka panjang, dimana pengaturan hasil merupakan komponen utamanya. Pengaturan hasil melalui penentuan jatah tebang sangat berperan dalam pengelolaan hutan secara lestari dan harus dilakukan secara spesifik karena kondisi dan potensi hutan bervariasi pada berbagai areal. Pengaturan hasil tersebut harus ditetapkan secara lebih cermat dan obyektif melalui mekanisme perencanaan yang baik. Sementara diketahui bahwa preskrispi kunci perencanaan untuk hutan tidak seumur seperti panjang siklus tebang, intensitas penebangan optimal, limit diameter tebang dan proporsi jumlah batang yang ditebang memiliki fungsi penting dalam pelestarian hutan. Penetapan preskripsi tersebut salah satunya didasarkan pada pertimbangan kondisi dinamika struktur tegakan. Untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan potensi tegakan minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan ekologis dari struktur tegakan akan diperoleh gambaran mengenai kemampuan regenerasi dari tegakan (Suhendang 1993). Dinamika struktur tegakan berkaitan erat dengan aspek ekonomi dalam kegiatan produksi kayu karena memiliki korelasi dengan berapa lama modal hendak ditanamkan untuk produksi kayu tersebut (Davis et al. 2001).
2
Memaksimumkan pendapatan yang didiskonto bermanfaat dalam mencapai keadaan intensitas penebangan dan siklus tebang yang optimal. Strategi ini memerlukan evaluasi finansial sebagai alat untuk menilai kinerja finansial perusahaan. Bertumpuh pada pertimbangan dinamika tegakan saja tidak cukup untuk menjelaskan
ekosistem hutan karena hutan memiliki kompleksitas dan
ketidakpastian, dinamis, non linear sehingga diperlukan pengukuran secara terpadu dengan mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti ekonomi dan sosial (Low et al. 1999; Ness et al. 2007). Sifat kompleksitas dapat didekati dengan pendekatan sistem dinamik dengan pembangunan model-model menggunakan perangkat komputer terhadap suatu situasi yang kompleks dan kemudian melakukan eksperimen serta studi perilaku terhadap model tersebut dalam jangka waktu tertentu (Caulfield and Maj 2001 dalam Ness et al. 2007). Menurut Vanclay (1988), beberapa model telah dibangun untuk menguji suksesi ekologi pada tipe hutan yang berbeda, tetapi model-model tersebut tidak cocok untuk diterapkan dalam pengaturan hasil. Pendekatan matriks transisi yang dikembangkan Usher pada tahun 1966 juga kecil kontribusinya untuk memahami proses-proses pertumbuhan di dalam tegakan hutan. Dengan model sistem dinamik diharapkan dapat menentukan preskripsi pengaturan hasil pada hutan tidak seumur yang optimal dipandang dari aspek kelestarian produksi, dan aspek sosial ekonomi serta kontribusi yang diberikan oleh metode pengaturan hasil terhadap masyarakat dan penerimaan pemerintah daerah. Perumusan Masalah Pengelolaan hutan di Papua (Provinsi Papua) sudah berjalan kurang lebih tiga dekade dan kini mengarah pada pengelolaan hutan bekas tebangan. Dengan tujuan mengejar laju pertumbuhan ekonomi pemerintah telah memberikan ijin hak pengusahaan hutan kepada kurang lebih 54 perusahaan untuk mengelola hutan Papua yang luasnya kira-kira mencapai 31 juta hektar. Sejalan dengan perkembangan pemanfaatan hutan tersebut, pemerintah maupun masyarakat sebagai pemilik sumberdaya hutan belum mendapatkan manfaat yang optimal. Kontribusi yang diberikan sektor kehutanan terhadap ekonomi Papua selama
3
tahun 1993-2003 hanya mencapai 6,7% (Pawitno 2003). Kebijakan-kebijakan
baru
pengelolaan
hutan
diharapkan
mampu
meningkatkan penerimaan daerah dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan aspek-aspek pengelolaan yang lestari. Salah satu bentuk pengelolaan hutan yang lestari adalah pengaturan hasil hutan melalui penentuan jatah tebang tahunan (AAC) yang ditetapkan pemerintah. Penetapan AAC memiliki konsekuensi baik secara ekologis, ekonomi maupun sosial. Metode pengaturan hasil yang selama ini digunakan untuk menetapkan jatah tebang tahunan (AAC) lebih bersifat umum untuk semua kondisi hutan, sehingga hampir dipraktekan pada sebagian besar HPH. Sementara kondisi spesifik setiap HPH tidak selalu sama baik aspek klimatis maupun edafis, sehingga diperlukan pengaturan hasil yang spesifik Salah satu HPH/IUPHHK yang penetapan AACnya berdasarkan metode pengaturan konvensional adalah IUPHHK PT. Bina Balantak Utama(BBU) Kabupaten Sarmi yang mengelola hutan seluas 325.300 ha. Dengan pengetahuan dan teknik silvikultur hutan alam produksi yang berkembang saat ini serta perubahan-perubahan kebijakan pemerintah apakah pengelolaan hutan oleh IUPHHK melalui mekanisme pengaturan hasil yang diterapkan akan memberikan hasil yang lestari? apakah hutan yang dikelola akan mampu memberikan kontribusi optimal dalam menopang
perekonomian daerah? dan apakah layak untuk tetap diserahkan
kepada pemegang IUPHHK? Jika jawabannya tidak, maka perlu ditemukan alternatif pengaturan hasil yang lestari. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji : 1. Alternatif
pengaturan hasil hutan tidak seumur berdasarkan intensitas
penebangan dan siklus tebang yang lestari menggunakan pendekatan sistem dinamik 2. Keterkaitan metode pengaturan hasil hutan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan ekonomi daerah
4
Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian dapat dijadikan sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan dalam strategi pengelolaan hutan alam produksi secara lestari. Alternatif pengaturan hasil yang dikembangkan dapat dijadikan sebagai teknik pemanfaatan hutan yang optimal dan berkesimbungan sehingga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu atau jumlah kumulatif sampai pada waktu tertentu (Davis & Johnson 1987). Kelestarian hasil tegakan akan dicapai apabila pertumbuhan dan panen berlangsung secara seimbang. Kelestarian hasil dipakai sebagai prinsip dasar dalam
pemanenan dan
sangat bergantung pada sistem pengaturan hasil yang digunakan. Pengaturan hasil merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengontrol jumlah, jenis atau volume kayu sehingga dapat digunakan pada pemanenan berikutnya (McLeish & Susanty 2000). Pengaturan hasil memberikan pengaruh terhadap kelestarian sumberdaya hutan secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Tidak hanya itu saja, kelestarian hasil yang banyak diterapkan di hutan tropis atau subtropis menempatkan pemanfaatan hutan alam untuk jangka panjang apabila dilakukan secara konsisten akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap jasa lingkungan (seperti perlindungan tata air dan tanah) maupun kualitas biologinya (seperti keanekaragaman hayati). Kelestarian pemanenan berarti jumlah dan tipe produk yang sama (dimensi, kualitas, dan jenis) dapat diambil secara terus menerus dalam periode jangka panjang. Hal ini berarti bahwa pemanenan harus mempertimbangkan resiliensi sumberdaya hutan. Konsep kelestarian hasil di atas sejalan dengan konsep pengelolaan hutan yang lestari, yang oleh ITTO (1998) didefinisikan sebagai
suatu proses
dalam mengelola hutan untuk mencapai satu atau beberapa tujuan yang secara jelas telah ditentukan, menyangkut keberlanjutan produksi hasil dan manfaat lain yang diinginkan tanpa menimbulkan kemunduran nilai produktifitas hutan dan efek pada lingkungan fisik dan sosial untuk masa yang akan datang. Ada defenisi lain yang menyatakan bahwa pengaturan hasil adalah penentuan hasil kayu dan produksi lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan, termasuk dimana dan kapan serta bagaimana hasil seharusnya diekstraksi (FAO 1998). Kedua defenisi
6
di atas secara bersama-sama menyertakan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam pengelolaan hutan. Masuknya aspek sosial dalam pengelolaan hutan lestari berarti bahwa manusia juga diperhitungkan sebagai bagian dari ekosistem hutan. Secara teoritis kelestarian hasil tidaklah bersifat mutlak, terdapat unsur kenisbian di dalamnya. Sumber kenisbian tersebut salah satunya adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, apakah luas, volume kayu, nilai uang, atau jumlah batang pohon. Tidak ada jaminan bahwa pemakaian salah satu ukuran hasil memberikan tingkat kelestarian yang sama apabila diukur oleh ukuran yang lain. Apabila terdapat tingkat kelestarian yang sama untuk semua ukuran hasil, maka kejadian tersebut haruslah sangat istimewa dan hal tersebut bukan merupakan fenomena alam yang biasa (Suhendang 1995). Pengaturan Hasil Berdasarkan Model Simulasi Pengaturan hasil berdasarkan model simulasi tidak dapat dipisahkan dari model pertumbuhan dan hasil. Model simulasi berguna dalam menjelaskan pemahaman dan prediksi. Selain itu model simulasi juga berguna untuk menganalisis data, sintesis dan mengkomunikasikan pengetahuan yang ada, serta mengidentifikasi gap dalam pemahaman (Vanclay 2002). Model simulasi dapat diterapkan terhadap hutan yang bervariasi dari satu ke lain tempat karena kompleksitas ekosistem hutan, sehingga asumsi tentang kehomogenitas tegakan tidak begitu penting. Model ini dapat pula digunakan untuk menguji berbagai rejim manajemen, dimana realisasi hasil tergantung pada keakuratan dan kelengkapan model. Model-model tersebut memerlukan pengetahuan tentang laju pertumbuhan dan dinamika tegakan (Alder 1999 dalam Krisnawaty 2001). Saat ini telah dikembangkan beberapa perangkat lunak simulasi untuk memprediksi AAC atau pengaturan hasil. Beberapa penelitian tentang metode pengaturan hasil untuk hutan bekas tebangan pada hutan alam produksi telah dilakukan berdasarkan kombinasi tegakan persediaan hutan, riap volume tegakan dan dinamika struktur tegakan hutan serta kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.
7
a. Dipterocarp Forest Growth Simulation Model (DIPSIM). DIPSIM (Dipterocarp Simulation Model) adalah suatu perangkat lunak komputer yang dikembangkan oleh Promosi Sistem Pengelolaan Hutan Lestari (Promotion of
Sustainable
Forest Management
Systems, SFMP) melalui
kerjasama antara Pemerintah Indonesia (Menteri Kehutanan dan Perkebunan) dan Jerman (Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit, GTZ). DIPSIM adalah model pertumbuhan individu pohon yang dikembangkan dari data pertumbuhan dan hasil melalui pengukuran secara berulang pada PUP di Kalimantan Timur.
DIPSIM
digunakan
untuk
menentukan
Jatah
Tebang
Tahunan (JTT) berdasarkan simulasi pertumbuhan hutan (riap diameter pohon, perubahan kualitas pohon, mortality, recruitment) dan simulasi pemanenan (Kleine & Hinrich 1999 dalam Suhendang 2002). b. Sustainable and Yield Management for Tropical Forests (SYMFOR). SYMFOR merupakan model pertumbuhan dan hasil yang digunakan untuk menilai dan mengevaluasi sistem manajemen secara ekologi, bukan merupakan model konsesi hutan secara ekonomi. Aplikasi model SYMFOR dapat dipergunakan untuk memprediksi
pertumbuhan pohon, hasil tebangan dan
tegakan tinggal pada setiap periode sehingga dapat menentukan jangka waktu optimal pemanenan tegakan. Salah satu studi kasus dalam uji coba metode SYMFOR menunjukan bahwa sistem Reduce Impact Logging (RIL) 70 m3/ha dengan pengaturan hasil (yield regulation) memberikan bentuk kelestarian hasil yang lebih baik dibandingkan sistem TPTI dan RIL 8 batang/ha berdasarkan besarnya potensi produksi terutama untuk areal dengan potensi tinggi (Susanty & Sarjono 2001). c. Yield Simulation System (YSS) YSS adalah perangkat lunak komputer yang terdiri dari beberapa modul program yang digunakan untuk menduga kondisi tegakan pada waktu yang akan datang melalui teknik simulasi dengan menggunakan matriks transisi. YSS dikembangkan pada tahun 1999 oleh Rombouts.
8
d. Model Prototipe The Forest Land Oriented Resource Envisioning System (pFLORES) Model pFLORES merupakan suatu protipe model FLORES yang dibangun oleh
Muetzelfeldt dkk pada tahun 1997. Model pFLORES yang dibangun
menggunakan
software modeling milik AME yang pada dasarnya menjelaskan
interaksi antara faktor-faktor sosiologi, ekologi, lingkungan dan ekonomi yang berhubungan dengan penggunaan lahan (Muetzelfeldt et al. 1997). e. Model The Forest Land Oriented Resource Envisioning System (FLORES) Model FLORES merupakan model yang dikembangkan berdasarkan model prototype FLORES selama kegiatan workshop di Bukit Tinggi Sumatera Barat pada tahun 1999. Model ini dibangun selama kurang lebih tiga tahun berdasarkan ide yang dimunculkan Vanclay pada tahun 1995 dengan menggunakan perangkat komputer. Materi-materi yang disajikan dan dikirim dalam kegiatan workshop di Bukit Tinggi tersebut dikompilasi dan dibangun
model FLORES. Model
FLORES menggunakan perangkat lunak Simile sebagai tool (alat) dalam mengolah data. Model ini dikembangkan dalam rangka memahami interaksi antara manusia dan sumberdaya alam pada hutan-hutan marginal di negaranegara sedang berkembang seperti Indonesia, Zimbabwe dan Cameroon (Muetzelfedt dan Massheder 2003). f. MYRLIN (Methods of Yield Regulations with Limited Information) Metode
ini
dibangun
oleh
Alder
bersama
rekan-rekannya
untuk
memprediksi hasil pertumbuhan tegakan pada hutan hujan tropika. Metode ini menjelaskan pola-pola pertambahan diameter pohon untuk spesis tumbuhan pada hutan hujan tropika yang memiliki kesamaan secara luas antara satu wilayah dengan wilayah lainnya berdasarkan asumsi-asumsi umum yang dibuat terhadap hasil pertumbuhan. Model ini menggunakan persamaan untuk memprediksi pertambahan diameter, kematian pohon, dan perubahan lainnya dalam hutan secara statistik. (Alder 2002 diacu dalam Vanclay 2003). g. The Simile Visual Modeling Environmental Bahasa program Simile merupakan suatu wadah yang menyediakan kemampuan dan kemudahan relatif untuk membangun model-model dan simulasi
9
proses-proses biologi dalam hutan, pertumbuhan tegakan, proses pemasaran, termasuk manusia dan sistem-sistem di dalam hutan (Vanclay 2003). Simile pada awalnya dikenal sebagai AME (Agroforestry Modelling Environment) yang telah dibangun oleh peneliti dari Universitas Edinburgh dan selama lima tahun terakhir ini lebih fokus pada permasalahan bidang kehutanan. Bahasa program lain yang sama dengan Simile adalah Vensim, Powersim dan Stella. Tegakan dan Struktur Tegakan Buongiorno dan Gilless (1987) mendefinisikan tegakan (stand) sebagai luasan yang cukup kecil ditebang dalam periode waktu yang singkat, misalnya satu tahun. Tegakan dapat berupa seluruh areal hutan atau bagian dari areal hutan yang luas, yang dikelola dengan siklus tebang tertentu. Tegakan dalam perspektif manajemen hutan merupakan suatu hamparan lahan hutan yang secara geografis terpusat dan memiliki ciri-ciri kombinasi dan sifat-sifat vegetasi (komposisi jenis, pola pertumbuhan, kualitas pertumbuhan), sifat-sifat fisik (bentuk
lapangan),
memiliki luasan minimal tertentu sebagaimana yang diisyaratkan (Suhendang 1993). Struktur tegakan dapat dibedakan atas struktur tegakan vertikal, struktur tegakan horisontal dan struktur tegakan spasial. Menurut Richard (1964), struktur tegakan vertikal adalah sebaran individu pohon dalam berbagai lapisan tajuk. Sedangkan struktur tegakan horisontal didefenisikan sebagai banyaknya pohon per satuan luas pada setiap kelas diameternya (Meyer et al., 1961 dalam Davis et al. 2001). Struktur tegakan spasial berkaitan dengan keberadaan pohon-pohon dalam suatu ruang tumbuh tertentu yang ditentukan oleh kondisi lingkungan setempat, proses-proses kompetisi, kemampuan pohon untuk tumbuh dan berkembang serta kematian, dan kemungkinan benih untuk
berkembang dan
memperbaiki kapasitas tegakan. Penelitian ini hanya berfokus pada struktur tegakan horisontal. Struktur tegakan adalah penyebaran fisik dan temporal dari pohon-pohon dalam tegakan berdasarkan jenis, pola penyebaran vertikal atau horisontal, ukuran pohon atau pohon termasuk volume tajuk, indeks luas daun, batang, penampang lintang batang, umur pohon atau kombinasinya (Oliver dan Larson 1990).
10
Bentuk struktur tegakan horizontal hutan alam pada umumnya mengikuti persamaan eksponensial negatif atau bentuk huruf J-terbalik, tetapi struktur tegakan hutan alam tidak selamanya mengikuti bentuk huruf J- terbalik (Meyer et al. 1961; Davis & Johnson 1987). Hasil penelitian di hutan alam hujan tropis di Imataca, mendapatkan fakta bahwa struktur tegakan untuk semua jenis mengikuti bentuk huruf J-terbalik, tetapi apabila dibuat untuk setiap jenisnya, maka bentuk struktur tegakannya beragam, sesuai dengan sifat toleransinya terhadap naungan. Untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan potensi tegakan minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan ekologis dari struktur tegakan akan diperoleh gambaran mengenai kemampuan regenerasi dari tegakan yang bersangkutan (Suhendang 1993). Struktur tegakan dengan bentuk kurva yang menyerupai bentuk huruf Jterbalik dengan model
N = N0e
-kD
telah banyak ditemukan dalam penelitian-
penelitian ekologi hutan. Suhendang (1985) dalam penelitian pada hutan alam hujan tropis dataran rendah di Bengkunat, Lampung, menyajikan bentuk struktur tegakan dalam model fungsi kepekatan peubah acak kontinyu, yaitu berdasarkan sebaran gamma, lognormal, eksponensial negatif dan Weibull. Lebih
jauh diungkapkan bahwa penggunaan model fungsi kepekatan untuk
menyusun struktur tegakan selain keterandalan yang cukup tinggi juga akan lebih memudahkan dalam penggunaannya. Berdasarkan penelitian Suhendang (1995) di Propinsi Riau model struktur tegakan N = N0e
-kD
dapat diterima oleh semua
petak percobaan, dicirikan oleh besarnya koefisien determinasi yang diperoleh (R2 berkisar 73% sampai 89%). Model struktur tegakan N = N0e
-kD
yang lain juga dibentuk oleh
Rosmantika (1997) pada hutan alam bekas tebangan di Stagen Pulau Laut Kalimantan Selatan dengan nilai R2 yang diperoleh 66% sampai 99,3%. Krisnawati (2001) dalam penelitiannya di Kalimantan Tengah mendapatkan model struktur tegakan N = N0e
-kD
yang mengikuti bentuk J- terbalik dapat
diterima oleh semua kelompok jenis pada setiap areal pengamatan dengan besar nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh yaitu berkisar antara 87% sampai 98,8% untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, antara 98,9% sampai 99,6% untuk
11
kelompok jenis Non Dipterocarpaceae, dan antara 98,6% sampai 99,9% untuk kelompok jenis Non Komersial, sedangkan untuk semua jenis berkisar antara 98,8% sampai 99,6%. Model Pertumbuhan Hutan Tidak Seumur Model Pertumbuhan adalah suatu abstraksi dinamika alam dari suatu tegakan hutan yang meliputi pertumbuhan, kematian dan perubahan lain di dalam struktur dan komposisi tegakan (Vanclay 1994). Model pertumbuhan terdiri dari satu seri persamaan matematik yang juga dapat dihubungkan dengan komputer untuk membuat suatu model. Pertumbuhan mengarah pada pertambahan dimensi satu atau lebih individu dalam suatu tegakan hutan dalam suatu periode waktu tertentu (misal pertumbuhan volume m3ha-1th-1). Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu atau jumlah kumulatif sampai pada waktu tertentu (Davis dan Johnson 1987). Dalam suatu tegakan tidak seumur hasil (yield) adalah total produksi sepanjang periode waktu tertentu sedangkan pertumbuhan adalah hasil produksi. Pertumbuhan dan hasil memiliki hubungan secara matematik, jika hasil adalah y maka pertumbuhan adalah turunannya yaitu dy/dt. Model pertumbuhan empiris dikategorikan atas 3 (tiga) kelompok, yaitu model pertumbuhan per pohon (individual tree models atau single tree models), model kelas tegakan (stand class models), model tegakan keseluruhan (whole stand models) (Davis et al. 2001; Vanclay 1995; Turland 2007). Model-model individu pohon menggunakan individu pohon sebagai unit dasar dalam penyusunan model. Input minimum yang diperlukan untuk penerapan model ini adalah daftar seluruh jenis pohon yang menyusun tegakan mencakup ukuran diameter, tinggi dan bentuk tajuk. Model yang lainnya juga memperhatikan susunan tegakan mencakup ukuran diameter, tinggi dan bentuk tajuk. Posisi spasial setiap pohon, tinggi pohon dan kelas tajuk. Pendekatan model tegakan keseluruhan menggambarkan kondisi pohon atau tegakan hutan dengan menggunakan sedikit parameter (Davis dan Johnson 1987).
12
Sedangkan menurut Vanclay (1995), pendekatan model tegakan secara keseluruhan dapat digunakan untuk menggambarkan parameter-parameter tingkat tegakan (langsung per un it area), seperti; tegakan persediaan (pohon/ha), bidang dasar tegakan (m3/ha) dan volume tegakan (m3/ha). Terdapat empat variabel kunci dalam pemodelan hutan tidak seumur yaitu:
laju
komposisi
pertumbuhan jenis dan
utama yang muncul
tegakan, sebaran diameter dalam setiap tegakan,
lamanya siklus tebang (Leuschner 1990). Masalah dalam
penaksiran
produktivitas
hutan
tropika
(pertumbuhan dan hasil) melalui model pertumbuhan, yang dikelola berdasarkan tebang pilih seperti TPTI diantaranya adalah : perhitungan kematian (mortality)dan ingrowth, identifikasi jenis dan keakuratan pengukuran ulang setiap individu pohon. Ingrowth menyatakan besarnya tambahan terhadap banyaknya pohon per hektar pada kelas diameter terkecil selama periode waktu tertentu. Upgrowth menyatakan besarnya tambahan terhadap banyaknya pohon per hektar terhadap kelas diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter yang lebih kecil selama periode waktu tertentu. Kematian (mortality) menyatakan banyaknya pohon per hektar yang mati pada setiap kelas diameter selama periode tertentu. Banyaknya pohon yang tetap pada setiap kelas diameter selama periode waktu tertentu, diperoleh dari pengurangan angka 1 (jumlah total peluang pertumbuhan) dengan proporsi mortality dan proporsi ingrowth atau upgrowth. Pendekatan yang paling sesuai digunakan dalam pemodelan hutan tidak seumur untuk saat ini adalah model kelas tegakan (stand class models) (Vanclay 1995). Perkembangan Penelitian tentang Model Dinamika Struktur Tegakan Model pertumbuhan matriks digunakan juga untuk melihat pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari berbagai alternatif penebangan terhadap manfaat ekonomi dan keanekaragaman ekologis pada hutan campuran di Wisconsin, USA (Lu dan Buongiorno 1993). Model pertumbuhan yang dikembangkan sama dengan yang diajukan oleh Buongiorno dan Michie (1980), tetapi dengan melakukan penambahan pengelompokan jenis dan ukuran. Selain itu merupakan
fungsi
dari
bidang
persamaannya sebagai berikut:
diameter
dan jumlah
ingrowth
pohon
yang
13
IH = 14,650 - 0,020GH - 0.007GL - 0,016GN + 0.002NH IL = 29,596 - 0,039 GH - 0.033 GL -0,043 GN + 0.010 NH
(R2 = 0,3%) (R2 = 5,8%)
IN = 9,842 - 0,013 GH - 0,01O GL - 0,043 GN + 0,012 NH (R3 = 4,2%) dimana IH, IL, dan IN l a j u ingrowth tahunan (pohon/ha) dari pohon yang bernilai tinggi, bernilai rendah dan non komersial, GH, GL, dan GN adalah total diameter (m/ha), dan NH, NL dan NN adalalah total jumlah pohon (pohon/ha). Selain itu, Buongiorno et al (1995) melakukan studi tentang pertumbuhan dan manajemen jenis
campuran hutan tidak seumur di Jura Prancis serta
implikasinya terhadap pengembalian
ekonomi
dan
keanekaragaman pohon.
Persamaan ingrowth, upgrowth, dan mortaly berdasarkan pengelompokan jenis (Fir, Spruce, dan Beach). Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan model : m
n
n
j=1
j=1
Ikt = dik Bj ( yijt-hijk)+ ek (ykjt –hkjt) + Ck ( R2 = 37- 47%) i=1
Persamaan ingrowth setiap jenis merupakan fungsi dari jumlah pohon dan terbalik dengan basal area setiap jenis pohon. Persamaan ingrowth sebagai berikut: m
n
n
j=1
j=1
Ikt = dik Bj ( yijt-hijk)+ ek (ykjt –hkjt) + Ck ( R2 = 37- 47%) i=1
dimana: Ikt
= ingrowth atau jumlah pohon jenis k per unit area yang masuk ke kelas diameter terkecil selama interval 5 tahun (pohon/ha) Bj = rata-rata basal area dari kelas diameter ke-j (m2/ha) dik ek = Parameter Ck = konstanta yang diharapkan tidak negatif, dalam artian ingrowth mungkin terjadi, tidak tergantung keadaan tegakan, dapat terjadi secara bebas dari bentuk struktur tegakan sesuai dengan penyebaran semai di sekitar tegakan. Upgrowth (bij) merupakan fungsi dari bidang dasar tegakan (stand basal area) dan ukuran diameter pohon yang dirumuskan sebagai berikut : bij =
m n
p i
+ qi B ( yijt-hijk)+ si Dj i=1 j=1
( R2 = 1,3-40%)
14
dimana: bij
= peluang upgrowth jenis ke-i diameter ke-j dalam waktu 5 tahun
i B
= 1,. .. .. . , m ; j = 1 ......,n-1 bij =0( i = 1, 2, ...., m) = total bidang dasar semua jenis pohon ke-i kelas diameter ke-j (m2/ha) DJ = rata-rata diameter pada kelas diameter ke-j (cm) Pi, qi, S i = parameter/koefisien regresi. Mortality (mij) adalah peluang pohon yang akan mati dari jenis pohon ke-i dan kelas diameter ke-j secara alami selama 5 tahun dirumuskan sebagai berikut :
mij =
u i
m n
+ vi B (yijt-hijk)+ wi Dj ( R2 = 7%) i=1 j=1
dimana : ui, vi, wi = parameter/koefisien regresi Kariuki et al (2006), membangun model kuantitatif growth, recruitment dan mortality pada hutan hujan tropika di North-east South Wales Australia dengan menggunakan regresi non linear multilevel pada berbagai tingkat gangguan. Hasil simulasi menggunakan tool (alat) simile didapatkan panen moderat
dengan
intensitas 47% basal area (BA) memerlukan waktu 120 tahun untuk menghasilkan produksi lestari, hal ini belum mempertimbangkan integrasinya dengan aspek ekologi. Sedangkan untuk single tree selection (35% BA) menghasilkan gap yang kecil pada kanopi sehingga recruitmen
menjadi rendah, terjadi sedikit
peningkatan pada pertumbuhan batang, namun memerlukan 180 tahun untuk memulihkan areal tersebut. Pada areal yang terkena eksploitasi secara intensif (50%BA) sebagai akibat dari tingginya kegiatan logging, meningkatkan kerusakan dan memerlukan waktu 180 tahun untuk pulih. Areal yang terkena dampak logging secara intensif (65-80% BA) juga mengurangi kerapatan batang dan menciptakan gap yang
semakin besar pada kanopi serta memberikan hasil
pertumbuhan dan recruitmen yang besar. Walaupun demikian kondisi ini telah meningkatkan jangka waktu pemulihan kerusakan 180-220 tahun. Selain itu dengan adanya perangkat lunak pengolahan dan simulasi seperti Stella maka Aswandi (2005), Septiana (2000), Bakri (2000) dan Cahyadi (2001), Labetubun (2004) telah menggunakan software tersebut untuk mensimulasikan model dinamika struktur tegakan. Dengan model dinamika sistem ini, Ingrowth,
15
Upgrowth, dan Mortality dibuat non linear terhadap bidang dasar tegakan dengan data hipotesis. Model Pengelolaan Hutan Alam secara Optimal Hutan tropis memiliki banyak jenis sehingga sulit mendefenisikan suatu struktur tegakan optimal dan mungkin lebih relevan dengan penelitian panjang siklus pemanenan, diameter minimal untuk pemanenan (Vanclay 1995), jumlah pohon yang dipanen setiap siklus (Mendoza dan Setyarso 1986). Lu dan Buongiorno (1993) meneliti tentang pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari alternatif rejim penebangan terhadap pengembalian ekonomi dan keanekaragaman ekologi pada hutan jenis campuran di hutan hardwoods Wisconsin Amerika Serikat. Hasil penelitian yang telah dilakukan menemukan suatu pedoman sederhana penebangan semua pohon yang berdiameter paling kecil (15 cm) setiap tahun, menunjukkan bahwa keanekaragaman hampir 95% dari tegakan alami, dan rente tanah adalah sekitar 70% yang dapat dicapai. Buongiorno et al (1995) menentukan keanekaragaman ukuran pohon
dan
pengembalian ekonomi pada tegakan hutan tidak seumur di hutan Northern hardwoods USA. Hasilnya tegakan alami yang tidak diganggu kemungkinan akan mencapai kelestarian keanekaragaman ukuran pohon yang paling tinggi. Biasanya kebijakan pemanenan tegakan yang ekonomis memberikan pengaruh terhadap menurunnya keanekaragaman ukuran pohon sekitar 10-20% tergantung pada panjang siklus tebang. Penelitian lain tentang trade-offs
antara pendapatan dan keanekaragaman
pada pengelolaan hutan campuran dipterocarps dataran rendah Malaysia. Diantara rejim yang diteliti, suatu kompromi yang baik antara ekonomi dan keanekaragaman adalah menebang dengan banyak pohon berdiameter 30 cm dan 40 cm pohon Dipterocarpaceae dan Non Dinterocarpaceae setiap 10 tahun, ini akan memelihara beberapa pohon dalam semua kelas ukuran dan jenis. Pengembalian finansial dapat dibandingkan dengan investasi yang lain di Malaysia dan sama dengan hasil tertinggi di bawah rejim manajemen sekarang, namun keanekaragaman pohon akan jauh lebih tinggi (Ingram dan Buongiorno 1996 dalam Labetubun 2004).
