15 VARIASI DIALEK BAHASA JAWA DI KABUPATEN KEBUMEN (KAJIAN SOSIODIALEKTOLOGI) Ambar Pujiyatno (Universitas Muhammadiyah Purwokerto) Soepomo Poedjosoedarmo (Universitas Sanata Dharma) Abstract This research describes the differences of the Javanese dialectal varieties in Kebumen Regency in the field of phonology, morphology, lexicon, and speech level; maps the Javanese dialectal varieties in Kebumen Regency; and describes the geographical and sociocultural factors causing these differences. The data were taken from the seven observation areas through interviewing, recording, and introspection technique. The interview was conducted by asking the questionnaires to the informants. The interviews were recorded. In addition, other data were collected through recording the actual utterances in which the items of the questionnaires are spoken. Finally, the introspection technique was also applied to complete the data because the researcher is the native speaker of BJKK. The conclusions of this research are (1) Kebumen Regency is a border or mixing of two Javanese dialects, (2) The regions that have easy access are easier in getting the influence of Bandek Javanese, (3) The regions that are difficult to reach tend to defend the language, (4) The other regions have more varieties. (5) The influence of Bandek Javanese comes through lexicons, (6) The development between krama ngoko speech level and lexicons is different. The development of Krama-ngoko speech level is gained through education and occupation, (7) Some regions have Krama-Ngapak Javanese speech level, (8) BJKK has [a] and [o] speech level models, (9) There is a phonological difference between Bandek Javanese and Ngapak Javanese. Key words: dialectal variety, sociocultural factor, speech level Pendahuluan Kabupaten Kebumen termasuk wilayah Propinsi Jawa Tengah bagian selatan. Batas-batasnya di sebelah barat adalah Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas, di sebelah timur Leksika Vol.2 No.1 –Perbruari 2008: 15-25
16 adalah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Purworejo, di sebelah utara adalah Kabupaten Banjarnegara, dan di sebelah selatan adalah Samudera Indonesia. Kabupaten ini secara administratif memiliki 26 kecamatan, 11 kelurahan dan 449 desa. Luas Kabupaten Kebumen adalah 1.281,11 km2. Kondisi wilayahnya berupa daerah pantai, daerah pegunungan, dan dataran. Penduduk Kabupaten Kebumen pada tahun 2005 tercatat 1.212.809 jiwa. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Kebumen sebagian besar adalah pada sektor pertanian, sedangkan sisanya tersebar diberbagai sektor kehidupan. Kabupaten Kebumen memiliki sejarah yang tidak lepas dari zaman kerajaan Mataram Islam ketika melawan penjajah Belanda. Bahasa ibu masyarakat Kabupaten Kebumen adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen (BJKK) memiliki perbedaan dengan bahasa Jawa baku (BJB), bahkan antara wilayah yang satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan variasi dialek yang disebabkan oleh faktor geografis dan faktor sosial. Hal ini dikarenakan oleh letak geografis yang berada di antara BJ dialek Bandek dan Ngapak sehingga keadaan kebahasaannya memiliki fenomena dari kedua dialek tersebut. Bahkan ada juga bahasa Jawa Ceblek yang memiliki ciri khas yang lain dari keduanya. Penelitian ini bertujuan (1) memerikan perbedaan variasi dialek bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen dengan memperhatikan fonologi, morfologi, leksikon, dan tingkat tutur, (2) memetakan bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen berdasarkan perbedaan fonologi, morfologi, dan leksikon, (3) memerikan faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut secara geografis dan sosio-kultural. Dengan demikian, hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik secara teoritis maupun praktis. Sosiodialektologi adalah gabungan dua disiplin ilmu yaitu sosiolinguistik dan dialektologi. Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa yang berhubungan dengan masyarakat (Hudson, 1980 : 3). Dialektologi adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi-variasi bahasa dengan memperlakukannya dengan struktur yang utuh (Kridalaksana, 2001 : 42). Dialektologi juga mempelajari variasi bahasa dalam semua aspeknya (Keraf, 1984 : 143). Trudgill (1985 : 17) menyatakan bahwa dialek mengacu pada perbedaan-perbedaan antara macam-macam bahasa yang berbeda kosa kata, tata bahasa dan juga pengucapannya. Ciri utama dialek ialah perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan (Meillet, 1967:70). Ciri lainnya, yaitu (1) dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri Leksika Vol.2 No.1 –Perbruari 2008: 15-25
