WARTA
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN KUPANG | ENVIRONMENT AND FORESTRY RESEARCH AND DEVELOPMENT INSTITUTE OF KUPANG
Edisi IX No. 2 September 2016
MADU MANGROVE Hasil Hutan Bukan Kayu Potensial
HASIL HUTAN BUKAN KAYU Konstruksi Teoritis dan Yuridis di Indonesia MENYOAL HUKUM ADAT PENGELOLAAN HUTAN JENIS-JENIS TAMBAHAN AVIFAUNA Hutan Penelitian Oelsonbai
IDENTIFIKASI SUMBER Domestikasi Faloak BENIH TANAMAN HUTAN (Sterculia quadrifida R.Br.) di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo
| RESENSI | Soil Respiration and The Environment | INFORMASI | Jurnal Penelitian Faloak
Mbaru Niang Rumah Adat Waerebo
| FOKUS |
SEKAPUR SIRIH Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Tiada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Warta Cendana edisi kali ini juga mengalami perubahan penampilan dalam logo Warta Cendana. Semoga perubahan tersebut memberikan dampak positif terhadap kualitas Warta Cendana. Terima kasih kepada Dr. S. Agung Sri Raharjo atas masukan desain logo. Pembaca yang budiman… Warta Cendana Edisi IX No 2 tahun 2016 mengangkat tema utama mengenai Hasil HutanBukan Kayu (HHBK). Terdapat dua artikel yang secara khusus membahas tentang HHBK , yaitu madu dan kontruksi teoritis dan yuridis HHBK. Selain topik tersebut terdapat juga pembahasan mengenai hukum adat, aviuna di Oelsonbai, kebun benih dan Faloak. Di bagian informasi,terdapat ulasan mengenai jurnal elektronik Faloak. Selamat membaca….
DAFTAR ISI | FOKUS |
Madu Mangrove Hasil Hutan Bukan Kayu Potensial Oleh : M. Hidayatullah
h.1
Menyoal Hukum Adat Pengelolaan Hutan Oleh : Budiyanto Dwi Prasetyo
h.10
Identifikasi Sumber Benih Tanaman Hutan di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo Oleh : Oscar K. Oematan
h.20
Hasil Hutan Bukan Kayu Konstruksi Teoritis dan Yuridis di Indonesia Oleh : S. Agung S. Raharjo
Jenis-JenisTambahan Avifauna Hutan Penelitian Oelsonbai Oleh : Oki Hidayat
h.6
h.16
Demostikasi Faloak (Sterculia quadrifida R.Br.) Oleh : Siswadi
h.25
| RESENSI | h.30 | INFORMASI | h.31 | GALERI PERISTIWA | h.32 Cover photo : Mangrove di Maubesi by M. Hidayatullah dan back coverMbaru Niang Rumah Adat Waerebo by Budiyanto Dwi P
REDAKSI
WARTA merupakan majalah ilmiah poluler Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang yang diterbitkan 3 kali dalam satu tahun, berisikan tema rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi, sosial ekonomi, ekowisata, lingkungan, HHBK, managemen, hukum kelembagaan, kebijakan publik dan lain-lain.
PENERBIT
Penanggung Jawab Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang Dewan Redaksi Imam Budiman, S.Hut, M.A . Hery Kurniawan, S.Hut, M.Sc. DR. S. Agung S. Raharjo, S.Hut.,M.T. Muhamad Hidayatullah, S.Hut, M.Si.
Redaksi Pelaksana Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian Anggota Ali Ngimron Mardiyanto
Redaksi menerima sumbangan artikel sesuai tema terkait, Tim Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah isi materi tulisan, Tulisan dapat dikirim melalui email ke
[email protected]
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang Jln Untung Suropati No 7 B. Kupang Telp (0380)823357 Fax (0380) 831086 Email :
[email protected] www.foristkupang.org
MADU MANGROVE Hasil Hutan Bukan Kayu Potensial oleh: M. Hidayatullah PENDAHULUAN Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan salah satu fokus pengelolaan hutan dalam beberapa tahun terakhir, hal ini dilakukan karena terdapat kecenderungan penurunan kualitas dan kuantitas hutan yang disebabkan oleh pemanfaatan kayu maupun konversi hutan. Hasil hutan bukan kayu sesungguhnya bukan hanya hasil sampingan dari sebuah pohon seperti getah, daun, kulit dan buah atau tumbuh-tumbuhan seperti rotan, bambu dan lain-lain namun juga bira
berupa hewan dan hasil hewan. Hasil hewan berupa sarang burung, sutera alam dan lebah madu juga dapat dikategorikan sebagai HHBK. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu tersebut menjadi matapencaharian utama bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hutan mangrove merupakan salah satu sumber daya yang menyimpan banyak potensi HHBK yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan hidup. Namun potensi tersebut banyak yang belum dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, sehingga nilai manfaat dari
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
1
keberadaan HHBK di hutan mangrove belum maksimal. Pemanfaatan HHBK pada kawasan hutan mangrove yang sudah umum dijumpai antara lain penangkapan kepiting bakau, ikan dan kerang. Akti tas ini sekaligus menjadi sumber matapencaharian bagi sebagian masyarakat di kawasan pesisir. Hasil hutan ikutan lain pada hutan mangrove yang belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah mangrove sebagai sumber bahan obat-obatan tradisional maupun untuk bahan pangan alternatif, pengusahaan madu pada hutan mangrove juga belum banyak dijumpai. Pengembangan madu pada hutan mangrove sebenarnya memiliki prospek yang sangat bagus karena NTT memiliki keragaman jenis mangrove yang cukup tinggi, sehingga sangat mendukung perkembangbiakan lebah madu. Hidayatullah, (2014) mengatakan bahwa keragaman jenis mangrove di NTT mencapai 31 jenis. Sebagian besar jenis mangrove tersebut memiliki bunga yang mengandung pollen dan nektar sebagai makanan bagi koloni lebah penghasil madu. Waktu pembungaan jenis-jenis mangrove pada umumnya berbeda antara satu dengan yang lainnya, bahkan beberapa jenis diantaranya berbunga sepanjang tahun sehingga menjamin ketersediaan sumber pakan bagi lebah madu. POTENSI MANGROVE Indonesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki hutan mangrove cukup luas di Asia bahkan di Dunia. Berdasarkan data FAO (2007), luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 3.062.300 ha atau 49% dari luas hutan mangrove di Asia, sedangkan pada skala dunia luasan tersebut setara dengan
2
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
19%. Potensi yang dimiliki bangsa ini menjadi sumber kesejahteraan masyarakat, bila dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Namun potensi yang besar ini mengalami ancaman yang cukup serius, beberapa sumber mengatakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan karena akti tas pemanfaatan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian. Penurunan kualitas dan luasan hutan mangrove ini salah satunya ditandai dengan banyaknya musibah abrasi air laut pada pemukiman di kawasan pesisir. Pada skala yang lebih kecil, wilayah NTT memiliki hutan mangrove seluas 40.614,11 ha (BPHM Wilayah 1 Bali, 2011). Dari semua Kabupaten/Kota yang ada, Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, Rote Ndao dan Belu merupakan beberapa Kabupaten yang memiliki hutan mangrove cukup luas di NTT (BPDAS BN, 2010). Meskipun memiliki potensi mangrove yang cukup besar, namun belum banyak informasi yang diperoleh terkait dengan produksi madu pada hutan mangrove di keempat kabupaten tersebut. Justru yang saat ini banyak dilaporkan tentang produksi madu mangrove yaitu di kabupaten Sikka yang memiliki hutan mangrove hanya 1.177,57 ha (BPDAS BN, 2010) atau setara dengan 2,89% dari luas hutan mangrove di NTT. Kecamatan Magepanda dan K e c a m a t a n Ta l i b u r a m e r u p a k a n d u a Kecamatan di Kabupaten Sikka dengan konsentrasi hutan mangrove yang cukup besar. Kecamatan Magepanda terkenal dengan ekowisata mangrovenya, sedangkan Kecamatan Talibura dikenal sebagai penghasil madu di Pulau Flores.
