MODEL SIMULASI PENGATURAN HASIL DINAMIK (Kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)
IRHAMNA
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRACT IRHAMNA. Simulation Model of Dynamic Yield Regulation (Case in KPH Blora, Cepu , and Randublatung Perum Perhutani Unit I West Java). Supervised by Dr. Ir. BUDI KUNCAHYO, MS Pressure about forest resources can cause happen over exploitation until of forest resources not capable to give optimal benefit in fact on contrary, forest sustainable more offer decrease. The excalation of population in around forest area cause pressure about forest can effect to increase use area for settlement with construction wood and fuel wood consumption. The management of forest in Java Island which is whole almost of plant forest, at this time used one method of yield regulation of which is used in entire area of productin forest. This method only enter stand of forest factor, with the result of approach that currently used for aimed at method yield regulation of forest have the quality of partial. This research is aimed to arrange dinamics yield regulation of forest method in KPH Blora, Cepu, and Randublatung and study wood consumption effect for model of yield regulation by used. According to result khi-square test (X2) for KPH Blora shows X2hitung 3,77 and values X2tabcl shows 16,92 on confidence level of 95% by degrees of freedom 9. X2hitung values more liitle than X2tabcl can be conclusion that variability of simulation data not difference evidence with variability of actual data. For KPH Cepu according of result khi-square test (X ), shows X2hitung 9,15 and X2tabcl 16,92 on confidence level of 95% by degrees of freedom 9. X2hitun2 values more little than X2tabcl, can be conclusion that variability of simulation data not difference evidence with variability of actual data. For KPH, Randublatung shows X2hitung 3,31 and values X2tabcl shows 16,92 on confidence level of 95% by degrees of freedom 9. X2hitung values more liitle than X2tabcl, can be conclusion that variability of simulation data not difference evidence with variability of actual data. According to scenario influence of construction wood and fuel wood consumption to fluctuation wood production (etat volume), sum of tree steal and enterprise profit in each KPH of result that : at KPH Blora of simulation result during 20 next years shows increase fuel wood consumption 50%, consequence of decrease etat volume 13.593,31 m or 3,34 %; increase sum of tree steal shows 66.176 tree and decrease KPH Profit shows Rp 12.158.321.453,- or 6,57. KPH Cepu of shows increase fuel wood consumption 50%, consequence decrease etat volume 34.870,68 m3 or 1,33%; increase sum of tree steal shows 61.624 tree and decrease KPH Profit shows Rp 44.227.957.527,- or 2,92%. KPH Randublatung of shows increase fuel wood consumption 50%, consequence decrease etat volume 34.870,68 m3 or 1,33%; increase sum of tree steal shows 61.624 tree and decrease KPH Profit shows Rp 44.227.957.527,- or 2,92%. KPH Blora of simulation result during 20 next years shows increase construction wood consumption 50%, consequence of decrease etat volume 13.104,97 m3 or 0,184 %; increase sum of tree steal shows 78.957 tree and decrease KPH profit shows Rp 11.339.104.192,- or 0,35%.
KPH Cepu shows increase construction wood consumption 50%, consequence of decrease etat volume 34.426,3 m or 0,07%; increase sum of tree steal shows 73.978 tree and decrease KPH profit shows Rp 43.016.394.576,- or 0,89%. KPH Randublatung shows increase construction wood consumption 50%, consequence of decrease etat volume 35.625,75 m or 0,184 %; increase sum of tree steal shows 32.497 tree and decrease KPH profit shows Rp 113.839.424.029,or0,13%.
RINGKASAN IRHAMNA. Model Simulasi Pengaturan Hasil Dinamik (Kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah). Dibimbing oleh Dr. Ir. BUDI KUNCAHYO, MS Tekanan terhadap sumber daya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal bahkan sebaliknya, kelestarian hutan semakin mengalami penurunan. Peningkatan jumlah penduduk di sekitar areal hutan yang menyebabkan tekanan terhadap hutan berpengaruh terhadap meningkatnya permintaan lahan untuk pemukiman serta permintaan kayu pertukangan dan kayu bakar. Pengelolaan hutan di Pulau Jawa yang hampir seluruhnya hutan tanaman, pada saat ini digunakan satu metode pengaturan hasil yang diterapkan di seluruh kawasan hutan produksi. Metode ini hanya memasukkan faktor tegakan hutan, sehingga pendekatan yang digunakan dalam merumuskan metode pengaturan hasil hutan masih bersifat parsial. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya variabel komponen lain, seperti faktor sosial masyarakat sekitar hutan. Penelitian ini bertujuan menyusun model pengaturan hasil hutan yang dinamis di KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung dan mengkaji pengaruh konsumsi kayu terhadap model pengaturan hasil hutan yang digunakan. Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat (X2) untuk KPH Blora besarnya X2hitung sebesar 7,01 dan nilai X2tabel sebesar 16,92 pada selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 9. Nilai X2hitung lebih kecil X2tabel, dapat disimpulkan bahwa keragaman data simulasi tidak berbeda nyata dengan keragaman data aktual. Untuk KPH Cepu Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat (X2), besarnya X2hitung sebesar 12,01 dan nilai X2tabel sebesar 16,92 pada selangkepercayaan 95% dengan derajat bebas 9. Nilai X2hitung lebih kecil X2tabel, dapat disimpulkan bahwa keragaman data simulasi tidak berbeda nyata dengan keragaman data aktual. Untuk KPH Randublatung, besarnya X2hitung adalah 5,42 dan nilai X2tabel sebesar 16,92 pada selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 9. Nilai X2hitung lebih kecil X2tabel, dapat disimpulkan bahwa keragaman data simulasi tidak berbeda nyata dengan keragaman data aktual. Berdasarkan evaluasi maka model KPH Blora, Cepu, dan Randublatung dianggap dapat menjelaskan kondisi aktual. Berdasarkan skenario pengaruh tingkat konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar terhadap besarnya fluktuasi produksi kayu (etat volume), jumlah pohon yang di curi serta keuntungan perusahaan pada masing-masing KPH diperoleh :pada KPH Blora hasil simulasi selama 20 tahun ke depan menunjukan besarnya kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 50 % mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 13.593,31 m3 atau 3,34 %; peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 66.176 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 12.158.321.453,- atau sebesar 6,57 %. Untuk KPH Cepu kenaikan 50 % konsumsi kayu bakar mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 34.870,68 m3 atau 1,33 %; peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 61.624 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 44.227.957.527,- atau sebesar 2,92%.
Untuk KPH Randublatung kenaikan 50% konsumsi kayu bakar mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 35.114,65 m3 atatu 1,36 %, peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 68.940 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 110.901.329.061,- atau sebesar 2,51 %. Pada KPH Blora hasil simulasi selama 20 tahun ke depan menunjukan besarnya kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 50 % mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 13.104,97 m3 atau 0,18 %; peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 78.957 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 11.339.104.192,- atau sebesar 0,35 %. Untuk KPH Cepu kenaikan 50% konsumsi kayu pertukangan mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 34.426,3 m3 atau 0,07 %; peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 73.978 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 43.016.394.576,- atau sebesar 0,89 %. Untuk KPH Randublatung kenaikan 50% konsumsi kayu pertukangan mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 35.625,75 m3 atau 0,07 %, peningkatan jumlah pencurian pohon sebesar 32.497 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 113.839.424.029,- atau sebesar 0,13%.
MODEL SIMULASI PENGATURAN HASIL DINAMIK (Kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)
IRHAMNA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Skripsi
: Model Simulasi Pengaturan Hasil Dinamik (Kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah)
Nama
: Irhamna
NRP
: E01499066
Departemen
: Manajemen Hutan
Program Studi
: Manajemen Hutan
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS NIP. 131 578 798
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia Iman, Islam dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Karya ilmiah ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dengan Judul yang diambil adalah Model Simulasi Pengaturan Hasil Dinamik dengan mengambil kasus di KPH Blora, Cepu, dan Randublatung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan arahan. Tidak lupa kepada Abah (alm.), Umi dan Kak Hilda (alm.) atas segala doa, bantuan, dan kasih sayangnya. Tak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu penyusunan karya ilmiah ini, hanya Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran sehingga karya tulis ini menjadi lebih baik.
Bogor, Agustus 2006
Irhamna
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1981 di Desa Peulanggahan, Kecamatan Kuta Raja, Kotamadya Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Muhammad Djamil Achmad (alm.) dan Ibu Fauziah Sungkar (alm.). Penulis memulai pendidikan formal di SDN 17 Banda Aceh, tahun 1987 dilanjutkan di SMPN 7 Banda Aceh. Selanjutnya pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 3 Banda Aceh. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atasnya dan lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima di Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama kuliah Penulis mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H), dengan Pengenalan Hutan di jalur Batu Raden-Cilacap dan Pengelolaan Hutan di KPH Indramayu, Jawa Barat, dan Praktek Kerja Lapang di PT The Best One UniTimber, Kabupaten Pelalawan, Riau.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vii PENDAHULUAN Latar belakang ........................................................................................
2
Tujuan ....................................................................................................
2
Hipotesis ..................................................................................................
2
Manfaat Penelitian ...................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA Pengaturan Hasil Hutan .........................................................................
3
Pengelolaan Hutan Lestari ......................................................................
5
Karakteristik Masyarakat Desa Sekitar Hutan .......................................
6
Analisis Sistem ........................................................................................
7
Penelitian yang telah dilakukan ............................................................. 11 METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian ..................................................................................... 13 Alat dan Bahan ........................................................................................ 13 Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 13 Analisis Data .......................................................................................... 14 KEADAAN UMUM Letak dan Luas ........................................................................................ 18 Geologi dan Topografi ............................................................................ 20 Iklim dan Curah Hujan ............................................................................ 20 Sosial Ekonomi Masyarakat .................................................................... 21 Potensi Hutan .......................................................................................... 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Kelestarian Hasil .................................................................................... 26 Konsumsi Kayu ....................................................................................... 31
Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat .................................. 33 Pendekatan Sistem ................................................................................. 35 Formulasi Model Konseptual ........................................................ 37 Spesifikasi Model Kuantitatif ........................................................ 48 Evaluasi Model ............................................................................... 52 Penggunaan Model ........................................................................ 57 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 69 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 71 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Halaman 1 Letak astronomis KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung ...................................................................................... 18 2 Batas geografis wilayah hutan KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung ............................................................................... 18 3 Pembagian hutan KPH Blora ....................................................................... 18 4 Pembagian wilayah kerja KPH Cepu ........................................................... 19 5 Pembagian bagian hutan KPH Randublatung .............................................. 20 6 Keadaan geologi dan topografi KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung ............................................................................... 20 7 Tipe iklim dan curah hujan di KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung ............................................................................... 21 8 Jumlah penduduk, kepadatan dan rata-rata luas kepemilikan lahan per kecamatan . ............................................................... 21 9 Jumlah penduduk menurut kecamatan wilayah KPH Blora Tahun 1997-2001 . .............................................................................. 22 10 Kepadatan penduduk desa sekitar hutan KPH Cepu.................................... 23 11 Penyebaran penduduk tiap Kecamatan sekitar wilayah KPH Randublatung ........................................................... 24 12 Potensi Hutan di KPH Cepu, KPH Randublatung, dan KPH Blora ............................................................................................. 25 13 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Blora ................................................................................ 27 14 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Cepu ................................................................................. 27 15 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Randublatung ................................................................... 28 16 Penentuan etat dan perhitungan jangka waktu penebangan ................................................................................................. 29 17 Konsumsi kayu bakar dan kayu pertukangan di Masing-masing KPH ................................................................................... 31 18 Konsumsi kayu bakar pada desa contoh di masingmasing KPH ................................................................................................. 32 19 Konsumsi kayu pertukangan pada desa contoh di masing-masing KPH .................................................................................... 33
20 Pendapatan dan pengeluaran rata-rata setiap rumah tangga desa contoh ...................................................................................... 33 21 Jumlah responden desa contoh dalam kategori miskin dan tidak .......................................................................................... 34 22 Perbandingan luas risalah sela dan luas hasil simulasi KPH Blora ..................................................................................... 56 23 Perbandingan luas risalah sela dan luas hasil simulasi KPH Cepu ..................................................................................... 56 24 Perbandingan luas risalah sela dan luas hasil simulasi KPH Randublatung ....................................................................... 57
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Perbandingan metode pemecahan masalah dalam lingkup pemahaman relatif dan jumlah data relatif ................................................. 10 2 Hubungan antar sub model ......................................................................... 36 3 Diagram Causal Loop antara jumlah penanaman dengan jumlah pohon dalam tegakan ........................................................................ 40 4 Diagram Causal Loop antara jumlah pencurian dengan jumlah pohon dalam tegakan ....................................................................... 41 5 Diagram Causal Loop antara jumlah pohon penjarangan dengan jumlah pohon dalam tegakan........................................................... 41 6 Sub model dinamika penduduk .................................................................... 44 7 Sub model gangguan hutan .......................................................................... 45 8 Sub model pengangguran ............................................................................. 46 9 Sub model keuangan perusahaan ................................................................. 47 10 Sub model kayu konsumsi ........................................................................... 48 11 Etat luas dan etat volume pada KPH Blora yang tidak mengalami gangguan .................................................................................. 52 12 Etat luas dan etat volume pada KPH Cepu yang tidak mengalami gangguan ................................................................................. 53 13 Etat luas dan etat volume pada KPH Randublatung yang tidak mengalami gangguan ................................................................ 53 14 Etat luas KPH Blora pada luas gangguan 100 Ha/ tahun (1), 500 Ha/tahun (2) dan 900 Ha/ tahun (3) ............................................. 54 15 Etat luas KPH Randublatung pada luas gangguan 100 Ha/ tahun (1), 1.000 Ha/tahun (2) dan 2.000 Ha/ tahun (3)............................... 54 16 Etat luas KPH Cepu pada luas gangguan 1.000 Ha/ tahun (1), 1.500 Ha/tahun (2) dan 2.000 Ha/ tahun (3).......................................... 55 17 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) .................................................................... 58 18 Pendapatan bersih KPH Blora pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ................................... 59
19 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) .............................................. 59 20 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) .................................................................... 60 21 Pendapatan bersih KPH Cepu pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ................................... 61 22 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) .............................................. 61 23 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) .................................................................... 62 24 Pendapatan bersih KPH Randublatung pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) .............................................................................................. 62 25 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) .............................................. 63 26 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ....................................................... 64 27 Pendapatan bersih KPH Blora pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ......................... 64 28 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ................................... 65 29 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ....................................................... 65 30 Pendapatan bersih KPH Cepu pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ......................... 66 31 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ................................... 66 32 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ....................................................... 67 33 Pendapatan bersih KPH Randublatung pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) .............................................................................................. 67
34 Jumlah pencurian pohon pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3) ................................... 68
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Sub model jumlah pohon ............................................................................ 74 2 Sub model luas areal berhutan .................................................................... 75 3 Sub model pengaturan hasil ........................................................................ 76 4 Potensi tegakan hasil risalah sela KPH Blora ............................................. 77 5 Potensi tegakan hasil risalah sela KPH Cepu .............................................. 78 6 Potensi tegakan hasil risalah sela KPH Randublatung ................................ 79 7 Contoh perhitungan etat tebangan metode Cotta, Burn dan Von Mantel .................................................................................. 80 8 Data bagian hutan contoh di masing-masing KPH ..................................... 81 9 Data dasar dan asumsi ................................................................................. 82 10 Persamaan model simulasi .......................................................................... 85
PENDAHULUAN
Latar Belakang Hutan dalam perkembangannya dituntut untuk dikelola secara multiguna. Kondisi yang diharapkan tidak hanya hutan lestari tetapi juga masyarakat di dalam dan sekitar hutan hidupnya sejahtera. Pengelolaan sumberdaya hutan meliputi aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, sehingga pemanfaatannya tidak hanya diarahkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomi semata, tetapi yang lebih penting adalah keberlanjutan fungsí sumberdaya hutan itu sendiri, yaitu untuk menopang kehidupan manusia antar generasi. Tekanan terhadap sumber daya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal bahkan sebaliknya, kelestarian hutan semakin mengalami penurunan. Laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menyebabkan timbulnya berbagai masalah, diantaranya konsumsi kayu oleh masyarakat desa sekitar hutan. Konsumsi kayu yang terus meningkat sementara daya beli masyarakat menurun berpotensi meningkatkan gangguan hutan. Gangguan hutan berpengaruh pada standing stock. Sementara pengaturan hasil yang digunakan mengacu pada besarnya standing stock. Hutan tanaman di seluruh Pulau Jawa selama ini menggunakan sistem pengelolaan hutan yang seragam di seluruh kawasan hutan produksi. Metode ini hanya memasukkan faktor tegakan hutan, sehingga pendekatan yang digunakan dalam merumuskan metode pengaturan hasil hutan masih bersifat parsial. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya variabel komponen lain, seperti faktor sosial masyarakat sekitar hutan. Besarnya etat yang diperoleh dengan metode pengaturan hasil saat ini sudah tidak sesuai. Untuk itu diperlukan suatu metode pengaturan hasil dalam rangka penentuan etat luas dan etat volume yang dinamis. Faktor konsumsi kayu merupakan salah satu faktor digunakan dalam metode pengaturan hasil yang dinamis.
Konsumsi kayu oleh masyarakat yang dipengaruhi laju pertumbuhan penduduk dapat digunakan untuk mengkaji pengaruh kebutuhan kayu terhadap model pengaturan hasil yang diterapkan. Penyusunan rencana pengaturan hasil hutan dilakukan dengan memasukkan faktor konsumsi kayu masyarakat dalam sistem pengelolaan.
Tujuan 1. Menyusun model pengaturan hasil hutan yang dinamis di KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung. 2. Menguraikan besarnya konsumsi kayu oleh masyarakat sekitar hutan. 3. Mengkaji pengaruh konsumsi kayu terhadap model pengaturan hasil hutan yang digunakan. 4. Menguji sub model konsumsi kayu dalam berbagai skenario.
Perubahan
konsumsi
Hipotesis kayu bakar
dan
kayu
pertukangan
akan
mempengaruhi etat volume setiap tahun, jumlah pencurian pohon serta pendapatan KPH.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu memberi pedoman bagi pihak pengelola dan perencana hutan dalam penentuan pengaturan hasil hutan yang memperhitungkan kebutuhan kayu masyarakat desa sekitar hutan.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengaturan Hasil Hutan Pengaturan hasil adalah penentuan kayu dan produksi lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan, termasuk di mana, kapan dan bagaimana hasil seharusnya diekstraksi (FAO 1998). Pengaturan hasil bertujuan untuk memperoleh hasil akhir yang berazaskan kelestarian. Ada beberapa alasan penebangan dan pengaturan hasilnya dalam hubungan dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu. Osmaston (1968) mengemukakan alasan-alasan tersebut adalah : 1. Penyedian bagi konsumen Penebangan harus dilakukan agar tersedia jenis, ukuran, mutu dan jumlah kayu sesuai dengan permintaan pasar. 2. Pemeliharaan growing stock untuk mempertahankan dan mengembangkan produksi di dalam bentuk serta kualitas yang baik secepat mungkin. 3. Penyesuaian jumlah dan bentuk tegakan persediaan agar lebih sesuai dengan tujuan pengelolaan. 4. Penebangan perlindungan, terutama dipergunakan dalam sistem silvikultur untuk melindungi tegakan dari angin, kebakaran hutan dan sebagainya. Menurut Osmaston (1968), beberapa hal yang dibutuhkan dan harus dicakup dalam pengaturan hasil, yaitu: 1. Perhitungan jumlah hasil yang akan diperoleh. 2. Bagaimana hasil tersebut dapat dibagi dalam hasil akhir dan penjarangan. 3. Penyusunan suatu rencana penebangan yang dibatasi oleh kepadatan tegakan yang akan ditebang. Vanclay (1995) mengatakan
bahwa pengelolaan tegakan secara
keseluruhan dapat digunakan untuk menggambarkan parameter-parameter tingkat tegakan (langsung per unit area), seperti tegakan persediaan (pohon/Ha), bidang dasar tegakan (m2/Ha) dan volume tegakan (m3/Ha). Ada empat aspek pokok yang patut mendapat pemikiran dalam pengelolaan hutan produksi secara lestari yang merupakan penjabaran dari fungsi
ganda hutan, yaitu fungsi sosial ekonomis dan fungsi ekologis, yaitu (Proceeding 1995) : 1. Aspek kepastian dan keamanan sumberdaya hutan 2. Aspek kesinambungan produksi 3. Aspek konservasi fauna, flora dan keanekaragaman jenis serta berbagai fungsi hutan bagi lingkungan 4. Aspek ekonomi bagi pertumbuhan bangsa dan partisipasi mayarakat. Simon (1994) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pengaturan hasil memerlukan tiga tahap kegiatan sebagai berikut : 1. Perhitungan etat, yaitu jumlah hasil hutan yang dapat diperoleh setiap tahun atau selama jangka waktu tertentu. Jika hasil tersebut dinyatakan dalam luas dinamakan etat luas, dan jika dinyatakan dalam m3 dinamakan etat volume. 2. Pemisahan jumlah hasil tersebut ke dalam hasil penjarangan dan hasil tebangan akhir (untuk etat volume). 3. Penyusunan rencana tebangan, baik tebangan penjarangan maupun tebangan akhir, berikut keterangan tentang keadaan tegakan serta tata waktunya. Meyer et al. (1961), dan Osmaston (1968) menyebutkan terdapat beberapa metode pengaturan hasil yang telah dikembangkan. Metode tersebut adalah : 1. Metode berdasarkan luas
Pengendalian berdasarkan prinsip silvikultur
Pengendalian dengan daur dan penyebaran kelas umur
Pengendalian berdasarkan kelas pengembangan dan pembinaan
2. Metode berdasarkan volume dan riap
Metode Austrian
Metode Hundeshagen
Metode Von Mantel
Metode Gerhardt
Metode Chapman
3. Metode berdasarkan luas dan volume
Metode Burn
Pengelolaan Hutan Lestari Kelestarian hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan wujud biofisik hutan, produktifitas hutan, dan fungsi-fungsi ekosistem hutan yang terbentuk akibat terjadinya interaksi antar komponen ekosistem hutan dengan komponen lingkungannya (Suhendang 2004). Definisi kelestarian hasil dalam Conservation Code 1938 adalah pengelolaan kawasan hutan tertentu yang jelas status pemiliknya, dengan luas wilayah yang ekonomis dan memiliki sistem pengelolaan yang jelas berdasarkan rencana kerja yang rasional (Simon 1994). Pengelolaan hutan lestari adalah proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu yang jelas dalam menghasilkan barang dan jasa hutan yang diperlukan secara bekelanjutan, tanpa adanya pengurangan nilai dan produktifitas hutan di masa yang akan datang dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial (ITTO 1998). Konsep pengelolan hutan lestari berlandaskan pada pandangan hutan sebagai ekosistem, yaitu sistem sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Oleh karenanya maka pengelolaan hutan haruslah dilaksanakan berlandaskan pada pendekatan yang bersifat menyeluruh dan utuh (holistic), terpadu (integrated), dan berkelanjutan (sustainable) (Helms 1998). Konsep kelestarian hasil mengandung unsur kenisbian. Salah satu unsur kenisbian ini adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, baik luas, volume kayu, nilai uang, atau jumlah batang pohon. Tak ada jaminan pemakaian salah satu ukuran hasil memberikan tingkat kelestarian yang sama apabila diukur oleh ukuran yang lain (Suhendang 1995). Secara teoritis ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan asas kelestarian, yaitu (Simon 1994) : 1. Ada jaminan kepastian kawasan hutan yang tetap dan diakui oleh semua pihak, baik rakyat, lembaga swasta maupun pemerintah. 2. Sistem perhitungan etat yang tidak over-cutting, sehingga dapat disusun rencana tebangan tahunan dengan asas kelestarian. 3. Adanya rumusan sistem permudaan yang menjamin permudaan kembali kawasan bekas tebangan yang berhasil baik.