16
Penelitian lain tentang suatu model pemanenan yang optimal untuk mengevaluasi Sistim Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dengan menggunakan program linear juga telah dilakukan oleh Sianturi. Simulasi dilakukan terhadap 7 macam rotasi tebang, 3 tingkat suku bunga, 3 tigkat kerusakan tegakan dan 6 macam sistem royalti mendapatkan hasil bahwa rotasi tebangan yang optimal ditentukan oleh besarnya suku bunga serta tingkat kerusakan tegakan tinggal. Makin besar suku bunga yang digunakan, makin pendek rotasi yang ditebang sehingga memberikan hasil hutan tertinggi (Sianturi 1993). Simulasi memberikan lebih banyak fleksibilitas dalam pemodelan (Buongiorno dan Gilless 1987). Suatu fenomena dapat dipresentasikan melalui hubungan-hubungan matematika dari suatu bentuk yang mudah dikerjakan dari suatu sistem yang nyata. Simulasi digunakan sebagai alat yang paling baik dan serbaguna untuk pemecahan masalah dalam pengelolaan hutan. Output dan aplikasi yang dapat dihasilkan dari model tersebut antara lain dinamika tegakan, nilai hutan, siklus tebang terbaik, intensitas penebangan terbaik, jumlah tegakan tinggal yang terbaik, kombinasi optimum dan analisis sensivitas. Pendugaan Nilai Lahan Hutan Sumberdaya alam termasuk lahan hutan secara potensial mempunyai alternatif penggunaan atau prinsip opportunity cost, maka dalam perhitungan maksimalisasi perlu dimasukan nilai lahan atau tanah hutan. Keputusan tersebut dari sudut pandang finansial perlu mempertimbangkan hal-hal berikut : (1) waktu pemanenan, yaitu menyangkut volume yang dihasilkan, struktur hutan dan pola output kayu dari waktu ke waktu; (2) prakiraan nilai dari sumber daya hutan sebagai dampak dari keterbatasan dan kebijakan penggelolaan; (3) ketentuan sebaran diameter untuk memaksimalkan produksi, dan (4) rencana produksi dalam kaitannya terhadap pencapaian tujuan (Buongiorno dan Gilless 1987). Rencana pengelolaan hutan memerlukan analisis finansial sebagai alat untuk menilai kinerja finansial perusahaan. Beberapa kriteria finansial yang sering digunakan adalah : (1) Net Present Value (NPV), (2) Nilai harapan lahan (LEV), (3) Internal rate of return (IRR), (4) Rasio manfaat-biaya (BCR) dan (5)Nilai hutan (FV) ( Zobrist, et al. 2006).
17
1. Pendekatan Nilai Kini Bersih (Net Present Value) Ekonomi pasar memiliki prinsip maksimalisasi nilai sekarang (present value) sehingga cenderung memberikan perhatian terhadap penentuan penggunaan lahan. Aktivitas penggunaan lahan cenderung ditujukan untuk meningkatkan NPV. Salah satu bentuk kriteria maksimalisasi nilai sekarang dalam penentuan rotasi dikenal sebagai NPV atau cashflow terdiskonto. Menurut Klemperer (1996), pengertian diartikan sebagai
kesediaan
dari
pendekatan NPV dapat
membayar dari investor untuk suatu asset yang
didasari pada pendugaan manfaat,
biaya dan suku
bunga yang diinginkan
sehingga dapat menjadi alat (tools) yang sangat berguna dalam menilai lahan hutan. Menurut Davis et al (2001), asumsi yang dipakai dalam analisis perhitungan dari sewa lahan hutan untuk tujuan produksi kayu diantaranya adalah: (a) mencakup seluruh biaya pengelolaan uang relevan, biaya administrasi, dan pajak, (b) acuan rata-rata suku bunga yang mencerminkan secara tepat konteks dan harapan dari pemilik lahan dan (c) telah ditetapkannya pedoman pengelolaan lahan untuk masa mendatang dan dengan pedoman yang sama akan digunakan untuk setiap siklus produksi kayu dimasa mendatang. Biaya dan manfaat dari NPV diduga pada suatu cashflow dari suatu pertambahan dengan menggunakan harga riil sekarang, dan sebelum dan sesudah pengenaan pajak. Dalam hal penyesuaian terhadap rotasi dan juga hasil maksimum, maka maksimalisasi NPV sangat diperlukan melalui suatu pengawasan. Hal tersebut dikarenakan bahwa umur maksimum NPV biasanya lebih kecil dibandingkan dengan maksimum riap rata-rata tahunan (mean annual increment) akan tetapi lebih besar dibandingkan riap rata-rata periodik (periodic annual increment). 2. Pendekatan Nilai Harapan Lahan Nilai harapan lahan (land expectatioan value) merupakan gambaran jumlah yang harus dibayarkan oleh pembeli untuk lahan yang dipakai sebagai investasi dalam kegiatan kehutanan (Davis et al. 2001). Nilai lahan tersebut sama dengan jumlah nilai tunai (amount of cash) pada tingkat bunga tertentu yang akan menghasilkan pendapatan bersih yang sama dari lahan setiap tahunnya.
18
Land Expectation Value (LEV) disebut juga formula Faustmann. LEV merupakan kasus khusus dari NPV dimana (1) lahan dikeluarkan dari cashflow sehubungan dengan perhitungannya sebagai sisa (2) investasi diawali pada lahan yang kosong, tidak ada tegakan (3) lahan yang secara terus menerus terdapat tegakan yang sama (4) cash flow tegakan tersebut secara pasti sama. Untuk hutan alam, biasanya nilai harapan lahan disebut nilai hutan (forest value). 3. Internal Rate of Return (IRR) Internal
Rate of Return (IRR) sama dengan Rate of Return atau tingkat
rendemen atas investasi bersih. IRR adalah tingkat suku bunga yang membuat suatu proyek akan mengembalikan semua investasi selama umur usaha. Suatu usaha dapat dilaksanakan apabila nilai IRR lebih besar atau sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku (discount factor), apabila terjadi keadaan sebaliknya, maka usaha tersebut ditolak (tidak layak). IRR juga merupakan nilai diskonto yang membuat NPV dari kegiatan usaha sama dengan nol. Dengan demikian IRR merupakan tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan usaha tersebut untuk sumberdaya yang digunakan. 4. Benefit Cost Ratio (BCR) Benefit Cost Ratio (BCR) adalah perbandingan antara pendapatan dan biaya yang didiskonto. Suatu usaha yang memiliki nilai BCR lebih besar dari satu dikatakan layak (feasible) dan bila terjadi sebaliknya, maka usaha tersebut dikatakan tidak layak (unfeasible). Nilai IRR dan BCR menentukan tingkat efesiensi suatu usaha dalam penggunaan sumberdaya apakah efisien atau tidak. Sedangkan NPV adalah ukuran absolut yang ditentukan oleh umur usaha, yang berarti NPV pada umumnya akan menjadi besar sesuai dengan besarnya umur usaha. Jika terdapat sejumlah modal atau dana uang pada suku bunga tertentu akan dipilih proyek yang mempunyai nilai NPV, BCR dan IRR terbesar. Usaha Perdagangan Karbon pada Hutan Alam Produksi Carbon sink merupakan istilah yang sering dipakai di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan
19
(reservoir) karbon. Emisi karbon ini umunya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil dari sektor industri, transportasi dan rumah tangga (Rusmatoro 2006). Perdagangan emisi karbon mampu memberikan NPV positif lebih awal dalam rotasi dibandingkan dengan waktu yang dicapai pada pengelolaan hutan sebagai penghasil kayu, menggeser break-even point finansial dan secara umum meningkatkan nilai Internal Rate of Return (IRR). Pengelola hutan dimungkinkan memilih untuk mengelola tegakannya dengan tujuan murni penyerapan karbon atau mengkombinasikan antara menghasilkan kayu dan karbon (Harrison et al. 2000). Biomassa Biomassa adalah berat dari bahan tanaman hidup yang terdapat di atas maupun di bawah suatu unit luas permukaan tanah pada suatu titik pada waktu tertentu ( Catur, 2002). Pendugaan biomassa ini sangat diperlukan, khususnya pada hutan-hutan di daerah tropis karena berpengaruh besar dalam siklus karbon. Bila ditinjau dari sisi manajemen hutan, biomassa hutan sangat penting karena keseluruhan operasional pengelolaan hutan sangat dipengaruhi oleh potensi hutan melalui penentuan biomassa.
Hutan-hutan tersebut mempunyai potensi yang
besar dalam pengurangan kadar CO2 melalui konservasi dan manajemen tegakan hutan. Biomassa dapat memberikan informasi mengenai nutrisi dan kandungan karbon suatu tegakan secara keseluruhan. Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD) REDD adalah mekanisme memberi insentif kepada negara-negara pemilik hutan untuk mempertahankan hutan mereka dari deforestasi dan degradasi. Degradasi hutan merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Di Indonesia stok hutan berkurang 5% setiap tahun akibat degradasi (Marklund dan Schoene 2006 diacu dalam Mudiyarso et al, 2008). Degradasi di daerah tropis umumnya terjadi karena aktivitas logging, kebakaran hutan dalam skala besar, pengambilan kayu bakar dan hasil hutan non kayu, produksi arang, padang penggembalaan, dan perladangan berpindah (GOFC-GOLD 2008). IPPC (2003) menyebutkan ada lima karbon pool yang digunakan memonitoring deforestasi dan degradasi yaitu
20
biomassa bagian atas, biomassa bagian bawah, serasah, kayu mati, dan carbon yang berasal dari tanah. Provinsi Papua mendedikasikan setengah dari total luas hutan produksinya untuk kepentingan mereduksi emisi karbon atau Reduction Emission from Deforestation in Developing Country. Seperempat dari luas hutan konversi Papua juga akan diperuntukkan bagi kepentingan Mekanisme Pembangunan Ramah Lingkungan atau Clean Development Mechanism (CDM). Komitmen pemerintah Papua dalam Konvensi Perubahan Iklim di Bali tahun 2007 menyediakan 15% (3.285.217 ha) dari total luas hutan produksi bagi kegiatan perdagangan karbon merupakan upaya yang cukup strategis dilihat dari kepentingan politik, namun dari sisi ekonomi dan sosial budaya hal tersebut belum memberikan jaminan yang pasti. Setiap 1 juta ha hutan produksi konversi yang diputuskan untuk tetap dipertahankan sebagai hutan alam (infact forest) dan diikutsertakan dalam program carbon trade melalui pendekatan pencegahan deforestasi (avoided deforestation), bisa menghasilkan penerimaan tunai sampai mencapai kurang lebih Rp 3 triliun (Suebu 2007). Apabila penerimaan ini diberikan kepada kurang lebih 2 juta penduduk Papua, maka setiap orang memiliki penerimaan cash sebesar Rp 1.500.000,- atau Rp 375.000,- per orang untuk hutan seluas 15% dari luasan hutan Papua untuk kepentingan tersebut. Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Tujuan dari analisis suatu usaha adalah untuk memperbaiki penilaian investasi akibat keterbatasan sumberdaya, sehingga perlu dilakukan pemilihan terhadap berbagai macam usaha. Kesalahan dalam melakukan penilaian berakibat pada pengorbanan sumber-sumber yang langka oleh karena itu sebelum usaha dilaksanakan perlu diadakan perhitungan percobaan untuk mengetahui hasil dan kemungkinan memilih alternatif lain dengan cara menghitung biaya dan manfaat yang dapat diharapkan dari masing-masing usaha (Kadariah 1986). Analisis finansial dan analisis ekonomi merupakan dua alternatif yang dapat dipergunakan dalam evaluasi usaha. Analisis finansial atau analisis privat ditujukan untuk menghitung manfaat dan biaya usaha dari sudut pandang individu-individu atau swasta sebagai pihak yang berkepentingan dalam proyek. Analisis ekonomi atau
21
sosial ditujukan untuk menghitung manfaat dan biaya proyek dari sudut pandang pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan sebagai pihak yang berkepentingan dalam usaha tersebut (McLeish, et al. 2002). Menurut Gittinger (1986), pada dasarnya perhitungan dalam analisis finansial dan ekonomi berbeda dalam 4 (empat) hal yaitu : 1. Harga Dalam analisis finansial harga yang digunakan adalah harga pasar. Harga ini telah memperhitungkan pajak dan subsidi, akan tetapi dalam analisis ekonomi harga yang dipergunakan adalah harga yang mencerminkan secara tepat nilai-nilai sosial ekonomi. Harga yang sudah disesuaikan ini disebut harga bayangan (shadow price) atau harga buku (accounting price) yang merupakan opportunity cost. 2. Pajak dan Subsidi Dalam analisis ekonomi pajak dan subsidi digunakan sebagai pembayaran transfer. Pendapatan baru timbul oleh suatu usaha termasuk pajak-pajak yang ditanggung selama proses produksi dan pajak penjualan yang dibayar oleh pembeli pada waktu membeli produk hasil usaha. Pajak tersebut merupakan bagian dari manfaat usaha secara keseluruhan. Sebaliknya, subsidi dari pemerintah kepada usaha merupakan biaya masyarakat, karena subsidi menjadi pengeluaran dari sumberdaya sehingga perekonomian harus melakukan pengeluaran untuk menjalankan proyek. Dalam analisis finansial pajak dianggap sebagai biaya dan subsidi dianggap sebagai hasil (return). 3. Bunga Bunga terhadap modal dalam analisis ekonomi tidak dipisahkan dan dikurangkan dari hasil bruto (gross return), karena modal merupakan bagian dari hasil bruto (total return) terhadap modal yang tersedia untuk masyarakat secara keseluruhan dan sebagai hasil keseluruhan. Bunga merupakan hal yang diperkirakan dalam analisis ekonomi. Dalam analisis finansial bunga dibedakan menjadi bunga yang dibayarkan kepada orang-orang luar dan bunga atas modal sendiri. Bunga yang dibayarkan kepada orang-orang yang meminjamkan uangnya pada kegiatan usaha dianggap cost. Bunga atas modal sendiri tidak dianggap sebagai biaya karena bunga merupakan bagian dari finansial return yang diterima.
22
4. Manfaat dan Biaya Usaha Dalam hubungan dengan usaha segala sesuatu yang menambah pendapatan nasional atau menambah persediaan barang-barang konsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung digolongkan sebagai manfaat usaha. Sebaliknya segala sesuatu yang berhubungan dengan pengurangan barang-barang konsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung digolongkan sebagai biaya proyek. Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap Ekonomi Daerah Dari berbagai indikator ekonomi pendapatan daerah merupakan salah satu indikator penting yang sering kali dirancukan pengertiannya dengan pendapatan masyarakat.
Pendapatan daerah dalam nomenklatur pembangunan di Indonesia
mencerminkan pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah (Gambar 1). Pendapatan daerah di Indonesia bersumber dari : Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan Pembangunan, Pinjaman Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya, Hibah, Dana Darurat, dan lain-lain. Berdasarkan Gambar 1 dapat dipahami bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi belum merupakan jaminan tingginya pendapatan masyarakat di suatu daerah. Namun demikian tingginya pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi sumberdaya yang sangat penting bagi pemerintah daerah di dalam pengembangan wilayah termasuk peningkatan pendapatan masyarakat (Rustiadi et al, 2005). Walaupun demikian pendapatan asli daerah jarang digunakan oleh suatu daerah bahkan negara sebagai ukuran produktivitas wilayah. Pada umumnya yang digunakan sebagai tolak ukur pembangunan daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau Gross Domestic Regional Product (GDRP), karena ukuran ini yang paling operasional dan diterima secara universal oleh semua negara. Besarnya PDRB suatu wilayah yang diperoleh pada akhirnya akan berpotensi menjadi pendapatan daerah. PDRB merupakan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan
suatu daerah yang telah dihilangkan unsur-unsur
intermediate-cost dalam kurun waktu tertentu.
23
Sumber-Sumber Penerimaan Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Dana Perimbangan
Pinjaman daerah
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya yang dipisahkan
Lain-lain Hibah, Dana Darurat, Penerimaan Lainnya
Penjualan Saham
Dividen
Bagian Laba
Luar Negeri
Pengelolaan Aset Daerah
Dalam Negeri
Keuntungan perusda
Dana Alokasi Khusus
Dana Bagi Hasil
Retribusi
Dana Alokasi Umum
Pajak
Lain-lain
Pajak Bumi dan Bangunan
Kebutuhan di luar alokasi umum
BPHTB Prioritas Nasional Hasil hutan, tambang umum, perikanan
Dana Reboisasi
Minyak Bumi Macthing grant Gas Alam
Gambar 1. Sumber Pendapatan Daerah Berdasarkan UU 33/2004 Penerimaan Daerah dari Sektor Kehutanan Secara operasional kegiatan pengusahaan hutan atau pemanfaatan hutan diatur dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 jo PP 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunanan Rencana Pemanfaatan Hutan. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, terdapat 6 macam pungutan yang dikenakan kepada pengusaha:
24
a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) b. Dana Reboisasi (DR) c. Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) d. Dana Jaminan Kinerja (DJK) e. Dana Investasi Untuk Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan, serta Penyuluhan Kehutanan. f. Dana Investasi Pelestarian Hutan (DIPH) Namun demikian pada saat ini yang sudah berjalan karena sudah ada aturan pelaksanaannya hanyalah tiga jenis pungutan yaitu IHPH/IIUPH, DR dan PSDH/IHH. Sedangkan untuk DJK, DIPH , dan Dana Investasi Untuk Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan, serta Penyuluhan Kehutanan sama sekali belum diatur. 1. Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH/IUPHH) Iuran Hak Pengusahaan Hutan (licence fee) merupakan iuran yang harus dibayar oleh pemegang HPH. Pungutan ini dikenakan hanya sekali pada saat penetapan konsesi. Dasar hukum pungutan ini adalah PP Nomor 22 Tahun 1967 perubahannya dengan PP Nomor 21 Tahun 1980. Selain itu, tertuang juga dalam beberapa surat keputusan menteri sebagai berikut : SK Menteri Pertanian Nomor 415/Kpts/um/7/1979, SK Menhut Nomor 479/Kpts-II/1992, serta SK Dirjen PH Nomor 403/KPts/IV-TPHH/1989. 2. Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) PSDH adalah nilai hasil hutan yang menjadi bagian pemerintah sebagai pemilik sumberdaya. Nilai ini ditentukan harga jual dan jumlah/volume hasil hutan yang dijual. Iuran PSDH ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Dirjen BPK Nomor 02/VI-BIKPHH/2005, penetapan harga patokan PSDH berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 436/MPP/Kep/7/2004, sedangkan tarif PSDH berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 1999. Petunjuk teknis tentang tata cara pengenaan, pemungutan, pembayaran, dan penyetoran PSDH diatur dengan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 124/KptsII/2003.
25
3. Dana Reboisasi Jenis pungutan ini pertama kali diberlakukan pada tahun 1980 dengan nama Dana Jaminan Reboisasi (DJR). Pungutan ini dikenakan terhadap setiap m3 kayu yang diambil oleh HPH/IUPHHK sebagai dana jaminan reboisasi.
Namun
perkembangan selanjutnya pada tahun 1989 pungutan berubah menjadi Dana Reboisasi (DR), dengan ketentuan HPH/IUPHHK wajib melakukan penanaman pengayaan di areal HPH/IUPHHK dan tetap membayar DR. Dana ini juga identik dengan Dana Jaminan Kinerja (DJK), Dana Investasi Pelestarian Hutan (DIPH) (Tim Fahutan IPB, 2003). Dana Reboisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 merupakan dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Penentuan tarif DR berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1999, sedangkan petunjuk teknis tentang tata cara pengenaan, pemungutan, pembayaran, dan penyetoran DR diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 128/KptsII/2003. 4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak merupakan iuran yang diwajibkan kepada warga negara untuk disetor kepada kas negara berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik yang langsung, dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo 2006). Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan. Areal konsesi HPH merupakan salah satu obyek pajak, wajib dibayarkan PBB yang besarnya tergantung luasan dan bangunan yang ada. Jika pada luasan terdapat areal yang tidak produktif maka pemegang konsesi dapat mengajukan pengurangan pembayaran. Dasar hukum penetapan PBB adalah UU
No. 12
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994. Jumlah dan jenis pungutan ini berimplikasi terhadap kelestarian hutan. Disamping pungutan-pungutan pemerintah pusat dengan adanya desentralisasi kehutanan pungutan di tingkat daerah semakin banyak baik jumlah maupun jenis. Hal ini berarti beban pengusaha makin besar sehingga untuk mempertahankan
26
kelayakan usaha berbagai cara dapat ditempuh termasuk illegal logging. Model dan Simulasi Model merupakan abstraksi dari kenyataan sebenarnya (Hannon dan Ruth, 1994; Grant et al 1997; Banks et al. 1999), yang merupakan penggambaran formal elemen-elemen esensial dari suatu masalah (Grant at el. 1997). Selain itu model didefinisikan sebagai representasi dari suatu sistem untuk tujuan studi sistem. Model penting untuk mempertimbangkan aspek yang diteliti dari sistem yang mempengaruhi sistem yang diinvestigasi. Aspek-aspek ini direprensetasikan dalam model dari sistem. Disamping itu, model secara detail cukup memungkinkan kesimpulan yang valid untuk menjelaskan sistem yang nyata (real system). Komponen dari sistem adalah unsur (entitas), atribut dan aktifitas dari model. Pembangunan suatu model dapat membantu menganalisa data dari petak percobaan
dan
observasi.
Model
dapat
membantu
mensintesis
dan
mengkomunikasi pengetahuan yang ada dan mengidentifikasi kesenjangan pemahaman kita. Pemodelan memungkinkan cara yang paling efisien untuk menguji data percobaan, menginvestigasi implikasi dan merumuskan petunjuk silvikultur yang optimal (Vanclay 2002). Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model biasanya diambil dari berbagai asumsi yang berhubungan dengan operasi sistem. Asumsi ini diekspresikan dalam hubungan matematik, logik dan simbolik antara obyek atau unsur (entities) dari sistem. Model dapat dikelompokan menjadi model kualitas, model ikonik dan model kuantitatif. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus matematik, statistik atau komputer. Model matematik sering dibagi dalam 2 kategori yaiti model statik dan model dinamis. Model statik mempelajari tentang perilaku sistem yang statis (tidak memasukan unsur waktu). Sedangkan model dinamis membantu kita berpikir tentang bagaimana suatu sistem berubah menurut waktu. Pertumbuhan (growth), kerusakan (decay) dan osilasi adalah dasar dari pola sistem dinamis.
27
Model simulasi dapat digunakan untuk (1) analisa terperinci dari kebijakan tertentu, (2) analisa sensitifitas (3) perbandingan antara beberapa alternatif kebijakan (skenario) dan (4) perilaku antara biaya dan manfaat (Eriyatno 1999). Pendekatan Sistem Dinamik Menurut Eriyatno (1999) sistem adalah totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Sistem dapat dibayangkan sebagai suatu koleksi yang terisolir dari komponen-komponen yang berinteraksi. Elemen-elemen sistem dapat berupa benda, fakta, metode, prosedur kebijakan, bagian organisasi, dan sebagainya. Hubungan antar sistem dapat berupa transaksi, interaksi, transmisi, koreksi kaitan, hubungan, dan lain-lain. Dalam sistem terdapat proses transformasi yang mengolah input menjadi output sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Menurut Eriyatno (1999), terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok oleh para ahli sistem dalam menganalisis permasalahan yaitu (1) sibernetik (cybernetic), yaitu berorientasi pada tujuan, (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keputusan sistem, dan (3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai eksistensi keputusan. Para ahli memberikan batasan permasalahan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajiannya, yaitu permasalahan yang memenuhi karakteristik : (1) kompleks, (2) dinamis dan (3) probabilistik Sistem dinamik adalah studi mengenai perubahan sistem menurut waktu dengan memperhatikan faktor umpan balik (Purnomo 2004). Sistem dinamik adalah metodologi yang dapat digunakan untuk memahami suatu permasalahan yang rumit dan kompleks. Model sistem dinamik akan melibatkan input-input, hubungan dan output diantara bagian-bagian sistem dan model. Masalah-masalah yang akan dibuat model sistem dinamika harus memiliki sedikitnya dua ciri utama yaitu (1) bersifat dinamis, meliputi kuantitas yang berubah menurut waktu yang dapat digambarkan dalam bentuk grafik perubahan menurut waktu. (2) pemikiran mengenai umpan balik karena semua sistem pada dasarnya mempunyai sistem
28
umpan balik. Ekosistem hutan adalah suatu sistem yang kompleks yang terdiri dari berbagai interaksi komponen, dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, maka suatu motode khusus yaitu analisis sistem seharusnya diterapkan. Esensi dari analisis sistem bukan terletak pada kumpulan teknik kuantitatif, tetapi lebih pada strategi pemecahan masalah yang sulit atau tidak dapat dipecahkan secara matematis ataupun statistik, seperti disajikan pada Gambar 2.
Jumlah data relatif
Banyak Banyak data Pemahaman rendah (statistik)
Banyak data Pemahaman tinggi (fisika)
Sedikit data Pemahaman rendah
Sedikit data Pemahaman tinggi
Analisis Sistem dan Simulasi Sedikit Rendah
tinggi Tingkat pemahaman proses relatif
Gambar 2. Perbandingan Metode Pemecahan Masalah (Grant et al. 1997)
METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Kerangka pemikiran pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan alam dapat dilihat pada Gambar 3. Kelestarian hasil, baik pengusahaan hutan seumur maupun tidak seumur adalah tercapainya suatu kondisi tertentu dari suatu tegakan hutan sehingga dapat diperoleh hasil secara lestari dengan cara pengaturan produktifitas hutan, baik pertumbuhan maupun pemungutan hasil. Hutan yang memiliki manfaat ganda (multiple use) baik secara ekonomi maupun ekologis merupakan ekosistem yang kompleks dan dinamik. Hutan tersebut dikelola berdasarkan unit-unit yang sesuai dengan tujuan pengelolaan. Pengelolaan hutan sebagai suatu ekosistem harus menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sekitar hutan (adaptif) sehingga diperoleh preskripsi spesifik yang memungkinkan keseimbangan dinamis ekosistem secara optimal (Purnomo et al. 2003; Purnomo, 2004). Oleh sebab itu pembagian unit-unit pengelolaan hutan ini harus berdasarkan karakteristik ekosistem wilayah setempat yang bersifat spesifik. Pada setiap unit pengelolaan hutan terdapat kegiatan perencanaan, pemanenan dan pembinaan. Kegiatan perencanaan pangaturan hasil seperti penentuan preskripsi penebangan (intensitas penebangan dan siklus tebang) hutan yang optimal dilakukan berdasarkan kondisi tegakan awal, informasi biaya dan manfaat serta perilaku dinamika struktur tegakan. Intensitas dan siklus tebang optimal berimplikasi terhadap penerimaan pemerintah daerah dan penerimaan masyarakat adat dari kompensasi, yang didasarkan atas informasi biaya dan manfaat pengelolaan hutan. Perilaku dinamika struktur tegakan berdasarkan informasi pertumbuhan dan hasil yang diperoleh dari Petak Ukur Permanen (PUP).
Pemahaman terhadap struktur
tegakan tidak terlepas dari informasi keanekaragaman jenis pohon dalam PUP dan hutan primer. Untuk menentukan preskripsi penebangan (intensitas dan siklus tebang) yang optimal dikembangkan model dinamika sistem yang terdiri dari model dinamika struktur tegakan, model pengembalian ekonomi dan model pengaturan hasil serta model penerimaan masyarakat adat. Sedangkan keanekaragaman jenis pohon merupakan informasi yang mendukung model dinamika struktur tegakan. Berbagai model simulasi yang berkaitan dengan intensitas penebangan dan siklus tebang dilakukan untuk menentukan preskripsi pengaturan hasil yang optimal dipandang dari aspek kelestarian produksi dan aspek ekonomi.
30 Hutan memiliki kompleksitas dan ketidakpastian, sehingga pemanfaatan hasil hutan kayu pada unit manajemen tidak dapat dilakukan secara parsial (terpisah) melainkan secara holistik. Salah satu
pendekatan yang dapat mengakomodasi
kompleksitas pengelolaan hutan adalah pendekatan analisis sistem dinamik (Grant et al. 997). Analisis sistem sebagai model holistik dapat memberikan skenario dampak dari setiap alternatif kebijakan dengan spektrum yang luas sehingga memudahkan pemilihan alternatif terbaik yang dapat diambil (Purnomo, et al 2003; Grant et al. 1997).
31
Manfaat Ekonomi
Unit Manajemen Hutan (Kerakteristik Ekosistem)
Manfaat Ekologis
Kelestarian Hasil Perencanaan Pemanenan
Pembinaan
Pengaturan Hasil
Kontribusi terhadap Ekonomi masyarakat adat dan daerah
Model Pengembalian Ekonomi
Penentuan Intensitas Penebangan dan siklus Penebangan yang optimal
Model Pengaturan Hasil
Model Dinamika Struktur Tegakan
Informasi Keanekaragaman Jenis
Informasi Biaya dan Manfaat
Informasi Pertumbuhan & Hasil
Inventarisasi Tegakan Awal
Petak Ukur Petak Ukur Permanen Permanen
Simulasi Model Dinamik
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Model Dinamik Pengaturan Hasil Tidak Seumur
32
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada pada
hutan hujan tropis dataran rendah, pada
lokasi contoh hutan alam produksi pada wilayah konsesi IUPHHK PT. Bina Balantak Utama (BBU) Kabupaten Sarmi Propinsi Papua. Secara geografis 0 kelompok hutan ini terletak di antara 13800 5 ’- 13900 0’Bu j u rTi mu rd a n0 1 3 0 ’-
0203 0 ’Li n t a n gSe l a t a n ,de n g a nl u a s3 2 5 . 3 0 0h a .Pengumpulan data dilakukan pada bulan maret sampai dengan mei 2008 di lokasi PUP petak 56 KK RKT 2000/2001.
