Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014
Kajian Morfologi Bahasa Jawa Dialek Banyumas 1,2,3
Noorliana1, Isnaeni Praptanti2, Siti Fathonah3 Progran Studi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jln. Raya Dukuh Waluh PO. Box 202 Purwokerto 53182
ABSTRAK Penelitian yang berjudul Kajian Morfologi Bahasa Jawa Dialek Banyumas bertujuan mendeskripsikan pembentukan kata beserta makna yang dimunculkan dalam dialek Banyumas.Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode cakap dan teknik pancing. Adapun sumber data dalam penelitian adalah informan orang Banyumas asli. Data penelitian berupa kata-kata hasil proses morfologis. Pada tahap analisis data digunakan metode padan intralingual.Metode padan intralingual tersebut diterapkan dengan teknik banding menyamakan (HBS) dan teknik hubung banding membedakan (HBB). Penyajian data dilakukan dengan metode informal. Dalam penelitian ditemukan data, yaitu (1) kata-kata berimbuhan yang meliputi kata-kata berawalan Nasal {ng-, m-, n-,ny-, nge-}, {di-/de-}, {tek-}, {ka-/ke-}, {sa-/se-}; kata berakhiran {-i}, {-ake/-aken}, {-na/-kna}, {-en}, {-e}, {-an}; kata berkonfiks {ke-an}, {keen}, {pa-an}, kata bersisipan {-um-}dan {-in-}, (2) kata ulang, dengan jenis-jenis kata ulang seluruh bentuk dasar, kata ulang berkombinasi imbuhan, dan kata ulang berubah bunyi, (3) kata majemuk dengan jenis-jenis kata majemuk koordinatif dan subordinatif. Pada proses pembentukan kata, pengimbuhan, perulangan, dan permajemukan membawa fungsi dan makna yang cukup bervariasi dalam dialek Banyunas. Kata-kata kunci:
morfologi, bahasa Jawa, dialek Banyumas
PENDAHULUAN Dialek Banyumas merupakan salah satu variasi bahasa Jawa secara geografis. Dialek ini digunakan masyarakat Jawa Tengah di wilayah eks Karesidenan Banyumas yang meliputi Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan Cilacap. Bahkan digunakan oleh sebagian warga kabupaten Kebumen dan Brebes (Koderi, 1996). Sebagai salah satu dialek bahasa Jawa, dialek Banyumas memiliki ciri-ciri umum bahasa Jawa, tetapi juga memiliki ciri khas yang membedakannya dari dialek Jawa yang lain atau dialek Jawa yang baku (dialek Yogya – Solo). Sebagai variasi dari sebuah bahasa (Jawa), dialek Banyumas tentunya memiliki sifat bahasa manusia secara umum, antara lain sifat sistematis dan sistemis (Chaer, 2007). Sistematis, artinya dialek Banyumas terdiri dari sejumlah unsur yang tersusun menurut pola tertentu sehingga membentuk suatu kesatuan (kata, frase, kalimat, dll). Sistemis artinya dialek Banyumas terdiri dari sub-subsistem, antara lain sistem fonologi, sistem morfologi, dan sistem sintaksis. Di antara sekitan subsistem tersebut penelitian ini hanya difokuskan pada subsistem morfologi. Sejalan dengan latar belakang di atas, masalah penelitian ini meliputi hal-hal berikut: (1) Bagaimana afiksasi dalam dialek Banyumas ? Masalah yang lebih khusus, yaitu afiks apa saja yang terdapat dalam dialek Banyumas dan apa fungsi dan maknanya dalam pembentukan kata? (2) Bagaimana reduplikasi dalam dialek Banyumas ? Masalah yang lebih khusus, yaitu apa saja jenis – jenis reduplikasi dalam dialek Banyumas dan apa fungsi dan makna reduplikasi dalam proses pembentukan kata? (3) Bagaimanakah permajemukan dalam dialek Banyumas? Masalah yang lebih khusus, yaitu apa saja jenisjenis kata majemuk dan apa fungsi dan makna permajemukan dalam proses pembentukan kata? Istilah dialek berasal dari kata Yunani dialektos yang berpadanan dengan logat. Kata dialektos selanjutnya berubah menjadi dialek.. Kata dialek digunakan untuk menyatakan sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat yang berbeda dari masyarakat lainnya yang bertetangga, tetapi sistem kebahasaan mereka itu berhubungan erat (Zuleha, 2010). Selain berbeda, sistem-sistem kebahasaan tersebut juga memiliki kemiripan karena adanya hubungan yang erat. Menurut Kridalaksana (2001: 42), dialek itu ada yang disebut dialek regional, dialek sosial, dan dialek temporal. Dalam penelitian ini dialek yang diteliti adalah dialek regional, yakni dialek Banyumas. Dialek regional ditentukan berdasarkan letak geografi dari tempat tinggal pemakainya.
