VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI 6.1.
Riwayat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan kawasan
hutan lindung dengan luas 39.941 ha selama periode 1924-1934 masa pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1935 mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan kawasan tersebut untuk menjadi cagar alam dengan nama Cagar Alam Gunung Halimun yang dikelola oleh Djawatan Kehutanan Jawa Barat (Jabar). Pada tahun 1977 Gubernur Jabar menyetujui usulan bahwa seluruh hutan lindung di wilayah Jabar diserahkan ke Direktorat Pelestaraian Hutan dan Perlindungan Alam (PHPA) di bawah Departemen Kehutanan. Tahun 1978 kawasan Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Perum Perhutani. Tahun 1979 PHPA juga mulai mengelola kawasan ini yang sudah diperluas menjadi 40.000 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 kawasan Cagar Alam Halimun ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dibawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan TNGH dipegang oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, dan Departemen Kehutanan. Sumberdaya alam hutan dari waktu ke waktu semakin terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan oleh deforestasi yang tinggi akibat kegiatan produksi dan illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat lokal yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, atas dorongan pihak yang peduli akan
konservasi seperti Departemen Kehutanan dan beberapa LSM, kawasan TNGH diperluas dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan sekitarnya yang dulunya berstatus hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani, dialihfungsi menjadi hutan konservasi. Hal ini dikarenakan perlu zona penyangga antara Gunung Halimun dengan Gunung Salak dan Gunung Endut. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/KptsII/2003 pada tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGH diperluas dengan luas total 113.357 ha dan bernama resmi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Tabel 12 menjelaskan riwayat pendirian dan penetapan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Tabel 12. Riwayat Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode Tahun Keterangan 1924-1934 Status sebagai hutan lindung di bawah pemerintahan Belanda dengan luas mencakup 39.941 ha 1935-1961 Status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/ Djawatan Kehutanan Jawa Barat 1961-1978 Status cagar alam di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat 1979-1990 Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I 1990-1992 Status cagar alam di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 1992-1997 Status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 1997-2003 Status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat eselon III 2003-sekarang Status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas 113.357 ha (merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi terbatas sekitarnya. Sumber : Taman Nasional Gunung Halimun Salak (2007)
Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan TNGHS umumnya adalah masyarakat Sunda yang terbagi dalam Masyarakat Kasepuhan dan non
54
kasepuhan. Salah satu masyarakat yang termasuk dalam kawasan perluasan TNGHS adalah Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Kawasan TNGHS merupakan kawasan tanah hutan milik negara yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan yang disesuaikan dengan UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati, UU Pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU No. 24 tahun 1993 tentang Tata Ruang, dimana TNGHS merupakan kawasan lindung. TNGHS memiliki aturan zonasi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-Ii/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Pembagian zonasi
taman
nasional
berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kehutanan
No.
P.56/Menhut-Ii/2006 adalah sebagai berikut : 1.
Zona inti adalah kawasan taman nasional yang mempunyai kondisi alam yang masih asli dan belum diganggu oleh manusia yang berfungsi untuk perlindungan keanekaragaman hayati.
2.
Zona rimba adalah kawasan taman nasional yang letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.
3.
Zona pemanfaatan adalah kawasan taman nasional yang dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya.
4.
Zona tradisional adalah kawasan taman nasional yang dimanfaatkan untuk kepentingan tradisional oleh masyarakat yang karena faktor sejarah dimana mereka mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.
5.
Zona rehabilitasi adalah kawasan taman nasional yang mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
55
6.
Zona religi, budaya dan sejarah adalah kawasan taman nasional yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya dan sejarah.
7.
Zona khusus adalah kawasan taman nasional dimana telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Pada dasarnya penetapan zonasi oleh TNGHS juga dilakukan oleh
Masyarakat Kasepuhan. Dalam pengelolaan hutan, Masyarakat Kasepuhan membagi hutan (leuweung) ke dalam tiga pembagian, yaitu Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung bukaan. 1.
Leuweung tutupan adalah kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu untuk kepentingan apapun. Kawasan ini dipercaya dijaga oleh rohroh dan siapa yang melanggar akan terjadi kemalangan (kabendon). Kawasan ini memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi termasuk dalam kawasan lindung karena fungsinya sebagai daerah resapan air (Leuweung sirah cai). Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah diamanatkan oleh Abah (Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi) untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada didalam hutan tutupan. Hutan tutupan boleh dimasuki oleh manusia atas izin Abah. Hutan tutupan digunakan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk membuat bangunan dan hasil hutan non kayu berupa tanaman obat-obatan. Setiap warga yang ingin mengambil kayu harus
56
menanam pohon di lahan yang memiliki jarak renggang antar pohon. Jumlah pohon yang ditanam pun, harus disesuaikan dengan jumlah pohon yang ditebang. 2.