Gambar 4 Lokasi penelitian hutan alam produksi PT. BBU Kabupaten Sarmi Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah data primer pada tegakan hutan alam bekas tebangan dan tegakan hutan primer. Tegakan hutan alam bekas tebangan diambil dari Petak Ukur Permanen (PUP) yang terletak di blok-blok bekas tebangan yang telah dilakukan pengukuran dan pengamatan selama 5 tahun. Sedangkan data tegakan hutan primer diperoleh dari kawasan hutan primer yang berada dalam areal konsesi. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : pita ukur, kompas, meteran, haga, tambang plastik, tally sheet, alat-alat tulis serta seperangkat Personal Computer dengan program-program aplikasi : Microsof Excel, dan Stella Research 9.0.2.
33
Metode Penelitian Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi : data pertumbuhan dan hasil tegakan, serta data struktur tegakan hutan primer. Data pertumbuhan tegakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil pengukuran PUP-PUP pada Blok RKT yang merupakan areal bekas tebangan 1-2 tahun dan hutan primer. Data-data lain yang dikumpulkan berkaitan dengan aspek ekonomi adalah : produksi kayu bulat, pendapatan daerah, biaya -biaya TPTI, kompensasi bagi masyarakat lokal, penerimaan perusahaan dan pengeluaran untuk negara . Data pendukung penelitian ini adalah data risalah PUP, data Laporan Hasil Produksi (LHP), data iklim, buku Rencana Karya Tahunan (RKT), Rencana Karya Lima Tahunan (RKL), dan Rencana Karya Pengusahaan Hutan (RKPM), peta-peta, laporan keuangan dan laporan TPTI serta sumber-sumber lain yang menunjang penelitian. Data tersebut bersumber dari pencatatan di lapangan (Base Camp), dan informasi dari instansi terkait. Teknik Pengumpulan Data Data primer yang dikumpulkan meliputi : data pertumbuhan tegakan, data struktur tegakan hutan primer. Data pertumbuhan tegakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil pengukuran PUP-PUP pada Blok RKT 1999/2000 yang merupakan areal bekas tebangan 2 tahun. Pengukuran dilakukan pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Pengukuran dilakukan ulang setiap satu tahun sekali. Data struktur tegakan yang diperoleh dari PUP dan hutan primer dipresentasikan dalam beberapa Kelas Diameter (Phn_D) menurut kelompok jenis dengan interval 10 cm ke atas, diameter terkecil (Phn_D15) berukuran 10-20 cm. Pembagian menurut kelompok jenis dilakukan dengan mengelompokan ke dalam jenis dipterocarpaceae, non dipterocarpaceae dan non komersil. Pembagian kelompok jenis ini berdasarkan pengelompokan yang dilakukan oleh PT. BBU dengan pertimbangan bahwa kelompok jenis ini mepakan jenis komersil utama yang diperdagangkan.
34
Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif sebagai berikut: 1. Dinamika Struktur Tegakan Komponen penyusun dinamika struktur tegakan terdiri dari jumlah pohon pada berbagai kelas diameter dan kelompok jenis, dengan melibatkan unsur dinamika tegakan seperti alih tumbuh ( ingrowth), tambah tumbuh ( upgrowth), dan kematian (Mortality). Model
umum
struktur
tegakan didekati
dengan
persamaan
eksponensial negatif yang dirumuskan sebagai berikut (Meyer 1961 dalam Davis et al. 2001) : N = N0e-kd dimana: N = jumlah pohon pada setiap kelas diameter No = kostanta, yang menunjukan besarnya kerapatan tegakan pada kelas diameter terkecil e = bilangan eksponensial (2,71828182) k = laju penurunan jumlah pohon pada setiap kenaikan diameter pohon D = titik tengah kelas diameter 2. Ukuran Kelestarian Hasil Pengelolaan Hutan Ukuran kelestarian hasil kayu diukur berdasarkan ukuran fisik dan finansial. Apabila besarnya hasil pada tahun ke-t dilambangkan dengan Vt, maka kelestarian hasil dapat dinyatakan dengan persamaan : Vt AAC, untuk t = 1,2,3......r, r+1.... AAC (Annual Allowable Cut) merupakan jatah tebang tahunan yang dibenarkan agar kelestarian hasil dap at dicapai, r melambangkan rotasi tebang yang menyatakan rentang waktu antar penebangan. Apabila AAC pada rotasi tebang ke t dinyatakan dengan AACt dan AAC pada siklus tebang selajutnya sebagai AACt+1 maka kelestarian hasil dapat dicapai pada saat qt 1. Apabila riap dinyatakan dengan I ( m3/ha/tahun), maka qt = 1 akan dicapai pada saat It x rt = AACt+1. Besar kecilnya nilai q menggambarkan kemungkinan dicapai tidaknya kelestarian hasil.
35
3. Perhitungan Biomassa Tegakan Rumus Allometric yang digunakan untuk menghitung biomassa tegakan hutan adalah rumus pendugaan biomassa secara umum yang dikemukakan oleh Brown (1997), yaitu : Y = 42.69 -12.8D + 1.24D2 Dimana : Y = Biomassa pohon (Kg / pohon) D = Diameter setinggi dada 1,3 m (m) Penggunaan rumus ini didasarkan pada pertimbangan tempat tumbuh dengan curah hujan 1500 –4000 mm/tahun, jumlah sampel pohon 172 serta kisaran diameter 5-148 cm. Diasumsikan dalam penelitian bahwa karbon yang diserap adalah 50% dari keseluruhan bagian tumbuhan yang menjadi biomassa (Motagnini dan Poras 1998). Pendekatan yang digunakan dalam menduga perubahan karbon berdasarkan stock –difference method (IPCC 2006) yaitu ∆CB = (Ct2 –Ct1)/(t2-t1), dimana ∆CB adalah perubahan stok carbon tahunan, Ct1 merupakan perubahan stok karbon pada tahun t1 (Ton C), Ct2 perubahan stok karbon pada tahun t2 (Ton C). Analisis Sistem dan Simulasi Berdasarkan perumusan masalah dan untuk memperoleh hasil sesuai tujuan penelitian ini maka penyusunan model dilakukan dengan membagi model dalam sub model : sub model dinamika tegakan yang terdiri dari dinamika tegakan dipterocarpacea, non dipterocarpaceae dan tegakan non komersil, dan tegakan total, sub model pengembalian ekonomi terdiri dari biaya produksi dan sub model pengembalian ekonomi, sub model pengaturan hasil, sub model penerimaan masyarakat adat dan Sub model usaha karbon Tahap- tahap analisis dan simulasi yang dilakukan adalah sebagai berikut (Grant et al. 1997; Purnomo 2004) : Identifikasi Isu, Tujuan dan Batasan Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi isu-isu sehingga permasalahan dapat dilihat dengan tepat. Selanjutnya menentukan tujuan pemodelan tersebut.
36
Kemudian isu yang diangkat dan tujuan yang ditetapkan dinyatakan secara eksplisit. Setelah itu ditentukan komponen-komponen sistem yang berkaitan dengan pencapaian tujuan model tersebut. Komponen-komponen tersebut diidentifikasi keterkaitannya dan merepresentasikan model tersebut dalam diagram kotak-panah (box-arrow). Pembatasan dan defenisi komponen-komponen dalam sistem sebagai berikut : 1. Siklus tebang adalah interval waktu (dalam tahun) antara dua penebangan yang berurutan di tempat yang sama dalam sistem silvikultur polisiklik. 2. Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya tambahan terhadap banyaknya pohon per hektar pada kelas diameter terkecil selama periode waktu tertentu. 3. Upgrowth adalah besarnya tambahan jumlah pohon per hektar terhadap kelas diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter dibawahnya dalam periode waktu tertentu. 4. Mortality adalah banyaknya pohon per hektar yang mati pada setiap kelas diameter dalam periode waktu tertentu. 5. Efek penebangan merupakan kematian/kerusakan tegakan yang terjadi akibat kegiatan penebangan kayu. 6. Masyarakat adat adalah masyarakat yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius erat dengan lingkungan lokalnya Perumusan Model Konseptual dan Spesifikasi Model Kuantitatif Tahapan ini bertujuan untuk membangun pemahaman terhadap sistem yang diamati ke dalam sebuah konsep untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang model yang akan dibuat, serta untuk membentuk model kuantitatif dari konsep model yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil eksekusi yang dicoba dibuat daftar yang lebih ringkas dari skenario yang memenuhi tujuan pemodelan. 1. Sub Model Dinamika Struktur Tegakan a. Ingrowth Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya tambahan terhadap banyaknya pohon per hektar pada kelas diameter terkecil selama periode waktu tertentu (dalam penelitian ini 1 tahun). Dalam menyusun model penduga ingrowth,
37
ingrowth dinyatakan dengan rumus sebagai beriku t : Xj Ij =
T
Kemudian ingrowth dapat dinyatakan dalam bentuk proporsi sebagai berikut : Ij Inrate = Njt dimana : Ij Xj t Inrate Njt
= ingrowth pada jenis pohon ke-i (pohon/ha) = Jumlah pohon dari jenis ke-i yang masuk ke Phn_D15 = Selang waktu pengukuran (tahun) = Proporsi pohon yang ingrowth = Jumlah pohon yang ingrowth selama periode pengukuran
b. Upgrowth Upgrowth adalah besarnya tambahan jumlah pohon per hektar terhadap kelas diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter dibawahnya dalam periode waktu setahun. Upgrowth diduga dari rataan riap untuk setiap kelas diameter. Untuk mencari riap diameter rata-rata tahunan digunakan rumus sebagai berikut: D
MAI =
dimana : MAI = Mean Annual Increament D = Selisih diameter antar pengukuran t t = Jangka waktu pengukuran W = Interval kelas (10) Untuk memprediksi perilaku tegakan yang akan datang pada setiap kelas
diameter digunakan rumus : Riap rata-rata tahunan (MAI) Uprate = Interval kelas (W) c. Mortality Mortality (kematian) dalam penelitian ini adalah banyaknya pohon per hektar yang mati pada setiap kelas diameter dalam periode waktu satu tahun. Dalam penyusunan model penduga kematian pohon, kematian pohon dinyatakan dalam proporsi, dengan rumus sebagai berikut: (i )
m
j
=
m(i ) jt x 100 % (i) N jt
38
dimana : m(i ) j = Laju mortality jenis pohon ke-i pada kelas diameter ke-j (%/tahun) m(i ) jt = Banyaknya pohon yang mati pada jenis pohon ke-i kelas diameter ke-j pada tahun ke-t (pohon/ha) N(i) jt = Jumlah pohon yang ada di jenis pohon ke-i kelas diameter ke-j pada tahun ke-t (pohon/ha) 2. Sub Model Pengembalian Ekonomi Model ini dibuat untuk menggambarkan potensi ekonomis dari hutan. Model ini terdiri dari dua sub model yaitu sub model biaya produksi dan submodel pengembalian ekonomi. Metode ini merupakan bentuk lain dari metode analisis ekonomi yang biasanya dilakukan secara matematis sebagai berikut (Zobritst et al. 2006; Davis et al. 2001; Lin et al. 1996) : a. Nilai Harapan Lahan/Land Expectation Value (LEV) r r Yt (1 + i)r-t - Ct (1 + i)r-t t=0
LEV=
t=0
(1 + i)r - 1
- e/i
dimana : LEV = Nilai harapan lahan (Rp/ha) Yt = Penerimaan pada tahun ke-t (Rp/ha) Ct = Pengeluaran pada tahun ke-t (Rp/ha) r = Siklus tebang (tahun) t = Tahun kegiatan (tahun) e =Biaya tahunan (administrasi dan umum, perlindungan hutan, PBB, bina desa hutan dan penyusutan) i = suku bunga dalam angka desimal b.
Nilai Kini Bersih/Net Present Value (NPV)
NPV =
r yt r Ct - t = 0 (1 + i)t t = 0 (1 + i)t
dimana : NPV := Net Present Value (Rp/ha) Yt = penerimaan pada tahun ke-t (Rp/ha) Ct = pengeluaran pada tahun ke-t (Rp/ha) r = siklus tebang t = tahun kegiatan i = Suku bunga dalam angka desimal
39
C. Rasio Manfaat Biaya (BCR) r Yt BCR =
t=0
r
(1 + i)t
: t=0
Ct (1 + i)t
dimana : BCR = rasio manfaat biaya Yt = penerimaan pada tahun ke-l (Rp/ha) Ct = pengeluaran pada tahun ke-t (Rp/ha) r = siklus tebang t = tahun kegiatan i = suku bunga dalam angka desimal d. Internal Rate of Return (IRR) NPV1
IRR = i1 +
(i2 –i1) NPV1 - NPV2
dimana : i1 = adalah tingkat discount rate yang menghasilkan NPV1 i2 = adalah tingkat discount rate yang menghasilkan NPV2 Komponen-kompone model pengembalian ekonomi terdiri dari manfaat dan biaya. Manfaat yang berasal total penerimaan perusahaan merupakan hasil penerimaan kayu (perubahan harga kayu x volume tebangan). Sedangkan biaya terdiri dari biaya perencanaan hutan, pemanenan, pembinaan hutan, dan pengeluaran untuk pemerintah. 3. Sub Model Pengaturan Hasil Sub model ini dilakukan untuk memberikan gambaran berbagai alternatif pengaturan hasil hutan kayu oleh HPH dengan mengatur auxilary seperti intensitas penebangan, lamanya siklus tebang, limit diameter penebangan dan proporsi jumlah batang yang ditebang. Pengaturan hasil yang digunakan digolongkan berdasarkan siklus tebang (konvensional). Teknik konvensional dilakukan dengan menyusun skenario siklus tebang, dan berdasarkan siklus tebang tersebut dipilih berbagai intensitas tebang yang memberikan hasil lestari. 4. Sub Model Penerimaan Masyarakat Adat Sub model ini menjelaskan keuntungan masyarakat adat yang diperoleh sebagai kompensasi terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan yang berada di
40
wilayah kepemilikannya, baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun non perusahaan (pribadi dan kelompok). Sub model ini memiliki keterkaitan dengan model dinamika tegakan dan pengaturan hasil. Auxilary variable penerimaan kompensasi dipengaruhi oleh driving variable jumlah penerima. Jumlah penerima merujuk kepada banyaknya marga-marga yang menerima kompensasi pada wilayah adatnya. Tidak semua masyarakat yang berada pada wilayah-wilayah yang terkena dampak HPH menerima kompensasi, sehingga dalam penelitian ini digunakan angka random (acak). Besarnya penerimaan kompensasi merupakan hasil perkalian antara jumlah volume dan besarnya standar kompensasi. Pembuatan sub model ini dilakukan dengan membagi jenis kayu ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan standar kompensasi yang ditetapkan yaitu jenis kayu merbau, non merbau serta kayu indah. Persentase jumlah masing-masing jenis diperoleh berdasarkan hasil produksi
kayu selama tahun 2007, dengan
persentase merbau (60%), non merbau (39%) dan kayu indah (1%). Sedangkan auxilary variable pendapatan tebang milik merupakan
selisih antara biaya
penebangan dan hasil penjualan kayu. Pendapatan tebang milik selanjuntnya didistribusikan kepada pemilik kayu (20%) dan penebang kayu (80%). 5.
Sub model REDD Secara umum pertimbangan ekonomi lebih kuat dibandingkan hal-hal lain
seperti mengurangi erosi dan koservasi keaneragaman spesis (Hartley 2002), oleh sebab itu sub model REDD dalam penelitian disimulasikan untuk menganalisis keadaan finansial pengelolaan hutan oleh IUPHHK PT. BBU apabila dialihkan untuk tujuan penyerapan karbon, namun hanya berfokus pada upaya mengurangi degradasi. Pendapatan usaha karbon adalah selisih pemasukan karbon dengan pengeluaran usaha karbon. Pemasukan usaha karbon didapat dari penjualan jasa penyerapan karbon dalam satuan ton (tC) per hektar. Harga karbon dalam perdagangan karbon sangat bervariasi. Pada awal sistem perdagangan dan pertukaran karbon, nilai kredit pengurangan emisi karbon berkisar antara US$2,5 sampai US$5 (Niles, John O et al. 2002). Nilai yang dipakai dalam penelitian ini adalah nilai US$5, dengan nilai tukar rupiah diasumsikan Rp 9.500. Simulasi dilakukan untuk menentukan besarnya penerimaan apabila penebangan dilakukan dengan intensitas rendah (20%).
41
Evaluasi Model Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengetahui keterandalan model yang dibuat untuk mendiskripsikan keadaan sebenarnya. Proses pengujian dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang serupa jika tersedia. Perbandingan dilakukan dengan uji Khi Kuadrat (x2) (Walpole 1995) dengan rumus berikut :
2hitung =
(yaktual –ymodel)2
y model Dengan hipotesis Ho : Ymodel = Yaktual H1 : Y model Yaktual Dengan kriteria uji : 2hitung< 2 tabel : terima Ho : 2hitung> 2 tabel: tolak Ho Penggunaan Model Model
yang
pembentukannya.
telah
dibentuk
digunakan
untuk
mencapai
tujuan
Kegiatan pertama adalah membuat daftar terhadap semua
skenario yang mungkin dapat dibuat dari model yang dikembangkan. Semua skenario tersebut dijalankan, kemudian hasil tersebut coba untuk dipahami.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Penelitian dilakukan dalam areal kerja HPH PT. Bina Balantak Utama (BBU) sebagai salah satu perusahaan yang tergabung dalam Group Kayu Lapis Indonesia (KLI). Wilayah kerja HPH PT. Bina Balantak Utama termasuk dalam kelompok hutan Sungai Tor dan Sungai Apauwer. Secara geografis kelompok 0 hutan ini terletak di antara 13800 5 ’- 13900 0’Bu j u rTi mu rd a n0 1 3 0 ’- 0203 0’
Lintang Selatan, merupakan wilayah pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten Sarmi dan Dinas Kehutanan Propinsi Papua. Berdasarkan peta penafsiran citra satelit liputan tahun 1999, luas wilayah kerja HPH
tersebut 325.300 ha, terdiri dari 215.249 ha berhutan dan 7.080 ha
tak berhutan, 18.067 ha tertutup awan, serta areal berawa seluas 84.904 ha. Adapun luas dan tataguna hutan berdasarkan TGHK adalah : 1) Hutan Produksi (HP) seluas 59.693 ha; 2) Hutan Produksi Tetap (HPT) seluas 159.781 ha; 3) Hutan Konversi 102.255 ha; dan 4) Areal Pemanfaatan Lain (APL) seluas 3.571 ha. Petak-petak pengamatan yang dijadikan obyek dalam penelitian terletak pada hutan bekas tebangan RKT 2001, RKL III 2001 –2005, petak tebangan 56 KK dan hutan primer. Pada areal bekas tebangan 6 buah petak pengamatan berupa Petak Ukur Permanen (PUP) dengan luas seri PUP 24 ha. Lokasi PUP terletak pada ketinggian 35 m dpl dan termasuk dalam wilayah dusun Maran, kelompok hutan Sungai Tor dan Sungai Apauwer. Biofisik Kawasan Jenis Tanah dan konfigurasi lapangan Jenis tanah yang terdapat pada areal konsesi HPH PT. Bina Balantak Utama (BBU) adalah Aluvial, rezina, kambisol, dan podsolik. Keadaan lapangan dari keseluruhan areal terdiri dari : tanah Kering : 80.75%, rawa 6.25% dan payau 13% dengan ketinggian berkisar dari 0-600 mdpl. Areal Petak Ukur Permanen (PUP) termasuk kategori datar. Topografi
43
Berdasarkan kemiringan lahan, sebagian besar wilayah Kabupaten Sarmi mempunyai tingkat ketinggian antara 100 –500 m dari permukaan laut untuk Distrik Tor Atas. Sedangkan, Sarmi, Pantai Barat, Pantai Timur dan sebagian Bonggo memiliki ketinggian kurang dari 100 m dari permukaan laut. Sedangkan kemiringan lereng wilayah ini berkisar antara 2 –65 % meliputi 2 –8 % mencakup Pantai Timur dan Pantai Barat. Tor Atas dan sebagian Bonggo bervariasi dari < 2 % sampai dengan 8 %. Keadaan topografi di areal BBU lebih dominan pada daerah-daerah dataran rendah dengan persentase luas sebesar 47.8%, landai 21.7%, bergelombang 17.2%, agak curam 13.3%. Daerah relatif tidak memiliki topografi sangat curam, sehingga memperkecil biaya produksi. Tipe Iklim Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe iklim A dengan curah hujan rata-rata setiap tahunnya lebih dari 2.485 mm/th. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan mei dan terendah pada bulan september. Curah hujan berlangsung terus menerus tanpa ada bulan kering dengan rata-rata curah hujan 15 hari hujan per bulan. Vegetasi Hutan yang berada di areal kerja HPH PT. Bina Balantak Utama termasuk tipe hutan hujan tropik. Berdasarkan risalah pengukuran PUP, areal tersebut di dominasi oleh jenis-jenis dipterocarp seperti merbau (Intsia bijuga), matoa (Pometia spp.), kenari (Canarium sp), nyatoh (Palaquium amboinense), dan resak (Vatica papuana). Sedangkan jenis-jenis non dipterocarp dan non komersil yang banyak ditemui adalah
kenanga (Cananga odorata), Dahu (Dracontomelum
edule), medang (Litsea sp.), jambu-jambuan (Eugenia spp.), pala hutan (Myristica spp.), melinjo (Gnentum gnemon), dan buah hitam (kecapi) (Haplolobus) dengan proporsi yang relatif seimbang. Potensi Ekonomi Sumberdaya Hutan Kabupaten Sarmi Kabupaten Sarmi merupakan salah satu kabupaten pemekaran di Propinsi Papua yang baru berkembang sejak tahun 2002. Luas wilayah Kabupaten Sarmi kurang lebih 8.948 km2.
44
Kawasan hutan Kabupaten Sarmi berdasarkan Peta Kawasan Hutan dan Perairan terbagi dalam 6 fungsi kawasan hutan seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Potensi Hutan Kabupaten Sarmi No 1 2
Hutan Luas (Ha) Hutan Lindung 264.675,02 Kawasan Suaka Alam & 1.296.782,40 Pelestarian Alam 3 Hutan Produksi Terbatas 391.640,50 4 Hutan Produksi Tetap 949.493,05 5 Hutan Produksi Konversi 367.412,98 6 APL 24.003,40 Jumlah 3.294.007,36 Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2006
(%) 8,03 39,37 11,89 28,83 11,15 0,73 100
Wilayah Kabupaten Sarmi sebagian besar bervegetasi hutan dengan luas ± 2.825.965 ha atau ± 92,5 % dari luas total wilayah kabupaten. Kondisi penutupan vegetasi sebagian besar berupa hutan lahan kering seluas ± 2.340.816 ha (76,6 %), dan sebagian lagi berupa hutan rawa seluas ± 466.479 ha (15,3 %) dan sedikit hutan mangrove di pesisir pantai ± 18.699 ha (0,6 %). Areal bekas tebangan (hutan sekunder) hanya meliputi luasan 82.615 ha (2,7 %) sehingga dapat dikatakan kawasan hutan Kabupaten Sarmi sebagian besar adalah hutan primer. Potensi hutan yang demikian memberikan peluang pengelolaan bagi pertumbuhan ekonomi wilayah. Seiring dengan otonomi daerah maka, pemerintah Kabupaten Sarmi mamacu peningkatan penerimaan daerah salah satunya melalui penerimaan sektor kehutanan. Dampak keberadaan IUPHHK BBU dalam menopang perekonomian daerah Sarmi baru dirasakan sekitar 6 tahun (2002-2008), sebab semenjak tahun 1991 sampai tahun 2001 pengambilan hasil kayu dari hutan Sarmi hanya menjadi sumber pendapatan bagi pemerintah Kabupaten Jayapura yang dulunya merupakan kabupaten induk bagi Kabupaten Sarmi. Dengan rata-rata potensi kayu yang dipanen setiap tahun sebesar 68.512,68 m3 dan harga jual rata-rata sebesar Rp
600.000
diperoleh
nilai
manfaat
langsung
dari
kayu
sebesar
Rp. 41.107.608.000 per tahun. Pada awal perkembangannya hingga saat ini
kegiatan ekonomi di
Kabupaten Sarmi masih didominasi oleh investasi dibidang eksploitasi
45
sumberdaya alam berupa kehutanan, pertanian dan peternakan
serta
pertambangan yang baru berkembang tahun 2007 dengan adanya penambangan pasir besi. HPH yang beroperasi hingga saat ini berjumlah
5 unit HPH/IUPHHK
sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Keberadaan HPH di Kabupaten Sarmi akan memberikan nilai tambah terhadap faktor produksi, institusi dan sektor-sektor ekonomi lainnya, sehingga mempengaruhi pertumbuhan wilayah. Tabel 2 Keberadaan HPH/IUPHHK di Kabupaten Sarmi Tahun 2008 SK HPH/IUPHHK . NAMA HPH/IUPHHK Nomor PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II
Tanggal
774/Kpts-II/90
13 Des 90
40/Kpts-II/91
16 Jan 91
PT. Mamberamo Alas Mandiri
1071/Kpts-II/92
09 Nop 92
PT. Mondialindo Setya Pratama
13 Tahun 2002
21 Peb 02
PT. Salaki Mandiri Sejahtera
15 Tahun 2002
21 Peb 02
PT. Bina Balantak Utama
JUMLAH
Luas (Ha) 196.900 325.300 677.310 94.500 80.500 1.374.510
Keterangan
Aktif Aktif Aktif Aktif Aktif
Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Papua, 2006 Nilai pemanfaatan langsung dari sumberdaya hutan oleh perusahaan (5 unit HPH) yang berasal dari hasil hutan kayu selama 3 tahun (2005-2007) apabila digunakan harga jual rata-rata sebesar Rp 600.000/m3 adalah sebesar Rp. 153.276.000.000 (Rp 153 milyar). Nilai tersebut terlihat cukup tinggi, namun bila didistribusikan kepada stakeholders akan sangat kecil diterima oleh masyarakat sebagai pemilik hak ulayat dan pemerintah sebagai pemilik sumberdaya. Kondisi Ekonomi Daerah Penelitian Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDRB). Total nilai barang dan jasa yang dihasilkan di suatu wilayah yang telah dihilangkan unsur-unsur intermediate cost-nya dikenal sebagai Produk Domestik Bruto (PDRB). PDRB yang diperoleh suatu wilayah pada akhirnya akan berpotensi menjadi pendapatan wilayah.
46
Sektor kehutanan merupakan salah satu sub-sektor pertanian menurut klasifikasi PDRB yang digunakan BPS dan kantor statistik PBB. Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa kontribusi sub-sektor kehutanan pada pembentukan PDRB Kabupaten Sarmi semakin meningkat antara tahun 2001 (Rp. 16,57 milyar) sampai dengan tahun 2006 (Rp 55,9 milyar), suatu kenaikan sekitar 70,37% selama 6 tahun atau rata-rata 31,53% tiap tahun. Hal ini mengindikasikan Kabupaten Sarmi merupakan wilayah dengan aktifitas berbasis sumberdaya hutan. Table 3 Kontribusi relatif sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Sarmi atas dasar harga konstan 2000 selama tahun 2001-2006 ( %)
No
Sektor
2001 Share (%)
2002 Share (%)
2003 Share (%)
2004 Share (%)
Pertanian 1.1. Tanaman Bahan makanan 13,48 14,6 14,01 13,86 1.2. Tanaman perkebunan 4,20 5,2 4,95 4,80 1.3. Peternakan dan hasilnya 0,89 0,76 0,72 0,68 1.4. Kehutanan 26,88 33,10 32,71 31,56 1.5. Perikanan 10,20 11,30 11,55 12,13 Pertambangan dan 2 Penggalian 1,33 1,65 1,57 1,53 3 Industri Pengolahan 3,87 3,89 3,66 3,50 4 Listrik dan Air bersih 0,16 0,15 0,16 0,17 5 Bangunan 4,99 5,37 5,32 5,26 Perdagangan, Hotel 6 dan Restoran 9,48 10,65 10,20 9,85 Pengangkutan dan 7 Komunikasi 6,20 7,69 8,27 8,61 Keuangan, Persewaan 8 dan Jasa Perusahaan 1,85 2,44 2,38 2,43 9 Jasa-jasa 16,46 3,42 4,50 5,64 Total 100 100 100 100 Sumber : BPS dan BP3D Kabupaten Sarmi, 2007 (diolah)
2005 Share (%)
2006 Share (%)
13,39
12,76
4,67
4,58
0,64 29,89 12,48
0,61 28,09 12,15
1,50 3,36 0,17 7,37
1,46 3,19 0,17 9,02
9,56
9,18
8,83
9,22
2,43 5,68 100
3,80 5,77 100
1
HASIL DAN PEMBAHASAN Risalah data Petak Ukur Permanen (PUP) Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua. Luas seri PUP secara keseluruhan adalah 24 hektar, namun yang digunakan dalam penelitian ini hanya 12 hektar yang terdiri 3 buah PUP yaitu petak 4,5 dan 6 yang tidak diberi perlakuan silvikultur. Luas petak pengamatan pada masing-masing petak ukur adalah 100 m x 100 m (1 ha), yang terdiri dari 100 buah plot pengamatan yang berukuran (jarak datar) 10 m x 10 m. PUP secara geografis 0 terletak pada 138042 ’Bu j u rTi mu rd a n1 5 5 ’Li n t a n gSe l a t a n .