Meyer et al. (1961), menyatakan terdapat beberapa tipe kelestarian hasil yaitu 1. Integral yield (hasil integral), hutan tersusun atas pohon dengan umur yang sama, ditanam pada saat yang sama dan ditebang pada saat yang sama pula. Tipe ini pada umumnya hanya berlaku untuk pemilikan hutan yang kecil, khususnya daur pendek sampai menengah. 2. Intermitten yield (hasil periodik), yaitu bila dalam kawasan hutan ada berbagai kelas umur, dengan demikian akan dapat ditebang dalam beberapa kali dalam interval waktu tertentu atau secara regulasi. 3. Annual yield (hasil tahunan), penebangan selalu siap dilakukan pada setiap tahun.
Karakteristik Masyarakat Desa Sekitar Hutan Desa hutan adalah wilayah desa yang secara geografis dan administratif berbatasan langsung dengan kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan. Sedangkan masyarakat desa hutan adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya (Perhutani 1988). Suhendang (2004) mengatakan aspek sosial hutan merupakan salah satu aspek
yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan dengan prinsip
pengelolaan hutan lestari. Fungsi sosial dan budaya hutan menyatakan kemampuan
hutan
dalam
memenuhi
kepentingan
masyarakat,
terutama
masyarakat di sekitar hutan dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut Alrasyid (1979) diacu dalam Sudjatmiko (1981) diperkirakan konsumsi energi yang berasal dari kayu oleh masyarakat desa mencapai 70-75% dari total kebutuhan energi rumah tangga. Hal ini dapat dipahami mengingat sebagian besar penduduk Indonesia bermukim di pedesaan dan pinggiran kota dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah. Konsumsi kayu, terutama di desa yang semakin jauh dari kota cenderung semakin tinggi. Ini merupakan indikasi bahwa di daerah-daerah dengan aksesibilitas rendah, konsumsi kayu bakar perkapita semakin meningkat karena pertambahan penduduk dan jenis-jenis bahan bakar subsitusi seperti minyak tanah kurang tersedia.
Kelangkaan sumberdaya telah menyebabkan masyarakat desa hutan sangat tergantung dengan hutan-hutan di sekitarnya, baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Salah satu pemecahan masalah langkanya sumberdaya lahan dan kesempatan kerja di desa-desa sekitar hutan adalah dengan meningkatkan kesempatan menghasilkan pangan, makanan ternak, dan persedian kayu bakar di dalam kawasan hutan tanpa harus mengorbankan fungsi hutan itu sendiri (Andajani 1997). Struktur masyarakat pedesaan, khususnya di Jawa menurut Soedjatmoko (1980), dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu ; 1. Golongan pertama adalah mereka yang memilki tanah cukup besar untuk kehidupan yang cukup bagi keluarganya. 2. Golongan kedua, terdiri dari petani yang memiliki atau menguasai tanah yang luasnya atau kualitasnya marginal, sehingga kehidupan keluarganya sangat tergantung dari kesempatan kerja sampingan, selain karena faktor iklim dan faktor pasar. 3. Golongan ketiga, yang makin lama makin besar jumlahnya baik di Indonesia maupun di Asia pada umumnya adalah mereka yang sama sekali tidak mempunyai tanah.
Analisis Sistem Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang mempunyai pengertian demikian, (Amirin 2001) : 1. Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian. 2. Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur. Muhammadi et al. (2001) mengatakan sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu. Sistem sebagai obyek didekati dengan berpikir sistem. Syarat awal untuk memulai berpikir sistem adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem (system approach). Sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan sesuatu kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan untuk
mencapai sesuatu atau beberapa tujuan dengan cara mengolah data dalam jangka waktu tertentu guna menghasilkan informasi (Amirin 2001). Sistem dinamis adalah adalah sistem yang secara tetap dan terus-menerus berubah, sistem mengatur diri sendiri, mengarahkan dan berperilaku sesuai tujuan (Amirin 2001). Amirin (2001) mengatakan ciri-ciri sistem adalah berorientasi pada tujuan dan perilakunya atau segala kegiatannya memiliki tujuan. Rumusan ciri-ciri pokok sistem diantaranya : 1. Sistem mempunyai tujuan. 2. Sistem mempunyai batas. 3. Suatu sistem terdiri dari beberapa subsistem. 4. Terdapat saling hubungan dan saling ketergantungan baik di dalam sistem maupun anatara sistem dan lingkungannya. 5. Sistem memiliki mekanisme kontrol dengan memanfaatkan tersedianya umpan balik. 6. Adanya mekanisme kontrol, maka sistem dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sistem secara garis besar dapat digolongkan pada dua golongan penggunaan, yaitu (Amirin 2001): 1. Sistem sebagai suatu wujud (“Entitas”) Suatu sistem dianggap merupakan suatu himpunan bagian yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan satu kesatuan. Sistem sebagai suatu entitas pada dasarnya bersifat deskriptif. 2. Sistem sebagai suatu metode Sistem dipergunakan untuk menunjukkan tata cara (prosedur), jadi bersifat (preskriptif). Konsep pengertian sistem sebagai suatu metode ini dikenal dalam pengertian umum sebagai pendekatan sistem (system approach) yang merupakan penerapan metode ilmiah di dalam usaha memecahkan masalah. Validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah (Muhammadi et al 2001). Untuk mengetahui validitas
model sesuai dengan tujuan penyusunan model tersebut dilakukan melalui seperangkat tahapan pengujian yang meliputi empat aspek, yaitu (Simon 1993) : 1. Validasi struktural (structural validity) untuk menunjukkan bahwa model yang telah diciptakan mempunyai hubungan yang erat dengan sistem yang senyata di lapangan, khususnya ditinjau dari saling keterkaitan antara struktur sistem tersebut. 2. Validasi watak (behavioral validity) untuk menunjukkan bahwa model yang diciptakan menghasilkan dinamika watak yang sama dengan sistem yang senyata di lapangan, khususnya ditinjau dari hubungannya dengan lingkungan sistem tersebut. 3. Validasi empirik (empirical validity) yaitu hasil perhitungan atau logika yang diperoleh dari model yang diciptakan sesuai dengan data empirik untuk sistem yang senyata di lapangan. 4. Validasi aplikasi (application validity) untuk menunjukkan bahwa model yang telah dirumuskan berhubungan erat dengan tujuan studi dan model tersebut dapat menyediakan informasi yang serupa dengan sistem yang senyata di lapangan. Simulasi adalah suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab-akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem sebenarnya (Eriyatno 1998). Simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses yang bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku gejala dan proses yang terjadi (Muhammadi et al 2001). Menurut Eriyatno (1998), analisis sistem didefinisikan sebagai gugus kriteria prilaku sistem yang kemudian dievaluasikan. Analisis sistem didasarkan pada penentuan informasi yang terperinci yang dihasilkan melalui tahap-tahap tertentu. Analisis sistem dapat juga didefinisikan sebagai studi yang dibentuk dari satu atau beberapa sistem, atau sifat-sifat umum dari sistem. Analisis sistem merupakan aplikasi yang bersifat paling langsung dari metode ilmiah untuk suatu masalah yang mencakup sistem yang kompleks. Analisis sistem merupakan kesatuan dari teori-teori dan tehnik untuk mempelajari,
menggambarkan, dan membuat prediksi tentang sesuatu yang kompleks yang besarnya dicirikan dengan penggunaan prosedur matematis tingkat tinggi serta penggunaan komputer (Grant et al 1997). Dikatakan juga oleh Grant et al, analisis sistem menekankan pendekatan holistik pada pemecahan masalah dan penggunaan model matematis untuk mengidentifikasi serta mensimulasikan karakter-karakter dalam suatu sistem yang kompleks. Banyak
Banyak Data Rendah Pemahaman (Statistik)
Banyak Data Baik Pemahaman (Matematis)
Sedikit Data Rendah Pemahaman
Sedikit Data Baik Pemahaman
Jumlah Data Relatif
Analisis Sistem dan Simulasi
Sedikit Tingkat Pemahaman Relatif Rendah
Tinggi
Gambar 1 Perbandingan metode pemecahan masalah dalam lingkup pemahaman relatif dan jumlah data relatif (Grant et al 1997).
Menurut Muhammadi et al. (2001), untuk memahami gejala atau proses dari suatu model dapat dilakukan dengan mengidentifikasi
tahapan dasar dalam
pengembangan dan penggunaan model sistem, yaitu : 1.
Formulasi Model Konseptual Langkah awal dalam analisis sistem untuk menentukan komponenkomponen yang berperan dalam proses yang akan ditirukan sesuai dengan tujuan dari model yang akan dibentuk. Komponen ini saling berhubungan dan berinteraksi sehingga dapat dirumuskan sebagai model dalam bentuk uraian, gambar, atau rumus.
2.
Formulasi Model Kualitatif Pengembangan model kualitatif dari keterkaitan sistem dengan menjelaskan aturan aliran material dengan menggunakan model yang berbentuk rumusrumus matematik, statistik, atau komputer. Pembentukan model kuantitatif
ditujukan untuk masing-masing nilai variabel dan menterjemahkan setiap hubungan antar variabel dan komponen penyusun model tersebut ke dalam persamaan persamaan matematik untuk dapat dilakukan simulasi. 3.
Simulasi Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Dalam model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, dimana perhitungan dilakukan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses.
4.
Evaluasi model Pada tahapan ini dilakukan pengujian terhadap model yang telah disimulasikan, yaitu sejauh mana interaksi variabel model dapat mendekati interaksi kejadian nyata. Model dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan kecil.
5.
Penggunaan model Hasil simulasi yang telah dievaluasi selanjutnya dapat digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderungannya di masa mendatang.
Penelitian yang telah dilakukan Sumadi (2002), melakukan penelitian penyusunan model simulasi pengaturan hasil yang paling sesuai di KPH Blora. Metode Von Mantel merupakan metode yang paling sesuai diterapkan di KPH Blora. Pengaturan hasil dengan metode Von Mantel yang berfluktuasi dapat menghasilkan volume kayu tebangan sebesar 732.956,84 m3 sedangkan pada metode Burn statis yang ditetapkan 10 tahun sekali saat penyusunan buku RPKH volume kayu tebangan yang dapat dihasilkan sebesar 671.163,45 m3. Penyerapan tenaga kerja penanaman rata-rata tiap tahunnya metode Von mantel fluktuasi sebesar 706 orang/tahun, sedangkan pada metode Burn statis sebanyak 702 orang/tahun. Triono (2002), melakukan penelitian penyusunan model simulasi pengaturan hasil kelas perusahaan Pinus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penerapan metode von mantel dinamis lebih baik dalam hal besarnya etat massa, penerimaan KPH dan penyerapan tenaga kerja dibanding metode Burn statis. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penerapan metode von mantel dinamis daur 20 tahun merupakan daur yang terbaik dalam hal besarnya etat massa, penerimaan KPH, penyerapan tenaga kerja di banding metode Burn statis. Munandar (2005), melakukan penelitian penyusunan model pengaturan hasil kelas perusahaan Jati yang mempertimbangkan aspek gangguan berupa pencurian kayu di KPH Cepu. Hasil penelitian menunjukkan metode Burn dalam pengaturan hasil di KPH Cepu memiliki prospek kelestarian yang rendah karena untuk memperoleh jumlah tebangan yang kurang lebih sama setiap tahun membutuhkan waktu lebih dari satu daur. Metode Burn tidak mampu merespon terhadap penurunan potensi akibat pencurian pohon. Penggunaan etat volume dinamis lebih disukai dibandingkan dengan etat volume berdasarkan metode Burn karena mampu merespon penurunan potensi tegakan akibat pencurian kayu. Penelitian model simulasi pengaturan hasil pada hutan alam juga telah dilakukan, seperti pada penelitian Aryanto (2001), dengan tujuan mencari metode pengaturan hasil yang lebih baik ditinjau dari segi finansial dan kelestarian hutan. Hasil penelitian menunjukkan pengaturan hasil adaptif mampu memberikan keuntungan finansial yang lebih besar dibandingkan pengaturan hasil dengan siklus 20 tahun, 35 tahun dan 50 tahun. Hal ini disebabkan pengaturan hasil adaptif, penebangan dilakukan pada saat harga optimum.
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung Perum Perhutani unit I Jawa Tengah
pada bulan Oktober –
Desember 2004 Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan untuk penelitian ini yaitu : alat tulis, kalkulator, komputer, software microsoft Excel, Minitab 13, dan Stella 8. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder
yang
digunakan untuk proses simulasi. Jenis dan Sumber Data 1. Data Primer Data primer yang dikumpulkan meliputi data pendapatan dan pengeluaran serta data konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar masyarakat desa sekitar hutan dari setiap KPH. Konsumsi kayu berasal dari kawasan hutan KPH Blora, Cepu dan Randublatung. Data diperoleh melalui wawancara dan kuisioner dari 40 rumah tangga yang dipilih secara acak dari setiap desa yang dijadikan desa contoh.
Desa contoh yang
dipilih sebanyak 10 desa. Pemilihan desa contoh dilakukan secara purposive, artinya desa contoh yang dipilih merupakan desa-desa yang lokasinya berbatasan langsung dengan hutan. 2. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi : a. Data luas areal produktif, KBD rata-rata, bonita rata-rata. b. Data biaya pengelolaan hutan. c. Harga kayu pertukangan dan kayu bakar. d. Data jumlah penduduk sekitar hutan, persen kelahiran dan persen kematian. e. Data jumlah angkatan kerja, jumlah penduduk yang bekerja.
Analisis Data A. Penentuan Etat
Dalam penetuan etat, metode pengaturan hasil yang digunakan adalah Metode Burn, Metode Cotta, dan Metode Von Mantel. Data yang digunakan dalam penentuan etat meliputi luas areal produktif, KBD rata-rata, dan bonita rata-rata. 1. Metode Burn
Keterangan :
UTR = U + U=
D 2
∑ Xi.Li ∑ Li
Untuk penentuan etatnya : L EtatLuas = D EtatVolume =
V1 + V 2 D
UTR =
Umur tebang rata-rata (th)
U
=
Umur rata-rata kelas umur ke-i (th)
Xi
=
Umur tengah kelas umur ke-i (th)
Li
=
Luas areal kelas umur ke-i (ha)
D
=
Daur (tahun)
L
=
Luas areal produktif (ha)
V1
=
Volume kayu tegakan kelas umur pada UTR (m3)
V2
=
Volume kayu tegakan miskin riap (m3)
Keterangan :
2. Metode Cotta
AY =
V + 1/2I R
AY
= panen tahunan (m3/th)
V
= volume total/tegakan persediaan (m3)
I
= riap
total
dari
volume/riap
3
nyata (m /th) R
= daur (tahun)
4. Metode Von Mantel
AY =
2AG kayu R
miskin riap (
tegakan
Keterangan : AY
= hasil tahunan (m³/th)
AG
= tegakan persediaan nyata (m³)
R
= daur (tahun)
B. Pendekatan Sistem Tahapan analisis sistem yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan atas tahapan yang dilakukan Grant et al. (1997), yaitu : 1. Formulasi Model konseptual Tujuan tahapan ini adalah untuk menentukan suatu konsep dan tujuan model sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual ini didasarkan pada keadaan nyata di alam dengan segala sistem yang terkait antara yang satu dengan yang lainnya serta saling mempengaruhi sehingga dapat mendekati keadaan yang sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam dimasukkan dalam simulasi dengan memperhatikan komponen-komponen yang terkait sesuai dengan konsep dan tujuan melakukan permodelan simulasi. Tahapan ini terdiri dari enam langkah sebagai berikut : a. Menentukan tujuan model. b. Batasan model. c. Kategorisasi komponen-komponen dalam sistem. Setiap komponen yang masuk dalam ruang lingkup sistem dikategorisasikan ke dalam berbagai kategori sesuai dengan karakter dan fungsinya sebagai berikut : c. 1. state variable, yang menggambarkan akumulasi materi dalam sistem. c. 2. driving variable, variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain namun tidak dapat dipengaruhi oleh sistem. c. 3. konstanta adalah nilai numerik yang menggambarkan karakteristik sebuah sistem yang tidak berubah atau suatu nilai yang tidak mengalami perubahan pada setiap kondisi simulasi. c. 4. auxilary variable, variabel yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi sistem. c. 5. material transfer, menggambarkan transfer materi selama periode tertentu. Mateial transfer terletak diantara dua state, source dan state, state dan sink. c. 6. information transfer, menggambarkan penggunaan informasi tentang state dari sistem untuk mengendalikan perubahan state.
c. 7. source dan sink, berturut-turut menggambarkan awal dimulainya proses dan akhir dari masing-masing transfer materi. d. Pengidentifikasian hubungan antar komponen. e. Menyatakan komponen dan hubungannya dalam model yang lazim. f. Menggambarkan pola yang diharapkan dari perilaku model. g. Menentukan pola perilaku dari model sesuai dengan pengetahuan dan teori yang ada.
2. Spesifikasi model kuantitatif Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengembangkan model kuantitatif dari sistem yang diinginkan. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : a. Memilih struktur kuantitatif umum untuk model. b. Memilih unit waktu dasar untuk simulasi. c. Mengidentifikasi bentuk-bentuk fungsional dari persamaan model. d. Menduga parameter dan persamaan model. e. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi. f. Menjalankan simulasi acuan (baseline simulation). g. Menetapkan persamaan model.
3. Evaluasi model Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengetahui keterandalan model yang dibuat sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Langkah evaluasi yang ditempuh adalah sebagai berikut : a. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model. b. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan. c. Membandingkan model dengan sistem nyata. Membandingkan model dengan sistem nyata dapat dilakukan dengan menggunakan uji beda khi-kuadrat. Model dianggap dapat menjelaskan kondisi aktual apabila keragaman populasi hasil analisis model tidak berbeda nyata dengan keragaman populasi aktual. Uji khi-kuadrat sebagai berikut : X 2 hitung = ∑ (Yaktual − Ymodel ) 2 / Yaktual
Hipotesis uji : Ho : Y model = Y aktual H1 : Y model ≠ Y aktual Kriteria uji : X2 hitung < X2 tabel : terima Ho X2 hitung > X2 tabel : tolak Ho 4. Penggunaan Model Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan dan simulasi dari beberapa skenario hasil simulasi yang telah dievaluasi, sehingga dapat digunakan untuk memahami
perilaku model serta mengetahui
kecenderungannya di masa mendatang. Skenario dilakukan pada variabel konsumsi kayu, baik kayu pertukangan maupun kayu bakar. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah mengetahui pengaruh tingkat konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar terhadap besarnya fluktuasi produksi kayu (etat volume), jumlah pencurian pohon serta keuntungan yang diperoleh perusahaan. Untuk keperluan tersebut disusun suatu skenario untuk mengetahui tingkat perubahan yang terjadi. Skenario-skenario yang akan dijalankan adalah :
Skenario 1
: Konsumsi kayu bakar dinaikkan sebesar 0% , 50% dan 100%
Skenario 2
: Konsumsi kayu pertukangan dinaikkan sebesar 0%, 50% dan 100%.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Letak KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung secara astronomis dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Letak astronomis KPH Blora, Cepu dan Randublatung Blora Cepu Bujur Timur 111016’ - 111033’ 111016’ - 111033’ 06052’ - 07024’ Lintang Selatan 06028’ - 07048’ Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung
Randublatung 111025’ - 111040’ 07005’ - 07020
Berdasarkan letak geografis dari wilayah hutannya ketiga KPH yaitu Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu, Kesatuan Pemangkuan Hutan Randublatung, dan Kesatuan Pemangkuan Hutan Blora mempunyai wilayah yang saling berbatasan satu sama lain sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Batas geografis wilayah hutan KPH Blora, Randublatung, dan Cepu Batas Sebelah KPH Blora KPH Cepu Utara KPH Mantingan dan Pati KPH Kebonharjo Timur KPH Cepu KPH Parengan Selatan KPH Randublatung Bengawan Solo Barat KPH Purwodadi KPH Randublatung Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung
KPH Randublatung KPH Blora KPH Cepu KPH Ngawi KPH Gundih
Luas kawasan hutan KPH Blora adalah 15.000 Ha dan dibagi dalam 6 BKPH dan 1 Kring Hutan. Pembagian hutan KPH Blora secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Pembagian hutan KPH Blora No
Bagian Hutan
BKPH
Kalonan 1
Kunduran Ngawenombo
Ngapus 2
Ngawen Nglawung
Tabel 3 Lanjutan
RPH Watuondo Jembangan Kalonan Gelam Ngawenombo Bradag Gunungan Gendongan Krocok Wotbakah Sumberejo Nglawungan
Luas (Ha) 663,5 752,2 720,2 1.188,6 1.062,0 599,7 1.098,9 1.019,8 837,5 921,5 991,3 930,4
Ngrangkang 3
Banjarejo Kalisari
Kepitu Sambonganyar Wegil Kalisari Kedungkenong
Luas Hutan Luas Alur Luas Total Sumber : Buku RPKH KPH Blora
896,9 720,4 893,4 754,4 804,6 14.855,9 144,1 15.000
Kawasan hutan KPH Cepu berada pada dua wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Blora (Propinsi Jawa Tengah) dan Kabupaten Bojonegoro (Propinsi Jawa Timur). KPH Cepu yang mempunyai luas 33.109,9 Ha terbagi atas dua Sub KPH Cepu Utara dan Sub KPH Cepu Selatan yang masing-masing terdiri dari 6 BKPH. Rincian pembagian wilayah kerja disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Pembagian wilayah kerja KPH Cepu No
Sub KPH
BKPH Wonogadung Cabak Nglebur 1 Cepu Utara Kedewen Nanas Sekaran Jumlah Sub KPH Cepu Utara Blungun Pasarsore Ledok 2 Cepu Selatan Pucung Kendilan Nglobo Jumlah Sub KPH Cepu Selatan Jumlah luas KPH Cepu Sumber : Buku RPKH KPH Cepu
Luas (Ha) 2.421 2.650,5 2.624,1 2.739,8 2.576,9 3.208,5 16.220,8 2.360 2.993,5 2.938,2 2.681,9 3.004 2.911,5 16.889,1 33.109,9
Selain dibagi kedalam Sub KPH dan BKPH, wilayah hutan KPH Cepu dikelompokan dalam 7 bagian hutan (BH) yaitu Bagian Hutan Payaman (3.376,3 Ha), Bagian Hutan Cabak (4.506,8 Ha), Bagian Hutan Nanas (4.960,6 Ha), Bagian Hutan Ledok (4.435,3 Ha), Bagian Hutan Kedewan (5.949,1 Ha), Bagian Hutan Kedinding (5.088,9 Ha) dan Bagian Hutan Blungun (4.792,9 Ha). Luas KPH Randublatung adalah 32.464,1 Ha yang terletak pada dua tempat, yaitu di Kabupaten Blora sebesar 32.131,2 Ha (98,97%) dan sisanya
seluas
332,9 Ha (1,03%) berada di Kabupaten Grobogan. KPH Randublatung
dibagi menjadi 6 bagian hutan, uraian rinci tersaji pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Pembagian Bagian Hutan KPH Randublatung No 1 2 3 4 5 6
Bagian Hutan Doplang Bekutuk Ngilron Randublatung Banyuurip Banglean Jumlah Sumber : Buku RPKH KPH Randublatung
Luas (Ha) 5.894,8 4.907,2 6.336,2 5.216,6 5.128,7 4.980,8 32.464,1
Geologi dan Topografi Kawasan hutan di KPH Blora, Cepu dan Randublatung terletak di lereng Gunung Kendeng Utara, yang memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda karena letaknya berdekatan dan berbatasan antara satu KPH dengan yang lain, seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6 Keadaan geologi dan topografi KPH Blora, Cepu dan Randublatung KPH Blora Topografi
KPH Cepu
KPH Randublatung
Berbatu (batu kapur),
Miring, lereng, sebagian
Datar, miring, berbukit,
datar, berombak,
berbatu (batu kapur), sedikit
berombak, ergelombang
bergelombang sampai
berbukit, dan berombak/
kebanyakan tidak terlalu
berbukit.
bergelombang.
curam.