17 umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa (Meillet 1967:69) Hal-hal yang menjadi pembeda dialek adalah (1) perbedaan fonologis, (2) perbedaan semantik, (3) perbedaan onomasiologis, (4) perbedaan semasiologis, dan (5) perbedaan morfologis. Tinjauan sosiodialektologi merupakan suatu cara pandang terhadap permasalahan bahasa yang memfokuskan tujuannya sesuai dalam kedua bidang ilmu tersebut. Hal ini juga digunakan untuk menjawab masalah-masalah kebahasaan yang belum terjawab oleh linguistik murni. Fernandez (1993/1994 : 1) menyatakan bahwa kajian itu mempelajari variasi bahasa dalam dialek yang berbeda dari suatu bahasa sebagai suatu sistem yang meliputi berbagai tataran kebahasaan. Variasi bahasa yang dikaji adalah variasi bahasa berdasarkan perbedaan kelompok-kelompok masyarakat atau sosial dalam dialek tertentu. Dengan kata lain, sosiodialektologi mengkaji perubahan tuturan dalam suatu bahasa karena kontak sosial yang terjadi antar wilayah atau ruang geografis yang berbeda sehingga timbul daerah pembaharuan (inovasi) dan daerah peninggalan (relik). Demikian juga yang terjadi terhadap bahasa Jawa yang dalam aktivitas komunikasi masyarakat sehari-hari, penggunaannya pun memiliki variasi-variasi tingkat tutur. Poedjosoedarmo (1979 : 3) menyatakan bahwa tingkat tutur adalah variasi-variasi bahasa yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara (O1) terhadap lawan bicara (O2). Lebih lanjut Poedjosoedarmo dkk (1979: 8-9) menyatakan bahwa tingkat tutur adalah suatu sistem kode penyampaian rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan morfologis tertentu dan aturan fonologis tertentu. Faktor terpenting sebagai penentu tingkat tutur ialah anggapan O1 mengenai kedudukan O2, seperti: alur kekerabatan, pangkat, keturunan, tingkat ekonomi, dan sebagainya. Secara garis besar pembagian tingkat tutur dalam bahasa Jawa adalah krama, madya, dan ngoko (Poedjosoedarmo, 1979 : 13). Sumber data penelitian ini adalah bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen di tujuh tempat penelitian. Penentuan ketujuh tempat itu berdasarkan fenomena bahasa yang berbeda. Pengumpulan data dalam penelitian ini berdasarkan daftar pertanyaan yang berupa rangkuman kosa kata dasar Swadesh dan kata-kata yang frekuensi penggunaannya tinggi. Hal ini dilakukan dengan cara mewawancarai informan dan Leksika Vol.2 No.1 –Perbruari 2008: 15-25
18 merekam. Teknik rekam digunakan untuk merekam proses wawancara dan juga merekam tuturan aktual. Di samping itu, metode instrospeksi juga digunakan bila ada kekurangan data yang diperlukan, mengingat Peneliti merupakan penutur asli bahasa Jawa. Analisis data dilakukan dengan metode padan dengan cara membandingkan BJKK di setiap TP dan juga dengan BJB. Analisa dan Pembahasan Peta Bahasa BJKK Berdasarkan tujuan di atas, hal-hal yang dilakukan adalah memetakan bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen berdasarkan data yang ada yang berguna untuk mengetahui fonologi, morfologi, dan leksikon BJKK serta perbedaannya dengan BJB. Dengan demikian BJKK memiliki tiga jenis peta bahasa, yaitu 1) peta fonologi, 2) peta morfologi, dan 3) peta leksikon. Berdasarkan peta tersebut maka dapat diketahui bahwa Kabupaten Kebumen merupakan daerah perbatasan. BJKK merupakan pertemuan dua dialek bahasa Jawa, yaitu bahasa Jawa Yogyakarta yang disebut dialek Bandek dan bahasa Jawa Banyumas yang disebut dialek Ngapak. Berdasarkan peta diketahui bahwa daerah-daerah yang dilalui jalan raya lebih mudah menerima pengaruh dialek Bandek, daerah yang sulit dijangkau yang berupa daerah pegunungan lebih mempertahankan bahasanya, sedangakan daerah yang setengah-setengah lebih banyak variasinya. Disebut daerah yang setengah-setengah karena pada jaman dahulu pernah ada jalan yang menghubungkan daerah itu dengan daerah lain, seperti ke Yogyakarta, tetapi kemudian tidak digunakan lagi dalam waktu yang lama, sehingga setelah mendapatkan pengaruh kemudian tertutup dari pengaruh selanjutnya sehingga mengalami variasi yang lain.