Data PUP di areal IUPHHK Bina Balantak Utama telah diukur sebanyak 5 kali sejak tahun 2001 –2005. Data yang diambil adalah jenis pohon, keliling batang, tinggi pangkal tajuk, tinggi total pohon. Deskripsi Struktur tegakan Struktur tegakan hutan dalam wilayah konsesi IUPHHK PT. Bina Balantak Utama dikaji melalui pendataan tegakan pada fase pertumbuhan tiang dan pohon. Untuk memberikan gambaran yang lebih baik terhadap variasi perilaku individu pohon dalam kelompok maka, hasil pendataan dikelompokan berdasarkan kelas diameter dan kelompok jenis, yaitu kelompok jenis Dipterocarpaceae, Non dipterocarpaceae dan Non komersil. Dari sisi komposisi jenis, non dipterocarpaceae merupakan jenis yang banyak ditemui di lokasi penelitian dengan jumlah jenis 39, diikuti oleh jenis non komersil sebanyak 21 jenis dan dipterocarpaceae sebanyak 8 jenis. Beberapa diantaranya seperti
merbau (Intsia bijuga), matoa (Pometia spp.), kenari
(Canarium sp), nyatoh (Palaquium amboinense), dan resak (Vatica papuana), kenanga (Cananga odorata), Dahu (Dracontomelum edule), medang (Litsea sp.), dan pala hutan (Myristica spp.) (HPH PT.BBU 2001). Berdasarkan data pada Lampiran 2 dan 3, kehadiran jenis-jenis pohon yang diamati baik pada areal bekas tebangan maupun hutan primer didominasi oleh jenis-jenis pohon komersil dari kelompok Non Dipterocarpaceae, yaitu 57.35% pada areal hutan primer, dan 68.08% untuk areal bekas tebangan. Sedangkan jenis non komersil sebesar
48
30.88% untuk hutan primer dan 21.28% untuk hutan bekas tebangan. Jenis Dipterocarpaceae masing-masing 11.76% untuk hutan primer dan 10.63% untuk hutan bekas tebangan. Selain perubahan struktur tegakan dinamika tegakan juga menggambarkan perilaku tegakan, kemampuan regenerasi dan pertumbuhan individu pohon penyusun tegakan terutama setelah adanya gangguan.
Dinamika yang terjadi
dalam tegakan setiap periode waktu dapat diamati melalui tiga variabel utama yaitu: ingrowth, upgrowth dan mortality. Ingrowth memberikan masukan materi berupa jumlah pohon ke dalam kelas diameter terkecil, sehingga menambah jumlah pohon dalam kelas diameter tersebut. Upgrowth menyebabkan keluarnya jumlah pohon dalam kelas diameter yang bersangkutan, tetapi memberikan masukan jumlah pohon bagi kelas diameter di atasnya. Sedangkan mortality menyebabkan keluarnya materi (jumlah pohon) dari suatu kelas diameter, sehingga akan mengurangi jumlah pohon dalam kelas diameter tersebut. Proses keluar masuknya materi (jumlah pohon) antar kelas diameter menyebabkan terjadinya dinamika tegakan. Hasil analisis terhadap ketiga petak pengamatan di areal bekas tebangan ditemukan 47 jenis pohon yang terdiri dari kelompok Dipterocarpaceae sebanyak 5 jenis pohon, Non-Dipterocarpaceae sebanyak 32 jenis pohon dan Non-Komersil sebanyak 10 jenis pohon, seperti tertera pada Lampiran 2 dan 3. Perhitungan Dinamika Tegakan Riap rata-rata tahunan Hasil perhitungan riap rata-rata tegakan berdasarkan kelompok jenis disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Riap rata-rata tegakan masing-masing kelompok jenis Kelas Diameter (cm/tahun) Kelompok Jenis KD15 KD25 KD35 KD45 KD55 Dipt 0.701 1.038 0.882 0.931 0.396 NonDip 0.723 0.906 0.767 1.033 0.704 Non-Kom 0.592 0.944 0.732 0.938 0.500 Rata-rata 0.672 0.963 0.794 0.967 0.448 Sumber : IUPHHK PT. BBU (diolah)
KD65 Rata-rata 1.128 0.846 0.685 0.803 0.816 0.754 0.876 0.801
49
Rata-rata riap diameter tahunan tegakan dipterocarpaceae relatif sama dengan jenis non dipterocarpaceae yakni sebesar 0.846 cm/tahun dan 0.803 cm/tahun, namun berbeda dengan riap tahunan non komersil yakni sebesar 0.754 cm/tahun. Rata-rata diameter ini lebih besar pada pohon-pohon yang memiliki diameter 40-50 cm (riap rata-rata 0.967 cm/tahun) bahkan jenis dipterocarp pada kelas diameter 65 cm riap dapat mencapai 1.128 cm/tahun (Tabel 4). Hal ini menunjukan kompetisi dalam tegakan setelah penebangan lebih didominasi oleh pohon-pohon berdiameter besar yang terutama jenis komersil. Laju ingrowth¸ upgrowth dan mortality State variable awal dalam model struktur tegakan ini berupa jumlah pohon kelas diameter (Phn_D15), sehingga ingrowth didefenisikan sebagai jumlah tiang yang masuk ke dalam Phn_D15. Ingrowth
dinyatakan dalam proporsi yang
disimbolkan dengan inrate. Data yang tersedia berupa data sampai lima tahun pengukuran sehingga inrate yang digunakan merupakan rata-rata dari kelima tahun pengukuran tersebut. Berikut disajikan hasil perhitungan dari masingmasing kelompok jenis. Tabel 5 Nilai inrate dari masing-masing kelompok jenis Kelompok Jenis
Inrate dari 5 Tahun Pengukuran (%)
0.1143
0.1667
Inrate rata-rata 0.1439
0.05194
0.0694
0.1456
0.0476
0.0045
0.0299
2001/2002 2002/2003 2003/2004
Dipterocarp 0.2667 0.0278 Non0.0117 0.04938 Dipterocarp Non Komersil 0.0508 0.0167 Sumber : IUPHHK PT. BBU (diolah)
2004/2005
Upgrowth didefenisikan sebagai besarnya tambahan jumlah pohon per hektar per tahun pada kelas diameter atau fase pertumbuhan tertentu yang berasal dari kelas diameter yang lebih kecil. Perpindahan ke tingkat pertumbuhan di atasnya berarti juga pengurangan kerapatan pada tingkat pertumbuhan sebelumnya yang ditinggalkan. Upgrowth untuk kelompok dipterocarpaceae naik dari kelas diameter 25 cm (0.1038) dan mulai menurun sampai kelas diameter 55 cm sebesar 0.0396. Untuk kelompok non dipterocarpaceae terjadi kenaikan upgrowth dari kelas diameter 15 cm (0.0723) sampai kelas diameter 45 cm
50
(0.1033) dan mengalami penurunan kembali pada kelas diameter 55 cm (0.0704). Kelompok jenis non komersil mengalami kenaikan upgrowth dari kelas diameter 15 cm (0.0592) sampai 0.0938 pada kelas diameter 45 cm, dan menurun di kelas diemeter 55 cm (0.0500).
Secara keseluruhan kelompok dipterocarpaceae
menunjukan pertumbuhan lebih besar dibandingkan kelompok non dipterocarp dan non komersil, karena upgrowth menunjukan kapasitas pertumbuhan dari kelompok jenis tertentu yang sesuai dengan perilaku riapnya. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian pada PUP HPH PT.Somalindo Lestari Jaya II Kabupaten Sarmi terdapat pola perilaku pertumbuhan yang sama dimana pada kelas diameter 20-29 cm pertumbuhan dipterocar 0.1528 dan menurun sampai 0.0643 pada kelas diameter 50-59 cm
kemudian naik dan
menjadi stabil pada kelas diameter 60 cm (0.0844). (Anonimous 2001). Hasil perhitungan besarnya laju upgrowth pada masing-masing kelas diameter menurut jenis terlihat pada Tabel 6. Tabel 6 Laju upgrowth pada IUPHHK PT. Bina Balantak Utama. Kelompok Jenis (%)
Laju upgrowth (Kelas diameter)
Dipterocarp
Phn_D15 Phn_D25
0.0701 0.1038
Phn_D35
Non-Dipterocarp
Non-Komersil 0.0592 0.0944
0.0882
0.0723 0.0906 0.0767
Phn_D45
0.0932
0.1033
0.0938
Phn_D55
0.0396
0.0704
0.0500
0.0732
Sumber : IUPHHK PT. BBU (diolah) Besarnya upgrowth berbanding terbalik dengan luas bidang dasar tegakan, sehingga laju upgrowth akan semakin rendah jika luas bidang dasar tegakan semakin tinggi. Hal ini dapat dihubungkan dengan besarnya riap, dimana salah satu faktor yang turut mempengaruhi besarnya riap adalah kompetisi antar individu dalam tegakan (Ong dan Kleine 1996). Mortality adalah laju kematian dari pohon-pohon dalam tegakan yang umumnya dinyatakan dengan persen per tahun. Laju mortality alami mempunyai hubungan positif dengan luas bidang dasar tegakan, dimana kerapatan yang tinggi
51
menyebabkan kompetisi yang tinggi sehingga akan terjadi kematian alami yang semakin tinggi pula. Besarnya mortality alami disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Laju Mortality pada IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kelas Diameter (Phn_D)
Proporsi kematian alami tiap Kelas Diameter (%) Dipterocarp
Phn_D15 0.0058 Phn_D25 0.1535 Phn_D35 0.6025 Phn_D45 0.1786 Phn_D55 0.1695 Phn_D65 0.0290 Sumber : IUPHHK PT. BBU (diolah)
Non Dipterocarp
Non-Komersil
0.0320 0.1768 0.0864 0.5542 0.2737 0.0893
0.0893 0.0873 0.1148 0.2447 0.1750 0.0624
Proporsi kematian untuk semua kelompok jenis dipterocarp paling besar terjadi pada kelas diameter 35 cm, namun untuk kelompok non dipterocapr dan non komersil pada kelas diameter 45 cm, selanjutnya pada kelas diameter 65 cm mengalami penurunan dan menjadi stabil. Dengan demikian besar kecilnya diameter tidak mempengaruhi laju mortalitas. Hal ini sejalan dengan pendapat Carey et al (1987) yang diacu dalam Favrichon (1998) bahwa antara diameter dengan kematian pohon di hutan campuran tidak diperoleh hubungan yang signifikan. Pembangunan Model Pengaturan Hasil Hutan Identifikasi Isu, Tujuan dan batasan Pengelolaan hutan di Papua (Provinsi Papua) sudah berjalan kurang lebih tiga dekade dan kini mengarah pada pengelolaan hutan bekas tebangan. Dengan tujuan mengejar laju pertumbuhan ekonomi pemerintah telah memberikan ijin hak pengusahaan hutan kepada kurang lebih 54 perusahaan untuk mengelola hutan Papua yang luasnya kira-kira mencapai 31 juta hektar. Namun pemerintah maupun masyarakat yang memiliki sumberdaya hutan tidak mendapatkan manfaat yang optimal. Kebijakan-kebijakan baru pengelolaan hutan diharapkan mampu meningkatkan penerimaan daerah dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang tentunya tanpa mengabaikan aspek-aspek pengelolaan yang
52
lestari. Salah satu bentuk pengelolaan hutan yang lestari adalah pengaturan hasil hutan melalui penentuan jatah tebang tahunan. Metode pengaturan hasil yang selama ini digunakan untuk menetapkan jatah tebang tahunan (AAC) lebih bersifat umum untuk semua kondisi hutan, sehingga hampir dipraktekan di sebagian besar HPH. Sementara kondisi spesifik setiap HPH tidak selalu sama baik aspek klimatis maupun edafis, sehingga diperlukan pengaturan hasil (kayu) yang sesuai dengan site setempat. Untuk memahami kondisi spesifik penelitian ini dibatasi skala pengamatannya hanya pada IUPHHK PT. Bina Balantak Utama(BBU) Kabupaten Sarmi. PT. BBU telah melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu di wilayah administrasi Kabupaten Sarmi selama 17 tahun (3 RKL), dimana RKL I dan II dikontribusikan bagi pembangunan di Kabupaten Jayapura yang dulunya merupakan kabupaten induk bagi Sarmi. Dan sejak tahun 2001 (RKL III) hasil kayu mulai menjadi sumber pendapatan daerah bagi Kabupaten Sarmi. Penetapan jatah produksi tahunan yang ditetapkan pemerintah saat ini berfluktuatif sesuai site spesifik yang dijabarkan dalam Usulan Rencana Karya Tahunan (URKT) perusahaan yang telah ditetapkan menjadi RKT sebagaimana terlihat pada Tabel 8. Tabel 8 Luas Blok RKT, Volume Produksi dan Jumlah Batang selama II RKL pada IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua Luas Blok RKT Volume Produksi (m3) (Ha) 2001 6.879 11.936,78 2002 6.789 13.169,24 2003 6.745 24.652,22 2004 4.100 22.705,57 2005 3.967 5.085,00 2006 6.998 122.857 2007 6.990 122.716 2008 6.840 120.083 2009 6.858 120.399 2010 6.922 121.523 Jumlah 63.088 685.127 Rata-rata 6.309 68.513 Sumber : IUPHHK PT. BBU, 2008 RKT
Jumlah Batang 2.615 2.352 4.705 1.579 13.569 30.260 30.266 29.577 29.655 29.932 174.510 17.451
Rata-rata areal berhutan yang dieksploitasi pada setiap RKT seluas 6.309 ha, dengan rata-rata volume produksi per tahun sebesar 68.513 m3 atau 10,86
53
m3/ha(Tabel 8). Potensi ini sangat sangat rendah bila dibandingkan dengan ratarata volume pohon produksi dari sejumlah HPH di Papua yang mencapai 33,11 m3/ha (Rachman 2003). Berdasarkan data citra satelit liputan tahun 1999 luas areal berhutan IUPHHK PT. BBU sebesar 215.249 hektar. Apabila penetapan AAC berdasarkan etat luas dengan siklus 35 tahun (Siklus konvensional), maka luas maksimum yang harus dieksploitasi agar hutan tetap lestari adalah 6.150 hektar per tahun. Artinya terdapat selisih sekitar 159 hektar per tahun antara ratarata luasan aktual (Tabel 8) yang sudah dieksploitasi selama 2 RKL dengan keadaan hutan berdasarkan analisis citra.
Implikasinya pada akhir siklus,
perusahaan harus melakukan moratorium untuk memulihkan kondisi tegakan mendekati kondisi awal. Dengan siklus tebang 35 tahun seperti yang diatur dalam sistem TPTI, hutan yang dikelola IUPHHK PT. BBU masih menyisahkan kurang lebih 3 RKL lagi untuk memasuki siklus tebang kedua yang mengarah pada pengelolaan hutan bekas tebangan. Intensitas penebangan yang digunakan selama kegiatan pengusahaan hutan berkisar antara 60 –100 % tergantung kondisi topografi pada masing-masing petak tebang, namun dalam penelitian ini digunakan intensitas 80%. Model analisis sistem yang dibangun bertujuan mencari alternatif pengaturan hasil hutan tidak seumur pada unit manajemen hutan (IUPHHK) yang lestari secara ekologi dan ekonomi serta memberikan kontribusi terhadap ekonomi daerah. Formulasi Model Konseptual Model konseptual yang dikembangkan dideskripsi melalui diagram causal loop. Jumlah pohon dalam tegakan dipengaruhi oleh jumlah pohon ingrowth, upgrowth, mortality, efek tebangan dan illegal logging. Ingrowth memberikan masukan materi (jumlah pohon) dalam kelas diameter terkecil (Phn_D15), sehingga menambah jumlah pohon pada kelas diameter terkecil.
Jumlah
mortality, efek tebangan dan illegal logging akan mengakibatkan pengurangan jumlah pohon dalam tegakan di setiap kelas diameter. Namun dalam penelitian illegal logging tidak diperhitungkan sebagai bentuk ganguan hutan dalam perhitungan model, sehingga diasumsikan tidak terjadi illegal logging. Sedangkan
54
jumlah pohon upgrowth akan mengakibatkan penambahan jumlah pohon kelas diameter 25 cm sampai kelas diameter 65 cm. Hubungan antara ingrowth dan jumlah pohon dalam tegakan merupakan hubungan positif artinya semakin besar jumlah ingrowth, maka jumlah pohon dalam tegakan akan semakin bertambah. Sedangkan hubungan antara jumlah pohon dalam tegakan dengan mortality, dan efek tebangan adalah hubungan yang negatif. Semakin tinggi jumlah mortality dan efek tebangan akan mengakibatkan penurunan jumlah pohon dalam tegakan yang cukup besar. Penebangan dilakukan hampir pada semua kelas diameter, dengan intensitas yang berbeda berdasarkan pada skenario yang dikembangkan. Penebangan yang dilakukan terhadap pohon masak tebang (Phn_D55 dan Phn_D65) bertujuan untuk mendapatkan kayu-kayu produksi yang akan dijual perusahaan sehingga memberikan manfaat ekonomi. Hubungan antara jumlah pohon dengan volume berbanding lurus, dimana semakin tinggi jumlah pohon maka volume juga semakin bertambah. Guna mendapatkan kayu-kayu komersil perusahaan melakukan kegiatan pemanenan dengan jumlah biaya tertentu. Hubungan biaya dan volume juga berbanding lurus yaitu dengan semakin tingginya biaya maka volume kayu yang diproduksi akan semakin tinggi pula. Jumlah pohon dalam tegakan juga berperan dalam menghitung biomassa tegakan. Biomassa tegakan berperan terhadap siklus karbon dalam hutan, sehingga dapat dipergunakan untuk menentukan kandungan karbon. Variabel ini dipergunakan untuk menentukan mekanisme perdagangan karbon melalui skema Reduce Emission from Degradation and Deforestation (REDD). Besarnya volume kayu yang diproduksi memberikan manfaat ganda baik untuk pertumbuhan ekonomi daerah, maupun untuk kepentingan perusahaan dan rakyat pemilik hak ulayat. Setiap volume kayu yang dipanen perusahaan berpengaruh terhadap penerimaan perusahaan dan tambahan pendapatan masyarakat pemilik hak ulayat. Apabila perusahaan melakukan moratorium maka masyarakat akan kehilangan tambahan pendapatan (Trade off). Masyarakat pemilik hak ulayat juga dapat menggunakan hak miliknya untuk menebang kayu dalam wilayah konsesi sehigga dapat menjadi sumber pendapatan tersendiri. Hubungan di antara komponen tersebut merupakan hubungan positif yang saling mengikat antara satu dengan yang lainya. Tingginya penerimaan perusahaan yang
55
tercermin dari tingginya penjualan akan memperbesar penerimaan pemerintah dan penerimaan masyarakat. Hubungan antara semua komponen penyusun model disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Diagram causal loop antara komponen dalam model Merepresentasikan Model Konseptual Sub Model Dinamika Struktur Tegakan Dinamika Tegakan Model dinamika tegakan dalam penelitian ini menggunakan jumlah pohon masing-masing kelompok jenis dalam setiap kelas diameter sebagai state variable. Aliran materi dalam setiap model diasumsikan bersifat seri. Artinya setiap model akan melalui kelas-kelas diameter secara berurutan, tidak ada pohon yang melewati lebih dari satu kelas diameter sekaligus. Hal ini mengikuti asumsi TPTI yang menyatakan riap rata-rata tahunan sebesar 1 cm, sedangkan lebar kelas untuk model dinamika tegakan ini sebesar 10 cm, sehingga sangat tidak mungkin terdapat pohon yang melewati dua atau tiga kelas diameter sekaligus dalam satu tahun. Aliran materi dalam model dinamika ini dimulai dari pohon kelas diameter terkecil (Phn_D15). Penelitian ini hanya berfokus pada dinamika pohon sehingga semai, pancang dan tiang tidak dimasukan dalam ruang lingkup sistem. Struktur kuantitatif umum dari model ini dalam format struktur model berdasarkan waktu. Unit satuan dasar simulasi yang digunakan adalah tahun.
56
Kematian pohon dalam suatu kelas diameter direpresentasikan oleh flow mortality dengan dua buah variabel auxilary yakni kematian secara alami (Morate) dan kematian akibat penebangan (Efek tebang). Kematian akibat penebangan akan meningkat sesaat setelah penebangan dan menurun pada tahuntahun berikutnya. Sedangkan kematian alami dipengaruhi oleh luas bidang dasar tegakan dimana kematian pohon meningkat dengan semakin rapatnya luas bidang dasar tegakan. Pada kelas diameter 50-59 cm dan 60 cm keatas terdapat kegiatan penebangan dan merupakan faktor yang mengurangi jumlah pohon dari statenya. Karena kegiatan penebangan dilakukan hanya pada saat memasuki siklus tebang, maka diperlukan state tahun dan besarnya penebangan yang dilakukan akan ditentukan oleh persen tebang. Persen tebang inilah yang nantinya akan diubahubah dalam kegiatan simulasi untuk menentukan besarnya penebangan yang sustainable. Besarnya ingrowth dinyatakan dalam bentuk laju (inrate) dari jumlah pohon yang masuk ke kelas diameter terkecil dan besarnya inrate tersebut dipengaruhi oleh luas bidang dasar (BA). Laju ingrowth suatu jenis akan semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah pohon, tetapi lajunya (rate) akan semakin menurun dengan meningkatnya luas bidang dasar. Seperti halnya ingrowth dan upgrowth, laju kematian alami juga merupakan fungsi luas bidang dasar tegakan. Laju kematian alami tegakan merupakan laju kematian alami individu pohon dalam suatu kelas diameter. Kematian alami berbanding lurus dengan luas bidang dasar tegakan sehingga peluang kematian individu pohon akan semakin tinggi dengan semakin besarnya luas bidang dasar tegakan atau semakin rapatnya tegakan. Besarnya ingrowth
dan upgrowth ditentukan oleh kelajuannya, secara
matematis dapat dinyatakan dalam persamaan (Aswandi 2005) : Inrate
= f (BA)
Ingrowth
= inrate * jumlah pohon kelas diameter terkecil
uprate
= f (BA)
Upgrowth
= Uprate * Phn_Di
Morate
= f (BA)
57
Mort
= (Phn*Efek_Tebang)+ (Phn*morate)
Dimana : inrate = laju ingrowth, laju upg = laju upgrowth, phn_Di = jumlah pohon pada kelas diameter ke-i, BA = Luas bidang dasar tegakan Berdasarkan data Elias (1998) sebagai ilustrasi digambarkan hubungan antara laju parameter pertumbuhan terhadap luas bidang dasar tegakan (BA) kelompok jenis dipterocarpaceae seperti pada Gambar 6.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 6 Hubungan luas bidang dasar tegakan (BA) terhadap parameter pertumbuhan. Hubungan terhadap (a) laju ingrowth(inrate) kelompok jenis dipterocarpaceae, (b) upgrowth, (c) mortalitas alami tegakan, (d) mortalitas akibat penebangan Laju mortality akibat penebangan (efek tebang) dipengaruhi oleh besarnya intensitas penebangan (N/Ha) dan teknologi yang digunakan dalam melakukan kegiatan logging, dimana peluang individu pohon yang mati akan semakin tinggi pada intensitas penebangan yang tinggi. Dengan asumsi bahwa sistem pemanenan yang sama akan meningkatkan kerusakan yang tidak jauh berbeda, data efek tebang yang dipakai dalam penelitian ini adalah data penelitian Elias (1998) disebabkan terbatasnya penelitian mengenai hal ini di lokasi penelitian.
58
Hubungan antara mortalitas tegakan akibat penebangan dengan intensitas penebangan secara matematis dinyatakan dalam persamaan : Efek tebang
= f(Tot tebang)
Mort
= efek tebang *Phn
dimana : Ef tebang = laju kematian akibat penebangan, Tot tebang = jumlah pohon ditebang, Mort = kematian pohon akibat penebangan, dan Phn = jumlah pohon pada kelas diameter ke -i Besarnya kerusakan tegakan tinggal berdasarkan intensitas penebangan adalah sebagai berikut : Tabel 9 Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan Intensitas Penebangan (pohon/ha) 1 2 2 6 3 17 Sumber : Elias(1998) Plot Permanen
Kerusakan pohon (Pohon/ha) 58 146 259
Efek Tebang (%) 9,39 21,13 35,43
Kematian tegakan masih tetap tinggi pada beberapa tahun setelah kegiatan penebangan akibat perubahan penutupan lahan dan iklim mikro. Pada saat penebangan kematian tegakan lebih banyak terjadi pada pohon-pohon dengan diameter kecil dan akan menurun untuk pohon dengan diameter lebih besar. Anonimous (1997) melaporkan hasil penelitian bahwa di Papua tingkat kerusakan akibat pembalakan menyebabkan kerusakan tegakan tinggal (pohon inti) antara 540%, tiang dan pancang antara 10-33% dan semai antara 3-17 %. Sub model dinamika tegakan hutan dapat memberikan gambaran mengenai tebangan yang dilaksanakan tiap tahun atau setiap siklus tebangan berdasarkan intensitas penebangan dan jeda tebang yang ditetapkan. Penebangan dilakukan terhadap pohon dipterocarp dan non dipterocarp setelah memasuki kelas diameter 55 cm dan 65 cm. Untuk melihat pengaruh penebangan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap struktur tegakan dilakukan penebangan pada kelas diameter 45 cm dengan intesitas yang lebih rendah dan frekuensi tebangan yang relatif tinggi. Hubungan antar masing-masing komponen tegakan dipterocarp, tegakan non dipterocarp dan tegakan non komersil serta berbagai unsur
59
dinamikanya disajikan pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9.
Gambar 7 Representasi model dinamika tegakan dipterocarpaceae
Gambar 8 Representasi model tegakan non dipterocarpaceae
60
Gambar 9 Representasi model dinamika tegakan non komersil Sub Model Pengembalian Ekonomi Model pengembalian ekonomi
dibuat untuk memberikan gambaran
ekonomis dari hutan. Setelah diketahui berbagai alternatif intensitas penebangan dan siklus tebangan yang lestari dari model dinamika struktur tegakan, maka model tersebut digunakan untuk menghitung potensi ekonomis dari masingmasing preskripsi. Model ini terdiri dari dua sub model yaitu : sub model biaya produksi dan sub model pengembalian ekonomi seperti disajikan pada Gambar 12, sedangkan sub model biaya produksi dapat dilihat pada Lampiran 6. Model pengembalian ekonomi merupakan bentuk lain dari metode analisis ekonomi yang biasa dilakukan secara matematis untuk menghitung nilai harapan lahan (LEV), Net Present Value (NPV), rasio manfaat biaya (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR). Unsur-unsur dari setiap kriteria ekonomi ini dipengaruhi oleh dua variabel auxilary yaitu penerimaan perusahaan dan biaya total dan driving variable
berupa tingkat suku bunga (interest), discount factor dan
compounding factor.
61
Manfaat yang berasal dari total penerimaan perusahaan merupakan hasil penerimaan dipterocarpaceae (fluktuatif harga D x volume dipterocarpaceae) dan non dipterocarpaceae (fluktuatif harga ND x volume non dipterocarpaceae). Biaya (Cost) terdiri dari biaya perencanaan hutan (PAK, ITSP, PWH), biaya pemanenan hutan (penebangan kayu, TPK, penyaradan), biaya pembinaan hutan (perapihan, ITT, pengayaan,pemeliharaan tanaman pengayaan, pengadaan bibit), biaya tahunan (administrasi dan umum, biaya pemasaran, pembuatan pemeliharaan jalan, inventaris mess, PMDH, perlindungan hutan dan sungai, penyusutan) dan kewajiban terhadap negara (PSDH, DR, IIUPHHK), PBB dan PPh. Secara jelas komponen dan persamaan model dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 10 Representasi model pengembalian ekonomi Biaya produksi kayu dipengaruhi oleh jumlah produksi kayu yang dipanen (Vol pohon produksi), biaya produksi per hektar dan luas areal yang dipanen (Luas RKT). Harga merupakan variabel yang sangat mempengaruhi besarnya penerimaan, dalam model ini komponen harga menjadi salah satu pertimbangan penting dalam pengaturan hasil. Model ini juga berusaha menggambarkan fenomena kenaikan dan fluktuasi harga kayu yang sulit diramalkan (uncertainty).
62
Apabila diprediksikan setiap tahun terjadi kenaikan harga kayu secara linear dengan gradien kenaikan rata-rata 10%. Kenaikan harga kayu berfluktuasi antara 5-15%. Berdasarkan asumsi di atas, maka harga dinyatakan sebagai berikut : Xt = X0 ± X dimana :Xt = harga kayu tahun ke-t, X0 = harga kayu saat ini, X = kisaran perubahan harga Perubahan harga dari tahun ke tahun tidaklah sama, karena nilainya dipengaruhi oleh fluktuasi harga dan tahun berjalan. Kisaran perubahan harga tersebut dinyatakan dalam rumus : X = Fluktuasi harga* X0*t = (5%-15%)/2* X0*t dimana : X0 = harga kayu saat ini, X = kisaran perubahan harga, t = selang waktu perhitungan Untuk memprediksi harga pada tahun-tahun berikutnya, diasumsikan harga tersebut naik secara linear dengan proporsi kenaikan sebesar 10%. Berdasarkan hal diatas, maka harga rata-rata dari perubahan harga setiap tahunnya, digambarkan sebagai fungsi linear dengan gradien kenaikan kurva 10%. Harga rata-rata dirumuskan sebagai berikut : Y = f (X0,t) Y = X0 + 0.1 * t dimana : y = harga rata-rata, X0 = harga kayu saat ini, t = selisih tahun perhitungan Model ini tidak dilakukan validasi seperti halnya model dinamika hutan, karena hubungan-hubungan fungsional antar komponen terjadi secara matematis sederhana. Besarnya biaya-biaya merupakan laporan dari data keuangan IUPHHK PT. Bina Balantak Utama pada tahun 2006 dari areal seluas 6.840 ha.
63
Sub Model Pengaturan Hasil Sub model ini menggambarkan berbagai pilihan pengaturan hasil hutan kayu dengan mengatur berbagai auxilary seperti intensitas penebangan, lamanya siklus tebang, limit diameter penebangan dan lain-lain sesuai dengan tujuan analisis. Tipe pengaturan hasil yang digunakan adalah pengaturan hasil berdasarkan siklus tebang. Teknik ini dilakukan dengan menyusun beberapa skenario siklus tebang dan intensitas tertentu, dan berdasarkan siklus tebang tersebut dipilih berbagai intensitas penebangan yang memberikan kelestarian hasil dalam jangka panjang. Siklus tebang yang diujikan adalah siklus tebang 30 tahun, 35 tahun dan 40 tahun. Pengujian ini bertujuan untuk memperoleh rentang yang ekonomis dengan tetap mempertahankan kelestarian produksi. Intensitas penebangan pada tipe pengaturan hasil berdasarkan siklus tebang dipengaruhi oleh driving variable
siklus tebang (siklus teb), state variable
hitungan tahun tebang (tahun), dengan berbagai driving variable proporsi penebangan pada setiap kelompok jenis dan kelas diameter.