Batuan Kapur.
Batuan beku, Batuan semen
Endapan kapur, tanah
(Bahan
keror, Batuan sedimen
liat/lempung, dan napal.
Induk)
keror, margel, List Tuf
Geologi
Volkan, Batu kapur keras, dan Tuf Volkan Basa. Ketinggian
30-280 mdpl
30-250 mdpl
10-250 mdpl
Jenis
Regosol, Grumosol,
Latosol, Grumusol,
Aluvial, Litosol, Regosol,
Tanah
dan Mediteran.
Mediteran, dan Aluvial.
Grumusol, dan Mediteran.
Tempat
Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung
Iklim dan Curah Hujan Kabupaten Blora secara umum mempunyai kondisi tanah yang kering dan tandus dengan curah hujan yang sangat rendah terutama di musim kering. Curah hujan relatif banyak jatuh pada bulan Nopember sampai Februari, sedangkan bulan Juni sampai September merupakan bulan kering (kemarau). Iklim dan curah hujan di ketiga Kesatuan Pemangkuan Hutan relatif sama karena daerahnya saling berdampingan. Tipe iklim di ketiga Kesatuan Pemangkuan Hutan ini termasuk dalam tipe iklim C-D Schmidt and Ferguson (1951), seperti terlihat pada Tabel 7. Tabel 7 Tipe iklim dan curah hujan di KPH Blora, Cepu dan Randublatung
Tipe Iklim (Schmid dan Ferguson)
Cepu Tipe Iklim C Nilai Q rata-rata 50% 1636
KPH Randublatung Tipe Iklim C-D Nilai Q rata-rata 48% 1632
Curah Hujan Rata-rata per tahun (mm/tahun) Sumber : Buku RPKH KPH Blora, Cepu dan Randublatung
Blora Tipe Iklim C Nilai Q rata-rata 58% 1644
Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi sosial ekonomi masyarakat dapat dilihat dari data keadaan penduduk, luas kepemilikan lahan rata-rata, dan pendapatan per kapita. Tabel 8 Jumlah penduduk, kepadatan dan rata-rata luas kepemilikan lahan per kecamatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kecamatan
Jumlah Desa
Luas (Km2)
Jati 12 183,62 Randublatung 18 211,13 Kradenan 10 109,51 Kedungtuban 17 106,86 Cepu 17 49,15 Sambong 10 88,75 Jiken 11 168,17 Jepon 25 107,72 Tunjungan 15 101,82 Banjarejo 20 55,57 Ngawen 29 100,98 Kunduran 26 127,98 Todanan 25 128,74 Jumlah 295 1820,59 Sumber : BPS Kabupaten Blora, 2002
Jumlah Penduduk (Orang) 47.948 72.252 38.248 54.064 73.904 26.402 35.963 57.736 43.035 55.581 58.974 62.872 56.407 826.229
Kepadatan Penduduk (Orang/Km2) 261 342 349 506 1.504 297 214 534 423 537 584 491 438 6.480
Rata-rata Luas Kepemilikan Lahan (ha/KK) 0,39 0,4 0,45 0,53 0,23 0,45 0,35 0,42 0,47 0,45 0,49 0,52 0,56 0,4
Luas Kabupaten Blora 1.820,59 Km2. Jumlah penduduk Kabupaten Blora seluruhnya berjumlah 826.229 orang yang terdiri 407.921 orang laki-laki dan 418.308 orang perempuan. Distribusi penduduk rata-rata sebesar 454 orang/Km2. Rata-rata luas kepemilikan lahan 0,4 ha/KK. Keadaan sosial ekonomi masyarakat secara kumulatif di KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung masih tergolong rendah, hal ini sangat dipengaruhi oleh keadaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang sebagian besar berinteraksi langsung dengan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehariharinya. Keadaan penduduk di masing-masing KPH secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut : 1. Kesatuan Pemangkuan Hutan Blora. Jumlah penduduk dari desa yang berbatasan langsung dengan hutan sebanyak 137.860 jiwa (34.629 KK). Rata-rata jumlah anggota keluarga dalam KK sebanyak 4 orang. Besarnya persentase kelahiran pada desa yang berbatasan dengan hutan sebesar 0,69% dan persentase kematian sebesar 0,22%. Jumlah desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan KPH Blora seluruhnya berjumlah 55 desa yang tersebar pada 5 kecamatan. Kecamatan Banjarjo terdapat 6 desa, Kecamatan Japah terdapat 13 desa,
Kecamatan
Kunduran 8 desa, Kecamatan Ngawen 8 desa, Kecamatan Todanan 17 desa, dan Kecamatan Tunjungan terdapat 3 desa. Berdasarkan data stasistik Kabupaten Blora tahun 2001 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk untuk setiap kecamatan yang termasuk kedalam wilayah KPH Blora seperti terlihat pada Tabel 9. Tabel 9
Jumlah Penduduk menurut Kecamatan Wilayah KPH Blora Tahun 1997-2001
Kecamatan 1997 1998 Tunjungan 42.161 42.457 Banjarejo 55.845 55.774 Ngawen 55.818 56.163 Japah 32.334 32.676 Kunduran 61.184 61.599 Todanan 55.807 55.993 Sumber : BPS Kabupaten Blora, 2002
1999
2000
2001
42.689 55.557 58.053 32.705 62.499 56.200
43.035 55.575 58.974 32.359 62.872 56.407
43.050 55.581 59.099 32.812 63.595 56.743
Mata pencaharian sebagian besar penduduk sekitar hutan di bidang pertanian sebesar 73,86%, kemudian di bidang jasa sebesar 10,57%, perdagangan 7,90%, industri dan angkutan masing-masing sebesar 1,65% dan 1,02% serta lainnya termasuk Pegawai Negri Sipil (PNS) dan TNI sebesar 5%. Angkatan kerja yang ada pada 55 desa sekitar hutan sebesar 79,20% dari jumlah total penduduk. Persentase yang bekerja dari angkatan kerja sebesar 67,03% sedangkan yang lainnya sebagai pengangguran.
Pendidikan formal penduduk sekitar hutan
sebagian besar hanya sampai tingkat Sekolah Dasar, dengan persentase 70%, sedangkan yang berpendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama kurang lebih 17%, dan Sekolah Menengah Atas kurang lebih 11%. 2. Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu. Hubungan masyarakat di sekitar wilayah kerja KPH Cepu, baik yang masuk daerah Pemerintahan Kabupaten Blora maupun Kabupaten Bojonegoro dengan hutan masih cukup tinggi, tetapi interaksi negatif lebih dominan dibandingkan dengan interaksi yang positif. Hal ini disebabkan karena potensi lapangan kerja baik di bidang pertanian maupun di bidang industri masih sangat terbatas. Tabel 10 Kepadatan penduduk desa sekitar hutan KPH Cepu No 1 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
Kabupaten /Kecamatan
Luas (Km2)
BLORA Jepon 107,72 Jiken 168,17 Kedung Tuban 106,86 Sambong 88,75 Cepu 49,15 Jumlah 1 520,65 2 BOJONEGORO 2.1. Malo 51,91 2.2. Kedewan 68,30 2.3. Kasiman 57,23 Jumlah 2 177,44 Jumlah 1 + 2 698,09 Sumber : Buku RPKH KPH Cepu
Jumlah Desa
Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan Jumlah
Kepadatan Km2/Jiwa
25 11 17 10 11 74
28.576 18.572 26.575 13.076 36.416 123.215
29.160 18.305 27.279 13.383 37.749 125.876
57.736 36.877 53.854 26.459 74.160 249.086
536 219 507 298 1.509 3.069
10 20 5 35 109
12.821 14.851 5.852 33.524 156.739
13.238 15.148 6.021 34.407 160.283
26.059 29.999 11.873 67.931 317.017
502 439 208 1.149 4.218
Lahan pertanian (berupa sawah dan tegalan) yang ada di sekitar wilayah kerja KPH Cepu luasnya sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan keadaannya tidak subur. Sedangkan pemilik ternak besar di sekitar
wilayah kerja KPH Cepu sangat tinggi, keadaan ini merupakan salah satu ancaman terhadap keamanan hutan utamanya untuk tanaman muda. 3. Kesatuan Pemangkuan Hutan Randublatung. Kawasan hutan KPH Randublatung secara administratif, masuk wilayah Kabupaten Dati II Blora. Kabupaten Blora dengan luas 182.059 Ha terbagi kedalam 4 wilayah pembantu Bupati yang meliputi 14 Kecamatan, sedangkan yang berdekatan dengan KPH Randublatung ada 5 Kecamatan, yaitu Kecamatan Jati, Randublatung, Kradenan, Jepon, dan Banjarejo. Jumlah penduduk dalam kecamatan yang termasuk wilayah kerja KPH Randublatung di sekitar hutan sebesar 271.765 orang yang terdiri dari 135.102 orang laki-laki dan 136.663 orang perempuan. Adapun penyebaran penduduk untuk tiap kecamatan yang ada disekitar wilayah KPH Randublatung terlihat pada Tabel 11. Tabel 11 Penyebaran penduduk tiap kecamatan sekitar wilayah KPH Randublatung No
Laki-laki 23.773
Jumlah Penduduk Perempuan 24.175
Jumlah 47.948
Kecamatan
1
Jati
2
Randublatung
35.949
36.303
72.252
3
Kradenan
19.151
19.097
38.248
4
Jepon
28.576
29.160
57.736
5
Banjarejo
27.653
27.928
55.581
135.102
136.663
271.765
Jumlah Sumber : Buku RKPH KPH Randublatung
Berdasarkan data yang terhimpun diketahui bahwa luas kepemilikan tanah tiap desa rata-rata yang terendah berada di desa-desa wilayah kecamatan Randublatung yaitu seluas 198,0 Ha/desa, sedangkan rata-rata kepemilikan tanah tiap desa dalam 5 kecamatan adalah 218 Ha/desa. Sebagian besar penduduk desa sekitar hutan banyak yang bercocok tanam di lahan kering (tegalan) dan menempati sekitar 45% dari seluruh pemilikan tanah. Pada usaha tani rata-rata luas lahan yang mereka miliki adalah 0,25 Ha, baik itu lahan milik maupun menggarap lahan milik Perhutani. Sebagian besar masyarakat berpendidikan yang berada di wilayah kecamatan Randublatung sekitar 32%. Berdasarkan data yang didapat bahwa penduduk sekitar hutan 75% berpendidikan SD ke bawah. Masyarakat sekitar
hutan yang mata pencahariannya bercocok tanam sebesar 88% dan berdagang 7%, sisanya sebesar 5% bekerja di bidang lain.
Potensi Hutan Hutan Jati di Kabupaten Blora merupakan gabungan dari tiga KPH dengan potensi produktifitas yang besar, sehingga menjadi andalan utama produksi kayu Jati bagi Perhutani. Potensi hutan yang ada di masing-masing KPH dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Kondisi dan potensi hutan di KPH Cepu, Randublatung, dan Blora KPH Cepu
KPH Randublatung
KPH Blora
30.408,55
31.609,17
9.848,10
1.894,3
854,93
144,40
Kelas Umur (KU) I
3.584,30
3.962,47
1.973,20
Kelas Umur (KU) II
3.329,30
4.452,19
1.926,60
Kelas Umur (KU) III
3.314,80
4.483,75
1.623,10
Kelas Umur (KU) IV
4.354,25
4.611,15
840,40
Kelas Umur (KU) V
1.931,00
2.353,18
443,20
Kelas Umur (KU) VI
1.880,40
2.071,10
501,80
Kelas Umur (KU) VII
1.447,90
2.697,24
581,50
Kelas Umur (KU) VIII
1.689,30
1.892,56
458,60
Kelas Umur (KU) IX
214,30
423,60
398,9
Mt
93,70
253,45
187,40
Mr
1.211,10
1.456,44
913,30
Tjbk
4.824,50
1.227,84
2.060,40
Tk
1.711,80
418,40
1.137
Ltjl
296,30
328,42
192,90
Tkl
448,50
73,00
15,80
Tjkl
1.619,40
904,38
1.254,25
Ldti
203,15
180,33
28,15
Alur
559,00
568,70
Keadaan (Ha) -
Produksi
-
Bukan Produksi
Potensi (Ha)
Hutan Lindung 71,40
Terbatas
Sumber : Buku RPKH KPH Cepu, Randublatung, dan Blora Keterangan : Mt
: Masak tebang
Ltjl
: Lahan tebang jangka lampau
Mr
: Miskin Riap
Ldti
Tk
: Tanah Kosong
Tjbk : Tanaman jati bertumbuhan kurang
Tkl
: Tanaman Kayu Lain
: Lahan dengan tujuan istimewa
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kelestarian Hasil Kegiatan pengelolaan hutan tanaman oleh Perum Perhutani pada saat sekarang menggunakan metode pengaturan hasil yang bersifat statis, sementara kondisi hutan sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat beragam dan dinamis. Pengaruh sosial ekonomi masyarakat merupakan salah satu faktor dinamis yang sangat berperan dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan yang lestari sangat terkait dengan perubahan faktor sosial ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan. Salah satu tahapan dalam pengaturan hasil adalah penentuan etat (Simon 1994). Untuk menentukan jatah penebangan, Perhutani melakukan penentuan etat yang dilakukan pada areal tebang habis berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No : 143/Kpts./Dj/I/7a tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan, Khusus Kelas Perusahaan Tebang Jati (Perum Perhutani 1974). Etat kelas perusahaan ditentukan berdasarkan metode kombinasi antara luas areal dan volume kayu. Pada KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung, daur yang digunakan untuk setiap KPH adalah 80 tahun. Daur ini merupakan daur pada waktu suatu jenis yang diusahakan sudah dapat menghasilkan kayu yang dapat dipakai untuk tujuan tertentu (Simon 1994). Besarnya luas penebangan ditentukan berdasarkan luas areal produktif tiap-tiap KPH dibagi dengan daur. Kelestarian hutan
tiap-tiap
KPH dapat diketahui berdasarkan tabel
tegakan persediaan hasil risalah yang dinyatakan dalam bentuk luas (ha) dan volume (m3). Luas tegakan persediaan hasil risalah awal rata-rata lebih besar dari luas tegakan persediaan hasil risalah sela. Hal ini menunjukkan adanya penurunan riap tegakan sebagai akibat gangguan terhadap tegakan hutan berupa pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Besarnya riap yang diperoleh dari selisih antara hasil risalah awal dan hasil risalah sela. Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan hasil risalah sela menurut kelas umur di tiap-tiap KPH disajikan pada tabel 13, 14, dan 15.
Tabel 13 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Blora Kelas Hutan
Tegakan Persediaan Hasil Risalah awal Luas (Ha) Volume (m3)
913,3 MT 187,4 MR 398,9 IX 458,6 VIII 581,6 VII 501,8 VI 443,2 V 840,4 IV 1.623.10 III 1.926.60 II 1.973.20 I Jumlah 9848,1 Sumber : Buku RPKH Blora
69410,8 23425 61642,017 74302,372 91159,984 65806,052 50910,384 67400,08 106897,37 105076,76 39424,536 755455,36
Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Luas (Ha) Volume (m3)
1188,7 187,4 358,3 430,3 462,5 496,2 287,9 628,4 1.001.70 1.219.80 1.720.80 7982
90341,2 23425 55368,1 69715,48 72492,25 65071,67 33071,65 50395,17 65971,96 66527,89 34385,03 626765,4
Luas total tegakan hasil risalah awal untuk KPH Blora sebesar 9.848,1 Ha, sedangkan luas total hasil risalah sela sebesar 7.982 Ha atau terjadi penurunan sebesar 18,94%. Volume tegakan hasil risalah awal sebesar 755.455,36 m3 sedangkan volume tegakan hasil risalah sela sebesar 626.765,4 m3 atau terjadi penurunan sebesar 17,03%. Tabel 14 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Cepu Tegakan Persediaan Hasil Risalah awal Luas (Ha) Volume (m3) 93,7 16491,2 MT 1211,1 75088,2 MR 214,3 45030,4 IX 1689,3 302044 VIII 1747,9 273936 VII 1880,4 241232 VI 1931 236092 V 4354,6 495133 IV 3134,8 232420 III 3329,3 197844 II 3584,3 52736,5 I Jumlah 23170,35 2168048,3 Sumber : Buku RPKH Cepu Kelas Hutan
Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Luas (Ha) Volume (m3) 69,1 12161,6 948,8 58825,6 230,8 48497,5 765,72 136910 1291,8 202455 735,4 94342,9 2392,23 292484 1911,2 217310 1834,9 136043 2349,9 139643 5687,4 83679,9 18217,25 1422351,7
Berdasarkan Tabel 14, diperoleh luas total tegakan hasil risalah awal KPH Cepu sebesar 23.170,35 Ha. Sedangkan luas total tegakan hasil risalah sela sebesar 18.217,25 Ha atau terjadi penurunan sebesar 21,37%. Untuk volume
risalah awal besarnya 2.168.048,3 m3; sedangkan untuk risalah sela besarnya 1.422.351,7 m3 atau terjadi penurunan sebesar 34,39%. Tabel 15 Data tegakan persediaan hasil risalah awal dan risalah sela KPH Randublatung Tegakan Persediaan Hasil Risalah awal Luas (Ha) Volume (m3) 1409,34 67944,28 MT 300,55 501,92 MR 17,4 3389,58 X 423,6 101973,47 IX 1892,56 342313,52 VIII 2697,24 466430,94 VII 2071,1 289935,67 VI 2353,18 250696,72 V 4611,15 487931,37 IV 4483,75 331310,93 III 4452,19 314033,84 II 3962,47 80413,36 I Jumlah 28657,13 2733486 Sumber : Buku RPKH Randublatung Kelas Hutan
Tegakan Persediaan Hasil Risalah Sela Luas (Ha) Volume (m3) 1060,5 67951 6,7 503 17,4 3389,58 186,4 44872,18 1188,7 215004,06 1180,9 204211,82 956,4 133887,53 2161,7 230297,35 1982,5 209779,33 2457,9 181617,87 3610,9 254693,71 7369 149544,62 22179 1627298,1
Untuk KPH Randublatung luas total tegakan persedian hasil risalah awal sebesar 28.657,13 Ha. Sedangkan luas total tegakan hasil risalah sela 22.179 Ha atau terjadi penurunan sebesar 22,6%. Untuk volume tegakan hasil risalah awal besarnya 2.733.486 m3, sedangkan hasil risalah sela sebesar 1.627.298,1 m3 atau terjadi penurunan sebesar 40,46%. Berdasarkan tabel hasil risalah awal dan risalah sela dari ketiga KPH, pertambahan luas hanya terjadi di KPH Cepu dan KPH Randublatung. Pada KPH Cepu luas tegakan persediaan hasil risalah awal lebih besar dari luas tegakan persediaan hasil sela pada KU I. Luas hasil risalah awal sebesar 3.584,3 Ha, sedangkan luas hasil risalah sela sebesar 5.687,4 Ha. KU I pada KPH Randublatung juga mengalami kenaikan dengan luas hasil risalah awal sebesar 3.962,47 Ha, sedangkan luas hasil risalah sela sebesar 7.369 Ha. Pengujian jangka waktu penebangan (cutting time test) merupakan pengujian terhadap kelestarian produksi selama daur berdasarkan luas tegakan areal produksi. Apabila jumlah kumulatif tahun-tahun penebangan selama daur yang diperoleh berbeda dengan daur yang telah ditetapkan, maka besarnya etat massa yang diperoleh pada pengujian awal akan dikoreksi untuk dilakukan
pengujian kembali. Etat massa diuji sampai menghasilkan perbedaan lebih kurang 2 tahun. Pengujian dibatasi sampai lima kali dengan alasan semakin banyak pengujian akan semakin lama waktu yang dibutuhkan tegakan untuk kembali membentuk suatu tegakan normal. Berdasarkan perhitungan jangka waktu penebangan dengan menggunakan tiga metode pengaturan hasil diperoleh hasil sebagai berikut. Tabel 16 Penentuan Etat dan Perhitungan Jangka Waktu Penebangan KPH
Cepu
Randublatung
Blora
Etat Massa Etat Massa Sebelum Setelah diuji diuji (m3/th) (m3/th)
Metode pengaturan hasil
Etat Luas (Ha/th)
Cotta
227.71
42.209,13
27.517,79
5
-0,51
Burn
227,71
28.137,96
29.544,86
2
-0,05
Von Montel
227,71
33.784,11
27.830,19
4
-0,15
Cotta
277,23
56.595,35
38.522,31
5
-1.78
Burn
277,23
33.455,85
38.949,20
4
-2,37
Von Montel
277,23
33.784,11
37.641,49
5
+5,30
Cotta
99,78
16.850,40
12.515,97
4
+2.17
Burn
99,78
13.551,80
12.880,11
3
-1,66
Von Montel
99,78
15.669,14
12.888,54
4
-1.51
Banyaknya Pengujian
Selisih JWP Daur
Sumber : Hasil Pengujian Etat KPH Cepu, KPH Randublatung dan KPH Blora
Pada KPH Cepu etat massa sebelum pengujian dengan menggunakan metode Cotta sebesar 42.209,13 m3/tahun. Metode Burn menghasilkan etat massa sebelum pengujian sebesar 28.137,96 m3/tahun. Metode Von Mantel memiliki etat massa sebelum pengujian sebesar 33.784,12 m3/tahun. Pengujian jangka waktu penebangan dengan metode Cotta dilakukan sebanyak lima kali dengan etat massa setelah diuji sebesar 27.517,79 m3/tahun. Untuk metode Burn pengujian dilakukan sebanyak dua kali dengan etat massa setelah uji sebesar 29.544,86 m3/tahun. Sedangkan untuk metode Von Mantel pengujian dilakukan sebanyak empat kali dengan etat massa setelah pengujian sebesar 27.830,19 m3/tahun.