MADU MANGROVE Menurut Pusat Perlebahan Apriari Pramuka (2002) terdapat beberapa jenis lebah yang sudah dikenal yaitu : Apis andreniformis, Apis cerana, Apis dorsata, Apis orea, Apis konchevnikovi, Apis laboriosa, dan Apis mellifera. Jenis-jenis lebah tersebut memiliki keunggulan masing-masing, sehingga diperlukan pemilihan jenis yang tepat untuk dikembangkan pada suatu wilayah agar memberikan hasil yang maksimal. Pada umumnya jenis-jenis yang dipilih untuk kegiatan budidaya adalah 1). Apis mellifera, kelebihan dari jenis ini adalah cenderung jinak, relatif mudah dalam perawatannya serta sangat produktif. Kekurangannya adalah jenis ini lebih peka terhadap penyakit terutama terhadap parasit. 2). Apis cerana yang merupakan jenis lebah madu asli Asia juga menjadi pilihan untuk kegiatan budidaya karena mempunyai daya adaptasi yang cukup baik, akan tetapi jenis ini memiliki sifat yang agresif. Dengan keunggulannya tersebut, maka kedua jensi ini berpotensi untuk dibudidayakan pada ekosistem mangrove. Pada umumnya lebah yang berkembangbiak secara alami pada hutan mangrove adalah dari jenis Apis dorsata atau yang dikenal dengan lebah hutan. Jenis ini dapat dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Pusat Perlebahan Apriari Pramuka, 2002). Jenis ini terkenal dengan sifatnya yang sangat agresif sehingga lebih sulit untuk dibudidayakan. Meskipun belum banyak informasi tentang produksi madu mangrove di Indonesia, beberapa daerah pesisir seperti di Batu Ampar, Nipah Panjang dan Tanjung Harapan di
Kabuaten Kubu Raya – Kalimantan Barat dilaporkan sedang mengembangkan budidaya lebah madu pada hutan mangrove. Hasil pendampingan yang dilakukan oleh perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (SAMPAN) terhadap masyarakat di daerah tersebut, diperkirakan mampu menghasilkan madu mangrove mencapai 1-2 ton pada setiap musim panennya. Jika tiap 1 kg madu dihargai sebesar Rp. 150.000,- maka dalam setiap musimnya mampu menghasilkan antara Rp. 150.000.000 sampai dengan Rp 300.000.000, sebuah nominal yang cukup besar sehingga dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir (www.sampankalimantan.org). Produksi madu hutan di Desa Tawanga, Kecamatan Uluiwoi Kabupaten Kolaka – Provinsi Sulawesi Tenggara, pada tahun 2015 bahkan sampai 12 ton, sebagai jumlah produksi tertinggi yang pernah dicapai. Jumlah produksi tersebut merupakan akumulasi hasil panen yang dilakukan oleh 23 kelompok kecil yang aktif melakukan pemanenan madu mangrove di Desa Tawanga, dimana masingmasing kelompok rata-rata beranggotakan sebanyak 3 orang (Chandra, 2016). Meskipun musim panen madu hutan tidak sepanjang tahun, namun keberadaan madu hutan jelas menjadi tambahan sumber pendapatan yang sangat berarti bagi masyarakat. Kondisi yang hampir sama juga dapat dijumpai di desa Darat Pantai Kecamatan Tali Bura – Kabupaten Sikka - NTT, keberadaan hutan mangrove menjadi berkah tersendiri, karena banyak warga yang melakukan akti tas pemanenan madu mangrove di daerah ini. Hasil wawancara dengan Bustamin (Ketua Kelompok Kembang Bakau di Desa Darat
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
3
Pantai) diketahui bahwa setiap orang di desa Darat Pantai setiap musimnya mampu mendapatkan antara 200 – 300 botol madu. Satu botol madu ukuran 600 ml umumnya dihargai Rp. 50.000,- jika dijual langsung ke pasar yang ada di kecamatan/kabupaten maupun ke pusat-pusat keramaian di kota, sedangkan jika dijual pada tengkulak atau pengumpul yang ada di desa hanya dihargai sebesar Rp. 35.000,-/botol. Masih menurut Busmatin, diketahui bahwa tidak kurang dari 20 orang di Dusun III Napunggelang desa Darat Pantai yang rutin melakukan pemanenan madu mangrove, bahkan beberapa diantaranya menjadikan akti tas ini sebagai sumber matapencaharian utama. Jika semua produksi madu dijual langsung di pasar, maka nilai ekonomi yang bisa diperoleh dari madu mangrove di desa Darat Pantai pada kisaran antara Rp. 200.000.000 sampai dengan Rp 300.000.000 untuk setiap musimnya. Karena terkenal dengan kualitas madunya, produksi madu dari Desa Darat Pantai diminta oleh beberapa agen di Jakarta sebagai kontributor madu dalam jumlah yang cukup besar, namun permintaan tersebut belum mampu dipenuhi semua karena terbatasnya jumlah produksi. Pemilihan madu mangrove Desa Darat Pantai sebagai pemasok/kotributor madu oleh beberapa agen bukan tanpa alasan, karena selain memiliki kualitas yang sangat baik juga sudah mempunyai nama pasaran yang cukup dikenal yaitu Jaringan Madu Hutan Flores (JMHF). Musim panen madu mangrove pada masing-masing lokasi dapat berbeda satu dengan yang lain, namun biasanya dua kali dalam setahun yaitu periode Maret – Juni dan
4
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
September – Desember. Jumlah produksi madu sangat tergantung pada pakan lebah, cuaca, kelembaban dan temperatur udara. Hasil ikutan lain dari pemanenan madu juga mempunyai nilai ekonomi yang cukup baik, terutama yang sudah melalui proses pengolahan sederhana seperti lilin, bee pollen dan royal jelly. Pembentukan koperasi untuk menampung dan memasarkan hasil produksi madu hutan mangrove diharapkan dapat meningkatkan nilai jual dari madu mangrove. Koperasi tersebut juga dapat berperan dalam melakukan pendampingan maupun memfasilitasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pelatihan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas maupun keamanan dalam produksi madu hutan mangrove. KONSERVASI MANGROVE Produksi madu pada kawasan hutan mangrove sangat berkaitan dengan kondisi hutan mangrovenya, semakin tinggi keragaman jenis dan kerapatan vegetasi hutannya maka potensi produksi madu juga akan semakin tinggi. Kerusakan hutan mangrove akan berdampak pada kehilangan pohon potensial sarang maupun sumber pakan dari lebah. Hal tersebut sangat disadari oleh masyarakat desa yang mengambil madu mangrove. Untuk menjaga kelestarian hutan mangrove, Desa Darat Pantai menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kawasan P e s i s i r. K e b e r a d a a n P e r d e s m a m p u memproteksi hutan mangrove dari berbagai akti tas yang bersifat destruktif. Kegiatankegiatan penanaman mangrove dilakukan baik secara mandiri maupun diinisiasi oleh pemerintah daerah sehingga kondisi hutan
mangrove menjadi lebih baik.
Sarang Lebah pada pohon Brugueira gymnorrhiza
Untuk mendukung kontiniutas produksi madu pada hutan mangrove, salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah memberi pelatihan kepada kelompok-kelompok pemanen madu agar proses pemanenan lebih bersih dan higienis serta tidak melakukan perusakan terhadap pohon sarang dan pohon pakan lebah. Selain itu pelatihan tentang pengemasan dan pemasaran produk juga diperlukan, sehingga nilai jual madu dan produk turunannya semakin meningkat. PENUTUP Hasil hutan bukan kayu berupa madu mangrove merupakan potensi yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Keberadaan HHBK berupa madu mangrove dapat mendorong keterlibatan masyarakat dalam upaya menjaga dan melestarikan ekosistem hutan mangrove. Keragaman jenis yang tinggi dan penutupan lahan yang baik menjadi jaminan ketersediaan pohon sarang dan sumber pakan bagi lebah madu.
DAFTAR PUSTAKA BPDAS BN Noelmina. 2010. Statistik Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina Tahun 2011. BPDAS BN Noelmina, Kupang. BPHM Wilayah I Bali, 2011. Statistik Pembangunan. Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I, Denpasar – Bali. Chandra, W. 2016. Pasoema, Para Petani Madu Pelestari Hutan di Kolaka Timur. www.mongabay.co.id/2016/02/28/paso ema-para-petani-madu-pelestarihutan-di-kolaka-timur/ diakses pada tanggal 8 Juni 2016 FA O . 2 0 0 7 . T h e Wo r l d ' s M a n g r o v e s 1980–2005. Forest Resources Assessment Working Paper No. 153. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Hidayatullah, M. Keragaman Jenis Mangrove di Nusa Tenggara Timur. Warta Cendana Edisi VIII No 1 November 2014. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Pusat Perlebahan Apriari Pramuka. 2002. Lebah Madu Cara Beternak dan Pemanfaatan. Penebar Swadaya, Jakarta www.sampankalimantan.org/ maksimalkan-potensi-madumangrove/ diakses pada tanggal 7 Juni 2016
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
5
| FOKUS |
(Ahenkan and Boon, 2011). Pengertian ini menekankan lokasi asal produk sebagai dasar pengelompokan HHBK, semua produk selain kayu yang berasal dari hutan disebut sebagai HHBK. Konsep HHBK ini sangat luas, dimana kita ketahui produk bukan kayu yang berasal dari hutan sangat beragam mulai dari hewan, buah-buahan, getah, tumbuhan yang merambat, bahan tambang dan jasa lingkungan. Konsep HHBK yang ditawarkan oleh Ahenkan dan Boon (2011) masih sangat luas dan kurang fokus.
HASIL HUTAN BUKAN KAYU Konstruksi Teoritis dan Yuridis di Indonesia oleh: S. Agung S. Raharjo PENDAHULUAN Hutan sebagai sistem sumberdaya alam memiliki potensi untuk memberikan manfaat multiguna, di samping hasil kayu, hutan juga dapat memberi manfaat berupa hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Hasil riset menunjukkan bahwa nilai hasil hutan kayu dari ekosistem hutan hanya sebesar 10 % sedangkan sebagian besar atau sekitar 90% hasil lain berupa hasil hutan bukan kayu (HHBK). Selama ini HHBK belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal untuk
6
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Lampiran Permenhut No. P.21.MenhutII/2009). Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) tersebut? Pertanyaan inilah yang akan dijawab melalui tulisan ini. PERDEBATAN TEORITIS TENTANG KONSEP HHBK Secara literal yang dimaksud dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK) adalah semua produk yang dihasilkan dari hutan selain kayu
Konsep HHBK dalam tataran teoritis masih menjadi materi perdebatan yang panjang, belum ada kesepakatan umum berkaitan dengan konsep HHBK. Beberapa peneliti membatasi HHBK hanya pada produk hayati yang diambil dari hutan (de Beer and Mc Dermott, 1989; Ros-tonen et al, 1998; FAO, 1999; Shackleton and Shackleton, 2004; Djajapertjunda dan Sumardjani, 2001). Pembatasan HHBK hanya pada produk hayati ini mengeluarkan jasa lingkungan dan bahan tambang dari kelompok HHBK. Sementara itu di sisi lain ada peneliti yang memasukkan juga produk non-hayati (jasa lingkungan) sebagai HHBK (Chandresekharan, 1995; Ahenkan and Boon, 2011). Selain permasalahan hayati dan non hayati, konsepsi HHBK juga dihadapkan pada permasalahan de nisi hutan. Terdapat dua pendapat berkaitan dengan konsep hutan dalam pengertian HHBK. Pendapat pertama membatasi hutan hanya pada kawasan hutan alam, sehingga yang dimaksud dengan HHBK adalah produk yang dikumpulkan dari hutan alam. Pendapat kedua menyatakan bahwa HHBK tidak hanya dibatasi pada produk yang
dihasilkan dari hutan alam tetapi dapat juga hasil dari hutan sekunder atau yang telah dikelola oleh manusia (FAO, 1999). Belcher et al (2007) mengelompokkan HHBK menjadi tiga kelompok besar berdasarkan lokasi asalnya yaitu wild (HHBK yang dikumpulkan dari alam liar), managed (HHBK yang dikumpulkan dari kawasan yang telah dikelola) dan cultivated (HHBK yang telah dibudidayakan). Berdasarkan dinamika wacana yang berkembang maka pengertian HHBK dapat dikelompokkan sebagai berikut berdasarkan ASAL dimana HHBK di ambil – JENIS HHBK berupa makhluk hidup atau benda mati. HHBK dapat berasal dari dalam hutan dan luar hutan, jenis HHBK dapat berupa produk hayati dan non hayati.