Siklus tebang
merupakan konstanta yang nilainya tertentu. Jika waktu sama dengan siklus tebang maka penebangan dilakukan dengan proporsi 80%. Sub Model Penerimaan Masyarakat Adat Sub model ini menjelaskan keuntungan masyarakat adat yang diperoleh sebagai kompensasi terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan yang berada di wilayah kepemilikannya, baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun non perusahaan (pribadi dan kelompok). Sub model ini memiliki keterkaitan dengan model dinamika tegakan dan pengaturan hasil. Auxilary variable penerimaan dari kompensasi (Penerimaan kompensasi) dan pendapatan dari penebangan kayu milik masyarakat adat (pendapatan pemilik kayu) merupakan akumulasi dari selisih antara penerimaan dari penjualan kayu dan biaya-biaya pengolahan (investasi, biaya angkutan, biaya pengolahan, dan rata-rata biaya pikul). Penerimaan kompensasi merupakan jumlah total penerimaan masyarakat setiap kali terjadi pembayaran dari pihak perusahaan yang dipengaruhi oleh beberapa auxilary variabel yaitu volume produksi, rata-rata volume produksi per
64
jenis kayu (merbau, non merbau dan kayu indah), serta standar kompensasi masing-masing jenis. Sedangkan auxilary variable pendapatan tebang milik dipengaruhi oleh volume produksi, harga kayu lokal, dan biaya total. Pendapatan tebang milik adalah pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan kayu yang ditebang dari lokasi yang diklaim sebagai milik masyarakat adat, dengan distribusi kepada pemilik kayu dan penebang kayu masing-masing sebesar 20% dan 80%.
Gambar 11 Representasi model penerimaan masyarakat adat Sub Model Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD) Sub model REDD dibuat untuk menganalisis keadaan finansial pengelolaan hutan oleh IUPHHK PT. BBU apabila dialihkan untuk tujuan penyerapan karbon. Pendapatan REDD adalah selisih pemasukan karbon dengan pengeluaran REDD. Pemasukan REDD didapat dari penjualan jasa penyerapan karbon dalam satuan ton (ton C) per hektar. Harga karbon dalam perdagangan karbon sangat bervariasi. Pada awal sistem perdagangan dan pertukaran karbon, nilai kredit pengurangan emisi karbon berkisar antara US$2,5 sampai US$5 (Niles, John O et al. 2002). Nilai yang
65
dipakai dalam penelitian ini adalah US$5, dengan nilai tukar rupiah diasumsikan Rp 9.500. Pengeluaran REDD adalah biaya yang dikeluarkan dalam skema REDD yaitu : biaya transaksi. Biaya transaksi merupakan biaya yang dikeluarkan dalam proses untuk mendapatkan sertifikasi pengurangan emisi (Certified Emission Reductions-CERs), hingga proses pencarian lembaga atau negara yang akan bekerja sama dalam jual beli sertifikasi tersebut. Besarnya biaya transaksi per ton karbon (ton C) dalam beberapa proyek diuraikan dalam transaction costs of forest carbon projects berkisar antara US$0,57 sampai US$2,96 (Milne 2002). Dalam penelitian ini biaya transaksi yang digunakan sebesar US$3/ton C atau Rp 27.500/ton C.
Gambar 12 Representase Model REDD Berdasarkan metode stock – difference kemudian dilakukan estimasi terhadap perubahan stok karbon (Carbon Stock) pada periode awal dan periode akhir. Data stock karbon periode awal diestimasi berdasarkan data dari hutan primer, sedangkan stok karbon pada periode akhir diestimasi dari data Petak ukur Permanen (PUP). Selisih Jumlah karbon yang dihasilkan pada kondisi base line dan jumlah karbon setelah ada perlakuan pengurangan persen tebangan dari 80% menjadi 20% merupakan jumlah karbon yang dapat diikutkan dalam skema REDD.
66
Gambar 13 BAU dan Baseline kredit (Adaptasi dari Angelsen 2008) Evaluasi Model Mengevaluasi Kewajaran dan Kelogisan Model Evaluasi model dalam penelitian ini hanya dilakukan terhadap sub model dinamika tegakan hutan yaitu dengan membandingkan struktur tegakan nyata dengan struktur tegakan hasil simulasi pada awal pengukuran. Struktur tegakan hutan hasil simulasi diperoleh melalui pembuatan model persamaan hubungan antara jumlah pohon di setiap kelas diameter (Phn_D) dengan ingrowth, upgrowth, mortality, efek tebang, dengan bidang dasar tegakan. Jumlah pohon masing-masing kelas diameter pada awal simulasi didasarkan atas data potensi tegakan dari petak ukur permanen yang diukur selama lima tahun (2001-2005). Kewajaran dan kelogisan sub model tegakan dilihat dari taksiran jumlah pohon pada masing-masing kelas diameter, jumlah pohon pada kondisi tidak ada gangguan dan penebangan. Luas bidang dasar mempengaruhi pertumbuhan diameter pohon sehingga terjadi peningkatan diameter sampai kondisi tertentu pada tahun-tahun awal setelah penebangan, kemudian akan mengalami stagnasi mendekati kondisi klimaks (tegakan primer). Hal ini dikarenakan pada tahun-tahun awal setelah penebangan terdapat ruang yang terbuka sehingga tegakan tinggal tumbuh lebih cepat dan jumlah ingrowth meningkat. Selanjuntya ruang mulai terisi dan dibatasi oleh daya dukung lingkungan sehingga ingrowth
dan mortality cenderung
67
seimbang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Volin dan Buongiorno (1996) yang menyatakan bahwa apabila diproyeksikan untuk jangka waktu yang cukup lama, maka akan terjadi osilasi dan amplitudo yang cenderung berkurang mendekati kestabilan. Kewajaran model secara grafis ditunjukan oleh pola pertumbuhan biologis yang sigmoid (logistik) yang diharapkan dapat dipenuhi di dalam model ini dengan adanya kapasitas maksimum pertumbuhan.
(a)
(c) Gambar 14
(b)
(d)
Proyeksi dinamika tegakan jangka panjang Diameter 20 cm (a) struktur tegakan dipterocarpaceae, (b) struktur tegakan non dipterocarpaceae,(c) struktur tegakan non komersil, (d) luas bidang dasar tegakan seluruh kelompok jenis
Keterangan : PhnD25 (jumlah pohon diterocarp kelas diameter 25), PhnD35 (jumlah pohon dipterocarp kelas diameter 33), PhnD45 (jumlah pohon dipterocarp kelas diameter 45),PhnD55(jumlah pohon dipterocarp kelas diameter 55), PhnD65(jumlah pohon dipterocarp kelas diameter 65 up), BAtot (luas bidang dasar total), BAD (luas bidang dasar dipterocarp). BA ND(luas bidang dasar non dipterocarp), BA NK (luas bidang dasar non komersil)
Jenis dipterocarpacea dan non dipterocapaceae pada simulasi 70 tahun mulai mengalami perlambatan laju pertumbuhan sekitar tahun ke 47- 48 dan mulai
68
mencapai kondisi relatif stabil (steady state) dengan kerapatan tegakan diameter 20 cm sebanyak 145 - 257 btg/ha. Pada jenis non komersil laju pertumbuhan melambat sekitar tahun ke 2 dan relatif stabil mulai tahun 17 dengan kerapatan tegakan diameter 20 cm sebanyak 17 –32 btg/ha. Kondisi ini menggambarkan bahwa keadaan pertumbuhan tegakan bekas tebangan yang dibiarkan tumbuh tanpa gangguan akan memulihkan diri mencapai kondisi klimak walaupun tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi primernya. Keadaan pertumbuhan luas bidang dasar yang konstan memberikan indikasi bahwa komposisi struktur tegakan tidak berubah seiring dengan dinamika waktu. Evaluasi
keterandalan
model
divalidasi
secara
empiris
dengan
membandingkan hasil pendugaan model dengan data aktual di PT. BBU, seperti pada Gambar 15. J u m la h po h o n pe r ha
Jumlah pohon per ha
16 14 12 10 8 6 4 2
40 30 20 10 0 KD15 KD25 KD35 KD45 KD55 KD65+
0 KD15
KD25
KD35
KD45
KD55 KD65 +
Diametr (cm)
Diameter (cm) Aktual
Aktual
Simulasi
Jumlah pohon per ha
(a)
Simulasi
(b)
25 20 15 10 5 0 KD15
KD25
KD35
KD45
KD55 KD65 +
Diame te r (cm) Aktual
Simulasi
(c) Gambar 15 Perbandingan struktur tegakan hasil pengamatan dengan simulasi setelah 5 tahun menurut kelompok jenis : (a) Dipterocarpaceae, (b) Non dipterocarpaceae, (c) Non komersil Secara umum hasil pendugaan (simulasi) tidak berbeda nyata dari hasil pengamatan lapangan (aktual). Hal ini dibuktikan dengan uji statistik chi square yang menunjukan bahwa hasil simulasi model dinamika struktur tegakan pada
69
tahun ke-5 tidak berbeda secara nyata dengan kondisi aktual pada selang kepercayaan 95%. Berdasarkan statistik uji chi square diperoleh nilai 2 hitung sebesar 12,98, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai 2 tabel yaitu sebesar 27,59 pada derajat bebas 17 dan taraf nyata 5%. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan model simulasi dinamika struktur tegakan cukup handal, lebih mendekati kondisi aktual. Data seluruh jenis hutan primer digunakan untuk menduga struktur hutan primer rata-rata seluruh areal, diperoleh model eksponensial yaitu : Y = 396,31 exp(-6,25), dimana R2 = 0.8316 dan p =0.003. Hasil pendugaan tegakan dengan model ini dianggap menggambarkan kondisi klimaks yang dapat dicapai di areal ini, atau menggambarkan hutan primer rata-rata pada awal masa pengelolaan hutan alam produksi di areal ini. Sedangkan untuk areal bekas tebangan diperoleh model Y = 70,5 exp(-1,4) dan p = 0,004 R2 = 0. 82. Pendugaan struktur tegakan
kerapatan tegakan (btg/ha)
hutan alam primer dan bekas tebangan seperti ditunjukan pada Gambar 16. 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00 KD15
KD25
KD35
KD45
KD55
KD65 up
Kelas diameter (cm) Hutan Bekas tebangan
Hutan primer
Gambar 16 Struktur tegakan hutan di areal penelitian Mengevaluasi Hubungan Perilaku Model dengan Pola yang Diharapkan Evaluasi terhadap hubungan perilaku model agar diperoleh suatu pola tertentu yang diharapkan sering disebut evaluasi sensivitas model. Sensivitas model merupakan tahapan kegiatan untuk melihat kewajaran suatu model yang akan digunakan apabila dilakukan perubahan pada salah satu variabel secara
70
ekstrim (Grant et al. 1997). Sensivitas juga dilakukan karena adanya ketidakpastian dalam memperkirakan arus kas di masa datang. Sensivitas model dilakukan terhadap nilai-nilai pengembalian ekonomi yaitu Net Present Value (NPV), Land Expectation Value (LEV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR) serta penerimaan kompensasi apabila parameter suku bunga, harga kayu, dan standar kompensasi dirubah. Evaluasi ini dilakukan dengan mengubah suku bunga sebesar 9%, 14%, 19%, dan 24%. IRR ditentukan dengan cara try and error untuk menentukan besarnya NPV sebesar nol.
Sedangkan pada auxilary variable penerimaan kompensasi dilakukan
perubahan pada besarnya standar kompensasi. Perubahan harga Hasil simulasi pengembalian ekonomi pada berbagai perubahan harga disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil simulasi pengembalian ekonomi pada berbagai perubahan harga Siklus tebang
30
35
40
Kriteria NPV (Rp/ha/th) LEV (Rp/ha/th) BCR IRR (%) NPV (Rp/ha/th) LEV (Rp/ha/th) BCR IRR (%) NPV (Rp/ha/th) LEV (Rp/ha/th) BCR IRR (%)
-10%
Perubahan Harga (Rp x 1000) 0% 10%
2.959,50
32.097,48
27.867,26 1,33
56.322,45 1,47
61.235,46 84.777,64 1,62
20% 90.373,45 113.232,83 1,76
16
19
23
28
24.768
58.311,38
91.854,75
125.398,13
57.064,86 1,23
90.171,93 1,36
123.279.00 1,50
156.386.00 1,63
16
19
23
28
6.199
33.714
61.232
88.748
88.861,69 1,28
126.622,34 1,48
16
19
164.382,99 1,56 23
202.143,64 1,70 28
Berdasarkan hasil simulasi NPV dan LEV pada siklus tebang 20 tahun memberikan hasil negatif pada saat harga turun 10% dan pada saat harga 0% (kondisi saat ini). Apabila harga dinaikan pada level 10% maka NPV akan merespons dengan nilai yang positif. Sedangan LEV memberikan tanggapan yang
71
negatif setiap terjadi perubahan harga sampai pada level 20%.
Hal ini
menunjukan ketidaklayakan siklus tebang 20 tahun sebagai alternatif yang baik. NPV dan LEV memberikan hasil yang positif dan rasio manfaat biaya yang lebih besar dari 1 pada siklus tebang, 30, 35 dan 40 tahun. Artinya masing-masing preskripsi penebangan memenuhi kriteria kelayakan ekonomis. Kriteria NPV dan LEV memberikan korelasi positif dengan siklus tebang, yang terlihat dari makin meningkatnya nilai NPV dan LEV setiap kenaikan siklus tebang. Berkurangnya harga kayu menurunkan nilai lahan dan NPV, sehingga dapat mengurangi insentif untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan demikian sebaliknya (Darusman 2002). Rata-rata naik atau turunya harga kayu pada setiap siklus tebang mempengaruhi NPV sebesar RP 3.765.000 per hektar per tahun dan nilai lahan (LEV) sebesar Rp 17.507.000 per hektar per tahun. Sebagai ilustrasi hubungan siklus tebang, perubahan harga dan nilai harapan lahan disajikan pada pada Gambar 17. Perubahan Harga (% )
1,400,000,000 1,200,000,000
10
LEV (Rp/Ha)
1,000,000,000
15 20
800,000,000
25 600,000,000 400,000,000 200,000,000 0 10
15
20
25
30
35
40
45
Siklus Tebang (tahun)
Gambar 17 Nilai harapan lahan pada berbagai siklus tebang dan harga Perubahan harga kayu mempengaruhi perubahan preskripsi pilihan penebangan yang lestari. Berdasarkan teori permintaan kondisi ini menunjukan bahwa permintaan pasar kayu bulat semakin meningkat. Hal ini didukung oleh fakta sejak tahun 2001 produksi kayu bulat mengalami peningkatan dan secara perlahan mengalami penurunan pada tahun 2004 sampai 2005 (Gambar 18).
Jumlah Produksi (m3)
72
40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
36309.54 21856.08
22850.01 26521.08 16366.86
11936.78
2001
2002
2003
2004
2005
16117.57
2006
2007
Tahun Produksi Produksi Kayu
Gambar 18 Produksi kayu bulat IUPHHK PT. BBU tahun 2001-2007 Penurunan produksi pada tahun 2004-2005 diduga akibat adanya aktivitas Kopermas yang mendapat Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA). Aktivitas Kopermas memasuki areal konsesi sehingga perusahaan terpaksa bermitra dengan masyarakat untuk menebang kayu di wilayah konsesi. Keterlibatan IUPHHK dengan bermitra bersama masyarakat selain target profit juga untuk mengamankan kayu yang berada di wilayah konsesi dari para penunggang bebas (free rider) yang memanfaatkan kelemahan masyarakat adat. Kebijakan pemerintah daerah melarang penjualan kayu dalam bentuk log ke luar Papua merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi harga penjualan kayu bulat ke depan. Berdasarkan peraturan bersama Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat No. 163 dan 16 tahun 2007, tentang peredaran hasil hutan bahwa kayu log hanya dijual untuk kebutuhan lokal Papua atau di jual ke luar dalam bentuk kayu setengah jadi. Kebijakan tersebut mempengaruhi keadaan finansial perusahaan, yang terlihat dari adanya keterlambatan pembayaran upah karyawan. Pemerintah juga memberikan kuota 5% untuk penjualan kayu lokal, namun sampai saat ini IUPHHK belum merealisasikan target tersebut karena harga
jual yang jauh lebih rendah. Disisi lain masyarakat lebih senang
memanfaatkan kayu hasil perburuan yang dibeli oleh para rent seeking dari masyarakat pemilik ulayat karena harga jual yang jauh lebih rendah dari harga kayu perusahaan. Perubahan Suku Bunga Pemanfaatan sumberdaya hutan merupakan proses pengambilan keputusan
73
yang bersifat intertemporal. Salah satu yang dilakukan untuk hal tersebut adalah melalui proses discounting dengan penentuan discount rate yang tepat. Berdasarkan discount rate tersebut dilakukan analisis sensivitas terhadap perubahan suku bunga untuk menentukan preskripsi penebangan optimal. Hasil simulasi menunjukan bahwa NPV, LEV, dan BCR memberikan hasil yang positif. Perubahan suku bunga menyebabkan menurunnya rata-rata NPV sebesar Rp 63.174.467 per hektar per tahun dan rata-rata LEV sebesar Rp 19.912.487 per hektar tahun (Lampiran 5). Tabel 11 Perubahan suku bunga terhadap NPV, LEV, dan BCR Siklus tebang
Kriteria NPV (Rp/ha/th ) LEV (Rp/ha/th ) BCR NPV (Rp/ha/th ) LEV (Rp/ha/th )
30
35
BCR NPV (Rp/ha/th ) LEV (Rp/ha/th ) BCR
40
BCR
9
Perubahan Suku Bunga (%) 14 19
24
32.097
(3.834)
(18.825)
(25.195)
16.638
78.869
113.225
135.991
1,47
1,20
1,02
0,91
58.311
5.490
(15.165)
(23.654)
44.732
111.531
150.798
176.606
1,60
1,24
1,04
0.92
84,400.45
13,835.14
(12,113.20)
(22,423.52)
75.639
149.355
191.510
218.749
1,71
1,28
1,05
0.92
lebih besar dari 1 menunjukan efektivitas biaya dimana setiap
investasi sebesar Rp 1.000 menghasilkan rata-rata manfaat sebesar Rp 1.660. Sedangkan IRR sebesar 17% menunjukan return yang akan diterima lebih besar dari Social Opportunity Cost Capital (suku bunga tetap 9%), jadi walaupun suku bunga bank mencapai 17%, pemanfaatan hutan oleh pemegang konsesi masih layak dilakukan. Sebagai ilustrasi diperlihatkan besarnya perbedaan nilai suku bunga yang menghasilkan NPV sebesar nol pada siklus 35 tahun (Gambar 18).
74
Dari gambar terlihat NPV makin berkurang terus menerus sejalan dengan makin bertambahnya tingkat suku bunga (Buongiorno dan Gilless 2003).
NPV (Rp/Ha/thn)
2,500,000.00 2,000,000.00 1,500,000.00 1,000,000.00 500,000.00 0.00 -500,000.00
9
10
11
12
13
14
15
17
Suku bunga (%/tahun)
Gambar 19 NPV pada berbagai suku bunga pada siklus tebang 35 tahun Perubahan Standar Kompensasi Masyarakat Adat Biaya kompensasi merupakan biaya pengganti menurunya kualitas hutan dan hilangnya akses masyarakat terhadap hutan akibat eksploitasi pengusahaan hutan atas kayu yang dipungut termasuk tanah untuk jalan angkutan, base camp, bahan material penimbunan jalan, TPK dan logpond/loading point. Besarnya pembayaran kompensasi tergantung pada standar kompensasi yang ditetapkan pemerintah dan volume kayu yang tercatat dalam laporan hasil produksi (LHP) perusahaan. Hasil analisis sensivitas terhadap perubahan variabel standar kompensasi (Gambar 19) menunjukan bahwa setiap terjadi perubahan standar kompensasi rata-rata penerimaan masyarakat naik sebesar Rp 298.442 per meter kubik. Kenaikan penerimaan kompensasi sangat dipengaruhi oleh perubahan struktur tegakan pada setiap siklus tebang. Hal ini menunjukan bahwa ketersediaan
sumberdaya
hutan
sangat
menentukan
tingkat
penerimaan
kompensasi masyarakat. Keadaan ini akan sangat berbeda dengan kompensasi yang diterima masyarakat pemilik kayu dalam hal besarnya jumlah uang yang diterima. Dimana masyarakat pemilik kayu yang menerima kompensasi dari para penebang kayu (pemburu kayu) mendapat cash money yang relatif lebih besar. Sementara penerima kompensasi dari IUPHHK sifatnya insidentil karena
75
tergantung pada aktivitas produksi perusahaan. Walau demikian, dilihat dari kontinuitas, penerimaan kompensasi perusahaan akan memberikan tambahan pendapatan yang terus meningkat dari waktu ke waktu sesuai siklus tebang dan tindakan manajemen yang dilakukan. Sedangkan pendapatan pemilik kayu akan semakin berkurang karena tidak adanya kegiatan manajemen dan perilaku para penungang bebas (free rider). Sebagai ilutrasi hubungan antara pengaruh perubahan standar kompensasi terhadap penerimaan kompensasi dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Penerimaan kompensasi pada kondisi terjadi perubahan standar kompensasi yaitu 0% (1), 20%(2), 40(%) dan 60% Penggunaan Model Model yang telah dibuat digunakan dalam membuat skenario-skenario pengaturan hasil hutan. Skenario 1 merupakan base line atau simulasi dasar. Skenario 1 : Tanpa intervensi. Simulasi tegakan tanpa intervensi dimaksudkan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat produktifitas tegakan, dengan mengasumsikan bahwa tidak ada perlakuan dan gangguan terhadap tegakan. Hasil simulasi untuk 70 tahun dari simulasi model terlihat pada gambar dan tabel berikut :
76
Gambar 21
Hasil simulasi 70 tahun kondisi masak tebang Dipterocarpaceae non dipterocarpaceae, dan non komersil
Tabel
Jumlah pohon masak tebang berdasarkan hasil simulasi tanpa penebangan
Tahun 0 5 10 20 25 30 35 40 70
12
Masak tebang (N/Ha) Non Non Dipterocarpaceae dipterocarpaceae Komersil 3 6 6 3 7 6 4 8 7 6 11 10 7 13 12 8 14 14 10 16 15 11 18 17 19 25 18
jenis
Total 15 16 19 27 32 37 41 46 62
Tabel 12 memperlihatkan jumlah pohon masak tebang sebanyak 62 pohon/ha yang berasal dari kelompok dipterocarp 19 pohon/ha dan non dipterocarp 25 pohon/ha serta non komersil 18 pohon/ha. Distribusi jenis pohon masak tebang komersil sebanyak 70,79%, sisanya (29,03%) terdiri dari pohon non komersil. Kondisi ini diharapkan akan dicapai pada saat siklus tebang berikut setelah
mendapat
perlakuan-perlakuan
tertentu.
Pohon
masak
tebang
didefenisikan sebagai pohon dengan diameter lebih dari 50 cm dan dibagi atas kelas diameter 55 cm dan 65 cm. Pembagian kelas diameter dilakukan dalam rangka diversifikasi produk. Berdasarkan tabel terlihat juga bahwa jumlah pohon masak tebang sebelum penebangan (tahun 0) sebanyak 15 pohon/ha, jumlah ini sama dengan potensi rata-rata tegakan per hektar pada HPH PT. Somalindo
77
Lestari
Jaya yaitu 14,9 pohon/hektar dengan rata-rata volume 54,7 m3/ha
(Rachman 2003). Skenario 2: Skenario Siklus Tebang Skenario ini dibangun dalam rangka melihat pengaruh siklus tebang yang berbeda terhadap jumlah yang ditebang
dan perannya dalam memberikan
kontribusi terhadap penerimaan masyarakat adat dan pemerintah daerah. Panjang siklus tebang yang diujikan adalah siklus 30 tahun, 35 tahun dan 40 tahun dengan intensitas penebangan sebesar 80% untuk kelompok jenis dipterocarp dan non dipterocarp. Penebangan dilakukan terhadap seluruh jenis komersil yaitu jenis dipterocarpaceae dan non dipterocarpaceae yang berdiameter 50 cm ke atas. Berikut disajikan gambar hasil simulasi skenario.
(a)
(c) Gambar 22
(b)
(d)
Proyeksi jumlah pohon masak tebang (a), siklus 30 tahun (b), siklus 35 tahun (c), Siklus 40 tahun, (d) Semua siklus
Proyeksi rata-rata jumlah pohon masak tebang terlihat cukup stabil pada kedua kelompok jenis. Keadaan ini memberikan indikasi bahwa rentang jeda antar penebangan mampu memulihkan kondisi tegakan dan memberikan hasil yang lestari (Gambar 22).
78
Walaupun demikian kelompok dipterocarpaceae pada Phn_D65 pada semua siklus tebang memberikan respon yang berbeda dengan terjadinya penurunan jumlah penebangan.
Tegakan pada keadaan ini mengalami pemulihan yang
lambat karena intensifnya kegiatan penebangan yang dilakukan terutama jenis Intsia bijuga (merbau). Karena merbau merupakan jenis kayu yang menjadi target utama dalam kegiatan logging di Papua dan mendominasi struktur tegakan hutan primer dengan persentase kehadiran sebesar 40,72% (Lampiran 2). Berdasarkan laporan hasil produksi juga diketahui bahwa jumlah pohon merbau yang ditebang setiap RKT oleh IUPHHK PT. BBU mencapai 60%. Selain itu dipengaruhi juga oleh intensitas penebangan yang lebih tinggi yakni 80% pada masing-masing
jenis. Artinya sebelum penebangan telah dilakukan seleksi
terhadap jenis dan ukuran diameter tebang berdasarkan ketentuan TPTI yaitu 50 cm up, sehingga terlihat bahwa pohon-pohon pada kelas diameter diatas 50 cm mengalami pemulihan yang lambat. Apabila ukuran kelestarian ditinjau dari ukuran fisik berupa volume dan jumlah penebangan pohon masak tebang, maka penebangan dengan sistem tebang pilih pada seluruh preskripsi memenuhi prinsip kelestarian hasil. Hal ini sejalan dengan besarnya nilai koefisien kelestarian hasil (kkh) yang merupakan perbandingan jumlah volume per penebangan dengan penebangan siklus sebelumnya sebagaimana terlihat pada Tabel 13. Tabel 13 Preskripsi intensitas penebangan, jumlah pohon yang ditebang, volume dan koefisien kelestarian hasil pada simulasi pengaturan hasil Siklus tebang
Jumlah penebangan (N/Ha)
Volume penebangan (m3/ha)
Koefisien kelestarian hasil
Intensitas 80% dari diameter 50 cm up dan 60 cm Up. Tebang 30 tahun
I II
23,15 38,35
43,39 111,48
2,57
2
Intensitas 80% dari diameter 50 cm up dan 60 cm Up. Tebang 35 tahun
I II
26,48 41,44
49,49 124,85
2,53
3
Intensitas 80% dari diameter 50 cm up dan 60 cm Up. Tebang 40 tahun
I II
No
Preskripsi
1
29,90 44,33
55,51 135,69
2,44
79
Skenario siklus tebang secara ekonomi menunjukan bahwa nilai NPV, LEV dan BCR
pada setiap siklus mengalami peningkatan yang signifikan dan
berkorelasi positif. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing preskripsi memenuhi kriteria kelayakan secara ekonomi dihasilkan
berdasarkan
ingrowth¸upgrowth kualitas
data
simulasi
sangat
(Tabel 14).
sensitif
Volume yang
terhadap
faktor-faktor
dan mortalitas karena simulasi sangat bergantung pada
diinput
yang
digunakan.
Input
data
harus
merupakan
menggambarkan representatif untuk kondisi areal tertentu (Susanty dan Sardjono sehingga menyebabkan adanya perbedaan antara volume per hektar hasil simulasi dan data laporan produksi (Tabel 8). Berdasarkan hasil simulasi, rata-rata volume penebangan jenis komersil pada siklus tebang pertama berkisar antara 43-55 m3/ha. Hasil ini jauh lebih besar bila dibandingkan dengan potensi rata-rata 19 HPH di Papua yang mencapai 33,11 m3/ha (Rachman 2003). Pada siklus 30, 35 dan 40 tahun setiap kenaikan jeda tebang akan memperbesar nilai pengembalian ekonomi rata-rata sebesar Rp 1.871.969 per hektar per tahun untuk NPV dan LEV sebesar Rp 1.679.922 per hektar per tahun. Besarnya nilai harapan lahan menunjukan kualitas lahan dan nilai tegakan yang berdiri pada lahan tersebut. Tabel 14 Hasil simulasi nilai NPV, LEV, BCR, dan IRR pada berbagai preskripsi penebangan dengan suku bunga 9% Siklus Tebang (tahun)
Keterangan 30 NPV (Rp/ha/thn) LEV (Rp/ha/thn) BCR IRR (%)
3.533.084 3.021.820 1,47 14%
35
40
1.661.116 1.350.898 1,60 15%
736.371 554.595 1,71 17%
Simulasi juga memperlihatkan bahwa IRR makin meningkat dengan bertambahnya siklus tebang (Hanon dan Ruth 1997). Artinya bahwa pada siklus tebang 30, 35 dan 40 tahun kenaikan suku bunga dari 9% sampai 17% tetap memberikan keuntungan yang layak bagi IUPHHK dalam menjalankan usaha pemanfaatan kayu dari hutan alam produksi di Kabupaten Sarmi.
80
Nilai manfaat hutan yang dimiliki oleh perusahaan yang tercermin dari kriteria ekonomi (NPV, LEV, BCR, IRR) jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan penerimaan masyarakat
adat.