Variasi Fonologi dan Morfologi BJKK Variasi fonologi adalah variasi pemakaian bunyi yang bersifat fonetis dan tidak membedakan makna. Variasi tersebut terbentuk karena letak wilayah tinggal penutur dan kelompok sosial penutur yang berbeda, sehingga menimbulkan pengucapan fonem yang berbeda. Contohnya adalah variasi fonem /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /r/, /h/, /-ew-/, /-ek/, /b/, /d/, /g/, dan /k/. Variasi fonem vokal BJKK adalah sebagai berikut: Tabel 1. Variasi Fonem Vokal BJKK Fonem Vokal /a/
TP 1 [a]
TP 2 [ a ], [ ⊃ ], [∂ ],
TP Lain [ a ], [
Leksika Vol.2 No.1 –Perbruari 2008: 15-25
Vokal BJB [ a ], [
19
/i/ /u/ /e/ /o/ /∂/
[i]
[ε] [ i ], [ I ], [ ε ]
⊃] [ i ], [ I ]
⊃] [ i ], [ I ]
[u]
[ u ], [ U ]
[ u ], [U]
[ u ], [U]
[ε]
[ ε ], [ e ]
[⊃]
[ o ], [ ⊃ ]
[ ε ], [e] [ o ], [ ⊃]
[ ε ], [e] [ o ], [ ⊃]
[∂ ]
[∂ ]
[∂ ]
[∂ ]
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa ada tiga kelompok pengucapan fonem vokal yang berbeda. Kelompok pertama adalah TP 1. Penutur BJKK di TP 1 mengucapkan fonem /a/ sebagai [a], fonem /i/ sebagai [i], fonem /u/ sebagai [u], fonem /e/ sebagai [ε], fonem /o/ sebagai [⊃], dan fonem /∂/ sebagai [∂]. Kelompok kedua adalah TP 2. Penutur BJKK di TP 2 mengucapkan fonem /a/ sebagai [a], [⊃], [ε]dan [∂], fonem /i/ sebagai [i], [I], dan [ε], fonem /u/ sebagai [u] dan [U], fonem /e/ sebagai [ε]dan [e], fonem /o/ sebagai [⊃] dan [o], dan fonem /∂/ sebagai [∂]. Kelompok ketiga adalah TP 3, 4, 5, 6, dan 7. Penutur BJKK di TP tersebut mengucapkan fonem /a/ sebagai [a] dan [⊃],fonem /i/ sebagai [i] dan [I], fonem /u/ sebagai [u] dan [U], fonem /e/ sebagai [ε]dan [e], fonem /o/ sebagai [⊃] dan [o], dan fonem /∂/ sebagai [∂]. Variasi fonem konsonan terjadi pada fonem /b/, /d/, /g/, /k/. Variasi ini terlihat bila dibandingkan dengan BJB. Dalam BJKK fonem /b/, /d/, /g/, /k/ diucapkankan tetap sebagai bunyi [b], [d], [g], dan [k] oleh semua kelompok penutur di semua TP, dan BJB fonem /b/, /d/, /g/, /k/ diucapkan sebagai [p], [t], [k], dan [?]. Variasi bunyi [r] hanya terdapat di TP 2. Variasi ini terjadi dikarenakan oleh faktor sosial yang bertujuan untuk membedakan status. Kelompok penutur yang menggunakan variasi ini adalah penutur yang berpendidikan rendah usia tua ataupun muda. Variasi bunyi [h] dapat berupa penghilangan atau penambahan fonem /h/, tergantung TP mana yang dijadikan acuan. Sebagai contoh adalah kata’menyebabkan’ (340) /maraih/, di TP 1 diucapkan [maraih] oleh semua kelompok penutur. Sedangkan di TP lain diucapkan [marai]. Contoh lain adalah ‘darah’ (74) /getih/, di TP 1 diucapkan [g∂tih], di TP lain diucapkan [g∂tIh], akan tetapi di TP 4 kelompok penutur yang berpendidikan rendah dan berusia tua mengucapkan [g∂tI]. Kata-kata lain yang berakhiran dengan fonem /h/ dalam Leksika Vol.2 No.1 –Perbruari 2008: 15-25