Selisih jangka waktu penebangan kumulatif terbesar pada KPH Cepu terdapat pada metode Cotta yaitu -0,51 tahun dan selisih terkecil terdapat pada metode Burn sebesar -0,05 tahun. Untuk KPH Randublatung etat massa sebelum pengujian dengan menggunakan metode Cotta
sebesar 56.595,35 m3/tahun. Metode Burn
menghasilkan etat massa sebelum pengujian sebesar 33.455,85 m3/tahun. Metode Von Mantel memiliki etat massa sebelum pengujian sebesar 33.784,11 m3/tahun. Pengujian jangka waktu penebangan dengan metode Cotta dilakukan sebanyak lima kali dengan etat massa setelah diuji sebesar 38.522,31 m3/tahun. Untuk metode Burn pengujian dilakukan sebanyak dua kali dengan etat massa setelah uji sebesar 38.949,2 m3/tahun. Sedangkan untuk metode Von Mantel pengujian dilakukan sebanyak empat kali dengan etat massa setelah pengujian sebesar 37.641,49 m3/tahun. Selisih jangka waktu penebangan kumulatif terbesar
pada KPH
Randublatung terdapat pada metode Cotta yaitu 5,30 tahun dan selisih terkecil terdapat pada metode Burn sebesar 1,78 tahun. Untuk KPH Blora etat massa sebelum pengujian dengan menggunakan metode Cotta sebesar 16.850,4 m3/tahun. Metode Burn menghasilkan etat massa sebelum pengujian sebesar 13.551,8 m3/tahun. Metode Von Mantel memiliki etat massa sebelum pengujian sebesar 15669,14 m3/tahun. Pengujian jangka waktu penebangan dengan metode Cotta dilakukan sebanyak lima kali dengan etat massa setelah diuji sebesar 12.515,97 m3/tahun. Untuk metode Burn pengujian dilakukan sebanyak dua kali dengan etat massa setelah uji sebesar 12.880,11 m3/tahun. Sedangkan untuk metode Von Mantel pengujian dilakukan sebanyak empat kali dengan etat massa setelah pengujian sebesar 12.888,54 m3/tahun. Selisih jangka waktu penebangan kumulatif terbesar KPH Blora terdapat pada metode Cotta yaitu 2,17 tahun dan selisih terkecil terdapat pada metode Burn sebesar -1,51 tahun.
B. Konsumsi Kayu Tingkat konsumsi kayu pertukangan dan konsumsi kayu bakar merupakan salah satu faktor yang dirumuskan dalam tujuan pengelolaan hutan tanaman di Pulau Jawa (Simon, 1993). Tabel 17 menyajikan
total konsumsi kayu pada
masing-masing KPH. Tabel 17 Konsumsi kayu bakar dan kayu pertukangan di masing–masing KPH No
KPH
Jumlah Desa
Jmlah Penduduk (Jiwa)
1 Cepu 42 104.338 2 Randublatung 39 126.591 3 Blora 24 51.441 Sumber : Hasil survei responden tahun 2004
Total Konsumsi Kayu Bakar (sm/th) 3.113.445,92 2.288.403,59 971.720,49
Total Konsumsi Kayu pertukangan (m3/th)
45.008,72 47.956,26 15.689,55
Berdasarkan tabel 14 diperoleh, konsumsi kayu bakar tertinggi terdapat di KPH Cepu sebesar 3.113.445,92 sm/tahun. Untuk KPH Blora konsumsi kayu bakar memiliki nilai terendah sebesar 917.720,49 sm/tahun. Konsumsi kayu pertukangan terbesar pada KPH Randublatung dengan nilai 47.956,26 m3/tahun. Untuk KPH Cepu konsumsi kayu pertukangan sebesar 45.008,72 m3/tahun. Untuk KPH Blora konsumsi kayu pertukangan memiliki nilai terendah sebesar 15.689,55 m3/tahun. B.1. Konsumsi Kayu Bakar Kayu bakar mempunyai peranan yang sangat penting sebagai sumber energi tradisional, terutama bagi masyarakat pedesaan. Ketersediaan bahan bakar pengganti seperti minyak tanah, arang, dan gas diperkirakan konsumsi masyarakat terhadap kayu bakar cenderung menurun, namun dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk kecenderungan ini tidak berpengaruh besar terhadap konsumsi kayu bakar. Penggantian kayu bakar oleh sumber energi lain lebih banyak terdapat di daerah kota, sedangkan kayu bakar merupakan bahan bakar utama bagi masyarakat pedesaan. Meningkatnya kebutuhan konsumsi kayu bakar bagi masyarakat desa sekitar hutan, khususnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan hutan menyebabkan pemenuhan kebutuhan kayu bakar dari pekarangan atau tanah pertanian tidak lagi memadai. Hutan menjadi pilihan masyarakat sebagai sumber untuk memenuhi konsumsi kayu bakar yang kurang tersebut.
Masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan areal hutan, khususnya KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung memiliki interaksi yang tinggi terhadap hutan. Hal ini didasarkan pada
tingkat konsumsi kayu bakar yang
berasal dari areal hutan di tiap-tiap desa contoh. Tabel 18 menyajikan besarnya konsumsi kayu bakar oleh masyarakat pada desa contoh di masing-masing KPH. Tabel 18 Konsumsi kayu bakar pada desa contoh di masing-masing KPH No
Desa Contoh
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Konsumsi Kayu Bakar (sm)
sm/RT/th 1 Ngiyono 1.003 109,5 2 Jegong 2.615 46,81 3 Ngliron 2.554 23,27 4 Bodeh 1.529 40,24 5 Kemiri 2.015 44,83 6 Klopoduwur 4.427 45,85 7 Sumberejo 942 94,44 8 Kalisari 2.530 102,66 9 Temengan 2.308 87,6 10 Sambongwangan 3.980 94,44 Jumlah 23.903 689,64 Rata-rata 2.390 68,96 Sumber : Hasil survei responden tahun 2004
Tingkat konsumsi kayu bakar
sm/kapita/th 27,17 11,46 7,51 12,02 10,61 14 26,08 27,47 29,84 28 194,16 19,42
Konsumsi Kayu bakar (Rp) Rp/RT/th 2.737.500 1.170.250 581.750 1.006.000 1.120.750 1.146.250 2.361.000 2.566.500 2.190.000 2.361.000 17.241.000 1.724.100
Rp/kapita/th 684.375 292.563 145.438 251.500 280.188 286.563 590.250 641.625 547.500 590.250 4.310.250 431.025
terbesar terdapat pada Desa Ngiyono,
sebesar 109,5 sm/RT/tahun dengan harga Rp 2.737.500,-. Pada Desa Ngliron, tingkat konsumsi kayu bakar memiliki nilai terkecil sebesar 23,27 sm/RT/tahun atau sebanding dengan Rp 581.750,-/RT/tahun. Sedangkan rata-rata konsumsi kayu bakar untuk seluruh desa contoh adalah sebesar 68,96 sm/RT/tahun, yang setara dengan dengan Rp 1.724.100,-/RT/tahun.
B.2. Konsumsi Kayu Pertukangan Kayu pertukangan oleh masyarakat pedesaan sebagian besar digunakan untuk pembuatan rumah, dan sebagian kecil yang dijual. Kayu pertukangan di hasilkan dari tebangan AII. Konsumsi kayu pertukangan oleh masyarakat bukan hanya berasal dari lokasi tebangan AII, namun juga berasal dari tegakan yang berada pada semua kelas umur. Tindakan ini menyebabkan pertumbuhan tegakan yang telah di inventarisasi pada risalah awal menjadi berkurang pada saat dilakukan risalah sela.
Tabel 19 Konsumsi kayu pertukangan pada desa contoh di masing-masing KPH N o
Desa Contoh
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Konsumsi Kayu Pertukangan (m3) m3/RT/th
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ngiyono 1.003 1,08 Jegong 2.615 1,43 Ngliron 2.554 1,25 Bodeh 1.529 1,31 Kemiri 2.015 1,40 Klopoduwur 4.427 1,35 Sumberejo 942 1,31 Kalisari 2.530 1 Temengan 2.308 1,30 Sambongwangan 3.980 0,90 Jumlah 23.903 12,33 Rata-rata 2.390 2,24 Sumber : Hasil survei responden tahun 2004
m3/kapita/th
0,26 0,38 0,38 0,39 0,35 0,37 0,34 0,27 0,44 0,26 3,44 0,34
Konsumsi Kayu Pertukangan (Rp) Rp/kapita/t Rp/RT/th h 1.080.000 270.000 1.430.000 357.500 1.250.000 312.500 1.310.000 327.500 1.400.000 350.000 1.350.000 337.500 1.310.000 327.500 1.000.000 250.000 1.300.000 325.000 900.000 225.000 12.330.000 3.082.500 1.233.000 308.250
Konsumsi kayu pertukangan rata-rata pada seluruh desa contoh untuk setiap rumah tangga adalah sebesar 2,24 m3/RT/tahun, setara dengan Rp 1.233.000,-. Konsumsi kayu pertukangan terbesar terdapat pada Desa Jegong yaitu
1,43
m3/RT/tahun,
setara
dengan
Rp
1.430.000,-.
Untuk
Desa
Sambongwangan, konsumsi kayu memiliki nilai terendah, yaitu 0,90 m3/RT/tahun atau setara dengan Rp 900.000,-. C. Tingkat Pendapatan dan Pengeluaran Masyarakat Masyarakat sekitar hutan memiliki tingkat kesejahteraan
yang dapat
diukur dari besarnya pendapatan dan pengeluaran dari masing-masing rumah tangga pada desa contoh. Besarnya pendapatan dan pengeluaran dari tiap-tiap desa contoh disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Pendapatan dan pengeluaran rata-rata setiap rumah tangga desa contoh No
Desa Contoh
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Pendapatan rata-rata Rumah tangga (Rp/kapita/th)
Pengeluaran rata-rata Rumah tangga (Rp/kapita/th)
1 2 3 4 5 6
Ngiyono Jegong Ngliron Bodeh Kemiri Klopoduwur
1.003 2.615 2.554 1.529 2.015 4.427
557.255 1.093.1678 1.260.414 1.361.318 1.439.938 774.118
524.199 1.038.509 1.193.148 1.292.460 1.349.000 689.841
Tabel 20 Lanjutan 7 8 9 10
Sumberejo 942 kalisari 2.530 Temengan 2.308 Sambongwangan 3.980 Jumlah 23.903 Rata-rata 2.390 Sumber : Hasil survei responden tahun 2004
865.348 1.038.038 1.263.764 823.294 10.476.655 1.047.665
610.280 944.710 1.146.184 719.784 9.508.115 950.811
Pendapatan rata-rata rumah tangga terbesar terdapat pada Desa Kemiri yaitu Rp 1.439.938,-/kapita/tahun, sedangkan pengeluaran rata-rata
sebesar
Rp 1.349.000,-/kapita/tahun. Pendapatan rata-rata rumah tangga terkecil terdapat pada Desa Ngiyono yaitu Rp 557.255,-/kapita/tahun dengan pengeluaran rata-rata sebesar Rp 524.199,-/kapita/tahun. Rata–rata pendapatan rumah tangga seluruh desa contoh sebesar Rp 1.047.666,-/kapita/tahun, sedangkan pengeluaran ratarata sebesar Rp 950.811,-/kapita/tahun. Kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan diketahui dari total pendapatan per kapita per tahunnya yang dihubungkan dengan garis kemiskinan berdasarkan klasifikasi Sayogyo (1987) yang setara dengan nilai tukar 320 kg beras (harga beras desa contoh pada saat dilakukan penelitian Rp 2.000,-/kg). Berdasarkan hasil analisis, sebanyak 192 KK pada desa contoh berada diatas garis kemiskinan atau sebesar 48%, sedangkan sebanyak 208 KK atau sebesar 52% responden desa contoh berada dibawah garis kemiskinan. Tabel 21 Jumlah responden desa contoh dalam kategori miskin dan tidak miskin KPH
Desa Contoh
Ngiyono Sumberejo Kemiri Cepu Temengen Jegong Ngliron Randublatung Bodeh Klopoduwur Kalisari Sambongwangan Jumlah Sumber : Hasil analisis data Blora
Miskin (KK) 31 30 16 26 19 17 6 20 23 20 208
(%) 77,5 75 40 65 47,5 42,5 15 50 57,5 50 52
Tidak Miskin (KK) (%) 9 22,5 10 25 24 60 14 35 21 52,5 23 57,5 34 85 20 50 17 42,5 20 50 192 48
D. Pendekatan Sistem Model pengaturan hasil dinamis yang digunakan sebagai metode pengaturan hasil hutan, terdiri dari delapan sub model yaitu : 1. Sub model Jumlah pohon 2. Sub model Luas areal berhutan 3. Sub model Pengaturan hasil 4. Sub model Dinamika penduduk 5. Sub model Keuangan perusahaan 6. Sub model Gangguan hutan 7. Sub model Pengangguran 8. Sub model Konsumsi Kayu Model pengaturan hasil terdiri dari delapan sub model, antara sub model satu dengan sub model lainnya saling mempengaruhi. Sub model jumlah pohon dipengaruhi sub model pengaturan hasil, sub model luas areal berhutan dan sub model gangguan hutan. Potensi tegakan dalam hal ini jumlah pohon yang ada akan mempengaruhi besarnya jumlah pohon yang ditebang setiap tahun. Besarnya jumlah pohon yang ditebang setiap tahun dihasilkan berdasarkan sub model pengaturan hasil. Sedangkan pengaruh terhadap sub model luas areal berhutan adalah besarnya jumlah pencurian pohon yang terjadi pada tegakan akan menyebabkan penurunan luas areal berhutan. Sub model pengaturan hasil akan mempengaruhi besarnya keuangan perusahaan. Pengaruh terhadap sub model keuangan perusahaan berupa banyaknya penjualan kayu berdasarkan etat volume yang diperoleh pada sub model pengaturan hasil. Pengaruh terhadap sub model jumlah pohon adalah jumlah pohon yang ditebang. Sub model luas areal berhutan akan saling mempengaruhi terhadap sub model pengaturan hasil dan sub model keuangan perusahaan. Luas areal berhutan akan mempengaruhi terhadap besarnya etat luas yang dihasilkan pada sub model pengaturan hasil. Etat luas yang dihasilkan sebagai dasar penentuan luas tebangan pada sub model luas areal berhutan. Besarnya biaya pemeliharaan, biaya tanaman dan biaya persemaian pada sub model keuangan perusahaan didasarkan pada luas areal penanaman yang ditentukan berdasarkan luas tebangan yang terjadi dan luas tanaman pembangunan pada sub model luas areal berhutan.
Sub model dinamika penduduk mempengaruhi sub model konsumsi kayu dan sub model pengangguran. Tingkat konsumsi kayu akan dipengaruhi jumlah penduduk. Pada sub model pengangguran, jumlah angkatan kerja dipengaruhi jumlah penduduk. Sub model gangguan yang dimaksudkan di dalam sistem ini berupa berkurangnya
jumlah
pohon
sebagai
akibat
dari
aktifitas
masyarakat
mengkonsumsi kayu bakar dan kayu pertukangan, tingkat pengangguran serta pendapatan masyarakat. Sub model gangguan ini akan mempengaruhi sub model jumlah pohon dan sub model luas areal berhutan. Semakin tinggi persentase gangguan maka akan berpengaruh terhadap jumlah pohon yang dihasilkan dan luas areal berhutan.
Gambar 2 Hubungan antar sub model.
Gambar 2 Hubungan antar sub model.
1. Formulasi model konseptual a. Penentuan tujuan model. Model yang disusun bertujuan untuk menentukan besarnya etat volume dan etat luas di KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi, diantaranya besarnya gangguan hutan oleh masyarakat berupa konsumsi kayu dan perubahan luas areal berhutan berdasarkan aktifitas masyarakat tersebut. Perubahan faktor-faktor ini menyebabkan besarnya etat volume dan etat luas melakukan penyesuaian dengan perubahan tersebut. Selain menentukan besarnya etat volume dan etat luas juga dilakukan simulasi untuk mengetahui pengaruh konsumsi kayu oleh masyarakat terhadap jumlah pohon yang di curi serta pengaruhnya terhadap pendapatan yang diperoleh KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) berdasarkan model pengaturan hasil yang digunakan. b. Pembatasan model. Batasan-batasan yang digunakan dalam penyusunan model ini adalah : 1. Jumlah pohon adalah banyaknya pohon Jati yang termasuk dalam kelas hutan produktif yang berada di areal kerja KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung. Faktor yang mempengaruhi jumlah pohon adalah jumlah pohon yang di tanam, jumlah pohon mati (mortality), jumlah pohon penjarangan, jumlah pencurian pohon dan jumlah penebangan pohon. 2. Luas areal berhutan adalah areal yang dialokasikan untuk memproduksi kayu Jati di KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung. Faktor yang mempengaruhi luas areal berhutan adalah luas pencurian dan luas tebangan. 3. Gangguan hutan adalah luas gangguan yang terjadi di KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung diakibatkan konsumsi kayu oleh masyarakat sekitar hutan. 4. Daur adalah umur tanaman pada saat ditebang. 5. Dinamika penduduk
adalah perubahan jumlah penduduk yang berada di
sekitar KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung. Faktor yang mempengaruhi diantaranya persen kelahiran, persen kematian, persen masuk dan persen keluar.
6. Pendapatan setiap KPH pada sub model keuangan perusahaan adalah besarnya peneriman KPH dari produksi kayu Jati dikurangi dengan biaya KPH yang terdiri dari biaya usaha dan iuran hasil hutan (IHH). 7. Pengangguran pada sub model pengangguran adalah selisih antara jumlah penduduk pencari kerja dengan total tenaga kerja di KPH Blora, KPH Cepu, dan KPH Randublatung. 8. Konsumsi kayu pada sub model konsumsi kayu adalah besarnya konsumsi kayu per kapita yang dipengaruhi laju pertambahan penduduk. c. Kategorisasi komponen-komponen dalam sistem. Setiap
komponen
yang
masuk
dalam
ruang
lingkup
sistem
dikategorisasikan sesuai dengan karakter dan fungsinya. Kategorisasi dilakukan pada setiap sub model sistem sebagai berikut : 1.Sub model jumlah pohon Jati -
State variable
:
jumlah pohon pada setiap kelas umur.
-
Auxilary variable
:
jumlah pohon pencurian, jumlah pohon penjarangan, dan tebang tiap kelas umur.
-
Material transfer
:
jumlah pohon tanam,
jumlah pohon
upgrowth, out kelas umur, dan jumlah pohon tebang., jumlah pohon mati -
Driving variable
:
persen tanam pembangunan
2. Sub model pengaturan hasil -
State variable
:
luas KU pada setiap kelas umur.
-
Auxilary variable
:
etat volume dan etat luas
-
Driving variable
:
daur
3. Sub model keuangan perusahaan -
Auxilary variable
:
penerimaan KPH, peneriman usaha pokok, penjualan kayu AI, penjualan kayu AII, penjualan kayu AIII, penjualan kayu bakar, biaya KPH, biaya usaha, biaya pembinaan,
biaya pemasaran, biaya ekploitasi, biaya pemeliharaan, biaya persemaian dan biaya tanaman. -
Driving variable
:
biaya perlindungan, biaya penyuluhan, biaya tata hutan dan perencanaan, biaya penyusutan,
biaya
pendidikan
dan
pelatihan, biaya sarana dan prasarana, dan biaya umum. 4. Sub model dinamika penduduk - State variable
:
jumlah penduduk.
- Auxilary variable
:
penduduk
masuk,
penduduk
keluar,
natalitas dan mortalitas. - Material transfer
:
In penduduk dan out penduduk.
- Driving variable
:
persentase
lahir,
persentase
kematian,
persentase masuk, dan persentase keluar. - Konstanta meliputi
:
anggota KK.
5. Sub model luas areal berhutan a. State variable
: luas setiap kelas umur dan tanah kosong
-
: luas tanaman rutin, dan total luas pencurian
Auxilary variable
- Driving variable 6.
:
persentase penanaman
Sub model gangguan hutan -
Auxilary variable
: permintaan kayu bakar, permintaan kayu pertukangan, pendapatan, tingkat pengangguran, jumlah pohon yang dicuri, luas pencurian total.