Selain perusahaan, penerimaan dari
manfaat hutan diterima oleh pemerintah dalam bentuk royalti, fee dan restribusi. Masyarakat hanya menerima kompensasi sebagai tambahan pendapatan yang di luar kegiatan usaha tani. Perbedaan penerimaan kompensasi mayarakat ini dipengaruhi oleh besarnya standar kompensasi yang ditetapkan pemerintah terlalu kecil. Standar kompensasi untuk jenis merbau (Intsia ) sebesar Rp 50.000 per meter kubik, kayu non merbau Rp 10.000 per meter kubik dan kayu indah
Rp
100.000 per meter kubik dengan proporsi yang berbeda untuk setiap jenis kepemilikan (SK Gubernur Papua No 184 Tahun 2004). Proyeksi penerimaan kompensasi masyarakat adat dan pemerintah daerah pada berbagai siklus tebang disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Proyeksi Penerimaan Pemerintah dan masyarakat pada berbagai siklus tebang Siklus tebang (tahun)
Tebang ke
Penerimaan masyarakat adat (Rp/tahun)
1 603.576.024 2 1.550.796.125 1 504.747.118 35 2 1.276.080.751 40 1 434.359.863 2 1.061.790.466 Keterangan * tanpa diskon faktor 30
Penerimaan Daerah *(Rp/tahun) 1.976.001.837 4.830.326.398 2.296.209.476 5.805.181.655 2.745.804.392 7.054.924.392
Penerimaan masyarakat dan pemerintah daerah berbanding lurus dengan siklus tebang, dimana setiap kenaikan siklus tebang akan berdampak pada kenaikan penerimaan kompensasi dan penerimaan daerah. Setiap terjadi pertambahan siklus tebang penerimaan masyarakat dan pemerintah daerah mengalami kenaikan sekitar 16,37%. Hal ini menunjukan bahwa secara ekonomi siklus tebang 40 tahun memberikan nilai manfaat yang besar terhadap masyarakat dan pemerintah daerah. Kompensasi yang diterima masyarakat bersifat insidentil tergantung pada kegiatan produksi perusahaan. Distribusi penerimaan masyarakat adat lebih
81
banyak dimiliki oleh pemilik kayu (65%) sedangkan sisanya terdistribusi bagi pemilik hak ulayat atas loading point, jalan, logyard, base camp, material dan pembinaan. Rata-rata dalam satu tahun dilakukan pembayaran dua kali dengan nilai yang bervariasi tergantung pada volume kayu yang dimiliki masing-masing marga. Apabila penerimaan tersebut didistribusikan kepada setiap masyarakat maka nilai tersebut sangat kecil. Rendahnya penerimaan kompensasi masyarakat ini diduga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya kegiatan perburuan kayu oleh para rent seeking yang memanfaatkan kelemahan masyarakat lokal pemilik kayu untuk membeli kayu dengan harga yang murah. Akibatnya wilayah konsesi IUPHHK PT.BBU secara bebas dapat dimasuki oleh para penunggang bebas (free rider) yang berasal dari berbagai kelompok dan starata masyarakat. Skenario 3: Perburuan Kayu Skenario ini menggambarkan kondisi perburuan kayu pasca kegiatan IUPHHK yaitu pada areal bekas tebangan dan besarnya penerimaan yang diperoleh masyarakat pemilik hak ulayat dari kegiatan penebangan yang dilakukan pada hutan yang diklaim sebagai milik adat.
Pada skenario ini
penebangan dilakukan tidak mengikuti siklus tebang, tetapi dilakukan sesuai kebutuhan dengan frekuensi yang tinggi dan intensitas penebangan 40% serta tidak terdapat satupun pertimbangan manajemen seperti jangka waktu antar penebangan (siklus tebang) dan limit diameter. Perburuan kayu memanfaatkan areal-areal yang merupakan hak milik komunal dan kebanyakan tumpang tindih dengan wilayah konsesi, sehingga terjadi pemanfaatan bersama terhadap sumberdaya kayu. Fakta ini mencirikan hutan sebagai common pool resources yang memiliki sifat substracability atau rivalness (Ostrom 1990). Sudah menjadi fenomena yang umum di Papua dimana sebagian besar hutan diklaim sebagai hutan adat (communal property). Jika property rigth tidak diberlakukan, dalam arti tidak adanya aturan tentang siapa yang dapat memanfaatkan sumberdaya dan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan maka, hutan berada dalam situasi rejim open access. Praktek perburuan kayu masyarakat dilakukan dalam dua bentuk yaitu
82
menunggu tegakan tinggal dari aktivitas perusahaan dan menebang bersamaan dengan kegiatan IUPHHK. Beberapa penyebab dari aktivitas tersebut adalah desakan kebutuhan cash money (uang tunai), hak masyarakat hukum adat, pengangguran di pedesaan, serta perilaku hidup konsumtif. Proyeksi penebangan per hektar pohon kelompok diterocarpaceae tanpa pengaturan hasil ini selama 70 tahun dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23
Proyeksi penebangan setiap pohon masak tebang skenario perburuan kayu
Penebangan pohon diameter 40 cm ke atas dilakukan dengan frekuensi yang lebih tinggi dan dengan intensitas yang lebih rendah (1-3 pohon per ha) dibandingkan dengan sistem TPTI. Tingginya frekuensi penebangan ini mengakibatkan tegakan tinggal mengalami kolaps, kemudian bertumbuh lagi dan menjadi stabil. Dengan demikian jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan penebangan ulang di lokasi yang sama semakin panjang. Secara ekonomi penerimaan mayarakat dari kegiatan perburuan kayu pada tahun-tahun awal menunjukan nilai penerimaan yang besar. Penerimaan tersebut didistribusikan kepada pemilik kayu sebesar 20% dan 80% untuk pemilik faktor produksi (penebang). Walaupun kondisi tegakan masih menghasilkan pohon-pohon berukuran 40 cm ke atas (pohon inti) namun dalam jangka panjang akan terus menurun sehingga menyisahkan tegakan yang sangat sedikit (1%) dari kondisi tegakan
83
yang ada pada awal pengukuran. Hal ini memberi gambaran bahwa telah terjadi o v e re k s p l o i t a s ik a r e n a” do u b l eAAC” .Ti n g g i ny aj u ml a hp o h o nd a nv o l u mep a d a tahun-tahun awal disebabkan oleh sisa tegakan yang tidak dipanen (pohon inti) pada kegiatan penebangan sebelumnya. Namun setelah penebangan dilakukan terhadap pohon-pohon inti, maka jumlah pohon dalam tegakan semakin berkurang, sehingga tidak layak untuk dilakukan penebangan pada siklus berikutnya. Kegiatan perburuan kayu oleh masyarakat dilakukan dengan cara : masyarakat menunjukan beberapa jenis kayu pada wilayah yang diklaim sebagai milik ulayat untuk ditebang oleh pemilik faktor produksi (modal, dan alat) dan setelah kayu-kayu tersebut dijual hasilnya dibagi, dimana pemilik kayu mendapat 20% dan pemilik faktor produksi (penebang kayu) mendapat 80%. Dengan harga kayu olahan di Kabupaten Sarmi yang berkisar antara Rp 1.300.000 –Rp 1.500 000 per meter kubik dengan total biaya pengolahan dan penjualan sebesar Rp 337.500 para penebang kayu (pemburu kayu) memiliki profit yang sangat besar. Demikian halnya dengan pemilik kayu, untuk jangka waktu yang relatif singkat pemilik kayu mendapat keuntungan yang cukup besar, namun kondisi tersebut tidak bertahan lama karena sumberdaya kayu telah mengalami pengurangan dalam jumlah yang besar dan bahkan melebihi batas resiliensi (Gambar 24). Penerimaan penebang kayu dan pemilik kayu mengalami penurunan secara drastis karena kegiatan penebangan yang dilakukan secara intensif dalam rentang waktu yang terlalu dekat. Akibatnya penerimaan masyarakat pemilik kayu menjadi berkurang dan tidak menutup kemungkinan suatu saat akan habis. Sementara penebang kayu, walaupun penerimaannya makin berkurang, tetapi dapat memanfaatkan sumberdaya kayu di tempat lain (rent seeking) karena menguasai faktor-faktor produksi.
84
Gambar 24
Keadaan Penerimaan masyarakat pemilik hak ulayat dan penebang kayu pada siklus tebang 35 tahun
Skenario 4 : Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD) Sub model REDD merupakan sub model yang dikembangkan dalam rangka komparasi terhadap skenario siklus tebang dan pelaksanaannya dikerjakan oleh masyarakat adat, sehingga skema pembayarannya diterima oleh masyarakat dan pemerintah. Simulasi dilakukan dengan penebangan sebesar 20%, sedangkan sisanya 80% dicadangkan sebagai penyerap karbon. Dengan kebijakan pemerintah Papua yang menyediakan 15% kawasan hutan untuk penyerapan karbon, diharapkan bahwa upaya tersebut dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap perbaikan tingkat pendapatan karena mekanisme perdagangan karbon yang sedang dicanangkan. Proyeksi penerimaan REDD apabila hutan dibiarkan tanpa penebangan untuk masing-masing siklus dengan intensitas 20% dilihat pada Gambar 25.
85
Gambar 25 Proyeksi penerimaan REDD Proyeksi penerimaan REDD didistribusikan 30% kepada pemerintah pusat untuk kegiatan pemberdayaan dan 70% sebagai tambahan pendapatan masyarakat sebagai pemilik hak ulayat (Tabel 16). Tabel 16 Proyeksi distribusi manfaat REDD bagi masyarakat dan pemerintah Distribusi Masyarakat* Pemerintah* (Rp/ton C) (Rp/ton C) 30 1.963.300 1.374.310 588.990 35 1.684.622 1.179.235 505.386 40 1.475.042 1.032.529 442.513 Keterangan : * Masyarakat 70% dan Pemerintah 30% Siklus tebang
NPV REDD (Rp/ton C)
Komparasi Skenario Setiap skenario memberikan hasil yang berbeda terhadap besarnya penerimaan masyarakat adat dan pemerintah daerah pada areal IUPHHK PT. BBU
baik dari sisi NPV perusahaan, penerimaan masyarakat adat maupun
penerimaan pemerintah. Skenario siklus tebang 30 tahun memberikan NPV tertinggi (Tabel 17). Hal ini menunjukan bahwa skenario siklus tebang masih merupakan pilihan yang terbaik dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk saat ini. Skenario yang menghasilkan NPV terkecil adalah usaha penjualan karbon melalui mekanisme pengurangan degradasi hutan. Rendahnya penerimaan yang diperoleh malalui skenario REDD ini disebabkan biaya yang dikeluarkan untuk usaha lebih tinggi bila dibandingkan dengan penerimaan dari penjualan jasa pengurangan emisi karbon. Harga karbon yang layak untuk diusahakan dalam penelitian adalah US$2,5 bila harga kurang, maka NPV yang dihasilkan akan bernilai negatif dan B/C ratio akan kurang dari 1, sehingga tidak feasible.
86
Tabel 17 Komparasi Skenario
Skenario
Siklus tebang
Perburuan kayu REDD (Rp/ton C)
Penerimaan masyarakat adat (Rp/tahun)
Penerimaan Pemerintah Daerah (Rp/thn)**
Jangka tebang (thn)
NPV Perusahaan (Rp/thn)
30
24.134.496.804
603.576.024
2.745.811.110
35
11.347.083.396
504.747.118
2.296.209.476
40
5.030.150.301
434.359.863
1.976.001.837
30
-
142.372.886
-
35
-
83.378.424
-
40
-
51.588.040
-
30
120.742.950 103.604.130
84.520.065
35
72.522.891
36.222.885 31.081.239
40
90.715165 63.500.615 27.214.549 Keterangan : *Asumsi Masyarakat adat 70% pemerintah 30% dari NPV; **tanpa diskon faktor
Kontribusi terhadap ekonomi daerah Kontribusi terhadap pendapatan daerah mengacu pada besarnya setoran kepada pemerintah dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk pemerintah daerah serta tambahan pendapatan bagi masyarakat adat. Kontribusi dikomparasi berdasarkan data aktual dan hasil simulasi terhadap dana bagi hasil sumberdaya alam. Hasil simulasi merupakan nilai penerimaan yang berasal dari dana bagi hasil 32% yang menjadi hak bagi daerah penghasil. Kontribusi yang diberikan berdasarkan skenario siklus tebang sangatlah kecil hanya 0,56% terhadap penerimaan pemerintah daerah (Tabel 18). Penerimaan tersebut berasal dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), serta pajak-pajak. Kontribusi tersebut berpeluang untuk terus meningkat karena belum termasuk sub-sektor industri pengolahan hasil hutan primer yang nantinya harus dibuka oleh setiap pemegang IUPHHK di Papua, hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah Papua yang melarang penjualan log ke luar Papua dan mewajibkan setiap HPH/IUPHHK untuk membangun industri primer.
87
Tabel 18 Kontribusi penerimaan sektor kehutanan dari PT.BBU terhadap Ratarata Penerimaan Daerah Kabupaten Sarmi berdasarkan skenario siklus tebang
Tahun
Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarmi Penerimaan Penerimaan Sektor Kontribusi terhadap daerah (Aktual) Kehutanan dari PT.BBU Rata-rata PAD (%) (Rp/tahun) (Simulasi) (Rp/tahun) 354.876.971.000 2.745.811.110 (1) 0,66 363.489.990.000 2.296.209.476 (2) 0,55 528.804.000.000 1.976.001.837(3) 0,48
2005 2006 2007 Rata415.723.653.667 2.339.343.560 0,56 rata Keterangan : (1)= penerimaan pada siklus tebang 30 tahun, (2) siklus 35, (3) siklus 40
Tabel 19 Kontribusi penerimaan sektor kehutanan dari PT.BBU terhadap Ratarata Penerimaan Daerah Kabupaten Sarmi berdasarkan skenario REDD
Tahun 2005 2006 2007 Ratarata
Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarmi Penerimaan Penerimaan REDD Kontribusi terhadap daerah (Aktual) (Simulasi) (Rp/ton C) Rata-rata PAD (%) (Rp/tahun) 354.876.971.000 36.222.885 (1) 0.009 (2 363.489.990.000 31.081.239 ) 0.007 528.804.000.000 27.214.549 (3) 0.007 31.506.224 415.723.653.667 0.008
Keterangan : (1)= penerimaan pada siklus tebang 30 tahun, (2) siklus 35, (3) siklus 40
Disisi lain apabila pemerintah dan masyarakat terlibat dalam skema perdagangan karbon melalui REDD, maka kontribusi yang dapat diberikan terhadap rata-rata penerimaan daerah hanya sebesar 0.008% terhadap penerimaan daerah Kabupaten Sarmi (Tabel 19). Walaupun kontribusi yang diberikan relatif kecil namun skema yang ditawarkan perlu menjadi pertimbangan. Kontribusi pengaturan hasil tidak hanya mengakomodir kepentingan penerimaan pemerintah, tetapi penerimaan masyarakat adat juga disimulasikan dalam penelitian ini. Hasil simulasi menunjukan adanya peningkatan jumlah penerimaan kompensasi pada setiap siklus tebang dengan kontribusi rata-rata sebesar 47,91% (Tabel 20).
88
Tabel 20 Kontribusi penerimaan kompensasi masyarakat adat berdasarkan hasil simulasi dan aktual Penerimaan Kompensasi Masyarakat
Tahun
2008
Penerimaan kompensasi Masyarakat * (Simulasi) (Rp/thn) 8.129.890.723 (1)
Penerimaan dari PT. BBU (Aktual) (Rp/thn)
1.900.000.000**
4.227.616.792
(2)
2.159.944.992
(3)
Rata-rata Kontribusi (%) 76,63 55,06 12,03
Rata1.900.000.000 47,91 rata Keterangan : *Diskon faktor 9%, (1)= penerimaan pada siklus tebang 30 tahun, (2) siklus 35, (3) siklus 40, ** Pembayaran kompensasi pada Masyarakat Distrik Pantai Barat tahun 2008 Walaupun jumlah kompensasi yang diterima terlihat cukup besar, namun nilai tersebut relatif kecil apabila didistribusikan kepada penduduk/ kepala keluarga yang berada pada wilayah tersebut yakni Rp 617.848/ KK/tahun atau Rp 51.457/kk/bulan. Implikasi Kebijakan dari Simulasi Pilihan siklus tebang berkaitan erat dengan kontribusi terhadap tambahan penerimaan masyarakat adat dari kompensasi hak ulayat dan penerimaan pemerintah. Walaupun masyarakat dan pemerintah memperoleh nilai tambah akibat aktivitas pemanfaatan kayu, namun bagi perusahan hal tersebut merupakan biaya sehingga mempengaruhi kinerja finansial perusahaan. Hal ini
dapat
dijadikan instrumen ekonomi
sehingga HPH akan lebih termotivasi untuk
mengelola hutan yang berada
dalam wilayah konsesi secara profesional dan
efisien dengan tetap berpegang pada aspek kelestarian produksi, ekonomi dan lingkungan. Kontribusi yang diberikan metode pengaturan hasil terhadap ekonomi daerah bila dilihat dari penerimaan sektor kehutanan yang disumbangkan PT. BBU relatif masih kecil, namun peluang peningkatannya masih tinggi karena masih terdapat sumber-sumber penerimaan lain di sektor kehutanan yang belum teridentifikasi dalam penelitian ini.
89
Simulasi juga menghasilkan alternatif skenario perburuan kayu yang dilakukan masyarakat pemilik hak ulayat dan penebang kayu yang berimplikasi terhadap kelestarian ekosistem hutan. Keuntungan yang diterima pemilik kayu tinggi tetapi sumberdaya hutan menjadi tidak lestari. Pada siklus tebang berikutnya, HPH tidak akan melakukan penebangan di areal yang sama karena t e l a ht e r j a d i “ d o u b l e AAC” ,h a li n ib e r d a mp a kp a d ak e b e r l a n j u t a nu s a h a HPH/IUPHHK.
Keadaan ini dapat dijadikan pertimbangan pemerintah untuk
melakukan pengelolaan dengan melibatkan masyarakat adat misalnya dengan community logging atau REDD. Paradigma baru pengelolaan hutan Papua telah menetapkan REDD sebagai bentuk pengelolaan hutan yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah melalui peningkatan penerimaan masyarakat adat dan pemerintah daerah. Simulasi menunjukan bahwa mekanisme REDD mampu memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat,nilai tambah akan diperoleh apabila REDD ini dikombinasikan dengan kegiatan tebang konvensional yang ramah lingkungan. Secara keseluruhan dari simulasi yang dibangun hak-hak masyarakat adat terhadap kompensasi dari sumberdaya hutan dapat diakomodir, walaupun masih relatif kecil dari nilai yang seharusnya diterima.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Struktur tegakan hutan bekas tebangan pada wilayah konsesi masih memungkinkan untuk pengelolaan pada siklus tebang berikutnya 2. Siklus tebang berkorelasi negatif dengan jumlah penerimaan pemerintah dan masyarakat 3. Secara ekonomi skenario siklus tebang 30, 35 dan 40 tahun memberikan hasil yang layak secara ekonomi bagi pengelola hutan 4. Skenario pengaturan hasil yang terbaik adalah siklus tebang 30 tahun dengan kontribusi terhadap rata-rata penerimaan pemerintah daerah sebesar 0,56% dan untuk kompensasi masyarakat adat sebesar 47,91%. Hasil ini sangat sensitif terhadap ingrowth, upgrowth, dan mortalitas tegakan hutan sehingga tidak dapat digeneralisir untuk lokasi hutan yang lain 5. Skenario perburuan kayu secara ekonomi memberikan tambahan penghasilan yang tinggi, namun berimplikasi pada kerusakan hutan. 6. Skenario usaha karbon memberikan hasil penerimaan yang relatif lebih kecil bagi
masyarakat
dibandingkan
dengan
kegiatan
pengelolaan
secara
pemerintah
perlu
konvensional. Saran Untuk
menghindari
kegiatan
perburuan
kayu
mempertimbangkan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat. Penelitian ini memunculkan hal-hal yang disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan seperti analisis kelembagaan pengusahaan hutan masyarakat adat, pengaruh siklus tebang terhadap aspek ekologi, distribusi manfaat dari kompensasi yang diterima serta pengaruh beban pungutan terhadap pengaturan hasil yang dilakukan perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous 1997. Penelitian Struktur Tegakan hutan Alam Produksi Irian Jaya Psauat Litbang hutan dan Konservasi Alam, Bogor (Tidak diterbitkan). ……………. . . 2 001 .Di n a mi k as t r ukt urt e g a k a nh ut a na l a m pr oduks i:s t u d ika s us HPH PT. Somalindo Lestari Jaya II Kabupaten Jayapura, Papua. Alder D. 1995. Growth Modelling for Mixed Tropical Forest. Oxford Forestry Institute, Departement of Plant Science, University of Oxford. Tropical Forestry Paper No 30, 231 p. Angelsen A. 2008. Moving a head with REDD: issues, options, and implications. Cifor, Bogor. Appanah, SG, Bosel WH, Krieger H. 1990. Are Tropical rain forest non renewable? An enquire through modelling. Journal of Tropical Forest Science 2 (4) : 331-348 Aswandi. 2000. Skenario Pengaturan Hasil pada Unit Manajemen Hutan Skala Kecil. [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Astana S, Djaenudin D, Muttaqin MZ. 2003. Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Daerah. Jurnal Sosial Ekonomi Vol 4. No.1 pp 1-26. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan pengembangan Sosial Budaya dan ekonomi kehutanan. Bogor. Bakrie B. 2000. Penyusunan Model Simulasi Dalam Penetapan Nilai Tegakan Hutan Alam Produksi (Studi Kasus PT. Inhutani II. Sub Unit Malinau, Kalimantan Timur). [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests : a Primerr. Rome, Italy : FAO Forestry Paper 17 : 8-18 Bruenig EF. 1996. Conservation and Management of Tropical Rainforest : An Integrated Approach to Sustainability. Cab International, Wallingford. 339 p. Buongiorno J, Miche BR. 1980. A Matrix Model for uneven-age forest managament For.Sci.26 :609-625 Buongiorno J, Gilles JK. 1987. Forest Managament and Economics. Mc Millan Publishing Company. New York. Buongiorno J, Houller PF, Bruciamacchie M. 1995. Growth and management mixed species, uneve-aged forest in the French Jura : implication for economic return and tree diversity. Forest Science 40 (1) ; 83-103. Buongiorno J, Gilles JK. 2003. Decision Methods for Forest Resource Management. Academic Press An imprint of Elsevier Scince. Amseterdam.
92
Badan Planologi Kehutanan, 2004. Statistik Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Carey EV, Brown S dan Gillepsie AJR 1987. Tree mortality in mature lowland tropical moist and tropical lower montane moist forest of Venezuela. Biotropica 26 (3) : 255 - 265 Costanza R, Low BS, Ostrom E, Wilson J. 2001. Institusions, Ecosystems, and Sustaibility. Lewis Publishers. New York. Clark DB, Clark DA. 1996. Abundance, growth and mortality of very large trees in neotropical lowland rain forest. Forest ecology and Management. 80 : 235-244. Davis LS, Johnson KN. 1987. Forest Management. Third edition. McGraw-Hill Book Company, Inc.,New York. Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Managament: To Sustainable Ecological, Economic, and Social Values. Fourth Edition. McGraw-Hill Book Company, Inc, New York. Darusman D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Lab Politik dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. de Kock RB. 1995. The Minimal growth model. Paper presented in the workshop for the growth and yield data clearing house, held by Balai Penelitian Kehutanan Samarinda and the tropical forest management project of the overseas development administration of the United Kingdom. Kalimantan 16 November 1995 Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen.IPB Press. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1998. Guidelines for the management of Tropical Forests, 1. The Production of Wood. FAO Forestry Paper 135239 p. Favrichon V, Kim YC. 1998. Modeling the dynamics of lowland mixed dipterocarp forest stand : application of a density-dependent matrix model. In : Bertault, J.G. and Kadir (Editors). Silvicultural research in an lowland mixed dipterocarpacea forest of East Kalimantan, The Contributions of STREK project CIRAD-foret, FORDA, and PT.INHUTANI I, CIRAD –foret publication : 229-245. Gray
C, Simanjuntak P, Sabur LL, Maspaitela PEL, Varley RCG. 1997. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi II. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Grant EK, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology And Natural Resource Managament : System Analisis and Simulation. John Wiley & Sons.INC. New York/Chichester/Weinheim/Brisbane/Singapore/Toronto.
93
Gittinger JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi kedua, telaah direvisi dan diperluas lengkap. UI-Press- Johns Hopkins. Jakarta. GOLFC-OLD 2008. Reducing greenhouse gas emissions from deforestation and degradation in developing countries : a sourcebook of methods and procedures for monitoring, measuring and reporting, GOFC-GOLD Report version COP13-2. OFC-GOLD Project office Natural Resources Canada, Alberta, Canada. Hannon B, Ruth M. 1997. Modeling Dynamic Economic Systems. SpringerVerlag, New York. Harrison SR, Herbohn JL, Herbohn KF. 2000. Sustastainable Small Scale Forestry : Socio-Economic Analisys And Policy. Massachusets, USA : Edward Elgar Publishing, Inc. Hartley MJ. 2002. Rationale and methods for conservation biodiversity in plantation forests. Forest Ecology and Management 115: 81-95 High Performance System Inc,1996. An Introduction to System Thinking Stella. High Performance System Inc. Hanover. Helms JA (Editor). 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of American Forester and CABI Publishing, Walingford.210 p. Hof JK, Kent BM.1990. Nonlinear Programming approaches to multistand timber harvest scheduling. Forest Science 36 (4) : 894 -907. HPH PT. Bina Balantak Utama 2001. Laporan Karya Tahunan (RKT) 2000/2001. PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Ingram, CD, Buongiorno J. 1996. Income and diversity tradeoffs from management of mixed lowland Dipterocarps ini Malaysia. Journal of Tropical Forest Science 9 (2) : 242-270. [ITTO] International Tropical Timber Organization 1998. Criteria and indicator for Sustainable Management of Natural Tropical Forest. ITTO Policy Development Series No.7. Yokohama. IPCC 2003. Defenitions and methodological options to inventory emission from direct human-induced degradation of forests and devegetation of other vegetation types. In : Penman et al IPCC-IGES Kanagawa. ………. 200 6. 200 6I PCC Gui d e l i ne sf orNa t i ona lGr e e nhous eGa sI n v e nt or i e s Agriculture, Forestry and Others Land Use. Vol 4. PICC –IGES
Jakeman AJ, Letcher RA, Northon JP. 2006. Tens Iterative Steps in Development and Evaluation of Environmental Models. Environmental Modelling & Software Journal. Kadariah L. 1986. Pengantar Evaluasi Proyek : Analisis Ekonomi. LPE-UI. Jakarta
94
Kartodihardjo H. 2006. Ekonomi dan institusi pengelolaan hutan : telaah lanjutan analisis kebijakan usaha kehutanan. Institute for Development Economics of Agriculture and Rural Areas (IDEALS). Bogor Kariuki M, et al. 2006. Modelling Growth, Recruitments and Mortality To Describe and Simulate Dinamics of Subtropical Rainforest Following Different Levels of Disturbance. FBMIS Vol 1 : 22-47. http://www.fbmis.info/A/6_1_kariukiM_1 [ 5 November 2007] Kleine M, Hinrichs. 1999. DIPSIM-KALTIM. Dipterocarp Forest Growth Simulation Model : Concept and Guide to AAC Determination. SFMP Document No.3.37p. Klemperer WD. 1996. Forest Resourc Economic and Finance. McGraw Hill,Inc. New York. .Krisnawati H. 2001. Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dengan Pendekatan Dinamika Struktur Tegakan (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan) [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Lin CR, Buongiorno J, Vasievich M. 1996. A multy –species, density –dependent matrix growth model to predict tree diversity and income in northern hardwood stand. Ecological modelling 91 : 193 –211. Labetubun MS. 2004. Metode Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur Melalui Pendekatan Model Dinamika Sistem : Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan. [Tesis] Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Labetubun, MS, Suhendang E, Darusman D. 2005. Pengembalian Ekonomi dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi : suatu pendekatan dinamika sistem. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 9 (2) : 42-54 Leuschner WA. 1990. Forest Regulation Harvest Scheduling and Planning Techniques. John Wiley and Sons Inc. New York. Low B, Costanza R, Ostroom E, Wilson J, Simon CP. 1999. Analysis : Humanecosystem interactions : a dynamic integrated model. Ecological economics 31 : 227-242 Lu, HS, Buongiorno J. 1993. Long and short term effects of alternative cutting regimes on economics returns and ecological Diversity in selection forest. Forest Ecology and Managament. 58: 173 -172 McLeish MJ, Susanty FH. 2000. Yield Regulation Options for Labanan . A Financial and economic analysis of yield regulation optiosn for logged over forest at PT Inhutani I, Labanan Concession. http://www.symfor.org/technical/yield6.pdf Berau Forest Management Project, Tanjung Redeb, 45 p. McLeish MJ, Moran D, van Gardingen PR. 2002. Linking Growth and Yield Models with a Financial Model for Forest Concessions. www.symfor.org/technical/financial .pdf Berau Forest Management Project, Tanjung Redeb, 10 p. Mardiasmo. 2006. Perpajakan : Edisi revisi 2006. Andi Jogjakarta.
95
Marklund LG, dan Schoene D. 2006. Global assessment of growing stock, biomass and carbon stock. Forest Resources Assessment Programme Working paper 106/E, Rome Mendoza, GA.,Onal H, Soejipto. 2000. Optimizing tree diversity and economic returns from managed mixed forest in Kalimantan, Indonesia. Journal of Tropical Forest Science. 12 (2) : 298-319. Mengel, DL, Roise JP. 1990. A. Diameter-class matriz model for souteastern U.S. coastal palin bottomland hardwood stand. South.J. Appli For. 14 : 189195 Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Bartoo Managament. The Ronald Press Company, New York.
RA. 1961. Forest
Montagnini F dan Porras C. 1998. Evaluating the role of plantations as carbon sinks: An example of an integrative approach from the humid tropics. Environmental Management 22(3): 459-470. Muetzelfeldt R, Taylor J, Haggith M. 1997. Development of pFLORES, a Prototype FLORES Model. Proggress Report. www.pFlores.[ 10 November 2007] Muetzelfedt R, Massheder J. 2003. The Simile Visual Modelling Environment. Europan Journal of Agronomy 18 : 345-358. Mudiyarso et al. 2008. Measuring and Monitoring Forest Degradation for REDD. Implications of Country circumstances. Infobrief, No.16. CIFOR Ness B, Piirsalu EU, Anderberg S, Olsson L, 2007. Categorising Tools for Sustainability Assessment. The transdiciplinary journal of the international society for ecologycal economic 60 : 498-508. Oliver CD dan Larson BC 1990. Forest Stand Dynamics. McGraw Hill, Inc. New York 467 p Pudjo PW. 1999. Penetapan besarnya nilai satuan iuran hasil hutan. Di dalam : Nasution M. 1999. Impian dan Tantangan : Manusia Indonesia dalam mewujudkan hutan dan kebun yang lestari sebagai anugerah dan amanah Tuhan Yang Maha Esa. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI. Jakarta. Purnomo H. 2004. Teori Sistem Kompleks, Pemodelan dan Manajemen Sumberdaya Adaptif. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Purnomo H, Yasmin Y, Prabhu R, Hakim R, Jafar S, Suprihatin. 2003. Collaborative Modeling to support forest management : Qualitative Systems analysis at Lumut Mountain, Indonesia, Small- scale forest economics. Management and policy, 2 (2) : 277 -292. Pawitno 2003. Kontribusi Subsektor Kehutanan terhadap Pendapatan Daerah di Papua. [skripsi]. Manokwari : Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua Manokwari.