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa belum ada kesepakatan umum berkaitan dengan pengertian HHBK. Pengertian HHBK sangat tergantung tujuannya (Baum ek, et al, 2010), pengertian HHBK bagi ahli kehutanan akan berbeda dengan pengertian para konservasionis maupun organisasi pembangunan. Disini ada kesepakatan untuk tidak bersepakat terhadap pengertian HHBK.
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
7
HHBK DALAM KONTEKS YURIDIS DI INDONESIA Jika dalam tataran teoritis masih banyak perdebatan tentang pengertian HHBK, bagaimana dengan tataran yuridis di Indonesia? Apakah ada ambiguitas yang sama?. Untuk mengetahui hal ini maka kita dapat melihat kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah berkaitan dengan HHBK. Salah satu kebijakan pemerintah yang sangat tegas mengatur tentang HHBK adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 35 Tahun 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Berdasarkan pasal 1 ayat 3 Permenhut P.35/2007 yang dimaksud dengan HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati atau hewani beserta produk turunannya dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan batasan ini maka jelaslah bahwa yang dimaksud HHBK dalam konteks legal formal di Indonesia adalah hasil hutan hayati (makhluk hidup) baik nabati (tumbuhan) maupun hewani (binatang) dan semua produk turunan dari tumbuhan dan binatang tersebut yang berasal dari dalam hutan. Jika mengacu kepada pengertian hutan di atas maka dapat disimpulkan bahwa area hutan yang dimaksud adalah daerah yang memiliki tutupan lahan dominan pepohonan. Hal ini perlu mendapat perhatian bahwa hutan yang dimaksud dalam peraturan menteri kehutanan ini tidak hanya terbatas pada kawasan hutan (wilayah yang ditetapkan oleh negara sebagai hutan) namun juga lahan-lahan
8
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
milik masyarakat yang didominasi pepohonan. Lokasi asal HHBK ini akan mempengaruhi pengaturan HHBK tersebut (Pasal 3 Permenhut P.35/2007). HHBK yang berasal dari kawasan hutan diatur sesuai ketentuan bidang kehutanan sementara HHBK yang berasal dari luar hutan diatur sesuai ketentuan yang berlaku. HHBK yang menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dikelompokkan dalam 2 kelompok besar yaitu tumbuhan dan hewan. Pengelompokan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui sebanyak 557 komoditas yang menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengaturnya. Jika dilihat beberapa jenis komoditas yang diatur dalam Permenhut P.35 tahun 2007 tersebut merupakan hasil budidaya dan pengertian yang termuat dalam pasal 1 dan pasal 3 maka dapat dikatakan secara yuridis HHBK yang dimaksud dalam Permenhut P.35 Tahun 2007 tidak hanya yang berasal dari hutan namun juga dari luar hutan.
PENUTUP Perdebatan yang panjang berkaitan dengan pengertian HHBK masih terjadi dalam tataran teoritis. Perbedaan pengertian tersebut lebih dikarenakan perbedaan tujuan dan kepentingan dalam pemanfaatan dan pengaturannya. Dalam tataran yuridis, pengertian HHBK yang berlaku di Indonesia sama dengan pengertian yang dikembangkan oleh FAO (1999) dan Belcher et al (2007).
Djajapertjunda, Sadikin dan Lisman Sumardjani. 2001. Hasil Hutan Non Kayu: Gambaran Masa Lampau untuk Prospek Masa Depan. Makalah Untuk Konggres kehutanan Indonesia III. Food and Agriculture Organisation (FAO), 1999. FAO Forestry – Towards a Harmonised De nition of Non- Wood Forest Products. Unasylva– No. 198, Vol. 50.
DAFTAR PUSTAKA Ahenkan, A. and Boon, E., 2011. Non-Timber Forest Product (NTFPs): Clearing the Confusion in Semantics. Jurnal Human Ecology. Nomer 33 (1); p: 1-9 . Baum ek, M.J., Emery, M.R., and Ginger, C., 2010. Culturally and Economically Important Nontimber Forest Products of Northern Maine. U.S. Forest Service. Delaware. Belcher, B. and Schreckenberg, K., 2007. Commercialisation of Non-timber Forest Products: A Reality Check. Development Policy Review, 25: 355–377. doi: 10.1111/j.1467-7679.2007.00374.x Chandrasekharan, C., 1995. Terminology, de nition and classi cation of forest products other than wood. In: Report of the International Expert Consultation onNon- W o o d F o r e s t P r o d u c t s . Yogyakarta, Indonesia. 17-27 January 1995. Non-wood forest products No. 3. Rome: FAO, pp. 345-380 de Beer, J.H. and McDermott, M., 1989. The Economic Value of Non-Timber Forest Products in South- East Asia. Amsterdam, The Netherlands Committee for IUCN
Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan, tanggal 19 Maret 2009. Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, tanggal 28 Agustus 2007. Ros-Tonen, M.A.F., Andel, T., Assies, W., Dijk, J.F.W., Duivenvoorden, J.F., Hammen, M.C., Jong, W., Reinders, M., Rodríguez Fernández, C.A., Valkenburg, J.L.C., 1998. Methods for Non-Timber Forest Products research. The Tropenbos E x p e r i e n c e . Wa g e n i n g e n , T h e Netherlands: Tropenbos Documents 14. Shackleton, C.M. and Shackleton, S.E., 2004. The importance of nontimber forest products in rural livelihood security and as safety nets: A review of evidence from South Africa. South African J Science, 100: 658-664. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
9
| FOKUS |
MENYOAL HUKUM ADAT PENGELOLAAN HUTAN oleh: Budiyanto Dwi Prasetyo PENDAHULUAN Pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah proses transformasi masyarakat dari tradisional menjadi modern. Namun, ide-ide tentang modernitas tersebut kerap menghegemoni hampir seluruh ruang-ruang hidup (living spaces) yang ada. Tujuan dari pembangunan itu seringkali disalahartikan sebagai upaya mengubah seluruh aspek kehidupan tradisional menjadi modern. Lantas, tak terhindarkan kemudian bahwa pembangunan justru membuat hal-hal yang bersifat tradisional menjadi punah. Dalam konteks hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat, pembangunan berparadigma
10
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
modern cenderung meminggirkan dan bahkan memusnahkan keberadaan hukum tradisional atau hukum adat. Padahal, menurut Maria Sumardjono (1999), praktik-praktik hukum adat mesti dipelihara karena merupakan salah satu syarat bagi pembuktian eksistensi masyarakat hukum adat itu sendiri. Terkait hal itu, terdapat peristiwa hukum yang tidak biasa di tahun 2012 silam yang terjadi di sektor kehutanan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/PUUX/2012 yang mengabulkan sebagian dari permohonan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu dinilai banyak kalangan sebagai babak baru bagi perjuangan pengembalian hutan adat kepada masyarakat hukum adat. Putusan itu didasarkan pada hasil pengujian kesesuaian pasal-pasal dalam Undang Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 terhadap Undang Undang Dasar 1945, terkait areal hutan negara dalam hutan masyarakat adat yang menyimpulkan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Kembali menguatnya tuntutan agar masyarakat hukum adat dilibatkan dalam pengelolaan hutan patut dicermati sebagai realitas tak terelakkan. Patut dipahami pula bahwa tuntutan itu muncul sebagai bentuk dari sebuah tahapan dialektis yang menyejarah. Sebab, telah umum adanya bahwa hukum adat pernah menjadi sumber aturan bagi pengelolaan hutan di Indonesia dan kini terdapat hukum formal yang dibentuk negara sebagai sumber hukum yang diakui (admitted) dan sah (legitimate) dalam mengatur urusanurusan kehutanan, termasuk merumuskan, mende nisikan, dan mengatur keberadaan masyarakat dan hutan adat. Pertanyaannya kemudian, fenomena apa sesungguhnya yang terjadi ketika semangat untuk membangkitkan eksistensi hukum adat dan masyarakat adat muncul ke permukaan di tengah gencarnya pelaksanaan pembangunan kehutanan oleh pemerintah? Artikel ini berusaha menjawab secara naratif menggunakan analisis kronik atas perjalanan entitas hukum adat dari tradisional, modern, hingga postmodern. Analisis tersebut dibingkai ke dalam konteks pengelolaan hutan di Indonesia.