-
Driving variable
: Skenario pendapatan, skenario konsumsi kayu bakar, skenario konsumsi kayu pertukangan, dan skenario pengangguran
7.
Sub model pengangguran -
Auxilary variable
: angkatan kerja, jumlah penduduk bekerja, pencari kerja, luas areal tumpang sari,
jumlah pesanggem tumpang sari, dan jumlah pengangguran. -
Driving variable
: persen angkatan kerja, persen jumlah penduduk yang bekerja, persen tanaman sela, persen pensiunan, luas lahan pesanggem.
8. Sub model konsumsi kayu -
Auxilary variable
:
pendapatan masyarakat, pengeluaran masyarakat, pengeluaran kayu bakar, pengeluaran kayu pertukangan dan selisih pendapatan.
-
Driving variable
:
pendapatan per kapita per tahun dan pengeluaran per kapita per tahun.
d. Pengidentifikasian hubungan antar komponen. Identifikasi dilakukan untuk menjelaskan pengaruh berbagai komponen di dalam sistem. Sub model jumlah pohon dengan state variable jumlah pohon dipengaruhi oleh aliran materi yaitu jumlah penanaman, jumlah pohon upgrowth, jumlah pencurian pohon, jumlah pohon penjarangan, jumlah mortality dan jumlah pohon yang ditebang. Jumlah penanaman pohon akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah pohon dalam tegakan. Penanaman akan menambah jumlah pohon pada kelas umur I. Jumlah pencurian pohon, jumlah mortality dan jumlah pohon penjarangan akan mengakibatkan pengurangan jumlah pohon dalam tegakan setiap kelas umur. Jumlah pohon upgrowth akan meningkatkan jumlah pohon pada kelas umur II sampai kelas umur IX. Jumlah penanaman dan jumlah pohon dalam tegakan memiliki hubungan yang positif, artinya semakin besar jumlah pohon yang ditanam maka jumlah pohon dalam tegakan akan semakin bertambah. Hubungan antara jumlah penanaman dan jumlah pohon dalam tegakan seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram Causal Loop antara jumlah penanaman dengan jumlah pohon dalam tegakan.
Hubungan antara jumlah pohon dalam tegakan dengan jumlah pencurian pohon adalah hubungan yang negatif. Semakin tinggi jumlah pohon yang dicuri akan mengakibatkan penurunan jumlah pohon dalam tegakan yang cukup besar. Pencurian hampir terjadi di setiap kelas umur, sehingga pencurian ini akan mengakibatkan penurunan potensi di setiap kelas umurnya. Hubungan antara jumlah pohon
pencurian dengan jumlah pohon dalam
tegakan seperti pada
Gambar 4.
Gambar 4 Diagram Causal Loop antara jumlah pencurian dengan jumlah pohon dalam tegakan. Hubungan antara jumlah pohon penjarangan dengan jumlah pohon dalam tegakan seperti halnya dengan jumlah pohon pencurian merupakan hubungan yang negatif. Pada penjarangan pengelola dimungkinkan untuk memperoleh hasil dari kegiatan penjarangan sedangkan pencurian, pengelola mengalami penurunan hasil. Penjarangan dilakukan dalam rangka untuk mengurangi kerapatan tegakan, agar memperoleh pertumbuhan yang maksimal. Semakin tinggi intensitas penjarangan maka jumlah pohon dalam tegakan semakin berkurang. Hubungan jumlah pohon penjarangan dengan jumlah pohon dalam tegakan adalah hubungan yang negatif. Hubungan antara jumlah pohon penjarangan dengan jumlah pohon dalam tegakan seperti pada Gambar 5.
Gambar 5 Diagram Causal Loop antara jumlah pohon penjarangan dengan jumlah pohon dalan tegakan. e. Mempresentasikan Model Konseptual e.1. Sub Model Jumlah Pohon Jumlah pohon ialah banyaknya jumlah pohon yang terdapat dalam luasan lahan tertentu. Jumlah pohon diperoleh dari hasil perhitungan berdasarkan luas pohon per hektar pada tabel tegakan hasil risalah KPH yang dikonversikan dalam satuan jumlah pohon dengan bantuan tabel
tegakan sepuluh jenis kayu industri lembaga penelitian hutan (1975). Sub model jumlah pohon menjelaskan perubahan yang terjadi dalam suatu tegakan dengan melihat pertumbuhan tegakan dari jumlah pohon yang mengalami perubahan dalam tiap-tiap kelas umur. Jumlah pohon tiap kelas umur yang mengalami pertambahan karena adanya riap dan jumlah penanaman yang dilakukan pada KU awal. Pada KU I aliran materi di mulai dari kegiatan penanaman, yang terdiri dari tanaman rutin pada areal bekas tebangan serta tanaman pembangunan pada areal tanah kosong. Aliran materi yang keluar berupa upgrowth, out KU serta mortality. Pada KU II dan KU III yang menjadi aliran masuk berupa upgrowth dari dari KU sebebelumnya, sedangkan yang menjadi aliran keluar berupa upgrowth, out KU serta mortality. Aliran masuk pada KU IV , KU V, KU VI, dan KU VII dipengaruhi oleh upgrowth dari KU sebelumnya. Aliran keluar terdir dari upgrowth, out KU, mortality, serta jumlah pohon tebang. Pada KU VIII, IX, dan KU MT (Masak Tebang) aliran masuk berupa upgrowth dari KU sebelumnya, sedangkan aliran keluar berupa jumlah pohon curi, mortality, dan jumlah pohon tebang. Untuk KU MR (Miskin Riap) aliran keluar berupa jumlah pohon curi, mortality, dan jumlah pohon tebang. Sub model jumlah pohon disajikan pada Lampiran 1. e.2. Sub Model Luas Areal Berhutan. Sub model luas areal berhutan memberikan gambaran besarnya perubahan luas dari masing-masing KU. Luas KU I diawali dengan aliran masuk berupa luas penanaman yang diperoleh dari jumlah luas tanaman pembangunan dan etat luas. Aliran keluar berupa persen pindah dan luas pencurian. Pada KU II dan KU III aliran masuk berupa persen pindah dari KU sebelumnya dan luas pencurian sebagai aliran keluar. Aliran masuk pada KU IV sampai KU MT dipengaruhi persen pindah dari KU sebelumnya. Sedangkan aliran keluar berupa luas pencurian dan luas tebangan. Pada KU MR aliran yang keluar berupa luas pencurian dan luas tebangan.
Pada sub model luas areal berhutan terdapat state variable tanah kosong. Aliran masuk berupa luas pencurian yang merupakan akumulasi dari luas pencurian di masing-masing KU. Sedangkan
aliran keluar
berupa luas tanaman pembangunan. Sub model luas areal berhutan disajikan pada lampiran 2. e.3. Sub Model Pengaturan Hasil Sub model pengaturan hasil bertujuan untuk menetapkan besarnya luas tebangan dan volume tebangan yang dapat dilakukan KPH sehingga kelestarian hasil terjamin. Etat volume ditentukan berdasarkan besarnya volume per hektar setiap kelas umur. Volume per hektar ditentukan berdasarkan umur tengah masing-masing KU yang akan ditebang yang diperoleh dari tabel tegakan sepuluh jenis kayu industri dengan asumsi bonita tetap sepanjang tahun. Untuk etat luas penentuannya berdasarkan total luas areal hutan dibagi daur. Luas areal hutan diperoleh dari penjumlahan penjumlahan luas setiap kelas umur. Jumlah pohon tebangan untuk setiap tahunnya diperoleh dari pembagian jumlah pohon tebangan aktual dengan daur. Jumlah pohon tebangan aktual diperoleh dari penjumlahan pohon pada KU yang masuk dalam tebangan aktual, yaitu KU IV, V, VI, VII, VIII, IX, MT, dan MR. Jumlah pohon yang ditebang setiap tahunnya ditentukan oleh besarnya volume tebangan setiap kelas umur serta volume per pohon setiap kelas umur yang akan ditebang. Volume per pohon seperti halnya volume per hektar juga ditentukan berdasarkan umur tengah masingmasing KU yang akan ditebang yang diperoleh dari tabel tegakan sepuluh jenis kayu industri dengan asumsi bonita tetap sepanjang tahun. Etat luas ditentukan berdasarkan total luas tegakan nyata di lapngan dibagi dengan daur. Luas tegakan nyata di lapangan merupakan total penjumlahan dari luas setiap kelas umur (KU I –MR). Daur yang digunakan merupakan daur teknis, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan penggunaan kayu yang dihasilkan oleh suatu tegakan. Daur ini merupakan umur pada waktu suatu jenis sudah dapat
menghasilkan kayu yang dapat digunakan untuk tujuan tertentu. Sub model pengaturan hasil disajikan pada lampiran 3. e.4. Sub Model Dinamika Penduduk Laju perubahan jumlah penduduk merupakan salah satu peubah sosial masyarakat sekitar hutan. Peningkatan jumlah penduduk dipengaruhi oleh persen kelahiran dan persen masuk Sedangkan faktor yang mempengaruhi penurunan jumlah penduduk ialah persen kematian dan persen penduduk keluar. Besarnya persen kelahiran dan kematian diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora. Untuk ketiga wilayah KPH yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Blora, besarnya faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk pada ketiga KPH didasarkan pada data BPS Kabupaten Blora.
Gambar 6 Sub model dinamika penduduk.
e.5. Sub Model Gangguan Hutan Luas areal yang terganggu dan banyaknya jumlah pohon yang hilang dijelaskan dalam sub model gangguan hutan. Jumlah pohon yang mengalami gangguan dipengaruhi oleh faktor pengangguran, pendapatan, konsumsi kayu bakar dan konsumsi kayu pertukangan. Berdasarkan penelitian Budi Kuncahyo (2006), hasil analisis hubungan faktor-faktor
diatas terhadap besarnya gangguan hutan, diperoleh pesamaan regresi sebagai berikut
Gangguan = 6.217 – 0,00457 * Pendapatan + 496 * tingkat Pengangguran + 3.732 * Konsumsi Kayu Pertukangan + 61,8* konsumsi kayu bakar.
Gambar 7 Sub model gangguan hutan.
e.6. Sub Model Pengangguran Besarnya tingkat pengangguran dijelaskan melalui sub model pengangguran. Jumlah pengangguran diperoleh dari jumlah pencari kerja dikurangi total tenaga kerja. Pencari kerja merupakan besarnya angkatan kerja dikurangi pekerja non kehutanan dan pensiunan. Total tenaga kerja merupakan akumulasi dari tenaga kerja penebangan, penanaman, penjarangan, serta pesanggem. Besarnya angkatan kerja di peroleh dari
perkalian persen angkatan kerja dengan jumlah penduduk di setiap KPH. Persentase angkatan kerja diperoleh dari buku Kabupaten Blora Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora 2002.
Gambar 8 Sub model pengangguran.
e.7. Sub Model Keuangan Perusahaan Pendapatan KPH dijelaskan dengan menggunakan model keuangan perusahaan. Pendapatan KPH merupakan selisih antara penerimaan KPH dengan biaya KPH. Penerimaan KPH diperoleh dari penerimaan kayu pertukangan dan kayu bakar. Kayu pertukangan diperoleh dari penjualan kayu hasil
tebangan habis A2. Kayu bakar diperoleh dari tebangan
penjarangan (E). Tebangan A2 menghasilkan kayu dengan kualitas yang beragam, yaitu kualitas
AI
dengan diameter 4–19 cm, AII dengan
diameter 20-29 cm, dan AIII dengan diameter > 30 cm. Pembagian kayu pada tebang habis A2 dilakukan berdasarkan pengalaman pihak Perhutani. Untuk kualitas kayu jenis A I dihasilkan sebanyak 2%, kayu A II 6% dan kayu A III 92% serta menghasilkan kayu bakar 6,60% dari
total volume tebang habis. Tebangan penjarangan menghasilkan kayu A I sebesar 66%, A II sebesar 16%, dan A III sebesar 18%, sedangkan untuk kayu bakar diperoleh 25% dari total penjarangan. Pegeluaran
KPH
merupakan
besarnya
biaya
usaha
yang
dikeluarkan di tambah dengan iuran hasil hutan (IHH) sebesar 3% dari total pendapat KPH. Biaya usaha ialah total biaya yang dikeluarkan KPH untuk semua kegiatan pengelolaan hutan. Besarnya biaya yang dikeluarkan perhutani untuk kegiatan pengelolaan untuk setiap tahunnya dipengaruhi kegiatan pengelolaan yang dilakukan KPH. Biaya usaha meliputi biaya pembinaan, biaya eksploitasi, biaya pemasaran biaya penyusutan, biaya tata hutan dan perencanaan, biaya sarana dan prasarana, biaya pendidikan dan latihan, dan biaya umum.
Gambar 9 Sub model keuangan perusahaan. e.8. Sub Model Kayu Konsumsi Sub model ini menjelaskan besarnya pengaruh konsumsi kayu oleh masyarakat sekitar hutan. Konsumsi kayu di bagi menjadi konsumsi kayu
pertukangan dan konsumsi kayu bakar. Besarnya konsumsi kayu dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi kayu perkapita per tahun. Konsumsi kayu perkapita diperoleh dari hasil olah data terhadap 10 bagian hutan pada masing-masing KPH. Data 10 bagian hutan contoh disajikan pada Lampiran 4. Besarnya pendapatan masyarakat dikurangi dengan besarnya pengeluaran menghasilkan pendapatan bersih masyarakat. Selisih pendapatan bersih masyarakat dengan total nilai kayu yang di konsumsi digunakan sebagai skenario terjadinya gangguan hutan.
Gambar 10 Sub model konsumsi kayu.
2.
Spesifikasi Model Kuantitatif
a.
Menentukan Struktur kuantitatif untuk model Struktur kuantitatif umum dari model dalam format berdasarkan waktu.
b.
Menentukan Satuan Dasar Simulasi Satuan dasar yang digunakan dalam model simulasi pengaturan hasil berupa tahun.
c.
Mengidentifikasi Bentuk-bentuk Fungsional dari Persamaan Model.
1. Sub Model Jumlah Pohon. Jumlah pohon dalam kelas umur I ditentukan oleh besarnya jumlah pohon tanam yang diperoleh dari tanaman rutin maupun tanaman pembangunan, upgrowth, out KU I (pencurian dan penjarangan) serta mortality. Jumlah pohon pada KU I tahun ke-t adalah : Pada KU I jumlah pohon dipengaruhi oleh jumlah pohon tanam, upgrowth, out KU, dan mortality
Jumlah Pohon KUI(t) = Jumlah Pohon KUI(t-dt)
+
(Jumlah Pohon
Tanam - mortality – OutKU I – Upgrowth I)* dt Ð
OutKU I = Pohon Penj I + Curi KU I
Pada KU II sampai KU III jumlah pohon dipengaruhi oleh upgrowth, out KU, dan mortality
Jumlah Pohon KU y(t) = Jumlah Pohon KU y(t-dt) + (Upgrowth y-1 – Upgrowth y - Out KUy – Mortality y)* dt Ð
OutKUy = Pohon Penj y + Curi KU y
Ð
Upgrowth y-1 = Jumlah Pohon KU y-1 x Persen Pindah y-1
Pada KU IV, V, VI, VII, jumulah pohon dipengaruhi oleh upgrowth, out KU, mortality, dan pohon tebang
Jumlah Pohon KU x(t) = Jumlah Pohon KU x(t-dt) + (Upgrowth x-1 – Upgrowth x -Out KUx – Mortality x – Pohn Tebang x)* dt Ð
OutKUx = Pohon Penj y + Curi KU y
Ð
Upgrowth x-1 = Jumlah Pohon KU x-1 x Persen Pindah x-1
Ð
Upgrowth_x = if Jumlah Pohon KU x+1 = Phn Teb per Thn then 0 else Persen Pindah x x
Jumlah Pohon KU x
Pada KU VIII, IX, MT , MR, jumlah pohon dipengaruhi oleh upgrowth, out KU, mortality, dan pohon tebang
Jumlah Pohon KU z(t) = Jumlah Pohon KU z(t-dt) + (Upgrowth z-1 – Upgrowth z - Out KUz – Mortality z – Pohn Tebang z)* dt Ð
OutKUx = Curi KU y
Ð
Upgrowth z-1 = Jumlah Pohon KU z-1 x Persen Pindah z1
Ð
Upgrowth_z = if Jumlah Pohon KU z+1 = Phn Teb per Thn then 0 else Persen Pindah z x Jumlah Pohon KU z
Keterangan : t
= waktu (tahun)
dt
= selang waktu (1 tahun)
y
= KU II dan KU III
x
= KU IV, V, VI, VII, VII
z
= KU IX, MT, dan MR
2. Sub Model Pengaturan Hasil Etat volume ditentukan berdasarkan besarnya volume per hektar setiap kelas umur. Volume per hektar ditentukan berdasarkan umur tengah masing-masing KU yang akan ditebang yang diperoleh dari tabel tegakan sepuluh jenis kayu industri dengan asumsi bonita tetap sepanjang tahun. Etat_Luas = areal_berhutan/Daur Etat_Volume = Etat_Luas*V_per_Ha_KU_teb_aktual
Areal berhutan = Luas KU I + Luas KU II + Luas KU III + Luas KU IV + Luas KU V + Luas KU VI + Luas KU VII + Luas KU VIII + Luas KU IX + Luas KU MT + Luas KU MR.
V_per_Ha_KU_teb_aktual = Vol_KU_Teb_aktual/Luas_Teb_KU_aktual
3. Sub Model Luas Areal Berhutan Luas KU I
ditentukan dari banyaknya penanaman rutin dan
pembangunan yang dilakukan. Luas lahan pada KU I dipengaruhi oleh luas tanam, persen pindah, dan pencurian. Luas KU I (t) = Luas KU I(t - dt) + (Luas tanam – Pin KU I – Luas Penc I) * dt Pada KU II dan KU III luas tegakan dipengaruhi persen pindah dan pencurian Luas KU x (t) = Luas KU x(t - dt) + (Pin KU x – Pin KU x+1 – Luas Penc I) * dt Pada KU IV, V, VI, VII, VIII, IX, MT dan MR luas tegakan dipengaruhi oleh persen pindah, pencurian dan penebangan.
Luas KU y (t) = Luas KU y(t - dt) + (Pin KU y – Pin KU y+1 – Tebang luas y - Luas Pencurian y) * dt Keterangan : t
= waktu (tahun)
dt = selang waktu (1 tahun) y
= KU II dan KU III
x
= KU IV, V, VI, VII, VIII, IX, MT dan MR
4. Sub Model Keuangan Perusahaan Pendapatan KPH dijelaskan dalam sub model keuangan perusahan. Fungsi pendapatan merupakan selisih antara penerimaan KPH dan biaya KPH. Biaya KPH = BiayaUsaha + IHH Penerimaan KPH = Pen A1 + Pen A2 + Pen A3 + Pen Kayu Bakar Pendapatan KPH = Penerimaan KPH – Biaya KPH 5. Sub Model Dinamika Penduduk Jumlah penduduk disekitar hutan dipengaruhi oleh natalitas, mortalitas, penduduk masuk dan ke luar. Jumlah Penduduk(t) = Jumlah Penduduk(t - dt) + (In Penduduk - Out) * dt Ð Ð
In Penduduk = Masuk + Lahir Out = Keluar + Mati
6. Sub Model Gangguan Sub model gangguan hutan menjelaskan gangguan tegakan hutan akibat pencurian. Faktor-faktor yang mempengaruhi dihubungkan melalui persamaan regresi. Jumlah pohon curi = 6.217 – 0,00457 * Pendapatan + 496* tingkat Pengangguran + 3.732 * Konsumsi Kayu Pertukangan + 61,8* konsumsi kayu bakar. Luas curi total = Jumlah pohon curi / 102 7. Sub Model Pengangguran Pencari kerja = Angkatan Kerja - Bekerja non hutan –pensiunan
Total Tenaga Kerja = TK tanam + TK blandong + TK pelihara + Pesanggem TS) Jumlah pengangguran = Pencari kerja -Total TK
8. Sub Model Konsumsi Kayu Konsumsi kayu oleh masyarakat sekitar hutan dibagi atas konsumsi kayu bakar dan konsumsi kayu pertukangan. Besarnya konsumsi kayu dipengaruhi jumlah penduduk dan konsumsi perkapita dari masing masing kayu konsumsi yang diperoleh dari hasil wawancara dan kuisioner. Konsumsi kayu bakar = jumlah penduduk * 19,42 Konsumsi kayu pertukangan = jumlah penduduk * 0,34
3. Evaluasi Model. 3.1. Mengevaluasi kewajaran model Evaluasi kewajaran model dilakukan untuk menguji kewajaran model berdasarkan teori umum. Tegakan tanpa adanya pengaruh gangguan akan mengalami peningkatan etat secara terus menerus. Kewajaran dari suatu model dilihat berdasarkan besarnya etat luas dan etat volume yang terus meningkat. Untuk memperoleh nilai etat volume dan etat luas yang tidak mengalami gangguan, variabel luas pencurian total diasumsikan tidak terjadi atau bernilai nol. Berikut disajikan grafik etat volume dan etat luas pada masing-masing KPH.
Gambar 11
Etat luas dan etat volume pada KPH Blora yang tidak mengalami gangguan.
Gambar 12
Etat luas dan etat volume pada KPH Cepu yang tidak mengalami gangguan.
Gambar 13 Etat luas dan etat volume pada KPH Randublatung yang tidak mengalami gangguan. Berdasarkan gambar 11, 12, dan 13, untuk KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung diperoleh besarnya etat luas dan etat volume yang terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Hal ini sesuai dengan teori bahwa tegakan hutan tanpa gangguan akan mengalami peningkatan etat setiap tahunnnya. 3.2. Hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan
Tahapan ini dilakukan dengan melakukan perubahan pada salah satu parameter secara ekstrim. Parameter yang dipilih berupa luas gangguan. Parameter diberikan nilai maksimum dan minimum untuk
menguji sensitifitas model. Evaluasi sensitifitas dilakukan dengan mengubah luas curi total dari masimg-masing KPH Untuk KPH Blora besarnya luas gangguan yang di ubah sebesar 100 Ha/tahun, 500 Ha/tahun dan 900 Ha/tahun. Untuk KPH Randublatung besarnya luas gangguan akibat pencurian sebesar 100 Ha/tahun, 1.000 Ha/tahun, dan 2.000 Ha/tahun. Sedangkan untuk KPH Cepu luas gangguan yang diubah sebesar 1.000 Ha/tahun, 1.500 Ha/tahun dan 2.000 Ha/tahun.