96
Rosmantika M. 1997. Studi Model Dinamika Struktur Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan di Stagen Pulau Laut Kalimantan Selantan.[Skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Rachman E. 2003. Pengelolaan Kayu Merbau di Hutan Alam: Kajian Potensi dan eksploitasi kayu merbau di hutan alam produksi. Dalam Prosiding Lokakarya Ekspose Hasil-Hal Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Tahun 2003. BPK Manokwari. pp : 110 -122. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2007. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Rusmantoro W. 2006. Hutan Sebagai Penyerap Karbon. http://www.pelangi.or.id/spektrum/?artid =19&vol=3 [ 20 November 2008] Suhendang E. 1985. Studi Model Struktur Tegakan Hutan Alam Tropika Dataran Rendah di Bangkunat, Propinsi DATI I Lampung. [Tesis] Bogor : Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. ………………. . ,1993. Alternatif metode pengaturan hasil pada areal bekas tebangan hutan tidak seumur. Makalah pada Seri Diskusi Ilmiah Kehutanan dalam rangka Dies Natalis IPB ke 30. Fakultas Kehutanan IPB. ………………. .1995. Penerapan model dinamika struktur tegakan alam yang mengalami penebangan dalam pengaturan hasil dengan metode jumlah pohon sebagai alternatif penyempurnaan sistem silvikultur TPTI. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Fakultas Kehutanan IPB. …………………. , 1 99 9 . Pembentukan Hutan Normal Tidak Seumur sebagai strategi Pembenahan Hutan Alam Produksi menuju Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia : sebuah Analisis Konsepsional dalam Ilmu Manajemen Hutan Orasi ilmiah Guru Besar Tetap dalam Ilmu Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.29 Mei 1999. …………………. ,20 0 2.Gr owt ha n dy i e l ds t u di e s:Th e i ri mpl i c a t i onf ot h e management of Indonesian tropical forest. In : Saharudin, M.I., T.S. Kiam, Y.Y. Hwai, D. workshop on Groth and Yield of Managed Tropical Forest. Forestry Departement Penninsular Malaysia. Kuala Lumpur, 25th –29th Junne 2002. Sianturi A. 1993. Sistem Penentuan Besarnya Pungutan Dari Hutan Alam. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 11 No. 7. Hal 249-255. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Soeryanegara I. 1995. Ecosystem approach in the management of forest, land and water resources. Di dalam : Suhendang, E, C. Kusmana, Istomo, L.Syaufina. EKologi, Ekologisme, dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan : Gagasan Pemikiran dan Karya Prof. Dr. Ishemet Soeryanegara, M.Sc. Susanty FH, Sarjono E. 2001. Simulasi Pertumbuhan dan Hasil Produksi dengan Model SYMFOR. http://www.symfor.org/technical/simgandy4.pdf. [ 29 Nov 2007]
97
Suparmoko M, Widyantra G, Setyarko Y, Ratnaningsih M, Nurrochmat D, Siswanto B, Editor. 2007. PDRB Berwawasan Lingkungan (Green PDRB). Jakarta : Pusat Perencana dan Statistik Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Depaertemen Kehutanan. Turland. 2007. An overview of North American Forest Modeling Approaches and Their Technology and Their Potential Application to Australia Native Forest Management. http //: wfi. Worldforestry.org. [ 4 Oktober 2007] Tim Fahutan IPB. 2003. Peninjauan Menyeluruh terhadap Pungutan Sektor Usaha Kehutanan. Di dalam : Rasionalisasi Sistem Pungutan pada Pengusahaan Hutan Alam di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional; Hotel Salak Bogor, 26 Juni 2003. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. hlm 3 -39. Vanclay JK. 1988. A. Stand Growth Model for Yield Regulation in North Quenensland Rainforest. IUFRO Forest Growth Modelling and Prediction Conference, Mineapolis, Agustus 23-27, 1987. ……………. . ,200 2 .Gr o wt hmode l i nga ndy i e l dpr e di c t i onf ors us t a i n a b l ef or e s t management. In : Saharudin, M.I., T.S. Kiam, Y.Y. Hwai, Othman, D. and Korsgaard. Proceedings of the Malaysia –ITTO International Workshop on Growth and Yield of Managed Tropical Forest. Forestry Departement Peninsular Malaysia. Kualalumpur, 25th –29th June 2002. ………………. . ,200 3 .TheOnemi nute Modeller : An introduction to Simile. Annals of Tropical Research 25 (1) : 31- 44 ………………. . ,20 0 3.Gr owt hMode l l i ng a ndYi e l dpr e di c t i onf ors us t a i na b l e forest management. The Malaysiana Forester 66 (1) 58 –69. van Gardingen P, Philips PD. 2000. Growth and Yield Modelling : Application of SYMFOR to Evaluate Silviclutural Systems. DfID FRP Training Document, November 2000. 68.p. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistik edisi ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Wibowo S. 2006. Rehabilitasi Hutan Pasca Operasi illegal Logging. Wana Aksara Tanggerang. Banten. Zobrist KW, Comnick JM, McCarter, JB. 2006. Economatic : A New Tool that Integrates Financial Analysis with Forest Management Simulations. West J. Appl.For.21 (3) : 132 -141.
98
Lampiran 1. Komposisi jenis pohon dalam tegakan di areal hutan primer No.
Nama Jenis
N/Ha( D >10 cm)
Persentase jenis terhadap Kelompok Jenis
Semua Jenis
Kelompok Jenis Dipterocarpaceae 1
Alstonia scholaris R.Br
6.00
5.86
1.24
2
Canarium
8.67
8.47
1.79
3
Homalium foetidum Bth
9.00
8.80
1.86
4
Intsia bijuga OK
41.67
40.72
8.63
5
Palaquium amboinense Burch
9.00
8.80
1.86
6
Pometia sp
16.33
15.96
3.38
7
Shorea spp Vatica papuana Dyer
4.00
3.91
0.83
7.49 100.00
1.59 21.19
8
Total Dipterocarpaceae
7.67 102.34 Kelompok Jenis Non Dipterocarpaceae
1
Adenanthera sp
4.33
1.77
0.90
2
Aglaia
5.33
2.18
1.10
3
5.00
2.05
1.04
4
Anthocephalus cadamba Miq Antyaris e
0.67
0.27
0.14
5
Arthocarpus spp
5.00
2.05
1.04
6
Baringthonia
2.33
0.95
0.48
7
Buchanania
3.33
1.36
0.69
8
Calophyllum spp
5.00
2.05
1.04
9
Campnosperma brevipetiolata Volk
2.33
0.95
0.48
10
Cananga odorata Hook f.et Th.
13.67
5.59
2.83
11
Celtis latifolia Planch. Disoxillum sp
8.00
3.27
1.66
17.00
6.96
3.52
12 13
Drancontomelum edule Merr Dyospiros
11.33
4.64
2.35
14
7.33
3.00
1.52
15
Evodia sp
11.33
4.64
2.35
16
Gmelina
9.67
3.96
2.00
17
Heritiera sp
3.00
1.23
0.62
18
Hymantondra sp
2.67
1.09
0.55
19
Inocarpus sp
4.67
1.91
0.97
20
Koordersiodendron pinnatum Merr.
5.00
2.05
1.04
21
10.67
4.37
2.21
22
Litsea spp Maniltoa grandiflora Scheff.
3.33
1.36
0.69
23
Octomeles sumatrana Miq
5.67
2.32
1.17
24
Paraserianthes spp
7.00
2.86
1.45
99
Lanjutan Lampiran 1 25
Parinarium sp
3.33
1.36
0.69
26
Penthapallangium
10.00
4.09
2.07
27
Pharantropes m
10.00
4.09
2.07
28
Pimeleodendron amboinicum Hassk. Podocarpus
3.67
1.50
0.76
29
5.33
2.18
1.10
30
Prainea sp
2.00
0.82
0.41
31
Pterocarpus indicus
6.00
2.46
1.24
32
12.67
5.18
2.62
33
Pterygota horsfieldii Kosterm. Quercus sp
4.67
1.91
0.97
34
Spondias dulcis Kurz.
1.33
0.55
0.28
35
4.00
1.64
0.83
36
Sterculia spp Toona sureni
4.67
1.91
0.97
37
Vitex
1.67
0.68
0.35
38
Xylocarpus
2.33
0.95
0.48
39
Zanthallum album
5.00 244.33
2.05 100.00
1.04 50.59
Total Non Dipterocarpaceae
Kelompok Jenis Non Komersil 1
Ailanthus
1.00
0.73
0.21
2
14.67
10.76
3.04
3
Bemuas Cerbera f
1.67
1.22
0.35
4
Cryptocaria sp
2.33
1.71
0.48
5
Drypetes spp
2.33
1.71
0.48
6
Endospermum molucanum Becc.
0.33
0.24
0.07
7
20.33
14.91
4.21
8
Eugenia spp Ficus spp.
9.67
7.09
2.00
9
Gnentum gnemon
9.00
6.60
1.86
10
Haplolobuss
11.67
8.56
2.42
11
Homonia javanensis
8.00
5.87
1.66
12
Labu Makaranga sp
3.67
2.69
0.76
5.33
3.91
1.10
1.00
0.73
0.21
15
Manggis Hutan Mangifera spp
2.00
1.47
0.41
16
Myristica spp
18.00
13.20
3.73
17
Pangium Paraitemon
0.67
0.49
0.14
1.33
0.98
0.28
8.33
6.11
1.73
20
Pericopsis mooniana Thw Semecarpus anacardium
6.00
4.40
1.24
21
Sloanea pullei A.C.Sm
1.86
13 14
18 19
9.00
6.60
Total Non Komersil
136.33
100.00
Total Semua Kelompok Jenis
483.00
28.23 100.00
100
Lampiran 2 : Komposisi jenis pohon dalam tegakan di areal bekas tebangan No
Nama Jenis
1
Alstonia scholaris R.Br
2
Homalium foetidum Benth.
3
Intsia bijuga OK.
4
Pometia spp
5
Palaquium amboinensis
Persen jenis terhadap Kelompok Jenis Semua Jenis
N/Ha (D > 10 cm) Kelompok Dipterocarpaceae 3,67
10,49
2,12
7
20,00
4,05
7,67
21,91
4,43
12,33
35,23
7,13
4,33
12,37
2,50
100.0
20,23
Total Dipterocarpaceae
35,00 Kelompok Jenis Non Dipterocarpaceae
1
Anthocepallus cadamba
1,00
1,2
0,58
2
Antyaris
0,33
0,39
0,19
3
Astronia
0,33
0,39
0,19
4
Baringtonia asiatica Kurzt.
8,00
9,64
4,62
5
Biscofia
3,33
4,01
1,92
6
Bokey
1,67
2,01
0,96
7
Callophyllum sp.
1,00
1,20
0,58
8
Cananga odorata
3,00
3.61
1,73
9
Celtis latifolia
6,67
8.04
3,86
10
Charatea
4,33
5.22
2,50
11
Diosphyros sp.
1,67
2.01
0,96
12
Disoxillum aliacvum BL.
0,33
0.40
0,19
13
Dracontomelum edule Merr.
2,00
2.41
1,16
14
Evodia sp.
1,33
1.60
0,77
15
Ganophilum falcatum Horsfieldia silvestris
1,33
1.60
0,77
16
0,33
0.40
0,19
17
Hymantondra sp.
1,00
1.20
0,58
18
Inanui
0,33
0.40
0,19
19
Inocarpus sp.
1,67
2.01
0,96
20
Litsea spp.
1,33
1.60
0,77
21
Maniltoa grandiflora Scheff.
2,67
3.22
1,54
22
Nauclea orientalis
2,00
2.41
1,16
23
Octomeles sumtrana Mig.
1,00
1.20
0,58
24
Paraserainthes falcataria L.Neilsen
4,33
5.22
2,50
25
Pimeliodendron amboinicum Hassk.
16,00
19.28
9,25
101
Lanjutan Lampiran 2. 26
Pterocarpus indicus
1.67
2.01
0,96
27
Pterygota horsfieldi
5,00
6.02
2,89
28
Rustaitensis
1,00
1.20
0,58
29
Stercullia sp
0,33
0.40
0,19
30
Stroanea sp.
0,68
0.82
0,39
31
Terminalia catapa L.
4,00
4.82
2,31
32
Toona sureni
2,00
2.41
1,16
33
Wofde
1,33
1.60
0,77
82.99 Kelompok Jenis Non Komersil
100
48,8
Total Non Dipterocarpaceae 1
Drypetes spp
19,00
34,54
10,98
2
Endospermum mollucanum Becc.
0,33
0,6
0,19
3
Eugenia sp
7,00
12,73
4,05
4
Ficus sp
4,67
8,49
2,70
5
Heritiera sp.
3,00
5,45
1,73
6
Homonia javanensis
8,33
15,14
4,81
7
Macaranga sp
3,67
6,67
2,12
8
Manggis hutan
2,33
4,24
1,35
9
Myristica spp.
6,67
12,12
3,85
10
Teisjmaniodendron sogoriense
6,00
10,91
3,47
55,00
100.0
30.99
Total Non Komersil Total Semua Kelompok Jenis
172,99
100.00
102
Lampiran 3. Model kuantitatif pengaturan hasil hutan tidak seumur A. Model Tegakan Dipterocarpaceae Phn_D15(t) = Phn_D15(t - dt) + (Ing_D15 - Upg_D15 - MortD15) * dt INIT Phn_D15 = 12.33 INFLOWS: Ing_D15 = Inrate_D15*Phn_D15 OUTFLOWS: Upg_D15 = Phn_D15*Uprate_D15 MortD15 = Phn_D15*Morate_D15+Phn_D15*Efek_tebang_1 Phn_D25(t) = Phn_D25(t - dt) + (Upg_D15 - Upg_D25 - Mort_D25) * dt INIT Phn_D25 = 8 INFLOWS: Upg_D15 = Phn_D15*Uprate_D15 OUTFLOWS: Upg_D25 = Phn_D25*uprate_D25 Mort_D25 = Phn_D25*morate_D25+Phn_D25*Efek_tebang_2 Phn_D35(t) = Phn_D35(t - dt) + (Upg_D25 - Upg_D35 - Mort_D35) * dt INIT Phn_D35 = 5 INFLOWS: Upg_D25 = Phn_D25*uprate_D25 OUTFLOWS: Upg_D35 = Phn_D35*Uprate_D35 Mort_D35 = Phn_D35*Morate_D35+Phn_D35*Efek_tebang_3 Phn_D45(t) = Phn_D45(t - dt) + (Upg_D35 - Upg_D45 - Mort_D45 - Teb_D45) * dt INIT Phn_D45 = 1.67 INFLOWS: Upg_D35 = Phn_D35*Uprate_D35 OUTFLOWS: Upg_D45 = Phn_D45*Uprate_D45 Mort_D45 = Phn_D45*Morate_D45+Phn_D45*Efek_tebang_4 Teb_D45 = IF(Tahun=Siklus_teb)THEN(Phn_D45*Pers_teb_D45*0.8)ELSE(0) Phn_D55(t) = Phn_D55(t - dt) + (Upg_D45 - Upg_D55 - Mort_D55 - Teb_D55) * dt INIT Phn_D55 = 1 INFLOWS: Upg_D45 = Phn_D45*Uprate_D45 OUTFLOWS: Upg_D55 = Phn_D55*Up_rate_D55 Mort_D55 = Phn_D55*morate_D55+Phn_D55*Efek_tebang_5 Teb_D55 = IF(Tahun=Siklus_teb)THEN(Phn_D55*Per_teb_D55*0.8)ELSE(0) Phn_D65(t) = Phn_D65(t - dt) + (Upg_D55 - Teb_D65 - Mort_D65) * dt
103
INIT Phn_D65 = 2 INFLOWS: Upg_D55 = Phn_D55*Up_rate_D55 OUTFLOWS: Teb_D65 = IF(Tahun=Siklus_teb)THEN(Phn_D65*pers_teb_D65*0.8)ELSE(0) Mort_D65 = Phn_D65*Morate_D65+Phn_D65*Efek_tebang_6 Tahun(t) = Tahun(t - dt) + (In - Out) * dt INIT Tahun = 0 INFLOWS: In = IF(TIME<Start)THEN(0)ELSE(1) OUTFLOWS: Out = IF(Tahun=Siklus_teb)THEN(Tahun)ELSE(0) BA_D15 = Phn_D15*(3.14*15^2)/40000 BA_D25 = Phn_D25*(3.14*25^2)/40000 BA_D35 = Phn_D35*(3.14*35^2)/40000 BA_D45 = Phn_D45*(3.14*45^2)/40000 BA_D55 = Phn_D55*(3.14*55^2)/40000 BA_D65 = Phn_D65*(3.14*65^2)/40000 BA__D = BA_D15+BA_D25+BA_D35+BA_D45+BA_D55+BA_D65 Masak_tebDip = Phn_D55+Phn_D65 N_D = Phn_D15+Phn_D25+Phn_D35++Phn_D45+Phn_D55+Phn_D65 Pers_teb_D45 = 0.8 pers_teb_D65 = .80 Per_teb_D55 = .80 PhnInti_D = Phn_D25+Phn_D35+Phn_D45 Siklus_teb = 1 Start = 0 Tot_Vol_Dip = VD15+V__Masak_teb_Dip+V_Phn_Inti_Dip VD15 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.145)^2)*Phn_D15) VD25 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.245)^2)*Phn_D25) VD35 = (0.8*0.75*3.14*0.25*25*((0.345)^2)*Phn_D35) VD45 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.445)^2)*Phn_D45) VD55 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.545^2)*Phn_D55)) VD65 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.645)^2)*(Phn_D65)) V_Phn_Inti_Dip = VD25+VD35+VD45 V__Masak_teb_Dip = VD55+VD65 Inrate_D15 = GRAPH(BA_D15) (0.00, 0.143), (1.24, 0.122), (2.48, 0.0986), (3.72, 0.0763), (4.96, 0.0583), (6.21, 0.0425), (7.45, 0.0259), (8.69, 0.0144), (9.93, 0.00864), (11.2, 0.00432), (12.4, 0.00) Morate_D15 = GRAPH(BA_D15) (0.00, 0.00), (1.24, 0.000609), (2.48, 0.00119), (3.72, 0.00177), (4.96, 0.00235), (6.21, 0.00293), (7.45, 0.00351), (8.69, 0.00409), (9.93, 0.00467), (11.2, 0.00525), (12.4, 0.0058) morate_D25 = GRAPH(BA_D25) (0.00, 0.00), (1.24, 0.00676), (2.48, 0.0121), (3.72, 0.0165), (4.96, 0.0254), (6.21,
104
0.0289), (7.45, 0.0357), (8.69, 0.0404), (9.93, 0.0487), (11.2, 0.0522), (12.4, 0.0587) Morate_D35 = GRAPH(BA_D35) (0.00, 0.00), (1.24, 0.0633), (2.48, 0.114), (3.72, 0.175), (4.96, 0.223), (6.21, 0.304), (7.45, 0.343), (8.69, 0.425), (9.93, 0.488), (11.2, 0.545), (12.4, 0.603) Morate_D45 = GRAPH(BA_D45) (0.00, 0.00), (1.24, 0.0179), (2.48, 0.0375), (3.72, 0.0536), (4.96, 0.0723), (6.21, 0.0911), (7.45, 0.107), (8.69, 0.125), (9.93, 0.143), (11.2, 0.163), (12.4, 0.179) morate_D55 = GRAPH(BA_D55) (0.00, 0.00), (1.24, 0.017), (2.48, 0.0339), (3.72, 0.0525), (4.96, 0.0686), (6.21, 0.0873), (7.45, 0.103), (8.69, 0.12), (9.93, 0.136), (11.2, 0.153), (12.4, 0.169) Morate_D65 = GRAPH(BA_D65) (0.00, 0.00), (1.24, 0.00893), (2.48, 0.0179), (3.72, 0.0277), (4.96, 0.0348), (6.21, 0.046), (7.45, 0.0554), (8.69, 0.0621), (9.93, 0.0719), (11.2, 0.0804), (12.4, 0.0884) Uprate_D15 = GRAPH(BA_D15) (0.00, 0.0694), (1.24, 0.0582), (2.48, 0.0477), (3.72, 0.0382), (4.96, 0.0298), (6.21, 0.0214), (7.45, 0.0151), (8.69, 0.0105), (9.93, 0.00666), (11.2, 0.0035), (12.4, 0.00) uprate_D25 = GRAPH(BA_D25) (0.00, 0.0655), (1.24, 0.048), (2.48, 0.0396), (3.72, 0.0329), (4.96, 0.0256), (6.21, 0.0182), (7.45, 0.0119), (8.69, 0.00596), (9.93, 0.00245), (11.2, 0.00), (12.4, 0.00) Uprate_D35 = GRAPH(BA_D35) (0.00, 0.0825), (1.24, 0.0639), (2.48, 0.0551), (3.72, 0.0406), (4.96, 0.0309), (6.21, 0.0207), (7.45, 0.0128), (8.69, 0.00838), (9.93, 0.00265), (11.2, 0.00176), (12.4, 0.00) Uprate_D45 = GRAPH(BA_D45) (0.00, 0.0843), (1.24, 0.0722), (2.48, 0.0592), (3.72, 0.0489), (4.96, 0.0382), (6.21, 0.0303), (7.45, 0.02), (8.69, 0.013), (9.93, 0.00792), (11.2, 0.0014), (12.4, 0.00) Up_rate_D55 = GRAPH(BA_D55) (0.00, 0.069), (1.24, 0.0542), (2.48, 0.0433), (3.72, 0.0334), (4.96, 0.0232), (6.21, 0.0162), (7.45, 0.0102), (8.69, 0.00634), (9.93, 0.00352), (11.2, 0.00), (12.4, 0.00) Biomassa1 = (42.69-(12.8*(DiameterD15)+1.24*(DiameterD15)^2)) Biomassa2 = (42.69-(12.8*(DiameterD25)+1.24*(DiameterD25)^2)) Biomassa3 = (42.69-(12.8*(DiameterD35)+1.24*(DiameterD35)^2)) Biomassa4 = (42.69-(12.8*(DiameterD45)+1.24*(DiameterD45)^2)) Biomassa5 = (42.69-(12.8*(DiameterD55)+1.24*(DiameterD55)^2)) Biomassa6 = (42.69-(12.8*(DiameterD65)+1.24*(DiameterD65)^2)) CD_1 = (Biomassa1*Phn_D15/1000)*0.5 CD_2 = (Biomassa2*Phn_D25/1000)*0.5 CD_3 = (Biomassa3*Phn_D35/1000)*0.5 CD_4 = (Biomassa4*Phn_D45/1000)*0.5 CD_5 = (Biomassa5*Phn_C55/1000)*0.5 CD_6 = (Biomassa6*Phn_C65/1000)*0.5 C_total_Dip = (CD_1+CD_2+CD_3+CD_4+CD_5+CD_6) DiameterD15 = 0.145 DiameterD25 = 0.245
105
DiameterD35 = 0.345 DiameterD45 = 0.445 DiameterD55 = 0.545 DiameterD65 = 0.645 B. Model Tegakan NonDipterocarpaceae Phn_ND15(t) = Phn_ND15(t - dt) + (Ing_ND15 - Upg_ND15 - MortND15) * dt INIT Phn_ND15 = 28 INFLOWS: Ing_ND15 = Inrate_ND15*Phn_ND15 OUTFLOWS: Upg_ND15 = Phn_ND15*Uprate_ND15 MortND15 = Phn_ND15*Efek_tebang_1+Phn_ND15*Morate_ND15 Phn_ND25(t) = Phn_ND25(t - dt) + (Upg_ND15 - Upg_ND25 - Mort_ND25) * dt INIT Phn_ND25 = 19.67 INFLOWS: Upg_ND15 = Phn_ND15*Uprate_ND15 OUTFLOWS: Upg_ND25 = Phn_ND25*uprate_ND25 Mort_ND25 = Phn_ND25*Efek_tebang_2+Phn_ND25*morate_ND25 Phn_ND35(t) = Phn_ND35(t - dt) + (Upg_ND25 - Upg_ND35 - Mort_ND35) * dt INIT Phn_ND35 = 7.67 INFLOWS: Upg_ND25 = Phn_ND25*uprate_ND25 OUTFLOWS: Upg_ND35 = Phn_ND35*UprateND35 Mort_ND35 = Phn_ND35*Efek_tebang_3+Phn_ND35*Morate_ND35 Phn_ND45(t) = Phn_ND45(t - dt) + (Upg_ND35 - Upg_ND45 - Mort_ND45 Teb_ND45) * dt INIT Phn_ND45 = 4 INFLOWS: Upg_ND35 = Phn_ND35*UprateND35 OUTFLOWS: Upg_ND45 = Phn_ND45*Uprate_ND45 Mort_ND45 = Phn_ND45*(Efek_tebang_4+Morate_ND45) Teb_ND45 = IF(Tahun_2=Siklus_teb_2)THEN(Phn_ND45*Pers_teb_ND45)ELSE(0) Phn_ND55(t) = Phn_ND55(t - dt) + (Upg_ND45 - Upg_ND55 - Mort_ND55 Teb_ND55) * dt INIT Phn_ND55 = 2 INFLOWS: Upg_ND45 = Phn_ND45*Uprate_ND45 OUTFLOWS:
106
Upg_ND55 = Phn_ND55*Up_rate_ND55 Mort_ND55 = Phn_ND55*Efek_tebang_5+Phn_ND55*morate_ND55 Teb_ND55 = IF(Tahun_2=Siklus_teb_2)THEN(Phn_ND55*Per_teb_ND55*0.8)ELSE(0) Phn_ND65(t) = Phn_ND65(t - dt) + (Upg_ND55 - Teb_ND65 - Mort_ND65) * dt INIT Phn_ND65 = 4 INFLOWS: Upg_ND55 = Phn_ND55*Up_rate_ND55 OUTFLOWS: Teb_ND65 = IF(Tahun_2=Siklus_teb_2)THEN(Phn_ND65*pers_teb_ND65*0.8)ELSE(0) Mort_ND65 = Phn_ND65*Efek_tebang_6+Phn_ND65*Morate_ND65 Tahun_2(t) = Tahun_2(t - dt) + (In_2 - Out_2) * dt INIT Tahun_2 = 0 INFLOWS: In_2 = IF(TIME<Start)THEN(0)ELSE(1) OUTFLOWS: Out_2 = IF(Tahun_2=Siklus_teb_2)THEN(Tahun_2)ELSE(0) BA_ND15 = Phn_ND15*(3.14*15^2)/40000 BA_ND25 = Phn_ND25*(3.14*25^2)/40000 BA_ND35 = Phn_ND35*(3.14*35^2)/40000 BA_ND45 = Phn_ND45*(3.14*45^2)/40000 BA_ND55 = Phn_ND55*(3.14*55^2)/40000 BA_ND65 = Phn_ND65*(3.14*65^2)/40000 BA__ND = BA_ND15+BA_ND25+BA_ND35+BA_ND45+BA_ND55+BA_ND65 Masak_teb_ND = Phn_ND55+Phn_ND65 N_ND = Phn_ND15+Phn_ND25+Phn_ND35+Phn_ND45+Phn_ND55+Phn_ND65 Pers_teb_ND45 = 0.80 pers_teb_ND65 = .80 Per_teb_ND55 = .80 Phn_IntiND = Phn_ND25+Phn_ND35+Phn_ND45 Siklus_teb_2 = 1 Tot_Vol_ND = V_masak_tebang_ND+V_ND15+V_Phn_Inti_ND V_masak_tebang_ND = V_ND55+V_ND65 V_ND15 = (0.8*0.75*0.25*25*3.14*((0.145)^2)*Phn_ND15) V_ND25 = (0.8*0.75*0.25*25*3.14*((0.245)^2)*Phn_ND25) V_ND35 = (0.8*0.75*0.25*25*3.14*((0.345)^2)*Phn_ND35) V_ND45 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.445)^2)*Phn_ND45) V_ND55 = (0.8*0.75*0.25*25*3.14*((0.545)^2)*Phn_ND55) V_ND65 = (0.8*0.75*0.25*25*3.14*((0.645)^2)*Phn_ND65) V_Phn_Inti_ND = V_ND25+V_ND35+V_ND45 Inrate_ND15 = GRAPH(BA_ND15) (0.00, 0.143), (2.48, 0.122), (4.97, 0.0986), (7.45, 0.0763), (9.94, 0.0583), (12.4,0.0425), (14.9, 0.0259), (17.4, 0.0144), (19.9, 0.00864), (22.4, 0.00432),
107