20 pengucapannya juga ditanggalkan.Variasi bunyi tersebut saling berkorespondensi tetapi tidak membedakan arti. Variasi bunyi [-∂w-] terlihat jika dibandingkan dengan BJB. Bunyi [-∂w-] penggunaannya menyebar di seluruh TP. Hal ini berbeda dengan BJB yang menggunakan bunyi [-uw-]. Akan tetapi ada perbedaan yang disebabkan oleh faktor sosial sehingga ada sebagian kelompok penutur BJKK yang menggunakan [-uw-]. Variasi bunyi [-əw-] dituturkan oleh kelompok penutur berpendidikan rendah berusia tua dan muda dan variasi [-uw-] dituturkan oleh kelompok penutur yang berpendidikan tinggi usia tua dan muda. Nampaknya kelompok penutur yang menggunakan variasi bunyi [-∂w-] masih terpengaruh oleh dialek Banyumas, sedangkan kelompok penutur yang menggunakan variasi bunyi [-uw-] sudah terpengaruh oleh dialek Yogyakarta yang dijadikan standar bahasa Jawa dan diajarkan melalui sekolah-sekolah. Contoh: kata /luwih/ ’lebih’ diucapkan [l∂wih] dan [luwIh] Variasi bunyi [a] dan [∂] ini terjadi di seluruh TP. Variasi bunyi [-a-] dituturkan oleh kelompok penutur berpendidikan tinggi berusia tua dan muda dan variasi [-∂-] dituturkan oleh kelompok penutur yang berpendidikan rendah usia tua dan muda. Nampaknya kelompok penutur yang menggunakan variasi bunyi [-∂-] masih terpengaruh oleh dialek Banyumas, sedangkan kelompok penutur yang menggunakan variasi bunyi [-a-] sudah terpengaruh oleh dialek Yogyakarta yang dijadikan standar bahasa Jawa dan diajarkan melalui sekolah-sekolah. Contoh: kata /gadah/ (kr) ’mempunyai’ diucapkan [gadah] dan [gad∂h] Proses afiksasi dalam BJKK pada dasarnya memiliki kesamaan dengan BJB. Akan tetapi ada beberapa perbedaan mengenai prefiksasi dan sufiksasi. Prefiks {t∂k-} dalam BJKK sebenarnya sama dengan prefiks {tak-} dalam BJB, perbedaannya hanya terletak pada ucapannya saja. Contohnya: [ t∂k gawa ] atau [ t∂k g⊃w⊃ ] dalam BJKK berkorespondensi dengan [ ta? g⊃w⊃ ] dalam BJB. Prefiks {s∂-} dalam BJKK sebenarnya sama dengan prefiks {sa-} dalam BJB dan tidak pernah beralomorf menjadi {saq-} seperti dalam BJB, yakni jika berhubungan dengan kata dasar yang terdiri dari satu suku kata, atau bersuku dua yang dimulai dengan vokal; misalnya sa(q)ons ‘satu ons’ sa(q)omah ‘serumah’ (Poedjosoedarmo 1979: 191) Prefiks {di-} dalam BJKK memiliki fungsi yang lebih luas dibandingkan dengan BJB, yaitu selain digunakan untuk menunjukkan suatu perbuatan dilakukan oleh orang ketiga juga untuk menunjukkan bahwa suatu perbuatan dilakukan oleh orang kedua atau lawan bicara. Oleh karena itu, dalam BJKK Leksika Vol.2 No.1 –Perbruari 2008: 15-25
21 untuk menunjukkan suatu perbuatan dilakukan oleh orang kedua menggunakan {di-} maka tidak mengenal {kok} seperti dalam BJB. Sufiks {-a} dalam BJKK mempunyai arti ‘meskipun’, ‘walaupun’ dan tidak pernah digunakan untuk menyatakan perintah seperti dalam BJB. Contoh: Walaupun jelek tapi baik hati (309) /alaa ning apikan/ (BJKK) Untuk menyatakan perintah dalam BJKK menggunakan sufiks {-na}, {-aken}, {-i}, dan {∅}. Sufiks {-na} dan {-aken} serupa dengan sufiks {-na} dan {-ake} dalam BJB Selain hal-hal tersebut di atas, untuk menyatakan perintah dalam BJB digunakan sufiks {-en), sedangkan dalam BJKK sufiks {-en} tidak pernah digunakan untuk menyatakan perintah. Sufiks- {-en} dalam BJKK hanya berarti ‘mengeluarkan’, ‘menderita atau terkena sesuatu’. Contoh: Roti yang di atas meja sudah berjamur (310) /roti sing nang ndhuwur meja wis jamuren/ Selain digunakan untuk perintah, sufiks {-i} dalam BJKK juga digunakan untuk menyatakan sebab keadaan atau sifat dari kata dasar yang disebutkannya atau berarti ‘menjadi’atau ’semakin’. Contoh: /nggedeni/, /nglarisi/ Variasi-variasi morfologi tersebut di atas digunakan oleh semua kelompok penutur, baik yang berpendidikan tinggi usia tua atau muda dan berpendidikan rendah usia tua atau muda.