Leuweung titipan adalah kawasan yang diamanatkan leluhur kepada para incu putu untuk menjaga dan tidak mengganggu kawasan ini. Siapapun yang memasuki kawasan ini tanpa seijin sesepuh akan mendapatkan hal yang buruk (kabendon). Pemerintah juga harus ikut serta menjaga kelestarian kawasan ini sampai tiba waktunya kawasan ini dibuka sebagai awisan atas izin leluhur di masa mendatang.
3.
Leuweung garapan adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama untuk lahan garapan masyarakat, baik berupa huma, sawah dan talun
Tabel 13 menjelaskan alokasi penggunaan lahan bagi Masyarakat Desa Sirna Resmi. Tabel 13. Penggunaan Lahan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Desa Sinar Resmi Penggunaan Zona di Luas (ha) Kontribusi penggunaan lahan Kasepuhan lahan (%) Pemukiman Hutan bukaan 36 0,73 Sawah Hutan bukaan 1.000 20,34 Ladang Hutan bukaan 400 8,14 Tanah Kuburan Hutan bukaan 7 0,14 Hutan titipan Hutan titipan 1.474 29,97 Hutan tutupan Hutan tutupan 2.000 40.68 Total luas desa 4.917 Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sirna Resmi (2010)
Kawasan konservasi taman nasional berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 pasal 4 (1) dan (2) disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara dan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk, (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau
57
kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatanperbuatan hukum mengenai kehutanan. Hak kepemilikan taman nasional, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Menurut pasal 34 UU No 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Kementrian Kehutanan (Hanafi et al., 2004) 6.2.
Pelaksanaan Model Kampung Konservasi (MKK) Perluasan TNGHS dinilai menjadi ancaman bagi Masyarakat Kasepuhan
karena akses yang terbatas dalam melakukan kegiatan pertanian. Oleh karena itu pihak TNGHS mencoba untuk membangun upaya kolaboratif dengan Masyarakat Kasepuhan berupa program MKK. MKK dilaksanakan tahun 2005 di Desa Sirna Resmi tepatnya di kampung Cimapag. Hal ini dikarenakan lokasi kerusakan hutan yang serius yakni Blok Pondok Injuk terletak di Kampung Cimapag. Menurut Lembanasari (2006) kampung konservasi merupakan komunitas tertentu yang mampu hidup bersama alam, dan didalamnya dilakukan kegiatan perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat atau berlangsungnya pemanfaatan sumberdaya hayati di dalam kawasan konservasi secara berkelanjutan. Kegiatan MKK dilakukan untuk tujuan konservasi dan kesejahteraan masyarakat yang didasarkan melalui strategi penyelesaian konflik dan penguatan kelembagaan, strategi pemulihan kawasan bersama masyarakat dan strategi pengembangan
58
ekonomi masyarakat (Supriyanto dan Ekariyono, 2007). Strategi tersebut dilakukan oleh pihak TNGHS sebagai suatu kerangka kebijakan dan strategi pendekatan kepada Masyarakat Kasepuhan yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan kawasan TNGHS. MKK merupakan suatu program yang sifatnya proyek antara TNGHS dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan melibatkan pertisipasi aktif dari Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Alat yang digunakan dalam Model Kampung Konservasi yaitu melakukan observasi bersama dengan masyarakat lokal untuk monitoring situasi kawasan; membuat jaringan komunikasi yang kuat antara komunitas lokal, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan TNGHS; melakukan restorasi atau rehabilitasi kawasan TNGHS yang rusak dengan melibatkan masyarakat lokal; dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di TNGHS (Harmita, 2009). Berikut adalah kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam program MKK di Kampung Cimapag : 1.
Pemberian bantuan bibit tanaman Pemberian bantuan bibit tanaman ini merupakan kerjasama dengan Dinas Kehutanan. Bibit tanaman yang diberikan adalah bibit pohon aren dan tanaman kayu seperti Puspa (Schima walichii), Rasamala (Altingia excelsa) dan Huru (Litsea tomentosa). Selain itu Dinas Pertanian juga memberikan bantuan bibit padi varietas unggul untuk meningkatkan hasil pertanian masyarakat. Namun Masyarakat Kasepuhan menolak hal ini, karena padi lokal lebih baik daripada padi milik pemerintah.