(24.8,0.00) Morate_ND15 = GRAPH(BA_ND15) (0.00, 0.00), (2.48, 0.00336), (4.97, 0.00672), (7.45, 0.00944), (9.94, 0.0131), (12.4, 0.0163), (14.9, 0.0197), (17.4, 0.0226), (19.9, 0.0259), (22.4, 0.0291), (24.8, 0.0317) morate_ND25 = GRAPH(BA_ND25) (0.00, 0.00), (2.48, 0.0161), (4.97, 0.0299), (7.45, 0.046), (9.94, 0.0622), (12.4, 0.0744), (14.9, 0.0929), (17.4, 0.107), (19.9, 0.122), (22.4, 0.137), (24.8, 0.15) Morate_ND35 = GRAPH(BA_ND35) (0.00, 0.00), (2.48, 0.00652), (4.97, 0.015), (7.45, 0.0234), (9.94, 0.0318), (12.4, 0.0423), (14.9, 0.0518), (17.4, 0.0605), (19.9, 0.07), (22.4, 0.0782), (24.8, 0.086) Morate_ND45 = GRAPH(BA_ND45) (0.00, 0.00), (2.48, 0.0499), (4.97, 0.105), (7.45, 0.163), (9.94, 0.227), (12.4, 0.283), (14.9, 0.344), (17.4, 0.393), (19.9, 0.443), (22.4, 0.499), (24.8, 0.549) morate_ND55 = GRAPH(BA_ND55) (0.00, 0.00), (2.48, 0.0274), (4.97, 0.0547), (7.45, 0.0835), (9.94, 0.109), (12.4, 0.138), (14.9, 0.166), (17.4, 0.189), (19.9, 0.219), (22.4, 0.245), (24.8, 0.271) Morate_ND65 = GRAPH(BA_ND65) (0.00, 0.00), (2.48, 0.0804), (4.97, 0.174), (7.45, 0.268), (9.94, 0.357), (12.4, 0.451), (14.9, 0.545), (17.4, 0.625), (19.9, 0.728), (22.4, 0.804), (24.8, 0.893) UprateND35 = GRAPH(BA_ND35) (0.00, 0.0767), (2.48, 0.0626), (4.97, 0.0476), (7.45, 0.0364), (9.94, 0.0245), (12.4, 0.0176), (14.9, 0.0119), (17.4, 0.00838), (19.9, 0.00537), (22.4, 0.00176), (24.8, 0.00) Uprate_ND15 = GRAPH(BA_ND15) (0.00, 0.0694), (2.48, 0.0582), (4.97, 0.0477), (7.45, 0.0382), (9.94, 0.0298), (12.4, 0.0214), (14.9, 0.0151), (17.4, 0.0105), (19.9, 0.00666), (22.4, 0.0035), (24.8, 0.00) uprate_ND25 = GRAPH(BA_ND25) (0.00, 0.0883), (2.48, 0.0639), (4.97, 0.0471), (7.45, 0.0335), (9.94, 0.0227), (12.4, 0.0154), (14.9, 0.0104), (17.4, 0.00596), (19.9, 0.00245), (22.4, 0.00), (24.8, 0.00) Uprate_ND45 = GRAPH(BA_ND45) (0.00, 0.103), (2.48, 0.0909), (4.97, 0.0671), (7.45, 0.0522), (9.94, 0.0382), (12.4, 0.0303), (14.9, 0.02), (17.4, 0.013), (19.9, 0.00792), (22.4, 0.0014), (24.8, 0.00) Up_rate_ND55 = GRAPH(BA_ND55) (0.00, 0.069), (2.48, 0.0542), (4.97, 0.0433), (7.45, 0.0334), (9.94, 0.0232), (12.4, 0.0162), (14.9, 0.0102), (17.4, 0.00634), (19.9, 0.00352), (22.4, 0.00), (24.8, 0.00) BiomND1 = (42.69(12.8*(Diameter_ND15)+1.24*(Diameter_ND15)^2))/1000*Phn_ND15 Biom_ND2 = (42.69(12.8*(Diameter_ND25)+1.24*(Diameter_ND25)^2))/1000*Phn_ND25 Biom_ND3 = (42.69(12.8*(Diameter_ND35)+1.24*(Diameter_ND35)^2))/1000*Phn_ND35 Biom_ND4 = (42.69(12.8*(Diameter_ND45)+1.24*(Diameter_ND45)^2))/1000*Phn_ND45 Biom_ND5 = (42.69-
108
(12.8*(Diameter_ND55)+1.24*(Diameter_ND55)^2))/1000*Phn_CND Biom_ND6 = (42.69(12.8*(Diameter_ND65)+1.24*(Diameter_ND65)^2))/1000*Phn_CND CND_1 = BiomND1*0.5 CND_2 = Biom_ND2*0.5 CND_3 = Biom_ND3*0.5 CND_4 = Biom_ND4*0.5 CND_5 = Biom_ND5*0.5 CND_6 = Biom_ND6*0.5 C_tot_ND = (CND_1+CND_2+CND_3+CND_4+CND_5+CND_6) Diameter_ND15 = 0.145 Diameter_ND25 = 0.245 Diameter_ND35 = 0.345 Diameter_ND45 = 0.445 Diameter_ND55 = 0.545 Diameter_ND65 = 0.645 C. Model Tegakan Non Komersil Phn_NK15(t) = Phn_NK15(t - dt) + (Ing_NDK15 - Upg_NK15 - MortNK15) * dt INIT Phn_NK15 = 19 INFLOWS: Ing_NDK15 = Inrate_NK15*Phn_NK15 OUTFLOWS: Upg_NK15 = Phn_NK15*Uprate_NK15 MortNK15 = Phn_NK15*Efek_tebang_1+Phn_NK15*Morate_NK15 Phn_NK25(t) = Phn_NK25(t - dt) + (Upg_NK15 - Upg_NK25 - Mort_NK25) * dt INIT Phn_NK25 = 23 INFLOWS: Upg_NK15 = Phn_NK15*Uprate_NK15 OUTFLOWS: Upg_NK25 = Phn_NK25*uprate_NK25 Mort_NK25 = Phn_NK25*Efek_tebang_2+Phn_NK25*morate_NK25 Phn_NK35(t) = Phn_NK35(t - dt) + (Upg_NK25 - Upg_NK35 - Mort_NK35) * dt INIT Phn_NK35 = 7 INFLOWS: Upg_NK25 = Phn_NK25*uprate_NK25 OUTFLOWS: Upg_NK35 = Phn_NK35*UprateNK35 Mort_NK35 = Phn_NK35*Efek_tebang_3+Phn_NK35*Morate_NK35 Phn_NK45(t) = Phn_NK45(t - dt) + (Upg_NK35 - Upg_NK45 - Mort_NK45 Teb_NK45) * dt INIT Phn_NK45 = 1 INFLOWS:
109
Upg_NK35 = Phn_NK35*UprateNK35 OUTFLOWS: Upg_NK45 = Phn_NK45*Uprate_NK45 Mort_NK45 = Phn_NK45*Efek_tebang_6+Phn_NK45*Morate_NK45 Teb_NK45 = IF(Tahun_3=Siklus_teb_3)THEN(Phn_NK45*Pers_teb_NK45)ELSE(0) Phn_NK55(t) = Phn_NK55(t - dt) + (Upg_NK45 - Upg_NK55 - Mort_NK55 Teb_NK55) * dt INIT Phn_NK55 = 2 INFLOWS: Upg_NK45 = Phn_NK45*Uprate_NK45 OUTFLOWS: Upg_NK55 = Phn_NK55*Up_rate_NK55 Mort_NK55 = Phn_NK55*Efek_tebang_5+Phn_NK55*morate_NK55 Teb_NK55 = IF(Tahun_3=Siklus_teb_3)THEN(Phn_NK55*Per_teb_NK55*0.8)ELSE(0) Phn_NK65(t) = Phn_NK65(t - dt) + (Upg_NK55 - Teb_NK65 - Mort_NK65) * dt INIT Phn_NK65 = 4 INFLOWS: Upg_NK55 = Phn_NK55*Up_rate_NK55 OUTFLOWS: Teb_NK65 = IF(Tahun_3=Siklus_teb_3)THEN(Phn_NK65*Pers_teb_NK65*0.8)ELSE(0) Mort_NK65 = Phn_NK65*Efek_tebang_4+Phn_NK65*Morate_NK65 Tahun_3(t) = Tahun_3(t - dt) + (In_3 - Out_3) * dt INIT Tahun_3 = 0 INFLOWS: In_3 = IF(TIME<Start_3)THEN(0)ELSE(1) OUTFLOWS: Out_3 = IF(Tahun_3=Siklus_teb_3)THEN(Tahun_3)ELSE(0) BA_NK15 = Phn_NK15*(3.14*15^2)/40000 BA_NK25 = Phn_NK25*(3.14*25^2)/40000 BA_NK35 = Phn_NK35*(3.14*35^2)/40000 BA_NK45 = Phn_NK45*(3.14*45^2)/40000 BA_NK55 = Phn_NK55*(3.14*55^2)/40000 BA_NK65 = Phn_NK65*(3.14*65^2)/40000 BA__NK = BA_NK15+BA_NK25+BA_NK35+BA_NK45+BA_NK55+BA_NK65 Masak_tebang_NK = Phn_NK55+Phn_NK65 N_NK = Phn_NK15+Phn_NK25+Phn_NK35+Phn_NK45+Phn_NK55+Phn_NK65 Pers_teb_NK45 = 0 Pers_teb_NK65 = 0 Per_teb_NK55 = 0 Phn_inti_NK = Phn_NK25+Phn_NK35+Phn_NK45
110
Siklus_teb_3 = 0 Start_3 = 0 Tot_Vol_NK = V_masak_tebang_NK*V_NK15+V_phn_Inti_NK V_masak_tebang_NK = V_NK55+V_NK65 V_NK15 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.145)^2))*Phn_NK15 V_NK25 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.245)^2))*Phn_NK25 V_NK35 = (0.8*0.758*0.25*03.14*25*((0.345)^2))*Phn_NK35 V_NK45 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.445)^2))*Phn_NK45 V_NK55 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.545)^2))*Phn_NK55 V_NK65 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.645)^2))*Phn_NK65 V_phn_Inti_NK = V_NK25+V_NK35+V_NK45 Inrate_NK15 = GRAPH(BA_NK15) (0.00, 0.0296), (2.14, 0.0238), (4.28, 0.0188), (6.42, 0.0148), (8.56, 0.0117), (10.7, 0.00897), (12.8, 0.00598), (15.0, 0.00404), (17.1, 0.00179), (19.3, 0.000897), (21.4, 0.00) Morate_NK15 = GRAPH(BA_NK15) (0.00, 0.00), (2.14, 0.00982), (4.28, 0.0192), (6.42, 0.0263), (8.56, 0.0353), (10.7, 0.0447), (12.8, 0.054), (15.0, 0.0634), (17.1, 0.0728), (19.3, 0.0808), (21.4, 0.0884) morate_NK25 = GRAPH(BA_NK25) (0.00, 0.00), (2.14, 0.00873), (4.28, 0.0175), (6.42, 0.0262), (8.56, 0.0354), (10.7, 0.0441), (12.8, 0.0528), (15.0, 0.0615), (17.1, 0.0698), (19.3, 0.079), (21.4, 0.0873) Morate_NK35 = GRAPH(BA_NK35) (0.00, 0.00), (2.14, 0.0115), (4.28, 0.0235), (6.42, 0.0344), (8.56, 0.0459), (10.7, 0.058), (12.8, 0.0689), (15.0, 0.0804), (17.1, 0.0918), (19.3, 0.103), (21.4, 0.113) Morate_NK45 = GRAPH(BA_NK45) (0.00, 0.00), (2.14, 0.022), (4.28, 0.0489), (6.42, 0.0759), (8.56, 0.1), (10.7, 0.125), (12.8, 0.146), (15.0, 0.173), (17.1, 0.196), (19.3, 0.218), (21.4, 0.243) morate_NK55 = GRAPH(BA_NK55) (0.00, 0.00), (2.14, 0.014), (4.28, 0.0315), (6.42, 0.0516), (8.56, 0.0682), (10.7, 0.0875), (12.8, 0.104), (15.0, 0.123), (17.1, 0.139), (19.3, 0.159), (21.4, 0.175) Morate_NK65 = GRAPH(BA_NK65) (0.00, 0.00), (2.14, 0.00686), (4.28, 0.0131), (6.42, 0.019), (8.56, 0.025), (10.7, 0.0315), (12.8, 0.0378), (15.0, 0.0443), (17.1, 0.0509), (19.3, 0.0568), (21.4, 0.0621) UprateNK35 = GRAPH(BA_NK35) (0.00, 0.0721), (2.14, 0.0534), (4.28, 0.041), (6.42, 0.0315), (8.56, 0.0227), (10.7, 0.015), (12.8, 0.00988), (15.0, 0.00512), (17.1, 0.00256), (19.3, 0.000366), (21.4, 0.00) Uprate_NK15 = GRAPH(BA_NK15) (0.00, 0.0583), (2.14, 0.0468), (4.28, 0.0355), (6.42, 0.0272), (8.56, 0.0213), (10.7, 0.0154), (12.8, 0.0112), (15.0, 0.0077), (17.1, 0.00444), (19.3, 0.00178), (21.4, 0.00) uprate_NK25 = GRAPH(BA_NK25) (0.00, 0.0883), (2.14, 0.0639), (4.28, 0.0471), (6.42, 0.0335), (8.56, 0.0227), (10.7, 0.0154), (12.8, 0.0104), (15.0, 0.00596), (17.1, 0.00245), (19.3, 0.00), (21.4, 0.00)
111
Uprate_NK45 = GRAPH(BA_NK45) (0.00, 0.0933), (2.14, 0.0708), (4.28, 0.0497), (6.42, 0.0333), (8.56, 0.0234), (10.7, 0.0169), (12.8, 0.0117), (15.0, 0.0075), (17.1, 0.00141), (19.3, 0.00), (21.4, 0.00) Up_rate_NK55 = GRAPH(BA_NK55) (0.00, 0.0493), (2.14, 0.039), (4.28, 0.0315), (6.42, 0.0233), (8.56, 0.0163), (10.7, 0.0105), (12.8, 0.00625), (15.0, 0.0035), (17.1, 0.00175), (19.3, 0.00), (21.4, 0.00) BiomassaNK1 = (42.69-(12.8*(Diameter_NK15)+1.24*(Diameter_NK15)^2)) BiomassaNK2 = (42.69-(12.8*(Diameter_NK25)+1.24*(Diameter_NK25)^2)) BiomassaNK3 = (42.69-(12.8*(Diameter_NK35)+1.24*(Diameter_NK35)^2)) BiomassaNK4 = (42.69-(12.8*(Diameter_NK45)+1.24*(Diameter_NK45)^2)) BiomassaNK5 = (42.69-(12.8*(Diameter_NK55)+1.24*(Diameter_NK55)^2)) BiomassaNK6 = (42.69-(12.8*(Diameter_NK65)+1.24*(Diameter_NK65)^2)) C_NK = (C_NK1+C_NK2+C_NK3+C_NK4+C_NK5+C_NK6) C_NK1 = (Phn_NK15*BiomassaNK1*0.5)/1000 C_NK2 = (Phn_NK25*BiomassaNK2*0.5)/1000 C_NK3 = (Phn_NK35*BiomassaNK3*0.5)/1000 C_NK4 = (Phn_NK45*BiomassaNK4*0.5)/1000 C_NK5 = (Phn_CNK*BiomassaNK5*0.5)/1000 C_NK6 = (Phn_CNK*BiomassaNK6*0.5)/1000 Diameter_NK15 = 0.145 Diameter_NK25 = 0.245 Diameter_NK35 = 0.345 Diameter_NK45 = 0.445 Diameter_NK55 = 0.545 Diameter_NK65 = 0.645
D. Model Tegakan Total BA_Tot = BA__D+BA__ND+BA__NK BD25 = Ph_D25*(1/4*3.14*(0.245)^2) BD35 = Ph_D35*(1/4*3.14*(0.345)^2) BD45 = Ph_D45*(1/4*3.14*(0.445)^2) BD55 = Ph_D55*(1/4*3.14*(0.545)^2) BD65 = Ph_D65*(1/4*3.14*(0.645)^2) BD_15 = Ph_D15*(1/4*3.14*(0.145)^2) BNK_15 = Ph_NK15*(3.14*15^2)/40000 BNK_25 = Ph_NK25*(3.14*25^2)/40000 BNK_35 = Ph_NK35*(3.14*35^2)/40000 BNK_45 = Ph_NK45*(3.14*45^2)/40000 BNK_55 = Ph_NK55*(3.14*55^2)/40000 BNK_65 = Ph_NK65*(3.14*655^2)/40000 BtotD = BD_15+BD25+BD35+BD45+BD55+BD65 Btot_ND = B_ND15+B_ND25+B_ND35+B_ND45+B_ND55+B_ND65 Btot_NK = BNK_15+BNK_25+BNK_35+BNK_45+BNK_55+BNK_65 B_ND15 = PhND15*(1/4*3.14*0.145^2)
112
B_ND25 = Ph_ND25*(1/4*3.14*0.245^2) B_ND35 = PhND35*(1/4*3.14*0.345^2) B_ND45 = Ph_ND45*(1/4*3.14*0.445^2) B_ND55 = Ph_ND55*(1/4*3.14*0.545^2) B_ND65 = Ph_ND65*(1/4*3.14*0.645^2) Masak_tebang_Kom = Masak_tebDip+Masak_teb_ND Mask_teb_kom_masy = Masak_tebDip+Masak_teb_ND N_Total = N_D+N_ND+N_NK Phn_Inti_Kom = PhnInti_D+Phn_IntiND Tebang_D = Tebang_D45+Tebang_D55+Tebang_D65 Tebang_D45 = 1 Tebang_D55 = 1 Tebang_D65 = 1 Tebang_ND = Tebang_ND45+Tebang_ND55+Tebang_ND65 Tebang_ND45 = 1 Tebang_ND55 = 1 Tebang_ND65 = 1 Tot_BA = BtotD+Btot_ND+Btot_NK Tot_Tebang = IF(TIME=0)THEN(Tebang_D45+Tebang_ND45+Tebang_D55+Tebang_D65+Te bang_ND65+Tebang_ND55)ELSE(0) Vol_Kom = Tot_Vol_ND+Tot_Vol_Dip V_masak_tebang_Kom = (V_masak_tebang_ND+V__Masak_teb_Dip) V_Phn_Inti_Kom = V_Phn_Inti_Dip+V_Phn_Inti_ND Efek_tebang_1 = GRAPH(Tot_Tebang) (0.00, 0.00), (1.70, 0.00), (3.40, 0.129), (5.10, 0.182), (6.80, 0.232), (8.50, 0.273), (10.2, 0.299), (11.9, 0.317), (13.6, 0.338), (15.3, 0.347), (17.0, 0.354) Efek_tebang_2 = GRAPH(Tot_Tebang) (0.00, 0.0159), (1.70, 0.11), (3.40, 0.174), (5.10, 0.218), (6.80, 0.252), (8.50, 0.276), (10.2, 0.294), (11.9, 0.314), (13.6, 0.329), (15.3, 0.349), (17.0, 0.354) Efek_tebang_3 = GRAPH(Tot_Tebang) (0.00, 0.0254), (0.6, 0.0602), (1.20, 0.0814), (1.80, 0.11), (2.40, 0.124), (3.00, 0.138), (3.60, 0.154), (4.20, 0.17), (4.80, 0.186), (5.40, 0.201), (6.00, 0.211) Efek_tebang_4 = GRAPH(Tot_Tebang) (0.00, 0.00211), (0.6, 0.0518), (1.20, 0.0983), (1.80, 0.126), (2.40, 0.149), (3.00, 0.165), (3.60, 0.182), (4.20, 0.19), (4.80, 0.199), (5.40, 0.206), (6.00, 0.21) Efek_tebang_5 = GRAPH(Tot_Tebang) (0.00, 0.00), (0.2, 0.0174), (0.4, 0.038), (0.6, 0.054), (0.8, 0.0634), (1.00, 0.0685), (1.20, 0.0737), (1.40, 0.079), (1.60, 0.0855), (1.80, 0.0893), (2.00, 0.094) Efek_tebang_6 = GRAPH(Tot_Tebang) (0.00, 0.00), (0.2, 0.0117), (0.4, 0.0272), (0.6, 0.0418), (0.8, 0.0535), (1.00, 0.0624), (1.20, 0.07), (1.40, 0.0775), (1.60, 0.084), (1.80, 0.0892), (2.00, 0.0916) E. Model Pengembalian ekonomi Areal_produktif(t) = Areal_produktif(t - dt) INIT Areal_produktif = 6840
113
LEV_B(t) = LEV_B(t - dt) + (Lev_Benefit) * dt INIT LEV_B = 0 INFLOWS: Lev_Benefit = FV_Benefit*Discount1 LEV_C(t) = LEV_C(t - dt) + (Lev_cost) * dt INIT LEV_C = 0 INFLOWS: Lev_cost = (Discount1*FV_Cost)+E PV_Benefit1(t) = PV_Benefit1(t - dt) + (PV_Benefit) * dt INIT PV_Benefit1 = 0 INFLOWS: PV_Benefit = Penerimaan_perusahaan*Discount PV_Cost1(t) = PV_Cost1(t - dt) + (PV_Cost) * dt INIT PV_Cost1 = 0 INFLOWS: PV_Cost = (Biaya_BinHut+Biaya_perencanaan+Biaya_tahunan+Kewajiban_tdh_Ngr+Tot_B iaya_PHH+Kewajiban_trhp_lingkungan)*Discount AEV = NPV1*((Interest*(1+Interest)^Siklus)/(((1+Interest)^(Siklus))-1)) BCR = IF(TIME=Siklus)THEN(PV_Benefit1/PV_Cost1)ELSE(0) Compounding = ((1+Interest)^(Siklus-TIME)) Discount = 1/(1+Interest)^TIME Discount1 = 1/((1+Interest)^(Siklus)-1) E = IF(TIME=Siklus)THEN(Biaya_tahunan)/Interest ELSE(0) Fluktuasi_harga = RANDOM(0.05,0.15,15) FV_Benefit = DELAY(Compounding*Penerimaan_perusahaan,STOPTIME-4) FV_Cost = (Biaya_BinHut+Biaya_perencanaan+Biaya_tahunan+Kewajiban_tdh_Ngr+Tot_B iaya_PHH+Kewajiban_trhp_lingkungan)*Compounding Harga_D = Harga_D_kini+(Fluktuasi_harga*Harga_D_kini*Tahun_berjalan) Harga_D_kini = 600000 Harga_ND = Harga_ND_kini+(Fluktuasi_harga*Harga_ND_kini*Tahun_berjalan) Harga_ND_kini = 500000 Harga_rataND = Harga_ND_kini+(0.1*Harga_ND_kini*Tahun_berjalan) Harga_rata_D = Harga_D_kini+(0.1*Harga_D_kini*Tahun_berjalan) IHPH = StnIHPH Interest = .40 Kewajiban_tdh_Ngr = IHPH+PBB+Pengeluaran_DR+Pengeluaran_PSDH+Pengeluaran_PPh Kisaran_perubahan_harga_D = 0.05*Harga_D_kini*Tahun_berjalan Kisaran_perubahan_harga_ND = 0.05*Harga_ND_kini*Tahun_berjalan LEV = (LEV_B-LEV_C) NPV1 = PV_Benefit1-PV_Cost1
114
PBB = StnPBB Penerimaan_perusahaan = Rev_ND+Rev_D Pengeluaran_DR = 368113 Pengeluaran_PPh = IF(TIME=3)AND((Penerimaan_perusahaanTot_Biaya_PHH-Biaya_tahunan)>=1)THEN(PPh*(Penerimaan_perusahaanTot_Biaya_PHH-Biaya_tahunan))ELSE(0) Pengeluaran_PSDH = 123651 PPh = IF(Penerimaan_perusahaanTot_Biaya_PHH<=1000000)THEN(0.15)ELSE IF(10000000
=50000000)THEN(0.35)ELSE(0.35) Rev_D = Harga_D*Vol_D Rev_ND = Harga_ND*Vol_ND Siklus = STOPTIME-30 StnIHPH = 1500*Areal_produktif StnPBB = 1600*Areal_produktif Tahun_berjalan = TIME Vol_D = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*(((.545+0.645)/2)^2))*Masak_tebDip Vol_ND = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*(((0.545+0.645)/2^2)))*Masak_teb_ND F. Sub Model Biaya Produksi administrasi_dan_umum = 424976 Alat_berat = 8391 Alat_kantor = 3633 Bangunan = 2656 Biaya_BinHut = ITT+Pemeliharaan_tan_pengayaan+Pengadaan_bibit+Pengayaan+Perapihan Biaya_Pemanenan_Htn = Penebangan_kayu+Penyaradan+TPK Biaya_Pemasaran = Muat_bongkar+Pengangkutan+Pengapalan Biaya_perencanaan = ITSP+PAK+PWH Biaya_tahunan = administrasi_dan_umum+Inven_mess+Pembtn_pemeli_jln_+PMDH+Perlindunga n_htan_sungai+Penyusutan Inven_mess = 358 ITSP = IF(TIME=1)THEN(15695)ELSE(0) ITT = IF(TIME=5)THEN(4556)ELSE(0) jalan_dan_jembatan = 110398 Kegiatan_Konservasi = 1553 Kewajiban_trhp_lingkungan = Kegiatan_Konservasi+Kompensasi Kompensasi = 95284 Muat_bongkar = 50145 PAK = IF(TIME=0)THEN(15857)ELSE(0) Pembtn_pemeli_jln_ = 21900 Pemeliharaan_tan_pengayaan = IF(TIME=6)THEN(15831)ELSE IF(TIME=7)THEN(15831)ELSE IF(TIME=8)THEN(15831)ELSE(0) Penebangan_kayu = 38344 Pengadaan_bibit = IF(TIME=5)THEN(7100)ELSE(0)
115
Pengangkutan = 76400 Pengapalan = 8892 Pengayaan = IF(TIME=6)THEN(2402)ELSE(0) Penyaradan = 222988 Penyusutan = Alat_berat+Alat_kantor+Bangunan+jalan_dan_jembatan Perapihan = IF(TIME=4)THEN(35865)ELSE(0) Perlindungan_htan_sungai = 889 PMDH = 2210 PWH = IF(TIME=2)THEN(3828)ELSE(0) Total_Biaya = Biaya_perencanaan+Biaya_BinHut+Biaya_tahunan+Tot_Biaya_PHH+Kewajiban _tdh_Ngr+Kewajiban_trhp_lingkungan+Biaya_Pemasaran Tot_Biaya_PHH = IF(TIME=3)THEN(Biaya_Pemanenan_Htn*V_masak_tebang_Kom)ELSE(0) TPK = 42757 G. Sub Model Penerimaan Masyarakat Adat Basecamp = 0.05*TotKompensasi Biaya_angkutan = 100000 Biaya_pengolahan = 200000 Investasi = IF(TIME=0)THEN(10000000)ELSE(0) Jalan = 0.05*TotKompensasi Jumlah_penerima = RANDOM(35,150) KompKayu_indah = Pers_std_kayu_indah*rataVolkyindah Komp_merbau = Perubahan_Std_merbau*rataVolmerbau Komp_nonmerbau = Perubahan_std_Nonmerbau*rataVolNonmerbau Loading_point = 0.05*TotKompensasi Logyard = 0.08*TotKompensasi Material = 0.05*TotKompensasi Pembinaan = 0.07*TotKompensasi Pemilik_hak_ulayat = 0.65*TotKompensasi Pemilik_kayu = PULSE(Pendapatant_tebang_milik*Pers_pendapatan_pemilik,1,1) Pendapatant_tebang_milik = Penerimaan-Tot_biaya Penebang_kayu = PULSE(Persen_pendapatan*Pendapatant_tebang_milik,1,1) Penerimaan = Vol_produksi*Perubahan_harga_kayu Penerimaan_kompensasi = Basecamp+Jalan+Loading_point+Material+Logyard+Pembinaan+Pemilik_hak_ul ayat/Jumlah_penerima Persen_pendapatan = 0.80 Persen_perbhn_standar_kompensasi = 0 Persn_prbhn_hrga = 0 Pers_pendapatan_pemilik = 0.20 Pers_std_kayu_indah = (Standkayu_indah+((Standkayu_indah*Persen_perbhn_standar_kompensasi)/100) ) Perubahan_harga_kayu = rata_hrga_kayu+((rata_hrga_kayu*Persn_prbhn_hrga)) Perubahan_Std_merbau =
116
Stadnkomp_merbau+((Stadnkomp_merbau*Persen_perbhn_standar_kompensasi/ 100)) Perubahan_std_Nonmerbau = Stadnkomp_nonmerbau+((Stadnkomp_nonmerbau*Persen_perbhn_standar_komp ensasi/100)) rataVolkyindah = 0.01*Vol_produksi rataVolmerbau = 0.60*Vol_produksi rataVolNonmerbau = 0.39*Vol_produksi rata_biaya_pikul = 50000 rata_biaya_tahunan = Biaya_angkutan+Biaya_pengolahan+rata_biaya_pikul rata_hrga_kayu = 1500000 Stadnkomp_merbau = 50000 Stadnkomp_nonmerbau = 10000 Standkayu_indah = 100000 TotKompensasi = KompKayu_indah+Komp_merbau+Komp_nonmerbau Tot_biaya = Investasi+rata_biaya_tahunan Vol_produksi = (V_masak_tebang_ND+V__Masak_teb_Dip) H. Sub Model REDD PV_Benefit_C(t) = PV_Benefit_C(t - dt) + (PV_BENFIT_C) * dtINIT PV_Benefit_C = 0 INFLOWS: PV_BENFIT_C = DISCOUNT__C*Pemasukan_C PV_COST__C(t) = PV_COST__C(t - dt) + (PV_COST_C) * dtINIT PV_COST__C = 0 INFLOWS: PV_COST_C = (Biaya_transaksi)*DISCOUNT__C Biaya_transaksi = 27000*(C_NK+C_tot_ND+C_total_Dip) DISCOUNT__C = 1/(1+Interest)^TIME-STARTTIME Harga_C = 47500 NPV_C = PV_Benefit_C-PV_COST__C Pemasukan_C = (C_total_Dip+C_tot_ND+C_NK)*Harga_C
117
Lampiran 4 Representasi model dinamika tegakan total
118
Lampiran 5. Hasil simulasi nilai NPV. LEV, BCR dan IRR pada berbagai perubahan suku bunga
Siklus Tebang
Perubahan Suku Bunga (%)
Kriteria 10
20
30
35
40
NPV (Rp/ha) LEV (Rp/ha) BCR IRR (%) NPV (Rp/ha) LEV (Rp/ha) BCR IRR (%) NPV (Rp/ha) LEV (Rp/ha) BCR IRR (%) NPV (Rp/ha) LEV (Rp/ha) BCR IRR (%)
18
26
34
41
136 047 398
128 568 121
119 067 870
110 268 992
1.59
1.32
1.15
1.05 0.41
151 377 129 142 311 793 1.83
74 305 938
43 779 942
29 356 741
138 490 652
133 750 812
131 167 646
1.40
1.18
1.06 0.41
175 802 946 267 230 952 1.95
81 159 375
46 426 655
258 603 324 1.42
248 076 821 1.18
30 632 126 241 882 757 1.06 0.41
198 472 379
86 679 401
48 451 341
31 593 495
311 672 393
302 998 448
292 839 381
289 319 144
2.07
1.43
1.18
1.06 0.41
119
Lampiran 6 Representasi sub model biaya produksi