Variasi Leksikon BJKK BJKK memiliki kekhasan leksikon dikarenakan letaknya yang merupakan daerah peralihan dialek bahasa Jawa antara bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan bahasa Jawa dialek Banyumas. Kekhasan leksikon ini menjadikan ciri khas BJKK yang lain daripada bahasa atau dialek di sekitarnya. Kekhasan leksikon BJKK yang terdapat dalam data diantaranya berupa kata benda, kata kerja, kata sifat, kata tugas, kata ganti, dan ada juga pengkramaan yang spesifik. Contoh-contoh: Kata benda : /rama/ ‘bapak’, /kaki/ ‘kakek’, /cecek/ ‘cicak’, /gandul/ ‘pepaya’ Kata kerja : /semek/ ‘makan pagi’, /nglomboni/ ‘menipu’, /nggecel/ ‘memegang’ Kata sifat : /maen ‘baik’, /melasi/ ‘kasihan’, /kencot/ ‘lapar’ Kata tugas : /nang/ ‘di’, /meng/ ‘ke’ Kata ganti : /kiye/ ‘ini’, /rika/ ‘engkau’, /enyong/ ‘saya’ Kata-kata Spesifik Bentuk Krama: /mbangsuli/ ‘mengulangi’, /rinten/ ‘siang’
Leksika Vol.2 No.1 –Perbruari 2008: 15-25
22 Variasi leksikon yang terdapat dalam BJKK diantaranya ialah gejala onomasiologis, gejala voicing, gejala penghilangan bunyi, gejala penambahan bunyi, dan fusi. Gejala onomasiologis ialah pemakaian leksikon untuk makna yang sama digunakan istilah yang berbeda. Beberapa contoh: kata ‘tapai’ di TP 1 diucapkan [k∂ñas] dan di TP lainnya diucapkan [k∂ñ⊃s], kata ‘memetik’ di TP 7 diucapkan [ŋ∂bil] dan di TP lainnya diucapkan [ŋ∂pεt] atau [ŋ∂mεt]. Salah satu ciri BJKK adalah voicing. Voicing tersebut terlihat jika dibandingkan dengan BJB. Contohnya: kata ‘nyamuk’ dan ’karena’ dalam BJKK diucapkan [l∂mud] dan [s∂bab] sedangkan dalam BJB diucapkan [l∂mut] dan [s∂bap]. Penghilangan bunyi atau apokop merupakan penghilangan bunyi-bunyi vokal pada akhir kata. Contohnya adalah: Kata ‘darah’ di TP 4 di ucapkan [g∂tI] dan di TP lainnya diucapkan [g∂tIh], kata ‘mencuci’ di TP 1 diucapkan [ŋumbaih] dan di TP lainnya diucapkan [ŋumbai]. Penambahan bunyi yang terdapat dalam BJK tidaklah banyak. Contoh: kata ‘alas kaki’ di TP 2 diucapkan [srandal], di TP lain dan BJB diucapkan [sandal]. Fusi merupakan penyatuan dua bunyi berbeda yang membentuk satu bunyi tertentu dan bunyi tersebut memiliki ciri-ciri dari kedua bunyi asal tersebut. Contohnya adalah kata /kalen/ ‘sungai kecil’, kata itu berasal dari /kali + an/, terjadi peleburan atau penyatuan fonem /i/ dan / a/ menjadi fonem /e/.