Gambar 14
Etat luas KPH Blora pada luas gangguan 100 Ha/tahun (1), 500 Ha/tahun (2) dan 900 Ha/tahun (3).
Gambar 15 Etat luas KPH Randublatung pada luas gangguan 100Ha/tahun (1), 1.000 Ha/tahun (2) dan 2.000 Ha/tahun (3).
Gambar 16 Etat luas KPH Cepu pada luas gangguan 1.000 Ha/tahun (1), 1.500 Ha/tahun (2) dan 2.000 Ha/ tahun (3). Berdasarkan gambar 14, 15, dan 16 terjadi fluktuasi besarnya etat luas pada KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung. Luas gangguan hutan yang semakin tinggi menyebabkan penurunan etat luas yang semakin besar. Model yang dihasilkan pada tahapan ini sesuai dengan pola yang diharapkan.
3.3. Membandingkan model dengan sistem nyata. Pengujian model dilakukan terhadap state variabel luas setiap kelas umur pada masing masing KPH. Pengujian dilakukan berdasarkan uji khikuadrat dengan membandingkan luas KU model dengan luas KU hasil pengukuran di lapangan. Uji beda
khi-kuadrat
didefinisikan sebagai
jumlah kuadrat dari peubah-peubah acak yang bebas dan menyebar normal dengan nilai tengah nol dan ragam satu (Steel 1995). Model dianggap dapat menjelaskan kondisi aktual, apabila keragaman populasi hasil analisis model tidak berbeda nyata dengan keragaman populasi aktual. Uji khi-kuadrat sebagai berikut Berdasarkan hasil uji
khi-kuadrat (X2) untuk KPH Blora
besarnya X2hitung sebesar 7,01 dan nilai X2tabel sebesar 16,92 pada selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 9. Nilai X2hitung lebih kecil X2tabel dapat disimpulkan bahwa keragaman data simulasi tidak berbeda nyata
dengan keragaman data aktual. Perbandingan luas risalah sela dan luas hasil simulasi disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Perbandingan Luas Risalah Sela dan Luas Hasil Simulasi KPH Blora No.
Kelas Umur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII KU IX MT
Luas tegakan (ha) Risalah sela 2000 Simulasi tahun ke-5 1.720,80 1.725,38 1.219,80 1.214,06 1.001,70 1.008,39 628,40 629,31 287,90 271,94 496,20 472,6 462,50 442,04 430,30 441,22 358,30 394,85 187,40 186,01
Untuk KPH Cepu, berdasarkan hasil uji khi-kuadrat (X2), besarnya X2hitung sebesar 12,01 dan nilai X2tabel sebesar 16,92 pada selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 9. Nilai X2hitung lebih kecil X2tabel dapat disimpulkan bahwa keragaman data simulasi tidak berbeda nyata dengan keragaman data aktual. Perbandingan luas risalah sela dan luas hasil simulasi disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Perbandingan Luas Risalah Sela dan Luas Hasil Simulasi KPH Cepu No.
Kelas Umur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII KU IX MT
Luas tegakan (ha) Risalah sela 1998 Simulasi tahun ke-5 5.687,4 5.713,55 2.349,9 2.342,15 1.834,9 1.832,55 1.911,2 1.910,68 2.392,23 2.389,01 735,4 729,9 1.291,8 1.225,18 765,72 718,41 230,8 282,81 69,1 60,03
Untuk KPH Randublatung, besarnya X2hitung adalah 5,42 dan nilai X2tabel sebesar 16,92 pada selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas 9. Nilai X2hitung lebih kecil X2tabel dapat disimpulkan bahwa keragaman data
simulasi tidak berbeda nyata dengan keragaman data aktual. Perbandingan luas risalah sela dan luas hasil simulasi disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Perbandingan Luas Risalah Sela dan Luas Hasil Simulasi KPH Randublatung No.
Kelas Umur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII KU IX MT
Luas tegakan (ha) Risalah sela 1998 Simulasi tahun ke-5 7.369 7.311,65 3.610,9 3.597,47 2.457,9 2.369,92 1.982,5 1.925,43 2.161,7 2.151,94 956,4 951,12 1.180,9 1.178,27 1.188,7 1.180,2 203,8 204,27 6,7 6,75
C.3. Penggunaan Model Penggunaan model berfungsi untuk menerapkan model dalam skenarioskenario yang telah ditetapkan dalam rangka memberikan jawaban mengenai tujuan penelitian. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah mengetahui pengaruh tingkat konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar terhadap besarnya fluktuasi produksi kayu (etat volume), jumlah pohon yang di curi serta keuntungan yang diperoleh perusahaan. Untuk keperluan tersebut disusun suatu skenario untuk mengetahui tingkat perubahan yang terjadi. Skenario-skenario yang akan dijalankan adalah :
Skenario 1
: Konsumsi kayu bakar dinaikkan sebesar 0% , 50% dan 100%
Skenario 2
: Konsumsi kayu pertukangan dinaikkan sebesar 0%, 50% dan 100%
C.3.1.
Skenario Konsumsi Kayu Bakar
Pemenuhan kebutuhan masyarakat akan terhadap sumberdaya hutan, terutama kayu menjadi salah satu faktor dominan yang mempengaruhi produksi kayu yang dapat dihasilkan oleh Perhutani. Salah satu penyebab terjadinya
gangguan hutan berupa pencurian kayu disebabkan oleh konsumsi kayu yang dilakukan masyarakat desa sekitar hutan. Tingkat kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan yang rendah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan terhadap hutan. Kesejahteran yang rendah akibat selisih antara pendapatan dan pengeluaran masyarakat desa sekitar hutan sangat kecil, sehingga nilai beli kayu tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat Besarnya pengaruh konsumsi kayu bakar di masingmasing KPH terhadap besarnya etat volume, jumlah pencurian pohon serta keuntungan perusahaan disajikan untuk tiap-tiap KPH. C.3.1.1. KPH Blora
Gambar 17 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3).
Besarnya jumlah kayu yang dapat diproduksi KPH Blora dari tahun pertama sampai tahun ke-20 mengalami penurunan seiring dengan kenaikan konsumsi kayu bakar oleh masyarakat sekitar hutan Hal ini diakibatkan kenaikan konsumsi kayu bakar berpengaruh terhadap peningkatan nilai gangguan hutan berupa jumlah pencurian pohon yang semakin bertambah. Peningkatan sebesar 50% konsumsi kayu bakar akan menurunkan etat volume sebesar 3,34%. Sedangkan peningkatan sebesar 100% menurunkan etat volume sebesar 6,75%
Gambar 18 Pendapatan bersih KPH pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3). Skenario terhadap keuntungan perusahaan di KPH Blora cenderung menurun. Pendapatan perusahaan yang diperoleh dari tebangan A II dan
tebangan E
semakin menurun akibat penyesuaian besarnya etat massa yang juga mengalami penurunan. Peningkatan sebesar 50% kayu bakar menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan sebesar 6,57%. Sedangkan kenaikan sebesar 100% menurunkan keuntungan Perhutani sebesar 13,42%.
Gambar 19 Jumlah pohon curi pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3).
Besarnya gangguan hutan di pengaruhi jumlah pencurian pohon. Untuk kenaikan konsumsi kayu sebesar 0%, jumlah pohon curi rata-rata 54.037 pohon. Kenaikan 50% menaikkan jumlah pohon curi rata-rata 66.176 pohon. Kenaikan 100% menaikkan jumlah pohon curi rata-rata 78.315 pohon. C.3.1.2. KPHCepu
Gambar 20. Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3).
Pada KPH Cepu besarnya etat volume hasil skenario konsumsi kayu bakar sebesar 0% diperoleh etat volume sebesar 35.342 pohon. Peningkatan sebesar 50% akan menurunkan etat volume sebesar 1,33%. Peningkatan sebesar 100% akan menurunkan etat volume sebesar 2,66%. Besarnya konsumsi kayu bakar memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai etat volume Skenario terhadap keuntungan perusahaan di KPH Cepu menunjukkan penurunan dengan semakin meningkatnya konsumsi kayu bakar. Pendapatan perusahaan yang diperoleh dari tebangan A II dan tebangan E semakin menurun akibat penyesuaian besarnya etat massa yang juga mengalami penurunan. Peningkatan sebesar 50% akan menurunkan keuntungan perusahaan sebesar 2,92%. Peningkatan 100% menyebabkan penurunan sebesar 5,91%.
Gambar 21 Pendapatan bersih KPH pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3).
Gambar 22 Jumlah pohon curi pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3). Besarnya gangguan hutan dipengaruhi jumlah pencurian pohon. Untuk kenaikan konsumsi kayu sebesar 0% jumlah pencurian pohon rata-rata sebesar 49.270 pohon. Setiap kenaikan 50% jumlah pohon curi rata-rata meningkat 61.624 pohon. Kenaikan 100% meningkatkan jumlah pohon curi rata-rata setiap tahun sebesar 73.978 pohon.
C.3.1.3. KPH Randublatung Pada KPH Randublatung besarnya etat volume hasil skenario konsumsi kayu bakar sebesar 0% diperoleh etat volume sebesar 35.600 pohon. Peningkatan sebesar 50% akan menurunkan etat volume sebesar 1,36%. Peningkatan sebesar 100% akan menurunkan etat volume sebesar 2,74%
Gambar 23 Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3).
Gambar 24 Pendapatan bersih KPH pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3). Skenario
terhadap
keuntungan
perusahaan
di
KPH
Randublatung
menunjukkan penurunan dengan semakin meningkatnya konsumsi kayu bakar. Pendapatan perusahaan yang diperoleh dari tebangan A II dan tebangan E
semakin menurun akibat penyesuaian besarnya etat massa yang juga mengalami penurunan. Peningkatan sebesar 50% akan menurunkan keuntungan perusahaan sebesar 2,51%. Peningkatan 100% menyebabkan penurunan sebesar 5,07%.
Gambar 25 Jumlah pohon curi pada kenaikan konsumsi kayu bakar sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3). Besarnya gangguan hutan di pengaruhi jumlah pencurian pohon. Untuk kenaikan konsumsi kayu sebesar 0% jumlah pencurian pohon sebesar 56.599 pohon. Setiap kenaikan 50% jumlah pohon curi rata-rata setiap tahun meningkat 68.940 pohon. Kenaikan 100% meningkatkan jumlah pohon curi ratarata setiap tahun sebesar 81.282 pohon.
C.3.2.
Skenario Konsumsi Kayu Pertukangan
Konsumsi kayu pertukangan oleh masyarakat sekitar hutan didorong harga kayu yang cukup tinggi. Pemanfaatan kayu pertukangan selain dijual juga untuk dipergunakan sendiri, seperti untuk membuat rumah serta perlengkapan rumah tangga. Besarnya pengaruh konsumsi kayu pertukangan di masing-masing KPH terhadap besarnya etat volume, jumlah pencurian pohon serta perusahaan disajikan pada gambar berikut.
keuntungan
C.3.2.1. KPH Blora
Gambar 26
Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3).
Hasil skenario konsumsi kayu pertukangan terhadap besarnya etat volume sampai 20 tahun kedepan menunjukkan respon fluktuasi penurunan. Besarnya etat volume pada peningkatan 0% sebesar 13.129 pohon. Pada peningkatan 50% etat volume rata-rata berkurang 0,18%. Sedangkan peningkatan 100% etat volume rata-rata berkurang 0,37%
Gambar 27 Pendapatan bersih KPH pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3).
Keuntungan perusahaan pada skenario 0% sebesar Rp 11.379.672.273,-. Peningkatan 50% menurunkan pendapatan perusahaan sebesar 0,35%. Sedangkan peningkatan 100% pendapatan perusahaan turun 0,71%
Gambar 28 Jumlah pohon curi pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3). Jumlah
pencurian
pohon
selama
20
tahun
simulasi
adalah
78.315 pohon. Peningkatan sebesar 50% meningkatkan jumlah pencurian pohon sebesar 0,82%. Sedangkan peningkatan 100% meningkatkan jumlah pencurian pohon sebesar 1,63%. C.3.2.2. KPH Cepu
Gambar 29
Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3).
Etat volume pada KPH Cepu selama 20 tahun simulasi sebesar
34.451
3
m /ha. Peningkatan konsumsi kayu pertukangan sebesar 50% menurunkan etat volume rata-rata sebesar 34.426 m3/ha atau 0,07%. Peningkatan
100%
menurunkan etat volume rata-rata sebesar 34.401 pohon atau 0,14%.
Gambar 30 Pendapatan bersih KPH pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3). Pendapatan perusahaan selama 20 mengalami penurunan dengan meningkatnya konsumsi kayu pertukangan. Pada peningkatan 50%, pendapatan perusahaan turun sebesar Rp 43,016,394,575,- atau 0,15%. Sedangkan pada peningkatan 100%, pendapatan turun Rp 42,949,223,986,- atau 0,31%.
Gambar 31 Jumlah pohon curi pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3).
Jumlah pencurian pohon selama simulasi sebesar 72.671 pohon. Pada peningkatan 50%, jumlah pencurian pohon meningkat sebesar 73.325 pohon atau sebesar 0,89%. Peningkatan sebesar 100% meningkatkan jumlah pencurian pohon sebesar 73.978 pohon atau 1,7%. C.3.2.3. KPH Randublatung Hasil skenario konsumsi kayu pertukangan terhadap besarnya etat volume sampai 20 tahun, menunjukkan respon fluktuasi penurunan. Besarnya etat volume pada peningkatan 0% sebesar 35.651 m3/ha. Pada peningkatan 50% etat volume rata-rata berkurang 0,07%. Sedangkan peningkatan 100% etat volume berkurang 0,14%.
Gambar 32
Etat volume pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3).
Gambar 33 Pendapatan bersih KPH pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3).
Keuntungan perusahaan pada skenario 0% sebesar Rp 11.987.942.159,-. Peningkatan 50% menurunkan pendapatan perusahaan sebesar 0,13%. Sedangkan peningkatan 100% menurunkan pendapatan perusahaan sebesar 0,26% Jumlah pencurian pohon rata-rata selama 20 tahun simulasi adalah 31.844 pohon. Peningkatan sebesar 50% meningkatkan jumlah pencurian pohon sebesar 2,04%. Sedangkan peningkatan 100% meningkatkan jumlah pohon sebesar 4,05%.
Gambar 34 Jumlah pohon curi pada kenaikan konsumsi kayu pertukangan sebesar 0% (1), 50% (2) dan 100% (3).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Model pengaturan hasil yang dibuat mempertimbangkan faktor sosial masyarakat berupa sub model konsumsi kayu masyarakat sekitar hutan.
Besarnya konsumsi kayu di masing-masing KPH diperoleh dari 10 desa contoh yang termasuk dalam KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung.
Besarnya
konsumsi
kayu
bakar
rata-rata
desa
contoh
68,96 sm/RT/tahun atau setara dengan 19,42 sm/kapita/tahun.
Besarnya
konsumsi
kayu
pertukangan
rata-rata
desa
contoh
2,24 m3/RT/tahun atau setara dengan 0,34 m3/kapita/tahun.
Hasil kajian sub model konsumsi kayu menunjukkan adanya pengaruh tingkat konsumsi kayu bakar dan konsumsi kayu pertukangan terhadap etat volume, pendapatan KPH serta jumlah pencurian pohon pada KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Randublatung.
Pada KPH Blora peningkatan konsumsi kayu bakar sebesar 50% mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 13.593,31 m3 atau sebesar 3,34%; meningkatkan jumlah pencurian pohon sebesar 66.176 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 12.158.321.453,- atau sebesar 6,57%.
Pada KPH Cepu peningkatan konsumsi kayu bakar sebesar 50% mengakibatkan penurunan etat volume sebesar 34.870,68 m3 atau sebesar 1,33%; meningkatkan jumlah pencurian pohon sebesar 61.624 pohon dan penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 44.227.957.527,- atau sebesar 2,92%
Pada KPH Randublatung peningkatan konsumsi kayu bakar sebesar 50%
mengakibatkan penurunan etat volume sebesar
33.114,65 m3 atau sebesar 1,36%; meningkatkan jumlah pencurian pohon sebesar 68.940 pohon dan terjadi penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 110.901.329.061,- atau sebesar 2,51%.
Pada KPH Blora peningkatan konsumsi kayu pertukangan sebesar 50% menurunkan etat volume sebesar 13.104,97 m3 atau sebesar 0,18%; meningkatkan jumlah pencurian pohon sebesar 78.957 pohon dan terjadi penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 11.339.104.192,- atau sebesar 0,35%.
Pada KPH Cepu peningkatan konsumsi kayu pertukangan sebesar 50% menurunkan etat volume sebesar 34.426,3 m3 atau sebesar 0,07%; meningkatkan jumlah pencurian pohon sebesar 73.978 pohon dan terjadi penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 43.016.394.576,- atau sebesar 0,89%.
Pada KPH Randublatung peningkatan konsumsi kayu pertukangan sebesar 50% menurunkan etat volume sebesar 35.625,75 m3 atau sebesar 0,07%; meningkatkan jumlah pencurian pohon sebesar 32.497 pohon dan terjadi penurunan pendapatan KPH sebesar Rp 113.839.424.029,- atau sebesar 0,13%.
Saran
Perlu dilakukan tindakan pengelolaan yang melibatkan masyarakat sekitar hutan dengan lebih intensif.
Penelitian lebih lanjut pengaruh tingkat kebutuhan konsumsi kayu terhadap
masyarakat
pada
wilayah
KPH
lain
dengan
mempertimbangkan konsumsi kayu dalam skala lebih besar seperti konsumsi untuk industri.
DAFTAR PUSTAKA Amirin. T.M. 2001. Pokok-Pokok Teori Sistem. Rajawali Press. Jakarta. Andajani, Sri. 1997. Studi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa di Sekitar Hutan Dalam Pemanfaatan Hasil Hutan dan Penyusunan Alternatif Pengembangannnya di Daerah Penyangga Taman Nasional Siberut. Tesis Pasca Sarjana. IPB. Tidak diterbitkan. Aryanto, 2001. Simulasi Pengaturan Hasil Hutan Kayu Secara Adaptif Pada Hutan Alam Bekas Tebangan Studi Kasus di HPH PT Belayar River Timber Kalimantan Timur. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora. 2002. Kabupaten Blora Dalam angka 2001. BPS Kabupaten Blora, Blora. Eriyatno, 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan efektifitas manajemen. IPB Press. Bogor. FAO, 1998. Guidelines for Management of Tropical Forests, 1. The production of Wood . FAO Forestry Paper. Grant, William E., Ellen K. Pedersen, dan Sandra L. Marin. 1997. Ecology and Natural Resource Management: Systems Analysis and Simulation. John Wiley & Sons, Inc. New York. Helms, J.A. (Editor). 1998. The Dictionary of Forestry. The Society Of American Foresters and CABI Publishing, Bethesda, Wallingford. International Tropical Timber Organization (ITTO). 1998. Criteria and Indicators for Sustainable management of natural tropical Forest. ITTO Policy Development Series No. 7. ITTO.Yokohama. Kuncahyo, B. 2006. Model Simulasi Pengaturan Hasil Lestari yang Berbasis kebutuhan Masyarakat Desa Hutan. Disertasi Pasca Sarjana. IPB. Tidak diterbitkan. Lembaga Penelitian Hutan, 1975. Tabel Tegakan Sepuluh Jenis Kayu Industri. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Meyer, H. A., A. B. Recknagel, D. D. Stevenson, and R. A. Bartoo. 1961. Forest Management, Second Edition. The Ronald Press Company. New York. Muhammadi, Aminullah E., Soesilo, B. 2001. Analisis Sistem Dinamis, Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta.