155
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Dari rumusan masalah diketahui bahwa penelitian ini berhubungan dengan proses morfologis, yaitu proses penggabungan morfem dengan morfem sehingga menjadi kata. Proses morfologis ini disebut juga proses morfemis atau proses pembentukan kata (Chaer, 2007). Proses pembentukan kata diartikan sebagai proses pembentukan bentuk dasar melalui afiksasi, reduplikasi, atau komposisi sehingga menjadi kata kompleks. Afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan cara membubuhkan afiks pada bentuk dasar (Muslich, 2009). Reduplikasi adalah proses pembentukan kata dengan cara mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem atau tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak (Muslich, 2009). Hasil reduplikasi disebut kata ulang. Dalam bahasa Jawa kata ulang terbagi menjadi tiga macam, yaitu dwilingga, dwipurwa, dan dwiwasana. Kata ulang dwilingga adalah kata yang mengalami pengulangan seluruh bentuk dasarnya. Contoh udan-udan, bengi-bengi, lopaklopak. Kata ulang dwilingga ada yang mengalami perubahan bunyi pada bagian depan, bagian belakang, atau kedua bagiannya. Kata ulang seperti itu disebut dwilingga salin swara. Contoh: ngolang-ngaling, gonjang-ganjing, olah-oleh. Kata ulang dwipurwa adalah kata ulang yang mengalami pengulangan pada sebagian suku kata bentuk dasarnya. Contoh tetuku, peputra, gegriya. Kata ulang dwisasana dibentuk dengan cara pengulangan suku belakang dari bentuk dasar. Contoh: jegeges, pethethet, cewewekan. Proses pengulangan umumnya tidak mengubah jenis kata bentuk dasar, tetapi membawa makna-makna gramatikal tertentu. Misalnya, makna ‘suatu keadaan’, seperti rintik-rintik, atau makna ‘melakukan pekerjaan’, apabila dilekati akhiran {-an}, seperti pada kata cewewekan ‘menangis dan merengek’ (Purwadi, dkk., 2005). Komposisi adalah proses bergabungnya dua morfem dasar atau lebih secara padu dan menimbulkan arti yang relatif baru. Hasil proses tersebut disebut kata majemuk (Muslich, 2009). Dalam bahasa Jawa, kata majemuk terbentuk dari dua kata atau lebih yang dirangkai menjadi satu. Katakata pembentuk tersebut ada yang utuh, ada juga yang disingkat. Contoh yang utuh : sisib sambir, baya pakewuh, rata budaya, raja lele, pati basa, dan sebagainya. Contoh yang disingkat: dhengus (gedhe lan bagus), wedang (we + edang), dubang (idu lan abang). Dilihat dari segi hubungan gramatikal kata-kata pembentuknya, kata majemuk tersebut mengandung makna ‘sederajat (koordinati)’, seperti gedhe cilik ‘besar kecil’; subordinatif (unsur kedua menerangkan unsur pertama), seperti kandhang jaran ‘kandang kuda’, ayam alas ‘ayam hutan’; subordinatif (unsur pertama menerangkan unsur kedua), seperti pandu putra ‘putra pandu’, tirta kamandhanu ‘tempayan tempat air’, mahadewa ‘dewa yang unggul, lebih dalam segala hal’ (Purwadi, dkk., 2005). METODOLOGI PENELITIAN Peneliti ini tergolong jenis penelian deskriptif kualitatitif. Data penelitian berupa kata-kata hasil dari proses morfologis dalam dialek Banyumas, yang meliputi bentuk berakfiks, bentuk berulang, dan bentuk majemuk, serta makna yang dikandungnya. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian data Tahap penyediaan data dilaksanakan dengan metode cakap dan teknik pancing. Pada tahap analisis data digunakan metode padan intralingual teknik banding menyamakan (HBS) dan teknik hubung banding membedakan (HBB) (Mahsun, 2005). Penyajian data dilakukan dengan metode informal. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini ditemukan tiga macam bentuk morfologis dalam dialek Banyumas, yaitu kata berimbuhan, kata ulang dan kata majemuk. Kata Berimbuhan Kata berimbuhan yang ditemukan meliputi kata berawalan, kata berakhiran, dan kata berkonfiks. Kata Berawalan Dalam dialek Banyumas ditemukan sejumlah awalan, yaitu awalan {N-} dengan almorfornya {m,n-,η-,ŋ-,ŋə-},{di-},{tək-}, {ka-/kə-} dan awalan {sa-/sə}. Dalam pembentukan kata, awalan tersebut membawa sejumlah makna gramatikal. Berikut pembahasan bentuk-bentuk berawalan tersebut di atas. Dalam pembentukan kata, awalan {N-} berfungsi membentuk kata kerja (aktif) dari bentuk dasar yang berupa kata kerja atau kata. Contohnya N- + bandhem mbandhem. Makna gramatikal yang dimunculkan sebagai berikut: melakukan perbuatan seperti disebut berntuk dasar, seperti mbandhem ‘melempar’; membuat atau menghasilkan, seperti ngendhog ‘bertelur’; melakukan pekerjaan dengan alat yang tersebut pada bentuk dasar, seperti macul ‘mencangkul’; memiliki sesuatu/bersifat seperti yang disebut bentuk dasar, seperti ngalim ‘bersikap seperti orang alim’; memberi objek sesuatu yang disebut bentuk dasar, seperti ngecat ‘memberi objek cat’; menaiki/mengendarai, seperti ngebis ‘naik bis’; 156
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 mengkonsumsi sesuatu yang disebut bentuk dasar, seperti ngemi ‘makan mi’; mencalonkan diri jadi sesuatu yang disebut bentuk dasar, seperti nyaleg ‘mencalonkan diri jadi caleg’; proses menjadi seperti disebut bentuk dasar, seperti ngerak ‘menjadi kerak’. Dalam pembentukan kata, awalan {di-} berfungsi membentuk kata kerja (pasif). Dalam proses tersebut tidak terjadi peristiwa morfofonemik. Dalam pengucapan, awalan {di-} sering juga diucapkan {de-} (lihat Tohari, 2007). Makna gramatikal yang muncul dari pembentukan kata dengan awalan {di-} hanya satu, yaitu makna pasif dalam arti subjek dikenai perbuatan yang dinyatakan kata berawalan {di-} dan pelakunya orang ketiga, seperti dalam kalimat klambiku dienggo nang Nita ‘Bajuku dipakai Nita’. Dalam pembentukan kata dengan awalan {tek-} juga tidak terjadi peristiwa morfofomik. Awalan ini berfungsi membentuk kata kerja (pasif). Bentuk dasarnya berupa kata kerja atau kata benda. Makna gramatikal yang dihasilkan adalah makna pasif, yaitu subjek dikenai perbuatan yang dinyatakan kata berawalan {tek-} tersebut dengan pelakunya orang pertama (pembicara), seperti dalam kalimat sandele ko teksilih disit ya ‘sandalmu saya pinjam dulu ya’. Dalam dialek Banyumas, awalan {ke-} berfungsi membentuk kata kerja (pasif). Awalan tersebut merupakan alomorf awalan {ka-} dari bahasa Jawa. Maknanya sebagai berikut: perbuatan dilakukan tidak sengaja dan sudah terjadi, seperti kedhudhut ‘tercabut’; perbuatan dapat dilakukan, seperti kecandak ‘terjangkau’; keadaan dialami tanpa dikehendaki/disengaja, seperti kesogok ‘tertusuk’. Dalam pembentukan kata, awalan {se-} tidak mengubah jenis kata bentuk dasarnya yang umumnya berjenis kata benda. Makna yang dihasilkan adalah makna ‘satu’, misalnya sedina ‘sehari’. Kata Berakhiran Dalam penelitian ini