Tingkat Tutur BJKK Tingkat Tutur Ngoko Tingkat tutur ngoko merupakan ciri khas bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen. Tingkat tutur ini digunakan oleh semua penutur tanpa melihat status seseorang. Penggunaan tingkat tutur ngoko ini bertujuan untuk keakraban tanpa mengurangi rasa hormat kepada seseorang. Tingkat tutur ngoko ini menunjukkan kesederajatan para penutur. Dengan kata lain tingkat tutur ngoko bersifat egaliter. Kata ngoko tidak seluruhnya berasal dari bahasa Jawa namun ada beberapa kata bahasa Indonesia sebagai penanda ngoko dalam bahasa Jawa, contoh: /sega/, /anak/, /tangan/. Tingkat Tutur Krama Tingkat tutur krama adalah tingkat yang mencerminkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan seseorang terhadap orang lain, karena orang lain tersebut merupakan orang yang belum dikenal, atau berpangkat atau priyayi, berwibawa, dan lain-lain. Dengan kata
Leksika Vol.2 No.1 –Perbruari 2008: 15-25
23 lain, tingkat tutur krama digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada diri orang yang ditunjuk. Tidak semua penutur BJKK menguasai tingkat tutur ini dengan baik. Hanya penutur tertentu yang mempu menggunakannya. Pengguna tingkat tutur krama biasanya orang-orang yang berpendidikan atau yang mempunyai jabatanjabatan tertentu, seperti guru, kepala desa, para pamong, ketua RT, dan ulama. Tingkat tutur krama biasanya digunakan pada forum-forum resmi, seperti upacara pernikahan, upacara kematian, dan rapat RT. Ada tingkat tutur krama berpenanda fonologis dan berpenanda morfologis. Contoh: /para sesepuh pini sepuh seaguning para rawuh kakung sumawono putri ingkang dahat kinurmatan/ / keparenga kawula cumantaka wonten ngarsa seagunging para rawuh mboten sanes minangka pranata adicara wontenipun walimatul urs ing sonten menika/ /minangka rerakiting adicara walimatul urs ing sonten meniko, sepindah, minangka pambuka adicara ing sonten menika waosan suratul fatehah/ /dene adicara ingkang angka kalih jung pinanten temanten putri, putro putrinipun bapak suprapto spd iŋkaŋ kalawau enjaŋ sampun kadaup sampun kaijabkobulaken kaliyan putra kakuŋipun bapak … ./ Tingkat Tutur Madya Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko. Hal ini digunakan untuk menunjukkan perasaan sopan yang sedang-sedang saja. Tingkat tutur ini banyak sekali digunakan oleh penutur BJKK. Selain bertujuan untuk keakraban juga untuk memberikan rasa hormat terhadap orang yang diajak bicara. Pembentukan tingkat tutur ini ditandai oleh penggunaan kata-kata yang tidak lengkap dan kata tugas. Contoh: /ibu seg kesah teng peken/ /napa njenengan gadhah arto/ Pengkramaan BJKK memiliki beberapa cara dalam hal pengkramaan. Pengkramaan tersebut diantaranya berasal dari bentuk ngoko, bahasa Indonesia, kata spesifik, dan juga bentuk [a] dan [o]. Pengkramaan dengan bentuk ngoko biasanya digunakan karena memang tidak ada kata kramanya atau penutur tidak tahu kata kramanya, contoh: watu, alas. Pengkramaan dengan bahasa Indonesia karena tidak adanya kata bahasa Jawa yang digunakan sehingga mengambil kata dari bahasa Indonesia, contoh: angin, jantung. Pengkramaan dengan kata spesifik dikarenakan letak geografis Kabupaten Kebumen yang berada di antara dua dialek bahasa Jawa sehingga memunculkan katakata spesifik, contoh: tangled, kriyin. Pengkramaan bentuk [a] Leksika Vol.2 No.1 –Perbruari 2008: 15-25
24 dan [o] juga dikarenakan oleh letak geografis Kabupaten Kebumen, contoh: [napa], [nopo]. Penutup Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa (1) Kabupaten Kebumen merupakan daerah pertemuan dua dialek bahasa Jawa, yaitu dialek Banyumas dan dialek Yogyakarta. (2) Daerah-daerah yang dilalui jalan raya lebih mudah menerima pengaruh dialek bandek. (3) Daerah yang sulit dijangkau yang berupa daerah pegunungan lebih mempertahankan bahasanya. (4) Daerah yang setengahsetengah lebih banyak variasinya. (5) Masuknya pengaruh bahasa Jawa yaitu melalui leksikon bukan melalui bunyi karena bunyi lebih sulit. (6) Tidak sama perkembangan antara tingkat tutur krama dan ngoko dengan leksikon. (7) Daerah tertentu memiliki bahasa krama ngapak. (8) BJKK memiliki tingkat tutur krama model [a] dan [o]. (9) Adanya perbedaan bahasa Jawa Bandek dan bahasa Jawa Ngapak di bidang fonologi.