Munandar, F. 2005. Studi Penyusunan Model Pengaturan Hasil Hutan Dengan Menggunakan Pendekatan Sistem di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Osmaston F. C. 1968. The Management of Forest. George Allen and Unwin, Ltd. London. Perum Perhutani, Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang. 2000. Suplement Rencana Pengaturan Kelestarian Hasil Kelas Perusahaan Jati KPH Blora Jangka Perusahaan 2000-2004. Perhutani. Rembang. Perum Perhutani, Seksi Perencanaan Hutan IV Rembang. 2001. Suplement Rencana Pengaturan Kelestarian Hasil Kelas Perusahaan Jati KPH Cepu Jangka Perusahaan 2001-2005. Perhutani. Rembang. Perum Perhutani, Seksi Perencanaan Hutan III Salatiga. 2002. Rencana Pengaturan Kelestarian Hasil KPH Randublatung Jangka Perusahaan 2003-2012. Perhutani. Salatiga. Perum Perhutani. 1974. Surat Keputusan Direktur Jendral Kehutanan No. 143/KPTS/DJ/I/1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan, Khusus Kelas perusahaan Tebang Habis Jati. PHT 19 Seri Produksi 11 Tahun 1974. Perum Perhutani. Jakarta. Perum Perhutani 1988. Pedoman Pelaksanaan Program Perhutanan Nasional. Jakarta. Proceeding, 1995. Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi Jakarta 10 – 12 Agustus 1995. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia. Konsep, Permasalahan dan Strategi Menuju Era Ekolabel. Fakultas Kehutanan. IPB Suhendang, E 1995. Penerapan Model Dinamika Struktur Tegakan Alam yang Mengalami Penebangan dalam Pengaturan Hasil dengan Metode Jumlah Pohon sebagai Alternative Upaya Penyempurnaan Sistem Silvikultur TPTI. Laporan. Penelitian Hibah Bersaing. Fakultas Kehutanan. IPB. Suhendang, E. 2004. Kemelut dalam Pengurusan Hutan Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Simon, H. 1994. Pengaturan Hasil Hutan, Diktat Mata Kuliah Perencanaan Hutan. Bagian Penerbitan Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Simon, H. 1993. Hutan Jati dan Kemakmuran Problema dan Strategi Pemecahannya. Yogyakarta. Bigraf Publishing. Soedjatmoko, 1980. Dimensi-dimensi Struktural Kemiskinan. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Steel, G. D, Torrie, James H. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Sujatmiko, D dan Arifin, S. 1981. Prospek Kelestarian Hutan Sehubungan Peningkatan Kebutuhan Kayu. Duta Rimba No. 51/VIII. Sumadi, Agus. 2002. Model Simulasi Pengaturan Hasil Hutan Seumur Studi Kasus Pada Kelas Perusahaan Jati di KPH Blora. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Triono, J. 2002. Model simulasi Pengaturan Hasil Kelas Perusahaan Pinus Studi Kasus di KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Vanclay, J. K. 1995. Growth Model for Tropical Forest. A syntheis of Models and Methods. Forest Science.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Sub model jumlah pohon
Lampiran 2 Sub model luas areal berhutan
Lampiran 3 Sub model pengaturan hasil
Lampiran 4. Tabel potensi tegakan hasil risalah sela KPH Blora Rata - Rata Kelas Hutan
NORMAL FOREST
STANDARD Umur Tengah
Volume Tabel (m3/ha)
FOREST STANDING
Vol/Ha (m3/ha)
CAI (m /ha/th)
Luas Areal (Ha)
Volume (NG) (m3)
5 181,8 195,2 184,4 158 138,4 97,8
6 76 125 154,53 162,02 156,74 131,14 114,87 80,2
7 2,09 2,62 2,81 2,95 3,04 2,85
8 997,75 997,75 997,75 997,75 997,75
9 161651,46 156387,34 130844,94 114613,54 80015,56
25
74
65,86
2,33
997,75
65711,82
10 1756,04 1915,68 1835,86 2155,14 1815,90 5 1795,95
1,01
15
54
54,54
2,43
997,75
54417,29
2394,6
0,97
5
20,6
19,98
4,12
997,75
19937,04
4150,64
7982
783578,97
17819,8 2
Bonita
KBD
1 MR MT IX VIII VII VI V IV
2 3,3 3,7 3,8 3,7 3,7 3,2
3 0,85 0,83 0,85 0,83 0,83 0,82
4 85 75 65 55 45 35
III
3
0,89
II
3
I
3,1
Jumlah
3
CAI (NI) (m3)
Actual Area (Ha)
Volume(AG ) (m3)
CAI (Ia) (m3)
11 1188,7 187,4 358,3 430,3 462,5 496,2 287,9 628,4
12 90341,2 23425 55368,1 69715,48 72492,25 65071,67 33071,65 50395,17
13 636,519 935,730 1104,681 1214,946 726,429 1468,571
1.001,7 0 1.219,8 0 1.720,8 0 7982
65971,96
2077,225
66527,89
2993,755
34385,03
6873,808
626765,4
18031,664
Lampiran 5. Tabel potensi tegakan hasil risalah sela KPH Cepu
Kelas Hutan
1 MT MR IX VIII VII VI V IV III II I Jumlah
Rata - Rata Bonita
KBD
2 3,9 3,8 3,8 3,7 3,8 3,6 3,3 3,2 3,3
3 0,92 0,88 0,85 0,81 0,85 0,97 0,90 1,02 0,67
Umur Tengah
4 85 75 65 55 45 35 25 15 5
Volume Tabel (m3/ha) 5 228,40 203,18 184,38 158,38 143,84 117,22 82,38 58,26 21,96
STANDARD Vol/Ha (m3/ha) 6 176,00 62,00 210,13 178,80 156,72 128,29 122,26 113,70 74,14 59,43 14,71
CAI (m /ha/th) 3
7 3,65 2,67 2,81 2,95 3,15 3,19 3,23 3,81 4,36
NORMAL FOREST Luas Areal (Ha) 8 2277,16 2277,16 2277,16 2277,16 2277,16 2277,16 2277,16 2277,16 18217,25
Volume (NG CAI (NI) (m3) (m3/ha/th) 9 407151,85 356882,72 292131,33 278414,20 258920,38 168832,90 135320,45 33504,25 1931158,09
10 6080,01 6398,81 6717,61 7173,04 7264,13 7355,21 8675,96 9928,40 59593,17
FOREST STANDING Actual areal
Volume (AG)
CAI (Ia) (m3)
11 69,10 948,80 230,80 765,72 1291,80 735,40 2392,23 1911,20 1834,90 2349,90 5687,40 18217,25
12 12161,60 58825,60 48497,54 136909,51 202454,77 94342,85 292483,61 217309,94 136043,16 139643,28 83679,85 1351364,51
13 775,026 1799,136 3085,464 1757,238 6405,196 5913,826 5334,054 9132,181 16614,033 50816,155
Lampiran 6. Tabel potensi tegakan hasil risalah sela KPH Randublatung Kelas Hutan
Rata - Rata
Bonita 1 MR MT X IX VIII VII VI V IV III II I Jumlah
2 3,58 3,00 3,50 4,04 3,79 3,93 3,77 3,53 3,47 3,11 3,39 3,40
Umur Tengah
Volume Tabel (m3/ha)
KBD 3 0,45 0,82 0,96 1,02 0,89 0,90 0,85 0,83 0,98 0,96 1,13 0,89
4 62,5 103 91 85 75 65 55 45 35 25 15 5
5 202,92 236,80 203,18 191,34 164,42 128,30 108,50 76,86 62,22 22,68
STANDARD Vol/Ha (m3/ha)
CAI (m /ha/th)
6 64,07 75,07 194,80 240,73 180,87 172,93 139,99 106,54 105,82 73,89 70,53 20,29
7 0,83 2.77 2,67 2,36 2,94 2,8 2,95 3,02 4,11 4,48
3
Keterangan : Kolom 1 = Kelas umur dengan interval 10 tahun Kolom 2 = Bonita rata-rata setiap kelas umur Kolom 3 = KBD rata-rata setiap kelas umur Kolom 4 = Umur tengah tegakan tiap kelas umur Kolom 5 = Volume tabel hasil interpolasi (Bonita, Umur) dengan tabel tegakan jati Kolom 6 = Hasil perkalian volume tabel dengan KBD rata-rata Kolom 7 = Riap tahunan berjalan Kolom 8 = Total luas areal produktif dibagi dengan kelas umurnya
NORMAL FOREST Luas Areal (Ha)
Volume (NG) (m3)
CAI (NI) (m3/ha/th)
8 2772,38 2772,38 2772,38 2772,38 2772,38 2772,38 2772,38 2772,38 22179,00
9 501448,54 479423,96 388107,96 295355,79 293360,38 204854,90 195548,61 56261,88 2414362,02
10 7402,24 6542,81 8150,78 7762,65 8178,51 8372,57 11394,46 12420,24 70224,26
FOREST STANDING Actual areal (Ha)
Volume (AG) (m3)
CAI (Ia) (m3)
11
12 67951,00 503,00 3389,58 44872,18 215004,06 204211,82 133887,53 230297,35 209779,33 181617,87 254693,71 149544,62 1627298,05
13 13,86 526,66 2825,38 2518,76 2394,05 5025,97 5703,68 7136,17 16824,03 29539,68 72508,24
1060,50 6,70 17,40 186,40 1188,70 1180,90 956,40 2161,70 1982,50 2457,90 3610,90 7369,00 22179,00
Kolom 9 = Hasil perkalian luas normal dengan volume standard Kolom 10 = Hasil perkaliann CAI standard dengan luas normal Kolom 11 = Luas tegakan nyata dilapangan Kolom 12 = Hasil perkalian volume standard dengan luas tegakan nyat Kolom 13 = Hasil perkalian CAI standard dengan luas areal nyata
Lampiran 7. Contoh Perhitungan Etat Tebangan Metode Cotta, Burn dan Von Mantel. 1. Metode Cotta
AY =
V + (1/2I) = 16.850,40 m3/th R
V = 626765,4 m3 I
= 18031,664 m3/th
R = 80 tahun
AA =
∑ LiUi = 31 tahun ∑ Li
Etatluas =
AA * NY = 78.153 Ha/th NA
NY = A/R= 99,75 Ha/th NA= R/2 = 40 tahun
2. Metode Burn Umur tebang rata-rata = Umur tanam rata-rata + 0.5 daur = 71 tahun Massa kayu untuk tanaman tiap kelas umur dihitung pada umur 71 tahun Etat massa Burn = 1084144/80 = 13551.80 m3/tahun
3. Metode Von Mantel AY =
2AG R
= 15669.13 m3/tahun (Hasil akhir)
AG = 626765.4 m3 R = 80 Umur rata-rata tanaman =
∑ LI x Ui ∑ Li
= 31 tahun
Lampiran 8. Data bagian hutan contoh di masing-masing KPH.
KPH Blora Cepu
Randublatung
Bagian Hutan Kunduran Ngawen Blungun Cabak Banglean Ngliron Randublatung Bekutuk Banyuurip Doplang
Tingkat pencurian 10742 8036 3867 5797 5180 4595 3786 7673 5294 9192 64162
Pendapatan 557255 865348 1439938 1263764 1093168 1260414 1361318 774118 1038038 823294 1047665,5
Tingkat Pengangguran 8,09 5,61 4,5 3,45 3,62 3,13 4,11 6,78 3,17 8,03 5,049
Konsumsi kayu Pert 0,26 0,34 0,35 0,44 0,38 0,38 0,39 0,37 0,27 0,26 0,344
Konsumsi Kayu Bkar 27,17 26,08 10,61 29,84 11,46 7,51 12,02 14 27,47 28 19,416
Lampiran 9. Data Dasar dan Asumsi
KPH Blora
1. KPH Blora mempunyai luas hutan produktif awal jangka seluas 9848,1 ha yang terbagi dalam berbagai kelas umur. Luas (Ha)
MT MR IX VIII VII VI V IV III II I
913.3 187.4 398.9 458.6 581.5 501.8 443.2 840.4 1623.1 1926.7 1973.2
Umur Tengah
85 75 65 55 45 35 25 15 5
Bonita Rata-rata KBD Rata-rata
3,3 3,7 3,8 3,7 3,7 3,2 3,0 3,0 3,1
0,85 0,83 0,85 0,83 0,83 0,82 0,89 1,01 0,97
Sumber: risalah sela 2000 2. Biaya pengelolaan hutan sebagai berikut a. Biaya ekploitasi (per m3) = Rp. 121.813,b. Biaya pemasaran (per m3) = Rp. 281107,c. Biaya pemeliharaan (per ha) = Rp. 10.695,d. Biaya pendidikan dan latihan = Rp. 9.206.000,e. Biaya penyuluhan = Rp. 570.523.000,f. Biaya penyusutan = Rp. 117.502.000,g. Biaya perlindungan = Rp. 1.759.104.000,h. Biaya persemaian (per ha luas tanaman) = Rp. 413.728,i. Biaya sarana dan prasarana = Rp. 611.259.000,j. Biaya tanam (per ha) = Rp. 116.157,k. Biaya umum = Rp. 2.706.968.000, l. Biaya tata hutan dan perencanaan = Rp. 11.075.000,3. Proposi kayu hasil tebangan habis (tebang A2) 92% AIII, 6% AII, 2% AI dan kayu bakar 6,6% dari total volume tebangan, sedangkan pada pada penjarangan (tebangan E) menghasilkan 66% AI, 16% AII, 18% AIII, dan kayu bakar 25% dari total penjarangan. 4. Harga kayu pada KPH Blora (asumsi selama simulasi harga kayu tetap) a. Harga kayu AIII (per m3) = Rp. 1.543.411,b. Harga kayu AII (per m3) = Rp. 896.115,c. Harga kayu AI (per m3) = Rp. 618.486,d. Harga kayu bakar (per sm3) = Rp. 22.030,5. Data penduduk a. Jumlah penduduk di 24 desa tahun 2001 = 51.441 jiwa b. Persen natalitas = 0,6901661% c. Persen mortalitas = 0,2236989% d. Persen masuk = 0,1664906% e. Persen keluar = 0,2413014%
6. Besarnya gangguan hutan pada KU I 0,98996%, KU II 33,096%, KU III 19,017%, KU IV 10,9861%, KU V 14,569%, KU VI 10,09715%, KU VII 0.9841%, KU VIII 1.5939%, dan KU IX 0,0015% dari total gangguan KPH Cepu 1. KPH Cepu mempunyai luas hutan produktif awal jangka seluas 23170.35 ha yang terbagi dalam berbagai kelas umur. Kelas Hutan Luas (Ha) MT 93.7 MR 1211.1 IX 214.3 VIII 1689.3 VII 1747.9 VI 1880.4 V 1931 IV 4354.25 III 3134.8 II 3329.2 I 3584.3 Sumber: risalah sela 2000
Umur Tengah 85 75 65 55 45 35 25 15 5
Bonita Rata-rata KBD Rata-rata 3.9 0.92 3.8 0.88 3.8 0.85 3.7 0.81 3.8 0.85 3.6 0.97 3.3 0.90 3.2 1.02 3.3 0.67
2. Biaya pengelolaan hutan sebagai berikut a. Biaya ekploitasi (per m3) = Rp. 121.813,b. Biaya pemasaran (per m3) = Rp. 281107,c. Biaya pemeliharaan (per ha) = Rp. 10.695,d. Biaya pendidikan dan latihan = Rp. 21.010.775,e. Biaya penyuluhan = Rp. 1.302.099.740,f. Biaya penyusutan = Rp. 268.173.805,g. Biaya perlindungan = Rp. 4.014.787.941,h. Biaya persemaian (per ha luas tanaman) = Rp. 413.728,i. Biaya sarana dan prasarana = Rp. 1.395.071.162,j. Biaya tanam (per ha) = Rp. 116.157,k. Biaya umum = Rp. 6.178.089.802,l. Biaya tata hutan dan perencanaan = Rp. 25.276.377,3. Proposi kayu hasil tebangan habis (tebang A2) 92% AIII, 6% AII, 2% AI dan kayu bakar 6,6% dari total volume tebangan, sedangkan pada pada penjarangan (tebangan E) menghasilkan 66% AI, 16% AII, 18% AIII, dan kayu bakar 25% dari total penjarangan. 4. Harga kayu pada KPH Blora (asumsi selama simulasi harga kayu tetap) = Rp. 1.543.411,a. Harga kayu AIII (per m3) 3 = Rp. 896.115,b. Harga kayu AII (per m ) c. Harga kayu AI (per m3) = Rp. 618.486,d. Harga kayu bakar (per sm3) = Rp. 22.030,5. Data penduduk a. Jumlah penduduk di 42 desa tahun 2000 = 104.338 jiwa b. Persen natalitas = 0,6901661% c. Persen mortalitas = 0,2236989% d. Persen masuk = 0,1664906% e. Persen keluar = 0,2413014% 6. Besarnya gangguan hutan pada KU I 0,10%, KU II 12,22%, KU III 16,225%, KU IV 30,494%, KU V 11,834%, KU VI 17,8054%, KU VII 5,693%, KU VIII 5,757%, dan KU IX 0.01% dari total gangguan
KPH Randublatung
1
KPH Randublatung mempunyai luas hutan produktif awal jangka 24.023,6 ha yang terbagi dalam berbagai kelas umur. Kelas Hutan Luas (Ha) Umur Tengah 1694.3 62.5 MT 6.7 103 MR 17.4 91 X 192.5 85 IX 1350.7 75 VIII 1406.9 65 VII 1087.8 55 VI 2494.1 45 V IV 2366.5 35 III 2731.3 25 II 3720.4 15 I 6955 5 Sumber: Buku RKPH Jangka 2003-2012
seluas
Bonita Rata-rata KBD Rata-rata 3.58 0.45 3.00 0.82 3.50 0.96 4.04 1.02 3.79 0.89 3.93 0.9 3.77 0.85 3.53 0.83 3.47 0.98 3.11 0.96 3.39 1.13 3.40 0.89
2. Biaya pengelolaan hutan sebagai berikut a. Biaya ekploitasi (per m3) = Rp. 40.000,00 b. Biaya pemasaran (per m3) = Rp. 25.000,00 c. Biaya pemeliharaan (per ha) = Rp. 10.695,00 d. Biaya pendidikan dan latihan = Rp. 25.580.039,00 e. Biaya penyuluhan = Rp. 185.270.561,00 f. Biaya penyusutan = Rp. 126.494.219,00 g. Biaya perlindungan = Rp. 4.887893.713,00 h. Biaya persemaian (per ha luas tanaman) = Rp. 413.728,00 i. Biaya sarana dan prasarana = Rp. 1.698.460.707,00 j. Biaya tanam (per ha) = Rp. 116.157,00 k. Biaya umum = Rp. 1.521.654.131,00 l. Biaya tata hutan dan perencanaan = Rp. 11.075.000,00 3. Proposi kayu hasil tebangan habis (tebang A2) 92% AIII, 6% AII, 2% AI dan kayu bakar 6,6% dari total volume tebangan, sedangkan pada pada penjarangan (tebangan E) menghasilkan 66% AI, 16% AII, 18% AIII, dan kayu bakar 25% dari total penjarangan. 4. Harga kayu pada KPH Blora (asumsi selama simulasi harga kayu tetap) = Rp. 11.943.411,00 a. Harga kayu AIII (per m3) b. Harga kayu AII (per m3) = Rp. 896.115,00 c. Harga kayu AI (per m3) = Rp. 718.486,00 d. Harga kayu bakar (per sm3) = Rp. 25.000,00 5. Data penduduk a. Jumlah penduduk di 39 desa tahun 2000 = 126.591 jiwa b. Persen natalitas = 0,6901661% c. Persen mortalitas = 0,2236989% d. Persen masuk = 0,1664906% e. Persen keluar = 0,2413014% 6. Besarnya gangguan hutan pada KU I 0,001%, KU II 2,105%, KU III 4,848017%, KU IV 31,002%, KU V 0,15332%, KU VI 35.8178%, KU VII 10.0062%, KU VIII 0.1726%, dan KU IX 0.00717% dari total gangguan
Lampiran 10. Persamaan model simulasi Jumlah Pohon jml_phn_kuII(t) = jml_phn_kuII(t - dt) + (upgrowth__I - upgrowth_II - OutKUII mortality_II) * dt INIT jml_phn_kuII = 1965427 INFLOWS: upgrowth__I = Jml_phn_ku_I*PerPindah_I OUTFLOWS: upgrowth_II = jml_phn_kuII*PerPindahII OutKUII = phn_penj_II+CuriKUII mortality_II = jml_phn_kuII*0.001 jml_phn_kuIII(t) = jml_phn_kuIII(t - dt) + (upgrowth_II - upgrowth_III - OutKUIII mortality_III) * dt INIT jml_phn_kuIII = 888404 INFLOWS: upgrowth_II = jml_phn_kuII*PerPindahII OUTFLOWS: upgrowth_III = jml_phn_kuIII*PerPindah_III OutKUIII = phn_penjIII+CuriKUIII mortality_III = jml_phn_kuIII*0.001 jml_phn_kuIX_up(t) = jml_phn_kuIX_up(t - dt) + (upgrowth_VIII - upgrowth_IXup phnTebangIXup - Curi_KU_IXup - mortality_IX) * dt INIT jml_phn_kuIX_up = 57641 INFLOWS: upgrowth_VIII = if jml_phn_kuIX_up=Phn_Teb_per_thn then 0 else PerPindahVIII*jml_phn_ku_VIII OUTFLOWS: upgrowth_IXup = if jml_phn_MT=Phn_Teb_per_thn then 0 else PerPindahIXup*jml_phn_kuIX_up phnTebangIXup = if jml_phn_kuIX_up<Sisa_Etat_IXup then jml_phn_kuIX_up else TebIX Curi_KU_IXup = if jml_phn_curi<=0 then 0 else (jml_phn_curi*0.000015) mortality_IX = jml_phn_kuIX_up*0.01 Jml_phn_ku_I(t) = Jml_phn_ku_I(t - dt) + (jml_phn_tanam - mortality_I - OutKUI upgrowth__I) * dt INIT Jml_phn_ku_I = 3942848 INFLOWS: jml_phn_tanam = Phn_Teb_per_thn+(persen_tan_pem*jml_phn_curi) OUTFLOWS: mortality_I = Jml_phn_ku_I*0.001 OutKUI = phn_penj_I+CuriKUI upgrowth__I = Jml_phn_ku_I*PerPindah_I jml_phn_ku_IV(t) = jml_phn_ku_IV(t - dt) + (upgrowth_III - upgrowth_IV OutKUIV - phn_TebangIV - mortality_IV) * dt INIT jml_phn_ku_IV = 264625 INFLOWS: upgrowth_III = jml_phn_kuIII*PerPindah_III