59
2.
Pembentukan kelompok MKK Pembentukan kelompok MKK terdiri atas 20 orang tiap kelompok. Setelah pembagian kelompok MKK, dilakukan pelatihan pembuatan proposal oleh fasilitator (Pihak TNGHS dan LSM JICA) yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok MKK untuk pengajuan dana usaha kegiatan ekonomi tambahan seperti peternakan, perikanan, warung kelontongan, dan kerajinan. Tabel 14 menunjukan Kelompok Model Kampung Konservasi (MKK) di Dusun Cimapag. Pada awal pembentukan MKK (tahun 2005) di Dusun Cimapag terdapat empat kelompok MKK. Kelompok MKK yang terbentuk mengalami penurunan menjadi dua kelompok dikarenakan kurangnya kontrol dari pihak TNGHS. Selain itu, dalam pelaksanaan MKK ini tidak membahas mengenai hukum adat yang menjadi prinsip hidup Masyarakat Kasepuhan dalam keterkaitannya dengan alam. Tabel 14. Kelompok Model Kampung Konservasi (MKK) Dusun Cimapag Tahun 2011 Kelompok Jenis Usaha Kelompok A Usaha dagang kelontongan Kelompok B Kerajinan kayu
3.
Pemulihan sumberdaya alam di kawasan Pondok Injuk Kegiatan ini dilaksanakan karena Masyarakat Kasepuhan yang menjadi buruh tengkulak kayu di Sukabumi banyak melakukan illegal logging di kawasan Pondok Injuk. Hal ini mengakibatkan hutan Pondok Injuk rusak, seperti penuturan Bapak ZN (40 tahun) sebagai ketua MKK atas semua kelompok yang ada di Dusun Cimapag.
60
“Masyarakat menjadi kambing hitam atas rusaknya hutan Pondok Injuk. Padahal yang melakukan kegiatan illegal logging adalah para cukong tengkulak kayu di Sukabumi. Masyarakat terpaksa menjadi buruh para tengkulak besar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam satu hari bisa ditemukan 20 chain saw di hutan Pondok Injuk. Kegiatan ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2000 sampai 2003 ketika Menteri Kehutanan mengeluarkan SK perluasan kawasan TNGHS”. Kegiatan
pengamanan
kawasan
Pondok
Injuk
melibatkan
peran
Masyarakat Kasepuhan dan polisi hutan TNGHS yang dilaksanakan sekitar dua kali dalam satu minggu. Kegiatan MKK yang dilakukan di Kampung Cimapag sudah berlangsung sejak tahun 2005. Kegiatan MKK merupakan kegiatan yang bertujuan untuk melindungi kawasan konservasi yang diikuti dengan peningkatan ekonomi masyarakat melalui alternatif usaha ekonomi. Masyarakat di Kampung Cimapag memanfaatkan Sumberdaya Alam (SDA) diantaranya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berikut ini adalah bentuk pemanfaatan SDA oleh Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi : 1.
Air untuk sawah dan kebutuhan rumah tangga;
2.
Kayu untuk bahan bangunan rumah, kandang dan kayu bakar;
3.
Bambu untuk bahan kerajinan, jemuran (lantayan), bahan bangunan rumah dan kandang;
4.
Injuk dan Kiray untuk bahan atap rumah;
61
5.
Pucuk rotan untuk upacara nganyaran;
6.
Rotan untuk membuat kaneron (tas perlengkapan kerja petani);
7.
Pakis-pakisan untuk membuat kerajinan gelang, pengikat sarung golok;
8.
Aren diambil nira untuk gula. Masyarakat memiliki aturan adat tentang pengelolaan sumberdaya alam.
Aturan tersebut di antaranya mensyaratkan ijin sesepuh adat untuk penebangan kayu. Mereka juga mempunyai aturan tradisi dalam memulai bertani dan membuka lahan. Selain itu, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mereka membagi hutan menjadi hutan tutupan, titipan dan garapan. Di Kampung Cimapag telah ditemukan beberapa ancaman dan potensi sebagai berikut : 1.
Pola pengelolaan sumberdaya alam masih kuat contohnya huma dan talun;
2.