Daftar Pustaka Ayatrohaedi. 1979. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Chambers, J.K., & Trudgill, P. 1980. Dialectology. Great Britain: Cambridge University Press. Crowley, Terry. 1987. An Introduction to Historical Linguistics. Papua New Guinea Press. Crystal, David. 1985. A Dictionary of Linguistics and phonetics. Oxford: Basil Blackwell. Fernandez, Inyo Yos. (Koord) 1990. Praktek Studi lapangan Dialektologi di Kabupaten Purworejo dan Kebumen, Karesidenan Kedu, Propinsi Jawa Tengah. Program Pascasarjana. UGM. Holmes, Janet. 1995. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman Publishing. Hudson. R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge University Press. Hymes, D. 1972. Models of the Interaction of Language and Social Life. Dalam J.J. Gumperz dan D. Hymes (peny). Direction in sociolinguistics: The Ethnography of
Leksika Vol.2 No.1 –Perbruari 2008: 15-25
25 Communication. New York: Holt, Renehart and Winston, inc. ----------------. 1986. Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Pennsylvania: the University of Pennsylvania Press. Kridalaksana, Harimukti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Labov. W. 1994. Principles of Linguistic Change Vol 1 Oxford UK and Crambridge USA: Blackwell. Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Marsono.1991/1992. Sistem Konsonan dalam Bahasa Jawa. Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nothofer, Bernd. 1987. Cita-cita Penelitian Dialek Dewan Bahasa, Februari 129-149. -------------------1990. Tinjauan Sinkronis dan Diakronis DialekDialek Bahasa Jawa di Jawa Barat dan Tengah (bagian barat) Yogyakarta: Pusat studi Bahasa-Bahasa Asia Tenggara, Fakultas Sastra UGM. -----------------1982. Central Javanese Dialects. Pacific Linguistics series C. Vol 3, 127-309 Petyt, K.M. 1980. The Study of Dialect: An Introduction to Dialectology. London: Andre Deutsch Limited. Poedjosoedarmo, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. --------------------- 1979. Morfologi Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. --------------------- 1985. Komponen Tutur dalam Soenjono Dardjowidjojo. Jakarta; Arcan. Priyadi, Sugeng. 2004. Sejarah dan Kebudayaan Kebumen. Yogyakarta: Jendela. Rahardi. R.K. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ramelan. 1962. “Bagelan Javanese Phonology”. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Airlangga. Malang. Ramlan, M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV. Kartono. Sudiro, Samid. 1986. Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen, dalam Soedarsono (editor). Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Leksika Vol.2 No.1 –Perbruari 2008: 15-25
26 Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Ditjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sunarso. 1994. Tesis S2. Pemakaian Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dialek Banyumas di Daerah Banyumas. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada Trudgill, Peter. 1983. On Dialect: Social and Geographical Perspectives. Oxford: Basil Blackwell Publisher. Waljinah. Sri. 2003. Tesis S2. Variasi Pemakaian Bahasa Jawa di Kabupaten Boyolali. Yogyakarta .Universitas Gadjah Mada. Wardhaugh. R. 1990. An Introduction to Sociolinguistics. Cambridge: Basil Blackwell. Widdowson. H.G. 1996. Linguistics. Oxford University Press. Zulaikha, Ida. 2000. Tesis S2. Pemakaian Bahasa Jawa di Kabupaten Semarang (Kajian Sosiodialektologi). Yogyakarta.Universitas Gadjah Mada.
Leksika Vol.2 No.1 –Perbruari 2008: 15-25