OUTFLOWS: upgrowth_IV = if jml_phn_ku_V=Phn_Teb_per_thn then 0 else PerPindah_IV*jml_phn_ku_IV OutKUIV = phn_penj_IV+CuriKUIV phn_TebangIV = if jml_phn_ku_IV<Sisa_Etat_IV then jml_phn_ku_IV else Teb_IV mortality_IV = jml_phn_ku_IV*0.001 jml_phn_ku_V(t) = jml_phn_ku_V(t - dt) + (upgrowth_IV - upgrowth_V - OutKUV phnTebangV - mortality_V) * dt INIT jml_phn_ku_V = 88285 INFLOWS: upgrowth_IV = if jml_phn_ku_V=Phn_Teb_per_thn then 0 else PerPindah_IV*jml_phn_ku_IV OUTFLOWS: upgrowth_V = if jml_phn_ku_V=Phn_Teb_per_thn then 0 else PerPindahV*jml_phn_ku_V OutKUV = phn_penjV+CuriKUV phnTebangV = if jml_phn_ku_V<Sisa_Etat_V then jml_phn_ku_V else TebV mortality_V = jml_phn_ku_V*0.0001 jml_phn_ku_VI(t) = jml_phn_ku_VI(t - dt) + (upgrowth_V - upgrowth_VI OutKUVI - phnTebangVI - mortality_VI) * dt INIT jml_phn_ku_VI = 81632 INFLOWS: upgrowth_V = if jml_phn_ku_V=Phn_Teb_per_thn then 0 else PerPindahV*jml_phn_ku_V OUTFLOWS: upgrowth_VI = if jml_phn_ku_VII=Phn_Teb_per_thn then 0 else PerPindahVI*jml_phn_ku_VI OutKUVI = phn_penjVI+CuriKUVI phnTebangVI = if jml_phn_ku_VI<Sisa_Etat_VI then jml_phn_ku_VI else TebVI mortality_VI = jml_phn_ku_VI*0.0001 jml_phn_ku_VII(t) = jml_phn_ku_VII(t - dt) + (upgrowth_VI - upgrowth_VII OutKUVII - phnTebangVII - mortality_VII) * dt INIT jml_phn_ku_VII = 87981 INFLOWS: upgrowth_VI = if jml_phn_ku_VII=Phn_Teb_per_thn then 0 else PerPindahVI*jml_phn_ku_VI OUTFLOWS: upgrowth_VII = if jml_phn_ku_VIII=Phn_Teb_per_thn then 0 else jml_phn_ku_VII*PerPindah_VII OutKUVII = phn_penjVII+CuriKUVII phnTebangVII = if jml_phn_ku_VII<Sisa_Etat_VII then jml_phn_ku_VII else TebVII mortality_VII = jml_phn_ku_VII*0.0001 jml_phn_ku_VIII(t) = jml_phn_ku_VIII(t - dt) + (upgrowth_VII - upgrowth_VIII phn_TebangVIII - Curi_KU_VIII - mortality_VIII) * dt INIT jml_phn_ku_VIII = 56334 INFLOWS: upgrowth_VII = if jml_phn_ku_VIII=Phn_Teb_per_thn then 0 else jml_phn_ku_VII*PerPindah_VII
OUTFLOWS: upgrowth_VIII = if jml_phn_kuIX_up=Phn_Teb_per_thn then 0 else PerPindahVIII*jml_phn_ku_VIII phn_TebangVIII = if jml_phn_ku_VIII<Sisa_Etat_VIII then jml_phn_ku_VIII else TebVIII Curi_KU_VIII = if jml_phn_curi<=0 then 0 else (jml_phn_curi*0.065939) mortality_VIII = jml_phn_ku_VIII*0.0001 jml_phn_MR(t) = jml_phn_MR(t - dt) + (- phn_teb_MR - Curi__MR mortality_MR) * dt INIT jml_phn_MR = 75986 OUTFLOWS: phn_teb_MR = if (jml_phn_MR<=Phn_Teb_per_thn) then jml_phn_MR else Phn_Teb_per_thn Curi__MR = if jml_phn_curi<=0 then 0 else (0.001*jml_phn_curi) mortality_MR = jml_phn_MR*0.001 jml_phn_MT(t) = jml_phn_MT(t - dt) + (upgrowth_IXup - phnTebangMT - Curi_MT - mortality_MT) * dt INIT jml_phn_MT = 8058 INFLOWS: upgrowth_IXup = if jml_phn_MT=Phn_Teb_per_thn then 0 else PerPindahIXup*jml_phn_kuIX_up OUTFLOWS: phnTebangMT = if jml_phn_MT<Sisa_etat_MT then jml_phn_MT else TebMT Curi_MT = if jml_phn_curi<=0 then 0 else (jml_phn_curi*0.001) mortality_MT = jml_phn_MT*0.0001 CuriKUI = if jml_phn_curi<=0 then 0 else (jml_phn_curi*0.098996) CuriKUII = if jml_phn_curi<=0 then 0 else (0.33096*jml_phn_curi) CuriKUIII = if jml_phn_curi<=0 then 0 else (jml_phn_curi*0.19017) CuriKUIV = if jml_phn_curi<=0 then 0 else (0.139861*jml_phn_curi) CuriKUV = if jml_phn_curi<=0 then 0 else (jml_phn_curi*0.14569) CuriKUVI = if jml_phn_curi<=0 then 0 else (jml_phn_curi*0.0009715) CuriKUVII = if jml_phn_curi<=0 then 0 else (jml_phn_curi*0.009841) PerPindahII = 0.1 PerPindahIXup = 0.0 PerPindahV = 0.2 PerPindahVI = 0.2 PerPindahVIII = 0.1 PerPindah_I = 0.1 PerPindah_III = 0.1 PerPindah_IV = 0.2 PerPindah_VII = 0.2 phn_penjIII = (if (Daur=40) or (Daur=60) or (Daur= 70) or (Daur=80) then 1 else 0) *penj_III*0.89*Etat_Luas phn_penjV = (if (Daur=60) or (Daur= 70) or (Daur=80) then 1 else 0) *penj_V*0.83*Etat_Luas phn_penjVI = (if (Daur= 70) or (Daur=80) then 1 else 0) * penjVI*0.83*Etat_Luas phn_penjVII = (if (Daur=70) or (Daur= 80) then 1 else 0) *penj_VII*0.85*Etat_Luas phn_penj_I = (if (Daur=40) or (Daur=60) or (Daur= 70) or (Daur=80) then 1 else 0) *penj_I*0.97*Etat_Luas
phn_penj_II = (if (Daur=40) or (Daur=60) or (Daur= 70) or (Daur=80) then 1 else 0) *penj_II*1.01*Etat_Luas phn_penj_IV = (if (Daur=60) or (Daur= 70) or (Daur=80) then 1 else 0) *penj_IV*0.82*Etat_Luas Sisa_Etat_IV = Phn_Teb_per_thn(phnTebangV+phnTebangVI+phnTebangVII+phn_TebangVIII+phnTebangIXup+p hnTebangMT+phn_teb_MR) Sisa_Etat_IXup = Phn_Teb_per_thn-(phnTebangMT+phn_teb_MR) Sisa_etat_MT = Phn_Teb_per_thn-phn_teb_MR Sisa_Etat_V = Phn_Teb_per_thn(phnTebangVI+phnTebangVII+phn_TebangVIII+phnTebangIXup+phnTebangMT +phn_teb_MR) Sisa_Etat_VI = Phn_Teb_per_thn(phnTebangVII+phn_TebangVIII+phnTebangIXup+phnTebangMT+phn_teb_MR) Sisa_Etat_VII = Phn_Teb_per_thn(phn_TebangVIII+phnTebangMT+phnTebangIXup+phn_teb_MR) Sisa_Etat_VIII = Phn_Teb_per_thn(phnTebangIXup+phnTebangMT+phn_teb_MR) TebIX = if jml_phn_MT
Dinamika Penduduk Jumlah_penduduk(t) = Jumlah_penduduk(t - dt) + (InPenduduk - Out) * dt INIT Jumlah_penduduk = 51441 INFLOWS: InPenduduk = Masuk+Lahir OUTFLOWS: Out = Keluar+Mati Anggota_KK = 4 Jumlah_KK = Jumlah_penduduk/Anggota_KK Keluar = Jumlah_penduduk*Persenkeluar Lahir = Jumlah_penduduk*persen_lahir Masuk = Jumlah_penduduk*Persenmasuk Mati = Jumlah_penduduk*persen_mati Persenkeluar = 0.002413014 Persenmasuk = 0.001664906 persen_lahir = 0.006901661 persen_mati = 0.002236989 Gangguan Hutan Analisis_Sensitifitas = 0 jml_phn_curi = IF(Selisih_pendapatan<=0)THEN ((6217 (0.00457*Pendapatan)+ (496*tingkat_Penganggran)+ (3732*Kons_Kayu_Petk)+ (61.8*kons_Kyu_Bkar))) ELSE(0) Kons_Kayu_Petk = ((Konsumsi_kayu_pertk/51441)*Sken_Kons_Kayu_pertk)+Konsumsi_kayu_pertk/ 51441 kons_Kyu_Bkar = ((Konsumsi_kayu_bakar/51441)*Skenario_Konsm_Kayu_Bkar)+Konsumsi_kayu _bakar/51441 luascuri_total = if Analisis_Sensitifitas=0 then (jml_phn_curi/135) else ((jml_phn_curi/135)*0)+Analisis_Sensitifitas Pendapatan = (Pendpatan_perkpita_per_tahun*Skenario_Pendapatan)+Pendpatan_perkpita_p er_tahun Skenario_Konsm_Kayu_Bkar = 0 Skenario_Pendapatan = 0 Skenario_Pengangguran = 0 Sken_Kons_Kayu_pertk = 0 tingkat_Penganggran = (persen_pengangguran*skenario_pengangguran)+persen_pengangguran
Keuangan Perusahaan Biaya_KPH = Biaya_Usaha+IHH Biaya_Usaha = B_umum+B_Ekploitasi+B_Pemasaran+B_Pembinaan+B_Penyusutan+B_Sarana &prasarana+B_Pendidkan&latihan+Tatahutan&perencanaan B_Ekploitasi = VolTebang*121813 B_Pemasaran = VolTebang*281107
B_Pembinaan = B_Pemeliharaan+B_Persemaian+B_Tanaman+B_Perlindungan+B_Penyuluhan B_Pemeliharaan = Etat_Luas* 10695 B_Pendidkan&latihan = 9206000 B_Penyuluhan = 570523000 B_Penyusutan = 117502000 B_Perlindungan = 1759104000 B_Persemaian = Etat_Luas*413728 B_Sarana&prasarana = 611259000 B_Tanaman = Etat_Luas*3000000 B_umum = 2706968000 Harga_A1 = 618486 Harga_A2 = 896115 Harga_A3 = 1543411 Harga_kayu_bakar = 22030 IHH = Penerimaan_KPH*0.03 Kayu_Bakar = Vol_Bakar*Harga_kayu_bakar Pendapatan_bersih_KPH = Penerimaan_KPH-Biaya_KPH Penerimaan_KPH = Usaha_Pokok Pen_A1 = Vol_A1*Harga_A1 Pen_A2 = Harga_A2*Vol_A2 Pen_A3 = Vol_A3*Harga_A3 Tatahutan&perencanaan = 11075000 Usaha_Pokok = Pen_A1+Pen_A2+Pen_A3+Kayu_Bakar VolTebang = Vol_Teb_AII+Vol_Teb_E Vol_A1 = (Etat_Volume*0.02)+(Vol_Teb_E*0.66) Vol_A2 = (Etat_Volume*0.06)+(Vol_Teb_E*0.16) Vol_A3 = (0.92*Etat_Volume)+(Vol_Teb_E*0.18) Vol_Bakar = ((Etat_Volume*0.066)+(Vol_Teb_E*0.25)) Vol_Teb_AII = Etat_Volume Vol_Teb_E = (phn_penj_I*V_per_phn_penj_I)+(phn_penj_II*V_per_phn_penj_II)+(phn_penjIII* V_per_phn_penj_III)+(phn_penj_IV*V_per_phn_penj_IV)+(phn_penjV*V_per_ph n_penj_V)+(V_per_phn_penj_VI*phn_penjVI)+(phn_penjVII*V_per_phn_penj_VII ) V_per_phn_penj_I = 0.014906353 V_per_phn_penj_II = 0.060251046 V_per_phn_penj_III = 0.12254902 V_per_phn_penj_IV = 0.226377953 V_per_phn_penj_V = 0.490833333 V_per_phn_penj_VI = 0.64556962 V_per_phn_penj_VII = 0.868518519 Konsumsi Kayu Konsumsi_kayu_bakar = Jumlah_penduduk*19.42 Konsumsi_kayu_pertk = Jumlah_penduduk*0.34 Pendapatan_bersih_masyarakat = Pend_masy-Peng_masy Pendpatan_perkpita_per_tahun = 1047666 Pend_masy = Pendpatan_perkpita_per_tahun*Jumlah_penduduk Pengeluaran_kayu_bkar = 22000*Konsumsi_kayu_bakar Pengeluaran_kayu_pertk = 1000000*Konsumsi_kayu_pertk peng_kayu_masy = Pengeluaran_kayu_bkar+Pengeluaran_kayu_pertk Peng_masy = peng__perkapita__per_tahun*Jumlah_penduduk
peng__perkapita__per_tahun = 950812 Selisih_pendapatan = Pendapatan_bersih_masyarakat-peng_kayu_masy Luas Areal Berhutan luas_ku_I(t) = luas_ku_I(t - dt) + (tanam_luas - pin_ku_I - luaspenc_I) * dt INIT luas_ku_I = 1973.2 INFLOWS: tanam_luas = Etat_Luas+Luas_Tan_Pem OUTFLOWS: pin_ku_I = 0.362*luas_ku_I luaspenc_I = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.098996*luascuri_total) luas_ku_II(t) = luas_ku_II(t - dt) + (pin_ku_I - pin_ku_II - luaspenc_II) * dt INIT luas_ku_II = 1926.6 INFLOWS: pin_ku_I = 0.362*luas_ku_I OUTFLOWS: pin_ku_II = 0.23*luas_ku_II luaspenc_II = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.330096*luascuri_total) luas_ku_III(t) = luas_ku_III(t - dt) + (pin_ku_II - pin_ku_III - luaspenc_III) * dt INIT luas_ku_III = 1623.1 INFLOWS: pin_ku_II = 0.23*luas_ku_II OUTFLOWS: pin_ku_III = 0.2*luas_ku_III luaspenc_III = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.19017*luascuri_total) luas_ku_IV(t) = luas_ku_IV(t - dt) + (pin_ku_III - tebluas_IV - luaspenc_IV pin_ku_IV) * dt INIT luas_ku_IV = 840.4 INFLOWS: pin_ku_III = 0.2*luas_ku_III OUTFLOWS: tebluas_IV = if luas_ku_V<=Etat_Luas then sisael_IV else 0 luaspenc_IV = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.139861*luascuri_total) pin_ku_IV = if luas_ku_V=Etat_Luas then 0 else 0.22*luas_ku_IV luas_ku_IX(t) = luas_ku_IX(t - dt) + (pin_ku_VIII - pin_IX - teb_luas_IX luas_penc_ku_IXup) * dt INIT luas_ku_IX = 398.9 INFLOWS: pin_ku_VIII = if (luas_ku_IX=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_VIII*0.0) OUTFLOWS: pin_IX = if (luas_MT=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_IX*0.002) teb_luas_IX = IF(luas_ku_IX<=el_IX_up) THEN(luas_ku_IX) ELSE(el_IX_up) luas_penc_ku_IXup = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.000015*luascuri_total) luas_ku_V(t) = luas_ku_V(t - dt) + (pin_ku_IV - pin_ku_V - luas_penc_V teb_luas_V) * dt INIT luas_ku_V = 443.2 INFLOWS: pin_ku_IV = if luas_ku_V=Etat_Luas then 0 else 0.22*luas_ku_IV
OUTFLOWS: pin_ku_V = if luas_ku_VI=Etat_Luas then 0 else 0.128*luas_ku_V luas_penc_V = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.145669*luascuri_total) teb_luas_V = if(luas_ku_V<=el_V) then (luas_ku_V) else (el_V) luas_ku_VI(t) = luas_ku_VI(t - dt) + (pin_ku_V - tebluas_VI - luaspenc_ku_VI pin_kuVI) * dt INIT luas_ku_VI = 501.8 INFLOWS: pin_ku_V = if luas_ku_VI=Etat_Luas then 0 else 0.128*luas_ku_V OUTFLOWS: tebluas_VI = if(luas_ku_VI<=el_VI) then (luas_ku_VI) else (el_VI) luaspenc_ku_VI = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.0009715*luascuri_total) pin_kuVI = if (luas_ku_VII=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_VI*0.1) luas_ku_VII(t) = luas_ku_VII(t - dt) + (pin_kuVI - pin_ku_VII - teb_luas__VII luaspenc_ku_VII) * dt INIT luas_ku_VII = 581.6 INFLOWS: pin_kuVI = if (luas_ku_VII=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_VI*0.1) OUTFLOWS: pin_ku_VII = if (luas_ku_VIII=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_VII*0.13) teb_luas__VII = IF(luas_ku_VII<=el_VII) then (luas_ku_VII) else (el_VII) luaspenc_ku_VII = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.009841*luascuri_total) luas_ku_VIII(t) = luas_ku_VIII(t - dt) + (pin_ku_VII - teb_luas__VIII luas_penc_ku_VIII - pin_ku_VIII) * dt INIT luas_ku_VIII = 458.6 INFLOWS: pin_ku_VII = if (luas_ku_VIII=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_VII*0.13) OUTFLOWS: teb_luas__VIII = IF(luas_ku_VIII<=el_VIII) THEN(luas_ku_VIII) ELSE(el_VIII) luas_penc_ku_VIII = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.065939*luascuri_total) pin_ku_VIII = if (luas_ku_IX=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_VIII*0.0) luas_MR(t) = luas_MR(t - dt) + (- luas_penc_MR - teb_luas_MR) * dt INIT luas_MR = 913.3 OUTFLOWS: luas_penc_MR = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.001*luascuri_total) teb_luas_MR = if (luas_MR <= Etat_Luas) then luas_MR else Etat_Luas luas_MT(t) = luas_MT(t - dt) + (pin_IX - teb_luas_MT - luas_penc_MT) * dt INIT luas_MT = 187.4 INFLOWS: pin_IX = if (luas_MT=Etat_Luas) then (0) else (luas_ku_IX*0.002) OUTFLOWS: teb_luas_MT = IF(luas_MT<=el_MT) THEN (el_MT) ELSE(el_MT) luas_penc_MT = if luascuri_total<=0 then 0 else (0.001*luascuri_total) TanahKosong(t) = TanahKosong(t - dt) + (luas_curi - Luas_Tan_Pem) * dt INIT TanahKosong = 1076.57 INFLOWS:
luas_curi = luaspenc_I+luaspenc_II+luaspenc_III+luaspenc_IV+luaspenc_ku_VI+luaspenc_k u_VII+luas_penc_V+luas_penc_ku_VIII+luas_penc_ku_IXup+luas_penc_MR+lua s_penc_MT OUTFLOWS: Luas_Tan_Pem = TanahKosong*persen_tan_pem el_IX_up = if luas_MT<Etat_Luas then sisa_el_IX_up else 0 el_MT = if luas_MR<Etat_Luas then sisa_el_MT else 0 el_V = if luas_ku_VI<Etat_Luas then sisael_V else 0 el_VI = if luas_ku_VII<Etat_Luas then sisa_el_VI else 0 el_VII = if luas_ku_VIII<Etat_Luas then sisa_el_VII else 0 el_VIII = IF(luas_ku_IX<=Etat_Luas)THEN(sisa_el_VIII) ELSE(0) luas_teb_total = tebluas_VI+teb_luas_V+teb_luas__VII+teb_luas__VIII+teb_luas_IX+teb_luas_M R+teb_luas_MT+tebluas_IV persen_tan_pem = 0.2 sisael_IV = Etat_Luas(teb_luas_MR+teb_luas_MT+teb_luas_IX+teb_luas__VIII+teb_luas__VII+tebluas _VI+teb_luas_V) sisael_V = Etat_Luas(teb_luas_MR+teb_luas_MT+teb_luas_IX+teb_luas__VIII+teb_luas__VII+tebluas _VI) sisa_el_IX_up = Etat_Luas-(teb_luas_MT+teb_luas_MR) sisa_el_MT = Etat_Luas-teb_luas_MR sisa_el_VI = Etat_Luas(teb_luas_MR+teb_luas_MT+teb_luas_IX+teb_luas__VIII+teb_luas__VII) sisa_el_VII = Etat_Luas(teb_luas_MR+teb_luas_MT+teb_luas_IX+teb_luas__VIII) sisa_el_VIII = Etat_Luas-(teb_luas_MR+teb_luas_MT+teb_luas_IX) Pengangguran alokasi = 0.25 AngkatanKerja = (Jumlah_penduduk*Persen_Angkatan_kerja) Bekerja_non_hutan = AngkatanKerja*Persen_bekerja Jumlah_pengangguran = Pencari_kerja-Total_TK lahan_pesanggem = 0.25 luas_TS = tanam_luas*persen_TS Pencari_kerja = AngkatanKerja-Bekerja_non_hutan-pensiunan pensiunan = AngkatanKerja*persen_pensiunan Persentase_TK = (Total_TK/Pencari_kerja)*100 Persen_Angkatan_kerja = 0.791988829 Persen_bekerja = 0.670293748 persen_pengangguran = 100*(Jumlah_pengangguran/AngkatanKerja) persen_pensiunan = 0.0151 persen_TS = 0.3 PesanggemTS = luas_TS/lahan_pesanggem TK_babat_tumb_bawah = (alokasi*Etat_Luas)/0.42 TK_blandong = (alokasi*Etat_Volume)/(8) TK_pelihara = TK_penjarangan+TK_pruning+TK_wilwilan+TK_babat_tumb_bawah TK_penjarangan = (alokasi*Etat_Luas)/0.365 TK_pruning = (alokasi*Etat_Luas)/0.187 TK_Tanam = ((tanam_luas-luas_TS)*alokasi)/(0.11)
TK_wilwilan = (alokasi*Etat_Luas)/0.55 Total_TK = (TK_tanam+TK_blandong+TK_pelihara+PesanggemTS) Pengaturan Hasil areal_berhutan = luas_ku_I+luas_ku_II+luas_ku_III+luas_ku_IV+luas_ku_V+luas_ku_VI+luas_ku_ VII+luas_ku_VIII+luas_ku_IX+luas_MR+luas_MT Daur = 80 Etat_Luas = areal_berhutan/Daur Etat_Volume = Etat_Luas*V_per_Ha_KU_teb_aktual Luas_Teb_KU_aktual= luas_ku_IV+luas_ku_V+luas_ku_VI+luas_ku_VII+luas_ku_VIII+luas_ku_IX+luas _MR+luas_MT PhnVII = Vol_VII/V_per_phn_VII Phn_IV = Vol_IV/V_per_phn_IV Phn_IX = Vol_IX/V_per_phn_IX Phn_MR = Vol_MR/V_per_phn_MR Phn_MT = Vol_MT/V_per_phn_MT Phn_per_Ha_teb = phn_teb_KU/Luas_Teb_KU_aktual Phn_Teb_KU = Phn_IV+Phn_V+Phn_VI+PhnVII+Phn_VIII+Phn_IX+Phn_MT+Phn_MR Phn_Teb_per_thn = Phn_per_Ha_teb*Etat_Luas Phn_V = Vol_V/V_per_phn_V Phn_VI = Vol_VI/V_per_phn_VI Phn_VIII = Vol_VIII/V_per_phn_VIII Vol_IV = luas_ku_IV*Vper_Ha_IV Vol_IX = luas_ku_IX*V_per_Ha_IX Vol_KU_Teb_aktual = Vol_IV+Vol_V+Vol_VI+Vol_VII+Vol_VIII+Vol_IX+Vol_MT+Vol_MR Vol_MR = luas_MR*V_per_Ha_MR Vol_MT = luas_MT*V_per_Ha_MT Vol_V = luas_ku_V*V_per_Ha_V Vol_VI = luas_ku_VI*V_per_HA_VI Vol_VII = luas_ku_VII*V_per_Ha_VII Vol_VIII = luas_ku_VIII*V_per_Ha_VIII Vper_Ha_IV = 80.2 V_per_Ha_IX = 154.53 V_per_Ha_KU_teb_aktual = Vol_KU_Teb_aktual/Luas_Teb_KU_aktual V_per_Ha_MR = 76 V_per_Ha_MT = 125 V_per_Ha_V = 114.87 V_per_HA_VI = 131.14 V_per_Ha_VII = 156.74 V_per_Ha_VIII = 162.02 V_per_phn_IV = 0.2547 V_per_phn_IX = 1.0694 V_per_phn_MR = 0.913 V_per_phn_MT = 2.9070 V_per_phn_V = 0.5767 V_per_phn_VI = 0.8061 V_per_phn_VII = 1.0360 V_per_phn_VIII = 1.3190