HUKUM ADAT, KONFLIK, DAN PERAN Hukum tradisional (selanjutnya disebut hukum adat) pada umumnya merupakan sebuah tatanan sosial budaya yang dikonstruksi oleh masyarakat hukum adat untuk memenuhi rasa keadilan setiap orang di lingkup komunitas mereka. Tujuannya adalah terciptanya sebuah keteraturan sosial (social order) di komunitas mereka agar kehidupan yang dijalani bisa terhindar dari hal-hal negatif atau ketidakteraturan sosial (social disorder). Oleh karena itu, hukum adat hadir untuk mengatasi hal-hal negatif tersebut sebagai sumber rujukan bagi masyarakat adat untuk penyelesaian sengketa, kon ik, dan aturan terutama bagi pengelolaan sumberdaya hutan. Pembangunan yang cenderung mengabaikan keberadaan masyarakat adat dan mengedepankan modernisasi di sektor kehutanan terbukti memunculkan dampak buruk bagi masyarakat hukum adat. Marginalisasi (peminggiran), pengabaian hakhak masyarakat hukum adat, serta perubahan sosial-budaya yang mengarah pada pena kan hukum adat merupakan beberapa contoh dampak buruk tersebut. Kebijakan pemerintah dalam menerapkan hukum modern (hukum nasional) untuk melancarkan program pembangunan kehutanan kerap menyulut kon ik vertikal. Sugiswati (2012) berhasil mengidenti kasi beberapa contoh kon ik vertikal tersebut. Di antaranya adalah kon ik antara masyarakat adat Moronene dengan pengelola Taman Nasional Rawa Opa Watumohai, kon ik peminggiran masyarakat adat Dayak Simpang, Kalimantan Barat yang lahannya dijadikan Hutan Produksi Terbatas, kon ik pada masyarakat adat Peminggir, Lampung
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
11
terhadap pengelola Hutan Lindung, serta kon ik antara masyarakat Mesuji dengan PT. Silva Inhutani. Hal itu merupakan sebagian kecil dari manifestasi pelaksanaan kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat hukum adat. Kontras dengan hal tersebut, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat dalam konteks pembangunan di sektor kehutanan sebetulnya memiliki peran yang sangat signi kan. Pada umumnya masyarakat adat yang mendiami suatu lokasi sebagai tempat tinggal bagi komunitas mereka mampu hidup berdampingan secara harmonis dengan alam. Contohnya pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, masyarakat adat di Sentani, Papua, dan masyarakat Sasak di Lombok Barat (Mulyoutami, et. al, 2009; Apom res, 1998; Magdalena, 2013). Terdapat pula kerja-kerja akademik lainnya yang menguak fenomena pengintegrasian hukum adat ke dalam hukum positif seperti studi tentang Awiq-awiq di Desa Bayan Lombok Utara. Di antaranya, Jayadi & Soemarno (2013) yang menjelaskan proses transfomasi transfomasi awiq-awiq dalam pengelolaan hutan adat. Penelitian mereka menyebutkan, penguatan hukum adat dilakukan dengan pelembagaan Awiq-awiq ke dalam peraturan desa guna merespon perubahan sosial dan meningkatkan jaminan kepastian hukum masyarakat. Selanjutnya, Wulandari (2013) menyebutkan jaminan hukum atas legalitas batas kawasan hutan adat dan pelembagaan awiq-awiq ke dalam peraturan desa berdampak positif terhadap kinerja lembaga adat yang berakibat pada peningkatan tutupan hutan. Sebuah analisis
12
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
spesi k tentang awiq-awiq di Desa Bayan dalam mendukung konservasi sumberdaya air pernah pula dilakukan Sirajudin (2009). Sementara itu, Fitriya et.al (2010) menulis tentang pentingnya prinsip-prinsip yang ada dalam hukum adat Bayan untuk diterapkan dalam pola permukiman di desa Adat Bayan sebagai upaya melestarikan konsep tradisional tersebut. Eksitensi hukum adat seperti contoh tersebut secara implisit membuktikan bahwa hingga kini masih terdapat dualisme penggunaan sumber hukum dalam mengatur pengelolaan hutan. Selain hukum formal yang ditetapkan negara, berlaku pula hukum adat pada komunitas-komunitas masyarakat hukum adat di Indonesia. Pemberlakuan hukum adat tentu sangat membantu program pembangunan apabila aplikasinya sejalan dengan tujuan pembangunan. Misalnya, upaya konservasi hutan, reboisasi, reforestasi, dan pemanfaatan hasil hutan secara lestari. Namun, akan menjadi pelik ketika hukum adat diterapkan guna mencapai tujuan yang berseberangan dengan program pembangunan pemerintah, seperti klaim kepemilikan kawasan hutan dan lahan. HUKUM POSTMODERN Keberadaan hukum adat di Indonesia sejak pasca kemerdekaan telah menarik perhatian para ahli hukum. Meski secara umum literatur yang ada menghendaki adanya pengakuan negara terhadap keberadaan hukum adat secara nasional, namun dari sumber-sumber tulisan ilmiah yang ada, diskursus pengakuan hukum adat mengarah kepada dua muara pemikiran yang secara substansi memiliki cara yang berbeda dalam hal mengupayakan
diakuinya keberadaan hukum adat sebagai salah satu sumber hukum yang berlaku di masyarakat secara lokal spesi k. Pertama adalah arus pemikiran yang menginginkan hukum adat dijadikan sebagai dasar pembangunan atau pembentukan hukum nasional atau hukum positif yang berlaku secara umum (universal) bagi warga negara Indonesia. Arus pemikiran ini didasarkan pada kondisi keadaan ketiadaan hukum nasional (anomy of the law) yang terjadi di Indonesia pasca kemerdekaan. Kala itu, kondisi yang ada dimanfaatkan pemerintahan Belanda dengan melancarkan politik dualisme hukum yang bersifat diskriminatif bagi penduduk asli (pribumi) Indonesia. Dualisme hukum adalah diterapkannnya standar ganda, yakni hukum adat bagi kaum pribumi dan hukum eropa bagi orang Eropa dan China yang memilih untuk menjadi warga negara Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan 1945 (Sugangga, 1999, Pp. 7-9). Arus pemikiran ini berpendapat bahwa meski hukum adat dijadikan rujukan dasar bagi pembentukan dan pembangunan hukum nasional, namun keberadaannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional (Priyanto 2003, p.12). p.12). Arus pemikiran yang kedua adalah kelompok yang menyatakan bahwa hukum positivis telah gagal dalam memenuhi rasa keadilan masyarakat Indonesia yang multi etnik. Menurut Surbakti, (2012), arus pemikiran ini menyebut dirinya sebagai pendukung hukum postmodern. Penganut arus pemikiran ini dipengaruhi oleh Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies), yakni sebuah pemikiran yang dikembangkan Roberto Mangabeira Unger, yang berkembang di
negara-negara maju, yang melakukan kritik terhadap hukum positivis (Surbakti, 2012, p.122). Inti dari pemikiran ini adalah bahwa konsep-konsep dasar hukum positivis dianggap penuh dengan kamu ase dan manipulasi sehingga mengaburkan prinsip keadilan substantif bagi masyarakat. Rasa keadilan, pada hukum positivis, hanya dirasakan oleh mereka yang sejak awal telah memenangkan kepentingannya dalam proses pembentukan dan penegakan hukum. Hukum postmodern dalam bingkai aliran hukum kritis ini menginginkan adanya hukum yang dibentuk dan berlaku adalah hukum yang dapat melindungi (protecting) dan memberdayakan (empowering) kelompok masyarakat yang lemah (Surbakti, 2012, Pp. 124-125). Wujud nyata upaya-upaya tersebut misalnya, melakukan advokasi hukum terhadap masyarakat hukum adat, serta upaya pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat ke dalam hukum nasional yang mengatur masyarakat adat secara lokal spesi k, dan pada umumnya bersentuhan baik langsung maupun tidak dengan persoalan-persoalan pengelolaan hutan (Sugiswati, 2012; Sembiring, 2003; dan Sirait, et. al. No.24). Dalam beberapa kasus terkait kon ik saling klaim lahan antara masyarakat adat yang dipaparkan Sugiswati (2012) dan Sirait et. al. (No.24) diketahui bahwa semangat untuk mendesak pengakuan (recognition) terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak yang melekat kepadanya merupakan suatu hal yang penting. Namun bukan berarti memaksa menggantikan hukum nasional yang modern-universal dengan hukum adat yang tradisional-partikular.
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
13
Strategi untuk memenangkan kedua entitas hukum tersebut haruslah bersifat akomodatif dan komplementer. Pengakuan hukum adat dapat dilakukan dengan melakukan internalisasi pokok-pokok pikiran dan poin-poin penting hukum adat ke dalam hukum formal. Misalnya dengan membuat peraturan desa hukum adat.
harus dijadikan pedoman dalam pengelolaan hutan dan tata kelola kehutanan semestinya diselesaikan secara bersama dan mencari winwin solution. Tuntutan masyarakat adat merupakan bukti bahwa masih ada kelompokkelompok yang secara kritis menyadari bahwa rasa keadilan bagi mereka belum terpenuhi. Melembagakan hukum adat ke dalam hukum
DAFTAR PUSTAKA Apom res, F.F. 1998, Perubahan institusi adat dan kerusakan hutan pada masyarakat adat Sentani, Irian Jaya, Tesis Magister, Universitas Indonesia, Jakarta, 195 halaman. Fitriya, A.H., Antariksa, Sari, N., 2010, Pelestarian pola permukiman di desa adat Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Jurnal Tata Kota dan Daerah, Vol.2, No.1, Juli, Pp.49-57. Jayadi, E.M, & Soemarno, 2013, Analisis transformasi awig-awig dalam pengelolaan hutan adat: studi kasus pada komunitas Wetu Telu di daerah Bayan, Lombok Utara, Indonesian Green Journal, Vol. 2, No.2, pp. 39-50. Magdalena, 2013, Peran hukum adat dalam pengelolaan dan perlindungan hutan desa di desa Sesaot, Nusa Tenggara Barat dan desa Setulang, Kalimantan Timur, Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Vol.10, No.2, Juni, Pp.110121.
Mulyoutami, E., Rismawan, R., Josh, L., 2009, Local knowledge and management of Simpunk (forest gardens) among Dayak people in East Kalimantan, Indonesia, Forest Ecology and Management, Vol 257, Pp. 2054-2061. Priyanto, A., 2003, Posisi hukum tradisional dalam perkembangan menuju hukum modern, Majalah Informasi, No.1, Tahun XXXI, Pp. 1-12. Sembiring, R., 2003, Kedudukan hukum adat dalam era reformasi, USU Digital Library, Pp. 1-7. Sirait, M., Fay, C., Kusworo., A., Bagaimana hak-hak masyarakat hukum adat dalam mengelola sumberdaya alam diatur, Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 24., ICRAF Southeast Asia, Pp.1-32. Sirajudin, 2009, Konservasi sumber daya air berbasis hukum adat masyarakat desa
Gapura Kompleks Rumah Adat Bayan Timur Desa Bayan, Kec. Bayan Lombok Utara
KESIMPULAN Masyarakat hukum adat merupakan bagian dari warga Indonesia dan sudah selayaknya setia dan patuh terhadap aturan yang berlaku. Fenomena menguatnya tuntutan masyarakat hukum adat terhadap hak-hak mereka atas hutan, termasuk pula pengakuan terhadap hukum adat, merupakan anti-thesis dari proses dialektika sosial, politik, dan hukum yang m e n y e j a r a h d i I n d o n e s i a . Ta r i k - u l u r kepentingan soal sumber hukum mana yang
14
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
formal merupakan strategi yang patut dipertimbangkan guna mendapatkan solusi yang seimbang. Memasukkan poin-poin penting hukum adat dalam pengelolaan hutan dengan membuat peraturan desa merupakan langkah awal yang bisa mengakomodir kepentingan semuanya.