Masyarakat banyak membuka lahan pertanian di hutan Pondok Injuk;
3.
Pemerintah tidak memiliki tapal batas wilayah hutan yang jelas;
4.
Masih memiliki perspektif sendiri dalam sistem zonasi (leuweung titipan, leuweung tutupan dan leuweung garapan).
Dari ancaman dan potensi tersebut muncul beberapa rekomendasi berikut : 1.
Masyarakat Kasepuhan dan pihak Taman Nasional perlu mengambil tindakan segera pengelolaan sumberdaya alam di kawasan Pondok Injuk;
2.
Penegakan hukum bagi pelaku penebangan liar harus benar-benar dijalankan;
3.
Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melakukan pemasaran produk hutan non kayu (gula semut, kapol dan kerajinan) melalui pelatihan dan pendampingan secara berkelanjutan.
62
6.3.
Konflik Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dengan Pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak Akibat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi menganggap bahwa sistem zonasi
yang telah dibuat taman nasional sama artinya dengan pengelolaan hutan secara adat
terutama
zona
inti
dan
hutan
tutupan
Masyarakat
Kasepuhan.
Permasalahnnya adalah ketika talun, huma, sawah dan pemukiman masyarakat dijadikan zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Masyarakat dilarang mengakses zona tersebut karena berfungsi untuk pemulihan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh adanya kasus Pondok Injuk Kampung Cimapag yang rusak parah akibat illegal logging. Pentingnya talun, huma dan sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup membuat Masyarakat Kasepuhan tetap berada di lahan garapan dan mengolah lahan seperti biasanya. Meskipun harus sembunyi-sembunyi karena takut ditangkap oleh petugas TNGHS. Menurut
Masyarakat
Kasepuhan,
pihak
TNGHS
sengaja
mengembangbiakkan babi hutan di lahan garapan masyarakat. Hal ini menyebabkan hasil pertanian (seperti panen pisang) Masyarakat Kasepuhan mengalami kegagalan. Pihak TNGHS juga memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk ke dalam kawasan konservasi di berbagai titik, termasuk di depan rumah warga dan di kebun masyarakat. Konflik yang terjadi antara Masyarakat Kasepuhan dengan TNGHS dikarenakan perbedaan persepsi atas sumberdaya hutan. Masyarakat menebang kayu untuk keperluan kayu bakar dan membangun rumah di kebun mereka sendiri dianggap sebagai sebuah kesalahan oleh pihak TNGHS. Penebangan kayu di wilayah TNGHS dianggap sebagai kegiatan illegal logging oleh TNGHS.
63
Tahun 2004 terjadi penangkapan terhadap Masyarakat Kasepuhan yang tinggal di Kampung Cimapag karena mengambil kayu dari kebun miliknya sendiri, karena dianggap merusak kawasan taman nasional. Warga tersebut ditahan satu tahun penjara. Setelah itu, pada tahun 2007 warga Kampung Cimapag kembali ditangkap karena mengambil kayu di kebun sendiri. Padahal sebelum adanya taman nasional, lahan kebun termasuk pohon yang didalamnya adalah milik warga, karena sejak wilayah tersebut masih dimiliki pihak Perhutani, warga boleh menggarap lahan tersebut dan menanam kayu-kayuan dengan sistem tumpang sari.Gambaran konflik antara Masyarakat Kasepuhan dengan TNGHS dapat dilihat di Lampiran 15. Masyarakat Kasepuhan menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Kasepuhan terikat adat yang kuat dalam pengelolaan hutan. Kawasan leuweung tutupan dan titipan merupakan warisan leluhur yang harus terjaga keutuhannya. Sumberdaya hutan yang berada di kawasan Halimun, oleh Masyarakat Kasepuhan dianggap sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan titipan dari para leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka wajib untuk menjaga keutuhan dan mempergunakan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saat ini hingga generasi mendatang. Sebagai lahan titipan para leluhur, seluruh sumberdaya hutan diklaim milik adat dan bersifat komunal. Sumberdaya hutan hanya boleh dipergunakan dan dimanfaatkan untuk hidup, namun tidak boleh dijual dan dimiliki secara individual. Pengaturan penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam di Kasepuhan, diatur oleh seorang Abah sebagai pemimpin adat. Seperti yang diungkapakan oleh Bapak ASP (44 tahun), Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi.