ditemukan enam macam akhiran dalam dialek Banyumas, yaitu akhiran {i},{-ake/-aken},{na-/kna-},{-en},{-e}, dan {-an}. Dalam proses pembentukan kata, akhiran {-i} berfungsi membentuk kata kerja dari bentuk dasar yang berkategori kata kerja, kata benda dan kata sifat. Contoh pembentukan kata: susu + -i susoni. Makna yang dihasilkan sebagai berikut: menyatakan perbuatan aktif transitif dan objek dalam keadaan diam, seperti batiri ‘temani; menyatakan perbuatan aktif transitif, tetapi objek berpindah tempat, seperti jujugi ‘antarkan’, menyatakan perbuatan aktif transitif dilakukan berkali-kali, seperti balangi ‘lempari’; menyatakan perbuatan memberi objek sesuatu yang disebut pada bentuk dasar,seperti susoni ‘beri susu’; membuat objek menjadi sesuatu seperti disebut bentuk dasar, seperti pejahi ‘matikan’. Akhiran {-i} tersebut jika berkombinasi dengan awalan {di-} atau awalan {tek-}, makna aktif transitif berubah menjadi makna pasif, dengan catatan jika berkombinasi dengan awalan {tek-}, berarti pelaku perbuatan adalah orang pertama/pembicara. Kata berakhiran {ake-/aken-} sebagian besar memiliki bentuk dasar yang berketegori kata kerja, meskipun ada sebagian kecil yang berkategori kata sifat dan kata benda. Dalam pembentukan kata, akhiran tersebut berfungsi membentuk kata kerja aktif transitif. Dalam pemakaian, akhiran pada kata-kata tersebut bisa diucapkan /ake/, bisa diucapkan /akǝn/, tetapi akhiran {-aken} digunakan dalam dialek Banyumas ragam halus. Makna yang dihasilkan ada sebagai berikut: makna benefaktif, yaitu perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar dilakukan untuk kepentingan orang lain, seperti celukake ‘panggilkan’, makna kausatif, yaitu menyebabkan objek mengalami perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar, seperti bucalake ‘buangkan’, menyebabkan objek menjadi seperti yang tersebut pada bentuk dasar, seperti dhuwurake ‘tinggikan’. Dalam proses pembentukan kata, akhiran {-na/-kna} berfungsi membentuk kata kerja, sebagaimana akhiran {-ake/-aken}. Dari data diketahui bahwa jika bentuk dasar yang berakhiran vokal bertemu akhiran {-na}, akhiran {-na} berubah menjadi {-kna}.Makna yang dihasilkan sebagai berikut: makna benefaktif, yaitu perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar dilakukan untuk kepentingan orang lain, seperti jalukna ‘mintakan’, menyebabkan objek mengalami perbuatan/keadaan seperti yang disebut bentuk dasar, seperti walikna ‘kembalikan’, menyebabkan objek menjadi seperti yang disebut bentuk dasar, seperti rapikna ‘rapikan’, Dalam proses pembentukan kata, akhiran {-en}biasanya melekat pada bentuk dasar berkategori benda dan kata sifat dan berfungsi membentuk kata sifat jika bertemu dengan kata benda atau kata yang menyatakan keadaan. Makna yang dihasilkan sebagai berikut: terkena atau menderita sakit seperti yang tersebut pada bentuk dasar, makna ini muncul jika bentuk dasarnya berkategori kata benda, contohnya tumaen ‘berkutu’; mengeluarkan sesuatu tersebut pada bentuk dasar, seperti banyunen
157