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
15
| FOKUS |
METODE DAN PEMBAHASAN Pengamatan dilakukan pada pada tiga tipe habitat utama yaitu Hutan Campuran, Tegakan Jati, Ladang dan Sungai. Periode pengamatan pada tahun 2013-2015 dengan waktu dan jalur pengamatan yang acak. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data sebagai berikut :
Merupakan burung pemangsa (raptor) famili Accipitridae. Burung terestrial penghuni hutan tropis dan subtropis dapat dijumpai pada areal tegalan, daerah padang rumput, lahan pertanian serta kawasan urban dengan ketinggian permukaan tidak lebih dari 1.250 mdpl. Lebih menyukai kawasan yang menyediakan air secara kontinyu. Makanan utamanya berupa serangga berukuran besar terutama belalang, juga memakan katak dan terkadang buah-buahan. (Kutilang Indonesia, 2011a). Di Oilsonbai jenis ini teramati sebanyak dua ekor pada bulan April 2014. Kemudian pada bulan Juni 2014
Kedelapan jenis burung tersebut merupakan burung yang cukup umum di jumpai di Pulau Timor, namun keberadaannya di Oilsonbai baru tercatat beberapa tahun terakhir. Berikut penjelasan singkat mengenai jenis-jenis tersebut : 1. Baza paci k, Pasi c baza, Aviceda subcristata (Gould, 1838)
ditemukan sarang aktif di pohon akasia. Sarang berada pada ketinggian 15 meter dari permukaan tanah, terbuat dari susunan ranting dan menempel pada cabang yang tidak terlalu kokoh. Sarang berisi dua ekor anakan dan diberi makan oleh kedua induk secara bergantian. Pakan utama saat membesarkan anak berupa belalang sembah dari ordo mantodea.
burung di suatu lokasi dapat diketahui dengan melakukan kegiatan inventarisasi dan pengamatan secara rutin dan berkala. Tulisan ini menyajikan data tambahan jenis-jenis burung di Oilsonbai. Jenis-jenis baru tersebut merupakan burung penetap (resident) dan migran yang tercatat selama periode waktu pengamatan di tahun 2013-2015.
JENIS-JENIS TAMBAHAN
AVIFAUNA
Hutan Penelitian Oelsonbai Oleh : Oki Hidayat
PENDAHULUAN Hutan Penelitian Oilsonbai merupakan hutan produksi terbatas yang saat ini telah beralih fungsi menjadi hutan penelitian yang dikelola oleh Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang. Hutan seluas 25 Ha ini telah menjadi kantong biodiversitas di Kota Kupang sehingga keberadaannya perlu dijaga
16
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
dan dipertahankan. Sebanyak 33 spesies burung dari 20 famili dapat dijumpai dilokasi ini. Komposisi spesies terbanyak terdapat di hutan campuran yang terdiri dari 18 spesies dari 13 famili (Hidayat, 2014). Jumlah jenis tersebut sangat mungkin untuk terus bertambah mengingat mobilitas burung yang sangat tinggi. Pertambahan jenis
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
17
2. Sikep-madu asia, Crested Honey Buzzard, Pernis ptilorhynchus (Temminck, 1821) Teramati satu individu di Oilsonbai pada bulan Juni 2016 dan terlihat terbang dikejar oleh Baza Pasi k karena memasuki daerah teritorinya. Tersebar mulai dari Paleartik Timur, India, dan Asia tenggara sampai Sunda Besar. Ras penetap (ras yang berjambul panjang torquatus dan ptilorhyncus), tersebar jarang di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa barat. Mempunyai kebiasaan aneh yaitu merampas sarang tawon dan lebah. Memakan lebah, tempayak, madu, sampai materi sarang lebah. Juga memakan buah-buahan yang lunak, dan reptilia (Kutilang Indonesia, 2011b). Ras palearktika timur yang berjambul pendek orientalis muncul sebagai pengunjung yang langka pada musim dingin pada bulan Oktober hingga April. Biasa ditemukan mulai dari permukaan laut hingga ketinggian 1.200 mdpl (Coates et al., 2000). 3. Srigunting wallacea, Wallacean Drongo, Dicrurus dencus (Bonaparte, 1850) Keberadaan jenis ini hanya satu kali teramati di Oilsonbai yaitu pada bulan Juni 2013 sebanyak satu indovidu, tepatnya pada pohon kapuk randu yang terdapat di bagian utara stasiun penelitian oilsonbai dekat dengan rumah masyarakat. Burung berwarna hitam dengan kilap kehijauan ini sering terlihat mengejar burung lain yang berukuran lebih besar seperti jenis-jenis elang jika masuk ke dalam teritorinya. 4. Kehicap kacamata, Spectacled Monarch, Monarcha trivirgatus
18
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
(Temminck, 1826) Mudah dijumpai saat memburu serangga pada lapisan tengah hutan primer dan sekunder; juga di tepi hutan dan semak belukar; bahkan kadang di hutan mangrove. Pada rentang ketingian dari permukaan laut sampai ketinggian 1200 m, meski lebih umum pada ketinggian yang lebih rendah. Makanannya antara lain serangga (Kutilang Indonesia, 2012). Di Oilsonbai jenis ini sering dijumpai pada kawasan semak dan vegetasi bambu. 5. Bubut alang-alang, Lesser Coucal, Centropus bengalensis (Gmelin, 1788) Sesuai dengan namanya, jenis ini memiliki habitat di padang alang-alang. Terkadang dijumpai pula di semak belukar dan persawahan. Terdapat sebuah sarang yang ditemukan oleh petugas lapangan Stasiun Oilsonbai namun perlu dikon rmasi kembali. Biasa hidup soliter dan memburu mangsa berupa serangga, katak, kadal dan ular kecil. 6. Kareo padi, White-breasted Waterhen, Amaurornis phoenicurus (Pennant, 1769) Jenis burung air ini dapat ditemukan pada aliran sungai di sisi barat kandang penangkaran kura-kura, tepatnya pada daerah yang berbatasan langsung dengan persawahan. Merupakan jenis umum yang suka mengendap-endap di semak yang lembab dan memanjat semak atau pohon kecil. Suka keluar ke tempat terbuka untuk makan sehingga lebih mudah terlihat daripada jenis burung ayam-ayaman lainnnya (MacKinnon et al., 2010). Kehadirannya dapat diketahui cukup mudah karena memiliki suara yang khas,
keras dan berulang berupa “gwuur…. kwook… kwook, gwuur…. kwook… kwook….”. 7. Cici merah, Golden-headed Cisticola Cisticola exilis (Vigors & Hors eld, 1827) Burung berukuran kecil dan mirip dengan cici padi ini hidup di padang alangalang, gelagah dan sawah. Suka bersembunyi pada rerumputan tinggi, kadang-kadang terlihat bertengger di batang rumput tinggi atau alang-alang (MacKinnon et. al., 2010). Di Oilsonbai dapat dijumpai pada areal persawahan. Kemunculannya sangat jarang dan mudah dikenali dengan warna yang kemerahan pada bulunya. 8. Kedasi gould Gould's, Bronze Cuckoo Chrysococcyx russatus (Gould, 1868) Burung yang cukup umum ini menghuni hutan primer dan sekunder yang tinggi, tepi hutan, hutan terbuka, lahan budidaya yang pohonnya jarang. Di Pulau Timor ditemukan mulai dari permukaan laut hingga ketinggian 300 mdpl (Coates et al., 2000). Di Oilsonbai burung ini ditemukan sedang berburu serangga di pohon akasia. KESIMPULAN Saat ini jumlah burung di Hutan Penelitian Oilsonbai berjumlah 41 spesies dari 23 famili. Jumlah tersebut masih sangat mungkin untuk bertambah mengingat burung merupakan satwa yang memiliki mobilisasi yang tinggi. Diperlukan kegiatan inventarisasi dan pengamatan secara terus menerus di Hutan Penelitian Oilsonbai karena meskipun hutan tersebut relatif tidak terlalu luas,
fungsinya sebagai kontong biodiversitas Kota Kupang menjadikannya penting untuk diperhatikan secara serius.
DAFTAR PUSTAKA Coates J. B, David, B.K., dan Gardner D. 2000. Panduan Lapangan Burung-Burung Di K a w a s a n Wa l l a c e a . B i r d l i f e International Indonesia Programme. Bogor. MacKinnon, J., Philips, K., dan Balen, B.V. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam). LIPI/Burung Indonesia, Indonesia. Hidayat, O. 2014. Keanekaragaman Avifauna di Hutan Penelitian Oilsonbai Kupang. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Kupang Ta h u n 2 0 1 3 . B a l a i P e n e l i t i a n Kehutanan Kupang. Kutilang Indonesia. 2011a. Baza Pasi k. Di akses pada tanggal 16 Juni 2016 http://www.kutilang.or.id/2011/10/10/b aza-pasi k-2/. Kutilang Indonesia, 2012. Kehicap Kacamata. Di akses pada tanggal 16 Juni 2016. http://www.kutilang.or.id/2012/12/16/k ehicap-kacamata/. Kutilang Indonesia. 2011b. Sikep-madu Asia. Di akses pada tanggal 16 Juni 2016. http://www.kutilang.or.id/2011/10/13/si kep-madu-asia/.