64
“Sebelum Negara Indonesia berdiri, adat telah ada. Negara terbentuk dari adat. Asal muasal negara berasal dari adat istiadat. Peraturan adat pun sudah ada sejak dulu, hutan tutupan, hutan titipan, lahan garapan, dan hutan awisan, sama dengan hutan taman nasional, seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, dan zona lainnya. Hutan titipan tidak boleh dirusak, hutan tutupan untuk memenuhi kebutuhan, hutan garapan untuk kegiatan pertanian, dan hutan awisan untuk pemukiman masa mendatang. Jadi tanah dan hutan ini adalah milik adat”. Pihak taman nasional menganggap kawasan halimun sebagai milik negara karena berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Pemerintah menganggap kawasan TNGHS sebagai milik Negara didasarkan pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 4 Ayat 1 dan 2. Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUD tersebut sudah jelas tersurat bahwa sumberdaya alam hanya dikuasai oleh negara bukan dimiliki, dan secara tersirat jelas pula bahwa sumberdaya alam adalah milik publik. Namun karena konsep publik lah, maka negara mengklaim bahwa sumberdaya alam adalah milik negara, yang pengelolaannya diatur oleh negara. Peran negara sangat dominan, selain klaim kepemilikan, aspek pengelolaan sumberdaya hutan juga diatur oleh pemerintah. Kawasan konservasi taman nasional ditetapkan berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 pasal 4 (1) dan (2) disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai
65
oleh Negara dan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk, (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatanperbuatan hukum mengenai kehutanan. Selain itu pengaturan pengelolaan Hutan Halimun secara konservasi dilakukan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam berdasarkan SK. Menhut No. 175 tahun 2003. Hutan adalah milik Taman Nasional diperkuat dengan SK. Menhut No. 175 tahun 2003. 6.4.
Penyelesaian Konflik Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dengan Pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak Adanya illegal logging di Dusun Cimapag yang dilakukan oleh oknum
Masyarakat Kasepuhan mendorong adanya konflik antara Pihak TNGHS dan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Hal itu terjadi karena adanya kebijakan perluasan kawasan TNGHS yang membuat masyarakat tidak boleh melakukan penebangan liar lagi. Menurut mereka, tujuan illegal logging tersebut untuk membuka huma yang merupakan adat istiadat mereka. Namun Pihak TNGHS menganggap penebangan pohon merupakan kegiatan yang merusak hutan. Ditambah kayu yang berasal dari pohon yang ditebang akan dijual kepada tengkulak. Kemudian Pihak TNGHS menawarkan solusi berupa penghasilan alternatif agar Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi tidak lagi melakukan penebangan pohon untuk lahan huma maupun untuk dijual kayunya. Solusinya adalah program Model Kampung Konservasi (MKK). MKK adalah upaya kolaboratif yang
66
dibangun Pihak TNGHS bersama Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi untuk membantu dalam pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan ekonomi alternatif serta penguatan kelembagaan. Namun program ini tidak berhasil sehingga terjadi konflik antara Pihak TNGHS dan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Penyelesaian konflik yang telah dilakukan oleh kedua pihak belum mendapatkan titik terang. Kedua pihak sama-sama menawarkan perdamaian melalui negosiasi namun tidak disepakati kedua pihak. Kedua pihak membutuhkan mediator yang dapat mengakomodir semua keinginan masingmasing pihak yang berkonflik agar dapat menemukan penyelesaian yang terbaik. Pihak TNGHS mengajukan berkas pengelolaan Gunung Halimun kepada Masyarakat Kasepuhan, namun pihak kasepuhan menolak, karena seharusnya usulan pengelolaan hutan harus berasal dari pihak kasepuhan yang lebih mengetahui kebutuhan masyarakatnya. Selain itu pihak TNGHS sendiri juga akan mengeluarkan hak ulayat kasepuhan dari wilayah pengelolaan TNGHS. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi bersama LSM RMI (Rimbawan Muda Indonesia) sedang mengajukan peraturan daerah (PERDA) mengenai pengakuan hak adat kepada Pemerintah Daerah. Berkasnya sudah sampai pada tingkat Badan Legislatif Daerah pada bulan September 2010. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui konflik antara Pihak TNGHS dan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi belum dapat terselesaikan hingga penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu perlu adanya pihak ketiga yaitu pemerintah daerah sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik tersebut untuk
67
menghasilkan win-win solution bagi Pihak TNGHS dan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi.
68