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 ‘mengeluarkan air’; merasakan sesuatu yang tersebut pada bentuk dasar’, makna ini muncul jika bentuk dasar berkategori kata sifat, seperti kencoten ‘merasa lapar’. Dalam pembentukan kata akhiran {-e} tidak mengubah jenis kata bentuk dasarnya. Adapun makna yang dimunculkan adalah sebagai berikut: makna ‘sangat…..(yang disebut bentuk dasar), seperti adem + -e ademe ‘dinginnya’; makna ‘kepunyaan/posesif’, seperti awak + -e awake ‘badannya’. Dalam proses pembentukan kata, akhiran {-an} berfungsi membentuk kata benda dan kata kerja. Makna yang dimunculkan sebagai berikut: sesuatu yang di …, seperti panganan ‘sesuatu yang dimakan’; perbuatan berbalas-balasan, seperti bandheman ‘lempar-lemparan’; makna ‘pakaian /kain’, seperti gombalan ‘pakaian’; tempat, seperti belokan ‘tempat membelok’; hasil, seperti jiretan ‘hasil mengikat’; menyerupai bentuk yang disebut bentuk dasar, seperti jaranan ‘menyerupai kuda’; alat, seperti selipan ‘alat menyelip’; perbuatan yang dilakukan secara santai/tidak serius, seperti turonan ‘tiduran’; memakai/mengendarai sesuatu yang disebut bentuk dasar, seperti sandalan ‘memakai sandal’; Dalam proses pembentukan kata, konfiks [ke –an] berfungsi membentuk kata kerja pasif terutama bila bentuk dasar berupa kata kerja atau pokok kata, dan sedikit kata benda. Makna yang dimunculkan sebagai berikut: terkena sesuatu atau mengalami suatu keadaan secara tidak sengaja, seperti kedanan ‘tergila-gila’. Selain {ke-an}, ada juga konfiks {ke-en}. Jika bentuk dasar berupa kata benda atau kata kerja [ke-en] membentuk kata kerja pasif, jika bentuk dasarnya kata sifat, konfiks {ke-en} tidak mengubah jenis kata hasil bentukan. Makna yang dimunculkan sebagai berikut: mengalami sesuatu secara tidak sengaja, seperti kebablasen ‘kelewatan’; terkena sesuatu yang disebut bentuk dasar secara tidak dikehendaki, seperti kegrimisen ‘terkena gerimis’; makna ‘terlalu’ seperti kedhawan ‘terlalu panjang’. Kata-kata berkonfiks {pa-an} juga dibentuk dengan cara melekatkan awalan {pa-} dan akhiran{-an} pada bentuk dasar secara bersamaan. Dalam ucapan kadang-kadang awalan {pa-} dibaca /pǝ-/. Fungsinya dalam pembentukan kata adalah membentuk kata benda. Makna gramatikal yang dibawa konfiks {pa-an} sebagai berikut: menyatakan ‘tempat’, seperti pa-an + ayam payaman ‘tempat ayam berkeliaran’; suatu hal yang terkait dengan bentuk dasar, seperti pasulayan ‘perselisihan’; sesuatu hal yang terkait dengan bentuk dasar, seperti pedhalangan ‘dunia dalang’; alat atau sarana, seperti pa + nggoreng + an penggorengan ‘alat menggoreng’. Dalam pembentukan kata, konfiks {N-i} berfungsi membentuk kata kerja aktif transitif. Makna yang dihasilkan sebagai berikut: makna aktif transitif dan objek diam, seperti N-i + paran marani ‘mendekati’; menyebabkan objek mengalami sesuatu yang disebut bentuk dasar, seperti N-i + wedhi medeni ‘menakutkan’; melakukan perbuatan berkali-kali, seperti N-i + balang mbalangi ‘melempari’; melakukan perbuatan dengan alat yang tersebut pada bentuk dasar, seperti N-i + pecut mecuti ‘memukul/menyabet dengan pecut’. Kata Bersisipan Dalam penelitian ini peneliti hanya menemukan tiga kata yang bersisipan, yaitu dua kata bersisipan {-um-} dan satu kata bersisipan {-in-}. Sisipan {um-} berfungsi membentuk kata benda, sisipan {-in-} tidak mengubah jenis kata bentuk dasarnya. Berikut ini kata yang dimaksud dan proses pembentukannya. tindak + -um- tumindak
‘tingkah laku’
thelek + -um- thembelek
‘kotoran /unggas’
tuku + -in-
tinuku
‘sudah terbeli’.