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
19
di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo Oleh : Oscar Krisantus Oematan
wikipedia.com
IDENTIFIKASI SUMBER BENIH TANAMAN HUTAN
PENDAHULUAN Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kegiatan pembangunan hutan tanaman adalah penggunaan sumber benih yang berkualitas. Penggunaan benih dari sumber benih yang telah teridenti kasi dengan kualitas yang baik, diharapkan dapat meningkatkan kualitas pohon, volume produksi, daya tahan terhadap hama penyakit serta dapat memperpendek daur tanaman. Kriteria-kriteria dasar dalam penunjukan dan pengelolaan sumber-sumber benih tanaman hutan meliputi : aksesibilitas, jumlah pohon, kualitas (fenotip) tegakan, proses pembungaan dan pembuahan, faktor keamanan, dinamika sosial ekonomi masyarakat disekitar lokasi yang dapat mempengaruhi keberaaan sumber benih (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (2003). Pada wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), terdapat beberapa lokasi yang telah ditunjuk sebagai areal sumber benih tanaman hutan, beberapa diantaranya adalah di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo. Dinamika dalam pengelolaan sumber benih pada dua lokasi tersebut sangat dipengaruhi oleh letak geogra s, koordinasi serta tanggung jawab dalam pengelolaan kawasan sumber benih. Tulisan ini mendeskripsikan tentang kondisi dan permasalahan pengelolaan sumber benih tanaman hutan yang ada di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo Provinsi Nusa Tenggara Timur. PENGERTIAN SUMBER BENIH Sumber benih merupakan tegakan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan yang
20
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
dikelola guna memproduksi benih yang berkualitas. Sumber benih dapat ditunjuk dan dibangun sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Penunjukkan suatu kawasan sebagai sumber benih, dapat dilakukan pada hutan alam maupun hutan tanaman, walaupun pada awalnya hutan tersebut tidak ditujukan sebagai sumber benih. Penunjukan sumber benih ini dilakukan karena belum tersedianya sumber benih unggul untuk jenis yang diinginkan atau disebabkan karena kebutuhan benih yang mendesak Penunjukkan maupun pembangunan sumber benih ditujukan untuk meningkatkan riap volume dan kualitas kayu, meningkatkan kelimpahan produksi buah/biji dan kualitas minyak yang dihasilkan (Leksono, 2003). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.01/Menhut-II/2009 yang telah direvisi menjadi P.72/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan, sumber benih terbagi atas : 1. Tegakan Benih Teridenti kasi (TBT) 2. Tegakan Benih Terseleksi (TBS) 3. Areal Produksi Benih (APB) 4. Tegakan Benih Provenan (TBP) 5. Kebun Benih Semai (KBS) 6. Kebun Benih Klon (KBK) 7. Kebun Benih Pangkas (KP) Menurut Leksono (2003), urutan klasi kasi sumber benih tersebut diatas didasarkan atas kualitas genetik dari benih yang dihasilkan. PELAKSANAAN IDENTIFIKASI SUMBER BENIH a. Waktu dan Tempat Kegiatan identi kasi sumber benih dilakukan pada bulan Maret tahun 2012, di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo.
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
21
Kegiatan ini dilakukan atas kerjasama Balai Perbenihan Tanaman Hutan Bali dan Nusa Tenggara (BPTH-BNT) Denpasar, Balai Penelitian Kehutanan Kupang (BPK Kupang), Dinas Kehutanan Kabupaten Ngada dan Dinas Kehutanan Kabupaten Nagekeo. b. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah: - GPS dan Kompas - Pita ukur panjang 25 meter dan alat ukur tinggi (haga meter dan clinometer) - Altimeter, pita diameter, binokuler dan kamera. c. Cara Kerja Identi kasi sumber benih meliputi 2 (dua) kegiatan yakni monitoring sumber benih yang telah ditunjuk sebelumnya dan identi kasi calon lokasi sumber benih. Langkah-langkah identi kasi adalah sebagai berikut : a. Memeriksa papan nama maupun peta atau menanyakan kepada nara sumber untuk memastikan blok, petak atau lokasi yang akan diidenti kasi. b. Orientasi lapangan (quick tour) yaitu pengamatan terhadap seluruh tegakan secara singkat sambil dilihat kelayakannya sebagai sumber benih. Kriteria umum kelayakan sumber benih yang diamati dan dicatat di lapangan adalah aksesibilitas, jumlah pohon, kualitas (fenotip) tegakan, pembungaan dan pembuahan, keamanan, dan kesehatan pohon. Hasil identi kasi sumber benih pada beberapa lokasi di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo terlihat pada tabel 1. Permasalahan Pengelolaan Sumber Benih A. Syarat Teknis
22
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa syarat-syarat teknis pengelolaan sumber benih tanaman hutan meliputi : faktor aksesibilitas, jumlah pohon, kualitas (fenotipe) tegakan, pembungaan dan pembuahan, keamanan serta kesehatan sumber benih (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2003). Hal lain yang perlu diperhatian dalam penunjukkan dan pengelolaan sumber benih adalah tujuan dari pembuatan sumber benih, apakah untuk tujuan masal-komersial atau tujuan konservasi genetik. Permasalahan pengelolaan sumber benih (baik pada tahap pemilihan, pemeliharaan dan pemuliaan, serta produksi dan pemasaran), dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Berdasarkan hasil indenti kasi di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo, terdapat 2 permasalahan utama dalam pengelolaan sumber benih yaitu : 1. Letak geogra s dan aksisebilitas yang sulit dijangkau 2. Faktor keamanan dan kualitas (fenotipe) tegakan B. Permasalahan Non Teknis Selain kendala teknis, terdapat permasalahan non teknis dalam pengelolaan sumber benih, antara lain : a. Administrasi pengelolaan Administrasi pengelolaan sumber benih berkaitan dengan kepemilikan, pengelolaan lanjutan, pemanfaatan hasil, produksi dan pemasaran benih. Lokasi sumber benih yang diidenti kasi di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo, menunjukkan bahwa tidak semua lokasi sumber benih berada dalam kawasan hutan milik Negara, tetapi juga menjadi milik perorangan. Batas-batas kawasan sumber benih yang belum
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
23
PENUTUP A. Kesimpulan 1. Beberapa areal sumber benih yang diusulkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Ngada dan Dinas Kehutanan Kabupaten Nagekeo secara teknis memenuhi syarat sebagai sumber benih tanaman hutan untuk jenis cendana, gmelina dan mahoni. 2.Faktor yang dapat mempengaruhi
24
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Balai Perbenihan Tanaman Hutan Bali dan Nusa Tenggara (BPTH BNT), juga partisipasi teman-teman Iwan Nurwanto (BPTH BNT), Ni Nyoman Tirtawati (BPTH BNT), Madrais Suparta (BPTH BNT),Yoseph Kabe Dhey (Dinas Kehutanan Kabupaten Ngada) dan Maksimilianus Sile Dede (Dinas Kehutanan Kabupaten Nagekeo). DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan No P.01/MenhutII/2009 yang telah direvisi menjadi P. 7 2 / M e n h u t - I I / 2 0 0 9 t e n t a n g Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutana Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2003. Petunjuk Teknis Identi kasi dan Deskripsi Sumber Benih : Edisi Kedua. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Leksono, Budi. 2003. Teknik Penunjukan dan Pembangunan Sumber Benih. Informasi teknis Vol. 1 No 1 Tahun 2003. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta
| FOKUS |
DOMESTIKASI
pengelolaan sumber benih antara lain : faktor aksesibilitas, penyerobotan area sumber benih dan keamanan B. Saran Masyarakat yang menjadi pemilik kawasan yang dijadikan sebagai sumber benih perlu diikutkan dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan terkait pengelolaan sumber benih.
wikipedia.com
terident kasi, penyerobatan area sumber benih, pemanfaatan hasil sebagai benih yang telah terserti kasi belum banyak digunakan dalam program-program pembibitan merupakan beberapa permasalahan yang dijumpai di lapangan. Pada sisi yang lain pihak pengelola seperti Dinas Kehutanan memiliki keterbatasan dalam sumber daya (manusia maupun anggaran) sehingga menghambat dalam pengelolaan sumber benih. b. Pemilihan jenis Mekanisme pengusulan dan penunjukan sumber benih selama ini dilakuakn dengan dua cara yaitu : 1). Diusulkan oleh Dinas Kehutanan setempat atau oleh masyarakat melalui Dinas Kehutanan, 2). Berdasarkan hasil survei di lapangan menunjukan bahwa lebih dari 50% tegakan yang diusulkan merupakan hasil penanaman baik melalui reboisasi atau penghijauan oleh masyarakat. Hal ini kurang baik mengingat jenis-jenis tersebut memiliki karakteristik mudah tumbuh dan dibudidayakan. Oleh karena itu, diharapkan pemilihan dan penunjukan sumber-sumber benih selain ditunjuk untuk fungsi komersial juga dapat mempertimbangkan fungsi konservasi genetik terutama terhadap jenis-jenis lokal.
FALOAK (Sterculia quadri da R.Br.) oleh : Siswadi
PENDAHULUAN Domestikasi dalam arti yang sederhana merupakan proses 'penjinakan' dari kehidupan liar ke dalam lingkungan kehidupan manusia sehari-hari. Tumbuhan dikatakan telah terdomestikasi apabila sejumlah penampilannya mengalami perubahan dan ia menjadi tergantung pada campur tangan manusia dalam pertumbuhan dan perbanyakan keturunannya (Wikipedia Indonesia, 2016). Roshetko dan Verbist (2004) menyebutkan bahwa domestikasi pohon adalah evolusi yang dipercepat dan disebabkan oleh manusia melalui pembudiyaan jenis-jenis tersebut secara lebih luas oleh petani atau pengendali pasar. Dalam istilah terapan, domestikasi adalah naturalisasi suatu jenis untuk memperbaiki budidaya dan manfaatnya bagi manusia. Domestikasi pohon meliputi rangkaian aktivitas yaitu : eksplorasi dan pengumpulan populasi alami ataupun yang telah ada campur tangan manusia, evaluasi dan
seleksi jenis dan provenans yang sesuai, penetapan teknik propagasi, multiplikasi dan penyebarluasan plasma nutfah, penetapan teknik pengelolaan, pemanfaatan dan pemasaran hasil hutan, dan penyusunan serta penyebarluasan informasi teknik yang relevan. Makalah ini akan membahas domestikasi Faloak (Sterculia quadri da R.Br.), mulai dari eksplorasi sampai dengan pengembangannya. DESKRIPSI FALOAK Faloak (S. quadri da R.Br.) adalah tumbuhan dari famili sterculiaceae, memiliki kanopi daun menyebar, tinggi pohon hinga 20 m, kulit berwarna abu-abu terang dan daun hijau tua/gelap. Daun terdiri dari daun tunggal, berbentuk bulat telur atau berbentuk hati di pangkalnya di kedua sisinya dengan ukuran panjang 5-12 cm. Adapun bunga majemuk, mencolok berwarna kuning, krem - putih, bunga beraroma lemon, dan memiliki masa berbunga pada bulan Maret sampai dengan
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
25
Juni (Departement of Primary Industries and Fisheries, 2005).
Gambar 1. Pohon Faloak
Kulit biji tumbuhan ini dilapisi oleh lapisan kulit berwarna hitam, sedangkan dalam masa pematangan bijinya terlindungi oleh kulit buah akan berubah warna menjadi orange, dan pada 1-3 minggu kemudian akan berubah menjadi coklat yang menandakan bijinya telah tua yang ditandai oleh warna kulit buah dari terbukanya kulit buah menjadi dua bagian. Di dalam satu buah biasanya tedapat antara 4-8 biji dimana biji-biji tersebut terbungkus oleh lapisan kulit ari berwarna hitam. Posisi biji dalam buah berjajar dan menempel pada kulit buah dan akan mudah dikupas ketika bijinya telah tua. Kulit batang pohon faloak berwarna abu-abu terang dan berserat. Daun hijau gelap dan berbentuk telur atau kadang-kadang
26
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
berbentuk hati di pangkalan. Berikut taksonomi faloak : Kerajaan : Plantae Divisi : Angiosperms Ordo : Malvales Famili : Sterculiaceae Genus : Sterculia Species : Sterqulia quadri da R.Br (1844) Tumbuhan faloak dapat bertahan hidup pada tanah miskin dan sedikit air, memiliki respon baik pada pertumbuhan awal. MENGAPA FALOAK PERLU DI DOMESTIKASI Pengetahuan masyarakat akan potensi ora tumbuhan obat di Indonesia pada beberapa daerah telah banyak menagalami kamajuan. Beberapa jenis tumbuhan yang memiliki kegunaan tertentu umumya belum termanfaatkan sebagai komoditas ekonomi yang cukup menjanjikan. Meningkatnya tren pengobatan dengan memanfaatkan bagian tertentu dari tumbuhan (herbal) , bila tidak diimbangi dengan upaya konservasi akan menjadi sebuah ancaman yang serius bagi kelestarian jenis tersebut. Hal ini akan semakin parah jika kondisi lingkungan dan iklimnya yang khas menyebabkan beberapa jenis tumbuhan tidak ditemukan ditempat lain. Faloak sebagai salah satu jenis tumbuhan yang tersebar di NTT merupakan jenis yang memiliki kegunaan yang besar bagi masyarakat, namun jika pemanfaatan berlebih akan dapat mengancam kelestariannya. Domestikasi faloak merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan akan ketersediaan faloak di
Gambar 2. Habitat, pohon yang dikupas masyarakat dan perebusan kulit batang faloak
alam liar, dimana selama ini masyarakat hanya memanfaatkan tumbuhan ini dari alam. Jika tumbuhan ini terus berkurang maka keberadaan dan kelestariannya yang teracam, yang pada gilirannya nanti akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat itu sendiri. Kelestarian faloak Faloak terancam karena beberapa hal yaitu bencana alam kebakaran lahan, penggunaan sebagai konstruksi bangunan dan meubel, kayubakar, dan pengambilan kulit yang melebihi daya dukung pohon dan suksesi/regenerasi yang rendah. Secara tradisional bagian pohon faloak yang diambil adalah kulit batangnya. Akibat yang ditimbulkan dari pengambilan kulit yang berlebihan ini adalah sebagian pohon dan ranting menjadi mongering dan berakibat kematian. Hal ini semakin parah ketika suksesi/regenerasi alam sangat sulit, khususnya di NTT. Karakteristik lahan di NTT yang terdiri dari susunan induk batu karang memiliki laju pelapukan batuan dan seresah yang sangat lambat, menyebabkan permukaan lahan hanya7 memiliki sedikit tanah yang biasa tertumpuk pada sela dan lubang batu yang lebih rendah. Jenis batuan induk dan iklim dengan curah hujan minim inilah yang diperkirakan menyebabkan biji yang jatuh sulit tumbuh secara alami. Berikut adalah gambaran
riil di lapangan yang menunjukkan pentingnya domestikasi Faloak. Beranjak dari berbagai permasalahan di atas, maka diperlukan campur tangan manusia untuk melestarikan faloak sejak sekarang. Masalah akan menjadi lebih kompleks ketika informasi manfaat tumbuhan ini telah tersebar luas dan kebutuhan masyarakat meningkat sementara teknik domestikasi belum tersedia. SRATEGI DOMESTIKASI Hasil survei dan studi etnobotani yang telah dilakukan di Pulau Timor, Flores, Rote dan Sumba, didapatkan fakta bahwa masyarakat selama ini memanfaatkan faloak dari alam dan belum pernah melakukan budidaya (Siswadi dkk, 2014). Adapun alasan masyarakat adalah saat ini masih bisa mendapatkan kulit batang yang ada dari hutan di sekitar kampung mereka, dan mereka percaya bahwa jika pengambilan tidak dilakukan berlebihan maka tidak akan mematikan pohon. Akan tetapi banyak ditemukan fakta bahwa ketika mereka kesulitan mendapakan kulit batang sesuai jumlah yang diinginkan, banyak masyarakat yang mengupas kembali kulit batang pada posisi yang bersebelahan dengan pengupasan orang sebelumnya. Dapat ditebak bahwa
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
27
pengambilan yang melebihi daya dukung ini telah banyak mematikan pohon faloak yang ada, terutama pohon-pohon yang berada di dekat jalan atau pemukiman. Mengingat belum pernah dilakukannya domestikasi/budidaya faloak maka langkah-langkah yang perlu diarahkan pada tahap-tahap domestikasi adalah sebagai berikut: (1) identi kasi, (2) eksplorasi, (3) pengembangan kebun koleksi, (4) karakterisasi, evaluasi dan dokumentasi, (5) perbanyakan, (6) pengembangan jaringan untuk pemanfaatan plasma nutfah. PENGEMBANGAN KEBUN KOLEKSI Koleksi plasma nutfah faloak merupakan sumber kekayaan keragaman genetik bagi kegiatan pemuliaan tanaman. Koleksi plasma nutfah merupakan hasil eksplorasi dari tempat di mana terdapat keragaman genetik yang tinggi yaitu dari tempat asal berkembangnya spesies tanaman itu (center of origin) atau dari tempat tanaman itu secara intensif dibudidayakan sejak lama (center of diversity). Koleksi plasma nutfah bertujuan untuk mempelajari tingkat keragaman yang ada dan untuk konservasi/penyelamatan keragaman genetik. Berdasarkan status dalam pemuliaan tanaman, koleksi plasma nutfah dalam gene bank menurut Baihaki(2000) dikelompokkan menjadi: C.1. Varietas unggul yang telah ditanam luas. Varietas unggul yang telah dilepas dan ditanam secara komersial merupakan hasil program pemuliaan tanaman sehingga menjadi sumber dari kombinasi gen-gen yang berguna secara ekonomi. C.2. Galur-galur harapan hasil pemuliaan
28
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
(breeding lines). Galur-galur harapan merupakan hasi program pemuliaan tetapi belum pernah dilepas sebagai varietas. Galur ini merupakan sumber bagi kombinasi gen-gen yang penting dalam budi daya. C.3. Genotipe lokal (landrace) hasil eksplorasi dari daerah. Landrace merupakan hasil seleksi alam dan petani yang merupakan sumber gengen untuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan dan budi daya yang spesi k. C.4. Spesies liar kerabat dari spesies budi daya. Spesies liar adalah spesies tanaman yang berkerabat dengan spesies yang telah dibudidayakan, dan merupakan sumber gen-gen ketahanan terhadap berbagai cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Kebun koleksi merupakan cara paling efektif u n t u k m e n y e l a m a t k a n d a n mempertahankan keanekaragaman genetik faloak. Pengembangan kebun koleksi merupakan upaya pelestarian faloak dalam bentuk ex-situ yang dapat dilakukan secara aktif yaitu dengan memindahkan semua keragaman allele ke suatu lingkungan atau tempat pemeliharaan baru. Plasma nutfah tersebut tidak sekedar dilestarikan asal hidup dan merana (tidak mampu berbunga dan berbuah normal), tetapi perlu dipelihara dan diteliti berbagai hal yang terkait dengan tujuan domestikasi. Selain menelaah dan memilih sifatsifat unggul yang dibutuhkan oleh pemulia dari katalog plasma nutfah, evaluasi domestikasi faloak juga mencakup kegiatan penyaringan (screening) untuk tujuan lain. Misalnya, faktor
yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas senyawa aktif faloak, faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas senyawa aktif faloak, faktor yang mempengaruhi proses recovery kulit batang faloak, toleransi terhadap kekeringan, ketahanan terhadap penyakit, dan adaptasi lingkungan yang hasilnya akan digunakan untuk kegiatan pemuliaan sebagai induk persilangan. Menurut Swaminathan dan Swaminathan (2004) beberapa plasma nutfah merupakan sumber gen ketahanan terhadap penyakit penting. Data yang terkumpul dikelola dan didokumentasikan dalam program database. Dokumentasi koleksi sangat penting seperti potensi sebaran alam dan regenerasi faloak, besarnya jumlah populasi, banyaknya contoh untuk masing-masing populasi, dan beranekaragamnya sifat setiap koleksi. PENGEMBANGAN Konsep pelestarian plasma nutfah tidak terlepas dari pemanfaatan plasma nutfah tersebut. Agar dapat dimanfaatkan, faloak perlu diperbanyak sehingga dapat disebarkan atau diperbanyak untuk memenuhi luasan tertentu. Sistem perbanyakan bibit secara generatif, vegetatif, dan teknik propagasi perlu dikembangkan untuk mendukung pemanfaatan faloak secara optimal. Sistem perbanyakan bibit ini mencakup antara lain pengembangan pohon induk, perbanyakan bibit (vegetatif maupun generatif), pemantauan kesehatan bibit, distribusi, dan serti kasi. Setelah bibit tersedia maka diperlukan penanaman dalam skala luas untuk menjamin ketersediaan suply faloak sehingga kelestarian faloak tetap terjaga.