Kata Ulang Dalam dialek Banyumas, ada tiga macam kata ulang, yaitu kata ulang seluruh bentuk dasar (dwilingga), kata ulang berkombinasi afiks, dan kata ulang berubah bunyi (dwilingga salin swara). Kata ulang dwilingga dibentuk dengan cara mengulang seluruh bentuk dasar. Bentuk dasar ada yang berupa kata benda,kata sifat atau kata kerja. Makna yang muncul sebagai berikut: benda yang disebut bentuk dasar berjumlah banyak, seperti bocah-bocah ‘banyak bocah’; benda yang memiliki sifat yang disebut bentuk dasar lebih dari satu, seperti: apik-apik ‘baik-baik’; keadaan yang tidak beraturan, seperti mambrah-mambrah ‘berhamburan’; perbuatan yang berulang-ulang dilakukan, seperti mlayumlayu ‘berlari – lari’.
158
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Jenis kata ulang berkombinasi afiks ini dibentuk dengan cara mengulang seluruh bentuk dasar ditambah imbuhan akhiran. Proses pengulangannya tidak mengubah jenis kata bentuk dasarnya. Makna yang muncul sebagai berikut: bermacam-macam, seperti wit-witan ‘pohon-pohonan’; menyerupai benda yang disebut bentuk dasar, seperti wong-wongan ‘menyerupai wong/orang’; perbuatan berbalasbalasan, seperti baling-balangan ‘saling lempar’; perbuatan membandingkan, seperti dhuwurdhuwuran ‘membandingkan tinggi (badan); perbuatan yang disebut bentuk dasar dilakukan berkalikali untuk bersenang-senang, seperti pit-pitan ‘bersepedaan ‘; dalam keadaan benar-benar habis, seperti entong-entongan ‘habis-habisan’. Jenis kata ulang berubah bunyi dibentuk dengan cara mengulang seluruh bentuk dasar disertai sedikit perubahan bunyi. Proses pembentukannya tidak mengubah jenis kata bentuk dasarnya. Ada juga kata yang berbentuk kata ulang berubah bunyi, tetapi bentuk dasarnya tidak diketahui lagi, seperti: kriyap-kriyip, tengak-tenguk, morak-marik. Makna yang muncul sebagai berikut: perbuatan dilakukan berulang-ulang, seperti ngguya-ngguyu ‘tertawa-tawa’;dalam keadaan …, seperti planga-plongo ‘dalam keadaan melamun’. Kata Majemuk Kata majemuk yang ditemukan, dilihat dari hubungan unsur-unsurnya ada dua jenis, yaitu kata majemuk koordinatif dan kata majemuk subordinatif. Kata majemuk koordinatif, yaitu kata majemuk yang hubungan unsur-unsurnya bersifat setara, artinya unsur yang satu tidak menjadi pewatas unsur yang lain. Contohnya: gedhe cilik, tua enom, teles kebes, mlebu metu, dan sebagainya. Kata majemuk subordinatif yaitu kata majemuk yang hubungan unsur-unsurnya tidak stara. Artinya, unsur yang satu menjadi pewatas unsur yang lain. Dari data diketahui, pada semua kata majemuk subordinatif ini, unsur kedua menjadi pewatas unsur pertama. Contoh: banci kaleng, bakul ondol, kathok potlot, wangen desa, dan sebagainya. Pada data juga ditemukan ada tiga jenis kata yang dibentuk melalui permajemukan, yaitu kata benda, seperti gedhe cilik, clunas terminal, klambi lurik, dan sebagainya, kata sifat, seperti abang jembrang, asat nggereng, kuning mrinding, dan sebagainya; kata kerja (yang menyatakan tindakan) seperti balapan motor, cantel omong, lunga layar, dan sebagainya; kata kerja (yang menyatakan keadaan) seperti abot sirah, dhedel duwel, lara uyung dan sebagai. Dari segi makna ditemukan 33 macam makna yang muncul dari pembentukan kata majemukyakni sebagai berikut. Makna ‘orang dari semua usia’, seperti gedhe cilik; makna ‘sifat penampilan pria’, seperti gagah perkosa; makna ‘tindakan dilakukan berkali-kali’, seperti mlebu metu ‘keluar masuk’; makna ‘nama/sebutan kelompok orang tertentu dalam masyarakat, seperti banci kaleng ‘waria’; makna ‘jenis pakaian’, seperti kathok potlot ‘celana pensil’; makna ‘jenis kelengkapan busana’, seperti benik kathok ‘kancing celana’; makna ‘nama jenis binatang’, seperti naga geni ‘naga api’; makna ‘nama jenis buah’, seperti nangka sebrang ‘sirsak’; makna ‘nama bahan makanan’, seperti mengkreng abang ‘cabe merah’; makna ‘nama jenis makanan’, seperti rames kucing ‘nasi rames porsi kecil’; makna ‘wadah/tempat sesuatu’, seperti pithik plastik ‘tempat nasi berbahan plastik’; makna ‘nama jenis bahan bangunan’, seperti blabag glugu ‘papan dari pohon kelapa’; makna ‘nama tempat’, seperti mbale majeng ‘ruang tamu’; makna ‘nama jenis kendaraan’, seperti pit onthel ‘sepeda angin’; makna ‘nama peristiwa alam’, seperti bledheg galak ‘petir yang memakan korban’; makna ‘nama benda di alam’, seperti lemah lempung ‘tanah liat’; makna ‘nama hantu’, seperti setan alas ‘hantu hutan’; makna ‘bekas dari sesuatu, seperti jat sikil ‘bekas telapak kaki’; makna ‘nama alat-alat rumah tangga’, seperti sapu tepes ‘sapu dari sabut kelapa’; makna ‘nama kekerabatan’, seperti sedhulur wadon ‘saudara perempuan’; makna ‘sebutan untuk seseorang karena keadaannya, seperti bocah cuplis ‘anak kecil yang cantik’; makna ‘nama permainan/alat permainan’, seperti grobag sodor ‘pemainan grobak dorong’; makna ‘nama suatu acara’, seperti widya karnaval ‘ barisan karnaval’; makna ‘nama variasi bahasa Jawa’, seperti ngoko alus ‘variasi bahasa yang cukup halus’; makna ‘jenis uang’, seperti duit receh ‘uang kecil’; makna ‘nama sesuatu secara metaforis’, seperti dalan pangane ‘jalan rezeki’; makna ‘nama bagian dari suatu alat permainan’, seperti sendaran layangan ‘bagian dari layangan yang bisa berbunyi’; makna ‘sarana berita atau jenis berita’, seperti layang lelayu ‘berita duka’; makna ‘sifat dari suatu benda’, seperti ampleng nyenyet ‘sangat sunyi’; makna ‘keadaan seseoran atau suatu benda’, seperti abot sirah ‘sakit kepala’, lara uyung ‘sakit hati’; makna ‘satuan waktu terkait dengan peristiwa kelahiran’, seperti selapan dina ‘tiga puluh lima hari setelah kelahiran’; makna ‘tindakan/perbuatan’, seperti lunga layar ‘pergi berlayar’; makna I ‘ucapan selamat’, seperti wilujeng rawuh ‘selamat datang’.
159
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 KESIMPULAN Dalam penelitian ini ditemukan tiga macam bentuk morfologis dalam dialek Banyumas, yaitu kata berimbuhan, kata ulang dan kata majemuk. Kata berimbuhan yang ditemukan meliputi kata berawalan, kata berakhiran, dan kata berkonfiks. Kata ulang meliputi kata ulang seluruh bentuk dasar (dwipurwa), kata ulang berimbuhan, dan kata ulang berubah bunyi (dwipurwa salain swara). Kata majemuk meliputi beberapa jenis. Dari segi hubungan unsur-unsurnya ditemukan kata majemuk koordinatif dan kata majemuk subordinatif. Dari segi jenis kata ditemukan kata majemuk jenis kata benda (jenis ini yang paling banyak), kata kerja, dan kata sifat. Dari segi makna, ada 33 macam makna kata majemuk dalam dialek Banyumas. Kemungkinan, masih ada macam-macam makna lain yang belum terdeteksi dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Koderi. (1996). Kamus Dialek Banyumas. Purwokerto: Badan Kesenian Banyumas Yayasan Darma Agung. Kridalaksana, Harimurti. (2001), Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mahsun. (2005). Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Muslich, Masnur. (2009). Tata Bentuk dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Purwadi, Mahmudi, Erna Setijaningrum. (2005). Tata Bahasa Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. Zuleha, Ida. (2010). Dialektologi: Dialek Geografi & Dialek Sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu.
160