PENUTUP Domestikasi merupakan yang penting untuk dilakukan. Dahulu semua spesies baik tumbuhan ataupun hewan, merupakan spesies yang liar di alam dan belum di budidayakan. Karena kebutuhan dan ketertarikan manusia pada spesies tertentu, maka mulailah satu persatu spesies tersebut di domestikasi. Kegiatan doestikasi dapat mengurangi ketergantungan manusia terhadap alam dan justru akan mempermudah dalam mengakses spesies tersebut. Disisi lain domestikasi juga dapat menjamin kelestarian suatu jenis yang dimanfaatkan secara intensip oleh masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Baihaki A. 2000. Teknik Rancang dan Analisis Penelitian Pemuliaan.Universitas Padjadjaran. Bandung. Departement of Primary Industries and Fisheries, 2005. Peanut tree. Native Food Plant of the Peninsula. Queensland, Australia. Roshetko, James dan Verbist, Bruno. 2004. Domestikasi Pohon. Indonesia Forest Seed Project (IFSP). Bandung. Swaminathan R, Swami nathan MS. 2004. From Green Revolution to Gene Revolution. PBI Buletin 2: 3-7. Siswadi, Heny Rianawati, Grace S. Saragih dan Eko Pujiono 2014. Laporan Hasil Penelitian Teknik Konservasi dan Domestikasi Faloak (Sterculia quadri da) sebagai Obat Potensial Di NTT. Balai penelitian Kehutanan Kupang. Kupang.
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
29
JURNAL PENELITIAN
FALOAK
Penulis: Yiqi Luo dan Xuhui Zhou Penerbit: Elsevier Bahasa: Inggris Deskripsi Fisik: xi + 316 ISBN: 978-0-12-088782-8 Resensor: Ali Ngimron, S.Hut, M.Eng
Respirasi tanah adalah proses yang terjadi dalam suatu ekosistem dimana karbon dioksida dilepaskan melalui akar tanaman, penguraian sampah dan bahan organik oleh mikroba dan pernafasan binatang. Respirasi tanah dapat juga diartikan juga sebagai produksi CO2 oleh organisme dan bagian tumbuhan yang berada di dalam tanah. Dalam sebuah ekosistem, proses respirasi tanah merupakan proses penting. Proses ini sangat berkaitan dengan produkti tas ekosistem, kesuburan tanah, dan siklus daur karbon. Dalam konteks yang lebih luas, bumi, respirasi tanah memainkan peran penting terhadap konsentrasi CO2 di atmosfer dan perubahan iklim. Buku ini tersusun atas 10 bab yang menjelaskan mengenai berbagai aspek respirasi tanah. Bab 1 menjelaskan mengenai dasar keilmuan dari respirasi tanah. Bab 2 menguraikan posisi respirasi tanah dalam konteks keseimbangan karbon dalam suatu ekosistem, daur nutrisi, daur karbon, perubahan iklim dan perdagangan karbon. Bab 3 menfokuskan pada proses – proses yang menghasilkan CO2. Termasuk di dalam bab ini adalah biochemistry dasar dari proses respirasi, respirasi akar, dan penguraian sampah dan bahan organik oleh mikroba. Bab 4 menguraikan proses perpindahan \ CO2 di dalam tanah, permukaan tanah, tajuk, dan lingkungan sekitar.
30
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA
| INFORMASI |
| RESENSI |
SOIL RESPIRATION and the ENVIRONMENT
Respirasi tanah di pengaruhi oleh banyak faktor di antaranya adalah ketersediaan unsur hara, suhu, kelembaban, Oksigen, Nitrogen, Tekstur tanah dan PH. Bab 5 menjelaskan bagaimana faktor – faktor tersebut berpengaruh terhadap proses respirasi. Bab 6 menghadirkan pola temporal dan keruangan dari respirasi tanah. Pola temporal terdiri dari berbagai ukuran, dari skala harian, mingguan , tahunan, decade hingga abad. Bab 7 menjelaskan perubahan respon respirasi tanah akibat dari berbagai macam gangguan, seperti tingginya kadar CO2, pemanasan global, perubahan frekuensi dan intensitas presipitasi, gangguan dan manipulasi unsur hara, endapan dan pemupukan nitrogen, dan kegiatan pertanian. Bab 8 mengenalkan berbagai macam metode pengukuran respirasi tanah. Motode yang sering digunakan adalah metode kamar. Namun, respirasi tanah dapat juga diperkirakan dari sampel udara. Sampel udara diambil dari berbagai kedalaman tanah. Bab 9 membahas 3 jenis metode yang digunakan untuk partisi respirasi tanah. Ketiga metode tersebuat adalah manipulasi eksperimental, pelacakan isotop dan analisis inferens tidak langsung. Bab 10 menyajikan pembahasan umum mengenai bentuk pola dari respirasi tanah. Secara umum ada 3 bentuk pemodelan yaitu pola empiris, pola produksi CO2 dan pola transport. [an]
Pada tahun 2016 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang (BPPLHK Kupang) bersama dengan Balai Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram (BTHHBK Mataram) dan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari (BPPLHK Manokwari) melakukan kerjasama penerbitan jurnal online. Jurnal online yang akan terbit bulan November 2016 bernama Jurnal penelitian Faloak. Jurnal online atau sering disebut e jurnal adalah jurnal yang proses penerbitan dilakukan secara online. Proses penyerahan naskah peneliti kepada dewan redaksi hingga penerbitannya jurnal dilakukan dalam sebuah sistem online. Sistem yang digunakan dalam jurnal ini adalah Open Journal System atau sering disingkat OJS. Proses inilah yang membedakan antara e jurnal dengan jurnal cetak. Dalam jurnal cetak, proses penerbitan biasanya terdapat korespondensi antara penulis dengan editor. Korespondensi biasanya dilakukan dengan e mail atau pos. Kegiatan seperti ini sudah tidak ada bahkan dilarang dalam e jurnal. Beberapa e jurnal bahkan menerapkan blind reviwer. Blind reviewer adalah proses review dimana penulis dan editor/reviewer tidak saling mengetahui sehingga tidak ada kontak antara keduanya. Jurnal Penelian faloak merupakan salah satu e jurnal yang terdapat dalam portal publikasi badan
Litbang dan inovasi kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam portal Publikasi Badan Litbang dan Inovasi terdapat 17 jurnal online. Ruang lingkup Jurnal Penelitian Faloak adalah bidang silvikultur, jasa lingkungan, biometrik, pemanenan dan pengolahan hasil hutan kayu dan bukan kayu, perlindungan, konservasi sumberdaya, sosial ekonomi dan kebijakan, ekologi tumbuhan, mikrobiologi dan bioteknologi, sifat dasar kayu dan tumbuhan, hidrologi dan konservasi tanah. Penulis atau peneliti yang tertarik dan ingin menyerahkan naskah publikasi terlebih dahulu mendaftar/register ke e-jurnal penelitian Faloak. Register dilakukan di alamat www.ejournal.fordamof.org. Namun jika penulis pernah register di salah satu e jurnal di Portal Publikasi badan Litbang dan inovasi maka register tidak diperlukan. Penulis tinggal Log in di Jurnal tersebut. Informasi lebih lanjut mengenai Jurnal Penelitian Faloak dapat menghubungi Wawan Darmawan 087864205820 |
[email protected] Ali Ngimron 081804243337 |
[email protected] Yobo Endra P 082134289908 /
[email protected]
WARTA
Edisi IX No.2 September 2016
31
| GALERI PERISTIWA |
PETUNJUK BAGI
PENULIS BAHASA Naskah artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia, memuat tulisan bersifat popular/semi ilmiah dan bersifat informatif. Pelepasan Tukik Penyu dalam Rangka Hari Konservasi Alam Nasional tanggal 10 Agusutus 2016 di Pantai Manikin, Kupang
FORMAT Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto pada satu permukaan dengan spasi 1,5 dan jumlah karakter maksimal 1.400 karakter. Ukuran tepi kertas disisakan 3,5 – 3,5 – 3 – 3 cm.
JUDUL Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dan harus mencerminkan isi tulisan, Nama penulis dan alamat email dicantumkan dibawah tulisan.
ISTILAH SULIT Istilah – istilah yang jarang digunakan harus diberi keterangan tersendiri agar pembaca mudah memahami
Upacara Hari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 2016 Ke-71 bersama Seluruh UPT Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara TImur
FOTO Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan pada gambar.
GAMBAR GARIS Grafik atau ilustrasi lain yang berupa gambar diberi garis harus kontas dan dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar garsi harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan tahun penerbitan, sebagai berikut : . Allan, J.E. 1961. The Determination of Copper by atomic Absorbstion of spectrophotometry. Spec-tophotometrim Acta (17), 459-466 Pawai Kendaraan Hias dalam Rangka HUT RI Ke-71 Tingkat Provinsi NTT
32
Edisi IX No.1 September 2016
WARTA